penanaman modal asing sektor pertambangan minyak dan …

15
AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016 778 PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI NASIONAL PADA MASA ORDE BARU TAHUN 1967-1981 ENI SUSANTI Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya E-mail: [email protected] Agus Trilaksana Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya Abstrak Penanaman modal asing sudah beroperasi di sektor pertambangan minyak dan gas bumi Indonesia sejak ditemukannya minyak untuk pertama kali pada tahun 1883 oleh A.J. Zilker. Penanaman Modal Asing pada masa itu dimulai oleh perusahaan mayor De Koninlijke dan Shell. Operasi modal asing di sektor pertambangan minyak dan gas bumi terletak pada kegiatan eksplorasi (pencarian) hingga pengembangan produksi. Seiring dengan kebijakan pintu terbuka yang dilancarkan oleh Orde Baru, maka operasi modal asing di bidang pertambangan minyak dan gas bumi terus bertambah. Bersama dengan adanya faktor bom minyak, maka penanaman modal asing berhasil menjadi salah satu faktor penting yang mendorong sektor pertambangan minyak dan gas bumi sebagai motor penggerak roda perekonomian negara. Kata Kunci : Kebijakan, Penanaman Modal Asing, Pertambangan, Minyak dan Gas Bumi Abstract Foreign investment in the mining sector already operates in petroleum and gas sector Indonesia since the first discovery of petroleum in 1883 by A.J.Zilker. Foreign Investment in the time it was started by major companies De Koninlijke and Shell. Foreign capital operating in the mining sector, the petroleum and natural gas lies in exploration activities (search) to the development of production. Along with the open-door policy pursued by the New Order, the operation of foreign capital in the mining of petroleum and natural gas continue to grow. Together with factors petrol bombs, then foreign investment managed to become one of the important factors that encourage the mining sector of petroleum and natural gas as the driving force of the country's economy. Keywords: Policy. Foreign Investment, Mining, Petroleum and Natural Gas A. PENDAHULUAN Orde Baru sebagai Pemerintahan yang lekat dengan citra pembangunan senantiasa menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas utama. Bahkan, sejak awal kemunculannya, Pemerintah Orde Baru dalam berbagai kesempatan baik dalam acara pidato Presiden maupun berbagai pertemuan publik senantiasa menyebutkan persoalan terkait kebijakan yang memberi prioritas pada pemulihan ekonomi nasional. Tekanan khusus diberikan pada produksi pangan dan sandang, sedang modal asing didorong, terutama di sektor industri dan pertambangan. 1 Komitmen untuk menempatkan prioritas pada industri pertambangan didasarkan pada kesadaran bahwa industri pertambangan merupakan sumber modal yang pasti mendatangkan keuntungan. Adapun 1 Anne Booth dan Peter McCawley (ed.).1986.Ekonomi Orde Baru.Jakarta:LP3ES.hlm.4. salah satu industri pertambangan yang paling digalakkan pengelolaannya oleh pemerintah adalah industri pertambangan minyak dan gas bumi. Sejak zaman Belanda, pertambangan minyak dan gas bumi adalah jenis sumber alam yang telah terbukti keterandalannya dalam menghasilkan devisa. Terutama pada dasawarsa awal rezim Orde Baru, pembuktian minyak dan gas bumi sebagai modal alam yang mampu menyelamatkan ekonomi negara dari kebangkrutan benar-benar terjadi. Pasalnya, dalam kurun 1967-1981, pendapatan minyak terus mengalami kenaikan. Puncaknya, di tahun 1981, minyak dan gas bumi menyumbang 81% pendapatan negara. Pencapaian penerimaan minyak dan gas bumi yang besar tersebut secara tidak langsung menyiratkan tentang kemampuan negara dalam memproduksi minyak dan gas bumi. Logikanya, tidak mungkin ada eskpor tanpa adanya jaminan produksi yang tinggi. brought to you by CORE View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk provided by Jurnal Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Upload: others

Post on 24-May-2022

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

778

PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI

NASIONAL PADA MASA ORDE BARU TAHUN 1967-1981

ENI SUSANTI Jurusan Pendidikan Sejarah

Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya

E-mail: [email protected]

Agus Trilaksana Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum

Universitas Negeri Surabaya

Abstrak

Penanaman modal asing sudah beroperasi di sektor pertambangan minyak dan gas bumi Indonesia

sejak ditemukannya minyak untuk pertama kali pada tahun 1883 oleh A.J. Zilker. Penanaman Modal

Asing pada masa itu dimulai oleh perusahaan mayor De Koninlijke dan Shell. Operasi modal asing di

sektor pertambangan minyak dan gas bumi terletak pada kegiatan eksplorasi (pencarian) hingga

pengembangan produksi. Seiring dengan kebijakan pintu terbuka yang dilancarkan oleh Orde Baru, maka

operasi modal asing di bidang pertambangan minyak dan gas bumi terus bertambah. Bersama dengan

adanya faktor bom minyak, maka penanaman modal asing berhasil menjadi salah satu faktor penting yang

mendorong sektor pertambangan minyak dan gas bumi sebagai motor penggerak roda perekonomian

negara.

Kata Kunci : Kebijakan, Penanaman Modal Asing, Pertambangan, Minyak dan Gas Bumi

Abstract

Foreign investment in the mining sector already operates in petroleum and gas sector Indonesia since the first discovery of petroleum in 1883 by A.J.Zilker. Foreign Investment in the time it was started by major companies De Koninlijke and Shell. Foreign capital operating in the mining sector, the petroleum and natural gas lies in exploration activities (search) to the development of production. Along with the open-door policy pursued by the New Order, the operation of foreign capital in the mining of petroleum and natural gas continue to grow. Together with factors petrol bombs, then foreign investment managed to become one of the important factors that encourage the mining sector of petroleum and natural gas as the driving force of the country's economy.

Keywords: Policy. Foreign Investment, Mining, Petroleum and Natural Gas

A. PENDAHULUAN

Orde Baru sebagai Pemerintahan yang lekat

dengan citra pembangunan senantiasa menempatkan

pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas utama.

Bahkan, sejak awal kemunculannya, Pemerintah Orde

Baru dalam berbagai kesempatan baik dalam acara

pidato Presiden maupun berbagai pertemuan publik

senantiasa menyebutkan persoalan terkait kebijakan

yang memberi prioritas pada pemulihan ekonomi

nasional. Tekanan khusus diberikan pada produksi

pangan dan sandang, sedang modal asing didorong,

terutama di sektor industri dan pertambangan.1

Komitmen untuk menempatkan prioritas pada

industri pertambangan didasarkan pada kesadaran

bahwa industri pertambangan merupakan sumber

modal yang pasti mendatangkan keuntungan. Adapun

1 Anne Booth dan Peter McCawley (ed.).1986.Ekonomi

Orde Baru.Jakarta:LP3ES.hlm.4.

salah satu industri pertambangan yang paling

digalakkan pengelolaannya oleh pemerintah adalah

industri pertambangan minyak dan gas bumi.

Sejak zaman Belanda, pertambangan minyak

dan gas bumi adalah jenis sumber alam yang telah

terbukti keterandalannya dalam menghasilkan devisa.

Terutama pada dasawarsa awal rezim Orde Baru,

pembuktian minyak dan gas bumi sebagai modal alam

yang mampu menyelamatkan ekonomi negara dari

kebangkrutan benar-benar terjadi. Pasalnya, dalam

kurun 1967-1981, pendapatan minyak terus mengalami

kenaikan. Puncaknya, di tahun 1981, minyak dan gas

bumi menyumbang 81% pendapatan negara.

Pencapaian penerimaan minyak dan gas bumi yang

besar tersebut secara tidak langsung menyiratkan

tentang kemampuan negara dalam memproduksi

minyak dan gas bumi. Logikanya, tidak mungkin ada

eskpor tanpa adanya jaminan produksi yang tinggi.

brought to you by COREView metadata, citation and similar papers at core.ac.uk

provided by Jurnal Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Page 2: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

779

Kemampuan produksi negara ini, secara teknis bisa

diwakili oleh perusahaan pertambangan minyak dan

gas bumi negara atau diwakili oleh perusahaan-

perusahaan minyak dan gas bumi asing yang

bekerjasama dengan Pemerintah.

Ekonomi Orde Baru dijuluki oleh Mudrajad

Kuncoro sebagai “tangan bergelantungan pada bantuan

luar negeri, sedang kakinya berpijak pada minyak”.2

Kesan tersebut tentu tidak lepas dari kenyataan bahwa

selama periode yang diamati (1967-1981) Indonesia

telah menjadi importer modal. Arus masuk modal asing

(net capital inflows) meningkat dari hampir 300 juta

dolar AS per tahun pada akhir 1960-an hingga lebih

dari 3 miliar dolar AS pada tahun 19843 dengan porsi

terbesar PMA dialokasikan di sektor pertambangan dan

minyak, sedangkan peringkat kedua di sektor

manufaktur. Merujuk pada fakta Indonesia termasuk

negara berkembang penerima modal terbesar sejak

tahun 1960-an, khususnya di sektor pertambangan

minyak dan gas bumi, sehingga cukup kuat untuk

mengatakan adalah penting pembahasan tentang

masalah modal asing pada kurun 1967-1981,

khususnya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

spesialisasi peran Penanaman Modal Asing (PMA) di

sektor pertambangan minyak dan gas bumi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka

dirumuskan pertanyaan penelitian berikut: 1)

Bagaimana Kebijakan pemerintah Orde Baru tentang

Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor

pertambangan minyak dan gas bumi nasional? 2)

Bagaimana pertumbuhan modal asing di sektor

pertambangan minyak dan gas bumi nasional tahun

1967-1981? 3) Bagaimana implikasi pertumbuhan

penanaman modal asing tersebut bagi perekonomian

nasional tahun 1967-1981? Adapun tujuan dilakukan

penelitian ini adalah untuk menganalisis kebijakan

Orde Baru tentang penanaman modal asing di sektor

pertambangan minyak dan gas bumi, menganalisis

pertumbuhan PMA di sektor pertambangan minyak dan

gas bumi selama kurun waktu 1967-1981, dan

menganalisis implikasi pertumbuhan tersebut bagi

perekonomian negara selama kurun waktu 1967-1981.

Harapannya, dengan diterbitkannya tulisan ini

dapat menambah wawasan tentang Sejarah

pertambangan minyak dan gas bumi negara dan

menjadi salah satu sumber rujukan untuk mendalami

kompetensi dasar ekonomi kehidupan bangsa Indonesia

di masa Orde Baru dan Reformasi, khususnya yang

menyangkut evaluasi dari segi ekonomi Orde Baru.

2 Mudrajad Kuncoro.2006.Ekonomika Pembangunan:Teori,

Masalah, dan Kebijakan, Edisi Keempat.Yogyakarta:UPP STIM

YKPN Hlm.275. 3 Ibid.Hlm.274.

B. METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode penelitian Sejarah. Metode penelitian

Sejarah yang dimaksud di sini adalah merujuk pada

prosedur atau langkah-langkah penelitian Sejarah.

Secara umum, penelitian dengan metode Sejarah ini

meliputi empat tahapan penelitian, yaitu heuristik,

kritik, interpretasi, dan historiografi. Adapun proses

penelitian pada masing-masing tahapan dijelaskan

sebagai berikut:

1. Heuristik: Heuristik dari bahasa Yunani: heuriskein

yang artinya menemukan 4 atau dalam bahasa

Jerman Quellenkunde, sebuah kegiatan mencari

sumber-sumber untuk mendapatkan data-data, atau

materi Sejarah, atau evidensi Sejarah.5 Pada tahap

ini diterapkan teknik telaah pustaka (literarure

research), dengan mengunjungi tempat-tempat

yang diprediksikan berpotensi menyimpan jejak-

jejak Sejarah yang dibutuhkan oleh peneliti seperti

badan arsip atau perpustakaan. Melalui badan Arsip

Nasional Republik Indonesia, peneliti berhasil

mendapatkan beberapa sumber primer antara lain

Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing, laporan Moh.Sadli (ketua

tim teknis penanaman modal asing) pada 9 Maret

1967 tentang kemajuan mengenai, serta masalah-

masalah sekitar pelaksanaan proyek Penanaman

Modal Asing (PMA). Khusus terkait pertumbuhan

modal asing di sektor minyak dan gas bumi,

peneliti berhasil menemukan draft daftar proyek-

proyek Penanaman Modal Asing (PMA) yang

disetujui oleh Pemerintah bulan Juli 1969 dibuat

oleh sekretariat kabinet RI. Progress report

(laporan perkembangan) proyek penanaman modal

asing dan dalam negeri, dan beberapa sumber

primer lainnya yang penting artinya untuk

menjawab rumusan masalah penelitian. Sementara

itu, dari perpustakaan, didapatkan sumber penting

berupa buku keluaran Departemen Pertambangan

dan Energi yang berjudul 40 tahun sejarah

pertambangan minyak dan gas bumi. Buku tersebut

sangat penting sebagai sumber pemahaman tentang

pertumbuhan PMA di sektor pertambangan minyak

dan gas bumi.

2. Kritik sumber. Menurut Langlois dan Seignobos,

kritik ini pada intinya adalah kegiatan-kegiatan

analitis (operations analytiques; analytical

operations criticsm) yang harus ditampilkan oleh

4 M., Sardiman A.2004.Memahami Sejarah.Yogyakarta:FIS

UNY dan BIGRAF Publishing.hlm.101. 5 Helius Sjamsudin.2007.Metodologi

Sejarah.Yogyakarta:Ombak.hlm.86.

Page 3: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

780

para sejarawan terhadap dokumen-dokumen setelah

mengumpulkan mereka dari arsip-arsip.

3. Interpretasi. Dalam ilmu Sejarah, Interpretasi dapat

diartikan sebagai penafsiran. Inti dari kegiatan

interpretasi adalah melakukan kegiatan kontemplasi

(merenung dan berpikir dengan penuh perhatian)

berdasarkan fakta-fakta yang telah dikumpulkan.

Dalam tahap ini juga melibatkan teknik analisis

berdasarkan teori peran gagasan dalam kebijakan

publik dan teori investasi.

4. Historiografi. Ini merupakan tahap terakhir dalam

metode penelitian Sejarah. Pada tahapan ini,

peneliti menuangkan hasil interpretasi ke dalam

bentuk akhir berupa jurnal yang berjudul

“Penanaman Modal Asing Sektor Pertambangan

minyak dan gas bumi Nasional pada Masa Orde

Baru Tahun 1967-1981”.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Latar Belakang Kebijakan Menarik Modal Asing

ke Dalam Sektor Industri Pertambangan Minyak

dan Gas Bumi Nasional

1. Kondisi Ekonomi Nasional Masa Awal

Pemerintahan Orde Baru

Pada masa transisi kekuasaan, Pemerintah Orde

Baru mewarisi struktur kehidupan ekonomi yang

demikian buruk. Buruknya kondisi ekonomi tersebut

digambarkan oleh defisit anggaran pemerintah, hutang

luar negeri yang menumpuk, dan inflasi yang

membumbung tinggi. Sejak 1958 sampai 1967,

pertumbuhan GDP rata-rata per tahun menurut Laporan

Bank Dunia/PBB adalah 1,71 % di bawah rata-rata

pertumbuhan penduduk.6

Secara keseluruhan, perkembangan ekonomi

Indonesia pada masa Orde Lama memperlihatkan

kemunduran. Kemunduran pertumbuhan ekonomi

tersebut terjadi di hampir seluruh sektor ekonomi. Pada

bidang moneter terjadi pemotongan nilai mata uang

yang menyisakan nilai sepersepuluh dari nilai mata

uang kertas yang sedang beredar. Pada saat itu pula

terjadi ledakan peredaran mata uang yang berimplikasi

pada naiknya inflasi yang juga dibarengi dengan defisit

anggaran Pemerintah yang merosot drastis. Namun,

bagai kemalangan yang tak berujung, memburuknya

ekonomi Indonesia saat itu tidak hanya berhenti pada

masalah cadangan keuangan dan harga barang. Pada

1966, Indonesia juga dihadapkan dengan masalah

beban pelunasan hutang luar negeri yang jatuh tempo.

Demokrasi Terpimpin menciptakan hutang luar negeri

yang berjumlah $ 2.358 juta. Hampir 42 persen kepada

6 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.1996.Sejarah

Perekonomian Indonesia.Jakarta:CV. Defit Prima Karya.Hlm.98.

Uni Soviet; hampir 10 persen kepada Jepang dan 7,5

persen kepada Amerika Serikat. Pembayaran kembali

hutang tersebut dijadwalkan selama tujuh tahun. Pada

1966 harus membayar kembali $530 juta hutang luar

negeri dan $ 270 juta dalam tahun 1967. Jumlah hutang

tersebut belum termasuk beban kompensasi program

nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di

Indonesia.

Stabilisasi ekonomi tentu saja menjadi respon

logis dari Pemerintah Orde Baru untuk mengakhiri

tahun-tahun suram itu. Pada intinya, propaganda Orde

Baru sebagai pemegang pemerintahan selanjutnya

adalah menggemborkan pendapat umum yang

mengutamakan penyelamatan ekonomi. Adapun

langkah yang dipilih Orde baru adalah menerapkan

strategi outward looking, yaitu membuka diri seluas-

luasnya terhadap hubungan ekonomi internasional,

mengintegrasikan perekonomian Indonesia dengan

sistem kapitalis, dan membuka kembali perekonomian

terhadap penetrasi modal asing. Langkah tersebut

diambil tidak lain untuk segera mendapatkan modal

untuk menyelamatkan ekonomi nasional dari

kebangkrutan di tahun 1967.

Modal tentu faktor mutlak untuk dapat

melaksanakan pembangunan. Ketersediaan modal

adalah suatu keniscayaan dan diakui sebagai kunci

utama ke arah keberhasilan pembangunan. Mengutip

pendapat Lewis; “like everything else, economic

growth has its costs” – Seperti juga berbagai hal

lainnya, pertumbuhan ekonomi ada biayanya”.

Berpangku pada realitas, tentu dengan kondisi Orde

Baru yang mewarisi ekonomi yang demikian buruk

jelas tidak mungkin untuk mengandalkan modal swasta

dalam negeri apalagi modal pemerintah. Atas dasar

pemikiran itu, maka Pemerintah memutuskan untuk

segera menjalankan langkah penyelamatan ekonomi

dengan mengandalkan kemampuan modal internasional

yang berarti di dalamnya juga termasuk PMA

(Penanaman Modal Asing). Selanjutnya, sesuai teknis,

maka investor yang tertarik untuk bergabung, akan di

arahkan ke sektor-sektor ekonomi, dan berdasarkan

aturan Undang-Undang PMA yang diterbitkan Orde

Baru, sektor pertambangan minyak dan gas bumi

termasuk dalam sektor yang terbuka bagi penetrasi

modal asing.

Industri minyak dan gas bumi dikenal sebagai

industri yang padat modal (high cost), padat teknologi

(high technology), dan padat resiko (high risk).

Kesadaran akan sifat usaha yang berat, namun

bersamaan dengan itu juga sangat menguntungkan

apabila berhasil, maka jadilah penilaian kemampuan

usaha itu hanya bisa disematkan pada perusahaan-

perusahaan yang berani, agresif, dan berpengalaman.

Page 4: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

781

Sementara itu, rendahnya kemampuan pembiayaan

negara selama masa krisis dan mawas diri akan

minimnya pengalaman dalam pengelolaan industri

pertambangan minyak dan gas bumi tak pelak pula

menambah dorongan Pemerintah mengundang modal

asing untuk turut serta dalam pengelolaan minyak dan

gas bumi dalam negeri. Dalam keadaan serba terhimpit

ketika itu, dalam sudut pandang perminyakan,

pemerintah telah berada pada suatu titik keasadaran

akan bekal alam yang dimiliki, selanjutnya adalah

bagaimana mendongkrak modal alam tersebut agar

bermanfaat nyata melalui kebijakan yang tepat, dan

pada akhirnya, pilihan jatuh pada keputusan melibatkan

modal asing ke dalam sektor pertambangan minyak dan

gas bumi nasional dengan catatan, bahwa kali itu,

kebijakan yang akan dirumuskan jauh lebih nyaman

bagi kontraktor pertambangan minyak dan gas bumi.

Meskipun judul besarnya adalah suntikan

modal, fokus harapan dari realisasi penanaman modal

asing di industri minyak dan gas bumi ketika masa

krisis itu adalah secepatnya terjadi alih manajemen dan

keterampilan perminyakan dari kontraktor asing

kepada perusahaan minyak dan gas bumi dalam negeri.

Perusahaan minyak dan gas bumi nasional diharapkan

dapat berkembang dan mencapai usaha yang mandiri

dengan terjalinnya kerjasama dengan perusahaan

minyak dan gas bumi asing. Itulah sebabnya, tawaran

modal asing yang menawarkan kemampuan dalam hal

modal, teknologi, dan keterampilan yang ketiganya

merupakan faktor yang dibutuhkan untuk

mempercepat pengembangan perusahaan minyak dan

gas bumi dalam negeri, menjadi faktor yang

mendorong kerjasama dengan modal asing. Dalam hal

ini, agaknya dapat ditangkap keinginan Pemerintah

untuk menggunakan modal asing sebagai batu

loncatan. Kehadiran mereka di Indonesia diharapkan

mampu menjadi contoh bagi pengembangan

pengetahuan perusahaan minyak negara tentang ilmu

perminyakan, sehingga dengan demikian dapat dicapai

cita-cita The Rising and Exploding Demands, revolusi

Indonesia untuk meningkatkan ketahanan nasional

dalam rangka melaksanakan prinsip kemandirian dalam

bidang ekonomi, khususnya perminyakan.

2. Sikap Pemerintah Terhadap Modal Asing di

Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

Sebelum Dan Sesudah Tahun 1967

Selama setengah abad, kebijakan investasi asing

di Indonesia hampir memasuki keseluruhan spektrum

kebijakan, mulai dari posisi pintu terbuka, menentang,

sampai pengambilalihan modal asing.7 Kebijakan yang

7 Hill, Hal.1991.Investasi asing dan industrialisasi di

Indonesia.Jakarta:LP3ES.Hlm.2.

penuh dengan kapitalisasi dan ekspor besar-besaran di

industri ekstraktif dan perniagaan terjadi pada masa

Hindia Belanda. Beranjak dari masa itu menuju pada

pendirian negara kesatuan, kehidupan modal asing di

Indonesia diwarnai dengan konsep kebijakan yang

bertendensi untuk menentang segala yang berbau

kapital. Sikap inward looking ini pernah menjadi

predikat Indonesia pada masa Orde Lama.

Pada masa Ekonomi Terpimpin yang

berlangsung sebelum tahun 1967, kegiatan

pembangunan ekonomi diarahkan agar berjalan sesuai

konsepsi yang dirancang oleh Soekarno. Konsep

tersebut berbunyi ekonomi sosialistis. Ekonomi

sosialistis ini menghendaki kehadiran negara di dalam

kehidupan setiap sektor ekonomi. Atas dasar gagasan

itu, maka peran swasta di sini kurang mendapat porsi

termasuk di dalamnya modal swasta asing.

Pemerintah sebelum tahun 1967 merupakan

rezim Pemerintahan generasi satu yang sangat kental

dengan semangat nasionalisme. Semangat nasionalisme

tersebut juga dibarengi dengan sikap yang sangat benci

terhadap kapitalisme. Sikap yang demikian tentu saja

membuat kapital asing sulit untuk memasuki wilayah

ekonomi nasional. Semangat pusat yang gencar

menyuarakan persepsi anti asing, tentu saja juga

mempengaruhi tingkat lokal untuk bersikap sama.

Bertolak pada alasan itu, maka gemuruh suara anti

kapitalisme dan anti asing bergitu kental dalam

kehidupan ekonomi nasional sebelum tahun 1967.

Sikap anti dan kebencian terhadap modal asing

mencapai puncaknya dengan diterbitkannya Undang-

Undang No.16 Tahun 1965 yang merupakan revisi dari

UU No.78 tahun 1957. Revisi yang dibarengi dengan

memuncaknya gerakan revolusi dan konfrontasi

terhadap asing seakan mempengaruhi isi dari revisi

tersebut. Revisi tersebut menunjukkan betapa

Pemerintah sebelum tahun 1967 menunjukkan dengan

gamblang akan kecurigaan mereka atas modal asing

Revisi Undang-Undang Penanaman Modal Asing

tersebut dibuat atas dasar pertimbangan kesadaran akan

sifat dasar modal asing yang eksploitatif yang hanya

mengejar keuntungan dan dengan demikian menghisap

rakyat dan menghalangi sosialisme Indonesia.

Disebutkan bahwa Sosialisme Indonesia dengan sistem

berdikari harus benar-benar bersih dari imperialisme

dan feodalisme sehingga di dalamnya harus mengikis

habis modal asing. Pertimbangan yang sangat

revolusioner tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa

Pemerintahan sebelum 1967 berdiri pada garis

ekonomi-politik yang anti modal asing. Namun, pada

akhirnya, sikap inilah yang menjadi bumerang. Orde

Lama pada akhirnya harus tumbang sebagai akibat

pilihannya untuk mengisolasi diri dari modal asing.

Page 5: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

782

Pilihan untuk tetap mempertahankan sikap meniadakan

kerjasama dengan modal asing di tengah kondisi

ekonomi yang semakin menunjukan kemerosotan pada

akihirnya menunjukkan praktik ekonomi “besar pasak

daripada tiang”. Hal tersebut selanjutnya mencuatkan

kekecewaan atas kegagalan Soekarno dalam

melaksanakan pembangunan ekonomi.

Sebagai bekas negara kolonial, Indonesia selalu

peka terhadap masalah dominasi ekonomi asing.

Namun, salah satu konsekuensi dari Ekonomi

Terpimpin yang membuktikan sulitnya membangun

pertumbuhan ekonomi dengan cara mengisolasi diri

dari modal asing, tak pelak memaksa pemerintah baru

untuk bersikap rasional dan realistis. Tanpa modal tak

mungkin ada pembangunan, sedangkan modal ketika

itu tak mungkin diharapkan datang dari dalam negeri.

Bertolak pada pemikiran itu, maka jalan cepat yang

bisa ditempuh adalah menarik modal asing dengan.

“harga yang harus dibayar” adalah turut sertanya

tangan-tangan asing dalam pengelolaan sektor-sektor

nasional, termasuk yang paling vital sekalipun seperti

pertambangan minyak dan gas bumi. Atas dasar

pemikiran ekonomi yang rasional dan realistis, maka

pemerintah yang baru menampakkan sikap yang baru

pula. Mengambil sikap yang berbeda, masalah modal

asing yang senantiasa dipandang sebagai penghisap

dan senantiasa merugikan di masa lalu, berbalik

dipandang sebagai sebuah faktor yang penting bagi

upaya penyelamatan krisis ekonomi yang mendera di

awal-awal pemerintahan Orde Baru. Oleh karena

itulah, pemerintah segera mengeluarkan Undang-

Undang Penanaman Modal Asing (PMA). Segera

setelah Ketetapan MPRS No. XXIII terbentuk, maka

aturan tentang modal asing menjadi urusan pertama

yang masuk dalam meja kerja para perumus kebijakan

Orde Baru.

3. Teknokrat Orde Baru dan Kebijakan

Liberalisasi Ekonomi

Kehidupan ekonomi politik masa pemerintahan

Orde Lama menuju awal pemerintah Orde Baru dengan

jelas menunjukkan suatu transformasi yang signifikan.

Transformasi tersebut ditunjukkan dari sikap

Pemerintah tentang garis ekonomi yang pertama sangat

sentralistis dan anti asing menuju kepada perubahan

yang sangat drastis menuju sikap yang pro terhadap

mekanisme pasar. Perubahan umum garis ekonomi

politik tersebut tentu tidak secara tiba-tiba terjadi.

Dalam proses tranformasi itu, tentu ada kelompok yang

memenangkan gagasan tentang haluan kapitalis dan

kelompok penggerak tentu merupakan kelompok

intelektual yang mempunyai posisi penting dalam

politik Orde Baru sehingga dapat membawa perubahan

arah ekonomi politik secara signifikan. Kelompok

itulah yang sering disebut sebagai teknokrat ekonomi

Orde Baru.

Teknokrat ekonomi Orde Baru terdiri dari

orang-orang yang ditunjuk oleh Soeharto secara pribadi

untuk menjadi pensaehat ekonominya. Teknokrat yang

berperan sebagai arsitek utama pembangunan Orde

Baru adalah kelompok ekonom terdidik dari University

of California, Berkeley atas beasiswa dari Ford

Foundation. Sebelumnya, mereka semua adalah guru

besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Kelompok teknokrat Orde Baru ini terdiri dari Widjojo

Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Subroto,

Mohammad Sadli, dan J.B. Sumarlin.

Pada suatu titik sejak 1959, yaitu ketika

angkatan itu mengambil gelar doktor di Berkeley,

mereka belajar di bawah bimbingan beberapa ekonom

terkemuka, seperti Liebenstein, Rosovsky, dan

Papendrou. 8 Mulai dari sinilah, mereka kemudian

memutuskan untuk membersihkan sikap konservatif.

Selama belajar di Berkeley, mereka sering melakukan

pertemuan diskusi dan dari sinilah kelompok Mafia

Berkeley itu terbentuk.

Pasca kepulangan mereka ke tanah air pada

1964, mereka langsung terlibat aktif dalam politik

melalui universitas bersama dengan cendekiawan dan

aktivis mahasiswa membentuk aliansi untuk

mengkritik sistem ekonomi ala Soekarno. Selain itu,

mereka juga aktif bergerak untuk merealisasikan

gagasan baru mereka dengan menerbitkan buku-buku

yang berisi tentang kritikan terhadap ekonomi

Soekarno.

Bak gayung bersambut, di tengah upaya mereka

untuk melancarkan kritik agar terdapat perombakan

ekonomi Soekarno yang dinilai buruk, mereka akhirnya

mendapatkan dukungan yang lebih antusias seiring

posisi Soekarno yang melemah pasca peristiwa

September 1965. Perjuangan yang paling menentukan

adalah ketika diadakannya dua seminar yang sangat

menentukan. seminar pertama disponsori oleh KAMI

dan seminar kedua terselenggara atas kerjasama KAMI

dan KASI yang betapa hasil dari seminar tersebut

menjadi sangat penting dan berpengaruh dengan

dimasukkannya saran-saran dari seminar tersebut

menjadi kebijakan ekonomi pada tanggal 12 April

1966, oleh kabinet Dwikora Yang Disempurnakan dan

sekali lagi di dalam ketetapan MPRS No. XIII 5 Juli

1966 tentang pembaruan ekonomi. Dalam kedua

seminar tersebut seluruh anggota “kelompok ekonomi

Widjojo” berpartisipasi. Sebagian poin utama dalam

saran tersebut adalah menghendaki keterbukaan diri

Indonesia terhadap modal asing dalam melaksanakan

pembangunan.

8 Mallarangeng, Rizal.2004.Mendobrak Sentralisme

Ekonomi. Indonesia 1986-1992.Jakarta:KPG bekerjasama dengan Freedom Institute.Hlm.43.

Page 6: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

783

Peran penting teknokrat Orde Baru dalam cerita

pembangunan Orde Baru yang melibatkan modal asing

adalah peran mereka sebagai pembuat kebijakan.

Pengetahuan mereka tentang gagasan ekonomi

pembangunan terbaik yang mereka pelajari dari

Berkeley telah mengarahkan mereka pada keyakinan

untuk mengubah tujuan mereka sepenuhnya pada

realisasi pembangunan ekonomi berdasarkan

pengetahuan mereka selama berkuliah.

Berlatarbelakang intelektual yang terdidik secara Barat

dan sejarah panjang tentang kontribusi mereka dalam

perdebatan ekonomi pembangunan, maka ketika tiba

masa mereka memegang peranan politik, mereka

membuat kebijakan yang sesuai dengan gagasan yang

mereka yakini, yakni sistem ekonomi yang percaya

pada bekerjanya sistem pasar. Sistem pasar di sini

dimaksudkan pula sebagai keterbukaan negara terhadap

aliran modal asing. Dengan aturan yang sederhana,

janji kondusifitas politik, dan insentif-insentif yang

menarik menjadi alasan kebijakan Undang-Undang

Penanaman Modal Asing (UUPMA) dinilai sebagai

produk hukum yang sangat liberal. UUPMA tersebut

dimaksudkan sebagai jaminan hukum bagi pemodal

asing untuk masuk ke berbagai sektor ekonomi

nasional, termasuk di dalamnya adalah sektor

pertambangan minyak dan gas bumi.

Kebijakan Penanaman Modal Asing di Sektor

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional

1. Kebijakan PMA sektor Pertambangan

Minyak dan Gas Bumi Berdasarkan UU

No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman

Modal Asing

Ketentuan-ketentuan penanaman modal asing

pada masa Orde Baru bersumber pada Undang-Undang

No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing

(PMA). Maksud dari undang-undang ini adalah untuk

memberi jaminan-jaminan hukum kepada investor

asing, memberikan insentif-insentif fiskal yang

menarik, dan juga untuk menetapkan kewajiban-

kewajiban para investor terhadap perkembangan

ekonomi nasional.

Dalam UUPMA dinyatakan dengan jelas bahwa

modal asing pada pemanfaatannya akan disebar pada

sektor-sektor ekonomi potensiil. Pada masa Orde Baru,

sektor ekonomi yang juga menjadi salah satu bagian

prioritas untuk dimanfaatkan bagi pembangunan jangka

panjang dan ditransformasikan nilainya menjadi

ekonomi riil sehingga memerlukan keterlibatan modal

asing adalah sektor pertambangan minyak dan gas

bumi.

Sesuai dengan tujuan dibuatnya UUPMA yaitu

untuk memberikan ketegasan hukum dan informasi

kemudahan kepada investor asing, UUPMA

mengandung beberapa kemudahan aturan. Umumnya,

kelonggaran tersebut berkisar pada masalah keringanan

pajak. Kelonggaran tersebut dimaksudkan sebagai

insentif yang dapat menarik modal asing. Kelonggaran

pajak tersebut juga berlaku pada industri pertambangan

minyak dan gas bumi. Secara lebih rinci, berikut

insentif yang ditawarkan UUPMA pada sektor

pertambangan minyak dan gas bumi. Kelonggaran ini

disebutkan pada pasal 15. Adapun kelonggaran-

kelonggaran perpajakan dan pungutan lain yang

dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Pembebasan:

1) Pajak perseoran atas keuntungan untuk

jangka waktu tertentu yang tidak melebihi

jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari

saat usaha tersebut mulai berproduksi;

2) Pajak dividen atas bagian laba yang

dibayarkan kepada pemegang saham, sejauh

laba tersebut diperoleh dalam jangka waktu

yang tidak melebihi waktu 5 (lima) tahun

dari saat usaha tersebut mulai berproduksi;

3) bea masuk pada waktu pemasukan barang-

barang perlengkapan tetap ke dalam wilayah

Indonesia seperti mesin-mesin, alat-alat

kerja atau pesawat-pesawat yang diperlukan

untuk menjalankan perusahaan itu;

4) Bea materai modal atas penempatan modal

yang berasal dari penanaman modal asing;

b. Keringanan:

1) Atas pengenaan pajak perseroan dengan

suatu tarif yang proporsionil setinggi-

tingginya lima puluh per seratus untuk

jangka waktu yang tidak melebihi 5 (lima)

tahun sesudah jangka waktu pembebasan

sebagai yang dimaksud dalam angka 1

tersebut di atas;

2) Dengan cara memperhitungkan kerugian

yang diderita selama jangka waktu

pembebasan yang dimaksud pada sub a

angka 1, dengan keuntungan yang harus

dikenakan pajak setelah jangka waktu

tersebut di atas;

3) Dengan mengizinkan penyusutan yang

dipercepat atas alat-alat perlengkapan tetap;9

Pada UUPMA ini, jangka waktu penanaman

modal asing dibatasi sampai 30 tahun. Khusus

pertambangan minyak dan gas bumi, jangka waktu

tersebut merupakan sebuah perbaikan jika

dibandingkan dengan Indische Mijnwet yang jauh lebih

lama, yaitu 40 tahun.

Pada tahun 1970, guna menyesuaikan dengan

perubahan aturan tentang perpajakan, Pemerintah

mengeluarkan UU No.11 Tahun 1967 untuk

9 Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman

Modal Asing Pasal 15.

Page 7: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

784

menambah dan merubah UU No.1 Tahun 1967 tentang

penanaman modal asing. Berdasarkan analisa terhadap

substansi undang-undang tersebut, ditemukan bahwa

perubahan tersebut tampak sangat jelas secara khusus

juga tertuju bagi keuntungan perusahaan minyak dan

gas bumi asing yang mengadakan kontrak di Indonesia.

Hal tersebut berdasarkan pada penyebutan pasal-pasal

perubahan yang menunjuk pada kriteria yang dimiliki

perusahaan minyak dan gas bumi. Pasal 1

menyebutkan tentang perubahan pasal 15 UUPMA

No.1 Tahun 1967 yang diubah seluruhnya sehingga

kelonggaran perpajakan menjadi meliputi kebebasan

atas bea materai modal; bea masuk dan pajak

penjualan; bea balik nama; pajak perseroan. Persoalan

pembebasan bea masuk dan pajak penjualan, tentu saja

sangat penting artinya bagi kontraktor minyak dan gas

bumi. Pasalnya, segala teknologi yang digunakan

dalam operasi pertambangan senantiasa didatangkan

dari luar negeri. Insentif yang berkenaan dengan

pembebasan pajak yang berkaitan dnegan impor tentu

menjadi poin menarik yang dapat mendorong kontrak

penanaman modal asing di sektor minyak dan gas

bumi.

Perubahan juga dilakukan pada Pasal 16

UUPMA No.1 Tahun 1967. Secara langsung,

perubahan tersebut juga memberikan keuntungan bagi

perusahaan minyak dan gas bumi asing yang membuat

kontrak dengan pemerintah. Sebagai perusahaan yang

termasuk dalam kategori yang berkecimpung dalam

bidang produksi dan mendapat prioritas dari

Pemerintah karena peranannya dalam kegiatan ekspor

dan penyediaan bahan bakar, maka mereka termasuk

dalam bidang yang diberikan pembebasan pajak

perseroan selama dua tahun (masa bebas pajak)

tehitung sejak perusahaan minyak dan gas bumi asing

tersebut mulai berproduksi. Perubahan dari

kelonggaran menjadi pembebasan pajak perseroan juga

pasti menjadi poin yang sangat menarik hati para

perusahaan perseroan minyak dan gas bumi asing kala

itu. Semakin menarik bagi kontraktor minyak, undang-

undang tersebut juga memperkenankan menteri

keuangan untuk dapat memperpanjang jangka waktu

masa bebas pajak (tax holiday) selama satu tahun masa

tambahan jika perusahaan minyak dan gas bumi asing

tersebut dapat memberi sumbangan devisa negara

secara beararti. Karena masuk dalam fungsi penambah

devisa, perusahaan minyak dan gas bumi asing juga

semakin mendapatkan peluang perpanjangan tax

holiday. Selanjutnya, seperti yang disebutkan dalam

pada 16 tentang penanaman modal di luar Jawa, maka

kontraktor bisa mendapatkan tambahan bebas pajak

selama satu tahun. Tambahan waktu bebas pajak

bertambah kembali dengan merujuk poin 3 pasal 16

yang memberikan masa bebas pajak bagi penanaman

modal yang memerlukan modal besar untuk

membangun prasarana dan atau menghadapi resiko

besar dari kegiatan usahanya, dan ini tentu saja adalah

mutlak merupakan karakter dan sifat dari usaha

pertambangan minyak dan gas bumi, dan karena itu

mereka juga berhak atas ketentuan ini. Selain itu,

perusahaan minyak dan gas bumi asing juga masih bisa

mendapatkan peluang bebas pajak satu tahun dengan

masuk pada kategori sebagai sektor ekonomi yang

diprioritaskan. Poin-poin yang menyatakan

pembebasan pajak dan pungutan lain inilah yang

menjadi titik kebijakan ini dinilai sangat lunak dan

terbuka, bahkan juga liberal.

1. Kebijakan Penanaman Modal Asing

Sektor Pertambangan Minyak dan Gas

Bumi Menurut Undang-Undang No. 8

Tahun 1971 tentang Pertambangan

Minyak dan Gas Bumi Negara

Dalam persoalan pengelolaan minyak dan gas

bumi yang diatur oleh negara, Undang-Undang

PERTAMINA sebagai produk hukum Orde Baru hadir

sebagai bentuk penyempurnaan dari Undang-Undang

Minyak. Hal tersebut berarti konsep utama tetap

mengacu pada Undang-Undang Minyak. Secara

keseluruhan, aturan ini hanya sebatas berisi pengesahan

berdirinya PERTAMINA dan aturan-aturan perusahaan

di dalamnya, sedangkan mengenai konsep-konsep

tentang pengelolaan usaha pertambangan minyak dan

gas bumi sendiri, pemerintah Orde Baru tetap merujuk

pada Prp. No.44 Tahun 1960 tentang pertambangan

minyak dan gas bumi. Singkatnya, UU PERTAMINA

merupakan penguat dari UU Minyak. Sesuai dengan

aturan lama, Undang-Undang PERTAMINA

merupakan perwujudan dari konsep Undang-Undang

yang menyebutkan bahwa segala bahan galian minyak

dan gas bumi yang ada di dalam wilayah hukum

pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional

yang dikuasai oleh negara.

Senada dengan bunyi Undang-Undang Minyak,

Undang-Undang PERTAMINA juga menyampaikan

bahwa pertambangan minyak dan gas bumi adalah

kekayaan yang dikuasai oleh negara dan dengan

demikian hak kuasa pertambangan juga berada di

tangan perusahaan negara. Isi pokok tersebut

menunjukkan bahwa pemerintah sangat berupaya untuk

menjamin kedaulatan negara dan bangsa atas kekayaan

alam yang terkandung dalam bumi Indonesia.

Berkenaan dengan hal itu, seperti yang juga disebutkan

dalam Undang-Undang Minyak, hak kuasa

pertambangan PERTAMINA juga meliputi kegiatan,

eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan,

pengangkutan dan penjualan. Dalam usaha itu, kedua

Undang-Undang tersebut menyebutkan ketentuan, “jika

terjadi kodisi tidak dapat dilakukan pekerjaan yang

tidak dapat dilaksanakan perusahaan negara sebagai

pemegang kuasa pertambangan, maka dapat dilakukan

kerjasama dengan pihak lain dalam suatu perjanjian”.

Pihak lain yang dimaksud dalam pasal ini adalah

perusahaan swasta asing minyak dan gas bumi yang

ingin terlibat dalam usaha pertambangan melalui cara

Page 8: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

785

penanaman modal. Pasal 12 Undang-Undang

PERTAMINA menyebutkan, bahwa kegiatan

kerjasama diselenggarakan antara PERTAMINA dan

swasta asing minyak dan gas bumi berdasarkan sistem

Kontrak Production Sharing (KPS).

Pencetus ide sistem KPS adalah Dr. H. Ibnu

Sutowo yang pada masa itu menjabat sebagai Presiden

Direktur PN. PERMINA. Dasar pemikiran sistem KPS

adalah bahwa penguasaan manajemen merupakan

kunci utama untuk menerapkan sepenuhnya pemilikan

minyak dan gas bumi oleh Negara. Dengan adanya

manajemen dalam tangan bangsa Indonesia, maka

kekuatan ekonomi minyak dan gas bumi beralih dari

pemilik modal kepada Negara tuan rumah (host

country).

Pembagian keuntungan dalam KPS tidak lagi

didasarkan atas hasil penjualan minyak seperti yang

berlaku pada sistem kontrak karya, melainkan dibagi

atas dasar produksi minyak. Seluruh minyak yang

dihasilkan dibagi antara Pemerintah/Perusahaan

Negara dan kontraktornya menurut perbandingan yang

berlaku. Sebagai dasar umum pembagian produksi

menurut Kontrak Production Sharing adalah 65%:35%.

Secara lebih rinci, pasal 14 Undang-Undang

PERTAMINA mencantumkan rumusan pembagian

produksi Production Sharing sebagai berikut.

Tabel 1

Aturan Bagi Hasil Kontrak Production Sharing

Sumber: Diolah dari Penjelasan pasal 14 Undang-Undang No.8

Tahun 1971 tentang PERTAMINA.

Keterangan:

- X adalah perumpamaan ukuran (misal minyak

biasanya memiliki ukuran barrel per day/bpd).

Berdasarkan tabel di atas bisa didapatkan

informasi berikut ini:

a. Produksi tahunan yang 100%, maksimum 40%

disediakan untuk pengembalian modal (cost

recovery), sisanya yang (60%) dibagi antara

perusahaan negara dan kontraktor dengan masing-

masing menerima 65% (67 ½%, 70%) dan 35%

(atau 32 ½%, 30%) dari sisanya yang 60% tadi.

b. Berikutnya, sisa keuntungan yaitu pendapatan

bersih setelah dikurangi semua pengeluaran

operasi, pengembalian modal, dikenakan pajak

(60% dari Net Operating Income), sebelum

kemudian dibagi antara kontraktor dan pemerintah.

Itulah pendapatan bersih. Singkatnya, pendapatan

bersih adalah setelah dikurangi semua biaya, dan

pajak, dan selanjutnya dibagi di antara kedua pihak.

c. Maksimal besarnya biaya operasi ditentukan 40%

dari produksi minyak mentah.

d. Dalam hal pembagian adalah 65% dan 35%, maka

dari produksi yang 100% itu disediakan untuk

membayar kembali pengeluaran-pengeluaran

sebesar 40% yang disebut sebagai oil cost.

Pada saat KPS mulai diperkenalkan, banyak

kritik bernada negatif dilontarkan, terutama dari

kalangan perusahaan minyak besar. Prinsip manajemen

berada dalam tangan Perusahaan Negara menghadapi

tentangan keras karena dengan prinsip tersebut

Perusahaan Negara dapat mengendalikan operasi

secara langsung dan kontraktor sepenuhnya bekerja

untuk perusahaan negara. Ditinjau dari segi lain,

pengendalian operasi secara langsung memberikan

kesempatan untuk ikut mengembangkan kemampuan

Perusahaan Negara dalam operasi perminyakan yang

melibatkan modal besar dan penggunaan teknologi

tinggi tanpa harus ikut menanggung resiko investasi

yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor.

Manfaat lainnya, dengan aktifnya perusahaan negara

dalam pengelolaan operasi, maka apabila perusahaan

minyak asing berkembang, Perusahaan negara dapat

ikut berkembang pula dan dengan demikian kedudukan

dalam usaha perminyakan semakin kuat. Hal tersebut

dimungkinkan karena terjadinya hubungan manajemen

yang demikian erat antara Perusahaan Negara dan

kontraktornya.

Pertumbuhan PMA Sektor Pertambangan Minyak

Dan Gas Bumi Nasional Tahun 1967-1981

Sejak dimulainya masa kepemimpinan Orde

Baru, Pemerintah banyak melakukan pembenahan

dalam bidang politik dan ekonomi. Pembenahan dalam

bidang politik ditunjukan dengan diundangkannya

berbagai kebijakan yang mendukung program

pembangunan, sementara dari sisi ekonomi, khususnya

yang menyangkut usaha pertambangan minyak dan gas

bumi mengalami penyempurnaan dan perkembangan.

Dimulai dari penyempurnaan kebijakan, pemerintah

telah berhasil mendorong pertumbuhan penanaman

modal asing yang positif. Pertumbuhan yang pesat

semakin dirasakan ketika faktor eksternal berupa

perubahan kondisi keadaan ekonomi dunia pada

dasawarsa 1970 condong pada permintaan yang tinggi

Page 9: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

786

terhadap minyak. Berikut disajikan pertumbuhan

pembiayaan (expenditure) dan kontrak kerjasama usaha

pertambangan minyak dan gas bumi selama kurun

waktu 1967-1981.

Gambar 1 Pertumbuhan PMA KPS dan Perjanjian

Karya 1967-1981

Sumber diolah dari :

- Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen

Pertambangan dan Energi.1985. 40 Tahun Perkembangan Usaha

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Indonesia. Jakarta:

Direktorat Jenderal Migas hlm.157.

- Arsip Dokumen Sekretariat Negara Republik Indonesia tentang

Daftar Proyek-Proyek Penanaman Modal Asing yang disetujui

oleh Pemerintah di Bawah Pengawasan Departemen

Pertambangan.

Gambar 2 Pertumbuhan Jumlah Kontrak dan

Jumlah Kontrak Berakhir Berdasarkan KPS Tahun

1967-981

Sumber diolah dari: Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi,

Departemen Pertambangan dan Energi.1985. 40 Tahun

Perkembangan Usaha Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Migas.hlm.173-179.

Gambar 1 menunjukkan rekaman laju pertumbuhan

pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan minyak

dan gas bumi multinasional berdasarkan

kontrak/perjanjian karya dan kontrak production

sharing. Dalam rekaman data di atas, disebutkan dua

sistem kontrak, karena selama ditetapkannya KPS

sebagai satu-satunya kontrak, dalam kurun 1967-1981

masih terdapat kontrak karya yang berlaku antara

pemerintah dengan PT.Shell, PT.Stanvac, dan PT.

Caltex. Oleh karena itu perekaman pertumbuhan

pembiayaan selama kurun 1967-1981 berasal dari dua

sistem, yaitu kontrak karya dan KPS. Adapun alokasi

modal atau pembiayaan tersebut dibagi ke dalam dua

sektor, yaitu kegiatan eksplorasi (pencarian minyak dan

gas bumi) dan kegiatan pengembangan produksi dan

kegiatan lain yang serupa. Sementara itu, gambar 2

merupakan rekaman laju pertambahan jumlah kontrak

dan kontrak berakhir KPS. Dicantumkan pula potret

kontrak pertambangan untuk menambah kejelasan

perusahaan-perusahaan mana saja yang terlibat dalam

pembiayaan.

Demi mendapatkan penjelasan yang detil terkait

pertumbuhan penanaman modal asing di sektor minyak

dan gas bumi berdasarkan sistem Kontrak Karya dan

KPS antara tahun 1967 dan 1981, maka deskripsi data

dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, periode

pertumbuhan PMA sektor minyak dan gas bumi

sebelum era bonanza minyak (oil boom era) tahun

1967-1972. Kedua, periode pertumbuhan PMA pada

era bonanza minyak tahun 1973-1981.

1. Pertumbuhan sebelum era bonanza minyak

(1967-1981)

Berdasarkan gambar 1 dapat diketahui bahwa

dalam kurun 1967-1972 selalu terjadi pertambahan

jumlah penanaman modal. Pertambahan tersebut

tampak ajeg, kecuali tahun 1969 yang tampak

menurun, namun selanjutnya terjadi pertumbuhan yang

terus bergerak ke atas. Pada tahun 1967 hanya terdapat

dua perusahaan yang mengadakan Kontrak Production

Sharing dengan total modal US $ 19.5 juta.

Selanjutnya, tahun 1968 jumlah perusahaan asing yang

mengadakan kontrak bertambah delapan kali lipat dan

selalu terdapat tambahan kontrak di tahun-tahun

selanjutnya. Jumlah kontrak yang terus ada di setiap

tahunnya tersebut menunjukkan suatu iklim penanaman

modal asing yang kian membaik. Hingga tahun 1972

tidak kurang dari 48 kontrak telah berhasil

ditandatangani dengan modal mencapai US $ 236 juta.

Jika dibandingkan dengan dasawarsa 1950 dan 1960

yang hanya ada tiga perusahaan minyak asing yang

beroperasi di wilayah Indonesia, yaitu Caltex, Shell,

dan Stanvac, pencapaian sejak tahun 1967 sudah

merupakan sebuah pertumbuhan yang patut disyukuri.

Kenaikan jumlah modal dan kontrak yang terus

bertambah menandakan iklim penanaman modal asing

yang baik. Iklim penanaman modal yang baik tersebut

juga berarti semakin meningkatnya tingkat

kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Seperti

yang disebutkan bahwa faktor utama yang

dipertimbangkan oleh investor asing sebelum

menanamkan modalnya adalah kebijakan dan stabilitas

politik host country. Sebagaimana pula yang diketahui

bahwa sejak memegang kekuasaan secara de facto,

Pemerintah Orde Baru telah berhasil menciptakan

kondisi politik yang kondusif setelah membersihkan

kerusuhan politik tahun 1965. Selanjutnya, untuk

membuat citra baru Indonesia yang lebih ramah

terhadap dunia luar, di awal pemerintahannya, Orde

Baru mengeluarkan Undang-Undang Penanaman

Modal Asing (UUPMA). Penetapan UUPMA menjadi

produk hukum pertama Orde Baru menujukkan bahwa

dalam pemerintahannya, Orde Baru ingin menasbihkan

diri untuk bersikap ramah dan bersahabat dengan

Page 10: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

787

modal asing. UUPMA No.1 Tahun 1967 yang berisi

jaminan hukum dan berbagai insentif yang dibuat

untuk menarik minat modal asing terbukti berdampak

pada membaiknya iklim modal asing. Dalam soal PMA

minyak dan gas bumi, UUPMA telah memberikan

kepastian hukum dan insentif yang dibutuhkan oleh

para pemain di industri minyak dan gas bumi yang

terkenal padat resiko, padat modal, dan padat

teknologi. Masih dalam lingkup kebijakan, iklim modal

semakin membaik setelah ditetapkannya UU

PERTAMINA No.8 tahun 1971 yang berisi tentang

Kontrak Production Sharing (KPS) dengan substansi

yang lebih memadai dibanding Kontrak Karya..

Dengan ditetapkannya KPS sebagai satu-satunya

sistem kontrak pertambangan minyak dan gas bumi

maka semakin meningkatkan kepastian aturan dalam

kontrak. Kepastian kontrak yang tidak cepat berubah

juga menjadi faktor yang dipertimbangkan oleh suatu

PMA. Dalam pada itu, perkembangan politik Orde

Baru yang menunjukkan kemantapan sejak tahun 1967

mendorong tumbuhnya minat perusahaan-perusahaan

minyak asing untuk bekerja di Indonesia.

Secara keseluruhan, pada periode sebelum era

bonanza minyak ini, pemerintah telah menandatangani

KPS sebanyak 41 kontrak. Sepanjang masa ini, kontrak

dilakukan dengan Amerika, Belanda, Inggris,

Australia, Italia, Perancis, dan Panama. Dari 41 kontrak

yang ada, 30 di antaranya merupakan kontrak dengan

Amerika atau 73% dari seluruh jumlah kontrak yang

ada.

Gejala Amerika sebagai peminat tertinggi dalam

kegiatan penanaman modal asing di sektor ekstraktif

minyak dan gas bumi disebabkan karena Amerika

Serikat tergolong sebagai oil addict (pecandu minyak)

yang 60% kebutuhannya disokong oleh minyak asing,

harus menjamin keamanan energinya (energy security).

Apabila dibandingkan dengan Eropa Barat dan Jepang

yang juga konsumtif terhadap minyak dan gas bumi,

Amerika Serikat menempati peringkat pertama yang

paling konsumtif, yakni hingga 1970-an permintaannya

akan minyak hampir mencapai 20.000 barrel per hari

dan gas mencapai 8.000 barrel per hari.

Dapat pula ditambahkan, faktor yang

menyebabkan Amerika lebih agresif dan selalu berada

di muka dalam soal penanaman modal asing di sektor

yang sejatinya penuh resiko ini dibandingkan dengan

negara lain bahkan sejak pertama kali promosi modal

oleh Indonesia, adalah karena sejak tahun 1967,

Pemerintah Amerika telah menjamin perusahaan-

perusahaan multinasional miliknya dengan perjanjian

insurance guarantee dengan Pemerintah Indonesia.

Adanya garansi tersebut membuat keamanan usaha

perusahaan-perusahaan multinasional Amerika yang

ingin melaksanakan kerjasama dengan Indonesia lebih

terjamin. Jaminan ini menjadi faktor pendorong

Amerika untuk berani bersikap lebih agresif sekalipun

industri pengeboran minyak adalah industri yang padat

resiko. Dorongan dasar akan kebutuhan dan kecerdasan

untuk membuat keadaan yang menjamin keamanan

berusaha, menjadikan Amerika sebagai investor yang

dominan dan tetap dominan bahkan ketika kebijakan

investasi menjadi lebih restriktif di bidang manufaktur

sejak mencuatnya gelombang anti asing pada 1974.

2. Pertumbuhan pada Era Bonanza Minyak

(1973-1981)

Sebagaimana yang tampak, pada 1973 telah

terjadi kenaikan pembiayaan mencapai 60,30%. Dalam

kurun waktu ini, dari 49 KPS baru, 38 kontrak

ditandatangani dengan perusahaan minyak Amerika.

Dapat disebutkan beberapa yang berpartisipasi antara

lain, Mobil Petroleum yang mendapatkan wilayah kerja

di lepas pantai Makasar, PT. Stanvac yang mendapat

wilayah kerja di daratan Barisan, Blok Rimau,

Sumatera Selatan, dan Ind. Sun Oil dengan wilayah

kerja di daratan Blok Bintuni Irian Jaya.

Secara keseluruhan, dapat diketahui bahwa

berkat pertumbuhan pembiayaan dan munculnya

kontrak-kontrak baru telah membantu perluasan daerah

produksi baik on shore (daratan) maupun off shore

(lepas pantai). Pencarian minyak dan gas bumi

memerlukan modal besar, teknologi yang canggih, dan

keterampilan pekerjanya yang tinggi. Perusahaan-

perusahaan perminyakan apabila telah menemukan

sumber minyak sangat enggan menanamkan modal

dalam usaha pencarian sumber-sumber baru yang

banyak mengandung resiko mengingat hal itu kegiatan

eksplorasi harus juga lepas pantai. Pengeboran di laut

dan ke formasi yang lebih dalam membutuhkan

teknologi yang sangat maju. Oleh karena itu, selain

dari besar biayanya juga selalu tergantung pada

keahlian luar negeri. Dengan pencapaian jumlah

kontrak yang dinilai berhasil ini, maka bagi Indonesia

itu merupakan sebuah keuntungan. Sebagaimana yang

diketahui, bahwa eksplorasi minyak merupakan bagian

yang masih sulit untuk perusahaan negara ketika masa

krisis berlangsung. Eksplorasi di wilayah baru yang

jelas membutuhkan banyak dana bisa tertutupi dengan

kontribusi dari perusahaan asing. Oleh karena itu,

apabila banyak daerah baru yang dibuka, maka berarti

pemasukan modal baru dan berarti potensi terjadinya

produksi minyak semakin besar.

Dalam kontrak pertambangan berlaku masa

usaha hingga 30 tahun. Dalam praktiknya, diketahui

bahwa meskipun batas waktu kontrak sekian panjang,

rata-rata kontrak tidak sampai mendekati batas

maksimal. Minimal operasi KPS berjalan satu sampai

dua tahun. Tercatat yang paling lama melangsungkan

kontrak adalah AGIP dari Italia yang menjalankan

kontrak selama 16 tahun untuk wilayah operasi di darat

dan lepas pantai Irian Jaya Barat tepatnya di Teluk

Berau. Adapun faktor yang mempengaruhi adalah

bahwa dalam kegiatan industri minyak dan gas bumi,

resiko merupakan bagian yang tak terelakkan.

Pencarian (exploration) minyak dan gas bumi

Page 11: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

788

merupakan kegiatan untung-untungan (gambling),

karena meskipun telah dipersiapkan secara cermat

dengan biaya yang besar, tidak ada jaminan bahwa

kegiatan tersebut akan berakhir dengan penemuan

cadangan minyak. Setelah melakukan eksplorasi

(pencarian) minyak yang memakan waktu satu tahun

lamanya, apabila tidak ditemukan adanya minyak,

maka kontraktor terpaksa harus mengakhiri kontrak.

Rata-rata kegagalan atau keberhasilan itu baru

diketahui pasca satu tahun mencari dan karena itu

dalam praktik pengakhiran KPS minimal terjadi pasca

satu tahun kontrak berjalan. Sebagaimana contohnya

REFICAN yang merupakan kontraktor pertama yang

bersedia bekerjasama dengan PN. PERMINA

berdasarkan Kontrak Production Sharing untuk

wilayah kerja daratan dan lepas pantai Sumatera

ternyata tidak berhasil menemukan cadangan minyak

seperti yang diharapkan. Hingga tahun 1981, rata-rata

KPS berlangsung selama 3 tahun. Minimnya rata-rata

waktu berlangsungnya kontrak ini semakin

menunjukkan betapa beresikonya usaha pertambangan

minyak dan gas bumi.

Secara keseluruhan, hingga tahun 1981

kenaikan PMA rata-rata sebesar 77,46%. Adapun

faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah kenaikan

tersebut adalah karena melambungnya harga minyak

dunia akibat embargo dan pegurangan produksi minyak

Timur Tengah. Aksi Timur Tengah sebagai pemegang

hampir separuh dari produksi minyak dunia telah

berhasil memaksa harga minyak dunia melambung

tinggi. Hubungan dari faktor ini adalah, bahwa jika

harga tinggi, maka peluang keuntungan produsen

minyak akan lebih bersar. Asumsi ini kemudian

mendorong pengusaha minyak untuk mencari wilayah

baru agar dapat pula menikmati berkah minyak. Akibat

dari pemikiran tersebut, maka Indonesia sebagai salah

satu anggota OPEC yang bebas konflik minyak

dijadikan sebagai tujuan baru yang menarik hati para

pengusaha minyak asing yang melihat peluang di

Indonesia. Faktor kenaikan harga pada akhirnya

menaikkan minat untuk mengadakan pembiayaan

eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi yang

artinya adalah pemasukan modal bagi Indonesia. Selain

itu, semakin menambah daya tarik kontraktor asing

untuk mengadakan pembiayaan, bahwa minyak yang

dihasikan oleh Indonesia, dari segi kualitas, dinilai

lebih baik daripada minyak Timur Tengah. Titik

kelebihan tersebut terletak pada komposisi minyak

Indonesia yang rendah sulfur (belerang). Jadilah pada

masa krisis minyak ini, yang juga menjadi era berkah

minyak bagi Indonesia, terjadi pertumbuhan

penanaman modal asing dalam rangka KPS secara

signifikan.

Implikasi Bagi Perekonomian Nasional Tahun

1967-1981

1. Implikasi bagi Ketersediaan Devisa

Prestasi besar industri minyak dan gas bumi bagi

pembangunan ditunjukkan dengan pencapaian

pendapatan negara dari hasil penjualan minyak dan

eskpor selama Pelita I naik 4,6 kali. Selanjutnya,

prestasi tersebut terus merangkak naik hingga pada

tahun anggaran 1981/1982, sumbangan ekspor minyak

dan gas bumi mencapai 80,2% dari keseluruhan ekspor

negara. Sebagai pemahaman, bahwa keberhasilan

ekspor hingga tahun anggaran 1981/1982 tersebut

mencerminkan fungsi minyak dan gas bumi sebagai

penghasil devisa. Seperti yang dikatakan oleh Adimir,

sumbangan minyak berupa rupiah didapat dari

penjualan bahan bakar minyak dalam negeri dan

berupa devisa dari hasil ekspor minyak ke luar negeri.10

Pengalaman pertumbuhan terhitung sejak tahun

1969-1981 minyak dan gas bumi telah berhasil menjadi

sumber devisa ekspor negara. Berikut ditunjukkan oleh

gambar 3.

Gambar 3 Produksi Minyak mentah, LPG, LNG, dan

total nilai ekspor (dalam US $ juta)

Sumber: DMP Migas dalam Direktorat Jenderal Minyak dan Gas

Bumi Departemen Pertambangan dan Energi.1985. 40 Tahun Perkembangan Usaha Pertambangan Minyakdan

Gas Bumi.Jakarta:Biro Humas dan HLN

PERTAMINA.hlm.166.

Secara general, gambar 2 memberikan informasi

terdapatnya hubungan positif antara faktor produksi

dan ekspor. Produksi minyak atau gas bumi yang

meningkat maka diikuti pula oleh jumlah total nilai

ekspor minyak. Dalam hal ini, produksi merupakan

faktor penyebab ekspor. Sebagaimana yang tampak,

sejak PELITA I, produksi minyak senantiasa

mengalami peningkatan.

Secara keseluruhan, kondisi produksi yang terus

menunjukkan kenaikan mencerminkan kemampuan

perusahaan pertambangan dalam memproduksi minyak

dan gas bumi sehingga mencapai kemampuan ekspor.

10 Laidin Girsang.1979.Indonesia Sejak Orde

Baru.Jakarta:Yayasan Laita.Hlm.319.

Page 12: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

789

Apabila mengingat kondisi perusahaan negara yang

minim modal, teknologi, keterampilan dan ditambah

dengan kondisi ekonomi yang mengalami kemerosotan

sejak tahun 1960-an, maka dalam waktu cepat tidak

mungkin diharapkan bisa melakukan produksi besar-

besaran secara mandiri untuk menyambut berkah oil

boom. Merunut pada faktor tersebut, maka di sinilah

peran Penanaman Modal Asing (PMA) minyak dan gas

bumi. Produksi yang berlimpah sejak kenaikan harga

pertama dapat tercapai karena adanya kontribusi dari

perusahaan minyak dan gas bumi asing yang mengebor

minyak di Indonesia. Sebagai contoh, pada 1973

produksi lapangan-lapangan PT.Caltex mencapai 1 juta

barrel per hari, sementara produksi PERTAMINA yang

dinilai sudah mencapai jumlah tertinggi yang dicapai

1974 hanya mencapai angka 110 ribu barrel per hari.

Jelas merupakan perbedaan yang sangat jauh. Merujuk

padasatu fakta tersebut tentu saja tidak dapat dicapai

kemampuan produksi jika hanya mengandalkan

produksi minyak PERTAMINA. Selanjutnya, tahun

1974 yang dicatat sebagai tahun puncak produksi

minyak dan gas bumi dengan angka produksi mencapai

501.837.2500 barrel, sumbangan PERTAMINA adalah

40.505.683 barrel, sementara selebihnya, yaitu

5.008.166.817 barrel merupakan produksi dari

kontraktor Perjanjian Karya dan KPS. Hal tersebut

kembali menjadi gambaran besarnya manfaat

Penanaman Modal Asing bagi kemampuan produksi

minyak dan gas bumi negara.

Sejak diundangkannya UUPMA pada tahun 1967

dan dicetuskannya sistem KPS, Pemerintah telah

berhasil menarik banyak minat kontrak pertambangan

dan modal bagi pembiayaan eksplorasi dan produksi.

Kontrak pertambangan dan pembiayaan telah

mendorong semakin bertambahnya penemuan sumur-

sumur minyak baru serta semakin meningkatnya

kegiatan produksi dari sumur-sumur yang telah ada

oleh kontraktor. Selama 1970-an dapat diselesaikan

pemboran lebih dari 1.000 sumur eksplorasi dengan

300 sumur di antaranya menghasilkan minyak dan gas

bumi dalam jumlah komersial. Peningkatan jumlah

eksplorasi yang memberi peluang harapan keberhasilan

ini menunjukkan meningkatnya jumlah operasi dan

pembiayaan oleh sejumlah kontraktor KPS dan

perjanjian karya. Implikasinya, terhitung sejak PELITA

I hingga tahun kedua PELITA III, terjadi

perkembangan produksi yang menggembirakan.

Sebagaimana dapat dilihat pada gambar 3 yang

menunjukkan perkembangan produksi dan ekspor

minyak mentah dan gas bumi sejak awal PELITA I

(1969) sampai dengan tahun kedua PELITA III (1981).

Pertumbuhan ekspor yang terus menunjukkan tendensi

kenaikan berarti merupakan peningkatan devisa ekspor

minyak dan gas bumi bagi negara selama kurun waktu

1967-1981.

2. Implikasi bagi Ketersediaan Energi

Seiring dengan semakin meningkatnya

pembangunan sebagai hasil peningkatan kemampuan

pembiayaan pembangunan selama kurun waktu 1967-

1981, maka standar hidup dan kebutuhan masyarakat

akan bahan bakar minyak dan gas bumi menjadi lebih

tinggi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa, semakin

berhasil pembangunan, maka semakin tinggi kualitas

hidup yang berdampak pada peningkatan konsumsi,

salah satunya terhadap bahan bakar minyak. Dengan

kunci adanya praktik program PELITA yang

diprogramkan oleh Orde Baru, maka terdapat kepastian

untuk perbaikan kehidupan ekonomi. Hukum produksi

yang berlaku pada minyak adalah seirama dengan

perbaikan kehidupan ekonomi. Terhadap minyak,

pertumbuhan ekonomi telah pula meningkatan

konsumsi terhadap minyak. Antara keduanya terdapat

korelasi positif dalam arti, semakin besar pertumbuhan

ekonomi akan semakin besar pula kebutuhan akan

energi.11 Pembangunan Orde Baru yang telah dimulai

sejak 1969 terbukti telah mampu memperbaiki taraf

kehidupan masyarakat dan sebagai akibatnya, terhitung

sejak 1970 telah terjadi peningkatan penggunaan bahan

bakar minyak sebagaimana yang tampak pada gambar

4 berikut ini.

Gambar 4 Konsumsi BBM tahun 1970-1981

Sumber: Diolah dari Soekanto Reksohadiprodjo.1986.Industri

Minyak dan Gas Bumi di Indonesia.Edisi pertama.Yogyakarta:BPFE.Hlm.22.

Selama kurun waktu tersebut, bahan bakar

minyak telah disalurkan penggunaannya ke dalam 4

sektor ekonomi, yaitu rumah tangga, transportasi,

tenaga listrik, dan industri.diketahui bahwa

penggunaan bahan bakar minyak oleh keempat sektor

tersebut terus menerus menunjukkan peningkatan

konsumsi. Menjawab kebutuhan akan konsumsi

minyak yang terus bertambah, maka di tahun 1970-an,

di saat usia Pertamina yang masih muda, sudah

diupayakan untuk meningkatkan pembangunan dan

kinerja kilang perminyakan nasional. Selain

mengupayakan pemenuhan melalui produksi kilang

11 Noreng, Oystein.1983.Minyak dalam Politik: Upaya

Mencapai Konsensus Internasional.Jakarta:CV.Rajawali.hlm.XV.

Page 13: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

790

minyak sendiri, pemerintah juga mengupayakan untuk

mendapatkan manfaat dari kontraktor minak asing

dalam soal pemenuhan kebutuhan minyak kilang.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan energi

BBM dalam negeri, maka Pemerintah menetapkan

aturan kewajiban Prorata kepada perusahaan minyak

dan gas bumi asing yang mengadakan kontrak

pertambangan di Indonesia. Prorata merupakan suatu

kewajiban yang dibebankan kepada semua perusahaan

minyak yang mengadakan kontrak dengan negara

untuk menyerahkan bagian minyak mentah dari

produksinya sesuai perbandingan tertentu yang disebut

“sistem Prorata atau kewajiban Prorata”. Dasar

pemikiran aturan ini adalah, bahwa minyak merupakan

hak milik negara, karena itu, kontraktor yang telah

diijinkan mengadakan usaha pertambangan, diwajibkan

untuk turut serta dalam usaha memenuhi kebutuhan

minyak dalam negeri. Dengan adanya aturan ini, maka

Pemerintah dapat memanfaatkan keberadaan

perusahaan minyak asing untuk menjamin tersedianya

BBM (Bahan Bakar Minyak) di dalam negeri.

Kewajiban Prorata diberlakukan atas dasar

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 2 tahun 1962 yang selanjutnya dengan

persetujuan DPR-GR peraturan tersebut disahkan

menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 1962.

Hingga masa pengusahaan pertambangan minyak dan

gas bumi di masa Orde Baru, aturan ini tetap

diberlakukan.Konsekwensi dari dikeluarkannya

Undang-Undang ini adalah semua perusahaan minyak

dan gas bumi asing yang memiliki kilang minyak wajib

mengolah minyak Prorata sendiri dan bagi yang tidak

memiliki kilang minyak diberi pengganti biaya.

Apabila kewajiban tersebut tidak dapat dipenuhi dari

produksi sendiri, maka perusahaan yang bersangkutan

wajib menyediakan gantinya dengan mengutamakan

pembelian minyak mentah atau hasil pengolahannya

dari perusahaan Negara dengan pembayaran dalam

valuta asing.12

Aturan yang mewajibkan kontraktor asing untuk

terlibat dalam pemenuhan kebutuhan energi minyak

dalam negeri setidaknya telah membantu meringankan

pemerintah dalam soal pemasokan kebutuhan minyak.

Fungsi yang dibebankan ini dipandang sebagai suatu

suatu fungsi sosial dari keberadaan perusahaan-

perusahaan minyak dan gas bumi asing di Indonesia.

Fungsi ini juga dipandang sebagai suatu kewajaran,

karena mengingat bahwa minyak dan gas bumi yang

sejatinya merupakan sektor yang strategis, penting bagi

hajat hidup bangsa Indonesia, dan dikuasai oleh negara

12Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen

Pertambangan dan Energi.Op.Cit.hlm.57.

telah diizinkan untuk dibuka bagi penanaman modal

asing di sektor minyak dan gas bumi, sehingga

memungkinkan kontraktor minyak asing untuk turut

serta mengebor keuntungan. Terutama pada dasawarsa

1970-an, ketika keadaan ekonomi dunia yang berpihak

pada kenaikan harga minyak, telah pula mendorong

keuntungan yang lebih besar bagi para kontraktor.

3. Implikasi bagi Penerimaan Negara

Implikasi positif kehadiran penanaman modal

asing di sektor pertambangan minyak dan gas bumi

bagi perekonomian negara juga dapat dirasakan pada

manfaat naiknya penerimaan negara dari minyak

bumi.Naiknya pendapatan negara dari minyak salah

satunya bersumber dari pajak perseroan minyak.Pajak

Perseroan minyak merupakan corporation tax (pajak

korporasi). Corporation Tax ini mengarah pada wajib

pajak yang dibebankan kepada perusahaan

pertambangan minyak dan gas bumi.Keberadaan

perusahaan minyak dan gas bumi asing yang

mengadakan usaha di Indonesia salah satunya

bermanfaat pada bagian ini.keberadaan mereka sebagai

perseroan tersebut dikenakan pajak perseoran yang

menurut aturan KPS adalah 60% setelah dikurangi

biaya eksplorasi. Pajak Perseoran tersebut dikenakan

atas laba yang diperoleh menurut ketentuan undang-

undang. Pengalaman penerimaan dalam kurun waktu

1969-1981 membuktikan bahwa penerimaan minyak

dari sektor pajak perseoran minyak ini telah berhasil

menjadi sumber pembiayaan sangat berarti bagi

pemerintah. Adapun faktor yang mempengaruhi adalah

tentu saja semakin giatnya kegiatan eksplorasi yang

dilakukan oleh kontraktor selama kurun waktu tersebut.

Lebih jelasnya, berikut, disajikan data penerimaan

negara dari minyak dari PELITA I hingga PELITA III.

Tabel 2 Penerimaan Negara dari Minyak

(Milyar Rupiah)

Sumber:

DMP Minyak dan Gas Bumi dalam Direktorat Jenderal Minyak dan

Gas Bumi Departemen Pertambangan dan Energi.1985.40 Tahun Perkembangan Usaha Pertambangan Minyak dan Gas

Bumi.Jakarta:Biro Humas dan HLN PERTAMINA. Hlm. 168.

Selama PELITA I sektor minyak telah

menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 918,4 milyar

yang terdiri atas pajak perseroan minyak sebesar Rp

Page 14: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

791

773,1 milyar dan penerimaan minyak lainnya sebesar

Rp 145,3 milyar. Realisasi pajak perseroan minyak

selama PELITA I berhasil ditingkatkan yaitu dari Rp

48,3 milyar dalam tahun 1969/1970 menjadi Rp 344,6

milyar dalam tahun 1973/1974. Lonjakan besar terjadi

pada tahun 1974/1975 dimana penerimaan minyak

mencapai kenaikan hingga 150,4 persen dari tahun

sebelumnya dan meningkat lagi dengan pesat pada

tahun 1975/1976 mencapai Rp.1.249,1 milyar.

Selanjutnya, hingga akhir PELITA III, penerimaan

pajak perseroan minyak terus mengalami kenaikan.

Meningkatnya penerimaan dalam negeri dari minyak

tersebut di atas, disebabkan oleh karena kenaikan

harga ekspor minyak sebesar US $ 0.20 yaitu dari US $

12.60 menjadi US $ 1.280 per barel sejak Oktober

1975 dan kemudian meningkat lagi pada 1977 menjadi

US $ 13,55 barrel adalah sebagai salah satu faktor

penyebab meningkamya pajak perseroan minyak dalam

periode tersebut diatas. Faktor lainnya adalah berupa

perjanjian baru dalam rangka konrak karya dan kontrak

production sharing (KPS) yang telah disetujui bersama

antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan

minyak asing dalam rangka mewujudkan system

pembagian yang Iebih adil. Bertambahnya jumlah

kontrak baru berarti pemasukan baru dalam hal modal,

perluasan wilayah kerja pertambangan, dan

peningkatan peluang produksi untuk turut bersama

dengan negara produsen lain melakukan ekspor dan

menyambut ekspor minyak yang sedang dalam posisi

harga yang sangat menguntungkan.

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang

telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka

dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa

kebijakan Pemerintah Orde Baru tentang penanaman

modal asing di sektor pertambangan minyak dan gas

bumi secara umum dicerminkan oleh Undang-Undang

Penanaman Modal Asing No.1 Tahun 1967 dan

Undang-Undang No.8 Tahun 1971 tentang Perusahaan

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Pertama,

Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman

Modal Asing merupakan pintu pertama yang

menandakan perizinan yang lebih luas, terbuka, dan

bersahabat dari pemerintah Orde Baru terhadap para

investor asing. Subtansi kebijakan penanaman modal

asing berdasarkan UUPMA mencerminkan sikap

terbuka, lunak, dan terkesan memudahkan dari

pemerintah Orde Baru terhadap investor asing.

Cerminan sikap pemerintah yang terbuka, lunak, dan

terkesan memudahkan terhadap modal asing tersebut

bertolak pada substansi kebijakan yang menawarkan

kelonggaran-kelonggaran perpajakan (tax holiday) dan

pungutan-pungutan lainnya. Sikap terbuka, lunak, dan

cenderung memudahkan juga semakin terkesan

ditujukan khususnya bagi kontraktor asing di industri

pertambangan minyak dan gas bumi dengan

diterbitkannya UU No.11 Tahun 1967 untuk

menambah dan mengubah UU No.1 Tahun 1967.

Dalam UU tersebut dikemukanan kriteria-kriteria

perusahaan yang akan mendapatkan tambahan

kelonggaran perpajakan dan pungutan lainnya.

Beberapa kriteria perusahaan yang disebutkan akan

menerima tambahan kelonggaran tersebut hampir

seluruhnya mengarah pada ciri-ciri perusahaan

pertambangan minyak dan gas bumi yang berarti

merupakan keuntungan bagi kontraktor asing minyak

dan gas bumi. Adapun kriteria yang menyasar pada

ciri-ciri perusahaan pertambangan minyak dan gas

bumi tersebut antara lain, perusahaan yang

berkecimpung dalam bidang produksi dan mendapat

prioritas dari pemerintah karena peranannya dalam

kegiatan ekspor dan penyediaan bahan bakar diberikan

pembebasan pajak perseroan selama dua tahun;

tambahan pembebasan pajak selama satu tahun bagi

perusahaan yang memberi sumbangan devisa negara

secara berarti; tambahan pajak selama satu tahun bagi

penanaman modal di luar Jawa; masa bebas pajak bagi

penanaman modal yang memerlukan modal besar

untuk membangun prasarana dan atau menghadapi

resiko besar dari kegiatan usahanya. Sikap terbuka,

lunak, dan cenderung memberi kemudahan bagi

pemodal asing dilatarbelakangi oleh tiga faktor, (1)

kondisi negara yang saat itu terdesak untuk segera

melakukan penyelamatan ekonomi negara dari krisis

ekonomi yang terjadi sejak akhir tahun 1960-an dan

kebutuhan untuk segera melakukan pembangunan

ekonomi, (2) sikap Pemerintah Orde Baru yang lebih

memilih untuk memandang modal asing sebagai faktor

yang penting bagi pembangunan ketimbang sebagai

unsur imperialis yang eksploitatif, (3) lahirnya

kelompok pemikir ekonomi yang terkenal dengan

sebutan “Mafia Berkeley” yang menawarkan gagasan

ekonomi baru yang memberi peran lebih dalam

perekonomian negara bagi swasta yang selanjutnya

direalisasikan melalui kebijakan-kebijakan ekonomi

sebagai hasil dari peran mereka sebagai pejabat penting

urusan ekonomi negara. Kedua, berdasarkan UU No.8

Tahun 1971 tentang Pertamina, kebijakan pemerintah

Orde Baru tentang PMA di sektor pertambangan

minyak dan gas bumi tercermin melalui penetapan

aturan tentang status minyak yang merupakan milik

negara, bahwa Pertamina merupakan satu-satunya

perusahaan negara yang berhak mengolah

pertambangan minyak dan gas bumi negara, dan

pembukaan kerjasama dengan kontraktor asing dapat

dilakukan berdasarkan sistem Kontrak Production

Sharing (KPS). KPS sebagai payung teknis kerjasama

antara pemerintah/Pertamina dengan kontraktor asing

dilaksanakan atas prinsip bagi hasil. Pembagian hasil

yang dimaksudkan di sini adalah pembagian

keuntungan. Berbeda dengan aturan yang terdapat pada

sistem konsesi dan perjanjian karya yang telah berlaku

sebelumnya, pembagian keuntungan tidak lagi

didasarkan pada hasil penjualan minyak, namun atas

seluruh produksi minyak. Seluruh minyak yang

dihasilkan dibagi antara perusahaan negara/pemerintah

dan kontraktor menurut perbandingan yang berlaku.

Adapun perbandingan yang berlaku berdasarkan pasal

14 UU No.8 Tahun 1971 adalah 65%:35%, suatu

Page 15: PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN …

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 4, No. 3, Oktober 2016

792

pembagian yang lebih maju daripada yang telah dicapai

dalam perjanjian karya (60%:40%) maupun konsesi

(50%:50%). Dalam aturan KPS juga ditetapkan

beberapa hal teknis seperti Pertamina memiliki dan

bertanggung jawab atas managemen operasi; wilayah

kerja pertambangan dibedakan antara wilayah kerja

Pertamina dan wilayah kerja kontraktor; kontraktor

akan menyediakan mata uang asing dan akan

memberikan bantuan teknik untuk operasi

pertambangan; kontraktor adalah pihak yang

menanggung semua resiko operasi; dan pembagian

produksi tidak dilakukan pada beberapa awal tahun

kontrak saja, melainkan sepanjang masa kontrak itu

berjalan.

Pertumbuhan penanaman modal asing di sektor

pertambangan minyak dan gas bumi negara selama

kurun waktu 1967-1981 menunjukkan suatu

pertumbuhan yang signifikan. Terbukti dengan data

pembiayaan usaha eksplorasi dan produksi minyak dan

gas bumi oleh perjanjian karya dan KPS yang dalam

kurun waktu 1967-1981 mengalami rata-rata kenaikan

mencapai 77,46%. Faktor yang menyebabkan

pertumbuhan ini dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor

kebijakan dan kondisi perekonomian dunia selam

kurun 1967-1981. Dari sisi kebijakan, secara umum,

Pemerintah Orde Baru telah berhasil melahirkan

kebijakan yang aman dan menarik bagi investor asing

dan secara khusus, dalam aturan kerjasama di sektor

pertambangan minyak dan gas bumi, pemerintah telah

telah siap dengan aturan usaha pertambangan yang

dinilai telah memadai. Sementara itu, dari sisi kondisi

perekonomian dunia, pada masa itu terjadi krisis

minyak yang melahirkan era oil boom bagi negara

produsen yang berlangsung sejak 1973 hingga 1981.

Rekam jejak implikasi pertumbuhan penanaman

modal asing di sektor pertambangan minyak dan gas

bumi terhadap perekonomian nasional selama tahun

1967-1981 tampak pada tiga bidang ekonomi, yaitu

ketersediaan devisa, ketersediaan energi, dan

peningkatan pendapatan minyak. PMA telah

mendorong kenaikan devisa terbukti dengan rata-rata

kenaikan total ekspor minyak dan gas bumi di tahun

1969-1981 mencapai jumlah US $ 19.161,30 juta.

Selanjutnya, bersama dengan kewajiban Prorata,

kontraktor yang menjalankan PMA melaksanakan

fungsi sosial dengan menyumbang hasil pengilangan

minyak yang berguna untuk mencukup kebutuhan

BBM negara. Pengalaman pertumbuhan 1969/1970-

1981/1982 menunjukkan terjadinya rata-rata kenaikan

penerimaan minyak sebesar 43% yang menunjukkan

fungsi PMA dalam menyumbang pajak negara.

Saran

Demi menghasilkan penelitian yang lebih baik di masa

datang, bagi peneliti selanjutnya, diharapkan untuk

mencoba penelitian penanaman modal asing di sektor

lain yang mungkin lebih banyak memberikan

kontribusi terhadap perekonomian nasional atau

bahkan sebaliknya, tidak terlalu berperan namun ada.

Penggalian tentang tema ini penting untuk mengetahui

apakah sesungguhnya suatu PMA di suatu sektor itu

penting atau sebenarnya kita bisa berjalan tanpa harus

melibatkan PMA di sektor tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anne Booth dan Peter McCawley (ed.).1986.Ekonomi

Orde Baru.Jakarta:LP3ES.

Arsip Dokumen Sekretariat Negara Republik Indonesia

tentang Daftar Proyek-Proyek Penanaman

Modal Asing yang disetujui oleh Pemerintah di

Bawah Pengawasan Departemen Pertambangan.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

RI.1996.Sejarah Perekonomian

Indonesia.Jakarta:CV. Defit Prima Karya

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi,

Departemen Pertambangan dan Energi.1985. 40

Tahun Perkembangan Usaha Pertambangan

Minyak dan Gas Bumi Indonesia. Jakarta:

Helius Sjamsudin.2007.Metodologi

Sejarah.Yogyakarta:Ombak.

Hill, Hal.1991.Investasi asing dan industrialisasi di

Indonesia.Jakarta:LP3ES.

Laidin Girsang.1979.Indonesia Sejak Orde

Baru.Jakarta:Yayasan Laita.

Mallarangeng, Rizal.2004.Mendobrak Sentralisme

Ekonomi. Indonesia 1986-1992.Jakarta:KPG

bekerjasama dengan Freedom Institute

Mudrajad Kuncoro.2006.Ekonomika

Pembangunan:Teori, Masalah, dan Kebijakan,

Edisi Keempat.Yogyakarta:UPP STIM YKPN.

M., Sardiman A.2004.Memahami

Sejarah.Yogyakarta:FIS UNY dan BIGRAF

Publishing.hlm.101.

Noreng, Oystein.1983.Minyak dalam Politik: Upaya

Mencapai Konsensus

Internasional.Jakarta:CV.Rajawali

Soekanto Reksohadiprodjo.1986.Industri Minyak dan

Gas Bumi di Indonesia.Edisi

pertama.Yogyakarta:BPFE.

Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman

Modal Asing.

Undang-Undang No.8 Tahun 1971 tentang Perusahaan

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.