penanganan luka bakar pada anak
DESCRIPTION
luka bakarTRANSCRIPT
Penanganan Luka Bakar pada Anak
Luka bakar adalah trauma yang terjadi dikulit dan atau jaringan sekitarnya
yang bisa disebabkan oleh panas, radiasi, kimia, atau sengatan listrik. Luka bakar
dibedakan menurut kedalamannya dan persentase area total tubuh yang terkena (body
surface area).
Klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalamannya
Derajat I Derajat II Derajat III
Penyebab Sinar matahari, air
panas,
Cairan panas Cairan panas,
Kontak dengan
cairan kimiawi
Warna Merah muda/Merah Merah
muda/Merah pucat
Coklat tua,
Permukaan Kering Lembab, terbentuk
bula
Kering dan non
elastis
Rasa nyeri Nyeri Sangat nyeri Tidak berasa
Kedalaman Epidermis Epidermis dan
sebagian dermis
Epidermis, dermis
dan struktur lebih
dalam
Gambar 1: Persentase luka bakar pada anak
PATOGENESIS
Kulit memiliki struktur laminar yang tersusun oleh epidermis yang merupakan
lapisan paling luar, dan dermis pada bagian dalam. Lapisan dermis terdiri dari folikel
rambut, kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Kulit berfungsi sebagai
termoregulator dan memiliki fungsi proteksi terhadap kehilangan cairan, kerusakan
mekanik maupun infeksi. Secara anatomis, kulit terdiri dari epidermis yang tersusun
dari keratinosit, melanosit dan sel langerhans. Lapisan dermis terdiri dari protein
struktural dan sel-sel yang bertanggung jawab menyokong kekuatan tight junction
kulit.
Cedera kulit akibat panas akan menyebabkan terbentuknya 3 area kerusakan
kulit yaitu zona hiperemia yang disebabkan peningkatan aliran darah akibat proses
inflamasi, zona stasis yang terletak pada lapisan kedua yang bersifat iskemik, dan
zona ketiga yaitu zona koagulasi. Bila luka bakar yang terjadi luas (>40%) dapat
menyebabkan hilangnya cairan intravascular berlebihan sehingga dapat
menyebabkan syok hipovolemik maupun distributif. Hal ini dapat menyebabkan
peningkatan afterload dan menurunkan kontraktilitas jantung.
TATALAKSANA
Tatalaksana penanganan luka bakar di ruang perawatan intensif
membutuhkan pendekatan holistik. Tidak jarang pasien luka bakar dirawat di ruang
perawatan intensif untuk dilakukan pemantauan hemodinamik. Tatalaksana di
ruang perawatan intensif adalah sebagai berikut:
1. Mempertahankan Jalan Napas
Trauma jalan napas merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien
luka bakar. Cedera jalan napas akibat luka bakar dapat menyebabkan obstruksi,
hipoksia bahkan kematian. Telah dilaporkan bahwa trauma inhalasi akan
meningkatkan mortalitas pasien luka bakar sebanyak 20% yang berpotensi
menyebabkan pneumonia. Patogenesis terjadinya trauma inhalasi adalah akibat
cedera panas yang berlangsung 12 jam setelah terjadinya luka bakar yang
menyebabkan obstruksi jalan napas bagian atas.
Pasien luka bakar seringkali mengalami berbagai penyulit termasuk
terjadinya trauma inhalasi, sehingga membutuhkan perawatan khusus untuk
rumatan jalan napas di ruang perawatan intensif, apakah hanya sebatas pemantauan
hemodinamik atau bahkan membutuhkan bantuan ventilasi mekanik
Berikut adalah indikasi intubasi pada pasien luka bakar :
Luka bakar di wajah
Deposit karbon dan perubahan struktur akibat inflamasi di faring dan rongga
hidung
Terdapat tumpukan karbon pada dahak
Stridor dan suara parau
Retraksi dan sesak napas
Penurunan kesadaran
Penyakit paru restriktif sekunder akibat luka bakar
Pada pasien luka bakar pemberian O2 dan pembersihan jalan napas
merupakan komponen penting dalam tatalaksana jalan napas. Komponen lain yang
tidak kalah pentingnya antara lain adalah hisap lendir berkala dan fisioterapi dada.
Isap lendir berkala sebaiknya dilakukan setelah memposisikan pasien 45o.
Sebelumnya pasien dilakukan preoksigenasi dengan O2 100%. Apabila belum
dilakukan reoksigenasi, sebaiknya dilakukan isap lendir berkala selama kurang lebih
15 detik. Namun yang harus diwaspadai adalah stimulasi nervus vagus, terdapatya
iritasi mukosa nasotrakea, trauma, dan bradikardi.
Trauma inhalasi pada jalan napas bagian bawah dapat menyebabkan infeksi
trakea dan bronkus akibat zat-zat kimia sehingga menyebabkan spasme jalan napas.
Dalam hal ini dapat digunakan aerosol yang bersifat simpatomimetik yang
menyebabkan relaksasi otot bronkus dan menstimulasi clearance mucociliary. Terapi
inhalasi ini dapat diberikan setiap 2-4 jam sekali tergantung klinis pasien. Bilas
bronkus digunakan untuk mengurangi sekret sehingga dapat mengurangi risiko
infeksi sekunder. Tatalaksana bilas bronkhus yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Pemberian O2 lembab untuk mempertahankan saturasi O2 >90%
Latihan batuk dan menarik napas setiap 2 jam
Fisioterapi dada setiap 4 jam
Nebulisasi dengan 3 cc N-asetilsistein 20% + salbutamol setiap 4 jam
Sebagai alternatif dapat diberikan nebulisasi dengan Heparin 5000 unit dalam
3cc NaCl 0,9% setiap 4 jam
Isap lendir berkala
Penilaian fungsi paru sebelum pasien dipulangkan dan pada saat control
Edukasi pasien dan orang tua pasien berkaitan dengan trauma inhalasi yang
terjadi
Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan merupakan tatalaksana utama pada saat fase awal
penanganan luka bakar terutama pada 24 jam pertama. Pemberian cairan yang
adekuat akan mencegah syok yang disebabkan karena kehilangan cairan
berlebihan pada luka bakar.
Luka bakar dapat menyebabkan berbagai perubahan parameter anatomis,
imunologis bahkan fisiologis tubuh. Luka bakar dapat menyebabkan hilangnya cairan
intravaskular melalui luka atau jaringan yang tidak mengalami cedera. Hilangnya
cairan umumnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah cedera.
Teknik resusitasi cairan pada luka bakar terus mengalami perkembangan.
Prinsip resusitasi cairan luka bakar mengacu pada rumus Parkland yaitu :
4 cc/kg/luas permukaan tubuh + cairan rumatan.
Cairan rumatan dapat digunakan dekstrosa 5% dan ringer laktat yang
jumlahnya disesuaikan dengan berat badan :
≤10 Kg: 100 mL/kg
11-20 Kg: 1000 mL + (Berat badan – 10 Kg) x 50 ml
>20 Kg: 1500 mL + (Berat badan – 20 Kg) x 20 mL
Pemberian cairan ini diberikan 24 jam pertama, 50% diberikan 8 jam pertama
dan 50% diberikan 16 jam berikutnya. Formula ini telah digunakan secara luas sejak
40 tahun yang lalu untuk terapi cairan pada luka bakar selama 24 jam pertama setelah
trauma.
Penelitian terbaru mengatakan bahwa formula Parkland tidak dapat
memprediksi kehilangan cairan secara akurat khususnya pada pasien dengan luka
bakar luas, akibatnya pasien seringkali mendapatkan jumlah cairan lebih sedikit
dibandingkan seharusnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Cancio dkk yang
melaporkan bahwa penggunaan formula Parkland menyebabkan penurunan
kebutuhan cairan pada 84% pasien. Penelitian ini juga menyebutkan jumlah
cairan yang diberikan pada pasien luka bakar tidak hanya memperhatikan luas serta
kedalaman luka, namun harus diperhatikan apakah pasien ini membutuhkan bantuan
ventilasi mekanik atau tidak karena diperkirakan hal ini dapat meningkatkan
kebutuhan cairan.
Metode lain resusitasi cairan dikembangkan oleh Baxter pada tahun 1979,
ia memberikan teknik resusitasi cairan pada 954 pasien luka bakar dengan
menggunakan formulasi cairan 3,7– 4,3 mL/Kg/total luas permukaan tubuh (TLPT)
dan didapatkan hasil sekitar 70% yaitu 438 dewasa dan 516 anak-anak mengalami
keluaran yang baik. Formulasi lain terapi cairan menurut gavelstron menggunakan
rumus :
5000 mL x (LPT yang mengalami luka bakar) + (2000 mL x TLPT)
Protokol saat ini melanjutkan pemberian resusitasi cairan dengan
menggunakan formulasi 2– 4 mL/kg /% LPT selama 24 jam pertama. Setelah
pemberian terapi cairan, dilakukan pemantauan tanda kelebihan cairan yaitu
terdapatnya gangguan hemodinamik pasien seperti sesak napas, hepatomegali atau
terdapatnya ronkhi basah halus pada basal paru. Pemantauan ini kerap kali harus
dilakukan karena pemberian cairan berlebihan akan menyebabkan terjadinya
edema yang merupakan komplikasi akibat pemberian cairan resusitasi dan berpotensi
menimbulkan kompikasi misalnya abdominal kompartement syndrome dan edema
paru.
Antibiotika yang sesuai
Pasien luka bakar terutama luka bakar luas berpotensi mengalami infeksi
sekunder maupun sepsis sehingga berpotensi meningkatkan mortalitas. Penelitian
yang dilakukan di Amerika Serikat terhadap 175 pasien luka bakar luas dikatakan
bahwa infeksi berhubungan dengan disfungsi multiorgan yang dapat menimbulkan
kematian pada 36% pasien. Infeksi sekunder pada luka bakar terutama
disebabkan oleh bakteri gram positif terutama stafilokokus yang berdomisili di
kelenjar keringat dan folikel rambut, perubahan kondisi akibat luka bakar akan
mempercepat pertumbuhan bakteri, sedangkan infeksi bakteri gram negatif umumnya
disebabkan karena translokasi dari kolon karena berkurangnya aliran darah
mesenterika. Selain itu kondisi pasien diperberat akibat penurunan respons limfosit
T sitotoksik, maturasi mieloid yang menyebabkan terganggunya aktivitas netrofil
dan makrofag. Tujuan penanganan luka adalah mempercepat epitelisasi sehingga
dapat mengurangi risiko infeksi sekunder. Sepsis seringkali menyertai luka bakar,.
Menurut Centre for Disease Control (CDC), infeksi luka bakar adalah
keadaan apabila:
Terdapat perubahan kesadaran pasien yaitu menjadi ,tampak letargis, hipotermia,
hipertermia maupun tanda-tanda syok
Perubahan pada luka yang terjadi misalnya warna ,maupun bau
Pada pemeriksaan kultur jaringan positif mengandung mikroorganisme
Pemberian antibiotik profilaksis sebenarnya tidak dianjurkan, namun antibiotik
profilaksis dapat direko-mendasikan pada keadaan:
a. Pencegahan selulitis sehingga memerlukan an- tibiotika
antistreptokokus,
b. Pemberian obat anti jamur oral atau enteral untuk mencegah
kandidiasis,
c. Pemberian obat-obatan perioperatif
d. Pemberian antibiotika spektrum luas pada keadaan syok sepsis
Pemberian antibiotika yang umum digunakan adalah silver sulfadiazine yang
memiliki potensi antimikroba yang paling baik, namun memiliki efek toksisitas dan
memperlambat proses penyembuhan luka.
Dukungan Nutrisi
Pada keadaan luka bakar terlebih pada luka bakar hipermetabolisme akibat
respons stres berlebihan. Hal ini akan mengakibatkan pasien akan mengalami
keadaan malnutrisi, dan lambatnya proses penyembuhan. Keadaan
hipermetabolisme dapat bertahan sekitar 12 bulan setelah cedera.
Keadaan ini berhubungan dengan luasnya luka bakar, dan berkaitan dengan
stres yang terjadi. Pada anak kebutuhan kalori mencakup 60%-70% karbohidrat,
15%-20% lemak, sedangkan protein harus terpenuhi 2,5-4gram/kgbb/hari. Apabila
diberikan asupan berlebih dapat menyebabkan peningkatan produksi CO2 yang
dapat memperberat fungsi paru dan dapat meperlambat proses penyapihan
ventilator. Di samping itu pemberian karbohidrat berlebihan akan menyebabkan
disfungsi hepar, hiperglikemia sehingga dapat memicu dehidrasi akibat
meningkatnya diuresis. Pemantauan proses metabolisme dilakukan melalui
pemantauan kadar gula darah, albumin, elektrolit, fungsi hati dan ginjal.
Analgetika dan Sedatif
Luka bakar dapat menimbulkan rasa nyeri terlebih lagi pada luka bakar
luas. Nyeri tersebut akan sangat mengganggu proses emosi dan fisiologi anak.
Sehingga diperlukan analgetika dan sedatif yang dapat mengontrol nyeri agar anak
menjadi nyaman. Derajat luka bakar akan menentukan nyeri yang ditimbulkannya.
Pada luka bakar superfisial, persyarafaan masih utuh sehingga pergerakan maupun
sentuhan akan sangat memicu rasa nyeri.
Sedangkan luka bakar luas dan dalam (deep partial thickness) beberapa
persarafan bahkan hampir seluruh saraf mengalami kerusakan, akibatnya pasien
tidak begitu merasakan rangsangan nyeri. Namun hal yang harus diperhatikan adalah
apabila sekeliling luka mengalami kemerahan yang dapat menimbulkan nyeri. Luka
bakar jenis full thickness, seluruh persarafan telah mengalami kerusakan, oleh sebab
itu respons terhadap rasa nyeri sama sekali tidak ada, namun daerah sekeliling
luka masih berespons terhadap rangsang nyeri.
Seringkali anak yang mengalami luka bakar, rangsangan sekecil apapun
mampu menstimulasi pusat nyeri sehingga akan menimbulkan nyeri kronik dan
nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik terjadi sekunder akibat kerusakan saraf. Hal ini
dapat menyebabkan kurangnya respons terhadap analgetika sehingga dibutuhkan
obat-obatan sedatif.
Analgetika yang diberikan pada anak yang mengalami nyeri akibat luka bakar
adalah parasetamol dan anti inflamasi non steroid (AINS). Namun bila dengan
pengobatan oral masih tidak berespons, dapat diberikan obat analgetika intravena.
Obat - obat analgetika sebaiknya memiliki persyaratan sebagai berikut:
Mudah diberikan
Dapat ditoleransi dengan baik
Memiliki onset kerja singkat namun memiliki efek samping minimal
Penanganan nyeri pada anak mencakup terapi farmakologik dan non
farmakologik.
Terapi farmakologik dilakukan dengan pemberian analgetika spesifik
yaitu pemberian parasetamol asetaminofen obat Parasetamol adalah derivat
paraaminofenol yang dapat bekerja secara sentral dan perifer untuk mengatasi rasa
nyeri.1Obat anti inflamasi non steroid memiliki sifat analge-tika dan antipiretik
melalui hambatan sintesis prosta-glandin dan tromboksan.
Perawatan Luka
Perawatan luka merupakan salah satu tatalaksana yang perlu diperhatikan
dalam penanganan luka akar. Karena tidak jarang luka yang tidak dibersihkan
dengan baik dapat memicu infeksi sekunder. Cleansing dan debridement
merupakan tindakan rutin yang harus dilakukan. Bilas luka dapat menggunakan sabun
dan air bersih atau clorhexidin atau NaCl 0,9%. Setelah dibersihkan, diberikan
antibiotika topikal yang kemudian menutup luka dengan kasa steril untuk mengurangi
risiko infeksi sekunder. Antibiotik topikal dapat diberikan sehari 2 kali sambil
dilakukan ganti balutan.
Tujuan utama perawatan luka adalah mencegah infeksi dan melindungi luka
terhadap terjadinya infeksi sekunder. Bula yang terbentuk apabila berukuran
<2cm dapat dibiarkan tetap utuh,sedangkan bula yang besar harus dipecahkan
kemudian dilakukan debridement. Pasien luka bakar yang dirawat umumnya
dilakukan skin graft dalam 1–5 hari setelah trauma. Tindakan ini terbukti dapat
mengurangi risiko sepsis.
Kepustakaan: Disadur dari Dzulfikar. Penanganan Luka Bakar di Ruang Perawatan
Intensif Anak. Majalah Kedokteran Terapi Intensif. Volume 2 Nomor 2 April 2012