pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

190
1 TESIS PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DALAM KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN NEGARA HUKUM DEMOKRATIS DI INDONESIA PUTU EVA DITAYANI ANTARI PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Upload: haque

Post on 31-Dec-2016

276 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

1

TESIS

PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DALAM

KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN NEGARA HUKUM DEMOKRATIS DI INDONESIA

PUTU EVA DITAYANI ANTARI

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2014

Page 2: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

2

TESIS

PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL

PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DALAM

KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN

NEGARA HUKUM DEMOKRATIS DI INDONESIA

PUTU EVA DITAYANI ANTARI

NIM : 1190561022

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2014

Page 3: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

3

Lembar Persetujuan Pembimbing

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 24 APRIL 2014

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. I Dewa Gde Atmadja, SH., MS Dr. I Dewa Gede Palguna, SH, M.Hum

NIP. 19441231 197302 1 003 NIP.19611224 198803 1 001

Mengetahui

Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana

Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana

Universitas Udayana

Dr. N.K. Supasti Darmawan, S.H., M.Hum., LLM Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)

NIP. 19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001

Page 4: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

4

PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL

PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DALAM

KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN

NEGARA HUKUM DEMOKRATIS DI INDONESIA

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

PUTU EVA DITAYANI ANTARI

NIM : 1190561022

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 5: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

5

Tesis Ini Telah Diuji

Pada 7 Mei 2014

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Nomor 1320/UN 14.4/Hk/2014 Tanggal 5 Mei 2014

Ketua : Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S.

Sekretaris : Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.

Anggota : 1. Prof. Dr. I Made Subawa, S.H., M.S.

2. Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.

3. Dr. Marhaendra Wija Atmaja, S.H., M.Hum.

Page 6: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

6

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Putu Eva Ditayani Antari

Program studi : Ilmu Hukum

Judul Tesis : Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

Masa Jabatannya dalam Kaitannyan dengan Upaya

Mewujudkan Negara Hukum Demokratis di Indonesia

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila

dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia

menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17

Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Denpasar, 21 Maret 2014

Yang menyatakan

Putu Eva Ditayani Antari

Page 7: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

7

UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastiastu,

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena

atas asung kertha wara nugraha-Nya Tesis dengan judul “Pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya dalam

Kaitannyan dengan Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis di

Indonesia” ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi

dalam menyusun skripsi ini, penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik

tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak

langsung, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Dewa Gde Atmadja, SH., MS, selaku Dosen Pembimbing I

yang telah membimbing dalam penyusunan Tesis ini dan juga selaku

Pembimbing Akademik.

2. Bapak Dr. I Dewa Gede Palguna, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II

yang telah membimbing dalam penyusunan Tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD., KEMD., yang nerupakan Rektor

Universitas Udayana.

4. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)., yang merupakan Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Page 8: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

8

5. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., yang merupakan

Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MH., LL.M., yang merupakan

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

7. Seluruh Pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana

yang telah memberikan pelayanan administrasi selama penulis menempuh

kuliah di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

8. Kedua orang tua penulis, I Wayan Sudita dan Ni Made Suryani, serta adik

semata wayang, Kadek Ria Ditayani Antari, yang telah memberikan

dukungan moril-materiil, semangat, doa, dan kepercayaannya selama proses

pengerjaan Tesis ini hingga selesai.

9. Suami penulis, Ida Bagus Agung Daparhita, S.H., dan putra penulis, Ida

Bagus Putra Mandara Ugracena yang selalu memberikan dukungan,

semangat, pengertian, dan doanya selama proses pengerjaan Tesis ini hingga

selesai.

10. Teman-teman penulis semasa menempuh perkuliahan di Program Pasca

Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, terutama Krisna Sintia,

Dwi Kristiani, Arya Prima, Richa, Evi, serta teman-teman konsentrasi Hukum

Pemerintahan angkatan 2011 dan teman-teman lainnya yang tidak dapat

disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebersamaan selama perkuliahan

dan motivasinya dalam penyelesaian tesis ini.

Meskipun Tesis ini telah selesai, namun didalamnya masih jauh dari

sempurna, hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan yang

Page 9: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

9

penulis miliki. Maka dari itu diharapkan adanya kritik, saran, bimbingan dan

petunjuk dari semua pihak sehingga dapat melengkapi dan menyempurnakan

Tesis ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak

terima kasih kepada semua pihak dan semoga Tesis ini dapat diterima serta

bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om.

Denpasar, 14 Januari 2014

Penulis

Page 10: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

10

ABSTRAK

Penelitian dalam tesis ini mengkaji mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia pasca dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. Terdapat 2 (dua) permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu berkaitan dengan alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dan model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang dianut di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945. Permasalahan pertama yaitu bahwa definisi perbuatan tercela sebagai salah satu alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden masih menimbukan multitafsir, sehingga perlu dikaji mengenai kriteria dari perbuatan tercela tersebut. Permasalahan kedua yaitu mengenai model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang dianut di Indonesia, terutama dengan adanya peran serta lembaga yudisial yaitu Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden bersama dengan DPR dan MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia dalam UUDNRI 1945 dapat dilihat dalam Pasal 7A dan 7B UUDNRI 1945. Lebih lanjut lagi, hal tersebut diatur pula dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009. Guna menganalisis permasalahan yang dikemukakan maka metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, pendekatan perbandingan, dan pendekatan konseptual. Berdasarkan analisis tersebut maka diperoleh simpulan bahwa perbuatan tercela sebagaimana tercantum dalam Pasal 7A UUDNRI 1945 memiliki makna luas sebagai pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat (norma agama, norma kesopanan, dan norma kesusilaan), pelanggaran hukum pidana lainnya sebagaimana diatur dalam KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana yang diuraikan dalam Pasal 7A UUDNRI 1945, serta pelanggaran hukum lainnya di luar ranah hukum pidana yang tertuang dalam setiap peraturan perundang-undangan, yang dapat merendahkan harkat dan martabat jabatannya. Selanjutnya mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia menganut model impeachment karena pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia merupakan keputusan yang amat ditentukan oleh faktor-faktor politik dalam lembaga perwakilan rakyat (MPR) dan melalui sistem pemungutan suara.

Kata Kunci : Perbuatan Tercela, Model Impeachment, Keputusan Politik

Page 11: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

11

ABSTRACT This thesis is a normative legal research that analysing the removal from office of President and/or Vice President in Indonesia after the amendment of UUD 1945. There are two research problems addressed regarding the reason behind the dismissal and dismissal model adopted in Indonesia after the amendment of UUD 1945. First problem, the definition of misconduct as one of the reason of President and/or Vice President dismissal often leads to multiple interpretations, therefore the criteria of misconduct need to be defined. Second problem related to dismissal model adopted in Indonesia, mainly with the involvement of judicial institutions such as Constitutional Court (Mahkamah Konstitusi) along with People’s Consultative Assembly (MPR) and House of Representative (DPR) in the dismissal mechanism. The dismissal mechanism is regulated in Article 7A and 7B UUDNRI 1945 and further in Act No. 24 of 2003 regulating Constitutional Court in conjuction with Act No. 8 of 2011 regulating Amendment of Act No. 24 of 2003 regulating Constitutional Court, Constitutional Court Regulation No. 21 of 2009. Several methodologies are employed to address the research problems such as normative legal study using statute approach, historical approach, comparative approach, and conceptual approach. Based on the study, misconduct as regulated under Article 7A UUDNRI 1945, has broad meaning as violation of norms in the society (religious norms, norms of decency, and moral norms), violation of other criminal law as regulated under KUHP which is not considered as criminal offense under Article 7A UUDNRI 1945, and violation of other laws other than criminal law which is regulated under specified regulation that can degrade the dignity of his/her position. Moreover, dismissal mechanism adopts an Impeachment model because the dismissal of President and/or Vice President of Indonesia is a political decision through People’s Consultative Assembly (MPR) and by means of voting.

Keyword : Misconduct, an Impeachment Model, Political Decision

Page 12: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

12

RINGKASAN

Tesis ini merupakan hasil penelitian penulis mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UUDNRI 1945. Hal tersebut penulis tuangkan ke dalam 5 (lima) bab yang terdiri dari bab pendahuluan, bab tinjauan umum, bab pembahasan inti permasalahan yang dituangkan dalam bab ketiga dan keempat, serta bab penutup sebagai bab terakhir yang berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian ini.

Bab I merupakan bagian pendahuluan dari tesis yang memuat permasalahan yang akan dikaji dalam tesis ini, dengan terlebih dahulu akan diuraikan mengenai latar belakang ketertarikan penulis meneliti permasalahan tersebut. Perubahan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia melalui amandemen UUD 1945 bertujuan memperkuat sistem presidensial yang dianut di Indonesia, dan perubahan tersebut memberikan bahasan kajian menarik mengenai alasan-alasan dan model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden berdasarkan UUDNRI 1945. Salah satu alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang disebutkan dalam Pasal 7A UUDNRI 1945 yaitu perbuatan tercela, yang mana definisi dari perbuatan tercela tersebut masih menimbulkan multitafsir karena penjelasan dalam UU MK dan PMK No. 21 Tahun 2009 mendefinisikan perbuatan tercela sebagai perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat jabatannya tentunya belum mampu menafsirkan perbuatan tercela tersebut secara jelas. Selanjutnya adanya peran Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia mengesankan proses peradilan di Mahkamah Konstitusi sebagai forum previligiatum, namun mekanisme politik di DPR dan MPR menunjukkan model impeachment. Oleh karena itu maka model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia sebagaimana diatur UUDNRI 1945 perlu untuk dikaji.

Bab II selanjutnya merupakan bab yang berisi tinjauan umum secara garis besar mengenai inti permasalahan yang akan membantu dalam membangun analisis untuk memperoleh jawaban dari permasalahan yang dikemukakan. Dalam subbab pertama akan terlebih dahulu diuraikan mengenai adanya pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam sistem presidensial, yaitu sebagai bentuk checks and balances atas kekuasaan eksekutif serta mekanisme pertanggungjawaban presiden dan/atau wakil presiden dalam melaksanakan jabatannya. Selanjutnya subbab kedua akan menguraikan doktrin pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen, Konstitusi RIS, UUDS 1950, serta UUDNRI 1945. Pada subbab terakhir diuraikan mengenai pranata pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden sebagai bentuk pertanggungjawaban presiden dan/atau wakil presiden atas kekuasaan yang ada padanya, baik berupa pertanggungjawaban secara politik maupun pertanggungjawaban hukum.

Bab III merupakan bab yang berisi pembahasan terhadap permasalahan pertama dalam penelitian ini yaitu mengenai kriteria perbuatan tercela sebagai alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia. Dalam subbab pertama terlebih dahulu akan diuraikan mengenai konsep perbuatan tercela

Page 13: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

13

secara etimologi berdasarkan pengertian yang terdapat dalam UU MK dan PMK No. 21 Tahun 2009, dan secara sosiologis dengan mengaitkannya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu pemahaman konsep perbuatan tercela juga merujuk pada konsep misdemeanors sebagai alasan pemberhentian presiden di Amerika Serikat yang ditafsirkan secara luas dan fleksible. Selanjutnya pada subbab kedua menguraikan hakikat jabatan presiden dan/atau wakil presiden dalam sistem presidensial dengan legitimasi jabatan yang kuat dan kekuasaan yang besar dalam pemerintahan sehingga sering disebut executive heavy. Hakikat jabatan presiden dan/atau wakil presiden tersebut kemudian dikaitkan etika jabatan, sehingga dapat memahami perbuatan tercela dalam kaitannya dengan jabatan merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan etika jabatan atau tidak pantas dilakukan oleh seseorang berkaitan dengan jabatannya. Pada subbab ketiga sebagai subbab terakhir akan diuraikan mengenai kriteria perbuatan tercela sebagai alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia, yaitu sebagai perbuatan yang melanggar norma-norma di masyarakat dan melanggar hukum dalam arti luas yaitu hukum yang terdapat dalam setiap peraturan perundang-undangan, dan bukan hanya pelanggaran hukum pidana semata.

Bab IV merupakan bagian pembahasan terhadap permasalahan mengenai model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang dianut di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945. Oleh karena itu maka pada subbab pertama akan diuraikan mengenai model-model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yaitu model impeachment dan model forum previlegiatum. Impeachment merupakan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden secara politik oleh lembaga perwakilan rakyat, sedangkan forum previligiatum merupakan suatu pengadilan khusus yang dibentuk guna memeriksa, mengadili, dan memutus pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Selanjutnya pada subbab kedua menguraikan model-model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang dipraktikkan di beberapa negara lain yang menganut sistem pemerintahan presidensial yaitu Amerika Serikat, Jerman, Korea Selatan, dan Filiphina. Masing-masing negara tersebut mempraktikkan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden tersendiri sesuai konstitusinya masing-masing, sehingga model pemberhentian presiden dan/atau wakil presidennya pun beragam meski sama-sama menganut sistem pemerintahan presidensial. Berdasarkan uraian di subbab kedua dan ketiga tersebut, akhirnya dalam subbab ketiga dapat dipaparkan model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di aIndonesia yang mengarah pada model impeachment. Hal ini karena pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia merupakan wewenang MPR selaku lembaga perwakilan rakyat dan pengambilan keputusannya dilakukan secara voting yang amat bergantung pada besarnya dukungan politik MPR terhadap presiden dan/atau wakil presiden.

Bab kelima merupakan bab terakhir dan bab penutup yang berisi paparan simpulan dari permasalahan yang dibahas dalam tesis, yang diperoleh dari uraian pada bab-bab terdahulu. Simpulan pertama yaitu bahwa perbuatan tercela sebagaimana tercantum dalam Pasal 7A UUDNRI 1945 memiliki makna luas sebagai pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat (norma

Page 14: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

14

agama, norma kesopanan, dan norma kesusilaan), pelanggaran hukum pidana lainnya sebagaimana diatur dalam KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana yang diuraikan dalam Pasal 7A UUD 1945, serta pelanggaran hukum lainnya di luar ranah hukum pidana yang tertuang dalam setiap peraturan perundang-undangan, yang mana pelanggaran tersebut dapat merendahkan harkat dan martabat jabatannya. Selanjutnya simpulan kedua berdasarkan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana diatur UUDNRI 1945 dan dibandingkan dengan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden negara lainnya, maka pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia menunjukkan model impeachment. Selain simpulan, dalam bab penutup ini juga dikemukakan saran agar definisi perbuatan tercela perlu dirumuskan lagi secara jelas dan dituangkan dalam suatu undang-undang agar tidak membuka peluang adanya upaya politisasi terkait alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Kemudian agar dalam mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di MPR sebagai tingkat pengambilan keputusan final lebih memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi secara sungguh-sungguh guna lebih menjaga penerapan sistem pemerintahan presidensial dan prinsip negara hukum.

Page 15: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

15

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................. ii

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ................................. iii

HALAMAN PERNYATAAN TELAH DIUJI ............................................. iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................... v

HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................... vi

HALAMAN ABSTRAK ................................................................................ ix

HALAMAN ABSTRACT .............................................................................. x

RINGKASAN ................................................................................................. xi

DAFTAR ISI .................................................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 11

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 11

1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 12

1.5 Orisinalitas Penelitian .................................................................... 13

1.6 Landasan Teoritis ........................................................................... 18

1.6.1 Ajaran Negara Hukum .................................................................. 18

1.6.2 Teori Sistem Pemerintahan ............................................................ 26

1.6.3 Teori Pertanggungjawaban ........................................................... 37

1.7 Metode Penelitian ........................................................................... 42

1.7.1 Jenis Penelitian ............................................................................... 42

1.7.2 Jenis Pendekatan ............................................................................ 43

1.7.3 Sumber Bahan Hukum .................................................................. 44

Page 16: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

16

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................ 46

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ...................................................... 47

BAB II PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN

DI INDONESIA .............................................................................. 48

2.1 Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Sistem

Presidensial ..................................................................................... 48

2.2 Doktrin Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

di Indonesia .................................................................................... 61

2.2.1 Sebelum Amandemen UUD 1945 ................................................... 64

2.2.2 Setelah Amandemen UUD 1945 ..................................................... 76

2.3 Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai

Pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden ............ 88

BAB III PERBUATAN TERCELA SEBAGAI ALASAN

PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN

DI INDONESIA ............................................................................ 94

3.1 Konsep Perbuatan Tercela ........................................................... 94

3.2 Perbuatan Tercela dalam Konteks Hakikat Jabatan Presiden

dan/atau Wakil Presiden .............................................................. 101

3.3 Kriteria Perbuatan Tercela sebagai Syarat Pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden .............................................................. 116

BAB IV MODEL PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL

PRESIDEN BERDASARKAN UUD 1945 ................................... 129

4.1 Model-model Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden129

4.1.1 Model Impeachment ..................................................................... 131

4.1.2 Model Forum Previlegiatum ......................................................... 136

Page 17: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

17

4.2 Model Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di

Beberapa Negara .......................................................................... 140

4.2.1 Amerika Serikat ........................................................................... 140

4.2.2 Jerman .......................................................................................... 143

4.2.3 Korea Selatan ............................................................................... 146

4.2.4 Filiphina ........................................................................................ 151

4.3 Model Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

di Indonesia ................................................................................... 154

BAB V PENUTUP .................................................................................... 163

5.1 Simpulan ....................................................................................... 163

5.2 Saran-saran .................................................................................. 164

DAFTAR BACAAN ................................................................................... 167

Page 18: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adanya dugaan keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus Bank

Century saat dirinya masih menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia

mengakibatkan timbulnya wacana bahwa kemungkinan akan terjadi proses

pemberhentian kepada Wakil Presiden Boediono dalam masa jabatannya . Apabila

memang mengarah pada pemberhentian Wakil Presiden dalam masa jabatannya,

maka inilah untuk pertama kali pasca amandemen Undang-Undang Dasar Tahun

1945 (sebelum amandemen istilah yang digunakan Undang-Undang Dasar Tahun

1945 yang disingkat UUD 1945, dan pasca amandemen istilah UUD 1945 diganti

menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

disingkat UUDNRI 1945) pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya akan dilaksanakan. Mekanisme pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden berdasarkan UUDNRI 1945 berbeda dengan

UUD 1945. Salah satu perbedaannya adalah adanya peran serta Mahkamah

Konstitusi di dalamnya bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Oleh karena itu, maka pembahasan

mengenai pranata pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden mengemuka.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sebelum dilaksanakannya

amandemen UUD 1945 setidaknya ada 2 (dua) orang Presiden Republik Indonesia

yang mengalami pemberhentian dalam masa jabatannya, yaitu Ir. Soekarno dan

Page 19: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

19

K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pemberhentian Presiden Soekarno dalam

masa jabatannya oleh MPRS melalui Sidang Istimewa MPRS Tahun 1967 dengan

Ketetapan MPRS Nomor XXXIII Tahun 1967 karena diduga telah terlibat dengan

Gerakan 30 September 1965. Berbeda dengan alasan pemberhentian Presiden

Abdurrahman Wahid dilakukan oleh MPR pada Tahun 2001, yang disebabkan

Presiden diduga menerima dana bantuan dari Sultan Brunei dan terlibat pencairan

dana Yanatera Bulog.1

Mekanisme pemberhentian kedua Presiden tersebut dalam masa

jabatannya berdasarkan UUD 1945 cenderung mengarah pada unsur-unsur politis

yaitu adanya pertentangan antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Presiden (sengketa

kewenangan antar lembaga negara). Penjelasan UUD 1945 tentang Sistem

Pemerintahan Negara yang menyatakan bahwa kekuasaan negara tertinggi di

tangan MPR, dan Presiden merupakan mandatarisnya sehingga Presiden dipilih,

diangkat, dan diberhentikan oleh MPR. Oleh karena itu maka Presiden harus

tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.

Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden UUD 1945 diatur

dalam Tap. MPR Nomor III Tahun 1978 yang menentukan Majelis dapat

memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya karena:

1. atas permintaan sendiri; 2. berhalangan tetap; dan 3. sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan pemberhentian tersebut

harus melalui pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR yang khusus diadakan untuk itu.2

1 Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung., hal. 9. 2 Ibid., hal. 14.

Page 20: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

20

Ketentuan di atas oleh Abdul Rasyid Thalib disebut sebagai sistem

pertanggungjawaban masih menimbulkan multitafsir. Satu sisi Presiden dapat

diberhentikan dalam masa jabatannya, pada sisi lainnya Presiden dapat saja

menyatakan dirinya berhenti (pernyataan sepihak) atas permintaan sendiri.

Pemberhentian Ir. Soekarno dan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden

dalam masa jabatannya dilakukan dengan sistem pertanggungjawaban, yang

prosedurnya belum terperinci, tata cara pembuktian yang tidak jelas dan tidak

konsisten, sekaligus dengan dasar-dasar pengambilan keputusan yang tidak tertib.3

Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

masa jabatannya kemudian mengalami perubahan pasca amandemen UUD 1945.

Dalam UUDNRI 1945 ketentuan mengenai pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden dalam masa jabatannya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat

(3), Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945. Pasal 3 ayat (3)

UUDNRI 1945 menyatakan bahwa MPR hanya dapat memberhentikan Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.

Selanjutnya Pasal 7A UUDNRI 1945 menguraikan alasan-alasan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, sedangkan Pasal 7B

UUDNRI 1945 akan menguraikan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Pasal 24C ayat (2) UUDNRI 1945

merupakan dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk berperan serta dalam

mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya, yaitu untuk wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

3 Ibid., hal. 15

Page 21: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

21

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil

Presiden menurut Undang-Undang Dasar

Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya yang sebelum amandemen diatur dalam Tap. MPR Nomor III Tahun

1978, pasca amandemen dirubah berdasarkan ketentuan Pasal 7A UUDNRI 1945

yang menyatakan bahwa:

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Berdasarkan rumusan Pasal 7A UUDNRI 1945 tersebut, maka dapat diketahui

bahwa alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila terbukti:

a. melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela lainnya, yang merupakan aspek pidana.

b. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai aspek tata negara dan administratif.4

Ketentuan Pasal 7A kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 7B

UUDNRI 1945 yang pada intinya mengatur mekanisme pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Usul DPR mengenai

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya atas

dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum

dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

terlebih dahulu harus dibuktikan dengan cara mengajukan permintaan kepada

Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan DPR

4 Ibid., hal. 45.

Page 22: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

22

tersebut. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan dugaan DPR bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum

dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,

maka DPR dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden tersebut kepada MPR. Usulan DPR tersebut kemudian ditanggapi MPR

dengan menyelenggarakan sidang paripurna berkaitan dengan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Dalam sidang tersebut

Presiden dan/atau Wakil Presiden diberikan kesempatan untuk menyampaikan

penjelasan terlebih dahulu, selanjutnya barulah MPR mengambil keputusan

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

Berdasarkan ketentuan dalam UUDNRI 1945 yang mengatur mengenai

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, dapat

dilihat masih terdapat permasalahan hukum, yaitu adanya kekaburan norma dalam

Pasal 7A UUD 1945 mengenai alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya. Adanya norma kabur tersebut dapat

menghambat penegakan ajaran negara hukum, karena akan menimbulkan

penafsiran beragam dan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Norma kabur

dalam Pasal 7A UUDNRI 1945 yang dimaksud adalah kriteria perbuatan tercela

yang dapat digunakan sebagai alasan melaksanakan pemberhentian tersebut.

Dalam UUD 1945 tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai apa yang digolongkan

sebagai perbuatan tercela tersebut.

Penjelasan mengenai pengertian perbuatan tercela selanjutnya dinyatakan

dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman

Page 23: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

23

Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan

Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (selanjutnya disebut PMK

Nomor 21 Tahun 2009). Dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 PMK Nomor 21

Tahun 2009 dinyatakan bahwa perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat

merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Namun ketentuan

tersebut pun masih belum jelas karena perbuatan yang dapat merendahkan

martabat seseorang sangat beragam ditinjau dari nilai-nilai kesopanan, kesusilaan,

agama, dan sebagainya. Selain itu, perbuatan-perbuatan pidana yang dapat

dipergunakan sebagai alasan Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

sebagaimana diatur Pasal 7A UUD 1945 juga merupakan perbuatan tercela yang

dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu

pengkhianatan negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya.

Sehingga pengertian perbuatan tercela tersebut perlu dipertegas lagi dan

ditentukan kriteria atau batasannya, agar tidak menimbulkan kerancuan dan

permasalahan di kemudian hari.

Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7B UUDNRI 1945, serta merujuk pula pada

Pasal 24C ayat (2) UUDNRI 1945 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya dibandingkan sebelum amandemen UUD 1945. Sebelum amandemen

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya

cenderung menunjukkan nuansa politis sehingga mengarah pada model

impeachment. Sedangkan berdasarkan Pasal 7B dan Pasal 24C ayat (2) UUDNRI

Page 24: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

24

1945, terdapat mekanisme hukum dan mekanisme politik yang terjadi dalam

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

Mekanisme hukum ditunjukkan dengan adanya proses persidangan di Mahkamah

Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR mengenai

kebenaran alasan-alasan yang digunakan DPR untuk mengajukan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya ke MPR. Sedangkan

mekanisme politik ditunjukkan dengan proses pengambilan keputusan berkaitan

dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di MPR, yang tidak

terikat pada putusan Mahkamah Konstitusi.

Adanya mekanisme politik dan mekanisme hukum dalam pemakzulan di

Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945 berkaitan pula dengan model

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang

dianut di Indonesia, antara impeachment atau forum previlegiatum. Model

impeachment ditunjukkan dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden diselenggarakan oleh suatu lembaga politik yang mencerminkan wakil

seluruh rakyat, melalui penilaian dan keputusan politik dengan syarat-syarat dan

mekanisme yang ketat. Contoh model impeachment ini dapat dilihat di Amerika

Serikat, dimana pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dilaksanakan

oleh Congress yang merupakan lembaga perwakilan rakyat yang terdiri dari

House of Representative dan Senate. Sementara itu, forum previlegiatum

merupakan model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui

Page 25: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

25

lembaga peradilan khusus ketatanegaraan yang pada dasarnya adalah pelanggaran

hukum berat yang ditentukan dalam konstitusi dengan putusan hukum pula.5

Terhadap hal tersebut Mahfud M.D. berpandangan bahwa Indonesia

menganut model campuran antara impeachment dan forum previlegiatum. Hal ini

karena pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dimulai dari

penilaian dan keputusan politik di DPR (impeachment). Setelah itu dilanjutkan ke

pemeriksaan dan putusan hukum oleh Mahkamah Konstitusi (forum

previlegiatum), lalu dikembalikan lagi ke prosedur impeachment di DPR untuk

selanjutnya diteruskan ke MPR. Pada MPR pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden akan diputuskan secara politik. Oleh karena itulah menurut

Mahfud M.D. tepat bila dikatakan UUDNRI 1945 menganut sistem campuran

antara mekanisme impeachment dan forum previlegiatum, yakni dari

impeachment ke forum previlegiatum dan kembali ke impeachment lagi.6

Pandangan yang dikemukakan oleh Mahfud M.D. ini memang ada

benarnya bahwa terdapat model impeachment dan forum previlegiatum dalam

mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya berdasarkan ketentuan UUDNRI 1945, namun kurang tepat apabila

dikatakan merupakan campuran dari kedua model tersebut. Apabila ditinjau dari

letak kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden

dalam masa jabatannya yang berada pada MPR yang merupakan lembaga politis

dan cenderung menunjukkan mekanisme politis, maka lebih cenderung

menunjukkan bahwa Indonesia menganut model impeachment.

5 Moh. Mahfud M.D., 2011, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 143.

6 Ibid., 142-143.

Page 26: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

26

Keikutsertaan Mahkamah Konstitusi yang menunjukkan adanya

mekanisme hukum, tidak mempengaruhi pengambilan keputusan akhir mengenai

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang

berada pada MPR. Kewenangan Mahkamah Konstitusi terbatas pada menyatakan

benar atau tidak usulan DPR mengenai alasan mengajukan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya ke MPR. Selain itu

MPR tidak ada kewajiban untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi

mengenai usul DPR yang digunakan sebagai alasan mengajukan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya ke MPR. Sehingga

dilihat dari kewenangan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

masa jabatannya yang berada pada MPR maka mekanisme politis lah yang

cenderung lebih menentukan dalam pemakzulan di Indonesia. Dengan kata lain

menganut model impeachment yang terdapat ciri forum previlegiatum dalam

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut

UUDNRI 1945.

Uraian yang telah dikemukakan di awal menunjukkan bahwa mekanisme

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya pasca

amandemen menjadi topik bahasan yang menarik untuk dikaji dengan adanya

permasalahan hukum terkait norma-norma yang mengatur pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya sebagaimana diatur

dalam UUDNRI 1945. Selain menarik untuk dikaji, berdasarkan uraian di atas

maka bahasan ini juga penting untuk dikaji karena beberapa alasan sebagai

berikut: Pertama, bahwa mekanisme/prosedur pemberhentian yang diatur dalam

Page 27: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

27

UUD 1945 berbeda dengan yang diatur dalam UUDNRI 1945, dimana

berdasarkan UUDNRI 1945 pemberhentian telah disertai dengan mekanisme

yang terperinci dan berdasarkan alasan-alasan yang sah menurut hukum setelah

melalui tata cara pembuktian yang jelas dan konsisten di Mahkamah Konstitusi.

Kedua, bahwa dalam ketentuan Pasal 7A UUDNRI 1945 berkaitan dengan alasan

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia masih terdapat

kekaburan norma mengenai kriteria perbuatan tercela yang digunakan sebagai

alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kriteria perbuatan

tercela yang dijadikan sebagai alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden perlu diperjelas guna memberikan kepastian hukum dalam rangka

menegakkan ajaran negara hukum di Indonesia. Ketiga, bahwa dalam mekanisme

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia sebagaimana yang

diatur dalam UUD 1945 terdapat mekanisme hukum dan mekanisme politik, yang

berkaitan dengan model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang

dianut apakah impeachment atau forum previlegiatum. Model impeachment

ditunjukkan dengan mekanisme politik yang dilaksanakan di DPR dan MPR,

sedangkan model forum previlegiatum ditunjukkan dengan mekanisme hukum

yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka mekanisme

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden perlu untuk dikaji dan akan

ditulis dalam tesis yang berjudul “PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU

WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DALAM KAITANNYA

Page 28: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

28

DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN NEGARA HUKUM DEMOKRATIS DI

INDONESIA.”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dikemukakan rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Apakah kriteria perbuatan tercela yang dijadikan sebagai alasan

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya

di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945?

2. Bagaimanakah model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

dalam masa jabatannya yang dianut di Indonesia berdasarkan UUDNRI

1945?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

memahami mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

masa jabatan di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945, yang berbeda dengan

mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD

1945, terutama dengan adanya peran serta Mahkamah Konstitusi di dalam

mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatan

di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945.

Page 29: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

29

b. Tujuan Khusus

Sementara tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:

- Mengetahui dan menganalisis kriteria perbuatan tercela yang dapat

dijadikan alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

masa jabatannya di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945 dan

keterkaitannya dengan upaya untuk mewujudkan negara hukum.

- Mengetahui dan menganalisis model pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang dianut dalam mekanisme

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya di

Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945, serta kesesuaian model yang dianut

dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan negara hukum.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memberi

masukan yang dirasa bermanfaat guna pengembangan studi hukum

ketatanegaraan, khususnya mengenai mekanisme atau proses pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya berdasarkan mekanisme

yang telah ditetapkan dalam UUDNRI 1945. Pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden dalam masa jabatannya berdasarkan UUDNRI 1945 melibatkan 3

(tiga) lembaga negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), dan Mahkamah Konstitusi. MPR merupakan lembaga

negara yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan pemberhentian presiden

Page 30: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

30

dan/atau wakil presiden berdasarkan atas usul DPR. Usul DPR ini sebelumnya

telah dimohonkan kebenaran alasan untuk melaksanakan pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden kepada Mahkamah Konstitusi.

b. Manfaat Praktis

Manfaat Praktis penelitian ini tidak hanya ditujukan kepada penulis

sendiri, tetapi juga kepada institusi dan masyarakat, khususnya mahasiswa

fakultas hukum dalam mempelajari hukum ketatanegaraan sehingga mampu lebih

peka terhadap masalah-masalah ketatanegaraan yang terjadi dan mampu

menganalisisnya guna memberikan masukan pendapat bagi permasalahan

tersebut.

Bagi institusi, penelitian ini bermanfaat guna memberikan sumbangan

bagi pengembangan studi di bidang Hukum Tata Negara, khususnya yang terkait

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia berdasarkan UUD

1945. Bagi penulis sendiri, penelitian ini dirasa bermanfaat membantu penulis

dalam memahami proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

masa jabatannya di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945, terutama mengenai

alasan/kriteria dan sistem pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

masa jabatannya di Indonesia berkaitan dengan upaya mewujudkan negara hukum

dalam sistem pemerintahan presidensial. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian

ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai masukan pengetahuan

berkaitan dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di

Indonesia sebagaimana yang telah diatur dalam UUDNRI 1945.

Page 31: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

31

1.5 Orisinalitas Penelitian

Usulan penelitian dalam bidang ilmu hukum yang diajukan penulis

merupakan hasil dari gagasan dan pemikian dari penulis sendiri, berdasarkan

adanya mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945 yang melibatkan 3 (tiga)

lembaga yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR), dan Mahkamah Konstitusi. Mekanisme pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden sebagaimana yang diatur dalam UUDNRI 1945

menunjukkan bahwa terdapat mekanisme hukum dan politik yang berlangsung di

dalamnya, yang berkaitan erat dengan model pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden yang dianut antara impeachment atau forum previlegiatum. Selain

membahas mengenai model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang

dianut UUDNRI 1945, juga akan diuraikan mengenai kekaburan norma dalam hal

alasan pemberhentian sebagaimana diatur Pasal 7A UUDNRI 1945 yaitu

mengenai kriteria perbuatan tercela yang dipergunakan sebagai alasan dalam

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Pembahasan kedua

permasalahan juga dikaitkan dengan ajaran negara hukum yang dianut di

Indonesia.

Penelitian tesis ini akan dilakukan penulis melalui penelusuran bahan

hukum, baik berupa peraturan perundangan maupun literatur hukum yang terkait

dengan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini. Bahan hukum

tersebut selanjutnya dikumpulkan dan dianalisis secara mandiri berdasarkan

beberapa landasan teoritis yang dipergunakan dalam penelitian ini. Namun penulis

Page 32: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

32

menyadari bahwa terdapat beberapa tulisan ilmiah lain yang memiliki bahasan

hampir sama dengan penelitian ini yaitu berkaitan dengan mekanisme

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, antara lain:

1. Judul Penelitian : Pemakzulan Presiden di Indonesia

Penulis : Hamdan Zoelva (Universitas Padjajaran)

Hal yang dikaji :

- Apakah pemakzulan di Indonesia merupakan proses hukum atau proses

politik?

- Apakah pengaturan serta praktek pemakzulan presiden di Indonesia telah

sejalan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi?

- Apakah proses pemakzulan di Indonesia didasarkan pada pertimbangan

hukum atau pertimbangan nonhukum?

2. Judul Penelitian : Mekanisme, Wewenang, dan Akibat Hukum

Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Penulis : Wiwik Budi Wasito (Universitas Indonesia)

Hal yang dikaji :

- Bagaimana mekanisme, wewenang, dan akibat hukum pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia?

Page 33: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

33

- Bagaimana sifat putusan Mahkamah Konstitusi dalam hukum

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden?

3. Judul Penelitian : Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Penulis : Agus Trioka Mahendra Putra (Universitas Udayana)

Hal yang dikaji :

- Bagaimanakah pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam

sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia serta perbandingannya

dengan negara lain?

- Bagaimanakah mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 setelah perubahan?

4. Judul Penelitian : Perbandingan Konstitusional Pengaturan

Impeachment Presiden dan Wakil Presiden antara

Republik Indonesia dengan Amerika Serikat dalam

Mewujudkan Demokrasi

Penulis : Harris Fadillah Wildan (Universitas Sebelas Maret)

Hal yang dikaji :

Page 34: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

34

- Bagaimanakah persamaan dan perbedaan pengaturan impeachment

Presiden dan Wakil Presiden antara Republik Indonesia dengan Amerika

Serikat ditinjau dari konstitusionalisme?

- Bagaimana seharusnya pengaturan impeachment Presiden dan Wakil

Presiden dalam Konstitusi Republik Indonesia sebagai negara

demokrasi?

Perbedaan tesis ini dengan tulisan-tulisan yang dipaparkan di atas terletak

pada fokus kajiannya, dimana kajian dalam tesis ini berkaitan dengan kriteria dari

perbuatan tercela yang dipergunakan sebagai alasan pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden di Indonesia. Selain itu dalam tesis ini juga mengkaji

model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia, antara

impeachment atau forum previlegiatum atau merupakan kombinasi dari kedua

model tersebut. Kedua masalah yang dikaji dalam tesis ini tidak dibahas dalam

tulisan-tulisan lainnya, sehingga tulisan ini murni merupakan hasil pemikiran dan

gagasan dari penulis sendiri.

Tulisan-tulisan diatas antara lain membahas mengenai mekanisme

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia, perbandingannya

dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di negara

lain, mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sesuai

dengan prinsip demokrasi dan negara hukum yang dianut di Indonesia, serta dasar

pertimbangan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Page 35: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

35

1.6 Landasan Teoritis

1.6.1 Ajaran Negara Hukum

Ajaran negara hukum juga dipergunakan sebagai landasan teoritis yang

relevan dipergunakan dalam penelitian ini. Hal ini karena ajaran negara hukum

merupakan hal yang ingin diwujudkan di Indonesia berdasarkan UUD 1945 sejak

awal kemerdekaan hingga pasca amandemen. Dalam negara hukum, hukum

memiliki kedudukan tertinggi dalam negara sehingga setiap hal dilaksanakan

berdasarkan aturan hukum yang berlaku, termasuk mengenai pemakzulan.

Ajaran negara hukum berkaitan dengan model pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden yang dianut, dipergunakan untuk menentukan hendaknya

model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden mana yang sesuai dengan

ajaran negara hukum tersebut. Selanjutnya ajaran negara hukum juga harus

diwujudkan dalam alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang

diuraikan dalam UUDNRI 1945, dimana harus terdapat kepastian hukum

mengenai alasan untuk dapat mengajukan pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden ke MPR. Seperti diketahui bahwa masih terdapat kekaburan norma

mengenai kriteria perbuatan tercela yang dapat dijadikan alasan pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUDNRI

1945 karena tidak terdapat penjelasan lebih lanjut dalam ketentuan pasal tersebut

mengenai hal yang dimaksud perbuatan tercela. Oleh karena itu dalam rangka

mewujudkan negara hukum di Indonesia perlu untuk dikaji mengenai kriteria

perbuatan tercela yang dapat dijadikan alasan pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden, sehingga dapat menentukan kriteria perbuatan tercela yang dapat

Page 36: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

36

dipergunakan sebagai alasan mengajukan pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden dan memberikan kepastian hukum dalam rangka upaya mewujudkan

negara hukum. Oleh karena itu berikut ini akan diuraikan mengenai ajaran negara

hukum, dalam berbagai bentuknya, baik itu Rechtsstaat maupun Rule of Law.

Dalam suatu Negara Hukum diidealkan bahwa yang harus dijadikan

panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik

ataupun ekonomi. Karena itu, istilah yang biasa digunakan di Inggris dan negara-

negara yang menganut sistem hukum Common Law untuk menyebut prinsip

Negara Hukum adalah “the rule of law, not of man” (pemerintahan berdasarkan

hukum, bukan berdasarkan kehendak manusia),7 sehingga pemerintahan yang

berdasarkan atas hukum merupakan pemerintahan yang menjunjung tinggi

supremasi hukum. Hukum ditempatkan sebagai acuan atau patokan tertinggi

dalam penyelengaraan negara dan pemerintahannya, yang sesuai dengan ajaran

kedaulatan hukum yang menempatkan hukum sebagai sumber kedaulatan.

Negara hukum merupakan suatu konsep yang lahir dari adanya

pertentangan terhadap kekuasaan raja yang tirani dan cenderung totaliter. Dalam

negara hukum kekuasaan negara dan politik bukanlah tidak terbatas (tidak

absolut), sehingga perlu dilakukan pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan

dan kekuasaan negara dan politik tersebut. Hal ini semata-mata bertujuan untuk

menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. Pembatasan

terhadap kekuasaan negara dan politik dilakukan dengan jelas dan tidak dapat

dilanggar oleh siapa pun. Oleh karena itu dalam suatu negara hukum, hukum akan 7 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, http://jimly.com/makalah/namafile/57/ Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, diakses tanggal 7 November 2011.

Page 37: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

37

memainkan peranan yang penting, serta berada di atas kekuasaan negara dan

politik yang menimbulkan munculnya istilah pemerintah di bawah hukum

(goverment under the law).8 Adapun beberapa istilah yang dikenal untuk

menyebut negara hukum antara lain Rechtstaat (Belanda), Rule of Law (Inggris),

Etat de Droit (Prancis), dan Stato di Doritto (Italia).9

Konsep negara hukum ini serupa dengan pandangan Krabbe yang

mengemukakan istilah souvereiniteit van het recht (kedaulatan hukum) yang

artinya semua harus tunduk pada hukum, baik pemerintah maupun yang

diperintah (rakyat) harus tunduk pada hukum.10 Ajaran kedaulatan hukum

menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum dijadikan sebagai

guiding principle bagi segala aktivitas organ-organ negara, pemerintah, pejabat-

pejabat, beserta rakyatnya. Dengan demikian, negara melalui pemerintahan

ditingkat pusat maupun di tingkat daerah untuk dapat mewujudkan ketertiban

masyarakat memerlukan adanya suatu sistem pengendalian masyarakat, yang

salah satu upayanya adalah melalui hukum.11

Konsep negara hukum pertama kali dikemukakan oleh Plato dengan

menyatakan bahwa sebuah negara haruslah berdasarkan peraturan yang dibuat

rakyat. Pandangan ini kemudian semakin berkembang hingga Immanuel Khan

8 Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung,

hal. 2. 9 Ibid. 10 Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 78. 11 Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya,

Remadja Karya, Bandung, hal. 11.

Page 38: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

38

untuk pertama kali mencetuskan konsep Rechtstaat yang memandang negara

sebagai alat perlindungan hak asasi individual.12

Perlindungan terhadap hak-hak asasi individual menjadi esensi dalam

negara hukum karena pada masa itu sistem negara totaliter/diktator sering kali

memperlakukan rakyat dengan semena-mena tanpa memperhatikan harkat,

martabat, dan hak-haknya. Dengan demikian sejak kelahirannya, konsep negara

hukum dimaksudkan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa negara

agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya dan bertindak sewenang-wenang

untuk menindas rakyatnya.13

Konsep negara hukum merupakan hal yang diterapkan oleh banyak

negara-negara modern di masa sekarang, termasuk di Indonesia yang secara

konstitusional diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945. Negara

hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja mengandung pengertian negara yang

berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang

sama di hadapan hukum.14 Munir Fuady berdasarkan sejarah munculnya konsep

negara hukum berpandangan bahwa negara hukum merupakan suatu sistem

kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang

tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut, baik

yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk pada hukum yang sama,

sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang yang

berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional. Lebih

lanjut beliau menyatakan bahwa dalam negara hukum kewenangan pemerintah

12 Abdul Rasyid Thalib, loc. cit. 13 Munir Fuady, op. cit., hal. 2-3. 14 Abdul Rasyid Thalib, op. cit., hal. 44.

Page 39: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

39

dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak

bertindak sewennag-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat dan karenanya

kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan perannya secara

demokratis.15

Secara konseptual, istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan

2 (dua) istilah bahasa asing yaitu Rechtstaat dan Rule of Law, namun kedua istilah

tersebut haruslah dibedakan. Rechtstaat merupakan istilah dari bahasa Belanda

yang digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum yang diterapkan di negara-

negara yang menganut civil law system. Istilah Rule of Law berasal dari bahasa

Inggris dan digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum dari nega-negara yang

menganut common law system. Secara konseptual perbedaan antara Rechtstaat

dan Rule of Law adalah bahwa konsep Rechtstaat lahir dari suatu perjuangan

menentang absolutisme, sehingga berwatak revolusioner. Sedangkan Rule of Law

lahir dari yurisprudensi dan perkembangannya bersifat evolusioner.16 Unsur-unsur

Rechtstaat menurut Frederich Julius Stahl terdiri atas 4 (empat) unsur pokok,

yaitu: 17

a. asas legalitas (pemerintahan berdasarkan undang-undang);

b. pembagian kekuasaan;

c. perlindungan hak-hak asasi manusia; dan

d. adanya peradilan administrasi.

15 Munir Fuady, op. cit., hal. 3. 16 I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia

Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang , hal. 157. 17 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, hal. 8-9.

Page 40: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

40

Berbeda dengan unsur-unsur Rechtstaat yang dikemukakan di atas,

konsep Rule of Law yang dikemukakan oleh A.V. Dicey memuat 3 (tiga) unsur

yaitu supremacy of law, equality before the law, dan the constitution based on

individual rights.18 Adapun ketiga unsur Rule of Law yang dikemukakan oleh

A.V. Dicey dapat diuraikan sebagai berikut:19

a. supremasi absolut ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau prerogatif penguasa;

b. berlakunya prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law), dimana semua orang harus tunduk kepada hukum dan tidak seorang pun yang berada di atas hukum (above the law).

c. konstitusi merupakan dasar dari segala hukum bagi negara yang bersangkutan. Dalam hal ini hukum yang berdasarkan konstitusi harus melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan rakyat.

Selain unsur-unsur negara hukum yang dikemukakan di atas, baik

berdasarkan Rechtstaat maupun Rule of Law, beberapa prinsip yang harus ada

dalam suatu negara hukum juga dirumuskan berdasarkan hasil konferensi South-

East Asian and Pacific Confrence of Jurist di Bangkok. Adapun prinsip-prinsip

yang harus dipenuhi dalam suatu negara hukum yaitu:20

1. prinsip perlindungan konstitusional terhadap hak-hak individu secara prosedural dan substansial;

2. prinsip badan pengadilan yang bebas dan tidak memihak; 3. prinsip kebebasan menyatakan pendapat; 4. prinsip pemilihan umum yang bebas; 5. prinsip kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi; dan 6. prinsip pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Ajaran negara hukum tidak hanya dapat diklasifikasikan menjadi konsep

Rechtstaat dan Rule of Law, tapi dapat pula dibedakan menjadi negara hukum

18 Astim Riyanto, 2006, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, hal. 256. 19 Munir Fuady, op. cit., hal. 3-4. 20 Astim Riyanto, op. cit., hal. 257

Page 41: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

41

formil dan negara hukum materiil. Negara hukum formil sering pula disebut

dengan negara penjaga malam (nachtwakerstaat), sedangkan negara hukum

materiil disebut dengan negara kesejahteraan (welfare state). Konsep negara

hukum yang dianut Indonesia tidaklah dalam artian formal melainkan dalam

artian materiil atau negara kesejahteraan (welfare state). Negara hukum materiil

berarti negara yang pemerintahannya memiliki keleluasaan untuk turut campur

tangan dalam urusan warga dengan dasar bahwa pemerintah ikut bertanggung

jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Negara bersifat aktif dan mandiri dalam

upaya membangun kesejahteraan rakyat.21 Jadi negara tidak hanya berperan dalam

menegakkan hukum apabila terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh

warganya, seperti yang terjadi pada negara hukum formil atau yang sering pula

disebut negara penjaga malam (nachtwakerstaat), namun ikut turut campur dalam

urusan dan kepentingan warga negara terutama yang terkait dengan kesejahteraan

warga negara.

Indonesia merupakan negara hukum materiil atau sering diistilahkan

dengan negara kesejahteraan, sehingga negara turut campur tangan dalam segala

urusan warganya guna mencapai kesejahteraan demi membangun masyarakat

yang adil dan makmur. Sebagai negara hukum, Imanuel Kant menyebutkan ada 4

(empat) unsur yang ditetapkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yaitu:

1. perlindungan terhadap hak asasi manusia;

2. pemisahan kekuasaan;

3. setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas Undang-Undang;

21 Negara Hukum, http://prince-mienu.blogspot.com/2010/01/negara-hukum.html, diakses

tanggal 7 November 2011.

Page 42: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

42

4. adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.22

Sri Soemantri Martosoewignjo menyatakan pandangannya mengenai 4

(empat) unsur yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:23

1. pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

2. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia; 3. adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 4. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtsterlijke controle).

Bagir Manan mengemukakan susunan yang sedikit berbeda mengenai

unsur yang harus dipenuhi pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan pada

suatu negara hukum, yaitu:24

1. semua tindakan harus berdasarkan atas hukum; 2. ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya; 3. ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap

masyarakat (badan peradilan yang bebas); 4. ada pembagian kekuasaan.

Berdasarkan ajaran negara hukum yang telah diuraikan diatas dapat

diketahui bahwa ciri ajaran negara hukum yang paling penting, baik dalam bentuk

Rechtsstaat maupun Rule of Law yaitu mengenai supremasi hukum dimana setiap

tindakan haruslah dilaksanakan berdasarkan atas hukum termasuk dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Begitu pula Indonesia yang menyatakan sebagai

negara hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan pada aturan

hukum yang berlaku termasuk dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden harus didasarkan pada alasan-alasan yang sah menurut hukum yang

22 I Made Subawa, dkk.,., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar. 23 Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 29. 24 Bagir Manan, 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah Univ. Padjajaran Bandung, hal. 19.

Page 43: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

43

diputus oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan kewenangan atribusi yang

dimiliki.

1.6.2 Teori Sistem Pemerintahan

Teori mengenai sistem pemerintahan ini relevan dipergunakan dalam

penelitian ini. Hal ini karena sistem pemerintahan berkaitan erat dengan hubungan

antara kekuasaan legislatif dan eksekutif, dimana diantara keduanya harus

terdapat checks and balances dalam menjalankan pemerintahan. Bentuk

pengawasan yang dilaksanakan oleh legislatif terhadap penyelenggaraan

pemerintahan oleh eksekutif salah satunya berupa adanya pranata pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden. Hal ini bertujuan agar tidak ada pelanggaran-

pelanggaran oleh eksekutif dalam menyelenggarakan pemerintahan. Apabila

terjadi pelanggaran, maka pranata pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden harus ditempuh berdasarkan mekanisme yang telah diatur dalam

konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keterkaitan sistem pemerintahan dengan pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden juga dinyatakan oleh Hamdan Zoelva, bahwa sistem

pemerintahan dan perimbangan kekuasaan antara cabang kekuasaan negara sangat

menentukan bagi proses pemakzulan di suatu negara. Negara yang menerapkan

sistem pemerintahan parlementer dengan supremasi parlemen, maka

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden lebih menonjolkan alasan-alasan

dan pertanggungjawaban politik dibandingkan alasan perbuatan melanggar

hukum pidana. Sedangkan negara yang menerapkan sistem pemerintahan

Page 44: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

44

presidensial, alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden akan lebih

menonjolkan alasan-alasan melanggar hukum pidana daripada semata-mata alasan

kebijakan dan pertanggungjawaban politik.25

Berdasarkan uraian tersebut, maka mengenai sistem pemerintahan yang

dibahas adalah sistem pemerintahan presidensial maupun sistem pemerintahan

parlementer yang banyak diterapkan oleh negara-negara di dunia pada masa

sekarang. Oleh karena itu hendaknya terlebih dahulu diketahui mengenai sistem

pemerintahan presidensial maupun sistem pemerintahan parlementer beserta

dengan karakteristik masing-masing sistem pemerintahan, termasuk mengenai

mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Setelah itu barulah

dikaji mengenai mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di

Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945. Dengan memahami mekanisme

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang diatur dalam UUD 1945

dan mengaitkannya dengan model-model yang ada, akan dapat diketahui model

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang dianut Indonesia

berdasarkan UUD 1945.

Sistem pemerintahan yang terdiri dari 2 (dua) kata yaitu sistem dan

pemerintahan. Dalam kaitannya dengan hukum, Subekti mengemukakan bahwa

suatu sistem adalah suatu susunan atau tataan yang teratur, suatu keseluruhan

yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut

suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan.26

Pengertian pemerintahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Wirjono

25 Hamdan Zoelva, 2011, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 64. 26 Subekti dalam R. Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta, hal. 67.

Page 45: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

45

Prodjodikoro memiliki arti yang amat luas, meliputi semua pengurusan negara

oleh segala alat-alat kenegaraan.27 Pengertian tersebut merujuk pada proses

penyelenggaraan tugas atau urusan pemerintahan. Berdasarkan pengertian sistem

dan pemerintahan yang diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa sistem

pemerintahan merupakan suatu mekanisme kerja penyelenggaraan urusan negara

oleh lembaga-lembaga negara yang satu dengan lainnya saling berkaitan guna

mencapai tujuan negara.

Para ahli hukum juga mengemukakan mengenai pengertian sistem

pemerintahan, antara lain yang dikemukakan oleh Moh. Mahfud M.D. yang

menyatakan bahwa sistem pemerintahan negara adalah mekanisme kerja dan

koordinasi atau hubungan antara ketiga cabang kekuasaan yaitu legislatif,

eksekutif dan yudikatif.28 Jimly Asshiddiqie juga mengemukakan bahwa sistem

pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan

pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.29

Selanjutnya pengertian sistem pemerintahan yang paling tegas dapat dilihat dari

pendapat Usep Ranawijaya yang menyatakan sistem pemerintahan merupakan

sistem hubungan antara eksekutif dan legislatif.30 Dengan demikian, berdasarkan

pandangan yang dikemukakan oleh para ahli hukum diatas dapat disimpulkan

bahwa sistem pemerintahan adalah suatu bentuk hubungan antar lembaga

27 Wirjono Prodjodikoro, 1970, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat,

Jakarta, hal. 62. 28 Moh. Mahfud M.D., 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta,

Jakarta, hal. 74. 29 Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,

Buana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 311. 30 Usep Ranawijaya, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia : Dasar-dasarnya, Ghalia

Indonesia, Jakarta, hal. 72.

Page 46: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

46

eksekutif dan lembaga legislatif yang menyelenggakan cabang-cabang kekuasaan

negara guna mencapai tujuan negara.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem pemerintahan

pada hakikatnya merupakan relasi antara kekuasaan legislatif dan kekuasaan

eksekutif.31 Terdapat beragam pandangan dari para ahli hukum mengenai jenis-

jenis sistem pemerintahan yang ada, namun sistem pemerintahan yang lazim

diterapkan oleh negara-negara di dunia ada 2 (dua) sistem pemerintahan yaitu

sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Kedua

sistem pemerintahan tersebut menurut Bagir Manan merupakan konsep dasar dari

jenis-jenis sistem pemerintahan.32

Terdapat keberagaman pandangan ahli hukum mengenai jenis-jenis

sistem hukum, misalnya yang dikemukakan oleh Sri Soemantri yang

mengklasifasikan sistem pemerntahan menjadi sistem pemerintahan parlemen,

sistem pemerintahan presidensial, dan sistem pemerintahan campuran.33 Hal

senada dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie yang mengklasifikasikan sistem

pemerintahan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu sistem pemerintahan presidensial, sistem

pemerintahan parlementer, dan sistem pemerintahan campuran (mixed system atau

hybrid system).34 Pengklasifikasian sistem pemerintahan yang lebih variatif

dikemukakan oleh Deny Indrayana yang mengemukakan bahwa terdapat 5 (lima)

sistem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan presidensial, sistem pemerintahan

31 Hanta Yuda A.R., 2010, Presidensialisme Setengah Hati dari Dilema ke Kompromi,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 10. 32 Bagir Manan, 2003, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 14. 33 Sri Soemantri Martosoewignjo, 1981, Pengantar Perbandingan antar Hukum Tata

Negara, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 76-80. 34 Jimly Asshiddiqie, loc. cit.

Page 47: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

47

parlementer, sistem pemerintahan monarki, sistem pemerintahan campuran

(hibrid), dan sistem pemerintahan kolegial (collegial system).35 Sebagaimana yang

telah dikemukakan sebelumnya bahwa sistem pemerintahan yang lazim

dipergunakan oleh negara-negara di dunia adalah sistem pemerintahan

presidensial dan sistem pemerintahan parlementer, maka pembahasan selanjutnya

hanya meliputi kedua sistem pemerintahan tersebut.

1. Sistem Pemerintahan Presidensial

Sistem pemerintahan presidensial amat melekat dengan Amerika Serikat

karena Amerika Serikat dipandang sebagai tanah kelahiran dari sistem

pemerintahan presidensial dan merupakan contoh ideal sistem pemerintahan

presidensial sebab memenuhi hampir semua karakteristik (ciri-ciri) yang ada

dalam sistem pemerintahan presidensial. Giovani Sartori mengemukakan bahwa

terdapat 3 (tiga) ciri utama sistem pemerintahan presidensial, yaitu:36

1. kepala pemerintahan (presiden) dipilih secara langsung oleh rakyat untuk

masa jabatan tertentu;

2. dalam masa jabatannya presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen;

3. presiden memimpin secara langsung pemerintahan yang dibentuknya.

Ciri-ciri penting sistem pemerintahan presidensial lainnya juga

dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie. Dalam pandangan beliau terdapat 9

(sembilan) ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial, yaitu:37

1. terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif;

35 Deny Indrayana, 2008, Negara antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum Ketatanegaraan,

Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal 192. 36 Hanta Yuda A.R., op. cit., hal. 13. 37Jimly Asshiddiqie, op. cit., hal. 316.

Page 48: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

48

2. presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;

3. kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya; 4. presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai

bawahan yang bertanggung jawab kepadanya; 5. anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif, begitu pula

sebaliknya; 6. presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen; 7. dalam sistem presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi, dan

karena itu pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi; 8. eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat; dan 9. kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer

yang terpusat pada parlemen. Saldi Isra mengemukakan bahwa hampir semua ahli hukum yang

mengemukakan pandangannya mengenai sistem pemerintahan presidensial

menyatakan bahwa salah satu karakteristik sistem pemerintahan presidensial yang

menonjol adalah presiden memiliki fungsi ganda sebagai kepala negara dan

kepala pemerintahan. Selanjutnya karakter sistem pemerintahan presidensial juga

tampak dari pola hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dimana

terdapat pemisahan secara tegas antara kedua lembaga tersebut (clear-cut

separation of power). Dengan adanya pemisahan secara tegas tersebut, maka

dalam sistem pemerintahan presidensial pembentukan pemerintah tidak

tergantung pada proses politik di lembaga legislatif.38

Sistem pemerintahan presidensial merupakan sistem pemerintahan yang

menempatkan fokus kekuasaan terpusat pada lembaga eksekutif (presiden). Dalam

sistem pemerintahan presidensialisme, basis legitimasi presiden bersumber dari

rakyat dan karena itu sistem pemerintahan presidensial ditandai dengan penerapan

sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan

38 Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer

dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 39-41.

Page 49: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

49

masa jabatan yang tetap (fixed term). Pemilihan presiden dan wakil presiden

secara langsung ini berimplikasi bahwa presiden bertanggung jawab langsung

kepada rakyat. Masa jabatan presiden yang tetap bertujuan agar presiden yang

dipilih secara langsung oleh rakyat itu tidak mudah dijatuhkan oleh lembaga

legislatif. Konsekuensinya adalah proses pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden dari jabatannya hanya bisa dilakukan melalui proses peradilan. Selain itu,

posisi lembaga eksekutif (presiden dan wakil presiden) sejajar dengan posisi

lembaga legislatif yang bertujuan agar kedua lembaga tersebut bersifat mandiri

dan dapat melaksanakan mekanisme checks and balances dalam pemerintahan.39

Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi kuat karena

memegang kekuasaan tertinggi pemerintahan eksekutif serta berkedudukan

sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan (single chief executive).

Kedudukan presiden dan wakil presiden sebagai kepala negara dan kepala

pemerintahan adalah menyatu dan merupakan institusi tunggal. Oleh karena itu

presiden dan wakil presiden harus dipilih dalam satu paket pasangan calon

presiden dan wakil presiden. Meskipun presiden dan wakil presiden merupakan

institusi tunggal, tanggung jawab eksekutif tertinggi tetap berada di tangan

presiden dan memiliki hak prerogatif untuk membentuk pemerintahan (kabinet),

serta berwenang mengangkat dan memberhentikan para menteri kabinet.40 Posisi

presiden sebagai single chief executive menurut Deny Indrayana menyebabkan

rentang kekuasaan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial tidak hanya

39 Hanta Yuda A.R., op. cit., hal. 10-12. 40 Deny Indrayana dalam Hanta Yuda A.R., op. cit., hal. 13.

Page 50: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

50

menyentuh wilayah kekuasaan eksekutif, tetapi juga merambah pada fungsi

legislasi serta kewenangan di bidang yudikatif.41

2. Sistem Pemerintahan Parlementer

Sistem pemerintahan parlementer merupakan sistem pemerintahan yang

paling luas diterapkan di seluruh dunia, dan amat melekat dengan Inggris sebagai

tempat kelahiran sistem pemerintahan parlementer.42 Menurut Hendarmin

Ranadireksa, dalam sistem pemerintahan parlementer objek kekuasaan yang

diperebutkan adalah parlemen. Oleh karena itu pemilihan umum parlemen

menjadi sangat penting karena kekuasaan eksekutif hanya mungkin diperoleh

setelah partai kontestan pemilihan umum berhasil meraih kursi mayoritas dalam

parlemen. Apabila tidak ada partai politik yang berhasil memperoleh suatu

mayoritas, maka beberapa partai politik berkoalisi untuk membentuk kabinet.43

Karakteristik utama dalam sistem pemerintahan parlementer ditunjukkan

dengan adanya pemisahan jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan.

Jabatan sebagai kepala negara biasanya memiliki status politik dan berada pada

Presiden atau Raja (pada negara monarki). Jabatan kepala pemerintahan sendiri

biasanya diberikan kepada jabatan lain yang lazim disebut dengan perdana

menteri. Substansi dari adanya pemisahan jabatan ini menegaskan bahwa diatas

kepala pemerintahan masih terdapat institusi lain yaitu kepala negara.44

Karakteristik lainnya dari sistem pemerintahan parlementer juga

ditunjukkan dengan tingginya tingkat ketergantungan lembaga eksekutif kepada

41 Saldi Isra, op. cit., hal. 38. 42 Saldi Isra, op. cit., hal. 26. 43 Saldi Isra, op. cit., hal. 28. 44 Hanta Yuda A.R., op. cit., hal. 10.

Page 51: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

51

lembaga legislatif (parlemen).45 Hal ini karena eksekutif tidak dipilih langsung

oleh rakyat, melainkan akan diperoleh setelah partai politik atau gabungan partai

politik memperoleh suara mayoritas dalam parlemen. Oleh karena itu, maka

sumber legitimasi dari lembaga eksekutif berasal dari parlemen. Konsekuensinya

adalah lembaga eksekutif harus bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat di-

impeach oleh parlemen.

Djokosoetono memandang bahwa sistem pemerintahan parlementer

merupakan sistem yang ministeriele verantwoordelijk-heid (menteri bertanggung

jawab kepada parlemen) ditambah overwicht (kekuasaan lebih) pada parlemen.46

Sejalan dengan pandangan tersebut, Miriam Budiarjo menyatakan dalam sistem

pemerintahan parlementer badan eksekutif dan badan legislatif bergantung satu

sama lain. Kabinet sebagai bagian lembaga eksekutif mencerminkan dukungan

dari kekuatan-kekuatan politik dalam parlemen, dan keberlangsungan parlemen

bergantung pada dukungan dari parlemen tersebut. Sifat ketergantungan ini

berbeda-beda dalam praktik di negara satu dan lainnya, namun selalu dicoba

untuk mencapai keseimbangan antara lembaga eksekutif dan legislatif.47

Pandangan Miriam Budiardjo ini juga menunjukkan adanya ketergantungan

lembaga eksekutif terhadap lembaga legislatif dalam sistem pemerintahan

parlementer.

45 Saldi Isra, op. cit., hal. 31. 46 Djokosoetono dalam Saldi Isra, op. cit., hal. 28. 47 Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, hal. 297.

Page 52: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

52

Selain karakteristik utama sistem pemerintahan parlementer yang

dikemukakan di atas, karakteristik lainnya dapat dilihat dari 4 (empat) ciri sistem

pemerintahan parlementer yang dikemukakan oleh Mahfud M.D. yaitu:

1. kepala negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, melainkan lebih bersifat sebagai simbol nasional (pemersatu bangsa);

2. pemerintahan diselenggarakan oleh sebuah kabinet yang dipimpin seorang perdana menteri (sebagai kepala pemerintahan);

3. kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi;

4. kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah dari parlemen, karena itu kabinet bergantung pada parlemen.

Jimly Asshiddiqie juga mengemukakan 6 (enam) ciri-ciri sistem

pemerintahan parlemter yaitu:48

1. kabinet dibentuk dan bertanggung jawab kepada parlemen; 2. kabinet dibentuk sebagai satu kesatuan dengan tanggung jawab

kolektif dibawah Perdana Menteri; 3. kabinet mempunyai hak konstitusional untuk membubarkan parlemen

sebelum periode bekerjanya berakhir; 4. setiap anggota kabinet adalah anggota parlemen yang terpilih; 5. kepala pemerintahan (Perdana Menteri) tidak dipilih langsung oleh

rakyat, melainkan hanya dipilih menjadi salah seorang anggota parlemen; dan

6. adanya pemisahan yang tegas antara kepala negara dengan kepala pemerintahan.

Berdasarkan uraian karakteristik sistem pemerintahan yang dikemukakan

di atas, maka dapat diketahui bahwa Indonesia sebagai negara yang menganut

sistem pemerintahan presidensial memposisikan jabatan presiden sebagai kepala

negara dan kepala pemerintahan (single chief executive). Selain itu, jabatan

presiden juga memiliki basis legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh rakyat

dalam masa jabatan yang tetap. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa presiden

48 Jimly Asshiddiqie, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah

(Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara), UI-Press, Jakarta, hal. 59.

Page 53: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

53

sebagai pemegang kekuasaan eksekutif bertanggung jawab langsung kepada

rakyat, serta tidak dapat dengan mudah dijatuhkan oleh legislatif di tengah masa

jabatannya karena pemerintahan tidak bergantung pada parlemen (lembaga

legislatif) seperti pada sistem pemerintahan parlementer. Meski demikian hal itu

tidak berarti bahwa presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya,

karena pemberhentian presiden dapat dilaksanakan apabila presiden tidak dapat

melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya dengan baik, tidak dapat

mempertanggungjawabkannya, melakukan pelanggaran hukum, serta alasan-

alasan lainnya yang ditentukan dalam konstitusi.

Posisi presiden yang kuat sebagai single chief executive dengan

legitimasi langsung oleh rakyat dan tidak bergantung pada lembaga legislatif,

menurut Hanta Yuda A.R. mengakibatkan proses pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden dari jabatannya hanya bisa dilakukan melalui proses

peradilan. Begitu pula di Indonesia, dimana pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden hanya dapat dilakukan berdasarkan mekanisme dan alasan-alasan

yang sah yang telah ditetapkan dalam UUD 1945, disertai adanya proses peradilan

di Mahkamah Konstitusi. Sehingga, mekanisme pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden presiden tersebut tidak hanya berlangsung di lembaga legislatif

(MPR dan DPR), tetapi juga di lembaga peradilan (Mahkamah Konstitusi).

Usul pemberhentian presiden di tengah masa jabatannya tersebut berasal

dari DPR berdasarkan hak menyatakan pendapat yang dimiliki DPR. Mekanisme

selanjutnya berlangsung di Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan

untuk menyatakan benar usul DPR terkait pemberhentian presiden di tengah masa

Page 54: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

54

jabatannya. Apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan usul DPR untuk

memberhentikan presiden di tengah masa jabatannya benar menurut hukum, maka

barulah selanjutnya mekanisme pemakzulan dapat dilanjutkan ke MPR.

Mekanisme di MPR inilah yang nantinya akan menentukan presiden akan

diberhentikan di tengah masa jabatannya atau tidak melalui voting.

1.6.3 Teori Pertanggungjawaban

Teori pertanggungjawaban yang digunakan dalam penelitian ini

merupakan teori pertanggungjawaban pemerintah dalam rangka

menyelenggarakan pemerintahan. Teori ini merupakan teori yang relevan

dipergunakan pula dalam penelitian ini. Tujuannya adalah untuk mengetahui

pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

kepada MPR dalam Sidang Istimewa berkaitan dengan pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden. Selain itu terjadinya pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden pun pada dasarnya merupakan satu bentuk pertanggungjawaban

Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila melakukan pelanggaran dalam

menyelenggarakan pemerintahan.

Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

sebagaimana yang diatur dalam UUDNRI 1945 mengatur mengenai

pertanggungjawaban Presiden dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan.

Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia memiliki legitimasi kuat karena

dipilih secara langsung oleh rakyat. Apabila terjadi pelanggaran oleh Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka harus

Page 55: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

55

dipertanggungjawabkan kepada rakyat selaku pemilihnya. Namun mengingat

Indonesia menganut sistem demokrasi perwakilan, maka pertanggungjawaban

tersebut tidaklah dapat dilakukan secara langsung kepada rakyat melainkan

diwakilkan kepada lembaga MPR yang memiliki kewenangan untuk itu.

Pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut disampaikan

dalam bentuk pidato pertanggungjawaban dalam sidang paripurna MPR. Apabila

pertanggungjawaban tersebut ditolak oleh MPR maka MPR berwenang untuk

memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

Kranenburg dan Vegting dalam bukunya yang berjudul Inleiding in het

Nederlands Administratief Recht membahas mengenai pertanggungjawaban

pemerintahan yang diistilahkan dengan pertanggungan jawab negara, dari segi

hukum administratif. Untuk menentukan pertanggungjawaban pemerintah, maka

tindakan pemerintah dapat dibedakan menjadi tindakan pemerintah selaku

perseorangan (swasta) dan selaku penguasa.49 Kranenburg menjelaskan

pertanggungjawaban negara dengan menguraikan ostermann-arrest bahwa Pasal

1365 BW berlaku pula bagi semua tindakan negara yang merugikan orang lain.

Kranenburg sependapat dengan hal ini bahwa apabila negara melakukan tindakan

yang melanggar hukum dan menimbulkan kerugian, maka negara wajib memberi

ganti rugi. Namun apabila tindakan pemerintah dalam keadaan luar biasa yang

dapat mengurangi hak orang lain sehingga menimbulkan kerugian, belum tentu

mengharuskan pemerintah untuk bertanggungjawab membayar kerugian. Harus

diperhatikan pula tujuan dari tindakan yang dilakukan pemerintah tersebut.

49 R. Kranenburg & W. G. Vegting, 1958, Inleiding in het Nederlands Administratief Recht,

Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, hal. 124.

Page 56: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

56

Tindakan pemerintah yang sewenang-wenang (detournement de pouvoir) dengan

menyalahgunakan kekuasaan dan melangar hak orang lain yang dapat dimitakan

pertanggungjawaban.50 Di Indonesia sendiri pertanggungjawaban pemerintah

dalam hukum administratif diwujudkan dengan adanya Peradilan Tata Usaha

Negara (PTUN), dimana masyarakat dapat menggugat pemerintah yang

menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menimbulkan

kerugian.

Dari segi ketatanegaraan, teori pertanggungjawaban pemerintah dapat

diuraikan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Herman Finer. Menurut

Herman Finer, pertanggungjawaban pemerintah merupakan bentuk dari

pemerintahan yang demokratis yang dicontohkannya dengan menyebut Inggris,

Prancis, dan Jerman Barat sebagai pemerintahan yang demokratis. Sedangkan

pemerintahan yang diktator merupakan pemerintahan yang tidak

bertanggungjawab (nonresponsibility) seperti pemerintahan Uni Soviet.51 Herman

Finer mengklasifikasikan pertanggungjawaban pemerintah menjadi 2 yaitu

pertanggungjawaban moral dan pertanggungjawaban politik atau sering pula

disebut pertanggungjawaban sensorial. Menurut Finer pertanggungjawaban moral

merupakan bentuk pertanggungjawaban yang berlaku di negara-negara diktator

seperti Jerman pada masa Adolf Hitler, Italia pada masa Mussolini, ato Rusia di

masa pemerintahan Lenin, Stalin, dan Krushchev, dimana Presiden tidak dapat

dijatuhkan serta memiliki kewenangan tak terbatas. Sedangkan

pertanggungjawaban sensorial sering pula disebut sebagai pertanggungjawaban

50 Ibid., 127-128. 51 Herman Finer, 1962, Major Goverment of Modern Europe, Harper & Row Publisher, New

York, hal. 5.

Page 57: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

57

politik dan merupakan pola pertanggungjawaban yang diterapkan di negara

demokratis, dalam teori dan prakteknya. Dalam pertanggungjawaban sensorial

Presiden dapat diberhentikan apabila melakukan pelanggaran hukum terkait

kewenangannya dan pemberhentiannya tersebut merupakan bentuk

pertanggungjawabannya.52

Mac Iver juga mengemukakan pandangannya mengenai teori

pertanggungjawaban pemerintah dalam suatu negara. Mac Iver mengemukakan

bahwa “every modern state, in other words every state in which the will of the

people is active, of necessity attaches responsibility to the powers of

government”.53 Mac Iver mengemukakan bahwa masalah penting berkaitan

dengan pertanggungjawaban pemerintah dalam setiap negara adalah mengenai

kombinasi terbaik antara pertanggungjawaban dan perwakilan (representation).

Politik Inggris dengan sistem pemerintahan parlementer yang dianut melahirkan

sistem pertanggungjawaban tidak langsung (indirect responsibility).54 Dalam

artian perdana menteri sebagai kepala pemerintahan bertanggungjawab kepada

parlemen karena keberlangsungan pemerintahan yang dijalankan oleh perdana

menteri dan kabinetnya amat bergantung pada dukungan parlemen. Parlemen

dapat membubarkan kabinet berdasarkan alasan-alasan politis semata, misalnya

melalui mosi tidak percaya.

Sebaliknya di Amerika Serikat menganut pertanggungjawaban langsung

(direct responsibility) dalam sistem pemerintahan presidensial.55 Presiden selaku

52 Ibid. 53 R.M. Mac Iver, 1926, The Modern State, Oxford University Press, London, hal. 201. 54 Ibid, hal. 206. 55 Ibid.

Page 58: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

58

kepala pemerintahan bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui

mekanisme hukum yang telah ditetapkan dalam konstitusi, sehingga posisi

presiden sebagai kepala pemerintahan tidak mudah diberhentikan oleh lembaga

legislatif hanya karena alasan-alasan politis semata. Hal ini karena Presiden

dipilih secara langsung oleh setiap warga negaranya, begitu pula dengan anggota

Konggres, sehingga mempunyai legitimasi kekuasaan dan kedudukan yang sama

serta tidak dapat saling membubarkan. Jadi kedudukan Presiden tidak tergantung

kepada lembaga legislatif sebagaimana dalam negara yang menganut sistem

pemerintahan parlementer, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas pemerintahan.

Berdasarkan uraian di atas mengenai teori pertanggungjawaban, maka

dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pemerintah dalam rangka

kewenangannya untuk menyelenggarakan pemerintahan dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

1. pertanggungjawaban sebagai perbuatan hukum badan atau pejabat yang

berwenang;

2. pertanggungjawaban dilihat dari sistem politik negara, yaitu:

- negara demokrasi menganut pertanggungjawaban politik atau

pertanggungjawaban sensorial;

- negara diktator menganut pertanggungjawaban moral.

3. teori pertanggungjawaban dilihat dari sistem pemerintahan negara, yaitu:

- negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer menerapkan

pertanggungjawaban tidak langsung (indirect responsibility), dimana

kabinet bertanggungjawab kepada parlemen;

Page 59: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

59

- negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial menerapkan

pertanggungjawaban langsung (direct responsibility), dimana presiden

bertanggung jawab kepada rakyat selaku konstituennya.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, karena penelitian ini

mengkaji mengenai mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

di Indonesia, yang di dalamnya masih terdapat kekaburan norma dalam beberapa

ketentuan-ketentuan yang mengatur hal tersebut. Dalam penelitian ini, kekaburan

norma yang dikaji adalah mengenai kriteria perbuatan tercela yang dapat

dijadikan alasan mengajukan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.

Selain itu mengkaji pula mengenai model pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden yang dianut di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945 berdasarkan

adanya mekanisme politis dan hukum yang berperan dalam pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden.

Permasalahan ini dikaji berdasarkan pada teori-teori, asas-asas, dan

norma-norma hukum yang relevan, tanpa mengkaji implementasinya. Hal ini

bersesuaian dengan definisi penelitian hukum normatif yang dikemukakan

Abdulkadir Muhammad, yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis

dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, strktur dan

komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi

pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu Undang-Undang, serta bahasa

Page 60: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

60

hukum yang digunakan tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau

implementasinya.56 Soerjono Soekanto menyatakan bahwa jenis penelitian

normatif meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap

sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian

sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.57

1.7.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini sendiri, pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, pendekatan perbandingan,

dan pendekatan konseptual. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-

undangan karena permasalahan dalam penelitian ini dibahas dengan meneliti,

mendalami, dan menelaah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

mekanisme pemakzulan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UUDNRI

1945 dan ketentuan perundang-undangan lain yang mengaturnya, seperti Undang-

Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Kemudian menggunakan pendekatan historis karena permasalahan dalam

penelitian ini juga dibahas dengan menelusuri sejarah pembentukan pasal-pasal

dalam UUD 1945 yang mengatur tentang mekanisme pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga

pengaturannya sekarang. Dimana diketahui terdapat perubahan mekanisme

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebelum dan setelah

dilaksananya amandemen undang-undang dasar. Selanjutnya digunakan

56 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 101.

57 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI- Press, Jakarta, hal. 51.

Page 61: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

61

pendekatan perbandingan, dimana permasalahan dalam penelitian ini dikaji

dengan membandingkan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden di Indonesia dengan negara lain yang menganut sistem Presidensial

sebagaimana yang diterapkan di Indonesia, yaitu Amerika Serikat dan Philiphina.

Amerika Serikat dipergunakan sebagai pembanding karena Amerika merupakan

negara yang kerap dipandang sebagai negara asal mula sistem pemerintahan

presidensial serta menjadi patokan dalam penerapan sistem pemerintahan

presidensial negara-negara lain. Sedangkan Philiphina dipilih sebagai pembanding

karena Philiphina menganut pula sistem presidensial, serta Philiphina juga

merupakan negara tetangga di kawasan Asia Tenggara sehingga dirasa memiliki

kesamaan kultur budaya.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual untuk

mendalami dan memahami hakikat yang terkandung dalam konsepsi tentang

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden itu sendiri serta kaitannya

dengan praktik pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia.

Adapun tujuan lainnya untuk mengetahui kriteria alasan-alasan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden dan sistem yang dianut dalam kaitannya dengan

upaya mewujudkan negara hukum

1.7.3 Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, oleh karena itu

sumber datanya adalah berupa bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier.

Page 62: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

62

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan

mengikat bagi pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum dan

putusan hakim).58 Dalam hal ini bahan hukum primer yang akan digunakan

adalah UUDNRI 1945, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-

Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No.

27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor

21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil

Presiden. Selain itu menggunakan pula Konstitusi Republik Indonesia Serikat

1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, untuk menelusuri sejarah

pengaturan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia, serta

memperhatikan pula putusan-putusan Mahkamah Konstitusi di negara-negara lain

yang berkaitan dengan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum,

58 Abdulkadir Muhammad, op. cit, hal. 82.

Page 63: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

63

dan media cetak atau elektronik).59 Dalam penulisan ini sendiri nantinya akan

digunakan buku literatur yang terkait dengan permasalahan yang dibahas, yaitu

buku literatur mengenai mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945.

3. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-

undang, kamus hukum, dan ensiklopedi).60 Dalam penelitian ini sendiri bahan

hukum tertier yang dipergunakan yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Black

Law Dictionary.

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum menurut Winarno Surakhmad disebut

teknik studi dokumentasi dengan menggunakan alat bantu kartu titipan (card

system) berdasarkan pengarang/penulis (subyek maupun tema atau pokok masalah

(obyek).61 Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan menginventaris,

menyusun berdasarkan subyek untuk selanjutnya dikaji dan barulah selanjutnya

diklasifikasi sesuai dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

59 Abdulkadir Muhammad, loc. cit. 60 Abdulkadir Muhammad, loc. cit. 61 Winarno Surakhmad, 1985, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik,

Tarsito, Bandung, hal. 257.

Page 64: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

64

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang telah diperoleh, baik bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder merupakan data kualitatif, yang kemudian diolah

dan dianalisis secara deskriptif sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

Sehingga tulisan ini bersifat deskriptif analisis.

Page 65: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

65

BAB II

PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN

DI INDONESIA

2.1 Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Sistem

Pemerintahan Presidensial

Sistem pemerintahan secara sederhana dapat diartikan sebagai tata kerja

penyelenggaraan negara guna mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.

Pemahaman lebih mendalam mengenai sistem pemerintahan dapat merujuk pada

pendapat para ahli hukum mengenai definisi sistem pemerintahan, seperti yang

dikemukakan oleh Ismail Sunny yang berpendapat sistem pemerintahan adalah

suatu sistem tertentu yang menjelaskan bagaimana hubungan antara alat-alat

perlengkapan negara yang tertinggi di suatu negara. 62 Sejalan dengan pandangan

tersebut, Jimly Asshiddiqie juga mengemukakan bahwa sistem pemerintahan

berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan

oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.63 Jimly Asshiddiqie

juga mengemukakan bahwa sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu

sistem hubungan antar lembaga-lembaga negara.64 Selanjutnya Moh. Mahfud

M.D. menyatakan bahwa sistem pemerintahan negara adalah mekanisme kerja dan

koordinasi atau hubungan antara ketiga cabang kekuasaan yaitu legislatif,

62 Ismail Sunny dalam Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni,

Setara Press, Malang, hal. 46. 63 Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,

Buana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 311. 64 Jimly Asshiddiqie dalam Juanda, 2004, Hukum Pemerintah Daerah Pasang Surut

Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, hal. 203.

Page 66: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

66

eksekutif dan yudikatif.65 Dari beragam definisi yang dikemukakan para ahli

hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan merupakan satu

kesatuan mekanisme kerja dalam penyelenggaraan urusan negara, yang terdiri dari

lembaga-lembaga negara yang bekerja berdasarkan fungsinya masing-masing

namun tetap saling berkaitan guna mencapai suatu tujuan negara yang telah

disepakati bersama.

Berdasarkan sistem pemerintahan yang diterapkan oleh negara-negara

dunia pada masa sekarang, secara garis besar sistem pemerintahan dapat

dibedakan menjadi sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan

presidensial. Sistem pemerintahan lain di luar kedua sistem pemerintahan tersebut

menurut Mahfud M.D. merupakan sistem campuran (quasi) dari kedua sistem

pemerintahan tersebut, atau ada juga yang menyebut dengan referendum.66 Hal

senada juga dikemukakan oleh Sri Soemantri dan Jimly Asshiddiqie yang

menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) sistem pemerintahan yaitu sistem

pemerintahan presidensial, sistem pemerintahan parlementer, dan sistem

pemerintahan campuran. Meski demikian ada juga pandangan yang menyatakan

bahwa terdapat lebih dari dua jenis sistem pemerintahan, sebagaimana yang

dikemukakan Denny Indrayana bahwa terdapat 5 (lima) sistem pemerintahan

yaitu sistem pemerintahan presidensial, sistem pemerintahan parlementer, sistem

pemerintahan monarki, sistem pemerintahan campuran (hibrid), dan sistem

pemerintahan kolegial (collegial system).67

65 Moh. Mahfud M.D., loc. cit. 66 Moh. Mahfud M.D., op.cit., hal 83-84. 67 Deny Indrayana, loc.cit.

Page 67: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

67

Perbedaan yang paling tampak antara sistem pemerintahan parlementer

dan presidensial ditunjukkan dengan jabatan kepala negara dan kepala

pemerintahan. Pada sistem pemerintahan parlementer jabatan sebagai kepala

negara dan kepala pemerintahan berada pada dua lembaga terpisah, sedangkan

sistem pemerintahan presidensial jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan

berada pada lembaga yang sama (biasanya dipegang oleh seoran presiden).

Perbedaan lainnya dari kedua sistem pemerintahan tersebut dapat diketahui

dengan menguraikan karakteristik dari masing-masing sistem pemerintahan

tersebut.

Sistem pemerintahan parlementer merupakan sistem pemerintahan yang

amat lekat dengan sistem pemerintahan yang diterapkan di Inggris yang dianggap

sebagai asal mula dari lahirnya sistem pemerintahan parlementer, dimana jabatan

kepala negara dipegang oleh Raja/Ratu sedangkan jabatan kepala pemerintahan

dipegang oleh seorang Perdana Menteri. Pemisahan jabatan ini menurut Hanta

Yuda A.R. menunjukkan bahwa kedudukan kepala negara lebih tinggi dari kepala

pemerintahan.68 Selain itu karakteristik lain dari sistem pemerintahan parlemen

adalah legitimasi kekuasaan eksekutif yang berasal dari parlemen, artinya kepala

pemerintahan dipilih oleh parlemen dan bukan secara langsung oleh rakyat,

sehingga kepala pemerintahan dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh parlemen.

Oleh karena itu maka dalam sistem pemerintahan parlementer menurut Saldi Isra

tingkat ketergantungan eksekutif pada parlemen sangatlah tinggi.69

68 Hanta Yuda A.R., op.cit., hal. 10. 69 Saldi Isra, op. cit., hal. 31.

Page 68: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

68

Selain sistem pemerintahan parlementer, dikenal pula sistem

pemerintahan presidensial yang dibangun berdasarkan teori pemisahan kekuasaan

atau Trias Politica yang dikemukakan oleh Montesquieu.70 Hal ini merupakan

bentuk kebencian dan perlawanan terhadap kekuasaan raja yang absolut yang

memiliki kekuasaan yang besar dan menjanlankan fungsi-fungsi kekuasaan yang

ada dalam suatu negara secara kolektif. Akibat dari kekuasaan raja yang absolut

tersebut pemerintahan dijalankan sesuai keinginan penguasa dan cenderung

bertindak sewenang-wenang terhadap warganya. Oleh karena itu berkembanglah

sistem pemerintahan presidensial yang bertujuan untuk mencegah terjadinya

pemerintahan yang absolut dalam suatu negara. Dengan adanya pemisahan

kekuasaan dalam suatu negara, maka kekuasaan negara tidak akan terpusat pada

satu tangan melainkan telah dipisah kepada masing-masing cabang kekuasaan

negara yang kedudukannya setara dan tidak ada salah satu cabang kekuasaan yang

melebihi cabang kekuasaan lainnya.

Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, dalam sistem

pemerintahan presidensial jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan

menyatu, sehingga kepala negara sekaligus berfungsi sebagai kepala

pemerintahan. Selanjutnya karakter sistem pemerintahan presidensial juga tampak

dari pola hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dimana terdapat

pemisahan secara tegas antara kedua lembaga tersebut (clear-cut separation of

power). Dengan adanya pemisahan secara tegas tersebut, maka dalam sistem

pemerintahan presidensial pembentukan pemerintah tidak tergantung pada proses

70 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 2005, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, Jakarta, hal. 177.

Page 69: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

69

politik di lembaga legislatif.71 Pemisahan lembaga legislatif dan eksekutif juga

disertai dengan kedudukan lembaga legislatif dan eksekutif yang sejajar, sehingga

lembaga legislatif tidak dapat membubarkan lembaga eksekutif dan sebaliknya.

Hal ini berkaitan dengan mekanisme checks and balances yang diterapkan juga

dalam sistem pemerintahan presidensial, sehingga kedua lembaga dapat saling

mengawasi kinerja lembaga lain.

Legitimasi eksekutif yang berkedudukan sebagai kepala negara dan

kepala pemerintahan bersumber dari rakyat, karena dipilih secara langsung oleh

rakyat dalam suatu pemilihan umum. Pemilihan presiden dan wakil presiden

secara langsung ini berimplikasi bahwa presiden bertanggung jawab langsung

kepada rakyat, dan tidak mudah dijatuhkan oleh lembaga legislatif yang

dipandang lebih menjamin stabilitas pemerintahan. Dengan kata lain kedudukan

presiden dalam sistem pemerintahan presidensial sebenarnya tidak mutlak

memerlukan dukungan politik dari parlemen atau lembaga perwakilan rakyat,

karena presiden mendapatkan legitimasi melalui pemilihan langsung oleh rakyat.

Masa jabatan presiden juga telah diatur secara pasti dalam konstitusi, sehingga

tidak dapat digantikan meskipun mendapat dukungan yang minim dari parlemen

atau lembaga perwakilan rakyat.72

Posisi eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensial sangatlah kuat

karena legitimasinya diperoleh langsung dari rakyat serta posisinya sebagai kepala

negara dan kepala pemerintahan yang disebut pula dengan single chief executive.

71 Saldi Isra, op. cit., hal. 39-41. 72 Laica Marzuki, 2006, Berjalan-jalan di Ranah Hukum : Pikiran-pikiran Lepas Prof. Dr. H.

M. Laica Marzuki, S.H., Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 39.

Page 70: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

70

Posisi single chief executive ini menurut Deny Indrayana menyebabkan rentang

kekuasaan eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensial tidak hanya

menyentuh wilayah kekuasaan eksekutif semata, namun merambah pula pada

fungsi legislasi serta kewenangan di bidang yudikatif.73

Contoh ideal negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial

adalah Amerika Serikat karena dipandang hampir memenuhi semua ciri-ciri

sistem pemerintahan presidensial. Terdapat 3 (tiga) ciri utama sistem

pemerintahan presidensial yang dikemukakan oleh Giovani Sartori yaitu: 74

4. kepala pemerintahan (presiden) dipilih secara langsung oleh rakyat untuk

masa jabatan tertentu;

5. dalam masa jabatannya presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen;

6. presiden memimpin secara langsung pemerintahan yang dibentuknya.

Bagir Manan sendiri mengemukakan ciri-ciri dari sistem pemerintahan

presidensial yang diperoleh berdasarkan dengan melihat model sistem

pemerintahan Amerika Serikat. Adapun ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial

yang dujemukakan oleh Bagir Manan, yaitu:

1. presiden adalah pemegang kekuasaan tunggal; 2. presiden adalah penyelenggara pemerintahan yang bertanggung jawab,

selain sebagai wewenang konstitusional yang bersifat prerogatif dan biasanya melekat pada jabatan kepala negara;

3. presiden tidak bertanggung jwab kepada badan perwakilan rakyat (kongres), karenanya tidak dapat dikenai mosi tidak percaya oleh kongres;

4. presiden tidak dipilih dan diangkat oleh Kongres, dimana pada praktiknya langsung dipilih oleh rakyat, walaupun secara formal dipilih oleh badan pemilih (electoral college);

73 Saldi Isra, op. cit., hal. 38. 74 Hanta Yuda A.R., op. cit., hal. 13.

Page 71: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

71

5. presiden memangku jabatan empat tahun (fixed) dan hanya dapat dipilih untuk dua kali masa jabatan berturut-turut;

6. presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatan melalui impeachment karena melakukan pengkhianatan, menerima suap, melakukan kejahatan berat, dan pelanggaran lainnya.

Sistem pemerintahan presidensial ini pada masa sekarang merupakan

sistem pemerintahan yang banyak diterapkan oleh negara-negara dunia, meskipun

merupakan sistem pemerintahan yang tergolong masih muda dan merupakan

model baru. Kelebihan dari sistem pemerintahan presidensial ini menurut Arend

Lijphart sebagaimana yang dikutip oleh Sulardi, yaitu:75

1. pemerintahan yang stabil, karena presiden tidak mudah dijatuhkan oleh

legislatif;

2. pemilihan kepala negara yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat

dipandang lebih demokratis; dan

3. pemisahan kekuasaan berarti pemerintah yang kekuasaannya dibatasi,

dengan tujuan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan kekuasaan oleh

pemerintah.

Diantara kedua sistem pemerintahan yang telah diuraikan di atas,

terdapat pula sistem gabungan di antaranya yang disebut dengan quasi. Jadi dalam

sistem pemerintahan campuran tersebut akan mengambil sebagian sistem

pemerintahan presidensial dan sebagian lagi merupakan sistem pemerintahan

parlementer. Contoh negara yang menerapkan sistem pemerintahan gabungan ini

adalah Jerman yang menerapkan quasi-parlementer dan Prancis menerapkan

quasi-presidensial.

75 Sulardi, op.cit., hal. 3.

Page 72: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

72

Dalam ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial yang telah dikemukakan

diatas disebutkan bahwa salah satu ciri sistem pemerintahan presidensial adalah

kuatnya posisi presiden sebagai single chief executive yang memperoleh

legitimasi langsung dari rakyat. Oleh karena itu maka presiden tidak dapat

dibubarkan oleh legislatif dalam masa jabatannya, dan dalam konstitusi negara

bersangkutan akan memuat pasal yang mengatur mengenai masa jabatan

eksekutif. Meski demikian ciri tersebut tidaklah berlaku mutlak, karena dalam

sistem pemerintahan presidensial dikenal pula pemberhentian presiden di tengah-

tengah masa jabatannya dan merupakan perkecualian dari ciri sistem

pemerintahan presidensial tersebut. Hal tersebut merupakan bentuk sanksi atas

pelanggaran yang dilakukan oleh eksekutif bersangkutan berdasarkan alasan-

alasan pemberhentian yang sah menurut konstitusi.

Pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam sistem

pemerintahan presidensial merupakan pengecualian dari ciri fixed term executive,

sehingga hal ini sering pula disebut dengan klausula pengecualian. Pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden ini berkaitan dengan asas equality before the law

(persamaan di muka hukum), dimana hal ini merupakan bentuk

pertanggungjawaban presiden dan/atau wakil presiden apabila dalam masa

jabatannya terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang diancam

dengan sanksi politik berupa pemberhentian dari jabatannya. Jadi jabatan sebagai

presiden dan/atau wakil presiden tetap mengharuskan ketaatan pada aturan

hukum, sama halnya dengan warga negara lainnya. Selain itu pemberhetian

presiden dan/atau wakil presiden dalam sistem presidensial juga merupakan

Page 73: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

73

bentuk implementasi checks and balances dalam pemisahan kekuasaan, dalam hal

ini legislatif (lembaga perwakilan rakyat) melakukan pengawasan atas kinerja

presiden dan/atau wakil presiden (eksekutif) sebagai bentuk perimbangan atas

besarnya kekuasaan eksekutif (executive heavy) dalam sistem presidensial.

Berkenaan dengan hal itu, maka pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

juga bertujuan untuk menghindari terjadinya ekses dari sistem presidensial itu

sendiri yaitu pemerintahan yang diktator dan otoriter.

Kewenangan untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden

dalam sistem presidensial pada dasarnya merupakan kewenangan dari rakyat

selaku konstituennya. Hal ini karena legitimasi kekuasaan yang ada pada jabatan

presiden dan/atau wakil presiden berasal dari rakyat yang memilihnya secara

langsung, sehingga rakyat pula yang berhak mengambil kembali kekuasaan

tersebut dengan memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

jabatannya. Kewenangan untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden

selanjutnya atas nama rakyat diselenggarakan oleh lembaga perwakilan rakyat

karena sistem demokrasi yang diterapkan merupakan demokrasi perwakilan. Di

Indonesia sendiri berdasarkan UUD 1945 kewenangan memberhentikan presiden

dan/atau wakil presiden berada pada MPR selaku representasi dari rakyat.

Keanggotaan MPR terdiri dari anggota-anggota DPR sebagai perwakilan politik

dan anggota-anggota DPD sebagai perwakilan daerah.

Mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya pada sistem

pemerintahan presidensial pertama kali diperkenalkan dalam Konstitusi Amerika

Serikat dengan adanya jabatan presiden dalam pemerintahan modern sebagai

Page 74: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

74

single chief executive, dan hal tersebut merupakan mekanisme

pertanggungjawaban politik dalam sistem demokrasi.76 Dalam konstitusi Amerika

Serikat mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya dikenal

dengan impeachment, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Article II Section

(4) Konstitusi Amerika Serikat yaitu:

“The President, Vice President and all civil Officers of the United States,

shall be removed from Office on Impeachment for, and conviction of

Treason, Bribery, or other high Crimes and Misdemeanors.”

Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa

impeachment di Amerika Serikat dapat terjadi kepada Presiden, Wakil Presiden

ataupun pejabat sipil dengan alasan pengkhianatan, penyuapan, pelanggaran

pidana atau kejahatan berat lainnya. Impeachment merupakan pengawasan

legislatif terhadap eksekutif yang bersifat luar biasa dan bersifat politik dengan

sanksi berupa pemberhentian dari jabatan dan kemungkinan larangan untuk

memegang suatu jabatan. Impeachment dalam pandangan Moris sebagaimana

yang dikutif Hamdan Zoelva merupakan suatu yang mutlak diperlukan dalam

keadaan dan alasan tertentu, terutama untuk menjamin bahwa presiden tidak akan

melakukan perbuatan melawan hukum dalam menyelenggarakan kekuasaannya.77

Pranata impeachment yang diterapkan di Amerika Serikat sendiri

diperoleh dengan mengadopsi praktik impeachment di Inggris yang dikenal sejak

abad ke-14 di Inggris pada masa pemerintahan Edward III. Pada bulan November

1330 untuk pertama kalinya House of Commons yang bertindak sebagai Grand

76 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 29. 77 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 9.

Page 75: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

75

Jury melakukan impeachment terhadap Roger Mortimer, Baron of Wigmore ke

VIII, dan lembaga yang memutus perkara tersebut adalah The House of Lord.78

Inggris kemudian mengembangkan impeachment tersebut di Amerika Serikat

sebagai salah satu negara jajahannya pada abad ke 17, hingga akhirnya

impeachment tersebut lebih dikenal di Amerika Serikat. Impeachment pada masa

itu ditujukan untuk memproses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang

berkuasa pada bangsa Inggris dan Amerika Serikat yang mempunyai

kecenderungan menyalahgunakan kekuasaannya sehingga tindakannya tidak

tersentuh pengadilan biasa. Selain itu juga ditujukan untuk menciptakan

mekanisme checks and balances guna membatasi perbuatan-perbuatan penguasa

negara yang menyimpang dan mencederai kepercayaan rakyat.79

Mekanisme impeachment di Amerika Serikat pernah berlangsung

beberapa kali terhadap presiden, senator, dan hakim.80 Adapun presiden yang di-

impeach yaitu Andrew Johnson, Richard Nixon, dan William Jefferson Clinton

(Bill Clinton), namun ketiga presiden Amerika Serikat tersebut tidak ada yang

diberhentikan dalam masa jabatannya akibat proses impeachment tersebut.

Presiden Andrew Johnson yang di-impeach tahun 1868 oleh Konggres tidak

berhasil diberhentikan dari jabatannya karena tidak cukup suara anggota Senat

untuk memberhentikannya. Selanjutnya Presiden Richard Nixon memutuskan

untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden di tengah proses

impeachment, yang disebabkan oleh besarnya tekanan impeachment terhadap

78 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal. 5. 79 Sapuan, 2010, Impeachment Presiden, STAIN Press, Purwokerto, hal. 46. 80 Winarno Yudho, dkk., 2005, Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hal. 37.

Page 76: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

76

dirinya. Sedangkan Presiden Bill Clinton yang di-impeach tahun 1999 tidak pula

dapat diberhentikan dari jabatannya, meskipun dalam proses impeachment Bill

Clinton telah terbukti dan mengakui perbuatan tercelanya melakukan pelecehan

seksual kepada Monica Lewinsky. Hal ini karena voting di parlemen tidak

menghendaki impeachment terhadapnya yang ditunjukkan dengan suara Senat

yang tidak cukup untuk memberhentikannya dan karena itu diputuskan bebas oleh

Senat.

Pemberhentian presiden dalam masa jabatannya berkaitan dengan sistem

pemerintahan yang dianut negara bersangkutan, terutama hubungan antara

masing-masing kekuasaan lembaga negara tersebut. Sebagaimana diketahui

bahwa pemberhentian presiden dalam masa jabatannya melibatkan ketiga cabang

kekuasaan negara, sehingga harus pula diperhatikan hubungan antara ketiga

cabang kekuasaan tersebut terutama hubungan antara eksekutif dan legislatif.

Dalam sistem pemerintahan parlementer yang menjunjung supremasi parlemen

dengan tingkat ketergantungan eksekutif yang amat tinggi dengan legislatif, maka

pemberhentian presiden dalam masa jabatannya lebih menonjolkan alasan-alasan

politik dibandingkan alasan-alasan perbuatan melanggar hukum. Contohnya

adanya pertentangan pendapat antara eksekutif dan legislatif yang menimbulkan

mosi tidak percaya dan dapat dipergunakan untuk melakukan pemberhentian

dalam masa jabatannya. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial

dimana antara presiden dan legislatif memiliki kedudukan yang sama kuat, maka

presiden tidak dapat diberhentikan dari jabatannya oleh legislatif berdasarkan

Page 77: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

77

alasan-alasan politik melainkan harus berdasarkan adanya pelanggaran hukum

yang jelas sebagaimana yang diatur dalam konstitusi.81

Berdasarkan uraian tersebut maka pemberhentian presiden dalam sistem

pemerintahan presidensial merupakan bentuk mekanisme checks and balances

dalam pemisahan kekuasaan suatu negara. Hal ini merupakan wujud nyata

pengawasan lembaga legislatif terhadap jalannya pemerintahan yang dilaksanakan

oleh presiden, untuk menghindari terjadinya kekuasaan presiden yang absolut

yang menimbulkan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan sewenang-

wenang. Selain sebagai bentuk pengawasan dalam rangka checks and balances,

pemberhentian presiden juga merupakan bentuk pembatasan terhadap kekuasaan

yang ada pada presiden.

Selanjutnya pemberhentian presiden dalam sistem pemerintahan

presidensial juga merupakan bentuk pertanggungjawaban presiden atas perbuatan

melanggar hukum dan bukan atas dasar alasan politik semata. Dalam konstitusi

negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial telah diatur mengenai

alasan-alasan yang harus dipenuhi untuk dapat memberhentikan presiden dari

masa jabatannya. Jadi harus ada alasan hukum yang jelas dan mekanisme yang

diatur dalam konstitusi untuk dapat memberhentikan presiden dalam masa

jabatannya. Hal ini mengingat pemberhentian presiden dalam sistem

pemerintahan presidensial merupakan perkecualian dari ciri masa jabatan presiden

yang diatur secara tetap (fix term) dalam konstitusi sebagai upaya untuk menjamin

stabilitas jalannya pemerintahan.

81 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 64-65.

Page 78: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

78

2.2 Doktrin Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia

Konstitusi atau Undang-Undang Dasar dalam suatu negara merupakan

suatu keharusan, karena hal tersebut merupakan dokumen yang dijadikan

pedoman yang mengatur lembaga-lembaga negara dalam menjalankan

pemerintahan, serta memuat pula pengaturan tentang hak asasi manusia (HAM).

E.C.S Wade sebagaimana dikutip Sulardi menyatakan bahwa konstitusi adalah

suatu dokumen yang merupakan kerangka dasar yang menampilkan sanksi hukum

khusus dan prinsip dari fungsi-fungsi lembaga-lembaga pemerintahan negara dan

menyatakan pula prinsip-prinsip yang mengatur cara kerja lembaga lain.82

Konstitusi atau Undang-Undang Dasar dalam suatu negara mengandung makna

politis, sosiologis, dan yuridis dari suatu negara yang tampak dari klasifikasi

konstitusi menurut Herman Heller yaitu:83

1. konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan;

2. konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah hidup dalam masyarakat; 3. konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang

tertinggi dalam suatu negara. Konstitusi dalam suatu negara menurut Mahfud M.D. pada prinsipnya

berfungsi untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan jaminan atas hak politik

rakyat, kekuasaan pemerintah diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan

lembaga-lembaga hukum.84 Sedangkan Jimly Asshiddiqie merinci 10 (sepuluh)

fungsi konstitusi dari suatu negara, yaitu:85

82 E.C.S. Wade dalam Sulardi, op.cit., hal 55. 83 Sulardi, op.cit., hal 55-56. 84 Moh. Mahfud M.D., 2003, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,

hal. 21. 85 Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekjen

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 33-34.

Page 79: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

79

1. sebagai penentu dan pembatas kekuasaan organ negara; 2. sebagai fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara; 3. sebagai pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan warga

negara; 4. sebagai pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara

ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara; 5. sebagai penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan asli

kepada organ negara; 6. Sebagai simbolik pemersatu; 7. Sebagai simbolik rujukan identitas atau keagungan kebangsaan; 8. sebagai simbolik pusat upacara; 9. sebagai sarana pengendalian masyarakat baik dalam arti sempit maupun

arti luas, sosial dan ekonomi; 10. sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat baik dalam arti

sempit maupun luas.

UUD atau Konstitusi sendiri juga merupakan suatu bagian dari

pernyataan kemerdekaan suatu bangsa dan keseriusannya untuk membentuk suatu

pemerintahan yang baru. Selain itu juga merupakan instrumen yang mengatur

mengenai pembagian kekuasaan negara berdasarakan Trias Politica kepada

lembaga-lembaga negara guna menjalankan pemerintahan, sekaligus untuk

mengontrol penggunaan kekuasaan oleh lembaga-lembaga negara. Kewenangan

masing-masing lembaga negara tersebut juga dirinci dalam ketentuan pasal dalam

konstitusi, sebagai bentuk pembatasan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan

oleh lembaga negara dalam menjalankan pemerintahan.

UUD 1945 sendiri sebagai konstitusi Indonesia oleh para pendiri negara

dirancang sebagai hukum dasar, walau dalam penyusunannya terdapat perdebatan

antara Soepomo, Moh. Hatta, Moh. Yamin, dan Soekarno mengenai ide dasar

negara. Selain sebagai hukum dasar, dalam pembukaan UUD 1945 juga termuat

tujuan mulia UUD 1945 yaitu membebaskan rakyat dan bangsa Indonesia dari

kesengsaraan saat berada pada masa jajahan Belanda dan Jepang. Tujuan lainnya

Page 80: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

80

juga dirinci dalam alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

UUD 1945 meskipun memiliki tujuan yang mulia, namun dalam

pelaksanaannya dapat ditemukan beberapa permasalahan, yang salah satunya

berkaitan dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

dalam masa jabatannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan permasalahan dalam

pemberhentian Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid saat

menjabat sebagai presiden, dimana alasan pemberhentian keduanya terkesan

berdasarkan politik semata dibandingkan alasan hukum yaitu adanya perselisihan

antara presiden dengan DPR selaku legislatif. Padahal di Amerika Serikat sebagai

negara yang dipandang sebagai contoh ideal pelaksanaan sistem pemerintahan

presidensial, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya didasarkan pada alasan-alasan hukum dan merupakan bentuk

pertanggungjawaban hukum pidana sebagaiman diatur dalam Article II Section

(4) Konstitusi Amerika Serikat. Oleh karena itu pada amandemen UUD 1945

dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial, pasal yang mengatur

tentang mekanisme mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

dalam masa jabatannya juga menjadi fokus perubahan. Jadi pasca amandemen

UUD 1945 terdapat perbedaan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden yang akan dirinci berikutnya.

Page 81: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

81

2.2.1 Sebelum Amandemen UUD 1945

Pada masa sebelum amandemen UUD 1945 terdapat 3 (tiga) konstitusi

yang berlaku yaitu UUD 1945 yang berlaku pada 2 periode (18 Agustus 1945 - 27

Desember 1949 dan 5 Juli 1959 hingga amandemen tahun 1999-2000), Konstitusi

Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950), dan Undang-

Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959).

Perubahan konstitusi tersebut disebabkan oleh adanya dinamika dalam sistem

pemerintahan yang diterapkan di Indonesia, dimana selain menganut sistem

pemerintahan presidensial Indonesia juga pernah menganut sistem pemerintahan

parlementer, dan dalam masing-masing konstitusi tersebut juga memuat aturan

mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang berbeda.

a. UUD 1945 sebelum amandemen

Dalam UUD 1945 sebelum amandemen tidak ditemukan pasal tertentu

yang khusus mengatur tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

dalam masa jabatannya. Hal ini karena dalam rapat perumusan UUD 1945 di

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun

dalam rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tidak

membahas mengenai hal tersebut dan lebih fokus dalam menentukan bentuk

negara antara monarki atau republik, hingga akhirnya melalui voting ditentukan

bahwa Indonesia menganut bentuk negara republik.86

Dalam negara berbentuk republik, kedaulatan rakyat dijunjung tinggi dan

rakyat lah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kedaulatan

86 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 84.

Page 82: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

82

rakyat ini kemudian diwujudkan ke dalam sistem demokrasi perwakilan yang

dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan

dari seluruh rakyat Indonesia. MPR memegang kekuasaan tertinggi negara karena

kedaulatan yang ada di tangan rakyat oleh UUD 1945 sebelum perubahan

diserahkan sepenuhnya kepada MPR.87 MPR sebagai lembaga tertinggi negara

yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat memiliki kewenangan

menetapkan undang-undang dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara

(GBHN)88 serta memilih presiden dan wakil presiden89.

Presiden yang dipilih oleh MPR diposisikan sebagai mandataris MPR.

Hal tersebut dinyatakan secara jelas dalam penjelasan UUD 1945 tentang Sistem

Pemerintahan Negara yang menyatakan bahwa kekuasaan negara tertinggi di

tangan MPR, dan Presiden merupakan mandatarisnya yang dipilih, diangkat, dan

diberhentikan oleh MPR. Oleh karena itu maka Presiden harus tunduk dan

bertanggung jawab kepada MPR, serta wajib menjalankan putusan-putusan MPR

termasuk harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah

ditetapkan MPR. Gagasan mengenai posisi presiden sebagai mandataris MPR

berasal dari pandangan Soepomo selaku Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-

Undang Dasar yang menyatakan bahwa presiden merupakan penjelmaan

kedaulatan rakyat dalam pelaksanaan pemerintahan sehari-hari.90 Dalam

menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab sepenuhnya

87 Lihat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan. 88 Lihat ketentuan Pasal 3 UUD 1945 sebelum perubahan. 89 Lihat ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan. 90 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 85.

Page 83: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

83

berada pada presiden, sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di

bawah MPR.

Presiden dalam menjalankan pemerintahan negara harus bekerja sama

dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diposisikan neben dengan

presiden. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR dan oleh karenanya

kedudukan presiden juga tidak bergantung pada DPR, begitu pula sebaliknya.

Kedua lembaga ini diposisikan sama kuat yang tidak dapat saling membubarkan

satu dan lainnya. Keberadaan DPR bertujuan untuk mengawasi penyelenggaran

pemerintahan oleh Presiden serta membatasi kekuasaan presiden dalam

menjalankan pemerintahan negara.

Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

masa jabatannya tidak diatur dalam Batang Tubuh UUD 1945 sebelum perubahan,

sehingga Winarno Yudho menyatakan hal tersebut sebagai kekosongan konstitusi

(constitutionale vacuum) mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya.91 Namun dalam bagian Penjelasan UUD 1945

sebelum perubahan secara tersirat terdapat ketentuan yang memuat mekanisme

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Presiden sebagai penyelenggara

pemerintahan negara di bawah MPR harus tunduk terhadap setiap putusan-

putusan MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. Disamping Presiden terdapat

lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang senantiasa mengawasi jalannya

pemerintahan. Apabila DPR berpendapat bahwa Presiden dalam menjalankan

pemerintahan telah melanggar haluan negara yang ditetapkan dalam undang-

91 Winarno Yudho, dkk., op.cit., Jakarta, hal. 42.

Page 84: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

84

undang dasar atau garis-garis besar yang ditetapkan MPR, maka MPR dapat

diundang untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa guna meminta

pertanggungjawaban kepada Presiden.

Secara lebih lanjut mekanisme mengenai pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya diatur dalam Ketetapan MPR RI

No. VI/MPR/1973 kemudian diubah dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/1978

tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara

dengan/Antar Lembaga Tinggi Negara dan Ketetapan MPR mengenai Peraturan

Tata Tertib MPR. Dalam Ketetapan MPR tersebut diatur bahwa alasan yang dapat

dipergunakan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu

Presiden dan/atau Wakil Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara.

Ketentuan tersebut dapat dikatakan merupakan norma kabur karena tanpa disertai

penjelasan lebih lanjut mengenai yang dimaksud telah sungguh-sungguh

melanggar haluan negara. Hal ini tentunya menimbulkan penafsirannya beragam

dan cenderung bersifat subyektif bergantung pada pandangan masing-masing

anggota DPR dan MPR.

Hamdan Zoelva merujuk pada Penjelasan UUD 1945 dan berbagai

Ketetapan MPR mengartikan haluan negara sebagai apapun apapun haluan atau

garis-garis yang ditetapkan MPR. Selain itu seluruh pasal dan penjelasan dalam

UUD 1945 yang terkait dengan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab presiden;

Pancasila; Ketetapan MPR; undang-undang; dan seluruh peraturan perundang-

undangan lainnya merupakan haluan negara.92 Jadi presiden dalam melaksanakan

92 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 87.

Page 85: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

85

kekuasaannya menjalankan pemerintahn negara harus benar-benar memperhatikan

dan menaati seluruh peraturan perundang-undangan yang merupakan haluan

negara tersebut. Apabila diperoleh indikasi DPR bahwa presiden telah melakukan

suatu pelanggaran terhadap haluan negara, maka hal tersebut dapat dijadikan

sebagai alasan untuk memberhentikan presiden dalam masa jabatannya.

Mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

jabatannya sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan dan

Ketetapan MPR dimulai dengan adanya dugaan DPR bahwa terdapat pelanggaran

haluan negara yang dilakukan oleh presiden. Selanjutnya DPR berdasarkan

kewenangan yang ada padanya dapat menyampaikan memorandum kepada

presiden sebagai peringatan bahwa telah terjadi pelanggaran haluan negara yang

dilakukannya. Apabila dalam jangka waktu 3 bulan setelah disampaikan

memorandum presiden tidak juga mengindahkannya, maka DPR akan kembali

menyampaikan memorandum kedua. Apabila presiden tidak juga mengindahkan

memorandum kedua DPR 1 bulan setelah disampaikan, maka DPR meminta

kepada MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta

pertanggungjawaban presiden.93

Alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang hanya

didasarkan pada adanya pelanggaran haluan negara tanpa penjelasan lebih lanjut

mengenai bentuk dan rincian pelanggaran haluan negara secara limitatif, maka

pelanggaran haluan negara dapat ditafsirkan sangat luas yang meliputi

pelanggaran terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku baik

93 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 86-88.

Page 86: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

86

itu pelanggaran pidana, maupun pelanggaran yang bersifat politik. Pelanggaran

yang bersifat politik inilah yang dijadikan alasan DPR mengajukan permohonan

Sidang Istimewa kepada MPR guna memberhentikan Presiden Abdurrahman

Wahid pada tahun 2001. Pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh Presiden

Abdurrahman Wahid adalah adanya dugaan keterlibatannya dalam skandal

Buloggate dan Bruneigate, pelanggaran Pasal 7 ayat (3) Ketetapan MPR No. VII

Tahun 2000 terkait dengan pengangkatan Kapolri, penolakan untuk hadir

memberikan pertanggungjawaban di MPR, serta menyatakan keadaan darurat

melalui penerbitan Maklumat tanggal 23 Juli 2001 yang didalamnya

menyatakan:94

1. membubarkan MPR dan DPR Republik Indonesia; 2. mengembalikan kedaulatan kepada rakyat dan membentuk Komisi

Pemilihan Umum untuk mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun; dan

3. menyelamatkan gerakan reformasi total dari fraksi Orge Baru dengan cara membubarkan Partai Golkar sementara menunggu keputusan Mahkamah Agung.

Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, maka dapat diketahui bahwa

dalam UUD 1945 sebelum perubahan tidak terdapat ketentuan yang mengatur

mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya, baik mekanisme maupun alasan pemberhentiannya. Namun dalam

Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan secara tersirat dapat dijumpai

pengaturan yang menunjukkan bahwa pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden dalam masa jabatannya itu dimungkinkan yaitu melalui adanya

mekanisme pertanggungjawaban presiden kepada MPR. Pertanggungjawaban

94 Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran,

Penerbit Mizan, Bandung, hal. 244-250.

Page 87: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

87

Presiden kepada MPR merupakan pertanggungjawaban intern yang dilaksanakan

oleh Presiden selaku mandataris MPR kepada MPR.

Pertanggungjawaban presiden juga merupakan pertanggungjawaban

politik karena sanksi terhadap pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh

presiden adalah berupa pemberhentian dari jabatannya sebagai presiden. Selain itu

keputusan MPR untuk memberhentikan presiden dari jabatannya juga bersifat

sangat subyektif dan didasarkan pada alasan pemberhentian yang penafsirannya

amat luas tanpa disertai adanya mekanisme hukum tertentu. Oleh karena itu maka

pengambilan keputusan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya bersifat

politik semata yang bergantung pada dukungan politik terhadap presiden di MPR.

Seorang presiden dapat melanggengkan jabatannya dengan cara menguasai atau

mendapat dukungan politik penuh dari MPR, sedangkan apabila tidak didukung

oleh MPR maka seorang presiden dapat dengan mudah diberhentikan dari

jabatannya atas dasar alasan yang penafsirannya amat luas. Hal ini juga

menunjukkan adanya ciri sistem pemerintahan parlementer dalam pemberhentian

presiden berdasarkan UUD 1945 sebelum perubahan, yaitu supremasi parlemen

dimana jabatan presiden amat bergantung pada dukungan politik di parlemen. Jadi

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945 sebelum

perubahan merupakan bentuk pertanggungjawaban intern Presiden dan/atau Wakil

Presiden kepada MPR yang telah memilihnya dan memberi mandat kepadanya

sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949

Page 88: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

88

Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) resmi diberlakukan pada

tanggal 27 Desember 1949 dan merupakan hasil kompromi politik dari Konferensi

Meja Bundar yang diselenggarakan setelah Belanda melakukan agresi militer di

Indonesia. KRIS 1949 menganut bentuk negara dan sistem pemerintahan yang

berbeda dengan yang dianut UUD 1945, karena menganut bentuk negara federasi

dan sistem pemerintahan kombinasi presidensiil-parlemen..

Dalam KRIS 1949 dinyatakan bahwa Presiden berkedudukan sebagai

kepala negara yang dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah

daerah-daerah bagian dalam negara Republik Indonesia Serikat. Presiden juga

memiliki kewenangan untuk membentuk kabinet sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 74 KRIS bahwa Presiden harus membuat kesepakatan dengan orang-orang

yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian untuk menunjuk tiga pembentuk

kabinet. Kabinet yang disusun tersebut terdiri dari seorang Perdana Menteri yang

berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, serta menteri-menterinya.

Mengenai pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya, secara

eksplisit tidak ada ketentuan dalam KRIS 1949 yang mengatur mengenai hal

tersebut. Hal yang diatur hanyalah mengenai pemilihan Presiden baru apabila

terjadi pergantian Presiden sebelum habis masa jabatannya karena berhalangan,

berpulang, atau meletakkan jabatannya yaitu dalam Pasal 72 KRIS 1949. Namun

dalam ketentuan Pasal 148 KRIS diatur mengenai suatu peradilan khusus bagi

pejabat negara yang melakukan kejatan atau pelanggaran-pelanggaran lainnya.

Apabila pejabat-pejabat negara, termasuk Presiden melakukan kejahatan dan

Page 89: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

89

pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang dilakukan dalam

masa jabatannya maka ia dapat diadili oleh Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat

pertama dan tertinggi. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban

presiden dan pejabat-pejabat negara lainnya hanya terkait dengan

pertanggungjawaban pidana apabila terlibat perkara pidana baik kejahatan

maupun berupa pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lainnya

dalam perundang-undangan yang dilakukan dalam masa jabatannya. Kewenangan

Mahkamah Agung untuk mengadili pada tingkat pertama dan tertinggi atas

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara tersebut,

termasuk presiden itulah yang biasa disebut dengan forum previlegiatum. Proses

peradilan tersebut dapat dilaksanakan pada saat pejabat bersangkutan masih

menjabat maupun setelah berhenti dari jabatannya. Terdapat dua mantan menteri

yang pernah disidang berdasarkan forum previligiatum dalam KRIS 1949 ini yaitu

Sultan Hamid II dan Mr. Djodi Gondokusumo. Dalam putusannya kedua mantan

menteri ini diputus bersalah dan dijatuhi hukuman pidana masing-masing 10

(sepuluh) tahun penjara bagi Sultan Hamid II dan 1 (satu) tahun penjara bagi Mr.

Djodi Gondokusumo.95

Forum previlegiatum sebagaimana yang diatur dalam KRIS 1949 tidak

dapat memberhentikan Presiden ataupun pejabat-pejabat negara lainnya dari

jabatannya. Hal ini karena baik dalam KRIS 1949 maupun peraturan perundang-

undangan lainnya tidak terdapat ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai

95 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 90.

Page 90: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

90

apakah Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk memberhentikan Presiden

atau pejabat negara lainnya dari jabatannya apabila terbukti bersalah. Menurut

Nandang Alamsyah Deliarnoor, hal tersebut dapat dipahami mengingat sifat dari

forum previlegiatum sebagai peradilan khusus atas perkara-perkara pidana yang

dilakukan oleh orang-orang tertentu (para pejabat tinggi negara atau pejabat yang

secara khusus ditunjuk menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku),

dan bukan mengenai pemberhentian orang-orang tersebut dari jabatannya. Proses

pemberhentian dari jabatannya tersebut tetap dilakukan melalui mekanisme politik

ataupun aturan birokrasi yang berlaku.96

c. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950

UUDS 1950 merupakan akibat dari adanya keinginan negara-negara

bagian Republik Indonesia Serikat untuk kembali pada bentuk negara kesatuan

dengan sistem pemerintahan kombinasi presidensiil-parlemen. Jabatan kepala

negara dipegang oleh Presiden dengan dibantu oleh Wakil Presiden, sedangkan

jabatan kepala pemerintahan yang melaksanakan pemerintahan sehari-hari

dilaksanakan oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri dengan dibantu menteri-

menteri diangkat oleh Presiden berdasarkan anjuran pembentuk kabinet.

Dalam UUDS 1950, kedudukan kabinet atau masing-masing menteri

dapat diberhentikan melalui mosi tidak percaya oleh DPR sebagai bentuk

pertanggungjawabannya atas kebijakan pemerintahanan yang dibuatnya.

Pertanggungjawaban tersebut dapat dilakukan bersama-sama seluruh kabinet

untuk seluruh kebijakan pemerintah atau masing-masing menteri berdasarkan

96 Nandang Alamsyah Deliarnoor sebagaimana dikutip Hamdan Zoelva, op.cit., hal 91.

Page 91: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

91

pada bagian-bagiannya sendiri.97 Perimbangan atas kewenangan DPR tersebut,

maka dalam Pasal 84 UUDS 1950 dinyatakan bahwa: “Presiden berhak

membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Keputusan Presiden yang menyatakan

pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Dewan

Perwakilan Rakyat baru dalam 30 hari”. Pembubaran terhadap DPR ini dilakukan

apabila DPR dianggap tidak lagi mewakili kehendak rakyat. Sebaliknya jabatan

Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat sebagaimana diatur

dalam Pasal 83 ayat (1) UUD 1950. Apabila Presiden mangkat, berhenti, atau

tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya, maka ia akan

digantikan oleh Wakil Presiden hingga masa jabatannya habis.98

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal dalam UUDS 1950 yang diuraikan di

atas, maka dapat diketahui bahwa jabatan Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat

diganggu gugat sehingga tidak dapat diberhentikan paksa dari jabatannya oleh

DPR. Meski demikian, dalam UUDS 1950 diterapkan pula forum previlegiatum

atau sering pula disebut sistem forum khusus (special legal proceedings)99

sebagaimana yang dianut dalam KRIS 1949 untuk mengadili pelanggaran yang

dilakukan oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya. Hal tersebut

diatur dalam ketentuan Pasal 106 ayat (1) UUDS 1950 yang menyatakan bahwa:

“Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya dimungkinkan

untuk diuji perbuatannya oleh Mahkamah Agung apabila melakukan

perbuatan kejahatan dan pelanggaran jabatan, serta kejahatan dan

pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang.”

97 Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (2) UUDS 1950. 98 Lihat Pasal 48 UUDS 1950. 99 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal. 471.

Page 92: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

92

Ketentuan ini menunjukkan bahwa meskipun jabatan Presiden dan Wakil Presiden

tidak dapat diganggu gugat secara politik, namun dengan adanya forum

previlegiatum ini Presiden dan Wakil Presiden tetap dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana atas tindakannya melakukan kejahatan dan

pelanggaran jabatan, serta kejahatan dan pelanggaran lain yang diatur dalam

undang-undang.

Berbeda dengan Presiden dan Wakil Presiden yang jabatannya secara

politik tidak dapat diganggu gugat, menurut UUDS 1950 jabatan Perdana Menteri

dan menteri dapat diberhentikan dalam masa jabatannya melalui prosedur politik

di DPR, meski tidak ada peraturan jelas dan detail mengenai mekanisme tersebut

dalam UUDS 1950. Adapun prosedur politik di DPR yang digunakan untuk

memberhentikan kabinet atau menteri-menteri adalah melalui mosi tidak percaya.

UUDS 1950 ini akhirnya dinyatakan tidak berlaku lagi setelah

dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno, dan

menyatakan kembali kepada UUD 1945. Selain itu di dalam Dekrit tersebut juga

dinyatakan mengenai pembubaran Konstituante dan pembentukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang terdiri atas anggota-anggota

Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan

golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan

diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.100

100 Wiwik Budi Wasito, 2009, Mekanisme, Wewenang, dan Akibat Hukum Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Tesis, Program Studi Pasca Sarjana Kekhususan Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 34.

Page 93: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

93

2.2.2 Setelah Amandemen UUD 1945

UUD 1945 hasil amandemen menunjukkan perubahan yang amat jelas

berkaitan dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di

Indonesia dalam masa jabatannya dibandingkan UUD 1945 sebelum amandemen.

Hal ini karena dalam UUD 1945 telah diatur secara rinci mengenai alasan dan

mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya yaitu dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Selain itu,

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya juga

tidak lagi dimonopoli oleh legislatif (MPR dan DPR), tetapi juga melibatkan

kekuasaan yudisial yaitu turut sertanya Mahkamah Konstitusi (MK) dalam

prosesnya. Jadi dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden terdapat

keterlibatan 4 (empat) lembaga negara yaitu Presiden dan/atau Wakil Presiden

sebagai obyeknya, sedangkan MPR, DPR, dan MK merupakan lembaga yang

berperan aktif dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

Usulan untuk memunculkan pasal yang mengatur alasan dan mekanisme

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden telah ada sejak awal

pembahasan amandemen UUD 1945, namun baru dilakukan secara lebih

mendalam pada periode perubahan kedua dan ketiga UUD 1945. Usulan tersebut

dipengaruhi pandangan bahwa pemberhentian Presiden Soekarno dan Presiden

Abdurrahman Wahid yang pernah terjadi dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia

merupakan tindakan MPR yang bersifat politis. MPR sebagai lembaga tertinggi

negara memiliki kekuasaan tak terbatas menjadikan pemberhentian Presiden

Page 94: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

94

dan/atau Wakil Presiden bersifat subyektif dalam menafsirkan alasan

pemberhentiannya yaitu telah melanggar haluan negara.

Perlunya pengaturan mengenai alasan dan mekanisme pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam UUD 1945 juga merupakan upaya untuk

memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang dianut di Indonesia,

mengingat sebelum amandemen pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

amat tergantung pada MPR seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

Apabila dalam UUD 1945 diatur secara jelas dan rinci mengenai alasan dan

mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dipersulit sehingga

mengurangi ketergantungan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden terhadap

MPR serta lebih menjaga stabilitas pemerintahan. Oleh karena itu maka pada

amandemen ketiga disepakati pasal-pasal yang mengatur secara rinci alasan dan

mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam UUD 1945.

Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dirinci secara

jelas dalam Pasal 7A UUD 1945 yaitu apabila terbukti telah melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,

tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak

lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sehingga alasan

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat digolongkan menjadi

alasan melanggar hukum dan alasan tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden. Alasan-alasan melanggar hukum tersebut selanjutnya

Page 95: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

95

dapat diklasifikasikan lagi menjadi perbuatan melawan hukum yang termasuk

tindak pidana berat, serta perbuatan tercela.101

Penjelasan atas alasan-alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden tersebut dapat dilihat dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Undang-Undang MK) dan Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam

Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan Pelanggaran

oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (PMK No. 21 Tahun 2009).

1. Pengkhianatan terhadap Negara

Pengkhianatan terhadap negara dalam PMK No. 21 Tahun 2009 diartikan

sebagai tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam

undang-undang. Hamdan Zoelva berdasarkan penelitiannya menjelaskan bahwa

pengkhianatan terhadap negara merupakan perbuatan pidana yang dapat

mengancam keamanan negara sebagaimana diatur dalam Titel I Buku II Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan perundang-undangan pidana

lainnya, seperti kejahatan terorisme, kejahatan mengenai upaya penyebaran ajaran

komunisme/Maxisme-Leninisme, serta kejahatan yang bertujuan untuk

menghilangkan atau mengubah Pancasila sebagai dasar negara.102 Selain itu dalam

Penjelasan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden, tidak mengkhianati negara dijelaskan sebagai tidak

pernah terlibat gerakan separatis, tidak pernah melakukan tindakan yang

101 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 206. 102 Hamdan Zoelva, 2005, Impeachment Presiden : Alasan Tindak Pidana Pemberhentian

Presiden Menurut UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta (selanjutnya disingkat Hamdan Zoelva II), hal. 116.

Page 96: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

96

inkonstitusional atau dengan kekerasan untuk mengubah dasar negara, serta tidak

pernah melanggar UUD 1945.103

Pengkhianatan dalam pandangan Wirjono Prodjodikoro, ada 2 macam

pengkhianatan yaitu pengkhianatan intern (hoogveraad) dan pengkhianatan

ekstern (landverraad). Pengkhianatan intern dilakukan dengan tujuan untuk

mengubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang sedang diterapkan

dalam suatu negara, contohnya tindak pidana terhadap kepala negara. Jadi

pengkhianatan intern ini berkaitan dengan keamanan dalam negara (inwendige

veiligheid). Sedangkan pengkhianatan ekstern (landverraad) merupakan

pengkhianatan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keamanan negara

dan hal tersebut berasal dari serangan luar negeri.104

2. Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan tindak pidana yang tergolong white-collar crime dan

merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan dikaitkan dengan keuangan. Hal ini

tampak dari definisi korupsi dalam Black Law Dictionary, yaitu perbuatan yang

bertujuan untuk memperoleh keuntungan tidak resmi untuk dirinya sendiri

maupun orang lain atau kelompok dengan cara menyalahgunakan jabatannya.

Penyalahgunaan kekuasaan pejabat sebagai ciri korupsi juga dikemukakan oleh

Huntington yang menyebutkan korupsi sebagai perilaku menyimpang pejabat

103 Lihat Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden. 104 Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikutip oleh Lusia Indrastuti, 2012, Prosedur

Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945, e-Journal Universitas Slamet Riyadi, hal. 18, http://ejournal.unisri.ac.id

Page 97: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

97

publik dari norma-norma yang dianut masyarakat guna memperoleh keuntungan

pribadi. 105

Tindak pidana korupsi dalam PMK No. 21 Tahun 2009 didefinisikan

sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam undang-undang. Tindak

pidana korupsi ini telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),

yang didalamnya mendefiniskan korupsi sebagai perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara.106 Korupsi dalam UU Tipikor juga diartikan

sebagai perbuatan yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara.107

3. Penyuapan

Sama halnya dengan tindak pidana korupsi, penjelasan mengenai tindak

pidana penyuapan dalam PMK No. 21 Tahun 2009 definisinya merujuk pula pada

ketentuan undang-undang. Definisi tindak pidana penyuapan dapat dilihat dalam

Pasal 13 UU Tipikor yang merumuskan tindakan memberi hadiah atau janji

105 Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadillah, 2009, Strategi Pencegahan dan

Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 2. 106 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. 107 Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Page 98: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

98

kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang

melekat pada jabatan atau kedudukannya tersebut.

4. Tindak Pidana Berat Lainnya

Berbeda dengan ketiga alasan pemberhentian Presiden dan Wakil

Presiden yang diuraikan diatas yang definisinya dapat dilihat dalam undang-

undang lainnya, definisi dari tindak pidana berat lainnya secara jelas dimuat

dalam Pasal 1 angka 10 PMK No. 21 Tahun 2009. Dalam ketentuan tersebut

tindak pidana berat lainnya diartikan sebagai tindak pidana yang ancaman

hukumannya berupa pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Jadi kualifikasi

suatu tindak pidana berat yang dapat dijadikan alasan pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden dibatasi oleh lamanya masa pidana penjara yang

diancamkan atas perbuatan tersebut.

5. Perbuatan Tercela

PMK No. 21 Tahun 2009 memberikan pembatasan definisi perbuatan

tercela sebagai perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau

Wakil Presiden. Penjelasan tersebut masih bersifat luas sehingga bisa

menimbulkan penafsiran beragam dan multitafsir. Perbuatan pidana sebagaimana

yang disebut dalam Pasal 7A UUD 1945 juga dapat digolongkan sebagai

perbuatan tercela yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil

Presiden. Selain itu perbuatan tercela tersebut dapat pula perbuatan yang

melanggar norma-norma, di luar norma hukum yang dijunjung tinggi oleh

masyarakat. Oleh karena itu, perbuatan tercela merupakan alasan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden yang bersifat sangat fleksibel yang apabila

Page 99: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

99

disalahgunakan atau dipolitisasi akan menciderai kepastian hukum dalam proses

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.

6. Tidak Lagi Memenuhi Syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat-

syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka berdasarkan Pasal 7A

UUD 1945 hal tersebut dapat digunakan sebagai alasan untuk mengajukan

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Dalam

PMK No. 21 Tahun 2009 dijelaskan bahwa syarat-syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden yang dimaksud adalah syarat-syarat yang ditentukan

dalam Pasal 6 UUD 1945 dan undang-undang yang mengatur lebih lanjut tentang

syarat-syarat Presiden dan/atau Wakil Presiden, seperti undang-undang yang

mengatur pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 7B UUD 1945 kemudian merinci mekanisme yang harus ditempuh

untuk dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dimulai dari

mekanisme di DPR, kemudian berlanjut di MK hingga putusannya disampaikan

kembali ke DPR, selanjutnya barulah mekanisme pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden di MPR yang akan memutuskan apakah Presiden

dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya atau tidak.

Dalam Pasal 7B UUD 1945 tersebut dinyatakan bahwa usul DPR

mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya atas dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan

pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden terlebih dahulu harus dibuktikan dengan cara

Page 100: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

100

mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,

mengadili, dan memutus dugaan DPR tersebut. Apabila Mahkamah Konstitusi

memutuskan dugaan DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah

melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka DPR dapat mengajukan usul

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada MPR. Usulan

DPR tersebut kemudian ditanggapi MPR dengan menyelenggarakan sidang

paripurna berkaitan dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

dalam masa jabatannya. Dalam sidang tersebut Presiden dan/atau Wakil Presiden

diberikan kesempatan untuk menyampaikan penjelasan terlebih dahulu,

selanjutnya barulah MPR mengambil keputusan pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7B UUD 1945 yang diuraikan di atas, maka

terdapat peran serta DPR, MPR, dan MK dalam mekanisme pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewenangan yang dimiliki oleh MPR, DPR,

dan MK dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan

kewenangan atributif sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945. Peran serta DPR

dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai lembaga yang

melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) oleh eksekutif di Indonesia.

Fungsi pengawasan dari DPR dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden berkaitan dengan hak menyatakan pendapat yang dimiliki oleh

setiap anggota DPR, sebagaimana diatur dalam Psal 77 ayat (4) huruf c Undang-

Page 101: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

101

Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan

DPRD (selanjutnya disingkat UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD).

DPR dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

berkaitan dengan fungsi pengawasan dan hak menyatakan pendapat melakukan

proses penyelidikan apabila ada dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden. Penyelidikan yang dilakukan oleh DPR tidak

dapat disamakan dengan proses penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan yang

dilakukan pada perkara pidana umumnya. Penyelidikan di DPR dilakukan dengan

membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang bertugas mencari bukti-bukti, meminta

keterangan saksi dan pihak-pihak terkait termasuk membicarakannya dengan

Presiden dalam suatu Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, dan/atau Rapat

Dengar Pendapat Umum.108

Bagaimanapun DPR merupakan lembaga politik sehingga pengambilan

keputusan yang dilakukan berkaitan dengan pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden merupakan keputusan politik pula yang amat bergantung pada

pandangan subyektif dan dukungan terhadap Presiden dan/atau Wakil

Presiden.Oleh karena itulah maka diperlukan peran serta MK sebagai lembaga

yudisial yang berwenang memutus kebenaran dugaan DPR bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi

syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Putusan yang diambil oleh MK

tersebut diambil dalam perspektif hukum, sehingga dugaan DPR bahwa Presiden

dan/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi

108 Hamdan Zoelva, op.cit., hal 121.

Page 102: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

102

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sifatnya politik

akan mendapatkan justifikasi secara hukum kebenarannya. Sehingga pendapat

DPR yang bersifat politis mengenai alasan pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden itu dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dengan

demikian maka Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dengan mudah

diberhentikan dalam masa jabatannya berdasarkan mekanisme politik semata di

DPR dan MPR, sehingga dapat menjamin kestabilan pemerintahan negara dalam

sistem pemerintahan presidensial.

Usulan DPR mengenai dugaan Presiden dan/Wakil Presiden telah

melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden yang telah mendapat justifikasi hukum melalui putusan

MK selanjutnya akan diteruskan oleh DPR ke MPR sebagai lembaga yang

memiliki kewenangan konstitusional untuk memberhentikan Presiden dan/atau

Wakil Presiden. MPR akan menyelenggarakan Rapat Paripurna yang dihadiri oleh

anggota MPR serta mengundang pula Presiden dan/atau Wakil Presiden guna

memberikan penjelasan atas usul pemberhentiannya. Presiden dan/atau Wakil

Presiden dapat menghadiri Rapat Paripurna MPR ataupun tidak. Dalam Rapat

Paripurna tersebut pula diambil keputusan MPR melalui pengambilan suara

terbanyak yang akan menentukan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden dilaksanakan atau tidak. Pengambilan keputusan MPR melalui suara

terbanyak tersebut merupakan proses politik, yang bisa saja tidak sesuai dengan

kepastian hukum yang telah ditentukan melalui putusan MK sebelumnya. Hal ini

bisa saja menciderai kepastian hukum dan konsepsi negara hukum yang dianut

Page 103: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

103

Indonesia. Padahal putusan-putusan hakim merupakan putusan yang bersifat

mengatur dan memaksa serta merupakan wujud lain dari hukum selain peraturan

perundang-undangan. Sehingga tepat kiranya apabila putusan MK yang

menyatakan kebenaran usul DPR dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden merupakan putusan yang sifatnya final dan mengikat, artinya putusan

tersebut hendaknya harus diikuti dalam pengambilan keputusan di MPR

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat diketahui bahwa mekanisme

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945

mengacu pada mekanisme impeachment yang diterapkan di Amerika Serikat,

dimana terdapat mekanisme hukum untuk menentukah keabsahan alasan

impeachment yang dilakukan oleh Mahkamah Agung namun penilaian akhir tetap

dikembalikan ke Senate melalui pengambilan suara terbanyak. Jadi impeachment

di Amerika Serikat menggabungkan mekanisme hukum dan politik seperti halnya

yang diterapkan di Indonesia berdasarkan UUD 1945. Perbedaannya adalah

mekanisme hukum untuk menilai kebenaran usul DPR bahwa Presiden dan/atau

Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat

sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dilaksanakan oleh MK dan bukan oleh

Mahkamah Agung.

MK diberikan kewenangan untuk menilai kebenaran usul DPR bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum guna

membedakan proses peradilannya dengan peradilan pidana atas pelanggaran

hukum yang dilakukan Presiden. Menurut Hobbes Sinaga sebagaimana dikutip

Hamdan Zoelva, kewenangan untuk menilai kebenaran usul DPR bahwa Presiden

Page 104: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

104

dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum diserahkan ke MK

karena pelanggaran hukum yang dijadikan alasan pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden tersebut bukanlah suatu pelanggaran hukum pidana

biasa. Sedangkan Hamdan Zoelva berpendapat bahwa pelanggaran hukum oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden bukan merupakan tindak pidana yang dapat

dijatuhi pemidanaan, melainkan pelanggaran pasal konstitusi karena terbukti

melakukan perbuatan melawan hukum sehingga kewenangan tersebut diserahkan

ke MK.109 Selain itu juga perlu dipertimbangkan bahwa sanksi atas pelanggaran

hukum yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut bukanlah

pemidanaan melainkan pemberhentian dari jabatannya sebagai Presiden dan/atau

Wakil Presiden, sehingga lebih baik diserahkan ke MK dan bukan peradilan

umum (Mahkamah Agung). Lebih lanjut Hamdan Zoelva menambahkan apabila

pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden ingin

diadili dalam proses pidana melalui peradilan umum guna mendapat sanksi

pemidanaan, maka hal itu dapat dilakukan setelah Presiden dan/atau Wakil

Presiden diberhentikan dari jabatannya.110

Adanya mekanisme hukum dan politik dalam mekanisme pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945 bertujuan agar

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak sepenuhnya menjadi

monopoli legislatif (MPR dan DPR) yang mudah untuk dipolitisasi, namun

melibatkan pula lembaga yudisial yaitu MK. Pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945 didasarkan pada adanya pelanggaran

109 Pendapat Hobbes Sinaga dan Hamdan Zoelva dalam Rapat Panitia Ad Hoc I tanggal 18 Oktober 2001 sebagaimana dikutip dalam Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 117.

110 Hamdan Zoelva, loc.cit.

Page 105: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

105

hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang sebelumnya

telah dibuktikan melalui persidangan di MK dan mendapatkan justifikasi hukum.

Dengan demikian maka jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak

bergantung pada legislatif.

Independensi jabatan presiden juga berkaitan dengan teori pemisahan

kekuasaan yang diterapkan di Indonesia yang disertai mekanisme checks and

balances agar masing-masing cabang kekuasaan negara dapat saling mengawasi

satu sama lain dalam penyelenggaraan pemerintah. Begitu pula pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia merupakan wujud pelaksanaan

checks and balances tersebut, yaitu pengawasan oleh legislatif terhadap jalannya

pemerintahan negara yang diselenggarakan oleh Presiden dan/atau Presiden. Jadi

mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden bukan lagi

merupakan bentuk supremasi parlemen atau pertanggungjawaban intern Presiden

selaku mandataris MPR, melainkan merupakan bentuk check and balances dalam

pemisahan kekuasaan.

2.3 Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai

Pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden

Adanya mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

berdasarkan UUD 1945 merupakan bentuk checks and balances yang dilakukan

oleh legislatif (MPR dan DPR) kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selain

itu pemberhentian tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban Presiden

dan/atau Wakil Presiden atas perbuatannya melanggar hukum, namun bukanlah

Page 106: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

106

pertanggungjawaban yang sifatnya wajib segaimana yang dilaksanakan sebelum

amandemen UUD 1945 dimana Presiden selaku mandataris MPR wajib untuk

menyampaikan pidato pertanggungjawabannya dalam Rapat Paripurna MPR atas

dugaan Presiden telah melanggar haluan negara. Pidato pertanggungjawaban yang

disampaikan Presiden tersebut akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan

keputusan MPR mengenai pemberhentian Presiden bersangkutan.

Konsepsi pertanggungjawaban sebagaimana dalam UUD 1945 tersebut

kini sudah tidak berlaku lagi berdasarkan UUDNRI 1945, karena tidak ada

kewajiban bagi Presiden untuk menyampaikan pidato pertanggungjawaban di

MPR melainkan diberikan kesempatan untuk menyampaikan penjelasan terkait

alasan pemberhentiannya sebelum pengambilan keputusan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden di MPR. Meski demikian pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden tetap merupakan bentuk pertanggungjawaban

eksekutif dalam arti pertanggungjawaban dengan sanksi terhadap perbuatannya

melanggar hukum. Sanksi yang dijatuhkan atas perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan Presiden dan/atau Wakil Politik merupakan sanksi bersifat politik

berupa pemberhentian dari jabatannya sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pertanggungjawaban dalam sistem pemerintahan negara menurut Bagir

Manan dan Kuntana Magnar merupakan unsur yang penting. Beliau menyatakan

agar setiap jabatan yang disertai kekuasaan hendaknya dilengkapi

pertanggungjawaban sebagai penilaian terhadap pelaksanaan jabatan yang

Page 107: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

107

bersangkutan dalam melaksanakan kekuasaan yang diserahkan kepadanya.111

Lebih lanjut Bagir Manan mengemukakan pula bahwa pada negara hukum

demokratis tidak ada jabatan atau pemangku jabatan yang tidak

bertanggungjawab.112 Oleh karena itu maka pemerintahan demokrasi merupakan

pemerintahan yang bertanggungjawab, sebab dalam negara demokrasi modern

terdapat prinsip perwakilan dan pertanggungjawaban (representative and

responsible goverment). Sehingga tidak ada satu kekuasaan pun yang tidak

dipertanggungjawabkan.

Pertanggungjawaban lembaga negara dapat diklasifikasikan berdasarkan

beberapa kriteria yaitu pengertian, formalitas, dan sifatnya. Berdasarkan

pengertiannya, Harun Al Rasyid mengemukakan tanggung jawab dapat diartikan

luas dan sempit. Tanggung jawab dalam arti luas merupakan tanggung jawab yang

disertai dengan sanksi, sedangkan tanggung jawab dalam arti sempit merupakan

tanggung jawab tanpa sanksi.113

Tanggung jawab juga dapat diklasifikasikan berdasarkan formalitasnya

berdasarkan pandangan yang dikemukakan Joeniarto. Pertanggungjawaban

lembaga-lembaga negara menurut Joeniartho dibedakan menjadi

pertanggungjawaban formal dan pertanggungjawaban non-formal atau sering pula

disebut pertanggungjawaban moral. Pertanggungjawaban formal terdiri dari

pertanggungjawaban ketatanegaraan, administrasi dan hukum administrasi,

111 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1993, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara

Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 28. 112 Bagir Manan, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 68. 113 Harun Al Rasjid yang dikutip dalam I Nengah Suantra, 2005, Pemberhentian Presiden

Republik Indonesia dari Jabatannya Setelah Perubahan UUD 1945, Tesis, Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, hal. 39.

Page 108: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

108

kepidanaan, serta keperdataan. Sedangkan pertanggungjawaban non-formal atau

pertanggungjawaban moral meliputi pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang

Maha Esa, kepada sesama manusia termasuk kepada dirinya sendiri, serta kepada

nusa, bangsa, dan negara.114

Selanjutnya pertanggungjawaban lembaga negara berdasarkan sifatnya

dikemukakan oleh Soewoto Mulyosudarmo. Menurut beliau pertanggungjawaban

berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi pertanggungjawaban wajib dan

pertanggungjawaban tidak wajib. Pertanggungjawaban wajib merupakan

pertanggungjawaban intern seperti pertanggungjawaban menteri-menteri kepada

Presiden selaku kepala pemerintahan. Sedangkan pertanggungjawaban tidak wajib

merupakan pertanggungjawaban ekstern Presiden kepada rakyatnya secara

langsung sebagai manifestasi pertanggungjawaban moral Presiden kepada rakyat,

dan tidak akan menimbulkan sanksi hukum.115

Pertanggungjawaban lembaga negara dikenal dalam perolehan kekuasaan

secara derivatif. Soewoto Mulyosudarmo mengemukakan perolehan kekuasaan

secara derivatif adalah pelimpahan kuasa, karena dari kekuasaan yang telah ada

dialihkan kepada pihak lain. Dengan demikian, pelimpahan kekuasaan ini adalah

pelimpahan kekuasaan yang diturunkan. Perolehan kekuasaan secara derivatif

dapat dibedakan menjadi delegasi dan mandat. Mengenai delegasi dan mandat

menurut beliau bahwa dengan didelegasikannya suatu wewenang, maka

tanggungjawab sepenuhnya beralih kepada subyek hukum yang lain. Sebaliknya

pada mandat, mandataris hanya bertindak untuk dan atas nama mandans.

114 Joeniarto yang dikutip dalam ibid. 115 Suwoto Mulyosudarmo yang dikutip dalam ibid.

Page 109: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

109

Tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada

mandans. Dengan kata lain mandataris pada hakikatnya bukan orang lain dari

mandans. 116

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi dalam

pemerintahannya, sehingga setiap kekuasaan negara harus dapat

dipertanggungjawabkan termasuk kekuasaan presiden. Namun konsep

pertanggungjawaban kekuasaan presiden berdasarkan UUD 1945 berbeda dengan

yang dianut dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Apabila konsep

pertanggungjawaban berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen menganut

pertanggungjawaban wajib yang merupakan pertanggungjawaban intern Presiden

kepada MPRkarena pemerintahan yang telah melanggar haluan negara, dengan

sanksinya yang bersifat politik berupa pemberhentian Presiden dari jabatannya.

Sedangkan konsepsi demikian tidak dikenal lagi karena telah dirubah melalui

amandemen ke-III.

Dalam UUD 1945 pertanggungjawaban presiden tidak bersifat wajib,

tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa presiden wajib menyampaikan pidato

pertanggungjawabannya dalam Rapat Paripurna MPR. Oleh kerena merupakan

pertanggungjawaban yang tidak wajib, maka pertanggungjawabannya merupakan

pertanggungjawaban ekstern langsung kepada rakyat sebagai perwujudan

pertanggungjawaban moral Presiden kepada rakyat yang telah memilihnya.

Pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam UUD 1945

merupakan pertanggungjawabannya atas tindakannya telah melanggar hukum,

116 Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap

Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta, hal. 16-20.

Page 110: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

110

yang menurut konstitusi dapat menimbulkan sanksi politik berupa pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Pertanggungjawaban tersebut

merupakan bentuk dari adanya pengawasan terhadap kekuasaan Presiden guna

menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan, dan

pemerintahan otoriter.

Page 111: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

111

BAB III

PERBUATAN TERCELA SEBAGAI ALASAN PEMBERHENTIAN

PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA

3.1 Pengertian Perbuatan Tercela

Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diatur

berbagai negara menunjukkan apaling tidak ada 4 (empat) kelompok alasan

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu:117

1. alasan politik karena ditolaknya pertanggungjawaban Presiden; 2. alasan pelanggaran hukum tata negara, seperti pelanggaran atas konstitusi

dan peraturan perundang-undangan; 3. alasan terbukti melakukan tindak pidana; dan 4. gabungan dari alasan-alasan tersebut.

Indonesia sendiri menentukan alasan-alasan pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 yaitu

apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana

berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi

syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut

menunjukkan bahwa alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di

Indonesia termasuk gabungan dari alasan pelanggaran tindak pidana, melakukan

perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau

Wakil Presiden (incapacity).

Penjelasan atas alasan-alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden yang disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945, diatur dalam Pasal 10 ayat

117 Hamdan Zoelva , op.cit., hal. 38.

Page 112: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

112

(3) Undang-Undang MK dan PMK No. 21 Tahun 2009. Definisi atas alasan-

alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang diatur

dalam Undang-Undang MK maupun PMK No. 21 Tahun 2009 merupakan

definisi yang bersifat sederhana, khususnya berkaitan dengan definisi atas

perbuatan tercela.

Definisi perbuatan tercela dalam Undang-Undang MK maupun PMK No.

21 Tahun 2009 memiliki arti yang luas, umum, abstrak, dan kabur sehingga

menimbulkan multitafsir. Hal ini karena tidak dijelaskan apakah perbuatan tercela

tersebut hanya mencakup tindak pidana lain selain tindak pidana yang telah

disebutkan dan tindak pidana berat, atau perbuatan tercela tersebut mencakup pula

perbuatan lain di luar tindak pidana. Dengan demikian maka perlu dipahami

maksud dari frasa perbuatan tercela sebagai alasan untuk memberhentikan

Presiden dan/atau Wakil Presiden guna memberikan kejelasan dan batasan atas

perbuatan tercela tersebut.

Secara etimologi, definisi perbuatan tercela dapat dilihat dengan

memahami makna dari 2 (dua) kata pembentuknya, yaitu perbuatan dan tercela.

Perbuatan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai

sesuatu yang diperbuat (dilakukan) atau suatu tindakan atau suatu kelakuan atau

suatu tingkah laku. Suatu perbuatan dapat dimaknai secara positif maupun negatif.

Perbuatan positif merupakan suatu tindakan yang memberikan manfaat tidak

hanya bagi dirinya sendiri namun bermanfaat pula bagi orang lain. Sebaliknya

apabila perbuatan dimaknai negatif, maka seringkali dipandang oleh mayoritas

masyarakat sebagai suatu tindakan yang dapat merugikan dirinya sendiri serta

Page 113: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

113

orang lain. Selanjutnya kata tercela berasal dari kata cela yang dalam KBBI

dimaknai sebagai sesuatu yang menyebabkan kurang sempurna atau cacat atau

kekuarangan. Kata cela juga dapat dimaknai sebagai aib atau sebagai hinaan,

kecaman, atau kritik. Tercela sendiri selanjutnya dimaknai sebagai hal yang patut

dicela, tidak pantas, dan sebaiknya jangan sampai terulang lagi. Dengan demikian

maka frasa perbuatan tercela secara etimologi dapat dipahami sebagai suatu

tindakan atau perilaku yang tidak pantas atau aib, yang dapat mengakibatkan cacat

pada seseorang sehingga sebaiknya tindakan tersebut jangan sampai terulang lagi.

Secara yuridis, definisi perbuatan tercela termuat dalam Pasal 10 ayat (3)

Undang-Undang MK dan PMK No. 21 Tahun 2009 yang didefinisikan sebagai

perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Penjelasan tersebut tidak dapat memberikan batasan mengenai arti perbuatan

tercela, karena perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945

juga dapat digolongkan sebagai perbuatan tercela. Selain itu apabila dikaitkan

dengan norma-norma yang ada, maka perbuatan tercela dapat berupa pelanggaran

atas norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum.

Perbuatan tercela tersebut dapat pula pelanggaran atas adat istiadat yang dirasa

dapat merendahkan harkat dan martabat seseorang di dalam masyarakat.

Secara sosiologis, kriteria suatu perbuatan tercela dapat diukur dengan

kesesuaian perbuatan tersebut pada norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Tingkah laku seseorang dalam masyarakat perlu diatur guna mengatur perilaku

seseorang dalam bermasyarakat, untuk menciptakan ketertiban dalam

bermasyarakat. Untuk mengatur tingkah laku tersebut muncullah norma-norma,

Page 114: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

114

yaitu norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum. Jadi

suatu perbuatan yang tercela harus dilihat dari kesesuaiannya dengan norma-

norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

Pengertian perbuatan tercela baik dalam Undang-Undang MK dan PMK

No. 21 Tahun 2009 menunjukkan bahwa perbuatan tercela dapat diartikan

beragam dan batasannya juga tidak ditemukan dalam peraturan perundang-

undangan lainnya. Perbuatan tercela dapat pula mencakup pelanggaran hukum

pidana maupun pelanggaran hukum lainnya, serta pelanggaran atas nilai-nilai

agama, moral, kesopanan dan kesusilaan. Hamdan Zoelva juga menambahkan

perbuatan tercela dapat pula berupa pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden

atas kewajiban konstitusional jabatannya asalkan pelanggaran tersebut sedemikian

rupa dapat merendahkan harkat dan martabatnya sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden.118 Lebih lanjut Hamdan Zoelva menyatakan bahwa dilihat dari jiwa

rumusan UUD 1945 yang tegas mencantumkan bentuk-bentuk tindak pidana berat

sebagai alasan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka ini

menunjukkan bahwa alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

dibatasi pada perbuatan melanggar hukum yang setingkat dengan tindak pidana

berat saja. Perbuatan melanggar hukum tersebut dapat merendahkan harkat dan

martabat dari Presiden dan/atau Wakil Presiden yang berakibat pada

ketidakpercayaan masyarakat pada Presiden dan/atau Wakil Presiden

bersangkutan sehingga akan kehilangan legitimasi rakyat.119

118 Hamdan Zoelva II, op.cit., hal. 116. 119 Hamdan Zoelva II, op.cit., hal. 117.

Page 115: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

115

Suatu norma hukum yang kabur tentunya akan menimbulkan beragam

penafsiran yang sudah tentu akan menciderai kepastian hukum yang dijunjung

tinggi dalam suatu negara hukum. Begitu pula dalam hal ini, pengertian perbuatan

tercela yang amat luas dapat dipergunakan sebagai celah untuk memberhentikan

Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya secara politik berdasarkan

kekuatan politik yang ada di legislatif. Hal ini tentunya bertentangan dengan

pemikiran awal mengenai perlunya diatur dalam konstitusi alasan-alasan

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden guna mencegah upaya politisasi

dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dengan demikian maka

Presiden tidak dengan mudah diberhentikan dari jabatannya dan menjamin masa

jabatan Presiden yang telah ditetapkan dalam konstitusi (fix term), serta

menegakkan hukum dalam mekanime pemberhentian tersebut.

Alasan perbuatan tercela dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden menurut Lusia Indrastuti mengadopsi istilah misdemeanors yang dimuat

dalam Konstitusi Amerika Serikat. Article II Section (4) Konstitusi Amerika

Serikat dinyatakan bahwa salah satu alasan untuk memberhentikan Presiden,

Wakil Presiden, dan pejabat sipil yaitu misdemeanors. Kata ini selanjutnya

termuat dalam Pasal 7A UUD 1945 sebagai perbuatan tercela yang menjadi salah

satu alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.120

Pendapat tersebut nampaknya perlu ditelaah lebih lanjut dengan melihat

dari pandangan pembentuk Konstitusi Amerika Serikat yang memahami

misdemeanors, diantaranya mal and corrupt administration, serta neglect of duty

120 Lusia Indrastuti, loc.cit.

Page 116: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

116

and misconduct in office (melalaikan kewajiban). Dalam praktik pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden di Amerika Serikat menunjukkan bahwa frasa

high crimes and misdemeanors merujuk pada tindak pidana yang secara langsung

membahayakan negara, termasuk pengkhianatan (treason), penyuapan (bribery),

spionase (espionage), menghalangi proses peradilan pada pengadilan federal

(obstuction of justice in federal proceedings), sabotase atas kekayaan negara

(sabotages on goverment property), dan menggelapkan (embezzling) atau mencuri

(stealing) uang negara.121 Jadi misdemeanors tersebut lebih merujuk kepada

tindak-tindak pidana yang dapat merugikan negara dan perbuatan melalaikan

kewajiban atas jabatannya.

Definisi mengenai misdemeanors juga dapat dilihat dalam Black Law

Dictionary yang menyatakan bahwa misdemeanor is a type of offense that is more

srious than an infraction, yet not legally called a felony. It is generally punishable

by fine or imprisonment of one year or less (misdemeanors adalah suatu kejahatan

yang lebih serius dari pelanggaran, namun secara hukum tidak tergolong dalam

tindak pidana berat. Biasanya dijatuhi hukuman denda atau penjara satu tahun

atau kurang). Atas rumusan tersebut, maka misdemeanors dapat digolongkan

sebagai kejahatan atau tindak pidana, namun bukan merupakan tindak pidana

berat. Hukuman atas misdemeanors ini biasanya berupa hukuman denda ataupun

berupa pidana penjara satu tahun atau kurang dari satu tahun. Apabila dikaitkan

dengan hukum pidana Indonesia, Undang-Undang MK, dan PMK No. 21 Tahun

121 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 50-51.

Page 117: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

117

2009, maka misdemeanors ini merujuk pada tindak pidana yang ancaman

hukumannya bukan merupakan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Alasan misdemeanors dalam sejarah ketatanegaraan Amerika Serikat

pernah dipergunakan dalam proses pemberhentian Presiden Andrew Johnson dan

Bill Clinton. Presiden Andrew Johnson diusulkan diberhentikan dari jabatannya

oleh Kongres atas dugaan telah melakukan high crimes and misdemeanors dalam

bentuk melanggar sumpah jabatan karena telah memberhentikan salah seorang

menterinya tanpa persetujuan Senat, yang dianggap telah melanggar dan melawan

ketentuan Tenure of Office Act. Alasan high crimes and misdemeanors pula

Presiden Bill Clinton diusulkan untuk diberhentikan dari jabatannya. Usulan

pemberhentian Presiden Bill Clinton berawal dari adanya skandal peleccehan

seksual yang dilakukan terhadap Monica Lewinsky saat masih menjadi karyawan

magang di Gedung Putih. Perbuatannya tersebut awalnya sempat dibantah

meskipun akhirnya diakui, sehingga dianggap sebagai perbuatan menghalangi dan

menghambat proses penyidikan. Selain itu perbuatan Presiden Clinton yang

melakukan pelecehan seksual tersebut oleh House Judiciary Committee juga

dikategorikan sebagai misdemeanors yang diatur dalam Article II Section (4)

Konstitusi Amerika Serikat.122 Berdasarkan kasus pemberhentian Presiden di

Amerika karena alasan misdemeanors, maka tindakan melanggar sumpah jabatan,

melanggar ketentuan perundang-undangan dalam rangka menjalankan

pemerintahan, tindakan menghalang-halangi prose peradilan, dan tindakan yang

melanggar kesusilaan merupakan contoh bentuk dari misdemeanors.

122 Wiwik Budi Wasito, op.cit., hal. 26-29.

Page 118: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

118

Alasan perbuatan tercela dalam UUD 1945 atau misdemeanors dalam

Konstitusi Amerika Serikat ini merupakan norma yang bersifat fleksibel karena

dapat ditafsirkan beragam mengingat masih kaburnya penjelasan mengenai hal

tersebut dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian

maka pelanggaran hukum yang dapat digunakan sebagai alasan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden bukan hanya pelanggaran hukum pidana saja,

tetapi juga termasuk pelanggaran atas kewajiban konstitusional sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden, penyalahgunaan wewenang, dan kesewenang-wenangan.

3.2 Perbuatan Tercela dalam Konteks Hakikat Jabatan Presiden dan/atau

Wakil Presiden

Pemerintahan Presidensial merupakan bentuk pemerintahan

konstitusional yang menempatkan Presiden sebagai kepala eksekutif berdasarkan

otoritasnya yang didapat melalui suatu pemilihan langsung oleh rakyat, serta

menjalankan pemerintahannya secara mandiri dan bebas dari intervensi legislatif.

Pada sistem presidensial ini pula kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala

pemerintahan berada pada presiden. Untuk membantu presiden menjalankan

pemerintahannya, sebagai kepala pemerintahan presiden diberikan kekuasaan

untuk membentuk kabinet yang merupakan pembantu presiden dan bertanggung

jawab kepada presiden.123 Sebaliknya dalam sistem pemerintahan parlementer

jabatan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan akan dipisah, dimana

fungsi eksekutif untuk menyelenggarakan pemerintahkan biasanya diserahkan

123 Nurliah Nurdin, 2012, Komparasi Sistem Preisdensial Indonesia & Amerika Serikat Rivalitas Kekuasaan antara Presiden &Legislatif, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Jakarta, hal. 35.

Page 119: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

119

kepada Perdana Menteri. Jabatan kepala negara selanjutnya diberikan kepada

Raja/Ratu yang berfungsi seremonial sebagai simbol negara. Perdana Menteri

sebagai kepala pemerintahan merupakan pemimpin kabinet dan memikul

tanggung jawab penuh sebagai pimpinan lembaga eksekutif. Seorang perdana

menteri haruslah mendapat dukungan dari partai politik yang memenangkan

pemilihan umum, dan biasanya merupakan pemimpin dari partai politik

bersangkutan.124 Jadi jabatan kepala negara berfungsi sebagai simbol negara,

sedangkan jabatan kepala pemerintahan berfungsi untuk menjalankan

pemerintahan atau bertindak selaku eksekutif.

Jabatan presiden merupakan jabatan politik atau yang oleh Sastra

Djatmika diartikan sama dengan pejabat negara.125 Presiden mendapatkan

legitimasi melalui pemilihan langsung oleh rakyat dan yang terpilih akan

memegang jabatan dalam kurun waktu sebagaimana ditentukan dalam konstitusi

(fixed term). Kekuasaan Presiden tidak berasal dari dukungan mayoritas anggota

legislatif sebagaimana dalam sistem pemerintahan parlementer tanpa adanya masa

jabatan yang jelas. Pemilihan Presiden tersebut dilaksanakan secara terpisah

dengan pemilihan legislatif yang juga dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karena

baik eksekutif maupun legislatif memiliki legitimasi berdasarkan pemilihan

langsung oleh rakyat, maka kedudukan kedua cabang kekuasaan tersebut sejajar

dan terpisah satu sama lain sebagai syarat sistem pemerintahan presidensial.

Kuatnya posisi Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial juga

ditunjukkan dengan adanya ketentuan dalam konstitusi yang mengatur mengenai

124 Ibid., hal. 36. 125 Sastra Djatmika sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon, dkk., 2008, Pengantar

Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 212.

Page 120: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

120

masa jabatan Presiden yang ditentukan secara pasti (fixed term). Dalam UUD

1945 masa jabatan Presiden ditetapkan selama 5 (lima) tahun atau dalam

Konstitusi Amerika Serikat yang mengatur masa jabatan Presiden 4 (empat)

tahun. Adanya masa jabatan tetap ini bertujuan agar pemerintahan yang

diselenggarakan oleh Presiden tidak dapat diberhentikan oleh parlemen di tengah

jalan sehingga akan dapat menciptakan stabilitas pemerintahan,

Presiden dan legislatif dalam sistem pemerintahan Presidensial memang

diposisikan terpisah, namun diantara keduanya terdapat mekanisme checks and

balances yang memungkinkan presiden dapat mengontrol legislatif dan

sebaliknya. Bentuk kontrol Presiden terhadap legislatif tersebut ditunjukkan

dengan adanya kewenangan untuk turut serta dalam mengajukan, membahas, dan

menyetujui suatu rancangan undang-undang untuk selanjutnya disahkan menjadi

undang-undang. Kerja sama antara legislatif dan presiden (eksekutif) dalam

menyusun undang-undang dilakukan karena bagaimanapun undang-undang yang

dibentuk oleh legislatif tersebut memerlukan pelaksanaan oleh Presiden

(pemerintah). Sebaliknya bentuk kontrol yang dapat dilakukan oleh legislatif

terhadap Presiden adalah dalam hal pengangkatan pejabat negara oleh Presiden,

dimana hak Presiden untuk mengangkat seorang pejabat negara harus

memerlukan persetujuan dari legislatif.

Jabatan Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut

dalam Indonesia pernah memiliki posisi yang amat kuat atau sering disebut

executive heavy, dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Executive heavy dalam

sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen

Page 121: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

121

disebabkan oleh dikotomi kekukasaan presiden sebagai kepala negara, kepala

pemerintahan, serta sebagai mandataris MPR.126 Pendapat lainnya dikemukakan

oleh Syaifudin yang menyatakan adanya executive heavy disebabkan oleh adanya

2 (dua) kekuasaan sekaligus yang dijabat Presiden, yaitu kekuasaan eksekutif dan

kekuasaan legislatif berada pada Presiden.127

Menurut A. Muktie Fadjar, UUD 1945 sebelum amandemen

menempatkan Presiden dalam posisi amat kuat dengan adanya kekuasaan yang

teramat besar kepada Presiden yaitu Presiden memegang kekuasaan pemerintahan,

menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang, dan juga berbagai kekuasaan

serta hak-hak konstitusional (hak prerogatif). Selain kekuasaan dalam bidang

pemerintahan yang besar tersebut, Presiden juga diberikan kekuasaan selaku

kepala negara.128 Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Mahfud M.D. bahwa

UUD 1945 membangun sistem politik yang memusatkan kekuasaan pada

Presiden, sebab dalam UUD 1945 sebelum amandemen tidak ada batas-batas

kekuasaan dan check and balances secara tegas. Sistem politik yang tidak

demokratik dengan besarnya kekuasaan Presiden inilah yang kemudian

melahirkan kecenderungan untuk melakukan korupsi. Suatu konstitusi yang tidak

memuat batas-batas yang tegas atas kekuasaan akan cenderung menimbulkan

126 Sulardi, op.cit., hal. 134. 127 Syaifudin, 2007, Kajian terhadap Perubahan UUD 1945 : Studi tentang Sistem

Pemerintahan Negara, FH-UII Press, Yogyakarta, hal. 47. 128 A. Muktie Fadjar, 2003, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Pradikamatik, In-

Trans, Malang, hal. 62.

Page 122: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

122

tindak korupsi oleh para penyelenggara negara, yang mana hal tersebut dilakukan

melalui berbagai manipulasi yang dicarikan pembenarannya secara formal.129

Besarnya kekuasaan Presiden berdasarkan UUD 1945 sebelum

amandemen juga dinyatakan oleh A. Ramlan Subakti. Menurut beliau kekuasaan

Presiden dalam UUD 1945 sebelum amandemen sangatlah besar sehingga terjadi

dominasi kekuasaan negara oleh Presiden dibandingkan dengan cabang-cabang

kekuasaan negara lainnya.130

Muhammad Ridwan Indra juga menunjukkan besarnya kekuasaan

Presiden dalam UUD 1945 sebelum amandemen dengan mengklasifikasikan

kekuasaan Presiden tersebut ke dalam 4 (empat) hal yaitu kekuasaan Presiden di

bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta kekuasaan Presiden sebagai kepala

negara.131

1. Kekuasaan presiden dalam bidang eksekutif dijabarkan dalam ketentuan

Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. John Pieris menyatakan

bahwa ketentuan tersebut menunjukkan bahwa dalam proses

pembentukan undang-undang (law making process) hak dan wewenang

Presiden jauh lebih menonjol apabila dibandingkan dengan hak dan

wewenang DPR sebagai lembaga legislatifnya. Oleh karena itu di tangan

Presiden kekuasaan membuat undang-undang dikendalikan.132

129 Mahfud M.D., 2004, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, UII Press,

Jogjakarta, hal. 44. 130 A. Ramlan Surbakti, 1998, Reformasi Kekuasaan Presiden, Grasindo, Jakarta, hal. 45. 131 Muhammad Ridwan Indra, 1998, Kekuasaan Presiden dalam UUD 1945 Sangat Besar,

Trisula, Jakarta, hal. 37. 132 John Pieris, 2007, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Presiden RI, Pelangi Cendekia,

Jakarta, hal. 111.

Page 123: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

123

2. Kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif tampak dari adanya

ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 yang menunjukkan bahwa

Presiden merupakan mitra kerja DPR dalam menjalankan tugas legislatif,

diantaranya dalam pembentukan undang-undang.

3. Kekuasaan Presiden dalam bidang yudisial ditunjukkan dengan adanya

kewenangan Presiden untuk memberi grasi, rehabillitasi, amnesti, dan

abolisi sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945.

4. Kekuasaan sebagai kepala negara dalam ketentuan UUD 1945

ditunjukkan dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) dan

ayat (2), serta Pasal 15 UUD 1945. Kekuasaan Presiden sebagai kepala

negara tersebut yaitumemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan

Udara, Angkatan Laut, dan Angkatan Darat; menyatakan perang,

membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan

persetujuan DPR; menyatakan keadaan bahaya; mengangkat duta dan

konsul; menerima duta negara lain; serta memberi gelaran, tanda jasa,

dan tanda kehormatan lainnya.

Sejak awal kemerdekaan, realita penyelenggaraan pemerintahan di

Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen telah menunjukkan

adanya ketidaksetaraan hubungan dan kekuasaan antara Presiden dan DPR.

Ketidaksetraan tersebut menimbulkan adanya tafsir kekuasaan yang diberikan

oleh UUD 1945 secara absolut oleh Presiden. Hal ini berakibat pada timbulnya

pemerintahan yang otoriter, sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru

maupun Orde lama. Begitu pula pada UUD 1945 hasil amandemen tahap pertama

Page 124: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

124

meletakkan kekuasaan yang lebih besar kepada DPR sehingga menurut pendapat

beberapa ahli hukum tata negara, bahwa telah tejadi pergeseran dari executive

heavy ke arah legislative heavy ,133 sehingga mengakibatkan adanya ketegangan

hubungan (konflik) antara Presiden dan DPR. Konflik antara Presiden dan DPR

tersebut berpuncak pada pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid dari

jabatannya oleh MPR melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001. Dalam

Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 dapat dilihat adanya 2 poin alasan yang

digunakan oleh MPR untuk memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid dari

jabatannya yaitu:

1. presiden telah melakukan tindakan yang melanggar haluan negara untuk

dapat menghambat proses konstitusional, tidak bersedia hadir, dan

menolak memberikan pertanggungjawaban kepada Sidang Istimewa

MPR;

2. presiden melakukan pelanggaran konstitusi dengan menerbitkan

Maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001, yang didalamnya berisi

pembubaran terhadap DPR.

Executive heavy tersebut selanjutnya menjadi salah satu kelemahan yang

dianut UUD 1945 sebelum amandemen hingga menimbulkan gagasan untuk

melakukan amanden. Gagasan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945

tersebut kemudian terwujud dengan dilakukannnya perubahan terhadap UUD

1945 oleh MPR dari tahun 1999 hingga tahun 2002. Terdapat 5 (lima) poin

133 Ni’matul Huda, 2003, Politik Ketatanegaraan Indonesia, FH-UII Press, Yogyakarta, hal.

18.

Page 125: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

125

kesepakan yang disetujui seluruh fraksi di MPR mengenai arah perubahan UUD

1945, yaitu:134

1. tidak mengubah bagian Pembukaan UUD 1945; 2. mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. mempertahankan sistem presidensial dan melakukan penyempurnaan

sehingga betul-betul dapat menerapkan sistem presidensial yang ideal dan sesungguhnya;

4. mempertahankan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 untuk dimuat dalam pasal-pasal UUD 1945; dan

5. amandemen UUD 1945 dilakukan dengan menempuh cara adendum.

Dalam satu poin kesepakatan tersebut terdapat kesepakatan untuk tetap

mempertahankan sistem pemerintahan presidensial, namun disertai dengan adanya

perubahan sehingga dapat menerapkan sistem pemerintahan presidensial yang

ideal. Amerika Serikat merupakan negara pertama yang menganut sistem

pemerintahan presidensial dengan adanya penerapan teori Trias Politica dalam

pemerintahannya. Selain itu Amerika Serikat juga dipandang sebagai negara yang

penerapan sistem pemerintahan presidensialnya paling ideal dan konsekuen,

dimana terdapat pemisahan kekuasaan secara tegas antara eksekutif, legislatif, dan

yudisial. Menurut Ellydar Chairi, tugas dan tanggung jawab pemegang kekuasaan

eksekutif di Amerika Serikat dapat dikelompokkan ke dalam enam hal yaitu

executive, judicial, military, politics, foreign affair, dan political. Keenam bidang

kekuasaan eksekutif tersebut kemudian dirinci lebih lanjut sebagai berikut:135

1. sebagai panglima angkatan darat dan angkatan laut;

2. mengangkat semua pejabat lainnya atas ijin Senate;

134 Jimly Asshiddiqie, 2007, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer,

Pemikiran Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dan Para Pakar Hukum, The Biography Institute, Bekasi, hal. 8.

135 Ellydar Chairi, 2005, Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Progam Doktor Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hal. 295.

Page 126: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

126

3. mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain, dan dalam hal

mengangkat duta besar, duta, konsul pada negara lain dengan

persetujuan Senate;

4. berwenang untuk mengesahkan komisi-komisi guna mengatasi

kekosongan pada saat Senate sedang memasuki masa reses;

5. menginformasikan kepada Kongres mengenai keadaan negara-negara

bagian Amerika Serikat dan merekomendasikan pertimbangan

Kongres sebagai tolak ukur dalam menentukan kepentingan dan

kebijakan;

6. menjaga pelaksanaan hukum dengan baik;

7. dalam bidang kekuasaan kehakiman, Presiden mengangkat hakim

Mahkamah Agung, termasuk pula hakim-hakim federal disertai

dengan adanya pengesahan oleh Senate; dan

8. dalam bidang kekuasaan legislatif, Presiden berhak untuk menyetujui

suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh House of

Representative, ataupun menggunakan hak veto yang dimilikinya

untuk menolak rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh

House of Representative.

Sri Soemantri mengungkapkan bahwa pimpinan eksekutif di Amerika

Serikat hanya ada pada satu tangan yaitu Presiden, karena Wakil Presiden

Amerika Serikat berkedudukan sebagai ketua Senate Amerika Serikat dan bukan

anggota.136 Presiden sebagai pimpinan eksekutif Amerika Serikat dipilih oleh

136 Sri Soemantri dalam Sulardi, op. cit., hal. 93.

Page 127: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

127

dewan electoral dengan masa jabatan 4 (empat) tahun dan selanjutnya dapat

dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Hal ini berarti terdapat

pembatasan pada masa jabatan Presiden, yaitu hanya untuk 2 (dua) kali masa

jabatan sebagai Presiden.

Negara lainnya yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial dan

merupakan negara tetangga Indonesia yaitu Filipina. Sistem pemerintahan

preisdensial Filipina menempatkan Presiden dalam fungsinya sebagai kepala

negara, kepala pemerintahan, dan panglima tertinggi angkatan bersenjata.

Presiden sebagai kepala pemerintahan berarti bahwa Presiden merupakan

pimpinan eksekutif di Filipina. Presiden memegang masa jabatan 6 (enam) tahun

untuk dua periode berturut-turut. Presiden dan Wakil Presiden di Filipina tidak

dipilih sebagai pasangan calon sebagaimana yang dilaksakan di Indonesia,

melainkan dipilih melalui pemungutan suara yang dilakukan secara terpisah.

Selain itu Presiden dan Wakil Presiden di Filipina berasal dari partai politik yang

berbeda.137

Berdasarkan keinginan untuk menganut sistem pemerintahan presidensial

yang lebih ideal dan dengan melakukan kajian terhadap sistem pemerintahan

preisdensial yang diterapkan negara-negara lain, maka dalam amandemen UUD

1945 hal tersebut diwujudkan dengan adanya penataan ulang terhadap pemisahan

kekuasaan di Indonesia. Kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan peraturan

perundang-undangan dilaksanakan oleh Presiden, kekuasaan legislatif untuk

137 Sulardi., op.cit., hal 95-96.

Page 128: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

128

membentuk undang-undang dilaksakan oleh DPR, dan kekuasaan yudisial

dilaksanakan oleh lembaga-lembaga peradilan yang ada.

Istilah eksekutif menurut Sulardi dapat dipahami dalam 2 (dua)

perspektif yaitu eksekutif dalam arti sempit dan eksekutif dalam arti luas.

Eksekutif dalam arti luas diartikan sebagai seluruh badan, menteri-menteri,

pelayanan sipil, polisi, termasuk pula militer. Sebaliknya eksekutif dalam arti

sempit hanya merujuk pada pemimpin tertinggi kekuasaan eksekutif.138

Dalam UUD 1945 sendiri, yang dimaksud dengan eksekutif di Indonesia

adalah Presiden, Wakil Presiden, dan para menteri dengan Presiden sebagai

pimpinan eksekutif di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 4 ayat

(1) dan ayat (2), serta Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Pasal-

pasal tersebut menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan

dengan dibantu oleh satu orang wakil presiden dan menteri-menteri negara. Para

menteri-menteri negara tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, serta

membidangi urusan-urusan tertentu dalam pemerintahan dalam kementeriannya

masing-masing.

Kekuasaan eksekutif dalam suatu negara konstitusional oleh C.F. Strong

diklasifikasikan ke dalam 5 (lima) bidang yaitu:

1. kekuasaan diplomatik yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan hubungan

luar negeri;

2. kekuasaan administratif, yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan

pelaksanaan undang-undang dan administrasi negara;

138 Sulardi, op.cit., hal. 132.

Page 129: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

129

3. kekuasaan militer yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan organisasi

bersenjata dan pelaksanaan perang;

4. kekuasaan yudisial yaitu kekuasaan berkaitan dengan pemberian

pengampunan, penangguhan hukuman, dan sebagainya terhadap

narapidana dan pelaku kriminal;

5. kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan berkaitan dengan penyusunaan

rancangan undang-undang dan proses pengesahannya menjadi undang-

undang.

Pendapat yang dikemukakan oleh C.F. Strong tersebut apabila dikaitkan

dengan ketentuan-ketentuan pasal dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan

kekuasaan presiden, maka dapat dilihat adanya kesesuaian kekuasaan presiden

menurut C.F. Strong dengan yang diatur dalam UUD 1945. Kekuasaan diplomatik

yang dimiliki Presiden ditunjukkan dengan ketentuan Pasal 13 UUD 1945

mengenai pengangkatan duta dan konsul dengan memperhatikan pertimbangan

DPR, serta menerima penempatan duta dan konsul negara lain guna menjaga

hubungan diplomatik dengan negara lain. Selanjutnya kekuasaan administratif

yang dimiliki Presiden berkaitan dengan kekuasaan eksekutif atau kekuasaan

untuk menyelenggarakan pemerintahan yang ditunjukkan dengan ketentuan Pasal

4 ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk

memegang kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan kepada Presiden.

Kekuasaan Presiden dalam bidang militer ditunjukkan dengan kedudukan

Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan

Laut, dan Angkatan Udara sebagaimana termuat dalam Pasal 10 UUD 1945.

Page 130: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

130

Sementara itu kekuasaan yudisial Presiden ditunjukkan dalam Pasal 14 ayat (1)

dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memiliki kewenangan

dalam hal pemberian grasi dan rehabilitasi, serta amnesti dan abolisi. Terakhir

kekuasaan legislatif Presiden ditunjukkan dengan adanya peran serta Presiden

dalam pembentukan undang-undang bersama DPR, serta kewenangan Presiden

untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Peraturan

Presiden (Perpres).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada

hakikatnya jabatan Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial memiliki

kekuasaan yang besar dan kuat yang dijamin secara konstitusional yaitu sebagai

kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden sebagai kepala negara berarti

beliau merupakan simbol atau representasi dari negara bersangkutan, sehingga

hendaknya beliau haruslah orang yang berperilaku baik, dapat menjaga harkat dan

martabatnya, serta mampu menjadi simbol pemersatu bangsa. Presiden sebagai

kepala pemerintahan berarti presiden berwenang untuk menyelanggarakan

pemerintahan atau kekuasaan eksekutif di negaranya, dengan dibantu Wakil

Presiden, menteri-menteri, serta aparatur-aparatur negara lainnya.

Jabatan presiden dengan kekuasaan yang besar tersebut harus pula

disertai dengan etika jabatan itu sendiri sebagai pedoman bagaimana seorang

presiden seharusnya berperilaku, apa yang tidak pantas dan pantas untuk

dilaksanakan. Etika seringkali disinonimkan dengan moral, namun kedua istilah

tersebut merupakan hal yang berbeda. Hal ini dikemukakan oleh Paul Ricoer yang

mengaitkan kedua istilah tersebut pada dua tradisi pemikiran filsafat yang

Page 131: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

131

berbeda. Moral dikaitkan dengan tradisi pemikiran filosofis Immanuel Kant (sudut

pandang dentologi), yang mengacu pada kewajiban, norma, prinsip bertindak,

imperatif. Sebaliknya istilah etika dikaitkan dengan tradisi pemikiran Aristoteles

yang bersifat teleologis, dan dipahami sebagai tujuan hidup yang baik bersama

dan untuk orang lain di dalam institusi yang adil. Jadi etika lebih dipahami

sebagai refleksi atas baik/buruk, benar/salah, yang harus dilakukan, atau

bagaimana melakukan yang baik atau benar, sedangkan moral merupakan

kewajiban untuk melakukan yang baik atau apa yang seharusnya dilakukan.

Meski demikiankedua istilah tersebut berbeda, namun keduanya terkait dimana

etika merupakan refleksi filosofis tentang moral.139

Keterkaitan istilah etika dengan moral dapat juga dilihat dari pandangan

K. Bertens yang diperoleh beliau dari pemahaman atas istilah etika dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia. Istilah etika diartikan K. Bertens menjadi 3 rumusan

berikut:140

1. etika dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi

pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah

lakunya;

2. etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral; dan

3. etika dalam arti ilmu tentang yang apa yang baik dan apa yang buruk.

Berdasarkan pemahaman mengenai hakikat jabatan presiden dan etika

jabatan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan yang bertentangan

dengan etika jabatan presiden tersebut merupakan perbuatan yang tergolong

139 Haryatmoko, 2011, Etika Publikuntuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 1-3.

140 K. Bertens, 2013, Etika Edisi Revisi, Kanisius, Yogyakarta, hal. 4-5.

Page 132: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

132

tercela. Perbuatan tercela yang tidak sesuai dengan etika jabatan itu hendaknya

dihindari untuk dilakukan oleh seorang presiden dalam jabatannya selaku kepala

negara dan kepala pemerintahan, sekaligus sebagai pejabat publik. Hal ini karena

etika jabatan itu berkaitan dengan moralitas dari presiden itu sendiri yang

mencerminkan wibawa, integritas, kredibilitas, harkat dan martabat dirinya

sebagai seorang presiden, baik di mata rakyatnya maupun pemimpin negara-

negara lainnya. Sehingga menjadi amat penting bagi seorang presiden untuk

menjaga perilakunya agar terhindar dari segala perbuatan tercela yang tidak sesuai

dengan etika jabatannya karena tentunya hal tersebut akan menunjukkan moralitas

tidak baik dari presiden dan berakibat pada hilangnya kepercayaan rakyat yang

menjadi sumber legitimasi jabatan presiden tersebut.

Pentingnya untuk menjaga perilaku presiden sebagai kepala negara dan

kepala pemerintahan secara konstitusional dalam UUD 1945 diwujudkan dengan

adanya sanksi politik berupa pemberhentian dalam masa jabatannya apabila

terbukti telah melakukan perbuatan yang tidak sesuai etika jabatan yaitu perbuatan

melanggar hukum ataupun perbuatan tercela. Alasan-alasan pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya sebagaimana tercantum

dalam Pasal 7A UUD 1945 yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela merupakan

perbuatan yang menunjukkan pelanggaran terhadap etika jabatan dan rendahnya

moralitas dari presiden dan/atau wakil presiden itu sendiri, sehingga tidak layak

menjabat sebagai pejabat publik yang seharusnya memiliki moral yang baik serta

mampu menjaga harkat dan martabatnya di hadapan rakyat. Oleh karena itu

Page 133: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

133

sebagai sanksinya terdapat mekanisme pemberhentian dari jabatannya apabila

memang terbukti telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya

dilakukan tersebut.

3.3 Kriteria Perbuatan Tercela sebagai Alasan Pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden

Perbuatan tercela yang dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 dinyatakan

sebagai salah satu alasan sah untuk dapat memberhentikan Presiden dan/atau

Wakil Presiden dalam masa jabatannya apabila hal tersebut terbukti. Kriteria atau

batasan dari perbuatan tercela ini, dalam pandangan para ahli hukum merupakan

norma yang bersifat kabur. Hal ini karena belum ada kriteria atau batasan pasti

mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan tercela. Dalam PMK No. 21

Tahun 2009, pengertian perbuatan tercela hanya diuraikan sebagai perbuatan yang

dapat merendahkan harkat dan martabat presiden dan/atau wakil presiden.

Mengenai alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

sebagaimana diatur dalam UUD 1945, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa

dalam UUD 1945 sebelum amandemen, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden didasarkan atas pelanggaran negara yang sifatnya politik dan multitafsir.

Sebaliknya dalam UUD 1945 secara tegas dinyatakan bahwa Presiden dan/atau

Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan karena alasan hukum saja yang

disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945. Meski demikian menurut Jimly masih

Page 134: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

134

terdapat persoalan dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 tersebut yakni berkaitan

dengan alasan perbuatan tercela yang tidak begitu jelas ukurannya.141

Hal serupa juga dinyatakan Hamdan Zoelva dengan menyebut bahwa

pengertian perbuatan tercela dalam perundang-undangan merupakan pengertian

yang bersifat umum, yaitu perbuatan yang sedemikian rupa dapat merendahkan

harkat, martabat, dan kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dengan

demikian pelanggaran hukum dalam bentuk perbuatan tercela memiliki makna

yang sangat luas, yang mencakup pelanggaran hukum pidana selain yang

dinyatakan dalam Pasal 7A UUD 1945, maupun pelanggaran hukum lainnya di

luar undang-undang hukum pidana. Selain itu perbuatan tercela tersebut dapat

pula meliputi pelanggaran terhadap nilai-nilai agama, moral, dan adat istiadat,

serta pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden terhadap kewajiban

konstitusionalnya selama hal tersebut dinilai dapat merendahkan martabat dan

kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden.142

Disamping mengungkapkan adanya pengertian yang luas dan umum

mengenai perbuatan tercela yang dapat menimbulkan politisasi dalam

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang diatur dalam

UUD 1945 sebelum amandemen, Hamdan Zoelva dalam pandanganya juga

mengungkapkan argumentasinya yang mengarah pada batasan pengertian

perbuatan tercela yang dapat dipergunakan sebagai alasan pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden. Pemahaman tersebut didasarkan Hamdan Zoelva dengan

melihat jiwa rumusan UUD 1945 yang secara tegas mencantumkan bentuk-bentuk

141 Jimly Asshiddiqie, 2004, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 10.

142 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 207.

Page 135: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

135

tindak pidana berat sebagai alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya. Menurut Hamdan Zoelva hal ini bermakna

bahwa hanya perbuatan melawan hukum setingkat tindak pidana berat saja yang

dapat menjadi alasan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Perbuatan pelanggaran hukum tersebut sedemikian rupa dapat merendahkan

harkat dan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden yang berakibat pada

hilangnya kepercayaan rakyat sebagai legitimasi Presiden dan/atau Wakil

Presiden.143

Abdul Rasyid Thalib juga menyatakan bahwa salah satu kelemahan

dalam rumusan pasal yang mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam UUD 1945 yaitu mengenai perbuatan tercela. Perbuatan tercela

tersebut dalam pandangan Abdul Rasyid Thalib dapat mengandung aspek hukum

pidana maupun aspek hukum perdata. Perbuatan tercela dalam aspek hukum

pidana dicontohkan dengan pelecehan seksual, sedangkan perbuatan tercela dalam

aspek hukum perdata dapat dicontohkan dengan utang-piutang dan perbuatan

wanprestasi. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa rumusan perbuatan tercela

tersebut tidak mempunyai aspek tata negara, sehingga tidak sesuai dengan

kewenangan Mahkamah Konstitusi yang pada dasarnya berwenang untuk

memeriksa dan mengadili perbuatan yang melanggar konstitusi atau perbuatan

dalam aspek ketatanegaraan.144

Pendapat bahwa perbuatan tercela yang termuat dalam Pasal 7A UUD

1945 merupakan perbuatan hukum dalam ranah hukum pidana juga dikemukakan

143 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 208. 144 Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam

Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 477.

Page 136: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

136

oleh Abdul Rasyid Thalib. Beliau menyatakan bahwa karakter pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana

berat lainnya dan perbuatan tercela sebagaimana termuat dalam Pasal 7A UUD

1945 menunjukkan aspek yuridis pidana. Sementara itu alasan bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat (incapacity) dalam

pandangan Abdul Rasyid Thalib menganut karakter tata negara atau politis

kenegaraan dan karakter tata usaha negara.145

Pendapat sebaliknya akan diperoleh apabila konsep perbuatan tercela

yang termuat dalam Pasal 7A UUD 1945 mengadaptasi konsep misdemeanors

dalam Konstitusi Amerika Serikat. Misdemeanors merupakan alasan

impeachment yang diterapkan di Amerika Serikat secara fleksibel, dimana

misdemeanors diartikan sebagai bentuk pelanggaran hukum yang tidak hanya

terbatas pada pelanggaran hukum pidana melainkan termasuk pula pelanggaran

atas segala bentuk peraturan perundang-undangan dan pelanggaran presiden

terhadap kewajiban konstitusionalnya sebagai presiden. Jadi konsep

misdemeanors dalam Konstitusi Amerika Serikat dipahami sebagai pelanggaran

hukum dalam arti luas, tidak terbatas pada hukum pidana semata. Hal ini nampak

dalam kasus impeachment terhadap Presiden Andrew Johnson dan Bill Clinton.

Presiden Andrew Johnson di-impeach karena didakwa telah melakukan

high crimes and misdemeanors karena Presiden Andrew Johnson telah memecat

Edwin M. Stanson dari jabatan Sekretaris Departemen Perang dan mengangkat L.

Thomas untuk mengantikannya tanpa persetujuan Senate. Selain itu Presiden

145 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal. 472.

Page 137: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

137

Andrew Johnson juga dinilai berperilaku tidak baik dengan mengeluarkan kata-

kata kasar dan ancaman berbahaya kepada Conggress. Atas dakwaan serupa

dengan Presiden Andrew Johnson yaitu telah melakukan high crimes and

misdemeanors, Presiden Bill Clinton di-impeach. Beliau didakwa demikian

karena telah melakukan sumpah palsu, menghambat proses peradilan, dan

penyalahgunaan kekuasaan dengan membuat keterangan palsu kepada

Conggress.146 Dari kasus impeachment dalam ketatanegaraan Amerika Serikat

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep misdemeanors lebih mengarah

pada pelanggaran hukum dalam bentuk pelanggaran atas peraturan perundang-

undangan yang berlaku, melalaikan kewajibannya sebagai presiden, dan

penyalahgunaan kekuasaan.

Negara lainnya yang memuat alasan pemberhentian presiden di luar

alasan pelanggaran hukum juga tampak di Fhilipina dan Korea Selatan.

Pemberhentian presiden di Fhilipina berdasarkan konstitusinya dilakukan tidak

hanya atas dasar pelanggaran hukum pidana seperti pengkhianatan, penyuapan,

gratifikasi, korupsi,dan tindak pidana berat lainnya, melainkan termasuk pula

alasan menyalahi konstitusi dan pengkhianatan atas kepercayaan publik. Jose N.

Nolledo memandang bahwa pengkhianatan atas kepercayaan publik tersebut tidak

harus merupakan pelanggaran pidana tetapi cukup pelanggaran atas sumpah

jabatan dapat digolongkan sebagai pengkhianatan atas kepercayaan publik.147

Lebih sederhana dari alasan pemberhentian presiden di Fhilipina, Korea Selatan

dalam konstitusinya merumuskan alasan pemberhentian presiden secara amat

146 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 52. 147 Jose N. Nolledo 2000, The Constitution of The Republic of The Philipine-Explain,

National Book Store Quad Alpha Centrum BLDG, Philipine, hal. 249.

Page 138: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

138

sederhana yaitu presiden dapat diberhentikan dari jabatannya kerana telah

melakukan pelanggaran terhadap konstitusi atau perbuatan lainnya dalam

melaksanakan kewajiban jabatannya.148 Dalam pandangan para ahli hukum yang

turut merumuskan alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada

amandemen ketiga, alasan seperti pelanggaran konstitusi, pelanggaran sumpah

jabatan, melalaikan kewajiban sebagai presiden tersebut dipandang dapat

ditafsirkan amat luas dan mudah untuk dipolitisasi sehingga disepakati untuk

dihindari sebagai alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

amandemen UUD 1945.

Selain berdasarkan pandangan ahli hukum dan alasan pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden di negara lain sebagaimana yang telah

dipaparkan sebelumnya, batasan perbuatan tercela dapat pula dipahami dengan

berpatokan pada adanya kata atau yang memisahkan frasa perbuatan tercela

dengan alasan-alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang

termuat dalam Pasal 7A UUDNRI 1945. Kata atau tersebut dalam tatanan bahasa

hukum bermakna alternatif, sehingga seharusnya perbuatan tercela memiliki

makna yang berbeda dengan alasan-alasan pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden lainnya yang telah disebutkan sebelumnya termasuk tindak pidana

berat. Oleh karena itu maka dapat dikatakan bahwa perbuatan tercela yang

dimaksud dalam Pasal 7A UUDNRI 1945 bukan hanya merupakan tindak pidana

berat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hamdan Zoelva melainkan

148 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 54-55.

Page 139: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

139

merupakan pelanggaran lain di luar yang tergolong tindak pidana berat dan tindak

pidana lainnya yang telah disebutkan dalam Pasal 7A UUDNRI 1945.

Frasa perbuatan tercela dalam Pasal 7A UUDNRI 1945 tersebut

hendaknya dapat dipahami secara lebih luas dan fleksible sebagaimana

pemahaman terhadap misdemeanors dalam Konstitusi Amerika Serikat. Apabila

perbuatan tercela hanya dipahami sebagai perbuatan yang tergolong tindak

pidana, maka akan terdapat banyak perbuatan yang merendahkan harkat dan

martabat sebagai seorang presiden dan/atau wakil presiden yang terangkum di

dalamnya. Padahal presiden dan/atau wakil presiden diharapkan dapat menjadi

pedoman atau contoh bagi masyarakat, dengan memiliki keluhuran martabat dan

mampu senantiasa menjaga perilakunya. Tentunya dengan beban moril demikian

seorang presiden dan/atau wakil presiden hendaknya terhindar dari segala perilaku

menyimpang, baik tindak pidana maupun pelanggaran hukum dan norma-norma

masyarakat. Contoh perbuatan yang tidak tergolong tindak pidana namun

merupakan perbuatan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya sebagai

presiden dan/atau wakil presiden yaitu apabila seorang presiden dan/atau wakil

presiden yang beragama Islam tidak berpuasa di bulan ramadhan, malahan beliau

mengadakan acara makan bersama keluarga dan kerabat-kerabatnya pada saat

umat muslim lainnya berpuasa. Hal tersebut bukan perbuatan yang dapat

dikategorikan sebagai perbuatan pidana, namun tentunya hal tersebut telah

melanggar norma-norma agama yang dianutnya serta menimbulkan pergunjingan

di masyarakat yang nantinya sehingga dapat merendahkan harkat dan martabat

dari presiden dan/atau wakil presiden itu. Selain itu hal tersebut juga

Page 140: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

140

menunjukkan bahwa seorang presiden dan/atau wakil presiden tidak dapat

menjaga perilaku dan kewibawaannya sebagai kepala negara dan kepala

pemerintahan yang seharusnya menjadi panutan dan tauladan bagi rakyat, malah

menunjukkan hal yang sebaliknya.

Jabatan sebagai presiden dan/atau wakil presiden yang merupakan

pejabat negara terikat pula oleh suatu etika. K Berens menyatakan salah satu

definisi etika adalah moral, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang dijadikan

pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah

lakunya.149 Dengan demikian maka etika jabatan presiden dan/atau wakil presiden

merupakan norma-norma yang harus dipatuhi dalam berperilaku sebagai seorang

presiden dan/atau wakil presiden guna menjaga harkat dan martabat jabatannya.

Adapun norma-norma yang harus dihormati tersebut dalam rangka

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yaitu norma agama, norma

kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum. Menurut Soerjono Soekanto

keberadaan norma-norma dalam suatu masyarakat sebagai pedoman berperilaku

sehari-hari bertujuan agar hubungan antar manusia dalam masyarakat terlaksana

sesuai dengan yang diharapkan.150 Sejalan dengan pandangan tersebut, Maria

Farida menyatakan norma sebagai segala aturan yang harus dipatuhi manusia

dalam bertindak dan bertingkah laku dalam masyarakat.151

Dari keempat norma yang disebutkan tersebut, norma hukum merupakan

norma yang memiliki daya mengikat paling kuat karena norma hukum sengaja

149 K. Bertens, op.cit., hal. 6. 150 Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru, PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta, hal. 174. 151Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan : Dasar-Dasar dan

Pembentukannya, Kanisius Yogyakarta, hal. 6.

Page 141: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

141

dibuat oleh pemerintah dan dituangkan secara tertulis dalam peraturan perundang-

undangan suatu negara disertai dengan adanya sanksi tegas bagi setiap

pelanggaran terhadap norma hukum tersebut. Sebaliknya norma agama, norma

kesopanan, dan norma kesusilaan merupakan norma yang bersumber dari ajaran-

ajaran agama, kebiasaan, atau tata kelakuan di masyarakat yang telah berlaku

secara turun temurun dan hingga kini tetap berlaku meskipun terdapat pergeseran-

pergeseran seiring dengan perubahan di masyarakat.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa etika jabatan

sebagai presiden dan/atau wakil presiden berkaitan norma-norma yang berlaku di

masyarakat, sehingga perbuatan tercela merupakan perbuatan yang bertentangan

dengan norma-norma tersebut. Jadi perbuatan tercela merupakan bentuk

pelanggaran terhadap norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan

norma hukum yang dapat menimbulkan sanksi di masyarakat sehingga dapat

merendahkan harkat dan martabat seorang presiden dan/atau wakil presiden.

Norma hukum yang dimaksudkan disini pun bukan hanya dalam ranah hukum

pidana saja, melainkan segala bentuk hukum positif yang terdapat dalam setiap

peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu maka perbuatan tercela dalam

ketentuan Pasal 7A UUDNRI 1945 dapat didefinisikan sebagai:

1. pelanggaran terhadap konstitusi berkaitan dengan konvensi ketatanegaraan,

seperti presiden bertindak sewenang-wenang membekukan suatu partai

politik berdasarkan dekrit presiden, yang mana pembubaran partai politik

dalam UUDNRI 1945 merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Page 142: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

142

Contoh lainnya yaitu presiden membubarkan DPR, yang mana hal tersebut

telah melanggar ketentuan Pasal 7C UUDNRI 1945;

2. pelanggaran terhadap norma kesopanan dan kesusilaan yang berlaku di

masyarakat dalam rangka kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara, misalnya presiden memiliki hubungan khusus dengan wanita

selain istrinya dan hal itu ditunjukkan secara terang-terangan di depan

publik;

3. pelanggaran terhadap norma-norma agama yang dianut sesuai dengan

sumpah jabatannya, misalnya presiden yang beragama Islam tidak pernah

melaksanakan kewajiban sholat bahkan tidak mengikuti sholat hari besar

keagamaannya secara berjamaah dengan para pejabat negara lainnya; serta

4. tindak pidana selain yang diuraikan dalam ketentuan Pasal 7A UUDNRI

1945 (pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak

pidana berat lainnya), seperti presiden melakukan penganiayaan ringan

berupa penamparan kepada salah seorang bawahannya dan hal tersebut

diproses oleh kepolisian serta mendapat publikasi media massa.

Pelanggaran sebagaimana yang diuraikan pada nomor 1 sampai dengan 3

tersebut sanksinya tidak diatur secara tegas dan tertulis dalam suatu perundang-

undangan, namun atas pelanggaran tersebut masyarakat akan bereaksi dalam

bentuk gunjingan atau celaan terhadap perilaku yang ditunjukkan oleh presiden

dan/atau wakil presiden. Hal ini lambat laun akan menimbulkan keresahan dan

menjadi polemik di masyarakat, sehingga berakibat pada turunnya kepercayaan

simpati dan kepercayaan publik. Selain itu juga akan merendahkan kewibawaan

Page 143: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

143

serta harkat dan martabat jabatannya sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Adanya keresahan publik terhadap perbuatan presiden dan/atau wakil presiden

yang merendahkan harkat dan martabat jabatannya itulah yang dipergunakan DPR

dalam rangka fungsi pengawasan untuk memberhentikan dari jabatannya, dengan

terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk

memeriksa, mengadili, dan memutus keabsahan alasan pemberhentian tersebut.

Berbeda halnya dengan pelanggaran yang diuraikan pada nomor 4 yaitu

presiden melakukan tindak pidana lain sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak tercantum dalam Pasal 7A UUD

1945. Tindak pidana tersebut tentunya perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh

setiap orang, apalagi dilakukan oleh seorang presiden dan/atau wakil presiden

yang tentunya akan merendahkan harkat dan martabat jabatannya, sehingga dapat

dijatuhkan sanksi politik berupa pemberhentian dari jabatannya. Selain itu

berdasarkan asas persamaan di muka hukum, Presiden dan/atau wakil presiden

yang terbukti melakukan tindak pidana harus pula mendapat sanksi pidana

sebagaimana diatur dalam KUHP seperti layaknya warga negara lainnya. Proses

persidangan untuk menjatuhkan pemidanaan bagi tindak pidana yang dilakukan

tersebut hendaknya dilaksanakan setelah presiden dan/atau wakil presiden

berhenti dari jabatannya guna tetap menjaga harkat dan martabat jabatannya.

Dengan demikian apabila presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan

tindak pidana, maka ia telah merendahkan harkat dan martabat jabatannya

sehingga layak mendapat sanksi politik berupa pemberhentian dari jabatannya.

Setelah diberhentikan dari jabatannya, selanjutnya dapat dilaksanakan proses

Page 144: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

144

peradilan di pengadilan biasa untuk memutus sanksi pidana yang akan dijatuhkan

atas tindak pidana yang dilakukannya.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan

tercela memiliki makna yang luas, karena perbuatan yang merendahkan harkat

dan martabat jabatan presiden dan/atau wakil presiden bukan hanya yang

diuraikan dalam Pasal 7A UUDNRI 1945. Pelanggaran terhadap norma agama,

norma kesopanan, dan norma kesusilaan yang berlaku di masyarakat, serta norma

hukum yang terdapat dalam setiap peraturan perundang-undangan dapat pula

merendahkan harkat dan martabat jabatan presiden dan/atau wakil presiden.

Dalam hal ini tindak pidana lain sebagaimana yang diatur dalam KUHP yang

tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 7A UUDNRI 1945 juga merupakan

perbuatan tercela, karena perbuatan tersebut telah merendahkan harkat dan

martabat dirinya sendiri sebagai individu, serta jabatannya sebagai presiden

dan/atau wakil presiden.

Oleh karena luasnya makna perbuatan tercela tersebut, maka alasan

perbuatan tercela sebagai alasan untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil

presiden dari jabatannya dapat saja dipolitisasi oleh kekuatan politik di DPR dan

MPR. Untuk menghindari upaya politisasi yang mungkin dilakukan itulah, maka

dalam hal ini peran Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang bebas

dan mandiri diperlukan. Mahkamah Konstitusi harus mampu menunjukkan

independensinya sebagai lembaga peradilan dengan mengambil putusan yang

benar dan adil berdasarkan aturan hukum serta bebas dari tekanan politik atau

tekanan lembaga negara lainnya, sehingga upaya politisasi dalam pemberhentian

Page 145: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

145

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dilakukan oleh DPR dan MPR.

Presiden dan/atau wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam suatu

pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu yang telah diatur dalam UUDNRI

1945, hanya dapat diberhentikan berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan

hukum semata. Pada akhirnya terwujudlah suatu mekanisme pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden yang didasarkan pada adanya pelanggaran

hukum dan incapacity yang dapat dibuktikan berlandaskan hukum dan terhindar

dari pertimbangan-pertimbangan politik. Hal ini tentunya sejalan dengan upaya

mewujudkan negara hukum melalui pembangunan masyarakat dan pemerintahan

berdasarkan hukum, termasuk pula dalam proses pemberhentian presiden

dan/atau wakil presidennya.

Page 146: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

146

BAB IV

MODEL PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU

WAKIL PRESIDEN BERDASARKAN UUD 1945

4.1 Model-Model Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang

diterapkan dalam ketatanegaraan Indonesia dalam pandangan Abdul Mukthie

Fadjar merupakan suatu konsekuensi logis dari dianutnya sistem presidensial

dalam sistem pemerintahan suatu negara. Mekanisme pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden ini diatur dalam konstitusi, berbeda halnya dengan sistem

pemerintahan parlementer dimana setiap saat pemerintah (kabinet) dapat

dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi tidak percaya.152 Pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden ini merupakan bentuk dari adanya mekanisme checks and

balances dalam pembagian kekuasaan negara. Dikatakan demikian karena pada

sistem pemerintahan presidensial jabatan seorang Presiden dan/atau Wakil

Presiden telah ditetapkan secara pasti dalam konstitusi negara bersangkutan,

sehingga jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan di

tengah masa jabatannya melalui mosi tidak percaya yang dilakukan parlemen

sebagaimana dalam sistem pemerintahan parlementer. Sebaliknya disediakan

mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengawasi

dan mengimbangi jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang ditetapkan

secara pasti dalam konstitusi, sehingga pemberhentian tersebut merupakan bentuk

152 Abdul Mukthie Fadjar, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi

Press dan Citra Media Yogyakarta, Jakarta, hal. 240.

Page 147: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

147

checks and balances terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden.

Dalam sistem pemerintahan parlementer, prinsip yang dianut adalah

supremasi parlemen dan perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen.

Oleh karena itu maka parlemen berwenang untuk memberhentikan perdana

menteri dalam masa jabatannya melalui mosi tidak percaya dengan alasan-alasan

dan pertanggungjawaban politik. Tidak demikian halnya dengan sistem

pemerintahan presidensial dimana kedudukan eksekutif dan legislatif sejajar

dengan legitimasi sama kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat. Apalagi

masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah ditentukan secara tetap

dalam konstitusi dan mekanisme pemberhentian yang rumit, maka seorang

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial hanya

dapat diberhentikan melalui alasan-alasan yang menonjolkan pelanggaran hukum,

khususnya hukum pidana dibandingkan sekedar alasan-alasan dan

pertanggungjawaban politik. Adanya masa jabatan Presiden dan/atau Wakil

Presiden yang telah ditentukan secara pasti dalam konstitusi (fix term executive)

dan mekanisme pemberhentian yang rumit bertujuan untuk melindungi jabatan

Presiden dan/atau Wakil Presiden itu sendiri guna menciptakan stabilitas

pemerintahan.

Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya

kerap kali dikenal dengan istilah impeachment atau yang oleh Hamdan Zoelva

diterjemahkan menjadi pemakzulan. Istilah impeachment ditinjau dari konsepnya

bukan hanya merupakan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

Page 148: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

148

dalam masa jabatannya, tetapi istilah impeachment mencakup pula proses

pemberhentian kepada para pejabat negara yang dianggap telah melanggar

peraturan sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan

dalam menjalankan tugasnya.153 Impeachment ini sendiri merupakan salah satu

model mekanisme pemberhentian presiden yang dipraktikkan oleh negara-negara

di dunia.

Terdapat dua model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

yang dikenal dalam sistem pemerintahan presidensial yaitu model impeachment

dan model forum previlegiatum (peradilan khusus). Kedua model pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden ini diklasifikasikan berdasarkan mekanisme

yang harus ditempuh dalam pemberhentiannya. Impeachment merupakan

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa jabatannya yang

dilakukan oleh lembaga legislatif. Sebaliknya dalam forum previlegiatum

(peradilan khusus) pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah

masa jabatannya dilakukan oleh suatu lembaga peradilan yang dibentuk khusus

untuk mengadili perihal pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

masa jabatannya itu.154

4.1.1 Impeachment

Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui

mekanisme impeachment dikemukakan oleh Harjono lahir pada zaman Mesir

153 Refly Harun, Zainal A.M. Husein, dan Bisariyah, 2004, Menjaga Denyut Konstitusi :

Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 75. 154 M. Saleh dan Mukhlish, 2010, Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden (Sebuah

Tinjauan Konstitusional), Bina Ilmu Offset, Surabaya, hal. 38.

Page 149: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

149

Kuno dengan istilah iesamhelia, yang artinya kecenderungan ke arah pengasingan

diri. Hal ini selanjutnya diadopsi oleh pemeritahan Inggris pada abad ke-17 dan

dimasukkan dalam Konstitusi Amerika Serikat pada abad ke-18.155 Impeachment

merupakan mekanisme pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya yang

dilaksanakan oleh lembaga politik yang merupakan perwakilan seluruh rakyat

serta melalui penilaian dan keputusan politik dengan syarat-syarat dan mekanisme

yang ketat, misalnya impeachment yang dilakukan oleh Congress terhadap

Presiden Amerika Serikat.156 Jadi dalam impeachment, presiden diberhentikan

dari jabatannya melalui suatu mekanisme politik dan oleh lembaga perwakilan

yang bersifat politik.

Impeachment di Inggris terakhir dipraktikkan pada kasus impeachment

terhadap Henry Dundas pada 1806, walaupun mekanisme impeachment itu sendiri

belum dihapus dalam sistem ketatanegaraan Inggris. Perkembangan demokrasi

dengan sistem pemerintahan parlementer di Inggris kemudian merubah

mekanisme impeachment terhadap menteri atau perdana menteri ke dalam bentuk

mosi tidak percaya oleh parlemen, yang mengakibatkan menteri atau perdana

menteri meletakkan jabatannya atau parlemen dibubarkan dan dilakukan

pemilihan yang baru untuk kembali menegakkan legitimasi dan wibawa

pemerintah.157 Oleh karena itu maka mekanisme impeachment kini lebih dikenal

dalam pemerintahan Amerika Serikat yang menganut sistem pemerintahan

presidensial sebagai bentuk mekanisme checks and balances yang

155 Harjono, sebagaimana dikutip oleh M. Saleh dan Mukhlish dalam ibid., hal. 39. 156 Moh. Mahfud M.D., 2011, Perdebatan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hal.

143. 157 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 32.

Page 150: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

150

diselenggarakan legislatif terhadap jalannya pemerintahan oleh Presiden selaku

eksekutif.

Impeachment dalam Konstitusi Amerika Serikat dapat dilakukan kepada

Presiden dengan alasan yang telah ditentukan secara jelas dalam Article II Section

4, yaitu melakukan pengkhianatan (treason), penyuapan (bribery), tindak pidana

ringan (misdemeanors), dan kejahatan berat terhadap orang lain (other high

crimes). Dalam pandangan I Dewa Gede Atmadja, impeachment terhadap

presiden di Amerika Serikat lebih bersifat yuridis pidana karena melalui

mekanisme yang menyerupai jalannya peradilan suatu kasus dalam peradilan

biasa. Dalam hal ini House of Representative pada awalnya akan berfungsi

sebagai penuntut umum yang ditujukan kepada presiden dan selanjutnyaakan

disidangkan di Senate yang dipimpin oleh ketua Supreme Court untuk membahas

dan memutus dakwaan House of Representative terhadap presiden tersebut.

Impeachment terhadap presiden sendiri pada akhirnya akan dilakukan melalui

proses pengambilan keputusan melalui suara terbanyak (voting) di Senate, dengan

syarat pengabilan keputusan tersebut harus dihadiri oleh 2/3 anggota Senate dan

2/3 dari anggota Senate yang hadir tersebut harus menyetujuinya.158

Meskipun telah ditentukan secara jelas dalam Konstitusi Amerika

Serikat, hingga saat ini belum ada satu pun presiden Amerika Serikat yang

berhasil di-impeach. Hal ini terkendala oleh syarat pengambilan keputusan

melalui suara terbanyak yang tidak terpenuhi, dimana pada impechment Andrew

Johnson dan Bill Clinton tidak disetujui oleh 2/3 anggota Senate yang hadir. Jadi

158 I Dewa Gede Atmadja sebagaimana dikutip dalam Abdul Rasyid Thalib., op.cit., hal. 24-

25.

Page 151: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

151

dapat disimpulkan bahwa meskipun impeachment pada awalnya menyerupai

proses peradilan biasa, namun pengambilan keputusan mengenai impeachment

tersebut sepenuhnya merupakan proses politik di lembaga legislatif.

Impeachment dalam pandangan Michael J. Gerhard berdasarkan

penelitiannya di Amerikan Serikat, merupakan keputusan legislatif yang unik

yang hanya dapat dilakukan sesuai dengan kerangka yang telah dibatasi

konstitusi. Impeachment itu sendiri menunjukkan dua aspek yang sangat penting

yaitu aspek legalitas atau konstitusional dan aspek pertanggungjawaban politik

pada sisi lainnya.159 Dari aspek legalitas maka impeachment diusahakan untuk

selalu terhindar dari setiap praktik yang dapat mengurangi kepercayaan dari para

pihak dalam proses impechment yang jujur, sehingga adanya perbedaan antara

presiden dan legislatif tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan impeachment

tersebut. Adanya perbedaan pandangan tersebut hendaknya dapat disikapi sebagai

bagian dari checks and balances dari konstitusi.160 Dengan demikian maka

kekuatan mayoritas di legislatif tidak dapat memberhentikan presiden dari

jabatannya tanpa disertai alasan-alasan hukum dan konstitusi serta prosedur

hukum yang dianut dalam konstitusi.161

Ditinjau dari aspek politik maka pengambilan keputusan mengenai

impeachment di legislatif dapat menunjukkan hal yang tidak sesuai dengan

pengambilan keputusan pada lembaga peradilan, karena pengambilan keputusan

di legislatif kerap kali dipengaruhi oleh perimbangan dari komposisi kepentingan

159 Michael J. Gerhard, 2005, The Federal Impeachmet Process (A Constitutional and

Historival Analysis), The University of Chicago Press, Chicago, hal. xi. 160 Ibid., hal. 55. 161 Hamdan Zoelva, op.cit., hal 33.

Page 152: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

152

politik. Oleh karena itu maka banyak ahli hukum yang berpandangan bahwa

proses impeachment presiden tidak lain dari proses politik semata. Dalam proses

impeachment presiden tersebut juga terdapat berbagai pengaruh yang sering

terjadi, seperti pertarungan politik antara partai-partai politik yang ada di lembaga

legislatif, kelompok penekan atau kelompok kepentingan (interest group), serta

media massa yang memiliki peranan khusus.162

Michael J. Gerhard dalam penelitiannya mengenai praktik impeachment

di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa impeachment terhadap presiden akan

sulit dilakukan jika komposisi kekuatan politik di lembaga perwakilan seimbang

antara partai pendukung dan partai oposisi terhadap presiden. Impeachment baru

akan berhasil apabila hal tersebut mendapat dukungan dari mayoritas kekuatan

politik yang ada di lembaga perwakilan.163 Ditambahkan oleh Richard M. Pious,

impeachment juga kerap kali terkendala oleh kuatnya posisi presiden yang dipilih

secara langsung oleh rakyat, dimana keputusan dari wakil-wakil rakyat yang ada

di lembaga perwakilan akan sangat tergantung pada suara pemilih dan konstituen

dari partai-partai politik. Hal tersebut dicontohkan dalam proses impeachment

terhadap Presiden Bill Clinton, dimana keputusan Congress untuk menolak

impeachment amat dipengaruhi oleh media massa dan berbagai hasil jajak

pendapat yang dipublikasikan di media, serta tidak terlalu berpatokan pada

ketentuan konstitusi padahal secara jelas terbukti ada pelanggaran hukum yang

dilakukan oleh Presiden Bill Clinton kala itu.164 Oleh karena itu maka dalam

impeachment dukungan politik dirasa lebih berpengaruh dalam pengambilan

162 Hamdan Zoelva, op.cit., hal 34. 163 Michael J. Gerhard sebagaimana dikutip dalam Hamdan Zoelva, loc. cit. 164 Keith E. Whittington sebagaimana dikutip Hamdan Zoelva, loc.cit.

Page 153: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

153

keputusan mengenai diberhentikan atau tidaknya seorang presiden dari

jabatannya, dibandingkan dengan bukti-bukti faktual yang menunjukkan bahwa

memang telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh presiden yang dalam

konstitusi diatur sebagai alasan-alasan untuk memberhentikan presiden dari

jabatannya.

4.1.2 Forum Previlegiatum

Model pemberhentian presiden dalam masa jabatannya yang kedua

adalah melalui suatu orum pengadilan khusus (special legal proceeding) atau

yang kerap dikenal dengan istilah forum previlegiatum. Dalam model ini

pemberhentian presiden dalam masa jabatannya dilakukan dengan melalui

mekanisme suatu pengadilan khusus, dan bukan melalui lembaga legislatif yang

bersifat politik. Pengadilan khusus ini merupakan tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final. Mekanisme peradilan dalam pengadilan khusus ini

dipercepat tanpa melalui jenjang pemeriksaan konvensional dari tingkat bawah

sebagaimana yang dilakukan dalam pengadilan pada umumnya.165

Menurut Mahfud M.D., forum previligiatum merupakan penjatuhan

presiden melalui pengasilan khusus ketatanegaraan yang dasarnya adalah

pelanggaran hukum berat yang ditentukan di dalam konstitusi dengan putusan

hukum pula. Beliau juga menyebutkan bahwa kewenangan MK untuk memeriksa,

mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden

telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,

165 M. Saleh dan Mukhlish, op.cit., hal. 41.

Page 154: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

154

korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela; dan/atau

tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, merupakan

praktik dari forum previligiatum di Indonesia.166 Jadi dalam pandangan beliau MK

merupakan suatu pengadilan khusus untuk mengadili dan memutus dugaan

pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden,

dan apabila oleh MK dugaan pelanggaran hukum tersebut dinyatakan terbukti

maka DPR dapat menindaklanjuti putusan MK tersebut kepada MPR. Selanjutnya

barulah MPR dapat melaksanakan kewenangannya untuk memberhentikan

Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya melalui suatu sidang istimewa

yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota MPR dan mendapat persetujuan

sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir tersebut.

Salah satu contoh negara yang menerapkan model forum previligiatum

ini adalah Prancis, yang dalam konstitusinya mengatur bahwa Presiden dan para

pejabat pemerintah dapat dituntut untuk diberhentikan melalui suatu forum

pengadilan khusus. Alasan-alasan yang disebutkan dalam konstitusi Prancis untuk

dapat memberhentikan presiden dan para pejabat pemerintah yaitu apabila

presiden dan para pejabat pemerintah terbukti telah melakukan pengkhianatan

terhadap negara, melakukan kejahatan kriminal, dan tindakan tidak pantas.

Pengadilan khusus untuk memberhentikan presiden dan para pejabat pemerintah

menjadi wewenang Mahkamah Agung.167

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sendiri forum previligiatum ini

pernah diterapkan sebagaimana dianut dalam Konstitusi Republik Indonesia

166 Mahfud M.D., op.cit., hal. 143. 167 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal. 27.

Page 155: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

155

Serikat (KRIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Baik

dalam KRIS 1949 maupun UUDS 1950 tidak ditemukan suatu aturan yang

mengatur mengenai pemberhentian presiden, wakil presiden, dan pejabat negara

lainnya dalam masa jabatannya. Meski demikian terdapat suatu aturan yang

mengatur mengenai adanya suatu peradilan khusus bagi presiden, wakil presiden,

maupun pejabat negara lainnya apabila diduga telah melakukan kejahatan dan

pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang dilakukan dalam

masa jabatannya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 148 KRIS dan Pasal

106 ayat (1) UUDS 1950, yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah

Agung sebagai pengadilan khusus untuk mengadilli dugaan presiden, wakil

presiden, dan pejabat negara lainnya telah melakukan kejahatan dan pelanggaran

jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dalam undang-

undang dalam masa jabatannya. Proses peradilan tersebut dapat dilaksanakan pada

saat pejabat bersangkutan masih menjabat maupun setelah berhenti dari

jabatannya. Terdapat dua mantan menteri yang pernah disidang berdasarkan

forum previligiatum ini yaitu Sultan Hamid II dan Mr. Djodi Gondokusumo.

Dalam putusannya kedua mantan menteri ini diputus bersalah dan dijatuhi

hukuman pidana masing-masing 10 (sepuluh) tahun penjara bagi Sultan Hamid II

dan 1 (satu) tahun penjara bagi Mr. Djodi Gondokusumo.168 Hukuman yang

dijatuhkan kepada dua mantan menteri tersebut hanya merupakan hukuman

pidana tanpa disertai adanya pemberhentian dari jabatannya. Jadi

pertanggungjawaban presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya dalam

168 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 90.

Page 156: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

156

KRIS 1949 dan UUDS 1950 hanya terkait dengan pertanggungjawaban pidana

semata apabila diduga terlibat perkara pidana.

Nandang Alamsyah Deliar Noor menyatakan bahwa tidak ada

mekanisme pemberhentian presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya

dalam forum previlegiatum sebagaimana yang diatur dalam KRIS 1949 dan

UUDS 1950. Hal ini karena baik dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 forum

previlegiatum diposisikan sebagai suatu pengadilan khusus atas perkara-perkara

pidana yang dilakukan oleh orang-orang tertentu pula, seperti presiden, wakil

presiden, dan pejabat negara lainnya, namun tidak mengatur mengenai mekanisme

pemberhentian dari jabatannya. Proses pemberhentian terhadap presiden, wakil

presiden, dan pejabat negara lainnya apabila terbukti telah melakukan perbuatan

pidana akan tetap dilakukan melalui mekanisme politik atau birokrasi yang

berlaku.169 Selain itu pemberhentian presiden, wakil presiden dan pejabat negara

lainnya berdasarkan KRIS 1949 dan UUDS 1950 tidak dapat dilakukan oleh

Mahkamah Agung juga dikarenakan tidak terdapat ketentuan lebih lanjut yang

mengatur mengenai apakah Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk

memberhentikan Presiden atau pejabat negara lainnya dari jabatannya apabila

terbukti bersalah, namun hanya diberikan kewenangan untuk mengadili

pelanggaran pidana dan sanksinya berupa hukuman pidana semata.

169 Nandang Alamsyah Deliarnoor, 2006, Forum Previligiatum dalam Negara Hukum

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung.

Page 157: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

157

4.2 Model Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Beberapa

Negara

4.2.1 Amerika Serikat

Amerika Serikat merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan

presidensial dan kerap dipandang sebagai acuan dari pemerintahan sistem

pemerintahan presidensial yang ideal, termasuk dalam hal penerapan model

impeachment dalam hal pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.

Pemberhentian presiden dan wakil presiden di Amerika Serikat disebut menganut

model impeachment karena pemberhentian presiden dan wakil presiden

dilaksanakan melalui mekanisme politik oleh lembaga perwakilan rakyat yaitu

Conggress (House of Representative dan Senate) yang notabene merupakan

lembaga politik.

Dalam Konstitusi Amerika Serikat pemberhentian dalam masa jabatan

dapat dilakukan terhadap Presiden, Wakil Presiden ataupun pejabat sipil apabila

terbukti melakukan pengkhianatan (treason), penyuapan (bribery), pelanggaran

pidana atau kejahatan berat lainnya (other high crimes and misdemeanors),

sebagaimana yang termuat dalam Article II Section 4 Konstitusi Amerika Serikat.

Pemberhentian dalam masa jabatan ini menurut Hamdan Zoelva merupakan

bentuk dari accusation atau charge, dimana hal tersebut adalah pengawasan

legislatif yang luar biasa baik terhadap eksekutif maupun yudikatif, serta

merupakan tindakan politik yang hukumannya berupa pemberhentian dari jabatan

dan kemungkinan larangan memegang suatu jabatan, bukan merupakan hukuman

pidana (criminal conviction) atau pengenaan ganti rugi perdata. Pemberhentian

Page 158: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

158

dalam masa jabatan tersebut dilaksanakan seperti suatu proses peradilan pidana

dimana dalam konstitusi Senate dan House of Representative diberikan

kewenangan untuk melaksanakan suatu pengadilan yang dapat

dipertanggungjawabkan. Dalam artian Senate dan House of Representative

melaksanakan kewenangannya itu berdasarkan pandangannya berlandaskan

hukum dan fakta-fakta yang terbebas dari motif dan tindakan politik partisan.170

Mekanisme pemberhentian presiden, wakil presiden, dan pejabat sipil

lainnya di Amerika Serikat dimulai dari adanya penyidikan yang dilakukan oleh

House of Representative dengan dibantu sebuah lembaga atau komite yang sangat

berkuasa di bidang hukum dan keadilan yaitu House Committee of Judiciary.

Selanjutnya sebagimana yang dinyatakan sebelumnya bahwa mekanisme

pemberhentian dalam masa jabatan di Amerika Serikat dilaksanakan layaknya

peradilan pidana, maka proses pengadilan untuk mengetahui keterlibatan presiden

dalam kejahatan atau pelanggaran hukum yang dituduhkan akan menjadi

kewenangan Senate untuk melaksanakannya, sebagaimana diatur dalam Article I

Section 3 Konstitusi Amerika Serikat. Jadi dalam hal ini Senate berkedudukan

sebagai pihak pengadil dengan dipimpin oleh seorang ketua Supreme Court

(Mahkamah Agung). Sementara para pihak yang berperkara adalah House of

Representative dan pihak yang akan diberhentikan dari jabatannya. House of

Representative bertindak selaku penuntut atau pihak yang mendakwakan bahwa

telah terjadi suatu pengkhianatan (treason), penyuapan (bribery), pelanggaran

pidana atau kejahatan berat lainnya (other high crimes and misdemeanors)yang

170 Hamdan Zoelva, 2005, Impeachment Presiden : Alasan Tindak Pidana Pemberhentian

Presiden Menurut UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 13-14.

Page 159: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

159

dilakukan oleh pihak yang akan diberhentikan dari jabatannya. Sebaliknya

tertuduh atau terdakwa adalah perwakilan dari pihak (presiden, wakil presiden,

atau pejabat sipil lainnya) yang akan diberhentikan dari jabatannya.

Dapat dikatakan dalam mekanisme impeachment di Amerika Serikat

menganut model proses peradilan dua tingkat. Peradilan tingkat pertama

dilaksanakan oleh House of Representative yang dalam Konstitusi Amerika

diberikan kewenangan untuk melakukan impeachment dengan mengajukan

dakwaan pelanggaran yang dilakukan atas satu atau lebih dari pelanggaran pidana

(Article of Impeachment) dengan terlebih dahulu melakukan penyelidikan dan

penyidikan bersama dengan House Committee of Judiciary. Untuk dapat

mengajukan Article of Impeachment ke pengadilan oleh Senate, Article of

Impeachment harus mendapat dukungan mayoritas dari House of Representative.

Selanjutnya tahapan persidangan dilaksanakan oleh Senate yang akan

mengadili seluruh dakwaan yang diajukan oleh House of Representative yang

tentunya sangat ditentukan oleh bukti-bukti yang diungkapkan. Persidangan di

tingkat Senate tersebut memposisikan seluruh anggota Senate sebagai hakim, dan

Ketua Supreme Court merupakan ketua majelisnya. Impeachment dapat

dilaksanakan apabila mendapat dukungan 2/3 anggota Senate memutuskan

Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan kesalahan yang

berimplikasi pada pemberhentian dari jabatannya. Sebaliknya jika dukungan

tidak mencapai 2/3 anggota Senate berarti kesalahan Presiden dan/atau Wakil

Presiden tidak terbukti dan dapat terus menjabat. Dengan demikian maka

kewenangan untuk melaksanakan impeachment bergantung pada dukungan Senate

Page 160: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

160

sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi, sedangkan posisi Ketua Supreme

Court bukan sebagai pengambil keputusan namun sebagai pihak yang mensahkan

putusan impeachment. Oleh karena itu maka impeachment tersebut merupakan

suatu proses politik yang dilaksanakan oleh Senate selaku lembaga perwakilan

rakyat.

Selain proses peradilan dua tingkat oleh lembaga perwakilan rakyat

dalam pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, sebagaimana dipraktikkan

di Amerika Serikat, Hamdan Zoelva juga mengklasifikasikan proses peradilan tiga

tingkat dan proses peradilan campuran. Proses peradilan tiga tingkat dilaksanakan

oleh lembaga perwakilan rakyat dengan harus disertai putusan lembaga yudikatif

yang berwenang (Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung), sedangkan

proses peradilan campuran merupakan proses peradilan dua tingkat namun

melibatkan peran serta lembaga yudikatif dalam proses pemberhentian tersebut.171

4.2.2 Jerman

Konstitusi Jerman mengatur mengenai prosedur impeachment diatur

dalam Bab V Pasal 61 mengenai Presiden. Dalam ketentuan Pasal 61 ayat (1)

Konstitusi Jerman ditentukan bahwa impeachment terhadap Presiden dapat

diajukan oleh ¼ anggota Bundestag (lembaga perwakilan rakyat) atau ¼ jumlah

suara dalam Bundesrat (Senat). Selanjutnya dalam Pasal 61 ayat (2) Konstitusi

Mahkamah Konstitusi Jerman diberikan kewenangan untuk memutuskan Presiden

bersalah telah melanggar konstitusi atau undang-undang federal lainnya,

171 Hamdan Zoelva I, op.cit., hal. 35.

Page 161: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

161

Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan presiden telah dicopot dari jabatannya.

Setelah impeachment, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan perintah

pengadilan interim untuk mencegah presiden menjalankan fungsi

kepresidenannya.172

Ketentuan mengenai impeachment sebagaimana yang diatur dalam

Konstitusi Jerman tersebut memberikan kewenangan kepada parlemen (Bundestag

dan Bundesrat) untuk meng-impeach presiden melalui suatu persidangan yang

diselenggarakan di depan Mahkamah Konstitusi Jerman. Mahkamah Konstitusi

inilah yang selanjutnya akan memeriksa dan memutuskan apakan Presiden benar-

benar telah melanggar konstitusi atau undang-undang federal lainnya. Putusan

Mahkamah Konstitusi ini dilengkapi pula dengan adanya instrumen hukum untuk

memerintahkan pengadilan interim untuk mencegah presiden menjalankan fungsi-

fungsi kepresidenannya, sehingga hal tersebut berarti memberhentikan presiden

dari jabatannya secara adminstratif. Meski demikian impeachment terhadap

presiden tetap menjadi kewenangan parlemen melalui persetujuan 2/3 anggota

Bundestag dan 2/3 anggota Bundesrat. Keputusan impeachment yang diambil oleh

Bundestag dan Bundesrat merupakan keputusan politik, sedangkan keputusan

Mahkamah Konstitusi Jerman merupakan keputusan hukum.

Dalam pandangan Abdul Rasyid Thalib sebagaimana dikutip oleh M.

Saleh dan Mukhlish adanya insrtumen hukum yang diberikan kepada Mahkamah

Konstitusi untuk memerintahkan pengadilan interim untuk mencegah presiden

menjalankan fungsi kepresidennya bertujuan untuk mempertegas status hukum

172 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal. 259-260.

Page 162: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

162

dari keputusan Mahkamah Konstitusi.173 Apabila parlemen memutuskan hal yang

sebaliknya dengan keputusan Mahkamah Konstitusi maka keputusan Mahkamah

Konstitusi tersebut tetap memiliki akibat hukum berupa pemberhentian presiden

secara administratif, dan bukan hanya suatu keputusan yang terkesan sia-sia.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

mekanisme politik dan mekanisme hukum dalam pemberhentian presiden menurut

Konstitusi Jerman, serta model pemberhentian presiden yang dianut merupakan

campuran antara model impeachment dan forum previligiatum. Dikatakan sebagai

model campuran karena pemberhentian terhadap presiden dapat dilakukan secara

politik oleh parlemen, maupun diberhentikan melalui pengadilan khusus yang

diselenggarakan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dapat

memberhentikan presiden secara administratif dengan jalan membekukan fungsi-

fungsi kepresidenannya oleh pengadilan interim berdasarkan perintah Mahkamah

Konstitusi, apabila presiden diputus terbukti melanggar konstitusi atau undang-

undang federal lainnya.

Mekanisme politik ditunjukkan dengan adanya pengambilan keputusan

mengenai pemberhentian presiden yang dilakukan di parlemen, yaitu harus

mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota Bundestag dan 2/3 anggota Bundesrat.

Keputusan parlemen untuk memberhentikan presiden tersebut merupakan suatu

keputusan politik. Sebaliknya mekanisme hukum ditunjukkan dengan adanya

peran Mahkamah Konstitusi Jerman untuk turut serta dalam mekanisme

premberhentian presiden tersebut, yaitu dengan adanya kewenangan untuk

173 M. Saleh dan Mukhlish, op.cit., hal. 40.

Page 163: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

163

memeriksa dan memutus dugaan presiden telah melanggar konstitusi atau undang-

undang federal lainnya. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ini disertai pula

dengan adanya keputusan hukum Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan

presiden secara administratif dengan membekukan tugas-tugas kepresidenannya

dengan jalan memerintahkan pengadilan interim untuk mencegah presiden

melaksanakan fungsi-fungsi kepresidenannya. Hal ini berarti meskipun nantinya

keputusan parlemen berbeda dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, maka

keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut masih memiliki akibat hukum berupa

pemberhentian presiden secara administratif. Dengan demikian maka baik

keputusan politik di parlemen maupun keputusan hukum di Mahkamah Konstitusi

dapat memberhentikan presiden dari jabatannya.

4.2.3 Korea Selatan

Korea Selatan merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan

campuran presidensial dan parlementer, karena tidak adanya pertanggungjawaban

baik dari presiden ataupun perdana menteri kepada parlemen. Presiden dalam

pemerintahan Korea Selatan merupakan kepala negara yang dipilih langsung oleh

rakyat dengan masa jabatan lima tahun, serta merupakan penanggung jawab

tertinggi kekuasaan eksekutif negara. Sementara itu perdana menteri diangkat

berdasarkan atas persetujuan parlemen dan berkedudukan sebagai pihak yang

membantu presiden bersama-sama dengan Counsel of State.

Pemberhentian presiden dalam masa jabatannya menurut Konstitusi

Korea Selatan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, bukannya parlemen.

Page 164: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

164

Dalam mekanisme pemberhentian tersebut peran serta parlemen adalah sebagai

pihak yang mengajukan mosi pemberhentian presiden, sehingga pemberhentian

presiden hanya dapat dilakukan melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang

didahului oleh adanya pendakwaan berupa mosi yang diajukan oleh parlemen

mengenai pemberhentian terhadap presiden.

Selain terhadap presiden, pemberhentian dalam masa jabatan tersebut

dapat juga dilakukan terhadap pejabat tinggi negara seperti perdana menteri,

anggota dewan negara, kepala kementrian eksekutif, hakim, hakim Mahkamah

Konstitusi, anggota Komisi Pemilihan Umum, ketuan dan anggota Badan Audit

dan Inspeksi serta pejabat publik lainnya yang ditugaskan berdasarkan undang-

undang.174

Adanya mekanisme pemberhentian terhadap presiden dan pejabat tinggi

negara lainnya dalam masa jabatannya sebagaimana yang diatur dalam Konstitusi

Korea Selatan bertujuan untuk melindungi konstitusi dengan mengupayakan

presiden dan pejabat tinggi negara lainnya agar bertanggung jawab terhadap

kewajiban hukumnya atau perbuatan yang dilakukannya termasuk permintaan

pertanggungjawaban atas dugaan atau tuduhan telah melakukan tindak pidana

tertentu. Pemberhentian terhadap presiden dan pejabat tinggi negara lainnya

dalam masa jabatannya juga bertujuan untuk mendisiplinkan pelaksanaan tugas

dan kewajibannya, karena di Korea Selatan pemberhentian tersebut menurut

174 M. Saleh dan Mukhlis, op.cit., hal. 42.

Page 165: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

165

sifatnya bukan merupakan pengaduan pidana namun merupakan pegaduan

disiplin.175

Konstitusi Korea Selatan menentukan bahwa presiden dan pejabat tinggi

negara lainnya dapat diberhentikan dari jabatannya karena melakukan

pelanggaran terhadap konstitusi atau perbuatan lainnya dalam melaksanakan

kewajiban jabatannya, dan hal tersebut menjadi kewenangan dari Mahkamah

Konstitusi. Tahapan pemberhentian presiden dan pejabat tinggi negara lainnya

dimulai dari adanya mosi pemberhentian yang diajukan oleh parlemen (National

Assembly) dengan persetujuan minimal 2/3 anggota National Assembly.

Selanjutnya National Assembly selaku pihak penuntut mengajukan permintaan

peradilan ke Mahkamah Konstitusi agar mendapatkan pemidanaan apabila

dakwaan tersebut terbukti. Selama proses persidangan di Mahkamah Konstitusi

tersebut, presiden atau pejabat tinggi negara lainnya yang tengah menjadi objek

pemberhentian tetap dapan menjalankan tugas dan kewenangannya sampai

adanya putusan Mahkamah Konstitusi atas kasus tersebut. Apabila putusan

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dakwaan National Assembly tersebut

terbukti, maka presiden dan pejabat tinggi negara lainnya secara hukum telah

dinyatakan berhenti dari jabatannya. Sejak pemberhentian tersebut diumumkan,

baik presiden maupun pejabat tinggi negara lainnya tidak diperbolehkan

memegang jabatan selama lima tahun berikutnya. Akan tetapi apabila dakwaan

175 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal. 270-271.

Page 166: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

166

National Assembly tidak terbutkti maka presiden atau pejabat tinggi negara

lainnya tetap menjabat hingga masa jabatannya berakhir.176

Mekanisme pemberhentian presiden dan pejabat tinggi negara lainnya

sebagaimana dipraktikkan Korea Selatan menurut Hamdan Zoelva merupakan

praktik proses persidangan tiga tingkat dalam pengambilan keputusan meskipun

tidak dikenal adanya putusan oleh lembaga perwakilan kamar kedua (upper

house) karena memang Korea Selatan tidak memiliki lembaga perwakilan kamar

kedua tersebut.177 Hal ini karena persidangan tidak hanya dilaksanakan oleh

lembaga perwakilan rakyat, namun harus pula disertai dengan putusan hukum

oleh lembaga yudikatif dalam hal ini Mahkamah Konstitusi. Bahkan kewenangan

untuk memberhentikan presiden dan pejabat tinggi negara lainnya berada pada

Mahkamah Konstitusi melalui putusannya yang murni didasarkan pada

pertimbangan hukum oleh Mahkamah Konstitusi. Berbeda halnya apabila

kewenangan pemberhentian tersebut berada pada lembaga perwakilan rakyat,

dimana putusannya didasarkan pada pertimbangan politik sebagaimana yang

kerap terjadi.

Dalam sejarah Korea Selatan mekanisme pemberhentian terhadap

presiden pernah dilaksanakan terhadap Presiden Roh Moo-hyun yang menjabat

tahun 2003-2008. Beliau didakwa melalui mosi parlemen atas dugaan telah

melanggar prinsip netralitas dalam undang-undang pemilihan umum yaitu secara

jelas telah menyatakan dukungannya kepada Partai Uri yang didirikannya dalam

pemilihan anggota National Assembly. Dakwaan lainnya bahwa sanak keluarga

176 M. Saleh dan Mukhlis, op.cit., hal. 42-44. 177 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 55.

Page 167: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

167

dan para pembantu politik beliau telah mengumpulkan dana ilegal sejumlah 10

juta dolar AS dari pengusaha untuk memenangkan kampanyenya. Setelah

keluarnya mosi parlemen untuk memberhentikan Presiden Roh Moo-hyun dari

jabatannya, beliau harus nonaktif dari jabatannya selama sekitar dua bulan hingga

adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi.178

Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, permohonan mosi

parlemen untuk memberhentikan Presiden Roh Moo-hyun dari jabatannya yang

telah disetujui 193 dari 273 anggota parlemen, oleh Mahkamah Konstitusi

dinyatakan ditolak. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut meskipun

bertentangan dengan parlemen, namun mendapat dukungan mayoritas rakyat

Korea Selatan (sekitar 84%) yang ditunjukkan dengan adanya demonstrasi besar-

besaran rakyat yang menolak putusan-putusan parlemen. Kasus pemberhentian

Presiden Roh Moo-hyun di Korea Selatan ini merupakan kasus pertama di Korea

Selatan, bahkan di dunia, dimana seorang presiden yang didakwa untuk

diberhentikan jabatannya oleh parlemen akhirnya diputuskan bebas oleh

Mahkamah Konstitusi melalui putusan yang bersifat final. Dengan demikian maka

Presiden Roh Moo-hyun dapat terus menjabat sebagai presiden hingga masa

jabatannya berakhir.179

4.2.4 Filiphina

Filiphina merupakan negara tetangga Indonesia di kawasan Asia

Tenggara yang mempraktikkan sistem pemerintahan presidensial sama halnya

178 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 56. 179 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 57.

Page 168: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

168

dengan Indonesia. Presiden Filiphina dipilih langsung oleh rakyat dengan masa

jabatan 6 (enam) tahun dan hanya untuk satu periode jabatan. Sistem

pemerintahan presidensial yang dipraktikkan di Filiphina memiliki banyak

kesamaan dengan sistem pemerintahan presidensial Amerika Serikat.

Dalam hal pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, Konstitusi

Filiphina juga menerapkan hal yang serupa dengan yang dipraktikkan di Amerika

Serikat. Hamdan Zoelva mengungkapkan bahwa mekanisme pemberhentian

presiden dalam masa jabatannya sebagimana diatur dalam Konstitusi Filiphina

menerapkan model peradilan dua tingkat layaknya di Amerika Serikat. Peradilan

tingkat pertama yaitu pendakwaan yang dilakukan oleh Ang Kapulungan ng mga

Kinatawan (House of Representatif), selanjutnya barulah dakwaan tersebut

disidang dan diputuskan oleh Ang Senado (Senate). Persidangan yang dilakukan

oleh Ang Senado tersebut dipimpin oleh ketua Mahkamah Agung Filiphina, sama

halnya dengan persidangan pemberhentian presiden Amerika Serikat oleh Senate

yang dipimpin oleh ketua Supreme Court.180

Terdapat 7 (tujuh) alasan pemberhentian presiden Filiphina sebagaimana

termuat dalam Article XI Section 2 Konstitusi Filiphina, yaitu dakwaan bahwa

presiden terbukti menyalahi konstitusi (culpable of Constitution), Pengkhianatan

(treason), penyuapan (bribery), gratifikasi (graft), dan korupsi (corruption),

tindak pidana berat lainnya (other high crimes) atau pengkhianatan atas

kepercayaan publik (betrayal of public trust). Pengkhianatan terhadap

kepercayaan publik dijelaskan oleh Jose N. Nolledo sebagai pengkhianatan yang

180 Hamdan Zoelva, op.cit., hal 54.

Page 169: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

169

tidak harus merupakan tindak pidana tetapi cukup pada pelanggaran atas sumpah

jabatan dapat dipandang sebagai pengkhianatan atas kepercayaan publik.181

Kepercayaan publik terhadap presiden ditunjukkan dengan dukungan

rakyat selaku konstituen sehingga seorang calon presiden berhasil memenangkan

pemilihan untuk menduduki jabatan sebagai presiden. Dukungan dan kepercayaan

publik itu pula yang menjadi dasar legitimasi dari kuatnya kedudukan presiden

dalam sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu maka hendaknya

kepercayaan publik tersebut dapat selalu dijaga dengan cara menjunjung tinggi

sumpah jabatan dan melaksanakan tugas dan kewajibannya selaku presiden

sebaik-baiknya berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Apabila telah terjadi pelanggaran terhadap konstitusi, peraturan perundang-

undangan, termasuk pelanggaran terhadap sumpah jabatan, maka hal tersebut

tentunya akan menciderai kepercayaan dan dukungan publik terhadap presiden

sehingga presiden akan kehilangan legitimasi jabatannya. Oleh karena itu maka

pelanggaran terhadap sumpah jabatan dapat dipandang sebagai pengkhianatan atas

kepercayaan publik.

Pendakwaan untuk memberhentikan presiden dari jabatannya

berdasarkan Konstitusi Filiphina harus mendapat persetujuan 1/3 anggota Ang

Kapulungan ng mga Kinatawan sehingga dapat diajukan persidangannya oleh

Ang Senado. Ang Senado selanjutnya akan menyidangkan dakwaan yang diajukan

oleh Ang Kapulungan ng mga Kinatawan yang dipimpin oleh ketua Mahkamah

Agung. Setelah melalui proses persidangan guna membuktikan kebenaran

181 Jose N. Nolledo, 2000, The Constitution of The Republic of The Philipine-Explain,

National Book Store Quad Alpha Centrum BLDG, Philipine, hal. 249.

Page 170: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

170

dakwaan pemberhentian presiden, Ang Senado akan memutuskan dakwaan

tersebut yang menentukan diberhentikan atau tidaknya presiden. Untuk dapat

memberhentikan presiden, Konstitusi Filiphina menentukan bahwa hal tersebut

harus mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota Ang Senado. Putusan Ang

Senado ini hanya terkait pada sanksi politik berupa pemberhentian presiden dari

jabatannya, namun dakwaan tersebut dapat dituntut di peradilan pidana untuk

memperoleh sanksi pemidanaan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku.

Presiden Filiphina yang pertama kali mendapatkan dakwaan

pemberhentian dari jabatannya oleh Ang Kapulungan ng mga Kinatawan adalah

Presiden Joseph Estrada. Dakwaan yang dituduhkan kepada beliau yaitu bahwa

beliau telah menerima suap, menerima gratifikasi dan melakukan praktik korupsi,

mengkhianati kepercayaan publik, serta melakukan tindakan yang menyalahi

konstitusi. Adapun dakwaan utama yang dituduhkan terhadap Presiden Estrada

yaitu bahwa beliau telah menerima 400 juta peso dari pembagian keuntungan atas

judi ilegal, termasuk 180 juta peso dari haga subsidi pemerintah atas kerja sama

pemasaran tembakau petani. Presiden Estrada sendiri akhirnya tidak diberhentikan

jabatannya berdasarkan putusan Ang Senado, melainkan beliau terlebih dahulu

mengundurkan diri dari jabatannyasebelum Ang Senado memutuskan dakwaan

yang diajukan oleh Ang Kapulungan ng mga Kinatawan tersebut.182

182 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 55.

Page 171: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

171

4.3 Model Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia

Sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, konstitusi Republik Indonesia

telah berganti sebanyak 4 (empat) kali yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sebelum

perubahan (UUD 1945), Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS

1949), Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan

(UUDNRI 1945). Dalam masing-masing konstitusi tersebut diatur mengenai

mekanisme pertanggungjawaban bagi presiden terkait dengan kewajibannya

dalam menyelenggarakan pemerintahan, namun mekanisme pemberhentian

presiden tidak diatur dalam semua konstitusi tersebut. Mekanisme pemberhentian

terhadap presiden dalam masa jabatannya dapat ditemukan dalam UUD 1945 dan

UUDNRI 1945, sedangkan dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 hanya diatur

mengenai adanya suatu pengadilan khusus yang berwenang untuk mengadilli

dugaan presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya telah melakukan

kejahatan dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang

ditentukan dalam undang-undang dalam masa jabatannya. Hal ini berarti dalam

KRIS 1949 dan UUDS 1950 pertanggungjawaban presiden hanya sebatas

pertanggungjawaban pidana yang diadili melalui suatu pengadilan khusus yang

menjadi kewenangan Mahkamah Agung, tanpa disertai pemberian kewenangan

bagi Mahkamah Agung untuk menjatuhkan sanksi politik berupa pemberhentian

dari masa jabatannya apabila terbukti yang bersangkutan telah melakukan

kejahatan dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang

ditentukan dalam undang-undang dalam masa jabatannya.

Page 172: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

172

Adanya suatu pengadilan khusus untuk mengadili suatu pelanggaran

hukum yang dilakukan oleh presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya

dalam masa jabatannya yang diatur dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 disebut

sebagai bentuk penerapan model forum previligiatum, meskipun putusan

pengadilan khusus tersebut tidak berwenang untuk memberhentikan presiden,

wakil presiden, dan pejabat negara lainnya dari jabatannya. Contohnya dalam

proses peradilan terhadap Sultan Hamid II dan Mr. Djodi Gondokusumo yang

putusannya hanya berupa pemidanaan, tanpa disertai pemberhentian dari

jabatannya. Keduanya diadili dalam peradilan khusus yang diselenggarakan

Mahkamah Agung sebagaimana yang diatur dalam UUDS 1950 karena pada saat

melakukan pelanggaran hukum keduanya menjabat sebagai menteri. Dalam

putusannya kedua mantan menteri ini diputus bersalah dan dijatuhi hukuman

pidana masing-masing 10 (sepuluh) tahun penjara bagi Sultan Hamid II dan 1

(satu) tahun penjara bagi Mr. Djodi Gondokusumo.183

Lalu dalam UUD 1945 sendiri terdapat mekanisme pemberhentian

presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya yang secara eksplisit

disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 mengenai Sistem Pemerintahan Negara

juncto Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata

Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi

Negara.184 Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR, dan bertindak selaku

mandataris MPR yang artinya kedudukan presiden untergeordnet dengan MPR.

Presiden selaku mandataris MPR wajib untuk menjalankan haluan negara menurut

183 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 90. 184 Abdul Mukthie Fadjar, op.cit., hal. 233.

Page 173: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

173

garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR dan segala keputusan-keputusan

yang dibuat MPR. Selain itu presiden juga harus bertanggung jawab kepada MPR

sebagai bentuk pembatasan dari kekuasaan presiden. Pertanggungjawaban yang

disampaikan oleh presiden kepada MPR dalam suatu sidang istimewa itulah yang

akan menentukan apakah presiden diberhentikan dari jabatannya atau tidak.

Hal ini menunjukkan bahwa putusan pemberhentian presiden dan wakil

presiden berdasarkan UUD 1945 menjadi kewenangan MPR yang merupakan

lembaga politik yang mencerminkan perwakilan seluruh rakyat yang terdiri dari

anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan

golongan-golongan.185 Dengan demikian maka UUD 1945 dapat dikatakan

menganut model impeachment dalam hal pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden, karena kewenangan untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil

presiden dilakukan oleh lembaga politik serta melalui keputusan politik yang

biasanya diperoleh melalui metode pemungutan suara (voting). Meskipun

demikian pemberhentian tersebut haruslah melalui syarat-syarat dan mekanisme

yang ketat sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Perubahan terhadap UUD 1945 meliputi pula perubahan terhadap

mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

jabatannya. Apabila sebelumnya mekanisme tersebut tidak diatur dalam UUD

1945, namun dalam UUDNRI 1945 hal tersebut telah diatur secara rinci mulai

dari alasan-alasan pemberhentian, lembaga-lembaga yang berwenang dalam

pemberhentian, dan mekanisme pemberhentian tersebut. Alasan-alasan

185 Lihat ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan

Page 174: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

174

pemberhetian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya dapat

dilihat dalam ketentuan Pasal 7A UUDNRI 1945 yaitu apabila terbukti telah

melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila

terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Selanjutnya berdasarkan mekanisme pemberhentian yang diuraikan dalam Pasal

7B UUDNRI 1945 dapat dilihat bahwa terdapat 3 lembaga negara yang

berwenang yaitu MPR, DPR, dan Mahkamah Konstitusi. Adanya kewenangan

Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden inilah yang membedakannya dengan mekanisme pemberhentian

sebelumnya. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudikatif yang diberikan

kewenangan untuk menyelenggarakan proses peradilan dalam pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden.

Terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan

mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, ada yang

berpandangan bahwa peran serta Mahkamah Konstitusi tersebut hanya sebatas

kewajiban dan bukan wewenang, sebagaimana yang dikemukakan Abdul Latif.

Dikatakan sebagai suatu kewajiban karena putusan Mahkamah Konstitusi dalam

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden tidaklah final dan dapat dianulir

oleh keputusan MPR. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa masih adanya

supremasi politik terhadap hukum dalam hal ini, serta mungkin saja keputusan

MPR untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden hanya didasarkan

pada pertimbangan politik semata. Apabila terjadi maka upaya mewujudkan

Page 175: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

175

negara hukum yang demokratis dan konstitusional di Indonesia akan sulit

terwujud.186 Putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden tidak bersifat final juga dikemukakan oleh

Ni’matul Huda. Menurut beliau putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bukan

merupakan putusan final karena pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

tetap tunduk pada putusan MPR sebagai lembaga politik yang berwenang.187

Adanya proses peradilan yang diselenggarakan oleh Mahkamah

Konstitusi dalam pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam

pandangan Soimin dan Mashuriyanto bertujuan untuk mendapatkan kekuatan

hukum terkait pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam negara

konstitusional, sehingga dapat berlangsung checks and balances system dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia. Meskipun demikian lebih lanjut dikemukakan

bahwa pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden tidak sepenuhnya

dikarenakan proses peradilan, sebab putusan akhir mengenai pemberhentian

tersebut berada pada parlemen (MPR) sebagai lembaga politik yang akan

memutuskan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.188 Checks and

balances sendiri dalam pemisahan kekuasaan diperlukan untuk mengatur,

membatasi, dan mengendalikan kekuasaan negara dengan sebaik-baiknya agar

penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara dapat dicegah dan

186 Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum

Demokrasi), Kreasi Total Media, Jakarta, hal. 164. 187 Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press,

Jakarta, hal. 254. 188 Soimin dan Mashuriyanto, 2013, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 160.

Page 176: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

176

ditanggulangi.189 Jadi demikian pula dalam hal pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden, dimana kewenangan MK sebagai bentuk checks and balances

terhadap DPR yang bertujuan untuk mencegah upaya politisasi dalam

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang didasarkan pada

pertimbangan politik semata seperti adanya konflik kepentingan antara presiden

dan/atau wakil presiden dengan kekuatan mayoritas politik di DPR .

Peran Mahkamah Konstitusi dalam pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden berkaitan dengan upayachecks and balances terhadap lembaga

negara lainnya (DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden) juga dikemukakan

oleh Partialis Akbar. Dalam pandangan beliau Mahkamah Konstitusi berperan

sebagai lembaga upaya DPR tersebut untuk mengadili apakah alasan

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden benar menurut hukum atau

konstitusi, bukan hanya merupakan bentuk ketidaksepahaman (konflik) DPR

terhadap presiden dan/atau wakil presiden berkaitan dengan persaingan politik

belaka.190 Dengan kata lain Mahkamah Konstitusi akan menerapkan pendekatan

hukum untuk mengadili pendapat DPR terkait alasan pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden, yang sebelumnya diambil melalui pendekatan politik di

DPR.191 Selain menajalankan fungsi checks and balances terhadap DPR, peran

Mahkamah Konstitusi dalam pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

189 Ni’matul Huda, 2007, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

hal. 107. 190 Patrialis Akbar, 2013, Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD NRI 1945, Sinar Grafika,

Jakarta, hal. 181-182. 191 Ibid., hal. 235.

Page 177: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

177

juga merupakan titik singgung hubungan antara Mahkamah Konstitusi dan

presiden atau wakil presiden.192

Perubahan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7B UUDNRI 1945 merubah pula model

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang diterapkan di Indonesia.

Mahfud M.D. berdasarkan penelitiannya terhadap berbagai konstitusi yang ada di

dunia berpendapat bahwa secara teoritis pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden menurut UUDNRI 1945 menerapkan model campuran antara

impeachment dan forum previligiatum.193 Hal ini disimpulkan dari proses

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang dimulai dari penilaian dan

keputusan secara politik di DPR, yang menunjukkan penerapan model

impeachment. Selanjutnya dari DPR mekanisme akan dilanjutkan ke pemeriksaan

dan putusan hukum oleh Mahkamah Konstitusi, yang dipandang sebagai bentuk

pengadilan khusus untuk mengadili pelanggaran hukum yang dilakukan oleh

presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya (model forum

previligiatum). Apabila putusan Mahkamah Konstitusi membenarkan usul DPR

mengenai alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, maka DPR

akan melanjutkan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden ke

MPR. Sebaliknya apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan sebaliknya maka

DPR tidak dapat meneruskan ke MPR. Dalam proses pengambilan keputusan di

MPR akan dilakukan secara politik kembali (model impeachment), mengenai

apakah putusan Mahkamah Konstitusi perlu diikuti dengan pemberhentian

192 Ibid., hal. 228. 193 Mahfud M.D., op.cit., hal. 143.

Page 178: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

178

presiden dan/atau wakil presiden ataukah tidak. Jadi secara ringkas mekanisme

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dimulai dari impeachment yang

kemudian dilanjutkan ke forum previligiatum, dan akhirnya pengambilan

keputusan kembali ke model impeachment.

Dalam mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden

sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahfud M.D. terdapat suatu pengadilan

khusus yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi, namun putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut tidak memuat sanksi politik maupun pidana

apabila presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan perbuatan yang

didakwakan oleh DPR. Isi putusan Mahkamah Konstitusi hanya terbatas pada

menyatakan permohonan DPR mengenai alasan pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden diterima atau ditolak. Hal ini berarti putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk memberhentikan presiden

dan/atau wakil presiden ataupun menjatuhkan pemidanaan, terlebih lagi dengan

tidak adanya kewajiban bagi MPR untuk mengikuti putusan Mahkamah

Konstitusi. Dengan demikian maka pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden tetap merupakan keputusan politik yang menjadi kewenangan MPR.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden yang dianut UUDNRI 1945 cenderung menerapkan model

impeachment yang ditandai dengan pengambilan keputusan oleh lembaga politik

yaitu MPR.

Hal yang berbeda apabila putusan Mahkamah Konstitusi memiliki

kekuatan hukum misalnya melalui adanya suatu ketentuan yang mengharuskan

Page 179: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

179

MPR untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi, ataupun melalui adanya

mekanisme yang memungkinkan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan

presiden dan/atau wakil presiden secara tidak langsung seperti yang dipraktikkan

di Jerman. Putusan Mahkamah Konstitusi Jerman dapat memberhentikan presiden

secara administratif dengan membekukan tugas-tugas kepresidenannya dengan

jalan memerintahkan pengadilan interim untuk mencegah presiden melaksanakan

fungsi-fungsi kepresidenannya, apabila nantinya keputusan parlemen berbeda

dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukkan adanya supremasi

hukum dalam proses politik pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden,

dimana pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus didasarkan pada

alasan yang benar menurut hukum melalui putusan oleh lembaga yudikatif. Bukan

sebaliknya hanya didasarkan karena alasan yang terkait dengan kepentingan

politik semata misalnya adanya pertentangan atau sengketa antara DPR dan

presiden dan/atau wakil presiden. Dengan demikian maka akan terwujud

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang selaras dengan prinsip

negara hukum.

Page 180: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

180

Page 181: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

181

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Perbuatan tercela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 dan

dijelaskan lebih lanjut dalam PMK No. 21 Tahun 2009 memiliki makna yang

amat luas, karena perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat presiden

dan/atau wakil presiden bukan hanya tindak pidana. Keluhuran harkat dan

martabat presiden dan/atau wakil presiden berkaitan erat dengan etika jabatan

yang menentukan norma-norma yang harus dipatuhi dalam pelaksanaan

jabatannya yaitu norma-norma yang berlaku di masyarakat dan segala bentuk

ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mencakup

pula ketentuan hukum pidana dalam KUHP. Dengan demikian perbuatan

tercela sebagaimana tercantum dalam Pasal 7A UUD 1945 juga dimaknai

sebagai pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat

(norma agama, norma kesopanan, dan norma kesusilaan), pelanggaran hukum

pidana lainnya sebagaimana diatur dalam KUHP yang tidak termasuk dalam

tindak pidana yang diuraikan dalam Pasal 7A UUD 1945, serta pelanggaran

hukum lainnya di luar ranah hukum pidana yang tertuang dalam setiap

peraturan perundang-undangan, yang mana pelanggaran tersebut dapat

merendahkan harkat dan martabat jabatannya.

Page 182: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

182

2. Pasca amandemen terhadap UUD 1945 mekanisme pemberhentian presiden

dan/atau wakil presiden di Indonesia menganut model impeachment dengan

menerapkan 3 tingkatan pengambilan keputusan, dimana prosesnya

dilaksanakan di DPR, MK, dan MPR. Dikatakan menganut model

impeachment karena putusan mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden di Indonesia merupakan kewenangan MPR sebagai lembaga

perwakilan rakyat dan keputusannya diambil berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan politik. Sementara peran MK hanya sebagai lembaga yudikatif

yang memutus keabsahan alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil

presiden yang didakwakan DPR berdasarkan pertimbangan hukum semata-

mata. Putusan MK tidak dapat menjatuhkan sanksi pidana maupun politik

berupa pemberhentian dari jabatan apabila presiden dan/atau wakil presiden

terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan DPR. Perbuatan yang

didakwakan tersebut merupakan alasan untuk memberhentikan Presiden

dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUDNRI 1945.

5.2 Saran-saran

Adapun saran yang dapat saya sampaikan berkenaan dengan materi

bahasan dalam tesis ini yaitu:

1. Batasan perbuatan tercela yang bermakna luas membuka peluang adanya upaya

politisasi terkait alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Oleh

karena itu definisi perbuatan tercela tersebut perlu dirumuskan batasan-

batasannya secara jelas dan dituangkan dalam suatu undang-undang, sehingga

Page 183: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

183

tidak menimbulkan penafsiran luas sebagaimana definisi perbuatan tercela

yang terdapat dalam PMK No. 21 Tahun 2009. Hal ini juga untuk

mempermudah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa,

mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil

presiden telah melakukan perbuatan tercela, sehingga menjamin pula kepastian

bahwa putusan MK tersebut didasarkan pada pertimbangan hukum semata

tanpa adanya tekanan politik dari pihak lainnya.

2. Dalam rangka mewujudkan prinsip negara hukum dalam proses pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia, maka hendaknya putusan MK

disertai pula dengan adanya kewajiban bagi MPR untuk memperhatikan secara

sungguh-sungguh putusan MK tersebut. Hal ini mengingat sifat putusan MK

yang final dan mengikat, artinya terhadap putusan tersebut tidak ada lagi upaya

hukum yang dapat ditempuh, serta mengikat langsung pada saat diucapkan

tidak hanya kepada pihak berperkara melainkan juga sebagai norma yang

mengikat seluruh warga negara (Erga Omnes). Atas sifat putusan MK tersebut

meskipun tidak memiliki kekuatan eksekutorial dalam arti tidak secara

otomatis memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden secara langsung.

Mengingat substansinya, maka putusan tersebut haruslah diperhatikan

sungguh-sungguh dalam pengambilan keputusan akhir di MPR. Dengan

demikian adanya pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia

tetap dapat menjaga berjalannya prinsip-prinsip negara hukum dan sistem

pemerintahan presidensial, yaitu dengan menjamin bahwa pemberhentian

tersebut dilakukan semata-mata berdasarkan atas pertimbangan hukum yaitu

Page 184: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

184

adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil

presiden maupun bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi

sebagai presiden dan/atau wakil presiden (incapacity).

Page 185: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

185

DAFTAR BACAAN

BUKU:

Akbar, Patrialis, 2013, Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD NRI 1945, Sinar Grafika, Jakarta

A.R., Hanta Yuda, 2010, Presidensialisme Setengah Hati dari Dilema ke Kompromi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Asshiddiqie, Jimly, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah (Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara), UI-Press, Jakarta

_________, 2004, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta

_________, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekjen Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta

_________, 2007, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Pemikiran Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dan Para Pakar Hukum, The Biography Institute, Bekasi

_________, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta

Atmadja, I Dewa Gede, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang

Bertens, K., 2013, Etika Edisi Revisi, Kanisius, Yogyakarta.

Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadillah, 2009, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung.

Djamali, R. Abdoel, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta

Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta

Fadjar, Abdul Mukthie, 2003, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Pradikamatik, In-Trans, Malang

Page 186: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

186

_________, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press dan Citra Media Yogyakarta, Jakarta.

Finer, Herman, 1962, Major Goverment of Modern Europe, Harper & Row Publisher, New York

Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung

Gautama, Sudargo, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung

Gerhard, Michael J., 2005, The Federal Impeachmet Process (A Constitutional and Historival Analysis), The University of Chicago Press, Chicago

Harun, Refly, Zainal A.M. Husein, dan Bisariyadi, 2004, Menjaga Denyut Konstitusi : Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta.

Hadjon, Philipus M., dkk., 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Haryatmoko, 2011, Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Huda, Ni’matul, 2003, Politik Ketatanegaraan Indonesia, FH-UII Press, Yogyakarta

_________, 2007, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

__________, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press, Jakarta

Indra, Muhammad Ridwan, 1998, Kekuasaan Presiden dalam UUD 1945 Sangat Besar, Trisula, Jakarta

Indrayana, Denny, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Penerbit Mizan, Bandung

_________, 2008, Negara antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Isra, Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta

Iver, R.M. Mac, 1926, The Modern State, Oxford University Press, London

Juanda, 2004, Hukum Pemerintah Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung

Page 187: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

187

Kranenburg, R. & W. G. Vegting, 1958, Inleiding in het Nederlands Administratief Recht, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta

Kusnardi, Moh. & Harmaily Ibrahim, 2005, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, Jakarta

Latif, Abdul, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi), Kreasi Total Media, Jakarta.

M.D., Moh. Mahfud, 2003, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta

________, 2004, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, UII Press, Jogjakarta

________, 2011, Perdebatan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta.

Manan, Bagir dan Kuntana Magnar, 1993, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung

________, 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah Univ. Padjajaran, Bandung

________, 2003, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta

________, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta

Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1981, Pengantar Perbandingan antar Hukum Tata Negara, CV. Rajawali, Jakarta

________, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung

Marzuki, Laica, 2006, Berjalan-jalan di Ranah Hukum : Pikiran-pikiran Lepas Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,

Mulyosudarmo, Suwoto, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta

Nolledo, Jose N., 2000, The Constitution of The Republic of The Philipine-Explain, National Book Store Quad Alpha Centrum BLDG, Manila-Philipine.

Nurdin, Nurliah, 2012, Komparasi Sistem Preisdensial Indonesia & Amerika Serikat Rivalitas Kekuasaan antara Presiden &Legislatif, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Jakarta

Page 188: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

188

Pieris, John, 2007, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Presiden RI, Pelangi Cendekia, Jakarta

Prodjodikoro, Wirjono, 1970, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta

Ranawijaya, Usep, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia : Dasar-dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta

Rasjidi, Lili dan B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya, Bandung

Riyanto, Astim, 2006, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung

Saleh, M. dan Mukhlish, 2010, Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden (Sebuah Tinjauan Konstitusional), Bina Ilmu Offset, Surabaya.

Sapuan, 2010, Impeachment Presiden, STAIN Press, Purwokerto.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI- Press, Jakarta

_________, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan : Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius Yogyakarta.

Soimin dan Mashuriyanto, 2013, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta

Subawa, I Made, dkk.,., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar

Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni, Setara Press, Malang

Surbakti, A. Ramlan, 1998, Reformasi Kekuasaan Presiden, Grasindo, Jakarta

Thalib, Abdul Rasyid, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Syaifudin, 2007, Kajian terhadap Perubahan UUD 1945 : Studi tentang Sistem Pemerintahan Negara, FH-UII Press, Yogyakarta.

Surakhmad, Winarno, 1985, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik, Tarsito, Bandung.

Yudho, Winarno, dkk., 2005, Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Page 189: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

189

Zoelva, Hamdan, 2005, Impeachment Presiden : Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta.

________, 2011, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

TESIS/DISERTASI:

Chairi, Ellydar, 2005, Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Progam Doktor Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Noor, Nandang Alamsyah Deliar, 2006, Forum Previligiatum dalam Negara Hukum Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung.

Suantra, I Nengah, 2005, Pemberhentian Presiden Republik Indonesia dari Jabatannya Setelah Perubahan UUD 1945, Tesis, Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana

Wasito, Wiwik Budi, 2009, Mekanisme, Wewenang, dan Akibat Hukum Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Tesis, Program Studi Pasca Sarjana Kekhususan Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia.

JURNAL:

Indrastuti, Lusia, 2012, Prosedur Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945, e-Journal Universitas Slamet Riyadi, hal. 18, http://ejournal.unisri.ac.id

INTERNET:

Asshiddiqie, Jimly, Gagasan Negara Hukum Indonesia, http://jimly.com/makalah/namafile/57/ Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 190: pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa

190

Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949.

Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226).

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.