pendarahan saluran cerna bagian atas
DESCRIPTION
Pendarahan saluran cernaAnemia normositik normokromikHepatitis BTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendarahan Saluran Cerna Bagian Atas
2.1.1 Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah kehilangan darah
dari saluran cerna atas, di mana saja, mulai dari esophagus sampai dengan
duodenum (dengan batas anatomik di ligamentum Treitz), dengan manifestasi
klinis berupa hematemesis, melena, hematoskezia atau kombinasi.1
2.1.2 Etiologi
Perdarahan ulkus peptikum (PUP) merupakan penyebab tersering PSCBA,
berkisar antara 31% sampai 67% dari semua kasus, diikuti oleh gastritis erosif,
perdarahan variceal, esofagitis, keganasan dan robekan Mallory-Weiss. Pada
subgrup pasien dengan PUP, perdarahan oleh karena ulkus duodenum sedikit
lebih banyak dibandingkan ulkus gaster. Di Indonesia sendiri, terdapat
perbedaan distribusi, data lama mendapatkan bahwa lebih kurang 70% penyebab
dari PSCBA adalah karena varises esofagus yang pecah. Namun demikian,
diperkirakan, oleh karena semakin meningkatnya pelayanan terhadap penyakit
hati kronis dan bertambahnya populasi pasien usia lanjut, maka proporsi
perdarahan oleh karena ulkus peptikum akan meningkat. Data dari salah satu RS
di Indonesia (RS Sanglah, Bali) didapatkan bahwa penyebab perdarahan saluran
cerna terbanyak yaitu ulkus peptikum, diikuti gastritis erosif.1
Tabel 1. Penyebab Tersering PSCBA pada Pasien yang menjalani Endoskopidi Pusat Endoskopi RSCM selama tahun 2001-2005.1
2.1.3 Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang dianggap berperan dalam patogenesis
PSCBA. Faktor risiko yang telah diketahui adalah :1
a. Usia
PSCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko meningkat pada usia
>60 tahun. Usia ≥ 70 tahun dianggap sebagai faktor risiko karena terjadi
peningkatan frekuensi pemakaian OAINS dan interaksi penyakit komorbid
yang menyebabkan terjadinya berbagai macam komplikasi.
b. Jenis kelamin
Menurut data data epidemiologi kejadian perdarahan PSCBA
menunjukkan adanya variasi geografis yang besar mulai dari 48-160 kasus
per 100.000 penduduk, dengan kejadian lebih tinggi pada pria.
c. Infeksi bakteri Helicobacter pylori.
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral yang
hidup di bagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung.
Sebagaimana terlihat infeksi H.pylori merupakan faktor utama dalam
terbentuknya ulkus, baik duodenum maupun gaster. Studi ini diambil dari
studi populasi di negara barat, walaupun dengan urutan yang sama,
diperkirakan pada negara berkembang infeksi H.pylori memainkan
peranan yang lebih signifikan.
d. Penggunaan OAINS
Peningkatan risiko kejadian ulkus (ulcus peptikum, duodenum) meski
terutama adalah disebabkan oleh infeksi H. Pillory, namun konsumsi
OAINS jangka lama juga memiiki presentasi yang tidak sedikit.
Gambar 1. Proporsi faktor resiko ulkus peptikum.1
Studi cross sectional terhadap individu yang mengkonsumsi OAINS pada
dosis maksimal dalam jangka waktu lama 35% hasil endoskopi adalah
normal, 50% menunjukkan adanya erosi atau petechiae, dan 5%-30%
menunjukkan adanya ulkus. Jenis-jenis OAINS yang sering dikonsumsi
adalah ibuprofen, naproxen, indomethacin, piroxicam, asam mefenamat,
diklofenak.
e. Penggunaan obat antiplatelet
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg per hari) dapat menyebabkan
faktor perdarahan naik menjadi dua kali lipat, bahkan dosis subterapi 10
mg per hari masih dapat menghambat siklooksigenase. Aspirin dapat
menyebabkan ulkus lambung, ulkus duodenum, komplikasi perdarahan
dan perforasi pada perut dan lambung. Obat antiplatelet seperti clopidogrel
berisiko tinggi apabila dikonsumsi oleh pasien dengan komplikasi saluran
cerna.
f. Merokok
Dari hasil penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko
terjadinya ulkus duodenum, ulkus gaster maupun keduanya. Merokok
menghambat proses penyembuhan ulkus, memicu kekambuhan, dan
meningkatkan risiko komplikasi.
g. Mengkonsumsi alkohol
Mengkonsumsi alkohol konsentrasi tinggi dapat merusak pertahanan
mukosa lambung terhadap ion hidrogen dan menyebabkan lesi akut
mukosa gaster yang ditandai dengan perdarahan pada mukosa.
h. Riwayat ulkus atau gastritis
Riwayat Gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus. Pada
kelompok ini diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam tetapi
oleh adanya gangguan dalam mekanisme pertahanan mukosa dan proses
penyembuhan.
i. Diabetes mellitus
Beberapa penelitian menyatakan bahwa DM merupakan penyakit
komorbid yang sering ditemui dan menjadi faktor risiko untuk terjadinya
perdarahan.11 Namun, belum ada penelitian yang menjelaskan mekanisme
pasti yang terjadi pada PSCBA yang disebabkan oleh diabetes mellitus.
j. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena jejas.
Selain itu hipertensi memperparah artherosklerosis karena plak mudah
melekat sehingga pada penderita hipertensi dianjurkan untuk
mengkonsumsi obat-obat antiplatelet
k. CHF
Penelitian yang ada mengatakan bahwa chronic heart failure dapat
meningkatkan faktor risiko PSCBA sebanyak 2 kali lipat.
2.1.4 Patogenesis PSCBA
Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam
proses pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa
mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi
sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel
makanan besar menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa
juga mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang
melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki
pH netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai
vaskular ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi
juga berfungsi untuk melunturkan asam yang berdifusi ke lamina propia.
Gastritis akut atau kronik dapat terjadi dengan adanya dekstruksi mekanisme-
mekanisme protektif tersebut. 1,2
Gambar 2. Patogenesis PSCBA. Dikutip dari Turner JR1
Gambar 3. Sistem pertahanan mukosa saluran cerna atas1
Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang sehingga
rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna. OAINS dan obat
antiplatelet dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya
dibentuk oleh prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat yang
menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa gaster. Infeksi Helicobacter
pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam lambung
dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan
menstimulasi sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk meningkatkan
sekresi lambung. Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi
alkohol yang berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam dan isi minuman
berakohol selain alkohol juga merangsang sekresi asam sehingga menyebabkan
perlukaan mukosa saluran cerna. Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada
terapi radiasi dan kemoterapi menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh
karena hilangnya kemampuan regenerasi sel. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit komorbid pada PSCBA
dan menjadi faktor risiko PSCBA.1,2
Pada pasien DM terjadi perubahan mikrovaskuler, salah satunya adalah
penurunan prostasiklin yang berfungsi mempertahankan mukosa lambung
sehingga mudah terjadi perdarahan. Gastritis kronik dapat berlanjut menjadi
ulkus peptikum. Merokok merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
ulkus peptikum. Merokok memicu kekambuhan, menghambat proses
penyembuhan dan respon terapi sehingga memperparah komplikasi ulkus kearah
perforasi.1,2
2.1.5 Diagnosis PSCBA
2.1.5.1 Anamnesis
Tanda dan gejala tersering dari perdarahan saluran cerna bagian atas
adalah hematemesis (muntah darah), muntah berwarna coffee ground dan
melena (tinja seperti aspal/tar). Sekitar 30% pasien dengan perdarahan ulkus
datang dengan hematemesis, 20% dengan melena dan 50% dengan keduanya.
Hematoskezia (darah segar di tinja) biasanya menunjukkan sumber perdarahan
saluran cerna bawah, oleh karena darah dari saluran cerna atas berubah hitam
dan serupa aspal pada saat melewati saluran cerna, sehingga menghasilkan
melena. Meskipun demikian, 5% pasien dengan perdarahan ulkus datang
dengan hematoskezia, yang menandakan perdarahan berat, biasa lebih dari
1.000 mL. Pasien yang datang dengan hematoskezia dan disertai dengan tanda-
tanda gangguan hemodinamik, seperti sinkop, hipotensi postural, takikardia,
dan syok harus dicurigai menderita perdarahan saluran cerna bagian atas.
Tanda dan gejala nonspesifik termasuk nausea, vomitus, nyeri epigastrik,
fenomena vasovagal dan sinkop, serta adanya penyakit komorbid tersering
(misalnya diabetes melitus, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit ginjal
kronik dan penyakit arthritis) dan riwayat penggunaan obat-obatan harus
diketahui.1
2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik
Penilaian hemodinamik (denyut nadi, tekanan darah), laju pernafasan,
status kesadaran, konjungtiva yang pucat, capillary refill yang melambat, serta
tidak ditemukannya stigmata sirosis hati kronik (untuk membedakan antara
etiologi non-variseal dan variseal) merupakan tanda-tanda awal yang harus
segera diidentifikasi. Takikardia pada saat istirahat dan hipotensi ortostatik
menunjukkan adanya kehilangan darah yang cukup banyak. Luaran urin
rendah, bibir kering dan vena leher kolaps juga merupakan tanda yang cukup
berguna. Sebagai catatan, takikardia dapat tidak timbul apabila pasien
mendapatkan terapi dengan penyekat beta, sering digunakan pada pasien gagal
jantung dan sirosis hati.
2.1.5.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemasangan NGT
Pemasangan NGT merah terang, pasien memerlukan pemeriksaan
endoskopi segera baik untuk evaluasi maupun perawatan intensif. Jika
cairan aspirat berwarna seperti kopi, maka diperlukan rawat inap dan
pemeriksaan endoskopi dalam 24 jam pertama. Meskipun demikian
aspirat normal tidak dapat menyingkirkan PSCBA. Studi melaporkan
15% kasus perdarahan SCBA pemeriksaan NGT normal tetapi terdapat
lesi dengan risiko tinggi perdarahan (terlihat/ tidak terlihat pembuluh
darah dengan perdarahan) pada endoskopi.1
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium penunjang awal ditujukan untuk menilai kadar
hemoglobin, fungsi hemostasis, fungsi hati dan kimia dasar yang
berhubungan dengan status haemodinamik. Pemeriksaan kadar
haemoglobin dan hematokrit dilakukan secara serial (setiap 6-8 jam) agar
dapat dilakukan antisipasi transfusi secara lebih tepat serta untuk
memantau lajunya proses perdarahan.1
c. Endoskopi Diagnostik
Endoskopi merupakan pemeriksaan pilihan utama untuk diagnosis,
dengan akurasi diagnosis > 90%.Waktu yang paling tepat untuk
pemeriksaan endoskopi tergantung pada derajat berat dan dugaan sumber
perdarahan. Dalam 24 jam pertama pemeriksaan endoskopi merupakan
standar perawatan yang direkomendasikan. Pasien dengan perdarahan
yang terus berlangsung, gagal dihentikan dengan terapi suportif
membutuhkan pemeriksaan endoskopi dini (urgent endoscopy) untuk
diagnosis dan terapi melalui teknik endoskopi. Tujuan pemeriksaan
endoskopi selain menemukan penyebab serta asal perdarahan, juga untuk
menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat klasifikasi klasifikasi
perdarahan ulkus peptikum atas dasar penemuan endoskopi yang
bermanfaat untuk menentukan tindakan selanjutnya.1
Tabel 2. Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Ulkus Peptikum Menurut Forest
Aktivitas perdarahan Kriteria endoskopi
Forest Ia Perdarahan aktif - Perdarahan arteri menyembur
Forest Ib Perdarahan aktif - Perdarahan merembesForest II Perdarahan berhenti dan masih terdapat sisa perdarahan
- Gumpalan darah pada dasar tukak atau terlihat pembuluh darah
Forest III Perdarahan berhentitanpa sisa perdarahan
- Lesi tanpa tanda sisa perdarahan
Gambar 4. Stigmata endoskopik perdarahan ulkus peptikum baru. A,
perdarahan aktif menyemprot. B, perdarahan merembes. C, pembuluh darah
visible dengan bekuan sekeliling. D, bekuan aheren. E, bintik pigmentasi dasar.
F, ulkus berdasar bersih.3
2.1.6 Stratifikasi Resiko Perdarahan Ulang dan Mortalitas
Salah satu skor untuk memperkirakan ternyadinya perdarahan ulang yakni
sistem skor Blatchford, hanya menggunakan faktor laboratorik dan klinis,
sehingga disarankan untuk digunakan pada pasien-pasien Asia dalam konsensus
Asia-Pasifik terbaru. Hasil utama skor ini dapat memprediksi kebutuhan
intervensi klinis, seperti endoskopi, pembedahan atau tansfusi darah. Skor
Blatchford sendiri berkisar antara 0-23, di mana untuk skor 6 ke atas
membutuhkan intervensi.
Tabel 3. Sistem Skor Glasglow Blatchford Bleeding untuk menentukan keperluan
intervensi.3
Penatalaksanaan
2.1.7.1 Tatalaksana dini
Evaluasi dini dan resusitasi yang sesuai merupakan hal penting untuk
dilakukan pada pasien PSCBA, terutama yang datang dengan keluhan
hematemesis, hematoskezia masif, melena atau anemia progresif. Tatalaksana
awal disarankan untuk dilakukan dengan pendekatan multidisipliner, dengan
melibatkan spesialis penyakit dalam/gastroenterologist, radiologist
intervensional, dan ahli bedah/ bedah digestif .
Stratifikasi pasien ke dalam kategori risiko rendah atau tinggi untuk
kejadian pendarahan ulang dan mortalitas dapat digunakan dengan skor
Blatchford dan Rockall (sesuai dengan ada tidaknya fasilitas endoskopi).
Pasien-pasien dengan risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan ulang dan
risiko kematian, sebaiknya dirawat di unit rawat intensif.
Pemasangan nasogastric tube (NGT) dilakukan pada perdarahan yang
diduga masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik. NGT
bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai perdarahan
sehingga tidak diperlukan pada semua pasien dengan perdarahan.
Lavage nasogastrik atau orogastrik dapat dilakukan pada pasien dengan
perdarahan saluran cerna atas dalam keadaan tertentu. Penggunaan air es tidak
direkomendasikan sebagai bilas lambung.
Resusitasi yang dilakukan termasuk pemberian cairan intravena dan
suplementasi oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah pada saat
dibutuhkan. Batasan transfusi bergantung kepada kondisi medis umum dan
tanda vital pasien, namun biasanya ditetapkan pada hemoglobin ≤ 7.0 g/dL
kecuali bila perdarahan masih terus berlangsung atau masif serta adanya
penyakit jantung koroner, gangguan hemodinamik (hipotensi dan takikardi)
dan usia lanjut. Kadar hemoglobin minimal untuk dilakukan endoskopi adalah
8 mg/dL dan jika akan dilaksanakan endoskopi terapeutik maka kadar
hemoglobin minimal adalah 10 mg/dL dengan catatan pasien juga dalam
keadaan hemodinamik stabil.
Pemberian PPI sebelum endoskopi dapat digunakan untuk pasien dengan
PUP. Suasana lingkungan asam menyebabkan penghambatan agregasi
trombosit dan koagulasi plasma, juga menyebabkan terjadinya lisis pada
bekuan yang telah terbentuk. Pemberian PPI dapat secara cepat menetralisasi
asam lambung intraluminal, yang menghasilkan stabilisasi bekuan darah. Pada
jangka panjang, terapi antisekretorik juga mendukung penyembuhan mukosa.
Suatu studi yang baru-baru ini, menunjukkan bahwa pemberian PPI pre-
endoskopik secara signifikan menurunkan angka stigmata risiko tinggi pada
endoskopi awal (37% vs. 46%, OR 0.67; 95% CI 0.54-0.84). Namun demikian
tidak menunjukkan efek terhadap perdarahan ulang, mortalitas, dan
pembedahan. Bila endoskopi akan ditunda dan tidak dapat dilaksanakan, PPI
intravena direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lanjut.1
2.1.7.2 Waktu Endoskopi
Konsensus internasional dan Asia-Pasifik menganjurkan endoskopi dini
dalam waktu 24 jam setelah pasien dirawat , oleh karena tindakan ini secara
signifikan menurunkan lama rawat inap dan memperbaiki luaran klinis.
Endoskopi sangat dini (<12 jam) sampai saat ini belum menunjukkan
keuntungan tambahan dalam hal menurunkan risiko pendarahan ulangan,
pembedahan dan mortalitas bila dibandingkan dengan waktu 24 jam. 1,2
Endoskopi darurat memungkinkan untuk dilakukan hemostasis dini,
namun dapat menyebabkan terjadinya aspirasi darah dan desaturasi oksigen
pada pasien yang belum stabil. Sebagai tambahan, jumlah darah dan bekuan
yang banyak dapat mengganggu terapi target untuk focus pendarahan, yang
dapat menyebabkan dibutuhkannya prosedur endoskopik ulangan. Namun
demikian, endoskopi darurat harus dipertimbangkan pada pasien dengan
pendarahan berat. Pada pasien dengan gambaran klinis risiko lebih tinggi
(misalnya: takikardi, hipotensi, muntah darah, atau darah segar pada NGT )
endoskopi dalam 12 jam kemungkinan dapat meningkatkan luaran klinis. 1
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dan tanpa faktor komorbid serius,
dilakukan endoskopi terlebih dahulu sebelum pasien dipulangkan. 1
2.1.7.3 Endoskopi Terapetik
Tujuan terapi endoskopik adalah untuk menghentikan pendarahan aktif
dan mencegah perdarahan ulang. Beberapa teknik, termasuk injeksi, ablasi dan
mekanik telah dikembangkan dalam beberapa dekade terkini. Pemilihan
tindakan dapat disesuaikan dengan penampakan fokus perdarahan dan risiko
terkait untuk kejadian pendarahan persisten dan rekuren. 1,2
Gambar 5. Pilihan tatalaksana endoskopik dan PPI intravena untuk pasien
dengan PSCBA terkait ulkus peptikum. PPI = proton pump inhibitor. 1
*Jika fasilitas terapi endoskopik optimal
Pasien dengan ulkus dengan dasar bersih diberi diet lunak dan dipulangkan
setelah endoskopi dengan syarat hemodinamik stabil, hemoglobin cukup dan
stabil, tidak ada masalah kesehatan lain. Pada pasien dengan perdarahan ulkus
yang aktif, terapi hemostasis sebaiknya dalam bentuk kombinasi (epinefrin
ditambah modalitas lain seperti penempatan klim hemostatik, termokoagulasi,
dan elektrokoagulasi) .Injeksi epinefrin tidak dianjurkan diberikan sebagai
terapi tunggal. Injeksi Penggunaan klip direkomendasikan karena dapat
menurunkan kejadian perdarahan ulang. Pasien dengan stigmata secara
endoskopi risiko tinggi (perdarahan aktif, pembuluh darah yang terlihat,
bekuan – bekuan (klasifikasi Forrest) umumnya dirawat inap selama 3 hari bila
tidak ada perdarahan ulang dan tidak ada indikasi lain untuk rawat inap. Pasien
boleh diberi diet cair segera setelah endoskopi kemudian diganti secara
bertahap. 1
Pasien dengan perdarahan ulang biasanya dapat ditangani dengan terapi
endoskopik. Namun demikian, pembedahan darurat atau embolisasi
angiografik mungkin diperlukan pada saat-saat tertentu, seperti :
a. Perdarahan memancar (spurting) yang tidak dapat dihentikan dengan
endoskopi,
b. Titik pendarahan tidak dapat dilihat oleh karena pendarahan aktif yang
masif, dan
c. Perdarahan ulang yang muncul setelah endoskopi terapeutik kedua. 1
2.1.7.4 Tatalaksana pasca endoskopik
a. Terapi antisekretorik
Farmakoterapi memainkan peran utama kedua untuk tatalaksana PSCBA
akibat ulkus peptikum. Terapi PPI lebih superior dibandingkan antagonis
reseptor histamin-2. PPI dapat diberikan oral atau intravena bergantung
kepada stigmata perdarahan (Kriteria Forrest).Lama dan dosis PPI
bergantung kepada etiologi dan pemakaian obat lainnya. Pada pasien
dengan ulkus idiopatik (non H.pylori, non NSAID), dapat
direkomendasikan terapi anti ulkus jangka panjang (contohnya: PPI
harian). Pada pasien dengan perdarahan ulkus karena aspirin dosis rendah,
harus dikaji ulang urgensi pemberian aspirin tersebut. 1
b. Terapi Eradiaksi H.Pylori
Pemeriksaan H.pylori disarankan untuk semua pasien dengan peptic ulcer.
Pemeriksaan ini kemudian dilanjutkan dengan terapi eradikasi untuk
semua pasien dengan hasil positif, pemantauan berkala untuk hasil terapi
dan terapi ulang pada gagal eradikasi. Eradikasi dengan terapi tiga obat
(triple therapy) memiliki tingkat keberhasilan sampai 80 % bahkan 90%
pada pasien ulkus peptikum tanpa disertai dengan efek samping yang
signifikan dan efek minimal dalam resistensi terhadap antibiotik. Lebih
jauh lagi, berkaitan dengan evaluasi penyembuhan ulkus melalui
endoskopi, ditemukan bahwa tingkat keberhasilan terapi PPI selama satu
minggu mencapai 80-85%. Setelah H. pylori terbukti tereradikasi, terapi
PPI rumatan tidak diperlukan kecuali pasien menggunakan NSAIDs atau
antitrombotik. 1
Tes diagnostik H.pylori mempunyai nilai prediktif negatif rendah pada
keadaan PSCBA akut. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kesulitan
teknik dalam melakukan biopsi representatif atau ketidakakuratan
pemeriksaan pada lingkungan basa yang disebabkan darah. Hasil biopsi
negatif yang diperoleh pada keadaan akut harus diinterpretasi secara hati-
hati dan bila perlu dilakukan tes ulang pada pemantauan kembali. 1
2.2 Anemia Gravis Normositik Normokromik dengan Perdarahan
2.2.1 Definisi
Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa
hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan tubuh.3 Parameter laboratorik yang dipakai dalam
mendiagnosis anemia yaitu hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit.3,4
2.2.2 Kriteria dan Derajat Anemia
Berikut adalah kriteria WHO untuk mendiagnosis anemia pada orang dewasa
Tabel 4. Tanda dan gejala gagal jantung.
Populasi*Anemia
Ringan Sedang Berat
Pria (≥ 15 tahun) 11-12,9 g/dL 8-10,9 g/dL < 8 g/dL
Wanita yang tidak sedang
hamil (≥ 15 tahun)11-11,9 g/dL 8-10,9 g/dL < 8 g/dL
Wanita hamil (≥ 15 tahun) 10-10,9 g/dL 7-9,9 g/dL < 7 g/dL
*Populasi tinggal di ketinggian 0 m dari permukaan laut.7
2.2.3 Alur Pendekatan Diagnosis Anemia
Anemia adalah suatu kumpulan gejala, bukan merupakan suatu penyakit,
sehingga perlu dilakukan pendekatan sesuai dengan alur diagnosis untuk
mengetahui penyakit yang mendasari anemia.
Gambar 6. Alur diagnosis anemia4
Gambar 7. Algoritma pendekatan diagnosis anemia
Menentukan adanya anemia
Menentukan jenis anemia
Menentukan etiologi/ penyakit
dasar
Menentukan penyakit penyerta
yang mempengaruhi
pengobatan
Anemia
Hapusan darah tepi dan Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
Anemia hipokromik mikrositer
(MCV <80 gl dan MCH
<27 PG)
Anemia normokromik
normositer
(MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg)
Anemia makrositer
(MCV >95 fl)
Gambar 8. Algoritma pendekatan diagnosis anemia mikrositik hipokromik
Gambar 9. Algoritma pendekatan diagnosis anemia normositik normokromik
Gambar 10. Algoritma pendekatan diagnosis anemia normositik normokromik
2.2.4 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anemia bukan suatu diagnosis, melainkan tanda dari penyakit lain yang
mendasari (underlying disease). Anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien anemia
sangat penting untuk mengetahui penyebab dan diagnosis banding anemia.2,3
Penurunan jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh darah menimbulkan
anoksia organ target dan tubuh akan mengompensasi untuk mengatasi anoksia
tersebut. Reaksi kompensasi ini yang menimbulkan gejala dan tanda anemia.
Berat ringannya gejala anemia tergantung pada derajat penurunan hemoglobin,
kecepatan penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru
sebelumnya.
Gejala anemia dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:3
a. Gejala umum anemia (anemic syndrome)
Gejala umum anemia timbul karena iskemia organ target serta akibat
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin.
Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, palpitasi,
tinnitus, mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak napas, dan
dispepsia.
b. Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk setiap jenis anemia. Pada anemia defisiensi besi
dapat ditemukan adanya keluhan disfagia serta pica (keinginan untuk
memakan bahan yang tidak lazim), atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok (koilonikia). Pada anemia megaloblastik dapat
ditemukan glositis dan gangguan neurologis pada defisiensi vitamin B12.
Pada anemia hemolitik didapatkan adanya ikterus, splenomegali dan
hepatomegali. Sedangkan pada anemia aplastik dapat ditemukan
perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
c. Gejala akibat penyakit dasar
Gejala ini timbul karena penyakit yang mendasari anemia dan bervariasi
tergantung penyakit dasarnya. Misalnya kanker kolon dapat menimbulkan
perubahan pola defekasi, feses bercampur darah atau lendir.
Pada pemeriksaan fisik anemia pasien tampak pucat, ikterik; mudah dilihat
pada konjungtiva palpebra, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan di
bawah kuku. Dapat ditemukan purpura, perdarahan dan hipertrofi gusi, ulserasi
mulut, hepatomegali, splenomegali, nyeri tulang, hemarthrosis, dan kelainan
system saraf.3,5,6
2.2.5 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang umumnya dipakai dalam mendiagnosis anemia,
yaitu:4-6
a. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring (screening test) bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya anemia, terdiri atas pemeriksaan darah lengkap (Complete Blood
Count), yaitu konsentrasi hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, jumlah
leukosit, jumlah trombosit, dan indeks eritrosit. Indeks eritrosit digunakan
untuk mengetahui morfologi dari sel darah merah, terdiri dari Mean
Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan
Mean Corpuscular Hemoglobin Consentration (MCHC).
b. Pemeriksaan gambaran darah tepi
Gambaran darah tepi juga dapat digunakan sebagai pemeriksaan screening
untuk memastikan adanya anemia dan jenis morfologi dari anemia. Melalui
gambaran darah tepi dapat diketahui diameter, bentuk, warna, inklusi dari
eritrosit, gambaran leukosit dan trombosit yang dapat membantu
menemukan kelainan sumsum tulang yang menyebabkan anemia. Seperti
penemuan sel blast dan penurunan trombosit yang mengarahkan pada
keganasan hematologi.
c. Hitung Retikulosit
Pemeriksaan ini menggambarkan kemampuan dari sumsum tulang untuk
memproduksi sel darah merah. Pada kasus perdarahan akut atau anemia
hemolitik, tubuh merespon dengan meningkatkan produksi retikulosit di
sumsum tulang. Pada kasus perdarahan kronik, akan menyebabkan
penurunan ringan dari retikulosit dan defisiensi besi. Sedangkan jumlah
retikulosit yang sangat menurun dapat terjadi karena insufisiensi atau tidak
efektifnya sistem eritropoesis.
d. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang adalah dengan Bone Marrow Punction (BMP)
atau Bone Marrow Biopsy (BMB). BMP dilakukan untuk menilai morfologi
selularitas sumsum tulang dan untuk mengevaluasi keadaan hematologik,
kanker, metastasis, dan kelainan penyimpanan serta keadaan kronik lainnya.
Pemeriksaan ini mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia
megaloblastik, serta pada keadaan hematologi yang mensupresi sistem
eritroid seperti sindrom mielodisplastik (MDS).7
e. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada indikasi-indikasi tertentu seperti
pada:
- Anemia defisiensi besi : serum Fe, TIBC (Total Iron Binding Capacity),
saturasi transferrin, protoporfirin eritrosit, ferritin serum, reseeptor
transferrin, dan pengecatan besi sumsum tulang (Perl’s stain)
- Anemia megaloblastik : serum folat, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksiuridin dan tes Schiling
- Anemia hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis
hemoglobin
- Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang
- Pemeriksaan fungsi hati, fungsi ginjal, dan fungsi tiroid
2.2.6 Pendekatan Terapi Anemia
Dalam pemberian terapi anemia, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai
berikut:4
a. Pengobatan diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan
sebelumnya.
b. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan.
c. Pengobatan anemia dapat berupa :
- Terapi keadaan darurat
- Terapi suportif
- Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
- Terapi untuk mengobati penyakit dasar penyebab anemia
d. Terapi percobaan apabila diagnosis definitif belum dapat ditegakkan.
Pasien harus dipantau respon terapi dan perjalanan penyakitnya.
e. Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan gangguan
hemodinamik. Pada anemia yang kronik diberikan transfusi apabila muncul
gejala atau adanya ancaman payah jantung. Transfusi yang diberikan adalah
jenis packed red cell (PRC).
2.3 Infeksi Virus Hepatitis B
2.3.1 Definisi Infeksi Hepatitis B
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan
peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis
hati atau kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang
dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak
menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi
anatomi selama 6 bulan.8-10
2.3.2 Epidemiologi Hepatitis B
Hepatitis B merupakan masalah kesehatan global yang serius. Di
perkirakan bahwa sekitar 2 milyar orang, atau sekitar sepertiga populasi
dunia terinfeksi HBV. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007
menunjukkan bahwa Hepatitis klinis terdeteksi di seluruh provinsi di
Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang: 0,2%-1,9%). Hasil
Riskesdas Biomedis tahun 2007 dengan jumlah sampel 10.391 orang
menunjukkan bahwa persentase HBsAg positif 9,4%. Persentase
Hepatitis B tertinggi pada kelompok umur 45- 49 tahun (11,92%),
umur >60 13tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun (10,02%),
selanjutnya HBsAg positif pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir
sama (9,7% dan 9,3%). Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk
Indonesia telah terinfeksi virus Hepatitis B.
2.3.3 Penularan Hepatitis B
Virus Hepatitis B ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh
seseorang yang terinfeksi dan manusia adalah satu satunya host virus
tersebut. Darah adalah jalur paling penting dan sering terjadi transmisi virus,
namun cairan tubuh lain seperti saliva dan semen juga dapat menjadi jalur
penularan.11 Sekarang dikenal 3 model jalur penularan virus hepatitis B yaitu
perinatal, seksual dan parenteral/percutaneous transmission.12,13 Sampai saat
ini belum ada bukti bahwa terjadi penularan melalui udara dan penularan
lewat feses. HBV tidak ditularkan melalui air yang terkontaminasi, serangga
maupun vektor yang lain.14,15 Jalur perinatal meliputi transimisi vertikal dari
ibu yang terinfeksi HBV ke janin. 16-19.Penularan melalui jalur parenteral
meliputi penggunaaan jarum suntik yang disalah gunakan, transfusi
darah,dialisis, akupuntur, pembuatan tatto, dan kontak rumah tangga.20,21
2.3.4 Perjalanan Infeksi Hepatitis B
Ada 5 fase perjalanan penyakit hepatitis B kronik yaitu fase
imunotoleransi, fase imuno aktif , fase residual , fase Imnue escape dan fase
reaktifasi.10
1) Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleran terhadap HBV sehingga kosentrasi virus
dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan
hati yang berarti. Dalam keadaan tersebut HBV dalam fase replikatif
dengan titer HbsAg yang sangat tinggi ,HbeAg positif, anti-Hbe negatif,
titer DNA HBV tinggi dan konsentrasi ALT normal.
2) Fase Imunoaktif
Pada sekitar 30% individu dengan persistensi HBV yang
berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari
kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan
toleransi imun terhadap HBV. Pada fase ini tubuh berusaha
mengancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang
terinfeksi HBV.
3) Fase Residual
Sekitar 70% dari indvidu tersebut kemudian akhirnya dapat
menghilangkan sebagian besar virus HBV tanpa ada kerusakan sel hati
yang berarti. Pada keadaan ini titer HbsAg rendah, , HbeAg menjadi
negatif dan anti Hbe yang menjadi positif, serta konsentrasi ALT yang
normal. Sekitar 20-30% pasien Hepatitis B kronik dalam fase residual
dapat mengalami reaktifasi dan kekambuhan.
4) Immune escape
HbeAg tidak terdeteksi ( anti Hbe terdeteksi), pada individu ini terjadi
mutasi pada genom virus yang menyebabkan varian HBV yang tidak
mengekspresikan HbeAg. Pada fase ini konsentrasi ALT biasanya
abnormal, kecepatan replikasi virus sedang dan tinggi (HBV DNA >
20.000 IU/mL). Pada usia lanjut resiko progresi penyakit ini menjadi
fibrosis maupun sirosis meningkat.
5) Fase Reaktivasi / Acute on Chronic Hepatitis
Bisa terjadi akibat adanya agen imunosupressan misalnya kemoterapi
maupun terapi imunosupresan yang lain, infeksi HIV atau transplantasi,
resisten terhadap antiviral, dan putus obat antiviral. Pada fase ini
ditemukan konsentrasi ALT yang abnormal, kecepatan replikasi virus
sedang hingga tinggi, serokonversi HbeAg positif jika HbeAg negatif,
risiko tinggi dekompensasi jika sudah muncul sirosis.
Gambar 5 Perjalanan Penyakit Hati
Gambar 11. Perjalanan Penyakit Hati
2.3.5 Manifestasi Klinis Hepatitis B
Gambaran klinis hepatitis B kronik sangat bervariasi. Pada banyak
kasus tidak dapat ditemukan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes
faal hati normal. Pada sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan
splenomegali atas tanda tanda penyakit hati kronis lainnya, misalnya
eritema palmaris dan spider naevi, serta pemeriksaan laboratorium sering
didapatkan kenaikan konsentrasi ALT walaupun hal itu tidak sering
didapatkan. Pada umumnya ditemukan konsentrasi bilirubin yang normal.
Konsentrasi albumin juga normal kecuali pada kasus kasus yang lebih
parah.
Secara sederhana manifestasi klinis Hepatitis B kronik dibagi
menjadi 2 yaitu :20
1) Hepatitis B yang masih aktif ( hepatitis B kronik Aktif). HbsAg
positif dengan DNA HBV lebih dari 105kopi/ml dan didapatkan
kenaikan ALT yang menetap atau intermitten. Menurut status HbeAg
pasien dikelompokan menjadi hepatitis B kronik HbeAg positif dan
Hepatitis B kronik HbeAg negatif.
2) Carier HBV inaktif. Pada kelompok ini HbsAg positif dengan titer
DNA yang rendah yaitu < 105 kopi/mL. Pada pasien menunjukan
konsentrasi ALT yang normal dan tidak didapatkan keluhan.
Pasien dengan penyakit hepatitis B kronik bisa terjadi toleransi
sistem imun atau pasien memiliki infeksi kronik yang inaktif tanpa adanya
tanda penyakit tersebut aktif, biasanya asimptomatik.
2.3.6 Diagnosis Hepatitis B
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali
riwayat transmisi seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit
kuning sebelumnya. Pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali.
Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium, USG
abdomen dan Biopsi hepar. Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri
dari pemeriksaan biokimia, serologis, dan molekuler Pemeriksaan USG
abdomen tampak gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsi
hepar dapat menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati.21
Pemeriksaan Kimia Klinik
Pemeriksaan kimia darah pada pasien hepatitis B kronik yang
dilakukan adalah pemeriksaan tes fungsi hati (LFT), termasuk dalam
pemeriksaan ini yaitu level Alanin amino transferase (ALT), dan atau
aspartat amino transferase (AST), alkaline phospatase (ALP), dan Gamma
Glutamyl Transpeptidase (GGT), kemudian pemeriksaan total bilirubin dan
bilirubin direk, albumin dan pengukuran INR. Darah rutin, gambaran darah
tepi dan tes koagulasi juga perlu dilakukan.22 Konsentrasi ALT biasanya
lebih tinggi daripada AST namun bisa sebaliknya jika sudah berkembang
menjadi sirosis. Penurunan albumin serum dan pemanjangan PT dan diikuti
penurunan jumlah trombosit juga mengindikasikan perkembangan menjadi
sirosis. Konsentrasi ALT serum biasanya digunakan untuk memantau
perkembangan penyakit dan merupakan kriteria penting untuk indikasi
terapi pada pasien. Pasien dengan infeksi HBV baik dengan konsentrasi
serum ALT normal maupun meningkat menunjukan adanya nekroinflamsi
ringan ataupun tidak adanya nekroinflamasi pada biopsi hati.8,9
Pemeriksaan Serologi
Indikator serologi awal dari VHB akut dan kunci diagnosis
penanda infeksi VHB kronik adalah HBsAg, dimana infeksi bertahan di
serum >6 bulan. Pemeriksaan HBsAg berhubungan dengan selubung
permukaan virus. Sekitar 5-10% pasien, HBsAg menetap di dalam
darah yang menandakan terjadinya hepatitis kronis atau carrier.22
Setelah HBsAg menghilang, anti-HBs terdeteksi dalam serum
pasien dan terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya.
Karena terdapa variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs, kadang
terdapat suatu tenggang waktu (window period) beberapa minggu atau
lebih yang memisahkan hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama
periode tersebut, anti HBc dapat menjadi bukti serologik pada infeksi
VHB.22
Hepatitis B envelope antigen( HbeAg) merupakan peptida yang
berasal dari core virus, ditemukan hanya pada serum dengan HBsAg
positif. Penanda HBeAg timbul bersamaan dengan dihasilkannya DNA
polimerase virus sehingga lebih menunjukkan terjadinya replikasi virus
dan jika menetap kemungkinan akan menjadi penyakit hati kronis.22
Tes-tes yang sangat sensitif telah banyak dikembangkan secara luas
untuk menegakkan diagnosis Hepatitis B dalam kasus-kasus ringan, sub
klinis atau yang menetap. Beberapa metode yang digunakan untuk
mendiagnosis hepatitis adalah Immunochromatography (ICT), ELISA,
EIA, dan PCR. Metode EIA dan PCR tergolong mahal dan hanya tersedia
pada laboratorium yang memiliki peralatan lengkap. Peralatan rapid
diagnostic ICT adalah pilihan yang tepat digunakan karena lebih murah
dan tidak memerlukan peralatan kompleks.23
Gambar 12. Serologi virus Hepatitis B
Pemeriksaan Molekuler
Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara
laboratorium untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum
atau plasma. Pengukuran kadar secara rutin bertujuan untuk
mengidentifikasi carrier, menentukan prognosis, dan monitoring efikasi
pengobatan antiviral.
2.3.7 Penatalaksanaan Hepatitis B. 8
Indikasi pengobatan
Indikasi terapi pada infeksi hepatitis B ditentukan berdasarkan
kombinasi dari 4 kriteria antara lain : (1). Nilai DNA VHB (2)Status
HbeAg, (3) Nilai ALT (4) gambaran histologis hati.
Pada pasien dengan HbeAg positif terapi dapat dimulai pada
DNA VHB diatas 2x104 IU/mL dengan ALT 2-5x batas normal, atau
dengan gambaran histologis fibrosis derajat sedang sampai berat.
Sedangkan pada pasien HbeAg negatif terapi dimulai pada pasien
dengan DNA VHB lebih dari 2x103 IU/mL dan kenaikan ALT> 2x
batas atas normal yang menetap selam 3-6 bulan.
Gambar 13.Algoritma tatalaksana Hepatitis dengan HbeAg positif
Pertimbangkan biopsi hepar atau pemeriksaan fibrosis non infasif pada pasien > 30 tahun atau < 30 tahun dengan riwayat KHS atau sirosis pada keluarga
Bila terdapat inflamasi atau fibrosis derajat sedang atau lebih , terapi
Respon Tidak Respon
Pantau DNA VHB, HbeAg dan ALT 1-3 bulan setelah terapi
Pertimbangkan strategi terapi lain
Surveilan KHS dengan USG maupun AFP 6 bulan bagi kelompok risiko tinggi
HbeAg (+)
DNA VHB < 2x104 IU/mL DNA VHB >2x104 IU/mL
ALT normal ALT normal ALT 1-2X BAN ALT > 5x BAN
Tidak diberi pengobatan
Pantau DNA VHB,HBeAg dan ALT
Tidak diberi pengobatan
Pantau DNA VHB,HBeAg dan ALT
Tidak diberi pengobatan
Pantau DNA VHB,HBeAg dan ALT
Terdapat indikasi mulai terapi bila DNA VHB < 2x 105IU/mL dan tidak ada tanda dekompensasi , bisa dipantau 3-6 bulan untuk timbulnya serokonversi spontan HBcAg
ALT 2-5 X BAN
Pengobatan diberikan bila kenaikan ALT menetap > 3 Bulan atau terdapat risiko dekompensasi
Gambar 14.Algoritma tatalaksana Hepatitis dengan HbeAg positif
Pengobatan
Tujuan utama dari pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk
mengeliminasi atau menekan secara permanen HBV. Hal ini akan
mengurangi patogenitas dan infektivitas, dan akhirnya menghentikan
atau mengurangi nekroinflamasi hati. Dalam istilah klinis, tujuan
jangka pendek adalah mengurangi inflamasi hati, mencegah terjadinya
dekompensasi hati, menghilangkan HBV-DNA (dengan serokonvers
Surveilan KHS dengan USG maupun AFP 6 bulan bagi kelompok risiko tinggi
Pantau untuk respon tertunda atau pertimbangkan strategi terapi lain
Pantau DNA VHB dan ALT 1-3 bulan setelah terapi
Tidak ResponResponPertimbangkan biopsi hepar atau pemeriksaan fibrosis non infasif pada pasien > 30 tahun atau < 30 tahun dengan riwayat KHS atau sirosis pada keluarga
Bila terdapat inflamasi atau fibrosis derajat sedang atau lebih , terapi
Pengobatan diberikan bila kenaikan ALT menetap > 3 bulan atau terdapat risisko dekompensasi
Tidak diberi pengobatan
Pantau DNA VHB dan ALT
Tidak diberi pengobatan
Pantau DNA VHB dan ALT
Tidak diberi pengobatan
Pantau DNA VHB dan ALT
ALT > 2x batas normalALT 1-2X batas normalALT normalALT normal
DNA VHB >2x103 IU/mLDNA VHB < 2x103 IU/mL
HbeAg (-)
HBeAg ke anti-HBe pada pasien HBeAg positif) dan normalisasi
ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan.
Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare
yang dapat menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah
sirosis dan/atau HCC, dan pada akhirnya memperpanjang usia.
Obat yang tersedia dan telah diterima diberbagai negara adalah
interferon a (IFN konvensional), pegylatec interferon a-2a,
lamivudine, adefovir dipivoxil dan entecavir. Thymosin a-1 juga telah
diterima dibeberapa negara khususnya di Asia.
1. Interferon a (IFN-a) konvensional
Pada pasien yang positif HBeAg dengan ALT yang lebih besar 3>
dari BANN, respons angka keberhasilan 6-12 bulan setelah
akhir terapi interferon adalah sekitar 30-40% dibandingkan 10-
20% pada kontrol Pemberian interferon 4,5 mu atau 5 mu
seminggu 3x selama 4-6 bulan dapat efektif pada orang
Oriental (Asia) tetapi angka keberhasilan sedikit lebih rendah
dibanding orang Kaukasia (Eropa).
Penderita hepatitis B kronik aktif dengan HBeAg negatif, anti
HBe positif, HBV-DNA positif juga memberikan respons selama
terapi interferon, tetapi biasanya terjadi relaps pada akhir terapi.
Pengobatan ulangan dengan IFN-( menunjukkan angka
keberhasilan respons 20- 40% baik pada HBeAg positif maupun
negatif.
Pengobatan interferon biasanya berhubungan dengan efek
samping seperti flu-like symptoms, neutropenia, trombositopenia,
yang biasanya masih dapat ditoleransi, namun kadang-kadang
perlu dilakukan modifikasi dosis.Terapi interferon yang
menginduksi hepatitis flare dapat menyebabkan dekompensasi
pada pasien dengan sirosis dan dapat berbahaya bagi pasien
dengan dekompensasi hati . Lama terapi interferon 4-6 bulan
2. Pegylatec interferon a-2a
Sebagai imunomodulator,pegylated interferon a akan mengaktivasi
makrofag, sel natural killer (NK) dan limfosit T sitotoksik serta
memodulasi pembentukan antibodi yang akan meningkatkan
respon imun host untuk melawan virus hepatitis B. Sedangkan
aktivitas anti-virus dilakukan dengan menghambat replikasi
virus hepatitis B secara langsung melalui aktivasi endo-
ribonuclease, elevasi protein kinase dan induksi 2’,5’-
oligodenylate synthetase. Pada saat ini yang telah diterima sebagai
obat untuk hepatitis B Kronis adalah pegylated interferon a-2a
(40 KD). Pegylated interferon a-2 b (12 KD) belum diteliti
dengan baik untuk penderita hepatitis B kronik HBeAg negatif,
dan belum diterima sebagai obat standar untuk Hepatitis B kronis.
3. Lamivudine
Lamivudine menunjukkan efektifitas supresi HBV DNA,
normalisasi ALT, dan perbaikan secara histologi baik pada HBeAg
positif dan HBeAg negatif / HBV DNA positif. Pada penderita
dengan HBeAg (+) yang diterapi selama satu tahun dengan
lamivudine (100 mg per hari) menghasilkan serokonversi
HBeAg dengan perbandingan kadar ALT sebelum terapi : 64%
(vs. 14% sebelum terapi) pada pasien dengan ALT dengan 5x
BANN, 26% (vs. 5% sebelum terapi) pada pasien dengan
ALT 2-5x BANN, dan hanya 5% (vs. 2% sebelum terapi)
pada pasien dengan ALT <2x BANN.
Dengan kata lain, penderita dengan respons imun terhadap HBV
yang lebih kuat memberikan respons yang lebih baik terhadap efek
langsung anti virus pada terapi lamivudine. Pasien anak juga
memberikan respons yang sama. Hepatitis flare kadang dapat
terjadi jika lamivudine dihentikan sebelum serokonversi HBeAg
4. Adefovir dipivoxil
Adefovir dipivoxil adalah nukleosida analog dari adenosine
monofosfe setelah menjadi bentuk aktifnya akan bekerja
langsung menghambat DNA polymerase dengan tempat ikatan
yang berbeda dengan lamivudin.
Adefovir difosfat bekerja menghambat HBV polymerase
dengan berkompetisi langsung dengan substrat endogen
deoksiadenosin trifosfat dan setelah berintegrasi dengan HBV-
DNA sehingga pembentuk rantai DNA virus hepatitis B terhenti.
Efektifitas adefovir dipivoxil sudah diteliti pada pasien baru
hepatitis dengan replikasi virus yang aktif, pada pasien yang gagal
dengan lamivudine, pasien pasca transplantasi hati hingga pasien
dengan dekompensasi hati maupun yang dengan koinfeksi
dengan HIV. Adefo difosfat bekerja menghambat HBV
polymerase dengan berkompetisi langsung dengan substrat
endogen deoksiadenosin trifosfat dan setelah berintegrasi dengan
HBV-DNA sehingga pembentukan rantai DNA virus hepatitis B
terhenti.
5. Entecavir
Entecavir adalah analog nukleosida guanosin yang menghambat
replikasi virus melalui tiga jalur yaitu : priming, negative strand
synthesis, dan positive strand synthesis, dengan demikian produksi
double stranded viral DNA akan sangat menurun.
6. Thymosin a-1
Hanya sedikit penelitian yang telah menganalisis thymosin a1.
Pada satu penelitian diperlihatkan bahwa respons pemberian
subkutan 1,6 mg 2 x/minggu selama 6 bulan adalah 40 %
dibandingkan 9 % pada kontrol. Masih diperlukan penelitian
yang lebih luas untuk membuat kesimpulan lebih pasti.
Kapan terapi antivirus dihentikan?
Interferon a konvensional diberikan selama 4-6 bulan, untuk
pasien non responders dan HBeAg negatif, pengobatan dapat
diteruskan ; selama 12 bulan. Pegylated interferon a-2a, diberikan
selama 6 bulan pada pasien HBeAg positif dan 12 bulan pada pasien
HBeAg negative. Dianjurkan juga untuk melakukan pengawasan
selama 6-12 bulan setelah berakhirnya terapi interferon untuk melihat
adanya respon lambat atau perlunya terapi yang lain. Pada umumnya
pengobatan analog nukleosida diberikan minimal satu tahun, pada
pasien HBeAg positif obat dihentikan bila telah tercapai serokonversi
dengan kadar HBV-DNA yang tidak terdeteksi pada dua kali
pemeriksaan dalam jangka waktu enam bulan. Pada pasien HBeAg
negatif, obat dapat dihentikan bila kadar ALT telah normal dan kadar
HBV-DNA tidak terdeteksi (<103kopi/mL) 3 kali pemeriksaan dalam
jangka minimum 6 bulan. Melihat kenyataan bahwa akan muncul
varian YMDD selama perpanjangan terapi lamivudin, maka
dianjurkan untuk menghentikan terapi sesegera mungkin setelah pasien
mengalami serokonversi HBeAg disertai dengan menghilangnya
HBV-DNA (dengan menggunakan metode PCR atau <105 kopi/mL)
dalam 2 pemeriksaan berturut-turut minimal berjarak 3 bulan. HBV-
DNA tidak selalu harus diperiksa. Untuk pasien dengan HBeAg
negatif yang mendapat pengobatan lamivudine lamanya pengobatan
yang optimal tidak diketahui dan keputusan untuk menghentikan
pengobatan harus ditentukan berdasarkan respons klinik dan beratnya
penyakit hati yang mendasarinya.
Upaya pencegahan
Upaya preventif merupakan hal terpenting karena merupakan
upaya yang paling cost-effective. Secara garis besar, upaya preventif
dibagi dua yaitu upaya yang bersifat umum dan upaya yang lebih
spesifik (imunisasi HBV).
Kebijakan Preventif Umum
1. Uji tapis donor darah dengan uji diagnostik yang sensitif.
2. Sterilisasi instrumen secara adekuat-akurat. Alat dialisis
digunakan secara individual. Untuk pasien dengan HVB
disediakan mesin tersendiri. Jarum disposable dibuang ke
tempat khusus yang tidak tembus jarum.
3. Tenaga medis senantiasa mempergunakan sarung tangan.
4. Perilaku seksual yang aman.
5. Penyuluhan agar para penyalahguna obat tidak memakai jarum
secara bergantian.
6. Mencegah kontak mikrolesi, menghindari pemakaian alat yang
dapat menularkan HVB (sikat gigi, sisir), berhati-hati dalam
menangani luka terbuka.
7. Skrining ibu hamil pada awal dan pada trimester ke-3
kehamilan, terutama ibu yang berisiko terinfeksi HVB. Ibu
hamil dengan HVB (+) ditangani terpadu. Segera setelah lahir
bayi di-imunisasi aktif dan pasif terhadap HVB.
8. Skrining populasi risiko tinggi tertular HVB (lahir di daerah
hiperendemis, homoseksual, heteroseksual, pasangan seks
berganti-ganti, tenaga medis, pasien diálisis, keluarga dari
penderita HVB kronis, kontak seksual dengan penderita HVB).
Kebijakan Preventif Khusus
Imunisasi Pasif
1. Pemberian HBIg bukan merupakan upaya profilaksis pra paparan
2. Pemberian HBIg untuk profilaksis pasca paparan terindikasi bila
a. terpapar sumber penularan HBsAg (+) atau diduga keras /
berisiko tinggi terinfeksi HBV
b. orang yang terpapar belum pernah imunisasi HBV atau belum
memiliki anti HBs
3. HBIg dianjurkan untuk diberikan kepada neonatus terlahir dari ibu
HBV (+), tenaga kesehatan terpapar darah pengidap HBV, dan
kontak seksual dengan pengidap HBV HBIg diberikan < 48 jam
pada needle stick injury, < 14 hari pada kontak seksual
Imunisasi Aktif
Tujuannya adalah memotong jalur transmisi melalui program
imunisasi bayi baru lahir dan kelompok risiko tinggi tertular HBV.
Tujuan akhirnya adalah (1) menyelamatkan nyawa minimal 1 juta
jiwa/tahun; (2) menurunkan risiko KHS akibat HBV; dan (3) eradikasi
virus.
Sasaran dan strategi imunisasi aktif HBV
Prioritas utama adalah bayi baru lahir. Vaksinasi diberikan segera
setelah lahir dalam waktu 12 jam pertama. Keuntungan strategi ini
adalah memotong transmisi dini HBV dan meningkatkan cakupan
imunisasi.
Sasaran lainnya adalah:
• Semua bayi dan anak, remaja, yang belum pernah imunisasi (catch
up immunization). Anak yang belum pernah imunisasi, harus
secepatnya menjalani catch up immunization, paling lambat
usia 11-12 tahun. Imunisasi pada usia pra-pubertas dikaitkan
dengan pola perilaku yang dapat meningkatkan risiko HBV.
Individu berisiko terpapar HBV berdasarkan profesi kerja yang
bersangkutan.
Orang dewasa berisiko tertular HBV.
Tenaga medis dan staf lembaga cacat mental.
Pasien hemodialisis (imunisasi diberikan sebelum terapi dialisis
Dimulai)
Pasien yang membutuhkan transfusi darah/produk darah secara
berulang.
Penyalah guna obat.
• Homoseksual dan biseksual, pekerja seks komersial, orang yang
terjangkit penyakit akibat seks (STD), heteroseksual dengan
pasangberganti-ganti.
• Kontak serumah dan kontak seksual dengan pengidap HBV.
• Populasi dari daerah insidens tinggi HBV.
• Individu yang bepergian ke area endemis HBV.
• Kandidat transplantasi (imunisasi diberikan pra transplantasi).
Konseling Hepatitis
Pengidap hepatitis B harus diberi pengarahan sebab berisiko
menularkan kepada orang lain. Konseling harus termasuk
pencegahan penularan melalui hubungan seksual, perinatal, dan risiko
penularan akibat kecerobohan melalui tetesan darah yang
mengkontaminasi lingkungan.
Anggota keluarga yang berisiko terinfeksi HBV harus divaksinasi HBV
jika ditemukan hasil HBsAg (-) dan anti HBs (-) pada
pemeriksaan serologi. Skrining harus dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs. Vaksinasi dari pasangan seksual
telah menunjukkan hasil yang efektif dalam mencegah terjadinya
penularan HBV secara seksual. Pasangan seksual tetap harus
diperiksa dan divaksinasi terhadap hepatitis B jika ditemukan
seronegatif. Untuk pasangan seksual tetap atau tidak tetap, yang
belum diperiksa HBsAg & anti HBs, atau belum lengkap
imunisasinya, metode perlindungan penghalang pada waktu
hubungan seksual, harus diterapkan.
Rekomendasi konseling untuk pencegahan penularan Hepatitis B dari
individu dengan infeksi kronik HBV :
1) Pasien dengan infeksi Hepatitis B harus diberi penjelasan mengenai
pencegahan penularan HBV.
2) Orang-orang yang kontak secara seksual dan tinggal di dalam
rumah tangga pengidap, harus diperiksa petanda HBV (HBsAg dan
anti-HBs) dan jika negatif, akan diberi vaksinasi hepatitis B.
3) Booster imunisasi untuk hepatitis B tidak dianjurkan.
4) Orang yang berisiko terinfeksi HBV seperti bayi dari ibu
HBsAg positif, tenaga kesehatan dan pasien yang menjalani dialisis
harus diperiksa anti HBs.
5) Bayi dari ibu dengan infeksi harus diperiksa setelah 3 bulan
vaksinasi lengkap (3 kali).
6) Tenaga kesehatan diperiksa anti HBs 1 bulan setelah vaksinasi
lengkap.
7) Pasien hemodialisis dan pasien imunokompromais harus diperiksa
anti HBs setiap tahunnya.
8) Pemakaian alkohol harus dihentikan
9) Pasien terinfeksi hepatitis B dengan ALT normal, anti HBe (+) dan
HBV DNA (-), boleh bekerja penuh seperti biasa.
2.3.8 Prognosis Hepatitis B
Diperkirakan didunia 1 juta orang meninggal tiap tahunnya oleh
karena penyakit hepatitis B, termasuk paling sedikit 5000 orang di
Amerika serikat.
Prognosis Positif terjadi apabila :
Pasien dengan HbeAg negatif atau hilang nya antigen tersebut dan
pasien yang DNA HBV tidak terdeteksi yang mempunyai karakteristik
sebagai berikut :
Progresifitas penyakit yang pelan
Meningkatnya harapan hidup tanpa komplikasi
Menurunnya kemungkinan HCC dan sirosis
Kemajuan tanda klinis dan biokimia setelah dekompensasi
Hepatitis B kronik merupakan kontributor berkembangnya
karsinoma hepatoseluler. Penelitian terbaru menunjukan bahwa level
DNA HBV , yang mengindikasikan replikasi virus adalah prediktor
terkuat dalam perkembangan menjadi sirosis dan KHS dibandingkan
faktor viral yang lain.