pendahuluan i.1. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Peran partai dalam Negara demokratis tidak terbantahkan. Partai politik tidak
selalu berbicara tentang perannya dalam pemerintahan atau peran dalam menentukan
serta mempengaruhi kebijakan pemerintah. Indonesia merupakan Negara demokratis,
oleh sebabnya pasca runtuhnya Orde Baru pertumbuhan dan perkembangan partai
politik lebih terbuka dengan hadirnya lebih dari 100 partai politik, meskipun dari
jumlah itu memang tidak semua partai politik dapat mengikuti pemilu tahun 1999,
hanya sekitar 48 partai politik berhasil lolos verifikasi untuk menjadi peserta pemilu
tahun 1999.
Diantara partai politik yang lolos verifikasi adalah Partai Golkar. Partai Golkar
pada umumnya adalah keberlanjutan dari Golkar yang telah lahir dan dibesarkan sejak
tahun 1964 (Suryadinata, 1992:15). Era Orde Baru merupakan Era kegemilangan Partai
Golkar dengan menjadi penguasa tunggal sejak tahun 1971 hingga pelaksanaan pemilu
tahun 1997. Kegemilangan Partai Golkar Era Orde baru hasil manipulatif Orde Baru,
menjadikan Partai Golkar sebagai “partai pemerintah” yang bertugas memenangkan
pemilu (Haris, 2014: 3). Lengsernya kekuasaan Orde Baru dibawah kendali Soeharto
tahun 1998 turut meruntuhkan elemen-elemen otoritarianisme yang telah dibangun
selama 32 tahun.
2
Kegemilangan Partai Golkar pada masa Orde Baru karena dikelola secara
sentralistik dibawah kendali Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina partai. Dengan
kedudukannya sebagai presiden, Soeharto memanfaatkan birokrasi sebagai instrumen
mobilisasi utama dalam memenangkan Partai Golkar selama Orde Baru (Liddle: 1992).
Hasilnya, kemenangan diperoleh Partai Golkar diseluruh daerah di Indonesia di Era
Orde Baru. Sebagai Ketua Dewan Pembina, sentralisasi kekuasaan Soeharto juga
terlihat dari penentuan kepala daerah dan seleksi daftar calon anggota legislatif. Hal ini
menegaskan bahwa kepemimpinan Golkar Era Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari
penunjukan dan restu dari presiden Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina (Tandjung:
2008).
Proses penyusunan dan penentuan daftar anggota legislatif menjelang pemilu
tahun 1992 tidak lepas dari pengaruh sentralisasi kekuasaan Ketua Dewan Pembina.
Sebelumnya, penentuan calon legislatif diajukan oleh para pimpinan tiga jalur Golkar
yakni Panglima ABRI, Mendagri dan Ketua Umum Golkar, diubah oleh Presiden yang
notabene adalah Ketua Dewan Pembina. Calon legislatif yang terlampau vokal atau
latar belakangnya “tidak sesuai” dicoret oleh Ketua Dewan Pembina (Suryadinata:
1995:153).
Memasuki Era Reformasi tahun 1998, Partai Golkar mendapat resistensi keras
dari berbagai pihak karena dianggap “partai pemerintah” dan sebagai “biang kerok”
terjadinya multi-krisis di Indonesia. Saat itu, Partai Golkar mengalami keterpurukan
akibat kehilangan patron politik serta dihadapkan pada sistem multi partai dan
3
perubahan sistem politik yang lebih demokratis. Perubahan sistem politik di Era
Reformasi memaksa Partai Golkar untuk secepatnya beradaptasi dengan kondisi politik
saat itu. Perubahan sistem politik tersebut dengan jelas menghilangkan sentralisasi di
internal partai dan Partai Golkar tidak lagi diberi privilege oleh pemerintah sehingga
keberadaan Partai Golkar sejajar dengan partai-partai politik lainnya.
Bukti bahwa telah terjadi perubahan mendasar di internal Golkar adalah tidak
lagi mendapat intervensi dari Dewan Pembina, rekrutmen Partai Golkar lebih terbuka
baik pada rekrutmen kepemimpinan internal dan rekrutmen untuk jabatan-jabatan
publik, baik eksekutif maupun legislatif. Langkah Partai Golkar senantiasa
mengembangkan kepeloporan untuk tegaknya kehidupan politik yang demokratis dan
terbuka (transparan).
Konsolidasi organisasi baik secara vertikal maupun horisontal dilakukan Partai
Golkar dengan mengandalkan sumber daya yang dimilikinya untuk menjadikan Partai
Golkar sebagai partai yang solid. Sejarah berkuasa selama 32 tahun membuat Partai
Golkar mengakar, Partai Golkar selalu mengupayakan anggota dan kadernya tumbuh
serta berkembang dari bawah berdasarkan prestasi (merit system) atau lebih
lengkapnya berdasarkan PD2LT (prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas dan tidak
tercela). Dengan demikian, hal ini sekaligus mambantah tudingan bahwa Golkar hanya
sebagai mesin pengumpul suara dari pemerintah (the ruler’s party). Golkar pasca
reformasi adalah Golkar Baru.
4
Meskipun telah melakukan perubahan mendasar di internal, Partai Golkar di
Era Reformasi tidak mampu mempertahankan kegemilangan yang pernah diraih pada
Era Orde Baru. Kemenangan Partai Golkar saat ini tidak diperoleh secara merata.
Hanya terdapat beberapa daerah yang sampai saat ini mampu mempertahankan
dominasi Partai Golkar atas partai politik lainnya, termasuk Gorontalo. Sejak reformasi
bergulir, Partai Golkar di Gorontalo mendominasi perolehan suara pada pemilu
legislatif tahun 1999, 2004, 2009 dan 2014.
Hasil pemilu tahun 1999 secara nasional, Partai Golkar berhasil survive dengan
perolehan suara sebesar 22%. Keberhasilan Partai Golkar diawal bergulirnya reformasi
adalah warisan kelembagaan masih kuat yang telah dibentuk pada masa kepemimpinan
Soeharto dan kemampuan Partai Golkar dalam merumuskan paradigma baru yang
mengandung nilai-nilai demokrasi sebagai pedoman sekaligus citra baru Partai Golkar.
Pengaruh kelembagaan dan keberhasilan Partai Golkar menyesuaikan diri
dengan tuntutan reformasi terus berlanjut pada pemilu tahun 2004, perolehan suara
Partai Golkar mencapai 24% dan menempatkannya sebagai partai pemenang pemilu.
Proyeksi Partai Golkar dengan Paradigma Baru telah membantu untuk
mempertahankan suara partai.1 Secara umum dukungan Partai Golkar telah disiapkan
untuk bersaing dengan partai-partai lain dalam suasana politik yang sangat liberal di
Indonesia (Fionna: 2009).
1 Lihat Moreau dalam Fionna (2009), Golkar: The Embodiment of New Order that Still Appeals,Indonesian Journal of Social Sciences, Volume I. No. 3, Hal. 12.
5
Upaya adaptasi terhadap sistem politik tidak terjadi seketika, tapi melalui
proses panjang dan didukung adanya benih-benih demokrasi dalam diri Partai Golkar.
Sebab, konstruksi sistem politik otoriter dan hegemonik pada Era Orde Baru tidak
memungkinkan kekuatan-kekuatan demokratis ini muncul. Namun dengan adanya
perubahan politik yang demokratis, maka benih-benih demokrasi yang ada di internal
Golkar tersebut muncul dan berkembang menjadi kekuatan demokrasi yang berhasil
membawa Partai Golkar berperan dalam perpolitikan nasional. Keuntungan
kelembagaan yang dimiliki Partai Golkar merupakan konsekuensi langsung dari
sejarah panjangnya sebagai partai hegemonik selama Orde Baru. Secara signifikan,
tingkatan institusionalisasi partai telah memberikan keuntungan langsung dalam
pemilu ke Partai Golkar, Partai Golkar mampu memanfaatkan kekuatan itu untuk
mengamankan jumlah suara dalam pemilu pada tahun 2004, yang paling
mengagumkan adalah proses inkremental pelembagaan, hal ini dipicu oleh kombinasi
faktor internal dan ekstenal yang dapat menimbulkan tantangan serius bagi partai di
masa depan serta kelemahan yang dimiliki Partai Golkar tidak mampu dimanfaatkan
oleh partai lain, pada saat Partai Golkar mendapat sentimen pasca-Orba partai-partai
baru tidak dapat memanfaatkannya dengan pengecualian Partai Keadilan Sejahtera
(Tomsa: 2008).
Pemilu tahun 2009 perolehan suara Partai Golkar berada dibawah Partai
Demokrat dan pada pemilu tahun 2014, perolehan suara Partai Golkar berada dibawah
PDIP. Perolehan suara Partai Golkar mengalami penurunan sebesar 9% di pemilu tahun
6
2009, sedangkan pemilu di tahun 2014 penurunan suara Partai Golkar sebesar 6%.
Fluktuasi perolehan suara Partai Golkar secara nasional dapat dilihat pada grafik
dibawah ini:
Grafik 1.1.Perolehan Suara Nasional Partai Golkar
Sumber: Diolah dari data KPU
Fluktuasi perolehan suara yang dialami Partai Golkar juga diakibatkan oleh
hengkangnya beberapa kader Partai Golkar dan kemudian mendirikan partai politik
baru. Mereka diantaranya adalah Wiranto pada tahun 2006 mendirikan Partai Hanura,
Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra pada tahun 2008 serta Surya Paloh pada
tahun 2011 mendirikan Partai Nasdem. Fenomena membelotnya kader-kader Partai
Golkar tersebut merupakan gejala mulai melemahnya manajemen pengelolaan
organisasi Partai Golkar yang tidak mampu mengelola perbedaan di internal partai.
Berbeda dengan perolehan suara Partai Golkar ditingkat nasional, perolehan
suara Partai Golkar di Provinsi Gorontalo justru menunjukkan hal sebaliknya. Sejak
reformasi bergulir perolehan suara Partai Golkar sangat dominan. Hal ini dapat dilihat
22% 24%
15%18%
0%5%10%15%20%25%30%
1999 2004 2009 2014
Perolehan Suara Partai Golkar
7
dari pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati/walikota dan pemilu legislatif (DPR RI).
Tercatat periode 1999-2014 belum ada partai politik lain yang bisa mengungguli
perolehan suara Partai Golkar khususnya di Gorontalo. Stabilitas perolehan suara Partai
Golkar sebagai partai pemenang dapat dilihat dari grafik dibawah ini:
Grafik 1.2Perolehan Suara Partai Golkar Di Provinsi Gorontalo
Sumber: Diolah dari data KPU
Problematika yang dihadapi Partai Golkar ditingkat pusat tidak membuat Partai
Golkar Gorontalo kehilangan kepercayaan, terbukti pada pemilu legislatif (DPR RI)
tahun 1999 perolehan suara Partai Golkar mencapai 63% menjadikannya salah satu
penyumbang suara terbesar. Dengan kata lain, Golkar dapat merumuskan kembali
strategi elektoralnya dalam pemilu 1999, berkat warisan masa lalu, Golkar memiliki
kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan lingkungan politik yang baru
(Ambardi, 2009:13).
Pemilu legislatif (DPR RI) tahun 2004 Partai Golkar kembali mendominasi
perolehan suara di Gorontalo dengan perolehan suara sebesar 53%. Kemudian di
63%
53%
30%
49%
0%5%10%15%20%25%30%35%40%45%50%55%60%65%70%
1999 2004 2009 2014
Pers
enta
se
Tahun
GolkarPDIPPPPPANDemokratPKS
8
pemilu tahun 2009 perolehan suara Partai Golkar mengalami penurunan sebesar 23%
menjadi 30%, ini terjadi akibat menguatnya Partai Demokrat dengan popularitas SBY
ditingkat pusat yang begitu kuat turut mempengaruhi perolehan suara Partai Golkar di
Gorontalo. Meskipun perolehan suara Partai Golkar mengalami penurunan secara
signifikan, Partai Golkar masih mendominasi perolehan suara di Provinsi Gorontalo.
Partai Golkar berhasil merebut satu kursi DPR RI dari total 3 kursi yang diperebutkan.
Pada pemilu legislatif tahun 2014, Partai Golkar kembali mendominasi perolehan suara
di Gorontalo untuk pemilu legislatif DPR RI. Perolehan suara Partai Golkar naik 19%
menjadi 49% dan berhasil merebut dua kursi DPR RI dari tiga kursi yang diperebutkan.
Keberhasilan Partai Golkar tidak hanya pada pemilihan DPR RI. Pemilihan
Gubernur Gorontalo tahun 2001, 2006, dan 2011 Partai Golkar berhasil menempatkan
kader partai sebagai Gubernur Gorontalo. Pemilihan Bupati dan Walikota, Partai
Golkar secara umum mampu menempatkan kader partai sebagai pemenang, yakni pada
Pemilihan Bupati Gorontalo Utara tahun 2008 dan 2013, Pemilihan Walikota tahun
2008 dan 2013, Pemilihan Bupati Bone Bolango tahun 2005, Pemilihan Bupati
Pohuwato tahun 2005, 2010, dan 2015, Pemilihan Bupati Boalemo tahun 2011, dan
pada Pemilihan Bupati Kabupaten Gorontalo tahun 2010 Partai Golkar sebagai
pengusung, berhasil memenangkan pasangan David Bobihoe-Tonny Yunus, meski
bukan kader partai.
Dominasi Partai Golkar ini menimbulkan pertanyaan apakah disebabkan oleh
kuatnya institusi Partai Golkar sehingga menjadi faktor utama dalam dominasi tersebut.
9
Berdasarkan pertanyaan tersebut diatas dirasa perlu untuk memikirkan kembali bahwa
pada sisi yang lain juga memberi peluang kuatnya pemanfaatan faktor personalisasi di
internal Partai Golkar. Jangan sampai kita terhenti pada suatu kesimpulan bahwa dalam
konteks tertentu asumsi tersebut sama sekali tidak mempengaruhi perkembangan partai
politik di Indonesia.
Personalisasi sudah menjadi gejala umum dihampir semua partai politik di
Indonesia, gejala yang sama juga terjadi di Partai Golkar Gorontalo. Keberadaan Fadel
Muhammad di internal Partai Golkar sejak terpilih menjadi Gubernur Gorontalo
menjadikannya sebagai figur atau individu yang sangat personalistik. Menguatnya
personalisasi di internal partai politik setidaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya sistem pemilu, sistem politik, dan perilaku memilih (Manin: 1997, Oberg:
2007, Campbell: 1960, Miller & Shanks: 1991, 1996; Evans: 2004, Karvonen: 2010,
Hermansson: 2010).2 Ketiga faktor tersebut diatas juga dipengaruhi oleh perubahan
struktur sosial yang berdampak pada memudarnya ideologi partai, identifikasi dan
loyalitas rendah serta perubahan perilaku dari figur politik yang menyesuaikan diri
terhadap kondisi politik tersebut. Faktor-faktor tersebut diatas menjadi pendorong kuat
bagi partai politik dalam melakukan kandidasi di internal partai politik. Pragmatisme
partai politik dalam melakukan kandidasi semata-mata bertujuan untuk memenangkan
kompetisi elektoral.
2 Lihat Hermansson (2010): The Personalization of Party Politics: The Voters’ Perspective.
10
Sistem pemilu yang lebih terbuka memposisikan individu (calon) sebagai
penentu baik dalam kompetisi di internal partai politik maupun dalam kompetisi
elektoral lebih luas (pemilu). Fenomena tersebut berdampak pada menguatnya figur-
figur yang semakin dominan terhadap partai secara institusi. Dampak dari perubahan
sistem pemilu ini mendorong figur untuk menonjolkan reputasi-reputasi yang bersifat
personal ketimbang menonjolkan identitas kepartaian (Karnoven: 2010). Secara
perlahan dampak ini membuat individu lebih mendominasi terhadap institusi partai
politik.
Fenomena menguatnya personalisasi ini terlihat jelas dibeberapa partai politik
di Indonesia, baik dalam skala nasional maupun lokal. Dalam skala nasional, pemilihan
presiden menggambarkan kuatnya faktor personalistik, begitu juga ditingkat lokal
dimana figur-figur populer memiliki peluang untuk memenangkan kompetisi elektoral.
Hal ini senada dengan hasil riset Power, Welfare and Democracy (PWD) dimana
terdapat kecenderungan menguatnya figur yang menempatkan tokoh atau figur sebagai
faktor penentu dalam kompetisi elektoral. Gejala yang sama juga terjadi di Gorontalo,
kekuatan personal Fadel Muhammad berhasil menempatkannya sebagai figur atau
individu yang berpengaruh baik di internal partai maupun diluar partai.
Personalisasi Fadel Muhammad di Gorontalo berdasarkan pada apa yang telah
dilalui atau dimiliki Fadel Muhammad. Pertama, Fadel Muhammad merupakan tokoh
senior Partai Golkar. Kedua, Fadel Muhammad adalah mantan Gubernur Gorontalo
selama dua periode. Ketiga, Fadel Muhammad adalah mantan Menteri Perikanan dan
11
Kelautan. Reputasi Fadel Muhammad sebagai tokoh senior Partai Golkar, mantan
Gubernur Gorontalo dan mantan Menteri menjadikannya sebagai figur yang lebih
dikenal ketimbang Partai Golkar yang selama ini dijadikannya sebagai kendaraan
politik.
Menguatnya personalisasi dalam penelitian diatas adalah sebagai akibat dari
perubahan sosial politik yang dinamis, namun secara khusus belum membahas lebih
mendalam bagaimana proses individu/tokoh tersebut “terpersonalisasi”. Sehingga
menarik untuk melihat indikator apa saja yang dimiliki oleh individu tersebut dalam
menjadikan dirinya sebagai individu/aktor yang memiliki pengaruh kuat dimata
pemilih. Penelitian ini secara lebih khusus melihat indikator-indikator tersebut sebagai
salah satu faktor menguatnya personalisasi di internal Partai Golkar dan hubungannya
dengan pelembagaan Partai Golkar di Gorontalo.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Mengapa personalisasi muncul di Partai Golkar Gorontalo dan bagaimana
proses terbentuknya personalisasi Fadel Muhammad di Partai Golkar ?
2. Bagaimana bentuk-bentuk personalisasi Fadel Muhammad dan
pengaruhnya terhadap kinerja elektoral Partai Golkar di Gorontalo?
12
I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk personalisasi,
proses terbentuknya personalisasi Fadel Muhammad dan pengaruhnya terhadap Partai
Golkar di Gorontalo. Selain itu, studi ini diharapkan dapat memberi jawaban sementara
seputar faktor penentu keberhasilan Partai Golkar dalam menjaga stabilitas politiknya
di Gorontalo. Sedangkan manfaat dari penelitian ini dapat menambah inventaris kajian
ilmu-ilmu sosial-politik, terutama kajian ilmiah mengenai stabilitas partai politik dalam
pemilu dan sebagai hasil penelitian ini dapat menjadi informasi seputar partai politik
di aras lokal untuk kelanjutan-kelanjutan penelitian serupa.
1.4. Literature Review
Dalam beberapa literature review mengenai Partai Golkar ditemukan bahwa
keberhasilan Partai Golkar untuk tetap survive dan mampu menjaga stabilitas politik
sebenarnya sudah dijelaskan melalui Thesis Akbar Tandjung (2007), ditengah
keterpurukan Partai Golkar pasca lengsernya Soeharto sebagai patron politik Golkar,
menyebabkan organisasi politik terbesar ini seakan kehilangan pegangan dan haluan
politiknya. Sejumlah pengamat, politisi, ilmuwan, membuat prediksi bahwa Golkar
tidak akan mampu bertahan hidup dan akan segera menyusul runtuhnya kekuasaan
Soeharto dengan rezim Orde Baru-nya. Akan tetapi, sejalan dengan terjadinya
perubahan politik menuju demokrasi, Partai Golkar merumuskan paradigma baru yang
13
mengandung nilai-nilai demokrasi sebagai pedoman dan sekaligus citra baru Partai
Golkar.
Paradigma Baru Partai Golkar menyebutkan bahwa Partai Golkar adalah partai
yang demokratis, mandiri, berakar dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan
rakyat. Internalisasi nilai-nilai baru inilah yang oleh Randall dan Svasand disebut
sebagai value infusion. Survive-nya Partai Golkar tersebut karena secara kelembagaan,
Partai Golkar berhasil melakukan adaptasi terhadap situasi dan kondisi politik yang
lebih demokratis, hal itu ditandai antara lain dengan kebijakan-kebijakan yang
dilakukan oleh dalam mendukung reformasi. Partai Golkar ikut berperan dalam
menetapkan berbagai putusan-putusan politik yang strategis khususnya dalam lembaga
perwakilan yang menjadi dasar bagi proses transisi menuju demokrasi, seperti
Amandemen UUD 1945 di MPR dan pembahasan UU Politik di DPR, dimana Partai
Golkar senantiasa menyampaikan pikiran-pikiran yang bersifat reformis.
Sementara itu secara internal Partai Golkar melakukan demokratisasi yang
dimulai dengan pemilihan ketua umunmya secara demokratis pada Munaslub 1998,
kemudian penyelenggaraan Konvensi Penetapan Calon Presiden Partai Golkar 2004,
dan dilanjutkan pada pemilihan ketua umun pada Munas VII 2004 di Bali.
Demokratisasi internal tersebut membuka peluang bagi segenap jajaran kepemimpinan
Partai Golkar tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk mengambil bagian
dalam proses pengambilan keputusan penting partai, berbagai kebijakan inovasi politik
tersebut, menunjukkan kesungguhan Partai Golkar melakukan reformasi. Bahkan
14
dalam konvensi penetapan calon presiden, inovasi yang hanya dilakukan oleh Partai
Golkar mendapat apresiasi yang luas dari masyarakat, sehingga mampu meningkatkan
citra partai ini.
Upaya adaptasi terhadap lingkungan politik demokratis yang dilakukan Partai
Golkar ini merupakan proses yang panjang. Proses ini tidak mungkin terjadi secara
seketika, apabila di dalam diri Golkar tidak ada benih benih demokrasi. Dengan sistem
politik otoriter dan hegemonik yang dirancang pemerintah Orde Baru tidak
memungkinkan kekuatan-kekuatan demokratis ini muncul. Namun dengan adanya
perubahan politik yang demokratis, maka benih-benih demokrasi yang ada di internal
Golkar tersebut muncul dan berkembang menjadi kekuatan demokrasi yang berhasil
membawa Partai Golkar berperan dalam kepolitikan nasional pada era transisi.
Dirk Tomsa (2008) mengemukakan tiga argument utama. Pertama, Partai
Golkar merupakan partai yang memiliki pelembagaan yang sangat baik di Indonesia,
keuntungan kelembagaan yang dimiliki Partai Golkar merupakan konsekuensi
langsung dari sejarah panjangnya sebagai partai hegemonik selama Orde Baru. Secara
signifikan, tingkatan institusionalisasi partai telah memberikan keuntungan langsung
dalam pemilu ke Partai Golkar, partai telah memanfaatkan kekuatan itu untuk
mengamankan jumlah suara dalam pemilu pada tahun 2004. Kedua, yang paling
mengagumkan adalah proses inkremental pelembagaan, hal ini dipicu oleh kombinasi
faktor internal dan ekstenal yang dapat menimbulkan tantangan serius bagi partai di
masa depan. Ketiga, kelemahan yang dimiliki Partai Golkar tidak mampu
15
dimanfaatkan oleh partai lain, pada saat Partai Golkar mendapat sentiment pasca-Orba
partai-partai baru tidak dapat memanfaatkannya dengan pengecualian Partai Keadilan
Sejahtera.
Semua partai telah gagal untuk mengembangkan infrastruktur partai yang
efektif dan/atau menghadirkan platform kebijakan yang menarik. Sebaliknya, mereka
telah mencoba untuk membangun daya tarik pada kharismatik pemimpin individu,
penggunaan gaya lama seperti politik uang atau eksploitasi sentiment sektarian secara
sempit. Akibatnya, Partai Golkar mampu menegakkan dan bahkan memperkuat
cengkeramannya pada sistem kepartaian.
Umar Ibnu Alkhatab (2009), dalam studi tentang Partai Golkar, secara umum
menyatakan bahwa mekanisme pertahanan diri Partai Golkar dilihat dari perspektif
teori Parson. Teori Parson yang menjadi alat analisanya adalah teori tindakan
voluntaristik dan skema A-G-I-L. Teori ini digunakan untuk memahami bagaimana
sistem tindakan Partai Golkar dalam suasana politik baru yang menuntut suatu
pembaruan dan pembauran politik yang cerdas sehingga dapat bertahan. Dengan kata
lain, setiap tantangan membutuhkan jawaban. Apabila jawaban yang diberikan salah,
maka akan terjadi kekacauan.
Salah seorang ilmuwan transisi ke demokrasi, Giuseppe Di Palma, secara
eksplisit mengatakan bahwa demokrasi adalah a matter of political crafting, persoalan
menciptakan kiat-kiat politik (dalam Effendi, 2001: 229). Dari thesis Di Palma ini
16
dapat disimpulkan bahwa keberhasilan sebuah institusi (politik) untuk tetap survive
dalam suasana politik yang demokratis, sangat ditentukan oleh kiat-kiat tertentu yang
diciptakan oleh institusi (politik) itu. Pendeknya, survive-nya sebuah institusi (politik)
merupakan sesuatu yang dapat diciptakan. Thesis ini dapat dijadikan acuan untuk
melihat bagaimana Partai Golkar mempertahankan eksistensinya dari ancaman
genocide politik yang ditentukan oleh masyarakat, terutama oleh musuh politiknya
yang menaruh dendam terhadapnya.
Ulla Fionna (2009), mengemukakan bahwa secara umum dapat dikatakan
bahwa dukungan untuk Partai Golkar telah disiapkan untuk bersaing dengan partai-
partai lain yang muncul pasca-reformasi (pasca-Soeharto) dan dalam suasana politik
yang sangat liberal di Indonesia. Pengawasan publik dalam menerima kebebasan lebih
besar, dengan demikian partai harus lebih berhati-hati dalam menyenangkan rakyat.
Pada saat yang sama, kiprah dari yayasan Soeharto yang merupakan sumber pendanaan
diserahkan kepada pemerintah (Zenzie, 1999: 177-180). Dalam lingkungan seperti itu,
Partai Golkar masih menempati dua posisi teratas dalam pemilu, berkat pengaruh
organisasi yang tepat ke tingkat desa. Keberadaan cabang partai di tingkat kabupaten
telah dipertahankan dan sampai pada tingkat kesadaran di kalangan pemilih. Proyeksi
Partai Golkar dengan Paradigma Baru boleh dibilang telah membantu untuk
mempertahankan suara untuk partai.3
3 Ibid
17
Partai Golkar dengan bijaksana dalam mempromosikan kandidat yang relatif
jauh dari bayang-bayang Soeharto dan memiliki citra yang bersih, seperti Marzuki
Darusman4 dan Sultan Hamengkubuwono X.5 Jika melihat dua pemilu yang
dilaksanakan pasca-reformasi yakni pada rahun 1999 dan 2004, jumlah perolehan suara
Partai Golkar cukup tinggi. Pada tahun 1999, rakyat masih memberikan suara untuk
Partai Golkar karena pada umumnya orang sudah tidak melihat efek Soeharto. Pada
pemilu 2004, dapat dikatakan bahwa ada rasa ketidakpuasan terhadap kepemimpinan
pemerintahan reformasi (Shari, 2004: 58).
Lebih maju lagi, David Reeve (2013), berpendapat bahwa pada tahun 1998,
banyak orang yang berpendapat bahwa Partai Golkar akan tersapu bersama Soeharto
dan sebagian besar unsur Orde Baru Lainnya. Pada kenyataannya, Golkar mampu
untuk bertahan dan muncul sebagai salah satu kekuatan politik terbesar dalam
pemilihan-pemilihan umum di Indonesia pada tahun 1999, 2004 dan 2009. Tetapi
terdapat perubahan berbeda. Pada 1957, Partai Golkar diasumsikan akan menjadi
alternatif bagi partai-partai, tetapi seperti yang telah dianalisa oleh Dirk Tomsa secara
berhati-hati, pada kenyataannya Partai Golkar telah menjadi sebuah partai. Gagasan
partai telah menang, mengalahkan gagasan anti-partai. Alternatif bagi partai-partai
menjadi sebuah partai alternatif.
4 Darusman is a popular human rights activist.5 Sultan HB X is a charismatic Javanese leader from Yogyakarta, whoon celedarally to oppose NewOrder government. Hew as once a presidential candidate for Partai Golkar in the 2004 election, but withdrew soon after wards.
18
Jelasnya, Partai Golkar sekarang menjadi partai para pengusaha kaya yang
terbukti dari peran Aburizal Bakrie sebagai ketua umum dan kemungkinan menjadi
kandidat presiden. Dengan telah perginya sebagian besar tokoh-tokoh militer,
sekelompok pengusaha mengambil alih kepemimpinan. Mereka sudah berada dalam
organisasi yang dibawa masuk selama kepemimpinan Sudharmono.
Dari beberapa literature review tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
stabilitas dukungan yang diperoleh Partai Golkar adalah sebagai wujud dari
keberhasilan partai dalam membangun kelembagaan yang kuat. Keberhasilan ini
menjadikan Partai Golkar mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan situasi dan
kondisi politik melalui internalisasi nilai-nilai baru, selanjutnya Partai Golkar
diuntungkan dengan akar sejarah yang kuat sehingga Partai Golkar dapat
memanfaatkan infrastruktur politik yang telah ada, selain itu Partai Golkar berhasil
membangun citra baik dengan cara mempromosikan kandidat yang jauh dari bayang-
bayang Soeharto.
Dari literature review di atas maka kajian ini melihat Personalisasi di internal
Partai Gokar. Secara khusus kajian ini melihat personalisasi Fadel Muhammad di Partai
Golkar dalam konteks lokal di Gorontalo. Kajian ini menjadi sangat menarik
dikarenakan Partai Golkar secara nasional mengedepankan pendekatan institusional
dalam membangun organisasi, akan tetapi dalam konteks lokal Partai Golkar di
Gorontalo menggunakan pendekatan personalisasi dalam mempertahankan
dominasinya. Personalisasi merupakan perspektif baru, kajian ini juga lebih fokus ke
19
daerah yang menjadi cagar politik Partai Golkar di Indonesia. Hal inilah yang
membedakan perspektif personalisasi dengan beberapa kajian sebelumnya yang lebih
melihat Partai Golkar di tingkat nasional dengan menggunakan perspektif
pelembagaan.
I.5. Kerangka Teoritik
Beberapa kajian Partai Golkar pada umumnya menggunakan pendekatan
pelembagaan partai dalam melihat kebertahanan Partai Golkar. Akbar Tandjung
(2007), Ullah Fionna (2009), Dirk Tomsa (2008), dalam analisanya menyatakan bahwa
kebertahanan Partai Golkar dikarenakan Partai Golkar mampu mendayagunakan
kelembagaan yang telah mengakar secara kuat, dan pada saat yang sama Partai Golkar
melakukan berbagai kebijakan penyesuaian (adaptasi) terhadap lingkungan sistem
politik baru yang lebih demokratis. Analisis tersebut merujuk pada teori pelembagaan
Samuel P. Huntington yang menyatakan agar partai politik survive, partai tersebut
harus memiliki kelembagaan yang kuat. Huntington mendefinisikan pelembagaan
politik sebagai proses di mana organisasi dan prosedur memperoleh nilai baku dan
stabil. Huntington mengukur tingkat pelembagaan politik ini dari tingkat adaptabilitas,
kompleksitas, otonomi, dan koherensi. Menurutnya, semakin mudah organisasi
menyesuaikan diri (beradaptasi), semakin tinggi pula derajat pelembagaannya. Begitu
pula semakin banyak tantangan yang timbul dan semakin tua umur organisasi, semakin
besar pula kemampuannya menyesuaikan diri terhadap lingkungannya (beradaptasi).
20
Akan tetapi dalam perjalanannya, terdapat perspektif lain untuk membaca atau
mengurai fenomena yang terjadi di Partai Golkar khususnya dalam konteks penelitian
ini di Gorontalo. Indikasi teori pelembagaan yang menyebabkan partai politik bisa
survive dan stabil belum cukup untuk membaca fenomena yang terjadi di internal Partai
Golkar Gorontalo dengan munculnya kekuatan personalisasi dalam menopang
perolehan suara Partai Golkar. Personalisasi politik (personalization of politics) yang
dimaksud dalam penelitian ini merujuk pada individu atau person di internal Partai
Golkar yang mampu mengakomodasi modal sosial dan jaringannya sebagai kekuatan
politik.
Perubahan politik yang menempatkan figur sebagai aktor penting dalam
kompetisi elektoral, dalam penelitian ini dipandang sebagai menguatnya gejala
personalisasi. Personalisasi politik (personalization of politics) yang dimaksud dalam
penelitian ini merujuk pada individu atau person (Hermansson: 2010) yang dapat
merubah ekspresi politik masyarakat dari “apa” dan “bagaimana” menjadi “siapa”.
Dari perubahan ekspresi politik masyarakat itu menempatkan figur menjadi lebih
penting daripada ide maupun gagasan, individu berada diatas partai politik (Garzia:
2011). Argumentasi ini menjadi penting untuk melihat lebih jauh bahwa personalisasi
individu/tokoh terbentuk dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap pengelolaan
institusi Partai Golkar.
Kajian-kajian terdahulu mengenai personalisasi politik Allister (2005), Garzia
(2010), Hermansson (2011) memakai sudut pandang pemilih (voters). Perspektif ini
21
menjelaskan bagaimana gejala menguatnya personalisasi dengan melihat pada
kecenderungan memilih dalam menentukan pilihan politik mereka yang berbasis pada
penilaian terhadap figur tertentu, sehingga perolahan suara dan kemenangan dalam
kompetisi elektoral menjadi tolak ukur kuat atau lemahnya personalisasi.
Personalisasi ini muncul sebagai dampak atau konsekuensi logis dari lemahnya
kepercayaan masyarakat terhadap kelompok tertentu terutama partai politik
(unaffiliated), dalam konteks masyarakat Eropa (Hemansson: 2011). Teori
personalisasi yang dipakai oleh Allister, Hermansson, Garzia digunakan untuk
menjelaskan personalisasi yang ada di Gorontalo dari sudut pandang pemilih (voters).
Perilaku memilih yang bergantung pada personalisasi turut dipengaruhi oleh sistem
pemilu dan sistem politik.
Akan tetapi, teori ini belum sepenuhnya dapat menjelaskan bagaimana
personalisasi terbentuk pada figur tertentu, dalam konteks penilitian ini figur dimaksud
adalah Fadel Muhammad. Salah satu faktor penyebabnya adalah perbedaan kultur dan
struktur sosial masyarakat di Eropa dan Indonesia, secara khusus di Gorontalo.
Sehingga, untuk lebih dapat menjelaskan fenomena personalisasi di Gorontalo perlu
adanya penambahan konsep personalisasi yang memakai sudut pandang figur tersebut.
Hal ini dimaksudkan dengan tujuan dapat mengeksplor secara mendalam bagaimana
seorang figur membangun personalisasi melalui modalitas yang dimiliki dan
memanfaatkan faktor-faktor budaya dan sosial yang ada di Gorontalo.
22
Personalisasi politik (personalization of politics) merujuk pada keberadaan
individu yang mempunyai modal sosial dan ekonomi sehingga mampu mendapatkan
dukungan dalam pemilihan umum maupun dukungan politik lainnya, pengaruh
personalisasi tidak terbatas hanya pada individu yang bersangkutan, namun secara luas
personalisasi individu tersebut juga memberikan pengaruh dalam aktivitas politiknya.
Aktivitas politik tersebut tidak terbatas pada kompetisi elektoral semata, namun
berpengaruh dalam dinamika internal partai politik termasuk dalam nominasi dan
promosi kandidat tertentu untuk diajukan sebagai kandidat pejabat publik.
Secara sederhana, modal sosial adalah “investasi” dalam hubungan yang dapat
mendatangkan keuntungan-keuntungan yang seringkali belum terbayangkan pada saat
interaksi dan hubungan sosial itu terjadi. Modal sosial yang dimiliki oleh individu
tersebut terakumulasi dan tercipta melalui proses yang panjang sehingga menjadikan
individu itu menjadi sosok kharismatik. Secara sederhana, modal sosial dibangun dan
dimanfaatkan untuk mencapai tujuan politik tertentu oleh individu. Melalui modal
sosial yang telah terbangun dan dimanfaatkan, menghasilkan jaringan kerjasama,
pertukaran sosial, saling percaya dan terbentuknya nilai, norma dalam hubungan
tersebut.
Jaringan dan rasa saling percaya merupakan karakter yang melekat dalam
personalisasi individu sehingga dalam prosesnya terjadi kolaborasi sosial untuk
kepentingan bersama. Ini juga bermakna modal sosial memerlukan ikatan atau jaringan
sosial yang ada dalam masyarakat.
23
Selain modal sosial, modal ekonomi juga memiliki peranan penting yang
dimiliki oleh individu. Modal ekonomi disimbolkan dengan materi (uang), dalam
perspektif ekonomi, modal juga bisa diartikan berupa investasi yang diberikan
seseorang pada pihak lain, kemudian dipertukarkan dengan keuntungan berupa barang
atau uang/jasa politik. Salah satu fakta bahwa modal ekonomi memiliki peranan
penting yakni dengan banyaknya pengusaha terjun ke dalam arena politik. Modal
ekonomi berfungsi sebagai “penggerak” dalam membangun jaringan/relasi dan dengan
modal ekonomi yang dimiliki oleh individu dalam partai politik membuka peluang
terjadinya penetrasi individu tanpa melibatkan partai politik.
Konsep personalisasi individu dalam penelitian ini dibangun melalui proses
kolaborasi modal sosial dengan modal ekonomi. Modal sosial yang dibangun individu
pada prosesnya ditopang oleh modal ekonomi, dukungan modal ekonomi terhadap
modal sosial ini menjadikan individu sebagai aktor berpengaruh yang disegani,
dihormati dan dipercaya sehingga pada akhirnya individu ini sangat mudah
mendapatkan dukungan dari masyarakat baik untuk dirinya sendiri ataupun partai
politik dimana individu tergabung didalamnya. Dukungan tersebut merupakan bentuk
atau gambaran bahwa individu mendapatkan kepatuhan dari masyarakat.
24
I.6. Metode Penelitian
I.6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode kualitatif sebagai instrument
akademik untuk mengungkap masalah dalam penelitian. Penelitian kualitatif dalam
penelitian ini dimaksud untuk membantu memahami, memberikan penafsiran pada
fenomena yang dilihat baik dalam bentuk informasi personal narasumber maupun dari
data tertulis atau data lainnya. Menyesuaikan dengan tujuan dan maksud penelitian
maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi kasus untuk dapat menggali
dan memahami lebih dalam realitas dan fenomena politik yang dialami oleh Partai
Golkar dengan menggali informasi dari informan yang terlibat secara individu dan
emosional dalam perjalanan Partai Golkar di pentas politik lokal Gorontalo.
Beranjak dari pendekatan yang digunakan, penelitian ini pada dasarnya
bertumpu pada penelitian kualitatif, sedangkan metode studi kasus dipilih karena
metode ini merupakan pengujian secara rinci terhadap suatu latar atau suatu objek atau
suatu tempat penyimpanan dokumen atau suatu peristiwa tertentu. Dengan kata lain,
metode studi kasus merupakan metode penelitian yang memusatkan perhatian pada
satu kasus secara intensif, rinci dan mendalam. Berpijak pada batasan tersebut, maka
batasan studi kasus meliputi: Pertama, sasaran penelitian dalam hal ini Fadel
Muhammad dan Partai Golkar. Personalisasi Fadel Muhammad dilihat dalam banyak
hal kemudian mengukurnya pada pemilu elektoral pilkada dan pemilu legislatif.
25
Selanjutnya, personalisasi Fadel Muhammad dianalisa secara mendalam sesuai konteks
atau momen pemilu dengan tujuan dapat memahami kaitan personalisasi Fadel
Muhammad dan kemenangan Partai Golkar pada kompetisi elektoral di Gorontalo.
I.6.2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua metode. Pertama,
kajian literatur, penelitian ini menggunakan studi kepustakaan atau analisis dokumen,
yakni mengumpulkan data yang bersifat sekunder yang diperoleh melalui sejumlah
literatur kepustakaan, artikel, majalah, jurnal, koran, arsip, rekaman video, catatan
maupun laporan yang berkaitan dengan sejarah Partai Golkar di Gorontalo meliputi
perolehan suara Partai Golkar baik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan
legislatif. Selain itu juga dokumen-dokumen yang berkaitan langsung dengan kiprah
Fadel Muhammad dalam perpolitikan di Gorontalo.
Kedua, melakukan wawancara mendalam, wawancara secara mendalam
terhadap informan yang telah ditentukan yang dianggap memiliki pengetahuan, terlibat
langsung dengan objek yang sedang diteliti. Informan dalam penelitian ini adalah
orang-orang yang terlibat secara langsung dalam aktivitas dan pembuatan keputusan
strategis partai di tingkat lokal secara structural kepartaian baik di Dewan Pimpinan
Daerah dan struktur pimpinan partai di DPRD/fraksi Partai Golkar serta orang-orang
yang sebelumnya punya hubungan dan ikatan emosional dan keterliabatan dalam
partai. Untuk keperluan wawancara dengan informan tersebut penelitian ini dilakukan
26
di Gorontalo. Tepatnya di Kantor DPD I Partai Golkar, Jl. Samratulangi No. 10,
Gorontalo. Selain untuk melengkapi dan menguatkan data dan argument dalam
penelitian ini peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa anggota DPRD
Provinsi Gorontalo dari fraksi Partai Golkar, serta beberapa mantan kader Partai
Golkar. Penulis juga melakukan wawancara dengan para aktivis dan akademisi serta
masyarakat pemilih di Gorontalo. Adapun informan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Tabel I.2. Daftar Informan Penelitian
No Nama Waktu Wawancara Keterangan Informan
1 Fadel Muhammad 17 Oktober 2015 Anggota DPR RI, MantanGubernur Gorontalo danMantan Ketua DPD IPartai Golkar
Utama
2 Paris Jusuf 10 November 2015 Sekretaris DPD I PartaiGolkar dan Ketua DPRDProvinsi Gorontalo
Utama
3 Hamzah Sidik 20 Oktober 2015 Anggota DPRD ProvinsiGorontalo dari PartaiGolkar
Utama
4 Fikram Salilama 20 November 2015 Pengurus Partai Golkar,calon anggota DPRDProvinsi pada pemilutahun 2014
Utama
5 Dahlan Usman 12 Desember 2015 Pengurus Partai Golkar Utama
6 Rustam Akili 05 November 2015
Ketua DPD II PartaiGolkar KabupatenGorontalo
Utama
27
7 Adhan Dambea 15 November 2015 Mantan Ketua DPD IIKota Gorontalo
Utama
8 Gusti Goma 21 November 2016 Pengurus DPD II PartaiGolkar KabupatenPohuwato
Utama
9 Amin Mootalu 17 November 2016 Pengurus DPD II PartaiGolkar KabupatenGorontalo
Utama
10 Thariq Modanggu 19 November 2016 Akademisi IAIN SultanAmay Gorontalo
Utama
11 Ulul Azmi Kadji 18 November 2016 Pengurus DPD II PartaiGolkar KabupatenBoalemo
Utama
12 Amran Mustapa 17 November 2016 Politisi PDI-P Pendukung
13 Basri Amin 13 November 2015 Akademisi UniversitasNegeri Gorontalo
Pendukung
14 Iskandar Ibrahim 11 November 2015 Akademisi UniversitasIchsan Gorontalo
Pendukung
15 Syafrudin Abubakar 01 November 2015 Pengamat Politik Lokal Pendukung
16 Funco Tanipu 12 Oktober 2016 Akademisi UniversitasNegeri Gorontalo
Pendukung
17 Lukman Laliyo 5 Februari 2016 Akademisi UniversitasNegeri Gorontalo
Pendukung
18 Yerri Sinubu 15 Desember 2015 Staf Ahli FadelMuhammad
Pendukung
19 Ardi 16 November 2016 Masyarakat KotaGorontalo
Pendukung
20 Sabrin Inaku 14 November 2016 Masyarakat KotaGorontalo
Pendukung
28
21 Erros Kaluku 19 November 2016 Masyarakat KabupatenBone Bolango
Pendukung
22 Ririn Yunus 03 November 2015 Masyarakat Pemilih padapemilu legislatif tahun2014
Pendukung
23 Oneng 15 November 2015 Masyarakat Pemilih padapemilu legislatif tahun2014
Pendukung
I.6.3. Unit Analisis
Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah individu dalam hal ini
Fadel Muhammad dan Partai Golkar, sehingga diharapkan jawaban dari penelitian ini
akan menggambarkan realitas dari partai politik berkaitan dengan keberhasilan Partai
Golkar dalam menghadapi pemilu.
I.6.4. Analisis Data
Data-data mengenai Partai Golkar dan Fadel Muhammad yang telah diperoleh
di lapangan diuraikan dalam bentuk data kualitatif. Kemudian data tersebut di analisis
secara interpretatif yaitu berupa interpretasi yang bertujuan untuk mencapai pengertian
dari apa yang ditemukan di lapangan dengan menggunakan pemikiran logis dan
disajikan dalam bentuk deskriptif analisis yang merupakan ciri-ciri pendekatan
kualitatif. Dengan menggunakan kerangka teori personalisasi.
29
Analisis data dilakukan dengan pengorganisasian data yang terkumpul berupa
hasil wawancara dalam bentuk catatan, rekaman wawancara, dokumen atau arsip
resmi, gambar dan foto sebagai dokumentasi, kemudian dikategorikan kedalam
kelompok tertentu untuk lebih mudah dipahami. Proses analisis data kemudian
dilakukan dengan menggunakan reduksi data, penyajian dan kesimpulan. Reduksi data
dimaksudkan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian dan penyederhanaa data
yang diperoleh dari lapangan. Tahap selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan
dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang pada
catatan-catatan lapangan dengan tujuan data-data tersebut bisa teruji validitas data
tersebut.
I.7. Sistematika Penulisan
Thesis ini terdiri dari lima bab, uraian dalam bagian ini adalah Bab I. Kemudian
dilanjutkan ke pembahasan Bab II yang merupakan uraian yang berkaitan dengan
biografi dan rekam jejak Fadel Muhammad, bab ini menjelaskan karir Fadel
Muhammad sebagai seorang pengusaha dan politisi serta berbagai prestasi yang
berhasil diraihnya. Bab III menguraikan peran sentral Fadel Muhammad di Partai
Golkar pada pemilukada tahun 2001, 2006, 2011, melacak personalisasi Fadel
Muhammad pada pelaksanaan pilkada di Kabupaten/Kota serta menjelaskan pengaruh
personalisasi Fadel Muhammad di internal Partai Golkar. Setelah melakukan analisis
terhadap personalisasi Fadel Muhammad di pilkada dan Partai Golkar Bab IV
menjelaskan personalisasi Fadel Muhammad di Partai Golkar dan pengaruhnya pada
30
pemilu legislatif DPR RI tahun 2004, 2009, 2014, dan pemilu legislatif DPD RI tahun
2004, 2009, 2014 di Provinsi Gorontalo. Kajian ini ditutup dengan Bab V yang
merupakan kesimpulan dari penelitian yang merupakan intisari dari rangkaian analisis
yang telah diurai pada bab-bab sebelumnya.