pendahuluan ptsd
DESCRIPTION
1TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan Stres Pascatraumatik merupakan gangguan mental pada
seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam
kehidupan atau suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya.Dalam
suatu dekade terakhir ini kita sering mendengar terjadinya kasus-kasus yang
terjadi pasca bencana, kekerasan, baik itu kekerasan rumah tangga maupun bentuk
kekerasan lainnya, serta berbagai bentuk peristiwa traumatik lainnya. Dari
penelitian terkini didapatkan bahwa dalam kehidupannya seorang individu
minimal akan mengalami satu peristiwa traumatik, dan 25% dari mereka yang
tetap bertahan hidup dikatakan akan mengalami gangguan stres pasca trauma.
Supaya pasien dapat diklasifikasikan sebagai penderita gangguan stres
pascatraumatik, mereka harus mengalami suatu stres emosional yang besar yang
akan traumatik bagi setiap orang.
Gangguan stres pascatraumatik terdiri dari :
Pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang
membangunkan ( waking thought ).
Penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan
penumpukan responsivitas pada penderita tersebut.
Kesadaran berlebihan ( hyperararousal ) yang persisten.
Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan trauma
untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Gangguan
sangat mungkin terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami
gangguan ekonomi atau menarik diri secara sosial. Gangguan Stres Pasca Trauma
termasuk dalam gangguan cemas. Gangguan cemas disebabkan oleh situasi atau
obyek yang sebenarnya tidak membahayakan yang mengakibatkan situasi atau
obyek tersebut dihindari secara khusus atau dihadapi dengan perasaan terancam.
1
Perasaan tersebut tidak berkurang walaupun mengetahui bahwa orang lain
menganggap tidak berbahaya atau mengancam.
Gejala kecemasan patologis antara lain rasa was-was yang berlebihan,
ketakutan, penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan, kesukaran konsentrasi
dan berfikir, gejala-gejala somatik seperti tremor, panas dingin, berkeringat, sesak
napas, jantung berdebar, serta dapat pula ditemui gejala gangguan persepsi seperti
depersonalisasi, derealisasi dan mungkin terdapat gejala yang lain.
Produktivitas individu yang mengalami gangguan stres pasca trauma akan
menurun. Mereka sering kali absen hingga kehilangan pekerjaan, kapasitas
mereka sebagai pencari nafkah pun akan menurun. Mereka lebih banyak
mengunjungi fasilitas-fasilitas kesehatan dalam upaya untuk mengatasi keluhan
dan penderitaan yang dialami. Dengan demikian dampak dari gangguan stres
pasca trauma tidak hanya pada individu yang mengalami, melainkan juga
meningkatkan beban bagi keluarga dan juga masyarakat pada umumnya.
2
BAB II
GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA
Definisi
Gangguan stres pasca trauma (posttraumatic stress disorder – PTSD)
adalah suatu sindrom yang timbul setelah sesorang melihat, terlibat di dalam, atau
mendengar stresor traumatik yang ekstrem. Seseorang bereaksi terhadap
pengalaman tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, secara menetap
menghidupkan kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat
hal itu. Untuk menegakkan diagnosis, gejala harus bertahan lebih dari satu bulan
setelah peristiwa dan harus memengaruhi area penting kehidupan secara
signifikan, seperti keluarga dan pekerjaan.
Gangguan Stress Pascatraumatik adalah gangguan cemas yang terdiri dari :
1. Pengalaman trauma yang muncul kembali dalam mimpi atau pikiran-pikiran
waktu terjaga.
2. Emosi yang tumpul dalam kehidupan atau hubungan interpersonal
3. Terdapat gejala-gejala otonom yang tidak stabil, depresi dan gangguan
kognitif (seperti kesukaran konsentrasi)
Gangguan tersebut timbul apabila mengalami stres emosional / trauma psikologik
yang besar yang berada di luar batas - batas pengalaman manusia yang lazim.
Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup PTSD diperkirakan sekitar 8 persen populasi
umum walaupun tambahan 5 hingga 15 persen dapat mengalami bentuk subklinis
gangguan ini. Diantara kelompok risiko tinggi yang anggotanya mengalami
peristiwa traumatik, angka prevalensi seumur hidupnya berkisar 5 hingga 75
persen. Prevalensi seumur hidup pada perempuan berkisar sekitar 10 hingga 12
persen dan 5 hingga 6 persen pada laki-laki. Walaupun PTSD dapat timbul pada
usia berapapun, gangguan ini paling prevalen pada dewasa muda karena mereka
3
cenderung lebih terpajan dengan situasi penginduksi. Anak juga dapat mengalami
gangguan ini. Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan tipe trauma yang
memajankan mereka dan kecendrungan untuk mengalami PTSD. Prevalensi
seumur hidup secara bermakna lebih tinggi pada perempuan dan proporsi
perempuan yang terus mengalami gangguan ini lebih tinggi. Berdasarkan sejarah,
trauma laki-laki biasanya berupa pengalaman berperang dan trauma perempuan
paling lazim adalah kekerasan dan perkosaan. Gangguan ini lebih cendrung
terjadi pada orang lajang, bercerai, janda, menarik diri secara sosial, atau tingkat
sosioekonomi yang rendah. Meskipun demikian, faktor resiko paling penting
gangguan ini adalah keparahan, durasi dan kedekatan pajanan seseorang dengan
trauma sebenarnya. Tampaknya terdapat pola familial untuk gangguan ini dan
kerabat biologis derajat pertama orang dengan riwayat depresi memiliki
peningkatan resiko untuk timbulnya PTSD setelah peristiwa traumatik.
Etiologi
Stresor
Terjadinya gangguan stres pasca trauma didahului oleh adanya suatu
stresor berat yang melampaui kapasitas hidup seseorang, serta menimbulkan
penderitaan bagi setiap orang. Kondisi psikologis seseorang sebelum mengalami
peristiwa traumatik tersebut akan berdampak terhadap respon yang ditimbulkan
sebagai akibat peristiwa tersebut.
Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan
stres pasca trauma adalah :
Adanya gangguang psikiatri sebelum trauma baik pada individu yang
bersangkutan maupun keluarganya
Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual
Kecendrungan unuk mudah menjadi khawatir
Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial
Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial ; adanya
problem berupa kesulitan untuk menyesuaikan diri
4
Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna
Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa
sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh
individu yang bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang
menimbulkan penderitaan bagi dirinya.
BAGAN STRES DAN STRES PASCA TRAUMA
Faktor psikodinamika
Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah
mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan.
Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan
penggunaan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan
(undoing). Menurut Freud, pemecahan kesadaran terjadi pada pasien yang
melaporkan riwayat trauma seksual masa kanak-kanak. Konflik yang sebelumnya
telah ada secara simbolis dibangkitkan kembali oleh peristiwa traumatik yang
baru. Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha menguasai dan
menurunkan kecemasan. Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat
bertahan hidup dari trauma psikis yang parah telah menemukan aleksitimia, yaitu
5
ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau mengungkapakan keadaaan
perasaan sebagai ciri yang umum. Jika trauma psikis terjadi pada masa anak-
anak, biasanya dihasilkan perhentian perkembangan emosional. Jika trauma
terjadi pada masa dewasa, regresi emosional sering kali terjadi. Mereka tidak
mampu menenangkan dirinya jika dalam keadaan stres.
Faktor prilaku-kognitif
Model kognitif PTSD membuat postulat bahwa orang yang mengalaminya
tidak mampu memroses atau merasionalisasikan trauma yang mencetuskan
gangguan ini. Mereka terus mengalami stres dan berupaya menghindari
mengalami hal itu dengan teknik penghindaran. Konsisten dengan kemampuan
parsial mereka menghadapi peristiwa tersebut secara kognitif, orang tersebut
mengalami periode bergantian antara memahami dan memblok peristiwa. Upaya
otak untuk memproses jumlah informasi yang banyak yang dicetuskan trauma
dianggap menimbulkan periode bergantian antara memahami dan memblok
peristiwa.
Model perilaku PTSD menekankan adanya dua fase didalam
perkembangannya. Pertama, trauma ( stimulus yang tidak dipelajari ), yang
menimbulkan respon akut, dipasangkan melalui pembelajaran klasik, dengan
stimulus yang dipelajari ( pengingat fisik atau mental terhadap trauma, seperti
penglihatan, bau, atau suara). Kedua, melalui pembelajaran instrumental, stimulus
yang dipelajari mencetuskan respon takut yang bebas dari stimulus asal yang tidak
dipelajari, dan orang mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang
dipelajari maupun stimulus yang tidak dipelajari.
Faktor Biologis
Gejala-gejala gangguan stres pasca trauma timbul sebagai akibat dari
respons biologik dan juga psikologik seorang individu, kondisi ini terjadi oleh
karena aktivasi dari beberapa sistim di otak yang berkaitan dengan timbulnya
perasaan takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang
traumatik akan menimbulkan respon takut sehingga otak dengan sendirinya akan
6
menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu
respon perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak
yang sangat berperan besar. Amigdala akan mengaktivasi beberapa
neurotransmiter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang
menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respons tubuh
untuk menghadapi peristiwa tersebut. Dalam waktu beberapa milidetik setelah
mengalami peristiwa tersebut, amigdala dengan segera akan bereaksi dengan
memberikan stimulus berupa tanda darurat kepada :
1. Sistem saraf simpatis ( ketokolamin )
2. Sistem saraf parasimpatis
3. Aksis hipotalamus-hipofisi-kelenjer adrenal (aksis HPA)
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah
mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung
dan tekanan darah. Kondisi ini disebut sebagai reaksi “ fight or flight reaction “.
Reaksi ini juga meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot
skeletal sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa
tersebut atau jika mugkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang
optimal. Reaksi sistem saraf parasimpatis berupa membatasi reaksi sistem saraf
simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respon ini bekerja secara bebas dan
tidak berkaitan dengan respon yang diberikan oleh sistem saraf simpatis. Aksis
HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang
berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarakan
Cortico Releasing Factor (CRF) dan beberapa neuropetida regulator lainnya,
sehingga kelenjer hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran
adenocorticotropic hormon (ACTH) yang akhirnya menstimulasi pengeluaran
hormon kortisol dari kelenjer adrenal.
Jika sesorang mengalami tekanan, maka tubuh secara alamiah akan
meningkatkan pemgeluaran ketokolamin dan hormon kortisol, pengeluaran kedua
zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Ketokolamin
berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh
dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam
7
menghentikan aktivasi sistem saraf simpatis dan beberapa sistem tubuh yang
bersifat defensif yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami oleh
individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses
terminasi dari respon tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon
kortisol akan menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut.
Gambaran klinis dan Diagnosis
Gambaran klinis utama dari gangguan stres pascatraumatik adalah
pengalaman ulang peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindar dan
kekakuan emosional dan kesadaran yang berlebihan yang hampir tetap. Gangguan
mungkin tidak berkembang sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah
peristiwa. Pemeriksaaan status mental seringkali mengungkapkan rasa bersalah,
penolakan dan penghinaan. Pasien mungkin juga menggambarkan keadaan
disosiatif dan serangan panik. Ilusi dan halusinasi mungkin ditemukan. Tes
kognitif mungkin mengungkapkan bahwa pasien memiliki gangguan daya ingat
dan perhatian.
Gejala penyerta dapat berupa agresi, kekerasan , pengendalian impuls yang
buruk dan depresi. Berbagai ciri anti sosial mungkin ditemukan termasuk
penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol dan obat, perasaan bersalah yang
menonjol, insomnia, ilusi dan halusinasi, disosiasi, serangan panik, agresi,
kekerasan dan gangguan daya ingat serta gangguan memusatkan perhatian
(konsentrasi).
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stres Pascatraumatik menurut DSM 5:
A. Terdapat pada kejadian yang mengancam nyawa, luka serius, atau korban
seksual, dengan cara :
1. Mengalami langsung kejadian yang membuat trauma
2. Saksi atas kejadian yang terjadi pada orang lain
8
3. Mempelajari trauma yang terjadi pada keluarga dekat atau teman
dekat, dalam kasus kematian keluarga atau teman dekat, kejadian
dalam kekerasan atau kecelakaan
4. Pengalaman berulang atau exspose ekstrim terhadap penghindaran
suatu detail traumatik
Seperti contoh : petugas polisi berulang kali terexspose terhadap detail
dari kekerasan pada anak
B. Adanya satu atau lebih gejala interusi yang berhubungan dengan kejadian
traumatik, dimulai setelah kejadian tersebut muncul
1. Recurent, involunter dan memori yang tiba-tiba yang menyakitkan dari
kejadian traumatik.
2. Mimpi yang menyakitkan dan berulang dimana isinya dan atau afek
dari mimpi berhubungan dengan kejadian traumatik.
3. Reaksi disosiatif ( contoh : flasback) dimana individu merasa atau
bertingkah seperti saat kejadian traumatik muncul (reaksi ini dapat
muncul secara terus menerus dengan ekspresi paling ekstrem berupa
perasaan asing dengan lingkungan sekitar.
4. Stres psikis yang lama dan intens terhadap sinyal internal dan eksternal
yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek dari kejadian
traumatis.
5. Reaksi psikis khas terhadap sinyal internal dan eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek dari kejadian traumatis
C. Penghindaran persisten terhadap stimulus yang berhubungan dengan
kejadian traumatis, dimulai setelah kejadian tersebut muncul ditandai satu
atau dua poin berikut :
1. Penghindaran atau usaha menghindari memori menyakitkan, pikiran
atau perasaan yang berhubungan atau mirip dengan kejadian traumatik
2. Penghindaran atau usaha menghindari faktor eksterna yang
mengingatkan ( orang, tempat, percakapan, aktivitas, benda, situasi )
yang membangkitkan memori pikiran atau perasaan yang berhubungan
atau mirip dengan kejadian traumatik
9
D. Perubahan negatif pada kognisi dan mood berhubungan dengan kejadian
traumatis dimulai atau memburuk setelah kejadian muncul ditandai dua
atau lebih dari poin berikut :
1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari kejadian
traumatis ( biasanya dikarenakan amnesia disosiatif dan bukan karena
faktor lain seperti trauma kepala, alkohol, atau obat-obatan)
2. Keyakinan negatif yang berlebihan dan persisten atau ekspetasi
mengenai diri sendiri, orang lain atau dunia (contohnya : “aku tidak
baik”, “semua orang tidak dapat dipercaya”, “dunia itu tempat yang
sangat berbahaya”, “sistem saraf ku sudah rusak permanen”
3. Kognisi kacau yang persisten mengenai sebab atau konsekuensi dari
kejadian traumatis yang menyebabkan individu menyalahkan dirinya
atau orang lain
4. Tingkatan emosi negatif yang persisten (takut, menyeramkan, marah,
merasa bersalah atau malu)
5. Kurangnya partisipasi yang mencolok pada berbagai aktivitas
6. Perasaan bergantung atau asing terhadap orang lain
7. Ketidakmampuan persisten untuk mengalami emosi positif
(ketidakmampuan untuk merasa bahagia, puas, atau dicintai)
E. Perubahan mencolok pada rangsangan dan reaktivitas yang berhubungan
dengan kejadian traumatis, dimulai atau memburuk setelah kejadian itu
muncul, ditandai dengan satu atau lebih poin berikut :
1. Perilaku iritabel dan kemarahan yang meluap (dengan sedikit atau
tanpa provokosi) biasanya diekspresikan secara verbal atau fisik
terhadap orang atau benda.
2. Prilaku ceroboh atau merugikan diri sendiri
3. Curiga berlebihan
4. Respon kaget berlebih
5. Susah konsentrasi
6. Gangguan tidur (susah untuk mulai atau mempertahan tidur)
F. Durasi dari gangguan kriteria B,C,D,E lebih dari satu bulan
10
G. Gangguan menyebabkan hendaya sosial okupasional atau area penting
lainnya
H. Gangguan bukan disebabkan karena keadaan medis atau alkohol
Perjalanan penyakit dan Prognosis
Gangguan stres pascatraumatik biasanya berkembang pada suatu waktu
setelah trauma, dapat sependek satu minggu atau selama 30 tahun. Gejala dapat
berfluktuasi dengan berjalannya waktu dan mungkin paling kuat selama periode
stres. Kira-kira 30% pasien piulih secara lengkap, 40% terus menderita gejala
ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah atau
menjadi buruk.
Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala
yang singkat (kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik, dukungan
sosial yang kuat dan tidak adanya gangguan psikiatrik, atau berhubungan dengan
zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih
banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam
usia pertengahan. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu
gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan
efek stresor tertentu.
Tersedinya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan,
keparahan dan durasi gangguan stres pasca traumatik. Pada umumnya, pasien
yang mendapat dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak mengalami
gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parah.
11
Diagnosis Banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik
dengan kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma.
Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau
mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol dan
gangguan yang berhubungan dengan zat lainnya.
Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan
gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik sampai
efek zat hilang.
Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru didiagnosis
sebagai gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan yang tidak tepat.
Klinisi harus mempertimbangkan gangguan stres pascatraumatik pada pasien yang
menderita gangguan nyeri (pain disorder), penyalahgunaan zat, gangguan
kecemasan lain, dan gangguan mood.
Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari
gangguan mental organik dengan mewawancarai pasien tentang peristiwa
traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini.
Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan atau
berpura-pura juga harus dipertimbangkan.
Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dari gangguan
stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau
bahkan saling berhubungan sebab akibat.
Gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar,
kesadaran berlebih otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien
gangguan stres pascatraumatik.
Sebagian karena publisitas yang telah diterima gangguan stres
pascatraumatik dalam berita populer, klinisi harus juga mempertimbangkan
kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura – pura.
12
Penatalaksanaan
Ketika klinisi menghadapi pasien yang telah mengalami trauma bermakna,
pendekatan utamanya adalah dukungan, dorongan untuk mendiskusikan peristiwa
tersebut, dan edukasi mengenai berbagai mekanisme koping (contohnya
relaksasi). Penggunaan sedatif dan hipnotik juga dapat membantu. Ketika pasien
mengalami peristiwa traumatik di masa lalu dan sekarang memiliki PTSD,
penekanan harus pada edukasi mengenai gangguan dan terapinya, baik
farmakologis maupun psikoterapeutik. Klinisi juga harus bekerja untuk
menghilangkan stigma pada penyakit jiwa dan PTSD.
Farmakoterapi
Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), seperti sertralin (zoloft) dan
paroksetin (paxil) dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD
karena efektivitas, tolerabilitas, dan tingkat keamanannya. SSRI mengurangi
gejala semua kelompok gejala PTSD dan efektif dalam memperbaiki gejala PTSD
yang khas, tidak hanya gejala yang serupa dengan depresi atau gangguan ansietas
lain.
Efektivitas imipramin (Tofranil) dan amitriptilin (Elavil), dua obat
trisiklik, untuk terapi PTSD didukung oleh sejumlah percobaan klinis yang
terkontrol baik. Walaupun beberapa percobaan kedua obat tersebut memberikan
temuan negatif, sebagian besar percobaan ini memiliki kecacatan desain yang
serius, termasuk durasi yang terlalu sngkat. Dosis imipramin dan amitriptilin
harus sama dengan dosis yang digunakan untuk mengobati gangguan depresif,
dan lama minimum suatu percobaan yang adekuat adalah 8 minggu. Pasien yang
memberikan respon baik mungkin harus meneruskan farmakoterapi sedikitnya
satu tahun sebelum dicoba penghentian obat. Sejumlah studi menunjukkan bahwa
farmakoterapi lebih efektif dalam tatalaksana depresi, ansietas, dan hyperarousal,
dari pada tatalaksana penghindaran, penyangkalan, dan maupun emosional.
Obat lain yang dapat berguna dalam terapi PTSD adalah monoamine
oxidase inhibitors (MAOI) (cth: fenelzin (Nardil), trazodon (Desyrel), dan
13
antikonvulsan (contohnya karbamazepin (Tegretol) dan valproat (depakene).
Sejumlah studi juga mengungkapkan perbaikan PTSD pada pasien yang diberikan
reversible monoamine oxidase inhibitors (RIMA) seperti brofaromin. Penggunaan
klonidin (Catapres) dan propanolol (Inderal), yang merupakan agen
antiadrenergik, diajukan oleh teori mengenai hiperaktivitas noradrenergik pada
gangguan ini. Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan antipsikotik
pada gangguan ini sehingga penggunaan obat ini contohnya haloperidol (Haldol)
harus dicadangkan untuk kontrol jangka pendek agresi dan agitasi berat.
Psikoterapi
Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien
ketakutan akan pengalaman ulang trauma. Rekosntruksi peristiwa traumatik
dengan abreaksi dan katarsis yang menyertai mungkin bersifat terapeutik.
Intervensi psikodinamika untuk gangguan stres pascatraumatik adalah
terapi perilaku, terapi kognitif dan hipnosis. Banyak klinisi menganjurkan
psikoterapi singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan
pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan jaminan. Sifat jangka
pendek dari psikoterapi menekan risiko ketergantungan dan kronisitas. Masalah
kecurigaan, paranoia, dan kepercayaan seringkali merugikan kepatuhan. Ahli
terapi harus mengatasi penyangkalan pasien tentang peristiwa traumatik,
mendorong mereka untuk santai, dan mengeluarkan mereka dari sumber stress.
Pasien harus didorong untuk tidur, menggunakan medikasi jika dilakukan.
Dukungan dari lingkungan (seperti teman-teman dan sanak saudara) harus
disediakan. Pasien harus didorong untuk mengingat dan melepaskan perasaan
emosional yang berhubungan dengan peristiwa traumatik dan merencanakan
pemulihan di masa depan.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti suatu model
intervensi krisis dengan dukungan, pendidikan, dan perkembangan mekanisme
mengatasi dan penerimaan peristiwa. Jika gangguan stress pascatraumatik telah
berkembang, dua pendekatan psikoterapetik utama dapat diambil. Pertama adalah
pemaparan dengan peristiwa traumatik melalui teknik pembayangan (imaginal
14
technique) atau pemaparan in vivo. Pemaparan dapat kuat, seperti pada terapi
implosif, atau bertahap. Seperti pada desensitisasi sitematik. Pendekatan kedua
adalah mengajarkan pasien metoda penatalaksanaan kognitif untuk mengatasi
stres, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif. Beberapa data awal
menyatakan bahwa, walaupun teknik penatalaksanaan stress adalah efektif lebih
cepat dibandingkan teknik pemaparan, hasil dari teknik pemaparan adalah lebih
lama.
Disamping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga
telah dilaporkan efektif pada kasus gangguan stres pascatraumatik. Keuntungan
terapi kelompok adalah berbagi berbagai pengalaman traumatik dan mendapatkan
dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi kelompok telah berhasil pada
veteran Vietnam. Terapi keluarga seringkali membantu mempertahankan suatu
perkawinan melalui periode gejala yang mengalami eksaserbasi. Perawatan di
rumah sakit mungkin diperlukan jika gejala adalah cukup parah atau jika terdapat
risiko bunuh diri atau kekerasan lainnya.
15
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan Stres Pascatraumatik adalah gangguan cemas yang terdiri dari :
1. Pengalaman tentang trauma melalui mimpi dan pikiran yang datang runtun
beruntun
2. penghindaran terhadap trauma dan
3. kesadaran berlebihan yang persisten sifatnya
Prevalensi gangguan stres pascatraumatik pada masyarakat umum yaitu
0,5% untuk pria dan 1,2% untuk wanita. Anak-anak dapat mengalami gangguan
tersebut.
Etiologi dari gangguan stres pascatraumatik antara lain :
1. Stresor
2. Faktor psikodinamik
3. Faktor biologis
4. Stresor merupakan penyebab utama dalam perkembangan gangguan stress
pascatrauma.
DSM-5 menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang, menghindar, dan
kesadaran yang berlebihan harus berlangsung lebih dari satu bulan.
Bagi pasien yang gejalanya ditemukan kurang dari satu bulan, diagnosis
yang tepat adalah gangguan stress akut.
Kriteria diagnostik DSM-5 untuk gangguan stress pascatraumatik
memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan adalah akut (jika gejala
berlangsung kurang dari tiga bulan) atau kronis (lebih dari tiga bulan).
Manfaat Imipramin dan Amitriptilin, dua obat Trisiklik, dalam pengobatan
gangguan stress pascatraumatik didukung oleh sejumlah uji coba klinisi terkontrol
baik.
16
Obat lain yang mungkin berguna dalam pengobatan gangguan stress
pascatraumatik adalah Serotonin-Specific Reuptake Inhibitors (SSRI), Mono-
Amine Oxidase Inhibitors (MAOI), dan anti konvulsan (carbamazepin). Clonidin
dan Propanol dianjurkan.
Intervensi psikodinamika untuk gangguan stress pascatraumatik adalah
terapi perilaku, terapi kognitif, dan hypnosis. Banyak klinisi menganjurkan
psikoterapi singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan
pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan jaminan.
Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien
ketakutan akan pengalaman ulang trauma.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatic harus mengikuti suatu model
intervensi krisis dengan dukungan pendidikan, dan perkembangan mekanisme
mengatasi dan penerimaan peristiwa.
Jika gangguan stress pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan
psikoterapi utama dapat diambil.
Pertama adalah pemaparan engan peristiwa traumatic melalui teknik
pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan invivo. Pemaparan dapat
menjadi kuat, seperti pada terapi implosif, atau bertahap, seperti pada desentisasi
sistemik.
Pendekatan kedua adalah dengan cara mengajarkan kepada pasien metode
pelaksanaan stress, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk
mengatasi stress.
17
DAFTAR PUSTAKA
Andreasen. N.C and Black. D.W, 2001, “Introductory Textbook of Psychiatry. 3 rd
ed, British Libarry, USA: 335-342.
Elvira S, Hadisukanto G: Buku Ajar Psikiatri, Edisi 2, FKUI, Jakarta 2013
Ibrahim A. S : Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, PT. Dian Ariesta,Jakarta,
2003
Kaplan, Sadock : Buku Ajar Psikiatri Klinis, Edisi 2, EGC, Jakarta, 2010
Maslim R : Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, FK Unika Atma Jaya, jakarta,
2013
18