pemilihan jenis tanaman restorasi berdasarkan beberapa ... · klorofil sehingga laju...

20
TINJAUAN PUSTAKA Fotosintesis Proses utama fotosintesis terjadi di kloroplas. Pada tumbuhan C3 sebagian besar kloroplas terdapat dalam sel mesofil daun. Proses reaksi fotosintesis pada tumbuhan tingkat tinggi berlangsung dua tahap, yaitu: 1) reaksi terang (Gambar1), dan 2) reaksi gelap (Gambar 2). Tahapan reaksi fotosintesis adalah sebagai berikut (Taiz & Zeiger 2003; Lambers et al. 2008; Campbell et al. 2010). 1. Penyerapan foton oleh pigmen, terutama klorofil, bekerja sama dengan dua fotosistem. Pigmen tersimpan dalam membran bagian dalam tilakoid dan menyerap sebagian besar energi dari radiasi aktif fotosintesis (PAR = Photosynthetically Active Radiation) pada panjang gelombang 400-700 nm. Pigmen ini mentransfer energi eksitasi ke pusat reaksi pada fotosistem di mana proses selanjutnya dimulai. 2. Elektron yang dihasilkan dari pemecahan molekul air dengan produksi oksigen berkesinambungan ditranspor melalui rantai transpor elektron yang tertanam dalam membran tilakoid. NADPH dan ATP yang dihasilkan dari proses ini digunakan untuk proses reaksi gelap. Kedua reaksi ini bergantung pada energi cahaya, oleh karena itu disebut reaksi terang fotosintesis. Reaksi terang mengubah energi surya menjadi energi kimia dalam ATP dan NADPH. 3. NADPH dan ATP digunakan dalam siklus reduksi karbon fotosintesis (siklus Calvin). Dalam siklus ini CO 2 , yang masuk melalui stomata, diasimilasi membentuk senyawa berkarbon tiga (triosa fosfat). Proses ini dapat berlangsung tanpa cahaya, oleh karena itu disebut reaksi gelap. Proses ini berlangsung di dalam stroma.

Upload: vanhanh

Post on 05-Mar-2019

250 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

TINJAUAN PUSTAKA

Fotosintesis

Proses utama fotosintesis terjadi di kloroplas. Pada tumbuhan C3 sebagian

besar kloroplas terdapat dalam sel mesofil daun. Proses reaksi fotosintesis pada

tumbuhan tingkat tinggi berlangsung dua tahap, yaitu: 1) reaksi terang (Gambar1),

dan 2) reaksi gelap (Gambar 2). Tahapan reaksi fotosintesis adalah sebagai berikut

(Taiz & Zeiger 2003; Lambers et al. 2008; Campbell et al. 2010).

1. Penyerapan foton oleh pigmen, terutama klorofil, bekerja sama dengan dua

fotosistem. Pigmen tersimpan dalam membran bagian dalam tilakoid dan

menyerap sebagian besar energi dari radiasi aktif fotosintesis (PAR =

Photosynthetically Active Radiation) pada panjang gelombang 400-700 nm.

Pigmen ini mentransfer energi eksitasi ke pusat reaksi pada fotosistem di mana

proses selanjutnya dimulai.

2. Elektron yang dihasilkan dari pemecahan molekul air dengan produksi oksigen

berkesinambungan ditranspor melalui rantai transpor elektron yang tertanam

dalam membran tilakoid. NADPH dan ATP yang dihasilkan dari proses ini

digunakan untuk proses reaksi gelap.

Kedua reaksi ini bergantung pada energi cahaya, oleh karena itu disebut reaksi

terang fotosintesis. Reaksi terang mengubah energi surya menjadi energi kimia

dalam ATP dan NADPH.

3. NADPH dan ATP digunakan dalam siklus reduksi karbon fotosintesis (siklus

Calvin). Dalam siklus ini CO2, yang masuk melalui stomata, diasimilasi

membentuk senyawa berkarbon tiga (triosa fosfat). Proses ini dapat

berlangsung tanpa cahaya, oleh karena itu disebut reaksi gelap. Proses ini

berlangsung di dalam stroma.

6

Gambar 1 Reaksi terang fotosintesis (Campbell et al. 2010)

Gambar 2 Reaksi gelap fotosintesis (Siklus Calvin) (Champbell et al. 2010)

7

Pada fotosintesis, tumbuhan memanfaatkan energi matahari untuk

mengoksidasi air untuk melepaskan O2, dan mereduksi CO2 untuk membentuk

senyawa karbon yang lebih besar, terutama gula (Champbell et al. 2010).

Faktor abiotik seperti cahaya, suhu, konsentrasi CO2, uap air, keberadaan

nutrisi memiliki pengaruh utama pada fotosintesis bersih, yang selanjutnya

mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas. Kapasitas fotosintesis tidak hanya

dipengaruhi oleh lingkungan abiotik tetapi juga dipengaruhi oleh umur dan posisi

daun pada kanopi. Jenis atau genus yang berbeda memiliki laju fotosintesis yang

berbeda. Daun Populus memiliki laju fotosintesis maksimum sebelum daun

berukuran maksimum, sedangkan daun Quercus mencapai laju fotosintesis

maksimum beberapa minggu setelah daun berukuran maksimum (Ceulemans &

Saugier 1991).

Laju fotosintesis daun tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Perbedaan jenis tumbuhan

Tumbuhan berdasarkan metabolisme fotosintesisnya dapat dibagi menjadi 3

golongan besar, yaitu jenis C-3, C-4, dan CAM (Crassulacean Acid Metabolism).

Tanaman kehutanan umumnya termasuk C-3. Tumbuhan C-4 secara umum

mempunyai laju fotosintesis tertinggi, sementara tumbuhan CAM memiliki laju

fotosintesis terendah (Lakitan 2010). Contoh tanaman C-4 seperti jagung, tebu,

dan sorgum. Nanas dan kaktus termasuk ke dalam tanaman CAM. Ketiga jenis

tumbuhan tersebut juga memiliki anatomi yang berbeda. Tumbuhan C-4 sel

seludangnya berkembang baik dan memiliki klorofil (Taiz & Zeiger 2003;

Campbell et al. 2010). Perbedaan dalam golongan tumbuhan yang sama juga

terjadi. Tanaman kacang tanah dan bunga matahari merupakan tanaman yang

yang senang cahaya matahari (sun-adapted), tingkat kejenuhan terhadap

cahayanya rendah. Tanaman C-4 dapat beradaptasi pada intensitas cahaya dan

suhu tinggi, dan jenis tanaman ini lebih efisien dalam memanfaatkan air dalam

kondisi tersebut. Tanaman C-3 cenderung mencapai puncak laju fotosintesis pada

intensitas cahaya dan suhu moderat, dan akan terganggu oleh suhu tinggi dan

intensitas cahaya penuh (Odum 1996).

8

b. Umur daun

Daun muda umumnya mempunyai kemampuan fotosintesis yang masih

rendah. Kemampuan fotosintesis akan meningkat dengan bertambahnya umur dan

luasan daun. Setelah ukuran daun mencapai maksimum, maka daun akan menjadi

tua dan berubah warna menjadi kuning karena klorofil mulai rusak. Rusaknya

klorofil akan menurunkan kemampuan fotosintesis daun (Salisbury & Ross 1995;

Lakitan 2010).

c. Letak daun

Daun yang terletak di bagian dalam tajuk kurang mendapat cahaya matahari.

Laju fotosintesis daun yang terletak di bagian dalam tajuk akan lebih rendah

dibanding dengan daun yang terletak di tepi luar tajuk (Salisbury & Ross 1995;

Lakitan 2010). Susunan daun dalam tajuk juga mempengaruhi efektifitas

penyerapan cahaya matahari. Jika letak daun mendatar dan sebagian besar cahaya

datang dari atas, maka daun bagian atas akan terpajan pada cahaya matahari

penuh, sehingga fotosintesis pada daun tersebut akan terlalu jenuh, dan banyak

cahaya yang diserap menjadi tidak berguna (Salisbury & Ross 1995).

d. Fase pertumbuhan

Tumbuhan yang sedang tumbuh, sedang berbunga, dan berbuah, memiliki

laju fotosintesis yang tinggi dan laju translokasi fotosintat yang juga tinggi.

Tumbuhan yang sedang dalam fase istirahat memiliki laju fotosintesis yang

rendah (Lakitan 2010).

e. Intensitas cahaya matahari

Setiap jenis tumbuhan membutuhkan intensitas cahaya matahari yang

berbeda-beda. Ada jenis tumbuhan yang pertumbuhannya baik pada cahaya

matahari penuh (sun plant), ada juga tumbuhan yang pertumbuhannya baik pada

kondisi ternaungi (shade plant). Bahwa cahaya sering membatasi fotosintesis

terlihat dengan menurunnya laju penambatan CO2 ketika tumbuhan terkena

bayangan awan sebentar. Daun naungan umumnya mempunyai klorofil lebih

banyak, khususnya klorofil b, terutama karena tiap kloroplas mempunyai lebih

banyak grana dibandingkan pada daun matahari (Salisbury & Ross 1995; Lambers

et al. 2008; Lakitan 2010).

9

f. Konsentrasi gas CO2

Gas CO2 merupakan bahan yang dibutuhkan untuk fotosintesis. Jika

konsentrasi gas meningkat, maka hasil fotosintesis akan meningkat pula. Akan

tetapi secara umum konsentrasi gas yang melebihi 1000-2000 ppm akan

berpengaruh buruk pada fotosintesis (Salisbury & Ross 1995; Lambers et al.

2008; Lakitan 2010).

g. Suhu udara

Rentang suhu yang memungkinkan tumbuhan berfotosintesis sangat luas.

Konifer dapat berfotosintesis sangat lambat pada suhu -6 oC atau lebih rendah.

Pengaruh suhu terhadap fotosintesis bergantung pada spesies, keadaan lingkungan

tempat tumbuh, dan keadaan lingkungan saat pengukuran. Secara umum, suhu

optimum untuk fotosintesis sama dengan suhu siang hari di tempat tumbuhan

tersebut biasa hidup. Enzim sensitif terhadap suhu. Proses reduksi karbondioksida

pada karbohidrat memiliki banyak reaksi enzim. Salah satu enzim yang terdapat

dalam daun dengan konsentrasi tinggi yaitu ribulosa bifosfat karboksilase

(Rubisco) (Salisbury & Ross 1995; Lakitan 2010).

h. Ketersediaan air

Air merupakan bahan baku fotosintesis selain CO2. Kekurangan air dapat

menghambat laju fotosintesis karena pengaruhnya terhadap turgiditas sel penjaga

stomata. Jika tumbuhan kekurangan air, maka turgiditas sel penjaga akan

menurun, sehingga stomata menutup. Menutupnya stomata akan menghambat

serapan CO2 (Hopkins & Hüner 2004; Lakitan 2010).

i. Unsur hara

Unsur hara secara tidak langsung mempengaruhi proses fotosintesis. Jika

unsur esensial tidak terpenuhi, laju fotosintesis akan berkurang. Kapasitas

fotosintesis umumnya sensitif dengan kandungan nitrogen. Nitrogen sangat

berperan dalam proses fotosintesis, yakni sebagai bagian dari molekul klorofil,

pembawa redoks pada rantai transpor elektron, dan berperan pada semua reaksi

enzimatis dalam metabolisme fotosintesis. Nitrogen juga menentukan

produktivitas primer (Hopkins & Hüner 2004). Tumbuhan menanggapi kurangnya

pasokan unsur esensial dengan menunjukkan gejala kekahatan yang khas. Pada

tanaman yang kekurangan Mg, karena Mg adalah bagian esensial molekul

10

klorofil, maka klorofil tak terbentuk tanpa Mg atau terbentuk dalam jumlah sedikit

bila konsentrasi Mg rendah (Salisbury & Ross 1995).

j. Kesehatan daun

Daun yang terserang penyakit tidak dapat melakukan fotosintesis dengan

baik. Penyakit pada daun akibat patogen dapat menyebabkan klorosis dan

nekrosis. Daun yang mengalami klorosis dan nekrosis akan mengalami degradasi

klorofil sehingga laju fotosintesisnya terhambat (Hopkins & Hüner 2004)

k. Polutan udara

Beberapa polutan dapat mempengaruhi fotosintesis, seperti gas SOx, NOx,

ozon,logam berat, dan hujan asam. Zat-zat tersebut dapat mengganggu proses

pembentukan atau mempengaruhi umur kloroplas, serta mengganggu proses

biokimia yang terjadi di daun (Hopkins & Hüner 2004). Lamanya pemaparan

polutan pada tumbuhan akan mengakibatkan terakumulasinya polutan tersebut.

Hal ini antara lain dapat terjadi pada sistem membran kloroplas, tempat proses

awal fotosintesis, terjadi perubahan pada strukturnya (Treshow & Anderson

1991).

Klorofil dan Karakteristiknya

Klorofil terdapat dalam kloroplas dalam jumlah banyak, yaitu pada

membran tilakoid, sering terikat longgar pada protein, tetapi mudah diekstraksi ke

dalam pelarut lipid seperti aseton dan eter (Harborne 1987).

Tumbuhan tingkat tinggi mengandung klorofil a dan klorofil b. Klorofil a

berwarna hijau tua dengan rumus kimia C55H72O5N4Mg, sedang klorofil b

berwarna hijau muda dengan rumus kimia C55H70O6N4Mg. Rumus bangunnya

berupa cincin yang terdiri atas 4 pirol (tetrapirol) dengan Mg sebagai inti. Struktur

klorofil a mempunyai gugus metil (CH3), sedangkan klorofil b mempunyai gugus

aldehida (CHO) (Harborne 1987; Champbell et al. 2010), seperti terlihat pada

Gambar 3.

Molekul klorofil terdiri dari dua bagian yaitu kepala porfirin dan rantai

hidrokarbon yang panjang. Porfirin adalah tetrapirol siklik, yang terdiri dari empat

nitrogen yang mengikat cincin pirol yang dihubungkan dengan empat rantai

metana (Champbell et al. 2010).

11

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan klorofil yaitu:

1) Faktor genetik, 2) Cahaya. Pada beberapa kecambah tanaman Angiospermae,

klorofil dapat terbentuk tanpa cahaya. Tanaman lain yang ditumbuhkan di tempat

gelap tidak berhasil membentuk klorofil, atau mengalami klorosis. Terlalu banyak

cahaya berpengaruh buruk kepada klorofil. Larutan klorofil yang dihadapkan

kepada sinar kuat tampak berkurang hijaunya. Daun-daun yang terus-menerus

terpapar sinar matahari langsung, warnanya menjadi hijau kekuning-kuningan. 3)

Oksigen. Kecambah yang ditumbuhkan di tempat gelap tidak dapat membentuk

klorofil jika tidak diberikan oksigen kepadanya. 4) Karbohidrat dalam bentuk gula

sangat menolong dalam pembentukan klorofil, terutama pada daun yang tumbuh

di tempat gelap. 5) Nitrogen dan magnesium merupakan bahan pembentuk

klorofil, dan merupakan suatu keharusan. Kekurangan salah satu zat tersebut akan

mengakibatkan klorosis. 6) Air merupakan faktor keharusan. Kekurangan air

mengakibatkan desintegrasi klorofil, seperti terjadi pada rumput dan pohon-pohon

di musim kering. 7) Temperatur yang paling baik untuk pembentukan klorofil

adalah antara 26o-30

oC (Dwidjoseputro 1986).

Gambar 3 Struktur molekul klorofil (Chambell et al. 2010)

12

Molekul klorofil berperan sebagai antena untuk menangkap cahaya dan

mentransfer energi eksitasinya ke pusat reaksi fotosistem I. Sejumlah besar

klorofil terdapat dalam LHC (Light Harvesting Complex). Rasio klorofil a dan

klorofil b sekitar 1.12 untuk LHC. Klorofil b bekerja sama penuh dengan LHC

dan sedikit dengan kompleks PSI dan PSII. Daun terlihat berwarna hijau dalam

cahaya putih karena klorofil lebih efisien berfungsi sebagai penyerap cahaya pada

panjang gelombang biru dan merah daripada pada spektrum hijau, yang praktis

dipantulkan seluruhnya (Lambers et al. 2008) sehingga daun nampak berwarna

hijau. Cahaya (dalam hal ini satuan partikel cahaya terkecil yaitu foton) yang

ditangkap oleh klorofil akan mengeksitasi klorofil ke tingkat energi yang lebih

tinggi. Klorofil yang menyerap cahaya biru akan tereksitasi ke tingkat energi yang

lebih tinggi dari pada klorofil yang menyerap cahaya merah. Pada tingkat energi

yang lebih tinggi, klorofil dalam kondisi tidak stabil, sehingga akan melepaskan

energinya dalam bentuk panas ke lingkungan dan akan kembali ke tingkat eksitasi

yang lebih rendah, di mana tingkat eksitasi ini akan stabil selama maksimum

beberapa nanodetik (10-9

detik). Oleh karena itu, proses pemanenan energi harus

terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Energi inilah yang digunakan untuk

proses fotosintesis (Taiz & Zeiger 2003).

Pada tingkat tereksitasi terendah ada beberapa kemungkinan penyaluran

energi terjadi. Kemungkinan pertama, energi akan dilepas perlahan secara radiatif

sebagai foton pada panjang gelombang yang lebih panjang melalui fluorosen.

Kemungkinan kedua, energi akan segera dilepaskan kembali dalam bentuk panas.

Kemungkinan ini umumnya yang cukup besar terjadi pada tumbuhan di alam.

Kemungkinan ketiga, klorofil mungkin akan menyalurkan energinya kepada

molekul lain seperti molekul oksigen. Kemungkinan keempat, energi akan

dimanfaatkan untuk reaksi fotokimia dari fotosintesis untuk membentuk ATP dan

NADPH (Taiz & Zeiger 2003).

Keempat bentuk penyaluran energi ini merupakan kemungkinan umum dari

mekanisme ebergi dalam sistem cahaya fotosintesis. Pada kondisi lingkungan

yang baik bagi tanaman, maka penyaluran dalam bentuk reaksi fotokimia relatif

besar, sehingga proses fotosintesis akan berjalan dengan laju yang tinggi, sejalan

dengan tingginya laju transpor elektron dalam reaksi terang fotosintesis. Namun

13

dalam keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti cekaman

kekeringan, keasaman, dan suhu rendah/tinggi, penyaluran energi ke arah

fotokimia akan mengalami hambatan (Taiz & Zeiger 2003).

Prinsip dasar penyerapan cahaya, sering disebut Hukum Stark Einstein,

adalah bahwa setiap molekul hanya dapat menyerap satu foton setiap kali, dan

foton ini menyebabkan eksitasi satu elektron saja. Energi dalam tiap foton

berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Cahaya biru dan ungu dengan

gelombang yang lebih pendek memiliki lebih banyak foton energetik dibanding

cahaya merah atau jingga dengan gelombang yang lebih panjang. Satu mol (6.02 x

1023

) foton sering disebut sebagai satu einstein (Salisbury & Ross 1995; Campbell

et al. 2010; Lakitan 2010).

Tumbuhan sebagai Penyerap CO2

Agus dan van Noordwijk (2007) melaporkan bahwa pembakaran hutan

alami pada lahan gambut menyebabkan pelepasan CO2 sebanyak 734 ton ha-1

yang berasal dari C yang tersimpan di vegetasi sebasar 200 ton ha-1

. Tetapi jumlah

tersebut mungkin masih lebih rendah dari jumlah CO2 yang diemisikan

sebenarnya, karena selama pembakaran hutan lapisan atas gambut juga terbakar

dan melepaskan CO2. Seandainya gambut yang terbakar setebal 10 cm, maka akan

terjadi penambahan emisi CO2 sebesar 220 ton ha-1

karena tanah gambut

mengandung C sekitar 6 ton ha-1

cm-1

.

Pada tahun 2007 (PEACE 2007) Indonesia dianggap sebagai salah satu

negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia. Emisi GRK terutama berasal dari

kegiatan alih guna lahan hutan dan pengeringan lahan gambut menjadi lahan

pertanian (Tabel 1).

Negara emitor GRK terbesar sebenarnya adalah USA dan China, jumlah

GRK yang diemisikan dua kali lipat lebih besar dari emisi asal Indonesia.

Bedanya, emisi GRK dari kedua negara industri tersebut berasal dari penggunaan

bahan bakar fosil dan industri (Hairiah 2008).

14

Tabel 1 Emisi GRK (Mt CO2) dari berbagai sumber emisi dari tujuh negara

emitor utama (sumber data PEACE 2007)

Emisi USA China Indonesia Brazil Rusia India

Energi 5752 3720 275 303 1527 1051

Pertanian 442 1171 141 598 118 442

Kehutanan &

pengeringan gambut

-403 -47 2563 1372 54 -40

Limbah 213 174 35 43 46 124

Total 6005 5017 3014 2316 1745 1177

Catatan:

1. Emisi GRK rata-rata 1.5-4.5 Gt ha-1

th-1

; Gt = giga ton = 1015

g = 109 ton

Mt=Mega ton =106 ton; Satuan CO2/C = 3.67

2. Data hasil pengukuran emisi GRK dari sumber lainnya masih terus dibutuhkan

3. Nilai negatif pada bagian kehutanan dan pengeringan gambut di USA, China, dan

India adalah dikarenakan keberhasilan kedua negara tersebut dalam penghutanan

kembali

CO2 masuk ke dalam daun melalui stomata dengan cara difusi. Stomata

yang terbuka penuh memiliki ukuran lebar 5-15 µm dan panjang sekitar 20 µm.

Jumlah total area stomata sekitar 0.5-2% dari luas total daun. Dari beberapa hasil

penelitian ditemukan bahwa K+ ditemukan dalam level amat tinggi pada sel

penjaga stomata yang terbuka, dan amat rendah pada sel penjaga stomata yang

tertutup. Oleh karena itu akumulasi K+ pada sel penjaga mengontrol pembukaan

stomata. Faktor lain yang mempengaruhi pembukaan stomata adalah cahaya,

karbon dioksida, keberadaan air, dan suhu. Stomata akan menutup pada kondisi

CO2 yang tinggi, tetapi menutupnya stomata pada kondisi tersebut dapat diinduksi

agar membuka jika ditempatkan pada lingkungan bercahaya. Cahaya biru memicu

terbukanya stomata (Hopkins & Hüner 2004). Penurunan difusi CO2 karena

penutupan stomata akan mengurangi laju fotosintesis (Hidayati 1999).

Tumbuhan dapat menyerap gas CO2 melalui proses fotosintesis berdasarkan

rumus:

Energi (cahaya matahari)

6 CO2 + 12 H2O C6H12O6 + 6 O2 + 6 H2O

klorofil

15

Dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa fotosintesis merupakan reaksi

antara CO2 dan air untuk memproduksi glukosa, karbohidrat berkarbon 6 atau

disebut heksosa (Hopkins & Hüner 2004). Fotosintesis tidak dapat berjalan tanpa

energi dari sinar matahari dan molekul klorofil sebagai penangkap energinya.

Hutan mempunyai potensi yang besar dalam pengurangan kadar CO2

melalui konservasi dan manajemen hutan. Hutan sekunder muda dalam

pertumbuhannya memerlukan CO2 sehingga banyak dihasilkan biomassa

tumbuhan melalui proses fotosintesis hutan yang sedang tumbuh (Heriyanto &

Siregar 2007).

Fotosintesis dan Pertumbuhan

Pertumbuhan tanaman bergantung kepada kemampuan tanaman tersebut

untuk menyerap karbon di atmosfer dan mengolahnya menjadi senyawa organik

dengan memanfaatkan energi cahaya melalui proses fotosintesis. Kurang lebih

40% dari berat kering tanaman mengandung karbon, yang dihasilkan dari

fotosintesis. Proses ini vital untuk pertumbuhan dan berlangsung pada setiap

tanaman serta merupakan bagian utama dari siklus pertumbuhan (Lambers et al.

2008).

Pertumbuhan merupakan akumulasi bahan organik. Kandungan karbon,

komponen struktural utama tanaman berbeda untuk jenis tanaman yang berbeda.

Contohnya, kandungan karbon pada pinus sebesar 50% dari berat kering. Model

pertumbuhan tegakan pohon bergantung pada keseimbangan karbon, laju

fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan bersih merupakan selisih antara

pertumbuhan dan senesen. Proporsi respirasi dari produksi fotosintesis total pada

hutan Pinus sylvestris sekitar 40-50% dan mencapai 90% pada hutan Pinus

radiata (Raghavendra 1991).

Pohon dengan laju pertumbuhan cepat memiliki laju asimilasi CO2 relatif

lebih tinggi pada wilayah beriklim tropis (Hidayati et al. 2009). Diduga laju

asimilasi CO2 dapat dijadikan indikator untuk mengevaluasi karakteristik

pertumbuhan. Kajian mengenai fotosintesis pohon jauh lebih sedikit dipelajari

dibandingkan dengan fotosintesis tanaman budidaya karena beberapa alasan yaitu:

ukuran pohon dewasa mempersulit proses pengambilan sampling, pohon di hutan

16

alami memiliki tingkat keragaman yang tinggi, kesulitan untuk pengukuran laju

fotosintesis seluruh jenis tegakan pohon di hutan, minimnya model pertumbuhan

pohon ditinjau dari sudut pandang proses fisiologi (Raghavendra 1991).

Deskripsi Tanaman Restorasi TNGGP

Beleketebe (Sloanea sigun (Blume) K. Schumann)

Beleketebe atau ki somang adalah nama daerah S. sigun. Tumbuh di Jawa

khususnya Jawa Barat pada ketinggian 600 – 2100 m dpl. Daerah penyebaran

selain Indonesia adalah Birma, Kamboja, India, Malaysia, Myanmar, dan

Thailand. Jenis ini tumbuh tersebar atau kadang-kadang berkelompok di hutan

hujan primer yang lembab, terutama pada tanah subur. Pohon ini berbunga kecil,

kuning muda sampai putih. Bunga-bunga tersebut tumbuh berkelompok atau

tunggal pada ranting baru. Buahnya berukuran sedang, bulat, dan berbulu panjang

seperti rambutan, berwarna hijau muda (Lembaga Biologi Nasional Indonesia –

LIPI 1977).

Jenis ini termasuk keluarga Elaeocarpaceae. Pohonnya dapat mencapai 30 m

dengan diameter 120 cm. Diameter bebas cabang tidak berdaun mencapai 40 cm.

Batangnya lurus, tidak berbanir, dengan kulit yang licin dan berwarna abu-abu

tua. Tajuknya lebat sekali, bulat, dan daunnya gugur selama ± dua hari yang

diikuti oleh pertumbuhan daun muda, kemudian berbunga di ujung-ujung ranting.

Daunnya tunggal, tersusun dalam bentuk spiral dan kadang-kadang agak

berhadapan, berbentuk bulat telur sampai jorong, ujungnya melancip, tidak

berbulu, permukaan atasnya mengkilap bertangkai panjang (Lembaga Biologi

Nasional – LIPI 1977). Tangkai daun berukuran 2-2.5 cm, ramping, bengkak di

ujung. Helai daun berbentuk elips berukuran 12-14 cm × 5-6 cm, tipis, vena

lateral berjumlah 5 atau 6 per sisi, tepi daun bergigi. Bunga soliter, sepal

berjumlah 4, kelopak 4, berwarna kekuningan. Benang sari berukuran 5-7 mm.

Ovarium bulat telur (Backer & van Den Brink 1965). Termasuk pohon lapis

pertama atau kanopi (van Steenis 2006).

17

Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.)

D. imbricatus yang memiliki nama padanan Podocarpus imbricatus Blume,

termasuk ke dalam famili Podocarpaceae yang merupakan kelompok tanaman

berdaun jarum atau konifer. Jamuju, nama umum, juga dikenal dengan nama

lokal: ampinur bunga (Karo), medang cemara (Melayu), ambun (Minangkabau),

ki jamuju, ki mades, kiputri, kicemara (Sunda), aru, taji, tekit, camara ukung,

cemara rante, cemara waris (Jawa), cemara binek (Madura), kaju (Sumbawa), kaju

angin, camba-camba (Banten) (Heyne 1987), embun (Sumatera, Sulawesi),

cemba-cemba (Sulawesi), igem (Filipina), sha-mo-pin (Burma), podo churcher

atap (Malaysia), thong nang (Vietnam). Sebaran tumbuh meliputi selatan China,

Indochina, Burma, Thailand, Malaysia, hingga Vanuatu dan Fiji. Di Indonesia

jenis ini tersebar di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, dan Jawa Barat.

Merupakan tanaman dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 750 – 2500 dpl. Tinggi

pohon jamuju rata-rata 50 m, termasuk pohon mencuat (van Steenis 2006) dengan

diameter mencapai 100-200 cm. Termasuk tanaman moderat-lambat, walaupun

pertumbuhannya lebih cepat di daerah yang disinari matahari penuh. Jamuju

berdaun majemuk berbentuk lancip membentuk apiculus yang halus. Daun

dewasa jamuju menyebar, lurus, seperti skala, rebah pada 1 sampai 4 sisi,

berukuran 1.0-1.8 mm x 0.4-1.0 mm. Daun involucralnya menyebar dan

membuka pada reseptakel pada saat muda. Jamuju termasuk tanaman yang selalu

hijau, tidak menggugurkan daunnya pada musim kemarau, memiliki kanopi yang

lebat berbentuk piramid hingga oval (Backer & van Den Brink 1963).

Jamuju memiliki pepagan keras, permukaan kasar berlentisel disana-sini,

pada pohon tua mengelupas dalam bentuk lempengan tebal kecil-kecil memanjang

vertikal menggelendong. Hidup di hutan campuran basah atau di hutan cemara.

Penyebaran jenis D. imbricatus di Taman Nasional Gede Pangrango

mengelompok, karena jenis ini banyak ditemukan pada ketinggian 1400 sampai

2045 m dpl. D. imbricatus di Taman Nasional Gede Pangrango tumbuh pada

ketinggian tempat 1400 sampai 2045 m dpl dan kelerengan 3 sampai 40 % dengan

suhu 15 sampai 25 oC dengan kelembaban 73 sampai 100%. Jenis tanah yang

cocok untuk jenis D. imbricatus adalah jenis tanah regosol dan andosol dengan

18

kemasaman tanah yang termasuk kategori asam sampai sangat asam (Bramasto

2008).

Ki Sireum (Syzygium lineatum (Bl.) Merr. & Perry)

Pohon ini masuk ke dalam keluarga Myrtacea. S. lineatum memiliki nama

lokal kayu udang Sumatera), ki sireum (Sunda, Jawa), nagasari rangkang (Jawa),

phung kha, kelat puteh, daeng sok phlueak, khwat (Thailand), lagi-lagi

(Philipina), kelat lapis (Malaysia). Nama sinonim jenis ini di antaranya adalah S.

longiflorum.

Habitusnya pohon. Cabangnya berwarna coklat kehitaman ketika kering,

berbentuk silinder tetapi biasanya sedikit runcing di kedua ujungnya, membulat

pada bagian melintang, permukaannya halus; cabang tua putih keabu-abuan.

Tangkai daun berukuran 1-1.2 cm; daun elips berukuran 6-8 x 2.5-3.5 cm, kasar,

abaksial (bagian bawah daun) sedikit berwarna saat kering, adaksial (bagian atas

daun) berwarna coklat tua dan mengkilap saat kering. Abaksial memiliki kelenjar

banyak, adaksial berkelenjar kecil, tulang daun sekunder padat, terpisah dengan

jarak 1 mm, dengan sudut 75o dari tulang daun bagian tengah. Tulang daun

intramarginal kurang dari 1 mm dari batas pinggir, bagian dasar lebar dan tumpul.

Puncak daun melancip dengan titik puncak 1-1.5 cm. Berbunga banyak dengan

ukuran 8-10 cm, bercabang tiga, kuncup bunga berukuran 6-7 mm. Kelopak

bunga berbentuk lobus semiorbital pendek. Kelopak bunga terpisah berukuran 3

mm. Benang sari berukuran 5-7 mm (Backer & van Den Brink 1965).

Lame (Alstonia scholaris (L) R. Br.)

Lame merupakan anggota famili Apocynaceae, memiliki nama daerah kayu

gabus, kayu skola, pulai, lame, pule (Indonesia); chattin (Bengal); lettok (Burma);

birrba, black board tree, dita bark, milk wood, milkwood pine, milky pine, white

cheesewood (Inggris); dalipoen, dita (Filipina); chatian (India); pulai, pule, rite

(Indonesia); pule (Jawa); pulai, pulai linlin (Malaysia); chataun, chhatiwan

(Nepal); sattaban, teenpet, teenpethasaban (Thailand); chatiyan wood, pulai,

shaitan wood, white cheese wood (nama dagang); caay mof cua, caay suwxa

(Vietnam). Habitus A. scholaris adalah pohon besar, dengan tinggi sekitar 40 m.

Lame memiliki lateks susu yang mengalir cepat ketika dipotong. Batang berwarna

19

abu-abu gabus agak ke abu-abu-putih kulit. Daun berkarang di aksila atas dengan

jumlah 4-8 daun. Tangkai daun tangkai berukuran 1-1.5 cm, elips atau lanset,

gundul atau berbulu jarang, meruncing ke arah dasar, dengan ukuran daun 11.5-23

x 4-7.5 cm. Permukaan atas hijau tua, bagian bawah hijau-putih dengan 25-40

pasang urat lateral pada setiap sisi pelepah berjarak 2-6 mm terpisah. Ujung daun

bulat atau meruncing ke arah dasar. Bunga majemuk, malai terminal, hingga 120

cm; berukuran 7-10 mm berwarna putih, krem atau hijau; tabung berbulu; lobus

jarang atau padat puber, 1,5-4 mm, margin kiri tumpang tindih; sangat wangi.

Buah terjumbai, dengan dua lobus, folikelnya pecah, coklat atau hijau, kering atau

berkayu, berbentuk gelendong lonjong, berukuran 15-32 cm, 4-6 mm, biji

cokelat, berukuran 4-5 mm x 0.9 -1.2 mm, dengan seberkas rambut 7-13 mm pada

setiap akhir.

Lame ditemukan pada ketinggian 0-900 m, dengan suhu tahunan rata-rata

12-32 oC dan curah hujan tahunan rata-rata 1200-1400 mm. Jenis ini baik hidup

pada jenis tanah bermacam-macam, termasuk aluvial. Lateksnya bisa dibuat

permen karet berkualitas baik. Kayunya direkomendasikan sebagai spesies kayu

bakar untuk daerah Patana, Sri Lanka. Kulit kayu menghasilkan serat, dan kayu

dianggap sebagai cocok untuk produksi pulp dan kertas. Bunga A. scholaris

menghasilkan minyak esensial. Kedokteran aborigin Australia menggunakan kulit

kayu untuk pengobatan sakit perut dan demam, lateks untuk neuralgia dan sakit

gigi. Di India, kulit kayu digunakan untuk mengobati keluhan usus

(worldagroforestrycentre.org; Backer & van Den Brink 1965).

Manglid (Manglietia glauca Bl.)

Manglid masuk ke dalam keluarga Magnoliaceae. Nama botaninya adalah

Manglietia glauca, dengan nama sinonim Magnolia blumei

(worldagroforestrycentre.org; Backer & van Den Brink 1963). Jenis ini memiliki

nama daerah: manglid (Sunda); baros, cempaka bulus (Jawa); antuang, madang

limpaung, sitibai (Minangkabau); cempaka. Manglid berupa pohon, dengan

tinggi mencapai 25 – 40 m dengan bebas cabang 25 m dan diameter mencapai 150

cm, tersebar di ketinggian 1000 – 1500 m dpl. Hidupnya berkelompok dan di

tempat yang lembab. Tajuk membulat, lebat, percabangannya berbentuk garpu

20

yang dimulai jauh dari atas tanah (Heyne 1987). Daun tunggal bentuk elips

memanjang atau elips melebar, kebanyakan bulat telur memanjang, ukuran 13-18

cm, panjang kadang sampai 25 cm. Ujung dan pangkal daun runcing, tangkai

daun panjang. Tidak berbulu, abaksial daun berwarna abu-abu kebiruan, bagian

adaksial hijau muda agak mengkilap, tersusun spiral.

Bunga terminal, soliter, besar, tangkai panjang 2.5 - 4 cm, berwarna kuning

muda, harum, kelopak 9-13 tersusun dalam 3 lingkaran, benang sari banyak dan

tersusun spiral, tangkai benang sari panjang atau pendek. Ovary ada 4 atau lebih

pada masing-masing karpel. Penyerbukan dibantu oleh lebah madu dan berbunga

sepanjang tahun. Buah majemuk, berbentuk kerucut (kegelvormig) panjang 6-8

cm, pada permukaan berwarna hijau dengan titik-titik putih, kemudian menjadi

coklat hitam. Biji 2-6 banyaknya, kadang sampai 12, berwarna merah

(http://www.dephut.go.id).

Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.)

S. wallichii termasuk famili Theaceae, tinggi pohonnya dapat mencapai 40

m, termasuk pohon lapis kedua/kanopi (van Steenis 2006), dengan panjang batang

bebas cabang sampai 25 m dan diameter sampai 250 cm. Tidak berbanir, kulit luar

berwarna merah muda, merah tua sampai hitam, beralur dangkal dan mengelupas.

Kulit hidup tebalnya sampai 15 mm berwarna merah dan di dalamnya terdapat

miang gatal. Tajuknya bulat sampai lonjong, lebat, hijau tua, mengkilat, dengan

daun muda berwarna merah jambu. Daunnya tunggal, tebal, bagian abaksial hijau

kebiru-biruan, berbentuk jorong. Bunganya putih, tunggal, terdapat pada ketiak

daun dan berkelompok pada ujung ranting. Buahnya agak bulat, berwarna putih

perak seperti sutra saat muda, coklat dan pecah bila sudah tua (Sastrapradja et al.

1977).

Puspa tumbuh pada tanah kering dan tidak memiliki keadaan tekstur dan

kesuburan tanah, sehingga baik untuk reboisasi padang alang-alang, belukar dan

tanah kritis. Jenis ini memerlukan iklim basah sampai agak kering, hidup pada

dataran rendah sampai di dataran pegunungan dengan ketinggian 1000 m dpl

(Martawijaya et al. 1989). Puspa dapat tumbuh pada kisaran iklim, habitat dan

tanah yang luas. Kebutuhan akan cahaya tergolong sedang, sering berkelompok

21

dan terdapat pada dataran rendah sampai hutan dataran tinggi, akan tetapi

terutama terdapat pada hutan yang terganggu dan hutan sekunder. Adapun

persebaran alami Puspa yaitu Brunei, India, China, Indonesia, Malaysia,

Myanmar, Nepal, Papua, Philipina, Thailand dan Vietnam (Agroforestry Data

Base 2007).

Rasamala (Altingia excelsa Noronha)

Rasamala dikelompokkan ke dalam famili Hamamelidaceae, memiliki nama

daerah rasamala, mala, tulasan, atau mandung. Jenis ini menyebar mulai dari

Himalaya menuju wilayah lembab di Myanmar hingga Semenanjung Malaysia, ke

Sumatera dan Jawa. Di Jawa, jenis ini hanya tumbuh di wilayah barat dengan

ketinggian 500-1500 m dpl, di hutan bukit dan pegunungan lembab. Di Sumatera,

A. excelsa tersebar di Bukit Barisan. Tumbuh alami terutama pada tapak lembab

dengan curah hujan lebih 100 mm per bulan dan tanah vulkanik. Jenis ini

digunakan untuk penanaman terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ditanam

pada jarak rapat, karena pohon muda cenderung bercabang jika mendapat banyak

sinar matahari.

Pohon selalu hijau, tinggi dapat mencapai 40-60 m dengan tinggi bebas

cabang 20-35 m, diameter hingga 80-150 cm. Kulit kayu halus, abu-abu, dan

kayunya merah. Pohon yang masih muda bertajuk rapat dan berbentuk piramid,

kemudian berangsur menjadi bulat setelah tua. Letak daun bergiliran, bentuknya

lonjong, panjangnya 6 - 12 cm, dan lebarnya 2.5-5.5 cm, dengan tepi daun

bergerigi halus. Bunga berkelamin satu. Bunga jantan dan betina terpisah pada

pohon yang sama. Malai betina terdiri dari 14-18 bunga, berkumpul menyerupai

kepala. A. excelsa tumbuh alami terutama di bukit campuran yang lembab dan

hutan pegunungan. Jenis ini sering ditemukan hidup berkelompok dengan spesies

Podocarpus, Quercus dan Castanopsis. Ditemukan pada ketinggian 500-1500 m,

dengan rata-rata curah hujan tahunan lebih 100 mm. Rasamala baik hidup di

tanah vulkanik atau kadang-kadang pada tanah di atasnya terdapat batuan sedimen

(http://www.worldagroforestry.org).

22

Saninten (Castanopsis argentea (Bl.) A.DC.)

Saninten masuk ke dalam famili Fagaceae. Ia memiliki nama daerah kandik

kurus, paning-paning, rasak, selasik (Sumatera), berangan, saninten, sarangan, dan

wrakas (Jawa). Daerah penyebaran meliputi Sumatera Barat, Jawa, Papua,

Myanmar, dan Malaysia (Heyne 1987). Habitus pohon bertajuk lebar dengan

ketinggian 15-35 m, diameter 0.5-1 m, dengan panjang batang bebas cabang

sampai 25 m, tidak berbanir (http://www.d-forin.com). Daun pohon saninten

berbentuk lancip memanjang (lanset) dengan ukuran panjang 7-12 cm, lebar 2-3.5

cm, bagian terlebar di tengah, permukaan daun licin berlilin, dan bagian

bawahnya berwarna abu-abu keperakan ditutupi bulu-bulu menyerupai bintang

atau sisik yang lebat. Jika dibanding dengan daun jenis lain, C. Argentea lebih

terlihat keperakan (Backer & van Den Brink 1965). Tumbuhan ini berdaun

tunggal dengan kedudukan berseling dan tersusun seperti spiral dan daun

penumpu mudah luruh. Ahli botani van Steenis (1972) menyatakan bahwa daun

penumpu (stipula) ditutupi bulu yang lebat, panjang daun berkisar antara 10-15

mm dan lebar 2-3 cm. Salah satu ciri khas organ vegetatifnya, yaitu bila daun

dilipat maka akan terlihat garis lilin berwarna putih memanjang pada bagian daun

di sebelah atas. Kulit batang pohon berwarna hitam, kasar, dan pecah-pecah

dengan permukaan batang tidak rata, terdapat alur-alur memanjang pada batang

yang tak lain adalah garis empulur yang menonjol keluar. Hal ini merupakan salah

satu ciri khas organ vegetatif famili Fagaceae. Kayu terasnya berwarna coklat

kelabu sampai merah muda, kayu gubal/bagian tengah berwarna putih, kuning

muda, dan kadang-kadang kemerah-merahan dengan ketebalan 5-6 cm (Prawira

1990).

Pohon saninten berbunga pada Agustus-Oktober dan berbuah pada

November-Februari. Bunga jantan tersusun dalam untaian berbentuk bulir

sepanjang 15-25 cm, bunga betina tumbuh menyendiri dengan panjang 5-15 cm,

diameter 2-4 mm, dan bunga berwarna kuning keputihan. Buahnya bertangkai

seperti buah rambutan, berkelompok di mana kulit buah ditutupi oleh duri yang

tumbuh berkelompok, ramping, tajam, dan berkayu. Buah berbentuk bulat telur

dengan duri mencuat pada empat sisi yang berisi tiga biji berbentuk tipis dan

23

cekung. Biji biasanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan dengan cara direbus

atau dibakar (van Steenis 1972).

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Area restorasi terletak di Resort Bodogol Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango (TNGGP) (06o46’.241” LS; 106

o50’.447”BT) pada ketinggian 620-

709 m dpl, berdekatan dengan Pusat Pendidikan Konservasi Alam (PPKA)

Bodogol (Gambar 4).

Gambar 4 Lokasi restorasi Resort Bodogol TNGGP (tanda panah menunjukkan

lokasi) (Balai TNGGP)

Bagian dari wilayah ini merupakan lahan pertanian aktif dan sisanya

merupakan lahan pertanian yang telah ditinggalkan. Lahan pertanian di wilayah

ini merupakan milik TNGGP. Menurut sejarahnya, lahan ini dulunya milik Perum

Perhutani Unit III, perusahaan publik yang bertugas mengelola produksi kayu,

dari tahun 1978-2003. Tiga spesies kayu utama yang ditanam monokultur di

wilayah ini adalah Altingia excelsa, Agathis damara, dan Pinus merkusii. Setelah

penebangan pada tahun 2003, wilayah yang terbuka dimanfaatkan oleh petani

24

lokal sampai sekarang, dan wilayah ini menjadi bagian dari TNGGP. Para petani

menanam tanaman tahunan seperti jagung, singkong, cabai, kacang panjang, dan

lain-lainnya. Sementara, lahan yang ditinggalkan didominasi oleh tanaman liar.

Karakteristik lahan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tahun 2009 UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas

menanam sekitar 2400 benih dari 8 jenis tanaman yang secara alami dapat

ditemukan di hutan TNGGP. Penanaman dilaksanakan di lahan seluas 4 ha secara

acak. Kedelapan spesies pohon tersebut adalah Altingia excelsa, Alstonia

scholaris, Castanopsis argentea, Dacrycarpus imbricatus, Manglietia glauca,

Syzygium lineatum, Schima wallichii, dan Sloanea sigun. Sampel tanaman

sebanyak 240 pohon (30 pohon untuk setiap jenis) diberi label dan dimonitor

pertumbuhannya (Rahman et al. 2011).

Tabel 2 Karakteristik lahan restorasi

Parameter Wilayah

Restorasi

Hutan Alami

TNGGP

pH tanah (0-10 cm) 5.27 5.10

(10-20 cm) 4.75 4.76

Bahan organik (%) (0-10 cm) 6.73 9.86

(10-20 cm) 6.48 10.2

Bulk density (g/cm3) (0-10 cm) 0.66 0.56

(10-20 cm) 0.67 0.72

Pasir (%) 9.11

Debu (%) 49.69

Liat (%) 41.20

Kemiringan lahan (o) 48-60

Suhu udara (oC)

Intensitas cahaya rata-rata (lux)

Jam 09.00-11.00

23.3-33.0

32 000