pembimbing prof. dr. h.m. atho mudzhar,...

255
MEDIASI ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama Bidang Hukum (MA.Hk) Pada Shari‘ah Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD Diajukan oleh: Hifdhotul Munawaroh NIM : 12.2.00.0.01.01.0179 Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Periode: 2013/2014

Upload: buidieu

Post on 29-Aug-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

MEDIASI ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama Bidang

Hukum (MA.Hk) Pada Shari‘ah

Pembimbing

Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD

Diajukan oleh:

Hifdhotul Munawaroh

NIM : 12.2.00.0.01.01.0179

Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta

Periode: 2013/2014

Page 2: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

ii

Page 3: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Rabb al-‘Izzah atas segala

petunjuk dan kemurahan-Nya tesis yang berjudul Mediasi Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam ini bisa

terselesaikan. Sholawat dan salam semoga tercurah untuk baginda Nabi besar

Muhammad SAW yang memberi jalan penerangan melalui dakwah dan pendidikan.

Atas terselesainya tesis ini, penulis banyak berhutang budi kepada beberapa

pihak yang telah membantu, baik moral maupun material. Kepada mereka penulis

menyampaikan ribuan rasa terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya dan

berdo’a semoga Allah Ta’ala memberikan balasan yang tinggi serta menjadi nilai

amal yang baik disisi-Nya.

Ucapan terimakasih dan penghargaan tersebut penulis sampaikan kepada

yang terhormat Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD sebagai pembimbing yang

telah sabar memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini, kepada Prof. Dr. Dede

Rosyada, MA dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA sebagai Rektor dan Direktur

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para deputi yang

telah menyiapkan sarana, fasilitas, dan memberikan kebijakan-kebijakan untuk

memacu berkembangnya suasana akademik di Sekolah Pascasarjana. Terimakasih

juga penulis sampaikan kepada Dr. JM. Muslimin, MA selaku ketua Program studi

Magister, Prof. Dr. Didin Saepudin, MA, selaku ketua program studi doctor. Tak

lupa yang terhormat Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Swito, MA, Prof. Dr.

H. Abdul Ghani Abdullah, SH, Dr. Yusuf Rahman, Prof. Dr. Sukron Kamil, Dr.

Sudarnoto Abdul Hakim, Prof. Said Agil Al Munawar, MA, Dr. Asep Saepudin

Jahar, MA, Prof. Iik Mansoor Nur, MA, Dr. Suprapto yang telah memberikan

masukan dan kritikan melalui beberapa ujian.

Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat

langsung maupun tidak langsung dalam membantu penyelesaian penelitian ini,

seperti petugas perpustakaan Pascasarjana, Pak Roviq yang telah membantu penulis

dalam mencari buku-buku yang diperlukan, petugas akademik di sekretariat

Sekolah Pascasarjana yang telah membantu memberikan informasi, Mbak Ima, Mas

Adam, Mas Arif, serta kawan-kawan diskusi yang banyak memberikan inspirasi

dalam penulisan tesis ini, Nurjannah, Nurul, Rahmah, Puji, Ibu Siti Ngainur, Pak

Maimun, Pak Satiri, Khalida, serta teman-teman seangkatan lainnya yang tidak

dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Secara khusus, penulis menyampaikan terimakasih kepada Ketua Majelis

Adat Aceh (MAA), Prof. Badruzzaman Ismail, S.H, M.Hum, beserta jajaran,

Kepala Bidang Pengembangan Gampong dan Mukim, Bpk. Sanusi M. Syarief, MA,

beserta jajaran, Ketua Majelis Adat Bener Meriah, Bpk. H. Amin, beserta jajaran,

Polda Aceh, AKP. El Putri, beserta jajaran, Keuchik Gampong, Bpk. Bukhari, Bpk.

Alta Zaini, Bpk. Muh. Asngad, Bpk. Syarifuddin Ismail, Bpk. M. Samir, Sekretaris

Gampong, Bpk. Amin H, Bpk. Faishal, Bpk. A Muthollib, beserta jajaran,

fungsionaris adat yang lain, dan tokoh adat perempuan di Banda Aceh, Pidie, Pidie

Jaya, dan Bener Meriah, Rekan Rahmalena, Sri Wahyuni, Ratna, Vonna Hilmi,

Faishal, Faiz, Ibu Novi, Ibu Lena, dan rekan-rekan lain yang tidak mampu penulis

Page 4: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

iv

sebutkan satu persatu atas waktu dan informasinya dalam membantu penulis

menyelesaikan tesis ini.

Terakhir namun teristimewa, ucapan terimakasih penulis kepada orangtua

penulis, Ayahanda Drs. H. A. Mahfudz Abduh, M.Si, dan Ibunda Hj. Aisyah,

penulis haturkan salam ta‘zim yang tertinggi atas semua do’a dan kesabaran serta

ridhonya hingga akhirnya penulis dapat merampungkan sekolah ini. Untuk adik-

adikku, Fadlullah Al Haqqy, Ahmad Muyassar Al Haqqy, dan Ahmad Rusydi

Niamiy Al Haqqy, semoga Allah memberikan kemudahan disetiap urusannya dan

Allah melimpahkan Rahmat dan Berkahnya kepada keluarga tersayang. Akhirnya,

tulisan ini penulis persembahkan untuk mereka semua keluarga tersayang.

Sebagai hasil karya penelitian, tesis ini dipastikan banyak kekurangan

dan sarat dengan kelemahan dikarenakan kedangkalan penalaran penulis dan

kurangnya informasi dan refrensi. Oleh karena itu, penulis berharap ada

masukan dan kritik yang membangun dan bisa memperbaiki sehingga

penelitian ini dapat diperbaiki dan disempurnakan. Semoga penelitian ini

dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan demi kemajuan bangsa dan

negara.

Jakarta, 9 April 2015

Penulis,

Hifdhotul Munawaroh

Page 5: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

v

ABSTRAK

Penelitian ini menyimpulkan bahwa sejumlah kasus sengketa yang terjadi di

Aceh telah diselesaikan secara adat, bukan secara hukum positif. Penyelesaian

sengketa melalui proses peradilan adat dengan menggunakan paradigma mediasi

antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu bagi

masyarakat Aceh. Adanya sifat kesukarelaan dan partisipasi aktif kedua belah pihak

dan masyarakat dalam proses menyelesaikan sengketa, fungsionaris adat yang

bersifat aktif mencari fakta, hasil akhir yang mementingkan kembalinya

kerseimbangan masyarakat yang rusak akibat pesengketaan, menjadikan

penyelesaian sengketa melalui mediasi dan peradilan adat ini sejalan dengan konsep

Restorative Justice. Sanksi peradilan adat disesuaikan pada pertimbangan

fungsionaris peradilan adat atas berat dan ringannya pelanggaran adat yang terjadi.

Peradilan adat juga menjadi peringatan awal bagi masyarakat yang melanggar kasus

pidana diluar kewenangan peradilan adat. Dari perspektif hukum positif, sebagian

penyelesaian sengketa sesuai dengan hukum dan Undang-Undang yang berlaku di

Indonesia, namun sebagian tidak sesuai dengan hukum dan Undang-Undang yang

berlaku di Indonesia, khususnya pada kasus-kasus yang bukan menjadi kewenangan

peradilan adat. Adapun dari perspektif hukum Islam, penyelesaian sengketa adat

Aceh sebagian sesuai dengan shari>‘at Islam, pada kasus-kasus yang berhubungan

dengan pelanggaran hak-hak adami, hal ini karena diterapkannya sistem al-s}ulh dan

paradigma ta‘zi>r dalam pemberian hukuman bagi pelaku.

Penelitian ini mendukung pernyataan para peneliti sebelumnya, yang

menyatakan bahwa beberapa sengketa pidana dan perdata diselesaikan secara

restoratif, sejalan dengan Chindya Prastiti (2014) pada kasus anak berhadapan

dengan hukum, Mustafa Serdar Ozbek (2011), dan Frida Errikson (2010) pada kasus

perdata dan pidana, mereka menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui

mediasi dan keadilan restoratif menjadi alternatif yang layak dalam sistem hukum

positif karena membangun partisipasi yang aktif antara korban, pelaku, dan

masyarakat. Penelitian ini menolak pendapat Kathleen Dally (2001), dan Russs

Immarigon (1998) bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban, agar

menunjukkan pelaku bertekad menebus kesalahan dengan menjatuhkannya

hukuman, selain itu, keadilan restoratif terlalu banyak memberikan janji-janji

kepada masyarakat.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan empiris normatif historis yang bersifat deskriptif analisis komparatif

dalam penyajian datanya. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan studi pustaka, wawancara, dan observasi sesuai dengan sumber data

yang diperlukan. Adapun sumber data primer diperoleh dari dokumentasi adat,

bahan hukum primer, dan wawancara dengan instansi hukum yang terkait

menangani perkara adat seperti Majelis Adat aceh, Kepolisian serta Fungsionaris

Gampong dan Mukim, sedangkan sumber data sekunder adalah dokumen-dokumen

resmi, buku dan jurnal ilmiah.

Page 6: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

vi

ABSTRACT

This study concludes that some of the disputes case that occurred in Aceh

has been completed by custom, not by positive law. Settlement of dispute through

the custom judicial process by using paradigm of mediation between the parties

gives the positive impact specifically for Aceh society. There are of volunteerism

and active participation of both parties and society in settlement of dispute process,

customs functionaries who are actively searching for facts, the end result is

concerned with the return of the balance of society damaged by disputes, make the

settlement of dispute through mediation process and customary justice is in line

with Restorative Justice concept. Customary sanction adjusted in consideration of

customary judicial functionaries above heavy and light customs violations that

occurred. Customary justice also be an early warning for people who violate the

criminal case beyond the customary justice authority. From the positive law

perspectives, some settlement of disputes in accordance with the law and the law

applicable in Indonesia, but in one side do not accordance, especially in cases that

are not under the authority of customary justice. From islamic law perspective,

settlement of dispute Acehnese customary accordance with Shariat Islam, with the

implementation al-sulh system and ta’zir paradigm in the provision of punishment

for the actors.

This study supports previous researchers statements, stating that some

criminal and civil disputes are resolved in a restorative, in line with Chindya

Prastiti (2014) on the case law dealing with the child, Mustafa Serdar Ozbek

(2011), and Frida Errikson (2010) in civil and criminal cases, they claim that

dispute resolution through mediation and restorative justice to be a viable

alternative in the legal system because of building positive participation active

between the victim, the offender, and the community. The study rejects the opinion

of Kathleen Dally (2001), and Russ Immarigon (1998) that the punishment is

necessary to vindicate the victims, so that shows the offender determined make

amends with a penalty, dropped it in addition, restorative justice gives too many

promises to the community.

This research uses qualitative research method with historicaln ormative

empirical approach which is descriptive of comparative analysis in presentation of

the data. Methods of data collectionin this research useslibrary research, interviews,

and observation accordance with the necessary data sources. The source of primary

data was obtained from the customary documentation, the primary legal materials,

and interviews with relevant legal institutions that handling the customarycases

like the Assembly of Aceh Customary, Constabulary, Gampong Functionaries, and

Mukim. Thesecondarydata sourcesarethe official documents, books, and scholarly

journals.

Page 7: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

vii

الملخصأن كثريا من النزاعات اليت حدثت يف أتشيو مت رفعها إىل : الدراسة إىل بعض النتائج منهاتوصلت ىذه

عن طريق احملكمة العرفية حل ادلنازعات. احملكمة العرفية وإهنائها بالقوانني العرفية بدال عن القانون الوضعيإن ىناك عناصر عديدة تساعد . باآلثار اإلجيابية للمجتمع باستخدام الوساطة بني األطراف ادلتنازعة يأيت

ادلشاركة الفعالة من جانب الطرفني واجملتمع، ومسؤولوا العادات : األطراف ادلتنازعة يف حل ادلنازعات، منهاوالتقاليد الذين يبحثون عن احلقائق، وطبيعة العمل التطوعي، واحلرص على النتيجة النهائية مع عودة التوازن

للمجتمعات اليت تضررت من النزاع، كل ىذه العوامل تساعد على إهناء ادلنازعات عن طريق الوساطة يسعى القضاة أن تكون العقوبات مناسبة جبمال . والعدالة التقليدية ادلتماشية مع مفهوم العدالة التصاحلية

تكون احملكمة العرفية دبثابة اإلنذار ادلبكر لألشخاص الذين . (الثقيلة واخلفيفة العرفية األصلية) انتهاكاتمن وجهة نظر القانون الوضعي، جيب أن يكون حل . يرتكبون اجلرائم خارج نطاق القضاء العريف وسلطتو

النزاعات وفقا للقانون الواجب التطبيق يف إندونيسيا، ولكن معظم ىذه القوانني ال تتفق مع القانون . والقانون الواجب التطبيق يف إندونيسيا، وال سيما يف النزاعات اليت ليست داخلة يف نظام القضاء العريفكما أنو من وجهة نظر الشريعة اإلسالمية، يكون حل ادلنازعات عن طريق القضاء العريف يف أتشيو مع

. يف القضايا ادلتعلقة حبقوق اآلدمي تطبيق مبدأ الصلح والتعزير يتفق مع روح الشريعة اإلسالمية أن :يقولون ، مما يبحث عن ىذه ادلادةما توصل إليو الباحثون السابقون بعض يؤكدىذا البحث

يف حال Chindya Prastiti (2014) :فهذا مثل قولالتصاحلية، ببعض النزاعات اجلنائية وادلدنية حلها Frida Erriksonو، Mustafa Serdar Ozbek(2011)وكذلك القانون، ب الذين يتعاملوناألطفال

ادلنازعات عن طريق الوساطة والعدالة التصاحلية أصبح حل أن مها يقوالنيف القضايا ادلدنية وجمرم، (2010)ىذا . بديال جمدا يف نظام القانون الوضعي كما بناء ادلشاركة النشطة من جانب الضحية واجلاين، واجملتمع

أن :الذان يقوالن Russs Immarigon (1998)، و,Kathleen Dally (2001)البحث يرفض على فكرةالعقاب ضروري للدفاع عن الضحايا، من أجل إظهار اجلاين يتم حتديد أن يكفروا مع اخنفاض جزاء،

. باإلضافة إىل ذلك، توفر العدالة التصاحلية الكثري من الوعود للشعب على أساليب البحث النوعي مع النهج التجرييب ادلعياري التارخيي ادلتصف تستخدم الباحثة

طرق مجع البيانات يف ىذا البحث باستخدام طريقة عرب، . بالوصفي التحليلي ادلقارن يف عرض البياناتفأما مصدر البيانات األولية . ومراجعة األدبيات، وادلقابالت، وادلالحظات وفقا دلصادر البيانات ادلطلوبة

اليت مت احلصول عليها من وثائق احملاكمة العرفية، وادلواد القانونية األولية، وادلقابالت مع ادلؤسسات القانونية ذات الصلة اليت تعاجل مسائل السكان األصليني مثل جمليس العرفية ألتشيو، والشرطة، وادلوظفني يف القرية

وأما مصادر البيانات الثانوية ىي وثائق الرمسية، والكتب واجملالت العلمية. وغريىم

Page 8: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

viii

Page 9: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

ix

Pedoman Transliterasi A. Huruf Arab-Latin

b = ب

t = ت

th = ث

j = ج

h{ = ح

kh = خ

d = د

dh = ذ

r = ر

z = ز

s = س

sh = ش

s} = ص

d{ = ض

t} = ط

z{ = ظ

ع = „

gh = غ

f = ف

q = ق

k = ك

l = ل

m = م

n = ن

h = ه

w = و

y = ي

Short: a = ´ ; i = ; u =

Long: a< = ا ; i> = ي ; ū = و

Diphthong: ay = اي ; aw = او

Huruf (ة ) Ta> marbu>t}ah dalam kata benda atau kata sifat nakirah (indefinite)

dan ma’rifah (definite) dilambangkan dengan hukum (h).

S}ala>h صالة

Al-risa>lah الرسالة

Huruf (ة ) Ta> marbu>t}ah dalam kata benda atau kata sifat berfrasa adjektiva

(tarki>b was}fi) dilambangkan dengan huruf (h)

Al-risa>lah al-bahi>yah الرسالة البهية

Al-mar’ah al-s}a>lih}ah ادلرءة الصاحلة

Page 10: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

x

Huruf ( ة ) Ta> marbu>t}ah dalam kata benda atau kata sifat majemuk (tarki>b

id}a>fi) dilambangkan dengan huruf (t)

Ida>rat al-madrasah ادارة ادلدرسة

Qa>‘at al-ida>rah قاعة االدارة

B. Vokal

= a و = au --ا = a>

= i ي = ay --ي = i>

= u --و =u>

C. Kata Sandang

Al-Qamar القمر

Al-S}ubh الصبح

Wa al-‘as}r والعصر

D. Shaddah Atau Tashdi>d

Ta‘allam تعلم

Al-h}ajj احلج

Nu‘‘ima نعم

E. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang panjangnya berupa harkat dan huruf,

transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harkat dan Huruf Huruf dan Tanda

<a آ

<i ي

<u و

Page 11: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

xi

DAFTAR SINGKATAN

ACAS : Advisory Conciliation and Arbitration Service

ADR : Alternative Dispute Resolution

APS : Alternatif Penyelesaian Sengketa

FKPM : Forum Komunikasi Polisi dan Masyarakat

HAM : Hak Asasi Manusia

JPU : Jaksa Penuntut Umum

Kapolri : Kepala Polisi Republik Indonesia

KDRT : Kekerasan dalam Rumah Tangga

KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

KUHPer : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

KUHAP :Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

KUHAPer : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata

LC : Local Council

MAA : Majelis Adat Aceh

MOU : Memorandum Of Understanding

MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama

NAD : Nanggroe Aceh Darussalam

Perda : Peraturan Daerah

Pergub :Peraturan Gubernur

Perkap : Peraturan Kapolri

Perma :Peraturan Mahkamah Agung

Polmas : Polisi Masyarakat

Polda : Polisi Daerah

PN : Pengadilan Negeri

RUU :Rancangan Undang-Undang

UU : Undang-Undang

UUD :Undang Undang Dasar

UNDP : United Nation Development Programme

SKB : Surat Keputusan Bersama

VOM : Victim Offender Mediation

Page 12: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

xii

Page 13: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

xiii

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................... iii

ABSTRAK .................................................................................................................. v

Pedoman Transliterasi ................................................................................................ ix

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................ xi

DAFTAR ISI ........................................................................................................... xiii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1

B. PERMASALAHAN .................................................................................. 10

C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 11

D. Signifikansi Penelitian ............................................................................... 11

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................................................... 11

F. Metodologi Penelitian ............................................................................... 15

G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 18

BAB II ................................................................................................................... 19

TEORI PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI ADAT DAN

LITIGASI .............................................................................................................. 19

A. Konsep Mediasi Dalam Praktek Hukum Pidana Indonesia ....................... 19

B. Mediasi dan Perdamaian Dalam Hukum Islam ......................................... 33

C. Konsep Litigasi dalam Penyelesaian Sengketa.......................................... 42

D. Teori Hukum Adat di Indonesia ................................................................ 50

BAB III .................................................................................................................. 55

DINAMIKA HUKUM ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

............................................................................................................................... 55

A. Sejarah Hukum Adat Aceh ........................................................................ 55

B. Penegakkan Hukum Adat .......................................................................... 60

C. Peradilan Adat Aceh Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia .......... 81

D. Hambatan dan Kendala Dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan

Adat 84

Page 14: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

xiv

E. Mediasi Oleh Lembaga Adat Aceh dalam menyelesaikan Sengketa ........ 86

BAB IV .................................................................................................................. 91

PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI PERADILAN ADAT YANG

BERSIFAT DENDA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF, DAN HUKUM ISLAM

............................................................................................................................... 91

A. Kasus Perusakan ........................................................................................ 91

B. Kasus Pencurian ...................................................................................... 106

C. Kasus Penganiayaan ................................................................................ 132

D. Kasus Asusila .......................................................................................... 150

BAB V ................................................................................................................. 167

PENYELESAIAN SENGKETA ADAT ACEH MELALUI MEDIASI PADA

KASUS YANG BERSIFAT BUKAN DENDA PERSPEKTIF HUKUM

POSITIF, DAN HUKUM ISLAM ...................................................................... 167

A. Kasus Asusila Perzinaan .......................................................................... 167

B. Kasus Tapal Batas ................................................................................... 179

C. Kasus Laka Lantas ................................................................................... 188

D. Kasus Fitnah ............................................................................................ 196

BAB VI ................................................................................................................ 207

PENUTUP ........................................................................................................... 207

A. Kesimpulan .............................................................................................. 207

B. Saran ........................................................................................................ 208

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 211

GLOSSARIUM ....................................................................................................... 229

INDEKS .................................................................................................................. 237

Page 15: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia termasuk dalam salah satu negara dengan reputasi buruk dalam

penegakan hukum, karena sistem peradilan pidana jauh dari yang diharapkan, serta

proses penyelesaian dan putusannya dinilai meresahkan masyarakat.1

Kasus

pencurian kakao seharga Rp. 2.100 yang mengantarkan Aminah (55 tahun) divonis

PN Purwokerto 1 bulan 15 hari penjara, kasus pencurian buah randu yang

mengantarkan Manisih (40 tahun), Sri Suratmi (19 tahun), Ruswono (14 tahun),

dan Juwono (16 tahun) dihukum 24 hari di PN Batang, atau kasus pencurian sandal

oleh AAL (15 tahun) yang diganjar hakim dengan tindakan mengembalikan ke

orang tua, merupakan putusan hakim dalam kasus-kasus yang banyak dikecam

publik. Polisi dan jaksa seharusnya tidak melanjutkan perkara ke pengadilan jika

dapat diselesaikan melalui alternative penyelesaian yang disepakati kedua belah

pihak. Penyelesaian damai mungkin dilaksanakan karena jika sudah dibawa ke

persidangan, hakim tak mungkin menolak perkara. Meskipun demikian, tugas

hakim bukan semata menegakkan aturan, tetapi juga keadilan. 2

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua proses, yaitu; pertama

proses litigasi didalam pengadilan, kedua proses non litigasi di luar pengadilan.

Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang seringkali

tidak mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah

baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak

responsive, dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa.

Adapun proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat ‚win-

1Salah satu penyebab merosotnya reputasi tersebut adalah karena kinerja aparat

penegak hukum yang kurang baik, dari segi etika atau moral maupun integritas dalam kerja.

Akibatnya, asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan tidak tercapai, sehingga terjadi

penumpukkan perkara diperadilan, dan juga beberapa putusan yang dinilai tidak

mengandung keadilan. (Lihat: Agus Raharjo, ‚Mediasi Sebagai basis dalam penyelesaian

Perkara Pidana‛, Mimbar Hukum, Volume20, (Februari 2008), 91-92

http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/(diakses pada tanggal 15 Februari

2014, pukul 14.30), Lihat Juga : Ahmad Ramzy, ‚Perdamaian dalam hukum Pidana Islam

dan Penerapan Restorative Justice dikaitkan dengan pembaruan hukum pidana di

Indonesia‛, Thesis, Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Juni,

2012 2Muhammad Yasin, dkk, ‚Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif‛, dalam Komisi

Yudisial, ‚Laporan Khusus Satu Tahun Komisi Yudisial Jilid 2, Hakim, dan penerapan

keadilan Restoratif‛,Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan, Vol.VI No. 4 Januari-

Pebruari 2012, 24 Februari, 2012, 13-16,

http://www.komisiyudisial.go.id/files/Buletin/buletin-januari-februari-2012.pdf, diakses

pada 28 januari 2014, Lihat juga: Arbi Anugrah, ‚Mencuri Tiga Buah kakao Nenek Minah

dihukum Tiga Bulan Lima Hari‛, juga Ahmad Toriq, ‚Kasus Pencurian Sandal, Orangtua

diharapkan Dapat membina AAL‛Detik News, Kamis, 05/01/2012 04:06 WIB,

http://news.detik.com/read/2012/01/05/040629/1807006/10/ (diakses pada pada tanggal

24/03/2014 (20:25)

Page 16: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

2

win solution‛, menjamin kerahasian sengketa para pihak, menghindari

keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif,

menyelesaikan masalah secara komperhensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga

hubungan baik. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini umumnya disebut

dengan Alternative Dispute Resolution (ADR),3

atau Alternatif Penyelesaian

Sengketa (APS). Istilah tersebut di temukan dalam undang-undang Nomor 30

Tahun 2009 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa /APS. Undang-

undang tersebut mengukuhkan urgensi lembaga APS sebagai mekanisme

penyelesaian sengketa di Indonesia.4

Urgensi APS telah meruntuhkan paradigma litigasi yang dianggap tidak

mampu lagi memenuhi tuntutan penyelesaian sengketa yang lebih kooperatif,

konfidensial, dengan pola ‚win-win‛. Prosedur litigasi lebih menampilkan suatu

‚game‛ sehingga hasilnya adalah ‚win-lost‛, disamping proses maupun putusannya

terbuka untuk umum. Dampak negatif dari litigasi yang dapat melahirkan

terdistorsinya keadilan menjadi ketidakadilan juga turut mendorong kebutuhan

terhadap suatu alternatif penyelesaian sengketa.5

Salah satu APS yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah

proses mediasi yang berpangkal pada filosofi keadilan restoratif. Penggunaan

mediasi dalam sistem hukum Indonesia selain didasarkan pada kerangka peraturan

perundang-undangan negara, juga dipraktikkan dalam penyelesaian sengketa pada

lingkup masyarakat adat secara non litigasi, karena mediasi dipraktekkan dalam

masyarakat Indonesia jauh sebelum istilah mediasi populer digunakan dalam

lingkungan Ilmu hukum.6

Mediasi membawa dampak positif untuk proses

persidangan serta dapat memberikan peluang bagi pelaku untuk sadar dan

bertanggung jawab serta membebaskan pelaku dari perasaan bersalah mereka,

dengan demikian mediasi dapat menjadi ujung tombak dalam reformasi hukum di

Indonesia karena selaras dan sesuai dengan budaya Indonesia yang mengutamakan

musyawarah dan mufakat antara pihak pelaku dan korban.7

3Rachmadi Utsman: Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, 2013), 5-6 4Saat ini, secara yuridis formal, APS juga telah secara khusus menjadi alternatif

penyelesaian dalam persoalan-persoalan HAM sebagaimana diatur dalam pasal 76 (1)jo.

Pasal 89(4) UU39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. 5R. Benny Rianto, ‚Alternatif penyelesaian Sengketa (APS)‛,

Artikel,http://eprints.undip.ac.id/19278/1/2876-ki-fh-05.pdf, diakses pada 15 Agustus 2014. 6Yance Arizona, ‚Kedudukan Peradilan Adat dalam Hukum Nasional‛, Makalah

disampaikan pada Diskusi tentang Memperkuat Peradilan Adat di Kalimantan Tengah untuk Penguatan Akses terhadap Keadilan, Selasa, 11 Juni 2013. (Diakses pada tanggal 15

Februari 2014, pukul 11.30) 7 Lihat: Ahmad Syaufi, dkk, Penal Mediation as an Alternative for Ther Settlement of

Criminal Case Containing Civil Law AspectIn The Indonesian Criminal Justice System,

Jurnal of Law, Policy, and Globalization, ISSN 2224-3259, Vol. 20-2013, 1, (accessed at

17/3/2014 20.00), Lihat juga: Ainal Mardiyah, Moh. Din, dan Riza Nizarli, Mediasi Penal

sebagai Alternatif Model Keadilan Restoratif Dalam Pengadilan Anak, Jurnal Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Syi’ah Kuala, Volume 1, No. 1, Agustus, 2012,

Page 17: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

3

Terdapat dua pandangan teoritis yang menyebabkan mengapa pihak yang

bersengketa memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui pendekatan konsensus,

yaitu negoisasi dan mediasi. Dua pandangan teoritis kompetitif tersebut adalah:

pertama, pandangan teoritis yang merujuk pada kebudayaan sebagai faktor

dominan. Cara penyelesaian konsensus atau mufakat dapat diterima dan digunakan

oleh masyarakat karena pendekatan itu sesuai dengan cara pandang kehidupan

masyarakat itu sendiri. Masyarakat mewarisi tradisi kebudayaan yang menekankan

nilai penting keharmonisan dan kebersamaan dalam kehidupan. Pandangan teoritis

kedua lebih melihat kekuatan (power) yang dimiliki oleh para pihak yang

bersengketa sebagai faktor dominan. Kekuatan (power) tersebut relatif seimbang,

bukan karena seseorang merasa belas kasihan pada pihak lawannya atau karena

terikat dengan nilai budaya atau nilai spiritual, tetapi karena ia memang

membutuhkan kerjasama dari pihak lawan agar sama-sama mencapai tujuan dan

kepentingan yang diinginkannya. Kemampuan untuk menghentikan, mengganggu,

dan melawan pihak lawannya dalam mencapai tujuan adalah sebuah kekuatan

(power) tersebut. CW Moore berpendapat bahwa jika para pihak sama-sama

memiliki kekuatan yang simetris dan seimbang, mereka cenderung menempuh

perundingan dan dapat berjalan lebih efektif.8

Berdasarkan hasil penelitian Matt Stephens, peneliti Bank Dunia yang

meneliti di NTB, Maluku, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah dan Jawa Timur,

sebanyak 80% sengketa yang ada di masyarakat mampu diselesaikan secara

informal di tingkat komunitasnya, tanpa peran pengadilan sama sekali. Ada

beberapa alasan yang menyebabkan masyarakat lebih memilih penyelesaian

sengketa secara informal. Peradilan non negara lebih dipilih karena mudah diakses,

cepat, murah, dan fleksible. Struktur dan norma yang berlaku bersifat longgar untuk

menyesuaikan dengan perubahan sosial.9 Pembentukan peradilan non negara untuk

menangani kasus-kasus ringan sangat dibutuhkan berdasarkan kepada fakta saat ini

bahwa pengadilan overloaded menangani kasus yang masuk.10

Penumpukan perkara

tidak bisa diabaikan sebab dampaknya mengganggu rasa keadilan masyarakat.11

http://prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/jurnal/2012/Agustus/MEDIASI%20PENAL

%20SEBAGAI%20ALTERNATIF.pdf. 8Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat

(Jakarta: Rajawali Pres, 2011), 40-42 9IHW, ‚Perlukah menghidupkan Kembali Peradilan Adat‛, Jum’at 22 Mei 2009,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22068/perlukah-menghidupkan-kembali-

pengadilan-adat(diakses pada 15 Agustus 2014 pukul 11:15) 10

Pada akhir tahun 2013 survey di Mahkamah Agung membuktikan bahwa dalam

setahun tidak kurang dari 20.000-an perkara yang harus ditangani Mahkamah Agung.

(Lihat: Asep Nursobah, ‚Catatan Akhir Tahun: Tingkatkan Kualitas Informasi Perkara, MA

Lakukan Stock Opname Berkas Perkara‛, Selasa, 07 Januari 2014 08:34,

www.pembaruanperadilan.net/v2/category/manajemen_perkara/, (diakses pada tanggal 18

Februari 2014, pukul 09.22) 11

Misbah Zulfa Elizabeth, Solusi hukum Lewat Peradilan Desa, Suara Merdeka, 25

April 2012, http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2012 /04/25/184452, (diakses

pada tanggal 18 Februari 2014, pukul 08.42)

Page 18: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

4

Keberadaan peradilan adat saat ini berada pada tataran sangat dibutuhkan,

karena terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang ada, dan

masyarakat tradisional di beberapa daerah pada dasarnya masih memiliki tradisi

hukum yang kuat berdasarkan hukum adat.12

Peradilan adat juga membawa

beberapa aspek positif, yaitu; pertama, hakim bertindak aktif mencari fakta,

meminta nasihat kepada orang tua adat dalam masyarakat, putusannya diambil

berdasarkan musyawarah untuk mufakat, sehingga dapat memuaskan masyarakat;

kedua, pelaksanaan sanksi melibatkan para pihak, sehingga menunjukkan adanya

toleransi yang tinggi antar pihak; ketiga, suasana rukun damai antar pihak dapat

dikembalikan, serta integrasi masyarakat dapat dipertahankan.13

Perdamaian dan

keseimbangan merupakan muara akhir dari perdamaian adat, dengan musyawarah

menjadi metode untuk menemukan perdamaian.14

Masih ditegakkannya hukum adat dilingkungan masyarakat Indonesia

dijamin oleh UUD 1945. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945,15

akan tetapi harus

memenuhi persyaratan obyektif, yaitu sesuai dengan perkembangan masyarakat,

sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dalam

undang-undang‛.16

Dalam pasal tersebut terlihat bahwa adanya pengakuan dan

penghormatan terhadap hak–hak kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dalam

12

Tandino Bawor Purbaya, ‚Ketika Negara Tidak Mampu, (Keberadaan Peradilan

Adat dalam Konflik SDA)‛, Makalah disampaikan dalam FGD Pengkajian Hukum Tentang Peluang Peradilan Adat Dalam Menyelesaikan Sengketa Antara Masyarakat Hukum Adat Dengan Pihak Luar; BPHN, 24 Oktober 2013, http://huma.or.id, (diakses pada tanggal 16

februari 2014, pukul 10.02) 13

Rachmadi Utsman: Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung:

PT Citra Aditya Bakti, 2013),195-196. Lihat juga: International Development Law

Organization, ‚Lembaga adat sebagai lembaga Penyelesaian Sengketa‛,

http://www.idlo.int/docNews/213DOC1F.pdf, (diakses pada tanggal 17 Februari 2014,

pukul 11.42) 14

Trisno Raharjo, ‚Mediasi Pidana, Dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat‛, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 17, Juli, 2010, 493, 6,

http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/7%20Trisno%20Rahardjo.pdf, (Diakses

pada tanggal 3 Juni 2014, Pukul 20.45), Lihat juga: World Bank, ‚Menemukan Titik

Keseimbangan Mempertimbangkan Keadilan NonNegara di Indonesia‛, Justice For The Poor, Mei 2009, Bagian III,

http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-

1235115695188/5847179-1242977239903/Full.Report.bh.pdf, (diakses pada 5 Juni 2014,

pukul 19:05, 45) 15

‚Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-

undang‛. 16

Deny Satria, ‚Penerapan Hukum Adat Daya’ Kanayatn Dalam Penyelesaian Kasus

Hukum Pidana Di Kabupaten Landak dana Dasar Pemikiran Upaya Pengaturannya kedalam

Lembaga Daerah‛., Jurnal Mahasiswa s2 Universitas Tanjungpura, A. 21211042, hal. 4http://jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/view/4211, (diakses pada 15 Februari

2014, pukul 11.58)

Page 19: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

5

UUD 1945 yang dapat dimaknai secara filosofis dan yuridis. Secara filosofis,

pengakuan dan penghormatan tersebut merupakan penghargaan dari negara

terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia. Secara yuridis, ketentuan

tersebut memberikan landasan konstitusional bagi arah politik hukum pengakuan

hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat.17

Dalam Politik Hukum Nasional, terdapat Rancangan Undang-Undang

Peradilan adat yang isinya tentang mekanisme penyelesaian sengketa melalui

lembaga adat dan atau peradilan adat, pasal 44 Bab VIII RUU tentang Pengakuan

dan Perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat:

‚(1) Penyelesaian Sengketa Masyarakat Hukum Adat dapat diselesaikan

melalui lembaga adat dan/atau Peradilan Adat.

(2) Lembaga Adat memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa Masyrakat

Hukum Adat.

(3) Peradilan Adat tidak berwenang mengadili tindak pidana berat dan tindak

pidana khusus.

(4) Peradilan Adat dapat dibentuk oleh Lembaga Adat secara berjenjang dari

Kabupaten/Kota sampai dengan tingkat Provinsi.‛18

Adapun di Aceh, pelaksanaan peradilan adat didukung oleh sejumlah

peraturan perundang-undangan, yaitu pertama, Undang-undang Nomor 44 Tahun

1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh; Undang-undang Nomor 11

Tahun 2006 tentang pemerintah Aceh; Qa>nu>n Nomor 4 dan 5 Tahun 2003 tentang

Pemerintah Mukim dan Gampoing dalam provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; dan

Qa>nu>n Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat

Istiadat. Sejumlah Qa>nu>n atau Perda tersebut berkedudukan seperti Peraturan

Pemerintah, karena Aceh telah diberikan kewenangan untuk menjalankan

kehidupan adat istiadat, sebagaimana yang tertulis dalam UU Nomor 44 Tahun

1999.

Kondisi kerukunan hidup aman dan tentram merupakan bagian dari nilai-nilai

keadilan dan kesejahteraan masyarakat adat. Perwujudan nilai-nilai ini amat

tergantung pada fungsi dan peran lembaga-lembaga adat dalam masyarakat Aceh.19

Prosesi dan interaksi kehidupan masyarakat Aceh diperankan oleh komunikasi

timbal balik nilai-nilai fungsi Meunasah dan Mesjid, yaitu sebagai sumber inspirasi

yang hidup dan berkembang dalam kawasan Gampong (desa) dan Mukim (federasi

beberapa gampong). Meunasah sebagai pencerminan pembangunan ‛nilai-nilai

17

Eva Achanie Zulfa, Eksistensi Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Pidana

indonesia, Makalah, file:///D:/cover/lampiran_makalah_dr._eva_achjani,_sh.,mh.pdf (diakses

pada 22 Januari 2015) 18

Naskah RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat,

http://parlemen.net/sites/default/files/dokumen/130413-130413-

Naskah%20RUU%20Pengakuan%20%26%20Perlindungan%20Hak%20Masy%20Hukum%

20Adat%2011Apr13.pdf 19

Badruzzaman Ismail, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel, Kata Pengantar, iii, Majelis Adat Aceh, dan UNDP, Proyek Keadilan

Aceh, 2007-2008. iii

Page 20: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

6

adat‛ dan Mesjid sebagai pencerminan pembangunan ‛nilai-nilai Islami‛.20

Hukum

adat di Aceh tidak membedakan antara kasus perdata dan pidana. Namun ada

beberapa pertimbangan dan prosedur yang perlu diterapkan jika kasus pidana

sedang diselesaikan.21

Adapun badan atau lembaga yang menyelesaikan sengketa

adat di Aceh disebut peradilan gampong (peradilan tingkat desa) dan mukim (federasi beberapa gampong). Pelaksananya adalah fungsionaris hukum adat dan

penyelesaiannya bersifat perdamaian yang dikenal dengan sistem suloh

(perdamaian) atau hukom peujroh (perbaikan).22

Pada sengketa adat yang besifat kepidanaan seperti sengketa adat yang

merugikan orang lain, (pencurian ringan, penganiayaan ringan, perusakan), ataupun

sengketa adat yang merugikan gampong, diberikan sanksi adat yang sesuai. Sanksi

adat tersebut dapat bersifat denda dan bukan denda. Sanksi adat yang bersifat

denda dimusyawarhakan sesuai dengan kerugian yang diderita oleh korban, ataupun

kerugian gampong, karena jenis denda ditentukan oleh berat atau tidaknya

pelanggaran adat yang dilakukan. Adapun sanksi adat yang bersifat bukan denda

dapat berupa permohonan maaf yang berlaku bagi seluruh sengketa, sanksi berupa

teguran dan nasihat, memberikan pekerjaan yang mendidik, serta pengucilan dan

pengasingan darigampong sebagai sanksi terberat.23

Badruzzaman Ismail mengatakan bahwa hukum adat bersifat nonstatuteir

(tidak tertulis), melainkan ingin mencapai kesepakatan bersama berasaskan damai

(equilibrium/keseimbangan), sanksi hukum mengacu kepada harkat dan martabat

keadilan yang seimbang dan sejahtera melalui pintu damai. Dasar hukum

penyelesaikan suatu sengketa didasarkan kepada adat istiadat/kebiasaan dari Tuha

adat setempat berdasarkan musyawarah mufakat. Penggunaan pola perdamaian

dengan teknis bermusyawarah dan mediasi dalam pelaksanaan peradilan adat Aceh

mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan untuk dapat tidaknya

peradilan tersebut diselenggarakan. Kasus serumit apapun memungkinkan untuk

diselesaikan jika para pelaksana peradilan adat menerapkan teknik mediasi dan

negoisasi dengan tepat. Bermusyawarah menjadi proses dimana para pelaksana

20

Badruzzaman Ismail, ‚Pengaruh Faktor budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian

dan Rekonstruksi‛, Disampaikan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute , Darussalam, tanggal

20 September M006, h. 2 21

Dalam Qa>nu>n 09 tahun 2008, tentang pembinaan kehidupan Adat Istiadat, dalam

pasal 13 ayat (1) mengatur ada 18 kasus/perselisihan yang dilimpahkan penyelesaiannya

melalui peradilan adat aceh. (Lihat: Aryos Nivada, “Tawaran Model Sistem Peradilan Adat

Aceh Bersinergis Peradilan Hukum Nasional, Masyarakat Aceh tamiang”,

http://www.acehinstitute.org, (diakses pada tanggal 17 Februari 2014, pukul 12.39) 22

Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 69

23Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang

Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014

Page 21: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

7

peradilan adat membantu para pihak yang bersengketa untuk dapat menyelesaikan

persoalannya yang dapat memuaskan para pihak.24

Dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pada pasal 25

ayat (1) mengatakan bahwa:

‚Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan

tersebut, memuat juga pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili‛ 25

Pasal tersebut memberi isyarat, bahwa hukum tidak tertulis (hukum adat) dapat

digunakan untuk kepentingan pengadilan. Gudangnya hukum adat adalah

masyarakat. Materi hukum adat berada dalam pikiran para tokoh adat, ketika

muncul masalah, pasti disaat diperlukan (penyelesaian) hukumnya muncul satu

asas yang dijadikan pedoman ‚dimana bumi di pijak, disitu langit dijunjung‛, ‚lain

ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya‛26

Perdamaian dalam konsep Islam dikenal dengan istilah Al-s}ulh}27, artinya

memutus suatu persengketaan.28

Tujuannya adalah agar kebencian dari setiap pihak

yang berselisih dapat dihilangkan.29

Didalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat

yang menerangkan tentang s}ulh}, baik dalam konflik komunitas kecil seperti konflik

yang terjadi dalam hubungan suami istri, maupun dalam komunitas besar seperti

konflik yang terjadi antara dua kelompok mukmin yang bertikai. Metode al-s}ulh} dapat dikategorikan salah satu metode penyelesaian perkara di luar pengadilan

24

Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel,

Kata Pengantar, iii, Majelis Adat Aceh, dan UNDP, Proyek Keadilan Aceh, 2007-2008, 22 25

Undang-Undang Nomor 4 Tentang Kekuasaan Kehakiman,

http://www.minerba.esdm.go.id/library/sijh/uu-04-2004.pdf, diakses pada 20 Agustus 2014 26

Maksudnya adalah Ketika berkunjung ke suatu tempat atau daerah, kita harus

menghormati budaya yang ada di tempat itu, dan Lain tempat, maka lain pula kebudayaan

mereka. 27

Sayyid Sa>biq mendefinisikannAl-s}ulh} menghentikan perselisihan,dan menurut

shari>‘at adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu perselisihan antara dua

pihak yang saling bersengketa. Sedangkan Ibnu Mandhur dalam Lisa>n Al-Arabnya diartikan

sebagai antonim dari kata فساد (kerusakan) Adapun Abd al-Qa>dir ‘Awdah mengartikan al-

s}ulh} sebagai suatu akad untuk mengakhiri pertikaian (sengketa) antara dua orang yang

terlibat dalam persengketaan. (Lihat: Sayyid Sa>biq, Fiqh Al Sunnah Juz III (Beirut:Da>r Al Fikr, 1977, h. 305, Lihat juga: Abd al-Qa>dir ‘Awdah, Al-Tashri>’ Al-Jina>‘i Al-Isla>mi, Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-wad}‘, juz 1 (Beirut: Da>r al-ka>tib al ‘azli>), tt, 773-774. Lihat

juga: Ha>mid bin ‘Abdillah, ‚al-s}ulh}‛, Maktabah Maqru’ah, Fiqih Bai’, http://go.gooh.net/alzad/article_88.shtml, (diakses pada tanggal 16 Februari 2014, pukul

20.35), Juga: Ahmad Bin Sulaiman Al’arini, ‚Al-s}ulh} ‘an al-jina>yah al-‘amdiyah ‘ala> al-nafs wama> du>naha>‚, artikel,/Syawwal, 1421 H, h. 3, http://www.shamela.ws, diakses pada

tanggal 17 februari 2014, pukul 22.00) 28

Suharjono, ‚Mediasi dalam Konsep Islam‛, http://www.pa-

pekalongan.go.id/index.php/component/content/article/13-halaman-muka/kabar-

gembira1/196-mediasi-dalam-konsep-islam, (diakses pada tanggal 16 Febrari 2014, pukul

20.17) 29

Sayyid Sa>biq, Fiqh Al-Sunnah Juz III (Beirut:Dar Al Fikr), 1977, h. 305

Page 22: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

8

dengan hasil akhir win-win solution. Hal tersebut karena hasil final dari

penyelesaian itu adalah perdamaian, pengampunan dan kesepakatan kedua belah

pihak,30

karena dalam hukum Islam, salah satu penyebab gugurnya atau hilangnya

hukuman adalah adanya pengampunan dan perdamaian.31

Di Riyad}, konsep perdamaian (al-s}ulh}) sudah lama dipakai oleh qad}i dalam

menyelesaiakan perkara qis}a>s}.32

Begitu juga pada perkara penganiayaan ringan,33

dimana penyelesaian perkara dilakukan dengan jalan damai dengan sanksi pidana

permohonan maaf dan diyat menjadi alternatif penyelesaian perkara tersebut.34

Paradigma ta’zi>r menjadi dasar penerapan sanksi pada penyelesaian sengketa

dengan jalan musyawarah dan damai. Al-Zuhayli> berpendapat bahwa dibalik

hukuman hadd dan ta’zi>r dalam shari>‘at Allah SWT memiliki maksud dan tujuan-

tujuan yang jelas, yaitu: meluruskan, memperbaiki, dan merehabilitasi perilaku

pelaku kejahatan; memberinya efek jera dan rasa takut kepada orang lain agar tidak

melakukan kejahatan yang mengganggu stabilitas keamanan dan kemaslahatan

publik; melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kekacauan dan kerusakan;

membersihkan jiwa yang melakukan penyimpangan dari noda-noda dosa dan

kemaksiatan yang mengontaminasi kejernihan hati dan kesucian jiwa; meneguhkan

hati dan nurani; meningkatkan ketajaman hati dan perasaan kemanusiaan untuk

menjaga dan menghormati hak-hak orang lain, serta menjauhkan dari berbagai

bentuk tindakan yang membahayakan dan merugikan.35

Shari>‘at Islam mengandung banyak prinsip-prinsip yang bisa menghilangkan

kekhawatiran terhadap penerapan shari>‘at Islam pada aspek hukuman, serta

menghapus kesan dan persepsi bahwa bentuk-bentuk hukuman dalam shari>‘at Islam

adalah kejam, keras, bertentangan dengan nilai-nilai prikemanusiaan dan

bertentangan dengan kondisi kehidupan peradaban modern. Diantara prinsip

tersebut adalah rahmat, keadilan, menjunjung tinggi kehormatan manusia,

memelihara kemaslahatan dan kepentingan bersama dan individu, memberikan

30

Ahmad Ramzy, Perdamaian dalam hukum Pidana Islam dan Penerapan restorative

Justice dikaitkan dengan pembaruan hukum pidana di Indonesia, 3 31

Abd al Qa>dir ‘Awdah, Al-Tashri’ Al-Jina>’i Al-Isla>mi>, Muqa>ranan bi al-qa>nu>n al-wad}’, juz 1, 773

32Contohnya adalah, pada tahun 1379 H, seorang laki-laki memfitnah laki-laki lain,

kemudian membunuhnya. Hakim menyelesaiakan permasalahan tersebut dengan damai, dan

ahli waris dari korban meminta diyat berupa 854 ekor kambing dan seekor unta untuk

segera dibayarkan, serta dikeluarkan dari daerah tersebut. Hakimpun mengabulkan

permohonan korban dan menjatuhkan sanksi tersebut kepada pelaku pidana. 33

Contohnya adalah, pada tahun 1414 H. Dua orang laki-laki yang terlibat dalam

pertikaian, mengakibatkan salah satu diantara keduanya terluka dan kehilangan giginya.

Kemudian, hakim mendamaikan keduanya dan memberikan hukuman kepada pelaku 500

real dan saling memberikan maaf diantara keduanya. 34

Ahmad Bin Sulaiman Al’arini, ‚Al-s}ulh} ‘an al-jina>yah al ‘amdi>ah ‘ala> al-nafs

wama> du>naha , artikel hukum,/Syawwal, 1421 H, 18, http://www.shamela.ws, diakses pada

tanggal 17 februari 2014, pukul 22.00) 35

Wahbah Zuhayli>, Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7 (Dimashqa: Da>r Al Fikr Al

‘Ilmi>yah, 1997), 5335

Page 23: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

9

ampunan, dan menghindari hukuman hadd bagi kasus yang dibarengi dengan

shubhat. Sejalan dengan hal ini, Ibn al-Qayyim al-Jauzi>yah (w: 751H) berpendapat

bahwa:

‚Dasar shari>‘at ialah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Shari>‘at

itu semuanya adil, semuanya rahmat, semuanya maslahat, dan semuanya

mengandung hikmah. Setiap perkara yang keluar dari adil kepada curang, dari

rahmat kepada bencana, dari maslahat kepada mafsadat, dari hikmah kepada sia-sia,

maka bukanlah shari>‘at. Shari>‘at itu adalah keadilan Allah diantara hamba-Nya,

rahmat Allah diantara makhluq-Nya dan bayangan Allah dibumi-Nya dan hikmah-

Nya yang menunjukkan kepada-Nya, dan kebenaran Rasul-Nya‛. 36

Dalam khazanah keislaman, adat biasa dinamakan dengan ‘urf37

atau ‘a>dah.

Shari‘at Islam memelihara ‘urf suatu masyarakat dengan syarat tidak menimbulkan

mafsadah dan menghilangkan mas}lahah kehidupan, serta tidak bertentangan dengan

nas}. Perbedaan antara ‘urf dan adat dapat dilihat dari segi kandungan artinya, yaitu:

adat berkonotasi netral, ada adat yang baik, dan ada yang buruk.38

Sedangkan ‘urf

digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan yaitu

diakui, dan diterima oleh orang banyak, maka ‘urf mengandung konotasi

baik.39

Adapun ‘urf yang dapat dijadikan hukum adalah al’urf al-s}ah}i>h} (adat yang

baik), selama tidak bertentangan dengan nash, tidak membawa kepada mafsadah,

dan tidak menghilangkan mashlahat.40

Dengan berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat keterkaitan erat antara

hukum adat di Aceh dengan hukum Islam, dalam hal penyelesaian sengketa, bahwa

proses musyawarah, damai, pendidikan dan maslahat bersama adalah tujuan

36

Ibn al-Qayyim al-Jauzi>yah, I‘la>m al Mu>qi’i>n, Juz 1, Jami>‘ al h}uqu>q muta>hatun li

jami>’ al muslimi>n, Islamics Books, WS, 2010, 426 37

Terdapat dua kali perkataan ‚‘urf‛ dalam al-Qur’an, yaitu Qs. Al a‘ra>f: 199 dan Qs.

Al mursalat: 1, sedangkan perkataan ‚ma’ruf, ma’rufan, ma’rufah‛ 38 kali, Lihat

Muhammad Fuad ‘Abd al-Ba>qi, Al-Mu‘jam Mufahras Li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m,

(Qa>hirah : Da>r al-hadith), 1364 H, h. 458. 38

Abd al-Waha>b al-Khalla>f, (1972) Mas}a>dir al-Tashri‘ al-Isla>mi Fi> Ma> La> Nas} Fi>h )Kuwait : Dar al-Qalam(,cet. 6, 1993, 145, lihat juga: Muhammad Sa>‘id Ramad}a>n al-But}i,

D}awa>bit} al-Mas}lahah Fi> al Shari>at al-Isla>mi>yah(Dimashqa> : al Maktabah al Umawi>yah)

81.Lihat juga:Muhammad Abu Zahrah, Us}ul al Fiqh, (Da>r al fikr al ‘Arab, tt), 273, Lihat

juga: Mohd. Anuar Ramli, ‚Instrumen ‘urf dan Adat Melayu Sebagai Asas Penetapan

Hukum Semasa di Malaysia‛, Article, https://www.academia.edu/249304, (diakses pada

tanggal 16 Februari 2014, pukul 11.25) 39

Hal ini tampak pada penggunaan kata ‘urf pada arti ma’ruf, dalam firman Allah

surat Al a’raf ayat 199. Yang berbunyi:

199. jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta

berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. 40

Abd al Waha>b Khalla>f, Mas}a>dir al-Tashri’ Fi Ma > La> Nas} Fi>hi, (Kwait: Da>r al

Qala>m), 1993, Cet.6, 146, lihat juga: Wahbah Zuhayli>, Us}u>l al-Fiqh Islami>, (Dimashq: Da>r

al-Fikr) Jilid 2, cet. 1, 831

Page 24: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

10

diterapkannya suatu hukuman, dengan demikian penulis ingin membahas sengketa

adat apa saja yang dapat diselesaikan dengan peradilan adat melalui mediasi, dan

sanksi apa yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan, serta bagaimana

implementasi dan kebijakan mediasi dalam hukum adat Aceh kemudian ditinjau

menurut hukum positif dan hukum Islam.

B. PERMASALAHAN

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diidentifikasikan permasalahan

sebagai berikut:

1. Sejauhmana penyelesaian sengketa melalui proses non litigasi

memberikan keuntungan yang banyak bagi masyarakat Indonesia

dibandingkan dengan proses litigasi.

2. Bagaimana mediasi menjadi salah satu Alternatif penyelesaian Sengketa

melalui proses non litigasi dengan jalan perundingan atau cara mufakat

dengan bantuan pihak netral dalam mencari penyelesaian yang dapat

diterima para pihak.

3. Benarkah mediasi dalam Peradilan Adat secara konseptual dan esensinya

telah dipraktikkan dalam masyarakat Indonesia jauh sebelum istilah

mediasi tersebut digunakan dalam lingkungan Ilmu Hukum guna

memperbaiki kerugian pada korban dan suasana rukun damai bagi

masyarakat.

4. Benarkah peradilan adat menjadi pilihan penyelesaian sengketa bagi

masyarakat, dan mampu mengurangi serta membantu masuknya perkara

yang akan diselesaikan lewat pengadilan

5. Bagaimanakah relevansi konsep al-s}ulh}, paradigma ta’zi>r, dan al-‘urf al-

sh}ali>h} sebagai konsep penyelesaian sengketa adat di Aceh.

6. Bagaimanakah implementasi mediasi dalam proses non litigasi dalam hal

keperdataan.

7. Bagaimanakah implementasi dan kebijakan mediasi dalam Peradilan

Adat Aceh menurut Perspektif Hukum positif dan hukum Islam.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan

diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah bagaimanakah kebijakan

dan implementasi mediasi dalam penyelesaian sengketa adat di Aceh baik dalam

kasus-kasus yang bersifat denda maupun bukan denda ditinjau menurut perspektif

hukum positif dan hukum Islam. Rumusan tersebut dapat dirinci menjadi dua

pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimanakah Kebijakan dan Implementasi Mediasi pada penyelesaian

perkara adat Aceh dalam kasus yang melibatkan denda menurut Perspektif

Hukum Positif dan Hukum Islam?

2. Bagaimanakah Kebijakan dan Implementasi Mediasi pada penyelesaian

perkara adat Aceh dalam kasus yang bukan denda menurut Perspektif

Hukum Positif dan Hukum Islam?

Page 25: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

11

3. Pembatasan Masalah

Penelitian ini membahas permasalahan implementasi dan kebijakan mediasi

terhadap pelaku dan korban yang terlibat dalam sengketa adat menurut perspektif

hukum positif dan hukum Islam. Penelitian ini dibatasi pada kasus yang terjadi

pada masyarakat adat Aceh yang penulis dengar dari hasil wawancara dengan

fungsionaris adat, khususnya di daerah Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya,

Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Sabang. Penelitian ini membahas kasus-kasus

yang terjadi selama periode 2011-2014.41

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini secara umum untuk melakukan perlindungan

hukum melalui peradilan adat terhadap masayarakat yang bersengketa dengan

hukum dan putusan hukumnya. Secara rinci, tujuan khusus dari penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana Kebijakan dan Implementasi Mediasi

pada penyelesaian perkara adat Aceh dalam kasus yang melibatkan

denda menurut Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam.

2. Untuk mengetahuibagaimana Kebijakan dan Implementasi Mediasipada

penyelesaian perkara adat Aceh dalam kasus yang bukan denda menurut

Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam.

D. Signifikansi Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memberikan pemahaman tentang konsep mediasi menurut hukum

positif Indonesia dan hukum Islam, serta penerapannya dalam sistem

peradilan di Indonesia, khususnya adalah peradilan adat sehingga

menjadi tambahan pengetahuan dan perbandingan serta memberikan

masukan dan evaluasi, khususnya dalam penyelesaian perkara pidana

ringan baik melalui jalur litigasi dan non litigasi di Indonesia.

2. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan agar dapat menciptakan

unifikasi dibidang hukum pidana dan perdata, untuk menuju kodofikasi

hukum hingga dapat mewujudkan hukum yang sesuai dengan shari>‘at

Islam di Indonesia.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Diantara beberapa studi yang telah dilakukan yang berkaitan dengan studi ini,

antara lain:

Simons Robins, dalam penelitiannya mengatakan bahwa pendekatan

keadilan restoratif mulai diterapkan pada sistem peradilan (Local Council (LC)) di

41

Pada hakikatnya, penyelesaian sengketa melalui hukum adat sudah terjadi dahulu

kala, sejak zaman kerajaan Aceh. Kasus yang penulis dapatkan hanyalah sebagian kecil

kasus yang terjadi di Aceh yang diselesaikan secara adat.

Page 26: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

12

Uganda untuk mengatasi krisis dalam sistem peradilan mereka.42

Yaitu sebuah

alternatif untuk mencoba membangun pada praktek peradilan adat dari bawah ke

atas43

, dan menggunakan sistem restoratif untuk membangun hukum yang berarti

bagi masyarakat, serta mengintegrasikan antara hukum adat dan juga hukum barat,

karena dinilai mekanisme peradilan adat dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan

keadilan restoratif dalam proses hukum.44

Doron Pely, mengatakan bahwa al-s}ulh} dirancang untuk memastikan bahwa

sengketa dalam masyarakat berbasis keluarga diselesaikan ditingkat marga. Proses

yang unik ini berusaha untuk mencapai rekonsiliasi untuk semua generasi masa lalu,

sekarang dan masa depan, dan dengan demikian memberikan solusi praktis untuk

kecenderungan terjadinya sengketa lagi. Proses s}ulh}a adalah semacam

mediasi/arbitrase. Kesamaan mediasi dan arbitrase menunjukkan bahwa ada

kesamaan antara prinsip Islam dan barat dalam mencari jenis rekonsiliasi ketika

perselisihan muncul.45

Don John Otene Omale mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat Nigeria

menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa secara tradisional dengan keadilan

restoratif. Hal ini karena keadilan restoratif dapat mengisi kesenjangan dan

mengambil tanggungjawab secara cepat dalam menyelesaikan sengketa dengan

partisipasi korban dan juga pelaku. Fakta bahwa keadilan restoratif sejalan dengan

ajaran agama-agama besar di Nigeria, seperti ajaran pertobatan, pengakuan,

pengampunan, dan reparasi kejahatan. Sifat fleksibelitas, akses terhadap keadilan

bagi masyarakat miskin, dan penggunaan prosedur sederhana sejalan dengan norma,

dan nilai budaya masyarakat.46

42

Krisis tersebut terlihat pada perkembangan hukum pidana sejak masa kolonial yang

lebih menekankan pada retribusi dan pencegahan kejahatan melalui rehabilitasi dan

hukuman berat. 43

Pengadilan LC telah menjadi tingkat terendah bagi sistem peradilan pidana, dengan

kekuatan hokum pada tiga tingkatan, desa (LCI), paroki(LCII) dan sub-county (LCIII). 44

Salah satu caranya adalah menambahkan elemen restoratif ke sistem formal, dan

memastikan bahwa proses restoratif sudah benar-benar diimplikasikan. Juga komitmen

untuk memastikan bahwa pelayanan masyarakat digunakan sebijak mungkin, dan peradilan

dilatih dalam penggunaannya, alternatif hukuman pun diterapkan di seluruh sistem

peradilan serta penerapan elemen restoratif untuk mengatasi semua kejahatan pidana. (Lihat

Simons Robins, ‚Restorative Approaches to Criminal Justice in Africa: The Case of

Uganda‛, Post war Reconstruction and Development Unit, University of York, UK,

Institute for Security Studies, 2008, http://www.issafrica.org/uploads/m161c4.pdf, diakses

pada 16 Agustus 2014 ) 45

Doron Pely, ‚Resolving Clan Based Disputes Using The Sulha, The Traditional

Dispute Resolution Process of the Middle East‛, Oglala Sioux Tribe v. C&W Enterprises, No. 07-3269, 2008 WL 4093007 (8th Cir. Sept. 5, 2008), http://www.worldmediation.org/education/chapter-7-1.pdf, (accessed 16

thAugust, 2014)

46 Don John Otene Omale, ‚Restorative Justice as an Alternative Dispute Resolution

Models: Opinions of Victims of Crime, and Criminal Justice Professionals in Nigeria‛,

Thesis, Phd. Restorative Justice and Victimologi 2009, De Montfort University, Leicester,

UK,

Page 27: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

13

Frida Erricson, dalam penelitiannya tentang mediasi di Swedia dan Afrika

Selatan menyimpulkan bahwa Swedia dan Afrika Selatan mengambil langkah untuk

mengembangkan dan melibatkan mediasi dalam proses peradilan pidana pada waktu

yang sama, tetapi mereka memilih melakukannya dalam dua cara yang berbeda. Di

Swedia, peraturan pemerintah mewajibkan penyelesaian perkara bagi anak dibawah

umur melalui mediasi oleh lembaga sosial. Proses mediasi dapat mempengaruhi

keputusan hakim dalam memberikan hukuman bagi pelaku. Mediasi hanya

pelengkap proses pidana, prosesnya terpisah dari proses pengadilan. Di Afrika

Selatan mediasi dapat digunakan baik sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan

sebagai bagian dari peradilan pada tahap pra persidangan. Para jaksa dan hakim

telah diberikan kesempatan untuk memberdayakan para pihak dan memberikan

pilihan apa kasus tersebut dilanjutkan atau tidak. Di sana tidak ada aturan tentang

praktek layanan seperti peraturan mediasi di Swedia. Layanan yang ada tidak

bersifat nasional dan praktek layanan dapat berbeda dalam setiap kasus. Afrika

Selatan mengembangkan kebutuhan yang lebih besar untuk mencari alternatif dari

sistem peradilan pidana karena peningkatan besar dalam angka kejahatan mereka

dan kepadatan penduduk yang terus-menerus di penjara akibat kesalahannya.47

Mustafa Serdar Ozbek, menyatakan bahwa setelah disahkannya undang-

undang tentang mediasi penal di Turki,48

mediasi telah menjadi alternatif yang

layak bagi penyelesaian beberapa jenis kejahatan dalam sistem hukum Turki.

Mediasi menjadi kendaraan untuk mencapai suatu keadilan dan solusi hukum yang

lebih baik bagi semua pihak daripada melalui sistem peradilan pidana. Karya

tersebut membahas kerangka hukum mediasi pidana, termasuk dasar dalam

perbandingan hukum, filosofi, prosedur, dan praktek mediasi penal di Turki.

Penelitian ini menemukan bahwa proses mediasi penal bermanfaat bagi semua

pihak dan masyarakat secara keseluruhan.49

Mengenai konsep perdamaian dalam hukum Islam, (al-s}ulh}), Ahmad Ramzi,

mengatakan bahwa pendekatan al-s}ulh} (perdamaian) dalam hukum pidana,

memberikan kesempatan dan kemungkinan bagi korban kejahatan untuk

memperoleh reparasi, rasa aman, memungkinkan masyarakat untuk memahami

https://www.dora.dmu.ac.uk/bitstream/handle/2086/2411/PhD%20Don%20John%20Otene

%20Omale.pdf?sequence=1, (accessed, 16th

august 2014) 47

Frida Errikson,‚Victim-Offender Mediation in Sweden and South Africa‛, Final thesis of Master of Law Exam, Criminal Law, University of Gothernburgh, School of

Bussiness, Economies, and Laws, Thesis For master Of Law, 2009,

https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/19708/1/gupea_2077_19708_1.pdf, (diakses pada 16

Agustus 2014) 48

KUHP Turki yang baru disebut (TürkCeza Kanunu, TCK), UU No 5237, dan

KUHAP (CezaMuhakemesi Kanunu, CMK), UU No 5271, prosedur baru yang disebut

'mediasi' telah diadopsi di Turki pada sistem peradilan pidana, yang memungkinkan

penyelesaian sengketa pidana di luar sistem peradilan pidana. 49

Mustafa Serdar Ozbek, The Principle and Procedure of Penal Mediation in Turkish

Criminal Procedure Law, (Turki: Baskent University),Angkara Law Review,Vol.8 No. 2,

2011

Page 28: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

14

sebab utama terjadinya kejahatan, untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan

mencegah kejahatan.50

I Made Agus Mahendra Iswara, dalam penelitiannya mengatakan bahwa

pendekatan Restoratif sangat diperlukan untuk menciptakan keharmonisan dalam

masyarakat, untuk menciptakan keseimbangan lahir dan batin, yang sesuai dengan

hukum Adat Bali. Dalam masyarakat adat Bali yang berlandaskan nilai-nilai agama

Hindu, nilai-nilai restoratif dapat dipergunakan dalam penyelesaian perkara-perkara

adat. Penerapan model Hybrid Justice System yang merupakan penjabaran dari nilai

Restorative Justice masih sangat berfungsi dengan baik dalam penyelesaian

perkara-perkara umum yang ringan dan tindak pidana Adat Bali.51

Christian B. N. Gade dalam penelitiannya di Afrika Selatan menyatakan

bahwa terdapat persamaan antara paradigma restoratif dengan peradilan tradisional,

keduanya bertujuan untuk rekonsiliasi, pemulihan perdamaian dan harmonisasi.

Konsep tradisional yang dikenal dengan Ubuntu, menyediakan landasan untuk

saling menghormati yang mengarah ke resolusi konflik dan penyembuhan. Ubuntu

juga telah digambarkan sebagai filsafat hidup, yang mewakili kepribadian,

kemanusiaan, dan moralitas. Ubuntu dan keadilan restoratif berfokus pada

mengembalikan ketidakseimbangan yang diciptakan oleh perilaku seseorang dan

membangun perdamaian dalam masyarakat.52

Chindya Prastiti puspa Devi, dalam penelitiannya tentang restorative justice,

berpendapat bahwa kebijakan aparat penegak hukum dalam hal penanganan

masalah kenakalan anak dengan mengedepankan keadilan restoratif telah

membangun partisipasi aktif antara pelaku, korban dan masyarakat dalam

menyelesaikan suatu tindak pidana. Pemberian hukuman ta’zi>r pada tindak pidana

ringan terhadap anak pelaku tindak pidana dengan pengampunan dan pemberian

hukuman minimum mengandung banyak unsur keadilan. Konsep ini sejalan dengan

prinsip-prinsip restorative justice.53

Penelitian ini menolak pendapat Katheleen Dally dalam tulisannya: Restorative Justice: The Real Story, School of Criminology and Criminal

Justiceberpendapat bahwa, hukuman diperlukan untuk membela korban, agar

50

Ahmad Ramzy, ‚Perdamaian dalam Hukum Pidana Islam, dan Penerapan

restprative Justice Dikaitkan dengan Pembaharuan hukum Pidana Islam di Indonesia‛,

Pascasarjana fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Tesis, 2012 51

I Made Agus Mahendra Iswara, ‚Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative

Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali‛, Pascasarjana fakultas Hukum,

Universitas Indonesia, Tesis, 2013, http://lontar.ui.ac.id, (Diakses pada 10 Februari 2014,

pukul 13:20) 52

Christian B.N. Gade, ‚Ubuntu and Restorative Justice: Addressing The Strife and

Divisions of The Past in Post Apartheid South Africa‛, Phd. Thesis, Aarhus University,

january 2013,

http://konfliktloesning.dk/sites/konfliktloesning.dk/files/Christian%20B.%20N.%20Gade.pd

f. (Diakses pada 15 Agustus 2014) 53

Chindya Prastiti Puspa Devi, ‚Restorative justiice pada Hukum Pidana Anak

Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam, Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam

negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

Page 29: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

15

menunjukkan pelaku bertekad menebus kesalahan dengan menjatuhkannya

hukuman. Ia menawarkan definisi hukuman sebagai sesuatu yang tidak

menyenangkan, beban, atau semacam pengenaan dan penderitaan kepada

pelaku.54

Ia menambahkan bahwa keadilan adalah sulit untuk dipahami, dan

keadilan restoratif terlalu banyak memberikan janji-janji kepada masyarakat.55

Adapun Paul H. Robinsonberpendapat serupa dengan pendirian ini dengan

argumen Dally bahwa pendamaian bagi kejahatan tidak bisa hanya dicapai oleh

restorasi saja, tetapi harus disertai dengan penderitaan tambahan bagi pelaku untuk

menunjukkan bahwa pelaku memahami kesalahan yang telah dilakukan, serta

mencapai keadilan korban.56

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dan penelitian

kepustakaan (library research) dengan mengumpulkan data-data di lapangan guna

mendapatkan gambaran yang lebih komperhensive tentang situasi dan keadaan

setempat,serta data teoritis tentang pelaksanaan Hukum Adat melalui mediasi dari

beberapa refrensi hukum.57

Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan

empiris (yuridis sosiologis), pendekatan normatif (yuridis normatif), dan

pendekatan sejarah (historis). Pendekatan empiris (yuridis sosiologis) digunakan

untuk melihat dan menganalisa paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial,

dan paradigma perilaku sosial, agar bisa diterapkan dalam sosiologi hukum di

masyarakat. Dengan melakukan pendekatan secara objektif dan empiris terhadap

kenyataan dan perilaku sosial yang ada, menyimpulkan bahwa suatu kenyataan

54

Katheleen Dally, Restorative Justice: The Real Story, School of Criminology and

Criminal Justice, Griffith University, Brisbane, Queensland, Australia, Version Revised, 12

July 2001, http://www.griffith.edu.au/__data/assets/pdf_file/0011/50321/kdpaper12.pdf,

(accessed 21/03/2014, 23:47), 39-41 Also see: Collen Pawlichka, Punishment or Logical

Consecuences: a Response to the Punishment Debate Within Restorative Justice, ..., 12 55

Diantaranya: memperbaiki ikatan sosial, reparasi pelaku kepada masyarakat,,

korban menerima kompensasi, serta, korban merasa puas dengan proses restoratif ini.

(Lihat: Katheleen Dally, and Russ Immarigeon, The past, present, and future ofrestorative

justice: some critical reflections.The ContemporaryJustice Review, (the copy of Manuscrip

submitted for publications, 1998,

http://www.griffith.edu.au/__data/assets/pdf_file/0006/50694/daly_part1_paper4_past_pres

ent_future_of-_rj.pdf(accssed at 24/03/2014, 15:30) 56

Dena M Gromed and Jhon M Darley, Restoration and Retribution: How Including

Retributive Components Affects the Acceptabilityof Restorative Justice Procedure.... 397-

398. Lihat juga: Paul H Robinson, The Virtues of restorative Procces and The Vices of

Restorative Justice, Penn Law, legal Scholarship Repository,http://scholarship.law.upenn.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1032&context=fac

ulty_scholarship, ( accessed at 22/3/2014 19:14), 377-378 57

J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif, jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya (Jakarta: Grasindo),tt, 8-9

Page 30: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

16

sosial sebenarnya tidak lain adalah sekumpulan dari perilaku-perilaku individu yang

nyata dalam masyarakat tersebut.58

Dengan pendekatan tersebut dapat dilihat

perilaku masyarakat Aceh khususnya,dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi

antar masyarakat.

Adapun pendekatan yuridis-normatif, dalam penelitian ini mengacu kepada

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan

putusan-putusan pengadilan, norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat, dan

norma hukum Islam.

Pendekatan Historis digunakan atas pertimbangan bahwa analisa sejarah

akan dapat melihat secara objektif, tajam dan bening tentang politik hukum pidana

adat dan hukum Islam serta sosio-legal motives-nya dalam hukum adat di indonesia

dalam rentang waktu tertentu.

2. Instrument dan Teknik Pengumpulan Data

Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, penelitian thesis ini

adalah penelitian lapangan lapangan (field research) dan didukung oleh penelitian

kepustakaan (library research).

1). Penelitian Lapangan (field research)

Sebagai suatu penelitian empiris, sumber data primer adalah hasil wawancara

dan dokumentasi adat. Teknik pengumpulan data lapangan yang digunakan oleh

peneliti adalah wawancara dengan menggunakan teknik genealogis59

, yaitu metode

wawancara tanpa rencana tetapi berstruktur untuk mengumpulkan pengalaman

individu (life history method) dari informan. Adapun pihak yang diwawancarai

dalam penelitian ini yaitu:

a. Para pakar hukum adat Aceh, dalam hal ini, dua orang dosen hukum adat

Aceh, sepuluh orang Pemerintah Majelis Adat Aceh (Ketua MAA,

Sekretaris MAA, Penanggungjawab Gampong dan Mukim, Anggota

MAA Pusat dan Kabupaten, dan bag. Perpustakaan MAA)

b. Tokoh masyarakat adat Gampong dan Mukim tujuh belas orang (keuchik,

tuha peuet, tokoh perempuan, sekretaris gampong)

c. Polisi Daerah Banda Aceh dua orang

d. Pihak-pihak yang pernah terlibat dalam proses mekanisme penyelesaian

tindak pidana Adat Aceh, lima belas orang (pelaku, korban, dan tetangga

korban)

58

Munir Fuady, Teori-teori Dalam Sosiologi Hukum(Jakarta: Kencana, Prenada

Media Group) 2011, hal: 10-13 59

Teknik genealogi dapat digunakan untuk membangun hubungan yang lancer antara

peneliti dan informan dalam waktu yang singkat. Metode ini juga dipergunakan untuk

menanyakan mengenai hubungan hak dan kewajiban yang tidak diatur oleh adat istiadat,

antara seorang informan dengan kaum kerabatnya, antara informan dengan informan lain

yang juga dijumpai oleh peneliti, dan antara mereka dengan kaum kerabat mereka masing-

masing. Metode genealogi juga digunakan untuk menanyakan konsepsi-konsepsi yang

abstrak dengan cara mengacu ke hubungan dan peristiwa-pristiwa konkret yang dialami

individu-individu yang namanya muncul dalam istilah, (Lihat: Koentjaraningrat, Sejarah Antropologi II (Jakarta: UI Press, 1990), 144-145

Page 31: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

17

e. Pihak-pihak lain yang memiliki pengetahuan tentang penyelesaian perkara

pidana oleh Lembaga Adat Aceh sepuluh orang (masyarakat yang

memiliki pengetahuan dan mahasiswa fakultas hukum)

Wawancara dilakukan secara formal kepada pihak-pihak yang memiliki

jabatan resmi, seperti wawancara kepada dosen, tokoh masyarakat adat gampong,

ketua MAA Banda Aceh, Kepala Dinas Shari’at Islam, dan lain sebagainya.

Sedangkan wawancara informal dilakukan kepada para pihak-pihak yang pernah

terlibat dalam menyelesaikan sengketa Adat Aceh melalui mekanisme mediasi, agar

terlihat santai, sehingga mereka mau menceritakan kronologi permasalahan dan

penyelesaiannya. Pertanyaan yang diajukan oleh peneliti terhadap satu informan

ditanyakan kembali kepada informan yang lain guna mengetahui validitas dan

akurasi data serta diharapkan menghasilkan pemahaman yang lebih komperhensif.

Wawancara dilakukan dikota Banda Aceh dan beberapa wilayah di provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam. Pemilihan lokasi ini berdasarkan beberapa alasan,

yaitu:

1. Banda Aceh, dipilih karena merupakan ibukota provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam, dimana merupakan sentral kegiatan provinsi NAD, dan

disanalah menjadi tolak ukur penyelesaian sengketa pidana adat.

2. Wilayah lain yang dijadikan rujukan dari pihak-pihak yang pernah terlibat

dalam proses penyelesaian perkara pidana adat.

2). Data Kepustakaan (library research)

Dalam melengkapi data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, peneliti juga

menelaah buku-buku sebagai data penunjang (data sekunder) studi kepustakaan

(peraturan perundang-undangan dan literatur bacaan yang relevan).

Data penelitian dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber

pertama melalui wawancara langsung dari responden yang terpilih dilokasi

penelitian sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

2. Data sekunder60

, yaitu terdiri dari: sumber-sumber yang sudah tersedia,

seperti Peraturan perundang-undangan, Hukum Adat, Yurisprudensi,

KUHP, serta perundang-undangan lain yang terkait; rancangan UU, hasil

penelitian dari kalangan hukum, dan lain sebagainya; kamus, ensiklopedia,

dan lain sebagainya.

3. 3. Metode Analisis Data

Setelah data primer dan data sekunder diperoleh lengkap, selanjutnya

dianalisis dengan peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Kasus

adat yang dianalisa adalah kasus yang didapat dan didengar oleh peneliti di

lapangan saat wawancara berlangsung. Analisis dilakukan secara induktif, yaitu

mencari kebenaran berangkat dari hal-hal yang bersifat khusus ke hal yang bersifat

umum guna memperoleh kesimpulan. Peneliti mencoba menggambarkan dan

60

Nico Ngani, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Yogyakarta: Pustaka

Yustisia), tt, 79

Page 32: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

18

menganalisa data mulai dari tahap pengumpulan, penyusunan data kemudian

dianalisis dan diinterpretasi terhadap data tersebut.

Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis komparatif yaitu

mendeskripsikan, menggambarkan dan membandingkan bagaimana penyelesaian

sengketa adat Aceh, baik yang bersifat denda ataupun yang bersifat bukan denda

menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia dan hukum Islam.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan bagi penelitian/studi ini adalah menggunakan buku Pedoman Akademik yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Penelitian ini terdiri dari Enam Bab, yaitu:

Bab pertama adalah bab pendahuluan yang berisi latar belakang

permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, penelitian

terdahulu yang relevan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab keduamembahas tentang teori penyelesaian sengketa pidana melalui

mediasi, konsep mediasi yang mencakup pengertian dan ruang lingkup mediasi,

prinsip kerja mediasi, model mediasi, mediasi dalam peradilan adat di Papua,

Banjar, dan Bali, serta mediasi di negara Belgia, Jerman, Filipina.Bab ini juga berisi

tentangmediasi dalam hukum Islam, mencakup pengertian, konsep musyawarah,

dan bentuk-bentuknya. Bab ini diuraikan sebagai landasan teoritik penulisan agar

lebih memahami dan mendalami isi dari penulisan tesis.

Bab ketigamembahas tentang hukum adat di Aceh, Kerangka Teori Hukum

Adat Aceh, dan Penegakkan hukum adat Aceh, mencakup, landasan hukum adat

Aceh, lembaga adat, dan mekanisme penyelesaian sengketa Adat. Bab ini diuraikan

untuk memahami secara deskriptif prosedur, prinsip, dan pelaksanaan perkara lewat

adat yang selama ini terjadi.

Bab keempat menguraikan tentang kasus-kasus adat Aceh yang bersifat

denda, dianalisa dan dijelaskan bagaimana kasus tersebut dapat diselesaikan dengan

konsep mediasi menurut hukum positif di Indonesia dan menurut hukum Islam. Bab

ini adalah analisis komparatif penyelesaian perkara adat Aceh yang melibatkan

denda (ini adalah bab inti pertama).

Bab kelima menguraikan tentang kasus-kasus adat Aceh yang bersifat bukan

denda, dianalisa dan dijelaskan bagaimana kasus tersebut dapat diselesaikan dengan

konsep mediasi menurut hukum positif di Indonesia dan menurut hukum Islam. Bab

ini adalah analisis komparatif penyelesaian perkara adat Aceh yang tidak

melibatkan denda (ini adalah bab inti kedua).

Bab keenam berisi kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan dan tujuan

penelitian pada bab-bab sebelumnya, serta saran-saran atau rekomendasi-

rekomendasi terkait dengan judul penelitian.

Page 33: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

19

BAB II

TEORI PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI ADAT DAN

LITIGASI

A. Konsep Mediasi Dalam Praktek Hukum Pidana Indonesia

Pada hakikatnya, manusia berusaha untuk menghindar dari konflik, meskipun

konflik tidak mungkin dihilangkan dari realitas kehidupannya. Penyelesaian

sengketa melalui mediasi memiliki tempat bagi sistem hukum nasional, hukum

adat, dan hukum syari‘at, karena mediasi mampu menjaga nilai-nilai kemanusiaan,

dan menempatkan martabat manusia sebagai makhluk sosial yang bermartabat.

1. Pengertian, Prinsip, dan Model Mediasi

Varda Bondy dan Margaret Doyle mendefinisikan mediasi sebagai proses

negosiasi sukarela yang dipandu oleh seorang mediator terlatih yang bersifat netral,

dan tidak memihak, sehingga memberikan kesempatan kepada pihak atau wakilnya

agar bersama menyetujui penyelesaian sengketa dan pilihan resolusi untuk

menempuh sebuah kesepakatan yang memuaskan.1

Jonathan Dingle and Judith Kelbie mengatakan bahwa mediasi adalah

proses konsensus, yang melibatkan para peserta dalam sengketa, bersama-sama

dengan pengacara, penasihat, atau pendukung (jika ada), mengadakan pertemuan

dengan orang ketiga yang netral. Tujuannya adalah untuk menemukan sebuah

resolusi sengketa atau masalah yang dihadapi oleh para peserta.2

Dalam dunia hukum di Indonesia terdapat praktek mediasi dalam bentuk

bervariasi. Mediasi itu dapat dikategorikan dalam dua model, yaitu mediasi dalam

proses peradilan, dan mediasi dalam proses non litigasi. Mediasi dalam proses

peradilan adalah produk keputusan Majelis Hakim yang menghendaki adanya

perdamaian antara para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan

damai antara kedua belah pihak atas hasil musyawarah. Proses mediasi

sebagaimana termaktub dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 Pasal 13 ayat 3, 4, dan

5 adalah:

(3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja

sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim

sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5) dan (6).

1Varda Bondy and Margaret Doyle, ‚The Public Law Project‛, Nuffield Foundation,

United Kingdom, 2011,

http://www.nuffieldfoundation.org/sites/default/files/files/MJRhandbookFINAL.pdf,

diakses pada tanggal 26 April 2014, pukul 14:53, Lihat Juga: ‚United Nations Guidence for

Effective Mediation‛, United Nation, New York,

http://www.un.org/wcm/webdav/site/undpa/shared/undpa/pdf/UN%20Guidance%20for%20

Effective%20Mediation.pdf, diakses pada 26 April 2014, pukul 13:39, hal. 4, 2The Mediation Hand Book 2013-2014, LSM London School of Mediation, In

association with 218 Strand, Specialist Info and 7 Solicitors LLP, 15,

http://www.rafinauk.com/mediation_handbook.pdf, 14 (diakses pada 26 April 2014, pukul

13.00

Page 34: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

20

(4) Atas dasarkesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat

diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat

puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)

(6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi

dilakukan sejak jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.3

Proses mediasi ini disampaikan kepada majelis hakim apakah perkara ini

diselesaikan secara damai atau dilanjutkan kepada proses pengadilan.

Adapun mediasi diluar pengadilan yaitu atas kehendak para pihak untuk

menyelesaikan sengketa secara damai. Kedua belah pihak kemudian

menandatangani akta perdamaian yang kemudian menjadi bukti penyelesaian

sengketa. Mediasi ini disebut juga dengan mediasi secara non litigasi, yaitu

alternatif penyelesaian sengketa diluar peradilan. Mediasi seperti ini biasanya

dilakukan oleh masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia untuk

menyelesaikan sengketa diantara mereka, baik sengketa perdata maupun sengketa

pidana tertentu yang dikenal dengan mediasi adat atau peradilan adat.

Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Pasal 1 butir

7, mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak

dengan dibantu oleh mediator. Adapun Advisory Conciliation and Arbitration

Service (ACAS), menyebutkan bahwa mediasi adalah proses dimana pihak ketiga

yang bersifat netral, membantu dua orang atau lebih yang terlibat dalam sengketa

untuk berusaha mencapai kesepakatan.4

Dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur

mediasi di pengadilan disebutkan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke

pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian

dengan bantuan mediator. Ketentuan pasal ini menggambarkan bahwa ruang

lingkup sengketa yang dapat di mediasi di peradilan adalah seluruh perkara perdata

yang menjadi kewenangan peradilan umum dan peradilan agama tingkat pertama.5

Adapun mediasi pidana sering disebut dengan berbagai istilah, antara lain:

‚mediation in criminal cases‛ atau mediation in penal matters‛, dan ‚Victim

Offender Mediation‛ karena mediasi mempertemukan antara pelaku tindak pidana

dengan korban.6

Di Indonesia, praktek mediasi terbagi kepada dua cara, yaitu melalui

lembaga peradilan dan diluar peradilan. Mediasi diluar peradilan ditangani oleh

3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008 Tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan,

https://www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/prosedur_ttg_mediasi0001.pdf 4Advisory, Conciliation and Arbitration Service (ACAS), ‚Mediation: An Approach

to Resolving Workplace Issues, Euston, London‛,http://www.acas.org.uk/media/pdf/m/f/Mediation-an-approach-to-resolving-

workplace-issues.pdf, (diakses pada tanggal 26 April 2014, Pukul 12:44) 5 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2003 Tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan, http://hukum.unsrat.ac.id/ma/perma_2_2003.pdf 6 Barda Nawawie Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan

(Semarang:Pustaka Magister, 2010), 1.

Page 35: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

21

mediator perorangan atau lembaga independen, sedangkan mediasi di lembaga

peradilan ditangani oleh hakim atau mediator yang bersertifikat.7Mediasi cepat

berkembang karena lebih efektif, dan lebih memberikan resolusi sengketa.8 Tujuan

dari mediasi adalah untuk menekankan aspek keadilan restoratif. Adapun dasar

yuridis bagi penerapan mediasi di pengadilan maupun di luar pengadilan adalah:

Pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941:144)

(reglement Indonesia yang Diperbaharui)

Pasal 154 R.Bg (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad, 1927: 227)

(Reglement Acara untuk daerah Luar jawa dan madura)

Pasal 31 Rv (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1874:52).

Pasal 377 HIR (Het Herzine Indonesich Reglement Staatsblad, 1972:227)

ketentuan tentang penyelesaian sengketa dengan juru pemisah, upaya

arbitrase.

Masa Kemerdekaan sampai sekarang

Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974

Pasal 65 dan 56 UU No. 7 Tahun 1989.

Pasal 115, 131, 143, dan 144 KHI, serta Pasal 32 PP No. 9 Tahun 1975

UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa

Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2000 Tentang lembaga Penyedia

Jasa Pelayanan Penyelesaian Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.

SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat

Pertama Menerapkan Lembaga Damai

Perma No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Perma No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di pengadilan

Dari seluruh pengertian mediasi tersebut, terdapat beberapa persamaan,

yaitu: pertama mediasi adalah sebuah perundingan yang esensinya sama dengan

proses musyawarah atau konsensus; kedua, peran mediator dalam membantu para

pihak yang bersengketa melalui identifikasi permasalahan, mengembangkan pilihan

dan mempertimbangkan alternatif yang akan ditawarkan kepada para pihak untuk

mencapai kesepakatan; ketiga, mediator hanya memiliki kewenangan untuk

7 Teuku Ahmad Yani, ‚Kegiatan Mediasi Oleh Lembaga-Lembaga Adat Dalam

menyelesaiakan Sengketa‛, Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh, Majalah Jeumala,

Edisi 37, Januari-Juni 2012, 21-22, Lihat juga: The Indonetian Mediation Centre, ‚Two Types of Mediation‛, http://www.pmn.or.id/en/mediation/case-types.pdf, diakses pada 26

April 2014, dan What Is Mediation?,http://www.pmn.or.id/en/mediation.html, (diakses pada

tanggal 26 April 2014). 8

Mediation And Conciliation Project Committee Supreme Court Of India,

‚Mediation Training Manual Of India‛, Delhi,

http://supremecourtofindia.nic.in/MEDIATION%20TRAINING%20MANUAL%20OF%20

INDIA.pdf , 26, Lihat Juga: Luminita Dragne, ‚Brief Conciderations Regarding Mediation

in Criminal Matters, Challengesof the Knowledge Society‛, Mediation,

http://www.justiciarestaurativa.org/www.restorativejustice.org/research/article_search_resu

lts?all_fields=&b_start:int=316.

Page 36: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

22

memberikan saran atau menentukan proses mediasi dalam penyelesaian sengketa,

dan menjaga bagaimana proses mediasi dapat berjalan, sehingga menghasilkan

kesepakatan dari para pihak melalui jalan negoisasi.

Syahrizal Abbas merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang lima

prinsip dasar mediasi, dikenal dengan lima filsafat dasar mediasi,9 yaitu: Prinsip

pertama adalah kerahasiaan atau confidentality. Segala sesuatu yang terjadi dalam

pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak yang bersengketa tidak

boleh disiarkan kepada publik oleh masing-masing pihak. Mediator sebaiknya

menghancurkan seluruh dokumen diakhir sesi mediasi. Mediator juga tidak dapat

dipanggil sebagai saksi di pengadilan dalam kasus yang ia prakarsai

penyelesaiannya melalui mediasi.

Prinsip kedua adalah sukarela atau volunteer. Prinsip sukarela ini diatur

dalam Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang pilihan sukarela bagi

penyelesaian sengketa yang ditempuh melalui pengadilan dan diluar pengadilan.10

Para pihak yang bersengketa datang ke mediasi atas keinginan mereka sendiri

secara sukarela dan tidak ada paksaan ataupun tekanan dari pihak lain atau pihak

luar. Mediator harus mengingatkan para pihak bahwa setiap perjanjian yang mereka

capai harus berasal dari kehendak bebas mereka sendiri11

Prinsip ketiga adalah pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini

didasarkan pada asumsi bahwa orang yang ingin datang ke mediasi sebenarnya

mempunyai kemampuan untuk menegoisasikan masalah mereka sendiri dan dapat

mencapai kesepakatan yang mereka inginkan. Penentuan sendiri adalah prinsip

dasar mediasi yang paling membedakannya dari sistem litigasi. Penyelesaian

sengketa harus muncul dari pemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena

hal itu akan lebih memungkinkan para pihak untuk menerima solusinya.

Prinsip keempat netralitas atau neutrality. Di dalam mediasi, peran

mediator hanya memfasilitasi prosesnya saja, isinya tetap menjadi milik para pihak

yang bersengketa. Mediator hanya berwenang mengontrol proses berjalan atau

tidaknya mediasi, dan tidak bertindak layaknya seorang hakim yang memutuskan

salah atau benarnya salah satu pihak, atau mendukung salah satu pihak.

9 Prinsip tersebut disarikan dari: Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah,

Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 29 dan juga: Eilen Schott, ‚A Guide To The Mediation Process‛, 2,

http://www.scmc.sacro.org.uk/Eileen_Schott_Mediation_Book_chapter_-_an_excerpt.pdf,

diakses pada 27 April 2014, Pukul 21:47 10

Lihat: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999, Tentang

perlindungan Konsumen, Pasal 45 Ayat (2),

http://www.djlpe.esdm.go.id/modules/_website/images/content/11493296471.pdf,

18(diakses pada 27 April 2014) 11

David A. Hoffman, ‚Ten Principles Of Mediation Ethics‛,

http://bostonlawcollaborative.com/blc/72-BLC/version/default/part/Attachment

Data/data/2005-07-mediation-ethics.pdf?branch=main&language=default), (diakses pada 27

April 2014, pukul 16:30, 2).

Page 37: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

23

Prinsip kelima, solusi yang unik atau an unique solution. Bahwasanya

solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal,

tetapi dapat dihasilkan dari proses kreativitas. Hasil mediasi mungkin akan lebih

banyak mengikuti keinginan dari keduabelah pihak, yang terkait erat dengan konsep

pemberdayaan para pihak.12

Menurut Barda Nawawi Arief terdapat tiga prinsip mediasi, yaitu: pertama

penanganan konflik, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal,

konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi; kedua berorientasi pada proses, yaitu

menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan konflik dapat

terpecahkan, dan ketenangan korban dari rasa takut; ketiga, proses informal yang

tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.13

Lawrence Boulle menyebutkan ada empat model mediasi, yaitu: pertama,

Settlement mediation yang dikenal sebagai mediasi kompromi merupakan mediasi

yang tujuan utamanya adalah mendorong terwujudnya kompromi dari tuntutan

kedua belah pihak yang bersengketa. Mediator yang dikehendaki adalah yang

berstatus tinggi sekalipun tidak terlalu ahli dalam proses dan teknik mediasi.14

Kedua, Facilitative mediation atau mediasi yang berbasis kepentingan

(interest-based) dan problem solving, bertujuan untuk menghindarkan para pihak

yang bersengketa dari posisi mereka dan menegoisasikan kebutuhan dan

kepentingan para pihak dari hak legal mereka secara kaku. Mediator harus ahli

dalam proses dan harus menguasi teknik-teknik mediasi, meskipun penguasaan

terhadap materi tentang hal-hal yang dipersengketakan tidak terlalu penting.

Mediator bertanggung jawab atas proses, sementara pihak bertanggung jawab atas

hasilnya.15

Ketiga, transformative mediation atau mediasi terapi dan rekonsiliasi.

Mediasi ini menekankan untuk mencari penyebab yang mendasari munculnya

permasalahan di antara pihak yang bersengketa, dengan pertimbangan untuk

meningkatkan hubungan di antara mereka melalui pengakuan dan pemberdayaan

sebagai dasar dari resolusi dari pertikaian yang ada.Mediasi ini merupakan

12

Puslitbang Hukum dan Peradilan, ‚Mediasi", Badan Litbang Diklat Mahkamah Agung RI, 2007, http://pta-

makassarkota.go.id/peraturan_perundangan/Naskah%20Akademis/Naskah%20Akademis_M

ediasi.pdf 32, diakses pada tanggal 27 April 2014, Pukul 22:32 13

Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan

(Semarang:Pustaka Magister, 2010), 5-7 14

Revy S.M Korah, ‚Mediasi Merupakan Salah Satu Alternatif Penyelesaian Masalah

Dalam Sengketa Perdagangan Internasional‛, Jurnal Hukum UNSRAT,

Vol.XXI/No.3/April-Juni /2013,

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnalhukumunsrat/article/download/1144/922,

diakses pada 7 Mei 2014, Pukul 09:48, Lihat Juga Margaret Drews, The Four Models Of Mediation, http://www.diac.ae/idias/journal/volume3no1/issue1/eng4.pdf, (diakses pada 07

Mei 2014) 15

Nadja Alexander, ‚The Mediation Meta-Model-The Realistis Of Mediation

Practice‛, ADR Bulletin, Volume 12, Number 06, Article 05,

http://epublications.bond.edu.au/adr/vol12/iss6/5, Diakses pada 07 April 2014, 3.

Page 38: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

24

pendekatan yang kurang terstruktur yang berfokus pada proses antar pribadi.

Mediator transformatif bertemu dengan pihak bersama-sama, karena hanya cara itu

mereka dapat saling memberikan pengakuan.16

Keempat, evaluative mediation dikenal sebagai mediasi normative

merupakan model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan

pada hak-hak legal dari para pihak yang bersengketa dalam wilayah yang

diantisipasi oleh pengadilan. Mediator harus seorang yang ahli dan menguasai

bidang-bidang yang dipersengketakan meskipun tidak ahli dalam teknik-teknik

mediasi, memberikan informasi dan saran serta persuasi kepada para pihak yang

bersengketa, dan memberikan prediksi tentang hasil-hasil yang akan didapatkan.

Mediator bertemu paling sering dalam pertemuan terpisah dengan para pihak dan

pengacara pihak yang bersengketa.17

Adapun Barda Nawawie, merujuk pada ‚Explanatory memorandum‛ dari

Rekomendasi Dewan Eropa No. R (99) 19 Tentang ‚Mediation In Penal matters‛,

menyebutkan beberapa model mediasi penal, yaitu:18 pertama model "informal

mediation", dilaksanakan oleh personil peradilan pidana dalam tugas normalnya,

yaitu dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum), tetapi, dapat dilakukan juga oleh

pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi, atau

oleh Hakim. Para pihak diundang untuk melakukan penyelesaian informal dengan

tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan. Jenis intervensi

informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.

Kedua, model "Traditional village or tribal moots". Model ini ada di

beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan atau pedalaman dan

lebih mengedepankan keuntungan bagi masyarakat luas. Masyarakat bertemu

untuk memecahkan konflik kejahatan antara mereka dengan tujuan kemaslahatan

bersama.

Ketiga, Model "victim-offender mediation". Model ini melibatkan berbagai

pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk, dari pejabat

formal atau independen atau gabungan di antara keduanya. Pelaksanaannya dapat

diadakan di setiap tahap proses kebijakan polisi, jaksa dan pemidanaan. Model ini

16

Zena D. Zumeta, J.D, ‚Styles Of Mediation: Facilitative, Evaluative, And

Transformative Mediation‛, This article first appeared in the Newsletter of the National Association for Community Mediation and is reproduced with kind permission of the author and the NAFCM.,http://imimediation.org/mediation-styles, diakses pada 07 Mei 2014, Pukul 10:22.

17Zena D. Zumeta, J.D, ‚Styles Of Mediation: Facilitative, Evaluative, And

Transformative Mediation‛,http://imimediation.org/mediation-styles, diakses pada 07 Mei 2014, Pukul 10:22, Lihat juga: Revy S.M Korah, Mediasi Merupakan Salah Satu Alternatif

Penyelesaian Masalah Dalam Sengketa Perdagangan Internasional,36. 18

Barda Nawawie Arief, Mediasi Penal, Penyelesaian Perkara Diluar pengadilan, 7,

Lihat Juga: Councile Of Europe, ‚Mediation In Penal Patters, Recomendation No R(99)19‛,

Adopted by the Committe Of Ministers Of The Councils Of Europe, 15 September 1999,

and Explanatory Memorandum,

http://www.mediacio.hu/files/EU_dok/CoE_R%2899%2919_mediation.pdf, (diakses pada

07 Mei 2014, Pukul 11:14).

Page 39: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

25

bergerak pada beberapa bentuk, pertama: kesepakatan para pihak untuk

melanjutkan perkara atau menyelesaikan secara damai; kedua, proses dalam bentuk

litigasi hukum, pidana atau diversi; ketiga kesepakatan dalam batasan hukum

pidana konvensional setelah terjadi penghukuman, yaitu kesepakatan untuk

perdamaian atau pemaafan.19

Keempat,‛Reparation negoiation programmes". Model ini digunakan untuk

menaksir atau menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku

tindak pidana kepada korban, yang dilakukan pada saat pemeriksaan di pengadilan.

Model ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya

berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel. Dalam model ini, pelaku tindak

pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk

membayar diyat atau kompensasi.

Kelima, model "Community panels or courts". Model ini merupakan program

untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur

masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi

atau negosiasi.

Keenam, model "Family and community group conferences". Model ini tidak

hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan

warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para

pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan

yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si

pelaku keluar dari persoalan berikutnya.

Proses mediasi dibagi kedalam tiga tahap, tahapan pertama pramediasi,

kedua pelaksanaan mediasi, dan terakhir implementasi hasil mediasi. Pada tahapan

pertama, mediator melakukan beberapa langkah, diantaranya: membangun

kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali, memberikan informasi awal

mediasi, fokus masa depan, mengkoordinasikan pihak yang bersengketa,

mewaspadai perbedaan budaya, menentukan siapa yang hadir, waktu, dan tempat,

menentukan tujuan pertemuan, menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak

untuk bertemu dan membicarakan kesepakatan mereka.20

Pada tahap kedua, tahap pelaksanaan mediasi, pihak-pihak yang bertikai

sudah berhadapan satu sama lain, dan memulai proses mediasi. Dalam tahap ini,

terdapat beberapa langkah penting, antara lain; sambutan pendahuluan mediator,

presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan menjernihkan

19

Ahmad Ubbe, ‚Mediasi Penal dan Peradilan Adat, (Refleksi atas Bentuk

Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat yang Menyelesaikan Perkara Melalui Peradilan

Adat)‛, Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Nasional, oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum Dan Hak Asasi

Manusia, diselenggarakan pada tanggal 20 Juni 2013, di Surabaya,

http://bphn.go.id/data/documents/lampiran_makalah_dr._ahmad_ubbe,_ . sh.,mh..pdf

(Diakses pada 2 Juni, 2014, Pukul 20.30 ). 20

Ronal S. Kraybill, and others, ‚Panduan Mediator Terampil Membangun

Perdamaian‛, dalam Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 37.

Page 40: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

26

permasalahan, berdiskusi dan negoisasi masalah yang disepakati, menciptakan opsi-

opsi, menemukan butir kesepakatan dan merumuskan keputusan, mencatat dan

menuturkan kembali keputusan, dan penutup mediasi.21

Tahapan ketiga adalah tahap implementasi hasil akhir mediasi. Yaitu tahap

dimana para pihak hanyalah menjalankan hasil-hasil kesepakatan, yang telah

mereka tuangkan bersama dalam suatu perjanjian tertulis.Apabila mediasi berjalan

dengan sukses, para pihak menandatangani suatu dokumen yang menguraikan

beberapa persyaratan penyelesaian sengketa. Jika mediasi tidak berhasil pada tahap

pertama, para pihak mungkin setuju untuk menunda mediasi sementara waktu. Jika

mediasi tidak berhasil, maka para pihak secara otomatis memegang semua hak

mereka sebagaimana pada saat mereka masuk kedalam proses mediasi.22

Hak-hak

para pihak sama sekali tidak berkurang atau berpengaruh sedikitpun pada proses

mediasi. Demikian pula diskusi pada saat mediasi tetap bersifat rahasia.

2. Perkembangan Mediasi Dalam Peradilan Adat di Indonesia dan di Berbagai

Negara

Penyelesaian konflik secara damai telah dipraktikkan dalam kehidupan

masyarakat Indonesia sejak dahulu. Di Papua, penyelesaian adat secara damai

disebut dengan ‚Para-Para Adat‛. Peradilan adat di Papua diatur berdasarkan

Peraturan Khusus Propinsi Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat

Papua.23

Peraturan ini adalah pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 21 Tahun

2001 tentang Pemberian Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.24

Pemerintahan adat Papua mengedepankan konsep musyawarah mufakat,

berpegang pada tiga asas pokok yaitu asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan

yang menjadi pedoman dalam mencarikan pemecahan terhadap persoalan adat yang

dihadapi. Pemimpinnya adalah seorang ondoafi 25, dengan Abu Akho

26 sebagai

eksekutor pelaksana putusan adat. Adapun Hakim Adat di Papua biasanya adalah

kepala suku seperti Nati, Ontofro, Yoskondor, Manambri, Menagawan, tetapi bisa

21

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, 44.

22Dalam pasal 13 Ayat (1) dan (2) Perma No. 02 Tahun 2003 disebutkan ‚Jika para

pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses

mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang

bersangkutan atau yang lainnya. Foto kopi dokumen atau catatan mediator wajib

dimusnahkan‛. 23

Pemerintah Provinsi

Papua,http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2008/papua20-2008.pdf. (diakses pada 4

Juni 2014, pukul 20:33). 28

Lihat: Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua. http://prokum.esdm.go.id/uu/2001/uu-21-2001.pdf, (Diakses

pada 4 Juni 2014, Pukul 20:46). 25

Ondoafi merupakan seorang kepala adat, merupakan satu dari lima kerajaan

konfederasi di kawasan Danau Sentani, Papua. 26

Abu Akho adalah jabatan kerajaan yang mengatur urusan rumah tangga. Lihat:

Hokky Saavedra, ‚Tata Pemerintahan Ondoafi‛, http://budaya-indonesia.org/Tata-

Pemerintahan-Ondoafi/. (Diakses pada 4 Juni 2014, Pukul 20:12).

Page 41: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

27

juga ditunjuk salah seorang kepala Keret/Kepala Klan atau kepada marga untuk

menjadi hakim adat.27

Jenis pelanggaran adat yang ditangani oleh pengadilan adat adalah: Tindak

pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perzinahan, penghinaan terhadap

wanita dan kepala adat, penganiayaan, perkelahian, pencurian ringan, membuka

rahasia masyarakat, hamil diluar nikah, dan pembunuhan (dengan pengawalan

pengadilan negeri), dan melarikan seorang perempuan.28

Apabila ada perkara terjadi

di suatu dusun, maka yang menyelesaikan adalah dusun yang lain, hal ini

dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penyimpangan dan ketidakadilan serta

berpihak pada salah satu pihak yang bersengketa dalam pengambilan keputusan.

Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan,

diantaranya: bentuk atau tingkat kesalahan yang dilakukan, pertimbangan si

korban, dan pelaku; pertimbangan atau masukan kepala suku dan tokoh-tokoh

masyarakat setempat, serta aturan adat setempat.29

Di Banjar, salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dan diakui

efektif dalam menyelesaikan pertikaian adalah Adat badamai 30. Adapun yang

menjadi landasan dijalankannya adat badamai adalah Undang-undang Sultan Adam

Pasal 21.31

Jika terjadi konflik atau persengketaan antara warga dan tidak dilakukan

adat badamai diyakini akan merusak tatanan harmoni yang merupakan pelanggaran

terhadap kearifan tradisional. Jika konflik terjadi apalagi yang berkaitan dengan

27

Lidya Suryani Midyawati, ‚Pemenuhan Kewajiban Adat sebagai Pidana Tambahan

Dalam RUU KUHP‛, http://law.uii.ac.id diakses pada 4 juni 2014, pukul 21:30, Lihat juga:

Kornelis Kewa Ama, Hukum Adat mendominasi Hukum Positif di Papua,

http://herukuswanto.dosen.narotama.ac.id/files/2011/05/Hukum-Adat-Mendominasi-

Hukum-Positif.pdf, (Diakses pada 4 juni 2014 pukul 22:00). 28

Sara Ida Magdalena Awi, ‚Para-Para Adat Sebagai Lembaga Peradilan Adat Pada

Masyarakat Hukum Adat Port Numbay Di kota Jayapura‛, Jurnal Hukum,

http://ojs.unud.ac.id. (Diakses pada 04 juni 2014, Pukul 21:10). 29

Fernand Rahardi, ‚Hukum Adat di Papua Eksis di Era Globalisasi‛, Republika online, Selasa, 04 Maret 2014, 05:48 WIB,

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/03/04/n1vu0i-pengamat-hukum-adat-

papua-eksis-di-era-globalisasi, (diakses pada 4 juni 2014, pukul 21:35). 30

Ahmadi Hasan, ‚Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar Dulu, Kini, dan Masa

Mendatang‛, Annual Confrence On Islamic Studies (ACIS) Ke-10, Banjarmasin, 1-4

November 2010, http://dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/11.ahmadihasan.pdf,

(diakses pada 5 Juni 2014, pukul 10:42)Lihat Juga: Trisno Raharjo, ‚Mediasi Pidana, Dalam

Ketentuan Hukum Pidana Adat‛, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 17, Juli, 2010, 497.. 31

‚Tiap kampung kalau ada perbantahan isi kampungnja ija itu tetuha kampungnja

kusuruhkan membitjarakan mupaqatmupaqat lawan jang tuha-tuha kampungnja itu lamun

tiada djuga dapat membitjarakan ikam bawa kepada hakim.‛

Artinya:Tiap-tiap kampung bilamana terjadi sengketa, maka diperintahkan untuk

mendamaikan (mamatut) dengan tetuha kampung, bilamana tidak berhasil barulah dibawa

kepada hakim. (Lihat: Badan Pembinaan Hukum Nasional , ‚Laporan Akhir Kompendium

Hukum Tentang Penyelesaian Perkara pidana dalam Hukum Adat‛, Badan pembinaan

Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Tahun 2013,

http://www.bphn.go.id/data/documents/full.pdf, diakses pada 4 juni 2014, pukul 20:31, 8

Page 42: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

28

peristiwa pidana, maka tokoh-tokoh masyarakat berinsiatif untuk mendamaikan

para pihak yang bersengketa, melalui pertemuan (musyawarah) keluarga,

dilanjutkan acara selamatan, dengan bermaaf-maafan dan terkadang disertai dengan

perjanjian tidak memperpanjang sengketa dan permusuhan. Bahkan diantara kedua

belah pihak diikat dalam sebuah persaudaraan yang lazim disebut sebagai

maangkat dangsanak (dipersaudarakan) atau maangkat kuitan (menjadi orang tua

dan anak angkat).32

Di provinsi Bali dikenal dua jenis desa yakni desa administrarif dan desa

adat (pakraman). Secara normatif, prajuru desa (pengurus desa Pakraman) memiliki

tugas-tugas dalam mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa adat

sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun

2003.33

Pelanggaran adat Bali sebagian besar diatur dalam awig-awig34

desa adat

yang bersangkutan berupa pelanggaran kesusilaan, pelanggaran terhadap harta

benda, pelanggraan terhadap kepentingan pribadi, dan pelanggaran tidak

menjalankan kewajiban atau lalai melaksanakan kewajiban adat.35

Mekanisme mediasi yang dilakukan oleh lembaga adat Bali adalah bentuk

traditional village or tribal moots, Victim Offender Mediation model (VOM) dan

Community Panel of Courts Model. Model tribal moots menyelesaikan suatu

perkara dengan menggunakan nilai-nilai kesukuan atau kedaerahan yang

berlandaskan nilai-nilai agama hindu dan keutuhan cultural, agar hubungan antar

masyarakat yang erat tidak terganggu. Sedangkan model Victim Offender

Mediation, melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator

yang ditunjuk. Dalam pelaksanaan ini dapat dilihat dari model mediasi yang

berjenjang, dimana mediasi antar pihak keluarga, kemudian mediasi oleh banjar,

kemudian mediasi oleh desa pakraman, dan terakhir oleh MDP (majelis Desa

32

Ahmadi Hasan, ‚Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar Dulu, Kini, dan Masa

Mendatang‛, AnnualConfrence On Islamic Studies (ACIS) Ke-10, Banjarmasin, 1-4

November 2010, http://dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/11.ahmadihasan.pdf,

(diakses pada 5 Juni 2014, pukul 10:42, 4). 33

I Made Dedy priyanto, dkk, ‚Peranan Prajuru Desa Dalam Penyelesaian Sengketa

Perebutan Tanah Kuburan (Setra) Studi Kasus Di Desa Pakraman Krobokan dan Desa

Pakraman Padang Sambian: Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal‛, Jurnal Komunikasi Universitas Udayana, 447

http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/31.I%20MADE%20DEDY%20PRIYANT

O_udayana.pdf\, (diakses pada 4 juni 2014, pukul 16:4)1. 34

Lihat: I Ketut Sudantra, ‚Pengaturan penduduk pendatang Dalam Awig-Awig desa

Pakraman‛, Jurnal fakultas Hukum Universitas Udayana, http://ojs.unud.ac.id, (diakses pada

05 Juni 2014, Pukul 20:44). 35

Nyoman Roy Mahendra Putra, ‚Penyelesaian Pelanggaran Adat di Kecamatan

Busung Biu Kabupaten Buleleng Menurut Hukum Adat Bali‛, Tesis, Program Magister

Bidang kenotariatan, Universitas diponegoro, Semarang, 2009.

http://eprints.undip.ac.id/18645/1/NYOMAN_ROY_MAHENDRA_PUTRA.pdf, iakses

pada 5 Juni 2014, Lihat juga: Anne Ahira, ‚Wujud kepercayaan Agama Hindu di Bali‛,

http://www.anneahira.com/kepercayaan-agama-hindu.htm, diakses pada 5 Juni 2014, (Pukul

17:34).

Page 43: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

29

Pakraman).36

Sedangkan dalam Community Panels Court model, prinsip kerja yang

diambil yaitu membelokkan perkara pidana dari penuntutan dan peradilan pada

prosedur masyarakat yang lebih fleksible dan informal.37

Di Maluku khususnya Maluku Tengah terdapat masyarakat hukum adat

yang di sebutdengan negeri38 yang memiliki lembaga adat. Lembaga adat dalam

penyelesaian sengketadikenal dengan nama saniri negeri39 dan saniri raja patih.

40

Tugas utama lembaga ini adalah menyelenggarakan fungsi peradilan dengan

semangat musyawarah untuk mufakat, yang berintikan terciptanya suasana

harmonis, dan keseimbangan antara masyarakat yang bersengketa, masyarakat

dengan alam sekitar, serta membangun kembali relasi sosial. Keputusan hakim

adat adalah final dan mengikat (final and binding), sistem penyelesaian sengketa

pada masyarakat adat sama sekali tidak mengenal lembaga banding berdasarkan

hukum adat. Apabila para pihak tidak puas akan keputusan dan proses penyelesaian

yang ada, maka mereka dapat menempuh jalur pengadilan.41

Mengenai penerapan mediasi pidana di beberapa negara akan dikemukakan

bahan komparasi sebagai berikut:

Di Belgia, Pada tahun 1994 diberlakukan UU tentang mediasi penal (the act

on penal mediation) yang juga disertai dengan pedomannya (the Guideline on Penal

Mediation). Tujuan diadakan mediasi ini adalah untuk memperbaiki kerugian

36

I Putu Gelgel, ‚Peradilan Adat (Agama) Sebagai Resolusi Konflik‛, Bali Post,

Dialog Interaktif, 06 Oktober 2011,

http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=5&id=5790, (diakses

pada 4 Juni 2014, Pukul 21:22).

I Made Agus Mahendra Iswara, ‚Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative

Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali‛, Pascasarjana fakultas Hukum,

Universitas Indonesia, Tesis, 2013, http://lontar.ui.ac.id, Diakses pada 10 Februari 2014,

pukul 13:20, 223-225, Lihat juga: I Putu Gelgel,‛Peradilan Adat (Agama) Sebagai Resolusi

Konflik‛, Bali Post, Dialog Interaktif, 06 Oktober 2011,

http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=5&id=5790, (diakses

pada 4 Juni 2014, Pukul 21:22). 38

Negeri adalah Kesatuan masyarakat hukum adat dalam wilayah pemerintahan di

provinsi Maluku. Negeri dipimpin oleh seorang yang bergelar ‚Latu‛, yaitu Dewan Raja.

(Lihat: JK Matuan Kotta, ‚Negeri Dalam Bingkai Masyarakat Hukum Adat di Maluku‛,

SASI, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Vol. 11 No. 4

Oktober-Desember 2005, http://paparisa.unpatti.ac.id, (diakses pada 5 Juni 2014, pukul

19:28). 39

Badan Musyawarah Adat tingkat negeri yang terdiri dari perutusan setiap soa yang

duduk dalam pemerintahan negeri. 40

Lembaga musyawarah adat negeri terdiri dari staff pemerintahan negeri, para tetua

adat dan tokoh-tokoh masyarakat, (Lihat: Eliza Kissya, ‚Struktur Masyarakat Adat

Haruku‛, http://www.kewang-haruku.org/struktur.html, (diakses pada 5 Juni 2014 pukul

19:32). 41

Sakinah Safarina Putuhena, dkk‚Kewenangan Lembaga Adat dalam Penyelesaian

Sengketa Pada Masyarakat Adat Maluku Tengah‛, Artikel, http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/e357235dc81b0117bc282b2717f29bdb.pdf, (diakses

pada tanggal 05 Juni 2014, Pukul 19:35), 4.

Page 44: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

30

materiel dan moral yang ditimbulkan karena adanya tindak pidana. Adapun

ketentuan hukum acaranya dimasukkan dimasukkan pasal 216 ter Code of Criminal

Procedure (10.02.1994)42

Sementara dalam Undang-Undang perlindungan anak Belgia ‚The Youth

Protection Act Belgia 1965‛, diubah pada tahun 2006, tertuliskan bahwa selama

tahap pemeriksaan jaksa penuntut umum wajib mempertimbangkan untuk

mengusulkan mediasi bagi setiap anak dibawah umur yang telah melakukan tindak

pidana. Selama tahap yurisdiksi, hakim juga dapat mengusulkan mediasi, apabila

korban dapat diidentifikasi dengan jelas.43

Di Srilanka, pada tahun 1988 diundangkan Mediation Boards Act Nomor 72

yang meletakkan pengawasan terhadap para penyedia jasa dibawah komisi khusus

yang ditunjuk oleh presiden, yaitu Komisi Badan Mediasi (Mediation Boards

Commissions). Komisi ini terdiri dari lima orang, tiga diantaranya harus

berpengalaman didunia pengadilan (setingkat Mahkamah Agung atau Pengadilan

Tinggi). Bersamaan dengan itu, diberlakukan juga mediasi sebagai upaya wajib

yang harus ditempuh para pencari keadilan sebelum menempuh jalur pengadilan.

Jika dalam batas waktu 30 hari tidak terselesaikan, pencari keadilan dapat

menyelesaikannya melalui cara peradilan. Adapun kasus yang masuk kedalam

juridiksi Undang-Undang ini adalah kasus perdata, kecuali kasus yang secara tegas

diluar Mediation Boards.44

Di Jerman, mediasi tidak hanya dalam hukum perdata, tetapi dalam bidang

pidana. Mediasi dibedakan kepada dua istilah: pertama, Restitution, dan yang

kedua 'Tater-Opfer-Ausgleich‛ (TOA) atau Offender Victim Arrangement (OVA).

Pada tahun 1990, OVA (Offender-Victim Arrangement dimasukkan ke dalam

hukum pidana anak secara umum (§ 10 I Nr. 7 JGG)45

, dan dinyatakan sebagai ‚a

means of diversion‛ (§ 45 II S. 2 JGG).46

Kemudian, pada Pada bulan Juli 2012,

Badan Legislasi Jerman menerapkan EU Directive-2008/52/EWG ("EU

Directive")47

ke dalam hukum nasional dan mengadopsinya kedalam Undang-

42

Tony Peters, Ivo Aersten, Katrien Lauwaert and Luc Robert, ‚From Comunity

Sanctions To Restorative Justice The Belgian Example‛, Depertement of Criminal Law and

Criminologi, Faculty Of Law, Catholic University of Leuven,

http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No61/No61_17VE_Peters.pdf, (accessed June 06,

2014). 43

Saskia, KUYPERS, Antwerpse Dienst Alternatieve Maatregelen (ADAM),

Antwerp, Belgium, ‚Victim-Offender Mediation In Flanders, Belgium,: An Example of a

Well Developed Good Practice‛, Antwerpse Dienst Alternatieve Maatregelen (ADAM)

service of restorative measures for juvenile delinquents, 5

http://www.unicef.org/tdad/1saskiakuypers.pdf, (accessed June 05, 2014). 44

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2003) 52-53 45

Undang-Undang Peradilan Anak 46

Undang-Undang membahas tentang prasyarat untuk pengalihan perkara oleh jaksa. 47

Instruksi dari Parlemen Eropa dan Dewan 21 Mei 2008 tentang penggunaan

mediasi dalam menyelesaikan sengketa perdata dan pidana. (Lihat: Alternative Dispute

Resolution: Mediation,

Page 45: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

31

Undang untuk Mempromosikan Mediasi dan Metode lain dari penyelesaian

Sengketa diluar peradilan.48

Kasus yang dapat dimediasi selain dari pada pelanggaran ringan, kasus

tersebut harus sesuai dengan tiga kondisi: yaitu, pertama, fakta-fakta dari kasus

tersebut harus diselidiki dengan baik, termasuk pengakuan pertanggung jawaban

dari korban; kedua, pelanggaran kecil; ketiga, hanya pelaku yang mengaku atau

yang tidak memberikan pernyataan sama sekali. Undang-undang mengacu pada tiga

jenis mediasi atau proses terkait: mediasi diluar pengadilan, mediasi atas usulan

oleh pengadilan, dan mediasi dalam proses damai peradilan. Proses mediasi yang

tidak mengikat lebih memungkinkan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan

bagi kedua belah pihak.49

Kongres Filipina berpedoman kepada UU Nomor 9285 atau Alternatif

Penyelesaian Sengketa UU Tahun 2004 (UU ADR), yang antara lain menetapkan

aturan yang mengatur mediasi secara sukarela, baik ad hoc maupun institusional

diluar pengadilan. Untuk mediasi di pengadilan, sesuai dengan pasal VIII, Bagian 5

dari Konstitusi Filipina, memberikan kewenangan kepada pengadilan tertinggi

Filipina untuk menyebarluaskan peraturan menyediakan prosedur yang

disederhanakan dan murah serta menyelesaikan kasus dengan cepat, dengan

menerbitkan AM No 11-1-6 SC-PHILJA.50

Target mediasi adalah kasus perdata

yang baru diajukan dan kasus pidana ringan.51

http://europa.eu/legislation_summaries/justice_freedom_security/judicial_cooperation_in_ci

vil_matters/l33251_en.htm, accssed at June 08 2014) 48

Shearman and Sterling LLP, ‚ The New German Mediation Act- Paving The Way

for Mediation as Established Standard in Dispute Resolution?‛, International Arbitration, http://www.shearman.com/~/media/Files/NewsInsights/Publications/2012/09/The-New-

German-Mediation-Act/Files/View-full-memo-The-New-German-Mediation-

Act/FileAttachment/TheNewGermanMediationAct170912.pdf, (accessed June, 08 2014),

Lihat juga: Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, 32.

49Ute I Hartmann, ‚Victim-Offender Reconciliation With Adult Offenders In

Germany‛, http://www.aic.gov.au/media_library/publications/proceedings/27/hartmann.pdf,

(accessed, June 08, 2014), Lihat juga: Andrea Parosanu, ‚Restorative Justice In Germany,

Final National report Of germany‛, The 3E-Restorative Justice Model In Europe: Greece,

United Kingdom, Bulgaria, Finland, Hungari, Poland, Spain (including Research Also In

Turkey, The Netherlands, Denmark, Germany) Just/2010/JPEN/AG/1534, 2013, http://3e-rj-

model.web.auth.gr/files/national_reports/Germany.pdf, (accessed June 8 ,2014). 50

Ricardo Ma P G Ongkiko, Joan A de Venecia and Jon Edmarc R Castillo,

‚Mediation, in 16 JurisdictionsWorldwide, 2013‛, Getting The Deal Through In

Association With: Association For International Arbitration, London, 61,

http://www.syciplaw.com/Documents/ME2013%20Philippines.pdf, (accesed June, 08 2014,

11:00). 51

Adapun kasus yang berhasil dimediasi adalah sebanyak 111.528 kasus,

(dokumentasi tahun 2001-2010, dari kasus yang dirujuk untuk mediasi sebanyak 191,051

kasus, maka dapat dikatakan 59% kasus berhasil dimediasi dari 10% kasus yang dirujuk

peradilan untuk dimediasi).(Lihat: Eduardo De Los Angles, ‛Perspectives On Court-

Annexed Mediation In The Philipines‛, Confrence Rediscovering Mediation In 21st century,

Page 46: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

32

Penyelesaian sengketa di tingkat desa disebut ‚Katarungang Pambarangay‛.

Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Republic Filipina No. 7160. Dalam setiap

barangay (desa), terdapat Lupong Tagapamayapa52

atau Lupon dan Punong

Barangay53

yang memiliki peran yang sangat besar untuk menjalankan sistem

peradilan di barangay. Proses penyelesaian sengketa adalah: korban mengeluh

secara lisan atau tertulis kepada ketua Lupon dari barangay yang dia tempati,

kemudian ketua lupon memberitahu responden tentang keluhan dan mengatakan

tanggungan pelaku, saksi, dan pelapor untuk berkumpul bersama dan

bermusyawarah untuk mediasi dalam waktu tiga hari. Jika ketua gagal untuk

menengahi sengketa dalam lima belas hari dari pertemuan dengan para pihak, dia

menetapkan tanggal untuk di mediasi ketingkat Pangkat.54 Pangkat mengadakan

tidak lebih dari tiga hari dari konstitusi untuk memediasi keduabelah pihak pada

waktu yang ditetapkan oleh ketua. Hasil musyawarah ditulis, ditandatangani oleh

para pihak, dan dikonfirmasi secara tertulis oleh Lupon Ketua atau Ketua pangkat.

Keputusan ini memiliki kekuatan dari keputusan akhir dari pengadilan setelah

sepuluh hari, kecuali salah satu pihak mau membatalkan keputusan sebelum

keputusan tersebut masuk ke pemerintahan kota atau pengadilan kota.55

Selain dari negara-negara tersebut, mediasi juga berkembang di Austria,

perancis, Polandia, dan Turki.56

Mediasi telah menjadi alternatif yang layak bagi

penyelesaian beberapa jenis kejahatan dalam sistem hukum Turki. Hal ini seperti

yang telah dikemukakan oleh Mustafa Serdar Ozbek, dan Frida Erricson bahwa

melalui mediasi penal dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat Turki dan

Swedia apalagi setelah mediasi dimasukkan kedalam Undang-Undang pada sistem

peradilan pidana, sehingga memungkinkan penyelesaian sengketa pidana di luar

sistem peradilan pidana.57

Kuala Lumpur, 24-25 Februari 2011, 10

http://barcouncil.org.my/conference1/pdf/4.PERSPECTIVESONCOURTANNEXEDMEDI

ATIONINTHEPHILIPPINES.pdf,( accessed June, 08 2014, 12:23). 52

Lembaga yang beranggotakan 30 orang dan berfungsi menyelesaikan ‘minor cases’

yang terjadi di desa (barangay). 53

Barangai Captain atau ketua Barangai. 54

Bagian khusus yang bertanggungjawab untuk mediasi termasuk kedalam anggota

Lupon, terdiri dari tiga orang yang diangkat oleh ketua Lupon. 55

Gill Marvel P. Tabucanon, James A. Wall Jr, Wan Yan, ‚Philipine Commudity

Mediation Katarungang Pambarangay‛, Journal Of Dispute Resolution, Vol. 2008, Issue 2,

Article 8,

http://scholarship.law.missouri.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1556&context=jdr,

(accesed at June, 08 2014, 10:20). 56

Barda Nawawie Arief, Mediasi penal: Penyelesaian Perkara diluar pengadilan

(Semarang: pustaka Magister, 2010), 25-33. 57

Mustafa Serdar Ozbek, The Principle and Procedure of Penal Mediation in Turkish

Criminal Procedure Law, (Turki: Baskent University),Angkara Law Review,Vol.8 No. 2,

2011. Lihat juga: Frida Errikson, ‚Victim-Offender Mediation in Sweden and South

Africa‛, Final thesis of Master of Law Exam, Criminal Law, University of Gothernburgh,

School of Bussiness, Economies, and Laws, Thesis For master Of Law, 2009,

Page 47: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

33

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa praktik mediasi telah

digunakan oleh berbagai Negara di dunia untuk menyelesaikan tindak pidana

melalui proses diluar peradilan pidana formal. Konsep mediasi juga digunakan

dalam menyelesaikan perkara adat di berbagai wilayah di Indonesia. Agar

mendapatkan hasil yang terbaik bagi pihak yang bersengketa, dan masyarakat,

dibutuhkan aparat penegak hukum, khususnya hukum adat.

B. Mediasi dan Perdamaian Dalam Hukum Islam

Dalam bahasa Arab, perdamaian diistilahkan dengan al-s}ulh}}. Secara bahasa,

al-s}ulh}} bermakna menghentikan perselisihan, sedangkan secara shari>‘at bermakna

akad untuk mengakhiri perselisihan antara dua orang yang berselisih.58

Dalam

perdamaian ini para pihak sepakat untuk saling melepaskan sebagian dari

tuntutannya, hal ini dimaksudkan agar persengketaan diantara mereka dapat

berakhir, untuk mengembalikan keharmonisan diantara kedua pihak yang bertikai.59

Al-Qas}a>ni> mengatakan bahwa perselisihan itu tidak akan terjadi kecuali karena

manusia mementingkan perkara keduniawian, hanya mengikuti hawa nafsu, dan

condong kepada kepentingan pribadi, al-s}ulh}} akan menjadi tonggak keadilan yang

akan membawa kepada rasa saling menyayangi antar manusia.60

Setiap pihak yang

bersengketa disebut mus}a>lih, sesuatu yang diperselisihkan disebut mus}a>lah ‘anh,

pengganti suatu yang disengketakan disebut mus}a>lah ‘alaih.61

Al-Zuhayli> mengatakan bahwa al-s}ulh}} itu diperbolehkan atas perkara yang

belum jelas kebenarannya diantara kedua belah pihak. Sedangkan ‘Audah

berpendapat bahwa al-s}ulh} diperbolehkan pada perkara-perkara yang melanggar

hak-hak adami, bukan hak-hak Allah, sehingga s}ulh dapat menjadi penyebab

gugurnya hukuman qis}a>s} dengan adanya maaf dari korban. Adapun menunjuk

https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/19708/1/gupea_2077_19708_1.pdf, (diakses pada 16

Agustus 2014). 58

Lihat definisi yang sama pada refrensi berikut: Ibn al-Mand}u>r, Lisa>n al-‘Arab

(Qa>hirah, Da>r al Ma‘a>rif)tt, 5390 . Lihat juga: Muhammad Ami>n Al Shahi>r ibni ‘A>biri>n,

Radd al-Mukhta>r ‘Ala> Da>r al-Muhkta>r Sharh Tanwi>r al-Abs}a>r, Jilid 8 (Beirut: Da>r Al

Kutub al-‘Ilmi>yah,1994), 405. Lihat Juga: Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6 (Dimashqa: Da>r Al Fikr Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4330) Lihat Juga: Ima>m Abi Qa>sim Abd

al-Kari>m bin Muhammad bin ‘Abd al-Kari>m Al Rafi’iy Al Qazwini> Al Syafi’i> (w: 623 H),

al-‘Azi>z Sharh al-Waji>z (Sharh al-Kabi>r), Jilid 5 (Beirut: Da>r al-kutub al-‘Ilmi>yah, 1997),

84. Lihat Juga: Mans}u>r bin Yu>nus Al-Bahwat Al-Hanbali> (w:1051H), Kasha>f al-Qina>’ ‘an Matn al-Iqna>’, Jilid 3 (Beirut: Da>r Al Kutub Al ‘Ilmi>yah, 1997), 455. Lihat Juga: Abi

Muhammad ‘Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Quda>mah Al-Muqdasi>, al-Mughni ‘Ala> Mukhtas}ar al-Khara>qi>, Jilid 4 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1994), 339. Lihat

juga: H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam

(Jakarta: Sinar Grafika) 2004, 26 59

Abu Ja’fa>r Bin Jari>r Al-T}abari> (W: 310), Tafsi>r Al-T}abari (Jami‘ al Baya>n Fi>

Ta’wi>li al-Qur’a>n), Juz 4 (Beirut: Da>r al-kutub al-‘Ilmiy>ah, 1999), 276 60

Muhammad Jama>luddin Al Qa>simi> (w:1914 M), Tafsi>r Al-Qa>simi>(Maha>sin al-

Ta’wi>l), Jilid 8 (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmi>yah, 1997), 527 61

Sayyid Sa>biq, Fiqh Al-Sunnah, Juz III (Beirut: Da>r Al Fikr, tt, h. 210

Page 48: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

34

seorang hakim untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai bersifat tidak

memaksa.62

Sedangkan dasar hukum dibolehkannya melakukan al-s}ulh}} dalam suatu

kasus tanpa melalui jalur hukum didasarkan pada al Qur’an63

, Hadi>th64

, dan Ijma’65

.

Rukun al-s}ulh}} adalah ijab dan qabul dengan menggunakan lafad} apa saja

yang memiliki makna perdamaian. Al Qur’an mengantisipasi kemungkinan

terjadinya perang antara dua kelompok mukmin. Allah mewajibkan kepada kaum

mukminin yang lain yang bukan dari kalangan kaum yang bertikai untuk

menciptakan perdamain kepada kedua kelompok yang berperang. Jika salah satunya

bertindak melampaui batas dan tidak mau kembali kepada kebenaran, maka kaum

mukminin hendaknya memerangi kelompok yang zalim tersebut hingga mereka

kembali kepada ‚perkara Allah‛.66

Syarat-syarat al-s}ulh}}, pertama, pihak yang mengajak berdamai haruslah

berakal, bukan orang murtad, dan cakap hukum. Kedua, syarat yang berkaitan

dengan mus}a>lah ‘alaih (pengganti sesuatu yang dituntut atau disengketakan).

Syarat pertama harus berupa harta, mutaqawwam (bernilai, halal bagi pihak yang

bersangkutan), hak milik pihak yang dituntut, harus jelas dan pasti.67

Ketiga persoalan yang yang diperselisihkan (al-mus}a>lah ‘anh). Syarat

pertama adalah harus berupa hak adami, bukan hak Allah, walaupun bukan harta

seperti qis}as}, tetapi jika merupakan hak Allah maka tidak ada s}ulh}, demikian dalam

masalah qadz}af karena hukuman bagi pelanggaran qadz}af adalah untuk memberikan

efek jera agar masyarakat tidak menghancurkan kehormatan sesamanya.68

Syarat

selanjutnya mus}a>lah ‘anh harus berupa hak mus}a>lih, dan harus berupa hak tetap dan

62

Wahbah Zuhayli>, Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6 (Dimashqa: Da>r Al-Fikr Al-

‘Ilmi>yah, 1997), 4331 63

Allah berfirman dalam surat Al Hujurat Ayat 9 dan Juga QS Al Nisa> ayat 128.

Lihat: Muhammad bin Yusuf Ali> bin Abi Hayya>n Al-Andalu>si> (w: 745 H), Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t}, Juz 8 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2001), 111, ‘Abdullah bin Muhammad bin

‘Abd al-Rahma>n bin Ishaq A>lu Syaikh, Luba>b al-Tafsi>r Min Ibni Katsi>r, Jilid 2 (Kairo:

Mu’assasah Da>r al-Hila>l, 1994), 302 64

Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim, dan

Ibnu Hibban, dari Amr bin Auf, yang menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda:

‚Perjanjian damai antara orang-orang muslim itu dibolehkan, kecuali perjanjian

damai yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram‛. (Lihat: Ima>m Abi>

Bakar Ahmad ibn alaHusaini bin ‘Ali al-Baihaqi (485 H), Sunan Al-Kubra, Juz 6, h. Nomor

11351, 11352, 11353 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>ah, 2003), 107 65

Ulama sepakat tentang dishari’atkannya, karena al-s}ulh}} termasuk salah satu akad

yang memiliki manfaat sangat besar, tujuannya untuk menghentikan atau memutus

perselisihan/pertengkaran,Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4332. 66

Maksud dari perkara Allah adalah menghentikan permusuhan antara kaum

mukminin dan menerima hukum Allah dalam menyelesaikan apa yang diperselisihkan

(Lihat: Abu Ja’fa>r Bin Jari>r al-T}abari> (W: 310), Tafsi>r al-T}abari (Jami‘ al-Baya>n Fi> Ta’wi>l

al-Qur’a>n), Juz 11 (Beirut: Da>r al-kutub al-‘Ilmiy>ah, 1999), 388-389. Lihat juga: Sayyid

Qut}b, Tafsir Fi> Zhila>li al-Qur’a>n, Jilid 10, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 416 67

Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4343 68

Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Juz III (Beirut:Da>r Al Fikr, tt, h. 211

Page 49: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

35

positif untuk al-mus}a>lih dalam objek al-s}ulh}}. Syarat terakhir adalah yang terkait

dengan ijab dan qabul, yaitu bahwa kabul harus sejalan dengan ijab. Apabila qabul

berbeda dari ijab, maka perdamaian tidak sah.69

1. Konsep Musyawarah dalam S}ulh}u

Imam al-Shafi’i> berkata: Sebenarnya Nabi SAW tidak memerlukan

bermusyawarah dengan para sahabat, akan tetapi beliau menghendaki agar hal itu

diketahui oleh para hakim suatu perkara yang dapat memungkinkan beberapa segi

atau mempersulitnya. Maka ia harus bermusyawarah dan ia tidak boleh

bermusyawarah dengan orang bodoh karena tidak ada artinya bermusyawarah itu

dan tidak pula dengan orang yang pandai lagi tidak jujur, karena bisa-bisa ia

menyesatkan orang yang mengajak musyawarah. Akan tetapi ia harus

bermusyawarah dengan orang yang mempunyai dua unsur, yaitu berilmu dan jujur.70

Penyelesaian perkara melalui musyawarah dengan artian bertemunya

antarapihak yang bersengketa dalam satu majelis, pada dasarnya adalah jalur

terbaik. Keuntungan yang didapatkan kedua pihak yang bersengketa (setidaknya)

adalah penemuan solusi atau jalan keluar yang sama-sama disepakati. Hal ini sangat

efektif meredam segala amarah yang ada dalam benak para pihak (terutama

yangkalah) setelah ditemukannya suatu solusi. Hal tersebut akan lebih sempurna

jikajalur penyelesaian sengketa ini dikontekskan dengan fenomena yang terjadi

didunia modern.71

Qafishes mengatakan bahwa al-s}ulh}} tidak dapat diterapkan pada kejahatan

berat tertentu terbayangkan misalnya, dalam kasus yang melibatkan kejahatan

seperti hira>bah72

, terorisme, yang mencakup pembunuhan. Kasus lain adalah

seorang pria yang memperkosa anggota keluarga dekat. Alasannya adalah bahwa

kejahatan berat yang dilakukan al-s}ulh}} adalah kejahatan terhadap ketertiban umum,

yaitu nilai-nilai fundamental dari masyarakat, bukan masalah pribadi.73

Al S}}ulh dan mediasi secara filosofis merupakan falsafah bangsa Indonesia

hal ini terlihat dalam Pancasila pada sila keempat ‚kerakyatan yang dipimpin oleh

hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan‛. Dapat dipahami bahwa

dalam penyelesaian sengketa berasas pada musyawarah mufakat, nilai musyawarah

mufakat terkonkretkan dalam sejumlah bentuk alternatif penyelesaian sengketa

69

Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4350-4363 70

Imam Abi ‘Abdillah Muhammad Bin Idris al-Shafi’i>, al-Umm, Jilid 11 (Kuala

Lumpur: Victory Agancy), tt 71

Sufriadi, ‚Memberdayakan Peran Badan Arbitrasi Syariah Nasional (Basyarnas)

dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi di Luar Pengadilan‛, 256,

http://fis.uii.ac.id/images/la-riba-vol1-no2-2007-08-sufriadi.pdf, (diakses pada 08 Juni 2014,

pukul 20:22) 72

adalah salah satu bentuk perkara kriminal (jarīmah) yang lebih dahsyat dari

pembunuhan semata. Secara tata bahasa hirabah artinya perang, secara istilah adalah suatu

perbuatan yang dimurkai oleh Allah yaitu melakukan gabungan dari perampasan,

penteroran, pembunuhan dan juga merusak di muka bumi 73

Mu’taz M. Qafishes, Restorative Justice in the Islamic Penal Law: a Contribution

to the Global System, International Journal of Criminal Justice Sciences, Vol. 7, Issue 1

January-June, 2012, ISSN: 0973-5089, Hebrone University, Palestine.

Page 50: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

36

seperti mediasi, arbitrase, negosiasi, fasilitasi dan berbagai bentuk penyelesaian

sengeketa lainnya.74

Adapun proses penyelesaian sengketa pada masa Rasulullah

melalui mediasi dan s}ulh} dapat ditemukan pada peristiwa peletakan Hajar Aswad

dan Perjanjian Hudaibiyah.75

Dari tindakan Nabi Muhammad dalam kedua

peristiwa itu, khususnya perjanjian Hudaibiyah dapat dipetik beberapa prinsip

mediasi, antara lain, sikap negoisasi, sikap kompromi, take and give, memosisikan

sama antara para pihak, dan menghargai kesepakatan. Disinilah nabi Muhammad

menunjukkan kelembutan dan kearifannya sebagai seorang pemimpin.

2. Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Al-s}ulh}}

Al-Zuh}ayli> menjelaskan bahwa al-S}ulh} ditinjau dari berbagai subjeknya

dibagi menjadi empat bagian berikut ini:76

1. Perdamaian antara suami istri dalam sengketa rumah tangga.

2. Perdamaian antara umat Islam dengan ahl al harb (orang-orang kafir yang

memerangi umat Islam). Yaitu dengan akad perdamaian dan rasa aman.77

3. Perdamaian antara pihak yang berkuasa (pemerintah) dengan pemberontak

dalam suatu negara, biasanya berakhir dengan adanya konsesi hak dan

kewajiban antara kedua pihak.78

4. Perdamaian antara dua orang atau kelompok yang bersengketa dalam

persoalan bukan harta, yaitu dalam tindak pidana qis}as} (pembunuhan).79

5. Perdamaian antara para pihak yang terlibat dalam persengketaan harta benda.80

Adapun pembagian s}ulh} yang berkaitan dengan harta adalah:

a). S}ulh} al -iqra>r (Perdamaian yang disertai Pengakuan)

Yaitu apabila seorang tergugat mengakui dan membenarkan kesalahan atau

gugatan dari penggugat. Perdamaian ini dibagi menjadi dua, pertama yaitu s}ulh}

74

Tim IT Peradilan Agama Rantau Prapat, Kamis, 29 September 2011 08:41,

http://www.pa-rantauprapat.net/index.php/2013-06-14-01-22-11/ket-62, (diakses pada 08

Juni 2014) 75

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 165-170

76Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4332

77Seperti perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan Rasulullah SAW dan pengikutnya

dengan kafir Quraisy pada tahun ke-6 Hijriyah. 78

Dasar dalam perdamaian ini adalah surat Al Hujura>t ayat 9:contoh perdamaian ini

adalah perdamaian yang dilakukan oleh Abu Bakar setelah memerangi kelompok

pemberontak yang menolak zakat. (Lihat: Muhammad Jama>luddin al-Qa>simi> (w:1914 M),

Tafsi>r al-Qa>simi> (Maha>sinu-l-Ta’wi>l), Jilid 8 (Beirut: Da>r al Kutub al-‘Ilmi>yah, 1997), 528 79

Hal ini berdasarkan atas firman Allah surat Al Baqarah ayat 178: (Lihat: Abd al

Qa>di>r ‘Awdah, al-Tashri’ al-Jina>i> Al-Islami> Muqa>ranan Bi al-Qa>nu>n al-wad}’i>, (Beirut: Da>r

Al-Kutub Al-‘Azli>), tt, 167. Lihat Juga: Muhammad Fakhr al-Ra>zi> Fakhr al-di>n Ibn

‘Alla>mah D}iya>’ al-Di>n ‘Umar, Tafsi>r Fakhr al-Ra>zi, Jilid 3 (Beirut: Da>r al Fikr, 2005),1022.

6. Lihat Juga: Muhammad Rashi>d Rid}a (w: 1935), Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Kari>m al-Mashu>r bi Tasfi>r Al-mana>r, Juz 2 (Beirut: Da>r al-Kutub Al-‘Ilmi>yah, 1999), 103.)

80Lihat juga: S}afwat ‘Aud} Kablu, Qad}a>u al-s}ulh}} Fi> Inha>i al-Khus}u>ma>t Fi> al-Shari>’a>t

al-Isla>mi>yah wa al-Qa>nu>n al-Wad}’i>, 1995, http://www.bahrainlaw.net/post171.html,

(diakses pada 29 Agustus 2014)

Page 51: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

37

yang terjadi sesuai jenis hak (disebut juga s}ulh}u al hat}i>t}ah). Kedua, yaitu s}ulh} yang

terjadi pada selain jenisnya (disebut juga s}ulh} al mu'a>wadlah).81

b). S}ulh} al-inka>r (Perdamaian yang disertai Pengingkaran atau penyangkalan pihak

tergugat)

Yaitu bahwa seseorang menggugat orang lain tentang sesuatu materi, utang

atau manfaat, dan tergugat menolak gugatan atau mengingkari apa yang digugatkan

kepadanya, kemudian mereka berdamai. Menurut madzhab Maliki, Hanafi, dan

Hanbali, perdamaian dalam kasus ini boleh dilakukan dengan syarat apa yang

dituduhkan itu jelas kebenarannya, dan pihak tergugat diyakini bahwasanya dia

tidak memiliki hak untuk itu. Hal ini berdasarkan atas firman Allah SWT dalam

Surat An Nisa’ ayat 128.82

Adapun Ulama mazhab Shafi’i>, menyatakan bahwa

dalam persengketaan yang gugatannya diingkari oleh tergugat tidak boleh

dilakukan perdamaian, kecuali tuduhan penggugat itu benar, dan pihak tergugat

mengakui kesalahannya serta bersedia mengembalikan hak penggugat guna

mengakhiri persengketaan. Alasan mereka adalah jika kasus seperti itu boleh

diselesaikan dengan perdamaian, maka setiap orang dapat mengklaim hak orang

lain. Menurut mereka, hal seperti ini akan bermuara kepada menghalalkan yang

haram atau mengharamkan yang halal.83

c) S}ulh} al-suku>t (Perdamaian yang disertai sikap diamnya tergugat)

Pihak tergugat hanya merespon gugatan tersebut dengan sikap diam, tidak

mengakui, tidak menyangkal, dan tidak pula mengingkari gugatan tersebut.84

Perdamaian dalam kasus seperti ini diperbolehkan, kecuali ulama madzhab syafi’i

berpendapat bahwa orang yang diam secara de jure hukumnya dianggap sama

dengan orang yang ingkar, oleh karena itu, ia disikapi dengan sikap terhadap orang

yang ingkar.85

3. Perkembangan al-s}ulh}} sebagai konsep penyelesaian sengketa

Al-s}ulh}} tidak meninggalkan efek buruk pada hati pihak yang bersengketa,

dapat mencapai keadilan dan mengurangi beban pengadilan serta dapat

81

Contohnya seseorang mengakui suatu hutang atau barang, kemudian melakukan

shulh dengan mengambil ganti yang berbeda jenisnya, baik uang, barang, manfaat, atau jasa.

(Lihat: : Ima>m Al Nawa>wi>y, Raud}atu al-T}a>libi>n Wa ‘Umdatu al-Mufti>n< Jilid 4,193-196.

Lihat Juga: Abi H}asan ‘Ali> Bin Muhammad Bin H}abi>b Al-Mawardi> al-Bas}ri>, al-Ha>wi> al-Kabi>r Fi Fiqh Madhab al-Ima>m al-Shafi>’i wa Huwa Sharh Mukhtas}ar al-Muz}ni>, Jilid 6

(Beirut: Da>r al Kutub Al-‘Ilmi>yah, 1999) 367) 82

Yaitu firman Allah ( Ayat tersebut menyatakan keumuman, yaitu segala .(والصلح خري

bentuk al-s}ulh}} itu dibolehkan, kecuali apa yang dikhususkan oleh dalil. Hanafiyyah

menambahkan bahwa perdamaian dibutuhkan untuk memutuskan sengketa danm

permusuhan. (Lihat: Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4334) 83

Ima>m Abi Qa>sim Abd al-Kari>m Bin Muhammad Bin ‘Abd al Kari>m al-Rafi’iy al-

Qazwini>y Al-Shafi’i > (w: 623 H), Al ‘Azi>z Syarh al-Waji>z (Sharh al Kabi>r), Jilid 5, 90. Lihat

Juga: Wahbah Zuhayli>, Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4334-4336. 84

Sayyid Sa>biq, Fiqh Al-Sunnah Juz III (Beirut:Da>r Al Fikr, tt), h. 213 85

Wahbah Zuhayli>, Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4335

Page 52: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

38

mewujudkan perdamaian sosial.86

Di Yordania, ketetapan mediasi (al-s}ulh}} disebut

juga al-wasa>t}ah) diatur dalam Qa>nu>n Nomor 37 Tahun 2003, tentang proses

mediasi di pengadilan. Proses ini tidak boleh lebih dari tiga bulan, terhitung dari

haripertama penyelesaian disesuaikan melalui mediasi. Mediator pada tingkat

pertama, diambil dari hakim dan pengacara dan para professional yang menguasai

bidangnya, karena mereka dikenal dengan integritasnya dan sifat netralitas yang

tidak berpihak kepada salah satu pihak, dan berlaku bagi mereka syarat dan

ketentuannya. Mediator harus dapat mengambil tindakan yang tepatuntuk

membawa mereka mencapai solusi damaidalam sengketa, mediator mungkin

mengungkapkan pendapatnya, mengevaluasi dan mengajukan prosedur lain yang

memudahkan mediasi.87

Di Uni Emirat Arab, al-s}ulh}} digunakan untuk menyelesaikan perkara perdata

(al-ah}wa>l al-shakhshi>yah). Pemerintah mendirikan komite mediasi untuk

menyelesaiakan masalah keluarga, dengan mengambil para sarjana dan petugas

professional khusus yang ahli untuk berdialog, mendengarkan aktif para pihak yang

bersengketa, membangun kepercayaan mereka, sehingga dapat proses rekonsiliasi

dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini bertujuan untuk

memperkenalkan budaya perdamaian dalam menyelesaikan sengketa. Untuk

mendukung itu, pemerintah mengeluarkan qa>nu>n Nomor 28 tahun 2005 ayat 16

mengatakan bahwa pengadilan tidak menerimakasuskeluarga sebelum diselesaikan

oleh komite mediasi.88

Tah ‘A>bidi>n Tah mengatakan bahwa keuntungan dari penerapan al-s}ulh}}

adalah: pertama, kebersihan dan keselamatan hati, al-s}ulh}} adalah obat bagi mereka

yang bersengketa agar terhindar dari sifat dengki, benci, dendam, dan seluruh sifat

yang akan mengotorkan hati; kedua, akan timbul rasa cinta dan sayang kepada

sesama, pemberian maaf adalah bukti dari rasa cinta seseorang kepada orang lain,

pelaku yang mendapatkan maaf akan memberikan rasa terimakasih dan kesyukuran

kepada korban atas kelembutan hatinya untuk memberikan maaf; ketiga, mendidik

seseorang untuk melaksanakan perkara yang dicintai oleh Allah, rasa saling

memaafkan, memberikan keadilan, saling mencintai, dan menciptakan kerukunan;

keempat menghilangkan hasutan syetan, untuk maslahat bersama; dan sebagai jalan

mendapatkan balasan dan pahala dari Allah.89

86

‘Ali> al G}amidi>y, ‚al-s}ulh}} wa Atharuhu Fi> Inha>i al-Khus}u>mah‛, 28/01/2012,

http://www.s3t3.com/vb/archive/index.php/t-17483.html, diakses pada 29 Agustus 2014 87

Qa>nun al-Wasa>t}ah Li H}illi al-Niza>’a>t al-Madani>ah al-Urdu>ni>, http://www.alu-

1944.org/Default_ar.aspx?ID=90, (diakses pada 29 Agustus 2014) 88

Ima>rah Abu D}abi, Da>ira>t al-Qad}a>, ‚Ahammiyatu al-s}ulh}} fi> hilli al-niza>’a>t al-usari>ah

Fi> Daulah al-‘Ima>ra>t al-‘Arabi>yah‛,

http://www.adjd.gov.ae/portal/site/adjd/ArtcileAwareness257/;jsessionid=rBrrTr1Dh6G91y

FjZWQQpz2rNtfzDMR0dW5HFf4LqnGZnTrTHX3Y!-463269135!NONE, (diakses pada

29 Agustus 2014) 89

T}aha ‘A>bidi>n T}aha, ‚Al-s}ulh}} Fi> D}aui al-Qur’a>n al-Kari>m‛,

http://uqu.edu.sa/files2/tiny_mce/plugins/filemanager/files/4290464/K036003.PDF, (diakses

pada 29 Agustus 2014)

Page 53: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

39

Diantara hal-hal yang membatalkan kesepakatan s}ulh} adalah:

1. Al Iqa>lah.90

Seandainya salah satu pihak yang mengadakan kesepakatan al-s}ulh}}

selain hak qis}as{ menyetujui keinginan yang lainnya untuk membatalkan akad

s}ulh}, maka kesepakatan al-s}ulh}} menjadi batal. Adapun kesepakatan al-s}ulh}}

berupa qis}as}, maka kesepakatan tersebut murni mengandung arti al-isqa>t} (pengguguran) terhadap hak pihak wali korban pembunuhan di dalam meminta

pemenuhan qis}as} terhadap si pelaku pembunuhan.

2. Pihak yang melakukan kesepakatan s}ulh} yang murtad bergabung ke negri kafir

harbi atau ia meninggal dalam keadaan murtad.

3. Dikembalikan karena cacat atau atas dasar khiyar ru’yah.

4. Salah satu pihak yang melakukan kesepakatan s}ulh} meninggal dunia dengan

mus}a>lah ‘alaihi berupa kemanfaatan sebelum batas waktu pemanfaatan yang

ada habis.91

Dalam hukum Islam, hukuman sebenarnya bukanlah menjadi tujuan yang

diinginkan. Hukuman bukanlah sarana yang pertama dan utama dalam melakukan

perbaikan dan pelurusan terhadap individu dan masyarakat, serta dalam

menciptakan perubahan mendasar dan fundamental dalam kehidupan manusia dan

masyarakat. Hukuman adalah sarana, langkah, dan solusi paling terakhir setelah

semua cara dan solusi yang lain telah gagal dan tidak mampu mengatasi

permasalahan yang ada, sebagaimana al qur’an meletakkan hukuman atau

penggunaan kekuatan pada urutan paling akhir dalam daftar bentuk pendekatan

hukum dalam Islam, mengenai hal ini Allah berfirman dalam surat al Hadi>d ayat

2592 93

. Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan secara berurutan penurunan al

Kitab, perintah berlaku adil, dan penuruna (penciptaan besi). Hal ini untuk memberi

syarat bahwa al Kitab melambangkan kekuatan hukum perundang-undangan

(legislatif), keadilan melambangkan kekuatan pengadilan (yudikatif), dan terakhir

90

Pembatalan akad oleh salah satu pihak dan disetujui oleh pihak lain. 91

Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, 4336

92

25. Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti

yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya

manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat

kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan

besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya

Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.

Page 54: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

40

yaitu penciptaan besi melambangkan kekuatan pelaksanaan dan pemberlakuan

(eksekutif) hukum perundang-undangan.94

Maksud dan tujuan dari hukuman menurut pandangan shari’at dan hukum

positif adalah meluruskan, memperbaiki, dan merehabilitasi pelaku kejahatan, oleh

sebab itu, tidak ada alasan untuk menyakiti, dan merendahkan seorang terpidana

atau membebaninya dengan suatu pekerjaan yang berat di dalam penjara, selama

hal itu tidak menjadi sebuah tuntutan dalam usaha memperbaiki dan meluruskan

pelaku si terpidana. Apabila ingin mencapai pada tujuan hukuman, maka harus ada

pemberitahuan dan penjelasan yang cukup untuk memunculkan keyakinan dan

kesadaran akan kebenaran suatu prinsip atau keyakinan dan kesadaran untuk

melaksanakan hukum dan aturan serta patuh dan tunduk kepada shari’at. Suatu

pemberian hukuman dianggap sangat buruk dan sama sekali tidak bisa diterima jika

tidak didahului dengan penjelasan, pemberitahuan, dan peringatan sebelumnya,

sebagaimana pahala dan ganjaran tidak diberikan sebelum adanya pentaklifan yang

berlandaskan atas asas terpenuhinya sifat-sifat al-ahli>yah (kelayakan, kepantasan,

kapabilitas) berupa akal yang cukup dan kebalighan (kedewasaan) fisik,

pemublikasian perintah dan larangan, penjelasan tentang alasan-alasan dan hikmah

yang terkandung dalam hukum agama.

Adapun ‘Awdah mendefinisikan hukuman yaitu:

95 ىي اجلزاء ادلقرر دلصلحة اجلما عة على عصيا ن أمر الشارعةالعقو ب‚‛

‚Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara

kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan

syara.‛

Tujuan pemidanaan dalam Islam bukan hanya sebagai retribution

(pembalasan) semata, tetapi memiliki tujuan mulia lainnya sebagai deterrence

(pencegahan) dan reformation (perbaikan), serta mengandung tujuan pendidikan

(al-tahdzi>b) bagi masyarakat. Tujuan pemidanaan tersebut merupakan satu

kesatuan utuh dalam penerapan hukum pidana Islam untuk mewujudkan

kemaslahatan manusia.96

Tujuan pemidanaan tersebut terlihat jelas pada paradigma ta’zi>r. Sifat

deterrence terkandung dalam aturan ta’zi>r berasal dari aturan hukumnya yang

sangat lengkap, mulai dari aturan hukuman yang paling ringan berupa teguran dan

nasehat kepada pelaku pemula dalam tindak pidana ringan, sampai kepada bentuk

hukuman terberat berupa hukuman mati kepada pelaku tindak pidana (bukan

94

Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r Al Fikr

Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4850 95

Abd al-Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri’ al-Jina>i al-Islami> Muqa>ranan Bi al-Qa>nu>n al-wad}’i, Juz 1, (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Azliy), tt, 609

96Muhammad Tahmid Nur, ‚Maslahat dalam Hukum Pidana Islam‛, Jurnal Diskursus

Islam, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2013, 293, http://www.uin-alauddin.ac.id/download-

Jurnal%20Diskursus%20Islam%20Vol%201%20No%202%20Agustus%202013.125-

150.pdf, (diakses pada tangga 22 Juni 2014).

Page 55: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

41

eksekusi mati) yang sifatnya kambuhan.97

Sedangkan sifat fleksibilitas aturan ta’zi>r

menjadikah hukum pidana Islam dapat mengisi setiap ruang dan zaman secara

sempurna, karena permasalahan pidana apapun yang luput dari aturan hudud dan

qis}a>s} dapat ditangani secara maksimal dengan aturan ta’zi>r.98

Menurut bahasa ta’zi>r berarti pendidikan, pengagungan dan pembelaan. Hal

ini sesuai dengan firman Allah Surat Al fath ayat 9.99

Adapun menurut syara’ ta’zi>r

adalah hukuman yang dijatuhkan karena melakukan kejahatan yang tidak punya

konsekwensi hudud ataupun kafarat.100

Dengan kata lain adalah sanksi yang

ditetapkan pemerintah (al-ha>kim)101

terhadap kejahatan (al-jina>yah) atau maksiat

yang hukumannya tidak dijelaskan langsung oleh shariat atau telah dijelaskan

namun syarat-syarat pelaksanaannya tidak terpenuhi.102

Apabila ditinjau dari pendekatan defenisi, ta’zi>r lebih dekat pada

pengertiannya sebagai hukuman yang bersifat mencegah dan memperbaiki, dari

pada sebagai hukuman pembalasan. Sebagai hukuman yang mendidik masyarakat,

ta’zi>r merupakan usaha untuk melahirkan masyarakat yang sadar hukum sejak dini

melalui upaya pencegahan dan perbaikan. Pada hakikatnya, hukum Islam juga

menganut beberapa alternatif hukuman, diantaranya praktek-praktek kompensasi,

konsiliasi, dan pengampunan, pertobatan, mengambil keuntungan dari keraguan,

menjaga privasi, syafaat, jaminan, dan kafarat. Alternatif tersebut dapat

diaplikasikan dan berjalan bersamaan dengan hukuman ta’zi>r.103

Mohammed Abu Nimer merumuskan 12 Prinsip penyelesaian sengketa yang

dibangun al Qur’an dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad. Prinsip-prinsip

tersebut adalah: perwujudan keadilan, pemberdayaan sosial, universalitas dan

martabat kemanusiaan, prinsip kesamaan (equality), melindungi kehidupan

manusia, perwujudan damai, pengetahuan tentang kekuatan logika, kreatif dan

inovatif, salingmemaafkan, tindakan nyata, pelibatan melalui tanggungjawab

individu, sikap sabar, tindakan bersama (collaborative) dan solidaritas, inklusif dan

proses partisipatif, plurarisme dan keagamaan.104

97

Abd al-Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri’ al-Jina>i al-Islami> Muqa>ranan Bi al-Qa>nu>n al-wad}’i, Jilid 2 (Beirut: Da>r Al Kutub Al ‘Azliy), tt,630

98Muhammad Tahmid Nur, ‚Maslahat dalam Hukum Pidana Islam‛, Jurnal Diskursus

Islam, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2013, 300. 99

‚Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan membela agama-

Nya‛ 100

Ah}mad Fat}i al-Bah}nasi>, al-Ta’zi>r Fi> al-Isla>m, (Mesir: Muassasah al Khali>j al-

‘arabi, 1988), 9 101

Al-h}a>kim adalah pemerintah yang menerapkan hukum-hukum Islam, menegakkan

nilai-nilainya, dan berkomitmen dengan ajaran-ajarannya 102

Sayyid Sa>biq, Fiqh Al-Sunnah, Juz II (Beirut:Da>r Al-Fikr, tt), 376 103

Mu’taz M. Qafishes, Restorative Justice in the Islamic Penal Law: a Contribution

to the Global System, International Journal of Criminal Justice Sciences, Vol. 7, Issue 1

January-June, 2012, ISSN: 0973-5089, Hebrone University, Palestine. 104

Mohammed Abu Nimer, ‚A Framework For Nonviolence And Peacebuilding In

Islam‛, Journal Of Law And Religion, Vol. 15, No. 1/2 (2000 - 2001), pp. 217-265,

http://humanrights.utah.edu/AbuNimer_JLR_2001.pdf, accessed 08/06/2014, Lihat Juga:

Page 56: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

42

Dari pemaparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat

kesamaan antara konsep penyelesaian sengketa melalui mediasi, dan konsep

perdamaian (al-s}ulh}}) dalam hukum Islam, keduanya berorientasi pada perdamaian,

keadilan, dan kesejahteraan bersama. Proses musyawarah mufakat dan sukarela

menjadi alat dalam penentuan kebijakan, serta tujuan pemberian hukuman untuk

pendidikan, dan pembelajaran yang berlandaskan shari’at Islam juga menjadi

pertimbangan pengambilan sebuah kebijakan.

C. Konsep Litigasi dalam Penyelesaian Sengketa

Dalam sejarahnya penyelesaian sengketa pada umumnya dilakukan melalui

lembaga litigasi. Badan peradilan diberikan wewenang dan memegang otoritas

mengadili suatu sengketa. Peradilan menjadi the first and the last resort dalam

penyelesaian sengketa, seolah-olah manusia terpedaya, hanya badan peradilan yang

dianggap mampu memberi persyaratan yang adil. Setiap penyelesaiannya harus

menurut tata cara formal yang diatur dalam hukum acara (dua to process) serta

memberikan hak kepada para pihak untuk mempergunakan upaya hukum secara

instansional.105

Hal ini membuat sistem litigasi ke arah yang sangat formalistic,

teknis, dan biaya mahal. Beberapa putusan peradilan dianggap kurang memberikan

rasa adil bagi masyarakat, bahkan putusan hakim yang telah mengikat dan pasti

terkadang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, karena dimungkinkan ada

peninjauan kembali dan adanya perlawanan dari pihak eksekusi.Apabila dilihat dari

beberapa kasus,106

putusan hakim, dan peraturan perundang-undangan, sistem

peradilan pidana (litigasi) cenderung bersifat retributif karena menitikberatkan

kepada penghukuman didasari pemikiran balas dendam dan memenuhi tuntutan

kemarahan publik yang terusik oleh perbuatan pelaku.107

Secara ontologis, pidana pada hakikatnya merupakan kosekuensi yuridis dari

tindakan seseorang yang melakukan perbuatan pidana.108

Secara garis besar,

terdapat tiga teori tujuan pemidanaan, yaitu:

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan. Menurut teori ini pidana dijatuhkan

karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 128-152

105Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2003) 14-15 106

Seperti kasus pencurian kakao oleh nenek aminah, kasus pencurian buah randu

oleh Manisih,Sri Suratmi, Ruswono, dan Juwono; kasus pencurian sandal oleh AAL, dll 107

Komisi Yudisial, Laporan Khusus Satu Tahun Komisi Yudisial Jilid 2, Hakim, dan

penerapan keadilan Restoratif,Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan, Vol.VI No. (4 Januari- Pebruari 2012), 24 februari, 2012, 16,

http://www.komisiyudisial.go.id/files/Buletin/buletin-januari-februari-2012.pdf, (diakses

pada 28 januari 2014) 108

Artidjo Alkostar, ‚Kebutuhan Responsifitas Perlakuan Hukum acara Pidana dan

dasar Pertimbangan Pemidanaan Serta Judicial Immunity‛, Makalah Tua Pidana,

Disampaikan pada Rakernas 2011 Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia,

http://anggara.files.wordpress.com/2011/10/fondasi-dan-pertimbangan-pemidanaan-wadah-

pidana-artidjo-alkostar_edited.pdf, (diakses pada 22 Juni 2014)

Page 57: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

43

harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.

Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri.109

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan. Teori ini disebut juga teori utilitarian, lahir

sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana

menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk

mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Tujuan pidana menurut teori

relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak

terganggu.110

c. Teori Gabungan, yaitu Menggabungkan Antara Teori Absolut dan Teori

Relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana itu selain membalas kesalahan

penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan

mewujudkan ketertiban. 111

Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 kelompok

yakni : a) Teori absolut (retributif); b) Teori teleologis; dan c) Teori retributif

teleologis.112

Pada hakikatnya teori ini sejalan dengan ketiga teori tersebut diatas. Teori

absolut berorientasi pada pembalasan, Teori teleologis berorientasi pada tujuan

yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.

Adapun Teori retributif teleologis bersifat plural, integritatif antara absolut

teleologis, karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan

adalah: pencegahan umum dan khusus, perlindungan masyarakat, memelihara

solidaritas masyarakat, dan pengimbangan.113

Dalam RUU KUHP tujuan pemidanaan diuraikan secara jelas pada pasal 54

ayat (1) yaitu:

109

Teori ini disebut juga dengan teori retributif yang mengandaikan pemidanaan

sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga

masyarakat. Teori ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking). (Lembaga

Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, ‚Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam

Rancangan KUHP‛, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3, 10,

http://docs.perpustakaan-elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/3.pdf, (diakses padfa 22 Juni

2014) 110

Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah

laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang

lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Teori ini dikatakan berorientasi

ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence). 111

Usman, ‚Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana‛, Jurnal Ilmu Hukum, 66-

76, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=12060&val=882&title=, (diakses

pada 22 Juni 2014) 112

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, ‚Pemidanaan, Pidana dan

Tindakan dalam Rancangan KUHP‛, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3, 12 113

Lilik Mulyadi, ‚Pergeseran Perspektif dan Praktik dari mahkamah Agung Republik

Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan‛, Artikel, 7,

http://www.badilum.info/upload_file/img/article/doc/pergeseran_perspektif_dan_praktik_da

ri_mahkamah_agung_mengenai_putusan_pemidanaan.pdf, (diakses pada 22 Juni 2014)

Page 58: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

44

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat;

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadi orang yang baik dan berguna;

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana

Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk

menderitakan dan merendahkan martabat manusia.114

Pidana yang ditetapkan oleh peradilan adalah pidana yang diharapkan dapat

menunjang tercapainya tujuan, oleh karena itu, perlu diadakan penelitian pidana apa

yang dipandang efektif dan bermanfaat untuk mencapai tujuan. Efektivitas pidana

harus diukur berdasarkan tujuan atau hasil yang ingin dicapai.

Apabila yang dimaksud dengan mencegah dalam tujuan pidana tersebut

adalah ‚mencegah agar si pembuat tidak melakukan lagi tindak pidana (prevensi

spesial) dan mencegah agar orang lain, calon pembuat potensiil atau masyarakat

pada umumnya tidak melakukan tindak pidana (prevensi general), maka tujuan

prevensi spesial tercakup juga dalam tujuan yang kedua dan keempat. Dengan

mengadakan pembinaan dan membimbing terpidana menjadi orang baik dan

berguna, jelas dimaksudkan agar ia tidak lagi melakukan tindak pidana.

Adapun mengenai tujuan yang ketiga mengandung makna tujuan pidana

dalam hukum adat yaitu untuk memulihkan kembali keseimbangan nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat, yang dalam teori pemidanaan disebut dengan teori

restitusi. Teori ini tampak dalam pendapat Fauconnet yang menyatakan, bahwa

‚the conviction and the excecution of the sentences is essentially ceremonial

reaffirmation of the societal values that are violated and challenged by the crime‛

(penghukuman dalam arti pemidanaan, dan pelaksanaan pidana pada hakikatnya

merupakan penegasan kembali nilai-nilai masyarakat yang telah dilanggar dan

diubah oleh adanya kejahatan).115

Apabila melihat pada tujuan pidana tersebut maka dalam penelitian

efektivitas pidana yang perlu dicari ialah sampai seberapa jauh pengaruh pidana itu

terhadap si pembuat, calon pembuat atau pembuat potensiil, dan masyarakat.

Indikator untuk mengukur pengaruh yang pertama yaitu apakah tercapai tujuan

prevensi spesial dengan membina si pembuat (terpidana) menjadi orang baik dan

berguna, ialah ada tidaknya pengulangan tindak pidana (recidive). Indikator untuk

mengukur pengaruh yang kedua lebih bersifat kualitatif, yaitu apakah ada pengaruh

114

Lihat: RUU KUH Pidana BAB III, Tujuan Pemidanaan pasal 54 ayat 1 dan 2,

http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Umum/RUU%20KUHP 2013.pdf,

Lihat juga: Zainal Abidin, ‚Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan dalam Rancangan KUHP‛,

Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, Position Paper Advokasi RUUKUHP seri #3, September 2005, 14, http://docs.perpustakaan-

elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/3.pdf 115

Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung:

PT alumni, 2005) 102.

Page 59: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

45

positif dari pidana terhadap si calon pembuat antara lain timbulnya rasa takut.

Begitu pula indikator untuk mengukur pengaruh yang ketiga bersifat kualitatif,

antara lain telah hilangnya noda-noda di masyarakat akibat tindak pidana; telah

pulihnya kembali keseimbangan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat; telah

tentramnya kembali warga masyarakat dari rasa takut terhadap kejahatan dan lain

sebagainya.

Jenis-jenis sanksi yang dijatuhkan oleh hakim menurut KUHP Pasal 10 yaitu:

enis-jenis (sanksi) pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (‚KUHP‛), yaitu:

Pidana terdiri atas:

1. Pidana Pokok (Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan,

Pidana Denda, dan Pidana Tutupan)

2. Pidana tambahan (Pencabutan hak-hak tertentu, Perampasan

barang-barang tertentu, dan Pengumuman putusan hakim)

Adapun sanksi pidana yang terbanyak dicantumkan dalam KUHP ialah pidana

penjara, presentasinya kurang lebih 75%. Begitu pula pidana yang paling banyak

dijatuhkan dalam peradilan adalah pidana penjara,116

sedangkan pidana denda pada

umumnya sedikit sekali dijatuhkan. Apabila ditinjau dari segi tujuan pemidanaan

yang hendak dicapai, pidana penjara terdapat kerugian-kerugian baik secara

filosofis maupun praktis yang terkadang sulit untuk diatasi. Diantara kerugian

filosofis adalah:

1. Bahwa tujuan dari penjara pertama adalah menjamin pengamanan

narapidana, dan kedua adalah memberikan kesempatan kepada narapidana

untuk direhabilitasi.

2. Bahwa hakikat dari fungsi penjara tersebut seringkali mengakibatkan

dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan

kerugian bagi narapidana yang terlalu lama didalam lembaga, berupa

ketidakmampuan narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya

secara produktif didalam masyarakat.

Dengan melihat kerugian filosofis tersebut, sekalipun penjara diusahakan

untuk tumbuh sebagai instrumen reformasi dengan pendekatan manusiawi, namun

sifat aslinya sebagai lembaga yang harus melakukan tindakan pengamanan dan

pengendalian narapidana tidak dapat ditinggalkan demikian saja. Disamping

kerugian yang bersumber dari hakikat pengertian penjara tersebut, terdapat

kerugian lain yang cukup memperihatinkan tampak dari apa yang dikemukakan

oleh Clemmer, seorang sosiolog yang meneliti di penjara-penjara Amerika Serikat,

ia mengatakan bahwa kita harus melihat kehidupan di penjara sebagai sub-kultur

narapidana (inmate subculture). Sub-kultur narapidana ini memiliki pengaruh yang

116

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro tahun tahun

1977, di Jawa Tengah, sejumlah 53,33% dari responden hakim menyatakan bahwa pidana

yang paling banyak dijatuhkan adalah pidana pencabutan kemerdekaan. Begitujuga

berdasarkan Yurisprudensi MA yang disusun oleh Achmad Soema Dipradja, diperoleh data

bahwa putusan yang mengandung pidana penjara, yaitu sejumlahj 28 keputusan (44,4%),

sedangkan yang mengandung pidana bersyarat hanya 2 keputusan (3,17%).

Page 60: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

46

besar terhadap kehidupan individual dari masing-masing narapidana, khususnya

proses sosialisasi narapidana tersebut kedalam masyarakat narapidana (the inmate community) yang oleh Clemmer disebut prisonisasi (prisonization).

117 Dalam proses

perisonisasi tersebut narapidana baru harus membiasakan diri terhadap aturan-

aturan yang berlaku didalam masyarakat narapidana. Semakin lama pidana penjara

tersebut dijalani, maka kecenderungan untuk terpenjara semakin besar, kemudian

seseorang yang menjadi terpenjara secara sempurna cenderung untuk melakukan

tindak pidana lebih lanjut setelah ia keluar dari penjara.

Sehubungan dengan faktor tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penjara

harus dihindari sebab di tempat ini penjahat-penjahat kebetulan (accidental of

offenders), pendatang baru dari dunia kejahatan (novices in crime) dirusak melalui

pergaulannya dengan penjahat-penjahat kronis,. Bahkan personil yang paling baik

pun telah gagal menghilangkan keburukan yang sangat besar dari penjara ini.

Sekalipun pidana penjara tersebut berjangka pendek, maka justru akan sangat

merugikan sebab disamping kemungkinan terjadinya hubungan yang tidak

dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek jelas tidak mendukung

kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi narapidana disatu pihak, dan dilain

pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma atau cap jahat.118

Stigma

terjadi apabila identitas seseorang terganggu atau rusak. Stigmatisasi ini pada

dasarnya menghasilkan segala bentuk sanksi negatif, yang berturut-turut

menimbulkan stigma lagi, dengan demikian stigma meningkatkan sanksi negatif,

dan sanksi negatif tersebut memperkuat sigma.

Melalui pemaparan tersebut, peradilan pidana digambarkan sebagai suatu

permainan moralitas (morality play) bahkan juga merupakan upacara degradasi

(degradastion ceremony), karena penghukuman dan pidana meninggalkan stigma

moral dan siterhukum dicap jahat. Sehubungan dengan kenyataan tersebut, maka

tindakan yang harus dilakukan dengan segera adalah mencari dan merumuskan

dengan teliti alternatif-alternatif pidana penjara, seperti pidana bersyarat, pidana

yang ditangguhkan, denda, lepas bersyarat, kompensasi, restitusi, dan lain

sebagainya.

Diantara kekurangan proses litigasi yang lain selain dari pada dampak negatif

sanksi pidana yang akan diputuskan oleh hakim, karena penyelesaian merujuk pada

KUHP, penyebab lain adalah penyelesaian yang membutuhkan waktu yang lama,

dan biaya mahal serta diragukan kemampuannya menyelesaikan secara memuaskan

kasus-kasus yang bersifat rumit. Perundingan diantara para pihak, baik langsung

maupun dengan menunjuk kuasa hukumnya guna menghasilkan kesepakatan

bersama yang menguntungkan keduabelah pihak.

Konsep mediasi dinilai sesuai dengan tujuan pemidanaan untuk pemulihan

korban, mencegah kejahatan, dan memperbaiki kerukunan hidup bermasyarakat

sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, dengan demikian dapat

117

Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung:

PT alumni, 2005)77-78. 118

Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung:

PT alumni, 2005),80.

Page 61: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

47

disimpulkan beberapa karakteristik primer penyelesaian sengketa melalui non

litigasi dan penyelesaian sengketa melalui proses litigasi, yaitu:

Tabel 1: Karakteristik Primer Proses Penyelesaian Sengketa

Karakteristik Proses Litigasi Proses Non Litigasi (Mediasi

dalam Lembaga Adat)

Sukarela/tidak Tidak sukarela Sukarela

Pemutus Hakim Hakim, pihak yang bersengketa,

dan aparat desa

Putusan:

mengikat dan

tidak mengikat

Putusan mengikat dan

kemungkinan banding

Putusan mengikat dan

memungkinkan banding

Pihak ketiga Imposed: Pihak ketiga dan

umumnya tidak

mempunyai keahlian

tertentu pada subyek yang

disengketakan

Aparat desa, jika tidak berhasil,

pihak ketiga dipilih oleh para pihak

dengan pengawalan aparat desa

Derajat

formalitas

Formal, sangat terbatas

pada struktur dengan

aturan yang ketat yang

sudah ditentukan

sebelumnya

Formal, dan tidak formal

disesuaikan dengan keadaan para

pihak dan jenis perkara, tetap

menciptkan suasana dingin, damai,

dan kekeluargaan

Aturan

pembuktian

Sangat formal dan teknis Berdasarkan kesepakatan para

pihak

Hubungan para

pihak

Sikap saling bermusuhan=

antagonis

Kooperatif: Kerjasama

Karakteristik Proses Litigasi Proses Non Litigasi (Mediasi

dalam Lembaga Adat)

Proses

penyelesaian

Kesepakatan masing-

masing pihak

menyampaikan bukti dan

argument

Presentasi bukti-bukti dan

argument serta kepentingan-

kepentingan

Suasana

emosional

Emosi bergejolak Bebas emosional

Fokus

Penyelesaian

Masa lalu Masa depan

Hasil Principled decision, yang

didukung oleh pendapat

yang objektif (reasoned

opinion)

Kesepakatan yang diterima kedua

belah pihak (win-win solution)

Publikasi Publik: Terbuka untuk

umum

Publik dan privat

Jangka waktu Panjang (5-12 tahun) Segera (1-6 minggu)

Page 62: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

48

Menurut Bindshedler, sebagaimana dikutip oleh Dewa Gede Sudeka Mangku,

ada beberapa segi positif dari mediasi, adalah: mediator sebagai penengah dapat

memberikan usulan-usulan kompromi di antara para pihak; mediator dapat

memberikan usaha atau jasa lainnya, seperti memberi bantuan dalam melaksanakan

suatu kesepakatan, bantuan keuangan, ataupun mengawasi pelaksanaan

kesepakatan. 119

Sependapat dengan Bindshedler, Mustafa Serdar Ozbek

mengatakan bahwa mediator juga menjadi perantara untuk mencapai suatu keadilan

dan solusi hukum yang lebih baik bagi semua pihak.

Segi positif lain adalah Penyelenggaraan proses mediasi diatur secara rinci

dalam peraturan perundang-undangan sehingga para pihak memiliki keluwesan atau

keleluasaan dan tidak terperangkap dalam bentuk-bentuk formalism, seperti halnya

dalam proses litigasi. Mediasi umumnya juga diselenggarakan secara tertutup dan

rahasia. Para pihak juga dapat terlibat secara langsung dan berperan dalam

melakukan perundingan dan tawar-menawar untuk mencari penyelesaian masalah

tanpa harus diwakili oleh kuasa hukum masing-masing.

Sedangkan jika dilihat dari segi negatif mediasi adalah pertama: mediasi

hanya dapat diselenggarakan secara efektif jika para pihak memiliki kemauan atau

keinginan untuk menyelesaikan sengketa secara consensus; kedua, pihak yang tidak

beriktikad baik dapatmemanfaatkan proses mediasi untuk mengulur-ulur waktu

penyelesaian sengketa; ketiga, beberapa jenis kasus mungkin tidak dapat dimediasi,

terutama kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah ideologis dan nilai dasar yang

tidak menyediakan ruang bagi pihak untuk melakukan kompromi; keempat, mediasi

dipandang tidak tepat untuk digunakan jika masalah pokok dalam sebuah sengketa

adalah penentuan hak, karena penentuan hak haruslah diputus oleh hakim; kelima,

secara normative mediasi hanya dapat digunakan dalam lapangan hukum privat

tidak dalam lapangan hukum pidana.120

Dibawah ini adalah tebel yang menjelaskan

tentang kelebihan dan kekurangan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa

(APS):

Tabel 2. Potensialitas Mediasi Sebagai APS

Penyelesaian

sengketa

Kelebihan Kelemahan

Badan

Pengadilan Menerapkan Norma Publik

Ada Precedent

Deterrence Effect

Keseragaman

Indenpendensi

Putusan Mengikat

Keterbukaan

Mahal

Memakai lawyer sehingga

mereka tidak terkontrol

Keputusan tidak terduga

Terkadang tidak melihat

substansi

Menunda-nunda

119

Dewa Gede Sudika Mangku, ‚Suatu Kajian Umum Tentang penyelesaian

Sengketa Internasional Termasuk Didalam Tubuh ASEAN‛, Jurnal Perspektif, Volume

XVII, Nomor 03 Tahun 2012, Edisi September, 4,

http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201303002803047914/3.pdf, (diakses pada tanggal 22

Juni 2014) 120

Takdir Rahmadi, Penyelesaian Sengketa melalui pendekatan mufakat, 27-29

Page 63: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

49

Dapat dieksekusi

Melembaga

Pendanaan secara public

Masalah diredefinisi dan

dipersempit

Tidak ada kompromi

Diyat terbatas

Polarisasi cenderung

bermusuhan

Mediasi

Melalui

Peradilan

Adat

(khususnya di

Aceh)

Menerapkan norma agama Islam, adat,

dan masyarakat

Forum dikontrol para pihak

Merefleksi kepentingandan prioritas para

pihak

Mempertahankan kelanjutan hubungan

para pihak

Fleksible

Putusan yang terintegrasi

Tertuju pada masalah dasar

Menjadi pelajaran dan pendidikan bagi

para pihak

Putusan cenderung di jalankan oleh para

pihak

Mengedepankan kerukunan masyarakat

Mudah di akses dan biaya murah

Proses dan keputusan cepat

Dapat di eksekusi

Diyat tidak terbatas

Administrasi kurang tercatat

dengan rapi

Sosialisasi konsep

penyelesaian kurang optimal,

ketika pergantian pengurus

sempat terjadi kesulitan bagi

pengurus baru

Pendanaan kurang

terorganisir dengan baik

Hukum yang tidak tertulis

Sebuah studi bersama Mahkamah Agung (MA), Badan Pembinaan Hukum

Nasional (BPHN), dan badan PBB yang mengurusi masalah obat-obatan dan

kejahatan (UNODC) melakukan survei terhadap 39 orang hakim di Sulawesi

Tenggara.Sebagian besar hakim (73,7 %) menyatakan pengadilan tempat mereka

bekerja sudah menerapkan penyelesaian di luar proses beracara biasa, atau yang

lazim disebut alternative dispute resolution (ADR). Dari jumlah itu, sebanyak 77,7

persen menggunakan model ADR mediasi. Hakim tersebut percaya bahwa mediasi

dapat memberikan akses keadilan (access to justice) bagi masyarakat.

Mauro Cappiletti dan Bryan Garth menyebut tiga gelombang reformasi

terhadap access to justice. Pertama, memberikan bantuan hukum dan layanan jasa

hukum kepada kalangan tidak mampu, yang lazim dikenal dengan bantuan hukum

pro bono. Kedua, meningkatkan tindakan representatif dan prosedur lain dimana

satu gugatan bisa mengajukan beberapa klaim sekaligus. Ketiga, melakukan

reformasi yang lebih luas terhadap sistem peradilan, termasuk mengenalkan

Page 64: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

50

berbagai alternatif penyelesailan sengketa (APS), small claim court dan

sebagainya.121

Mengenai alternatif penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam penelitiannya

Frida Erricson mengatakan bahwa mediasi di Swedia dan Afrika Selatan memiliki

pengaruh yang sangat penting bagi tegaknya hukum khususnya dalam penyelesaian

sengketa perdata dan pidana ringan. Mediasi menjadi alternatif penyelesaian

sengketa yang melibatkan perundingan korban dan pelaku dengan ditengahi oleh

pihak ketiga untuk mencari solusi permasalahan bersama.122

Hal tersebut juga

sejalan dengan pendapat Mustafa Serdar Ozbek yang mengatakan bahwa mediasi

telah menjadi alternatif yang layak bagi penyelesaian beberapa jenis kejahatan dan

menjadi kendaraan untuk mencapai suatu keadilan dan solusi hukum yang lebih

baik bagi semua pihak dari pada melalui sistem peradilan pidana.123

D. Teori Hukum Adat di Indonesia

Dari sejarah hukum Islam diketahui bahwa hukum Islam secara yuridis telah

berdiri sendiri untuk waktu yang cukup lama.124

Namun dalam kenyataan sejarah,

hubungan antara hukum adat dan hukum Islam telah memperlihatkan hubungan

yang tidak harmonis, sehingga melahirkan beberapa teori yang menunjukkan bentuk

pemberlakuan hukum Islam dalam kaitannya dengan hukum adat.

Berawal dari teori Receptio in Complexu yang dipelopori oleh Lodewijk

Willem Christian (L.W.C) dan Van den Berg (1845-1927). Mereka berdua

menguatkan pendapat Solomon Keyzer (1823-1868) yang berpendapat bahwa di

Indonesia berlaku hukum Islam bagi masyarakatnya. Mereka menyatakan bahwa

bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab ia telah memeluk agama Islam

walaupun dalam pelaksanaan terdapat penyimpangan-penyimpangan. Mereka

berdua adalah ahli hukum Islam yang dikenal dengan ‚orang yang menemukan dan

memperlihatkan berlakunya hukum Islam di indonesia‛, hal ini terbukti dalam

karyanya Mohammedaansch Recht (asas-asas hukum Islam 1884). Mereka juga

mengusahakan agar hukum kewarisan dan perkawinan Islam dijalankan oleh hakim-

hakim Belanda dengan bantuan penghulu/Qad}i Islam. Upaya Van den Berg dalam

mempertahankan hukum Islam adalah didasarkan pada prinsip hukum mengikuti

121

Menyongsong Alternatif Penyelesaian Sengketa, 28 September 2008,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20211/menyongsong-alternatif-penyelesaian-

sengketa, (diakses pada 27 Agustus 2014) 122

Frida Errikson, ‚Victim-Offender Mediation in Sweden and South Africa‛, Final thesis of Master of Law Exam, Criminal Law, University of Gothernburgh, School of

Bussiness, Economies, and Laws, Thesis For master Of Law, 2009,

https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/19708/1/gupea_2077_19708_1.pdf, (diakses pada 16

Agustus 2014) 123

Mustafa Serdar Ozbek, ‚The Principle and Procedure of Penal Mediation in

Turkish Criminal Procedure Law‛, (Turki: Baskent University), Angkara Law Review,Vol.8

No. 2, 2011 124

Lihat: Reglement op het beleid der Regeering van Nederlanhsch Indie, yang

termuat dalam Staatsblad Hindia Belanda 1885 No. 2 pasal 75 ayat 2, Pasal 78 RR ayat 2,

dan Pasal 109 RR Pasal 75 dan 78.

Page 65: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

51

agama yang dianut oleh seseorang. Menurutnya, orang Indonesia yang menganut

agama Islam akan menerima hukum agama Islam bagi dirinya. Oleh karen itu, ia

berkesimpulan bahwa orang Indonesia telah menerima (meresepsi) hukum Islam

secara keseluruhan dalam praktek kehidupannya. Inilah yang disebut receptio in

complexu. Maksudnya adalah apa yang diresepsi bukan hanya bagian tertentu dari

hukum Islam, akan tetapi secara keseluruhan.125

Pada zaman VOC, pemerintahan Belanda tidak menghapus secara

fundamental pemberlakuan hukum agama terhadap masyarakat pribumi. Mereka

mengakui bahwa bagi orang pribumi diberlakukan hukum agamanya, ahli hukum

Belanda berupaya membuat kitab hukum yang materinya berasal dari hukum Islam

(fiqh).126

Inilah bukti bahwa mereka menganut paham receptio in complexu.127

Keadaan hukum Islam di Indonesia sebagaimana yang telah digambarkan

dalam teori Receptie in Complexu telah menimbulkan kecurigaan dan kritikan para

pejabat pemerintah Hindia Belanda. Tokoh utama yang melancarkan kritikan

tersebut adalah Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) dan Christian Snouck

Hurgronje (1857-1936). C. van Vollenhoven yang merupakan pendasar hukum adat

di Indonesia, telah mengeritik dan menyerang pasal 75 dan 109 R.R. Stbl. 1885:2

itu. Pada satu sisi dia telah berbuat banyak untuk hukum adat Indonesia, melalui

tulisannya ia menentang penggantian hukum adat dengan hukum barat yang hendak

dilancarkan pemerintah Belanda tahun 1904 untuk tujuan pengkristenan penduduk

Hindia Belanda.

Snouck Hurgronje, seorang penasihat Pemerintah Hindia Belanda tentang

persoalan Islam dan anak negeri lebih terkenal lagi. Iamelahirkan anjurannya untuk

memanipulir kesetiaan masyarakat Aceh terhadap agama dengan

mempertentangkannya dengan kesetiaan mereka terhadap adat. Ia mengemukakan

jalan pikiran baru mengenai pemberlakuan hukum bagi masyarakat pribumi.

Pandangan ini dikenal dengan teori Receptie.128 Inti dari teori receptie menyatakan

125

Sajuti Thalib, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1985)5-6, Lihat juga: Wirawan, Teori Receptie In Complexu, 21

Desember, 2008, http://ketutwirawan.com/teori-receptio-in-complexu/, (diakses pada 10

Juni 2014.) 126

D.W Feijer menyusun buku ringkasan (compendium) mengenai hukum perkawinan

dan kewarisan Islam yang setelah direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu

diberlakukan di daerah jajahan VOC. Pada tanggal 25 Mei 1760, VOC mengeluarkan

resolusi yang menegaskan bahwa bagi kaum Muslimin berlaku hukum agamanya. Resolusi

tersebutdikenal dengan Resolutie der Indische Regeering

Selain Compendium Freijer digunakan pula kitab Muharrar dan papakem cirebon

serta peraturan yang dibuat oleh B.J.D Clootwijk untuk daerah Bone dan Goa di sulawesi

Selatan. 127

Syahrizal Abbas, Hukum adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh (Yogyakarta: Ar Ruuz

Media, 2004) 128

Kemunculan teori ini berawal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang pribumi

tidak memegang kuat ajaran agama Islam, karena dinilai tidak akan mudah dipengaruhi oleh

peradaban Barat.

Page 66: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

52

bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat mereka masing-masing.

Hukum Islam memiliki nilai keberlakuan apabila telah dikehendaki atau diterima

(direceptie) oleh hukum adat, dengan demikian, lahirlah hukum tersebut sebagai

hukum adat, bukan hukum Islam.129

Usaha sistematis yang dilakukan pemerintah

Hindia Belanda akhirnya berhasil menggantikan posisi teori receptie in Complexu

menjadi teori Receptie.130

Snouck Hurgronje mengatakan bahwa musuh

kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama dalam arti praktik ritual, akan tetapi

Islam sebagai doktrin politik, karena akan menimbulkan ancaman bahaya bagi

kekuasaan Hindia Belanda.131

Teori Receptie mendapatkan kritik tajam dari salah seorang ahli hukum

Indonesia, Hazairin, yang mengatakan bahwa teori receptie adalah teori iblis. Ia

mengarahkan suatu analisa bahwa hukum islam itu berlaku di Indonesia tidak

bersandar pada hukum adat, akan tetapi pada peraturan perundang-undangan. Ia

menambahkan bahwa hendaknya berlakunya hukum Islam secrara formal di

Indonesia di dasarkan pada peraturan perundang-undangan.132

Teori tersebut

kemudian dikembangkan oleh Sayuti Thalib dengan nama receptie a contrario, yang

menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya,

hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum agama. Melalui

analisanya terhadap hukum adat yang berlaku di Aceh, Minangkabau, Jambi,

Palembang, Bengkulu, dan Lampung, Sayuti Thalib menyimpulkan bahwa dalam

masyarakat itu hidup suatu keyakinan bahwa hukum agama Islamlah yang mereka

inginkan, hukum adat diikuti kalau diperbolehkan oleh Islam.133

H. Ichtijanto mempertegas dan mengeplisitkan makna receptio a contrariod

alam hubungannya dengan hukum nasional. Ia mengartikulasikan hubungan itu

dengan sebuah teori hukum yang disebutnya teori eksistensi. Teori eksistensi

mengokohkan keberadaan hukum Islam dalam Hukum Nasional. Menurutnya

hukum Islam dalam kerangka sistem hukum nasional mengandung empat

pengertian, pertama: ada (exist) dalam artian sebagai bagian integral dalam hukum

internasional; kedua, ada (exist) dalam artian dengan kemandiriannya yang diakui

kekuatan dan wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum

nasional; ketiga ada (exist) dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai

penyaring bahan-bahan hukum nasional; keempat ada (exist) dalam artian sebagai

129

Sajuti Thalib, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam

(Jakarta: Bina Aksara, 1985), 9 130

Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling menyatakan bahwa dalam hal terjadi

perkara perdata antar sesama orang islamakan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila

keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adatdan sejauh tidak ditentukan lain oleh

ordonansi. 131

Syahrizal Abbas, Hukum adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, 172

132Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1985), cet

ke-4, 53. 133

Sajuti Thalib, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam

(Jakarta: Bina Aksara, 1985), 60-62.

Page 67: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

53

sumber utama hukum nasional.134

Eksistensi hukum Islam di negara Indonesia dapat

dibuktikan melalui peristiwa sejarah, cita-cita moral dan kejiwaan bangsa Indonesia

yang tidak terlepas dari realitas keberagamaan.

Mengenai adat dan budaya Aceh, merujuk pada pendapat Kluckhon yang

menyatakan bahwa nilai itu merupakan ‚a conception of desirable‛. Pada nilai ada

beberapa tingkatan, yaitu nilai primer dan sekunder. Nilai primer merupakan

pegangan hidup bagi masyarakat, misalnya kejujuran, keadilan, keluhuran budi, dan

lain-lain. Sedangkan nilai sekunder adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan

kegunaan. Nilai sekunder muncul setelah penyaringan nilai primer. Nilai-nilai

primer dalam adat Aceh adalah: Aqidah islami, Persatuan dan kesatuan, universal,

demokrasi, Independen, Komunal, Transparan, Hormat-menghormati, keteladanan

memimpin, panut kepada Imam (pemimpin), Jujur, amanah, berakhlaq mulia, Malei kaom135, percaya diri/kebanggaan bermartabat, cerdas dan bangga, suka damai, dan

lain-lain.136

Adapun nilai sekunder adalah yang nilai bersifat kreasi (temuan baru)

untuk memudahkan membangun kehidupan dengan menggunakan sains dan

teknologi. Nilai-nilai norma hukum adat Aceh yang hidup dan berkembang itu

mengacu kepada sumber utama hukum adat, yaitu:

1. Adatullah, yaitu hukum adat yang hampir mutlak didasarkan kepada hukum

Allah

2. Adat Tunnah, yaitu: adat istiadat sebagai manifestasi dari kanun dan

reusam yang mengatur kehidupan bermasyarakat

3. Adat Muhakamah, yaitu hukum adat yang dimanifestasikan pada asas

musyawarah dan mufakat

4. Adat Jahiliyyah, yaitu adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat

yang kadang-kadang tidak sesuai dengan Islam, namun masih ada anggota

masyarakat yang menggemarinya137

.

Melalui pemaparan tersebut, dapat disimbulkan bahwa penyelesaian

sengketa melalui proses non litigasi khususnya mediasi dan peradilan adat dapat

menjadi alternatif bagi masyarakat untuk menyelesaikan sengketa mereka. Konsep

perundingan dan rekonsiliasi dengan mempertemukan antara korban dan pelaku

memberikan angin segar bagi sistem hukum Indonesia, khususnya hukum Pidana

yang selama ini dinilai meresahkan masyarakat, baik proses beracaranya maupun

hasil putusan hakim yang dinilai kurang adil bagi keduabelah pihak. Nilai-nilai

134

Marzuki wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2001), 84, Lihat juga: Syahrizal Abbas, Hukum adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, 186-192

135Malu diri, malu keluarga, harga diri.

136Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun

Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, Majelis Adat Aceh (MAA) Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: MAA, 2008), 94

137Badruzzaman Ismail, Dasar-Dasar Hukum Pelaksanaan Peradilan Adat Di

Gampong-Gampong, Disampaikan Pada Pelatihan Tokoh-Tokoh Adat Gampong se Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 4-8 September 2007, Majelis Adat Aceh(MAA) 2007

Page 68: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

54

yang terkandung dalam mediasi selaras dengan nilai- nilai Islam dan leluhur bangsa

Indonesia yang mencintai perdamaian, sehingga pihak yang bersengketa dan

masyarakat pada umumnya dapat menerima mediasi menjadi bagian dari

penyelesaian sengketa demi menciptakan kehidupan yang rukun, harmonis, aman,

dan tentram.

Page 69: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

55

BAB III

DINAMIKA HUKUM ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

Adat dalam pengertian hukum adat adalah aturan tingkah laku masyarakat

yang telah berlaku mentradisi dengan tujuan untuk membangun keseimbangan dan

kesejahteraan kehidupan masyarakat dan bila melanggar akan diberikan

sanksi/akibat hukum.1 Penyelesaian sengketa secara damai tidak terlepas dari akar

budaya masyarakat Aceh, sering disebut Peradilan Hukum Adat/Peradilan Adat.

Model-model mediasi dan damai didalam menyelesaikan sengketa di Aceh sudah

lama dikenal sebelum masyarakat Aceh mengenal hukum Indonesia.2

A. Sejarah Hukum Adat Aceh

Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian Negara Kesatuan Republik

Indonesia, terletak pada wilayah ujung Utara bagian Barat pada 20-

60 dan 95

0-98

0

bujur Timur, dengan luas wilayah 57.365,57 KM2. Pada tahun 2002 masih memiliki

13 kabupaten/kota, namun pada tahun 2007 telah berkembang menjadi 23

kabupaten/kota, Provinsi Aceh memiliki 23 kabupaten yang terdiri dari 18

kabupaten dan 5 kota, 276 kecamatan, 755 mukim dan 6.423 gampong atau desa.3

Jumlah penduduknya kurang lebih 4.671.8744 dengan berbagai suku, diantaranya

suku Gayo, Alas, Aceh, Tamiang, Simeullue, Kluet, Aneuk, dan suku-suku lainnya

yang berasal dari berbagai daerah pendatang: Jawa, Sunda, Minang, Palembang, dan

lain-lain.5

Secara kronologis, Kerajaan Islam di Aceh dimulai oleh Kerajaan Aceh

Darussalam, berpusat di Banda Aceh, sekitar abad 16 M. Pada masa itu Aceh juga

tampil sebagai pusat kekuasaan politik sekaligus pusat perkembangan budaya dan

peradaban Asia Tenggara. Sebagai ahli waris Kerajaan Peureulak (225-692 H/ 840-

1292 M), Kerajaan Islam Samudra Pasai (433-831 H/ 1042-1428 M), dan Kerajaan

Islam Lamuri (601-916 H/ 1205-1511 M), adapun Kerajaan Islam Aceh Darussalam

yang diproklamirkan pada Kamis, 12 Dzulqaidah 916 H/ 20 Februari 1511 M,

Banda Aceh yang pada awal abad XVI M telah menjadi salah satu dari ‚Lima Besar

1

Badruzzaman Ismail, ‚Dasar-Dasar Hukum Pelaksanaan Peradilan Adat Di

Gampong-Gampong‛, Disampaikan Pada Pelatihan Tokoh-Tokoh Adat Gampong se Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 4-8 September 2007, Majelis Adat Aceh(MAA)

2007,1. 2 Miftachhuddin Cut Adek, ‚Mediasi Dalam Masyarakat Adat Laot (Nelayan Adat)

di Aceh‛, Jeumala, Edisi 40 Juli-Desember 2013, Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh,

14. 3

Gambaran Umum Kondisi Aceh, http://www1-

media.acehprov.go.id/uploads/BAB_II_GAMBARAN_UMUM_KONDISI_ACEH_FINAL_

6012011_edi_26012011.pdf,diakses pada 09 Juni 2014) Lihat Juga: Kepariwisataan 10

Provinsi di Pulau Sumatera, http://ujp.ucoz.com/1-Nagroe_Aceh_Darussalam.pdf. 4

Data tahun 2013 Departemen Kesehatan RI, Ringkasan Eklsekutif Data dan

Informasi Kesehatan Provinsi aceh,

http://www.depkes.go.id/downloads/kunker/aceh.pdf(diakses pada 09 Juni 2014). 5

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Profil Daerah,

http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/11/nanggroe-aceh-

darussalam, (diakses pada 09 Juni 2014).

Page 70: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

56

Islam‛, melengkapi dengan berbagai peraturan perundangan, organisasi dan

lembaga negara.6 Salah satu alat kelengkapannya yang amat penting adalah Qa>nu>n

Al-Asyi atau Undang-Undang Dasar Kerajaan.7

Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah dicatat dalam sejarah sebagai

Pembangun Kerajaan Aceh Darussalam, dan Sultan Alaiddin Riayat Syah II Abdul

Qahar Pembina Organisasi Kerajaan menyusun undang-undang dasar negara yang

diberi nama Qa>nu>n Al Asyi, yang kemudian oleh Sultan Iskandar Muda Qa>nu>n Al-

Asyi ini disempurnakan menjadi Qa>nu>n Meukuta Alam.8

Ketika berdirinya penguasa militer Belanda dan berhasil menduduki Mesjid

Jamik Indrapuri di pedalaman Aceh Besar tahun 1879, mereka menemukan kitab-

kitab agama yang berserakan, yang ternyata itu adalah kitab Undang-Undang dasar

Kerajaan Aceh produk pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).9 Peraturan

tersebut dikenal dengan Adat Meukuta Alam10. Adat Mekuta Alam mengandung

susunan pemerintahan, hukum dan adat untuk memperlakukan hukum Islam. Selain

itu, terdapat juga dalam buku Sarakata11surat keputusan Sultan.

Bagi masyarakat Aceh, di kenal hadih maja‚Adat Ngon Hukom (Agama) Lagei Zat Ngon Sifeut‛ 12

. Implementasi nilai tersebut dapat dilihat dalam

kehidupan bermasyarakat di Aceh. Dari hadih maja tersebut maka tidak dapat

dikatakan sebagian hukum adat dan sebagian hukum Islam. Kedua sumber hukum

itu telah menyatu menjadi suatu hukum di Aceh yang disebut Adat.13

Kebudayaan dapat disimak dalam kebijakan pemerintah Aceh, dimana salah

satu kerajaan yang dibangun berdasarkan ajaran agama Islam, maka kerajaan Aceh

Darussalam dinyatakan sebagai negara yang berbudaya hukum. Hal ini termaktub

dalam Qa>nu>n Al-Asyi:

‚Bahwa negeri Aceh Darussalam adalah negeri hukum yang mutlak sah dan bukan negeri hukuman yang mutlak sah. Dan Rakyat bukan patung

6

Zulfadli Kawom, ‚Qa>nu>n Al Asyi dan Pengaruhnya terhadap Kerajaan Islam

Nusantara dan Luar Negeri‛, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh,

http://www.jkma-aceh.org/haba/?p=88, (diakses pada 09 Juni 2014). 7Qa>nu>n Al-Asyi disebut juga Meukuta Alam. Oleh para ahli sejarah dikatakan amat

sempurna menurut ukuran zamannya. Pedoman yang dipakai berupa sebuah naskah tua yang

berasal dari Said Abdullah, seorang teungku di Meulek. 8Lihat: Qa>nu>n Al Asyi, http://www.atjehcyber.net/2011/08/qa>nu>n-meukuta-alam-al-

asyi.html#ixzz349enr3JI, (diakses pada 09 Juni 2014). 9 Undang-Undang dasar itu baik teks arab melayu atau transkipnya dalam bahasa

Belanda dan analisanya, dapat disimak dalam karya tulis K.F.H.van Langen: De Inrechting

van het Atjesche Staatsbestuur Onder het Sultanaat (Bijdragen tot de Taaal, land-en

Volkenkunde van Ned.Indie, Jilid III 1888. 10

Adat Meukuta Alam adalah peraturan didalam negeri Aceh Bandatr Da>r As Salam.

Yaitu Peraturan di dalam Negeri Aceh Bandar Dar As Salam disalin daripada daftar paduka

Sri Sultan Makot Alam Iskandar Muda (1607-1636). 11

Surat-Surat Keputusan Sultan. 12

Hukum dengan adat, bagai zat dengan sifatnya. 13

Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (Banda Aceh:Pustaka Rumpun Bambu, 2011).

Page 71: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

57

yang berdiri ditengah padang, akan tetapi rakyat seperti padang sembilan mata yang amat tajam, lagi besar matanya, lagi panjang sampai ke timur dan ke barat, jangan di permudah sekali-kali hak rakyat‛ Qa>nu>n al Asyi bersumber dari al Qur’an, Hadits, Ijma’ Ulama, dan Qiyas,

menetapkan ada empat sumber hukum, bagi kerajaan Aceh, yaitu:

i. Kekuasaan Hukum (Yudikatif) yang dipegang oleh Qad}i Malikul Adil

ii. Kekuasaan Adat (Eksekutif) yang dipegang oleh Sultan Malikul Adil

iii. Kekuasaan Qa>nu>n (Legislatif) yang dipegang oleh Majelis Mahkamah

Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat)

iv. Kekuasaan Reusam (Hukum Darurat) yang dipegang oleh Penguasa

Tunggal, yaitu Sultan sebagai penguasa tertinggi suatu negara dalam

keadaan perang.

Dalam menjalankan empat jenis hukum dalam kerajaan, Qa>nu>n al Asyi

menetapkan bahwa Raja dan Ulama harus menjadi Dwi Tunggal (Tidak boleh jauh

atau bercerai), seperti disebutkan dalam qa>nu>n:

‚Ulama dan raja atau rais tidak boleh jauh atau bercerai. Sebab jikalau bercerai dengan Raja atau rais, niscaya binasalah negeri. Barangsiapa mengerjakan Hukum Allah dan meninggalkan Adat, maka tersalah dengan dunianya. Dan barangsiapa yang mengerjakan adat dan meninggalkan hukum Allah, maka tersalah dengan Allah. Maka hendaklah hukum dan Adat itu seperti gagang pedang dengan mata pedang.‛14 Struktur kerajaan Aceh Dalam konteks sistem pemerintahan berdasarkan

Qa>nu>n Meukuta Alam, berakar pada susunan gampong15 dan mukim16

, nanggroe17,

Sagoe18, dan langsung Kerajaan.

14

Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, (Banda Aceh: MAA, 2008), 13-15.

15 Tingkat pemerintahan terendah yaitu Gampong atau kampung (Pemerintah Desa).

Pimpinan Gampong terdiri dari Keuchik dan Teungku Meunasah yang juga disebut Imam

Rawatib, dan dibantu oleh Tuha Peuet (empat orang cerdik-pandai), kira-kira seperti Badan

Pemerintah Harian (BPH). 16

Mukim merupakan federasi dari beberapa gampong, yang satu mukim minimal

terdiri dari delapan gampong. Federasi Mukim dipimpin oleh seorang lmeum Mukim dan

Qad}i Mukim. 17

Nanggroe (Negeri) dipimpin oleh seorang Uleebalang (Hulubalang) dan seorang

Qad}i Nanggroe. Uleebalang mempunyai gelar yang berbeda, menurut nanggroënya masing-

masing; umpamanya ada yang bergelar Teuku Laksamana, ada yang bergelar Teuku

Bentara, ada yang bergelar Teuku Bendahara dan sebagainya. Dalam memimpin Nanggroe,

Uleebalang dibantu oleh pembantunya, yaitu Banta atau saudara laki-laki, menggantikan

Uleebalang jika berhalangan. Selain itu, Uleebalang juga dibantu oleh Qadhi, dan

pengawalnya yang disebut Rakan. 18

Yaitu fedreasi dari beberapa nanggroe yang hanya ada di Aceh Rayeuk, banyaknya

hanya tiga sagoe, yaitu Sagoe Teungoh Lheeploh (Sagi 25), terdiri dari 25 Mukim:

Panglima Sagoenya bergelar Qad}i Malikul Alam Seri Setia Ulama dan dibantu oleh Qadhi

Sagoe Rabbul Jalil. Sagoe Duaploh Nam (Sagi 26), yang terdiri dari 26 Mukim; Panglima

Page 72: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

58

Qa>nu>n Meukuta Alam dalam menjalankan tugas kerajaan, menetapkan empat

landasan Rukun Kerajaan, yaitu Pedang Keadilan, Qalam (kitab Undang-Undang

kerajaan), Ilmu dunia dan akhirat, dan Kalam (bahasa). Adapun sumber hukum dari

kerajaan Aceh Darussalam yaitu Al Qur’an, Hadi >th Nabawi, Ijma’ Ulama Ahl al-

Sunnah wa al-Jama>‘ah, dan Qiyas.

Adapun sistem hukum pada kesultanan Aceh, terdapat lima tingkat peradilan,

yaitu Kadhi Malikul Adil (Majelis Mahkamah Agung), Kadhi Rabbul Jalil (Balai

Mahkamah Sagoe), Kadhi Nanggroe (Balai Mahkamah Nanggroe), Kadhi Mukim

(Balai Mahkamah Mukim), dan Pengadilan Damai (Balai Mahkamah Gampong).

Sedangkan dalam melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi, Qa>nu>n Al-Asyi

menetapkan bahwa dalam Kerajaan Aceh Darussalam, harus didirikan tiga buah

lembaga, yaitu pertama Balai Rong Sari19

, Balai Gadeng20

, dan Balai Majelis

Mahkamah21

.

Sebuah penelitian oleh Bealieu (1620-1621) dan Peter mundy (1673)

menyebutkan bahwa pengadilan perdata diadakan setiap pagi kecuali hari jum’at di

sebuah Balai Besar dekat masjid utama Baiturrahman, diketuai oleh salah seorang

kaya yang paling berada.22

Perselisihan kecil dan kejahatan ringan yang berlangsung

antara sesama warga kampung diselesaikan oleh keuchik (kepala desa) yang

berperan sebagai hakim dan Teungku Meunasah (pimpinan mus}alla) yang dibantu

oleh cerdik pandai kampung (eureung tuha). Bila seseorang menolak perdamaian

tersebut atau perkaranya tergolong berat, maka perkara itu dibawa ke pengadilan

mukim, dengan Imam Mukim sebagai hakim dan dibantu oleh keuchik dan Teungku Imeum serta pemuka masyarakat. Ditingkat ini pihak yang mengajukan perkara

harus menyerahkan uang jaminan sebagai ongkos perkara.

Ketika Belanda menduduki wilayah Aceh, peradilan agama merupakan bagian

dari pengadilan adat, dimana pada tingkat Uleebalang ada pengadilan yang diketuai

oleh Uleebalang yang bersangkutan. Sedangkan untuk tingkat afdeeling atau onder

afdeeling (wilayah) ada pengadilan yang bernama "Musapat' yang dikepalai oleh

Controleur, dimana Uleebalang serta pejabat-pejabat tertentu menjadi anggotanya.

Dalam prakteknya bila perkaranya bersangkutan dengan hukum agama, seringkali

diserahkan saja kepada Qad}i Uleebalang untuk memutuskannya, tetapi kalau ada

sangkut pautnya dengan hukum yang lain dari hukum agama, diketuai sendiri oleh

Sagoenya bergelar Seri Imam Muda Orang Kaya (OK) dan dibantu oleh Qadhi Rabbul

Jalil. Sagoe Duaploh Dua (Sagi 22), yang terdiri dari 22 Mukim; Panglima Sagoenya

bergelar Panglima Polem Seri Muda Perkasa dan dibantu oleh Qadhi Rabbul Jalil. 19

Dipimpin oleh Sultan Imam Malikul Adil dan wakilnya, Kadhi Malikul Adil,

anggotanya terdiri dari hulubalang dan tujuh orang Ulama. Balai ini hampir sama dengan

Dewan Pertimbangan Agung Sistem Negara republik Indonesia. 20

Dipimpin oleh wazir Mu’azham Perdana Menteri dengan anggota-anggotanya

terdiri dari Hulubalang delapan dan Ulama tujuh orang. Balai gadeng hampir sama dengan

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 21

Anggotanya terdiri dari 73 orang. Balai ini seperti DPR RI. 22

Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, 28.

Page 73: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

59

Uleebalang yang bersangkutan dengan didampingi Qad}i Uleebalang yang

dimaksud.23

Pada masa pendudukan Jepang, Khusus untuk wilayah Aceh, Jepang

mengeluarkan suatu Undang-undang yang bernama "Atjeh Syu Rei" (Undang-

undang Daerah Aceh) Nomor 20 Syowa 19 Yagatsu I tanggal 1 Januari 1943

tentang susunan peradilan berkedudukan di Kutaraja dengan cabang-cabangnya

pada tiap-tiap Ibukota kabupaten (Bunsyu). Disamping itu, melalui Aceh Syu Rei

No.12 tanggal Syowa Ni Gatu 15 (15 Februari 1944), pemerintah militer

membentuk Mahkamah Agama Islam Syukyo Hooin yang diimplementasikan pada

tanggal 12 Februari 1944. Syukyo Hooin merupakan pengadilan tingkat banding

atas putusan Kepala Qad}i dan Qad}i Son24. Tugas Qad}i Son pada saat itu mirip

dengan tugas Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan saat ini.25

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Aceh mendapat kedudukan

tersendiri di NKRI karena perjuangan rakyat dan bimbingan para tokoh dan Ulama

Aceh rela berjuang dan berkorban mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17

Agustus 1945. Kemudian keluarlah Peraturan perdana Menteri pengganti peraturan

pemerintah No. 8/Des/WKPM/49 tertanggal 17 Desember 1949, Aceh dinyatakan

sebagai provinsi yang berdiri sendiri.26

Kemudian pemerintah pusat memberikan

status Daerah Istimewa melalui keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia

Nomor 1/Missi/1959. Pemberian status ini merupakan jalan menuju penyelesaian

masalah Aceh secara menyeluruh. Namun karena adanya kecenderungan pemusatan

kekuasaan di Pemerintah Pusat melalui UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-

Pokok Pemerintah di Daerah (sentralisasi), maka penyelesaian Keistimewaan Aceh

tidak berjalan sebagaimana mestinya.27

Atas pertimbangan filosofis, historis, dan

sosiologis, lahirlah UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan

23

Badruzzaman Ismail, Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2013),

126-130, Lihat juga: ‚Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di Aceh Sebelum dan setelah

Kemerdekaan RI‛, Mahkamah Syar’iyyah Aceh, http://www.ms-aceh.go.id/informasi-

umum/artikel/122-sejarah-perkembanga-peradilan-agama-di-aceh-sebelum-dan-setelah-

memerdekaan.html, (diakses pada 09 Juni 2014) 24

Negeri 25

Para kadli memeiliki kewenanga dalam urusan nikah, talak rujuk, fasakh, perkara

warisan, dan zakat. Lihat: Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, 33-34.

26Kemudian melalui Peraturan pemerintah Nomor 5 tahun 1950 status daerah aceh

kembali ditetapkan menjadi Kerasidenan dalam Provinsi Sumatera Utara. Akhirnya, guna

memenuhi aspirasi rakyat Aceh, pemerintah menetapkan kembali status Kerasidenan Aceh

menjadi Daerah otonomi Provinsi Aceh. Kebijakan tersebut tertuang dalam UU No. 24

Tahun 156 27

Karena adanya kecenderungan pemusatan kekuasaan di Pemerintah pusat melalui

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, tentang pokok-pokok daerah (Sentralisasi), maka

penyelesaian Keistimewaan Aceh tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Page 74: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

60

Keistimewaan Aceh di bidang kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan,

dan peran Ulama dalam penetapan kebijakan daerah.28

B. Penegakkan Hukum Adat

Dalam sistem hukum adat Aceh, dikenal sejumlah asas yang pada umumnya

dapat diterima oleh berbagai sistem hukum lainnya. Sejauh ini ada sejumlah asas

yang telah dihimpun, sebagai berikut:

Bagan 1: Asas-Asas Peradilan Adat Aceh29

Dasar hukum berlakunya hukum adat di Aceh dapat diperhatikan pada

beberapa landasan, diantaranya narit maja yang menjadi dasar utama (kultur asli)30

,

dan peraturan pemerintah, diantaranya:

Pasal 3 a R.O Stb. 1935

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (1) dan (2)

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999

28

Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, Majelis Adat Aceh (MAA) Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: MAA, 2008), 37-38

29Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang

Adil dan Akuntabel (Banda Aceh: MAA, 2012), 8 30

Phon phon adat, cit jeut keudore, watee meusaho, sinan meu tata.

Maseng-maseng nanggroe, na adat droe, Ureung meubudoe, nyang ato cara

Asas-Asas

Terpercaya atau

amanah

Mufakat

Tanggungjawab/

Akuntabilitas

Kesetaraan didepan

hukum/ Non

Diskriminasi

Cepat dan

terjangkau

Ikhlas dan

Sukarela

Penyelesaian damai

dan berkerukunan

Keterbukaan

untuk umum

Jujur dan

Kompetisi

Keberagaman

Praduga tak

Bersalah

Berkeadilan

Page 75: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

61

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Bab XIII

tentang Lembaga Adat

Perda No. 7 Tahun 2000

Qa>nu>n Nomor 4 Tahun 2003 tentang pemerintahan Mukim dalam Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam

Qa>nu>n Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemerintahan Gampong dalam Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam

Qa>nu>n Nomor 9 Tahun 2008 tentang pembinaan kehidupan adat Istiadat

Qa>nu>n Nomor 3 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata kerja MAA

Qa>nu>n Aceh Nomor 10 tahun 2008 tentang lembaga adat

Kesepakatan bersama antar kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Gubernur

aceh, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat aceh, Ketua Majelis

Permusyawaratan Ulama Aceh, Ketua Majelis adat Aceh, rektor IAIN Ar

Raniry, Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, ketua Persatuan

Wartawan Indonesia Acehdan Ketua Komite Nasional pemuda Indonesia

Aceh tentang Penitipan Peran Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat

(FKPM) kedalam Tuha Peuet Gampong/Sarak Opat/Majelis duduk Sekitar

Gampong atau nama lain, tertanggal 2 Maret 2010

Keputusan bersama Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian daerah Aceh dan

ketua Majelis adat Aceh tentang Penyelenggaraan Peradilan Adata dan

Mukim atau nama lain di Aceh tertanggal 20 Desember 2011. Yaitu tertulis

dalam Butir Satu : Sengketa/perselisihan yang terjadi ditingkat gampong dan

mukim yang bersifat ringan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, pasal 14,

dan pasal 15 Qa>nu>n Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan

Kehidupan Adat dan Adat Istiadat wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui

Peradilan AdaGampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.

1. Badan Penyelenggara Peradilan Adat Aceh

Pada umumnya penyelenggaraan peradilan perdamaian adat dilakukan oleh

lembaga Gampong31 dan Mukim.

32 Hal yang sama berlaku untuk seluruh Aceh,

hanya saja di beberapa daerah tertentu, seperti Aceh Tengah dan Aceh Tamiang,

digunakan istilah lain.33

Fungsinya tetap sama, yaitu sebagai lembaga penyelesaian

sengketa atau perkara adat.34

31

Dalam sebutan sehari-hari sebutan gampong adakalanya ditujukan untuk menyebut

kawasan kediaman yang terdiri dari beberapa rumah, atau pusat perumahan, pusat

pemukiman. (Lihat: Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh, menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010), 9

32Mukim adalah wilayah yang mengkoordinir beberapa gampong (6 sampai 10

gampng) dalam suatu kawasan yang dipimpin oleh Imeum Mukim dan bertanggungjawab

kepada camat. 33

Di Aceh tengah dan Aceh Tamiang dikenal lembaga Sarak Opat dan Majelis duduk,

yang mana lembaga tersebut memiliki peran dan fungsi sama dengan lembaga Gampong. 34

Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel (Banda Aceh: MAA, 2012), 8

Page 76: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

62

a. Peradilan adat Gampong

Gampong merupakan kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh yang terdiri dari

beberapa jurong35, tumpok36

, atau ujung37. Adapun struktur dari sebuah gampong di

Aceh terdiri dari tiga unsur; pertama unsur pimpinan Gampong yaitu

keuchik 38sebagai pemegang adat dan dibantu oleh tengku meunasah 39

sebagai

penegak hukum; kedua, unsur Ureueng tuha, atau disebut juga Tuha Peuet40. Ketiga

unsur ureueng le atau ureueng ramee (orang banyak).41

Keuchik diibaratkan sebagai

ayah dari warga gampong, tengku meunasah diibaratkan sebagai ibu.42

Sengketa yang diselesaikan oleh peradilan Gampong, pelaksananya adalah

fungsionaris hukum adat yang secara ex officio dan kolegial, maksudnya semua

anggota dari ketiga lembaga tersebut duduk sebagai hakim,43

yaitu Keuchik sebagai

ketua, Teungku Meunasah dan Tuha Peuet sebagai anggota.44

Putusannya adalah

putusan damai. Apabila para pihak menerima putusan maka perkara selesai,

sebaliknya apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan, maka pihak yang

bersangkutan dapat mengajukan lagi perkaranya ke tingkat mukim.45 Keuchik

berperan aktif dalam membangun komunikasi dengan sesama perangkat Adat dalam

menyikapi setiap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, dan memberi ruang

35

Lorong atau gang. 36

Bagian gampong berupa kumpulan rumah-rumah penduduk membentuk sebuah

kloniyang agak terpisah dari kampung induk. 37

Bagian gampong yang terletak paling ujung. 38

Sebutan untuk kepala kampung di Aceh. Keuchik mengurus masalah adat 39

Pimpinan lembaga adat ‚imeum meunasah‛. 40

Lembaga adat yang berkedudukan sebagai badan musyawarah, juga berfungsi

sebagai perwakilan dari eureung gampong memberikan persetujuan terhadap setiap

keputusan yang akan dikeluarkan oleh gampong, menegur kepala kampung, dan juga

membantu kepala kampung dalam menyelesaikan sengketa. Tuha Peuet sesuai dengan

maknanya Tuha (orang tua) dan Peuet (empat), maksudnya beranggotakan orang yang

menguasai empat ilmu, yaitu ilmu fiqih, tasawuf, mantiq/logika, dan tauhid/agama. Pada

prakteknya beberapa gampong memiliki tuha peuet yang berangotakan empat orang, lima

atau lebih (sesuai dengan kapasitasnya). (Wawancara dengan Drs. Yusriadi, M.Si, Anggota Majelis Adat Aceh, Banda Aceh, 24 April 2014).

41 Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh, menuju Rekonstruksi Pasca

Tsunami (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010), 11. 42

Wawancara dengan Bpk. Bukhari, KeuchikGampong Meunasah Mancang, Kec.

Meurah 2, Kab. Pidie jaya, Aceh, Jum’at, 2 mei 2014, pukul 10.30. 43

Maksudnya adalah oleh sebab jabatannya sebagai pejabat gampong. Maka yang

bertindak menjadi hakim adalah Keuchik, tuha peuet, atau Imam Meunasah. Wawancara

dengan Sanusi M. Syarif, MA, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang Pengembangan dan

Pelestarian gampong dan Mukim, Kamis, 15 Mei, 2014. 44

Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 74.

45Wawancara dengan Badruzzaman Isma’il, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat Aceh,

Selasa, 29 April 2014. Lihat Juga: Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu,

2011), 71.

Page 77: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

63

kepada perangkat Adat lain untuk berperan dalam mengambil keputusan sesuai

dengan bidang dan kewenangannya.46

Adapun Tuha Peuet berperan memberikan nasihat dalam bidang hukum adat,

adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat. Sebagai pelaksana legislasi dalam

pemerintahan gampong, terdapat beberapa tugas tuha peuet yaitu: pertama,

melaksanakan fungsi anggaran, yaitu membahas/merumuskan dan memberikan

persetuajuan terhadap Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja gampong

sebelum ditetapkan menjadi Anggaran Pendapatan Belanja gampong; kedua,

melaksanakan fungsi pengawasan, yaitu pengawasan terhadap pelaksanaan Reusam

gampong, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja gampong, pelaksanaan

keputusan dan kebijakan lainnya dari keuchik; ketiga, menampung dan

menyalurkan aspirasi masyarakat kepada Pemerintah gampong.47

Berikut adalah bagan struktur dan peran penyelenggara Peradilan adat

tingkat gampong:

Bagan 2: Struktur dan Peran Penyelenggara Peradilan Adat Tingkat Gampong48

46

wawancara dengan Amin. H, Sekretaris Gampong Meriah Jaya, Kec. Gajah Putih,

10 Mei 2014 47

Andri Kurniawan, Tugas dan Fungsi keuchik, Tuha peuet, Dalam penyelenggaraan

Pemerintahan Gampong Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar

berdasarkan Qa>nu>n Nomor 8 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Gampong, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 3 September, 2010,

http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/VOL10S2012%20andri%20kurniaw

an.pdf, diakses pada 16 Juni 2014 48

Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012

Tuha Peuet

Sebagai Anggota

Keuchik

Sebagai Ketua

Sidang

Imeum Meunasah

Sebagai Anggota Ulama,

Cendikiawan, Tokoh

masyarakat

Sebagai Anggota

Sekretaris Gampong

Sebagai Panitera Ulee Jurong

(kadus)

Sebagai penerima

lap. awal

Ulee Jurong

(Kadus)

Sebagai penerima

lap. awal

Page 78: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

64

Para penyelenggara peradilan adat tidak ditunjuk atau diangkat secara resmi,

tetapi karena jabatannya sebagai Keuchik, Imeum Meunasah49, Tuha Peuet, dan

Ulee Jurong50 mereka secara otomatis menjadi para penyelenggara peradilan adat.

Keanggotaan peradilan adat tidak hanya terbatas untuk kaum laki-laki saja, tetapi

juga harus melibatkan kaum perempuan. Mereka umumnya sering dilibatkan

sebagai mediatordan negoisator untuk perkara-perkara yang melibatkan perempuan

dan anak-anak.51

Pada masa sekarang, kewenangan gampong untuk menyelenggarakan

peradilan adat terdapat dalam qa>nu>n No. 5 tahun 2003 tentang pemerintahan

Gampong dalm Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keuchik memiliki kekuasaan

Mono Trias Function (Satu dalam manunggal tiga fungsi) untuk menjalankan tiga

kekuasaan yang melekat ditangannya, yaitu, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan

yudikatif. Tiga fungsi yang berjalan masing-masing akan tetapi dalam satu

pimpinan kekuasaan. Adapun perilaku mono trias function tersebut tercermin pada

perilaku Keuchik dan Teungku saat mengayomi penyelesaian masalah-masalah

yang timbul dalam masyarakat.52

Penerapan kewenangan Keuchik secara tunggal

berada dibawah kontrol Tuha Peuet Gampong.53

Dalam melaksanakan tugasnya,

peradilan adat bersifat pasif. Baik perkara yang terjadi berupa perkara bidang

pidana maupun perkara bidang perdata, peradilan tersebut tidak akan berinisiatif

untuk menyidangkan suatu perkara tanpa ada permintaan dari pihak yang

berkepentingan.54

Adapun pusat penyelenggaraan adat istiadat dan peradilan adat

dilakukan di Meunasah. b. Peradilan adat Mukim

Peradilan adat tingkat mukim merupakan upaya terakhir untuk mendapatkan

keadilan dalam juridiksi adat. Perkara-perkara atau sengketa yang tidak dapat

diselesaikan pada tingkat mukim, selanjutnya akan diselesaikan oleh lembaga

Peradilan negara.55

Pada prakteknya, hanya sekitar 2% (dalam setahun) perkara

49

Lembaga adat ditingkat Gampong yang mengurus aspek hukum (maksudnya

hukum Islam), serta berkewajiban mengurus urusan fardu kifayah di gampong. 50

Pemimpin di tingkat Jurong (lorong), atau kepala dusun. 51

Majelis Adat Aceh,Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel (Banda Aceh: MAA, 2012, 9.

52Badruzzaman Ismail, Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem

Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh,

2013),113-114. 53

Meunasah adalah sebuah tempat semacam mushalla/langgar, yang berfungsi

sebagai pusat segala kegiatan (centre of power) administrasi pemerintahan dan

kemasyarakatan. (wawancara dengan Badruzzaman isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh,

Selasa, 29 April 2014. 54

Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 73

55Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang

Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014. Lihat Juga:

Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel (Banda Aceh: MAA, 2012)

Page 79: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

65

yang diajukan ke tingkat mukim.56

Kewenangan mukim untuk menyelenggarakan

peradilan adat di tingkat mukim adalah terdapat pada qa>nu>n No. 4 Tahun 2003

tentang pemerintahan mukim dalam provinsi Aceh.57

Badan perlengkapan peradilan

adat ditingkat mukim dan mekanisme kerjanya hampir sama dengan tingkat

gampong.58

Bagan 3: Struktur dan Peran Peradilan Adat Mukim59

Pada pemerintahan Mukim, fungsionarisnya terdiri dari Imeum Mukim

sebagai ketua, dan Imeum Mesjid, Tuha Peuet, Keuchik dalam mukim yang

bersangkutan, para tokoh Ulama, dan cendikiawan duduk sebagai hakim anggota

dan sekretaris mukim sebagai panitera. Di beberapa tempat, terdapat pembagian

kewenangan dan peranan dalam pengelolaan kawasan antara mukim dan

gampong.Adapun kawasan yang berada diluar kawasan hunian, seperti blang

(sawah), laot (laut), gle (perbukitan), dan uteun rimba (hutan rimba) berada

dibawah kekuasaan mukim. 60

Untuk mengurus kawasan tersebut diatas pada

56

Wawancara dengan Badruzzaman Isma’il, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat Aceh,

Selasa, 29 April 2014. 57

Lembaga mukim berwenang untuk memutuskan dan atau menetapkan hukum

dalam hal adanya persengketaan-perengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat

(Pasal 4, butir e)

Majelis adat mukim berfungsi sebagai badan yang memelihara dan mengembangkan

adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-

keputusan adat terhadap perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum

terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat (pasal 12 ayat 2). 58

Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel (Banda Aceh: MAA, 2012, 8.

59 Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang

Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012 60

Sanusi M. Syarif, Anomi di Sempadan Mukim dan Gampong: menyingkap Konflik Batas dan pengelolaan Kawasan Sempadan di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu,

2011), 2.

Sekretaris Mukim

sebagai Panitera

Majelis

Adat

Sebagai

Anggota

Imeum

Chiek

sebagai

Anggota

Imeum

Mukim

sebagai

Ketua

Sidang

Tuha

Peuet

Sebagai

Anggota

Ulama,

cendikiawan,

Tokoh Adat

sebagai

Anggota

Page 80: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

66

tingkat mukim dibentuk lembaga adat khusus. Seperti untuk mengurus kawasan

laot, dibentuk panglima laot, petua euteun untuk mengurus kawasan hutan, petua seuneubok untuk kawasan ladang atau lampoh (perkebunan), pawang gle untuk

mengurus kawasan perbukitan, dan keujruen blang untuk mengurus kawasan sawah.

Apabila terdapat permasalahan atau sengketa yang terjadi antar warga pada wilayah

diluar hunian, maka proses penyelesaian sengketa dengan melibatkan lembaga yang

dimaksud.

2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Dalam hukum adat tidak dibedakan antara kasus perdata dan pidana, tetapi

untuk memudahkan penjelasan prosedur penanganannya, ada beberapa

pertimbangan dan prosedur yang harus diterapkan jika kasus pidana sedang

diselesaikan. Diantara kasus-kasus yang menjadi kewenangan Peradilan adat adalah

sebagaimana hasil temuan dilapangan, dan hasil rapat koordinasi antara MAA

dengan lembaga penegak hukum terdapat dalam Qa>nu>n Aceh No. 9 tahun 2008.61

Pada perakteknya, kasus-kasus tindak pidana ringan, seperti laka lantas ringan pun

kerap diselesaikan oleh Peradilan Adat.

1. Proses Penyelesaian kasus Perdata

Pihak korban atau kedua belah pihak melaporkan kasusnya kepada Kepala

Dusun (Kadus) atau langsung kepada keuchik dimana peristiwa tersebut terjadi

(asas teritorialitas).Setelah menerima laporan dari kadus atau dari pihak korban,

keuchik membuat rapat internal dengan perangkat gampong guna menentukan

jadwal sidang.62

Sebelum persidangan digelar, keuchik dan perangkatnya

61

Pasal 13 tentang Penyelesaian sengketa /perselisihan. Diantara sengketa adat dan

adat istiadat adalah;

Perselisihan dalam rumah tangga

Sengketa antar keluarga yang berkaitan dengan faraidh

Perselisihan antar warga

Khalwat meusum

Perselisihan tentang hak milik

Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan)

Perselisihan harta sahareukat

Pencurian ringan

Pencurian ternak peliharaan

Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan

Persengketaan di laut

Persengketaan di pasar

Penganiyayaan ringan

Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat

Pelecehan, fitnah, hasud, dan pencemaran nama baik

Pencemaran lingkungan (skala ringan)

Ancam-mengancam (tergantung dari jenis ancaman)

Perselisihan lain yang melanggar adaty dan adat istiadat. 62

Pada rapat ini ditentukan mediator bagi kedua belah pihak. (pada prakteknya,

dibeberapa peradilan adat dalam beberapa kasus ringan tidak mengadakan rapat internal,

Page 81: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

67

melakukan pendekatan dengan mediasi dan negoisasi terhadap kedua belah pihak,

yang bertujuan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan sekaligus

menanyakan kesediaan mereka untuk diselesaikan secara damai. Untuk kasus yang

korbannya perempuan atau anak dibawah umur, maka pendekatan dilakukan oleh

istri keuchik atau tokoh perempuan bijak lainnya. Jika kesepakatan penyelesaian

secara damai telah disetujui, sekretaris keuchik akan mengundang secara resmi

kedua belah pihak untuk menghadiri persidangan pada hari dan tanggal yang telah

ditetapkan.

Gambar 1: Tata Letak Sidang Peradilan Adat Gampong63

Pada saat persidangan berlangsung, para pihak dapat diwakili oleh walinya

atau saudaranya yang lain sebagai juru bicara. Persidangan bersifat resmi dan

terbuka yang biasanya digelar di meunasah. Persidangan berlangsung dengan penuh

khidmat dan keuchik mempersilahkan para pihak atau yang mewakilinya untuk

akan tetapi keuchik langsung mendatangi orang tuha untuk memberikan mandat untuk

bermusyawarah kepada pihak yang bersengketa sebelum sidang dilaksanakan). (Wawancara

dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang Pengembangan dan

Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014). 63

Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012

Sekretaris Gampong

(Panitera)

Imeum Meunasah

(Anggota Sidang) Keuchik

(Ketua Sidang)

Tuha Peuet

(Anggota Sidang)

Ulama, Cendikiawan,

dan Tokoh Adat

(Anggota Sidang)

Saksi Para Pihak Saksi

Pengunjung Sidang

(masyarakat Setempat dan Sanak

Saudara Para Pihak)

Page 82: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

68

menyampaikan persoalannya yang kemudian dicatat oleh Panitera. Keuchik

mempersilahkan para saksi untuk menyampaikan kesaksiannya dan biasanya jika

dirasa perlu, para saksi sebelum menyampaikan kesaksiannya akan diambil sumpah

terlebih dahulu. Keuchik memberikan kesempatan kepada Tuha Peuet ulama,

cendekiawan dan tokoh adat lainnya untuk menanggapi dan menyampaikan jalan

keluar terhadap kasus tersebut.

Keuchik beserta seluruh anggota sidang memusyawarahkan putusan damai apa

yang akan diberikan. Jika mereka telah sepakat tentang jenis putusan damai yang

akan dijatuhkan, maka Keuchik menanyakan kembali kepada para pihak apakah

mereka siap menerima putusan damai tersebut. Jika jawaban mereka adalah

menerima putusan itu, maka panitera menulis diktum putusan tersebut yang sering

disebut surat perjanjian perdamaian.64

Apabila salah satu pihak atau kedua belah

pihak tidak setuju terhadap putusan perdamaian, maka para pihak dapat

mengajukan ke forum persidangan Mukim. Ketidaksetujuan para pihak terhadap

putusan peradilan adat Gampong juga harus dinyatakan dalam surat penetapan

putusan dan berdasarkan surat penetapan tersebut kasus itu dapat diajukan ke

persidangan Mukim.

Keuchik membaca putusan perdamaian dan meminta kepada para pihak untuk

menandatangani akta perdamaian serta melaksanakan isi putusan itu dengan

sungguh sungguh. Putusan tersebut dan salinannya diberikan kepada para pihak,

disimpan sebagai arsip baik di kantor Keuchik maupun di kantor Mukim. Setelah

putusan disepakati dan diterima oleh para pihak, maka pada pertemuan berikutnya

putusan tersebut akan dieksekusi melalui suatu upacara perdamaian:

a. Kepada salah satu atau kedua belah pihak akan dikenakan sanksi, yang

berat ringannya sangat tergantung pada jenis pelanggaran atau pidana adat

yang mereka lakukan.

b. Pelaksanaan (eksekusi) itu dilakukan melalui upacara perdamaian dengan

membebankan sesuatu pada para pihak atau pada satu pihak tergantung

keputusan (ada hubungan dengan tingkat kesalahan).

Apabila semua pihak sudah merasa puas, dengan rumusan penetapan putusan, maka

barulah pada hari yang ditetapkan dilakukan eksekusi melalui suatu upacara

perdamaian di Meunasah dihadapan umum, atau di tempat lain (atas persetujuan

bersama). Putusan penyelesaian sengketa itu dicatat dalam sebuah buku induk

registrasi kasus yang di dalam buku tersebut memuat Nomor, Tanggal pelaporan

dan nama pelapor, Jenis kasus, Uraian singkat pokok perkara, Tanggal

penyelesaiannya, Uraian singkat putusan perdamaian. Berikut adalah contoh

putusan dalam bentuk akta perdamaian penyelesaian sengketa perkara perdata:

64

Contoh Surat Perdamaian terdapat pada lampiran.

Page 83: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

69

Gambar 2: Contoh Akta Perdamaian Perkara Perdata (kasus hutang-piutang)

Akta perdamaian tersebut adalah salah satu contoh surat perjanjian damai

antara kedua belah pihak yang bersengketa dalam sengketa hutang-piutang.

Perkaranya adalah sebagai berikut65

:

Pihak pertama melaporkan pihak kedua kepada Keuchik gampong terkait

sangkut-paut hutang piutang antara pihak pertama dengan ayah dari pihak

kedua. Pihak pertama menuntut haknya kepada pihak kedua untuk

membayarkan hutang ayahnya.

Pihak kedua merasa bahwa ayahnya sudah membayarkan hutangnya kepada

pihak pertama ketika beliau masih hidup, dihadapan saksi pihak ketiga.

Pihak kedua membawa sanksi pihak ketiga kepada Keuchik gampong.

Setelah pihak ketiga memberikan kesaksiannya dihadapan perangkat

gampong, maka Keuchik segera menanyai kebenarannya kepada pihak

65

Kronologi penyelesaian sengketa disarikan dari hasil wawancara dengan Keuchik

Gampong, Bpk. Bukhari Ibrahim, dan Sekretaris Gampong, Bpk. Razali Ibrahim, 1 Mei

2014.

Page 84: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

70

pertama dan kedua. Kedua belah pihak dihadapkan bersama dan dimediasi

agar mendapatkan penyelesaian dari permasalahan hutang piutang tersebut.

Setelah proses mediasi, akhirnya pihak pertama mengakui bahwa ia telah

keliru menuduh keluarga pihak kedua atas perkara hutang-piutang yang

belum dibayarkan oleh ayahnya.

Pihak pertama memohon maaf kepada pihak kedua dan berjanji untuk tidak

mengulangi kesalahannya lagi. Apabila ia melanggar, maka ia bersedia

dihadapkan dengan proses hukum dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

2. Prosedur Penyelesaian Kasus Pidana

Prosedur dan kerangka penyelesaian perkara pidana hampir sama dengan

perkara perdata, hanya saja ada beberapa tindakan awal yang harus dilakukan oleh

para pelaksana peradilan adat guna menghindari terjadinya sengketa yang lebih

berat. Sekarang, terdapat tiga alur yang dilakukan masyarakat dalam pelaporan

sengketa pidana, yaitu ke polisi dan perangkat gampong.66

Gambar 3: Tiga Alur pelaporan sengketa bersifat kepidanaan

Alur pertama67

:

Para pihak Perangkat gampong

Alur Kedua68

:

Para Pihak

Perangkat Gampong Polisi

66

Tiga alur ini disebabkan karena beberapa faktor. pertama, karena masyarakat belum

memahami prosedur penyelesaian (hal ini terjadi biasanya jika korban/pelaku adalah

masyarakat pendatang) dan yang kedua, karena masyarakat lebih percaya kepada polisi,

daripada keuchik (penyebab hilangnya kepercayaan ini adalah karena keuchik baru

diangkat)Akan tetapi pada akhirnya penyelesaian dilakukan oleh peradilan gampong dengan

perangkat gampong (wawancara dengan Bpk. Muhammad Asngad, Keuchikgampong

timang Gajah, Kec. Gajah Putih, Bener Meriah, 11 Mei 2014) 67

Para pihak langsung melapor kepada perangkat gampong 68

Para pihak melaporkan ke polisi setempat, akan tetapi karena perkara itu sudah

menjadi kewenangan Gampong, maka polisi setempat mengembalikan permasalahan itu

ketingkat gampong, dengan menyuruh para pihak untuk melapor kepada Keuchik.

Page 85: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

71

Alur ketiga69

:

Para pihak

Perangkat gampong Polisi

Adapun tindakan awal yang harus dilakukan oleh para pelaksana peradilan adat

dalam proses penyelesaian sengketa pidana adalah memberi pengamanan

secepatnya melalui pemberian perlindungan kepada kedua belah pihak di suatu

tempat yang dirahasiakan.70

Perangkat Gampong berinisiatif dan proaktif

menghubungi berbagai pihak71

.

Siapapun yang melihat atau mengetahui atau menyaksikan peristiwa pidana,

dapat segera melaporkan kepada Keuchik untuk segera mengambil langkah-langkah

pengamanan dan penyelesaian. Pengaduan dapat terjadi atas pelaporan langsung

para pihak atau oleh salah satu pihak kepada Keuchik (tidak terikat prosedural

waktu dan tempat), tergantung bagaimana kondisi berat atau ringannya

pelanggaran. Situasi pelaporan yang demikian dimaksudkan agar dapat diambil

tindakan preventif (agar tidak cepat meluas/berkembang). Perangkat Gampong

langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk mencari sebab-sebab

terjadi sengketa pada para pihak dan mencari bukti-bukti kebenaran pada pihak

saksi lainnya yang mungkin mengetahui atau melihat proses sengketa tersebut

kepada para pihak, dengan berbagai cara pendekatan diluar persidangan

musyawarah formal.

Selama proses penyelesaian tersebut orang tua dari keluarga para pihak

harus terus berupaya membuat suasana damai dan sejuk terhadap para pihak

melalui penyadaran atas segala perbuatan dan tingkah laku yang menyebabkan

mereka bersengketa. Apabila suasana sejuk dan kondusif telah mampu

dipertahankan dan data-data pembuktian sudah lengkap, barulah para pihak, wakil

keluarga beserta ‚ureung-ureung tuha‛ dibawa ke sidang musyawarah di Meunasah

69

Para pihak melaporkan permasalahannya kepada pihak kepolisian dan juga diwaktu

yang sama melaporkan kepada Keuchikgampong 70

Lembaga adat Gampong tidak mengenal rumah tahanan, penjara atau lembaga

pemasyarakatan. Biasanya diamankan sementara di rumah keluarga atau rumah Keuchik,

atau untuk sementara meninggalkan Gampong, pergi ke tempat lain yang aman dan

terlindung, dengan pengawalan oleh perangkat gampong (Wawancara dengan Sanusi M.

Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang Pengembangan dan Pelestarian gampong dan

Mukim, Senin, 19 Mei, 2014.) 71

Yaitu para saksi, jika diperlukan menghubungi petugas kepolisian untuk membantu

proses pengawalan dan pengamanan pelaku agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

(wawancara dengan Bpk. Muhammad Asngad, Keuchikgampong timang Gajah, Kec. Gajah

Putih, Bener Meriah, 11 Mei 2014)

Page 86: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

72

(bila warga se gampong) atau ke Mesjid (bila sengketa itu melibatkan warga antar

gampong yang berlainan). Jika kasus tersebut merupakan kekerasan terhadap

perempuan dan anak atau kasus yang terkait dengan persoalan rumah tangga, maka

persidangan perkara ditutup untuk masyarakat luas, dan pemangku adat harus

memastikan adanya pendamping bagi perempuan dan anak pada proses

persidangan.72

Penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan data/bukti yang telah

diinventarisir dalam penjajakan awal dan berdasarkan prinsip perdamaian, sebagai

landasan hukum pertama dalam penyelesaian perkara adat. Dalam proses

perdamaian ini, diberikan kesempatan kepada masing-masing pihak secara formal

dalam persidangan untuk menyatakan penerimaan atau penolakan terhadap proses

dan hasil perdamaian.73

Keputusan sidang perdamaian diambil berdasarkan pertimbangan yang matang

oleh semua anggota majelis peradilan adat agar dapat diterima oleh para pihak

untuk mengembalikan kedamaian dan keseimbangan dalam masyarakat. Eksekusi

(pelaksanaan) keputusan oleh Keuchik dilakukan dalam suatu upacara yang

ditetapkan pada waktu yang telah disetujui bersama. Dalam upacara perdamaian

tersebut disiapkan surat perjanjian yang harus ditandatangani oleh para pihak yang

berisikan perjanjian untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang menimbulkan

sengketa. Pemangku adat harus melakukan pemantauan setelah proses eksekusi,

karena setelah upacara damai, perkara dapat saja terjadi secara berulang, sehingga

pemangku adat dapat mengambil langkah-langkah lain termasuk mengupayakan

rujukan.74

Berikut adalah contoh akta perdamaian hasil putusan peradilan adat pada

kasus pidana:

72

Pada kasus KDRT misalnya, sang istri dalam menyelesaikan kasusnya, selain

dikawal oleh pejabat perempuan, juga harus dibentengi oleh keluarganya untuk

melindunginya.(wawancara dengan AKP. El Putri, Polda Aceh, Banda Aceh, 20 Mei 2014). 73

Pada beberapa tempat, Proses persidangan diawali dengan proses ‚pendinginan‛

oleh ureung tuha, dengan membacakan beberapa hadits atau ayat al Qur’an yang berkaitan

dengan ukhuwah, peringatan untuk damai, dan lainnya, agar proses berjalan dengan

khidmat. Karena pada dasarnya orang Aceh meskipun berwatak keras, akan tetapi bila

sudah dibacakan firman Allah, hatinya akan menjadi lluluh (wawancara dengan Amin. H,

Sekretaris Gampong Meriah Jaya, Kec. Gajah Putih, 10 Mei 2014) 74

Pada beberapa kasus seperti penganiayaan, Pemantauan dan pengamanan juga

dilakukan oleh polmas setempat. (wawancara dengan AKP. El Putri Polda Aceh, Banda

Aceh, 20 Mei 2014).

Page 87: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

73

Gambar 4: Contoh akta damai hasil putusan peradilan adat pada kasus pidana

(Kasus Pengancaman dan Penganiayaan):

Surat pernyataan damai tersebut sudah disetujui oleh kedua belah pihak.

Adapun kronologi kasusnya adalah75

:

Pada tanggal 31 Agustus 2012 sekira pukul 21.00 WIB, pihak pertama,

Zulfikar (bukan nama asli) mendatangi pihak kedua, Ibrahim (bukan nama

asli). Pihak pertama mengancam pihak kedua akibat orangtua atau abang

ipar pihak kedua memiliki hutang kepada pihak pertama.

75

Kronologi kasus tersebut didapatkan penulis dari hasil wawancara dengan

Sekretaris gampong (Abdul Muthalib), dan keuchik gampong (Muslim Syamaun), 3 Mei

2014.

Page 88: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

74

Pihak pertama menagih hutang tersebut kemudian mengambil barang yang

ada dirumah pihak kedua, sebagai pembayaran hutangnya

Pihak kedua tidak terima barangnya diambil dan meminta agar pihak

pertama mengembalikannya

Pihak pertama kehilangan kesabaran dan akhirnya terjadilah keributan

antara keduanya.

Keluarga pihak kedua segera melaporkan kejadian tersebut kepada keuchik

gampong.

Keuchik gampong bersama fungsionaris adat yang lain langsung

mengamankan kedua belah pihak yang bersengketa.

Keesokan harinya keuchik gampong mengadakan pendekatan kepada kedua

belah pihak terkait kasus yang sedang dialami dan menanyakan keduanya

apakah keduabelah pihak bersedia untuk menyelesaikan masalah mereka

secara damai atau tidak. Akhirnya kedua belah pihak bersedia untuk

menyelesaikan sengketa secara damai.

Keesokan harinya, 02 Oktober 2014 perangkat gampong dan kedua belah

pihak bersama-sama bermusyawarah untuk mencari penyelesaian sengketa

bagi kedua belah pihak.

Setelah dimediasi akhirnya pihak pertama mengakui kesalahannya telah

mengancam dan melakukan penganiayaan, sehingga pihak kedua terluka.

Adapun hasil keputusan adalah;

Pihak pertama memohon maaf kepada pihak kedua.

Membayar denda adat kepada pihak kedua sebesar Rp. 1.000.000,- (Satu

Juta Rupiah)

Keduabelah pihak berjanji untuk tidak saling mengejek dikemudian hari

setelah terjadinya perdamaian ini. Apabila ada yang mengulanginya

dikemudian hari, maka orang yang memulai tersebut akan ditindak sesuai

dengan hukum yang berlaku.

Kedua belah pihak saling memaafkan dan tidak ada rasa dendam karena

masih ada hubungan keluarga dekat sekali.

Setelah dibuatnya surat perdamaian tersebut, keduabelah pihak tidak saling

menuntut dan mereka akan rukun kembali seperti sedia kala. Surat tersebut

dilaporkan kepada Polsek Muara tiga, Pidie.

Contoh penyelesaian kasus tersebut adalah contoh kasus yang dilaporkan oleh

korban kepada fungsionaris adat, tanpa ada campur tangan kepolisian, namun

setelah kasus tersebut diselesaikan secara damai, maka hasil penyelesaiannya atau

surat perjanjian perdamaian dilaporkan kepada kepolisian sebagai bukti bahwa

kasus tersebut telah diselesaikan secara damai.

Selain kasus yang dilaporkan korban kepada fungsionaris adat secara langsung,

terdapat juga kasus yang dilaporkan korban kepada kepolisian (satpol PP dan

wilayatul hisbah). Biasanya kasus tersebut dilakukan oleh pelaku diluar

kediamannya (bukan didaerahnya).

Sesuai dengan mekanisme penyelesaian sengketa tersebut, maka dapat dilihat

skema peran dan posisi perangkat Gampong dalam persidangan adalah dibawah

peradilan Mukim. Apabila kedua belah pihak tidak menerima hasil keputusan

Page 89: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

75

fungsionaris adat gampong, maka pihak yang tidak menerima dapat membawanya

ke tingkat mukim, namun apabila putusan peradilan adat mukim juga tidak diterima

oleh kedua belah pihak, maka perkara akan diselesaikan sesuai dengan hukum

positif yang berlaku di Indonesia. Berikut adalah peran dan posisi peradilan adat

gampong dan mukim:

Bagan 4: Peran dan Posisi Perangkat Gampong dalam Peradilan Adat76

Badruzzaman Isma’il mengatakan: ‚Yang lemah dibimbing, yang pincang

dipapah, yang kurang ditambah, yang ganjil digenapkan, yang salah dibetulkan,

yang lupa diingatkan, yang menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, yang

keliru diingatkan‛.77

Konsep mediasi dan negoisasi yang diterapkan oleh peradilan

Adat Aceh memiliki kelebihan yaitu memberikan pendekatan yang lebih terstruktur

dengan langkah-langkah tertentu. Kasus serumit apapun punya kemungkinan untuk

diselesaikan jika para pelaksana peradilan adat menerapkan teknik mediasi dan

76

Aryos Nivada, “Tawaran Model Sistem Peradilan Adat Aceh Bersinergis Peradilan

Hukum Nasional, Masyarakat Aceh tamiang”, http://www.acehinstitute.org, (diakses pada

tanggal 17 Februari 2014, pukul 12.39) 77

Badruzzaman Ismail, Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2013)164

Musyawarah

Mukim

Diagendakan

oleh sekdes

Rapat Aparat gampong

untuk Musyawarah

Masyarakat yang

bersengketa

Kadus/Keuchik/

sekdes/ tuha

peuet/keujreun

Melapor ke

Keputusan

Musyawarah

gampong

Ditolak Diterima

Banding

Kedua belah

pihak menerima

hasil musyawarah

Damai

(sengketa

selesai)

Page 90: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

76

negosiasi secara tepat, yaitu bagaimana cara mendamaikan para pihak yang

bersengketa, sehingga harmonisasi masyarakat bisa kembali dicapai.78

3. Pola peradilan Adat Aceh

Bertolak kepada prinsip penyelesaian sengketa ‚permasalahan yang besar

dikecilkan, dan permasalahan kecil dihilangkan‛ menjadikan peradilan adat di Aceh

mendapatkan kepercayaan yang besar bagi masyarakat Aceh,79

karena mengacu

pada nilai kultural/adat budaya Aceh yang hidup berkelanjutan dan berkembang

dalam masyarakat.80

Selain itu hasil yang diinginkan dari peradilan adat adalah

kepuasan dari kedua belah pihak yang bersengketa, rasa bertanggung jawab,

kebesaran jiwa untuk saling memaafkan, serta kembalinya harmonisasi dalam

kehidupan bermasyarakat.81

Apapun yang dimusyawarahkan haruslah berwujud

pada ‚selesainya‛ suatu masalah, bukan memperkeruh, atau bahkan menciptakan

masalah baru.82

Sistem penyelesaian sengketa melalui jalan damai oleh Mohammad Hosein

(1970) disebut Suloh83 atau Hukum peujroh84

yang berarti memperbaiki.85

Terdapat

juga pola penyelesaian di’iet86, sayam87

, dan peumat jaroe88 yang dimanfaatkan

sebagai mediasi, prosesi rekonsiliasi, bermartabat melalui kemaafan (forgiven) dan

kompensasi (barang/benda, uang)89

78

Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang

Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014.) 79

Hasil penelitian dari BAPPENAS dan UNDP, tahun 2012, bahwa 92% dari

masyarakat Aceh merasa puas dengan penyelesaian sengketa secara adat. (Wawancara

dengan Prof Badruzzaman Isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh, 29 april 2014). 80

Wawancara dengan Drs. Yusriadi, M.Si, Anggota Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,

24 April 2014 81

Wawancara dengan Prof Badruzzaman Isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda

Aceh, 29 April 2014. 82

Teuku Raja Itam Aswar, Kasus-Kasus Penyelesaian Melalui peradilan adat:

makalah disampaikan pada pelatihan pada pelatihan adat bagi fungsionaris adat se-provinsi Nanggroe Aceh darussalam, 4-8 september 2007 di Banda Aceh (Banda Aceh:Majelis Adat

Aceh, 2007), 6 83

Suloh berasal dari bahasa arab yang berarti perdamaian, persetujuan, atau

penyelesaian. 84

Artinya hukum kebaikan 85

Teuku Mohd Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 72

86Berasal dari bahasa arab, yaitu diyat

87 Berasal dari tradisi Hindu. Ajaran ini sebenarnya tidak murni lagi ajaran Hindu,

namun sudah disaring (filter) oleh syari’at Islam. 88

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 252

89Badruzzaman Ismail, mekanisme Lokal dalam Menyelesaiakan Kasus Masa Lalu

menuju Perdamaian Sejati, Disampaikan saat seminar ‚Percepatan Pembentukan KKR Aceh dalam Upaya Memberikan Keadilan Bagi Korban dan Memantapkan Perdamaian di Aceh,

Page 91: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

77

a). Suloh Suloh dalam bahasa Aceh berasal dari bahasa arab, yaitu al-s}ulh}}u atau islah,

yang berarti upaya perdamaian. Suloh digunakan sebagai sarana untuk menjaga

keseimbangan sosial, akibat adanya sengketa atau konflik. Suloh diarahkan pada

upaya perdamaian pada kasus-kasus perdata.90

Dalam praktek negoisasi dan mediasi

untuk pola suloh keuchik dan tengku meunasah melibatkan perangkat lain, seperti

peutua seuneubok, panglima laot, dan keujreun blang. Pelibatan ini karena

merekalah yang paling memahami dan mengetahui asal usul terjadinya sengketa

dalam wilayah dan ruang lingkup kerjanya. Penyelesaian sengketa melalui suloh ini,

biasanya dapat juga diselesaiakan ditempat kejadian oleh petua adat yang

menguasai daerah tertentu, tanpa sampai kepada keuchik.91

b). Di’iet Di’iet berasal dari bahasa arab, yaitu diyat, beararti pengganti jiwa atau

pengganti anggota tubuh yang hilang atau rusak. Yaitu kompensasi atau diyat yang

diserahkan oleh pelaku pidana kepada keluarga korban (ahli warisnya) dalam tindak

pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota tubuh. Dalam hukum pidana

Islam, diyat digunakan kepada pelaku kejahatan pembunuhan maupun

penganiayaan setelah adanya proses hukum yang berakhir dengan pemaafan. Dalam

adat Aceh, kasus pembunuhan diselesaikan dengan pola di’iet, dan kejahatan

terhadap anggota tubuh diselesaikan dengan pola sayam. Esensi di’iet terletak pada

penghormatan dan penghargaan terhadap jiwa atau anggota tubuh manusia, bukan

pada nilai kompensasi dari setiap nyawa atau anggota tubuh korban yang diganti

dengan harta. Pembayaran di’iet dimulai dengan proses hukum terhadap pelaku

tindak pidana, sehingga dapat diketahui dengan jelas pelakunya dan tingkat

kemaafan yang diberikan oleh korban atau keluarga korban.

Para fasilitator, negoisator, dan mediatormelakukan pembicaraan awal

dengan ahli waris korban dan pelaku pidana atau ahli warisnya, untuk menghindari

kedendaman dibelakang hari. Mereka juga mendengar tuntutan para pihak serta

menawarkan solusi penyelesaian dengan kacamata adat dan agama. Jika para pihak

sudah sepakat untuk berdamai dan bersedia membayar sejumlah harga untuk

kompensasi, baru digelar upacara di’iet.92

Banda Aceh, 15-17 Mei, 2007, 232,

http://www.kontras.org/buku/bagian%20IV%20aceh.pdf, (diakses pada 13 Juni 2014) 90

Kasus-kasus perdata yang diselesaiakan melalui institusi suloh ini, umumnya

berkaitan dengan perebutan sentra-sentra ekonomi, seperti batas tanah, tali air di sawah,

lapak tempat berjualan, daerah sungai tempat menangkap ikan, dll. 91

Penyelesaian secara suloh biasanya cukup dengan saling memaafkan, wawancara

dengan Bpk. Abdul Mutalib, sekretaris gampong Keupula, Kec. Muara Tiga, kab. Pidie,

Nanggroe Aceh Darussalam, 3 May 2014. 92

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 257

Page 92: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

78

c). Sayam Sayam adalah bentuk kompensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku

pidana terhadap korban atau ahli waris korban, khusus berkaitan dengan rusak atau

tidak berfungsinya anggota tubuh. Filosofi sayam bagi masyarakat Aceh bersumber

dari adagium yang sudah dikenal lama, yaitu: ‚luka ta sipat darah ta sukat93‛ Sama

halnya dengan di’iet, prosesi sayam difasilitasi oleh keuchik dan tengku meunasah,

yaitu dengan melakukan negoisasi dengan para pihak yang bersengketa. Sayam,

berupa pemaafan dan kompensasi menjadi bagian dari watak hidup mayarakat Aceh

dalam membangun equilibrium/penyeimbang (DAMAI), dalam kehidupan.94

d). Peumat Jaroe Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada di’iet, sayam, dan suloh

adalah peumat jaro (berjabat tangan) dan peusijuk95. Kedua proses ini dianggap

memegang peranan yang penting dalam menjalin rasa persaudaraan antara pihak

yang bersengketa.96

Apabila dilihat dan dianalisa lebih jauh, pada hakikatnya pola suloh berlaku

juga pada di’iet dan sayam. Hakikatnya, pola suloh adalah sebuah proses

penyelesaian sengketa secara damai, sedangkan di’iet dan sayam merupakan bentuk

sanksi.

4. Pelaksanaan Putusan Peradilan Adat dan Hubungannya dengan

Putusan Pengadilan Positif.

Bentuk-bentuk sanksi adat yang diterapkan di masyarakat Aceh berupa:

pergantian/kerugian materil/non materi, membayar uang adat, dan membayar

upacara kenduri selamatan. Apabila sengketa besar,97

biasanya dengan pemotongan

hewan (lembu/kambing) atau dengan membayar denda,98

dan melaksanakan

93

Luka seseorang harus diukur lebarnya dan darah yang mengalir juga harus diukur

banyaknya. 94

Badruzzaman Ismail, mekanisme Lokal dalam Menyelesaiakan Kasus Masa Lalu

menuju Perdamaian Sejati, Disampaikan saat seminar ‚Percepatan Pembentukan KKR Aceh dalam Upaya Memberikan Keadilan Bagi Korban dan Memantapkan Perdamaian di Aceh,

Banda Aceh, 15-17 Mei, 2007, 232,

http://www.kontras.org/buku/bagian%20IV%20aceh.pdf, (diakses pada 13 Juni 2014) 95

Prosesi tepung tawari seseorang atau benda dengan maksud untuk mendapatkan

kesejukan hati. 96

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional (Jakarta: Kencana, 2011), 266

97Contohnya adalah penganiayaan yang mengakibatkan luka berdarah dibahagian

perut ke kepala. 98

Mengenai sanksi pembayaran denda bisa jadi tidak sama disetiap Gampong. Hal ini

sesuai dengan adat dan kebiasaan serta kesepakatan bersama masyarakat gampong tersebut.

Seperti, di Gampong Dayah krako, Kec. Indrajaya, kab. Pidie, kasus penganiayaan yang

menyebabkan luka berdarah sanksinya menyembelih seekor kambing. Hal ini serupa dengan

Gampong meunasah Mancang kec. Meurah 2 Kab. Pidie Jaya. Berbeda dengan Gampong

Keupula, Kec. Muara 3, Kab. Pidie, kasus tersebut didenda membayar sejumlah uang sesuai

dengan kesepakatan keduabelah pihak. Hal ini juga serupa dengan peradilan adat di

Page 93: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

79

prosedur inti, yaitu permintaan maaf di meunasah oleh pelaku kepada korban.

Secara detail, sanksi atau hukuman yang masih berlaku dalam hukum adat Aceh

diatur dalam qa>nu>n Aceh Nomor 9 Tahun 2008.

‚Diantara sanksi yang berlaku adalah: Nasehat, teguran, Pernyataan maaf,

Sayam, Diyat, Denda, Ganti Kerugian, Dikucilkan oleh msyarakat Gampong,

dikeluarkan oleh masyarakat Gampong atau nama lain, pencabutan gelar adat, dan

bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat.‛99

Pelaksanaan sanksi adat akan dilakukan stelah putusan dibacakan. Untuk

sanksi diyat pelaksanaan putusannya lebih longgar yaitu tergantung kepada

kemampuan ekonomi pelanggar. Untuk sanksi adat dikeluarkan dari gampong,

pelaksanaannya tidak dilakukan segera, akan tetapi diberikan waktu secukupnya

untuk bersiap-siap meninggalkan kampung halamannya.100

Setelah putusan

dibacakan dan sanksi dilaksanakan, maka dilakukan pengawalan kepada keduabelah

pihak oleh perangkat gampong dan jika perlu kepolisian. Hal ini dimaksudkan

untuk mengamankan pelaku/korban, ditakutkan masih tersimpan dendam antar

keduanya.

Adapun putusan peradilan adat memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht101

) apabila putusan tersebut telah diterima oleh kedua belah pihak yang

bersengketa dan tidak dimajukan banding ketingkat Peradilan Mukim. Apabila ada

salah satu pihak yang bersengketa tidak menerima putusan peradilan adat, maka

putusan tersebut belum in kracht, dan pihak yang tidak menerima putusan dapat

mengadakan banding ketingkat Mukim. Jika putusan tingkat Mukim juga tidak

diterima, maka ia dapat mengajukan perkara ke peradilan negeri atau Mahkamah

Syar‘iyah tingkat Kota/Kabupaten, kemudian banding ketingkat Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam, dan terakhir adalah Kasasi di Mahkamah Agung.

Gampong Timang Gajah, Kec. Gajah Putih, Kab. Bener Meriah, dan gampong Umah Besi,

Kec. Gajah Putih, Kec. Bener meriah. (wawancara dengan Keuchikgampong Dayah Krako,

Bpk. Sarifudin Isma’il, 1 Mei 2014, Keuchikgampong Meunasah mancang, Bpk. Bukhari, 2

Mei 2014, Sekretaris Gampong Keupula, Bpk. Abdul Muthalib, 3Mei 2014, Keuchik Gampong Timang gajah, Bpk. Mohammad Asngad, 11 Mei 2014, dan Keuchik Gampong

Umah Besi, Bpk. Abdul Aziz, 11 Mei 2014) 99

Pasal 16, Qa>nu>n Aceh Nomor 9 Tahun 2008,

http://www.bphn.go.id/data/documents/08pdaceh009.pdf, (diakses pada 16 Juni 2014) 100

Wawancara dengan Keuchikgampong Lampulo, Banda Aceh, Alta Zaini, Senin, 19

Mei 2014. 101

In kracht berasal dari bahasa Belanda, Kracht berarti kekuatan, maksudnya

putusan hakim yang telah memiliki kekuatan tetap, artinya segera setelah terhadap

keputusan itu tidak lagi terbuka suatu jalan hukum pada hakim lain atau hakim itu juga

untuk mengubah keputusan itu, seperti perlawanan, naik banding atau kasasi. Selama

perkara itu masih dapat dilawan, dibanding atau dimintakan kasasi, maka selama itu

keputusan tidak dapat dijalankan belum menjadi tetap. Keputusan itu menjadi tetap dalam

hal setelah baik terpidana maupun jaksa menerangkan, bahwa mereka masing-masing

menerima keputusan itu. (Lihat: Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012),

231 http://www.deskripsi.com/hukum/kracht, diakses pada 26 Januari 2014)

Page 94: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

80

Dalam perkara pidana di Indonesia, sesuai dengan UU Nomor 22 tahun

2002 tentang grasi mengatakan bahwa putusan mempunyai kekuatan hukum tetap

(inkracht van gewijsde) apabila:

1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi

dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara

Pidana;

2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu

yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau

3. putusan kasasi.102

Jadi, berdasarkan penjelasan diatas, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum

tetap bila:

1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding

setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan

diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur

dalam Pasal 233 ayat (2). Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (‚KUHAP‛), kecuali untuk putusan bebas

(vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan

tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP).

2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam

waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi

itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1, Pasal 246 ayat [1]

KUHAP).

3. Putusan kasasi.103

Adapun dalam perkara perdata, putusan dapat memiliki kekuatan hum tetap dapat

merujuk pada penjelasan Pasal 195 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (‚HIR‛)

sebagai ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, yang berbunyi sebagai

berikut:

‚Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah

memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya

maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-

undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan

hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak

ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka

peradilan akan tidak ada gunanya‛

‚Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari

pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk

melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus

102

Lihat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi,

http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl19984/node/17452, diakses pada 26

Januari 2014 103

Ilman Hadi, Kapan Putusan Memiliki Kekuatan Hukum Tetap, Hukum Online,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50b2e5da8aa7c/kapan-putusan-pengadilan-

dinyatakan-berkekuatan-hukum-tetap?, diakses pada 26 Januari 2014

Page 95: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

81

benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan

pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu

sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat

waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan

dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.‛104

C. Peradilan Adat Aceh Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia

Kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional, sudah jelas setelah

dibuat Ketetapan Majelis permusyawaratan rakyat Nomor IV/MPR/1999 yang

merupakan patokan politik hukum di Indonesia dan kemudian dibuat pasal 18 B

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Pasal 18 B (2) Undang-undang Dasar

(UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa

‚Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kasatuan Republik Indonesia yang

diatur dalam undang-undang‛. Pada penjelasan Pasal tersebut dijelaskan,‚daerah-

daerah zelf besturende (Aceh) dan volk sgemeens happen (persekutuan hukum

masyarakat seperti Marga, Peradilan Adat Gampong (Aceh), dll) diberi kedudukan

sebagai daerah istimewa dan Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan

daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara mengenai daerah

itu‛Landschappen (daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri contohnya desa,

nagari, dusun, dan gampong. Hak asal usul dalam suatu masyarakat hukum diatur

oleh hukum adat, dengan demikian dalam daerah istimewa tersebut berlaku hukum

adat dan ketentuan perundangan ditundukkan kepada hukum adat.105

Hak asal usul adalah hak yang telah ada pada suatu kesatuan masyarakat

hukum adat sejak terbentuknya kesatuan masyarakat hukum adat bersangkutan.

Hak itu berupa hak menentukan pimpinannya sendiri, hak mempunyai wilayah

tertentu, hak menguasai dan mengelola sumber daya alam dalam wilayahnya untuk

kemanfaatan warganya, hak membentuk dan melaksanakan ketentuan hukum adat

dan hak menyelenggarakan sejenis peradilan untuk mempertahankan hukum

adatnya, serta pimpinannya mempunyai kewenangan bertindak kedalam dan keluar.

Kewenangan yang bertindak kedalam adalah kewenangan pimpinan mengatur

masyarakat dan sumber daya alam dalam wilayahnya. Adapun kewenangan keluar

adalah kewenangan pimpinan bertindak atas nama kesatuan masyarakat hukum

dalam hubungan dengan pihak luar. 106

104

Lihat: Pasal 195 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui,

file:///C:/Users/Hifdhoh/Downloads/PKOL_HIR-RIB_44_1941.PDF, 77 (Pernyataan ini

diambil dari Ilman Hadi, Kapan Putusan Memiliki Kekuatan Hukum Tetap, Hukum Online,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50b2e5da8aa7c/kapan-putusan-pengadilan-

dinyatakan-berkekuatan-hukum-tetap?, diakses pada 26 Januari 2014) 105

Teuku Mohd. Djuned, Bunga Rampai Adat Adalah Kearifan: Pemaknaan Adat dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 22

106 Teuku Mohd. Djuned, Bunga Rampai Adat Adalah Kearifan: Pemaknaan Adat

dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 23

Page 96: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

82

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Gampong dan

Mukim di Aceh, selain sebagai lembaga pemerintahan akan tetapi juga sebagai

lembaga Adat. Sebagai lembaga adat, maka gampong dan mukim berwenang untuk

menyelesaikan sengketa atau perselisihan. Kewenangan tersebut tercermin dalam

Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh.

Menurut Undang-Undang tersebut, Aceh diberikan empat keistimewaan

dalam kehidupan bernegara, salah satunya adalah pelaksanaan adat istiadat. Adanya

keistimewaan ini memungkinkan diaktualisasi kehidupan adat di Aceh dalam

kehidupan masyarakat.107

Undang-Undang tersebut juga memberikan kewenangan

kepada masyarakat Aceh untuk menyelenggarakan Peradilan adat sebagai sebuah

Lembaga Adat sekaligus mencerminkan keistimewaan Aceh. Peradilan adat ini

tidak seperti yang dimaksud oleh pasal 24 Undang-Undang Tahun 1994 yang

menyatakan tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pada pasal 24 ayat 2

dikatakan bahwa:

‚Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan

peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan negara, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.‛108

Undang-Undang 1945 juga mengakui keberadaan sistem Pemerintahan

tradisional sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945. Salah

satu komponen peradilan di Indonesia diimplementasikan pelaksanaannya dengan

pengertian peradilan adat. Adapun yang dimaksud dalam peradilan adat ini adalah

sebagai mediasi non litigasi.

Turunan dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 yaitu diundangkan

Qa>nu>n Provinsi nanggroe Aceh darussalam No. 4 Tahun 2003 tentang pemerintahan

mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Qa>nu>n ini Mukim

diberikan wewenang untuk menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan

adat terhadap perselisihan dan pelanggaran adat.109

Demikian pula dalam Qa>nu>n

Provinsi nanggroe Aceh Darussalam No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan

Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang menegaskan bahwa

salah satu fungsi Keuchik adalah sebagai hakim perdamaian yang dibantu oleh

Tuha Peuet dan Imeum meunasah.110

Selain Undang-Undang yang dimaksud, diberlakukan juga Undang-Undang

tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

Aceh, maka pemerintahan Gampong dan Mukim juga telah diakui sebagai wilayah

otonom terendah di Aceh. Peranan Gampong dan Mukim untuk menyelesaikan

107

Teuku Ahmad Yani, ‚Fungsi Gampong dan Mukim Dalam Menyelesaikan

Sengketa Perselisihan‛, Jeumala, Edisi 40, Juli- Desember 2013, 18 108

UUD Negara republik Indonesia pasal 24 Ayat 2,

http://www.itjen.depkes.go.id/public/upload/unit/pusat/files/uud1945.pdf 109

Lihat Qa>nu>n Provinsi Naggroe Aceh Darussalam Nomor Tahun 2003 Tentang

Pemerintahan Mukim 110

Lihat Qa>nu>n Provinsi Naggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 Tentang

Pemerintahan Gampong

Page 97: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

83

perselisihan/sengketa adalah semakin kuat, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 98

ayat (2), yang disebutkan bahwa: ‚Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan

secara adat ditempuh melalui lembaga adat‛.111

Sebagai kelanjutan dari Undang-Undang dimaksud, telah diundangkan Qa>nu>n

Aceh Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Dalam Qa>nu>n ini, Gampong

dan Mukim termasuk sebagai lembaga adat. Disamping fungsinya sebagai

pemerintahan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga adat berwenang

untuk: menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat;

membantu pemerintahan dalam pelaksanaan pembangunan; mengembangkan dan

mendorong partisipasi masyarakat; menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat

istiadat yang tidak bertentangan dengan shari’at Islam; menerapkan ketentuan adat;

menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan; mendamaikan sengketa yang timbul

dalam masyarakat; dan menegakkan hukum adat.

Adapun sengketa yang diselesaikan oleh peradilan adat gampong dan Mukim

adalah sebagaimana yang telah di Undang-Undangkan pada Qa>nu>n Aceh Nomor 09

Tahun 2008. Qa>nu>n Nomor 9 tahun 2008 tidak memberikan ukuran atau penjelasan

terhadap sengketa/perselisihan yang dimaksud. Berdasarkan kepada hal tersebut,

telah diundangkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2013 tentang

Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Adat.112

Dalam Pergub tersebut telah dapat

diketahui secara jelas indikator-indikator yang dapat digunakan oleh Keuchik,

Imeum Mukim, aparat kepolisian, dan Masyarakat dalam menyelesaikan sengketa

di tingkat gampong dan Mukim.

Dengan mengacu kepada Qa>nu>n Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang pembinaan

kehidupan adat dan adat istiadat, untuk lebih intensif, tertib, dan disiplin dalam

pelaksanaan penegakkan hukum adat, melihat kepada Pasal 13 ayat (30), yang

berbunyi: ‚Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/ perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong atau nama lain‛.

Realisasi pasal tersebut agar tidak terjadi benturan dengan hukum positif, maka

ditetapkan Surat Keputusan Bersama Gubernur, Kapolda Aceh dan ketua MAA

Aceh Nomor 189/677/2011, Nomor 054/MAA/XII/2011, Nomor B/121/1/2012.

Dalam Surat keputusan bersama tersebut ditegaskan bahwa semua sengketa di

gampong diselesaikan melalui peradilan Adat gampong, dimana fungsi perangkat

gampong memegang peran fungsional dalam menegakkan hukum adat di Peradilan

Adat.113

Dalam rangka membangun keadilan masyarakat, yang murah, cepat,

sederhana dan rukun damai, maka praktek-praktek penyelesaian di gampong dan

Mukim berlandaskan dasar-dasar hukum tersebut diatas, khususnya untuk provinsi

111

Lihat UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 112

Lihat Peraturan Gubernur Aceh nomor 60 Tahun 2013 tentang pelaksanaan

Penyelesaian Sengketa Adat Aceh, http://jdih.acehprov.go.id/files/Pergub., diakses pada 17

Oktober 2014 113

Badruzzaman Ismail, ‚Peradilan Adatgampong di Aceh Dasar Hukum dan

Mekanisme Penyelenggaraan Dalam SKB, GUB, POLDA, dan Ketua MAA Aceh, Jeumala,

Edisi 37, Januari-Juni 2012, 18-19

Page 98: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

84

aceh, berlandaskan yuridis: Lex specialis lis derogat lex generalis, maka penegakkan

hukum adat di Aceh dilaksanakan dengan tertib. Pembekalan dan penerapan hukum

adat di Aceh dalam konteks kerjasama dengan aparat Polda Aceh telah dimulai

sejak tahun 2003. Hampir seluruh kabupaten melaksanakan peran peradilan adat.

Majelis Adat Aceh (MAA) bekerjasama dengan UNDP, telah memberikan

pembekala/simulasi, pengelolaan, dan adm inistrasi peradilan adat kepada

perangkat gampong, termasuk Tokoh-Tokoh adat perempuan. Pelaksanaan

peradilan adat juga bekerjasama dengan Polda Aceh/Polres bersama IOM dalam

hubungan POLMAS.

Ada beberapa pertimbangan mengapa peradilan adat harus berjalan

berdampingan dengan hukum positif, yaitu: pertama, salah satu persoalan besar di

bidang kesejahteraan rakyat pada level bawah, terutama di desa-desa adalah fakir

miskin, dan sulit mendapatkan akses keadilan dari adanya lembaga-lembaga

peradilan (khususnya dengan putusan yang adil, murah, cepat, dan sederhana);

kedua, mekanisme dan prosedur berat ringannya penanganan perkara beserta

jalannya prosesi penyelesaian di depan pengadilan, berdasarkan hukum

positif/formal menghabiskan waktu lama, mulai Pengadilan Pertama, Pengadilan

Tinggi, sampai Mahkamah Agung; ketiga, Adat istiadat Aceh telah membudaya,

bila ada sengketa dalam masyarakat dapat diselesaikan di gampong (desa) oleh

perangkat gampong; keempat, Peradilan adat disebut juga Peradilan Damai

bertujuan membangun keadilan; kelima, penerapan peradilan adat sangat

bersesuaian dengan nilai-nilai idealis falsafah Pancasila dan struktural UUD 1945

serta perjalanan historis kultur masyarakat dan Pemerintah Aceh, karena itu dalam

pelaksanaannya mendapat dukungan penuh dari Polda Aceh melalui Polmas dengan

kegiatan FKPM (Forum Kemitraan Polisi dengan Masyarakat).114

D. Hambatan dan Kendala Dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan

Adat

Secara regulasi, Aceh sudah memiliki syarat yang cukup untuk menerapkan

peradilan adat Gampong dan Mukim, sebagaimana yang telah dijelaskan

sebelumnya, yaitu pada UU Nomor 11 Tahun 2006, pasal 98 ayat 2, Qa>nu>n Aceh

Nomor 9 Tahun 2008, bahkan Surat Keputusan bersama (SKB) antara Gubernur

Aceh, kapolda, dan Ketua MAA tentang penyelenggaraan Peradilan Adat gampong

dan Mukim. Meskipun peradilan adat telah diakui sebagai salah satu instrumen

114

Dalam peraturan kapolri (Perkap) Nomor 7 tahun 2008 tanggal 13 oktober 2008

memberikan keleluasaan kepada masing-masing Polda untuk mengimplimentasikan Polmas

dengan pendekatan budaya setempat, maka Polda Aceh menyepakati pengintegrasian

Polmas dengan pendekatan budaya Aceh, khususnya melalui penitipan peran FKPM

kedalam Tuha peuet, Sarak Opat di Gayo dan Majelis Duduk Sekitar Kampung (MDSK) di

Aceh Tamiang atau nama lain. Lihat: Badruzzaman Ismail, Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia (Banda Aceh: Majelis Adat

Aceh), 2013, 150-152

Page 99: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

85

memperoleh keadilan, namun banyak hambatan dalam implementasinya, antara

lain:115

Peradilan adat dijalankan bukan oleh tenaga-tenaga professional yang

menggantungkan hidupnya pada pekerjaan sebagai hakim, akan tetapi dijalankan

oleh orang-orang tertentu yang di pandang memahami adat di dalam masyarakat

yang juga memiliki profesi/pekerjaannya sendiri-sendiri. Seorang hakim atau

pelaksana peradilan adat bukan orang yang menggantungkan hidupnya pada

bekerjanya peradilan adat, melainkan karena tanggungjawabnya di dalam

masyarakat. Hal ini dapat menghindari terjadinya suap dalam menyelesaikan kasus

di peradilan adat. Untuk itu, pemerintah haruslah memperhatikan kesejahteraan

para pemangku adat, dan dana operasional pelaksanaan peradilan adat (acara

peradilan adat), karena peradilan adat dan lembaga adat sudah menjadi bagian dari

peradilan yang formal di Aceh, selain itu segala macam sarana dan prasarana yang

mendukung tegaknya peradilan adat juga harus diperhatikan116

Pada perakteknya,

pemerintah kurang memperhatikan dengan serius dalam mendukung tegak dan

berjalannya hukum adat. Hal tersebut terlihat bahwa di beberapa gampong di

pelosok Aceh belum mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan, baik dukungan

moril dan materil dari pemerintah.

Kendala selanjutnya adalah tingkat pemahaman para tokoh adat terhadap

hukum adat masih kurang, hal ini terjadi karena berbagai faktor, diantaranya

pergantian kepala desa (keuchik gampong) menyebabkan pengangkatan keuchik

gampong baru dan belum faham secara detail tentang peradilan adat, khususnya

wewenang peradilan adat dalam menyelesaian sengketa, dan tata cara dan prosedur

yang sudah ditetapkan oleh Majelis Adat. pada satu sisi pemangku adat tersebut

tidak dapat disalahkan, karena itu sudah menjadi tanggungjawab bersama, bukan

hanya pemangku adat yang bersangkutan, akan tetapi juga tanggungjawab

pemerintah dalam membina, membimbing, dan mengawal para pemangku adat

dalam menjalankan tugasnya.

Kendala selanjutnya yaitu masyarakat masih ada yang belum memahami

tentang hukum adat itu sendiri, padahal kedudukan hukum adat sudah jelas

kedudukannya baik didalam undang-undang maupun didalam Qa>nu>n Aceh. Pada

kenyataannya beberapa masyarakat masih melaporkan perkara-perkara yang

menjadi wewenang peradilan adat Gampong kepada polisi setempat, hal tersebut

tidak lain adalah karena kurangnya kepercayaan mereka kepada pemangku adat

yang baru. Peradilan adat Aceh yang sudah dilegal formalkan dengan adanya

Peraturan Daerah (Perda/Qa>nu>n) merupakan salah satu bukti pengakuan hukum

adat dan lembaga adat. Peradilan adat diposisikan sebagai perpanjangan tangan

115

Hambatan dan kendala tersebut adalah intisari dari wawancara dengan pemerintah

Adat, baik Pusat (Provinsi), maupun tingkat Gampong 116

Yance Arizona, ‚Kedudukan PeradilanAdat Dalam Sistem Hukum Nasional‛,

Makalah disampaikan pada Diskusi tentang Memperkuat Peradilan Adat di Kalimantan

Tengah untuk Penguatan Akses terhadap Keadilan, Selasa, 11 Juni 2013,

https://www.academia.edu/3723907/Kedudukan_Peradilan_Adat_dalam_Sistem_Hukum_N

asional, (diakses pada 12 November 2014), 15

Page 100: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

86

negara sekaligus sebagai institusi terdepan dalam menangani perkara yang dihadapi

oleh masyarakat. Formalisasi lembaga adat ini akan mempengaruhi perubahan nilai

dan tatacara dalam melaksanakan peradilan adat karena telah mulai mengadopsi

nilai-nilai dan tata cara peradilan formal. Hal ini dilakukan untuk menjamin

peradilan adat mengikuti standar-standar yang umum dipakai oleh peradilan formal,

misalkan berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence )

maupun persamaan dihadapan hukum (equality before the law) yang umum dikenal

dalam praktik peradilan.117

Dengan demikian, sosialisasi secara berkala tentang

sistem peradilan adat dan juga hukum acara berperkara dalam peradilan adat harus

diadakan secara berkala dan terus menerus, untuk mendukung tegaknya peradilan

adat. Selain itu, penulisan dan pembukuan administrasi peradilan adat gampong

yang kurang optimal, sehingga beberapa putusan adat tidak terdokumentasikan

dengan baik.

E. Mediasi Oleh Lembaga Adat Aceh dalam menyelesaikan Sengketa

Bermusyawarah adalah suatu proses dimana mediator dalam hal ini para

pelaksana peradilan adat membantu para pihak yang bersengketa untuk dapat

menyelesaikan persoalannya dengan hasil yang dapat memuaskan kedua belah

pihak.118

Agar keberadaan mediator, atau perantara, dapat diterima maka yang

bersangkutan harus mempunyai sifat-sifat: amanah, jujur, tidak memihak, tidak

punya kepentingan pribadi, bertekad untuk menyelesaikan pertikaian yang dapat

diterima kedua belah pihak, ramah dan percaya diri, mampu mengendalikan emosi

para pihak, mampu memahami kehendak dan aspirasi para pihak, mampu

menerjemahkan keinginan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya dengan

menggunakan bahasa yang santun dan sejuk, mampu melakukan pendekatan yang

berunsur agama, sosial, dan psikologi, piawai dalam menggunakan bahasa yang

menyejukkan, dan mampu menggunakan ‚hadih maja‛ secara tepat.

Adapun yang memiliki kewenangan sebagai mediator adalah seluruh

perangkat gampong yang disepakati dalam rapat internal pertama. Jika perangkat

gampong tersebut tidak dapat mengambil informasi, atau tidak dapat berperan

dengan baik menjadi seorang mediator, maka peranan mediator bisa dialihkan

kepada salah satu tokoh masyarakat, ulama, atau cendikiawan pada masyarakat

adat tersebut yang memiliki kapabilitas serta disepakati oleh keduabelah pihak

yang bersengketa, dengan tetap dalam pengawalan perangkat gampong. Peran

117

Yance Arizona, ‚Kedudukan PeradilanAdat Dalam Sistem Hukum Nasional‛,

Makalah disampaikan pada Diskusi tentang Memperkuat Peradilan Adat di Kalimantan

Tengah untuk Penguatan Akses terhadap Keadilan, Selasa, 11 Juni 2013,

https://www.academia.edu/3723907/Kedudukan_Peradilan_Adat_dalam_Sistem_Hukum_N

asional, (diakses pada 12 November 2014), 17 118

Wawancara dengan Badruzzaman Isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,

29 april 2014. Lihat juga: Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012), 23

Page 101: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

87

mediator dicari atas dasar relasi hubungan (kekerabatan sosial) atau pengaruh

(ulama atau ureung tuha).119

Berikut adalah tahapan mediasi:

Bagan 5: Tahapan Mediasi120

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3

Pertemuan dengan Pertemuan dengan

pihak 1 Pihak 2

Penjelasan diatas adalah dasar dan tahapan mediasi secara prosedural.

Adapun pada kenyataannya tahapan mediasi yang terjadi di beberapa gampong

adalah proses mediasi dilakukan pada dua alur, yaitu: pertama mediasi oleh kepala

dusun (kadus) dan kedua oleh perangkat gampong.121

Alur tersebut dirumuskan

dalam bagan sebagai berikut:

119

Pembagian tugas tidak berbasis instruksi, akan tetapi berbasis kepada tawaran

peran dengan mempertimbangkan kepentingan satu gampong. (Wawancara dengan Sanusi

M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang Pengembangan dan Pelestarian gampong

dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014). 120

Majelis Adat Aceh Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Majelis Adat Aceh (Banda Aceh: MAA, 2012)

121Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang

Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014).

Pertemuan bersama dalam rangka menciptakan kesepakatan bersama yang telah dicapai dalam

tahap 1 dan 2

Page 102: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

88

Bagan 6: Alur Mediasi

Proses umum yang dijelaskan di atas dapat diaplikasikan terhadap hampir

semua kasus dibawah kewenangan peradilan adat, namun ada perlakuan khusus

terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya. Pada saat pemangku adat tidak mampu memberikan

jaminan keselamatan terhadap korban atau adanya ancaman nyawa pada diri

korban, maka pemangku adat harus melaporkan perkara tersebut kepada kepolisian

untuk memastikan bahwa perlindungan terhadap korban bisa diberikan.122

Adapun

122

Hal ini sesuai dengan Program FKPM (Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat)

dalam upaya memecahkan masalah untuk mencegah kejahatan yang terjadi di Gampong.

Lihat: Kesepakatan Bersama antara Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Gubernur Aceh,

Para Tokoh

(Mediasi)

Para Pihak

Yang

Bersengketa

Mediasi

Kepala Dusun 1

Keuchik

Majelis

Mediasi

Mufakat

Putusan

2

Para Pihak

Para Pihak

Perjanjian

3

Keterangan:

1. Apabila kepala dusun berhasil memediasi pihak yang

bersengketa, maka perkara tidak dibawa kepada keuchik

(biasanya perkara ringan)

2. Apabila keucik berhasil memediasi sendiri, maka

perkara tidak dibawa ke majelis bersama pemangku adat

(biasanya perkara ringan)

3. Apabila keuchik tidak berhasil mediasi, maka keuchik

mengadakan rapat internal dengan perangkat gampong

(tokoh adat yang lain) untuk diselesaikan secara bersama

dan musyawarah sesuai dengan prosedur yang berlaku

(sesuai dengan penjelasan diatas)

Page 103: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

89

proses peradilan yang melibatkan perempuan bersifat tertutup dan harus dijaga

kerahasiaannya.

Ketua MPU Aceh, Ketua MAA Aceh, Rektor IAIN Ar Raniry, Presidium balai Syura

Ureung Inong Aceh, Ketua PWI Aceh, dan Ketua KNIP Aceh, tentang Penitipan Peran

FKPM ke dalam Tuha peuet/Sarak Opat/Majelis Duduk Sekitar Kampong Atau nama Lain.

Wawancara dengan AKP. El Putri Polda Aceh, Banda Aceh, 20 Mei 2014)

Page 104: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

90

Page 105: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

91

BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI PERADILAN ADAT YANG

BERSIFAT DENDA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF, DAN HUKUM ISLAM

Hukum adat lahir dari keputusan masyarakat hukum, terutama kepala rakyat.

Para hakim yang merupakan wakil dan kepala rakyat bermusyawarah dalam

menentukan keputusan yang tepat dan tidak memihak dalam menyelesaikan

sengketa. Keputusan tersebut dirasa adil oleh masyarakat Aceh, hal ini terbukti

dengan kepercayaan masyarakat terhadap para wakil rakyat dan tetap eksisnya

peradilan adat Aceh hingga akhirnya dilegal formalkan dengan dibuatnya

Perda/Qa>nu>n mengenai penyelesaian sengketa melalui peradilan adat. Untuk

membuktikan asumsi masyarakat tentang peradilan adat yang dianggap ‚adil‛ maka

akan diuraikan kasus-kasus adat Aceh yang putusannya berupa diyat, kemudian

dianalisa dan dijelaskan bagaimana kasus tersebut jika diselesaikan melalui hukuk

positif di Indonesia dan hukum Islam.

A. Kasus Perusakan

1. Deskripsi dan Kronologi Kasus

a. Kasus Pelanggaran di Laut (Perusakan Boat):

Terdapat peraturan nelayan di Gampong Mekar Jaya (bukan nama asli), Kec.

Dua Kuala (bukan nama asli), Kab. Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, bahwa

nelayan dilarang menggandeng boat yang digunakan untuk menangkap ikan tiga

gandeng kesamping, karena akan memakan tempat, sehingga nelayan yang lain

tidak mendapat tempat untuk menangkap ikan disungai.

Sekira pada bulan Mei tahun 2013, terjadi perselisihan antara Harisun (bukan

nama asli, pihak pertama) dengan Ali akbar (bukan nama asli, pihak kedua). Pihak

pertama melanggar aturan tersebut. Adapun kejadiannya sebagai berikut:

Pihak pertama (harisun) sekira pukul 07.00 waktu setempat pergi melaut.

Tidak seperti hari biasanya, hari itu ia pergi pagi-pagi. Ketika sampai di sungai, ia

langsung menaiki boatnya dan menggandengkan boatnya tiga gandengan ke

samping. Perbuatannya itu tidak lain karena ia ingin mendapatkan hasil tangkapan

yang banyak, karena anak perempuannya sedang sakit, dan harus segera di obati.

Ketika boat milik pihak kedua lewat, maka sungai menjadi sempit, dan jangkar

pada boat milik pihak pertama menggores sisi boat milik pihak kedua dan

mengakibatkan kerusakan (kebocoran) pada boat milik pihak kedua.

Pihak kedua tidak jadi melaut dan pulang, kemudian melaporkan kejadian

tersebut kepada Keuchik. Karena permasalahan ini menjadi wewenang Panglima Laot, akhirnya Keuchik bersama Panglima Laot memanggil keduabelah pihak

sekembalinya pihak pertama melaut untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan

jalan musyawarah dan kekeluargaan.

Sekretaris Gampong segera mengagendakan sidang sehari setelah pelaporan dari

pihak pertama. Dalam sidang ini, turut hadir Keuchik, dua orang Tuha Peuet, dan

Page 106: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

92

Panglima Laot. Perangkat Gampong dan Panglima Laot berperan sebagai mediator

dalam proses mediasi dan musyawarah antara kedua belah pihak1

Pertimbangan Adat:

Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pihak pertama

dengan sadar telah melanggar reusam 2 adat gampong Mekar Jaya terntang

peraturan laut. Alasannya adalah karena pihak pertama ingin mendapatkan hasil

melaut yang banyak pada hari itu, karena ia sangat membutuhkan penghasilan yang

besar untuk membiayai anaknya yang sakit. Akan tetapi tanpa ia sadari, apa yang

dilakukannya merugikan orang lain, dalam hal ini adalah pihak kedua.

Menimbang, bahwa antara pihak pertama dan pihak kedua sebelum terjadi

masalah ini menjunjung persaudaraan yang sangat erat antar sesama warga

gampong Mekar Jaya. Keduanya sering pergi melaut bersama, karena pekerjaan

keduanya adalah nelayan.3

Menimbang, asas-asas normatif pada peradilan adat: yang lemah di bimbing,

yang pincang di papah, yang ganjil di genapkan, yang lupa diingatkan, yang

menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, dan yang keliru diingatkan.

Menimbang, bahwa dalam adat Aceh, dikenal hadih maja ‚Adat ta Junjong,

hukom ta peutimang. Qa>nu>n Ngon Reusam wajieb ta jaga‛. Bahwa adat harus

dijunjung, hukum harus dilaksanakan, qa>nu>n dan reusam harus dijaga. Karena pihak

pertama dirasa telah melanggar reusam gampong, maka baginya harus diberikan

ketentuan hukum adat yang sesuai.

Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi

musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar

dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat

adat tidak terusik. Pihak Pertama dengan kebesaran jiwa mengakui perbuatan

salahnya, dan Pihak Kedua dengan kelapangan dada memaafkan kesalahan pelaku.

Adapun perangkat gampong membantu perdamaian keduabelah pihak dengan tidak

memihak dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan adat dan tidak

bertentangan dengan syari’at Islam.

Menimbang, bahwa setiap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi tidak

hanya dilihat dari sudut pelaku tindak kejahatan, akan tetapi juga dilihat dari sudut

korban sebagai orang yang dirugikan.4

Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat

gampong (Keuchik, Tuha Peuet, dan Panglima laout) sehari setelah kejadian

1Wawancara pribadi dengan keuchik gampong Mekar Jaya, Sekdes gampong Mekar

jaya (bukan nama asli) 2Reusam adalah aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan atau petunjuk-petunjuk adat

istiadat yang ditetapkan oleh Keuchik (kepala desa) setelah mendapat persetujuan dari Tuha

Peuet gampong 3Wawancara pribadi dengan keuchik gampong Mekar Jaya (bukan nama asli)

4Pertimbangan adat alinea 4-7 adalah sama pada seluruh permasalahan. Hal ini sesuai

dengan wawancara pribadi dengan Badruzzaman Isma’il, Ketua Majelis Adat Aceh, dan

Sanusi M Syarif, Kepala Bidang Evaluasi dan Pengembangan Gampong dan Mukim,

Beserta KeuchikGampong.

Page 107: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

93

tersebut bertujuan untuk memulihkan luka pihak kedua dan keadilan bagi kedua

belah pihak serta masyarakat, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:

1. Perdamaian antara keduabelah pihak

2. Perjanjian pihak pertama agar tidak mengulangi kesalahannya lagi

3. Pihak pertama mengganti kerugian pihak kedua, yaitu:

a. Memperbaiki boat yang rusak

b. membayar biaya kerugian pihak kedua yang tidak berangkat

melaut untuk hari tersebut sebanyak Rp. 1.000.000 (satu juta

rupiah) untuk mengganti uang bensin dan kerugian sehari

Putusan Adat:

1. Menyatakan Pihak Pertama Harisun sebagai terdakwa dan bersalah atas

tindakannya:

a. Melanggar peraturan adat laut yaitu menggandeng boat tiga

gandengan ke samping

b. Merusak boat milik pihak kedua Ali Akbar

c. Merugikan pihak kedua tidak melaut pada hari tersebut.

2. Hakim dan perangkat gampong telah mempertimbangkan kondisi pihak

pertama karena kealpaannya telah merugikan pihak kedua. Hal ini dikarenakan

pihak pertama sangat membutuhkan uang untuk biaya anaknya yang sakit.

Maka pihak pertama mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada pihak

kedua.

3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,

menghasilkan kesepakatan sebagai berikiut:

a. Pihak pertama dan kedua berjanji untuk berdamai dan saling memaafkan

sehingga tidak ada dendam di kemudian hari

b. Bahwa pihak pertama berjanji kepada perangkat gampong dan kepada

pihak kedua untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi.

c. Pihak pertama harus mengganti kerugian pihak kedua, yaitu:

i. Memperbaiki boat yang rusak

ii. Membayar biaya kerugian pihak kedua yang tidak berangkat melaut

untuk hari tersebut sebanyak Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) untuk

mengganti uang bensin dan kerugian sehari

4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil

musyawarah dengan perangkat gampong.5

b. Kasus Pelanggaran Hewan Ternak

Bertempat di gampong Tanjung Pinang (bukan nama asli), Kec. Meuriah Jaya

(bukan nama asli), Kab. Pidie Jaya, sekira pada bulan Mei tahun 2012, malam hari

seekor lembu milik Sarifuddin (bukan nama asli, pihak pertama), masuk ke sawah

dan memakan padi yang masih muda milik Hanafi (bukan nama asli, pihak kedua).

Hanafi, yang malam tersebut melewati sawahnya, segera mengambil lembu

tersebut untuk barang bukti. Keesokan harinya pihak kedua langsung melapor ke

5Wawancara dengan SekretarisGampong Mekar Jaya

Page 108: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

94

Keuchik gampong. Keuchik gampong langsung menanggapi laporan tersebut. Ia

segera menghubungi dua orang Tuha Peuet gampong, babinsa dan kantibmas untuk

ikut serta pergi ke sawah milik korban dan melihat kerugian yang di derita oleh

korban.

Setelah datang di tempat kejadian, aparat gampong segera memanggil pemilik

lembu tersebut untuk di selesaikan dengan jalan musyawarah. Setelah Hanafi

datang, seluruh aparat gampong dan korban menjelaskan secara rinci pelanggaran

yang dilakukan oleh lembu milik Sharifuddin sehingga menyebabkan kerugian bagi

hanafi.

Sharifuddin mengakui keteledorannya karena tidak menjaga lembunya,

akhirnya ia bersedia untuk mengganti biaya kerugian yang di terima oleh

Sarifuddin. Setelah proses mediasi dan musyawarah, maka lahirlah sebuah

keputusan:

1. Pihak pertama dan kedua bersedia untuk didamaikan oleh perangkat

gampong dan berjanji untuk saling memaafkan satu sama lain

2. Pihak pertama membayar pupuk (2 sak) sebagai ganti kerugian pihak kedua

3. Pihak pertama berjanji untuk lebih intensif menjaga hewan ternaknya agar

tidak terjadi permasalahan seperti ini untuk kedua kalinya.6

1. Analisis Kasus Perspektif Hukum Pidana Indonesia

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata penghancuran termasuk kata

benda yang bermakna proses, perbuatan, dan cara menghancurkan. Sedangkan

perusakan juga termasuk kata benda yang bermakna proses, perbuatan, cara

merusakkan.7 Yang dimaksud dengan penghancuran dan perusakan dalam hukum

pidana adalah melakukan perbuatan terhadap barang orang lain secara merugikan

tanpa mengambil barang itu. Menghancurkan berarti membinasakan atau

merusakkan sama sekali sehingga tidak dapat dipakai lagi. Adapun merusakkan

berarti membuat tidak dapat di pakai untuk sementara.8

Roeslan Saleh mengemukakan pada hakikatnya, sanksi pidana merupakan

perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tindak hukum. Ia

juga mengemukakan bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang dapat

membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan

orang dapat diterima kembali dalam suatu masyarakat.9

6Wawancara dengan KeuchikGampongTanjung Pinang

7Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Jakarta, 2008, 507 dan 1234 8Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 429

9 Nyoman Serikat Putra Jaya, Aspek Hukum Pidana Terhadap Tindakan Anarkis dan

Main Hakim Sendiri Dalam Masyarakat, Makalahdisampaikan dalamSeminar Regional dengan tema ‚Kecenderungan Tindakan Anarkis dan Main Hakim Sendiri dalam Masyarakat‛ yang diselenggarakan oleh Polisi Wilayah Pekalongan bekerjasama dengan

Universitas Pancasakti Tegal, tanggal 22 Agustus 2000,

http://eprints.undip.ac.id/19878/1/2598-ki-fh-03.pdf, (diakses pada 30 Juni 2014).

Page 109: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

95

Kejahatan Penghancuran atau Perusakan tertulis dalam KUH Pidana Bab

XXVII Pasal 406:10

1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan,

merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang

sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan

pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda

paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2) Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang, yang dengan sengaja dan

melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tak dapat digunakan

atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian milik orang

lain.

Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP Unsur-unsur

obyektif, meliputi: Menghancurkan, merusak, membuat tidak dapat dipakai atau

menghilangkan suatu barang, dan yang seluruh atau sebagian milik orang lain.

Unsur-unsur subyektif, meliputi: dengan sengaja, dan Melawan hukum

Unsur-unsur dalam Pasal 406 ayat (2) Unsur-unsur obyektif, meliputi:

Membunuh, merusak, membuat tidak dapat dipakai atau menghilangkan, yang

seluruh atau sebagian atau sebagian milik orang lain. Unsur-unsur subyektif,

meliputi: Dengan sengaja, dan Secara melawan hukum.

Apabila ditinjau dari kedua unsur tersebut, maka pihak pertama ‚Harisun‛

dapat diancam hukuman pidana paling lama dua tahun delapan bulan atau denda

paling banyak Rp. 4.500,-. Sanksi tersebut sifatnya alternatif (‚atau‛) dan bukan

kumulatif (‚dan‛), dimana terdapat ‚pilihan‛ penjatuhan hukuman pidana penjara

atau hukuman pidana denda, maka hal ini sepenuhnya bergantung pada bagaimana

tuntutan dari jaksa penuntut umum dan putusan yang dijatuhkan oleh hakim.

Hakimlah yang memilih mana pidana yang tepat untuk dijatuhkan kepada

terdakwa.11

Penyelesaian sengketa melalui hukum pidana Indonesia sesuai dengan pasal

406 tersebut hanya memperhatikan bagaimana pelaku mendapatkan balasan dari

apa yang sudah diperbuatnya. Pelaku dikenai hukuman pidana dan denda dengan

tujuan untuk merehabilitasinya dan agar pelaku jera serta tidak mengulangi

kejahatannya lagi. Pasal 406 tersebut tidak mengatur bagaimana kerugian korban

dapat terpulihkan kembali, dengan kata lain bahwa Undang-Undang hanya

menyelesaikan sengketa dari segi perbaikan pelaku dan bukan pemulihan korban.

Proses litigasi cenderung menyelesaikan sengketa dengan melihat kebelakang

yaitu kesalahan dan pelanggaran adalah dasar pemidanaan bukan berorientasi

10

Pasal 409: Lihat: KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011), 169,

Lihat juga: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

http://hukumpidana.bphn.go.id/babbuku/bab-xxvii-menghancurkan-atau-merusakkan-

barang/, (diakses pada 30 Juni 2014). 11

Alberth Aries, Apakah Pelaku Pidana Penganiayaan Dibebaskan Apabila Bayar

Denda Rp. 4.500?, Hukum Online,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt518fad653223a/apakah-pelaku-penganiayaan-

dibebaskan-jika-bayar-denda-rp4500? , diakses pada 26 Januari 2014.

Page 110: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

96

kedepan (bagaimana memulihkan kembali kerugian korban, mendidik pelaku lebih

baik dan menjaga kemaslahatan masyarakat). Proses litigasi sejalan dengan aliran

retributivisme yang memandang pemidanaan sebagai pembalasan, dan efek

pencegahan pemidanaan tersisihkan.12

Penyelesaian sengketa adat Aceh melalui proses non litigasi memberikan

pencerahan baru bagi masyarakat bahwa beberapa sengketa dapat diselesaikan

melalui jalan damai dan musyawarah, karena pemidanaan sangat berfungsi dalam

memulihkan kerugian korban dan dalam meminta pertanggungjawaban pelaku.

Adapun permasalahan sengketa laut menjadi kewenangan pemerintahan

gampong,13

maka permasalahan ini diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku di gampong setempat.

Dalam setiap putusan penyelesaian dikehendaki oleh adat agar berpedoman

pada hadih maja: ‚uleue bak mate ranteng bek patah‛ maksudnya adalah bahwa

setiap pelanggaran adat harus dihukum dengan sanksi yang setimpal, akan tetapi

harus diperhatikan pula agar jangan dengan hukuman itu merusak masyarakat

dalam lingkungannya. Terpenuhi atau tidaknya ajaran tersebut dalam membentuk

suatu putusan, tergantung kepada asas kerja yang digunakan dalam mengadili.

Dalam hal ini, seorang hakim dalam menjalankan tugasnya harus memenuhi tiga

asas kerja, yaitu rukun, laras, dan patut.14

Pemberian sanksi adat berupa permohonan maaf dan pembayaran diyat,

sudah tepat. Dalam hukum adat, permohonan maaf menjadi simbol pemulihan

kerusakan keseimbangan kehidupan bermasyarakat antara keduabelah pihak, dan

sebagai wujud terjadi perdamaian antar para pihak. Adapun pemberian maaf dari

korban adalah simbol untuk menghilangkan rasa bersalah pada pelaku bahwa

kesalahannya sudah dimaafkan.

Pembayaran denda adalah simbol dari penegakkan norma hukum dan proses

pembinaan atas pelaku sengketa sehingga menjadi pelajaran bagi pelaku dan

masyarakat lainnya agar tidak melakukan kesalahan yang serupa. Hal ini semua

terwujud karena proses peradilan adat yang berpegang pada pendekatan

musyawarah mufakat dan perdamaian melalui proses mediasi.

Permasalahan perusakan yang dilakukan oleh hewan ternak pada kasus kedua

belum diatur didalam KUH Pidana, akan tetapi, pelanggaran tersebut termasuk

kedalam pelanggaran yang menjadi wewenang gampong untuk menyelesaikannya.15

Pemilik hewan ternak sudah mengakui kelengahannya dalam menjaga hewan

ternaknya pada malam hari sehingga mengakibatkan hewan ternaknya lepas dari

pengawasannya dan merusak tanaman milik pihak kedua. Pihak pertama sudah

meminta maaf adan bersedia untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pihak

12

Eriyantow Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum pidana (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), 34-36

13Lihat Kewenangan Peradilan Adat Menurut Qa>nu>n Aceh Nomor 9 tahun 2008,

point 11. 14

Teuku Moh. Djuned, Bunga Rampai Adat Adalah Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 79

15Qa>nu>n Jinayah Nomor 09 Tahun 2008 (pelanggaran adat tentang ternak).

Page 111: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

97

kedua sebagai bentuk tanggungjawab atas kesalahan dan kelalaian yang

dilakukannya.

Keputusan hakim (dalam hal ini Keuchik) memberikan diyat dan permohonan

maaf sudah tepat, mengingat bahwa kedua belah pihak adalah masyarakat gampong

yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik itu tercermin pada

kebersamaan keduanya dalam setiap kegiatan, baik ketika pergi bertani, ataupun

mengikuti kegiatan gampong yang lain. Hubungan tersebut harus dijaga dan jangan

dihilangkan hanya karena kesalahan yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh pihak

pertama.

Adapun sanksi adat denda baik pada kasus pertama dan kedua adalah hasil

pertimbangan fungsionaris adat beserta para pihak berdasarkan berat dan ringannya

pelanggaran adat.16

Kasus pertama diyat sebanyak Rp. 1.000.000 dan perbaikan

boat yang rusak adalah sesuai dengan kerugian korban selama sehari tidak melaut

(fungsionaris menghitung penghasilan korban per hari). Pada kasus kedua diyat adat

berupa dua sak pupuk adalah menurut pertimbangan kerugian korban untuk

memperbaiki padi yang masih dara, yaitu Keuchik beserta perangkat gampong yang

lain mengukur luas tanaman padi yang rusak.

Sanksi denda yang diberikan oleh perangkat gampong adalah wujud keadilan.

Para fungsionaris peradilan adat yang tidak memihak dapat menjadi penengah

dalam memusyawarahkan kerugian korban dan pertanggungjawaban pelaku,

sehingga dapat melindungi hak-hak para pihak yang bersengketa. Asas peradilan

adat mufakat menjadi kunci keikhlasan dari keduabelah pihak, bahwa mereka

menerima keputusan yang diberikan dengan ikhlas dan sukarela.

Apabila kasus perusakan diselesaikan melalui proses litigasi, maka korban

lebih banyak menderita kerugian. Perhatian hanya akan diberikan kepada pelaku,

sedangkan kepentingan korban tidak diperhatikan, kerugian korban tidak

dibayarkan, bahkan korban harus membayarkan biaya pengaduan perkara kepada

peradilan, proses penyelesaian yang lama serta putusan hakim juga dapat menjadi

masalah baru bagi korban, karena bisa jadi keputusan hakim merugikan salah satu

pihak. Dengan demikian proses litigasi lebih memberikan dampak negatif bagi

kedua belah pihak.

Proses penyelesaian sengketa melalui peradilan adat pada kasus pertama

hanya membutuhkan waktu satu bulan dari mulai proses pengaduan sampai

keluarnya keputusan. Adapun pelaksanaan sanksi saling memaafkan dilakukan pada

sidang terakhir, dan pembayaran diyat diberikan waktu kepada korban selama tiga

bulan terhitung mulai keputusan tersebut dikeluarkan. Hal ini membuktikan bahwa

peradilan adat juga memperhatikan kesiapan pelaku dalam menyelesaikan

sanksinya. Adapun kasus kedua dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari tiga

hari terhitung sejak pengaduan kasus kepada Keuchik. Adapun pembayaran diyat

dilakukan dihadapan para pemangku adat beberapa hari setelah dikeluarkan

keputusan. Hal tersebut membuktikan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur

16

Teuku Mohd. Djuned, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh (banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2011), 75

Page 112: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

98

non litigasi tidak membutuhkan waktu yang lama, sesuai dengan salah satu asas

peradilan Adat Aceh, yaitu cepat, mudah, dan murah, karena dapat dijangkau oleh

masyarakat baik yang menyangkut dengan biaya, waktu dan prosedurnya.

2. Analis Kasus Perspektif Hukum Islam

Tindakan Perusakan dalam Islam dikenal dengan ‚al Itla>f‛ 17., yaitu

mengeluarkan sesuatu dari kondisinya yang bisa dimanfaatkan dan digunakan

sesuai dengan fungsinya yang semestinya. Tindakan ini adalah penyebab yang

menetapkan keharusan tanggungan diyat, karena al itla>f adalah bentuk

pelanggaran yang menimbulkan kerugian.18

Hal ini sesuai dengan firman Allah QS

Albaqarah ayat 194.19

Penetapan kasus perusakan sebagai kasus kejahatan adalah

salah satu dari tujuan ditetapkannya syari’at Islam, yaitu ‚Hifz}u al Ma>l‛ atau

menjaga harta. Larangan perusakan ini sejalan dengan larangan pencurian20

dan

ghas}ab21

, karena kejahatan tersebut adalah merusak harta atau hak orang lain

dalam bentuk yang melanggar.22

Adanya adat laut dalam mengatur maslah pengelolaan sumber daya

kelautan di Aceh, merupakan suatu bukti betapa aspek keberlanjutan dalam

pembangunan pesisir sangat diperhatikan oleh masyarakat Aceh. Dalam sebuah

adat laut paling tidak mengatur tiga hal, pertama, masalah pengaturan alat

tangkap ikan dan wilayah, kedua, masalah pelaksanaan sosial, ketiga, masalah

aturan dan pelarangan yang disertai sanksi.23

Kasus Pertama, Di gampong Mekar Jaya yang sebagian besar

masyarakatnya adalah nelayan, dibuat sebuah reusam oleh Panglima Laot, Keuchik, dan perangkat gampong untuk kemaslahatan bersama. Tindakan yang

17

Kata-kata al-itla>f, al-ifsa>d dal alistihla>k memiliki makna dan esensi yang hampir

mirip dalam istilah fuqaha. Kata ini termasuk ke dalam cakupan yang lebih luas, yaitu al

dlarar yang berarti menimpakan kerusakan dan kerugian kepada orang lain, atau setiap

bentuk kekurangan atau cacat yang terjadi pada barang. 18

Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr

Al-‘Ilmi>yah, 1997), 4824 19

....

194. Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya

terhadapmu. 20

‘Abd al-Waha>b Al-Khala>f, Us}ul al-Fiqh, (Qa>hirah: Maktab al Da‘wah al

Isla>mi>yah)tt, 84 21

Yaitu mengambil harta yang memiliki nilai, dihormati, dan dilindungi, tanpa seizin

pemiliknya, dalam bentuk pengambilan yang menyingkirkan ‚tangan‛ (kekuasaan) si

pemilik harta itu. 22

Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr

Al-‘Ilmi>yah, 1997), 4825 23

M. Adil Abdullah, Sulaiman Tripa, dan Teuku Muttaqin, Selama Kearifan Adalah kekayaan: Eksistensi Panglima Laot dan Hukom Adat Laut di Aceh, (Banda Aceh: Lembaga

hukum Adat Laut, 2006), 10

Page 113: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

99

dilakukan oleh Harisun adalah sebuah pelanggaran, karena merugikan orang lain.

Proses mediasi dan musyawarah antara perangkat gampong dan kedua belah pihak

menjadi jembatan keutuhan persaudaraan antar keduanya. Kedua belah pihak

saling mengenal dekat, karena tinggal di satu gampong sejak puluhan tahun.

Sanksi adat minta maaf yang dikenakan kepada pihak pertama sangat tepat

sebagai simbol pengakuan atas kesalahan dan sebagai wujud telah terjadi

perdamaian antara pihak.

Adapun sanksi diyat berupa memperbaiki boat yang rusak dan membayar

kerugian melaut pihak kedua Rp. 1.000.000, juga sangat tepat. Besarnya sanksi

tersebut adalah pertimbangan perangkat adat melihat kerugian pihak kedua. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Ibnu al Qayyim al Jauzi>yah dalam I’la>m al Mu>qi’i>n:

24أن مجيع ادلتلفات تضمن باجلنس حبسب اإلمكان مع مراعاة القيمة‚‛

Bahwa Setiap barang yang rusak ditanggungkan/digantikan sesuai dengan

jenis barang yang menyerupainya sedapat mungkin dengan mempertimbangkan

nilainya.

Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa seluruh kerugian akibat

kerusakan yang ditimbulkan oleh seseorang, sanksinya adalah menggantikan sesuai

dengan kerugian yang didapatkan dengan memperhatikan kesanggupan si pelaku.

Pemberian sanksi tersebut oleh perangkat gampong mengacu pada paradigma ta’zi>r, karena kejahatan merusak barang orang lain tidak termasuk kedalam hukuman hadd

dan qis}a>s}. Kasus perusakan ini sebenarnya telah terjadi pada masa Rasulullah,

dimana Aisyah, isteri Rasulullah menumpahkan makanan yang dibawa oleh Ummu

Salamah, kemudian Rasulullah menyuruhnya untuk mengganti sesuai dengan

kerusakannya.25

Dalam Us}ul Fiqh dikenal kaidah:

27الفرق يف ضمان ادلتلف بني العلم واجلاىل/ 26اإلتالف يستوي فيو ادلتعمد واجلاىل والناسي

24

Abu ‘Abdillah Ibnu al-Qayyim al- Jauzi>, I’la>m al-Mu>qi’i>n, juz 2 (Jami>’ al huqu>q

muta>hat li Jami>’ al Muslimi>n, 2010), Islamic Books, 227

أىدت بعض أزواج النيب صلى اهلل عليو وسلم إىل النيب صلى اهلل عليو وسلم طعاما يف قصعة ، 25 طعام بطعام ، وإناء بإناء: فضربت عائشة القصعة بيدىا فألقت ما فيها ، فقال النيب صلى اهلل عليو وسلم

.(رواه البخاري والتميذ(

Lihat, Muhammad Bin Isma’i>l al-Ami>r al-S}an’a>ni>, Subul al-Sala>m Sharh Bulu>gh al-

mara>m, , Juz 2, Bab al Ghas}b, 101, http://ia600500.us.archive.org/19/items/sblslam/01.pdf,

diakases pada 20 Juni 2014 26 ‚Perbuatan Merusakkan Barang Orang Lain Hukumnya Sama, Apakah Terjadi

Karena Kesengajaan, Ketidak Tahuan, Atau Karena Lupa‛, Lihat: Abd al-Rahma>n bin Na>s}ir

al-Sa’di>>, al-Qawa>’id} wa al-Us}u>l al-Ja>mi’ah Wa al-Furu>q wa al-Taqa>si>m al-Badi>’ah al-Na>fi’ah, Tahqi>q: Dr. Kha>lid bin 'Ali bin Muhammad al-Mushaiqih, Maktabah Ibn Sa’di>, 55-

56, http://d1.islamhouse.com/data/ar/ih_books/single2/ar_university_rules_and_assets.pdf,

diakses pada 1 Juli 2014

Page 114: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

100

‚Hukum perusakan adalah sama antara seseorang yang sengaja melaksanakannya,

dan orang yang tidak tahu, atau orang yang lupa/Tidak ada perbedaan dalam

jaminan barang yang dirusak diantara orang yang mengetahui dan orang bodoh‛

Kaidah ini memberikan patokan dalam perbuatan seseorang yang melakukan

perusakan, baik kepada jiwa ataupun harta orang lain. Kaidah ini juga menjelaskan

bahwa barangsiapa yang merusakkan barang orang lain tanpa alasan yang benar,

maka ia wajib mengganti barang yang ia rusakkan tersebut atau membayar diyat

kepada pemilik harta, sama saja apakah kerusakan tersebut terjadi karena

kesengajaan olehnya, atau karena tidak tahu, atau karena lupa.28

Tindakan al itla>f adalah sebab yang menetapkan adanya keharusan

tanggungan diyat, karena al itla>f adalah sebuah tindakan yang menimbulkan

kemudaratan. Hal ini sesuai dengan hadi>th: 29ال ضرر وال ضرار (Tidak ada kemudaratan

dan tidak boleh menimbulkan kemudaratan.)

Tidak ada perbedaan apakah pengrusakan (al itla>f) itu adalah secara langsung

ataupun tidak langsung (penyebab), yaitu melakukan suatu tindakan yang secara

tidak langsung menyebabkan terjadinya kerusakan. Begitu juga dalam status

penetapan tanggungan diyat, tidak ada perbedaan antara apakah al itla>f itu

dilakukan secara sengaja maupun tidak, juga tidak ada perbedaan apakah pelakunya

(al-mutlif) sudah baligh atau belum, juga apakah ia mumayyiz atau tidak.

Berdasarkan kesepakatan keempat madzhab, al-mutlif baik secara sengaja ataupun

secara tersalah, pelaku sudah besar, masih kecil tetap harus menanggung diyat.

Adapun Ulama Maliki>yah membedakan antara anak kecil yang sudah mumayyiz

dengan anak kecil yang belum mumayyiz. Jika pelaku adalah anak kecil yang sudah

mumayyiz, maka ia dikenai diyat atas yang ia rusakkan, sedangkan anak kecil yang

belum mumayyiz, maka ia tidak terkena diyat apapun atas apa yang ia rusakkan,

baik berupa jiwa, maupun harta, begitu pula orang gila.30

Al-Zuh}ayli> mengatakan bahwa syarat-syarat penetapan tanggungan denda

karena tindakan al Itla>f yang berkonsekwensi adanya keharusan tanggungan denda

denda adalah;

1. Sesuatu yang dirusakkan adalah berupa harta, dengan demikian tidak ada

tenggungan diyat dalam kasus perusakan pada bangkai, darah, atau barang

lainnya yang menurut kebiasaan dan syara’ tidak dikategorikan sebagai

harta.

27

Ima>m Taj al-Di>n Abd al-Waha>b bin ‘Ali Ibn Abdi al-Ka>fi> al-Subki>y (771), al-Ashba>h Wa al-Nadza>ir, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1991) 277

28 Abd al-Rahma>n bin Na>s}ir al Sa’di>>, Al-Qawa>’id} wa al-Us}u>l al-Ja>mi’ah Wa al-Furu>q

wa al-Taqa>si>m al-Badi>’ah al-Na>fi’ah, Tahqîq: Dr. Kha>lid bin 'Ali bin Muhammad al-

Mushaiqih, Maktabah Ibn Sa’di>, 56 29

Ibn Rajab Al-Hanbali>, Ja>mi‘ al-‘Ulu>m wa al-Huku>m, Jilid 2 (Muassas al-Risa>lah,

2001), 207,

http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=160&idto=166&bk_no=81

&ID=34 30

Wahbah al-Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r al-

Fikr al-‘Ilmi>yah, 1997), 4830

Page 115: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

101

2. Sesuatu yang dirusakkan berupa harta yang memiliki nilai (mutaqawwim31

)

bagi pemiliknya (al-Mutlaf ‘alaih).

3. Kerusakan yang terjadi benar-benar nyata dalam bentuk permanen

4. Pelaku pengrusakan (al-mutlif) adalah memang memenuhi syarat-syarat

kelayakan dan kepantasan untuk dikenai sanksi tanggungan diyat.

5. Penetapan tanggungan diyat harus memiliki faedah, sehingga

dimungkinkan bagi pemilik hak untuk mendapatkan haknya

Disamping lima syarat tersebut diatas, Ulama Syafi’i>yah menambahkan satu

syarat lagi, yaitu pelaku meletakkan dan menetapkan tangan atas harta yang

dirusakkan, oleh karena itu, seorang pembeli tidak bertanggungjawab atas

kerusakan barang yang dibelinya sebelum adanya al qabd}u (serah terima).32

Adapun Ulama Hanafi>yah menetapkan syarat-syarat ditetapkannya tanggungan

diyat diyat karena melakukan suatu tindakan yang menjadi sebab terjadinya

kerusakan adalah:

1. Tindakan itu mengandung unsur al ta’addi> (pelanggaran), yaitu tindakan

melampaui yang benar, atau melampaui batasan-batasan yang diperbolehkan

oleh shara‘, seperti seseorang membuat galian sumur disekitar jalan umum

tanpa seizin hakim.

2. Ada unsur kesengajaan atau melakukannya secara sadar

3. Kerusakan atau kecelakaan yang terjadi menurut kebiasaan yang ada memang

sebagai akibat langsung dan pasti dari tindakan yang dilakukan, tanpa ada

campur tangan sebab lain. Dengan kata lain, antara sebab (tindakan yang

dilakukan) dan akibatnya (kerusakan atau kecelakaan yang terjadi) tidak

ditengahi oleh tindakan orang lain yang seandainya tidak ada tindakan orang

lain itu, maka kerusakan tidak akan terjadi.

Adapun kewajiban yang harus ditunaiakan dalam kasus perusakan, yaitu

apabila harta yang dirusakkan adalah masuk kategori harta mithli, maka pelaku

harus menanggung untuk menggantinya dengan harta yang sama. Apabila harta

yang dirusaknya adalah termasuk kategori harta non mithli (yaitu harta qimmi),

maka pelaku menanggung untuk menggantinya dengan nilai harganya yang

disesuaikan dengan nilai harga pada waktu terjadinya perusakan. Dengan demikian,

selama bisa diganti dengan barang yang sama persis dan identik, maka harus diganti

dengan barang yang sama dan identik tersebut, namun jika dalam kondisi tidak

memungkinkan untuk menggantinya dengan barang yang sama persis, maka harus

diganti dengan sesuatu yang sama dalam hal maknanya, yaitu nilai harganya.33

Berdasarkan syarat-syarat tersebut diatas, maka kasus Harisun ini patut untuk

diberikan sanksi denda, melihat bahwa boat yang dirusak adalah sebuah harta yang

memiliki nilai, kerusakan yang terjadi juga benar-benar nyata dan permanen (jika

31

Yaitu harta yang secara syara diperbolehkan untuk dimanfaatkan dan digunakan

dalam selain kondisi terpaksa atau darurat. 32

Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r al-Fikr al-

‘Ilmi>yah, 1997), 4836 33

Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r al-Fikr al-

‘Ilmi>yah, 1997), 4836

Page 116: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

102

boat tidak diperbaiki, maka kerusakan akan bersifat permanen). Pelaku juga seorang

yang baligh,34

dan penetapan diyat tersebut dapat berfaedah atau dapat

direalisasikan, karena pelaku adalah bagian dari warga kampung Mekar jaya.

Adapun dilihat dari syarat ditetapkannya tanggungan diyat, juga sudah

memenuhi, pertama pelaku melakukan sebuah pelanggaran, yaitu dilarang

menggandeng boat yang digunakan untuk menangkap ikan tiga gandeng kesamping,

karena akan memakan tempat, sehingga nelayan yang lain tidak mendapat tempat

untuk menangkap ikan. Pelaku secara sadar melakukan pelanggaran itu dengan

alasan membutuhkan uang untuk membiayai anaknya yang sedang sakit. Alasan

tersebut sebenarnya dapat ditolerir apabila tidak merugikan orang lain, tetapi, yang

dilakukannya adalah sebuah kemudharatan. Keadaan d}arurat atau terpaksa tidak

bisa menjadi sebab atau alasan untuk membebaskan pelaku dari tanggungjawab

mengganti harta yang dirusakkan, misalnya, barangsiapa dalam keadaan lapar

menyebabkan dirinya memakan harta orang lain, maka ia tetap harus

menggantinya, meskipun apa yang ia lakukan itu ‚karena terpaksa‛ memang

diperbolehkan demi untuk menyelamatkan nyawa anaknya, akan tetapi ia tidak bisa

menghilangkan atau mengambil hak orang lain. Hal ini sesuai dengan kaidah:

، 35االضطرار اليبطل حق الغري (keadaan d}arurat atau terpaksa tidak bisa membatalkan dan

menggugurkan hak orang lain). Karena keadaaan terpaksa dapat menggugurkan hak

orang lain sehingga merugikan orang lain, dengan kata lain menimbulkan mad}arat

yang baru bagi orang lain. Dengan demikian menghilangkan kemudaratan dengan

mendatangkan kemudaratan yang lain itu dilarang. Hal ini sesuai dengan kaidah

fiqhiyyah "الضرر اليزال بالضرر"36

yaitu mencoba untuk menghilangkan mad}arat

(kesempitan karena butuh uang) dengan mendatangkan madharat (merugikan orang

lain). Penggandengan tiga boat kesamping yang dilakukan oleh pihak pertama dapat

merusak boat milik pihak kedua.

Mengenai bentuk penetapan tanggungan diyat, Zuhayli> membuat kriteria,

apabila harta yang dirusak adalah harta mitsli37

, maka pelaku harus menanggung

dengan harta yang sama. Apabila harta yang dirusaknya itu masuk kategori harta

34

Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak ada syarat, baik itu baligh maupun anak

kecil, mumayyiz ataupun belum, tidak menjadi syarat. 35

‘Umar ‘Ubaid, Qawa>id} al Us}u>li>yah wa al fiqhi>yah wa Atharuha> fi> tarshi>d al ‘Amal

al Isla>mi>y,

http://library.islamweb.net/newlibrary/display_umma.php?lang=&BabId=4&ChapterId=4&

BookId=282&CatId=201&startno=0, diakses pada 16 September 2014. 36

Ima>m Ta>j Al-Di>n Abd al-Waha>b bin ‘Ali Ibn Abdi al-Ka>fi> al-Subki> (771), Al-ashba>h Wa al Nadza>ir, (Beirut: Da>r al Kutib al ‘Ilmi>yah, 1991) 45. Lihat Juga: Abd al-

Rahma>n bin Abi Bakar al-Suyu>t}i, Al-Ashba>h wa al-Nadza>ir, Jami>’ al-huqu>q muta>hat Li Jami>’ al-Muslimi>n, 2010, Islamic Books, 55

37Harta yang memiliki kemiripan dengan yang lainnya, seperti motor honda dibayar

dengan motor honda

Page 117: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

103

qi>mi>,38

maka pelaku menanggung dengan nilai harganya disesuaikan dengan nilai

harga pada waktu terjadinya pengrusakan.39

Apabila ditinjau dari ketentuan tersebut, maka diyat yang diberikan oleh hakim

berupa memperbaiki boat dan mengganti kerugian melaut selama sehari seharga Rp.

1.000.000,- sudah sangat sesuai dengan ketentuan tersebut dan kerugian korban.

Kerusakan boat mengakibatkan pihak korban tidak dapat melaut selama sehari,

maka Harisun harus mengganti kerugian korban, seperti, perbaikan boat yang

bocor, sebagian bahan bakar boat yang terbuang sia-sia, dan kerugian besar karena

korban tidak mendapatkan hasil laut selama sehari. Maka kalkulasi diyat tersebut

menutupi kerugian korban selama sehari tidak melaut.

Melihat ketentuan tersebut terdapat kesamaan antara penyelesaian sengketa

melalui peradilan adat di Aceh dengan penyelesaian sengketa melalui hukum Islam,

keduanya tidak hanya memperhatikan kepentingan pelaku sebagai pembalasan atas

kejahatan yang dilakukannya, tetapi juga memperhatikan kepentingan korban, yaitu

memulihkan kerugian korban. Penetapan sanksi merupakan hasil musyawarah

bersama, sehingga kedua belah pihak merasa rid}a dan rela atas keputusan hakim,

selain itu hubungan persaudaraan antar mereka kembali terbina.

Adapun kasus kedua, kerusakan yang disebabkan oleh hewan ternak, dalam

hal ini Rasulullah pernah bersabda:

أن ناقة للرباء دخلت حائط قوم فأفسدت فيو، فقضى رسول : "حديث حرام بن سعد بن حميصةاهلل صلى اهلل عليو وسلم أن على أىل األموال حفظها بالنهار، وما أفسدتو ادلواشي بالليل فهو ضامن على

40(رواه مالك و أمحد و أبو داود). أىلهاDari Hara>m Bin Sa’ad Bin Muh}ai>s}ah, dari ayahnya, bahwa: ‚Onta al barra’

masuk kedalam kebun seorang laki-laki lalu merusaknya. Kemudian Rasulullah

saw. Mewajibkan pemilik harta (kebun) agar menjaganya pada siang hari, dan bagi

pemilik hewan agar menjaganya pada malam hari.‛

Dalam riwayat lain Rasulullah pernah bersabda dengan mengungkapkan kata

‚ternak‛ untuk mengganti kata ‚onta‛. ‚Sesungguhnya pemilik hewan ternak

berkewajiban menjaga hewan ternaknya pada malam hari, dan bertanggungjawab

atas kerusakan yang diakibatkannya‛.

Suatu hukum diukur dari keumuman redaksi hadits, bukan dari kekhususan

sebab ( العربة بعموم اللفظ الخبصوص السبب) . Dengan demikian, kata ‚ternak‛ disini

mencakup kambing dan sapi.41

38

Harta yang tidak ada benda lain yang serupa dengannya, tetapi ada benda lain yang

serupa nilainya seperti emas, perak. 39

Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi>Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr Al

‘Ilmi>yah, 1997), 4836 40

Ahmad Bin ‘Ali> bin muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Hajar Al ‘Asqala>ni>,

Talh}i>s} al-h}abi>r fi> takhri>j Aha>dithi al-Ra>fi‘i> al-Kabi>r, (Madi>nah, Da>r al-kutub al-‘Ilmi>yah,

1989), http://islamport.com/w/krj/Web/1446/2097.htm, diakses pada 16 September 2014 41

Fatwa Komite Tetap, Fatwa Nomor 1016, Kerajaan Arab Saudi, Portal Lembaga Riset dan Fatwa,

Page 118: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

104

Para Fuqaha empat madzhab sepakat bahwa penjaga binatang adalah pihak

yang harus bertanggungjawab terhadap apa yang dirusakkan oleh binatang yang

berada ditangannya apabila ia memang adalah pihak yang menjadi penyebab

terjadinya kerusakan itu, seperti keteledorannya dalam menjaga binatangnya.

Ulama Maliki>yah berdasarkan pendapat yang ra>jih, Ulama Shafi’i>yah, dan

Ulama Hanabilah mengatakan apa yang dirusak oleh binatang baik itu berupa

tanaman, pepohonan dan lain sebagainya dan itu terjadi pada malam hari, maka si

pemilik binatang itu atau penggembalanya adalah yang menanggung diyatnya. Jika

kerusakan itu terjadi pada siang hari dan pemilik binatang itu tidak ada bersama

pemilik binatang itu, maka tidak ada diyat apa-apa didalamnya.42

Dalam kasus ini sudah jelas bahwa pemilik hewan ternak (pihak pertama)

bertanggungjawab untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pihak kedua, maka

hukuman yang diberikan oleh fungsionaris peradilan adat berupa diyat kepada

pemilik ternak sudah tepat, hal tersebut sebagai bentuk tanggungjawab pemilik

hewan ternak atas kelalaian dalam menjaga hewan ternaknya dimalam hari.

Hukuman tersebut dimaksudkan untuk memulihkan kerugian yang telah diderita

oleh korban, yaitu berupa kerusakan pada tanaman padinya yang masih dara, diyat

berupa dua sak pupuk untuk mengganti kerugian dan memperbaiki kerusakan

tanaman dinilai sebanding dengan kerugian yang diterima oleh korban. Penilaian

tersebut adalah hasil dari musyawarah bersama perangkat gampong dan keduabelah

pihak, juga babinsa dan kamtibmas yang ikut dilibatkan. Hal ini dimaksudkan agar

menjadi pelajaran bagi pemilik ternak dan masyarakat lain agar selalu menjaga

hewan ternaknya di malam hari.

4. Perbandingan Antar Perspektif

Melalui pemaparan tersebut, maka proses penyelesaian sengketa perusakan

melalui peradilan adat lebih memberikan keadilan bagi keduabelah pihak. Pelaku

dengan ikhlas menerima sanksi yang diberikan sebagai bentuk tanggungjawab atas

kesalahan yang telah dilakukannya. Adapun kerugian korban dapat kembali

terpulihkan karena pelaku membayar diyat kerugian tersebut, sedangkan

harmonisasi hubungan bermasyarakat kembali terjaga dan tidak ternoda hanya

karena permasalahan kecil dan kekhilafan yang setiap orang dapat melakukannya.

Penyelesaian sengketa melalui peradilan adat terlihat selaras dengan konteks

shari’at Islam, dengan menggunakan konsep musyawarah dan damai, dengan

melibatkan korban, pelaku, dan fungsionaris gampong dalam mengambil keputusan,

sehingga hasil keputusan adalah mufakat hasil musyawarah bersama. Pemberian

sanksi berupa permohonan maaf, dan gantirugi Rp. 1.000.000 (untuk kasus

pertama) dan 2 sak pupuk (untuk kasus kedua) membuktikan bahwa keputusan

tersebut tidak hanya mempertimbangkan pertanggungjawaban pelaku akan tetapi

www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?languagename=id&View=Page&PageID=520

0&PageNo=1&BookID=3 (Diakses pada 01 Agustus 2014) 42

Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi>Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r al-Fikr al-

‘Ilmi>yah, 1997), 4833

Page 119: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

105

kesejahteraan korban. Hal tersebut membuktikan bahwa hukum adat di Aceh sudah

menyatu dengan hukum Islam, khususnya dalam penyelesaian kasus ini.

Apabila kasus tersebut diselesaikan melalui ranah hukum Pidana Indonesia,

maka pelaku dapat dikenai sanksi pidana penjara selama dua tahun delapan bulan,

dan diyat Rp. 4.500. Pada hakikatnya penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi

dinilai oleh penulis tidak sepenuhnya tersalah, namun beberapa cara penyelesaian

bagi tindak pidana ringan butuh sebuah pembaharuan dan pengkajian ulang. Proses

pengaduan kasus, pertanggungjawaban pidana, sampai pemutusan perkara

seharusnya dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, motif

dari pelaku tindak pidana juga harus dipertimbangkan. Dalam kasus ini, pelaku

mengakui kecerobohannya itu dikarenakan ia panik karena anaknya yang sakit,

sehingga ia tergesa-gesa pergi melaut tanpa memikirkan perbuatannya dapat

merugikan orang lain. Jika kasus ini diselesaikan melalui proses litigasi, pelaku

dapat langsung dikenai hukuman atau sanksi seperti yang telah disebutkan, dan

kerugian korban mungkin saja tidak terbayarkan.

Berikut adalah tabel perbandingan antara penyelesaian sengketa melalui

proses litigasi, non litigasi, dan hukum Islam:

Tabel 3: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa menurut Hukum Pidana

Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat

Perbandingan Hukum Pidana

Indonesia Hukum Islam

Non Litigasi

(peradilan adat)

Jenis Perkara Kasus perusakan Al Itla>f

Pelanggaran adat

Laut (perusakan

Boat)

Pelanggaran adat di

sawah (perusakan

tanaman oleh

hewan)

Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong

Landasan

penetapan

perkara

KUH Pidana Pasal 406

ayat 1 dan 2

Qs. Al baqarah

195

Qa‘idah

Fiqhiyyah

Qa>nu>n Aceh Nomor

09 Tahun 2008

Hasil

Keputusan/

Sanksi

Hukuman penjara

selama dua tahun

delapan bulan

Denda diyat Rp.

4.500

Denda sesuai

dengan kerugian

yang diderita oleh

korban

Permohonan maaf

Diyat sesuai

kerugian yang

diderita oleh korban

(kasus pertama RP.

1.000.000,- dan

kasus kedua 2 sak

pupuk

Proses

penyelesaian Formal dan

terstruktur

Perkara

diselesaikan

Formal, terstruktur,

namun fleksibel

Page 120: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

106

Membutuhkan

waktu yang lama,

biasanya satu tahun

lebih

Biaya

mahal(tanggungan

korban)

langsung saat

qad}i menerima

laporan

Formal dan non

formal

Penyelesaian cepat,

kasus pertama tidak

sampai satu bulan,

dan kasus kedua

diselesaikan saat

itu juga

Biaya murah

Kesimpulan

Perbuatan pelanggaran adat laut yang dilakukan oleh Harisun karena ingin

mendapatkan hasil laut yang banyak menyebabkan kerugian bagi orang lain

sehingga pelaku berurusan dengan peradilan adat dan Orang Tuha Gampong. Proses

mediasi, musyawarah mufakat, dan perdamaian yang dilakukan oleh perangkat

gampong dan kedua belah pihak melahirkan sebuah keputusan yang dianggap adil

bagi kedua belah pihak. Dalam hal ini, pelaku harus meminta maaf dan membayar

ganti kerugian korban, dan memperbaiki kerusakan boat milik korban. Pemberian

maaf dari korban membuat pelaku malu dan berjanji untuk tidak mengulangi

perbuatannya lagi. Ia sadar bahwa karena perbuatannya itu menyebabkan keutuhan

persaudaraan satu kampung yang selama ini mereka bangun dengan baik rusak

akibat kekhilafannya.

Adapun pelanggaran adat ternak milik Sarifuddin menyebabkan kerugian

bagi Hanafi. Proses mediasi dan perdamaian yang dilakukan oleh perangkat

gampong, babinsa, dan kantibmas melahirkan sebuah keputusan yang dianggap adil

bagi kedua belah pihak. Keputusan tersebut adalah, pemilik hewan ternak harus

meminta maaf kepada korban dan mengganti kerugian korban yang disebabkan oleh

hewan ternaknya, yaitu pembayaran diyat dua sak pupuk untuk memperbaiki

tanaman yang rusak. Keputusan tersebut diterima dengan besar hati oleh kedua

belah pihak, demi menjaga keutuhan persaudaraan mereka.

B. Kasus Pencurian

1. Deskripsi/Kronologi Kasus

a. Kasus Pencurian Tabung Gas

Pada bulan februari tahun 2012 bertempat di Gampong Sumber Sari (bukan

nama asli), Kec. Indah Jaya (bukan nama asli), Kab. Pidie telah terjadi pencurian

tabung gas 12 kg milik Rahmalena (bukan nama asli). Adapun Faisal (bukan nama

asli), warga setempat yang merupakan tetangga korban (kediaman pemuda tersebut

berjarak dua rumah dari kediaman korban) adalah pemuda berusia 13 tahun adalah

tersangka pelaku pencurian tabung gas. Tabung gas yang di ambil kemudian dijual

kepada kedai milik Rustam (bukan nama asli) di gampong Meunasah Jaya (bukan

nama asli). Hasil dari penjualan tabung gas tersebut digunakan untuk jajan dan

membeli keperluan lainnya. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa sebagai berikut:

Sekira pada bulan Februari tahun 2012, sekitar pukul 12.30 waktu setempat,

pelaku melintasi belakang rumah korban dan melihat ada tabung gas yang

diletakkan tepat di samping pintu rumah. Pelaku kemudian mengangkat tabung gas

Page 121: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

107

tersebut dan didapatinya bahwa benda itu kosong. Akhirnya, timbullah keinginan

pelaku untuk mengambil barang tersebut. Pelaku kemudian meletakkan kembali

barang tersebut dan kembali kerumah. Sekiranya pukul 13.00 waktu setempat,

pelaku keluar rumah den kembali ke kediaman korban. Ketika melihat situasi aman

dan tidak ada yang melihat, ia langsung mengambil tabung gas tersebut, kemudian

menjualnya kepada temannya (Habib) di Gampong sebelah seharga Rp. 80.000. Ia

pun langsung membelanjakan uang tersebut Rp. 20.000 untuk jajan dan sisanya

dibawa kembali ke rumah.

Setelah shalat z}uhur (kira-kira pukul 13.30 waktu setempat), korban

mendapati tabung gasnya sudah tidak ada di tempat. Ia pun langsung melaporkan

peristiwa tersebut kepada kepala dusun untuk diselidiki lebih lanjut. Setelah

menerima laporan, kepala dusun (kadus) langsung melapor kepada

Keuchikgampong, agar masalah tersebut bisa langsung diselesaikan.

Sore harinya, sekira pukul 16.00 (bakda ashar waktu setempat) Keuchik

langsung mengumpulkan seluruh perangkat gampong untuk memusyawarahkan

permasalahan tersebut. Bakda maghrib perangkat gampong langsung membuat

pengumuman kepada seluruh masyarakat gampong tentang permasalahan tersebut.

Sekira pukul 20.00 (bakda isha waktu setempat), seorang warga melaporkan

kecurigaannya terhadap Faisal kepada Keuchik gampong, karena ia melihat Faishal

menjual tabung gas ke desa tetangga pada pukul 14.00 waktu setempat. Keuchik

langsung memanggil kedua orangtua Faishal bersama Faishal untuk ditanya dan

dimintai keterangan lebih lanjut. Akhirnya Faishal mengakui kesalahannya, karena

ia tidak diberikan uang jajan dari ibunya.

Setelah pengakuan itu, pelaku diamankan oleh perangkat gampong, yaitu di

tempatkan di kediaman kepala dusun Bahagia untuk menghindari kemungkinan

yang akan terjadi. Sementara itu, sekretaris desa mengatur jadwal sidang dan

musyawarah di meunasah keesokan harinya.

Keesokan harinya, seluruh perangkat gampong, beserta keduabelah pihak

berkumpul di meunasah untuk mengikuti persidangan adat dan musyawarah

penyelesaian secara damai. Keuchik selaku ketua peradilan dan pimpinan

pemerintahan meminta kedua belah pihak agar dapat menyadari pentingnya

kerukunan dalam masyarakat, sebagaimana dikehendaki oleh agama dan adat.43

Pertimbangan Adat:

Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar

telah melanggar reusam adat gampong Sumber sari terntang peraturan perlindungan

harta benda. Alasannya adalah karena pelaku ingin memakai hasil penjualan tabung

gas tersebut untuk jajan dan membeli perlengkapan lain. Mengingat orangtua

pelaku sudah berpisah sejak tahun 2005, dan pelaku tinggal bersama Ibunya yang

bekerja sebagai petani sawah.

Menimbang, bahwa adanya pengakuan dari ibu pelaku bahwa pelaku masih

duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Kelas Satu dan masih mampu untuk

43

Kronologi kasus adalah hasil wawancara dengan Sekretaris Gampong, Bpk. Abdul

Muthalib, dan juga tokoh perempuan gampong, Ibu Zubaida (bukan nama asli)

Page 122: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

108

mendidik anaknya, dengan pendidikan formal maupun pendidikan agama, maka

pelaku berhak untuk memperbaiki diri demi masa depannya, dan memberikan

kewenangan kepada Ibu pelaku untuk mendidik dan memperbaiki akhlaq dan

mental pelaku dengan pengawasan perangkat gampong.

Menimbang, bahwa antara orang tua pelaku dan korban sebelum terjadi

masalah ini menjunjung persaudaraan yang sangat erat antar sesama warga

Gampong Sumber Sari Apalagi ibu pelaku sering pergi bertani dengan korban.44

Menimbang, bahwa anak belum mempunyai kematangan berfikir, sehingga

belum sepenuhnya mampu berfikir mana yang selayaknya yang tidak boleh dan

mana yang selakyaknya boleh dilakukan.

Menimbang, bahwa anak-anak masih mempunyai masa depan yang panjang

yang harus mendapat dukungan semua pihak untuk pencapaiannya. Kesalahan yang

dilakukan oleh anak kadang kala lebih disebabkan oleh kelalaian orang tua dalam

membina dan kelalaian pemerintah dalam menjaga kondisi lingkungan yang

kondusif untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan mental dan perilaku

anak.45

Menimbang, bahwa forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat gampong

(Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah) sehari setelah kejadian tersebut

bertujuan untuk memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah pihak dan

masyarakat menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:

1. Pihak pertama dan kedua berjanji untuk berdamai dan saling

memaafkan sehingga tidak ada dendam di kemudian hari

2. Bahwa pelaku berjanji kepada perangkat gampong dan kepada korban

untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi. Apabila pihak pertama

mengulanginya, maka ia bersedia untuk mendapatkan hukuman yang

sesuai dengan hukuman yang berlaku di Negara Republik Indonesia

3. Pelaku harus mengganti korban, yaitu: mengganti kerugian pihak

pertama sebesar Rp. 80.000. tanggungan diyat ini dibebankan kepada

ibu pelaku

4. Bahwa Ibu Pelaku berjanji untuk menjaga dan mendidik pelaku dengan

sebaik-baiknya agar tidak mengulangi kesalahannya lagi.

Putusan Adat:

1. Menyatakan bahwa saudara Faisal terbukti secara sah dan meyakinkan telah

melakukan ‚pencurian ringan‛

2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah

merugikan korban. Hal ini dikarenakan pihak pertama jarang mendapatkan

uang jajan dari ibunya, sehingga pelaku khilaf dan mengambil tabung gas

korban untuk dijual. Hasil penjualan tersebut pelaku gunakan untuk jajan dan

membeli beberapa kebutuhan pelaku.

44

Pertimbangan adat adalah hasil wawancara dengan Sekretaris Gampong, Bpk.

Abdul Muthalib, dan juga tokoh perempuan gampong, Ibu Zubaida (bukan nama asli) 45

Wawancara pribadi dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh,

Bidang Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014

Page 123: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

109

3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,

menghasilkan kesepakatan sebagai berikiut:

a. Perangkat gampong, yang diwakili oleh hakim memberikan teguran

kepada Faisal agar tidak mengulangi kesalahannya lagi, juga kepada Ibu

Faisal agar lebih mendidik faisal dengan baik.

b. Perangkat gampong, yang diwakili oleh Tuha Peuet dan Imeum Meunasah menasihati Faisal tentang perilaku dan budi pekertii yang

baik, bahwa masa depan pelaku masih panjang, untuk itu, Faisal harus

memiliki perilaku dan budi pekerti yang baik. Hal tersebut tidak lain

hanya dengan menanamkan ajaran agama kepada pelaku. Nasihat ini

juga diberikan kepada Ibu pelaku.

c. Pihak pertama dan kedua berjanji untuk berdamai dan saling

memaafkan sehingga tidak ada dendam di kemudian hari

d. Bahwa pelaku berjanji kepada perangkat gampong dan kepada korban

untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi. Apabila pihak pertama

mengulanginya, maka ia bersedia untuk mendapatkan hukuman yang

sesuai dengan hukuman yang berlaku di Negara Republik Indonesia

e. Pelaku harus mengganti korban, yaitu: mengganti kerugian pihak

pertama sebesar Rp. 80.000,- tanggungan diyat ini dibebankan kepada

ibu pelaku

f. Bahwa Ibu Pelaku berjanji untuk menjaga dan mendidik pelaku dengan

sebaik-baiknya agar tidak mengulangi kesalahannya lagi.

4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil

musyawarah dengan perangkat gampong.46

b. Pencurian Buah Pokat

Deskripsi Kasus Adat

Pekerjaan sehari-hari masyarakat Bener Meriah adalah petani kebun. Ketika

musim panen, sekiranya pada bulan Mei tahun 2012, di gampong Darussalam

(bukan nama asli), Mukim Dayah Salam (bukan nama asli), Kec. Gajah Besar

(bukan nama asli), Kab. Bener Meriah, Nanggroe aceh Darussalam, Bpk. Abdul

Hakim (bukan nama asli) memanen buah pokat, sehingga mencapai beberapa

karung besar. Karena hari sudah sore, ia meletakkan karung-karung buah tersebut di

dalam saung di perkebunannya. Ia pun mengunci rapat saungnya. Keesokan harinya,

ia dapati bahwa hasil buah yang ia panen kemarin hilang satu karung. Pada hari itu

juga, ia langsung melapor kepada Keuchik setempat untuk diselidiki siapa yang

mencuri hasil panennya. Ia menyampaikan kecurigaannya kepada seseorang yang

sejak kemarin mengikutinya (seorang pemuda desa tersebut, Sarik (bukan nama

asli)).

Setelah menerima laporan tersebut, Keuchik langsung mendelegasikan tugas

kepada kepala dusun tempat Sarik tinggal untuk diselidiki lebih lanjut tentang

46

Hasil wawancara dengan Keuchik Gampong (Bpk. Bukhari), Sekretaris Gampong

(bpk. Abdul Muthalib), dan Tokoh wanita (Ibu Zulaikha)

Page 124: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

110

perkara yang dilaporkan oleh Bpk. Abdul hakim. Akhirnya, setelah di desak, Sarik

pun mengakui bahwa ia mencuri buah pokat milik Bpk. Abdul hakim, kemudian

dijual untuk membiayai keluarganya (Sarik adalah pemuda yang baru saja menikah

dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap). Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa

sebagai berikut:

Sekiranya awal bulan Mei tahun 2012, Pelaku, Sarik melihat bahwa Abdul

Malik sedang memanen buah pokat diperkebunannya. Ia pun mendekati korban dan

memohon kepada korban untuk ikut membantu memanen. Korban yang sama sekali

tidak curiga kepada pelaku mempersilahkan pelaku untuk ikut membantu. Setelah

hari sore, pelaku dan korban berhasil memanen lima karung buah pokat. Ketika

korban ingin membawa keseluruhan buah itu, pelaku berkata bahwa lebih baik

karung-karung tersebut diletakkan saja di saungnya, kemudian dikunci rapat, karena

hari sudah sore dan tidak mungkin dibawa pulang ke rumah korban, mengingat

jarak antara perkebunan korban dengan rumah korban sekitar 2 Km. Pelaku

kemudian pamit untuk pulang terlebih dahulu. Sekira pukul 18.00, sebelum adzan

maghrib, pelaku kembali lagi ke perkebunan korban, dan didapati bahwa korban

sudah pulang. Ia pun langsung membuka gembok saung dengan kawat, kemudian

mengambil satu karung pokat milik korban. Kemudian, malam harinya, pelaku

langsung menjual satu karung buah pokat tersebut kepada Moh. Akbar yang

berprofesi sebagai penjual buah di pasar kota Bener Meriah seharga Rp. 4.500.000,-

uang tersebut di bawa pulang oleh pelaku.

Setelah mendapatkan keterangan yang pasti dari kedua belah pihak, akhirnya

Keuchik bersama perangkat gampong memanggil keduabelah pihak untuk

didudukkan bersama, dimediasi dan didamaikan, guna mencari penyelesaian

masalah yang terjadi. Keduabelah pihakpun bersedia untuk didamaikan. 47

Pertimbangan Adat:

Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar

telah melanggar reusam adat gampong Darussalam tentang peraturan perlindungan

harta benda. Reusam tersebut dibuat atas kesepakatan seluruh warga dan perangkat

gampong. Alasan pelaku adalah karena pelaku ingin membiayai istrinya yang

meminta uang untuk membeli perlengkapan rumah tangga. Mengingat pelaku

adalah pemuda yang baru saja menikah dan belum mempunyai pekerjaan tetap.

Pelaku melihat kesempatan untuk mengambil hasil panen buah pokat milik Bpk.

Abdul Hakim adalah jalan untuk mendapatkan uang.

Menimbang, bahwa, akibat perlakuan pelaku, korban mendapatkan kerugian

yang sangat banyak, yaitu satu karung buah pokat yang mana buah tersebut akan

dijual oleh korban untuk memenuhi kehidupan keluarganya sehari-hari.

Adapun kerusakan pada konci dan pintu saung korban juga merugikan

korban. Akibat perbuatan pelaku, maka saung milik korban tidak dapat di tutup

dengan baik, sehingga menghawatirkan korban akan kejadian yang serupa terulang

lagi.

47

Hasil wawancara dengan Keuchik Gampong (Bpk. Dzulkifli), (bukan nama asli)

Page 125: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

111

Menimbang, bahwa antara pelaku dan korban sebelum terjadi masalah ini

menjunjung persaudaraan yang sangat erat antar sesama warga Gampong

Darussalam. Mereka sering terlihat mengikuti kegiatan gampong bersama,

meskipun keduabelah pihak tidak tinggal dalam satu dusun, akan tetapi

persaudaraan mereka sudah terbangun sangat baik selama bertahun-tahun.

Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat

gampong (Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah) sehari setelah kejadian

tersebut bertujuan untuk memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah

pihak dan masyarakat, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:

1. Pelaku bersedia untuk meminta maaf kepada korban atas kesalahan dan

kejahatan yang sudah dilakukan oleh korban

2. Korban bersedia untuk memaafkan kesalahan pelaku dan berjanji untuk

tidak ada dendam dikemudian hari

3. Pelaku membayar diyat sebanyak Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah)

kepada pihak pertama sebagai ganti dari buah pokat yang dicurinya.

Nominal ini sesuai dengan kerugian korban yang mencakup, satu karung

buah pokat dan perbaikan konci saung korban

4. Pelaku berjanji untuk mencari pekerjaan yang layak untuk menghidupi

keluarganya agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi

5. Pelaku berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Apabila ia

mengulanginya lagi, maka ia bersedia untuk diproses sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku.

Putusan Adat:

1. Menyatakan bahwa saudara Sarik secara sah dan meyakinkan telah melakukan

kasus adat ‚Pencurian‛

2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah

merugikan korban. Hal ini dikarenakan pelaku tidak memiliki pekerjaan yang

tetap untuk memenuhi kebutuhan istrinya, sehingga ia melakukan pencurian

tersebut.

3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,

menghasilkan kesepakatan sebagai berikiut:

a. Pelaku bersedia untuk meminta maaf kepada korban atas kesalahan dan

kejahatan yang sudah dilakukan oleh korban

b. Korban bersedia untuk memaafkan kesalahan pelaku dan berjanji untuk

tidak ada dendam dikemudian hari

c. Pelaku membayar diyat sebanyak Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah)

kepada pihak pertama sebagai ganti dari buah pokat yang dicurinya.

Nominal ini sesuai dengan kerugian korban yang mencakup, satu karung

buah pokat dan perbaikan konci saung korban

d. Pelaku berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Apabila ia

mengulanginya lagi, maka ia bersedia untuk diproses sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku.

Page 126: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

112

4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil musyawarah

dengan perangkat gampong.48

c. Pencurian Kambing

Kasus Adat

Pada hari selasa, tanggal 19 bulan November 2013, Rizal Bakri (bukan nama

asli, pihak pertama) mencuri kambing milik Rahmania (bukan nama asli,pihak

kedua) dari kediamannya di gampong Nusa Indah, Kec. Baiturrahman, Banda Aceh

untuk dijual lagi. Setelah dua bulan, pencurian tersebut diketahui oleh pihak kedua

dari warga sekitar yang tinggal di dekat kekediaman pihak pertama (Pihak Pertama

tinggal di gampong Tgk Nyak Intan, (bukan nama asli) Banda Aceh). Akhirnya

pihak pertama melaporkan kejadian tersebut kepada Keuchikgampongnya

‚Baitussalam‛ (bukan nama asli).

Karena pihak pertama tinggal di gampong Tgk Nyak Intan, Kec.

Baitussalam, Banda Aceh, sementara pihak kedua tinggal di gamponggampong

Nusa Indah, Kec. Baiturrahman, Banda Aceh, maka penyelesaian perkara ini

melibatkan perangkat gampong dari keduabelah pihak. Dihadapan

Keuchikgampong Tgk Nyak Intan, pihak pertama mengakui bahwaa dia telah

mencuri seekor kambing bandot milik pihak kedua. Kejadiannya adalah sebagai

berikut:

Pada hari selasa, tanggal 18 bulan November 2013, pelaku (Rizal Bakri)

pergi ke rumah korban untuk bersilaturrahim dengan korban. Pelaku, yang

merupakan saudara ipar korban (isteri pelaku adalah adik dari korban) mengaku

bahwa ia sedang membutuhkan uang untuk membeli beberapa perlengkapan rumah

tangga yang diminta oleh isterinya. Karena melihat korban memiliki kambing yang

berada di pekarangan belakang rumah korban, maka timbullah keinginan pelaku

untuk mengambil dan menjual kambing tersebut. Maka, pada tanggal 19 bulan

November 2013, pelaku melaksanakan keinginannya untuk mencuri. Sekira pukul

14.00 waktu setempat, dimana kediaman korban sepi, karena seluruh penghuni

rumah sedang keluar, pelaku berkunjung kerumah korban. Suasana sekitar rumah

yang sepi juga turut mendukung aksi pencurian korban. Akhirnya, korban berhasil

mencuri kambing dan membawanya keluar dari gampong sekitar pukul 14.30 waktu

setempat. Pelaku langsung membawa kambing itu ketempat penjualan hewan di

daerah Indrajaya, Aceh Besar. Ia langsung menjual kambing tersebut kepada Arif

Rahmat dengan harga Rp. 3.000.000,- Kemudian pelaku kembali ke rumah tanpa

rasa bersalah.

Korban baru menyadari kehilangan kambingnya pada keesokan harinya, 20

November 2013. Korban langsung melaporkan kejadian itu kepada

Keuchikgampong Nusa Indah untuk segera di proses.

Pencarian terus berlangsung, sampai dua bulan kemudian, sekira tanggal 2

Februari tahun 2014, Keuchikgampong Nusa Indah mendapat laporan dari

Keuchikgampong Babussalam bahwa ada warganya yang di curigai mencuri

48

Hasil wawancara dengan Keuchik Gampong (Bpk. Dzulkifli), (bukan nama asli)

Page 127: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

113

kambing milik warganya. Tersangka Rizal Bakrie dinilai oleh perangkat gampong

tidak memiliki pekerjaan tetap, akan tetapi bisa membelikan istrinya beberapa

peralatan rumah tangga. Akhirnya setelah di panggil oleh perangkat gampong

Babussalam, tersangka mengaku bahwa ia mencuri kambing milik kakak iparnya,

kemudian ia menjualnya di tempat penjualan hewan di daerah Aceh Besar.

Atas pengakuan dari pelaku, dan proses mediasi pertama oleh masing-

masing Keuchikgampong pada tanggal 4 Februari 2014, akhirnya korban bersedia

untuk menyelesaikan masalah secara adat dan damai.

Pada hari rabu, tanggal 5 Februari tahun 2014 bertempat dikediaman pihak

kedua, telah dilaksanakan perdamaian atas perkara tersebut, dan disaksikan oleh

para orang tua gampong dari keduabelah pihak. 49

Pertimbangan Adat:

Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar

telah melanggar reusam adat gampong Nusa Indah Gampong Tgk. Nyak Intan

tentang peraturan perlindungan harta benda. Alasan pelaku adalah karena pelaku

ingin membiayai istrinya yang meminta uang untuk membeli perlengkapan rumah

tangga. Mengingat pelaku belum mempunyai pekerjaan tetap. Pelaku melihat

kesempatan untuk mengambil kambing milik Saudara Iparnya, Rahmania adalah

jalan untuk mendapatkan uang. Meskipun demikian, pelaku mengakui kesalahannya

dan ingin bertaubat, maka setiap ummat Islam harus mendukung jika ada pelaku

kejahatan yang ingin bertaubat.

Menimbang, bahwa akibat kejahatan pelaku, korban mendapatkan kerugian

seekor kambing. Adapun pelaku adalah saudara ipar korban dan sebelum terjadi

masalah ini, hubungan antara keduanya sangat dekat, pelaku sering bersilaturrahim

ke rumah korban. Maka hubungan persaudaraan ini haruslah disatukan kembali.

Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat

gampong kedua belah pihak (Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah)

bertujuan untuk memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah pihak dan

masyarakat, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:

1. Pelaku harus meminta maaf kepada korban atas perilaku kejahatannya.

2. Korban, sebagai orang yang dirugikan, dengan lapang dada berjanji

untuk memaafkan kesalahan pelaku.

3. Pelaku bersedia mengganti kerugian satu ekor kambing bandot kepada

pihak kedua seharga Rp. 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah)

4. Pelaku berjanji tidak akan mengulangi lagi perkara-perkara seperti ini,

baik dengan yang bersangkutan dari keduabelah pihak atau dengan orang

lain.

5. Pelaku bersedia menerima sanksi dari orang tua gampong, bahwa bila

dikemudian hari mengulangi perkara seperti ini, maka para orang tua

gampong tidak akan menangani (lepas tanggungjawab) atas perkara

49

Kronologi kasus adalah hasil wawancara dengan Keuchik gampong, (Bpk. Zainal

Abidin), dan warga (Ibu Yunia)

Page 128: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

114

yang dilakukannya, serta bersedia dituntut dengan ketentuan hukum

yang berlaku.

6. Korban tidak akan menuntut biaya apapun lagi setelah perdamaian ini

dilakukan

7. Kedua belah pihak tidak akan saling dendam dikemudian hari setelah

perdamaian ini dilakukan.

Putusan Adat:

1. Menyatakan bahwa saudara Rizal Bakrie secara sah dan meyakinkan telah

melakukan kasus adat pencurian

2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah

merugikan korban. Hal ini dikarenakan pelaku tidak memiliki pekerjaan yang

tetap untuk memenuhi kebutuhan istrinya, sehingga ia melakukan pencurian

tersebut.

3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,

menghasilkan kesepakatan sebagai berikiut:

a. Pelaku harus meminta maaf kepada korban atas perilaku kejahatannya.

b. Korban, sebagai orang yang dirugikan, dengan lapang dada berjanji

untuk memaafkan kesalahan pelaku.

c. Pelaku bersedia mengganti kerugian satu ekor kambing bandot kepada

pihak kedua seharga Rp. 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah)

d. Pelaku berjanji tidak akan mengulangi lagi perkara-perkara seperti ini,

baik dengan yang bersangkutan dari keduabelah pihak atau dengan orang

lain.

e. Pelaku bersedia menerima sanksi dari orang tua gampong, bahwa bila

dikemudian hari mengulangi perkara seperti ini, maka para orang tua

gampong tidak akan menangani (lepas tanggungjawab) atas perkara

yang dilakukannya, serta bersedia dituntut dengan ketentuan hukum

yang berlaku.

f. Korban tidak akan menuntut biaya apapun lagi setelah perdamaian ini

dilakukan

g. Kedua belah pihak tidak akan saling dendam dikemudian hari setelah

perdamaian ini dilakukan.

4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil musyawarah

dengan perangkat gampong.50

1. Analisis Kasus Perspektif Hukum Pidana Indonesia

Pencurian adalah perbuatan mengambil milik orang lain tanpa izin dari

pemiliknya.51

Yang dimaksud perbuatan mencuri dalam hukum pidana adalah

50

Dokumentasi peradilan adat Gampong Nusa Dua Indah (bukan nama asli), Rabu,

tanggal 5 Februari tahun 2014, ditandatangani oleh kedua belah pihak, Keuchik Gampong

dan Sekretaris Gampong)

Page 129: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

115

mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,

dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.52

Mengenai tindak pidana

pencurian, hukuman yang berlaku menurut KUHP adalah pasal 362-367.

Pasal 362: Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau

sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan

hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun

atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Pasal 363: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1. pencurian ternak;

2. pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa

laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api,

huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;

3. pencurian pada waktu malam hari dalam sebuah rumah atau perkarangan

tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak

diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

5. pencurian yang masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada

barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat

dengan memaki anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;

(2) jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal

dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan

tahun.

Pasal 364: Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4,

begitupun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak

dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika

harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena

pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda

paling banyak duaratus lima puluh rupiah53

Adapun jika pelakunya adalah anak dibawah umur, maka ketentuannya diatur

dalam pasal 26 ayat 1 UU No. 3 Th. 1997 tentang Peradilan Anak dan UU RI No.

23 Th. 2002 tentang Perlindungan Anak.54

51Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Jakarta, 2008, 319 52KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011), 149 53

Apabila dilihat dari ketentuan pasal 364, batas pencurian ringan adalah tidak lebih

dari dua puluh lima rupiah. Melihat penyesuaian yang terjadi pada masa sekarang,

Mahkamah agung membuat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 tahun 2012, tentang

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan, yaitu pada BAB I Pasal (2) Apabila nilai

barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu

rupiah) Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili

dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal

205-210 KUHAP 54

(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum

ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

Page 130: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

116

Tindakan mencuri sebagaimana telah disinggung sebelumnya, termasuk

kedalam tindak pidana kejahatan terhadap harta benda, diantaranya diatur pada

pasal KUHP adalah pasal 362-367. Adapun jika pelakunya adala anak dibawah

umur, maka ketentuannya diatur dalam pasal 26 ayat 1 UU No. 3 Th. 1997 tentang

Peradilan Anak dan UU RI No. 23 Th. 2002 tentang Perlindungan Anak.

Apabila dirinci lebih lanjut, delik pokok didalam pasal 362 KUHP terdapat

beberapa unsur, yaitu paertama adalah unsur-unsur obyektif, meliputi: mengambil55

,

barang/ benda56

, seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain57

. Kedua adalah

unsur-unsur subyektif yaitu dengan maksud memiliki58

dan secara melawan

hukum59

.

(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup, maka pidana penjara yang dapatdijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10

(sepuluh) tahun.

(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum

mencapai umur 12(dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati

atau pidana penjara seumurhidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat

dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b. (4) Apabila

Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur

12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak

diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah

satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, www.bpkp.go.id, diakses pada 30 Juni

2014. Lihat juga UU RRI No. 23 Th. 2002,

http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK.pdf,

diakses pada 30 Juni 2014 55

Yang dimaksud dengan mengambil adalah membawa suatu benda menjadi berada

pada penguasaannya yang nyata. terdapat beberapa teori tentang bilamana suatu perbuatan

mengambil dapat dipandang sebagai telah terjadi, yaitu: pertama teori Kontrektasi

mengatakan untuk adanya suatu perbuatan mengambil itu disyaratkan bahwa dengan

sentuhan badaniyah, pelaku telah memindahkan benda yang bersangkutan dari tempat

semula. Kedua, teori ablasi mengatakan, untuk selesainya perbuatan mengambil itu

disyaratkan bahwa benda yang bersangkutan harus telah diamankan oleh pelaku. Ketiga,

teori aprehensi mengatakan untuk adanya perbuatan mengambil itu diisyaratkan bahwa

pelaku harus membuat benda yang bersangkutan berada dalam penguasaan yang nyata. 56

Yang di maksud dengan barang/benda adalah baik barang yang berwujud maupun

barang yang tidak berwujud yang mempunyai nilai ekonomis dan berharga bagi pemilik

maupun orang lain. 57

Maksudnya adalah barang tersebut seluruhnya atau sebagian bukan milik pelaku

tetapi merupakan milik orang lain. 58

Maksudnya adalah pelaku secara sadar saat mengambil barang tersebut memiliki

tujuan untuk memiliki barang/benda tersebut. 59

Maksudnya adalah pelaku secara sadar dan telah mengetahui bahwa perbuatan

mengambil yang dilakukan adalah melawan hukum. Hal ini tidak hanya dilihat dari

perbuatan lahiriah yang telah dilakukan, akan tetapi dilihat dari niat orang yang mengambil

barang tersebut. (Lihat: Direktori Putusan Mahkamah agung Republik Indonesia,

www.putusan.mahkamahagung.go.id, diakses pada 1 Juli 2014, lihat juga: I Gusti Ayu

Page 131: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

117

Kasus Pertama, yaitu pencurian tabung gas yang dilakukan oleh saudara

Faisal, 13 tahun, warga gampong Sumber Sari, apabila dilihat dari unsur-unsur

objektif dan subyektif, maka sudah terpenuhi secara keseluruhan. Pertama, pelaku

mengambil barang tersebut dengan maksud untuk dimiliki, kemudian dijual, dan

hasilnya untuk jajan dan kepentingannya. Kedua, barang atau benda yang diambil

oleh pelaku adalah milik korban Rahmalena yang akan digunakan korban sebagai

alat memasak sehari-hari. Ketiga, pekerjaan yang dilakukan Faisal adalah tindakan

yang melanggar hukum, menurut pengakuannya bahwa secara sadar ia telah

melakukan pelanggaran hukum.

Hal selanjutnya yang menjadi pertimbangan, bahwa Faisal merupakan anak

dibawah umur, sehingga belum cakap hukum menurut Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 pasal 1.60

Adapun tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal

adalah mengembalikan kepada orang tua wali atau orang tua asuh.61

Dalam kasus

ini Faisal yang masih berusia 13 tahun masuk kedalam peradilan anak dan

kesalahannya belum dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Ia sebagai pelaku

tindak pidana, tetapi ia juga adalah korban ekonomi keluarga (kemiskinan keluarga)

dan kurangnya perhatian serta kasih sayang orangtua, karena orangtua korban

sudahlama berpisah. Karena permasalahan faisal ini menjadi kewenangan peradilan

adat,62

maka, permasalahan ini diselesaikan menurut hukum adat yang berlaku.

Putusan hakim adat dan perangkat gampong memberikan sanksi adat berupa

teguran, nasihat dan permohonan maaf serta diyat sudah tepat, karena selaras

dengan kesalahan yang dibuat dan patut karena kesalahannya, bukan didasarkan

rasa benci, tidak senang, ataupun marah. Permohonan maaf dari pelaku adalah

simbol bahwa pelaku mengakui kesalahannya dan berjanji untuk tidak

mengulanginya lagi. Pemberian maaf dari korban adalah simbol dari kebesaran jiwa

dan kelapangan dada korban. Sementara diyat berupa uang Rp. 80.000,- adalah

diambil dari kesepakatan bersama kedua belah pihak melihat kerugian yang diderita

oleh korban. Diyat tersebut menjadi tanggungan Ibu korban sebagai wali dari

korban. Hal ini agar menjadi pelajaran bagi orangtua korban agar mendidik korban

lebih baik lagi. Karena anak-anak sering melakukan sesuatu karena ikut-ikutan

Jatiana Manik Wedanti dan AA Kethut Sukranata, Unsur Melawan Hukum dalam Pasal 362

KUHP Tentang Tindak Pidana Pencurian, Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana,

http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/viewFile/5353/4102, diakses pada 1

Juli 2014 ) 60

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8

(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah

kawin (lihat: http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl52280/node/4013, diakses

pada tanggal 1 Juli 2014) 61

Lihat pasal 24 ayat 1 Huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997,

http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl52280/node/4013 , diakses pada

tanggal 1 Juli 2014. 62

Lihat Kewenangan Peradilan Adat Menurut Qa>nu>n Aceh Nomor 9 tahun 2008,

point 11

Page 132: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

118

tanpa memikirkan akibatnya. Mereka juga sering melakukan sesuatu karena

memperoleh contoh-contoh yang tidak baik di lingkungannya.

Keputusan peradilan adat dapat memberikan dampak positif, karena tidak

hanya mengutamakan penyelesaian dan pembalasan kejahatan saja, akan tetapi

ikut serta memikirkan bagaimana keadaan anak tersebut dan keadaan masyarakat

adat dimasa yang akan datang. Keputusan adat tersebut dapat merekatkan kembali

kerukunan hidup masyarakat yang sebelumnya telah terputus karena terjadi

sengketa.

Kasus kedua, yaitu pencurian buah pokat yang dilakukan oleh pelaku Sarik di

Gampong Darussalam, kab. Bener meriah. Untuk menjatuhkan suatu pidana, unsur-

unsur tindak pidana pada suatu pasal harus dipenuhi. Jika dilihat dari unsur-unsur

objektif dan subyektif, maka sudah terpenuhi secara keseluruhan. Pertama, pelaku

mengambil barang tersebut dengan maksud untuk dimiliki, kemudian dijual, dan

hasilnya untuk memenuhi keinginan istrinya membeli beberapa barang keperluan

rumah tangga. Kedua, barang atau benda yang diambil oleh pelaku adalah milik

korban Abdul Hakim, merupakan hasil jerih payah korban bertani selama enam

bulan. Buah tersebut akan dijual untuk keperluan keluarga korban sehari-hari.

Ketiga, pekerjaan yang dilakukan Sarik adalah tindakan yang melanggar hukum,

menurut pengakuannya bahwa secara sadar ia telah mengambil satu karung buah

pokat milik Abdul Hakim untuk kepentingannya sendiri.63

Pelaku adalah seorang yang cakap hukum, jadi apabila kasus ini dibawa oleh

korban ke ranah hukum, maka pelaku bisa dijerat pasal 362 KUHP tentang tindakan

pencurian dan pasal 406 Bab XXVII tentang pengrusakan barang secara sengaja.

Pelaku dapat dikenai sanksi pidana hukuman penjara selama lima tahun atau pidana

denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Sanksi tersebut sifatnya alternatif

bukan kumulatif, dimana terdapat pilihan penjatuhan hukuman pidana penjara atau

hukuman pidana denda, yang sepenuhnya bergantung pada bagaimana tuntutan dari

jaksa penuntut umum dan putusan yang dijatuhkan oleh hakim.64

Karena korban ingin menyelesaikan permasalahan ini secara damai dan

kekeluargaan, akhirnya korban mengadukan permasalahan ini kepada Keuchik gampong untuk diselesaikan dengan jalan musyawarah.

65 Meskipun demikian,

63

Kasus pencurian pada kasus kedua dan ketiga sebenarnya bukan termasuk kedalam

kewenangan peradilan adat, (sesuai dengan Pergub Nomor 60 Tahun 2013) namun atas

kesepakatan keduabelah pihak, maka kasus tersebut diselesaikan secara adat, dengan ini,

dapat dilihat bahwa fungsionaris adat melakukan peradilan adat atas permintaan keduabelah

pihak yang bersengketa. 64

Alberth Aries, Apakah Pelaku Pidana Penganiayaan Dibebaskan Apabila Bayar

Denda Rp. 4.500?, Hukum Online,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt518fad653223a/apakah-pelaku-penganiayaan-

dibebaskan-jika-bayar-denda-rp4500? , diakses pada 26 Januari 2014. 65

Meskipun kasus pencurian ini termasuk kedalam delik biasa/delik laporan, namun

jika korban tidak melapor kepada pihak yang berwajib maka kasus pun tidak di proses oleh

pihak yang berwajib. (Lihat: Proses Hukum Pidana, Perdata & Pengorganisasian Rakyat

Untuk Advokasi, Justice For The Poor Program,

Page 133: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

119

keuchik harus dengan tegas dapat membedakan dan memilih apakah kasus tersebut

menjadi wewenang gampong atau bukan. Penyelesaian sengketa pidana berat oleh

gampong dapat saja berdampak negatif, disamping terdapat dampak positif yang

lebih banyak. Diantara dampak negatif yang mungkin didapati adalah pelaku dapat

saja melakukan kejahatannya kembali karena melihat sanksi yang diberikan lebih

ringan dibandingkan sanksi yang diberikan oleh hukum positif, hal ini karena

kecenderungan peradilan adat untuk memberikan sanksi diyat untuk memperbaiki

kerugian korban.

Dalam kasus ini pelaku Sarik dan korban Abdul Hakim saling mengenal

karena mereka tinggal di satu gampong, meskipun berbeda lorong (dusun) korban

dan pelaku sering kali terlihat bersama dalam musyawarah gampong. Korban juga

sering membantu pelaku dalam beberapa hal, maka keputusan korban untuk

menyelesaikan masalah ini dengan perangkat gampong sudah tepat, meskipun

bertentangan dengan Hukum Pidana Indonesia, bahwa kasus pencurian ringan

diselesaikan melalui ranah hukum positif. Keputusan tersebut diambil korban

karena berapa faktor, pertama peradilan adat yang dinilai lebih adil, fleksible, tidak

membutuhkan biaya mahal, penyelesaian cepat, dan juga keberadaan letak gampong

yang jauh dari kota. Penyelesaian sengketa melalui peradilan adat merupakan

simbol bahwa pelaku ingin menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan damai dan

kekeluargaan. Keputusan hakim memberikan sanksi adat kepada pelaku berupa

permohonan maaf dan diyat juga sudah tepat. Permohonan maaf sebagai wujud rasa

bersalah pelaku dan pemberian maaf sebagai wujud kebesaran hati korban. Adapun

proses mediasi dan musyawarah yang dilakukan oleh perangkat gampong adalah

sebuah jembatan menuju perdamaian antara kedua belah pihak.

Sanksi adat diyat yang harus di bayar oleh pelaku berupa Rp. 5.000.000

adalah kerugian yang diderita oleh korban akibat kejahatan pelaku, baik kerugian

buah pokat maupun kerusakan pintu saung milik korban. Sanksi tersebut dinilai

tidak memberatkan pelaku oleh perangkat gampong dan kedua belah pihak. Pelaku

diberikan tenggang waktu dua bulan untuk membayarkan sisa diyat tersebut (hasil

penjualan buah pokat Rp. 4.500.000,- yang sudah dibelanjakan beberapa peralatan

rumahtangga oleh istrinya sebesar Rp. 1.250.000,- dikembalikan kepada pelaku,

yaitu sebesar Rp. 3.250.000). Dari sinilah terlihat betapa hukum adat sangat arif

dalam menyikapi setiap permasalahan. Bukan hanya kepentingan korban yang

diperhatikan, akan tetapi kemampuan pelaku untuk mempertanggungjawabkan apa

yang sudah dilakukannya juga menjadi pertimbangan hukuman.

Kasus Ketiga, yaitu pencurian kambing yang dilakukan oleh pelaku Rizal

Bakrie di Gampong Nusa Indah, kab. Banda Aceh, jika dilihat dari unsur-unsur

objektif dan subyektif, maka sudah terpenuhi secara keseluruhan; pertama, pelaku

mengambil barang tersebut dengan maksud untuk dimiliki, kemudian dijual, dan

hasilnya untuk memenuhi keinginan istrinya membeli beberapa barang keperluan

rumah tangga; kedua, barang atau benda yang diambil oleh pelaku adalah milik

http://www.p2kp.org/ppm/files/pdf/juklak/kasus_pidana_perdata.pdf, diakses pada 2 Juli

2014)

Page 134: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

120

korban Rahmania, merupakan hewan ternak peliharaan korban selama dua tahun

lebih; ketiga, pekerjaan yang dilakukan Rizal bakrie adalah tindakan yang

melanggar hukum, menurut pengakuannya bahwa secara sadar ia telah mengambil

satu ekor kambing milik Rahmalena untuk kepentingannya sendiri.

Pelaku adalah seorang yang cakap hukum, jadi apabila kasus ini dibawa oleh

korban ke ranah hukum, maka pelaku bisa dijerat pasal 363 KUHP tentang tindakan

pencurian hewan, namun setelah diadakan pendekatan damai oleh perangkat

gampong dari kedua belah pihak, korban bersedia agar permasalahan tersebut

diselesaikan bersama perangkat gampong.66

Penyelesaian sengketa dilakukan di

kediaman korban. Hal ini tidak lain adalah atas permintaan korban, demi menjaga

nama baik keluarga mereka.

Dalam kasus ini, pelaku dan korban saling bersaudara, maka keputusan

korban untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan jalan damai sesuai

dengan adat Aceh adalah tepat, meskipun bertentangan dengan hukum Pidana

Indonesia. Keputusan korban tersebut berdasar pada hadih maja ‚Adat ban adat

hukom ban hukum, Hanjeut meuron-ron kie nyang hawa, watei mupakat adat ngon

hukom, Nanggroe rukon hana le goga.‛67

Dan juga ‚Hukom Lillah Sumpah bek,

Hukom adat ikat bek, Hukom ade pake bek, Hukom meujroh meupoh bek.‛68

Kedua

hadih maja tersebut maksudnya adalah bahwa persoalan yang diselesaikan melalui

hukum adat akan menciptakan kerukunan, karena hukum adat bersifat fleksibel,

adil, tidak membuat orang kembali bertengkar, dan tidak saling menyakiti.

Keputusan hakim memberikan sanksi adat kepada pelaku berupa permohonan

maaf dan diyat juga sudah tepat. Permohonan maaf sebagai wujud rasa bersalah

pelaku dan pemberian maaf sebagai wujud kebesaran hati korban. Adapun proses

mediasi dan musyawarah yang dilakukan oleh perangkat gampong adalah sebuah

jembatan menuju perdamaian antara kedua belah pihak.

Sanksi adat diyat yang harus di bayar oleh pelaku berupa Rp. 3.000.000,-

adalah kerugian yang diderita oleh korban akibat pencurian kambing korban yang

kemudian di jual seharga Rp. 3.000.000,-.Sanksi tersebut dinilai tidak memberatkan

pelaku, karena sanksi diyat tersebut dibuat atas arahan pengurus gampong dan

kesepakatan antara keduabelah pihak. Pelaku diberikan tenggang waktu tiga bulan

untuk menyelesaikan pembayaran diyat kepada korban. Hal ini sudah membuktikan

betapa hukum adat sangat memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi

keduabelah pihak dalam mengeluarkan sebuah keputusan atau kebijaksanaan.

66

Perlu menjadi pertimbangan, bahwa pelaku dan korban adalah satu keluarga.

Sementara isteri pelaku yang merupakan adik dari korban mengetahui setelah beberapa hari

dari waktu pencurian tersebut. Korban yang merupakan kakak ipar pelaku masih

mempertimbangkan nama baik keluarga dihadapan masyarakat. 67

Adat adalah adat hukum adalah hukum, Tidak boleh diperlakukan sesuka hati kita,

Saat bersepakat antara adat dengan hukum, Negara rukun tidak akan goyah 68

Dengan hukum Allah jangan mengumbar sumpah, Hukum adat jangan terikat

(harus fleksible), Hukum yang adil tidak membuat orang bertengkar, Hukum yang baik

tidak akan saling menyakiti.

Page 135: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

121

Kearifan dan ketegasan hukum adat juga terlihat pada penetapan sanksi

perjanjian pada kasus kedua dan ketiga antara pelaku dengan perangkat gampong

untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi, apabila pelaku mengulanginya maka ia

bersedia untuk diselesaikan melalui proses hukum pidana yang berlaku (melihat

bahwa kasus pencurian ini termasuk kedalam kasus pencurian berat yang menjadi

wewenang peradilan negeri untuk menyelesaikannya). Hal tersebut membuktikan

bahwa peradilan adat merupakan teguran bagi pelaku dan penyelesaian awal agar

membuat pelaku jera atas apa yang telah dilakukannya. Keputusan peradilan adat

juga memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki dirinya dan

bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya, ia harus memperbaiki kerugian

korban dan memperbaiki nama baiknya dihadapan masyarakat, sebagai bukti bahwa

pelaku sudah benar-benar menyadari kesalahannya.

Diantara ciri Negara Hukum Indonesia modern menurut Jimly Asshiddiqie

adalah: pertama, Asas Legalitas (Due Process of Law). Dalam setiap Negara

Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya yaitu

bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan undang-

undang tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan

atau perbuatan administrasi yang dilakukan;kedua, Peradilan Bebas dan Tidak

Memihak; keempat, bersifat demokratis (Democratische Rechtsstaat). Dianut dan

dipraktekannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat menjamin peran serta

masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap

peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan

perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat; kelima, berfungsi sebagai

Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechststaat). Hukum adalah

sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri,

baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi maupun yang

diwujudkan melalui gagasan negara hukum dimaksudkan untuk meningkatkan

kesejahteraan umum.69

Berdasarkan atas ciri negara hukum tersebut, maka keputusan hakim

memberikan hukuman berupa permohonan maaf, diyat dan perjanjian untuk tidak

mengulangi kesalahannya lagi kepada kedua pelaku (kasus kedua dan ketiga) sudah

tepat. Dalam hal ini korban menginginkan agar pelaku mengganti seluruh kerugian

akibat dari kejahatan pelaku, maka, keseluruhan hukuman tersebut sudah mencakup

tujuan pemberian hukuman dalam Islam, yaitu untuk pendisiplinan, perbaikan,

teguran, pencegahan, dan pemberian efek jera. Proses mediasi dan musyawarah

yang dilakukan antara kedua belah pihak (pelaku dan korban) dengan perangkat

gampong sangat menentukan bagi kedua belah pihak yang bersengketa untuk

69

Ciri negara hukum tersebut diambil sebagian dari dua belas ciri hukum yang

dituliskan oleh Jimli As} S}idqi. Hal ini dimaksudkan melihat pernyataan yang menurut

peneliti sesuai dengan analisa kasus tersebut. (Lihat Abdul Halim, Nomokrasi islam dalam

Negara Hukum indonesia,

http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/Nomokrasi%2

0Islam%20dan%20Negara%20Kesatuan%20Republik%20Indonesia.pdf, diakses pada 8 juli

2014)

Page 136: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

122

berlapang dada dan berjiwa besar dalam menentukan dan menyikapi kebijaksanaan

yang diberikan oleh hakim.

2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam

Dalam hukum Islam, pencurian masuk kedalam jari>mah hudu>d. Segala

sesuatu yang mengarah kepada peniadaan atau pengrusakan harta adalah perbuatan

buruk yang dilarang, dalam hal ini Allah melarang pencurian untuk menjaga harta

atau ‚Hifz} al Ma>l‛, karena harta termasuk kedalam salah satu dari lima kebutuhan

d}aruri> (primer) manusia menurut shari’at Islam, dengan demikian, perbuatan yang

menghilangkan atau megurangi salah satu dari kelima d}aruri>yat itu adalah dilarang,

karena tujuan penetapan shari’at adalah untuk mencapai kemaslahatan dan menolak

kemud}aratan.

Al-Zuhayli> mendefinisikan pencurian adalah mengambil harta orang lain dari

penyimpanannya yang semestinya secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi.

Adapun ‘Awdah mendefinisikan pencurian dengan: ‚ أخذ مال الغري خفية ‚ maksudnya

mengambil barang seseorang secara sembunyi-sembunyi. Berdasarkan pengertian

tersebut, maka rukun mencuri ada empat hal; pertama mengambil secara sembunyi;

kedua harta milik orang lain; ketiga, sebuah harta; dan ada unsur sengaja. Al-Zuhayli> menambahkan rukun barang yang dicuri adalah berada ditempat

penyimpanan.70

Apabila seluruh unsur tersebut terpenuhi, maka baginya ditetapkan

hukuman hadd, hal ini termaktub dalam firman Allah Qs. Al Maidah ayat 38.71

Diantara alasan Islam menetapkan hukuman tersebut adalah perlindungan yang

nyata terhadap tatanan moral, dan kebaikan serta membasmi kejahatan dan perkara

yang tercela, adapun tindakan pencurian adalah salah satu peerbuatan tercela yang

merugikan orang lain.

Penegakkan hukuman hadd pencurian memiliki beberapa syarat dan

ketentuan yang harus dipenuhi. Diantara syarat-syarat tersebut adalah:

Syarat-syarat pelaku pencurian, yaitu syarat al-ahli>yah (kelayakan dan

kepatutan) untuk dijatuhi vonis hukum potong tangan, yaitu berakal, baligh,

melakukan pencurian atas kemauan dan kesadaran sendiri (tidak dipaksa), dan

mengetahui bahwa hukum mencuri adalah haram. Ulama maliki>yah menambahkan

syarat lain, yaitu pelaku pencurian bukanlah orangtua dari sikorban pencurian72

, si

70

Wahbah Zuhayli>, Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r Al Fikr al-

‘Ilmi>yah, 1997), 5422, Lihat juga: „Abd al Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al wad}‘i > juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al Risa>lah, 1997), 518

71

38. laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya

(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan

Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 72

Dalam hal ini rasulullah Saw bersabda dalam hadits jabir ra. Yang diriwayatkan

oleh Ibnu Majah: أنت ومالك ألبيكArtinya: ‚Kamu dan Hartamu adalah untuk orangtuamu.

Page 137: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

123

pencuri melakukan aksi pencuriannya itu tidak karena terpaksa melakukannya

karena lapar. Ulama Hanabilah menambahkan syarat lain yaitu si pencuri

mengetahui barang yang dicurinya dan mengetahui bahwa ia diharamkan untuk

mengambilnya, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan terhadap apa yang

ada dalam dugaan orang mukallaf (baligh berakal).

Syarat-syarat barang yang dicuri, yaitu:

1. Sesuatu yang dicuri harus berupa harta yang memiliki nilai (mutaqwwim).

Ulama Hanafiah mensyaratkan harta yang memiliki nilai adalah bahwa harta

yang dicuri harus harta yang dianggap berharga bagi masyarakat pada umumnya

dalam suatu komunitas. Adapun Ulama Shafi’i>yah, Maliki>yah dan Hana>bilah

berpendapat bahwa harta yang bernilai adalah harta yang berharga dan dihormati

(muhtaram).

2. Harta yang di curi harus mencapai batas nis}ab pencurian.73

3. Barang yang dicuri dapat dipindahkan. Harta yang dapat dipindahkan adalah

harta yang dapat dikeluarkan dari h}irznya, dan dipindahkan dari tangan

korban kepada tangan pencuri.

73

Fuqaha berbeda pendapat seputar kadar nis}ab pencurian. Ulama Hanafi>yah

berpendapat, kadar nis}ab pencurian adalah satu dinar atau sepuluh dirham. Hal ini

berdasarkan hadits: ال قطع فيما دون عشرة دراىم Artinya: Tidak ada potong tangan dalam

kasus pencurian yang masih dibawah sepuluh dirham (HR. Ahmad) Di dalam sanadnya

terdapat seorang perawi bernama Nas}r Ibnu Bab, Ia adalah seorang perawi yang dimasukkan

kedalam kategori perawi d}aif oleh jumhur, sementara imam Ahmad menilai bahwa ia adalah

perawi la> ba’tsa bihi. Dalil kedua adalah hadits: وكان ال تقطع يد السارق إال يف ن ادلجنن Artinya: Tangan seorang pencuri tidak dipotong kecuali dalam يقوم يومئذ بعشرة دراىم

pencurian seharga sebuah perisai, waktu itu sebuah perisai ditaksir nilai harganya adalah

sepuluh dirham. (HR. Ibnu Abi Syaibah dari Abdullah Ibn Amr ra.

Sementara Jumhur dari Ulama Maliki>yah, Syafi’i>yah, dan Hanabilah berpendapat

bahwa nis>ab pencurian adalah seperempat dinar atau tiga dirham syar’i murni, atau yang

senilai dengan itu. Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Malik,

Bukhari, Muslim, Al Tirmidzi, al nasa>i, Abu Daud, dan Ibn Ma>jah: دينار تقطع اليد يف ربع

Artinya: Tangan seorang pencuri dipotong dalam kasus pencurian seharga فصاعدا

seperempat dinar keatas. Hadits kedua adalah: رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قطع يف جمن نو أن Artinya: Rasulullah memotong tangan dalam kasus kejahatan pencurian berupaثالثة دراىم

sebuah perisai seharga tiga dirham. (HR. Bukhari, MuslimAbu Dawud, al Nasa>’i>, dari Ibnu

Umar ra.)

Sumberperbedaan pendapat antara ulama Hanafi>yah dengan Jumhur adalah

penaksiran nilai harga perisai yang si pencurinya di potong tangannya oleh Rasulullah Saw.

Namun, melihat hadits yang ada, pendapat jumhur lebih kuat karena didukung oleh hadi>th

sahih. (matan hadi>th dapat dilihat pada hadith no 1684, 1685, 1866, dan 1687, Ima>m Abi al-

Husain Muslim Bin al Hajja>j al-Qushairi> al-Naisa>buri> (261), Shahi>h Muslim (Beirut: Da>r al-

Kutub al-‘Ilmi>yah, 2003), 667

Page 138: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

124

4. Sesuatu yang dicuri harus berupa sesuatu yang memang disimpan dan dijaga

(unsur al h}irz).74

Dalil persyaratan yang telah disepakati ulama empat mazhab adalah hadi>th:

اجلرين، فإذا آواه يؤويو حىت وال كثر، ر يف ال قطع": وروي عنو عليو الصالة والسالم أنو قال 75(رواه الدرقطين)ويف رواية فإذا أواه ادلراح أو اجلرين . القطع اجلرين ففيو

‚Tidak ada hukuman potong tangan (karena mencuri) buah kurma dan katsar hingga

buah itu diletakkan didalam al jari>n (keranjang pengeringan). Apabila buah itu

telah diletakkan didalam al jari>n, lalu ada orang yang mencurinya, maka ia dijatuhi

hukuman potong tangan.‛ Dalam sebuah riwayat disebutkan: apabila telah

diletakkan dalam al mura>h (kandang) atau al jari>n‛ (HR. Al Da>ruqut}ni>)

Ulama sepakat bahwa tempat penyimpanan harta (h}irz) ada dua macam:

pertama, al h}irz bi al nafsi atau al h}irz bi al maka>n yang yaitu setiap tempat yang

disediakan untuk menjaga, menyimpan, dan melindungi harta benda., serta dilarang

memasukinya kecuali harus dengan izin, seperti rumah, toko, gudang, dan lain

sebagainya. Munurut Ima>m Shafi‘i> dan Ima>m Ahmad yang dimaksud dengan al

h}irz bi al maka>n adalah seluruh tempat yang tertutup yang disediakan untuk

menyimpan harta di dalam kekuasaan seseorang. Adapun menurut Abu Hani>fah h}irz

bi al maka>n adalah setiap tempat yang disiapkan untuk menyimpan harta yang

dilarang untuk memasukinya, meskipun pintunya terbuka atau tertutup.76

Kedua, al-h}irz bi al-ha>fid} atau al-h}irz bi al-g}air, yaitu setiap tempat yang

tidak di sediakan untuk menjaga, menyimpan, dan melindungi harta benda,

siapapun buleh masuk kedalamnya tanpa izin. Seperti masjid, lapangan, dan lain-

lain, ini adalah pendapat abu Hani>fah. adapun Ulama yang tiga berpendapat sama

namun tempat-tempat tersebut dapat menjadi al h}irz bi al maka>n dan dapat menjadi

al h}irz bi al h}a>fid} .77

5. Sesuatu yang dicuri berupa benda yang bisa disimpan dalam jangka waktu

lama dan tidak cepat rusak atau busuk.78

74

Secara bahasa al h}irz adalah tempat menyimpan sesuatu sedangkan menurut syara’

adalah sesuatu yang biasanya didirikan untuk menjaga dan menyimpan harta, seperti rumah,

toko, kemah, dan orang. Adapun Ulama empat mazhab sepakat bahwa al h}irz dikembalikan

sesuai adat kebiasaan yang berlaku. 75

Muhammad bin ‘Abd al-Wahha>b bin Sulaima>n al-Tami>mi> al-Najdi>, Majmu>’ah al-ah}a>di>th ‘Ala> Abwa>b al-Fiqh, Juz 4 (Riya>d}, Ja>mi’ah al-Ima>m Muhammad bin Su’u>d, tt),

http://sh.rewayat2.com/fkh3am/Web/12061/003.htm 76

Lihat juga: „Abd al Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> muqa>ranan bi al-

Qa>nu>n al-wad}‘i> juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al-Risa>lah, 1997), 554. 77

Abu Bakar Mas’u>d Bin Ahmad Al-Ka>sa>ni>, Bada>i’ al-S}ana>i’ fi> al-Tarti>bi al-Shara>i’,

Juz 7, (Da>r al Kutub al ‘Ilmi>yah, 1986),

http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=12&ID=3188,

diakses pada 3 Juli 2014. Lihat juga: Fida> Fat}hi Shatha>ni>, al-Tat}bi>qa>t al-Mu’a>s}irah li Sharti al-Hirzi fi> al-Sari>qah, 8, http://faculty.yu.edu.jo, diakses pada 4 Juli 2014.

78Maksudnya adalah buah-buahan, sayuran, dan lain sebgainya. Namun, ulama

maliki>yah, Syafi’i>yah, dan Hanabilah mengatakan bahwa hukum potong tangan

Page 139: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

125

6. Barang yang dicuri bukan termasuk sesuatu yang asalnya adalah harta

mubah (sesuatu yang siapa pun boleh ikut mengambilnya).79

7. Harta yang dicuri adalah harta yang dilindungi, yang pencurinya tidak

memiliki hak untuk mengambilnya, tidak memiliki alasan atau interpretasi

apologis (ta’wil) yang bisa menjelaskan kenapa ia mengambilnya dan tidak

pula memiliki syubhat dalam pengambilannya terhadap harta tersebut.

8. Pelaku pencurian tidak memiliki hak milik pada sesuatu yang dicurinya dan

tidak pula memiliki interpretasi apologis kepemilikan terhadapnya, atau

adanya unsur kesyubhatan kepemilikan terhadap barang yang dicuri

tersebut.

9. Pelaku pencurian bukanlah orang yang diberi izin untuk masuk kedalam al h}irz, atau didalamnya terdapat unsur keshubhatan adanya izin.

10. Barang yang dicuri memang yang diinginkan dan dimaksudkan untuk dicuri

oleh si pelaku, bukan sesuatu yang statusnya mengikuti barang yang

dimaksudkan untuk dicuri.

11. Barang yang dicuri adalah bukan milik pelaku

Syarat-syarat korban pencurian: pertama tangan kepemilikan, tangan amanat,

seperti tangan orang yang dititipi, orang yang meminjam sesuatu, dan tangan mitra

yang berstatus sebagai mud}a>rib. Ketiga, tangan yang menanggung, seperti tangan

orang yang mengg}as}ab, dan tangan orang yang memegang barang berdasarkan

penawaran pembelian, dan penerima gadaian.

Syarat-syarat tempat kejadian perkara (TKP, kawasan, atau tempat

berlangsungnya aksi pencurian: dalam hal ini, disyaratkan aksi pencurian yang

dilakukan harus terjadi dikawasan da>r al-‘adl (kawasan negri Islam yang dikuasai

oleh pemerintahan yang sah, bukan kawasan musuh dan bukan kawasan yang

dikuasai oleh kelompok pemberontak atau sparatis)80

Adapun pembuktian kejahatan pencurian menurut hukum Islam dapat

diketahui melalui dua hal, yaitu bayyinah (saksi), pengakuan pelaku, dan sumpah.

Suatu bayyinah dapat diterima apabila memenuhi beberapa syarat, yang terkait

dengan hukuman hadd dan qis}a>s}, yaitu: laku-laki, adil, al-as}a>lah (orisinil) dan tidak

ada unsur shubhat, kasus dan kejadiannya belum kadaluarsa, dan adanya pengajuan

dakwaan dan memperkarakan (khus}u>mah) oleh pemilik tangan yang sah. Ulama

Shafi’i>yah, Hana>bilah, dan Hanafi>yah berpendapat bahwa dalam hal had potong

tangan butuh adanya gugatan dan dakwaan korban pencurian, karena unsur hak

adami dalam hadd potong tangan adalah dominan. Adapun menurut Imam Malik

diberlakukan dalam setiap kasus pencurian harta benda yang boleh diperjualbelikan dan

dipertukarkan, baik itu berupa makanan, pakaian, binatang, dan lain sebagainya. Hal ini

karena melihat kondisi zaman sekarang, barang-barang tersebut termasuk kedalam barang-

barang yang sangat berharga bagi pemiliknya. 79

Hal ini berbeda jika barang tersebut termasuk barang muhraz (dijaga, disimpan,

dan dilindungi oleh pemiliknya). Apabila jika seseorang mencurinya, maka hukuman potong

tangan diberikan kepadanya. 80

Syarat-syarat tersebut disarikan dari: Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr Al ‘Ilmi>yah, 1997), 5424-5435

Page 140: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

126

mengatakan bahwa hadd potong tangan tidak butuh adanya tuntutan dari korban

pencurian, demi melindungi hak masyarakatdan menjaga harta benda mereka.81

Mengenai pembuktian dengan sumpah, Ulama Shafi’i>yah berpendapat bahwa

kejahatan pencurian ditetapkan oleh sumpah apabila pelakunya sudah terbukti

kebenarannya bahwa dia mencuri dan tidak cukup hanya dengan pengakuan dan ada

saksi yang kuat atau memenuhi syarat. Imam malik dan Abu Hanifah berpendapat

bahwa hukuman hadd bagi pencuri dapat diberikan cukup dengan pengakuan dan

kesaksian para saksi tanpa harus di sumpah, dan cukup dibuktikan dengan harta

yang dicuri ada pada pencuri tersebut.

Apabila seluruh syarat tersebut terpenuhi, maka pelaku dapat dikenai hukuman

hadd potong tangan, namun apabila ada salah satu saja syarat yang tidak terpenuhi,

maka hukuman tersebut tidak bisa diberlakuka. Adapun hukuman yang diberikan

adalah hukuman ta’zi>r. Hukuman ta’zi>r adalah sebuah pendisiplinann (ta’di>b) yang

keberadaannya mengikuti mafsadah (kerusakan, dampak negatif) yang

ditimbulkan.82

Diantara kejahatan yang diancam hukuman ta’zi>r adalah kejahatan

yang tidak termasuk kedalam kejahatan hudu>d dan qis}a>s}, serta kejahatan yang tidak

memenuhi persyaratan diberlakukannya hukuman hadd dan qis}a>s}.

Apabila tuduhan pencurian tersebut sudah terbukti maka bagi pencuri

mendapatkan dua sanksi, pertama d}ima>n (jaminan atau diyat) dan kedua adalah

potong tangan. Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila seseorang ditetapkan

sebagai pencuri, maka dia harus mengganti barang yang dicuri dengan harga yang

senilai dan wajib baginya dikenai hukuman hadd potong tangan jika telah terbukti

dialah pelakunya, akan tetapi diyat dan hukuman potong tangan tidak dapat

dilaksanakan bersama. Apabila pencuri itu dipotong tangannya maka tidak ada

d}ima>n baginya, bahkan sampai barang yang dicuri itu rusak. Alasannya adalah

karena al qur’an menjelaskan hadd potong tangan saja, tidak ada d}ima>n.

Adapun Imam Shafi’i> dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukuman hadd

potong tangan dan d}ima>n dapat dilakukan bersama, karena seorang pencuri

diwajibkan untuk dipotong tangannya dan diwajibkan membayar diyat senilai

dengan harta yang diambil, karena seorang pencuri melanggar dua haq, pertama haq

Allah yang mengharamkan mencuri dan kedua adalah haq seorang hamba yang

hartanya dirusak atau diambil tanpa kered}aannya, maka jika sebuah kejahatan

adalah pelanggaran terhadap dua haq, maka ia wajib mengganti kedua haq tersebut.

Adapun Imam Malik berpendapat bahwa seorang pencuri harus mengganti

barang yang dicuri sesuai dengan harga dan nilai barang tersebut apabila belum

jatuh atasnya hukuman hadd potong tangan karena beberapa alasan, baik belum

mencapai nishab, pencurian bukan dari h}irz, atau yang lainnya, namun apabila

barang yang dicuri itu masih tersisa dan masih ada maka wajib dikembalikan

kepada pemiliknya. Apabila seorang pencuri telah dipotong tangannya, maka ia

wajib mengembalikan barang curiannya jika masih ada, dan jika tidak ada maka ia

81

„Abd al Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-

Wad}‘i> juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al-Risa>lah, 1997), 614 82

Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr

al-‘Ilmi>yah, 1997), 5429

Page 141: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

127

harus mengembalikan sesuai dengan nilai dan kerugian korban dengan syarat ia

mendapatkan kemudahan dalam melaksanakan kejahatannya. Adapun Shi’ah

Zaidi>yah sependapat dengan madzhab Abi Hani>fah bahwa seorang pencuri yang

dipotong tangannya tidak wajib d}iman atasnya.83

Kasus Pertama: yaitu pencurian tabung gas yang dilakukan oleh saudara

Faisal, 13 tahun, apabila dilihat dari syarat al ahli>yah, pelaku sudah memenuhi

seluruh syarat, kecuali baligh.84

Apabila dilihat dari syarat benda yang dicuri, maka

syarat pencapaian kepada nis}ab belum terpenuhi,85

namun,dalam hal ini, Faisal

tetap sebagai pelaku pencurian karena dia mengambil barang dengan cara diam-

diam dan dengan niat jahat yaitu ingin memiliki barang tersebut. Unsur niat jahat

tersebut terpenuhi karena pelaku mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu

adalah hal yang diharamkan. Ia juga mengambil barang tersebut dari pemiliknya

langsung (memenuhi unsur tangan kepemilikan).

Keputusan hakim dan perangkat gampong memberikan hukuman ta’zi>r berupa nasihat, teguran, permohonan maaf, dan diyat sudah tepat. Hal ini

mengingat karena pelaku adalah anak dibawah umur (belum balig}). Selain itu,

pelaku juga merupakan korban kemiskinan keluarga dan korban dari perpisahan

kedua orangtuanya, sehingga kurangnya perhatian dan pendidikan agama

83

Disarikan dari: „Abd al-Qa>dir ‘Awdah, al Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi

al-Qa>nu>n al-Wad}‘i>, juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al-Risa>lah, 1997), 618-621 84

Tanda seorang anak sudah dikatakan baligh adalah pertama, bagi perempuan

keluarnya haid} dan bagi laki-laki sudah bemimpi, adapun batasan umurnya adalah lima

beelas tahun.bagi laki-laki dan perempuan. Mengenai batasan umur, Rasulullah SAW.

Bersabda:

عرضين رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم يوم أحد يف القتال وأنا ابن أربع عشرة سنة، فلم جيزين، وعرضين يوم .وىذا لفظ مسلم) متفق عليو. (اخلندق وأنا ابن مخس عشرة سنة، فأجازين

Artinya: ‛Rasulullah SAW menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika

itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian

beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai

lima belas tahun. Beliau pun memperbolehkanku‛. Nafi' (perowi hadits ini) berkata : "Aku

menghadap ‘Umar bin ‘Abd al ‘Azi>z, pada saat itu beliau menjabat sebagai kholifah, lalu

aku menceritakan hadits ini, lalu beliau (‘Umar bin ‘Abd al ‘Azi>z) berkata : "Sesungguhnya

ini adalah batas antara orang yang masih kecil dan sudah dewasa". (Shohih Bukhori,

no.2664 dan Shohih Muslim, no.1868) (Lihat: Siroj Munir, Batasan Umur Balig} laki-laki

dan Perempuan, Dalil, dan hikmahnya, Fiqih Kontemporer, Artikel, Senin, 14 Januari 2013,

http://www.fikihkontemporer.com/2013/01/batasan-umur-baligh-bagi-laki-laki-dan.html,

diakses pada 4 Juli 2014, Lihat Juga: Ulil Hadrawi>, Tiga Tanda Balig}, Artikel Shari>‘ah,

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,40361-lang,id-c,syariah-

t,Tiga+Tanda+Baligh-.phpx, diakses pada 4 Juli 2014.) 85

Sebagai mana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa nis}ab pencurian adalah

seperempat dinar atau tiga dirham. mengingat 1 dinar = 4,25 gr. Emas 22 karat. 1 gr.

Sementara emas 22 karat = 461,225. Apabila dilihat dari ketentuan tersebut, maka

seperempat dinar adalah seharga Rp. 490.051. (Lihat:http://www.dinar-online.com/, diakses

pada 05 Juli 2014)

Page 142: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

128

kepadanya menyebabkan pelaku melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah,

karena adalah sebuah kewajiban orangtua untuk menanamkan kepada anaknya

pendidikan keagamaan dan ruhani agar dapat membentenginya dari perbuatan

maksiat.

Kasus kedua, yaitu pencurian buah pokat yang dilakukan oleh pelaku Sarik di

Gampong Darussalam, kab. Bener meriah, dan Kasus ketiga yaitu pencurian

kambingyang dilakukan oleh pelaku Rizal Bakrie di Gampong Nusa Indah, kab.

Banda Aceh, Apabila ditinjau dari syarat keseluruhan, baik pelaku pencurian,

barang curian, korban pencurian, waktu, dan tempat pencurian, seluruhnya sudah

dapat menyebabkan pelaku Sarik dijatuhi hukuman hadd potong tangan.

Sanksi potong tangan adalah sanksi maksimal, tidak semua kasus pencurian

dikenai sanksi potong tangan, apalagi jika syarat dan rukun pencurian sebagaimana

telah dijelaskan tidak terpenuhi. ‘Awdah berpendapat bahwa seorang pencuri dapat

gugur dari hukuman hadd pada beberapa keadaan: pertama, korban atau saksi

berbohong atas penetapan seseorang sebagai pencuri, yang menyebebkan batalnya

kesaksian dari saksi tersebut; kedua, adanya maaf dari korban dan seluruh pihak

yang dirugikan atas seluruh kesalahannya, hal ini adalah pendapat madzhab Shi’ah

al Zaidi>yah; ketiga, pelaku mengambil kembali pengakuannya, dan tidak ada

kesaksian atau sesuatu yang menghalangi atas pengakuannya itu.86

Pada kasus

kedua dan ketiga tersebut, pelaku sudah mendapatkan maaf dari korban dan seluruh

fungsionaris gampong atas seluruh kesalahan dan kekhilafan yang dilakukannya,

maka pelaku dapat gugur dari hukuman potong tangan tersebut.

Adapun al-Zuh}ayli> berpendapat bahwa Al qur’an secara tegas menjelaskan

pengguguran hukuman hadd pencurian dengan tobat dalam ayat, yaitu QS. Al

Maidah ayat 39.87

Rasulullah melalui hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan

Muslim juga bersabda, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah untuk

dilaksanakan hukuman hadd terhadapnya, namun Rasulullah tidak menanggapinya

hingga datangnya waktu s}alat, lalu orang tersebut s}alat bersama Rasulullah. Setelah

selesai s}alat laki-laki tersebut kembali menghampiri Rasulullah dan meminta beliau

untuk melaksanakan hukuman hadd kepadanya. Menanggapi hal itu, Rasulullah

malah bertanya, ‚bukankah kamu telah s}alat bersama kami tadi? Ia menjawab ‚Ya‛,

lalu rasulullah bersabda ‚Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu‛.88

Ibn Taimi>yah dan Ibn al-Qayyim, sebagaimana yang dikutip oleh Al-

Zuh}ayli>y mengatakan bahwa taubat adalah konsep yang sangat urgen dan akurat

86

Lihat juga: „Abd al-Qa>dir ‘Awdah, al Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-

Qa>nu>n al-Wad}‘i, juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al-Risa>lah, 1997), 629-630

87

39. Maka Barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan

itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 88

Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr

al-‘Ilmi>yah, 1997), 5537

Page 143: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

129

dalam shari’at Islam. Taubat bisa mengungkap suatu kejahatan dengan motivasi

yang ditimbulkannya dalam diri pelaku untuk segera memberikan pengakuan

dihadapan hakim akan kemaksiatan dan kejahatan yang telah dilakukannya. Jika

tujuan utama hukuman adalah memperbaiki dan merehabilitasi diri pelaku

kejahatan, sesungguhnya taubat lebih kuat pengaruhnya dalam merealisasikan

maksud dan tujuan tersebut, karena taubat muncul dari motivasi pribadi dan

kesadaran diri sendiri. Oleh karena itu, taubat membuka pintu harapan bagi para

pelaku kesalahan dan mendorong mereka untuk terjun ke kancah kehidupan dengan

semangat positif yang baru serta dengan energi dan efektivitas yang produktif.89

Taubat bisa menggugurkan hukuman akhirat, dengan begitu, tobat

memberikan kontribusi dalam memperbaiki dan merehabilitasi diri si pelaku

kejahatan, menyelamatkannya dari jurang kesalahan dan kekeliruan yang pernah

dilakukannya, dan menjadikannya dalam golongan orang-orang saleh, sehingga

secara otomatisa maksud dan tujuan pokok dari pemberlakuan sanksi hukum bisa

terwujud dengan sendirinya. 90

Apabila kemaksiatan yang dilakukan urusannya antara si pelaku dengan

Tuhannya, atau menyengkut hak Allah, syarat bertaubat ada tiga, pertama,

melepaskan diri dan berhenti (al iqla>’) dari kemaksiatan dengan seketika; kedua,

menyesali (al nadm) atas tindakan kemaksiatan dan pelanggaran yang telah

diolakukan; ketiga, berketapan hati (al ‘azm) untuk tidak kembali melakukan

kemaksiatan yang sama dimasa mendatang. Apabila kemaksiatan yang dilakukan

terkait dengan hak pribadi manusia, maka syarat-syarat tobatnya ada empat, yaitu

tiga syarat tersebut, dan ditambah satu lagi yaitu keluar dari kelaliman dengan

membebaskan diri dari hak orang lain yang dilanggar. Apabila kemaksiatan itu

berupa pengambilan harta atau lain sebagainya tanpa hak, maka ia harus

mengembalikannya kepada pemiliknya. Ali bin Abi T}alib berkata bahwa tobat

adalah sebuah kata yang memiliki enam substansi, yaitu penyesalan terhadap dosa-

dosa yang telah lalu, mengulang kewajiban-kewajiban yang pernah terlantarkan,

mengembalikan hak-hak yang dilanggar secara aniaya, meleburkan jiwa dalam

ketaatan sebagaimana pernah menumbuhkannya dalam kemaksiatan, menjadikan

jiwa merasakan pahit getirnya ketaatan, sebagaimanakamu pernah merasakan

manisnya kemaksiatan, dan tangisan sebagai ganti setiap tertawa yang pernah

dilakukan.91

Kedua pelaku pencurian, baik pencurian buah pokat maupun pencurian

kambing sudah mengakui dihadapan hakim dan perangkat gampong atas kejahatan

yang telah dilakukannya. Kedua pelaku juga memohon maaf kepada korban,

mengakui kesalahannya, berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi, dan

89

Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr

al-‘Ilmi>yah, 1997), 5538 90

Mu’taz M. Qafishes, Restorative Justice in the Islamic Penal Law: a Contribution

to the Global System, International Journal of Criminal Justice Sciences, Vol. 7, Issue 1

January-June, 2012, ISSN: 0973-5089, Hebrone University, Palestine. 91

Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr al-

‘Ilmi>yah, 1997), 5541

Page 144: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

130

menerima segala macam ketentuan dan keputusan yang dimusyawarhkan bersama

adalah wujud bahwa kedua pelaku bertaubat. Selain itu, keputusan kedua korban

untuk memaafkan kesalahan pelaku juga meringankan hukuman yang diberikan

oleh hakim dan perangkat gampong.

Dari ketiga kasus tersebut terlihat jelas bagaimana paradigma ta’zi>r berperan

penting dalam pertimbangan pemberian kebijakan atau hukuman kepada pelaku.

Kejahatan yang dilakukan oleh pelaku adalah karena pelaku mengikuti hawa nafsu

mereka, dan seorang pemimpin yang adil sangat dibutuhkan dalam memberikan

sebuah keputusan, karena seorang pemimpin memiliki tanggungjawab penuh untuk

menjaga shari’at Islam. Pemimpin adat dalam hal ini adalah para fungsionaris adat

tidak hanya memberikan sanksi saja, akan tetapi juga mempertimbangkan beberapa

faktor, diantaranya:

1. Hukuman tersebut diputuskan berdasarkan kemaslahatan bersama,

korban, pelaku dan juga masyarakat desa umumnya, bukan berdasarkan

mengikuti hawa nafsu salah satu pihak.

2. Hukuman tersebut diputuskan bukan untuk menimbulkan masalah baru,

dan tidak menimbulkan kebencian diantara masyarakat dan para pihak

3. Hukuman tersebut sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku,

tujuannya untuk memperingati, dan mendidik, bukan untuk membalasan

4. Hukuman tersebut harus berdasarkepada keadilan dan asas kebersamaan

tanpa memihak.

Ketentuan tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Abu Zahrah, yaitu

hukuman ta’zir yang diserahkan kepada hakim harus memenuhi setidaknya tiga

unsur: pertama berdasarkan kemaslahatan bersama; kedua, tidak menimbulkan

masalah baru dan kebencian; harus sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.92

3. Perbandingan Antar Perspektif

Melalui pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa penyelesaian perkara

pencurian melalui peradilan adat, baik pelakunya a dalah seseorang yang belum

cakap hukum ataupun yang sudah cakap hukum, keduanya dapat diselesaikan

dengan proses musyawarah dan jalan damai, sehingga menghasilkan keputusan

bersama yang tidak merugikan salah satu pihak. Keputusan adat dapat diterima

oleh kedua belah pihak dengan ikhlas, pelaku menerima sanksi yang diberikan oleh

fungsionaris adat sebagai wujud bahwa pelaku menyadari kesalahannya dan

bertanggungjawab atas perbuatannya. Adapun korban dengan kebesaran jiwa

memaafkan korban, demi menjaga kerukunan dan persaudaraan mereka, hal ini

terbukti dengan tidak dibawanya permasalahan pada kasus kedua dan ketiga ke

ranah hukum pidana Indonesia, mengingat bahwa kasus tersebut adalah dibawah

wewenang peradilan negeri. Pada kasus pertama, yang pelakunya adalah anak

dibawah umur, tidak hanya memutuskan bahwa pelaku bersalah, namun dalam

kasus ini pelaku juga menjadi korban, karena ia tidak diberikan landasan dan

pendidikan keagamaan yang lebih intensif oleh kedua orangtuanya yang sudah

92

Muhammad Abu Zahrah, Al-Jari>mah wa al-‘Uqu>bah fi al Fiqh al-Isla>mi> (Qa>hirah:

Maktabah al an jal al Mishri>yah, tt), 60

Page 145: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

131

berpisah, keadaan ekonomi keluarga yang kurang juga menjadi faktor pelaku

melakukan hal tersebut. Kearifan adat memberikan kebijakan bagi pelaku dan juga

orangtuanya agar lebih menjaga dan mendidik anaknya, tidak hanya dengan

pendidikan formal, tetapi juga dengan pendidikan ruhaniyah atau keagamaan yang

akan menjadi landasan kekuatan dan perisainya dari perbuatan maksiat, karena anak

adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dan dilindungi masa depannya.

Apabila ketiga kasus tersebut diselesaika melalui proses litigasi, maka pelaku

kasus pencurian adalah pidana penjarab selama lima tahun dan diyat sebanyak

banyaknya Rp. 900,-. Adapun apabila pelakunya adalah anak dibawah umur, maka

sesuai pasal 26 ayat 1 UU No 3 Tahun 1997, bahwa pidana penjara yang dapat

dijatuhkan adalah paling lama seperdua dari maksimum ancaman pidana orang

dewasa. Proses litigasi yang lebih menekankan pada pembalasan tidak dapat

memulihkan kerugian korban dan mengeratkan kembali tali persaudaraan antar

korban dan pelaku, prosesnya yang lama dan biaya mahal juga merupakan beberapa

faktor yang membuat korban memutuskan untuk menyelesaikan perkara melalui

proses non litigasi, yaitu peradilan adat.

Berikut adalah tabel perbandingan antara penyelesaian sengketa melalui

proses litigasi, non litigasi, dan hukum Islam sebagai berikut:

Tabel 4: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Pencurian Menurut

Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat

Perbandingan Hukum Pidana

Indonesia Hukum Islam

Non Litigasi (peradilan

adat)

Jenis Perkara Kasus pencurian Al Sari>qah

Pencurian ringan

Pencurian berat

(wewenang peradilan

nasional)

Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong

Landasan

penetapan

perkara

KUH Pidana Pasal

362

Qs. Al Maidah 38

Hadits Nabi

Qa>nu>n Aceh Nomor 09

Tahun 2008

Hasil

Keputusan/

Sanksi

Hukuman

penjara selama

lima tahun, atau

Denda Rp. 900,-

Potong tangan

sebagai hukuman

maksimal

Hukuman ta’zir

berupa diyat

sesuai dengan

kerugian yang

diderita oleh

korban

Permohonan maaf

Diyat sesuai kerugian

yang diderita oleh

korban (kasus pertama

RP. 80.000,- yang

menjadi tanggungan

orangtua korban,kasus

kedua Rp. 5.000.000,-,

dan kasus ketiga Rp.

3.000,000,-

Kasus pertama

memberikan sanksi

tambahan kepada ibu

pelaku agar lebih baik

Page 146: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

132

dalam mendidik

pelaku, agar pelaku

tidak terjerumus dalam

maksiat.

Proses

penyelesaian

Formal dan

terstruktur

Membutuhkan

waktu yang

lama, biasanya

satu tahun lebih

Biaya

mahal(tanggunga

n korban)

Perkara

diselesaikan

langsung saat

qad}i menerima

laporan

Formal dan non

formal

Formal, terstruktur,

namun fleksibel

Penyelesaian cepat,

kasus pertama tidak

sampai satu bulan, dan

kasus kedua

diselesaikan selama

satu bulan, dan kasus

ketiga diselesaikan

selama kurang dari

satu bulan setelah

pelaporan

Biaya murah

Kesimpulan

Perbuatan pencurian yang dilakukan oleh Faisal (kasus pertama), Sarik (kasus

kedua), dan Rizal Bakri (kasus ketiga) dengan berbagai macam motif dan maksud

kejahatan menyebabkan para pelaku harus berurusan dengan hukum adat. Namun,

setelah diadakan mediasi dan musyawarah damai oleh perangkat gampong antara

para pihak yang bersengketa (pelaku dan korban), dan adanya maaf dari korban,

maka kasus tersebut dapat di selesaikan oleh peradilan adat gampong. Keputusan

hakim dan majelis adat berupa pembayaran diyat (diyat) sebagai kompensasi dari

kerugian yang diderita korban menjadi tanggungan para pelaku kepada korban.

Pelaku juga sudah mengakui kesalahannya dan bertaubat serta berjanji untuk tidak

mengulangi kesalahannya lagi. Keputusan tersebut juga membuat hubungan

persaudaraan antar sesama masyarakat gampong kembali pulih dan membaik.

C. Kasus Penganiayaan

1. Deskripsi dan Kronologi Kasus

a). Penganiayaan di sawah

Perselisihan antara anggota keujruen blang93 dengan petani sawah.

Pada bulan Agustus tahun 2013 sekiranya, terjadi perselisihan antara salah

satu anggota kejruen blang, Arif Rahmadi (bukan nama asli) dengan petani sawah,

tepatnya di gampong Baroe (bukan nama asli), Kec. Nurussalam (bukan nama asli),

Kab. Pidie Jaya. Keujruen blang membuat jadwal pengambilan air bagi para petani

untuk mengairi sawahnya. Pada hari itu, Rahmat Ali (bukan nama asli, pihak

pertama) mendapatkan jadwal mengambil dipagi hari, dan Rusman (bukan nama

asli, pihak kedua) mendapatkan jadwal untuk mengambil air pada sore hari.

93

Adalah lembaga adat pelaksana teknis di gampong yang bertogas menangani

pengaturan pembagian air untuk pertanian dan membantu Keuchik dalam menyelesaiakan

sengketa pertanian.

Page 147: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

133

Keujruen blang mengontrol pengambilan air bagi warga gampong baroe

setiap harinya. Pada hari itu, Rahmat Ali yang mendapatkan jatah mengambil air di

pagi hari belum datang tepat waktu. Sementara itu, Rusman yang mendapatkan

jatah pengambilan air sore hari, sudah datang di sawahnya. Ketika ia mengetahui

bahwa pihak pertama belum datang, ia pun meminta kepada keujruen blang untuk

mengambil jatah air di pagi hari. Akhirnya, keujruen blang memberikan jatah air

tersebut, dan bermaksud untuk menukar waktu/jadwal pengambilan air pada hari

itu.

Sekiranya pukul 10.00 pagi, pihak pertama datang dan marah dengan kejruen

blang, karena dia tidak bisa mengambil air waktu sore hari. Karena marah, pihak

pertama memaki kuejruen blang, dan memukul tepat di wajah kuejruen blang,

keujruen blang membalas untuk membela diri sampai mengakibatkan perkelahian

antar keduanya. Pihak kedua bersama beberapa orang petani sawah yang lain yang

menyaksikan cerita tersebut langsung melerai perkelahian dan melaporkan kepada

Keuchikgampong.

Keuchikgampong langsung mendatangi tempat kejadian dan mengajak kedua

belah pihak beserta saksi untuk duduk bersama dan didamaikan. Akhirnya mereka

sepakat untuk di mediasi dan menyelesaikan permasalahan secara damai.

Keduabelah pihak didudukkan bersama di meunasah.94

setelah proses musyawarah

oleh perangkat gampong, akhirnya menghasilkan kesepakatan:

a. Pelaku harus meminta maaf kepada korban atas perilaku kejahatannya

b. Keduabelah pihak bersedia untuk didamaikan dan saling memaafkan

tanpa rasa dendam dikemudian hari

c. Pihak pertama membayarkan diyat kepada gampong sebesar 40 are/40 kg

dari hasil panennya nanti. Hasil panen yang dibayarkan tersebut akan

digunakan oleh perangkat gampong untuk kemaslahatan masyarakat,

khususnya keperluan sawah (rehabilitasi sawah, pembukaan sawah, dll)

d. Kedua belah pihak berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi,

dan tidak akan saling dendam dikemudian hari setelah perdamaian ini

dilakukan.95

Pertimbangan Adat:

Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar

telah melanggar reusam adat gampong Baroe tentang kejahatan terhadap fisik.

Alasan pelaku adalah karena pelaku merasa kesal dengan keujruen blang yang

memberikan jatah air tersebut kepada Rustam (pihak kedua), sementara pelaku

tidak dapat mengambil jatah airnya di sore hari karena memiliki pekerjaan yang

lain.

Menimbang, bahwa akibat kejahatan pelaku, terluka memar di bagian wajah,

tepatnya di pipi kanan korban. Pelaku mengakui kekhilafannya karena emosi

94

Proses penyelesaian sengketa langsung di lakukan beberapa saat setelah kejadian

tersebut. Keuchik beserta Tuha Peuet dan sekretaris gampong langsung mendinginkan

suasana dan mengajak damai bagi kedua belah pihak. 95

Wawancara pribadi dengan Keuchik Gampong Bpk. Tgk. Ahmad (bukan nama

asli)

Page 148: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

134

kepada korban sehingga memukul korban. Pelaku juga bersedia bertanggung jawab

atas kesalahan yang telah dilakukannya.

Menimbang bahwa korban dengan terpaksa telah memukul pelaku sehingga

mengakibatkan nyeri di bagian perut sebagai wujud pembelaan diri.

Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat

gampong kedua belah pihak (Keuchik, danTuha Peuet) bertujuan untuk

memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah pihak dan masyarakat.

Putusan Adat:

1. Menyatakan bahwa saudara Rahmat Ali secara sah bersalah dan melakukan

kasus adat penganiayaan terhadap Arif Rahmadi.

2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah

mencelakai korban. Hal ini dikarenakan pelaku emosi terhadap korban karena

keputusan korban memberikan jatah air kepada Rusman .

3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,

menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:

a. Pelaku harus meminta maaf kepada korban atas perilaku kejahatannya.

b. Keduabelah pihak bersedia untuk didamaikan dan saling memaafkan

tanpa rasa dendam dikemudian hari

c. Pihak pertama membayarkan diyat kepada gampong sebesar 40 are/40

kg dari hasil panennya nanti. Hasil panen yang dibayarkan tersebut akan

digunakan oleh perangkat gampong untuk kemaslahatan masyarakat,

khususnya keperluan sawah (rehabilitasi sawah, pembukaan sawah, dll)

d. Kedua belah pihak berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi,

dan tidak akan saling dendam dikemudian hari setelah perdamaian ini

dilakukan.

4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil

musyawarah dengan perangkat gampong.96

b). Penganiayaan karena Selisih Paham Setelah Pemilu

Pada tanggal 10 April tahun 2014, terjadi Penganiayaan yang dilakukan oleh

Moh. Arsyad (bukan nama asli, pihak pertama) kepada Tgk. Razaq (bukan nama

asli, pihak kedua). Peristiwa tersebut terjadi di gampong Sukadamai (bukan nama

asli), kec. Cot Masjid (bukan nama asli), Kab. Pidie.

Peristiwa tersebut berawal dari pihak pertama yang kecewa karena partai

yang ia dukung kalah dalam pemilihan umum (pemilu) legislatif yang diadakan

pada tanggal 10 April 2014 silam. Karena kesal, ia langsung mendatangi tempat

pemungutan suara dan langsung memarahi petugas TPS yang berada disana. Pihak

kedua yang sedang duduk terkena amukan pihak pertama. Pihak pertama

mengambil bangku dan memukul badan pihak kedua, sehingga mengenai pundak

dan kepala pihak kedua, pihak kedua membalas perlakuan pihak pertama untuk

pembelaan diri sampai akhirnya terjadi keributan antara keduabelah pihak.

96

Wawancara pribadi dengan Keuchik Gampong Bpk. Tgk. Ahmad (bukan nama

asli)

Page 149: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

135

Masyarakat setempat langsung melerai perkelahian tersebut dan salah satu

dari mereka, Ahmad Zaini (bukan nama asli), sebagai saksi yang juga berada pada

tempat kejadian ketika itu, langsung memanggil Keuchikgampong. Setelah

Keuchik datang, Tgk. Razaq langsung dibawa ke puskesmas setempat untuk di

tangani lebih lanjut oleh medis, karena terdapat luka yang cukup parah di bagian

kepala. Sedangkan pihak pertama langsung dibawa ke meunasah untuk didinginkan.

Sekretaris gampong membuat jadwal persidangan antara kedua belah pihak

setelah luka pihak kedua dianggap sembuh.

Tiga hari berikutnya, keduabelah pihak dipanggil oleh perangkat gampong

setempat untuk menyelesaikan masalah mereka. Merekapun didudukkan bersama

dan dimediasi oleh perangkat gampong. Akhirnya mereka bersedia untuk berdamai.

Pertimbangan Adat:

Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar

telah melanggar reusam adat gampong Sukadamai tentang kejahatan terhadap fisik.

Alasan pelaku adalah karena pelaku merasa kesal karena partai yang dijagokannya

tidak menang dan mengira ada kecurangan pada panitia penyelenggara pemilihan

umum di gampong Sukadamai

Menimbang, bahwa akibat kejahatan pelaku, korban terluka dibagian pundak

dan kepala belakang, selain itu juga pada kaki korban sehingga mengakibatkan

korban kesulitan untuk menjalankan aktifitas sehari-hari. Pelaku mengakui

kekhilafannya karena emosi kepada panitia penyelenggara pemilihan umum, dan

pada saat itu, korban yang juga merupakan panitia penyelenggara menjadi sasaran

pelaku. sehingga memukul korban. Pelaku juga bersedia bertanggung jawab atas

kesalahan yang telah dilakukannya.

Menimbang bahwa korban dengan terpaksa telah memukul pelaku sehingga

mengakibatkan memar di bagian wajah sebagai wujud pembelaan diri.

Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat

gampong kedua belah pihak (Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah)

bertujuan untuk memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah pihak dan

masyarakat, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:

1. Pelaku meminta maaf kepada pihak kedua atas apa yang

dilakukannya

2. Korban bersedia memaafkan pelaku dan berjanji untuk tidak

membawa permasalahan ini ke ranah hukum.

3. Pihak pertama membayar diyat Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah)

kepada pihak kedua untuk membayar kerugian yang diderita pihak

kedua, termasuk biaya pengobatan pihak kedua

4. Pihak pertama berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi.

Apabila ia mengulanginya lagi, maka ia harus bersedia untuk di

proses sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Negara republik

Indonesia.

Putusan Adat

1. Menyatakan bahwa saudara Moh. Arsyad secara sah bersalah dan melakukan

kasus adat penganiayaan terhadap Tgk. Razaq .

Page 150: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

136

2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah

mencelakai korban. Hal ini dikarenakan pelaku emosi terhadap korban yang

merupakan salah satu panitia penyelenggara pemilihan umum karena partai

yang dijagokan oleh pelaku kalah dalam pemilu tersebut.

3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,

menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:

a. Pelaku meminta maaf kepada pihak kedua atas apa yang dilakukannya

b. Korban bersedia memaafkan pelaku dan berjanji untuk tidak membawa

permasalahan ini ke ranah hukum.

c. Pihak pertama membayar diyat Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) kepada

pihak kedua untuk membayar kerugian yang diderita pihak kedua,

termasuk biaya pengobatan pihak kedua

d. Pihak pertama berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi.

Apabila ia mengulanginya lagi, maka ia harus bersedia untuk di proses

sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Negara republik Indonesia.

4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil

musyawarah dengan perangkat gampong.

c). Penganiayaan Karena Perebutan Lapak Penjualan Buah Durian

Pada hari selasa, tanggal 26 November 2013, terjadi perselisihan antara

Hamdan (pihak pertama, bukan nama asli) denganSyahputra (pihak kedua, bukan

nama asli) karena perebutan lapak penjualan durian. Peristiwa tersebut terjadi di

gampong Mekar Ayu (bukan nama asli), kec. Nurul Makrifat (bukan nama asli),

Kab. Bener meriah.

Perselisihan bermula pada pihak pertama yang mendatangi pihak kedua di

lapaknya karena ia ingin juga berjualan di tempat yang di tempati oleh pihak

pertama. Pihak kedua, sebagai warga gampong Mekar Ayu juga merasa berhak

untuk berjualan di lapak tersebut.97

Pelaku mendatangi korban dengan emosi dan langsung meminta korban

untuk segera memberikan lapaknya dan pindah ke tempat lain. Karena merasa

dirinya sudah lama menempati tempat tersebut, korban tidak mau menyerahkan

lapaknya dan pindah ketempat lain karena tempat tersebut sangat setrategis.

Pelaku marah dan emosi, kemudian langsung memukul korban di bagian wajah.

Korban membalas pukulan pelaku sampai akhirnya pelaku mengeluarkan pisau dan

melukai perut korban.

Korban segera dibawa ke puskesmas oleh pedagang sekitar lapak tersebut,

sementara pelaku diamankan oleh salah satu warga.

Karena merasa dirugikan, sepulang dari puskesmas, korban beserta

keluarganya langsung melaporkan kepada polsek Bener Meriah. Akan tetapi,

karena perselisihan tersebut menjadi wewenang gampong, maka polsek

mengembalikan permasalahan untuk diselesaikan oleh perangkat gampong.

97

Lapak tersebut sangat setrategis karena terletak di pinggir jalan raya. Jalan

tersebut adalah akses jalan utama yang dilewati oleh kendaraan ke Bireun, dan takengon,

Aceh Tengah.

Page 151: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

137

Tepat pukul 00.30 waktu setempat, pada tanggal 27 November 2013, pelaku

melaporkan kejadian tersebut kepada Keuchik gampong Mekar Ayu. Saat itu juga,

Keuchik langsung menenangkan korban dan menghubungi Tuha Peuet untuk

membahas permasalahan tersebut. Akhirnya, korban bersedia untuk menyelesaikan

masalah tersebut secara damai dan musyawarah.

Keesokan harinya, keduabelah pihak didudukkan bersama oleh Keuchik dan

perangkat gampong yang lain guna menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. 98

Pertimbangan Adat:

Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pelaku dengan sadar

telah melanggar reusam adat gampong Mekar Ayu tentang kejahatan terhadap fisik.

Alasan pelaku adalah karena pelaku juga ingin menjual hasil panen duriannya di

lapak tersebut, karena pelaku juga merupakan warga di gampong Mekar Ayu.

Pelaku menginginkan korban memberikan kesempatan kepada keluarganya untuk

berjualan di tempat tersebut.

Menimbang, bahwa akibat kejahatan pelaku, korban terluka dibagian perut.

Pelaku mengakui kekhilafannya karena emosi kepada korban. Penyebabnya adalah

karena korban tidak mau memberikan lapaknya kepada pelaku. Pelaku juga

menyadari bahwa lapak itu adalah dibangun diatas tanah/lahan milik gampong,

sehingga siapapun berhak untuk berjualan di tempat tersebut, termasuk korban.

Adapun korban sudah terlebih dahulu berjualan di tempat tersebut selama lima

tahun lebih. Pelaku juga bersedia bertanggung jawab atas kesalahan yang telah

dilakukannya.

Menimbang bahwa lapak tersebut, adalah dibangun diatas tanah milik

gampong. Adapun korban yang sudah menempati lapak tersebut belum

mendapatkan izin dari Keuchik untuk menduduki tempat tersebut. Hal ini juga

dirasakan sama dengan penjual lain yang berada di sekitar lapak tersebut. Dengan

demikian, Keuchik dan perangkat gampong akan memperbaiki sistem penjualan

durian di gampong Mekar Ayu.

Menimbang, bahwa sebelum kejadian tersebut, keduabelah pihak pernah

terlihat bertengkar karena permasalahan kecil, dan permasalahan tersebut sekarang

menjadi berat karena permasalahan penganiayaan ini.

Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat

gampong kedua belah pihak (Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah)

bertujuan untuk memulihkan luka korban dan keadilan bagi kedua belah pihak dan

masyarakat, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:

1. Pihak pertama menyatakan dengan sadar dan ikhlas mengakui kekhilafan

dan kesalahpahaman atas persengketaan yang terjadi, dan tidak akan

menuntut dan mengancam dikemudian hari.

2. Pihak pertama membayarkan diyat sebanyak Rp. 3.000.000 (Tiga Juta

Rupiah) untuk biaya pengobatan dan kerugian pihak kedua.

98

Wawancara pribadi dengan Keuchik Gampong (bpk Rahmat), bukan nama asli

Page 152: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

138

3. Pihak pertama dipeusijuk oleh perangkat gampong setelah pihak kedua

sembuh

4. Apabila keduabelah pihak mengulangi kesalahan yang sama untuk yang

keduakalinya, maka keduabelah pihak siap untuk dituntut sesuai hukum

yang berlaku di NKRI.

Putusan Adat

1. Menyatakan bahwa saudara Hamdan secara sah bersalah dan melakukan kasus

adat penganiayaan terhadap Syahputra.

2. Hakim telah mempertimbangkan kondisi pelaku karena kealpaannya telah

mencelakai korban. Hal ini dikarenakan pelaku emosi terhadap korban karena

korban tidak memberikan lapak penjualan yang di tempatinya kepada pelaku.

3. Dalam forum mediasi antara kedua belah pihak dengan perangkat gampong,

menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:

a. Pihak pertama menyatakan dengan sadar dan ikhlas mengakui kekhilafan

dan kesalahpahaman atas persengketaan yang terjadi, dan tidak akan

menuntut dan mengancam dikemudian hari.

b. Pihak pertama membayarkan diyat sebanyak Rp. 3.000.000 (Tiga Juta

Rupiah) untuk biaya pengobatan dan kerugian pihak kedua.

c. Pihak pertama dipeusijuk oleh perangkat gampong dan pihak kedua setelah

pihak kedua sembuh

d. Apabila keduabelah pihak mengulangi kesalahan yang sama untuk yang

keduakalinya, maka keduabelah pihak siap untuk dituntut sesuai hukum

yang berlaku di NKRI.

4. Memberikan hukuman kepada pihak pertama sesuai dengan hasil musyawarah

dengan perangkat gampong.99

Dalam kasus ini, pelaku merasa keberatan dengan diyat yang diberikan oleh

perangkat gampong dan pihak kedua, meskipun Keuchik telah memberikan

tenggang waktu pembayaran. Hal ini dikarenkan kondisi ekonomi pihak pertama

yang kurang, karena pihak pertama hanya bekerja sebagai petani kebun. Ia hanya

mampu untuk membayarkan Rp. 1.500.000,- (setengah dari diyat yang diajukan).

Atas keberatan yang diajukan pihak pertama, maka Keuchik beserta

perangkat gampong memaklumi kekurangan pihak pertama. Akhirnya, Keuchik

beserta perangkat gampong yang lain melunasi setengah dari diyat tersebut kepada

korban (pihak kedua) atas kesepakatan bersama dan keikhlasan bersama.100

2. Analisa Kasus Perspektif Hukum Pidana Indonesia

Penganiayaan berasal dari kata aniaya, dalam kamus besar bahasa Indonesia

(KBBI), penganiayaan berarti perlakuan yang sewenang-wenang (Penyiksaan,

penindasan, dll).101

Tindak pidana penganiayaan diatur dalam KUHP pasal 351 dan

99

Dokumentasi gampong, 28 November 2013, ditandatangani oleh Keuchik,

Sekretaris desa, dan kedua belah pihak 100

Wawancara pribadi dengan Keuchik Gampong (bpk Rahmat), bukan nama asli 101Kamus Besar bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Jakarta, 2008, 91

Page 153: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

139

pasal 352.102

Undang-Undang tidak memberikan ketentuan apakah yang diartikan

dengan ‚penganiayaan‛ itu. Menurut yurisprudensi, yang diartikan dengan

penganiayaan adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa

sakit (pijn), atau luka. Menurut alinea empat dari pasal ini, masuk pula dalam

pengertian penganiayaan ialah ‚sengaja merusak kesehatan orang‛. Semuanya harus

dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang patut dan melewati batas

yang diizinkan.103

Penganiayaan ini dinamakan penganiayaan biasa. Yang bersalah

diancam hukuman yang lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatkan luka

beratatau matinya si korban.104

Tindak pidana yang termasuk dalam pasal 352 adalah ‚penganiayaan

ringan‛. Yang masuk dalam pasal ini ialah penganiayaan yang tidak menyebabkan

sakit (walaupun menimbulkan rasa sakit), dan tidak menimbulkan halangan untuk

menjalankan jabatan atau melakukan pekerjaan sehari-hari.105

Kasus penganiayaan yang diatur dalam KUHP pasal 351-356 mengandung

beberapa unsur-unsur sehingga seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana, yaitu:

Pertama adalah unsur subjektif, yaitu adanya kesengajaan.106

Kedua, unsur objektif,

yaitu adanya perbuatan, dan adanya akibat dari perbuatan yang dituju, yakni rasa

sakit pada tubuh dan luka pada tubuh.107

102

Pasal 351: (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua

tahun delapan bulan atau pidana diyat paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh

tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 352: (1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan

yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau

pencaharian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga

bulan atau pidana diyat paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu

terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

(3) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. 103

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (Bogor: Politeia, 1995), 244-245.

104 R. Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 367

105R. Soesilo, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-

komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, 246. 106

Maksudnya adalah ‚willen en wetens‛. Dalam artian pembuat harus

‚menghendaki‛ melakukan perbuatan tersebut dan juga harus ‚mengerti‛ akan akibat dari

perbuatan tersebut. (Lihat: Putusan pengadilan: http://www.pn-

mandailingnatal.go.id/putusan/FILE_124Pen.Pid2012PN.Mdl.pdf (diakses pada 30 Juli

2014). 107

Maksudnya adalah perbuatan dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak,

rasa sakit, atau luka.

Page 154: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

140

Kasus Pertama, Penganiayaan yang dilakukan di sawah oleh Rahmat Ali

kepada Kejruen Blang, apabila dilihat dari unsur subyektif dan obyektif sudah

terpenuhi untuk dijatuhi hukuman, karena masuk kedalam tindak pidana

penganiayaan ringan. Pertama, pelaku dengan sengaja memukul korban, sehingga

mengakibatkan korban terluka memar pada pipi kanan korban. Hal itu dilakukan

pelaku karena ia merasa kesal dengan korban memberikan jatah airnya kepada pihak

kedua. Meskipun ia juga mengakui, bahwa ia juga melakukan kesalahan tidak hadir

tepat waktu tanpa alasan.

Korban, yang merupakan aparat gampong, dalam hal ini juga mengaku

kesalahannya karena mengambil keputusan sepihak dengan memberikan jatah air

tersebut kepada pihak kedua tanpa persetujuan pihak pertama, karena pihak

pertama yang di tunggu sekian lama tidak hadir. Pemberian jatah air tersebut,

menurut korban adalah hukuman bagi pelaku karena tidak datang tepat waktu tanpa

lasan, sementara pihak kedua datang dan bersedia untuk bertukar jadwal pembagian

air dengan pelaku pada hari itu.

Melalui proses mediasi dan perdamaian, maka kedua belah pihak mengakui

kesalahannya. Pelaku mengakui kesalahannya karena telah memukul korban karena

kesal, dan korban mengakui kesalahannya karena memberikan jatah air tanpa

bermusyawarah dengan pelaku.

Mengingat kasus penganiayaan ringan termasuk kedalam wewenang

gampong, maka Keuchik dan fungsionaris gampong berusaha untuk memberikan

hukuman dengan adil bagi kedua belah pihak. Pada hakikatnya yang diinginkan

oleh masyarakat sebenarnya dititik beratkan bukan pada penegakkan hukumnya,

tetapi kepada nilai-nilai ketentraman dan kedamaian masyarakat.108

Pemberian

hukuman berupa permohonan maaf bagi kedua belah pihak dan diyat diyat oleh

pelaku berupa 40 are hasil panen adalah sudah tepat. Pelaku dan korban saling

memaafkan satu sama lain, sehingga mengembalikan kerukunan hidup

bermasyarakat antara kedua belah pihak, karena pertimbangan pertama pemberian

hukuman adalah terpeliharanya kerukunan dalam masyarakat. Kerukunan akan

timbul manakala suatu putusan sesuai dengan rasa keadilan masyarakatnya. Adapun

diyat bagi pelaku adalah wujud permohonan maaf pelaku kepada gampong karena

telah memulai untuk membuat keributan di sawah. Hasil panen tersebut akan di

gunakan oleh perangkat gampong untuk kepentingan persawahan.

Perjanjian antara kedua belah pihak agar tidak ada dendam di kemudian hari

adalah wujud dari ikhlasnya kedua belah pihak untuk saling memaafkan, dan

pertimbangan kerukunan dalam masyarakat juga, karena salah satu tujuan

ditegakkannya adat Aceh adalah supaya warga senanggroe aman sentosa, hidup tak

sengsara, sejahtera lahir batin, serta hasanah di dunia dan akhirat, karena manusia

yang beradat adalah menusia yang berbudi tulus dan mulia, dan berakhlaq kari>mah.

108

Badruzzaman Isma’il, ‚Dasar Hukum Penerapan Hukum Adat: Pelaksanaan

Peradilan Adatdi Aceh‛, Makalah Disampaikan Pada Pelatihan Peradilan Adat Bagi

Fungsionaris Adat se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tanggal 4-8 September 2007,

Majelis Adat Aceh, 2007.

Page 155: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

141

Adapun membiarkan kebencian dan dendam merasuk dalam hati seseorang hanya

akan menyusahkannya dan membawanya kepada jurang perpecahan.109

Kasus Kedua, yaitu penganiayaan yang dilakukan oleh Moh. Arsyad kepada

Tgk. Razaq, mengakibatkan korban terluka di bagian kepala belakang dan pundak.

Penganiayaan tersebut, sudah memenuhi unsur subyektif dan obyektif pasal 351

tentang penganiayaan ringan. Pelaku, dengan sengaja mengambil bangku dan

memukulkannya kepada korban sehingga mengenai pundak dan kepala belakang

korban. Hal tersebut diakui pelaku, karena ia merasa kesal kepada panitia

pelaksana pemilu lergislatif karena partai yang dijagokannya kalah. Ia menyangka

ada kecurangan dalam pemilihan tersebut. Untuk itu, ia segera mendatangi panitia.

Adapun korban merupakan salah satu panitia pelaksana pemilu di gampong tersebut

dan korban berada di tempat, maka kemarahan pelaku dilampiaskan kepada korban.

Kasus ketiga, penganiayaan oleh pelaku Hamdan, kepada korban Syahputra

karena perebutan lapak penjualan buah durian. Penganiayaan tersebut

mengakibatkan Syahputra luka cukup berat (luka tusukan pisau di bagian perut

sedalam lima centimeter). Luka tersebut mengakibatkan korban tidak dapat

menjalankan aktifitasnya seperti sediakala. Adapun penyebab penganiayaan

tersebut adalah pelaku merasa bahwa karena karena korban tidak mau memberikan

lapak penjualan yang dibangun atas tanah milik gampong kepada pelaku. Maksud

dari pelaku adalah bahwa pelaku juga ingin merasakan untuk mengais rezeki dengan

menjual duriannya. Hal tersebut dilakukan pelaku karena melihat korban sudah

menempati lapak tersebut bertahun-tahun, dan pelaku ingin bergantian untuk

berjualan di lapak tersebut. Kedua belah pihak (pelaku dan korban) adalah saling

bersaudara antar masyarakat gampong Mekar Jaya, maka, keputusan korban untuk

memaafkan pelaku sudah tepat. Adapun keputusan hakim memberikan diyat

sebesar RP. 3.000.000,- adalah sudah tepat, karenadiyat/diyat tersebut adalah hasil

musyawarah antara korban (menaksir kerugiannya) dan kemampuan pelaku.

Meskipun pelaku merasa keberatan dengan diyat yang di berikan, dan hanya

bersedia membayar setengah dari diyat tersebut, akan tetapi korban tidak

keberatan, karena penanggungan setengah dari diyat tersebut dibayarkan oleh

perangkat gampong. Penanggungan yang diambil alih oleh perangkat gampong

adalah dilakukan untuk menghindari persengketaan/konflik yang lebih lanjut, dan

lebih mengedepankan perdamaian dan kerukunan bagi warga gampongnya. Namun

keuchik harus dengan tegas dapat membedakan dan memilih apakah kasus tersebut

menjadi wewenang gampong atau bukan. Penyelesaian sengketa pidana berat oleh

gampong dapat saja berdampak negatif, disamping terdapat dampak positif yang

lebih banyak. Pemberian sanksi yang tidak sesuai dengan kesalahan pelaku tindak

pidana berat akan menjadi salah satu faktor timbulnya recidivist pelaku kejahatan,

meskipun penyelesaian kasus melalui peradilan adat mementingkan hak korban,

tapi efek jera pelaku tindak pidana juga harus diperhatikan.

109

Tgk. Raja Itam Aswar, ‚Penegakkan Nilai-Nilai Hukum Adat Bagi Generasi Muda

Dalam Membangun Keadilan Hukum di Aceh‛, Makalah Disampaikan Pada

Dialog/Sosialisasi Untuk Generasi Muda dan Mahasiswa Mengenai Adat Istiadat dan

Hukum Adat Tahun 2007, Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Page 156: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

142

Adapun proses penyelesaian melalui peradilan adat yang memang

dikondisikan dengan rasa sejuk, damai dan nyaman lebih diinginkan oleh

keduabelah pihak. Meskipun keluarga korban sempat mengadukan perkara/kasus

tersebut kepada pihak yang berwajib, namun keputusan untuk menyelesaikan kasus

secara damai adalah pilihan akhir bersama kedua belah pihak. Proses mediasi dan

musyawarah yang dilakukan oleh perangkat gampong pada kasus kedua dan ketiga

membuat pelaku menyesal atas kejahatan yang dilakukannya. Ia sadar bahwa

kejahatan yang dilakukannya merugikan orang lain. Ia pun berjanji untuk membayar

semua kerugian yang diderita oleh korban. Adapun korban, melihat bahwa pelaku

sudah meminta maaf dan menyesali perbuatannya, ia memaafkan pelaku dan

bersedia berdamai, dengan catatan, pelaku tidak mengulangi kejahatannya lagi, baik

kepadanya ataupun kepada orang lain.

Putusan hakim memberikan hukuman berupa permohonan maaf dan diyat

diyat kepada pelaku sudah tepat. Permohonan maaf adalah wujud penyesalan

pelaku akan kesalahannya, dan pembayaran diyat kepada korban adalah untuk

mengganti kerugian yang diderita korban, termasuk biaya pengobatan korban.

Masyarakat Aceh sangat mencintai kedamaian dan tidak mengenal kata

dendam. Akan tetapi, masyarakat mengenal tueng bila110 yang dilakukan karena

terpaksa dengan tujuan untuk membela diri untuk menegakkan kehormatan, agama,

martabat, keluarga, harta benda, dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan

oleh perbuatan menghina/melukai hati orang. Dalam hubungan harga diri, paduan

nilai-nilai preventif dengan represif hampir berimbang dalam kultur masyarakat

Aceh. Karena itu faktor perdamaian sangat dominan dalam kehidupan masyarakat

dan menjadi senjata pamungkas yang diterapkan oleh perangkat gampong, jika

timbul persengketaan.111

Pada satu sisi, dalam hal ini peradilan adat dinilai fleksible, tidak

memberatkan, dan sangat memperhatikan kemampuan korban dalam memberikan

hukuman diyat. Akan tetapi, pada sisi lain, ketegasan seorang pemimpin (dalam hal

ini adalah Keuchik dan perangkat gampong) sangat benar-benar di butuhkan, karena

melihat kejahatan yang dilakukan pelaku yang menyebabkan korban tidak dapat

menjalankan aktifitasnya seperti sediakala dalam beberapa waktu. Hal ini sangat

merugikan korban dan tidak sebanding dengan apa yang sudah dilakukan oleh

pelaku. Adapun penanggungan oleh perangkat gampong pada kasus ketiga juga

memiliki dampak negatif bagi pelaku, yang menyebabkan tujuan diberikannya

hukuman yaitu untuk mendidik, dan memberikan efek jera tidak dapat terlaksana

dengan optimal.112

Keputusan hakim selanjutnya adalah memberikan hukuman menyembelih

seekor kambing dan peusijuek113

adalah sesuai dengan kultur dan budaya

110

Maksudnya adalah menuntut bela atas kerugian yang diterima. 111

Wawancara pribadi dengan Badruzzaman isma’il, 29 April, 2014, pukul 14.30 112

Wawancara pribadi dengan Keuchik gampong, pada tanggal 12 Mei 2014 pukul

17.30.WIB 113

Peusijuek (tepung tawari) berasal dari kata sijue’ yang berarti dingin. Dingin atau

sejuk, dalam beberapa daerah disebut juga kedamaian, ketentraman. Peusijuek dalam

Page 157: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

143

masyarakat Aceh yang sangat mencintai perdamaian. Peusijuek ini dilakukan untuk

mendamaikan hati bagi pelaku dan korban, agar mereka dapat duduk bersama

kembali dikemudian hari, dan seolah-olah tidak pernah terlibat dalam

persengketaan. Dengan peusijuek diharapkan emosi menjadi reda dan dapat melihat

masalah dalam perspektif yang berimbang dan damai.

Adapun perjanjian antara keduabelah dengan perangkat gampong untuk tidak

mengulangi kesalahannya lagi adalah bentuk kesadaran keduanya dari kealpaannya

yaitu melakukan pertengkaran. Penyelesaian sengketa melalui peradilan adat ini

adalah bentuk teguran awal bagi kedua belah pihak agar mentaati hukum yang

berlaku, karena apabila kesalahan yang sama dilakukan kembali, baik korban

maupun pelaku sudah tidak memiliki iktikad baik untuk memperbaiki dirinya,

untuk itu seseorang yang tidak dapat berubah setelah diberikan peringatan awal,

maka baginya diberikan kebijakan, peringatan atau sanksi yang lebih tinggi lagi

agar ia merasa jera dan dapat mengambil pelajaran atas apa yang dilakukannya.

3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam

Menurut al-Zuh}ayli> kejahatan atau kekerasan terhadap fisik adalah, setiap

bentuk kejahatan terhadap tubuh manusia berupa pemotongan suatu anggota tubuh

manusia berupa pemotongan suatu anggota tubuh, pelukaan, atau pemukulan,

sementara si korban masih tetap hidup. Kejahatan terhadap fisik menurut Ulama

Hanafi>yah dan ulama Maliki>yah ada dua macam, pertama ada kalanya dilakukan

dengan sengaja114

, atau ada kalanya dilakukan secara tersalah.115

penyelesaian sengketa disebut peusijuek meulanga. Peralatan yang dibutuhkan dalam

upacara peusijuek adalah dalong (bejana terbuat dari tembaga), Bu Leukat (ketan berwarna

kuning dan putih), Breuh-Pade (padi), Teupong Taweuwe (tepung tawari), kain putih 6

hasta, pakaian satu salin dan uang, sirih dan lengkap, bunga dan daun (daun pinang, daun

keladi, daun inai, daun kesijuk, daun pandan pulu, bunga mameru, dan rumput hijau.

Dalong diisi dengan air dibubuhi tepung tawar sedikit, dan dimasukkan seluruh

tumbuh-tumbuhan itu diikat menjadi sebuah berkas kecil dan dengan itu dipercikkanlah

orang yang hendak didinginkan atau obyek itu. Kemudian orang tersebut disuntingkan ketan

kuning di belakang daun telinganya. Selanjutnya, pelaku membayar sayam/diyat yang sudah

disepakati kepada korban. Kemudian kedua belah pihak bersalaman sebagai tanda bahwa

kedua belah pihak saling memaafkan.

Adapun seekor kambing yang disembelih oleh pelaku adalah untuk perlengkapan

proses upacara tersebut, menjamu perangkat gampong, keluarga kedua belah pihak, dan juga

masyarakat yang hadir. Akan tetapi, jika pelaku tidak sanggup untuk menyembelih seekor

kambing, maka majelis adat berunding kembali, dan pada akhirnya, pelaku hanya

dibebankan diyat menyembelih seekor ayam.

Setelah itu, upacara peusijuek di tutup dengan membaca do’a yang dipimpin oleh

Tengku Meunasah, yaitu membaca sholawat nabi tiga kali, Surat Al Ma’un tiga kali, dan

Surat Al baqarah ayat 255. 114

Maksudnya adalah kekerasan fisik yang memang dialakukan oleh pelaku secara

sengaja dengan maksud dan keinginan memang untuk menganiaya dan menciderai korban,

seperti pelaku memukul atau melempar korban dengan desuatu.

Page 158: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

144

Kekerasan fisik sengaja menurut hukum Islam ada kalanya berupa

pemotongan anggota tubuh (al at}ra>f)116

atau yang menyebabkan anggota tubuh (al

at}ra>f) kehilangan fungsinya, dan ada kalanya berupa pelukaan pada selain kepala

yang di kenal dengan istilah ‚al Jira>h‛117

atau pada kepala dan muka yang dikenal

dengan istilah ‚al-shija>j‛. Adapun hukuman untuk kekerasan fisik kategori pertama

(pemotongan anggota tubuh) adalah qis}a>s} atau diyat dan ta’zi>r. Hukuman untuk

kategori kekerasan fisik penghilangan fungsi dan kegunaan anggota tubuh adalah

diyat dan ursy118, sedangkan hukuman untuk kekerasan fisik berupa pelukaan (Jira>h

atau shija>j) adalah qis}a>s} atau ‘ursh, atau huku>mah al-‘adl.119

Hukuman pertama adalah qisas}s. Penerapan pada hukuman qisas}s untuk

kekerasan fisik terhadap anggota tubuh, harus memenuhi sejumlah syarat tertentu.

Adapun syarat-syarat tersebut menurut Ulama Hanafi>yah adalah: pelaku adalah

orang berakal, balig}h, bersengaja, atas kemauan sendiri, bukan karena dipaksa,

bukan berstatus as}l (orang tua, kakek, nenek, dan seterusnya keatas) bagi korban,

korban berstatus ‘is}mah (terlindungi darahnya), dan bukan merupakan bagian

keluarga (anak, cucu, dan seterusnya kebawah) dari korban, kejahatan yang ada

adalah kejahatan secara langsung bukan dengan sebab., dengan demikian,

pelaksanaan qis}a>s} memungkinkan untuk dilakukan karena dimungkinkannya untuk

mengambil pembalasan yang sama terhadap pelaku.

Terdapat hal-hal umum dan khusus yang menghalangi qis}a>s}. Hal-hal umum

yang menghalangi pelaksanaan qis}a>s} menurut al-Zuhayli> adalah: pertama, ikatan

kebapakkan (al ubuwwah)120

, tidak adanya kesepadanan (takafu’) antara pelaku dan

korban121

, kekerasan fisik yang dilakukan adalah masuk pada kategori kekerasan

115

Kekerasan fisik secara tersalah adalah tindakan yang memang dilakukan dengan

sengaja oleh pelaku namun sama sekali tidak ada maksud dan keinginan untuk menciderai

dan menganiaya, seperti seorang melempar batu dari jendela, lalu batu itu mengenai kepala

orang lain sehingga menyebabkan kulitnya terkelupas dan tulangnya terlihat.Wahbah

Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r al-Fikr al-‘Ilmi>yah, 1997),

5737 116

Anggota tubuh al-at}ra>f adalah anggota tubuh yang memiliki batas ujung seperti

telinga, tangan, dan kaki. 117

Adalah luka yang diakibatkan oleh tindakan pelukaan pada anggota badan selain

kepala dan muka. 118

‘Ursh adalah suatu harta kompensasi wajib yang telah ditentukan oleh shara’

karena suatu kejahatan terhadap fisik atau anggota tubuh. 119

Huku>mah al ‘adl adalah suatu harta atau kompensasi yang besarnya ditentukan

oleh hakim dengan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman para ahli karena suatu

tindakan kejahatan fisik yang tidak ada keterangan dalil shara’ tentang berapa besaran harta

kompensasinya. 120

Orang tua tidak dikenai hukuman qis}a>s} karena kejahatan dan kekerasan fisik yang

dilakukannya terhadap anaknya, sam aseperti kasus kejahatan pembunuhan. 121

Menurut Ulama Hanafi>yah ada dua kasus yang kejahatan terhadap fisik yang

didalamnya tidak ditemukan kesepadanan antara pelaku dan korban, yaitu perbedaan jenis

kelamin dan tidak adanya kesamaan jumlah. Adapun menurut jumhur dua kasus yang tidak

adanya kesepadanan adalah status merdeka dan status keIslaman.

Page 159: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

145

fisik mirip sengaja122

, kekerasan fisik yang terjadi dikawasan da>r al-harb, dan qis}a>s},

dan kasus yang tidak mungkin untuk diambil qis}a>s}. Adapun hal-hal khusus yang

menghalangi qis}a>s} dalam kejahatan berupa kekerasan terhadap fisik ada tiga,

pertama tidak adanya kesamaan dan keserupaan pada tindakan (melebihi batas),

Tidak adanya kesamaan dan kesepadanan kadar dan kemanfaatan (fungsi) pada

letak pencederaan, dan tidak adanya kesamaan dan keserupaan pada kondisi normal

dan utuh.

Adapun hukuman kedua menurut Ulama maliki>yah adalah ta’zi>r (hukuman

adab), yaitu disesuaikan kepada kebijakan dan ijtihad hakim, apakah itu kekerasan

fisik sengaja yang didalamnya tidak terdapat kewajiban qis}a>s}, ataupun kekerasan

fisik sengaja yang didalamnya terdapat kewajiban qis}a>s}, namun Jumhur fuqaha>

berpendapat bahwa selama pelaku sudah dihukum qis}a>s}, tidak perlu ada tambahan

hukuman ta’zi>r lagi.

Hukuman cadangan pengganti untuk kasus kejahatan berupa kekerasan fisik,

yaitu diyat dan ‘Ursh. Apabila pengqis}a>s}an terhadap pelaku tidak bisa dilaksanakan

karena suatu sebab, maka sebagai gantinya adalah hukuman berupa kewajiban

membayar diyat. Hukuman berupa kewajiban diyat utuh dijatuhkan atas tindak

kekerasan fisik yang menghilangkan fungsi anggota tubuh. Akan tetapi, jika

kekerasan fisik yang ada adalah kekerasan fisik yang hanya menghilangkan

sebagian fungsi anggota tubuh, seperti merusak salah satu tangan atau merusak

salah satu jari, maka hukumannya adalah ‘ursh (diyat tidak utuh). Ursh ada dua

macam, pertama ‘ursh yang jenis besarannya telah ditentukan oleh shara’ secara

pasti, seperti ‘ursh kedua tangan dan ‘ursh satu mata. Kedua, ursh yang jenis

besarannya tidak ditentukan oleh shara’, akan tetapi penentuan ditetapkannya

diserahkan kepada kebijakan hakim atau huku>mah al-‘adl.123

Diantara jenis luka sha>jjah menurut Ulama Hanafi>yah ada sebelas macam,

yaitu: pertama, luka h}a>rishah yaitu luka lecet namun tidak sampai ada darah yang

nampak; kedua, luka da>mi’ah, yaitu luka lecet yang sampai ada darah yang nampak

namun tidak sampai mengucur seperti air mata pada mata; ketiga, luka da>miyah

(berdarah), yaitu luka yang sampai mengucurkan darah; keempat, luka ba>d}i’ah,

yaitu luka memotong dan merobek daging; kelima, luka mutala>himah, yaitu daging

yang hilang dan terpotong ukurannya lebih banyak dari daging yang terpotong pada

luka ba>d}i’ah; keenam, luka simha>q, yaitu luka yang memotong daging hingga

menampakkan lapisan kulit halus (selaput tulang) yang terdapat antara daging dan

tulang; ketujuh, luka muwa>d}ih}ah, yaitu luka yang sampai merobek selaput

tulanghingga tulang menjadi nampak; kedelapan, luka ha>shimah, yaitu luka yang

memecahkan tulang; kesembilan, luka munaqqilah, yaitu luka yang memindahkan

letak tulang dari posisi normalnya setelah pecah; kesepuluh luka aammah, atau

122

Contohnya adalah si A menampar pipi si B, lalu tamparan itu menyebabkan mata

si B pecah, maka tidak ada qis}a>s} untuk kasus seperti ini, namun si A tetap terkena hukuman

kewajiban membayar diyat mata yang telah ditetapkan oleh shara’. 123

Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr

al-‘Ilmi>yah, 1997), 5748

Page 160: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

146

ma’mu>mah yaitu luka yang menembus hingga ke selaput otak; kesebelas, luka

da>mighah, yaitu luka yang menembus selaput otak hingga ke otak.

Adapun Ulama Maliki>yah membuang luka nomor dua, yaitu luka da>mi’ah,

dan menyebut luka nomor satu dengan da>myah, kemudian luka nomor dua ha>ris}ah, luka nomor tiga simha>q, luka nomor enam malt}a>t}, dan mengkhususkan luka

ma’mu>mah dan da>mighah hanya untuk luka di kepala, sedangkan yang lain untuk di

kepala dan pipi. Ulama Sha>fi’i>yah dan Ulama Hana>bilah juga membuang luka

nomor dua. Mereka menyebutkan luka nomor satu kha>ris}ah. Lima luka pertama,

didalamnya tidak ada ursh yang telah ditetapkan oleh shara’, dan hanya ada

huku>mah al ‘adl. Diantara jenis luka jira>h, yaitu pelukaan pada bagian tubuh selain kepala dan

wajah, dibagi kepada dua macam, yaitu ja>ifah dan non ja>ifah. Luka ja>ifah yaitu luka

yang tembus sampai ke bagian dalam dari rongga dada rongga perut, penggung

janin, atau sampai pada bagian dalam antara dua buah pelir, atau dubur, atau

tenggorokan, sedangkan luka non ja>ifah yaitu luka yang tidak sampai kebagian

dalam dalam rongga tubuh, seperti luka pada leher, tangan, dan kaki.124

Pada kasus pertama, termasuk kedalam penganiayaan yang mengakibatkan

luka memar pada pipi korban. Dalam Islam, luka tersebut masuk kedalam kasus

shajjah (pelukaan pada kepala dan muka) dengan bentukh}a>risah (luka lecet namun

tidak sampai ada darah yang nampak). Adapun pada kasus yang kedua termasuk

kedalam kejahatan Shajjah, h}a>risah, dan luka jira>h bukan ja>’ifah yaitu penganiayaan

mengakibatkan luka (lecet) pada kepala bagian belakang korban, dan luka (lecet)

pada pundak korban. Sedangkan kasus ketiga adalah termasuk kedalam kejahatan

Jira>h luka ja>’ifah, yaitu luka tusukan pada perut korban sedalam kuranglebih lima

sentimeter.

Hukuman yang ditetapkan bagi kejahatan kasus pertama dan kedua adalah

huku>matu-l-‘adl (diserahkan kepada kebijaksanaan hakim) berdasarkan hadits

Rasulullah saw.125

Hal ini dikarenakan luka h}a>risah termasuk kedalam luka ringan,

pada tingkatan ketiga dibawah luka muwad}ihah.126

Adapun hukuman bagi kasus

ketiga, ulama berbeda pendapat: hanafi>ah mengatakan bahwa tidak ada qis}a>s} dalam

kasus kejahatan terhadap fisik berupa jira>h apabila korban tidak meninggal dunia.

Karena didalamnya tidak memungkinkan untuk melakukan pembalasan yang sama

dan sepadan. Sementara Maliki>ah mengatakan bahwa hukuman qis}a>s} diterapkan

dalam kejahatan terhadap fisik berupa jira>h sengaja, selama memang

memungkinkan untuk dilakukannya pembalasan yang sama dan sepadan serta tidak

124

Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr

al-‘Ilmi>yah, 1997), 5761-5764. 125

Di riwayatkan oleh Abd al Razaq, dari al hasan dan Imar bin Abd al ‘aziz,

rasulullah bersabda: ‚Rasulullah tidak memutuskan apa-apa untuk pelukaan dibawah luka

muwad}ihah.‛ 126

Al-Zuhayli> dengan mengambil pendapat ‘ulama> hanafi>ah mengatakan bahwa luka

shajjah terbagi sesuat tingkatannya kepada sebelas bagian. Yaitu luka ha>ris}ah, da>mi’ah,

da>miyah, ba>d}iah, mutala>himah, simha>q, muwad}ihah, ha>shimah, ‘ammah atau ma’mu>mah,

dan luka da>mig}ah.

Page 161: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

147

ada kekhawatiran akan mengakibatkan kematian si pelaku. Hal ini berdasarkan

firman Allah surat Al Maidah ayat 45,127

yaitu dengan meminta bantuan jasa para

ahli kedokteran untuk mengukur berapa panjang, lebar dan kedalaman luka yang

dialami si korban.

Adapun Shafi’i>ah dan Hanabilah mengatakan bahwa qis}a>s} diberlakukan

dalam setiap kasus pelukaan yang tembus hingga ke tulang, seperti luka muwad}ihah

pada wajah dan kepala, luka pada lengan atas, lengan bawah, paha, betis, dan

telapak kaki, karena didalamnya dfimungkinkan untuk dilakukan pembalasan yang

sama dan sepadan tanpa adanya kekhawatiran akan melebihi batas yang

semestinya.128

Untuk kasus ketiga, dapat disimpulkan bahwa hukuman yang

diberikan kepada pelaku adalah hukumatu-l-‘adl (diserahkan kepada pemimpin) dan

tidak di qis}a>s}.

Mekanisme pelaksanaan hukumah al ‘adl yang dapat diterapkan pada masa

sekarang, menurut al-Zuhayli> adalah dengan cara dikalkulasikan berapa biaya yang

dibutuhkan oleh korban berupa biaya nafkah hidup, biaya dokter, dan biaya obat

hingga ia sembuh. Pelaksanaan hukumah al ‘adl diberlakukan dengan tujuan untuk

memberikan kompensasi diyat suatu kekurangan.

Keputusan hakim memberikan hukuman permohonan maaf dan pembayaran

diyat kepada pelaku pada kasus pertama, kedua, dan ketiga sudah tepat dan sesuai

dengan ketentuan shari‘at Islam. Permohonan maaf adalah bentuk dari aplikasi

paradigma s}ulh}/perdamaian dalam shari’at Islam dalam menyelesaikan sengketa,

sehingga kedua belah pihak dapat saling memaafkan dan kerukunan antar mereka

juga dapat kembali dipulihkan seperti sediakala. Diyat adalah kompensasi dari

kerugian yang diderita korban, baik biaya pengobatan, dan biaya dokter ataupun

kerugian yang lainnya.

Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku pada kasus pertama yang

mengakibatkan pelaku harus membayar diyat sebanyak 40 are kepada gampong

adalah bentuk kompensasi karena pelaku sudah membuat keributan di sawah dan

melanggar peraturan yang sudah dibuat oleh kejruen blang, ditambah pelaku

menyerang kejruen blang yang merupakan aparat gampong. Meskipun, dalam hal

ini, kejrtuen blang juga mengakui kekhilafannya. Keputusan hakim sudah adil bagi

keduabelah pihak. Hakim merasa bahwa kejruen blang harus segera mengambil

keputusan yang cepat ketika mendapatkan masalah saat menjalankan tugasnya

dalam pembagian air. Karena jika keputusan tersebut tidak diambil dengan segera

akan mengakibatkan kerugian yang lain nantinya.

Pada kasus kedua, pelaku sudah mengakui kekhilafannya dan meminta maaf

kepada korban. Adapun korban yang merupakan teman pelaku, sudah memaafkan

kekhilafan pelaku. Akan tetapi, pelaku tetap harus mengganti seluruh kerugian yang

diderita korban, termasuk seluruh biaya perawatan sampai sembuh. Maka,

keputusan hakim memberikan hukuman berupa diyat sebagai bentuk ganti kerugian

127

.....

45. dan luka luka (pun) ada qis}a>s}nya.. 128

Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr

al-‘Ilmi>yah, 1997), 5760

Page 162: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

148

korban sudah tepat. Hal ini, untuk mempertanggungjawabkan kesalahan pelaku, dan

memulihkan kembali luka korban.

Adapun pada kasus ketiga, keputusan Keuchik yang memberikan hukuman

diyat RP. 3.000.000 kepada pelaku sudah tepat, dan juga penanggungan yang

diambil alih oleh perangkat gampong pada setengah dari diyat juga tepat,

mengingat keadaan ekonomi korban yang kurang mampu, dan sistem pembagian

penjualan lapak yang kurang tertata dengan baik di gampong tersebut, sehingga

mengakibatkan pelaku memaksa korban untuk menyerahkan lapaknya, karena pada

hakikatnya, lapak tersebut dibangun korban diatas tanah milik gampong, tanpa ada

izin dari perangkat gampong. Karena kejadian ini, perangkat gampongmendapatkan

pelajaran yang sangat berharga, dan merasa harus memperbaiki sistem penjualan

durian di gampong Mekar Ayu. mengingat, bahwa musim panen dan penjualan

durian akan ada setiap tahunnya. Dengan demikian, perangkat gampong merasa

bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku semata-mata hanya ingin menuntut haknya

sebagai salah satu warga gampong Mekar Ayu yang juga ingin merasakan berjualan

hasil panennya saat musim panen tiba.

4. Perbandingan Antar Perspektif

Melalui pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa perkara penganiayaan

dengan berbagai macam motif yang berbeda dapat diselesaikan melalui peradilan

adat dengan perdamaian melalui jalan musyawarah mufakat. Kedua belah pihak

menerima keputusan peradilan adat dengan ikhlas, lapang dada, dan berjiwa besar.

Pelaku menerima sanksi yang diberikan oleh fungsionaris adat sebagai wujud

bahwa pelaku menyadari kesalahannya dan bertanggungjawab atas perbuatannya.

Adapun korban dengan kebesaran jiwa memaafkan korban, demi menjaga

kerukunan dan persaudaraan mereka.

Apabila ketiga kasus tersebut diselesaika melalui proses litigasi, maka pelaku

kasus penganiayaan tersebut diselesaikan dengan sesuai dengan pasal 351 ayat 1

tentang penganiayaan ringan dan dapat dikenai sanksi pidana selama-lamanya dua

tahun delapan bulan atau diyat Rp. 4.500,- Proses litigasi yang lebih menekankan

pada pembalasan tidak dapat memulihkan luka korban, dan tidak dapat

mengembalikan kerugian korban. Proses tersebut hanya akan memberikan hukuman

dan sanksi kepada pelaku. Hal ini adalah salah satu penyebab kedua belah pihak

menyelesaikan perkara melalui peradilan adat, selain dari pada penyelesaian itu

memang menjadi wewenang gampong.

Berikut adalah tabel perbandingan antara penyelesaian sengketa melalui

proses litigasi, non litigasi, dan hukum Islam:

Tabel 5: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Penganiayaan Menurut

Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat

Perbandingan Hukum Pidana

Indonesia Hukum Islam

Non Litigasi (peradilan

adat)

Jenis Perkara Kasus penganiayaan Al jira>h

Al shija>j

Pelanggaran adat di sawah

(Penganiayaan)

Penganiayaan karena

perebutan lapak penjualan

Page 163: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

149

buah

Penganiayaan selisih

paham setelah pemilu

Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong

Landasan

penetapan

perkara

KUH Pidana Pasal

351 ayat 1

(penganiayaan

ringan)

Qs. Al Maidah 45

Qs. Al Nahl 126

Qs. Al Baqarah

194

Qa>nu>n Aceh Nomor 09

Tahun 2008

Perbandingan Hukum Pidana

Indonesia Hukum Islam

Non Litigasi (peradilan

adat)

Hasil

Keputusan/

Sanksi

Hukuman penjara

selama dua tahun

Denda Rp. 4.500,-

Hukuman utama

Qis}a>s} sebagai

hukuman

maksimal

‘Ursh

Huku>mah al ‘adl

(kebijakan

hakim)

Permohonan maaf

Diyat berupa pembayaran

40 are hasil panen kepada

gampong bagi kasus

pertama, dan diyat sesuai

dengan kerugian, dan

biaya pengobatan korban

bagi kasus kedua dan

ketiga.

Peringanan diyat bagi

kasus ketiga, karena

korban merasa keberatan

atas hukuman tersebut,

dan sisa hukuman

ditanggung oleh perangkat

gampong

Peusijuek (tepung tawari)

untuk kasus ketiga karena

penganiayaan sampai

mengeluarkan darah

Proses

penyelesaian

Formal dan

terstruktur

Membutuhkan

waktu yang lama,

biasanya satu

tahun lebih

Biaya

mahal(tanggungan

korban)

Perkara

diselesaikan

langsung saat

qad}i menerima

laporan

Formal dan non

formal

Formal, terstruktur,

namun fleksibel

Penyelesaian cepat, kasus

pertama diselesaikan

ditempat (saat itu juga,

kasus kedua diselesaikan

selama satu bulan, dan

kasus ketiga diselesaikan

selama dua bulan

Biaya murah

Kesimpulan

Page 164: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

150

Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh rahmat Ali (kasus pertama), M.

Arsyad (kasus kedua), dan Hamdan (kasus ketiga) dengan berbagai macam alasan

membuat kerugian fisik dan materi bagi korban dan mwenyebabkan para pelaku

berurusan dengan peradilan adat gampong. Setelah diadakan mediasi dan

musyawarah damai oleh parat gampong antara para pihak yang bersengketa, dan

adanya maaf dari korban, maka kasus tersebut dapat di selesaikan dengan baik

sehingga kerugian korban dapat dipulihkan kembali, dan kesalahan pelaku dapat di

pertanggungjawabkan. Keputusan hakim dan majelis adat berupa pembayaran diyat

(diyat) sebagai kompensasi dari kerugian yang diderita korban menjadi tanggungan

para pelaku. Pelaku juga sudah mengakui kesalahannya dan bertaubat serta berjanji

untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi. Selain itu, keputusan tersebut membuat

hubungan persaudaraan antar sesama masyarakat gampong kembali pulih dan

membaik.

Kasus ketiga, keterlibatan perangkat gampong dalam menanggung sebagian

dari diyat juga merupakan bentuk toleransi bagi warga gampong tersebut. Karena,

salah satu tujuan diadakannnya peradilan adat gampong adalah untuk merekatkan

kembali persaudaraan, maka aparat gampong juga merasa bertanggungjawab dalam

memperbaiki hubungan antar warga gampong. Akan tetapi, hal ini menjadi

pelajaran juga bagi aparat gampong dalam menyelesaikan permasalahan

dikemudian harinya, agar memikirikan dengan baik apa dampak yang akan terjadi

bagi pelaku, karena, dalam memberikan hukuman, pelaku harus diberikan ketegasan

dalam menyelesaikan hukuman pelaku tidak meremehkan hukuman yang telah

diberikan, sehingga pelaku merasa jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.

D. Kasus Asusila

1. Deskripsi dan Kronologi Kasus

a. Kasus Khalwat-Meusum

Pada hari sabtu, tanggal 12 februari 2011, sekitar pukul 10.30 telah terjadi

pelanggaran khalwat antara Fahri Riza (bukan nama asli) dengan Rani Aminah

(bukan nama asli) di rumah Fahri Riza (Jl. Rajawali Dusun Tgk. Omar Gampong

Omah Raja kota Banda Aceh, (bukan alamat asli, kecuali kabupaten)). Kejadian

tersebut diketahui oleh warga yang merasa curiga karena Fahri kerap kali

kedatangan tamu Reni ketika orangtua tidak ada dirumah.

Pada hari itu, sekitar pukul 10.00 Reni datang ke rumah Fahri, karena sudah

merasa curiga, tiga puluh menit kemudian, Hasan dan Rusli yang merupakan

tetangga Fahri langsung mengintip jendela kamar Fahri. Akhirnya didapati bahwa

mereka sedang berciuman. Kejadian itu langsung di abadikan dengan kamera hp

milik Hasan, untuk dijadikan barang bukti. Kemudian, kediaman Fahri di grebeg

oleh pemuda dan masyarakat gampong, setelah itu mereka berdua dibawa dan

dilaporkan kepada Keuchikgampong.

Keuchik bersama aparat gampong lain (Tuha Peuet, Kepala Dusun, Imam

Dusun, Ketua Pemuda, dan seluruh tokoh masyarakat) langsung membawa kedua

belah pihak ke meunasahgampong untuk di dudukkan bersama dan mencari jalan

keluar permasalahan tersebut.

Page 165: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

151

Tuha Peuet menghubungi orangtua kedua belah pihak tentang peristiwa

terrsebut dan meminta mereka untuk segera datang ke meunasah dan

menyelesaikan masalah tersebut.

Pertimbangan Adat:

Berdasarkan pernyataan kedua belah pihak dan kesaksian para saksi

dinyatakan bahwa kedua belah pihak melakukan perbuatan tersebut atas dasar suka

sama suka dan tidak ada paksaan terhadap korban. Pihak laki-laki mengakui bahwa

ketika ia melakukan perbuatan khalwat/meusum tersebut karena terdakwa merasa

sayang kepada pihak perempuan..

Menimbang, bahwa mereka berdua sudah dekat sejak satu tahun, karena

sering bertemu di sekolah. Keduanya berada di sekolah yang sama. Dengan kejadian

ini, kedua belah pihak mengakui kesalahannya karena telah melanggar reusam

gampong tentang larangan berkhalwat.

Menimbang, bahwa dalam masyarakat Aceh, kejahatan khalwat sudah

melanggar peraturan gampong tentang kesopanan, kepantasan, dan kesusilaan yang

selama ini sangat di junjung oleh masyarakat gampong Omah Raja. Apa yang telah

dilakukan oleh kedua belah pihak sudah mencoreng nama baik gampong dan

masyarakat gampong, mengingat bahwa masyarakat gampong Omah Raja adalah

masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai syari’at Islam, sehingga apa

yang dilakukan oleh kedua belah pihak sudah membuat malu gampong dan

masyarakat gampong. Untuk itu, kepada kedua belah pihak harus memperbaiki apa

yang sudah dirusak oleh keduanya.

Menimbang, bahwa proses musyawarah yang dilakukan oleh aparat gampong

dan kedua belah pihak menitik beratkan pada pemulihan kondisi, baik dari sisi

kedua belah pihak, keluarga besar, dan juga gampong, serta masyarakat gampong.

Untuk itu, permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan secara adil

dengan cara mediasi dan perdamaian dengan menekankan pemulihan bukan

pembalasan.

Menimbang, bahwa dalam forum mediasi yang dilakukan oleh perangkat

gampong dan kedua belah pihak (Keuchik, Tuha Peuet, dan Imeum Meunasah)

menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:

1. Saudara Fahri dan saudari Reni akan dinikahkan pada hari Minggu tanggal

13 Februari 2011, pukul 10.30, yang dilakukan oleh Imeum Chiek gampong

Omah Raja. Pernikahan itu turut disaksikan oleh perangkat gampong Omah

Raja dan keluarga besar dari kedua belah pihak

2. Adapun pernikahan resmi yang dilakukan oleh KUA akan dilaksanakan

pada hari senin tanggal 14 Februari 2011.

3. Mengenai mahar dari pernikahan kedua belah pihak akan dimusyawarahkan

oleh kedua orangtua dari keduabelah pihak

4. Kedua belah pihak besredia menyetujui memberikan satu ekor kambing

seharga berkisar Rp. 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah), bumbu,

dan beras sebagai sanksi adat Gampong, yang akan diserahkan pada hari

jum’at tanggal 18 februari 2011, kepada dusun Tgk. Rajawali, Gampong

Omah Raja.

Page 166: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

152

Putusan Adat

1. Menyatakan bahwa saudara Fahri dan Reni telah bersalah dan melanggar

reusam gampong tentang kejahatan khalwat.

2. Memberikan hukuman kepada keduabelah pihak sesuai dengan keputusan

forum mediasi perangkat gampong sebagai berikut:

a. Saudara Fahri dan saudari Reni akan dinikahkan pada hari Minggu

tanggal 13 Februari 2011, pukul 10.30, yang dilakukan oleh Imeum

Chiek gampong Omah Raja. Pernikahan itu turut disaksikan oleh

perangkat gampong Omah raja dan keluarga besar dari kedua belah

pihak

b. Adapun pernikahan resmi yang dilakukan oleh KUA akan dilaksanakan

pada hari senin tanggal 14 Februari 2011.

c. Mengenai mahar dari pernikahan keduabelah pihak akan

dimusyawarahkan oleh kedua orangtua dari keduabelah pihak

d. Kedua belah pihak besredia menyetujui memberikan satu ekor kambing

seharga berkisar Rp. 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah), bumbu,

dan beras sebagai sanksi adat Gampong, yang akan diserahkan pada hari

jum’at tanggal 18 februari 2011, kepada dusun Rajawali, gampong

Omah raja.129

2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Adat Aceh

Perbuatan khalwat dapat digolongkan perbuatan mendekati zina, untuk itu

perbuatan tersebut dilarang untuk mencegah ‚meu mukam‛ atau bangkitnya birahi.

Adat nilai-nilai mulia dibalik kehormatan seorang wanita muslimah untuk

mengemban amanah bahwa ‚sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholehah‛

sudah dilanggar. Nilai-nilai kebaikan diabaikan sehingga kecacatan itu tidak bisa

ditebus lagi, maka untuk menebusnya kedua muda-mudi tersebut haruslah

dinikahkan segera untuk menghindari dosa yang lebih berat dari pada itu.

3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Pidana Indonesia

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kesusilaan berarti rasa

kesopanan yang berkaitan dengan nafsu kekelaminan.130

Soesilo menyatakan bahwa

kesusilaan maksudnya adalah kesopanan. Perasaan malu yang berhubungan dengan

nafsu kelamin misalnya bersetubuh, mencium, memperlihatkan anggota kemaluan

wanita, meraba kemaluan wanita, dan lain sebagainya. Pengrusakan kesopanan ini

dilakukan dengan perbuatan, bukan dengan perkataan.131

Delik-delik kesusilaan

dalam KUHP terdapat dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan

kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran.132

Adapun

129

Dokumentasi adat gampong Omah raja,. 13 Febuari 2014, ditandatangani oleh

Keuchik, Sekretaris Gampong, dan orangtua dari keduabelah pihak 130

R. Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 295 131

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1995)

132Diantara perbuatan yang termasuk kedalam kejahatan kesusilaan:

Page 167: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

153

perbuatan merusak kesopanan dimuka umum diatur dalam pasal 281.133

Sifat

merusak kesusilaan dengan perbuatan tersebut terkadang amat tergantung pada

pendapat umum pada waktu di tempat itu. Bahwa orang bersetubuh ditengah jalan

itu merusak kesopanan umum memang tidak dipersoalkan, namun melakukan

perbuatan ciuman ditempat umum dikota besar pada saat ini, yang dilakukan oleh

bangsa Indonesia masih harus dipersoalkan, apakah ia merusak kesopanan umum

atau tidak.134

Apabila penegak hukum menjumpai peristiwa semacam itu, maka melihat

adanya bermacam-macam ukuran kesusilaan menurut adat istiadat suku-suku

bangsa yang ada di Indonesia ini, hendaknya menyelidiki terlebih dahulu, apakah

perbuatan yang telah dilakukan oleh tersangka itu menurut tempat, dan keadaan

dipandang merusak kesusilaan umum atau tidak.

Adapun mengenai kejahatan persetubuhan/zina di atur dalam pasal 284

KUHP.135

Menurut pengertian umum, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh

a. Pasal 281-283 yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan

kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda-benda dan

sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno

b. Pasal 284-289 tentang zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan

cabul dan hubungan seksual

c. Pasal 297 tentang perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur

d. Pasal 299 tentang perbuatan yang berhubungan dengan pengobatan untuk

menggugurkan kandungan

e. Pasal 300 tentang perbuatan memabukkan

f. Pasal 301 tentang menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya

g. Pasal 302 tentang penganiayaan hewan

h. Pasal 303 dan 303 bis tentang perjudian

Adapun yang termasuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP meliputi:

a. Pasal 532-535 tentang perbuatan mengungkapkan atau mempertunjukkan

sesuatu yang bersifat porno

b. Pasal 536-539 tentang perbuatan yang berhubungan dengan mabuk dan minuman

keras

c. Pasal 540, 541 dan 544 tentang perbuatan yang berhubungan dengan perbuatan

tidak susila terhadap hewan

d. Pasal 545 tentang perbuatan meramal nasib atau mimpi

e. Pasal 546 tentang perbuatan menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda

berkekuatan gaib dan memberi ilmu kesaktian

f. Pasal 547 tentang memakai jimat sebagai saksi dalam persidangan 133

Di hukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau diyat sebanyak-

banyaknya Rp 4.500 :

a. Barang siapa sengaja merusak kesopanan di muka umum

b. Barangsiapa sengaja merusakkan kesopanan di muka orang lain tidak dengan

kemauannya sendiri. 134

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-

komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1995) 135

Pasal 284 KUHP adalah delik aduan yang tidak memungkinkan perbuatan itu

dipidana Jika tidak ada yang mengadukan dari pihak yang dirugikan(suami atau istri yang

Page 168: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

154

laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat oleh

perkawinan. Akan tetapi, menurut pasal 284 tersebut zina adalah persetubuhan

yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan

atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.

Dalam hukum Islam, kasus asusila disebut dengan zina. sedangkan khalwat

adalah was}ilah atau jalan/peluang untuk terjadinya zina. Menurut qa>nu>n jinayah

Aceh nomor 14 Tahun 2003, yang dimaksud dengan khalwat adalah perbuatan

bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang

bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.136

Larangan khalwat adalah

pencegahan dini dari perbuatan zina.137

Pelarangan khalwat ini sesuai dengan hadits

Rasulullah138

dan Firman Allah QS Al Isra> ayat 32.139

Peneliti di Universitas Valencia menegaskan bahwa seorang yang berkhalwat

dengan wanita menjadi daya tarik yang akan menyebabkan kenaikan sekresi

hormon kortisol. Kortisol adalah hormon yang bertanggung jawab terjadinya stres

dalam tubuh. Meskipun subjek penelitian mencoba untuk melakukan penelitian atau

hanya berpikir tentang wanita yang sendirian denganya hanya dalam sebuah

simulasi penelitian. Namun hal tersebut tidak mampu mencegah tubuh dari sekresi

hormon tersebut. Berikut adalah terjemahan dari tulisan Abd al daem Al-

Kaheelterkait bukti ilmiah bahaya berkhalwat dengan yang bukan mahram

‚Cukuplah anda duduk selama lima menit dengan seorang wanita. Anda akan

memiliki proporsi tinggi dalam peningkatan hormon tersebut‛. Hormon kortisol

sangat penting bagi tubuh dan berguna untuk kinerja tubuh tetapi dengan syarat

dikhianati pasangannya). Ketentuan mengenai kejahatan zina yang dilakukan oleh laki-

laki/perempuan yang belum menikah tidak di atur dalam KUHP, akan tetapi sudah masuk

kedalam RUU KUHP Pasal Pasal 483 ayat (1-4). 136

Qa>nu>n provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003,

http://bphn.go.id/data/documents/03pdaceh014.pdf, diakses pada 11 Agustus 2014. 137

Hal ini sesuai dengan qa’idah sad al-dzari>‘ah " منع الوسائل ادلؤدية إىل ادلفاسد: سد الذريعة"

maksudnya adalah bahwa sad al dzari>‘ah adalah larangan terhadap perantara yang menuju

kepada kerusakan. Dalam hal ini, perbuatan khalwat adalah perantara kepada sebuah

kerusakan, yaitu perbuatan zina yang di larang oleh Allah SWT. (Lihat: Kha>lid ‘Ali>

Sulaima>n bani> Ahmad, Qa>‘idah Sadd al-Dzari>’ah wa Atha>ruha> fi> Man’i Wuqu>’i Zina> wa

Tat}bi>qa>tiha> al-Mu’a>s}irah, Majallatu ja>mi’at al-Dimashqa li al-‘ulu>m al-Iqtis}adi>ah wa al-Qa>nu>ni>ah, Mujallad 25, Al ‘adad al tsa>ni>, 2009, 716,

http://www.damascusuniversity.edu.sy/mag/law/images/stories/705-742.pdf, diakses pada

15 Juli 2014) هما، اهلل رضى عبباس ابن وعن 138 ال : وسلبم، قال عليو رسو ل اهلل صلبى اهلل أنب عن

)رواه البخاري ومسلم). حمرم ذى مع إالب بإمراة أحدكم خيلونب Artinya: Dari ibnu Abbas RA, Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: ‚Janganlah

sekali-kali salah seorang di antara kalian berkhalwat (berduaan) dengan perempuan lain,

kecuali disertai muhrimnya‛. (HR. Bukhari dan Muslim)

139

32. dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang

keji. dan suatu jalan yang buruk.

Page 169: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

155

mampu meningkatkan proporsi yang rendah, namun jika meningkatnya hormon

dalam tubuh dan berulang terus proses tersebut, maka yang demikian dapat

menyebabkan meningkatnya nafsu seksual.140

Menurut pasal 3 Qa>nu>n nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat,

tujuan larangan khalwat/mesum adalah: pertama, menegakkan Syari’at Islam dan

adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam; kedua, melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau

perbuatan yang merusak kehormatan; ketiga, mencegah anggota masyarakat sedini

mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina; keempat,

meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya

perbuatan khalwat/mesum. Kelima, menutup peluang terjadinya kerusakan

moral.141

Kejahatan kesusilaan ringan diatur dalam pasal 281-283 yang berhubungan

dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan di muka umum dan yang

berhubungan dengan benda-benda dan sebagainya yang melanggar kesusilaan atau

bersifat porno. Juga pasal 532-535 tentang perbuatan mengungkapkan atau

mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno. Sementara itu, perbuatan merusak

kesopanan dimuka umum diatur dalam pasal 281.

Apabila melihat ketentuan hukum tersebut, maka tindakan asusila akan

ditindak apabila dilakukan ditempat umum. Yaitu, sengaja merusak kesopanan di

muka umum, artinya perbuatan merusak kesopanan itu harus sengaja dilakukan di

tempat yang dapat dilihat atau didatangi orang banyak, misalnya di pinggir jalan, di

gedung bioskop, di pasar, dan sebagainya. Maka, apabila penegak hukum

menjumpai peristiwa semacam itu, maka berhubung dengan adanya bermacam-

macam ukuran kesusilaan menurut adat istiadat suku bangsa yang ada di Indonesia

ini, hendaknya menyelidiki terlebih dahulu, apakah perbuatan yang telah dilakukan

oleh tersangka itu menurut tempat, dan keadaan tersebut dapat dipandang merusak

kesusilaan umum.142

Perbuatan khalwat akan tetap ditindak baik dilakukan ditempat tertutup atau

tempat terbuka. Karena, orientasi hukum pengaturan khalwat ini adalah

kemanfaatan dan kemaslahatan seseorang agar terhindar dari kejahatan yang

mengarah kepada zina, dan juga kemaslahatan orang lain, yaitu melindungi

masyarakat dari hal yang merusak kehormatan masyarakat, karena dalam hal ini,

masyarakat menjadi korban pelanggaran kesopanan dan kepatutan tersebut.

Dalam masyarakat adat Aceh yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai

agama Islam, kepantasan menjadi salah satu ukuran penetapan suatu hukum adat.

Seorang perempuan bersama dengan seorang pria yang bukan ‚muhrim‛ didalam

140

Siraaj, Ar Rahmah, Selasa, 19 Rabiul Akhir 1433 H / 13 Maret 2012 10:04 -

http://www.arrahmah.com/read/2012/03/13/18739-hadits-sains-bukti-ilmiah-bahaya-

berkhalwat-dengan-yang-bukan-mahram.html, diakses pada 3 Agustus 2014. 141

Qa>nu>n provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003,

http://bphn.go.id/data/documents/03pdaceh014.pdf, diakses pada 11 Agustus 2014. 142

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-

komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1995),205

Page 170: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

156

kamar dapat dikategorikan ‚tidak pantas‛. ‚ketidakpantasan‛ menjadikan

pembuktian ‚formal‛ bahwa telah terjadi ‚sesuatu‛. Norma yang dipakai adalah

‚salah tengok, salah liek‛Dalam peristiwa tersebut tidak diperlukan adanya korban.

Masyarakat ‚cukup‛ merasa dirugikan dan dapat bertindak sebagai korban. Dengan

demikian, hukum adat bersifat ‚formal‛ berangkat dari nilai

kepantasan/kesusilaan/kesopanan‛.143

4. Analisis kasus Perspektif Hukum Islam

Dalam hukum Islam, kasus khalwat tidak ditetapkan sebagai salah satu dari

kejahatan hudud atau qis}a>s}. Dengan demikian, pelanggaran khalwat ini termasuk

kedalam jarimah ta’zi>r yang diserahkan kepada pemimpin atau hakim dalam

penyelesaiannya.

Ketentuan hukuman pelaku khalwat tercantum dalam Qa>nu>n Nomor 14

Tahun 2003. Yaitu, bahwa pelaku pelanggaran khalwat mendapatkan hukuman

sesuai dengan ketentuan ‘uquba>t dalam qa>nu>n tersebut.144

Pelaku dapat diancam

hukuman ta’zi>r berupa di cambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali, dan/atau diyat

paling banyak Rp. 10.000.000,- paling sedikit Rp. 2.500.000,-. Dengan demikian,

apabila permasalahan tersebut diselesaikan menurut qa>nu>n khalwat, maka Fahri dan

Reni akan dikenai hukuman ta’zi>r sebagaimana disebutkan. Akan tetapi karena

permasalahan tersebut diselesaikan secara kekeluargaan dengan peradilan adat

gampong yang mengedepankan konsep musyawarah dan restoratif, maka majelis

adat memberikan hukuman kepada mereka sesuai dengan keputusan forum

musyawarah bersama aparat gampong dan keluarga kedua belah pihak.

Penetapan hukuman berupa pernikahan dan pembayaran diyat berupa

menyembelih seekor kambing bagi masing-masing pihak adalah sudah benar.

Hukuman pertama, yaitu pernikahan. Orang tua kedua belah pihak sangat merasa

malu atas apa yang telah dilakukan oleh putra dan putri mereka. Mereka bersedia

untuk segera menikahkan putra dan putri mereka agar tidak timbul fitnah

dikemudian hari, jika permasalahan ini tidak segera diambil tindakan yang tegas.

Dengan menikahkan keduanya adalah tindakan yang tepat bagi kedua keluarga

143

Musri Nauli, Perzinahan Dalam Hukum adat dan Hukum Nasional, Kompasiana,

diterbitkan pada 17 Agustus 2013 pukul 21:58,

http://hukum.kompasiana.com/2013/08/17/perzinahan-dalam-hukum-adat-dan-hukum-

nasional-584504.html, diakses pada 13 Juli 2014 144

Pasal 22 : (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 4, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan)

kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau diyat paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta

rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). (2) Setiap orang

yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqubat

ta’zir berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau

diyat paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,-

(lima juta rupiah). (3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5

dan 6 adalah jarimah ta’zir.

Page 171: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

157

tersebut agar fahri dan reni tidak terjerumus kedalam perangkap syetan.

Sebagaimana yang tertulis dalam hadits dari Abdullah ibn Mas’ud bahwa bagi

seseorang pemuda yang sudah mampu, maka diwajibkan baginya untuk menikah,

karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.145

Maka, pernikahan bagi Fahri dan Reni adalah lebih baik, agar keduanya terhindar

dari dosa zina. Melihat bahwa Reni sering sekali mendatangi kediaman Fahri

sehingga membuat masyarakat sekitar curiga, dan ditakutkan mereka melakukan

hubungan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.

Adapun hukuman menyembelih seekor kambing beserta beras dan bumbunya

adalah untuk membayar luka masyarakat dan gampong karena sudah tercoreng oleh

perbuatan yang mencemarkan nama baik gampong dan masyarakat, melanggar

kesopanan dan kepantasan yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh.

Yaitu melakukan khalwat dengan seseorang yang bukan mahram didalam rumah.

5. Perbandingan Antar Perspektif

Melalui pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa penyelesaian perkara

khalwat dapat diselesaikan dengan proses musyawarah dan jalan damai, sehingga

menghasilkan keputusan bersama yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Pelanggaran khalwat menurut adat Aceh adat termasuk pelanggaran berat, karena

bukan hanya kedua belah pihak yang menjadi korban, akan tetapi masyarakat satu

gampong menjadi korban. Masyarakat Aceh percaya bahwa apabila terjadi

hubungan perzinaan disuatu tempat, maka masyarakat sekitar akan terkena dosa

dari perbuatan tersebut, sehingga keberkahan tidak akan sampai pada mereka.

Hukuman untuk menikahkan kedua belah pihak adalah dinilai sangat tepat agar

kedua keluarga terhindar dari fitnah. Adapun untuk menutup malu masyarakat

maka diberikan hukuman juga menyembelih seekor kambing beserta beras dan

bumbunya sebagai wujud permohonan maaf kepada masyarakat.

Apabila kasus tersebut diselesaikan melalui peradilan adat, maka apa yang

dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut tidak termasuk kedalam perbuatan yang

melanggar hukum. Perbuatan melanggar kesopanan yang melanggar hukum yang

diatur dalam KUHP adalah, Pasal 281 tentang perbuatan merusak kesopanan

dimuka umum, dan pasal 284 tentang perzinahan yang dilakukan oleh seseorang

yang sudah menikah. Pada pasal 281 disebutkan bahwa seseorang dapat dihukum

apabila ia terbukti melanggar kesopanan di depan umum. Seperti berhubungan

dengan nafsu kelamin dihadapan umum. Adapun yang dilakukan oleh keduabelah

pihak adalah di tempat kediaman laki-laki, dan bukan ditempat umum, sehingga

apa yang dimaksud dalam pasal 281 tidak termasuk didalamnya, sedangkan Pasal

284 juga tidak termasuk didalamnya, karena kedua belah pihak adalah belum

يا معشر الشبباب من استطاع منكم الباءة ف ليت زوبج، ومن يستطع ف عليو بالصبوم فإنبو لو وجاء 145

Artinya:‚Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung

nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan

menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena

itu akan menjadi tameng syahwat baginya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Page 172: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

158

menikah, jadi tidak ada yang dirugikan, dengan demikian, kasus khalwat

diselesaikan melalui peradilan adat. Berikut adalah tabel perbandingan antara

penyelesaian sengketa melalui proses litigasi, non litigasi, dan hukum Islam:

Tabel 6: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Pencurian Menurut

Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat

Perbandingan Hukum Pidana

Indonesia Hukum Islam

Non Litigasi

(peradilan adat)

Jenis Perkara

Pelanggaran

asusila/ kesopanan

didepan umum

Khalwat Khalwat/meusum

Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong

Landasan

penetapan perkara

Tidak ada UU

yang

mengaturnya

Qa>nu>n Aceh

Nomor 14 tahun

2003 tentang

Khalwat meusum

Qs. Al Isra>: 32

Hadits Riwayat

Bukhari dan

Muslim tentang

khalwat

Kaidah Sadd al Dzari>‘ah

Qa>nu>n Aceh Nomor

09 Tahun 2008

Hasil Keputusan/

Sanksi

Cambuk paling

tinggi 9 kali

Diyat minimal

Rp. 2.500.000,-

maksimal Rp.

10.000.000,-

Hadd bagi pelaku

perzinaan

Ta’zi>r

Permohonan maaf

Dinikahkan

Menyembelih satu

ekor kambing

beserta bumbunya

Proses

penyelesaian

Formal dan

terstruktur

Membutuhkan

waktu yang

lama, biasanya

satu tahun lebih

Biaya

mahal(tanggunga

n korban)

Perkara

diselesaikan

langsung saat

qad}i menerima

laporan

Formal dan non

formal

Formal, terstruktur,

namun fleksibel

Penyelesaian cepat,

kurang dari satu

bulan

Biaya murah

Kesimpulan

Apa yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah sebuah pelanggaran adat

tentang kesopanan dan kepantasan bagi masyarakat Aceh. Dalam hal ini,

masyarakat menjadi korban, maka dari itu mereka diberikan hukuman membayar

diyat menyembelih seekor kambing masing-masing satu ekor dan menyerahkan

beras beserta bumbunya kepada gampong untuk dibagikan kepada masyarakat

sebagai penebus rasa bersalah dan memperbaiki nama gampong yang sudah

Page 173: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

159

tercemar. Selain itu, mereka berdua juga dinikahkan agar terhindar dari kejahatan

zina yang sangat dilarang oleh agama Islam.

D. Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Penyelesaian Sengketa Adat Pada

Kasus Yang bersifat Diyat

Berikut adalah laporan singkat terhadap hasil penelitian terhadap penyelesan

sengketa melalui peradilan adat Aceh. Laporan ini diteliti berdasarkan aspek

kondisi pelaku, kondisi keluarga pelaku, kondisi lingkungan pelaku, jenis tindak

pidana yang dilakukan oleh pelaku, pasal yang disangkakan terhadap pelaku, modus

operandi pelaku, motivasi pelaku melakukan tindak pidana, akibat yang

ditimbiulkan oleh perbuatan pelaku, tuntutan keluarga korban, reaksi masyarakat

atas perbuatan pelaku, putusan aparat penegak hukum, pertimbangan dan putusan

yang dijatuhkan kepada pelaku, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 7: Ringkasan Perbandingan Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan

Adat Pada Kasus Yang Bersifat Diyat

Perihal Kasus Perusakan Kasus Pencurian Kasus Penganiayaan Kasus Asusila Pelaku 1. Harisun

2. Sarifuddin

1. Faisal (13 th)

2. Sarik

3. Rizal Bakri

1. Rahmat Ali

2. Moh. Arsyad

3. Hamdan

1. Rani

2. Fahri

Jenis

Kelamin

1. Laki-Laki

2. Laki-Laki

1. Laki-laki

2. Laki-Laki

3. Laki-Laki

1. Laki-laki

2. Laki-Laki

3. Laki-laki

1. Perempuan

2. Laki-Laki

Kondisi

Pelaku

1. Pelaku adalah

nelayan di

gampong Mekar

Jaya

2. Pelaku adalah

seorang petani

sawah

1. Pelaku adalah siswa

kelas 1 SMP

2. Pelaku tidak

memiliki pekerjaan

3. Pelaku tidak

memiliki pekerjaan

yang tetap

1. Warga gampong

Baroe yang bekerja

sebagai petani sawah

2. Pelaku adalah warga

gampong Sukadamai

yang bekerja sebagai

petani

3. Pelaku adalah warga

gampong Mekar Ayu

yang bekerja sebagai

petani kebun

Keduanya warga

gampong Omah

Raja Yang sudah

saling suka sejak

duduk di bangku

SMA. Sekarang

keduanya adalah

mahasiswa

disalah satu

perguruan Tinggi

di banda Aceh

Kondisi

Keluarga

1. Kondisi ekonomi

tergolong cukup

2. Kondisi ekonomi

tergolong cukup

mampu dan

keluarga

harmonis

1. Kedua orangtua

berpisah, ibu pelaku

bekerja sebagai

petani, ia kurang

mendapatkan

perhatian dari

orangtuanya, juga

keadaan ekonomi

keluarga yang masih

minim

2. Pelaku tidak

memiliki pekerjaan

yang tetap, barusaja

Pelaku kasus pertama

dan kedua memiliki

kondisi ekonomi

keluarga yang cukup,

harmonisasi dalam

keuuarga juga cukup

baik.

Keadaan ekonomi

keluarga pelaku kasus

ketiga kurang baik,

sehingga pembayaran

sebagian tuntutan

Keluarga dari

keduabelah pihak

adalah keluarga

yang religius.

Kedua orangtua

pelaku sangat

kaget ketika

mendengar

perbuatan

anaknya.

Merekapun

merasa malu atas

apa yang telah

Page 174: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

160

menikah, sedangkan

keadaan ekonomi

keluarga kurang

3. Pelaku tidak

memiliki pekerjaan

yang tetap, sebagai

kepala keluarga

merasa memiliki

tanggungjawab yang

besar untuk

memenuhi kebutuhan

keluarganya.

ditanggung oleh

perangkat gampong

dengan sukarela.

dilakukan oleh

anaknya

Kondisi

Gampong

1. penduduk

setempat

mayoritas adalah

penduduk asli,

yang sangat

berpegang teguh

kepada hukum

adat, dan sangat

menjaga

kerukunan hidup

bermasyarakat

serta sangat

percaya kepada

perangkat

gampong dalam

menyelesaikan

sengketa, hanya

sebagian kecil

pendatang

2. Penduduk

setempat

mayoritas adalah

penduduk Aceh

asli, yang sangat

menjaga

kerukunan hidup

bermasyarakat

1. Penduduk setempat

mayoritas penduduk

Aceh asli, hanya

sebagian kecil

pindahan dari

gampong lain,

adapun pekerjaan

sebagian penduduk

adalah bertani dan

nelayan

2. Penduduk adalah

mayoritas

transmigran dari

Jawa. Sebagian besar

penduduk adalah

petani kebun

3. Penduduk setempat

adalah suku Aceh

asli, beberapa adalah

pendatang dari

beberapa kabupaten,

mengingat Banda

Aceh adalah Ibukota

NAD, maka banyak

pendatang, yang

tinggal disana.

Sebagian masyarakat

bekerja sebagai

pegawai kantor dan

pedagang.

1. Penduduk setempat

mayoritas penduduk

asli, yang memiliki

pekerjaan sebagai

petani sawah

2. Penduduk setempat

adalah mayoritas

penduduk asli yang

memiliki pekerjaan

sebagian besar

sebagai petani sawah

dan nelayan

3. Penduduk setempat

sebagian besar

adalah transmigran

dari jawa, pekerjaan

mereka adalah petani

kebun

Gampong Omah

raja adalah

salahsatu dari

sekian gampong

di Aceh yang

sangat

menjunjung

tinggi Shari’at

Islam serta

nilai-nilai adat

istiadat.

Penduduk

sekitar adalah

masyarakat

Aceh asli yang

berasal dari

berbagai

kabupaten di

Aceh,

mengingat

bahwa Banda

Aceh Ibukota

NAD, maka

gampong Omah

raja menjadi

tempat tinggal

sementara bagi

pendatang yang

belajar dan

bekerja dari

daerah lain

Page 175: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

161

Jenis

Tindak

Pidana

1. Perusakan

2. Perusakan oleh

hewan ternak

1. Pencurian tabung

gas

2. Pencurian hasil

kebun (buah pokat)

3. Pencurian binatang

ternak (kambing)

1. Penganiayaan

kepada

keujruenblang

2. Penganiayaan selisih

paham setelah

pemilu

3. Penganiayaan akibat

perebutan lapak

penjualan durian

Khalwat/Meusu

m

Pasal Yang

disangkaka

n Terhadap

pelaku

Qa>nu>n Aceh Nomor

9 Tahun 2008

Qa>nu>n Aceh Nomor 9

Tahun 2008

Qa>nu>n Aceh Nomor 9

Tahun 2008 Qa>nu>n Aceh

Nomor 9 Tahun

2008

Modus

Operandi

1. Harisun

menggandengkan

boatnya tiga

gandeng

kesamping

sehingga

membuat sungai

semakin sempit,

ketika boat milik

korban (Ali

akbar) lewat,

jangkar pada boat

milik Harisun

menggores sisi

boat milik Ali

Akbar dan

mengakibatkan

kerusakan

(kebocoran bagi

boat milik Ali

Akbar

2. Pada malam hari,

lembu milik

Sarifuddin masuk

ke sawah milik

Hanafi dan

memakan padi

yang masih dara.

1. Faishal mengambil

tabung gas milik

rahmalena pada

siang hari ba’da

dhuhur kemudian

menjualnya kepada

temannya di

Gampong sebelah

seharga Rp. 80.000,-.

Kemudian ia

membelanjakan uang

tersebut Rp. 20.000,-

untuk jajan dan

sisanya dibawa

kerumah

2. Sarik mengikuti dan

membantu korban

Abdul Malik yang

sedang memanen

buah pokat

diperkebunanya,

ketika hari sudah

sore dan korban

sudah kembali,

pelaku langsung

mengambil dua

karung buah pokat

kemudian dijual ke

pedagang buah di

pasar setempat.

3. Pelaku Rizal Bakri

adalah keluarga

korban, ia pergi

1. Rahmat Ali

mendapat giliran

pengambilan air pada

pagi hari, namun ia

tidak hadir tanpa

alasan. Kejruenblang

memberikan jatah air

itu kepada Rusman

(jatah siang). Ketika

Rahmat Ali datang

ia merasa marah dan

langsung memukul

wajah kejruenblang,

akhirnya terjadi

perkelahian antar

keduanya

2. Setelah kegiatan

pemilu legislatif,

pelaku mendapat

kabar bahwa partai

yang didukungnya

kalah karena

kecurangan panitia.

Korban yang

menjadi panitia di

tempat kejadian

langsung menjadi

amukan pelaku.

Pelaku pengambil

bangku dan

memukul badan dan

kepala korban, ia

membalas perlakuan

Hari itu Rani

datang ke

kediaman Fahri.

Tetangga yang

kerap curiga

akan

kedatangan

mereka

langsung

berjaga dan

mengintip ke

jendela kamar

Fahri. Setelah

itu didapatinya

Rani dan Fahri

sedang

berciuman.

Kejadian itu

langsung

diabadikan oleh

saksi yang

mengintip

peristiwa

tersebut. Saat

itu juga rumah

Fahri digerebeg

oleh masyarakat

setempat, dan

keduanya

dibawa dan

Page 176: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

162

kerumah korban

untuk

bersilaturrahim

dengan korban. Ia

melihat bahwa

korban memiliki

kambing bandot

yang diletakkan

dipekarangan rumah

korban. Pada siang

hari pertengahan

bulan november,

pelaku berhasil

mencuri kambing

tersebut kemudian

kambing tersebut

dibawa ke Indrajaya,

Acehbesar. Ia

menjual kambing

kepada Arif Rahmat

seharga Rp.

3.000,000. Pelaku

diketahui dan

ditangkap

dikediaman pelaku

oleh

Keuchikgampong.

pelaku dan terjadi

perkelahian.

3. Hamdan mendatangi

lapak milik

Shyahputra dan ingin

mengambil alih

lapaknya karena ia

merasa bahwa ia

juga warga gampong

Mekar Ayu dan

memiliki hak untuk

mencari nafkah

disana, mengingat

bahwa lapak tersebut

berada diatas tanah

milik gampong.

Korban tidak mau

menyerahkan dan

pelaku langsung

memukul kepala

korban dan langsung

mengeluarkan pisau

kemudian menusuk

perut korban.

dilaporkan

kepada

Keuchikgampong. Untuk

menghindari

kemarahan

warga,

keduanya

diamankan di

kediaman salah

satu kadus,

sementara

Keuchik

menghubungi

orangtua

keduabelah

pihak.

Motivasi

Melakukan

Tindak

Pidana

1. Ingin mendapat

hasil tangkapan

ikan yang banyak

dan hasilnya

untuk membiayai

pengobatan

anaknya yang

sedang sakit.

2. Pelaku lalai

dalam menjaga

lembunya, dan

keluar dari

pengawasannya

dan merusakkan

sebagian padi

yang masih dara

milik Hanafi.

1. Ingin memakai hasil

penjualan tabung gas

untuk jajan dan

membeli

perlengkapan lain.

2. Ingin membiayai

istrinya yang

meminta uang untuk

membeli

perlengkapan rumah

tangga.

3. Ingin membiayai

istrinya untuk

membeli

perlengkapan rumah

tangga.

1. Pelaku kesal dengan

korban karena

mengganti jadwal

pembagian air tanpa

sepengetahuan

pelaku

2. Pelaku kesal dan

menuduh korban

(panitian pemilu

legislatif) melakukan

kecurangan

3. Pelaku ingin merebut

lapak penjualan

durian yang berada

diatas tanah umum

(milik gampong).

1. Keduanya

melakukan

perbuatan

tersebut

dengan sadar

atas dasar

suka sama

suka tanpa

paksaan

siapapun

Akibat

yang

ditimbulka

n oleh

perbuatan

pelaku

1. Menyebabkan

kerusakan dan

kebocoran pada

boat milik korban

(Ali Akbar)

2. Pemilik lembu

1. Korban kehilangan

tabung gasnya dan

tidak bisa memasak

untuk beberapa

waktu

2. Pelaku diperiksa dan

1. Pelaku diamankan

oleh masyarakat

setempat dan

dilaporkan kepada

Keuchikgampong.

Korban menderita

Kediaman Fahri

digerebeg oleh

masyarakat

gampong

kemudian

keduanya dibawa

Page 177: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

163

dilaporkan oleh

korban, dan

lembu tersebut

diamankan

sebagai barang

bukti karena

telah memakan

padi yang masih

dara milik Hanafi

sehingga

tanamannya

menjadi rusak

sebahagian

diamankan

dikediaman kepala

dusun. Korban

mengalami kerugian

hasil panen Rp.

5.000.000,- serta

kerusakan pintu

saung.

3. Pelaku diperiksa oleh

Keuchik, dan

diamankan

dikediaman Keuchik.

Korban mengalami

kerugian Rp.

3.000.000,-

loka memar dibagian

wajah, tepatnya di

pipi kanan korban.

2. Korban terluka

dibagian pundak dan

kepala, sehingga

korban merasa

kesulitan untuk

menjalankan

aktifitas sehari-hari

3. Pelaku diamankan

oleh warga. Pelaku

sempat dilaporkan

oleh keluarga korban

ke polres Bener

Meriah, namun

polres setempat

mengembalikan

perkara kepada

perangkat gampong.

Korban menderita

luka tusuk dibagian

perut sekitar lima

centimeter, dan

merasa kesulitan

untuk menjalankan

aktifitas sehari-hari

ke kuechik

setempat dan

dilaporkan oleh

warga dengan

memperlihatkan

barang bukti

tersebut. Akibat

perbuatan pelaku,

kehormatan

masyarakat

gampong merasa

tercoreng,

beruntung pelaku

tidak diadili oleh

masyarakat

gampong, karena

masyarakat sudah

sepakat untuk

menyelesaikan

setiap masalah

dengan damai.

Tuntutan

keluarga

Korban

1. Pelaku harus

memperbaiki

boat yang rusak

dan membayar

biaya kerugian

(diyat) kepada

pihak kedua

sebesar Rp.

1.000.000,-

2. Membayar pupuk

2 sak sebagai

ganti kerugian

pihak kedua

1. Meminta maaf,

teguran kepada

pelaku dan ibu

pelaku, menyerahkan

kepada ibu pelaku

untuk mendidik

pelaku dengan baik,

orang tua mengganti

penjualan tabung gas

seharga Rp. 80.000,-

2. Meminta maaf,

mengganti kerusakan

pintu saung korban,

dihukum sesuai

dengan reusam

gampong hasil

kesepakatan bersama

3. Meminta maaf,

mengembalikan uang

hasil penjualan

kambing bandot Rp.

3.000.000,-

1. Permohonan maaf,

pelaku membayar

diyat kepada

gampong 40 are dari

hasil panennya,

karena korban adalah

salahsatu perangkat

gampong, surat

perjanjian

2. Permohonan maaf,

membayar diyat Rp.

3.000.000,- untuk

biaya pengobatan

dan kerugian korban,

peringatan pertama

dan surat perjanjian.

3. Permohonan maaf,

diyat sebesar Rp.

3.000.000,- untuk

biaya pengobatan

dan kerugian korban,

peringatan pertama

dan surat perjanjian

Masyarakat

sebagai korban

meminta agar

keluarga korban

memperbaiki

kehormatan

masyarakat yang

sudah tercemar

dengan perbuatan

kedua anak

mereka.

Masyarakat

meminta agar

keduanya

dinikahkan segera

mungkin agar

tidak timbul

fitnah

Page 178: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

164

bagi kedua belah

pihak

Reaksi

Masyaraka

t

Masyarakat

menyerahkan

sepenuhnya kepada

perangkat gampong

Masyarakat

menyerahkan

sepenuhnya kepada

fungsionaris gampong

1. Petani sawah yang

berada di TKP

langsung melerai

perkelahian dan

membawa kedua

belah pihak kepada

Keuchikgampong

2. Kasus kedua dan

ketiga masyarakat

langsung melerai

perkelahian dan

membawa korban ke

puskesmas

sedangkan pelaku

diamankan di

kediaman

Keuchikgampong

Putusan

Aparat

penegak

Hukum

1. Permohonan

maaf, perbaikan

boat yang rusak,

pembayaran diyat

Rp. 1.000.000,-,

dan surat

perjanjian

2. Perdamaian dan

permohonan

maaf, diyat 2 sak

pupuk, surat

perjanjian

1. Permohonan maaf,

nasihat dan teguran

kepada korban dan

ibu korban, diyat

sebesar Rp. 80.000,-

surat perjanjian

2. Permohonan maaf,

perbaikan pintu

saung korban, diyat

Rp. 5.000.000,-,

peringatan pertama,

surat perjanjian

3. Permohonan maaf,

diyat Rp. 3.000.000,-

peringatan pertama,

surat perjanjian.

1. Permohonan maaf,

diyat 40 are hasil

panen diserahkan

kepada gampong,

dan surat perjanjian

2. Permohonan maaf,

diyat Rp. 3.000.000,-

dan surat perjanjian

keduabelah pihak

3. Permohonan maaf,

diyat Rp. 3.000.000,-

, setengah nominal

dibayarkan oleh

perangkat gampong

karena pelaku

merasa tidak mampu

membayarkan,

peringatan pertama

dan surat perjanjian,

peusijuek oleh

korban setelah

korban sembuh

dengan disaksikan

perangkat gampong.

Pelaku dan

kedluarganya

harus meminta

maaf kepada

masyarakat,

pelaku harus

menikah secara

agama keesokan

harinya dan

secara resmi

pada lusa

harinya. Kedua

keluarga

membayarkan

Rp. 1.500.000

beserta bumbu,

dan beras untuk

menyembelih

seekor kambing

dan diserahkan

kepada warga

dusun gampong

tempat kejadian

sebagai simbol

permohonan

maaf pelaku.

Page 179: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

165

Pertimban

gan

Putusan

1. Setelah proses

mediasi,

musyawarah

mufakat, serta

pengampunan

dari korban,

maka keputusan

fungsionaris

gampong adalah

sesuai dengan

tuntutan dan

hasil musyawarah

bersama antara

korban dan

pelaku,

mengingat bahwa

pelaku

melakukan itu

karena terpaksa

agar

mendapatkan

hasil yang banyak

untuk membiayai

pengobatan

anaknya yang

sakit, serta kedua

belah pihak

adalah warga

yang rukun

sebelum

terjadinya

perselisihan

tersebut.

2. Setelah proses

mediasi,

musyawarah

mufakat, serta

pengampunan

dari korban,

maka keputusan

fungsionaris

gampong adalah

pelaku harus

mengganti

kerugian korban

dan berjanji

untuk menjaga

hewan ternaknya

dengan lebih

1. Setelah proses

mediasi,

musyawarah

mufakat, dan

pengampunan

pelaku, ibu pelaku

mendapatkan

tanggungjawab yang

besar untuk

memperbaiki pelaku,

ibu pelaku juga

berjanji untuk

memenuhi segala

kebutuhan pelaku

dengan baik.

2. Korban memilih

untuk menyelesaikan

sengketa melalui

jalan kekeluargaan

dengan perangkat

gampong. Korban

juga sudah

memaafkan pelaku,

karen hubungan

antara keduanya

sangat baik, korban

juga menyadari

bahwa pelaku

melakukan hal itu

dengan terpaksa.

Proses mediasi dan

musyawarah berhasil

mendamaikan

keduabelah pihak.

3. Korban memaafkan

pelaku, ia menyadari

bahwa pelaku

melakukan itu

dengan terpaksa.

Pelaku juga

mengakui

kesalahannya dan

berjanji untuk

mengganti semua

kerugian serta

mencari pekerjaan

yang layak untuk

membiayai

kehidupan

1. Korban memaafkan

pelaku karena korban

juga merasa bersalah

karena mengambil

keputusan tanpa

memberitahu pelaku,

namun pelaku tetap

dihukum karena

telah memulai

membuat

pertengkaran di

sawah. Pelaku

berjanji untuk tidak

mengulangi

kesalahannya lagi.

2. Pelaku telah

mendapatkan maaf

dari korban akibat

kesalahpahaman

tersebut. Hal ini

terjadi karena proses

mediasi dan

musyawarah yang

dilakukan oleh

perangkat gampong.

Pelaku mengakui

kesalahannya dan

berjanji untuk tidak

melakukan

klesalahan yang

serupa lagi.

3. Korban memaafkan

pelaku karena korban

juga merasa bersalah

karena telah

mengambil alih

lapak dan tidak mau

berbagi, sementara

lapak adalah milik

umum (milik

gampong). Aparat

gampong yang turut

andil dalam masalah

ini juga merasa

bersalah karena

pembagian lapak

penjualan belum

diatursecara optimal,

sehingga terdapat

Setelah proses

mediasi dan

perdamaian

antara

masyarakat

gampong dan

keluarga pelaku,

orang tua pelaku

merasa bersalah

karena telah

lalai menjaga

anak mereka.

Orang tua

mereka bersedia

untuk

menikahkan

mereka berdua

sebagai wujud

permohonan

maaf mereka.

Page 180: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

166

intensif setelah

kejadian ini.

keluarganya. Proses

mediasi dan

musyawarah

membuat suasana

peradilan menjadai

dingin.

warganya yang

bertengkar dan

berebut lapak

tersebut.

Page 181: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

167

BAB V

PENYELESAIAN SENGKETA ADAT ACEH MELALUI MEDIASI PADA

KASUS YANG BERSIFAT BUKAN DENDA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF,

DAN HUKUM ISLAM

Putusan adat Aceh ada yang berupa denda dan juga bukan denda. Pemberian

keputudan tersebut sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan oleh pelaku dan

kerugian korban. Seperti yang telah diuraikan pada bab empat tentang penyelesaian

kasus yang putusannya berupa denda, maka pada bab ini akan diuraikan kasus-kasus

adat Aceh yang putusannya bukan denda, kemudian dianalisa dan dijelaskan

bagaimana kasus tersebut jika diselesaikan melalui hukuk positif di Indonesia dan

hukum Islam.

A. Kasus Asusila Perzinaan

1. Deskripsi Dan Kronologi Kasus

Pada hari senin, tanggal 11 November 2013, sekira jam 16.30 WIB, datanglah

Robi (bukan nama asli), wiraswasta asal Meulaboh, Aceh Barat, ke kediaman Oriza

(bukan nama asli), di gampong Mekar Sari (bukan nama asli), Banda Aceh, yang

mana dirumah kebetulan sedang ada Khairunnisa yang sedang belajar. Kira-kira

pukul 17.00 Khairunnisa pergi membeli nasi, sedangkan Oriza dan Robi sedang

berdua dirumah. Sambil menonton tv, tangan Robi memegang tangan Oshica, dan

terus menciumnya. Kemudian Robi membuka celana Oriza dan terjadilah hubungan

intim. Sesudah terjadi hubungan intim, Robi pun keluar rumah.

Pada tanggal 12 November 2013, sekitar pukul 20.00 Robi kembali datang

kerumah Oshica, sehingga membuat kecurigaan warga. Kemudian pukul 22.30

WIB, mereka berdua ditemukan warga didalam rumah sedang berduaan tanpa ada

orang lain selain keduanya. Akhirnya merekapun dibawa kerumah kepala dusun,

kemudian diarak ke meunasah gampong Mekar Sari untuk dimintai keterangan

lebih lanjut. Mereka berdua diamankan oleh perangkat gampong di rumah salah

satu kadus dan fungsionaris gampong untuk menghindari kemarahan warga

setempat.

Pada tanggal 13 November 2013, diadakan musyawarah gampong yang terbuka

untuk umum, untuk membahas kesalahan mereka. Kasus perzinaan yang dilakukan

oleh Robi dan Oriza merupakan kasus berat di gampong. Perangkat gampong

akhirnya membuat keputusan, yaitu mereka dikeluarkan dari gampong Mekar sari

dengan pemberitahuan kepada keluarga kedua belah pihak.1

Pertimbangan Hukum Adat

Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pihak pertama

dengan sadar telah melanggar reusam adat gampong Mekar Sari tentang peraturan

asusila. Secara sadar kedua belah pihak telah melakukan hubungan intim suka sama

suka, sedangkan keduanya bukan sesama mahrom.

1Kronologi kasus disarikan dari wawancara dengan keuchik gampong yang

bersangkutan dan dokumentasi adat gampong., dan Dokumentasi peradilan adat 13

November 2013, ditandatangani oleh Keuchik gampong, Sekretaris gampong, dan orangtua

kedua belah pihak

Page 182: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

168

Menimbang bahwa saat melakukan perbuatan perzinahan tersebut

keduanya melakukan atas dasar suka sama suka tanpa ada paksaan dari siapapun.

Keduanya juga sadar bahwa apa yang dilakukannya itu melanggar shari>‘at Islam

dan juga melanggar reusam gampong.

Menimbang, kedua belah pihak bukanlah warga asli gampong Mekar Sari.

Keduanya adalah pendatang yang sedang tinggal di gampong Mekar Sari karena

alasan pekerjaan dan sekolah.

Menimbang, bahwa dalam adat Aceh, dikenal hadih maja ‚Adat ta Junjong,

hukom ta peutimang Qa>nu>n Ngon Reusam wajieb ta jaga‛. Bahwa adat harus

dijunjung, hukum harus dilaksanakan, qa>nu>n dan reusam harus dijaga. Karena

keduabelah pihak dirasa telah melanggar reusam gampong, maka baginya harus

diberikan ketentuan hukum adat yang sesuai.2

Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi

musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar

dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat

adat tidak terusik, namun karena kesalahan ini merupakan kesalahan terberat dan

menyangkut nama baik gampong, maka keputusan terberatpun harus diambil oleh

fungsionaris gampong untuk memperbaiki kembali nama gampong yang sudah

tercemar

Menimbang, bahwa setiap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi tidak

hanya dilihat dari sudut pelaku tindak kejahatan, akan tetapi juga dilihat dari sudut

korban sebagai orang yang dirugikan.

Keputusan Peradilan Adat

Menyatakan bahwa keduabelah pihak telah melanggar reusam adat gampong

yaitu melakukan perzinahan, maka keduanya diberikan hukuman dikeluarkan dari

gampong Mekar Sari dengan memberitahu kepada keluarga kedua belah pihak.3

2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif

Zina menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan

bersenggama yang tidak sah antara laki-laki dan perempuan.4 Kasus perzinaan

masuk kedalam kasus asusila sebagaimana telah dibahas pada penyelesaian kasus

khalwat/meusum pada bab ke-4 dalam pembahasan tesis ini. Pelanggaran kesusilaan

termasuk dalam KUHP dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan

kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran.5

Adapun

pelanggaran zina diatur dalam pasal 284 yang berbunyi:

2Pertimbangan adat ini sama untuk semua penyelesaian kasus adat (wawancara

dengan Badruzzaman Isma’il, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat Aceh, Selasa, 29 April

2014) 3Dokumentasi peradilan adat 13 November 2013, ditandatangani oleh Keuchik

gampong, Sekretaris gampong, dan orangtua kedua belah pihak 4Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Jakarta, 2008, 1633 5Diantara perbuatan yang termasuk kedalam kejahatan kesusilaan:

Page 183: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

169

‚ Diancam pidana penjara paling lama Sembilan bulan :

1. a. seorang pria telah nikah yang melakukan zina, padahal diketahui, bahwa

pasal 27 BW berlaku baginya.

b. seorang wanita telah nikah yang melakukan zina

2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui

bahwa yang turut bersalah telah nikah dan pasal 27 BW berlaku baginya.

b. seorang wanita tidak nikah yang turut serta melakukan perbuatan itu

padahal diketahui olehnya, bahwa yang turut bersalah telah nikah dan pasal

27 BW berlaku baginya‛.6

Pada ayat (2) : ‚tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri

yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tempo tiga

bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena

alasan itu juga.‛

Pasal 27 BW mengatakan bahwa orang laki-laki hanya boleh menikah

bersama seorang perempuan, dan orang perempuan hanya boleh menikah dengan

seorang perempuan secara bersaman. Mereka yang tunduk dengan pasal ini baik

laki-laki maupun perempuan tidak boleh bersetubuh dengan orang lain, selain

dengan istri atau suaminya sendiri.7

Dari rumusan ketentuan Pasal 284 KUHP tersebut maka unsur-unsur

perzinahan adalah sebagai berikut: adanya persyaratan telah menikah; adanya

pengaduan dari suami atau isteri yang tercemar; dan si penzinah harus mengetahui

bahwa pasangannya terikat perkawinan.8 Berdasarkan ketentuan Pasal 284 KUHP,

apabila laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya belum menikah dan melakukan

hubungan seks di luar ikatan pernikahan yang sah maka tidak dapat dikategorikan

sebagai perzinahan dan tidak dapat dijerat oleh hukum. Dengan kata lain, ketentuan

Pasal 284 KUHP, baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan peluang

kepada persetubuhan di luar nikah antara laki-laki dan perempuan yang masing-

masing tidak terikat pernikahan dengan orang lain

a. Pasal 281-283 yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan

kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda-benda dan

sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno

b. Pasal 284-289 tentang zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan

cabul dan hubungan seksual

c. Pasal 297 tentang perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur

d. Pasal 299 tentang perbuatan yang berhubungan dengan pengobatan untuk

menggugurkan kandungan

e. Pasal 300 tentang perbuatan memabukkan

f. Pasal 301 tentang menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya

g. Pasal 302 tentang penganiayaan hewan

h. Pasal 303 dan 303 bis tentang perjudian 6KUHP dan KUHAP (Jakarta: Pustaka Raya, 2011), cet.1, 117-122 7R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Politeia, 1995), 209 8R. Sugandi, R, KUHP dan Penjelasannya (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 300-

303

Page 184: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

170

Melihat pasal 284 KUHP tersebut, maka kasus Robi dan Oriza tidak dapat

dikategorikan sebagai perzinahan dan tidak dapat dijerat oleh hukum, hal ini

membuktikan bahwa KUHP kurang memperhatikan nilai-nilai kesusilaan, karena

masyarakat Indonesia kuhususnya masyarakat adat di daerah manapun sangat

menjunjung tinggi masalah kesopanan dan kesusilaan. Apabila terjadi kasus

perzinaan, maka pelaku perzinaan pasti akan di cemooh, atau di asingkan dari

masyarakat. Hal ini berbanding terbalik dengan peraturan yang ada di Republik

Indonesia, untuk itu perlu diadakan perubahan bagi peraturan Hukum Pidana

Indonesia.

Dalam Rancangan Undang-Undang KUH Pidana baru sudah memuat

mengenai perzinahan dalam pasal 483 yang mengatur bahwa tidak hanya yang

sudah berkeluarga yang dikenai sanksi melainkan yang belum ada ikatan pernikahan

dikenai sanksi jika terbukti melakukan perbuatan zina. Kemudian dalam pasal 487

mengatur mengenai hidup besama atau lazimnya orang awam menyebut kumpul

kebo dikenai sanksi.9

Penyelesaian sengketa adat perzinaan yang dilakukan oleh pelaku Robi dan

Oriza sesuai dengan hukum adat sudah tepat. Hukum adat Aceh yang mengandung

tidak hanya norma-norma adat, namun juga norma agama, norma kesusilaan, juga

norma budaya menetapkan perbuatan perzinaan sebagai perbuatan yang dilarang,

untuk itu, bagi yang melanggarnya maka baginya hukuman yang berlaku dan

ditetapkan dalam masyarakat adat tersebut. Keputusan hakim memberikan

hukuman ta’zi>r berupa diusir dari gampong sudah tepat, sebagai bentuk

permohonan maaf mereka kepada gampong, masyarakat adat gampong Mekar Sari,

dan Adat yang telah dilanggar oleh pelaku. Diharapkan dengan kejadian yang

menimpa pelaku dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat adat Gampong Mekar

9Pasal 483 berbunyi:

1. Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama lima tahun:

a. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan

dengan perempuan yang bukan istrinya

b. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan

dengan laki-laki yang bukan suaminya

c. Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan

dengan perempuan padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam

ikatan perkawinan

d. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan

dengan laki-laki padahal diketahui bahwa aki-laki tersebut berada dalam

ikatan perkawinan

e. Laki-laki dan perempuan yang diketahui masing-masing tidak terikat dalam

ikatan perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

2. Tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam ayat (1) tidak dilakukan

penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.

3. Terhadap pengaduan sebagaimana yang dimaksud pada ayat ke (2) tidak berlaku

ketentuan pasal 25, 26, dan 28

4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan sidang di pengadilan belum

dimulai.

Page 185: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

171

Sari untuk tidak melanggar hukum, baik hukum Allah, hukum negara, maupun

hukum adat Aceh.

Untuk menentukan apakah suatu sanksi adat bertentangan dengan dengan

konsep HAM atau tidak, perlu dicermati secara mendalam dengan melihat praktek

pelaksanaannya secara langsung. Secara kasuistis dapat saja, terjadi penjatuhan

sanksi yang kurang menghargai rasa keadilan dan kemanusiaan, karenanya

kemampuan dan pengaruh perangkat gampong sangat menentukan. Dalam pasal 17

UU tentang HAM Nomor 39 Tahun 199910

disebutkan bahwa:

‚Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan

mengajukan permohonan, pengajuan dan gugatan, baik dalam perkara pidana,

perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan

tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang

obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan

benar.‛

Begitu juga pada pasal 18 UU tersebut disebutkan:

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka

melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai

dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan

segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana,

kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum

tindak pidana itu dilakukannya.

(3) Setiap ada perubahan peraturan perundang-undangan, maka berlaku

ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.

(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapat bantuan hukum sejak saat

penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap.

Adapun mengenai sanksi diatur dalam pasal 33, 34, dan 35 berikut:

Pasal 33: (1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,

penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat

dan martabat kemanusiaannya. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari

penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.

Pasal 34: Setiap orang, tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan,

diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.

Pasal 35: Setiap orang berhak untuk hidup di dalam tatanan masyarakat dan

kenegaraan yang damai, aman dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan

melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia

sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

Hal yang serupa tertulis dalam deklarasi HAM yang dikeluarkan oleh PBB

pasal 7 tentang perlindungan hukum bagi setiap orang, juga pasal 9 tentang

10

UU HAM Nomor 39 Tahun 1999, BAB III,

http://komisiyudisial.go.id/downlot.php?file=UU%20No%2039%20Thn%201999%20HAM

.pdf.(diakses pada 22 November 2014)

Page 186: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

172

larangan penangkapan dan pengasingan secara sewenang-wenang. Hal ini serupa

dengan Pasal 35 UU tentang HAM RI.11

Dalam Deklarasi HAM Islam di Kairo,

Pasal V disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan keadilan dalam

peradilan.

V Right to Fair Trial ‚a) No person shall be adjudged guilty of an offence and made liable to

punishment except after proof of his guilt before an independent judicial tribunal.

b) No person shall be adjudged guilty except after a fair trial and after reasonable

opportunity for defence has been provided to him. c) Punishment shall be

awarded in accordance with the Law, in proportion to the seriousness of the offence

and with due consideration of the circumstances under which it was committed. d)

No act shall be considered a crime unless it is stipulated as such in the clear

wording of the Law. e) Every individual is responsible for his actions.

Responsibility for a crime cannot be vicariously extended to other members of his

family or group, who are not otherwise directly or indirectly involved in the

commission of the crime in question.‛12

Berdasarkan ketentuan pengaduan dan pengadilan, sebagaimana yang telah

disebutkan dalam pasal 17, disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk

memperoleh keadilan dalam hal pengajuan gugatan kepada aparat penegak hukum

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini masyarakat gampong sebagai

korban berhak untuk membawa dan mengadukan perkara kepada aparat penegak

hukum di gampong agar diselesaikan menurut hukum dan ketentuan yang berlaku.

Apa yang dilakukan oleh pelaku dirasa telah melanggar peraturan adat yang telah

dibuat oleh Pemerintah daerah Aceh, dan disepakati bersama penerapan dan

sanksinya oleh masyarakat gampong tersebut.

Sesuai dengan pasal 18, pelaku tidak ditahan dan di tangkap tanpa alasan

(dengan sewenang-wenang), masyarakat mendapati sendiri kejahatan yang

11

Universal Declaration of Human Rights,

http://www.ohchr.org/en/udhr/documents/udhr_Translations/eng.pdf. diakses pada 2

Desember 2014 12

Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa Tidak ada seorangpun akan divonis

bersalah karena melakukan kejahatan dan membuat dikenakan hukuman kecuali setelah

bukti bersalah, dan kecuali setelah pengadilan yang adil dan setelah kesempatan yang wajar

untuk pertahanan telah diberikan kepadanya. Adapun Hukuman akan diberikan sesuai

dengan UU, sebanding dengan keseriusan pelanggaran dan dengan mempertimbangkan

keadaan di mana itu dilakukan.Tidak ada tindakan dianggap kejahatan kecuali ditetapkan

sebagai tersebut dalam kata-kata yang jelas dari UU tersebut.Tanggung jawab untuk

kejahatan tidak dapat diberikan kepada anggota keluarganya yang lain, yang tidak

dinyatakan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam melakukan kejahatan

tersebut. Lihat Universal Of Islamic Human Right, 19 September 1981, http://www.alhewar.com/ISLAMDECL.html, diakses pada 2 Desember 2014. Lihat juga

Pasal 20 dalam ARAB, ENGLISH AND FRENCH WORLD CONFERENCE ON HUMAN

RIGHTS, Preparatory Committee, Fourth session, Geneva, 19 April - 7 May 1993,

http://www.arabhumanrights.org/publications/regional/islamic/cairo-declaration-islam-

93e.pdf., diakses pada 2 Desember 2014.

Page 187: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

173

dilakukan oleh pelaku, sehingga kedua pelaku sudah terbukti bersalah. Pelaku juga

mendapatkan bantuan hukum dengan diamankan oleh perangkat gampong untuk

menghindari kemarahan warga.

Pemberian sanksi berupa pengusiran tidak melanggar UU pasal 33, 34, dan

35. Pelaku tidak diperlakukan kejam dan semena-mena oleh masyarakat, ketika

pelaku tertangkap, pelaku langsung dibawa kepada aparat gampong untuk diperoses

secara langsung menurut hukum yang berlaku. Pemberian hukuman diusir dari

gampong adalah bentuk hukuman terberat di gampong, karena pelanggaran yang

dilakukan oleh pelaku juga merupakan pelanggaran terberat. Pelaku tidak

diasingkan atau dikeluarkan secara sewenang-wenang, melainkan keduanya diusir

dari gampong akibat dari perbuatannya sendiri. Perangkat gampong juga

memberikan waktu sampai kedua orangtuanya datang dan bertanggungjawab atas

pelaku. Pada pasal 35 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dalam

tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan tentram. Apa yang

dilakukan oleh pelaku sudah mengganggu ketentraman masyarakat gampong,

pelaku seakan menjadi hama yang apabila tidak dibuang akan merusak seluruh

tanaman.

3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam

Islam menganjurkan pernikahan, karena nikah adalah cara yang paling tepat

untuk menyalurkan hasrat seksual. Islam melarang menyalurkan hasrat tersebut

pada jalan yang tidak dibenarkan dan mengharamkan tindakan pembangkitan hasrat

biologis dengan sarana apapun, agar tidak menyimpang dari jalan yang telah

digariskan, untuk itu, Islam melarang ikhtila>t} (pencampuran bebas antara laki-laki

dan perempuan)13

dan setiap perkara yang dapat membangkitkan birahi atau

mengajak melakukan perbuatan nista. Zina merupakan penyebab langsung

tersebarnya penyakit berbahaya yang sangat memakitan, seperti syphilis, saluran

kencing, penyakit kulit, bahkan HIV AIDS. Zina juga merusak garis keturunan dan

berpotensi menyerahkan harta kepada orang yang tidak berhak menerimanya ketika

terjadi perwarisan. Zina juga hubungan sementara yang tidak disertai

tanggungjawab, sehingga merupakan penyebab utama kerusakan dan kemerosotan

moral, dan menggalakan gaya hidup pembujang dan pacaran, karenanya zina

menjadi faktor terpenting mendorong fenomena hedonisme, kebejatan, dan

kejahatan.14

Kejahatan zina merupakan pelanggaran salah satu prinsip dasar (al huqu>q al

Isla>mi>yah) yang memiliki kaitan dan relevansi yang mendalam dan seiring dengan

prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia , yaitu hifz} al nafs wa al ‘ird} (jaminan hak

atas setiap jiwa manusia untuk tumbuh berkembang secara layak), juga hifz} al nasl (jaminan atas kehidupan setiap individu, jaminan masa depan keturunan dan

13

Pelarangan dan contoh kasus ikhtila>t} telah dibahas pada bab 4 pada kasus khalwat. 14

Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Juz II (Beirut: Da>r al-Fikr, tt), 301

Page 188: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

174

generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas).15

Berdasarkan sebab-sebab

tersebut dan penyebab lainnya, Islam menetapkan hukuman yang paling berat bagi

pelaku zina, karena dampak kejahatan yang ditimbulkannya jauh lebih berbahaya

bagi masyarakat. Islam membandingkan bahaya yang menimpa pendosa dengan

bahaya yang menimpa masyarakat, lalu mengambil resiko bahaya yang lebih ringan.

Adapun konsep shari>‘at dalam masalah tajri>m 16dan hukuman adalah

berdasarkan pada prinsip menjaga kemaslahatan yang mendasar dan fundamental

dalam Islam, yaitu agama, nyawa, akal, nasab, dan harta. pelanggaran terhadap

kelima perkara itu merupakan sebuah kejahatan dimana pelakunya berhak

mendapatkan hukuman yang sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang

dilakukannya dan besar kecilnya dampak bahaya yang diakibatkan.

Menurut bahasa dan istilah shara’, zina mempunyai pengertian yang sama,

yaitu persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan pada kemaluan

depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan shubhat kepemilikan.17

Ulama

Hanafi>yah mendefinisikan zina sebagai ‚koitus yang haram pada kemaluan depan

perempuan yang masih hidup dan menggairahkan dalam kondisi atas kemauan

sendiri (tidak dipaksa) dan kehendak bebasnya di da>r al ‘adl (kawasan negara Islam

yang dikuasai oleh pemerintahan atau pimimpin yang sah) oleh orang yang

berkewajiban menjalankan hukum-hukum Islam, tidak mempunyai hakikat

kepemilikan, tidak mempunyai hakikat tali pernikahan, tidak mempunyai unsur

shubhat kepemilikan, tidak mempunyai unsur shubhat tali pernikahan, tidak

mempunyai unsur shubhat berupa unsur samar dan kabur pada tempat kondisi

samar dan kabur pada kepemilikan maupun tali pernikahan sekaligus.18

Dasar pensyariatan hukum hadd bagi pezina yang belum menikah adalah

Qs. Al Nu>r ayat 219

dan pezina yang sudah menikah adalah hadith Rasulullah saw20

.

15

Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Shari>‘at Islam Di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh darussalam (Ciputat:

Logos wacana Ilmu, 2003), 36-37 16

Yaitumenyatakan suatu tindakan menjadi kejahatan atau pemidanaan 17

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (jakarta: Sinar Grafika, 2009), 37 18

Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r Al Fikr

Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4839

19

2. perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari

keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu

untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan

hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang

beriman.

Page 189: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

175

Hukuman hadd zina merupakan murni hak Allah, yakni hak-hak masyarakat, karena

zina menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap kelauarga, nasab, dan sistem

tatanan sosial sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya.

Melalui Qs. Al-Nu>r ayat 2 disebutkan bahwa hadd atau hukuman bagi

seseorang yang berzina sedang ia belum menikah (ghair muh}s}a>n) adalah didera

sebanyak 100 kali dera. Adapun sesuai dengan hadits Rasulullah bahwa seseorang

yang berzina sedangkan ia sudah menikah (muh}s}a>n/muh}sa>nah) maka baginya

hukuman dera dan rajam (dilempari batu sampai mati). Hukuman rajam disepakati

oleh seluruh Ulama, namun kelompok Khawarij memandangnya tidak wajib, hal ini

juga dikemukakan oleh beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti al-Naz}am dan para

pengikutnya. Mereka tidak punya argumentasi selain karena rajam tidak disebut

dalam Al Qur’an.21

Hukuman hadd zina tidak bisa dijatuhkan kepada seorang pelaku zina baik

laki-laki maupun perempuan kecuali dengan beberapa syarat, baik yang sudah

disepakati maupun yang diperselisihkan. Diantara syarat yang sudah disepakati

ulama adalah: pelaku adalah orang baligh; berakal; seorang muslim (syarat ini

menurut ulama Maliki>yah); pelaku melakukan perzinaan atas kemauan sendiri,

tanpa paksaan dari orang lain; perzinaan yang dilakukan adalah dengan manusia;

perempuan yang dizinai adalah perempuan yang memang sudah bisa disetubuhi;

perzinaan yang dilakukan tanpa ada unsur syubhat; pelaku mengetahui hukum

keharaman zina; perempuan yang dizinai bukan perempuan harbi di da>r al harb

(kawasan negeri musuh) atau da>r al baghy (kawasan yang dikuasai oleh kelompok

pemberontak).22

Ancaman hukuman/hadd zina adalah serius, dan hakim harus berhati-hatim

dalam memberikan keputusan dan menyatakan bersalah bagi pelaku kejahatan zina.

Pembuktian zina harus dapat menghasilkan titik terang yang meyakinkan hakim

untuk dasar dapat melaksanakannya hadd zina. Apabila hakim ragu-ragu, maka

hadd tidak bisa dilakukan

Ada tiga macam cara pembuktian zina yaitu:

Pertama, Pembuktian dengan saksi. Ulama telah sepakat bahwa tindak pidana

zina tidak bisa dibuktikan kecuali dengan empat orang saksi. Karena apabila kurang

kesaksiannya tidak bisa diterima. Adapun syarat saksi adalah: syarat-syarat umum

terdiri dari: baligh, berakal, kuat ingatan, dapat berbicara, dapat melihat, adil,

Islam, dan tidak ada penghalang persaksian., sedangkan syarat-syarat khusus untuk

tindak pidana zina adalah: laki-laki, harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri,

peristiwa zina belum kadaluwarsa, persaksian harus dalam satu majelis, bilangan

والذي نفسي بيده ألقضني بينكما بكتاب اهلل الوليدة والغنم رد وعلى ابنك جلد مائة وتغريب 20

عامز اغد يا أنيس إىل امرأة ىذا فإن اعتفت فارمجها21

Sayyid Sa>biq, Fiqh Al Sunnah, Juz II (Beirut:Da>r Al Fikr, tt), 303 22

Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r al-Fikr

al-‘Ilmi>yah, 1997), 4849

Page 190: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

176

saksi harus empat orang, Persaksian harus meyakinkan, diterima, dan dianggap sah

oleh hakim.

Kedua, Pembuktian dengan pengakuan, dengan syarat: pengakuan harus

dinyatakan empat kali atau berulang-ulang; pengakuan harus terperinci dan

menjelaskan tentang hakikat perbuatan, sehingga dapat menghilangkan shubhat (ketidakjelasan) dalam perbuatan zina; pengakuan harus sah atau benar, yang

dinyatakan oleh orang yang berakal dan mempunyai kebebasan; pengakuan

dinyatakan dalam siding pengadilan atau luar siding pengadilan.

Ketiga, Pembuktian dengan Qari>nah 23 . Seperti hamilnya wanita karena

perkosaan atau mengaku dipaksa atau selama ia tidak mengaku berbuat zina maka

tidak dijatuhi hukuman.24

Hukum Islam menjaga hak-hak individu apabila individu tersebut benar-benar

tidak melakukan zina melainkan diperkosa atau difitnah oleh orang lain. Hukum

Islam menegaskan bahwasanya dalam menentukan seseorang melakukan perbuatan

zina harus dibuktikan terlebih dahulu melalui keterangan saksi, pengakuan dan

adanya tanda atau kehamilan dalam rahim seorang wanita.

Hukuman hadd zina merupakan murni hak Allah dalam artian hak publik

(masyarakat). Karena hukuman hadd zina diberlakukan untuk menjaga kehormatan

jangan sampai ternodai. Apabila kasus Robi dan Oriza diselesaikan menurut hukum

Islam, keduanya dapat dikenai hukuman dera sebanyak 100 kali dera, namun karena

kearifan hukum adat, maka keduanya diberikan hukuman terbesar, yakni hukuman

maksimal dan hukuman tertinggi bagi masyarakat adat Aceh, yaitu diusir dari

gampong. Hukuman pengusiran ini adalah bukti bahwa adat dalam konteksnya

dapat disesuaikan dengan shari>‘at Islam. Shari>‘at Islam memberikan hukuman

maksimal yaitu hukuman dera sebanyak 100 kali, setelah kesalahan keduanya

terbukti dan keduanya mengakui kesalahan mereka. Adapun hukum adat

memberikan hukuman maksimalnya yaitu diusir dari gampong. Dengan

menggunakan konsep musyawarah dan damai, masyarakat yang menjadi korban

kejahatan ini, dapat direda kemarahannya kepada korban. Masyarakat memaafkann

pelaku dengan tidak memberikan sanksi ‚main hakim sendiri‛, namun kesalahan

kedua belah pihak tidak dapat dimaafkan oleh masyarakat, sehingga keduanya harus

menerima hukuman terberat, yaitu dikeluarkan dari gampong dan dikembalikan

kepada keluarga mereka. Hukuman tersebut bukan hanya membuat mereka malu,

akan tetapi akan membuat mereka jera dan tidak melakukan kesalahan yang sama

lagi.

4. Perbandingan Antar Kasus

Sanksi hukum pidana adat yang dijatuhkan oleh Keuchik adalah merupakan

‚obat terakhir‛ (ultimatum remedium) harus ditempuh dulu mencari obat lain untuk

23

Adalah tanda yang dianggap sebagai alat bukti dalam perbuatan zina yakni

timbulnya kehamilan pada seorang wanita yang tidak bersuami, atau tidak diketahui

suaminya. Apabila terdapat shubhat dalam terjadinya zina maka tidak dijatuhi hukuman

kepadanya 24

„Abd al-Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-wad}‘i> juz 2 (Beirut, Libanon: Muassasah al Risa>lah, 1997), 393-441

Page 191: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

177

mengobati penyakit (sengketa). Jika obat lain tidak ada, maka dijatuhi sanksi adat,

itupun tidak boleh bersifat melampiaskan balas dendam atau mencelakan salah satu

pihak yang bersengketa. Dalam kasus ini kedua pelaku setelah ditangkap basah

oleh masyarakat langsung diamankan oleh para fungsionaris adat untuk

menghindari perbuatan ‚main hakim sendiri‛ oleh masyarakat, karena masyarakat

sebagai korban atas perbuatan pelaku, yakni korban malu dan pelanggaran nama

baik gampong.25

Hukuman yang diberikan oleh fungsionaris gampong berupa dikeluarkan atau

diusir dari gampong adalah bentuk sanksi yang paling berat, yaitu pemutusan

seluruh hubungan sosial dan adat antara masyarakat adat dalam waktu yang tidak

berbatas. Kesalahan yang dilakukan oleh Robi dan Oriza sudah diketahui oleh

seluruh masyarakat gampong Mekar sari, sehingga akan membawa malu

keluarganya, gampongnya, serta kaumnya, maka jika ia tinggal di gampong akan

bercermin bangkai, makan hati berulang jantung menanggung penderitaan batin

yang berkepanjangan. Demikian beratnya kalau melanggar ketentuan adat, maka

lebih baik segera meninggalkan kampung tersebut, karena masyarakat silau mata

melihat hubungan mesra yang selalu dipamerkan kedua pasangan muda-mudi

tersebut.26

Orang berzina adalah orang yang sudah melanggar norma adat, norma agama,

norma kesopanan, dan norma budaya, serta bertentangan dengan nilai-nilai hidup

dalam bermasyarakat. Keduanya pelaku telah merampas kehormatannya, karena

melakukan perbuatan yang diharamkan oleh agama dan adat, ta juga mendzalimi

dirinya sendiri.27

Dalam kasus ini hukuman dari fungsionaris adat berupa diusir adalah sudah

tepat. Kedua pelaku adalah seorang pendatang yang sudah diberi kepercayaan untuk

tinggal di gampong Mekar Sari, seharusnya menjaga nama baik gampong dan

beriktikad baik kepada masyarakat dan gampong. Akan tetapi kepercayaan yang

telah diberikan oleh fungsionaris gampong dan masyarakat sudah dinodai oleh Robi

dan Oriza, setelah melakukan perzinahan. Mereka berdua bukan hanya mendzalimi

diri mereka sendiri, akan tetapi juga mendzalimi masyarakat gampong.

Keputusan diusirnya kedua pelaku dan dikembalikan kepada keluarga korban

adalah bentuk kearifan dari hukum adat Aceh. Meskipun keduanya telah melanggar

reusam gampong, namun fungsionaris gampong tetap memberikan perlindungan

kepada keduanya sampai keluarga korban datang, fungsionaris gampong juga tidak

25

H. Teuku Raja Itam Aswar, ‚Kasus-Kasus dan Penyelesaian Melalui Peradilan

Adat‛ , Disampaikan Pada pelatihan Peradilan adat bagi Para Fungsionaris Adat Se-

Provinsi Nanggroe Aceh adarussalam Tanggal 4 s/d 8 September 2007, di Banda Aceh,

Majelis Adat Aceh (MAA) Prov. Nanggroe Aceh Darussalam 2007. 26

H. Teuku Raja Itam Aswar, ‚Kasus-Kasus dan Penyelesaian Melalui Peradilan

Adat‛ , Disampaikan Pada pelatihan Peradilan adat bagi Para Fungsionaris Adat Se-

Provinsi Nanggroe Aceh adarussalam Tanggal 4 s/d 8 September 2007, di Banda Aceh,

Majelis Adat Aceh (MAA) Prov. Nanggroe Aceh Darussalam 2007. 27

Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang

Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014

Page 192: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

178

semerta-merta mengusir keduanya saat itu juga, namun memberikan waktu sampai

kedua keluarga mereka datang dan mengembalikan pengawasan keduanya kepada

keluarganya, karena dikhawatirkan jika keduanya tidak diawasi oleh keluarganya

akan membuat kesalahan yang sama untuk kedua kalinya di tempat lain.

Kasus yang dihadapi oleh Robi dan Oriza sudah tepat diselesaikan melalui

peradilan adat. Kearifan hukum adat terlihat dalam menyelesaikan kasus perzinaan

tersebut, yaitu adat dapat disesuaikan dengan konteks keislaman, mengingat bahwa

adat Aceh berpegang pada shari>‘at islam. Hukuman yang diberikan oleh

fungsionaris adat dapat disesuaikan dengan keadaan pelaku, dan masyarakat adat,

sehingga dapat relevan untuk diterapkan. Melalui paradigma ta’zi>r fungsionaris

adat memberikan hukuman berupa pengusiran dari gampong. Karena yang dilanggar

adalah hak Allah dalam hal ini adalah hak publik atau hak masyarakat, maka

hukuman diberikan dengan melihat kemaslahatan pelaku dan juga masyarakat

sebagai korban. Masyarakat adat Aceh merasa bahwa setelah mereka diusir, maka

hak masyarakat akan kembali utuh. Fungsionaris adat tetap memperhatikan hak

asasi mereka sebagai manusia dan masyarakat adat. Mereka diusir dari gampong

dengan harapan dapat menjadi pelajarana dan dapat memperbaiki diri lebih baikm

lagi, serta bertaubat atas kejahatan yang telah dilakukannya.

Apabila permasalahan ini diselesaikan melalui hukum pidana Indonesia,

maka apa yang dilakukan oleh Robi dan juga Oriza bukalah termasuk tindak

kejahatan, karena ketentuan perbuatan keduanya tidak termaktub dalam KUHP,

sehingga keduanya tidak bisa diberikan hukuman, dengan demikian keduanya

mungkin akan melakukan kesalahan yang sama lagi untuk yang kedua kalinya, dan

begitu juga masyarakat yang lain, bisa jadi akan mengikuti perbuatan keduanya,

karena dianggap tidak dipermasalahkan oleh hukum. Hal demikian itu membuat

kemerosotan akhlak, moral dan mental masyarakat muda mudi Indonesia, sehingga

nilai-nilai kemanusiaan dan kesopanan dalam kehidupan tidak ada lagi.

Berikut adalah perbandingan proses penyelesaian sengketa perzinaan

melalui peradilan non litigasi (peradilan adat, Hukum Pidana Indonesia, dan Hukum

islam)

Tabel 8: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Perzinaan Menurut

Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat

Perbandingan Hukum Pidana

Indonesia Hukum Islam

Non Litigasi

(peradilan adat)

Jenis Perkara

Pelanggaran

asusila/ kesopanan

didepan umum

Zina Zina

Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong

Landasan

penetapan

perkara

Tidak ada UU

yang

mengaturnya

Qs. Al Nu>r >: 2

Hadits Riwayat

Bukhari dan

Muslim tentang

hukuman zina

Qa>nu>n Aceh Nomor

09 Tahun 2008

Hasil Tidak ada Dera 100 kali Diusir dari

Page 193: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

179

Keputusan/

Sanksi

hukuman bagi pezina ghair

muh}s}a>n

Rajam bagi

pezina muh}s}a>n

gampong

Proses

penyelesaian

Formal dan

terstruktur

Membutuhkan

waktu yang

lama, biasanya

satu tahun lebih

Biaya

mahal(tanggunga

n korban)

Perkara

diselesaikan

langsung saat

qad}i menerima

laporan dan

eksekusi

hukuman

dijalankan setelah

seluruh bukti-

bukti dan syarat-

syarat terpenuhi

Formal dan non

formal

Formal, terstruktur,

namun fleksibel

Penyelesaian cepat,

kurang dari satu

bulan

Biaya murah

Kesimpulan

Perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah sebuah pelanggaran

adat berat tentang kesopanan dan kepantasan. Dalam hal ini masyarakat menjadi

korban, maka dari itu mereka diberikan hukuman yang terberat, yaitu diusir dari

gampong.

B. Kasus Tapal Batas

1. Deskripsi Dan Kronologi Kasus

Kasus Adat

Pada tahun 2013, sekira pada bulan Juni atau setidaknya pada bulan lain pada

pertengahan tahun tersebut, Amir (bukan nama asli, pihak pertama), warga

gampong Umoh Raja, Kec. Indah Nusa, Kab. Pidie menanam beberapa pohon

pisang di sebidang tanah tepat disamping rumah miliknya yang belum meliki pagar

(kebun miliknya sekitar 20 meter). Adapun tanaman yang ditanam tersebut

melebihi batasnya, sehingga menempati tanah milik Sarta (bukan nama asli, pihak

ke dua). Perlu diketahui, tanah yang dimiliki kedua belah pihak tidak bersertifikat.

Keesokan harinya, setelah pihak kedua mengetahui bahwa tanaman pihak

pertama menempati tanahnya, pihak kedua langsung melaporkan kepada

Keuchikgampong. Hari itu juga, perangkat gampong langsung memanggil kedua

belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Pada awalnya pihak pertama tetap mengakui bahwa sebidang tanah yang

telah ditanami beberapa tanaman olehnya adalah miliknya karena melihat batas

pohon yang ada tepat disamping rumahnya. Pihak kedua mengatakan bahwa pohon

itu semakin lama tumbuh semakin besar dan tidak bisa dijadikan batas/pagar.

Pihak kedua memanggil saksi (Kasim, kakak nya dan Ridwan tetangganya) (bukan

nama asli) yang mengetahui persis tentang kemepilikan tanah mereka.

Page 194: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

180

Kedua saksi tersebut membenarkan apa yang dikatakan oleh Sarta, bahwa

Amir telah mengambil beberapa meter tanah miliknya. Setelah diadakan

musyawarah antara kedua belah pihak dan perangkat gampong, pihak pertama

mengakui kesalahannya karena telah mengambil hak milik tetangganya.

Permasalahan tersebut diselesaikan dengan damai, dan menghasilkan kesepakatan:

a. Perangkat gampong mengukur tanah milik keduabelah pihak, dan terjun ke

lapangan langsung. Kemudian oleh perangkat gampong dibuatkan pagar

atau batas sebagai tanda milik keduabelah pihak.

b. Pihak pertama bersedia untuk mengambil kembali dan memindahkan

tanamannya ke atas tanah miliknya

c. Keduabelah pihak harus menerima dengan ikhlas kesepakatan bersama

d. Keduabelah pihak harus saling memaafkan dan berjanji tidak ada saling

dendam dikemudian hari28

Pertimbangan adat

Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, pihak pertama

dengan sadar telah melanggar reusamadat gampong Umoh Raja dengan alasan

bahwa ia merasa bahwa sebidang tanah yang ditanami adalah miliknya.

Menimbang, bahwa antara pihak pertama dan pihak kedua sebelum terjadi

masalah ini menjunjung persaudaraan yang sangat erat antar sesama warga

gampong Umoh Raja. Kaeuanya sering terlihat bersamaan dalam mengikuti

kegiatan gampong, selain itu keluarga kedua belah pihak juga sangat rukun, karena

keduanya bertetangga sejak mereka masih kecil..

Menimbang, asas-asas normatif pada peradilan adat: yang lemah di bimbing,

yang pincang di papah, yang ganjil di genapkan, yang lupa diingatkan, yang

menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, dan yang keliru diingatkan.

Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi

musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar

dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat

adat tidak terusik. Pihak Pertama dengan kebesaran jiwa mengakui perbuatan

salahnya, dan Pihak Kedua dengan kelapangan dada memaafkan kesalahan pelaku.

Adapun perangkat gampong membantu perdamaian keduabelah pihak dengan tidak

memihak dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan adat dan tidak

bertentangan dengan syari’at islam.

Menimbang, bahwa setiap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi tidak

hanya dilihat dari sudut pelaku tindak kejahatan, akan tetapi juga dilihat dari sudut

korban sebagai orang yang dirugikan.

Keputusan Adat

1. Majelis adat memutuskan bahwa pihak pertama bersalah karena terbukti telah

menanam beberapa tanamannya diatas sebidang tanah milik pihak kedua.

Perangkat gampong akan mengukur kembali tanah kedua belah pihak sesuai

28

Wawancara dengan Keuchik dan Sekdes gampong Omah Raja (bukan nama asli),

Bpk. Abdul Hakim dan Bpk Abu Thalib (bukan nama asli)

Page 195: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

181

dengan luas tanah milik masing-masing. Pihak pertama harus bersedia untuk

mengambil kembali dan memindahkan tanamannya ke atas tanah miliknya.

2. Keduabelah pihak harus saling memaafkan dan berjanji tidak ada saling

dendam dikemudian hari29

2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif

Tanah dan apa yang didirikan diatasnya, termasuk pohon, dan tanaman

ladang beserta akar yang menancap dalam tanah merupakan barang yang tidak

bergerak. Pengertian ini sesuai dengan Pasal 506 KUH Perdata.30

Adapun cara

memperoleh hak milik diatur dalam KUH Perdata pasal 584, 624. Adapun dalam

kasus ini, kepemilikan tanah diatur dalam pasal 584, 600, dan Pasal 603.31

Dalam pasal 600 disebutkan bahwa segala sesuatu yang disemaikan diatas

sebidang tanah milik seseorang, itu adalah menjadi hak miliknya. Begitu juga pada

pasal 603 bahwa seseorang yang mendirikan bangunan diatas tanah milik orang

lain, maka pemilik tanah boleh memiliki bangunan tersebut atau menuntut

bangunan tersebut untuk diambilnya. 32

Apabila ditinjau dari hukum positif, penulis menganalogikan bahwa pada

pasal 603 tersebut juga mencakup pengertian bahwa barangsiapa yang menanam

tanaman diatas ebidang tanah milik orang lain, maka pemilik tanah boleh memiliki

tanaman tersebut atau menuntut untuk diambilnya. Hal ini sesuai dengan pasal 600,

bahwa hanya pemilik tanah yang berkuasa dan memiliki hak atas tanahnya, baik itu

untuk mendirikan bangunan diatasnya, ataupun menaanam tanaman diatasnya.

Pada hakikatnya, apa yang ditentukan oleh hukum positif sejalan dengan

hukum adat terkait pada masalah ini, keduanya sama-sama melindungi hak adami,

29

Wawancara pribadi dengan keuchik gampong, (bpk. Bukhari) 30

Perpustakaan Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Karya

Gemilang, 2011), 138 31

Pasal 584: Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan

pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu, dengan pewarisan,

baik menurut Undang-Undang maupun menurut surat wasiat, dan dengan menunjukkan

surat penyerahan berdasarkan sauatu peristiwa perdata untuk memindahan hak milik, yang

dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu.

Pasal 600: Segala sesuatu yang ditanam atau disemaikan diatas sebidang pekarangan

adalah milik si pemilik tanah itu

Pasal 603: Bila seseorang dengan bahan-bahan bangunan sendiri, mendirikan

bangunan bangunan diatas tanah milik orang lain, maka pemilik tanah boleh memiliki

bangunan itu atau menuntut agar bangunan itu diambilnya.

Bila pemilik tanah menuntut supaya bangunan diambil, maka pembongkaran

bangunan berlangsiung dengan biaya pemilik bahan, malahan pemilik bahan ini boleh

dihukum dengan segala biaya, kerugian dan bunga

Bila sebaliknya, pemilik tanah hendak memiliki bangunan tersebut, maka ia harus

membayar harga bangunan beserta upaya kerja tanpa memperhitungkan kenaikan harga

tanah. 32

Perpustakaan Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Karya

Gemilang, 2011), 140

Page 196: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

182

namun karena kedua belah pihak tinggal di desa, dan sebagian besar masyarakat

desa mendapatkan tanahnya dari hasil warisan orang tuanya, dan tidak memiliki

surat tanah sebagai bukti hak milik mereka, maka permasalahan ini belum dapat

diselesaikan melalui hukum positif, sampai kedua belah pihak mengurus surat tanah

mereka, karena ditakutkan akan muncul masalah baru.

Garis batas yang jelas dan tegas, sebenarnya merupakan kepentingan bersama

dari kedua pemilik tanah yang bertetangga, oleh sebab itu, garis batas dari dua

pemilik tanah harus mendapatkan pengakuan dari keduanya, agar dapat ditetapkan

sebagai garis batas permanen atau definitif.33

Dalam kasus ini, kedua belah pihak

saling mengakui bahwa tanah mereka keduanya adalah masing-masing 2 hektare,

namun keduanya tidak memiliki sertifikat tanah sehingga kepemilikan tidak kuat.

Silaturrahim merupakan salah satu kata kunci yang penting dalam

menyelesaikan konflik batas antar pemilik tanah. Hubungan silaturrahim antar

kedua belah pihak baik dengan sesama mereka, maupun dengan masyarakat dan

fungsionaris gampong yang telah terbina sebelumnya telah memudahkan langkah

awal untuk berunding.34

Kedua belah pihak sama-sama mengetahui ukuran tanah

mereka, begitu juga masyarakat sekitar yang memiliki kebun disekitar area yang

dipersengketakan mengetahui ukuran tanah kedua belah pihak, sehingga

penyelesaian dapat dilakukan dengan baik dengan adanya saksi-saksi dari

masyarakat sekitar.

Keputusan fungsionaris adat untuk mengukur dan menetapkan batas tanah

kedua belah pihak adalah sudah tepat. Dengan mengajak kedua belah pihak beserta

fungsionaris adat lain sebagai saksi untuk menentukan titik koordinat awal dan

mengukur bersama, kemudian memberikan batas yang permanen diatas tanah bagi

kedua belah pihak adalah penyelesaian yang adil lagi tidak memihak. Kedua belah

pihak sama-sama menerima hasil tersebut, karena tanah mereka diukur bersama dan

tidak ada yang dirugikan satu sama lain, setelah perbatasan dibuat, kedua belah

pihak saling memaafkan dan menerima hasil keputusan fungsionaris gampong

dengan ikhlas dan lapang dada. Adapun pihak pertama yang memang terbukti

menanam tanaman di atas tanah milik npihak kedua bersedia untuk memindahkan

tanamannya ke lahan miliknya.

3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam

Dalam hukum Islam, harta kekayaan adalah setiap sesuatu yang memiliki

nilai jual meskipun kecil, dan orang yang merusakkannya berkewajiban

menggantinyaserta sesuatu yang tidak dibuangoleh orang-orang seperti uang

recehan dan lain sebagainya. Definisi ini diambil dari Imam Al Shafi’i sebagaimana

di kutip oleh al-Zuh}ayli>. Adapun kepemilikan adalah kekhususan yang menjadi

batas (ha>jiz) yang secara shara’ menjadikan seseorang boleh melakukan

pentas}arrufan terhadap apa yang dimiliknya kecuali jika ada suatu hal yang menjadi

33

Wawancara dengan Bpk. Bukhari, KeuchikGampong Meunasah Mancang, Kec.

Meurah 2, Kab. Pidie jaya, Aceh, Jum’at, 2 mei 2014, pukul 10.30 34

Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang

Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014.

Page 197: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

183

penghalang untuk itu. Kepemilikan individu dalam pandangan Islam merupakan

sebuah fungsi sosial. Karena, tujuannya adalah mensejahterakan masyarakat dan

memenuhi kebutuhan serta kemaslahatannya. 35

Sesungguhnya Islam tidak melarang kepemilikan individu secara mutlak,

namun juga tidak membebaskan dan membiarkannya tanpa batas. Hal ini sesuai

dengan firman Allah dalam surat Al Nisa’ ayat 29.36

Apa yang dilakukan oleh pihak pertama dapat dikenai hukuman atas

kejahatan yang dilakukannya. Dalam Islam kasus pengambilan hak tanah ini

disebut ghas}ab37. Kejahatan ghas}ab tidak hanya terjadi pada harta yang bergerak,

akan tetapi juga berlaku bagi harta yang tidak bergerak seperti tanah dan rumah.

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim

bahwa seseorang yang mengambil tanah orang lain dengan z}alim, maka Allah akan

menjadikan sejengkal tanah itu tujuh bumi dan akan mengalungkan di lehernya

kelak di akhirat.38

Tindakan ghas}ab memiliki tiga hukum: pertama dosa, yaitu mendapat

balasan hukumannya kelak di akhirat; kedua, mengembalikan barang yang dighas}ab

apabila barangnya masih ada; ketiga, denda diyat jika barang yang dighas}ab rusak.

Adapun pendisiplinan dari tindakan ghas}ab diserahkan kepada hakim dengan

ketentuan ta’zi>r.39

Al Zuhayli> mengatakan bahwa tanah yang bertuan tidak boleh ada

seorangpun yang melakukan bentuk pentas}arrufan atau pemanfaatan tanah tersebut

tanpa seizin pemiliknya. Setiap manusia yang hidup bertetangga memiliki hak al jiwa>r atau hak bertetangga atau hak berdampingan. Yaitu sebuah hak yang muncul

35

Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r al-Fikr al-

‘Ilmi>yah, 1997), 4630

36

29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan

jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di

antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha

Penyayang kepadamu. 37 Ghas}ab menurut Ulama Ma>liki>yah adalah mengambil harta secara paksa dan

melanggar. Adapun menurut Ulama hana>bilah dan Ulama Sha>fi’iyah adalah menguasai hak

orang lain (baik berupa harta maupun al ikhtis}a>s} atau hak yang menjadikan seseorang lebih

diperioritaskan terhadap sesuatu) yang bersifat melanggar atau paksaan tanpa hak. Adapun

menurut Ulama Hanafi>yah adalah mengambil harta yang memiliki nilai, dihormati, dan

dilindungi, tanpa seizin pemiliknya, dalam bentuk pengambilan yang menyingkirkan

‚tangan‛ (kekuasaan si pemilik dari harta itu.

را من األرض ظلما طوبقو اللبو إيباه ي وم القيامة من سبع أرضني 38 قال من اق تطع شب

39Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr

Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4510

Page 198: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

184

oleh sebab adanya kondisi berdampingan dan bersebelahan (bertetangga). Setiap

orang yang tinggal berdampingan memiliki hak untuk menggunakan harta harta

tidak bergerak milik tetangganya, dengan syarat tidak menimbulkan kemud}aratan

dan kerugian yang besar dan nyata. Meskipun demikian, fuqaha memiliki berbagai

pendapat yang bersifat judisial seputar larangan menimbukan gangguan dan

kemud}aratan bagi tetangga. 40

Imam Abu Hani>fah berdasarkan qiyas (analogi), Ulama Shafi>’iyah dan Ulama

al-Z}ahiri>yah mengatakan, seseorang boleh melakukan apa saja yang dikehendakinya

terhadap sesuatu yang murni hak miliknya, meskipun hal itu menimbulkan

gangguan terhadap orang lain. Adapun Muhammad dan Abu Yusuf, sesuai dengan

prinsip al-istih}sa>n41 mengatakan bahwa penggunaan dan pentas}arrufan seseorang

terhadap harta tidak bergerak miliknya tidaklah tanpa batas dan aturan.

Pemanfaatan tersebut dibatasi dengan syarat tidak membahayakan atau tidak

menyebabkan kemud}aratan yang nyata dan berat terhadap tetangganya. Pendapat

serupa juga disampaikan oleh Ulama Maliki>yah dan Hana>bilah , bahwa

pentas}arrufan seseorang terhadap sesuatu miliknya dibatasi oleh aturan dan

ketentuan tidak menimbulkan kemud}aratan bagi orang lain. Adapun jika

menimbulkan kemud}aratan yang nyata dan berat, atau masih kabur maka itu

dilarang.42

Pada kasus yang menimpa Amir dan Sarta adalah terkait kasus kepemilikan

tanah yang terletak berdampingan dan belum terdapat batas antara tanah mereka,

maksudnya tanah milik mereka masih bercampur. Untuk menyelesaikan kasus ini,

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam hukum Islam diselesaikan dengan

konsep al-Milki>yah, Hak al-Jiwa>r, dan al-Qismah.Tanah yang dimiliki oleh kedua

belah pihak adalah murni milik keduanya, namun, layaknya tanah di pedesaan di

daerah lain, tanah mereka tidak bersertifikat, dan tidak ada pembatas yang

membatasi batas tanah mereka. Patokannya hanyalah benda hidup (pohon) yang

semakin besar, dan dianggap itu adalah menjadi milik pihak pertama. Sementara

pihak kedua yang merasa dirugikan dengan batasan patokan pohon tersebut yang

semakin lama semakin membesar sehingga memakan batas tanah pihak kedua.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pada hak al-jiwa>r dinyatakan bahwa setiap orang yang tinggal berdampingan boleh mengadakan

40

Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr

Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4439 41

Al Istihsan menurut bahasa adalah memperhitungkan sesuatu lebih baik, sedangkan

menurut istilah beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari

yang sebanding dengan itukarena adanya dalil khusus dalam al Qur’an atau sunnah. Istihsa>n

termasuk salah satu metode ijtihad yang masih diperselisihkan oleh para Ulama, meskipun

pada kenyataannya, para Ulama menggunakannya secara praktis. (Lihat: Abd al Wahha>b al

Khalla>f, ‘Ilm al Us}u>l al Fiqh (Qa>hirah: Maktabah al Da’wah al Isla>mi>yah, tt),79-80. Lihat

juga: Wahbah al-Zuhayli>y, Al Waji>z Fi> al Us}u>l al-Fiqh (Damaskus: da>r al Fikr, 1999), 89) 42

Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al-Fikr

Al-‘Ilmi>yah, 1997), 4439

Page 199: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

185

pentas}arrufan atau pemanfaatan diatas tanah miliknya dengan syarat tidak

merugikan dan mendatangkan mud}arat bagi tetangganya.

Apa yang dilakukan oleh pihak pertama sudah merugikan pihak kedua, ia

mengambil apa yang sudah menjadi hak pihak kedua yaitu sebidang tanah (setelah

diukur sekitar 50 cm atau 1/2 meter). Adapun apa yang dilakukan oleh pihak kedua

sudah tepat, ia melaporkan kejadian tersebut kepada Keuchik agar permasalahn

tersebut diselesaikan secara kekeluargaan, tidak semena-mena dengan kehendaknya

sendiri kemudian merusak tanaman milik pihak pertama yang ditanam pada

sebagian tanah miliknya.

Dalam hukum Islam pembagian harta yang masih bercampur dapat dilakukan

dengan konsep al-qismah. Pada hakikatnya konsep al-qismah43 ini dipakai untuk

memisahkan harta yang masih bercampur antara dua orang shari>k, namun penulis

melihat bahwa konsep ini juga digunakan untuk menyelesaikan perkara kedua belah

pihak tersebut, meskipun keduanya adalah murni pimilik tanah, namun pada

kenyataannya tanah keduanya masih bercampur tanpa batas, dan harus diadakan

pembagian dan pengukuran dengan seadil-adilnya. Hal tersebut dimaksudkan agar

kedua belah pihak dapat melakukan berbagai macam bentuk pentas}arrufan atau

pemanfaatan tersendiri terhadap bahagiannya, terbebas dari shubhat ‚menjadikan

benda yang hidup sebagai batas‛.

Rukun al qismah adalah tindakan yang karenanya pemilahanbagian-bagian

yang bisa terjadi, seperti menakar, mengukur, dan yang lainnya. Karena pembagian

al qismah adalah memisahkan antara bagian yang satu dengan bahagian yang lain,

sedangkan pembagian harus dilandasi saling setuju, oleh karena itu jika terjadi

ketidakadilan, maka berarti tidak ditemukannya unsur saling setuju dan tidak ada

pemisahan bagian secara sempurna. Berdasarkan hal tersebut maka apabila dalam

pembagian yang dilakukan itu ditemukan adanya kekeliruan atau kekurangan yang

mencolok, maka pembagian itu batal.44

Adapun tatacara dan prosedur pembagian adalah tanahnya diukur untuk

mengetahui peta dan ukurannya, lalu dilaporkan kepada hakim, dan bangunan yang

dinilai harganya supaya masing-masing pemilik tanah mengetahui pembagian

nilainya. Keriteria pembagian tersebut sesuai dengan kriteria pembagian tanah yang

dilakukan oleh perangkat gampong. Para fungsionaris gampong bersama kedua

belah pihak menentuka titik koordinat, kemudian mengukur sesuai dengan ukuran

tanah milik mereka berdua. (sebelum nengadakan pengukuran fungsionaris

gampong terlebih dahulu mengumpulkan kedua belah pihak dan para saksi untuk

mencari informasi tentang jumlah tanah milik kedua belah pihak agar tidak ada

yang dirugikan setelah pembagian tersebut. Setelah proses pengukuran,

fungsionaris adat bersama kedua belah pihak membuatkan pagar dari bambu yang

kemudian akan diganti dengan pagar permanen kesepakatan biaya ditanggung oleh

43

Yaitu memilah dan memisahkan bagian atau membedakan. Maksudnya

menentukan bagian yang masih sha>‘i’ ( masih tercampur dengan bagian lain) ditempat

tertentu atau khusus. 44

Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al-Fikr

Al-‘Ilmi>yah, 1997), 4445

Page 200: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

186

keduabelah pihak. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan yang sama

dikemudian hari oleh ahli warisnya kelak.

Proses penyelesaian tersebut sudah tepat, karena kedua belah pihak dapat

menerima penyelesaian dan hasil keputusan tersebut dengan ikhlas. Kedua belah

pihak hidup rukun bertetangga sebelum adanya sengketa tanah tersebut. Keduanya

juga sadar bahwa jangan sampai karena permasalahan tapal batas ini hubungan

antara keduanya menjadi renggang. Pihak pertama meminta maaf kepada pihak

kedua karena telah menanam tiga buah pohon pisang diatas lahannya, dan bersedia

untuk memindahkan pohon tersebut ke atas lahan tanah miliknya. Pihak kedua juga

dengan berjiwa besar dan ikhlas memaafkan kesalahan pihak kedua, akhirnya

permasalahan tersebut dapat terselesaikan dengan jalan damai.

Terdapat persamaan antara penyelesaian sengketa perselisihan tapal batas

tanah menurut hukum adat dengan hukum Islam. Hal ini juga membuktikan bahwa

hukum adat Aceh yang memang berlandaskan shari>‘at Islam dapat disesuaikan

dengan konteks hukum Islam dalam menyelesaikan beberapa permasalahan atau

sengketa, termasuk sengketa tapal batas ini. Dengan konsep perdamaian, dan

musyawarah mufakat, segala macam bentuk permasalahan akan terselesaikan

dengan baik.

4. Perbandingan Antar Kasus

Konflik batas adalah perselisihan antar kelompok /masyarakat akibat adanya

perbedaan sudut pandang dan kepentingan keatas kawasan (titik batas yang

dipersengketakan.45

Dari dua belas prinsip/asas penyelesaian sengketa sebagaimana

yang telah dibahas pada bab dua pembahasan tesis ini beberapa diantaranya sesuai

untuk digunakan dalam proses penyelesaian sengketa batas melalui perundingan,

yaitu asas mufakat, musyawarah, ikhlas, murah dan efektif, suka rela,

mengedepankan kepentingan umum, dan penyelesaian damai.

Kasus yang dihadapi oleh Amir dan Sarta sudah tepat diselesaikan melalui

peradilan adat. Hukum adat berlandaskan shari>‘at Islam relevan dan dapat

diterapkan pada masa kekinian. Dengan penyelesaian melalui musyarawarah

mufakat, dapat memberikan keadilan bagi kedua belah pihak yang bersengketa.

Dalam kasus perselisihan tapal batas ini, fungsionaris adat menggunakan teknik

mediasi untuk mencari kesepakatan bersama. Kedua belah pihak ikhlas dan rid}a

untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Keduanya juga menerima

hasil keputusan fungsionaris adat, yaitu mengukur kembali tanah milik mereka

sesuai dengan hak milik mereka, dan kemudian memberikan pagar batas bambu,

yang akan diganrtikan dengan batas pagar permanen oleh kedua belah pihak. Pihak

pertama mengakui kesalahnnya bahwa ia telah menanam beberapa pohon diatas

lahan milik pihak kedua. Ia bersedia untuk memindahkan tanamannya ke atas tanah

miliknya.keputusan adat tersebut sesuai dengan paradigma ta’zi>r yang

penyelesaiannya diserahkan kepada hakim. Keputusan tersebut juga menyatukan

45

Sanusi M. Syarief, Anomi di Sempadan Mukim dan Gampong: Menyikap Konflik batas dan Pengelolaan Kawasan Sempadan di Aceh (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu,

2011), 14

Page 201: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

187

kembali dan memulihkan kembali hubungan yang sempat retak akibat sengketa

tersebut.

Apabila permasalahan ini diselesaikan melalui hukum perdata, maka kasus

tersebut akan diselesaikan sesuai pasal 603. Dalam pasal tersebut terdapat beberapa

konsekwensi yang harus diterima oleh Sarta akibat perbuatannya, yaitu:

1. Pemilik tanah boleh memiliki tanaman yang ditanam diatas lahan tanah

miliknya, dan membayar uang bibit tanaman tersebut.

2. Pemilik tanah menuntut agar tanaman tersebut diambil olehnya. Adapun

biaya pembongkaran ditanggung oleh pihak kedua.

Kedua pemilik tanah harus terlebih dahulu memiliki bukti fisik bahwa tanah yang

disengketakan adalah milik pribadinya, bukan milik orang lain. Meskipun terdapat

kesamaan antara penyelesaian perkara melalui kedua hukum sebelumnya, yaitu

hukum adat hukum Islam, namun penyelesaian melalui hukum Perdata bersifat

terstruktur dan formal. Kedua belah pihak tidak dapat mengajukan perkaranya ke

pengadilan karena keduanya tidak memiliki bukti fisik hak kepemilikan tanah,

bahkan jika perkara tersebut dibawa ke pengadilan, akan timbul masalah baru yaitu

tanah mereka tidak di akui kepemilikannya oleh negara.

Dalam penyelesaian kasus melalui hukum adat, hukum Islam, dan hukum

perdata, pada hakikatnya terdapat kesamaan. Ketiga hukum tersebut sama-sama

melindungi hak milik manusia. Apa yang murni menjadi milik seseorang tidak

boleh diambil oleh secara paksa oleh orang lain. Korban dapat menuntut kembali

haknya, dan pelaku harus bertanggungjawab mengembalikan hak milik seseorang

yang sudah dirampas itu. Hal ini membuktikan bahwa baik hukum Adat, hukum

Islam, maupun hukum Positif (hukum perdata, dalam hal kasus sengketa tanah)

relevan dan dapat memberikan keadilan bagi masyarakat yang bersengketa. Berikut

adalah perbandingan proses penyelesaian sengketa kecelakaan lalulintas melalui

peradilan non litigasi (peradilan adat, Hukum Pidana Indonesia, dan Hukum islam)

Tabel 9: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tapal

Batas Menurut Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat

Perbandingan Hukum Pidana

Indonesia Hukum Islam

Non Litigasi (peradilan

adat)

Jenis Perkara Perselisihan Hak Milik

Ghas}ab

Al milki>yah

H}ak al Ja>r

Perselisihan sengketa

tapal batas tanah

Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong

Landasan

penetapan

perkara

Pasal 600 KUH

Perdata

Pasal 603 KUH

Perdata

Al Nisa>: 29

Hadits Riwayat

Bukhari dan

Muslim tentang

larangan ghas}ab

Qa>nu>n Aceh Nomor 09

Tahun 2008

Hasil

Keputusan/

Sanksi

Pemilik tanah boleh

memiliki tanaman

yang ditanam diatas

lahan tanah miliknya,

Ta’zi>r, diserahkan

kepada hakim

Tanah milik kedua

belah pihak diukur

kembali oleh perangkat

gampong dan diberikan

Page 202: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

188

dan membayar uang

bibit tanaman

tersebut.

Pemilik tanah

menuntut agar

tanaman tersebut

diambil olehnya

dengan biaya

pembongkaran

ditanggung oleh pihak

kedua.

batas dari bambu

Kedua belah pihak

harus mengganti pagar

batas tersebut dengan

yang permanen dengan

menggunakan biaya

dari kedua belah pihak

Pihak pertama harus

memindahkan

tanamannya ke atas

lahan miliknya

Proses

penyelesaian

Formal dan

terstruktur

Membutuhkan waktu

yang lama, biasanya

satu tahun lebih

Biaya

mahal(tanggungan

korban)

Perkara

diselesaikan

langsung saat

qad}i menerima

laporan

Formal dan non

formal

Formal, terstruktur,

namun fleksibel

Penyelesaian cepat,

satu bulan

Biaya murah

Kesimpulan

Perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah perselisihan tentang

tapal batas. Keduanya merasa bahwa tanahnya adalah lebih besar dari pada yang

lain. Pihak pertama membuat kesalahan dengan menanam beberapa pohon di atas

sebagian lahan milik pihak kedua. Setelah sengketa tersebut diselesaikan melalui

peradilan adat, mendapatka keputusan bahwa fungsionaris gampong mengukur

ulang tanah mereka sesuai dengan luas tanah mereka, kemudian menempatkan

pagar batas diantara keduanya. Fungsionaris adat juga menetapkan pihak pertama

bersalah dan memberikan hukuman untuk mengambil kembali tanaman yang sudah

ditanamnya dan dipindahkan keatas laahn tanah miliknya.

C. Kasus Laka Lantas

1. Deskripsi Antar Kasus

Pada hari Jum’at tanggal 27 mei 2011, telah terjadi kecelakaan lalu lintas di

Jalan Gunung Mulia, tepatnya didepan SHOWROOM Mr. Juana, Kec. Muria,

Gampong Sukajaya, Sabang, sekira pukul 11.15 WIB. Kecelakaan terjadi antara

mobil sedan Honda Civic Genio warna biru metalik BL 336 XA yang dikemudikan

oleh Zulkifli (bukan nama asli), dengan sepeda motor Honda Supra 125 warna

hitam merah BL 3124 MC yang dikendarai oleh Yusal (bukan nama asli), keduanya

datang dari arah yang sama yaitu dari arah Simpang Tiga hendak menuju Gunung

Mulia.

Kecelakaan tersebut mengakibatkan Yusal mengalami luka-luka lecet pada

bagian siku kiri, lutut kiri dan kanan. Para saksi yang melihat kejadian tersebut

langsung membawa Yusal ke puskesmas setempat dan mengamankan Zulkifli di

rumah Keuchik gampong Sukajaya.

Page 203: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

189

Setelah di mediasi antara kedua belah pihak, Yusal megakui bahwa ia lalai dan

tidak memperhatikan sekitar, ia hendak menyalip kendaraan Zulkifli dan kemudian

terjadilah kecelakaan tersebut. Adapun Zulkifli juga mengakui bahwa ia kaget

karena melihat motor Yusal yang tiba-tiba berada disampingnya. Ia pun kehilangan

kendalinya, kemudian menyenggol motor Yusal, dan kemudian terjadilah

kecelakaan tersebut.

Keduanya telah mengakui kelalaian mereka, dan perangkat gampong

memutuskan permasalahan tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan adapun

keputusan majelis adat adalah sebagai berikut:

1. Biaya kerusakan kedua kendaraan yang ditanggung oleh kecelakaan

tersebut ditanggung oleh masing-masing pihak

2. Keduabelah pihak dikemudian hari tidak akan saling menuntut secara

hukum yang berlaku di Negara kesatuan Republik Indonesia serta

keduabelah pihak akan mempererat hubungan silaturrahim46

Pertimbangan Adat

Menimbang, bahwa saat melakukan kesalahan tersebut, kedua belah pihak

mengakui telah lalai dalam berkendaraan. Yusal yang hendak menyalip kendaraan

Zulkifli tidak menyelakan lampu sen sehingga membuat Zulkifli kaget, dan

kendaraannya menyenggol kendaraan Yusal hingga terjadilah kecelakaan tersebut.

Menimbang, bahwa kedua belah pihak sebelum terjadi kecelakaan tersebut

tidak saling mengenal. Yusal adalah seorang pelajar SMA di salah satu sekolah di

Sabang, adapun Zulkifli adalah seorang pedagang di Sabang. Keduanya hendak

pergi menuju arah yang sama, dan karena kelalaian terjadilah kecelakaan tersebut.

Menimbang, bahwa kecelakaan yang terjadi adalah kecelakaan atau

permasalahan kecil yang dapat diselesaikan dengan jalan kekeluargaan tanpa harus

diselesaikan melalui jalur hukum. Adapun kedua belah pihak meminta untuk

diselesaikan dengan jalan damai, dan keputusan tersebut harus dihormati oleh

setiap pihak, baik polisi, maupun perangkat gampong.

Menimbang, asas-asas normatif pada peradilan adat: yang lemah di bimbing,

yang pincang di papah, yang ganjil di genapkan, yang lupa diingatkan, yang

menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, dan yang keliru diingatkan.

Menimbang, bahwa dalam adat Aceh, dikenal hadih maja ‚Adat ta Junjong,

hukom ta peutimang. Qa>nu>n Ngon Reusam wajieb ta jaga‛. Bahwa adat harus

dijunjung, hukum harus dilaksanakan, qa>nu>n dan reusam harus dijaga.

Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi

musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar

dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat

adat tidak terusik. Pihak Pertama dengan kebesaran jiwa mengakui perbuatan

salahnya, dan Pihak Kedua dengan kelapangan dada memaafkan kesalahan pelaku.

Adapun perangkat gampong membantu perdamaian keduabelah pihak dengan tidak

46

Dokumentasi Peradilan Adat,27 mei 2011, ditandatangani oleh keduabelah pihak,

keuchik, dan sekretaris Gampong

Page 204: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

190

memihak dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan adat dan tidak

bertentangan dengan syari’at islam.

Keputusan Adat

Kasus yang menimpa Yusal dan Zulkifli menjadi pelajaran bagi keduanya

untuk lebih berhati-hati dalam berkendaraan. Kedua belah pihak menanggung biaya

kerusakan kendaraan mereka masing-masing dan berjanji untuk tidak saling

menuntut dikemudian hari mengenai kasus tersebut.47

2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif

Ketentuan hukum yang mengatur terkait kecelakaan maut yang

mengakibatkan luka-luka ataupun meninggalnya seseorang, secara umum adalah

KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan secara khusus diatur dalam

Undang Undang (UU) No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas. Menurut teori

hukum yang berlaku bahwa kesalahan seseorang dilihat dari faktor kejadian yang

sebenarnya, faktor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini

dapat diungkapkan dari kronologis kejadian, kesaksian-kesaksian termasuk saksi

mata yang melihat terjadinya kecelakaan.48

Dalam KUHP, kejahatan yang menyebabkan seseorang mati atau luka

karena kekhilafan diatur dalam pasal 359 dan 36049

. Dalam pasal 360 disebutkan

bahwa luka yang yang diakibatkan dalam kecelakaan tersebut adalah: pertama, luka

berat50

; dan kedua adalah luka ringan yang menyebabkan sakit sementara atau

47

Dokumentasi Peradilan Adat,27 mei 2011, ditandatangani oleh keduabelah pihak,

keuchik, dan sekretaris Gampong 48

Reginaldo Sultan Tampubolon, ‚Pertanggungjawaban Hukum Pidana Yang

Mengakibatkan Kecelakaan Lalulintas‛, Kompasiana, Opini, 04 januari 2013,

http://hukum.kompasiana.com/2013/01/04/pertanggungjawaban-hukum-pidana-dalam-

kasus-pengemudi-kendaraan-yang-mengakibatkan-kecelakaan-lalu-lintas--521380.html 49

Pasal 359: Barang siapa yang karena kekhilafannya menyebabkan orang mati,

dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, atau pidana kurungan selama-

lamanya satu tahun

Pasal 360: (1) barang siiapa karena kekhilafan mengakibatkan seseorang luka

beratdipidana denga pidana penjara selama-lamanya lima tahun, atau pidana kurungan

selama-lamanya satu tahun.

(2) Barangsiapa karena kekhilafan menyebabkan orang luka sedemikian rupa

sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau

pekerjaannya sementara dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan

bulanatau dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda

setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah. 50

Yang dimaksud dengan luka berat yaitu:

1. Luka yang tak mungkin dapat sembuh denga sempurnaatau dapat mendatangkan

bahaya maut

2. Selalu tidak cakap lagi dalam melakukan pekerjaan maupun jabatan

3. Tidak dapat menggunakan salahsatu panca indera

4. Perubahan tubuh menjadi buruk karena kehilangan atau rusak anggota tubuhnya

5. Tidak dapat menggerakkan anggota tubuh (lumpuh

6. Berubah pikiran lebih dari empat minggu

Page 205: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

191

menghalang-halangi orang menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara;51

atau karena kurang hati-hatinya menyebabkan orang mendapat luka ringan dan

tidak menghalang-halangi orang menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sehari-

hari, tidak dikenakan pasal ini.52

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (‚UU LLAJ‛), Di dalam UU LLAJ

tersebut, pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan

yang karena kelalaiannya mengakibatkan luka-luka ringan bagi orang lain adalah

diatur dalam Pasal 22953

dan 310 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU LLAJ.54

Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal

310 ayat empat UU LLAJ antara lain: pertama, setiap orang

Kedua, mengemudikan kendaraan bermotor; ketiga, karena lalai; dan keempat,

mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Atas ke-empat unsur dalam Pasal 310

Gugurnya atau matinya anak yang dikandung seorang ibu. 51

Yang dimaksud dengan luka ini adalah:

1. Luka yang tidak mengakibatkan sakit(walaupun menimbulkan rasa sakit)

2. Menimbulkan halangan untuk menjalankan jabatan atau kegiatan sehari-hari. 52

Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 373-374 53

Pasal 229: Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau

c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.

(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan

kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan

kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan

kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh

kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau

lingkungan. 54

(1) ‚Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena

kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau

barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara

paling lama enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp1 juta.‛

(2) ‚Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena

kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan

kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3),

dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp2

juta.‛

(3) ‚Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena

kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun

dan/atau denda paling banyak Rp10 juta.‛

(4) ‛Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan

orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun

dan/atau denda paling banyak Rp12 juta.‛

Page 206: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

192

UU LLAJ tersebut, umumnya unsur ketiga yang lebih memerlukan waktu agar

dapat terbukti. Melalui penyidikan, aparat penegak hukum, dalam hal ini pihak

kepolisian hendaklah harus membuktikan adanya unsur kelalaian itu.

Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan

Pasal 311 ayat (5) UU LLAJ antara lain: pertama, setiap orang;

kedua, mengemudikan kendaraan bermotor; ketiga; dengan sengaja mengemudikan

Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa

atau barang; keempat, mengakibatkan orang lain meninggal dunia.

Dalam ketentuan Pasal 311 UU LLAJ ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) sebenarnya

serupa dengan Pasal 310 UULLAJ, akan tetapi yang membedakan dalam pasal 311

UU LLAJ ini adalah terdapatnya unsur kesengajaan pengemudi yang

mengemudikan kendaraan dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi

nyawa atau barang. Hal inilah yang menyebabkan hukuman pidana dalam pasal 311

UU LLAJ lebih berat jika dibandingkan dengan Pasal 310 UU LLAJ.55

Atas kedua aturan tersebut, kasus yang menimpa menimpa Yusal dan Zulkifli

tidaklah tergolong kedalam kecelakaan berat yang tidak menimbulkan kematian,

Yusal terkena lecet dibagian tangan dan kaki. Penyebab kecelakaan ini adalah

karena Yusal telah lalai, dan kurang hati-hati. Iia tidak menyalakan lampu sen

ketika hendak belok dan saat itu ia menyalip kendaraan Zulkifl. Yusal dapat dikenai

jeratan pidana yang diatur dalam UU LLAJ, dalam Hal ini sesuai dengan ketentuan

yang mengacu pada Pasal 63 ayat (2) KUHP.56

Acuan dalam Pasal 63 ayat (2)

KUHP tersebut, karena kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan luka

ringan dalam UU LLAJ sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka dapat

diterapkan ketentuan dalam Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ dengan ancaman pidana

maksimum 6 (enam) bulan, dan denda maksimum Rp. 1.000.000,- dan bukan Pasal

360 dalam KUHP.

Dalam hal ini, Baik Yusal maupun Zulkifli mengakui kesalahannya masing-

masing, maka keputusan hakim untuk mendamaikan keduanya sudah tepat.

Kerusakan pada kendaraan mereka masing-masing harus diperbaiki dengan biaya

masing-masing pihak. Hal ini menjadi pelajaran bagi Yusal dan Zulkifli agar lebih

berhati-hati dalam berkendaraan dan juga mentaati peraturan lalulintas yang

berlaku.

Peradilan adat yang menjunjung tinggi perdamaian juga melihat bahwa

kejadian kecelakaan tersebut sebenarnya diluar kehendak masing-masing, karena

tidak ada seorangpun manusia yang ingin jatuh kepada lubang kesulitan, begitu

juga Yusal maupun Zulkifli, maka kekhilafan tersebut harus sekiranya di maafkan

untuk kemudian diperbaiki dikemudian harinya.

55

Lihat: UU Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan,

http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/lt4a604fffd43d3/node/lt4a604fcfd406d,

diakses pada 20 Oktober 2014. 56

‚Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula

dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.‛

Page 207: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

193

3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam

Sesuai dengan Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Isla>mi> pada muktamar putaran

kedelapan yang berlangsung di bandar Sri begawan Brunei Darussalam, Mulai

tanggal 1-7 Muharram 1414 H/21-27 Juni 1993M memberikan keputusan: bahwa

berbagai kecelakaan yang diakibatkan oleh pengemudian kendaraan dikenai hukum

jinaya>t yang tertetapkan dalam shari>‘at Islam, meskipun kebanyakan kecelakaan

tersebut adalah terjadi tanpa sengaja (masuk kategori kejahatan tersalah atau

khata>’). Seorang pengemudi bertanggungjawab terhadap kemud}aratan yang ia

timpakan kepada orang lain, baik pada fisik maupun harta, ketika elemen-

elemennya yaitu tindakan tersalah dan kemud}aratan telah terpenuhi, orang yang

bersangkutan tidak bisa terbebas dari pertanggungjawaban tersebut, kecuali pada

kasus-kasus berikut ini:

1. Ketika kecelakan yang ada adalah akibat dari sebuah kondisi diluar

kemampuan manusia yang tidak bisa ditolak maupun dihindari, yaitu setiap

perkara yang terjadi di luar kendali ddan campur tangan manusia

2. Apabila kecelakaan tersebut disebabkan oleh tindakan korban yang tindakan

penyebab itu memiliki pengaruh dan peran kuat dalam menimbulkan akibat.

3. Apabila kecelakaan yang terjadi disebabkan oleh kekeliruan orang lain atau

oleh tindakan pelanggaran dan pelampauan batas yang dilakukannya, dalam

kasus seperti ini orang lain tersebutlah yang harus bertanggungjawab.

Apabila pengemudi dan korban sama-sama memiliki peran dalam kecelakaan

yang terjadi, masing-masing bertanggungjawab terhadap yang lain, pengemudi

bertanggungjawab terhadap kerugian dan kemudaratan yang dialami oleh korban,

korban bertanggungjawab atas kemudartan dan kerugian yang dialami oleh si

pemudi.57

Menurut hukum pidana Islam, hukuman tindak kejahatan terhadap fisik

adalah diyat atau ‘ursh (diyat maksudnya adalah diyat penuh dan ursh adalah

dibawah diyat). Adapun mengenai kasus kecelakaan, Fuqaha> Hanafi>yah

memberikan gambaran fiqh realitas untuk menidentifikasikan siapa fihak yang

harus bertanggungjawab dalam berbagai kasus kecelakaan lalulintas. Hukum

mengatasi masalah tersebut dapat diketahui melalui kaidah: ‚ sesuatu yang tidak

memungkinkan untuk dihindari, maka tidak ada denda dan pertanggungjawaban

didalamnya‛. Maksudnya bahwa suatu kejadian dinisbatkan dan dituduhkan kepada

pihak yang secara tidak langsung menjadi penyebab (mutasabbib58) selama tidak

ada pihak ketiga (pelaku langsung) yang menengahi antara kejadian tersebut dan

tindakan mutasabbib, mutasabbab tidak dimintai pertanggungjawaban kecuali jika

ada unsur pelanggaran didalam tindakan yang dilakukannya.

Setiap sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari dan dijauhi, mak itu tidak bisa

dijadikan alasan untuk menuntut pertanggungjawaban, karena hal itu termasuk

57

Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, (Dimashqa: Da>r Al Fikr

Al ‘Ilmi>yah, 1997), 4445 58

Adalah orang yang melakukan suatu tindakan yang bisa menyebabkan terjadinya

suatu kemudharatan, namun tidak secara langsung akan tetapi dengan adanya pihak ketiga

yang menjadi perantara terjadinya kemudharatan itu (pelaku langsung)

Page 208: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

194

kategori keadaan darurat. Adapun sesuatu yang memungkinkan untuk dihindari dan

diantisipasi, itu bisa menjadi dasar alasan penuntutan pertanggungjawaban.

Hal-hal yang merugikan yang diakibatkan oleh perjalanan orang yang lewat

baik oleh pejalan kaki maupun dengan naik kendaraan yang hal itu mestinya

memungkinkan untuk dihindari maka harus ada pertanggungjawaban terhadapnya.

Adapun apabila terjadi tabrakan antara dua pengendara kendaraan lalu keduanya

sama-sama meninggal dunia, atau ada sesuatu yang rusak akibat tabrakan tersebut,

maka menurut Ulama Hanafi>yah dan Hana>bilah masing-masing dari keduanya

terkena pertanggungjawaban denda secara penuh untuk yang lainnya. Apabila

tabrakan tersebut terjadi secara tersalah (tidak disengaja), masing-masing dari

keduanya membayar denda diyat kerusakan untuk yang lainnya, karena kecelakaan

tersebut menimpa masing-masing dari keduanyakarena tindakan rekannya juga.

Ulama Maliki>yah sependapat dengan Ulama Hanafi>yah dan Hana>bilah. Berbeda

dengan pendapat ketiga Ulama tersebut, Ulama Shafi>iyah berpendapat bahwa

apabila yang terjadi adalah kematian mereka berdua, berarti dendanya berupa diyat

dan masing-masing menanggung separuh diyat rekannya, dalam bentuk diyat

Mughallaz}oh (diyat yang diperberat) yang dipikul oleh ahlinya masing-masing,

sebab kasus ini mirip seperti pembunuhan mirip sengaja yang didalamnya tidak

terpenuhi unsur kesengajaan murni, maka tidak ada ancaman qis}as}.59

Adapun kasus Yusal dan Zulkifli adalah kecelakaan yang seperti disengaja,

Yusal melanggar peraturan lalulintas dengan tidak menyalakan lampu sen ketika

hendak belok dan menyalip kendaraan didepannya, sehingga membuat pengemudi

kendaraan yang disalib menjadi kaget dan hilang kendali. Namun, Islam dengan

kearifannya menjadikan setiap manusia memiliki rasa pemaaf, sehingga Zulkifli

memaafkan kesalahan Yusal dan menganggap permasalahan ini sebagai kecelakaan

murni dan tidak perlu diperpanjang. Megingat bahwa Adat Aceh juga sangat

menjunjung tinggi nilai keIslaman dan perdamaian dalam menyelesaian sengketa,

maka permasalahan ini tidak diperpanjang kepada pihak yang berwajib.kedua belah

pihak mengambil pelajaran dari ketidak hati-hatian dan keduanya juga berjanji

untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi dan lebih berhati-hati dalam

mengemudikan kendaraannya serta mematuhi peraturan lalulintas yang berlaku.

4. Perbandingan Antar Kasus

Dalam kasus ini, Yusal yang telah terbukti bersalah melanggar peraturan

lalulintas dengan tidak menyalakan lampu sen saat ingin berbelok dan menyalip

ditikungan sebenarnya dapat dikenai pasal 311 UU LLAJ, dengan sanksi pidana

penjara selama-lamanya lima bulan dan denda sebanyak-banyaknya RP. 1.000.000,-

. Apa yang dilakukan Yusal berakibat pada rusaknya kendaraan milik Zulkifli (kaca

spion dan sedikit lecet pada pintu mobil korban)., dengan demikian ia dapat dikenai

sanksi sesuai dengan pasal 311 ayat 1 tersebut.

59

Wahbah Zuhayli>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, (Dimashqa: Da>r Al Fikr

Al ‘Ilmi >yah, 1997), 4890

Page 209: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

195

Adapun penyelesaian sengketa melalui Hukum Islam dan hukum Adat Aceh

memiliki kesamaan, yaitu adalah diyat atas kerugian yang diderita oleh korban.

Namun, karena kedua belah pihak memiliki andil dalam penyebab terjadinya

kecelakaan tersebut, terlebih lagi Yusal karena kelalaiannya, maka biaya perbaikan

kerusakan kendaraan masing-masing pihak dibebankan kepada kedua belah pihak.

Hal tersebut membuktikan betapa hukum islam dan hukum adat Aceh dapat

berjalaan bersamaan dan dapat relevan untuk diterapkan dalam penyelesaian

sengketa.

Berikut adalah perbandingan proses penyelesaian sengketa kecelakaan

lalulintas melalui peradilan non litigasi (peradilan adat, Hukum Pidana Indonesia,

dan Hukum islam)

Tabel 10: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Kecelakaan lalulintas

Menurut Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat

Perbandingan Hukum Pidana

Indonesia Hukum Islam

Non Litigasi

(peradilan adat)

Jenis Perkara Kecelakaan Lalulintas Kecelakaan Lalulintas Kecelakaan

lalulintas

Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong

Landasan

penetapan

perkara

Pasal 360 KUH

Pidana

UU Nomor 22 tahun

2009 Tentang

lalulintas dan

Angkutan Jalan,

Pasal 220, dan 311

Kaidah Fiqhi>yah

Keputusan Majma’ al

Fiqh al Isla>mi>y 1993

-

Hasil

Keputusan/

Sanksi

Pidana Penjara

selama-lamanya

enam bulan

Denda sebanyak-

banyaknya Rp.

1.000.000,-

Diyat sesuai dengan

kerugian yang

diderita korban

Masing-masing pihak

bertanggungjawab

atas yang lain, jika

keduanya memiliki

andil atas penyebab

kecelakaan tersebut.

Masing-masing

pihak

bertanggungjawab

atas keriugian

kendaraannya

Proses

penyelesaian

Formal dan

terstruktur

Membutuhkan

waktu yang lama,

biasanya satu tahun

lebih

Biaya mahal

Perkara diselesaikan

langsung saat qad}i

menerima laporan

Formal dan non

formal

Formal,

terstruktur, namun

fleksibel

Penyelesaian

cepat, satu minggu

Biaya murah

Page 210: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

196

Kesimpulan

Perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah kecelakaan

kendaraan bermotor.pihak pertama (yusal) dinyatakan oleh pihak gampong telah

lalai dalam berkendaraan karena tidak menyalakan lampu sen saat ingin belok dan

menyalip kendaraan Zulkifli (pihak kedua), sehingga mengakibatkan Zulkifli hilang

kendali dan meyenggol kendaraan milik Yusal. Keduanya mengakui kesalahannya

masing-masing dan mendapatkan kebiojaksanaan dari perangkat gampong bahwa

kerugian atas kendaraannya masing-masing ditanggung oleh keduabelah pihak.

D. Kasus Fitnah

1. Deskripsi Dan Kronologi Kasus

Pada akhir tahun 2012, bulan November, atau setidak-tidaknya pada bulan di

akhir tahun 2012, Rusminar (bukan nama asli), warga Gampong cendana, Kab.

Pidie sering sakit dan berobat ke Hadi (dukun setempat). (dukun tersebut adalah

pendatang di gampong Cendana) Oleh dukun tersebut dikatakan bahwa Rusminar

diguna-guna oleh ‚keluarga Rahmadin (bukan nama asli)‛ (tetangga Rusminar).

Setelah itu, Rusminar mengadukan keluarga Rahmadin ke perangkat gampong.

Kemudian, perangkat gampong memanggil keduabelah pihak, dan didudukkan

bersama, serta di klarifikasi kejadian yang sebenarnya.

Pihak kedua membantah tuduhan yang dilontarkan oleh pihak pertama,

kemudian bersumpah bahwa dia tidak mensantet pihak pertama. Jangankan untuk

mengguna-guna keluarga lain, sementara dia pun sering sakit.

Setelah diselidiki oleh perangkat gampong, ternyata pihak kedua memiliki

masalah dengan dukun yang memfitnahnya. Adapun ketika dipanggil si dukun

sudah tidak ada di desa tersebut (setelah diselidiki ternyata dukun tersebut hanya

seorang pendatang di desa keupula). Setelah permasalahan jelas, maka terdapatlah

sebuah perjanjian:

a. Pihak pertama tidak meneruskan perkara, dan meyakini bahwa pihak kedua

tidak ada guna-guna kepada pihak pertama

b. Pihak kedua tidak boleh memiliki dendam apapun kepada pihak pertama,

karena pihak pertama hanya korban fitnah dari dukun (pihak ketiga)

c. Keduabelah pihak harus saling memaafkan, dan berjanji untuk tidak saling

menuduh tanpa ada bukti yang jelas dikemudian hari. 60

Pertimbangan Adat

Menimbang, bahwa Rusminar melakukan kesalahan telah menuduh

Rahmadin melakukan guna-guna atas hasutan dan tuduhan dari pihak ketiga, yaitu

Hadi, yang merupakan seorang dukun di gampong tersebut. Ia percaya karena

penyakitnya tidak kunjung sembuh walaupun sudah berobat berkali-kali kepada

dukun tersebut.

Menimbang, Hadi adalah seorang pendatang di Gampong Cendana. Iya

sudah tinggal di Gampong Cendana selama tiga bulan sejak awal datang sampai

60

Wawancara pribadi dengan sekretaris gampong, Bpk. Abdul Muthalib (bukan nama

asli)

Page 211: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

197

menghilangnya dari gampong. Ia terkenal dapat menyembuhkan beberapa penyakit

yang diderita oleh warga gampong. Setelah diselidiki, Rahmadin pernah

mengatakan bahwa ia tidak percaya Hadi, hal tersebutlah yang disimpulkan oleh

perangkat Gampong bahwa Hadi sakit hati kepada rahmadin

Menimbang, bahwa kedua belah pihak sebelum terjadi perselisihan tersebut

adalah saling bersaudara antara masyarakat Gampong. Hubungan keduanya dikenal

baik dan nyaris tidak memiliki masalah sama sekali, sama seperti dengan

masyarakat gampong lain.

Menimbang bahwa hukum adat sangat menjunjung tinggi martabat dan

nama baik warganya. Masyarakat adat Aceh yang sebagian besar beragama Islam

dan meyakini al Qur’an dan Hadits tidak semerta-merta percaya atas tuduhan

santet kecuali setelah diadakannya pembuktian terlebih dahulu.

Menimbang, asas-asas normatif pada peradilan adat: yang lemah di bimbing,

yang pincang di papah, yang ganjil di genapkan, yang lupa diingatkan, yang

menangis didiamkan, yang bertengkar diredakan, dan yang keliru diingatkan.

Menimbang, bahwa dalam adat Aceh, dikenal hadih maja ‚Adat ta Junjong,

hukom ta peutimang. Qa>nu>n Ngon Reusam wajieb ta jaga‛. Bahwa adat harus

dijunjung, hukum harus dilaksanakan, qa>nu>n dan reusam harus dijaga.

Menimbang, bahwa hukum adat Aceh sangat menjunjung tinggi

musyawarah dan perdamaian. Dalam adat Aceh, permasalahan yang besar

dikecilkan dan permasalahan kecil dihilangkan, sehingga kerukunan masyarakat

adat tidak terusik. Pihak Pertama dengan kebesaran jiwa mengakui perbuatan

salahnya, dan Pihak Kedua dengan kelapangan dada memaafkan kesalahan pelaku.

Adapun perangkat gampong membantu perdamaian keduabelah pihak dengan tidak

memihak dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan adat dan tidak

bertentangan dengan syari’at islam.

Keputusan Adat

Rosminar dinyatakan bersalah oleh Majelis hakim Adat di gampong Cendana

karena telah menuduh Rahmadin tanpa bukti, dan tuduhannya terbukti tidak benar

adanya. Perangkat gampong memutuskan agar Rosminar tidak meneruskan perkara,

dan meyakini bahwa Rahmadin tidak ada guna-guna kepadanya. Adapun rahmadin

tidak boleh memiliki dendam apapun kepada Rosminar, karena pihak pertama

hanya korban fitnah dari dukun (Hadi). Keduabelah pihak harus saling memaafkan,

dan berjanji untuk tidak saling menuduh tanpa ada bukti yang jelas dikemudian

hari61

2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Pidana Indonesia

Kasus fitnah atau tuduhan palsu erat sekali kaitannya dengan penghinaan. Ini

karena kata hina yang berarti rendah sekali kedudukannya. Adapun fitnah dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perkataan bohong dengan maksud

menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang).62

61

Wawanmcara pribadi dengan sekretaris gampong , Bpk. Abdul Muthalib (bukan

nama asli) 62

Kamus Besar bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Jakarta, 2008, 412

Page 212: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

198

Perbuatan materil dari fitnah (mengajukan pengaduan dan pemberitaan palsu)

berbeda dengan perbuatan materil pada pencemaran (menyerang kehormatan dan

nama baik) akan tetapi, sifat kedua kejahatan tersebut sama. Keduanya menyerang

martabat dan harga diri orang lain khususnya kehormatannya atau nama baiknya.63

Tindak pidana penghinaan diatur dalam KUHP dalam BAB XVI Pasal 310-

318. Soesilo Mengatakan bahwa penghinaan dalam pasal tersebut itu ada enam

macam, yaitu menista (pasal 310 (1)), menista dengan surat (pasal 310 (2)),

memfitnah (pasal 311), penghinaan ringan (pasal 315), mengadu secara memfitnah

(pasal 317), dan tuduhan secara memfitnah (pasal 318). Semua penghinaan ini

hanya dapat di tuntut, apabila ada pengaduan dari orang yang menderita (delik

aduan). Kecuali apabila penghinaan itu dilakukan terhadap seorang pegawai negri

pada waktu sedang menjalankan pekerjaannya yang sah.64

Kasus fitnah

sebagaimana yang dimaksud dalam tindak pidana penghinaan diatur dalam pasal

311.65

Pengaduan fitnah seperti pasal tersebut terdiri dalam beberapa unsur-unsur

subjek sebagai berikut: Pertama unsur objektif: perbuatan berupa mengajukan

pengaduan, dan mengajukan pemberitahuan dengan cara tertulis atau dituliskan;

objeknya tentang seseorang; isinya palsu; kepada penguasa; kehormatan atau nama

baiknya terserang. Kedua, unsur subjektif, yaitu dengan sengaja. Ada dua bentuk

tingkah laku dalam pengaduan fitnah, yaitu mengadakan pengaduan, dan

mengajukan pemberitahuan atau melaporkan. Kedua perbuatan tersebut memiliki

kesamaan yaitu memberikan informasi kepada penguasa tentang seseorang yang

isinya palsu. Adapun perbuatan yang dilaporkan adalah merupakan perbuatan yang

memalukan orang.

Dalam kasus ini, Rusminar dapat dikenai sanksi pidana dengan tuduhan

pencemaran nama baik atas Rahmadin. Ia dapat dikenai hukuman penjara paling

lama empat tahun. Perbuatannya telah memenuhi seluruh unsur yang dimaksud

dalam pasal 311 tersebut, yaitu: pertama, ia telah menuduh tanpa bukti; kedua

tuduhannya dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui. Dalam hal ini,

Rosminar telah menuduh bahwa Rahmadin telah melakukan guna-guna terhadapnya

tanpa bukti. Ia hanya mendapatkan laporan dari dukun tempat ia berobat

63

R. Sugandi, KUHP dan Penjelasannya(Surabaya: Usaha Nasional), 1981 64

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (Bogor: Politeia, 1995), 224

Pasal 311 (1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis

dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan

tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan

fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.

Pasal 317: Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat

pengaduan atau surat pemberitahuan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar Negeri,

sehingga kehormatan atau nama baik orang itu terserang, dipidana karena bersalah

memfitnah dengan pengaduan dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun. (lihat:

Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 337

Page 213: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

199

penyakitnya. Adapun dukun tersebut hanyalah seorang pendatang di gampong

Cendana, dan menghilang setelah kejadian fitnah tersebut. Setelah diselidiki oleh

perangkat gampong, maka diketahui bahwa dukun tersebut memiliki permasalahan

dengan Rahmadin dan ingin menjatuhkan nama baiknya. Rahmadin pernah tidak

mempercayai dukun tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa dukun tersebut

menuduh rahmadin karena ia sakit hati kepada Rahmadin.

Rosminar yang diadu domba oleh dukun tersebut mengakui kesalahannya

karena ia telah menuduh Rahmadin tanpa bukti. Rahmadin dikenal baikan sangat

agamis oleh warga gampong cendana, sehingga tidak seorangpun warga gampong

Cendana yang percaya atas tuduhan Rosminar. Melalui proses mediasi dan

perdamaian yang dilakukan oleh perangkat gampong cendana, kedua belah pihak

bersedia untuk menyelesaiakn perkara dengan jalan damai. Rosminar bersedia

meminta maaf kepada Rahmadin atas kesalahannya, dan Rahmadin dengan ikhlas

bersedia memaafkan keslahan Rosminar.

Keputusan perangkat Gampong sudah tepat dalam menyelesaiakan kasus ini,

dengan permohonan maaf dan perjanjian untuk tidak saling menuduh tanpa bukti

telah meyatukan kembali kedua belah keluarga yang saling bersengketa. Keputusan

tersebut adalah hasil dari proses perundingan antara keduabelah pihak yang

bersengketa dengan perangkat gampong.

3. Analisis Kasus Perspektif Hukum Islam

Kasus fitnah atau menyebarkan suatu berita tanpa kebenaran terdapat dalam

surat al Buru>j ayat 10.66

Al Qur’an juga menyebutkan bahwa perbuatan fitnah lebih

besar dosanya dari pada membunuh seperti dalam QS. Al baqarah ayat 217,67

Bahkan, kasus menuduh seseorang melakukan perbuatan zina termasuk kedalam

kejahatan yang dikenai hukuman hudud. Hal ini membuktikan bahwa kejahatan

fitnah itu sangat besar sekali. Karena fitnah akan menyebabkan kebingungan.

Fitnah akan menyebabkan banyak orang akan terjatuh kedalam dosa fitnah itu.

Fitnah juga merupakan sebahagian daripada perbuatan mengadu-domba. Apabila

disebarkan, ia mudah menyebabkan permusuhan dua pihak.

Fitnah yang ditimpakan kepada kaum muslimin dalam agama mereka adalah

dengan menghembuskan masalah shubhat kedalam hati mereka. Apa yang

dilakukan oleh pihak pertama (Rusminar) adalah menghembuskan masalah shubhat

yang belum tentu kebenarannya. Rasulullah bersabda dalam Hadith Riwayat

66

10. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang

mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, Maka bagi mereka azab

Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar. 67

217. dan berbuat fitnah[135] lebih besar (dosanya) daripada membunuh.

Page 214: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

200

Muslim bahwa menyebut tentang kejelekan seseorang yang tidak sesuai dengan

kenyataan adalah berarti memberikan tuduhan.

أتدرون ماالغيبة؟ قالوا اهلل : عن أ ىري رة رضي اهلل عنو أنب رسول اهلل صلب اهلل عليو وسلبم قال إن كان فيو ما ت قول : ذكرك أخاك دبا يكره قيل أف رأيت إن كان يف أخي ما ت قول؟ قال : قال . ورسولو أعلم

68(رواه مسلم)ف قد اغتبتو وإن يكن فيو ما ت قول ف قد ب هتو

Dalam hukum Islam, kejahatan fitnah termasuk kedalam kategori tindak

pidana ta’zi>r, hukumannya diserahkan kepada hakim atau penguasa, karena

kejahatan tersebut tidak termasuk kedalam kejahatan yang dikenai hukuman hudu>d

dan qis}as}. Kecuali apabila fitnah tersebut adalah tuduhan berbuat zina, maka

pelaku tindak pidana akan mendapatkan sanksi hadd sebagaimana yang telah

ditentukan adalah 80 kali dera sebagaimana firman Allah QS. Al Nu>r: 469

Mengenai kasus yang menimpa Rusminar dan Rahmadin adalah tepat apabila

diselesaikan melalui peradilan adat dengan jalan damai. Proses musyawarah dan

mediasi memberikan kesepakatan untuk saling memaafkan karena tuduhan yang

dilontarkan oleh Rusminar belum terbukti kebenarannya. Fungsionaris gampong

tidak langsung menerima aduan dari Rusminar, namun menyelidikinya terlebih

dahulu, Keuchik mengadakan pendekatan dengan Rahmadin dengan bahasa yang

dapat diterima dan tidak menyinggungnya. Setelah informasi tentang permasalahan

tersebut sudah didapatkan, Keuchik beserta fungsionaris gampong memanggil

kedua belah pihak untuk didudukkan bersama, memusyawarahkan permasalahan

yang sebenarnya terjadi, dan menjernihkan permasalahan. Keuchik juga

menanyakan kepada beberapa saksi yaitu tetangga Rahmadin dan Rosminar tentang

hubungan keduanya.

Keputusan hakim adat bahwa mengharuskan Rosminar agar tidak

meneruskan perkara, dan meyakini bahwa pihak kedua tidak ada guna-guna kepada

pihak pertama adalah tepat. Atas penjelasan dan keterangan Keuchik, dan

keterangan beberapa saksi, Rosminar mengakui kesalahannya bahwa ia telah

menuduh rahmadin telah melakukan guna-guna terhadapnya. Ia mengaku telah

68

Dari Abu Hurairah ra berkata, rasulullah SAW bersabda: tahukah engkau apakah

ghibah itu? Jawab sahabat: Allah dan rasulnya yang lebih mengetahui. Nabi bersabda: ‚

Yaitu menyebut saudaramu dengan apa yang tidak disukainya. Beliau ditanya

bagaimanakah pendapat engkau kalau itu memang sebenarnya padanya? Jawab nabi: kalau

memang sebenarnya begitu, itu;ah yang disebut ghibah. Akan tetapi jikalau menyebut apa-

apa yang tidak sebenarnya kamu telah menuduhnya dengan kebohongan. (HR Muslim)

69

4. dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan

mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)

delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.

dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Page 215: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

201

termakan hasutan dan omongan dari Hadi. Ia juga menyadari bahwa Hadi lah yang

ingin mengadu domba mereka. Hadi atas dasar kepentingannya sendiri (karena sakit

hati terhadap Rahmadin) menuduh Rahmadin bahwa ia telah mengguna-guna

Rosminar.

Keuchik juga mengatakan kepada Rahmadin bahwa ia tidak boleh memiliki

dendam apapun kepada pihak pertama, karena pihak pertama hanya korban fitnah

dari dukun (pihak ketiga). Adapun Keduabelah pihak harus saling memaafkan, dan

berjanji untuk tidak saling menuduh tanpa ada bukti yang jelas dikemudian hari,

keputusan tersebut adalah bukti bahwa keduanya ingin kembali menyatukan

hubungan yang rusak akibat masalah dan tuduhan tersebut. Harmonisasi antara

mereka kembali pulih setelah semua permasalahan jernih kembali.

4. Perbandingan Antar Perspektif

Apabila permasalahan fitnah ini diselesaikan melalui peradilan pidana, maka

Rosminar yang tidak dapat membuktikan tuduhannya dapat dikenai sanksi pidana

penjara selama empat tahun. Proses litigasi hanya mementingkan pembalasan atas

kejahatan pelaku, namun nama baik korban yang sudah rusak oleh pelaku mungkin

tidak diperhatikan, sebagian masyarakat mungkin tetap akan menyangka bahwa

Rahmadin adalah seorang pengguna-guna, meskipun hakim memutuskan ia tidak

bersalah, selain itu, dendam mungkin juga akan timbul antara keduanya. Adapun

nama baik gampong juga dapat tercemar atas kejadian ini.

Penyelesaian sengketa fitnah melalui peradilan adat yang selaras dengan

shari>‘at Islam lebih memberikan kebijakan bagi keduanya. Keuchik dan

fungsionaris gampong memiliki peranan yang sangat besar dalam memulihkan

kembali nama baik korban. Para fungsionaris gampong ikut mencari bukti-bukti

bahwa korban tidak bersalah. Hal tersebut dimaksudkan agar kerukunan antar

masyarakat gampong kembali terwujud, dan agar menjadi pelajaran bagi kedua

belah pihak dan masyarakat lainnya bahwa seseorang tidak boleh menuduh orang

lain tanpa bukti yang jelas. Keputusan tersebut tidak lain adalah hasil dari proses

musyawarah dan mediasi yang dilakukan oleh peradilan adat yang dilakukan

dengan pendekatan manusiawi dan menanamkan nilai-nilai keagamaan.

Berikut adalah perbandingan proses penyelesaian sengketa tuduhan palsu

atau fitnah melalui peradilan non litigasi (peradilan adat, Hukum Pidana Indonesia,

dan Hukum islam)

Page 216: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

202

Tabel 11: Perbandingan Proses Penyelesaian Sengketa Tuduhan Palsu atau

Fitnah Menurut Hukum Pidana Indonesia, hukum Islam, dan Hukum Adat

Perbandingan Hukum Pidana

Indonesia Hukum Islam

Non Litigasi

(peradilan adat)

Jenis Perkara Penghinaan Fitnah atau tuduhan

palsu

Fitnah atau

Tuduhan Palsu

Pemutus Hakim Qad}i Perangkat Gampong

Landasan

penetapan

perkara

Pasal 310-318 KUH

Pidana

Qs. Al Baqarah 271

dan Al Buru>j : 10

HR. Muslim

Al Nu>r :4

Qa>nu>n Aceh Nomor

09 Tahun 2008

Hasil

Keputusan/

Sanksi

Pidana Penjara

selama-lamanya

empat tahun

Ta’zi>r, diserahkan

kepada hakim

Keduabelah pihak

saling memaafkan,

dan perjanjian

untuk tidak saling

menuduh tanpa ada

bukti yang jelas

dikemudian hari.

Rusminar tidak

akan meneruskan

perkara ke

Pengadilan negeri

dan meyakini

bahwa Rahmadin

tidak bersalah

Rahmadin tidak

boleh memiliki

dendam apapun

kepada Rusminar

karena ia hanya

korban fitnah dari

dukun (pihak

ketiga

Proses

penyelesaian

Formal dan

terstruktur

Membutuhkan

waktu yang lama,

biasanya satu tahun

lebih

Biaya

mahal(tanggungan

Perkara diselesaikan

langsung saat qad}i

menerima laporan

Formal dan non

formal

Formal,

terstruktur, namun

fleksibel

Penyelesaian

cepat, tiga minggu

Biaya murah

Page 217: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

203

pelapor)

Kesimpulan:

Perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah kejahatan

penghinaan yaitu fitnah atau tuduhan palsu yang dilontarkan oleh Rosminar kepada

Rahmadin, yaitu tuduhan melakukanguna-guna terhadap dirinya. Kejahatan

tersebut mengakibatkan Rosminar menjadi tertuduh, namun karena proses mediasi

dan musyawarah, Rahmadin bersedia untuk memaafkan Rosminar dan berjanji

untuk tidak memiliki dendam dikemudian hari. Rosminar juga demikian meminta

maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi baik kepada korban

maupun kepada orang lain.

A. Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Penyelesaian Sengketa Adat Pada

Kasus Yang bersifat Denda

Berikut adalah laporan singkat terhadap hasil penelitian terhadap penyelesan

sengketa melalui peradilan adat Aceh. Laporan ini diteliti berdasarkan aspek

kondisi pelaku, kondisi keluarga pelaku, kondisi lingkungan pelaku, jenis tindak

pidana yang dilakukan oleh pelaku, pasal yang disangkakan terhadap pelaku, modus

operandi pelaku, motivasi pelaku melakukan tindak pidana, akibat yang

ditimbiulkan oleh perbuatan pelaku, tuntutan keluarga korban, reaksi masyarakat

atas perbuatan pelaku, putusan aparat penegak hukum, pertimbangan dan putusan

yang dijatuhkan kepada pelaku, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 12: Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Penyelesaian Sengketa Melalui

Peradilan Adat

Perihal

Pelaku yang Kasus Perzinahan

Kasus Tapal

Batas

Kasus Laka

Lantas

Kasus

Penghinaan Pelaku 1. Robi

2. Oriza

Amir Zulkifli Rosminar

Jenis Kelamin 1. Laki-laki

2. Perempuan

Laki-laki Laki-laki Perempuan

Kondisi Pelaku Keduanya adalah warga

gampong Mekar Sari. Robi

adalah wiraswasta asal

Meulaboh yang tinggal di

banda Aceh, sedangkan

oriza adalah mahasiswi asal

Meulaboh yang juga tinggal

di gampong mekar Sari.

Dia adalah warga

gampong

Cendana yang

bekerja sebagai

petani sawah.

Dia adalah

pedagang di

Sabang

Dia adalah

waga gampong

Cendana yang

bekerja sebagai

petani sawah.

Kondisi

Keluarga

Keluarga pelaku adalah

keluarga yang mampu

namun telah lalai tidak

mengawasi pergaulan

mereka selama mereka

tinggal di banda Aceh

dengan optimal

Keluarga pelaku

adalah keluarga

yang mampu dan

sangat menjaga

dan

mempertahankan

apa yang menjadi

Keluarga pelaku

adalah keluarga

yang cukup

mampu

Keluarga

pelaku adalah

keluarga yang

cukup mampu.

Page 218: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

204

haknya

Kondisi

Lingkungan

Masyarakat Gampong

Mekar Sari adalah

masyarakat yang agamis

dan menjunjung tinggi

nilai-nilai adat dan shari>‘at

islam. Sehingga merasa

tidak nyaman ketika

terdapat pelanggaran adat

yang dilakukan oleh salah

satu warga gampongnya

Masyarakat

gampong

Cendana adalah

masyarakat Aceh

asli yang agamis,

belum banyak

pendatang disana,

masyarakat hidup

rukun dan damai

Masyarakat

gampong

Sukajaya sangat

menjunjung

tinggi

perdamaian dan

meminimalkan

perselisihan

Masyarakat

gampong

Cendana sangat

menjunjung

tinggi

perdamaian dan

kehidupan

bermasyarakat

Jenis Tindak

Pidana

Kasus Asusila (Perzinahan) Kasus sengketa

tapal batas

Kasus Laka

lantas

Kasus

penghinaan

(fitnah)

Pasal Yang

disangkakan

Terhadap

pelaku

Qa>nu>n Aceh Nomor 9

Tahun 2008

Qa>nu>n Aceh

Nomor 9 Tahun

2008

Qa>nu>n Aceh

Nomor 9 Tahun

2008

Qa>nu>n Aceh

Nomor 9 Tahun

2008

Modus

Operandi

Pagi hari itu Robi

mendatang kediaman Oriza

yang mana dirumah sedang

ada Khairunnisa yang

sedang belajar. Sore hari

Khairunnisa pergi membeli

nasi, sedangkan Oriza dan

Robi sedang berdua

dirumah. Sambil menonton

tv, tangan Robi memegang

tangan Oriza, dan

menciumnya. Kemudian

Robi membuka celana Oriza

dan terjadilah hubungan

intim. besoknya Robi

kembali datang pada malam

hari dan membuat

kecurigaan warga, karena

Robi sering kali mendatangi

Oriza. Warga yang curiga

langsung mengintip dan

mendapati keduanya sedang

berduaan di dalam rumah

tanpa ada orang lain.

Keduanya langsung dibawa

ke rumah Keuchik oleh

warga

Pada hari itu

Amir menanam

beberapa pohon

pisang di

sebidang tanah

tepat disamping

rumah miliknya

yang belum

meliki pagar

(kebun miliknya

sekitar 20 meter).

Adapun tanaman

yang ditanam

tersebut melebihi

batasnya,

sehingga

menempati tanah

milik Sarta.

Ketika Sarta

mengetahui

bahwa tanaman

pihak pertama

menempati

tanahnya, pihak

kedua langsung

melaporkan

kepada Keuchik gampong.

Pada hari itu

terjadi

kecelakaan

antara mobil

sedan Honda

Civic Genio

warna biru

metalik BL 336

XA yang

dikemudikan

oleh Zulkifli

dengan sepeda

motor Honda

Supra 125

warna hitam

merah BL 3124

MC yang

dikendarai oleh

Yusal, keduanya

datang dari arah

yang sama

yaitu dari arah

Simpang Tiga

hendak menuju

Gunung Mulia.

Pada hari itu

sering sakit dan

berobat ke Hadi

(dukun

setempat). Oleh

dukun tersebut

dikatakan

bahwa

Rusminar

diguna-guna

oleh ‚keluarga

Rahmadin

(tetangga

Rusminar).

Setelah itu,

Rusminar

mengadukan

keluarga

Rahmadin ke

perangkat

gampong

Motivasi Keduanya melakukan Pelaku merasa Pelaku Pelaku

Page 219: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

205

Melakukan

Tindak Pidana

perbuatan tersebut dengan

sadar atas dasar suka sama

suka tanpa paksaan

siapapun.

bahwa sebidang

tanah yang tidak

memiliki pagar

itu adalah

termasuk kedalam

tanah miliknya

melakukan

tanpa sengaja

dan ia mengaku

lalai dengan

tidak memasang

lampu sen saat

ingin berbelok.

terpengaruh

dengan

omongan dukun

sehingga

membuatnya

menuduh

korban

melakukan

guna-guna.

Akibat yang

ditimbulkan

oleh perbuatan

pelaku

Kedua pelaku digerebeg

dikediamannya oleh warga

karena warga merasa curiga

kepada keduanya, apalagi

Robi seringkali datang ke

tempat Oriza. Keduanya

didapati sedang berada

didalam rumah tanpa ada

yang lainnya. Keduanya

langsung dibawa oleh warga

ke ke rumah Keuchik.

Akibat perbuatan pelaku,

kehormatan masyarakat

gampong telah tercoreng.

Pelaku diperiksa

oleh perangkat

gampong, tanah

tersebut diukur

ualang oleh

perangkat

gampong, kedua

belah pihak,

babinsa, dan

kamtibmas.

Korban merasa

terugikan karena

sebidang tanah

yang juga

diakuinya telah

diambil haknya

oleh pelaku.

Pelaku

diamankan oleh

warga setempat

dirumah

Keuchik tempat

kejadian.

Kecelakaan

tersebut

mengakibatkan

Yusal

mengalami

luka-luka lecet

pada bagian

siku kiri, lutut

kiri dan kanan.

Pelaku

didudukkan

bersama oleh

perangkat

gampong

dengann korban

untuk mencari

penyelesaian

masalah.

Tuntutan

keluarga

Korban

Masyarakat yang menjadi

korban menuntut pelaku

agar diusir dari gampong,

selain dari keduanya adalah

pendatang, mereka telah

mencoreng kehormatan dan

nama baik gampong dengan

melakukan perbuatan

asusila yang dilarang oleh

Agama.

Korban dan

perangkat

gampong

meminta agar

tanah tersebut

diukur ulang,

kemudian

ditentukan

batasnya dan

dibuatkan pagar

permanen agar

tidak ada

perselisihan

dikemudian hari

Pelaku

mengakui

kesalahannya

juga dan ingin

berdamai

Pelaku agar

tidak

melakukan

kesalahan lagi

dengan tidak

menuduh

siapapun tanpa

bukti.

Reaksi

Masyarakat

Masyarakat menggerebek

kediaman Oriza dan

membawa kedua pelaku

langsung kepada Keuchik

untuk segera diproses saat

itu juga

Masyarakat

menyerahkan

penyelesaian

permasalahan

kepada perangkat

gampong

Masyarakat

menyerahkan

sepenuhnya

kepada

perangkat

gampong

Masyarakat

menyerahkan

sepenuhnya

kepada

perangkat

gampong

Putusan

Aparat

penegak

Hukum

Permohonan maaf kepada

masyarakat gampong, dan

diusir dari gampong Mekar

Sari.

Permohonan

maaf, mengukur

ulang tanah

sengketa,

Biaya kerusakan

kendaraan

ditanggung oleh

masing-masing

Kedua belah

pihak harus

saling

memaafkan,

Page 220: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

206

kemudian dibuat

batas dan pagar,

dengan biaya

ditanggung oleh

kedua pihak

pihak, keduanya

berjanji

dikemudian hari

tidak akan

saling menuntut

secara hukum

yang berlaku

dan berjanji

tidak ada

dendam

dikemudian

hari antara

keduanya.

Pertimbangan

Putusan

Setelah proses mediasi dan

perdamaan yang dilakukan

oleh fungsionaris adat

dengan pelaku dan

masyarakat, akhirnya

masyarakat bisa memaafkan

kesalahan mereka asalkan

keduanya harus diusir dari

gampong, keduanya telah

merusak nama baik

gampong. Perbuatan

tersebut termasuk kedalam

pelanggaran yang paling

berat bagi masyarakat

Aceh, nilai-nilai dan budaya

Aceh menjadikan tindakan

asusila menjadi tindakan

yang kurang senonoh dan

tidak baik bagi masyarakat,

mengingat masyarakat

Aceh yang berpegang teguh

kepada shari>‘at Islam dan

nilai-nilai kebudayaan.

Setelah proses

perundingan dan

mediasi antara

keduabelah pihak

dan aparat

gampong, pelaku

mengakui

kesalahannya

karena telah

mengambil

sebagian hak

milik korban, ia

berjanji untuk

memindahkan

tanamannya

kelahan miliknya.

Saat melakukan

kesalahan

tersebut, kedua

belah pihak

mengakui telah

lalai dalam

berkendaraan.

Yusal yang

hendak

menyalip

kendaraan

Zulkifli tidak

menyelakan

lampu sen

sehingga

membuat

Zulkifli kaget,

dan

kendaraannya

menyenggol

kendaraan

Yusal hingga

terjadilah

kecelakaan

tersebut

Pelaku

menuduh

korban

melakukan

guna-guna atas

hasutan dan

pihak ketiga,

yaitu Hadi,

seorang dukun

di gampong

tersebut.

Dukun itu

adalah seorang

pendatang di

gampong

tersebut.

Setelah

diselidiki,

Rahmadin

pernah

mengatakan

bahwa ia tidak

percaya dukun,

hal tersebutlah

yang

disimpulkan

oleh perangkat

Gampong

bahwa Hadi

sakit hati

kepada

Rahmadin

Page 221: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

207

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab lalu tesis ini berkesimpulan bahwa sejumlah

kasus sengketa adat yang terjadi telah diselesaikan secara adat, bukan secara hukum

positif. Penyelesaian sengketa melalui proses peradilan adat dengan menggunakan

paradigma mediasi antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif

tertentu bagi masyarakat Aceh, diantaranya: pertama, penyelesaian sengketa

sederhana, cepat, murah, dan tepat; kedua, adanya sifat kesukarelaan dalam proses

dan keterlibatan korban dan pelaku untuk menyelesaikan sengketa; ketiga,

fungsionaris adat yang bersifat aktif mencari fakta, bermusyawarah dan meminta

nasihat kepada orang tuha-tuha, sehingga putusan yang dikeluarkan adalah hasil

musyawarah dan mengandung perhatian khusus kepada hak-hak korban; keempat, hasil akhir yang dicapai adalah mementingkan kembalinya kerseimbangan

masyarakat dan ketentraman serta suasana rukun damai antar para pihak dan

masyarakat adat umumnya; kelima peradilan adat bersifat pasif dan aktif. Pasif

dalam artian dilaksanakan atas permintaan masyarakat yang dirugikan, dan aktif

dalam artian adanya tanggungjawab dari fungsionaris adat dalam menjalankan

peradilan adat; keenam, bentuk-bentuk sanksi peradilan adat adalah berupa sanksi

denda dan bukan denda. Penyelesaian sengketa melalui mediasi dan peradilan adat

ini sejalan dengan konsep Restorative Justice.

Jenis sanksi adat yang berupa denda adalah seperti pengembalian barang yang

dicuri dan diyat sebagai kompensasi kerugian korban. Sanksi adat dalam bentuk

diyat, disesuaikan pada pertimbangan fungsionaris peradilan adat atas berat dan

ringannya pelanggaran adat yang terjadi. Peradilan adat juga menjadi peringatan

awal bagi masyarakat yang melanggar kasus pidana diluar kewenangan peradilan

adat. Sanksi adat yang bersifat bukan denda adalah berupa permohonan maaf,

nasihat dan teguran, pemberian pekerjaan yang mendidik, pengusiran dan

pengucilan. Adapun perkara-perkara yang bersifat denda adalah perkara yang

menyebabkan kerugian materiil, merugikan masyarakat, dan melukai atau

menghilangkan anggota tubuh korban, seperti pencurian, penganiayaan,

pengrusakan, dan khalwat, sedangkan perkara yang bersifat bukan denda adalah

perkara perdata , perkara terringan, dan perkara terberat, seperti sengketa tapal

batas, fitnah, perselisihan dalam rumah tangga, laka lantas ringan, perselisihan

harta waris, dan perzinahan.

Dari perspektif hukum positif, sebagian penyelesaian sengketa sesuai dengan

hukum dan Undang-Undang yang berlaku, namun sebagian tidak sesuai dengan

hukum dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Pada kasus yang berada

dibawah kewenangan peradilan adat penyelesaian sengketa sesuai dengan norma-

norma hukum di Indonesia, disamping telah dilegal formalkannya qa>nu>n peradilan

adat, namun pada kasus yang bukan menjadi kewenangan peradilan adat terlihat

tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini terlihat pada

beberapa faktor, yaitu; kurangnya pemahaman pemangku adat tentang batasan

kewenangan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa, sebagian KUHP tidak

Page 222: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

208

diberlakukan, dan pelaku tidak mendapatkan hukuman yang setimpal atas

perbuatan yang dilakukannya.

Dari perspektif hukum Islam terlihat bahwa penyelesaian sengketa adat Aceh

sebagian sesuai dengan shari’at islam, dan sebagian tidak sesuai. Hal ini terbukti

dengan diterapkannya sistem al-s}ulh} (perdamaian) dalam menyelesaikan sengketa

dan paradigma ta’zi>r dalam pemberian hukuman bagi kejahatan yang melanggar

hak-hak adami dan hak-hak Allah. Pada penyelesaian kasus hudu>d yang melanggar

hak-hak Allah, penyelesaian secara shari>‘at tidak diterapkan secara seluruhnya,

khususnya dalam hal pemberian hukuman. Al-s}ulh} pada hakikatnya hanya dapat

diterapkan pada kasus-kasus yang melanggar hak-hak adami saja. Meskipun

demikian, dengan adanya paradigma diyat, ‘Afw, dan taubat, sangat berperan

penting dalam penentuan keputusan dan sanksi bagi pelaku. ‘Afw atau maaf dari

korban menjadi simbol pengakuan atas kesalahan dan sebagai wujud telah terjadi

perdamaian antar para pihak, diyat atau denda sebagai kompensasi atas kerugian

korban yang harus dibayar, dan taubat sebagai wujud kesadaran pelaku untuk tidak

mengulangi kesalahannya lagi.

Kecenderungan untuk menekankan hukuman denda bagi pelaku tindak pidana

pada perkara yang bersifat denda menjadi diantara faktor untuk meninggalkan

hukum positif pada beberapa kasus pidana berat yang menjadi kewenangan

peradilan negeri, terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang

ada, disamping faktor lain yang diinginkan oleh keduabelah pihak yaitu agar

sengketa cepat terselesaikan tanpa masalah, serta masyarakat adat Aceh yang pada

dasarnya masih memiliki tradisi hukum yang kuat berdasarkan hukum adat. Begitu

juga pada hukuman yang tidak bersifat denda, pemberian maaf seolah

membebaskan pelaku tindak pidana dari keharusan bertanggungjawab atas

kejahatan yang dilakukannya.

Penelitian ini mendukung pernyataan para peneliti sebelumnya, yang

menyatakan bahwa beberapa sengketa pidana dan perdata diselesaikan secara

restoratif, sejalan dengan Chindya Prastiti (2014) pada kasus anak berhadapan

dengan hukum, Mustafa Serdar Ozbek (2011), dan Frida Errikson (2010) pada kasus

perdata dan pidana, mereka menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui

mediasi dan keadilan restoratif menjadi alternatif yang layak dalam sistem hukum

positif karena membangun partisipasi yang aktif antara korban, pelaku, dan

masyarakat. Penelitian ini menolak pendapat Kathleen Dally (2001), dan Russs

Immarigon (1998) bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban, agar

menunjukkan pelaku bertekad menebus kesalahan dengan menjatuhkannya

hukuman, selain itu, keadilan restoratif terlalu banyak memberikan janji-janji

kepada masyarakat.

B. Saran

Pertama, Kesimpulan dari hasil penelitian ini belum tentu menjelaskan adat

Aceh yang sebenar-benarnya, karena penulis hanya mengadakan penelitian selama

satu bulan tujuh hari. Kesimpulan tersebut hanya diambil sepanjanang kasus yang

didiskusikan saja. Untuk itu, perlu diadakan penelitian lanjutan terkait penyelesaian

sengketa melalui peradilan adat di Aceh, karena penelitian tentang masyarakat

yang berhadapan dengan hukum akan terus berkembang dan tidak akan ada

Page 223: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

209

habisnya, mengingat bahwa konflik dan sengketa akan terus terjadi dalam

kehiodupan bermasyarakat.

Kedua, terlepas dari konsep ideal peradilan adat Aceh yang disebutkan, tidak

menutup adanya kekurangan dan kelebihan bagi peradilan adat Aceh, maka perlu

diadakan penelitian lanjutan terkait dengan peradilan adat Aceh yang aktif dan

pasif dalam menyelesaikan sengketa, hal ini diharapkan agar peradilan adat Aceh

dapat terus hidup dan menjadi contoh bagi peradilan adat di seluruh indonesia.

Selain itu perlu juga diadakan penelitian tentang peranan fungsionaris adat dalam

memutuskan sengketa, hal ini karena penulis melihat adanya kecenderungan

masyarakat adat Aceh untuk menyelesaikan sengketa melalui peradilan adat pada

sengketa diluar kewenangan peradilan adat.

Ketiga, proses penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dapat

memberikan kontribusi yang baik untuk dimasukkan dalam proses penyelesaian

sengketa melalui peradilan formal. Konsep mediasi dan perundingan yang

melibatkan antara kedua belah pihak yang bersengketa dapat menjadi alternatif

yang baik untuk mendapatkan hasil yang memuaskan bagi pihak yang bersengketa,

mereka dapat berperan aktif untuk menyelesaikan perkaranya, komunikasi yang

baik akan memberikan kesadaran bagi pelaku atas kesalahannya dan berbesar hati

untuk menyelesaikan hukuman yang diberikan oleh korban. Begitu pula korban,

dengan kebesaran jiwanya dapat dengan ikhlas dan tulus memaafkan kesalahan

pelaku, sehingga konflik antara keduanya dapat terselesaikan dengan jalan damai.

Keempat, Perlu adanya ketegasan dari fungsionaris adat dan penegak hukum di

Aceh mengenai pembagian penyelesaian sengketa adat, karena meskipun sudah

dikeluarkannya pergub Aceh nomor 60 Tahun 2013 tentang pelaksanaan

Penyelesaian Sengketa Adat Aceh, namun pada prakteknya beberapa kasus yang

bukan dibawah kewenangan peradilan adat Aceh diselesaikan melalui peradilan

adat.

Kelima, Majelis Adat Aceh dan Kapolda Aceh agar memberikan bimbingan dan

pengarahan secara berkala kepada fungsionaris adat mengenai mekanisme

penyelesaian sengketa, peraturan yang berlaku, maupun pemberian sanksi yang

relevan sehingga fungsionaris adat dapat memahami secara menyeluruh proses

peradilan adat dan proses beracara dalam peradilan adat. Evaluasi yang rutin dan

masukan membangun sebagai wujud dari pengawalan pemerintah terhadap

peradilan adat juga harus dilaksanakan oleh pemerintah Aceh agar peradilan adat

dapat selalu hidup dan dapat sejalan dengan peradilan formal. Pembinaan tersebut

juga berguna agar fongsionaris adat dapat lebih loyal dan bertanggungjawab atas

tugas, kewajiban, dan tanggungjawabnya sebagai pemangku adat.

Keenam, pemerintah Aceh secara umum juga perlu memperhatikan

kelengkapan sarana dan prasarana peradilan gampong. Dokumentasi peradilan adat

baik hasil keputusan ataupun proses beracara yang masih sangat kurang, khususnya

di beberapa desa membuat peradilan adat desa kurang memiliki kekuatan, meskipun

qa>nu>n dan peraturan tentang peradilan adat telah ditetapkan. Masih banyak

masyarakat yang menganggap bahwa peradilan adat Aceh tidak memiliki kekuatan

hukum, hal ini karena keterbatasan para pemangku adat, khususnya di desa-desa

terpencil untuk mendokumentasikan hasil keputusan peradilan adat.

Page 224: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

210

ketujuh, Pemerintah Indonesia perlu kiranya merumuskan RUU hukum pidana

yang memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam bermasyarakat,

serta nilai-nilai keadilan hukum yang sesuai dengan panutan dan rasa keadilan

masyarakat itu sendiri yang akan menjadi sumber hukum dalam pembentukan

hukum positif di Indonesia untuk mencapai sebuah tujuan reformasi hukum yang

lebih baik bagi Indonesia.

Kedelapan, sistem perrdamaian dalam Islam (al-s}ulh}}) dapat diwujudkan dengan

sebuah pemaafan, pengampunan, perbaikan, dan kompensasi. Sistem tersebut

sejalan dengan sistem peradilan adat Aceh yang berlandaskan Shari’at Islam. Jika

sistem tersebut juga dimasukkan kedalam sistem peradilan positif di Indonesia,

maka akan menjadi sebuah perubahan hukum menjadi lebih baik. Karena seperti

masyarakat Aceh, masyarakat Indonesia umumnya sangat berpegang kepada

budaya leluhur yang arif dan bijaksana. Ajaran seluruh agama yang mencintai

perdamaian juga menjadi pertimbangan masyarakat Indonesia yang taat dalam

menjalani kehidupan beragama mereka.

Penulis menyadari bahwa hasil dari penelitian ini masih jauh dari

kesempurnaan. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun

dan konstruktif demi sempurnanya tulisan ini. Hasil yang digagas tentang

penyelesaian sengketa melalui peradilan adatpada kasus adat perlu dilanjutkan dan

dibuktikan dengan penelitian lainnya dan semoga penelitian ini bisa menjadi

inspirasi bagi peneliti selanjutnya dalam kajian hukum.

Page 225: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

211

DAFTAR PUSTAKA

Refrensi Buku

Al-Qur’an al-Kari>m

Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2011.

Abdullah, M. Adil, dkk. Selama Kearifan Adalah kekayaan: Eksistensi Panglima Laot dan Hukom Adat Laot di Aceh, Banda Aceh: Lembaga hukum Adat

Laot, 2006.

Al-Andalu>si>, Muhammad bin Yusuf Ali> bin Abi Hayya>n (w: 745 H).Tafsi>r Al Bah}r al-Muh}i>t}, Juz 8, Beirut: Da>r al Kutub al ‘Ilmi>yah, 2001

Arief, Barda Nawawie. Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan,

Semarang: Pustaka Magister, 2010.

al-‘Asqala>ni>, Ibn Hajar. Subu>l al-Sala>m Sharh Bulu>gh al-Mara>m, Riyad}: Maktabah

Ma‘a>rif, Jilid 4, Cet.1, 2006

al-Asqala>ni>, Ahmad Bin ‘Ali> bin muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Hajar,

Talkhi>s} al-h}abi>r fi> takhri>j Aha>dith al-Ra>fi‘i> al-Kabi>r, (Madi>nah, Da>r al

kutub al ‘Ilmi>yah, 1989), http://islamport.com/w/krj/Web/1446/2097.htm,

(diakses pada 16 September 2014)

‘Awdah, Abd al-Qa>dir, Al-Tashri>’ Al-Jina>‘i Al-Isla>mi>, Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wadh‘, juz 1 Beirut: Da>r al ka>tib al ‘azli>, tt.

_________, Al-Tashri>’ Al Jina>‘i Al-Isla>mi>, Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wadh‘, juz 2

Beirut: Da>r al ka>tib al ‘azli>, tt.

al-Bahnasi>, Ah}mad Fat}i. Al-Ta’zi>r Fi> al-Isla>m. Mesir: Muassasah al-Khali>j al-

‘arabi, 1988.

al-Baihaqi, Ima>m Abi> Bakar Ahmad ibn al-Husaini bin ‘Ali. (485 H), Sunan Al-Kubra,Juz 6, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>ah, 2003.

al-Ba>qi, Muhammad Fuad ‘Abd.Al-Mu‘jam Mufahras Li Alfa>z} al-Qur’a}>n al-Kari>m,,

Qa>hirah : Da>r al-hadith, 1364 H.

al-Bas}ri>, Abu H}asan ‘Ali>y Bin Muhammad Bin H}abi>b Al-Mawardi>.Al-HA>wi> Al-Kabi>r Fi Fiqh Madhab Al-Ima>m Al-Shafi>’i> wa Huwa Sharh Mukhtas}ar Al-Muz}ni>, Jilid 6, Beirut: Da>r al Kutub Al ‘Ilmi>yah, 1999.

al Bu>t}i>, Muhammad Sa>‘id Ramad}a>n. D}awa>bit} al-Mas}lah}ah Fi> al-Shari>at al Isla>miyah, Dimashqa> : al Maktabah al Umawi>yah, tt

Djuned, Teuku Mohd, Bunga Rampai Adat dan Kearifan: Pemaknaan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh,Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu,

2011

Fuady, Munir. Teori-teori Dalam Sosiologi Hukum(Jakarta: Kencana, Prenada

Media Group) 2011

al-Hanbali>, Ibn Rajab.Ja>mi‘ al-‘Ulu>m wa al-Huku>m, Jilid 2 (Muassas al-Risa>lah,

2001), 207,

http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=160&idt

o=166&bk_no=81&ID=34

Page 226: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

212

al-Hanbali>, Mans}u>r bin Yu>nus Al Bahwat (w:1051H).Kasha>f al-Qina>’ ‘an Matn al-Iqna>’, Jilid 3, Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmi>yah, 1997.

Hazairin. Tujuh Serangkai Tentang Hukum Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1985), cet

ke-4, 53.

Ibn ‘Abiri>n Muhammad Ami>n Al Shahi>r. Radd al Mukhta>r ‘Ala> Da>r al Muhkta>r Sharh Tanwi>r al Abs}a>r, Jilid 8, Beirut: Da>r Al Kutub Al ‘Ilmi>yah,1994

Ismail, Badruzzaman. Dasar-Dasar Hukum Pelaksanaan Peradilan Adat Di

Gampong-Gampong, Disampaikan Pada Pelatihan Tokoh-Tokoh Adat Gampong se Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 4-8 September 2007,

Majelis Adat Aceh(MAA), 2007

__________.Sistem Budaya Adat Aceh, Dalam Membangun Kesejahteraan: Nilai Sejarah dan Dinamika Kekinian, Majelis Adat Aceh (MAA) Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: MAA, 2008.

__________.Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh,

2013)164

al-Jauzi>yah, Ibn al-Qayyim. I‘la>m al-Mu>qi’i>n, Juz 1, Jami>‘ al h}uqu>q Muta>hah li

jami>’ al-muslimi>n, Islamics Books, WS, 2010,

__________.I‘la>m al Mu>qi‘i>n, Juz 2, Jami>‘ al h}uqu>q muta>hatun li jami>’ al-

muslimi>n, Islamics Books, WS, 2010,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Jakarta, 2008.

al-Ka>sa>ni>, Abu Bakar Mas’u>d Bin Ahmad. Bada>i’ al-S}ana>i’ fi> al-Tarti>bi al-Shara>i‘, Juz 7, (Da>r al Kutub al ‘Ilmi>yah, 1986),

http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=

12&ID=3188, diakses pada 3 Juli 2014.

al-Khalla>f, Abd al-Waha>b (1972). Mas}a>dir al-Tashri‘ al-Isla>mi Fi> Ma> La> Nas} Fi>h, Kuwait : Dar al-Qalam, cet. 6, 1993

_______________. Us}ul al Fiqh, (Qa>hirah: Maktab al Da‘wah al Isla>mi>yah),tt

Koentjaraningrat. Sejarah Antropologi II (Jakarta: UI Press, 1990)

KUHP dan KUHAP, Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011.

Majelis Adat Aceh. Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, Banda Aceh: MAA, 2012.

Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Shari>‘at Islam Di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Ciputat: Logos wacana Ilmu, 2003

Muladi, dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: PT

alumni, 2005.

al-Muqdasi>, Abi Muhammad ‘Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Quda>mah.

Al Mughni ‘Ala> Mukhtas}ar Al-Khara>qi, Jilid 4, Beirut: Da>r al Kutub al

‘Ilmi>yah, 1994.

al-Najdi>, Muhammad bin ‘Abd al-Wahha>b bin Sulaima>n al-Tami>mi>. Majmu>’ah al-ah}a>di>th ‘Ala> Abwa>b al-Fiqh, Juz 4 (Riya>d}, Ja>mi’ah al-Ima>m Muhammad

bin Su’u>d, tt), http://sh.rewayat2.com/fkh3am/Web/12061/003.htm

Page 227: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

213

al-Naisa>buri>, Ima>m Abi al-H}usain Muslim Bin al-H}ajja>j al Qus}airi>. (261), S}ah}i>h}

Muslim (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2003.

al-Nawa>wi>, Ima>m. Raud}ah al T}a>libi>n Wa ‘Umdah al-Mufti>n< Jilid 4,tt

Ngani, Nico.Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Yogyakarta: Pustaka

Yustisia), tt.

Pasaribu, H. Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,Jakarta: Sinar Grafika, 2004

Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel,

Kata Pengantar, iii, Majelis Adat Aceh, dan UNDP, Proyek Keadilan

Aceh, 2007-2008.

al-Qa>simi>, Muhammad Jama>luddin > (w:1914 M).Tafsi>r Al-Qa>simi> (Maha>sin al-

Ta’wi>l), Jilid 8, Beirut: Da>r Al Kutub Al ‘Ilmi>yah, 1997.

al-Qazwini>>, Ima>m Abi Qa>sim Abd al Kari>m bin Muhammad bin ‘Abd al Kari>m Al

Rafi’iy (w: 623 H).Al-‘Azi>z Sharh al-Waji>z (Sharh al Kabi>r), Jilid 5,

(Beirut: Da>r al kutub al ‘Ilmi>yah), 1997

Qut}ub, Sayyid.Tafsir Fi> Zhila>li al-Qur’a>n, Jilid 10, Jakarta: Gema Insani, 2004.

Raco, J.R.Metode Penelitian Kualitatif, Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya (Jakarta: Grasindo),tt

Rahmadi, Takdir. Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: Rajawali Press), 2011

Rid}a, Muhammad Rashi>d. (w: 1935), Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Kari>m al-Mashu>r bi Tasfi>r Al-mana>r, Juz 2 (Beirut: Da>r al Kutub Al ‘Ilmi>yah, 1999.

Sa>biq, Sayyid, Fiqh Al-Sunnah Juz III , Beirut:Da>r Al Fikr, 1977 al-Sa‘di>, Abd al-Rahma>n bin Na>s}i>r, Al Qawa>’id} wa al-Us}u>l Al Ja>mi’ah Wa al-Furu>q

wa al-Taqa>si>m al Badi>’ah al-Na>fi’ah, Tahqi>q: Dr. Kha>lid bin 'Ali bin

Muhammad al-Mushaiqih, Maktabah Ibn Sa’di.

al-S}an’a>ni>y, Muhammad Bin Isma’i>l al-Ami>r, Subul al -ala>m Sharh Bulu>gh al-mara>m, ,Juz 2, Bab al Ghas}b, 101,

http://ia600500.us.archive.org/19/items/sblslam/01.pdf,( diakases pada 20

Juni 2014 )

al-Shafi’i>, Imam Abi ‘Abdillah Muhammad Bin Idris. Al Umm, Jilid 11, Kuala

Lumpur: Victory Agancy, tt

Shaikh, ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abd al Rahma>n bin Ishaq A>lu. Luba>b al-Tafsi>r Min Ibni Katsi>r, Jilid 2, Kairo: Mu’assasah Da>r Hila>l, 1994.

Sugandi, R, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981

al-Subki>. Ima>m Taj Al-Di>n Abd al-Waha>b bin ‘Ali Ibn Abd al-Ka>fi> (771), Al-Ashba>h Wa al-Nadza>ir, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1991.

Soesilo, R.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1995), 244-245

al-Suyu>t}i>, Abd al-Rahma>n bin Abi Bakar Al-Suyu>t}i. Al-Ashba>h wa al-Nadza>ir, Jami>’ al-Huqu>q muta>hat Li Jami>’ al-Muslimi>n, 2010, Islamic Books, 55

Syarif, Sanusi M. Anomi di Sempadan Mukim dan Gampong: Menyingkap Konflik Batas dan pengelolaan Kawasan Sempadan di Aceh (Banda Aceh: Pustaka

Rumpun Bambu, 2011), 2

Page 228: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

214

___________.Gampong dan Mukim di Aceh, menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010).

Sudarsono. Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012).

al-T}aba>ri>, Abu Ja’fa>r Bin Jari>r (W: 310).Tafsi>r Al T}abari (Jami‘ al Baya>n Fi>

Ta’wi>li-l-Qur’a>n), Juz 4, Beirut: Da>r al kutub al ‘Ilmiy>ah, 1999.

Thalib, Sajuti. Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam,Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Umar, Muhammad Fakhr al-Ra>zi> Fakhr al-Di>n Ibn ‘Alla>mah D}iya>u al-Di>n ‘Umar,

Tafsi>r Fakhru Al- Ra>zi, Jilid 3 (Beirut: Da>r al Fikr, 2005

Utsman, Rachmadi.PilihanPenyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, 2013

Wahid, Eriyantouw. Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009.

Wahid, Marzuki dan Rumadi.Fiqih Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2001.

Zahrah, Muhammad Abu.Us}ul al Fiqh, Da>r al fikr al ‘Arab, tt

__________. Al Jari>mah wa al ‘Uqu>bah fi al Fiqh al Isla>mi>, Qa>hirah: Maktabah al

an jal al Mishri>yah, tt.

Zuhayli>, Wahbah, Fiqh Al Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 7, Dimashqa: Da>r Al Fikr Al

‘Ilmi>yah, 1997

__________.Fiqh Al Isla>mi> Wa Adillatuh, Jilid 6, Dimashqa: Da>r Al Fikr Al

‘Ilmi>yah, 1997

Referensi Jurnal dan Makalah

Abidin, Zainal. ‚Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan dalam Rancangan KUHP‛,

Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, Position Paper Advokasi RUU KUHP seri #3, September 2005, 14,

http://docs.perpustakaan-elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/3.pdf

Adek, Miftachhuddin Cut. ‚Mediasi Dalam Masyarakat Adat Laot (Nelayan Adat)

di Aceh‛, Jeumala, Edisi 40 Juli-Desember 2013, Majelis Adat Aceh

(MAA) Provinsi Aceh

Advisory Conciliation and Arbitration Service (ACAS., ‚Mediation: An Approach to Resolving Workplace Issues, Euston, London‛,http://www.acas.org.uk/media/pdf/m/f/Mediation-an-approach-

to-resolving-workplace-issues.pdf, diakses pada tanggal 26 April 2014,

Pukul 12:44

Ahira, Anne.‚Wujud kepercayaan Agama Hindu di Bali‛,

http://www.anneahira.com/kepercayaan-agama-hindu.htm, (diakses pada

5 Juni 2014, Pukul 17:34)

Alexander, Nadja. ‚The Mediation Meta-Model-The Realistis Of Mediation

Practice‛, ADR Bulletin, Volume 12, Number 06, Article 05,

http://epublications.bond.edu.au/adr/vol12/iss6/5, (Diakses pada 07 April

2014)

Page 229: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

215

Alkostar, Artidjo. ‚Kebutuhan Responsifitas Perlakuan Hukum acara Pidana dan

dasar Pertimbangan Pemidanaan Serta Judicial Immunity‛, Makalah Tua Pidana, Disampaikan pada Rakernas 2011 Mahkamah Agung dengan

Pengadilan Seluruh Indonesia,

http://anggara.files.wordpress.com/2011/10/fondasi-dan-pertimbangan-

pemidanaan-wadah-pidana-artidjo-alkostar_edited.pdf, (diakses pada 22

Juni 2014)

Alternative Dispute Resolution: Mediation,

http://europa.eu/legislation_summaries/justice_freedom_security/judicial_

cooperation_in_civil_matters/l33251_en.htm, accssed at June 08 2014)

Ama, Kornelis Kewa.Hukum Adat mendominasi Hukum Positif di Papua,

http://herukuswanto.dosen.narotama.ac.id/files/2011/05/Hukum-Adat-

Mendominasi-Hukum-Positif.pdf, (Diakses pada 4 juni 2014 pukul 22:00)

Angles, Eduardo De Los. ‛Perspectives On Court-Annexed Mediation In The

Philipines‛, Confrence Rediscovering Mediation In 21st century, Kuala Lumpur, 24-25 Februari 2011, 10

http://barcouncil.org.my/conference1/pdf/4.PERSPECTIVESONCOURT

ANNEXEDMEDIATIONINTHEPHILIPPINES.pdf, (accessed June, 08

2014, 12:23)

Al-‘Arini, Ahmad Bin Sulaiman. ‚Al s}ulh}} ‘an al-Jina>yah al-‘Amdi>yah ‘ala> al-Nafs

wama> Du>naha> ‚, artikel,/Syawwal, 1421 H, h. 3, http://www.shamela.ws,

diakses pada tanggal 17 Februari 2014, pukul 22.00)

Awi, Sara Ida Magdalena, ‚Para-Para Adat Sebagai Lembaga Peradilan Adat Pada

Masyarakat Hukum Adat Port Numbay Di kota Jayapura‛, Jurnal Hukum,

http://ojs.unud.ac.id. (Diakses pada 04 juni 2014, Pukul 21:10)

Arizona, Yance.‚Kedudukan Peradilan Adat dalam Hukum Nasional‛, Makalah

disampaikan pada Diskusi tentang Memperkuat Peradilan Adat di Kalimantan Tengah untuk Penguatan Akses terhadap Keadilan, Selasa, 11

Juni 2013. (Diakses pada tanggal 15 Februari 2014, pukul 11.30)

Aswar, Teuku Raja Itam. Kasus-Kasus Penyelesaian Melalui peradilan adat:

makalah disampaikan pada pelatihan pada pelatihan adat bagi fungsionaris adat se-provinsi Nanggroe Aceh darussalam, 4-8 september

2007 di Banda Aceh (Banda Aceh:Majelis Adat Aceh, 2007.6

__________. ‚Penegakkan Nilai-Nilai Hukum Adat Bagi Generasi Muda Dalam

Membangun Keadilan Hukum di Aceh‛, Makalah Disampaikan Pada

Dialog/Sosialisasi Untuk Generasi Muda dan Mahasiswa Mengenai Adat

Istiadat dan Hukum Adat Tahun 2007, Majelis Adat Aceh Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam

Badan Pembinaan Hukum Nasional.‚Laporan Akhir Kompendium Hukum Tentang

Penyelesaian Perkara pidana dalam Hukum Adat‛, Badan pembinaan

Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Tahun

2013, http://www.bphn.go.id/data/documents/full.pdf, (diakses pada 4 juni

2014, pukul 20:31)

Bondy, Varda and Margaret Doyle. ‚The Public Law Project‛, Nuffield Foundation,

United Kingdom, 2011,

Page 230: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

216

http://www.nuffieldfoundation.org/sites/default/files/files/MJRhandbookF

INAL.pdf, (diakses pada tanggal 26 April 2014, pukul 14:53)

Councile Of Europe. ‚Mediation In Penal Patters, Recomendation No R(99)19‛,

Adopted by the Committe Of Ministers Of The Councils Of Europe, 15

September 1999, and Explanatory Memorandum,

http://www.mediacio.hu/files/EU_dok/CoE_R%2899%2919_mediation.pd

f, (diakses pada 07 Mei 2014, Pukul 11:14)

Data tahun 2013 Departemen Kesehatan RI, Ringkasan Eklsekutif Data dan

Informasi Kesehatan Provinsi aceh,

http://www.depkes.go.id/downloads/kunker/aceh.pdf diakses pada 09 Juni

2014

Dragne, Luminita. ‚Brief Conciderations Regarding Mediation in Criminal Matters,

Challengesof the Knowledge Society‛, Mediation,

http://www.justiciarestaurativa.org/www.restorativejustice.org/research/a

rticle_search_results?all_fields=&b_start:int=316

Drews, Margaret.The Four Models Of Mediation,

http://www.diac.ae/idias/journal/volume3no1/issue1/eng4.pdf, (diakses

pada 07 Mei 2014)

Errikson, Frida, ‚Victim-Offender Mediation in Sweden and South Africa‛, Final thesis of Master of Law Exam, Criminal Law, University of

Gothernburgh, School of Bussiness, Economies, and Laws, Thesis For

master Of Law, 2009,

https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/19708/1/gupea_2077_19708_1.pdf,

(diakses pada 16 Agustus 2014)

Elizabeth, Misbah Zulfa. Solusi hukum Lewat Peradilan Desa, Suara Merdeka, 25

April 2012, http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2012

/04/25/184452, (diakses pada tanggal 18 Februari 2014, pukul 08.42)

Gambaran Umum Kondisi Aceh, http://www1-

media.acehprov.go.id/uploads/BAB_II_GAMBARAN_UMUM_KONDIS

I_ACEH_FINAL_6012011_edi_26012011.pdf, Lihat Juga:

Kepariwisataan 10 Provinsi di Pulau Sumatera, http://ujp.ucoz.com/1-

Nagroe_Aceh_Darussalam.pdf

Gade, Christian B.N. ‚Ubuntu and Restorative Justice: Addressing The Strife and

Divisions of The Past in Post Aphartheid South Africa‛, Phd. Thesis,

Aarhus University, january 2013,

http://konfliktloesning.dk/sites/konfliktloesning.dk/files/Christian%20B.

%20N.%20Gade.pdf. (Diakses pada 15 Agustus 2014 )

Gelgel, I Putu.‚Peradilan Adat (Agama) Sebagai Resolusi Konflik‛, Bali Post,

Dialog Interaktif, 06 Oktober 2011,

http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=5&i

d=5790, (diakses pada 4 Juni 2014, Pukul 21:22)

Al Ghamidi>, ‘Ali>. ‚al S}ulh}u wa Atharuhu Fi> Inha>i al Khus}u>mah‛, 28/01/2012,

http://www.s3t3.com/vb/archive/index.php/t-17483.html, (diakses pada

29 Agustus 2014)

Page 231: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

217

Hadrawi>, Ulil. Tiga Tanda Balig}, Artikel Syari’ah, http://www.nu.or.id/a,public-

m,dinamic-s,detail-ids,11-id,40361-lang,id-c,syariah-

t,Tiga+Tanda+Baligh-.phpx, (diakses pada 4 Juli 2014.)

Halim, Abdul, Nomokrasi islam dalam Negara Hukum indonesia,

http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISL

AM/Nomokrasi%20Islam%20dan%20Negara%20Kesatuan%20Republik

%20Indonesia.pdf, diakses pada 8 juli 2014)

Ha>mid bin ‘Abdillah.‚al S}ulh}u‛, Maktabah Maqru’ah, Fiqih Bai’, http://go.gooh.net/alzad/article_88.shtml, (diakses pada tanggal 16

Februari 2014, pukul 20.35),

HartmannUte I. ‚Victim-Offender Reconciliation With Adult Offenders In

Germany‛,

http://www.aic.gov.au/media_library/publications/proceedings/27/hartma

nn.pdf, (accessed, June 08, 2014)

Hasan, Ahmadi.‚Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar Dulu, Kini, dan Masa

Mendatang‛, Annual Confrence On Islamic Studies (ACIS) Ke-10,

Banjarmasin, 1-4 November 2010,

http://dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/11.ahmadihasan.pdf,

(diakses pada 5 Juni 2014 pukul 10:42)

Hoffman, David A. ‚Ten Principles Of Mediation Ethics‛,

http://bostonlawcollaborative.com/blc/72-

BLC/version/default/part/Attachment Data/data/2005-07-mediation-

ethics.pdf?branch=main&language=default), diakses pada 27 April 2014,

pukul 16:30, 2

IHW. ‚Perlukah menghidupkan Kembali Peradilan Adat‛, Jum’at 22 Mei 2009,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22068/perlukah-

menghidupkan-kembali-pengadilan-adat (diakses pada 15 Agustus 2014

pukul 11:15)

International Development Law Organization. ‚Lembaga adat sebagai lembaga

Penyelesaian Sengketa‛, http://www.idlo.int/docNews/213DOC1F.pdf,

(diakses pada tanggal 17 Februari 2014, pukul 11.42)

Ismail, Badruzzaman. ‚Dasar Hukum Penerapan Hukum Adat: Pelaksanaan

Peradilan Adatdi Aceh‛, Makalah Disampaikan Pada Pelatihan Peradilan

Adat Bagi Fungsionaris Adat se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Tanggal 4-8 September 2007, Majelis Adat Aceh, 2007

_____________, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel, Kata Pengantar, iii, Majelis Adat Aceh, dan UNDP,

Proyek Keadilan Aceh, 2007-2008. Iii

_____________. ‚Pengaruh Faktor budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian dan

Rekonstruksi‛, Disampaikan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute , Darussalam, tanggal 20 September 2006.

______________. ‚Peradilan Adat gampong di Aceh Dasar Hukum dan Mekanisme

Penyelenggaraan Dalam SKB, GUB, POLDA, dan Ketua MAA Aceh,

Jeumala, Edisi 37, Januari-Juni 2012

Page 232: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

218

______________. ‚Peradilan Adat Sebagai Peradilan Alternatif Dalam Sistem Peradilan di Indonesia: Peradilan Adat di Aceh (Banda Aceh: Majelis

Adat Aceh, 2013), 126-130, Lihat juga: ‚Sejarah Perkembangan Peradilan

Agama di Aceh Sebelum dan setelah Kemerdekaan RI‛, Mahkamah Syar’iyyah Aceh, http://www.ms-aceh.go.id/informasi-umum/artikel/122-

sejarah-perkembanga-peradilan-agama-di-aceh-sebelum-dan-setelah-

memerdekaan.html, diakses pada 09 Juni 2014

____________. ‚mekanisme Lokal dalam Menyelesaiakan Kasus Masa Lalu menuju

Perdamaian Sejati, Disampaikan saat seminar ‚Percepatan Pembentukan KKR Aceh dalam Upaya Memberikan Keadilan Bagi Korban dan Memantapkan Perdamaian di Aceh, Banda Aceh, 15-17 Mei, 2007, 232,

http://www.kontras.org/buku/bagian%20IV%20aceh.pdf, diakses pada 13

Juni 2014

Iswara, I Made Agus Mahendra.‚Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative

Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali‛, Pascasarjana

fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Tesis, 2013, http://lontar.ui.ac.id,

(Diakses pada 10 Februari 2014, pukul 13:20)

Jaya, Nyoman Serikat Putra. Aspek Hukum Pidana Terhadap Tindakan Anarkis dan

Main Hakim Sendiri Dalam Masyarakat, Makalahdisampaikan dalamSeminar Regional dengan tema ‚Kecenderungan Tindakan Anarkis dan Main Hakim Sendiri dalam Masyarakat‛ yang diselenggarakan oleh

Polisi Wilayah Pekalongan bekerjasama dengan Universitas Pancasakti

Tegal, tanggal 22 Agustus 2000, http://eprints.undip.ac.id/19878/1/2598-

ki-fh-03.pdf, diakses pada 30 Juni 2014.

Kablu>, S}afwa>t ‘Aud}. Qad}a>u al s}ulh} Fi> Inha>i al Hus}u>ma>t Fi> al Shari>’a>t al Isla>mi>yah

wa al Qa>nu>n al Wad}’i>, 1995, http://www.bahrainlaw.net/post171.html,

(diakses pada 29 Agustus 2014)

Kawom, Zulfadli. ‚Qanun Al Asyi dan Pengaruhnya terhadap Kerajaan Islam

Nusantara dan Luar Negeri‛, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh,

http://www.jkma-aceh.org/haba/?p=88, (diakses pada 09 Juni 2014)

Kissya, Eliza. ‚Struktur Masyarakat Adat Haruku‛, http://www.kewang-

haruku.org/struktur.html, diakses pada 5 Juni 2014 pukul 19:32)

Komisi Yudisial. Laporan Khusus Satu Tahun Komisi Yudisial Jilid 2, Hakim, dan

penerapan keadilan Restoratif, Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan, Vol.VI No. (4 Januari- Pebruari 2012), 24 februari, 2012, 16,

http://www.komisiyudisial.go.id/files/Buletin/buletin-januari-februari-

2012.pdf, (diakses pada 28 januari 2014)

Korah, Revy S.M. ‚Mediasi Merupakan Salah Satu Alternatif Penyelesaian

Masalah Dalam Sengketa Perdagangan Internasional‛, Jurnal Hukum UNSRAT, Vol.XXI/No.3/April-Juni /2013,

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnalhukumunsrat/article/download

/1144/922, (diakses pada 7 Mei 2014, Pukul 09:48)

Kotta, JK Matuan. ‚Negeri Dalam Bingkai Masyarakat Hukum Adat di Maluku‛,

SASI, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Vol.

Page 233: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

219

11 No. 4 Oktober-Desember 2005, http://paparisa.unpatti.ac.id, (diakses

pada 5 Juni 2014, pukul 19:28)

Kraybill, Ronal S., and others, ‚Panduan Mediator Terampil Membangun

Perdamaian‛, dalam Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum nasional Jakarta: Kencana, 2011.

Kurniawan, Andri.‚Tugas dan Fungsi keuchik, Tuha Peuet, Dalam penyelenggaraan

Pemerintahan Gampong Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten

Aceh Besar berdasarkan Qanun Nomor 8 tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Gampong‛, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 3

September, 2010,

http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/VOL10S2012%2

0andri%20kurniawan.pdf, (diakses pada 16 Juni 2014)

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, ‚Pemidanaan, Pidana dan

Tindakan dalam Rancangan KUHP‛, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3, 10, http://docs.perpustakaan-

elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/3.pdf, (diakses padfa 22 Juni 2014)

Mangku, Dewa Gede Sudika. ‚Suatu Kajian Umum Tentang penyelesaian Sengketa

Internasional Termasuk Didalam Tubuh ASEAN‛, Jurnal Perspektif, Volume XVII, Nomor 03 Tahun 2012, Edisi September, 4,

http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201303002803047914/3.pdf, (diakses

pada tanggal 22 Juni 2014)

Mediation And Conciliation Project Committee Supreme Court Of India,

‚Mediation Training Manual Of India‛, Delhi,

http://supremecourtofindia.nic.in/MEDIATION%20TRAINING%20MA

NUAL%20OF%20INDIA.pdf , 26,

Menyongsong Alternatif Penyelesaian Sengketa, 28 September 2008,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20211/menyongsong-

alternatif-penyelesaian-sengketa, (diakses pada 27 Agustus 2014)

Midyawati, Lidya Suryani. ‚Pemenuhan Kewajiban Adat sebagai Pidana Tambahan

Dalam RUU KUHP‛, http://law.uii.ac.id (diakses pada 4 juni 2014, pukul

21:30)

Mulyadi, Lilik, ‚Pergeseran Perspektif dan Praktik dari mahkamah Agung Republik

Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan‛, Artikel, 7,

http://www.badilum.info/upload_file/img/article/doc/pergeseran_perspekti

f_dan_praktik_dari_mahkamah_agung_mengenai_putusan_pemidanaan.p

df, (diakses pada 22 Juni 2014)

Munir, Siroj. Batasan Umur Balig} laki-laki dan Perempuan, Dalil, dan hikmahnya,

Fiqih Kontemporer, Artikel, Senin, 14 Januari 2013,

http://www.fikihkontemporer.com/2013/01/batasan-umur-baligh-bagi-

laki-laki-dan.html, (diakses pada 4 Juli 2014)

Nauli, Musri Nauli. Perzinahan Dalam Hukum adat dan Hukum Nasional,

Kompasiana, diterbitkan pada 17 Agustus 2013 pukul 21:58,

http://hukum.kompasiana.com/2013/08/17/perzinahan-dalam-hukum-adat-

dan-hukum-nasional-584504.html, diakses pada 13 Juli 2014

Page 234: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

220

Nimer, Mohammed Abu. ‚A Framework For Nonviolence And Peacebuilding In

Islam‛, Journal Of Law And Religion, Vol. 15, No. 1/2 (2000 - 2001), pp.

217-265, http://humanrights.utah.edu/AbuNimer_JLR_2001.pdf,

(accessed 08/06/2014)

Nivada, Aryos. ‚Tawaran Model Sistem Peradilan Adat Aceh Bersinergis Peradilan

Hukum Nasional, Masyarakat Aceh tamiang‛,

http://www.acehinstitute.org, (diakses pada tanggal 17 Februari 2014,

pukul 12.39)

Nur, Muhammad Tahmid. ‚Maslahat dalam Hukum Pidana Islam‛, Jurnal Diskursus Islam, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2013, 293, http://www.uin-

alauddin.ac.id/download-

Jurnal%20Diskursus%20Islam%20Vol%201%20No%202%20Agustus%2

02013.125-150.pdf, (diakses pada tangga 22 Juni 2014)

Nursobah, Asep. ‚Catatan Akhir Tahun: Tingkatkan Kualitas Informasi Perkara,

MA Lakukan Stock Opname Berkas Perkara‛, Selasa, 07 Januari 2014

08:34, www.pembaruanperadilan.net/v2/category/manajemen_perkara/,

(diakses pada tanggal 18 Februari 2014, pukul 09.22)

Omale, Don John Otene.‚Restorative Justice as an Alternative Dispute Resolution

Models: Opinions of Victims of Crime, and Criminal Justice

Professionals in Nigeria‛, Thesis, Phd. Restorative Justice and Victimologi 2009, De Montfort University, Leicester, UK,

https://www.dora.dmu.ac.uk/bitstream/handle/2086/2411/PhD%20Don%2

0John%20Otene%20Omale.pdf?sequence=1, (accessed, 16th

august 2014)

Ongkiko, Ricardo Ma P G, Joan A de Venecia and Jon Edmarc R Castillo.

‚Mediation, in 16 JurisdictionsWorldwide, 2013‛, Getting The Deal

Through In Association With: Association For International Arbitration,

London, 61,

http://www.syciplaw.com/Documents/ME2013%20Philippines.pdf,

(accesed June, 08 2014, 11:00)

Parosanu, Andrea. ‚Restorative Justice In Germany, Final National report Of

germany‛, The 3E-Restorative Justice Model In Europe: Greece, United

Kingdom, Bulgaria, Finland, Hungari, Poland, Spain (including Research

Also In Turkey, The Netherlands, Denmark, Germany)

Just/2010/JPEN/AG/1534, 2013, http://3e-rj-

model.web.auth.gr/files/national_reports/Germany.pdf, (accessed June 8

,2014)

Pemerintah Provinsi

Papua.http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2008/papua20-

2008.pdf. diakses pada 4 Juni 2014, pukul 20:33

Pelly, Doron. ‚Resolving Clan Based DisputesUsing The Sulha, The traditional

Dispute Resolution Process of the Middle East‛, Oglala Sioux Tribe v. C&W Enterprises, No. 07-3269, 2008 WL 4093007 (8th Cir. Sept. 5, 2008), http://www.worldmediation.org/education/chapter-7-1.pdf,

(accessed 16th

August, 2014)

Page 235: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

221

Peters, Tony, Ivo Aersten. Katrien Lauwaert and Luc Robert, ‚From Comunity

Sanctions To Restorative Justice The Belgian Example‛, Depertement of

Criminal Law and Criminologi, Faculty Of Law, Catholic University of

Leuven,

http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No61/No61_17VE_Peters.pdf,

(accessed June 06, 2014)

Priyanto, I Made Dedy, dkk. ‚Peranan Prajuru Desa Dalam Penyelesaian Sengketa

Perebutan Tanah Kuburan (Setra) Studi Kasus Di Desa Pakraman

Krobokan dan Desa Pakraman Padang Sambian: Menggagas Pencitraan

Berbasis Kearifan Lokal‛, Jurnal Komunikasi Universitas Udayana, 447

http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/31.I%20MADE%20DE

DY%20PRIYANTO_udayana.pdf\, (diakses pada 4 juni 2014, pukul 16:41)

Proses Hukum Pidana, Perdata & Pengorganisasian Rakyat Untuk Advokasi,

Justice For The Poor Program,

http://www.p2kp.org/ppm/files/pdf/juklak/kasus_pidana_perdata.pdf,

diakses pada 2 Juli 2014)

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Profil Daerah,

http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-

daerah/provinsi/detail/11/nanggroe-aceh-darussalam, (diakses pada 09

Juni 2014)

Purbaya, Tandino Bawor. ‚Ketika Negara Tidak Mampu, (Keberadaan Peradilan

Adat dalam Konflik SDA)‛, Makalah disampaikan dalam FGD Pengkajian Hukum Tentang Peluang Peradilan Adat Dalam Menyelesaikan Sengketa Antara Masyarakat Hukum Adat Dengan Pihak Luar; BPHN, 24 Oktober 2013, http://huma.or.id, (diakses pada tanggal

16 februari 2014, pukul 10.02)

Puslitbang Hukum dan Peradilan. ‚Mediasi", Badan Litbang Diklat Mahkamah Agung RI, 2007, http://pta-

makassarkota.go.id/peraturan_perundangan/Naskah%20Akademis/Naskah

%20Akademis_Mediasi.pdf 32, diakses pada tanggal 27 April 2014, Pukul

22:32

Putra, Nyoman Roy Mahendra.‚Penyelesaian Pelanggaran Adat di Kecamatan

Busung Biu Kabupaten Buleleng Menurut Hukum Adat Bali‛, Tesis,

Program Magister Bidang kenotariatan, Universitas diponegoro,

Semarang, 2009.

http://eprints.undip.ac.id/18645/1/NYOMAN_ROY_MAHENDRA_PUT

RA.pdf, (diakses pada 5 Juni 2014)

Putuhena, Sakinah Safarina, dkk. ‚Kewenangan Lembaga Adat dalam Penyelesaian

Sengketa Pada Masyarakat Adat Maluku Tengah‛, Artikel, http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/e357235dc81b0117bc282b2717f29bdb

.pdf, (diakses pada tanggal 05 Juni 2014, Pukul 19:35)

Putusan pengadilan: http://www.pn-

mandailingnatal.go.id/putusan/FILE_124Pen.Pid2012PN.Mdl.pdf (diakses

pada 30 Juli 2014).

Page 236: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

222

Rahardi, Fernand., ‚Hukum Adat di Papua Eksis di Era Globalisasi‛, Republika online, Selasa, 04 Maret 2014, 05:48 WIB,

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/03/04/n1vu0i-

pengamat-hukum-adat-papua-eksis-di-era-globalisasi, (diakses pada 4 juni

2014, pukul 21:35)

Raharjo, Agus. ‚Mediasi Sebagai basis dalam penyelesaian Perkara Pidana‛,

Mimbar Hukum, Volume20, (Februari 2008), 91-92

http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/(diakses pada

tanggal 15 Februari 2014, pukul 14.30),

Raharjo, Trisno.‚Mediasi Pidana, Dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat‛, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 17, Juli, 2010, 493, 6,

http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/7%20Trisno%20Rah

ardjo.pdf, Diakses pada tanggal 3 Juni 2014, Pukul 20.45,

Ramli, Mohd. Anuar. ‚Instrumen ‘Urf dan Adat Melayu Sebagai Asas Penetapan

Hukum Semasa di Malaysia‛, Article, https://www.academia.edu/249304,

(diakses pada tanggal 16 Februari 2014, pukul 11.25)

Ramzy, Ahmad. ‚Perdamaian dalam hukum Pidana Islam dan Penerapan restorative

Justice dikaitkan dengan pembaruan hukum pidana di Indonesia‛, Thesis, Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Juni, 2012

Rianto, R. Benny. ‚Alternatif penyelesaian Sengketa (APS)‛, Artikel,

http://eprints.undip.ac.id/19278/1/2876-ki-fh-05.pdf, (diakses pada 15

Agustus 2014).

Robins, Simons. ‚Restorative Approaches to Criminal Justice in Africa: The Case

of Uganda‛, Post war Reconstruction and Development Unit, University

of York, UK, Institute for Security Studies, 2008,

http://www.issafrica.org/uploads/m161c4.pdf, (diakses pada 16 Agustus

2014 )

Al-Sa>di>, Abd al Rahma>n bin Na>s}ir Al Sa’di>>.‚Al Qawa>’id} wa al Us}u>l Al Ja>mi’ah

Wa al Furu>q wa al Taqa>si>m al Badi>’ah al Na>fi’ah‛, Tahqîq: Dr. Kha>lid bin

'Ali bin Muhammad al-Mushaiqih, Maktabah Ibn Sa’di>, 55-56,

http://d1.islamhouse.com/data/ar/ih_books/single2/ar_university_rules_an

d_assets.pdf, (diakses pada 1 Juli 2014)

Saskia, KUYPERS, Antwerpse Dienst Alternatieve Maatregelen (ADAM),

Antwerp, Belgium, ‚Victim-Offender Mediation In Flanders, Belgium,:

An Example of a Well Developed Good Practice‛, Antwerpse Dienst

Alternatieve Maatregelen (ADAM) service of restorative measures for juvenile delinquents, 5 http://www.unicef.org/tdad/1saskiakuypers.pdf,

(accessed June 05, 2014)

Satria, Deny, ‚Penerapan Hukum Adat Daya’ Kanayatn Dalam Penyelesaian Kasus

Hukum Pidana Di Kabupaten Landak dana Dasar Pemikiran Upaya

Pengaturannya kedalam Lembaga Daerah‛., Jurnal Mahasiswa s2 Universitas Tanjungpura, A. 21211042, hal. 4http://jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/view/4211, (diakses

pada 15 Februari 2014, pukul 11.58)

Page 237: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

223

Schott, Eilen, ‚A Guide To The Mediation Process‛, 2,

http://www.scmc.sacro.org.uk/Eileen_Schott_Mediation_Book_chapter_-

_an_excerpt.pdf, (diakses pada 27 April 2014, Pukul 21:47)

Shatha>ni>, Fida> Fat}h}i. Al-Tat}bi>qa>t al-Mu’a>s}irah li Shart }i al-Hirz fi> al-Sari>qah, 8,

http://faculty.yu.edu.jo,( diakses pada 4 Juli 2014) Shearman and Sterling LLP. ‚ The New German Mediation Act- Paving The Way

for Mediation as Established Standard in Dispute Resolution?‛,

International Arbitration, http://www.shearman.com/~/media/Files/NewsInsights/Publications/2012/0

9/The-New-German-Mediation-Act/Files/View-full-memo-The-New-

German-Mediation-

Act/FileAttachment/TheNewGermanMediationAct170912.pdf, (accessed

June, 08 2014),

Siraaj, Ar Rahmah, Selasa, 19 Rabiul Akhir 1433 H / 13 Maret 2012 10:04 -

http://www.arrahmah.com/read/2012/03/13/18739-hadits-sains-bukti-

ilmiah-bahaya-berkhalwat-dengan-yang-bukan-mahram.html, diakses

pada 3 Agustus 2014.

Sudantra, I Ketut.‚Pengaturan penduduk pendatang Dalam Awig-Awig desa

Pakraman‛, Jurnal fakultas Hukum Universitas Udayana,

http://ojs.unud.ac.id, (diakses pada 05 Juni 2014, Pukul 20:44)

Suharjono. ‚Mediasi dalam Konsep Islam‛, http://www.pa-

pekalongan.go.id/index.php/component/content/article/13-halaman-

muka/kabar-gembira1/196-mediasi-dalam-konsep-islam, (diakses pada

tanggal 16 Febrari 2014, pukul 20.17)

Sufriadi. ‚Memberdayakan Peran Badan Arbitrasi Syariah Nasional (Basyarnas)

dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi di Luar Pengadilan‛, 256,

http://fis.uii.ac.id/images/la-riba-vol1-no2-2007-08-sufriadi.pdf, (diakses

pada 08 Juni 2014, pukul 20:22)

Tabucanon, Gill Marvel P. James A. Wall Jr, Wan Yan, ‚Philipine Commudity

Mediation Katarungang Pambarangay‛, Journal Of Dispute Resolution,

Vol. 2008, Issue 2, Article 8,

http://scholarship.law.missouri.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1556&co

ntext=jdr, (accesed at June, 08 2014, 10:20)

T}aha, T}aha ‘A>bidi>n. ‚Al S}ulh} Fi> D}aui al Qur’a>n al Kari>m‛,

http://uqu.edu.sa/files2/tiny_mce/plugins/filemanager/files/4290464/K036

003.PDF, (diakses pada 29 Agustus 2014)

The Indonetian Mediation Centre, ‚Two Types of Mediation‛,

http://www.pmn.or.id/en/mediation/case-types.pdf, diakses pada 26 April

2014, dan What Is Mediation?,http://www.pmn.or.id/en/mediation.html,

(diakses pada tanggal 26 April 2014)

The Mediation Hand Book 2013-2014, LSM London School of Mediation, In

association with 218 Strand, Specialist Info and 7 Solicitors LLP, 15,

http://www.rafinauk.com/mediation_handbook.pdf, 14 (diakses pada 26

April 2014, pukul 13.00)

Page 238: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

224

Tim IT Peradilan Agama Rantau Prapat, Kamis, 29 September 2011 08:41,

http://www.pa-rantauprapat.net/index.php/2013-06-14-01-22-11/ket-62,

(diakses pada 08 Juni 2014)

Toriq, Ahmad. ‚Kasus Pencurian Sandal, Orangtua diharapkan Dapat membina

AAL‛Detik News, Kamis, 05/01/2012 04:06 WIB,

http://news.detik.com/read/2012/01/05/040629/1807006/10/ (diakses pada

pada tanggal 24/03/2014 (20:25)

‘Ubaid, ‘Umar ‘Ubaid, Qawa>id} al Us}u>li>yah wa al fiqhi>yah wa Atharuha> fi> tarshi>d al

‘Amal al Isla>mi>y,

http://library.islamweb.net/newlibrary/display_umma.php?lang=&BabId=

4&ChapterId=4&BookId=282&CatId=201&startno=0, diakses pada 16

September 2014.

Ubbe, Ahmad Ubbe, ‚Mediasi Penal dan Peradilan Adat, (Refleksi atas Bentuk

Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat yang Menyelesaikan Perkara

Melalui Peradilan Adat)‛, Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Nasional, oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia,

diselenggarakan pada tanggal 20 Juni 2013, di Surabaya,

http://bphn.go.id/data/documents/lampiran_makalah_dr._ahmad_ubbe,_ .

sh.,mh..pdf (Diakses pada 2 Juni, 2014, Pukul 20.30)

Usman. ‚Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana‛, Jurnal Ilmu Hukum, 66-76,

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=12060&val=882&titl

e=,( diakses pada 22 Juni 2014)

United Nations Guidence for Effective Mediation, United Nation, New York,

http://www.un.org/wcm/webdav/site/undpa/shared/undpa/pdf/UN%20Gui

dance%20for%20Effective%20Mediation.pdf, (diakses pada 26 April

2014, pukul 13:39, hal. 4)

Wedanti, I Gusti Ayu Jatiana Manik. Unsur Melawan Hukum dalam Pasal 362

KUHP Tentang Tindak Pidana Pencurian, Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana,

http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/viewFile/5353/4102,

(diakses pada 1 Juli 2014 )

Wirawan. Teori Receptie In Complexu, 21 Desember, 2008,

http://ketutwirawan.com/teori-receptio-in-complexu/, (diakses pada 10

Juni 201)

World Bank.‚Menemukan Titik Keseimbangan Mempertimbangkan Keadilan

NonNegara di Indonesia‛, Justice For The Poor, Mei 2009, Bagian III,

http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publicatio

n/280016-1235115695188/5847179-1242977239903/Full.Report.bh.pdf,

(diakses pada 5 Juni 2014, pukul 19)

Yani, Teuku Ahmad. ‚Kegiatan Mediasi Oleh Lembaga-Lembaga Adat Dalam

menyelesaiakan Sengketa‛, Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh,

Majalah Jeumala, Edisi 37, Januari-Juni 2012, 21-22.

__________. ‚Fungsi Gampong dan Mukim Dalam Menyelesaikan Sengketa

Perselisihan‛, Jeumala, Edisi 40, Juli- Desember 2013, 18

Page 239: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

225

Yasin, Muhammad, dkk. ‚Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif‛, dalam

Komisi Yudisial, ‚Laporan Khusus Satu Tahun Komisi Yudisial Jilid 2,

Hakim, dan penerapan keadilan Restoratif‛, Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan, Vol.VI No. 4 Januari- Pebruari 2012, 24 Februari,

2012, 13-16, http://www.komisiyudisial.go.id/files/Buletin/buletin-

januari-februari-2012.pdf, (diakses pada 28 januari 2014),

Zumeta, Zena D. ‚Styles Of Mediation: Facilitative, Evaluative, And

Transformative Mediation‛, This article first appeared in the Newsletter of the National Association for Community Mediation and is reproduced with kind permission of the author and the NAFCM,http://imimediation.org/mediation-styles, (diakses pada 07 Mei 2014, Pukul 10:22)

Fatwa, Undang-Undang dan Peraturan pemerintah

Direktori Putusan Mahkamah agung Republik Indonesia,

www.putusan.mahkamahagung.go.id, (diakses pada 1 Juli 2014)

Fatwa Komite Tetap, Fatwa Nomor 1016, Kerajaan Arab Saudi, Portal Lembaga Riset dan Fatwa,

www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?languagename=id&View=P

age&PageID=5200&PageNo=1&BookID=3 (Diakses pada 01 Agustus

2014)

Ima>rah Abu D}abi, Da>ira>t al Qad}a>, ‚Ahammiyatu al s}ulh} fi> hilli al niza>’a>t al usari>ah

Fi> Daulah al ‘Ima>ra>t al ‘Arabi>yah‛,

http://www.adjd.gov.ae/portal/site/adjd/ArtcileAwareness257/;jsessionid=

rBrrTr1Dh6G91yFjZWQQpz2rNtfzDMR0dW5HFf4LqnGZnTrTHX3Y!-

463269135!NONE, (diakses pada 29 Agustus 2014)

Pasal 76 (1) jo. Pasal 89(4) UU39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 16, Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008,

http://www.bphn.go.id/data/documents/08pdaceh009.pdf, diakses pada 16

Juni 2014

Pasal 24 ayat 1 Huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997,

http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl52280/node/4013 ,

diakses pada tanggal 1 Juli 2014.

Pasal 409: KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011), 169, Lihat

juga: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

http://hukumpidana.bphn.go.id/babbuku/bab-xxvii-menghancurkan-atau-

merusakkan-barang/, diakses pada 30 Juni 2014.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008 Tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan, https://www.mahkamahagung.go.id/

images/uploaded/prosedur_ttg_mediasi0001.pdf

Peraturan Gubernur Aceh nomor 60 Tahun 2013 tentang pelaksanaan Penyelesaian

Sengketa Adat Aceh,

Page 240: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

226

http://jdih.acehprov.go.id/files/Pergub_Nomor_60_Tahun_2013.pdf.,

diakses pada 17 Oktober 2014

RUU KUH Pidana BAB III, Tujuan Pemidanaan pasal 54 ayat 1 dan 2,

http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Umum/RUU%2

0KUHP 2013.pdf

UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999, Tentang perlindungan Konsumen, Pasal 45 Ayat (2),

http://www.djlpe.esdm.go.id/modules/_website/images/content/11493296

471.pdf, 18

Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus

Bagi Provinsi Papua. http://prokum.esdm.go.id/uu/2001/uu-21-2001.pdf,

Diakses pada 4 Juni 2014, Pukul 20:46

Undang-Undang Nomor 4 Tentang Kekuasaan Kehakiman,

http://www.minerba.esdm.go.id/library/sijh/uu-04-2004.pdf, diakses pada

20 Agustus 2014

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, www.bpkp.go.id, diakses pada 30 Juni 2014.

UU RRI No. 23 Th. 2002,

http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/UUNo23tahun2003PERLINDUN

GANANAK.pdf, diakses pada 30 Juni 2014

UU HAM Nomor 39 Tahun 1999, BAB III,

http://komisiyudisial.go.id/downlot.php?file=UU%20No%2039%20Thn%

201999%20HAM.pdf. (diakses pada 22 November 2014)

Qanun Al Asyi, http://www.atjehcyber.net/2011/08/qanun-meukuta-alam-al-

asyi.html#ixzz349enr3JI, (diakses pada 09 Juni 2014)

Qa>nun al Wasa>t}ah Li H}illi al Niza>’a>t al Madani>ah al Urdu>ni>, http://www.alu-

1944.org/Default_ar.aspx?ID=90, (diakses pada 29 Agustus 2014)

Qanun Provinsi Naggroe Aceh Darussalam Nomor Tahun 2003 Tentang

Pemerintahan Mukim

Qanun Provinsi Naggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 Tentang

Pemerintahan Gampong

Qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003,

http://bphn.go.id/data/documents/03pdaceh014.pdf, diakses pada 11

Agustus 2014.

Wawancara

Wawancara dengan Badruzzaman Isma’il, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat Aceh,

Selasa, 29 April 2014.

Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang

Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Senin, 19 Mei, 2014

Wawancara dengan Sanusi M. Syarif, MA, Sekertariat Majelis Adat Aceh, Bidang

Pengembangan dan Pelestarian gampong dan Mukim, Kamis, 15 Mei,

2014

Page 241: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

227

Wawancara dengan AKP. El Putri, Polda Aceh, Banda Aceh, 20 Mei 2014

Wawancara dengan Bpk. Bukhari, Keuchik Gampong Meunasah Mancang, Aceh,

Jum’at, 2 mei 2014, pukul 10.30

Wawancara dengan Amin. H, Sekretaris Gampong Meriah Jaya, Kec. Gajah Putih,

10 Mei 2014

Wawancara dengan Bpk. Muhammad Asngad, Keuchik gampong timang Gajah,

Kec. Gajah Putih, Bener Meriah, 11 Mei 2014

Wawancara dengan Amin. H, Sekretaris Gampong Meriah Jaya, Kec. Gajah Putih,

10 Mei 2014

Wawancara dengan Drs. Yusriadi, M.Si, Anggota Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,

24 April 2014

Wawancara dengan Bpk. Abdul Mutalib, sekretaris gampong Keupula, Nanggroe

Aceh Darussalam, 3 May 2014.

Wawancara dengan Keuchik gampong Dayah Krako, Bpk. Sarifudin Isma’il, 1 Mei

2014,

Wawancara dengan Keuchik gampong Meunasah mancang, Bpk. Bukhari, Pidie

Jaya, 2 Mei 2014,

Wawancara dengan Keuchik Gampong Umah Besi, Bpk. Abdul Aziz, Bener

Meriah, 11 Mei 2014

Wawancara dengan Keuchik gampong Lampulo, Banda Aceh, Alta Zaini, Senin, 19

Mei 2014

Page 242: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

228

Page 243: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

229

GLOSSARIUM

A

Adat :Sejumlah Aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat. Di

Aceh, adat menyatu dengan agama dan menjadi pegangan umum

dalam kehidupan.

Adat badamai : bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dan diakui efektif dalam

menyelesaikan pertikaian di banjar.

Adat meukuta Alam :Istilah lain dari Qanun Al Asyi, yaitu Undang-Undang Dasar

Kerajaan Aceh Darussalam yang dibuat pada masa pemerintahan

Sultan Iskandar Muda (1606-1636)

ADR : singkatan dari Alternative Dispute Resolution adalah alternatif

penyelesaian sengketa yang banyak dikenal pada ranah hukum privat

atau hukum perdata. Apabila dikaji lebih lanjut alternatif penyelesaian

ini tidak hanya dilakukan di ranah hukum perdata melainkan juga di

ranah hukum pidana. Istilah ini disebut juga dengan APS (Alternatif

Penyelesaian Sengketa)

‘Afw : secara etimologi al-‘Afw berarti memaafkan atau memberi maaf

kepada orang lain, juga dapat berarti menahan diri, menghapuskan dan

menggugurkan kesalahan orang lain padanya. Secara terminologi

adalah sikap memberi maaf dengan lapang dada yakni meringankan

dan menggugurkan kesalahan orang lain pada dirinya, serta tidak

menyimpan rasa dendam atau sakit hati dalam pergaulan antar

manusia.

Arbitrase : usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Perbedaannya dengan

mediasi adalah dalam arbitrase keputusan akhir adalah menang dan

kalah, kedua belah pihak yang menyelesaikan sengketa melalui

arbitrase harus sepakat dan menyetujui keputusan arbiter, sedangkan

dalam mediasi keduabelah pihak yang bersengketa saling berkompromi

dengan dibantu oleh seorang penengah untuk mencari penyelesaian

sengketa, hasil putusan tidak mengikat. Umumnya arbitrase digunakan

untuk penyelesaian sengketa ekonomi, sedangkan mediasi digunakan

untuk menyelesaikan sengketa baik perdata maupun pidana.

B

Ba>d}i’ah :yaitu luka memotong dan merobek daging

Balai Gadeng : Lembaga yang dipimpin oleh Wazi>r Mu‘adzam perdana menteri

dengan anggotanya terdiri dari Hulubalang delapan orang, Ulama tujuh

orang. Balai ini hampir sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional (BAPPENAS).

Balai Rong Sari : Lembaga yang dipimpin oleh Sultan malikul ‘Adil dan wakilnya

Qad}i malikul ‘Adil. Anggotanya terdiri dari hulu balang dan tujuh

orang Ulama. Balai ini hampir sama dengan Dewan Pertimbangan

Agung Sistem Negara Republik Indonesia

Page 244: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

230

D

Damai : Kesepakatan para pihak untuk berbaikan dengan ikhlas sehingga

merekakembali rukun seperti biasa dalam pergaulan sehari-hari.

Da>mi’ah : yaitu luka lecet yang sampai ada darah yang nampak namun tidak

sampai mengucur seperti air mata pada mata

Da>mighah : yaitu luka yang menembus selaput otak hingga ke otak

Da>miyah : atinya berdarah, yaitu luka yang sampai mengucurkan darah

Da>r al ‘adl :kawasan negri Islam yang dikuasai oleh pemerintahan yang sah, bukan

kawasan musuh dan bukan kawasan yang dikuasai oleh kelompok

pemberontak atau sparatis.

Da>r al baghy : yaitu kawasan yang dikuasai oleh kelompok pemberontak

Dinas Shari’at Islam :Lembaga struktural Pemerintah Daerah Aceh yang menangani

Shari’at Islam

Diyat : merupakan denda dalam bentuk uang atau hewan (yang telah

ditentukan shara‘) dengan jumlah yang telah diatur oleh sha>ri‘at Islam

yang diberikan korban kepada pelaku sebagai kompensasi dari

kejahatan mengenai anggota badan, untuk melakukan jalan damai

dalam sebuah permasalahan peradilan.

D}ima>n : Adalah denda dalam bentuk yang diberikan korban kepada pelaku

sebagai kompensasi dari kejahatan mengenai perusakan hak milik

suatu benda, untuk melakukan jalan damai dalam sebuah

permasalahan.

Dusun :Bagian dari gampong yang dipimpin oleh kepala duson,

bertanggungjawab kepada keuchik

E\

Ex Officio : Jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan

kewenangannya pada lembaga lain.

G

Gampong :Wilayah komunitas penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang

terendah (dibawah mukim0 dalam sistem administratif adat dan

pemerintahan di aceh. Gampong memiliki batas-batas, perangkat,

simbol adat, hak-hak pemakaian/penguasaan (pra) sarana, sumber

pendapatan. Dipimpin oleh seorang keuchik.

Ghas}ab : mengambil harta yang memiliki nilai, dihormati, dan dilindungi,

tanpa seizin pemiliknya dalam bentuk pengambilan yang

menyingkirkan ‚tangan‛ (kekuasaan) si pemilik harta itu.

H

Haria Peukan :Lembaga adat yang mengatur tata pasar, ketertiban, keamanan, dan

kebersihan pasar serta mengutip retribusi pasar.

H}a>rishah : luka lecet namun tidak sampai ada darah yang nampak;

Harta Mithli : harta yang memiliki kemiripan dengan yang lainnya, seperti motor

honda dibayar dengan motor honda.

Harta Qi>mi> : harta yang tidak ada benda lain yang serupa dengannya, tetapi ada

benda lain yang serupa nilainya seperti emas, perak.

Ha>shima : yaitu luka yang memecahkan tulang;

Page 245: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

231

H}ifdz al-ma>l : salah satu tujuan ditetapkannya shari>‘at Islam, termasuk kedalam

tujuan primer, yang berarti menjaga harta.

H}ifz} al nafs : jaminan hak atas setiap jiwa manusia untuk tumbuh berkembang

secara layak

H}ifz} al nasl : jaminan atas kehidupan setiap individu, jaminan masa depan

keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas.

H}irz bi al H}a>fiz} atau H}irz bi goirihi: suatu tempat yang bukan untuk menyimpan

barang tetapi tempat itu bisa dijadikan h}irz jika ada yang menjaganya

seperti di tempat parkiran, lapangan, masjid dan lain-lain.

H}irz bi al Maka>n: tempat penyimpanan harta yang berbentuk bangunan seperti

rumah, gedung, toko, kandang dan sebagainya yang berbentuk

bangunan.

H>{irz bi Nafsihi: penyimpanan harta yang dijaga oleh diri sendiri seperti cincin yang

sedang dipakai.

Huku>mah al ‘adl:suatu harta atau kompensasi yang besarnya ditentukan oleh hakim

dengan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman para ahli karena

suatu tindakan kejahatan fisik yang tidak ada keterangan dalil shara’

tentang berapa besaran harta kompensasinya

I

Imeum Chik : Imeum (imam) Mesjid Jamik pada tingkat mukim yang memimpin

kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bidang agama Islam

Imeum Meunasah :Imeum pada tingkat gampong yang bertanggungjawab terhadap

kegiatan masyarakat di gampong yang terkait masalah keagamaan.

Imeum Mukim :Pemimpin/kepala sebuah mukim

Al-Itla>f : yaitu perbuatan pengrusakan dalam istilah Islam, yaitu mengeluarkan

sesuatu dari kondisinya ya g bisa dimanfaatkan dan digunakan sesuai

dengan fungsinya yang semestinya. Tindakan ini adalah penyebab yang

menetapkan keharusan tanggungan denda, hal ini karena al-itla>f adalah

bentuk pelanggaran yang menimbulkan kerugian.

J

Ja>ifah : yaitu luka yang tembus sampai ke bagian dalam dari rongga dada

rongga perut, penggung janin, atau sampai pada bagian dalam antara

dua buah pelir, atau dubur, atau tenggorokan.

Jari>mah : berasal dari bahasa arab yang artinya perbuatan dosa atau tindak

pidana. Dalam terminologi hukum Islam jari>mah diartikan sebagai

perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut syara’ dan ditentuka

hukumannya oleh Tuhan, baik dalam sanksi-sanksi yang sudah

ditetapkan hukumannya maupun sanksi-sanksi yang belum ditetapkan

hukumannya.

Jari>mah H}udu>d: jari>mah yang diancam hukuman h}ad yaitu hukuman yang telah

ditentukan oleh syara’dan menjadi hak Allah, artinya bahwa hukuman

tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi

korban atau keluarganya).

Page 246: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

232

Jarimah Qis}a>s}: jari>mah yang diancam dengan hukuman qis}a>s} atau diyat dan

keduanya adalah hukuman yang ditentukan oleh syara’. Perbedaan

dengan hukuman h}ad adalah bahwa h}ad merupakan hak Allah,

sedangkan qis}a>s} dan diyat adalah hak adami dalam artian bahwa

hukuman tersebut bisa dihapuskan dan dimaafkan oleh korban atau

keluarganya.

Jari>mah Ta‘zi>r: jarīmah yang diancam dengan hukuman ta‘zi>r. Menurut bahasa

adalah ta’di>b atau memberi pelajaran, sedangkan menurut istilah

adalah hukuman pendidikan atas dosa yang hukumannya belum

ditentukan oleh syara’ dan hukuman diserahkan kepada ulil amri /

pemimpin/ pihak yang berwenang baik penentuannya maupun

pelaksanaannya.

Al-jira>h :Adalah luka yang diakibatkan oleh tindakan pelukaan pada anggota

badan selain kepala dan muka

Jurong : Jalan atau lorong yang terdapat di gampong

K

Keadilan restoratif: atau yang biasa dikenal dengan restorative justice merupakan

suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang melbatkan

masyarakat, korban, dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar

tercapainya keadilan bagi seluruh pihak sehingga diharapkan

terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum terjadi kejahatan dan

mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut.

Keadilan retributif: atau yang biasa dikenal dengan retributive justice adalah teori

keadilan yang menganggap hukuman itu merupakan respon yang

diterima secara moral sebagai kejahatan dengan penglihatan untuk

manfaat kepuasan dan psikologis yang dapat dilimpahkan kepada

pihak yang dirugikan, teman-teman dan masyarakat. Penekanan utama

pada keadilan retributif adalah penghukuman pelaku atas apa yang

mereka lakukan.

Kompensasi: adalah diyat atau pencarian kepuasan dalam suatu bidang untuk

memperoleh keseimbangan dari kekecewaan dalam bidang lain.

Keuchik : Kepala gampong, dipilih langsung oleh masyarakat serta diangkat

secara resmi oleh pemerintah kabupaten/kota.

Keujruen blang :Lembaga adat pelaksana temnis di gampong yang bertugas

menangani peraturan pembagian air untuk pertanian, dan membantu

keuchik dalam menyelesaikan sengketa pertanian

Khalwat/Meusum :Bersunyi-sunyi antar lelaki dan perempuan yang bukan mahram

di tempat tertutup atau asing

M

MAA : Majelis Adat Aceh, yaitu mejelis penyelenggara kehidupan adat di

Aceh yang struktur kelembagaannya dibentuk berdasarkan Qanun

Aceh nomor 3 Tahun 2003

Mahkamah Shar‘iyyah : Lembaga pengadilan agama di Provinsi Aceh, setara

dengan peradilan agama di Provinsi lain di indonesia

Page 247: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

233

Majelis Duduk : badan permusyawaratan kampung di kabupeten Aceh Tamiang

yang terdiri dari unsur Ulama, Tokoh masyarakat setempat, termasuk

pemuda dan perempuan, pemuka adat dan cerdik pandai/cendikiawan,

yang bertugas membantu keuchik.

Majelis Mahkamah : Lembaga yang beranggotakan 73 orang. Balai ini seperti DPR

RI.

Mas}lah}ah : adalah sesuatu yang mendatangkan kebaikan, (keselamatan, dsb).

Menurut istilah umum mas}lah}ah mendatangkan segala bentuk

kemanfaatan tau menolak segala kemungkinan yang merusak.

Mas}lah}ah tidak didasarkan pada penilaian akal manusia yang bersifat

relatif- subyektif dan dibatasi ruang dan waktu tetapi harus sesuai

petunjuk syara’ yang mencakup kepentingan dunia dan akhirat.

Ma’mu>mah :yaitu luka yang menembus hingga ke selaput otak;

Mediasi : adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga

yang netral yang tidak berpihak pada salah satu pihak manapun dan

mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa

untuk mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah

pihak.

Mesjid : Sarana Ibadah bagi umat islam, sekaligus berfungsi sebagai pusat

informasi dan kegiatan ditingkat mukim

Meunasah : Lembaga pusat kegiatan masyarakat gampong seperti halnya surau di

provinsi Sumatra Barat. Di Aceh juga digunakan sebagai tempat untuk

belajar agama atau penelitian, melakukan observasi dan menyelesaikan

sengketa yang timbul dalam masyarakat. Di beberapa tempat,

Meunasah menjadi pusat sosio-budaya pembangunan gampong.

Mono Trias Function : Tiga fungsi/tugas yang diemban pada satu jabatan,

contoh salah satunya adalah wewenang yang dimiliki oleh keuchik

gampong meliputi fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

MOU Helsinki :Memorandum of Understanding, Perjanjian damai antara

pemerintah Indonesia dan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus

2005 di kota Helsinki, Finlandia.

MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama, di wilayah lain di Indonesia

dikenal dengan MUI, lembaga ini didirikan berdasarkan Qanun Aceh

Nomor 3 tahun 2000

Mukim : Wilayah yang mengkoordinir beberapa gampong (6 sampai 10

gampong) dalam satu kawasan yang dipimpin oleh Imeum Mukim dan

bertanggungjawab kepada camat

Mumayyiz : batas dimana seorang anak telah wajib mengerjakan shalat lima

waktu sebelum memasuki masa akhir Baligh

Munaqqilah : yaitu luka yang memindahkan letak tulang dari posisi normalnya

setelah pecah

Mutaqawwim : harta yang secara shara‘ diperbolehkan untuk dimanfaatkan dan

digunakan dalam selain kondisi terpaksa atau darurat.

Mutala>himah: yaitu daging yang hilang dan terpotong ukurannya lebih banyak dari

daging yang terpotong pada luka ba>d}i’ah; keenam,

Page 248: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

234

Muwa>d}ih}ah : yaitu luka yang sampai merobek selaput tulanghingga tulang menjadi

nampak.

Mu‘tamidan : yaitu secara sengaja, maksudnya melakukan suatu kesalahan atau

kejahatan secara sengaja.

N

Narit Maja : dikenal juga dengan Hadih maja, yaitu Tutur perkataan orang-orang

bijak yang dapat dijadikan nasihat, petunjuk, petuah, ajaran, dan

larangan yang umumnya berkaitan dengan agama Islam, adat Istiadat,

pendidikan, dan kehidupan bermasyarakat.

Negeri : Kesatuan masyarakat hukum adat dalam wilayah pemerintahan

provinsi maluku

Negoisasi : maksudnya adalah proses tawar menawar dengan jalan berunding

untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama

antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dengan pihak (kelompok

atau organisasi) yang lain. Dapat juga dikatakan penyelesaian sengketa

secara damai dengan cara perundingan oleh pihak yang bersengketa.

Nis}a>b : dalam bahasa artinya adalah batasan. Menurut Hukum Islam dalam

hal pencurian seseorang dapat dikenai hukumanh}ad jika barang yang

diambilnya mencapai nis}a>b (batas minimal pencurian) yaitu ¼ dinar

emas atau 3 dirham perak

Non Ja>ifah :yaitu luka yang tidak sampai kebagian dalam dalam rongga tubuh,

seperti luka pada leher, tangan, dan kaki

P

Panglima Laot: Lembaga adat tingkat kemukiman yang membantu Imeum Mukim

dalam hal penyelesaian dan pengaturan adat istiadat dan kebiasaan

yang berlaku dibidang penangkapan ikan di laut, termasuk mengatur

tempat atau area penangkapan ikan, serta penyelesaian sengketa

terkait. Lazim juga disebut panglima Lhok.

Panglima Uteun : Lembaga adat ditingkat gampong yang membantu keuchik dalam

memimpin dan mengatur adat istiadat yang berkenaan dengan

pengelolaan dan pelestarian lingkungan dan hutan

Para-para Adat : Penyelesaian sengketa adat secara damai di Papua.

Pawang Glee : Pan glima Uteun

Pemangku Adat:Fungsionaris/ orang yang menduduki jabatan pada lembaga-

llembaga adat yang sangat di hormati oleh masyarakat.

Peusijuek Prosesi menepung tawari seseorang atau benda dengan maksud untuk

mendapatkan sempena atau kesejukan hati.

Peutua Seuneubok :Lembaga adat ditingkat gampong yang bertugas membantu

Keuchik dalam hal memimpin serta mengatur ketentuan-ketentuan

mengenai pembukaan dan penggunaan perladangan atau pekebunan

Q

Qadhaf : tuduhan palsu zina secara bahasa yaitu ramyu shai berarti melempar

sesuatu. Menurut istilah shara’ adalah melempar tuduhan zina kepada

orang lain yang karenanya mewajibkan hukuman had bagi tertuduh.

Page 249: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

235

Qa>nu>n :Peraturan perundang-undangan khusus untuk Aceh atau sejenis

peraturan daerah tingkat provinsi dan kabupaten lain yang mengatur

penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat.

R

Reusam : Aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan atau petunjuk –petunjuk adat

istiadat yang ditetapkan oleh Keuchik setelah mendapatkan

persetujuan Tuha Peuet gampong.

S

Sagoe : Federasi dari beberapa Nanggroe (hanya ada di Aceh besar), dipimpin

oleh masing-masing panglima sagoe.

Saniri Negeri : Badan musyawarah adat tingkat negeri yang terdiri dari putusan

setiap soa yang duduk ditingkat negeri

Sarak Opat : sistem pemerintahan tradisional masyarakat Gayo di kabupaten Aceh

tengah dan bener Meriah yang terdiri dari empat unsur, Reje, Petue,

Imem, Rakyat.

Sari>qah : artinya adalah pencurian yaitu mengambil harta orang lain dengan

sembunyi-sembunyi dari tempat yg semestinya. Pengambilan harta

selain pada definisi sariqoh di atas tidak terkategorikan sari>qoh.

Sayam : Suatu proses dalam peradilan adat yakni mengganti sejumlah

kerugian bagi si korban sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Proses ini hanya dilakukan pada kasus-kasus besar yang melukai

korban atau menyebabkan korban harus menjalani perawatan.

Al-shija>j : adalah luka yang diakibatkan oleh tindakan pelukaan pada anggota

badan kepala dan muka.

Simha>q : yaitu luka yang memotong daging hingga menampakkan lapisan kulit

halus (selaput tulang) yang terdapat antara daging dan tulang.

Staatsblad :Publikasi berkala yang diikuti dengan penomoran pemuatan yang

berisikan berbagai informasi yang berkaitan dengan segala bentuk

kebijakan, pengumuman, peraturan, dan perundangan yang dikeluarkan

oleh Badan, Lembaga, atau Pemerintah kolonial belanda. Saat ini lebih

dikenal dengan Lembaran Negara republik Indonesia.

Syahbanda : lembaga adat yang memimpin dan mengatur tambatan kapal/ perahu,

lalu lintas keluar dan masuk kapal/perahu dibidang angkutan laut,

danau dan sungai.

Syu Rei : Sebutan untuk Undang-Undang daerah pada masa pendudukan

Jepang.

T

Tajri>m :Yaitumenyatakan suatu tindakan menjadi kejahatan atau pemidanaan

Teungku :Sering disingkat dengan Tgk. Panggilan dan gelar kehormatan

Tihoo Hooin :Pengadilan Negeri masa pendudukan Jepang

Tuha Peuet :Lembaga adat ditingkat gampong atau mukim terdiri atas unsur

pemimpin adat dan tokoh agama, serdik pandai yang bertugas

memberikan nasihat dalam bidang hukum adat, adat istiadat,

kebiasaan-kebiasaan masyarakat, serta keagamaan kepada keuchik atau

Page 250: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

236

Imeum mukim, juga bertanggungjawab membantu keuchik atau imeum

mukim dalam menyelesaikan segala sengketa.

Tumpok : Bagian gampong berupa kumpulan rumah-rumah penduduk

membentuk sebuah kloni yang agak terpisah dari kampung Induk.

U

Al-Ubuwwah : Orang tua tidak dikenai hukuman qis}a>s} karena kejahatan dan

kekerasan fisik yang dilakukannya terhadap anaknya, sam aseperti

kasus kejahatan pembunuhan

Ujung : Bagian gampong yang terletak paling ujung.

Ulama :Orang yang ahli dan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang

agama Islam. Di Aceh, ulama merupakan figr yang sangat berpengaruh

dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Dalam

sejarah Aceh, ulama menjadi figur terdepan dalam melawan sejarah.

Ulee Balang :suatu kelompok adat di Aceh yang diangkat oleh sultan untuk

mengepalai suatu daerah otonom

Ulee Jurong :Pemimpin adat tingkat juroong

UNDP : United nation Development Programme, sebuah badan

perserikatan Bangsa-bAngsa yang bergerak dibidang pembangunan.

‘ursh : suatu harta kompensasi wajib yang telah ditentukan oleh shara’

karena suatu kejahatan terhadap fisik atau anggota tubuh.

Z

Zinā ghoiru muh}s}an/ muh}s}anah: yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum

bersuami/ istri. Hukuman bagi seorang pezina yang ghoiru muh}s}an/

muh}s}anah adalah dicambuk 100 kali lalu keduanya diasingkan selama

1 tahun. Setelah itu boleh menikah, bagi wanita yang hamil di luar

nikah maka dia tidak boleh menikah dalam keadaan hamil karena

pernikahan tersebut tidak sah.

Zinā muh}s}an/ muh}s}anah: yaitu zina yang taubatnya adalah sama dengan taubat

pelaku dosa maksiat dan harus ditambah hukumannya dengan rajam-

dilempari batu sampai mati, melempar batu sebesar kepalan tangan

kearah ulu hati bukan kearah kepala. Melemparnya tidak boleh kasian

dan tidak boleh benci. Ucapan ketika melempar adalah Bismillahi Allahuakbar.

Page 251: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

237

INDEKS

A

'Afw, 13, 205

Aceh, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 16, 17, 18, 19,

23, 51, 53, 54, 55, 57, 58, 59, 60,

61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69,

73, 74, 79, 80, 81, 82, 83, 85, 86,

87, 88, 89, 90, 91, 93, 95, 96, 100,

101, 102, 107, 109, 112, 116, 117,

121, 124, 132, 135, 140, 144, 145,

146, 147, 153, 154, 155, 156, 158,

159, 160, 161, 162, 163, 164, 165,

171, 172, 174, 177, 178, 180, 181,

182, 183, 185, 186, 190, 191, 192,

194, 199, 202, 207, 208, 209, 211,

217, 218, 219, 223

Aceh Besar, 11, 58, 65, 116

Adat, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 14, 16, 17,

18, 23, 24, 27, 28, 29, 30, 31, 38,

44, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 58,

59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67,

68, 69, 73, 78, 79, 80, 81, 82, 85,

86, 87, 88, 89, 90, 91, 96, 97, 100,

101, 102, 109, 111, 112, 113, 114,

115, 116, 117, 118, 121, 124, 135,

137, 138, 139, 140, 141, 142, 144,

145, 153, 155, 156, 162, 163, 171,

172, 175, 181, 183, 184, 185, 186,

192, 193, 194, 199, 200, 201, 202,

207, 208, 219

ADR, 2, 25, 33, 51

Al-Zuh}ayli>, 36, 94, 123

APS, 2, 48, 50

Arbitrase, 2, 21

B

Badruzzaman Ismail, 5, 6, 55, 57, 59,

60, 61, 62, 66, 79, 80, 82, 87, 88

Balai Gadeng, 60

Balai Rong, 60

Banda Aceh, 6, 11, 17, 55, 57, 58, 59,

61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69,

74, 79, 80, 82, 83, 85, 88, 90, 91,

93, 100, 102, 116, 124, 132, 154,

164, 171, 181, 191

Barda Nawawie, 22, 26, 34

Bener Meriah, 11, 72, 73, 82, 113,

114, 141, 167

C

Chindya, 14, 15, 218

D

Damai, 23, 60, 88

Denda, 47, 83, 99, 109, 122, 135, 153,

200, 208

Diyat, 51, 83, 109, 122, 135, 151,

153, 162, 163, 200

Dusun, 68, 147, 148

F

Fitnah, 201, 204, 207

FKPM, 63, 88, 93

Formal, 49, 109, 136, 153, 162, 183,

192, 200, 207

Frida Errikson, 13, 34, 52, 218

Fungsionaris Adat, 144, 181

G

Gampong, 5, 17, 55, 57, 59, 60, 63,

64, 65, 66, 68, 69, 70, 71, 72, 73,

74, 78, 79, 82, 83, 85, 86, 87, 88,

89, 93, 95, 96, 97, 98, 109, 110,

111, 112, 113, 114, 115, 116, 117,

118, 122, 124, 132, 135, 137, 138,

141, 142, 153, 154, 156, 162, 164,

Page 252: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

238

165, 175, 183, 186, 191, 192, 193,

194, 200, 201, 204, 207, 209, 211

Ghas}ab, 187, 192

H

Hadd, 162

Hadith, 204

Hadits, 36, 59, 60, 127, 135, 162,

183, 192, 202

Hakim, 1, 8, 21, 26, 28, 36, 44, 49,

51, 97, 98, 109, 112, 113, 114, 115,

118, 119, 122, 123, 135, 138, 140,

142, 152, 153, 162, 183, 184, 192,

200, 207

Hana>bilah, 127, 130, 150, 189, 198

Hanafi>yah, 105, 127, 130, 148, 149,

178, 188, 198

Hazairin, 54

hifz} al nasl, 178

Huku>mah al ‘adl, 148, 153

Hukum Adat, 4, 5, 6, 16, 18, 24, 27,

28, 29, 30, 31, 38, 44, 52, 53, 54,

57, 58, 62, 64, 66, 80, 81, 82, 85,

100, 101, 109, 135, 144, 145, 153,

156, 162, 171, 183, 192, 200, 207

Hukum Islam, 10, 11, 15, 35, 53, 54,

55, 102, 109, 126, 135, 147, 153,

160, 162, 177, 178, 180, 183, 187,

192, 197, 199, 200, 204, 207

Hukum Perdata, 185, 186

Hukum Pidana, 4, 5, 14, 15, 21, 29,

42, 43, 45, 47, 98, 99, 109, 118,

121, 123, 135, 143, 153, 156, 162,

173, 174, 178, 182, 183, 192, 194,

195, 199, 200, 202, 206, 207

I

Ibn Taimi>yah, 133 Imam Ahmad, 120

Imam Al Shafi‟i, 35,106,120,176

Imeum Meunasah, 66, 112, 113, 115,

117, 139, 141, 155

Imeum Mukim, 63, 67, 87

Itla>f, 102, 104, 109

J Jari>mah, 125

Jurong, 65

K

Kasus, 1, 4, 6, 11, 18, 30, 33, 37, 72,

75, 79, 80, 81, 82, 95, 97, 98, 101,

102, 103, 109, 110, 113, 116, 118,

121, 122, 124, 126, 131, 132, 135,

136, 143, 144, 145, 147, 153, 154,

156, 163, 165, 168, 171, 172, 177,

180, 181, 182, 184, 185, 187, 190,

191, 193, 194, 197, 199, 201, 202,

203, 204, 208, 209, 210, 211

Kathleen Dally, 15, 214

Kejahatan, 99, 134, 148, 159, 177,

187, 208

Keuchik, 59, 64, 66, 67, 70, 71, 72,

73, 74, 76, 82, 83, 86, 87, 95, 96,

98, 101, 103, 111, 112, 113, 114,

115, 116, 117, 118, 123, 136, 137,

138, 139, 141, 142, 144, 146, 147,

152, 155, 156, 165, 167, 168, 171,

172, 180, 184, 186, 189, 193, 205,

206, 209, 210

Keujruen blang, 136, 137

Khalwat, 68, 78, 154, 162, 165

Konflik, 4, 31, 68, 190, 191

Korban, 80, 82, 114, 115, 116, 117,

118, 123, 124, 139, 140, 141, 144,

165, 167, 169, 191, 210

KUHP, 13, 18, 29, 45, 46, 47, 48, 98,

99, 119, 120, 121, 122, 124, 143,

156, 157, 158, 159, 161, 172, 173,

174, 182, 194, 195, 197, 202, 203,

217

Page 253: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

239

L

Laka Lantas, 184, 200

Litigasi, 42, 47

MAA, 17, 23, 55, 57, 59, 62, 63, 65,

66, 67, 68, 69, 87, 88, 90, 91, 93,

181

Maliki>yah, 104, 108, 127, 148, 150,

179, 189, 198

Mediasi, 1, 2, 3, 4, 7, 10, 11, 13, 14,

21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29,

31, 32, 33, 34, 35, 38, 44, 49, 50,

51, 52, 57, 80, 81, 82, 90, 91, 92

Mediation, 2, 13, 21, 22, 23, 24, 25,

26, 30, 31, 32, 33, 34, 52

Mediator, 22, 24, 25, 26, 27, 40

Mesjid, 5, 58, 67, 74

Meunasah, 5, 59, 60, 64, 66, 70, 73,

82, 110, 112, 113, 115, 117, 139,

141, 147, 155, 186

MPU, 93

Mukim, 5, 6, 17, 59, 60, 63, 64, 66,

67, 68, 69, 70, 73, 78, 79, 83, 85,

86, 87, 88, 91, 96, 112, 113, 181,

186, 191

Mustafa Serdar Ozbek, 13, 34, 50, 52,

218

Musyawarah, 31, 37

N

Nanggroe, 5, 17, 54, 55, 57, 58, 60,

61, 65, 74, 75, 78, 85, 104, 115,

137, 151, 152, 169, 172

Non Litigasi, 47, 99, 126, 144, 154,

174, 183, 191, 198

P

Panglima Laot, 95, 96, 102, 103

Panglima Laut, 95, 96, 102, 103

Panitera, 70

Pasal, 2, 4, 7, 22, 23, 24, 29, 47, 52,

54, 62, 67, 68, 83, 84, 85, 87, 99,

109, 119, 120, 121, 135, 143, 153,

157, 158, 159, 160, 161, 165, 173,

174, 175, 176, 185, 192, 195, 196,

197, 200, 202, 203, 207, 209

Pelaku, 27, 99, 105, 106, 108, 110,

112, 113, 114, 115, 116, 117, 118,

122, 123, 124, 125, 129, 136, 137,

138, 139, 140, 141, 144, 145, 152,

154, 160, 163, 164, 165, 166, 167,

168, 169, 177, 208, 209, 210, 211

Pencurian, 1, 68, 110, 113, 115, 116,

118, 121, 135, 162, 163, 165

Penganiayaan, 75, 99, 122, 136, 138,

140, 143, 144, 145, 153, 163, 165

Penjara, 47, 200, 207

Perda, 5, 63, 89, 95

Pergub, 87

Perlindungan, 5, 27, 120

Perusakan, 95, 99, 102, 163, 165

Peusijuek, 147, 153

Pidana, 1, 4, 8, 14, 15, 21, 29, 31, 42,

43, 44, 45, 46, 47, 48, 56, 72, 84,

98, 99, 100, 109, 118, 119, 120,

121, 122, 123, 124, 135, 143, 153,

156, 157, 159, 162, 165, 166, 173,

174, 178, 182, 183, 192, 194, 195,

199, 200, 202, 203, 206, 207, 209,

210

Pidie, 11, 64, 76, 77, 81, 82, 95, 97,

110, 136, 138, 184, 186, 201

Pidie Jaya, 11, 77, 82, 97, 136

Q

60, 63, 65, 68, 83, 86, 87, 88, 89, 95,

96, 100, 109, 121, 126, 128, 130,

131, 132, 135, 153, 158, 159, 160,

162, 165, 172, 180, 183, 192, 194,

202, 207, 209

Qad}i, 53, 59, 60, 61, 109, 135, 153,

162, 183, 192, 200, 207

Qis}a>s}, 36, 38, 41, 145, 199, 205

Page 254: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

240

R

Reparation, 27

Restoratif, 1, 2, 14, 44, 100

Reusam, 59, 65, 96, 114, 172, 194,

202

S

s}ulh}, 7, 8, 10, 12, 14, 35, 36, 37, 38,

39, 40, 41, 44, 80, 151, 218, 220

Sabang, 11, 193, 194, 208

Sagoe, 59, 60

Sanksi, 6, 99, 101, 103, 109, 122,

123, 124, 132, 135, 153, 162, 180,

183, 192, 200, 207, 217

Sanusi M. Syarief, 191

Sarak Opat, 63, 88, 93

Sari>qah, 128, 135

Sayam, 81, 83

Sayuti Thalib, 54

Sayyid Sa>biq, 7, 35, 36, 39, 43, 177,

179

Sekretaris desa, 142

Sengketa, 2, 3, 4, 5, 10, 23, 25, 26,

30, 31, 32, 33, 37, 44, 49, 50, 52,

63, 64, 68, 86, 87, 88, 90, 109, 135,

153, 162, 163, 183, 192, 200, 207,

208, 219

Snouck Hurgronje, 53, 54

Staatsblad, 23, 52

Syahrizal Abbas, 24, 27, 28, 38, 44,

53, 54, 55, 80, 81, 82

T

Tapal Batas, 184, 192, 208, 209, 210,

211

Taubat, 133

Teori, 16, 18, 44, 45, 46, 48, 52, 53,

54

Teungku Meunasah, 59, 60, 64

Tuha Peuet, 59, 63, 64, 65, 66, 67, 70,

86, 95, 96, 98, 112, 113, 115, 117,

137, 139, 141, 155

U

Ulama, 36, 39, 59, 60, 61, 63, 67,

104, 105, 108, 126, 127, 128, 130,

148, 149, 150, 178, 179, 187, 188,

198

Ulee Jurong, 66

Uleebalang, 59, 60

Undang-Undang, 5, 7, 24, 28, 32, 33,

34, 47, 58, 60, 61, 62, 63, 84, 85,

86, 87, 99, 120, 121, 143, 156, 157,

159, 173, 174, 185, 186, 195, 203,

217

UNDP, 5, 7, 80, 88

V

VOM, 30

W

Wahbah Zuhayli>, 8, 9, 36, 37, 38, 39,

41, 42, 102, 105, 108, 126, 129,

130, 132, 133, 148, 149, 150, 151,

178, 179, 187, 188, 189, 190, 198,

199

W

Yurisprudensi, 18,47

Z

Zina, 158, 172, 177, 183

Page 255: Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPDrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41497/1/HIFDHOTUL... · antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu

241

RIWAYAT HIDUP

Nama : Hifdhotul Munawaroh

Kelahiran : Jakarta 22 Juni 1988

Alamat : Jl. Alur laut Gg. Waru 1 Rt. 005 Rw. 003 No. 27, Kec.

Koja, kel. Rawabadak selatan, Jakarta Utara, 14230

Telepon : 085745797870

e-mail : [email protected]

Pendidikan Formal :

Sekolah Dasar Wening (1994-1999)

Madrasah Tsanawiyyah Al Muhajirin (2000-2002)

Kulliyatu al-Mu’allima>t al-Isla>mi>yah (KMI) (2003-2006)

S1 Universitas Darussalam (ISID), Fak. Syari’ah, Prodi Perbandingan

Madzhab dan Hukum (PMH) (2007-2010)

S2 Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta (2013-2015)

Pengalaman Kerja

Staf Pengasuhan Santriwati Gontor Putri 3 (2007-2012)

Staf Pengajar di Kulliyatu al-Mu’allima>t al-Isla>mi>yah (KMI) 2006-

2012

Anggota Dewan Mahasiswi (DEMA) ISID, (2008-2009)

Staf Pengajar di MA Al-Rasyidi>yah Jakarta Utara 2014