pemidanaan anak di bawah umur yang...
TRANSCRIPT
PEMIDANAAN ANAK DI BAWAH UMUR YANG
MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM
PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE (Studi Putusan
Pengadilan Negeri Kediri No. 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
MUHAMMAD GALIH PRAKOSO
NIM: 11150450000004
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1441 H / 2020 M
PEMIDANAAN ANAK DI BAWAH UMUR YANG
MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM
PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE (Studi Putusan
Pengadilan Negeri Kediri No. 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
MUHAMMAD GALIH PRAKOSO
NIM: 11150450000004
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Afwan Faizin, M.A.
NIP. 197308022003121001 NIP. 197210262003121001
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1441 H / 2020 M
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “PEMIDANAAN ANAK DI BAWAH UMUR YANG
MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM PERSPEKTIF
RESTORATIVE JUSTICE (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kediri No.
6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr)”, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 9 April 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Hukum Pidana
Islam.
Jakarta, 9 April 2020
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua : Qasim Arsadani, M.A. (....................)
NIP. 196906292008011016
Sekrertaris : Mohamad Mujibur Rohman, M.A. (....................)
NIP. 197604082007101001
Pembimbing I : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. (....................)
NIP. 197308022003121001
Pembimbing II : Afwan Faizin, M.A. (....................)
NIP. 197210262003121001
Penguji I : Qasim Arsadani, M.A. (....................)
NIP. 196906292008011016
Penguji II : Muhammad Ishar Helmi, S.Sy., SH., MH. (....................)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 April 2020
Penulis,
Muhammad Galih Prakoso
ABSTRAK
Muhammad Galih Prakoso. NIM 11150450000004. PEMIDANAAN ANAK DI
BAWAH UMUR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN
DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE (Studi Putusan Pengadilan
Negeri Kediri No. 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr). Program Studi Hukum Pidana
Islam (Jinayah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H / 2020 M. Adanya skripsi ini ditulis oleh
penulis, yaitu bertujuan untuk menganalisis putusan dan pertimbangan hakim
terhadap pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak. Penelitian ini,
penulis juga menjelaskan mengenai ketentuan pidana bagi anak yang melakukan
tindak pidana pencurian dari segi hukum pidana positif dan hukum pidana Islam,
yang kemudian materi-materi tersebut penulis jadikan sebagai acuan tambahan
dalam menganalisis putusan hakim terhadap Terdakwa anak yang bernama RISKI
PRATAMA PUTRA BIN ISKANDAR sebagai pelaku tindak pidana pencurian
pada Pengadilan Negeri Kediri, dalam rangka menentukan sanksi yang tepat untuk
diterapkan.
Penelitian ini, metode yang digunakan oleh penulis yaitu menggunakan metode
yang bersifat deskriptif analisis, dengan menggunakan pendekatan normatif serta
studi kepustakaan (library research), yakni dengan melakukan penelitian terhadap
peraturan perundang-undangan sebagai objek penelitian, yang dikaitkan dengan
teori-teori hukum. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam
masyarakat, yang berkenaan dengan objek penelitian. Setelah data diperoleh,
penulis menganalisis data yang diperoleh berupa Putusan Pengadilan Negeri
Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwasanya hakim dinilai
gagal dalam menerapkan upaya diversi (pengalihan hukum) dari litigasi ke non
litigasi terhadap kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.
Kemudian hakim dinilai memandang sebelah mata dalam mempertimbangkan
hukum ketika memutus perkara anak yang berhadapan dengan hukum.
Oleh sebab itu penting dibuatnya skripsi ini, yaitu agar adanya evaluasi hukum
demi tercapainya keadilan, sehingga dapat mencerminkan suatu sistem hukum
yang dapat melindungi hak-hak anak. Penulis merekomendasikan kepada aparat
penegak hukum, khususnya majelis hakim yang memutus perkara anak agar dapat
menerapkan upaya diversi (pengalihan hukum) dari litigasi ke non litigasi. Hal ini
dimaksudkan untuk mencapai keputusan majelis hakim yang benar-benar adil,
sehingga diharapkan munculnya kesadaran hukum bagi aparat penegak hukum dan
seluruh masyarakat di Indonesia.
(Kata Kunci : Pemidanaan Anak, Tindak Pidana Pencurian, Restorative Justice)
Pembimbing I : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag.
Pembimbing II : Afwan Faizin, M.A.
Daftar Pustaka : 1968 s.d. 2018
vi
KATA PENGANTAR
بسم الل ار حيم حمن ار
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmat, taufiq dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa Umat Islam dari zaman kebodohan,
hingga ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat ini.
Dengan selesainya skripsi ini yang berjudul “PEMIDANAAN ANAK DI
BAWAH UMUR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN
DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE (Studi Putusan Pengadilan
Negeri Kediri No. 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr)”, yang disusun sebagai salah
satu syarat akademis untuk menyelesaikan program Strata Satu (S1) di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis
berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat keilmuan khususnya di Fakultas
Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah). Karya ini
tidaklah dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari kawan-kawan serta pihak-
pihak yang terkait dalam memberikan dukungan dan memberikan sumbangsih ide
serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Oleh karena itu, penulis merasa
sangat perlu untuk mengucapkan terima kasih sebagai bentuk penghargaan kepada
:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.A., M.H., Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Qasim Arsadani, M.A., Ketua Prodi hukum pidana Islam dan
Penguji saya dalam ujian munaqasyah (skripsi) yang selalu berkenan
meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya untuk
memberikan pencerahan serta pengarahan yang begitu baik bagi penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Mohammad Mujibur Rohman, M.A., Sekretaris Prodi hukum pidana
Islam, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
4. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. dan Bapak Afwan Faizin, M.A., Dosen
Pembimbing yang senantiasa sabar, peduli, dan selalu memberikan
pengarahan yang begitu baik bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
5. Bapak Muhammad Ishar Helmi, S.Sy., SH., MH., Penguji saya yang
senantiasa sabar dan bersedia meluangkan waktunya dalam rangka ujian
munaqasyah (skripsi) yang dilakukan secara daring (online), mengingat
kondisi di negeri tercinta yaitu Indonesia sedang mengalami darurat
pandemi, dimana adanya wabah virus Covid-19 (Corona virus disease 19),
sehingga masyarakat diminta untuk tidak boleh keluar rumah atau
beraktifitas di luar rumah oleh Pemerintah, sebagai maksud untuk memutus
mata rantai penyebaran virus tersebut.
6. Pengadilan Negeri Kediri Klas I-B, yang telah mengizinkan penulis untuk
mengadakan penelitian dan memperoleh informasi berupa salinan putusan
perkara.
7. Pimpinan dan staf karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya, sehingga penulis
memperoleh informasi yang dibutuhkan.
8. Pimpinan dan staf karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang senantiasa memberikan fasilitas dan
pelayanan kepada penulis untuk mengadakan studi kepustakaan berupa
buku-buku ataupun lainnya, sehingga penulis memperoleh informasi yang
diperlukan.
9. Pimpinan dan staf karyawan akademik Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang senantiasa memberikan fasilitas dan
pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan keperluan administrasi
selama menyelesaikan skripsi ini.
10. Ibu Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, M.A., Dosen Penasihat Akademik yang
dalam hal ini selalu memberikan arahan dan motivasi demi
terselesaikannya skripsi ini.
viii
11. Seluruh dosen dan civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak mencurahkan ilmu pengetahuan
kepada penulis selama menjalani masa studi berlangsung.
12. Kedua orang tua penulis, Ayahanda tercinta Papa (Alm) Agus Nurofik dan
Ibunda tercinta Mama Anik Ratriningsih, yang selalu memberikan
dukungan, semangat, nasihat, dan doa yang tiada henti-hentinya selama
penulis menempuh kuliah Strata 1 (S1). Semoga Almarhum Papa Agus
Nurofik diberikan tempat yang terbaik di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala,
dan semoga Mama Anik Ratriningsih diberikan kesembuhan total dari
penyakit kista yang ada di ginjalnya dan bisa beraktifitas normal kembali
seperti sedia kalanya, serta Mama Anik Ratriningsih senantiasa diberikan
umur yang panjang dan kesehatan selalu oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
13. Ibu Hj. Kasih Umi Habibah Soepandi, Nenek dari penulis, yang tiada
hentinya untuk selalu memberikan dorongan dan do’a kepada penulis
hingga skripsi ini terselesaikan.
14. Almira Felia Rafiq dan Eiffeline Nurrafika, kedua adik kandung penulis
yang telah memberi dukungan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
15. Ibu Inda Komalasari, bibi dari penulis yang telah membantu memberikan
dorongan dan do’a sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
16. Hukum Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2015,
selaku kawan-kawan seperjuangan selama di bangku perkuliahan yang
selama ini selalu mengajarkan arti sebuah pertemanan, yang selalu ada di
saat suka, duka, ceria, tawa, dan bahagia kepada penulis. Terimakasih atas
kebersamaan dan waktu yang telah kita alami bersama, semoga kelak kita
dipertemukan kembali sebagai orang-orang yang dapat memberikan
manfaat kepada masyarakat.
17. Sahabat seperjuangan NANO-NANO CREW (NNC), diantaranya Sahabat
Burhanuddin, S.H., Muhammad Nur Oktapian, S.H., Muhammad Rifqi
Adjomi, S.H., Awaludin Fikri, S.H., Ali Maksum Asngari, Riyadhul Fikri,
Muhammad Aldi Fayed S. Arief, Hasin Abdullah, Muhammad Anggi
ix
Prabowo, Adam Ridho Muzakki, Kaharudin Aldian Saputra dan Rifqi Faris
yang dalam hal ini telah memberikan arti sebuah persahabatan. Suka, duka,
dan berbagi keceriaan bersama sudah menjadi hal yang rutin untuk
dilakukan, dan menjadi sebuah penghibur dikala penat melanda penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih sahabat atas dukungan,
motivasi, dan nasihat yang selama ini telah dicurahkan, semoga kita dapat
dipertemukan kembali sebagai orang yang sukses dengan pekerjaan yang
ditekuni.
18. Sahabat-sahabat saya yang tergabung ke dalam komunitas PML (Persik
Mania Liar) yang berlokasi di Kediri, Jawa Timur, diantaranya adalah Jorda
Agung Satria, S.Tr.T, Eko Prambudi Hidayatullah, S.S.T. (TD), Riki
Fakhru Perdana, S.H., Ilham Putra Prasetya Sunardi, S.Tr.T., Ahlis
Syarifuddin, S.Pd., Luki Cahya Nugraha, S.Pd., Andri Amrullah, yang telah
berkontribusi penuh membantu saya dalam dunia perkopian, penghibur
saya ketika keadaan duka maupun lara. Terima kasih telah hadir di dalam
dunia saya, mau mengenal saya dengan tulus, tanpa mengenal rasa pamrih.
19. Teman-teman kelas XII-IPA 3 (Fosfor) MAN 3 Kediri, yang telah
menemani saya bersama-sama selama 2 tahun sejak kelas XI (sebelas)
dalam proses pembelajaran di sekolah, sekaligus sebagai teman bermain
dan ngumpul bersama ketika di luar jam sekolah.
20. Teman-teman kelas X-5 (Rexfire) MAN 3 Kediri, yang telah menemani
saya bersama-sama selama 1 tahun dalam proses pembelajaran di sekolah,
sekaligus sebagai teman ngumpul bersama ketika acara buka puasa bersama
pada waktu bulan suci Ramadhan dan saat Sasya (Safari Syawal) ke rumah
guru-guru MAN 3 Kediri.
21. Seluruh kader dan anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum (PMII KOMFAKSYAHUM) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak membantu dalam
merasakan sebuah proses dan pengalaman dalam keorganisasian kepada
penulis.
x
22. Seluruh kawan-kawan Kuliah Kerja Nyata, yakni KKN OCTAGON 196,
yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
23. Seluruh pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang
turut membantu dalam kelancaran penyusunan skripsi ini.
Akhirnya tiada untaian kata yang berharga selain ucapan Alhamdulillahirabbil
‘Alamiin dan Terima Kasih yang sebesar-besarnya. Besar harapan semoga skripsi
ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya,
Aamiin yaa Rabbal ’aalamiin. Sekian dan terimakasih.
Jakarta, 9 April 2020 M
15 Sya’ban 1441 H
Muhammad Galih Prakoso
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR SAMPUL ............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ...................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi
BAB I: PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Identifikasi, Batasan, dan Perumusan Masalah .......................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8
D. Kerangka Teori dan Konseptual ................................................. 9
E. Tinjauan Studi Terdahulu ........................................................ 24
F. Metode Penelitian ..................................................................... 26
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 29
BAB II: TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK..................... 31
A. Tindak Pidana (Jarîmah) Menurut Hukum Islam .................... 31
B. Fungsi Penegakkan Hukum Dalam Hukum Islam .................... 37
C. Kedudukan Anak Sebagai Pelaku Jarîmah Menurut Hukum Islam
.................................................................................................. 39
D. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Menurut Hukum Islam .. 43
E. Kedudukan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum
Positif ........................................................................................ 46
F. Ketentuan Pidana Terhadap Anak Pelaku Pencurian Menurut
Hukum Positif ........................................................................... 47
G. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku
Pencurian Menurut Hukum Positif ........................................... 51
xii
BAB III: KONSEP DAN PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE
TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK
....................................................................................................... 57
A. Konsep Restorative Justice Dalam Melengkapi Penyelesaian
Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum ................................... 57
B. Implementasi Restorative Justice Terhadap Anak Pelaku Tindak
Pidana Pencurian ...................................................................... 61
C. Implementasi Diversi Melalui Pendekatan Restorative Justice
Yang Dilakukan Oleh Pihak Kepolisan .................................... 72
BAB IV: ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK
PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN ........................... 75
A. Kedudukan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Pencurian Dalam Putusan Nomor: 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr.
.................................................................................................. 75
B. Pertimbangan Hakim Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Pencurian Dalam Putusan Nomor: 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr.
.................................................................................................. 78
C. Analisa Penulis Terhadap Putusan Nomor: 6/Pid.Sus-
Anak/2015/PN Kdr. .................................................................. 82
BAB V: PENUTUP ..................................................................................... 89
A. Kesimpulan ............................................................................... 89
B. Rekomendasi ............................................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 91
LAMPIRAN ........................................................................................................ 96
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak bermasalah adalah anak yang melakukan tindak pidana atau
melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak. Perbuatan terlarang tersebut
diatur di dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Anak pelaku tindak pidana
yaitu apabila melanggar ketentuan dalam peraturan hukum pidana yang ada,
maka pidana dan penjatuhan sanksi ini dinilai sebagai sebuah fenomena
hukum yang mampu mengurangi tindak kriminal juga sebagai konsekuensi
logis terhadap tindakan melawan hukum.1
Kenakalan anak merupakan hal yang sangat kompleks, karena anak tidak
dapat dilepaskan baik dari lingkungan sosialnya, lingkungan keluarga
maupun masyarakat sekitarnya. Hal ini disebabkan bahwa anak masih
mempunyai masa depan yang panjang, sehingga masih ada kemungkinan
untuk menjadi baik dalam perkembangannya, maka anak harus diberikan
bekal berupa bimbingan, pendidikan dan pembinaan yang cukup agar
nantinya setelah selesai menjalani masa pembinaannya akan menjadi lebih
baik kembali. Penanggulangan dalam menghadapi anak yang terkena kasus
pidana, Lapas Anak hadir sebagai lembaga tempat pendidikan dan
pembinaan bagi anak yang terkena kasus pidana. Anak yang ditempatkan di
Lapas Anak bertujuan agar anak tersebut memperoleh pendidikan dan
pelatihan baik formal maupun informal sesuai dengan bakat dan
kemampuannya, serta memperoleh hak-haknya.2
1 Hasanuddin AF, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Al-Husna dan UIN
Press, 2003), h. 1. 2 Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, (Bandung: Armico,
1983), h. 67.
2
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh anak disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor itu antara lain
adanya dampak negatif dari perkembangan yang cepat, arus globalisasi di
bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta perubahan gaya hidup sebagian orang tua. Perkembangan
tersebut sangat berpengaruh terhadap nilai dan moral anak. Selain itu, anak
yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan
pembinaan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh. Kurangnya kontrol dari
orang tua akan mudah membawa pengaruh terhadap anak yang dapat
merugikan perkembangan pribadi anak. Keadilan diakui sebagai kebutuhan
masyarakat yang pada gilirannya akan melahirkan lembaga atau sebuah
institusi hukum yang baik. Dengan demikian hukum itu bertujuan menjamin
adanya kepastian hukum dalam masyarakat, dan hukum itu harus pula
bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.3
Pertanggungjawaban pidana anak tidaklah cukup kalau hanya didasarkan
pada hukum materiil seperti yang diatur dalam KUHP, karena KUHP
ketentuan hukumnya bersifat konvensional yang mengacu kepada
kepentingan hukum kolonial Belanda, dengan melihat perilaku dan
peradaban manusia yang sudah sedemikian kompleks bahkan
perkembangannya jauh lebih cepat dari peraturan yang ada. Oleh karena itu,
melalui pasal 103 KUHP, masih dibenarkan adanya perbuatan lain yang
menurut undang-undang selain KUHP dapat dipidana sepanjang undang-
undang itu bertalian dengan masalah anak dan tidak bertentangan dengan
ketentuan KUHP (lex specialis derogat legi generalis). Melalui asas ini pula
hukum pidana anak membenarkan undang-undang lain di luar KUHP yang
bertalian dengan masalah anak seperti ketentuan hukum yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, di dalam undang-undang ini mengatur perbedaan perlakuan dalam
3 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996), h. 40.
3
beracara pidana terhadap pelaku tindak pidana oleh anak, serta sanksi yang
akan diterima oleh anak. Perbedaan perlakuan dan sanksi yang diatur dalam
undang-undang ini dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan dan
pengayoman terhadap anak dalam menyongsong masa depannya yang
masih panjang. Selain itu, perbedaan tersebut dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan kepada anak agar setelah melewati pembinaan
akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang
berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Kasus tindak pidana pencurian oleh anak tidak jarang ditemukan di
Indonesia, dimana sedikit dari pihak korban yang ingin mengakhiri
kasusnya ke jalur non litigasi, kemudian juga banyak hakim di Pengadilan
anak yang pada akhirnya lebih memilih untuk menjatuhkan pidana berupa
penjara terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian, salah satunya yaitu
kasus tindak pidana pencurian oleh anak pada putusan nomor 6/Pid.sus-
Anak/2015/PN Kdr. Kasus yang melibatkan terdakwa anak yang bernama
Riski Pratama Putra Bin Iskandar ini perkaranya telah sampai ke tahap
pengadilan, yang mana perkaranya telah tercantum di dalam putusan
Pengadilan Negeri Kediri nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr.4
Kronologi kejadian, berawal ketika terdakwa anak yang bernama Riski
Pratama Putra Bin Iskandar sedang tidak mempunyai sejumlah uang, yang
membuat terdakwa berniat untuk mencuri atau mengambil sebuah barang.
Pada hari Selasa tanggal 10 Maret 2015 sekitar pukul 12.00 WIB, terdakwa
mendatangi sebuah Masjid Al Bajuri yang beralamat di Jalan
Ronggowarsito Kelurahan Pocanan Kota Kediri. Pada waktu yang
bersamaan, korban yang bernama Aden Saiful Hidayatulloh berniat untuk
menitipkan sebuah barang berupa Handphone merk Samsung Galaxy Y Neo
warna putih kepada saksi yang bernama Abdurrohman, adalah seorang
marbot atau DKM di Masjid Al Bajuri. Korban menitipkan barang tersebut
dikarenakan korban hendak belajar di Pondok Pesantren Lirboyo.
4 Berdasarkan putusan Pengadilan Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr, h. 1.
4
Kemudian saksi yang bernama Abdurrohman meletakkan handphone
tersebut di atas almari yang berada di dalam kamarnya, tepatnya di lantai
atas masjid tersebut. Selesai menaruh barang tersebut, kemudian saksi
Abdurrohman turun ke bawah hendak mengumandangkan adzan dzuhur.
Setelah selesai mengumandangkan adzan dzuhur, terdapat jamaah yang
ingin meminjam tasbih kepada saksi Abdurrohman, kemudian saksi
Abdurrohman naik ke lantai atas untuk mengambil tasbih tersebut. Pada
waktu yang bersamaan, saksi melihat terdakwa sedang berada di lantai atas
masjid tersebut, namun saksi tidak menegurnya dikarenakan saksi tidak
menaruh rasa curiga sama sekali kepada terdakwa. Kemudian setelah
mengambil tasbih, saksi langsung turun kembali ke lantai bawah untuk
melaksanakan shalat dzuhur. Selesai melaksanakan shalat dzuhur, saksi
Abdurrohman bergegas untuk mengecek kondisi dan keadaan di lantai atas.
Setelah dicek, ternyata terdakwa sudah tidak ada di tempat dan melihat
Handphone milik korban Aden Saiful Hidayatulloh juga sudah tidak ada di
tempatnya, bersamaan uang milik saksi Abdurrohman sebesar Rp. 12.000,-
(dua belas ribu rupiah) yang ditaruh di kantung saku depan sebelah kiri
bajunya yang sedang digantung, juga sudah tidak ada. Kemudian di hari
yang sama, terdakwa membawa barang hasil curiannya berupa Handphone
merk Samsung Galaxy Y Neo warna putih ke Pasar Loak Setono Pande yang
berlokasi di Kecamatan Kota Kediri, bermaksud untuk menjual barang
tersebut ke orang lain dengan harga Rp. 350.000,- (tiga ratus lima puluh ribu
rupiah). Setelah berhasil menjual barang tersebut, terdakwa pergunakan
uang hasil penjualan barang curian tadi untuk bermain internet di warnet
dan untuk membeli makan sehari-hari terdakwa.5
Setelah menjalani tahap persidangan di Pengadilan Negeri Kediri, pada
akhirnya terdakwa anak Riski Pratama Putra Bin Iskandar dijatuhi hukuman
oleh Majelis Hakim yakni berupa pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan
membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).6 Jika
5 Berdasarkan putusan Pengadilan Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr, h. 3. 6 Berdasarkan putusan Pengadilan Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr, h. 11.
5
melihat putusan hakim tersebut, penulis menilai bahwasanya putusan
tersebut telah bertentangan dengan prinsip keadilan restoratif yang
disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Bahwasanya substansi dari prinsip keadilan
restoratif adalah untuk memulihkan keadaan, sedangkan pidana berupa
penjara dimaksudkan untuk misi balas dendam. Padahal di dalam Pasal 28B
Ayat (2) menyatakan secara jelas bahwa:
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa prinsip dari keadilan restoratif
diantaranya yaitu menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan,
mengupayakan perdamaian antara korban dengan anak, mengutamakan
penyelesaian di luar proses peradilan (diversi) contohnya yaitu berupa
mediasi atau musyawarah, menanamkan rasa tanggungjawab anak,
mewujudkan kesejahteraan anak, menghindarkan anak dari perampasan
kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, meningkatkan
keterampilan hidup anak.
Secara jelas permasalahan yang muncul di dalam penelitian ini yaitu
adanya pertentangan antara das sein dengan das sollen. Das sein yang
disebutkan adalah putusan hakim kepada terdakwa anak yang bernama
Riski Pratama Putra Bin Iskandar berupa pidana penjara selama 7 (tujuh)
bulan, sedangkan das sollen yang disebutkan adalah peraturan hukum yang
ada di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Hukum Islam mengatur mengenai ‘uqûbah (sanksi) bagi pelaku jarîmah
(tindak pidana) pencurian, yang mana perbuatannya termasuk ke dalam
kategori hukuman ḫudûd. Ḫudûd adalah hukuman yang telah ditentukan dan
ditetapkan kadarnya oleh Allah SWT di dalam alquran. Q.s. Al-Mâ’idah
(5):38 menjelaskan mengenai sanksi yang akan diterima bagi pelaku tindak
pidana pencurian, yang bunyinya sebagai berikut,
6
ارقة ارق وٱرس عزيز حكيم وٱرس وٱلل لا من ٱلل بما كسبا نك يديهما جزاء ٣٨فٱقطعوا أ
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(Q.s. Al-Mâ’idah (5):38).
Berdasarkan ayat di atas, bahwasanya sanksi bagi pelaku tindak pidana
pencurian menurut hukum Islam adalah dipotong kedua tangannya. Sanksi
tersebut diterapkan terhadap orang-orang yang dapat dibebani hukum
(taklîf), atau dengan kata lain orang yang sudah mukallâf (dewasa). Namun
sanksi potong tangan tidak dapat dibebankan kepada seorang anak yang
belum dewasa (mukallâf), dan belum cakap atau mengerti soal hukum.7
Maka dari itu, jenis hukuman (‘uqûbah) dalam pidana Islam yang
seharusnya diberlakukan kepada seorang anak yang belum dewasa
(mukallâf) adalah sanksi takzir.
Hukuman takzir adalah perbuatan jarîmah yang tidak dikategorikan ke
dalam hukuman ḫudûd/qisâs. Jenis atau kadar serta bentuk hukuman takzir
itu diserahkan kepada kearifan Hakim untuk menentukan dan memilih
hukuman yang patut dikenakan kepada pelaku jarîmah, karena sanksi takzir
itu bertujuan untuk menghalang para pelaku jarîmah agar tidak mengulangi
perbuatan jahat yang mereka lakukan sebelumnya, serta sanksi takzir
diterapkan tidak untuk menyiksa para pelaku jarîmah. Sehingga sanksi
takzir yang seharusnya diterapkan kepada anak yang belum cakap hukum
diantaranya dapat berupa keikutsertaan dalam pelatihan kerja di lembaga
pendidikan anak, mendapat pembinaan dan bimbingan di lembaga
pembinaan khusus anak, dan lainnya yang dapat merubah sifat dan
perbuatan anak kembali seperti semula dari buruk ke baik.
7 A. Djazuli, Fiqh Jinâyâh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 30.
7
Berdasarkan hasil putusan oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan
hukuman kepada terdakwa anak yang bernama Riski Pratama Putra Bin
Iskandar, apabila putusan Majelis Hakim tersebut dihadapkan dengan
ketentuan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam yang telah
dipaparkan di atas, bahwasanya terdapat perbedaan diantara keduanya.
Karena perbedaan itulah yang menjadi inti permasalahan yang membuat
penulis ingin mengkaji lebih mendalam mengenai putusan Hakim
Pengadilan Negeri Kediri Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr.
Maka berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian skripsi yang berjudul “PEMIDANAAN
ANAK DI BAWAH UMUR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA
PENCURIAN DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Kediri No. 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN
Kdr)”.
B. Identifikasi, Batasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah,
penulis mengidentifikasi beberapa masalah yang timbul sebagai berikut:
a. Tindak pidana pencurian oleh anak.
b. Pemidanaan anak pelaku tindak pidana pencurian.
c. Putusan diversi.
d. Keadilan restoratif.
2. Batasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya
lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Di sini
penulis hanya akan membahas penerapan upaya diversi pada putusan
nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr.
8
3. Perumusan Masalah
Untuk memberikan kejelasan batasan masalah yang telah
dikemukakan sebelumnya di atas, maka perlu adanya penyusunan suatu
perumusan masalah dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis
merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana pertimbangan hakim di dalam putusan nomor 6/Pid.sus-
Anak/2015/PN Kdr?
b. Bagaimana penerapan upaya diversi di dalam putusan nomor
6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Supaya pembahasan tentang tindak pidana pencurian oleh anak lebih
terarah dan mendalam sesuai dengan permasalahan-permasalahan di
atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk menganalisis pertimbangan hakim di dalam putusan nomor
6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr.
b. Untuk menganalisis penerapan upaya diversi di dalam putusan nomor
6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr.
2. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik untuk
penulis sendiri maupun bagi masyarakat umum tentunya. Manfaat
penelitian terbagi atas dua jenis, yaitu:
a. Secara akademis, terkait nilai guna keilmuan yang dapat
disumbangkan oleh hasil penelitian. Penelitian ini diharapkan
memberi kontribusi dalam penelitian ilmiah yang terfokus pada kajian
tentang upaya diversi terhadap pelaku tindak pidana pencurian oleh
anak. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan mampu menyediakan
referensi baru mengenai tindak pidana pencurian oleh anak.
9
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
melalui analisis yang dipaparkan pada pihak-pihak yang bergelut
dalam menangani perkara hukum anak, yaitu pihak kepolisian, hakim,
penuntut umum, dan lembaga sosial anak. Tidak hanya aparat penegak
hukum saja, namun juga dapat sebagai sumbangsih pada DPR RI
dalam menyusun rancangan perundang-undangan tentang anak.
Melalui kajian ini diharapkan pembuat kebijakan dan masyarakat
pada umumnya memiliki bahan bacaan dan diskusi yang bisa
menambah wawasan tentang masalah hukum anak.
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Membahas mengenai kerangka teori sama halnya membicarakan soal
hukum, sesungguhnya tidak ada definisi yang baku dan abadi.8
Sesungguhnya dalam membahas kerangka teori kita akan dihadapkan
pada 2 (dua) macam realitas, yaitu realitas in abstracto yang ada dalam
ide imajinatif, dan realitas in concreto yang berada pada pengalaman
indrawi.9 Teori merupakan penjelasan mengapa gejala konflik atau
proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannnya. Fungsi
teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan, petunjuk,
meramalkan dan menjelaskan gejala yang sedang diamati. Kerangka
teori yang dibuat bertujuan salah satunya untuk memberikan gambaran
yang sistematis mengenai masalah yang sedang diteliti. Teori disini
masih bersifat sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dengan
cara realitas.10 Oleh karena itu dalam penelitian, penulis menjelaskan
beberapa teori yang relevan terkait dengan penerapan restorative justice
8 Sabian Utsman, Metodologi Penelitian Hukum Progresif: Pengembaraan
Permasalahan Penelitian Hukum Aplikasi Mudah Membuat Proposal Penelitian Hukum,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 52. 9 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan, dan
membuka kembali), (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 21. 10 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 79.
10
(keadilan restoratif) terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian,
bertujuan untuk memaparkan dasar kerangka pemikiran penulis dalam
penelitian ini. Adapun kerangka teori yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini ada 2 (dua) teori, yaitu teori restorative justice (keadilan
restoratif) dan teori pemidanaan anak.
a. Teori Restorative Justice
Salah satu persoalan yang menjadi perhatian masyarakat saat ini
dalam proses penegakkan hukum adalah tidak tercerminnya prinsip
keadilan sebagai tujuan hukum. Beberapa kasus yang sering menjadi
perhatian adalah kasus pidana yang tidak layak untuk dihukum atau
bahkan sampai dibawa ke pengadilan, misalnya kasus yang pelakunya
adalah anak-anak. Berdasarkan pada perkembangan konsepsi
keadilan, munculah konsep keadilan restoratif (restorative justice).
Keadilan restoratif yaitu suatu keadilan, dimana secara luas
penerapannya menyeimbangkan dengan prinsip-prinsip dasar
penggantian kerugian. Keadilan restoratif merupakan suatu proses
dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu
bersama-sama memecahkan, menciptakan suatu kewajiban untuk
membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan
korban, anak sebagai pelaku, masyarakat, dan penegak hukum yang
berkepentingan dalam mencari solusi untuk memperbaiki dan
menentramkan hati yang tidak berdasarkan pada pembalasan.11
Penjatuhan sanksi dalam konsep keadilan restoratif ini
mengikutsertakan anak sebagai pelaku, korban, masyarakat, dan para
penegak hukum secara aktif. Anak sebagai pelaku bekerja aktif untuk
memulihkan kerugian korban dan menghadapi korban. Korban aktif
dalam menentukan sanksi bagi anak sebagai pelaku. Masyarakat
terlibat sebagai mediator, membantu korban dan mendukung
pemenuhan kewajiban pelaku. Penegak hukum dalam hal ini yang
11 Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency Pemahaman dan Penanggulangannya,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), h. 125.
11
memfasilitasi berlangsungnya mediasi. Lebih lanjut penjelasan
mengenai definisi keadilan restoratif yang dikemukakan oleh para ahli
/ pakar, diantaranya yaitu:
1) Kuat Puji Prayitno. Keadilan restoratif adalah nilai / prinsip
pendekatan terhadap kejahatan dan konflik, dengan fokus
keseimbangan pada orang yang dirugikan, penyebab kerugian,
dan masyarakat yang terkena dampaknya.
2) Howard Zehr. Dilihat melalui lensa keadilan restoratif,
kejahatan adalah pelanggaran terhadap hubungan
kemasyarakatan. Kejahatan menciptakan kewajiban untuk
memperbaikinya. Keadilan melibatkan korban, pelaku, dan
masyarakat dalam mencari solusi yang menawarkan pada
perbaikan, rekonsiliasi, dan jaminan.12
3) Burt Galaway dan Joe Hudson. Definisi keadilan restoratif
meliputi beberapa unsur pokok. Pertama, kejahatan dipandang
sebagai suatu konflik antara individu yang dapat mengakibatkan
kerugian pada korban, masyarakat, maupun pelaku sendiri.
Kedua, tujuan dari proses peradilan pidana harus menciptakan
perdamaian dalam masyarakat, dengan jalan perujukan semua
pihak dan mengganti kerugian yang disebabkan oleh
perselisihan tersebut. Ketiga, proses peradilan pidana
memudahkan peranan korban, pelaku, dan masyarakat untuk
menemukan solusi dari konflik itu.
4) Kevin I. Minor dan J.T. Morrison. Keadilan restoratif dapat
digambarkan sebagai suatu tanggapan kepada perilaku
kejahatan untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh para
12 Howard Zehr, Changing Lenses : A New Focus for Crime and Justice, (Waterloo:
Herald Press, 1990), h. 181.
12
korban kejahatan untuk memudahkan perdamaian antara pihak-
pihak yang saling bertentangan.13
5) Tony Marshall. Keadilan restoratif adalah proses dimana semua
pihak yang terlibat dalam suatu pelanggaran tertentu datang
bersama-sama untuk menyelesaikan secara kolektif untuk
menghadapi akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk
masa depan.14
6) B.E. Morrison. Keadilan restoratif merupakan bentuk
penyelesaian konflik dan berusaha untuk menjelaskan kepada
pelaku bahwa perilaku tersebut tidak dapat dibenarkan,
kemudian pada saat yang sama juga sebagai langkah untuk
mendukung dan menghormati sesama individu.15
7) Muladi. Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan
terhadap keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai
tanggungjawab, keterbukaan, kepercayaan, harapan,
penyembuhan, dan “inclusivenes” serta berdampak terhadap
pengambilan keputusan kebijakan sistem peradilan pidana dan
praktisi hukum di seluruh dunia dan menjanjikan hal positif ke
depan berupa sistem keadilan untuk mengatasi konflik akibat
kejahatan dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, serta
keadilan restoratif dapat terlaksana apabila fokus perhatian
diarahkan pada kerugian akibat tindak pidana, keprihatinan
yang sama dan komitmen untuk melibatkan pelaku dan korban,
mendorong pelaku untuk bertanggungjawab, kesempatan untuk
dialog antara pelaku dan korban, melibatkan masyarakat yang
13 Kevin I. Minor dan J.T. Morrison, A Theoritical Study and Critique of Restorative
Justice, (Monsey, New York: Ceimical Justice-Press and Kugler Publications, 1996), h.
117. 14 Tony Marshall, Restorative Justice : An Overview, (London: Home Office Research
Development and Statistic Directorate, 1999), h. 8. 15 B.E. Morrison, The School System : Developing its capacity in the regulation of a
civil society, (London: Cambridge University Press, 2001), h. 195.
13
terdampak kejahatan dalam proses retroaktif, mendorong
kerjasama dan reintegrasi.
8) Bagir Manan. Secara umum pengertian keadilan restoratif
adalah penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil,
baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat.16
Penanganan kasus terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
harus didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak tersebut.
Pengertian frasa “terbaik bagi anak” yaitu terkait dengan sifat anak,
baik itu fisik, psikis, maupun sosial sehingga kepentingan anak satu
dengan yang lainnya tidak harus sama. Oleh karena itu, pendekatan
keadilan restoratif penting dilaksanakan sebab data di masyarakat
menunjukkan adanya beberapa kelemahan konsep penyelesaian
perkara pidana berdasarkan UU Pengadilan Anak dan UU
Pemasyarakatan, salah satunya adalah stigmatisasi anak dan bahkan
prionisasi. Keadilan restoratif merupakan suatu ide dan gerakan yang
mengedepankan keadilan dalam perspektif pelaku dan keluarganya,
korban dan keluarganya, masyarakat, dan pemangku kepentingan
dalam rangka pemulihan keadaan masing-masing. Karena itu,
konsepsi pemikiran restoratif menjadi salah satu upaya menjauhkan
anak dari sistem peradilan pidana yang dianggap tidak perlu untuk
dilaksanakan. Pendekatan tersebut bukan hanya diterapkan pada kasus
anak, melainkan juga pada kasus orang dewasa, misalnya pencurian
ringan, penggelapan ringan, perbuatan curang. Bahkan di beberapa
negara maju, korporasi yang melakukan tindak pidana dapat juga
diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.17
Berdasarkan pemaparan sebelumnya mengenai definisi restorative
justice (keadilan restoratif), penulis menyimpulkan bahwasanya
16 Majalah Varia Peradilan No. 247, (Penerbit Ikatan Hakim Indonesia), Juni 2006, h.
3. 17 Widodo, “Diversi dan Keadilan Restoratif Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; Menakar Kesepian Anak, Korban, Penegak
Hukum, Masyarakat, dan Pemangku Kepentingan”, Harian Surya, (Surabaya), 2014, h. 1-
2.
14
keadilan restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama
memecahkan masalah dalam menangani akibat dari suatu perbuatan
tindak pidana di masa yang akan datang. Menangani masalah anak
yang berhadapan dengan hukum hendaknya dilakukan dengan
pendekatan secara kekeluargaan, sedapat mungkin menghindarkan
anak dari lembaga peradilan. Pengadilan bagi anak yang berhadapan
dengan hukum seharusnya menjadi upaya terakhir setelah berbagai
upaya yang dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan yang
ditempuh.
b. Teori Pemidanaan Anak
Secara tradisional teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi
ke dalam 3 (tiga) kelompok, diantaranya:
1) Teori absolut atau teori pembalasan
Teori absolut menyatakan bahwa pidana merupakan
keniscayaan yang terlepas dari dampaknya di masa depan.
Karena adanya kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, maka
pelaku tersebut harus dijatuhkan hukuman disebabkan karena
dia telah melakukan perbuatan dosa.
Menurut Kant dan Hegel, ciri khas dari teori absolut yakni
berupa keyakinan mutlak akan keniscayaan adanya perbuatan
pidana, sekalipun pemidanaan sebenarnya tidak berguna,
bahkan apabila membuat keadaan pelaku kejahatan menjadi
lebih buruk. Kejahatan adalah peristiwa yang berdiri sendiri
serta terdapat kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan,
dengan cara ini persoalan dapat dituntaskan. Kesalahan (dosa)
hanya dapat ditebus dengan menjalani penderitaan, jadi
pandangannya diarahkan ke masa lalu, bukan ke masa depan.18
18 T.P. Moeliono, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP
Belanda dan Pandanannya Dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2003), h. 60.
15
Selanjutnya Karel O. Christiansen mengidentifikasi lima ciri
pokok teori absolut, yaitu tujuan pidana hanyalah sebagai
balasan; pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak
mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain seperti
kesejahteraan masyarakat; kesalahan moral sebagai satu-
satunya syarat untuk pemidanaan; pidana harus disesuaikan
dengan kesalahan si pelaku; pidana melihat ke belakang, ia
dipandang sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan untuk
memperbaiki, mendidik, dan meresosialisasi pelaku.19
Menurut Nigel Walker para penganut teori retributif atau
teori pembalasan ini dapat pula dibagi dalam beberapa
golongan, yaitu:
a) Penganut teori retributif yang murni berpendapat bahwa
pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si
pembuat.
b) Penganut teori retributif tidak murni yang dapat pula
dibagi dalam :
(1) Penganut teori retributif yang terbatas berpendapat
bahwa pidana tidak harus cocok / sepadan dengan
kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang
cocok / dengan kesalahan terdakwa.
(2) Penganut teori retributif yang distributif berpendapat
bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang yang
tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok /
sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip “tidak
ada pidana tanpa ada kesalahan” dihormati, tetapi
dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam
hal pertanggungjawaban dalam perbuatan pidana.
19 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya, (Jakarta: Rajawali, 2004), h. 35.
16
Lebih lanjut Nigel Walker menegaskan bahwa asumsi lain
yang dibangun atas dasar retributif yakni beratnya sanksi harus
berhubungan dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh
pelanggar. Asumsi ini dimasukkan ke dalam undang-undang
yang memberi sanksi-sanksi pidana maksimum yang lebih kecil
untuk usaha-usaha yang tidak berhasil daripada usaha-usaha
yang berhasil.20 Selanjutnya John Kaplan membagi teori
retributif ke dalam 2 (dua) bagian:
a) Teori pembalasan (The Revenge Theory)
Pembalasan mengandung arti bahwa hutang penjahat
telah dibayarkan kembali.
b) Teori penebusan dosa (The Expiation Theory)
Penebusan dosa mengandung arti bahwa penjahat
membayar kembali hutangnya.
Jadi pengertian antara teori pembalasan dengan teori penebusan
dosa tidak jauh berbeda. Menurut John Kaplan, tergantung dari
cara hakim atau seseorang dalam berpikir saat akan
menjatuhkan suatu sanksi, apakah dijatuhkannya sanksi tersebut
karena kita menghutangkan sesuatu kepadanya atau disebabkan
ia berhutang sesuatu kepada kita. Demikian pula Johannes
Andenaes menegaskan bahwa penebusan tidak sama dengan
pembalasan dendam. Pembalasan berusaha memuaskan hasrat
balas dendam dari sebagian para korban atau orang lain yang
simpati kepadanya, sedangkan penebusan dosa lebih bertujuan
untuk memuaskan tuntutan keadilan.
2) Teori relatif atau teori tujuan
Teori relatif pada dasarnya berpusat kepada tiga tujuan utama
pemidanaan, yaitu pencegahan, penolakan, dan perubahan.
Menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai teori
20 Nigel Walker, Sentencing in a rational society, (New York: Basic Books, Inc.
Publisher, 1971), h. 8.
17
perlindungan masyarakat, sedangkan menurut Nigel Walker
disebut sebagai aliran reduktif, disebabkan karena dasar
pembenaran pidana menurut teori ini adalah untuk mengurangi
tingkat kejahatan. Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan
pembalasan atau pengimbalan kepada pelaku, akan tetapi
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang lebih bermanfaat. Dasar
pembenaran adanya pidana ialah terletak pada tujuannya.
Pidana dijatuhkan bukan karena adanya orang yang melakukan
kejahatan, melainkan sebagai pengingat supaya orang jangan
berbuat kejahatan. Oleh karenanya berorientasi pada tujuan
yang bermanfaat, maka teori ini disebut sebagai teori tujuan.
Tujuan pencegahan kejahatan dibedakan antara pengaruh
pidana terhadap terpidana dengan pengaruh pidana terhadap
masyarakat pada umumnya. Teori tujuan pidana yang berupa
pencegahan secara khusus dikenal dengan sebutan rehabilitasi.
Pada teori relatif ini dikenal dua sanksi, yaitu sanksi pidana dan
sanksi tindakan dalam kedudukan yang setara. Pengakuan
tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan ini
merupakan hakekat asasi atau ide dasar dari konsep sistem jalur
ganda yang menjadi ciri dari teori relatif. Sanksi pidana terkait
dengan unsur penderitaan dan sanksi tindakan terkait dengan
unsur pembinaan, kedua-duanya sama-sama penting.21
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang
penjahat, dapat dibenarkan secara moral bukan karena penjahat
tersebut telah terbukti bersalah, melainkan karena pemidanaan
itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif terhadap
penjahat, korban dan juga masyarakat. Oleh karena itu, teori ini
disebut juga sebagai teori konsekuensialisme.22 Menurut Karl O.
21 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya, h. 23-33. 22 Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997), h. 24.
18
Christiansen, terdapat beberapa ciri pokok pada teori relatif ini,
yaitu:
a) Tujuan pidana yakni pencegahan;
b) Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai
sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yakni
kesejahteraan masyarakat;
c) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat
dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalnya
kesengajaan yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d) Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai
alat pencegahan dalam kejahatan;
e) Pidana melihat ke depan atau bersifat prospektif, ia
mengandung unsur pencelaan / penderitaan maupun unsur
pembalasan tidak dapat diterima bila tidak membantu
pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat.23
3) Teori modern
Orientasi daripada teori modern ini adalah hukum
perlindungan sosial, yang mana tujuannya harus menggantikan
hukum pidana yang ada sekarang. Teori modern menolak
konsepsi-konsepsi tentang tindak pidana, penjahat, serta
menolak fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang
terlepas dari kenyataan sosial. Atas dasar doktrin ini, teori
modern melahirkan sebuah konsep yang dinamakan restorative
justice.
Secara historis, lahirnya konsep restorative justice bermula
dari adanya dua jenis sanksi yang dapat diterapkan kepada
tersangka, yaitu hukuman (punishment) yang berarti memiliki
unsur penderitaan di dalamnya dan perlakuan di luar hukuman
23 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya, h. 42-43.
19
(treatment) yang berarti memiliki unsur pembinaan di
dalamnya. Kemudian apabila kedua jenis sanksi tersebut
diterapkan secara bersamaan terhadap individu seseorang dalam
rangka merubah sifat buruk ke baik, maka tidak akan mencapai
hasil yang maksimal, sehingga perlu adanya jenis sanksi yang
dapat merubah individu seseorang tersebut tanpa harus
memunculkan kerugian yang sangat besar dari pihak manapun,
baik negara maupun masyarakat pada umumnya. Maka dari itu
munculah sebuah teori modern yang berorientasi pada hukum
perlindungan sosial serta menolak konsep tindak pidana.
bentuk-bentuk dari konsep restorative justice yaitu
pemberdayaan pihak-pihak yang terlibat akibat terjadinya
tindak pidana (pelaku, korban, keluarga korban dan pelaku,
masyarakat, dan aparat penegak hukum); musyawarah untuk
mencapai mufakat; pemulihan keadaan yang berupa
penggantian kerugian yang diakibatkan oleh adanya tindak
pidana.
Berdasarkan ketiga teori yang telah dipaparkan sebelumnya di atas,
penulis menyimpulkan bahwasanya pemidanaan terhadap anak pelaku
tindak pidana pencurian lebih tepat diterapkan menggunakan teori
modern, dimana di dalam teori modern terdapat konsep yang
dinamakan restorative justice, yang menitikberatkan pada pemulihan
keadaan dengan mengganti kerugian yang dilakukan pelaku kepada
korban jika terjadinya tindak pidana, daripada harus melakukan
pembalasan yang sifatnya bertujuan untuk membuat penderitaan
kepada salah satu pihak.
2. Kerangka Konseptual
a. Pemidanaan Anak
Terkait dengan konsep pemidanaan anak, yang dibahas disini yaitu
mengenai batas usia anak yang tidak dapat dikenai hukuman dari
20
perbuatannya yang melakukan tindak pidana. Berikut ulasan
mengenai ragam penjelasan tentang batas usia anak, diantaranya:
1) Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
2) Menurut Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
dikatakan bahwa seseorang yang belum dewasa yakni mereka
yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak
lebih dulu menikah. Jika suatu hari anak telah menikah sebelum
di usia 21 (dua puluh satu) tahun kemudian bercerai atau
ditinggal mati oleh pasangannya sebelum genap umur 21 (dua
puluh satu) tahun, maka ia tetap dianggap sebagai orang yang
telah dewasa alias bukan anak-anak lagi.24
3) Menurut Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, anak
adalah seseorang yang umurnya belum mencapai 16 (enam
belas) tahun.
4) Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak, yang disebut sebagai anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun
dan belum pernah kawin.25
5) Menurut Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak adalah
seseorang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana.
6) Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia, anak adalah setiap manusia yang
24 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2002), h. 90. 25 Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1997), h. 52.
21
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah
termasuk anak yang masih di dalam kandungan apabila hal
tersebut demi kepentingannya.
7) Menurut Pasal 1 Konvensi Hak Anak, anak adalah seseorang
yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali
berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak kedewasaan
telah diperoleh sebelumnya.
8) Menurut Sugiri sebagaimana yang dikutip dalam buku karya
Maidin Gultom, mengatakan bahwa selama di dalam tubuhnya
masih berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, anak itu
masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses
perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur
anak-anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa,
yaitu 18 (delapan belas) tahun untuk wanita dan 21 (dua puluh
satu) tahun untuk laki-laki.26
Berdasarkan beberapa uraian mengenai batasan usia anak yang
disebutkan di atas dan cukup bervariasi, perlu untuk menentukan
batasan usia anak yang tidak dapat dikenai hukuman atas perbuatan
tindak pidana yang dilakukannya secara jelas dan lugas agar nantinya
tidak terjadi permasalahan yang menyangkut hal tersebut itu sendiri.
Perlindungan anak sendiri ditetapkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak
yang sedang di dalam kandungan dan belum pernah menikah.
b. Tindak Pidana Pencurian
Tindak pidana pencurian merupakan kejahatan yang sangat umum
terjadi di tengah masyarakat dan merupakan kejahatan yang dapat
dikatakan paling meresahkan di kalangan masyarakat. Disebutkan di
dalam Pasal 362 KUHP, bahwa seseorang akan dikenakan hukuman
berupa pidana penjara selama 5 (lima) tahun apabila orang tersebut
26 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: Refika Aditama,
2010), h. 32.
22
melakukan sesuatu yang secara jelas melawan hukum berupa
mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang
lain secara diam-diam tanpa diketahui oleh siapapun. Pencurian
memiliki beberapa unsur, yaitu unsur objektif yang terdiri dari
perbuatan mengambil sesuatu barang, objeknya adalah suatu benda,
dan unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda yaitu benda
tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain; serta unsur
subjektif yang terdiri dari adanya maksud untuk berbuat, bertujuan
untuk memiliki suatu barang, dan perbuatannya melawan hukum.27
c. Restorative Justice
Terdapat 3 (tiga) prinsip dasar untuk membentuk keadilan
restoratif, yaitu terjadinya pemulihan kepada mereka yang menderita
kerugian akibat adanya kejahatan, pelaku memiliki kesempatan untuk
terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), pengadilan berperan
untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat berperan untuk
melestarikan perdamaian yang adil. Praktik dan program dalam
keadilan restoratif tercermin pada tujuannya yang menyikapi tindak
pidana dengan mengidentifikasi dan mengambil langkah-langkah
untuk memperbaiki kerugian / kerusakan, melibatkan semua pihak
yang berkepentingan, dan mengubah sesuatu yang bersifat tradisional
selama ini mengenai hubungan masyarakat dan pemerintah dalam
menanggapi kejahatan. Penggunaan program-program restorative
justice, diantaranya:
1) Program keadilan restoratif dapat digunakan dalam setiap tahap
sistem peradilan pidana;
2) Proses keadilan restoratif hanya digunakan apabila terdapat
bukti-bukti yang cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana
dan disertai dengan kebebasan dan kesukarelaan korban, dalam
hal ini termasuk kebebasan pelaku dan korban untuk
27 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Malang: Bayu Media, 2003), h.
5.
23
mengundurkan diri dari kesepakatan setiap saat selama
berjalannya proses. Kesepakatan juga harus dicapai secara
sukarela dan memuat kewajiban-kewajiban yang wajar serta
proporsional;
3) Kesepakatan didasarkan atas fakta-fakta dasar yang berkaitan
dengan kasus yang terkait, serta partisipasi pelaku tidak dapat
digunakan sebagai bukti pengakuan kesalahan dalam proses
hukum berikutnya;
4) Disparitas akibat ketidak seimbangan, baik kekuatan maupun
perbedaan kultural harus diperhatikan dalam melaksanakan
proses keadilan restoratif;
5) Keamanan para pihak harus diperhatikan dalam menjalani
proses keadilan restoratif;
6) Apabila proses keadilan restoratif tidak tepat atau tidak mungkin
dilakukan, kasus tersebut harus dikembalikan kepada pejabat
sistem peradilan pidana, dan suatu keputusan harus diambil
untuk segera memproses kasus tersebut tanpa penundaan, dalam
hal ini pejabat peradilan pidana harus berusaha untuk
mendorong pelaku dalam bertanggungjawab berhadapan
dengan korban dan masyarakat yang dirugikan dan terus
mendukung usaha reintegrasi korban dan pelaku dalam
masyarakat.28
Pedoman dan standar dalam pelaksanaan program-program
restorative jutice, yang dirumuskan harus jelas melalui “responsive
regulation” berupa produk legislatif, yang mengatur penggunaan
proses keadilan restoratif. Asas-asas yang dimuat dalam pedoman
tersebut diantaranya:
28 Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan Implementasinya
Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, (Makalah dalam
Focus Group Discussion (FGD): “Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian
Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak”), (Jakarta: Diselenggarakan oleh
Puslitbang Simposium Hukum Nasional-Badan Pembinaan Hukum Nasional, 26 Agustus
2013), h. 7.
24
1) Kondisi kasus yang berkaitan, diarahkan masuk ke dalam proses
keadilan restoratif;
2) Penanganan kasus setelah masuk ke dalam proses keadilan
restoratif;
3) Kualifikasi, pelatihan dan penilaian terhadap fasilitator;
4) Administrasi program keadilan restoratif;
5) Standar kompetensi dan “rules of conduct” yang mengendalikan
pelaksanaan keadilan restoratif.
d. Putusan Nomor: 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr.
Terkait pembahasan pada putusan nomor 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN
Kdr, terdapat pertentangan antara das sein berupa putusan hakim pada
putusan tersebut dengan das sollen berupa ketentuan hukum yang
seharusnya mengatur mengenai perlakuan terhadap seorang anak yang
telah melakukan tindak pidana. Selain itu, di dalam putusan tersebut
terdapat pertimbangan hakim yang digunakan oleh hakim untuk
memutus suatu perkara, diantaranya unsur-unsur pidana yang
dilakukan oleh pelaku; alat bukti; keterangan terdakwa; keterangan
saksi; hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan.
Kemudian terdapat pula dakwaan dan tuntutan yang diajukan oleh
penuntut umum.
E. Tinjauan Studi Terdahulu
Pada penelitian ini, penulis melakukan tinjauan terhadap kajian-kajian
terdahulu berupa skripsi dan jurnal-jurnal hukum, dengan maksud agar tidak
terjadinya tindakan plagiarisme atau duplikasi. Adapun kajian terdahulu
yang menjadi acuan antara lain:
Skripsi atas nama Yani Suryani, tahun 2014, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
berjudul “Pemidanaan Anak di Indonesia Terhadap Pelaku Pencurian
Dalam Perspektif Hukum Islam (Analisis Putusan PN Makassar Nomor:
808/Pid.B/2011/PN.MKS)”, dengan pembahasan yang terfokus mengenai
25
analisa hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian
dalam pandangan hukum Islam pada putusan nomor
808/Pid.B/2011/PN.MKS.29 Sedangkan penulis memiliki konteks penelitian
yang berbeda, yaitu penulis menganalisa mengenai pertimbangan hakim
dalam memutus perkara hukum anak, serta menganalisa upaya hukum
berupa diversi pada putusan nomor 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr.
Skripsi atas nama Raphita Sibuea, tahun 2016, Fakultas Hukum,
Universitas Sumatera Utara Medan, yang berjudul “Tindak Pidana
Pencurian Yang dilakukan Oleh Anak Dalam Keadaan Yang Memberatkan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Balige Nomor: 262/Pid.Sus-
Anak/2014/PN.Blg)”, dengan pembahasan yang terfokus mengenai analisa
hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian dalam
keadaan yang memberatkan pada putusan nomor 262/Pid.Sus-
Anak/2014/PN.Blg.30 Sedangkan penulis memiliki konteks penelitian yang
berbeda, yaitu penulis menganalisa mengenai pertimbangan hakim dalam
memutus perkara hukum anak, serta menganalisa upaya hukum berupa
diversi pada putusan nomor 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr.
Mahasiswa yang bernama Reyner Timothy Danielt di dalam jurnal Lex
et Societatis, tahun 2014, Fakultas Hukum, Universitas Sam Ratulangi
Manado, yang berjudul “Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak
Pidana Anak Pencurian Oleh Anak Dibawah Umur”. Jurnal ini terfokus
membahas mengenai efektifitas konsep dan penerapan keadilan restoratif
dalam melengkapi penyelesaian penanganan anak yang berkonflik dengan
hukum, khususnya anak yang melakukan tindak pidana pencurian.31
Sedangkan penulis memiliki konteks penelitian yang berbeda, yaitu penulis
29 Yani Suryani, “Pemidanaan Anak Di Indonesia Terhadap Pelaku Pencurian Dalam
Perspektif Hukum Islam (Analisis Putusan Nomor: 808/Pid.B/2011/PN.MKS)”, (Jakarta:
Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014). 30 Raphita Sibuea, “Tindak Pidana Pencurian Yang dilakukan Oleh Anak Dalam
Keadaan Yang Memberatkan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Balige Nomor:
262/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Blg)”, (Medan: Skripsi Universitas Sumatera Utara, 2016). 31 Reyner Timothy Danielt, “Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana
Anak Pencurian Oleh Anak Di Bawah Umur”, Lex et Societatis, Vol. 2, No. 6, Juli 2014.
26
menganalisa mengenai pertimbangan hakim dalam memutus perkara hukum
anak, serta menganalisa upaya hukum berupa diversi pada putusan nomor
6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr.
Skripsi atas nama Alviandani Kartika Sakti, tahun 2018, Fakultas
Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang berjudul “Penerapan
Diversi Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Anak Dibawah Umur
(Studi Kasus Polres Sragen)”, dengan pembahasan yang terfokus mengenai
analisa penerapan diversi pada tingkat penyidikan yang dilakukan oleh
Polres Sragen terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian.32 Sedangkan
penulis memiliki konteks penelitian yang berbeda, yaitu penulis
menganalisa mengenai pertimbangan hakim dalam memutus perkara hukum
anak, serta menganalisa upaya hukum berupa diversi pada putusan nomor
6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr.
Berdasarkan acuan dari beberapa bahan penelitian yang telah
dikemukakan di atas, bahwa beberapa penelitian tersebut akan penulis
jadikan sebagai bahan yang akan dibahas nantinya, serta sebagai pembeda
dalam hal penelitian yang penulis lakukan.
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan, diperlukan suatu
pedoman penelitian yang disebut sebagai metode penelitian, yang dimaksud
dengan metode penelitian adalah cara meluruskan sesuatu dengan
menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan yang
disepakati secara bersama-sama.33
32 Alviandani Kartika Sakti, “Penerapan Diversi Tindak Pidana Pencurian Yang
Dilakukan Anak Dibawah Umur (Studi Kasus Polres Sragen)”, (Surakarta: Skripsi
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018). 33 Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Bumi
Pustaka, 1997), h. 1.
27
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini adalah
penelitian yuridis normatif (normative legal research). Penelitian hukum
normatif dilaksanakan dalam rangka untuk menghasilkan sebuah
argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.34
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini
yaitu menggunakan pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan kasus yang
dilakukan oleh penulis yaitu dengan cara melakukan telaah terhadap
kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi, yakni putusan
Pengadilan Negeri Kediri yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Kemudian pendekatan perundang-undangan yang dilakukan oleh penulis
yaitu dengan cara melakukan analisa terhadap Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.35
3. Sumber Bahan Hukum
Adapun dalam penelitian hukum ini, sumber data yang digunakan
oleh penulis adalah sumber data primer dan sekunder yang mencakup:36
a. Bahan hukum primer, yaitu putusan Pengadilan Negeri Kediri No.
6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr, Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Undang-Undang
34 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 35. 35 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu
Media Publishing, 2007), h. 57. 36 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 12-13.
28
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa data tambahan yang menjadi
acuan terhadap masalah penelitian ini berupa Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP), Alquran dan buku-buku lain yang
terkait dengan penelitian penulis.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Studi pustaka (library research), dan putusan Pengadilan Negeri Kediri
Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr. Bahan ini dipergunakan untuk
melengkapi data yang penulis perlukan, yaitu dengan cara melihat buku-
buku dan Undang-undang yang terkait dengan pokok masalah yang akan
diteliti.
5. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah studi dokumentasi, yaitu proses pengolahan data yang dilakukan
melalui penggunaan bahan-bahan dokumen yang diperlukan, dalam hal
ini adalah putusan Pengadilan Negeri Kediri No. 6/Pid.sus-
Anak/2015/PN Kdr, UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak,
UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No.
35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak sebagai rujukan utama, dan buku-buku atau literatur-
literatur serta data-data yang lain.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis data, dalam hal ini penulis menggunakan metode
kualitatif, yaitu suatu teknik analisis yang bersifat deskriptif dan
cenderung menggunakan landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu
agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan.37 Dalam hal ini
37 Matthew B. Miles, Analisis Data Kualitatif, (Depok: Universitas Indonesia Press,
2007), h. 10.
29
materi pokoknya adalah tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh
anak dibawah umur, serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
hukuman pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian tersebut.
7. Teknik Penulisan
Dalam hal teknik penulisan, penulis mengacu kepada “Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta Tahun 2017.”
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan ini, Penulis membagi pembahasan
dalam lima bab. Pada bab 1, Penulis menuliskan seputar pendahuluan yang
memuat latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori
dan konseptual, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Pada bab 2, Penulis membahas mengenai tinjauan umum tentang tindak
pidana pencurian oleh anak dalam hukum Islam dan hukum positif. Hal ini
di rasa penting bagi Penulis untuk dibahas, karena bab ini dibutuhkan
sebagai pondasi bagi Penulis dalam menganalisis pertimbangan hakim
mengenai kasus tindak pidana pencurian oleh anak, pada putusan
Pengadilan Negeri Kediri No. 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr.
Selanjutnya bab 3, pada bagian ini Penulis mengulas mengenai konsep
dan penerapan Restorative Justice terhadap tindak pidana pencurian oleh
anak. Menurut Penulis bab ini penting untuk diulas, bertujuan sebagai
landasan teori dan konseptual bagi Penulis dalam menganalisis
pertimbangan Hakim mengenai kasus tindak pidana pencurian oleh anak,
pada putusan Pengadilan Negeri Kediri No. 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr.
30
Selanjutnya bab 4, pada bab ini Penulis sudah masuk kepada pembahasan
mengenai analisis dalam hukum positif dan hukum Islam terhadap putusan
Pengadilan Negeri Kediri Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr.
Selanjutnya bab 5, Merupakan bab terakhir berupa penutup dari
penulisan skripsi ini, terdiri atas kesimpulan dan rekomendasi yang dibuat
oleh penulis sendiri berdasarkan analisis yang dilakukan oleh penulis
terhadap kasus tindak pidana pencurian oleh anak, pada putusan Pengadilan
Negeri Kediri No. 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr.
31
BAB II
TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK
A. Tindak Pidana (Jarîmah) Menurut Hukum Islam
1. Jenis-jenis sanksi jarîmah.
Jenis sanksi jarîmah (tindak pidana) terbagi ke dalam bermacam-
macam bentuk, adapun bentuk-bentuknya adalah sebagai berikut:
a. Ditinjau dari segi berat ringannya hukuman
Berdasarkan dari segi berat ringannya hukuman, sanksi jarîmah
dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian, diantaranya:
1) Sanksi qishâsh
Menurut bahasa kata qishâsh adalah bentuk masdar,
sedangkan bentuk madhinya adalah qashasha yang berarti
memotong, atau juga berasal dari kata iqtashasha yang
berarti mengikuti, yakni mengikuti perbuatan si pelaku
sebagai balasan atas perbuatannya. Jarîmah qishâsh ialah
perbuatan pidana yang dapat diancam hukumannya berupa
sanksi qishâsh, di mana hukumannya telah ditentukan
batasannya dan tidak mempunyai batas terendah maupun
batas tertinggi, akan tetapi menjadi perseorangan (hak
manusia), dengan pengertian bahwa korban dapat
memaafkan pelaku jarîmah dan apabila dimaafkan oleh
korban, maka hukumannya terhapuskan.1
Ciri-ciri dari sanksi qishâsh ialah pertama, hukumannya
sudah tertentu dan terbatas, yang mana telah ditentukan oleh
syara’ dan tidak terdapat batas minimal dan maksimal.
Kedua, hukuman tersebut merupakan hak perseorangan
1 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 8.
32
(individu), yang artinya bahwa korban atau keluarga korban
berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.
Jarîmah yang dapat dihukumi qishâsh terbagi ke dalam
dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Jarîmah
pembunuhan menurut para ulama fiqh dibedakan ke dalam 3
(tiga) kategori, yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan
semi sengaja, dan pembunuhan tersalah atau tidak sengaja.
Berdasarkan ketiga kategori tindak pidana pembunuhan
tersebut, sanksi qishâsh hanya berlaku pada pembunuhan
jenis pertama, yaitu jenis pembunuhan sengaja yang tidak
dimaafkan oleh pihak keluarga korban.2 Sedangkan jarîmah
penganiayaan terbagi ke dalam 2 (dua) bentuk, yaitu
penganiayaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja.
2) Sanksi ḫudûd
Kata ḫudûd adalah bentuk jamak dari kata had yang secara
etimologi memiliki arti batas pemisah antara dua hal agar
tidak saling bercampur atau supaya salah satunya tidak
sampai masuk pada wilayah yang lainnya (pencegahan).3
Adapun secara terminologi beberapa ulama menyampaikan
pendapatnya sebagai berikut:
a) Ali bin Muhammad Al-Jurjani, menurutnya ḫudûd
adalah sanksi yang telah ditentukan dan yang wajib
dilaksanakan secara haq karena Allah SWT.4
b) Abdul Qadir Audah, menurutnya bahwa had adalah
sanksi yang telah ditentukan secara syara’.5
c) Syaikh Nawawi Al-Bantani, menurutnya ḫudûd adalah
sanksi yang telah ditentukan dan wajib diberlakukan
2 Muhammad Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), h. 37-39. 3 Moh. Habhan Husein, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), h. 13. 4 Ali Bin Muhammad Al-Jurjani, Kitâb Al-Ta’rîfât, (Jakarta: Dar Al-Hikmah), h. 88. 5 Abdul Qadir Audah, Al-Ťasyrî’ Al-Jinâ’î Al-Islâmî Muqâranan bi Al-Qânûn Al-
Wadh’î, (Beirut: Mu’assanah Al-Risalah, 1992), h. 343.
33
kepada seseorang yang melanggar suatu norma atau
aturan yang akibatnya perbuatan itu dapat dituntut,
baik dalam rangka memberikan peringatan kepada
pelaku maupun dalam rangka memaksanya.6
d) Al-Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa ḫudûd adalah
sanksi yang telah ditetapkan untuk melaksanakan hak
Allah SWT. Maksudnya, kehadiran ḫudûd telah
ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat dan untuk
melindungi kepentingan umum karena memang inilah
tujuan mendasar dari ajaran agama. Oleh karena itu,
jika ḫudûd termasuk hal Allah SWT, maka hal tersebut
tidak dapat dibatalkan, baik oleh individu maupun
masyarakat umum.7
Berdasarkan pendapat para ulama di atas mengenai
pengertian sanksi ḫudûd, penulis menyimpulkan
bahwasanya sanksi had / ḫudûd adalah buah hasil atas
perbuatan pelaku jarîmah berupa hukuman atau sanksi
yang telah ditetapkan kadar dan ukurannya di dalam
nash Alquran oleh Allah SWT, di mana jenis-jenis
jarîmah yang masuk kategori sanksi had ialah terdapat
7 (tujuh) macam, yaitu jarîmah zina, jarîmah qadzf
(penuduhan zina terhadap orang baik-baik), jarîmah
syurb al-khamr (meminum minuman keras), jarîmah
sâriqah (pencurian), jarîmah hirabah (perampokan),
jarîmah murtad (keluar dari agama Islam), dan jarîmah
al-baghyu (pemberontakan).8
6 Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani Al-Jawi, Qût Al-Ḫabîb Al-Gharîb
Tausyikh ‘alâ Fath Al-Qarîb Al-Mujîb (Semarang: Toha Putera), h. 245. 7 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983), h. 302. 8 Abdul Qadir Audah, Al-Ťasyrî’ Al-Jinâ’î Al-Islâmî Muqâranan bi Al-Qânûn Al-
Wadh’î, h. 79.
34
3) Sanksi takzir
Takzir ialah suatu istilah untuk sanksi yang diterapkan
terhadap pelaku jarîmah, yang mana sanksinya belum
ditentukan oleh syara’, artinya ketentuannya diserahkan
kepada Uli al-amri dan ditetapkan oleh qadhi’ (hakim) di
persidangan.9 Abdul Qadir Audah membagi jarîmah yang
masuk ke dalam kategori yang dapat dihukumi takzir
menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
a) Jarîmah ḫudûd dan qishâsh yang mengandung unsur
syubhat atau yang tidak memenuhi syarat, namun hal
itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat,
contohnya seperti pencurian harta syirkah,
pembunuhan ayah terhadap anaknya, pencurian yang
targetnya bukan harta benda.
b) Jarîmah takzir yang jenis jarîmahnya telah ditentukan
oleh nash, akan tetapi sanksinya oleh syar’i diserahkan
kepada Uli al-amri, contohnya seperti sumpah palsu,
saksi palsu, penipuan, ingkar janji, mengkhianati
amanat, dan menghina agama.
c) Jarîmah takzir yang jenis jarîmah sanksinya secara
penuh menjadi wewenang Uli al-amri demi
terealisasinya kemaslahatan umat. Hal ini unsur akhlak
menjadi pertimbangan yang paling utama, misalnya
pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup,
pelanggaran lalu lintas, dan pelanggaran terhadap
peraturan pemerintah lainnya.10
9 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 249. 10 Abdul Qadir Audah, Al-Ťasyrî’ Al-Jinâ’î Al-Islâmî Muqâranan bi Al-Qânûn Al-
Wadh’î, h. 68-69.
35
Sanksi takzir apabila ditinjau dari segi tempat
dilaksanakannya hukuman dapat dibagi menjadi 3 (tiga)
bagian, yaitu:
a) Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan atas badan,
seperti hukuman mati, dera, penjara, dan sebagainya.
b) Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang,
bukan badannya, seperti ancaman, peringatan, dan
teguran.
c) Hukuman harta, yaitu yang dikenakan terhadap harta
seseorang, seperti diyât, denda, dan perampasan
harta.11
b. Ditinjau dari segi niatnya
Ditinjau dari segi niatnya, jarîmah (tindak pidana) itu dapat
dibagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
1) Jarîmah sengaja, yaitu pelaku melakukan tindak pidana yang
sudah direncanakan, misalnya seperti seseorang yang masuk
ke rumah orang lain dengan maksud untuk mengambil
sesuatu dari rumah tersebut.
2) Jarîmah tidak sengaja, yaitu pelaku tidak sengaja untuk
melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut
terjadi sebagai akibat kelalaiannya (kesalahannya), misalnya
seperti seseorang melempar batu untuk mengusir binatang,
akan tetapi batu tersebut mengenai orang lain tanpa sengaja.
2. Syarat-syarat pelaku jarîmah dapat dihukum
Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai jarîmah (tindak pidana)
apabila syarat-syaratnya terpenuhi, yaitu sebagai berikut12:
a. Syarat formil (adanya undang-undang atau nash)
Syarat formil berupa nash yang melarang perbuatan jarîmah,
dan sifatnya dapat mengancam dengan memberi hukuman kepada
11 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 262. 12 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 6.
36
pelakunya. Suatu perbuatan jarîmah dapat disebut sebagai
pelanggaran terhadap syari’at apabila perbuatan tersebut terdapat
substansi pelanggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan.
Ketentuan yang telah ditetapkan tersebut mencakup ketentuan
syari’at yang ditetapkan oleh Allah SWT maupun ketetapan hukum
yang dibuat oleh manusia seperti perundang-undangan. Hal ini
ditegaskan di dalam Q.s. Al-Isrâ’ (17):15,
ن ٱهتدى فإنما يهتدي ما يضل عليها ول تزر وازرة م لفسهۦ ومن ضل فإن
نبعث رسولا بين حت وما كنا معذ ى خ ١٥وزر أ
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah
(Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan)
dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia
tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa
tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan
mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul”. (Q.s. Al-Isrâ’
(17):15).
b. Syarat materiil (sifat melawan hukum)
Syarat materiil disini yakni adanya tingkah laku yang
membentuk karakter seseorang untuk melakukan jarîmah, baik
berupa perbuatan-perbuatan nyata ataupun sikap seolah tidak
berbuat. Syarat materiil yang dimaksud meliputi perbuatan yang
melawan hukum. Aspek melawan hukum dalam hukum pidana
Islam dapat dilihat dari niat, perbuatan, dan akibat yang dihasilkan
dari perbuatannya. Meskipun dalam berbuat untuk mewujudkan
niatnya tersebut belum mencapai hasil akhir sesuai niatnya,
kemudian perbuatannya tidak selesai, namun jika di dalam
perbuatan yang belum selesai tersebut telah menimbulkan akibat
yang dapat merugikan orang lain, baik disengaja maupun tidak
37
sengaja, maka tindakan tersebut dapat disebut sebagai tindakan
melawan hukum.13
c. Syarat moril (pelakunya mukallaf (dewasa))
Syarat moril (rukun adabi) yakni pembuat, adalah seorang
muslim akil baligh yang dapat dimintai pertanggungjawaban
terhadap jarîmah yang diperbuatnya, artinya orang tersebut telah
dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah SWT maupun dengan larangan-Nya.14 Secara fisik
dan rohani, syarat mukallaf meliputi berakal, cukup umur,
mempunyai kemampuan bebas bersosial (muchtar). Sedangkan
secara pengetahuan, syarat mukallaf meliputi pelaku sanggup
memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi dan
merupakan orang yang pantas dimintai pertanggungjawaban.15
B. Fungsi Penegakkan Hukum Dalam Hukum Islam
Pada fungsi penegakkan hukum menurut hukum Islam, dikenal adanya
teori pemidanaan, yaitu:
1. Teori Zawâjir (Sebagai Efek Jera)
Teori zawâjir merupakan pendekatan dalam hukum pidana Islam
yang dijatuhkan terhadap pelaku jarîmah (tindak pidana), yang tidak
harus sama persis atau sama bentuk hukumannya dengan apa yang ada
secara tekstual di dalam Alquran dan Hadis. Artinya, pelaku boleh
dihukum dengan bentuk hukuman apa saja, dengan catatan hukuman
tersebut mampu mencapai tujuan hukum, yaitu membuat jera bagi
pelaku jarîmah dan menimbulkan rasa takut bagi orang lain yang akan
melakukan jarîmah (tindak pidana). Pada teori ini bahwa hukuman
yang disebutkan secara jelas di dalam nash bisa saja diganti dengan
hukuman lain yang dapat memberikan efek jera bagi pelaku maupun
13 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 28. 14 Noer Iskandar, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), h. 3. 15 Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1968), h. 67.
38
orang lain agar tidak mengulangi dan melakukan tindak pidana,
contoh hukumannya dapat berupa pidana penjara seumur hidup.16
Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya zawâjir disyariatkan sebagai
pencegahan terhadap tindak pidana yang akan terjadi.
2. Teori Jawâbir (Sebagai Penghapus Dosa)
Teori jawâbir merupakan pendekatan dalam hukum pidana Islam
yang dijatuhkan terhadap pelaku jarîmah (tindak pidana), sebagai
bentuk penebusan atau penghapus dosa bagi pelaku jarîmah. Bentuk
hukuman yang digunakan oleh teori ini yakni hukuman yang sudah
secara eksplisit termaktub di dalam Alquran dan Hadis, contohnya
apabila seseorang melakukan jarîmah pencurian, maka hukumannya
adalah potong tangan. Hal tersebut bertujuan agar dosa si pelaku
jarîmah di dunia dapat terhapuskan dan mendapat ampunan di akhirat
kelak, selagi orang tersebut tidak mengulangi perbuatannya kembali.17
Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya jawâbir disyariatkan untuk
mencapai kemaslahatan.
Terdapat kaidah ushul fikih yang menyebutkan sebagai berikut18:
ر يزال الظ
Artinya: “Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin”.
Maksud dari kaidah fikih di atas adalah bahwasanya segala bentuk
kegiatan yang dapat menimbulkan kemudharatan atau dampak negatif
terhadap seseorang, sebisa mungkin dijauhkan atau ditiadakan. Kaidah di
atas berkaitan dengan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum. Apabila terdapat anak yang berbuat jarîmah, sebisa mungkin anak
tersebut jangan sampai dijatuhi hukuman pembalasan, misalnya berupa
16 Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h.
86-87. 17 Edi Yuhermansyah dan Zaziratul Fariza, “Pidana Mati Dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi (Kajian Teori Zawajir dan Jawabir)”, Legitimasi, Vol. 6, No. 1,
Januari-Juni 2017, h. 164-165. 18 Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya & Anglo Media Jakarta, 2004), h. 125.
39
hukuman penjara, karena hal itu dapat menimbulkan kemudharatan bagi diri
anak tersebut. Dampak negatif yang timbul tersebut biasanya berupa psikis
atau mental sang anak menjadi turun (down), dan anak menjadi tidak
percaya diri ketika akan bersosial dengan masyarakat.
C. Kedudukan Anak Sebagai Pelaku Jarîmah Menurut Hukum Islam
Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku jarîmah dilaksanakan
berdasarkan pertanggungjawabannya, apabila pelaku dianggap telah
memenuhi syarat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka ia
akan dikenai sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku dalam syari’at Islam.
Menurut Abdul Qadir Audah, bahwa pertanggungjawaban pidana dalam
syari’at Islam terdiri atas 2 (dua) unsur, yaitu kemampuan berfikir dan
kemampuan berkehendak. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan
hukum terhadap anak disebabkan karena perbedaan tingkatan-tingkatan
pada manusia, mulai dari lahir hingga dewasa sehingga telah mampu untuk
membedakan mana yang baik dan yang tidak baik untuk dilakukan.
Terdapat 3 (tiga) masa yang akan dilalui oleh manusia mulai dari lahir
hingga dewasa dalam fikih jinayah, yaitu19:
1. Masa ketika ketidak mampuan dalam berfikir
Pada masa ini, di mana seseorang disebut belum baligh atau
belum mumayyiz. Karena pada masa ini bermula dari lahirnya
seseorang hingga mencapai umur 7 (tujuh) tahun. Meskipun dalam
realitanya terkadang seorang anak sudah mampu membedakan
sesuatu walaupun usianya belum mencapai 7 (tujuh) tahun, akan
tetapi ada juga yang mengalami keterlambatan dalam menentukan
sesuatu, ini disebabkan oleh faktor individunya, lingkungannya, dan
kesiapan akalnya. Walaupun kemampuan berfikir seseorang
berbeda tidak berdasarkan usia, ulama tetap memberi batasan
kemampuan berfikir tidak pada individu seseorang, akan tetapi
19 Abdul Qadir Audah, Al-Ťasyrî’ Al-Jinâ’î Al-Islâmî Muqâranan bi Al-Qânûn Al-
Wadh’î, h. 600-601.
40
berdasarkan usia, dan ketetapan ini berlaku secara umum. Hal ini
dilakukan agar terjadi kepastian hukum. Adanya ketentuan seperti
ini, maka akan memudahkan Hakim dalam memutuskan perkara.
Pada masa ini anak dianggap belum mumayyiz atau belum dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Oleh karena
itu, jika seseorang anak melakukan jarîmah sebelum di umur 7
(tujuh) tahun, maka tidak dikenakan sanksi pidana begitupun sanksi
pengajaran atau pembimbingan. Anak tersebut dikembalikan kepada
orang tuanya untuk dididik lebih tegas lagi dan diawasi secara ketat.
Meskipun pada masa ini seseorang tidak dikenai sanksi pidana,
bukan berarti terlepas dari tanggungjawabnya. Anak tersebut tetap
dimintai pertanggungjawaban secara perdata berupa ganti kerugian,
karena pada dasarnya kaidah dalam syari’at Islam, bahwa harta dan
darah dijamin ketetapannya dalam syara’. Hal ini sesuai dengan
maqashid syariah yaitu menjaga nyawa dan harta.
2. Masa ketika kemampuan berfikir lemah
Pada masa ini dimulai ketika umur 7 (tujuh) tahun sampai dia
baligh. Secara umum, para ulama memberikan batasan kedewasaan
pada umur 15 (lima belas) tahun. Pada masa ini seseorang sudah
dianggap mendekati kedewasaan meskipun perbuatannya belum
mencerminkan kedewasaannya. Ketika seseorang melakukan jarîmah
pada masa ini, maka orang tersebut tidak diberikan sanksi pidana,
melainkan sanksi pengajaran atau pembimbingan meskipun
sebenarnya itu juga merupakan bagian dari hukuman juga, akan tetapi
sanksinya itu bersifat mendidik, dan hendaknya anak yang melakukan
jarîmah pada masa ini tidak diberi sanksi takzir kecuali jika sanksinya
itu bersifat teguran atau pukulan.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka anak yang melakukan
jarîmah pada masa ini tidak akan dikenai sanksi pidana melainkan
pertanggungan secara perdata. Hal ini dikarenakan anak tersebut
belum dianggap mumayyiz.
41
3. Masa ketika kemampuan berfikir telah sempurna
Pada masa ini dimulai dari umur 15 (lima belas) tahun berdasarkan
kesepakatan ulama secara umum, atau dimulai dari umur 18 (delapan
belas) tahun berdasarkan batasan yang diberikan oleh Abu Hanifah
dan Imam Malik. Pada masa ini seseorang yang melakukan jarîmah
akan diberikan sanksi pidana atas perbuatannya. Jika dia melakukan
zina atau mencuri, maka dikenai sanksi ḫudûd, jika dia melakukan
perbuatan yang dikenai sanksi qishâsh maka akan dikenai qishâsh atas
perbuatannya.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama fikih mengenai
batas usia minimum bagi anak yang dapat dikenakan pemidanaan. Namun
terjadi ikhtilâf (perbedaan) diantara para ulama dalam penentuan umur. Ada
beberapa pendapat tentang hal tersebut, yaitu:
1. Mazhab Hanafiyah dan Malikiyah
Mereka berpendapat bahwasanya seorang laki-laki tidak dapat
dikatakan baligh sebelum ia mencapai umur 18 tahun. Kedewasaan
anak laki-laki sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yaitu
dimulai dari umur 18 tahun. Adapun anak perempuan perkembangan
dan kesadarannya lebih cepat dari anak laki-laki, oleh sebab itu usia
awal kedewasaannya dikurangi satu tahun sehingga anak perempuan
menjadi dewasa dimulai pada umur 17 tahun.20
2. Mazhab Syafi’iyyah dan Hanabilah
Mereka berpendapat bahwasanya bila seorang anak laki-laki dan
anak perempuan dapat dikatakan sebagai anak yakni berusia sebelum
mencapai 15 tahun, kecuali bagi laki-laki yang sudah ikhtilam dan
perempuan yang sudah haid sebelum berumur 15 tahun, maka
keduanya dinyatakan telah baligh. Mereka juga berhujjah dengan apa
yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dirinya diajukan kepada
Nabi Muhammad SAW untuk mengikuti perang Uhud, pada hari itu
20 Abdul Qadir Audah, Al-Ťasyrî’ Al-Jinâ’î Al-Islâmî Muqâranan bi Al-Qânûn Al-
Wadh’î, h. 602.
42
ia berusia 14 tahun, kemudian Nabi Muhammad SAW tidak
memperkenankannya ikut dalam peperangan. Setelah setahun dirinya
mengajukan kembali untuk mengikuti perang Khandaq yang ketika itu
ia telah berumur 15 tahun dan ia diperkenankan oleh Nabi Muhammad
SAW untuk tergabung di dalam perang Khandaq.21
3. Jumhur Ulama Fikih
Bahwasanya usia baligh dapat ditentukan berdasarkan hukum
kelaziman. Kebiasaan yang terjadi yakni setelah terjadinya ikhtilam
dan hal itu sering terjadi pada seseorang yang telah berusia 15 tahun.
Dengan demikian, pada usia 15 tahun itulah mulai ditentukan usia
baligh yang dipandang sebagai usia taklîf (usia pembebanan hukum),
sedangkan dalam literatur bahasa yang lain disebutkan juga anak
dengan istilah mumayyiz yaitu anak yang telah mengerti maksud dari
kata-kata yang diucapkannya. Biasanya usia anak itu genap 7 (tujuh)
tahun sehingga bila kurang dari 7 (tujuh) tahun maka belum dikatakan
mumayyiz. Hukum anak mumayyiz itu tetap berlaku sampai anak itu
beranjak dewasa. Anak dikatakan dewasa disini maksudnya yaitu
telah cukup umur dan muncul tanda kedewasaan laki-laki dan
perempuan yang biasanya pencapaian usia bagi laki-laki berusia 12
(dua belas) tahun dan perempuan 9 (sembilan) tahun. Kemudian kalau
anak sudah melewati usia tersebut bagi laki-laki 12 (dua belas) tahun
dan perempuan 9 (sembilan) tahun, namun belum tampak gejala-
gejala bahwa ia sudah dewasa dari segi lahiriah, maka keduanya
ditunggu sampai telah berusia 15 (lima belas) tahun.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad L. Hasan dalam bukunya
yang berjudul “Pendidikan Anak Dalam Islam”, menurutnya usia
dewasa bagi seorang laki-laki yakni telah berusia 18 (delapan belas)
21 Saleh Mahfud: Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, (Bandung: Al-Ma’arif,
1999), h. 359.
43
tahun dan bagi seorang perempuan yakni telah berusia 17 (tujuh belas)
tahun.22
4. Pendapat Ulama Kontemporer
Penjatuhan sanksi pidana terhadap seseorang apabila sudah
dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Anak
yang belum baligh atau dewasa tidak dikenai sanksi pidana. Menurut
Sayyid Sabiq bahwa yang dapat dikenai hukuman qishâsh adalah
orang dewasa, sedangkan anak-anak tidak dikenai sanksi pidana atas
perbuatannya, karena mereka bukan termasuk orang-orang yang
terkena taklif syar’i, dan mereka tidak mempunyai tujuan yang benar
atau keinginan yang bebas. Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah
bahwa anak yang masih di bawah umur tidak dapat diberi sanksi
jarîmah ḫudûd atau qishâsh atas perbuatannya dikarenakan belum
mampu mempertanggungjawabkan disebabkan ketidakcakapannya
(mumayyiz), melainkan dikembalikan kepada orang tuanya dan orang
tuanya wajib menanggung akibat dari perbuatan anaknya secara
perdata.23
D. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Menurut Hukum Islam
Jarîmah (tindak pidana) pencurian termasuk ke dalam jenis jarîmah
ḫudûd. Sâriqah (pencurian) merupakan bentuk mashdar dari kata سرق-
سرقا -يسرق dan secara etimologis ة سارق (sâriqah) berarti أخذ ماله خفية
لة yaitu mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi , وحي
22 Abu Yusuf dan Muhammad L. Hasan, Pendidikan Anak Dalam Islam, (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1997), h. 6. 23 Noercholis Rafid dan Saidah, “Sanksi Pidana Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum Perspektif Fiqih Jinayah”, Jurnal Al-Maiyyah, Vol. 11, No. 2, Juli-Desember 2018,
h. 336.
44
dan dengan tipu daya.24 Sedangkan secara terminologis definisi سارق ة
(sâriqah) dikemukakan oleh beberapa ahli berikut:
1. Ali bin Muhammad Al-Jurjani, menurutnya sâriqah dalam syariat
Islam yang pelakunya harus diberi hukuman potong tangan adalah
mengambil sejumlah harta senilai sepuluh dirham yang masih berlaku,
disimpan di tempat penyimpanannya atau dijaga dan dilakukan oleh
orang mukallaf secara sembunyi-sembunyi serta tidak terdapat unsur
syubhat, sehingga kalau barang itu kurang dari sepuluh dirham yang
masih berlaku maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencurian yang
pelakunya diancam hukuman potong tangan.
2. Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini (ulama mazhab Syafi’i),
menurutnya sâriqah secara bahasa berarti mengambil harta (orang
lain) secara sembunyi-sembunyi, sedangkan secara istilah syara’
adalah mengambil harta (orang lain) secara sembunyi-sembunyi dan
zalim, diambil dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan
untuk menyimpan dengan berbagai syarat.
3. Wahbah Al-Zuhaili, menurutnya sâriqah ialah mengambil harta milik
orang lain dari tempat dari tempat penyimpanannya yang biasa
digunakan untuk menyimpan secara diam-diam dan sembunyi-
sembunyi. Termasuk ke dalam kategori mencuri adalah mencuri-curi
informasi dan pandangan jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
4. Abdul Qadir Audah, menurutnya ada dua macam sâriqah menurut
syariat Islam, yaitu sâriqah yang diancam dengan had dan sâriqah
yang diancam dengan takzir. Sâriqah yang diancam dengan had
dibagi menjadi dua, yaitu pencurian kecil dan pencurian besar.
Pencurian kecil ialah mengambil harta milik orang lain secara diam-
diam. Sementara itu, pencurian besar ialah mengambil harta milik
24 Muhammad Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinâyâh, (Jakarta: Amzah, 2014), h.
99.
45
orang lain dengan melakukan kekerasan. Pencurian jenis ini juga
disebut sebagai perampokan.25
Dari beberapa rumusan definisi sâriqah diatas, dapat disimpulkan bahwa
sâriqah ialah mengambil harta atau barang orang lain secara sembunyi-
sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk
menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut.26 Alquran menyatakan
bahwa orang yang mencuri dikenakan hukuman potong tangan. Hukum
potong tangan tersebut sebagai sanksi bagi pelaku jarîmah sâriqah.
Hukuman potong tangan ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam
Q.s. Al-Mâ’idah (5):38,
عزيز حك وٱلل لا من ٱلل بما كسبا نك يديهما جزاءارقة فٱقطعوا أ ارق وٱرس ٣٨يم وٱرس
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(Q.s. Al-Mâ’idah (5):38).
Jarîmah pencurian dapat dikatakan sebagai tindakan mengambil harta
orang lain dalam keadaan sembunyi, yakni cara mengambilnya tanpa
sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya, misalnya seseorang mengambil
harta dari sebuah rumah ketika pemiliknya sedang bepergian atau tidur.
Pelaku jarîmah pencurian dalam hukum Islam dapat dijatuhi hukuman
potong tangan apabila barang atau harta yang ia curi bernilai lebih dari 10
(sepuluh) dirham, dan pelaku tersebut tidak mendapat ampunan atau
permintaan maaf dari korban yang dirugikan olehnya.27
25 Muhammad Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinâyâh, h. 99-100. 26 Muhammad Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah,
2012), h. 117. 27 Abdul Qadir Audah, Al-Ťasyrî’ Al-Jinâ’î Al-Islâmî Muqâranan bi Al-Qânûn Al-
Wadh’î, h. 67.
46
E. Kedudukan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum
Positif
Ahli hukum sekaligus mantan Hakim Agung Republik Indonesia tahun
1968, Sri Widoyati Lokito memberikan definisi kenakalan remaja adalah
perbuatan yang pada hakekatnya merugikan masyarakat yang dirumuskan
secara terperinci di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak. Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak menggunakan istilah anak nakal terhadap seorang
anak yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana, sedangkan
pengertian anak dalam Pasal 1 Ayat (1) adalah orang yang dalam perkara
anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.28 Pemaparan
tersebut melahirkan kesimpulan bahwa unsur dari perbuatan tindak pidana
yang dilakukan oleh anak nakal, yaitu:
1. Perbuatan dilakukan oleh anak-anak;
2. Perbuatan itu melanggar aturan atau norma;
3. Perbuatan itu merugikan bagi perkembangan si anak tersebut.
Bentuk kenakalan anak yang didasarkan pada berbagai pengertian
tentang kenakalan anak yang dikemukakan oleh seorang pakar di bidang
sosial anak yang bernama Moedikdo, setidaknya terdapat tiga kategori
perbuatan yang masuk ke dalam klasifikasi kenakalan anak (Juvenile
Delinquency), yaitu29:
1. Semua perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa sementara
perbuatan itu menurut ketentuan hukum normatif adalah perbuatan
pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan lain
sebagainya;
28 Yani Suryani, “Pemidanaan Anak Di Indonesia Terhadap Pelaku Pencurian Dalam
Perspektif Hukum Islam (Analisis Putusan Nomor: 808/Pid.B/2011/PN.MKS)”, h. 25. 29 B. Simanjuntak, Latar Bekalang Kenakalan Remaja, (Bandung: Alumni, 1973), h.
76.
47
2. Semua perbuatan atau perilaku yang menyimpang dari norma tertentu
atau kelompok tertentu yang dapat menimbulkan kemarahan dalam
masyarakat;
3. Semua aktifitas yang pada dasarnya membutuhkan perlindungan
sosial, semisal gelandangan, pengemis, pengamen, dan lain
sebagainya.
Keseluruhan bentuk kenakalan anak baik yang diklasifikasikan
berdasarkan definisi maupun berdasarkan rujukan normatif (ketentuan
hukum pidana) tersebut selanjutnya dapat dibagi ke dalam 4 jenis, yaitu:
1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain seperti
perkelahian, perkosaaan, perampokan, pembunuhan, penganiayaan,
dan lain sebagainya;
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti perusakan,
pencurian, pencopetan, dan lain sebagainya;
3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban pihak lain, seperti
pelacuran dan penyalahgunaan obat terlarang (narkoba);
4. Kenakalan yang melawan status, mengingkari status anak sebagai
pelajar dengan cara membolos sekolah, mengingkari status orang tua
dengan cara minggat dari rumah atau tidak taat atau membantah
perintah dan lain sebagainya.
F. Ketentuan Pidana Terhadap Anak Pelaku Pencurian Menurut Hukum
Positif
Pencurian menurut hukum pidana Indonesia, termasuk ke dalam kategori
kejahatan terhadap harta. Tindak pidana pencurian ialah perbuatan
mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi dengan
maksud untuk dimiliki sebagian ataupun semuanya dengan cara melawan
hukum.30 Pencurian dibagi menjadi dua, yaitu pencurian di dalam bentuknya
yang pokok disebut dengan pencurian biasa, dan pencurian khusus atau
30 Subairi Chasen, “Perbarengan Tindak Pidana Pembunuhan Dan Pencurian Perspektif
Hukum Pidana Islam”, Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam, Vol. 3, No. 1, Juni 2017,
h. 145.
48
biasa disebut dengan pencurian yang berkualifikasi.. Pencurian di dalam
bentuknya yang pokok diatur dalam Pasal 362 KUHP (Kitab Undang-
undang Hukum Pidana) yang berbunyi:
“Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda
tersebut secara melawan hukum, maka ia dihukum karena kesalahannya
melakukan pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 (lima)
tahun atau denda sebanyak-banyaknya 900 (sembilan ratus) rupiah.”
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak, terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok,
pidana tambahan, dan tindakan. Menyimak Pasal 23 Ayat (1) dan (2) diatur
pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal, yaitu:
1. Pidana Pokok
Ada beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak
nakal, yaitu31:
a. Pidana penjara
Berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi anak
nakal lamanya yaitu ½ (satu per dua) dari ancaman pidana orang
dewasa atau paling lama 10 (sepuluh) tahun, artinya terhadap
anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati maupun pidana
seumur hidup, dan sebagai gantinya adalah dijatuhkan salah satu
tindakan.
b. Pidana kurungan
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal
yaitu maksimal setengah dari maksimum ancaman pidana
kurungan bagi orang dewasa. Mengenai apakah yang dimaksud
dengan maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang
dewasa?, yaitu maksimum ancaman pidana kurungan terhadap
tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang diatur dalam
KUHP atau Undang-Undang lainnya yang terkait.
31 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 29-31.
49
c. Pidana denda
Layaknya pidana penjara dan pidana kurungan, maka
penjatuhan pidana denda juga dijatuhkan setengah dari
maksimum pidana denda bagi orang dewasa. Bila denda itu
tidak dapat dibayar, maka wajib diganti dengan latihan kerja
selama 90 hari dengan jam kerja tidak lebih dari 4 jam dalam
sehari dan tidak boleh dilakukan di malam hari. Tentunya hal
demikian mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental, dan sosial anak serta perlindungan bagi si anak.
d. Pidana bersyarat
Garis besar ketentuan pidana bersyarat bagi anak nakal yakni
berdasarkan pada Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak.
e. Pidana pengawasan
Pidana pengawasan adalah pidana khusus yang dikenakan
terhadap anak yakni pengawasan yang dilakukan oleh jaksa
penuntut umum terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-
hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang
dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. Anak nakal yang
diputus oleh hakim untuk diserahkan kepada negara
ditempatkan di lembaga pemasyarakatan anak sebagai anak
negara, dengan maksud untuk menyelamatkan masa depan
anak, atau bila anak menghendaki anak dapat diserahkan kepada
orang tua asuh yang memenuhi syarat.
2. Pidana Tambahan
Pidana tambahan diantaranya, yaitu:
a. Perampasan barang-barang tertentu;
b. Pembayaran ganti rugi.
50
3. Tindakan
Beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal
menurut Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak, yaitu:
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi
Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.
Selain tindakan tersebut, hakim dapat memberikan teguran dan
menetapkan syarat tambahan. Penjatuhan tindakan oleh hakim
dilakukan kepada anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut peraturan hukum lain. Berdasarkan segi usia,
penerapan tindakan ditujukan terutama bagi anak yang masih berumur
8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang
telah melampaui umur diatas 12 (dua belas) tahun dapat dijatuhkan
pidana. Hal ini mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental, dan sosial anak.32
Sedangkan rumusan pengenaan tindakan terhadap anak menurut Pasal
132 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), penulis merangkumnya
sebagai berikut:
1. Pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhnya;
2. Penyerahan kepada Pemerintah atau seseorang atau Departemen
Sosial;
3. Keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh Pemerintah
atau suatu badan swasta;
4. Perbaikan akibat tindak pidana;
32 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, h. 12 & 24.
51
5. Rehabilitasi;
6. Perawatan di dalam suatu lembaga sosial.
G. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku
Pencurian Menurut Hukum Positif
1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, merupakan ketentuan beracara dalam proses peradilan
pidana anak, diatur dalam Bab III mulai dari Pasal 16 sampai dengan
Pasal 62, artinya terdapat 47 pasal yang mengatur hukum acara pidana
anak. Sebagai bentuk pemberian jaminan perlindungan hak-hak anak,
Penyidik anak, Penuntut Umum anak, dan Hakim anak wajib
memberikan perlindungan khusus bagi anak yang diperiksa karena
tindak pidana yang dilakukan dalam situasi darurat serta perlindungan
khusus dan dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi tanpa pemberatan.
Pada proses persidangan masih menggunakan model yang ada di dalam
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak berupa larangan menggunakan toga atau atribut
kedinasan bagi para petugas.
a. Penangkapan dan Penahanan
Mengenai tindakan penangkapan dan penahanan terhadap anak
tidak diatur secara rinci dalam KUHAP (Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana), sehingga berlaku ketentuan-ketentuan
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 30 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang menentukan bahwa penangkapan terhadap anak
dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh
empat) jam dan anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam
ruang pelayanan khusus anak.
Penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan, Penuntut
Umum dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari.
Jangka waktu penahanan sebagimana permintaan Penuntut Umum
52
dapat diperpanjang oleh Hakim Pengadilan Negeri paling lama 5
(lima) hari dan dalam hal jangka waktu dimaksud telah berakhir,
anak wajib dikeluarkan demi hukum. Dasar diperkenankan suatu
penahanan anak adalah adanya dugaan keras berdasarkan bukti
yang cukup, bahwa anak melakukan tindak pidana (kenakalan).
Menjamin agar ketentuan mengenai dasar penahanan ini
dilaksanakan, maka perlu diadakan institusi pengawasan yang
dilaksanakan oleh atasan di instasi masing-masing, yang bertujuan
sebagai built in control maupun pengawasan sebagai sistem
checking antara penegak hukum.33
Melakukan tindakan penangkapan, asas praduga tak bersalah
harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan
martabat anak sebagai kelompok yang tidak mampu atau belum
mengetahui tentang masalah hukum yang terjadi pada diri anak
tersebut.34 Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa
ke tempat tertentu oleh Penyidik Anak atau Penuntut Umum Anak
atau Hakim Anak dengan penetapan, menurut cara yang diatur
dalam undang-undang.35 Apabila penahanan mengganggu
perkembangan fisik, mental dan sosial anak, maka penahanan anak
tidak dapat dilakukan. Penahanan dilakukan sebagai upaya
terakhir/tindakan terakhir (ultimum remedium) dalam jangka waktu
singkat / pendek.36
b. Proses Penyidikan
Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa
33 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2014), h. 124. 34 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak,
(Jakarta: Grasindo, 2000), h. 63. 35 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya,
(Bandung: Mandar Maju, 2005), h. 122. 36 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, h.
126.
53
penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh Penyidik yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penyidik yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, harus dipandang sama sebagaimana
dengan layaknya status dan fungsi seorang penyidik yang
ditetapkan oleh KUHAP. Penyidikan terhadap anak tersebut
haruslah dalam suasana kekeluargaan. Pasal 27 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, menentukan bahwa dalam melakukan penyidikan anak
nakal, penyidik dibantu oleh pembimbing kemasyarakatan.
Kemudian dalam Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menjelaskan
bahwa proses penyidikan terhadap anak nakal wajib dirahasiakan.
2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penuntutan
Penuntut Umum dalam acara pidana anak mengandung pengertian,
tindakan Penuntut Umum Anak untuk melimpahkan perkara anak ke
Pengadilan Anak dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
Hakim Anak dalam persidangan anak. Penuntut Umum Anak wajib
mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima
berkas perkara dari Penyidik, dan diversi sebagaimana dimaksud
dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dalam hal proses diversi
berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita
acara diversi berupa berhasil mencapai kesepakatan diversi kepada Ketua
Pengadilan Negeri untuk dibuatkan penetapan. Apabila diversi gagal,
Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara diversi dan
melimpahkan perkara ke Pengadilan dengan melampirkan laporan hasil
penelitian kemasyarakatan.37
37 Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 13.
54
Pada persidangan anak, ada kemungkinan penyampingan perkara.
Alasan-alasan penyampingan perkara tersebut, yaitu penyampingan
perkara berdasarkan asas oportunitas karena alasan demi kepentingan
hukum dan tidak sama dengan perkara yang ditutupi demi kepentingan
umum.38
3. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Pemeriksaan di
Persidangan
Pada proses persidangan, pada prinsipnya anak di sidangkan dalam
ruangan sidang khusus anak, serta ruang tunggu khusus anak dipisahkan
dari ruang tunggu sidang orang dewasa. Adapun waktu sidang anak
didahulukan dari waktu sidang orang dewasa. Di samping itu, Hakim
memeriksa perkara anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk
umum, kecuali saat pembacaan putusan. Pada persidangan anak, Hakim
wajib memerintahkan orang tua / wali atau pendamping, advokat,
pemberi bantuan hukum lainnya, dan pembimbing kemasyarakatan
untuk mendampingi anak. Apabila orangtua / wali / pendamping tidak
hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi advokat atau pemberi
bantuan hukum lainnya dan/atau pembimbing kemasyarakatan. Jika
Hakim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas,
maka sidang anak batal demi hukum.
Persidangan perkara anak bersifat tertutup, bertujuan agar terciptanya
suasana tenang dan penuh dengan kekeluargaan, sehingga anak dapat
mengutarakan segala peristiwa dan perasaannya secara terbuka dan jujur
selama berjalannya persidangan. Pada proses pembacaan putusan
Pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat
tidak dihadiri oleh anak. Menurut Pasal 69 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menentukan bahwa
Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan
38 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia, h. 141.
55
ketentuan dalam undang-undang tersebut. Anak yang belum berusia 14
(empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.39
4. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan Anak berperan dalam pembinaan
narapidana, yang memperlakukan narapidana agar menjadi pribadi yang
baik. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan Pengadilan
menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai
berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila telah berumur 18 (delapan
belas) tahun tetapi belum selesai menjalani pidananya, harus dipindahkan
dan tempatnya terpisah dari narapidana yang telah berumur 21 (dua puluh
satu) tahun ke atas. Jenis-jenis pembinaan narapidana dapat digolongkan
atas 3 (tiga), yaitu: pembinaan mental, pembinaan sosial, pembinaan
keterampilan.
5. Hak-Hak Anak Atas Perlindungan Hukum Dalam Proses Peradilan
Pidana
Prinsip-prinsip perlindungan hukum pidana terhadap anak tercermin
dalam Pasal 37 dan Pasal 40 Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on
the Rights of the Child) yang disahkan dengan Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990, tanggal 25 Agustus 1990. Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menyatakan bahwa setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak:
a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya dan dipisahkan dari orang dewasa;
b. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
c. Bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang
kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan
martabatnya;
d. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
39 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia, h. 146
56
e. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
Anak nakal sejatinya merupakan anak yang belum mendapati
wawasan dan lingkungan sosial yang positif dari orang-orang tersayang,
khususnya dari orang tua, yang mengakibatkan anak tersebut melakukan
perbuatan-perbuatan di luar koridor yang seharusnya. Maka dari itu,
diperlukan suatu penindakan terhadap anak nakal yang bertujuan untuk
merubah sikap dan perilaku anak tersebut agar nantinya memiliki sifat
dan perilaku yang normal dan baik serta dapat diterima oleh masyarakat.
Penindakan tersebut dapat berupa pengembalian kepada orang tua,
wali, atau pengasuhnya; penyerahan kepada Pemerintah atau seseorang
atau Departemen Sosial; keharusan mengikuti suatu latihan yang
diadakan oleh Pemerintah atau suatu badan swasta; perbaikan akibat
tindak pidana; rehabilitasi; perawatan di dalam suatu lembaga sosial.
Di samping si anak nakal mendapat penindakan atas apa yang telah
diperbuatnya, anak tetaplah anak yang juga memiliki hak untuk
mendapatkan perlindungan hukum. Sebagai penerus peradaban bangsa,
anak berhak mendapatkan perlindungan hukum jika anak tersebut
bermasalah, perlindungan hukum tersebut diantaranya perlindungan
hukum pada tahap penyidikan; perlindungan hukum pada tahap
penuntutan; perlindungan hukum pada tahap pemeriksaan di
persidangan; perlindungan hukum pada tahap pemasyarakatan; dan
perlindungan hukum dalam proses peradilan pidana.
57
BAB III
KONSEP DAN PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP
TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK
A. Konsep Restorative Justice Dalam Melengkapi Penyelesaian Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan
hukum. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang berumur 12
(dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum
dapat didefinisikan sebagai anak yang disangka, dituduh, atau diakui
sebagai anak yang telah melanggar ketentuan hukum (Pasal 40 Ayat (1)
Konvensi Hak Anak).1 Menurut Konvensi Hak Anak, anak yang berkonflik
dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi yang khusus. Anak
yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang kebutuhan-kebutuhannya
tidak terpenuhi, sering mengalami tindak kekerasan, berada di luar
lingkungan keluarga yang kurang harmonis, dan membutuhkan
perlindungan dan keamanan diri. Peran orang tua sangat dibutuhkan dalam
hal membina dan memberikan perlindungan kepada anak. Menurut Pasal 26
Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, menyatakan bahwa orang tua berkewajiban untuk
mengasuh, memelihara, dan melindungi anak.
Konsep restorative justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang
lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana yang pelakunya adalah
anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang
berhubungan dengan tindak pidana tertentu, duduk bersama-sama untuk
1 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2009), h. 113.
58
memecahkan suatu masalah dan memikirkan cara mengatasi akibat pada
masa yang akan datang.2 Restorative justice pada prinsipnya merupakan
suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar peradilan
dengan menggunakan cara mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu
keadilan yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana
tersebut, yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana
(keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan disepakati
para pihak. Restorative justice merupakan proses penyelesaian yang
dilakukan di luar sistem peradilan pidana (criminal justice system) dengan
melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan keluarga pelaku,
masyarakat, serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak
pidana yang terjadi untuk mencapai suatu kesepakatan.3
Konsep restorative justice mendefinisikan bahwa tindak pidana
merupakan sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan
berhubungan dengan pelanggaran sebagai pengrusakan norma hukum.4
Masih banyaknya anak yang berkonflik dengan hukum melewati jalur
litigasi atau menggunakan proses peradilan, dan masih banyaknya anak
yang berkonflik dengan hukum dijatuhi hukuman berupa pidana penjara.
Konsep restorative justice bisa dijadikan masukan dalam rangka
memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum.
Tujuan utama dari restorative justice adalah perbaikan atau pergantian
kerugian yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang
diderita oleh korban atau masyarakat akibat tindakannya, konsiliasi dan
rekonsiliasi pelaku, korban dan masyarakat. Restorative justice juga
bertujuan merestorasi atau merubah kesejahteraan masyarakat,
memperbaiki diri dengan cara menghadapkan anak sebagai pelaku berupa
pertanggungjawaban kepada korban atas tindakannya. Contoh
pertanggungjawaban kepada korban dalam tindak pidana pencurian, anak
2 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, h. 135. 3 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h.
23. 4 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, h. 3.
59
sebagai pelaku dapat mengganti kerugian, atau mengembalikan barang yang
telah ia curi dari korban. Konsep restorative justice tidak akan berjalan
secara efektif tanpa adanya kerjasama dan keterlibatan antara korban,
pelaku, dan masyarakat. Jika kedua belah pihak antara korban dan pelaku
tidak menghendaki proses penyelesaian konflik secara musyawarah, maka
proses peradilan yang akan dijalankan. Artinya, perkara betul-betul
dipegang oleh aparat penegak hukum yang mempunyai minat, perhatian,
dedikasi, memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan yang
mengangkat tema restorative justice, dan penahanan dilakukan sebagai cara
terakhir dengan mengindahkan hak dari anak yang berkonflik.5
Konsep Restorative Justice yang diimplementasikan dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
memiliki dasar yuridis. Pasal 28B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dan diskriminasi. Hal ini
dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak dibuat sesuai dengan Konvensi Hak-Hak
Anak yang diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peradilan pidana dengan
konsep Restorative Justice bertujuan untuk:
1. Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak;
2. Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan;
3. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan;
4. Menanamkan rasa tanggungjawab anak;
5. Mewujudkan kesejahteraan anak;
6. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
5 Reyner Timothy Danielt, “Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana
Anak Pencurian Oleh Anak Di Bawah Umur”, h. 18-19. 6 Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 53.
60
7. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
8. Meningkatkan keterampilan hidup anak.
Sebenarnya dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak sudah ada upaya perubahan paradigma pemidanaan anak
di Indonesia yang bukan lagi ditujukan untuk memberikan pembalasan
(dalam pandangan retributif), akan tetapi lebih diarahkan pada proses
pembinaan agar masa depannya menjadi lebih baik lagi. Namun, paradigma
ini dirasa tidak cukup karena dinamika kehidupan lebih cepat berubah
dibandingkan dengan aturan dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, di
mana paradigma yang berkembang kemudian bukan lagi sekedar mengubah
jenis pidana yang sifatnya menyiksa menjadi jenis pidana yang bersifat
mendidik, tetapi seminimal mungkin memasukkan anak ke dalam proses
peradilan pidana. Oleh sebab itulah dimasukkan konsep restorative justice
ke dalam pembahasan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak.7
Pemahaman bahwa menjauhkan anak dari proses peradilan pidana
menjadi penting karena hal ini merupakan bagian dari upaya perlindungan
hak asasi anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang
memberikan peluang untuk dilakukannya proses pengalihan perkara
(Diversi) yang dilakukan oleh Polisi dan Penuntut Umum serta pejabat lain
yang berwenang menjauhkan anak dari proses peradilan. Konsep mengenai
restorative justice masuk dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pada Ayat (1) bahwa Sistem
Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif,
sedangkan pada Ayat (2) meliputi:
1. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini;
7 Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, h. 134.
61
2. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum;
3. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan
selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani
pidana atau tindakan.
Kemudian dalam Ayat (3) menegaskan bahwa yang dimaksud pada Ayat
(2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan diversi (proses pengalihan
perkara). Pada Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan
keadilan restoratif, dapat dikatakan bahwa konsep restorative justice
merupakan sebuah cara atau terobosan hukum yang harus dan wajib
digunakan dalam setiap perkara anak yang berkonflik dengan hukum, dan
mempunyai peran yang besar dalam masa depan peradilan anak di
Indonesia, karena restorative justice mengangkat harkat dan martabat anak
seperti yang dituangkan dalam Konvensi Hak Anak. Restorative justice
mengupayakan perdamaian dalam perkara anak, menyelesaikan konflik
yang melibatkan anak, sehingga menanamkan rasa tanggung jawab kepada
anak serta dapat memberikan dampak positif dalam masa depan anak yang
berkonflik dengan hukum.
B. Implementasi Restorative Justice Terhadap Anak Pelaku Tindak
Pidana Pencurian
Seseorang yang melanggar hukum pidana akan berhadapan dengan
negara melalui aparatur penegak hukumnya. Sebagai sebuah instrumen
pengawasan sosial, hukum pidana menyandarkan diri pada sanksi karena
pada fungsinya memang mencabut hak-hak orang atas kehidupan,
kebebasan atau hak milik mereka yang terpidana. Invasi terhadap hak dasar
ini dibenarkan demi melestarikan masyarakat dan melindungi hak-hak
fundamental dari gangguan orang lain. Menurut Made Sadhi Astuti ada
beberapa hak anak yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan
pelaksanaannya bersama-sama, hak anak itu antara lain:
1. Tidak menjadi korban dalam proses peradilan pidana;
62
2. Mempunyai kewajiban untuk ikut serta menegakkan keadilan dalam
suatu proses peradilan pidana sesuai dengan kemampuan mereka
masing-masing untuk dibina oleh lembaga sosial anak agar nantinya
mampu melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara dan
anggota masyarakat yang baik;
3. Untuk melaksanakan kewajiban membina, mendampingi rekan-rekan
sebayanya untuk melaksanakan hak dan kewajiban mereka secara
rasional positif, bertanggungjawab dan bermanfaat dalam proses
tersebut.
Dalam menyelesaikan perkara anak, anak harus diberlakukan secara
khusus. Perlindungan khusus ini terdapat pada Pasal 17 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal
ini mengingat sifat dan psikis anak dalam beberapa hal tertentu memerlukan
perlakuan khusus, serta perlindungan yang khusus pula, terutama pada
tindakan-tindakan yang dapat merugikan perkembangan mental maupun
jasmani anak. Pada Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dijelaskan bahwa perlakuan
khusus dimulai pada saat tahap penyidikan, harus dibedakan pemeriksaan
yang dilakukan terhadap anak dengan orang dewasa. Ketika melakukan
penyidikan terhadap perkara anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan
atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
dibuat untuk memberikan rasa keadilan kepada anak, memberikan
kesempatan kepada anak untuk ikut serta dalam menyelesaikan konflik, dan
bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya, karena di dalamnya
terdapat diversi melalui pendekatan restorative justice yang mana
menekankan pemulihan pada keadaan semula.8
Proses penerapan melalui pendekatan restorative justice terhadap anak
pelaku tindak pidana pencurian berbeda dengan proses penerapan hukuman
8 Reyner Timothy Danielt, “Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana
Anak Pencurian Oleh Anak Di Bawah Umur”, h. 20-21.
63
pada umumnya. Restorative justice tidak diatur secara terperinci di dalam
KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), tetapi di dalam
Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa proses diversi dilakukan melalui
musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan
orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Penjelasan dari
Pasal 8 ini dapat dibuat kesimpulan bahwa penerapan restorative justice
mengikuti mekanisme dari diversi, yaitu pengalihan hukum dari proses
peradilan pidana ke proses luar peradilan pidana. Proses pengalihan hukum
(diversi) tidak akan berjalan apabila tidak menggunakan restorative justice
sebagai jalan keluar penyelesaiannya. Pada Pasal 7 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
dijelaskan, bahwa diversi terdapat dalam setiap tahap, mulai dari tahap
penyidikan, penuntutan, sampai pada tahap pemeriksaan perkara anak di
Pengadilan Negeri.
Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa proses diversi yang
menggunakan pendekatan restorative justice ini hanya digunakan pada
kasus anak yang ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan
merupakan pengulangan pidana. Pada Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatakan
bahwa proses penegakan hukum pidana anak, maka aparat penegak hukum,
baik itu Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan diversi
harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil
penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan di lingkungan keluarga
dan masyarakat. Selain itu juga dalam hal yang diperlukan, musyawarah
tersebut juga dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau
masyarakat.9 Pada Pasal 8 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
9 Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, h. 140.
64
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ditegaskan bahwa proses diversi
wajib memperhatikan hal-hal berikut:
1. Kepentingan Korban;
2. Kesejahteraan dan tanggungjawab anak;
3. Penghindaran pembalasan;
4. Keharmonisasian masyarakat;
5. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pada tahap penyidikan kepada anak, umumnya seringkali didapatkan
adanya paksaan dari pihak penyidik untuk mengakui perbuatan tindak
pidana yang telah dilakukan oleh anak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
hak anak seringkali tidak terlihat ketika melakukan proses pada tahap
penyidikan, padahal seorang anak yang terlibat dalam tindak pidana harus
diberikan perlindungan khusus. Pada Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tertulis
bahwa Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib memberikan
perlindungan khusus bagi anak yang diperiksa karena tindak pidana yang
dilakukannya disebabkan karena adanya situasi dan kondisi darurat.
Penyidik yang melakukan penyidikan terhadap anak dalam konsep
restorative justice, harus mengutamakan perlakuan khusus seperti yang
tertulis dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
Efektifitas restorative justice yang kaitannya dengan perlindungan
hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat pada isi
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
bahwa Pemerintah dan lembaga lainnya berkewajiban dan
bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak
yang berhadapan dengan hukum. Perlindungan khusus terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum, dapat dilakukan melalui upaya:
1. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai
dengan umurnya;
65
2. Pemisahan dari orang dewasa;
3. Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
4. Pemberlakuan kegiatan yang bersifat rekreasional;
5. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang
kejam, tidak manusiawi serta yang dapat merendahkan martabat dan
derajatnya;
6. Penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur
hidup;
7. Penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali
sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
8. Pemberian keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
9. Penghindaran dari publikasi atas identitasnya;
10. Pemberian pendampingan orang tua/wali atau orang dewasa lainnya
yang dipercaya oleh anak;
11. Pemberian advokasi sosial;
12. Pemberian kehidupan pribadi;
13. Pemberian aksesibilitas, terutama bagi anak penyandang disabilitas;
14. Pemberian pendidikan yang layak;
15. Pemberian pelayanan kesehatan; dan
16. Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Penyidikan yang dilakukan kepada anak tidak diperbolehkan
menggunakan atribut penegak hukum seperti penyidikan pada umumya,
karena dapat memperburuk kondisi mental dan psikologis anak yang belum
siap untuk berhadapan dengan hukum. Sehingga dalam tahap penerapan
restorative justice sangat diperlukan peran dari Pembimbing
Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, dan Tenaga Kesejahteraan
Sosial.10 Kemudian pada tahap penahanan terhadap anak pelaku tindak
10 Reyner Timothy Danielt, “Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana
Anak Pencurian Oleh Anak Di Bawah Umur”, h. 21-22.
66
pidana pencurian tidak sama dengan penahanan yang diberlakukan pada
umumnya. Pada Pasal 21 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) menjelaskan:
1. Diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup;
2. Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau
menghilangkan barang bukti;
3. Mengulangi tindak pidana.
Pada praktiknya, Penyidik atau Jaksa Penuntut Umum serta Hakim yang
melakukan penahanan, mempergunakan syarat-syarat yang telah ditentukan
dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP. Seorang anak yang belum cakap hukum
sengaja ditahan dengan alasan bahwa akan melarikan diri, padahal anak
tersebut memiliki identitas dan keluarga yang jelas, atau masih pantaskah
menahan seorang anak yang tertangkap tangan mencuri, dan barang
buktinya telah disita yang berwajib. Lalu apa relevansinya menjadikan
syarat penahanan bagi tersangka adanya kekhawatiran menghilangkan
barang bukti, sedangkan barang bukti tersebut sudah disita oleh pihak yang
berwajib.11 Proses penahanan menurut Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penahanan
terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan
dari orang tua / wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan
diri, tidak akan merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/atau tidak
akan mengulangi tindak pidana. Tahapan setelah penyidikan adalah
penuntutan, yang dijalankan oleh Penuntut Umum. Menurut Pasal 42 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak menjelaskan bahwa Penuntut Umum wajib mengupayakan
Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari
Penyidik. Pada tahap penuntutan, Penuntut Umum wajib mengupayakan
pengalihan hukum (diversi) demi kepentingan terbaik bagi pelaku anak
11 Djisman Samosir, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Nuansa
Aulia, 2013), h. 51.
67
melalui pendekatan keadilan restoratif. Ketika proses diversi berhasil
mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara diversi
beserta kesepakatan diversi kepada ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat
penetapan. Apabila dalam hal diversi gagal, Penuntut Umum wajib
menyampaikan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke Pengadilan
dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.
Pengalihan hukum melalui pendekatan restorative justice dapat
diterapkan pada tahap pemeriksaan di sidang Pengadilan. Menurut Pasal 52
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak menjelaskan bahwa Hakim wajib mengupayakan diversi
paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua Pengadilan Negeri
sebagai hakim. Apabila proses pengalihan hukum (diversi) melalui
pendekatan restorative justice berhasil mencapai kesepakatan, hakim
menyampaikan berita acara diversi kepada ketua Pengadilan Negeri untuk
dibuat penetapan. Apabila diversi gagal, maka perkara tersebut dilanjutkan
ke tahap persidangan dengan menjaga suasana kekeluargaan, sehingga anak
dapat mengutarakan segala peristiwa dan perasaannya secara terbuka, dan
jujur selama menjalankan persidangan.
Mekanisme penyelesaian penerapan restorative justice terhadap anak
pelaku tindak pidana pencurian menggunakan mediasi atau musyawarah
dengan menekankan pemulihan kembali hak-hak anak pada keadaan
semula. Penyelesaian secara musyawarah ini tidak akan terealisasikan
apabila tidak ada kerjasama antara korban, pelaku tindak pidana,
masyarakat, dan Penyidik. Penyidik atau pihak Kepolisian sebagai pintu
gerbang dari Sistem Peradilan Pidana Anak dan pihak yang berwenang
pertama kali menentukan posisi seorang anak yang berhadapan dengan
hukum. Pihak Kepolisian harus menggunakan kewenangan diskresi yang
merupakan bagian dari proses pengalihan hukum (diversi) yang
menggunakan pendekatan restorative justice sebagai pertimbangan hukum
yang sesuai dengan undang-undang dan kepentingan terbaik bagi anak.
Diskresi diberikan kepada Penyidik untuk mengupayakan diversi dengan
68
menggunakan pendekatan restorative justice. Diskresi dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak adalah kebijakan Penyidik anak dalam menetapkan
suatu perkara anak yang bermasalah, tidak dilanjutkan pemeriksaannya
dengan pertimbangan hukum yang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan demi kepentingan terbaik bagi anak.12
Diskresi yang diberikan negara terhadap salah satu sub sistem peradilan
ini dalam mengemban tugas menjaga dan melindungi ketertiban dan
keamanan dalam masyarakat serta menanggulangi kejahatan, spesifikasinya
terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian, maka tindak pidana ini
dialihkan (diversi) dari proses formal ke proses informal, yaitu dengan
menggunakan konsep restorative justice, di mana titik berat penyelesaian
konflik atau persengketaan dengan mendudukkan korban, pelaku dan
masyarakat di sekitar tempat terjadinya tindak pidana pencurian yang
dilakukan oleh anak dan difasilitasi oleh seorang Mediator. Mediator (orang
yang melakukan mediasi) pada umumnya melibatkan pihak ketiga yang
netral (yang tidak memihak pada siapapun). Seorang Mediator merupakan
orang yang argumen dan solusinya mau didengar oleh kedua belah pihak,
dan yang memiliki pengetahuan yang luas dan terlatih dalam menyelesaikan
perkara anak. Subjek yang dapat menjadi mediator yaitu Hakim, Jaksa, dan
Polisi, karena proses mediasi bisa dilaksanakan di semua tahap. Tujuan dari
perdamaian ini yaitu agar perselisihan ini bisa saling memaafkan dan tidak
perlu dibawa ke Pengadilan, karena dari kedua belah pihak telah merasa
puas dengan mediasi yang telah dilakukan.
Mediasi sebagai jalan di dalam restorative justice, terdapat hal positif
dalam menanggulangi tindak pidana pencurian khususnya tindak pidana
pencurian yang dilakukan oleh anak, antara lain yaitu13:
1. Korban dapat mengungkapkan keluhannya dan ketidaknyamanannya.
Di lain sisi dia dapat belajar tentang pelaku, cara menghadapi tindakan
kejahatan pencurian, berkesempatan dan berhak mendapatkan
12 Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, h. 136. 13 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, h. 216.
69
permintaan maaf serta ganti rugi yang sesuai dari pelaku,
menunjukkan dampak kepada pelaku atas dampak yang ditimbulkan
oleh perbuatan pelaku, menyelesaikan semua konflik yang ada untuk
kepentingan pribadi atau pemulihan.
2. Bagi pelaku dia menjadi memiliki rasa tanggung jawab atas apa yang
dia lakukan terhadap korban, dan berhak meminta maaf serta
membayar kerugian korban, atau kerja sosial apabila tidak mampu
membayar kerugian sesuai kesepakatan yang disepakati dalam proses
mediasi.
Sehingga dapat dilihat di atas, bahwa restorative justice sangat peduli
terhadap pembangunan kembali hubungan setelah terjadi tindak pidana.
Bentuk kesepakatan dari proses mediasi tadi dapat berupa perdamaian, ganti
kerugian yang diderita korban, mengembalikan barang yang telah dicuri,
kerja sosial, pelayanan kepada masyarakat, dan lain-lain (sesuai dengan
hasil kesepakatan di dalam proses mediasi). Pada implementasinya,
mekanisme proses penerapan restorative justice menghendaki adanya
keinginan untuk tetap memberikan perlindungan bagi pelaku anak, akan
tetapi karena dalam proses restoratif mengharuskan adanya pengakuan
bersalah terlebih dahulu dari pelaku. Setelah adanya pengakuan bersalah
dari pelaku tindak pidana, Penyidik juga harus melihat motivasi dari pelaku
melakukan tindak pidana pencurian, apakah pada dasarnya anak ini jahat
atau tidak?, dan sebelumnya pernah melakukan tindakan-tindakan yang
merugikan orang lain, ataukah dengan keadaan sedemikian rupa adanya
keterpaksaan dalam melakukan tindak pidana pencurian. Selain motivasi,
Penyidik harus melihat nominal yang telah dicuri, serta membedakan mana
kasus pencurian yang harus dibawa sampai ke Pengadilan (pencurian berat
Pasal 363 KUHP), dan mana kasus pencurian yang seharusnya tidak dibawa
ke Pengadilan (pencurian ringan Pasal 364 KUHP). Hal ini sangat penting
karena banyak kasus-kasus pencurian yang dilakukan anak yang tergolong
dalam pencurian ringan, hanya karena adanya bukti dan laporan dari korban
serta adanya niat balas dendam sehingga kasus-kasus seperti ini berujung
70
pada pemidanaan sampai mendapat putusan pidana penjara hingga
bertahun-tahun. Adapun pertimbangannya sebagai berikut:
1. Apabila semua kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh
anak yang kemudian hanya tergolong dalam pencurian ringan dengan
kerugian yang tidak seimbang akan membebani negara, dimana biaya
penyelesaian perkara lebih tinggi daripada perkara yang diselesaikan.
2. Di sisi lain juga dapat menyita waktu dari Penyidik, di mana ada
perkara yang lebih tinggi bobot perkaranya, berat dan menumpuk
serta harus lebih mendapat perhatian.
3. Tidak memenuhi rasa keadilan karena tidak sebanding dengan
tekanan saat ditetapkan menjadi tersangka dibanding dengan kerugian
akibat perbuatannya.
4. Pelaku tidak mempunyai catatan tindak pidana.
Salah satu cara yang efektif dalam penerapan restorative justice adalah
pihak kepolisian harus membuat satu tim khusus yang sudah dilatih dalam
menangani permasalahan tentang anak, terutama pada perkara pencurian
yang dilakukan oleh anak. Sehingga pihak kepolisian dapat turun tangan
langsung menangani masalah dan berbaur dengan masyarakat, dan bisa
mengetahui secara langsung permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat
dan mencari solusi serta jalan keluar dengan menggunakan pendekatan
restorative justice melalui mekanisme diversi.
Berdasarkan peran masyarakat, diharapkan masyarakat dapat
membimbing dan mengarahkan anak yang awalnya melakukan tindak
pidana pencurian menjadi pribadi yang berkelakuan baik. Pada lembaga
pemasyarakatan, anak mendapatkan bimbingan serta arahan untuk tidak
mengulangi perbuatan yang telah dilakukannya, karena dalam
perkembangannya anak sangat terpengaruh terhadap lingkungan luar
keluarga daripada lingkungan di dalam keluarga yang utuh. Anak yang
memiliki keluarga pisah atau bercerai atau bahkan merantau, ia akan merasa
kekurangan mendapat kasih sayang, maka dari itu peran lingkungan sangat
mempengaruhi perkembangan anak yang baru saja mengalami masa
71
pubertas. Anak yang mengalami kesulitan dalam perekonomian karena
ketidakmampuan orang tua untuk memenuhi kebutuhan anak tersebut,
sehingga anak dapat melakukan tindak pidana kriminal, contohnya seperti
mencuri. Hasil curian yang mereka dapatkan kemudian mereka jual untuk
mendapatkan uang atau bahkan akan mereka gunakan sendiri karena adanya
rasa keinginan untuk memiliki barang yang selama ini ia idam-idamkan.
Kasus seperti ini penting adanya pengawasan dari orang tua maupun
kepolisian yang mana harus dilakukan terhadap anak, menjadikan anak
sebagai teman atau bahkan sahabat supaya anak tidak merasa kekurangan
kasih sayang. Pihak kepolisian yang memberikan pengawasan terhadap
anak seharusnya tegas, agar anak tidak mengulangi perbuatan-perbuatan
yang akan merugikan dirinya sendiri dan orang lain.14
Apabila di setiap perkara pencurian yang dilakukan oleh anak
menerapkan restorative justice, secara tidak langsung dapat mengurangi
anak yang ditahan di dalam rutan maupun lapas, dan berkurangnya perkara
yang masuk ke Pengadilan, mengurangi jumlah narapidana yang ada di
dalam lembaga, mengurangi anggaran negara. Jika semua pelaku tindak
pidana dalam hal ini pencurian yang termasuk dalam kejahatan ringan yang
dilakukan oleh anak, kemudian dimasukkan ke dalam lembaga
pemasyarakatan sangat tidak memiliki nilai guna karena hanya berdampak
buruk terhadap anak itu sendiri. Anak yang seharusnya mendapatkan
bimbingan, masih sangat membutuhkan pengetahuan seperti sekolah dan
kasih sayang, kemudian berbaur dengan para tahanan lainnya yang nantinya
hanya akan terkontaminasi dari sifat-sifat jahat. Sehingga dapat dikatakan
pelaksanaan pemidanaan sesungguhnya belum tepat apabila masih dapat
dicari jalan keluarnya. Hal yang sangat diperlukan adalah di setiap masalah
yang bermunculan, bersama-sama masyarakat dan penegak hukum serta
kedua belah pihak yang berperkara harus mencari win-win solution terhadap
persoalan kecil seperti ini di atas, sehingga yang tadinya korban mempunyai
14 Alviandani Kartika Sakti, “Penerapan Diversi Tindak Pidana Pencurian Yang
Dilakukan Anak Dibawah Umur (Studi Kasus Polres Sragen)”, h. 10-11.
72
emosional yang tinggi tidak lagi melaporkan kepada penegak hukum karena
dapat menyelesaikan masalahnya dengan solusi yang tepat.15
C. Implementasi Diversi Melalui Pendekatan Restorative Justice Yang
Dilakukan Oleh Pihak Kepolisan
Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan segala unsur sistem peradilan
pidana yang terkait di dalam kasus-kasus ABH (Anak Berhadapan dengan
Hukum). Polisi, Kejaksaan, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan atau
Balai Pemasyarakatan, Advokat atau Pemberi Bantuan, Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara
(LPAS), dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS)
sebagai institusi atau lembaga yang menangani anak yang berhubungan
dengan hukum mulai dari anak yang bersentuhan dengan sistem peradilan,
menentukan mengenai anak yang akan dibebaskan atau diproses ke
Pengadilan Anak, hingga tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam
pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan ke dalam
institusi penghukuman dalam koridor keadilan restoratif. Pelaksanaan
diversi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian diawali dengan melakukan
mediasi antara korban dan pelaku, melibatkan BAPAS (Balai
Pemasyarakatan) dan Dinas Sosial. Ketika melaksanakan penahanan
terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian, diperlakukan beda
dengan penahanan yang dilakukan kepada orang dewasa. Apabila mediasi
dengan para pihak tersebut berhasil, akan diadakan dengan agenda diversi
sesuai dengan peraturan yang telah ada, setelah agenda diversi tersebut telah
selesai, maka kepolisian mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Pemberhentian
Penyidikan) kepada Penyidik, dalam penahanan tersebut melibatkan
pemerintah daerah atau disebut dengan save house.
Pelaksanaan diversi terhadap anak yang melakukan tindak pidana
pencurian tetap dalam pemantauan dari BAPAS meskipun bebas di luar dan
15 Reyner Timothy Danielt, “Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana
Anak Pencurian Oleh Anak Di Bawah Umur”, h. 24-25.
73
absen di luar, akan tetapi anak yang telah dijadikan tersangka dan akan
menjalankan diversi tidak boleh keluar dari kantor Kepolisian di mana ia
ditahan (Pasal 94 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak). Sementara itu, dalam ketentuan melaksanakan
diversi, diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi
dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur pada Pasal 4. Pada
pelaksanaan diversi terdapat keadilan, keadilan menurut John Rawls
merupakan struktur dasar masyarakat yang asli di mana hak-hak dasar,
kewibawaan, kebebasan, pendapatan, kesempatan dan kesejahteraan
terpenuhi. Pihak kepolisian dapat mengupayakan pelaksanaan diversi
terhadap anak yang melakukan tindak pidana tanpa harus menggunakan
jalur di Pengadilan yang akan membuat anak menjadi trauma dan
diasingkan dalam masyarakat.16
Meskipun pelaksanaan diversi dikenal sebagai bagian dari restorative
justice, hal itu juga sudah dikenal sebagai alternatif dalam melakukan
penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang berhadapan
dengan hukum dan sudah mendapat dukungan dari peradilan pidana dan
mulai mendapatkan dukungan dari banyak pihak namun masih
mendapatkan banyak hambatan yang dihadapi oleh Sistem Peradilan Pidana
yang merupakan:
1. Pemahaman yang berbeda dalam penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum, dan korban diantara Penegak Hukum;
2. Terbatasnya sarana dan prasarana anak yang berhadapan dengan
hukum selama proses peradilan (pra dan paska peradilan);
3. Kurangnya kebijakan formulasi untuk melaksanakan proses
rehabilitasi sosial anak nakal.
16 Alviandani Kartika Sakti, “Penerapan Diversi Tindak Pidana Pencurian Yang
Dilakukan Anak Dibawah Umur (Studi Kasus Polres Sragen)”, h. 11-12.
74
Kesadaran hukum yang rendah ataupun tinggi dalam masyarakat akan
mempengaruhi pelaksanaan hukum, kesadaran hukum yang rendah akan
mempengaruhi pelaksanaan hukum, baik tingginya pelanggaran yang
dilakukan masyarakat dalam pelaksanaan hukum.17
Ketika menangani kasus pencurian yang mana pelakunya adalah anak,
menurut penulis cukup diselesaikan melalui jalur non litigasi dengan
menerapkan upaya diversi serta memaksimalkan konsep restorative justice.
Konsep restorative justice bisa dijadikan masukan dalam rangka
memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum.
Tujuan utama dari restorative justice adalah perbaikan atau pergantian
kerugian yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang
diderita oleh korban atau masyarakat akibat tindakannya, konsiliasi dan
rekonsiliasi pelaku, korban dan masyarakat. Mekanisme penyelesaian
penerapan restorative justice terhadap tindak pidana pencurian oleh anak,
menggunakan mediasi atau musyawarah dengan menekankan pemulihan
kembali hak-hak anak pada keadaan semula. Penyelesaian secara
musyawarah ini tidak akan terealisasikan apabila tidak ada kerjasama antara
korban, pelaku tindak pidana, masyarakat, dan Penyidik. Apabila dalam
menangani kasus tindak pidana pencurian yang mana pelakunya merupakan
seorang anak, nanun dalam penyelesaiannya tidak menerapkan konsep
restorative justice dengan mengalihkan proses perkara dari litigasi ke non
litigasi (diversi), maka dikhawatirkan nantinya anak akan merasa tertekan
psikologisnya. Perlu diperhatikan juga, bahwasanya anak yang melakukan
tindak pidana notabenenya merupakan anak yang kurang mendapatkan
kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya, serta belum mengetahui
akibat yang akan terjadi setelah anak tersebut melakukan perbuatan tindak
pidana atau dapat dikatakan belum cakap hukum.
17 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 248.
75
BAB IV
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK PELAKU
TINDAK PIDANA PENCURIAN
A. Kedudukan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian
Dalam Putusan Nomor: 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr.
Dewasa ini, kasus tindak pidana pencurian oleh anak tidak jarang
ditemukan di Indonesia, dimana sedikit dari pihak korban yang ingin
mengakhiri kasusnya ke jalur non litigasi, kemudian juga banyak hakim di
Pengadilan anak yang pada akhirnya lebih memilih untuk menjatuhkan
pidana berupa penjara terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian, salah
satunya yaitu kasus tindak pidana pencurian oleh anak pada putusan nomor
6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr. Kasus yang melibatkan terdakwa anak yang
bernama Riski Pratama Putra Bin Iskandar ini perkaranya telah sampai ke
tahap pengadilan, yang mana perkaranya telah tercantum di dalam putusan
Pengadilan Negeri Kediri Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 6/Pid.sus-
Anak/2015/PN Kdr, bahwa Terdakwa Riski Pratama Putra Bin Iskandar
merupakan seorang anak, yang bertempat tinggal di Dsn. Pojok RT 05 RW
02 Desa Dlangkup, Kecamatan Ngantru, Kabupaten Tulungagung, telah
terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana diatur
dan diancam pidana pada Pasal 362 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana).1
Sesuai dengan kronologis kejadian yang telah dicantumkan dalam
putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr,
berawal ketika terdakwa anak yang bernama Riski Pratama Putra Bin
Iskandar sedang tidak mempunyai sejumlah uang, yang membuat terdakwa
berniat untuk mencuri atau mengambil sebuah barang. Pada hari Selasa
tanggal 10 Maret 2015 sekitar pukul 12.00 WIB, terdakwa mendatangi
1 Berdasarkan putusan Pengadilan Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr, h. 1.
76
sebuah Masjid Al Bajuri yang beralamat di Jalan Ronggowarsito Kelurahan
Pocanan Kota Kediri. Pada waktu yang bersamaan, korban yang bernama
Aden Saiful Hidayatulloh berniat untuk menitipkan sebuah barang berupa
Handphone merk Samsung Galaxy Y Neo warna putih kepada saksi yang
bernama Abdurrohman, adalah seorang marbot atau DKM di Masjid Al
Bajuri. Korban menitipkan barang tersebut dikarenakan korban hendak
belajar di Pondok Pesantren Lirboyo. Kemudian saksi yang bernama
Abdurrohman meletakkan handphone tersebut di atas almari yang berada di
dalam kamarnya, tepatnya di lantai atas masjid tersebut. Selesai menaruh
barang tersebut, kemudian saksi Abdurrohman turun ke bawah hendak
mengumandangkan adzan dzuhur. Setelah selesai mengumandangkan adzan
dzuhur, terdapat jamaah yang ingin meminjam tasbih kepada saksi
Abdurrohman, kemudian saksi Abdurrohman naik ke lantai atas untuk
mengambil tasbih tersebut. Pada waktu yang bersamaan, saksi melihat
terdakwa sedang berada di lantai atas masjid tersebut, namun saksi tidak
menegurnya dikarenakan saksi tidak menaruh rasa curiga sama sekali
kepada terdakwa. Kemudian setelah mengambil tasbih, saksi langsung turun
kembali ke lantai bawah untuk melaksanakan shalat dzuhur. Selesai
melaksanakan shalat dzuhur, saksi Abdurrohman bergegas untuk mengecek
kondisi dan keadaan di lantai atas. Setelah dicek, ternyata terdakwa sudah
tidak ada di tempat dan melihat Handphone milik korban Aden Saiful
Hidayatulloh juga sudah tidak ada di tempatnya, bersamaan uang milik saksi
Abdurrohman sebesar Rp. 12.000,- (dua belas ribu rupiah) yang ditaruh di
kantung saku depan sebelah kiri bajunya yang sedang digantung, juga sudah
tidak ada. Kemudian di hari yang sama, terdakwa membawa barang hasil
curiannya berupa Handphone merk Samsung Galaxy Y Neo warna putih ke
Pasar Loak Setono Pande yang berlokasi di Kecamatan Kota Kediri,
bermaksud untuk menjual barang tersebut ke orang lain dengan harga Rp.
350.000,- (tiga ratus lima puluh ribu rupiah). Setelah berhasil menjual
barang tersebut, terdakwa pergunakan uang hasil penjualan barang curian
77
tadi untuk bermain internet di warnet dan untuk membeli makan sehari-hari
terdakwa.2
Berdasarkan perkara nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr, didapati
tuntutan pidana yang disampaikan oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri
Kediri dengan Nomor registrasi PDM-05/KDIRI/03/2015, yang pada
pokoknya menyatakan kepada terdakwa anak Riski Pratama Putra Bin
Iskandar secara sah bersalah melakukan tindak pidana pencurian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP. Kemudian penuntut umum
mendakwakan kepada terdakwa anak Riski Pratama Putra Bin Iskandar
berupa pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Kemudian di dalam
persidangan, penuntut umum menghadirkan barang bukti berupa 1 (satu)
buah dus boox Handphone merk Samsung Galaxy Y Neo, dan 1 (satu) buah
sim card nomor 62014000191024863 Indosat dengan nomor 085722902271
dikembalikan kepada yang berhak yaitu korban Aden Saiful Hidayatulloh.
Kemudian penuntut umum menetapkan supaya terdakwa membayar biaya
perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).3
Suatu proses peradilan dapat dikatakan berakhir apabila telah ada
putusan akhir. Putusan akhir tersebut, hakim menyatakan pendapatnya
mengenai hal-hal yang telah dipertimbangkan. Pada hakekatnya hakim
diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara
yang diajukan kepadanya, namun kewenangan tersebut harus berdasarkan
pada undang-undang, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, serta
peraturan-peraturan hukum lainnya. Hakim dalam hal ini harus melihat dan
memperhatikan dasar-dasar tuntutan hukum yang diajukan kepada
terdakwa, dimana hakim tidak boleh memutus suatu perkara di luar maupun
melebihi (ultra petita) tuntutan yang tercantum dalam surat dakwaan, yang
pada intinya kewenangan hakim dalam memutus perkara dibatasi oleh
undang-undang. Berdasarkan perkara nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr,
didapati amar putusan yang diputuskan oleh Hakim Pengadilan Negeri
2 Berdasarkan putusan Pengadilan Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr, h. 3. 3 Berdasarkan putusan Pengadilan Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr, h. 2.
78
Kediri, yang pada pokoknya menyatakan kepada terdakwa anak Riski
Pratama Putra Bin Iskandar terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana dalam dakwaan Pasal 362
KUHP. Kemudian hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan
pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan, dengan menetapkan barang bukti
berupa 1 (satu) buah dus boox Handphone merk Samsung Galaxy Y Neo, 1
(satu) buah sim card nomor 62014000191024863 Indosat dengan nomor
085722902271, dikembalikan kepada yang berhak yaitu korban Aden Saiful
Hidayatulloh. Kemudian hakim membebankan kepada terdakwa dengan
membayar biaya perkara sejumlah Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).4
B. Pertimbangan Hakim Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Pencurian Dalam Putusan Nomor: 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr.
Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terlebih dahulu
memberikan pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan dasar dan pijakan
dalam membuat suatu putusan. Sebelumnya, Hakim terlebih dahulu
mentafsirkan tentang kebenaran peristiwa, kemudian memberikan penilaian
serta menghubungkan dengan hukum yang sesuai, dengan harapan dapat
memberikan suatu putusan yang mencerminkan rasa keadilan yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada diri hakim itu sendiri, kepada masyarakat,
dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pertimbangan hukum yang diberikan oleh hakim dalam sebuah putusan
pemidanaan harus didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap di
persidangan, dimana putusan yang dihasilkan didasarkan sekurang-
kurangnya pada dua alat bukti yang sah, serta dari keyakinan hakim dalam
memutus perkara tersebut. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.5
4 Berdasarkan putusan Pengadilan Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr, h. 11. 5 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 184.
79
Adapun dua alat bukti yang dimaksud yaitu: Pertama, alat bukti yang
dianggap sah dan akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi majelis
hakim dalam perkara ini, yakni berlandaskan pada fakta-fakta yang
terungkap dalam persidangan berupa keterangan saksi yang merujuk pada
putusan nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr adalah Abdurrohman dan
Aden Saiful Hidayatulloh. Kemudian yang kedua, yakni alat bukti berupa
barang-barang, diantaranya terdapat 1 (satu) buah dus book Handphone
merk Samsung Galaxy Y Neo dan 1 (satu) sim card nomor
62014000191024863 Indosat dengan nomor 085722902271.6
Alat bukti di atas dianggap sah, dimana hal tersebut didasarkan bahwa
apabila alat bukti tersebut saling dihubungkan satu sama lain terdapat
kesesuaian antara keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan alat bukti
berupa barang-barang. Berdasarkan kesesuaian tersebut, maka akan
diperoleh fakta hukum yang meyakinkan bagi majelis hakim, yang
selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam membuat putusan.
Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim, harus melihat kepada
beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam rangka
memutus perkara dengan setegas-tegasnya dan seadil-adilnya, meliputi:
1. Unsur-unsur tindak pidana pencurian oleh anak;
2. Hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan;
3. Mengadili.
Bahwa selanjutnya majelis hakim melakukan pertimbangan berdasarkan
fakta-fakta hukum tersebut di atas, sehingga nantinya sebagai penentuan
terdakwa dapat dinyatakan bersalah atau tidak.
Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal,
yaitu telah melanggar Pasal 362 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana). Majelis Hakim dengan memperhatikan fakta-fakta hukum yang
ada, telah mempertimbangkan dan membuktikan dakwaan tunggal
6 Berdasarkan putusan Pengadilan Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr, h. 4-6.
80
sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP, atau dakwaan yang unsur-
unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Barang siapa;
2. Dengan sengaja;
3. Mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, untuk dimiliki secara melawan hukum.7
Bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim mempertimbangkan
sebagai berikut:
1. Barang siapa;
Bahwa yang dimaksud dengan pengertian “barang siapa” adalah
siapa saja yang dijadikan sebagai subjek hukum tindak pidana dan
kepadanya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya secara
hukum. Seseorang yang dijadikan sebagai subjek hukum, telah
dihadapkan di depan persidangan sebagai terdakwa anak oleh
Penuntut Umum dalam perkara ini yang bernama Riski Pratama Putra
Bin Iskandar, yang kemudian terdakwa telah membenarkan dan
mengakui bahwa identitas terdakwa sebagaimana dalam surat
dakwaan Penuntut Umum adalah benar identitas dirinya, dengan
demikian unsur ini telah terpenuhi.
2. Dengan sengaja;
Bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah perbuatan yang
sebelumnya sudah terdapat niat untuk melakukannya. Terdakwa anak
yang bernama Riski Pratama Putra Bin Iskandar telah memiliki niat
untuk mencuri 1 (satu) buah Handphone merk Samsung Galaxy Y
Neo milik korban Aden Saiful Hidayatulloh yang dititipkan kepada
saksi Abdurrohman, dan mencuri uang sebesar Rp 12.000,- (dua belas
ribu rupiah) milik saksi Abdurrohman sendiri, yang berada di lantai
atas Masjid Al Bajuri Jalan Ronggowarsito, Kelurahan Pocanan,
7 Berdasarkan putusan Pengadilan Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr, h. 7.
81
Kecamatan Kota, Kota Kediri, dengan demikian unsur ini telah
terpenuhi.
3. Mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, untuk dimiliki secara melawan hukum;
Bahwa yang dimaksud dengan mengambil barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, untuk dimiliki secara
melawan hukum adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
secara diam-diam tanpa diketahui oleh orang lain dengan maksud
ingin memiliki suatu barang yang sudah diincarnya, dan perbuatan
tersebut sangat melanggar norma dan hukum yang berlaku. Diketahui
terdakwa anak yang bernama Riski Pratama Putra Bin Iskandar telah
mengambil barang secara seluruhnya berupa 1 (satu) buah Handphone
merk Samsung Galaxy Y Neo milik korban yang bernama Aden Saiful
Hidayatulloh yang dititipkan kepada saksi Abdurrohman, dan
mengambil uang secara seluruhnya sebesar Rp 12.000,- (dua belas
ribu rupiah) milik saksi Abdurrohman sendiri, yang berada di lantai
atas Masjid Al Bajuri Jalan Ronggowarsito, Kelurahan Pocanan,
Kecamatan Kota, Kota Kediri, dan perbuatan tersebut telah melanggar
hukum yang diatur di dalam Pasal 362 KUHP, dengan demikian unsur
ini telah terpenuhi.8
Mengacu pada pembahasan sebelumnya yang memuat beberapa teori
pertimbangan hukum yang dijadikan dasar oleh hakim dalam menjatuhkan
putusan kepada terdakwa, maka terdapat dua faktor yang harus dipenuhi
yaitu faktor yuridis dan non yuridis. Majelis hakim memberikan
pertimbangan hukum dalam memutuskan perkara nomor 6/Pid.sus-
Anak/2015/PN Kdr, yakni sebagai berikut:
1. Faktor Yuridis, diantaranya seperti dasar-dasar dakwaan dari penuntut
umum, keterangan terdakwa selama di persidangan, keterangan saksi-
8 Berdasarkan putusan Pengadilan Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr, h. 7-9.
82
saksi yang dihadirkan di dalam persidangan, beberapa barang bukti,
serta menentukan pasal-pasal yang terkait dengan kasus.
2. Faktor Non Yuridis, memikirkan hal-hal yang dapat memberatkan
hukuman terdakwa, diantaranya:9
a. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan merugikan saksi
korban Aden Saiful Hidayatulloh;
b. Terdakwa sudah pernah dihukum 4 (empat) kali dalam perkara
yang sama.
Kemudian juga mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan
hukuman terdakwa, yakni:
a. Terdakwa mengaku terus terang dan menyesali perbuatannya;
b. Terdakwa masih anak-anak dan dalam kehidupannya sehari-hari
tidak pernah mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tua
karena orang tuanya sudah cerai, Bapaknya tidak diketahui tempat
tinggalnya dan Ibunya bekerja jadi TKW (Tenaga Kerja Wanita)
Malaysia.
C. Analisa Penulis Terhadap Putusan Nomor: 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN
Kdr.
1. Analisis Dalam Hukum positif
Mengingat Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan
bahwasanya hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana,
wajib pula mempertimbangkan sifat yang baik dan yang jahat dari
terdakwa. Sifat baik dan jahat dari terdakwa perlu diperhatikan oleh
majelis hakim dalam menerapkan sanksi yang akan diberikan oleh
terdakwa. Selain itu, keadaan pribadi seseorang perlu diperhatikan juga
dalam menjatuhkan pidana yang sesuai, keadaan pribadi tersebut dapat
diperoleh dari keterangan dokter, keluarga, lingkungan, dokter ahli jiwa
dan sebagainya. Di samping itu, majelis hakim dalam menjatuhkan
9 Berdasarkan putusan Pengadilan Nomor 6/Pid.sus-Anak/2015/PN Kdr, h. 10.
83
hukuman kepada terdakwa harus mempertimbangkan berbagai hal
dengan secara matang dan tidak boleh mencerminkan kesewenang-
wenangan tanpa memperhatikan kepentingan terdakwa dan masyarakat.
Yang dikatakan kepentingan terdakwa adalah terdakwa harus
diperlakukan adil sehingga tidak ada seorangpun yang tidak bersalah
mendapatkan hukuman (persumtion of innocent), atau dengan kata lain
seseorang harus mendapat perlakuan yang sama di muka hukum, artinya
tidak melakukan perbedaan perlakuan (dalam hal ini terkandung asas
equality before the law). Penjatuhan pidana yang diberikan hakim
alangkah baiknya jika mengadung nilai-nilai keadilan, baik untuk korban
maupun untuk terdakwa, karena jika prinsip keadilan (justice principle)
itu diterapkan kepada seluruh masyarakat, maka akan terwujud
ketenteraman dan kedamaian.10
Pada putusan nomor 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr, terdakwa yang
diperiksa dan diadili statusnya adalah seorang anak. Sebagai suatu
peraturan hukum pidana khusus yang mengatur soal anak yang
berhadapan dengan hukum, maka dalam hal ini produk undang-undang
yang sesuai dalam menyelesaikan permasalahan ini yaitu Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sistem pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menetapkan bahwa apabila
terdapat anak yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun melakukan
tindak pidana, berlaku baginya upaya diversi (pengalihan hukum) dari
jalur litigasi ke jalur non litigasi, dengan menggunakan pendekatan
restorative justice (keadilan restoratif). Artinya, seorang anak tidak
sepantasnya mendapat hukuman badan berupa pidana penjara, yang
mana seharusnya hukuman tersebut diberlakukan terhadap orang
dewasa. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Marlina,
menurutnya restorative justice merupakan suatu proses penyelesaian
10 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 14&22.
84
perkara yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (criminal justice
system) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan keluarga
pelaku, masyarakat, serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu
tindak pidana yang terjadi untuk mencapai suatu kesepakatan.
Hal serupa juga disampaikan oleh Prof. Muladi, bahwasanya Keadilan
restoratif (restorative justice) merupakan suatu pendekatan terhadap
keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai tanggungjawab, keterbukaan,
kepercayaan, harapan, penyembuhan, dan “inclusivenes” serta
berdampak terhadap pengambilan keputusan kebijakan sistem peradilan
pidana dan praktisi hukum di seluruh dunia dan menjanjikan hal positif
ke depan berupa sistem keadilan untuk mengatasi konflik akibat
kejahatan dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, kemudian
keadilan restoratif dapat terlaksana apabila fokus perhatian diarahkan
pada kerugian akibat tindak pidana, keprihatinan yang sama dan
komitmen untuk melibatkan pelaku dan korban, mendorong pelaku untuk
bertanggungjawab, kesempatan untuk dialog antara pelaku dan korban,
melibatkan masyarakat yang terdampak kejahatan dalam proses
retroaktif, mendorong kerjasama dan reintegrasi. Tujuan utama dari
penerapan restorative justice adalah perbaikan keadaan atau pergantian
kerugian yang diderita oleh korban, permintaan maaf pelaku terhadap
korban dan masyarakat atas luka yang diderita akibat tindakannya, serta
konsiliasi dan rekonsiliasi pelaku, korban dan masyarakat. Restorative
justice juga bertujuan merestorasi atau merubah kesejahteraan
masyarakat, memperbaiki diri dengan cara berani untuk
bertanggungjawab kepada korban atas tindakannya yang dinilai
merugikan. Contoh pertanggungjawaban kepada korban dalam tindak
pidana pencurian, yakni anak sebagai pelaku dapat mengganti kerugian,
atau mengembalikan barang yang telah ia curi dari pihak korban.
Pada putusan nomor 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr, majelis hakim
dalam memutus perkara menggunakan Pasal 362 KUHP terhadap
terdakwa anak yang bernama Riski Pratama Putra Bin Iskandar, yang
85
berbunyi “Barang siapa yang mengambil barang sesuatu secara
seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk
menguasai benda tersebut secara melawan hukum, maka ia akan
dihukum karena kesalahannya melakukan pencurian dengan hukuman
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya 900
(sembilan ratus) rupiah”. Berdasarkan fakta hukum di persidangan,
bahwa terdakwa anak Riski Pratama Putra Bin Iskandar secara jelas dan
bersalah melakukan tindak pidana pencurian terhadap korban yang
bernama Aden Saiful Hidayatulloh, sehingga majelis hakim menjatuhi
pidana terhadap terdakwa anak Riski Pratama Putra Bin Iskandar berupa
pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan.
Berdasarkan penjatuhan pidana oleh majelis hakim terhadap terdakwa
anak Riski Pratama Putra Bin Iskandar, penulis menilai bahwa putusan
tersebut tidak mengandung unsur dan nilai yang ada pada konsep
restorative justice (keadilan restoratif) terhadap anak. Pengaturan hukum
mengenai restorative justice terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum secara jelas di atur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Disebutkan di dalam Pasal 2
huruf i Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, bahwasanya perampasan hak atau kemerdekaan
dan pemidanaan yang dilaksanakan kepada anak merupakan upaya
terakhir dalam sistem peradilan pidana anak (child of criminal justice
system), artinya masih ada upaya hukum lain yang tidak sampai
merampas hak atau kemerdekaan sang anak pelaku tindak pidana. Upaya
hukum tersebut dinamai diversi yang memiliki arti mengalihkan proses
penyelesaian perkara dari tingkat litigasi (dalam pengadilan) turun ke
tingkat non litigasi (luar pengadilan). Contoh dari upaya hukum diversi
salah satunya yaitu mediasi antara pelaku tindak pidana dengan korban
dari adanya tindak pidana tersebut, serta melibatkan pihak keluarga yang
bersangkutan dan aparat penegak hukum. Hal ini diterangkan lebih lanjut
oleh Marlina, bahwa Mediasi sebagai jalan di dalam restorative justice,
86
terdapat hal positif dalam menanggulangi tindak pidana pencurian
khususnya tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak, antara lain
yaitu pertama bagi korban, korban dapat mengungkapkan secara
langsung keluhan dan ketidaknyamanannya. Di lain sisi dia dapat belajar
tentang karakteristik pelaku, cara menghadapi tindak kejahatan
pencurian, berkesempatan dan berhak mendapatkan permintaan maaf
serta ganti rugi yang sesuai dari pelaku, menunjukkan dampak kepada
pelaku atas dampak yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku,
menyelesaikan semua konflik yang ada untuk kepentingan pribadi atau
pemulihan. Kedua bagi pelaku, pelaku menjadi memiliki rasa tanggung
jawab atas apa yang dia lakukan terhadap korban, dan berhak meminta
maaf serta membayar kerugian korban, atau kerja sosial apabila tidak
mampu membayar kerugian sesuai kesepakatan yang disepakati dalam
proses mediasi. Oleh karenaa itu dapat disimpulkan bahwa tujuan dari
upaya diversi dengan menggunakan konsep restorative justice (keadilan
restoratif) yakni untuk memulihkan keadaan seperti semula atau dengan
kata lain tidak untuk sebagai tindakan balas dendam kepada salah satu
pihak.
2. Analisis Dalam Hukum Islam
Sementara dalam hukum Islam, perbuatan jarîmah (tindak pidana)
sâriqah (pencurian) termasuk ke dalam sanksi jarîmah ḫudûd, sanksi
yang diberlakukan terhadap pelaku jarîmah sâriqah yakni dipotong
kedua tangannya, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.s. Al-
Mâ’idah (5):38 sebagai berikut,
عزيز حك وٱلل لا من ٱلل بما كسبا نك يديهما جزاءارقة فٱقطعوا أ ارق وٱرس يم وٱرس
٣٨
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
87
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. (Q.s. Al-Mâ’idah (5):38).
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ali bin Muhammad
Al-Jurjani, menurutnya jarîmah sâriqah dalam syariat Islam yang
pelakunya harus diberi hukuman potong tangan adalah seseorang yang
mengambil sejumlah harta yang disimpan di tempat yang hanya
diketahui oleh pemiliknya saja, kemudian pelaku melakukannya secara
sembunyi-sembunyi yang mana pelakunya adalah seorang mukallaf
(dewasa), dan harta yang dicuri bernilai lebih dari sepuluh dirham yang
masih berlaku, serta tidak terdapat unsur syubhat. Oleh karena itu,
apabila barang atau harta yang dicuri senilai kurang dari sepuluh dirham
yang masih berlaku, maka tidak dapat dikategorikan sebagai jarîmah
pencurian yang pelakunya diancam hukuman potong tangan.
Dengan demikian menurut hemat penulis, bahwa putusan hakim
nomor 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr, yang memutus perkara anak yang
berhadapan dengan hukum, dengan identitas terdakwa anak yang
bernama Riski Pratama Putra Bin Iskandar yang terbukti telah melakukan
tindak pidana pencurian, tidak termasuk ke dalam kategori sanksi
jarîmah ḫudûd, karena sanksi ḫudûd berupa potong tangan menurut
Alquran surah Al-Ma’idah [5]:38 hanya diberlakukan terhadap orang
yang telah dewasa (mukallaf) atau yang telah mampu berpikir secara lahir
dan batin ketika akan melakukan sesuatu. Penjelasan ini dipertegas oleh
para ulama mazhab Hanafi dan Maliki, bahwasanya mereka berpendapat
seorang laki-laki tidak dapat dikatakan baligh (mumayyiz) sebelum ia
mencapai umur 18 tahun. Kedewasaan anak laki-laki sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yaitu dimulai dari umur 18 tahun. Adapun
anak perempuan perkembangan dan kesadarannya lebih cepat dari anak
laki-laki, oleh sebab itu usia awal kedewasaannya dikurangi satu tahun
sehingga anak perempuan menjadi dewasa dimulai pada umur 17 tahun.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwasanya terdakwa anak Riski Pratama
Putra Bin Iskandar yang usianya berdasarkan identitas terdakwa dalam
88
putusan nomor 6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr adalah 16 (enam belas)
tahun, termasuk ke dalam kategori orang yang belum mukallaf (dewasa)
dan belum cakap hukum, serta tidak pantas untuk diberlakukan hukuman
pembalasan berupa potong tangan kepadanya.
Kemudian penulis berpendapat bahwasanya putusan hakim nomor
6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr tidak sejalan atau tidak sesuai dengan
kaidah fiqhiyyah yang berbunyi sebagai berikut:
ر يزال الظ
Artinya: “Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin”.
Maksud dari kaidah fikih di atas adalah bahwasanya segala bentuk
kegiatan yang dapat menimbulkan kemudharatan atau dampak negatif
terhadap seseorang, sebisa mungkin dijauhkan atau ditiadakan. Sehingga
dapat disimpulkan oleh penulis, bahwasanya kaidah di atas berkaitan
dengan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Apabila terdapat anak yang berbuat jarîmah, sebisa mungkin anak
tersebut jangan sampai dijatuhi hukuman pembalasan, misalnya berupa
hukuman penjara, karena hal itu dapat menimbulkan kemudharatan bagi
diri anak tersebut. Kemudharatan atau dampak negatif yang timbul
tersebut biasanya berupa psikis atau mental sang anak menjadi turun
(down), dan anak menjadi tidak percaya diri ketika akan bersosial dengan
masyarakat. Oleh karena itu, menurut hemat penulis apabila ada seorang
anak yang belum mukallaf (dewasa) yang melakukan jarîmah sâriqah,
alangkah baiknya anak tersebut tidak disidangkan dan diadili di depan
muka persidangan, karena hal tersebut dapat menyerang psikis dan
mental anak, akan tetapi ada jalur lain yang dinilai mampu meredam
penyerangan terhadap mental sang anak, yaitu diadakannya upaya
perdamaian di luar persidangan antara pelaku dan korban dengan
melibatkan pihak keluarga masing-masing yang berperkara dan aparat
penegak hukum, seperti mediator dan pihak kepolisian.
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang ada pada bab-bab sebelumnya dan juga
analisis penulis mengenai putusan hakim di Pengadilan Negeri Kediri
tentang kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak, maka
penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pada penelitian ini, penulis menilai bahwasanya pertimbangan hakim
yang digunakan dalam memutus perkara nomor 6/Pid.Sus-
Anak/2015/PN Kdr tidak komprehensif dan lebih condong kepada
hal-hal yang memberatkan bagi terdakwa. Di samping itu, hakim tidak
melihat fakta-fakta lain di dalam persidangan, yaitu terdakwa telah
mengaku secara terus terang dan menyesali perbuatannya, serta
terdakwa merupakan seorang anak yang kurang mendapatkan
perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya, disebabkan
karena kedua orang tuanya telah bercerai. Bapaknya tidak diketahui
keberadannya dan Ibunya bekerja menjadi Tenaga Kerja Wanita
(TKW) di Malaysia.
2. Pada penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap putusan nomor
6/Pid.Sus-Anak/2015/PN Kdr, telah menghasilkan suatu kesimpulan
bahwasanya hakim tidak menerapkan upaya diversi (pengalihan
hukum) kepada terdakwa anak yang bernama Riski Pratama Putra Bin
Iskandar, sehingga penulis menilai bahwa putusan hakim telah
bertentangan dengan norma yang belaku mengenai peraturan
perundang-undangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,
yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
90
B. Rekomendasi
Setelah memaparkan kesimpulan di atas, penulis menilai perlu adanya
rekomendasi yang diberikan dari penulis kepada seluruh elemen
(stakeholder) yang memiliki peran atas permasalahan yang terjadi mengenai
penelitian yang penulis lakukan, yaitu permasalahan mengenai adanya
seorang anak yang melakukan tindak pidana pencurian. Rekomendasi yang
penulis berikan diantaranya yaitu:
1. Rekomendasi untuk aparat penegak hukum khususnya hakim yang
memutus perkara anak yang berhadapan dengan hukum, seharusnya
hakim tidak pandang sebelah mata ketika sedang mengambil
pertimbangan hukum yang akan digunakan, artinya harus adanya
upaya komprehensif dalam melihat fakta-fakta di persidangan.
2. Rekomendasi untuk Pemerintah, yaitu adanya upaya perlindungan
hukum dari Pemerintah melalui Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) terhadap anak yang sedang berhadapan dengan hukum,
khususnya terhadap anak-anak korban broken home atau korban dari
perceraian kedua orang tuanya serta anak-anak yang kurang mendapat
kasih sayang dari keluarga dan orang-orang terdekatnya.
3. Rekomendasi untuk masyarakat, yaitu seharusnya tidak boleh adanya
upaya diskriminasi atau pengucilan dari masyarakat apabila
mengetahui adanya anak yang melakukan tindak pidana, sebab pada
dasarnya anak tersebut merupakan korban dari ketidak adanya
perhatian dan kasih sayang dari seseorang manapun. Oleh karena itu,
penulis mengajak kepada seluruh masyarakat agar sama-sama
memberikan perlindungan kepada anak dari perbuatan kejahatan, baik
itu anak sebagai pelaku ataupun sebagai korban, dengan cara
menaunginya untuk diberi pendidikan karakter maupun pendidikan
lainnya yang dapat bermanfaat bagi masa depan anak tersebut.
91
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abbas, Ahmad Sudirman. (2004). Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh.
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya & Anglo Media Jakarta.
AF, Hasanuddin & dkk. (2003). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pustaka Al-Husna
dan UIN Press.
Ali, Zainudin. (2009). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Al-Jawi, Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani. (t.th.). Qût Al-Ḫabîb Al-
Gharîb Tausyikh ‘alâ Fath Al-Qarîb Al-Mujîb. Semarang: Toha Putera.
Al-Jurjani, Ali Bin Muhammad. (t.th.). Kitâb Al-Ta’rîfât. Jakarta: Dar Al-Hikmah.
Atmasasmita, Romli. (1983). Problem Kenakalan Anak-anak Remaja. Bandung:
Armico.
Audah, Abdul Qadir. (1992). Al-Ťasyrî’ Al-Jinâ’î Al-Islâmî Muqâranan bi Al-
Qânûn Al-Wadh’î. Beirut: Mu’assanah Al-Risalah.
Chazawi, Adami. (2003). Kejahatan Terhadap Harta Benda. Malang: Bayu Media.
Djamil, Nasir. (2013). Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Djazuli, A. (2000). Fiqh Jinayah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Grafika, Redaksi Sinar. (1997). Undang-Undang Kesejahteraan Anak. Jakarta:
Sinar Grafika.
Gultom, Maidin. (2010). Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: Refika
Aditama.
Gultom, Maidin. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Hadisuprapto, Paulus. (2008). Juvenile Deliquency Pemahaman dan
Penanggulangannya. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Haliman. (1968). Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahlussunah Wal Jamaah.
Jakarta: Bulan Bintang.
Hamzah, Andi. (2009). Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Hanafi, Ahmad. (1993). Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Husein, Moh. Habhan. (1984). Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma’arif.
Ibrahim, Johny. (2007). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayu Media Publishing.
92
Irfan, Muhammad Nurul. (2012). Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Amzah.
Irfan, Muhammad Nurul & Masyrofah. (2014). Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah.
Irfan, Muhammad Nurul. (2016). Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah.
Ishaq. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Iskandar, Noer. (2000). Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Kansil, CST. (1996). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Mahfud, Saleh. (1999). Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur'an. Bandung: Al-
Ma'arif.
Marlina. (2009). Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Marshall, Tony. (1999). Restorative Justice : An Overview. London: Home Office
Research Development and Statistic Directorate.
Marzuki, Peter Mahmud. (2005). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Miles, Matthew B. (2007). Analisis Data Kualitatif. Depok: Universitas Indonesia
Press.
Minor, Kevin I. and J.T. Morrison. (1996). A Theoritical Study and Critique of
Restorative Justice. Monsey, New York: Ceimical Justice-Press and Kugler
Publications.
Moeliono, T.P. (2003). Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting
dari KUHP Belanda dan Pandanannya Dalam KUHP Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Morrison, B.E. (2001). The School System : Developing its capacity in the
regulation of a civil society. London: Cambridge University Press.
Mulyadi, Lilik. (2005). Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan
Permasalahannya. Bandung: Mandar Maju.
Muslich, Ahmad Wardi. (2005). Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Narboko , Cholid & Abu Achmadi. (1997). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:
Bumi Pustaka.
Ohoitimur, Yong. (1997). Teori Etika Tentang Hukuman Legal. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Praja, Juhaya S. (2011). Teori Hukum dan Aplikasinya. Bandung: Pustaka Setia.
Sabiq, Al-Sayyid. (1983). Fiqh Al-Sunnah. Beirut: Dar Al-Fikr.
Salman, Otje dan Anthon F. Susanto. (2007). Teori Hukum (mengingat,
mengumpulkan, dan membuka kembali). Bandung: Refika Aditama.
93
Sambas, Nandang. (2010). Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Samosir, Djisman. (2013). Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana. Bandung:
Nuansa Aulia.
Saraswati, Rika. (2009). Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Sholehuddin, M. (2004). Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana : Ide Dasar Double
Track System dan Implementasinya. Jakarta: Rajawali.
Simanjuntak, B. (1973). Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung: Alumni.
Soekamto, Soerjono & Abdurahman. (1999). Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Rineka Cipta.
Soekamto, Soerjono & Sri Mamudji. (1994). Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Subekti dan Tjitrosudibio. (2002). Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Utsman, Sabian. (2014). Metodologi Penelitian Hukum Progresif: Pengembaraan
Permasalahan Penelitian Hukum Aplikasi Mudah Membuat Proposal
Penelitian Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wadong, Maulana Hasan. (2000). Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan
Anak. Jakarta: Grasindo.
Walker, Nigel. (1971). Sentencing in a rational society. New York: Basic Books,
Inc. Publisher.
Waluyo, Bambang. (2004). Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.
Yusuf, Abu & Muhammad L. Hasan. (1997). Pendidikan Anak Dalam Islam.
Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Zehr, Howard. (1990). Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice.
Waterloo: Herald Press.
Jurnal :
Chasen, Subairi. (2017). Perbarengan Tindak Pidana Pembunuhan Dan Pencurian
Perspektif Hukum Pidana Islam. Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam,
Vol. 3. No. 1. 144-163.
Danielt, Reyner Timothy. (2014). Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak
Pidana Anak Pencurian Oleh Anak Di Bawah Umur. Lex et Societatis, Vol.
2. No. 6. 16-26.
94
Rafid, Noercholis dan Saidah. (2018). Sanksi Pidana Bagi Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum Perspektif Fiqih Jinayah. Jurnal Al-Maiyyah, Vol. 11. No.
2. 329-343.
Yuhermansyah, Edi dan Zaziratul Fariza. (2017). Pidana Mati Dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi (Kajian Teori Zawajir dan Jawabir).
Legitimasi, Vol. 6. No. 1. 156-174.
Karya Tulis Ilmiah :
Muladi. (2013). Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan
Implementasinya Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh
Anak-Anak. (Makalah dalam Focus Group Discussion (FGD): “Penerapan
Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan
Oleh Anak-Anak”). (h. 7). Jakarta: Diselenggarakan oleh Puslitbang
Simposium Hukum Nasional-Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Sakti, Alviandani Kartika. (2018). Penerapan Diversi Tindak Pidana Pencurian
Yang Dilakukan Anak Dibawah Umur (Studi Kasus Polres Sragen).
Fakultas Hukum. Skripsi Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
Sibuea, Raphita. (2016). Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Oleh Anak
Dalam Keadaan Yang Memberatkan (Studi Putusan Pengadilan Negeri
Balige Nomor: 262/Pid.Sus-Anak/2014/PN Blg). Fakultas Hukum. Skripsi
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Suryani, Yani. (2014). Pemidanaan Anak Di Indonesia Terhadap Pelaku Pencurian
Dalam Perspektif Hukum Islam (Analisis Putusan Nomor:
808/Pid.B/2011/PN MKS). Fakultas Syari'ah dan Hukum. Skripsi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Majalah atau Surat Kabar :
Peradilan, Majalah Varia No. 247. (2006). Penerbit Ikatan Hakim Indonesia. (Juni
2006), h. 3.
Widodo. (2014). Diversi dan Keadilan Restoratif Dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; Menakar Kesepian
Anak, Korban, Penegak Hukum, Masyarakat, dan Pemangku Kepentingan.
Surabaya: Harian Surya. h. 1-2.
Putusan :
Putusan Pengadilan Negeri Kediri Klas I-B Nomor Perkara 6/Pid.Sus-
Anak/2015/PN Kdr.
95
Kitab :
Al-Qur’an
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak