penda hulu an
TRANSCRIPT
![Page 1: Penda Hulu An](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082712/55cf8e15550346703b8e5abd/html5/thumbnails/1.jpg)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut ketersediaan akan
daging yang terus meningkat pula. Sehubungan dengan hal tersebut, ternak sapi
khususnya sapi potong merupakn salah satu sumber daya penghasil bahan makanan
berupa daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya di dalam
kehidupan masyarakat. Sebab sektor atau kelompopk ternak sapi bisa menghasilkan
berbagai macam kebutuhan, terutama sebagai bahan makanan berupa daging,
disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit, tulang dan lain
sebagainya. Daging sangat besar manfaatnya bagi pemenuhan gizi berupa protein
hewani (Anonimus,2010).
Sapi sebagai salah satu hewan pemakan rumput sangat berperan sebagai
pengumpul bahan bergizi rendah yang dirubah menjadi bahan bergizi tinggi,
kemudian diteruskan kepada manusia dalam bentuk daging. Daging untuk
pemenuhan gizi mulai meningkat dengan adanya istilah ”Balita” dan terangkatnya
peranan gizi terhadap kualitas generasi penerus. Jadi untuk pemenuhan kebutuhan
protein hewani dari daging ini kita khhususnya peternak perlu meningkatkan
Produksi daging. Perkembangan usaha penggemukan sapi didorong oleh permintaan
daging yang terus menerus meningkat dari tahun ke tahun (Anonimus,2010).
Usaha peternakan sapi potong merupakan salah satu usaha yang cukup
berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan perekonomian. Usaha sapi
potong berpotensi dikembangkan, dikarenakan usaha ini relatif tidak tergantung pada
ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang berkualitas tinggi, produk sapi potong
memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan pendapatan yang tinggi, dan dapat
membuka lapangan pekerjaan. Namun, modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha
tersebut cukup besar (Bank Indonesia, 2010). Pada umumnya usaha sapi potong
mengarah kepada usaha penggemukan untuk pemanfaatan dagingnya saja, dengan
demikan dapat dihasilkan produk daging sapi berkualitas.
1
![Page 2: Penda Hulu An](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082712/55cf8e15550346703b8e5abd/html5/thumbnails/2.jpg)
Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak
dibutuhkan konsumen, dan sampai saat ini Indonesia belum mampu memenuhi
kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor. Kondisi tersebut memberikan
suatu gambaran bahwa terdapat peluang untuk pengembangan usaha budi daya
ternak, terutama sapi potong. Upaya melakukan pembesaran sapi potong diharapkan
dapat menghasilkan daging sapi yang banyak dan berkualitas baik, dengan demikian
daging yang berkualitas tersebut memiliki harga yang cukup tinggi di pasaran
(Anonimus,2014).
Usaha peternakan sapi potong mempunyai peran yang sangat penting dalam
peningkatan produktivitas sapi potong guna pemenuhan kebutuhan konsumen akan
hasil produk berupa daging. Kebutuhan daging sapi di Indonesia saat ini dipenuhi dari
tiga sumber yaitu ternak sapi lokal, hasil penggemukan sapi ekspor – impor, dan
impor daging dari luar negeri. Impor sapi hidup dan daging beku merupakan salah
satu upaya agar tidak terjadi kesenjangan antara produksi dan tingkat konsumsi
daging sapi di dalam negeri (Rivai, 2009). Namun upaya tersebut harus berjalan
seiring agar produktivitas ternak sapi potong tidak menurun bahkan terhenti. Sapi-
sapi impor yang didatangkan pada saat ini sebagian besar berasal dari Australia yaitu
bangsa sapi BX (Brahman Cross), hal itu terjadi mengingat sapi impor tersebut
memilikin pertumbuhan yang cukup baik sehingga bisa optimal sebagai ternak
potong.
Sapi Brahman, merupakan sapi yang termasuk dalam golongan sapi Zebu. Sapi
Brahman banyak disilangkan dengan jenis sapi lainnya dan menghasilkan peranakan
Amerika Brahman (Brahman Cross), dimana jenis sapi Brahman mempunyai
pertambahan berat badan harian yang cukup tinggi yaitu 0,8 Kg – 1,5 Kg/hari. Bobot
badan jantan dewasa rata – rata 1100 Kg dan betina dewasa 850 Kg. Jenis sapi
Brahman umumnya di impor dari Australia dan Selandia Baru dalam bentuk bakalan
untuk digemukkan kembali (Anonimus,2014).
2
![Page 3: Penda Hulu An](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082712/55cf8e15550346703b8e5abd/html5/thumbnails/3.jpg)
PEMBAHASAN
Pembuatan Silase
Silase adalah pakan yang telah diawetkan yang di proses dari bahan baku
yang berupa tanaman hijauan, limbah industri pertanian, serta bahan pakan alami
lainya, dengan jumlah kadar / kandungan air pada tingkat tertentu kemudian di
masukan dalam sebuah tempat yang tertutup rapat kedap udara, yang biasa disebut
dengan “Silo”, selama kurang lebih tiga minggu. Di dalam silo tersebut tersebut akan
terjadi beberapa tahap proses anaerob (proses tanpa udara/oksigen), dimana “bakteri
asam laktat akan mengkonsumsi zat gula yang terdapat pada bahan baku, sehingga
terjadilah proses fermentasi. Silase yang terbentuk karena proses fermentasi ini dapat
di simpan untuk jangka waktu yang lama tanpa banyak mengurangi kandungan nutrisi
dari bahan bakunya (Anonimus, 2013).
Manurut Anonimus (2013), tujuan utama pembuatan silase adalah untuk
mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk
dimanfaatkan pada masa mendatang. Dijelaskan lebih lanjut bahwa silase dibuat jika
produksi hijauan dalam jumlah yang banyak atau pada fase pertumbuhan hijauan
dengan kandungan zat makanan optimum. Dibandingkan pengawetan dengan
pembuatan hay, pembuatan silase lebih mempunyai keunggulan karena kurang
tergantung pada kondisi cuaca harian.
Sedangkan menurut Wilkinson dkk (1996) Tujuan utama pembuatan silase
adalah untuk memaksimumkan pengawetan kandungan nutrisi yang terdapat pada
hijauan atau bahan pakan ternak lainnya, agar bisa di disimpan dalam kurun waktu
yang lama, untuk kemudian di berikan sebagai pakan bagi ternak. Sehingga dapat
mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau. Di
banyak negara, hasil ensilasi hijauan segar memiliki nilai ekonomi yang tinggi
sebagai pakan ternak. Negara-negara eropa, seperti: Belanda, Jerman dan Denmark
memproses hampir 90% hijauan yang dihasilkan dari lahan pertaniannya sebagai
bahan makanan ternak dengan teknik ensilasi.
3
![Page 4: Penda Hulu An](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082712/55cf8e15550346703b8e5abd/html5/thumbnails/4.jpg)
Ensilasi adalah metode pengawetan hijauan berdasarkan pada proses
fermentasi asam laktat yang terjadi secara alami dalam kondisi anaerobik proses ini
memerlukan waktu 2-3 minggu. Selama berlangsungnya proses ensilasi, beberapa
bakteri mampu memecah selulosa dan hemiselulosa menjadi berbagai macam gula
sederhana. Sedangkan bakteri lain memecah gula sederhana tersebut menjadi produk
akhir yang lebih kecil (asam asetat, laktat dan butirat). Produk akhir yang paling
diharapkan dari proses ensilasi adalah asam asetat dan asam laktat. Produksi asam
selama berlangsungnya proses fermentasi akan menurunkan pH pada material hijauan
sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain yang tidak
diinginkan. Proses ensilasi dalam silo/fermentor kedap udara terbagi dalam 4 tahap,
yaitu (Weinberg and Muck, 1996; Merry dkk., 1997).
a. Tahap I – Fase aerobik.
Tahap ini pada umumnya hanya memerlukan waktu beberapa jam saja,
fase aerobik terjadi karena keberadaan oksigen di sela-sela partikel tanaman.
Jumlah oksigen yang ada akan berkurang seiring dengan terjadinya proses
respirasi pada material tanaman serta pertumbuhan mikroorganisme aerobik
dan fakultatif aerobik, seperti khamir dan enterobakteria. Selanjutnya, enzim
pada tanaman seperti protease dan carbohydrase akan teraktivasi, sehingga
kondisi pH pada tumpukan hijauan segar tetap dalam batas normal (pH 6.5-
6,0).
b. Tahap II – Fase fermentasi.
Tahap ini dimulai ketika kondisi pada tumpukan silase menjadi
anaerobik, kondisi tersebut akan berlanjut hingga beberapa minggu,
tergantung pada jenis dan kandungan hijauan yang digunakan serta kondisi
proses ensilasi. Jika proses fermentasi berlangsung dengan sempurna, bakteri
asam laktat (BAL) akan berkembang dan menjadi dominan, pH pada
material silase akan turun hingga 3.8-5.0 karena adanya produksi asam laktat
dan asam-asam lainnya.
c. Tahap II – Fase stabil.
4
![Page 5: Penda Hulu An](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082712/55cf8e15550346703b8e5abd/html5/thumbnails/5.jpg)
Tahap ini akan berlangsung selama oksigen dari luar tidak masuk ke
dalam silo/fermentor. Sebagian besar jumlah mikroorganisme yang
berkembang pada fase fermentasi akan berkurang secara perlahan. Beberapa
jenis mikroorganisme toleran asam dapat bertahandalam kondisi stasioner
(inactive) pada fase ini, mikroorganisme lainnya seperti clostridia dan bacilli
bertahan dengan menghasilkan spora. Hanya beberapa jenis mikroorganisme
penghasil enzim protease dan carbohydrase toleran asam serta beberapa
mikroorganisme khusus, seperti Lactobacillus buchneri yang dapat tetap
aktif pada level rendah.
d. Tahap IV – Fase pemanenan (feed-out/aerobic spoilage).
Fase ini dimulai segera setelah silo/fermentor dibuka dan silase
terekspose udara luar. Hal tersebut tidak terhindarkan, bahkan dapat dimulai
terlalu awal jika penutup silase rusak sehingga terjadi kebocoran. Jika fase
ini berlangsung terlalu lama, maka silase akan mengalami deteriorasi atau
penurunan kualitas silase akibat terjadinya degradasi asam organik yang ada
oleh khamir dan bakteri asam asetat. Proses tersebut akan menaikkan pH
pada tumpukan silase dan selanjutya akan berlangsung tahap spoilage ke-2
yang mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu, dan peningkatan aktifitas
mikroorganisme kontaminan, seperti bacilli, moulds dan
enterobacteria (Honig and Woolford, 1980).
Untuk menghindari terjadinya kegagalan dalam proses pembuatan silase, maka
perlu dilakukan pengontrolan dan optimalisasi pada setiap tahapan ensilasi. Pada
tahap I, dibutuhkan teknik filling material hijauan yang baik kedalam silo, sehingga
dapat meminimalisir jumlah oksigen yang ada di antara partikel tanaman. Teknik
pemanenan tanaman yang dikombinasikan dengan teknik filling yang baik diharapkan
dapat meminimalisir hilangnya karbohidat terlarut (water soluble carbohydrates)
5
![Page 6: Penda Hulu An](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082712/55cf8e15550346703b8e5abd/html5/thumbnails/6.jpg)
akibat respirasi aerobik ketika hijauan berada di luar maupun di dalam silo, sehingga
terdapat lebih banyak gula sederhana yang tersisa untuk proses fermentasi asam laktat
pada tahap II. Proses ensilasi tidak dapat dikontrol secara aktif ketika telah masuk
pada tahap II dan III. Pada tahap IV, diperlukan silo/fermentor yang benar-benar
kedap udara untuk meminimalisir kontaminasi aerobik selama penyimpanan. Segera
setelah silo/fermentor dibuka, silase harus diberikan kepada ternak hingga habis
(Anonimus,2013).
Faktor-Faktor yang Perlu di Perhatikan dalam Proses Pembuatan Silase:
a. Tingkat kematangan dan kelembaban bahan
Tingkat kematangan tanaman yang tepat memastikan tercukupinya jumah gula fermentasi (fermentable sugar) untuk proses pertumbuhan bakteri silase dan memberikan nutrisi maksimum untuk ternak. Tingkat kematangan juga memiliki pengaruh yang besar pada kelembaban hijauan pakan ternak, tercukupinya kelembaban untuk fermentasi bakteri sangat penting dan membantu dalam proes pembungkusan untuk mengeluarkan oksigen dari silase.
b. Panjang pemotongan
Panjang pemotongan yang paling bagus adalah antara ¼-1/2 inci,
tergantung pada jenis tanaman, struktur penyimpanan dan jumlah silase.
Potongan material tanaman dengan panjang tersebut akan menghasilkan
silase degan kepadatan yang ideal dan memudahkan pada saat proses
pemanenan. Mengatur mesin pemotong dengan hasil potongan yang terlalu
halus dapat memberikan dampak negatif terhadap produksi lemak susu dan
timbulnya dislokasi abomasums pada sapi perah karena faktor awal yang
tidak memadai.
Memotong hijauan pakan ternak terlalu panjang juga dapat
mengakibatkan silase sulit untuk memadat, serta udara akan terperangkap di
dalam silase yang pada akhirnya mengakibatkan pemanasan dan penurunan
6
![Page 7: Penda Hulu An](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082712/55cf8e15550346703b8e5abd/html5/thumbnails/7.jpg)
kualitas. Pemotongan secara berulang secara umum tidak disarankan,
kecuali jika kondisi bahan silase terlalu kering.
c. Pengisian, pembungkusan, dan penutupan
Proses pemanenan dan pengisian silo harus dilakukan secepat
mungkin. Penundaan pengisian akan berakibat pada terjadinya proses
respirasi yang berlebih dan meningkatkan loss hasil silase. Pembungkusan
dilakukan sesegera mungkin pada saat akan menyimpan silase di bunker silo.
Setelah diisi, silo harus ditutup rapat dengan bungkus kedap udara untuk
menghindari penetrasi udara dan air hujan ke dalam silase. Plastik
berkualitas baik yang dibebani menggunakan ban umumhya akan
menghasilkan penutupan yang memadai.
Silase yang baik biasanya berasal dari pemotongan hijauan tepat waktu
(menjelang berbunga), pemasukan ke dalam silo dilakukan dengan cepat,
pemotongan hijauan dengan ukuran yang memungkinkannya untuk dimampatkan,
penutupan silo secara rapat (tercapainya kondisi anaerob secepatnya) dan tidak sering
dibuka. Silase yang baik beraroma dan berasa asam, tidak berbau busuk. Silase
hijauan yang baik berwarna hijau kekuning-kuningan. Apabila dipegang terasa
lembut dan empuk tetapi tidak basah (berlendir) . Silase yang baik juga tidak
menggumpal dan tidak berjamur. Bila dilakukan analisa lebih lanjut, kadar
keasamanya (pH) 3,2-4,5. Apabila terlihat adanya jamur, warna kehitaman, berair dan
aroma tidak sedap berarti silase berkualitas rendah (Hanafi, 2008).
Silase bisa digunakan sebagai salah satu atau satu satunya pakan kasar dalam
ransum sapi potong . Pemberian pada sapi perah sebaiknya dibatasi tidak lebih 2/3
dari jumlah pakan kasar. Silase juga merupakan pakan yang bagus bagi domba tetapi
tidak bagus untuk kuda maupun babi. Silase merupakan pakan yang disukai ternak
terutama bila cuaca panas. Apabila ternak kita belum terbiasa mengkonsumsi silase,
maka pemberiannya sedikit demi sedikit dicampur dengan hijauan yang biasa
dimakan (Hanafi, 2008).
7
![Page 8: Penda Hulu An](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082712/55cf8e15550346703b8e5abd/html5/thumbnails/8.jpg)
GUDANG PAKAN
Bagian gudang pakan merupakan tempat yang paling banyak memiliki pekerja, karena harus bekerja sesuai target yang harus dicapai yaitu 50ton/hari. Bagian ini yang bertanggung jawab terhadap kualitas pakan yang dihasilkan. Sistem manajemen penggemukan melalui pakan yang diterapkan oleh PT Lembu Andalas Langkat (LAL) adalah :
2 minggu pemeliharaan (Hijauan 60%, Konsentrat 40%)
3 minggu pemelihraan (Hijauan 70%, Konsentrat 30%)
PT Lembu Andalas Langkat (LAL) memiliki beberapa bahan pakan, yang
terdiri atas:
Jenis Pakan Kandungan/Fungsi Pakan
DDGS (ekstrak jagung) Protein 30%
SBM Bungkil Kedelai Protein 40%
Bekatul Dedak Halus Karbohidrat
Sulfa Soya (ampas kedelai dan coklat) Protein 25%
Onggok Kasar (ampas ubi) Karbohidrat 60%
Onngok Halus (pati) Karbohidrat 70%
Gaplek (ubi yang dipotong kecil) Karbohidrat
Kulit Kopi Serat Pemekat aroma pakan
Bungkil Kelapa Lempeng Protein 13%
Bungkil Kelapa Halus Protein 5%, Lemak 10%
Bungkil Sawit Protein dan Lemak 10%
Jagung giling Protein dan Karbohidrat
Yodium Mineral
Premic Grower Untuk pertumbuhan
8
![Page 9: Penda Hulu An](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082712/55cf8e15550346703b8e5abd/html5/thumbnails/9.jpg)
Urea Tambahan pakan
Garam Tambahan pakan
Catelmex Pencegah jamur
Kapur Pencegah bau tak sedap
KESIMPULAN
9
![Page 10: Penda Hulu An](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082712/55cf8e15550346703b8e5abd/html5/thumbnails/10.jpg)
Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, dan sampai saat ini Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor.
Kebutuhan daging sapi di Indonesia saat ini dipenuhi dari tiga sumber yaitu ternak sapi lokal, hasil penggemukan sapi ekspor – impor, dan impor daging dari luar negeri. Impor sapi hidup dan daging beku merupakan salah satu upaya agar tidak terjadi kesenjangan antara produksi dan tingkat konsumsi daging sapi di dalam negeri.
Ensilasi adalah metode pengawetan hijauan berdasarkan pada proses fermentasi asam laktat yang terjadi secara alami dalam kondisi anaerobik proses ini memerlukan waktu 2-3 minggu.
DAFTAR PUSTAKA
10
![Page 11: Penda Hulu An](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082712/55cf8e15550346703b8e5abd/html5/thumbnails/11.jpg)
Anonimus, 2010. Usaha Penggemukan Sapi Potong.
http://ternaksapimetal.blogspot.com/2010/12/cara-beternak-sapi.html. Diakses
pada tanggal 30 Desember 2014.
Anonimus, 2012. PEMBUATAN SILASE. http://pendidikanpeternakan- pembuatan-
silase.html. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014.
Anonimus, 2013. Cara Membuat Silase Jerami.
http://jejakpenyuluh.com/2013/08/cara-membuat-silase jerami.html. Diakses
pada tanggal 30 Desember 2014.
Anonimus, 2013. Fermentasi Hijauan Pakan Ternak (Silase). http://fermentasi-
hijauan-pakan-ternak-sila se . Diakses pada tanggal 30 Desember 2014.
Anonimus, 2014. Analisa Usaha Penggemukan Sapi Potong Brahman Cross (BX).
http://www.ilmuternak.com/2014/10/analisa-usaha-penggemukan-sapi-
potong.html. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014.
Kantor Bank Indonesia Medan. 2010. Studi Kelayakan Usaha Sapi Potong di
Kabupaten Langkat Sumatera Utara (Upaya Bank Indonesia dalam
Pengembangan Klaster di Kabupaten Langkat). Sumatera Utara.
Hanafi, ND. 2008. Teknologi Pengawetan Pakan Ternak. Universitas Sumatera
Utara.
Merry RJ, Lowes KF, Winters AL 1997: Current and future approaches to biocontrol
in silages. Forage conservation: 8th International Scientific Symposium,
Pohořelice: Research Institute of Animal Nutrition. Czech Republic, pp. 17-27.
Rivai. 2009. Analisis Kelayakan Usaha Penggemukan Sapi Potong (fattening) pada
PT. Zagrotech Dafa International (ZDI) Kecamatan Ciampea Kabupaten
Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
11
![Page 12: Penda Hulu An](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082712/55cf8e15550346703b8e5abd/html5/thumbnails/12.jpg)
Weinberg, Z.G., & Muck, R.E. 1996. New trends and opportunities in the
development and use of inoculants for silage. FEMS Microbiol. Rev., 19: 53-
68.
Wilkinson, J.M., Wadephul, F., & Hill, J. 1996. Silage in Europe: a survey of 33
countries. Welton, UK: Chalcombe Publications.
12