penaganan cybercrime

Upload: dede-ale-sudrajat

Post on 19-Jul-2015

595 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

LEMBAGA PENDIDIKAN POLRI SEKOLAH STAF DAN PIMPINAN

STRATEGI PENANGANAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME MELALUI KEMITRAAN GUNA TERWUJUDNYA KERJASAMA SINERGI POLISIONAL YANG PROAKTIF DALAM RANGKA MEMELIHARA STABILITAS KEAMANAN DALAM NEGERI BAB I PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang Fenomena globalisasi dengan sifat dan karakter yang menyebar (Pervasive), Besar-besaran (Massive) dan cepat (Turbulence) mampu meruntuhkan sekat-sekat ruang dan waktu serta batas teritorial, dimana tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan produktivitas dan

kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun di sisi lain, globalisasi juga telah membuka celah munculnya kejahatan berdimensi baru, atau Transnational Organized Crimes, termasuk di dalamnya tindak pidana cybercrime, yang akhirnya berimplikasi terhadap stabilitas keamanan dalam negeri. Tindak pidana cybercrime dengan memanfaatkan media komputer dan internet dewasa ini terus mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kejahatan dunia maya ini tidak hanya dapat menghadirkan ancaman gangguan Kamtibmas, melainkan juga dapat merusak moralitas dan mentalitas generasi muda, seperti; penyebarluasan porno aksi dan pornografi, penyalahgunaan identitas kartu kredit orang lain secara ilegal (Carding), merubah content website secara illegal (hacking), dan lain-lain. Penanganan tindak kejahatan cybercrime dinilai semakin luas dan kompleks, sehingga diperlukan peningkatan kemampuan dan keahlian penyidik Polri bidang informasi dan teknologi yang memadai. Selain itu untuk lebih meningkatkan kualitas kinerja penyidik, maka diperlukan kerjasama

1

2 melalui sinergi polisional yang proaktif, baik kerjasama antar fungsi, lintas sektoral maupun kerjasama interdepartemen dalam maupun luar negeri. Ditinjau dari aspek pencapaian prioritas kerja Polri berdasarkan program Revitalisasi Polri Menuju Pelayanan Prima, beban dan

tanggungjawab Polri dalam menangani tindak pidana cybercrime merupakan tantangan sekaligus peluang bagi Polri untuk mewujudkan pembangunan kemitraan, sebagaimana dirumuskan dalam Grand Strategi Polri 2005-2025 tahap ke II, oleh sebab itu diperlukan strategi kerjasama penanganan tindak pidana cybercrime guna terwujudnya kerjasama sinergi polisional yang proaktif dalam rangka memelihara keamanan dalam negeri. 2. Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian latarbelakang di atas, maka hal yang menjadi pokok permasalahannya adalah Bagaimana strategi penanganan tindak pidana cybercrime melalui kemitraan guna terwujudnya kerjasama sinergi polisional yang proaktif dalam rangka memelihara stabilitas Kamdagri?. 3. Pokok-pokok Persoalan Berdasarkan pokok permasalahan tersebut, maka pokok-pokok

persoalannya antara lain: a. b. Bagaimana perspektif perkembangan cybercrime saat ini? Bagaimana kualitas dan kemampuan penyidik Polri dalam menangani tindak pidana cybercrime? c. d. Bagaimana mekanisme penanganan tindak pidana cybercrime saat ini? Bagaimana implementasi strategi penanganan tindak pidana

cybercrime melalui kemitraan guna terwujudnya kerjasama sinergi polisional yang proaktif? 4. Ruang lingkup Penulisan Naskah Karya Perorangan ini dibatasi pada permasalahan penanganan tindak pidana cybercrime dengan membangun kemitraan, sehingga-+ terwujud kerjasama sinergi polisional yang proaktif dalam upaya memelihara stabilitas keamanan dalam negeri.

3 BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN 5. Sistem Perencanaan Strategi Polri Sistem perencanaan strategi (Sisrenstra) Polri dimaksudkan untuk mengelola institusi Polri yang besar dalam jangka waktu yang panjang termasuk di dalamnya melakukan perubahan paradigma Polri. Sistem perencanaan strategi tersebut harus dilaksanakan secara berkesinambungan melalui suatu siklus atau alur perencanaan jangka panjang, jangka sedang dan jangka pendek berdasarkan peraturan Kapolri (Perkap). Tujuan dari dilaksanakan Sisrenstra adalah untuk membangun kekuatan dan

mengembangkan kemampuan Polri secara konsisten dan berkelanjutan. Sejalan dengan Grand Strategi Polri tahap ke II tahun 2010-1014, yaitu Partnership Building, maka tingkat kepuasan terhadap rasa aman dan keadilan diharapkan semakin baik, mengingat tuntutan masyarakat akan adanya jaminan rasa aman dan keadilan yang akuntabel, transparan, openness dan patuh rule of law semakin melebar.1 Penanganan tindak pidana cybercrime melalui kemitraan mempunyai kaitan erat dengan Sisrenstra, dimana saat ini penanganan kejahatan di dunia maya masih sangat sulit pembuktiannya, oleh karena itu sejalan dengan Pembangunan Kemitraan (Grand Strategi Polri Tahap Ke II) dan merebaknya tuntutan masyarakat akan rasa aman dan keadilan, maka penanganan tindak pidana cybercrime perlu disusun berdasarkan sistem perencanaan, sehingga terwujud kepuasan masyarakat terhadap kinerja Polri. 6. Perkembangan Organisasi Polri Alasan umum dilakukannya perubahan atau restrukturisasi organisasi Polri dilatarbelakangi oleh adanya tantangan dan tuntutan tugas Polri, antara lain meningkatnya kejahatan global yang semakin canggih dan kompleks, meliputi; kejahatan terorisme, peredaran Narkoba, tindak pidana pencucian uang, kejahatan transaksi elektronik/kejahatan dunia maya (cybercrime), perdagangan manusia, dan lain-lain. Alasan-alasan umum lainnya yang memiliki keterkaitan dengan penanganan cybercrime, diantaranya:

1

Suhardjito, WS., SH., Drs., H., Materi Perkuliahan Sisrenstra Polri, Sespimti Polri Pendidikan Reguler Ke-20, Tahun Ajaran 2012, Lembang, 24 April 2012

3

4 a. Grand Strategi Polri 2005-2025 (tahap trust building, partnership building, strives for excellence). b. Struktur organisasi Polri sat ini sudah tidak efektif dan efisien untuk menghadapi ancaman perubahan lingkungan strategik. c. d. e. f. Kerjasama antar kementerian atau lembaga. Tuntutan sebagai organisasi pelayanan publik. Tuntutan beberapa Undang-Undang terkait peran Polri. Tuntutan supremasi hukum. Sementara alasan khusus yang juga melatarbelakangi restrukturisasi Polri dan memiliki korelasi dengan penanganan cybercrime diantaranya: a. Struktur organisasi tidak sesuai lagi dengan Grand Strategi Polri 20052025 (structure follow strategy). b. Banyaknya MoU Polri dengan pihak lain dan program khusus dari pemerintah yang belum dilaksanakan dan dimonitor secara optimal. c. Harapan dan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan Polri semakin tinggi khususnya terhadap fungsi Reskrim. d. Tuntutan akan kemampuan dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi serta penelitian semakin tinggi. e. f. 7. Kerjasama antar lembaga dalam dan luar negeri belum terwadahi. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Polri perlu ditingkatkan.2

Analytical Hierarchy Process Analisis environmental scanning melalui pendekatan Analisis SWOT merupakan bagian dari proses pendekatan analisis IFAS, EFAS, Posisi Organisasi dan SFAS secara hierarki. Hal yang dapat dilakukan adalah menggunakan skala interval untuk menetapkan ranking dari kriteria yang ada. Prof. DR. Thomas l. Saaty, dari University of Pittsburgh telah berhasil membuktikan bahwa pendekatan matematika melalui solusi eigenvector adalah pendekatan terbaik dalam pengambilan keputusan khususnya kaitannya dengan pendekatan IFAS, EFAS, Posisi Organisasi dan SFAS3.

2

Eddy Murdiyono, SH., MH., Kombes Pol Drs. Perkembangan Organisasi Polri, Bahan Ajaran, Sespimti Polri Pendidikan Reguler Ke-20, Tahun Ajaran 2012, Lembang, 24 April 2012 Setyo Riyanto, SE., MM., DR., Analytical Hierarchy Process, IFAS, EFAS, and SFAS Approach, Kuliah Sespimti Polri Dikreg Ke-20 Tahun Ajaran 2012, Lembang, 1 Maret 2012

3

5 BAB III KONDISI PENANGANAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME SAAT INI

8.

Perspektif perkembangan Cybercrime Era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk meningkatkan produktivitas hidupnya. Korelasi antara informasi, teknologi dan jaringan komunikasi telah melahirkan dunia maya yang semakin dikenal dengan sebutan teknologi cyberspace atau menurut The U.S. Supreme Court disebut sebagai: International Network of Interconnected Computers. Tetapi perlu dicermati, bahwa pesatnya perkembangan teknologi (internet) telah membawa dampak negatif terhadap munculnya kelompok anti sosial atau kejahatan dengan memanfaatkan interconnection network (cybercrime). Teknologi ini mencakup kumpulan informasi yang dapat diakses setiap orang dalam bentuk jaringanjaringan komputer atau jaringan internet, dimana setiap orang dapat mengetahui dan mengirimkan informasi secara cepat dengan menembus batas teritorial suatu negara (borderless)4. Pengertian Cybercrime itu sendiri menurut dokumen kongres PBB tentang The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders di Havana, Cuba pada tahun 1999 dan di Wina, Austria tahun 2000, yaitu bahwa Cybercrime adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer dan internet sebagai sarana atau media untuk memperoleh keuntungan pribadi dan merugikan pihak lain, serta kecanggihan komputer itu sendiri5. Oleh sebab itu tindak pidana cybercrime harus menjadi perhatian dan porsi khusus oleh semua pihak terutama Polri sebagai pengemban fungsi kepolisian yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, karena cybercrime dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

4

5

Cybercrime dan upaya antisipasinya secara yuridis (I), http://kemahasiswaan.um.ac.id/wpcontent/uploads/2010/ 04/PKM-GT-10-UM-Nodistya-Cyber-Crime-di-Indonesia-1.pdf Petrus Reinhard Golose, MM., Drs. Perkembangan Cybercrime dan Upaya Penanganannya di Indonesia oleh Polri, Mantan Kanit V IT/Cybercrime Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri

5

6 Kasus cybercrime yang lebih dikenal dengan istilah cyber attack pertama kali dilakukan oleh seorang mahasiswa pada tahun 1988 yang berhasil menciptakan sebuah worm atau virus yang menyerang program computer dan mematikan sekitar 10% dari seluruh jaringan komputer di dunia yang terhubung melalui internet. Kemudian pada tahun 1994 seorang anak sekolah musik yang berusia 16 tahun yang bernama Richard Pryce, harus berurusan dengan pihak berwajib karena masuk secara ilegal ke dalam ratusan sistem komputer rahasia, termasuk pusat data dari Griffiths Air Force, NASA dan Korean Atomic Research Institute atau badan penelitian atom Korea. Dalam interogasinya dengan FBI, ia mengaku belajar hacking dan cracking dari seseorang yang dikenalnya melalui internet dan menjadikannya seorang mentor, bahkan hingga kini mentor tersebut tidak pernah diketahui keberadaannya. Selama kurun waktu 1986 hingga 2003, kebanyakan epicentre virus computer yang terdeteksi berasal dari Eropa, Amerika, Jepang, Australia, India, dan lain-lain. Namun hasil penelitian mengatakan di beberapa tahun mendatang Mexico, India dan Africa yang akan menjadi epicentre virus terbesar di dunia, Indonesia juga termasuk dalam 10 besar. kejahatan dunia maya tersebut, meliputi: a. Carding, adalah kejahatan dengan menggunakan teknologi computer untuk melakukan transaksi dengan menggunakan kartu kredit milik orang lain, atau dikenal juga dengan penipuan kartu kredit online. b. Cracking, merupakan kejahatan yang bertujuan untuk merusak sistem keamanan suatu sistem computer dengan modus pencurian atau tindakan anarkis. Pelakunya disebut Cracker yaitu seseorang yang memiliki kemampuan untuk merubah suatu karakteristik dan properti suatu program, sehingga program dapat digunakan dan disebarkan. c. Hacking, yaitu mengakses secara tidak sah atau tanpa izin dengan alat suatu terminal. Pelakunya disebut hacker adalah orang yang senang memprogram dan percaya bahwa informasi adalah sesuatu hal yang sangat berharga dan rahasia untuk kemudian dipublikasikan.6

Kejahatan-

6

Cybercrime Atau Kejahatan Dunia Maya, 12 April 2010 http://nyoe.wordpress.com/2010/04/12/cybercrime-atau-kejahatan-dunia-maya/

7 d. The Trojan Horse, yaitu manipulasi data atau program dengan jalan mengubah data atau instruksi pada sebuah program, menghapus, menambah, menjadikan tidak terjangkau, dengan tujuan kepentingan pribadi atau orang lain. e. Data leakage, yaitu menyangkut pembocoran data ke luar terutama mengenai data yang harus dirahasiakan. f. Data diddling, yaitu suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara tidak sah, mengubah input data atau output data. g. Software piracy, yaitu pembajakan software terhadap hak cipta yang dilindungi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). h. Cyber Espionage, merupakan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran dan menyusupkan program mata-mata yang disebut sebagai spyware. Sasaran kejahatan ini adalah saingan bisnis yang dokumen ataupun data-data pentingnya tersimpan dalam sistem yang terkomputerisasi. i. Infringements of Privacy, merupakan kejahatan yang ditujukan terhadap informasi seseorang yang sifatnya sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan atau data pribadi seseorang yang tersimpan secara komputerisasi, seperti; nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, catatan kesehatan, dan sebagainya. j. Data Forgery, merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless

document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi salah ketik yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku. k. Unauthorized Access to Computer System and Service, Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa diketahui pemilik sistem, dengan maksud melakukan sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia. Namun, ada pula yang melakukannya hanya karena merasa tertantang untuk menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak seiring dengan berkembangnya teknologi internet/intranet.

8 l. Cyber Sabotage and Extortion, merupakan kejahatan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan sebagaimana

mestinya, atau hanya dapat dioperasikan oleh pelaku, yang kemudian menawarkan diri kepada korban untuk memperbaiki data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang telah disabotase tersebut. Kejahatan ini sering disebut sebagai cyber-terrorism. m. Offense against Intellectual Property, Kejahatan ini ditujukan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual yang dimiliki pihak lain di internet. Sebagai contoh adalah peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya. n. Illegal Contents, adalah kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum, misalnya; pemuatan berita bohong atau fitnah yang akan merusak martabat pihak lain, hal-hal yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah, dan sebagainya. Contoh kasus yang sangat menonjol adalah kasus Prita Mulyasari, dimana kasusnya bermula dari tulisan e-mail yang dinilai merusak nama baik sebuah institusi rumah sakit swasta.7 9. Kualitas dan kemampuan penyidik Polri dalam menangani tindak pidana cybercrime saat ini Penanganan tindak pidana cybercrime saat ini dinilai masih belum optimal. Hal ini sangat dipengaruhi oleh keterbatasan kemampuan dan kompetensi penyidik Polri pada Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri yang menangani tindak pidana kejahatan dunia maya, meliputi:

7

Cybercrime (Kejahatan Internet) & Pasal-pasalnya, http://forums.soulmateclub.net/showthread.php? 1628-CYBER-CRIME-%28Kejahatan-Internet%29-amp-Pasal-pasalnya

9 a. Terbatasnya jumlah personel Polri yang memiliki keahlian bidang komputer (programming computer system). b. Terbatasnya kemampuan anggota Polri dalam menjalin kerjasama dengan pihak-pihak yang memiliki kompetensi di bidang informasi dan teknologi khususnya jaringan komputer (internet). c. Pengawasan terhadap pengguna fasilitas internet masih lemah, sehingga para pengguna internet dapat dengan leluasa melakukan aksinya tanpa mengenal waktu dan tempat. d. Pemahaman tentang penerapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana cybercrime masih terbatas. 10. Mekanisme penanganan tindak pidana cybercrime saat ini Pada tahun 2008, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Upaya ini merupakan langkah pemerintah untuk melindungi masyarakat dalam

menggunakan dan memanfaatkan media teknologi, informasi dan komunikasi terhadap tindak-tindakan pidana cybercrime sekaligus untuk memberikan kepastian hukum bagi para pengguna media elektronik di Indonesia, namun pada kenyataannya upaya ini belum sepenuhnya diimbangi dengan kompetensi dan kinerja penyidik dalam menangani tindak pidana cybercrime. Adapun indikator-indikator yang mempengaruhi mekanisme

penanganan tindak pidana cybercrime8, adalah sebagai berikut: a. Asas universal interest jurisdiction tidak seluruhnya dapat diterapkan mengingat Indonesia hanya memiliki perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara saja, dimana berdasarkan Indonesia hanya memiliki 8 (delapan) perjanjian ekstradisi, sehingga hal ini menyulitkan penyidik dalam melakukan penyitaan aset cybercrime. b. Kurang optimalnya pemberdayaan masyarakat, terutama komunitaskomunitas yang mempunyai kegemaran mengoperasikan komputer yang justru lebih mengetahui perkembangan teknologi dan informasi.

8

Suryono Sukanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia., http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-penegakan-hukum-diindonesia/

10 c. Adanya sebagian masyarakat yang tidak sepenuhnya bersikap kooperatif untuk memberikan kesaksian atau pembuktian atas

terjadinya tindak pidana cybercrime. d. Berkembangnya jasa pelayanan internet (Warnet) kurang diimbangi dengan pendataan atau pendaftaran pelanggan pada salah satu ISP (Internet Service Provider), sehingga para pelaku cybercrime sering menjadikannya tempat untuk melakukan aksinya, sehingga menyulitkan pihak kepolisian untuk melacak penggugah situs-situs terlarang. e. Belum sinergisnya kerjasama dalam penanganan tindak pidana cybercrime yang terjadi baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. f. Belum terorganisirnya penanggulangan cybercrime, dimana saat ini unit yang menanggulangi cybercrime hanya baru ada di tingkat Mabes Polri tepatnya pada Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Polda Metro Jaya dan Polda Jatim. g. Kurang sinergisnya kerjasama antara Polri dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam menanggulangi cybercrime. h. Kurang optimalnya kerjasama dan koordinasi antar fungsi kepolisian dalam menangani tindak pidana cybercrime untuk melaksanakan tindakan-tindakan preemtif, Preventif, dan penegakan hukum. i. Terbatasnya sarana dan prasarana penyidik Polri untuk mendukung tahap penyidikan dan penyelidikan kasus cybercrime, sebagai pondasi kekuatan pembuktian tindak pidana cybercrime khususnya guna melacak dan menemukan IP address pelaku kejahatan.

11 BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENANGANAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME 11. Faktor Internal a. Kekuatan 1) Dilaksanakannya Renstra Polri 2010-2014 yang diarahkan untuk membangun kemitraan. 2) Adanya 10 prioritas program Revitalisasi Polri Menuju Pelayanan Prima yang salah satunya diprioritaskan untuk melaksanakan kerjasama melalui polisional yang proaktif. 3) Adanya program Polmas sebagai wahana kerjasama antara Polri dengan masyarakat untuk antisipasi berbagai kejahatan

termasuk cybercrime. 4) Adanya prestasi gemilang yang ditorehkan Polri dalam

mengungkap kasus-kasus kejahatan khususnya terorisme yang berbasis informasi dan teknologi. 5) Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung penyidikan cybercrime. b. Kelemahan 1) Terbatasnya jumlah personil penyidik Polri yang memiliki keahlian komputer khususnya jaringan internet. 2) Bidang yang khusus menangani tindak pidana cybercrime belum tergelar di seluruh Polda, dimana penanganannya masih terpusat di Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Polda Metro Jaya serta Polda Jatim. 3) Terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki Polri untuk melaksanakan penyidikan dan penyelidikan cybercrime. 4) Belum sinergisnya kerjasama penanganan cybercrime antara Polri dengan instansi terkait. 5) Kurang optimalnya kerjasama dan koordinasi antara fungsi kepolisian (Binmas, Intelkam, dan Reskrim) dalam menangani dan mengantisipasi tindak pidana cybercrime. 11

12 12. Faktor Eksternal a. Peluang 1) Adanya Undang-Undang No. 11 tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai payung hukum penyidikan Polri. 2) Adanya kepedulian komunitas pengguna fasilitas internet

(Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia/APJII) untuk memberikan keamanan bagi penggunaan internet lainnya. 3) Adanya upaya-upaya negara lain untuk memerangi cybercrime dapat dijadikan celah untuk membangun kerjasama luar negeri. 4) Adanya dukungan dari pemerintah dalam menangani cybercrime yang dapat berdampak pada keamanan nasional. 5) Pendidikan komputer khususnya internet sudah menjadi

kurikulum pendidikan. b. Kendala 1) Sulitnya penentuan pemberlakuan yurisdiksi hukum suatu negara, sehingga menghambat proses penyidikan khususnya pembuktian dan ekstradisi pelaku kejahatan. 2) Belum adanya wadah dalam lingkup internasional guna

menanggulangi tindak pidana cybercrime. 3) Meningkatnya modus kejahatan dunia maya baik kualitas maupun kuantitasnya. 4) Belum adanya pendataan atau pendaftaran pelanggan pada salah satu ISP (Internet Service Provider) sebagai pemberi layanan internet kepada masyarakat untuk mengantisipasi Cybercrime. 5) Kurangnya kepekaan sebagian masyarakat untuk

mengantisipasi tindak pidana cybercrime, sehingga para pelaku dapat leluasa melakukan aksinya.

13 BAB V KONDISI PENANGANAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME YANG DIHARAPKAN

13.

Kondisi Polri yang diharapkan dalam menanggulangi tindak pidana cybercrime Ada dua hal mendasar yang harus menjadi fokus perhatian dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait dengan

penanganan tindak pidana cybercrime, yaitu asas teritorial dan klasifikasi alat bukti yang sah. Kedua hal tersebut dinilai perlu untuk mendapatkan pembuktian atas terjadinya tindak pidana cybercrime. Penanganan cybercrime melalui Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi penyidik Elektronik, untuk diharapkan mampu

mengakomodir

kepentingan

mendapatkan

pembuktian

khususnya dalam penentuan locus delictie dan tempus delictie. Di dalam pasal 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa; Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia., oleh karena itu prinsip yang harus dianut untuk melakukan penyidikan adalah universal interest jurisdiction9. Sedangkan dalam hal pembuktian terhadap tindak pidana cybercrime, Undang-Undang ITE dinilai telah memberikan peluang bagi penyidik dengan adanya pengakuan terhadap digital evidence 10 sebagai alat bukti yang sah dengan beberapa persyaratan tertentu. Hal ini penting mengingat cybercrime dilakukan dengan menggunakan teknologi, khususnya internet, sehingga keberadaan bukti-bukti sebagaimana dalam kejahatan konvensional, seperti; surat atau dokumen lainnya sulit didapat (paperless).

9

10

Dalam UU ITE, hal 13, dijelaskan bahwa pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan mencakup cybercrime. Digital Evidence adalah validitas nilai informasi yang disimpan atau ditransmisikan dalam bentuk biner, meliputi komputer dan audio digital dan video, dengan cakupan seluruh aspek kejahatan dimana bukti dapat ditemukan dalam bentuk digital atau biner, (http://www.ncfs.org/digital_evd.html)

13

14 14. Kompetensi penyidik Polri guna menanggulangi cybercrime yang diharapkan Dari kajian hukum tersebut dapat diambil beberapa asumsi, yaitu bahwa; Pertama, pemahaman penyidik Polri tentang penerapan UndangUndang No. 11 Tahun 2008 perlu ditingkatkan terlebih pemerintah juga kini telah mengeluarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Porno Aksi. Kedua, secara struktural, kedudukan badan khusus yang menangani tindak pidana cybercrime agar berdiri sendiri, tidak berada di bawah Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, karena cakupannya tidak hanya terkait bidang ekonomi, tetapi juga menyangkut moral dan mental bangsa atau generasi muda terutama terkait adanya tindakan pornografi dan porno aksi melalui media internet, namun tetap masih dalam lingkup Bareskrim Polri. Ketiga, mengingat sulitnya pembuktian terhadap kasus cybercrime, maka diharapkan Polri khususnya penyidik dapat terus

mengembangkan berbagai bentuk kerjasama, baik kerjasama lintas sektoral maupun interdepartemen dalam dan luar negeri. Adapun sasaran yang harus dicapai Polri dalam penanggulangan tindak pidana cybercrime adalah: a. Bertambahnya jumlah personel Polri yang memiliki keahlian bidang komputer (programming computer system). b. Meningkatnya kemampuan anggota Polri dalam menjalin kerjasama dengan pihak-pihak yang memiliki kompetensi di bidang teknologi dan informatika. c. Diharapkan anggota Polri memiliki kemampuan untuk melaksanakan pengawasan terhadap para pengguna fasilitas internet, dengan tujuan untuk mempersempit aksi para pelaku kejahatan cybercrime di Indonesia. d. Meningkatnya pemahaman para penyidik Polri pada bidang

penanganan tindak pidana cybercrime mengenai peraturan perundangundangan terkait, seperti Undang-Undang No. 11 tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang No. 44 Tahun 2008, tentang Pornografi dan Porno Aksi.

15 15. Mekanisme penanganan tindak pidana cybercrime melalui kemitraan yang diharapkan Penanganan kejahatan di dunia maya diharapkan dapat lebih optimal mengingat kekuatan atau payung hukum untuk melaksanakannya sudah ada, yaitu; Undang-Undang No. 11 tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang No. 44 Tahun 2008, tentang Pornografi dan Porno Aksi, namun demikian hal ini juga perlu disertai dengan peningkatan kemampuan personel Polri dalam melakukan penyidikan kasus cybercrime baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang berada di dalam negeri maupun luar negeri. Sejalan dengan perkembangan lingkungan strategik, dalam beberapa tahun terakhir muncul beberapa komunitas masyarakat yang peduli kondisi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya media internet di Indonesia. Komunitas yang dimaksud contohnya adalah Asosiasi

Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di Yogyakarta, dimana komunitas ini baru mampu memblokir 400.000 situs dari 2 juta situs porno yang terdapat di dunia maya 11 . Dengan demikian diharapkan Polri mampu merangkul komunitas tersebut untuk dapat bekerjasama sekaligus

meningkatkan kemampuan penyidik Polri dalam hal keahlian informasi interconnection networking. Selanjutnya, di masa yang akan datang, Polri juga dapat melakukan pembenahan dan pembinaan terhadap mekanisme penanganan cybercrime, dengan sasaran: a. Karena sulitnya penerapan asas universal interest jurisdiction,

sehubungan dengan terbatasnya perjanjian ekstradisi yang dimiliki Indonesia, maka Polri diharapkan dapat lebih proaktif dalam melakukan pendekatan kerjasama dengan kepolisian luar negeri, sehingga dapat membuat kebijakan bersama dalam kerangka Memorandum of Understanding. b. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam penanganan kejahatan di dunia maya, mengingat kejahatan tersebut justru dilakukan di tengahtengah masyarakat.

11

Blokir Porno Baru Efektif 20 Persen, kompas.com, http://id.news.yahoo.com/kmps/20100827/ttcblokir-porno-baru-efektif-20-persen-566ebb2.html, Jumat, 27 Agustus 2010

16 c. Tumbuhnya sikap kooperatif masyarakat untuk memberikan kesaksian dalam pembuktian terjadinya tindakan kejahatan dunia maya. d. Perlunya pengawasan penggunaan fasilitas internet agar tidak disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, oleh karena itu diharapkan Polri dapat melaksanakan pendataan atau pendaftaran para pengguna internat pada sebuah penyedia layanan internet (ISP) melalui ikatan bekerjasama. e. Terbangunnya sinergitas kerjasama dengan berbagai pihak terkait yang ada di Indonesia maupun negara lain, bahkan dengan masyarakat yang terhimpun dalam komunitas programmer komputer. f. Terbangunnya struktur organisasi penanggulangan cybercrime di tingkat Polda mengingat kejahatan tersebut dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja tergantung niat dan kesempatan. g. Terciptanya koordinasi antar fungsi kepolisian, seperti Binmas, Intelkam dan Reskrim dalam penanggulangan kejahatan cybercrime. h. Tersedianya sarana prasarana atau fasilitas khusus untuk kepentingan penyidikan tindak pidana cybercrime, dimana alat-alat tersebut dibutuhkan untuk melacak dan menemukan IP address dari pelaku dan komputer yang digunakan.

17

BAB VISTRATEGI PENANGANAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME MELALUI KEMITRAAN GUNA TERWUJUDNYA KERJASAMA SINERGI POLISIONAL YANG PROAKTIF DALAM RANGKA MEMELIHARA STABILITAS KEAMANAN DALAM NEGERI 16. Strategi penanganan tindak pidana cybercrime melalui kemitraan dengan pendekatan Teori Analisis SWOT (IFAS, EFAS, dan SFAS) a. No.1

IFAS (Internal Factor Analysis Strategic) Faktor InternalKekuatan a. Dilaksanakannya Renstra Polri 2010-2014 bang mitra b. Adanya 10 prioritas prog Revitalisasi Polri Menuju Yan Prima c. Adanya prog Polmas sbg wahana kerma Polri-masy d. Adanya prestasi dlm ungkap kasus-2 kejahatan (terorisme) berbasis IT e. Pesatnya bang Iptek dpt dimanfaatkan utk duk sidik cybercrime Jumlah 2 Kelemahan a. Terbatasnya jml pers penyidik Polri yg memiliki keahlian komputer b. Bidang yg khusus menangani tindak pidana cybercrime blm tergelar di seluruh Polda c. Terbatasnya sarpras yg dimiliki utk melaks sidik lidik cybercrime d. Belum sinergisnya kerma penanganan cybercrime antara Polri dgn instansi terkait e. Kurang optimalnya Kerma & koord antara fungsi kepolisian Jumlah Total Skor

Bobot0,122 0,122 0,094 0,094 0,069 0,50 0,137 0,137 0,088 0,088 0,049 0,50 1,00

Rating8 8 7 7 6

Skor Bobot1,977 1,977 0,655 0,655 0,412 3,68

Ket

5 5 4 4 3

0,687 0,687 0,352 0,352 0,148 2,23 5,90

17

18 b. No. 1 Peluanga. b. c. d. e. Adanya UU No. 11 tahun 2008, ttg ITE Adanya kepedulian komunitas pengguna fasilitas internet (APJII) Adanya upaya-2 negara lain untuk memerangi cybercrime Adanya dukungan dari pemerintah tangani cybercrime Pendidikan komputer khususnya internet sudah menjadi kurikulum pendidikan 0,137 0,105 0,105 0,077 0,077 8 7 7 6 6 1,094 0,733 0,733 0,462 0,462

EFAS (Eksternal Factor Analysis Strategic) Faktor Eksternal Bobot Rating Skor Bobot Ket

Jumlah 2 Kendalaa. b. c. d. e. Sulitnya penentuan pemberlakuan yurisdiksi hukum suatu negara Blm ada wadah dlm lingkup internasional guna tanggulangi TP cybercrime Meningkatnya modus kejahatan dunia maya baik kualitas maupun kuantitasnya Belum adanya pendataan atau pendaftaran pelanggan pada salah satu ISP Kurangnya kepekaan sebagian masy untuk mengantisipasi tindak pidana cybercrime

0,500,149 0,149 0,095 0,054 0,054 5 5 4 3 3

3,480,744 0,744 0,381 0,161 0,161

Jumlah Total Skor c. Matriks SWOTKekuatan (S)

0,50 1,00

2,19 5,67

ST III Strategi Turn Around (T) Kendala ST I Strategi Agresif

(3,68 > 2,23) (3,48 > 2,19) Rata-rata rate (S) 7 (W) 4 = 3 (O) 7 (T) 4 = 3 (O) Peluang

3

3S>W O