pendahuluan "analisis dampak kenaikan harga kedelai"

17
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia yang tercantum dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPKK) yang telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2005. Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai nasional ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai Nasional Tahun 1993-2009

Upload: evy-kurniasari

Post on 23-Jun-2015

2.730 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pendahuluan "Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai"

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia

yang tercantum dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPKK)

yang telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2005. Perkembangan luas

panen, produktivitas, dan produksi kedelai nasional ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai Nasional Tahun 1993-2009

Sumber : www.bps.go.id (2010, diolah)Ket : * adalah Angka Ramalan III

Tabel 1 memperlihatkan produksi kedelai yang cenderung mengalami

penurunan dari tahun 1993 sampai 2009, dengan laju penurunan rata-rata 2,27

Tahun

Luas Panen Produktivitas Produksi

(Ha)Pertum-buhan(%)

(Ton/Ha)Pertum-

buhan (%)(Ton)

Pertum-buhan (%)

1993 1.468.316 - 1,16 - 1.707.126 -

1994 1.406.038 -4,24 1,11 -4,31 1.564.179 -8,37

1995 1.476.284 5,00 1,14 2,70 1.679.092 7,35

1996 1.277.736 -13,45 1,19 4,39 1.515.937 -9,72

1997 1.118.140 -12,49 1,21 1,68 1.356.108 -10,54

1998 1.094.262 -2,14 1,19 -1,65 1.304.950 -3,77

1999 1.151.079 5,19 1,20 0,84 1.382.848 5,97

2000 824.484 -28,37 1,23 2,5 1.017.634 -26,41

2001 678.848 -17,66 1,22 -0,81 826.932 -18,74

2002 544.522 -19,79 1,24 1,64 673.056 -18,61

2003 526.796 -3,26 1,28 3,22 671.600 -0,22

2004 565.155 7,28 1,28 - 723.483 7,73

2005 621.541 9,98 1,30 1,56 808.353 11,73

2006 580.534 -6,60 1,29 -0,77 747.611 -7,51

2007 459.116 -20,91 1,29 - 592.534 -20,74

2008 590.956 28,72 1,31 1,55 775.710 30,91

2009* 782.200 32,36 1,33 1,53 966.469 24,59

Page 2: Pendahuluan "Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai"

persen, meskipun produktivitas meningkat rata-rata 0,88 persen selama kurun

waktu tersebut. Pada tahun 1995 areal tanam kedelai paling luas mencapai

1.476.284 ha dan mencapai luas terendah pada tahun 2007 seluas 459.116 Ha,

dengan laju penurunan luas panen rata-rata 2,52 persen.

Menurut Soekartawi (2002), luas lahan akan mempengaruhi efisien atau

tidaknya usaha pertanian. Secara umum dikatakan, semakin luas lahan yang

digarap, semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan oleh lahan tersebut.

Sebaliknya, semakin kecil luas lahan yang digarap akan menghasilkan jumlah

produksi yang semakin menurun. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 1 yang

memperlihatkan produksi kedelai nasional yang cenderung menurun akibat luas

panen yang cenderung menurun pula. Tingkat produktivitas yang cenderung

stabil, produksi dan luas areal tanam akan berjalan seiring. Hal ini berarti

besarnya kenaikan produksi ditentukan pula oleh peningkatan luas areal tanam.

Dengan kata lain, tingkat produksi kedelai yang menurun disebabkan oleh makin

berkurangnya luas areal tanam.

Berdasarkan penelitian Sayaka (1992) dalam buku Ekonomi Kedelai

(1996), bagi petani kedelai merupakan tanaman sampingan dari tanaman utama

(padi dan jagung), sehingga pembudidayaan kedelai belum seoptimal tanaman

utama. Ditambah lagi luas lahan semakin menurun yang mengakibatkan

berkurangnya luas panen, sehingga petani berupaya memaksimumkan pendapatan

usahataninya melalui usaha yang beraneka ragam. Hal ini menyebabkan

menurunnya rasio penerimaan dengan pengeluaran (R/C) petani kedelai.

Di sisi lain, kebutuhan konsumsi kedelai di dalam negeri tetap harus

dipenuhi. Walaupun konsumsi kedelai di dalam negeri dari tahun 1998 sampai

2008 dapat dikatakan stabil pada angka konsumsi 2 juta ton per tahunnya, namun

produksi kedelai nasional seperti ditunjukkan pada Tabel 1 cenderung mengalami

penurunan. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara produksi kedelai

dengan kebutuhan kedelai di dalam negeri. Untuk memenuhi kesenjangan antara

produksi dan kebutuhan kedelai di dalam negeri, maka pemerintah memenuhinya

dengan melakukan impor kedelai. Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan

semakin meningkatnya angka impor kedelai. Data produksi, konsumsi dan impor

kedelai di Indonesia dari tahun 2001 hingga 2008, ditunjukkan pada Tabel 2.

2

Page 3: Pendahuluan "Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai"

Tabel 2 Produksi, Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 1999-2008

TahunProduksi

(ton)Konsumsi

(ton)Impor(ton)

Persentase impor terhadap konsumsi (%)

1998 1.305.640 1.649.000 344.050 20,86

1999 1.382.848 2.684.000 1.301.152 48,48

2000 1.017.634 2.264.000 1.276.366 56,38

2001 826.932 1.960.000 1.133.068 57,81

2002 652.755 2.017.000 1.343.944 66,63

2003 672.000 2.016.000 1.344.400 66,69

2004 723.483 2.015.000 1.291.517 64,10

2005 808.353 1.987.469 1.086.177 54,65

2006 747.611 2.022.516 1.078.420 53,32

2007 592.534 2.059.000 1.199.839 58,27

2008 775.710 2.095.000 1.371.465 65,46

Sumber : www.litbang.deptan.go.id (2010)

Ketergantungan kedelai impor yang cukup tinggi dapat terlihat pada tahun

2008 yang menunjukkan persentase impor terhadap konsumsi kedelai sebesar

65,46 persen dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya yang berkisar di angka

50 persen (Tabel 2). Hal ini membuat harga kedelai di dalam negeri dipengaruhi

dengan kondisi perdagangan negara asal pengekspor kedelai. Impor kedelai

Indonesia berasal dari negara Amerika Serikat, Argentina, Kanada, Swiss,

Malaysia, Singapura dan lain-lain. Pada Tabel 3 menunjukkan persentase proporsi

kedelai impor dari negara asal.

Tabel 3 Impor Kedelai Menurut Negara Asal Tahun 2005

No. Negara Asal Impor (%)

1. Amerika Serikat 82,7

2. Argentina 13,3

3. Kanada 2,6

4. Swiss 0,9

5. Malaysia 0,3

6. Singapura dan lainnya 0,1

7. Lainnya 0,1

3

Page 4: Pendahuluan "Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai"

Sumber : www.bps.go.id (2010, diolah)

Pada Tabel 3 terlihat bahwa sebagian besar kedelai impor berasal dari

Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan tingkat ketergantungan yang relatif tinggi

terhadap kedelai asal Amerika. Ketika harga kedelai di Amerika Serikat

mengalami peningkatan, akibat adanya kenaikan harga sejumlah barang pangan

termasuk kedelai di tingkat internasional karena dipindahkannya sebagian

penggunaan kacang-kacangan dan ketela untuk pembuatan biodiesel dan methanol

sebagai alternatif untuk mengatasi harga minyak yang semakin mahal, maka

dampaknya harga kedelai di dalam negeri turut meningkat. Data peningkatan

harga kedelai lokal dan impor ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perkembangan Harga Kedelai Lokal dan Kedelai Impor Tahun 2005 hingga 2008

TahunHarga kedelai

lokal (Rp/kg)

Perubahan

(%)

Harga Kedelai

Impor (Rp/kg)

Perubahan

(%)

2005 3.500 - 2.000 -

2006 3.500 0,00 2.600 30,00

2007 3.400 (2,86) 3.200 23,08

2008 7.500 120,58 7.500 134,375

Sumber : www.bps.go.id (2010)

Tabel 4 memperlihatkan harga kedelai impor yang melonjak tajam lebih dari

100 persen, dari tingkat harga Rp 3.200 pada tahun 2007 menjadi Rp 7.500 pada

tahun 2008. Masih besarnya tingkat ketergantungan Indonesia akan kedelai impor,

membuat harga kedelai lokal turut mengalami kenaikan lebih dari 100 persen pula

ketika harga kedelai impor meningkat (harga kedelai lokal naik dari tingkat harga

Rp 3.400 pada tahun 2007 menjadi Rp 7.500 pada tahun 2008).

Awal Januari 2007, harga eceran kedelai telah mencapai Rp 3.450 per kg.

Awal November 2007, harga kedelai mencapai Rp 5.450 per kg. Akhir Desember

2007, harga komoditi kedelai menjadi Rp 6.950 per kg. Hingga pada awal Januari

4

Page 5: Pendahuluan "Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai"

2008, harga kedelai menjadi Rp 7.250 dan bahkan pernah mencapai Rp 7.500 per

kg1.

Kenaikan harga kedelai ini disebabkan kenaikan harga sejumlah barang

pangan termasuk kedelai di tingkat internasional sebagai akibat dipindahkannya

sebagian penggunaan kacang-kacangan dan ketela untuk pembuatan biodiesel dan

methanol akibat harga minyak yang semakin mahal. Kenaikan harga kedelai dunia

naik dari US$ 350 per ton menjadi US$ 600 per ton2. Padahal pada tahun 1999,

harga kedelai dalam negeri hanya sebesar Rp 2.300 per kg, sedangkan harga

kedelai impor lebih rendah yaitu dijual sebesar Rp 1.700 per kg3.

Berdasarkan data BPS (2007) dalam Roni (2008), kedelai di dalam negeri

dikonsumsi menjadi produk bukan makanan sebanyak 0,7 persen dari total

produksi, sebanyak 2 persen digunakan sebagai bibit, kemudian sebanyak 5

persen merupakan kedelai yang tercecer, dan 92,3 persen kedelai dikonsumsi

menjadi berbagai bentuk olahan pangan. Pada dasarnya penggunaan kedelai untuk

pangan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu: (i) pangan yang diolah

melalui proses fermentasi seperti tempe, oncom, tauco dan kecap; (ii) pangan

yang diolah tanpa melalui proses fermentasi, seperti tahu, tauge, dan kedelai

rebus.

Produk kedelai yang paling dikenal oleh masyarakat adalah tempe. Tempe

merupakan makanan tradisional yang pada umumnya terbuat dari kedelai kuning

yaitu kedelai yang kulit bijinya berwarna kuning, putih atau hijau, yang bila

dipotong melintang memperlihatkan warna kuning pada irisan keping bijinya

(Santoso, 1994). Kedelai kemudian difermentasikan menggunakan kapang

Rhizopus sp. Kegiatan fermentasi melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu : bahan

baku yang diolah (kedelai), mikroorganisme (jamur tempe), dan lingkungan

tumbuh. Kapang Rhizopus sp. Pada saat fermentasi membentuk massa yang

proyek padat dan kompak.

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan

menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak lima puluh persen dari konsumsi

kedelai yang diolah menjadi bahan pangan di Indonesia dilakukan dalam bentuk

1 Impor Kedelai Bebas Bea. www.suaramerdeka.com. [15 Januari 2010]2 Pemerintah Turunkan Bea Masuk Kedelai. www.tempointeraktif.com. [15 Januari 2010]3 Produksi Kedelai 2008 Mampu Meningkat 200 Ribu Ton. www.antara.co.id. [15 Januari 2010]

5

Page 6: Pendahuluan "Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai"

tempe, empat puluh persen dalam bentuk tahu, dan sepuluh persen dalam bentuk

produk lain (seperti tauco, kecap, dan produk lainnya). Adapun rata-rata konsumsi

kedelai dan hasil olahannya (tempe, tahu, kedelai, oncom, tauco) di Indonesia

sebanyak 49,1 g/kapita/hari)4.

Kedelai yang dapat diolah menjadi berbagai macam olahan pangan seperti

telah disebutkan sebelumnya, dikelola oleh industri kedelai yang menurut skala

usaha dan legalisasinya tergolong menjadi golongan industri kecil dan industri

rumah tangga. Industri kecil pada umunya sudah tergabung menjadi anggota

Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI), sedangkan industri rumah tangga

masih ada yang berbentuk non formal walaupun sudah ada pula yang tergabung

dalam KOPTI.

Berdasarkan data dari Departemen Perdagangan dalam Ratnasari (2008),

Industri Kecil dan Menengah kedelai sebanyak 92,4 ribu unit usaha, terdiri dari

Industri Kecil dan Menengah (IKM) tempe sebanyak 56,76 ribu unit usaha, IKM

tahu sebanyak 28,6 ribu unit usaha, IKM kecap sebanyak 1,5 ribu unit usaha, IKM

tauco sebanyak 2,1 ribu unit usaha dan keripik serta unit olahan kedelai lainnya

sebanyak 3,43 ribu unit usaha.

Berdasarkan data Disperindag (2008), dalam tiga tahun terakhir terjadi

pertumbuhan jumlah usaha industri tahu dan tempe sebesar 0,5 persen per tahun

yang banyak dilakukan oleh Industri Kecil dan Menengah (IKM). Pada 2004

jumlah industri tempe mencapai sekitar 84,1 ribu unit usaha dengan produksi

sebesar 2,39 juta ton, dan naik menjadi 84,5 ribu unit usaha pada 2005 dengan

produksi sekitar 2,56 juta ton. Pertumbuhan masih terjadi pada 2006 dengan

jumlah unit usaha mencapai 84,9 ribu unit usaha dan produksi mencapai 2,67 juta

ton. Saat ini sebanyak 115.000 pedagang tempe dan tahu masih menghadapi

kendala bahan baku kedelai, lebih dari enam puluh persen masih tergantung pada

kedelai impor. Saat ini setidaknya ada 115.000 perajin tahu tempe di Indonesia

diantaranya 40.000 anggota Kopti yang terdiri dari berbagai wilayah Jakarta, Jawa

Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Lampung, Palembang,

Sumatra Utara, Kalimantan Timur, dan Bali5.

4 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat. www.ui.ac.id . [3 Desember 2009]5 Omset Rp 43 Miliar per Hari, Perajin Tahu Tempe Terkendala Bahan Baku.

www.mediaindonesia.com. [15 Januari 2010]

6

Page 7: Pendahuluan "Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai"

Berdasarkan proporsi alokasi kedelai asal impor yang disalurkan oleh Badan

Urusan Logistik (BULOG) beberapa tahun terakhir, sekitar lima puluh lima

persen kedelai tersebut disalurkan kepada pengrajin tahu dan tempe yang

tergabung dalam Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI), dan empat puluh

lima persen disalurkan kepada perusahaan-perusahaan lainnya.

Pada Lampiran 2 terlihat bahwa banyaknya anggota KOPTI yang identik

dengan unit perusahaan atau pengrajin tahu dan tempe, sebagian terbesar atau

Sembilan puluh enam persen diantaranya berada di lima provinsi di Pulau Jawa,

sisanya (empat persen) berada di luar Jawa.

Anggota KOPTI di Pulau Jawa, salah satunya terdapat di Provinsi Daerah

Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Kebutuhan kedelai untuk lima wilayah di DKI

Jakarta sebanyak 9.192.940 kg per bulan atau 70,38 kg per hari. Dengan

perincian, kebutuhan kedelai di Jakarta Pusat mencapai 1.344.150 kg per bulan

atau 48,02 kg per hari. Jakarta Selatan 1.600.000 atau 49,47 kg per hari. Jakarta

Utara 1.097.975 kg per bulan (52,51 kg per hari). Jakarta Barat 2.422.770 kg per

bulan (97,65 kg per hari), dan Jakarta Timur 2.777.645 kg per bulan (111,02 kg

per hari).

Wilayah Semanan di Jakarta Barat menjadi salah satu sentra produksi

tempe di Jakarta. Sentra yang dibangun tahun 1992 ini adalah relokasi dari para

produsen tempe-tahu di lima lokasi di Jakarta Barat, yaitu di Tambora I dan

Tambora II, Kebon Jeruk, Cengkareng, serta Grogol. Rata-rata setiap hari sentra

yang sudah dilengkapi dengan dapur pengolahan bersama ini membeli tunai

kedelai 35 ton yang menghasilkan tempe (delapan puluh persen) dan tahu (dua

puluh persen) sebanyak 70 ton. Namun secara individu, tingkat pembelian kedelai

per harinya sangat beragam, mulai dari 25 kg hingga 210 kg bahkan lebih.

Tingkat perputaran uangnya mencapai Rp 2,5 miliar setiap hari. Untuk seluruh

Jakarta mencapai sedikitnya Rp 10 miliar setiap hari6.

Harvita (2007) menjelaskan, pada umumnya industri tempe lebih

menyukai kedelai impor karena lebih mudah diperoleh di pasaran, harga relatif

stabil, ukuran kedelai lebih besar (panjang 71 mm, lebar 6.8 mm, tebal 6.0 mm),

kering (kadar air 10-12.5%), dan kadar kotoran rendah (kandungan benda-benda

6 Tempe Tahu Menghilang. www.kompas.com . [28 Januari 2010]

7

Page 8: Pendahuluan "Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai"

asing 0.8-2%). Adapun industri tahu dan tempe di daerah sentra produksi seperti

di Surabaya, lebih menyukai kedelai lokal, karena lebih murah dan rendemennya

lebih tinggi (Lampiran 1). Sebaliknya industri tahu dan tempe di Jakarta lebih

menyukai untuk menggunakan kedelai impor lebih dari lima puluh persen karena

harganya relatif lebih murah, pasokan lebih kontinyu dan lebih menguntungkan.

Kecenderungan untuk menggunakan kedelai impor inilah yang membuat

usaha produsen tempe di Semanan Jakarta Barat menjadi dipengaruhi oleh

kenaikan tingkat harga kedelai impor. Terlebih lagi Sembilan puluh persen

pengrajin tempe menggunakan modal sendiri yang berkisar Rp 1 juta hingga Rp 2

juta untuk membeli bahanbaku dan peralatan industri dan pada umumnya

pengrajin tempe tidak melakukan pinjaman dengan alasan prosedur peminjaman

yang sulit dan adanya ketakutan tidak mampu mengembalikan pinjaman dalam

jangka waktu yang ditentukan. Berdasarkan uraian di tersebut, maka perlu

dilakukan penelitian mengenai usaha produksi pada industri tempe, terkait dengan

kenaikan harga kedelai sebagai bahanbaku utama produksi tempe.

1.2 Perumusan Masalah

Kedelai menjadi bahan baku utama bagi produksi tempe dan merupakan

komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pengrajin dalam memproduksi tempe.

Jumlah penggunaan kedelai bahkan dijadikan ukuran besar skala produksi bagi

pengrajin tempe. Berdasarkan penggunaan kedelainya, pengrajin tempe dibedakan

menjadi pengrajin skala kecil, menengah, dan besar.

Adanya kecenderungan peningkatan harga kedelai, membuat biaya

produksi pengrajin tempe cenderung meningkat sehingga membuat keuntungan

pengrajin tempe menurun. Dampak peningkatan harga kedelai menyebabkan

beberapa pengrajin tempe di sentra industri tempe Wilayah Semanan, Jakarta

Barat, mulai menghentikan usahanya. Namun demikian hingga saat ini masih ada

pengrajin tempe yang mampu untuk bertahan dengan usahanya.

Berdasarkan jumlah penggunaan kedelainya, pengrajin tempe di sentra

industri tempe wilayah Semanan terbagi menjadi tiga skala produksi. Masing-

masing skala tentu memiliki perbedaan dalam berproduksi, baik itu dari biaya

8

Page 9: Pendahuluan "Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai"

produksi yang dikeluarkan maupun dari respon pengrajin terhadap kenaikan harga

kedelai.

Diduga bahwa pengrajin skala kecil akan terkena dampak paling besar

akibat adanya kenaikan harga kedelai, dibandingkan dengan pengrajin skala

menengah dan besar. Berdasarkan uraian tersebut, maka ada beberapa hal yang

dapat dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimanakah struktur biaya usaha produksi tempe?

2. Bagaimanakah dampak kenaikan harga kedelai terhadap penggunaan input

pada pengrajin tempe?

1.3 Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan,

penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:

1. Menganalisis struktur biaya pengrajin tempe.

2. Menganalisis respon pengrajin tempe terhadap kenaikan harga kedelai,

dilihat dari dampak kenaikan harga kedelai terhadap penggunaan input

produksi tempe.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini meliputi:

1. Bagi pengusaha tempe di Semanan Jakarta Barat, penelitian ini diharapkan

dapat memberikan tambahan informasi dan masukan sebagai bahan

pertimbangan dalam menentukan kebijakan terkait dengan kegiatan

operasional dan pengembangan usaha.

2. Bagi pemerintah, analisis ini dapat digunakan sebagai masukan penentuan

kebijakan dan evaluasi untuk pertimbangan dalam pengembangan unit

usaha produksi tempe di Jakarta Barat.

3. Bagi penulis, merupakan pengalaman yang sangat berharga dan sebagai

sarana untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh selama

kegiatan perkuliahan.

9

Page 10: Pendahuluan "Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai"

4. Bagi pembaca, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi

mengenai produksi tempe dan sebagai referensi untuk melakukan

penelitian lebih lanjut.

1.5 Ruang Lingkup

Kegiatan penelitian ini terbatas pada subsistem pengolahan kedelai

menjadi tempe pada sentra produksi tempe di wilayah Semanan, Jakarta Barat.

Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui dampak kenaikan harga bahan baku

utama yaitu kedelai yang hingga saat ini masih tergantung dengan kedelai impor.

Dampak tersebut dianalisis pengaruhnya terhadap penggunaan input produksi dan

struktur biaya produksi pada pengrajin tempe berskala kecil dibandingkan dengan

pengrajin tempe berskala menengah, dan besar.

10