pemerintah kabupaten mojokerto filesalinan pemerintah kabupaten mojokerto peraturan daerah kabupaten...
TRANSCRIPT
SALINAN
PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO
NOMOR 6 TAHUN 2009
TENTANG
RETRIBUSI USAHA PETERNAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI MOJOKERTO,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Sub Sub Bidang angka 10Lampiran Huruf Z Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan DaerahKabupaten/Kota dan dalam rangka untuk lebih mendorongpertumbuhan dan pengembangan usaha peternakan perlu diambillangkah-langkah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dibidang peternakan;
b. bahwa salah satu langkah menciptakan iklim usaha yang kondusifdengan memberikan kemudahan dalam memperoleh tanda daftardan ijin usaha serta pendaftaran peternakan rakyat melaluimekanisme dan prosedur yang dapat menjamin kepastianberusaha selaras dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telahdiubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalamhuruf a dan b perlu membentuk Peraturan Daerah tentang RetribusiUsaha Peternakan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang PembentukanDaerah-daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Jawa TimurJuncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 tentang PerubahanBatas Wilayah Kotapraja Surabaya dan Daerah Tingkat II Surabaya(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10 TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2824);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum AcaraPidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib DaftarPerusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982Nomor 7, dan Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 3214);
SALINAN
- 2 -
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SumberDaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3419);
6. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 3482);
7. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3611);
8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah danRetribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 3679 sebagaimana telah diubah dengan Undang-UndangNomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4048);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang PengelolaanLingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1997 Nomor 68 Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 3699);
10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang PenyelenggaraanNegara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
11. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
12. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang PerbendaharaanNegara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
13. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang PembentukanPeraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4389);
14. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang PemeriksaanPengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
15. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4844);
16. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang PerimbanganKeuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
17. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang PerseroanTerbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
SALINAN
- 3 -
Nomor 106 Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4756);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan,Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 20Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3101);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang UsahaPeternakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 3102);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang KesehatanMasyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1983 Nomor 28 Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 3253);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang PelaksanaanKitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1983 Nomor 06, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 3258);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AnalisisMengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1999 Nomor 59 Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3838);
23. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang KarantinaHewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4002);
24. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang RetribusiDaerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor119 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4139);
25. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang PengelolaanKeuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4578);
26. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang PedomanPembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan PemerintahanDaerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4593);
27. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang PembagianUrusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan DaerahProvinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
28. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 tentang Badan UrusanPiutang dan Lelang Negara;
29. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 422/Kpts/LB.720/6/1988tentang Peraturan Karantina Hewan;
30. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 362/Kpts/RC.220/6/1989tentang Kriteria Jenis Kegiatan di Lingkungan Sektor Pertanianyang Wajib Dilengkapi Dengan Penyajian Informasi Lingkungan(PIL) dan Penyajian Evaluasi Lingkungan (PEL);
31. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentangPedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah
SALINAN
- 4 -
diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun2007;
32. Peraturan Daerah Kabupaten Mojokerto Nomor 20 Tahun 2006tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran DaerahKabupaten Mojokerto Tahun 2006 Nomor 14 Seri E, TambahanLembaran Daerah Kabupaten Mojokerto Nomor 17);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO
dan
BUPATI MOJOKERTO
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI USAHAPETERNAKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Mojokerto.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Mojokerto.
3. Bupati adalah Bupati Mojokerto.
4. Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan adalah Dinas Pertanian,Peternakan dan Perikanan Kabupaten Mojokerto.
5. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pertanian, Peternakan danPerikanan Kabupaten Mojokerto.
6. Kas Umum Daerah adalah Kantor Kas Daerah Kabupaten Mojokerto.
7. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidangRetribusi Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku.
8. Perijinan adalah Pemberian ijin usaha dalam bidang usahapeternakan.
9. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutanDaerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin danrekomendasi tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikanoleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi ataubadan.
10.Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakankesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukanusaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengannama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, danapensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga,bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
11.Pemilik ijin dan rekomendasi adalah perorangan atau badan yangtelah diberi ijin dan rekomendasi untuk melaksanakan suatupekerjaan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam PeraturanDaerah ini.
SALINAN
- 5 -
12.Usaha Peternakan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan olehperorangan atau badan yang melaksanakan kegiatan menghasilkanternak (ternak bibit/potong), telur, susu serta usaha menggemukkansuatu ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan danmemasarkannya.
13.Tanda Daftar Peternakan Rakyat adalah kedudukan sederajatdengan ijin usaha peternakan yang diberikan kepada pemilik usahapeternakan diselenggarakan sebagai usaha sampingan denganjumlah maksimum usahanya untuk tiap jenis ternak.
14.Perusahaan Peternakan adalah suatu badan yang dijalankan secarateratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangkawaktu tertentu untuk tujuan komersial yang meliputi kegiatanmenghasilkan ternak (ternak bibit/potong), telur, susu serta usahamenggemukkan suatu ternak termasuk mengumpulkan,mengedarkan dan memasarkannya yang untuk tiap jenis ternakjumlahnya melebihi jumlah yang ditetapkan untuk tiap jenis ternakpada peternakan rakyat, perusahaan pemotongan ternak, unggas,pabrik pakan dan perusahaan perdagangan sarana produksipeternakan.
15.Lokasi adalah tempat kegiatan peternakan beserta saranapendukungnya di lahan tertentu yang tercantum dalam tanda daftardan ijin usaha peternakan.
16.Peternakan rakyat adalah usaha peternakan yang diselenggarakansebagai usaha sampingan yang jumlahnya maksimum kegiatannyauntuk tiap jenis ternak.
17.Petani Ternak adalah Orang atau Badan yang melakukan kegiatanpeternakan dengan jumlah sekurang-kurangnya disesuaikan denganjenis ternak atau unggas yang diusahakan.
18.Budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi hasil-hasil ternak danhasil ikutannya bagi konsumen.
19.Pembibitan adalah kegiatan budidaya untuk menghasilkan bibitternak untuk keperluan sendiri atau untuk diperjualbelikan.
20.Hewan adalah semua binatang yang hidup di darat baik dipeliharamaupun hidup secara liar.
21.Ternak adalah hewan piaraan yang hidupnya yakni mengenai tempatberkembang biaknya serta manfaatnya diatur dan diawasi olehmanusia serta dipelihara khusus sebagai hasil bahan-bahan, jasa-jasa yang berguna bagi kepentingan hidup manusia.
22.Bibit Ternak adalah semua ternak hasil proses penelitian danpengkajian dan/atau ternak yang memenuhi persyaratan tertentuuntuk dikembangbiakkan dan/atau untuk produksi.
23.Unggas adalah hewan yang dibudidayakan petani ternak, pengusahapeternakan terdiri dari ayam bibit, ayam petelur, ayam pedaging, itik,angsa, entok, burung dara dan burung puyuh.
24.Daging adalah bagian-bagian hewan yang disembelih atau dibunuhdan lazim dimakan manusia, kecuali yang telah diawetkan dengancara lain diluar pendinginan.
25.Rumah Pemotongan Hewan adalah suatu bangunan atau kompleksbangunan dengan disain tertentu yang digunakan sebagai tempatmemotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas.
26.Usaha Pemotongan Hewan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukanoleh perorangan atau badan yang melaksanakan pemotonganhewan selain unggas di rumah pemotongan hewan milik sendiri ataumilik pihak lain atau menjual jasa pemotongan hewan.
SALINAN
- 6 -
27.Rumah Pemotongan Unggas adalah suatu bangunan atau kompleksbangunan dengan disain tertentu yang digunakan sebagai tempatmemotong unggas selain hewan bagi konsumsi masyarakat luas.
28.Usaha Pemotongan Unggas adalah kegiatan-kegiatan yangdilakukan oleh perorangan atau badan yang melaksanakanpemotongan unggas selain hewan bagi konsumsi masyarakat luas.
29.Perubahan/ pemindahan usaha peternakan adalah suatu tindakanatau kegiatan mengubah atau memindahkan bentuk ijin usahapeternakan, ijin pendirian rumah potong hewan, ijin pendirian rumahpotong unggas terdiri dari perubahan atau pemindahan, nama,alamat, status badan atau penanggung jawab.
30.Perluasan adalah penambahan jenis dan/atau jumlah ternak atauunggas yang telah diijinkan.
31.Perluasan usaha perusahaan yang selanjutnya disebut perluasanadalah penambahan kapasitas produksi melebihi 30 % (tiga puluhperseratus) dari kapasitas produksi yang telah diijinkan.
32. Ijin Perluasan adalah ijin tertulis yang diberikan oleh Bupati / pejabatyang ditunjuk untuk memberikan hak dalam melakukan penambahanjenis dan/atau jumlah ternak dalam kegiatan usaha.
33.Persetujuan Prinsip adalah persetujuan tertulis yang diberikan olehBupati atau pejabat yang ditunjuk olehnya terhadap suatu rencanauntuk melakukan usaha peternakan dengan mencantumkankewajiban yang harus dipenuhi sebagai syarat untuk dapatdiberikannya ijin usaha peternakan.
34.Pendaftaran Peternakan Rakyat adalah pendaftaran peternakanrakyat yang dilakukan oleh Bupati atau Kepala Dinas yangmembidangi fungsi peternakan.
35.Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurutperaturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untukmelakukan pembayaran Retribusi.
36.Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakanbatas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa danperijinan tertentu dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
37.Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRDadalah surat yang oleh Wajib Retribusi digunakan untuk melakukanpembayaran atau penyetoran Retribusi yang terutang ke Kas Daerahatau ke tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Bupati.
38.Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRDadalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya pokokRetribusi.
39.Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnyadisingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yangmenentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlahkredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atautidak seharusnya terutang.
40.Surat Ketetapan Retribusi Daerah Kurang Bayar Tambahan yangselanjutnya disingkat SKRDKBT adalah surat yang menentukantambahan atas jumlah Retribusi yang telah ditetapkan.
41.Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRDadalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksiadministrasi berupa bunga dan/atau denda.
42.Surat Pendaftaran Obyek Retribusi Daerah yang selanjutnyadisingkat SPdORD adalah surat yang digunakan oleh Wajib Retribusiuntuk melaporkan data objek Retribusi dan Wajib Retribusi sebagai
SALINAN
- 7 -
dasar penghitungan dan pembayaran Retribusi yang terutangmenurut peraturan perundang-undangan Retribusi Daerah.
43.Surat Pembetulan adalah surat yang membetulkan kesalahan tulis,kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuantertentu dalam peraturan perundang-undangan daerah yang terdapatdalam Surat Ketetapan Retribusi Daerah, Surat Ketetapan RetribusiDaerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Retribusi Daerah LebihBayar, Surat Ketetapan Retribusi Daerah Nihil atau Surat TagihanRetribusi Daerah.
44.Surat Keberatan adalah surat atas keberatan terhadap SuratKetetapan Retribusi Daerah, Surat Ketetapan Retribusi DaerahKurang Bayar, Surat Ketetapan Retribusi Daerah Kurang BayarTambahan, Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, SuratKetetapan Retribusi Daerah Nihil atau terhadap pemotongan ataupemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Retribusi.
45.Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secarateratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yangmeliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, sertajumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yangditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca danlaporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir.
46.Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari,mengumpulkan mengolah data dan/atau keterangan lainnya untukmenguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Retribusi dan untuk tujuanlain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi.
47.Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencaridan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidanaguna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurutcara yang diatur dalam undang-undang Hukum Acara Pidana.
48.Penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi adalah serangkaiantindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yangselanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkanbukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidangRetribusi yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
49.Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atauPejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khususoleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
BAB IIKETENTUAN PERIJINAN
Pasal 2
(1) Setiap orang atau badan yang mendirikan usaha peternakan wajibmemiliki Tanda daftar dan Ijin Usaha Peternakan dari Bupati ataupejabat yang ditunjuk.
(2) Tanda daftar dan Ijin usaha peternakan sebagaimana yang dimaksudpada ayat (1) meliputi :a. Tanda Daftar Usaha Peternakan Rakyat;b. Rekomendasi Usaha Pendirian Pabrik Pakan Ternak;c. Ijin Usaha Peternakan;d. Ijin Usaha Rumah Potong Unggas Swasta/ Home Industri;e. Ijin Perluasan;f. Ijin Perubahan/ Pemindahan;g. Ijin Pembukaan Cabang/ Perwakilan;
SALINAN
- 8 -
h. Ijin Usaha Pemotongan Hewan;i. Ijin Usaha Pemotongan Ternak Unggas;j. Ijin Perusahaan Perdagangan Sarana Produksi Peternakan;k. Ijin Pasar Hewan, Pasar Hewan Swasta/Milik desa;l. Ijin Pengawasan dan Peredaran alat/mesin Peternakan dan
Kesehatan Hewan;m. Ijin Usaha Obat Hewan, Depo, Toko, Kios;n. Ijin Usaha Pembibitan Hewan Kesayangan;o. Ijin Usaha Alat Angkut.
(3) Tata cara dan persyaratan permohonan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut oleh Bupati.
BAB III
TANDA DAFTAR USAHA PETERNAKAN RAKYAT DAN IJIN USAHAPETERNAKAN
Bagian Kesatu
Tanda Daftar Usaha Peternakan Rakyat
Pasal 3
(1) Setiap orang yang melakukan usaha peternakan rakyat wajibmemiliki Tanda Daftar Usaha Peternakan Rakyat.
(2) Tanda Daftar Usaha Peternakan Rakyat sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dikeluarkan oleh Kepala Dinas.
(3) Peternakan rakyat tidak diwajibkan memiliki ijin usaha peternakan.
(4) Tanda Pendaftaran Peternakan Rakyat memiliki kedudukansederajat dengan ijin usaha peternakan.
(5) Bupati atau pejabat yang ditunjuk melakukan pendaftaranpeternakan rakyat dengan menggunakan formulir pendaftaran,selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
(6) Bupati atau pejabat yang ditunjuk telah mengeluarkan TandaPendaftaran Peternakan Rakyat dengan menggunakan formulir.
(7) Dalam hal Pendaftaran Peternakan Rakyat Bupati atau pejabat yangditunjuk melakukan pembinaan terhadap peternakan rakyat didaerahnya.
Bagian KeduaIjin Usaha Perusahaan Peternakan
Pasal 4
Setiap perusahaan peternakan wajib memiliki ijin usaha peternakanyang meliputi :
a. Usaha peternakan tipe A, yaitu usaha peternakan untuk penyediaankebutuhan ekspor;
b. Usaha peternakan tipe B, yaitu usaha peternakan untuk penyediaankebutuhan daging antar Propinsi. Tipe B termasuk leveII : berhakmemperoleh NKV dengan kategoribaik (menuju kulaifikasi ekspor);
c. Usaha peternakan tipe C, yaitu usaha peternakan untuk penyediaankebutuhan daging antar Kabupaten dalam satu Provinsi. Tipe Ctermasuk level III : berhak memperoleh NKV dengan kategori cukup;
SALINAN
- 9 -
d. Usaha peternakan tipe D, yaitu usaha peternakan untuk penyediaankebutuhan daging dalam Kabupaten. Tipe D termasuk level IV :masih dalam tahappembinaan untuk memperoleh NKV.
Bagian Kedua
Ijin Usaha Pendirian Rumah Potong Hewan
Pasal 5
(1) Setiap Rumah Potong Hewan wajib memiliki ijin pendirian rumahpotong hewan.
(2) Ijin Usaha Pendirian Rumah Potong Hewan menurut luas jangkauanperedaran meliputi :
a. Usaha pemotongan hewan tipe A, yaitu usaha pemotonganhewan untuk penyediaan daging kebutuhan ekspor;
b. Usaha pemotongan hewan tipe B, yaitu usaha pemotonganhewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar Propinsi.Tipe Btermasuk level II: berhak memperoleh NKV dengan kategori baik(menuju kulifikasi ekspor);
c. Usaha pemotongan hewan tipe C, yaitu usaha pemotonganhewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar Kabupatendalam satu Provinsi. Tipe C termasuk leve III : berhakmemperoleh NKV dengan kategori cukup;
d. Usaha pemotongan hewan tipe D, yaitu usaha pemotonganhewan untuk penyediaan daging kebutuhan dalam Kabupaten.Tipe D termasuk level IV : masih dalam tahap pembinaan untukmemperoleh NKV.
(3) Ijin Usaha Pendirian Rumah Potong Hewan menurut jeniskegiatannya meliputi :
a. Usaha pemotongan hewan kategori I yaitu usaha pemotonganhewan yang berupa kegiatan melaksanakan pemotongan hewanmilik sendiri di rumah pemotongan hewan milik sendiri;
b. Usaha pemotongan hewan kategori II yaitu usaha pemotonganhewan yang berupa kegiatan menjual jasa pemotongan hewanatau melaksanakan pemotongan hewan milik orang lain;
c. Usaha pemotongan hewan kategori III yaitu usaha pemotonganhewan yang berupa kegiatan melaksanakan pemotongan hewanpada rumah pemotongan hewan milik orang lain.
Bagian Ketiga
Ijin Usaha Pendirian Rumah Potong Unggas
Pasal 6
(1) Setiap Rumah Potong Unggas wajib memiliki ijin pendirian RumahPotong Unggas.
(2) Ijin Usaha Pendirian Rumah Potong Unggas menurut luasperedarannya meliputi :
a. Usaha pemotongan Unggas tipe A, yaitu usaha pemotonganUnggas untuk penyediaan daging kebutuhan ekspor;
b. Usaha pemotongan Unggas tipe B, yaitu usaha pemotonganUnggas untuk penyediaan daging kebutuhan antar Propinsi.TipeB termasuk level II : berhak memperoleh NKV dengan kategoribaik (menuju kulifikasi ekspor);
SALINAN
- 10 -
c. Usaha pemotongan Unggas tipe C, yaitu usaha pemotonganUnggas untuk penyediaan daging kebutuhan antar Kabupatendalam satu Provinsi. Tipe C termasuk level III : berhakmemperoleh NKV dengan kategori cukup;
d. Usaha pemotongan Unggas tipe D, yaitu usaha pemotonganUnggas untuk penyediaan daging kebutuhan dalam Kabupaten.Tipe D termasuk level IV : masih dalam tahap pembinaan untukmemperoleh NKV.
(3) Ijin Usaha Pendirian Rumah Potong Unggas menurut jeniskegiatannya meliputi :
a. Usaha pemotongan unggas kategori I yaitu usaha pemotonganunggas yang berupa kegiatan melaksanakan pemotonganunggas milik sendiri di rumah pemotongan unggas milik sendiri;
b. Usaha pemotongan unggas kategori II yaitu usaha pemotonganunggas yang berupa kegiatan menjual jasa pemotongan unggasatau melaksanakan pemotongan unggas milik orang lain;
c. Usaha pemotongan unggas kategori III yaitu usaha pemotonganunggas yang berupa kegiatan melaksanakan pemotonganunggas pada rumah pemotongan unggas milik orang lain.
Bagian KeempatIjin Perluasan Usaha Peternakan
Pasal 7
(1) Ijin perluasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf esetiap perusahaan peternakan, pengusaha rumah potong hewan,pengusaha rumah potong unggas yang melakukan perluasan skalausaha dan/atau penambahan daerah tujuan peredaran/ pemasarandari yang telah diijinkan wajib mengajukan permohonan tertuliskepada Bupati.
(2) Ijin perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlakubagi perusahaan peternakan yang telah memiliki ijin usahapeternakan.
Bagian KelimaIjin Perubahan / Pemindahan Usaha Peternakan
Pasal 8
(1) Setiap perusahaan peternakan yang memiliki Ijin UsahaPeternakan baik lokasi lama maupun baru apabila melakukanpemindahan lokasi, wajib mengajukan permohonan secara tertuliskepada Bupati selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerjasebelum dilakukan pemindahan lokasi, akan dilaksanakan di lokasibaru.
(2) Setiap perusahaan peternakan yang memiliki Ijin UsahaPeternakan, apabila melakukan perubahan nama, alamat dan/ataupenanggung jawab perusahaan, wajib memberitahukan secaratertulis kepada Bupati selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerjasebelum dilakukan perubahan, selanjutnya dilakukan pemeriksaanadministrasi dan peninjauan lokasi.
SALINAN
- 11 -
Bagian KeenamIjin Pembukaan Cabang / Perwakilan
Pasal 9
(1) Setiap perusahaan peternakan yang memiliki Ijin Usaha Peternakanyang membuka Cabang Perwakilan Perusahaan wajib melaporsecara tertulis kepada Bupati, selanjutnya dilakukan pemeriksaanadministrasi dan peninjauan lokasi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanyalaporan dan dokumen secara lengkap dan benar dan dicatat/didaftarkan dalam buku laporan pembukaan cabang / perwakilanperusahaan dan selanjutnya dibubuhkan tanda tangan, Cap Stempelpada foto copy SIUP Perusahaan Pusat sebagai bukti SIUP tersebutberlaku bagi cabang / perwakilan perusahaan.
(3) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan (2) diatur lebih lanjut oleh Bupati.
BAB IVPERSYARATAN PERUSAHAAN PETERNAKAN
Bagian KesatuIjin Usaha / Perusahaan Peternakan
Pasal 10
Setiap orang atau Badan Usaha yang melakukan kegiatan di bidangpeternakan secara sendiri atau dengan bantuan orang lain dalam jumlahsekurang-kurangnya sesuai dengan : jenis ternak, jenis unggas yangdiusahakan tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dariPeraturan Daerah ini terdiri usaha peternakan :
1. Ayam potong / pedaging2. Ayam petelur3. Ayam bibit4. Sapi perah5. Sapi potong6. Babi7. Kambing8. Domba9. Kerbau
10. Kuda11.Kelinci12.Rusa13.Itik14.Angsa15.Entok16.Burung dara17.Burung puyuh18.Kalkun
Bagian KeduaIjin Usaha Rumah Potong Hewan
Pasal 11
(1) Tata cara dan persyaratan pendirian usaha peternakan diatur lebihlanjut oleh Bupati.
(2) Rumah Pemotongan Hewan untuk memenuhi kebutuhan daginglokal Kabupaten maupun lainnya tentang persyaratan dan tata carapendiriannya diatur lebih lanjut oleh Bupati.
(3) Pemotongan Hewan untuk memenuhi kebutuhan daging ekspor/dalam negeri wajib memenuhi persyaratan.
(4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah Aman,Sehat, Utuh dan Halal (ASUH)
SALINAN
- 12 -
(5) Dengan Pembuktian telah diperiksanya daging tersebut oleh petugaspemeriksa daging.
BAB V
KETENTUAN MASA BERLAKUNYA IJIN DAN PENCABUTAN IJIN
Pasal 12
(1) Masa berlakunya Ijin Usaha Peternakan selama 3 (tiga) tahun dandapat diperpanjang (selama pengusaha tersebut melakukan kegiatanpeternakan dengan tidak melanggar peraturan perundang-undanganyang berlaku).
(2) Ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku apabila :
a. Masa berlakunya berakhir;
b. Pemilik ijin meninggal dunia dan tidak dialihkan kepada ahliwarisnya.
(3) Ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dicabut apabila :
a. Atas permohonan pemilik ijin;
b. Tidak melakukan kegiatan peternakan secara nyata dalam waktu3 (tiga) bulan sejak dikeluarkannya Ijin Usaha Peternakan ataumenghentikan kegiatannya selama 1 (satu) tahun berturut-turut;
c. Melakukan pemindahan lokasi kegiatan peternakan tanpapersetujuan tertulis dari pejabat yang berwenang memberi ijin;
d. Melakukan perluasan tanpa memiliki Ijin Perluasan dari pejabatyang berwenang memberi ijin;
e. Tidak menyampaikan laporan secara berkala setiap 6 (enam)bulan selama 3 (tiga) kali berturut-turut;
f. Memindahtangankan pemberian ijin kepada pihak lain tanpamemberitahukan terlebih dahulu kepada pemberi ijin (Bupati);
g. Pemilik ijin mengundurkan diri dari kegiatan usahanya yangditunjuk olehnya;
h. Melakukan usaha diluar yang telah ditetapkan dalam ijin;
i. Melakukan kegiatan usaha diluar yang telah ditetapkan dalam ijin;
j. Tidak dipenuhinya ketentuan perijinan sebagaimana diatur dalamPeraturan Perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIPELAPORAN
Pasal 13
(1) Perusahaan yang telah memiliki Ijin Usaha Peternakan wajibmelaporkan kegiatan usahanya kepada Bupati.
(2) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaturlebih lanjut oleh Bupati.
BAB VII
KEMITRAAN
Pasal 14
(1) Perusahaan Peternakan dapat melakukan kemitraan usaha
peternakan dengan perusahaan di bidang peternakan atau
peternakan rakyat.
SALINAN
- 13 -
(2) Perusahaan Peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. Perusahaan Pemotongan Hewan, Babi dan/atau Ayam;
b. Pabrik Pakan;
c. Perusahaan Perdagangan Sarana Produksi Peternakan;
d. Perusahaan Pembibitan.
(3) Kemitraan usaha dilakukan secara sukarela, saling membantu, saling
memperkuat dan saling menguntungkan.
(4) Perusahaan peternakan berfungsi sebagai perusahaan inti
sedangkan peternakan rakyat berfungsi sebagai plasma.
BAB VIII
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 15
(1) Pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan ijin usaha
peternakan dan pendaftaran Peternakan Rakyat dilakukan oleh
Bupati atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara langsung atau tidak langsung.
(3) Pengawasan langsung berupa kegiatan bimbingan dan pengawasan
yang dilakukan di lokasi kegiatan usaha peternakan.
(4) Pengawasan tidak langsung berupa penyampaian laporan kepada
pemberi ijin usaha oleh perusahaan peternakan yang telah memiliki
ijin usaha secara tertulis kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk.
(5) Perusahaan yang telah memiliki ijin usaha peternakan wajib
menyampaikan laporan kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk
secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali mengenai kegiatan
usahanya.
(6) Tata cara serta bentuk pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Bupati.
BAB IX
NAMA, OBYEK DAN SUBYEK RETRIBUSI
Pasal 16
Dengan nama Retribusi Usaha Peternakan dipungut Retribusi sebagai
pembayaran atas pelayanan pemberian tanda daftar, rekomendasi dan
ijin usaha peternakan.
Pasal 17
Obyek Retribusi adalah pelayanan pemberian tanda daftar, rekomendasi
dan ijin usaha peternakan untuk jangka waktu tertentu.
SALINAN
- 14 -
Pasal 18
Subyek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang diberi tanda
daftar, rekomendasi dan ijin usaha peternakan.
BAB X
MASA RETRIBUSI
Pasal 19
Masa berlaku tanda daftar, rekomendasi dan ijin usaha peternakan
adalah disamakan dengan masa retribusi.
Pasal 20
(1) Tanda daftar, rekomendasi dan ijin usaha peternakan tidak berlaku,
apabila :
a. Masa berlaku telah berakhir;
b. Atas permintaan Subyek Retribusi;
c. Subyek Retribusi meninggal dunia;
d. Subyek Retribusi mengalihkan kepada pihak lain tanpa ijin tertulis
dari Bupati atau pejabat yang ditunjuk;
e. Subyek Retribusi tidak menggunakan tanda daftar, rekomendasi
dan ijin usaha peternakan yang bersangkutan sebagaimana yang
telah ditetapkan;
f. Subyek Retribusi tidak dapat memenuhi kewajiban dan syarat-
syarat yang telah ditetapkan;
g. Badan sebagai Subyek Retribusi bubar atau dibubarkan;
h. Usaha peternakan yang bersangkutan diperlukan untuk
kepentingan Pemerintah atau kepentingan umum.
(2) Dalam hal Subyek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf h masih memiliki masa berlaku Obyek Retribusi maka
Pemerintah Daerah wajib memberikan ganti rugi.
(3) Dalam hal Subyek Retribusi meninggal dunia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, ahli waris dapat meneruskan tanda
daftar, rekomendasi dan ijin usaha peternakan, setelah melaporkan
terlebih dahulu kepada Bupati untuk diadakan perubahan Obyek
Retribusi.
Pasal 21
(1) Dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah masa berlakunya
tanda daftar, rekomendasi dan ijin usaha peternakan berakhir, harus
dikembalikan seperti keadaan semula atas biaya Subyek Retribusi.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dipenuhi, pengembalian seperti keadaan semula akan dilakukan oleh
Pemerintah Daerah atas biaya Subyek Retribusi.
SALINAN
- 15 -
(3) Segala sesuatu sebagai akibat pengembalian seperti keadaan
semula yang tidak diambil oleh Subyek Retribusi setelah lewat waktu
1 (satu) bulan sejak dilakukan pengembalian seperti keadaan semula
dinyatakan di bawah penguasaan Pemerintah Daerah.
BAB XI
GOLONGAN RETRIBUSI
Pasal 22
Retribusi usaha peternakan digolongkan sebagai Retribusi Perijinan
tertentu.
BAB XII
CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA
Pasal 23
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis, jumlah dan jangka
waktu Retribusi usaha peternakan.
BAB XIII
PRINSIP DAN SASARAN DALAM PENETAPAN
STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI
Pasal 24
Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif
retribusi didasarkan pada tujuan menutup sebagian biaya pelayanan
Retribusi usaha peternakan.
BAB XIV
STRUKTUR DAN BESARAN TARIF RETRIBUSI
Pasal 25
(1) Tarif Retribusi digolongkan berdasarkan jenis, luas, modal dan
jangka waktu tanda daftar, rekomendasi dan ijin usaha peternakan.
(2) Struktur dan besaran tarif Retribusi Usaha Peternakan tercantum
dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
BAB XV
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 26
Retribusi yang terutang dipungut di wilayah daerah pemberian tanda
daftar, rekomendasi dan ijin usaha peternakan.
SALINAN
- 16 -
BAB XVI
MASA RETRIBUSI DAN RETRIBUSI TERUTANG
Pasal 27
(1) Masa retribusi adalah jangka waktu yang lamanya sebagaimana
ditetapkan SKRD atau Dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Retribusi terutang adalah pada saat diterbitkannya SKRD atau
dokumen lain yang dipersamakan.
BAB XVII
SURAT PENDAFTARAN
Pasal 28
(1) Wajib Retribusi wajib mengisi SPdORD.
(2) SPdORD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi dengan
jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Retribusi
atau Kuasanya.
(3) Bentuk, isi dan tata cara pengisian serta pengembalian SPdORD
diatur lebih lanjut oleh Bupati.
BAB XVIII
PENETAPAN RETRIBUSI
Pasal 29
(1) Berdasarkan SPdORD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) ditetapkan Retribusi terutang dengan menerbitkan SKRD atau
dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan ditemukan data baru
dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
penambahan jumlah Retribusi yang terutang, maka SKRDKBT
dikeluarkan.
(3) Bentuk, isi dan tata cara penerbitan SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan SKRDKBT
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Bupati.
BAB XIX
TATA CARA PEMUNGUTAN
Pasal 30
(1) Pemungutan Retribusi tidak dapat diborongkan.
(2) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain
yang dipersamakan, dan SKRDKBT.
SALINAN
- 17 -
BAB XX
TATA CARA PEMBAYARAN RETRIBUSI
Pasal 31
(1) Pembayaran Retribusi dilakukan di Kas Daerah atau di tempat lain
yang ditunjuk sesuai waktu yang ditentukan dengan menggunakan
SKRD, SKRD Jabatan dan SKRD Tambahan.
(2) Dalam hal pembayaran dilakukan di tempat lain yang ditunjuk, maka
hasil penerimaan Retribusi harus disetor ke Kas Daerah selambat-
lambatnya 1 x 24 jam atau dalam waktu yang ditentukan oleh Bupati.
(3) Apabila pembayaran Retribusi dilakukan setelah lewat waktu yang
ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dikenakan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua perseratus)
dengan menerbitkan STRD.
Pasal 32
(1) Pembayaran Retribusi harus dilakukan secara tunai/ lunas.
(2) Bupati atau pejabat yang ditunjuk dapat memberi ijin dan/atau
rekomendasi kepada Wajib Retribusi untuk mengangsur Retribusi
terutang dalam jangka waktu tertentu dengan alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(3) Tata cara pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan oleh Bupati.
(4) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat mengijinkan Wajib Retribusi
untuk menunda pembayaran Retribusi sampai batas waktu yang
ditentukan dengan alasan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Pasal 33
(1) Pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
diberikan tanda bukti pembayaran.
(2) Setiap pembayaran dicatat dalam buku penerimaan.
(3) Bentuk, isi, kualitas, ukuran buku dan tanda bukti pembayaran
Retribusi ditetapkan oleh Bupati.
BAB XXI
TATA CARA PENAGIHAN RETRIBUSI
Pasal 34
(1) Pelaksanaan penagihan Retribusi dikeluarkan setelah 7 (tujuh) hari
sejak jatuh tempo pembayaran dengan mengeluarkan surat bayar/
penyetoran atau surat lainnya yang sejenis sebagai awal tindakan
pelaksanaan penagihan.
SALINAN
- 18 -
(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal Surat Teguran/
peringatan/ surat lain yang sejenis, Wajib Retribusi harus melunasi
Retribusinya yang terutang.
(3) Surat Teguran/ penyetoran atau surat lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh pejabat yang ditunjuk.
Pasal 35
Bentuk-bentuk formulir yang dipergunakan untuk pelaksanaan
Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)
ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 36
(1) Pembayaran Retribusi yang terutang harus dilunasi sekaligus.
(2) Retribusi yang terutang dilunasi selambat-lambatnya 15 (lima belas)
hari sejak diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan, SKRDKBT dan STRD.
(3) Tata cara pembayaran, penyetoran dan tempat pembayaran
Retribusi diatur lebih lanjut oleh Bupati.
BAB XXII
KEBERATAN
Pasal 37
(1) Wajib Retribusi dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati
atau pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan, SKRDKBT dan SKRDLB.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai
alasan-alasan yang jelas.
(3) Dalam hal Wajib Retribusi mengajukan keberatan atas ketetapan
Retribusi, Wajib Retribusi harus dapat membuktikan ketidakbenaran
ketetapan Retribusi tersebut.
(4) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
bulan sejak tanggal SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan,
SKRDKBT, dan SKRDLB diterbitkan kecuali apabila Wajib Retribusi
tertentu dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu dapat dipenuhi
karena keadaan diluar kekuasaannya.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (2) dan (3) tidak dianggap sebagai surat
keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi
dan pelaksanaan penagihan Retribusi.
SALINAN
- 19 -
Pasal 38
(1) Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
surat keberatan diterima harus memberi Keputusan atas keberatan
yang diajukan.
(2) Keputusan Bupati atas dasar keberatan dapat berupa menerima
seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya
Retribusi yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah
lewat dan bupati tidak memberikan suatu keputusan, keberatan yang
diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
BAB XXIII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 39
(1) Atas kelebihan pembayaran Retribusi, Wajib Retribusi dapat
mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati.
(2) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 2
(dua) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilampaui dan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan
suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan Retribusi
dianggap dikabulkan dan SKRDLB harus diterbitkan dalam waktu
paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Apabila Wajib Retribusi mempunyai utang Retribusi lainnya,
kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang
Retribusi dimaksud.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2
(dua) bulan sejak diterbitkannya SKRDLB.
(6) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi dilakukan
setelah lewat waktu 2 (dua) bulan, Bupati memberikan imbalan
bunga sebesar 2 % (dua perseratus) sebulan atas keterlambatan
pembayaran kelebihan Retribusi.
Pasal 40
(1) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi
diajukan secara tertulis kepada Bupati dengan sekurang-kurangnya
menyebutkan:
1. nama dan alamat Wajib Retribusi;
2. masa Retribusi;
3. besarnya kelebihan pembayaran;
4. alasan yang singkat dan jelas;
SALINAN
- 20 -
(2) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi
disampaikan secara langsung atau melalui pos tercatat.
(3) Bukti penerimaan oleh pejabat atau bukti pengiriman pos tercatat
merupakan bukti saat permohonan diterima oleh Bupati.
Pasal 41
(1) Pengembalian kelebihan Retribusi dilakukan dengan menerbitkan
Surat Perintah Membayar Kelebihan Retribusi (SPMKR).
(2) Apabila kelebihan pembayaran Retribusi diperhitungkan dengan
hutang Retribusi lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (4), pembayaran dilakukan dengan cara pemindahbukuan dan
bukti pemindahbukuan juga berlaku sebagai bukti pembayaran.
BAB XXIV
PENGURANGAN, KERINGANAN DAN
PEMBEBASAN RETRIBUSI
Pasal 42
(1) Bupati berdasarkan permohonan Wajib Retribusi dapat memberikan
pengurangan, keringanan dan pembebasan Retribusi.
(2) Tata cara pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
oleh Bupati.
BAB XXV
KADALUWARSA
Pasal 43
(1) Hak untuk melakukan penagihan Retribusi kadaluwarsa setelah
melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat
terutangnya Retribusi, kecuali apabila Wajib Retribusi melakukan
tindak pidana di bidang Retribusi Daerah.
(2) Kadaluwarsa penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tertangguh apabila :
a. diterbitkan surat teguran atau
b. ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi baik
langsung maupun tidak langsung.
BAB XXVI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 44
Dalam hal Wajib Retribusi tidak membayar tepat pada waktu atau
kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2 %
(dua Perseratus) setiap bulan dari Retribusi yang terutang atau kurang
dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD.
SALINAN
- 21 -
BAB XXVII
PENYIDIKAN
Pasal 45
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah
Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
berlaku.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau
laporan, berkenaan dengan tindak pidana di bidang Retribusi
Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap
dan jelas;
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai
orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang
dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Retribusi
Daerah;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau
badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Retribusi
Daerah;
d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen
lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah;
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta
melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah;
g. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung
dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa
sebagaimana dimaksud pada huruf c;
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana
Retribusi Daerah;
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
j. Menghentikan penyidikan;
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana di bidang Retribusi Daerah menurut Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya
kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
SALINAN
- 22 -
BAB XXVIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 46
(1) Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga
merugikan keuangan Daerah dapat diancam dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak 4
(empat) kali jumlah Retribusi yang terutang.
(2) Tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
BAB XXIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 47
Pengenaan retribusi usaha peternakan dikecualikan bagi :
a. Setiap Perusahaan Negara yang berbentuk Perusahaan Jawatan
(PERJAN)
b. Setiap Perusahaan Kecil Perorangan yang dijalankan oleh pribadi
pengusahanya sendiri atau dengan mempekerjakan hanya anggota
keluarganya sendiri yang terdekat serta tidak memerlukan ijin usaha
dan tidak merupakan suatu badan.
BAB XXX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang
mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut oleh Bupati.
Pasal 49
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Mojokerto.
Ditetapkan di Mojokerto
pada tanggal 5 Pebruari 2009
BUPATI MOJOKERTO,
ttd
SUWANDI
Diundangkan di Mojokerto
pada tanggal 5 Pebruari 2009
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO,
ttd
BUDIYONO
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO TAHUN 2009 NOMOR 6
SALINAN
PENJELASANATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTONOMOR 6 TAHUN 2009
TENTANGRETRIBUSI USAHA PETERNAKAN
I. UMUM
Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhirdengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 bahwa Retribusi Usaha Peternakanmerupakan urusan yang diserahkan kepada Daerah untuk itu dalam upayameningkatkan pelayanan di bidang peternakan perlu dilakukan pembinaan,pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang,penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas di bidangpeternakan guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarianlingkungan, serta guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
Dalam rangka memberi perlindungan kepada masyarakat dari praktekpemberian tanda daftar, rekomendasi dan ijin usaha peternakan yang tidakmemenuhi standar atau tidak bermutu agar tidak membahayakan keselamatan dankesehatan serta memberi kepastian hukum bagi masyarakat dalam berperan sertauntuk pembangunan di bidang peternakan.
Serta dalam melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan PemerintahNomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, maka untuk memberikanpenegasan bagi Pemerintah Daerah dalam usaha peternakan, maka perludituangkan dalam suatu Peraturan Daerah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1Cukup jelas.
Pasal 2Cukup jelas.
Pasal 3Cukup jelas.
Pasal 4Cukup jelas.
Pasal 5Cukup jelas.
Pasal 6Cukup jelas.
Pasal 7Cukup jelas.
Pasal 8Cukup jelas.
Pasal 9Cukup jelas.
Pasal 10Cukup jelas.
Pasal 11Cukup jelas.
Pasal 12Cukup jelas.
Pasal 13Cukup jelas.
Pasal 14Cukup jelas.
SALINAN
- 2 -
Pasal 15Cukup jelas.
Pasal 16Cukup jelas.
Pasal 17Cukup jelas.
Pasal 18Cukup jelas.
Pasal 19Cukup jelas.
Pasal 20Cukup jelas.
Pasal 21Cukup jelas.
Pasal 22Cukup jelas.
Pasal 23Cukup jelas.
Pasal 24Cukup jelas.
Pasal 25Cukup jelas.
Pasal 26Cukup jelas.
Pasal 27Cukup jelas.
Pasal 28Cukup jelas.
Pasal 29ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dokumen lain yang dipersamakan” adalahantara lain berupa surat tanda terima telah membayar Retribusi.
ayat (2)Cukup jelas.
ayat (3)Cukup jelas.
Pasal 30ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tidak dapat diborongkan” adalah bahwaseluruh proses kegiatan pemungutan Retribusi tidak dapat diserahkankepada pihak ketiga. Namun dalam pengertian ini tidak berarti bahwaPemerintah Daerah tidak boleh bekerja sama dengan pihak ketiga.Dengan sangat selektif dalam proses pemungutan Retribusi,Pemerintah Daerah dapat mengajak bekerja sama Badan tertentuyang karena profesionalismenya layak dipercaya ikut melaksanakansebagian tugas pemungutan jenis Retribusi secara lebih efisien.Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan adalah kegiatanpenghitungan besarnya Retribusi yang terutang, pengawasanpenyetoran Retribusi dan penagihan Retribusi.
ayat (2)Cukup jelas
Pasal 31Cukup jelas.
Pasal 32Cukup jelas.
Pasal 33Cukup jelas.
Pasal 34Cukup jelas.
SALINAN
- 3 -
Pasal 35Cukup jelas.
Pasal 36Cukup jelas.
Pasal 37Cukup jelas.
Pasal 38Cukup jelas.
Pasal 39Cukup jelas.
Pasal 40Cukup jelas.
Pasal 41Cukup jelas.
Pasal 42Cukup jelas.
Pasal 43Cukup jelas.
Pasal 44Cukup jelas.
Pasal 45Cukup jelas.
Pasal 46Cukup jelas.
Pasal 47Cukup jelas.
Pasal 48Cukup jelas.
Pasal 49Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO NOMOR 5
SALINAN
LAMPIRAN I : PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTONOMOR 6 TAHUN 2008TANGGAL 5 Pebruari 2009
KLASIFIKASI BESARNYA TARIF RETRIBUSI IJIN USAHA PETERNAKAN DANPENDAFTARAN USAHA PETERNAKAN RAKYAT
No. Jenis Ternak
IJIN USAHA PETERNAKANTANDA DAFTAR USAHAPETERNAKAN RAKYAT
Jumlah Ternak (EK)Tarif
Retribusi(Rp.)
Jumlah Ternak (EK)Tarif
Retribusi(Rp.)
1. Ayam Ras Petelur 10.000 > 500.000 500-10.000 150.000
Tambah kelipatan10.000
100.000
2. Ayam Ras Potong 15.000/siklus 500.000 1.000-15.000/siklus 150.000
Tambahkelipatan15.000/siklus
100.000
3. Itik, Entog danAngsa
> 15.000 campuran 500.000 1.000-15.000 campuran 150.000
4. Kalkun > 10.000 campuran 500.000 500-10.000 campuran 150.000
5. Burung Puyuh dan > 25.000 campuran 500.000 2.500-25.000 campuran 150.000
atau Merpati
6. Kambing, Domba > 300 campuran 500.000 50-300 campuran 150.000
dan atau Rusa
7. Babi > 125 campuran 1.000.000 20-125 campuran 250.000
8. Sapi Potong > 100 campuran 1.000.000 50-100 campuran 250.000
9. Sapi Perah > 20 campuran 1.000.000 25-75 campuran 250.000
10. Kerbau > 75 campuran 1.000.000 25-75 campuran 250.000
11. K u d a > 50 campuran 1.000.000 10-50 campuran 250.000
12. Kelinci > 1.500 campuran 1.000.000 500-1.500 campuran 150.000
BUPATI MOJOKERTO,
ttd
SUWANDI
SALINAN
LAMPIRAN II : PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTONOMOR 6 TAHUN 2008TANGGAL 5 Pebruari 2009
KLASIFIKASI BESARNYA TARIF RETRIBUSI IJIN USAHA PETERNAKAN LAINNYA
No. Jenis PelayananTipe/ Kategori Kelas/Kategori Kelas/Kategori Kelas/Kategori
A/I Rp.B/I,II, III
Rp.C/I,II, III
Rp.D/I,II, III
Rp.
1. Rumah Potong Hewan v 500.000 v 400.000 v 300.000 v 400.000
2. Rumah Potong Unggas v 500.000 v 400.000 v 300.000 v 400.000
3. Usaha Pemotongan Hewan v 400.000 v 300.000 v 200.000 v 300.000
4. Usaha Pemotongan Unggas v 400.000 v 300.000 v 200.000 v 300.000
5. Pembukaan
Cabang/Perwakilan
v 400.000 v 300.000 v 200.000 v 300.000
6. Perluasan Peternakan v 400.000 v 300.000 v 200.000 v 300.000
7. Perdagangan Sarana
Peternakan
v 400.000 v 300.000 v 200.000 v 300.000
8. Pendirian Pabrik Pakan v 400.000 v 300.000 v 200.000 v 300.000
Keterangan :
- Kelas A : Usaha untuk penyediaan kebutuhan ekspor;
- Kelas B : Usaha untuk penyediaan kebutuhan antar Kabupaten/Kota dalam Propinsi;
- Kelas C : Usaha untuk penyediaan kebutuhan dalam Daerah;
- Kelas B : Usaha untuk penyediaan kebutuhan antar Kabupaten/Kota luar Propinsi;
- Kategori I : Usaha pemotongan hewan milik sendiri di Rumah Pemotongan Hewan milik sendiri;
- Kategori II : Usaha pemotongan hewan dengan cara menjual jasa/memotong hewan milik orang
lain;
- Kategori III : Usaha pemotongan hewan pada Rumah Pemotongan Hewan milik orang
lain/Pemerintah.
BUPATI MOJOKERTO,
ttd
SUWANDI