pendarahan saluran cerna bagian atas

56
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendarahan Saluran Cerna Bagian Atas 2.1.1 Definisi Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah kehilangan darah dari saluran cerna atas, di mana saja, mulai dari esophagus sampai dengan duodenum (dengan batas anatomik di ligamentum Treitz), dengan manifestasi klinis berupa hematemesis, melena, hematoskezia atau kombinasi. 1 2.1.2 Etiologi Perdarahan ulkus peptikum (PUP) merupakan penyebab tersering PSCBA, berkisar antara 31% sampai 67% dari semua kasus, diikuti oleh gastritis erosif, perdarahan variceal, esofagitis, keganasan dan robekan Mallory- Weiss. Pada subgrup pasien dengan PUP, perdarahan oleh karena ulkus duodenum sedikit lebih banyak dibandingkan ulkus gaster. Di Indonesia sendiri, terdapat perbedaan distribusi, data lama mendapatkan bahwa lebih kurang 70% penyebab dari PSCBA adalah karena varises esofagus yang pecah. Namun demikian, diperkirakan, oleh karena semakin meningkatnya pelayanan terhadap penyakit hati kronis dan bertambahnya populasi pasien usia lanjut, maka

Upload: nabielarikunyaroshiku

Post on 08-Jul-2016

80 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Pendarahan saluran cernaAnemia normositik normokromikHepatitis B

TRANSCRIPT

Page 1: Pendarahan saluran cerna bagian atas

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendarahan Saluran Cerna Bagian Atas

2.1.1 Definisi

Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah kehilangan darah

dari saluran cerna atas, di mana saja, mulai dari esophagus sampai dengan

duodenum (dengan batas anatomik di ligamentum Treitz), dengan manifestasi

klinis berupa hematemesis, melena, hematoskezia atau kombinasi.1

2.1.2 Etiologi

Perdarahan ulkus peptikum (PUP) merupakan penyebab tersering PSCBA,

berkisar antara 31% sampai 67% dari semua kasus, diikuti oleh gastritis erosif,

perdarahan variceal, esofagitis, keganasan dan robekan Mallory-Weiss. Pada

subgrup pasien dengan PUP, perdarahan oleh karena ulkus duodenum sedikit

lebih banyak dibandingkan ulkus gaster. Di Indonesia sendiri, terdapat

perbedaan distribusi, data lama mendapatkan bahwa lebih kurang 70% penyebab

dari PSCBA adalah karena varises esofagus yang pecah. Namun demikian,

diperkirakan, oleh karena semakin meningkatnya pelayanan terhadap penyakit

hati kronis dan bertambahnya populasi pasien usia lanjut, maka proporsi

perdarahan oleh karena ulkus peptikum akan meningkat. Data dari salah satu RS

di Indonesia (RS Sanglah, Bali) didapatkan bahwa penyebab perdarahan saluran

cerna terbanyak yaitu ulkus peptikum, diikuti gastritis erosif.1

Tabel 1. Penyebab Tersering PSCBA pada Pasien yang menjalani Endoskopidi Pusat Endoskopi RSCM selama tahun 2001-2005.1

Page 2: Pendarahan saluran cerna bagian atas

2.1.3 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor risiko yang dianggap berperan dalam patogenesis

PSCBA. Faktor risiko yang telah diketahui adalah :1

a. Usia

PSCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko meningkat pada usia

>60 tahun. Usia ≥ 70 tahun dianggap sebagai faktor risiko karena terjadi

peningkatan frekuensi pemakaian OAINS dan interaksi penyakit komorbid

yang menyebabkan terjadinya berbagai macam komplikasi.

b. Jenis kelamin

Menurut data data epidemiologi kejadian perdarahan PSCBA

menunjukkan adanya variasi geografis yang besar mulai dari 48-160 kasus

per 100.000 penduduk, dengan kejadian lebih tinggi pada pria.

c. Infeksi bakteri Helicobacter pylori.

Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral yang

hidup di bagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung.

Sebagaimana terlihat infeksi H.pylori merupakan faktor utama dalam

terbentuknya ulkus, baik duodenum maupun gaster. Studi ini diambil dari

studi populasi di negara barat, walaupun dengan urutan yang sama,

diperkirakan pada negara berkembang infeksi H.pylori memainkan

peranan yang lebih signifikan.

d. Penggunaan OAINS

Page 3: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Peningkatan risiko kejadian ulkus (ulcus peptikum, duodenum) meski

terutama adalah disebabkan oleh infeksi H. Pillory, namun konsumsi

OAINS jangka lama juga memiiki presentasi yang tidak sedikit.

Gambar 1. Proporsi faktor resiko ulkus peptikum.1

Studi cross sectional terhadap individu yang mengkonsumsi OAINS pada

dosis maksimal dalam jangka waktu lama 35% hasil endoskopi adalah

normal, 50% menunjukkan adanya erosi atau petechiae, dan 5%-30%

menunjukkan adanya ulkus. Jenis-jenis OAINS yang sering dikonsumsi

adalah ibuprofen, naproxen, indomethacin, piroxicam, asam mefenamat,

diklofenak.

e. Penggunaan obat antiplatelet

Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg per hari) dapat menyebabkan

faktor perdarahan naik menjadi dua kali lipat, bahkan dosis subterapi 10

mg per hari masih dapat menghambat siklooksigenase. Aspirin dapat

menyebabkan ulkus lambung, ulkus duodenum, komplikasi perdarahan

dan perforasi pada perut dan lambung. Obat antiplatelet seperti clopidogrel

berisiko tinggi apabila dikonsumsi oleh pasien dengan komplikasi saluran

cerna.

f. Merokok

Dari hasil penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko

terjadinya ulkus duodenum, ulkus gaster maupun keduanya. Merokok

menghambat proses penyembuhan ulkus, memicu kekambuhan, dan

meningkatkan risiko komplikasi.

g. Mengkonsumsi alkohol

Page 4: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Mengkonsumsi alkohol konsentrasi tinggi dapat merusak pertahanan

mukosa lambung terhadap ion hidrogen dan menyebabkan lesi akut

mukosa gaster yang ditandai dengan perdarahan pada mukosa.

h. Riwayat ulkus atau gastritis

Riwayat Gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus. Pada

kelompok ini diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam tetapi

oleh adanya gangguan dalam mekanisme pertahanan mukosa dan proses

penyembuhan.

i. Diabetes mellitus

Beberapa penelitian menyatakan bahwa DM merupakan penyakit

komorbid yang sering ditemui dan menjadi faktor risiko untuk terjadinya

perdarahan.11 Namun, belum ada penelitian yang menjelaskan mekanisme

pasti yang terjadi pada PSCBA yang disebabkan oleh diabetes mellitus.

j. Hipertensi

Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena jejas.

Selain itu hipertensi memperparah artherosklerosis karena plak mudah

melekat sehingga pada penderita hipertensi dianjurkan untuk

mengkonsumsi obat-obat antiplatelet

k. CHF

Penelitian yang ada mengatakan bahwa chronic heart failure dapat

meningkatkan faktor risiko PSCBA sebanyak 2 kali lipat.

2.1.4 Patogenesis PSCBA

Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam

proses pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa

mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi

sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel

makanan besar menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa

juga mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang

melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki

pH netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai

vaskular ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi

Page 5: Pendarahan saluran cerna bagian atas

juga berfungsi untuk melunturkan asam yang berdifusi ke lamina propia.

Gastritis akut atau kronik dapat terjadi dengan adanya dekstruksi mekanisme-

mekanisme protektif tersebut. 1,2

Page 6: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Gambar 2. Patogenesis PSCBA. Dikutip dari Turner JR1

Gambar 3. Sistem pertahanan mukosa saluran cerna atas1

Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang sehingga

rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna. OAINS dan obat

antiplatelet dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya

dibentuk oleh prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat yang

Page 7: Pendarahan saluran cerna bagian atas

menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa gaster. Infeksi Helicobacter

pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam lambung

dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan

menstimulasi sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk meningkatkan

sekresi lambung. Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi

alkohol yang berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam dan isi minuman

berakohol selain alkohol juga merangsang sekresi asam sehingga menyebabkan

perlukaan mukosa saluran cerna. Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada

terapi radiasi dan kemoterapi menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh

karena hilangnya kemampuan regenerasi sel. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit komorbid pada PSCBA

dan menjadi faktor risiko PSCBA.1,2

Pada pasien DM terjadi perubahan mikrovaskuler, salah satunya adalah

penurunan prostasiklin yang berfungsi mempertahankan mukosa lambung

sehingga mudah terjadi perdarahan. Gastritis kronik dapat berlanjut menjadi

ulkus peptikum. Merokok merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya

ulkus peptikum. Merokok memicu kekambuhan, menghambat proses

penyembuhan dan respon terapi sehingga memperparah komplikasi ulkus kearah

perforasi.1,2

2.1.5 Diagnosis PSCBA

2.1.5.1 Anamnesis

Tanda dan gejala tersering dari perdarahan saluran cerna bagian atas

adalah hematemesis (muntah darah), muntah berwarna coffee ground dan

melena (tinja seperti aspal/tar). Sekitar 30% pasien dengan perdarahan ulkus

datang dengan hematemesis, 20% dengan melena dan 50% dengan keduanya.

Hematoskezia (darah segar di tinja) biasanya menunjukkan sumber perdarahan

saluran cerna bawah, oleh karena darah dari saluran cerna atas berubah hitam

dan serupa aspal pada saat melewati saluran cerna, sehingga menghasilkan

melena. Meskipun demikian, 5% pasien dengan perdarahan ulkus datang

dengan hematoskezia, yang menandakan perdarahan berat, biasa lebih dari

Page 8: Pendarahan saluran cerna bagian atas

1.000 mL. Pasien yang datang dengan hematoskezia dan disertai dengan tanda-

tanda gangguan hemodinamik, seperti sinkop, hipotensi postural, takikardia,

dan syok harus dicurigai menderita perdarahan saluran cerna bagian atas.

Tanda dan gejala nonspesifik termasuk nausea, vomitus, nyeri epigastrik,

fenomena vasovagal dan sinkop, serta adanya penyakit komorbid tersering

(misalnya diabetes melitus, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit ginjal

kronik dan penyakit arthritis) dan riwayat penggunaan obat-obatan harus

diketahui.1

2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik

Penilaian hemodinamik (denyut nadi, tekanan darah), laju pernafasan,

status kesadaran, konjungtiva yang pucat, capillary refill yang melambat, serta

tidak ditemukannya stigmata sirosis hati kronik (untuk membedakan antara

etiologi non-variseal dan variseal) merupakan tanda-tanda awal yang harus

segera diidentifikasi. Takikardia pada saat istirahat dan hipotensi ortostatik

menunjukkan adanya kehilangan darah yang cukup banyak. Luaran urin

rendah, bibir kering dan vena leher kolaps juga merupakan tanda yang cukup

berguna. Sebagai catatan, takikardia dapat tidak timbul apabila pasien

mendapatkan terapi dengan penyekat beta, sering digunakan pada pasien gagal

jantung dan sirosis hati.

2.1.5.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemasangan NGT

Pemasangan NGT merah terang, pasien memerlukan pemeriksaan

endoskopi segera baik untuk evaluasi maupun perawatan intensif. Jika

cairan aspirat berwarna seperti kopi, maka diperlukan rawat inap dan

pemeriksaan endoskopi dalam 24 jam pertama. Meskipun demikian

aspirat normal tidak dapat menyingkirkan PSCBA. Studi melaporkan

15% kasus perdarahan SCBA pemeriksaan NGT normal tetapi terdapat

lesi dengan risiko tinggi perdarahan (terlihat/ tidak terlihat pembuluh

darah dengan perdarahan) pada endoskopi.1

b. Pemeriksaan Laboratorium

Page 9: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Pemeriksaan laboratorium penunjang awal ditujukan untuk menilai kadar

hemoglobin, fungsi hemostasis, fungsi hati dan kimia dasar yang

berhubungan dengan status haemodinamik. Pemeriksaan kadar

haemoglobin dan hematokrit dilakukan secara serial (setiap 6-8 jam) agar

dapat dilakukan antisipasi transfusi secara lebih tepat serta untuk

memantau lajunya proses perdarahan.1

c. Endoskopi Diagnostik

Endoskopi merupakan pemeriksaan pilihan utama untuk diagnosis,

dengan akurasi diagnosis > 90%.Waktu yang paling tepat untuk

pemeriksaan endoskopi tergantung pada derajat berat dan dugaan sumber

perdarahan. Dalam 24 jam pertama pemeriksaan endoskopi merupakan

standar perawatan yang direkomendasikan. Pasien dengan perdarahan

yang terus berlangsung, gagal dihentikan dengan terapi suportif

membutuhkan pemeriksaan endoskopi dini (urgent endoscopy) untuk

diagnosis dan terapi melalui teknik endoskopi. Tujuan pemeriksaan

endoskopi selain menemukan penyebab serta asal perdarahan, juga untuk

menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat klasifikasi klasifikasi

perdarahan ulkus peptikum atas dasar penemuan endoskopi yang

bermanfaat untuk menentukan tindakan selanjutnya.1

Tabel 2. Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Ulkus Peptikum Menurut Forest

Aktivitas perdarahan Kriteria endoskopi

Forest Ia Perdarahan aktif - Perdarahan arteri menyembur

Forest Ib Perdarahan aktif - Perdarahan merembesForest II Perdarahan berhenti dan masih terdapat sisa perdarahan

- Gumpalan darah pada dasar tukak atau terlihat pembuluh darah

Forest III Perdarahan berhentitanpa sisa perdarahan

- Lesi tanpa tanda sisa perdarahan

Page 10: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Gambar 4. Stigmata endoskopik perdarahan ulkus peptikum baru. A,

perdarahan aktif menyemprot. B, perdarahan merembes. C, pembuluh darah

visible dengan bekuan sekeliling. D, bekuan aheren. E, bintik pigmentasi dasar.

F, ulkus berdasar bersih.3

2.1.6 Stratifikasi Resiko Perdarahan Ulang dan Mortalitas

Salah satu skor untuk memperkirakan ternyadinya perdarahan ulang yakni

sistem skor Blatchford, hanya menggunakan faktor laboratorik dan klinis,

sehingga disarankan untuk digunakan pada pasien-pasien Asia dalam konsensus

Asia-Pasifik terbaru. Hasil utama skor ini dapat memprediksi kebutuhan

intervensi klinis, seperti endoskopi, pembedahan atau tansfusi darah. Skor

Blatchford sendiri berkisar antara 0-23, di mana untuk skor 6 ke atas

membutuhkan intervensi.

Page 11: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Tabel 3. Sistem Skor Glasglow Blatchford Bleeding untuk menentukan keperluan

intervensi.3

Penatalaksanaan

2.1.7.1 Tatalaksana dini

Evaluasi dini dan resusitasi yang sesuai merupakan hal penting untuk

dilakukan pada pasien PSCBA, terutama yang datang dengan keluhan

hematemesis, hematoskezia masif, melena atau anemia progresif. Tatalaksana

awal disarankan untuk dilakukan dengan pendekatan multidisipliner, dengan

melibatkan spesialis penyakit dalam/gastroenterologist, radiologist

intervensional, dan ahli bedah/ bedah digestif .

Stratifikasi pasien ke dalam kategori risiko rendah atau tinggi untuk

kejadian pendarahan ulang dan mortalitas dapat digunakan dengan skor

Blatchford dan Rockall (sesuai dengan ada tidaknya fasilitas endoskopi).

Pasien-pasien dengan risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan ulang dan

risiko kematian, sebaiknya dirawat di unit rawat intensif.

Pemasangan nasogastric tube (NGT) dilakukan pada perdarahan yang

diduga masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik. NGT

Page 12: Pendarahan saluran cerna bagian atas

bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai perdarahan

sehingga tidak diperlukan pada semua pasien dengan perdarahan.

Lavage nasogastrik atau orogastrik dapat dilakukan pada pasien dengan

perdarahan saluran cerna atas dalam keadaan tertentu. Penggunaan air es tidak

direkomendasikan sebagai bilas lambung.

Resusitasi yang dilakukan termasuk pemberian cairan intravena dan

suplementasi oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah pada saat

dibutuhkan. Batasan transfusi bergantung kepada kondisi medis umum dan

tanda vital pasien, namun biasanya ditetapkan pada hemoglobin ≤ 7.0 g/dL

kecuali bila perdarahan masih terus berlangsung atau masif serta adanya

penyakit jantung koroner, gangguan hemodinamik (hipotensi dan takikardi)

dan usia lanjut. Kadar hemoglobin minimal untuk dilakukan endoskopi adalah

8 mg/dL dan jika akan dilaksanakan endoskopi terapeutik maka kadar

hemoglobin minimal adalah 10 mg/dL dengan catatan pasien juga dalam

keadaan hemodinamik stabil.

Pemberian PPI sebelum endoskopi dapat digunakan untuk pasien dengan

PUP. Suasana lingkungan asam menyebabkan penghambatan agregasi

trombosit dan koagulasi plasma, juga menyebabkan terjadinya lisis pada

bekuan yang telah terbentuk. Pemberian PPI dapat secara cepat menetralisasi

asam lambung intraluminal, yang menghasilkan stabilisasi bekuan darah. Pada

jangka panjang, terapi antisekretorik juga mendukung penyembuhan mukosa.

Suatu studi yang baru-baru ini, menunjukkan bahwa pemberian PPI pre-

endoskopik secara signifikan menurunkan angka stigmata risiko tinggi pada

endoskopi awal (37% vs. 46%, OR 0.67; 95% CI 0.54-0.84). Namun demikian

tidak menunjukkan efek terhadap perdarahan ulang, mortalitas, dan

pembedahan. Bila endoskopi akan ditunda dan tidak dapat dilaksanakan, PPI

intravena direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lanjut.1

2.1.7.2 Waktu Endoskopi

Page 13: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Konsensus internasional dan Asia-Pasifik menganjurkan endoskopi dini

dalam waktu 24 jam setelah pasien dirawat , oleh karena tindakan ini secara

signifikan menurunkan lama rawat inap dan memperbaiki luaran klinis.

Endoskopi sangat dini (<12 jam) sampai saat ini belum menunjukkan

keuntungan tambahan dalam hal menurunkan risiko pendarahan ulangan,

pembedahan dan mortalitas bila dibandingkan dengan waktu 24 jam. 1,2

Endoskopi darurat memungkinkan untuk dilakukan hemostasis dini,

namun dapat menyebabkan terjadinya aspirasi darah dan desaturasi oksigen

pada pasien yang belum stabil. Sebagai tambahan, jumlah darah dan bekuan

yang banyak dapat mengganggu terapi target untuk focus pendarahan, yang

dapat menyebabkan dibutuhkannya prosedur endoskopik ulangan. Namun

demikian, endoskopi darurat harus dipertimbangkan pada pasien dengan

pendarahan berat. Pada pasien dengan gambaran klinis risiko lebih tinggi

(misalnya: takikardi, hipotensi, muntah darah, atau darah segar pada NGT )

endoskopi dalam 12 jam kemungkinan dapat meningkatkan luaran klinis. 1

Pada pasien dengan hemodinamik stabil dan tanpa faktor komorbid serius,

dilakukan endoskopi terlebih dahulu sebelum pasien dipulangkan. 1

2.1.7.3 Endoskopi Terapetik

Tujuan terapi endoskopik adalah untuk menghentikan pendarahan aktif

dan mencegah perdarahan ulang. Beberapa teknik, termasuk injeksi, ablasi dan

mekanik telah dikembangkan dalam beberapa dekade terkini. Pemilihan

tindakan dapat disesuaikan dengan penampakan fokus perdarahan dan risiko

terkait untuk kejadian pendarahan persisten dan rekuren. 1,2

Page 14: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Gambar 5. Pilihan tatalaksana endoskopik dan PPI intravena untuk pasien

dengan PSCBA terkait ulkus peptikum. PPI = proton pump inhibitor. 1

*Jika fasilitas terapi endoskopik optimal

Pasien dengan ulkus dengan dasar bersih diberi diet lunak dan dipulangkan

setelah endoskopi dengan syarat hemodinamik stabil, hemoglobin cukup dan

stabil, tidak ada masalah kesehatan lain. Pada pasien dengan perdarahan ulkus

yang aktif, terapi hemostasis sebaiknya dalam bentuk kombinasi (epinefrin

ditambah modalitas lain seperti penempatan klim hemostatik, termokoagulasi,

dan elektrokoagulasi) .Injeksi epinefrin tidak dianjurkan diberikan sebagai

terapi tunggal. Injeksi Penggunaan klip direkomendasikan karena dapat

menurunkan kejadian perdarahan ulang. Pasien dengan stigmata secara

endoskopi risiko tinggi (perdarahan aktif, pembuluh darah yang terlihat,

bekuan – bekuan (klasifikasi Forrest) umumnya dirawat inap selama 3 hari bila

tidak ada perdarahan ulang dan tidak ada indikasi lain untuk rawat inap. Pasien

boleh diberi diet cair segera setelah endoskopi kemudian diganti secara

bertahap. 1

Pasien dengan perdarahan ulang biasanya dapat ditangani dengan terapi

endoskopik. Namun demikian, pembedahan darurat atau embolisasi

angiografik mungkin diperlukan pada saat-saat tertentu, seperti :

Page 15: Pendarahan saluran cerna bagian atas

a. Perdarahan memancar (spurting) yang tidak dapat dihentikan dengan

endoskopi,

b. Titik pendarahan tidak dapat dilihat oleh karena pendarahan aktif yang

masif, dan

c. Perdarahan ulang yang muncul setelah endoskopi terapeutik kedua. 1

2.1.7.4 Tatalaksana pasca endoskopik

a. Terapi antisekretorik

Farmakoterapi memainkan peran utama kedua untuk tatalaksana PSCBA

akibat ulkus peptikum. Terapi PPI lebih superior dibandingkan antagonis

reseptor histamin-2. PPI dapat diberikan oral atau intravena bergantung

kepada stigmata perdarahan (Kriteria Forrest).Lama dan dosis PPI

bergantung kepada etiologi dan pemakaian obat lainnya. Pada pasien

dengan ulkus idiopatik (non H.pylori, non NSAID), dapat

direkomendasikan terapi anti ulkus jangka panjang (contohnya: PPI

harian). Pada pasien dengan perdarahan ulkus karena aspirin dosis rendah,

harus dikaji ulang urgensi pemberian aspirin tersebut. 1

b. Terapi Eradiaksi H.Pylori

Pemeriksaan H.pylori disarankan untuk semua pasien dengan peptic ulcer.

Pemeriksaan ini kemudian dilanjutkan dengan terapi eradikasi untuk

semua pasien dengan hasil positif, pemantauan berkala untuk hasil terapi

dan terapi ulang pada gagal eradikasi. Eradikasi dengan terapi tiga obat

(triple therapy) memiliki tingkat keberhasilan sampai 80 % bahkan 90%

pada pasien ulkus peptikum tanpa disertai dengan efek samping yang

signifikan dan efek minimal dalam resistensi terhadap antibiotik. Lebih

jauh lagi, berkaitan dengan evaluasi penyembuhan ulkus melalui

endoskopi, ditemukan bahwa tingkat keberhasilan terapi PPI selama satu

minggu mencapai 80-85%. Setelah H. pylori terbukti tereradikasi, terapi

PPI rumatan tidak diperlukan kecuali pasien menggunakan NSAIDs atau

antitrombotik. 1

Page 16: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Tes diagnostik H.pylori mempunyai nilai prediktif negatif rendah pada

keadaan PSCBA akut. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kesulitan

teknik dalam melakukan biopsi representatif atau ketidakakuratan

pemeriksaan pada lingkungan basa yang disebabkan darah. Hasil biopsi

negatif yang diperoleh pada keadaan akut harus diinterpretasi secara hati-

hati dan bila perlu dilakukan tes ulang pada pemantauan kembali. 1

2.2 Anemia Gravis Normositik Normokromik dengan Perdarahan

2.2.1 Definisi

Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa

hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan

oksigen bagi jaringan tubuh.3 Parameter laboratorik yang dipakai dalam

mendiagnosis anemia yaitu hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit.3,4

2.2.2 Kriteria dan Derajat Anemia

Berikut adalah kriteria WHO untuk mendiagnosis anemia pada orang dewasa

Tabel 4. Tanda dan gejala gagal jantung.

Populasi*Anemia

Ringan Sedang Berat

Pria (≥ 15 tahun) 11-12,9 g/dL 8-10,9 g/dL < 8 g/dL

Wanita yang tidak sedang

hamil (≥ 15 tahun)11-11,9 g/dL 8-10,9 g/dL < 8 g/dL

Wanita hamil (≥ 15 tahun) 10-10,9 g/dL 7-9,9 g/dL < 7 g/dL

*Populasi tinggal di ketinggian 0 m dari permukaan laut.7

2.2.3 Alur Pendekatan Diagnosis Anemia

Anemia adalah suatu kumpulan gejala, bukan merupakan suatu penyakit,

sehingga perlu dilakukan pendekatan sesuai dengan alur diagnosis untuk

mengetahui penyakit yang mendasari anemia.

Page 17: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Gambar 6. Alur diagnosis anemia4

Gambar 7. Algoritma pendekatan diagnosis anemia

Menentukan adanya anemia

Menentukan jenis anemia

Menentukan etiologi/ penyakit

dasar

Menentukan penyakit penyerta

yang mempengaruhi

pengobatan

Anemia

Hapusan darah tepi dan Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)

Anemia hipokromik mikrositer

(MCV <80 gl dan MCH

<27 PG)

Anemia normokromik

normositer

(MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg)

Anemia makrositer

(MCV >95 fl)

Page 18: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Gambar 8. Algoritma pendekatan diagnosis anemia mikrositik hipokromik

Page 19: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Gambar 9. Algoritma pendekatan diagnosis anemia normositik normokromik

Gambar 10. Algoritma pendekatan diagnosis anemia normositik normokromik

2.2.4 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anemia bukan suatu diagnosis, melainkan tanda dari penyakit lain yang

mendasari (underlying disease). Anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien anemia

sangat penting untuk mengetahui penyebab dan diagnosis banding anemia.2,3

Penurunan jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh darah menimbulkan

anoksia organ target dan tubuh akan mengompensasi untuk mengatasi anoksia

tersebut. Reaksi kompensasi ini yang menimbulkan gejala dan tanda anemia.

Berat ringannya gejala anemia tergantung pada derajat penurunan hemoglobin,

kecepatan penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru

sebelumnya.

Gejala anemia dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:3

a. Gejala umum anemia (anemic syndrome)

Gejala umum anemia timbul karena iskemia organ target serta akibat

mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin.

Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, palpitasi,

Page 20: Pendarahan saluran cerna bagian atas

tinnitus, mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak napas, dan

dispepsia.

b. Gejala khas masing-masing anemia

Gejala ini spesifik untuk setiap jenis anemia. Pada anemia defisiensi besi

dapat ditemukan adanya keluhan disfagia serta pica (keinginan untuk

memakan bahan yang tidak lazim), atrofi papil lidah, stomatitis angularis,

dan kuku sendok (koilonikia). Pada anemia megaloblastik dapat

ditemukan glositis dan gangguan neurologis pada defisiensi vitamin B12.

Pada anemia hemolitik didapatkan adanya ikterus, splenomegali dan

hepatomegali. Sedangkan pada anemia aplastik dapat ditemukan

perdarahan dan tanda-tanda infeksi.

c. Gejala akibat penyakit dasar

Gejala ini timbul karena penyakit yang mendasari anemia dan bervariasi

tergantung penyakit dasarnya. Misalnya kanker kolon dapat menimbulkan

perubahan pola defekasi, feses bercampur darah atau lendir.

Pada pemeriksaan fisik anemia pasien tampak pucat, ikterik; mudah dilihat

pada konjungtiva palpebra, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan di

bawah kuku. Dapat ditemukan purpura, perdarahan dan hipertrofi gusi, ulserasi

mulut, hepatomegali, splenomegali, nyeri tulang, hemarthrosis, dan kelainan

system saraf.3,5,6

2.2.5 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang umumnya dipakai dalam mendiagnosis anemia,

yaitu:4-6

a. Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring (screening test) bertujuan untuk mengetahui ada

tidaknya anemia, terdiri atas pemeriksaan darah lengkap (Complete Blood

Count), yaitu konsentrasi hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, jumlah

leukosit, jumlah trombosit, dan indeks eritrosit. Indeks eritrosit digunakan

untuk mengetahui morfologi dari sel darah merah, terdiri dari Mean

Page 21: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan

Mean Corpuscular Hemoglobin Consentration (MCHC).

b. Pemeriksaan gambaran darah tepi

Gambaran darah tepi juga dapat digunakan sebagai pemeriksaan screening

untuk memastikan adanya anemia dan jenis morfologi dari anemia. Melalui

gambaran darah tepi dapat diketahui diameter, bentuk, warna, inklusi dari

eritrosit, gambaran leukosit dan trombosit yang dapat membantu

menemukan kelainan sumsum tulang yang menyebabkan anemia. Seperti

penemuan sel blast dan penurunan trombosit yang mengarahkan pada

keganasan hematologi.

c. Hitung Retikulosit

Pemeriksaan ini menggambarkan kemampuan dari sumsum tulang untuk

memproduksi sel darah merah. Pada kasus perdarahan akut atau anemia

hemolitik, tubuh merespon dengan meningkatkan produksi retikulosit di

sumsum tulang. Pada kasus perdarahan kronik, akan menyebabkan

penurunan ringan dari retikulosit dan defisiensi besi. Sedangkan jumlah

retikulosit yang sangat menurun dapat terjadi karena insufisiensi atau tidak

efektifnya sistem eritropoesis.

d. Pemeriksaan Sumsum Tulang

Pemeriksaan sumsum tulang adalah dengan Bone Marrow Punction (BMP)

atau Bone Marrow Biopsy (BMB). BMP dilakukan untuk menilai morfologi

selularitas sumsum tulang dan untuk mengevaluasi keadaan hematologik,

kanker, metastasis, dan kelainan penyimpanan serta keadaan kronik lainnya.

Pemeriksaan ini mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia

megaloblastik, serta pada keadaan hematologi yang mensupresi sistem

eritroid seperti sindrom mielodisplastik (MDS).7

e. Pemeriksaan khusus

Page 22: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada indikasi-indikasi tertentu seperti

pada:

- Anemia defisiensi besi : serum Fe, TIBC (Total Iron Binding Capacity),

saturasi transferrin, protoporfirin eritrosit, ferritin serum, reseeptor

transferrin, dan pengecatan besi sumsum tulang (Perl’s stain)

- Anemia megaloblastik : serum folat, vitamin B12 serum, tes supresi

deoksiuridin dan tes Schiling

- Anemia hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis

hemoglobin

- Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang

- Pemeriksaan fungsi hati, fungsi ginjal, dan fungsi tiroid

2.2.6 Pendekatan Terapi Anemia

Dalam pemberian terapi anemia, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai

berikut:4

a. Pengobatan diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan

sebelumnya.

b. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan.

c. Pengobatan anemia dapat berupa :

- Terapi keadaan darurat

- Terapi suportif

- Terapi yang khas untuk masing-masing anemia

- Terapi untuk mengobati penyakit dasar penyebab anemia

d. Terapi percobaan apabila diagnosis definitif belum dapat ditegakkan.

Pasien harus dipantau respon terapi dan perjalanan penyakitnya.

e. Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan gangguan

hemodinamik. Pada anemia yang kronik diberikan transfusi apabila muncul

gejala atau adanya ancaman payah jantung. Transfusi yang diberikan adalah

jenis packed red cell (PRC).

2.3 Infeksi Virus Hepatitis B

Page 23: Pendarahan saluran cerna bagian atas

2.3.1 Definisi Infeksi Hepatitis B

Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus

Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan

peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis

hati atau kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang

dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak

menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi

anatomi selama 6 bulan.8-10

2.3.2 Epidemiologi Hepatitis B

Hepatitis B merupakan masalah kesehatan global yang serius. Di

perkirakan bahwa sekitar 2 milyar orang, atau sekitar sepertiga populasi

dunia terinfeksi HBV. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007

menunjukkan bahwa Hepatitis klinis terdeteksi di seluruh provinsi di

Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang: 0,2%-1,9%). Hasil

Riskesdas Biomedis tahun 2007 dengan jumlah sampel 10.391 orang

menunjukkan bahwa persentase HBsAg positif 9,4%. Persentase

Hepatitis B tertinggi pada kelompok umur 45- 49 tahun (11,92%),

umur >60 13tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun (10,02%),

selanjutnya HBsAg positif pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir

sama (9,7% dan 9,3%). Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk

Indonesia telah terinfeksi virus Hepatitis B.

2.3.3 Penularan Hepatitis B

Virus Hepatitis B ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh

seseorang yang terinfeksi dan manusia adalah satu satunya host virus

tersebut. Darah adalah jalur paling penting dan sering terjadi transmisi virus,

namun cairan tubuh lain seperti saliva dan semen juga dapat menjadi jalur

penularan.11 Sekarang dikenal 3 model jalur penularan virus hepatitis B yaitu

perinatal, seksual dan parenteral/percutaneous transmission.12,13 Sampai saat

ini belum ada bukti bahwa terjadi penularan melalui udara dan penularan

lewat feses. HBV tidak ditularkan melalui air yang terkontaminasi, serangga

maupun vektor yang lain.14,15 Jalur perinatal meliputi transimisi vertikal dari

Page 24: Pendarahan saluran cerna bagian atas

ibu yang terinfeksi HBV ke janin. 16-19.Penularan melalui jalur parenteral

meliputi penggunaaan jarum suntik yang disalah gunakan, transfusi

darah,dialisis, akupuntur, pembuatan tatto, dan kontak rumah tangga.20,21

2.3.4 Perjalanan Infeksi Hepatitis B

Ada 5 fase perjalanan penyakit hepatitis B kronik yaitu fase

imunotoleransi, fase imuno aktif , fase residual , fase Imnue escape dan fase

reaktifasi.10

1) Fase Imunotoleransi

Sistem imun tubuh toleran terhadap HBV sehingga kosentrasi virus

dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan

hati yang berarti. Dalam keadaan tersebut HBV dalam fase replikatif

dengan titer HbsAg yang sangat tinggi ,HbeAg positif, anti-Hbe negatif,

titer DNA HBV tinggi dan konsentrasi ALT normal.

2) Fase Imunoaktif

Pada sekitar 30% individu dengan persistensi HBV yang

berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari

kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan

toleransi imun terhadap HBV. Pada fase ini tubuh berusaha

mengancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang

terinfeksi HBV.

3) Fase Residual

Sekitar 70% dari indvidu tersebut kemudian akhirnya dapat

menghilangkan sebagian besar virus HBV tanpa ada kerusakan sel hati

yang berarti. Pada keadaan ini titer HbsAg rendah, , HbeAg menjadi

negatif dan anti Hbe yang menjadi positif, serta konsentrasi ALT yang

normal. Sekitar 20-30% pasien Hepatitis B kronik dalam fase residual

dapat mengalami reaktifasi dan kekambuhan.

4) Immune escape

Page 25: Pendarahan saluran cerna bagian atas

HbeAg tidak terdeteksi ( anti Hbe terdeteksi), pada individu ini terjadi

mutasi pada genom virus yang menyebabkan varian HBV yang tidak

mengekspresikan HbeAg. Pada fase ini konsentrasi ALT biasanya

abnormal, kecepatan replikasi virus sedang dan tinggi (HBV DNA >

20.000 IU/mL). Pada usia lanjut resiko progresi penyakit ini menjadi

fibrosis maupun sirosis meningkat.

5) Fase Reaktivasi / Acute on Chronic Hepatitis

Bisa terjadi akibat adanya agen imunosupressan misalnya kemoterapi

maupun terapi imunosupresan yang lain, infeksi HIV atau transplantasi,

resisten terhadap antiviral, dan putus obat antiviral. Pada fase ini

ditemukan konsentrasi ALT yang abnormal, kecepatan replikasi virus

sedang hingga tinggi, serokonversi HbeAg positif jika HbeAg negatif,

risiko tinggi dekompensasi jika sudah muncul sirosis.

Gambar 5 Perjalanan Penyakit Hati

Gambar 11. Perjalanan Penyakit Hati

2.3.5 Manifestasi Klinis Hepatitis B

Gambaran klinis hepatitis B kronik sangat bervariasi. Pada banyak

kasus tidak dapat ditemukan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes

faal hati normal. Pada sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan

splenomegali atas tanda tanda penyakit hati kronis lainnya, misalnya

eritema palmaris dan spider naevi, serta pemeriksaan laboratorium sering

didapatkan kenaikan konsentrasi ALT walaupun hal itu tidak sering

didapatkan. Pada umumnya ditemukan konsentrasi bilirubin yang normal.

Konsentrasi albumin juga normal kecuali pada kasus kasus yang lebih

parah.

Page 26: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Secara sederhana manifestasi klinis Hepatitis B kronik dibagi

menjadi 2 yaitu :20

1) Hepatitis B yang masih aktif ( hepatitis B kronik Aktif). HbsAg

positif dengan DNA HBV lebih dari 105kopi/ml dan didapatkan

kenaikan ALT yang menetap atau intermitten. Menurut status HbeAg

pasien dikelompokan menjadi hepatitis B kronik HbeAg positif dan

Hepatitis B kronik HbeAg negatif.

2) Carier HBV inaktif. Pada kelompok ini HbsAg positif dengan titer

DNA yang rendah yaitu < 105 kopi/mL. Pada pasien menunjukan

konsentrasi ALT yang normal dan tidak didapatkan keluhan.

Pasien dengan penyakit hepatitis B kronik bisa terjadi toleransi

sistem imun atau pasien memiliki infeksi kronik yang inaktif tanpa adanya

tanda penyakit tersebut aktif, biasanya asimptomatik.

2.3.6 Diagnosis Hepatitis B

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali

riwayat transmisi seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit

kuning sebelumnya. Pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali.

Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium, USG

abdomen dan Biopsi hepar. Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri

dari pemeriksaan biokimia, serologis, dan molekuler Pemeriksaan USG

abdomen tampak gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsi

hepar dapat menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati.21

Pemeriksaan Kimia Klinik

Pemeriksaan kimia darah pada pasien hepatitis B kronik yang

dilakukan adalah pemeriksaan tes fungsi hati (LFT), termasuk dalam

pemeriksaan ini yaitu level Alanin amino transferase (ALT), dan atau

aspartat amino transferase (AST), alkaline phospatase (ALP), dan Gamma

Glutamyl Transpeptidase (GGT), kemudian pemeriksaan total bilirubin dan

bilirubin direk, albumin dan pengukuran INR. Darah rutin, gambaran darah

tepi dan tes koagulasi juga perlu dilakukan.22 Konsentrasi ALT biasanya

Page 27: Pendarahan saluran cerna bagian atas

lebih tinggi daripada AST namun bisa sebaliknya jika sudah berkembang

menjadi sirosis. Penurunan albumin serum dan pemanjangan PT dan diikuti

penurunan jumlah trombosit juga mengindikasikan perkembangan menjadi

sirosis. Konsentrasi ALT serum biasanya digunakan untuk memantau

perkembangan penyakit dan merupakan kriteria penting untuk indikasi

terapi pada pasien. Pasien dengan infeksi HBV baik dengan konsentrasi

serum ALT normal maupun meningkat menunjukan adanya nekroinflamsi

ringan ataupun tidak adanya nekroinflamasi pada biopsi hati.8,9

Pemeriksaan Serologi

Indikator serologi awal dari VHB akut dan kunci diagnosis

penanda infeksi VHB kronik adalah HBsAg, dimana infeksi bertahan di

serum >6 bulan. Pemeriksaan HBsAg berhubungan dengan selubung

permukaan virus. Sekitar 5-10% pasien, HBsAg menetap di dalam

darah yang menandakan terjadinya hepatitis kronis atau carrier.22

Setelah HBsAg menghilang, anti-HBs terdeteksi dalam serum

pasien dan terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya.

Karena terdapa variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs, kadang

terdapat suatu tenggang waktu (window period) beberapa minggu atau

lebih yang memisahkan hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama

periode tersebut, anti HBc dapat menjadi bukti serologik pada infeksi

VHB.22

Hepatitis B envelope antigen( HbeAg) merupakan peptida yang

berasal dari core virus, ditemukan hanya pada serum dengan HBsAg

positif. Penanda HBeAg timbul bersamaan dengan dihasilkannya DNA

polimerase virus sehingga lebih menunjukkan terjadinya replikasi virus

dan jika menetap kemungkinan akan menjadi penyakit hati kronis.22

Tes-tes yang sangat sensitif telah banyak dikembangkan secara luas

untuk menegakkan diagnosis Hepatitis B dalam kasus-kasus ringan, sub

klinis atau yang menetap. Beberapa metode yang digunakan untuk

mendiagnosis hepatitis adalah Immunochromatography (ICT), ELISA,

EIA, dan PCR. Metode EIA dan PCR tergolong mahal dan hanya tersedia

Page 28: Pendarahan saluran cerna bagian atas

pada laboratorium yang memiliki peralatan lengkap. Peralatan rapid

diagnostic ICT adalah pilihan yang tepat digunakan karena lebih murah

dan tidak memerlukan peralatan kompleks.23

Gambar 12. Serologi virus Hepatitis B

Pemeriksaan Molekuler

Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara

laboratorium untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum

atau plasma. Pengukuran kadar secara rutin bertujuan untuk

mengidentifikasi carrier, menentukan prognosis, dan monitoring efikasi

pengobatan antiviral.

2.3.7 Penatalaksanaan Hepatitis B. 8

Indikasi pengobatan

Indikasi terapi pada infeksi hepatitis B ditentukan berdasarkan

kombinasi dari 4 kriteria antara lain : (1). Nilai DNA VHB (2)Status

HbeAg, (3) Nilai ALT (4) gambaran histologis hati.

Pada pasien dengan HbeAg positif terapi dapat dimulai pada

DNA VHB diatas 2x104 IU/mL dengan ALT 2-5x batas normal, atau

dengan gambaran histologis fibrosis derajat sedang sampai berat.

Sedangkan pada pasien HbeAg negatif terapi dimulai pada pasien

Page 29: Pendarahan saluran cerna bagian atas

dengan DNA VHB lebih dari 2x103 IU/mL dan kenaikan ALT> 2x

batas atas normal yang menetap selam 3-6 bulan.

Gambar 13.Algoritma tatalaksana Hepatitis dengan HbeAg positif

Pertimbangkan biopsi hepar atau pemeriksaan fibrosis non infasif pada pasien > 30 tahun atau < 30 tahun dengan riwayat KHS atau sirosis pada keluarga

Bila terdapat inflamasi atau fibrosis derajat sedang atau lebih , terapi

Respon Tidak Respon

Pantau DNA VHB, HbeAg dan ALT 1-3 bulan setelah terapi

Pertimbangkan strategi terapi lain

Surveilan KHS dengan USG maupun AFP 6 bulan bagi kelompok risiko tinggi

HbeAg (+)

DNA VHB < 2x104 IU/mL DNA VHB >2x104 IU/mL

ALT normal ALT normal ALT 1-2X BAN ALT > 5x BAN

Tidak diberi pengobatan

Pantau DNA VHB,HBeAg dan ALT

Tidak diberi pengobatan

Pantau DNA VHB,HBeAg dan ALT

Tidak diberi pengobatan

Pantau DNA VHB,HBeAg dan ALT

Terdapat indikasi mulai terapi bila DNA VHB < 2x 105IU/mL dan tidak ada tanda dekompensasi , bisa dipantau 3-6 bulan untuk timbulnya serokonversi spontan HBcAg

ALT 2-5 X BAN

Pengobatan diberikan bila kenaikan ALT menetap > 3 Bulan atau terdapat risiko dekompensasi

Page 30: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Gambar 14.Algoritma tatalaksana Hepatitis dengan HbeAg positif

Pengobatan

Tujuan utama dari pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk

mengeliminasi atau menekan secara permanen HBV. Hal ini akan

mengurangi patogenitas dan infektivitas, dan akhirnya menghentikan

atau mengurangi nekroinflamasi hati. Dalam istilah klinis, tujuan

jangka pendek adalah mengurangi inflamasi hati, mencegah terjadinya

dekompensasi hati, menghilangkan HBV-DNA (dengan serokonvers

Surveilan KHS dengan USG maupun AFP 6 bulan bagi kelompok risiko tinggi

Pantau untuk respon tertunda atau pertimbangkan strategi terapi lain

Pantau DNA VHB dan ALT 1-3 bulan setelah terapi

Tidak ResponResponPertimbangkan biopsi hepar atau pemeriksaan fibrosis non infasif pada pasien > 30 tahun atau < 30 tahun dengan riwayat KHS atau sirosis pada keluarga

Bila terdapat inflamasi atau fibrosis derajat sedang atau lebih , terapi

Pengobatan diberikan bila kenaikan ALT menetap > 3 bulan atau terdapat risisko dekompensasi

Tidak diberi pengobatan

Pantau DNA VHB dan ALT

Tidak diberi pengobatan

Pantau DNA VHB dan ALT

Tidak diberi pengobatan

Pantau DNA VHB dan ALT

ALT > 2x batas normalALT 1-2X batas normalALT normalALT normal

DNA VHB >2x103 IU/mLDNA VHB < 2x103 IU/mL

HbeAg (-)

Page 31: Pendarahan saluran cerna bagian atas

HBeAg ke anti-HBe pada pasien HBeAg positif) dan normalisasi

ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan.

Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare

yang dapat menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah

sirosis dan/atau HCC, dan pada akhirnya memperpanjang usia.

Obat yang tersedia dan telah diterima diberbagai negara adalah

interferon a (IFN konvensional), pegylatec interferon a-2a,

lamivudine, adefovir dipivoxil dan entecavir. Thymosin a-1 juga telah

diterima dibeberapa negara khususnya di Asia.

1. Interferon a (IFN-a) konvensional

Pada pasien yang positif HBeAg dengan ALT yang lebih besar 3>

dari BANN, respons angka keberhasilan 6-12 bulan setelah

akhir terapi interferon adalah sekitar 30-40% dibandingkan 10-

20% pada kontrol Pemberian interferon 4,5 mu atau 5 mu

seminggu 3x selama 4-6 bulan dapat efektif pada orang

Oriental (Asia) tetapi angka keberhasilan sedikit lebih rendah

dibanding orang Kaukasia (Eropa).

Penderita hepatitis B kronik aktif dengan HBeAg negatif, anti

HBe positif, HBV-DNA positif juga memberikan respons selama

terapi interferon, tetapi biasanya terjadi relaps pada akhir terapi.

Pengobatan ulangan dengan IFN-( menunjukkan angka

keberhasilan respons 20- 40% baik pada HBeAg positif maupun

negatif.

Pengobatan interferon biasanya berhubungan dengan efek

samping seperti flu-like symptoms, neutropenia, trombositopenia,

yang biasanya masih dapat ditoleransi, namun kadang-kadang

perlu dilakukan modifikasi dosis.Terapi interferon yang

menginduksi hepatitis flare dapat menyebabkan dekompensasi

pada pasien dengan sirosis dan dapat berbahaya bagi pasien

dengan dekompensasi hati . Lama terapi interferon 4-6 bulan

2. Pegylatec interferon a-2a

Page 32: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Sebagai imunomodulator,pegylated interferon a akan mengaktivasi

makrofag, sel natural killer (NK) dan limfosit T sitotoksik serta

memodulasi pembentukan antibodi yang akan meningkatkan

respon imun host untuk melawan virus hepatitis B. Sedangkan

aktivitas anti-virus dilakukan dengan menghambat replikasi

virus hepatitis B secara langsung melalui aktivasi endo-

ribonuclease, elevasi protein kinase dan induksi 2’,5’-

oligodenylate synthetase. Pada saat ini yang telah diterima sebagai

obat untuk hepatitis B Kronis adalah pegylated interferon a-2a

(40 KD). Pegylated interferon a-2 b (12 KD) belum diteliti

dengan baik untuk penderita hepatitis B kronik HBeAg negatif,

dan belum diterima sebagai obat standar untuk Hepatitis B kronis.

3. Lamivudine

Lamivudine menunjukkan efektifitas supresi HBV DNA,

normalisasi ALT, dan perbaikan secara histologi baik pada HBeAg

positif dan HBeAg negatif / HBV DNA positif. Pada penderita

dengan HBeAg (+) yang diterapi selama satu tahun dengan

lamivudine (100 mg per hari) menghasilkan serokonversi

HBeAg dengan perbandingan kadar ALT sebelum terapi : 64%

(vs. 14% sebelum terapi) pada pasien dengan ALT dengan 5x

BANN, 26% (vs. 5% sebelum terapi) pada pasien dengan

ALT 2-5x BANN, dan hanya 5% (vs. 2% sebelum terapi)

pada pasien dengan ALT <2x BANN.

Dengan kata lain, penderita dengan respons imun terhadap HBV

yang lebih kuat memberikan respons yang lebih baik terhadap efek

langsung anti virus pada terapi lamivudine. Pasien anak juga

memberikan respons yang sama. Hepatitis flare kadang dapat

terjadi jika lamivudine dihentikan sebelum serokonversi HBeAg

4. Adefovir dipivoxil

Adefovir dipivoxil adalah nukleosida analog dari adenosine

monofosfe setelah menjadi bentuk aktifnya akan bekerja

Page 33: Pendarahan saluran cerna bagian atas

langsung menghambat DNA polymerase dengan tempat ikatan

yang berbeda dengan lamivudin.

Adefovir difosfat bekerja menghambat HBV polymerase

dengan berkompetisi langsung dengan substrat endogen

deoksiadenosin trifosfat dan setelah berintegrasi dengan HBV-

DNA sehingga pembentuk rantai DNA virus hepatitis B terhenti.

Efektifitas adefovir dipivoxil sudah diteliti pada pasien baru

hepatitis dengan replikasi virus yang aktif, pada pasien yang gagal

dengan lamivudine, pasien pasca transplantasi hati hingga pasien

dengan dekompensasi hati maupun yang dengan koinfeksi

dengan HIV. Adefo difosfat bekerja menghambat HBV

polymerase dengan berkompetisi langsung dengan substrat

endogen deoksiadenosin trifosfat dan setelah berintegrasi dengan

HBV-DNA sehingga pembentukan rantai DNA virus hepatitis B

terhenti.

5. Entecavir

Entecavir adalah analog nukleosida guanosin yang menghambat

replikasi virus melalui tiga jalur yaitu : priming, negative strand

synthesis, dan positive strand synthesis, dengan demikian produksi

double stranded viral DNA akan sangat menurun.

6. Thymosin a-1

Hanya sedikit penelitian yang telah menganalisis thymosin a1.

Pada satu penelitian diperlihatkan bahwa respons pemberian

subkutan 1,6 mg 2 x/minggu selama 6 bulan adalah 40 %

dibandingkan 9 % pada kontrol. Masih diperlukan penelitian

yang lebih luas untuk membuat kesimpulan lebih pasti.

Kapan terapi antivirus dihentikan?

Interferon a konvensional diberikan selama 4-6 bulan, untuk

pasien non responders dan HBeAg negatif, pengobatan dapat

Page 34: Pendarahan saluran cerna bagian atas

diteruskan ; selama 12 bulan. Pegylated interferon a-2a, diberikan

selama 6 bulan pada pasien HBeAg positif dan 12 bulan pada pasien

HBeAg negative. Dianjurkan juga untuk melakukan pengawasan

selama 6-12 bulan setelah berakhirnya terapi interferon untuk melihat

adanya respon lambat atau perlunya terapi yang lain. Pada umumnya

pengobatan analog nukleosida diberikan minimal satu tahun, pada

pasien HBeAg positif obat dihentikan bila telah tercapai serokonversi

dengan kadar HBV-DNA yang tidak terdeteksi pada dua kali

pemeriksaan dalam jangka waktu enam bulan. Pada pasien HBeAg

negatif, obat dapat dihentikan bila kadar ALT telah normal dan kadar

HBV-DNA tidak terdeteksi (<103kopi/mL) 3 kali pemeriksaan dalam

jangka minimum 6 bulan. Melihat kenyataan bahwa akan muncul

varian YMDD selama perpanjangan terapi lamivudin, maka

dianjurkan untuk menghentikan terapi sesegera mungkin setelah pasien

mengalami serokonversi HBeAg disertai dengan menghilangnya

HBV-DNA (dengan menggunakan metode PCR atau <105 kopi/mL)

dalam 2 pemeriksaan berturut-turut minimal berjarak 3 bulan. HBV-

DNA tidak selalu harus diperiksa. Untuk pasien dengan HBeAg

negatif yang mendapat pengobatan lamivudine lamanya pengobatan

yang optimal tidak diketahui dan keputusan untuk menghentikan

pengobatan harus ditentukan berdasarkan respons klinik dan beratnya

penyakit hati yang mendasarinya.

Upaya pencegahan

Upaya preventif merupakan hal terpenting karena merupakan

upaya yang paling cost-effective. Secara garis besar, upaya preventif

dibagi dua yaitu upaya yang bersifat umum dan upaya yang lebih

spesifik (imunisasi HBV).

Kebijakan Preventif Umum

1. Uji tapis donor darah dengan uji diagnostik yang sensitif.

2. Sterilisasi instrumen secara adekuat-akurat. Alat dialisis

digunakan secara individual. Untuk pasien dengan HVB

Page 35: Pendarahan saluran cerna bagian atas

disediakan mesin tersendiri. Jarum disposable dibuang ke

tempat khusus yang tidak tembus jarum.

3. Tenaga medis senantiasa mempergunakan sarung tangan.

4. Perilaku seksual yang aman.

5. Penyuluhan agar para penyalahguna obat tidak memakai jarum

secara bergantian.

6. Mencegah kontak mikrolesi, menghindari pemakaian alat yang

dapat menularkan HVB (sikat gigi, sisir), berhati-hati dalam

menangani luka terbuka.

7. Skrining ibu hamil pada awal dan pada trimester ke-3

kehamilan, terutama ibu yang berisiko terinfeksi HVB. Ibu

hamil dengan HVB (+) ditangani terpadu. Segera setelah lahir

bayi di-imunisasi aktif dan pasif terhadap HVB.

8. Skrining populasi risiko tinggi tertular HVB (lahir di daerah

hiperendemis, homoseksual, heteroseksual, pasangan seks

berganti-ganti, tenaga medis, pasien diálisis, keluarga dari

penderita HVB kronis, kontak seksual dengan penderita HVB).

Kebijakan Preventif Khusus

Imunisasi Pasif

1. Pemberian HBIg bukan merupakan upaya profilaksis pra paparan

2. Pemberian HBIg untuk profilaksis pasca paparan terindikasi bila

a. terpapar sumber penularan HBsAg (+) atau diduga keras /

berisiko tinggi terinfeksi HBV

b. orang yang terpapar belum pernah imunisasi HBV atau belum

memiliki anti HBs

3. HBIg dianjurkan untuk diberikan kepada neonatus terlahir dari ibu

HBV (+), tenaga kesehatan terpapar darah pengidap HBV, dan

kontak seksual dengan pengidap HBV HBIg diberikan < 48 jam

pada needle stick injury, < 14 hari pada kontak seksual

Imunisasi Aktif

Page 36: Pendarahan saluran cerna bagian atas

Tujuannya adalah memotong jalur transmisi melalui program

imunisasi bayi baru lahir dan kelompok risiko tinggi tertular HBV.

Tujuan akhirnya adalah (1) menyelamatkan nyawa minimal 1 juta

jiwa/tahun; (2) menurunkan risiko KHS akibat HBV; dan (3) eradikasi

virus.

Sasaran dan strategi imunisasi aktif HBV

Prioritas utama adalah bayi baru lahir. Vaksinasi diberikan segera

setelah lahir dalam waktu 12 jam pertama. Keuntungan strategi ini

adalah memotong transmisi dini HBV dan meningkatkan cakupan

imunisasi.

Sasaran lainnya adalah:

• Semua bayi dan anak, remaja, yang belum pernah imunisasi (catch

up immunization). Anak yang belum pernah imunisasi, harus

secepatnya menjalani catch up immunization, paling lambat

usia 11-12 tahun. Imunisasi pada usia pra-pubertas dikaitkan

dengan pola perilaku yang dapat meningkatkan risiko HBV.

Individu berisiko terpapar HBV berdasarkan profesi kerja yang

bersangkutan.

Orang dewasa berisiko tertular HBV.

Tenaga medis dan staf lembaga cacat mental.

Pasien hemodialisis (imunisasi diberikan sebelum terapi dialisis

Dimulai)

Pasien yang membutuhkan transfusi darah/produk darah secara

berulang.

Penyalah guna obat.

• Homoseksual dan biseksual, pekerja seks komersial, orang yang

terjangkit penyakit akibat seks (STD), heteroseksual dengan

pasangberganti-ganti.

• Kontak serumah dan kontak seksual dengan pengidap HBV.

• Populasi dari daerah insidens tinggi HBV.

• Individu yang bepergian ke area endemis HBV.

Page 37: Pendarahan saluran cerna bagian atas

• Kandidat transplantasi (imunisasi diberikan pra transplantasi).

Konseling Hepatitis

Pengidap hepatitis B harus diberi pengarahan sebab berisiko

menularkan kepada orang lain. Konseling harus termasuk

pencegahan penularan melalui hubungan seksual, perinatal, dan risiko

penularan akibat kecerobohan melalui tetesan darah yang

mengkontaminasi lingkungan.

Anggota keluarga yang berisiko terinfeksi HBV harus divaksinasi HBV

jika ditemukan hasil HBsAg (-) dan anti HBs (-) pada

pemeriksaan serologi. Skrining harus dilakukan dengan melakukan

pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs. Vaksinasi dari pasangan seksual

telah menunjukkan hasil yang efektif dalam mencegah terjadinya

penularan HBV secara seksual. Pasangan seksual tetap harus

diperiksa dan divaksinasi terhadap hepatitis B jika ditemukan

seronegatif. Untuk pasangan seksual tetap atau tidak tetap, yang

belum diperiksa HBsAg & anti HBs, atau belum lengkap

imunisasinya, metode perlindungan penghalang pada waktu

hubungan seksual, harus diterapkan.

Rekomendasi konseling untuk pencegahan penularan Hepatitis B dari

individu dengan infeksi kronik HBV :

1) Pasien dengan infeksi Hepatitis B harus diberi penjelasan mengenai

pencegahan penularan HBV.

2) Orang-orang yang kontak secara seksual dan tinggal di dalam

rumah tangga pengidap, harus diperiksa petanda HBV (HBsAg dan

anti-HBs) dan jika negatif, akan diberi vaksinasi hepatitis B.

3) Booster imunisasi untuk hepatitis B tidak dianjurkan.

4) Orang yang berisiko terinfeksi HBV seperti bayi dari ibu

HBsAg positif, tenaga kesehatan dan pasien yang menjalani dialisis

harus diperiksa anti HBs.

5) Bayi dari ibu dengan infeksi harus diperiksa setelah 3 bulan

vaksinasi lengkap (3 kali).

Page 38: Pendarahan saluran cerna bagian atas

6) Tenaga kesehatan diperiksa anti HBs 1 bulan setelah vaksinasi

lengkap.

7) Pasien hemodialisis dan pasien imunokompromais harus diperiksa

anti HBs setiap tahunnya.

8) Pemakaian alkohol harus dihentikan

9) Pasien terinfeksi hepatitis B dengan ALT normal, anti HBe (+) dan

HBV DNA (-), boleh bekerja penuh seperti biasa.

2.3.8 Prognosis Hepatitis B

Diperkirakan didunia 1 juta orang meninggal tiap tahunnya oleh

karena penyakit hepatitis B, termasuk paling sedikit 5000 orang di

Amerika serikat.

Prognosis Positif terjadi apabila :

Pasien dengan HbeAg negatif atau hilang nya antigen tersebut dan

pasien yang DNA HBV tidak terdeteksi yang mempunyai karakteristik

sebagai berikut :

Progresifitas penyakit yang pelan

Meningkatnya harapan hidup tanpa komplikasi

Menurunnya kemungkinan HCC dan sirosis

Kemajuan tanda klinis dan biokimia setelah dekompensasi

Hepatitis B kronik merupakan kontributor berkembangnya

karsinoma hepatoseluler. Penelitian terbaru menunjukan bahwa level

DNA HBV , yang mengindikasikan replikasi virus adalah prediktor

terkuat dalam perkembangan menjadi sirosis dan KHS dibandingkan

faktor viral yang lain.