penatalaksanaan pasien gawat darurat tanpa identitas

11
“Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat Tanpa IdentitasBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penderita gawat darurat adalah penderita yang oleh karena suatu penyebab (penyakit, trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh atau meninggal. (Sudjito, 2003).Sesuai dengan Permenkes no. 585tahun 1989 tanggal 21 April 1999 mengenai persetujuan tindakan medis bab 2, “Pasien tidak sadar, tidak ada keluarga bila dalam kondisi gawat darurat, persetujuan tindakan medis tidak diperlukan” dan berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), pasal 2 “setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi, yaitu sesuai dengan perkembangan IPTEK kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan dan situasi setempat.” (MKEK, 2002). Jika dalam penanganan pasien gawat darurat mengalami kegagalan dan pasien kehilangan nyawanya, maka perlu dilakukan otopsi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Autopsi (otopsi) adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan- penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan

Upload: edi-gunawan

Post on 17-Jan-2016

176 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

cauuuuuuuuuuuu

TRANSCRIPT

Page 1: Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat Tanpa Identitas

“Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat Tanpa Identitas”

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penderita gawat darurat adalah penderita yang oleh karena

suatu penyebab (penyakit, trauma, kecelakaan, tindakan anestesi)

yang bila tidak segera ditolong akan mengalami cacat, kehilangan

organ tubuh atau meninggal. (Sudjito, 2003).Sesuai dengan

Permenkes no. 585tahun 1989 tanggal 21 April 1999 mengenai

persetujuan tindakan medis bab 2, “Pasien tidak sadar, tidak ada

keluarga bila dalam kondisi gawat darurat, persetujuan tindakan

medis tidak diperlukan” dan berdasarkan Kode Etik Kedokteran

Indonesia (KODEKI), pasal 2 “setiap dokter harus senantiasa

berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi

yang tertinggi, yaitu sesuai dengan perkembangan IPTEK

kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama,

sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan dan situasi setempat.”

(MKEK, 2002).

Jika dalam penanganan pasien gawat darurat mengalami

kegagalan dan pasien kehilangan nyawanya, maka perlu dilakukan

otopsi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Autopsi (otopsi) adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat,

dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya

cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut,

menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab

akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab

kematian. (Mansjoer, 2000).

Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 2:

Korban kecelakaan seorang wanita muda tanpa identitas

dibawa penolong ke RS. Korban dalam keadaan tidak sadar,

Page 2: Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat Tanpa Identitas

dimasukkan imstalasi gawat darurat. Dokter bersama paramedik

dengan profesional memberikan pertolongan sesuai standar profesi.

Usaha penyelamatan pasien gagal, setelah dilakukan pertolongan di

IGD selama 10 menit korban meninggal. Korban dibawa ke kamar

jenasah untuk dilakukan otopsi untuk mengetahui sebab kematian.

Belakangan ini, banyak kasus gugatan malpraktik yang

dilaporkan ke pengadilan. Masyarakat menggugat dokter karena

merasa tindakan dokter itu merugikan atau mencelakakan pasien.

Pada umumnya, mereka hanya melihat dari hasil tindakan medis,

tidak menilai adanya proses. Upaya tenaga kesehatan dinilai seperti

jual beli barang, padahal hal ini sebenarnya upaya pelayanan jasa

kesehatan. (Wujoso, 2008)

Dalam laporan ini, penulis mencoba menganalisis

penatalaksanaan pasien gawat darurat dari segala aspek yang

terkait. Permasalahan ini penting untuk dibahas karena pada

dasarnya skenario ini merupakan suatu jembatan di dalam

mempelajari, menghubungkan, dan menerapkan ilmu kedokteran,

khususnya di bidang bioetika dan humaniora.

B. RUMUSAN MASALAH

§ Bagaimana prosedur penatalaksanaan pasien gawat darurat sesuai

standar profesi kedokteran dan standar prosedur operasional?

§  Bagaimana prosedur penatalaksanaan korban meninggal pasien

tanpa identitas?

§  Bagaimanakah otopsi dalam pandangan hukum, agama, etika, dan

disiplin ilmu?

§  Apakah kejadian meninggalnya pasien pada skenario merupakan

Kejadian Tidak Diinginkan (KTD)?

C. TUJUAN PENULISAN

§ Mengetahui prosedur penatalaksanaan pasien gawat darurat sesuai

standar profesi kedokteran dan standar prosedur operasional.

§ Mengetahui prosedur penatalaksanaan korban meninggal tanpa

identitas.

Page 3: Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat Tanpa Identitas

§  Mengetahui  hukum otopsi dari berbagai aspek, yaitu hukum, agama,

etika, dan disiplin ilmu

§  Dapat membedakan kasus-kasus yang termasuk KTD maupun yang

bukan. 

D. MANFAAT PENULISAN

1.        Mengembangkan sikap profesionalisme dalam menghadapi

permasalahan.

2.       Memahami aspek etika dan medikolegal dalam praktik kedokteran

gawat darurat.

3.       Memahami kaidah bioetik dan penerapannya dalam praktik

kedokteran.

4. Menjadi dokter yang humanis dan profesional dalam

pelayanan kesehatan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dokter dalam pelaksanaan praktiknya wajib memberikan

pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar

prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. (UU Pradok,

2004). Dalam UU No. 29 tahun 2004, pasal 45 ayat 1, setiap

tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh

dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat

persetujuan. (UU Pradok, 2004). Dalam penanganan penderita

gawat darurat yang terpenting bagi tenaga kesehatan adalah

mempertahankan jiwa penderita, mengurangi penyulit yang

mungkin timbul, meringankan penderitaan korban, dan melindungi

diri dari kemungkinan penularan penyakit menular dari penderita.

(Sudjito, 2003).

Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) pasal 14 &

pasal 10 yang berbunyi “ dokter harus berikhtiar dengan sungguh-

sungguh dan penuh perhatian dalam menyelamatkan jiwa

penderitadisertai sikap manusiawi simpati pada saat penderita

Page 4: Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat Tanpa Identitas

mengalami saat-saat kritis walaupun jika pada akhirnya penderita

meninggal.”

Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik

tanpa persetujuan apapun dapat dianggap melakukan

penganiayaan, diatur dalam pasal 351 KUHP. Apabila

mengakibatkan matinya orang, maka yang bersalah dipidana

penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP, 2008). Namun, dokter

dalam melaksanakan praktik kedokteran juga memperoleh

perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan

standar profesi dan standar prosedur operasional. (UU Pradok,

2004).

A. Otopsi

Autopsi dibagi berdasarkan tujuannya, yaitu :

1.      Otopsi Klinik

Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi akibat

suatu penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian

yang pasti, menganalisa kesesuaian antara diagnosis klinis dan

diagnosis postmortem, patogenaesis penyakit, dsb. Untuk otopsi ini

mutlak diperlukan ijin keluarga terdekat mayat tersebut. Sebaiknya

otopsi klinis dilakukan secara lengkap, namun dalam keadaaan

amat memaksa dapat dilakukan otopsi parsial atau needle necropsy

terhadap organ tertentu meskipun pada kedua keadaan tersebut

kesimpulannya sangat tidak akurat.

2.      Otopsi Forensik / Medikolegal

§  Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat

suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaaan,

pembunuhan, maupun bunuh diri. Tujuan pemeriksaan otopsi

forensic adalah untuk:

§   Membantu penentuan identitas mayat

§  Menentukan penyebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan

saat kematian

Page 5: Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat Tanpa Identitas

§  Mengumpulkan dan memeriksa benda bukti untuk penentuan

identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan

§  Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam

membentuk visum et repertum

Otopsi forensic harus dilakukan sedini mungkin, lengkap, oleh

dokter sendiri, dan seteliti mungkin. Secara yuridis, persetujuan

keluarga jenazah tidak diperlukan dalam prosedur autopsi forensik.

Dokter hanya merupakan pelaksana permohonan penyidik (dalam

hal ini Kepolisian) untuk melakukan autopsi, sehingga apabila

keluarga keberatan atas pelaksanaan autopsi, keberatan dapat

disampaikan pada penyidik. (Hamdani, 1992)

3.      Otopsi Anatomi

Dilakukan terhadap mayat korban meninggal akibat penyakit.

Dilakukan oleh mahasiswa kedokteran dalam rangka belajar

mengenai anatomi manusia.

Untuk otopsi ini diperlukan ijin dari korban (sebelum meninggal)

atau keluarganya. Dalam keadaan darurat jika dalam 2x24 jam

seorang jenazah tidak ada keluarganya, maka tubuhnya dapat

dimanfaatkan untuk otopsi anatomi.

  Prosedur Otopsi sebagai berikut:

a.    Membuat identifikasi dari tubuh memperkirakan ukuran, fisik dan

perawatan

b.    Menetapkan sebab kematian

c.    Menetapkan cara kematian dan waktu kematian yang penting dan

mungkin

d.   Untuk mendemonstrasikan segala kelaian luar dan dalam,

malformasi dan penyakit

e.    Mendeteksi, menggambarkan dan mengukur luka luar dan luka

dalam

f.     Mendapatkan sampel untuk analisis, pemeriksaan mikrobiologi dan

histologi dan infestigasi penting lainnya

g.    Menahan organ dan jaringan yang relevan sebagai bukti

Page 6: Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat Tanpa Identitas

h.    Mendapatkan foto dan video untuk keterangan dan pendidikan

i.      Menyediakan laporan tertulis yang lengkap untuk temuan otopsi

j.      Memberikan interpretasi ahli terhadap semua yang ditemukan

k.    Memperbaiki kondisi tubuh, sebelum diberikan kepada keluarga.

(Rachman, et. al., 2006)

Otopsi Menurut Pandangan Hukum

Menurut PPRI No.18 Tahun 1981 Bab 2, Bedah Mayat Klinis

Pasal 2:

1.      Otopsi diperbolehkan bila ada surat permintaan dari kepolisian

2.      Otopsi diperbolehkan jika dalam 2x24 jam tidak ada keluarga

korban yang datang ke rumah sakit

3.      Otopsi diperbolehkan jika jenazah menderita penyakit yang

berbahaya bagi masyarakat (menular)

Otopsi Menurut Agama

Menurut agama Islam, otopsi dalam tinjauan syar’i :

1.      Dalam kedaan darurat dan lebih memntingkan manfaat

2.      Untuk kepentingan pengembangan ilmu kesehatan

3.      Untuk menegakkan hukum secara adil

B.     Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat

Berdasarkan buku penanggulangan korban gawat darurat

yang ditulis oleh dr. MH. Sudjito. SpAn terdapat 5 tahapan yang

dapat di simpulkan dalam menangani korban dalam kondisi gawat

darurat :

a.       Persiapan : pada tahapan persiapan dibagi menjadi dua yang

pertama adalah persiapan pra-rumah sakit yaitu seluruh kejadian

yang berlangsung dilakukan dalam koordinasi dengan dokter di

rumah sakit. Persiapan selanjutnya adalah persiapan di rumaha

sakit yaitu persiapan yang dilakukan untuk menerima penderita

sehingga dapat dilakukan resusitasi dengan cepat.

b.      Triase : triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan

kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan

Page 7: Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat Tanpa Identitas

pada pada kebutuhan ABCDE ( airway, breathing, circulation,

disability, exposure).

c.       Resusitasi : dalam hal ini dapat dilakukan terapi suportif yang

diberikan berdasarkan prioritas kegawatannya  yaitu ABCDE yang

dengan tujuan untuk mengevaluasi hipoksemi dan hiperkarbia yang

mungkin telah terjadi akibat gawat napasnya.

d.      Pemantauan dan re-evaluasi berlanjut : tindakan yang akan

dilakukan lebih lanjut tergantung luka dan jenis pertolongan

sealanjutnya yang dibutuhkan penderita.

e.       Penanganan definitif : penanganan yang sesuai terapi yang

dibutuhkan setelah diketahui bagian kerusakan pada tubuh

penderita.

( Sudjito, 2000)

. Tujuh Langkah Keselamatan Pasien

Dokter dan tenaga medis lain juga harus menerapkan tujuh

langkah keselamatan pasien (KP), yaitu:

•         Bangun kesadaran akan nilai KP, Ciptakan kepemimpinan &

budaya yg terbuka & adil.

•         Pimpin dan dukung staf Anda, Bangunlah komitmen & fokus

yang kuat & jelas tentang KP di RS  Anda

•         Integrasikan aktiivitas dan pengelolaan resiko, Kembangkan

sistem & proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi &

asesmen hal yang potensial bermasalah

•         Kembangkan sistem pelaporan, Pastikan staf Anda agar dgn

mudah dapat melaporkan kejadian / insiden, serta RS mengatur

pelaporan kepada KKP-RS.

•         Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien, kembangkan

cara-cara komunikasi yg terbuka dgn pasien

•         Belajar dan berbagi pengalaman tentang KP, Dorong staf

anda utk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana

&  mengapa kejadian itu timbul

Page 8: Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat Tanpa Identitas

•         Cegah cedera melalui implementasi sistem KP, Gunakan

informasi yang ada tentang kejadian / masalah untuk melakukan

perubahan pada  sistem pelayanan. (Yahya, 2006)

C.      Konsep Malpraktek

Adalah suatu kelalaian dari seorang tenaga medis untuk

menerapkan tingkatketrampilan dan pengetahuan di dlam

memberikan pelayanan,pengobatan dan perawatan terhadap

seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam mengobati dan

merawat orang sakit di wilayah yang sama.

Seorang dokter dikatakan melakukan malpraktik bila :

1.      Kurang menguasai iptek kedokteran

2.      Memberikan pelayanan di bawah standar profesi

3.      Melakukan kelalaian dan tidak hati-hati

4.      Melakukan hal yang melanggar hukum. (Chazawi, 2008 )

D. Aspek Hukum dan Etik Kedokteran Pelayanan Gawat Darurat

            Pengaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pelayanan gawat darurat adalah:

-          UU No 23/1992, pasal 32 ayat 7 tentang Kesehatan

o   Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang

merata dan terjangkau oleh mayarakat

-          Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 pasal 53 ayat 2 tentang

Persetujuan Tindakan Medis.

o   Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan  

tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi,

tidak perlu persetujuan dari siapapun.

-  Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 pasal 23 tentang

Rumah                                                        Sakit

o   Kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat

darurat 24 jam per hari

-          Pasal 5l UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran

Page 9: Penatalaksanaan Pasien Gawat Darurat Tanpa Identitas

o   Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat,

di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas

dasar kemanusiaan.

-          Pasal 13 Kode Etik Kedokteran tentang Pertolongan Darurat

o   Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai tugas

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia

dan lebih mampu memberikannya.(Herkutanto, 2007) 

BAB IVKESIMPULAN

Sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional kedokteran, penatalaksanaan pasien gawat darurat dapat dilaksanakan tanpa persetujuan tindakan medic (informed consent) dari siapapun. Tenaga kesehatan harus mengusahakan kesehatan seoptimal mungkin agar pasien dapaat bertahan hidup dan pulih dari keadaan gawat darurat. Dalam KTD, sepanjang dokter dan paramedic telah berpegang pada konsep standar profesi dan prosedur operasional, tindakan medis yang dilakukan tidak dapat disebut malpraktik, dan tenaga kesehatan terlindung dari sanksi hokum oleh peraturan kesehatan yang berlaku.

Pelaksanaan otopsi untuk kasus diatas selanjutnya dapat dilakukan apabila :

1.      Ada surat permintaan dari kepolisian2.      Dalam waktu 2x24 jam tidak ada keluarga korban yang datang ke

rumah sakit3.      Diduga jenazah menderita penyakit yang berbahaya bagi

masyarakat