pembimbing prof. dr. h.m. atho mudzhar,...
TRANSCRIPT
MEDIASI ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama Bidang
Hukum (MA.Hk) Pada Shari‘ah
Pembimbing
Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD
Diajukan oleh:
Hifdhotul Munawaroh
NIM : 12.2.00.0.01.01.0179
Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
Periode: 2013/2014
ii
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Rabb al-‘Izzah atas segala
petunjuk dan kemurahan-Nya tesis yang berjudul Mediasi Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam ini bisa
terselesaikan. Sholawat dan salam semoga tercurah untuk baginda Nabi besar
Muhammad SAW yang memberi jalan penerangan melalui dakwah dan pendidikan.
Atas terselesainya tesis ini, penulis banyak berhutang budi kepada beberapa
pihak yang telah membantu, baik moral maupun material. Kepada mereka penulis
menyampaikan ribuan rasa terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya dan
berdo’a semoga Allah Ta’ala memberikan balasan yang tinggi serta menjadi nilai
amal yang baik disisi-Nya.
Ucapan terimakasih dan penghargaan tersebut penulis sampaikan kepada
yang terhormat Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD sebagai pembimbing yang
telah sabar memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini, kepada Prof. Dr. Dede
Rosyada, MA dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA sebagai Rektor dan Direktur
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para deputi yang
telah menyiapkan sarana, fasilitas, dan memberikan kebijakan-kebijakan untuk
memacu berkembangnya suasana akademik di Sekolah Pascasarjana. Terimakasih
juga penulis sampaikan kepada Dr. JM. Muslimin, MA selaku ketua Program studi
Magister, Prof. Dr. Didin Saepudin, MA, selaku ketua program studi doctor. Tak
lupa yang terhormat Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Swito, MA, Prof. Dr.
H. Abdul Ghani Abdullah, SH, Dr. Yusuf Rahman, Prof. Dr. Sukron Kamil, Dr.
Sudarnoto Abdul Hakim, Prof. Said Agil Al Munawar, MA, Dr. Asep Saepudin
Jahar, MA, Prof. Iik Mansoor Nur, MA, Dr. Suprapto yang telah memberikan
masukan dan kritikan melalui beberapa ujian.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat
langsung maupun tidak langsung dalam membantu penyelesaian penelitian ini,
seperti petugas perpustakaan Pascasarjana, Pak Roviq yang telah membantu penulis
dalam mencari buku-buku yang diperlukan, petugas akademik di sekretariat
Sekolah Pascasarjana yang telah membantu memberikan informasi, Mbak Ima, Mas
Adam, Mas Arif, serta kawan-kawan diskusi yang banyak memberikan inspirasi
dalam penulisan tesis ini, Nurjannah, Nurul, Rahmah, Puji, Ibu Siti Ngainur, Pak
Maimun, Pak Satiri, Khalida, serta teman-teman seangkatan lainnya yang tidak
dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Secara khusus, penulis menyampaikan terimakasih kepada Ketua Majelis
Adat Aceh (MAA), Prof. Badruzzaman Ismail, S.H, M.Hum, beserta jajaran,
Kepala Bidang Pengembangan Gampong dan Mukim, Bpk. Sanusi M. Syarief, MA,
beserta jajaran, Ketua Majelis Adat Bener Meriah, Bpk. H. Amin, beserta jajaran,
Polda Aceh, AKP. El Putri, beserta jajaran, Keuchik Gampong, Bpk. Bukhari, Bpk.
Alta Zaini, Bpk. Muh. Asngad, Bpk. Syarifuddin Ismail, Bpk. M. Samir, Sekretaris
Gampong, Bpk. Amin H, Bpk. Faishal, Bpk. A Muthollib, beserta jajaran,
fungsionaris adat yang lain, dan tokoh adat perempuan di Banda Aceh, Pidie, Pidie
Jaya, dan Bener Meriah, Rekan Rahmalena, Sri Wahyuni, Ratna, Vonna Hilmi,
Faishal, Faiz, Ibu Novi, Ibu Lena, dan rekan-rekan lain yang tidak mampu penulis
iv
sebutkan satu persatu atas waktu dan informasinya dalam membantu penulis
menyelesaikan tesis ini.
Terakhir namun teristimewa, ucapan terimakasih penulis kepada orangtua
penulis, Ayahanda Drs. H. A. Mahfudz Abduh, M.Si, dan Ibunda Hj. Aisyah,
penulis haturkan salam ta‘zim yang tertinggi atas semua do’a dan kesabaran serta
ridhonya hingga akhirnya penulis dapat merampungkan sekolah ini. Untuk adik-
adikku, Fadlullah Al Haqqy, Ahmad Muyassar Al Haqqy, dan Ahmad Rusydi
Niamiy Al Haqqy, semoga Allah memberikan kemudahan disetiap urusannya dan
Allah melimpahkan Rahmat dan Berkahnya kepada keluarga tersayang. Akhirnya,
tulisan ini penulis persembahkan untuk mereka semua keluarga tersayang.
Sebagai hasil karya penelitian, tesis ini dipastikan banyak kekurangan
dan sarat dengan kelemahan dikarenakan kedangkalan penalaran penulis dan
kurangnya informasi dan refrensi. Oleh karena itu, penulis berharap ada
masukan dan kritik yang membangun dan bisa memperbaiki sehingga
penelitian ini dapat diperbaiki dan disempurnakan. Semoga penelitian ini
dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan demi kemajuan bangsa dan
negara.
Jakarta, 9 April 2015
Penulis,
Hifdhotul Munawaroh
v
ABSTRAK
Penelitian ini menyimpulkan bahwa sejumlah kasus sengketa yang terjadi di
Aceh telah diselesaikan secara adat, bukan secara hukum positif. Penyelesaian
sengketa melalui proses peradilan adat dengan menggunakan paradigma mediasi
antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu bagi
masyarakat Aceh. Adanya sifat kesukarelaan dan partisipasi aktif kedua belah pihak
dan masyarakat dalam proses menyelesaikan sengketa, fungsionaris adat yang
bersifat aktif mencari fakta, hasil akhir yang mementingkan kembalinya
kerseimbangan masyarakat yang rusak akibat pesengketaan, menjadikan
penyelesaian sengketa melalui mediasi dan peradilan adat ini sejalan dengan konsep
Restorative Justice. Sanksi peradilan adat disesuaikan pada pertimbangan
fungsionaris peradilan adat atas berat dan ringannya pelanggaran adat yang terjadi.
Peradilan adat juga menjadi peringatan awal bagi masyarakat yang melanggar kasus
pidana diluar kewenangan peradilan adat. Dari perspektif hukum positif, sebagian
penyelesaian sengketa sesuai dengan hukum dan Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia, namun sebagian tidak sesuai dengan hukum dan Undang-Undang yang
berlaku di Indonesia, khususnya pada kasus-kasus yang bukan menjadi kewenangan
peradilan adat. Adapun dari perspektif hukum Islam, penyelesaian sengketa adat
Aceh sebagian sesuai dengan shari>‘at Islam, pada kasus-kasus yang berhubungan
dengan pelanggaran hak-hak adami, hal ini karena diterapkannya sistem al-s}ulh dan
paradigma ta‘zi>r dalam pemberian hukuman bagi pelaku.
Penelitian ini mendukung pernyataan para peneliti sebelumnya, yang
menyatakan bahwa beberapa sengketa pidana dan perdata diselesaikan secara
restoratif, sejalan dengan Chindya Prastiti (2014) pada kasus anak berhadapan
dengan hukum, Mustafa Serdar Ozbek (2011), dan Frida Errikson (2010) pada kasus
perdata dan pidana, mereka menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui
mediasi dan keadilan restoratif menjadi alternatif yang layak dalam sistem hukum
positif karena membangun partisipasi yang aktif antara korban, pelaku, dan
masyarakat. Penelitian ini menolak pendapat Kathleen Dally (2001), dan Russs
Immarigon (1998) bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban, agar
menunjukkan pelaku bertekad menebus kesalahan dengan menjatuhkannya
hukuman, selain itu, keadilan restoratif terlalu banyak memberikan janji-janji
kepada masyarakat.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan empiris normatif historis yang bersifat deskriptif analisis komparatif
dalam penyajian datanya. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan studi pustaka, wawancara, dan observasi sesuai dengan sumber data
yang diperlukan. Adapun sumber data primer diperoleh dari dokumentasi adat,
bahan hukum primer, dan wawancara dengan instansi hukum yang terkait
menangani perkara adat seperti Majelis Adat aceh, Kepolisian serta Fungsionaris
Gampong dan Mukim, sedangkan sumber data sekunder adalah dokumen-dokumen
resmi, buku dan jurnal ilmiah.
vi
ABSTRACT
This study concludes that some of the disputes case that occurred in Aceh
has been completed by custom, not by positive law. Settlement of dispute through
the custom judicial process by using paradigm of mediation between the parties
gives the positive impact specifically for Aceh society. There are of volunteerism
and active participation of both parties and society in settlement of dispute process,
customs functionaries who are actively searching for facts, the end result is
concerned with the return of the balance of society damaged by disputes, make the
settlement of dispute through mediation process and customary justice is in line
with Restorative Justice concept. Customary sanction adjusted in consideration of
customary judicial functionaries above heavy and light customs violations that
occurred. Customary justice also be an early warning for people who violate the
criminal case beyond the customary justice authority. From the positive law
perspectives, some settlement of disputes in accordance with the law and the law
applicable in Indonesia, but in one side do not accordance, especially in cases that
are not under the authority of customary justice. From islamic law perspective,
settlement of dispute Acehnese customary accordance with Shariat Islam, with the
implementation al-sulh system and ta’zir paradigm in the provision of punishment
for the actors.
This study supports previous researchers statements, stating that some
criminal and civil disputes are resolved in a restorative, in line with Chindya
Prastiti (2014) on the case law dealing with the child, Mustafa Serdar Ozbek
(2011), and Frida Errikson (2010) in civil and criminal cases, they claim that
dispute resolution through mediation and restorative justice to be a viable
alternative in the legal system because of building positive participation active
between the victim, the offender, and the community. The study rejects the opinion
of Kathleen Dally (2001), and Russ Immarigon (1998) that the punishment is
necessary to vindicate the victims, so that shows the offender determined make
amends with a penalty, dropped it in addition, restorative justice gives too many
promises to the community.
This research uses qualitative research method with historicaln ormative
empirical approach which is descriptive of comparative analysis in presentation of
the data. Methods of data collectionin this research useslibrary research, interviews,
and observation accordance with the necessary data sources. The source of primary
data was obtained from the customary documentation, the primary legal materials,
and interviews with relevant legal institutions that handling the customarycases
like the Assembly of Aceh Customary, Constabulary, Gampong Functionaries, and
Mukim. Thesecondarydata sourcesarethe official documents, books, and scholarly
journals.
vii
الملخصأن كثريا من النزاعات اليت حدثت يف أتشيو مت رفعها إىل : الدراسة إىل بعض النتائج منهاتوصلت ىذه
عن طريق احملكمة العرفية حل ادلنازعات. احملكمة العرفية وإهنائها بالقوانني العرفية بدال عن القانون الوضعيإن ىناك عناصر عديدة تساعد . باآلثار اإلجيابية للمجتمع باستخدام الوساطة بني األطراف ادلتنازعة يأيت
ادلشاركة الفعالة من جانب الطرفني واجملتمع، ومسؤولوا العادات : األطراف ادلتنازعة يف حل ادلنازعات، منهاوالتقاليد الذين يبحثون عن احلقائق، وطبيعة العمل التطوعي، واحلرص على النتيجة النهائية مع عودة التوازن
للمجتمعات اليت تضررت من النزاع، كل ىذه العوامل تساعد على إهناء ادلنازعات عن طريق الوساطة يسعى القضاة أن تكون العقوبات مناسبة جبمال . والعدالة التقليدية ادلتماشية مع مفهوم العدالة التصاحلية
تكون احملكمة العرفية دبثابة اإلنذار ادلبكر لألشخاص الذين . (الثقيلة واخلفيفة العرفية األصلية) انتهاكاتمن وجهة نظر القانون الوضعي، جيب أن يكون حل . يرتكبون اجلرائم خارج نطاق القضاء العريف وسلطتو
النزاعات وفقا للقانون الواجب التطبيق يف إندونيسيا، ولكن معظم ىذه القوانني ال تتفق مع القانون . والقانون الواجب التطبيق يف إندونيسيا، وال سيما يف النزاعات اليت ليست داخلة يف نظام القضاء العريفكما أنو من وجهة نظر الشريعة اإلسالمية، يكون حل ادلنازعات عن طريق القضاء العريف يف أتشيو مع
. يف القضايا ادلتعلقة حبقوق اآلدمي تطبيق مبدأ الصلح والتعزير يتفق مع روح الشريعة اإلسالمية أن :يقولون ، مما يبحث عن ىذه ادلادةما توصل إليو الباحثون السابقون بعض يؤكدىذا البحث
يف حال Chindya Prastiti (2014) :فهذا مثل قولالتصاحلية، ببعض النزاعات اجلنائية وادلدنية حلها Frida Erriksonو، Mustafa Serdar Ozbek(2011)وكذلك القانون، ب الذين يتعاملوناألطفال
ادلنازعات عن طريق الوساطة والعدالة التصاحلية أصبح حل أن مها يقوالنيف القضايا ادلدنية وجمرم، (2010)ىذا . بديال جمدا يف نظام القانون الوضعي كما بناء ادلشاركة النشطة من جانب الضحية واجلاين، واجملتمع
أن :الذان يقوالن Russs Immarigon (1998)، و,Kathleen Dally (2001)البحث يرفض على فكرةالعقاب ضروري للدفاع عن الضحايا، من أجل إظهار اجلاين يتم حتديد أن يكفروا مع اخنفاض جزاء،
. باإلضافة إىل ذلك، توفر العدالة التصاحلية الكثري من الوعود للشعب على أساليب البحث النوعي مع النهج التجرييب ادلعياري التارخيي ادلتصف تستخدم الباحثة
طرق مجع البيانات يف ىذا البحث باستخدام طريقة عرب، . بالوصفي التحليلي ادلقارن يف عرض البياناتفأما مصدر البيانات األولية . ومراجعة األدبيات، وادلقابالت، وادلالحظات وفقا دلصادر البيانات ادلطلوبة
اليت مت احلصول عليها من وثائق احملاكمة العرفية، وادلواد القانونية األولية، وادلقابالت مع ادلؤسسات القانونية ذات الصلة اليت تعاجل مسائل السكان األصليني مثل جمليس العرفية ألتشيو، والشرطة، وادلوظفني يف القرية
وأما مصادر البيانات الثانوية ىي وثائق الرمسية، والكتب واجملالت العلمية. وغريىم
viii
ix
Pedoman Transliterasi A. Huruf Arab-Latin
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
s} = ص
d{ = ض
t} = ط
z{ = ظ
ع = „
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
Short: a = ´ ; i = ; u =
Long: a< = ا ; i> = ي ; ū = و
Diphthong: ay = اي ; aw = او
Huruf (ة ) Ta> marbu>t}ah dalam kata benda atau kata sifat nakirah (indefinite)
dan ma’rifah (definite) dilambangkan dengan hukum (h).
S}ala>h صالة
Al-risa>lah الرسالة
Huruf (ة ) Ta> marbu>t}ah dalam kata benda atau kata sifat berfrasa adjektiva
(tarki>b was}fi) dilambangkan dengan huruf (h)
Al-risa>lah al-bahi>yah الرسالة البهية
Al-mar’ah al-s}a>lih}ah ادلرءة الصاحلة
x
Huruf ( ة ) Ta> marbu>t}ah dalam kata benda atau kata sifat majemuk (tarki>b
id}a>fi) dilambangkan dengan huruf (t)
Ida>rat al-madrasah ادارة ادلدرسة
Qa>‘at al-ida>rah قاعة االدارة
B. Vokal
= a و = au --ا = a>
= i ي = ay --ي = i>
= u --و =u>
C. Kata Sandang
Al-Qamar القمر
Al-S}ubh الصبح
Wa al-‘as}r والعصر
D. Shaddah Atau Tashdi>d
Ta‘allam تعلم
Al-h}ajj احلج
Nu‘‘ima نعم
E. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang panjangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan Huruf Huruf dan Tanda
<a آ
<i ي
<u و
xi
DAFTAR SINGKATAN
ACAS : Advisory Conciliation and Arbitration Service
ADR : Alternative Dispute Resolution
APS : Alternatif Penyelesaian Sengketa
FKPM : Forum Komunikasi Polisi dan Masyarakat
HAM : Hak Asasi Manusia
JPU : Jaksa Penuntut Umum
Kapolri : Kepala Polisi Republik Indonesia
KDRT : Kekerasan dalam Rumah Tangga
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHPer : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KUHAP :Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KUHAPer : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
LC : Local Council
MAA : Majelis Adat Aceh
MOU : Memorandum Of Understanding
MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama
NAD : Nanggroe Aceh Darussalam
Perda : Peraturan Daerah
Pergub :Peraturan Gubernur
Perkap : Peraturan Kapolri
Perma :Peraturan Mahkamah Agung
Polmas : Polisi Masyarakat
Polda : Polisi Daerah
PN : Pengadilan Negeri
RUU :Rancangan Undang-Undang
UU : Undang-Undang
UUD :Undang Undang Dasar
UNDP : United Nation Development Programme
SKB : Surat Keputusan Bersama
VOM : Victim Offender Mediation
xii
xiii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................................. v
Pedoman Transliterasi ................................................................................................ ix
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................ xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... xiii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. PERMASALAHAN .................................................................................. 10
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 11
D. Signifikansi Penelitian ............................................................................... 11
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................................................... 11
F. Metodologi Penelitian ............................................................................... 15
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 18
BAB II ................................................................................................................... 19
TEORI PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI ADAT DAN
LITIGASI .............................................................................................................. 19
A. Konsep Mediasi Dalam Praktek Hukum Pidana Indonesia ....................... 19
B. Mediasi dan Perdamaian Dalam Hukum Islam ......................................... 33
C. Konsep Litigasi dalam Penyelesaian Sengketa.......................................... 42
D. Teori Hukum Adat di Indonesia ................................................................ 50
BAB III .................................................................................................................. 55
DINAMIKA HUKUM ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
............................................................................................................................... 55
A. Sejarah Hukum Adat Aceh ........................................................................ 55
B. Penegakkan Hukum Adat .......................................................................... 60
C. Peradilan Adat Aceh Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia .......... 81
D. Hambatan dan Kendala Dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan
Adat 84
xiv
E. Mediasi Oleh Lembaga Adat Aceh dalam menyelesaikan Sengketa ........ 86
BAB IV .................................................................................................................. 91
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI PERADILAN ADAT YANG
BERSIFAT DENDA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF, DAN HUKUM ISLAM
............................................................................................................................... 91
A. Kasus Perusakan ........................................................................................ 91
B. Kasus Pencurian ...................................................................................... 106
C. Kasus Penganiayaan ................................................................................ 132
D. Kasus Asusila .......................................................................................... 150
BAB V ................................................................................................................. 167
PENYELESAIAN SENGKETA ADAT ACEH MELALUI MEDIASI PADA
KASUS YANG BERSIFAT BUKAN DENDA PERSPEKTIF HUKUM
POSITIF, DAN HUKUM ISLAM ...................................................................... 167
A. Kasus Asusila Perzinaan .......................................................................... 167
B. Kasus Tapal Batas ................................................................................... 179
C. Kasus Laka Lantas ................................................................................... 188
D. Kasus Fitnah ............................................................................................ 196
BAB VI ................................................................................................................ 207
PENUTUP ........................................................................................................... 207
A. Kesimpulan .............................................................................................. 207
B. Saran ........................................................................................................ 208
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 211
GLOSSARIUM ....................................................................................................... 229
INDEKS .................................................................................................................. 237
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia termasuk dalam salah satu negara dengan reputasi buruk dalam
penegakan hukum, karena sistem peradilan pidana jauh dari yang diharapkan, serta
proses penyelesaian dan putusannya dinilai meresahkan masyarakat.1
Kasus
pencurian kakao seharga Rp. 2.100 yang mengantarkan Aminah (55 tahun) divonis
PN Purwokerto 1 bulan 15 hari penjara, kasus pencurian buah randu yang
mengantarkan Manisih (40 tahun), Sri Suratmi (19 tahun), Ruswono (14 tahun),
dan Juwono (16 tahun) dihukum 24 hari di PN Batang, atau kasus pencurian sandal
oleh AAL (15 tahun) yang diganjar hakim dengan tindakan mengembalikan ke
orang tua, merupakan putusan hakim dalam kasus-kasus yang banyak dikecam
publik. Polisi dan jaksa seharusnya tidak melanjutkan perkara ke pengadilan jika
dapat diselesaikan melalui alternative penyelesaian yang disepakati kedua belah
pihak. Penyelesaian damai mungkin dilaksanakan karena jika sudah dibawa ke
persidangan, hakim tak mungkin menolak perkara. Meskipun demikian, tugas
hakim bukan semata menegakkan aturan, tetapi juga keadilan. 2
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua proses, yaitu; pertama
proses litigasi didalam pengadilan, kedua proses non litigasi di luar pengadilan.
Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang seringkali
tidak mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah
baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak
responsive, dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa.
Adapun proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat ‚win-
1Salah satu penyebab merosotnya reputasi tersebut adalah karena kinerja aparat
penegak hukum yang kurang baik, dari segi etika atau moral maupun integritas dalam kerja.
Akibatnya, asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan tidak tercapai, sehingga terjadi
penumpukkan perkara diperadilan, dan juga beberapa putusan yang dinilai tidak
mengandung keadilan. (Lihat: Agus Raharjo, ‚Mediasi Sebagai basis dalam penyelesaian
Perkara Pidana‛, Mimbar Hukum, Volume20, (Februari 2008), 91-92
http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/(diakses pada tanggal 15 Februari
2014, pukul 14.30), Lihat Juga : Ahmad Ramzy, ‚Perdamaian dalam hukum Pidana Islam
dan Penerapan Restorative Justice dikaitkan dengan pembaruan hukum pidana di
Indonesia‛, Thesis, Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Juni,
2012 2Muhammad Yasin, dkk, ‚Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif‛, dalam Komisi
Yudisial, ‚Laporan Khusus Satu Tahun Komisi Yudisial Jilid 2, Hakim, dan penerapan
keadilan Restoratif‛,Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan, Vol.VI No. 4 Januari-
Pebruari 2012, 24 Februari, 2012, 13-16,
http://www.komisiyudisial.go.id/files/Buletin/buletin-januari-februari-2012.pdf, diakses
pada 28 januari 2014, Lihat juga: Arbi Anugrah, ‚Mencuri Tiga Buah kakao Nenek Minah
dihukum Tiga Bulan Lima Hari‛, juga Ahmad Toriq, ‚Kasus Pencurian Sandal, Orangtua
diharapkan Dapat membina AAL‛Detik News, Kamis, 05/01/2012 04:06 WIB,
http://news.detik.com/read/2012/01/05/040629/1807006/10/ (diakses pada pada tanggal
24/03/2014 (20:25)
2
win solution‛, menjamin kerahasian sengketa para pihak, menghindari
keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif,
menyelesaikan masalah secara komperhensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga
hubungan baik. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini umumnya disebut
dengan Alternative Dispute Resolution (ADR),3
atau Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS). Istilah tersebut di temukan dalam undang-undang Nomor 30
Tahun 2009 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa /APS. Undang-
undang tersebut mengukuhkan urgensi lembaga APS sebagai mekanisme
penyelesaian sengketa di Indonesia.4
Urgensi APS telah meruntuhkan paradigma litigasi yang dianggap tidak
mampu lagi memenuhi tuntutan penyelesaian sengketa yang lebih kooperatif,
konfidensial, dengan pola ‚win-win‛. Prosedur litigasi lebih menampilkan suatu
‚game‛ sehingga hasilnya adalah ‚win-lost‛, disamping proses maupun putusannya
terbuka untuk umum. Dampak negatif dari litigasi yang dapat melahirkan
terdistorsinya keadilan menjadi ketidakadilan juga turut mendorong kebutuhan
terhadap suatu alternatif penyelesaian sengketa.5
Salah satu APS yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah
proses mediasi yang berpangkal pada filosofi keadilan restoratif. Penggunaan
mediasi dalam sistem hukum Indonesia selain didasarkan pada kerangka peraturan
perundang-undangan negara, juga dipraktikkan dalam penyelesaian sengketa pada
lingkup masyarakat adat secara non litigasi, karena mediasi dipraktekkan dalam
masyarakat Indonesia jauh sebelum istilah mediasi populer digunakan dalam
lingkungan Ilmu hukum.6
Mediasi membawa dampak positif untuk proses
persidangan serta dapat memberikan peluang bagi pelaku untuk sadar dan
bertanggung jawab serta membebaskan pelaku dari perasaan bersalah mereka,
dengan demikian mediasi dapat menjadi ujung tombak dalam reformasi hukum di
Indonesia karena selaras dan sesuai dengan budaya Indonesia yang mengutamakan
musyawarah dan mufakat antara pihak pelaku dan korban.7
3Rachmadi Utsman: Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2013), 5-6 4Saat ini, secara yuridis formal, APS juga telah secara khusus menjadi alternatif
penyelesaian dalam persoalan-persoalan HAM sebagaimana diatur dalam pasal 76 (1)jo.
Pasal 89(4) UU39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. 5R. Benny Rianto, ‚Alternatif penyelesaian Sengketa (APS)‛,
Artikel,http://eprints.undip.ac.id/19278/1/2876-ki-fh-05.pdf, diakses pada 15 Agustus 2014. 6Yance Arizona, ‚Kedudukan Peradilan Adat dalam Hukum Nasional‛, Makalah
disampaikan pada Diskusi tentang Memperkuat Peradilan Adat di Kalimantan Tengah untuk Penguatan Akses terhadap Keadilan, Selasa, 11 Juni 2013. (Diakses pada tanggal 15
Februari 2014, pukul 11.30) 7 Lihat: Ahmad Syaufi, dkk, Penal Mediation as an Alternative for Ther Settlement of
Criminal Case Containing Civil Law AspectIn The Indonesian Criminal Justice System,
Jurnal of Law, Policy, and Globalization, ISSN 2224-3259, Vol. 20-2013, 1, (accessed at
17/3/2014 20.00), Lihat juga: Ainal Mardiyah, Moh. Din, dan Riza Nizarli, Mediasi Penal
sebagai Alternatif Model Keadilan Restoratif Dalam Pengadilan Anak, Jurnal Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Syi’ah Kuala, Volume 1, No. 1, Agustus, 2012,
3
Terdapat dua pandangan teoritis yang menyebabkan mengapa pihak yang
bersengketa memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui pendekatan konsensus,
yaitu negoisasi dan mediasi. Dua pandangan teoritis kompetitif tersebut adalah:
pertama, pandangan teoritis yang merujuk pada kebudayaan sebagai faktor
dominan. Cara penyelesaian konsensus atau mufakat dapat diterima dan digunakan
oleh masyarakat karena pendekatan itu sesuai dengan cara pandang kehidupan
masyarakat itu sendiri. Masyarakat mewarisi tradisi kebudayaan yang menekankan
nilai penting keharmonisan dan kebersamaan dalam kehidupan. Pandangan teoritis
kedua lebih melihat kekuatan (power) yang dimiliki oleh para pihak yang
bersengketa sebagai faktor dominan. Kekuatan (power) tersebut relatif seimbang,
bukan karena seseorang merasa belas kasihan pada pihak lawannya atau karena
terikat dengan nilai budaya atau nilai spiritual, tetapi karena ia memang
membutuhkan kerjasama dari pihak lawan agar sama-sama mencapai tujuan dan
kepentingan yang diinginkannya. Kemampuan untuk menghentikan, mengganggu,
dan melawan pihak lawannya dalam mencapai tujuan adalah sebuah kekuatan
(power) tersebut. CW Moore berpendapat bahwa jika para pihak sama-sama
memiliki kekuatan yang simetris dan seimbang, mereka cenderung menempuh
perundingan dan dapat berjalan lebih efektif.8
Berdasarkan hasil penelitian Matt Stephens, peneliti Bank Dunia yang
meneliti di NTB, Maluku, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah dan Jawa Timur,
sebanyak 80% sengketa yang ada di masyarakat mampu diselesaikan secara
informal di tingkat komunitasnya, tanpa peran pengadilan sama sekali. Ada
beberapa alasan yang menyebabkan masyarakat lebih memilih penyelesaian
sengketa secara informal. Peradilan non negara lebih dipilih karena mudah diakses,
cepat, murah, dan fleksible. Struktur dan norma yang berlaku bersifat longgar untuk
menyesuaikan dengan perubahan sosial.9 Pembentukan peradilan non negara untuk
menangani kasus-kasus ringan sangat dibutuhkan berdasarkan kepada fakta saat ini
bahwa pengadilan overloaded menangani kasus yang masuk.10
Penumpukan perkara
tidak bisa diabaikan sebab dampaknya mengganggu rasa keadilan masyarakat.11
http://prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/jurnal/2012/Agustus/MEDIASI%20PENAL
%20SEBAGAI%20ALTERNATIF.pdf. 8Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat
(Jakarta: Rajawali Pres, 2011), 40-42 9IHW, ‚Perlukah menghidupkan Kembali Peradilan Adat‛, Jum’at 22 Mei 2009,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22068/perlukah-menghidupkan-kembali-
pengadilan-adat(diakses pada 15 Agustus 2014 pukul 11:15) 10
Pada akhir tahun 2013 survey di Mahkamah Agung membuktikan bahwa dalam
setahun tidak kurang dari 20.000-an perkara yang harus ditangani Mahkamah Agung.
(Lihat: Asep Nursobah, ‚Catatan Akhir Tahun: Tingkatkan Kualitas Informasi Perkara, MA
Lakukan Stock Opname Berkas Perkara‛, Selasa, 07 Januari 2014 08:34,
www.pembaruanperadilan.net/v2/category/manajemen_perkara/, (diakses pada tanggal 18
Februari 2014, pukul 09.22) 11
Misbah Zulfa Elizabeth, Solusi hukum Lewat Peradilan Desa, Suara Merdeka, 25
April 2012, http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2012 /04/25/184452, (diakses
pada tanggal 18 Februari 2014, pukul 08.42)
4
Keberadaan peradilan adat saat ini berada pada tataran sangat dibutuhkan,
karena terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang ada, dan
masyarakat tradisional di beberapa daerah pada dasarnya masih memiliki tradisi
hukum yang kuat berdasarkan hukum adat.12
Peradilan adat juga membawa
beberapa aspek positif, yaitu; pertama, hakim bertindak aktif mencari fakta,
meminta nasihat kepada orang tua adat dalam masyarakat, putusannya diambil
berdasarkan musyawarah untuk mufakat, sehingga dapat memuaskan masyarakat;
kedua, pelaksanaan sanksi melibatkan para pihak, sehingga menunjukkan adanya
toleransi yang tinggi antar pihak; ketiga, suasana rukun damai antar pihak dapat
dikembalikan, serta integrasi masyarakat dapat dipertahankan.13
Perdamaian dan
keseimbangan merupakan muara akhir dari perdamaian adat, dengan musyawarah
menjadi metode untuk menemukan perdamaian.14
Masih ditegakkannya hukum adat dilingkungan masyarakat Indonesia
dijamin oleh UUD 1945. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945,15
akan tetapi harus
memenuhi persyaratan obyektif, yaitu sesuai dengan perkembangan masyarakat,
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dalam
undang-undang‛.16
Dalam pasal tersebut terlihat bahwa adanya pengakuan dan
penghormatan terhadap hak–hak kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dalam
12
Tandino Bawor Purbaya, ‚Ketika Negara Tidak Mampu, (Keberadaan Peradilan
Adat dalam Konflik SDA)‛, Makalah disampaikan dalam FGD Pengkajian Hukum Tentang Peluang Peradilan Adat Dalam Menyelesaikan Sengketa Antara Masyarakat Hukum Adat Dengan Pihak Luar; BPHN, 24 Oktober 2013, http://huma.or.id, (diakses pada tanggal 16
februari 2014, pukul 10.02) 13
Rachmadi Utsman: Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2013),195-196. Lihat juga: International Development Law
Organization, ‚Lembaga adat sebagai lembaga Penyelesaian Sengketa‛,
http://www.idlo.int/docNews/213DOC1F.pdf, (diakses pada tanggal 17 Februari 2014,
pukul 11.42) 14
Trisno Raharjo, ‚Mediasi Pidana, Dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat‛, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 17, Juli, 2010, 493, 6,
http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/7%20Trisno%20Rahardjo.pdf, (Diakses
pada tanggal 3 Juni 2014, Pukul 20.45), Lihat juga: World Bank, ‚Menemukan Titik
Keseimbangan Mempertimbangkan Keadilan NonNegara di Indonesia‛, Justice For The Poor, Mei 2009, Bagian III,
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-
1235115695188/5847179-1242977239903/Full.Report.bh.pdf, (diakses pada 5 Juni 2014,
pukul 19:05, 45) 15
‚Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang‛. 16
Deny Satria, ‚Penerapan Hukum Adat Daya’ Kanayatn Dalam Penyelesaian Kasus
Hukum Pidana Di Kabupaten Landak dana Dasar Pemikiran Upaya Pengaturannya kedalam
Lembaga Daerah‛., Jurnal Mahasiswa s2 Universitas Tanjungpura, A. 21211042, hal. 4http://jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/view/4211, (diakses pada 15 Februari
2014, pukul 11.58)
5
UUD 1945 yang dapat dimaknai secara filosofis dan yuridis. Secara filosofis,
pengakuan dan penghormatan tersebut merupakan penghargaan dari negara
terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia. Secara yuridis, ketentuan
tersebut memberikan landasan konstitusional bagi arah politik hukum pengakuan
hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat.17
Dalam Politik Hukum Nasional, terdapat Rancangan Undang-Undang
Peradilan adat yang isinya tentang mekanisme penyelesaian sengketa melalui
lembaga adat dan atau peradilan adat, pasal 44 Bab VIII RUU tentang Pengakuan
dan Perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat:
‚(1) Penyelesaian Sengketa Masyarakat Hukum Adat dapat diselesaikan
melalui lembaga adat dan/atau Peradilan Adat.
(2) Lembaga Adat memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa Masyrakat
Hukum Adat.
(3) Peradilan Adat tidak berwenang mengadili tindak pidana berat dan tindak
pidana khusus.
(4) Peradilan Adat dapat dibentuk oleh Lembaga Adat secara berjenjang dari
Kabupaten/Kota sampai dengan tingkat Provinsi.‛18
Adapun di Aceh, pelaksanaan peradilan adat didukung oleh sejumlah
peraturan perundang-undangan, yaitu pertama, Undang-undang Nomor 44 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh; Undang-undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang pemerintah Aceh; Qa>nu>n Nomor 4 dan 5 Tahun 2003 tentang
Pemerintah Mukim dan Gampoing dalam provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; dan
Qa>nu>n Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat. Sejumlah Qa>nu>n atau Perda tersebut berkedudukan seperti Peraturan
Pemerintah, karena Aceh telah diberikan kewenangan untuk menjalankan
kehidupan adat istiadat, sebagaimana yang tertulis dalam UU Nomor 44 Tahun
1999.
Kondisi kerukunan hidup aman dan tentram merupakan bagian dari nilai-nilai
keadilan dan kesejahteraan masyarakat adat. Perwujudan nilai-nilai ini amat
tergantung pada fungsi dan peran lembaga-lembaga adat dalam masyarakat Aceh.19
Prosesi dan interaksi kehidupan masyarakat Aceh diperankan oleh komunikasi
timbal balik nilai-nilai fungsi Meunasah dan Mesjid, yaitu sebagai sumber inspirasi
yang hidup dan berkembang dalam kawasan Gampong (desa) dan Mukim (federasi
beberapa gampong). Meunasah sebagai pencerminan pembangunan ‛nilai-nilai
17
Eva Achanie Zulfa, Eksistensi Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Pidana
indonesia, Makalah, file:///D:/cover/lampiran_makalah_dr._eva_achjani,_sh.,mh.pdf (diakses
pada 22 Januari 2015) 18
Naskah RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat,
http://parlemen.net/sites/default/files/dokumen/130413-130413-
Naskah%20RUU%20Pengakuan%20%26%20Perlindungan%20Hak%20Masy%20Hukum%
20Adat%2011Apr13.pdf 19
Badruzzaman Ismail, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel, Kata Pengantar, iii, Majelis Adat Aceh, dan UNDP, Proyek Keadilan
Aceh, 2007-2008. iii
6
adat‛ dan Mesjid sebagai pencerminan pembangunan ‛nilai-nilai Islami‛.20
Hukum
adat di Aceh tidak membedakan antara kasus perdata dan pidana. Namun ada
beberapa pertimbangan dan prosedur yang perlu diterapkan jika kasus pidana
sedang diselesaikan.21
Adapun badan atau lembaga yang menyelesaikan sengketa
adat di Aceh disebut peradilan gampong (peradilan tingkat desa) dan mukim (federasi beberapa gampong). Pelaksananya adalah fungsionaris hukum adat dan
penyelesaiannya bersifat perdamaian yang dikenal dengan sistem suloh
(perdamaian) atau hukom peujroh (perbaikan).22
Pada sengketa adat yang besifat kepidanaan seperti sengketa adat yang
merugikan orang lain, (pencurian ringan, penganiayaan ringan, perusakan), ataupun
sengketa adat yang merugikan gampong, diberikan sanksi adat yang sesuai. Sanksi
adat tersebut dapat bersifat denda dan bukan denda. Sanksi adat yang bersifat
denda dimusyawarhakan sesuai dengan kerugian yang diderita oleh korban, ataupun
kerugian gampong, karena jenis denda ditentukan oleh berat atau tidaknya
pelanggaran adat yang dilakukan. Adapun sanksi adat yang bersifat bukan denda
dapat berupa permohonan maaf yang berlaku bagi seluruh sengketa, sanksi berupa
teguran dan nasihat, memberikan pekerjaan yang mendidik, serta pengucilan dan
pengasingan darigampong sebagai sanksi terberat.23
Badruzzaman Ismail mengatakan bahwa hukum adat bersifat nonstatuteir
(tidak tertulis), melainkan ingin mencapai kesepakatan bersama berasaskan damai
(equilibrium/keseimbangan), sanksi hukum mengacu kepada harkat dan martabat
keadilan yang seimbang dan sejahtera melalui pintu damai. Dasar hukum
penyelesaikan suatu sengketa didasarkan kepada adat istiadat/kebiasaan dari Tuha
adat setempat berdasarkan musyawarah mufakat. Penggunaan pola perdamaian
dengan teknis bermusyawarah dan mediasi dalam pelaksanaan peradilan adat Aceh
mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan untuk dapat tidaknya
peradilan tersebut diselenggarakan. Kasus serumit apapun memungkinkan untuk
diselesaikan jika para pelaksana peradilan adat menerapkan teknik mediasi dan
negoisasi dengan tepat. Bermusyawarah menjadi proses dimana para pelaksana
20
Badruzzaman Ismail, ‚Pengaruh Faktor budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian
dan Rekonstruksi‛, Disampaikan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute , Darussalam, tanggal
20 September M006, h. 2 21
Dalam Qa>nu>n 09 tahun 2008, tentang pembinaan kehidupan Adat Istiadat, dalam
pasal 13 ayat (1) mengatur ada 18 kasus/perselisihan yang dilimpahkan penyelesaiannya
melalui peradilan adat aceh. (Lihat: Aryos Nivada, “Tawaran Model Sistem Peradilan Adat
Aceh Bersinergis Peradilan Hukum Nasional, Masyarakat Aceh tamiang”,
http://www.acehinstitute.org, (diakses pada tanggal 17 Februari 2014, pukul 12.39) 22
Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 69
23Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang
Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014
7
peradilan adat membantu para pihak yang bersengketa untuk dapat menyelesaikan
persoalannya yang dapat memuaskan para pihak.24
Dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pada pasal 25
ayat (1) mengatakan bahwa:
‚Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat juga pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili‛ 25
Pasal tersebut memberi isyarat, bahwa hukum tidak tertulis (hukum adat) dapat
digunakan untuk kepentingan pengadilan. Gudangnya hukum adat adalah
masyarakat. Materi hukum adat berada dalam pikiran para tokoh adat, ketika
muncul masalah, pasti disaat diperlukan (penyelesaian) hukumnya muncul satu
asas yang dijadikan pedoman ‚dimana bumi di pijak, disitu langit dijunjung‛, ‚lain
ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya‛26
Perdamaian dalam konsep Islam dikenal dengan istilah Al-s}ulh}27, artinya
memutus suatu persengketaan.28
Tujuannya adalah agar kebencian dari setiap pihak
yang berselisih dapat dihilangkan.29
Didalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat
yang menerangkan tentang s}ulh}, baik dalam konflik komunitas kecil seperti konflik
yang terjadi dalam hubungan suami istri, maupun dalam komunitas besar seperti
konflik yang terjadi antara dua kelompok mukmin yang bertikai. Metode al-s}ulh} dapat dikategorikan salah satu metode penyelesaian perkara di luar pengadilan
24
Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel,
Kata Pengantar, iii, Majelis Adat Aceh, dan UNDP, Proyek Keadilan Aceh, 2007-2008, 22 25
Undang-Undang Nomor 4 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
http://www.minerba.esdm.go.id/library/sijh/uu-04-2004.pdf, diakses pada 20 Agustus 2014 26
Maksudnya adalah Ketika berkunjung ke suatu tempat atau daerah, kita harus
menghormati budaya yang ada di tempat itu, dan Lain tempat, maka lain pula kebudayaan
mereka. 27
Sayyid Sa>biq mendefinisikannAl-s}ulh} menghentikan perselisihan,dan menurut
shari>‘at adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu perselisihan antara dua
pihak yang saling bersengketa. Sedangkan Ibnu Mandhur dalam Lisa>n Al-Arabnya diartikan
sebagai antonim dari kata فساد (kerusakan) Adapun Abd al-Qa>dir ‘Awdah mengartikan al-
s}ulh} sebagai suatu akad untuk mengakhiri pertikaian (sengketa) antara dua orang yang
terlibat dalam persengketaan. (Lihat: Sayyid Sa>biq, Fiqh Al Sunnah Juz III (Beirut:Da>r Al Fikr, 1977, h. 305, Lihat juga: Abd al-Qa>dir ‘Awdah, Al-Tashri>’ Al-Jina>‘i Al-Isla>mi, Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-wad}‘, juz 1 (Beirut: Da>r al-ka>tib al ‘azli>), tt, 773-774. Lihat
juga: Ha>mid bin ‘Abdillah, ‚al-s}ulh}‛, Maktabah Maqru’ah, Fiqih Bai’, http://go.gooh.net/alzad/article_88.shtml, (diakses pada tanggal 16 Februari 2014, pukul
20.35), Juga: Ahmad Bin Sulaiman Al’arini, ‚Al-s}ulh} ‘an al-jina>yah al-‘amdiyah ‘ala> al-nafs wama> du>naha>‚, artikel,/Syawwal, 1421 H, h. 3, http://www.shamela.ws, diakses pada
tanggal 17 februari 2014, pukul 22.00) 28
Suharjono, ‚Mediasi dalam Konsep Islam‛, http://www.pa-
pekalongan.go.id/index.php/component/content/article/13-halaman-muka/kabar-
gembira1/196-mediasi-dalam-konsep-islam, (diakses pada tanggal 16 Febrari 2014, pukul
20.17) 29
Sayyid Sa>biq, Fiqh Al-Sunnah Juz III (Beirut:Dar Al Fikr), 1977, h. 305
8
dengan hasil akhir win-win solution. Hal tersebut karena hasil final dari
penyelesaian itu adalah perdamaian, pengampunan dan kesepakatan kedua belah
pihak,30
karena dalam hukum Islam, salah satu penyebab gugurnya atau hilangnya
hukuman adalah adanya pengampunan dan perdamaian.31
Di Riyad}, konsep perdamaian (al-s}ulh}) sudah lama dipakai oleh qad}i dalam
menyelesaiakan perkara qis}a>s}.32
Begitu juga pada perkara penganiayaan ringan,33
dimana penyelesaian perkara dilakukan dengan jalan damai dengan sanksi pidana
permohonan maaf dan diyat menjadi alternatif penyelesaian perkara tersebut.34
Paradigma ta’zi>r menjadi dasar penerapan sanksi pada penyelesaian sengketa
dengan jalan musyawarah dan damai. Al-Zuhayli> berpendapat bahwa dibalik
hukuman hadd dan ta’zi>r dalam shari>‘at Allah SWT memiliki maksud dan tujuan-
tujuan yang jelas, yaitu: meluruskan, memperbaiki, dan merehabilitasi perilaku
pelaku kejahatan; memberinya efek jera dan rasa takut kepada orang lain agar tidak
melakukan kejahatan yang mengganggu stabilitas keamanan dan kemaslahatan
publik; melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kekacauan dan kerusakan;
membersihkan jiwa yang melakukan penyimpangan dari noda-noda dosa dan
kemaksiatan yang mengontaminasi kejernihan hati dan kesucian jiwa; meneguhkan
hati dan nurani; meningkatkan ketajaman hati dan perasaan kemanusiaan untuk
menjaga dan menghormati hak-hak orang lain, serta menjauhkan dari berbagai
bentuk tindakan yang membahayakan dan merugikan.35
Shari>‘at Islam mengandung banyak prinsip-prinsip yang bisa menghilangkan
kekhawatiran terhadap penerapan shari>‘at Islam pada aspek hukuman, serta
menghapus kesan dan persepsi bahwa bentuk-bentuk hukuman dalam shari>‘at Islam
adalah kejam, keras, bertentangan dengan nilai-nilai prikemanusiaan dan
bertentangan dengan kondisi kehidupan peradaban modern. Diantara prinsip
tersebut adalah rahmat, keadilan, menjunjung tinggi kehormatan manusia,
memelihara kemaslahatan dan kepentingan bersama dan individu, memberikan
30
Ahmad Ramzy, Perdamaian dalam hukum Pidana Islam dan Penerapan restorative
Justice dikaitkan dengan pembaruan hukum pidana di Indonesia, 3 31
Abd al Qa>dir ‘Awdah, Al-Tashri’ Al-Jina>’i Al-Isla>mi>, Muqa>ranan bi al-qa>nu>n al-wad}’, juz 1, 773
32Contohnya adalah, pada tahun 1379 H, seorang laki-laki memfitnah laki-laki lain,
kemudian membunuhnya. Hakim menyelesaiakan permasalahan tersebut dengan damai, dan
ahli waris dari korban meminta diyat berupa 854 ekor kambing dan seekor unta untuk
segera dibayarkan, serta dikeluarkan dari daerah tersebut. Hakimpun mengabulkan
permohonan korban dan menjatuhkan sanksi tersebut kepada pelaku pidana. 33
Contohnya adalah, pada tahun 1414 H. Dua orang laki-laki yang terlibat dalam
pertikaian, mengakibatkan salah satu diantara keduanya terluka dan kehilangan giginya.
Kemudian, hakim mendamaikan keduanya dan memberikan hukuman kepada pelaku 500
real dan saling memberikan maaf diantara keduanya. 34
Ahmad Bin Sulaiman Al’arini, ‚Al-s}ulh} ‘an al-jina>yah al ‘amdi>ah ‘ala> al-nafs
wama> du>naha , artikel hukum,/Syawwal, 1421 H, 18, http://www.shamela.ws, diakses pada
tanggal 17 februari 2014, pukul 22.00) 35
Wahbah Zuhayli>, Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7 (Dimashqa: Da>r Al Fikr Al
‘Ilmi>yah, 1997), 5335
9
ampunan, dan menghindari hukuman hadd bagi kasus yang dibarengi dengan
shubhat. Sejalan dengan hal ini, Ibn al-Qayyim al-Jauzi>yah (w: 751H) berpendapat
bahwa:
‚Dasar shari>‘at ialah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Shari>‘at
itu semuanya adil, semuanya rahmat, semuanya maslahat, dan semuanya
mengandung hikmah. Setiap perkara yang keluar dari adil kepada curang, dari
rahmat kepada bencana, dari maslahat kepada mafsadat, dari hikmah kepada sia-sia,
maka bukanlah shari>‘at. Shari>‘at itu adalah keadilan Allah diantara hamba-Nya,
rahmat Allah diantara makhluq-Nya dan bayangan Allah dibumi-Nya dan hikmah-
Nya yang menunjukkan kepada-Nya, dan kebenaran Rasul-Nya‛. 36
Dalam khazanah keislaman, adat biasa dinamakan dengan ‘urf37
atau ‘a>dah.
Shari‘at Islam memelihara ‘urf suatu masyarakat dengan syarat tidak menimbulkan
mafsadah dan menghilangkan mas}lahah kehidupan, serta tidak bertentangan dengan
nas}. Perbedaan antara ‘urf dan adat dapat dilihat dari segi kandungan artinya, yaitu:
adat berkonotasi netral, ada adat yang baik, dan ada yang buruk.38
Sedangkan ‘urf
digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan yaitu
diakui, dan diterima oleh orang banyak, maka ‘urf mengandung konotasi
baik.39
Adapun ‘urf yang dapat dijadikan hukum adalah al’urf al-s}ah}i>h} (adat yang
baik), selama tidak bertentangan dengan nash, tidak membawa kepada mafsadah,
dan tidak menghilangkan mashlahat.40
Dengan berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat keterkaitan erat antara
hukum adat di Aceh dengan hukum Islam, dalam hal penyelesaian sengketa, bahwa
proses musyawarah, damai, pendidikan dan maslahat bersama adalah tujuan
36
Ibn al-Qayyim al-Jauzi>yah, I‘la>m al Mu>qi’i>n, Juz 1, Jami>‘ al h}uqu>q muta>hatun li
jami>’ al muslimi>n, Islamics Books, WS, 2010, 426 37
Terdapat dua kali perkataan ‚‘urf‛ dalam al-Qur’an, yaitu Qs. Al a‘ra>f: 199 dan Qs.
Al mursalat: 1, sedangkan perkataan ‚ma’ruf, ma’rufan, ma’rufah‛ 38 kali, Lihat
Muhammad Fuad ‘Abd al-Ba>qi, Al-Mu‘jam Mufahras Li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m,
(Qa>hirah : Da>r al-hadith), 1364 H, h. 458. 38
Abd al-Waha>b al-Khalla>f, (1972) Mas}a>dir al-Tashri‘ al-Isla>mi Fi> Ma> La> Nas} Fi>h )Kuwait : Dar al-Qalam(,cet. 6, 1993, 145, lihat juga: Muhammad Sa>‘id Ramad}a>n al-But}i,
D}awa>bit} al-Mas}lahah Fi> al Shari>at al-Isla>mi>yah(Dimashqa> : al Maktabah al Umawi>yah)
81.Lihat juga:Muhammad Abu Zahrah, Us}ul al Fiqh, (Da>r al fikr al ‘Arab, tt), 273, Lihat
juga: Mohd. Anuar Ramli, ‚Instrumen ‘urf dan Adat Melayu Sebagai Asas Penetapan
Hukum Semasa di Malaysia‛, Article, https://www.academia.edu/249304, (diakses pada
tanggal 16 Februari 2014, pukul 11.25) 39
Hal ini tampak pada penggunaan kata ‘urf pada arti ma’ruf, dalam firman Allah
surat Al a’raf ayat 199. Yang berbunyi:
199. jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. 40
Abd al Waha>b Khalla>f, Mas}a>dir al-Tashri’ Fi Ma > La> Nas} Fi>hi, (Kwait: Da>r al
Qala>m), 1993, Cet.6, 146, lihat juga: Wahbah Zuhayli>, Us}u>l al-Fiqh Islami>, (Dimashq: Da>r
al-Fikr) Jilid 2, cet. 1, 831
10
diterapkannya suatu hukuman, dengan demikian penulis ingin membahas sengketa
adat apa saja yang dapat diselesaikan dengan peradilan adat melalui mediasi, dan
sanksi apa yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan, serta bagaimana
implementasi dan kebijakan mediasi dalam hukum adat Aceh kemudian ditinjau
menurut hukum positif dan hukum Islam.
B. PERMASALAHAN
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diidentifikasikan permasalahan
sebagai berikut:
1. Sejauhmana penyelesaian sengketa melalui proses non litigasi
memberikan keuntungan yang banyak bagi masyarakat Indonesia
dibandingkan dengan proses litigasi.
2. Bagaimana mediasi menjadi salah satu Alternatif penyelesaian Sengketa
melalui proses non litigasi dengan jalan perundingan atau cara mufakat
dengan bantuan pihak netral dalam mencari penyelesaian yang dapat
diterima para pihak.
3. Benarkah mediasi dalam Peradilan Adat secara konseptual dan esensinya
telah dipraktikkan dalam masyarakat Indonesia jauh sebelum istilah
mediasi tersebut digunakan dalam lingkungan Ilmu Hukum guna
memperbaiki kerugian pada korban dan suasana rukun damai bagi
masyarakat.
4. Benarkah peradilan adat menjadi pilihan penyelesaian sengketa bagi
masyarakat, dan mampu mengurangi serta membantu masuknya perkara
yang akan diselesaikan lewat pengadilan
5. Bagaimanakah relevansi konsep al-s}ulh}, paradigma ta’zi>r, dan al-‘urf al-
sh}ali>h} sebagai konsep penyelesaian sengketa adat di Aceh.
6. Bagaimanakah implementasi mediasi dalam proses non litigasi dalam hal
keperdataan.
7. Bagaimanakah implementasi dan kebijakan mediasi dalam Peradilan
Adat Aceh menurut Perspektif Hukum positif dan hukum Islam.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan
diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah bagaimanakah kebijakan
dan implementasi mediasi dalam penyelesaian sengketa adat di Aceh baik dalam
kasus-kasus yang bersifat denda maupun bukan denda ditinjau menurut perspektif
hukum positif dan hukum Islam. Rumusan tersebut dapat dirinci menjadi dua
pertanyaan, yaitu:
1. Bagaimanakah Kebijakan dan Implementasi Mediasi pada penyelesaian
perkara adat Aceh dalam kasus yang melibatkan denda menurut Perspektif
Hukum Positif dan Hukum Islam?
2. Bagaimanakah Kebijakan dan Implementasi Mediasi pada penyelesaian
perkara adat Aceh dalam kasus yang bukan denda menurut Perspektif
Hukum Positif dan Hukum Islam?
11
3. Pembatasan Masalah
Penelitian ini membahas permasalahan implementasi dan kebijakan mediasi
terhadap pelaku dan korban yang terlibat dalam sengketa adat menurut perspektif
hukum positif dan hukum Islam. Penelitian ini dibatasi pada kasus yang terjadi
pada masyarakat adat Aceh yang penulis dengar dari hasil wawancara dengan
fungsionaris adat, khususnya di daerah Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya,
Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Sabang. Penelitian ini membahas kasus-kasus
yang terjadi selama periode 2011-2014.41
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini secara umum untuk melakukan perlindungan
hukum melalui peradilan adat terhadap masayarakat yang bersengketa dengan
hukum dan putusan hukumnya. Secara rinci, tujuan khusus dari penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana Kebijakan dan Implementasi Mediasi
pada penyelesaian perkara adat Aceh dalam kasus yang melibatkan
denda menurut Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam.
2. Untuk mengetahuibagaimana Kebijakan dan Implementasi Mediasipada
penyelesaian perkara adat Aceh dalam kasus yang bukan denda menurut
Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam.
D. Signifikansi Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan pemahaman tentang konsep mediasi menurut hukum
positif Indonesia dan hukum Islam, serta penerapannya dalam sistem
peradilan di Indonesia, khususnya adalah peradilan adat sehingga
menjadi tambahan pengetahuan dan perbandingan serta memberikan
masukan dan evaluasi, khususnya dalam penyelesaian perkara pidana
ringan baik melalui jalur litigasi dan non litigasi di Indonesia.
2. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan agar dapat menciptakan
unifikasi dibidang hukum pidana dan perdata, untuk menuju kodofikasi
hukum hingga dapat mewujudkan hukum yang sesuai dengan shari>‘at
Islam di Indonesia.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Diantara beberapa studi yang telah dilakukan yang berkaitan dengan studi ini,
antara lain:
Simons Robins, dalam penelitiannya mengatakan bahwa pendekatan
keadilan restoratif mulai diterapkan pada sistem peradilan (Local Council (LC)) di
41
Pada hakikatnya, penyelesaian sengketa melalui hukum adat sudah terjadi dahulu
kala, sejak zaman kerajaan Aceh. Kasus yang penulis dapatkan hanyalah sebagian kecil
kasus yang terjadi di Aceh yang diselesaikan secara adat.
12
Uganda untuk mengatasi krisis dalam sistem peradilan mereka.42
Yaitu sebuah
alternatif untuk mencoba membangun pada praktek peradilan adat dari bawah ke
atas43
, dan menggunakan sistem restoratif untuk membangun hukum yang berarti
bagi masyarakat, serta mengintegrasikan antara hukum adat dan juga hukum barat,
karena dinilai mekanisme peradilan adat dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
keadilan restoratif dalam proses hukum.44
Doron Pely, mengatakan bahwa al-s}ulh} dirancang untuk memastikan bahwa
sengketa dalam masyarakat berbasis keluarga diselesaikan ditingkat marga. Proses
yang unik ini berusaha untuk mencapai rekonsiliasi untuk semua generasi masa lalu,
sekarang dan masa depan, dan dengan demikian memberikan solusi praktis untuk
kecenderungan terjadinya sengketa lagi. Proses s}ulh}a adalah semacam
mediasi/arbitrase. Kesamaan mediasi dan arbitrase menunjukkan bahwa ada
kesamaan antara prinsip Islam dan barat dalam mencari jenis rekonsiliasi ketika
perselisihan muncul.45
Don John Otene Omale mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat Nigeria
menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa secara tradisional dengan keadilan
restoratif. Hal ini karena keadilan restoratif dapat mengisi kesenjangan dan
mengambil tanggungjawab secara cepat dalam menyelesaikan sengketa dengan
partisipasi korban dan juga pelaku. Fakta bahwa keadilan restoratif sejalan dengan
ajaran agama-agama besar di Nigeria, seperti ajaran pertobatan, pengakuan,
pengampunan, dan reparasi kejahatan. Sifat fleksibelitas, akses terhadap keadilan
bagi masyarakat miskin, dan penggunaan prosedur sederhana sejalan dengan norma,
dan nilai budaya masyarakat.46
42
Krisis tersebut terlihat pada perkembangan hukum pidana sejak masa kolonial yang
lebih menekankan pada retribusi dan pencegahan kejahatan melalui rehabilitasi dan
hukuman berat. 43
Pengadilan LC telah menjadi tingkat terendah bagi sistem peradilan pidana, dengan
kekuatan hokum pada tiga tingkatan, desa (LCI), paroki(LCII) dan sub-county (LCIII). 44
Salah satu caranya adalah menambahkan elemen restoratif ke sistem formal, dan
memastikan bahwa proses restoratif sudah benar-benar diimplikasikan. Juga komitmen
untuk memastikan bahwa pelayanan masyarakat digunakan sebijak mungkin, dan peradilan
dilatih dalam penggunaannya, alternatif hukuman pun diterapkan di seluruh sistem
peradilan serta penerapan elemen restoratif untuk mengatasi semua kejahatan pidana. (Lihat
Simons Robins, ‚Restorative Approaches to Criminal Justice in Africa: The Case of
Uganda‛, Post war Reconstruction and Development Unit, University of York, UK,
Institute for Security Studies, 2008, http://www.issafrica.org/uploads/m161c4.pdf, diakses
pada 16 Agustus 2014 ) 45
Doron Pely, ‚Resolving Clan Based Disputes Using The Sulha, The Traditional
Dispute Resolution Process of the Middle East‛, Oglala Sioux Tribe v. C&W Enterprises, No. 07-3269, 2008 WL 4093007 (8th Cir. Sept. 5, 2008), http://www.worldmediation.org/education/chapter-7-1.pdf, (accessed 16
thAugust, 2014)
46 Don John Otene Omale, ‚Restorative Justice as an Alternative Dispute Resolution
Models: Opinions of Victims of Crime, and Criminal Justice Professionals in Nigeria‛,
Thesis, Phd. Restorative Justice and Victimologi 2009, De Montfort University, Leicester,
UK,
13
Frida Erricson, dalam penelitiannya tentang mediasi di Swedia dan Afrika
Selatan menyimpulkan bahwa Swedia dan Afrika Selatan mengambil langkah untuk
mengembangkan dan melibatkan mediasi dalam proses peradilan pidana pada waktu
yang sama, tetapi mereka memilih melakukannya dalam dua cara yang berbeda. Di
Swedia, peraturan pemerintah mewajibkan penyelesaian perkara bagi anak dibawah
umur melalui mediasi oleh lembaga sosial. Proses mediasi dapat mempengaruhi
keputusan hakim dalam memberikan hukuman bagi pelaku. Mediasi hanya
pelengkap proses pidana, prosesnya terpisah dari proses pengadilan. Di Afrika
Selatan mediasi dapat digunakan baik sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan
sebagai bagian dari peradilan pada tahap pra persidangan. Para jaksa dan hakim
telah diberikan kesempatan untuk memberdayakan para pihak dan memberikan
pilihan apa kasus tersebut dilanjutkan atau tidak. Di sana tidak ada aturan tentang
praktek layanan seperti peraturan mediasi di Swedia. Layanan yang ada tidak
bersifat nasional dan praktek layanan dapat berbeda dalam setiap kasus. Afrika
Selatan mengembangkan kebutuhan yang lebih besar untuk mencari alternatif dari
sistem peradilan pidana karena peningkatan besar dalam angka kejahatan mereka
dan kepadatan penduduk yang terus-menerus di penjara akibat kesalahannya.47
Mustafa Serdar Ozbek, menyatakan bahwa setelah disahkannya undang-
undang tentang mediasi penal di Turki,48
mediasi telah menjadi alternatif yang
layak bagi penyelesaian beberapa jenis kejahatan dalam sistem hukum Turki.
Mediasi menjadi kendaraan untuk mencapai suatu keadilan dan solusi hukum yang
lebih baik bagi semua pihak daripada melalui sistem peradilan pidana. Karya
tersebut membahas kerangka hukum mediasi pidana, termasuk dasar dalam
perbandingan hukum, filosofi, prosedur, dan praktek mediasi penal di Turki.
Penelitian ini menemukan bahwa proses mediasi penal bermanfaat bagi semua
pihak dan masyarakat secara keseluruhan.49
Mengenai konsep perdamaian dalam hukum Islam, (al-s}ulh}), Ahmad Ramzi,
mengatakan bahwa pendekatan al-s}ulh} (perdamaian) dalam hukum pidana,
memberikan kesempatan dan kemungkinan bagi korban kejahatan untuk
memperoleh reparasi, rasa aman, memungkinkan masyarakat untuk memahami
https://www.dora.dmu.ac.uk/bitstream/handle/2086/2411/PhD%20Don%20John%20Otene
%20Omale.pdf?sequence=1, (accessed, 16th
august 2014) 47
Frida Errikson,‚Victim-Offender Mediation in Sweden and South Africa‛, Final thesis of Master of Law Exam, Criminal Law, University of Gothernburgh, School of
Bussiness, Economies, and Laws, Thesis For master Of Law, 2009,
https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/19708/1/gupea_2077_19708_1.pdf, (diakses pada 16
Agustus 2014) 48
KUHP Turki yang baru disebut (TürkCeza Kanunu, TCK), UU No 5237, dan
KUHAP (CezaMuhakemesi Kanunu, CMK), UU No 5271, prosedur baru yang disebut
'mediasi' telah diadopsi di Turki pada sistem peradilan pidana, yang memungkinkan
penyelesaian sengketa pidana di luar sistem peradilan pidana. 49
Mustafa Serdar Ozbek, The Principle and Procedure of Penal Mediation in Turkish
Criminal Procedure Law, (Turki: Baskent University),Angkara Law Review,Vol.8 No. 2,
2011
14
sebab utama terjadinya kejahatan, untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan
mencegah kejahatan.50
I Made Agus Mahendra Iswara, dalam penelitiannya mengatakan bahwa
pendekatan Restoratif sangat diperlukan untuk menciptakan keharmonisan dalam
masyarakat, untuk menciptakan keseimbangan lahir dan batin, yang sesuai dengan
hukum Adat Bali. Dalam masyarakat adat Bali yang berlandaskan nilai-nilai agama
Hindu, nilai-nilai restoratif dapat dipergunakan dalam penyelesaian perkara-perkara
adat. Penerapan model Hybrid Justice System yang merupakan penjabaran dari nilai
Restorative Justice masih sangat berfungsi dengan baik dalam penyelesaian
perkara-perkara umum yang ringan dan tindak pidana Adat Bali.51
Christian B. N. Gade dalam penelitiannya di Afrika Selatan menyatakan
bahwa terdapat persamaan antara paradigma restoratif dengan peradilan tradisional,
keduanya bertujuan untuk rekonsiliasi, pemulihan perdamaian dan harmonisasi.
Konsep tradisional yang dikenal dengan Ubuntu, menyediakan landasan untuk
saling menghormati yang mengarah ke resolusi konflik dan penyembuhan. Ubuntu
juga telah digambarkan sebagai filsafat hidup, yang mewakili kepribadian,
kemanusiaan, dan moralitas. Ubuntu dan keadilan restoratif berfokus pada
mengembalikan ketidakseimbangan yang diciptakan oleh perilaku seseorang dan
membangun perdamaian dalam masyarakat.52
Chindya Prastiti puspa Devi, dalam penelitiannya tentang restorative justice,
berpendapat bahwa kebijakan aparat penegak hukum dalam hal penanganan
masalah kenakalan anak dengan mengedepankan keadilan restoratif telah
membangun partisipasi aktif antara pelaku, korban dan masyarakat dalam
menyelesaikan suatu tindak pidana. Pemberian hukuman ta’zi>r pada tindak pidana
ringan terhadap anak pelaku tindak pidana dengan pengampunan dan pemberian
hukuman minimum mengandung banyak unsur keadilan. Konsep ini sejalan dengan
prinsip-prinsip restorative justice.53
Penelitian ini menolak pendapat Katheleen Dally dalam tulisannya: Restorative Justice: The Real Story, School of Criminology and Criminal
Justiceberpendapat bahwa, hukuman diperlukan untuk membela korban, agar
50
Ahmad Ramzy, ‚Perdamaian dalam Hukum Pidana Islam, dan Penerapan
restprative Justice Dikaitkan dengan Pembaharuan hukum Pidana Islam di Indonesia‛,
Pascasarjana fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Tesis, 2012 51
I Made Agus Mahendra Iswara, ‚Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative
Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali‛, Pascasarjana fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, Tesis, 2013, http://lontar.ui.ac.id, (Diakses pada 10 Februari 2014,
pukul 13:20) 52
Christian B.N. Gade, ‚Ubuntu and Restorative Justice: Addressing The Strife and
Divisions of The Past in Post Apartheid South Africa‛, Phd. Thesis, Aarhus University,
january 2013,
http://konfliktloesning.dk/sites/konfliktloesning.dk/files/Christian%20B.%20N.%20Gade.pd
f. (Diakses pada 15 Agustus 2014) 53
Chindya Prastiti Puspa Devi, ‚Restorative justiice pada Hukum Pidana Anak
Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam, Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam
negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
15
menunjukkan pelaku bertekad menebus kesalahan dengan menjatuhkannya
hukuman. Ia menawarkan definisi hukuman sebagai sesuatu yang tidak
menyenangkan, beban, atau semacam pengenaan dan penderitaan kepada
pelaku.54
Ia menambahkan bahwa keadilan adalah sulit untuk dipahami, dan
keadilan restoratif terlalu banyak memberikan janji-janji kepada masyarakat.55
Adapun Paul H. Robinsonberpendapat serupa dengan pendirian ini dengan
argumen Dally bahwa pendamaian bagi kejahatan tidak bisa hanya dicapai oleh
restorasi saja, tetapi harus disertai dengan penderitaan tambahan bagi pelaku untuk
menunjukkan bahwa pelaku memahami kesalahan yang telah dilakukan, serta
mencapai keadilan korban.56
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dan penelitian
kepustakaan (library research) dengan mengumpulkan data-data di lapangan guna
mendapatkan gambaran yang lebih komperhensive tentang situasi dan keadaan
setempat,serta data teoritis tentang pelaksanaan Hukum Adat melalui mediasi dari
beberapa refrensi hukum.57
Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
empiris (yuridis sosiologis), pendekatan normatif (yuridis normatif), dan
pendekatan sejarah (historis). Pendekatan empiris (yuridis sosiologis) digunakan
untuk melihat dan menganalisa paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial,
dan paradigma perilaku sosial, agar bisa diterapkan dalam sosiologi hukum di
masyarakat. Dengan melakukan pendekatan secara objektif dan empiris terhadap
kenyataan dan perilaku sosial yang ada, menyimpulkan bahwa suatu kenyataan
54
Katheleen Dally, Restorative Justice: The Real Story, School of Criminology and
Criminal Justice, Griffith University, Brisbane, Queensland, Australia, Version Revised, 12
July 2001, http://www.griffith.edu.au/__data/assets/pdf_file/0011/50321/kdpaper12.pdf,
(accessed 21/03/2014, 23:47), 39-41 Also see: Collen Pawlichka, Punishment or Logical
Consecuences: a Response to the Punishment Debate Within Restorative Justice, ..., 12 55
Diantaranya: memperbaiki ikatan sosial, reparasi pelaku kepada masyarakat,,
korban menerima kompensasi, serta, korban merasa puas dengan proses restoratif ini.
(Lihat: Katheleen Dally, and Russ Immarigeon, The past, present, and future ofrestorative
justice: some critical reflections.The ContemporaryJustice Review, (the copy of Manuscrip
submitted for publications, 1998,
http://www.griffith.edu.au/__data/assets/pdf_file/0006/50694/daly_part1_paper4_past_pres
ent_future_of-_rj.pdf(accssed at 24/03/2014, 15:30) 56
Dena M Gromed and Jhon M Darley, Restoration and Retribution: How Including
Retributive Components Affects the Acceptabilityof Restorative Justice Procedure.... 397-
398. Lihat juga: Paul H Robinson, The Virtues of restorative Procces and The Vices of
Restorative Justice, Penn Law, legal Scholarship Repository,http://scholarship.law.upenn.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1032&context=fac
ulty_scholarship, ( accessed at 22/3/2014 19:14), 377-378 57
J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif, jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya (Jakarta: Grasindo),tt, 8-9
16
sosial sebenarnya tidak lain adalah sekumpulan dari perilaku-perilaku individu yang
nyata dalam masyarakat tersebut.58
Dengan pendekatan tersebut dapat dilihat
perilaku masyarakat Aceh khususnya,dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi
antar masyarakat.
Adapun pendekatan yuridis-normatif, dalam penelitian ini mengacu kepada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan pengadilan, norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat, dan
norma hukum Islam.
Pendekatan Historis digunakan atas pertimbangan bahwa analisa sejarah
akan dapat melihat secara objektif, tajam dan bening tentang politik hukum pidana
adat dan hukum Islam serta sosio-legal motives-nya dalam hukum adat di indonesia
dalam rentang waktu tertentu.
2. Instrument dan Teknik Pengumpulan Data
Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, penelitian thesis ini
adalah penelitian lapangan lapangan (field research) dan didukung oleh penelitian
kepustakaan (library research).
1). Penelitian Lapangan (field research)
Sebagai suatu penelitian empiris, sumber data primer adalah hasil wawancara
dan dokumentasi adat. Teknik pengumpulan data lapangan yang digunakan oleh
peneliti adalah wawancara dengan menggunakan teknik genealogis59
, yaitu metode
wawancara tanpa rencana tetapi berstruktur untuk mengumpulkan pengalaman
individu (life history method) dari informan. Adapun pihak yang diwawancarai
dalam penelitian ini yaitu:
a. Para pakar hukum adat Aceh, dalam hal ini, dua orang dosen hukum adat
Aceh, sepuluh orang Pemerintah Majelis Adat Aceh (Ketua MAA,
Sekretaris MAA, Penanggungjawab Gampong dan Mukim, Anggota
MAA Pusat dan Kabupaten, dan bag. Perpustakaan MAA)
b. Tokoh masyarakat adat Gampong dan Mukim tujuh belas orang (keuchik,
tuha peuet, tokoh perempuan, sekretaris gampong)
c. Polisi Daerah Banda Aceh dua orang
d. Pihak-pihak yang pernah terlibat dalam proses mekanisme penyelesaian
tindak pidana Adat Aceh, lima belas orang (pelaku, korban, dan tetangga
korban)
58
Munir Fuady, Teori-teori Dalam Sosiologi Hukum(Jakarta: Kencana, Prenada
Media Group) 2011, hal: 10-13 59
Teknik genealogi dapat digunakan untuk membangun hubungan yang lancer antara
peneliti dan informan dalam waktu yang singkat. Metode ini juga dipergunakan untuk
menanyakan mengenai hubungan hak dan kewajiban yang tidak diatur oleh adat istiadat,
antara seorang informan dengan kaum kerabatnya, antara informan dengan informan lain
yang juga dijumpai oleh peneliti, dan antara mereka dengan kaum kerabat mereka masing-
masing. Metode genealogi juga digunakan untuk menanyakan konsepsi-konsepsi yang
abstrak dengan cara mengacu ke hubungan dan peristiwa-pristiwa konkret yang dialami
individu-individu yang namanya muncul dalam istilah, (Lihat: Koentjaraningrat, Sejarah Antropologi II (Jakarta: UI Press, 1990), 144-145
17
e. Pihak-pihak lain yang memiliki pengetahuan tentang penyelesaian perkara
pidana oleh Lembaga Adat Aceh sepuluh orang (masyarakat yang
memiliki pengetahuan dan mahasiswa fakultas hukum)
Wawancara dilakukan secara formal kepada pihak-pihak yang memiliki
jabatan resmi, seperti wawancara kepada dosen, tokoh masyarakat adat gampong,
ketua MAA Banda Aceh, Kepala Dinas Shari’at Islam, dan lain sebagainya.
Sedangkan wawancara informal dilakukan kepada para pihak-pihak yang pernah
terlibat dalam menyelesaikan sengketa Adat Aceh melalui mekanisme mediasi, agar
terlihat santai, sehingga mereka mau menceritakan kronologi permasalahan dan
penyelesaiannya. Pertanyaan yang diajukan oleh peneliti terhadap satu informan
ditanyakan kembali kepada informan yang lain guna mengetahui validitas dan
akurasi data serta diharapkan menghasilkan pemahaman yang lebih komperhensif.
Wawancara dilakukan dikota Banda Aceh dan beberapa wilayah di provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Pemilihan lokasi ini berdasarkan beberapa alasan,
yaitu:
1. Banda Aceh, dipilih karena merupakan ibukota provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, dimana merupakan sentral kegiatan provinsi NAD, dan
disanalah menjadi tolak ukur penyelesaian sengketa pidana adat.
2. Wilayah lain yang dijadikan rujukan dari pihak-pihak yang pernah terlibat
dalam proses penyelesaian perkara pidana adat.
2). Data Kepustakaan (library research)
Dalam melengkapi data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, peneliti juga
menelaah buku-buku sebagai data penunjang (data sekunder) studi kepustakaan
(peraturan perundang-undangan dan literatur bacaan yang relevan).
Data penelitian dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber
pertama melalui wawancara langsung dari responden yang terpilih dilokasi
penelitian sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
2. Data sekunder60
, yaitu terdiri dari: sumber-sumber yang sudah tersedia,
seperti Peraturan perundang-undangan, Hukum Adat, Yurisprudensi,
KUHP, serta perundang-undangan lain yang terkait; rancangan UU, hasil
penelitian dari kalangan hukum, dan lain sebagainya; kamus, ensiklopedia,
dan lain sebagainya.
3. 3. Metode Analisis Data
Setelah data primer dan data sekunder diperoleh lengkap, selanjutnya
dianalisis dengan peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Kasus
adat yang dianalisa adalah kasus yang didapat dan didengar oleh peneliti di
lapangan saat wawancara berlangsung. Analisis dilakukan secara induktif, yaitu
mencari kebenaran berangkat dari hal-hal yang bersifat khusus ke hal yang bersifat
umum guna memperoleh kesimpulan. Peneliti mencoba menggambarkan dan
60
Nico Ngani, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia), tt, 79
18
menganalisa data mulai dari tahap pengumpulan, penyusunan data kemudian
dianalisis dan diinterpretasi terhadap data tersebut.
Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis komparatif yaitu
mendeskripsikan, menggambarkan dan membandingkan bagaimana penyelesaian
sengketa adat Aceh, baik yang bersifat denda ataupun yang bersifat bukan denda
menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia dan hukum Islam.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan bagi penelitian/studi ini adalah menggunakan buku Pedoman Akademik yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penelitian ini terdiri dari Enam Bab, yaitu:
Bab pertama adalah bab pendahuluan yang berisi latar belakang
permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, penelitian
terdahulu yang relevan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab keduamembahas tentang teori penyelesaian sengketa pidana melalui
mediasi, konsep mediasi yang mencakup pengertian dan ruang lingkup mediasi,
prinsip kerja mediasi, model mediasi, mediasi dalam peradilan adat di Papua,
Banjar, dan Bali, serta mediasi di negara Belgia, Jerman, Filipina.Bab ini juga berisi
tentangmediasi dalam hukum Islam, mencakup pengertian, konsep musyawarah,
dan bentuk-bentuknya. Bab ini diuraikan sebagai landasan teoritik penulisan agar
lebih memahami dan mendalami isi dari penulisan tesis.
Bab ketigamembahas tentang hukum adat di Aceh, Kerangka Teori Hukum
Adat Aceh, dan Penegakkan hukum adat Aceh, mencakup, landasan hukum adat
Aceh, lembaga adat, dan mekanisme penyelesaian sengketa Adat. Bab ini diuraikan
untuk memahami secara deskriptif prosedur, prinsip, dan pelaksanaan perkara lewat
adat yang selama ini terjadi.
Bab keempat menguraikan tentang kasus-kasus adat Aceh yang bersifat
denda, dianalisa dan dijelaskan bagaimana kasus tersebut dapat diselesaikan dengan
konsep mediasi menurut hukum positif di Indonesia dan menurut hukum Islam. Bab
ini adalah analisis komparatif penyelesaian perkara adat Aceh yang melibatkan
denda (ini adalah bab inti pertama).
Bab kelima menguraikan tentang kasus-kasus adat Aceh yang bersifat bukan
denda, dianalisa dan dijelaskan bagaimana kasus tersebut dapat diselesaikan dengan
konsep mediasi menurut hukum positif di Indonesia dan menurut hukum Islam. Bab
ini adalah analisis komparatif penyelesaian perkara adat Aceh yang tidak
melibatkan denda (ini adalah bab inti kedua).
Bab keenam berisi kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan dan tujuan
penelitian pada bab-bab sebelumnya, serta saran-saran atau rekomendasi-
rekomendasi terkait dengan judul penelitian.
19
BAB II
TEORI PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI ADAT DAN
LITIGASI
A. Konsep Mediasi Dalam Praktek Hukum Pidana Indonesia
Pada hakikatnya, manusia berusaha untuk menghindar dari konflik, meskipun
konflik tidak mungkin dihilangkan dari realitas kehidupannya. Penyelesaian
sengketa melalui mediasi memiliki tempat bagi sistem hukum nasional, hukum
adat, dan hukum syari‘at, karena mediasi mampu menjaga nilai-nilai kemanusiaan,
dan menempatkan martabat manusia sebagai makhluk sosial yang bermartabat.
1. Pengertian, Prinsip, dan Model Mediasi
Varda Bondy dan Margaret Doyle mendefinisikan mediasi sebagai proses
negosiasi sukarela yang dipandu oleh seorang mediator terlatih yang bersifat netral,
dan tidak memihak, sehingga memberikan kesempatan kepada pihak atau wakilnya
agar bersama menyetujui penyelesaian sengketa dan pilihan resolusi untuk
menempuh sebuah kesepakatan yang memuaskan.1
Jonathan Dingle and Judith Kelbie mengatakan bahwa mediasi adalah
proses konsensus, yang melibatkan para peserta dalam sengketa, bersama-sama
dengan pengacara, penasihat, atau pendukung (jika ada), mengadakan pertemuan
dengan orang ketiga yang netral. Tujuannya adalah untuk menemukan sebuah
resolusi sengketa atau masalah yang dihadapi oleh para peserta.2
Dalam dunia hukum di Indonesia terdapat praktek mediasi dalam bentuk
bervariasi. Mediasi itu dapat dikategorikan dalam dua model, yaitu mediasi dalam
proses peradilan, dan mediasi dalam proses non litigasi. Mediasi dalam proses
peradilan adalah produk keputusan Majelis Hakim yang menghendaki adanya
perdamaian antara para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan
damai antara kedua belah pihak atas hasil musyawarah. Proses mediasi
sebagaimana termaktub dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 Pasal 13 ayat 3, 4, dan
5 adalah:
(3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja
sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5) dan (6).
1Varda Bondy and Margaret Doyle, ‚The Public Law Project‛, Nuffield Foundation,
United Kingdom, 2011,
http://www.nuffieldfoundation.org/sites/default/files/files/MJRhandbookFINAL.pdf,
diakses pada tanggal 26 April 2014, pukul 14:53, Lihat Juga: ‚United Nations Guidence for
Effective Mediation‛, United Nation, New York,
http://www.un.org/wcm/webdav/site/undpa/shared/undpa/pdf/UN%20Guidance%20for%20
Effective%20Mediation.pdf, diakses pada 26 April 2014, pukul 13:39, hal. 4, 2The Mediation Hand Book 2013-2014, LSM London School of Mediation, In
association with 218 Strand, Specialist Info and 7 Solicitors LLP, 15,
http://www.rafinauk.com/mediation_handbook.pdf, 14 (diakses pada 26 April 2014, pukul
13.00
20
(4) Atas dasarkesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat
diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat
puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
(6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi
dilakukan sejak jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.3
Proses mediasi ini disampaikan kepada majelis hakim apakah perkara ini
diselesaikan secara damai atau dilanjutkan kepada proses pengadilan.
Adapun mediasi diluar pengadilan yaitu atas kehendak para pihak untuk
menyelesaikan sengketa secara damai. Kedua belah pihak kemudian
menandatangani akta perdamaian yang kemudian menjadi bukti penyelesaian
sengketa. Mediasi ini disebut juga dengan mediasi secara non litigasi, yaitu
alternatif penyelesaian sengketa diluar peradilan. Mediasi seperti ini biasanya
dilakukan oleh masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia untuk
menyelesaikan sengketa diantara mereka, baik sengketa perdata maupun sengketa
pidana tertentu yang dikenal dengan mediasi adat atau peradilan adat.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Pasal 1 butir
7, mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak
dengan dibantu oleh mediator. Adapun Advisory Conciliation and Arbitration
Service (ACAS), menyebutkan bahwa mediasi adalah proses dimana pihak ketiga
yang bersifat netral, membantu dua orang atau lebih yang terlibat dalam sengketa
untuk berusaha mencapai kesepakatan.4
Dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur
mediasi di pengadilan disebutkan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke
pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian
dengan bantuan mediator. Ketentuan pasal ini menggambarkan bahwa ruang
lingkup sengketa yang dapat di mediasi di peradilan adalah seluruh perkara perdata
yang menjadi kewenangan peradilan umum dan peradilan agama tingkat pertama.5
Adapun mediasi pidana sering disebut dengan berbagai istilah, antara lain:
‚mediation in criminal cases‛ atau mediation in penal matters‛, dan ‚Victim
Offender Mediation‛ karena mediasi mempertemukan antara pelaku tindak pidana
dengan korban.6
Di Indonesia, praktek mediasi terbagi kepada dua cara, yaitu melalui
lembaga peradilan dan diluar peradilan. Mediasi diluar peradilan ditangani oleh
3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan,
https://www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/prosedur_ttg_mediasi0001.pdf 4Advisory, Conciliation and Arbitration Service (ACAS), ‚Mediation: An Approach
to Resolving Workplace Issues, Euston, London‛,http://www.acas.org.uk/media/pdf/m/f/Mediation-an-approach-to-resolving-
workplace-issues.pdf, (diakses pada tanggal 26 April 2014, Pukul 12:44) 5 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2003 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, http://hukum.unsrat.ac.id/ma/perma_2_2003.pdf 6 Barda Nawawie Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan
(Semarang:Pustaka Magister, 2010), 1.
21
mediator perorangan atau lembaga independen, sedangkan mediasi di lembaga
peradilan ditangani oleh hakim atau mediator yang bersertifikat.7Mediasi cepat
berkembang karena lebih efektif, dan lebih memberikan resolusi sengketa.8 Tujuan
dari mediasi adalah untuk menekankan aspek keadilan restoratif. Adapun dasar
yuridis bagi penerapan mediasi di pengadilan maupun di luar pengadilan adalah:
Pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941:144)
(reglement Indonesia yang Diperbaharui)
Pasal 154 R.Bg (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad, 1927: 227)
(Reglement Acara untuk daerah Luar jawa dan madura)
Pasal 31 Rv (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1874:52).
Pasal 377 HIR (Het Herzine Indonesich Reglement Staatsblad, 1972:227)
ketentuan tentang penyelesaian sengketa dengan juru pemisah, upaya
arbitrase.
Masa Kemerdekaan sampai sekarang
Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 65 dan 56 UU No. 7 Tahun 1989.
Pasal 115, 131, 143, dan 144 KHI, serta Pasal 32 PP No. 9 Tahun 1975
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2000 Tentang lembaga Penyedia
Jasa Pelayanan Penyelesaian Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.
SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat
Pertama Menerapkan Lembaga Damai
Perma No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Perma No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di pengadilan
Dari seluruh pengertian mediasi tersebut, terdapat beberapa persamaan,
yaitu: pertama mediasi adalah sebuah perundingan yang esensinya sama dengan
proses musyawarah atau konsensus; kedua, peran mediator dalam membantu para
pihak yang bersengketa melalui identifikasi permasalahan, mengembangkan pilihan
dan mempertimbangkan alternatif yang akan ditawarkan kepada para pihak untuk
mencapai kesepakatan; ketiga, mediator hanya memiliki kewenangan untuk
7 Teuku Ahmad Yani, ‚Kegiatan Mediasi Oleh Lembaga-Lembaga Adat Dalam
menyelesaiakan Sengketa‛, Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh, Majalah Jeumala,
Edisi 37, Januari-Juni 2012, 21-22, Lihat juga: The Indonetian Mediation Centre, ‚Two Types of Mediation‛, http://www.pmn.or.id/en/mediation/case-types.pdf, diakses pada 26
April 2014, dan What Is Mediation?,http://www.pmn.or.id/en/mediation.html, (diakses pada
tanggal 26 April 2014). 8
Mediation And Conciliation Project Committee Supreme Court Of India,
‚Mediation Training Manual Of India‛, Delhi,
http://supremecourtofindia.nic.in/MEDIATION%20TRAINING%20MANUAL%20OF%20
INDIA.pdf , 26, Lihat Juga: Luminita Dragne, ‚Brief Conciderations Regarding Mediation
in Criminal Matters, Challengesof the Knowledge Society‛, Mediation,
http://www.justiciarestaurativa.org/www.restorativejustice.org/research/article_search_resu
lts?all_fields=&b_start:int=316.
22
memberikan saran atau menentukan proses mediasi dalam penyelesaian sengketa,
dan menjaga bagaimana proses mediasi dapat berjalan, sehingga menghasilkan
kesepakatan dari para pihak melalui jalan negoisasi.
Syahrizal Abbas merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang lima
prinsip dasar mediasi, dikenal dengan lima filsafat dasar mediasi,9 yaitu: Prinsip
pertama adalah kerahasiaan atau confidentality. Segala sesuatu yang terjadi dalam
pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak yang bersengketa tidak
boleh disiarkan kepada publik oleh masing-masing pihak. Mediator sebaiknya
menghancurkan seluruh dokumen diakhir sesi mediasi. Mediator juga tidak dapat
dipanggil sebagai saksi di pengadilan dalam kasus yang ia prakarsai
penyelesaiannya melalui mediasi.
Prinsip kedua adalah sukarela atau volunteer. Prinsip sukarela ini diatur
dalam Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang pilihan sukarela bagi
penyelesaian sengketa yang ditempuh melalui pengadilan dan diluar pengadilan.10
Para pihak yang bersengketa datang ke mediasi atas keinginan mereka sendiri
secara sukarela dan tidak ada paksaan ataupun tekanan dari pihak lain atau pihak
luar. Mediator harus mengingatkan para pihak bahwa setiap perjanjian yang mereka
capai harus berasal dari kehendak bebas mereka sendiri11
Prinsip ketiga adalah pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini
didasarkan pada asumsi bahwa orang yang ingin datang ke mediasi sebenarnya
mempunyai kemampuan untuk menegoisasikan masalah mereka sendiri dan dapat
mencapai kesepakatan yang mereka inginkan. Penentuan sendiri adalah prinsip
dasar mediasi yang paling membedakannya dari sistem litigasi. Penyelesaian
sengketa harus muncul dari pemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena
hal itu akan lebih memungkinkan para pihak untuk menerima solusinya.
Prinsip keempat netralitas atau neutrality. Di dalam mediasi, peran
mediator hanya memfasilitasi prosesnya saja, isinya tetap menjadi milik para pihak
yang bersengketa. Mediator hanya berwenang mengontrol proses berjalan atau
tidaknya mediasi, dan tidak bertindak layaknya seorang hakim yang memutuskan
salah atau benarnya salah satu pihak, atau mendukung salah satu pihak.
9 Prinsip tersebut disarikan dari: Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah,
Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 29 dan juga: Eilen Schott, ‚A Guide To The Mediation Process‛, 2,
http://www.scmc.sacro.org.uk/Eileen_Schott_Mediation_Book_chapter_-_an_excerpt.pdf,
diakses pada 27 April 2014, Pukul 21:47 10
Lihat: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999, Tentang
perlindungan Konsumen, Pasal 45 Ayat (2),
http://www.djlpe.esdm.go.id/modules/_website/images/content/11493296471.pdf,
18(diakses pada 27 April 2014) 11
David A. Hoffman, ‚Ten Principles Of Mediation Ethics‛,
http://bostonlawcollaborative.com/blc/72-BLC/version/default/part/Attachment
Data/data/2005-07-mediation-ethics.pdf?branch=main&language=default), (diakses pada 27
April 2014, pukul 16:30, 2).
23
Prinsip kelima, solusi yang unik atau an unique solution. Bahwasanya
solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal,
tetapi dapat dihasilkan dari proses kreativitas. Hasil mediasi mungkin akan lebih
banyak mengikuti keinginan dari keduabelah pihak, yang terkait erat dengan konsep
pemberdayaan para pihak.12
Menurut Barda Nawawi Arief terdapat tiga prinsip mediasi, yaitu: pertama
penanganan konflik, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal,
konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi; kedua berorientasi pada proses, yaitu
menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan konflik dapat
terpecahkan, dan ketenangan korban dari rasa takut; ketiga, proses informal yang
tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.13
Lawrence Boulle menyebutkan ada empat model mediasi, yaitu: pertama,
Settlement mediation yang dikenal sebagai mediasi kompromi merupakan mediasi
yang tujuan utamanya adalah mendorong terwujudnya kompromi dari tuntutan
kedua belah pihak yang bersengketa. Mediator yang dikehendaki adalah yang
berstatus tinggi sekalipun tidak terlalu ahli dalam proses dan teknik mediasi.14
Kedua, Facilitative mediation atau mediasi yang berbasis kepentingan
(interest-based) dan problem solving, bertujuan untuk menghindarkan para pihak
yang bersengketa dari posisi mereka dan menegoisasikan kebutuhan dan
kepentingan para pihak dari hak legal mereka secara kaku. Mediator harus ahli
dalam proses dan harus menguasi teknik-teknik mediasi, meskipun penguasaan
terhadap materi tentang hal-hal yang dipersengketakan tidak terlalu penting.
Mediator bertanggung jawab atas proses, sementara pihak bertanggung jawab atas
hasilnya.15
Ketiga, transformative mediation atau mediasi terapi dan rekonsiliasi.
Mediasi ini menekankan untuk mencari penyebab yang mendasari munculnya
permasalahan di antara pihak yang bersengketa, dengan pertimbangan untuk
meningkatkan hubungan di antara mereka melalui pengakuan dan pemberdayaan
sebagai dasar dari resolusi dari pertikaian yang ada.Mediasi ini merupakan
12
Puslitbang Hukum dan Peradilan, ‚Mediasi", Badan Litbang Diklat Mahkamah Agung RI, 2007, http://pta-
makassarkota.go.id/peraturan_perundangan/Naskah%20Akademis/Naskah%20Akademis_M
ediasi.pdf 32, diakses pada tanggal 27 April 2014, Pukul 22:32 13
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan
(Semarang:Pustaka Magister, 2010), 5-7 14
Revy S.M Korah, ‚Mediasi Merupakan Salah Satu Alternatif Penyelesaian Masalah
Dalam Sengketa Perdagangan Internasional‛, Jurnal Hukum UNSRAT,
Vol.XXI/No.3/April-Juni /2013,
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnalhukumunsrat/article/download/1144/922,
diakses pada 7 Mei 2014, Pukul 09:48, Lihat Juga Margaret Drews, The Four Models Of Mediation, http://www.diac.ae/idias/journal/volume3no1/issue1/eng4.pdf, (diakses pada 07
Mei 2014) 15
Nadja Alexander, ‚The Mediation Meta-Model-The Realistis Of Mediation
Practice‛, ADR Bulletin, Volume 12, Number 06, Article 05,
http://epublications.bond.edu.au/adr/vol12/iss6/5, Diakses pada 07 April 2014, 3.
24
pendekatan yang kurang terstruktur yang berfokus pada proses antar pribadi.
Mediator transformatif bertemu dengan pihak bersama-sama, karena hanya cara itu
mereka dapat saling memberikan pengakuan.16
Keempat, evaluative mediation dikenal sebagai mediasi normative
merupakan model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan
pada hak-hak legal dari para pihak yang bersengketa dalam wilayah yang
diantisipasi oleh pengadilan. Mediator harus seorang yang ahli dan menguasai
bidang-bidang yang dipersengketakan meskipun tidak ahli dalam teknik-teknik
mediasi, memberikan informasi dan saran serta persuasi kepada para pihak yang
bersengketa, dan memberikan prediksi tentang hasil-hasil yang akan didapatkan.
Mediator bertemu paling sering dalam pertemuan terpisah dengan para pihak dan
pengacara pihak yang bersengketa.17
Adapun Barda Nawawie, merujuk pada ‚Explanatory memorandum‛ dari
Rekomendasi Dewan Eropa No. R (99) 19 Tentang ‚Mediation In Penal matters‛,
menyebutkan beberapa model mediasi penal, yaitu:18 pertama model "informal
mediation", dilaksanakan oleh personil peradilan pidana dalam tugas normalnya,
yaitu dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum), tetapi, dapat dilakukan juga oleh
pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi, atau
oleh Hakim. Para pihak diundang untuk melakukan penyelesaian informal dengan
tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan. Jenis intervensi
informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.
Kedua, model "Traditional village or tribal moots". Model ini ada di
beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan atau pedalaman dan
lebih mengedepankan keuntungan bagi masyarakat luas. Masyarakat bertemu
untuk memecahkan konflik kejahatan antara mereka dengan tujuan kemaslahatan
bersama.
Ketiga, Model "victim-offender mediation". Model ini melibatkan berbagai
pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk, dari pejabat
formal atau independen atau gabungan di antara keduanya. Pelaksanaannya dapat
diadakan di setiap tahap proses kebijakan polisi, jaksa dan pemidanaan. Model ini
16
Zena D. Zumeta, J.D, ‚Styles Of Mediation: Facilitative, Evaluative, And
Transformative Mediation‛, This article first appeared in the Newsletter of the National Association for Community Mediation and is reproduced with kind permission of the author and the NAFCM.,http://imimediation.org/mediation-styles, diakses pada 07 Mei 2014, Pukul 10:22.
17Zena D. Zumeta, J.D, ‚Styles Of Mediation: Facilitative, Evaluative, And
Transformative Mediation‛,http://imimediation.org/mediation-styles, diakses pada 07 Mei 2014, Pukul 10:22, Lihat juga: Revy S.M Korah, Mediasi Merupakan Salah Satu Alternatif
Penyelesaian Masalah Dalam Sengketa Perdagangan Internasional,36. 18
Barda Nawawie Arief, Mediasi Penal, Penyelesaian Perkara Diluar pengadilan, 7,
Lihat Juga: Councile Of Europe, ‚Mediation In Penal Patters, Recomendation No R(99)19‛,
Adopted by the Committe Of Ministers Of The Councils Of Europe, 15 September 1999,
and Explanatory Memorandum,
http://www.mediacio.hu/files/EU_dok/CoE_R%2899%2919_mediation.pdf, (diakses pada
07 Mei 2014, Pukul 11:14).
25
bergerak pada beberapa bentuk, pertama: kesepakatan para pihak untuk
melanjutkan perkara atau menyelesaikan secara damai; kedua, proses dalam bentuk
litigasi hukum, pidana atau diversi; ketiga kesepakatan dalam batasan hukum
pidana konvensional setelah terjadi penghukuman, yaitu kesepakatan untuk
perdamaian atau pemaafan.19
Keempat,‛Reparation negoiation programmes". Model ini digunakan untuk
menaksir atau menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku
tindak pidana kepada korban, yang dilakukan pada saat pemeriksaan di pengadilan.
Model ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya
berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel. Dalam model ini, pelaku tindak
pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk
membayar diyat atau kompensasi.
Kelima, model "Community panels or courts". Model ini merupakan program
untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur
masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi
atau negosiasi.
Keenam, model "Family and community group conferences". Model ini tidak
hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan
warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para
pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan
yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si
pelaku keluar dari persoalan berikutnya.
Proses mediasi dibagi kedalam tiga tahap, tahapan pertama pramediasi,
kedua pelaksanaan mediasi, dan terakhir implementasi hasil mediasi. Pada tahapan
pertama, mediator melakukan beberapa langkah, diantaranya: membangun
kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali, memberikan informasi awal
mediasi, fokus masa depan, mengkoordinasikan pihak yang bersengketa,
mewaspadai perbedaan budaya, menentukan siapa yang hadir, waktu, dan tempat,
menentukan tujuan pertemuan, menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak
untuk bertemu dan membicarakan kesepakatan mereka.20
Pada tahap kedua, tahap pelaksanaan mediasi, pihak-pihak yang bertikai
sudah berhadapan satu sama lain, dan memulai proses mediasi. Dalam tahap ini,
terdapat beberapa langkah penting, antara lain; sambutan pendahuluan mediator,
presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan menjernihkan
19
Ahmad Ubbe, ‚Mediasi Penal dan Peradilan Adat, (Refleksi atas Bentuk
Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat yang Menyelesaikan Perkara Melalui Peradilan
Adat)‛, Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Nasional, oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum Dan Hak Asasi
Manusia, diselenggarakan pada tanggal 20 Juni 2013, di Surabaya,
http://bphn.go.id/data/documents/lampiran_makalah_dr._ahmad_ubbe,_ . sh.,mh..pdf
(Diakses pada 2 Juni, 2014, Pukul 20.30 ). 20
Ronal S. Kraybill, and others, ‚Panduan Mediator Terampil Membangun
Perdamaian‛, dalam Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 37.
26
permasalahan, berdiskusi dan negoisasi masalah yang disepakati, menciptakan opsi-
opsi, menemukan butir kesepakatan dan merumuskan keputusan, mencatat dan
menuturkan kembali keputusan, dan penutup mediasi.21
Tahapan ketiga adalah tahap implementasi hasil akhir mediasi. Yaitu tahap
dimana para pihak hanyalah menjalankan hasil-hasil kesepakatan, yang telah
mereka tuangkan bersama dalam suatu perjanjian tertulis.Apabila mediasi berjalan
dengan sukses, para pihak menandatangani suatu dokumen yang menguraikan
beberapa persyaratan penyelesaian sengketa. Jika mediasi tidak berhasil pada tahap
pertama, para pihak mungkin setuju untuk menunda mediasi sementara waktu. Jika
mediasi tidak berhasil, maka para pihak secara otomatis memegang semua hak
mereka sebagaimana pada saat mereka masuk kedalam proses mediasi.22
Hak-hak
para pihak sama sekali tidak berkurang atau berpengaruh sedikitpun pada proses
mediasi. Demikian pula diskusi pada saat mediasi tetap bersifat rahasia.
2. Perkembangan Mediasi Dalam Peradilan Adat di Indonesia dan di Berbagai
Negara
Penyelesaian konflik secara damai telah dipraktikkan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia sejak dahulu. Di Papua, penyelesaian adat secara damai
disebut dengan ‚Para-Para Adat‛. Peradilan adat di Papua diatur berdasarkan
Peraturan Khusus Propinsi Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat
Papua.23
Peraturan ini adalah pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 21 Tahun
2001 tentang Pemberian Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.24
Pemerintahan adat Papua mengedepankan konsep musyawarah mufakat,
berpegang pada tiga asas pokok yaitu asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan
yang menjadi pedoman dalam mencarikan pemecahan terhadap persoalan adat yang
dihadapi. Pemimpinnya adalah seorang ondoafi 25, dengan Abu Akho
26 sebagai
eksekutor pelaksana putusan adat. Adapun Hakim Adat di Papua biasanya adalah
kepala suku seperti Nati, Ontofro, Yoskondor, Manambri, Menagawan, tetapi bisa
21
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, 44.
22Dalam pasal 13 Ayat (1) dan (2) Perma No. 02 Tahun 2003 disebutkan ‚Jika para
pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses
mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang
bersangkutan atau yang lainnya. Foto kopi dokumen atau catatan mediator wajib
dimusnahkan‛. 23
Pemerintah Provinsi
Papua,http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2008/papua20-2008.pdf. (diakses pada 4
Juni 2014, pukul 20:33). 28
Lihat: Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua. http://prokum.esdm.go.id/uu/2001/uu-21-2001.pdf, (Diakses
pada 4 Juni 2014, Pukul 20:46). 25
Ondoafi merupakan seorang kepala adat, merupakan satu dari lima kerajaan
konfederasi di kawasan Danau Sentani, Papua. 26
Abu Akho adalah jabatan kerajaan yang mengatur urusan rumah tangga. Lihat:
Hokky Saavedra, ‚Tata Pemerintahan Ondoafi‛, http://budaya-indonesia.org/Tata-
Pemerintahan-Ondoafi/. (Diakses pada 4 Juni 2014, Pukul 20:12).
27
juga ditunjuk salah seorang kepala Keret/Kepala Klan atau kepada marga untuk
menjadi hakim adat.27
Jenis pelanggaran adat yang ditangani oleh pengadilan adat adalah: Tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perzinahan, penghinaan terhadap
wanita dan kepala adat, penganiayaan, perkelahian, pencurian ringan, membuka
rahasia masyarakat, hamil diluar nikah, dan pembunuhan (dengan pengawalan
pengadilan negeri), dan melarikan seorang perempuan.28
Apabila ada perkara terjadi
di suatu dusun, maka yang menyelesaikan adalah dusun yang lain, hal ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penyimpangan dan ketidakadilan serta
berpihak pada salah satu pihak yang bersengketa dalam pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan,
diantaranya: bentuk atau tingkat kesalahan yang dilakukan, pertimbangan si
korban, dan pelaku; pertimbangan atau masukan kepala suku dan tokoh-tokoh
masyarakat setempat, serta aturan adat setempat.29
Di Banjar, salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dan diakui
efektif dalam menyelesaikan pertikaian adalah Adat badamai 30. Adapun yang
menjadi landasan dijalankannya adat badamai adalah Undang-undang Sultan Adam
Pasal 21.31
Jika terjadi konflik atau persengketaan antara warga dan tidak dilakukan
adat badamai diyakini akan merusak tatanan harmoni yang merupakan pelanggaran
terhadap kearifan tradisional. Jika konflik terjadi apalagi yang berkaitan dengan
27
Lidya Suryani Midyawati, ‚Pemenuhan Kewajiban Adat sebagai Pidana Tambahan
Dalam RUU KUHP‛, http://law.uii.ac.id diakses pada 4 juni 2014, pukul 21:30, Lihat juga:
Kornelis Kewa Ama, Hukum Adat mendominasi Hukum Positif di Papua,
http://herukuswanto.dosen.narotama.ac.id/files/2011/05/Hukum-Adat-Mendominasi-
Hukum-Positif.pdf, (Diakses pada 4 juni 2014 pukul 22:00). 28
Sara Ida Magdalena Awi, ‚Para-Para Adat Sebagai Lembaga Peradilan Adat Pada
Masyarakat Hukum Adat Port Numbay Di kota Jayapura‛, Jurnal Hukum,
http://ojs.unud.ac.id. (Diakses pada 04 juni 2014, Pukul 21:10). 29
Fernand Rahardi, ‚Hukum Adat di Papua Eksis di Era Globalisasi‛, Republika online, Selasa, 04 Maret 2014, 05:48 WIB,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/03/04/n1vu0i-pengamat-hukum-adat-
papua-eksis-di-era-globalisasi, (diakses pada 4 juni 2014, pukul 21:35). 30
Ahmadi Hasan, ‚Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar Dulu, Kini, dan Masa
Mendatang‛, Annual Confrence On Islamic Studies (ACIS) Ke-10, Banjarmasin, 1-4
November 2010, http://dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/11.ahmadihasan.pdf,
(diakses pada 5 Juni 2014, pukul 10:42)Lihat Juga: Trisno Raharjo, ‚Mediasi Pidana, Dalam
Ketentuan Hukum Pidana Adat‛, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 17, Juli, 2010, 497.. 31
‚Tiap kampung kalau ada perbantahan isi kampungnja ija itu tetuha kampungnja
kusuruhkan membitjarakan mupaqatmupaqat lawan jang tuha-tuha kampungnja itu lamun
tiada djuga dapat membitjarakan ikam bawa kepada hakim.‛
Artinya:Tiap-tiap kampung bilamana terjadi sengketa, maka diperintahkan untuk
mendamaikan (mamatut) dengan tetuha kampung, bilamana tidak berhasil barulah dibawa
kepada hakim. (Lihat: Badan Pembinaan Hukum Nasional , ‚Laporan Akhir Kompendium
Hukum Tentang Penyelesaian Perkara pidana dalam Hukum Adat‛, Badan pembinaan
Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Tahun 2013,
http://www.bphn.go.id/data/documents/full.pdf, diakses pada 4 juni 2014, pukul 20:31, 8
28
peristiwa pidana, maka tokoh-tokoh masyarakat berinsiatif untuk mendamaikan
para pihak yang bersengketa, melalui pertemuan (musyawarah) keluarga,
dilanjutkan acara selamatan, dengan bermaaf-maafan dan terkadang disertai dengan
perjanjian tidak memperpanjang sengketa dan permusuhan. Bahkan diantara kedua
belah pihak diikat dalam sebuah persaudaraan yang lazim disebut sebagai
maangkat dangsanak (dipersaudarakan) atau maangkat kuitan (menjadi orang tua
dan anak angkat).32
Di provinsi Bali dikenal dua jenis desa yakni desa administrarif dan desa
adat (pakraman). Secara normatif, prajuru desa (pengurus desa Pakraman) memiliki
tugas-tugas dalam mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa adat
sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2003.33
Pelanggaran adat Bali sebagian besar diatur dalam awig-awig34
desa adat
yang bersangkutan berupa pelanggaran kesusilaan, pelanggaran terhadap harta
benda, pelanggraan terhadap kepentingan pribadi, dan pelanggaran tidak
menjalankan kewajiban atau lalai melaksanakan kewajiban adat.35
Mekanisme mediasi yang dilakukan oleh lembaga adat Bali adalah bentuk
traditional village or tribal moots, Victim Offender Mediation model (VOM) dan
Community Panel of Courts Model. Model tribal moots menyelesaikan suatu
perkara dengan menggunakan nilai-nilai kesukuan atau kedaerahan yang
berlandaskan nilai-nilai agama hindu dan keutuhan cultural, agar hubungan antar
masyarakat yang erat tidak terganggu. Sedangkan model Victim Offender
Mediation, melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator
yang ditunjuk. Dalam pelaksanaan ini dapat dilihat dari model mediasi yang
berjenjang, dimana mediasi antar pihak keluarga, kemudian mediasi oleh banjar,
kemudian mediasi oleh desa pakraman, dan terakhir oleh MDP (majelis Desa
32
Ahmadi Hasan, ‚Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar Dulu, Kini, dan Masa
Mendatang‛, AnnualConfrence On Islamic Studies (ACIS) Ke-10, Banjarmasin, 1-4
November 2010, http://dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/11.ahmadihasan.pdf,
(diakses pada 5 Juni 2014, pukul 10:42, 4). 33
I Made Dedy priyanto, dkk, ‚Peranan Prajuru Desa Dalam Penyelesaian Sengketa
Perebutan Tanah Kuburan (Setra) Studi Kasus Di Desa Pakraman Krobokan dan Desa
Pakraman Padang Sambian: Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal‛, Jurnal Komunikasi Universitas Udayana, 447
http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/31.I%20MADE%20DEDY%20PRIYANT
O_udayana.pdf\, (diakses pada 4 juni 2014, pukul 16:4)1. 34
Lihat: I Ketut Sudantra, ‚Pengaturan penduduk pendatang Dalam Awig-Awig desa
Pakraman‛, Jurnal fakultas Hukum Universitas Udayana, http://ojs.unud.ac.id, (diakses pada
05 Juni 2014, Pukul 20:44). 35
Nyoman Roy Mahendra Putra, ‚Penyelesaian Pelanggaran Adat di Kecamatan
Busung Biu Kabupaten Buleleng Menurut Hukum Adat Bali‛, Tesis, Program Magister
Bidang kenotariatan, Universitas diponegoro, Semarang, 2009.
http://eprints.undip.ac.id/18645/1/NYOMAN_ROY_MAHENDRA_PUTRA.pdf, iakses
pada 5 Juni 2014, Lihat juga: Anne Ahira, ‚Wujud kepercayaan Agama Hindu di Bali‛,
http://www.anneahira.com/kepercayaan-agama-hindu.htm, diakses pada 5 Juni 2014, (Pukul
17:34).
29
Pakraman).36
Sedangkan dalam Community Panels Court model, prinsip kerja yang
diambil yaitu membelokkan perkara pidana dari penuntutan dan peradilan pada
prosedur masyarakat yang lebih fleksible dan informal.37
Di Maluku khususnya Maluku Tengah terdapat masyarakat hukum adat
yang di sebutdengan negeri38 yang memiliki lembaga adat. Lembaga adat dalam
penyelesaian sengketadikenal dengan nama saniri negeri39 dan saniri raja patih.
40
Tugas utama lembaga ini adalah menyelenggarakan fungsi peradilan dengan
semangat musyawarah untuk mufakat, yang berintikan terciptanya suasana
harmonis, dan keseimbangan antara masyarakat yang bersengketa, masyarakat
dengan alam sekitar, serta membangun kembali relasi sosial. Keputusan hakim
adat adalah final dan mengikat (final and binding), sistem penyelesaian sengketa
pada masyarakat adat sama sekali tidak mengenal lembaga banding berdasarkan
hukum adat. Apabila para pihak tidak puas akan keputusan dan proses penyelesaian
yang ada, maka mereka dapat menempuh jalur pengadilan.41
Mengenai penerapan mediasi pidana di beberapa negara akan dikemukakan
bahan komparasi sebagai berikut:
Di Belgia, Pada tahun 1994 diberlakukan UU tentang mediasi penal (the act
on penal mediation) yang juga disertai dengan pedomannya (the Guideline on Penal
Mediation). Tujuan diadakan mediasi ini adalah untuk memperbaiki kerugian
36
I Putu Gelgel, ‚Peradilan Adat (Agama) Sebagai Resolusi Konflik‛, Bali Post,
Dialog Interaktif, 06 Oktober 2011,
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=5&id=5790, (diakses
pada 4 Juni 2014, Pukul 21:22).
I Made Agus Mahendra Iswara, ‚Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative
Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali‛, Pascasarjana fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, Tesis, 2013, http://lontar.ui.ac.id, Diakses pada 10 Februari 2014,
pukul 13:20, 223-225, Lihat juga: I Putu Gelgel,‛Peradilan Adat (Agama) Sebagai Resolusi
Konflik‛, Bali Post, Dialog Interaktif, 06 Oktober 2011,
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=5&id=5790, (diakses
pada 4 Juni 2014, Pukul 21:22). 38
Negeri adalah Kesatuan masyarakat hukum adat dalam wilayah pemerintahan di
provinsi Maluku. Negeri dipimpin oleh seorang yang bergelar ‚Latu‛, yaitu Dewan Raja.
(Lihat: JK Matuan Kotta, ‚Negeri Dalam Bingkai Masyarakat Hukum Adat di Maluku‛,
SASI, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Vol. 11 No. 4
Oktober-Desember 2005, http://paparisa.unpatti.ac.id, (diakses pada 5 Juni 2014, pukul
19:28). 39
Badan Musyawarah Adat tingkat negeri yang terdiri dari perutusan setiap soa yang
duduk dalam pemerintahan negeri. 40
Lembaga musyawarah adat negeri terdiri dari staff pemerintahan negeri, para tetua
adat dan tokoh-tokoh masyarakat, (Lihat: Eliza Kissya, ‚Struktur Masyarakat Adat
Haruku‛, http://www.kewang-haruku.org/struktur.html, (diakses pada 5 Juni 2014 pukul
19:32). 41
Sakinah Safarina Putuhena, dkk‚Kewenangan Lembaga Adat dalam Penyelesaian
Sengketa Pada Masyarakat Adat Maluku Tengah‛, Artikel, http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/e357235dc81b0117bc282b2717f29bdb.pdf, (diakses
pada tanggal 05 Juni 2014, Pukul 19:35), 4.
30
materiel dan moral yang ditimbulkan karena adanya tindak pidana. Adapun
ketentuan hukum acaranya dimasukkan dimasukkan pasal 216 ter Code of Criminal
Procedure (10.02.1994)42
Sementara dalam Undang-Undang perlindungan anak Belgia ‚The Youth
Protection Act Belgia 1965‛, diubah pada tahun 2006, tertuliskan bahwa selama
tahap pemeriksaan jaksa penuntut umum wajib mempertimbangkan untuk
mengusulkan mediasi bagi setiap anak dibawah umur yang telah melakukan tindak
pidana. Selama tahap yurisdiksi, hakim juga dapat mengusulkan mediasi, apabila
korban dapat diidentifikasi dengan jelas.43
Di Srilanka, pada tahun 1988 diundangkan Mediation Boards Act Nomor 72
yang meletakkan pengawasan terhadap para penyedia jasa dibawah komisi khusus
yang ditunjuk oleh presiden, yaitu Komisi Badan Mediasi (Mediation Boards
Commissions). Komisi ini terdiri dari lima orang, tiga diantaranya harus
berpengalaman didunia pengadilan (setingkat Mahkamah Agung atau Pengadilan
Tinggi). Bersamaan dengan itu, diberlakukan juga mediasi sebagai upaya wajib
yang harus ditempuh para pencari keadilan sebelum menempuh jalur pengadilan.
Jika dalam batas waktu 30 hari tidak terselesaikan, pencari keadilan dapat
menyelesaikannya melalui cara peradilan. Adapun kasus yang masuk kedalam
juridiksi Undang-Undang ini adalah kasus perdata, kecuali kasus yang secara tegas
diluar Mediation Boards.44
Di Jerman, mediasi tidak hanya dalam hukum perdata, tetapi dalam bidang
pidana. Mediasi dibedakan kepada dua istilah: pertama, Restitution, dan yang
kedua 'Tater-Opfer-Ausgleich‛ (TOA) atau Offender Victim Arrangement (OVA).
Pada tahun 1990, OVA (Offender-Victim Arrangement dimasukkan ke dalam
hukum pidana anak secara umum (§ 10 I Nr. 7 JGG)45
, dan dinyatakan sebagai ‚a
means of diversion‛ (§ 45 II S. 2 JGG).46
Kemudian, pada Pada bulan Juli 2012,
Badan Legislasi Jerman menerapkan EU Directive-2008/52/EWG ("EU
Directive")47
ke dalam hukum nasional dan mengadopsinya kedalam Undang-
42
Tony Peters, Ivo Aersten, Katrien Lauwaert and Luc Robert, ‚From Comunity
Sanctions To Restorative Justice The Belgian Example‛, Depertement of Criminal Law and
Criminologi, Faculty Of Law, Catholic University of Leuven,
http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No61/No61_17VE_Peters.pdf, (accessed June 06,
2014). 43
Saskia, KUYPERS, Antwerpse Dienst Alternatieve Maatregelen (ADAM),
Antwerp, Belgium, ‚Victim-Offender Mediation In Flanders, Belgium,: An Example of a
Well Developed Good Practice‛, Antwerpse Dienst Alternatieve Maatregelen (ADAM)
service of restorative measures for juvenile delinquents, 5
http://www.unicef.org/tdad/1saskiakuypers.pdf, (accessed June 05, 2014). 44
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2003) 52-53 45
Undang-Undang Peradilan Anak 46
Undang-Undang membahas tentang prasyarat untuk pengalihan perkara oleh jaksa. 47
Instruksi dari Parlemen Eropa dan Dewan 21 Mei 2008 tentang penggunaan
mediasi dalam menyelesaikan sengketa perdata dan pidana. (Lihat: Alternative Dispute
Resolution: Mediation,
31
Undang untuk Mempromosikan Mediasi dan Metode lain dari penyelesaian
Sengketa diluar peradilan.48
Kasus yang dapat dimediasi selain dari pada pelanggaran ringan, kasus
tersebut harus sesuai dengan tiga kondisi: yaitu, pertama, fakta-fakta dari kasus
tersebut harus diselidiki dengan baik, termasuk pengakuan pertanggung jawaban
dari korban; kedua, pelanggaran kecil; ketiga, hanya pelaku yang mengaku atau
yang tidak memberikan pernyataan sama sekali. Undang-undang mengacu pada tiga
jenis mediasi atau proses terkait: mediasi diluar pengadilan, mediasi atas usulan
oleh pengadilan, dan mediasi dalam proses damai peradilan. Proses mediasi yang
tidak mengikat lebih memungkinkan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan
bagi kedua belah pihak.49
Kongres Filipina berpedoman kepada UU Nomor 9285 atau Alternatif
Penyelesaian Sengketa UU Tahun 2004 (UU ADR), yang antara lain menetapkan
aturan yang mengatur mediasi secara sukarela, baik ad hoc maupun institusional
diluar pengadilan. Untuk mediasi di pengadilan, sesuai dengan pasal VIII, Bagian 5
dari Konstitusi Filipina, memberikan kewenangan kepada pengadilan tertinggi
Filipina untuk menyebarluaskan peraturan menyediakan prosedur yang
disederhanakan dan murah serta menyelesaikan kasus dengan cepat, dengan
menerbitkan AM No 11-1-6 SC-PHILJA.50
Target mediasi adalah kasus perdata
yang baru diajukan dan kasus pidana ringan.51
http://europa.eu/legislation_summaries/justice_freedom_security/judicial_cooperation_in_ci
vil_matters/l33251_en.htm, accssed at June 08 2014) 48
Shearman and Sterling LLP, ‚ The New German Mediation Act- Paving The Way
for Mediation as Established Standard in Dispute Resolution?‛, International Arbitration, http://www.shearman.com/~/media/Files/NewsInsights/Publications/2012/09/The-New-
German-Mediation-Act/Files/View-full-memo-The-New-German-Mediation-
Act/FileAttachment/TheNewGermanMediationAct170912.pdf, (accessed June, 08 2014),
Lihat juga: Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, 32.
49Ute I Hartmann, ‚Victim-Offender Reconciliation With Adult Offenders In
Germany‛, http://www.aic.gov.au/media_library/publications/proceedings/27/hartmann.pdf,
(accessed, June 08, 2014), Lihat juga: Andrea Parosanu, ‚Restorative Justice In Germany,
Final National report Of germany‛, The 3E-Restorative Justice Model In Europe: Greece,
United Kingdom, Bulgaria, Finland, Hungari, Poland, Spain (including Research Also In
Turkey, The Netherlands, Denmark, Germany) Just/2010/JPEN/AG/1534, 2013, http://3e-rj-
model.web.auth.gr/files/national_reports/Germany.pdf, (accessed June 8 ,2014). 50
Ricardo Ma P G Ongkiko, Joan A de Venecia and Jon Edmarc R Castillo,
‚Mediation, in 16 JurisdictionsWorldwide, 2013‛, Getting The Deal Through In
Association With: Association For International Arbitration, London, 61,
http://www.syciplaw.com/Documents/ME2013%20Philippines.pdf, (accesed June, 08 2014,
11:00). 51
Adapun kasus yang berhasil dimediasi adalah sebanyak 111.528 kasus,
(dokumentasi tahun 2001-2010, dari kasus yang dirujuk untuk mediasi sebanyak 191,051
kasus, maka dapat dikatakan 59% kasus berhasil dimediasi dari 10% kasus yang dirujuk
peradilan untuk dimediasi).(Lihat: Eduardo De Los Angles, ‛Perspectives On Court-
Annexed Mediation In The Philipines‛, Confrence Rediscovering Mediation In 21st century,
32
Penyelesaian sengketa di tingkat desa disebut ‚Katarungang Pambarangay‛.
Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Republic Filipina No. 7160. Dalam setiap
barangay (desa), terdapat Lupong Tagapamayapa52
atau Lupon dan Punong
Barangay53
yang memiliki peran yang sangat besar untuk menjalankan sistem
peradilan di barangay. Proses penyelesaian sengketa adalah: korban mengeluh
secara lisan atau tertulis kepada ketua Lupon dari barangay yang dia tempati,
kemudian ketua lupon memberitahu responden tentang keluhan dan mengatakan
tanggungan pelaku, saksi, dan pelapor untuk berkumpul bersama dan
bermusyawarah untuk mediasi dalam waktu tiga hari. Jika ketua gagal untuk
menengahi sengketa dalam lima belas hari dari pertemuan dengan para pihak, dia
menetapkan tanggal untuk di mediasi ketingkat Pangkat.54 Pangkat mengadakan
tidak lebih dari tiga hari dari konstitusi untuk memediasi keduabelah pihak pada
waktu yang ditetapkan oleh ketua. Hasil musyawarah ditulis, ditandatangani oleh
para pihak, dan dikonfirmasi secara tertulis oleh Lupon Ketua atau Ketua pangkat.
Keputusan ini memiliki kekuatan dari keputusan akhir dari pengadilan setelah
sepuluh hari, kecuali salah satu pihak mau membatalkan keputusan sebelum
keputusan tersebut masuk ke pemerintahan kota atau pengadilan kota.55
Selain dari negara-negara tersebut, mediasi juga berkembang di Austria,
perancis, Polandia, dan Turki.56
Mediasi telah menjadi alternatif yang layak bagi
penyelesaian beberapa jenis kejahatan dalam sistem hukum Turki. Hal ini seperti
yang telah dikemukakan oleh Mustafa Serdar Ozbek, dan Frida Erricson bahwa
melalui mediasi penal dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat Turki dan
Swedia apalagi setelah mediasi dimasukkan kedalam Undang-Undang pada sistem
peradilan pidana, sehingga memungkinkan penyelesaian sengketa pidana di luar
sistem peradilan pidana.57
Kuala Lumpur, 24-25 Februari 2011, 10
http://barcouncil.org.my/conference1/pdf/4.PERSPECTIVESONCOURTANNEXEDMEDI
ATIONINTHEPHILIPPINES.pdf,( accessed June, 08 2014, 12:23). 52
Lembaga yang beranggotakan 30 orang dan berfungsi menyelesaikan ‘minor cases’
yang terjadi di desa (barangay). 53
Barangai Captain atau ketua Barangai. 54
Bagian khusus yang bertanggungjawab untuk mediasi termasuk kedalam anggota
Lupon, terdiri dari tiga orang yang diangkat oleh ketua Lupon. 55
Gill Marvel P. Tabucanon, James A. Wall Jr, Wan Yan, ‚Philipine Commudity
Mediation Katarungang Pambarangay‛, Journal Of Dispute Resolution, Vol. 2008, Issue 2,
Article 8,
http://scholarship.law.missouri.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1556&context=jdr,
(accesed at June, 08 2014, 10:20). 56
Barda Nawawie Arief, Mediasi penal: Penyelesaian Perkara diluar pengadilan
(Semarang: pustaka Magister, 2010), 25-33. 57
Mustafa Serdar Ozbek, The Principle and Procedure of Penal Mediation in Turkish
Criminal Procedure Law, (Turki: Baskent University),Angkara Law Review,Vol.8 No. 2,
2011. Lihat juga: Frida Errikson, ‚Victim-Offender Mediation in Sweden and South
Africa‛, Final thesis of Master of Law Exam, Criminal Law, University of Gothernburgh,
School of Bussiness, Economies, and Laws, Thesis For master Of Law, 2009,
33
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa praktik mediasi telah
digunakan oleh berbagai Negara di dunia untuk menyelesaikan tindak pidana
melalui proses diluar peradilan pidana formal. Konsep mediasi juga digunakan
dalam menyelesaikan perkara adat di berbagai wilayah di Indonesia. Agar
mendapatkan hasil yang terbaik bagi pihak yang bersengketa, dan masyarakat,
dibutuhkan aparat penegak hukum, khususnya hukum adat.
B. Mediasi dan Perdamaian Dalam Hukum Islam
Dalam bahasa Arab, perdamaian diistilahkan dengan al-s}ulh}}. Secara bahasa,
al-s}ulh}} bermakna menghentikan perselisihan, sedangkan secara shari>‘at bermakna
akad untuk mengakhiri perselisihan antara dua orang yang berselisih.58
Dalam
perdamaian ini para pihak sepakat untuk saling melepaskan sebagian dari
tuntutannya, hal ini dimaksudkan agar persengketaan diantara mereka dapat
berakhir, untuk mengembalikan keharmonisan diantara kedua pihak yang bertikai.59
Al-Qas}a>ni> mengatakan bahwa perselisihan itu tidak akan terjadi kecuali karena
manusia mementingkan perkara keduniawian, hanya mengikuti hawa nafsu, dan
condong kepada kepentingan pribadi, al-s}ulh}} akan menjadi tonggak keadilan yang
akan membawa kepada rasa saling menyayangi antar manusia.60
Setiap pihak yang
bersengketa disebut mus}a>lih, sesuatu yang diperselisihkan disebut mus}a>lah ‘anh,
pengganti suatu yang disengketakan disebut mus}a>lah ‘alaih.61
Al-Zuhayli> mengatakan bahwa al-s}ulh}} itu diperbolehkan atas perkara yang
belum jelas kebenarannya diantara kedua belah pihak. Sedangkan ‘Audah
berpendapat bahwa al-s}ulh} diperbolehkan pada perkara-perkara yang melanggar
hak-hak adami, bukan hak-hak Allah, sehingga s}ulh dapat menjadi penyebab
gugurnya hukuman qis}a>s} dengan adanya maaf dari korban. Adapun menunjuk
https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/19708/1/gupea_2077_19708_1.pdf, (diakses pada 16
Agustus 2014). 58
Lihat definisi yang sama pada refrensi berikut: Ibn al-Mand}u>r, Lisa>n al-‘Arab
(Qa>hirah, Da>r al Ma‘a>rif)tt, 5390 . Lihat juga: Muhammad Ami>n Al Shahi>r ibni ‘A>biri>n,
Radd al-Mukhta>r ‘Ala> Da>r al-Muhkta>r Sharh Tanwi>r al-Abs}a>r, Jilid 8 (Beirut: Da>r Al
Kutub al-‘Ilmi>yah,1994), 405. Lihat Juga: Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6 (Dimashqa: Da>r Al Fikr Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4330) Lihat Juga: Ima>m Abi Qa>sim Abd
al-Kari>m bin Muhammad bin ‘Abd al-Kari>m Al Rafi’iy Al Qazwini> Al Syafi’i> (w: 623 H),
al-‘Azi>z Sharh al-Waji>z (Sharh al-Kabi>r), Jilid 5 (Beirut: Da>r al-kutub al-‘Ilmi>yah, 1997),
84. Lihat Juga: Mans}u>r bin Yu>nus Al-Bahwat Al-Hanbali> (w:1051H), Kasha>f al-Qina>’ ‘an Matn al-Iqna>’, Jilid 3 (Beirut: Da>r Al Kutub Al ‘Ilmi>yah, 1997), 455. Lihat Juga: Abi
Muhammad ‘Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Quda>mah Al-Muqdasi>, al-Mughni ‘Ala> Mukhtas}ar al-Khara>qi>, Jilid 4 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1994), 339. Lihat
juga: H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam
(Jakarta: Sinar Grafika) 2004, 26 59
Abu Ja’fa>r Bin Jari>r Al-T}abari> (W: 310), Tafsi>r Al-T}abari (Jami‘ al Baya>n Fi>
Ta’wi>li al-Qur’a>n), Juz 4 (Beirut: Da>r al-kutub al-‘Ilmiy>ah, 1999), 276 60
Muhammad Jama>luddin Al Qa>simi> (w:1914 M), Tafsi>r Al-Qa>simi>(Maha>sin al-
Ta’wi>l), Jilid 8 (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmi>yah, 1997), 527 61
Sayyid Sa>biq, Fiqh Al-Sunnah, Juz III (Beirut: Da>r Al Fikr, tt, h. 210
34
seorang hakim untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai bersifat tidak
memaksa.62
Sedangkan dasar hukum dibolehkannya melakukan al-s}ulh}} dalam suatu
kasus tanpa melalui jalur hukum didasarkan pada al Qur’an63
, Hadi>th64
, dan Ijma’65
.
Rukun al-s}ulh}} adalah ijab dan qabul dengan menggunakan lafad} apa saja
yang memiliki makna perdamaian. Al Qur’an mengantisipasi kemungkinan
terjadinya perang antara dua kelompok mukmin. Allah mewajibkan kepada kaum
mukminin yang lain yang bukan dari kalangan kaum yang bertikai untuk
menciptakan perdamain kepada kedua kelompok yang berperang. Jika salah satunya
bertindak melampaui batas dan tidak mau kembali kepada kebenaran, maka kaum
mukminin hendaknya memerangi kelompok yang zalim tersebut hingga mereka
kembali kepada ‚perkara Allah‛.66
Syarat-syarat al-s}ulh}}, pertama, pihak yang mengajak berdamai haruslah
berakal, bukan orang murtad, dan cakap hukum. Kedua, syarat yang berkaitan
dengan mus}a>lah ‘alaih (pengganti sesuatu yang dituntut atau disengketakan).
Syarat pertama harus berupa harta, mutaqawwam (bernilai, halal bagi pihak yang
bersangkutan), hak milik pihak yang dituntut, harus jelas dan pasti.67
Ketiga persoalan yang yang diperselisihkan (al-mus}a>lah ‘anh). Syarat
pertama adalah harus berupa hak adami, bukan hak Allah, walaupun bukan harta
seperti qis}as}, tetapi jika merupakan hak Allah maka tidak ada s}ulh}, demikian dalam
masalah qadz}af karena hukuman bagi pelanggaran qadz}af adalah untuk memberikan
efek jera agar masyarakat tidak menghancurkan kehormatan sesamanya.68
Syarat
selanjutnya mus}a>lah ‘anh harus berupa hak mus}a>lih, dan harus berupa hak tetap dan
62
Wahbah Zuhayli>, Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6 (Dimashqa: Da>r Al-Fikr Al-
‘Ilmi>yah, 1997), 4331 63
Allah berfirman dalam surat Al Hujurat Ayat 9 dan Juga QS Al Nisa> ayat 128.
Lihat: Muhammad bin Yusuf Ali> bin Abi Hayya>n Al-Andalu>si> (w: 745 H), Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t}, Juz 8 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2001), 111, ‘Abdullah bin Muhammad bin
‘Abd al-Rahma>n bin Ishaq A>lu Syaikh, Luba>b al-Tafsi>r Min Ibni Katsi>r, Jilid 2 (Kairo:
Mu’assasah Da>r al-Hila>l, 1994), 302 64
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim, dan
Ibnu Hibban, dari Amr bin Auf, yang menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
‚Perjanjian damai antara orang-orang muslim itu dibolehkan, kecuali perjanjian
damai yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram‛. (Lihat: Ima>m Abi>
Bakar Ahmad ibn alaHusaini bin ‘Ali al-Baihaqi (485 H), Sunan Al-Kubra, Juz 6, h. Nomor
11351, 11352, 11353 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>ah, 2003), 107 65
Ulama sepakat tentang dishari’atkannya, karena al-s}ulh}} termasuk salah satu akad
yang memiliki manfaat sangat besar, tujuannya untuk menghentikan atau memutus
perselisihan/pertengkaran,Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4332. 66
Maksud dari perkara Allah adalah menghentikan permusuhan antara kaum
mukminin dan menerima hukum Allah dalam menyelesaikan apa yang diperselisihkan
(Lihat: Abu Ja’fa>r Bin Jari>r al-T}abari> (W: 310), Tafsi>r al-T}abari (Jami‘ al-Baya>n Fi> Ta’wi>l
al-Qur’a>n), Juz 11 (Beirut: Da>r al-kutub al-‘Ilmiy>ah, 1999), 388-389. Lihat juga: Sayyid
Qut}b, Tafsir Fi> Zhila>li al-Qur’a>n, Jilid 10, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 416 67
Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4343 68
Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Juz III (Beirut:Da>r Al Fikr, tt, h. 211
35
positif untuk al-mus}a>lih dalam objek al-s}ulh}}. Syarat terakhir adalah yang terkait
dengan ijab dan qabul, yaitu bahwa kabul harus sejalan dengan ijab. Apabila qabul
berbeda dari ijab, maka perdamaian tidak sah.69
1. Konsep Musyawarah dalam S}ulh}u
Imam al-Shafi’i> berkata: Sebenarnya Nabi SAW tidak memerlukan
bermusyawarah dengan para sahabat, akan tetapi beliau menghendaki agar hal itu
diketahui oleh para hakim suatu perkara yang dapat memungkinkan beberapa segi
atau mempersulitnya. Maka ia harus bermusyawarah dan ia tidak boleh
bermusyawarah dengan orang bodoh karena tidak ada artinya bermusyawarah itu
dan tidak pula dengan orang yang pandai lagi tidak jujur, karena bisa-bisa ia
menyesatkan orang yang mengajak musyawarah. Akan tetapi ia harus
bermusyawarah dengan orang yang mempunyai dua unsur, yaitu berilmu dan jujur.70
Penyelesaian perkara melalui musyawarah dengan artian bertemunya
antarapihak yang bersengketa dalam satu majelis, pada dasarnya adalah jalur
terbaik. Keuntungan yang didapatkan kedua pihak yang bersengketa (setidaknya)
adalah penemuan solusi atau jalan keluar yang sama-sama disepakati. Hal ini sangat
efektif meredam segala amarah yang ada dalam benak para pihak (terutama
yangkalah) setelah ditemukannya suatu solusi. Hal tersebut akan lebih sempurna
jikajalur penyelesaian sengketa ini dikontekskan dengan fenomena yang terjadi
didunia modern.71
Qafishes mengatakan bahwa al-s}ulh}} tidak dapat diterapkan pada kejahatan
berat tertentu terbayangkan misalnya, dalam kasus yang melibatkan kejahatan
seperti hira>bah72
, terorisme, yang mencakup pembunuhan. Kasus lain adalah
seorang pria yang memperkosa anggota keluarga dekat. Alasannya adalah bahwa
kejahatan berat yang dilakukan al-s}ulh}} adalah kejahatan terhadap ketertiban umum,
yaitu nilai-nilai fundamental dari masyarakat, bukan masalah pribadi.73
Al S}}ulh dan mediasi secara filosofis merupakan falsafah bangsa Indonesia
hal ini terlihat dalam Pancasila pada sila keempat ‚kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan‛. Dapat dipahami bahwa
dalam penyelesaian sengketa berasas pada musyawarah mufakat, nilai musyawarah
mufakat terkonkretkan dalam sejumlah bentuk alternatif penyelesaian sengketa
69
Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4350-4363 70
Imam Abi ‘Abdillah Muhammad Bin Idris al-Shafi’i>, al-Umm, Jilid 11 (Kuala
Lumpur: Victory Agancy), tt 71
Sufriadi, ‚Memberdayakan Peran Badan Arbitrasi Syariah Nasional (Basyarnas)
dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi di Luar Pengadilan‛, 256,
http://fis.uii.ac.id/images/la-riba-vol1-no2-2007-08-sufriadi.pdf, (diakses pada 08 Juni 2014,
pukul 20:22) 72
adalah salah satu bentuk perkara kriminal (jarīmah) yang lebih dahsyat dari
pembunuhan semata. Secara tata bahasa hirabah artinya perang, secara istilah adalah suatu
perbuatan yang dimurkai oleh Allah yaitu melakukan gabungan dari perampasan,
penteroran, pembunuhan dan juga merusak di muka bumi 73
Mu’taz M. Qafishes, Restorative Justice in the Islamic Penal Law: a Contribution
to the Global System, International Journal of Criminal Justice Sciences, Vol. 7, Issue 1
January-June, 2012, ISSN: 0973-5089, Hebrone University, Palestine.
36
seperti mediasi, arbitrase, negosiasi, fasilitasi dan berbagai bentuk penyelesaian
sengeketa lainnya.74
Adapun proses penyelesaian sengketa pada masa Rasulullah
melalui mediasi dan s}ulh} dapat ditemukan pada peristiwa peletakan Hajar Aswad
dan Perjanjian Hudaibiyah.75
Dari tindakan Nabi Muhammad dalam kedua
peristiwa itu, khususnya perjanjian Hudaibiyah dapat dipetik beberapa prinsip
mediasi, antara lain, sikap negoisasi, sikap kompromi, take and give, memosisikan
sama antara para pihak, dan menghargai kesepakatan. Disinilah nabi Muhammad
menunjukkan kelembutan dan kearifannya sebagai seorang pemimpin.
2. Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Al-s}ulh}}
Al-Zuh}ayli> menjelaskan bahwa al-S}ulh} ditinjau dari berbagai subjeknya
dibagi menjadi empat bagian berikut ini:76
1. Perdamaian antara suami istri dalam sengketa rumah tangga.
2. Perdamaian antara umat Islam dengan ahl al harb (orang-orang kafir yang
memerangi umat Islam). Yaitu dengan akad perdamaian dan rasa aman.77
3. Perdamaian antara pihak yang berkuasa (pemerintah) dengan pemberontak
dalam suatu negara, biasanya berakhir dengan adanya konsesi hak dan
kewajiban antara kedua pihak.78
4. Perdamaian antara dua orang atau kelompok yang bersengketa dalam
persoalan bukan harta, yaitu dalam tindak pidana qis}as} (pembunuhan).79
5. Perdamaian antara para pihak yang terlibat dalam persengketaan harta benda.80
Adapun pembagian s}ulh} yang berkaitan dengan harta adalah:
a). S}ulh} al -iqra>r (Perdamaian yang disertai Pengakuan)
Yaitu apabila seorang tergugat mengakui dan membenarkan kesalahan atau
gugatan dari penggugat. Perdamaian ini dibagi menjadi dua, pertama yaitu s}ulh}
74
Tim IT Peradilan Agama Rantau Prapat, Kamis, 29 September 2011 08:41,
http://www.pa-rantauprapat.net/index.php/2013-06-14-01-22-11/ket-62, (diakses pada 08
Juni 2014) 75
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 165-170
76Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4332
77Seperti perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan Rasulullah SAW dan pengikutnya
dengan kafir Quraisy pada tahun ke-6 Hijriyah. 78
Dasar dalam perdamaian ini adalah surat Al Hujura>t ayat 9:contoh perdamaian ini
adalah perdamaian yang dilakukan oleh Abu Bakar setelah memerangi kelompok
pemberontak yang menolak zakat. (Lihat: Muhammad Jama>luddin al-Qa>simi> (w:1914 M),
Tafsi>r al-Qa>simi> (Maha>sinu-l-Ta’wi>l), Jilid 8 (Beirut: Da>r al Kutub al-‘Ilmi>yah, 1997), 528 79
Hal ini berdasarkan atas firman Allah surat Al Baqarah ayat 178: (Lihat: Abd al
Qa>di>r ‘Awdah, al-Tashri’ al-Jina>i> Al-Islami> Muqa>ranan Bi al-Qa>nu>n al-wad}’i>, (Beirut: Da>r
Al-Kutub Al-‘Azli>), tt, 167. Lihat Juga: Muhammad Fakhr al-Ra>zi> Fakhr al-di>n Ibn
‘Alla>mah D}iya>’ al-Di>n ‘Umar, Tafsi>r Fakhr al-Ra>zi, Jilid 3 (Beirut: Da>r al Fikr, 2005),1022.
6. Lihat Juga: Muhammad Rashi>d Rid}a (w: 1935), Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Kari>m al-Mashu>r bi Tasfi>r Al-mana>r, Juz 2 (Beirut: Da>r al-Kutub Al-‘Ilmi>yah, 1999), 103.)
80Lihat juga: S}afwat ‘Aud} Kablu, Qad}a>u al-s}ulh}} Fi> Inha>i al-Khus}u>ma>t Fi> al-Shari>’a>t
al-Isla>mi>yah wa al-Qa>nu>n al-Wad}’i>, 1995, http://www.bahrainlaw.net/post171.html,
(diakses pada 29 Agustus 2014)
37
yang terjadi sesuai jenis hak (disebut juga s}ulh}u al hat}i>t}ah). Kedua, yaitu s}ulh} yang
terjadi pada selain jenisnya (disebut juga s}ulh} al mu'a>wadlah).81
b). S}ulh} al-inka>r (Perdamaian yang disertai Pengingkaran atau penyangkalan pihak
tergugat)
Yaitu bahwa seseorang menggugat orang lain tentang sesuatu materi, utang
atau manfaat, dan tergugat menolak gugatan atau mengingkari apa yang digugatkan
kepadanya, kemudian mereka berdamai. Menurut madzhab Maliki, Hanafi, dan
Hanbali, perdamaian dalam kasus ini boleh dilakukan dengan syarat apa yang
dituduhkan itu jelas kebenarannya, dan pihak tergugat diyakini bahwasanya dia
tidak memiliki hak untuk itu. Hal ini berdasarkan atas firman Allah SWT dalam
Surat An Nisa’ ayat 128.82
Adapun Ulama mazhab Shafi’i>, menyatakan bahwa
dalam persengketaan yang gugatannya diingkari oleh tergugat tidak boleh
dilakukan perdamaian, kecuali tuduhan penggugat itu benar, dan pihak tergugat
mengakui kesalahannya serta bersedia mengembalikan hak penggugat guna
mengakhiri persengketaan. Alasan mereka adalah jika kasus seperti itu boleh
diselesaikan dengan perdamaian, maka setiap orang dapat mengklaim hak orang
lain. Menurut mereka, hal seperti ini akan bermuara kepada menghalalkan yang
haram atau mengharamkan yang halal.83
c) S}ulh} al-suku>t (Perdamaian yang disertai sikap diamnya tergugat)
Pihak tergugat hanya merespon gugatan tersebut dengan sikap diam, tidak
mengakui, tidak menyangkal, dan tidak pula mengingkari gugatan tersebut.84
Perdamaian dalam kasus seperti ini diperbolehkan, kecuali ulama madzhab syafi’i
berpendapat bahwa orang yang diam secara de jure hukumnya dianggap sama
dengan orang yang ingkar, oleh karena itu, ia disikapi dengan sikap terhadap orang
yang ingkar.85
3. Perkembangan al-s}ulh}} sebagai konsep penyelesaian sengketa
Al-s}ulh}} tidak meninggalkan efek buruk pada hati pihak yang bersengketa,
dapat mencapai keadilan dan mengurangi beban pengadilan serta dapat
81
Contohnya seseorang mengakui suatu hutang atau barang, kemudian melakukan
shulh dengan mengambil ganti yang berbeda jenisnya, baik uang, barang, manfaat, atau jasa.
(Lihat: : Ima>m Al Nawa>wi>y, Raud}atu al-T}a>libi>n Wa ‘Umdatu al-Mufti>n< Jilid 4,193-196.
Lihat Juga: Abi H}asan ‘Ali> Bin Muhammad Bin H}abi>b Al-Mawardi> al-Bas}ri>, al-Ha>wi> al-Kabi>r Fi Fiqh Madhab al-Ima>m al-Shafi>’i wa Huwa Sharh Mukhtas}ar al-Muz}ni>, Jilid 6
(Beirut: Da>r al Kutub Al-‘Ilmi>yah, 1999) 367) 82
Yaitu firman Allah ( Ayat tersebut menyatakan keumuman, yaitu segala .(والصلح خري
bentuk al-s}ulh}} itu dibolehkan, kecuali apa yang dikhususkan oleh dalil. Hanafiyyah
menambahkan bahwa perdamaian dibutuhkan untuk memutuskan sengketa danm
permusuhan. (Lihat: Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4334) 83
Ima>m Abi Qa>sim Abd al-Kari>m Bin Muhammad Bin ‘Abd al Kari>m al-Rafi’iy al-
Qazwini>y Al-Shafi’i > (w: 623 H), Al ‘Azi>z Syarh al-Waji>z (Sharh al Kabi>r), Jilid 5, 90. Lihat
Juga: Wahbah Zuhayli>, Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4334-4336. 84
Sayyid Sa>biq, Fiqh Al-Sunnah Juz III (Beirut:Da>r Al Fikr, tt), h. 213 85
Wahbah Zuhayli>, Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4335
38
mewujudkan perdamaian sosial.86
Di Yordania, ketetapan mediasi (al-s}ulh}} disebut
juga al-wasa>t}ah) diatur dalam Qa>nu>n Nomor 37 Tahun 2003, tentang proses
mediasi di pengadilan. Proses ini tidak boleh lebih dari tiga bulan, terhitung dari
haripertama penyelesaian disesuaikan melalui mediasi. Mediator pada tingkat
pertama, diambil dari hakim dan pengacara dan para professional yang menguasai
bidangnya, karena mereka dikenal dengan integritasnya dan sifat netralitas yang
tidak berpihak kepada salah satu pihak, dan berlaku bagi mereka syarat dan
ketentuannya. Mediator harus dapat mengambil tindakan yang tepatuntuk
membawa mereka mencapai solusi damaidalam sengketa, mediator mungkin
mengungkapkan pendapatnya, mengevaluasi dan mengajukan prosedur lain yang
memudahkan mediasi.87
Di Uni Emirat Arab, al-s}ulh}} digunakan untuk menyelesaikan perkara perdata
(al-ah}wa>l al-shakhshi>yah). Pemerintah mendirikan komite mediasi untuk
menyelesaiakan masalah keluarga, dengan mengambil para sarjana dan petugas
professional khusus yang ahli untuk berdialog, mendengarkan aktif para pihak yang
bersengketa, membangun kepercayaan mereka, sehingga dapat proses rekonsiliasi
dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini bertujuan untuk
memperkenalkan budaya perdamaian dalam menyelesaikan sengketa. Untuk
mendukung itu, pemerintah mengeluarkan qa>nu>n Nomor 28 tahun 2005 ayat 16
mengatakan bahwa pengadilan tidak menerimakasuskeluarga sebelum diselesaikan
oleh komite mediasi.88
Tah ‘A>bidi>n Tah mengatakan bahwa keuntungan dari penerapan al-s}ulh}}
adalah: pertama, kebersihan dan keselamatan hati, al-s}ulh}} adalah obat bagi mereka
yang bersengketa agar terhindar dari sifat dengki, benci, dendam, dan seluruh sifat
yang akan mengotorkan hati; kedua, akan timbul rasa cinta dan sayang kepada
sesama, pemberian maaf adalah bukti dari rasa cinta seseorang kepada orang lain,
pelaku yang mendapatkan maaf akan memberikan rasa terimakasih dan kesyukuran
kepada korban atas kelembutan hatinya untuk memberikan maaf; ketiga, mendidik
seseorang untuk melaksanakan perkara yang dicintai oleh Allah, rasa saling
memaafkan, memberikan keadilan, saling mencintai, dan menciptakan kerukunan;
keempat menghilangkan hasutan syetan, untuk maslahat bersama; dan sebagai jalan
mendapatkan balasan dan pahala dari Allah.89
86
‘Ali> al G}amidi>y, ‚al-s}ulh}} wa Atharuhu Fi> Inha>i al-Khus}u>mah‛, 28/01/2012,
http://www.s3t3.com/vb/archive/index.php/t-17483.html, diakses pada 29 Agustus 2014 87
Qa>nun al-Wasa>t}ah Li H}illi al-Niza>’a>t al-Madani>ah al-Urdu>ni>, http://www.alu-
1944.org/Default_ar.aspx?ID=90, (diakses pada 29 Agustus 2014) 88
Ima>rah Abu D}abi, Da>ira>t al-Qad}a>, ‚Ahammiyatu al-s}ulh}} fi> hilli al-niza>’a>t al-usari>ah
Fi> Daulah al-‘Ima>ra>t al-‘Arabi>yah‛,
http://www.adjd.gov.ae/portal/site/adjd/ArtcileAwareness257/;jsessionid=rBrrTr1Dh6G91y
FjZWQQpz2rNtfzDMR0dW5HFf4LqnGZnTrTHX3Y!-463269135!NONE, (diakses pada
29 Agustus 2014) 89
T}aha ‘A>bidi>n T}aha, ‚Al-s}ulh}} Fi> D}aui al-Qur’a>n al-Kari>m‛,
http://uqu.edu.sa/files2/tiny_mce/plugins/filemanager/files/4290464/K036003.PDF, (diakses
pada 29 Agustus 2014)
39
Diantara hal-hal yang membatalkan kesepakatan s}ulh} adalah:
1. Al Iqa>lah.90
Seandainya salah satu pihak yang mengadakan kesepakatan al-s}ulh}}
selain hak qis}as{ menyetujui keinginan yang lainnya untuk membatalkan akad
s}ulh}, maka kesepakatan al-s}ulh}} menjadi batal. Adapun kesepakatan al-s}ulh}}
berupa qis}as}, maka kesepakatan tersebut murni mengandung arti al-isqa>t} (pengguguran) terhadap hak pihak wali korban pembunuhan di dalam meminta
pemenuhan qis}as} terhadap si pelaku pembunuhan.
2. Pihak yang melakukan kesepakatan s}ulh} yang murtad bergabung ke negri kafir
harbi atau ia meninggal dalam keadaan murtad.
3. Dikembalikan karena cacat atau atas dasar khiyar ru’yah.
4. Salah satu pihak yang melakukan kesepakatan s}ulh} meninggal dunia dengan
mus}a>lah ‘alaihi berupa kemanfaatan sebelum batas waktu pemanfaatan yang
ada habis.91
Dalam hukum Islam, hukuman sebenarnya bukanlah menjadi tujuan yang
diinginkan. Hukuman bukanlah sarana yang pertama dan utama dalam melakukan
perbaikan dan pelurusan terhadap individu dan masyarakat, serta dalam
menciptakan perubahan mendasar dan fundamental dalam kehidupan manusia dan
masyarakat. Hukuman adalah sarana, langkah, dan solusi paling terakhir setelah
semua cara dan solusi yang lain telah gagal dan tidak mampu mengatasi
permasalahan yang ada, sebagaimana al qur’an meletakkan hukuman atau
penggunaan kekuatan pada urutan paling akhir dalam daftar bentuk pendekatan
hukum dalam Islam, mengenai hal ini Allah berfirman dalam surat al Hadi>d ayat
2592 93
. Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan secara berurutan penurunan al
Kitab, perintah berlaku adil, dan penuruna (penciptaan besi). Hal ini untuk memberi
syarat bahwa al Kitab melambangkan kekuatan hukum perundang-undangan
(legislatif), keadilan melambangkan kekuatan pengadilan (yudikatif), dan terakhir
90
Pembatalan akad oleh salah satu pihak dan disetujui oleh pihak lain. 91
Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4336
92
25. Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan
besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya
Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.
40
yaitu penciptaan besi melambangkan kekuatan pelaksanaan dan pemberlakuan
(eksekutif) hukum perundang-undangan.94
Maksud dan tujuan dari hukuman menurut pandangan shari’at dan hukum
positif adalah meluruskan, memperbaiki, dan merehabilitasi pelaku kejahatan, oleh
sebab itu, tidak ada alasan untuk menyakiti, dan merendahkan seorang terpidana
atau membebaninya dengan suatu pekerjaan yang berat di dalam penjara, selama
hal itu tidak menjadi sebuah tuntutan dalam usaha memperbaiki dan meluruskan
pelaku si terpidana. Apabila ingin mencapai pada tujuan hukuman, maka harus ada
pemberitahuan dan penjelasan yang cukup untuk memunculkan keyakinan dan
kesadaran akan kebenaran suatu prinsip atau keyakinan dan kesadaran untuk
melaksanakan hukum dan aturan serta patuh dan tunduk kepada shari’at. Suatu
pemberian hukuman dianggap sangat buruk dan sama sekali tidak bisa diterima jika
tidak didahului dengan penjelasan, pemberitahuan, dan peringatan sebelumnya,
sebagaimana pahala dan ganjaran tidak diberikan sebelum adanya pentaklifan yang
berlandaskan atas asas terpenuhinya sifat-sifat al-ahli>yah (kelayakan, kepantasan,
kapabilitas) berupa akal yang cukup dan kebalighan (kedewasaan) fisik,
pemublikasian perintah dan larangan, penjelasan tentang alasan-alasan dan hikmah
yang terkandung dalam hukum agama.
Adapun ‘Awdah mendefinisikan hukuman yaitu:
95 ىي اجلزاء ادلقرر دلصلحة اجلما عة على عصيا ن أمر الشارعةالعقو ب‚‛
‚Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara
kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan
syara.‛
Tujuan pemidanaan dalam Islam bukan hanya sebagai retribution
(pembalasan) semata, tetapi memiliki tujuan mulia lainnya sebagai deterrence
(pencegahan) dan reformation (perbaikan), serta mengandung tujuan pendidikan
(al-tahdzi>b) bagi masyarakat. Tujuan pemidanaan tersebut merupakan satu
kesatuan utuh dalam penerapan hukum pidana Islam untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia.96
Tujuan pemidanaan tersebut terlihat jelas pada paradigma ta’zi>r. Sifat
deterrence terkandung dalam aturan ta’zi>r berasal dari aturan hukumnya yang
sangat lengkap, mulai dari aturan hukuman yang paling ringan berupa teguran dan
nasehat kepada pelaku pemula dalam tindak pidana ringan, sampai kepada bentuk
hukuman terberat berupa hukuman mati kepada pelaku tindak pidana (bukan
94
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r Al Fikr
Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4850 95
Abd al-Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri’ al-Jina>i al-Islami> Muqa>ranan Bi al-Qa>nu>n al-wad}’i, Juz 1, (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Azliy), tt, 609
96Muhammad Tahmid Nur, ‚Maslahat dalam Hukum Pidana Islam‛, Jurnal Diskursus
Islam, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2013, 293, http://www.uin-alauddin.ac.id/download-
Jurnal%20Diskursus%20Islam%20Vol%201%20No%202%20Agustus%202013.125-
150.pdf, (diakses pada tangga 22 Juni 2014).
41
eksekusi mati) yang sifatnya kambuhan.97
Sedangkan sifat fleksibilitas aturan ta’zi>r
menjadikah hukum pidana Islam dapat mengisi setiap ruang dan zaman secara
sempurna, karena permasalahan pidana apapun yang luput dari aturan hudud dan
qis}a>s} dapat ditangani secara maksimal dengan aturan ta’zi>r.98
Menurut bahasa ta’zi>r berarti pendidikan, pengagungan dan pembelaan. Hal
ini sesuai dengan firman Allah Surat Al fath ayat 9.99
Adapun menurut syara’ ta’zi>r
adalah hukuman yang dijatuhkan karena melakukan kejahatan yang tidak punya
konsekwensi hudud ataupun kafarat.100
Dengan kata lain adalah sanksi yang
ditetapkan pemerintah (al-ha>kim)101
terhadap kejahatan (al-jina>yah) atau maksiat
yang hukumannya tidak dijelaskan langsung oleh shariat atau telah dijelaskan
namun syarat-syarat pelaksanaannya tidak terpenuhi.102
Apabila ditinjau dari pendekatan defenisi, ta’zi>r lebih dekat pada
pengertiannya sebagai hukuman yang bersifat mencegah dan memperbaiki, dari
pada sebagai hukuman pembalasan. Sebagai hukuman yang mendidik masyarakat,
ta’zi>r merupakan usaha untuk melahirkan masyarakat yang sadar hukum sejak dini
melalui upaya pencegahan dan perbaikan. Pada hakikatnya, hukum Islam juga
menganut beberapa alternatif hukuman, diantaranya praktek-praktek kompensasi,
konsiliasi, dan pengampunan, pertobatan, mengambil keuntungan dari keraguan,
menjaga privasi, syafaat, jaminan, dan kafarat. Alternatif tersebut dapat
diaplikasikan dan berjalan bersamaan dengan hukuman ta’zi>r.103
Mohammed Abu Nimer merumuskan 12 Prinsip penyelesaian sengketa yang
dibangun al Qur’an dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad. Prinsip-prinsip
tersebut adalah: perwujudan keadilan, pemberdayaan sosial, universalitas dan
martabat kemanusiaan, prinsip kesamaan (equality), melindungi kehidupan
manusia, perwujudan damai, pengetahuan tentang kekuatan logika, kreatif dan
inovatif, salingmemaafkan, tindakan nyata, pelibatan melalui tanggungjawab
individu, sikap sabar, tindakan bersama (collaborative) dan solidaritas, inklusif dan
proses partisipatif, plurarisme dan keagamaan.104
97
Abd al-Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri’ al-Jina>i al-Islami> Muqa>ranan Bi al-Qa>nu>n al-wad}’i, Jilid 2 (Beirut: Da>r Al Kutub Al ‘Azliy), tt,630
98Muhammad Tahmid Nur, ‚Maslahat dalam Hukum Pidana Islam‛, Jurnal Diskursus
Islam, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2013, 300. 99
‚Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan membela agama-
Nya‛ 100
Ah}mad Fat}i al-Bah}nasi>, al-Ta’zi>r Fi> al-Isla>m, (Mesir: Muassasah al Khali>j al-
‘arabi, 1988), 9 101
Al-h}a>kim adalah pemerintah yang menerapkan hukum-hukum Islam, menegakkan
nilai-nilainya, dan berkomitmen dengan ajaran-ajarannya 102
Sayyid Sa>biq, Fiqh Al-Sunnah, Juz II (Beirut:Da>r Al-Fikr, tt), 376 103
Mu’taz M. Qafishes, Restorative Justice in the Islamic Penal Law: a Contribution
to the Global System, International Journal of Criminal Justice Sciences, Vol. 7, Issue 1
January-June, 2012, ISSN: 0973-5089, Hebrone University, Palestine. 104
Mohammed Abu Nimer, ‚A Framework For Nonviolence And Peacebuilding In
Islam‛, Journal Of Law And Religion, Vol. 15, No. 1/2 (2000 - 2001), pp. 217-265,
http://humanrights.utah.edu/AbuNimer_JLR_2001.pdf, accessed 08/06/2014, Lihat Juga:
42
Dari pemaparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
kesamaan antara konsep penyelesaian sengketa melalui mediasi, dan konsep
perdamaian (al-s}ulh}}) dalam hukum Islam, keduanya berorientasi pada perdamaian,
keadilan, dan kesejahteraan bersama. Proses musyawarah mufakat dan sukarela
menjadi alat dalam penentuan kebijakan, serta tujuan pemberian hukuman untuk
pendidikan, dan pembelajaran yang berlandaskan shari’at Islam juga menjadi
pertimbangan pengambilan sebuah kebijakan.
C. Konsep Litigasi dalam Penyelesaian Sengketa
Dalam sejarahnya penyelesaian sengketa pada umumnya dilakukan melalui
lembaga litigasi. Badan peradilan diberikan wewenang dan memegang otoritas
mengadili suatu sengketa. Peradilan menjadi the first and the last resort dalam
penyelesaian sengketa, seolah-olah manusia terpedaya, hanya badan peradilan yang
dianggap mampu memberi persyaratan yang adil. Setiap penyelesaiannya harus
menurut tata cara formal yang diatur dalam hukum acara (dua to process) serta
memberikan hak kepada para pihak untuk mempergunakan upaya hukum secara
instansional.105
Hal ini membuat sistem litigasi ke arah yang sangat formalistic,
teknis, dan biaya mahal. Beberapa putusan peradilan dianggap kurang memberikan
rasa adil bagi masyarakat, bahkan putusan hakim yang telah mengikat dan pasti
terkadang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, karena dimungkinkan ada
peninjauan kembali dan adanya perlawanan dari pihak eksekusi.Apabila dilihat dari
beberapa kasus,106
putusan hakim, dan peraturan perundang-undangan, sistem
peradilan pidana (litigasi) cenderung bersifat retributif karena menitikberatkan
kepada penghukuman didasari pemikiran balas dendam dan memenuhi tuntutan
kemarahan publik yang terusik oleh perbuatan pelaku.107
Secara ontologis, pidana pada hakikatnya merupakan kosekuensi yuridis dari
tindakan seseorang yang melakukan perbuatan pidana.108
Secara garis besar,
terdapat tiga teori tujuan pemidanaan, yaitu:
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan. Menurut teori ini pidana dijatuhkan
karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 128-152
105Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2003) 14-15 106
Seperti kasus pencurian kakao oleh nenek aminah, kasus pencurian buah randu
oleh Manisih,Sri Suratmi, Ruswono, dan Juwono; kasus pencurian sandal oleh AAL, dll 107
Komisi Yudisial, Laporan Khusus Satu Tahun Komisi Yudisial Jilid 2, Hakim, dan
penerapan keadilan Restoratif,Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan, Vol.VI No. (4 Januari- Pebruari 2012), 24 februari, 2012, 16,
http://www.komisiyudisial.go.id/files/Buletin/buletin-januari-februari-2012.pdf, (diakses
pada 28 januari 2014) 108
Artidjo Alkostar, ‚Kebutuhan Responsifitas Perlakuan Hukum acara Pidana dan
dasar Pertimbangan Pemidanaan Serta Judicial Immunity‛, Makalah Tua Pidana,
Disampaikan pada Rakernas 2011 Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia,
http://anggara.files.wordpress.com/2011/10/fondasi-dan-pertimbangan-pemidanaan-wadah-
pidana-artidjo-alkostar_edited.pdf, (diakses pada 22 Juni 2014)
43
harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.
Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri.109
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan. Teori ini disebut juga teori utilitarian, lahir
sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana
menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk
mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Tujuan pidana menurut teori
relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak
terganggu.110
c. Teori Gabungan, yaitu Menggabungkan Antara Teori Absolut dan Teori
Relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana itu selain membalas kesalahan
penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan
mewujudkan ketertiban. 111
Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 kelompok
yakni : a) Teori absolut (retributif); b) Teori teleologis; dan c) Teori retributif
teleologis.112
Pada hakikatnya teori ini sejalan dengan ketiga teori tersebut diatas. Teori
absolut berorientasi pada pembalasan, Teori teleologis berorientasi pada tujuan
yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.
Adapun Teori retributif teleologis bersifat plural, integritatif antara absolut
teleologis, karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan
adalah: pencegahan umum dan khusus, perlindungan masyarakat, memelihara
solidaritas masyarakat, dan pengimbangan.113
Dalam RUU KUHP tujuan pemidanaan diuraikan secara jelas pada pasal 54
ayat (1) yaitu:
109
Teori ini disebut juga dengan teori retributif yang mengandaikan pemidanaan
sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga
masyarakat. Teori ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking). (Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, ‚Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam
Rancangan KUHP‛, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3, 10,
http://docs.perpustakaan-elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/3.pdf, (diakses padfa 22 Juni
2014) 110
Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah
laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang
lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Teori ini dikatakan berorientasi
ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence). 111
Usman, ‚Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana‛, Jurnal Ilmu Hukum, 66-
76, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=12060&val=882&title=, (diakses
pada 22 Juni 2014) 112
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, ‚Pemidanaan, Pidana dan
Tindakan dalam Rancangan KUHP‛, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3, 12 113
Lilik Mulyadi, ‚Pergeseran Perspektif dan Praktik dari mahkamah Agung Republik
Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan‛, Artikel, 7,
http://www.badilum.info/upload_file/img/article/doc/pergeseran_perspektif_dan_praktik_da
ri_mahkamah_agung_mengenai_putusan_pemidanaan.pdf, (diakses pada 22 Juni 2014)
44
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat manusia.114
Pidana yang ditetapkan oleh peradilan adalah pidana yang diharapkan dapat
menunjang tercapainya tujuan, oleh karena itu, perlu diadakan penelitian pidana apa
yang dipandang efektif dan bermanfaat untuk mencapai tujuan. Efektivitas pidana
harus diukur berdasarkan tujuan atau hasil yang ingin dicapai.
Apabila yang dimaksud dengan mencegah dalam tujuan pidana tersebut
adalah ‚mencegah agar si pembuat tidak melakukan lagi tindak pidana (prevensi
spesial) dan mencegah agar orang lain, calon pembuat potensiil atau masyarakat
pada umumnya tidak melakukan tindak pidana (prevensi general), maka tujuan
prevensi spesial tercakup juga dalam tujuan yang kedua dan keempat. Dengan
mengadakan pembinaan dan membimbing terpidana menjadi orang baik dan
berguna, jelas dimaksudkan agar ia tidak lagi melakukan tindak pidana.
Adapun mengenai tujuan yang ketiga mengandung makna tujuan pidana
dalam hukum adat yaitu untuk memulihkan kembali keseimbangan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat, yang dalam teori pemidanaan disebut dengan teori
restitusi. Teori ini tampak dalam pendapat Fauconnet yang menyatakan, bahwa
‚the conviction and the excecution of the sentences is essentially ceremonial
reaffirmation of the societal values that are violated and challenged by the crime‛
(penghukuman dalam arti pemidanaan, dan pelaksanaan pidana pada hakikatnya
merupakan penegasan kembali nilai-nilai masyarakat yang telah dilanggar dan
diubah oleh adanya kejahatan).115
Apabila melihat pada tujuan pidana tersebut maka dalam penelitian
efektivitas pidana yang perlu dicari ialah sampai seberapa jauh pengaruh pidana itu
terhadap si pembuat, calon pembuat atau pembuat potensiil, dan masyarakat.
Indikator untuk mengukur pengaruh yang pertama yaitu apakah tercapai tujuan
prevensi spesial dengan membina si pembuat (terpidana) menjadi orang baik dan
berguna, ialah ada tidaknya pengulangan tindak pidana (recidive). Indikator untuk
mengukur pengaruh yang kedua lebih bersifat kualitatif, yaitu apakah ada pengaruh
114
Lihat: RUU KUH Pidana BAB III, Tujuan Pemidanaan pasal 54 ayat 1 dan 2,
http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Umum/RUU%20KUHP 2013.pdf,
Lihat juga: Zainal Abidin, ‚Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan dalam Rancangan KUHP‛,
Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, Position Paper Advokasi RUUKUHP seri #3, September 2005, 14, http://docs.perpustakaan-
elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/3.pdf 115
Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung:
PT alumni, 2005) 102.
45
positif dari pidana terhadap si calon pembuat antara lain timbulnya rasa takut.
Begitu pula indikator untuk mengukur pengaruh yang ketiga bersifat kualitatif,
antara lain telah hilangnya noda-noda di masyarakat akibat tindak pidana; telah
pulihnya kembali keseimbangan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat; telah
tentramnya kembali warga masyarakat dari rasa takut terhadap kejahatan dan lain
sebagainya.
Jenis-jenis sanksi yang dijatuhkan oleh hakim menurut KUHP Pasal 10 yaitu:
enis-jenis (sanksi) pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (‚KUHP‛), yaitu:
Pidana terdiri atas:
1. Pidana Pokok (Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan,
Pidana Denda, dan Pidana Tutupan)
2. Pidana tambahan (Pencabutan hak-hak tertentu, Perampasan
barang-barang tertentu, dan Pengumuman putusan hakim)
Adapun sanksi pidana yang terbanyak dicantumkan dalam KUHP ialah pidana
penjara, presentasinya kurang lebih 75%. Begitu pula pidana yang paling banyak
dijatuhkan dalam peradilan adalah pidana penjara,116
sedangkan pidana denda pada
umumnya sedikit sekali dijatuhkan. Apabila ditinjau dari segi tujuan pemidanaan
yang hendak dicapai, pidana penjara terdapat kerugian-kerugian baik secara
filosofis maupun praktis yang terkadang sulit untuk diatasi. Diantara kerugian
filosofis adalah:
1. Bahwa tujuan dari penjara pertama adalah menjamin pengamanan
narapidana, dan kedua adalah memberikan kesempatan kepada narapidana
untuk direhabilitasi.
2. Bahwa hakikat dari fungsi penjara tersebut seringkali mengakibatkan
dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan
kerugian bagi narapidana yang terlalu lama didalam lembaga, berupa
ketidakmampuan narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya
secara produktif didalam masyarakat.
Dengan melihat kerugian filosofis tersebut, sekalipun penjara diusahakan
untuk tumbuh sebagai instrumen reformasi dengan pendekatan manusiawi, namun
sifat aslinya sebagai lembaga yang harus melakukan tindakan pengamanan dan
pengendalian narapidana tidak dapat ditinggalkan demikian saja. Disamping
kerugian yang bersumber dari hakikat pengertian penjara tersebut, terdapat
kerugian lain yang cukup memperihatinkan tampak dari apa yang dikemukakan
oleh Clemmer, seorang sosiolog yang meneliti di penjara-penjara Amerika Serikat,
ia mengatakan bahwa kita harus melihat kehidupan di penjara sebagai sub-kultur
narapidana (inmate subculture). Sub-kultur narapidana ini memiliki pengaruh yang
116
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro tahun tahun
1977, di Jawa Tengah, sejumlah 53,33% dari responden hakim menyatakan bahwa pidana
yang paling banyak dijatuhkan adalah pidana pencabutan kemerdekaan. Begitujuga
berdasarkan Yurisprudensi MA yang disusun oleh Achmad Soema Dipradja, diperoleh data
bahwa putusan yang mengandung pidana penjara, yaitu sejumlahj 28 keputusan (44,4%),
sedangkan yang mengandung pidana bersyarat hanya 2 keputusan (3,17%).
46
besar terhadap kehidupan individual dari masing-masing narapidana, khususnya
proses sosialisasi narapidana tersebut kedalam masyarakat narapidana (the inmate community) yang oleh Clemmer disebut prisonisasi (prisonization).
117 Dalam proses
perisonisasi tersebut narapidana baru harus membiasakan diri terhadap aturan-
aturan yang berlaku didalam masyarakat narapidana. Semakin lama pidana penjara
tersebut dijalani, maka kecenderungan untuk terpenjara semakin besar, kemudian
seseorang yang menjadi terpenjara secara sempurna cenderung untuk melakukan
tindak pidana lebih lanjut setelah ia keluar dari penjara.
Sehubungan dengan faktor tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penjara
harus dihindari sebab di tempat ini penjahat-penjahat kebetulan (accidental of
offenders), pendatang baru dari dunia kejahatan (novices in crime) dirusak melalui
pergaulannya dengan penjahat-penjahat kronis,. Bahkan personil yang paling baik
pun telah gagal menghilangkan keburukan yang sangat besar dari penjara ini.
Sekalipun pidana penjara tersebut berjangka pendek, maka justru akan sangat
merugikan sebab disamping kemungkinan terjadinya hubungan yang tidak
dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek jelas tidak mendukung
kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi narapidana disatu pihak, dan dilain
pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma atau cap jahat.118
Stigma
terjadi apabila identitas seseorang terganggu atau rusak. Stigmatisasi ini pada
dasarnya menghasilkan segala bentuk sanksi negatif, yang berturut-turut
menimbulkan stigma lagi, dengan demikian stigma meningkatkan sanksi negatif,
dan sanksi negatif tersebut memperkuat sigma.
Melalui pemaparan tersebut, peradilan pidana digambarkan sebagai suatu
permainan moralitas (morality play) bahkan juga merupakan upacara degradasi
(degradastion ceremony), karena penghukuman dan pidana meninggalkan stigma
moral dan siterhukum dicap jahat. Sehubungan dengan kenyataan tersebut, maka
tindakan yang harus dilakukan dengan segera adalah mencari dan merumuskan
dengan teliti alternatif-alternatif pidana penjara, seperti pidana bersyarat, pidana
yang ditangguhkan, denda, lepas bersyarat, kompensasi, restitusi, dan lain
sebagainya.
Diantara kekurangan proses litigasi yang lain selain dari pada dampak negatif
sanksi pidana yang akan diputuskan oleh hakim, karena penyelesaian merujuk pada
KUHP, penyebab lain adalah penyelesaian yang membutuhkan waktu yang lama,
dan biaya mahal serta diragukan kemampuannya menyelesaikan secara memuaskan
kasus-kasus yang bersifat rumit. Perundingan diantara para pihak, baik langsung
maupun dengan menunjuk kuasa hukumnya guna menghasilkan kesepakatan
bersama yang menguntungkan keduabelah pihak.
Konsep mediasi dinilai sesuai dengan tujuan pemidanaan untuk pemulihan
korban, mencegah kejahatan, dan memperbaiki kerukunan hidup bermasyarakat
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, dengan demikian dapat
117
Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung:
PT alumni, 2005)77-78. 118
Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung:
PT alumni, 2005),80.
47
disimpulkan beberapa karakteristik primer penyelesaian sengketa melalui non
litigasi dan penyelesaian sengketa melalui proses litigasi, yaitu:
Tabel 1: Karakteristik Primer Proses Penyelesaian Sengketa
Karakteristik Proses Litigasi Proses Non Litigasi (Mediasi
dalam Lembaga Adat)
Sukarela/tidak Tidak sukarela Sukarela
Pemutus Hakim Hakim, pihak yang bersengketa,
dan aparat desa
Putusan:
mengikat dan
tidak mengikat
Putusan mengikat dan
kemungkinan banding
Putusan mengikat dan
memungkinkan banding
Pihak ketiga Imposed: Pihak ketiga dan
umumnya tidak
mempunyai keahlian
tertentu pada subyek yang
disengketakan
Aparat desa, jika tidak berhasil,
pihak ketiga dipilih oleh para pihak
dengan pengawalan aparat desa
Derajat
formalitas
Formal, sangat terbatas
pada struktur dengan
aturan yang ketat yang
sudah ditentukan
sebelumnya
Formal, dan tidak formal
disesuaikan dengan keadaan para
pihak dan jenis perkara, tetap
menciptkan suasana dingin, damai,
dan kekeluargaan
Aturan
pembuktian
Sangat formal dan teknis Berdasarkan kesepakatan para
pihak
Hubungan para
pihak
Sikap saling bermusuhan=
antagonis
Kooperatif: Kerjasama
Karakteristik Proses Litigasi Proses Non Litigasi (Mediasi
dalam Lembaga Adat)
Proses
penyelesaian
Kesepakatan masing-
masing pihak
menyampaikan bukti dan
argument
Presentasi bukti-bukti dan
argument serta kepentingan-
kepentingan
Suasana
emosional
Emosi bergejolak Bebas emosional
Fokus
Penyelesaian
Masa lalu Masa depan
Hasil Principled decision, yang
didukung oleh pendapat
yang objektif (reasoned
opinion)
Kesepakatan yang diterima kedua
belah pihak (win-win solution)
Publikasi Publik: Terbuka untuk
umum
Publik dan privat
Jangka waktu Panjang (5-12 tahun) Segera (1-6 minggu)
48
Menurut Bindshedler, sebagaimana dikutip oleh Dewa Gede Sudeka Mangku,
ada beberapa segi positif dari mediasi, adalah: mediator sebagai penengah dapat
memberikan usulan-usulan kompromi di antara para pihak; mediator dapat
memberikan usaha atau jasa lainnya, seperti memberi bantuan dalam melaksanakan
suatu kesepakatan, bantuan keuangan, ataupun mengawasi pelaksanaan
kesepakatan. 119
Sependapat dengan Bindshedler, Mustafa Serdar Ozbek
mengatakan bahwa mediator juga menjadi perantara untuk mencapai suatu keadilan
dan solusi hukum yang lebih baik bagi semua pihak.
Segi positif lain adalah Penyelenggaraan proses mediasi diatur secara rinci
dalam peraturan perundang-undangan sehingga para pihak memiliki keluwesan atau
keleluasaan dan tidak terperangkap dalam bentuk-bentuk formalism, seperti halnya
dalam proses litigasi. Mediasi umumnya juga diselenggarakan secara tertutup dan
rahasia. Para pihak juga dapat terlibat secara langsung dan berperan dalam
melakukan perundingan dan tawar-menawar untuk mencari penyelesaian masalah
tanpa harus diwakili oleh kuasa hukum masing-masing.
Sedangkan jika dilihat dari segi negatif mediasi adalah pertama: mediasi
hanya dapat diselenggarakan secara efektif jika para pihak memiliki kemauan atau
keinginan untuk menyelesaikan sengketa secara consensus; kedua, pihak yang tidak
beriktikad baik dapatmemanfaatkan proses mediasi untuk mengulur-ulur waktu
penyelesaian sengketa; ketiga, beberapa jenis kasus mungkin tidak dapat dimediasi,
terutama kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah ideologis dan nilai dasar yang
tidak menyediakan ruang bagi pihak untuk melakukan kompromi; keempat, mediasi
dipandang tidak tepat untuk digunakan jika masalah pokok dalam sebuah sengketa
adalah penentuan hak, karena penentuan hak haruslah diputus oleh hakim; kelima,
secara normative mediasi hanya dapat digunakan dalam lapangan hukum privat
tidak dalam lapangan hukum pidana.120
Dibawah ini adalah tebel yang menjelaskan
tentang kelebihan dan kekurangan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
(APS):
Tabel 2. Potensialitas Mediasi Sebagai APS
Penyelesaian
sengketa
Kelebihan Kelemahan
Badan
Pengadilan Menerapkan Norma Publik
Ada Precedent
Deterrence Effect
Keseragaman
Indenpendensi
Putusan Mengikat
Keterbukaan
Mahal
Memakai lawyer sehingga
mereka tidak terkontrol
Keputusan tidak terduga
Terkadang tidak melihat
substansi
Menunda-nunda
119
Dewa Gede Sudika Mangku, ‚Suatu Kajian Umum Tentang penyelesaian
Sengketa Internasional Termasuk Didalam Tubuh ASEAN‛, Jurnal Perspektif, Volume
XVII, Nomor 03 Tahun 2012, Edisi September, 4,
http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201303002803047914/3.pdf, (diakses pada tanggal 22
Juni 2014) 120
Takdir Rahmadi, Penyelesaian Sengketa melalui pendekatan mufakat, 27-29
49
Dapat dieksekusi
Melembaga
Pendanaan secara public
Masalah diredefinisi dan
dipersempit
Tidak ada kompromi
Diyat terbatas
Polarisasi cenderung
bermusuhan
Mediasi
Melalui
Peradilan
Adat
(khususnya di
Aceh)
Menerapkan norma agama Islam, adat,
dan masyarakat
Forum dikontrol para pihak
Merefleksi kepentingandan prioritas para
pihak
Mempertahankan kelanjutan hubungan
para pihak
Fleksible
Putusan yang terintegrasi
Tertuju pada masalah dasar
Menjadi pelajaran dan pendidikan bagi
para pihak
Putusan cenderung di jalankan oleh para
pihak
Mengedepankan kerukunan masyarakat
Mudah di akses dan biaya murah
Proses dan keputusan cepat
Dapat di eksekusi
Diyat tidak terbatas
Administrasi kurang tercatat
dengan rapi
Sosialisasi konsep
penyelesaian kurang optimal,
ketika pergantian pengurus
sempat terjadi kesulitan bagi
pengurus baru
Pendanaan kurang
terorganisir dengan baik
Hukum yang tidak tertulis
Sebuah studi bersama Mahkamah Agung (MA), Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN), dan badan PBB yang mengurusi masalah obat-obatan dan
kejahatan (UNODC) melakukan survei terhadap 39 orang hakim di Sulawesi
Tenggara.Sebagian besar hakim (73,7 %) menyatakan pengadilan tempat mereka
bekerja sudah menerapkan penyelesaian di luar proses beracara biasa, atau yang
lazim disebut alternative dispute resolution (ADR). Dari jumlah itu, sebanyak 77,7
persen menggunakan model ADR mediasi. Hakim tersebut percaya bahwa mediasi
dapat memberikan akses keadilan (access to justice) bagi masyarakat.
Mauro Cappiletti dan Bryan Garth menyebut tiga gelombang reformasi
terhadap access to justice. Pertama, memberikan bantuan hukum dan layanan jasa
hukum kepada kalangan tidak mampu, yang lazim dikenal dengan bantuan hukum
pro bono. Kedua, meningkatkan tindakan representatif dan prosedur lain dimana
satu gugatan bisa mengajukan beberapa klaim sekaligus. Ketiga, melakukan
reformasi yang lebih luas terhadap sistem peradilan, termasuk mengenalkan
50
berbagai alternatif penyelesailan sengketa (APS), small claim court dan
sebagainya.121
Mengenai alternatif penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam penelitiannya
Frida Erricson mengatakan bahwa mediasi di Swedia dan Afrika Selatan memiliki
pengaruh yang sangat penting bagi tegaknya hukum khususnya dalam penyelesaian
sengketa perdata dan pidana ringan. Mediasi menjadi alternatif penyelesaian
sengketa yang melibatkan perundingan korban dan pelaku dengan ditengahi oleh
pihak ketiga untuk mencari solusi permasalahan bersama.122
Hal tersebut juga
sejalan dengan pendapat Mustafa Serdar Ozbek yang mengatakan bahwa mediasi
telah menjadi alternatif yang layak bagi penyelesaian beberapa jenis kejahatan dan
menjadi kendaraan untuk mencapai suatu keadilan dan solusi hukum yang lebih
baik bagi semua pihak dari pada melalui sistem peradilan pidana.123
D. Teori Hukum Adat di Indonesia
Dari sejarah hukum Islam diketahui bahwa hukum Islam secara yuridis telah
berdiri sendiri untuk waktu yang cukup lama.124
Namun dalam kenyataan sejarah,
hubungan antara hukum adat dan hukum Islam telah memperlihatkan hubungan
yang tidak harmonis, sehingga melahirkan beberapa teori yang menunjukkan bentuk
pemberlakuan hukum Islam dalam kaitannya dengan hukum adat.
Berawal dari teori Receptio in Complexu yang dipelopori oleh Lodewijk
Willem Christian (L.W.C) dan Van den Berg (1845-1927). Mereka berdua
menguatkan pendapat Solomon Keyzer (1823-1868) yang berpendapat bahwa di
Indonesia berlaku hukum Islam bagi masyarakatnya. Mereka menyatakan bahwa
bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab ia telah memeluk agama Islam
walaupun dalam pelaksanaan terdapat penyimpangan-penyimpangan. Mereka
berdua adalah ahli hukum Islam yang dikenal dengan ‚orang yang menemukan dan
memperlihatkan berlakunya hukum Islam di indonesia‛, hal ini terbukti dalam
karyanya Mohammedaansch Recht (asas-asas hukum Islam 1884). Mereka juga
mengusahakan agar hukum kewarisan dan perkawinan Islam dijalankan oleh hakim-
hakim Belanda dengan bantuan penghulu/Qad}i Islam. Upaya Van den Berg dalam
mempertahankan hukum Islam adalah didasarkan pada prinsip hukum mengikuti
121
Menyongsong Alternatif Penyelesaian Sengketa, 28 September 2008,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20211/menyongsong-alternatif-penyelesaian-
sengketa, (diakses pada 27 Agustus 2014) 122
Frida Errikson, ‚Victim-Offender Mediation in Sweden and South Africa‛, Final thesis of Master of Law Exam, Criminal Law, University of Gothernburgh, School of
Bussiness, Economies, and Laws, Thesis For master Of Law, 2009,
https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/19708/1/gupea_2077_19708_1.pdf, (diakses pada 16
Agustus 2014) 123
Mustafa Serdar Ozbek, ‚The Principle and Procedure of Penal Mediation in
Turkish Criminal Procedure Law‛, (Turki: Baskent University), Angkara Law Review,Vol.8
No. 2, 2011 124
Lihat: Reglement op het beleid der Regeering van Nederlanhsch Indie, yang
termuat dalam Staatsblad Hindia Belanda 1885 No. 2 pasal 75 ayat 2, Pasal 78 RR ayat 2,
dan Pasal 109 RR Pasal 75 dan 78.
51
agama yang dianut oleh seseorang. Menurutnya, orang Indonesia yang menganut
agama Islam akan menerima hukum agama Islam bagi dirinya. Oleh karen itu, ia
berkesimpulan bahwa orang Indonesia telah menerima (meresepsi) hukum Islam
secara keseluruhan dalam praktek kehidupannya. Inilah yang disebut receptio in
complexu. Maksudnya adalah apa yang diresepsi bukan hanya bagian tertentu dari
hukum Islam, akan tetapi secara keseluruhan.125
Pada zaman VOC, pemerintahan Belanda tidak menghapus secara
fundamental pemberlakuan hukum agama terhadap masyarakat pribumi. Mereka
mengakui bahwa bagi orang pribumi diberlakukan hukum agamanya, ahli hukum
Belanda berupaya membuat kitab hukum yang materinya berasal dari hukum Islam
(fiqh).126
Inilah bukti bahwa mereka menganut paham receptio in complexu.127
Keadaan hukum Islam di Indonesia sebagaimana yang telah digambarkan
dalam teori Receptie in Complexu telah menimbulkan kecurigaan dan kritikan para
pejabat pemerintah Hindia Belanda. Tokoh utama yang melancarkan kritikan
tersebut adalah Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) dan Christian Snouck
Hurgronje (1857-1936). C. van Vollenhoven yang merupakan pendasar hukum adat
di Indonesia, telah mengeritik dan menyerang pasal 75 dan 109 R.R. Stbl. 1885:2
itu. Pada satu sisi dia telah berbuat banyak untuk hukum adat Indonesia, melalui
tulisannya ia menentang penggantian hukum adat dengan hukum barat yang hendak
dilancarkan pemerintah Belanda tahun 1904 untuk tujuan pengkristenan penduduk
Hindia Belanda.
Snouck Hurgronje, seorang penasihat Pemerintah Hindia Belanda tentang
persoalan Islam dan anak negeri lebih terkenal lagi. Iamelahirkan anjurannya untuk
memanipulir kesetiaan masyarakat Aceh terhadap agama dengan
mempertentangkannya dengan kesetiaan mereka terhadap adat. Ia mengemukakan
jalan pikiran baru mengenai pemberlakuan hukum bagi masyarakat pribumi.
Pandangan ini dikenal dengan teori Receptie.128 Inti dari teori receptie menyatakan
125
Sajuti Thalib, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1985)5-6, Lihat juga: Wirawan, Teori Receptie In Complexu, 21
Desember, 2008, http://ketutwirawan.com/teori-receptio-in-complexu/, (diakses pada 10
Juni 2014.) 126
D.W Feijer menyusun buku ringkasan (compendium) mengenai hukum perkawinan
dan kewarisan Islam yang setelah direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu
diberlakukan di daerah jajahan VOC. Pada tanggal 25 Mei 1760, VOC mengeluarkan
resolusi yang menegaskan bahwa bagi kaum Muslimin berlaku hukum agamanya. Resolusi
tersebutdikenal dengan Resolutie der Indische Regeering
Selain Compendium Freijer digunakan pula kitab Muharrar dan papakem cirebon
serta peraturan yang dibuat oleh B.J.D Clootwijk untuk daerah Bone dan Goa di sulawesi
Selatan. 127
Syahrizal Abbas, Hukum adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh (Yogyakarta: Ar Ruuz
Media, 2004) 128
Kemunculan teori ini berawal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang pribumi
tidak memegang kuat ajaran agama Islam, karena dinilai tidak akan mudah dipengaruhi oleh
peradaban Barat.
52
bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat mereka masing-masing.
Hukum Islam memiliki nilai keberlakuan apabila telah dikehendaki atau diterima
(direceptie) oleh hukum adat, dengan demikian, lahirlah hukum tersebut sebagai
hukum adat, bukan hukum Islam.129
Usaha sistematis yang dilakukan pemerintah
Hindia Belanda akhirnya berhasil menggantikan posisi teori receptie in Complexu
menjadi teori Receptie.130
Snouck Hurgronje mengatakan bahwa musuh
kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama dalam arti praktik ritual, akan tetapi
Islam sebagai doktrin politik, karena akan menimbulkan ancaman bahaya bagi
kekuasaan Hindia Belanda.131
Teori Receptie mendapatkan kritik tajam dari salah seorang ahli hukum
Indonesia, Hazairin, yang mengatakan bahwa teori receptie adalah teori iblis. Ia
mengarahkan suatu analisa bahwa hukum islam itu berlaku di Indonesia tidak
bersandar pada hukum adat, akan tetapi pada peraturan perundang-undangan. Ia
menambahkan bahwa hendaknya berlakunya hukum Islam secrara formal di
Indonesia di dasarkan pada peraturan perundang-undangan.132
Teori tersebut
kemudian dikembangkan oleh Sayuti Thalib dengan nama receptie a contrario, yang
menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya,
hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum agama. Melalui
analisanya terhadap hukum adat yang berlaku di Aceh, Minangkabau, Jambi,
Palembang, Bengkulu, dan Lampung, Sayuti Thalib menyimpulkan bahwa dalam
masyarakat itu hidup suatu keyakinan bahwa hukum agama Islamlah yang mereka
inginkan, hukum adat diikuti kalau diperbolehkan oleh Islam.133
H. Ichtijanto mempertegas dan mengeplisitkan makna receptio a contrariod
alam hubungannya dengan hukum nasional. Ia mengartikulasikan hubungan itu
dengan sebuah teori hukum yang disebutnya teori eksistensi. Teori eksistensi
mengokohkan keberadaan hukum Islam dalam Hukum Nasional. Menurutnya
hukum Islam dalam kerangka sistem hukum nasional mengandung empat
pengertian, pertama: ada (exist) dalam artian sebagai bagian integral dalam hukum
internasional; kedua, ada (exist) dalam artian dengan kemandiriannya yang diakui
kekuatan dan wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum
nasional; ketiga ada (exist) dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai
penyaring bahan-bahan hukum nasional; keempat ada (exist) dalam artian sebagai
129
Sajuti Thalib, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam
(Jakarta: Bina Aksara, 1985), 9 130
Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling menyatakan bahwa dalam hal terjadi
perkara perdata antar sesama orang islamakan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila
keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adatdan sejauh tidak ditentukan lain oleh
ordonansi. 131
Syahrizal Abbas, Hukum adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, 172
132Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1985), cet
ke-4, 53. 133
Sajuti Thalib, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam
(Jakarta: Bina Aksara, 1985), 60-62.
53
sumber utama hukum nasional.134
Eksistensi hukum Islam di negara Indonesia dapat
dibuktikan melalui peristiwa sejarah, cita-cita moral dan kejiwaan bangsa Indonesia
yang tidak terlepas dari realitas keberagamaan.
Mengenai adat dan budaya Aceh, merujuk pada pendapat Kluckhon yang
menyatakan bahwa nilai itu merupakan ‚a conception of desirable‛. Pada nilai ada
beberapa tingkatan, yaitu nilai primer dan sekunder. Nilai primer merupakan
pegangan hidup bagi masyarakat, misalnya kejujuran, keadilan, keluhuran budi, dan
lain-lain. Sedangkan nilai sekunder adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan
kegunaan. Nilai sekunder muncul setelah penyaringan nilai primer. Nilai-nilai
primer dalam adat Aceh adalah: Aqidah islami, Persatuan dan kesatuan, universal,
demokrasi, Independen, Komunal, Transparan, Hormat-menghormati, keteladanan
memimpin, panut kepada Imam (pemimpin), Jujur, amanah, berakhlaq mulia, Malei kaom135, percaya diri/kebanggaan bermartabat, cerdas dan bangga, suka damai, dan
lain-lain.136
Adapun nilai sekunder adalah yang nilai bersifat kreasi (temuan baru)
untuk memudahkan membangun kehidupan dengan menggunakan sains dan
teknologi. Nilai-nilai norma hukum adat Aceh yang hidup dan berkembang itu
mengacu kepada sumber utama hukum adat, yaitu:
1. Adatullah, yaitu hukum adat yang hampir mutlak didasarkan kepada hukum
Allah
2. Adat Tunnah, yaitu: adat istiadat sebagai manifestasi dari kanun dan
reusam yang mengatur kehidupan bermasyarakat
3. Adat Muhakamah, yaitu hukum adat yang dimanifestasikan pada asas
musyawarah dan mufakat
4. Adat Jahiliyyah, yaitu adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat
yang kadang-kadang tidak sesuai dengan Islam, namun masih ada anggota
masyarakat yang menggemarinya137
.
Melalui pemaparan tersebut, dapat disimbulkan bahwa penyelesaian
sengketa melalui proses non litigasi khususnya mediasi dan peradilan adat dapat
menjadi alternatif bagi masyarakat untuk menyelesaikan sengketa mereka. Konsep
perundingan dan rekonsiliasi dengan mempertemukan antara korban dan pelaku
memberikan angin segar bagi sistem hukum Indonesia, khususnya hukum Pidana
yang selama ini dinilai meresahkan masyarakat, baik proses beracaranya maupun
hasil putusan hakim yang dinilai kurang adil bagi keduabelah pihak. Nilai-nilai
134
Marzuki wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2001), 84, Lihat juga: Syahrizal Abbas, Hukum adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, 186-192
135Malu diri, malu keluarga, harga diri.
136Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun
Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, Majelis Adat Aceh (MAA) Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: MAA, 2008), 94
137Badruzzaman Ismail, Dasar-Dasar Hukum Pelaksanaan Peradilan Adat Di
Gampong-Gampong, Disampaikan Pada Pelatihan Tokoh-Tokoh Adat Gampong se Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 4-8 September 2007, Majelis Adat Aceh(MAA) 2007
54
yang terkandung dalam mediasi selaras dengan nilai- nilai Islam dan leluhur bangsa
Indonesia yang mencintai perdamaian, sehingga pihak yang bersengketa dan
masyarakat pada umumnya dapat menerima mediasi menjadi bagian dari
penyelesaian sengketa demi menciptakan kehidupan yang rukun, harmonis, aman,
dan tentram.
55
BAB III
DINAMIKA HUKUM ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
Adat dalam pengertian hukum adat adalah aturan tingkah laku masyarakat
yang telah berlaku mentradisi dengan tujuan untuk membangun keseimbangan dan
kesejahteraan kehidupan masyarakat dan bila melanggar akan diberikan
sanksi/akibat hukum.1 Penyelesaian sengketa secara damai tidak terlepas dari akar
budaya masyarakat Aceh, sering disebut Peradilan Hukum Adat/Peradilan Adat.
Model-model mediasi dan damai didalam menyelesaikan sengketa di Aceh sudah
lama dikenal sebelum masyarakat Aceh mengenal hukum Indonesia.2
A. Sejarah Hukum Adat Aceh
Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian Negara Kesatuan Republik
Indonesia, terletak pada wilayah ujung Utara bagian Barat pada 20-
60 dan 95
0-98
0
bujur Timur, dengan luas wilayah 57.365,57 KM2. Pada tahun 2002 masih memiliki
13 kabupaten/kota, namun pada tahun 2007 telah berkembang menjadi 23
kabupaten/kota, Provinsi Aceh memiliki 23 kabupaten yang terdiri dari 18
kabupaten dan 5 kota, 276 kecamatan, 755 mukim dan 6.423 gampong atau desa.3
Jumlah penduduknya kurang lebih 4.671.8744 dengan berbagai suku, diantaranya
suku Gayo, Alas, Aceh, Tamiang, Simeullue, Kluet, Aneuk, dan suku-suku lainnya
yang berasal dari berbagai daerah pendatang: Jawa, Sunda, Minang, Palembang, dan
lain-lain.5
Secara kronologis, Kerajaan Islam di Aceh dimulai oleh Kerajaan Aceh
Darussalam, berpusat di Banda Aceh, sekitar abad 16 M. Pada masa itu Aceh juga
tampil sebagai pusat kekuasaan politik sekaligus pusat perkembangan budaya dan
peradaban Asia Tenggara. Sebagai ahli waris Kerajaan Peureulak (225-692 H/ 840-
1292 M), Kerajaan Islam Samudra Pasai (433-831 H/ 1042-1428 M), dan Kerajaan
Islam Lamuri (601-916 H/ 1205-1511 M), adapun Kerajaan Islam Aceh Darussalam
yang diproklamirkan pada Kamis, 12 Dzulqaidah 916 H/ 20 Februari 1511 M,
Banda Aceh yang pada awal abad XVI M telah menjadi salah satu dari ‚Lima Besar
1
Badruzzaman Ismail, ‚Dasar-Dasar Hukum Pelaksanaan Peradilan Adat Di
Gampong-Gampong‛, Disampaikan Pada Pelatihan Tokoh-Tokoh Adat Gampong se Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 4-8 September 2007, Majelis Adat Aceh(MAA)
2007,1. 2 Miftachhuddin Cut Adek, ‚Mediasi Dalam Masyarakat Adat Laot (Nelayan Adat)
di Aceh‛, Jeumala, Edisi 40 Juli-Desember 2013, Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh,
14. 3
Gambaran Umum Kondisi Aceh, http://www1-
media.acehprov.go.id/uploads/BAB_II_GAMBARAN_UMUM_KONDISI_ACEH_FINAL_
6012011_edi_26012011.pdf,diakses pada 09 Juni 2014) Lihat Juga: Kepariwisataan 10
Provinsi di Pulau Sumatera, http://ujp.ucoz.com/1-Nagroe_Aceh_Darussalam.pdf. 4
Data tahun 2013 Departemen Kesehatan RI, Ringkasan Eklsekutif Data dan
Informasi Kesehatan Provinsi aceh,
http://www.depkes.go.id/downloads/kunker/aceh.pdf(diakses pada 09 Juni 2014). 5
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Profil Daerah,
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/11/nanggroe-aceh-
darussalam, (diakses pada 09 Juni 2014).
56
Islam‛, melengkapi dengan berbagai peraturan perundangan, organisasi dan
lembaga negara.6 Salah satu alat kelengkapannya yang amat penting adalah Qa>nu>n
Al-Asyi atau Undang-Undang Dasar Kerajaan.7
Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah dicatat dalam sejarah sebagai
Pembangun Kerajaan Aceh Darussalam, dan Sultan Alaiddin Riayat Syah II Abdul
Qahar Pembina Organisasi Kerajaan menyusun undang-undang dasar negara yang
diberi nama Qa>nu>n Al Asyi, yang kemudian oleh Sultan Iskandar Muda Qa>nu>n Al-
Asyi ini disempurnakan menjadi Qa>nu>n Meukuta Alam.8
Ketika berdirinya penguasa militer Belanda dan berhasil menduduki Mesjid
Jamik Indrapuri di pedalaman Aceh Besar tahun 1879, mereka menemukan kitab-
kitab agama yang berserakan, yang ternyata itu adalah kitab Undang-Undang dasar
Kerajaan Aceh produk pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).9 Peraturan
tersebut dikenal dengan Adat Meukuta Alam10. Adat Mekuta Alam mengandung
susunan pemerintahan, hukum dan adat untuk memperlakukan hukum Islam. Selain
itu, terdapat juga dalam buku Sarakata11surat keputusan Sultan.
Bagi masyarakat Aceh, di kenal hadih maja‚Adat Ngon Hukom (Agama) Lagei Zat Ngon Sifeut‛ 12
. Implementasi nilai tersebut dapat dilihat dalam
kehidupan bermasyarakat di Aceh. Dari hadih maja tersebut maka tidak dapat
dikatakan sebagian hukum adat dan sebagian hukum Islam. Kedua sumber hukum
itu telah menyatu menjadi suatu hukum di Aceh yang disebut Adat.13
Kebudayaan dapat disimak dalam kebijakan pemerintah Aceh, dimana salah
satu kerajaan yang dibangun berdasarkan ajaran agama Islam, maka kerajaan Aceh
Darussalam dinyatakan sebagai negara yang berbudaya hukum. Hal ini termaktub
dalam Qa>nu>n Al-Asyi:
‚Bahwa negeri Aceh Darussalam adalah negeri hukum yang mutlak sah dan bukan negeri hukuman yang mutlak sah. Dan Rakyat bukan patung
6
Zulfadli Kawom, ‚Qa>nu>n Al Asyi dan Pengaruhnya terhadap Kerajaan Islam
Nusantara dan Luar Negeri‛, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh,
http://www.jkma-aceh.org/haba/?p=88, (diakses pada 09 Juni 2014). 7Qa>nu>n Al-Asyi disebut juga Meukuta Alam. Oleh para ahli sejarah dikatakan amat
sempurna menurut ukuran zamannya. Pedoman yang dipakai berupa sebuah naskah tua yang
berasal dari Said Abdullah, seorang teungku di Meulek. 8Lihat: Qa>nu>n Al Asyi, http://www.atjehcyber.net/2011/08/qa>nu>n-meukuta-alam-al-
asyi.html#ixzz349enr3JI, (diakses pada 09 Juni 2014). 9 Undang-Undang dasar itu baik teks arab melayu atau transkipnya dalam bahasa
Belanda dan analisanya, dapat disimak dalam karya tulis K.F.H.van Langen: De Inrechting
van het Atjesche Staatsbestuur Onder het Sultanaat (Bijdragen tot de Taaal, land-en
Volkenkunde van Ned.Indie, Jilid III 1888. 10
Adat Meukuta Alam adalah peraturan didalam negeri Aceh Bandatr Da>r As Salam.
Yaitu Peraturan di dalam Negeri Aceh Bandar Dar As Salam disalin daripada daftar paduka
Sri Sultan Makot Alam Iskandar Muda (1607-1636). 11
Surat-Surat Keputusan Sultan. 12
Hukum dengan adat, bagai zat dengan sifatnya. 13
Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (Banda Aceh:Pustaka Rumpun Bambu, 2011).
57
yang berdiri ditengah padang, akan tetapi rakyat seperti padang sembilan mata yang amat tajam, lagi besar matanya, lagi panjang sampai ke timur dan ke barat, jangan di permudah sekali-kali hak rakyat‛ Qa>nu>n al Asyi bersumber dari al Qur’an, Hadits, Ijma’ Ulama, dan Qiyas,
menetapkan ada empat sumber hukum, bagi kerajaan Aceh, yaitu:
i. Kekuasaan Hukum (Yudikatif) yang dipegang oleh Qad}i Malikul Adil
ii. Kekuasaan Adat (Eksekutif) yang dipegang oleh Sultan Malikul Adil
iii. Kekuasaan Qa>nu>n (Legislatif) yang dipegang oleh Majelis Mahkamah
Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat)
iv. Kekuasaan Reusam (Hukum Darurat) yang dipegang oleh Penguasa
Tunggal, yaitu Sultan sebagai penguasa tertinggi suatu negara dalam
keadaan perang.
Dalam menjalankan empat jenis hukum dalam kerajaan, Qa>nu>n al Asyi
menetapkan bahwa Raja dan Ulama harus menjadi Dwi Tunggal (Tidak boleh jauh
atau bercerai), seperti disebutkan dalam qa>nu>n:
‚Ulama dan raja atau rais tidak boleh jauh atau bercerai. Sebab jikalau bercerai dengan Raja atau rais, niscaya binasalah negeri. Barangsiapa mengerjakan Hukum Allah dan meninggalkan Adat, maka tersalah dengan dunianya. Dan barangsiapa yang mengerjakan adat dan meninggalkan hukum Allah, maka tersalah dengan Allah. Maka hendaklah hukum dan Adat itu seperti gagang pedang dengan mata pedang.‛14 Struktur kerajaan Aceh Dalam konteks sistem pemerintahan berdasarkan
Qa>nu>n Meukuta Alam, berakar pada susunan gampong15 dan mukim16
, nanggroe17,
Sagoe18, dan langsung Kerajaan.
14
Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, (Banda Aceh: MAA, 2008), 13-15.
15 Tingkat pemerintahan terendah yaitu Gampong atau kampung (Pemerintah Desa).
Pimpinan Gampong terdiri dari Keuchik dan Teungku Meunasah yang juga disebut Imam
Rawatib, dan dibantu oleh Tuha Peuet (empat orang cerdik-pandai), kira-kira seperti Badan
Pemerintah Harian (BPH). 16
Mukim merupakan federasi dari beberapa gampong, yang satu mukim minimal
terdiri dari delapan gampong. Federasi Mukim dipimpin oleh seorang lmeum Mukim dan
Qad}i Mukim. 17
Nanggroe (Negeri) dipimpin oleh seorang Uleebalang (Hulubalang) dan seorang
Qad}i Nanggroe. Uleebalang mempunyai gelar yang berbeda, menurut nanggroënya masing-
masing; umpamanya ada yang bergelar Teuku Laksamana, ada yang bergelar Teuku
Bentara, ada yang bergelar Teuku Bendahara dan sebagainya. Dalam memimpin Nanggroe,
Uleebalang dibantu oleh pembantunya, yaitu Banta atau saudara laki-laki, menggantikan
Uleebalang jika berhalangan. Selain itu, Uleebalang juga dibantu oleh Qadhi, dan
pengawalnya yang disebut Rakan. 18
Yaitu fedreasi dari beberapa nanggroe yang hanya ada di Aceh Rayeuk, banyaknya
hanya tiga sagoe, yaitu Sagoe Teungoh Lheeploh (Sagi 25), terdiri dari 25 Mukim:
Panglima Sagoenya bergelar Qad}i Malikul Alam Seri Setia Ulama dan dibantu oleh Qadhi
Sagoe Rabbul Jalil. Sagoe Duaploh Nam (Sagi 26), yang terdiri dari 26 Mukim; Panglima
58
Qa>nu>n Meukuta Alam dalam menjalankan tugas kerajaan, menetapkan empat
landasan Rukun Kerajaan, yaitu Pedang Keadilan, Qalam (kitab Undang-Undang
kerajaan), Ilmu dunia dan akhirat, dan Kalam (bahasa). Adapun sumber hukum dari
kerajaan Aceh Darussalam yaitu Al Qur’an, Hadi >th Nabawi, Ijma’ Ulama Ahl al-
Sunnah wa al-Jama>‘ah, dan Qiyas.
Adapun sistem hukum pada kesultanan Aceh, terdapat lima tingkat peradilan,
yaitu Kadhi Malikul Adil (Majelis Mahkamah Agung), Kadhi Rabbul Jalil (Balai
Mahkamah Sagoe), Kadhi Nanggroe (Balai Mahkamah Nanggroe), Kadhi Mukim
(Balai Mahkamah Mukim), dan Pengadilan Damai (Balai Mahkamah Gampong).
Sedangkan dalam melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi, Qa>nu>n Al-Asyi
menetapkan bahwa dalam Kerajaan Aceh Darussalam, harus didirikan tiga buah
lembaga, yaitu pertama Balai Rong Sari19
, Balai Gadeng20
, dan Balai Majelis
Mahkamah21
.
Sebuah penelitian oleh Bealieu (1620-1621) dan Peter mundy (1673)
menyebutkan bahwa pengadilan perdata diadakan setiap pagi kecuali hari jum’at di
sebuah Balai Besar dekat masjid utama Baiturrahman, diketuai oleh salah seorang
kaya yang paling berada.22
Perselisihan kecil dan kejahatan ringan yang berlangsung
antara sesama warga kampung diselesaikan oleh keuchik (kepala desa) yang
berperan sebagai hakim dan Teungku Meunasah (pimpinan mus}alla) yang dibantu
oleh cerdik pandai kampung (eureung tuha). Bila seseorang menolak perdamaian
tersebut atau perkaranya tergolong berat, maka perkara itu dibawa ke pengadilan
mukim, dengan Imam Mukim sebagai hakim dan dibantu oleh keuchik dan Teungku Imeum serta pemuka masyarakat. Ditingkat ini pihak yang mengajukan perkara
harus menyerahkan uang jaminan sebagai ongkos perkara.
Ketika Belanda menduduki wilayah Aceh, peradilan agama merupakan bagian
dari pengadilan adat, dimana pada tingkat Uleebalang ada pengadilan yang diketuai
oleh Uleebalang yang bersangkutan. Sedangkan untuk tingkat afdeeling atau onder
afdeeling (wilayah) ada pengadilan yang bernama "Musapat' yang dikepalai oleh
Controleur, dimana Uleebalang serta pejabat-pejabat tertentu menjadi anggotanya.
Dalam prakteknya bila perkaranya bersangkutan dengan hukum agama, seringkali
diserahkan saja kepada Qad}i Uleebalang untuk memutuskannya, tetapi kalau ada
sangkut pautnya dengan hukum yang lain dari hukum agama, diketuai sendiri oleh
Sagoenya bergelar Seri Imam Muda Orang Kaya (OK) dan dibantu oleh Qadhi Rabbul
Jalil. Sagoe Duaploh Dua (Sagi 22), yang terdiri dari 22 Mukim; Panglima Sagoenya
bergelar Panglima Polem Seri Muda Perkasa dan dibantu oleh Qadhi Rabbul Jalil. 19
Dipimpin oleh Sultan Imam Malikul Adil dan wakilnya, Kadhi Malikul Adil,
anggotanya terdiri dari hulubalang dan tujuh orang Ulama. Balai ini hampir sama dengan
Dewan Pertimbangan Agung Sistem Negara republik Indonesia. 20
Dipimpin oleh wazir Mu’azham Perdana Menteri dengan anggota-anggotanya
terdiri dari Hulubalang delapan dan Ulama tujuh orang. Balai gadeng hampir sama dengan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 21
Anggotanya terdiri dari 73 orang. Balai ini seperti DPR RI. 22
Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, 28.
59
Uleebalang yang bersangkutan dengan didampingi Qad}i Uleebalang yang
dimaksud.23
Pada masa pendudukan Jepang, Khusus untuk wilayah Aceh, Jepang
mengeluarkan suatu Undang-undang yang bernama "Atjeh Syu Rei" (Undang-
undang Daerah Aceh) Nomor 20 Syowa 19 Yagatsu I tanggal 1 Januari 1943
tentang susunan peradilan berkedudukan di Kutaraja dengan cabang-cabangnya
pada tiap-tiap Ibukota kabupaten (Bunsyu). Disamping itu, melalui Aceh Syu Rei
No.12 tanggal Syowa Ni Gatu 15 (15 Februari 1944), pemerintah militer
membentuk Mahkamah Agama Islam Syukyo Hooin yang diimplementasikan pada
tanggal 12 Februari 1944. Syukyo Hooin merupakan pengadilan tingkat banding
atas putusan Kepala Qad}i dan Qad}i Son24. Tugas Qad}i Son pada saat itu mirip
dengan tugas Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan saat ini.25
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Aceh mendapat kedudukan
tersendiri di NKRI karena perjuangan rakyat dan bimbingan para tokoh dan Ulama
Aceh rela berjuang dan berkorban mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945. Kemudian keluarlah Peraturan perdana Menteri pengganti peraturan
pemerintah No. 8/Des/WKPM/49 tertanggal 17 Desember 1949, Aceh dinyatakan
sebagai provinsi yang berdiri sendiri.26
Kemudian pemerintah pusat memberikan
status Daerah Istimewa melalui keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia
Nomor 1/Missi/1959. Pemberian status ini merupakan jalan menuju penyelesaian
masalah Aceh secara menyeluruh. Namun karena adanya kecenderungan pemusatan
kekuasaan di Pemerintah Pusat melalui UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintah di Daerah (sentralisasi), maka penyelesaian Keistimewaan Aceh
tidak berjalan sebagaimana mestinya.27
Atas pertimbangan filosofis, historis, dan
sosiologis, lahirlah UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan
23
Badruzzaman Ismail, Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2013),
126-130, Lihat juga: ‚Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di Aceh Sebelum dan setelah
Kemerdekaan RI‛, Mahkamah Syar’iyyah Aceh, http://www.ms-aceh.go.id/informasi-
umum/artikel/122-sejarah-perkembanga-peradilan-agama-di-aceh-sebelum-dan-setelah-
memerdekaan.html, (diakses pada 09 Juni 2014) 24
Negeri 25
Para kadli memeiliki kewenanga dalam urusan nikah, talak rujuk, fasakh, perkara
warisan, dan zakat. Lihat: Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, 33-34.
26Kemudian melalui Peraturan pemerintah Nomor 5 tahun 1950 status daerah aceh
kembali ditetapkan menjadi Kerasidenan dalam Provinsi Sumatera Utara. Akhirnya, guna
memenuhi aspirasi rakyat Aceh, pemerintah menetapkan kembali status Kerasidenan Aceh
menjadi Daerah otonomi Provinsi Aceh. Kebijakan tersebut tertuang dalam UU No. 24
Tahun 156 27
Karena adanya kecenderungan pemusatan kekuasaan di Pemerintah pusat melalui
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, tentang pokok-pokok daerah (Sentralisasi), maka
penyelesaian Keistimewaan Aceh tidak berjalan sebagaimana mestinya.
60
Keistimewaan Aceh di bidang kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan,
dan peran Ulama dalam penetapan kebijakan daerah.28
B. Penegakkan Hukum Adat
Dalam sistem hukum adat Aceh, dikenal sejumlah asas yang pada umumnya
dapat diterima oleh berbagai sistem hukum lainnya. Sejauh ini ada sejumlah asas
yang telah dihimpun, sebagai berikut:
Bagan 1: Asas-Asas Peradilan Adat Aceh29
Dasar hukum berlakunya hukum adat di Aceh dapat diperhatikan pada
beberapa landasan, diantaranya narit maja yang menjadi dasar utama (kultur asli)30
,
dan peraturan pemerintah, diantaranya:
Pasal 3 a R.O Stb. 1935
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
28
Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, Majelis Adat Aceh (MAA) Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: MAA, 2008), 37-38
29Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang
Adil dan Akuntabel (Banda Aceh: MAA, 2012), 8 30
Phon phon adat, cit jeut keudore, watee meusaho, sinan meu tata.
Maseng-maseng nanggroe, na adat droe, Ureung meubudoe, nyang ato cara
Asas-Asas
Terpercaya atau
amanah
Mufakat
Tanggungjawab/
Akuntabilitas
Kesetaraan didepan
hukum/ Non
Diskriminasi
Cepat dan
terjangkau
Ikhlas dan
Sukarela
Penyelesaian damai
dan berkerukunan
Keterbukaan
untuk umum
Jujur dan
Kompetisi
Keberagaman
Praduga tak
Bersalah
Berkeadilan
61
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Bab XIII
tentang Lembaga Adat
Perda No. 7 Tahun 2000
Qa>nu>n Nomor 4 Tahun 2003 tentang pemerintahan Mukim dalam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam
Qa>nu>n Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemerintahan Gampong dalam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam
Qa>nu>n Nomor 9 Tahun 2008 tentang pembinaan kehidupan adat Istiadat
Qa>nu>n Nomor 3 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata kerja MAA
Qa>nu>n Aceh Nomor 10 tahun 2008 tentang lembaga adat
Kesepakatan bersama antar kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Gubernur
aceh, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat aceh, Ketua Majelis
Permusyawaratan Ulama Aceh, Ketua Majelis adat Aceh, rektor IAIN Ar
Raniry, Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, ketua Persatuan
Wartawan Indonesia Acehdan Ketua Komite Nasional pemuda Indonesia
Aceh tentang Penitipan Peran Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat
(FKPM) kedalam Tuha Peuet Gampong/Sarak Opat/Majelis duduk Sekitar
Gampong atau nama lain, tertanggal 2 Maret 2010
Keputusan bersama Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian daerah Aceh dan
ketua Majelis adat Aceh tentang Penyelenggaraan Peradilan Adata dan
Mukim atau nama lain di Aceh tertanggal 20 Desember 2011. Yaitu tertulis
dalam Butir Satu : Sengketa/perselisihan yang terjadi ditingkat gampong dan
mukim yang bersifat ringan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, pasal 14,
dan pasal 15 Qa>nu>n Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan
Kehidupan Adat dan Adat Istiadat wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui
Peradilan AdaGampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.
1. Badan Penyelenggara Peradilan Adat Aceh
Pada umumnya penyelenggaraan peradilan perdamaian adat dilakukan oleh
lembaga Gampong31 dan Mukim.
32 Hal yang sama berlaku untuk seluruh Aceh,
hanya saja di beberapa daerah tertentu, seperti Aceh Tengah dan Aceh Tamiang,
digunakan istilah lain.33
Fungsinya tetap sama, yaitu sebagai lembaga penyelesaian
sengketa atau perkara adat.34
31
Dalam sebutan sehari-hari sebutan gampong adakalanya ditujukan untuk menyebut
kawasan kediaman yang terdiri dari beberapa rumah, atau pusat perumahan, pusat
pemukiman. (Lihat: Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh, menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010), 9
32Mukim adalah wilayah yang mengkoordinir beberapa gampong (6 sampai 10
gampng) dalam suatu kawasan yang dipimpin oleh Imeum Mukim dan bertanggungjawab
kepada camat. 33
Di Aceh tengah dan Aceh Tamiang dikenal lembaga Sarak Opat dan Majelis duduk,
yang mana lembaga tersebut memiliki peran dan fungsi sama dengan lembaga Gampong. 34
Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel (Banda Aceh: MAA, 2012), 8
62
a. Peradilan adat Gampong
Gampong merupakan kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh yang terdiri dari
beberapa jurong35, tumpok36
, atau ujung37. Adapun struktur dari sebuah gampong di
Aceh terdiri dari tiga unsur; pertama unsur pimpinan Gampong yaitu
keuchik 38sebagai pemegang adat dan dibantu oleh tengku meunasah 39
sebagai
penegak hukum; kedua, unsur Ureueng tuha, atau disebut juga Tuha Peuet40. Ketiga
unsur ureueng le atau ureueng ramee (orang banyak).41
Keuchik diibaratkan sebagai
ayah dari warga gampong, tengku meunasah diibaratkan sebagai ibu.42
Sengketa yang diselesaikan oleh peradilan Gampong, pelaksananya adalah
fungsionaris hukum adat yang secara ex officio dan kolegial, maksudnya semua
anggota dari ketiga lembaga tersebut duduk sebagai hakim,43
yaitu Keuchik sebagai
ketua, Teungku Meunasah dan Tuha Peuet sebagai anggota.44
Putusannya adalah
putusan damai. Apabila para pihak menerima putusan maka perkara selesai,
sebaliknya apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan, maka pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan lagi perkaranya ke tingkat mukim.45 Keuchik
berperan aktif dalam membangun komunikasi dengan sesama perangkat Adat dalam
menyikapi setiap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, dan memberi ruang
35
Lorong atau gang. 36
Bagian gampong berupa kumpulan rumah-rumah penduduk membentuk sebuah
kloniyang agak terpisah dari kampung induk. 37
Bagian gampong yang terletak paling ujung. 38
Sebutan untuk kepala kampung di Aceh. Keuchik mengurus masalah adat 39
Pimpinan lembaga adat ‚imeum meunasah‛. 40
Lembaga adat yang berkedudukan sebagai badan musyawarah, juga berfungsi
sebagai perwakilan dari eureung gampong memberikan persetujuan terhadap setiap
keputusan yang akan dikeluarkan oleh gampong, menegur kepala kampung, dan juga
membantu kepala kampung dalam menyelesaikan sengketa. Tuha Peuet sesuai dengan
maknanya Tuha (orang tua) dan Peuet (empat), maksudnya beranggotakan orang yang
menguasai empat ilmu, yaitu ilmu fiqih, tasawuf, mantiq/logika, dan tauhid/agama. Pada
prakteknya beberapa gampong memiliki tuha peuet yang berangotakan empat orang, lima
atau lebih (sesuai dengan kapasitasnya). (Wawancara dengan Drs. Yusriadi, M.Si, Anggota Majelis Adat Aceh, Banda Aceh, 24 April 2014).
41 Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh, menuju Rekonstruksi Pasca
Tsunami (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010), 11. 42
Wawancara dengan Bpk. Bukhari, KeuchikGampong Meunasah Mancang, Kec.
Meurah 2, Kab. Pidie jaya, Aceh, Jum’at, 2 mei 2014, pukul 10.30. 43
Maksudnya adalah oleh sebab jabatannya sebagai pejabat gampong. Maka yang
bertindak menjadi hakim adalah Keuchik, tuha peuet, atau Imam Meunasah. Wawancara
dengan Sanusi M. Syarif, MA, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang Pengembangan dan
Pelestarian gampong dan Mukim, Kamis, 15 Mei, 2014. 44
Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 74.
45Wawancara dengan Badruzzaman Isma’il, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat Aceh,
Selasa, 29 April 2014. Lihat Juga: Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu,
2011), 71.
63
kepada perangkat Adat lain untuk berperan dalam mengambil keputusan sesuai
dengan bidang dan kewenangannya.46
Adapun Tuha Peuet berperan memberikan nasihat dalam bidang hukum adat,
adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat. Sebagai pelaksana legislasi dalam
pemerintahan gampong, terdapat beberapa tugas tuha peuet yaitu: pertama,
melaksanakan fungsi anggaran, yaitu membahas/merumuskan dan memberikan
persetuajuan terhadap Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja gampong
sebelum ditetapkan menjadi Anggaran Pendapatan Belanja gampong; kedua,
melaksanakan fungsi pengawasan, yaitu pengawasan terhadap pelaksanaan Reusam
gampong, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja gampong, pelaksanaan
keputusan dan kebijakan lainnya dari keuchik; ketiga, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat kepada Pemerintah gampong.47
Berikut adalah bagan struktur dan peran penyelenggara Peradilan adat
tingkat gampong:
Bagan 2: Struktur dan Peran Penyelenggara Peradilan Adat Tingkat Gampong48
46
wawancara dengan Amin. H, Sekretaris Gampong Meriah Jaya, Kec. Gajah Putih,
10 Mei 2014 47
Andri Kurniawan, Tugas dan Fungsi keuchik, Tuha peuet, Dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Gampong Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar
berdasarkan Qa>nu>n Nomor 8 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Gampong, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 3 September, 2010,
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/VOL10S2012%20andri%20kurniaw
an.pdf, diakses pada 16 Juni 2014 48
Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012
Tuha Peuet
Sebagai Anggota
Keuchik
Sebagai Ketua
Sidang
Imeum Meunasah
Sebagai Anggota Ulama,
Cendikiawan, Tokoh
masyarakat
Sebagai Anggota
Sekretaris Gampong
Sebagai Panitera Ulee Jurong
(kadus)
Sebagai penerima
lap. awal
Ulee Jurong
(Kadus)
Sebagai penerima
lap. awal
64
Para penyelenggara peradilan adat tidak ditunjuk atau diangkat secara resmi,
tetapi karena jabatannya sebagai Keuchik, Imeum Meunasah49, Tuha Peuet, dan
Ulee Jurong50 mereka secara otomatis menjadi para penyelenggara peradilan adat.
Keanggotaan peradilan adat tidak hanya terbatas untuk kaum laki-laki saja, tetapi
juga harus melibatkan kaum perempuan. Mereka umumnya sering dilibatkan
sebagai mediatordan negoisator untuk perkara-perkara yang melibatkan perempuan
dan anak-anak.51
Pada masa sekarang, kewenangan gampong untuk menyelenggarakan
peradilan adat terdapat dalam qa>nu>n No. 5 tahun 2003 tentang pemerintahan
Gampong dalm Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keuchik memiliki kekuasaan
Mono Trias Function (Satu dalam manunggal tiga fungsi) untuk menjalankan tiga
kekuasaan yang melekat ditangannya, yaitu, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Tiga fungsi yang berjalan masing-masing akan tetapi dalam satu
pimpinan kekuasaan. Adapun perilaku mono trias function tersebut tercermin pada
perilaku Keuchik dan Teungku saat mengayomi penyelesaian masalah-masalah
yang timbul dalam masyarakat.52
Penerapan kewenangan Keuchik secara tunggal
berada dibawah kontrol Tuha Peuet Gampong.53
Dalam melaksanakan tugasnya,
peradilan adat bersifat pasif. Baik perkara yang terjadi berupa perkara bidang
pidana maupun perkara bidang perdata, peradilan tersebut tidak akan berinisiatif
untuk menyidangkan suatu perkara tanpa ada permintaan dari pihak yang
berkepentingan.54
Adapun pusat penyelenggaraan adat istiadat dan peradilan adat
dilakukan di Meunasah. b. Peradilan adat Mukim
Peradilan adat tingkat mukim merupakan upaya terakhir untuk mendapatkan
keadilan dalam juridiksi adat. Perkara-perkara atau sengketa yang tidak dapat
diselesaikan pada tingkat mukim, selanjutnya akan diselesaikan oleh lembaga
Peradilan negara.55
Pada prakteknya, hanya sekitar 2% (dalam setahun) perkara
49
Lembaga adat ditingkat Gampong yang mengurus aspek hukum (maksudnya
hukum Islam), serta berkewajiban mengurus urusan fardu kifayah di gampong. 50
Pemimpin di tingkat Jurong (lorong), atau kepala dusun. 51
Majelis Adat Aceh,Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel (Banda Aceh: MAA, 2012, 9.
52Badruzzaman Ismail, Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem
Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh,
2013),113-114. 53
Meunasah adalah sebuah tempat semacam mushalla/langgar, yang berfungsi
sebagai pusat segala kegiatan (centre of power) administrasi pemerintahan dan
kemasyarakatan. (wawancara dengan Badruzzaman isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh,
Selasa, 29 April 2014. 54
Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 73
55Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang
Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014. Lihat Juga:
Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel (Banda Aceh: MAA, 2012)
65
yang diajukan ke tingkat mukim.56
Kewenangan mukim untuk menyelenggarakan
peradilan adat di tingkat mukim adalah terdapat pada qa>nu>n No. 4 Tahun 2003
tentang pemerintahan mukim dalam provinsi Aceh.57
Badan perlengkapan peradilan
adat ditingkat mukim dan mekanisme kerjanya hampir sama dengan tingkat
gampong.58
Bagan 3: Struktur dan Peran Peradilan Adat Mukim59
Pada pemerintahan Mukim, fungsionarisnya terdiri dari Imeum Mukim
sebagai ketua, dan Imeum Mesjid, Tuha Peuet, Keuchik dalam mukim yang
bersangkutan, para tokoh Ulama, dan cendikiawan duduk sebagai hakim anggota
dan sekretaris mukim sebagai panitera. Di beberapa tempat, terdapat pembagian
kewenangan dan peranan dalam pengelolaan kawasan antara mukim dan
gampong.Adapun kawasan yang berada diluar kawasan hunian, seperti blang
(sawah), laot (laut), gle (perbukitan), dan uteun rimba (hutan rimba) berada
dibawah kekuasaan mukim. 60
Untuk mengurus kawasan tersebut diatas pada
56
Wawancara dengan Badruzzaman Isma’il, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat Aceh,
Selasa, 29 April 2014. 57
Lembaga mukim berwenang untuk memutuskan dan atau menetapkan hukum
dalam hal adanya persengketaan-perengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat
(Pasal 4, butir e)
Majelis adat mukim berfungsi sebagai badan yang memelihara dan mengembangkan
adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-
keputusan adat terhadap perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum
terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat (pasal 12 ayat 2). 58
Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel (Banda Aceh: MAA, 2012, 8.
59 Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang
Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012 60
Sanusi M. Syarif, Anomi di Sempadan Mukim dan Gampong: menyingkap Konflik Batas dan pengelolaan Kawasan Sempadan di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu,
2011), 2.
Sekretaris Mukim
sebagai Panitera
Majelis
Adat
Sebagai
Anggota
Imeum
Chiek
sebagai
Anggota
Imeum
Mukim
sebagai
Ketua
Sidang
Tuha
Peuet
Sebagai
Anggota
Ulama,
cendikiawan,
Tokoh Adat
sebagai
Anggota
66
tingkat mukim dibentuk lembaga adat khusus. Seperti untuk mengurus kawasan
laot, dibentuk panglima laot, petua euteun untuk mengurus kawasan hutan, petua seuneubok untuk kawasan ladang atau lampoh (perkebunan), pawang gle untuk
mengurus kawasan perbukitan, dan keujruen blang untuk mengurus kawasan sawah.
Apabila terdapat permasalahan atau sengketa yang terjadi antar warga pada wilayah
diluar hunian, maka proses penyelesaian sengketa dengan melibatkan lembaga yang
dimaksud.
2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Dalam hukum adat tidak dibedakan antara kasus perdata dan pidana, tetapi
untuk memudahkan penjelasan prosedur penanganannya, ada beberapa
pertimbangan dan prosedur yang harus diterapkan jika kasus pidana sedang
diselesaikan. Diantara kasus-kasus yang menjadi kewenangan Peradilan adat adalah
sebagaimana hasil temuan dilapangan, dan hasil rapat koordinasi antara MAA
dengan lembaga penegak hukum terdapat dalam Qa>nu>n Aceh No. 9 tahun 2008.61
Pada perakteknya, kasus-kasus tindak pidana ringan, seperti laka lantas ringan pun
kerap diselesaikan oleh Peradilan Adat.
1. Proses Penyelesaian kasus Perdata
Pihak korban atau kedua belah pihak melaporkan kasusnya kepada Kepala
Dusun (Kadus) atau langsung kepada keuchik dimana peristiwa tersebut terjadi
(asas teritorialitas).Setelah menerima laporan dari kadus atau dari pihak korban,
keuchik membuat rapat internal dengan perangkat gampong guna menentukan
jadwal sidang.62
Sebelum persidangan digelar, keuchik dan perangkatnya
61
Pasal 13 tentang Penyelesaian sengketa /perselisihan. Diantara sengketa adat dan
adat istiadat adalah;
Perselisihan dalam rumah tangga
Sengketa antar keluarga yang berkaitan dengan faraidh
Perselisihan antar warga
Khalwat meusum
Perselisihan tentang hak milik
Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan)
Perselisihan harta sahareukat
Pencurian ringan
Pencurian ternak peliharaan
Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan
Persengketaan di laut
Persengketaan di pasar
Penganiyayaan ringan
Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat
Pelecehan, fitnah, hasud, dan pencemaran nama baik
Pencemaran lingkungan (skala ringan)
Ancam-mengancam (tergantung dari jenis ancaman)
Perselisihan lain yang melanggar adaty dan adat istiadat. 62
Pada rapat ini ditentukan mediator bagi kedua belah pihak. (pada prakteknya,
dibeberapa peradilan adat dalam beberapa kasus ringan tidak mengadakan rapat internal,
67
melakukan pendekatan dengan mediasi dan negoisasi terhadap kedua belah pihak,
yang bertujuan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan sekaligus
menanyakan kesediaan mereka untuk diselesaikan secara damai. Untuk kasus yang
korbannya perempuan atau anak dibawah umur, maka pendekatan dilakukan oleh
istri keuchik atau tokoh perempuan bijak lainnya. Jika kesepakatan penyelesaian
secara damai telah disetujui, sekretaris keuchik akan mengundang secara resmi
kedua belah pihak untuk menghadiri persidangan pada hari dan tanggal yang telah
ditetapkan.
Gambar 1: Tata Letak Sidang Peradilan Adat Gampong63
Pada saat persidangan berlangsung, para pihak dapat diwakili oleh walinya
atau saudaranya yang lain sebagai juru bicara. Persidangan bersifat resmi dan
terbuka yang biasanya digelar di meunasah. Persidangan berlangsung dengan penuh
khidmat dan keuchik mempersilahkan para pihak atau yang mewakilinya untuk
akan tetapi keuchik langsung mendatangi orang tuha untuk memberikan mandat untuk
bermusyawarah kepada pihak yang bersengketa sebelum sidang dilaksanakan). (Wawancara
dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang Pengembangan dan
Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014). 63
Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012
Sekretaris Gampong
(Panitera)
Imeum Meunasah
(Anggota Sidang) Keuchik
(Ketua Sidang)
Tuha Peuet
(Anggota Sidang)
Ulama, Cendikiawan,
dan Tokoh Adat
(Anggota Sidang)
Saksi Para Pihak Saksi
Pengunjung Sidang
(masyarakat Setempat dan Sanak
Saudara Para Pihak)
68
menyampaikan persoalannya yang kemudian dicatat oleh Panitera. Keuchik
mempersilahkan para saksi untuk menyampaikan kesaksiannya dan biasanya jika
dirasa perlu, para saksi sebelum menyampaikan kesaksiannya akan diambil sumpah
terlebih dahulu. Keuchik memberikan kesempatan kepada Tuha Peuet ulama,
cendekiawan dan tokoh adat lainnya untuk menanggapi dan menyampaikan jalan
keluar terhadap kasus tersebut.
Keuchik beserta seluruh anggota sidang memusyawarahkan putusan damai apa
yang akan diberikan. Jika mereka telah sepakat tentang jenis putusan damai yang
akan dijatuhkan, maka Keuchik menanyakan kembali kepada para pihak apakah
mereka siap menerima putusan damai tersebut. Jika jawaban mereka adalah
menerima putusan itu, maka panitera menulis diktum putusan tersebut yang sering
disebut surat perjanjian perdamaian.64
Apabila salah satu pihak atau kedua belah
pihak tidak setuju terhadap putusan perdamaian, maka para pihak dapat
mengajukan ke forum persidangan Mukim. Ketidaksetujuan para pihak terhadap
putusan peradilan adat Gampong juga harus dinyatakan dalam surat penetapan
putusan dan berdasarkan surat penetapan tersebut kasus itu dapat diajukan ke
persidangan Mukim.
Keuchik membaca putusan perdamaian dan meminta kepada para pihak untuk
menandatangani akta perdamaian serta melaksanakan isi putusan itu dengan
sungguh sungguh. Putusan tersebut dan salinannya diberikan kepada para pihak,
disimpan sebagai arsip baik di kantor Keuchik maupun di kantor Mukim. Setelah
putusan disepakati dan diterima oleh para pihak, maka pada pertemuan berikutnya
putusan tersebut akan dieksekusi melalui suatu upacara perdamaian:
a. Kepada salah satu atau kedua belah pihak akan dikenakan sanksi, yang
berat ringannya sangat tergantung pada jenis pelanggaran atau pidana adat
yang mereka lakukan.
b. Pelaksanaan (eksekusi) itu dilakukan melalui upacara perdamaian dengan
membebankan sesuatu pada para pihak atau pada satu pihak tergantung
keputusan (ada hubungan dengan tingkat kesalahan).
Apabila semua pihak sudah merasa puas, dengan rumusan penetapan putusan, maka
barulah pada hari yang ditetapkan dilakukan eksekusi melalui suatu upacara
perdamaian di Meunasah dihadapan umum, atau di tempat lain (atas persetujuan
bersama). Putusan penyelesaian sengketa itu dicatat dalam sebuah buku induk
registrasi kasus yang di dalam buku tersebut memuat Nomor, Tanggal pelaporan
dan nama pelapor, Jenis kasus, Uraian singkat pokok perkara, Tanggal
penyelesaiannya, Uraian singkat putusan perdamaian. Berikut adalah contoh
putusan dalam bentuk akta perdamaian penyelesaian sengketa perkara perdata:
64
Contoh Surat Perdamaian terdapat pada lampiran.
69
Gambar 2: Contoh Akta Perdamaian Perkara Perdata (kasus hutang-piutang)
Akta perdamaian tersebut adalah salah satu contoh surat perjanjian damai
antara kedua belah pihak yang bersengketa dalam sengketa hutang-piutang.
Perkaranya adalah sebagai berikut65
:
Pihak pertama melaporkan pihak kedua kepada Keuchik gampong terkait
sangkut-paut hutang piutang antara pihak pertama dengan ayah dari pihak
kedua. Pihak pertama menuntut haknya kepada pihak kedua untuk
membayarkan hutang ayahnya.
Pihak kedua merasa bahwa ayahnya sudah membayarkan hutangnya kepada
pihak pertama ketika beliau masih hidup, dihadapan saksi pihak ketiga.
Pihak kedua membawa sanksi pihak ketiga kepada Keuchik gampong.
Setelah pihak ketiga memberikan kesaksiannya dihadapan perangkat
gampong, maka Keuchik segera menanyai kebenarannya kepada pihak
65
Kronologi penyelesaian sengketa disarikan dari hasil wawancara dengan Keuchik
Gampong, Bpk. Bukhari Ibrahim, dan Sekretaris Gampong, Bpk. Razali Ibrahim, 1 Mei
2014.
70
pertama dan kedua. Kedua belah pihak dihadapkan bersama dan dimediasi
agar mendapatkan penyelesaian dari permasalahan hutang piutang tersebut.
Setelah proses mediasi, akhirnya pihak pertama mengakui bahwa ia telah
keliru menuduh keluarga pihak kedua atas perkara hutang-piutang yang
belum dibayarkan oleh ayahnya.
Pihak pertama memohon maaf kepada pihak kedua dan berjanji untuk tidak
mengulangi kesalahannya lagi. Apabila ia melanggar, maka ia bersedia
dihadapkan dengan proses hukum dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
2. Prosedur Penyelesaian Kasus Pidana
Prosedur dan kerangka penyelesaian perkara pidana hampir sama dengan
perkara perdata, hanya saja ada beberapa tindakan awal yang harus dilakukan oleh
para pelaksana peradilan adat guna menghindari terjadinya sengketa yang lebih
berat. Sekarang, terdapat tiga alur yang dilakukan masyarakat dalam pelaporan
sengketa pidana, yaitu ke polisi dan perangkat gampong.66
Gambar 3: Tiga Alur pelaporan sengketa bersifat kepidanaan
Alur pertama67
:
Para pihak Perangkat gampong
Alur Kedua68
:
Para Pihak
Perangkat Gampong Polisi
66
Tiga alur ini disebabkan karena beberapa faktor. pertama, karena masyarakat belum
memahami prosedur penyelesaian (hal ini terjadi biasanya jika korban/pelaku adalah
masyarakat pendatang) dan yang kedua, karena masyarakat lebih percaya kepada polisi,
daripada keuchik (penyebab hilangnya kepercayaan ini adalah karena keuchik baru
diangkat)Akan tetapi pada akhirnya penyelesaian dilakukan oleh peradilan gampong dengan
perangkat gampong (wawancara dengan Bpk. Muhammad Asngad, Keuchikgampong
timang Gajah, Kec. Gajah Putih, Bener Meriah, 11 Mei 2014) 67
Para pihak langsung melapor kepada perangkat gampong 68
Para pihak melaporkan ke polisi setempat, akan tetapi karena perkara itu sudah
menjadi kewenangan Gampong, maka polisi setempat mengembalikan permasalahan itu
ketingkat gampong, dengan menyuruh para pihak untuk melapor kepada Keuchik.
71
Alur ketiga69
:
Para pihak
Perangkat gampong Polisi
Adapun tindakan awal yang harus dilakukan oleh para pelaksana peradilan adat
dalam proses penyelesaian sengketa pidana adalah memberi pengamanan
secepatnya melalui pemberian perlindungan kepada kedua belah pihak di suatu
tempat yang dirahasiakan.70
Perangkat Gampong berinisiatif dan proaktif
menghubungi berbagai pihak71
.
Siapapun yang melihat atau mengetahui atau menyaksikan peristiwa pidana,
dapat segera melaporkan kepada Keuchik untuk segera mengambil langkah-langkah
pengamanan dan penyelesaian. Pengaduan dapat terjadi atas pelaporan langsung
para pihak atau oleh salah satu pihak kepada Keuchik (tidak terikat prosedural
waktu dan tempat), tergantung bagaimana kondisi berat atau ringannya
pelanggaran. Situasi pelaporan yang demikian dimaksudkan agar dapat diambil
tindakan preventif (agar tidak cepat meluas/berkembang). Perangkat Gampong
langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk mencari sebab-sebab
terjadi sengketa pada para pihak dan mencari bukti-bukti kebenaran pada pihak
saksi lainnya yang mungkin mengetahui atau melihat proses sengketa tersebut
kepada para pihak, dengan berbagai cara pendekatan diluar persidangan
musyawarah formal.
Selama proses penyelesaian tersebut orang tua dari keluarga para pihak
harus terus berupaya membuat suasana damai dan sejuk terhadap para pihak
melalui penyadaran atas segala perbuatan dan tingkah laku yang menyebabkan
mereka bersengketa. Apabila suasana sejuk dan kondusif telah mampu
dipertahankan dan data-data pembuktian sudah lengkap, barulah para pihak, wakil
keluarga beserta ‚ureung-ureung tuha‛ dibawa ke sidang musyawarah di Meunasah
69
Para pihak melaporkan permasalahannya kepada pihak kepolisian dan juga diwaktu
yang sama melaporkan kepada Keuchikgampong 70
Lembaga adat Gampong tidak mengenal rumah tahanan, penjara atau lembaga
pemasyarakatan. Biasanya diamankan sementara di rumah keluarga atau rumah Keuchik,
atau untuk sementara meninggalkan Gampong, pergi ke tempat lain yang aman dan
terlindung, dengan pengawalan oleh perangkat gampong (Wawancara dengan Sanusi M.
Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang Pengembangan dan Pelestarian gampong dan
Mukim, Senin, 19 Mei, 2014.) 71
Yaitu para saksi, jika diperlukan menghubungi petugas kepolisian untuk membantu
proses pengawalan dan pengamanan pelaku agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
(wawancara dengan Bpk. Muhammad Asngad, Keuchikgampong timang Gajah, Kec. Gajah
Putih, Bener Meriah, 11 Mei 2014)
72
(bila warga se gampong) atau ke Mesjid (bila sengketa itu melibatkan warga antar
gampong yang berlainan). Jika kasus tersebut merupakan kekerasan terhadap
perempuan dan anak atau kasus yang terkait dengan persoalan rumah tangga, maka
persidangan perkara ditutup untuk masyarakat luas, dan pemangku adat harus
memastikan adanya pendamping bagi perempuan dan anak pada proses
persidangan.72
Penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan data/bukti yang telah
diinventarisir dalam penjajakan awal dan berdasarkan prinsip perdamaian, sebagai
landasan hukum pertama dalam penyelesaian perkara adat. Dalam proses
perdamaian ini, diberikan kesempatan kepada masing-masing pihak secara formal
dalam persidangan untuk menyatakan penerimaan atau penolakan terhadap proses
dan hasil perdamaian.73
Keputusan sidang perdamaian diambil berdasarkan pertimbangan yang matang
oleh semua anggota majelis peradilan adat agar dapat diterima oleh para pihak
untuk mengembalikan kedamaian dan keseimbangan dalam masyarakat. Eksekusi
(pelaksanaan) keputusan oleh Keuchik dilakukan dalam suatu upacara yang
ditetapkan pada waktu yang telah disetujui bersama. Dalam upacara perdamaian
tersebut disiapkan surat perjanjian yang harus ditandatangani oleh para pihak yang
berisikan perjanjian untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang menimbulkan
sengketa. Pemangku adat harus melakukan pemantauan setelah proses eksekusi,
karena setelah upacara damai, perkara dapat saja terjadi secara berulang, sehingga
pemangku adat dapat mengambil langkah-langkah lain termasuk mengupayakan
rujukan.74
Berikut adalah contoh akta perdamaian hasil putusan peradilan adat pada
kasus pidana:
72
Pada kasus KDRT misalnya, sang istri dalam menyelesaikan kasusnya, selain
dikawal oleh pejabat perempuan, juga harus dibentengi oleh keluarganya untuk
melindunginya.(wawancara dengan AKP. El Putri, Polda Aceh, Banda Aceh, 20 Mei 2014). 73
Pada beberapa tempat, Proses persidangan diawali dengan proses ‚pendinginan‛
oleh ureung tuha, dengan membacakan beberapa hadits atau ayat al Qur’an yang berkaitan
dengan ukhuwah, peringatan untuk damai, dan lainnya, agar proses berjalan dengan
khidmat. Karena pada dasarnya orang Aceh meskipun berwatak keras, akan tetapi bila
sudah dibacakan firman Allah, hatinya akan menjadi lluluh (wawancara dengan Amin. H,
Sekretaris Gampong Meriah Jaya, Kec. Gajah Putih, 10 Mei 2014) 74
Pada beberapa kasus seperti penganiayaan, Pemantauan dan pengamanan juga
dilakukan oleh polmas setempat. (wawancara dengan AKP. El Putri Polda Aceh, Banda
Aceh, 20 Mei 2014).
73
Gambar 4: Contoh akta damai hasil putusan peradilan adat pada kasus pidana
(Kasus Pengancaman dan Penganiayaan):
Surat pernyataan damai tersebut sudah disetujui oleh kedua belah pihak.
Adapun kronologi kasusnya adalah75
:
Pada tanggal 31 Agustus 2012 sekira pukul 21.00 WIB, pihak pertama,
Zulfikar (bukan nama asli) mendatangi pihak kedua, Ibrahim (bukan nama
asli). Pihak pertama mengancam pihak kedua akibat orangtua atau abang
ipar pihak kedua memiliki hutang kepada pihak pertama.
75
Kronologi kasus tersebut didapatkan penulis dari hasil wawancara dengan
Sekretaris gampong (Abdul Muthalib), dan keuchik gampong (Muslim Syamaun), 3 Mei
2014.
74
Pihak pertama menagih hutang tersebut kemudian mengambil barang yang
ada dirumah pihak kedua, sebagai pembayaran hutangnya
Pihak kedua tidak terima barangnya diambil dan meminta agar pihak
pertama mengembalikannya
Pihak pertama kehilangan kesabaran dan akhirnya terjadilah keributan
antara keduanya.
Keluarga pihak kedua segera melaporkan kejadian tersebut kepada keuchik
gampong.
Keuchik gampong bersama fungsionaris adat yang lain langsung
mengamankan kedua belah pihak yang bersengketa.
Keesokan harinya keuchik gampong mengadakan pendekatan kepada kedua
belah pihak terkait kasus yang sedang dialami dan menanyakan keduanya
apakah keduabelah pihak bersedia untuk menyelesaikan masalah mereka
secara damai atau tidak. Akhirnya kedua belah pihak bersedia untuk
menyelesaikan sengketa secara damai.
Keesokan harinya, 02 Oktober 2014 perangkat gampong dan kedua belah
pihak bersama-sama bermusyawarah untuk mencari penyelesaian sengketa
bagi kedua belah pihak.
Setelah dimediasi akhirnya pihak pertama mengakui kesalahannya telah
mengancam dan melakukan penganiayaan, sehingga pihak kedua terluka.
Adapun hasil keputusan adalah;
Pihak pertama memohon maaf kepada pihak kedua.
Membayar denda adat kepada pihak kedua sebesar Rp. 1.000.000,- (Satu
Juta Rupiah)
Keduabelah pihak berjanji untuk tidak saling mengejek dikemudian hari
setelah terjadinya perdamaian ini. Apabila ada yang mengulanginya
dikemudian hari, maka orang yang memulai tersebut akan ditindak sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Kedua belah pihak saling memaafkan dan tidak ada rasa dendam karena
masih ada hubungan keluarga dekat sekali.
Setelah dibuatnya surat perdamaian tersebut, keduabelah pihak tidak saling
menuntut dan mereka akan rukun kembali seperti sedia kala. Surat tersebut
dilaporkan kepada Polsek Muara tiga, Pidie.
Contoh penyelesaian kasus tersebut adalah contoh kasus yang dilaporkan oleh
korban kepada fungsionaris adat, tanpa ada campur tangan kepolisian, namun
setelah kasus tersebut diselesaikan secara damai, maka hasil penyelesaiannya atau
surat perjanjian perdamaian dilaporkan kepada kepolisian sebagai bukti bahwa
kasus tersebut telah diselesaikan secara damai.
Selain kasus yang dilaporkan korban kepada fungsionaris adat secara langsung,
terdapat juga kasus yang dilaporkan korban kepada kepolisian (satpol PP dan
wilayatul hisbah). Biasanya kasus tersebut dilakukan oleh pelaku diluar
kediamannya (bukan didaerahnya).
Sesuai dengan mekanisme penyelesaian sengketa tersebut, maka dapat dilihat
skema peran dan posisi perangkat Gampong dalam persidangan adalah dibawah
peradilan Mukim. Apabila kedua belah pihak tidak menerima hasil keputusan
75
fungsionaris adat gampong, maka pihak yang tidak menerima dapat membawanya
ke tingkat mukim, namun apabila putusan peradilan adat mukim juga tidak diterima
oleh kedua belah pihak, maka perkara akan diselesaikan sesuai dengan hukum
positif yang berlaku di Indonesia. Berikut adalah peran dan posisi peradilan adat
gampong dan mukim:
Bagan 4: Peran dan Posisi Perangkat Gampong dalam Peradilan Adat76
Badruzzaman Isma’il mengatakan: ‚Yang lemah dibimbing, yang pincang
dipapah, yang kurang ditambah, yang ganjil digenapkan, yang salah dibetulkan,
yang lupa diingatkan, yang menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, yang
keliru diingatkan‛.77
Konsep mediasi dan negoisasi yang diterapkan oleh peradilan
Adat Aceh memiliki kelebihan yaitu memberikan pendekatan yang lebih terstruktur
dengan langkah-langkah tertentu. Kasus serumit apapun punya kemungkinan untuk
diselesaikan jika para pelaksana peradilan adat menerapkan teknik mediasi dan
76
Aryos Nivada, “Tawaran Model Sistem Peradilan Adat Aceh Bersinergis Peradilan
Hukum Nasional, Masyarakat Aceh tamiang”, http://www.acehinstitute.org, (diakses pada
tanggal 17 Februari 2014, pukul 12.39) 77
Badruzzaman Ismail, Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2013)164
Musyawarah
Mukim
Diagendakan
oleh sekdes
Rapat Aparat gampong
untuk Musyawarah
Masyarakat yang
bersengketa
Kadus/Keuchik/
sekdes/ tuha
peuet/keujreun
Melapor ke
Keputusan
Musyawarah
gampong
Ditolak Diterima
Banding
Kedua belah
pihak menerima
hasil musyawarah
Damai
(sengketa
selesai)
76
negosiasi secara tepat, yaitu bagaimana cara mendamaikan para pihak yang
bersengketa, sehingga harmonisasi masyarakat bisa kembali dicapai.78
3. Pola peradilan Adat Aceh
Bertolak kepada prinsip penyelesaian sengketa ‚permasalahan yang besar
dikecilkan, dan permasalahan kecil dihilangkan‛ menjadikan peradilan adat di Aceh
mendapatkan kepercayaan yang besar bagi masyarakat Aceh,79
karena mengacu
pada nilai kultural/adat budaya Aceh yang hidup berkelanjutan dan berkembang
dalam masyarakat.80
Selain itu hasil yang diinginkan dari peradilan adat adalah
kepuasan dari kedua belah pihak yang bersengketa, rasa bertanggung jawab,
kebesaran jiwa untuk saling memaafkan, serta kembalinya harmonisasi dalam
kehidupan bermasyarakat.81
Apapun yang dimusyawarahkan haruslah berwujud
pada ‚selesainya‛ suatu masalah, bukan memperkeruh, atau bahkan menciptakan
masalah baru.82
Sistem penyelesaian sengketa melalui jalan damai oleh Mohammad Hosein
(1970) disebut Suloh83 atau Hukum peujroh84
yang berarti memperbaiki.85
Terdapat
juga pola penyelesaian di’iet86, sayam87
, dan peumat jaroe88 yang dimanfaatkan
sebagai mediasi, prosesi rekonsiliasi, bermartabat melalui kemaafan (forgiven) dan
kompensasi (barang/benda, uang)89
78
Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang
Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014.) 79
Hasil penelitian dari BAPPENAS dan UNDP, tahun 2012, bahwa 92% dari
masyarakat Aceh merasa puas dengan penyelesaian sengketa secara adat. (Wawancara
dengan Prof Badruzzaman Isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh, 29 april 2014). 80
Wawancara dengan Drs. Yusriadi, M.Si, Anggota Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
24 April 2014 81
Wawancara dengan Prof Badruzzaman Isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda
Aceh, 29 April 2014. 82
Teuku Raja Itam Aswar, Kasus-Kasus Penyelesaian Melalui peradilan adat:
makalah disampaikan pada pelatihan pada pelatihan adat bagi fungsionaris adat se-provinsi Nanggroe Aceh darussalam, 4-8 september 2007 di Banda Aceh (Banda Aceh:Majelis Adat
Aceh, 2007), 6 83
Suloh berasal dari bahasa arab yang berarti perdamaian, persetujuan, atau
penyelesaian. 84
Artinya hukum kebaikan 85
Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 72
86Berasal dari bahasa arab, yaitu diyat
87 Berasal dari tradisi Hindu. Ajaran ini sebenarnya tidak murni lagi ajaran Hindu,
namun sudah disaring (filter) oleh syari’at Islam. 88
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 252
89Badruzzaman Ismail, mekanisme Lokal dalam Menyelesaiakan Kasus Masa Lalu
menuju Perdamaian Sejati, Disampaikan saat seminar ‚Percepatan Pembentukan KKR Aceh dalam Upaya Memberikan Keadilan Bagi Korban dan Memantapkan Perdamaian di Aceh,
77
a). Suloh Suloh dalam bahasa Aceh berasal dari bahasa arab, yaitu al-s}ulh}}u atau islah,
yang berarti upaya perdamaian. Suloh digunakan sebagai sarana untuk menjaga
keseimbangan sosial, akibat adanya sengketa atau konflik. Suloh diarahkan pada
upaya perdamaian pada kasus-kasus perdata.90
Dalam praktek negoisasi dan mediasi
untuk pola suloh keuchik dan tengku meunasah melibatkan perangkat lain, seperti
peutua seuneubok, panglima laot, dan keujreun blang. Pelibatan ini karena
merekalah yang paling memahami dan mengetahui asal usul terjadinya sengketa
dalam wilayah dan ruang lingkup kerjanya. Penyelesaian sengketa melalui suloh ini,
biasanya dapat juga diselesaiakan ditempat kejadian oleh petua adat yang
menguasai daerah tertentu, tanpa sampai kepada keuchik.91
b). Di’iet Di’iet berasal dari bahasa arab, yaitu diyat, beararti pengganti jiwa atau
pengganti anggota tubuh yang hilang atau rusak. Yaitu kompensasi atau diyat yang
diserahkan oleh pelaku pidana kepada keluarga korban (ahli warisnya) dalam tindak
pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota tubuh. Dalam hukum pidana
Islam, diyat digunakan kepada pelaku kejahatan pembunuhan maupun
penganiayaan setelah adanya proses hukum yang berakhir dengan pemaafan. Dalam
adat Aceh, kasus pembunuhan diselesaikan dengan pola di’iet, dan kejahatan
terhadap anggota tubuh diselesaikan dengan pola sayam. Esensi di’iet terletak pada
penghormatan dan penghargaan terhadap jiwa atau anggota tubuh manusia, bukan
pada nilai kompensasi dari setiap nyawa atau anggota tubuh korban yang diganti
dengan harta. Pembayaran di’iet dimulai dengan proses hukum terhadap pelaku
tindak pidana, sehingga dapat diketahui dengan jelas pelakunya dan tingkat
kemaafan yang diberikan oleh korban atau keluarga korban.
Para fasilitator, negoisator, dan mediatormelakukan pembicaraan awal
dengan ahli waris korban dan pelaku pidana atau ahli warisnya, untuk menghindari
kedendaman dibelakang hari. Mereka juga mendengar tuntutan para pihak serta
menawarkan solusi penyelesaian dengan kacamata adat dan agama. Jika para pihak
sudah sepakat untuk berdamai dan bersedia membayar sejumlah harga untuk
kompensasi, baru digelar upacara di’iet.92
Banda Aceh, 15-17 Mei, 2007, 232,
http://www.kontras.org/buku/bagian%20IV%20aceh.pdf, (diakses pada 13 Juni 2014) 90
Kasus-kasus perdata yang diselesaiakan melalui institusi suloh ini, umumnya
berkaitan dengan perebutan sentra-sentra ekonomi, seperti batas tanah, tali air di sawah,
lapak tempat berjualan, daerah sungai tempat menangkap ikan, dll. 91
Penyelesaian secara suloh biasanya cukup dengan saling memaafkan, wawancara
dengan Bpk. Abdul Mutalib, sekretaris gampong Keupula, Kec. Muara Tiga, kab. Pidie,
Nanggroe Aceh Darussalam, 3 May 2014. 92
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 257
78
c). Sayam Sayam adalah bentuk kompensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku
pidana terhadap korban atau ahli waris korban, khusus berkaitan dengan rusak atau
tidak berfungsinya anggota tubuh. Filosofi sayam bagi masyarakat Aceh bersumber
dari adagium yang sudah dikenal lama, yaitu: ‚luka ta sipat darah ta sukat93‛ Sama
halnya dengan di’iet, prosesi sayam difasilitasi oleh keuchik dan tengku meunasah,
yaitu dengan melakukan negoisasi dengan para pihak yang bersengketa. Sayam,
berupa pemaafan dan kompensasi menjadi bagian dari watak hidup mayarakat Aceh
dalam membangun equilibrium/penyeimbang (DAMAI), dalam kehidupan.94
d). Peumat Jaroe Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada di’iet, sayam, dan suloh
adalah peumat jaro (berjabat tangan) dan peusijuk95. Kedua proses ini dianggap
memegang peranan yang penting dalam menjalin rasa persaudaraan antara pihak
yang bersengketa.96
Apabila dilihat dan dianalisa lebih jauh, pada hakikatnya pola suloh berlaku
juga pada di’iet dan sayam. Hakikatnya, pola suloh adalah sebuah proses
penyelesaian sengketa secara damai, sedangkan di’iet dan sayam merupakan bentuk
sanksi.
4. Pelaksanaan Putusan Peradilan Adat dan Hubungannya dengan
Putusan Pengadilan Positif.
Bentuk-bentuk sanksi adat yang diterapkan di masyarakat Aceh berupa:
pergantian/kerugian materil/non materi, membayar uang adat, dan membayar
upacara kenduri selamatan. Apabila sengketa besar,97
biasanya dengan pemotongan
hewan (lembu/kambing) atau dengan membayar denda,98
dan melaksanakan
93
Luka seseorang harus diukur lebarnya dan darah yang mengalir juga harus diukur
banyaknya. 94
Badruzzaman Ismail, mekanisme Lokal dalam Menyelesaiakan Kasus Masa Lalu
menuju Perdamaian Sejati, Disampaikan saat seminar ‚Percepatan Pembentukan KKR Aceh dalam Upaya Memberikan Keadilan Bagi Korban dan Memantapkan Perdamaian di Aceh,
Banda Aceh, 15-17 Mei, 2007, 232,
http://www.kontras.org/buku/bagian%20IV%20aceh.pdf, (diakses pada 13 Juni 2014) 95
Prosesi tepung tawari seseorang atau benda dengan maksud untuk mendapatkan
kesejukan hati. 96
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 266
97Contohnya adalah penganiayaan yang mengakibatkan luka berdarah dibahagian
perut ke kepala. 98
Mengenai sanksi pembayaran denda bisa jadi tidak sama disetiap Gampong. Hal ini
sesuai dengan adat dan kebiasaan serta kesepakatan bersama masyarakat gampong tersebut.
Seperti, di Gampong Dayah krako, Kec. Indrajaya, kab. Pidie, kasus penganiayaan yang
menyebabkan luka berdarah sanksinya menyembelih seekor kambing. Hal ini serupa dengan
Gampong meunasah Mancang kec. Meurah 2 Kab. Pidie Jaya. Berbeda dengan Gampong
Keupula, Kec. Muara 3, Kab. Pidie, kasus tersebut didenda membayar sejumlah uang sesuai
dengan kesepakatan keduabelah pihak. Hal ini juga serupa dengan peradilan adat di
79
prosedur inti, yaitu permintaan maaf di meunasah oleh pelaku kepada korban.
Secara detail, sanksi atau hukuman yang masih berlaku dalam hukum adat Aceh
diatur dalam qa>nu>n Aceh Nomor 9 Tahun 2008.
‚Diantara sanksi yang berlaku adalah: Nasehat, teguran, Pernyataan maaf,
Sayam, Diyat, Denda, Ganti Kerugian, Dikucilkan oleh msyarakat Gampong,
dikeluarkan oleh masyarakat Gampong atau nama lain, pencabutan gelar adat, dan
bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat.‛99
Pelaksanaan sanksi adat akan dilakukan stelah putusan dibacakan. Untuk
sanksi diyat pelaksanaan putusannya lebih longgar yaitu tergantung kepada
kemampuan ekonomi pelanggar. Untuk sanksi adat dikeluarkan dari gampong,
pelaksanaannya tidak dilakukan segera, akan tetapi diberikan waktu secukupnya
untuk bersiap-siap meninggalkan kampung halamannya.100
Setelah putusan
dibacakan dan sanksi dilaksanakan, maka dilakukan pengawalan kepada keduabelah
pihak oleh perangkat gampong dan jika perlu kepolisian. Hal ini dimaksudkan
untuk mengamankan pelaku/korban, ditakutkan masih tersimpan dendam antar
keduanya.
Adapun putusan peradilan adat memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht101
) apabila putusan tersebut telah diterima oleh kedua belah pihak yang
bersengketa dan tidak dimajukan banding ketingkat Peradilan Mukim. Apabila ada
salah satu pihak yang bersengketa tidak menerima putusan peradilan adat, maka
putusan tersebut belum in kracht, dan pihak yang tidak menerima putusan dapat
mengadakan banding ketingkat Mukim. Jika putusan tingkat Mukim juga tidak
diterima, maka ia dapat mengajukan perkara ke peradilan negeri atau Mahkamah
Syar‘iyah tingkat Kota/Kabupaten, kemudian banding ketingkat Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, dan terakhir adalah Kasasi di Mahkamah Agung.
Gampong Timang Gajah, Kec. Gajah Putih, Kab. Bener Meriah, dan gampong Umah Besi,
Kec. Gajah Putih, Kec. Bener meriah. (wawancara dengan Keuchikgampong Dayah Krako,
Bpk. Sarifudin Isma’il, 1 Mei 2014, Keuchikgampong Meunasah mancang, Bpk. Bukhari, 2
Mei 2014, Sekretaris Gampong Keupula, Bpk. Abdul Muthalib, 3Mei 2014, Keuchik Gampong Timang gajah, Bpk. Mohammad Asngad, 11 Mei 2014, dan Keuchik Gampong
Umah Besi, Bpk. Abdul Aziz, 11 Mei 2014) 99
Pasal 16, Qa>nu>n Aceh Nomor 9 Tahun 2008,
http://www.bphn.go.id/data/documents/08pdaceh009.pdf, (diakses pada 16 Juni 2014) 100
Wawancara dengan Keuchikgampong Lampulo, Banda Aceh, Alta Zaini, Senin, 19
Mei 2014. 101
In kracht berasal dari bahasa Belanda, Kracht berarti kekuatan, maksudnya
putusan hakim yang telah memiliki kekuatan tetap, artinya segera setelah terhadap
keputusan itu tidak lagi terbuka suatu jalan hukum pada hakim lain atau hakim itu juga
untuk mengubah keputusan itu, seperti perlawanan, naik banding atau kasasi. Selama
perkara itu masih dapat dilawan, dibanding atau dimintakan kasasi, maka selama itu
keputusan tidak dapat dijalankan belum menjadi tetap. Keputusan itu menjadi tetap dalam
hal setelah baik terpidana maupun jaksa menerangkan, bahwa mereka masing-masing
menerima keputusan itu. (Lihat: Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012),
231 http://www.deskripsi.com/hukum/kracht, diakses pada 26 Januari 2014)
80
Dalam perkara pidana di Indonesia, sesuai dengan UU Nomor 22 tahun
2002 tentang grasi mengatakan bahwa putusan mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde) apabila:
1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi
dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana;
2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu
yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
3. putusan kasasi.102
Jadi, berdasarkan penjelasan diatas, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum
tetap bila:
1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding
setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan
diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur
dalam Pasal 233 ayat (2). Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (‚KUHAP‛), kecuali untuk putusan bebas
(vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan
tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP).
2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam
waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi
itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1, Pasal 246 ayat [1]
KUHAP).
3. Putusan kasasi.103
Adapun dalam perkara perdata, putusan dapat memiliki kekuatan hum tetap dapat
merujuk pada penjelasan Pasal 195 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (‚HIR‛)
sebagai ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, yang berbunyi sebagai
berikut:
‚Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah
memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya
maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-
undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan
hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak
ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka
peradilan akan tidak ada gunanya‛
‚Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari
pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk
melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus
102
Lihat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi,
http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl19984/node/17452, diakses pada 26
Januari 2014 103
Ilman Hadi, Kapan Putusan Memiliki Kekuatan Hukum Tetap, Hukum Online,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50b2e5da8aa7c/kapan-putusan-pengadilan-
dinyatakan-berkekuatan-hukum-tetap?, diakses pada 26 Januari 2014
81
benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan
pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu
sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat
waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan
dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.‛104
C. Peradilan Adat Aceh Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
Kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional, sudah jelas setelah
dibuat Ketetapan Majelis permusyawaratan rakyat Nomor IV/MPR/1999 yang
merupakan patokan politik hukum di Indonesia dan kemudian dibuat pasal 18 B
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Pasal 18 B (2) Undang-undang Dasar
(UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa
‚Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kasatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang‛. Pada penjelasan Pasal tersebut dijelaskan,‚daerah-
daerah zelf besturende (Aceh) dan volk sgemeens happen (persekutuan hukum
masyarakat seperti Marga, Peradilan Adat Gampong (Aceh), dll) diberi kedudukan
sebagai daerah istimewa dan Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan
daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara mengenai daerah
itu‛Landschappen (daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri contohnya desa,
nagari, dusun, dan gampong. Hak asal usul dalam suatu masyarakat hukum diatur
oleh hukum adat, dengan demikian dalam daerah istimewa tersebut berlaku hukum
adat dan ketentuan perundangan ditundukkan kepada hukum adat.105
Hak asal usul adalah hak yang telah ada pada suatu kesatuan masyarakat
hukum adat sejak terbentuknya kesatuan masyarakat hukum adat bersangkutan.
Hak itu berupa hak menentukan pimpinannya sendiri, hak mempunyai wilayah
tertentu, hak menguasai dan mengelola sumber daya alam dalam wilayahnya untuk
kemanfaatan warganya, hak membentuk dan melaksanakan ketentuan hukum adat
dan hak menyelenggarakan sejenis peradilan untuk mempertahankan hukum
adatnya, serta pimpinannya mempunyai kewenangan bertindak kedalam dan keluar.
Kewenangan yang bertindak kedalam adalah kewenangan pimpinan mengatur
masyarakat dan sumber daya alam dalam wilayahnya. Adapun kewenangan keluar
adalah kewenangan pimpinan bertindak atas nama kesatuan masyarakat hukum
dalam hubungan dengan pihak luar. 106
104
Lihat: Pasal 195 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui,
file:///C:/Users/Hifdhoh/Downloads/PKOL_HIR-RIB_44_1941.PDF, 77 (Pernyataan ini
diambil dari Ilman Hadi, Kapan Putusan Memiliki Kekuatan Hukum Tetap, Hukum Online,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50b2e5da8aa7c/kapan-putusan-pengadilan-
dinyatakan-berkekuatan-hukum-tetap?, diakses pada 26 Januari 2014) 105
Teuku Mohd. Djuned, Bunga Rampai Adat Adalah Kearifan: Pemaknaan Adat dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 22
106 Teuku Mohd. Djuned, Bunga Rampai Adat Adalah Kearifan: Pemaknaan Adat
dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 23
82
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Gampong dan
Mukim di Aceh, selain sebagai lembaga pemerintahan akan tetapi juga sebagai
lembaga Adat. Sebagai lembaga adat, maka gampong dan mukim berwenang untuk
menyelesaikan sengketa atau perselisihan. Kewenangan tersebut tercermin dalam
Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh.
Menurut Undang-Undang tersebut, Aceh diberikan empat keistimewaan
dalam kehidupan bernegara, salah satunya adalah pelaksanaan adat istiadat. Adanya
keistimewaan ini memungkinkan diaktualisasi kehidupan adat di Aceh dalam
kehidupan masyarakat.107
Undang-Undang tersebut juga memberikan kewenangan
kepada masyarakat Aceh untuk menyelenggarakan Peradilan adat sebagai sebuah
Lembaga Adat sekaligus mencerminkan keistimewaan Aceh. Peradilan adat ini
tidak seperti yang dimaksud oleh pasal 24 Undang-Undang Tahun 1994 yang
menyatakan tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pada pasal 24 ayat 2
dikatakan bahwa:
‚Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan
peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan negara, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.‛108
Undang-Undang 1945 juga mengakui keberadaan sistem Pemerintahan
tradisional sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945. Salah
satu komponen peradilan di Indonesia diimplementasikan pelaksanaannya dengan
pengertian peradilan adat. Adapun yang dimaksud dalam peradilan adat ini adalah
sebagai mediasi non litigasi.
Turunan dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 yaitu diundangkan
Qa>nu>n Provinsi nanggroe Aceh darussalam No. 4 Tahun 2003 tentang pemerintahan
mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Qa>nu>n ini Mukim
diberikan wewenang untuk menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan
adat terhadap perselisihan dan pelanggaran adat.109
Demikian pula dalam Qa>nu>n
Provinsi nanggroe Aceh Darussalam No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan
Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang menegaskan bahwa
salah satu fungsi Keuchik adalah sebagai hakim perdamaian yang dibantu oleh
Tuha Peuet dan Imeum meunasah.110
Selain Undang-Undang yang dimaksud, diberlakukan juga Undang-Undang
tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, maka pemerintahan Gampong dan Mukim juga telah diakui sebagai wilayah
otonom terendah di Aceh. Peranan Gampong dan Mukim untuk menyelesaikan
107
Teuku Ahmad Yani, ‚Fungsi Gampong dan Mukim Dalam Menyelesaikan
Sengketa Perselisihan‛, Jeumala, Edisi 40, Juli- Desember 2013, 18 108
UUD Negara republik Indonesia pasal 24 Ayat 2,
http://www.itjen.depkes.go.id/public/upload/unit/pusat/files/uud1945.pdf 109
Lihat Qa>nu>n Provinsi Naggroe Aceh Darussalam Nomor Tahun 2003 Tentang
Pemerintahan Mukim 110
Lihat Qa>nu>n Provinsi Naggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 Tentang
Pemerintahan Gampong
83
perselisihan/sengketa adalah semakin kuat, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 98
ayat (2), yang disebutkan bahwa: ‚Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan
secara adat ditempuh melalui lembaga adat‛.111
Sebagai kelanjutan dari Undang-Undang dimaksud, telah diundangkan Qa>nu>n
Aceh Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Dalam Qa>nu>n ini, Gampong
dan Mukim termasuk sebagai lembaga adat. Disamping fungsinya sebagai
pemerintahan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga adat berwenang
untuk: menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat;
membantu pemerintahan dalam pelaksanaan pembangunan; mengembangkan dan
mendorong partisipasi masyarakat; menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat
istiadat yang tidak bertentangan dengan shari’at Islam; menerapkan ketentuan adat;
menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan; mendamaikan sengketa yang timbul
dalam masyarakat; dan menegakkan hukum adat.
Adapun sengketa yang diselesaikan oleh peradilan adat gampong dan Mukim
adalah sebagaimana yang telah di Undang-Undangkan pada Qa>nu>n Aceh Nomor 09
Tahun 2008. Qa>nu>n Nomor 9 tahun 2008 tidak memberikan ukuran atau penjelasan
terhadap sengketa/perselisihan yang dimaksud. Berdasarkan kepada hal tersebut,
telah diundangkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Adat.112
Dalam Pergub tersebut telah dapat
diketahui secara jelas indikator-indikator yang dapat digunakan oleh Keuchik,
Imeum Mukim, aparat kepolisian, dan Masyarakat dalam menyelesaikan sengketa
di tingkat gampong dan Mukim.
Dengan mengacu kepada Qa>nu>n Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang pembinaan
kehidupan adat dan adat istiadat, untuk lebih intensif, tertib, dan disiplin dalam
pelaksanaan penegakkan hukum adat, melihat kepada Pasal 13 ayat (30), yang
berbunyi: ‚Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/ perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong atau nama lain‛.
Realisasi pasal tersebut agar tidak terjadi benturan dengan hukum positif, maka
ditetapkan Surat Keputusan Bersama Gubernur, Kapolda Aceh dan ketua MAA
Aceh Nomor 189/677/2011, Nomor 054/MAA/XII/2011, Nomor B/121/1/2012.
Dalam Surat keputusan bersama tersebut ditegaskan bahwa semua sengketa di
gampong diselesaikan melalui peradilan Adat gampong, dimana fungsi perangkat
gampong memegang peran fungsional dalam menegakkan hukum adat di Peradilan
Adat.113
Dalam rangka membangun keadilan masyarakat, yang murah, cepat,
sederhana dan rukun damai, maka praktek-praktek penyelesaian di gampong dan
Mukim berlandaskan dasar-dasar hukum tersebut diatas, khususnya untuk provinsi
111
Lihat UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 112
Lihat Peraturan Gubernur Aceh nomor 60 Tahun 2013 tentang pelaksanaan
Penyelesaian Sengketa Adat Aceh, http://jdih.acehprov.go.id/files/Pergub., diakses pada 17
Oktober 2014 113
Badruzzaman Ismail, ‚Peradilan Adatgampong di Aceh Dasar Hukum dan
Mekanisme Penyelenggaraan Dalam SKB, GUB, POLDA, dan Ketua MAA Aceh, Jeumala,
Edisi 37, Januari-Juni 2012, 18-19
84
aceh, berlandaskan yuridis: Lex specialis lis derogat lex generalis, maka penegakkan
hukum adat di Aceh dilaksanakan dengan tertib. Pembekalan dan penerapan hukum
adat di Aceh dalam konteks kerjasama dengan aparat Polda Aceh telah dimulai
sejak tahun 2003. Hampir seluruh kabupaten melaksanakan peran peradilan adat.
Majelis Adat Aceh (MAA) bekerjasama dengan UNDP, telah memberikan
pembekala/simulasi, pengelolaan, dan adm inistrasi peradilan adat kepada
perangkat gampong, termasuk Tokoh-Tokoh adat perempuan. Pelaksanaan
peradilan adat juga bekerjasama dengan Polda Aceh/Polres bersama IOM dalam
hubungan POLMAS.
Ada beberapa pertimbangan mengapa peradilan adat harus berjalan
berdampingan dengan hukum positif, yaitu: pertama, salah satu persoalan besar di
bidang kesejahteraan rakyat pada level bawah, terutama di desa-desa adalah fakir
miskin, dan sulit mendapatkan akses keadilan dari adanya lembaga-lembaga
peradilan (khususnya dengan putusan yang adil, murah, cepat, dan sederhana);
kedua, mekanisme dan prosedur berat ringannya penanganan perkara beserta
jalannya prosesi penyelesaian di depan pengadilan, berdasarkan hukum
positif/formal menghabiskan waktu lama, mulai Pengadilan Pertama, Pengadilan
Tinggi, sampai Mahkamah Agung; ketiga, Adat istiadat Aceh telah membudaya,
bila ada sengketa dalam masyarakat dapat diselesaikan di gampong (desa) oleh
perangkat gampong; keempat, Peradilan adat disebut juga Peradilan Damai
bertujuan membangun keadilan; kelima, penerapan peradilan adat sangat
bersesuaian dengan nilai-nilai idealis falsafah Pancasila dan struktural UUD 1945
serta perjalanan historis kultur masyarakat dan Pemerintah Aceh, karena itu dalam
pelaksanaannya mendapat dukungan penuh dari Polda Aceh melalui Polmas dengan
kegiatan FKPM (Forum Kemitraan Polisi dengan Masyarakat).114
D. Hambatan dan Kendala Dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan
Adat
Secara regulasi, Aceh sudah memiliki syarat yang cukup untuk menerapkan
peradilan adat Gampong dan Mukim, sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, yaitu pada UU Nomor 11 Tahun 2006, pasal 98 ayat 2, Qa>nu>n Aceh
Nomor 9 Tahun 2008, bahkan Surat Keputusan bersama (SKB) antara Gubernur
Aceh, kapolda, dan Ketua MAA tentang penyelenggaraan Peradilan Adat gampong
dan Mukim. Meskipun peradilan adat telah diakui sebagai salah satu instrumen
114
Dalam peraturan kapolri (Perkap) Nomor 7 tahun 2008 tanggal 13 oktober 2008
memberikan keleluasaan kepada masing-masing Polda untuk mengimplimentasikan Polmas
dengan pendekatan budaya setempat, maka Polda Aceh menyepakati pengintegrasian
Polmas dengan pendekatan budaya Aceh, khususnya melalui penitipan peran FKPM
kedalam Tuha peuet, Sarak Opat di Gayo dan Majelis Duduk Sekitar Kampung (MDSK) di
Aceh Tamiang atau nama lain. Lihat: Badruzzaman Ismail, Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia (Banda Aceh: Majelis Adat
Aceh), 2013, 150-152
85
memperoleh keadilan, namun banyak hambatan dalam implementasinya, antara
lain:115
Peradilan adat dijalankan bukan oleh tenaga-tenaga professional yang
menggantungkan hidupnya pada pekerjaan sebagai hakim, akan tetapi dijalankan
oleh orang-orang tertentu yang di pandang memahami adat di dalam masyarakat
yang juga memiliki profesi/pekerjaannya sendiri-sendiri. Seorang hakim atau
pelaksana peradilan adat bukan orang yang menggantungkan hidupnya pada
bekerjanya peradilan adat, melainkan karena tanggungjawabnya di dalam
masyarakat. Hal ini dapat menghindari terjadinya suap dalam menyelesaikan kasus
di peradilan adat. Untuk itu, pemerintah haruslah memperhatikan kesejahteraan
para pemangku adat, dan dana operasional pelaksanaan peradilan adat (acara
peradilan adat), karena peradilan adat dan lembaga adat sudah menjadi bagian dari
peradilan yang formal di Aceh, selain itu segala macam sarana dan prasarana yang
mendukung tegaknya peradilan adat juga harus diperhatikan116
Pada perakteknya,
pemerintah kurang memperhatikan dengan serius dalam mendukung tegak dan
berjalannya hukum adat. Hal tersebut terlihat bahwa di beberapa gampong di
pelosok Aceh belum mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan, baik dukungan
moril dan materil dari pemerintah.
Kendala selanjutnya adalah tingkat pemahaman para tokoh adat terhadap
hukum adat masih kurang, hal ini terjadi karena berbagai faktor, diantaranya
pergantian kepala desa (keuchik gampong) menyebabkan pengangkatan keuchik
gampong baru dan belum faham secara detail tentang peradilan adat, khususnya
wewenang peradilan adat dalam menyelesaian sengketa, dan tata cara dan prosedur
yang sudah ditetapkan oleh Majelis Adat. pada satu sisi pemangku adat tersebut
tidak dapat disalahkan, karena itu sudah menjadi tanggungjawab bersama, bukan
hanya pemangku adat yang bersangkutan, akan tetapi juga tanggungjawab
pemerintah dalam membina, membimbing, dan mengawal para pemangku adat
dalam menjalankan tugasnya.
Kendala selanjutnya yaitu masyarakat masih ada yang belum memahami
tentang hukum adat itu sendiri, padahal kedudukan hukum adat sudah jelas
kedudukannya baik didalam undang-undang maupun didalam Qa>nu>n Aceh. Pada
kenyataannya beberapa masyarakat masih melaporkan perkara-perkara yang
menjadi wewenang peradilan adat Gampong kepada polisi setempat, hal tersebut
tidak lain adalah karena kurangnya kepercayaan mereka kepada pemangku adat
yang baru. Peradilan adat Aceh yang sudah dilegal formalkan dengan adanya
Peraturan Daerah (Perda/Qa>nu>n) merupakan salah satu bukti pengakuan hukum
adat dan lembaga adat. Peradilan adat diposisikan sebagai perpanjangan tangan
115
Hambatan dan kendala tersebut adalah intisari dari wawancara dengan pemerintah
Adat, baik Pusat (Provinsi), maupun tingkat Gampong 116
Yance Arizona, ‚Kedudukan PeradilanAdat Dalam Sistem Hukum Nasional‛,
Makalah disampaikan pada Diskusi tentang Memperkuat Peradilan Adat di Kalimantan
Tengah untuk Penguatan Akses terhadap Keadilan, Selasa, 11 Juni 2013,
https://www.academia.edu/3723907/Kedudukan_Peradilan_Adat_dalam_Sistem_Hukum_N
asional, (diakses pada 12 November 2014), 15
86
negara sekaligus sebagai institusi terdepan dalam menangani perkara yang dihadapi
oleh masyarakat. Formalisasi lembaga adat ini akan mempengaruhi perubahan nilai
dan tatacara dalam melaksanakan peradilan adat karena telah mulai mengadopsi
nilai-nilai dan tata cara peradilan formal. Hal ini dilakukan untuk menjamin
peradilan adat mengikuti standar-standar yang umum dipakai oleh peradilan formal,
misalkan berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence )
maupun persamaan dihadapan hukum (equality before the law) yang umum dikenal
dalam praktik peradilan.117
Dengan demikian, sosialisasi secara berkala tentang
sistem peradilan adat dan juga hukum acara berperkara dalam peradilan adat harus
diadakan secara berkala dan terus menerus, untuk mendukung tegaknya peradilan
adat. Selain itu, penulisan dan pembukuan administrasi peradilan adat gampong
yang kurang optimal, sehingga beberapa putusan adat tidak terdokumentasikan
dengan baik.
E. Mediasi Oleh Lembaga Adat Aceh dalam menyelesaikan Sengketa
Bermusyawarah adalah suatu proses dimana mediator dalam hal ini para
pelaksana peradilan adat membantu para pihak yang bersengketa untuk dapat
menyelesaikan persoalannya dengan hasil yang dapat memuaskan kedua belah
pihak.118
Agar keberadaan mediator, atau perantara, dapat diterima maka yang
bersangkutan harus mempunyai sifat-sifat: amanah, jujur, tidak memihak, tidak
punya kepentingan pribadi, bertekad untuk menyelesaikan pertikaian yang dapat
diterima kedua belah pihak, ramah dan percaya diri, mampu mengendalikan emosi
para pihak, mampu memahami kehendak dan aspirasi para pihak, mampu
menerjemahkan keinginan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya dengan
menggunakan bahasa yang santun dan sejuk, mampu melakukan pendekatan yang
berunsur agama, sosial, dan psikologi, piawai dalam menggunakan bahasa yang
menyejukkan, dan mampu menggunakan ‚hadih maja‛ secara tepat.
Adapun yang memiliki kewenangan sebagai mediator adalah seluruh
perangkat gampong yang disepakati dalam rapat internal pertama. Jika perangkat
gampong tersebut tidak dapat mengambil informasi, atau tidak dapat berperan
dengan baik menjadi seorang mediator, maka peranan mediator bisa dialihkan
kepada salah satu tokoh masyarakat, ulama, atau cendikiawan pada masyarakat
adat tersebut yang memiliki kapabilitas serta disepakati oleh keduabelah pihak
yang bersengketa, dengan tetap dalam pengawalan perangkat gampong. Peran
117
Yance Arizona, ‚Kedudukan PeradilanAdat Dalam Sistem Hukum Nasional‛,
Makalah disampaikan pada Diskusi tentang Memperkuat Peradilan Adat di Kalimantan
Tengah untuk Penguatan Akses terhadap Keadilan, Selasa, 11 Juni 2013,
https://www.academia.edu/3723907/Kedudukan_Peradilan_Adat_dalam_Sistem_Hukum_N
asional, (diakses pada 12 November 2014), 17 118
Wawancara dengan Badruzzaman Isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
29 april 2014. Lihat juga: Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012), 23
87
mediator dicari atas dasar relasi hubungan (kekerabatan sosial) atau pengaruh
(ulama atau ureung tuha).119
Berikut adalah tahapan mediasi:
Bagan 5: Tahapan Mediasi120
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
Pertemuan dengan Pertemuan dengan
pihak 1 Pihak 2
Penjelasan diatas adalah dasar dan tahapan mediasi secara prosedural.
Adapun pada kenyataannya tahapan mediasi yang terjadi di beberapa gampong
adalah proses mediasi dilakukan pada dua alur, yaitu: pertama mediasi oleh kepala
dusun (kadus) dan kedua oleh perangkat gampong.121
Alur tersebut dirumuskan
dalam bagan sebagai berikut:
119
Pembagian tugas tidak berbasis instruksi, akan tetapi berbasis kepada tawaran
peran dengan mempertimbangkan kepentingan satu gampong. (Wawancara dengan Sanusi
M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang Pengembangan dan Pelestarian gampong
dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014). 120
Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012)
121Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang
Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014).
Pertemuan bersama dalam rangka menciptakan kesepakatan bersama yang telah dicapai dalam
tahap 1 dan 2
88
Bagan 6: Alur Mediasi
Proses umum yang dijelaskan di atas dapat diaplikasikan terhadap hampir
semua kasus dibawah kewenangan peradilan adat, namun ada perlakuan khusus
terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Pada saat pemangku adat tidak mampu memberikan
jaminan keselamatan terhadap korban atau adanya ancaman nyawa pada diri
korban, maka pemangku adat harus melaporkan perkara tersebut kepada kepolisian
untuk memastikan bahwa perlindungan terhadap korban bisa diberikan.122
Adapun
122
Hal ini sesuai dengan Program FKPM (Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat)
dalam upaya memecahkan masalah untuk mencegah kejahatan yang terjadi di Gampong.
Lihat: Kesepakatan Bersama antara Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Gubernur Aceh,
Para Tokoh
(Mediasi)
Para Pihak
Yang
Bersengketa
Mediasi
Kepala Dusun 1
Keuchik
Majelis
Mediasi
Mufakat
Putusan
2
Para Pihak
Para Pihak
Perjanjian
3
Keterangan:
1. Apabila kepala dusun berhasil memediasi pihak yang
bersengketa, maka perkara tidak dibawa kepada keuchik
(biasanya perkara ringan)
2. Apabila keucik berhasil memediasi sendiri, maka
perkara tidak dibawa ke majelis bersama pemangku adat
(biasanya perkara ringan)
3. Apabila keuchik tidak berhasil mediasi, maka keuchik
mengadakan rapat internal dengan perangkat gampong
(tokoh adat yang lain) untuk diselesaikan secara bersama
dan musyawarah sesuai dengan prosedur yang berlaku
(sesuai dengan penjelasan diatas)
89
proses peradilan yang melibatkan perempuan bersifat tertutup dan harus dijaga
kerahasiaannya.
Ketua MPU Aceh, Ketua MAA Aceh, Rektor IAIN Ar Raniry, Presidium balai Syura
Ureung Inong Aceh, Ketua PWI Aceh, dan Ketua KNIP Aceh, tentang Penitipan Peran
FKPM ke dalam Tuha peuet/Sarak Opat/Majelis Duduk Sekitar Kampong Atau nama Lain.
Wawancara dengan AKP. El Putri Polda Aceh, Banda Aceh, 20 Mei 2014)
90
91
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI PERADILAN ADAT YANG
BERSIFAT DENDA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF, DAN HUKUM ISLAM
Hukum adat lahir dari keputusan masyarakat hukum, terutama kepala rakyat.
Para hakim yang merupakan wakil dan kepala rakyat bermusyawarah dalam
menentukan keputusan yang tepat dan tidak memihak dalam menyelesaikan
sengketa. Keputusan tersebut dirasa adil oleh masyarakat Aceh, hal ini terbukti
dengan kepercayaan masyarakat terhadap para wakil rakyat dan tetap eksisnya
peradilan adat Aceh hingga akhirnya dilegal formalkan dengan dibuatnya
Perda/Qa>nu>n mengenai penyelesaian sengketa melalui peradilan adat. Untuk
membuktikan asumsi masyarakat tentang peradilan adat yang dianggap ‚adil‛ maka
akan diuraikan kasus-kasus adat Aceh yang putusannya berupa diyat, kemudian
dianalisa dan dijelaskan bagaimana kasus tersebut jika diselesaikan melalui hukuk
positif di Indonesia dan hukum Islam.
A. Kasus Perusakan
1. Deskripsi dan Kronologi Kasus
a. Kasus Pelanggaran di Laut (Perusakan Boat):
Terdapat peraturan nelayan di Gampong Mekar Jaya (bukan nama asli), Kec.
Dua Kuala (bukan nama asli), Kab. Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, bahwa
nelayan dilarang menggandeng boat yang digunakan untuk menangkap ikan tiga
gandeng kesamping, karena akan memakan tempat, sehingga nelayan yang lain
tidak mendapat tempat untuk menangkap ikan disungai.
Sekira pada bulan Mei tahun 2013, terjadi perselisihan antara Harisun (bukan
nama asli, pihak pertama) dengan Ali akbar (bukan nama asli, pihak kedua). Pihak
pertama melanggar aturan tersebut. Adapun kejadiannya sebagai berikut:
Pihak pertama (harisun) sekira pukul 07.00 waktu setempat pergi melaut.
Tidak seperti hari biasanya, hari itu ia pergi pagi-pagi. Ketika sampai di sungai, ia
langsung menaiki boatnya dan menggandengkan boatnya tiga gandengan ke
samping. Perbuatannya itu tidak lain karena ia ingin mendapatkan hasil tangkapan
yang banyak, karena anak perempuannya sedang sakit, dan harus segera di obati.
Ketika boat milik pihak kedua lewat, maka sungai menjadi sempit, dan jangkar
pada boat milik pihak pertama menggores sisi boat milik pihak kedua dan
mengakibatkan kerusakan (kebocoran) pada boat milik pihak kedua.
Pihak kedua tidak jadi melaut dan pulang, kemudian melaporkan kejadian
tersebut kepada Keuchik. Karena permasalahan ini menjadi wewenang Panglima Laot, akhirnya Keuchik bersama Panglima Laot memanggil keduabelah pihak
sekembalinya pihak pertama melaut untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan
jalan musyawarah dan kekeluargaan.
Sekretaris Gampong segera mengagendakan sidang sehari setelah pelaporan dari
pihak pertama. Dalam sidang ini, turut hadir Keuchik, dua orang Tuha Peuet, dan
92
Panglima Laot. Perangkat Gampong dan Panglima Laot berperan sebagai mediator
dalam proses mediasi dan musyawarah antara kedua belah pihak1
Pertimbangan Adat:
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pihak pertama
dengan sadar telah melanggar reusam 2 adat gampong Mekar Jaya terntang
peraturan laut. Alasannya adalah karena pihak pertama ingin mendapatkan hasil
melaut yang banyak pada hari itu, karena ia sangat membutuhkan penghasilan yang
besar untuk membiayai anaknya yang sakit. Akan tetapi tanpa ia sadari, apa yang
dilakukannya merugikan orang lain, dalam hal ini adalah pihak kedua.
Menimbang, bahwa antara pihak pertama dan pihak kedua sebelum terjadi
masalah ini menjunjung persaudaraan yang sangat erat antar sesama warga
gampong Mekar Jaya. Keduanya sering pergi melaut bersama, karena pekerjaan
keduanya adalah nelayan.3
Menimbang, asas-asas normatif pada peradilan adat: yang lemah di bimbing,
yang pincang di papah, yang ganjil di genapkan, yang lupa diingatkan, yang
menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, dan yang keliru diingatkan.
Menimbang, bahwa dalam adat Aceh, dikenal hadih maja ‚Adat ta Junjong,
hukom ta peutimang. Qa>nu>n Ngon Reusam wajieb ta jaga‛. Bahwa adat harus
dijunjung, hukum harus dilaksanakan, qa>nu>n dan reusam harus dijaga. Karena pihak
pertama dirasa telah melanggar reusam gampong, maka baginya harus diberikan
ketentuan hukum adat yang sesuai.
Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi
musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar
dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat
adat tidak terusik. Pihak Pertama dengan kebesaran jiwa mengakui perbuatan
salahnya, dan Pihak Kedua dengan kelapangan dada memaafkan kesalahan pelaku.
Adapun perangkat gampong membantu perdamaian keduabelah pihak dengan tidak
memihak dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan adat dan tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
Menimbang, bahwa setiap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi tidak
hanya dilihat dari sudut pelaku tindak kejahatan, akan tetapi juga dilihat dari sudut
korban sebagai orang yang dirugikan.4
Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat
gampong (Keuchik, Tuha Peuet, dan Panglima laout) sehari setelah kejadian
1Wawancara pribadi dengan keuchik gampong Mekar Jaya, Sekdes gampong Mekar
jaya (bukan nama asli) 2Reusam adalah aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan atau petunjuk-petunjuk adat
istiadat yang ditetapkan oleh Keuchik (kepala desa) setelah mendapat persetujuan dari Tuha
Peuet gampong 3Wawancara pribadi dengan keuchik gampong Mekar Jaya (bukan nama asli)
4Pertimbangan adat alinea 4-7 adalah sama pada seluruh permasalahan. Hal ini sesuai
dengan wawancara pribadi dengan Badruzzaman Isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh, dan
Sanusi M Syarif, Kepala Bidang Evaluasi dan Pengembangan Gampong dan Mukim,
Beserta KeuchikGampong.
93
tersebut bertujuan untuk memulihkan luka pihak kedua dan keadilan bagi kedua
belah pihak serta masyarakat, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1. Perdamaian antara keduabelah pihak
2. Perjanjian pihak pertama agar tidak mengulangi kesalahannya lagi
3. Pihak pertama mengganti kerugian pihak kedua, yaitu:
a. Memperbaiki boat yang rusak
b. membayar biaya kerugian pihak kedua yang tidak berangkat
melaut untuk hari tersebut sebanyak Rp. 1.000.000 (satu juta
rupiah) untuk mengganti uang bensin dan kerugian sehari
Putusan Adat:
1. Menyatakan Pihak Pertama Harisun sebagai terdakwa dan bersalah atas
tindakannya:
a. Melanggar peraturan adat laut yaitu menggandeng boat tiga
gandengan ke samping
b. Merusak boat milik pihak kedua Ali Akbar
c. Merugikan pihak kedua tidak melaut pada hari tersebut.
2. Hakim dan perangkat gampong telah mempertimbangkan kondisi pihak
pertama karena kealpaannya telah merugikan pihak kedua. Hal ini dikarenakan
pihak pertama sangat membutuhkan uang untuk biaya anaknya yang sakit.
Maka pihak pertama mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada pihak
kedua.
3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,
menghasilkan kesepakatan sebagai berikiut:
a. Pihak pertama dan kedua berjanji untuk berdamai dan saling memaafkan
sehingga tidak ada dendam di kemudian hari
b. Bahwa pihak pertama berjanji kepada perangkat gampong dan kepada
pihak kedua untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi.
c. Pihak pertama harus mengganti kerugian pihak kedua, yaitu:
i. Memperbaiki boat yang rusak
ii. Membayar biaya kerugian pihak kedua yang tidak berangkat melaut
untuk hari tersebut sebanyak Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) untuk
mengganti uang bensin dan kerugian sehari
4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil
musyawarah dengan perangkat gampong.5
b. Kasus Pelanggaran Hewan Ternak
Bertempat di gampong Tanjung Pinang (bukan nama asli), Kec. Meuriah Jaya
(bukan nama asli), Kab. Pidie Jaya, sekira pada bulan Mei tahun 2012, malam hari
seekor lembu milik Sarifuddin (bukan nama asli, pihak pertama), masuk ke sawah
dan memakan padi yang masih muda milik Hanafi (bukan nama asli, pihak kedua).
Hanafi, yang malam tersebut melewati sawahnya, segera mengambil lembu
tersebut untuk barang bukti. Keesokan harinya pihak kedua langsung melapor ke
5Wawancara dengan SekretarisGampong Mekar Jaya
94
Keuchik gampong. Keuchik gampong langsung menanggapi laporan tersebut. Ia
segera menghubungi dua orang Tuha Peuet gampong, babinsa dan kantibmas untuk
ikut serta pergi ke sawah milik korban dan melihat kerugian yang di derita oleh
korban.
Setelah datang di tempat kejadian, aparat gampong segera memanggil pemilik
lembu tersebut untuk di selesaikan dengan jalan musyawarah. Setelah Hanafi
datang, seluruh aparat gampong dan korban menjelaskan secara rinci pelanggaran
yang dilakukan oleh lembu milik Sharifuddin sehingga menyebabkan kerugian bagi
hanafi.
Sharifuddin mengakui keteledorannya karena tidak menjaga lembunya,
akhirnya ia bersedia untuk mengganti biaya kerugian yang di terima oleh
Sarifuddin. Setelah proses mediasi dan musyawarah, maka lahirlah sebuah
keputusan:
1. Pihak pertama dan kedua bersedia untuk didamaikan oleh perangkat
gampong dan berjanji untuk saling memaafkan satu sama lain
2. Pihak pertama membayar pupuk (2 sak) sebagai ganti kerugian pihak kedua
3. Pihak pertama berjanji untuk lebih intensif menjaga hewan ternaknya agar
tidak terjadi permasalahan seperti ini untuk kedua kalinya.6
1. Analisis Kasus Perspektif Hukum Pidana Indonesia
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata penghancuran termasuk kata
benda yang bermakna proses, perbuatan, dan cara menghancurkan. Sedangkan
perusakan juga termasuk kata benda yang bermakna proses, perbuatan, cara
merusakkan.7 Yang dimaksud dengan penghancuran dan perusakan dalam hukum
pidana adalah melakukan perbuatan terhadap barang orang lain secara merugikan
tanpa mengambil barang itu. Menghancurkan berarti membinasakan atau
merusakkan sama sekali sehingga tidak dapat dipakai lagi. Adapun merusakkan
berarti membuat tidak dapat di pakai untuk sementara.8
Roeslan Saleh mengemukakan pada hakikatnya, sanksi pidana merupakan
perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tindak hukum. Ia
juga mengemukakan bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang dapat
membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan
orang dapat diterima kembali dalam suatu masyarakat.9
6Wawancara dengan KeuchikGampongTanjung Pinang
7Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta, 2008, 507 dan 1234 8Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 429
9 Nyoman Serikat Putra Jaya, Aspek Hukum Pidana Terhadap Tindakan Anarkis dan
Main Hakim Sendiri Dalam Masyarakat, Makalahdisampaikan dalamSeminar Regional dengan tema ‚Kecenderungan Tindakan Anarkis dan Main Hakim Sendiri dalam Masyarakat‛ yang diselenggarakan oleh Polisi Wilayah Pekalongan bekerjasama dengan
Universitas Pancasakti Tegal, tanggal 22 Agustus 2000,
http://eprints.undip.ac.id/19878/1/2598-ki-fh-03.pdf, (diakses pada 30 Juni 2014).
95
Kejahatan Penghancuran atau Perusakan tertulis dalam KUH Pidana Bab
XXVII Pasal 406:10
1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan,
merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2) Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang, yang dengan sengaja dan
melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tak dapat digunakan
atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian milik orang
lain.
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP Unsur-unsur
obyektif, meliputi: Menghancurkan, merusak, membuat tidak dapat dipakai atau
menghilangkan suatu barang, dan yang seluruh atau sebagian milik orang lain.
Unsur-unsur subyektif, meliputi: dengan sengaja, dan Melawan hukum
Unsur-unsur dalam Pasal 406 ayat (2) Unsur-unsur obyektif, meliputi:
Membunuh, merusak, membuat tidak dapat dipakai atau menghilangkan, yang
seluruh atau sebagian atau sebagian milik orang lain. Unsur-unsur subyektif,
meliputi: Dengan sengaja, dan Secara melawan hukum.
Apabila ditinjau dari kedua unsur tersebut, maka pihak pertama ‚Harisun‛
dapat diancam hukuman pidana paling lama dua tahun delapan bulan atau denda
paling banyak Rp. 4.500,-. Sanksi tersebut sifatnya alternatif (‚atau‛) dan bukan
kumulatif (‚dan‛), dimana terdapat ‚pilihan‛ penjatuhan hukuman pidana penjara
atau hukuman pidana denda, maka hal ini sepenuhnya bergantung pada bagaimana
tuntutan dari jaksa penuntut umum dan putusan yang dijatuhkan oleh hakim.
Hakimlah yang memilih mana pidana yang tepat untuk dijatuhkan kepada
terdakwa.11
Penyelesaian sengketa melalui hukum pidana Indonesia sesuai dengan pasal
406 tersebut hanya memperhatikan bagaimana pelaku mendapatkan balasan dari
apa yang sudah diperbuatnya. Pelaku dikenai hukuman pidana dan denda dengan
tujuan untuk merehabilitasinya dan agar pelaku jera serta tidak mengulangi
kejahatannya lagi. Pasal 406 tersebut tidak mengatur bagaimana kerugian korban
dapat terpulihkan kembali, dengan kata lain bahwa Undang-Undang hanya
menyelesaikan sengketa dari segi perbaikan pelaku dan bukan pemulihan korban.
Proses litigasi cenderung menyelesaikan sengketa dengan melihat kebelakang
yaitu kesalahan dan pelanggaran adalah dasar pemidanaan bukan berorientasi
10
Pasal 409: Lihat: KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011), 169,
Lihat juga: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
http://hukumpidana.bphn.go.id/babbuku/bab-xxvii-menghancurkan-atau-merusakkan-
barang/, (diakses pada 30 Juni 2014). 11
Alberth Aries, Apakah Pelaku Pidana Penganiayaan Dibebaskan Apabila Bayar
Denda Rp. 4.500?, Hukum Online,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt518fad653223a/apakah-pelaku-penganiayaan-
dibebaskan-jika-bayar-denda-rp4500? , diakses pada 26 Januari 2014.
96
kedepan (bagaimana memulihkan kembali kerugian korban, mendidik pelaku lebih
baik dan menjaga kemaslahatan masyarakat). Proses litigasi sejalan dengan aliran
retributivisme yang memandang pemidanaan sebagai pembalasan, dan efek
pencegahan pemidanaan tersisihkan.12
Penyelesaian sengketa adat Aceh melalui proses non litigasi memberikan
pencerahan baru bagi masyarakat bahwa beberapa sengketa dapat diselesaikan
melalui jalan damai dan musyawarah, karena pemidanaan sangat berfungsi dalam
memulihkan kerugian korban dan dalam meminta pertanggungjawaban pelaku.
Adapun permasalahan sengketa laut menjadi kewenangan pemerintahan
gampong,13
maka permasalahan ini diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di gampong setempat.
Dalam setiap putusan penyelesaian dikehendaki oleh adat agar berpedoman
pada hadih maja: ‚uleue bak mate ranteng bek patah‛ maksudnya adalah bahwa
setiap pelanggaran adat harus dihukum dengan sanksi yang setimpal, akan tetapi
harus diperhatikan pula agar jangan dengan hukuman itu merusak masyarakat
dalam lingkungannya. Terpenuhi atau tidaknya ajaran tersebut dalam membentuk
suatu putusan, tergantung kepada asas kerja yang digunakan dalam mengadili.
Dalam hal ini, seorang hakim dalam menjalankan tugasnya harus memenuhi tiga
asas kerja, yaitu rukun, laras, dan patut.14
Pemberian sanksi adat berupa permohonan maaf dan pembayaran diyat,
sudah tepat. Dalam hukum adat, permohonan maaf menjadi simbol pemulihan
kerusakan keseimbangan kehidupan bermasyarakat antara keduabelah pihak, dan
sebagai wujud terjadi perdamaian antar para pihak. Adapun pemberian maaf dari
korban adalah simbol untuk menghilangkan rasa bersalah pada pelaku bahwa
kesalahannya sudah dimaafkan.
Pembayaran denda adalah simbol dari penegakkan norma hukum dan proses
pembinaan atas pelaku sengketa sehingga menjadi pelajaran bagi pelaku dan
masyarakat lainnya agar tidak melakukan kesalahan yang serupa. Hal ini semua
terwujud karena proses peradilan adat yang berpegang pada pendekatan
musyawarah mufakat dan perdamaian melalui proses mediasi.
Permasalahan perusakan yang dilakukan oleh hewan ternak pada kasus kedua
belum diatur didalam KUH Pidana, akan tetapi, pelanggaran tersebut termasuk
kedalam pelanggaran yang menjadi wewenang gampong untuk menyelesaikannya.15
Pemilik hewan ternak sudah mengakui kelengahannya dalam menjaga hewan
ternaknya pada malam hari sehingga mengakibatkan hewan ternaknya lepas dari
pengawasannya dan merusak tanaman milik pihak kedua. Pihak pertama sudah
meminta maaf adan bersedia untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pihak
12
Eriyantow Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum pidana (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), 34-36
13Lihat Kewenangan Peradilan Adat Menurut Qa>nu>n Aceh Nomor 9 tahun 2008,
point 11. 14
Teuku Moh. Djuned, Bunga Rampai Adat Adalah Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 79
15Qa>nu>n Jinayah Nomor 09 Tahun 2008 (pelanggaran adat tentang ternak).
97
kedua sebagai bentuk tanggungjawab atas kesalahan dan kelalaian yang
dilakukannya.
Keputusan hakim (dalam hal ini Keuchik) memberikan diyat dan permohonan
maaf sudah tepat, mengingat bahwa kedua belah pihak adalah masyarakat gampong
yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik itu tercermin pada
kebersamaan keduanya dalam setiap kegiatan, baik ketika pergi bertani, ataupun
mengikuti kegiatan gampong yang lain. Hubungan tersebut harus dijaga dan jangan
dihilangkan hanya karena kesalahan yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh pihak
pertama.
Adapun sanksi adat denda baik pada kasus pertama dan kedua adalah hasil
pertimbangan fungsionaris adat beserta para pihak berdasarkan berat dan ringannya
pelanggaran adat.16
Kasus pertama diyat sebanyak Rp. 1.000.000 dan perbaikan
boat yang rusak adalah sesuai dengan kerugian korban selama sehari tidak melaut
(fungsionaris menghitung penghasilan korban per hari). Pada kasus kedua diyat adat
berupa dua sak pupuk adalah menurut pertimbangan kerugian korban untuk
memperbaiki padi yang masih dara, yaitu Keuchik beserta perangkat gampong yang
lain mengukur luas tanaman padi yang rusak.
Sanksi denda yang diberikan oleh perangkat gampong adalah wujud keadilan.
Para fungsionaris peradilan adat yang tidak memihak dapat menjadi penengah
dalam memusyawarahkan kerugian korban dan pertanggungjawaban pelaku,
sehingga dapat melindungi hak-hak para pihak yang bersengketa. Asas peradilan
adat mufakat menjadi kunci keikhlasan dari keduabelah pihak, bahwa mereka
menerima keputusan yang diberikan dengan ikhlas dan sukarela.
Apabila kasus perusakan diselesaikan melalui proses litigasi, maka korban
lebih banyak menderita kerugian. Perhatian hanya akan diberikan kepada pelaku,
sedangkan kepentingan korban tidak diperhatikan, kerugian korban tidak
dibayarkan, bahkan korban harus membayarkan biaya pengaduan perkara kepada
peradilan, proses penyelesaian yang lama serta putusan hakim juga dapat menjadi
masalah baru bagi korban, karena bisa jadi keputusan hakim merugikan salah satu
pihak. Dengan demikian proses litigasi lebih memberikan dampak negatif bagi
kedua belah pihak.
Proses penyelesaian sengketa melalui peradilan adat pada kasus pertama
hanya membutuhkan waktu satu bulan dari mulai proses pengaduan sampai
keluarnya keputusan. Adapun pelaksanaan sanksi saling memaafkan dilakukan pada
sidang terakhir, dan pembayaran diyat diberikan waktu kepada korban selama tiga
bulan terhitung mulai keputusan tersebut dikeluarkan. Hal ini membuktikan bahwa
peradilan adat juga memperhatikan kesiapan pelaku dalam menyelesaikan
sanksinya. Adapun kasus kedua dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari tiga
hari terhitung sejak pengaduan kasus kepada Keuchik. Adapun pembayaran diyat
dilakukan dihadapan para pemangku adat beberapa hari setelah dikeluarkan
keputusan. Hal tersebut membuktikan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur
16
Teuku Mohd. Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 75
98
non litigasi tidak membutuhkan waktu yang lama, sesuai dengan salah satu asas
peradilan Adat Aceh, yaitu cepat, mudah, dan murah, karena dapat dijangkau oleh
masyarakat baik yang menyangkut dengan biaya, waktu dan prosedurnya.
2. Analis Kasus Perspektif Hukum Islam
Tindakan Perusakan dalam Islam dikenal dengan ‚al Itla>f‛ 17., yaitu
mengeluarkan sesuatu dari kondisinya yang bisa dimanfaatkan dan digunakan
sesuai dengan fungsinya yang semestinya. Tindakan ini adalah penyebab yang
menetapkan keharusan tanggungan diyat, karena al itla>f adalah bentuk
pelanggaran yang menimbulkan kerugian.18
Hal ini sesuai dengan firman Allah QS
Albaqarah ayat 194.19
Penetapan kasus perusakan sebagai kasus kejahatan adalah
salah satu dari tujuan ditetapkannya syari’at Islam, yaitu ‚Hifz}u al Ma>l‛ atau
menjaga harta. Larangan perusakan ini sejalan dengan larangan pencurian20
dan
ghas}ab21
, karena kejahatan tersebut adalah merusak harta atau hak orang lain
dalam bentuk yang melanggar.22
Adanya adat laut dalam mengatur maslah pengelolaan sumber daya
kelautan di Aceh, merupakan suatu bukti betapa aspek keberlanjutan dalam
pembangunan pesisir sangat diperhatikan oleh masyarakat Aceh. Dalam sebuah
adat laut paling tidak mengatur tiga hal, pertama, masalah pengaturan alat
tangkap ikan dan wilayah, kedua, masalah pelaksanaan sosial, ketiga, masalah
aturan dan pelarangan yang disertai sanksi.23
Kasus Pertama, Di gampong Mekar Jaya yang sebagian besar
masyarakatnya adalah nelayan, dibuat sebuah reusam oleh Panglima Laot, Keuchik, dan perangkat gampong untuk kemaslahatan bersama. Tindakan yang
17
Kata-kata al-itla>f, al-ifsa>d dal alistihla>k memiliki makna dan esensi yang hampir
mirip dalam istilah fuqaha. Kata ini termasuk ke dalam cakupan yang lebih luas, yaitu al
dlarar yang berarti menimpakan kerusakan dan kerugian kepada orang lain, atau setiap
bentuk kekurangan atau cacat yang terjadi pada barang. 18
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr
Al-‘Ilmi>yah, 1997), 4824 19
....
194. Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu. 20
‘Abd al-Waha>b Al-Khala>f, Us}ul al-Fiqh, (Qa>hirah: Maktab al Da‘wah al
Isla>mi>yah)tt, 84 21
Yaitu mengambil harta yang memiliki nilai, dihormati, dan dilindungi, tanpa seizin
pemiliknya, dalam bentuk pengambilan yang menyingkirkan ‚tangan‛ (kekuasaan) si
pemilik harta itu. 22
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr
Al-‘Ilmi>yah, 1997), 4825 23
M. Adil Abdullah, Sulaiman Tripa, dan Teuku Muttaqin, Selama Kearifan Adalah kekayaan: Eksistensi Panglima Laot dan Hukom Adat Laut di Aceh, (Banda Aceh: Lembaga
hukum Adat Laut, 2006), 10
99
dilakukan oleh Harisun adalah sebuah pelanggaran, karena merugikan orang lain.
Proses mediasi dan musyawarah antara perangkat gampong dan kedua belah pihak
menjadi jembatan keutuhan persaudaraan antar keduanya. Kedua belah pihak
saling mengenal dekat, karena tinggal di satu gampong sejak puluhan tahun.
Sanksi adat minta maaf yang dikenakan kepada pihak pertama sangat tepat
sebagai simbol pengakuan atas kesalahan dan sebagai wujud telah terjadi
perdamaian antara pihak.
Adapun sanksi diyat berupa memperbaiki boat yang rusak dan membayar
kerugian melaut pihak kedua Rp. 1.000.000, juga sangat tepat. Besarnya sanksi
tersebut adalah pertimbangan perangkat adat melihat kerugian pihak kedua. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Ibnu al Qayyim al Jauzi>yah dalam I’la>m al Mu>qi’i>n:
24أن مجيع ادلتلفات تضمن باجلنس حبسب اإلمكان مع مراعاة القيمة‚‛
Bahwa Setiap barang yang rusak ditanggungkan/digantikan sesuai dengan
jenis barang yang menyerupainya sedapat mungkin dengan mempertimbangkan
nilainya.
Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa seluruh kerugian akibat
kerusakan yang ditimbulkan oleh seseorang, sanksinya adalah menggantikan sesuai
dengan kerugian yang didapatkan dengan memperhatikan kesanggupan si pelaku.
Pemberian sanksi tersebut oleh perangkat gampong mengacu pada paradigma ta’zi>r, karena kejahatan merusak barang orang lain tidak termasuk kedalam hukuman hadd
dan qis}a>s}. Kasus perusakan ini sebenarnya telah terjadi pada masa Rasulullah,
dimana Aisyah, isteri Rasulullah menumpahkan makanan yang dibawa oleh Ummu
Salamah, kemudian Rasulullah menyuruhnya untuk mengganti sesuai dengan
kerusakannya.25
Dalam Us}ul Fiqh dikenal kaidah:
27الفرق يف ضمان ادلتلف بني العلم واجلاىل/ 26اإلتالف يستوي فيو ادلتعمد واجلاىل والناسي
24
Abu ‘Abdillah Ibnu al-Qayyim al- Jauzi>, I’la>m al-Mu>qi’i>n, juz 2 (Jami>’ al huqu>q
muta>hat li Jami>’ al Muslimi>n, 2010), Islamic Books, 227
أىدت بعض أزواج النيب صلى اهلل عليو وسلم إىل النيب صلى اهلل عليو وسلم طعاما يف قصعة ، 25 طعام بطعام ، وإناء بإناء: فضربت عائشة القصعة بيدىا فألقت ما فيها ، فقال النيب صلى اهلل عليو وسلم
.(رواه البخاري والتميذ(
Lihat, Muhammad Bin Isma’i>l al-Ami>r al-S}an’a>ni>, Subul al-Sala>m Sharh Bulu>gh al-
mara>m, , Juz 2, Bab al Ghas}b, 101, http://ia600500.us.archive.org/19/items/sblslam/01.pdf,
diakases pada 20 Juni 2014 26 ‚Perbuatan Merusakkan Barang Orang Lain Hukumnya Sama, Apakah Terjadi
Karena Kesengajaan, Ketidak Tahuan, Atau Karena Lupa‛, Lihat: Abd al-Rahma>n bin Na>s}ir
al-Sa’di>>, al-Qawa>’id} wa al-Us}u>l al-Ja>mi’ah Wa al-Furu>q wa al-Taqa>si>m al-Badi>’ah al-Na>fi’ah, Tahqi>q: Dr. Kha>lid bin 'Ali bin Muhammad al-Mushaiqih, Maktabah Ibn Sa’di>, 55-
56, http://d1.islamhouse.com/data/ar/ih_books/single2/ar_university_rules_and_assets.pdf,
diakses pada 1 Juli 2014
100
‚Hukum perusakan adalah sama antara seseorang yang sengaja melaksanakannya,
dan orang yang tidak tahu, atau orang yang lupa/Tidak ada perbedaan dalam
jaminan barang yang dirusak diantara orang yang mengetahui dan orang bodoh‛
Kaidah ini memberikan patokan dalam perbuatan seseorang yang melakukan
perusakan, baik kepada jiwa ataupun harta orang lain. Kaidah ini juga menjelaskan
bahwa barangsiapa yang merusakkan barang orang lain tanpa alasan yang benar,
maka ia wajib mengganti barang yang ia rusakkan tersebut atau membayar diyat
kepada pemilik harta, sama saja apakah kerusakan tersebut terjadi karena
kesengajaan olehnya, atau karena tidak tahu, atau karena lupa.28
Tindakan al itla>f adalah sebab yang menetapkan adanya keharusan
tanggungan diyat, karena al itla>f adalah sebuah tindakan yang menimbulkan
kemudaratan. Hal ini sesuai dengan hadi>th: 29ال ضرر وال ضرار (Tidak ada kemudaratan
dan tidak boleh menimbulkan kemudaratan.)
Tidak ada perbedaan apakah pengrusakan (al itla>f) itu adalah secara langsung
ataupun tidak langsung (penyebab), yaitu melakukan suatu tindakan yang secara
tidak langsung menyebabkan terjadinya kerusakan. Begitu juga dalam status
penetapan tanggungan diyat, tidak ada perbedaan antara apakah al itla>f itu
dilakukan secara sengaja maupun tidak, juga tidak ada perbedaan apakah pelakunya
(al-mutlif) sudah baligh atau belum, juga apakah ia mumayyiz atau tidak.
Berdasarkan kesepakatan keempat madzhab, al-mutlif baik secara sengaja ataupun
secara tersalah, pelaku sudah besar, masih kecil tetap harus menanggung diyat.
Adapun Ulama Maliki>yah membedakan antara anak kecil yang sudah mumayyiz
dengan anak kecil yang belum mumayyiz. Jika pelaku adalah anak kecil yang sudah
mumayyiz, maka ia dikenai diyat atas yang ia rusakkan, sedangkan anak kecil yang
belum mumayyiz, maka ia tidak terkena diyat apapun atas apa yang ia rusakkan,
baik berupa jiwa, maupun harta, begitu pula orang gila.30
Al-Zuh}ayli> mengatakan bahwa syarat-syarat penetapan tanggungan denda
karena tindakan al Itla>f yang berkonsekwensi adanya keharusan tanggungan denda
denda adalah;
1. Sesuatu yang dirusakkan adalah berupa harta, dengan demikian tidak ada
tenggungan diyat dalam kasus perusakan pada bangkai, darah, atau barang
lainnya yang menurut kebiasaan dan syara’ tidak dikategorikan sebagai
harta.
27
Ima>m Taj al-Di>n Abd al-Waha>b bin ‘Ali Ibn Abdi al-Ka>fi> al-Subki>y (771), al-Ashba>h Wa al-Nadza>ir, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1991) 277
28 Abd al-Rahma>n bin Na>s}ir al Sa’di>>, Al-Qawa>’id} wa al-Us}u>l al-Ja>mi’ah Wa al-Furu>q
wa al-Taqa>si>m al-Badi>’ah al-Na>fi’ah, Tahqîq: Dr. Kha>lid bin 'Ali bin Muhammad al-
Mushaiqih, Maktabah Ibn Sa’di>, 56 29
Ibn Rajab Al-Hanbali>, Ja>mi‘ al-‘Ulu>m wa al-Huku>m, Jilid 2 (Muassas al-Risa>lah,
2001), 207,
http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=160&idto=166&bk_no=81
&ID=34 30
Wahbah al-Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r al-
Fikr al-‘Ilmi>yah, 1997), 4830
101
2. Sesuatu yang dirusakkan berupa harta yang memiliki nilai (mutaqawwim31
)
bagi pemiliknya (al-Mutlaf ‘alaih).
3. Kerusakan yang terjadi benar-benar nyata dalam bentuk permanen
4. Pelaku pengrusakan (al-mutlif) adalah memang memenuhi syarat-syarat
kelayakan dan kepantasan untuk dikenai sanksi tanggungan diyat.
5. Penetapan tanggungan diyat harus memiliki faedah, sehingga
dimungkinkan bagi pemilik hak untuk mendapatkan haknya
Disamping lima syarat tersebut diatas, Ulama Syafi’i>yah menambahkan satu
syarat lagi, yaitu pelaku meletakkan dan menetapkan tangan atas harta yang
dirusakkan, oleh karena itu, seorang pembeli tidak bertanggungjawab atas
kerusakan barang yang dibelinya sebelum adanya al qabd}u (serah terima).32
Adapun Ulama Hanafi>yah menetapkan syarat-syarat ditetapkannya tanggungan
diyat diyat karena melakukan suatu tindakan yang menjadi sebab terjadinya
kerusakan adalah:
1. Tindakan itu mengandung unsur al ta’addi> (pelanggaran), yaitu tindakan
melampaui yang benar, atau melampaui batasan-batasan yang diperbolehkan
oleh shara‘, seperti seseorang membuat galian sumur disekitar jalan umum
tanpa seizin hakim.
2. Ada unsur kesengajaan atau melakukannya secara sadar
3. Kerusakan atau kecelakaan yang terjadi menurut kebiasaan yang ada memang
sebagai akibat langsung dan pasti dari tindakan yang dilakukan, tanpa ada
campur tangan sebab lain. Dengan kata lain, antara sebab (tindakan yang
dilakukan) dan akibatnya (kerusakan atau kecelakaan yang terjadi) tidak
ditengahi oleh tindakan orang lain yang seandainya tidak ada tindakan orang
lain itu, maka kerusakan tidak akan terjadi.
Adapun kewajiban yang harus ditunaiakan dalam kasus perusakan, yaitu
apabila harta yang dirusakkan adalah masuk kategori harta mithli, maka pelaku
harus menanggung untuk menggantinya dengan harta yang sama. Apabila harta
yang dirusaknya adalah termasuk kategori harta non mithli (yaitu harta qimmi),
maka pelaku menanggung untuk menggantinya dengan nilai harganya yang
disesuaikan dengan nilai harga pada waktu terjadinya perusakan. Dengan demikian,
selama bisa diganti dengan barang yang sama persis dan identik, maka harus diganti
dengan barang yang sama dan identik tersebut, namun jika dalam kondisi tidak
memungkinkan untuk menggantinya dengan barang yang sama persis, maka harus
diganti dengan sesuatu yang sama dalam hal maknanya, yaitu nilai harganya.33
Berdasarkan syarat-syarat tersebut diatas, maka kasus Harisun ini patut untuk
diberikan sanksi denda, melihat bahwa boat yang dirusak adalah sebuah harta yang
memiliki nilai, kerusakan yang terjadi juga benar-benar nyata dan permanen (jika
31
Yaitu harta yang secara syara diperbolehkan untuk dimanfaatkan dan digunakan
dalam selain kondisi terpaksa atau darurat. 32
Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r al-Fikr al-
‘Ilmi>yah, 1997), 4836 33
Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r al-Fikr al-
‘Ilmi>yah, 1997), 4836
102
boat tidak diperbaiki, maka kerusakan akan bersifat permanen). Pelaku juga seorang
yang baligh,34
dan penetapan diyat tersebut dapat berfaedah atau dapat
direalisasikan, karena pelaku adalah bagian dari warga kampung Mekar jaya.
Adapun dilihat dari syarat ditetapkannya tanggungan diyat, juga sudah
memenuhi, pertama pelaku melakukan sebuah pelanggaran, yaitu dilarang
menggandeng boat yang digunakan untuk menangkap ikan tiga gandeng kesamping,
karena akan memakan tempat, sehingga nelayan yang lain tidak mendapat tempat
untuk menangkap ikan. Pelaku secara sadar melakukan pelanggaran itu dengan
alasan membutuhkan uang untuk membiayai anaknya yang sedang sakit. Alasan
tersebut sebenarnya dapat ditolerir apabila tidak merugikan orang lain, tetapi, yang
dilakukannya adalah sebuah kemudharatan. Keadaan d}arurat atau terpaksa tidak
bisa menjadi sebab atau alasan untuk membebaskan pelaku dari tanggungjawab
mengganti harta yang dirusakkan, misalnya, barangsiapa dalam keadaan lapar
menyebabkan dirinya memakan harta orang lain, maka ia tetap harus
menggantinya, meskipun apa yang ia lakukan itu ‚karena terpaksa‛ memang
diperbolehkan demi untuk menyelamatkan nyawa anaknya, akan tetapi ia tidak bisa
menghilangkan atau mengambil hak orang lain. Hal ini sesuai dengan kaidah:
، 35االضطرار اليبطل حق الغري (keadaan d}arurat atau terpaksa tidak bisa membatalkan dan
menggugurkan hak orang lain). Karena keadaaan terpaksa dapat menggugurkan hak
orang lain sehingga merugikan orang lain, dengan kata lain menimbulkan mad}arat
yang baru bagi orang lain. Dengan demikian menghilangkan kemudaratan dengan
mendatangkan kemudaratan yang lain itu dilarang. Hal ini sesuai dengan kaidah
fiqhiyyah "الضرر اليزال بالضرر"36
yaitu mencoba untuk menghilangkan mad}arat
(kesempitan karena butuh uang) dengan mendatangkan madharat (merugikan orang
lain). Penggandengan tiga boat kesamping yang dilakukan oleh pihak pertama dapat
merusak boat milik pihak kedua.
Mengenai bentuk penetapan tanggungan diyat, Zuhayli> membuat kriteria,
apabila harta yang dirusak adalah harta mitsli37
, maka pelaku harus menanggung
dengan harta yang sama. Apabila harta yang dirusaknya itu masuk kategori harta
34
Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak ada syarat, baik itu baligh maupun anak
kecil, mumayyiz ataupun belum, tidak menjadi syarat. 35
‘Umar ‘Ubaid, Qawa>id} al Us}u>li>yah wa al fiqhi>yah wa Atharuha> fi> tarshi>d al ‘Amal
al Isla>mi>y,
http://library.islamweb.net/newlibrary/display_umma.php?lang=&BabId=4&ChapterId=4&
BookId=282&CatId=201&startno=0, diakses pada 16 September 2014. 36
Ima>m Ta>j Al-Di>n Abd al-Waha>b bin ‘Ali Ibn Abdi al-Ka>fi> al-Subki> (771), Al-ashba>h Wa al Nadza>ir, (Beirut: Da>r al Kutib al ‘Ilmi>yah, 1991) 45. Lihat Juga: Abd al-
Rahma>n bin Abi Bakar al-Suyu>t}i, Al-Ashba>h wa al-Nadza>ir, Jami>’ al-huqu>q muta>hat Li Jami>’ al-Muslimi>n, 2010, Islamic Books, 55
37Harta yang memiliki kemiripan dengan yang lainnya, seperti motor honda dibayar
dengan motor honda
103
qi>mi>,38
maka pelaku menanggung dengan nilai harganya disesuaikan dengan nilai
harga pada waktu terjadinya pengrusakan.39
Apabila ditinjau dari ketentuan tersebut, maka diyat yang diberikan oleh hakim
berupa memperbaiki boat dan mengganti kerugian melaut selama sehari seharga Rp.
1.000.000,- sudah sangat sesuai dengan ketentuan tersebut dan kerugian korban.
Kerusakan boat mengakibatkan pihak korban tidak dapat melaut selama sehari,
maka Harisun harus mengganti kerugian korban, seperti, perbaikan boat yang
bocor, sebagian bahan bakar boat yang terbuang sia-sia, dan kerugian besar karena
korban tidak mendapatkan hasil laut selama sehari. Maka kalkulasi diyat tersebut
menutupi kerugian korban selama sehari tidak melaut.
Melihat ketentuan tersebut terdapat kesamaan antara penyelesaian sengketa
melalui peradilan adat di Aceh dengan penyelesaian sengketa melalui hukum Islam,
keduanya tidak hanya memperhatikan kepentingan pelaku sebagai pembalasan atas
kejahatan yang dilakukannya, tetapi juga memperhatikan kepentingan korban, yaitu
memulihkan kerugian korban. Penetapan sanksi merupakan hasil musyawarah
bersama, sehingga kedua belah pihak merasa rid}a dan rela atas keputusan hakim,
selain itu hubungan persaudaraan antar mereka kembali terbina.
Adapun kasus kedua, kerusakan yang disebabkan oleh hewan ternak, dalam
hal ini Rasulullah pernah bersabda:
أن ناقة للرباء دخلت حائط قوم فأفسدت فيو، فقضى رسول : "حديث حرام بن سعد بن حميصةاهلل صلى اهلل عليو وسلم أن على أىل األموال حفظها بالنهار، وما أفسدتو ادلواشي بالليل فهو ضامن على
40(رواه مالك و أمحد و أبو داود). أىلهاDari Hara>m Bin Sa’ad Bin Muh}ai>s}ah, dari ayahnya, bahwa: ‚Onta al barra’
masuk kedalam kebun seorang laki-laki lalu merusaknya. Kemudian Rasulullah
saw. Mewajibkan pemilik harta (kebun) agar menjaganya pada siang hari, dan bagi
pemilik hewan agar menjaganya pada malam hari.‛
Dalam riwayat lain Rasulullah pernah bersabda dengan mengungkapkan kata
‚ternak‛ untuk mengganti kata ‚onta‛. ‚Sesungguhnya pemilik hewan ternak
berkewajiban menjaga hewan ternaknya pada malam hari, dan bertanggungjawab
atas kerusakan yang diakibatkannya‛.
Suatu hukum diukur dari keumuman redaksi hadits, bukan dari kekhususan
sebab ( العربة بعموم اللفظ الخبصوص السبب) . Dengan demikian, kata ‚ternak‛ disini
mencakup kambing dan sapi.41
38
Harta yang tidak ada benda lain yang serupa dengannya, tetapi ada benda lain yang
serupa nilainya seperti emas, perak. 39
Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi>Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr Al
‘Ilmi>yah, 1997), 4836 40
Ahmad Bin ‘Ali> bin muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Hajar Al ‘Asqala>ni>,
Talh}i>s} al-h}abi>r fi> takhri>j Aha>dithi al-Ra>fi‘i> al-Kabi>r, (Madi>nah, Da>r al-kutub al-‘Ilmi>yah,
1989), http://islamport.com/w/krj/Web/1446/2097.htm, diakses pada 16 September 2014 41
Fatwa Komite Tetap, Fatwa Nomor 1016, Kerajaan Arab Saudi, Portal Lembaga Riset dan Fatwa,
104
Para Fuqaha empat madzhab sepakat bahwa penjaga binatang adalah pihak
yang harus bertanggungjawab terhadap apa yang dirusakkan oleh binatang yang
berada ditangannya apabila ia memang adalah pihak yang menjadi penyebab
terjadinya kerusakan itu, seperti keteledorannya dalam menjaga binatangnya.
Ulama Maliki>yah berdasarkan pendapat yang ra>jih, Ulama Shafi’i>yah, dan
Ulama Hanabilah mengatakan apa yang dirusak oleh binatang baik itu berupa
tanaman, pepohonan dan lain sebagainya dan itu terjadi pada malam hari, maka si
pemilik binatang itu atau penggembalanya adalah yang menanggung diyatnya. Jika
kerusakan itu terjadi pada siang hari dan pemilik binatang itu tidak ada bersama
pemilik binatang itu, maka tidak ada diyat apa-apa didalamnya.42
Dalam kasus ini sudah jelas bahwa pemilik hewan ternak (pihak pertama)
bertanggungjawab untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pihak kedua, maka
hukuman yang diberikan oleh fungsionaris peradilan adat berupa diyat kepada
pemilik ternak sudah tepat, hal tersebut sebagai bentuk tanggungjawab pemilik
hewan ternak atas kelalaian dalam menjaga hewan ternaknya dimalam hari.
Hukuman tersebut dimaksudkan untuk memulihkan kerugian yang telah diderita
oleh korban, yaitu berupa kerusakan pada tanaman padinya yang masih dara, diyat
berupa dua sak pupuk untuk mengganti kerugian dan memperbaiki kerusakan
tanaman dinilai sebanding dengan kerugian yang diterima oleh korban. Penilaian
tersebut adalah hasil dari musyawarah bersama perangkat gampong dan keduabelah
pihak, juga babinsa dan kamtibmas yang ikut dilibatkan. Hal ini dimaksudkan agar
menjadi pelajaran bagi pemilik ternak dan masyarakat lain agar selalu menjaga
hewan ternaknya di malam hari.
4. Perbandingan Antar Perspektif
Melalui pemaparan tersebut, maka proses penyelesaian sengketa perusakan
melalui peradilan adat lebih memberikan keadilan bagi keduabelah pihak. Pelaku
dengan ikhlas menerima sanksi yang diberikan sebagai bentuk tanggungjawab atas
kesalahan yang telah dilakukannya. Adapun kerugian korban dapat kembali
terpulihkan karena pelaku membayar diyat kerugian tersebut, sedangkan
harmonisasi hubungan bermasyarakat kembali terjaga dan tidak ternoda hanya
karena permasalahan kecil dan kekhilafan yang setiap orang dapat melakukannya.
Penyelesaian sengketa melalui peradilan adat terlihat selaras dengan konteks
shari’at Islam, dengan menggunakan konsep musyawarah dan damai, dengan
melibatkan korban, pelaku, dan fungsionaris gampong dalam mengambil keputusan,
sehingga hasil keputusan adalah mufakat hasil musyawarah bersama. Pemberian
sanksi berupa permohonan maaf, dan gantirugi Rp. 1.000.000 (untuk kasus
pertama) dan 2 sak pupuk (untuk kasus kedua) membuktikan bahwa keputusan
tersebut tidak hanya mempertimbangkan pertanggungjawaban pelaku akan tetapi
www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?languagename=id&View=Page&PageID=520
0&PageNo=1&BookID=3 (Diakses pada 01 Agustus 2014) 42
Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi>Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r al-Fikr al-
‘Ilmi>yah, 1997), 4833
105
kesejahteraan korban. Hal tersebut membuktikan bahwa hukum adat di Aceh sudah
menyatu dengan hukum Islam, khususnya dalam penyelesaian kasus ini.
Apabila kasus tersebut diselesaikan melalui ranah hukum Pidana Indonesia,
maka pelaku dapat dikenai sanksi pidana penjara selama dua tahun delapan bulan,
dan diyat Rp. 4.500. Pada hakikatnya penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi
dinilai oleh penulis tidak sepenuhnya tersalah, namun beberapa cara penyelesaian
bagi tindak pidana ringan butuh sebuah pembaharuan dan pengkajian ulang. Proses
pengaduan kasus, pertanggungjawaban pidana, sampai pemutusan perkara
seharusnya dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, motif
dari pelaku tindak pidana juga harus dipertimbangkan. Dalam kasus ini, pelaku
mengakui kecerobohannya itu dikarenakan ia panik karena anaknya yang sakit,
sehingga ia tergesa-gesa pergi melaut tanpa memikirkan perbuatannya dapat
merugikan orang lain. Jika kasus ini diselesaikan melalui proses litigasi, pelaku
dapat langsung dikenai hukuman atau sanksi seperti yang telah disebutkan, dan
kerugian korban mungkin saja tidak terbayarkan.
Berikut adalah tabel perbandingan antara penyelesaian sengketa melalui
proses litigasi, non litigasi, dan hukum Islam:
Tabel 3: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa menurut Hukum Pidana
Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi
(peradilan adat)
Jenis Perkara Kasus perusakan Al Itla>f
Pelanggaran adat
Laut (perusakan
Boat)
Pelanggaran adat di
sawah (perusakan
tanaman oleh
hewan)
Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong
Landasan
penetapan
perkara
KUH Pidana Pasal 406
ayat 1 dan 2
Qs. Al baqarah
195
Qa‘idah
Fiqhiyyah
Qa>nu>n Aceh Nomor
09 Tahun 2008
Hasil
Keputusan/
Sanksi
Hukuman penjara
selama dua tahun
delapan bulan
Denda diyat Rp.
4.500
Denda sesuai
dengan kerugian
yang diderita oleh
korban
Permohonan maaf
Diyat sesuai
kerugian yang
diderita oleh korban
(kasus pertama RP.
1.000.000,- dan
kasus kedua 2 sak
pupuk
Proses
penyelesaian Formal dan
terstruktur
Perkara
diselesaikan
Formal, terstruktur,
namun fleksibel
106
Membutuhkan
waktu yang lama,
biasanya satu tahun
lebih
Biaya
mahal(tanggungan
korban)
langsung saat
qad}i menerima
laporan
Formal dan non
formal
Penyelesaian cepat,
kasus pertama tidak
sampai satu bulan,
dan kasus kedua
diselesaikan saat
itu juga
Biaya murah
Kesimpulan
Perbuatan pelanggaran adat laut yang dilakukan oleh Harisun karena ingin
mendapatkan hasil laut yang banyak menyebabkan kerugian bagi orang lain
sehingga pelaku berurusan dengan peradilan adat dan Orang Tuha Gampong. Proses
mediasi, musyawarah mufakat, dan perdamaian yang dilakukan oleh perangkat
gampong dan kedua belah pihak melahirkan sebuah keputusan yang dianggap adil
bagi kedua belah pihak. Dalam hal ini, pelaku harus meminta maaf dan membayar
ganti kerugian korban, dan memperbaiki kerusakan boat milik korban. Pemberian
maaf dari korban membuat pelaku malu dan berjanji untuk tidak mengulangi
perbuatannya lagi. Ia sadar bahwa karena perbuatannya itu menyebabkan keutuhan
persaudaraan satu kampung yang selama ini mereka bangun dengan baik rusak
akibat kekhilafannya.
Adapun pelanggaran adat ternak milik Sarifuddin menyebabkan kerugian
bagi Hanafi. Proses mediasi dan perdamaian yang dilakukan oleh perangkat
gampong, babinsa, dan kantibmas melahirkan sebuah keputusan yang dianggap adil
bagi kedua belah pihak. Keputusan tersebut adalah, pemilik hewan ternak harus
meminta maaf kepada korban dan mengganti kerugian korban yang disebabkan oleh
hewan ternaknya, yaitu pembayaran diyat dua sak pupuk untuk memperbaiki
tanaman yang rusak. Keputusan tersebut diterima dengan besar hati oleh kedua
belah pihak, demi menjaga keutuhan persaudaraan mereka.
B. Kasus Pencurian
1. Deskripsi/Kronologi Kasus
a. Kasus Pencurian Tabung Gas
Pada bulan februari tahun 2012 bertempat di Gampong Sumber Sari (bukan
nama asli), Kec. Indah Jaya (bukan nama asli), Kab. Pidie telah terjadi pencurian
tabung gas 12 kg milik Rahmalena (bukan nama asli). Adapun Faisal (bukan nama
asli), warga setempat yang merupakan tetangga korban (kediaman pemuda tersebut
berjarak dua rumah dari kediaman korban) adalah pemuda berusia 13 tahun adalah
tersangka pelaku pencurian tabung gas. Tabung gas yang di ambil kemudian dijual
kepada kedai milik Rustam (bukan nama asli) di gampong Meunasah Jaya (bukan
nama asli). Hasil dari penjualan tabung gas tersebut digunakan untuk jajan dan
membeli keperluan lainnya. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa sebagai berikut:
Sekira pada bulan Februari tahun 2012, sekitar pukul 12.30 waktu setempat,
pelaku melintasi belakang rumah korban dan melihat ada tabung gas yang
diletakkan tepat di samping pintu rumah. Pelaku kemudian mengangkat tabung gas
107
tersebut dan didapatinya bahwa benda itu kosong. Akhirnya, timbullah keinginan
pelaku untuk mengambil barang tersebut. Pelaku kemudian meletakkan kembali
barang tersebut dan kembali kerumah. Sekiranya pukul 13.00 waktu setempat,
pelaku keluar rumah den kembali ke kediaman korban. Ketika melihat situasi aman
dan tidak ada yang melihat, ia langsung mengambil tabung gas tersebut, kemudian
menjualnya kepada temannya (Habib) di Gampong sebelah seharga Rp. 80.000. Ia
pun langsung membelanjakan uang tersebut Rp. 20.000 untuk jajan dan sisanya
dibawa kembali ke rumah.
Setelah shalat z}uhur (kira-kira pukul 13.30 waktu setempat), korban
mendapati tabung gasnya sudah tidak ada di tempat. Ia pun langsung melaporkan
peristiwa tersebut kepada kepala dusun untuk diselidiki lebih lanjut. Setelah
menerima laporan, kepala dusun (kadus) langsung melapor kepada
Keuchikgampong, agar masalah tersebut bisa langsung diselesaikan.
Sore harinya, sekira pukul 16.00 (bakda ashar waktu setempat) Keuchik
langsung mengumpulkan seluruh perangkat gampong untuk memusyawarahkan
permasalahan tersebut. Bakda maghrib perangkat gampong langsung membuat
pengumuman kepada seluruh masyarakat gampong tentang permasalahan tersebut.
Sekira pukul 20.00 (bakda isha waktu setempat), seorang warga melaporkan
kecurigaannya terhadap Faisal kepada Keuchik gampong, karena ia melihat Faishal
menjual tabung gas ke desa tetangga pada pukul 14.00 waktu setempat. Keuchik
langsung memanggil kedua orangtua Faishal bersama Faishal untuk ditanya dan
dimintai keterangan lebih lanjut. Akhirnya Faishal mengakui kesalahannya, karena
ia tidak diberikan uang jajan dari ibunya.
Setelah pengakuan itu, pelaku diamankan oleh perangkat gampong, yaitu di
tempatkan di kediaman kepala dusun Bahagia untuk menghindari kemungkinan
yang akan terjadi. Sementara itu, sekretaris desa mengatur jadwal sidang dan
musyawarah di meunasah keesokan harinya.
Keesokan harinya, seluruh perangkat gampong, beserta keduabelah pihak
berkumpul di meunasah untuk mengikuti persidangan adat dan musyawarah
penyelesaian secara damai. Keuchik selaku ketua peradilan dan pimpinan
pemerintahan meminta kedua belah pihak agar dapat menyadari pentingnya
kerukunan dalam masyarakat, sebagaimana dikehendaki oleh agama dan adat.43
Pertimbangan Adat:
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar
telah melanggar reusam adat gampong Sumber sari terntang peraturan perlindungan
harta benda. Alasannya adalah karena pelaku ingin memakai hasil penjualan tabung
gas tersebut untuk jajan dan membeli perlengkapan lain. Mengingat orangtua
pelaku sudah berpisah sejak tahun 2005, dan pelaku tinggal bersama Ibunya yang
bekerja sebagai petani sawah.
Menimbang, bahwa adanya pengakuan dari ibu pelaku bahwa pelaku masih
duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Kelas Satu dan masih mampu untuk
43
Kronologi kasus adalah hasil wawancara dengan Sekretaris Gampong, Bpk. Abdul
Muthalib, dan juga tokoh perempuan gampong, Ibu Zubaida (bukan nama asli)
108
mendidik anaknya, dengan pendidikan formal maupun pendidikan agama, maka
pelaku berhak untuk memperbaiki diri demi masa depannya, dan memberikan
kewenangan kepada Ibu pelaku untuk mendidik dan memperbaiki akhlaq dan
mental pelaku dengan pengawasan perangkat gampong.
Menimbang, bahwa antara orang tua pelaku dan korban sebelum terjadi
masalah ini menjunjung persaudaraan yang sangat erat antar sesama warga
Gampong Sumber Sari Apalagi ibu pelaku sering pergi bertani dengan korban.44
Menimbang, bahwa anak belum mempunyai kematangan berfikir, sehingga
belum sepenuhnya mampu berfikir mana yang selayaknya yang tidak boleh dan
mana yang selakyaknya boleh dilakukan.
Menimbang, bahwa anak-anak masih mempunyai masa depan yang panjang
yang harus mendapat dukungan semua pihak untuk pencapaiannya. Kesalahan yang
dilakukan oleh anak kadang kala lebih disebabkan oleh kelalaian orang tua dalam
membina dan kelalaian pemerintah dalam menjaga kondisi lingkungan yang
kondusif untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan mental dan perilaku
anak.45
Menimbang, bahwa forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat gampong
(Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah) sehari setelah kejadian tersebut
bertujuan untuk memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah pihak dan
masyarakat menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1. Pihak pertama dan kedua berjanji untuk berdamai dan saling
memaafkan sehingga tidak ada dendam di kemudian hari
2. Bahwa pelaku berjanji kepada perangkat gampong dan kepada korban
untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi. Apabila pihak pertama
mengulanginya, maka ia bersedia untuk mendapatkan hukuman yang
sesuai dengan hukuman yang berlaku di Negara Republik Indonesia
3. Pelaku harus mengganti korban, yaitu: mengganti kerugian pihak
pertama sebesar Rp. 80.000. tanggungan diyat ini dibebankan kepada
ibu pelaku
4. Bahwa Ibu Pelaku berjanji untuk menjaga dan mendidik pelaku dengan
sebaik-baiknya agar tidak mengulangi kesalahannya lagi.
Putusan Adat:
1. Menyatakan bahwa saudara Faisal terbukti secara sah dan meyakinkan telah
melakukan ‚pencurian ringan‛
2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah
merugikan korban. Hal ini dikarenakan pihak pertama jarang mendapatkan
uang jajan dari ibunya, sehingga pelaku khilaf dan mengambil tabung gas
korban untuk dijual. Hasil penjualan tersebut pelaku gunakan untuk jajan dan
membeli beberapa kebutuhan pelaku.
44
Pertimbangan adat adalah hasil wawancara dengan Sekretaris Gampong, Bpk.
Abdul Muthalib, dan juga tokoh perempuan gampong, Ibu Zubaida (bukan nama asli) 45
Wawancara pribadi dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh,
Bidang Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014
109
3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,
menghasilkan kesepakatan sebagai berikiut:
a. Perangkat gampong, yang diwakili oleh hakim memberikan teguran
kepada Faisal agar tidak mengulangi kesalahannya lagi, juga kepada Ibu
Faisal agar lebih mendidik faisal dengan baik.
b. Perangkat gampong, yang diwakili oleh Tuha Peuet dan Imeum Meunasah menasihati Faisal tentang perilaku dan budi pekertii yang
baik, bahwa masa depan pelaku masih panjang, untuk itu, Faisal harus
memiliki perilaku dan budi pekerti yang baik. Hal tersebut tidak lain
hanya dengan menanamkan ajaran agama kepada pelaku. Nasihat ini
juga diberikan kepada Ibu pelaku.
c. Pihak pertama dan kedua berjanji untuk berdamai dan saling
memaafkan sehingga tidak ada dendam di kemudian hari
d. Bahwa pelaku berjanji kepada perangkat gampong dan kepada korban
untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi. Apabila pihak pertama
mengulanginya, maka ia bersedia untuk mendapatkan hukuman yang
sesuai dengan hukuman yang berlaku di Negara Republik Indonesia
e. Pelaku harus mengganti korban, yaitu: mengganti kerugian pihak
pertama sebesar Rp. 80.000,- tanggungan diyat ini dibebankan kepada
ibu pelaku
f. Bahwa Ibu Pelaku berjanji untuk menjaga dan mendidik pelaku dengan
sebaik-baiknya agar tidak mengulangi kesalahannya lagi.
4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil
musyawarah dengan perangkat gampong.46
b. Pencurian Buah Pokat
Deskripsi Kasus Adat
Pekerjaan sehari-hari masyarakat Bener Meriah adalah petani kebun. Ketika
musim panen, sekiranya pada bulan Mei tahun 2012, di gampong Darussalam
(bukan nama asli), Mukim Dayah Salam (bukan nama asli), Kec. Gajah Besar
(bukan nama asli), Kab. Bener Meriah, Nanggroe aceh Darussalam, Bpk. Abdul
Hakim (bukan nama asli) memanen buah pokat, sehingga mencapai beberapa
karung besar. Karena hari sudah sore, ia meletakkan karung-karung buah tersebut di
dalam saung di perkebunannya. Ia pun mengunci rapat saungnya. Keesokan harinya,
ia dapati bahwa hasil buah yang ia panen kemarin hilang satu karung. Pada hari itu
juga, ia langsung melapor kepada Keuchik setempat untuk diselidiki siapa yang
mencuri hasil panennya. Ia menyampaikan kecurigaannya kepada seseorang yang
sejak kemarin mengikutinya (seorang pemuda desa tersebut, Sarik (bukan nama
asli)).
Setelah menerima laporan tersebut, Keuchik langsung mendelegasikan tugas
kepada kepala dusun tempat Sarik tinggal untuk diselidiki lebih lanjut tentang
46
Hasil wawancara dengan Keuchik Gampong (Bpk. Bukhari), Sekretaris Gampong
(bpk. Abdul Muthalib), dan Tokoh wanita (Ibu Zulaikha)
110
perkara yang dilaporkan oleh Bpk. Abdul hakim. Akhirnya, setelah di desak, Sarik
pun mengakui bahwa ia mencuri buah pokat milik Bpk. Abdul hakim, kemudian
dijual untuk membiayai keluarganya (Sarik adalah pemuda yang baru saja menikah
dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap). Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa
sebagai berikut:
Sekiranya awal bulan Mei tahun 2012, Pelaku, Sarik melihat bahwa Abdul
Malik sedang memanen buah pokat diperkebunannya. Ia pun mendekati korban dan
memohon kepada korban untuk ikut membantu memanen. Korban yang sama sekali
tidak curiga kepada pelaku mempersilahkan pelaku untuk ikut membantu. Setelah
hari sore, pelaku dan korban berhasil memanen lima karung buah pokat. Ketika
korban ingin membawa keseluruhan buah itu, pelaku berkata bahwa lebih baik
karung-karung tersebut diletakkan saja di saungnya, kemudian dikunci rapat, karena
hari sudah sore dan tidak mungkin dibawa pulang ke rumah korban, mengingat
jarak antara perkebunan korban dengan rumah korban sekitar 2 Km. Pelaku
kemudian pamit untuk pulang terlebih dahulu. Sekira pukul 18.00, sebelum adzan
maghrib, pelaku kembali lagi ke perkebunan korban, dan didapati bahwa korban
sudah pulang. Ia pun langsung membuka gembok saung dengan kawat, kemudian
mengambil satu karung pokat milik korban. Kemudian, malam harinya, pelaku
langsung menjual satu karung buah pokat tersebut kepada Moh. Akbar yang
berprofesi sebagai penjual buah di pasar kota Bener Meriah seharga Rp. 4.500.000,-
uang tersebut di bawa pulang oleh pelaku.
Setelah mendapatkan keterangan yang pasti dari kedua belah pihak, akhirnya
Keuchik bersama perangkat gampong memanggil keduabelah pihak untuk
didudukkan bersama, dimediasi dan didamaikan, guna mencari penyelesaian
masalah yang terjadi. Keduabelah pihakpun bersedia untuk didamaikan. 47
Pertimbangan Adat:
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar
telah melanggar reusam adat gampong Darussalam tentang peraturan perlindungan
harta benda. Reusam tersebut dibuat atas kesepakatan seluruh warga dan perangkat
gampong. Alasan pelaku adalah karena pelaku ingin membiayai istrinya yang
meminta uang untuk membeli perlengkapan rumah tangga. Mengingat pelaku
adalah pemuda yang baru saja menikah dan belum mempunyai pekerjaan tetap.
Pelaku melihat kesempatan untuk mengambil hasil panen buah pokat milik Bpk.
Abdul Hakim adalah jalan untuk mendapatkan uang.
Menimbang, bahwa, akibat perlakuan pelaku, korban mendapatkan kerugian
yang sangat banyak, yaitu satu karung buah pokat yang mana buah tersebut akan
dijual oleh korban untuk memenuhi kehidupan keluarganya sehari-hari.
Adapun kerusakan pada konci dan pintu saung korban juga merugikan
korban. Akibat perbuatan pelaku, maka saung milik korban tidak dapat di tutup
dengan baik, sehingga menghawatirkan korban akan kejadian yang serupa terulang
lagi.
47
Hasil wawancara dengan Keuchik Gampong (Bpk. Dzulkifli), (bukan nama asli)
111
Menimbang, bahwa antara pelaku dan korban sebelum terjadi masalah ini
menjunjung persaudaraan yang sangat erat antar sesama warga Gampong
Darussalam. Mereka sering terlihat mengikuti kegiatan gampong bersama,
meskipun keduabelah pihak tidak tinggal dalam satu dusun, akan tetapi
persaudaraan mereka sudah terbangun sangat baik selama bertahun-tahun.
Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat
gampong (Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah) sehari setelah kejadian
tersebut bertujuan untuk memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah
pihak dan masyarakat, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1. Pelaku bersedia untuk meminta maaf kepada korban atas kesalahan dan
kejahatan yang sudah dilakukan oleh korban
2. Korban bersedia untuk memaafkan kesalahan pelaku dan berjanji untuk
tidak ada dendam dikemudian hari
3. Pelaku membayar diyat sebanyak Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah)
kepada pihak pertama sebagai ganti dari buah pokat yang dicurinya.
Nominal ini sesuai dengan kerugian korban yang mencakup, satu karung
buah pokat dan perbaikan konci saung korban
4. Pelaku berjanji untuk mencari pekerjaan yang layak untuk menghidupi
keluarganya agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi
5. Pelaku berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Apabila ia
mengulanginya lagi, maka ia bersedia untuk diproses sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Putusan Adat:
1. Menyatakan bahwa saudara Sarik secara sah dan meyakinkan telah melakukan
kasus adat ‚Pencurian‛
2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah
merugikan korban. Hal ini dikarenakan pelaku tidak memiliki pekerjaan yang
tetap untuk memenuhi kebutuhan istrinya, sehingga ia melakukan pencurian
tersebut.
3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,
menghasilkan kesepakatan sebagai berikiut:
a. Pelaku bersedia untuk meminta maaf kepada korban atas kesalahan dan
kejahatan yang sudah dilakukan oleh korban
b. Korban bersedia untuk memaafkan kesalahan pelaku dan berjanji untuk
tidak ada dendam dikemudian hari
c. Pelaku membayar diyat sebanyak Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah)
kepada pihak pertama sebagai ganti dari buah pokat yang dicurinya.
Nominal ini sesuai dengan kerugian korban yang mencakup, satu karung
buah pokat dan perbaikan konci saung korban
d. Pelaku berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Apabila ia
mengulanginya lagi, maka ia bersedia untuk diproses sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
112
4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil musyawarah
dengan perangkat gampong.48
c. Pencurian Kambing
Kasus Adat
Pada hari selasa, tanggal 19 bulan November 2013, Rizal Bakri (bukan nama
asli, pihak pertama) mencuri kambing milik Rahmania (bukan nama asli,pihak
kedua) dari kediamannya di gampong Nusa Indah, Kec. Baiturrahman, Banda Aceh
untuk dijual lagi. Setelah dua bulan, pencurian tersebut diketahui oleh pihak kedua
dari warga sekitar yang tinggal di dekat kekediaman pihak pertama (Pihak Pertama
tinggal di gampong Tgk Nyak Intan, (bukan nama asli) Banda Aceh). Akhirnya
pihak pertama melaporkan kejadian tersebut kepada Keuchikgampongnya
‚Baitussalam‛ (bukan nama asli).
Karena pihak pertama tinggal di gampong Tgk Nyak Intan, Kec.
Baitussalam, Banda Aceh, sementara pihak kedua tinggal di gamponggampong
Nusa Indah, Kec. Baiturrahman, Banda Aceh, maka penyelesaian perkara ini
melibatkan perangkat gampong dari keduabelah pihak. Dihadapan
Keuchikgampong Tgk Nyak Intan, pihak pertama mengakui bahwaa dia telah
mencuri seekor kambing bandot milik pihak kedua. Kejadiannya adalah sebagai
berikut:
Pada hari selasa, tanggal 18 bulan November 2013, pelaku (Rizal Bakri)
pergi ke rumah korban untuk bersilaturrahim dengan korban. Pelaku, yang
merupakan saudara ipar korban (isteri pelaku adalah adik dari korban) mengaku
bahwa ia sedang membutuhkan uang untuk membeli beberapa perlengkapan rumah
tangga yang diminta oleh isterinya. Karena melihat korban memiliki kambing yang
berada di pekarangan belakang rumah korban, maka timbullah keinginan pelaku
untuk mengambil dan menjual kambing tersebut. Maka, pada tanggal 19 bulan
November 2013, pelaku melaksanakan keinginannya untuk mencuri. Sekira pukul
14.00 waktu setempat, dimana kediaman korban sepi, karena seluruh penghuni
rumah sedang keluar, pelaku berkunjung kerumah korban. Suasana sekitar rumah
yang sepi juga turut mendukung aksi pencurian korban. Akhirnya, korban berhasil
mencuri kambing dan membawanya keluar dari gampong sekitar pukul 14.30 waktu
setempat. Pelaku langsung membawa kambing itu ketempat penjualan hewan di
daerah Indrajaya, Aceh Besar. Ia langsung menjual kambing tersebut kepada Arif
Rahmat dengan harga Rp. 3.000.000,- Kemudian pelaku kembali ke rumah tanpa
rasa bersalah.
Korban baru menyadari kehilangan kambingnya pada keesokan harinya, 20
November 2013. Korban langsung melaporkan kejadian itu kepada
Keuchikgampong Nusa Indah untuk segera di proses.
Pencarian terus berlangsung, sampai dua bulan kemudian, sekira tanggal 2
Februari tahun 2014, Keuchikgampong Nusa Indah mendapat laporan dari
Keuchikgampong Babussalam bahwa ada warganya yang di curigai mencuri
48
Hasil wawancara dengan Keuchik Gampong (Bpk. Dzulkifli), (bukan nama asli)
113
kambing milik warganya. Tersangka Rizal Bakrie dinilai oleh perangkat gampong
tidak memiliki pekerjaan tetap, akan tetapi bisa membelikan istrinya beberapa
peralatan rumah tangga. Akhirnya setelah di panggil oleh perangkat gampong
Babussalam, tersangka mengaku bahwa ia mencuri kambing milik kakak iparnya,
kemudian ia menjualnya di tempat penjualan hewan di daerah Aceh Besar.
Atas pengakuan dari pelaku, dan proses mediasi pertama oleh masing-
masing Keuchikgampong pada tanggal 4 Februari 2014, akhirnya korban bersedia
untuk menyelesaikan masalah secara adat dan damai.
Pada hari rabu, tanggal 5 Februari tahun 2014 bertempat dikediaman pihak
kedua, telah dilaksanakan perdamaian atas perkara tersebut, dan disaksikan oleh
para orang tua gampong dari keduabelah pihak. 49
Pertimbangan Adat:
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar
telah melanggar reusam adat gampong Nusa Indah Gampong Tgk. Nyak Intan
tentang peraturan perlindungan harta benda. Alasan pelaku adalah karena pelaku
ingin membiayai istrinya yang meminta uang untuk membeli perlengkapan rumah
tangga. Mengingat pelaku belum mempunyai pekerjaan tetap. Pelaku melihat
kesempatan untuk mengambil kambing milik Saudara Iparnya, Rahmania adalah
jalan untuk mendapatkan uang. Meskipun demikian, pelaku mengakui kesalahannya
dan ingin bertaubat, maka setiap ummat Islam harus mendukung jika ada pelaku
kejahatan yang ingin bertaubat.
Menimbang, bahwa akibat kejahatan pelaku, korban mendapatkan kerugian
seekor kambing. Adapun pelaku adalah saudara ipar korban dan sebelum terjadi
masalah ini, hubungan antara keduanya sangat dekat, pelaku sering bersilaturrahim
ke rumah korban. Maka hubungan persaudaraan ini haruslah disatukan kembali.
Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat
gampong kedua belah pihak (Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah)
bertujuan untuk memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah pihak dan
masyarakat, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1. Pelaku harus meminta maaf kepada korban atas perilaku kejahatannya.
2. Korban, sebagai orang yang dirugikan, dengan lapang dada berjanji
untuk memaafkan kesalahan pelaku.
3. Pelaku bersedia mengganti kerugian satu ekor kambing bandot kepada
pihak kedua seharga Rp. 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah)
4. Pelaku berjanji tidak akan mengulangi lagi perkara-perkara seperti ini,
baik dengan yang bersangkutan dari keduabelah pihak atau dengan orang
lain.
5. Pelaku bersedia menerima sanksi dari orang tua gampong, bahwa bila
dikemudian hari mengulangi perkara seperti ini, maka para orang tua
gampong tidak akan menangani (lepas tanggungjawab) atas perkara
49
Kronologi kasus adalah hasil wawancara dengan Keuchik gampong, (Bpk. Zainal
Abidin), dan warga (Ibu Yunia)
114
yang dilakukannya, serta bersedia dituntut dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
6. Korban tidak akan menuntut biaya apapun lagi setelah perdamaian ini
dilakukan
7. Kedua belah pihak tidak akan saling dendam dikemudian hari setelah
perdamaian ini dilakukan.
Putusan Adat:
1. Menyatakan bahwa saudara Rizal Bakrie secara sah dan meyakinkan telah
melakukan kasus adat pencurian
2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah
merugikan korban. Hal ini dikarenakan pelaku tidak memiliki pekerjaan yang
tetap untuk memenuhi kebutuhan istrinya, sehingga ia melakukan pencurian
tersebut.
3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,
menghasilkan kesepakatan sebagai berikiut:
a. Pelaku harus meminta maaf kepada korban atas perilaku kejahatannya.
b. Korban, sebagai orang yang dirugikan, dengan lapang dada berjanji
untuk memaafkan kesalahan pelaku.
c. Pelaku bersedia mengganti kerugian satu ekor kambing bandot kepada
pihak kedua seharga Rp. 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah)
d. Pelaku berjanji tidak akan mengulangi lagi perkara-perkara seperti ini,
baik dengan yang bersangkutan dari keduabelah pihak atau dengan orang
lain.
e. Pelaku bersedia menerima sanksi dari orang tua gampong, bahwa bila
dikemudian hari mengulangi perkara seperti ini, maka para orang tua
gampong tidak akan menangani (lepas tanggungjawab) atas perkara
yang dilakukannya, serta bersedia dituntut dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
f. Korban tidak akan menuntut biaya apapun lagi setelah perdamaian ini
dilakukan
g. Kedua belah pihak tidak akan saling dendam dikemudian hari setelah
perdamaian ini dilakukan.
4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil musyawarah
dengan perangkat gampong.50
1. Analisis Kasus Perspektif Hukum Pidana Indonesia
Pencurian adalah perbuatan mengambil milik orang lain tanpa izin dari
pemiliknya.51
Yang dimaksud perbuatan mencuri dalam hukum pidana adalah
50
Dokumentasi peradilan adat Gampong Nusa Dua Indah (bukan nama asli), Rabu,
tanggal 5 Februari tahun 2014, ditandatangani oleh kedua belah pihak, Keuchik Gampong
dan Sekretaris Gampong)
115
mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.52
Mengenai tindak pidana
pencurian, hukuman yang berlaku menurut KUHP adalah pasal 362-367.
Pasal 362: Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 363: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. pencurian ternak;
2. pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa
laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api,
huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;
3. pencurian pada waktu malam hari dalam sebuah rumah atau perkarangan
tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak
diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
5. pencurian yang masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada
barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat
dengan memaki anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;
(2) jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal
dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
Pasal 364: Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4,
begitupun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak
dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika
harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena
pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda
paling banyak duaratus lima puluh rupiah53
Adapun jika pelakunya adalah anak dibawah umur, maka ketentuannya diatur
dalam pasal 26 ayat 1 UU No. 3 Th. 1997 tentang Peradilan Anak dan UU RI No.
23 Th. 2002 tentang Perlindungan Anak.54
51Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta, 2008, 319 52KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011), 149 53
Apabila dilihat dari ketentuan pasal 364, batas pencurian ringan adalah tidak lebih
dari dua puluh lima rupiah. Melihat penyesuaian yang terjadi pada masa sekarang,
Mahkamah agung membuat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 tahun 2012, tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan, yaitu pada BAB I Pasal (2) Apabila nilai
barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah) Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal
205-210 KUHAP 54
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
116
Tindakan mencuri sebagaimana telah disinggung sebelumnya, termasuk
kedalam tindak pidana kejahatan terhadap harta benda, diantaranya diatur pada
pasal KUHP adalah pasal 362-367. Adapun jika pelakunya adala anak dibawah
umur, maka ketentuannya diatur dalam pasal 26 ayat 1 UU No. 3 Th. 1997 tentang
Peradilan Anak dan UU RI No. 23 Th. 2002 tentang Perlindungan Anak.
Apabila dirinci lebih lanjut, delik pokok didalam pasal 362 KUHP terdapat
beberapa unsur, yaitu paertama adalah unsur-unsur obyektif, meliputi: mengambil55
,
barang/ benda56
, seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain57
. Kedua adalah
unsur-unsur subyektif yaitu dengan maksud memiliki58
dan secara melawan
hukum59
.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, maka pidana penjara yang dapatdijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10
(sepuluh) tahun.
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum
mencapai umur 12(dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati
atau pidana penjara seumurhidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat
dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b. (4) Apabila
Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur
12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak
diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah
satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, www.bpkp.go.id, diakses pada 30 Juni
2014. Lihat juga UU RRI No. 23 Th. 2002,
http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK.pdf,
diakses pada 30 Juni 2014 55
Yang dimaksud dengan mengambil adalah membawa suatu benda menjadi berada
pada penguasaannya yang nyata. terdapat beberapa teori tentang bilamana suatu perbuatan
mengambil dapat dipandang sebagai telah terjadi, yaitu: pertama teori Kontrektasi
mengatakan untuk adanya suatu perbuatan mengambil itu disyaratkan bahwa dengan
sentuhan badaniyah, pelaku telah memindahkan benda yang bersangkutan dari tempat
semula. Kedua, teori ablasi mengatakan, untuk selesainya perbuatan mengambil itu
disyaratkan bahwa benda yang bersangkutan harus telah diamankan oleh pelaku. Ketiga,
teori aprehensi mengatakan untuk adanya perbuatan mengambil itu diisyaratkan bahwa
pelaku harus membuat benda yang bersangkutan berada dalam penguasaan yang nyata. 56
Yang di maksud dengan barang/benda adalah baik barang yang berwujud maupun
barang yang tidak berwujud yang mempunyai nilai ekonomis dan berharga bagi pemilik
maupun orang lain. 57
Maksudnya adalah barang tersebut seluruhnya atau sebagian bukan milik pelaku
tetapi merupakan milik orang lain. 58
Maksudnya adalah pelaku secara sadar saat mengambil barang tersebut memiliki
tujuan untuk memiliki barang/benda tersebut. 59
Maksudnya adalah pelaku secara sadar dan telah mengetahui bahwa perbuatan
mengambil yang dilakukan adalah melawan hukum. Hal ini tidak hanya dilihat dari
perbuatan lahiriah yang telah dilakukan, akan tetapi dilihat dari niat orang yang mengambil
barang tersebut. (Lihat: Direktori Putusan Mahkamah agung Republik Indonesia,
www.putusan.mahkamahagung.go.id, diakses pada 1 Juli 2014, lihat juga: I Gusti Ayu
117
Kasus Pertama, yaitu pencurian tabung gas yang dilakukan oleh saudara
Faisal, 13 tahun, warga gampong Sumber Sari, apabila dilihat dari unsur-unsur
objektif dan subyektif, maka sudah terpenuhi secara keseluruhan. Pertama, pelaku
mengambil barang tersebut dengan maksud untuk dimiliki, kemudian dijual, dan
hasilnya untuk jajan dan kepentingannya. Kedua, barang atau benda yang diambil
oleh pelaku adalah milik korban Rahmalena yang akan digunakan korban sebagai
alat memasak sehari-hari. Ketiga, pekerjaan yang dilakukan Faisal adalah tindakan
yang melanggar hukum, menurut pengakuannya bahwa secara sadar ia telah
melakukan pelanggaran hukum.
Hal selanjutnya yang menjadi pertimbangan, bahwa Faisal merupakan anak
dibawah umur, sehingga belum cakap hukum menurut Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 pasal 1.60
Adapun tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal
adalah mengembalikan kepada orang tua wali atau orang tua asuh.61
Dalam kasus
ini Faisal yang masih berusia 13 tahun masuk kedalam peradilan anak dan
kesalahannya belum dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Ia sebagai pelaku
tindak pidana, tetapi ia juga adalah korban ekonomi keluarga (kemiskinan keluarga)
dan kurangnya perhatian serta kasih sayang orangtua, karena orangtua korban
sudahlama berpisah. Karena permasalahan faisal ini menjadi kewenangan peradilan
adat,62
maka, permasalahan ini diselesaikan menurut hukum adat yang berlaku.
Putusan hakim adat dan perangkat gampong memberikan sanksi adat berupa
teguran, nasihat dan permohonan maaf serta diyat sudah tepat, karena selaras
dengan kesalahan yang dibuat dan patut karena kesalahannya, bukan didasarkan
rasa benci, tidak senang, ataupun marah. Permohonan maaf dari pelaku adalah
simbol bahwa pelaku mengakui kesalahannya dan berjanji untuk tidak
mengulanginya lagi. Pemberian maaf dari korban adalah simbol dari kebesaran jiwa
dan kelapangan dada korban. Sementara diyat berupa uang Rp. 80.000,- adalah
diambil dari kesepakatan bersama kedua belah pihak melihat kerugian yang diderita
oleh korban. Diyat tersebut menjadi tanggungan Ibu korban sebagai wali dari
korban. Hal ini agar menjadi pelajaran bagi orangtua korban agar mendidik korban
lebih baik lagi. Karena anak-anak sering melakukan sesuatu karena ikut-ikutan
Jatiana Manik Wedanti dan AA Kethut Sukranata, Unsur Melawan Hukum dalam Pasal 362
KUHP Tentang Tindak Pidana Pencurian, Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana,
http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/viewFile/5353/4102, diakses pada 1
Juli 2014 ) 60
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin (lihat: http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl52280/node/4013, diakses
pada tanggal 1 Juli 2014) 61
Lihat pasal 24 ayat 1 Huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997,
http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl52280/node/4013 , diakses pada
tanggal 1 Juli 2014. 62
Lihat Kewenangan Peradilan Adat Menurut Qa>nu>n Aceh Nomor 9 tahun 2008,
point 11
118
tanpa memikirkan akibatnya. Mereka juga sering melakukan sesuatu karena
memperoleh contoh-contoh yang tidak baik di lingkungannya.
Keputusan peradilan adat dapat memberikan dampak positif, karena tidak
hanya mengutamakan penyelesaian dan pembalasan kejahatan saja, akan tetapi
ikut serta memikirkan bagaimana keadaan anak tersebut dan keadaan masyarakat
adat dimasa yang akan datang. Keputusan adat tersebut dapat merekatkan kembali
kerukunan hidup masyarakat yang sebelumnya telah terputus karena terjadi
sengketa.
Kasus kedua, yaitu pencurian buah pokat yang dilakukan oleh pelaku Sarik di
Gampong Darussalam, kab. Bener meriah. Untuk menjatuhkan suatu pidana, unsur-
unsur tindak pidana pada suatu pasal harus dipenuhi. Jika dilihat dari unsur-unsur
objektif dan subyektif, maka sudah terpenuhi secara keseluruhan. Pertama, pelaku
mengambil barang tersebut dengan maksud untuk dimiliki, kemudian dijual, dan
hasilnya untuk memenuhi keinginan istrinya membeli beberapa barang keperluan
rumah tangga. Kedua, barang atau benda yang diambil oleh pelaku adalah milik
korban Abdul Hakim, merupakan hasil jerih payah korban bertani selama enam
bulan. Buah tersebut akan dijual untuk keperluan keluarga korban sehari-hari.
Ketiga, pekerjaan yang dilakukan Sarik adalah tindakan yang melanggar hukum,
menurut pengakuannya bahwa secara sadar ia telah mengambil satu karung buah
pokat milik Abdul Hakim untuk kepentingannya sendiri.63
Pelaku adalah seorang yang cakap hukum, jadi apabila kasus ini dibawa oleh
korban ke ranah hukum, maka pelaku bisa dijerat pasal 362 KUHP tentang tindakan
pencurian dan pasal 406 Bab XXVII tentang pengrusakan barang secara sengaja.
Pelaku dapat dikenai sanksi pidana hukuman penjara selama lima tahun atau pidana
denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Sanksi tersebut sifatnya alternatif
bukan kumulatif, dimana terdapat pilihan penjatuhan hukuman pidana penjara atau
hukuman pidana denda, yang sepenuhnya bergantung pada bagaimana tuntutan dari
jaksa penuntut umum dan putusan yang dijatuhkan oleh hakim.64
Karena korban ingin menyelesaikan permasalahan ini secara damai dan
kekeluargaan, akhirnya korban mengadukan permasalahan ini kepada Keuchik gampong untuk diselesaikan dengan jalan musyawarah.
65 Meskipun demikian,
63
Kasus pencurian pada kasus kedua dan ketiga sebenarnya bukan termasuk kedalam
kewenangan peradilan adat, (sesuai dengan Pergub Nomor 60 Tahun 2013) namun atas
kesepakatan keduabelah pihak, maka kasus tersebut diselesaikan secara adat, dengan ini,
dapat dilihat bahwa fungsionaris adat melakukan peradilan adat atas permintaan keduabelah
pihak yang bersengketa. 64
Alberth Aries, Apakah Pelaku Pidana Penganiayaan Dibebaskan Apabila Bayar
Denda Rp. 4.500?, Hukum Online,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt518fad653223a/apakah-pelaku-penganiayaan-
dibebaskan-jika-bayar-denda-rp4500? , diakses pada 26 Januari 2014. 65
Meskipun kasus pencurian ini termasuk kedalam delik biasa/delik laporan, namun
jika korban tidak melapor kepada pihak yang berwajib maka kasus pun tidak di proses oleh
pihak yang berwajib. (Lihat: Proses Hukum Pidana, Perdata & Pengorganisasian Rakyat
Untuk Advokasi, Justice For The Poor Program,
119
keuchik harus dengan tegas dapat membedakan dan memilih apakah kasus tersebut
menjadi wewenang gampong atau bukan. Penyelesaian sengketa pidana berat oleh
gampong dapat saja berdampak negatif, disamping terdapat dampak positif yang
lebih banyak. Diantara dampak negatif yang mungkin didapati adalah pelaku dapat
saja melakukan kejahatannya kembali karena melihat sanksi yang diberikan lebih
ringan dibandingkan sanksi yang diberikan oleh hukum positif, hal ini karena
kecenderungan peradilan adat untuk memberikan sanksi diyat untuk memperbaiki
kerugian korban.
Dalam kasus ini pelaku Sarik dan korban Abdul Hakim saling mengenal
karena mereka tinggal di satu gampong, meskipun berbeda lorong (dusun) korban
dan pelaku sering kali terlihat bersama dalam musyawarah gampong. Korban juga
sering membantu pelaku dalam beberapa hal, maka keputusan korban untuk
menyelesaikan masalah ini dengan perangkat gampong sudah tepat, meskipun
bertentangan dengan Hukum Pidana Indonesia, bahwa kasus pencurian ringan
diselesaikan melalui ranah hukum positif. Keputusan tersebut diambil korban
karena berapa faktor, pertama peradilan adat yang dinilai lebih adil, fleksible, tidak
membutuhkan biaya mahal, penyelesaian cepat, dan juga keberadaan letak gampong
yang jauh dari kota. Penyelesaian sengketa melalui peradilan adat merupakan
simbol bahwa pelaku ingin menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan damai dan
kekeluargaan. Keputusan hakim memberikan sanksi adat kepada pelaku berupa
permohonan maaf dan diyat juga sudah tepat. Permohonan maaf sebagai wujud rasa
bersalah pelaku dan pemberian maaf sebagai wujud kebesaran hati korban. Adapun
proses mediasi dan musyawarah yang dilakukan oleh perangkat gampong adalah
sebuah jembatan menuju perdamaian antara kedua belah pihak.
Sanksi adat diyat yang harus di bayar oleh pelaku berupa Rp. 5.000.000
adalah kerugian yang diderita oleh korban akibat kejahatan pelaku, baik kerugian
buah pokat maupun kerusakan pintu saung milik korban. Sanksi tersebut dinilai
tidak memberatkan pelaku oleh perangkat gampong dan kedua belah pihak. Pelaku
diberikan tenggang waktu dua bulan untuk membayarkan sisa diyat tersebut (hasil
penjualan buah pokat Rp. 4.500.000,- yang sudah dibelanjakan beberapa peralatan
rumahtangga oleh istrinya sebesar Rp. 1.250.000,- dikembalikan kepada pelaku,
yaitu sebesar Rp. 3.250.000). Dari sinilah terlihat betapa hukum adat sangat arif
dalam menyikapi setiap permasalahan. Bukan hanya kepentingan korban yang
diperhatikan, akan tetapi kemampuan pelaku untuk mempertanggungjawabkan apa
yang sudah dilakukannya juga menjadi pertimbangan hukuman.
Kasus Ketiga, yaitu pencurian kambing yang dilakukan oleh pelaku Rizal
Bakrie di Gampong Nusa Indah, kab. Banda Aceh, jika dilihat dari unsur-unsur
objektif dan subyektif, maka sudah terpenuhi secara keseluruhan; pertama, pelaku
mengambil barang tersebut dengan maksud untuk dimiliki, kemudian dijual, dan
hasilnya untuk memenuhi keinginan istrinya membeli beberapa barang keperluan
rumah tangga; kedua, barang atau benda yang diambil oleh pelaku adalah milik
http://www.p2kp.org/ppm/files/pdf/juklak/kasus_pidana_perdata.pdf, diakses pada 2 Juli
2014)
120
korban Rahmania, merupakan hewan ternak peliharaan korban selama dua tahun
lebih; ketiga, pekerjaan yang dilakukan Rizal bakrie adalah tindakan yang
melanggar hukum, menurut pengakuannya bahwa secara sadar ia telah mengambil
satu ekor kambing milik Rahmalena untuk kepentingannya sendiri.
Pelaku adalah seorang yang cakap hukum, jadi apabila kasus ini dibawa oleh
korban ke ranah hukum, maka pelaku bisa dijerat pasal 363 KUHP tentang tindakan
pencurian hewan, namun setelah diadakan pendekatan damai oleh perangkat
gampong dari kedua belah pihak, korban bersedia agar permasalahan tersebut
diselesaikan bersama perangkat gampong.66
Penyelesaian sengketa dilakukan di
kediaman korban. Hal ini tidak lain adalah atas permintaan korban, demi menjaga
nama baik keluarga mereka.
Dalam kasus ini, pelaku dan korban saling bersaudara, maka keputusan
korban untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan jalan damai sesuai
dengan adat Aceh adalah tepat, meskipun bertentangan dengan hukum Pidana
Indonesia. Keputusan korban tersebut berdasar pada hadih maja ‚Adat ban adat
hukom ban hukum, Hanjeut meuron-ron kie nyang hawa, watei mupakat adat ngon
hukom, Nanggroe rukon hana le goga.‛67
Dan juga ‚Hukom Lillah Sumpah bek,
Hukom adat ikat bek, Hukom ade pake bek, Hukom meujroh meupoh bek.‛68
Kedua
hadih maja tersebut maksudnya adalah bahwa persoalan yang diselesaikan melalui
hukum adat akan menciptakan kerukunan, karena hukum adat bersifat fleksibel,
adil, tidak membuat orang kembali bertengkar, dan tidak saling menyakiti.
Keputusan hakim memberikan sanksi adat kepada pelaku berupa permohonan
maaf dan diyat juga sudah tepat. Permohonan maaf sebagai wujud rasa bersalah
pelaku dan pemberian maaf sebagai wujud kebesaran hati korban. Adapun proses
mediasi dan musyawarah yang dilakukan oleh perangkat gampong adalah sebuah
jembatan menuju perdamaian antara kedua belah pihak.
Sanksi adat diyat yang harus di bayar oleh pelaku berupa Rp. 3.000.000,-
adalah kerugian yang diderita oleh korban akibat pencurian kambing korban yang
kemudian di jual seharga Rp. 3.000.000,-.Sanksi tersebut dinilai tidak memberatkan
pelaku, karena sanksi diyat tersebut dibuat atas arahan pengurus gampong dan
kesepakatan antara keduabelah pihak. Pelaku diberikan tenggang waktu tiga bulan
untuk menyelesaikan pembayaran diyat kepada korban. Hal ini sudah membuktikan
betapa hukum adat sangat memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi
keduabelah pihak dalam mengeluarkan sebuah keputusan atau kebijaksanaan.
66
Perlu menjadi pertimbangan, bahwa pelaku dan korban adalah satu keluarga.
Sementara isteri pelaku yang merupakan adik dari korban mengetahui setelah beberapa hari
dari waktu pencurian tersebut. Korban yang merupakan kakak ipar pelaku masih
mempertimbangkan nama baik keluarga dihadapan masyarakat. 67
Adat adalah adat hukum adalah hukum, Tidak boleh diperlakukan sesuka hati kita,
Saat bersepakat antara adat dengan hukum, Negara rukun tidak akan goyah 68
Dengan hukum Allah jangan mengumbar sumpah, Hukum adat jangan terikat
(harus fleksible), Hukum yang adil tidak membuat orang bertengkar, Hukum yang baik
tidak akan saling menyakiti.
121
Kearifan dan ketegasan hukum adat juga terlihat pada penetapan sanksi
perjanjian pada kasus kedua dan ketiga antara pelaku dengan perangkat gampong
untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi, apabila pelaku mengulanginya maka ia
bersedia untuk diselesaikan melalui proses hukum pidana yang berlaku (melihat
bahwa kasus pencurian ini termasuk kedalam kasus pencurian berat yang menjadi
wewenang peradilan negeri untuk menyelesaikannya). Hal tersebut membuktikan
bahwa peradilan adat merupakan teguran bagi pelaku dan penyelesaian awal agar
membuat pelaku jera atas apa yang telah dilakukannya. Keputusan peradilan adat
juga memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki dirinya dan
bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya, ia harus memperbaiki kerugian
korban dan memperbaiki nama baiknya dihadapan masyarakat, sebagai bukti bahwa
pelaku sudah benar-benar menyadari kesalahannya.
Diantara ciri Negara Hukum Indonesia modern menurut Jimly Asshiddiqie
adalah: pertama, Asas Legalitas (Due Process of Law). Dalam setiap Negara
Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya yaitu
bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan undang-
undang tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan
atau perbuatan administrasi yang dilakukan;kedua, Peradilan Bebas dan Tidak
Memihak; keempat, bersifat demokratis (Democratische Rechtsstaat). Dianut dan
dipraktekannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat menjamin peran serta
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan
perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat; kelima, berfungsi sebagai
Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechststaat). Hukum adalah
sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri,
baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi maupun yang
diwujudkan melalui gagasan negara hukum dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan umum.69
Berdasarkan atas ciri negara hukum tersebut, maka keputusan hakim
memberikan hukuman berupa permohonan maaf, diyat dan perjanjian untuk tidak
mengulangi kesalahannya lagi kepada kedua pelaku (kasus kedua dan ketiga) sudah
tepat. Dalam hal ini korban menginginkan agar pelaku mengganti seluruh kerugian
akibat dari kejahatan pelaku, maka, keseluruhan hukuman tersebut sudah mencakup
tujuan pemberian hukuman dalam Islam, yaitu untuk pendisiplinan, perbaikan,
teguran, pencegahan, dan pemberian efek jera. Proses mediasi dan musyawarah
yang dilakukan antara kedua belah pihak (pelaku dan korban) dengan perangkat
gampong sangat menentukan bagi kedua belah pihak yang bersengketa untuk
69
Ciri negara hukum tersebut diambil sebagian dari dua belas ciri hukum yang
dituliskan oleh Jimli As} S}idqi. Hal ini dimaksudkan melihat pernyataan yang menurut
peneliti sesuai dengan analisa kasus tersebut. (Lihat Abdul Halim, Nomokrasi islam dalam
Negara Hukum indonesia,
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/Nomokrasi%2
0Islam%20dan%20Negara%20Kesatuan%20Republik%20Indonesia.pdf, diakses pada 8 juli
2014)
122
berlapang dada dan berjiwa besar dalam menentukan dan menyikapi kebijaksanaan
yang diberikan oleh hakim.
2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pencurian masuk kedalam jari>mah hudu>d. Segala
sesuatu yang mengarah kepada peniadaan atau pengrusakan harta adalah perbuatan
buruk yang dilarang, dalam hal ini Allah melarang pencurian untuk menjaga harta
atau ‚Hifz} al Ma>l‛, karena harta termasuk kedalam salah satu dari lima kebutuhan
d}aruri> (primer) manusia menurut shari’at Islam, dengan demikian, perbuatan yang
menghilangkan atau megurangi salah satu dari kelima d}aruri>yat itu adalah dilarang,
karena tujuan penetapan shari’at adalah untuk mencapai kemaslahatan dan menolak
kemud}aratan.
Al-Zuhayli> mendefinisikan pencurian adalah mengambil harta orang lain dari
penyimpanannya yang semestinya secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi.
Adapun ‘Awdah mendefinisikan pencurian dengan: ‚ أخذ مال الغري خفية ‚ maksudnya
mengambil barang seseorang secara sembunyi-sembunyi. Berdasarkan pengertian
tersebut, maka rukun mencuri ada empat hal; pertama mengambil secara sembunyi;
kedua harta milik orang lain; ketiga, sebuah harta; dan ada unsur sengaja. Al-Zuhayli> menambahkan rukun barang yang dicuri adalah berada ditempat
penyimpanan.70
Apabila seluruh unsur tersebut terpenuhi, maka baginya ditetapkan
hukuman hadd, hal ini termaktub dalam firman Allah Qs. Al Maidah ayat 38.71
Diantara alasan Islam menetapkan hukuman tersebut adalah perlindungan yang
nyata terhadap tatanan moral, dan kebaikan serta membasmi kejahatan dan perkara
yang tercela, adapun tindakan pencurian adalah salah satu peerbuatan tercela yang
merugikan orang lain.
Penegakkan hukuman hadd pencurian memiliki beberapa syarat dan
ketentuan yang harus dipenuhi. Diantara syarat-syarat tersebut adalah:
Syarat-syarat pelaku pencurian, yaitu syarat al-ahli>yah (kelayakan dan
kepatutan) untuk dijatuhi vonis hukum potong tangan, yaitu berakal, baligh,
melakukan pencurian atas kemauan dan kesadaran sendiri (tidak dipaksa), dan
mengetahui bahwa hukum mencuri adalah haram. Ulama maliki>yah menambahkan
syarat lain, yaitu pelaku pencurian bukanlah orangtua dari sikorban pencurian72
, si
70
Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r Al Fikr al-
‘Ilmi>yah, 1997), 5422, Lihat juga: „Abd al Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al wad}‘i > juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al Risa>lah, 1997), 518
71
38. laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 72
Dalam hal ini rasulullah Saw bersabda dalam hadits jabir ra. Yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah: أنت ومالك ألبيكArtinya: ‚Kamu dan Hartamu adalah untuk orangtuamu.
123
pencuri melakukan aksi pencuriannya itu tidak karena terpaksa melakukannya
karena lapar. Ulama Hanabilah menambahkan syarat lain yaitu si pencuri
mengetahui barang yang dicurinya dan mengetahui bahwa ia diharamkan untuk
mengambilnya, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan terhadap apa yang
ada dalam dugaan orang mukallaf (baligh berakal).
Syarat-syarat barang yang dicuri, yaitu:
1. Sesuatu yang dicuri harus berupa harta yang memiliki nilai (mutaqwwim).
Ulama Hanafiah mensyaratkan harta yang memiliki nilai adalah bahwa harta
yang dicuri harus harta yang dianggap berharga bagi masyarakat pada umumnya
dalam suatu komunitas. Adapun Ulama Shafi’i>yah, Maliki>yah dan Hana>bilah
berpendapat bahwa harta yang bernilai adalah harta yang berharga dan dihormati
(muhtaram).
2. Harta yang di curi harus mencapai batas nis}ab pencurian.73
3. Barang yang dicuri dapat dipindahkan. Harta yang dapat dipindahkan adalah
harta yang dapat dikeluarkan dari h}irznya, dan dipindahkan dari tangan
korban kepada tangan pencuri.
73
Fuqaha berbeda pendapat seputar kadar nis}ab pencurian. Ulama Hanafi>yah
berpendapat, kadar nis}ab pencurian adalah satu dinar atau sepuluh dirham. Hal ini
berdasarkan hadits: ال قطع فيما دون عشرة دراىم Artinya: Tidak ada potong tangan dalam
kasus pencurian yang masih dibawah sepuluh dirham (HR. Ahmad) Di dalam sanadnya
terdapat seorang perawi bernama Nas}r Ibnu Bab, Ia adalah seorang perawi yang dimasukkan
kedalam kategori perawi d}aif oleh jumhur, sementara imam Ahmad menilai bahwa ia adalah
perawi la> ba’tsa bihi. Dalil kedua adalah hadits: وكان ال تقطع يد السارق إال يف ن ادلجنن Artinya: Tangan seorang pencuri tidak dipotong kecuali dalam يقوم يومئذ بعشرة دراىم
pencurian seharga sebuah perisai, waktu itu sebuah perisai ditaksir nilai harganya adalah
sepuluh dirham. (HR. Ibnu Abi Syaibah dari Abdullah Ibn Amr ra.
Sementara Jumhur dari Ulama Maliki>yah, Syafi’i>yah, dan Hanabilah berpendapat
bahwa nis>ab pencurian adalah seperempat dinar atau tiga dirham syar’i murni, atau yang
senilai dengan itu. Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Malik,
Bukhari, Muslim, Al Tirmidzi, al nasa>i, Abu Daud, dan Ibn Ma>jah: دينار تقطع اليد يف ربع
Artinya: Tangan seorang pencuri dipotong dalam kasus pencurian seharga فصاعدا
seperempat dinar keatas. Hadits kedua adalah: رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قطع يف جمن نو أن Artinya: Rasulullah memotong tangan dalam kasus kejahatan pencurian berupaثالثة دراىم
sebuah perisai seharga tiga dirham. (HR. Bukhari, MuslimAbu Dawud, al Nasa>’i>, dari Ibnu
Umar ra.)
Sumberperbedaan pendapat antara ulama Hanafi>yah dengan Jumhur adalah
penaksiran nilai harga perisai yang si pencurinya di potong tangannya oleh Rasulullah Saw.
Namun, melihat hadits yang ada, pendapat jumhur lebih kuat karena didukung oleh hadi>th
sahih. (matan hadi>th dapat dilihat pada hadith no 1684, 1685, 1866, dan 1687, Ima>m Abi al-
Husain Muslim Bin al Hajja>j al-Qushairi> al-Naisa>buri> (261), Shahi>h Muslim (Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, 2003), 667
124
4. Sesuatu yang dicuri harus berupa sesuatu yang memang disimpan dan dijaga
(unsur al h}irz).74
Dalil persyaratan yang telah disepakati ulama empat mazhab adalah hadi>th:
اجلرين، فإذا آواه يؤويو حىت وال كثر، ر يف ال قطع": وروي عنو عليو الصالة والسالم أنو قال 75(رواه الدرقطين)ويف رواية فإذا أواه ادلراح أو اجلرين . القطع اجلرين ففيو
‚Tidak ada hukuman potong tangan (karena mencuri) buah kurma dan katsar hingga
buah itu diletakkan didalam al jari>n (keranjang pengeringan). Apabila buah itu
telah diletakkan didalam al jari>n, lalu ada orang yang mencurinya, maka ia dijatuhi
hukuman potong tangan.‛ Dalam sebuah riwayat disebutkan: apabila telah
diletakkan dalam al mura>h (kandang) atau al jari>n‛ (HR. Al Da>ruqut}ni>)
Ulama sepakat bahwa tempat penyimpanan harta (h}irz) ada dua macam:
pertama, al h}irz bi al nafsi atau al h}irz bi al maka>n yang yaitu setiap tempat yang
disediakan untuk menjaga, menyimpan, dan melindungi harta benda., serta dilarang
memasukinya kecuali harus dengan izin, seperti rumah, toko, gudang, dan lain
sebagainya. Munurut Ima>m Shafi‘i> dan Ima>m Ahmad yang dimaksud dengan al
h}irz bi al maka>n adalah seluruh tempat yang tertutup yang disediakan untuk
menyimpan harta di dalam kekuasaan seseorang. Adapun menurut Abu Hani>fah h}irz
bi al maka>n adalah setiap tempat yang disiapkan untuk menyimpan harta yang
dilarang untuk memasukinya, meskipun pintunya terbuka atau tertutup.76
Kedua, al-h}irz bi al-ha>fid} atau al-h}irz bi al-g}air, yaitu setiap tempat yang
tidak di sediakan untuk menjaga, menyimpan, dan melindungi harta benda,
siapapun buleh masuk kedalamnya tanpa izin. Seperti masjid, lapangan, dan lain-
lain, ini adalah pendapat abu Hani>fah. adapun Ulama yang tiga berpendapat sama
namun tempat-tempat tersebut dapat menjadi al h}irz bi al maka>n dan dapat menjadi
al h}irz bi al h}a>fid} .77
5. Sesuatu yang dicuri berupa benda yang bisa disimpan dalam jangka waktu
lama dan tidak cepat rusak atau busuk.78
74
Secara bahasa al h}irz adalah tempat menyimpan sesuatu sedangkan menurut syara’
adalah sesuatu yang biasanya didirikan untuk menjaga dan menyimpan harta, seperti rumah,
toko, kemah, dan orang. Adapun Ulama empat mazhab sepakat bahwa al h}irz dikembalikan
sesuai adat kebiasaan yang berlaku. 75
Muhammad bin ‘Abd al-Wahha>b bin Sulaima>n al-Tami>mi> al-Najdi>, Majmu>’ah al-ah}a>di>th ‘Ala> Abwa>b al-Fiqh, Juz 4 (Riya>d}, Ja>mi’ah al-Ima>m Muhammad bin Su’u>d, tt),
http://sh.rewayat2.com/fkh3am/Web/12061/003.htm 76
Lihat juga: „Abd al Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> muqa>ranan bi al-
Qa>nu>n al-wad}‘i> juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al-Risa>lah, 1997), 554. 77
Abu Bakar Mas’u>d Bin Ahmad Al-Ka>sa>ni>, Bada>i’ al-S}ana>i’ fi> al-Tarti>bi al-Shara>i’,
Juz 7, (Da>r al Kutub al ‘Ilmi>yah, 1986),
http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=12&ID=3188,
diakses pada 3 Juli 2014. Lihat juga: Fida> Fat}hi Shatha>ni>, al-Tat}bi>qa>t al-Mu’a>s}irah li Sharti al-Hirzi fi> al-Sari>qah, 8, http://faculty.yu.edu.jo, diakses pada 4 Juli 2014.
78Maksudnya adalah buah-buahan, sayuran, dan lain sebgainya. Namun, ulama
maliki>yah, Syafi’i>yah, dan Hanabilah mengatakan bahwa hukum potong tangan
125
6. Barang yang dicuri bukan termasuk sesuatu yang asalnya adalah harta
mubah (sesuatu yang siapa pun boleh ikut mengambilnya).79
7. Harta yang dicuri adalah harta yang dilindungi, yang pencurinya tidak
memiliki hak untuk mengambilnya, tidak memiliki alasan atau interpretasi
apologis (ta’wil) yang bisa menjelaskan kenapa ia mengambilnya dan tidak
pula memiliki syubhat dalam pengambilannya terhadap harta tersebut.
8. Pelaku pencurian tidak memiliki hak milik pada sesuatu yang dicurinya dan
tidak pula memiliki interpretasi apologis kepemilikan terhadapnya, atau
adanya unsur kesyubhatan kepemilikan terhadap barang yang dicuri
tersebut.
9. Pelaku pencurian bukanlah orang yang diberi izin untuk masuk kedalam al h}irz, atau didalamnya terdapat unsur keshubhatan adanya izin.
10. Barang yang dicuri memang yang diinginkan dan dimaksudkan untuk dicuri
oleh si pelaku, bukan sesuatu yang statusnya mengikuti barang yang
dimaksudkan untuk dicuri.
11. Barang yang dicuri adalah bukan milik pelaku
Syarat-syarat korban pencurian: pertama tangan kepemilikan, tangan amanat,
seperti tangan orang yang dititipi, orang yang meminjam sesuatu, dan tangan mitra
yang berstatus sebagai mud}a>rib. Ketiga, tangan yang menanggung, seperti tangan
orang yang mengg}as}ab, dan tangan orang yang memegang barang berdasarkan
penawaran pembelian, dan penerima gadaian.
Syarat-syarat tempat kejadian perkara (TKP, kawasan, atau tempat
berlangsungnya aksi pencurian: dalam hal ini, disyaratkan aksi pencurian yang
dilakukan harus terjadi dikawasan da>r al-‘adl (kawasan negri Islam yang dikuasai
oleh pemerintahan yang sah, bukan kawasan musuh dan bukan kawasan yang
dikuasai oleh kelompok pemberontak atau sparatis)80
Adapun pembuktian kejahatan pencurian menurut hukum Islam dapat
diketahui melalui dua hal, yaitu bayyinah (saksi), pengakuan pelaku, dan sumpah.
Suatu bayyinah dapat diterima apabila memenuhi beberapa syarat, yang terkait
dengan hukuman hadd dan qis}a>s}, yaitu: laku-laki, adil, al-as}a>lah (orisinil) dan tidak
ada unsur shubhat, kasus dan kejadiannya belum kadaluarsa, dan adanya pengajuan
dakwaan dan memperkarakan (khus}u>mah) oleh pemilik tangan yang sah. Ulama
Shafi’i>yah, Hana>bilah, dan Hanafi>yah berpendapat bahwa dalam hal had potong
tangan butuh adanya gugatan dan dakwaan korban pencurian, karena unsur hak
adami dalam hadd potong tangan adalah dominan. Adapun menurut Imam Malik
diberlakukan dalam setiap kasus pencurian harta benda yang boleh diperjualbelikan dan
dipertukarkan, baik itu berupa makanan, pakaian, binatang, dan lain sebagainya. Hal ini
karena melihat kondisi zaman sekarang, barang-barang tersebut termasuk kedalam barang-
barang yang sangat berharga bagi pemiliknya. 79
Hal ini berbeda jika barang tersebut termasuk barang muhraz (dijaga, disimpan,
dan dilindungi oleh pemiliknya). Apabila jika seseorang mencurinya, maka hukuman potong
tangan diberikan kepadanya. 80
Syarat-syarat tersebut disarikan dari: Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr Al ‘Ilmi>yah, 1997), 5424-5435
126
mengatakan bahwa hadd potong tangan tidak butuh adanya tuntutan dari korban
pencurian, demi melindungi hak masyarakatdan menjaga harta benda mereka.81
Mengenai pembuktian dengan sumpah, Ulama Shafi’i>yah berpendapat bahwa
kejahatan pencurian ditetapkan oleh sumpah apabila pelakunya sudah terbukti
kebenarannya bahwa dia mencuri dan tidak cukup hanya dengan pengakuan dan ada
saksi yang kuat atau memenuhi syarat. Imam malik dan Abu Hanifah berpendapat
bahwa hukuman hadd bagi pencuri dapat diberikan cukup dengan pengakuan dan
kesaksian para saksi tanpa harus di sumpah, dan cukup dibuktikan dengan harta
yang dicuri ada pada pencuri tersebut.
Apabila seluruh syarat tersebut terpenuhi, maka pelaku dapat dikenai hukuman
hadd potong tangan, namun apabila ada salah satu saja syarat yang tidak terpenuhi,
maka hukuman tersebut tidak bisa diberlakuka. Adapun hukuman yang diberikan
adalah hukuman ta’zi>r. Hukuman ta’zi>r adalah sebuah pendisiplinann (ta’di>b) yang
keberadaannya mengikuti mafsadah (kerusakan, dampak negatif) yang
ditimbulkan.82
Diantara kejahatan yang diancam hukuman ta’zi>r adalah kejahatan
yang tidak termasuk kedalam kejahatan hudu>d dan qis}a>s}, serta kejahatan yang tidak
memenuhi persyaratan diberlakukannya hukuman hadd dan qis}a>s}.
Apabila tuduhan pencurian tersebut sudah terbukti maka bagi pencuri
mendapatkan dua sanksi, pertama d}ima>n (jaminan atau diyat) dan kedua adalah
potong tangan. Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila seseorang ditetapkan
sebagai pencuri, maka dia harus mengganti barang yang dicuri dengan harga yang
senilai dan wajib baginya dikenai hukuman hadd potong tangan jika telah terbukti
dialah pelakunya, akan tetapi diyat dan hukuman potong tangan tidak dapat
dilaksanakan bersama. Apabila pencuri itu dipotong tangannya maka tidak ada
d}ima>n baginya, bahkan sampai barang yang dicuri itu rusak. Alasannya adalah
karena al qur’an menjelaskan hadd potong tangan saja, tidak ada d}ima>n.
Adapun Imam Shafi’i> dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukuman hadd
potong tangan dan d}ima>n dapat dilakukan bersama, karena seorang pencuri
diwajibkan untuk dipotong tangannya dan diwajibkan membayar diyat senilai
dengan harta yang diambil, karena seorang pencuri melanggar dua haq, pertama haq
Allah yang mengharamkan mencuri dan kedua adalah haq seorang hamba yang
hartanya dirusak atau diambil tanpa kered}aannya, maka jika sebuah kejahatan
adalah pelanggaran terhadap dua haq, maka ia wajib mengganti kedua haq tersebut.
Adapun Imam Malik berpendapat bahwa seorang pencuri harus mengganti
barang yang dicuri sesuai dengan harga dan nilai barang tersebut apabila belum
jatuh atasnya hukuman hadd potong tangan karena beberapa alasan, baik belum
mencapai nishab, pencurian bukan dari h}irz, atau yang lainnya, namun apabila
barang yang dicuri itu masih tersisa dan masih ada maka wajib dikembalikan
kepada pemiliknya. Apabila seorang pencuri telah dipotong tangannya, maka ia
wajib mengembalikan barang curiannya jika masih ada, dan jika tidak ada maka ia
81
„Abd al Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-
Wad}‘i> juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al-Risa>lah, 1997), 614 82
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr
al-‘Ilmi>yah, 1997), 5429
127
harus mengembalikan sesuai dengan nilai dan kerugian korban dengan syarat ia
mendapatkan kemudahan dalam melaksanakan kejahatannya. Adapun Shi’ah
Zaidi>yah sependapat dengan madzhab Abi Hani>fah bahwa seorang pencuri yang
dipotong tangannya tidak wajib d}iman atasnya.83
Kasus Pertama: yaitu pencurian tabung gas yang dilakukan oleh saudara
Faisal, 13 tahun, apabila dilihat dari syarat al ahli>yah, pelaku sudah memenuhi
seluruh syarat, kecuali baligh.84
Apabila dilihat dari syarat benda yang dicuri, maka
syarat pencapaian kepada nis}ab belum terpenuhi,85
namun,dalam hal ini, Faisal
tetap sebagai pelaku pencurian karena dia mengambil barang dengan cara diam-
diam dan dengan niat jahat yaitu ingin memiliki barang tersebut. Unsur niat jahat
tersebut terpenuhi karena pelaku mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu
adalah hal yang diharamkan. Ia juga mengambil barang tersebut dari pemiliknya
langsung (memenuhi unsur tangan kepemilikan).
Keputusan hakim dan perangkat gampong memberikan hukuman ta’zi>r berupa nasihat, teguran, permohonan maaf, dan diyat sudah tepat. Hal ini
mengingat karena pelaku adalah anak dibawah umur (belum balig}). Selain itu,
pelaku juga merupakan korban kemiskinan keluarga dan korban dari perpisahan
kedua orangtuanya, sehingga kurangnya perhatian dan pendidikan agama
83
Disarikan dari: „Abd al-Qa>dir ‘Awdah, al Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi
al-Qa>nu>n al-Wad}‘i>, juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al-Risa>lah, 1997), 618-621 84
Tanda seorang anak sudah dikatakan baligh adalah pertama, bagi perempuan
keluarnya haid} dan bagi laki-laki sudah bemimpi, adapun batasan umurnya adalah lima
beelas tahun.bagi laki-laki dan perempuan. Mengenai batasan umur, Rasulullah SAW.
Bersabda:
عرضين رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم يوم أحد يف القتال وأنا ابن أربع عشرة سنة، فلم جيزين، وعرضين يوم .وىذا لفظ مسلم) متفق عليو. (اخلندق وأنا ابن مخس عشرة سنة، فأجازين
Artinya: ‛Rasulullah SAW menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika
itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian
beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai
lima belas tahun. Beliau pun memperbolehkanku‛. Nafi' (perowi hadits ini) berkata : "Aku
menghadap ‘Umar bin ‘Abd al ‘Azi>z, pada saat itu beliau menjabat sebagai kholifah, lalu
aku menceritakan hadits ini, lalu beliau (‘Umar bin ‘Abd al ‘Azi>z) berkata : "Sesungguhnya
ini adalah batas antara orang yang masih kecil dan sudah dewasa". (Shohih Bukhori,
no.2664 dan Shohih Muslim, no.1868) (Lihat: Siroj Munir, Batasan Umur Balig} laki-laki
dan Perempuan, Dalil, dan hikmahnya, Fiqih Kontemporer, Artikel, Senin, 14 Januari 2013,
http://www.fikihkontemporer.com/2013/01/batasan-umur-baligh-bagi-laki-laki-dan.html,
diakses pada 4 Juli 2014, Lihat Juga: Ulil Hadrawi>, Tiga Tanda Balig}, Artikel Shari>‘ah,
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,40361-lang,id-c,syariah-
t,Tiga+Tanda+Baligh-.phpx, diakses pada 4 Juli 2014.) 85
Sebagai mana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa nis}ab pencurian adalah
seperempat dinar atau tiga dirham. mengingat 1 dinar = 4,25 gr. Emas 22 karat. 1 gr.
Sementara emas 22 karat = 461,225. Apabila dilihat dari ketentuan tersebut, maka
seperempat dinar adalah seharga Rp. 490.051. (Lihat:http://www.dinar-online.com/, diakses
pada 05 Juli 2014)
128
kepadanya menyebabkan pelaku melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah,
karena adalah sebuah kewajiban orangtua untuk menanamkan kepada anaknya
pendidikan keagamaan dan ruhani agar dapat membentenginya dari perbuatan
maksiat.
Kasus kedua, yaitu pencurian buah pokat yang dilakukan oleh pelaku Sarik di
Gampong Darussalam, kab. Bener meriah, dan Kasus ketiga yaitu pencurian
kambingyang dilakukan oleh pelaku Rizal Bakrie di Gampong Nusa Indah, kab.
Banda Aceh, Apabila ditinjau dari syarat keseluruhan, baik pelaku pencurian,
barang curian, korban pencurian, waktu, dan tempat pencurian, seluruhnya sudah
dapat menyebabkan pelaku Sarik dijatuhi hukuman hadd potong tangan.
Sanksi potong tangan adalah sanksi maksimal, tidak semua kasus pencurian
dikenai sanksi potong tangan, apalagi jika syarat dan rukun pencurian sebagaimana
telah dijelaskan tidak terpenuhi. ‘Awdah berpendapat bahwa seorang pencuri dapat
gugur dari hukuman hadd pada beberapa keadaan: pertama, korban atau saksi
berbohong atas penetapan seseorang sebagai pencuri, yang menyebebkan batalnya
kesaksian dari saksi tersebut; kedua, adanya maaf dari korban dan seluruh pihak
yang dirugikan atas seluruh kesalahannya, hal ini adalah pendapat madzhab Shi’ah
al Zaidi>yah; ketiga, pelaku mengambil kembali pengakuannya, dan tidak ada
kesaksian atau sesuatu yang menghalangi atas pengakuannya itu.86
Pada kasus
kedua dan ketiga tersebut, pelaku sudah mendapatkan maaf dari korban dan seluruh
fungsionaris gampong atas seluruh kesalahan dan kekhilafan yang dilakukannya,
maka pelaku dapat gugur dari hukuman potong tangan tersebut.
Adapun al-Zuh}ayli> berpendapat bahwa Al qur’an secara tegas menjelaskan
pengguguran hukuman hadd pencurian dengan tobat dalam ayat, yaitu QS. Al
Maidah ayat 39.87
Rasulullah melalui hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim juga bersabda, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah untuk
dilaksanakan hukuman hadd terhadapnya, namun Rasulullah tidak menanggapinya
hingga datangnya waktu s}alat, lalu orang tersebut s}alat bersama Rasulullah. Setelah
selesai s}alat laki-laki tersebut kembali menghampiri Rasulullah dan meminta beliau
untuk melaksanakan hukuman hadd kepadanya. Menanggapi hal itu, Rasulullah
malah bertanya, ‚bukankah kamu telah s}alat bersama kami tadi? Ia menjawab ‚Ya‛,
lalu rasulullah bersabda ‚Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu‛.88
Ibn Taimi>yah dan Ibn al-Qayyim, sebagaimana yang dikutip oleh Al-
Zuh}ayli>y mengatakan bahwa taubat adalah konsep yang sangat urgen dan akurat
86
Lihat juga: „Abd al-Qa>dir ‘Awdah, al Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-
Qa>nu>n al-Wad}‘i, juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al-Risa>lah, 1997), 629-630
87
39. Maka Barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan
itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 88
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr
al-‘Ilmi>yah, 1997), 5537
129
dalam shari’at Islam. Taubat bisa mengungkap suatu kejahatan dengan motivasi
yang ditimbulkannya dalam diri pelaku untuk segera memberikan pengakuan
dihadapan hakim akan kemaksiatan dan kejahatan yang telah dilakukannya. Jika
tujuan utama hukuman adalah memperbaiki dan merehabilitasi diri pelaku
kejahatan, sesungguhnya taubat lebih kuat pengaruhnya dalam merealisasikan
maksud dan tujuan tersebut, karena taubat muncul dari motivasi pribadi dan
kesadaran diri sendiri. Oleh karena itu, taubat membuka pintu harapan bagi para
pelaku kesalahan dan mendorong mereka untuk terjun ke kancah kehidupan dengan
semangat positif yang baru serta dengan energi dan efektivitas yang produktif.89
Taubat bisa menggugurkan hukuman akhirat, dengan begitu, tobat
memberikan kontribusi dalam memperbaiki dan merehabilitasi diri si pelaku
kejahatan, menyelamatkannya dari jurang kesalahan dan kekeliruan yang pernah
dilakukannya, dan menjadikannya dalam golongan orang-orang saleh, sehingga
secara otomatisa maksud dan tujuan pokok dari pemberlakuan sanksi hukum bisa
terwujud dengan sendirinya. 90
Apabila kemaksiatan yang dilakukan urusannya antara si pelaku dengan
Tuhannya, atau menyengkut hak Allah, syarat bertaubat ada tiga, pertama,
melepaskan diri dan berhenti (al iqla>’) dari kemaksiatan dengan seketika; kedua,
menyesali (al nadm) atas tindakan kemaksiatan dan pelanggaran yang telah
diolakukan; ketiga, berketapan hati (al ‘azm) untuk tidak kembali melakukan
kemaksiatan yang sama dimasa mendatang. Apabila kemaksiatan yang dilakukan
terkait dengan hak pribadi manusia, maka syarat-syarat tobatnya ada empat, yaitu
tiga syarat tersebut, dan ditambah satu lagi yaitu keluar dari kelaliman dengan
membebaskan diri dari hak orang lain yang dilanggar. Apabila kemaksiatan itu
berupa pengambilan harta atau lain sebagainya tanpa hak, maka ia harus
mengembalikannya kepada pemiliknya. Ali bin Abi T}alib berkata bahwa tobat
adalah sebuah kata yang memiliki enam substansi, yaitu penyesalan terhadap dosa-
dosa yang telah lalu, mengulang kewajiban-kewajiban yang pernah terlantarkan,
mengembalikan hak-hak yang dilanggar secara aniaya, meleburkan jiwa dalam
ketaatan sebagaimana pernah menumbuhkannya dalam kemaksiatan, menjadikan
jiwa merasakan pahit getirnya ketaatan, sebagaimanakamu pernah merasakan
manisnya kemaksiatan, dan tangisan sebagai ganti setiap tertawa yang pernah
dilakukan.91
Kedua pelaku pencurian, baik pencurian buah pokat maupun pencurian
kambing sudah mengakui dihadapan hakim dan perangkat gampong atas kejahatan
yang telah dilakukannya. Kedua pelaku juga memohon maaf kepada korban,
mengakui kesalahannya, berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi, dan
89
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr
al-‘Ilmi>yah, 1997), 5538 90
Mu’taz M. Qafishes, Restorative Justice in the Islamic Penal Law: a Contribution
to the Global System, International Journal of Criminal Justice Sciences, Vol. 7, Issue 1
January-June, 2012, ISSN: 0973-5089, Hebrone University, Palestine. 91
Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr al-
‘Ilmi>yah, 1997), 5541
130
menerima segala macam ketentuan dan keputusan yang dimusyawarhkan bersama
adalah wujud bahwa kedua pelaku bertaubat. Selain itu, keputusan kedua korban
untuk memaafkan kesalahan pelaku juga meringankan hukuman yang diberikan
oleh hakim dan perangkat gampong.
Dari ketiga kasus tersebut terlihat jelas bagaimana paradigma ta’zi>r berperan
penting dalam pertimbangan pemberian kebijakan atau hukuman kepada pelaku.
Kejahatan yang dilakukan oleh pelaku adalah karena pelaku mengikuti hawa nafsu
mereka, dan seorang pemimpin yang adil sangat dibutuhkan dalam memberikan
sebuah keputusan, karena seorang pemimpin memiliki tanggungjawab penuh untuk
menjaga shari’at Islam. Pemimpin adat dalam hal ini adalah para fungsionaris adat
tidak hanya memberikan sanksi saja, akan tetapi juga mempertimbangkan beberapa
faktor, diantaranya:
1. Hukuman tersebut diputuskan berdasarkan kemaslahatan bersama,
korban, pelaku dan juga masyarakat desa umumnya, bukan berdasarkan
mengikuti hawa nafsu salah satu pihak.
2. Hukuman tersebut diputuskan bukan untuk menimbulkan masalah baru,
dan tidak menimbulkan kebencian diantara masyarakat dan para pihak
3. Hukuman tersebut sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku,
tujuannya untuk memperingati, dan mendidik, bukan untuk membalasan
4. Hukuman tersebut harus berdasarkepada keadilan dan asas kebersamaan
tanpa memihak.
Ketentuan tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Abu Zahrah, yaitu
hukuman ta’zir yang diserahkan kepada hakim harus memenuhi setidaknya tiga
unsur: pertama berdasarkan kemaslahatan bersama; kedua, tidak menimbulkan
masalah baru dan kebencian; harus sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.92
3. Perbandingan Antar Perspektif
Melalui pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa penyelesaian perkara
pencurian melalui peradilan adat, baik pelakunya a dalah seseorang yang belum
cakap hukum ataupun yang sudah cakap hukum, keduanya dapat diselesaikan
dengan proses musyawarah dan jalan damai, sehingga menghasilkan keputusan
bersama yang tidak merugikan salah satu pihak. Keputusan adat dapat diterima
oleh kedua belah pihak dengan ikhlas, pelaku menerima sanksi yang diberikan oleh
fungsionaris adat sebagai wujud bahwa pelaku menyadari kesalahannya dan
bertanggungjawab atas perbuatannya. Adapun korban dengan kebesaran jiwa
memaafkan korban, demi menjaga kerukunan dan persaudaraan mereka, hal ini
terbukti dengan tidak dibawanya permasalahan pada kasus kedua dan ketiga ke
ranah hukum pidana Indonesia, mengingat bahwa kasus tersebut adalah dibawah
wewenang peradilan negeri. Pada kasus pertama, yang pelakunya adalah anak
dibawah umur, tidak hanya memutuskan bahwa pelaku bersalah, namun dalam
kasus ini pelaku juga menjadi korban, karena ia tidak diberikan landasan dan
pendidikan keagamaan yang lebih intensif oleh kedua orangtuanya yang sudah
92
Muhammad Abu Zahrah, Al-Jari>mah wa al-‘Uqu>bah fi al Fiqh al-Isla>mi> (Qa>hirah:
Maktabah al an jal al Mishri>yah, tt), 60
131
berpisah, keadaan ekonomi keluarga yang kurang juga menjadi faktor pelaku
melakukan hal tersebut. Kearifan adat memberikan kebijakan bagi pelaku dan juga
orangtuanya agar lebih menjaga dan mendidik anaknya, tidak hanya dengan
pendidikan formal, tetapi juga dengan pendidikan ruhaniyah atau keagamaan yang
akan menjadi landasan kekuatan dan perisainya dari perbuatan maksiat, karena anak
adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dan dilindungi masa depannya.
Apabila ketiga kasus tersebut diselesaika melalui proses litigasi, maka pelaku
kasus pencurian adalah pidana penjarab selama lima tahun dan diyat sebanyak
banyaknya Rp. 900,-. Adapun apabila pelakunya adalah anak dibawah umur, maka
sesuai pasal 26 ayat 1 UU No 3 Tahun 1997, bahwa pidana penjara yang dapat
dijatuhkan adalah paling lama seperdua dari maksimum ancaman pidana orang
dewasa. Proses litigasi yang lebih menekankan pada pembalasan tidak dapat
memulihkan kerugian korban dan mengeratkan kembali tali persaudaraan antar
korban dan pelaku, prosesnya yang lama dan biaya mahal juga merupakan beberapa
faktor yang membuat korban memutuskan untuk menyelesaikan perkara melalui
proses non litigasi, yaitu peradilan adat.
Berikut adalah tabel perbandingan antara penyelesaian sengketa melalui
proses litigasi, non litigasi, dan hukum Islam sebagai berikut:
Tabel 4: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Pencurian Menurut
Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi (peradilan
adat)
Jenis Perkara Kasus pencurian Al Sari>qah
Pencurian ringan
Pencurian berat
(wewenang peradilan
nasional)
Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong
Landasan
penetapan
perkara
KUH Pidana Pasal
362
Qs. Al Maidah 38
Hadits Nabi
Qa>nu>n Aceh Nomor 09
Tahun 2008
Hasil
Keputusan/
Sanksi
Hukuman
penjara selama
lima tahun, atau
Denda Rp. 900,-
Potong tangan
sebagai hukuman
maksimal
Hukuman ta’zir
berupa diyat
sesuai dengan
kerugian yang
diderita oleh
korban
Permohonan maaf
Diyat sesuai kerugian
yang diderita oleh
korban (kasus pertama
RP. 80.000,- yang
menjadi tanggungan
orangtua korban,kasus
kedua Rp. 5.000.000,-,
dan kasus ketiga Rp.
3.000,000,-
Kasus pertama
memberikan sanksi
tambahan kepada ibu
pelaku agar lebih baik
132
dalam mendidik
pelaku, agar pelaku
tidak terjerumus dalam
maksiat.
Proses
penyelesaian
Formal dan
terstruktur
Membutuhkan
waktu yang
lama, biasanya
satu tahun lebih
Biaya
mahal(tanggunga
n korban)
Perkara
diselesaikan
langsung saat
qad}i menerima
laporan
Formal dan non
formal
Formal, terstruktur,
namun fleksibel
Penyelesaian cepat,
kasus pertama tidak
sampai satu bulan, dan
kasus kedua
diselesaikan selama
satu bulan, dan kasus
ketiga diselesaikan
selama kurang dari
satu bulan setelah
pelaporan
Biaya murah
Kesimpulan
Perbuatan pencurian yang dilakukan oleh Faisal (kasus pertama), Sarik (kasus
kedua), dan Rizal Bakri (kasus ketiga) dengan berbagai macam motif dan maksud
kejahatan menyebabkan para pelaku harus berurusan dengan hukum adat. Namun,
setelah diadakan mediasi dan musyawarah damai oleh perangkat gampong antara
para pihak yang bersengketa (pelaku dan korban), dan adanya maaf dari korban,
maka kasus tersebut dapat di selesaikan oleh peradilan adat gampong. Keputusan
hakim dan majelis adat berupa pembayaran diyat (diyat) sebagai kompensasi dari
kerugian yang diderita korban menjadi tanggungan para pelaku kepada korban.
Pelaku juga sudah mengakui kesalahannya dan bertaubat serta berjanji untuk tidak
mengulangi kesalahannya lagi. Keputusan tersebut juga membuat hubungan
persaudaraan antar sesama masyarakat gampong kembali pulih dan membaik.
C. Kasus Penganiayaan
1. Deskripsi dan Kronologi Kasus
a). Penganiayaan di sawah
Perselisihan antara anggota keujruen blang93 dengan petani sawah.
Pada bulan Agustus tahun 2013 sekiranya, terjadi perselisihan antara salah
satu anggota kejruen blang, Arif Rahmadi (bukan nama asli) dengan petani sawah,
tepatnya di gampong Baroe (bukan nama asli), Kec. Nurussalam (bukan nama asli),
Kab. Pidie Jaya. Keujruen blang membuat jadwal pengambilan air bagi para petani
untuk mengairi sawahnya. Pada hari itu, Rahmat Ali (bukan nama asli, pihak
pertama) mendapatkan jadwal mengambil dipagi hari, dan Rusman (bukan nama
asli, pihak kedua) mendapatkan jadwal untuk mengambil air pada sore hari.
93
Adalah lembaga adat pelaksana teknis di gampong yang bertogas menangani
pengaturan pembagian air untuk pertanian dan membantu Keuchik dalam menyelesaiakan
sengketa pertanian.
133
Keujruen blang mengontrol pengambilan air bagi warga gampong baroe
setiap harinya. Pada hari itu, Rahmat Ali yang mendapatkan jatah mengambil air di
pagi hari belum datang tepat waktu. Sementara itu, Rusman yang mendapatkan
jatah pengambilan air sore hari, sudah datang di sawahnya. Ketika ia mengetahui
bahwa pihak pertama belum datang, ia pun meminta kepada keujruen blang untuk
mengambil jatah air di pagi hari. Akhirnya, keujruen blang memberikan jatah air
tersebut, dan bermaksud untuk menukar waktu/jadwal pengambilan air pada hari
itu.
Sekiranya pukul 10.00 pagi, pihak pertama datang dan marah dengan kejruen
blang, karena dia tidak bisa mengambil air waktu sore hari. Karena marah, pihak
pertama memaki kuejruen blang, dan memukul tepat di wajah kuejruen blang,
keujruen blang membalas untuk membela diri sampai mengakibatkan perkelahian
antar keduanya. Pihak kedua bersama beberapa orang petani sawah yang lain yang
menyaksikan cerita tersebut langsung melerai perkelahian dan melaporkan kepada
Keuchikgampong.
Keuchikgampong langsung mendatangi tempat kejadian dan mengajak kedua
belah pihak beserta saksi untuk duduk bersama dan didamaikan. Akhirnya mereka
sepakat untuk di mediasi dan menyelesaikan permasalahan secara damai.
Keduabelah pihak didudukkan bersama di meunasah.94
setelah proses musyawarah
oleh perangkat gampong, akhirnya menghasilkan kesepakatan:
a. Pelaku harus meminta maaf kepada korban atas perilaku kejahatannya
b. Keduabelah pihak bersedia untuk didamaikan dan saling memaafkan
tanpa rasa dendam dikemudian hari
c. Pihak pertama membayarkan diyat kepada gampong sebesar 40 are/40 kg
dari hasil panennya nanti. Hasil panen yang dibayarkan tersebut akan
digunakan oleh perangkat gampong untuk kemaslahatan masyarakat,
khususnya keperluan sawah (rehabilitasi sawah, pembukaan sawah, dll)
d. Kedua belah pihak berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi,
dan tidak akan saling dendam dikemudian hari setelah perdamaian ini
dilakukan.95
Pertimbangan Adat:
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar
telah melanggar reusam adat gampong Baroe tentang kejahatan terhadap fisik.
Alasan pelaku adalah karena pelaku merasa kesal dengan keujruen blang yang
memberikan jatah air tersebut kepada Rustam (pihak kedua), sementara pelaku
tidak dapat mengambil jatah airnya di sore hari karena memiliki pekerjaan yang
lain.
Menimbang, bahwa akibat kejahatan pelaku, terluka memar di bagian wajah,
tepatnya di pipi kanan korban. Pelaku mengakui kekhilafannya karena emosi
94
Proses penyelesaian sengketa langsung di lakukan beberapa saat setelah kejadian
tersebut. Keuchik beserta Tuha Peuet dan sekretaris gampong langsung mendinginkan
suasana dan mengajak damai bagi kedua belah pihak. 95
Wawancara pribadi dengan Keuchik Gampong Bpk. Tgk. Ahmad (bukan nama
asli)
134
kepada korban sehingga memukul korban. Pelaku juga bersedia bertanggung jawab
atas kesalahan yang telah dilakukannya.
Menimbang bahwa korban dengan terpaksa telah memukul pelaku sehingga
mengakibatkan nyeri di bagian perut sebagai wujud pembelaan diri.
Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat
gampong kedua belah pihak (Keuchik, danTuha Peuet) bertujuan untuk
memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah pihak dan masyarakat.
Putusan Adat:
1. Menyatakan bahwa saudara Rahmat Ali secara sah bersalah dan melakukan
kasus adat penganiayaan terhadap Arif Rahmadi.
2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah
mencelakai korban. Hal ini dikarenakan pelaku emosi terhadap korban karena
keputusan korban memberikan jatah air kepada Rusman .
3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,
menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
a. Pelaku harus meminta maaf kepada korban atas perilaku kejahatannya.
b. Keduabelah pihak bersedia untuk didamaikan dan saling memaafkan
tanpa rasa dendam dikemudian hari
c. Pihak pertama membayarkan diyat kepada gampong sebesar 40 are/40
kg dari hasil panennya nanti. Hasil panen yang dibayarkan tersebut akan
digunakan oleh perangkat gampong untuk kemaslahatan masyarakat,
khususnya keperluan sawah (rehabilitasi sawah, pembukaan sawah, dll)
d. Kedua belah pihak berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi,
dan tidak akan saling dendam dikemudian hari setelah perdamaian ini
dilakukan.
4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil
musyawarah dengan perangkat gampong.96
b). Penganiayaan karena Selisih Paham Setelah Pemilu
Pada tanggal 10 April tahun 2014, terjadi Penganiayaan yang dilakukan oleh
Moh. Arsyad (bukan nama asli, pihak pertama) kepada Tgk. Razaq (bukan nama
asli, pihak kedua). Peristiwa tersebut terjadi di gampong Sukadamai (bukan nama
asli), kec. Cot Masjid (bukan nama asli), Kab. Pidie.
Peristiwa tersebut berawal dari pihak pertama yang kecewa karena partai
yang ia dukung kalah dalam pemilihan umum (pemilu) legislatif yang diadakan
pada tanggal 10 April 2014 silam. Karena kesal, ia langsung mendatangi tempat
pemungutan suara dan langsung memarahi petugas TPS yang berada disana. Pihak
kedua yang sedang duduk terkena amukan pihak pertama. Pihak pertama
mengambil bangku dan memukul badan pihak kedua, sehingga mengenai pundak
dan kepala pihak kedua, pihak kedua membalas perlakuan pihak pertama untuk
pembelaan diri sampai akhirnya terjadi keributan antara keduabelah pihak.
96
Wawancara pribadi dengan Keuchik Gampong Bpk. Tgk. Ahmad (bukan nama
asli)
135
Masyarakat setempat langsung melerai perkelahian tersebut dan salah satu
dari mereka, Ahmad Zaini (bukan nama asli), sebagai saksi yang juga berada pada
tempat kejadian ketika itu, langsung memanggil Keuchikgampong. Setelah
Keuchik datang, Tgk. Razaq langsung dibawa ke puskesmas setempat untuk di
tangani lebih lanjut oleh medis, karena terdapat luka yang cukup parah di bagian
kepala. Sedangkan pihak pertama langsung dibawa ke meunasah untuk didinginkan.
Sekretaris gampong membuat jadwal persidangan antara kedua belah pihak
setelah luka pihak kedua dianggap sembuh.
Tiga hari berikutnya, keduabelah pihak dipanggil oleh perangkat gampong
setempat untuk menyelesaikan masalah mereka. Merekapun didudukkan bersama
dan dimediasi oleh perangkat gampong. Akhirnya mereka bersedia untuk berdamai.
Pertimbangan Adat:
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar
telah melanggar reusam adat gampong Sukadamai tentang kejahatan terhadap fisik.
Alasan pelaku adalah karena pelaku merasa kesal karena partai yang dijagokannya
tidak menang dan mengira ada kecurangan pada panitia penyelenggara pemilihan
umum di gampong Sukadamai
Menimbang, bahwa akibat kejahatan pelaku, korban terluka dibagian pundak
dan kepala belakang, selain itu juga pada kaki korban sehingga mengakibatkan
korban kesulitan untuk menjalankan aktifitas sehari-hari. Pelaku mengakui
kekhilafannya karena emosi kepada panitia penyelenggara pemilihan umum, dan
pada saat itu, korban yang juga merupakan panitia penyelenggara menjadi sasaran
pelaku. sehingga memukul korban. Pelaku juga bersedia bertanggung jawab atas
kesalahan yang telah dilakukannya.
Menimbang bahwa korban dengan terpaksa telah memukul pelaku sehingga
mengakibatkan memar di bagian wajah sebagai wujud pembelaan diri.
Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat
gampong kedua belah pihak (Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah)
bertujuan untuk memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah pihak dan
masyarakat, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1. Pelaku meminta maaf kepada pihak kedua atas apa yang
dilakukannya
2. Korban bersedia memaafkan pelaku dan berjanji untuk tidak
membawa permasalahan ini ke ranah hukum.
3. Pihak pertama membayar diyat Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah)
kepada pihak kedua untuk membayar kerugian yang diderita pihak
kedua, termasuk biaya pengobatan pihak kedua
4. Pihak pertama berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi.
Apabila ia mengulanginya lagi, maka ia harus bersedia untuk di
proses sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Negara republik
Indonesia.
Putusan Adat
1. Menyatakan bahwa saudara Moh. Arsyad secara sah bersalah dan melakukan
kasus adat penganiayaan terhadap Tgk. Razaq .
136
2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah
mencelakai korban. Hal ini dikarenakan pelaku emosi terhadap korban yang
merupakan salah satu panitia penyelenggara pemilihan umum karena partai
yang dijagokan oleh pelaku kalah dalam pemilu tersebut.
3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,
menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
a. Pelaku meminta maaf kepada pihak kedua atas apa yang dilakukannya
b. Korban bersedia memaafkan pelaku dan berjanji untuk tidak membawa
permasalahan ini ke ranah hukum.
c. Pihak pertama membayar diyat Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) kepada
pihak kedua untuk membayar kerugian yang diderita pihak kedua,
termasuk biaya pengobatan pihak kedua
d. Pihak pertama berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi.
Apabila ia mengulanginya lagi, maka ia harus bersedia untuk di proses
sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Negara republik Indonesia.
4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil
musyawarah dengan perangkat gampong.
c). Penganiayaan Karena Perebutan Lapak Penjualan Buah Durian
Pada hari selasa, tanggal 26 November 2013, terjadi perselisihan antara
Hamdan (pihak pertama, bukan nama asli) denganSyahputra (pihak kedua, bukan
nama asli) karena perebutan lapak penjualan durian. Peristiwa tersebut terjadi di
gampong Mekar Ayu (bukan nama asli), kec. Nurul Makrifat (bukan nama asli),
Kab. Bener meriah.
Perselisihan bermula pada pihak pertama yang mendatangi pihak kedua di
lapaknya karena ia ingin juga berjualan di tempat yang di tempati oleh pihak
pertama. Pihak kedua, sebagai warga gampong Mekar Ayu juga merasa berhak
untuk berjualan di lapak tersebut.97
Pelaku mendatangi korban dengan emosi dan langsung meminta korban
untuk segera memberikan lapaknya dan pindah ke tempat lain. Karena merasa
dirinya sudah lama menempati tempat tersebut, korban tidak mau menyerahkan
lapaknya dan pindah ketempat lain karena tempat tersebut sangat setrategis.
Pelaku marah dan emosi, kemudian langsung memukul korban di bagian wajah.
Korban membalas pukulan pelaku sampai akhirnya pelaku mengeluarkan pisau dan
melukai perut korban.
Korban segera dibawa ke puskesmas oleh pedagang sekitar lapak tersebut,
sementara pelaku diamankan oleh salah satu warga.
Karena merasa dirugikan, sepulang dari puskesmas, korban beserta
keluarganya langsung melaporkan kepada polsek Bener Meriah. Akan tetapi,
karena perselisihan tersebut menjadi wewenang gampong, maka polsek
mengembalikan permasalahan untuk diselesaikan oleh perangkat gampong.
97
Lapak tersebut sangat setrategis karena terletak di pinggir jalan raya. Jalan
tersebut adalah akses jalan utama yang dilewati oleh kendaraan ke Bireun, dan takengon,
Aceh Tengah.
137
Tepat pukul 00.30 waktu setempat, pada tanggal 27 November 2013, pelaku
melaporkan kejadian tersebut kepada Keuchik gampong Mekar Ayu. Saat itu juga,
Keuchik langsung menenangkan korban dan menghubungi Tuha Peuet untuk
membahas permasalahan tersebut. Akhirnya, korban bersedia untuk menyelesaikan
masalah tersebut secara damai dan musyawarah.
Keesokan harinya, keduabelah pihak didudukkan bersama oleh Keuchik dan
perangkat gampong yang lain guna menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. 98
Pertimbangan Adat:
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar
telah melanggar reusam adat gampong Mekar Ayu tentang kejahatan terhadap fisik.
Alasan pelaku adalah karena pelaku juga ingin menjual hasil panen duriannya di
lapak tersebut, karena pelaku juga merupakan warga di gampong Mekar Ayu.
Pelaku menginginkan korban memberikan kesempatan kepada keluarganya untuk
berjualan di tempat tersebut.
Menimbang, bahwa akibat kejahatan pelaku, korban terluka dibagian perut.
Pelaku mengakui kekhilafannya karena emosi kepada korban. Penyebabnya adalah
karena korban tidak mau memberikan lapaknya kepada pelaku. Pelaku juga
menyadari bahwa lapak itu adalah dibangun diatas tanah/lahan milik gampong,
sehingga siapapun berhak untuk berjualan di tempat tersebut, termasuk korban.
Adapun korban sudah terlebih dahulu berjualan di tempat tersebut selama lima
tahun lebih. Pelaku juga bersedia bertanggung jawab atas kesalahan yang telah
dilakukannya.
Menimbang bahwa lapak tersebut, adalah dibangun diatas tanah milik
gampong. Adapun korban yang sudah menempati lapak tersebut belum
mendapatkan izin dari Keuchik untuk menduduki tempat tersebut. Hal ini juga
dirasakan sama dengan penjual lain yang berada di sekitar lapak tersebut. Dengan
demikian, Keuchik dan perangkat gampong akan memperbaiki sistem penjualan
durian di gampong Mekar Ayu.
Menimbang, bahwa sebelum kejadian tersebut, keduabelah pihak pernah
terlihat bertengkar karena permasalahan kecil, dan permasalahan tersebut sekarang
menjadi berat karena permasalahan penganiayaan ini.
Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat
gampong kedua belah pihak (Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah)
bertujuan untuk memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah pihak dan
masyarakat, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1. Pihak pertama menyatakan dengan sadar dan ikhlas mengakui kekhilafan
dan kesalahpahaman atas persengketaan yang terjadi, dan tidak akan
menuntut dan mengancam dikemudian hari.
2. Pihak pertama membayarkan diyat sebanyak Rp. 3.000.000 (Tiga Juta
Rupiah) untuk biaya pengobatan dan kerugian pihak kedua.
98
Wawancara pribadi dengan Keuchik Gampong (bpk Rahmat), bukan nama asli
138
3. Pihak pertama dipeusijuk oleh perangkat gampong setelah pihak kedua
sembuh
4. Apabila keduabelah pihak mengulangi kesalahan yang sama untuk yang
keduakalinya, maka keduabelah pihak siap untuk dituntut sesuai hukum
yang berlaku di NKRI.
Putusan Adat
1. Menyatakan bahwa saudara Hamdan secara sah bersalah dan melakukan kasus
adat penganiayaan terhadap Syahputra.
2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah
mencelakai korban. Hal ini dikarenakan pelaku emosi terhadap korban karena
korban tidak memberikan lapak penjualan yang di tempatinya kepada pelaku.
3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,
menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
a. Pihak pertama menyatakan dengan sadar dan ikhlas mengakui kekhilafan
dan kesalahpahaman atas persengketaan yang terjadi, dan tidak akan
menuntut dan mengancam dikemudian hari.
b. Pihak pertama membayarkan diyat sebanyak Rp. 3.000.000 (Tiga Juta
Rupiah) untuk biaya pengobatan dan kerugian pihak kedua.
c. Pihak pertama dipeusijuk oleh perangkat gampong dan pihak kedua setelah
pihak kedua sembuh
d. Apabila keduabelah pihak mengulangi kesalahan yang sama untuk yang
keduakalinya, maka keduabelah pihak siap untuk dituntut sesuai hukum
yang berlaku di NKRI.
4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil musyawarah
dengan perangkat gampong.99
Dalam kasus ini, pelaku merasa keberatan dengan diyat yang diberikan oleh
perangkat gampong dan pihak kedua, meskipun Keuchik telah memberikan
tenggang waktu pembayaran. Hal ini dikarenkan kondisi ekonomi pihak pertama
yang kurang, karena pihak pertama hanya bekerja sebagai petani kebun. Ia hanya
mampu untuk membayarkan Rp. 1.500.000,- (setengah dari diyat yang diajukan).
Atas keberatan yang diajukan pihak pertama, maka Keuchik beserta
perangkat gampong memaklumi kekurangan pihak pertama. Akhirnya, Keuchik
beserta perangkat gampong yang lain melunasi setengah dari diyat tersebut kepada
korban (pihak kedua) atas kesepakatan bersama dan keikhlasan bersama.100
2. Analisa Kasus Perspektif Hukum Pidana Indonesia
Penganiayaan berasal dari kata aniaya, dalam kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI), penganiayaan berarti perlakuan yang sewenang-wenang (Penyiksaan,
penindasan, dll).101
Tindak pidana penganiayaan diatur dalam KUHP pasal 351 dan
99
Dokumentasi gampong, 28 November 2013, ditandatangani oleh Keuchik,
Sekretaris desa, dan kedua belah pihak 100
Wawancara pribadi dengan Keuchik Gampong (bpk Rahmat), bukan nama asli 101Kamus Besar bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta, 2008, 91
139
pasal 352.102
Undang-Undang tidak memberikan ketentuan apakah yang diartikan
dengan ‚penganiayaan‛ itu. Menurut yurisprudensi, yang diartikan dengan
penganiayaan adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa
sakit (pijn), atau luka. Menurut alinea empat dari pasal ini, masuk pula dalam
pengertian penganiayaan ialah ‚sengaja merusak kesehatan orang‛. Semuanya harus
dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang patut dan melewati batas
yang diizinkan.103
Penganiayaan ini dinamakan penganiayaan biasa. Yang bersalah
diancam hukuman yang lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatkan luka
beratatau matinya si korban.104
Tindak pidana yang termasuk dalam pasal 352 adalah ‚penganiayaan
ringan‛. Yang masuk dalam pasal ini ialah penganiayaan yang tidak menyebabkan
sakit (walaupun menimbulkan rasa sakit), dan tidak menimbulkan halangan untuk
menjalankan jabatan atau melakukan pekerjaan sehari-hari.105
Kasus penganiayaan yang diatur dalam KUHP pasal 351-356 mengandung
beberapa unsur-unsur sehingga seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana, yaitu:
Pertama adalah unsur subjektif, yaitu adanya kesengajaan.106
Kedua, unsur objektif,
yaitu adanya perbuatan, dan adanya akibat dari perbuatan yang dituju, yakni rasa
sakit pada tubuh dan luka pada tubuh.107
102
Pasal 351: (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana diyat paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 352: (1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan atau pidana diyat paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu
terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(3) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. 103
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (Bogor: Politeia, 1995), 244-245.
104 R. Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 367
105R. Soesilo, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-
komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, 246. 106
Maksudnya adalah ‚willen en wetens‛. Dalam artian pembuat harus
‚menghendaki‛ melakukan perbuatan tersebut dan juga harus ‚mengerti‛ akan akibat dari
perbuatan tersebut. (Lihat: Putusan pengadilan: http://www.pn-
mandailingnatal.go.id/putusan/FILE_124Pen.Pid2012PN.Mdl.pdf (diakses pada 30 Juli
2014). 107
Maksudnya adalah perbuatan dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak,
rasa sakit, atau luka.
140
Kasus Pertama, Penganiayaan yang dilakukan di sawah oleh Rahmat Ali
kepada Kejruen Blang, apabila dilihat dari unsur subyektif dan obyektif sudah
terpenuhi untuk dijatuhi hukuman, karena masuk kedalam tindak pidana
penganiayaan ringan. Pertama, pelaku dengan sengaja memukul korban, sehingga
mengakibatkan korban terluka memar pada pipi kanan korban. Hal itu dilakukan
pelaku karena ia merasa kesal dengan korban memberikan jatah airnya kepada pihak
kedua. Meskipun ia juga mengakui, bahwa ia juga melakukan kesalahan tidak hadir
tepat waktu tanpa alasan.
Korban, yang merupakan aparat gampong, dalam hal ini juga mengaku
kesalahannya karena mengambil keputusan sepihak dengan memberikan jatah air
tersebut kepada pihak kedua tanpa persetujuan pihak pertama, karena pihak
pertama yang di tunggu sekian lama tidak hadir. Pemberian jatah air tersebut,
menurut korban adalah hukuman bagi pelaku karena tidak datang tepat waktu tanpa
lasan, sementara pihak kedua datang dan bersedia untuk bertukar jadwal pembagian
air dengan pelaku pada hari itu.
Melalui proses mediasi dan perdamaian, maka kedua belah pihak mengakui
kesalahannya. Pelaku mengakui kesalahannya karena telah memukul korban karena
kesal, dan korban mengakui kesalahannya karena memberikan jatah air tanpa
bermusyawarah dengan pelaku.
Mengingat kasus penganiayaan ringan termasuk kedalam wewenang
gampong, maka Keuchik dan fungsionaris gampong berusaha untuk memberikan
hukuman dengan adil bagi kedua belah pihak. Pada hakikatnya yang diinginkan
oleh masyarakat sebenarnya dititik beratkan bukan pada penegakkan hukumnya,
tetapi kepada nilai-nilai ketentraman dan kedamaian masyarakat.108
Pemberian
hukuman berupa permohonan maaf bagi kedua belah pihak dan diyat diyat oleh
pelaku berupa 40 are hasil panen adalah sudah tepat. Pelaku dan korban saling
memaafkan satu sama lain, sehingga mengembalikan kerukunan hidup
bermasyarakat antara kedua belah pihak, karena pertimbangan pertama pemberian
hukuman adalah terpeliharanya kerukunan dalam masyarakat. Kerukunan akan
timbul manakala suatu putusan sesuai dengan rasa keadilan masyarakatnya. Adapun
diyat bagi pelaku adalah wujud permohonan maaf pelaku kepada gampong karena
telah memulai untuk membuat keributan di sawah. Hasil panen tersebut akan di
gunakan oleh perangkat gampong untuk kepentingan persawahan.
Perjanjian antara kedua belah pihak agar tidak ada dendam di kemudian hari
adalah wujud dari ikhlasnya kedua belah pihak untuk saling memaafkan, dan
pertimbangan kerukunan dalam masyarakat juga, karena salah satu tujuan
ditegakkannya adat Aceh adalah supaya warga senanggroe aman sentosa, hidup tak
sengsara, sejahtera lahir batin, serta hasanah di dunia dan akhirat, karena manusia
yang beradat adalah menusia yang berbudi tulus dan mulia, dan berakhlaq kari>mah.
108
Badruzzaman Isma’il, ‚Dasar Hukum Penerapan Hukum Adat: Pelaksanaan
Peradilan Adatdi Aceh‛, Makalah Disampaikan Pada Pelatihan Peradilan Adat Bagi
Fungsionaris Adat se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tanggal 4-8 September 2007,
Majelis Adat Aceh, 2007.
141
Adapun membiarkan kebencian dan dendam merasuk dalam hati seseorang hanya
akan menyusahkannya dan membawanya kepada jurang perpecahan.109
Kasus Kedua, yaitu penganiayaan yang dilakukan oleh Moh. Arsyad kepada
Tgk. Razaq, mengakibatkan korban terluka di bagian kepala belakang dan pundak.
Penganiayaan tersebut, sudah memenuhi unsur subyektif dan obyektif pasal 351
tentang penganiayaan ringan. Pelaku, dengan sengaja mengambil bangku dan
memukulkannya kepada korban sehingga mengenai pundak dan kepala belakang
korban. Hal tersebut diakui pelaku, karena ia merasa kesal kepada panitia
pelaksana pemilu lergislatif karena partai yang dijagokannya kalah. Ia menyangka
ada kecurangan dalam pemilihan tersebut. Untuk itu, ia segera mendatangi panitia.
Adapun korban merupakan salah satu panitia pelaksana pemilu di gampong tersebut
dan korban berada di tempat, maka kemarahan pelaku dilampiaskan kepada korban.
Kasus ketiga, penganiayaan oleh pelaku Hamdan, kepada korban Syahputra
karena perebutan lapak penjualan buah durian. Penganiayaan tersebut
mengakibatkan Syahputra luka cukup berat (luka tusukan pisau di bagian perut
sedalam lima centimeter). Luka tersebut mengakibatkan korban tidak dapat
menjalankan aktifitasnya seperti sediakala. Adapun penyebab penganiayaan
tersebut adalah pelaku merasa bahwa karena karena korban tidak mau memberikan
lapak penjualan yang dibangun atas tanah milik gampong kepada pelaku. Maksud
dari pelaku adalah bahwa pelaku juga ingin merasakan untuk mengais rezeki dengan
menjual duriannya. Hal tersebut dilakukan pelaku karena melihat korban sudah
menempati lapak tersebut bertahun-tahun, dan pelaku ingin bergantian untuk
berjualan di lapak tersebut. Kedua belah pihak (pelaku dan korban) adalah saling
bersaudara antar masyarakat gampong Mekar Jaya, maka, keputusan korban untuk
memaafkan pelaku sudah tepat. Adapun keputusan hakim memberikan diyat
sebesar RP. 3.000.000,- adalah sudah tepat, karenadiyat/diyat tersebut adalah hasil
musyawarah antara korban (menaksir kerugiannya) dan kemampuan pelaku.
Meskipun pelaku merasa keberatan dengan diyat yang di berikan, dan hanya
bersedia membayar setengah dari diyat tersebut, akan tetapi korban tidak
keberatan, karena penanggungan setengah dari diyat tersebut dibayarkan oleh
perangkat gampong. Penanggungan yang diambil alih oleh perangkat gampong
adalah dilakukan untuk menghindari persengketaan/konflik yang lebih lanjut, dan
lebih mengedepankan perdamaian dan kerukunan bagi warga gampongnya. Namun
keuchik harus dengan tegas dapat membedakan dan memilih apakah kasus tersebut
menjadi wewenang gampong atau bukan. Penyelesaian sengketa pidana berat oleh
gampong dapat saja berdampak negatif, disamping terdapat dampak positif yang
lebih banyak. Pemberian sanksi yang tidak sesuai dengan kesalahan pelaku tindak
pidana berat akan menjadi salah satu faktor timbulnya recidivist pelaku kejahatan,
meskipun penyelesaian kasus melalui peradilan adat mementingkan hak korban,
tapi efek jera pelaku tindak pidana juga harus diperhatikan.
109
Tgk. Raja Itam Aswar, ‚Penegakkan Nilai-Nilai Hukum Adat Bagi Generasi Muda
Dalam Membangun Keadilan Hukum di Aceh‛, Makalah Disampaikan Pada
Dialog/Sosialisasi Untuk Generasi Muda dan Mahasiswa Mengenai Adat Istiadat dan
Hukum Adat Tahun 2007, Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
142
Adapun proses penyelesaian melalui peradilan adat yang memang
dikondisikan dengan rasa sejuk, damai dan nyaman lebih diinginkan oleh
keduabelah pihak. Meskipun keluarga korban sempat mengadukan perkara/kasus
tersebut kepada pihak yang berwajib, namun keputusan untuk menyelesaikan kasus
secara damai adalah pilihan akhir bersama kedua belah pihak. Proses mediasi dan
musyawarah yang dilakukan oleh perangkat gampong pada kasus kedua dan ketiga
membuat pelaku menyesal atas kejahatan yang dilakukannya. Ia sadar bahwa
kejahatan yang dilakukannya merugikan orang lain. Ia pun berjanji untuk membayar
semua kerugian yang diderita oleh korban. Adapun korban, melihat bahwa pelaku
sudah meminta maaf dan menyesali perbuatannya, ia memaafkan pelaku dan
bersedia berdamai, dengan catatan, pelaku tidak mengulangi kejahatannya lagi, baik
kepadanya ataupun kepada orang lain.
Putusan hakim memberikan hukuman berupa permohonan maaf dan diyat
diyat kepada pelaku sudah tepat. Permohonan maaf adalah wujud penyesalan
pelaku akan kesalahannya, dan pembayaran diyat kepada korban adalah untuk
mengganti kerugian yang diderita korban, termasuk biaya pengobatan korban.
Masyarakat Aceh sangat mencintai kedamaian dan tidak mengenal kata
dendam. Akan tetapi, masyarakat mengenal tueng bila110 yang dilakukan karena
terpaksa dengan tujuan untuk membela diri untuk menegakkan kehormatan, agama,
martabat, keluarga, harta benda, dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan
oleh perbuatan menghina/melukai hati orang. Dalam hubungan harga diri, paduan
nilai-nilai preventif dengan represif hampir berimbang dalam kultur masyarakat
Aceh. Karena itu faktor perdamaian sangat dominan dalam kehidupan masyarakat
dan menjadi senjata pamungkas yang diterapkan oleh perangkat gampong, jika
timbul persengketaan.111
Pada satu sisi, dalam hal ini peradilan adat dinilai fleksible, tidak
memberatkan, dan sangat memperhatikan kemampuan korban dalam memberikan
hukuman diyat. Akan tetapi, pada sisi lain, ketegasan seorang pemimpin (dalam hal
ini adalah Keuchik dan perangkat gampong) sangat benar-benar di butuhkan, karena
melihat kejahatan yang dilakukan pelaku yang menyebabkan korban tidak dapat
menjalankan aktifitasnya seperti sediakala dalam beberapa waktu. Hal ini sangat
merugikan korban dan tidak sebanding dengan apa yang sudah dilakukan oleh
pelaku. Adapun penanggungan oleh perangkat gampong pada kasus ketiga juga
memiliki dampak negatif bagi pelaku, yang menyebabkan tujuan diberikannya
hukuman yaitu untuk mendidik, dan memberikan efek jera tidak dapat terlaksana
dengan optimal.112
Keputusan hakim selanjutnya adalah memberikan hukuman menyembelih
seekor kambing dan peusijuek113
adalah sesuai dengan kultur dan budaya
110
Maksudnya adalah menuntut bela atas kerugian yang diterima. 111
Wawancara pribadi dengan Badruzzaman isma’il, 29 April, 2014, pukul 14.30 112
Wawancara pribadi dengan Keuchik gampong, pada tanggal 12 Mei 2014 pukul
17.30.WIB 113
Peusijuek (tepung tawari) berasal dari kata sijue’ yang berarti dingin. Dingin atau
sejuk, dalam beberapa daerah disebut juga kedamaian, ketentraman. Peusijuek dalam
143
masyarakat Aceh yang sangat mencintai perdamaian. Peusijuek ini dilakukan untuk
mendamaikan hati bagi pelaku dan korban, agar mereka dapat duduk bersama
kembali dikemudian hari, dan seolah-olah tidak pernah terlibat dalam
persengketaan. Dengan peusijuek diharapkan emosi menjadi reda dan dapat melihat
masalah dalam perspektif yang berimbang dan damai.
Adapun perjanjian antara keduabelah dengan perangkat gampong untuk tidak
mengulangi kesalahannya lagi adalah bentuk kesadaran keduanya dari kealpaannya
yaitu melakukan pertengkaran. Penyelesaian sengketa melalui peradilan adat ini
adalah bentuk teguran awal bagi kedua belah pihak agar mentaati hukum yang
berlaku, karena apabila kesalahan yang sama dilakukan kembali, baik korban
maupun pelaku sudah tidak memiliki iktikad baik untuk memperbaiki dirinya,
untuk itu seseorang yang tidak dapat berubah setelah diberikan peringatan awal,
maka baginya diberikan kebijakan, peringatan atau sanksi yang lebih tinggi lagi
agar ia merasa jera dan dapat mengambil pelajaran atas apa yang dilakukannya.
3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam
Menurut al-Zuh}ayli> kejahatan atau kekerasan terhadap fisik adalah, setiap
bentuk kejahatan terhadap tubuh manusia berupa pemotongan suatu anggota tubuh
manusia berupa pemotongan suatu anggota tubuh, pelukaan, atau pemukulan,
sementara si korban masih tetap hidup. Kejahatan terhadap fisik menurut Ulama
Hanafi>yah dan ulama Maliki>yah ada dua macam, pertama ada kalanya dilakukan
dengan sengaja114
, atau ada kalanya dilakukan secara tersalah.115
penyelesaian sengketa disebut peusijuek meulanga. Peralatan yang dibutuhkan dalam
upacara peusijuek adalah dalong (bejana terbuat dari tembaga), Bu Leukat (ketan berwarna
kuning dan putih), Breuh-Pade (padi), Teupong Taweuwe (tepung tawari), kain putih 6
hasta, pakaian satu salin dan uang, sirih dan lengkap, bunga dan daun (daun pinang, daun
keladi, daun inai, daun kesijuk, daun pandan pulu, bunga mameru, dan rumput hijau.
Dalong diisi dengan air dibubuhi tepung tawar sedikit, dan dimasukkan seluruh
tumbuh-tumbuhan itu diikat menjadi sebuah berkas kecil dan dengan itu dipercikkanlah
orang yang hendak didinginkan atau obyek itu. Kemudian orang tersebut disuntingkan ketan
kuning di belakang daun telinganya. Selanjutnya, pelaku membayar sayam/diyat yang sudah
disepakati kepada korban. Kemudian kedua belah pihak bersalaman sebagai tanda bahwa
kedua belah pihak saling memaafkan.
Adapun seekor kambing yang disembelih oleh pelaku adalah untuk perlengkapan
proses upacara tersebut, menjamu perangkat gampong, keluarga kedua belah pihak, dan juga
masyarakat yang hadir. Akan tetapi, jika pelaku tidak sanggup untuk menyembelih seekor
kambing, maka majelis adat berunding kembali, dan pada akhirnya, pelaku hanya
dibebankan diyat menyembelih seekor ayam.
Setelah itu, upacara peusijuek di tutup dengan membaca do’a yang dipimpin oleh
Tengku Meunasah, yaitu membaca sholawat nabi tiga kali, Surat Al Ma’un tiga kali, dan
Surat Al baqarah ayat 255. 114
Maksudnya adalah kekerasan fisik yang memang dialakukan oleh pelaku secara
sengaja dengan maksud dan keinginan memang untuk menganiaya dan menciderai korban,
seperti pelaku memukul atau melempar korban dengan desuatu.
144
Kekerasan fisik sengaja menurut hukum Islam ada kalanya berupa
pemotongan anggota tubuh (al at}ra>f)116
atau yang menyebabkan anggota tubuh (al
at}ra>f) kehilangan fungsinya, dan ada kalanya berupa pelukaan pada selain kepala
yang di kenal dengan istilah ‚al Jira>h‛117
atau pada kepala dan muka yang dikenal
dengan istilah ‚al-shija>j‛. Adapun hukuman untuk kekerasan fisik kategori pertama
(pemotongan anggota tubuh) adalah qis}a>s} atau diyat dan ta’zi>r. Hukuman untuk
kategori kekerasan fisik penghilangan fungsi dan kegunaan anggota tubuh adalah
diyat dan ursy118, sedangkan hukuman untuk kekerasan fisik berupa pelukaan (Jira>h
atau shija>j) adalah qis}a>s} atau ‘ursh, atau huku>mah al-‘adl.119
Hukuman pertama adalah qisas}s. Penerapan pada hukuman qisas}s untuk
kekerasan fisik terhadap anggota tubuh, harus memenuhi sejumlah syarat tertentu.
Adapun syarat-syarat tersebut menurut Ulama Hanafi>yah adalah: pelaku adalah
orang berakal, balig}h, bersengaja, atas kemauan sendiri, bukan karena dipaksa,
bukan berstatus as}l (orang tua, kakek, nenek, dan seterusnya keatas) bagi korban,
korban berstatus ‘is}mah (terlindungi darahnya), dan bukan merupakan bagian
keluarga (anak, cucu, dan seterusnya kebawah) dari korban, kejahatan yang ada
adalah kejahatan secara langsung bukan dengan sebab., dengan demikian,
pelaksanaan qis}a>s} memungkinkan untuk dilakukan karena dimungkinkannya untuk
mengambil pembalasan yang sama terhadap pelaku.
Terdapat hal-hal umum dan khusus yang menghalangi qis}a>s}. Hal-hal umum
yang menghalangi pelaksanaan qis}a>s} menurut al-Zuhayli> adalah: pertama, ikatan
kebapakkan (al ubuwwah)120
, tidak adanya kesepadanan (takafu’) antara pelaku dan
korban121
, kekerasan fisik yang dilakukan adalah masuk pada kategori kekerasan
115
Kekerasan fisik secara tersalah adalah tindakan yang memang dilakukan dengan
sengaja oleh pelaku namun sama sekali tidak ada maksud dan keinginan untuk menciderai
dan menganiaya, seperti seorang melempar batu dari jendela, lalu batu itu mengenai kepala
orang lain sehingga menyebabkan kulitnya terkelupas dan tulangnya terlihat.Wahbah
Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r al-Fikr al-‘Ilmi>yah, 1997),
5737 116
Anggota tubuh al-at}ra>f adalah anggota tubuh yang memiliki batas ujung seperti
telinga, tangan, dan kaki. 117
Adalah luka yang diakibatkan oleh tindakan pelukaan pada anggota badan selain
kepala dan muka. 118
‘Ursh adalah suatu harta kompensasi wajib yang telah ditentukan oleh shara’
karena suatu kejahatan terhadap fisik atau anggota tubuh. 119
Huku>mah al ‘adl adalah suatu harta atau kompensasi yang besarnya ditentukan
oleh hakim dengan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman para ahli karena suatu
tindakan kejahatan fisik yang tidak ada keterangan dalil shara’ tentang berapa besaran harta
kompensasinya. 120
Orang tua tidak dikenai hukuman qis}a>s} karena kejahatan dan kekerasan fisik yang
dilakukannya terhadap anaknya, sam aseperti kasus kejahatan pembunuhan. 121
Menurut Ulama Hanafi>yah ada dua kasus yang kejahatan terhadap fisik yang
didalamnya tidak ditemukan kesepadanan antara pelaku dan korban, yaitu perbedaan jenis
kelamin dan tidak adanya kesamaan jumlah. Adapun menurut jumhur dua kasus yang tidak
adanya kesepadanan adalah status merdeka dan status keIslaman.
145
fisik mirip sengaja122
, kekerasan fisik yang terjadi dikawasan da>r al-harb, dan qis}a>s},
dan kasus yang tidak mungkin untuk diambil qis}a>s}. Adapun hal-hal khusus yang
menghalangi qis}a>s} dalam kejahatan berupa kekerasan terhadap fisik ada tiga,
pertama tidak adanya kesamaan dan keserupaan pada tindakan (melebihi batas),
Tidak adanya kesamaan dan kesepadanan kadar dan kemanfaatan (fungsi) pada
letak pencederaan, dan tidak adanya kesamaan dan keserupaan pada kondisi normal
dan utuh.
Adapun hukuman kedua menurut Ulama maliki>yah adalah ta’zi>r (hukuman
adab), yaitu disesuaikan kepada kebijakan dan ijtihad hakim, apakah itu kekerasan
fisik sengaja yang didalamnya tidak terdapat kewajiban qis}a>s}, ataupun kekerasan
fisik sengaja yang didalamnya terdapat kewajiban qis}a>s}, namun Jumhur fuqaha>
berpendapat bahwa selama pelaku sudah dihukum qis}a>s}, tidak perlu ada tambahan
hukuman ta’zi>r lagi.
Hukuman cadangan pengganti untuk kasus kejahatan berupa kekerasan fisik,
yaitu diyat dan ‘Ursh. Apabila pengqis}a>s}an terhadap pelaku tidak bisa dilaksanakan
karena suatu sebab, maka sebagai gantinya adalah hukuman berupa kewajiban
membayar diyat. Hukuman berupa kewajiban diyat utuh dijatuhkan atas tindak
kekerasan fisik yang menghilangkan fungsi anggota tubuh. Akan tetapi, jika
kekerasan fisik yang ada adalah kekerasan fisik yang hanya menghilangkan
sebagian fungsi anggota tubuh, seperti merusak salah satu tangan atau merusak
salah satu jari, maka hukumannya adalah ‘ursh (diyat tidak utuh). Ursh ada dua
macam, pertama ‘ursh yang jenis besarannya telah ditentukan oleh shara’ secara
pasti, seperti ‘ursh kedua tangan dan ‘ursh satu mata. Kedua, ursh yang jenis
besarannya tidak ditentukan oleh shara’, akan tetapi penentuan ditetapkannya
diserahkan kepada kebijakan hakim atau huku>mah al-‘adl.123
Diantara jenis luka sha>jjah menurut Ulama Hanafi>yah ada sebelas macam,
yaitu: pertama, luka h}a>rishah yaitu luka lecet namun tidak sampai ada darah yang
nampak; kedua, luka da>mi’ah, yaitu luka lecet yang sampai ada darah yang nampak
namun tidak sampai mengucur seperti air mata pada mata; ketiga, luka da>miyah
(berdarah), yaitu luka yang sampai mengucurkan darah; keempat, luka ba>d}i’ah,
yaitu luka memotong dan merobek daging; kelima, luka mutala>himah, yaitu daging
yang hilang dan terpotong ukurannya lebih banyak dari daging yang terpotong pada
luka ba>d}i’ah; keenam, luka simha>q, yaitu luka yang memotong daging hingga
menampakkan lapisan kulit halus (selaput tulang) yang terdapat antara daging dan
tulang; ketujuh, luka muwa>d}ih}ah, yaitu luka yang sampai merobek selaput
tulanghingga tulang menjadi nampak; kedelapan, luka ha>shimah, yaitu luka yang
memecahkan tulang; kesembilan, luka munaqqilah, yaitu luka yang memindahkan
letak tulang dari posisi normalnya setelah pecah; kesepuluh luka aammah, atau
122
Contohnya adalah si A menampar pipi si B, lalu tamparan itu menyebabkan mata
si B pecah, maka tidak ada qis}a>s} untuk kasus seperti ini, namun si A tetap terkena hukuman
kewajiban membayar diyat mata yang telah ditetapkan oleh shara’. 123
Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr
al-‘Ilmi>yah, 1997), 5748
146
ma’mu>mah yaitu luka yang menembus hingga ke selaput otak; kesebelas, luka
da>mighah, yaitu luka yang menembus selaput otak hingga ke otak.
Adapun Ulama Maliki>yah membuang luka nomor dua, yaitu luka da>mi’ah,
dan menyebut luka nomor satu dengan da>myah, kemudian luka nomor dua ha>ris}ah, luka nomor tiga simha>q, luka nomor enam malt}a>t}, dan mengkhususkan luka
ma’mu>mah dan da>mighah hanya untuk luka di kepala, sedangkan yang lain untuk di
kepala dan pipi. Ulama Sha>fi’i>yah dan Ulama Hana>bilah juga membuang luka
nomor dua. Mereka menyebutkan luka nomor satu kha>ris}ah. Lima luka pertama,
didalamnya tidak ada ursh yang telah ditetapkan oleh shara’, dan hanya ada
huku>mah al ‘adl. Diantara jenis luka jira>h, yaitu pelukaan pada bagian tubuh selain kepala dan
wajah, dibagi kepada dua macam, yaitu ja>ifah dan non ja>ifah. Luka ja>ifah yaitu luka
yang tembus sampai ke bagian dalam dari rongga dada rongga perut, penggung
janin, atau sampai pada bagian dalam antara dua buah pelir, atau dubur, atau
tenggorokan, sedangkan luka non ja>ifah yaitu luka yang tidak sampai kebagian
dalam dalam rongga tubuh, seperti luka pada leher, tangan, dan kaki.124
Pada kasus pertama, termasuk kedalam penganiayaan yang mengakibatkan
luka memar pada pipi korban. Dalam Islam, luka tersebut masuk kedalam kasus
shajjah (pelukaan pada kepala dan muka) dengan bentukh}a>risah (luka lecet namun
tidak sampai ada darah yang nampak). Adapun pada kasus yang kedua termasuk
kedalam kejahatan Shajjah, h}a>risah, dan luka jira>h bukan ja>’ifah yaitu penganiayaan
mengakibatkan luka (lecet) pada kepala bagian belakang korban, dan luka (lecet)
pada pundak korban. Sedangkan kasus ketiga adalah termasuk kedalam kejahatan
Jira>h luka ja>’ifah, yaitu luka tusukan pada perut korban sedalam kuranglebih lima
sentimeter.
Hukuman yang ditetapkan bagi kejahatan kasus pertama dan kedua adalah
huku>matu-l-‘adl (diserahkan kepada kebijaksanaan hakim) berdasarkan hadits
Rasulullah saw.125
Hal ini dikarenakan luka h}a>risah termasuk kedalam luka ringan,
pada tingkatan ketiga dibawah luka muwad}ihah.126
Adapun hukuman bagi kasus
ketiga, ulama berbeda pendapat: hanafi>ah mengatakan bahwa tidak ada qis}a>s} dalam
kasus kejahatan terhadap fisik berupa jira>h apabila korban tidak meninggal dunia.
Karena didalamnya tidak memungkinkan untuk melakukan pembalasan yang sama
dan sepadan. Sementara Maliki>ah mengatakan bahwa hukuman qis}a>s} diterapkan
dalam kejahatan terhadap fisik berupa jira>h sengaja, selama memang
memungkinkan untuk dilakukannya pembalasan yang sama dan sepadan serta tidak
124
Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr
al-‘Ilmi>yah, 1997), 5761-5764. 125
Di riwayatkan oleh Abd al Razaq, dari al hasan dan Imar bin Abd al ‘aziz,
rasulullah bersabda: ‚Rasulullah tidak memutuskan apa-apa untuk pelukaan dibawah luka
muwad}ihah.‛ 126
Al-Zuhayli> dengan mengambil pendapat ‘ulama> hanafi>ah mengatakan bahwa luka
shajjah terbagi sesuat tingkatannya kepada sebelas bagian. Yaitu luka ha>ris}ah, da>mi’ah,
da>miyah, ba>d}iah, mutala>himah, simha>q, muwad}ihah, ha>shimah, ‘ammah atau ma’mu>mah,
dan luka da>mig}ah.
147
ada kekhawatiran akan mengakibatkan kematian si pelaku. Hal ini berdasarkan
firman Allah surat Al Maidah ayat 45,127
yaitu dengan meminta bantuan jasa para
ahli kedokteran untuk mengukur berapa panjang, lebar dan kedalaman luka yang
dialami si korban.
Adapun Shafi’i>ah dan Hanabilah mengatakan bahwa qis}a>s} diberlakukan
dalam setiap kasus pelukaan yang tembus hingga ke tulang, seperti luka muwad}ihah
pada wajah dan kepala, luka pada lengan atas, lengan bawah, paha, betis, dan
telapak kaki, karena didalamnya dfimungkinkan untuk dilakukan pembalasan yang
sama dan sepadan tanpa adanya kekhawatiran akan melebihi batas yang
semestinya.128
Untuk kasus ketiga, dapat disimpulkan bahwa hukuman yang
diberikan kepada pelaku adalah hukumatu-l-‘adl (diserahkan kepada pemimpin) dan
tidak di qis}a>s}.
Mekanisme pelaksanaan hukumah al ‘adl yang dapat diterapkan pada masa
sekarang, menurut al-Zuhayli> adalah dengan cara dikalkulasikan berapa biaya yang
dibutuhkan oleh korban berupa biaya nafkah hidup, biaya dokter, dan biaya obat
hingga ia sembuh. Pelaksanaan hukumah al ‘adl diberlakukan dengan tujuan untuk
memberikan kompensasi diyat suatu kekurangan.
Keputusan hakim memberikan hukuman permohonan maaf dan pembayaran
diyat kepada pelaku pada kasus pertama, kedua, dan ketiga sudah tepat dan sesuai
dengan ketentuan shari‘at Islam. Permohonan maaf adalah bentuk dari aplikasi
paradigma s}ulh}/perdamaian dalam shari’at Islam dalam menyelesaikan sengketa,
sehingga kedua belah pihak dapat saling memaafkan dan kerukunan antar mereka
juga dapat kembali dipulihkan seperti sediakala. Diyat adalah kompensasi dari
kerugian yang diderita korban, baik biaya pengobatan, dan biaya dokter ataupun
kerugian yang lainnya.
Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku pada kasus pertama yang
mengakibatkan pelaku harus membayar diyat sebanyak 40 are kepada gampong
adalah bentuk kompensasi karena pelaku sudah membuat keributan di sawah dan
melanggar peraturan yang sudah dibuat oleh kejruen blang, ditambah pelaku
menyerang kejruen blang yang merupakan aparat gampong. Meskipun, dalam hal
ini, kejrtuen blang juga mengakui kekhilafannya. Keputusan hakim sudah adil bagi
keduabelah pihak. Hakim merasa bahwa kejruen blang harus segera mengambil
keputusan yang cepat ketika mendapatkan masalah saat menjalankan tugasnya
dalam pembagian air. Karena jika keputusan tersebut tidak diambil dengan segera
akan mengakibatkan kerugian yang lain nantinya.
Pada kasus kedua, pelaku sudah mengakui kekhilafannya dan meminta maaf
kepada korban. Adapun korban yang merupakan teman pelaku, sudah memaafkan
kekhilafan pelaku. Akan tetapi, pelaku tetap harus mengganti seluruh kerugian yang
diderita korban, termasuk seluruh biaya perawatan sampai sembuh. Maka,
keputusan hakim memberikan hukuman berupa diyat sebagai bentuk ganti kerugian
127
.....
45. dan luka luka (pun) ada qis}a>s}nya.. 128
Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr
al-‘Ilmi>yah, 1997), 5760
148
korban sudah tepat. Hal ini, untuk mempertanggungjawabkan kesalahan pelaku, dan
memulihkan kembali luka korban.
Adapun pada kasus ketiga, keputusan Keuchik yang memberikan hukuman
diyat RP. 3.000.000 kepada pelaku sudah tepat, dan juga penanggungan yang
diambil alih oleh perangkat gampong pada setengah dari diyat juga tepat,
mengingat keadaan ekonomi korban yang kurang mampu, dan sistem pembagian
penjualan lapak yang kurang tertata dengan baik di gampong tersebut, sehingga
mengakibatkan pelaku memaksa korban untuk menyerahkan lapaknya, karena pada
hakikatnya, lapak tersebut dibangun korban diatas tanah milik gampong, tanpa ada
izin dari perangkat gampong. Karena kejadian ini, perangkat gampongmendapatkan
pelajaran yang sangat berharga, dan merasa harus memperbaiki sistem penjualan
durian di gampong Mekar Ayu. mengingat, bahwa musim panen dan penjualan
durian akan ada setiap tahunnya. Dengan demikian, perangkat gampong merasa
bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku semata-mata hanya ingin menuntut haknya
sebagai salah satu warga gampong Mekar Ayu yang juga ingin merasakan berjualan
hasil panennya saat musim panen tiba.
4. Perbandingan Antar Perspektif
Melalui pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa perkara penganiayaan
dengan berbagai macam motif yang berbeda dapat diselesaikan melalui peradilan
adat dengan perdamaian melalui jalan musyawarah mufakat. Kedua belah pihak
menerima keputusan peradilan adat dengan ikhlas, lapang dada, dan berjiwa besar.
Pelaku menerima sanksi yang diberikan oleh fungsionaris adat sebagai wujud
bahwa pelaku menyadari kesalahannya dan bertanggungjawab atas perbuatannya.
Adapun korban dengan kebesaran jiwa memaafkan korban, demi menjaga
kerukunan dan persaudaraan mereka.
Apabila ketiga kasus tersebut diselesaika melalui proses litigasi, maka pelaku
kasus penganiayaan tersebut diselesaikan dengan sesuai dengan pasal 351 ayat 1
tentang penganiayaan ringan dan dapat dikenai sanksi pidana selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau diyat Rp. 4.500,- Proses litigasi yang lebih menekankan
pada pembalasan tidak dapat memulihkan luka korban, dan tidak dapat
mengembalikan kerugian korban. Proses tersebut hanya akan memberikan hukuman
dan sanksi kepada pelaku. Hal ini adalah salah satu penyebab kedua belah pihak
menyelesaikan perkara melalui peradilan adat, selain dari pada penyelesaian itu
memang menjadi wewenang gampong.
Berikut adalah tabel perbandingan antara penyelesaian sengketa melalui
proses litigasi, non litigasi, dan hukum Islam:
Tabel 5: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Penganiayaan Menurut
Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi (peradilan
adat)
Jenis Perkara Kasus penganiayaan Al jira>h
Al shija>j
Pelanggaran adat di sawah
(Penganiayaan)
Penganiayaan karena
perebutan lapak penjualan
149
buah
Penganiayaan selisih
paham setelah pemilu
Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong
Landasan
penetapan
perkara
KUH Pidana Pasal
351 ayat 1
(penganiayaan
ringan)
Qs. Al Maidah 45
Qs. Al Nahl 126
Qs. Al Baqarah
194
Qa>nu>n Aceh Nomor 09
Tahun 2008
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi (peradilan
adat)
Hasil
Keputusan/
Sanksi
Hukuman penjara
selama dua tahun
Denda Rp. 4.500,-
Hukuman utama
Qis}a>s} sebagai
hukuman
maksimal
‘Ursh
Huku>mah al ‘adl
(kebijakan
hakim)
Permohonan maaf
Diyat berupa pembayaran
40 are hasil panen kepada
gampong bagi kasus
pertama, dan diyat sesuai
dengan kerugian, dan
biaya pengobatan korban
bagi kasus kedua dan
ketiga.
Peringanan diyat bagi
kasus ketiga, karena
korban merasa keberatan
atas hukuman tersebut,
dan sisa hukuman
ditanggung oleh perangkat
gampong
Peusijuek (tepung tawari)
untuk kasus ketiga karena
penganiayaan sampai
mengeluarkan darah
Proses
penyelesaian
Formal dan
terstruktur
Membutuhkan
waktu yang lama,
biasanya satu
tahun lebih
Biaya
mahal(tanggungan
korban)
Perkara
diselesaikan
langsung saat
qad}i menerima
laporan
Formal dan non
formal
Formal, terstruktur,
namun fleksibel
Penyelesaian cepat, kasus
pertama diselesaikan
ditempat (saat itu juga,
kasus kedua diselesaikan
selama satu bulan, dan
kasus ketiga diselesaikan
selama dua bulan
Biaya murah
Kesimpulan
150
Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh rahmat Ali (kasus pertama), M.
Arsyad (kasus kedua), dan Hamdan (kasus ketiga) dengan berbagai macam alasan
membuat kerugian fisik dan materi bagi korban dan mwenyebabkan para pelaku
berurusan dengan peradilan adat gampong. Setelah diadakan mediasi dan
musyawarah damai oleh parat gampong antara para pihak yang bersengketa, dan
adanya maaf dari korban, maka kasus tersebut dapat di selesaikan dengan baik
sehingga kerugian korban dapat dipulihkan kembali, dan kesalahan pelaku dapat di
pertanggungjawabkan. Keputusan hakim dan majelis adat berupa pembayaran diyat
(diyat) sebagai kompensasi dari kerugian yang diderita korban menjadi tanggungan
para pelaku. Pelaku juga sudah mengakui kesalahannya dan bertaubat serta berjanji
untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi. Selain itu, keputusan tersebut membuat
hubungan persaudaraan antar sesama masyarakat gampong kembali pulih dan
membaik.
Kasus ketiga, keterlibatan perangkat gampong dalam menanggung sebagian
dari diyat juga merupakan bentuk toleransi bagi warga gampong tersebut. Karena,
salah satu tujuan diadakannnya peradilan adat gampong adalah untuk merekatkan
kembali persaudaraan, maka aparat gampong juga merasa bertanggungjawab dalam
memperbaiki hubungan antar warga gampong. Akan tetapi, hal ini menjadi
pelajaran juga bagi aparat gampong dalam menyelesaikan permasalahan
dikemudian harinya, agar memikirikan dengan baik apa dampak yang akan terjadi
bagi pelaku, karena, dalam memberikan hukuman, pelaku harus diberikan ketegasan
dalam menyelesaikan hukuman pelaku tidak meremehkan hukuman yang telah
diberikan, sehingga pelaku merasa jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
D. Kasus Asusila
1. Deskripsi dan Kronologi Kasus
a. Kasus Khalwat-Meusum
Pada hari sabtu, tanggal 12 februari 2011, sekitar pukul 10.30 telah terjadi
pelanggaran khalwat antara Fahri Riza (bukan nama asli) dengan Rani Aminah
(bukan nama asli) di rumah Fahri Riza (Jl. Rajawali Dusun Tgk. Omar Gampong
Omah Raja kota Banda Aceh, (bukan alamat asli, kecuali kabupaten)). Kejadian
tersebut diketahui oleh warga yang merasa curiga karena Fahri kerap kali
kedatangan tamu Reni ketika orangtua tidak ada dirumah.
Pada hari itu, sekitar pukul 10.00 Reni datang ke rumah Fahri, karena sudah
merasa curiga, tiga puluh menit kemudian, Hasan dan Rusli yang merupakan
tetangga Fahri langsung mengintip jendela kamar Fahri. Akhirnya didapati bahwa
mereka sedang berciuman. Kejadian itu langsung di abadikan dengan kamera hp
milik Hasan, untuk dijadikan barang bukti. Kemudian, kediaman Fahri di grebeg
oleh pemuda dan masyarakat gampong, setelah itu mereka berdua dibawa dan
dilaporkan kepada Keuchikgampong.
Keuchik bersama aparat gampong lain (Tuha Peuet, Kepala Dusun, Imam
Dusun, Ketua Pemuda, dan seluruh tokoh masyarakat) langsung membawa kedua
belah pihak ke meunasahgampong untuk di dudukkan bersama dan mencari jalan
keluar permasalahan tersebut.
151
Tuha Peuet menghubungi orangtua kedua belah pihak tentang peristiwa
terrsebut dan meminta mereka untuk segera datang ke meunasah dan
menyelesaikan masalah tersebut.
Pertimbangan Adat:
Berdasarkan pernyataan kedua belah pihak dan kesaksian para saksi
dinyatakan bahwa kedua belah pihak melakukan perbuatan tersebut atas dasar suka
sama suka dan tidak ada paksaan terhadap korban. Pihak laki-laki mengakui bahwa
ketika ia melakukan perbuatan khalwat/meusum tersebut karena terdakwa merasa
sayang kepada pihak perempuan..
Menimbang, bahwa mereka berdua sudah dekat sejak satu tahun, karena
sering bertemu di sekolah. Keduanya berada di sekolah yang sama. Dengan kejadian
ini, kedua belah pihak mengakui kesalahannya karena telah melanggar reusam
gampong tentang larangan berkhalwat.
Menimbang, bahwa dalam masyarakat Aceh, kejahatan khalwat sudah
melanggar peraturan gampong tentang kesopanan, kepantasan, dan kesusilaan yang
selama ini sangat di junjung oleh masyarakat gampong Omah Raja. Apa yang telah
dilakukan oleh kedua belah pihak sudah mencoreng nama baik gampong dan
masyarakat gampong, mengingat bahwa masyarakat gampong Omah Raja adalah
masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai syari’at Islam, sehingga apa
yang dilakukan oleh kedua belah pihak sudah membuat malu gampong dan
masyarakat gampong. Untuk itu, kepada kedua belah pihak harus memperbaiki apa
yang sudah dirusak oleh keduanya.
Menimbang, bahwa proses musyawarah yang dilakukan oleh aparat gampong
dan kedua belah pihak menitik beratkan pada pemulihan kondisi, baik dari sisi
kedua belah pihak, keluarga besar, dan juga gampong, serta masyarakat gampong.
Untuk itu, permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan secara adil
dengan cara mediasi dan perdamaian dengan menekankan pemulihan bukan
pembalasan.
Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat
gampong dan kedua belah pihak (Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah)
menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1. Saudara Fahri dan saudari Reni akan dinikahkan pada hari Minggu tanggal
13 Februari 2011, pukul 10.30, yang dilakukan oleh Imeum Chiek gampong
Omah Raja. Pernikahan itu turut disaksikan oleh perangkat gampong Omah
Raja dan keluarga besar dari kedua belah pihak
2. Adapun pernikahan resmi yang dilakukan oleh KUA akan dilaksanakan
pada hari senin tanggal 14 Februari 2011.
3. Mengenai mahar dari pernikahan kedua belah pihak akan dimusyawarahkan
oleh kedua orangtua dari keduabelah pihak
4. Kedua belah pihak besredia menyetujui memberikan satu ekor kambing
seharga berkisar Rp. 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah), bumbu,
dan beras sebagai sanksi adat Gampong, yang akan diserahkan pada hari
jum’at tanggal 18 februari 2011, kepada dusun Tgk. Rajawali, Gampong
Omah Raja.
152
Putusan Adat
1. Menyatakan bahwa saudara Fahri dan Reni telah bersalah dan melanggar
reusam gampong tentang kejahatan khalwat.
2. Memberikan hukuman kepada keduabelah pihak sesuai dengan keputusan
forum mediasi perangkat gampong sebagai berikut:
a. Saudara Fahri dan saudari Reni akan dinikahkan pada hari Minggu
tanggal 13 Februari 2011, pukul 10.30, yang dilakukan oleh Imeum
Chiek gampong Omah Raja. Pernikahan itu turut disaksikan oleh
perangkat gampong Omah raja dan keluarga besar dari kedua belah
pihak
b. Adapun pernikahan resmi yang dilakukan oleh KUA akan dilaksanakan
pada hari senin tanggal 14 Februari 2011.
c. Mengenai mahar dari pernikahan keduabelah pihak akan
dimusyawarahkan oleh kedua orangtua dari keduabelah pihak
d. Kedua belah pihak besredia menyetujui memberikan satu ekor kambing
seharga berkisar Rp. 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah), bumbu,
dan beras sebagai sanksi adat Gampong, yang akan diserahkan pada hari
jum’at tanggal 18 februari 2011, kepada dusun Rajawali, gampong
Omah raja.129
2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Adat Aceh
Perbuatan khalwat dapat digolongkan perbuatan mendekati zina, untuk itu
perbuatan tersebut dilarang untuk mencegah ‚meu mukam‛ atau bangkitnya birahi.
Adat nilai-nilai mulia dibalik kehormatan seorang wanita muslimah untuk
mengemban amanah bahwa ‚sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholehah‛
sudah dilanggar. Nilai-nilai kebaikan diabaikan sehingga kecacatan itu tidak bisa
ditebus lagi, maka untuk menebusnya kedua muda-mudi tersebut haruslah
dinikahkan segera untuk menghindari dosa yang lebih berat dari pada itu.
3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Pidana Indonesia
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kesusilaan berarti rasa
kesopanan yang berkaitan dengan nafsu kekelaminan.130
Soesilo menyatakan bahwa
kesusilaan maksudnya adalah kesopanan. Perasaan malu yang berhubungan dengan
nafsu kelamin misalnya bersetubuh, mencium, memperlihatkan anggota kemaluan
wanita, meraba kemaluan wanita, dan lain sebagainya. Pengrusakan kesopanan ini
dilakukan dengan perbuatan, bukan dengan perkataan.131
Delik-delik kesusilaan
dalam KUHP terdapat dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan
kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran.132
Adapun
129
Dokumentasi adat gampong Omah raja,. 13 Febuari 2014, ditandatangani oleh
Keuchik, Sekretaris Gampong, dan orangtua dari keduabelah pihak 130
R. Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 295 131
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1995)
132Diantara perbuatan yang termasuk kedalam kejahatan kesusilaan:
153
perbuatan merusak kesopanan dimuka umum diatur dalam pasal 281.133
Sifat
merusak kesusilaan dengan perbuatan tersebut terkadang amat tergantung pada
pendapat umum pada waktu di tempat itu. Bahwa orang bersetubuh ditengah jalan
itu merusak kesopanan umum memang tidak dipersoalkan, namun melakukan
perbuatan ciuman ditempat umum dikota besar pada saat ini, yang dilakukan oleh
bangsa Indonesia masih harus dipersoalkan, apakah ia merusak kesopanan umum
atau tidak.134
Apabila penegak hukum menjumpai peristiwa semacam itu, maka melihat
adanya bermacam-macam ukuran kesusilaan menurut adat istiadat suku-suku
bangsa yang ada di Indonesia ini, hendaknya menyelidiki terlebih dahulu, apakah
perbuatan yang telah dilakukan oleh tersangka itu menurut tempat, dan keadaan
dipandang merusak kesusilaan umum atau tidak.
Adapun mengenai kejahatan persetubuhan/zina di atur dalam pasal 284
KUHP.135
Menurut pengertian umum, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh
a. Pasal 281-283 yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan
kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda-benda dan
sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno
b. Pasal 284-289 tentang zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan
cabul dan hubungan seksual
c. Pasal 297 tentang perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur
d. Pasal 299 tentang perbuatan yang berhubungan dengan pengobatan untuk
menggugurkan kandungan
e. Pasal 300 tentang perbuatan memabukkan
f. Pasal 301 tentang menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya
g. Pasal 302 tentang penganiayaan hewan
h. Pasal 303 dan 303 bis tentang perjudian
Adapun yang termasuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP meliputi:
a. Pasal 532-535 tentang perbuatan mengungkapkan atau mempertunjukkan
sesuatu yang bersifat porno
b. Pasal 536-539 tentang perbuatan yang berhubungan dengan mabuk dan minuman
keras
c. Pasal 540, 541 dan 544 tentang perbuatan yang berhubungan dengan perbuatan
tidak susila terhadap hewan
d. Pasal 545 tentang perbuatan meramal nasib atau mimpi
e. Pasal 546 tentang perbuatan menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda
berkekuatan gaib dan memberi ilmu kesaktian
f. Pasal 547 tentang memakai jimat sebagai saksi dalam persidangan 133
Di hukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau diyat sebanyak-
banyaknya Rp 4.500 :
a. Barang siapa sengaja merusak kesopanan di muka umum
b. Barangsiapa sengaja merusakkan kesopanan di muka orang lain tidak dengan
kemauannya sendiri. 134
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-
komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1995) 135
Pasal 284 KUHP adalah delik aduan yang tidak memungkinkan perbuatan itu
dipidana Jika tidak ada yang mengadukan dari pihak yang dirugikan(suami atau istri yang
154
laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat oleh
perkawinan. Akan tetapi, menurut pasal 284 tersebut zina adalah persetubuhan
yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan
atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.
Dalam hukum Islam, kasus asusila disebut dengan zina. sedangkan khalwat
adalah was}ilah atau jalan/peluang untuk terjadinya zina. Menurut qa>nu>n jinayah
Aceh nomor 14 Tahun 2003, yang dimaksud dengan khalwat adalah perbuatan
bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang
bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.136
Larangan khalwat adalah
pencegahan dini dari perbuatan zina.137
Pelarangan khalwat ini sesuai dengan hadits
Rasulullah138
dan Firman Allah QS Al Isra> ayat 32.139
Peneliti di Universitas Valencia menegaskan bahwa seorang yang berkhalwat
dengan wanita menjadi daya tarik yang akan menyebabkan kenaikan sekresi
hormon kortisol. Kortisol adalah hormon yang bertanggung jawab terjadinya stres
dalam tubuh. Meskipun subjek penelitian mencoba untuk melakukan penelitian atau
hanya berpikir tentang wanita yang sendirian denganya hanya dalam sebuah
simulasi penelitian. Namun hal tersebut tidak mampu mencegah tubuh dari sekresi
hormon tersebut. Berikut adalah terjemahan dari tulisan Abd al daem Al-
Kaheelterkait bukti ilmiah bahaya berkhalwat dengan yang bukan mahram
‚Cukuplah anda duduk selama lima menit dengan seorang wanita. Anda akan
memiliki proporsi tinggi dalam peningkatan hormon tersebut‛. Hormon kortisol
sangat penting bagi tubuh dan berguna untuk kinerja tubuh tetapi dengan syarat
dikhianati pasangannya). Ketentuan mengenai kejahatan zina yang dilakukan oleh laki-
laki/perempuan yang belum menikah tidak di atur dalam KUHP, akan tetapi sudah masuk
kedalam RUU KUHP Pasal Pasal 483 ayat (1-4). 136
Qa>nu>n provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003,
http://bphn.go.id/data/documents/03pdaceh014.pdf, diakses pada 11 Agustus 2014. 137
Hal ini sesuai dengan qa’idah sad al-dzari>‘ah " منع الوسائل ادلؤدية إىل ادلفاسد: سد الذريعة"
maksudnya adalah bahwa sad al dzari>‘ah adalah larangan terhadap perantara yang menuju
kepada kerusakan. Dalam hal ini, perbuatan khalwat adalah perantara kepada sebuah
kerusakan, yaitu perbuatan zina yang di larang oleh Allah SWT. (Lihat: Kha>lid ‘Ali>
Sulaima>n bani> Ahmad, Qa>‘idah Sadd al-Dzari>’ah wa Atha>ruha> fi> Man’i Wuqu>’i Zina> wa
Tat}bi>qa>tiha> al-Mu’a>s}irah, Majallatu ja>mi’at al-Dimashqa li al-‘ulu>m al-Iqtis}adi>ah wa al-Qa>nu>ni>ah, Mujallad 25, Al ‘adad al tsa>ni>, 2009, 716,
http://www.damascusuniversity.edu.sy/mag/law/images/stories/705-742.pdf, diakses pada
15 Juli 2014) هما، اهلل رضى عبباس ابن وعن 138 ال : وسلبم، قال عليو رسو ل اهلل صلبى اهلل أنب عن
)رواه البخاري ومسلم). حمرم ذى مع إالب بإمراة أحدكم خيلونب Artinya: Dari ibnu Abbas RA, Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: ‚Janganlah
sekali-kali salah seorang di antara kalian berkhalwat (berduaan) dengan perempuan lain,
kecuali disertai muhrimnya‛. (HR. Bukhari dan Muslim)
139
32. dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. dan suatu jalan yang buruk.
155
mampu meningkatkan proporsi yang rendah, namun jika meningkatnya hormon
dalam tubuh dan berulang terus proses tersebut, maka yang demikian dapat
menyebabkan meningkatnya nafsu seksual.140
Menurut pasal 3 Qa>nu>n nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat,
tujuan larangan khalwat/mesum adalah: pertama, menegakkan Syari’at Islam dan
adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam; kedua, melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau
perbuatan yang merusak kehormatan; ketiga, mencegah anggota masyarakat sedini
mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina; keempat,
meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya
perbuatan khalwat/mesum. Kelima, menutup peluang terjadinya kerusakan
moral.141
Kejahatan kesusilaan ringan diatur dalam pasal 281-283 yang berhubungan
dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan di muka umum dan yang
berhubungan dengan benda-benda dan sebagainya yang melanggar kesusilaan atau
bersifat porno. Juga pasal 532-535 tentang perbuatan mengungkapkan atau
mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno. Sementara itu, perbuatan merusak
kesopanan dimuka umum diatur dalam pasal 281.
Apabila melihat ketentuan hukum tersebut, maka tindakan asusila akan
ditindak apabila dilakukan ditempat umum. Yaitu, sengaja merusak kesopanan di
muka umum, artinya perbuatan merusak kesopanan itu harus sengaja dilakukan di
tempat yang dapat dilihat atau didatangi orang banyak, misalnya di pinggir jalan, di
gedung bioskop, di pasar, dan sebagainya. Maka, apabila penegak hukum
menjumpai peristiwa semacam itu, maka berhubung dengan adanya bermacam-
macam ukuran kesusilaan menurut adat istiadat suku bangsa yang ada di Indonesia
ini, hendaknya menyelidiki terlebih dahulu, apakah perbuatan yang telah dilakukan
oleh tersangka itu menurut tempat, dan keadaan tersebut dapat dipandang merusak
kesusilaan umum.142
Perbuatan khalwat akan tetap ditindak baik dilakukan ditempat tertutup atau
tempat terbuka. Karena, orientasi hukum pengaturan khalwat ini adalah
kemanfaatan dan kemaslahatan seseorang agar terhindar dari kejahatan yang
mengarah kepada zina, dan juga kemaslahatan orang lain, yaitu melindungi
masyarakat dari hal yang merusak kehormatan masyarakat, karena dalam hal ini,
masyarakat menjadi korban pelanggaran kesopanan dan kepatutan tersebut.
Dalam masyarakat adat Aceh yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
agama Islam, kepantasan menjadi salah satu ukuran penetapan suatu hukum adat.
Seorang perempuan bersama dengan seorang pria yang bukan ‚muhrim‛ didalam
140
Siraaj, Ar Rahmah, Selasa, 19 Rabiul Akhir 1433 H / 13 Maret 2012 10:04 -
http://www.arrahmah.com/read/2012/03/13/18739-hadits-sains-bukti-ilmiah-bahaya-
berkhalwat-dengan-yang-bukan-mahram.html, diakses pada 3 Agustus 2014. 141
Qa>nu>n provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003,
http://bphn.go.id/data/documents/03pdaceh014.pdf, diakses pada 11 Agustus 2014. 142
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-
komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1995),205
156
kamar dapat dikategorikan ‚tidak pantas‛. ‚ketidakpantasan‛ menjadikan
pembuktian ‚formal‛ bahwa telah terjadi ‚sesuatu‛. Norma yang dipakai adalah
‚salah tengok, salah liek‛Dalam peristiwa tersebut tidak diperlukan adanya korban.
Masyarakat ‚cukup‛ merasa dirugikan dan dapat bertindak sebagai korban. Dengan
demikian, hukum adat bersifat ‚formal‛ berangkat dari nilai
kepantasan/kesusilaan/kesopanan‛.143
4. Analisis kasus Perspektif Hukum Islam
Dalam hukum Islam, kasus khalwat tidak ditetapkan sebagai salah satu dari
kejahatan hudud atau qis}a>s}. Dengan demikian, pelanggaran khalwat ini termasuk
kedalam jarimah ta’zi>r yang diserahkan kepada pemimpin atau hakim dalam
penyelesaiannya.
Ketentuan hukuman pelaku khalwat tercantum dalam Qa>nu>n Nomor 14
Tahun 2003. Yaitu, bahwa pelaku pelanggaran khalwat mendapatkan hukuman
sesuai dengan ketentuan ‘uquba>t dalam qa>nu>n tersebut.144
Pelaku dapat diancam
hukuman ta’zi>r berupa di cambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali, dan/atau diyat
paling banyak Rp. 10.000.000,- paling sedikit Rp. 2.500.000,-. Dengan demikian,
apabila permasalahan tersebut diselesaikan menurut qa>nu>n khalwat, maka Fahri dan
Reni akan dikenai hukuman ta’zi>r sebagaimana disebutkan. Akan tetapi karena
permasalahan tersebut diselesaikan secara kekeluargaan dengan peradilan adat
gampong yang mengedepankan konsep musyawarah dan restoratif, maka majelis
adat memberikan hukuman kepada mereka sesuai dengan keputusan forum
musyawarah bersama aparat gampong dan keluarga kedua belah pihak.
Penetapan hukuman berupa pernikahan dan pembayaran diyat berupa
menyembelih seekor kambing bagi masing-masing pihak adalah sudah benar.
Hukuman pertama, yaitu pernikahan. Orang tua kedua belah pihak sangat merasa
malu atas apa yang telah dilakukan oleh putra dan putri mereka. Mereka bersedia
untuk segera menikahkan putra dan putri mereka agar tidak timbul fitnah
dikemudian hari, jika permasalahan ini tidak segera diambil tindakan yang tegas.
Dengan menikahkan keduanya adalah tindakan yang tepat bagi kedua keluarga
143
Musri Nauli, Perzinahan Dalam Hukum adat dan Hukum Nasional, Kompasiana,
diterbitkan pada 17 Agustus 2013 pukul 21:58,
http://hukum.kompasiana.com/2013/08/17/perzinahan-dalam-hukum-adat-dan-hukum-
nasional-584504.html, diakses pada 13 Juli 2014 144
Pasal 22 : (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan)
kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau diyat paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). (2) Setiap orang
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqubat
ta’zir berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau
diyat paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,-
(lima juta rupiah). (3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5
dan 6 adalah jarimah ta’zir.
157
tersebut agar fahri dan reni tidak terjerumus kedalam perangkap syetan.
Sebagaimana yang tertulis dalam hadits dari Abdullah ibn Mas’ud bahwa bagi
seseorang pemuda yang sudah mampu, maka diwajibkan baginya untuk menikah,
karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.145
Maka, pernikahan bagi Fahri dan Reni adalah lebih baik, agar keduanya terhindar
dari dosa zina. Melihat bahwa Reni sering sekali mendatangi kediaman Fahri
sehingga membuat masyarakat sekitar curiga, dan ditakutkan mereka melakukan
hubungan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
Adapun hukuman menyembelih seekor kambing beserta beras dan bumbunya
adalah untuk membayar luka masyarakat dan gampong karena sudah tercoreng oleh
perbuatan yang mencemarkan nama baik gampong dan masyarakat, melanggar
kesopanan dan kepantasan yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh.
Yaitu melakukan khalwat dengan seseorang yang bukan mahram didalam rumah.
5. Perbandingan Antar Perspektif
Melalui pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa penyelesaian perkara
khalwat dapat diselesaikan dengan proses musyawarah dan jalan damai, sehingga
menghasilkan keputusan bersama yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Pelanggaran khalwat menurut adat Aceh adat termasuk pelanggaran berat, karena
bukan hanya kedua belah pihak yang menjadi korban, akan tetapi masyarakat satu
gampong menjadi korban. Masyarakat Aceh percaya bahwa apabila terjadi
hubungan perzinaan disuatu tempat, maka masyarakat sekitar akan terkena dosa
dari perbuatan tersebut, sehingga keberkahan tidak akan sampai pada mereka.
Hukuman untuk menikahkan kedua belah pihak adalah dinilai sangat tepat agar
kedua keluarga terhindar dari fitnah. Adapun untuk menutup malu masyarakat
maka diberikan hukuman juga menyembelih seekor kambing beserta beras dan
bumbunya sebagai wujud permohonan maaf kepada masyarakat.
Apabila kasus tersebut diselesaikan melalui peradilan adat, maka apa yang
dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut tidak termasuk kedalam perbuatan yang
melanggar hukum. Perbuatan melanggar kesopanan yang melanggar hukum yang
diatur dalam KUHP adalah, Pasal 281 tentang perbuatan merusak kesopanan
dimuka umum, dan pasal 284 tentang perzinahan yang dilakukan oleh seseorang
yang sudah menikah. Pada pasal 281 disebutkan bahwa seseorang dapat dihukum
apabila ia terbukti melanggar kesopanan di depan umum. Seperti berhubungan
dengan nafsu kelamin dihadapan umum. Adapun yang dilakukan oleh keduabelah
pihak adalah di tempat kediaman laki-laki, dan bukan ditempat umum, sehingga
apa yang dimaksud dalam pasal 281 tidak termasuk didalamnya, sedangkan Pasal
284 juga tidak termasuk didalamnya, karena kedua belah pihak adalah belum
يا معشر الشبباب من استطاع منكم الباءة ف ليت زوبج، ومن يستطع ف عليو بالصبوم فإنبو لو وجاء 145
Artinya:‚Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung
nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan
menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena
itu akan menjadi tameng syahwat baginya. (HR. Bukhari dan Muslim)
158
menikah, jadi tidak ada yang dirugikan, dengan demikian, kasus khalwat
diselesaikan melalui peradilan adat. Berikut adalah tabel perbandingan antara
penyelesaian sengketa melalui proses litigasi, non litigasi, dan hukum Islam:
Tabel 6: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Pencurian Menurut
Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi
(peradilan adat)
Jenis Perkara
Pelanggaran
asusila/ kesopanan
didepan umum
Khalwat Khalwat/meusum
Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong
Landasan
penetapan perkara
Tidak ada UU
yang
mengaturnya
Qa>nu>n Aceh
Nomor 14 tahun
2003 tentang
Khalwat meusum
Qs. Al Isra>: 32
Hadits Riwayat
Bukhari dan
Muslim tentang
khalwat
Kaidah Sadd al Dzari>‘ah
Qa>nu>n Aceh Nomor
09 Tahun 2008
Hasil Keputusan/
Sanksi
Cambuk paling
tinggi 9 kali
Diyat minimal
Rp. 2.500.000,-
maksimal Rp.
10.000.000,-
Hadd bagi pelaku
perzinaan
Ta’zi>r
Permohonan maaf
Dinikahkan
Menyembelih satu
ekor kambing
beserta bumbunya
Proses
penyelesaian
Formal dan
terstruktur
Membutuhkan
waktu yang
lama, biasanya
satu tahun lebih
Biaya
mahal(tanggunga
n korban)
Perkara
diselesaikan
langsung saat
qad}i menerima
laporan
Formal dan non
formal
Formal, terstruktur,
namun fleksibel
Penyelesaian cepat,
kurang dari satu
bulan
Biaya murah
Kesimpulan
Apa yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah sebuah pelanggaran adat
tentang kesopanan dan kepantasan bagi masyarakat Aceh. Dalam hal ini,
masyarakat menjadi korban, maka dari itu mereka diberikan hukuman membayar
diyat menyembelih seekor kambing masing-masing satu ekor dan menyerahkan
beras beserta bumbunya kepada gampong untuk dibagikan kepada masyarakat
sebagai penebus rasa bersalah dan memperbaiki nama gampong yang sudah
159
tercemar. Selain itu, mereka berdua juga dinikahkan agar terhindar dari kejahatan
zina yang sangat dilarang oleh agama Islam.
D. Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Penyelesaian Sengketa Adat Pada
Kasus Yang bersifat Diyat
Berikut adalah laporan singkat terhadap hasil penelitian terhadap penyelesan
sengketa melalui peradilan adat Aceh. Laporan ini diteliti berdasarkan aspek
kondisi pelaku, kondisi keluarga pelaku, kondisi lingkungan pelaku, jenis tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku, pasal yang disangkakan terhadap pelaku, modus
operandi pelaku, motivasi pelaku melakukan tindak pidana, akibat yang
ditimbiulkan oleh perbuatan pelaku, tuntutan keluarga korban, reaksi masyarakat
atas perbuatan pelaku, putusan aparat penegak hukum, pertimbangan dan putusan
yang dijatuhkan kepada pelaku, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 7: Ringkasan Perbandingan Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan
Adat Pada Kasus Yang Bersifat Diyat
Perihal Kasus Perusakan Kasus Pencurian Kasus Penganiayaan Kasus Asusila Pelaku 1. Harisun
2. Sarifuddin
1. Faisal (13 th)
2. Sarik
3. Rizal Bakri
1. Rahmat Ali
2. Moh. Arsyad
3. Hamdan
1. Rani
2. Fahri
Jenis
Kelamin
1. Laki-Laki
2. Laki-Laki
1. Laki-laki
2. Laki-Laki
3. Laki-Laki
1. Laki-laki
2. Laki-Laki
3. Laki-laki
1. Perempuan
2. Laki-Laki
Kondisi
Pelaku
1. Pelaku adalah
nelayan di
gampong Mekar
Jaya
2. Pelaku adalah
seorang petani
sawah
1. Pelaku adalah siswa
kelas 1 SMP
2. Pelaku tidak
memiliki pekerjaan
3. Pelaku tidak
memiliki pekerjaan
yang tetap
1. Warga gampong
Baroe yang bekerja
sebagai petani sawah
2. Pelaku adalah warga
gampong Sukadamai
yang bekerja sebagai
petani
3. Pelaku adalah warga
gampong Mekar Ayu
yang bekerja sebagai
petani kebun
Keduanya warga
gampong Omah
Raja Yang sudah
saling suka sejak
duduk di bangku
SMA. Sekarang
keduanya adalah
mahasiswa
disalah satu
perguruan Tinggi
di banda Aceh
Kondisi
Keluarga
1. Kondisi ekonomi
tergolong cukup
2. Kondisi ekonomi
tergolong cukup
mampu dan
keluarga
harmonis
1. Kedua orangtua
berpisah, ibu pelaku
bekerja sebagai
petani, ia kurang
mendapatkan
perhatian dari
orangtuanya, juga
keadaan ekonomi
keluarga yang masih
minim
2. Pelaku tidak
memiliki pekerjaan
yang tetap, barusaja
Pelaku kasus pertama
dan kedua memiliki
kondisi ekonomi
keluarga yang cukup,
harmonisasi dalam
keuuarga juga cukup
baik.
Keadaan ekonomi
keluarga pelaku kasus
ketiga kurang baik,
sehingga pembayaran
sebagian tuntutan
Keluarga dari
keduabelah pihak
adalah keluarga
yang religius.
Kedua orangtua
pelaku sangat
kaget ketika
mendengar
perbuatan
anaknya.
Merekapun
merasa malu atas
apa yang telah
160
menikah, sedangkan
keadaan ekonomi
keluarga kurang
3. Pelaku tidak
memiliki pekerjaan
yang tetap, sebagai
kepala keluarga
merasa memiliki
tanggungjawab yang
besar untuk
memenuhi kebutuhan
keluarganya.
ditanggung oleh
perangkat gampong
dengan sukarela.
dilakukan oleh
anaknya
Kondisi
Gampong
1. penduduk
setempat
mayoritas adalah
penduduk asli,
yang sangat
berpegang teguh
kepada hukum
adat, dan sangat
menjaga
kerukunan hidup
bermasyarakat
serta sangat
percaya kepada
perangkat
gampong dalam
menyelesaikan
sengketa, hanya
sebagian kecil
pendatang
2. Penduduk
setempat
mayoritas adalah
penduduk Aceh
asli, yang sangat
menjaga
kerukunan hidup
bermasyarakat
1. Penduduk setempat
mayoritas penduduk
Aceh asli, hanya
sebagian kecil
pindahan dari
gampong lain,
adapun pekerjaan
sebagian penduduk
adalah bertani dan
nelayan
2. Penduduk adalah
mayoritas
transmigran dari
Jawa. Sebagian besar
penduduk adalah
petani kebun
3. Penduduk setempat
adalah suku Aceh
asli, beberapa adalah
pendatang dari
beberapa kabupaten,
mengingat Banda
Aceh adalah Ibukota
NAD, maka banyak
pendatang, yang
tinggal disana.
Sebagian masyarakat
bekerja sebagai
pegawai kantor dan
pedagang.
1. Penduduk setempat
mayoritas penduduk
asli, yang memiliki
pekerjaan sebagai
petani sawah
2. Penduduk setempat
adalah mayoritas
penduduk asli yang
memiliki pekerjaan
sebagian besar
sebagai petani sawah
dan nelayan
3. Penduduk setempat
sebagian besar
adalah transmigran
dari jawa, pekerjaan
mereka adalah petani
kebun
Gampong Omah
raja adalah
salahsatu dari
sekian gampong
di Aceh yang
sangat
menjunjung
tinggi Shari’at
Islam serta
nilai-nilai adat
istiadat.
Penduduk
sekitar adalah
masyarakat
Aceh asli yang
berasal dari
berbagai
kabupaten di
Aceh,
mengingat
bahwa Banda
Aceh Ibukota
NAD, maka
gampong Omah
raja menjadi
tempat tinggal
sementara bagi
pendatang yang
belajar dan
bekerja dari
daerah lain
161
Jenis
Tindak
Pidana
1. Perusakan
2. Perusakan oleh
hewan ternak
1. Pencurian tabung
gas
2. Pencurian hasil
kebun (buah pokat)
3. Pencurian binatang
ternak (kambing)
1. Penganiayaan
kepada
keujruenblang
2. Penganiayaan selisih
paham setelah
pemilu
3. Penganiayaan akibat
perebutan lapak
penjualan durian
Khalwat/Meusu
m
Pasal Yang
disangkaka
n Terhadap
pelaku
Qa>nu>n Aceh Nomor
9 Tahun 2008
Qa>nu>n Aceh Nomor 9
Tahun 2008
Qa>nu>n Aceh Nomor 9
Tahun 2008 Qa>nu>n Aceh
Nomor 9 Tahun
2008
Modus
Operandi
1. Harisun
menggandengkan
boatnya tiga
gandeng
kesamping
sehingga
membuat sungai
semakin sempit,
ketika boat milik
korban (Ali
akbar) lewat,
jangkar pada boat
milik Harisun
menggores sisi
boat milik Ali
Akbar dan
mengakibatkan
kerusakan
(kebocoran bagi
boat milik Ali
Akbar
2. Pada malam hari,
lembu milik
Sarifuddin masuk
ke sawah milik
Hanafi dan
memakan padi
yang masih dara.
1. Faishal mengambil
tabung gas milik
rahmalena pada
siang hari ba’da
dhuhur kemudian
menjualnya kepada
temannya di
Gampong sebelah
seharga Rp. 80.000,-.
Kemudian ia
membelanjakan uang
tersebut Rp. 20.000,-
untuk jajan dan
sisanya dibawa
kerumah
2. Sarik mengikuti dan
membantu korban
Abdul Malik yang
sedang memanen
buah pokat
diperkebunanya,
ketika hari sudah
sore dan korban
sudah kembali,
pelaku langsung
mengambil dua
karung buah pokat
kemudian dijual ke
pedagang buah di
pasar setempat.
3. Pelaku Rizal Bakri
adalah keluarga
korban, ia pergi
1. Rahmat Ali
mendapat giliran
pengambilan air pada
pagi hari, namun ia
tidak hadir tanpa
alasan. Kejruenblang
memberikan jatah air
itu kepada Rusman
(jatah siang). Ketika
Rahmat Ali datang
ia merasa marah dan
langsung memukul
wajah kejruenblang,
akhirnya terjadi
perkelahian antar
keduanya
2. Setelah kegiatan
pemilu legislatif,
pelaku mendapat
kabar bahwa partai
yang didukungnya
kalah karena
kecurangan panitia.
Korban yang
menjadi panitia di
tempat kejadian
langsung menjadi
amukan pelaku.
Pelaku pengambil
bangku dan
memukul badan dan
kepala korban, ia
membalas perlakuan
Hari itu Rani
datang ke
kediaman Fahri.
Tetangga yang
kerap curiga
akan
kedatangan
mereka
langsung
berjaga dan
mengintip ke
jendela kamar
Fahri. Setelah
itu didapatinya
Rani dan Fahri
sedang
berciuman.
Kejadian itu
langsung
diabadikan oleh
saksi yang
mengintip
peristiwa
tersebut. Saat
itu juga rumah
Fahri digerebeg
oleh masyarakat
setempat, dan
keduanya
dibawa dan
162
kerumah korban
untuk
bersilaturrahim
dengan korban. Ia
melihat bahwa
korban memiliki
kambing bandot
yang diletakkan
dipekarangan rumah
korban. Pada siang
hari pertengahan
bulan november,
pelaku berhasil
mencuri kambing
tersebut kemudian
kambing tersebut
dibawa ke Indrajaya,
Acehbesar. Ia
menjual kambing
kepada Arif Rahmat
seharga Rp.
3.000,000. Pelaku
diketahui dan
ditangkap
dikediaman pelaku
oleh
Keuchikgampong.
pelaku dan terjadi
perkelahian.
3. Hamdan mendatangi
lapak milik
Shyahputra dan ingin
mengambil alih
lapaknya karena ia
merasa bahwa ia
juga warga gampong
Mekar Ayu dan
memiliki hak untuk
mencari nafkah
disana, mengingat
bahwa lapak tersebut
berada diatas tanah
milik gampong.
Korban tidak mau
menyerahkan dan
pelaku langsung
memukul kepala
korban dan langsung
mengeluarkan pisau
kemudian menusuk
perut korban.
dilaporkan
kepada
Keuchikgampong. Untuk
menghindari
kemarahan
warga,
keduanya
diamankan di
kediaman salah
satu kadus,
sementara
Keuchik
menghubungi
orangtua
keduabelah
pihak.
Motivasi
Melakukan
Tindak
Pidana
1. Ingin mendapat
hasil tangkapan
ikan yang banyak
dan hasilnya
untuk membiayai
pengobatan
anaknya yang
sedang sakit.
2. Pelaku lalai
dalam menjaga
lembunya, dan
keluar dari
pengawasannya
dan merusakkan
sebagian padi
yang masih dara
milik Hanafi.
1. Ingin memakai hasil
penjualan tabung gas
untuk jajan dan
membeli
perlengkapan lain.
2. Ingin membiayai
istrinya yang
meminta uang untuk
membeli
perlengkapan rumah
tangga.
3. Ingin membiayai
istrinya untuk
membeli
perlengkapan rumah
tangga.
1. Pelaku kesal dengan
korban karena
mengganti jadwal
pembagian air tanpa
sepengetahuan
pelaku
2. Pelaku kesal dan
menuduh korban
(panitian pemilu
legislatif) melakukan
kecurangan
3. Pelaku ingin merebut
lapak penjualan
durian yang berada
diatas tanah umum
(milik gampong).
1. Keduanya
melakukan
perbuatan
tersebut
dengan sadar
atas dasar
suka sama
suka tanpa
paksaan
siapapun
Akibat
yang
ditimbulka
n oleh
perbuatan
pelaku
1. Menyebabkan
kerusakan dan
kebocoran pada
boat milik korban
(Ali Akbar)
2. Pemilik lembu
1. Korban kehilangan
tabung gasnya dan
tidak bisa memasak
untuk beberapa
waktu
2. Pelaku diperiksa dan
1. Pelaku diamankan
oleh masyarakat
setempat dan
dilaporkan kepada
Keuchikgampong.
Korban menderita
Kediaman Fahri
digerebeg oleh
masyarakat
gampong
kemudian
keduanya dibawa
163
dilaporkan oleh
korban, dan
lembu tersebut
diamankan
sebagai barang
bukti karena
telah memakan
padi yang masih
dara milik Hanafi
sehingga
tanamannya
menjadi rusak
sebahagian
diamankan
dikediaman kepala
dusun. Korban
mengalami kerugian
hasil panen Rp.
5.000.000,- serta
kerusakan pintu
saung.
3. Pelaku diperiksa oleh
Keuchik, dan
diamankan
dikediaman Keuchik.
Korban mengalami
kerugian Rp.
3.000.000,-
loka memar dibagian
wajah, tepatnya di
pipi kanan korban.
2. Korban terluka
dibagian pundak dan
kepala, sehingga
korban merasa
kesulitan untuk
menjalankan
aktifitas sehari-hari
3. Pelaku diamankan
oleh warga. Pelaku
sempat dilaporkan
oleh keluarga korban
ke polres Bener
Meriah, namun
polres setempat
mengembalikan
perkara kepada
perangkat gampong.
Korban menderita
luka tusuk dibagian
perut sekitar lima
centimeter, dan
merasa kesulitan
untuk menjalankan
aktifitas sehari-hari
ke kuechik
setempat dan
dilaporkan oleh
warga dengan
memperlihatkan
barang bukti
tersebut. Akibat
perbuatan pelaku,
kehormatan
masyarakat
gampong merasa
tercoreng,
beruntung pelaku
tidak diadili oleh
masyarakat
gampong, karena
masyarakat sudah
sepakat untuk
menyelesaikan
setiap masalah
dengan damai.
Tuntutan
keluarga
Korban
1. Pelaku harus
memperbaiki
boat yang rusak
dan membayar
biaya kerugian
(diyat) kepada
pihak kedua
sebesar Rp.
1.000.000,-
2. Membayar pupuk
2 sak sebagai
ganti kerugian
pihak kedua
1. Meminta maaf,
teguran kepada
pelaku dan ibu
pelaku, menyerahkan
kepada ibu pelaku
untuk mendidik
pelaku dengan baik,
orang tua mengganti
penjualan tabung gas
seharga Rp. 80.000,-
2. Meminta maaf,
mengganti kerusakan
pintu saung korban,
dihukum sesuai
dengan reusam
gampong hasil
kesepakatan bersama
3. Meminta maaf,
mengembalikan uang
hasil penjualan
kambing bandot Rp.
3.000.000,-
1. Permohonan maaf,
pelaku membayar
diyat kepada
gampong 40 are dari
hasil panennya,
karena korban adalah
salahsatu perangkat
gampong, surat
perjanjian
2. Permohonan maaf,
membayar diyat Rp.
3.000.000,- untuk
biaya pengobatan
dan kerugian korban,
peringatan pertama
dan surat perjanjian.
3. Permohonan maaf,
diyat sebesar Rp.
3.000.000,- untuk
biaya pengobatan
dan kerugian korban,
peringatan pertama
dan surat perjanjian
Masyarakat
sebagai korban
meminta agar
keluarga korban
memperbaiki
kehormatan
masyarakat yang
sudah tercemar
dengan perbuatan
kedua anak
mereka.
Masyarakat
meminta agar
keduanya
dinikahkan segera
mungkin agar
tidak timbul
fitnah
164
bagi kedua belah
pihak
Reaksi
Masyaraka
t
Masyarakat
menyerahkan
sepenuhnya kepada
perangkat gampong
Masyarakat
menyerahkan
sepenuhnya kepada
fungsionaris gampong
1. Petani sawah yang
berada di TKP
langsung melerai
perkelahian dan
membawa kedua
belah pihak kepada
Keuchikgampong
2. Kasus kedua dan
ketiga masyarakat
langsung melerai
perkelahian dan
membawa korban ke
puskesmas
sedangkan pelaku
diamankan di
kediaman
Keuchikgampong
Putusan
Aparat
penegak
Hukum
1. Permohonan
maaf, perbaikan
boat yang rusak,
pembayaran diyat
Rp. 1.000.000,-,
dan surat
perjanjian
2. Perdamaian dan
permohonan
maaf, diyat 2 sak
pupuk, surat
perjanjian
1. Permohonan maaf,
nasihat dan teguran
kepada korban dan
ibu korban, diyat
sebesar Rp. 80.000,-
surat perjanjian
2. Permohonan maaf,
perbaikan pintu
saung korban, diyat
Rp. 5.000.000,-,
peringatan pertama,
surat perjanjian
3. Permohonan maaf,
diyat Rp. 3.000.000,-
peringatan pertama,
surat perjanjian.
1. Permohonan maaf,
diyat 40 are hasil
panen diserahkan
kepada gampong,
dan surat perjanjian
2. Permohonan maaf,
diyat Rp. 3.000.000,-
dan surat perjanjian
keduabelah pihak
3. Permohonan maaf,
diyat Rp. 3.000.000,-
, setengah nominal
dibayarkan oleh
perangkat gampong
karena pelaku
merasa tidak mampu
membayarkan,
peringatan pertama
dan surat perjanjian,
peusijuek oleh
korban setelah
korban sembuh
dengan disaksikan
perangkat gampong.
Pelaku dan
kedluarganya
harus meminta
maaf kepada
masyarakat,
pelaku harus
menikah secara
agama keesokan
harinya dan
secara resmi
pada lusa
harinya. Kedua
keluarga
membayarkan
Rp. 1.500.000
beserta bumbu,
dan beras untuk
menyembelih
seekor kambing
dan diserahkan
kepada warga
dusun gampong
tempat kejadian
sebagai simbol
permohonan
maaf pelaku.
165
Pertimban
gan
Putusan
1. Setelah proses
mediasi,
musyawarah
mufakat, serta
pengampunan
dari korban,
maka keputusan
fungsionaris
gampong adalah
sesuai dengan
tuntutan dan
hasil musyawarah
bersama antara
korban dan
pelaku,
mengingat bahwa
pelaku
melakukan itu
karena terpaksa
agar
mendapatkan
hasil yang banyak
untuk membiayai
pengobatan
anaknya yang
sakit, serta kedua
belah pihak
adalah warga
yang rukun
sebelum
terjadinya
perselisihan
tersebut.
2. Setelah proses
mediasi,
musyawarah
mufakat, serta
pengampunan
dari korban,
maka keputusan
fungsionaris
gampong adalah
pelaku harus
mengganti
kerugian korban
dan berjanji
untuk menjaga
hewan ternaknya
dengan lebih
1. Setelah proses
mediasi,
musyawarah
mufakat, dan
pengampunan
pelaku, ibu pelaku
mendapatkan
tanggungjawab yang
besar untuk
memperbaiki pelaku,
ibu pelaku juga
berjanji untuk
memenuhi segala
kebutuhan pelaku
dengan baik.
2. Korban memilih
untuk menyelesaikan
sengketa melalui
jalan kekeluargaan
dengan perangkat
gampong. Korban
juga sudah
memaafkan pelaku,
karen hubungan
antara keduanya
sangat baik, korban
juga menyadari
bahwa pelaku
melakukan hal itu
dengan terpaksa.
Proses mediasi dan
musyawarah berhasil
mendamaikan
keduabelah pihak.
3. Korban memaafkan
pelaku, ia menyadari
bahwa pelaku
melakukan itu
dengan terpaksa.
Pelaku juga
mengakui
kesalahannya dan
berjanji untuk
mengganti semua
kerugian serta
mencari pekerjaan
yang layak untuk
membiayai
kehidupan
1. Korban memaafkan
pelaku karena korban
juga merasa bersalah
karena mengambil
keputusan tanpa
memberitahu pelaku,
namun pelaku tetap
dihukum karena
telah memulai
membuat
pertengkaran di
sawah. Pelaku
berjanji untuk tidak
mengulangi
kesalahannya lagi.
2. Pelaku telah
mendapatkan maaf
dari korban akibat
kesalahpahaman
tersebut. Hal ini
terjadi karena proses
mediasi dan
musyawarah yang
dilakukan oleh
perangkat gampong.
Pelaku mengakui
kesalahannya dan
berjanji untuk tidak
melakukan
klesalahan yang
serupa lagi.
3. Korban memaafkan
pelaku karena korban
juga merasa bersalah
karena telah
mengambil alih
lapak dan tidak mau
berbagi, sementara
lapak adalah milik
umum (milik
gampong). Aparat
gampong yang turut
andil dalam masalah
ini juga merasa
bersalah karena
pembagian lapak
penjualan belum
diatursecara optimal,
sehingga terdapat
Setelah proses
mediasi dan
perdamaian
antara
masyarakat
gampong dan
keluarga pelaku,
orang tua pelaku
merasa bersalah
karena telah
lalai menjaga
anak mereka.
Orang tua
mereka bersedia
untuk
menikahkan
mereka berdua
sebagai wujud
permohonan
maaf mereka.
166
intensif setelah
kejadian ini.
keluarganya. Proses
mediasi dan
musyawarah
membuat suasana
peradilan menjadai
dingin.
warganya yang
bertengkar dan
berebut lapak
tersebut.
167
BAB V
PENYELESAIAN SENGKETA ADAT ACEH MELALUI MEDIASI PADA
KASUS YANG BERSIFAT BUKAN DENDA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF,
DAN HUKUM ISLAM
Putusan adat Aceh ada yang berupa denda dan juga bukan denda. Pemberian
keputudan tersebut sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan oleh pelaku dan
kerugian korban. Seperti yang telah diuraikan pada bab empat tentang penyelesaian
kasus yang putusannya berupa denda, maka pada bab ini akan diuraikan kasus-kasus
adat Aceh yang putusannya bukan denda, kemudian dianalisa dan dijelaskan
bagaimana kasus tersebut jika diselesaikan melalui hukuk positif di Indonesia dan
hukum Islam.
A. Kasus Asusila Perzinaan
1. Deskripsi Dan Kronologi Kasus
Pada hari senin, tanggal 11 November 2013, sekira jam 16.30 WIB, datanglah
Robi (bukan nama asli), wiraswasta asal Meulaboh, Aceh Barat, ke kediaman Oriza
(bukan nama asli), di gampong Mekar Sari (bukan nama asli), Banda Aceh, yang
mana dirumah kebetulan sedang ada Khairunnisa yang sedang belajar. Kira-kira
pukul 17.00 Khairunnisa pergi membeli nasi, sedangkan Oriza dan Robi sedang
berdua dirumah. Sambil menonton tv, tangan Robi memegang tangan Oshica, dan
terus menciumnya. Kemudian Robi membuka celana Oriza dan terjadilah hubungan
intim. Sesudah terjadi hubungan intim, Robi pun keluar rumah.
Pada tanggal 12 November 2013, sekitar pukul 20.00 Robi kembali datang
kerumah Oshica, sehingga membuat kecurigaan warga. Kemudian pukul 22.30
WIB, mereka berdua ditemukan warga didalam rumah sedang berduaan tanpa ada
orang lain selain keduanya. Akhirnya merekapun dibawa kerumah kepala dusun,
kemudian diarak ke meunasah gampong Mekar Sari untuk dimintai keterangan
lebih lanjut. Mereka berdua diamankan oleh perangkat gampong di rumah salah
satu kadus dan fungsionaris gampong untuk menghindari kemarahan warga
setempat.
Pada tanggal 13 November 2013, diadakan musyawarah gampong yang terbuka
untuk umum, untuk membahas kesalahan mereka. Kasus perzinaan yang dilakukan
oleh Robi dan Oriza merupakan kasus berat di gampong. Perangkat gampong
akhirnya membuat keputusan, yaitu mereka dikeluarkan dari gampong Mekar sari
dengan pemberitahuan kepada keluarga kedua belah pihak.1
Pertimbangan Hukum Adat
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pihak pertama
dengan sadar telah melanggar reusam adat gampong Mekar Sari tentang peraturan
asusila. Secara sadar kedua belah pihak telah melakukan hubungan intim suka sama
suka, sedangkan keduanya bukan sesama mahrom.
1Kronologi kasus disarikan dari wawancara dengan keuchik gampong yang
bersangkutan dan dokumentasi adat gampong., dan Dokumentasi peradilan adat 13
November 2013, ditandatangani oleh Keuchik gampong, Sekretaris gampong, dan orangtua
kedua belah pihak
168
Menimbang bahwa saat melakukan perbuatan perzinahan tersebut
keduanya melakukan atas dasar suka sama suka tanpa ada paksaan dari siapapun.
Keduanya juga sadar bahwa apa yang dilakukannya itu melanggar shari>‘at Islam
dan juga melanggar reusam gampong.
Menimbang, kedua belah pihak bukanlah warga asli gampong Mekar Sari.
Keduanya adalah pendatang yang sedang tinggal di gampong Mekar Sari karena
alasan pekerjaan dan sekolah.
Menimbang, bahwa dalam adat Aceh, dikenal hadih maja ‚Adat ta Junjong,
hukom ta peutimang Qa>nu>n Ngon Reusam wajieb ta jaga‛. Bahwa adat harus
dijunjung, hukum harus dilaksanakan, qa>nu>n dan reusam harus dijaga. Karena
keduabelah pihak dirasa telah melanggar reusam gampong, maka baginya harus
diberikan ketentuan hukum adat yang sesuai.2
Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi
musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar
dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat
adat tidak terusik, namun karena kesalahan ini merupakan kesalahan terberat dan
menyangkut nama baik gampong, maka keputusan terberatpun harus diambil oleh
fungsionaris gampong untuk memperbaiki kembali nama gampong yang sudah
tercemar
Menimbang, bahwa setiap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi tidak
hanya dilihat dari sudut pelaku tindak kejahatan, akan tetapi juga dilihat dari sudut
korban sebagai orang yang dirugikan.
Keputusan Peradilan Adat
Menyatakan bahwa keduabelah pihak telah melanggar reusam adat gampong
yaitu melakukan perzinahan, maka keduanya diberikan hukuman dikeluarkan dari
gampong Mekar Sari dengan memberitahu kepada keluarga kedua belah pihak.3
2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif
Zina menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan
bersenggama yang tidak sah antara laki-laki dan perempuan.4 Kasus perzinaan
masuk kedalam kasus asusila sebagaimana telah dibahas pada penyelesaian kasus
khalwat/meusum pada bab ke-4 dalam pembahasan tesis ini. Pelanggaran kesusilaan
termasuk dalam KUHP dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan
kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran.5
Adapun
pelanggaran zina diatur dalam pasal 284 yang berbunyi:
2Pertimbangan adat ini sama untuk semua penyelesaian kasus adat (wawancara
dengan Badruzzaman Isma’il, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat Aceh, Selasa, 29 April
2014) 3Dokumentasi peradilan adat 13 November 2013, ditandatangani oleh Keuchik
gampong, Sekretaris gampong, dan orangtua kedua belah pihak 4Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta, 2008, 1633 5Diantara perbuatan yang termasuk kedalam kejahatan kesusilaan:
169
‚ Diancam pidana penjara paling lama Sembilan bulan :
1. a. seorang pria telah nikah yang melakukan zina, padahal diketahui, bahwa
pasal 27 BW berlaku baginya.
b. seorang wanita telah nikah yang melakukan zina
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui
bahwa yang turut bersalah telah nikah dan pasal 27 BW berlaku baginya.
b. seorang wanita tidak nikah yang turut serta melakukan perbuatan itu
padahal diketahui olehnya, bahwa yang turut bersalah telah nikah dan pasal
27 BW berlaku baginya‛.6
Pada ayat (2) : ‚tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri
yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tempo tiga
bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena
alasan itu juga.‛
Pasal 27 BW mengatakan bahwa orang laki-laki hanya boleh menikah
bersama seorang perempuan, dan orang perempuan hanya boleh menikah dengan
seorang perempuan secara bersaman. Mereka yang tunduk dengan pasal ini baik
laki-laki maupun perempuan tidak boleh bersetubuh dengan orang lain, selain
dengan istri atau suaminya sendiri.7
Dari rumusan ketentuan Pasal 284 KUHP tersebut maka unsur-unsur
perzinahan adalah sebagai berikut: adanya persyaratan telah menikah; adanya
pengaduan dari suami atau isteri yang tercemar; dan si penzinah harus mengetahui
bahwa pasangannya terikat perkawinan.8 Berdasarkan ketentuan Pasal 284 KUHP,
apabila laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya belum menikah dan melakukan
hubungan seks di luar ikatan pernikahan yang sah maka tidak dapat dikategorikan
sebagai perzinahan dan tidak dapat dijerat oleh hukum. Dengan kata lain, ketentuan
Pasal 284 KUHP, baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan peluang
kepada persetubuhan di luar nikah antara laki-laki dan perempuan yang masing-
masing tidak terikat pernikahan dengan orang lain
a. Pasal 281-283 yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan
kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda-benda dan
sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno
b. Pasal 284-289 tentang zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan
cabul dan hubungan seksual
c. Pasal 297 tentang perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur
d. Pasal 299 tentang perbuatan yang berhubungan dengan pengobatan untuk
menggugurkan kandungan
e. Pasal 300 tentang perbuatan memabukkan
f. Pasal 301 tentang menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya
g. Pasal 302 tentang penganiayaan hewan
h. Pasal 303 dan 303 bis tentang perjudian 6KUHP dan KUHAP (Jakarta: Pustaka Raya, 2011), cet.1, 117-122 7R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Politeia, 1995), 209 8R. Sugandi, R, KUHP dan Penjelasannya (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 300-
303
170
Melihat pasal 284 KUHP tersebut, maka kasus Robi dan Oriza tidak dapat
dikategorikan sebagai perzinahan dan tidak dapat dijerat oleh hukum, hal ini
membuktikan bahwa KUHP kurang memperhatikan nilai-nilai kesusilaan, karena
masyarakat Indonesia kuhususnya masyarakat adat di daerah manapun sangat
menjunjung tinggi masalah kesopanan dan kesusilaan. Apabila terjadi kasus
perzinaan, maka pelaku perzinaan pasti akan di cemooh, atau di asingkan dari
masyarakat. Hal ini berbanding terbalik dengan peraturan yang ada di Republik
Indonesia, untuk itu perlu diadakan perubahan bagi peraturan Hukum Pidana
Indonesia.
Dalam Rancangan Undang-Undang KUH Pidana baru sudah memuat
mengenai perzinahan dalam pasal 483 yang mengatur bahwa tidak hanya yang
sudah berkeluarga yang dikenai sanksi melainkan yang belum ada ikatan pernikahan
dikenai sanksi jika terbukti melakukan perbuatan zina. Kemudian dalam pasal 487
mengatur mengenai hidup besama atau lazimnya orang awam menyebut kumpul
kebo dikenai sanksi.9
Penyelesaian sengketa adat perzinaan yang dilakukan oleh pelaku Robi dan
Oriza sesuai dengan hukum adat sudah tepat. Hukum adat Aceh yang mengandung
tidak hanya norma-norma adat, namun juga norma agama, norma kesusilaan, juga
norma budaya menetapkan perbuatan perzinaan sebagai perbuatan yang dilarang,
untuk itu, bagi yang melanggarnya maka baginya hukuman yang berlaku dan
ditetapkan dalam masyarakat adat tersebut. Keputusan hakim memberikan
hukuman ta’zi>r berupa diusir dari gampong sudah tepat, sebagai bentuk
permohonan maaf mereka kepada gampong, masyarakat adat gampong Mekar Sari,
dan Adat yang telah dilanggar oleh pelaku. Diharapkan dengan kejadian yang
menimpa pelaku dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat adat Gampong Mekar
9Pasal 483 berbunyi:
1. Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
a. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan perempuan yang bukan istrinya
b. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan laki-laki yang bukan suaminya
c. Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan perempuan padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam
ikatan perkawinan
d. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan laki-laki padahal diketahui bahwa aki-laki tersebut berada dalam
ikatan perkawinan
e. Laki-laki dan perempuan yang diketahui masing-masing tidak terikat dalam
ikatan perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
2. Tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam ayat (1) tidak dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.
3. Terhadap pengaduan sebagaimana yang dimaksud pada ayat ke (2) tidak berlaku
ketentuan pasal 25, 26, dan 28
4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan sidang di pengadilan belum
dimulai.
171
Sari untuk tidak melanggar hukum, baik hukum Allah, hukum negara, maupun
hukum adat Aceh.
Untuk menentukan apakah suatu sanksi adat bertentangan dengan dengan
konsep HAM atau tidak, perlu dicermati secara mendalam dengan melihat praktek
pelaksanaannya secara langsung. Secara kasuistis dapat saja, terjadi penjatuhan
sanksi yang kurang menghargai rasa keadilan dan kemanusiaan, karenanya
kemampuan dan pengaruh perangkat gampong sangat menentukan. Dalam pasal 17
UU tentang HAM Nomor 39 Tahun 199910
disebutkan bahwa:
‚Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengajuan dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan
tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang
obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan
benar.‛
Begitu juga pada pasal 18 UU tersebut disebutkan:
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka
melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai
dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan
segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana,
kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum
tindak pidana itu dilakukannya.
(3) Setiap ada perubahan peraturan perundang-undangan, maka berlaku
ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapat bantuan hukum sejak saat
penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Adapun mengenai sanksi diatur dalam pasal 33, 34, dan 35 berikut:
Pasal 33: (1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,
penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat
dan martabat kemanusiaannya. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari
penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Pasal 34: Setiap orang, tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan,
diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
Pasal 35: Setiap orang berhak untuk hidup di dalam tatanan masyarakat dan
kenegaraan yang damai, aman dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan
melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia
sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
Hal yang serupa tertulis dalam deklarasi HAM yang dikeluarkan oleh PBB
pasal 7 tentang perlindungan hukum bagi setiap orang, juga pasal 9 tentang
10
UU HAM Nomor 39 Tahun 1999, BAB III,
http://komisiyudisial.go.id/downlot.php?file=UU%20No%2039%20Thn%201999%20HAM
.pdf.(diakses pada 22 November 2014)
172
larangan penangkapan dan pengasingan secara sewenang-wenang. Hal ini serupa
dengan Pasal 35 UU tentang HAM RI.11
Dalam Deklarasi HAM Islam di Kairo,
Pasal V disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan keadilan dalam
peradilan.
V Right to Fair Trial ‚a) No person shall be adjudged guilty of an offence and made liable to
punishment except after proof of his guilt before an independent judicial tribunal.
b) No person shall be adjudged guilty except after a fair trial and after reasonable
opportunity for defence has been provided to him. c) Punishment shall be
awarded in accordance with the Law, in proportion to the seriousness of the offence
and with due consideration of the circumstances under which it was committed. d)
No act shall be considered a crime unless it is stipulated as such in the clear
wording of the Law. e) Every individual is responsible for his actions.
Responsibility for a crime cannot be vicariously extended to other members of his
family or group, who are not otherwise directly or indirectly involved in the
commission of the crime in question.‛12
Berdasarkan ketentuan pengaduan dan pengadilan, sebagaimana yang telah
disebutkan dalam pasal 17, disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk
memperoleh keadilan dalam hal pengajuan gugatan kepada aparat penegak hukum
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini masyarakat gampong sebagai
korban berhak untuk membawa dan mengadukan perkara kepada aparat penegak
hukum di gampong agar diselesaikan menurut hukum dan ketentuan yang berlaku.
Apa yang dilakukan oleh pelaku dirasa telah melanggar peraturan adat yang telah
dibuat oleh Pemerintah daerah Aceh, dan disepakati bersama penerapan dan
sanksinya oleh masyarakat gampong tersebut.
Sesuai dengan pasal 18, pelaku tidak ditahan dan di tangkap tanpa alasan
(dengan sewenang-wenang), masyarakat mendapati sendiri kejahatan yang
11
Universal Declaration of Human Rights,
http://www.ohchr.org/en/udhr/documents/udhr_Translations/eng.pdf. diakses pada 2
Desember 2014 12
Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa Tidak ada seorangpun akan divonis
bersalah karena melakukan kejahatan dan membuat dikenakan hukuman kecuali setelah
bukti bersalah, dan kecuali setelah pengadilan yang adil dan setelah kesempatan yang wajar
untuk pertahanan telah diberikan kepadanya. Adapun Hukuman akan diberikan sesuai
dengan UU, sebanding dengan keseriusan pelanggaran dan dengan mempertimbangkan
keadaan di mana itu dilakukan.Tidak ada tindakan dianggap kejahatan kecuali ditetapkan
sebagai tersebut dalam kata-kata yang jelas dari UU tersebut.Tanggung jawab untuk
kejahatan tidak dapat diberikan kepada anggota keluarganya yang lain, yang tidak
dinyatakan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam melakukan kejahatan
tersebut. Lihat Universal Of Islamic Human Right, 19 September 1981, http://www.alhewar.com/ISLAMDECL.html, diakses pada 2 Desember 2014. Lihat juga
Pasal 20 dalam ARAB, ENGLISH AND FRENCH WORLD CONFERENCE ON HUMAN
RIGHTS, Preparatory Committee, Fourth session, Geneva, 19 April - 7 May 1993,
http://www.arabhumanrights.org/publications/regional/islamic/cairo-declaration-islam-
93e.pdf., diakses pada 2 Desember 2014.
173
dilakukan oleh pelaku, sehingga kedua pelaku sudah terbukti bersalah. Pelaku juga
mendapatkan bantuan hukum dengan diamankan oleh perangkat gampong untuk
menghindari kemarahan warga.
Pemberian sanksi berupa pengusiran tidak melanggar UU pasal 33, 34, dan
35. Pelaku tidak diperlakukan kejam dan semena-mena oleh masyarakat, ketika
pelaku tertangkap, pelaku langsung dibawa kepada aparat gampong untuk diperoses
secara langsung menurut hukum yang berlaku. Pemberian hukuman diusir dari
gampong adalah bentuk hukuman terberat di gampong, karena pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku juga merupakan pelanggaran terberat. Pelaku tidak
diasingkan atau dikeluarkan secara sewenang-wenang, melainkan keduanya diusir
dari gampong akibat dari perbuatannya sendiri. Perangkat gampong juga
memberikan waktu sampai kedua orangtuanya datang dan bertanggungjawab atas
pelaku. Pada pasal 35 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dalam
tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan tentram. Apa yang
dilakukan oleh pelaku sudah mengganggu ketentraman masyarakat gampong,
pelaku seakan menjadi hama yang apabila tidak dibuang akan merusak seluruh
tanaman.
3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam
Islam menganjurkan pernikahan, karena nikah adalah cara yang paling tepat
untuk menyalurkan hasrat seksual. Islam melarang menyalurkan hasrat tersebut
pada jalan yang tidak dibenarkan dan mengharamkan tindakan pembangkitan hasrat
biologis dengan sarana apapun, agar tidak menyimpang dari jalan yang telah
digariskan, untuk itu, Islam melarang ikhtila>t} (pencampuran bebas antara laki-laki
dan perempuan)13
dan setiap perkara yang dapat membangkitkan birahi atau
mengajak melakukan perbuatan nista. Zina merupakan penyebab langsung
tersebarnya penyakit berbahaya yang sangat memakitan, seperti syphilis, saluran
kencing, penyakit kulit, bahkan HIV AIDS. Zina juga merusak garis keturunan dan
berpotensi menyerahkan harta kepada orang yang tidak berhak menerimanya ketika
terjadi perwarisan. Zina juga hubungan sementara yang tidak disertai
tanggungjawab, sehingga merupakan penyebab utama kerusakan dan kemerosotan
moral, dan menggalakan gaya hidup pembujang dan pacaran, karenanya zina
menjadi faktor terpenting mendorong fenomena hedonisme, kebejatan, dan
kejahatan.14
Kejahatan zina merupakan pelanggaran salah satu prinsip dasar (al huqu>q al
Isla>mi>yah) yang memiliki kaitan dan relevansi yang mendalam dan seiring dengan
prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia , yaitu hifz} al nafs wa al ‘ird} (jaminan hak
atas setiap jiwa manusia untuk tumbuh berkembang secara layak), juga hifz} al nasl (jaminan atas kehidupan setiap individu, jaminan masa depan keturunan dan
13
Pelarangan dan contoh kasus ikhtila>t} telah dibahas pada bab 4 pada kasus khalwat. 14
Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Juz II (Beirut: Da>r al-Fikr, tt), 301
174
generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas).15
Berdasarkan sebab-sebab
tersebut dan penyebab lainnya, Islam menetapkan hukuman yang paling berat bagi
pelaku zina, karena dampak kejahatan yang ditimbulkannya jauh lebih berbahaya
bagi masyarakat. Islam membandingkan bahaya yang menimpa pendosa dengan
bahaya yang menimpa masyarakat, lalu mengambil resiko bahaya yang lebih ringan.
Adapun konsep shari>‘at dalam masalah tajri>m 16dan hukuman adalah
berdasarkan pada prinsip menjaga kemaslahatan yang mendasar dan fundamental
dalam Islam, yaitu agama, nyawa, akal, nasab, dan harta. pelanggaran terhadap
kelima perkara itu merupakan sebuah kejahatan dimana pelakunya berhak
mendapatkan hukuman yang sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang
dilakukannya dan besar kecilnya dampak bahaya yang diakibatkan.
Menurut bahasa dan istilah shara’, zina mempunyai pengertian yang sama,
yaitu persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan pada kemaluan
depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan shubhat kepemilikan.17
Ulama
Hanafi>yah mendefinisikan zina sebagai ‚koitus yang haram pada kemaluan depan
perempuan yang masih hidup dan menggairahkan dalam kondisi atas kemauan
sendiri (tidak dipaksa) dan kehendak bebasnya di da>r al ‘adl (kawasan negara Islam
yang dikuasai oleh pemerintahan atau pimimpin yang sah) oleh orang yang
berkewajiban menjalankan hukum-hukum Islam, tidak mempunyai hakikat
kepemilikan, tidak mempunyai hakikat tali pernikahan, tidak mempunyai unsur
shubhat kepemilikan, tidak mempunyai unsur shubhat tali pernikahan, tidak
mempunyai unsur shubhat berupa unsur samar dan kabur pada tempat kondisi
samar dan kabur pada kepemilikan maupun tali pernikahan sekaligus.18
Dasar pensyariatan hukum hadd bagi pezina yang belum menikah adalah
Qs. Al Nu>r ayat 219
dan pezina yang sudah menikah adalah hadith Rasulullah saw20
.
15
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Shari>‘at Islam Di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh darussalam (Ciputat:
Logos wacana Ilmu, 2003), 36-37 16
Yaitumenyatakan suatu tindakan menjadi kejahatan atau pemidanaan 17
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (jakarta: Sinar Grafika, 2009), 37 18
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r Al Fikr
Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4839
19
2. perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.
175
Hukuman hadd zina merupakan murni hak Allah, yakni hak-hak masyarakat, karena
zina menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap kelauarga, nasab, dan sistem
tatanan sosial sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya.
Melalui Qs. Al-Nu>r ayat 2 disebutkan bahwa hadd atau hukuman bagi
seseorang yang berzina sedang ia belum menikah (ghair muh}s}a>n) adalah didera
sebanyak 100 kali dera. Adapun sesuai dengan hadits Rasulullah bahwa seseorang
yang berzina sedangkan ia sudah menikah (muh}s}a>n/muh}sa>nah) maka baginya
hukuman dera dan rajam (dilempari batu sampai mati). Hukuman rajam disepakati
oleh seluruh Ulama, namun kelompok Khawarij memandangnya tidak wajib, hal ini
juga dikemukakan oleh beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti al-Naz}am dan para
pengikutnya. Mereka tidak punya argumentasi selain karena rajam tidak disebut
dalam Al Qur’an.21
Hukuman hadd zina tidak bisa dijatuhkan kepada seorang pelaku zina baik
laki-laki maupun perempuan kecuali dengan beberapa syarat, baik yang sudah
disepakati maupun yang diperselisihkan. Diantara syarat yang sudah disepakati
ulama adalah: pelaku adalah orang baligh; berakal; seorang muslim (syarat ini
menurut ulama Maliki>yah); pelaku melakukan perzinaan atas kemauan sendiri,
tanpa paksaan dari orang lain; perzinaan yang dilakukan adalah dengan manusia;
perempuan yang dizinai adalah perempuan yang memang sudah bisa disetubuhi;
perzinaan yang dilakukan tanpa ada unsur syubhat; pelaku mengetahui hukum
keharaman zina; perempuan yang dizinai bukan perempuan harbi di da>r al harb
(kawasan negeri musuh) atau da>r al baghy (kawasan yang dikuasai oleh kelompok
pemberontak).22
Ancaman hukuman/hadd zina adalah serius, dan hakim harus berhati-hatim
dalam memberikan keputusan dan menyatakan bersalah bagi pelaku kejahatan zina.
Pembuktian zina harus dapat menghasilkan titik terang yang meyakinkan hakim
untuk dasar dapat melaksanakannya hadd zina. Apabila hakim ragu-ragu, maka
hadd tidak bisa dilakukan
Ada tiga macam cara pembuktian zina yaitu:
Pertama, Pembuktian dengan saksi. Ulama telah sepakat bahwa tindak pidana
zina tidak bisa dibuktikan kecuali dengan empat orang saksi. Karena apabila kurang
kesaksiannya tidak bisa diterima. Adapun syarat saksi adalah: syarat-syarat umum
terdiri dari: baligh, berakal, kuat ingatan, dapat berbicara, dapat melihat, adil,
Islam, dan tidak ada penghalang persaksian., sedangkan syarat-syarat khusus untuk
tindak pidana zina adalah: laki-laki, harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
peristiwa zina belum kadaluwarsa, persaksian harus dalam satu majelis, bilangan
والذي نفسي بيده ألقضني بينكما بكتاب اهلل الوليدة والغنم رد وعلى ابنك جلد مائة وتغريب 20
عامز اغد يا أنيس إىل امرأة ىذا فإن اعتفت فارمجها21
Sayyid Sa>biq, Fiqh Al Sunnah, Juz II (Beirut:Da>r Al Fikr, tt), 303 22
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr
al-‘Ilmi>yah, 1997), 4849
176
saksi harus empat orang, Persaksian harus meyakinkan, diterima, dan dianggap sah
oleh hakim.
Kedua, Pembuktian dengan pengakuan, dengan syarat: pengakuan harus
dinyatakan empat kali atau berulang-ulang; pengakuan harus terperinci dan
menjelaskan tentang hakikat perbuatan, sehingga dapat menghilangkan shubhat (ketidakjelasan) dalam perbuatan zina; pengakuan harus sah atau benar, yang
dinyatakan oleh orang yang berakal dan mempunyai kebebasan; pengakuan
dinyatakan dalam siding pengadilan atau luar siding pengadilan.
Ketiga, Pembuktian dengan Qari>nah 23 . Seperti hamilnya wanita karena
perkosaan atau mengaku dipaksa atau selama ia tidak mengaku berbuat zina maka
tidak dijatuhi hukuman.24
Hukum Islam menjaga hak-hak individu apabila individu tersebut benar-benar
tidak melakukan zina melainkan diperkosa atau difitnah oleh orang lain. Hukum
Islam menegaskan bahwasanya dalam menentukan seseorang melakukan perbuatan
zina harus dibuktikan terlebih dahulu melalui keterangan saksi, pengakuan dan
adanya tanda atau kehamilan dalam rahim seorang wanita.
Hukuman hadd zina merupakan murni hak Allah dalam artian hak publik
(masyarakat). Karena hukuman hadd zina diberlakukan untuk menjaga kehormatan
jangan sampai ternodai. Apabila kasus Robi dan Oriza diselesaikan menurut hukum
Islam, keduanya dapat dikenai hukuman dera sebanyak 100 kali dera, namun karena
kearifan hukum adat, maka keduanya diberikan hukuman terbesar, yakni hukuman
maksimal dan hukuman tertinggi bagi masyarakat adat Aceh, yaitu diusir dari
gampong. Hukuman pengusiran ini adalah bukti bahwa adat dalam konteksnya
dapat disesuaikan dengan shari>‘at Islam. Shari>‘at Islam memberikan hukuman
maksimal yaitu hukuman dera sebanyak 100 kali, setelah kesalahan keduanya
terbukti dan keduanya mengakui kesalahan mereka. Adapun hukum adat
memberikan hukuman maksimalnya yaitu diusir dari gampong. Dengan
menggunakan konsep musyawarah dan damai, masyarakat yang menjadi korban
kejahatan ini, dapat direda kemarahannya kepada korban. Masyarakat memaafkann
pelaku dengan tidak memberikan sanksi ‚main hakim sendiri‛, namun kesalahan
kedua belah pihak tidak dapat dimaafkan oleh masyarakat, sehingga keduanya harus
menerima hukuman terberat, yaitu dikeluarkan dari gampong dan dikembalikan
kepada keluarga mereka. Hukuman tersebut bukan hanya membuat mereka malu,
akan tetapi akan membuat mereka jera dan tidak melakukan kesalahan yang sama
lagi.
4. Perbandingan Antar Kasus
Sanksi hukum pidana adat yang dijatuhkan oleh Keuchik adalah merupakan
‚obat terakhir‛ (ultimatum remedium) harus ditempuh dulu mencari obat lain untuk
23
Adalah tanda yang dianggap sebagai alat bukti dalam perbuatan zina yakni
timbulnya kehamilan pada seorang wanita yang tidak bersuami, atau tidak diketahui
suaminya. Apabila terdapat shubhat dalam terjadinya zina maka tidak dijatuhi hukuman
kepadanya 24
„Abd al-Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-wad}‘i> juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al Risa>lah, 1997), 393-441
177
mengobati penyakit (sengketa). Jika obat lain tidak ada, maka dijatuhi sanksi adat,
itupun tidak boleh bersifat melampiaskan balas dendam atau mencelakan salah satu
pihak yang bersengketa. Dalam kasus ini kedua pelaku setelah ditangkap basah
oleh masyarakat langsung diamankan oleh para fungsionaris adat untuk
menghindari perbuatan ‚main hakim sendiri‛ oleh masyarakat, karena masyarakat
sebagai korban atas perbuatan pelaku, yakni korban malu dan pelanggaran nama
baik gampong.25
Hukuman yang diberikan oleh fungsionaris gampong berupa dikeluarkan atau
diusir dari gampong adalah bentuk sanksi yang paling berat, yaitu pemutusan
seluruh hubungan sosial dan adat antara masyarakat adat dalam waktu yang tidak
berbatas. Kesalahan yang dilakukan oleh Robi dan Oriza sudah diketahui oleh
seluruh masyarakat gampong Mekar sari, sehingga akan membawa malu
keluarganya, gampongnya, serta kaumnya, maka jika ia tinggal di gampong akan
bercermin bangkai, makan hati berulang jantung menanggung penderitaan batin
yang berkepanjangan. Demikian beratnya kalau melanggar ketentuan adat, maka
lebih baik segera meninggalkan kampung tersebut, karena masyarakat silau mata
melihat hubungan mesra yang selalu dipamerkan kedua pasangan muda-mudi
tersebut.26
Orang berzina adalah orang yang sudah melanggar norma adat, norma agama,
norma kesopanan, dan norma budaya, serta bertentangan dengan nilai-nilai hidup
dalam bermasyarakat. Keduanya pelaku telah merampas kehormatannya, karena
melakukan perbuatan yang diharamkan oleh agama dan adat, ta juga mendzalimi
dirinya sendiri.27
Dalam kasus ini hukuman dari fungsionaris adat berupa diusir adalah sudah
tepat. Kedua pelaku adalah seorang pendatang yang sudah diberi kepercayaan untuk
tinggal di gampong Mekar Sari, seharusnya menjaga nama baik gampong dan
beriktikad baik kepada masyarakat dan gampong. Akan tetapi kepercayaan yang
telah diberikan oleh fungsionaris gampong dan masyarakat sudah dinodai oleh Robi
dan Oriza, setelah melakukan perzinahan. Mereka berdua bukan hanya mendzalimi
diri mereka sendiri, akan tetapi juga mendzalimi masyarakat gampong.
Keputusan diusirnya kedua pelaku dan dikembalikan kepada keluarga korban
adalah bentuk kearifan dari hukum adat Aceh. Meskipun keduanya telah melanggar
reusam gampong, namun fungsionaris gampong tetap memberikan perlindungan
kepada keduanya sampai keluarga korban datang, fungsionaris gampong juga tidak
25
H. Teuku Raja Itam Aswar, ‚Kasus-Kasus dan Penyelesaian Melalui Peradilan
Adat‛ , Disampaikan Pada pelatihan Peradilan adat bagi Para Fungsionaris Adat Se-
Provinsi Nanggroe Aceh adarussalam Tanggal 4 s/d 8 September 2007, di Banda Aceh,
Majelis Adat Aceh (MAA) Prov. Nanggroe Aceh Darussalam 2007. 26
H. Teuku Raja Itam Aswar, ‚Kasus-Kasus dan Penyelesaian Melalui Peradilan
Adat‛ , Disampaikan Pada pelatihan Peradilan adat bagi Para Fungsionaris Adat Se-
Provinsi Nanggroe Aceh adarussalam Tanggal 4 s/d 8 September 2007, di Banda Aceh,
Majelis Adat Aceh (MAA) Prov. Nanggroe Aceh Darussalam 2007. 27
Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang
Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014
178
semerta-merta mengusir keduanya saat itu juga, namun memberikan waktu sampai
kedua keluarga mereka datang dan mengembalikan pengawasan keduanya kepada
keluarganya, karena dikhawatirkan jika keduanya tidak diawasi oleh keluarganya
akan membuat kesalahan yang sama untuk kedua kalinya di tempat lain.
Kasus yang dihadapi oleh Robi dan Oriza sudah tepat diselesaikan melalui
peradilan adat. Kearifan hukum adat terlihat dalam menyelesaikan kasus perzinaan
tersebut, yaitu adat dapat disesuaikan dengan konteks keislaman, mengingat bahwa
adat Aceh berpegang pada shari>‘at islam. Hukuman yang diberikan oleh
fungsionaris adat dapat disesuaikan dengan keadaan pelaku, dan masyarakat adat,
sehingga dapat relevan untuk diterapkan. Melalui paradigma ta’zi>r fungsionaris
adat memberikan hukuman berupa pengusiran dari gampong. Karena yang dilanggar
adalah hak Allah dalam hal ini adalah hak publik atau hak masyarakat, maka
hukuman diberikan dengan melihat kemaslahatan pelaku dan juga masyarakat
sebagai korban. Masyarakat adat Aceh merasa bahwa setelah mereka diusir, maka
hak masyarakat akan kembali utuh. Fungsionaris adat tetap memperhatikan hak
asasi mereka sebagai manusia dan masyarakat adat. Mereka diusir dari gampong
dengan harapan dapat menjadi pelajarana dan dapat memperbaiki diri lebih baikm
lagi, serta bertaubat atas kejahatan yang telah dilakukannya.
Apabila permasalahan ini diselesaikan melalui hukum pidana Indonesia,
maka apa yang dilakukan oleh Robi dan juga Oriza bukalah termasuk tindak
kejahatan, karena ketentuan perbuatan keduanya tidak termaktub dalam KUHP,
sehingga keduanya tidak bisa diberikan hukuman, dengan demikian keduanya
mungkin akan melakukan kesalahan yang sama lagi untuk yang kedua kalinya, dan
begitu juga masyarakat yang lain, bisa jadi akan mengikuti perbuatan keduanya,
karena dianggap tidak dipermasalahkan oleh hukum. Hal demikian itu membuat
kemerosotan akhlak, moral dan mental masyarakat muda mudi Indonesia, sehingga
nilai-nilai kemanusiaan dan kesopanan dalam kehidupan tidak ada lagi.
Berikut adalah perbandingan proses penyelesaian sengketa perzinaan
melalui peradilan non litigasi (peradilan adat, Hukum Pidana Indonesia, dan Hukum
islam)
Tabel 8: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Perzinaan Menurut
Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi
(peradilan adat)
Jenis Perkara
Pelanggaran
asusila/ kesopanan
didepan umum
Zina Zina
Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong
Landasan
penetapan
perkara
Tidak ada UU
yang
mengaturnya
Qs. Al Nu>r >: 2
Hadits Riwayat
Bukhari dan
Muslim tentang
hukuman zina
Qa>nu>n Aceh Nomor
09 Tahun 2008
Hasil Tidak ada Dera 100 kali Diusir dari
179
Keputusan/
Sanksi
hukuman bagi pezina ghair
muh}s}a>n
Rajam bagi
pezina muh}s}a>n
gampong
Proses
penyelesaian
Formal dan
terstruktur
Membutuhkan
waktu yang
lama, biasanya
satu tahun lebih
Biaya
mahal(tanggunga
n korban)
Perkara
diselesaikan
langsung saat
qad}i menerima
laporan dan
eksekusi
hukuman
dijalankan setelah
seluruh bukti-
bukti dan syarat-
syarat terpenuhi
Formal dan non
formal
Formal, terstruktur,
namun fleksibel
Penyelesaian cepat,
kurang dari satu
bulan
Biaya murah
Kesimpulan
Perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah sebuah pelanggaran
adat berat tentang kesopanan dan kepantasan. Dalam hal ini masyarakat menjadi
korban, maka dari itu mereka diberikan hukuman yang terberat, yaitu diusir dari
gampong.
B. Kasus Tapal Batas
1. Deskripsi Dan Kronologi Kasus
Kasus Adat
Pada tahun 2013, sekira pada bulan Juni atau setidaknya pada bulan lain pada
pertengahan tahun tersebut, Amir (bukan nama asli, pihak pertama), warga
gampong Umoh Raja, Kec. Indah Nusa, Kab. Pidie menanam beberapa pohon
pisang di sebidang tanah tepat disamping rumah miliknya yang belum meliki pagar
(kebun miliknya sekitar 20 meter). Adapun tanaman yang ditanam tersebut
melebihi batasnya, sehingga menempati tanah milik Sarta (bukan nama asli, pihak
ke dua). Perlu diketahui, tanah yang dimiliki kedua belah pihak tidak bersertifikat.
Keesokan harinya, setelah pihak kedua mengetahui bahwa tanaman pihak
pertama menempati tanahnya, pihak kedua langsung melaporkan kepada
Keuchikgampong. Hari itu juga, perangkat gampong langsung memanggil kedua
belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Pada awalnya pihak pertama tetap mengakui bahwa sebidang tanah yang
telah ditanami beberapa tanaman olehnya adalah miliknya karena melihat batas
pohon yang ada tepat disamping rumahnya. Pihak kedua mengatakan bahwa pohon
itu semakin lama tumbuh semakin besar dan tidak bisa dijadikan batas/pagar.
Pihak kedua memanggil saksi (Kasim, kakak nya dan Ridwan tetangganya) (bukan
nama asli) yang mengetahui persis tentang kemepilikan tanah mereka.
180
Kedua saksi tersebut membenarkan apa yang dikatakan oleh Sarta, bahwa
Amir telah mengambil beberapa meter tanah miliknya. Setelah diadakan
musyawarah antara kedua belah pihak dan perangkat gampong, pihak pertama
mengakui kesalahannya karena telah mengambil hak milik tetangganya.
Permasalahan tersebut diselesaikan dengan damai, dan menghasilkan kesepakatan:
a. Perangkat gampong mengukur tanah milik keduabelah pihak, dan terjun ke
lapangan langsung. Kemudian oleh perangkat gampong dibuatkan pagar
atau batas sebagai tanda milik keduabelah pihak.
b. Pihak pertama bersedia untuk mengambil kembali dan memindahkan
tanamannya ke atas tanah miliknya
c. Keduabelah pihak harus menerima dengan ikhlas kesepakatan bersama
d. Keduabelah pihak harus saling memaafkan dan berjanji tidak ada saling
dendam dikemudian hari28
Pertimbangan adat
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pihak pertama
dengan sadar telah melanggar reusamadat gampong Umoh Raja dengan alasan
bahwa ia merasa bahwa sebidang tanah yang ditanami adalah miliknya.
Menimbang, bahwa antara pihak pertama dan pihak kedua sebelum terjadi
masalah ini menjunjung persaudaraan yang sangat erat antar sesama warga
gampong Umoh Raja. Kaeuanya sering terlihat bersamaan dalam mengikuti
kegiatan gampong, selain itu keluarga kedua belah pihak juga sangat rukun, karena
keduanya bertetangga sejak mereka masih kecil..
Menimbang, asas-asas normatif pada peradilan adat: yang lemah di bimbing,
yang pincang di papah, yang ganjil di genapkan, yang lupa diingatkan, yang
menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, dan yang keliru diingatkan.
Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi
musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar
dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat
adat tidak terusik. Pihak Pertama dengan kebesaran jiwa mengakui perbuatan
salahnya, dan Pihak Kedua dengan kelapangan dada memaafkan kesalahan pelaku.
Adapun perangkat gampong membantu perdamaian keduabelah pihak dengan tidak
memihak dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan adat dan tidak
bertentangan dengan syari’at islam.
Menimbang, bahwa setiap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi tidak
hanya dilihat dari sudut pelaku tindak kejahatan, akan tetapi juga dilihat dari sudut
korban sebagai orang yang dirugikan.
Keputusan Adat
1. Majelis adat memutuskan bahwa pihak pertama bersalah karena terbukti telah
menanam beberapa tanamannya diatas sebidang tanah milik pihak kedua.
Perangkat gampong akan mengukur kembali tanah kedua belah pihak sesuai
28
Wawancara dengan Keuchik dan Sekdes gampong Omah Raja (bukan nama asli),
Bpk. Abdul Hakim dan Bpk Abu Thalib (bukan nama asli)
181
dengan luas tanah milik masing-masing. Pihak pertama harus bersedia untuk
mengambil kembali dan memindahkan tanamannya ke atas tanah miliknya.
2. Keduabelah pihak harus saling memaafkan dan berjanji tidak ada saling
dendam dikemudian hari29
2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif
Tanah dan apa yang didirikan diatasnya, termasuk pohon, dan tanaman
ladang beserta akar yang menancap dalam tanah merupakan barang yang tidak
bergerak. Pengertian ini sesuai dengan Pasal 506 KUH Perdata.30
Adapun cara
memperoleh hak milik diatur dalam KUH Perdata pasal 584, 624. Adapun dalam
kasus ini, kepemilikan tanah diatur dalam pasal 584, 600, dan Pasal 603.31
Dalam pasal 600 disebutkan bahwa segala sesuatu yang disemaikan diatas
sebidang tanah milik seseorang, itu adalah menjadi hak miliknya. Begitu juga pada
pasal 603 bahwa seseorang yang mendirikan bangunan diatas tanah milik orang
lain, maka pemilik tanah boleh memiliki bangunan tersebut atau menuntut
bangunan tersebut untuk diambilnya. 32
Apabila ditinjau dari hukum positif, penulis menganalogikan bahwa pada
pasal 603 tersebut juga mencakup pengertian bahwa barangsiapa yang menanam
tanaman diatas ebidang tanah milik orang lain, maka pemilik tanah boleh memiliki
tanaman tersebut atau menuntut untuk diambilnya. Hal ini sesuai dengan pasal 600,
bahwa hanya pemilik tanah yang berkuasa dan memiliki hak atas tanahnya, baik itu
untuk mendirikan bangunan diatasnya, ataupun menaanam tanaman diatasnya.
Pada hakikatnya, apa yang ditentukan oleh hukum positif sejalan dengan
hukum adat terkait pada masalah ini, keduanya sama-sama melindungi hak adami,
29
Wawancara pribadi dengan keuchik gampong, (bpk. Bukhari) 30
Perpustakaan Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Karya
Gemilang, 2011), 138 31
Pasal 584: Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan
pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu, dengan pewarisan,
baik menurut Undang-Undang maupun menurut surat wasiat, dan dengan menunjukkan
surat penyerahan berdasarkan sauatu peristiwa perdata untuk memindahan hak milik, yang
dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu.
Pasal 600: Segala sesuatu yang ditanam atau disemaikan diatas sebidang pekarangan
adalah milik si pemilik tanah itu
Pasal 603: Bila seseorang dengan bahan-bahan bangunan sendiri, mendirikan
bangunan bangunan diatas tanah milik orang lain, maka pemilik tanah boleh memiliki
bangunan itu atau menuntut agar bangunan itu diambilnya.
Bila pemilik tanah menuntut supaya bangunan diambil, maka pembongkaran
bangunan berlangsiung dengan biaya pemilik bahan, malahan pemilik bahan ini boleh
dihukum dengan segala biaya, kerugian dan bunga
Bila sebaliknya, pemilik tanah hendak memiliki bangunan tersebut, maka ia harus
membayar harga bangunan beserta upaya kerja tanpa memperhitungkan kenaikan harga
tanah. 32
Perpustakaan Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Karya
Gemilang, 2011), 140
182
namun karena kedua belah pihak tinggal di desa, dan sebagian besar masyarakat
desa mendapatkan tanahnya dari hasil warisan orang tuanya, dan tidak memiliki
surat tanah sebagai bukti hak milik mereka, maka permasalahan ini belum dapat
diselesaikan melalui hukum positif, sampai kedua belah pihak mengurus surat tanah
mereka, karena ditakutkan akan muncul masalah baru.
Garis batas yang jelas dan tegas, sebenarnya merupakan kepentingan bersama
dari kedua pemilik tanah yang bertetangga, oleh sebab itu, garis batas dari dua
pemilik tanah harus mendapatkan pengakuan dari keduanya, agar dapat ditetapkan
sebagai garis batas permanen atau definitif.33
Dalam kasus ini, kedua belah pihak
saling mengakui bahwa tanah mereka keduanya adalah masing-masing 2 hektare,
namun keduanya tidak memiliki sertifikat tanah sehingga kepemilikan tidak kuat.
Silaturrahim merupakan salah satu kata kunci yang penting dalam
menyelesaikan konflik batas antar pemilik tanah. Hubungan silaturrahim antar
kedua belah pihak baik dengan sesama mereka, maupun dengan masyarakat dan
fungsionaris gampong yang telah terbina sebelumnya telah memudahkan langkah
awal untuk berunding.34
Kedua belah pihak sama-sama mengetahui ukuran tanah
mereka, begitu juga masyarakat sekitar yang memiliki kebun disekitar area yang
dipersengketakan mengetahui ukuran tanah kedua belah pihak, sehingga
penyelesaian dapat dilakukan dengan baik dengan adanya saksi-saksi dari
masyarakat sekitar.
Keputusan fungsionaris adat untuk mengukur dan menetapkan batas tanah
kedua belah pihak adalah sudah tepat. Dengan mengajak kedua belah pihak beserta
fungsionaris adat lain sebagai saksi untuk menentukan titik koordinat awal dan
mengukur bersama, kemudian memberikan batas yang permanen diatas tanah bagi
kedua belah pihak adalah penyelesaian yang adil lagi tidak memihak. Kedua belah
pihak sama-sama menerima hasil tersebut, karena tanah mereka diukur bersama dan
tidak ada yang dirugikan satu sama lain, setelah perbatasan dibuat, kedua belah
pihak saling memaafkan dan menerima hasil keputusan fungsionaris gampong
dengan ikhlas dan lapang dada. Adapun pihak pertama yang memang terbukti
menanam tanaman di atas tanah milik npihak kedua bersedia untuk memindahkan
tanamannya ke lahan miliknya.
3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam
Dalam hukum Islam, harta kekayaan adalah setiap sesuatu yang memiliki
nilai jual meskipun kecil, dan orang yang merusakkannya berkewajiban
menggantinyaserta sesuatu yang tidak dibuangoleh orang-orang seperti uang
recehan dan lain sebagainya. Definisi ini diambil dari Imam Al Shafi’i sebagaimana
di kutip oleh al-Zuh}ayli>. Adapun kepemilikan adalah kekhususan yang menjadi
batas (ha>jiz) yang secara shara’ menjadikan seseorang boleh melakukan
pentas}arrufan terhadap apa yang dimiliknya kecuali jika ada suatu hal yang menjadi
33
Wawancara dengan Bpk. Bukhari, KeuchikGampong Meunasah Mancang, Kec.
Meurah 2, Kab. Pidie jaya, Aceh, Jum’at, 2 mei 2014, pukul 10.30 34
Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang
Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014.
183
penghalang untuk itu. Kepemilikan individu dalam pandangan Islam merupakan
sebuah fungsi sosial. Karena, tujuannya adalah mensejahterakan masyarakat dan
memenuhi kebutuhan serta kemaslahatannya. 35
Sesungguhnya Islam tidak melarang kepemilikan individu secara mutlak,
namun juga tidak membebaskan dan membiarkannya tanpa batas. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat Al Nisa’ ayat 29.36
Apa yang dilakukan oleh pihak pertama dapat dikenai hukuman atas
kejahatan yang dilakukannya. Dalam Islam kasus pengambilan hak tanah ini
disebut ghas}ab37. Kejahatan ghas}ab tidak hanya terjadi pada harta yang bergerak,
akan tetapi juga berlaku bagi harta yang tidak bergerak seperti tanah dan rumah.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
bahwa seseorang yang mengambil tanah orang lain dengan z}alim, maka Allah akan
menjadikan sejengkal tanah itu tujuh bumi dan akan mengalungkan di lehernya
kelak di akhirat.38
Tindakan ghas}ab memiliki tiga hukum: pertama dosa, yaitu mendapat
balasan hukumannya kelak di akhirat; kedua, mengembalikan barang yang dighas}ab
apabila barangnya masih ada; ketiga, denda diyat jika barang yang dighas}ab rusak.
Adapun pendisiplinan dari tindakan ghas}ab diserahkan kepada hakim dengan
ketentuan ta’zi>r.39
Al Zuhayli> mengatakan bahwa tanah yang bertuan tidak boleh ada
seorangpun yang melakukan bentuk pentas}arrufan atau pemanfaatan tanah tersebut
tanpa seizin pemiliknya. Setiap manusia yang hidup bertetangga memiliki hak al jiwa>r atau hak bertetangga atau hak berdampingan. Yaitu sebuah hak yang muncul
35
Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r al-Fikr al-
‘Ilmi>yah, 1997), 4630
36
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. 37 Ghas}ab menurut Ulama Ma>liki>yah adalah mengambil harta secara paksa dan
melanggar. Adapun menurut Ulama hana>bilah dan Ulama Sha>fi’iyah adalah menguasai hak
orang lain (baik berupa harta maupun al ikhtis}a>s} atau hak yang menjadikan seseorang lebih
diperioritaskan terhadap sesuatu) yang bersifat melanggar atau paksaan tanpa hak. Adapun
menurut Ulama Hanafi>yah adalah mengambil harta yang memiliki nilai, dihormati, dan
dilindungi, tanpa seizin pemiliknya, dalam bentuk pengambilan yang menyingkirkan
‚tangan‛ (kekuasaan si pemilik dari harta itu.
را من األرض ظلما طوبقو اللبو إيباه ي وم القيامة من سبع أرضني 38 قال من اق تطع شب
39Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr
Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4510
184
oleh sebab adanya kondisi berdampingan dan bersebelahan (bertetangga). Setiap
orang yang tinggal berdampingan memiliki hak untuk menggunakan harta harta
tidak bergerak milik tetangganya, dengan syarat tidak menimbulkan kemud}aratan
dan kerugian yang besar dan nyata. Meskipun demikian, fuqaha memiliki berbagai
pendapat yang bersifat judisial seputar larangan menimbukan gangguan dan
kemud}aratan bagi tetangga. 40
Imam Abu Hani>fah berdasarkan qiyas (analogi), Ulama Shafi>’iyah dan Ulama
al-Z}ahiri>yah mengatakan, seseorang boleh melakukan apa saja yang dikehendakinya
terhadap sesuatu yang murni hak miliknya, meskipun hal itu menimbulkan
gangguan terhadap orang lain. Adapun Muhammad dan Abu Yusuf, sesuai dengan
prinsip al-istih}sa>n41 mengatakan bahwa penggunaan dan pentas}arrufan seseorang
terhadap harta tidak bergerak miliknya tidaklah tanpa batas dan aturan.
Pemanfaatan tersebut dibatasi dengan syarat tidak membahayakan atau tidak
menyebabkan kemud}aratan yang nyata dan berat terhadap tetangganya. Pendapat
serupa juga disampaikan oleh Ulama Maliki>yah dan Hana>bilah , bahwa
pentas}arrufan seseorang terhadap sesuatu miliknya dibatasi oleh aturan dan
ketentuan tidak menimbulkan kemud}aratan bagi orang lain. Adapun jika
menimbulkan kemud}aratan yang nyata dan berat, atau masih kabur maka itu
dilarang.42
Pada kasus yang menimpa Amir dan Sarta adalah terkait kasus kepemilikan
tanah yang terletak berdampingan dan belum terdapat batas antara tanah mereka,
maksudnya tanah milik mereka masih bercampur. Untuk menyelesaikan kasus ini,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam hukum Islam diselesaikan dengan
konsep al-Milki>yah, Hak al-Jiwa>r, dan al-Qismah.Tanah yang dimiliki oleh kedua
belah pihak adalah murni milik keduanya, namun, layaknya tanah di pedesaan di
daerah lain, tanah mereka tidak bersertifikat, dan tidak ada pembatas yang
membatasi batas tanah mereka. Patokannya hanyalah benda hidup (pohon) yang
semakin besar, dan dianggap itu adalah menjadi milik pihak pertama. Sementara
pihak kedua yang merasa dirugikan dengan batasan patokan pohon tersebut yang
semakin lama semakin membesar sehingga memakan batas tanah pihak kedua.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pada hak al-jiwa>r dinyatakan bahwa setiap orang yang tinggal berdampingan boleh mengadakan
40
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr
Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4439 41
Al Istihsan menurut bahasa adalah memperhitungkan sesuatu lebih baik, sedangkan
menurut istilah beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari
yang sebanding dengan itukarena adanya dalil khusus dalam al Qur’an atau sunnah. Istihsa>n
termasuk salah satu metode ijtihad yang masih diperselisihkan oleh para Ulama, meskipun
pada kenyataannya, para Ulama menggunakannya secara praktis. (Lihat: Abd al Wahha>b al
Khalla>f, ‘Ilm al Us}u>l al Fiqh (Qa>hirah: Maktabah al Da’wah al Isla>mi>yah, tt),79-80. Lihat
juga: Wahbah al-Zuhayli>y, Al Waji>z Fi> al Us}u>l al-Fiqh (Damaskus: da>r al Fikr, 1999), 89) 42
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al-Fikr
Al-‘Ilmi>yah, 1997), 4439
185
pentas}arrufan atau pemanfaatan diatas tanah miliknya dengan syarat tidak
merugikan dan mendatangkan mud}arat bagi tetangganya.
Apa yang dilakukan oleh pihak pertama sudah merugikan pihak kedua, ia
mengambil apa yang sudah menjadi hak pihak kedua yaitu sebidang tanah (setelah
diukur sekitar 50 cm atau 1/2 meter). Adapun apa yang dilakukan oleh pihak kedua
sudah tepat, ia melaporkan kejadian tersebut kepada Keuchik agar permasalahn
tersebut diselesaikan secara kekeluargaan, tidak semena-mena dengan kehendaknya
sendiri kemudian merusak tanaman milik pihak pertama yang ditanam pada
sebagian tanah miliknya.
Dalam hukum Islam pembagian harta yang masih bercampur dapat dilakukan
dengan konsep al-qismah. Pada hakikatnya konsep al-qismah43 ini dipakai untuk
memisahkan harta yang masih bercampur antara dua orang shari>k, namun penulis
melihat bahwa konsep ini juga digunakan untuk menyelesaikan perkara kedua belah
pihak tersebut, meskipun keduanya adalah murni pimilik tanah, namun pada
kenyataannya tanah keduanya masih bercampur tanpa batas, dan harus diadakan
pembagian dan pengukuran dengan seadil-adilnya. Hal tersebut dimaksudkan agar
kedua belah pihak dapat melakukan berbagai macam bentuk pentas}arrufan atau
pemanfaatan tersendiri terhadap bahagiannya, terbebas dari shubhat ‚menjadikan
benda yang hidup sebagai batas‛.
Rukun al qismah adalah tindakan yang karenanya pemilahanbagian-bagian
yang bisa terjadi, seperti menakar, mengukur, dan yang lainnya. Karena pembagian
al qismah adalah memisahkan antara bagian yang satu dengan bahagian yang lain,
sedangkan pembagian harus dilandasi saling setuju, oleh karena itu jika terjadi
ketidakadilan, maka berarti tidak ditemukannya unsur saling setuju dan tidak ada
pemisahan bagian secara sempurna. Berdasarkan hal tersebut maka apabila dalam
pembagian yang dilakukan itu ditemukan adanya kekeliruan atau kekurangan yang
mencolok, maka pembagian itu batal.44
Adapun tatacara dan prosedur pembagian adalah tanahnya diukur untuk
mengetahui peta dan ukurannya, lalu dilaporkan kepada hakim, dan bangunan yang
dinilai harganya supaya masing-masing pemilik tanah mengetahui pembagian
nilainya. Keriteria pembagian tersebut sesuai dengan kriteria pembagian tanah yang
dilakukan oleh perangkat gampong. Para fungsionaris gampong bersama kedua
belah pihak menentuka titik koordinat, kemudian mengukur sesuai dengan ukuran
tanah milik mereka berdua. (sebelum nengadakan pengukuran fungsionaris
gampong terlebih dahulu mengumpulkan kedua belah pihak dan para saksi untuk
mencari informasi tentang jumlah tanah milik kedua belah pihak agar tidak ada
yang dirugikan setelah pembagian tersebut. Setelah proses pengukuran,
fungsionaris adat bersama kedua belah pihak membuatkan pagar dari bambu yang
kemudian akan diganti dengan pagar permanen kesepakatan biaya ditanggung oleh
43
Yaitu memilah dan memisahkan bagian atau membedakan. Maksudnya
menentukan bagian yang masih sha>‘i’ ( masih tercampur dengan bagian lain) ditempat
tertentu atau khusus. 44
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al-Fikr
Al-‘Ilmi>yah, 1997), 4445
186
keduabelah pihak. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan yang sama
dikemudian hari oleh ahli warisnya kelak.
Proses penyelesaian tersebut sudah tepat, karena kedua belah pihak dapat
menerima penyelesaian dan hasil keputusan tersebut dengan ikhlas. Kedua belah
pihak hidup rukun bertetangga sebelum adanya sengketa tanah tersebut. Keduanya
juga sadar bahwa jangan sampai karena permasalahan tapal batas ini hubungan
antara keduanya menjadi renggang. Pihak pertama meminta maaf kepada pihak
kedua karena telah menanam tiga buah pohon pisang diatas lahannya, dan bersedia
untuk memindahkan pohon tersebut ke atas lahan tanah miliknya. Pihak kedua juga
dengan berjiwa besar dan ikhlas memaafkan kesalahan pihak kedua, akhirnya
permasalahan tersebut dapat terselesaikan dengan jalan damai.
Terdapat persamaan antara penyelesaian sengketa perselisihan tapal batas
tanah menurut hukum adat dengan hukum Islam. Hal ini juga membuktikan bahwa
hukum adat Aceh yang memang berlandaskan shari>‘at Islam dapat disesuaikan
dengan konteks hukum Islam dalam menyelesaikan beberapa permasalahan atau
sengketa, termasuk sengketa tapal batas ini. Dengan konsep perdamaian, dan
musyawarah mufakat, segala macam bentuk permasalahan akan terselesaikan
dengan baik.
4. Perbandingan Antar Kasus
Konflik batas adalah perselisihan antar kelompok /masyarakat akibat adanya
perbedaan sudut pandang dan kepentingan keatas kawasan (titik batas yang
dipersengketakan.45
Dari dua belas prinsip/asas penyelesaian sengketa sebagaimana
yang telah dibahas pada bab dua pembahasan tesis ini beberapa diantaranya sesuai
untuk digunakan dalam proses penyelesaian sengketa batas melalui perundingan,
yaitu asas mufakat, musyawarah, ikhlas, murah dan efektif, suka rela,
mengedepankan kepentingan umum, dan penyelesaian damai.
Kasus yang dihadapi oleh Amir dan Sarta sudah tepat diselesaikan melalui
peradilan adat. Hukum adat berlandaskan shari>‘at Islam relevan dan dapat
diterapkan pada masa kekinian. Dengan penyelesaian melalui musyarawarah
mufakat, dapat memberikan keadilan bagi kedua belah pihak yang bersengketa.
Dalam kasus perselisihan tapal batas ini, fungsionaris adat menggunakan teknik
mediasi untuk mencari kesepakatan bersama. Kedua belah pihak ikhlas dan rid}a
untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Keduanya juga menerima
hasil keputusan fungsionaris adat, yaitu mengukur kembali tanah milik mereka
sesuai dengan hak milik mereka, dan kemudian memberikan pagar batas bambu,
yang akan diganrtikan dengan batas pagar permanen oleh kedua belah pihak. Pihak
pertama mengakui kesalahnnya bahwa ia telah menanam beberapa pohon diatas
lahan milik pihak kedua. Ia bersedia untuk memindahkan tanamannya ke atas tanah
miliknya.keputusan adat tersebut sesuai dengan paradigma ta’zi>r yang
penyelesaiannya diserahkan kepada hakim. Keputusan tersebut juga menyatukan
45
Sanusi M. Syarief, Anomi di Sempadan Mukim dan Gampong: Menyikap Konflik batas dan Pengelolaan Kawasan Sempadan di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu,
2011), 14
187
kembali dan memulihkan kembali hubungan yang sempat retak akibat sengketa
tersebut.
Apabila permasalahan ini diselesaikan melalui hukum perdata, maka kasus
tersebut akan diselesaikan sesuai pasal 603. Dalam pasal tersebut terdapat beberapa
konsekwensi yang harus diterima oleh Sarta akibat perbuatannya, yaitu:
1. Pemilik tanah boleh memiliki tanaman yang ditanam diatas lahan tanah
miliknya, dan membayar uang bibit tanaman tersebut.
2. Pemilik tanah menuntut agar tanaman tersebut diambil olehnya. Adapun
biaya pembongkaran ditanggung oleh pihak kedua.
Kedua pemilik tanah harus terlebih dahulu memiliki bukti fisik bahwa tanah yang
disengketakan adalah milik pribadinya, bukan milik orang lain. Meskipun terdapat
kesamaan antara penyelesaian perkara melalui kedua hukum sebelumnya, yaitu
hukum adat hukum Islam, namun penyelesaian melalui hukum Perdata bersifat
terstruktur dan formal. Kedua belah pihak tidak dapat mengajukan perkaranya ke
pengadilan karena keduanya tidak memiliki bukti fisik hak kepemilikan tanah,
bahkan jika perkara tersebut dibawa ke pengadilan, akan timbul masalah baru yaitu
tanah mereka tidak di akui kepemilikannya oleh negara.
Dalam penyelesaian kasus melalui hukum adat, hukum Islam, dan hukum
perdata, pada hakikatnya terdapat kesamaan. Ketiga hukum tersebut sama-sama
melindungi hak milik manusia. Apa yang murni menjadi milik seseorang tidak
boleh diambil oleh secara paksa oleh orang lain. Korban dapat menuntut kembali
haknya, dan pelaku harus bertanggungjawab mengembalikan hak milik seseorang
yang sudah dirampas itu. Hal ini membuktikan bahwa baik hukum Adat, hukum
Islam, maupun hukum Positif (hukum perdata, dalam hal kasus sengketa tanah)
relevan dan dapat memberikan keadilan bagi masyarakat yang bersengketa. Berikut
adalah perbandingan proses penyelesaian sengketa kecelakaan lalulintas melalui
peradilan non litigasi (peradilan adat, Hukum Pidana Indonesia, dan Hukum islam)
Tabel 9: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tapal
Batas Menurut Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi (peradilan
adat)
Jenis Perkara Perselisihan Hak Milik
Ghas}ab
Al milki>yah
H}ak al Ja>r
Perselisihan sengketa
tapal batas tanah
Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong
Landasan
penetapan
perkara
Pasal 600 KUH
Perdata
Pasal 603 KUH
Perdata
Al Nisa>: 29
Hadits Riwayat
Bukhari dan
Muslim tentang
larangan ghas}ab
Qa>nu>n Aceh Nomor 09
Tahun 2008
Hasil
Keputusan/
Sanksi
Pemilik tanah boleh
memiliki tanaman
yang ditanam diatas
lahan tanah miliknya,
Ta’zi>r, diserahkan
kepada hakim
Tanah milik kedua
belah pihak diukur
kembali oleh perangkat
gampong dan diberikan
188
dan membayar uang
bibit tanaman
tersebut.
Pemilik tanah
menuntut agar
tanaman tersebut
diambil olehnya
dengan biaya
pembongkaran
ditanggung oleh pihak
kedua.
batas dari bambu
Kedua belah pihak
harus mengganti pagar
batas tersebut dengan
yang permanen dengan
menggunakan biaya
dari kedua belah pihak
Pihak pertama harus
memindahkan
tanamannya ke atas
lahan miliknya
Proses
penyelesaian
Formal dan
terstruktur
Membutuhkan waktu
yang lama, biasanya
satu tahun lebih
Biaya
mahal(tanggungan
korban)
Perkara
diselesaikan
langsung saat
qad}i menerima
laporan
Formal dan non
formal
Formal, terstruktur,
namun fleksibel
Penyelesaian cepat,
satu bulan
Biaya murah
Kesimpulan
Perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah perselisihan tentang
tapal batas. Keduanya merasa bahwa tanahnya adalah lebih besar dari pada yang
lain. Pihak pertama membuat kesalahan dengan menanam beberapa pohon di atas
sebagian lahan milik pihak kedua. Setelah sengketa tersebut diselesaikan melalui
peradilan adat, mendapatka keputusan bahwa fungsionaris gampong mengukur
ulang tanah mereka sesuai dengan luas tanah mereka, kemudian menempatkan
pagar batas diantara keduanya. Fungsionaris adat juga menetapkan pihak pertama
bersalah dan memberikan hukuman untuk mengambil kembali tanaman yang sudah
ditanamnya dan dipindahkan keatas laahn tanah miliknya.
C. Kasus Laka Lantas
1. Deskripsi Antar Kasus
Pada hari Jum’at tanggal 27 mei 2011, telah terjadi kecelakaan lalu lintas di
Jalan Gunung Mulia, tepatnya didepan SHOWROOM Mr. Juana, Kec. Muria,
Gampong Sukajaya, Sabang, sekira pukul 11.15 WIB. Kecelakaan terjadi antara
mobil sedan Honda Civic Genio warna biru metalik BL 336 XA yang dikemudikan
oleh Zulkifli (bukan nama asli), dengan sepeda motor Honda Supra 125 warna
hitam merah BL 3124 MC yang dikendarai oleh Yusal (bukan nama asli), keduanya
datang dari arah yang sama yaitu dari arah Simpang Tiga hendak menuju Gunung
Mulia.
Kecelakaan tersebut mengakibatkan Yusal mengalami luka-luka lecet pada
bagian siku kiri, lutut kiri dan kanan. Para saksi yang melihat kejadian tersebut
langsung membawa Yusal ke puskesmas setempat dan mengamankan Zulkifli di
rumah Keuchik gampong Sukajaya.
189
Setelah di mediasi antara kedua belah pihak, Yusal megakui bahwa ia lalai dan
tidak memperhatikan sekitar, ia hendak menyalip kendaraan Zulkifli dan kemudian
terjadilah kecelakaan tersebut. Adapun Zulkifli juga mengakui bahwa ia kaget
karena melihat motor Yusal yang tiba-tiba berada disampingnya. Ia pun kehilangan
kendalinya, kemudian menyenggol motor Yusal, dan kemudian terjadilah
kecelakaan tersebut.
Keduanya telah mengakui kelalaian mereka, dan perangkat gampong
memutuskan permasalahan tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan adapun
keputusan majelis adat adalah sebagai berikut:
1. Biaya kerusakan kedua kendaraan yang ditanggung oleh kecelakaan
tersebut ditanggung oleh masing-masing pihak
2. Keduabelah pihak dikemudian hari tidak akan saling menuntut secara
hukum yang berlaku di Negara kesatuan Republik Indonesia serta
keduabelah pihak akan mempererat hubungan silaturrahim46
Pertimbangan Adat
Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, kedua belah pihak
mengakui telah lalai dalam berkendaraan. Yusal yang hendak menyalip kendaraan
Zulkifli tidak menyelakan lampu sen sehingga membuat Zulkifli kaget, dan
kendaraannya menyenggol kendaraan Yusal hingga terjadilah kecelakaan tersebut.
Menimbang, bahwa kedua belah pihak sebelum terjadi kecelakaan tersebut
tidak saling mengenal. Yusal adalah seorang pelajar SMA di salah satu sekolah di
Sabang, adapun Zulkifli adalah seorang pedagang di Sabang. Keduanya hendak
pergi menuju arah yang sama, dan karena kelalaian terjadilah kecelakaan tersebut.
Menimbang, bahwa kecelakaan yang terjadi adalah kecelakaan atau
permasalahan kecil yang dapat diselesaikan dengan jalan kekeluargaan tanpa harus
diselesaikan melalui jalur hukum. Adapun kedua belah pihak meminta untuk
diselesaikan dengan jalan damai, dan keputusan tersebut harus dihormati oleh
setiap pihak, baik polisi, maupun perangkat gampong.
Menimbang, asas-asas normatif pada peradilan adat: yang lemah di bimbing,
yang pincang di papah, yang ganjil di genapkan, yang lupa diingatkan, yang
menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, dan yang keliru diingatkan.
Menimbang, bahwa dalam adat Aceh, dikenal hadih maja ‚Adat ta Junjong,
hukom ta peutimang. Qa>nu>n Ngon Reusam wajieb ta jaga‛. Bahwa adat harus
dijunjung, hukum harus dilaksanakan, qa>nu>n dan reusam harus dijaga.
Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi
musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar
dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat
adat tidak terusik. Pihak Pertama dengan kebesaran jiwa mengakui perbuatan
salahnya, dan Pihak Kedua dengan kelapangan dada memaafkan kesalahan pelaku.
Adapun perangkat gampong membantu perdamaian keduabelah pihak dengan tidak
46
Dokumentasi Peradilan Adat,27 mei 2011, ditandatangani oleh keduabelah pihak,
keuchik, dan sekretaris Gampong
190
memihak dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan adat dan tidak
bertentangan dengan syari’at islam.
Keputusan Adat
Kasus yang menimpa Yusal dan Zulkifli menjadi pelajaran bagi keduanya
untuk lebih berhati-hati dalam berkendaraan. Kedua belah pihak menanggung biaya
kerusakan kendaraan mereka masing-masing dan berjanji untuk tidak saling
menuntut dikemudian hari mengenai kasus tersebut.47
2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif
Ketentuan hukum yang mengatur terkait kecelakaan maut yang
mengakibatkan luka-luka ataupun meninggalnya seseorang, secara umum adalah
KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan secara khusus diatur dalam
Undang Undang (UU) No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas. Menurut teori
hukum yang berlaku bahwa kesalahan seseorang dilihat dari faktor kejadian yang
sebenarnya, faktor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini
dapat diungkapkan dari kronologis kejadian, kesaksian-kesaksian termasuk saksi
mata yang melihat terjadinya kecelakaan.48
Dalam KUHP, kejahatan yang menyebabkan seseorang mati atau luka
karena kekhilafan diatur dalam pasal 359 dan 36049
. Dalam pasal 360 disebutkan
bahwa luka yang yang diakibatkan dalam kecelakaan tersebut adalah: pertama, luka
berat50
; dan kedua adalah luka ringan yang menyebabkan sakit sementara atau
47
Dokumentasi Peradilan Adat,27 mei 2011, ditandatangani oleh keduabelah pihak,
keuchik, dan sekretaris Gampong 48
Reginaldo Sultan Tampubolon, ‚Pertanggungjawaban Hukum Pidana Yang
Mengakibatkan Kecelakaan Lalulintas‛, Kompasiana, Opini, 04 januari 2013,
http://hukum.kompasiana.com/2013/01/04/pertanggungjawaban-hukum-pidana-dalam-
kasus-pengemudi-kendaraan-yang-mengakibatkan-kecelakaan-lalu-lintas--521380.html 49
Pasal 359: Barang siapa yang karena kekhilafannya menyebabkan orang mati,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, atau pidana kurungan selama-
lamanya satu tahun
Pasal 360: (1) barang siiapa karena kekhilafan mengakibatkan seseorang luka
beratdipidana denga pidana penjara selama-lamanya lima tahun, atau pidana kurungan
selama-lamanya satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kekhilafan menyebabkan orang luka sedemikian rupa
sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau
pekerjaannya sementara dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan
bulanatau dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda
setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah. 50
Yang dimaksud dengan luka berat yaitu:
1. Luka yang tak mungkin dapat sembuh denga sempurnaatau dapat mendatangkan
bahaya maut
2. Selalu tidak cakap lagi dalam melakukan pekerjaan maupun jabatan
3. Tidak dapat menggunakan salahsatu panca indera
4. Perubahan tubuh menjadi buruk karena kehilangan atau rusak anggota tubuhnya
5. Tidak dapat menggerakkan anggota tubuh (lumpuh
6. Berubah pikiran lebih dari empat minggu
191
menghalang-halangi orang menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara;51
atau karena kurang hati-hatinya menyebabkan orang mendapat luka ringan dan
tidak menghalang-halangi orang menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sehari-
hari, tidak dikenakan pasal ini.52
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (‚UU LLAJ‛), Di dalam UU LLAJ
tersebut, pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan
yang karena kelalaiannya mengakibatkan luka-luka ringan bagi orang lain adalah
diatur dalam Pasal 22953
dan 310 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU LLAJ.54
Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal
310 ayat empat UU LLAJ antara lain: pertama, setiap orang
Kedua, mengemudikan kendaraan bermotor; ketiga, karena lalai; dan keempat,
mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Atas ke-empat unsur dalam Pasal 310
Gugurnya atau matinya anak yang dikandung seorang ibu. 51
Yang dimaksud dengan luka ini adalah:
1. Luka yang tidak mengakibatkan sakit(walaupun menimbulkan rasa sakit)
2. Menimbulkan halangan untuk menjalankan jabatan atau kegiatan sehari-hari. 52
Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 373-374 53
Pasal 229: Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.
(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan
kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan
kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan
kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh
kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau
lingkungan. 54
(1) ‚Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau
barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
paling lama enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp1 juta.‛
(2) ‚Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan
kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3),
dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp2
juta.‛
(3) ‚Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun
dan/atau denda paling banyak Rp10 juta.‛
(4) ‛Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan
orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun
dan/atau denda paling banyak Rp12 juta.‛
192
UU LLAJ tersebut, umumnya unsur ketiga yang lebih memerlukan waktu agar
dapat terbukti. Melalui penyidikan, aparat penegak hukum, dalam hal ini pihak
kepolisian hendaklah harus membuktikan adanya unsur kelalaian itu.
Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan
Pasal 311 ayat (5) UU LLAJ antara lain: pertama, setiap orang;
kedua, mengemudikan kendaraan bermotor; ketiga; dengan sengaja mengemudikan
Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa
atau barang; keempat, mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Dalam ketentuan Pasal 311 UU LLAJ ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) sebenarnya
serupa dengan Pasal 310 UULLAJ, akan tetapi yang membedakan dalam pasal 311
UU LLAJ ini adalah terdapatnya unsur kesengajaan pengemudi yang
mengemudikan kendaraan dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi
nyawa atau barang. Hal inilah yang menyebabkan hukuman pidana dalam pasal 311
UU LLAJ lebih berat jika dibandingkan dengan Pasal 310 UU LLAJ.55
Atas kedua aturan tersebut, kasus yang menimpa menimpa Yusal dan Zulkifli
tidaklah tergolong kedalam kecelakaan berat yang tidak menimbulkan kematian,
Yusal terkena lecet dibagian tangan dan kaki. Penyebab kecelakaan ini adalah
karena Yusal telah lalai, dan kurang hati-hati. Iia tidak menyalakan lampu sen
ketika hendak belok dan saat itu ia menyalip kendaraan Zulkifl. Yusal dapat dikenai
jeratan pidana yang diatur dalam UU LLAJ, dalam Hal ini sesuai dengan ketentuan
yang mengacu pada Pasal 63 ayat (2) KUHP.56
Acuan dalam Pasal 63 ayat (2)
KUHP tersebut, karena kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan luka
ringan dalam UU LLAJ sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka dapat
diterapkan ketentuan dalam Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ dengan ancaman pidana
maksimum 6 (enam) bulan, dan denda maksimum Rp. 1.000.000,- dan bukan Pasal
360 dalam KUHP.
Dalam hal ini, Baik Yusal maupun Zulkifli mengakui kesalahannya masing-
masing, maka keputusan hakim untuk mendamaikan keduanya sudah tepat.
Kerusakan pada kendaraan mereka masing-masing harus diperbaiki dengan biaya
masing-masing pihak. Hal ini menjadi pelajaran bagi Yusal dan Zulkifli agar lebih
berhati-hati dalam berkendaraan dan juga mentaati peraturan lalulintas yang
berlaku.
Peradilan adat yang menjunjung tinggi perdamaian juga melihat bahwa
kejadian kecelakaan tersebut sebenarnya diluar kehendak masing-masing, karena
tidak ada seorangpun manusia yang ingin jatuh kepada lubang kesulitan, begitu
juga Yusal maupun Zulkifli, maka kekhilafan tersebut harus sekiranya di maafkan
untuk kemudian diperbaiki dikemudian harinya.
55
Lihat: UU Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan,
http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/lt4a604fffd43d3/node/lt4a604fcfd406d,
diakses pada 20 Oktober 2014. 56
‚Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula
dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.‛
193
3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam
Sesuai dengan Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Isla>mi> pada muktamar putaran
kedelapan yang berlangsung di bandar Sri begawan Brunei Darussalam, Mulai
tanggal 1-7 Muharram 1414 H/21-27 Juni 1993M memberikan keputusan: bahwa
berbagai kecelakaan yang diakibatkan oleh pengemudian kendaraan dikenai hukum
jinaya>t yang tertetapkan dalam shari>‘at Islam, meskipun kebanyakan kecelakaan
tersebut adalah terjadi tanpa sengaja (masuk kategori kejahatan tersalah atau
khata>’). Seorang pengemudi bertanggungjawab terhadap kemud}aratan yang ia
timpakan kepada orang lain, baik pada fisik maupun harta, ketika elemen-
elemennya yaitu tindakan tersalah dan kemud}aratan telah terpenuhi, orang yang
bersangkutan tidak bisa terbebas dari pertanggungjawaban tersebut, kecuali pada
kasus-kasus berikut ini:
1. Ketika kecelakan yang ada adalah akibat dari sebuah kondisi diluar
kemampuan manusia yang tidak bisa ditolak maupun dihindari, yaitu setiap
perkara yang terjadi di luar kendali ddan campur tangan manusia
2. Apabila kecelakaan tersebut disebabkan oleh tindakan korban yang tindakan
penyebab itu memiliki pengaruh dan peran kuat dalam menimbulkan akibat.
3. Apabila kecelakaan yang terjadi disebabkan oleh kekeliruan orang lain atau
oleh tindakan pelanggaran dan pelampauan batas yang dilakukannya, dalam
kasus seperti ini orang lain tersebutlah yang harus bertanggungjawab.
Apabila pengemudi dan korban sama-sama memiliki peran dalam kecelakaan
yang terjadi, masing-masing bertanggungjawab terhadap yang lain, pengemudi
bertanggungjawab terhadap kerugian dan kemudaratan yang dialami oleh korban,
korban bertanggungjawab atas kemudartan dan kerugian yang dialami oleh si
pemudi.57
Menurut hukum pidana Islam, hukuman tindak kejahatan terhadap fisik
adalah diyat atau ‘ursh (diyat maksudnya adalah diyat penuh dan ursh adalah
dibawah diyat). Adapun mengenai kasus kecelakaan, Fuqaha> Hanafi>yah
memberikan gambaran fiqh realitas untuk menidentifikasikan siapa fihak yang
harus bertanggungjawab dalam berbagai kasus kecelakaan lalulintas. Hukum
mengatasi masalah tersebut dapat diketahui melalui kaidah: ‚ sesuatu yang tidak
memungkinkan untuk dihindari, maka tidak ada denda dan pertanggungjawaban
didalamnya‛. Maksudnya bahwa suatu kejadian dinisbatkan dan dituduhkan kepada
pihak yang secara tidak langsung menjadi penyebab (mutasabbib58) selama tidak
ada pihak ketiga (pelaku langsung) yang menengahi antara kejadian tersebut dan
tindakan mutasabbib, mutasabbab tidak dimintai pertanggungjawaban kecuali jika
ada unsur pelanggaran didalam tindakan yang dilakukannya.
Setiap sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari dan dijauhi, mak itu tidak bisa
dijadikan alasan untuk menuntut pertanggungjawaban, karena hal itu termasuk
57
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr
Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4445 58
Adalah orang yang melakukan suatu tindakan yang bisa menyebabkan terjadinya
suatu kemudharatan, namun tidak secara langsung akan tetapi dengan adanya pihak ketiga
yang menjadi perantara terjadinya kemudharatan itu (pelaku langsung)
194
kategori keadaan darurat. Adapun sesuatu yang memungkinkan untuk dihindari dan
diantisipasi, itu bisa menjadi dasar alasan penuntutan pertanggungjawaban.
Hal-hal yang merugikan yang diakibatkan oleh perjalanan orang yang lewat
baik oleh pejalan kaki maupun dengan naik kendaraan yang hal itu mestinya
memungkinkan untuk dihindari maka harus ada pertanggungjawaban terhadapnya.
Adapun apabila terjadi tabrakan antara dua pengendara kendaraan lalu keduanya
sama-sama meninggal dunia, atau ada sesuatu yang rusak akibat tabrakan tersebut,
maka menurut Ulama Hanafi>yah dan Hana>bilah masing-masing dari keduanya
terkena pertanggungjawaban denda secara penuh untuk yang lainnya. Apabila
tabrakan tersebut terjadi secara tersalah (tidak disengaja), masing-masing dari
keduanya membayar denda diyat kerusakan untuk yang lainnya, karena kecelakaan
tersebut menimpa masing-masing dari keduanyakarena tindakan rekannya juga.
Ulama Maliki>yah sependapat dengan Ulama Hanafi>yah dan Hana>bilah. Berbeda
dengan pendapat ketiga Ulama tersebut, Ulama Shafi>iyah berpendapat bahwa
apabila yang terjadi adalah kematian mereka berdua, berarti dendanya berupa diyat
dan masing-masing menanggung separuh diyat rekannya, dalam bentuk diyat
Mughallaz}oh (diyat yang diperberat) yang dipikul oleh ahlinya masing-masing,
sebab kasus ini mirip seperti pembunuhan mirip sengaja yang didalamnya tidak
terpenuhi unsur kesengajaan murni, maka tidak ada ancaman qis}as}.59
Adapun kasus Yusal dan Zulkifli adalah kecelakaan yang seperti disengaja,
Yusal melanggar peraturan lalulintas dengan tidak menyalakan lampu sen ketika
hendak belok dan menyalip kendaraan didepannya, sehingga membuat pengemudi
kendaraan yang disalib menjadi kaget dan hilang kendali. Namun, Islam dengan
kearifannya menjadikan setiap manusia memiliki rasa pemaaf, sehingga Zulkifli
memaafkan kesalahan Yusal dan menganggap permasalahan ini sebagai kecelakaan
murni dan tidak perlu diperpanjang. Megingat bahwa Adat Aceh juga sangat
menjunjung tinggi nilai keIslaman dan perdamaian dalam menyelesaian sengketa,
maka permasalahan ini tidak diperpanjang kepada pihak yang berwajib.kedua belah
pihak mengambil pelajaran dari ketidak hati-hatian dan keduanya juga berjanji
untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi dan lebih berhati-hati dalam
mengemudikan kendaraannya serta mematuhi peraturan lalulintas yang berlaku.
4. Perbandingan Antar Kasus
Dalam kasus ini, Yusal yang telah terbukti bersalah melanggar peraturan
lalulintas dengan tidak menyalakan lampu sen saat ingin berbelok dan menyalip
ditikungan sebenarnya dapat dikenai pasal 311 UU LLAJ, dengan sanksi pidana
penjara selama-lamanya lima bulan dan denda sebanyak-banyaknya RP. 1.000.000,-
. Apa yang dilakukan Yusal berakibat pada rusaknya kendaraan milik Zulkifli (kaca
spion dan sedikit lecet pada pintu mobil korban)., dengan demikian ia dapat dikenai
sanksi sesuai dengan pasal 311 ayat 1 tersebut.
59
Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r Al Fikr
Al ‘Ilmi >yah, 1997), 4890
195
Adapun penyelesaian sengketa melalui Hukum Islam dan hukum Adat Aceh
memiliki kesamaan, yaitu adalah diyat atas kerugian yang diderita oleh korban.
Namun, karena kedua belah pihak memiliki andil dalam penyebab terjadinya
kecelakaan tersebut, terlebih lagi Yusal karena kelalaiannya, maka biaya perbaikan
kerusakan kendaraan masing-masing pihak dibebankan kepada kedua belah pihak.
Hal tersebut membuktikan betapa hukum islam dan hukum adat Aceh dapat
berjalaan bersamaan dan dapat relevan untuk diterapkan dalam penyelesaian
sengketa.
Berikut adalah perbandingan proses penyelesaian sengketa kecelakaan
lalulintas melalui peradilan non litigasi (peradilan adat, Hukum Pidana Indonesia,
dan Hukum islam)
Tabel 10: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Kecelakaan lalulintas
Menurut Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi
(peradilan adat)
Jenis Perkara Kecelakaan Lalulintas Kecelakaan Lalulintas Kecelakaan
lalulintas
Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong
Landasan
penetapan
perkara
Pasal 360 KUH
Pidana
UU Nomor 22 tahun
2009 Tentang
lalulintas dan
Angkutan Jalan,
Pasal 220, dan 311
Kaidah Fiqhi>yah
Keputusan Majma’ al
Fiqh al Isla>mi>y 1993
-
Hasil
Keputusan/
Sanksi
Pidana Penjara
selama-lamanya
enam bulan
Denda sebanyak-
banyaknya Rp.
1.000.000,-
Diyat sesuai dengan
kerugian yang
diderita korban
Masing-masing pihak
bertanggungjawab
atas yang lain, jika
keduanya memiliki
andil atas penyebab
kecelakaan tersebut.
Masing-masing
pihak
bertanggungjawab
atas keriugian
kendaraannya
Proses
penyelesaian
Formal dan
terstruktur
Membutuhkan
waktu yang lama,
biasanya satu tahun
lebih
Biaya mahal
Perkara diselesaikan
langsung saat qad}i
menerima laporan
Formal dan non
formal
Formal,
terstruktur, namun
fleksibel
Penyelesaian
cepat, satu minggu
Biaya murah
196
Kesimpulan
Perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah kecelakaan
kendaraan bermotor.pihak pertama (yusal) dinyatakan oleh pihak gampong telah
lalai dalam berkendaraan karena tidak menyalakan lampu sen saat ingin belok dan
menyalip kendaraan Zulkifli (pihak kedua), sehingga mengakibatkan Zulkifli hilang
kendali dan meyenggol kendaraan milik Yusal. Keduanya mengakui kesalahannya
masing-masing dan mendapatkan kebiojaksanaan dari perangkat gampong bahwa
kerugian atas kendaraannya masing-masing ditanggung oleh keduabelah pihak.
D. Kasus Fitnah
1. Deskripsi Dan Kronologi Kasus
Pada akhir tahun 2012, bulan November, atau setidak-tidaknya pada bulan di
akhir tahun 2012, Rusminar (bukan nama asli), warga Gampong cendana, Kab.
Pidie sering sakit dan berobat ke Hadi (dukun setempat). (dukun tersebut adalah
pendatang di gampong Cendana) Oleh dukun tersebut dikatakan bahwa Rusminar
diguna-guna oleh ‚keluarga Rahmadin (bukan nama asli)‛ (tetangga Rusminar).
Setelah itu, Rusminar mengadukan keluarga Rahmadin ke perangkat gampong.
Kemudian, perangkat gampong memanggil keduabelah pihak, dan didudukkan
bersama, serta di klarifikasi kejadian yang sebenarnya.
Pihak kedua membantah tuduhan yang dilontarkan oleh pihak pertama,
kemudian bersumpah bahwa dia tidak mensantet pihak pertama. Jangankan untuk
mengguna-guna keluarga lain, sementara dia pun sering sakit.
Setelah diselidiki oleh perangkat gampong, ternyata pihak kedua memiliki
masalah dengan dukun yang memfitnahnya. Adapun ketika dipanggil si dukun
sudah tidak ada di desa tersebut (setelah diselidiki ternyata dukun tersebut hanya
seorang pendatang di desa keupula). Setelah permasalahan jelas, maka terdapatlah
sebuah perjanjian:
a. Pihak pertama tidak meneruskan perkara, dan meyakini bahwa pihak kedua
tidak ada guna-guna kepada pihak pertama
b. Pihak kedua tidak boleh memiliki dendam apapun kepada pihak pertama,
karena pihak pertama hanya korban fitnah dari dukun (pihak ketiga)
c. Keduabelah pihak harus saling memaafkan, dan berjanji untuk tidak saling
menuduh tanpa ada bukti yang jelas dikemudian hari. 60
Pertimbangan Adat
Menimbang, bahwa Rusminar melakukan kesalahan telah menuduh
Rahmadin melakukan guna-guna atas hasutan dan tuduhan dari pihak ketiga, yaitu
Hadi, yang merupakan seorang dukun di gampong tersebut. Ia percaya karena
penyakitnya tidak kunjung sembuh walaupun sudah berobat berkali-kali kepada
dukun tersebut.
Menimbang, Hadi adalah seorang pendatang di Gampong Cendana. Iya
sudah tinggal di Gampong Cendana selama tiga bulan sejak awal datang sampai
60
Wawancara pribadi dengan sekretaris gampong, Bpk. Abdul Muthalib (bukan nama
asli)
197
menghilangnya dari gampong. Ia terkenal dapat menyembuhkan beberapa penyakit
yang diderita oleh warga gampong. Setelah diselidiki, Rahmadin pernah
mengatakan bahwa ia tidak percaya Hadi, hal tersebutlah yang disimpulkan oleh
perangkat Gampong bahwa Hadi sakit hati kepada rahmadin
Menimbang, bahwa kedua belah pihak sebelum terjadi perselisihan tersebut
adalah saling bersaudara antara masyarakat Gampong. Hubungan keduanya dikenal
baik dan nyaris tidak memiliki masalah sama sekali, sama seperti dengan
masyarakat gampong lain.
Menimbang bahwa hukum adat sangat menjunjung tinggi martabat dan
nama baik warganya. Masyarakat adat Aceh yang sebagian besar beragama Islam
dan meyakini al Qur’an dan Hadits tidak semerta-merta percaya atas tuduhan
santet kecuali setelah diadakannya pembuktian terlebih dahulu.
Menimbang, asas-asas normatif pada peradilan adat: yang lemah di bimbing,
yang pincang di papah, yang ganjil di genapkan, yang lupa diingatkan, yang
menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, dan yang keliru diingatkan.
Menimbang, bahwa dalam adat Aceh, dikenal hadih maja ‚Adat ta Junjong,
hukom ta peutimang. Qa>nu>n Ngon Reusam wajieb ta jaga‛. Bahwa adat harus
dijunjung, hukum harus dilaksanakan, qa>nu>n dan reusam harus dijaga.
Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi
musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar
dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat
adat tidak terusik. Pihak Pertama dengan kebesaran jiwa mengakui perbuatan
salahnya, dan Pihak Kedua dengan kelapangan dada memaafkan kesalahan pelaku.
Adapun perangkat gampong membantu perdamaian keduabelah pihak dengan tidak
memihak dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan adat dan tidak
bertentangan dengan syari’at islam.
Keputusan Adat
Rosminar dinyatakan bersalah oleh Majelis hakim Adat di gampong Cendana
karena telah menuduh Rahmadin tanpa bukti, dan tuduhannya terbukti tidak benar
adanya. Perangkat gampong memutuskan agar Rosminar tidak meneruskan perkara,
dan meyakini bahwa Rahmadin tidak ada guna-guna kepadanya. Adapun rahmadin
tidak boleh memiliki dendam apapun kepada Rosminar, karena pihak pertama
hanya korban fitnah dari dukun (Hadi). Keduabelah pihak harus saling memaafkan,
dan berjanji untuk tidak saling menuduh tanpa ada bukti yang jelas dikemudian
hari61
2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Pidana Indonesia
Kasus fitnah atau tuduhan palsu erat sekali kaitannya dengan penghinaan. Ini
karena kata hina yang berarti rendah sekali kedudukannya. Adapun fitnah dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perkataan bohong dengan maksud
menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang).62
61
Wawanmcara pribadi dengan sekretaris gampong , Bpk. Abdul Muthalib (bukan
nama asli) 62
Kamus Besar bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta, 2008, 412
198
Perbuatan materil dari fitnah (mengajukan pengaduan dan pemberitaan palsu)
berbeda dengan perbuatan materil pada pencemaran (menyerang kehormatan dan
nama baik) akan tetapi, sifat kedua kejahatan tersebut sama. Keduanya menyerang
martabat dan harga diri orang lain khususnya kehormatannya atau nama baiknya.63
Tindak pidana penghinaan diatur dalam KUHP dalam BAB XVI Pasal 310-
318. Soesilo Mengatakan bahwa penghinaan dalam pasal tersebut itu ada enam
macam, yaitu menista (pasal 310 (1)), menista dengan surat (pasal 310 (2)),
memfitnah (pasal 311), penghinaan ringan (pasal 315), mengadu secara memfitnah
(pasal 317), dan tuduhan secara memfitnah (pasal 318). Semua penghinaan ini
hanya dapat di tuntut, apabila ada pengaduan dari orang yang menderita (delik
aduan). Kecuali apabila penghinaan itu dilakukan terhadap seorang pegawai negri
pada waktu sedang menjalankan pekerjaannya yang sah.64
Kasus fitnah
sebagaimana yang dimaksud dalam tindak pidana penghinaan diatur dalam pasal
311.65
Pengaduan fitnah seperti pasal tersebut terdiri dalam beberapa unsur-unsur
subjek sebagai berikut: Pertama unsur objektif: perbuatan berupa mengajukan
pengaduan, dan mengajukan pemberitahuan dengan cara tertulis atau dituliskan;
objeknya tentang seseorang; isinya palsu; kepada penguasa; kehormatan atau nama
baiknya terserang. Kedua, unsur subjektif, yaitu dengan sengaja. Ada dua bentuk
tingkah laku dalam pengaduan fitnah, yaitu mengadakan pengaduan, dan
mengajukan pemberitahuan atau melaporkan. Kedua perbuatan tersebut memiliki
kesamaan yaitu memberikan informasi kepada penguasa tentang seseorang yang
isinya palsu. Adapun perbuatan yang dilaporkan adalah merupakan perbuatan yang
memalukan orang.
Dalam kasus ini, Rusminar dapat dikenai sanksi pidana dengan tuduhan
pencemaran nama baik atas Rahmadin. Ia dapat dikenai hukuman penjara paling
lama empat tahun. Perbuatannya telah memenuhi seluruh unsur yang dimaksud
dalam pasal 311 tersebut, yaitu: pertama, ia telah menuduh tanpa bukti; kedua
tuduhannya dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui. Dalam hal ini,
Rosminar telah menuduh bahwa Rahmadin telah melakukan guna-guna terhadapnya
tanpa bukti. Ia hanya mendapatkan laporan dari dukun tempat ia berobat
63
R. Sugandi, KUHP dan Penjelasannya(Surabaya: Usaha Nasional), 1981 64
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (Bogor: Politeia, 1995), 224
Pasal 311 (1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis
dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan
tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan
fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.
Pasal 317: Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat
pengaduan atau surat pemberitahuan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar Negeri,
sehingga kehormatan atau nama baik orang itu terserang, dipidana karena bersalah
memfitnah dengan pengaduan dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun. (lihat:
Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 337
199
penyakitnya. Adapun dukun tersebut hanyalah seorang pendatang di gampong
Cendana, dan menghilang setelah kejadian fitnah tersebut. Setelah diselidiki oleh
perangkat gampong, maka diketahui bahwa dukun tersebut memiliki permasalahan
dengan Rahmadin dan ingin menjatuhkan nama baiknya. Rahmadin pernah tidak
mempercayai dukun tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa dukun tersebut
menuduh rahmadin karena ia sakit hati kepada Rahmadin.
Rosminar yang diadu domba oleh dukun tersebut mengakui kesalahannya
karena ia telah menuduh Rahmadin tanpa bukti. Rahmadin dikenal baikan sangat
agamis oleh warga gampong cendana, sehingga tidak seorangpun warga gampong
Cendana yang percaya atas tuduhan Rosminar. Melalui proses mediasi dan
perdamaian yang dilakukan oleh perangkat gampong cendana, kedua belah pihak
bersedia untuk menyelesaiakn perkara dengan jalan damai. Rosminar bersedia
meminta maaf kepada Rahmadin atas kesalahannya, dan Rahmadin dengan ikhlas
bersedia memaafkan keslahan Rosminar.
Keputusan perangkat Gampong sudah tepat dalam menyelesaiakan kasus ini,
dengan permohonan maaf dan perjanjian untuk tidak saling menuduh tanpa bukti
telah meyatukan kembali kedua belah keluarga yang saling bersengketa. Keputusan
tersebut adalah hasil dari proses perundingan antara keduabelah pihak yang
bersengketa dengan perangkat gampong.
3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam
Kasus fitnah atau menyebarkan suatu berita tanpa kebenaran terdapat dalam
surat al Buru>j ayat 10.66
Al Qur’an juga menyebutkan bahwa perbuatan fitnah lebih
besar dosanya dari pada membunuh seperti dalam QS. Al baqarah ayat 217,67
Bahkan, kasus menuduh seseorang melakukan perbuatan zina termasuk kedalam
kejahatan yang dikenai hukuman hudud. Hal ini membuktikan bahwa kejahatan
fitnah itu sangat besar sekali. Karena fitnah akan menyebabkan kebingungan.
Fitnah akan menyebabkan banyak orang akan terjatuh kedalam dosa fitnah itu.
Fitnah juga merupakan sebahagian daripada perbuatan mengadu-domba. Apabila
disebarkan, ia mudah menyebabkan permusuhan dua pihak.
Fitnah yang ditimpakan kepada kaum muslimin dalam agama mereka adalah
dengan menghembuskan masalah shubhat kedalam hati mereka. Apa yang
dilakukan oleh pihak pertama (Rusminar) adalah menghembuskan masalah shubhat
yang belum tentu kebenarannya. Rasulullah bersabda dalam Hadith Riwayat
66
10. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang
mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, Maka bagi mereka azab
Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar. 67
217. dan berbuat fitnah[135] lebih besar (dosanya) daripada membunuh.
200
Muslim bahwa menyebut tentang kejelekan seseorang yang tidak sesuai dengan
kenyataan adalah berarti memberikan tuduhan.
أتدرون ماالغيبة؟ قالوا اهلل : عن أ ىري رة رضي اهلل عنو أنب رسول اهلل صلب اهلل عليو وسلبم قال إن كان فيو ما ت قول : ذكرك أخاك دبا يكره قيل أف رأيت إن كان يف أخي ما ت قول؟ قال : قال . ورسولو أعلم
68(رواه مسلم)ف قد اغتبتو وإن يكن فيو ما ت قول ف قد ب هتو
Dalam hukum Islam, kejahatan fitnah termasuk kedalam kategori tindak
pidana ta’zi>r, hukumannya diserahkan kepada hakim atau penguasa, karena
kejahatan tersebut tidak termasuk kedalam kejahatan yang dikenai hukuman hudu>d
dan qis}as}. Kecuali apabila fitnah tersebut adalah tuduhan berbuat zina, maka
pelaku tindak pidana akan mendapatkan sanksi hadd sebagaimana yang telah
ditentukan adalah 80 kali dera sebagaimana firman Allah QS. Al Nu>r: 469
Mengenai kasus yang menimpa Rusminar dan Rahmadin adalah tepat apabila
diselesaikan melalui peradilan adat dengan jalan damai. Proses musyawarah dan
mediasi memberikan kesepakatan untuk saling memaafkan karena tuduhan yang
dilontarkan oleh Rusminar belum terbukti kebenarannya. Fungsionaris gampong
tidak langsung menerima aduan dari Rusminar, namun menyelidikinya terlebih
dahulu, Keuchik mengadakan pendekatan dengan Rahmadin dengan bahasa yang
dapat diterima dan tidak menyinggungnya. Setelah informasi tentang permasalahan
tersebut sudah didapatkan, Keuchik beserta fungsionaris gampong memanggil
kedua belah pihak untuk didudukkan bersama, memusyawarahkan permasalahan
yang sebenarnya terjadi, dan menjernihkan permasalahan. Keuchik juga
menanyakan kepada beberapa saksi yaitu tetangga Rahmadin dan Rosminar tentang
hubungan keduanya.
Keputusan hakim adat bahwa mengharuskan Rosminar agar tidak
meneruskan perkara, dan meyakini bahwa pihak kedua tidak ada guna-guna kepada
pihak pertama adalah tepat. Atas penjelasan dan keterangan Keuchik, dan
keterangan beberapa saksi, Rosminar mengakui kesalahannya bahwa ia telah
menuduh rahmadin telah melakukan guna-guna terhadapnya. Ia mengaku telah
68
Dari Abu Hurairah ra berkata, rasulullah SAW bersabda: tahukah engkau apakah
ghibah itu? Jawab sahabat: Allah dan rasulnya yang lebih mengetahui. Nabi bersabda: ‚
Yaitu menyebut saudaramu dengan apa yang tidak disukainya. Beliau ditanya
bagaimanakah pendapat engkau kalau itu memang sebenarnya padanya? Jawab nabi: kalau
memang sebenarnya begitu, itu;ah yang disebut ghibah. Akan tetapi jikalau menyebut apa-
apa yang tidak sebenarnya kamu telah menuduhnya dengan kebohongan. (HR Muslim)
69
4. dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
201
termakan hasutan dan omongan dari Hadi. Ia juga menyadari bahwa Hadi lah yang
ingin mengadu domba mereka. Hadi atas dasar kepentingannya sendiri (karena sakit
hati terhadap Rahmadin) menuduh Rahmadin bahwa ia telah mengguna-guna
Rosminar.
Keuchik juga mengatakan kepada Rahmadin bahwa ia tidak boleh memiliki
dendam apapun kepada pihak pertama, karena pihak pertama hanya korban fitnah
dari dukun (pihak ketiga). Adapun Keduabelah pihak harus saling memaafkan, dan
berjanji untuk tidak saling menuduh tanpa ada bukti yang jelas dikemudian hari,
keputusan tersebut adalah bukti bahwa keduanya ingin kembali menyatukan
hubungan yang rusak akibat masalah dan tuduhan tersebut. Harmonisasi antara
mereka kembali pulih setelah semua permasalahan jernih kembali.
4. Perbandingan Antar Perspektif
Apabila permasalahan fitnah ini diselesaikan melalui peradilan pidana, maka
Rosminar yang tidak dapat membuktikan tuduhannya dapat dikenai sanksi pidana
penjara selama empat tahun. Proses litigasi hanya mementingkan pembalasan atas
kejahatan pelaku, namun nama baik korban yang sudah rusak oleh pelaku mungkin
tidak diperhatikan, sebagian masyarakat mungkin tetap akan menyangka bahwa
Rahmadin adalah seorang pengguna-guna, meskipun hakim memutuskan ia tidak
bersalah, selain itu, dendam mungkin juga akan timbul antara keduanya. Adapun
nama baik gampong juga dapat tercemar atas kejadian ini.
Penyelesaian sengketa fitnah melalui peradilan adat yang selaras dengan
shari>‘at Islam lebih memberikan kebijakan bagi keduanya. Keuchik dan
fungsionaris gampong memiliki peranan yang sangat besar dalam memulihkan
kembali nama baik korban. Para fungsionaris gampong ikut mencari bukti-bukti
bahwa korban tidak bersalah. Hal tersebut dimaksudkan agar kerukunan antar
masyarakat gampong kembali terwujud, dan agar menjadi pelajaran bagi kedua
belah pihak dan masyarakat lainnya bahwa seseorang tidak boleh menuduh orang
lain tanpa bukti yang jelas. Keputusan tersebut tidak lain adalah hasil dari proses
musyawarah dan mediasi yang dilakukan oleh peradilan adat yang dilakukan
dengan pendekatan manusiawi dan menanamkan nilai-nilai keagamaan.
Berikut adalah perbandingan proses penyelesaian sengketa tuduhan palsu
atau fitnah melalui peradilan non litigasi (peradilan adat, Hukum Pidana Indonesia,
dan Hukum islam)
202
Tabel 11: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Tuduhan Palsu atau
Fitnah Menurut Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat
Perbandingan Hukum Pidana
Indonesia Hukum Islam
Non Litigasi
(peradilan adat)
Jenis Perkara Penghinaan Fitnah atau tuduhan
palsu
Fitnah atau
Tuduhan Palsu
Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong
Landasan
penetapan
perkara
Pasal 310-318 KUH
Pidana
Qs. Al Baqarah 271
dan Al Buru>j : 10
HR. Muslim
Al Nu>r :4
Qa>nu>n Aceh Nomor
09 Tahun 2008
Hasil
Keputusan/
Sanksi
Pidana Penjara
selama-lamanya
empat tahun
Ta’zi>r, diserahkan
kepada hakim
Keduabelah pihak
saling memaafkan,
dan perjanjian
untuk tidak saling
menuduh tanpa ada
bukti yang jelas
dikemudian hari.
Rusminar tidak
akan meneruskan
perkara ke
Pengadilan negeri
dan meyakini
bahwa Rahmadin
tidak bersalah
Rahmadin tidak
boleh memiliki
dendam apapun
kepada Rusminar
karena ia hanya
korban fitnah dari
dukun (pihak
ketiga
Proses
penyelesaian
Formal dan
terstruktur
Membutuhkan
waktu yang lama,
biasanya satu tahun
lebih
Biaya
mahal(tanggungan
Perkara diselesaikan
langsung saat qad}i
menerima laporan
Formal dan non
formal
Formal,
terstruktur, namun
fleksibel
Penyelesaian
cepat, tiga minggu
Biaya murah
203
pelapor)
Kesimpulan:
Perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah kejahatan
penghinaan yaitu fitnah atau tuduhan palsu yang dilontarkan oleh Rosminar kepada
Rahmadin, yaitu tuduhan melakukanguna-guna terhadap dirinya. Kejahatan
tersebut mengakibatkan Rosminar menjadi tertuduh, namun karena proses mediasi
dan musyawarah, Rahmadin bersedia untuk memaafkan Rosminar dan berjanji
untuk tidak memiliki dendam dikemudian hari. Rosminar juga demikian meminta
maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi baik kepada korban
maupun kepada orang lain.
A. Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Penyelesaian Sengketa Adat Pada
Kasus Yang bersifat Denda
Berikut adalah laporan singkat terhadap hasil penelitian terhadap penyelesan
sengketa melalui peradilan adat Aceh. Laporan ini diteliti berdasarkan aspek
kondisi pelaku, kondisi keluarga pelaku, kondisi lingkungan pelaku, jenis tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku, pasal yang disangkakan terhadap pelaku, modus
operandi pelaku, motivasi pelaku melakukan tindak pidana, akibat yang
ditimbiulkan oleh perbuatan pelaku, tuntutan keluarga korban, reaksi masyarakat
atas perbuatan pelaku, putusan aparat penegak hukum, pertimbangan dan putusan
yang dijatuhkan kepada pelaku, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 12: Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Penyelesaian Sengketa Melalui
Peradilan Adat
Perihal
Pelaku yang Kasus Perzinahan
Kasus Tapal
Batas
Kasus Laka
Lantas
Kasus
Penghinaan Pelaku 1. Robi
2. Oriza
Amir Zulkifli Rosminar
Jenis Kelamin 1. Laki-laki
2. Perempuan
Laki-laki Laki-laki Perempuan
Kondisi Pelaku Keduanya adalah warga
gampong Mekar Sari. Robi
adalah wiraswasta asal
Meulaboh yang tinggal di
banda Aceh, sedangkan
oriza adalah mahasiswi asal
Meulaboh yang juga tinggal
di gampong mekar Sari.
Dia adalah warga
gampong
Cendana yang
bekerja sebagai
petani sawah.
Dia adalah
pedagang di
Sabang
Dia adalah
waga gampong
Cendana yang
bekerja sebagai
petani sawah.
Kondisi
Keluarga
Keluarga pelaku adalah
keluarga yang mampu
namun telah lalai tidak
mengawasi pergaulan
mereka selama mereka
tinggal di banda Aceh
dengan optimal
Keluarga pelaku
adalah keluarga
yang mampu dan
sangat menjaga
dan
mempertahankan
apa yang menjadi
Keluarga pelaku
adalah keluarga
yang cukup
mampu
Keluarga
pelaku adalah
keluarga yang
cukup mampu.
204
haknya
Kondisi
Lingkungan
Masyarakat Gampong
Mekar Sari adalah
masyarakat yang agamis
dan menjunjung tinggi
nilai-nilai adat dan shari>‘at
islam. Sehingga merasa
tidak nyaman ketika
terdapat pelanggaran adat
yang dilakukan oleh salah
satu warga gampongnya
Masyarakat
gampong
Cendana adalah
masyarakat Aceh
asli yang agamis,
belum banyak
pendatang disana,
masyarakat hidup
rukun dan damai
Masyarakat
gampong
Sukajaya sangat
menjunjung
tinggi
perdamaian dan
meminimalkan
perselisihan
Masyarakat
gampong
Cendana sangat
menjunjung
tinggi
perdamaian dan
kehidupan
bermasyarakat
Jenis Tindak
Pidana
Kasus Asusila (Perzinahan) Kasus sengketa
tapal batas
Kasus Laka
lantas
Kasus
penghinaan
(fitnah)
Pasal Yang
disangkakan
Terhadap
pelaku
Qa>nu>n Aceh Nomor 9
Tahun 2008
Qa>nu>n Aceh
Nomor 9 Tahun
2008
Qa>nu>n Aceh
Nomor 9 Tahun
2008
Qa>nu>n Aceh
Nomor 9 Tahun
2008
Modus
Operandi
Pagi hari itu Robi
mendatang kediaman Oriza
yang mana dirumah sedang
ada Khairunnisa yang
sedang belajar. Sore hari
Khairunnisa pergi membeli
nasi, sedangkan Oriza dan
Robi sedang berdua
dirumah. Sambil menonton
tv, tangan Robi memegang
tangan Oriza, dan
menciumnya. Kemudian
Robi membuka celana Oriza
dan terjadilah hubungan
intim. besoknya Robi
kembali datang pada malam
hari dan membuat
kecurigaan warga, karena
Robi sering kali mendatangi
Oriza. Warga yang curiga
langsung mengintip dan
mendapati keduanya sedang
berduaan di dalam rumah
tanpa ada orang lain.
Keduanya langsung dibawa
ke rumah Keuchik oleh
warga
Pada hari itu
Amir menanam
beberapa pohon
pisang di
sebidang tanah
tepat disamping
rumah miliknya
yang belum
meliki pagar
(kebun miliknya
sekitar 20 meter).
Adapun tanaman
yang ditanam
tersebut melebihi
batasnya,
sehingga
menempati tanah
milik Sarta.
Ketika Sarta
mengetahui
bahwa tanaman
pihak pertama
menempati
tanahnya, pihak
kedua langsung
melaporkan
kepada Keuchik gampong.
Pada hari itu
terjadi
kecelakaan
antara mobil
sedan Honda
Civic Genio
warna biru
metalik BL 336
XA yang
dikemudikan
oleh Zulkifli
dengan sepeda
motor Honda
Supra 125
warna hitam
merah BL 3124
MC yang
dikendarai oleh
Yusal, keduanya
datang dari arah
yang sama
yaitu dari arah
Simpang Tiga
hendak menuju
Gunung Mulia.
Pada hari itu
sering sakit dan
berobat ke Hadi
(dukun
setempat). Oleh
dukun tersebut
dikatakan
bahwa
Rusminar
diguna-guna
oleh ‚keluarga
Rahmadin
(tetangga
Rusminar).
Setelah itu,
Rusminar
mengadukan
keluarga
Rahmadin ke
perangkat
gampong
Motivasi Keduanya melakukan Pelaku merasa Pelaku Pelaku
205
Melakukan
Tindak Pidana
perbuatan tersebut dengan
sadar atas dasar suka sama
suka tanpa paksaan
siapapun.
bahwa sebidang
tanah yang tidak
memiliki pagar
itu adalah
termasuk kedalam
tanah miliknya
melakukan
tanpa sengaja
dan ia mengaku
lalai dengan
tidak memasang
lampu sen saat
ingin berbelok.
terpengaruh
dengan
omongan dukun
sehingga
membuatnya
menuduh
korban
melakukan
guna-guna.
Akibat yang
ditimbulkan
oleh perbuatan
pelaku
Kedua pelaku digerebeg
dikediamannya oleh warga
karena warga merasa curiga
kepada keduanya, apalagi
Robi seringkali datang ke
tempat Oriza. Keduanya
didapati sedang berada
didalam rumah tanpa ada
yang lainnya. Keduanya
langsung dibawa oleh warga
ke ke rumah Keuchik.
Akibat perbuatan pelaku,
kehormatan masyarakat
gampong telah tercoreng.
Pelaku diperiksa
oleh perangkat
gampong, tanah
tersebut diukur
ualang oleh
perangkat
gampong, kedua
belah pihak,
babinsa, dan
kamtibmas.
Korban merasa
terugikan karena
sebidang tanah
yang juga
diakuinya telah
diambil haknya
oleh pelaku.
Pelaku
diamankan oleh
warga setempat
dirumah
Keuchik tempat
kejadian.
Kecelakaan
tersebut
mengakibatkan
Yusal
mengalami
luka-luka lecet
pada bagian
siku kiri, lutut
kiri dan kanan.
Pelaku
didudukkan
bersama oleh
perangkat
gampong
dengann korban
untuk mencari
penyelesaian
masalah.
Tuntutan
keluarga
Korban
Masyarakat yang menjadi
korban menuntut pelaku
agar diusir dari gampong,
selain dari keduanya adalah
pendatang, mereka telah
mencoreng kehormatan dan
nama baik gampong dengan
melakukan perbuatan
asusila yang dilarang oleh
Agama.
Korban dan
perangkat
gampong
meminta agar
tanah tersebut
diukur ulang,
kemudian
ditentukan
batasnya dan
dibuatkan pagar
permanen agar
tidak ada
perselisihan
dikemudian hari
Pelaku
mengakui
kesalahannya
juga dan ingin
berdamai
Pelaku agar
tidak
melakukan
kesalahan lagi
dengan tidak
menuduh
siapapun tanpa
bukti.
Reaksi
Masyarakat
Masyarakat menggerebek
kediaman Oriza dan
membawa kedua pelaku
langsung kepada Keuchik
untuk segera diproses saat
itu juga
Masyarakat
menyerahkan
penyelesaian
permasalahan
kepada perangkat
gampong
Masyarakat
menyerahkan
sepenuhnya
kepada
perangkat
gampong
Masyarakat
menyerahkan
sepenuhnya
kepada
perangkat
gampong
Putusan
Aparat
penegak
Hukum
Permohonan maaf kepada
masyarakat gampong, dan
diusir dari gampong Mekar
Sari.
Permohonan
maaf, mengukur
ulang tanah
sengketa,
Biaya kerusakan
kendaraan
ditanggung oleh
masing-masing
Kedua belah
pihak harus
saling
memaafkan,
206
kemudian dibuat
batas dan pagar,
dengan biaya
ditanggung oleh
kedua pihak
pihak, keduanya
berjanji
dikemudian hari
tidak akan
saling menuntut
secara hukum
yang berlaku
dan berjanji
tidak ada
dendam
dikemudian
hari antara
keduanya.
Pertimbangan
Putusan
Setelah proses mediasi dan
perdamaan yang dilakukan
oleh fungsionaris adat
dengan pelaku dan
masyarakat, akhirnya
masyarakat bisa memaafkan
kesalahan mereka asalkan
keduanya harus diusir dari
gampong, keduanya telah
merusak nama baik
gampong. Perbuatan
tersebut termasuk kedalam
pelanggaran yang paling
berat bagi masyarakat
Aceh, nilai-nilai dan budaya
Aceh menjadikan tindakan
asusila menjadi tindakan
yang kurang senonoh dan
tidak baik bagi masyarakat,
mengingat masyarakat
Aceh yang berpegang teguh
kepada shari>‘at Islam dan
nilai-nilai kebudayaan.
Setelah proses
perundingan dan
mediasi antara
keduabelah pihak
dan aparat
gampong, pelaku
mengakui
kesalahannya
karena telah
mengambil
sebagian hak
milik korban, ia
berjanji untuk
memindahkan
tanamannya
kelahan miliknya.
Saat melakukan
kesalahan
tersebut, kedua
belah pihak
mengakui telah
lalai dalam
berkendaraan.
Yusal yang
hendak
menyalip
kendaraan
Zulkifli tidak
menyelakan
lampu sen
sehingga
membuat
Zulkifli kaget,
dan
kendaraannya
menyenggol
kendaraan
Yusal hingga
terjadilah
kecelakaan
tersebut
Pelaku
menuduh
korban
melakukan
guna-guna atas
hasutan dan
pihak ketiga,
yaitu Hadi,
seorang dukun
di gampong
tersebut.
Dukun itu
adalah seorang
pendatang di
gampong
tersebut.
Setelah
diselidiki,
Rahmadin
pernah
mengatakan
bahwa ia tidak
percaya dukun,
hal tersebutlah
yang
disimpulkan
oleh perangkat
Gampong
bahwa Hadi
sakit hati
kepada
Rahmadin
207
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab lalu tesis ini berkesimpulan bahwa sejumlah
kasus sengketa adat yang terjadi telah diselesaikan secara adat, bukan secara hukum
positif. Penyelesaian sengketa melalui proses peradilan adat dengan menggunakan
paradigma mediasi antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif
tertentu bagi masyarakat Aceh, diantaranya: pertama, penyelesaian sengketa
sederhana, cepat, murah, dan tepat; kedua, adanya sifat kesukarelaan dalam proses
dan keterlibatan korban dan pelaku untuk menyelesaikan sengketa; ketiga,
fungsionaris adat yang bersifat aktif mencari fakta, bermusyawarah dan meminta
nasihat kepada orang tuha-tuha, sehingga putusan yang dikeluarkan adalah hasil
musyawarah dan mengandung perhatian khusus kepada hak-hak korban; keempat, hasil akhir yang dicapai adalah mementingkan kembalinya kerseimbangan
masyarakat dan ketentraman serta suasana rukun damai antar para pihak dan
masyarakat adat umumnya; kelima peradilan adat bersifat pasif dan aktif. Pasif
dalam artian dilaksanakan atas permintaan masyarakat yang dirugikan, dan aktif
dalam artian adanya tanggungjawab dari fungsionaris adat dalam menjalankan
peradilan adat; keenam, bentuk-bentuk sanksi peradilan adat adalah berupa sanksi
denda dan bukan denda. Penyelesaian sengketa melalui mediasi dan peradilan adat
ini sejalan dengan konsep Restorative Justice.
Jenis sanksi adat yang berupa denda adalah seperti pengembalian barang yang
dicuri dan diyat sebagai kompensasi kerugian korban. Sanksi adat dalam bentuk
diyat, disesuaikan pada pertimbangan fungsionaris peradilan adat atas berat dan
ringannya pelanggaran adat yang terjadi. Peradilan adat juga menjadi peringatan
awal bagi masyarakat yang melanggar kasus pidana diluar kewenangan peradilan
adat. Sanksi adat yang bersifat bukan denda adalah berupa permohonan maaf,
nasihat dan teguran, pemberian pekerjaan yang mendidik, pengusiran dan
pengucilan. Adapun perkara-perkara yang bersifat denda adalah perkara yang
menyebabkan kerugian materiil, merugikan masyarakat, dan melukai atau
menghilangkan anggota tubuh korban, seperti pencurian, penganiayaan,
pengrusakan, dan khalwat, sedangkan perkara yang bersifat bukan denda adalah
perkara perdata , perkara terringan, dan perkara terberat, seperti sengketa tapal
batas, fitnah, perselisihan dalam rumah tangga, laka lantas ringan, perselisihan
harta waris, dan perzinahan.
Dari perspektif hukum positif, sebagian penyelesaian sengketa sesuai dengan
hukum dan Undang-Undang yang berlaku, namun sebagian tidak sesuai dengan
hukum dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Pada kasus yang berada
dibawah kewenangan peradilan adat penyelesaian sengketa sesuai dengan norma-
norma hukum di Indonesia, disamping telah dilegal formalkannya qa>nu>n peradilan
adat, namun pada kasus yang bukan menjadi kewenangan peradilan adat terlihat
tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini terlihat pada
beberapa faktor, yaitu; kurangnya pemahaman pemangku adat tentang batasan
kewenangan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa, sebagian KUHP tidak
208
diberlakukan, dan pelaku tidak mendapatkan hukuman yang setimpal atas
perbuatan yang dilakukannya.
Dari perspektif hukum Islam terlihat bahwa penyelesaian sengketa adat Aceh
sebagian sesuai dengan shari’at islam, dan sebagian tidak sesuai. Hal ini terbukti
dengan diterapkannya sistem al-s}ulh} (perdamaian) dalam menyelesaikan sengketa
dan paradigma ta’zi>r dalam pemberian hukuman bagi kejahatan yang melanggar
hak-hak adami dan hak-hak Allah. Pada penyelesaian kasus hudu>d yang melanggar
hak-hak Allah, penyelesaian secara shari>‘at tidak diterapkan secara seluruhnya,
khususnya dalam hal pemberian hukuman. Al-s}ulh} pada hakikatnya hanya dapat
diterapkan pada kasus-kasus yang melanggar hak-hak adami saja. Meskipun
demikian, dengan adanya paradigma diyat, ‘Afw, dan taubat, sangat berperan
penting dalam penentuan keputusan dan sanksi bagi pelaku. ‘Afw atau maaf dari
korban menjadi simbol pengakuan atas kesalahan dan sebagai wujud telah terjadi
perdamaian antar para pihak, diyat atau denda sebagai kompensasi atas kerugian
korban yang harus dibayar, dan taubat sebagai wujud kesadaran pelaku untuk tidak
mengulangi kesalahannya lagi.
Kecenderungan untuk menekankan hukuman denda bagi pelaku tindak pidana
pada perkara yang bersifat denda menjadi diantara faktor untuk meninggalkan
hukum positif pada beberapa kasus pidana berat yang menjadi kewenangan
peradilan negeri, terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang
ada, disamping faktor lain yang diinginkan oleh keduabelah pihak yaitu agar
sengketa cepat terselesaikan tanpa masalah, serta masyarakat adat Aceh yang pada
dasarnya masih memiliki tradisi hukum yang kuat berdasarkan hukum adat. Begitu
juga pada hukuman yang tidak bersifat denda, pemberian maaf seolah
membebaskan pelaku tindak pidana dari keharusan bertanggungjawab atas
kejahatan yang dilakukannya.
Penelitian ini mendukung pernyataan para peneliti sebelumnya, yang
menyatakan bahwa beberapa sengketa pidana dan perdata diselesaikan secara
restoratif, sejalan dengan Chindya Prastiti (2014) pada kasus anak berhadapan
dengan hukum, Mustafa Serdar Ozbek (2011), dan Frida Errikson (2010) pada kasus
perdata dan pidana, mereka menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui
mediasi dan keadilan restoratif menjadi alternatif yang layak dalam sistem hukum
positif karena membangun partisipasi yang aktif antara korban, pelaku, dan
masyarakat. Penelitian ini menolak pendapat Kathleen Dally (2001), dan Russs
Immarigon (1998) bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban, agar
menunjukkan pelaku bertekad menebus kesalahan dengan menjatuhkannya
hukuman, selain itu, keadilan restoratif terlalu banyak memberikan janji-janji
kepada masyarakat.
B. Saran
Pertama, Kesimpulan dari hasil penelitian ini belum tentu menjelaskan adat
Aceh yang sebenar-benarnya, karena penulis hanya mengadakan penelitian selama
satu bulan tujuh hari. Kesimpulan tersebut hanya diambil sepanjanang kasus yang
didiskusikan saja. Untuk itu, perlu diadakan penelitian lanjutan terkait penyelesaian
sengketa melalui peradilan adat di Aceh, karena penelitian tentang masyarakat
yang berhadapan dengan hukum akan terus berkembang dan tidak akan ada
209
habisnya, mengingat bahwa konflik dan sengketa akan terus terjadi dalam
kehiodupan bermasyarakat.
Kedua, terlepas dari konsep ideal peradilan adat Aceh yang disebutkan, tidak
menutup adanya kekurangan dan kelebihan bagi peradilan adat Aceh, maka perlu
diadakan penelitian lanjutan terkait dengan peradilan adat Aceh yang aktif dan
pasif dalam menyelesaikan sengketa, hal ini diharapkan agar peradilan adat Aceh
dapat terus hidup dan menjadi contoh bagi peradilan adat di seluruh indonesia.
Selain itu perlu juga diadakan penelitian tentang peranan fungsionaris adat dalam
memutuskan sengketa, hal ini karena penulis melihat adanya kecenderungan
masyarakat adat Aceh untuk menyelesaikan sengketa melalui peradilan adat pada
sengketa diluar kewenangan peradilan adat.
Ketiga, proses penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dapat
memberikan kontribusi yang baik untuk dimasukkan dalam proses penyelesaian
sengketa melalui peradilan formal. Konsep mediasi dan perundingan yang
melibatkan antara kedua belah pihak yang bersengketa dapat menjadi alternatif
yang baik untuk mendapatkan hasil yang memuaskan bagi pihak yang bersengketa,
mereka dapat berperan aktif untuk menyelesaikan perkaranya, komunikasi yang
baik akan memberikan kesadaran bagi pelaku atas kesalahannya dan berbesar hati
untuk menyelesaikan hukuman yang diberikan oleh korban. Begitu pula korban,
dengan kebesaran jiwanya dapat dengan ikhlas dan tulus memaafkan kesalahan
pelaku, sehingga konflik antara keduanya dapat terselesaikan dengan jalan damai.
Keempat, Perlu adanya ketegasan dari fungsionaris adat dan penegak hukum di
Aceh mengenai pembagian penyelesaian sengketa adat, karena meskipun sudah
dikeluarkannya pergub Aceh nomor 60 Tahun 2013 tentang pelaksanaan
Penyelesaian Sengketa Adat Aceh, namun pada prakteknya beberapa kasus yang
bukan dibawah kewenangan peradilan adat Aceh diselesaikan melalui peradilan
adat.
Kelima, Majelis Adat Aceh dan Kapolda Aceh agar memberikan bimbingan dan
pengarahan secara berkala kepada fungsionaris adat mengenai mekanisme
penyelesaian sengketa, peraturan yang berlaku, maupun pemberian sanksi yang
relevan sehingga fungsionaris adat dapat memahami secara menyeluruh proses
peradilan adat dan proses beracara dalam peradilan adat. Evaluasi yang rutin dan
masukan membangun sebagai wujud dari pengawalan pemerintah terhadap
peradilan adat juga harus dilaksanakan oleh pemerintah Aceh agar peradilan adat
dapat selalu hidup dan dapat sejalan dengan peradilan formal. Pembinaan tersebut
juga berguna agar fongsionaris adat dapat lebih loyal dan bertanggungjawab atas
tugas, kewajiban, dan tanggungjawabnya sebagai pemangku adat.
Keenam, pemerintah Aceh secara umum juga perlu memperhatikan
kelengkapan sarana dan prasarana peradilan gampong. Dokumentasi peradilan adat
baik hasil keputusan ataupun proses beracara yang masih sangat kurang, khususnya
di beberapa desa membuat peradilan adat desa kurang memiliki kekuatan, meskipun
qa>nu>n dan peraturan tentang peradilan adat telah ditetapkan. Masih banyak
masyarakat yang menganggap bahwa peradilan adat Aceh tidak memiliki kekuatan
hukum, hal ini karena keterbatasan para pemangku adat, khususnya di desa-desa
terpencil untuk mendokumentasikan hasil keputusan peradilan adat.
210
ketujuh, Pemerintah Indonesia perlu kiranya merumuskan RUU hukum pidana
yang memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam bermasyarakat,
serta nilai-nilai keadilan hukum yang sesuai dengan panutan dan rasa keadilan
masyarakat itu sendiri yang akan menjadi sumber hukum dalam pembentukan
hukum positif di Indonesia untuk mencapai sebuah tujuan reformasi hukum yang
lebih baik bagi Indonesia.
Kedelapan, sistem perrdamaian dalam Islam (al-s}ulh}}) dapat diwujudkan dengan
sebuah pemaafan, pengampunan, perbaikan, dan kompensasi. Sistem tersebut
sejalan dengan sistem peradilan adat Aceh yang berlandaskan Shari’at Islam. Jika
sistem tersebut juga dimasukkan kedalam sistem peradilan positif di Indonesia,
maka akan menjadi sebuah perubahan hukum menjadi lebih baik. Karena seperti
masyarakat Aceh, masyarakat Indonesia umumnya sangat berpegang kepada
budaya leluhur yang arif dan bijaksana. Ajaran seluruh agama yang mencintai
perdamaian juga menjadi pertimbangan masyarakat Indonesia yang taat dalam
menjalani kehidupan beragama mereka.
Penulis menyadari bahwa hasil dari penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun
dan konstruktif demi sempurnanya tulisan ini. Hasil yang digagas tentang
penyelesaian sengketa melalui peradilan adatpada kasus adat perlu dilanjutkan dan
dibuktikan dengan penelitian lainnya dan semoga penelitian ini bisa menjadi
inspirasi bagi peneliti selanjutnya dalam kajian hukum.
211
DAFTAR PUSTAKA
Refrensi Buku
Al-Qur’an al-Kari>m
Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2011.
Abdullah, M. Adil, dkk. Selama Kearifan Adalah kekayaan: Eksistensi Panglima Laot dan Hukom Adat Laot di Aceh, Banda Aceh: Lembaga hukum Adat
Laot, 2006.
Al-Andalu>si>, Muhammad bin Yusuf Ali> bin Abi Hayya>n (w: 745 H).Tafsi>r Al Bah}r al-Muh}i>t}, Juz 8, Beirut: Da>r al Kutub al ‘Ilmi>yah, 2001
Arief, Barda Nawawie. Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan,
Semarang: Pustaka Magister, 2010.
al-‘Asqala>ni>, Ibn Hajar. Subu>l al-Sala>m Sharh Bulu>gh al-Mara>m, Riyad}: Maktabah
Ma‘a>rif, Jilid 4, Cet.1, 2006
al-Asqala>ni>, Ahmad Bin ‘Ali> bin muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Hajar,
Talkhi>s} al-h}abi>r fi> takhri>j Aha>dith al-Ra>fi‘i> al-Kabi>r, (Madi>nah, Da>r al
kutub al ‘Ilmi>yah, 1989), http://islamport.com/w/krj/Web/1446/2097.htm,
(diakses pada 16 September 2014)
‘Awdah, Abd al-Qa>dir, Al-Tashri>’ Al-Jina>‘i Al-Isla>mi>, Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wadh‘, juz 1 Beirut: Da>r al ka>tib al ‘azli>, tt.
_________, Al-Tashri>’ Al Jina>‘i Al-Isla>mi>, Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wadh‘, juz 2
Beirut: Da>r al ka>tib al ‘azli>, tt.
al-Bahnasi>, Ah}mad Fat}i. Al-Ta’zi>r Fi> al-Isla>m. Mesir: Muassasah al-Khali>j al-
‘arabi, 1988.
al-Baihaqi, Ima>m Abi> Bakar Ahmad ibn al-Husaini bin ‘Ali. (485 H), Sunan Al-Kubra,Juz 6, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>ah, 2003.
al-Ba>qi, Muhammad Fuad ‘Abd.Al-Mu‘jam Mufahras Li Alfa>z} al-Qur’a}>n al-Kari>m,,
Qa>hirah : Da>r al-hadith, 1364 H.
al-Bas}ri>, Abu H}asan ‘Ali>y Bin Muhammad Bin H}abi>b Al-Mawardi>.Al-HA>wi> Al-Kabi>r Fi Fiqh Madhab Al-Ima>m Al-Shafi>’i> wa Huwa Sharh Mukhtas}ar Al-Muz}ni>, Jilid 6, Beirut: Da>r al Kutub Al ‘Ilmi>yah, 1999.
al Bu>t}i>, Muhammad Sa>‘id Ramad}a>n. D}awa>bit} al-Mas}lah}ah Fi> al-Shari>at al Isla>miyah, Dimashqa> : al Maktabah al Umawi>yah, tt
Djuned, Teuku Mohd, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh,Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu,
2011
Fuady, Munir. Teori-teori Dalam Sosiologi Hukum(Jakarta: Kencana, Prenada
Media Group) 2011
al-Hanbali>, Ibn Rajab.Ja>mi‘ al-‘Ulu>m wa al-Huku>m, Jilid 2 (Muassas al-Risa>lah,
2001), 207,
http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=160&idt
o=166&bk_no=81&ID=34
212
al-Hanbali>, Mans}u>r bin Yu>nus Al Bahwat (w:1051H).Kasha>f al-Qina>’ ‘an Matn al-Iqna>’, Jilid 3, Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmi>yah, 1997.
Hazairin. Tujuh Serangkai Tentang Hukum Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1985), cet
ke-4, 53.
Ibn ‘Abiri>n Muhammad Ami>n Al Shahi>r. Radd al Mukhta>r ‘Ala> Da>r al Muhkta>r Sharh Tanwi>r al Abs}a>r, Jilid 8, Beirut: Da>r Al Kutub Al ‘Ilmi>yah,1994
Ismail, Badruzzaman. Dasar-Dasar Hukum Pelaksanaan Peradilan Adat Di
Gampong-Gampong, Disampaikan Pada Pelatihan Tokoh-Tokoh Adat Gampong se Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 4-8 September 2007,
Majelis Adat Aceh(MAA), 2007
__________.Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, Majelis Adat Aceh (MAA) Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: MAA, 2008.
__________.Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh,
2013)164
al-Jauzi>yah, Ibn al-Qayyim. I‘la>m al-Mu>qi’i>n, Juz 1, Jami>‘ al h}uqu>q Muta>hah li
jami>’ al-muslimi>n, Islamics Books, WS, 2010,
__________.I‘la>m al Mu>qi‘i>n, Juz 2, Jami>‘ al h}uqu>q muta>hatun li jami>’ al-
muslimi>n, Islamics Books, WS, 2010,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta, 2008.
al-Ka>sa>ni>, Abu Bakar Mas’u>d Bin Ahmad. Bada>i’ al-S}ana>i’ fi> al-Tarti>bi al-Shara>i‘, Juz 7, (Da>r al Kutub al ‘Ilmi>yah, 1986),
http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=
12&ID=3188, diakses pada 3 Juli 2014.
al-Khalla>f, Abd al-Waha>b (1972). Mas}a>dir al-Tashri‘ al-Isla>mi Fi> Ma> La> Nas} Fi>h, Kuwait : Dar al-Qalam, cet. 6, 1993
_______________. Us}ul al Fiqh, (Qa>hirah: Maktab al Da‘wah al Isla>mi>yah),tt
Koentjaraningrat. Sejarah Antropologi II (Jakarta: UI Press, 1990)
KUHP dan KUHAP, Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011.
Majelis Adat Aceh. Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Banda Aceh: MAA, 2012.
Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Shari>‘at Islam Di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Ciputat: Logos wacana Ilmu, 2003
Muladi, dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: PT
alumni, 2005.
al-Muqdasi>, Abi Muhammad ‘Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Quda>mah.
Al Mughni ‘Ala> Mukhtas}ar Al-Khara>qi, Jilid 4, Beirut: Da>r al Kutub al
‘Ilmi>yah, 1994.
al-Najdi>, Muhammad bin ‘Abd al-Wahha>b bin Sulaima>n al-Tami>mi>. Majmu>’ah al-ah}a>di>th ‘Ala> Abwa>b al-Fiqh, Juz 4 (Riya>d}, Ja>mi’ah al-Ima>m Muhammad
bin Su’u>d, tt), http://sh.rewayat2.com/fkh3am/Web/12061/003.htm
213
al-Naisa>buri>, Ima>m Abi al-H}usain Muslim Bin al-H}ajja>j al Qus}airi>. (261), S}ah}i>h}
Muslim (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2003.
al-Nawa>wi>, Ima>m. Raud}ah al T}a>libi>n Wa ‘Umdah al-Mufti>n< Jilid 4,tt
Ngani, Nico.Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia), tt.
Pasaribu, H. Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,Jakarta: Sinar Grafika, 2004
Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel,
Kata Pengantar, iii, Majelis Adat Aceh, dan UNDP, Proyek Keadilan
Aceh, 2007-2008.
al-Qa>simi>, Muhammad Jama>luddin > (w:1914 M).Tafsi>r Al-Qa>simi> (Maha>sin al-
Ta’wi>l), Jilid 8, Beirut: Da>r Al Kutub Al ‘Ilmi>yah, 1997.
al-Qazwini>>, Ima>m Abi Qa>sim Abd al Kari>m bin Muhammad bin ‘Abd al Kari>m Al
Rafi’iy (w: 623 H).Al-‘Azi>z Sharh al-Waji>z (Sharh al Kabi>r), Jilid 5,
(Beirut: Da>r al kutub al ‘Ilmi>yah), 1997
Qut}ub, Sayyid.Tafsir Fi> Zhila>li al-Qur’a>n, Jilid 10, Jakarta: Gema Insani, 2004.
Raco, J.R.Metode Penelitian Kualitatif, Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya (Jakarta: Grasindo),tt
Rahmadi, Takdir. Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: Rajawali Press), 2011
Rid}a, Muhammad Rashi>d. (w: 1935), Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Kari>m al-Mashu>r bi Tasfi>r Al-mana>r, Juz 2 (Beirut: Da>r al Kutub Al ‘Ilmi>yah, 1999.
Sa>biq, Sayyid, Fiqh Al-Sunnah Juz III , Beirut:Da>r Al Fikr, 1977 al-Sa‘di>, Abd al-Rahma>n bin Na>s}i>r, Al Qawa>’id} wa al-Us}u>l Al Ja>mi’ah Wa al-Furu>q
wa al-Taqa>si>m al Badi>’ah al-Na>fi’ah, Tahqi>q: Dr. Kha>lid bin 'Ali bin
Muhammad al-Mushaiqih, Maktabah Ibn Sa’di.
al-S}an’a>ni>y, Muhammad Bin Isma’i>l al-Ami>r, Subul al -ala>m Sharh Bulu>gh al-mara>m, ,Juz 2, Bab al Ghas}b, 101,
http://ia600500.us.archive.org/19/items/sblslam/01.pdf,( diakases pada 20
Juni 2014 )
al-Shafi’i>, Imam Abi ‘Abdillah Muhammad Bin Idris. Al Umm, Jilid 11, Kuala
Lumpur: Victory Agancy, tt
Shaikh, ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abd al Rahma>n bin Ishaq A>lu. Luba>b al-Tafsi>r Min Ibni Katsi>r, Jilid 2, Kairo: Mu’assasah Da>r Hila>l, 1994.
Sugandi, R, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981
al-Subki>. Ima>m Taj Al-Di>n Abd al-Waha>b bin ‘Ali Ibn Abd al-Ka>fi> (771), Al-Ashba>h Wa al-Nadza>ir, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1991.
Soesilo, R.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1995), 244-245
al-Suyu>t}i>, Abd al-Rahma>n bin Abi Bakar Al-Suyu>t}i. Al-Ashba>h wa al-Nadza>ir, Jami>’ al-Huqu>q muta>hat Li Jami>’ al-Muslimi>n, 2010, Islamic Books, 55
Syarif, Sanusi M. Anomi di Sempadan Mukim dan Gampong: Menyingkap Konflik Batas dan pengelolaan Kawasan Sempadan di Aceh (Banda Aceh: Pustaka
Rumpun Bambu, 2011), 2
214
___________.Gampong dan Mukim di Aceh, menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010).
Sudarsono. Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012).
al-T}aba>ri>, Abu Ja’fa>r Bin Jari>r (W: 310).Tafsi>r Al T}abari (Jami‘ al Baya>n Fi>
Ta’wi>li-l-Qur’a>n), Juz 4, Beirut: Da>r al kutub al ‘Ilmiy>ah, 1999.
Thalib, Sajuti. Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam,Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Umar, Muhammad Fakhr al-Ra>zi> Fakhr al-Di>n Ibn ‘Alla>mah D}iya>u al-Di>n ‘Umar,
Tafsi>r Fakhru Al- Ra>zi, Jilid 3 (Beirut: Da>r al Fikr, 2005
Utsman, Rachmadi.PilihanPenyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2013
Wahid, Eriyantouw. Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009.
Wahid, Marzuki dan Rumadi.Fiqih Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2001.
Zahrah, Muhammad Abu.Us}ul al Fiqh, Da>r al fikr al ‘Arab, tt
__________. Al Jari>mah wa al ‘Uqu>bah fi al Fiqh al Isla>mi>, Qa>hirah: Maktabah al
an jal al Mishri>yah, tt.
Zuhayli>, Wahbah, Fiqh Al Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, Dimashqa: Da>r Al Fikr Al
‘Ilmi>yah, 1997
__________.Fiqh Al Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, Dimashqa: Da>r Al Fikr Al
‘Ilmi>yah, 1997
Referensi Jurnal dan Makalah
Abidin, Zainal. ‚Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan dalam Rancangan KUHP‛,
Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, Position Paper Advokasi RUU KUHP seri #3, September 2005, 14,
http://docs.perpustakaan-elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/3.pdf
Adek, Miftachhuddin Cut. ‚Mediasi Dalam Masyarakat Adat Laot (Nelayan Adat)
di Aceh‛, Jeumala, Edisi 40 Juli-Desember 2013, Majelis Adat Aceh
(MAA) Provinsi Aceh
Advisory Conciliation and Arbitration Service (ACAS., ‚Mediation: An Approach to Resolving Workplace Issues, Euston, London‛,http://www.acas.org.uk/media/pdf/m/f/Mediation-an-approach-
to-resolving-workplace-issues.pdf, diakses pada tanggal 26 April 2014,
Pukul 12:44
Ahira, Anne.‚Wujud kepercayaan Agama Hindu di Bali‛,
http://www.anneahira.com/kepercayaan-agama-hindu.htm, (diakses pada
5 Juni 2014, Pukul 17:34)
Alexander, Nadja. ‚The Mediation Meta-Model-The Realistis Of Mediation
Practice‛, ADR Bulletin, Volume 12, Number 06, Article 05,
http://epublications.bond.edu.au/adr/vol12/iss6/5, (Diakses pada 07 April
2014)
215
Alkostar, Artidjo. ‚Kebutuhan Responsifitas Perlakuan Hukum acara Pidana dan
dasar Pertimbangan Pemidanaan Serta Judicial Immunity‛, Makalah Tua Pidana, Disampaikan pada Rakernas 2011 Mahkamah Agung dengan
Pengadilan Seluruh Indonesia,
http://anggara.files.wordpress.com/2011/10/fondasi-dan-pertimbangan-
pemidanaan-wadah-pidana-artidjo-alkostar_edited.pdf, (diakses pada 22
Juni 2014)
Alternative Dispute Resolution: Mediation,
http://europa.eu/legislation_summaries/justice_freedom_security/judicial_
cooperation_in_civil_matters/l33251_en.htm, accssed at June 08 2014)
Ama, Kornelis Kewa.Hukum Adat mendominasi Hukum Positif di Papua,
http://herukuswanto.dosen.narotama.ac.id/files/2011/05/Hukum-Adat-
Mendominasi-Hukum-Positif.pdf, (Diakses pada 4 juni 2014 pukul 22:00)
Angles, Eduardo De Los. ‛Perspectives On Court-Annexed Mediation In The
Philipines‛, Confrence Rediscovering Mediation In 21st century, Kuala Lumpur, 24-25 Februari 2011, 10
http://barcouncil.org.my/conference1/pdf/4.PERSPECTIVESONCOURT
ANNEXEDMEDIATIONINTHEPHILIPPINES.pdf, (accessed June, 08
2014, 12:23)
Al-‘Arini, Ahmad Bin Sulaiman. ‚Al s}ulh}} ‘an al-Jina>yah al-‘Amdi>yah ‘ala> al-Nafs
wama> Du>naha> ‚, artikel,/Syawwal, 1421 H, h. 3, http://www.shamela.ws,
diakses pada tanggal 17 Februari 2014, pukul 22.00)
Awi, Sara Ida Magdalena, ‚Para-Para Adat Sebagai Lembaga Peradilan Adat Pada
Masyarakat Hukum Adat Port Numbay Di kota Jayapura‛, Jurnal Hukum,
http://ojs.unud.ac.id. (Diakses pada 04 juni 2014, Pukul 21:10)
Arizona, Yance.‚Kedudukan Peradilan Adat dalam Hukum Nasional‛, Makalah
disampaikan pada Diskusi tentang Memperkuat Peradilan Adat di Kalimantan Tengah untuk Penguatan Akses terhadap Keadilan, Selasa, 11
Juni 2013. (Diakses pada tanggal 15 Februari 2014, pukul 11.30)
Aswar, Teuku Raja Itam. Kasus-Kasus Penyelesaian Melalui peradilan adat:
makalah disampaikan pada pelatihan pada pelatihan adat bagi fungsionaris adat se-provinsi Nanggroe Aceh darussalam, 4-8 september
2007 di Banda Aceh (Banda Aceh:Majelis Adat Aceh, 2007.6
__________. ‚Penegakkan Nilai-Nilai Hukum Adat Bagi Generasi Muda Dalam
Membangun Keadilan Hukum di Aceh‛, Makalah Disampaikan Pada
Dialog/Sosialisasi Untuk Generasi Muda dan Mahasiswa Mengenai Adat
Istiadat dan Hukum Adat Tahun 2007, Majelis Adat Aceh Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam
Badan Pembinaan Hukum Nasional.‚Laporan Akhir Kompendium Hukum Tentang
Penyelesaian Perkara pidana dalam Hukum Adat‛, Badan pembinaan
Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Tahun
2013, http://www.bphn.go.id/data/documents/full.pdf, (diakses pada 4 juni
2014, pukul 20:31)
Bondy, Varda and Margaret Doyle. ‚The Public Law Project‛, Nuffield Foundation,
United Kingdom, 2011,
216
http://www.nuffieldfoundation.org/sites/default/files/files/MJRhandbookF
INAL.pdf, (diakses pada tanggal 26 April 2014, pukul 14:53)
Councile Of Europe. ‚Mediation In Penal Patters, Recomendation No R(99)19‛,
Adopted by the Committe Of Ministers Of The Councils Of Europe, 15
September 1999, and Explanatory Memorandum,
http://www.mediacio.hu/files/EU_dok/CoE_R%2899%2919_mediation.pd
f, (diakses pada 07 Mei 2014, Pukul 11:14)
Data tahun 2013 Departemen Kesehatan RI, Ringkasan Eklsekutif Data dan
Informasi Kesehatan Provinsi aceh,
http://www.depkes.go.id/downloads/kunker/aceh.pdf diakses pada 09 Juni
2014
Dragne, Luminita. ‚Brief Conciderations Regarding Mediation in Criminal Matters,
Challengesof the Knowledge Society‛, Mediation,
http://www.justiciarestaurativa.org/www.restorativejustice.org/research/a
rticle_search_results?all_fields=&b_start:int=316
Drews, Margaret.The Four Models Of Mediation,
http://www.diac.ae/idias/journal/volume3no1/issue1/eng4.pdf, (diakses
pada 07 Mei 2014)
Errikson, Frida, ‚Victim-Offender Mediation in Sweden and South Africa‛, Final thesis of Master of Law Exam, Criminal Law, University of
Gothernburgh, School of Bussiness, Economies, and Laws, Thesis For
master Of Law, 2009,
https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/19708/1/gupea_2077_19708_1.pdf,
(diakses pada 16 Agustus 2014)
Elizabeth, Misbah Zulfa. Solusi hukum Lewat Peradilan Desa, Suara Merdeka, 25
April 2012, http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2012
/04/25/184452, (diakses pada tanggal 18 Februari 2014, pukul 08.42)
Gambaran Umum Kondisi Aceh, http://www1-
media.acehprov.go.id/uploads/BAB_II_GAMBARAN_UMUM_KONDIS
I_ACEH_FINAL_6012011_edi_26012011.pdf, Lihat Juga:
Kepariwisataan 10 Provinsi di Pulau Sumatera, http://ujp.ucoz.com/1-
Nagroe_Aceh_Darussalam.pdf
Gade, Christian B.N. ‚Ubuntu and Restorative Justice: Addressing The Strife and
Divisions of The Past in Post Aphartheid South Africa‛, Phd. Thesis,
Aarhus University, january 2013,
http://konfliktloesning.dk/sites/konfliktloesning.dk/files/Christian%20B.
%20N.%20Gade.pdf. (Diakses pada 15 Agustus 2014 )
Gelgel, I Putu.‚Peradilan Adat (Agama) Sebagai Resolusi Konflik‛, Bali Post,
Dialog Interaktif, 06 Oktober 2011,
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=5&i
d=5790, (diakses pada 4 Juni 2014, Pukul 21:22)
Al Ghamidi>, ‘Ali>. ‚al S}ulh}u wa Atharuhu Fi> Inha>i al Khus}u>mah‛, 28/01/2012,
http://www.s3t3.com/vb/archive/index.php/t-17483.html, (diakses pada
29 Agustus 2014)
217
Hadrawi>, Ulil. Tiga Tanda Balig}, Artikel Syari’ah, http://www.nu.or.id/a,public-
m,dinamic-s,detail-ids,11-id,40361-lang,id-c,syariah-
t,Tiga+Tanda+Baligh-.phpx, (diakses pada 4 Juli 2014.)
Halim, Abdul, Nomokrasi islam dalam Negara Hukum indonesia,
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISL
AM/Nomokrasi%20Islam%20dan%20Negara%20Kesatuan%20Republik
%20Indonesia.pdf, diakses pada 8 juli 2014)
Ha>mid bin ‘Abdillah.‚al S}ulh}u‛, Maktabah Maqru’ah, Fiqih Bai’, http://go.gooh.net/alzad/article_88.shtml, (diakses pada tanggal 16
Februari 2014, pukul 20.35),
HartmannUte I. ‚Victim-Offender Reconciliation With Adult Offenders In
Germany‛,
http://www.aic.gov.au/media_library/publications/proceedings/27/hartma
nn.pdf, (accessed, June 08, 2014)
Hasan, Ahmadi.‚Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar Dulu, Kini, dan Masa
Mendatang‛, Annual Confrence On Islamic Studies (ACIS) Ke-10,
Banjarmasin, 1-4 November 2010,
http://dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/11.ahmadihasan.pdf,
(diakses pada 5 Juni 2014 pukul 10:42)
Hoffman, David A. ‚Ten Principles Of Mediation Ethics‛,
http://bostonlawcollaborative.com/blc/72-
BLC/version/default/part/Attachment Data/data/2005-07-mediation-
ethics.pdf?branch=main&language=default), diakses pada 27 April 2014,
pukul 16:30, 2
IHW. ‚Perlukah menghidupkan Kembali Peradilan Adat‛, Jum’at 22 Mei 2009,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22068/perlukah-
menghidupkan-kembali-pengadilan-adat (diakses pada 15 Agustus 2014
pukul 11:15)
International Development Law Organization. ‚Lembaga adat sebagai lembaga
Penyelesaian Sengketa‛, http://www.idlo.int/docNews/213DOC1F.pdf,
(diakses pada tanggal 17 Februari 2014, pukul 11.42)
Ismail, Badruzzaman. ‚Dasar Hukum Penerapan Hukum Adat: Pelaksanaan
Peradilan Adatdi Aceh‛, Makalah Disampaikan Pada Pelatihan Peradilan
Adat Bagi Fungsionaris Adat se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Tanggal 4-8 September 2007, Majelis Adat Aceh, 2007
_____________, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel, Kata Pengantar, iii, Majelis Adat Aceh, dan UNDP,
Proyek Keadilan Aceh, 2007-2008. Iii
_____________. ‚Pengaruh Faktor budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian dan
Rekonstruksi‛, Disampaikan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute , Darussalam, tanggal 20 September 2006.
______________. ‚Peradilan Adat gampong di Aceh Dasar Hukum dan Mekanisme
Penyelenggaraan Dalam SKB, GUB, POLDA, dan Ketua MAA Aceh,
Jeumala, Edisi 37, Januari-Juni 2012
218
______________. ‚Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis
Adat Aceh, 2013), 126-130, Lihat juga: ‚Sejarah Perkembangan Peradilan
Agama di Aceh Sebelum dan setelah Kemerdekaan RI‛, Mahkamah Syar’iyyah Aceh, http://www.ms-aceh.go.id/informasi-umum/artikel/122-
sejarah-perkembanga-peradilan-agama-di-aceh-sebelum-dan-setelah-
memerdekaan.html, diakses pada 09 Juni 2014
____________. ‚mekanisme Lokal dalam Menyelesaiakan Kasus Masa Lalu menuju
Perdamaian Sejati, Disampaikan saat seminar ‚Percepatan Pembentukan KKR Aceh dalam Upaya Memberikan Keadilan Bagi Korban dan Memantapkan Perdamaian di Aceh, Banda Aceh, 15-17 Mei, 2007, 232,
http://www.kontras.org/buku/bagian%20IV%20aceh.pdf, diakses pada 13
Juni 2014
Iswara, I Made Agus Mahendra.‚Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative
Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali‛, Pascasarjana
fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Tesis, 2013, http://lontar.ui.ac.id,
(Diakses pada 10 Februari 2014, pukul 13:20)
Jaya, Nyoman Serikat Putra. Aspek Hukum Pidana Terhadap Tindakan Anarkis dan
Main Hakim Sendiri Dalam Masyarakat, Makalahdisampaikan dalamSeminar Regional dengan tema ‚Kecenderungan Tindakan Anarkis dan Main Hakim Sendiri dalam Masyarakat‛ yang diselenggarakan oleh
Polisi Wilayah Pekalongan bekerjasama dengan Universitas Pancasakti
Tegal, tanggal 22 Agustus 2000, http://eprints.undip.ac.id/19878/1/2598-
ki-fh-03.pdf, diakses pada 30 Juni 2014.
Kablu>, S}afwa>t ‘Aud}. Qad}a>u al s}ulh} Fi> Inha>i al Hus}u>ma>t Fi> al Shari>’a>t al Isla>mi>yah
wa al Qa>nu>n al Wad}’i>, 1995, http://www.bahrainlaw.net/post171.html,
(diakses pada 29 Agustus 2014)
Kawom, Zulfadli. ‚Qanun Al Asyi dan Pengaruhnya terhadap Kerajaan Islam
Nusantara dan Luar Negeri‛, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh,
http://www.jkma-aceh.org/haba/?p=88, (diakses pada 09 Juni 2014)
Kissya, Eliza. ‚Struktur Masyarakat Adat Haruku‛, http://www.kewang-
haruku.org/struktur.html, diakses pada 5 Juni 2014 pukul 19:32)
Komisi Yudisial. Laporan Khusus Satu Tahun Komisi Yudisial Jilid 2, Hakim, dan
penerapan keadilan Restoratif, Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan, Vol.VI No. (4 Januari- Pebruari 2012), 24 februari, 2012, 16,
http://www.komisiyudisial.go.id/files/Buletin/buletin-januari-februari-
2012.pdf, (diakses pada 28 januari 2014)
Korah, Revy S.M. ‚Mediasi Merupakan Salah Satu Alternatif Penyelesaian
Masalah Dalam Sengketa Perdagangan Internasional‛, Jurnal Hukum UNSRAT, Vol.XXI/No.3/April-Juni /2013,
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnalhukumunsrat/article/download
/1144/922, (diakses pada 7 Mei 2014, Pukul 09:48)
Kotta, JK Matuan. ‚Negeri Dalam Bingkai Masyarakat Hukum Adat di Maluku‛,
SASI, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Vol.
219
11 No. 4 Oktober-Desember 2005, http://paparisa.unpatti.ac.id, (diakses
pada 5 Juni 2014, pukul 19:28)
Kraybill, Ronal S., and others, ‚Panduan Mediator Terampil Membangun
Perdamaian‛, dalam Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional Jakarta: Kencana, 2011.
Kurniawan, Andri.‚Tugas dan Fungsi keuchik, Tuha Peuet, Dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Gampong Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten
Aceh Besar berdasarkan Qanun Nomor 8 tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Gampong‛, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 3
September, 2010,
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/VOL10S2012%2
0andri%20kurniawan.pdf, (diakses pada 16 Juni 2014)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, ‚Pemidanaan, Pidana dan
Tindakan dalam Rancangan KUHP‛, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3, 10, http://docs.perpustakaan-
elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/3.pdf, (diakses padfa 22 Juni 2014)
Mangku, Dewa Gede Sudika. ‚Suatu Kajian Umum Tentang penyelesaian Sengketa
Internasional Termasuk Didalam Tubuh ASEAN‛, Jurnal Perspektif, Volume XVII, Nomor 03 Tahun 2012, Edisi September, 4,
http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201303002803047914/3.pdf, (diakses
pada tanggal 22 Juni 2014)
Mediation And Conciliation Project Committee Supreme Court Of India,
‚Mediation Training Manual Of India‛, Delhi,
http://supremecourtofindia.nic.in/MEDIATION%20TRAINING%20MA
NUAL%20OF%20INDIA.pdf , 26,
Menyongsong Alternatif Penyelesaian Sengketa, 28 September 2008,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20211/menyongsong-
alternatif-penyelesaian-sengketa, (diakses pada 27 Agustus 2014)
Midyawati, Lidya Suryani. ‚Pemenuhan Kewajiban Adat sebagai Pidana Tambahan
Dalam RUU KUHP‛, http://law.uii.ac.id (diakses pada 4 juni 2014, pukul
21:30)
Mulyadi, Lilik, ‚Pergeseran Perspektif dan Praktik dari mahkamah Agung Republik
Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan‛, Artikel, 7,
http://www.badilum.info/upload_file/img/article/doc/pergeseran_perspekti
f_dan_praktik_dari_mahkamah_agung_mengenai_putusan_pemidanaan.p
df, (diakses pada 22 Juni 2014)
Munir, Siroj. Batasan Umur Balig} laki-laki dan Perempuan, Dalil, dan hikmahnya,
Fiqih Kontemporer, Artikel, Senin, 14 Januari 2013,
http://www.fikihkontemporer.com/2013/01/batasan-umur-baligh-bagi-
laki-laki-dan.html, (diakses pada 4 Juli 2014)
Nauli, Musri Nauli. Perzinahan Dalam Hukum adat dan Hukum Nasional,
Kompasiana, diterbitkan pada 17 Agustus 2013 pukul 21:58,
http://hukum.kompasiana.com/2013/08/17/perzinahan-dalam-hukum-adat-
dan-hukum-nasional-584504.html, diakses pada 13 Juli 2014
220
Nimer, Mohammed Abu. ‚A Framework For Nonviolence And Peacebuilding In
Islam‛, Journal Of Law And Religion, Vol. 15, No. 1/2 (2000 - 2001), pp.
217-265, http://humanrights.utah.edu/AbuNimer_JLR_2001.pdf,
(accessed 08/06/2014)
Nivada, Aryos. ‚Tawaran Model Sistem Peradilan Adat Aceh Bersinergis Peradilan
Hukum Nasional, Masyarakat Aceh tamiang‛,
http://www.acehinstitute.org, (diakses pada tanggal 17 Februari 2014,
pukul 12.39)
Nur, Muhammad Tahmid. ‚Maslahat dalam Hukum Pidana Islam‛, Jurnal Diskursus Islam, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2013, 293, http://www.uin-
alauddin.ac.id/download-
Jurnal%20Diskursus%20Islam%20Vol%201%20No%202%20Agustus%2
02013.125-150.pdf, (diakses pada tangga 22 Juni 2014)
Nursobah, Asep. ‚Catatan Akhir Tahun: Tingkatkan Kualitas Informasi Perkara,
MA Lakukan Stock Opname Berkas Perkara‛, Selasa, 07 Januari 2014
08:34, www.pembaruanperadilan.net/v2/category/manajemen_perkara/,
(diakses pada tanggal 18 Februari 2014, pukul 09.22)
Omale, Don John Otene.‚Restorative Justice as an Alternative Dispute Resolution
Models: Opinions of Victims of Crime, and Criminal Justice
Professionals in Nigeria‛, Thesis, Phd. Restorative Justice and Victimologi 2009, De Montfort University, Leicester, UK,
https://www.dora.dmu.ac.uk/bitstream/handle/2086/2411/PhD%20Don%2
0John%20Otene%20Omale.pdf?sequence=1, (accessed, 16th
august 2014)
Ongkiko, Ricardo Ma P G, Joan A de Venecia and Jon Edmarc R Castillo.
‚Mediation, in 16 JurisdictionsWorldwide, 2013‛, Getting The Deal
Through In Association With: Association For International Arbitration,
London, 61,
http://www.syciplaw.com/Documents/ME2013%20Philippines.pdf,
(accesed June, 08 2014, 11:00)
Parosanu, Andrea. ‚Restorative Justice In Germany, Final National report Of
germany‛, The 3E-Restorative Justice Model In Europe: Greece, United
Kingdom, Bulgaria, Finland, Hungari, Poland, Spain (including Research
Also In Turkey, The Netherlands, Denmark, Germany)
Just/2010/JPEN/AG/1534, 2013, http://3e-rj-
model.web.auth.gr/files/national_reports/Germany.pdf, (accessed June 8
,2014)
Pemerintah Provinsi
Papua.http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2008/papua20-
2008.pdf. diakses pada 4 Juni 2014, pukul 20:33
Pelly, Doron. ‚Resolving Clan Based DisputesUsing The Sulha, The traditional
Dispute Resolution Process of the Middle East‛, Oglala Sioux Tribe v. C&W Enterprises, No. 07-3269, 2008 WL 4093007 (8th Cir. Sept. 5, 2008), http://www.worldmediation.org/education/chapter-7-1.pdf,
(accessed 16th
August, 2014)
221
Peters, Tony, Ivo Aersten. Katrien Lauwaert and Luc Robert, ‚From Comunity
Sanctions To Restorative Justice The Belgian Example‛, Depertement of
Criminal Law and Criminologi, Faculty Of Law, Catholic University of
Leuven,
http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No61/No61_17VE_Peters.pdf,
(accessed June 06, 2014)
Priyanto, I Made Dedy, dkk. ‚Peranan Prajuru Desa Dalam Penyelesaian Sengketa
Perebutan Tanah Kuburan (Setra) Studi Kasus Di Desa Pakraman
Krobokan dan Desa Pakraman Padang Sambian: Menggagas Pencitraan
Berbasis Kearifan Lokal‛, Jurnal Komunikasi Universitas Udayana, 447
http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/31.I%20MADE%20DE
DY%20PRIYANTO_udayana.pdf\, (diakses pada 4 juni 2014, pukul 16:41)
Proses Hukum Pidana, Perdata & Pengorganisasian Rakyat Untuk Advokasi,
Justice For The Poor Program,
http://www.p2kp.org/ppm/files/pdf/juklak/kasus_pidana_perdata.pdf,
diakses pada 2 Juli 2014)
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Profil Daerah,
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-
daerah/provinsi/detail/11/nanggroe-aceh-darussalam, (diakses pada 09
Juni 2014)
Purbaya, Tandino Bawor. ‚Ketika Negara Tidak Mampu, (Keberadaan Peradilan
Adat dalam Konflik SDA)‛, Makalah disampaikan dalam FGD Pengkajian Hukum Tentang Peluang Peradilan Adat Dalam Menyelesaikan Sengketa Antara Masyarakat Hukum Adat Dengan Pihak Luar; BPHN, 24 Oktober 2013, http://huma.or.id, (diakses pada tanggal
16 februari 2014, pukul 10.02)
Puslitbang Hukum dan Peradilan. ‚Mediasi", Badan Litbang Diklat Mahkamah Agung RI, 2007, http://pta-
makassarkota.go.id/peraturan_perundangan/Naskah%20Akademis/Naskah
%20Akademis_Mediasi.pdf 32, diakses pada tanggal 27 April 2014, Pukul
22:32
Putra, Nyoman Roy Mahendra.‚Penyelesaian Pelanggaran Adat di Kecamatan
Busung Biu Kabupaten Buleleng Menurut Hukum Adat Bali‛, Tesis,
Program Magister Bidang kenotariatan, Universitas diponegoro,
Semarang, 2009.
http://eprints.undip.ac.id/18645/1/NYOMAN_ROY_MAHENDRA_PUT
RA.pdf, (diakses pada 5 Juni 2014)
Putuhena, Sakinah Safarina, dkk. ‚Kewenangan Lembaga Adat dalam Penyelesaian
Sengketa Pada Masyarakat Adat Maluku Tengah‛, Artikel, http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/e357235dc81b0117bc282b2717f29bdb
.pdf, (diakses pada tanggal 05 Juni 2014, Pukul 19:35)
Putusan pengadilan: http://www.pn-
mandailingnatal.go.id/putusan/FILE_124Pen.Pid2012PN.Mdl.pdf (diakses
pada 30 Juli 2014).
222
Rahardi, Fernand., ‚Hukum Adat di Papua Eksis di Era Globalisasi‛, Republika online, Selasa, 04 Maret 2014, 05:48 WIB,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/03/04/n1vu0i-
pengamat-hukum-adat-papua-eksis-di-era-globalisasi, (diakses pada 4 juni
2014, pukul 21:35)
Raharjo, Agus. ‚Mediasi Sebagai basis dalam penyelesaian Perkara Pidana‛,
Mimbar Hukum, Volume20, (Februari 2008), 91-92
http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/(diakses pada
tanggal 15 Februari 2014, pukul 14.30),
Raharjo, Trisno.‚Mediasi Pidana, Dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat‛, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 17, Juli, 2010, 493, 6,
http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/7%20Trisno%20Rah
ardjo.pdf, Diakses pada tanggal 3 Juni 2014, Pukul 20.45,
Ramli, Mohd. Anuar. ‚Instrumen ‘Urf dan Adat Melayu Sebagai Asas Penetapan
Hukum Semasa di Malaysia‛, Article, https://www.academia.edu/249304,
(diakses pada tanggal 16 Februari 2014, pukul 11.25)
Ramzy, Ahmad. ‚Perdamaian dalam hukum Pidana Islam dan Penerapan restorative
Justice dikaitkan dengan pembaruan hukum pidana di Indonesia‛, Thesis, Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Juni, 2012
Rianto, R. Benny. ‚Alternatif penyelesaian Sengketa (APS)‛, Artikel,
http://eprints.undip.ac.id/19278/1/2876-ki-fh-05.pdf, (diakses pada 15
Agustus 2014).
Robins, Simons. ‚Restorative Approaches to Criminal Justice in Africa: The Case
of Uganda‛, Post war Reconstruction and Development Unit, University
of York, UK, Institute for Security Studies, 2008,
http://www.issafrica.org/uploads/m161c4.pdf, (diakses pada 16 Agustus
2014 )
Al-Sa>di>, Abd al Rahma>n bin Na>s}ir Al Sa’di>>.‚Al Qawa>’id} wa al Us}u>l Al Ja>mi’ah
Wa al Furu>q wa al Taqa>si>m al Badi>’ah al Na>fi’ah‛, Tahqîq: Dr. Kha>lid bin
'Ali bin Muhammad al-Mushaiqih, Maktabah Ibn Sa’di>, 55-56,
http://d1.islamhouse.com/data/ar/ih_books/single2/ar_university_rules_an
d_assets.pdf, (diakses pada 1 Juli 2014)
Saskia, KUYPERS, Antwerpse Dienst Alternatieve Maatregelen (ADAM),
Antwerp, Belgium, ‚Victim-Offender Mediation In Flanders, Belgium,:
An Example of a Well Developed Good Practice‛, Antwerpse Dienst
Alternatieve Maatregelen (ADAM) service of restorative measures for juvenile delinquents, 5 http://www.unicef.org/tdad/1saskiakuypers.pdf,
(accessed June 05, 2014)
Satria, Deny, ‚Penerapan Hukum Adat Daya’ Kanayatn Dalam Penyelesaian Kasus
Hukum Pidana Di Kabupaten Landak dana Dasar Pemikiran Upaya
Pengaturannya kedalam Lembaga Daerah‛., Jurnal Mahasiswa s2 Universitas Tanjungpura, A. 21211042, hal. 4http://jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/view/4211, (diakses
pada 15 Februari 2014, pukul 11.58)
223
Schott, Eilen, ‚A Guide To The Mediation Process‛, 2,
http://www.scmc.sacro.org.uk/Eileen_Schott_Mediation_Book_chapter_-
_an_excerpt.pdf, (diakses pada 27 April 2014, Pukul 21:47)
Shatha>ni>, Fida> Fat}h}i. Al-Tat}bi>qa>t al-Mu’a>s}irah li Shart }i al-Hirz fi> al-Sari>qah, 8,
http://faculty.yu.edu.jo,( diakses pada 4 Juli 2014) Shearman and Sterling LLP. ‚ The New German Mediation Act- Paving The Way
for Mediation as Established Standard in Dispute Resolution?‛,
International Arbitration, http://www.shearman.com/~/media/Files/NewsInsights/Publications/2012/0
9/The-New-German-Mediation-Act/Files/View-full-memo-The-New-
German-Mediation-
Act/FileAttachment/TheNewGermanMediationAct170912.pdf, (accessed
June, 08 2014),
Siraaj, Ar Rahmah, Selasa, 19 Rabiul Akhir 1433 H / 13 Maret 2012 10:04 -
http://www.arrahmah.com/read/2012/03/13/18739-hadits-sains-bukti-
ilmiah-bahaya-berkhalwat-dengan-yang-bukan-mahram.html, diakses
pada 3 Agustus 2014.
Sudantra, I Ketut.‚Pengaturan penduduk pendatang Dalam Awig-Awig desa
Pakraman‛, Jurnal fakultas Hukum Universitas Udayana,
http://ojs.unud.ac.id, (diakses pada 05 Juni 2014, Pukul 20:44)
Suharjono. ‚Mediasi dalam Konsep Islam‛, http://www.pa-
pekalongan.go.id/index.php/component/content/article/13-halaman-
muka/kabar-gembira1/196-mediasi-dalam-konsep-islam, (diakses pada
tanggal 16 Febrari 2014, pukul 20.17)
Sufriadi. ‚Memberdayakan Peran Badan Arbitrasi Syariah Nasional (Basyarnas)
dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi di Luar Pengadilan‛, 256,
http://fis.uii.ac.id/images/la-riba-vol1-no2-2007-08-sufriadi.pdf, (diakses
pada 08 Juni 2014, pukul 20:22)
Tabucanon, Gill Marvel P. James A. Wall Jr, Wan Yan, ‚Philipine Commudity
Mediation Katarungang Pambarangay‛, Journal Of Dispute Resolution,
Vol. 2008, Issue 2, Article 8,
http://scholarship.law.missouri.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1556&co
ntext=jdr, (accesed at June, 08 2014, 10:20)
T}aha, T}aha ‘A>bidi>n. ‚Al S}ulh} Fi> D}aui al Qur’a>n al Kari>m‛,
http://uqu.edu.sa/files2/tiny_mce/plugins/filemanager/files/4290464/K036
003.PDF, (diakses pada 29 Agustus 2014)
The Indonetian Mediation Centre, ‚Two Types of Mediation‛,
http://www.pmn.or.id/en/mediation/case-types.pdf, diakses pada 26 April
2014, dan What Is Mediation?,http://www.pmn.or.id/en/mediation.html,
(diakses pada tanggal 26 April 2014)
The Mediation Hand Book 2013-2014, LSM London School of Mediation, In
association with 218 Strand, Specialist Info and 7 Solicitors LLP, 15,
http://www.rafinauk.com/mediation_handbook.pdf, 14 (diakses pada 26
April 2014, pukul 13.00)
224
Tim IT Peradilan Agama Rantau Prapat, Kamis, 29 September 2011 08:41,
http://www.pa-rantauprapat.net/index.php/2013-06-14-01-22-11/ket-62,
(diakses pada 08 Juni 2014)
Toriq, Ahmad. ‚Kasus Pencurian Sandal, Orangtua diharapkan Dapat membina
AAL‛Detik News, Kamis, 05/01/2012 04:06 WIB,
http://news.detik.com/read/2012/01/05/040629/1807006/10/ (diakses pada
pada tanggal 24/03/2014 (20:25)
‘Ubaid, ‘Umar ‘Ubaid, Qawa>id} al Us}u>li>yah wa al fiqhi>yah wa Atharuha> fi> tarshi>d al
‘Amal al Isla>mi>y,
http://library.islamweb.net/newlibrary/display_umma.php?lang=&BabId=
4&ChapterId=4&BookId=282&CatId=201&startno=0, diakses pada 16
September 2014.
Ubbe, Ahmad Ubbe, ‚Mediasi Penal dan Peradilan Adat, (Refleksi atas Bentuk
Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat yang Menyelesaikan Perkara
Melalui Peradilan Adat)‛, Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Nasional, oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia,
diselenggarakan pada tanggal 20 Juni 2013, di Surabaya,
http://bphn.go.id/data/documents/lampiran_makalah_dr._ahmad_ubbe,_ .
sh.,mh..pdf (Diakses pada 2 Juni, 2014, Pukul 20.30)
Usman. ‚Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana‛, Jurnal Ilmu Hukum, 66-76,
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=12060&val=882&titl
e=,( diakses pada 22 Juni 2014)
United Nations Guidence for Effective Mediation, United Nation, New York,
http://www.un.org/wcm/webdav/site/undpa/shared/undpa/pdf/UN%20Gui
dance%20for%20Effective%20Mediation.pdf, (diakses pada 26 April
2014, pukul 13:39, hal. 4)
Wedanti, I Gusti Ayu Jatiana Manik. Unsur Melawan Hukum dalam Pasal 362
KUHP Tentang Tindak Pidana Pencurian, Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana,
http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/viewFile/5353/4102,
(diakses pada 1 Juli 2014 )
Wirawan. Teori Receptie In Complexu, 21 Desember, 2008,
http://ketutwirawan.com/teori-receptio-in-complexu/, (diakses pada 10
Juni 201)
World Bank.‚Menemukan Titik Keseimbangan Mempertimbangkan Keadilan
NonNegara di Indonesia‛, Justice For The Poor, Mei 2009, Bagian III,
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publicatio
n/280016-1235115695188/5847179-1242977239903/Full.Report.bh.pdf,
(diakses pada 5 Juni 2014, pukul 19)
Yani, Teuku Ahmad. ‚Kegiatan Mediasi Oleh Lembaga-Lembaga Adat Dalam
menyelesaiakan Sengketa‛, Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh,
Majalah Jeumala, Edisi 37, Januari-Juni 2012, 21-22.
__________. ‚Fungsi Gampong dan Mukim Dalam Menyelesaikan Sengketa
Perselisihan‛, Jeumala, Edisi 40, Juli- Desember 2013, 18
225
Yasin, Muhammad, dkk. ‚Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif‛, dalam
Komisi Yudisial, ‚Laporan Khusus Satu Tahun Komisi Yudisial Jilid 2,
Hakim, dan penerapan keadilan Restoratif‛, Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan, Vol.VI No. 4 Januari- Pebruari 2012, 24 Februari,
2012, 13-16, http://www.komisiyudisial.go.id/files/Buletin/buletin-
januari-februari-2012.pdf, (diakses pada 28 januari 2014),
Zumeta, Zena D. ‚Styles Of Mediation: Facilitative, Evaluative, And
Transformative Mediation‛, This article first appeared in the Newsletter of the National Association for Community Mediation and is reproduced with kind permission of the author and the NAFCM,http://imimediation.org/mediation-styles, (diakses pada 07 Mei 2014, Pukul 10:22)
Fatwa, Undang-Undang dan Peraturan pemerintah
Direktori Putusan Mahkamah agung Republik Indonesia,
www.putusan.mahkamahagung.go.id, (diakses pada 1 Juli 2014)
Fatwa Komite Tetap, Fatwa Nomor 1016, Kerajaan Arab Saudi, Portal Lembaga Riset dan Fatwa,
www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?languagename=id&View=P
age&PageID=5200&PageNo=1&BookID=3 (Diakses pada 01 Agustus
2014)
Ima>rah Abu D}abi, Da>ira>t al Qad}a>, ‚Ahammiyatu al s}ulh} fi> hilli al niza>’a>t al usari>ah
Fi> Daulah al ‘Ima>ra>t al ‘Arabi>yah‛,
http://www.adjd.gov.ae/portal/site/adjd/ArtcileAwareness257/;jsessionid=
rBrrTr1Dh6G91yFjZWQQpz2rNtfzDMR0dW5HFf4LqnGZnTrTHX3Y!-
463269135!NONE, (diakses pada 29 Agustus 2014)
Pasal 76 (1) jo. Pasal 89(4) UU39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 16, Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008,
http://www.bphn.go.id/data/documents/08pdaceh009.pdf, diakses pada 16
Juni 2014
Pasal 24 ayat 1 Huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997,
http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl52280/node/4013 ,
diakses pada tanggal 1 Juli 2014.
Pasal 409: KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011), 169, Lihat
juga: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
http://hukumpidana.bphn.go.id/babbuku/bab-xxvii-menghancurkan-atau-
merusakkan-barang/, diakses pada 30 Juni 2014.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, https://www.mahkamahagung.go.id/
images/uploaded/prosedur_ttg_mediasi0001.pdf
Peraturan Gubernur Aceh nomor 60 Tahun 2013 tentang pelaksanaan Penyelesaian
Sengketa Adat Aceh,
226
http://jdih.acehprov.go.id/files/Pergub_Nomor_60_Tahun_2013.pdf.,
diakses pada 17 Oktober 2014
RUU KUH Pidana BAB III, Tujuan Pemidanaan pasal 54 ayat 1 dan 2,
http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Umum/RUU%2
0KUHP 2013.pdf
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999, Tentang perlindungan Konsumen, Pasal 45 Ayat (2),
http://www.djlpe.esdm.go.id/modules/_website/images/content/11493296
471.pdf, 18
Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua. http://prokum.esdm.go.id/uu/2001/uu-21-2001.pdf,
Diakses pada 4 Juni 2014, Pukul 20:46
Undang-Undang Nomor 4 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
http://www.minerba.esdm.go.id/library/sijh/uu-04-2004.pdf, diakses pada
20 Agustus 2014
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, www.bpkp.go.id, diakses pada 30 Juni 2014.
UU RRI No. 23 Th. 2002,
http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/UUNo23tahun2003PERLINDUN
GANANAK.pdf, diakses pada 30 Juni 2014
UU HAM Nomor 39 Tahun 1999, BAB III,
http://komisiyudisial.go.id/downlot.php?file=UU%20No%2039%20Thn%
201999%20HAM.pdf. (diakses pada 22 November 2014)
Qanun Al Asyi, http://www.atjehcyber.net/2011/08/qanun-meukuta-alam-al-
asyi.html#ixzz349enr3JI, (diakses pada 09 Juni 2014)
Qa>nun al Wasa>t}ah Li H}illi al Niza>’a>t al Madani>ah al Urdu>ni>, http://www.alu-
1944.org/Default_ar.aspx?ID=90, (diakses pada 29 Agustus 2014)
Qanun Provinsi Naggroe Aceh Darussalam Nomor Tahun 2003 Tentang
Pemerintahan Mukim
Qanun Provinsi Naggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 Tentang
Pemerintahan Gampong
Qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003,
http://bphn.go.id/data/documents/03pdaceh014.pdf, diakses pada 11
Agustus 2014.
Wawancara
Wawancara dengan Badruzzaman Isma’il, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat Aceh,
Selasa, 29 April 2014.
Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang
Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014
Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, MA, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang
Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Kamis, 15 Mei,
2014
227
Wawancara dengan AKP. El Putri, Polda Aceh, Banda Aceh, 20 Mei 2014
Wawancara dengan Bpk. Bukhari, Keuchik Gampong Meunasah Mancang, Aceh,
Jum’at, 2 mei 2014, pukul 10.30
Wawancara dengan Amin. H, Sekretaris Gampong Meriah Jaya, Kec. Gajah Putih,
10 Mei 2014
Wawancara dengan Bpk. Muhammad Asngad, Keuchik gampong timang Gajah,
Kec. Gajah Putih, Bener Meriah, 11 Mei 2014
Wawancara dengan Amin. H, Sekretaris Gampong Meriah Jaya, Kec. Gajah Putih,
10 Mei 2014
Wawancara dengan Drs. Yusriadi, M.Si, Anggota Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
24 April 2014
Wawancara dengan Bpk. Abdul Mutalib, sekretaris gampong Keupula, Nanggroe
Aceh Darussalam, 3 May 2014.
Wawancara dengan Keuchik gampong Dayah Krako, Bpk. Sarifudin Isma’il, 1 Mei
2014,
Wawancara dengan Keuchik gampong Meunasah mancang, Bpk. Bukhari, Pidie
Jaya, 2 Mei 2014,
Wawancara dengan Keuchik Gampong Umah Besi, Bpk. Abdul Aziz, Bener
Meriah, 11 Mei 2014
Wawancara dengan Keuchik gampong Lampulo, Banda Aceh, Alta Zaini, Senin, 19
Mei 2014
228
229
GLOSSARIUM
A
Adat :Sejumlah Aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat. Di
Aceh, adat menyatu dengan agama dan menjadi pegangan umum
dalam kehidupan.
Adat badamai : bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dan diakui efektif dalam
menyelesaikan pertikaian di banjar.
Adat meukuta Alam :Istilah lain dari Qanun Al Asyi, yaitu Undang-Undang Dasar
Kerajaan Aceh Darussalam yang dibuat pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (1606-1636)
ADR : singkatan dari Alternative Dispute Resolution adalah alternatif
penyelesaian sengketa yang banyak dikenal pada ranah hukum privat
atau hukum perdata. Apabila dikaji lebih lanjut alternatif penyelesaian
ini tidak hanya dilakukan di ranah hukum perdata melainkan juga di
ranah hukum pidana. Istilah ini disebut juga dengan APS (Alternatif
Penyelesaian Sengketa)
‘Afw : secara etimologi al-‘Afw berarti memaafkan atau memberi maaf
kepada orang lain, juga dapat berarti menahan diri, menghapuskan dan
menggugurkan kesalahan orang lain padanya. Secara terminologi
adalah sikap memberi maaf dengan lapang dada yakni meringankan
dan menggugurkan kesalahan orang lain pada dirinya, serta tidak
menyimpan rasa dendam atau sakit hati dalam pergaulan antar
manusia.
Arbitrase : usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Perbedaannya dengan
mediasi adalah dalam arbitrase keputusan akhir adalah menang dan
kalah, kedua belah pihak yang menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase harus sepakat dan menyetujui keputusan arbiter, sedangkan
dalam mediasi keduabelah pihak yang bersengketa saling berkompromi
dengan dibantu oleh seorang penengah untuk mencari penyelesaian
sengketa, hasil putusan tidak mengikat. Umumnya arbitrase digunakan
untuk penyelesaian sengketa ekonomi, sedangkan mediasi digunakan
untuk menyelesaikan sengketa baik perdata maupun pidana.
B
Ba>d}i’ah :yaitu luka memotong dan merobek daging
Balai Gadeng : Lembaga yang dipimpin oleh Wazi>r Mu‘adzam perdana menteri
dengan anggotanya terdiri dari Hulubalang delapan orang, Ulama tujuh
orang. Balai ini hampir sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS).
Balai Rong Sari : Lembaga yang dipimpin oleh Sultan malikul ‘Adil dan wakilnya
Qad}i malikul ‘Adil. Anggotanya terdiri dari hulu balang dan tujuh
orang Ulama. Balai ini hampir sama dengan Dewan Pertimbangan
Agung Sistem Negara Republik Indonesia
230
D
Damai : Kesepakatan para pihak untuk berbaikan dengan ikhlas sehingga
merekakembali rukun seperti biasa dalam pergaulan sehari-hari.
Da>mi’ah : yaitu luka lecet yang sampai ada darah yang nampak namun tidak
sampai mengucur seperti air mata pada mata
Da>mighah : yaitu luka yang menembus selaput otak hingga ke otak
Da>miyah : atinya berdarah, yaitu luka yang sampai mengucurkan darah
Da>r al ‘adl :kawasan negri Islam yang dikuasai oleh pemerintahan yang sah, bukan
kawasan musuh dan bukan kawasan yang dikuasai oleh kelompok
pemberontak atau sparatis.
Da>r al baghy : yaitu kawasan yang dikuasai oleh kelompok pemberontak
Dinas Shari’at Islam :Lembaga struktural Pemerintah Daerah Aceh yang menangani
Shari’at Islam
Diyat : merupakan denda dalam bentuk uang atau hewan (yang telah
ditentukan shara‘) dengan jumlah yang telah diatur oleh sha>ri‘at Islam
yang diberikan korban kepada pelaku sebagai kompensasi dari
kejahatan mengenai anggota badan, untuk melakukan jalan damai
dalam sebuah permasalahan peradilan.
D}ima>n : Adalah denda dalam bentuk yang diberikan korban kepada pelaku
sebagai kompensasi dari kejahatan mengenai perusakan hak milik
suatu benda, untuk melakukan jalan damai dalam sebuah
permasalahan.
Dusun :Bagian dari gampong yang dipimpin oleh kepala duson,
bertanggungjawab kepada keuchik
E\
Ex Officio : Jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan
kewenangannya pada lembaga lain.
G
Gampong :Wilayah komunitas penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang
terendah (dibawah mukim0 dalam sistem administratif adat dan
pemerintahan di aceh. Gampong memiliki batas-batas, perangkat,
simbol adat, hak-hak pemakaian/penguasaan (pra) sarana, sumber
pendapatan. Dipimpin oleh seorang keuchik.
Ghas}ab : mengambil harta yang memiliki nilai, dihormati, dan dilindungi,
tanpa seizin pemiliknya dalam bentuk pengambilan yang
menyingkirkan ‚tangan‛ (kekuasaan) si pemilik harta itu.
H
Haria Peukan :Lembaga adat yang mengatur tata pasar, ketertiban, keamanan, dan
kebersihan pasar serta mengutip retribusi pasar.
H}a>rishah : luka lecet namun tidak sampai ada darah yang nampak;
Harta Mithli : harta yang memiliki kemiripan dengan yang lainnya, seperti motor
honda dibayar dengan motor honda.
Harta Qi>mi> : harta yang tidak ada benda lain yang serupa dengannya, tetapi ada
benda lain yang serupa nilainya seperti emas, perak.
Ha>shima : yaitu luka yang memecahkan tulang;
231
H}ifdz al-ma>l : salah satu tujuan ditetapkannya shari>‘at Islam, termasuk kedalam
tujuan primer, yang berarti menjaga harta.
H}ifz} al nafs : jaminan hak atas setiap jiwa manusia untuk tumbuh berkembang
secara layak
H}ifz} al nasl : jaminan atas kehidupan setiap individu, jaminan masa depan
keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas.
H}irz bi al H}a>fiz} atau H}irz bi goirihi: suatu tempat yang bukan untuk menyimpan
barang tetapi tempat itu bisa dijadikan h}irz jika ada yang menjaganya
seperti di tempat parkiran, lapangan, masjid dan lain-lain.
H}irz bi al Maka>n: tempat penyimpanan harta yang berbentuk bangunan seperti
rumah, gedung, toko, kandang dan sebagainya yang berbentuk
bangunan.
H>{irz bi Nafsihi: penyimpanan harta yang dijaga oleh diri sendiri seperti cincin yang
sedang dipakai.
Huku>mah al ‘adl:suatu harta atau kompensasi yang besarnya ditentukan oleh hakim
dengan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman para ahli karena
suatu tindakan kejahatan fisik yang tidak ada keterangan dalil shara’
tentang berapa besaran harta kompensasinya
I
Imeum Chik : Imeum (imam) Mesjid Jamik pada tingkat mukim yang memimpin
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bidang agama Islam
Imeum Meunasah :Imeum pada tingkat gampong yang bertanggungjawab terhadap
kegiatan masyarakat di gampong yang terkait masalah keagamaan.
Imeum Mukim :Pemimpin/kepala sebuah mukim
Al-Itla>f : yaitu perbuatan pengrusakan dalam istilah Islam, yaitu mengeluarkan
sesuatu dari kondisinya ya g bisa dimanfaatkan dan digunakan sesuai
dengan fungsinya yang semestinya. Tindakan ini adalah penyebab yang
menetapkan keharusan tanggungan denda, hal ini karena al-itla>f adalah
bentuk pelanggaran yang menimbulkan kerugian.
J
Ja>ifah : yaitu luka yang tembus sampai ke bagian dalam dari rongga dada
rongga perut, penggung janin, atau sampai pada bagian dalam antara
dua buah pelir, atau dubur, atau tenggorokan.
Jari>mah : berasal dari bahasa arab yang artinya perbuatan dosa atau tindak
pidana. Dalam terminologi hukum Islam jari>mah diartikan sebagai
perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut syara’ dan ditentuka
hukumannya oleh Tuhan, baik dalam sanksi-sanksi yang sudah
ditetapkan hukumannya maupun sanksi-sanksi yang belum ditetapkan
hukumannya.
Jari>mah H}udu>d: jari>mah yang diancam hukuman h}ad yaitu hukuman yang telah
ditentukan oleh syara’dan menjadi hak Allah, artinya bahwa hukuman
tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi
korban atau keluarganya).
232
Jarimah Qis}a>s}: jari>mah yang diancam dengan hukuman qis}a>s} atau diyat dan
keduanya adalah hukuman yang ditentukan oleh syara’. Perbedaan
dengan hukuman h}ad adalah bahwa h}ad merupakan hak Allah,
sedangkan qis}a>s} dan diyat adalah hak adami dalam artian bahwa
hukuman tersebut bisa dihapuskan dan dimaafkan oleh korban atau
keluarganya.
Jari>mah Ta‘zi>r: jarīmah yang diancam dengan hukuman ta‘zi>r. Menurut bahasa
adalah ta’di>b atau memberi pelajaran, sedangkan menurut istilah
adalah hukuman pendidikan atas dosa yang hukumannya belum
ditentukan oleh syara’ dan hukuman diserahkan kepada ulil amri /
pemimpin/ pihak yang berwenang baik penentuannya maupun
pelaksanaannya.
Al-jira>h :Adalah luka yang diakibatkan oleh tindakan pelukaan pada anggota
badan selain kepala dan muka
Jurong : Jalan atau lorong yang terdapat di gampong
K
Keadilan restoratif: atau yang biasa dikenal dengan restorative justice merupakan
suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang melbatkan
masyarakat, korban, dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar
tercapainya keadilan bagi seluruh pihak sehingga diharapkan
terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum terjadi kejahatan dan
mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut.
Keadilan retributif: atau yang biasa dikenal dengan retributive justice adalah teori
keadilan yang menganggap hukuman itu merupakan respon yang
diterima secara moral sebagai kejahatan dengan penglihatan untuk
manfaat kepuasan dan psikologis yang dapat dilimpahkan kepada
pihak yang dirugikan, teman-teman dan masyarakat. Penekanan utama
pada keadilan retributif adalah penghukuman pelaku atas apa yang
mereka lakukan.
Kompensasi: adalah diyat atau pencarian kepuasan dalam suatu bidang untuk
memperoleh keseimbangan dari kekecewaan dalam bidang lain.
Keuchik : Kepala gampong, dipilih langsung oleh masyarakat serta diangkat
secara resmi oleh pemerintah kabupaten/kota.
Keujruen blang :Lembaga adat pelaksana temnis di gampong yang bertugas
menangani peraturan pembagian air untuk pertanian, dan membantu
keuchik dalam menyelesaikan sengketa pertanian
Khalwat/Meusum :Bersunyi-sunyi antar lelaki dan perempuan yang bukan mahram
di tempat tertutup atau asing
M
MAA : Majelis Adat Aceh, yaitu mejelis penyelenggara kehidupan adat di
Aceh yang struktur kelembagaannya dibentuk berdasarkan Qanun
Aceh nomor 3 Tahun 2003
Mahkamah Shar‘iyyah : Lembaga pengadilan agama di Provinsi Aceh, setara
dengan peradilan agama di Provinsi lain di indonesia
233
Majelis Duduk : badan permusyawaratan kampung di kabupeten Aceh Tamiang
yang terdiri dari unsur Ulama, Tokoh masyarakat setempat, termasuk
pemuda dan perempuan, pemuka adat dan cerdik pandai/cendikiawan,
yang bertugas membantu keuchik.
Majelis Mahkamah : Lembaga yang beranggotakan 73 orang. Balai ini seperti DPR
RI.
Mas}lah}ah : adalah sesuatu yang mendatangkan kebaikan, (keselamatan, dsb).
Menurut istilah umum mas}lah}ah mendatangkan segala bentuk
kemanfaatan tau menolak segala kemungkinan yang merusak.
Mas}lah}ah tidak didasarkan pada penilaian akal manusia yang bersifat
relatif- subyektif dan dibatasi ruang dan waktu tetapi harus sesuai
petunjuk syara’ yang mencakup kepentingan dunia dan akhirat.
Ma’mu>mah :yaitu luka yang menembus hingga ke selaput otak;
Mediasi : adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga
yang netral yang tidak berpihak pada salah satu pihak manapun dan
mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa
untuk mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah
pihak.
Mesjid : Sarana Ibadah bagi umat islam, sekaligus berfungsi sebagai pusat
informasi dan kegiatan ditingkat mukim
Meunasah : Lembaga pusat kegiatan masyarakat gampong seperti halnya surau di
provinsi Sumatra Barat. Di Aceh juga digunakan sebagai tempat untuk
belajar agama atau penelitian, melakukan observasi dan menyelesaikan
sengketa yang timbul dalam masyarakat. Di beberapa tempat,
Meunasah menjadi pusat sosio-budaya pembangunan gampong.
Mono Trias Function : Tiga fungsi/tugas yang diemban pada satu jabatan,
contoh salah satunya adalah wewenang yang dimiliki oleh keuchik
gampong meliputi fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
MOU Helsinki :Memorandum of Understanding, Perjanjian damai antara
pemerintah Indonesia dan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus
2005 di kota Helsinki, Finlandia.
MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama, di wilayah lain di Indonesia
dikenal dengan MUI, lembaga ini didirikan berdasarkan Qanun Aceh
Nomor 3 tahun 2000
Mukim : Wilayah yang mengkoordinir beberapa gampong (6 sampai 10
gampong) dalam satu kawasan yang dipimpin oleh Imeum Mukim dan
bertanggungjawab kepada camat
Mumayyiz : batas dimana seorang anak telah wajib mengerjakan shalat lima
waktu sebelum memasuki masa akhir Baligh
Munaqqilah : yaitu luka yang memindahkan letak tulang dari posisi normalnya
setelah pecah
Mutaqawwim : harta yang secara shara‘ diperbolehkan untuk dimanfaatkan dan
digunakan dalam selain kondisi terpaksa atau darurat.
Mutala>himah: yaitu daging yang hilang dan terpotong ukurannya lebih banyak dari
daging yang terpotong pada luka ba>d}i’ah; keenam,
234
Muwa>d}ih}ah : yaitu luka yang sampai merobek selaput tulanghingga tulang menjadi
nampak.
Mu‘tamidan : yaitu secara sengaja, maksudnya melakukan suatu kesalahan atau
kejahatan secara sengaja.
N
Narit Maja : dikenal juga dengan Hadih maja, yaitu Tutur perkataan orang-orang
bijak yang dapat dijadikan nasihat, petunjuk, petuah, ajaran, dan
larangan yang umumnya berkaitan dengan agama Islam, adat Istiadat,
pendidikan, dan kehidupan bermasyarakat.
Negeri : Kesatuan masyarakat hukum adat dalam wilayah pemerintahan
provinsi maluku
Negoisasi : maksudnya adalah proses tawar menawar dengan jalan berunding
untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama
antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dengan pihak (kelompok
atau organisasi) yang lain. Dapat juga dikatakan penyelesaian sengketa
secara damai dengan cara perundingan oleh pihak yang bersengketa.
Nis}a>b : dalam bahasa artinya adalah batasan. Menurut Hukum Islam dalam
hal pencurian seseorang dapat dikenai hukumanh}ad jika barang yang
diambilnya mencapai nis}a>b (batas minimal pencurian) yaitu ¼ dinar
emas atau 3 dirham perak
Non Ja>ifah :yaitu luka yang tidak sampai kebagian dalam dalam rongga tubuh,
seperti luka pada leher, tangan, dan kaki
P
Panglima Laot: Lembaga adat tingkat kemukiman yang membantu Imeum Mukim
dalam hal penyelesaian dan pengaturan adat istiadat dan kebiasaan
yang berlaku dibidang penangkapan ikan di laut, termasuk mengatur
tempat atau area penangkapan ikan, serta penyelesaian sengketa
terkait. Lazim juga disebut panglima Lhok.
Panglima Uteun : Lembaga adat ditingkat gampong yang membantu keuchik dalam
memimpin dan mengatur adat istiadat yang berkenaan dengan
pengelolaan dan pelestarian lingkungan dan hutan
Para-para Adat : Penyelesaian sengketa adat secara damai di Papua.
Pawang Glee : Pan glima Uteun
Pemangku Adat:Fungsionaris/ orang yang menduduki jabatan pada lembaga-
llembaga adat yang sangat di hormati oleh masyarakat.
Peusijuek Prosesi menepung tawari seseorang atau benda dengan maksud untuk
mendapatkan sempena atau kesejukan hati.
Peutua Seuneubok :Lembaga adat ditingkat gampong yang bertugas membantu
Keuchik dalam hal memimpin serta mengatur ketentuan-ketentuan
mengenai pembukaan dan penggunaan perladangan atau pekebunan
Q
Qadhaf : tuduhan palsu zina secara bahasa yaitu ramyu shai berarti melempar
sesuatu. Menurut istilah shara’ adalah melempar tuduhan zina kepada
orang lain yang karenanya mewajibkan hukuman had bagi tertuduh.
235
Qa>nu>n :Peraturan perundang-undangan khusus untuk Aceh atau sejenis
peraturan daerah tingkat provinsi dan kabupaten lain yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat.
R
Reusam : Aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan atau petunjuk –petunjuk adat
istiadat yang ditetapkan oleh Keuchik setelah mendapatkan
persetujuan Tuha Peuet gampong.
S
Sagoe : Federasi dari beberapa Nanggroe (hanya ada di Aceh besar), dipimpin
oleh masing-masing panglima sagoe.
Saniri Negeri : Badan musyawarah adat tingkat negeri yang terdiri dari putusan
setiap soa yang duduk ditingkat negeri
Sarak Opat : sistem pemerintahan tradisional masyarakat Gayo di kabupaten Aceh
tengah dan bener Meriah yang terdiri dari empat unsur, Reje, Petue,
Imem, Rakyat.
Sari>qah : artinya adalah pencurian yaitu mengambil harta orang lain dengan
sembunyi-sembunyi dari tempat yg semestinya. Pengambilan harta
selain pada definisi sariqoh di atas tidak terkategorikan sari>qoh.
Sayam : Suatu proses dalam peradilan adat yakni mengganti sejumlah
kerugian bagi si korban sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Proses ini hanya dilakukan pada kasus-kasus besar yang melukai
korban atau menyebabkan korban harus menjalani perawatan.
Al-shija>j : adalah luka yang diakibatkan oleh tindakan pelukaan pada anggota
badan kepala dan muka.
Simha>q : yaitu luka yang memotong daging hingga menampakkan lapisan kulit
halus (selaput tulang) yang terdapat antara daging dan tulang.
Staatsblad :Publikasi berkala yang diikuti dengan penomoran pemuatan yang
berisikan berbagai informasi yang berkaitan dengan segala bentuk
kebijakan, pengumuman, peraturan, dan perundangan yang dikeluarkan
oleh Badan, Lembaga, atau Pemerintah kolonial belanda. Saat ini lebih
dikenal dengan Lembaran Negara republik Indonesia.
Syahbanda : lembaga adat yang memimpin dan mengatur tambatan kapal/ perahu,
lalu lintas keluar dan masuk kapal/perahu dibidang angkutan laut,
danau dan sungai.
Syu Rei : Sebutan untuk Undang-Undang daerah pada masa pendudukan
Jepang.
T
Tajri>m :Yaitumenyatakan suatu tindakan menjadi kejahatan atau pemidanaan
Teungku :Sering disingkat dengan Tgk. Panggilan dan gelar kehormatan
Tihoo Hooin :Pengadilan Negeri masa pendudukan Jepang
Tuha Peuet :Lembaga adat ditingkat gampong atau mukim terdiri atas unsur
pemimpin adat dan tokoh agama, serdik pandai yang bertugas
memberikan nasihat dalam bidang hukum adat, adat istiadat,
kebiasaan-kebiasaan masyarakat, serta keagamaan kepada keuchik atau
236
Imeum mukim, juga bertanggungjawab membantu keuchik atau imeum
mukim dalam menyelesaikan segala sengketa.
Tumpok : Bagian gampong berupa kumpulan rumah-rumah penduduk
membentuk sebuah kloni yang agak terpisah dari kampung Induk.
U
Al-Ubuwwah : Orang tua tidak dikenai hukuman qis}a>s} karena kejahatan dan
kekerasan fisik yang dilakukannya terhadap anaknya, sam aseperti
kasus kejahatan pembunuhan
Ujung : Bagian gampong yang terletak paling ujung.
Ulama :Orang yang ahli dan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang
agama Islam. Di Aceh, ulama merupakan figr yang sangat berpengaruh
dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Dalam
sejarah Aceh, ulama menjadi figur terdepan dalam melawan sejarah.
Ulee Balang :suatu kelompok adat di Aceh yang diangkat oleh sultan untuk
mengepalai suatu daerah otonom
Ulee Jurong :Pemimpin adat tingkat juroong
UNDP : United nation Development Programme, sebuah badan
perserikatan Bangsa-bAngsa yang bergerak dibidang pembangunan.
‘ursh : suatu harta kompensasi wajib yang telah ditentukan oleh shara’
karena suatu kejahatan terhadap fisik atau anggota tubuh.
Z
Zinā ghoiru muh}s}an/ muh}s}anah: yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum
bersuami/ istri. Hukuman bagi seorang pezina yang ghoiru muh}s}an/
muh}s}anah adalah dicambuk 100 kali lalu keduanya diasingkan selama
1 tahun. Setelah itu boleh menikah, bagi wanita yang hamil di luar
nikah maka dia tidak boleh menikah dalam keadaan hamil karena
pernikahan tersebut tidak sah.
Zinā muh}s}an/ muh}s}anah: yaitu zina yang taubatnya adalah sama dengan taubat
pelaku dosa maksiat dan harus ditambah hukumannya dengan rajam-
dilempari batu sampai mati, melempar batu sebesar kepalan tangan
kearah ulu hati bukan kearah kepala. Melemparnya tidak boleh kasian
dan tidak boleh benci. Ucapan ketika melempar adalah Bismillahi Allahuakbar.
237
INDEKS
A
'Afw, 13, 205
Aceh, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 16, 17, 18, 19,
23, 51, 53, 54, 55, 57, 58, 59, 60,
61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69,
73, 74, 79, 80, 81, 82, 83, 85, 86,
87, 88, 89, 90, 91, 93, 95, 96, 100,
101, 102, 107, 109, 112, 116, 117,
121, 124, 132, 135, 140, 144, 145,
146, 147, 153, 154, 155, 156, 158,
159, 160, 161, 162, 163, 164, 165,
171, 172, 174, 177, 178, 180, 181,
182, 183, 185, 186, 190, 191, 192,
194, 199, 202, 207, 208, 209, 211,
217, 218, 219, 223
Aceh Besar, 11, 58, 65, 116
Adat, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 14, 16, 17,
18, 23, 24, 27, 28, 29, 30, 31, 38,
44, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 58,
59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67,
68, 69, 73, 78, 79, 80, 81, 82, 85,
86, 87, 88, 89, 90, 91, 96, 97, 100,
101, 102, 109, 111, 112, 113, 114,
115, 116, 117, 118, 121, 124, 135,
137, 138, 139, 140, 141, 142, 144,
145, 153, 155, 156, 162, 163, 171,
172, 175, 181, 183, 184, 185, 186,
192, 193, 194, 199, 200, 201, 202,
207, 208, 219
ADR, 2, 25, 33, 51
Al-Zuh}ayli>, 36, 94, 123
APS, 2, 48, 50
Arbitrase, 2, 21
B
Badruzzaman Ismail, 5, 6, 55, 57, 59,
60, 61, 62, 66, 79, 80, 82, 87, 88
Balai Gadeng, 60
Balai Rong, 60
Banda Aceh, 6, 11, 17, 55, 57, 58, 59,
61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69,
74, 79, 80, 82, 83, 85, 88, 90, 91,
93, 100, 102, 116, 124, 132, 154,
164, 171, 181, 191
Barda Nawawie, 22, 26, 34
Bener Meriah, 11, 72, 73, 82, 113,
114, 141, 167
C
Chindya, 14, 15, 218
D
Damai, 23, 60, 88
Denda, 47, 83, 99, 109, 122, 135, 153,
200, 208
Diyat, 51, 83, 109, 122, 135, 151,
153, 162, 163, 200
Dusun, 68, 147, 148
F
Fitnah, 201, 204, 207
FKPM, 63, 88, 93
Formal, 49, 109, 136, 153, 162, 183,
192, 200, 207
Frida Errikson, 13, 34, 52, 218
Fungsionaris Adat, 144, 181
G
Gampong, 5, 17, 55, 57, 59, 60, 63,
64, 65, 66, 68, 69, 70, 71, 72, 73,
74, 78, 79, 82, 83, 85, 86, 87, 88,
89, 93, 95, 96, 97, 98, 109, 110,
111, 112, 113, 114, 115, 116, 117,
118, 122, 124, 132, 135, 137, 138,
141, 142, 153, 154, 156, 162, 164,
238
165, 175, 183, 186, 191, 192, 193,
194, 200, 201, 204, 207, 209, 211
Ghas}ab, 187, 192
H
Hadd, 162
Hadith, 204
Hadits, 36, 59, 60, 127, 135, 162,
183, 192, 202
Hakim, 1, 8, 21, 26, 28, 36, 44, 49,
51, 97, 98, 109, 112, 113, 114, 115,
118, 119, 122, 123, 135, 138, 140,
142, 152, 153, 162, 183, 184, 192,
200, 207
Hana>bilah, 127, 130, 150, 189, 198
Hanafi>yah, 105, 127, 130, 148, 149,
178, 188, 198
Hazairin, 54
hifz} al nasl, 178
Huku>mah al ‘adl, 148, 153
Hukum Adat, 4, 5, 6, 16, 18, 24, 27,
28, 29, 30, 31, 38, 44, 52, 53, 54,
57, 58, 62, 64, 66, 80, 81, 82, 85,
100, 101, 109, 135, 144, 145, 153,
156, 162, 171, 183, 192, 200, 207
Hukum Islam, 10, 11, 15, 35, 53, 54,
55, 102, 109, 126, 135, 147, 153,
160, 162, 177, 178, 180, 183, 187,
192, 197, 199, 200, 204, 207
Hukum Perdata, 185, 186
Hukum Pidana, 4, 5, 14, 15, 21, 29,
42, 43, 45, 47, 98, 99, 109, 118,
121, 123, 135, 143, 153, 156, 162,
173, 174, 178, 182, 183, 192, 194,
195, 199, 200, 202, 206, 207
I
Ibn Taimi>yah, 133 Imam Ahmad, 120
Imam Al Shafi‟i, 35,106,120,176
Imeum Meunasah, 66, 112, 113, 115,
117, 139, 141, 155
Imeum Mukim, 63, 67, 87
Itla>f, 102, 104, 109
J Jari>mah, 125
Jurong, 65
K
Kasus, 1, 4, 6, 11, 18, 30, 33, 37, 72,
75, 79, 80, 81, 82, 95, 97, 98, 101,
102, 103, 109, 110, 113, 116, 118,
121, 122, 124, 126, 131, 132, 135,
136, 143, 144, 145, 147, 153, 154,
156, 163, 165, 168, 171, 172, 177,
180, 181, 182, 184, 185, 187, 190,
191, 193, 194, 197, 199, 201, 202,
203, 204, 208, 209, 210, 211
Kathleen Dally, 15, 214
Kejahatan, 99, 134, 148, 159, 177,
187, 208
Keuchik, 59, 64, 66, 67, 70, 71, 72,
73, 74, 76, 82, 83, 86, 87, 95, 96,
98, 101, 103, 111, 112, 113, 114,
115, 116, 117, 118, 123, 136, 137,
138, 139, 141, 142, 144, 146, 147,
152, 155, 156, 165, 167, 168, 171,
172, 180, 184, 186, 189, 193, 205,
206, 209, 210
Keujruen blang, 136, 137
Khalwat, 68, 78, 154, 162, 165
Konflik, 4, 31, 68, 190, 191
Korban, 80, 82, 114, 115, 116, 117,
118, 123, 124, 139, 140, 141, 144,
165, 167, 169, 191, 210
KUHP, 13, 18, 29, 45, 46, 47, 48, 98,
99, 119, 120, 121, 122, 124, 143,
156, 157, 158, 159, 161, 172, 173,
174, 182, 194, 195, 197, 202, 203,
217
239
L
Laka Lantas, 184, 200
Litigasi, 42, 47
MAA, 17, 23, 55, 57, 59, 62, 63, 65,
66, 67, 68, 69, 87, 88, 90, 91, 93,
181
Maliki>yah, 104, 108, 127, 148, 150,
179, 189, 198
Mediasi, 1, 2, 3, 4, 7, 10, 11, 13, 14,
21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29,
31, 32, 33, 34, 35, 38, 44, 49, 50,
51, 52, 57, 80, 81, 82, 90, 91, 92
Mediation, 2, 13, 21, 22, 23, 24, 25,
26, 30, 31, 32, 33, 34, 52
Mediator, 22, 24, 25, 26, 27, 40
Mesjid, 5, 58, 67, 74
Meunasah, 5, 59, 60, 64, 66, 70, 73,
82, 110, 112, 113, 115, 117, 139,
141, 147, 155, 186
MPU, 93
Mukim, 5, 6, 17, 59, 60, 63, 64, 66,
67, 68, 69, 70, 73, 78, 79, 83, 85,
86, 87, 88, 91, 96, 112, 113, 181,
186, 191
Mustafa Serdar Ozbek, 13, 34, 50, 52,
218
Musyawarah, 31, 37
N
Nanggroe, 5, 17, 54, 55, 57, 58, 60,
61, 65, 74, 75, 78, 85, 104, 115,
137, 151, 152, 169, 172
Non Litigasi, 47, 99, 126, 144, 154,
174, 183, 191, 198
P
Panglima Laot, 95, 96, 102, 103
Panglima Laut, 95, 96, 102, 103
Panitera, 70
Pasal, 2, 4, 7, 22, 23, 24, 29, 47, 52,
54, 62, 67, 68, 83, 84, 85, 87, 99,
109, 119, 120, 121, 135, 143, 153,
157, 158, 159, 160, 161, 165, 173,
174, 175, 176, 185, 192, 195, 196,
197, 200, 202, 203, 207, 209
Pelaku, 27, 99, 105, 106, 108, 110,
112, 113, 114, 115, 116, 117, 118,
122, 123, 124, 125, 129, 136, 137,
138, 139, 140, 141, 144, 145, 152,
154, 160, 163, 164, 165, 166, 167,
168, 169, 177, 208, 209, 210, 211
Pencurian, 1, 68, 110, 113, 115, 116,
118, 121, 135, 162, 163, 165
Penganiayaan, 75, 99, 122, 136, 138,
140, 143, 144, 145, 153, 163, 165
Penjara, 47, 200, 207
Perda, 5, 63, 89, 95
Pergub, 87
Perlindungan, 5, 27, 120
Perusakan, 95, 99, 102, 163, 165
Peusijuek, 147, 153
Pidana, 1, 4, 8, 14, 15, 21, 29, 31, 42,
43, 44, 45, 46, 47, 48, 56, 72, 84,
98, 99, 100, 109, 118, 119, 120,
121, 122, 123, 124, 135, 143, 153,
156, 157, 159, 162, 165, 166, 173,
174, 178, 182, 183, 192, 194, 195,
199, 200, 202, 203, 206, 207, 209,
210
Pidie, 11, 64, 76, 77, 81, 82, 95, 97,
110, 136, 138, 184, 186, 201
Pidie Jaya, 11, 77, 82, 97, 136
Q
60, 63, 65, 68, 83, 86, 87, 88, 89, 95,
96, 100, 109, 121, 126, 128, 130,
131, 132, 135, 153, 158, 159, 160,
162, 165, 172, 180, 183, 192, 194,
202, 207, 209
Qad}i, 53, 59, 60, 61, 109, 135, 153,
162, 183, 192, 200, 207
Qis}a>s}, 36, 38, 41, 145, 199, 205
240
R
Reparation, 27
Restoratif, 1, 2, 14, 44, 100
Reusam, 59, 65, 96, 114, 172, 194,
202
S
s}ulh}, 7, 8, 10, 12, 14, 35, 36, 37, 38,
39, 40, 41, 44, 80, 151, 218, 220
Sabang, 11, 193, 194, 208
Sagoe, 59, 60
Sanksi, 6, 99, 101, 103, 109, 122,
123, 124, 132, 135, 153, 162, 180,
183, 192, 200, 207, 217
Sanusi M. Syarief, 191
Sarak Opat, 63, 88, 93
Sari>qah, 128, 135
Sayam, 81, 83
Sayuti Thalib, 54
Sayyid Sa>biq, 7, 35, 36, 39, 43, 177,
179
Sekretaris desa, 142
Sengketa, 2, 3, 4, 5, 10, 23, 25, 26,
30, 31, 32, 33, 37, 44, 49, 50, 52,
63, 64, 68, 86, 87, 88, 90, 109, 135,
153, 162, 163, 183, 192, 200, 207,
208, 219
Snouck Hurgronje, 53, 54
Staatsblad, 23, 52
Syahrizal Abbas, 24, 27, 28, 38, 44,
53, 54, 55, 80, 81, 82
T
Tapal Batas, 184, 192, 208, 209, 210,
211
Taubat, 133
Teori, 16, 18, 44, 45, 46, 48, 52, 53,
54
Teungku Meunasah, 59, 60, 64
Tuha Peuet, 59, 63, 64, 65, 66, 67, 70,
86, 95, 96, 98, 112, 113, 115, 117,
137, 139, 141, 155
U
Ulama, 36, 39, 59, 60, 61, 63, 67,
104, 105, 108, 126, 127, 128, 130,
148, 149, 150, 178, 179, 187, 188,
198
Ulee Jurong, 66
Uleebalang, 59, 60
Undang-Undang, 5, 7, 24, 28, 32, 33,
34, 47, 58, 60, 61, 62, 63, 84, 85,
86, 87, 99, 120, 121, 143, 156, 157,
159, 173, 174, 185, 186, 195, 203,
217
UNDP, 5, 7, 80, 88
V
VOM, 30
W
Wahbah Zuhayli>, 8, 9, 36, 37, 38, 39,
41, 42, 102, 105, 108, 126, 129,
130, 132, 133, 148, 149, 150, 151,
178, 179, 187, 188, 189, 190, 198,
199
W
Yurisprudensi, 18,47
Z
Zina, 158, 172, 177, 183
241
RIWAYAT HIDUP
Nama : Hifdhotul Munawaroh
Kelahiran : Jakarta 22 Juni 1988
Alamat : Jl. Alur laut Gg. Waru 1 Rt. 005 Rw. 003 No. 27, Kec.
Koja, kel. Rawabadak selatan, Jakarta Utara, 14230
Telepon : 085745797870
e-mail : [email protected]
Pendidikan Formal :
Sekolah Dasar Wening (1994-1999)
Madrasah Tsanawiyyah Al Muhajirin (2000-2002)
Kulliyatu al-Mu’allima>t al-Isla>mi>yah (KMI) (2003-2006)
S1 Universitas Darussalam (ISID), Fak. Syari’ah, Prodi Perbandingan
Madzhab dan Hukum (PMH) (2007-2010)
S2 Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta (2013-2015)
Pengalaman Kerja
Staf Pengasuhan Santriwati Gontor Putri 3 (2007-2012)
Staf Pengajar di Kulliyatu al-Mu’allima>t al-Isla>mi>yah (KMI) 2006-
2012
Anggota Dewan Mahasiswi (DEMA) ISID, (2008-2009)
Staf Pengajar di MA Al-Rasyidi>yah Jakarta Utara 2014