pendapatan non halal

21
Penaung Penaja Penganjur Dengan Kerjasama Pemasukan Dana Non Halal di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam Perspektif Syariah Dr. Oni Sahroni (Dewan Syariah Nasional - Indonesia)

Upload: handika

Post on 01-Feb-2016

261 views

Category:

Documents


76 download

DESCRIPTION

pendapatan non halal

TRANSCRIPT

Penaung

Penaja

Penganjur

Dengan Kerjasama

Pemasukan Dana Non Halal di Lembaga Keuangan Syariah (LKS)

dalam Perspektif Syariah

Dr. Oni Sahroni (Dewan Syariah Nasional - Indonesia)

1

Pemasukan Dana Non Halal Di Lembaga Keuangan Syariah (LKS)

Dalam Perspektif Syariah(1)

Dr. Oni Sahroni, MA(2)

Mukaddimah

Transaksi dengan sumber dana non halal menjadi bagian dari transaksi antar lembaga

keuangan, khususnya karena transaksi antara lembaga keuangan syariah dan lembaga

keuangan konvensional menjadi transaksi yang lazim dan pada beberapa kondisi tidak

bisa dihindarkan.

Diantara penyebabnya adalah, Lembaga Keungan Konvensional (LKK) masih

mendominasi seluruh transaksi-transaksi keuangan di setiap negara, sehingga transaksi

antara lembaga keuangan syariah dan lembaga keuangan konvensional menjadi transaksi

yang lazim dan pada beberapa kondisi tidak bisa dihindarkan, sehingga LKS memenuhi

sebagian hajat keuangannya dengan bertransaksi pada bank konvensional.

Dalam penghimpunan dana, bank konvensional menitipkan dananya baik dalam

bentuk tabungan ataupun deposito di bank syariah, misalnya beberapa praktik berikut :

1. Bank Induk konvensional membuka Unit Usaha Syariahnya (UUS) dengan

mengucurkan sebagain dananya yang konvesnional sebagai modal awal UUSnya.

2. Bank Induk konvensional mentiipkan sebagian dananya di UUSnya.

3. Bank konvensional membeli sukuk bank syariah

4. Bank Konvensional membeli sebagian saham perusahaan milik bank syariah

5. Dan kasus-kasu lain.

(1 ( Dipresentasikan pada Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke – 8 (MCSN 8) tentang

‘Menangani Cabaran dan Merinstis inovasi dakam Kewangan Islam’ yang di selenggarakan oleh

Internasional Syariah Research Academy for Islamic Finance (ISRA) Malaysia pada tanggal 28-29 Mei di

Johor Bahru.

(2(Doktor Fikih Muqarin dari al-Azhar University Kairo, Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) Majlis

Ulama Indonesia (MUI).

Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8

MCSN8, 28-29 Mei 2014

2

Atas dasar itu, maka pertanyaaan fikih yang mengemuka adalah :

1. Bolehkan bandar judi / perusahaan konvensional (ribawi) mendepositokan

dananya di Bank syariah?

2. Bolehkan bank Syariah menerima pembukaan (deposito) dari nasabah bank

konvensional?

3. Bagaimana dengan dana halal yang sudah bercampur dengan dana non halal

(hukum dan perlakuannya)?

4. Apa aja kriteria dana non halal dan kriteria dana halal yang bercampur dengan

dana non halal?

5. Bagaimana status hukum dana halal yang bercampur dengan dana non halal?

6. Bagaimana perlakuan terhadap kedua dana tersebut?

7. Bagaimana fikih memandang praktik Lembaga keuangan ribawi yang berinvestasi

di Perbankan atau perusahaan listing di Bursa?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, maka terlebih dahulu harus

dijelaskan kriteria, hukum dan perlakuan pendapatan yang tidak halal dana pendapatan

yang halal yang bercampur dengan pendapatan non halal, sehingga bisa menyimpulkan

ada kaidah (keyword) yang menjadi acuan dalam menetapkan kejelaskan hukum terhadap

praktik-praktik tersebut yang berkembangan saat ini.

C. Kriteria, hukum dan perlakuan harta non halal

1. Kriteria harta non halal

Harta non halal itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

a) Harta yang haram karena dzatnya yang najis (haram lidzatihi), seperti

minuman memabukan, daging babi, dll.

b) Setiap asset yang dihasilkan dari usaha yang tidak halal (al-kasbu al-

ghairi al-mayru’), usaha yang tidak halal seperti : pinjaman berbunga,

perjudian, suap, korupsi, jual beli minuman keras, jual beli babi, dll. (3)

(

3) Mushtalahat al-fiqhi al-mali al-mu’ashir, tim IIIT, hal. 62

‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’

3

Kedua jenis harta tersebut status hukumnya haram / diharamkan, yang pertama

karena dzatnya, dan yang kedua karena bersumber dari usaha yang tidak halal.

Dalam praktiknya, dana yang dimobilisasi oleh lembaga keuangan syariah (LKS),

khususnya perbankan syariah, baik dalam bentuk tabungan ataupun deposito, itu tidak

mungkin berupa harta haram karena dzatnya.

Yang mungkin terjadi adalah dana tabungan atau deposito bersumber dari usaha

yang tidak halal, misalnya, pemilik deposito adalah bank konvensional yang menjadi

pemodal di LKS dan diketahui bahwa yang investasikan adalah pendapatannya berupa

bunga atas pinjaman.

Yang banyak terjadi adalah penanaman modal di pasar modal, yaitu jual beli

saham daan atau sukuk. Misalnya investor membeli saham / sukum, kegiatan utamanya

adalah pinjaman berbunga sebagai bank konfensional, atau jual beli minuman keras,

tetapi investor tersebut menyembunyikan, karena seluruh transaksi di bursa melalui

pialang dan diketahui underlying assetnya secara jelas.

Oleh karena itu dalam Standar Syariah Internasional (al-Ma’ayir asy-syar’iyah)

AAOIFI, fatwa DSN, Fatwa Lembaga Fikih OKI, menjelaksan sumber harta dalam

konteks pasar modal (jual beli saham dan sukuk)

Oleh karena sangat penting untuk mengetahui kegiatan-kegiatan usaha yang tidak

dibolehkan syariah.

Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI menjelaskan jenis-jenis kegiatan

usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah tersebut yaitu :

a) Usaha Lembaga keuangan konvensional, seperti usaha perbankan

konvensional dan asuransi konvensional.

b) Melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi,

tingkat (nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi

lebih dominan dari modalnya.

Karena kedua hal di atas termasuk aktifitas ribawi yang diharamkan dalam

nash, sebagaimana hadits Rasulullah Saw. :

Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8

MCSN8, 28-29 Mei 2014

4

لعن هللا أكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه

Allah Swt. Melaknat pihak yang memakan riba, yang ditugaskannya,

pencatatnya dan kedua saksinya.

c) Perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang

terlarang, karena termasuk maisir /judi yang dilarang dalam islam

d) Produsen, distiributor, serta pedagang makanan dan minuman yang

haram

e) Produsen, distributor dan atau penyedia barang-barang ataupun jasa

yang merusak moral atau bersifat mudarat.(4)

Jenis-jenis kegiatan usaha tersebut, dijelaskan dalam fatwa DSN tentang saham.

Maksudnya, jenis-jenis kegiatan tersebut yang umumnya terjadi dalam transkasi bursa.

Tetapi banyak lagi transaksi yang dilarang, seperti riba sharf, spekulasi, penipuan,

suap,dll.

2. Hukum harta non halal

Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan, bahwa setiap pendapatan dari usaha-

usaha sebagaimana tersebut di atas itu diharamkan. Pendapatan yang dimaksud adalah :

a) Bunga atas transaksi pinjaman

b) Pendapatan dari usaha yang aktifitas pinjaman berbunga lebih dominan

c) Pendapatan dari usaha perjudian, minuman keras, barang merusak moral dan

mudharat

Pendapatan tersebut tidak boleh dijadikan modal usaha / bisnis, sesuai dengan

kaidah fikih :

(

4) Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Edisi Revisi 2006, Jakarta, Diterbitkan atas kerja sama DSN

– Bank Indonesia, Cet. 2006 hal. 274

‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’

5

كل ما ال يجوز أخذه ال يجوز إعطائه

Setiap harta yang tidak bisa dimiliki, maka harta tersebut tidak bisa diberikan kepada

orang lain.

Hal ini sesuai juga dengan penjelasan Standar Syariah AAOIFI, yaitu sebagai

berikut:

بإي وجه وجوه االنتفاع –التخلص منه ال يجوز االنتفاع بالعصر المحرم الواجب

وال التحايل على ذلك بأي طريق كان ولو بدفع الضرائب.

Pendapatan non halal tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan apapun, walaupun

dengan cara hilah ribawiyah, sepertidigunakan untuk membayar pajak. (5)

3. Perlakuan terhadap utang / kewajiban non halal

Yang dimaksud dengan kewajiban non halal adalah setiap utang yang didapatkan

bank syariah dengan pihak lain dengan menggunakan akad (transaksi) yang dilarang

syariah, seperti transaksi pinjaman berbunga, suap, jual beli barang – barang terlarang,

dll.

Diantara contohnya, seperti dana – dana yang ada di Bank syariah sebelum

dikonversi menjadi lembaga keuangan syariah, atau dana yang di Unit Ushaa Syariah

(UUS) sebelum berubah menjadi syariah, atau setiap tabungan dan depoito yang masuk

ke bank syariah dengan transkasi pinjaman berbunga.(6)

Bagaiman bank syariah menyikapi dan memperkalukan utangnya yang non halal

tersebut, apakah haru membayar bunga atas pinjamannya? Atau tidak membayarnya?

Permasalahan ini pernah dibahas dalam simposium al-Baraka yag ke 16 yang

diselenggarakan pada tahun 1999 di Beirut.

Para ulama yang berkumpul dalam simposium tersebut itu sepakat bahwa bank

syariah harus harus membayar pokok pinjaman, tetapi tidak boleh membayar bunga

(

5 (Al-Ma’ayir asy-Syar’iyahNo. 21 tentang Saham, Hai’atu al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li al-Muassasat

al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, Cet. 2010 hal. 293.

(6) Tahawwul al-mashrif al-ribawi, Dr. Su’ud muhammad Rabiah, hal. 531

Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8

MCSN8, 28-29 Mei 2014

6

pinjamannya jika ketentuan perundang-undangan dinegara tempat transaksi itu

mengizinkan hal tersebut.

Tetapi sebaliknya, jika ketentuan perundang-undangannya tidak mengizinkan hal

tersebut, maka bank harus berusaha untuk tidak membayar bunga, jika tidak berhasil,

maka bank dianggap dalam kondisi terpaksa (mudhtar). (7)

Menuru teputusan al-Baraka tersebut, perlakuan utang / kewajiban bank syariah

itu bisa dibedakan kedalam dua kondisi:

1. Kondisi pertama

Bank syariah tidak membayar bunga atas utang yang diterimanya Jika ketentuan

perundang-undangan di negara tempat transaksi itu menginginkan hal tersebut.(8)

Dengan cara menggugurkan jumlah tertentu yang bukan menjadi bagian modal,

dan tidak boleh memberikan pokok pinjaman tersebut kepada hajat-hajat sosial karena

bukan hartanya(9)

, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. (10)

:

2. Kondisi kedua

Jika ketentuan perundang-undangan di negara tempat transaksi itu mengharuskan

bank syariah untuk membayar bunga atas utang yang diterimanya.

Kondisi ini terjada di banyak negara pada umumnya yang menerapkan undang-

udang yang tidak sesuai dengan ketentuan Islam.

Dalam kondisi ini, bank syariah dianggap dalam kondisi terpaksa (mudhtar) dan

harus membayar bunga atas utangnya, karena jika tidak membayar bunga tersebut, maka

otoritas akan mengambil dananya secara paksa untuk dibayarkan kepada pihak lain.

(

7) Keputusan Simposium al-Barakah VI, hal 272 -273

(8) lihat makna yang sama dalam Majmu al-fatawa, Ibnu Taimiyah, 29 / 412 -423 .

(9) Tahawwul al-mashrif al-ribawi, Dr. Su’ud muhammad Rabiah, hal. 535.

(10

) Surat al-Baqarah ; 279.

‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’

7

Karena dalam kondisi terpaksa (mudhtar), maka bank syariah tidak berdosa

membayar bunga atas pinjamannya. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw :

تي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه" تجاوز عن أم .إن هللا

Sesungguhnya Allah Swt menggurkan (setiap doa ang diakibatkan, pen.) oleh kesalahan,

lupa dan keterpaksaaan) (11)

Menurut hadits ini, dosa melakukan transaksi pinjaman berbunga dalam kondisi

terpaksa (mudhtar) itu digugurkan (diangkat).

Standar syariah AAOIFI menjelaskan bahwa pendapatan non halal yang sudah

bercampur dengan pendapatan lain yang halal (tersebut di atas) itu harus diperlakukan

sebagai berikut :

a) Bagi pihak yang memiliki saham (baik sebagai investor ataupun yang melakukan

jual beli mata uang) hingga akhir tutup buku, ia berkewajiban untuk

mengeluarkan pendapatan non halal, baik yang dihasilkan dari kegiatan usaha

yang tidak halal atau dari asset yang tidak halal yang dimiliki perusahaan itu.

Maka bagi yang memiliki saham dan menjualnya sebelum kegiatan usaha

berakhir, maka ia tidak harusmengeluarkanpendapatan non halal.

b) Bagianyag dikeluarkan adalah jumlah saham yang dihasilkan dari pendapatan non

halal, baik pendapatan ini sudah dibagikan ataupun belum.

c) Perusahaan bertanggung jawab untukmengeluarkan danmenyalurkanpendapatan

non halal ini untuk hajat-hajatsosial.

d) Sedangkan mediator, wakil atau pekerja yang mendapatkan upah atas jasa

pekerjaannya, merekaitu tidak mengeluarkan upahnya.

e) Batasan-batasan tersebutharus dilaksanakan oleh perusahaan, baik perusahaan itu

dikelolasecara langsung atau dengan jasa pihak lain atau melalui reksadana.

(

11) Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah (Shahih muslim, kitab : al-Iman no

hadits : 181), juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah (Sunan Ibnu Majah, kitab : ath-

thalaq, Bab : thalaq al-=Mukrah wa an-nasi, no hadits : 2030).

Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8

MCSN8, 28-29 Mei 2014

8

f) Batasan–batasan tersebut harusdilaksanakan selama masa usaha,jika perusahaan

tidak lagi komitmen dengan salah satu batasan-batasan ini, maka investor harus

keluar dari perusahaan ini.

g) Tidak boleh membeli saham dengan pinjaman berbunga dari pialang atau pihak

lain (margin). (12)

C. Kriteria, hukum dan perlakuan dana halal yang bercampur dengan dana non

halal

1. Kriteria dan Hukum dana halal yang bercampur dengan dana non halal

Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI), Simposium Ekonomi

Syariah al-Baraka, dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) Bank Yordania pernah

membahas masalah hukum hukum jual beli saham perusahaan yang menjalani usaha non

halal dan usaha yang halal secara bersamaan.

Maka, pendapatan yang diperoleh perusahaan tersebut terdiri dari pendapatan

yang halal dan pendapatan yang tidak halal.

Hukum tersebut berlaku untuk dana-dana lain yang halal yang bercampur dengan

dana haram di luar bursa karena kesamaan substansi masalah diantara keduanya.(13)

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum masalah ini. Pendapat tersebut yaitu

sebagai berikut:

Pendapat pertama : jual beli saham tersebut itu diharamkan, berdasarkan dalil-dalil

berikut : (14)

(

12 (Al-Ma’ayir asy-Syar’iyahNo. 21 tentang Saham, Hai’atu al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li al-

Muassasat al-Maliyah al-Islamiyah, bahrain, Cet. 2010 hal. 293..

(13

)adh-Dhawabith asy-syar’iyah li furu al-mu’amalat al-islamiyah bi al-bunuk at-taqlidiyah, Dr.

Husein syahatah, hal. 9

(14

) Ibid, hal. 9

‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’

9

1. Hadits Rasulullah Saw

عن النعمان بن بشير رضي هللا عنه قال قال النبي صلى هللا عليه وسلم : "الحالل بين

والحرام بين وبينهما أمور مشتبهة فمن ترك ما شبه عليه من اإلثم كان لما استبان أترك

ومن اجترأ على ما يشك فيه من اإلثم أوشك أن يواقع ما استبان والمعاصي حمى هللا من

شك أن يواقعه".يرتع حول الحمى يو

Dari Nu’man bin Basyir r.a, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda : yang halal itu

jelas, dan yang haram itu jelas, diantara keduanya ada hal-hal yang samar.

Maka barang siapa yang menjauhinya hal syubhat, maka itu lebih utama. Dan

barang siapa yang melakukannya, maka telah mendekati perbuatan maksiat.

Dan perbuatan maksiat itu (ibarat, pen.) tanaman Allah,Barang siapa yang

menggembala di sekitar tanaman, maka telah – hampir - masuk kedalamnya. (15)

Menurut hadits di atas, Melakukan hal syubhat termasuk membantu berbuat

maksiat. Maka menjauhi hal syubhat itu lebih hati-hati dan menutup pintu peluang

maksiat (dzariah).

2. Keputusan lembaga Fikih Islam OKI

( أنه ال خالف في حرمة 7 - 1 - 56قرار مجمع الفقه اإلسالمي الدورة السابعة رقم )

اإلسهام في شركات غرضها األساسي محرم،كالتعامل بالربا أو إنتاج المحرمات أو

المتاجرة بها. واألصل حرمة اإلسهام في شركات تتعامل أحيانا بالمحرمات، كالربا

.األساسية مشروعةونحوه، بالرغم من أن أنشتطها (16)

(

15) Hadits ini diriwayatkan dari imam Bukhari dari an-Nu’man bin Basyir (shahih al-Bukhari, kitab al-

buyu’, bab: al-halal bayyin wa al-haram bayyin wa bainahuma umur musytabihat, no. 1910), hadits

di atas juga diriwayatkan Imam Muslim dari Nu’man bin Basyir (Shahih Muslim, Kitab : al-Musaqah,

bab : akhdzu al-halal wa tarku asy-syubuhat, no. 2996)

(16

) Qararat wa taushiyat majma al-fiqhi al-islami at-tabi’ li munadzamati al-mu’tamar al-islami,

hal. 212

Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8

MCSN8, 28-29 Mei 2014

10

Keputusan lembaga Fikih Islam no. 7/1/65, pada perteman ke 7, menegaskan

bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa membeli saham pada perusahaan yang

tujuan utama melakukan kegiatan usaha yang haram, seperti, bertransaksi ribawi,

memproduksi barang yang haram, jual beli barang yang haram.

Prinsipnya, haram hukumnya membeli saham pada perusahaan yang (kadang-

kandang) bertransaksi yang haram seperti riba dan yang lainnya, walaupun kegiatan

utamanya adalah usaha yang halal.

Menurut pendapat ini, maka saham perusahan yang bersumber dari dana yang

halal dan non halal itu haram hukumnya, karena memisahkan kedua bagian dana tersebut

tidak bisa dilakukan, khususnya dalam UUS karena setiap dananya akan dikonsolidasi di

bank induk yang konvensional. Juga sebagian kelebihan likuiditas UUS akan

dikembalikan kepada bank induk.

3. Kaidah fikih,

"إذا اجتمع الحالل والحرام غلب الحرام".

Jika ada dana halal dan haram bercampur, maka menjadi dana haram.

Kaidah ini berdalil bahwa dengan menjadikan yang haram sebagai hukum, maka

telah meminimalisir perubahan hukum.

Karena seorang mukallaf yang melakukan seuatu perbuatan hukum, sebelum ada

ketentuan hukumnya (baik mengizinkannya atau mengharamkannya), maka mukallaf

tersebut tidak dikenakan sanksi.

Sebagaimana firman Allah Swt :

Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.(17)

(

17) Q.S Israa’ ; 15

‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’

11

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia

berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha

mengetahui segala sesuatu.(18)

Hal ini berbeda jika ada ketentuan hukum haram, maka terjadi perubahan hukum

menjadi tidak ada sanksi bagi pelakunya. Tetapi jika ada ketentuan yang membolehkan,

maka telah menasakh ketentuan tersebut, sehingga terjadi dua kali perubahan hukum.

Jika ketentuan yang membolehkan itu didahulukan, maka akan menguatkan

hukum boleh (tidak merubahnya).

Jika ada ketentuan yang mengharamkan, maka menasakh ketentuan mubah.

Dengan begitu, telah meminimalisir perubahan. Pilihan ini juga sesuai dengan konsep

Hanafiyah yang menyatakan bahwa hukum wajib itu mencakup halal dan mubah.(19)

Selain itu, memilih hukum haram itu lebih dicintai Allah swt, lebih utama dan

lebih hati-hati, karena itu berarti meninggalkan hal yang diharamkan. (20)

Diantara contoh penerapan kaidah ini, jika ada opsi hukum halal dan haram, maka

hukum haram yang lebih diunggulkan.

Begitu pula, jika ada dalil yang menunjukan hukum haram dan dalil yang

menunjukan hukum mubah, maka yg dipilih adalah dalil yang menunjukan hukum

haram.

(

18) Q.S al-Baqarah ; 29

(19

) al-Mausu’ah al-fiqhiyah al-kuwaitiyah, 8/76

(20

) al-Asybah wa an-nadzair fi qawa’id wa furu’ asy-syafi’iyah, as-Suyuthi, Tahqiq : Muhammad

Tamir dan Hafidz ‘Asyur Hafidz, dar-As-Salam, Kairo, cet. I, 1418 H / 1998 M, Ghamzu ‘uyun al-Basha,

al-Himawi, 1/336

Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8

MCSN8, 28-29 Mei 2014

12

وحرمتهما قال عثمان رضي هللا عنه لما سئل عن أختين بملك اليمين فقال : أحلتهما أية

أية والتحريم أحب إلينا قال األئمة : وإنما كان التحريم أحب ؛ ألن فيه ترك مباح

.الجتناب محرم، وذلك أولى من عكسه

Sahabat Utsman r.a ketika ditanya tenga dua orang wanita bersaudara karena sebab

milkil yamin, beliau menjawab : satu ayat membolehkan, dan ayat lain mengharamkan.

Dan hukum haram lebih dicintai Allah Swt. (21)

Diantara contoh penerapan kaidah ini, jika uang dirham yang halal bercampur

dengan dirham yang haram dan tidak bisa dipisahkan, maka caranya, kadar haram

dipisahkan, kemudian sisanya diambil. Jika bagian yang dipisahkan itu diketahui

pemiliknya, maka bagian itu diserahkan kepadanya. Jika tidak diketahui, maka

disedekahkan kepada yang lain.(22)

Jika dalam saham ini terdapat dana yang tidak halal, atau perusahaannya

melakukan usaha yang haram seperti menitipkan sebagian dananya di Lembaga

Keuangan ribawi, maka seluruh uang tersebut tidak boleh (haram) untuk dibeli.(23)

Jika pendapat ini terapkan dalam pemahasan makalah ini, maka setiap dana halal

yang bercampur dengan dana non halal yang didepositokan di bank syariah, maka dana

tersebut tergolong dana haram.

Pendapat kedua, sebagian ulama kontemporer berpendapat, jual beli saham

tersebut dibolehkan, dengan syarat kegiatan utamanya adalah usaha yang halal, dan

pendapatan yang halal lebih dominan dari pada pendapatan non halal. (24)

Mereka

berargumen dengan dalil-dalil berikut:

(

21) al-Mantsur fi al-Qawa’id al-fiqhiyah, 1/133, al-Asybah wa an-Nadzair, as-Suyuthi, hal. 106

(22

) al-Asybah wa an-Nadzair, as-Suyuthi, hal. 107, Ghamzu ‘uyun al-Basha, al-Himawi, 1/336, al-

Mughni, Ibnu Quddamah, 4/162, al-Majmu’ syarh al-muhadzdzab, an-Nawawi, cet. Mathba’ah al-

amiriyah 9/469, al-Bahr al-muhith, az-Zarkasyi, 2/342, al-Mabsuth, as-Sarkhasi, 4/45.

(23

) adh-dhowabith asy-syar’iyah li at-ta’amul bi suq al-auraq al-maliah, Husein syahatah dan

‘Athiyah, hal. 22

(24

) al-Musahamah fi asy-syarikat tata’amalu bi al-fawa’id ar-ribawiyah, Abdu as-Sattar abu guddah,

al-haiah asy-syar’iyah li al-barakah, Majmuatu dallah al-baraka, jeddah, cet. II 2003 hal. 306

‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’

13

1. Kaidah fikih :

لألكثر حكم الكل

Hukum mayoritas sama seperti hukum keseluruhan.(25)

Menurut mayoritas ulama, yang menjadi standar, jika dana halal bercampur

dengan dana haram, maka dipilih adalah dana yang lebih dominan, karena hukum

mayoritas seperti hukum keseluruhan.

Para ahli fikih menyebutkan contoh-contoh penerapannya dalam bab-bab seperti

bab thaharah, ibadah, muamalah, pakaian, makanan, dll.(26)

Banyak para ulama yang menegaskan tentang hal ini, beberapa ulama

diantaranya:

Ibnu Nujaim menjelaskan sebagai berikut :

أما مسألة ما إذا اختلط الحالل بالحرام في البلد، فإنه يجوز قال ابن نجيم الحنفي :

.الشراء، واألخذ إال أن تقوم داللة على أنه من الحرام

Ibnu Nujaim al-Hanafi menjelaskan : jika terjadi di sebuah negara, dana halal

bercampur dengan dana haram, maka dana tersebut boleh dibeli dan di ambil kecuali

jika ada bukti bahwa dana tersebut itu haram.(27)

An-Nawawi menjelaskan sebagai berikut:

وقال النووي : الخلط في البلد حرام ال ينحصر بحالل ينحصر لم يحرم الشراء

نها من الحرام فإن لم منه بل يجوز األخذ منه إال أن يقترن بتلك العين عالمة تدل على أ

.يقترن فليس بحرام ولكن تركه ورع محبوب وكلما كثر الحرام تأكد الورع

Imam nawawi berkata : jika terjadi di sebuah negara, dana haram yang tidak

terbatas bercampur dengan dana halal yang terbatas , maka dana tersebut boleh dibeli,

(

25) al-Jauharah an-Nirah, al-Hidadi al-‘Ibadi, 1/303, Duraru al-Hukkam syarh majallati al-ahkam,

Ali haidar, 1/183

(26

) al-Jauharah an-Nirah, al-Hidadi al-‘Ibadi, 1/303, Duraru al-Hukkam syarh majallati al-ahkam,

Ali haidar, 1/183

(27

) al-Asybah wa an-Nadzair, Ibnu Nujaim, 345

Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8

MCSN8, 28-29 Mei 2014

14

bahkan boleh diambil kecuali ada bukti bahwa dana tersebut bersumber dari dana

haram, jika tidak ada bukti, maka tidak haram.

Tetapi meninggalkan perbuatan tersebut itu dicintai Allah Swt., setiap kali dana

haram itu banyak, maka harus disikapi dengan wara’.(28)

Ibnu Taimiyah menjelaskan sebagai berikut:

عن الذين غالب أموالهم حرام، مثل -رحمه هللا -وقد سئل شيخ اإلسالم ابن تيمية

المكاسين وأكلة الربا، وأشباههم، ومثل أصحاب الحرف المحرمة كمصوري الصور،

والمنجمين ومثل أعوان الوالة فهل يجوز أخذ طعامهم بالمعاملة أو ال ؟ فأجاب ) الحمد

وحرام، ففي معاملتهم شبهة، ال يحكم بالتحريم إال إذا هلل، إذا كان في أموالهم حالل

عرف أنه يعطيه ما يحرم إعطاؤه، وال يحكم بالتحليل إال إذا عرف أنه أعطاه من

الحالل، فإن كان الحالل هو األغلب لم يحكم بتحريم المعاملة، وإن كان الحرام هو

.األغلب، قيل يحل المعاملة وقيل: بل هي محرمة

Ibnu Taimiyah r.a pernah ditanya tentang orang yang memiliki harta yang didominasi

oleh dana haram, seperti pelaku riba, pekerja yang tidak halal. Bolehkan bertransaksi

makanan dengan mereka?. Beliau menjawab (segala puji bagi Allah, jika dananya terdiri

dana halal dan non halal, maka dana mereka bersifat syubhat.

Dana tersebut tidak bisa dihukumi haram kecuali jika diketahui bahwa mereka

memberikan dana yang tidak halal untuk diberikan. Begitu pula, dana tersebut tidak bisa

dihukumi halal kecuali jika diketahui bahwa mereka mandapatkan dana yang halal untuk

diberikan.

Jika dana halal itu yang dominan, maka transaksinya tidak bisa dihukumi haram. Dan

sebaliknya, jika dana haram itu yang dominan, menurut sebagian ulama transaksinya

halal, dan menurut sebagian yang lain, transkasinya haram

(

28) al-Majmu; syarhu al-muhadzdzab, Abi Zakariya al-Anshari, al-Mathba’ah al-muniriyah hal. 418, al-

Bahru al-muhith, az-Zarkasyi, 1/342

‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’

15

فأما المتعامل بالربا فالغالب على ماله الحالل، إال أن يعرف الكره من وجه آخر، وذلك

أنه إذا باع ألفا بألف ومائتين، فالزيادة هي المحرمة فقط، وإذا كان في ماله حالل وحرام

واختلط لم يحرم الحالل بل له أن يأخذ قدر الحالل كما لو كان المال لشريكين، فاختلط

بمال اآلخر فانه يقسم بين الشريكين ( . . وكذلك من اختلط بماله الحالل مال أحدهما

والحرام، إخراج قدر الحرام والباقي حالل له (29)

Adapun orang yang bertransaksi secara ribawi, maka yang dominan adalah halal

kecuali diketahui bahwa yang dominan adalah makruh. Karena jika sesorang menjual

1000 seharga 1.200, maka yang haram adalah marginnya saja.

jika hartanya terdiri dari dana halal dan haram yang bercampur , maka bagian yang

haram ini tidak mengharamkan bagian yang halal. ia bisa mengambil bagian yang halal

tersebut, sebagaimana jika dana miliki dua orang syarik, dana syirkah telah bercampur

dan menjadi milik keduanya, maka dana tersebut dibagi kepada dua syarik tersebut.

2. Kaidah fikih :

.يجوز تبعا ماال يجوز استقالال

Hal yang dibolehkan karena sifatnya pelengkap, itu menjadi tidak dibolehkan

karena sifanya independen. (30)

Prosentase dana haram dalam saham ini itu pelengkap ; bukan unsur inti yang

yang menjadi tujuan transkasi. Karena perusahaan tersebut bertujuan melakukan kegiatan

usaha yang halal, tetapi karena ada kebutuhan likuiditas atau sejenisnya sehingga

mendorongnya untuk meminitipkan sebagian dananya atau meminjamnya di bank

konvensional.

Maka transkasi ini – tanpa diragukan lagi – adalah transkasi yang diharamkan,

dan pelakunya berdosa, tetapi hal ini tidak membuat bagian lain yang halal menjadi

haram.

(

29) Majmu’ al-fatawa al-Kubra, Ibnu Taimiyah, Beirut, dar-al-Kutub al-‘ilmiah, cet. I, 1408 H / 1987 M,

29/268

(30

) al-Jauharah an-Nirah, al-Hidadi al-‘Ibadi, 1/303, Duraru al-Hukkam syarh majallati al-ahkam,

Ali haidar, 1/183, Daqaiq uli an-nuha li nsyarhi al-muntaha, al-Buhuti, cet. Alamu alkutub 1/183

Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8

MCSN8, 28-29 Mei 2014

16

Oleh karena itu setiap margin yang bersumber dari dana haram itu harus

dikeluarkan. Jika prosentase kegiatan yang haram itu tidak melebihi 1% dari total asset

perusahaan, maka seluruh margin dari transaksi yang haram harus dikeluarkan.

Tetapi jika bunga - dalam neraca disebutkan dalam point ‘pendapatan lain-lain’ –

itu tidak bisa diketahui dengan jelas, maka sebagian dana dianggap halal, dan sebagain

yang lain dianggap dana non halal dan harus dikeluarkan, karena jika tidak bisa

menghitung jumlah yang pasti, maka cukup dengan mengira-ngira.(31)

3. Maslahat (al-Hajah asy-syar’iyah)

Kebutuhan perusahaan syariah untuk melakukan usaha tersebut hingga bisa

bertahan melanjutkan misinya menghindari praktik bisnis ribawi bagi kaum muslimin.

Oleh karena itu, menurut pendapat ke dua ini, UUS boleh mengelola dana bank

induk yang ada di tangannya, jika dana halal lebih dominan.

Beberapa ulama menambahkan, saham tersebut hukumnya boleh dengan syarat –

syarat, diantaranya pemilik saham hendaknya memperhatikan prosentase bunga deposito

perusahaan dilembaga keuangan konvensional. Prosentase ini terlihat dalam neraca

keuangan atau dengan konfirmasi kepada staf bagian akuntansi. Jika tidak bisa, maka ia

berijtihad mengira – ngira, kemudian mengeluarkan bagian haram tersebut untuk

disalurkan kepada aktifitas sosial.

Syarat lain adalah investor yang membeli saham tersebut itu bertujuan untuk

merubah atau mengkonversi LKK menjadi LKS dengan peran dan suaranya di RUPS

atau Direksi.(32)

Jikapendapatiniterapkandalampemahasanmakalahini, makasetiapdana halal yang

bercampurdengandana non halal yang didepositokan di bank syariah,

makadanatersebuttergolongdanahalal, jikabagian halal itulebihdominan.

(

31) al musahamah fi asy-syarikat tata’amalu bi al-fawa’id ar-ribawiyah, Abdu as-Sattar abu Guddah,

hal. 306

(32

) adh-Dhowabith asy-syar’iyah li at-ta’amul bi suq al-auraq al-maliyah, Husein syahatah dan

athiyah fayyadh, hal. 22.

‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’

17

Standard syariah AAOIFI menjelaskan syarat-syarat tersebut, yaitu sebagai berikut :

1) Prinsip dasarnya, tidak boleh membeli saham pada perusahaan yang menjalankan

usaha yang halal, tetapi diantara kegiatannya ada usaha non halal.diantaranya

meminjam dengan bunga dan menitipkan uangnya di LKK

2) Dalam kondisi khusus, jual beli saham tersebut itu dibolehkan dengan syarat-

syarat berikut :

a) Usaha yang dijalankan perusahaan tersebut – sesuai AD ARTnya –

bukanusaha yang diharamkan oleh syariah.

b) Total pinjaman ribawi perusahaan tidak boleh lebih dari 30% dari harga

pasar (market capital) dari total saham perusahaan.

c) Total simpanan ribawi perusahaan tidak boleh lebih dari 30% dari harga

pasar (market capital) dari total saham perusahaan.

d) Total pendapatan perusahaan dari kegiaatan usahayang diharamkan tidak

boleh lebih dari 05% dari total pendapatan perusahaan, baik pendapatan

ini dari kegiatan usaha yang tidak halal atau dari asset yang tidak halal

yang dimiliki perusahaan.

Prosentase di atas bisa diketahui dari neraca dan laporan keuangan.(33)

Hal ini berdasarkan dalil bahwa kaidah yang berkenaan dengan raf’ul haraj wal

hajah al-ammah (meminimalisir kesulitan dan memnuhumi hajat umum), umum al-balwa

(praktik yang tidak bisa dihindarkan), muro’at qowa’id al-katsrah wa al-ghalabah

(standar tentang pilihan yang terbanyak)(34)

, bolehnya bertransaksi dengan modal

campuran jika hartanya yang halal lebih dominan(35)

, kaidah sebagian fuqaha tentang

(

33 ( al-furuq, al-qarrafi (4/104), al-miwafqat (1/37), ahkamu al-qur’an, Ibnu al-‘arabi (4/1804), qowaid

al-ahkam fi mashalih al-anam (1/41-45)

(34

( Bada’i ash-shana’i (6/144), al-asybah wa nadza’ir, Ibnu Nujaim (112-114), al-bayan wa tahshil

(18/194-195), al-mantsur fi al-qawaid (2/235)..

(35

( Fath al-qadir (6/89), ‘aqdul jawahir al-tsaminah (2/439), asy syarhu al-kabir ma’a dasuqi (3/15), ar-

raudhah (3/420), majmu al-fatawa (29/4u8).

Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8

MCSN8, 28-29 Mei 2014

18

tafriq shafqah (memisah transaksi halal dari transaksi yang haram)(36)

dan fatwa Dewan

Pengawas Syariah ar-Rajihi (37)

.

Dari penjelasan di atas, pendapat yang kedua lebih tepat untuk diterapkan karena

beberapa hal:

a) Lingkungan dan pranata ekonomi masih belum islami ; regulasi tidak memihak

LKS, masyarakat yang belum paham ekonomi syariah, industri konvensional

yang mendominasi, sehingga transaksi dengan konvensional menjadi hal yang

tidak bisa dihindarkan.

b) Bahkan menjadi kebutuhan LKS untuk bertransaksi dengan LKS yang memiliki

produk lebih lengkap dan modal yang lebih besar.

c) Ada kebutuhan untuk bertranskasi dengan LKK, misalnya untuk mengatasi

likuiditasnya, yang tidak bisa diatas sepenuhnya di LKS.(38)

4. Perlakuan Dana Campuran

Berdasarkan pendapat yang rajih tersebut di atas yang menegaskan bahwa jika

yang dominan adalah harta yang halal, maka status hukum seluruh harta tersebut adalah

halal digunakan untuk kebutuhan yang dibolehkan Islam.

Maka berdasarkan pendapat ini, dana tabungan dan deposito yang bersumber dari

pendapatan atas transaksi pinjaman berbunga yang bercampur dengan harta lain yang

halal itu dibolehkan, jika prosentase yang halal itu lebih dominan.

D. Kesimpulan (Merumuskan Kaidah)

Berdasarkan penjelasan di atas, bisa dibuat kaidah-kaidah berikut :

(

36 ( Keputusan dewan pengawas syariah perusahaan ar-rajihi no. 485 tnggal 23/8/1422 H.

(37

(Al-Ma’ayir asy-Syar’iyahNo. 21tentangSaham, Hai’atu al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li al-

Muassasat al-Maliyah al-Islamiyah, bahrain, Cet. 2010 hal. 293..

(38

) Dhowabith taqdim al-khadamat al-mashrifyah fi al-buhuk at-taqlidiyah – tajribatu al-bank al-

ahli at-tijari, Said al-marthan, hal. 33-34.

‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’

19

1. Dana yang bersumber dari aktifitas non halal

a. Dana yang bersumber dari aktifitas non halal adalah setiap pendapatan

yang bersumber dari transaksi yang dilarang oleh syariah, seperti bunga

dari transaksi pinjama berbunga.

b. Ulama sepakat bahwa pendapatan tersebut, adalah harta non halal.

Sedangan bagian modal atau pijaman (ashlu al-qurudh) itu hukumnya

halal.

c. Pendapatan non halal tersebut tidak boleh digunakan oleh pemiliknya

sebagai sumber tabungan atau deposito, tetapi harus membersihkannya,

dengan cara menyalurkannya untuk hajat-hajat sosial.

d. Jika terjadi, maka deposan telah berdosa menggunakan sumber deposito

dari harat non halal. Bagi LKS penerima / pengelola depodito, jika tidak

mengetahuinya, maka tidak berdosa. Tetapi jika mengetahuinya, maka

harus disalurkan untuk kepentingan sosial.

2. Dana yang bersumber dari dana yang bercampur dana halal dan non halal

a. Yaitu setiap pendapatan yang bersumber dari transaksi yang dilarang oleh

syariah, tetapi telah bercampur dengan pendapatan yang halal, seperti

sejumlah dana yang terdiri dari bunga atas pinjaman, serta keuntungan

dari usaha mudharabah.

b. jika yang dominan adalah harta yang halal, maka status hukum seluruh

harta tersebut adalah halal digunakan untuk kebutuhan yang dibolehkan

Islam.

c. Berdasarkan pendapat ini, maka pendapatan tersebut boleh digunakan

sebagai sumber tabungan dan deposito.

d. Jika terjadi, maka deposan telah berdosa menggunakan sumber deposito

dari harat non halal. Bagi LKS penerima / pengelola depodito, jika tidak

mengetahuinya, maka tidak berdosa. Tetapi jika mengetahuinya, maka

harus disalurkan untuk kepentingan sosial.

Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8

MCSN8, 28-29 Mei 2014

20

3. Ada dua hal yang harus terpenuhi, agar transaksi sesuai syariah, yaitu :

a. Sumber dana harus halal (bersumber dari usaha yang halal), atau menjadi

bagian yang dominan, jika dana yang halal telah bercampur dengan dana

non halal.

b. Transaksi yang digunakan itu harus transaksi syariah (seperti jual beli,

sewa menyewa, bagi hasil) bukan transkasi konvesional, (seperti pinjaman

berbunga, suap, penipuan (gharar), spekulasi dll). Sebagai fatwa syariah

Dallah al-Baraka yang menegaskan bahwa bank konfensional boleh

berinvestasi di bank syariah dengan syarat transkasi yang digunakan

sesuai syariah. Wallahu a’lam