pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa
TRANSCRIPT
1
TESIS
PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DALAM
KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN NEGARA HUKUM DEMOKRATIS DI INDONESIA
PUTU EVA DITAYANI ANTARI
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
2
TESIS
PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL
PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DALAM
KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN
NEGARA HUKUM DEMOKRATIS DI INDONESIA
PUTU EVA DITAYANI ANTARI
NIM : 1190561022
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
3
Lembar Persetujuan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 24 APRIL 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. I Dewa Gde Atmadja, SH., MS Dr. I Dewa Gede Palguna, SH, M.Hum
NIP. 19441231 197302 1 003 NIP.19611224 198803 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana
Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. N.K. Supasti Darmawan, S.H., M.Hum., LLM Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)
NIP. 19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001
4
PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL
PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DALAM
KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN
NEGARA HUKUM DEMOKRATIS DI INDONESIA
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
PUTU EVA DITAYANI ANTARI
NIM : 1190561022
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
5
Tesis Ini Telah Diuji
Pada 7 Mei 2014
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Nomor 1320/UN 14.4/Hk/2014 Tanggal 5 Mei 2014
Ketua : Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S.
Sekretaris : Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.
Anggota : 1. Prof. Dr. I Made Subawa, S.H., M.S.
2. Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.
3. Dr. Marhaendra Wija Atmaja, S.H., M.Hum.
6
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Putu Eva Ditayani Antari
Program studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
Masa Jabatannya dalam Kaitannyan dengan Upaya
Mewujudkan Negara Hukum Demokratis di Indonesia
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia
menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17
Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 21 Maret 2014
Yang menyatakan
Putu Eva Ditayani Antari
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastiastu,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena
atas asung kertha wara nugraha-Nya Tesis dengan judul “Pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya dalam
Kaitannyan dengan Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis di
Indonesia” ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi
dalam menyusun skripsi ini, penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik
tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak
langsung, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. I Dewa Gde Atmadja, SH., MS, selaku Dosen Pembimbing I
yang telah membimbing dalam penyusunan Tesis ini dan juga selaku
Pembimbing Akademik.
2. Bapak Dr. I Dewa Gede Palguna, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II
yang telah membimbing dalam penyusunan Tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD., KEMD., yang nerupakan Rektor
Universitas Udayana.
4. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)., yang merupakan Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
8
5. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., yang merupakan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MH., LL.M., yang merupakan
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
7. Seluruh Pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana
yang telah memberikan pelayanan administrasi selama penulis menempuh
kuliah di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
8. Kedua orang tua penulis, I Wayan Sudita dan Ni Made Suryani, serta adik
semata wayang, Kadek Ria Ditayani Antari, yang telah memberikan
dukungan moril-materiil, semangat, doa, dan kepercayaannya selama proses
pengerjaan Tesis ini hingga selesai.
9. Suami penulis, Ida Bagus Agung Daparhita, S.H., dan putra penulis, Ida
Bagus Putra Mandara Ugracena yang selalu memberikan dukungan,
semangat, pengertian, dan doanya selama proses pengerjaan Tesis ini hingga
selesai.
10. Teman-teman penulis semasa menempuh perkuliahan di Program Pasca
Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, terutama Krisna Sintia,
Dwi Kristiani, Arya Prima, Richa, Evi, serta teman-teman konsentrasi Hukum
Pemerintahan angkatan 2011 dan teman-teman lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebersamaan selama perkuliahan
dan motivasinya dalam penyelesaian tesis ini.
Meskipun Tesis ini telah selesai, namun didalamnya masih jauh dari
sempurna, hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan yang
9
penulis miliki. Maka dari itu diharapkan adanya kritik, saran, bimbingan dan
petunjuk dari semua pihak sehingga dapat melengkapi dan menyempurnakan
Tesis ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak dan semoga Tesis ini dapat diterima serta
bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om.
Denpasar, 14 Januari 2014
Penulis
10
ABSTRAK
Penelitian dalam tesis ini mengkaji mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia pasca dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. Terdapat 2 (dua) permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu berkaitan dengan alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dan model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang dianut di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945. Permasalahan pertama yaitu bahwa definisi perbuatan tercela sebagai salah satu alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden masih menimbukan multitafsir, sehingga perlu dikaji mengenai kriteria dari perbuatan tercela tersebut. Permasalahan kedua yaitu mengenai model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang dianut di Indonesia, terutama dengan adanya peran serta lembaga yudisial yaitu Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden bersama dengan DPR dan MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia dalam UUDNRI 1945 dapat dilihat dalam Pasal 7A dan 7B UUDNRI 1945. Lebih lanjut lagi, hal tersebut diatur pula dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009. Guna menganalisis permasalahan yang dikemukakan maka metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, pendekatan perbandingan, dan pendekatan konseptual. Berdasarkan analisis tersebut maka diperoleh simpulan bahwa perbuatan tercela sebagaimana tercantum dalam Pasal 7A UUDNRI 1945 memiliki makna luas sebagai pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat (norma agama, norma kesopanan, dan norma kesusilaan), pelanggaran hukum pidana lainnya sebagaimana diatur dalam KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana yang diuraikan dalam Pasal 7A UUDNRI 1945, serta pelanggaran hukum lainnya di luar ranah hukum pidana yang tertuang dalam setiap peraturan perundang-undangan, yang dapat merendahkan harkat dan martabat jabatannya. Selanjutnya mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia menganut model impeachment karena pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia merupakan keputusan yang amat ditentukan oleh faktor-faktor politik dalam lembaga perwakilan rakyat (MPR) dan melalui sistem pemungutan suara.
Kata Kunci : Perbuatan Tercela, Model Impeachment, Keputusan Politik
11
ABSTRACT This thesis is a normative legal research that analysing the removal from office of President and/or Vice President in Indonesia after the amendment of UUD 1945. There are two research problems addressed regarding the reason behind the dismissal and dismissal model adopted in Indonesia after the amendment of UUD 1945. First problem, the definition of misconduct as one of the reason of President and/or Vice President dismissal often leads to multiple interpretations, therefore the criteria of misconduct need to be defined. Second problem related to dismissal model adopted in Indonesia, mainly with the involvement of judicial institutions such as Constitutional Court (Mahkamah Konstitusi) along with People’s Consultative Assembly (MPR) and House of Representative (DPR) in the dismissal mechanism. The dismissal mechanism is regulated in Article 7A and 7B UUDNRI 1945 and further in Act No. 24 of 2003 regulating Constitutional Court in conjuction with Act No. 8 of 2011 regulating Amendment of Act No. 24 of 2003 regulating Constitutional Court, Constitutional Court Regulation No. 21 of 2009. Several methodologies are employed to address the research problems such as normative legal study using statute approach, historical approach, comparative approach, and conceptual approach. Based on the study, misconduct as regulated under Article 7A UUDNRI 1945, has broad meaning as violation of norms in the society (religious norms, norms of decency, and moral norms), violation of other criminal law as regulated under KUHP which is not considered as criminal offense under Article 7A UUDNRI 1945, and violation of other laws other than criminal law which is regulated under specified regulation that can degrade the dignity of his/her position. Moreover, dismissal mechanism adopts an Impeachment model because the dismissal of President and/or Vice President of Indonesia is a political decision through People’s Consultative Assembly (MPR) and by means of voting.
Keyword : Misconduct, an Impeachment Model, Political Decision
12
RINGKASAN
Tesis ini merupakan hasil penelitian penulis mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UUDNRI 1945. Hal tersebut penulis tuangkan ke dalam 5 (lima) bab yang terdiri dari bab pendahuluan, bab tinjauan umum, bab pembahasan inti permasalahan yang dituangkan dalam bab ketiga dan keempat, serta bab penutup sebagai bab terakhir yang berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian ini.
Bab I merupakan bagian pendahuluan dari tesis yang memuat permasalahan yang akan dikaji dalam tesis ini, dengan terlebih dahulu akan diuraikan mengenai latar belakang ketertarikan penulis meneliti permasalahan tersebut. Perubahan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia melalui amandemen UUD 1945 bertujuan memperkuat sistem presidensial yang dianut di Indonesia, dan perubahan tersebut memberikan bahasan kajian menarik mengenai alasan-alasan dan model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden berdasarkan UUDNRI 1945. Salah satu alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang disebutkan dalam Pasal 7A UUDNRI 1945 yaitu perbuatan tercela, yang mana definisi dari perbuatan tercela tersebut masih menimbulkan multitafsir karena penjelasan dalam UU MK dan PMK No. 21 Tahun 2009 mendefinisikan perbuatan tercela sebagai perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat jabatannya tentunya belum mampu menafsirkan perbuatan tercela tersebut secara jelas. Selanjutnya adanya peran Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia mengesankan proses peradilan di Mahkamah Konstitusi sebagai forum previligiatum, namun mekanisme politik di DPR dan MPR menunjukkan model impeachment. Oleh karena itu maka model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia sebagaimana diatur UUDNRI 1945 perlu untuk dikaji.
Bab II selanjutnya merupakan bab yang berisi tinjauan umum secara garis besar mengenai inti permasalahan yang akan membantu dalam membangun analisis untuk memperoleh jawaban dari permasalahan yang dikemukakan. Dalam subbab pertama akan terlebih dahulu diuraikan mengenai adanya pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam sistem presidensial, yaitu sebagai bentuk checks and balances atas kekuasaan eksekutif serta mekanisme pertanggungjawaban presiden dan/atau wakil presiden dalam melaksanakan jabatannya. Selanjutnya subbab kedua akan menguraikan doktrin pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen, Konstitusi RIS, UUDS 1950, serta UUDNRI 1945. Pada subbab terakhir diuraikan mengenai pranata pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden sebagai bentuk pertanggungjawaban presiden dan/atau wakil presiden atas kekuasaan yang ada padanya, baik berupa pertanggungjawaban secara politik maupun pertanggungjawaban hukum.
Bab III merupakan bab yang berisi pembahasan terhadap permasalahan pertama dalam penelitian ini yaitu mengenai kriteria perbuatan tercela sebagai alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia. Dalam subbab pertama terlebih dahulu akan diuraikan mengenai konsep perbuatan tercela
13
secara etimologi berdasarkan pengertian yang terdapat dalam UU MK dan PMK No. 21 Tahun 2009, dan secara sosiologis dengan mengaitkannya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu pemahaman konsep perbuatan tercela juga merujuk pada konsep misdemeanors sebagai alasan pemberhentian presiden di Amerika Serikat yang ditafsirkan secara luas dan fleksible. Selanjutnya pada subbab kedua menguraikan hakikat jabatan presiden dan/atau wakil presiden dalam sistem presidensial dengan legitimasi jabatan yang kuat dan kekuasaan yang besar dalam pemerintahan sehingga sering disebut executive heavy. Hakikat jabatan presiden dan/atau wakil presiden tersebut kemudian dikaitkan etika jabatan, sehingga dapat memahami perbuatan tercela dalam kaitannya dengan jabatan merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan etika jabatan atau tidak pantas dilakukan oleh seseorang berkaitan dengan jabatannya. Pada subbab ketiga sebagai subbab terakhir akan diuraikan mengenai kriteria perbuatan tercela sebagai alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia, yaitu sebagai perbuatan yang melanggar norma-norma di masyarakat dan melanggar hukum dalam arti luas yaitu hukum yang terdapat dalam setiap peraturan perundang-undangan, dan bukan hanya pelanggaran hukum pidana semata.
Bab IV merupakan bagian pembahasan terhadap permasalahan mengenai model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang dianut di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945. Oleh karena itu maka pada subbab pertama akan diuraikan mengenai model-model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yaitu model impeachment dan model forum previlegiatum. Impeachment merupakan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden secara politik oleh lembaga perwakilan rakyat, sedangkan forum previligiatum merupakan suatu pengadilan khusus yang dibentuk guna memeriksa, mengadili, dan memutus pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Selanjutnya pada subbab kedua menguraikan model-model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang dipraktikkan di beberapa negara lain yang menganut sistem pemerintahan presidensial yaitu Amerika Serikat, Jerman, Korea Selatan, dan Filiphina. Masing-masing negara tersebut mempraktikkan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden tersendiri sesuai konstitusinya masing-masing, sehingga model pemberhentian presiden dan/atau wakil presidennya pun beragam meski sama-sama menganut sistem pemerintahan presidensial. Berdasarkan uraian di subbab kedua dan ketiga tersebut, akhirnya dalam subbab ketiga dapat dipaparkan model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di aIndonesia yang mengarah pada model impeachment. Hal ini karena pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia merupakan wewenang MPR selaku lembaga perwakilan rakyat dan pengambilan keputusannya dilakukan secara voting yang amat bergantung pada besarnya dukungan politik MPR terhadap presiden dan/atau wakil presiden.
Bab kelima merupakan bab terakhir dan bab penutup yang berisi paparan simpulan dari permasalahan yang dibahas dalam tesis, yang diperoleh dari uraian pada bab-bab terdahulu. Simpulan pertama yaitu bahwa perbuatan tercela sebagaimana tercantum dalam Pasal 7A UUDNRI 1945 memiliki makna luas sebagai pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat (norma
14
agama, norma kesopanan, dan norma kesusilaan), pelanggaran hukum pidana lainnya sebagaimana diatur dalam KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana yang diuraikan dalam Pasal 7A UUD 1945, serta pelanggaran hukum lainnya di luar ranah hukum pidana yang tertuang dalam setiap peraturan perundang-undangan, yang mana pelanggaran tersebut dapat merendahkan harkat dan martabat jabatannya. Selanjutnya simpulan kedua berdasarkan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana diatur UUDNRI 1945 dan dibandingkan dengan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden negara lainnya, maka pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia menunjukkan model impeachment. Selain simpulan, dalam bab penutup ini juga dikemukakan saran agar definisi perbuatan tercela perlu dirumuskan lagi secara jelas dan dituangkan dalam suatu undang-undang agar tidak membuka peluang adanya upaya politisasi terkait alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Kemudian agar dalam mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di MPR sebagai tingkat pengambilan keputusan final lebih memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi secara sungguh-sungguh guna lebih menjaga penerapan sistem pemerintahan presidensial dan prinsip negara hukum.
15
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM ................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................. ii
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN TELAH DIUJI ............................................. iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................... v
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................... vi
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................ ix
HALAMAN ABSTRACT .............................................................................. x
RINGKASAN ................................................................................................. xi
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 11
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 11
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 12
1.5 Orisinalitas Penelitian .................................................................... 13
1.6 Landasan Teoritis ........................................................................... 18
1.6.1 Ajaran Negara Hukum .................................................................. 18
1.6.2 Teori Sistem Pemerintahan ............................................................ 26
1.6.3 Teori Pertanggungjawaban ........................................................... 37
1.7 Metode Penelitian ........................................................................... 42
1.7.1 Jenis Penelitian ............................................................................... 42
1.7.2 Jenis Pendekatan ............................................................................ 43
1.7.3 Sumber Bahan Hukum .................................................................. 44
16
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................ 46
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ...................................................... 47
BAB II PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN
DI INDONESIA .............................................................................. 48
2.1 Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Sistem
Presidensial ..................................................................................... 48
2.2 Doktrin Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
di Indonesia .................................................................................... 61
2.2.1 Sebelum Amandemen UUD 1945 ................................................... 64
2.2.2 Setelah Amandemen UUD 1945 ..................................................... 76
2.3 Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai
Pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden ............ 88
BAB III PERBUATAN TERCELA SEBAGAI ALASAN
PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN
DI INDONESIA ............................................................................ 94
3.1 Konsep Perbuatan Tercela ........................................................... 94
3.2 Perbuatan Tercela dalam Konteks Hakikat Jabatan Presiden
dan/atau Wakil Presiden .............................................................. 101
3.3 Kriteria Perbuatan Tercela sebagai Syarat Pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden .............................................................. 116
BAB IV MODEL PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL
PRESIDEN BERDASARKAN UUD 1945 ................................... 129
4.1 Model-model Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden129
4.1.1 Model Impeachment ..................................................................... 131
4.1.2 Model Forum Previlegiatum ......................................................... 136
17
4.2 Model Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di
Beberapa Negara .......................................................................... 140
4.2.1 Amerika Serikat ........................................................................... 140
4.2.2 Jerman .......................................................................................... 143
4.2.3 Korea Selatan ............................................................................... 146
4.2.4 Filiphina ........................................................................................ 151
4.3 Model Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
di Indonesia ................................................................................... 154
BAB V PENUTUP .................................................................................... 163
5.1 Simpulan ....................................................................................... 163
5.2 Saran-saran .................................................................................. 164
DAFTAR BACAAN ................................................................................... 167
18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Adanya dugaan keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus Bank
Century saat dirinya masih menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia
mengakibatkan timbulnya wacana bahwa kemungkinan akan terjadi proses
pemberhentian kepada Wakil Presiden Boediono dalam masa jabatannya . Apabila
memang mengarah pada pemberhentian Wakil Presiden dalam masa jabatannya,
maka inilah untuk pertama kali pasca amandemen Undang-Undang Dasar Tahun
1945 (sebelum amandemen istilah yang digunakan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 yang disingkat UUD 1945, dan pasca amandemen istilah UUD 1945 diganti
menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
disingkat UUDNRI 1945) pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya akan dilaksanakan. Mekanisme pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden berdasarkan UUDNRI 1945 berbeda dengan
UUD 1945. Salah satu perbedaannya adalah adanya peran serta Mahkamah
Konstitusi di dalamnya bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Oleh karena itu, maka pembahasan
mengenai pranata pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden mengemuka.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sebelum dilaksanakannya
amandemen UUD 1945 setidaknya ada 2 (dua) orang Presiden Republik Indonesia
yang mengalami pemberhentian dalam masa jabatannya, yaitu Ir. Soekarno dan
19
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pemberhentian Presiden Soekarno dalam
masa jabatannya oleh MPRS melalui Sidang Istimewa MPRS Tahun 1967 dengan
Ketetapan MPRS Nomor XXXIII Tahun 1967 karena diduga telah terlibat dengan
Gerakan 30 September 1965. Berbeda dengan alasan pemberhentian Presiden
Abdurrahman Wahid dilakukan oleh MPR pada Tahun 2001, yang disebabkan
Presiden diduga menerima dana bantuan dari Sultan Brunei dan terlibat pencairan
dana Yanatera Bulog.1
Mekanisme pemberhentian kedua Presiden tersebut dalam masa
jabatannya berdasarkan UUD 1945 cenderung mengarah pada unsur-unsur politis
yaitu adanya pertentangan antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Presiden (sengketa
kewenangan antar lembaga negara). Penjelasan UUD 1945 tentang Sistem
Pemerintahan Negara yang menyatakan bahwa kekuasaan negara tertinggi di
tangan MPR, dan Presiden merupakan mandatarisnya sehingga Presiden dipilih,
diangkat, dan diberhentikan oleh MPR. Oleh karena itu maka Presiden harus
tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden UUD 1945 diatur
dalam Tap. MPR Nomor III Tahun 1978 yang menentukan Majelis dapat
memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya karena:
1. atas permintaan sendiri; 2. berhalangan tetap; dan 3. sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan pemberhentian tersebut
harus melalui pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR yang khusus diadakan untuk itu.2
1 Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung., hal. 9. 2 Ibid., hal. 14.
20
Ketentuan di atas oleh Abdul Rasyid Thalib disebut sebagai sistem
pertanggungjawaban masih menimbulkan multitafsir. Satu sisi Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya, pada sisi lainnya Presiden dapat saja
menyatakan dirinya berhenti (pernyataan sepihak) atas permintaan sendiri.
Pemberhentian Ir. Soekarno dan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden
dalam masa jabatannya dilakukan dengan sistem pertanggungjawaban, yang
prosedurnya belum terperinci, tata cara pembuktian yang tidak jelas dan tidak
konsisten, sekaligus dengan dasar-dasar pengambilan keputusan yang tidak tertib.3
Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya kemudian mengalami perubahan pasca amandemen UUD 1945.
Dalam UUDNRI 1945 ketentuan mengenai pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat
(3), Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945. Pasal 3 ayat (3)
UUDNRI 1945 menyatakan bahwa MPR hanya dapat memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Selanjutnya Pasal 7A UUDNRI 1945 menguraikan alasan-alasan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, sedangkan Pasal 7B
UUDNRI 1945 akan menguraikan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Pasal 24C ayat (2) UUDNRI 1945
merupakan dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk berperan serta dalam
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya, yaitu untuk wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
3 Ibid., hal. 15
21
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar
Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya yang sebelum amandemen diatur dalam Tap. MPR Nomor III Tahun
1978, pasca amandemen dirubah berdasarkan ketentuan Pasal 7A UUDNRI 1945
yang menyatakan bahwa:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Berdasarkan rumusan Pasal 7A UUDNRI 1945 tersebut, maka dapat diketahui
bahwa alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila terbukti:
a. melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela lainnya, yang merupakan aspek pidana.
b. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai aspek tata negara dan administratif.4
Ketentuan Pasal 7A kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 7B
UUDNRI 1945 yang pada intinya mengatur mekanisme pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Usul DPR mengenai
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya atas
dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
terlebih dahulu harus dibuktikan dengan cara mengajukan permintaan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan DPR
4 Ibid., hal. 45.
22
tersebut. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan dugaan DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,
maka DPR dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden tersebut kepada MPR. Usulan DPR tersebut kemudian ditanggapi MPR
dengan menyelenggarakan sidang paripurna berkaitan dengan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Dalam sidang tersebut
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberikan kesempatan untuk menyampaikan
penjelasan terlebih dahulu, selanjutnya barulah MPR mengambil keputusan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Berdasarkan ketentuan dalam UUDNRI 1945 yang mengatur mengenai
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, dapat
dilihat masih terdapat permasalahan hukum, yaitu adanya kekaburan norma dalam
Pasal 7A UUD 1945 mengenai alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya. Adanya norma kabur tersebut dapat
menghambat penegakan ajaran negara hukum, karena akan menimbulkan
penafsiran beragam dan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Norma kabur
dalam Pasal 7A UUDNRI 1945 yang dimaksud adalah kriteria perbuatan tercela
yang dapat digunakan sebagai alasan melaksanakan pemberhentian tersebut.
Dalam UUD 1945 tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai apa yang digolongkan
sebagai perbuatan tercela tersebut.
Penjelasan mengenai pengertian perbuatan tercela selanjutnya dinyatakan
dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman
23
Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan
Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (selanjutnya disebut PMK
Nomor 21 Tahun 2009). Dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 PMK Nomor 21
Tahun 2009 dinyatakan bahwa perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat
merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Namun ketentuan
tersebut pun masih belum jelas karena perbuatan yang dapat merendahkan
martabat seseorang sangat beragam ditinjau dari nilai-nilai kesopanan, kesusilaan,
agama, dan sebagainya. Selain itu, perbuatan-perbuatan pidana yang dapat
dipergunakan sebagai alasan Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana diatur Pasal 7A UUD 1945 juga merupakan perbuatan tercela yang
dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu
pengkhianatan negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya.
Sehingga pengertian perbuatan tercela tersebut perlu dipertegas lagi dan
ditentukan kriteria atau batasannya, agar tidak menimbulkan kerancuan dan
permasalahan di kemudian hari.
Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7B UUDNRI 1945, serta merujuk pula pada
Pasal 24C ayat (2) UUDNRI 1945 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya dibandingkan sebelum amandemen UUD 1945. Sebelum amandemen
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
cenderung menunjukkan nuansa politis sehingga mengarah pada model
impeachment. Sedangkan berdasarkan Pasal 7B dan Pasal 24C ayat (2) UUDNRI
24
1945, terdapat mekanisme hukum dan mekanisme politik yang terjadi dalam
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Mekanisme hukum ditunjukkan dengan adanya proses persidangan di Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR mengenai
kebenaran alasan-alasan yang digunakan DPR untuk mengajukan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya ke MPR. Sedangkan
mekanisme politik ditunjukkan dengan proses pengambilan keputusan berkaitan
dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di MPR, yang tidak
terikat pada putusan Mahkamah Konstitusi.
Adanya mekanisme politik dan mekanisme hukum dalam pemakzulan di
Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945 berkaitan pula dengan model
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang
dianut di Indonesia, antara impeachment atau forum previlegiatum. Model
impeachment ditunjukkan dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden diselenggarakan oleh suatu lembaga politik yang mencerminkan wakil
seluruh rakyat, melalui penilaian dan keputusan politik dengan syarat-syarat dan
mekanisme yang ketat. Contoh model impeachment ini dapat dilihat di Amerika
Serikat, dimana pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dilaksanakan
oleh Congress yang merupakan lembaga perwakilan rakyat yang terdiri dari
House of Representative dan Senate. Sementara itu, forum previlegiatum
merupakan model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui
25
lembaga peradilan khusus ketatanegaraan yang pada dasarnya adalah pelanggaran
hukum berat yang ditentukan dalam konstitusi dengan putusan hukum pula.5
Terhadap hal tersebut Mahfud M.D. berpandangan bahwa Indonesia
menganut model campuran antara impeachment dan forum previlegiatum. Hal ini
karena pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dimulai dari
penilaian dan keputusan politik di DPR (impeachment). Setelah itu dilanjutkan ke
pemeriksaan dan putusan hukum oleh Mahkamah Konstitusi (forum
previlegiatum), lalu dikembalikan lagi ke prosedur impeachment di DPR untuk
selanjutnya diteruskan ke MPR. Pada MPR pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden akan diputuskan secara politik. Oleh karena itulah menurut
Mahfud M.D. tepat bila dikatakan UUDNRI 1945 menganut sistem campuran
antara mekanisme impeachment dan forum previlegiatum, yakni dari
impeachment ke forum previlegiatum dan kembali ke impeachment lagi.6
Pandangan yang dikemukakan oleh Mahfud M.D. ini memang ada
benarnya bahwa terdapat model impeachment dan forum previlegiatum dalam
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya berdasarkan ketentuan UUDNRI 1945, namun kurang tepat apabila
dikatakan merupakan campuran dari kedua model tersebut. Apabila ditinjau dari
letak kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya yang berada pada MPR yang merupakan lembaga politis
dan cenderung menunjukkan mekanisme politis, maka lebih cenderung
menunjukkan bahwa Indonesia menganut model impeachment.
5 Moh. Mahfud M.D., 2011, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 143.
6 Ibid., 142-143.
26
Keikutsertaan Mahkamah Konstitusi yang menunjukkan adanya
mekanisme hukum, tidak mempengaruhi pengambilan keputusan akhir mengenai
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang
berada pada MPR. Kewenangan Mahkamah Konstitusi terbatas pada menyatakan
benar atau tidak usulan DPR mengenai alasan mengajukan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya ke MPR. Selain itu
MPR tidak ada kewajiban untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai usul DPR yang digunakan sebagai alasan mengajukan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya ke MPR. Sehingga
dilihat dari kewenangan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya yang berada pada MPR maka mekanisme politis lah yang
cenderung lebih menentukan dalam pemakzulan di Indonesia. Dengan kata lain
menganut model impeachment yang terdapat ciri forum previlegiatum dalam
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
UUDNRI 1945.
Uraian yang telah dikemukakan di awal menunjukkan bahwa mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya pasca
amandemen menjadi topik bahasan yang menarik untuk dikaji dengan adanya
permasalahan hukum terkait norma-norma yang mengatur pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya sebagaimana diatur
dalam UUDNRI 1945. Selain menarik untuk dikaji, berdasarkan uraian di atas
maka bahasan ini juga penting untuk dikaji karena beberapa alasan sebagai
berikut: Pertama, bahwa mekanisme/prosedur pemberhentian yang diatur dalam
27
UUD 1945 berbeda dengan yang diatur dalam UUDNRI 1945, dimana
berdasarkan UUDNRI 1945 pemberhentian telah disertai dengan mekanisme
yang terperinci dan berdasarkan alasan-alasan yang sah menurut hukum setelah
melalui tata cara pembuktian yang jelas dan konsisten di Mahkamah Konstitusi.
Kedua, bahwa dalam ketentuan Pasal 7A UUDNRI 1945 berkaitan dengan alasan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia masih terdapat
kekaburan norma mengenai kriteria perbuatan tercela yang digunakan sebagai
alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kriteria perbuatan
tercela yang dijadikan sebagai alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden perlu diperjelas guna memberikan kepastian hukum dalam rangka
menegakkan ajaran negara hukum di Indonesia. Ketiga, bahwa dalam mekanisme
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia sebagaimana yang
diatur dalam UUD 1945 terdapat mekanisme hukum dan mekanisme politik, yang
berkaitan dengan model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang
dianut apakah impeachment atau forum previlegiatum. Model impeachment
ditunjukkan dengan mekanisme politik yang dilaksanakan di DPR dan MPR,
sedangkan model forum previlegiatum ditunjukkan dengan mekanisme hukum
yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka mekanisme
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden perlu untuk dikaji dan akan
ditulis dalam tesis yang berjudul “PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU
WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DALAM KAITANNYA
28
DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN NEGARA HUKUM DEMOKRATIS DI
INDONESIA.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dikemukakan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apakah kriteria perbuatan tercela yang dijadikan sebagai alasan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945?
2. Bagaimanakah model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya yang dianut di Indonesia berdasarkan UUDNRI
1945?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
memahami mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatan di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945, yang berbeda dengan
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD
1945, terutama dengan adanya peran serta Mahkamah Konstitusi di dalam
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatan
di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945.
29
b. Tujuan Khusus
Sementara tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:
- Mengetahui dan menganalisis kriteria perbuatan tercela yang dapat
dijadikan alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945 dan
keterkaitannya dengan upaya untuk mewujudkan negara hukum.
- Mengetahui dan menganalisis model pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang dianut dalam mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya di
Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945, serta kesesuaian model yang dianut
dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan negara hukum.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memberi
masukan yang dirasa bermanfaat guna pengembangan studi hukum
ketatanegaraan, khususnya mengenai mekanisme atau proses pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya berdasarkan mekanisme
yang telah ditetapkan dalam UUDNRI 1945. Pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya berdasarkan UUDNRI 1945 melibatkan 3
(tiga) lembaga negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), dan Mahkamah Konstitusi. MPR merupakan lembaga
negara yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan pemberhentian presiden
30
dan/atau wakil presiden berdasarkan atas usul DPR. Usul DPR ini sebelumnya
telah dimohonkan kebenaran alasan untuk melaksanakan pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden kepada Mahkamah Konstitusi.
b. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis penelitian ini tidak hanya ditujukan kepada penulis
sendiri, tetapi juga kepada institusi dan masyarakat, khususnya mahasiswa
fakultas hukum dalam mempelajari hukum ketatanegaraan sehingga mampu lebih
peka terhadap masalah-masalah ketatanegaraan yang terjadi dan mampu
menganalisisnya guna memberikan masukan pendapat bagi permasalahan
tersebut.
Bagi institusi, penelitian ini bermanfaat guna memberikan sumbangan
bagi pengembangan studi di bidang Hukum Tata Negara, khususnya yang terkait
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia berdasarkan UUD
1945. Bagi penulis sendiri, penelitian ini dirasa bermanfaat membantu penulis
dalam memahami proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945, terutama mengenai
alasan/kriteria dan sistem pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya di Indonesia berkaitan dengan upaya mewujudkan negara hukum
dalam sistem pemerintahan presidensial. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian
ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai masukan pengetahuan
berkaitan dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di
Indonesia sebagaimana yang telah diatur dalam UUDNRI 1945.
31
1.5 Orisinalitas Penelitian
Usulan penelitian dalam bidang ilmu hukum yang diajukan penulis
merupakan hasil dari gagasan dan pemikian dari penulis sendiri, berdasarkan
adanya mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945 yang melibatkan 3 (tiga)
lembaga yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), dan Mahkamah Konstitusi. Mekanisme pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden sebagaimana yang diatur dalam UUDNRI 1945
menunjukkan bahwa terdapat mekanisme hukum dan politik yang berlangsung di
dalamnya, yang berkaitan erat dengan model pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden yang dianut antara impeachment atau forum previlegiatum. Selain
membahas mengenai model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang
dianut UUDNRI 1945, juga akan diuraikan mengenai kekaburan norma dalam hal
alasan pemberhentian sebagaimana diatur Pasal 7A UUDNRI 1945 yaitu
mengenai kriteria perbuatan tercela yang dipergunakan sebagai alasan dalam
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Pembahasan kedua
permasalahan juga dikaitkan dengan ajaran negara hukum yang dianut di
Indonesia.
Penelitian tesis ini akan dilakukan penulis melalui penelusuran bahan
hukum, baik berupa peraturan perundangan maupun literatur hukum yang terkait
dengan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini. Bahan hukum
tersebut selanjutnya dikumpulkan dan dianalisis secara mandiri berdasarkan
beberapa landasan teoritis yang dipergunakan dalam penelitian ini. Namun penulis
32
menyadari bahwa terdapat beberapa tulisan ilmiah lain yang memiliki bahasan
hampir sama dengan penelitian ini yaitu berkaitan dengan mekanisme
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, antara lain:
1. Judul Penelitian : Pemakzulan Presiden di Indonesia
Penulis : Hamdan Zoelva (Universitas Padjajaran)
Hal yang dikaji :
- Apakah pemakzulan di Indonesia merupakan proses hukum atau proses
politik?
- Apakah pengaturan serta praktek pemakzulan presiden di Indonesia telah
sejalan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi?
- Apakah proses pemakzulan di Indonesia didasarkan pada pertimbangan
hukum atau pertimbangan nonhukum?
2. Judul Penelitian : Mekanisme, Wewenang, dan Akibat Hukum
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Penulis : Wiwik Budi Wasito (Universitas Indonesia)
Hal yang dikaji :
- Bagaimana mekanisme, wewenang, dan akibat hukum pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia?
33
- Bagaimana sifat putusan Mahkamah Konstitusi dalam hukum
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden?
3. Judul Penelitian : Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Penulis : Agus Trioka Mahendra Putra (Universitas Udayana)
Hal yang dikaji :
- Bagaimanakah pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam
sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia serta perbandingannya
dengan negara lain?
- Bagaimanakah mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 setelah perubahan?
4. Judul Penelitian : Perbandingan Konstitusional Pengaturan
Impeachment Presiden dan Wakil Presiden antara
Republik Indonesia dengan Amerika Serikat dalam
Mewujudkan Demokrasi
Penulis : Harris Fadillah Wildan (Universitas Sebelas Maret)
Hal yang dikaji :
34
- Bagaimanakah persamaan dan perbedaan pengaturan impeachment
Presiden dan Wakil Presiden antara Republik Indonesia dengan Amerika
Serikat ditinjau dari konstitusionalisme?
- Bagaimana seharusnya pengaturan impeachment Presiden dan Wakil
Presiden dalam Konstitusi Republik Indonesia sebagai negara
demokrasi?
Perbedaan tesis ini dengan tulisan-tulisan yang dipaparkan di atas terletak
pada fokus kajiannya, dimana kajian dalam tesis ini berkaitan dengan kriteria dari
perbuatan tercela yang dipergunakan sebagai alasan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden di Indonesia. Selain itu dalam tesis ini juga mengkaji
model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia, antara
impeachment atau forum previlegiatum atau merupakan kombinasi dari kedua
model tersebut. Kedua masalah yang dikaji dalam tesis ini tidak dibahas dalam
tulisan-tulisan lainnya, sehingga tulisan ini murni merupakan hasil pemikiran dan
gagasan dari penulis sendiri.
Tulisan-tulisan diatas antara lain membahas mengenai mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia, perbandingannya
dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di negara
lain, mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sesuai
dengan prinsip demokrasi dan negara hukum yang dianut di Indonesia, serta dasar
pertimbangan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
35
1.6 Landasan Teoritis
1.6.1 Ajaran Negara Hukum
Ajaran negara hukum juga dipergunakan sebagai landasan teoritis yang
relevan dipergunakan dalam penelitian ini. Hal ini karena ajaran negara hukum
merupakan hal yang ingin diwujudkan di Indonesia berdasarkan UUD 1945 sejak
awal kemerdekaan hingga pasca amandemen. Dalam negara hukum, hukum
memiliki kedudukan tertinggi dalam negara sehingga setiap hal dilaksanakan
berdasarkan aturan hukum yang berlaku, termasuk mengenai pemakzulan.
Ajaran negara hukum berkaitan dengan model pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden yang dianut, dipergunakan untuk menentukan hendaknya
model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden mana yang sesuai dengan
ajaran negara hukum tersebut. Selanjutnya ajaran negara hukum juga harus
diwujudkan dalam alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang
diuraikan dalam UUDNRI 1945, dimana harus terdapat kepastian hukum
mengenai alasan untuk dapat mengajukan pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden ke MPR. Seperti diketahui bahwa masih terdapat kekaburan norma
mengenai kriteria perbuatan tercela yang dapat dijadikan alasan pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUDNRI
1945 karena tidak terdapat penjelasan lebih lanjut dalam ketentuan pasal tersebut
mengenai hal yang dimaksud perbuatan tercela. Oleh karena itu dalam rangka
mewujudkan negara hukum di Indonesia perlu untuk dikaji mengenai kriteria
perbuatan tercela yang dapat dijadikan alasan pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden, sehingga dapat menentukan kriteria perbuatan tercela yang dapat
36
dipergunakan sebagai alasan mengajukan pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden dan memberikan kepastian hukum dalam rangka upaya mewujudkan
negara hukum. Oleh karena itu berikut ini akan diuraikan mengenai ajaran negara
hukum, dalam berbagai bentuknya, baik itu Rechtsstaat maupun Rule of Law.
Dalam suatu Negara Hukum diidealkan bahwa yang harus dijadikan
panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik
ataupun ekonomi. Karena itu, istilah yang biasa digunakan di Inggris dan negara-
negara yang menganut sistem hukum Common Law untuk menyebut prinsip
Negara Hukum adalah “the rule of law, not of man” (pemerintahan berdasarkan
hukum, bukan berdasarkan kehendak manusia),7 sehingga pemerintahan yang
berdasarkan atas hukum merupakan pemerintahan yang menjunjung tinggi
supremasi hukum. Hukum ditempatkan sebagai acuan atau patokan tertinggi
dalam penyelengaraan negara dan pemerintahannya, yang sesuai dengan ajaran
kedaulatan hukum yang menempatkan hukum sebagai sumber kedaulatan.
Negara hukum merupakan suatu konsep yang lahir dari adanya
pertentangan terhadap kekuasaan raja yang tirani dan cenderung totaliter. Dalam
negara hukum kekuasaan negara dan politik bukanlah tidak terbatas (tidak
absolut), sehingga perlu dilakukan pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan
dan kekuasaan negara dan politik tersebut. Hal ini semata-mata bertujuan untuk
menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. Pembatasan
terhadap kekuasaan negara dan politik dilakukan dengan jelas dan tidak dapat
dilanggar oleh siapa pun. Oleh karena itu dalam suatu negara hukum, hukum akan 7 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, http://jimly.com/makalah/namafile/57/ Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, diakses tanggal 7 November 2011.
37
memainkan peranan yang penting, serta berada di atas kekuasaan negara dan
politik yang menimbulkan munculnya istilah pemerintah di bawah hukum
(goverment under the law).8 Adapun beberapa istilah yang dikenal untuk
menyebut negara hukum antara lain Rechtstaat (Belanda), Rule of Law (Inggris),
Etat de Droit (Prancis), dan Stato di Doritto (Italia).9
Konsep negara hukum ini serupa dengan pandangan Krabbe yang
mengemukakan istilah souvereiniteit van het recht (kedaulatan hukum) yang
artinya semua harus tunduk pada hukum, baik pemerintah maupun yang
diperintah (rakyat) harus tunduk pada hukum.10 Ajaran kedaulatan hukum
menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum dijadikan sebagai
guiding principle bagi segala aktivitas organ-organ negara, pemerintah, pejabat-
pejabat, beserta rakyatnya. Dengan demikian, negara melalui pemerintahan
ditingkat pusat maupun di tingkat daerah untuk dapat mewujudkan ketertiban
masyarakat memerlukan adanya suatu sistem pengendalian masyarakat, yang
salah satu upayanya adalah melalui hukum.11
Konsep negara hukum pertama kali dikemukakan oleh Plato dengan
menyatakan bahwa sebuah negara haruslah berdasarkan peraturan yang dibuat
rakyat. Pandangan ini kemudian semakin berkembang hingga Immanuel Khan
8 Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung,
hal. 2. 9 Ibid. 10 Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 78. 11 Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya,
Remadja Karya, Bandung, hal. 11.
38
untuk pertama kali mencetuskan konsep Rechtstaat yang memandang negara
sebagai alat perlindungan hak asasi individual.12
Perlindungan terhadap hak-hak asasi individual menjadi esensi dalam
negara hukum karena pada masa itu sistem negara totaliter/diktator sering kali
memperlakukan rakyat dengan semena-mena tanpa memperhatikan harkat,
martabat, dan hak-haknya. Dengan demikian sejak kelahirannya, konsep negara
hukum dimaksudkan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa negara
agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya dan bertindak sewenang-wenang
untuk menindas rakyatnya.13
Konsep negara hukum merupakan hal yang diterapkan oleh banyak
negara-negara modern di masa sekarang, termasuk di Indonesia yang secara
konstitusional diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945. Negara
hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja mengandung pengertian negara yang
berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang
sama di hadapan hukum.14 Munir Fuady berdasarkan sejarah munculnya konsep
negara hukum berpandangan bahwa negara hukum merupakan suatu sistem
kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang
tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut, baik
yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk pada hukum yang sama,
sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang yang
berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional. Lebih
lanjut beliau menyatakan bahwa dalam negara hukum kewenangan pemerintah
12 Abdul Rasyid Thalib, loc. cit. 13 Munir Fuady, op. cit., hal. 2-3. 14 Abdul Rasyid Thalib, op. cit., hal. 44.
39
dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak
bertindak sewennag-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat dan karenanya
kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan perannya secara
demokratis.15
Secara konseptual, istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan
2 (dua) istilah bahasa asing yaitu Rechtstaat dan Rule of Law, namun kedua istilah
tersebut haruslah dibedakan. Rechtstaat merupakan istilah dari bahasa Belanda
yang digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum yang diterapkan di negara-
negara yang menganut civil law system. Istilah Rule of Law berasal dari bahasa
Inggris dan digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum dari nega-negara yang
menganut common law system. Secara konseptual perbedaan antara Rechtstaat
dan Rule of Law adalah bahwa konsep Rechtstaat lahir dari suatu perjuangan
menentang absolutisme, sehingga berwatak revolusioner. Sedangkan Rule of Law
lahir dari yurisprudensi dan perkembangannya bersifat evolusioner.16 Unsur-unsur
Rechtstaat menurut Frederich Julius Stahl terdiri atas 4 (empat) unsur pokok,
yaitu: 17
a. asas legalitas (pemerintahan berdasarkan undang-undang);
b. pembagian kekuasaan;
c. perlindungan hak-hak asasi manusia; dan
d. adanya peradilan administrasi.
15 Munir Fuady, op. cit., hal. 3. 16 I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia
Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang , hal. 157. 17 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, hal. 8-9.
40
Berbeda dengan unsur-unsur Rechtstaat yang dikemukakan di atas,
konsep Rule of Law yang dikemukakan oleh A.V. Dicey memuat 3 (tiga) unsur
yaitu supremacy of law, equality before the law, dan the constitution based on
individual rights.18 Adapun ketiga unsur Rule of Law yang dikemukakan oleh
A.V. Dicey dapat diuraikan sebagai berikut:19
a. supremasi absolut ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau prerogatif penguasa;
b. berlakunya prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law), dimana semua orang harus tunduk kepada hukum dan tidak seorang pun yang berada di atas hukum (above the law).
c. konstitusi merupakan dasar dari segala hukum bagi negara yang bersangkutan. Dalam hal ini hukum yang berdasarkan konstitusi harus melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan rakyat.
Selain unsur-unsur negara hukum yang dikemukakan di atas, baik
berdasarkan Rechtstaat maupun Rule of Law, beberapa prinsip yang harus ada
dalam suatu negara hukum juga dirumuskan berdasarkan hasil konferensi South-
East Asian and Pacific Confrence of Jurist di Bangkok. Adapun prinsip-prinsip
yang harus dipenuhi dalam suatu negara hukum yaitu:20
1. prinsip perlindungan konstitusional terhadap hak-hak individu secara prosedural dan substansial;
2. prinsip badan pengadilan yang bebas dan tidak memihak; 3. prinsip kebebasan menyatakan pendapat; 4. prinsip pemilihan umum yang bebas; 5. prinsip kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi; dan 6. prinsip pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Ajaran negara hukum tidak hanya dapat diklasifikasikan menjadi konsep
Rechtstaat dan Rule of Law, tapi dapat pula dibedakan menjadi negara hukum
18 Astim Riyanto, 2006, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, hal. 256. 19 Munir Fuady, op. cit., hal. 3-4. 20 Astim Riyanto, op. cit., hal. 257
41
formil dan negara hukum materiil. Negara hukum formil sering pula disebut
dengan negara penjaga malam (nachtwakerstaat), sedangkan negara hukum
materiil disebut dengan negara kesejahteraan (welfare state). Konsep negara
hukum yang dianut Indonesia tidaklah dalam artian formal melainkan dalam
artian materiil atau negara kesejahteraan (welfare state). Negara hukum materiil
berarti negara yang pemerintahannya memiliki keleluasaan untuk turut campur
tangan dalam urusan warga dengan dasar bahwa pemerintah ikut bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Negara bersifat aktif dan mandiri dalam
upaya membangun kesejahteraan rakyat.21 Jadi negara tidak hanya berperan dalam
menegakkan hukum apabila terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
warganya, seperti yang terjadi pada negara hukum formil atau yang sering pula
disebut negara penjaga malam (nachtwakerstaat), namun ikut turut campur dalam
urusan dan kepentingan warga negara terutama yang terkait dengan kesejahteraan
warga negara.
Indonesia merupakan negara hukum materiil atau sering diistilahkan
dengan negara kesejahteraan, sehingga negara turut campur tangan dalam segala
urusan warganya guna mencapai kesejahteraan demi membangun masyarakat
yang adil dan makmur. Sebagai negara hukum, Imanuel Kant menyebutkan ada 4
(empat) unsur yang ditetapkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yaitu:
1. perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2. pemisahan kekuasaan;
3. setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas Undang-Undang;
21 Negara Hukum, http://prince-mienu.blogspot.com/2010/01/negara-hukum.html, diakses
tanggal 7 November 2011.
42
4. adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.22
Sri Soemantri Martosoewignjo menyatakan pandangannya mengenai 4
(empat) unsur yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:23
1. pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
2. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia; 3. adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 4. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtsterlijke controle).
Bagir Manan mengemukakan susunan yang sedikit berbeda mengenai
unsur yang harus dipenuhi pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan pada
suatu negara hukum, yaitu:24
1. semua tindakan harus berdasarkan atas hukum; 2. ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya; 3. ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap
masyarakat (badan peradilan yang bebas); 4. ada pembagian kekuasaan.
Berdasarkan ajaran negara hukum yang telah diuraikan diatas dapat
diketahui bahwa ciri ajaran negara hukum yang paling penting, baik dalam bentuk
Rechtsstaat maupun Rule of Law yaitu mengenai supremasi hukum dimana setiap
tindakan haruslah dilaksanakan berdasarkan atas hukum termasuk dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Begitu pula Indonesia yang menyatakan sebagai
negara hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan pada aturan
hukum yang berlaku termasuk dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden harus didasarkan pada alasan-alasan yang sah menurut hukum yang
22 I Made Subawa, dkk.,., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar. 23 Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 29. 24 Bagir Manan, 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah Univ. Padjajaran Bandung, hal. 19.
43
diputus oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan kewenangan atribusi yang
dimiliki.
1.6.2 Teori Sistem Pemerintahan
Teori mengenai sistem pemerintahan ini relevan dipergunakan dalam
penelitian ini. Hal ini karena sistem pemerintahan berkaitan erat dengan hubungan
antara kekuasaan legislatif dan eksekutif, dimana diantara keduanya harus
terdapat checks and balances dalam menjalankan pemerintahan. Bentuk
pengawasan yang dilaksanakan oleh legislatif terhadap penyelenggaraan
pemerintahan oleh eksekutif salah satunya berupa adanya pranata pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden. Hal ini bertujuan agar tidak ada pelanggaran-
pelanggaran oleh eksekutif dalam menyelenggarakan pemerintahan. Apabila
terjadi pelanggaran, maka pranata pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden harus ditempuh berdasarkan mekanisme yang telah diatur dalam
konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keterkaitan sistem pemerintahan dengan pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden juga dinyatakan oleh Hamdan Zoelva, bahwa sistem
pemerintahan dan perimbangan kekuasaan antara cabang kekuasaan negara sangat
menentukan bagi proses pemakzulan di suatu negara. Negara yang menerapkan
sistem pemerintahan parlementer dengan supremasi parlemen, maka
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden lebih menonjolkan alasan-alasan
dan pertanggungjawaban politik dibandingkan alasan perbuatan melanggar
hukum pidana. Sedangkan negara yang menerapkan sistem pemerintahan
44
presidensial, alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden akan lebih
menonjolkan alasan-alasan melanggar hukum pidana daripada semata-mata alasan
kebijakan dan pertanggungjawaban politik.25
Berdasarkan uraian tersebut, maka mengenai sistem pemerintahan yang
dibahas adalah sistem pemerintahan presidensial maupun sistem pemerintahan
parlementer yang banyak diterapkan oleh negara-negara di dunia pada masa
sekarang. Oleh karena itu hendaknya terlebih dahulu diketahui mengenai sistem
pemerintahan presidensial maupun sistem pemerintahan parlementer beserta
dengan karakteristik masing-masing sistem pemerintahan, termasuk mengenai
mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Setelah itu barulah
dikaji mengenai mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di
Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945. Dengan memahami mekanisme
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang diatur dalam UUD 1945
dan mengaitkannya dengan model-model yang ada, akan dapat diketahui model
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang dianut Indonesia
berdasarkan UUD 1945.
Sistem pemerintahan yang terdiri dari 2 (dua) kata yaitu sistem dan
pemerintahan. Dalam kaitannya dengan hukum, Subekti mengemukakan bahwa
suatu sistem adalah suatu susunan atau tataan yang teratur, suatu keseluruhan
yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut
suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan.26
Pengertian pemerintahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Wirjono
25 Hamdan Zoelva, 2011, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 64. 26 Subekti dalam R. Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hal. 67.
45
Prodjodikoro memiliki arti yang amat luas, meliputi semua pengurusan negara
oleh segala alat-alat kenegaraan.27 Pengertian tersebut merujuk pada proses
penyelenggaraan tugas atau urusan pemerintahan. Berdasarkan pengertian sistem
dan pemerintahan yang diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa sistem
pemerintahan merupakan suatu mekanisme kerja penyelenggaraan urusan negara
oleh lembaga-lembaga negara yang satu dengan lainnya saling berkaitan guna
mencapai tujuan negara.
Para ahli hukum juga mengemukakan mengenai pengertian sistem
pemerintahan, antara lain yang dikemukakan oleh Moh. Mahfud M.D. yang
menyatakan bahwa sistem pemerintahan negara adalah mekanisme kerja dan
koordinasi atau hubungan antara ketiga cabang kekuasaan yaitu legislatif,
eksekutif dan yudikatif.28 Jimly Asshiddiqie juga mengemukakan bahwa sistem
pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan
pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.29
Selanjutnya pengertian sistem pemerintahan yang paling tegas dapat dilihat dari
pendapat Usep Ranawijaya yang menyatakan sistem pemerintahan merupakan
sistem hubungan antara eksekutif dan legislatif.30 Dengan demikian, berdasarkan
pandangan yang dikemukakan oleh para ahli hukum diatas dapat disimpulkan
bahwa sistem pemerintahan adalah suatu bentuk hubungan antar lembaga
27 Wirjono Prodjodikoro, 1970, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat,
Jakarta, hal. 62. 28 Moh. Mahfud M.D., 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 74. 29 Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Buana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 311. 30 Usep Ranawijaya, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia : Dasar-dasarnya, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 72.
46
eksekutif dan lembaga legislatif yang menyelenggakan cabang-cabang kekuasaan
negara guna mencapai tujuan negara.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem pemerintahan
pada hakikatnya merupakan relasi antara kekuasaan legislatif dan kekuasaan
eksekutif.31 Terdapat beragam pandangan dari para ahli hukum mengenai jenis-
jenis sistem pemerintahan yang ada, namun sistem pemerintahan yang lazim
diterapkan oleh negara-negara di dunia ada 2 (dua) sistem pemerintahan yaitu
sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Kedua
sistem pemerintahan tersebut menurut Bagir Manan merupakan konsep dasar dari
jenis-jenis sistem pemerintahan.32
Terdapat keberagaman pandangan ahli hukum mengenai jenis-jenis
sistem hukum, misalnya yang dikemukakan oleh Sri Soemantri yang
mengklasifasikan sistem pemerntahan menjadi sistem pemerintahan parlemen,
sistem pemerintahan presidensial, dan sistem pemerintahan campuran.33 Hal
senada dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie yang mengklasifikasikan sistem
pemerintahan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu sistem pemerintahan presidensial, sistem
pemerintahan parlementer, dan sistem pemerintahan campuran (mixed system atau
hybrid system).34 Pengklasifikasian sistem pemerintahan yang lebih variatif
dikemukakan oleh Deny Indrayana yang mengemukakan bahwa terdapat 5 (lima)
sistem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan presidensial, sistem pemerintahan
31 Hanta Yuda A.R., 2010, Presidensialisme Setengah Hati dari Dilema ke Kompromi,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 10. 32 Bagir Manan, 2003, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 14. 33 Sri Soemantri Martosoewignjo, 1981, Pengantar Perbandingan antar Hukum Tata
Negara, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 76-80. 34 Jimly Asshiddiqie, loc. cit.
47
parlementer, sistem pemerintahan monarki, sistem pemerintahan campuran
(hibrid), dan sistem pemerintahan kolegial (collegial system).35 Sebagaimana yang
telah dikemukakan sebelumnya bahwa sistem pemerintahan yang lazim
dipergunakan oleh negara-negara di dunia adalah sistem pemerintahan
presidensial dan sistem pemerintahan parlementer, maka pembahasan selanjutnya
hanya meliputi kedua sistem pemerintahan tersebut.
1. Sistem Pemerintahan Presidensial
Sistem pemerintahan presidensial amat melekat dengan Amerika Serikat
karena Amerika Serikat dipandang sebagai tanah kelahiran dari sistem
pemerintahan presidensial dan merupakan contoh ideal sistem pemerintahan
presidensial sebab memenuhi hampir semua karakteristik (ciri-ciri) yang ada
dalam sistem pemerintahan presidensial. Giovani Sartori mengemukakan bahwa
terdapat 3 (tiga) ciri utama sistem pemerintahan presidensial, yaitu:36
1. kepala pemerintahan (presiden) dipilih secara langsung oleh rakyat untuk
masa jabatan tertentu;
2. dalam masa jabatannya presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen;
3. presiden memimpin secara langsung pemerintahan yang dibentuknya.
Ciri-ciri penting sistem pemerintahan presidensial lainnya juga
dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie. Dalam pandangan beliau terdapat 9
(sembilan) ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial, yaitu:37
1. terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif;
35 Deny Indrayana, 2008, Negara antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum Ketatanegaraan,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal 192. 36 Hanta Yuda A.R., op. cit., hal. 13. 37Jimly Asshiddiqie, op. cit., hal. 316.
48
2. presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;
3. kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya; 4. presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai
bawahan yang bertanggung jawab kepadanya; 5. anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif, begitu pula
sebaliknya; 6. presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen; 7. dalam sistem presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi, dan
karena itu pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi; 8. eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat; dan 9. kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer
yang terpusat pada parlemen. Saldi Isra mengemukakan bahwa hampir semua ahli hukum yang
mengemukakan pandangannya mengenai sistem pemerintahan presidensial
menyatakan bahwa salah satu karakteristik sistem pemerintahan presidensial yang
menonjol adalah presiden memiliki fungsi ganda sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan. Selanjutnya karakter sistem pemerintahan presidensial juga
tampak dari pola hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dimana
terdapat pemisahan secara tegas antara kedua lembaga tersebut (clear-cut
separation of power). Dengan adanya pemisahan secara tegas tersebut, maka
dalam sistem pemerintahan presidensial pembentukan pemerintah tidak
tergantung pada proses politik di lembaga legislatif.38
Sistem pemerintahan presidensial merupakan sistem pemerintahan yang
menempatkan fokus kekuasaan terpusat pada lembaga eksekutif (presiden). Dalam
sistem pemerintahan presidensialisme, basis legitimasi presiden bersumber dari
rakyat dan karena itu sistem pemerintahan presidensial ditandai dengan penerapan
sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan
38 Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 39-41.
49
masa jabatan yang tetap (fixed term). Pemilihan presiden dan wakil presiden
secara langsung ini berimplikasi bahwa presiden bertanggung jawab langsung
kepada rakyat. Masa jabatan presiden yang tetap bertujuan agar presiden yang
dipilih secara langsung oleh rakyat itu tidak mudah dijatuhkan oleh lembaga
legislatif. Konsekuensinya adalah proses pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden dari jabatannya hanya bisa dilakukan melalui proses peradilan. Selain itu,
posisi lembaga eksekutif (presiden dan wakil presiden) sejajar dengan posisi
lembaga legislatif yang bertujuan agar kedua lembaga tersebut bersifat mandiri
dan dapat melaksanakan mekanisme checks and balances dalam pemerintahan.39
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi kuat karena
memegang kekuasaan tertinggi pemerintahan eksekutif serta berkedudukan
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan (single chief executive).
Kedudukan presiden dan wakil presiden sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan adalah menyatu dan merupakan institusi tunggal. Oleh karena itu
presiden dan wakil presiden harus dipilih dalam satu paket pasangan calon
presiden dan wakil presiden. Meskipun presiden dan wakil presiden merupakan
institusi tunggal, tanggung jawab eksekutif tertinggi tetap berada di tangan
presiden dan memiliki hak prerogatif untuk membentuk pemerintahan (kabinet),
serta berwenang mengangkat dan memberhentikan para menteri kabinet.40 Posisi
presiden sebagai single chief executive menurut Deny Indrayana menyebabkan
rentang kekuasaan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial tidak hanya
39 Hanta Yuda A.R., op. cit., hal. 10-12. 40 Deny Indrayana dalam Hanta Yuda A.R., op. cit., hal. 13.
50
menyentuh wilayah kekuasaan eksekutif, tetapi juga merambah pada fungsi
legislasi serta kewenangan di bidang yudikatif.41
2. Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem pemerintahan parlementer merupakan sistem pemerintahan yang
paling luas diterapkan di seluruh dunia, dan amat melekat dengan Inggris sebagai
tempat kelahiran sistem pemerintahan parlementer.42 Menurut Hendarmin
Ranadireksa, dalam sistem pemerintahan parlementer objek kekuasaan yang
diperebutkan adalah parlemen. Oleh karena itu pemilihan umum parlemen
menjadi sangat penting karena kekuasaan eksekutif hanya mungkin diperoleh
setelah partai kontestan pemilihan umum berhasil meraih kursi mayoritas dalam
parlemen. Apabila tidak ada partai politik yang berhasil memperoleh suatu
mayoritas, maka beberapa partai politik berkoalisi untuk membentuk kabinet.43
Karakteristik utama dalam sistem pemerintahan parlementer ditunjukkan
dengan adanya pemisahan jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan.
Jabatan sebagai kepala negara biasanya memiliki status politik dan berada pada
Presiden atau Raja (pada negara monarki). Jabatan kepala pemerintahan sendiri
biasanya diberikan kepada jabatan lain yang lazim disebut dengan perdana
menteri. Substansi dari adanya pemisahan jabatan ini menegaskan bahwa diatas
kepala pemerintahan masih terdapat institusi lain yaitu kepala negara.44
Karakteristik lainnya dari sistem pemerintahan parlementer juga
ditunjukkan dengan tingginya tingkat ketergantungan lembaga eksekutif kepada
41 Saldi Isra, op. cit., hal. 38. 42 Saldi Isra, op. cit., hal. 26. 43 Saldi Isra, op. cit., hal. 28. 44 Hanta Yuda A.R., op. cit., hal. 10.
51
lembaga legislatif (parlemen).45 Hal ini karena eksekutif tidak dipilih langsung
oleh rakyat, melainkan akan diperoleh setelah partai politik atau gabungan partai
politik memperoleh suara mayoritas dalam parlemen. Oleh karena itu, maka
sumber legitimasi dari lembaga eksekutif berasal dari parlemen. Konsekuensinya
adalah lembaga eksekutif harus bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat di-
impeach oleh parlemen.
Djokosoetono memandang bahwa sistem pemerintahan parlementer
merupakan sistem yang ministeriele verantwoordelijk-heid (menteri bertanggung
jawab kepada parlemen) ditambah overwicht (kekuasaan lebih) pada parlemen.46
Sejalan dengan pandangan tersebut, Miriam Budiarjo menyatakan dalam sistem
pemerintahan parlementer badan eksekutif dan badan legislatif bergantung satu
sama lain. Kabinet sebagai bagian lembaga eksekutif mencerminkan dukungan
dari kekuatan-kekuatan politik dalam parlemen, dan keberlangsungan parlemen
bergantung pada dukungan dari parlemen tersebut. Sifat ketergantungan ini
berbeda-beda dalam praktik di negara satu dan lainnya, namun selalu dicoba
untuk mencapai keseimbangan antara lembaga eksekutif dan legislatif.47
Pandangan Miriam Budiardjo ini juga menunjukkan adanya ketergantungan
lembaga eksekutif terhadap lembaga legislatif dalam sistem pemerintahan
parlementer.
45 Saldi Isra, op. cit., hal. 31. 46 Djokosoetono dalam Saldi Isra, op. cit., hal. 28. 47 Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, hal. 297.
52
Selain karakteristik utama sistem pemerintahan parlementer yang
dikemukakan di atas, karakteristik lainnya dapat dilihat dari 4 (empat) ciri sistem
pemerintahan parlementer yang dikemukakan oleh Mahfud M.D. yaitu:
1. kepala negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, melainkan lebih bersifat sebagai simbol nasional (pemersatu bangsa);
2. pemerintahan diselenggarakan oleh sebuah kabinet yang dipimpin seorang perdana menteri (sebagai kepala pemerintahan);
3. kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi;
4. kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah dari parlemen, karena itu kabinet bergantung pada parlemen.
Jimly Asshiddiqie juga mengemukakan 6 (enam) ciri-ciri sistem
pemerintahan parlemter yaitu:48
1. kabinet dibentuk dan bertanggung jawab kepada parlemen; 2. kabinet dibentuk sebagai satu kesatuan dengan tanggung jawab
kolektif dibawah Perdana Menteri; 3. kabinet mempunyai hak konstitusional untuk membubarkan parlemen
sebelum periode bekerjanya berakhir; 4. setiap anggota kabinet adalah anggota parlemen yang terpilih; 5. kepala pemerintahan (Perdana Menteri) tidak dipilih langsung oleh
rakyat, melainkan hanya dipilih menjadi salah seorang anggota parlemen; dan
6. adanya pemisahan yang tegas antara kepala negara dengan kepala pemerintahan.
Berdasarkan uraian karakteristik sistem pemerintahan yang dikemukakan
di atas, maka dapat diketahui bahwa Indonesia sebagai negara yang menganut
sistem pemerintahan presidensial memposisikan jabatan presiden sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan (single chief executive). Selain itu, jabatan
presiden juga memiliki basis legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh rakyat
dalam masa jabatan yang tetap. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa presiden
48 Jimly Asshiddiqie, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah
(Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara), UI-Press, Jakarta, hal. 59.
53
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, serta tidak dapat dengan mudah dijatuhkan oleh legislatif di tengah masa
jabatannya karena pemerintahan tidak bergantung pada parlemen (lembaga
legislatif) seperti pada sistem pemerintahan parlementer. Meski demikian hal itu
tidak berarti bahwa presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya,
karena pemberhentian presiden dapat dilaksanakan apabila presiden tidak dapat
melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya dengan baik, tidak dapat
mempertanggungjawabkannya, melakukan pelanggaran hukum, serta alasan-
alasan lainnya yang ditentukan dalam konstitusi.
Posisi presiden yang kuat sebagai single chief executive dengan
legitimasi langsung oleh rakyat dan tidak bergantung pada lembaga legislatif,
menurut Hanta Yuda A.R. mengakibatkan proses pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden dari jabatannya hanya bisa dilakukan melalui proses
peradilan. Begitu pula di Indonesia, dimana pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden hanya dapat dilakukan berdasarkan mekanisme dan alasan-alasan
yang sah yang telah ditetapkan dalam UUD 1945, disertai adanya proses peradilan
di Mahkamah Konstitusi. Sehingga, mekanisme pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden presiden tersebut tidak hanya berlangsung di lembaga legislatif
(MPR dan DPR), tetapi juga di lembaga peradilan (Mahkamah Konstitusi).
Usul pemberhentian presiden di tengah masa jabatannya tersebut berasal
dari DPR berdasarkan hak menyatakan pendapat yang dimiliki DPR. Mekanisme
selanjutnya berlangsung di Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan
untuk menyatakan benar usul DPR terkait pemberhentian presiden di tengah masa
54
jabatannya. Apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan usul DPR untuk
memberhentikan presiden di tengah masa jabatannya benar menurut hukum, maka
barulah selanjutnya mekanisme pemakzulan dapat dilanjutkan ke MPR.
Mekanisme di MPR inilah yang nantinya akan menentukan presiden akan
diberhentikan di tengah masa jabatannya atau tidak melalui voting.
1.6.3 Teori Pertanggungjawaban
Teori pertanggungjawaban yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan teori pertanggungjawaban pemerintah dalam rangka
menyelenggarakan pemerintahan. Teori ini merupakan teori yang relevan
dipergunakan pula dalam penelitian ini. Tujuannya adalah untuk mengetahui
pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
kepada MPR dalam Sidang Istimewa berkaitan dengan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Selain itu terjadinya pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden pun pada dasarnya merupakan satu bentuk pertanggungjawaban
Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila melakukan pelanggaran dalam
menyelenggarakan pemerintahan.
Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana yang diatur dalam UUDNRI 1945 mengatur mengenai
pertanggungjawaban Presiden dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan.
Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia memiliki legitimasi kuat karena
dipilih secara langsung oleh rakyat. Apabila terjadi pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka harus
55
dipertanggungjawabkan kepada rakyat selaku pemilihnya. Namun mengingat
Indonesia menganut sistem demokrasi perwakilan, maka pertanggungjawaban
tersebut tidaklah dapat dilakukan secara langsung kepada rakyat melainkan
diwakilkan kepada lembaga MPR yang memiliki kewenangan untuk itu.
Pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut disampaikan
dalam bentuk pidato pertanggungjawaban dalam sidang paripurna MPR. Apabila
pertanggungjawaban tersebut ditolak oleh MPR maka MPR berwenang untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Kranenburg dan Vegting dalam bukunya yang berjudul Inleiding in het
Nederlands Administratief Recht membahas mengenai pertanggungjawaban
pemerintahan yang diistilahkan dengan pertanggungan jawab negara, dari segi
hukum administratif. Untuk menentukan pertanggungjawaban pemerintah, maka
tindakan pemerintah dapat dibedakan menjadi tindakan pemerintah selaku
perseorangan (swasta) dan selaku penguasa.49 Kranenburg menjelaskan
pertanggungjawaban negara dengan menguraikan ostermann-arrest bahwa Pasal
1365 BW berlaku pula bagi semua tindakan negara yang merugikan orang lain.
Kranenburg sependapat dengan hal ini bahwa apabila negara melakukan tindakan
yang melanggar hukum dan menimbulkan kerugian, maka negara wajib memberi
ganti rugi. Namun apabila tindakan pemerintah dalam keadaan luar biasa yang
dapat mengurangi hak orang lain sehingga menimbulkan kerugian, belum tentu
mengharuskan pemerintah untuk bertanggungjawab membayar kerugian. Harus
diperhatikan pula tujuan dari tindakan yang dilakukan pemerintah tersebut.
49 R. Kranenburg & W. G. Vegting, 1958, Inleiding in het Nederlands Administratief Recht,
Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, hal. 124.
56
Tindakan pemerintah yang sewenang-wenang (detournement de pouvoir) dengan
menyalahgunakan kekuasaan dan melangar hak orang lain yang dapat dimitakan
pertanggungjawaban.50 Di Indonesia sendiri pertanggungjawaban pemerintah
dalam hukum administratif diwujudkan dengan adanya Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN), dimana masyarakat dapat menggugat pemerintah yang
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menimbulkan
kerugian.
Dari segi ketatanegaraan, teori pertanggungjawaban pemerintah dapat
diuraikan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Herman Finer. Menurut
Herman Finer, pertanggungjawaban pemerintah merupakan bentuk dari
pemerintahan yang demokratis yang dicontohkannya dengan menyebut Inggris,
Prancis, dan Jerman Barat sebagai pemerintahan yang demokratis. Sedangkan
pemerintahan yang diktator merupakan pemerintahan yang tidak
bertanggungjawab (nonresponsibility) seperti pemerintahan Uni Soviet.51 Herman
Finer mengklasifikasikan pertanggungjawaban pemerintah menjadi 2 yaitu
pertanggungjawaban moral dan pertanggungjawaban politik atau sering pula
disebut pertanggungjawaban sensorial. Menurut Finer pertanggungjawaban moral
merupakan bentuk pertanggungjawaban yang berlaku di negara-negara diktator
seperti Jerman pada masa Adolf Hitler, Italia pada masa Mussolini, ato Rusia di
masa pemerintahan Lenin, Stalin, dan Krushchev, dimana Presiden tidak dapat
dijatuhkan serta memiliki kewenangan tak terbatas. Sedangkan
pertanggungjawaban sensorial sering pula disebut sebagai pertanggungjawaban
50 Ibid., 127-128. 51 Herman Finer, 1962, Major Goverment of Modern Europe, Harper & Row Publisher, New
York, hal. 5.
57
politik dan merupakan pola pertanggungjawaban yang diterapkan di negara
demokratis, dalam teori dan prakteknya. Dalam pertanggungjawaban sensorial
Presiden dapat diberhentikan apabila melakukan pelanggaran hukum terkait
kewenangannya dan pemberhentiannya tersebut merupakan bentuk
pertanggungjawabannya.52
Mac Iver juga mengemukakan pandangannya mengenai teori
pertanggungjawaban pemerintah dalam suatu negara. Mac Iver mengemukakan
bahwa “every modern state, in other words every state in which the will of the
people is active, of necessity attaches responsibility to the powers of
government”.53 Mac Iver mengemukakan bahwa masalah penting berkaitan
dengan pertanggungjawaban pemerintah dalam setiap negara adalah mengenai
kombinasi terbaik antara pertanggungjawaban dan perwakilan (representation).
Politik Inggris dengan sistem pemerintahan parlementer yang dianut melahirkan
sistem pertanggungjawaban tidak langsung (indirect responsibility).54 Dalam
artian perdana menteri sebagai kepala pemerintahan bertanggungjawab kepada
parlemen karena keberlangsungan pemerintahan yang dijalankan oleh perdana
menteri dan kabinetnya amat bergantung pada dukungan parlemen. Parlemen
dapat membubarkan kabinet berdasarkan alasan-alasan politis semata, misalnya
melalui mosi tidak percaya.
Sebaliknya di Amerika Serikat menganut pertanggungjawaban langsung
(direct responsibility) dalam sistem pemerintahan presidensial.55 Presiden selaku
52 Ibid. 53 R.M. Mac Iver, 1926, The Modern State, Oxford University Press, London, hal. 201. 54 Ibid, hal. 206. 55 Ibid.
58
kepala pemerintahan bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui
mekanisme hukum yang telah ditetapkan dalam konstitusi, sehingga posisi
presiden sebagai kepala pemerintahan tidak mudah diberhentikan oleh lembaga
legislatif hanya karena alasan-alasan politis semata. Hal ini karena Presiden
dipilih secara langsung oleh setiap warga negaranya, begitu pula dengan anggota
Konggres, sehingga mempunyai legitimasi kekuasaan dan kedudukan yang sama
serta tidak dapat saling membubarkan. Jadi kedudukan Presiden tidak tergantung
kepada lembaga legislatif sebagaimana dalam negara yang menganut sistem
pemerintahan parlementer, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas mengenai teori pertanggungjawaban, maka
dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pemerintah dalam rangka
kewenangannya untuk menyelenggarakan pemerintahan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. pertanggungjawaban sebagai perbuatan hukum badan atau pejabat yang
berwenang;
2. pertanggungjawaban dilihat dari sistem politik negara, yaitu:
- negara demokrasi menganut pertanggungjawaban politik atau
pertanggungjawaban sensorial;
- negara diktator menganut pertanggungjawaban moral.
3. teori pertanggungjawaban dilihat dari sistem pemerintahan negara, yaitu:
- negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer menerapkan
pertanggungjawaban tidak langsung (indirect responsibility), dimana
kabinet bertanggungjawab kepada parlemen;
59
- negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial menerapkan
pertanggungjawaban langsung (direct responsibility), dimana presiden
bertanggung jawab kepada rakyat selaku konstituennya.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, karena penelitian ini
mengkaji mengenai mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden
di Indonesia, yang di dalamnya masih terdapat kekaburan norma dalam beberapa
ketentuan-ketentuan yang mengatur hal tersebut. Dalam penelitian ini, kekaburan
norma yang dikaji adalah mengenai kriteria perbuatan tercela yang dapat
dijadikan alasan mengajukan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.
Selain itu mengkaji pula mengenai model pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden yang dianut di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945 berdasarkan
adanya mekanisme politis dan hukum yang berperan dalam pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden.
Permasalahan ini dikaji berdasarkan pada teori-teori, asas-asas, dan
norma-norma hukum yang relevan, tanpa mengkaji implementasinya. Hal ini
bersesuaian dengan definisi penelitian hukum normatif yang dikemukakan
Abdulkadir Muhammad, yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis
dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, strktur dan
komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi
pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu Undang-Undang, serta bahasa
60
hukum yang digunakan tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau
implementasinya.56 Soerjono Soekanto menyatakan bahwa jenis penelitian
normatif meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian
sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.57
1.7.2 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian ini sendiri, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, pendekatan perbandingan,
dan pendekatan konseptual. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan karena permasalahan dalam penelitian ini dibahas dengan meneliti,
mendalami, dan menelaah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
mekanisme pemakzulan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UUDNRI
1945 dan ketentuan perundang-undangan lain yang mengaturnya, seperti Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Kemudian menggunakan pendekatan historis karena permasalahan dalam
penelitian ini juga dibahas dengan menelusuri sejarah pembentukan pasal-pasal
dalam UUD 1945 yang mengatur tentang mekanisme pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga
pengaturannya sekarang. Dimana diketahui terdapat perubahan mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebelum dan setelah
dilaksananya amandemen undang-undang dasar. Selanjutnya digunakan
56 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 101.
57 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI- Press, Jakarta, hal. 51.
61
pendekatan perbandingan, dimana permasalahan dalam penelitian ini dikaji
dengan membandingkan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden di Indonesia dengan negara lain yang menganut sistem Presidensial
sebagaimana yang diterapkan di Indonesia, yaitu Amerika Serikat dan Philiphina.
Amerika Serikat dipergunakan sebagai pembanding karena Amerika merupakan
negara yang kerap dipandang sebagai negara asal mula sistem pemerintahan
presidensial serta menjadi patokan dalam penerapan sistem pemerintahan
presidensial negara-negara lain. Sedangkan Philiphina dipilih sebagai pembanding
karena Philiphina menganut pula sistem presidensial, serta Philiphina juga
merupakan negara tetangga di kawasan Asia Tenggara sehingga dirasa memiliki
kesamaan kultur budaya.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual untuk
mendalami dan memahami hakikat yang terkandung dalam konsepsi tentang
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden itu sendiri serta kaitannya
dengan praktik pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia.
Adapun tujuan lainnya untuk mengetahui kriteria alasan-alasan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dan sistem yang dianut dalam kaitannya dengan
upaya mewujudkan negara hukum
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, oleh karena itu
sumber datanya adalah berupa bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier.
62
1. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan
mengikat bagi pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum dan
putusan hakim).58 Dalam hal ini bahan hukum primer yang akan digunakan
adalah UUDNRI 1945, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No.
27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Selain itu menggunakan pula Konstitusi Republik Indonesia Serikat
1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, untuk menelusuri sejarah
pengaturan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia, serta
memperhatikan pula putusan-putusan Mahkamah Konstitusi di negara-negara lain
yang berkaitan dengan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum,
58 Abdulkadir Muhammad, op. cit, hal. 82.
63
dan media cetak atau elektronik).59 Dalam penulisan ini sendiri nantinya akan
digunakan buku literatur yang terkait dengan permasalahan yang dibahas, yaitu
buku literatur mengenai mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945.
3. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-
undang, kamus hukum, dan ensiklopedi).60 Dalam penelitian ini sendiri bahan
hukum tertier yang dipergunakan yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Black
Law Dictionary.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum menurut Winarno Surakhmad disebut
teknik studi dokumentasi dengan menggunakan alat bantu kartu titipan (card
system) berdasarkan pengarang/penulis (subyek maupun tema atau pokok masalah
(obyek).61 Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan menginventaris,
menyusun berdasarkan subyek untuk selanjutnya dikaji dan barulah selanjutnya
diklasifikasi sesuai dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
59 Abdulkadir Muhammad, loc. cit. 60 Abdulkadir Muhammad, loc. cit. 61 Winarno Surakhmad, 1985, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik,
Tarsito, Bandung, hal. 257.
64
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang telah diperoleh, baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder merupakan data kualitatif, yang kemudian diolah
dan dianalisis secara deskriptif sesuai dengan permasalahan yang dibahas.
Sehingga tulisan ini bersifat deskriptif analisis.
65
BAB II
PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN
DI INDONESIA
2.1 Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Sistem
Pemerintahan Presidensial
Sistem pemerintahan secara sederhana dapat diartikan sebagai tata kerja
penyelenggaraan negara guna mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.
Pemahaman lebih mendalam mengenai sistem pemerintahan dapat merujuk pada
pendapat para ahli hukum mengenai definisi sistem pemerintahan, seperti yang
dikemukakan oleh Ismail Sunny yang berpendapat sistem pemerintahan adalah
suatu sistem tertentu yang menjelaskan bagaimana hubungan antara alat-alat
perlengkapan negara yang tertinggi di suatu negara. 62 Sejalan dengan pandangan
tersebut, Jimly Asshiddiqie juga mengemukakan bahwa sistem pemerintahan
berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan
oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.63 Jimly Asshiddiqie
juga mengemukakan bahwa sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu
sistem hubungan antar lembaga-lembaga negara.64 Selanjutnya Moh. Mahfud
M.D. menyatakan bahwa sistem pemerintahan negara adalah mekanisme kerja dan
koordinasi atau hubungan antara ketiga cabang kekuasaan yaitu legislatif,
62 Ismail Sunny dalam Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni,
Setara Press, Malang, hal. 46. 63 Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Buana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 311. 64 Jimly Asshiddiqie dalam Juanda, 2004, Hukum Pemerintah Daerah Pasang Surut
Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, hal. 203.
66
eksekutif dan yudikatif.65 Dari beragam definisi yang dikemukakan para ahli
hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan merupakan satu
kesatuan mekanisme kerja dalam penyelenggaraan urusan negara, yang terdiri dari
lembaga-lembaga negara yang bekerja berdasarkan fungsinya masing-masing
namun tetap saling berkaitan guna mencapai suatu tujuan negara yang telah
disepakati bersama.
Berdasarkan sistem pemerintahan yang diterapkan oleh negara-negara
dunia pada masa sekarang, secara garis besar sistem pemerintahan dapat
dibedakan menjadi sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan
presidensial. Sistem pemerintahan lain di luar kedua sistem pemerintahan tersebut
menurut Mahfud M.D. merupakan sistem campuran (quasi) dari kedua sistem
pemerintahan tersebut, atau ada juga yang menyebut dengan referendum.66 Hal
senada juga dikemukakan oleh Sri Soemantri dan Jimly Asshiddiqie yang
menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) sistem pemerintahan yaitu sistem
pemerintahan presidensial, sistem pemerintahan parlementer, dan sistem
pemerintahan campuran. Meski demikian ada juga pandangan yang menyatakan
bahwa terdapat lebih dari dua jenis sistem pemerintahan, sebagaimana yang
dikemukakan Denny Indrayana bahwa terdapat 5 (lima) sistem pemerintahan
yaitu sistem pemerintahan presidensial, sistem pemerintahan parlementer, sistem
pemerintahan monarki, sistem pemerintahan campuran (hibrid), dan sistem
pemerintahan kolegial (collegial system).67
65 Moh. Mahfud M.D., loc. cit. 66 Moh. Mahfud M.D., op.cit., hal 83-84. 67 Deny Indrayana, loc.cit.
67
Perbedaan yang paling tampak antara sistem pemerintahan parlementer
dan presidensial ditunjukkan dengan jabatan kepala negara dan kepala
pemerintahan. Pada sistem pemerintahan parlementer jabatan sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan berada pada dua lembaga terpisah, sedangkan
sistem pemerintahan presidensial jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan
berada pada lembaga yang sama (biasanya dipegang oleh seoran presiden).
Perbedaan lainnya dari kedua sistem pemerintahan tersebut dapat diketahui
dengan menguraikan karakteristik dari masing-masing sistem pemerintahan
tersebut.
Sistem pemerintahan parlementer merupakan sistem pemerintahan yang
amat lekat dengan sistem pemerintahan yang diterapkan di Inggris yang dianggap
sebagai asal mula dari lahirnya sistem pemerintahan parlementer, dimana jabatan
kepala negara dipegang oleh Raja/Ratu sedangkan jabatan kepala pemerintahan
dipegang oleh seorang Perdana Menteri. Pemisahan jabatan ini menurut Hanta
Yuda A.R. menunjukkan bahwa kedudukan kepala negara lebih tinggi dari kepala
pemerintahan.68 Selain itu karakteristik lain dari sistem pemerintahan parlemen
adalah legitimasi kekuasaan eksekutif yang berasal dari parlemen, artinya kepala
pemerintahan dipilih oleh parlemen dan bukan secara langsung oleh rakyat,
sehingga kepala pemerintahan dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh parlemen.
Oleh karena itu maka dalam sistem pemerintahan parlementer menurut Saldi Isra
tingkat ketergantungan eksekutif pada parlemen sangatlah tinggi.69
68 Hanta Yuda A.R., op.cit., hal. 10. 69 Saldi Isra, op. cit., hal. 31.
68
Selain sistem pemerintahan parlementer, dikenal pula sistem
pemerintahan presidensial yang dibangun berdasarkan teori pemisahan kekuasaan
atau Trias Politica yang dikemukakan oleh Montesquieu.70 Hal ini merupakan
bentuk kebencian dan perlawanan terhadap kekuasaan raja yang absolut yang
memiliki kekuasaan yang besar dan menjanlankan fungsi-fungsi kekuasaan yang
ada dalam suatu negara secara kolektif. Akibat dari kekuasaan raja yang absolut
tersebut pemerintahan dijalankan sesuai keinginan penguasa dan cenderung
bertindak sewenang-wenang terhadap warganya. Oleh karena itu berkembanglah
sistem pemerintahan presidensial yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
pemerintahan yang absolut dalam suatu negara. Dengan adanya pemisahan
kekuasaan dalam suatu negara, maka kekuasaan negara tidak akan terpusat pada
satu tangan melainkan telah dipisah kepada masing-masing cabang kekuasaan
negara yang kedudukannya setara dan tidak ada salah satu cabang kekuasaan yang
melebihi cabang kekuasaan lainnya.
Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, dalam sistem
pemerintahan presidensial jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan
menyatu, sehingga kepala negara sekaligus berfungsi sebagai kepala
pemerintahan. Selanjutnya karakter sistem pemerintahan presidensial juga tampak
dari pola hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dimana terdapat
pemisahan secara tegas antara kedua lembaga tersebut (clear-cut separation of
power). Dengan adanya pemisahan secara tegas tersebut, maka dalam sistem
pemerintahan presidensial pembentukan pemerintah tidak tergantung pada proses
70 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 2005, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, Jakarta, hal. 177.
69
politik di lembaga legislatif.71 Pemisahan lembaga legislatif dan eksekutif juga
disertai dengan kedudukan lembaga legislatif dan eksekutif yang sejajar, sehingga
lembaga legislatif tidak dapat membubarkan lembaga eksekutif dan sebaliknya.
Hal ini berkaitan dengan mekanisme checks and balances yang diterapkan juga
dalam sistem pemerintahan presidensial, sehingga kedua lembaga dapat saling
mengawasi kinerja lembaga lain.
Legitimasi eksekutif yang berkedudukan sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan bersumber dari rakyat, karena dipilih secara langsung oleh
rakyat dalam suatu pemilihan umum. Pemilihan presiden dan wakil presiden
secara langsung ini berimplikasi bahwa presiden bertanggung jawab langsung
kepada rakyat, dan tidak mudah dijatuhkan oleh lembaga legislatif yang
dipandang lebih menjamin stabilitas pemerintahan. Dengan kata lain kedudukan
presiden dalam sistem pemerintahan presidensial sebenarnya tidak mutlak
memerlukan dukungan politik dari parlemen atau lembaga perwakilan rakyat,
karena presiden mendapatkan legitimasi melalui pemilihan langsung oleh rakyat.
Masa jabatan presiden juga telah diatur secara pasti dalam konstitusi, sehingga
tidak dapat digantikan meskipun mendapat dukungan yang minim dari parlemen
atau lembaga perwakilan rakyat.72
Posisi eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensial sangatlah kuat
karena legitimasinya diperoleh langsung dari rakyat serta posisinya sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan yang disebut pula dengan single chief executive.
71 Saldi Isra, op. cit., hal. 39-41. 72 Laica Marzuki, 2006, Berjalan-jalan di Ranah Hukum : Pikiran-pikiran Lepas Prof. Dr. H.
M. Laica Marzuki, S.H., Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 39.
70
Posisi single chief executive ini menurut Deny Indrayana menyebabkan rentang
kekuasaan eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensial tidak hanya
menyentuh wilayah kekuasaan eksekutif semata, namun merambah pula pada
fungsi legislasi serta kewenangan di bidang yudikatif.73
Contoh ideal negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial
adalah Amerika Serikat karena dipandang hampir memenuhi semua ciri-ciri
sistem pemerintahan presidensial. Terdapat 3 (tiga) ciri utama sistem
pemerintahan presidensial yang dikemukakan oleh Giovani Sartori yaitu: 74
4. kepala pemerintahan (presiden) dipilih secara langsung oleh rakyat untuk
masa jabatan tertentu;
5. dalam masa jabatannya presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen;
6. presiden memimpin secara langsung pemerintahan yang dibentuknya.
Bagir Manan sendiri mengemukakan ciri-ciri dari sistem pemerintahan
presidensial yang diperoleh berdasarkan dengan melihat model sistem
pemerintahan Amerika Serikat. Adapun ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial
yang dujemukakan oleh Bagir Manan, yaitu:
1. presiden adalah pemegang kekuasaan tunggal; 2. presiden adalah penyelenggara pemerintahan yang bertanggung jawab,
selain sebagai wewenang konstitusional yang bersifat prerogatif dan biasanya melekat pada jabatan kepala negara;
3. presiden tidak bertanggung jwab kepada badan perwakilan rakyat (kongres), karenanya tidak dapat dikenai mosi tidak percaya oleh kongres;
4. presiden tidak dipilih dan diangkat oleh Kongres, dimana pada praktiknya langsung dipilih oleh rakyat, walaupun secara formal dipilih oleh badan pemilih (electoral college);
73 Saldi Isra, op. cit., hal. 38. 74 Hanta Yuda A.R., op. cit., hal. 13.
71
5. presiden memangku jabatan empat tahun (fixed) dan hanya dapat dipilih untuk dua kali masa jabatan berturut-turut;
6. presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatan melalui impeachment karena melakukan pengkhianatan, menerima suap, melakukan kejahatan berat, dan pelanggaran lainnya.
Sistem pemerintahan presidensial ini pada masa sekarang merupakan
sistem pemerintahan yang banyak diterapkan oleh negara-negara dunia, meskipun
merupakan sistem pemerintahan yang tergolong masih muda dan merupakan
model baru. Kelebihan dari sistem pemerintahan presidensial ini menurut Arend
Lijphart sebagaimana yang dikutip oleh Sulardi, yaitu:75
1. pemerintahan yang stabil, karena presiden tidak mudah dijatuhkan oleh
legislatif;
2. pemilihan kepala negara yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat
dipandang lebih demokratis; dan
3. pemisahan kekuasaan berarti pemerintah yang kekuasaannya dibatasi,
dengan tujuan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan kekuasaan oleh
pemerintah.
Diantara kedua sistem pemerintahan yang telah diuraikan di atas,
terdapat pula sistem gabungan di antaranya yang disebut dengan quasi. Jadi dalam
sistem pemerintahan campuran tersebut akan mengambil sebagian sistem
pemerintahan presidensial dan sebagian lagi merupakan sistem pemerintahan
parlementer. Contoh negara yang menerapkan sistem pemerintahan gabungan ini
adalah Jerman yang menerapkan quasi-parlementer dan Prancis menerapkan
quasi-presidensial.
75 Sulardi, op.cit., hal. 3.
72
Dalam ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial yang telah dikemukakan
diatas disebutkan bahwa salah satu ciri sistem pemerintahan presidensial adalah
kuatnya posisi presiden sebagai single chief executive yang memperoleh
legitimasi langsung dari rakyat. Oleh karena itu maka presiden tidak dapat
dibubarkan oleh legislatif dalam masa jabatannya, dan dalam konstitusi negara
bersangkutan akan memuat pasal yang mengatur mengenai masa jabatan
eksekutif. Meski demikian ciri tersebut tidaklah berlaku mutlak, karena dalam
sistem pemerintahan presidensial dikenal pula pemberhentian presiden di tengah-
tengah masa jabatannya dan merupakan perkecualian dari ciri sistem
pemerintahan presidensial tersebut. Hal tersebut merupakan bentuk sanksi atas
pelanggaran yang dilakukan oleh eksekutif bersangkutan berdasarkan alasan-
alasan pemberhentian yang sah menurut konstitusi.
Pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam sistem
pemerintahan presidensial merupakan pengecualian dari ciri fixed term executive,
sehingga hal ini sering pula disebut dengan klausula pengecualian. Pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden ini berkaitan dengan asas equality before the law
(persamaan di muka hukum), dimana hal ini merupakan bentuk
pertanggungjawaban presiden dan/atau wakil presiden apabila dalam masa
jabatannya terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang diancam
dengan sanksi politik berupa pemberhentian dari jabatannya. Jadi jabatan sebagai
presiden dan/atau wakil presiden tetap mengharuskan ketaatan pada aturan
hukum, sama halnya dengan warga negara lainnya. Selain itu pemberhetian
presiden dan/atau wakil presiden dalam sistem presidensial juga merupakan
73
bentuk implementasi checks and balances dalam pemisahan kekuasaan, dalam hal
ini legislatif (lembaga perwakilan rakyat) melakukan pengawasan atas kinerja
presiden dan/atau wakil presiden (eksekutif) sebagai bentuk perimbangan atas
besarnya kekuasaan eksekutif (executive heavy) dalam sistem presidensial.
Berkenaan dengan hal itu, maka pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden
juga bertujuan untuk menghindari terjadinya ekses dari sistem presidensial itu
sendiri yaitu pemerintahan yang diktator dan otoriter.
Kewenangan untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden
dalam sistem presidensial pada dasarnya merupakan kewenangan dari rakyat
selaku konstituennya. Hal ini karena legitimasi kekuasaan yang ada pada jabatan
presiden dan/atau wakil presiden berasal dari rakyat yang memilihnya secara
langsung, sehingga rakyat pula yang berhak mengambil kembali kekuasaan
tersebut dengan memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa
jabatannya. Kewenangan untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden
selanjutnya atas nama rakyat diselenggarakan oleh lembaga perwakilan rakyat
karena sistem demokrasi yang diterapkan merupakan demokrasi perwakilan. Di
Indonesia sendiri berdasarkan UUD 1945 kewenangan memberhentikan presiden
dan/atau wakil presiden berada pada MPR selaku representasi dari rakyat.
Keanggotaan MPR terdiri dari anggota-anggota DPR sebagai perwakilan politik
dan anggota-anggota DPD sebagai perwakilan daerah.
Mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya pada sistem
pemerintahan presidensial pertama kali diperkenalkan dalam Konstitusi Amerika
Serikat dengan adanya jabatan presiden dalam pemerintahan modern sebagai
74
single chief executive, dan hal tersebut merupakan mekanisme
pertanggungjawaban politik dalam sistem demokrasi.76 Dalam konstitusi Amerika
Serikat mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya dikenal
dengan impeachment, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Article II Section
(4) Konstitusi Amerika Serikat yaitu:
“The President, Vice President and all civil Officers of the United States,
shall be removed from Office on Impeachment for, and conviction of
Treason, Bribery, or other high Crimes and Misdemeanors.”
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa
impeachment di Amerika Serikat dapat terjadi kepada Presiden, Wakil Presiden
ataupun pejabat sipil dengan alasan pengkhianatan, penyuapan, pelanggaran
pidana atau kejahatan berat lainnya. Impeachment merupakan pengawasan
legislatif terhadap eksekutif yang bersifat luar biasa dan bersifat politik dengan
sanksi berupa pemberhentian dari jabatan dan kemungkinan larangan untuk
memegang suatu jabatan. Impeachment dalam pandangan Moris sebagaimana
yang dikutif Hamdan Zoelva merupakan suatu yang mutlak diperlukan dalam
keadaan dan alasan tertentu, terutama untuk menjamin bahwa presiden tidak akan
melakukan perbuatan melawan hukum dalam menyelenggarakan kekuasaannya.77
Pranata impeachment yang diterapkan di Amerika Serikat sendiri
diperoleh dengan mengadopsi praktik impeachment di Inggris yang dikenal sejak
abad ke-14 di Inggris pada masa pemerintahan Edward III. Pada bulan November
1330 untuk pertama kalinya House of Commons yang bertindak sebagai Grand
76 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 29. 77 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 9.
75
Jury melakukan impeachment terhadap Roger Mortimer, Baron of Wigmore ke
VIII, dan lembaga yang memutus perkara tersebut adalah The House of Lord.78
Inggris kemudian mengembangkan impeachment tersebut di Amerika Serikat
sebagai salah satu negara jajahannya pada abad ke 17, hingga akhirnya
impeachment tersebut lebih dikenal di Amerika Serikat. Impeachment pada masa
itu ditujukan untuk memproses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang
berkuasa pada bangsa Inggris dan Amerika Serikat yang mempunyai
kecenderungan menyalahgunakan kekuasaannya sehingga tindakannya tidak
tersentuh pengadilan biasa. Selain itu juga ditujukan untuk menciptakan
mekanisme checks and balances guna membatasi perbuatan-perbuatan penguasa
negara yang menyimpang dan mencederai kepercayaan rakyat.79
Mekanisme impeachment di Amerika Serikat pernah berlangsung
beberapa kali terhadap presiden, senator, dan hakim.80 Adapun presiden yang di-
impeach yaitu Andrew Johnson, Richard Nixon, dan William Jefferson Clinton
(Bill Clinton), namun ketiga presiden Amerika Serikat tersebut tidak ada yang
diberhentikan dalam masa jabatannya akibat proses impeachment tersebut.
Presiden Andrew Johnson yang di-impeach tahun 1868 oleh Konggres tidak
berhasil diberhentikan dari jabatannya karena tidak cukup suara anggota Senat
untuk memberhentikannya. Selanjutnya Presiden Richard Nixon memutuskan
untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden di tengah proses
impeachment, yang disebabkan oleh besarnya tekanan impeachment terhadap
78 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal. 5. 79 Sapuan, 2010, Impeachment Presiden, STAIN Press, Purwokerto, hal. 46. 80 Winarno Yudho, dkk., 2005, Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hal. 37.
76
dirinya. Sedangkan Presiden Bill Clinton yang di-impeach tahun 1999 tidak pula
dapat diberhentikan dari jabatannya, meskipun dalam proses impeachment Bill
Clinton telah terbukti dan mengakui perbuatan tercelanya melakukan pelecehan
seksual kepada Monica Lewinsky. Hal ini karena voting di parlemen tidak
menghendaki impeachment terhadapnya yang ditunjukkan dengan suara Senat
yang tidak cukup untuk memberhentikannya dan karena itu diputuskan bebas oleh
Senat.
Pemberhentian presiden dalam masa jabatannya berkaitan dengan sistem
pemerintahan yang dianut negara bersangkutan, terutama hubungan antara
masing-masing kekuasaan lembaga negara tersebut. Sebagaimana diketahui
bahwa pemberhentian presiden dalam masa jabatannya melibatkan ketiga cabang
kekuasaan negara, sehingga harus pula diperhatikan hubungan antara ketiga
cabang kekuasaan tersebut terutama hubungan antara eksekutif dan legislatif.
Dalam sistem pemerintahan parlementer yang menjunjung supremasi parlemen
dengan tingkat ketergantungan eksekutif yang amat tinggi dengan legislatif, maka
pemberhentian presiden dalam masa jabatannya lebih menonjolkan alasan-alasan
politik dibandingkan alasan-alasan perbuatan melanggar hukum. Contohnya
adanya pertentangan pendapat antara eksekutif dan legislatif yang menimbulkan
mosi tidak percaya dan dapat dipergunakan untuk melakukan pemberhentian
dalam masa jabatannya. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial
dimana antara presiden dan legislatif memiliki kedudukan yang sama kuat, maka
presiden tidak dapat diberhentikan dari jabatannya oleh legislatif berdasarkan
77
alasan-alasan politik melainkan harus berdasarkan adanya pelanggaran hukum
yang jelas sebagaimana yang diatur dalam konstitusi.81
Berdasarkan uraian tersebut maka pemberhentian presiden dalam sistem
pemerintahan presidensial merupakan bentuk mekanisme checks and balances
dalam pemisahan kekuasaan suatu negara. Hal ini merupakan wujud nyata
pengawasan lembaga legislatif terhadap jalannya pemerintahan yang dilaksanakan
oleh presiden, untuk menghindari terjadinya kekuasaan presiden yang absolut
yang menimbulkan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan sewenang-
wenang. Selain sebagai bentuk pengawasan dalam rangka checks and balances,
pemberhentian presiden juga merupakan bentuk pembatasan terhadap kekuasaan
yang ada pada presiden.
Selanjutnya pemberhentian presiden dalam sistem pemerintahan
presidensial juga merupakan bentuk pertanggungjawaban presiden atas perbuatan
melanggar hukum dan bukan atas dasar alasan politik semata. Dalam konstitusi
negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial telah diatur mengenai
alasan-alasan yang harus dipenuhi untuk dapat memberhentikan presiden dari
masa jabatannya. Jadi harus ada alasan hukum yang jelas dan mekanisme yang
diatur dalam konstitusi untuk dapat memberhentikan presiden dalam masa
jabatannya. Hal ini mengingat pemberhentian presiden dalam sistem
pemerintahan presidensial merupakan perkecualian dari ciri masa jabatan presiden
yang diatur secara tetap (fix term) dalam konstitusi sebagai upaya untuk menjamin
stabilitas jalannya pemerintahan.
81 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 64-65.
78
2.2 Doktrin Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar dalam suatu negara merupakan
suatu keharusan, karena hal tersebut merupakan dokumen yang dijadikan
pedoman yang mengatur lembaga-lembaga negara dalam menjalankan
pemerintahan, serta memuat pula pengaturan tentang hak asasi manusia (HAM).
E.C.S Wade sebagaimana dikutip Sulardi menyatakan bahwa konstitusi adalah
suatu dokumen yang merupakan kerangka dasar yang menampilkan sanksi hukum
khusus dan prinsip dari fungsi-fungsi lembaga-lembaga pemerintahan negara dan
menyatakan pula prinsip-prinsip yang mengatur cara kerja lembaga lain.82
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar dalam suatu negara mengandung makna
politis, sosiologis, dan yuridis dari suatu negara yang tampak dari klasifikasi
konstitusi menurut Herman Heller yaitu:83
1. konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan;
2. konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah hidup dalam masyarakat; 3. konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang
tertinggi dalam suatu negara. Konstitusi dalam suatu negara menurut Mahfud M.D. pada prinsipnya
berfungsi untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan jaminan atas hak politik
rakyat, kekuasaan pemerintah diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan
lembaga-lembaga hukum.84 Sedangkan Jimly Asshiddiqie merinci 10 (sepuluh)
fungsi konstitusi dari suatu negara, yaitu:85
82 E.C.S. Wade dalam Sulardi, op.cit., hal 55. 83 Sulardi, op.cit., hal 55-56. 84 Moh. Mahfud M.D., 2003, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
hal. 21. 85 Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekjen
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 33-34.
79
1. sebagai penentu dan pembatas kekuasaan organ negara; 2. sebagai fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara; 3. sebagai pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan warga
negara; 4. sebagai pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara
ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara; 5. sebagai penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan asli
kepada organ negara; 6. Sebagai simbolik pemersatu; 7. Sebagai simbolik rujukan identitas atau keagungan kebangsaan; 8. sebagai simbolik pusat upacara; 9. sebagai sarana pengendalian masyarakat baik dalam arti sempit maupun
arti luas, sosial dan ekonomi; 10. sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat baik dalam arti
sempit maupun luas.
UUD atau Konstitusi sendiri juga merupakan suatu bagian dari
pernyataan kemerdekaan suatu bangsa dan keseriusannya untuk membentuk suatu
pemerintahan yang baru. Selain itu juga merupakan instrumen yang mengatur
mengenai pembagian kekuasaan negara berdasarakan Trias Politica kepada
lembaga-lembaga negara guna menjalankan pemerintahan, sekaligus untuk
mengontrol penggunaan kekuasaan oleh lembaga-lembaga negara. Kewenangan
masing-masing lembaga negara tersebut juga dirinci dalam ketentuan pasal dalam
konstitusi, sebagai bentuk pembatasan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan
oleh lembaga negara dalam menjalankan pemerintahan.
UUD 1945 sendiri sebagai konstitusi Indonesia oleh para pendiri negara
dirancang sebagai hukum dasar, walau dalam penyusunannya terdapat perdebatan
antara Soepomo, Moh. Hatta, Moh. Yamin, dan Soekarno mengenai ide dasar
negara. Selain sebagai hukum dasar, dalam pembukaan UUD 1945 juga termuat
tujuan mulia UUD 1945 yaitu membebaskan rakyat dan bangsa Indonesia dari
kesengsaraan saat berada pada masa jajahan Belanda dan Jepang. Tujuan lainnya
80
juga dirinci dalam alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
UUD 1945 meskipun memiliki tujuan yang mulia, namun dalam
pelaksanaannya dapat ditemukan beberapa permasalahan, yang salah satunya
berkaitan dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan permasalahan dalam
pemberhentian Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid saat
menjabat sebagai presiden, dimana alasan pemberhentian keduanya terkesan
berdasarkan politik semata dibandingkan alasan hukum yaitu adanya perselisihan
antara presiden dengan DPR selaku legislatif. Padahal di Amerika Serikat sebagai
negara yang dipandang sebagai contoh ideal pelaksanaan sistem pemerintahan
presidensial, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya didasarkan pada alasan-alasan hukum dan merupakan bentuk
pertanggungjawaban hukum pidana sebagaiman diatur dalam Article II Section
(4) Konstitusi Amerika Serikat. Oleh karena itu pada amandemen UUD 1945
dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial, pasal yang mengatur
tentang mekanisme mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya juga menjadi fokus perubahan. Jadi pasca amandemen
UUD 1945 terdapat perbedaan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden yang akan dirinci berikutnya.
81
2.2.1 Sebelum Amandemen UUD 1945
Pada masa sebelum amandemen UUD 1945 terdapat 3 (tiga) konstitusi
yang berlaku yaitu UUD 1945 yang berlaku pada 2 periode (18 Agustus 1945 - 27
Desember 1949 dan 5 Juli 1959 hingga amandemen tahun 1999-2000), Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950), dan Undang-
Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959).
Perubahan konstitusi tersebut disebabkan oleh adanya dinamika dalam sistem
pemerintahan yang diterapkan di Indonesia, dimana selain menganut sistem
pemerintahan presidensial Indonesia juga pernah menganut sistem pemerintahan
parlementer, dan dalam masing-masing konstitusi tersebut juga memuat aturan
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang berbeda.
a. UUD 1945 sebelum amandemen
Dalam UUD 1945 sebelum amandemen tidak ditemukan pasal tertentu
yang khusus mengatur tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya. Hal ini karena dalam rapat perumusan UUD 1945 di
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun
dalam rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tidak
membahas mengenai hal tersebut dan lebih fokus dalam menentukan bentuk
negara antara monarki atau republik, hingga akhirnya melalui voting ditentukan
bahwa Indonesia menganut bentuk negara republik.86
Dalam negara berbentuk republik, kedaulatan rakyat dijunjung tinggi dan
rakyat lah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kedaulatan
86 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 84.
82
rakyat ini kemudian diwujudkan ke dalam sistem demokrasi perwakilan yang
dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan
dari seluruh rakyat Indonesia. MPR memegang kekuasaan tertinggi negara karena
kedaulatan yang ada di tangan rakyat oleh UUD 1945 sebelum perubahan
diserahkan sepenuhnya kepada MPR.87 MPR sebagai lembaga tertinggi negara
yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat memiliki kewenangan
menetapkan undang-undang dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN)88 serta memilih presiden dan wakil presiden89.
Presiden yang dipilih oleh MPR diposisikan sebagai mandataris MPR.
Hal tersebut dinyatakan secara jelas dalam penjelasan UUD 1945 tentang Sistem
Pemerintahan Negara yang menyatakan bahwa kekuasaan negara tertinggi di
tangan MPR, dan Presiden merupakan mandatarisnya yang dipilih, diangkat, dan
diberhentikan oleh MPR. Oleh karena itu maka Presiden harus tunduk dan
bertanggung jawab kepada MPR, serta wajib menjalankan putusan-putusan MPR
termasuk harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah
ditetapkan MPR. Gagasan mengenai posisi presiden sebagai mandataris MPR
berasal dari pandangan Soepomo selaku Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-
Undang Dasar yang menyatakan bahwa presiden merupakan penjelmaan
kedaulatan rakyat dalam pelaksanaan pemerintahan sehari-hari.90 Dalam
menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab sepenuhnya
87 Lihat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan. 88 Lihat ketentuan Pasal 3 UUD 1945 sebelum perubahan. 89 Lihat ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan. 90 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 85.
83
berada pada presiden, sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di
bawah MPR.
Presiden dalam menjalankan pemerintahan negara harus bekerja sama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diposisikan neben dengan
presiden. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR dan oleh karenanya
kedudukan presiden juga tidak bergantung pada DPR, begitu pula sebaliknya.
Kedua lembaga ini diposisikan sama kuat yang tidak dapat saling membubarkan
satu dan lainnya. Keberadaan DPR bertujuan untuk mengawasi penyelenggaran
pemerintahan oleh Presiden serta membatasi kekuasaan presiden dalam
menjalankan pemerintahan negara.
Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya tidak diatur dalam Batang Tubuh UUD 1945 sebelum perubahan,
sehingga Winarno Yudho menyatakan hal tersebut sebagai kekosongan konstitusi
(constitutionale vacuum) mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya.91 Namun dalam bagian Penjelasan UUD 1945
sebelum perubahan secara tersirat terdapat ketentuan yang memuat mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Presiden sebagai penyelenggara
pemerintahan negara di bawah MPR harus tunduk terhadap setiap putusan-
putusan MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. Disamping Presiden terdapat
lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang senantiasa mengawasi jalannya
pemerintahan. Apabila DPR berpendapat bahwa Presiden dalam menjalankan
pemerintahan telah melanggar haluan negara yang ditetapkan dalam undang-
91 Winarno Yudho, dkk., op.cit., Jakarta, hal. 42.
84
undang dasar atau garis-garis besar yang ditetapkan MPR, maka MPR dapat
diundang untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa guna meminta
pertanggungjawaban kepada Presiden.
Secara lebih lanjut mekanisme mengenai pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya diatur dalam Ketetapan MPR RI
No. VI/MPR/1973 kemudian diubah dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/1978
tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara
dengan/Antar Lembaga Tinggi Negara dan Ketetapan MPR mengenai Peraturan
Tata Tertib MPR. Dalam Ketetapan MPR tersebut diatur bahwa alasan yang dapat
dipergunakan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu
Presiden dan/atau Wakil Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara.
Ketentuan tersebut dapat dikatakan merupakan norma kabur karena tanpa disertai
penjelasan lebih lanjut mengenai yang dimaksud telah sungguh-sungguh
melanggar haluan negara. Hal ini tentunya menimbulkan penafsirannya beragam
dan cenderung bersifat subyektif bergantung pada pandangan masing-masing
anggota DPR dan MPR.
Hamdan Zoelva merujuk pada Penjelasan UUD 1945 dan berbagai
Ketetapan MPR mengartikan haluan negara sebagai apapun apapun haluan atau
garis-garis yang ditetapkan MPR. Selain itu seluruh pasal dan penjelasan dalam
UUD 1945 yang terkait dengan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab presiden;
Pancasila; Ketetapan MPR; undang-undang; dan seluruh peraturan perundang-
undangan lainnya merupakan haluan negara.92 Jadi presiden dalam melaksanakan
92 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 87.
85
kekuasaannya menjalankan pemerintahn negara harus benar-benar memperhatikan
dan menaati seluruh peraturan perundang-undangan yang merupakan haluan
negara tersebut. Apabila diperoleh indikasi DPR bahwa presiden telah melakukan
suatu pelanggaran terhadap haluan negara, maka hal tersebut dapat dijadikan
sebagai alasan untuk memberhentikan presiden dalam masa jabatannya.
Mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa
jabatannya sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan dan
Ketetapan MPR dimulai dengan adanya dugaan DPR bahwa terdapat pelanggaran
haluan negara yang dilakukan oleh presiden. Selanjutnya DPR berdasarkan
kewenangan yang ada padanya dapat menyampaikan memorandum kepada
presiden sebagai peringatan bahwa telah terjadi pelanggaran haluan negara yang
dilakukannya. Apabila dalam jangka waktu 3 bulan setelah disampaikan
memorandum presiden tidak juga mengindahkannya, maka DPR akan kembali
menyampaikan memorandum kedua. Apabila presiden tidak juga mengindahkan
memorandum kedua DPR 1 bulan setelah disampaikan, maka DPR meminta
kepada MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta
pertanggungjawaban presiden.93
Alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang hanya
didasarkan pada adanya pelanggaran haluan negara tanpa penjelasan lebih lanjut
mengenai bentuk dan rincian pelanggaran haluan negara secara limitatif, maka
pelanggaran haluan negara dapat ditafsirkan sangat luas yang meliputi
pelanggaran terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku baik
93 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 86-88.
86
itu pelanggaran pidana, maupun pelanggaran yang bersifat politik. Pelanggaran
yang bersifat politik inilah yang dijadikan alasan DPR mengajukan permohonan
Sidang Istimewa kepada MPR guna memberhentikan Presiden Abdurrahman
Wahid pada tahun 2001. Pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh Presiden
Abdurrahman Wahid adalah adanya dugaan keterlibatannya dalam skandal
Buloggate dan Bruneigate, pelanggaran Pasal 7 ayat (3) Ketetapan MPR No. VII
Tahun 2000 terkait dengan pengangkatan Kapolri, penolakan untuk hadir
memberikan pertanggungjawaban di MPR, serta menyatakan keadaan darurat
melalui penerbitan Maklumat tanggal 23 Juli 2001 yang didalamnya
menyatakan:94
1. membubarkan MPR dan DPR Republik Indonesia; 2. mengembalikan kedaulatan kepada rakyat dan membentuk Komisi
Pemilihan Umum untuk mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun; dan
3. menyelamatkan gerakan reformasi total dari fraksi Orge Baru dengan cara membubarkan Partai Golkar sementara menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, maka dapat diketahui bahwa
dalam UUD 1945 sebelum perubahan tidak terdapat ketentuan yang mengatur
mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya, baik mekanisme maupun alasan pemberhentiannya. Namun dalam
Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan secara tersirat dapat dijumpai
pengaturan yang menunjukkan bahwa pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden dalam masa jabatannya itu dimungkinkan yaitu melalui adanya
mekanisme pertanggungjawaban presiden kepada MPR. Pertanggungjawaban
94 Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran,
Penerbit Mizan, Bandung, hal. 244-250.
87
Presiden kepada MPR merupakan pertanggungjawaban intern yang dilaksanakan
oleh Presiden selaku mandataris MPR kepada MPR.
Pertanggungjawaban presiden juga merupakan pertanggungjawaban
politik karena sanksi terhadap pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh
presiden adalah berupa pemberhentian dari jabatannya sebagai presiden. Selain itu
keputusan MPR untuk memberhentikan presiden dari jabatannya juga bersifat
sangat subyektif dan didasarkan pada alasan pemberhentian yang penafsirannya
amat luas tanpa disertai adanya mekanisme hukum tertentu. Oleh karena itu maka
pengambilan keputusan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya bersifat
politik semata yang bergantung pada dukungan politik terhadap presiden di MPR.
Seorang presiden dapat melanggengkan jabatannya dengan cara menguasai atau
mendapat dukungan politik penuh dari MPR, sedangkan apabila tidak didukung
oleh MPR maka seorang presiden dapat dengan mudah diberhentikan dari
jabatannya atas dasar alasan yang penafsirannya amat luas. Hal ini juga
menunjukkan adanya ciri sistem pemerintahan parlementer dalam pemberhentian
presiden berdasarkan UUD 1945 sebelum perubahan, yaitu supremasi parlemen
dimana jabatan presiden amat bergantung pada dukungan politik di parlemen. Jadi
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945 sebelum
perubahan merupakan bentuk pertanggungjawaban intern Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada MPR yang telah memilihnya dan memberi mandat kepadanya
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949
88
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) resmi diberlakukan pada
tanggal 27 Desember 1949 dan merupakan hasil kompromi politik dari Konferensi
Meja Bundar yang diselenggarakan setelah Belanda melakukan agresi militer di
Indonesia. KRIS 1949 menganut bentuk negara dan sistem pemerintahan yang
berbeda dengan yang dianut UUD 1945, karena menganut bentuk negara federasi
dan sistem pemerintahan kombinasi presidensiil-parlemen..
Dalam KRIS 1949 dinyatakan bahwa Presiden berkedudukan sebagai
kepala negara yang dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah
daerah-daerah bagian dalam negara Republik Indonesia Serikat. Presiden juga
memiliki kewenangan untuk membentuk kabinet sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 74 KRIS bahwa Presiden harus membuat kesepakatan dengan orang-orang
yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian untuk menunjuk tiga pembentuk
kabinet. Kabinet yang disusun tersebut terdiri dari seorang Perdana Menteri yang
berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, serta menteri-menterinya.
Mengenai pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya, secara
eksplisit tidak ada ketentuan dalam KRIS 1949 yang mengatur mengenai hal
tersebut. Hal yang diatur hanyalah mengenai pemilihan Presiden baru apabila
terjadi pergantian Presiden sebelum habis masa jabatannya karena berhalangan,
berpulang, atau meletakkan jabatannya yaitu dalam Pasal 72 KRIS 1949. Namun
dalam ketentuan Pasal 148 KRIS diatur mengenai suatu peradilan khusus bagi
pejabat negara yang melakukan kejatan atau pelanggaran-pelanggaran lainnya.
Apabila pejabat-pejabat negara, termasuk Presiden melakukan kejahatan dan
89
pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang dilakukan dalam
masa jabatannya maka ia dapat diadili oleh Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat
pertama dan tertinggi. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban
presiden dan pejabat-pejabat negara lainnya hanya terkait dengan
pertanggungjawaban pidana apabila terlibat perkara pidana baik kejahatan
maupun berupa pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lainnya
dalam perundang-undangan yang dilakukan dalam masa jabatannya. Kewenangan
Mahkamah Agung untuk mengadili pada tingkat pertama dan tertinggi atas
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara tersebut,
termasuk presiden itulah yang biasa disebut dengan forum previlegiatum. Proses
peradilan tersebut dapat dilaksanakan pada saat pejabat bersangkutan masih
menjabat maupun setelah berhenti dari jabatannya. Terdapat dua mantan menteri
yang pernah disidang berdasarkan forum previligiatum dalam KRIS 1949 ini yaitu
Sultan Hamid II dan Mr. Djodi Gondokusumo. Dalam putusannya kedua mantan
menteri ini diputus bersalah dan dijatuhi hukuman pidana masing-masing 10
(sepuluh) tahun penjara bagi Sultan Hamid II dan 1 (satu) tahun penjara bagi Mr.
Djodi Gondokusumo.95
Forum previlegiatum sebagaimana yang diatur dalam KRIS 1949 tidak
dapat memberhentikan Presiden ataupun pejabat-pejabat negara lainnya dari
jabatannya. Hal ini karena baik dalam KRIS 1949 maupun peraturan perundang-
undangan lainnya tidak terdapat ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai
95 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 90.
90
apakah Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk memberhentikan Presiden
atau pejabat negara lainnya dari jabatannya apabila terbukti bersalah. Menurut
Nandang Alamsyah Deliarnoor, hal tersebut dapat dipahami mengingat sifat dari
forum previlegiatum sebagai peradilan khusus atas perkara-perkara pidana yang
dilakukan oleh orang-orang tertentu (para pejabat tinggi negara atau pejabat yang
secara khusus ditunjuk menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku),
dan bukan mengenai pemberhentian orang-orang tersebut dari jabatannya. Proses
pemberhentian dari jabatannya tersebut tetap dilakukan melalui mekanisme politik
ataupun aturan birokrasi yang berlaku.96
c. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950
UUDS 1950 merupakan akibat dari adanya keinginan negara-negara
bagian Republik Indonesia Serikat untuk kembali pada bentuk negara kesatuan
dengan sistem pemerintahan kombinasi presidensiil-parlemen. Jabatan kepala
negara dipegang oleh Presiden dengan dibantu oleh Wakil Presiden, sedangkan
jabatan kepala pemerintahan yang melaksanakan pemerintahan sehari-hari
dilaksanakan oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri dengan dibantu menteri-
menteri diangkat oleh Presiden berdasarkan anjuran pembentuk kabinet.
Dalam UUDS 1950, kedudukan kabinet atau masing-masing menteri
dapat diberhentikan melalui mosi tidak percaya oleh DPR sebagai bentuk
pertanggungjawabannya atas kebijakan pemerintahanan yang dibuatnya.
Pertanggungjawaban tersebut dapat dilakukan bersama-sama seluruh kabinet
untuk seluruh kebijakan pemerintah atau masing-masing menteri berdasarkan
96 Nandang Alamsyah Deliarnoor sebagaimana dikutip Hamdan Zoelva, op.cit., hal 91.
91
pada bagian-bagiannya sendiri.97 Perimbangan atas kewenangan DPR tersebut,
maka dalam Pasal 84 UUDS 1950 dinyatakan bahwa: “Presiden berhak
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Keputusan Presiden yang menyatakan
pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Dewan
Perwakilan Rakyat baru dalam 30 hari”. Pembubaran terhadap DPR ini dilakukan
apabila DPR dianggap tidak lagi mewakili kehendak rakyat. Sebaliknya jabatan
Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat sebagaimana diatur
dalam Pasal 83 ayat (1) UUD 1950. Apabila Presiden mangkat, berhenti, atau
tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya, maka ia akan
digantikan oleh Wakil Presiden hingga masa jabatannya habis.98
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal dalam UUDS 1950 yang diuraikan di
atas, maka dapat diketahui bahwa jabatan Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat
diganggu gugat sehingga tidak dapat diberhentikan paksa dari jabatannya oleh
DPR. Meski demikian, dalam UUDS 1950 diterapkan pula forum previlegiatum
atau sering pula disebut sistem forum khusus (special legal proceedings)99
sebagaimana yang dianut dalam KRIS 1949 untuk mengadili pelanggaran yang
dilakukan oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya. Hal tersebut
diatur dalam ketentuan Pasal 106 ayat (1) UUDS 1950 yang menyatakan bahwa:
“Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya dimungkinkan
untuk diuji perbuatannya oleh Mahkamah Agung apabila melakukan
perbuatan kejahatan dan pelanggaran jabatan, serta kejahatan dan
pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang.”
97 Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (2) UUDS 1950. 98 Lihat Pasal 48 UUDS 1950. 99 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal. 471.
92
Ketentuan ini menunjukkan bahwa meskipun jabatan Presiden dan Wakil Presiden
tidak dapat diganggu gugat secara politik, namun dengan adanya forum
previlegiatum ini Presiden dan Wakil Presiden tetap dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana atas tindakannya melakukan kejahatan dan
pelanggaran jabatan, serta kejahatan dan pelanggaran lain yang diatur dalam
undang-undang.
Berbeda dengan Presiden dan Wakil Presiden yang jabatannya secara
politik tidak dapat diganggu gugat, menurut UUDS 1950 jabatan Perdana Menteri
dan menteri dapat diberhentikan dalam masa jabatannya melalui prosedur politik
di DPR, meski tidak ada peraturan jelas dan detail mengenai mekanisme tersebut
dalam UUDS 1950. Adapun prosedur politik di DPR yang digunakan untuk
memberhentikan kabinet atau menteri-menteri adalah melalui mosi tidak percaya.
UUDS 1950 ini akhirnya dinyatakan tidak berlaku lagi setelah
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno, dan
menyatakan kembali kepada UUD 1945. Selain itu di dalam Dekrit tersebut juga
dinyatakan mengenai pembubaran Konstituante dan pembentukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang terdiri atas anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan
diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.100
100 Wiwik Budi Wasito, 2009, Mekanisme, Wewenang, dan Akibat Hukum Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Tesis, Program Studi Pasca Sarjana Kekhususan Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 34.
93
2.2.2 Setelah Amandemen UUD 1945
UUD 1945 hasil amandemen menunjukkan perubahan yang amat jelas
berkaitan dengan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di
Indonesia dalam masa jabatannya dibandingkan UUD 1945 sebelum amandemen.
Hal ini karena dalam UUD 1945 telah diatur secara rinci mengenai alasan dan
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya yaitu dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Selain itu,
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya juga
tidak lagi dimonopoli oleh legislatif (MPR dan DPR), tetapi juga melibatkan
kekuasaan yudisial yaitu turut sertanya Mahkamah Konstitusi (MK) dalam
prosesnya. Jadi dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden terdapat
keterlibatan 4 (empat) lembaga negara yaitu Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagai obyeknya, sedangkan MPR, DPR, dan MK merupakan lembaga yang
berperan aktif dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Usulan untuk memunculkan pasal yang mengatur alasan dan mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden telah ada sejak awal
pembahasan amandemen UUD 1945, namun baru dilakukan secara lebih
mendalam pada periode perubahan kedua dan ketiga UUD 1945. Usulan tersebut
dipengaruhi pandangan bahwa pemberhentian Presiden Soekarno dan Presiden
Abdurrahman Wahid yang pernah terjadi dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
merupakan tindakan MPR yang bersifat politis. MPR sebagai lembaga tertinggi
negara memiliki kekuasaan tak terbatas menjadikan pemberhentian Presiden
94
dan/atau Wakil Presiden bersifat subyektif dalam menafsirkan alasan
pemberhentiannya yaitu telah melanggar haluan negara.
Perlunya pengaturan mengenai alasan dan mekanisme pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam UUD 1945 juga merupakan upaya untuk
memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang dianut di Indonesia,
mengingat sebelum amandemen pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
amat tergantung pada MPR seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
Apabila dalam UUD 1945 diatur secara jelas dan rinci mengenai alasan dan
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dipersulit sehingga
mengurangi ketergantungan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden terhadap
MPR serta lebih menjaga stabilitas pemerintahan. Oleh karena itu maka pada
amandemen ketiga disepakati pasal-pasal yang mengatur secara rinci alasan dan
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam UUD 1945.
Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dirinci secara
jelas dalam Pasal 7A UUD 1945 yaitu apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sehingga alasan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat digolongkan menjadi
alasan melanggar hukum dan alasan tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Alasan-alasan melanggar hukum tersebut selanjutnya
95
dapat diklasifikasikan lagi menjadi perbuatan melawan hukum yang termasuk
tindak pidana berat, serta perbuatan tercela.101
Penjelasan atas alasan-alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden tersebut dapat dilihat dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Undang-Undang MK) dan Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam
Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan Pelanggaran
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (PMK No. 21 Tahun 2009).
1. Pengkhianatan terhadap Negara
Pengkhianatan terhadap negara dalam PMK No. 21 Tahun 2009 diartikan
sebagai tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam
undang-undang. Hamdan Zoelva berdasarkan penelitiannya menjelaskan bahwa
pengkhianatan terhadap negara merupakan perbuatan pidana yang dapat
mengancam keamanan negara sebagaimana diatur dalam Titel I Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan perundang-undangan pidana
lainnya, seperti kejahatan terorisme, kejahatan mengenai upaya penyebaran ajaran
komunisme/Maxisme-Leninisme, serta kejahatan yang bertujuan untuk
menghilangkan atau mengubah Pancasila sebagai dasar negara.102 Selain itu dalam
Penjelasan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, tidak mengkhianati negara dijelaskan sebagai tidak
pernah terlibat gerakan separatis, tidak pernah melakukan tindakan yang
101 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 206. 102 Hamdan Zoelva, 2005, Impeachment Presiden : Alasan Tindak Pidana Pemberhentian
Presiden Menurut UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta (selanjutnya disingkat Hamdan Zoelva II), hal. 116.
96
inkonstitusional atau dengan kekerasan untuk mengubah dasar negara, serta tidak
pernah melanggar UUD 1945.103
Pengkhianatan dalam pandangan Wirjono Prodjodikoro, ada 2 macam
pengkhianatan yaitu pengkhianatan intern (hoogveraad) dan pengkhianatan
ekstern (landverraad). Pengkhianatan intern dilakukan dengan tujuan untuk
mengubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang sedang diterapkan
dalam suatu negara, contohnya tindak pidana terhadap kepala negara. Jadi
pengkhianatan intern ini berkaitan dengan keamanan dalam negara (inwendige
veiligheid). Sedangkan pengkhianatan ekstern (landverraad) merupakan
pengkhianatan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keamanan negara
dan hal tersebut berasal dari serangan luar negeri.104
2. Tindak Pidana Korupsi
Korupsi merupakan tindak pidana yang tergolong white-collar crime dan
merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan dikaitkan dengan keuangan. Hal ini
tampak dari definisi korupsi dalam Black Law Dictionary, yaitu perbuatan yang
bertujuan untuk memperoleh keuntungan tidak resmi untuk dirinya sendiri
maupun orang lain atau kelompok dengan cara menyalahgunakan jabatannya.
Penyalahgunaan kekuasaan pejabat sebagai ciri korupsi juga dikemukakan oleh
Huntington yang menyebutkan korupsi sebagai perilaku menyimpang pejabat
103 Lihat Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden. 104 Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikutip oleh Lusia Indrastuti, 2012, Prosedur
Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945, e-Journal Universitas Slamet Riyadi, hal. 18, http://ejournal.unisri.ac.id
97
publik dari norma-norma yang dianut masyarakat guna memperoleh keuntungan
pribadi. 105
Tindak pidana korupsi dalam PMK No. 21 Tahun 2009 didefinisikan
sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam undang-undang. Tindak
pidana korupsi ini telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),
yang didalamnya mendefiniskan korupsi sebagai perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.106 Korupsi dalam UU Tipikor juga diartikan
sebagai perbuatan yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.107
3. Penyuapan
Sama halnya dengan tindak pidana korupsi, penjelasan mengenai tindak
pidana penyuapan dalam PMK No. 21 Tahun 2009 definisinya merujuk pula pada
ketentuan undang-undang. Definisi tindak pidana penyuapan dapat dilihat dalam
Pasal 13 UU Tipikor yang merumuskan tindakan memberi hadiah atau janji
105 Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadillah, 2009, Strategi Pencegahan dan
Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 2. 106 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. 107 Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
98
kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya tersebut.
4. Tindak Pidana Berat Lainnya
Berbeda dengan ketiga alasan pemberhentian Presiden dan Wakil
Presiden yang diuraikan diatas yang definisinya dapat dilihat dalam undang-
undang lainnya, definisi dari tindak pidana berat lainnya secara jelas dimuat
dalam Pasal 1 angka 10 PMK No. 21 Tahun 2009. Dalam ketentuan tersebut
tindak pidana berat lainnya diartikan sebagai tindak pidana yang ancaman
hukumannya berupa pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Jadi kualifikasi
suatu tindak pidana berat yang dapat dijadikan alasan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden dibatasi oleh lamanya masa pidana penjara yang
diancamkan atas perbuatan tersebut.
5. Perbuatan Tercela
PMK No. 21 Tahun 2009 memberikan pembatasan definisi perbuatan
tercela sebagai perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Penjelasan tersebut masih bersifat luas sehingga bisa
menimbulkan penafsiran beragam dan multitafsir. Perbuatan pidana sebagaimana
yang disebut dalam Pasal 7A UUD 1945 juga dapat digolongkan sebagai
perbuatan tercela yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Selain itu perbuatan tercela tersebut dapat pula perbuatan yang
melanggar norma-norma, di luar norma hukum yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat. Oleh karena itu, perbuatan tercela merupakan alasan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang bersifat sangat fleksibel yang apabila
99
disalahgunakan atau dipolitisasi akan menciderai kepastian hukum dalam proses
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
6. Tidak Lagi Memenuhi Syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat-
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka berdasarkan Pasal 7A
UUD 1945 hal tersebut dapat digunakan sebagai alasan untuk mengajukan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Dalam
PMK No. 21 Tahun 2009 dijelaskan bahwa syarat-syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden yang dimaksud adalah syarat-syarat yang ditentukan
dalam Pasal 6 UUD 1945 dan undang-undang yang mengatur lebih lanjut tentang
syarat-syarat Presiden dan/atau Wakil Presiden, seperti undang-undang yang
mengatur pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 7B UUD 1945 kemudian merinci mekanisme yang harus ditempuh
untuk dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dimulai dari
mekanisme di DPR, kemudian berlanjut di MK hingga putusannya disampaikan
kembali ke DPR, selanjutnya barulah mekanisme pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden di MPR yang akan memutuskan apakah Presiden
dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya atau tidak.
Dalam Pasal 7B UUD 1945 tersebut dinyatakan bahwa usul DPR
mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya atas dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden terlebih dahulu harus dibuktikan dengan cara
100
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus dugaan DPR tersebut. Apabila Mahkamah Konstitusi
memutuskan dugaan DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka DPR dapat mengajukan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada MPR. Usulan
DPR tersebut kemudian ditanggapi MPR dengan menyelenggarakan sidang
paripurna berkaitan dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya. Dalam sidang tersebut Presiden dan/atau Wakil Presiden
diberikan kesempatan untuk menyampaikan penjelasan terlebih dahulu,
selanjutnya barulah MPR mengambil keputusan pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7B UUD 1945 yang diuraikan di atas, maka
terdapat peran serta DPR, MPR, dan MK dalam mekanisme pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewenangan yang dimiliki oleh MPR, DPR,
dan MK dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan
kewenangan atributif sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945. Peran serta DPR
dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai lembaga yang
melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) oleh eksekutif di Indonesia.
Fungsi pengawasan dari DPR dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden berkaitan dengan hak menyatakan pendapat yang dimiliki oleh
setiap anggota DPR, sebagaimana diatur dalam Psal 77 ayat (4) huruf c Undang-
101
Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (selanjutnya disingkat UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD).
DPR dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
berkaitan dengan fungsi pengawasan dan hak menyatakan pendapat melakukan
proses penyelidikan apabila ada dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Penyelidikan yang dilakukan oleh DPR tidak
dapat disamakan dengan proses penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan yang
dilakukan pada perkara pidana umumnya. Penyelidikan di DPR dilakukan dengan
membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang bertugas mencari bukti-bukti, meminta
keterangan saksi dan pihak-pihak terkait termasuk membicarakannya dengan
Presiden dalam suatu Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, dan/atau Rapat
Dengar Pendapat Umum.108
Bagaimanapun DPR merupakan lembaga politik sehingga pengambilan
keputusan yang dilakukan berkaitan dengan pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden merupakan keputusan politik pula yang amat bergantung pada
pandangan subyektif dan dukungan terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden.Oleh karena itulah maka diperlukan peran serta MK sebagai lembaga
yudisial yang berwenang memutus kebenaran dugaan DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Putusan yang diambil oleh MK
tersebut diambil dalam perspektif hukum, sehingga dugaan DPR bahwa Presiden
dan/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi
108 Hamdan Zoelva, op.cit., hal 121.
102
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sifatnya politik
akan mendapatkan justifikasi secara hukum kebenarannya. Sehingga pendapat
DPR yang bersifat politis mengenai alasan pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden itu dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dengan
demikian maka Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dengan mudah
diberhentikan dalam masa jabatannya berdasarkan mekanisme politik semata di
DPR dan MPR, sehingga dapat menjamin kestabilan pemerintahan negara dalam
sistem pemerintahan presidensial.
Usulan DPR mengenai dugaan Presiden dan/Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden yang telah mendapat justifikasi hukum melalui putusan
MK selanjutnya akan diteruskan oleh DPR ke MPR sebagai lembaga yang
memiliki kewenangan konstitusional untuk memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden. MPR akan menyelenggarakan Rapat Paripurna yang dihadiri oleh
anggota MPR serta mengundang pula Presiden dan/atau Wakil Presiden guna
memberikan penjelasan atas usul pemberhentiannya. Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat menghadiri Rapat Paripurna MPR ataupun tidak. Dalam Rapat
Paripurna tersebut pula diambil keputusan MPR melalui pengambilan suara
terbanyak yang akan menentukan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dilaksanakan atau tidak. Pengambilan keputusan MPR melalui suara
terbanyak tersebut merupakan proses politik, yang bisa saja tidak sesuai dengan
kepastian hukum yang telah ditentukan melalui putusan MK sebelumnya. Hal ini
bisa saja menciderai kepastian hukum dan konsepsi negara hukum yang dianut
103
Indonesia. Padahal putusan-putusan hakim merupakan putusan yang bersifat
mengatur dan memaksa serta merupakan wujud lain dari hukum selain peraturan
perundang-undangan. Sehingga tepat kiranya apabila putusan MK yang
menyatakan kebenaran usul DPR dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden merupakan putusan yang sifatnya final dan mengikat, artinya putusan
tersebut hendaknya harus diikuti dalam pengambilan keputusan di MPR
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat diketahui bahwa mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945
mengacu pada mekanisme impeachment yang diterapkan di Amerika Serikat,
dimana terdapat mekanisme hukum untuk menentukah keabsahan alasan
impeachment yang dilakukan oleh Mahkamah Agung namun penilaian akhir tetap
dikembalikan ke Senate melalui pengambilan suara terbanyak. Jadi impeachment
di Amerika Serikat menggabungkan mekanisme hukum dan politik seperti halnya
yang diterapkan di Indonesia berdasarkan UUD 1945. Perbedaannya adalah
mekanisme hukum untuk menilai kebenaran usul DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dilaksanakan oleh MK dan bukan oleh
Mahkamah Agung.
MK diberikan kewenangan untuk menilai kebenaran usul DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum guna
membedakan proses peradilannya dengan peradilan pidana atas pelanggaran
hukum yang dilakukan Presiden. Menurut Hobbes Sinaga sebagaimana dikutip
Hamdan Zoelva, kewenangan untuk menilai kebenaran usul DPR bahwa Presiden
104
dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum diserahkan ke MK
karena pelanggaran hukum yang dijadikan alasan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden tersebut bukanlah suatu pelanggaran hukum pidana
biasa. Sedangkan Hamdan Zoelva berpendapat bahwa pelanggaran hukum oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden bukan merupakan tindak pidana yang dapat
dijatuhi pemidanaan, melainkan pelanggaran pasal konstitusi karena terbukti
melakukan perbuatan melawan hukum sehingga kewenangan tersebut diserahkan
ke MK.109 Selain itu juga perlu dipertimbangkan bahwa sanksi atas pelanggaran
hukum yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut bukanlah
pemidanaan melainkan pemberhentian dari jabatannya sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden, sehingga lebih baik diserahkan ke MK dan bukan peradilan
umum (Mahkamah Agung). Lebih lanjut Hamdan Zoelva menambahkan apabila
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden ingin
diadili dalam proses pidana melalui peradilan umum guna mendapat sanksi
pemidanaan, maka hal itu dapat dilakukan setelah Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberhentikan dari jabatannya.110
Adanya mekanisme hukum dan politik dalam mekanisme pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945 bertujuan agar
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak sepenuhnya menjadi
monopoli legislatif (MPR dan DPR) yang mudah untuk dipolitisasi, namun
melibatkan pula lembaga yudisial yaitu MK. Pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945 didasarkan pada adanya pelanggaran
109 Pendapat Hobbes Sinaga dan Hamdan Zoelva dalam Rapat Panitia Ad Hoc I tanggal 18 Oktober 2001 sebagaimana dikutip dalam Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 117.
110 Hamdan Zoelva, loc.cit.
105
hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang sebelumnya
telah dibuktikan melalui persidangan di MK dan mendapatkan justifikasi hukum.
Dengan demikian maka jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
bergantung pada legislatif.
Independensi jabatan presiden juga berkaitan dengan teori pemisahan
kekuasaan yang diterapkan di Indonesia yang disertai mekanisme checks and
balances agar masing-masing cabang kekuasaan negara dapat saling mengawasi
satu sama lain dalam penyelenggaraan pemerintah. Begitu pula pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia merupakan wujud pelaksanaan
checks and balances tersebut, yaitu pengawasan oleh legislatif terhadap jalannya
pemerintahan negara yang diselenggarakan oleh Presiden dan/atau Presiden. Jadi
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden bukan lagi
merupakan bentuk supremasi parlemen atau pertanggungjawaban intern Presiden
selaku mandataris MPR, melainkan merupakan bentuk check and balances dalam
pemisahan kekuasaan.
2.3 Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai
Pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden
Adanya mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
berdasarkan UUD 1945 merupakan bentuk checks and balances yang dilakukan
oleh legislatif (MPR dan DPR) kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selain
itu pemberhentian tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban Presiden
dan/atau Wakil Presiden atas perbuatannya melanggar hukum, namun bukanlah
106
pertanggungjawaban yang sifatnya wajib segaimana yang dilaksanakan sebelum
amandemen UUD 1945 dimana Presiden selaku mandataris MPR wajib untuk
menyampaikan pidato pertanggungjawabannya dalam Rapat Paripurna MPR atas
dugaan Presiden telah melanggar haluan negara. Pidato pertanggungjawaban yang
disampaikan Presiden tersebut akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan
keputusan MPR mengenai pemberhentian Presiden bersangkutan.
Konsepsi pertanggungjawaban sebagaimana dalam UUD 1945 tersebut
kini sudah tidak berlaku lagi berdasarkan UUDNRI 1945, karena tidak ada
kewajiban bagi Presiden untuk menyampaikan pidato pertanggungjawaban di
MPR melainkan diberikan kesempatan untuk menyampaikan penjelasan terkait
alasan pemberhentiannya sebelum pengambilan keputusan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden di MPR. Meski demikian pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden tetap merupakan bentuk pertanggungjawaban
eksekutif dalam arti pertanggungjawaban dengan sanksi terhadap perbuatannya
melanggar hukum. Sanksi yang dijatuhkan atas perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan Presiden dan/atau Wakil Politik merupakan sanksi bersifat politik
berupa pemberhentian dari jabatannya sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pertanggungjawaban dalam sistem pemerintahan negara menurut Bagir
Manan dan Kuntana Magnar merupakan unsur yang penting. Beliau menyatakan
agar setiap jabatan yang disertai kekuasaan hendaknya dilengkapi
pertanggungjawaban sebagai penilaian terhadap pelaksanaan jabatan yang
107
bersangkutan dalam melaksanakan kekuasaan yang diserahkan kepadanya.111
Lebih lanjut Bagir Manan mengemukakan pula bahwa pada negara hukum
demokratis tidak ada jabatan atau pemangku jabatan yang tidak
bertanggungjawab.112 Oleh karena itu maka pemerintahan demokrasi merupakan
pemerintahan yang bertanggungjawab, sebab dalam negara demokrasi modern
terdapat prinsip perwakilan dan pertanggungjawaban (representative and
responsible goverment). Sehingga tidak ada satu kekuasaan pun yang tidak
dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban lembaga negara dapat diklasifikasikan berdasarkan
beberapa kriteria yaitu pengertian, formalitas, dan sifatnya. Berdasarkan
pengertiannya, Harun Al Rasyid mengemukakan tanggung jawab dapat diartikan
luas dan sempit. Tanggung jawab dalam arti luas merupakan tanggung jawab yang
disertai dengan sanksi, sedangkan tanggung jawab dalam arti sempit merupakan
tanggung jawab tanpa sanksi.113
Tanggung jawab juga dapat diklasifikasikan berdasarkan formalitasnya
berdasarkan pandangan yang dikemukakan Joeniarto. Pertanggungjawaban
lembaga-lembaga negara menurut Joeniartho dibedakan menjadi
pertanggungjawaban formal dan pertanggungjawaban non-formal atau sering pula
disebut pertanggungjawaban moral. Pertanggungjawaban formal terdiri dari
pertanggungjawaban ketatanegaraan, administrasi dan hukum administrasi,
111 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1993, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 28. 112 Bagir Manan, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 68. 113 Harun Al Rasjid yang dikutip dalam I Nengah Suantra, 2005, Pemberhentian Presiden
Republik Indonesia dari Jabatannya Setelah Perubahan UUD 1945, Tesis, Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, hal. 39.
108
kepidanaan, serta keperdataan. Sedangkan pertanggungjawaban non-formal atau
pertanggungjawaban moral meliputi pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang
Maha Esa, kepada sesama manusia termasuk kepada dirinya sendiri, serta kepada
nusa, bangsa, dan negara.114
Selanjutnya pertanggungjawaban lembaga negara berdasarkan sifatnya
dikemukakan oleh Soewoto Mulyosudarmo. Menurut beliau pertanggungjawaban
berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi pertanggungjawaban wajib dan
pertanggungjawaban tidak wajib. Pertanggungjawaban wajib merupakan
pertanggungjawaban intern seperti pertanggungjawaban menteri-menteri kepada
Presiden selaku kepala pemerintahan. Sedangkan pertanggungjawaban tidak wajib
merupakan pertanggungjawaban ekstern Presiden kepada rakyatnya secara
langsung sebagai manifestasi pertanggungjawaban moral Presiden kepada rakyat,
dan tidak akan menimbulkan sanksi hukum.115
Pertanggungjawaban lembaga negara dikenal dalam perolehan kekuasaan
secara derivatif. Soewoto Mulyosudarmo mengemukakan perolehan kekuasaan
secara derivatif adalah pelimpahan kuasa, karena dari kekuasaan yang telah ada
dialihkan kepada pihak lain. Dengan demikian, pelimpahan kekuasaan ini adalah
pelimpahan kekuasaan yang diturunkan. Perolehan kekuasaan secara derivatif
dapat dibedakan menjadi delegasi dan mandat. Mengenai delegasi dan mandat
menurut beliau bahwa dengan didelegasikannya suatu wewenang, maka
tanggungjawab sepenuhnya beralih kepada subyek hukum yang lain. Sebaliknya
pada mandat, mandataris hanya bertindak untuk dan atas nama mandans.
114 Joeniarto yang dikutip dalam ibid. 115 Suwoto Mulyosudarmo yang dikutip dalam ibid.
109
Tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada
mandans. Dengan kata lain mandataris pada hakikatnya bukan orang lain dari
mandans. 116
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi dalam
pemerintahannya, sehingga setiap kekuasaan negara harus dapat
dipertanggungjawabkan termasuk kekuasaan presiden. Namun konsep
pertanggungjawaban kekuasaan presiden berdasarkan UUD 1945 berbeda dengan
yang dianut dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Apabila konsep
pertanggungjawaban berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen menganut
pertanggungjawaban wajib yang merupakan pertanggungjawaban intern Presiden
kepada MPRkarena pemerintahan yang telah melanggar haluan negara, dengan
sanksinya yang bersifat politik berupa pemberhentian Presiden dari jabatannya.
Sedangkan konsepsi demikian tidak dikenal lagi karena telah dirubah melalui
amandemen ke-III.
Dalam UUD 1945 pertanggungjawaban presiden tidak bersifat wajib,
tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa presiden wajib menyampaikan pidato
pertanggungjawabannya dalam Rapat Paripurna MPR. Oleh kerena merupakan
pertanggungjawaban yang tidak wajib, maka pertanggungjawabannya merupakan
pertanggungjawaban ekstern langsung kepada rakyat sebagai perwujudan
pertanggungjawaban moral Presiden kepada rakyat yang telah memilihnya.
Pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam UUD 1945
merupakan pertanggungjawabannya atas tindakannya telah melanggar hukum,
116 Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap
Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta, hal. 16-20.
110
yang menurut konstitusi dapat menimbulkan sanksi politik berupa pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Pertanggungjawaban tersebut
merupakan bentuk dari adanya pengawasan terhadap kekuasaan Presiden guna
menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan, dan
pemerintahan otoriter.
111
BAB III
PERBUATAN TERCELA SEBAGAI ALASAN PEMBERHENTIAN
PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA
3.1 Pengertian Perbuatan Tercela
Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diatur
berbagai negara menunjukkan apaling tidak ada 4 (empat) kelompok alasan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu:117
1. alasan politik karena ditolaknya pertanggungjawaban Presiden; 2. alasan pelanggaran hukum tata negara, seperti pelanggaran atas konstitusi
dan peraturan perundang-undangan; 3. alasan terbukti melakukan tindak pidana; dan 4. gabungan dari alasan-alasan tersebut.
Indonesia sendiri menentukan alasan-alasan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 yaitu
apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di
Indonesia termasuk gabungan dari alasan pelanggaran tindak pidana, melakukan
perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden (incapacity).
Penjelasan atas alasan-alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945, diatur dalam Pasal 10 ayat
117 Hamdan Zoelva , op.cit., hal. 38.
112
(3) Undang-Undang MK dan PMK No. 21 Tahun 2009. Definisi atas alasan-
alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang MK maupun PMK No. 21 Tahun 2009 merupakan
definisi yang bersifat sederhana, khususnya berkaitan dengan definisi atas
perbuatan tercela.
Definisi perbuatan tercela dalam Undang-Undang MK maupun PMK No.
21 Tahun 2009 memiliki arti yang luas, umum, abstrak, dan kabur sehingga
menimbulkan multitafsir. Hal ini karena tidak dijelaskan apakah perbuatan tercela
tersebut hanya mencakup tindak pidana lain selain tindak pidana yang telah
disebutkan dan tindak pidana berat, atau perbuatan tercela tersebut mencakup pula
perbuatan lain di luar tindak pidana. Dengan demikian maka perlu dipahami
maksud dari frasa perbuatan tercela sebagai alasan untuk memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden guna memberikan kejelasan dan batasan atas
perbuatan tercela tersebut.
Secara etimologi, definisi perbuatan tercela dapat dilihat dengan
memahami makna dari 2 (dua) kata pembentuknya, yaitu perbuatan dan tercela.
Perbuatan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai
sesuatu yang diperbuat (dilakukan) atau suatu tindakan atau suatu kelakuan atau
suatu tingkah laku. Suatu perbuatan dapat dimaknai secara positif maupun negatif.
Perbuatan positif merupakan suatu tindakan yang memberikan manfaat tidak
hanya bagi dirinya sendiri namun bermanfaat pula bagi orang lain. Sebaliknya
apabila perbuatan dimaknai negatif, maka seringkali dipandang oleh mayoritas
masyarakat sebagai suatu tindakan yang dapat merugikan dirinya sendiri serta
113
orang lain. Selanjutnya kata tercela berasal dari kata cela yang dalam KBBI
dimaknai sebagai sesuatu yang menyebabkan kurang sempurna atau cacat atau
kekuarangan. Kata cela juga dapat dimaknai sebagai aib atau sebagai hinaan,
kecaman, atau kritik. Tercela sendiri selanjutnya dimaknai sebagai hal yang patut
dicela, tidak pantas, dan sebaiknya jangan sampai terulang lagi. Dengan demikian
maka frasa perbuatan tercela secara etimologi dapat dipahami sebagai suatu
tindakan atau perilaku yang tidak pantas atau aib, yang dapat mengakibatkan cacat
pada seseorang sehingga sebaiknya tindakan tersebut jangan sampai terulang lagi.
Secara yuridis, definisi perbuatan tercela termuat dalam Pasal 10 ayat (3)
Undang-Undang MK dan PMK No. 21 Tahun 2009 yang didefinisikan sebagai
perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Penjelasan tersebut tidak dapat memberikan batasan mengenai arti perbuatan
tercela, karena perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945
juga dapat digolongkan sebagai perbuatan tercela. Selain itu apabila dikaitkan
dengan norma-norma yang ada, maka perbuatan tercela dapat berupa pelanggaran
atas norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum.
Perbuatan tercela tersebut dapat pula pelanggaran atas adat istiadat yang dirasa
dapat merendahkan harkat dan martabat seseorang di dalam masyarakat.
Secara sosiologis, kriteria suatu perbuatan tercela dapat diukur dengan
kesesuaian perbuatan tersebut pada norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Tingkah laku seseorang dalam masyarakat perlu diatur guna mengatur perilaku
seseorang dalam bermasyarakat, untuk menciptakan ketertiban dalam
bermasyarakat. Untuk mengatur tingkah laku tersebut muncullah norma-norma,
114
yaitu norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum. Jadi
suatu perbuatan yang tercela harus dilihat dari kesesuaiannya dengan norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Pengertian perbuatan tercela baik dalam Undang-Undang MK dan PMK
No. 21 Tahun 2009 menunjukkan bahwa perbuatan tercela dapat diartikan
beragam dan batasannya juga tidak ditemukan dalam peraturan perundang-
undangan lainnya. Perbuatan tercela dapat pula mencakup pelanggaran hukum
pidana maupun pelanggaran hukum lainnya, serta pelanggaran atas nilai-nilai
agama, moral, kesopanan dan kesusilaan. Hamdan Zoelva juga menambahkan
perbuatan tercela dapat pula berupa pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden
atas kewajiban konstitusional jabatannya asalkan pelanggaran tersebut sedemikian
rupa dapat merendahkan harkat dan martabatnya sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.118 Lebih lanjut Hamdan Zoelva menyatakan bahwa dilihat dari jiwa
rumusan UUD 1945 yang tegas mencantumkan bentuk-bentuk tindak pidana berat
sebagai alasan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka ini
menunjukkan bahwa alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dibatasi pada perbuatan melanggar hukum yang setingkat dengan tindak pidana
berat saja. Perbuatan melanggar hukum tersebut dapat merendahkan harkat dan
martabat dari Presiden dan/atau Wakil Presiden yang berakibat pada
ketidakpercayaan masyarakat pada Presiden dan/atau Wakil Presiden
bersangkutan sehingga akan kehilangan legitimasi rakyat.119
118 Hamdan Zoelva II, op.cit., hal. 116. 119 Hamdan Zoelva II, op.cit., hal. 117.
115
Suatu norma hukum yang kabur tentunya akan menimbulkan beragam
penafsiran yang sudah tentu akan menciderai kepastian hukum yang dijunjung
tinggi dalam suatu negara hukum. Begitu pula dalam hal ini, pengertian perbuatan
tercela yang amat luas dapat dipergunakan sebagai celah untuk memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya secara politik berdasarkan
kekuatan politik yang ada di legislatif. Hal ini tentunya bertentangan dengan
pemikiran awal mengenai perlunya diatur dalam konstitusi alasan-alasan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden guna mencegah upaya politisasi
dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dengan demikian maka
Presiden tidak dengan mudah diberhentikan dari jabatannya dan menjamin masa
jabatan Presiden yang telah ditetapkan dalam konstitusi (fix term), serta
menegakkan hukum dalam mekanime pemberhentian tersebut.
Alasan perbuatan tercela dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Lusia Indrastuti mengadopsi istilah misdemeanors yang dimuat
dalam Konstitusi Amerika Serikat. Article II Section (4) Konstitusi Amerika
Serikat dinyatakan bahwa salah satu alasan untuk memberhentikan Presiden,
Wakil Presiden, dan pejabat sipil yaitu misdemeanors. Kata ini selanjutnya
termuat dalam Pasal 7A UUD 1945 sebagai perbuatan tercela yang menjadi salah
satu alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.120
Pendapat tersebut nampaknya perlu ditelaah lebih lanjut dengan melihat
dari pandangan pembentuk Konstitusi Amerika Serikat yang memahami
misdemeanors, diantaranya mal and corrupt administration, serta neglect of duty
120 Lusia Indrastuti, loc.cit.
116
and misconduct in office (melalaikan kewajiban). Dalam praktik pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden di Amerika Serikat menunjukkan bahwa frasa
high crimes and misdemeanors merujuk pada tindak pidana yang secara langsung
membahayakan negara, termasuk pengkhianatan (treason), penyuapan (bribery),
spionase (espionage), menghalangi proses peradilan pada pengadilan federal
(obstuction of justice in federal proceedings), sabotase atas kekayaan negara
(sabotages on goverment property), dan menggelapkan (embezzling) atau mencuri
(stealing) uang negara.121 Jadi misdemeanors tersebut lebih merujuk kepada
tindak-tindak pidana yang dapat merugikan negara dan perbuatan melalaikan
kewajiban atas jabatannya.
Definisi mengenai misdemeanors juga dapat dilihat dalam Black Law
Dictionary yang menyatakan bahwa misdemeanor is a type of offense that is more
srious than an infraction, yet not legally called a felony. It is generally punishable
by fine or imprisonment of one year or less (misdemeanors adalah suatu kejahatan
yang lebih serius dari pelanggaran, namun secara hukum tidak tergolong dalam
tindak pidana berat. Biasanya dijatuhi hukuman denda atau penjara satu tahun
atau kurang). Atas rumusan tersebut, maka misdemeanors dapat digolongkan
sebagai kejahatan atau tindak pidana, namun bukan merupakan tindak pidana
berat. Hukuman atas misdemeanors ini biasanya berupa hukuman denda ataupun
berupa pidana penjara satu tahun atau kurang dari satu tahun. Apabila dikaitkan
dengan hukum pidana Indonesia, Undang-Undang MK, dan PMK No. 21 Tahun
121 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 50-51.
117
2009, maka misdemeanors ini merujuk pada tindak pidana yang ancaman
hukumannya bukan merupakan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Alasan misdemeanors dalam sejarah ketatanegaraan Amerika Serikat
pernah dipergunakan dalam proses pemberhentian Presiden Andrew Johnson dan
Bill Clinton. Presiden Andrew Johnson diusulkan diberhentikan dari jabatannya
oleh Kongres atas dugaan telah melakukan high crimes and misdemeanors dalam
bentuk melanggar sumpah jabatan karena telah memberhentikan salah seorang
menterinya tanpa persetujuan Senat, yang dianggap telah melanggar dan melawan
ketentuan Tenure of Office Act. Alasan high crimes and misdemeanors pula
Presiden Bill Clinton diusulkan untuk diberhentikan dari jabatannya. Usulan
pemberhentian Presiden Bill Clinton berawal dari adanya skandal peleccehan
seksual yang dilakukan terhadap Monica Lewinsky saat masih menjadi karyawan
magang di Gedung Putih. Perbuatannya tersebut awalnya sempat dibantah
meskipun akhirnya diakui, sehingga dianggap sebagai perbuatan menghalangi dan
menghambat proses penyidikan. Selain itu perbuatan Presiden Clinton yang
melakukan pelecehan seksual tersebut oleh House Judiciary Committee juga
dikategorikan sebagai misdemeanors yang diatur dalam Article II Section (4)
Konstitusi Amerika Serikat.122 Berdasarkan kasus pemberhentian Presiden di
Amerika karena alasan misdemeanors, maka tindakan melanggar sumpah jabatan,
melanggar ketentuan perundang-undangan dalam rangka menjalankan
pemerintahan, tindakan menghalang-halangi prose peradilan, dan tindakan yang
melanggar kesusilaan merupakan contoh bentuk dari misdemeanors.
122 Wiwik Budi Wasito, op.cit., hal. 26-29.
118
Alasan perbuatan tercela dalam UUD 1945 atau misdemeanors dalam
Konstitusi Amerika Serikat ini merupakan norma yang bersifat fleksibel karena
dapat ditafsirkan beragam mengingat masih kaburnya penjelasan mengenai hal
tersebut dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian
maka pelanggaran hukum yang dapat digunakan sebagai alasan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden bukan hanya pelanggaran hukum pidana saja,
tetapi juga termasuk pelanggaran atas kewajiban konstitusional sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden, penyalahgunaan wewenang, dan kesewenang-wenangan.
3.2 Perbuatan Tercela dalam Konteks Hakikat Jabatan Presiden dan/atau
Wakil Presiden
Pemerintahan Presidensial merupakan bentuk pemerintahan
konstitusional yang menempatkan Presiden sebagai kepala eksekutif berdasarkan
otoritasnya yang didapat melalui suatu pemilihan langsung oleh rakyat, serta
menjalankan pemerintahannya secara mandiri dan bebas dari intervensi legislatif.
Pada sistem presidensial ini pula kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan berada pada presiden. Untuk membantu presiden menjalankan
pemerintahannya, sebagai kepala pemerintahan presiden diberikan kekuasaan
untuk membentuk kabinet yang merupakan pembantu presiden dan bertanggung
jawab kepada presiden.123 Sebaliknya dalam sistem pemerintahan parlementer
jabatan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan akan dipisah, dimana
fungsi eksekutif untuk menyelenggarakan pemerintahkan biasanya diserahkan
123 Nurliah Nurdin, 2012, Komparasi Sistem Preisdensial Indonesia & Amerika Serikat Rivalitas Kekuasaan antara Presiden &Legislatif, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Jakarta, hal. 35.
119
kepada Perdana Menteri. Jabatan kepala negara selanjutnya diberikan kepada
Raja/Ratu yang berfungsi seremonial sebagai simbol negara. Perdana Menteri
sebagai kepala pemerintahan merupakan pemimpin kabinet dan memikul
tanggung jawab penuh sebagai pimpinan lembaga eksekutif. Seorang perdana
menteri haruslah mendapat dukungan dari partai politik yang memenangkan
pemilihan umum, dan biasanya merupakan pemimpin dari partai politik
bersangkutan.124 Jadi jabatan kepala negara berfungsi sebagai simbol negara,
sedangkan jabatan kepala pemerintahan berfungsi untuk menjalankan
pemerintahan atau bertindak selaku eksekutif.
Jabatan presiden merupakan jabatan politik atau yang oleh Sastra
Djatmika diartikan sama dengan pejabat negara.125 Presiden mendapatkan
legitimasi melalui pemilihan langsung oleh rakyat dan yang terpilih akan
memegang jabatan dalam kurun waktu sebagaimana ditentukan dalam konstitusi
(fixed term). Kekuasaan Presiden tidak berasal dari dukungan mayoritas anggota
legislatif sebagaimana dalam sistem pemerintahan parlementer tanpa adanya masa
jabatan yang jelas. Pemilihan Presiden tersebut dilaksanakan secara terpisah
dengan pemilihan legislatif yang juga dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karena
baik eksekutif maupun legislatif memiliki legitimasi berdasarkan pemilihan
langsung oleh rakyat, maka kedudukan kedua cabang kekuasaan tersebut sejajar
dan terpisah satu sama lain sebagai syarat sistem pemerintahan presidensial.
Kuatnya posisi Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial juga
ditunjukkan dengan adanya ketentuan dalam konstitusi yang mengatur mengenai
124 Ibid., hal. 36. 125 Sastra Djatmika sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon, dkk., 2008, Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 212.
120
masa jabatan Presiden yang ditentukan secara pasti (fixed term). Dalam UUD
1945 masa jabatan Presiden ditetapkan selama 5 (lima) tahun atau dalam
Konstitusi Amerika Serikat yang mengatur masa jabatan Presiden 4 (empat)
tahun. Adanya masa jabatan tetap ini bertujuan agar pemerintahan yang
diselenggarakan oleh Presiden tidak dapat diberhentikan oleh parlemen di tengah
jalan sehingga akan dapat menciptakan stabilitas pemerintahan,
Presiden dan legislatif dalam sistem pemerintahan Presidensial memang
diposisikan terpisah, namun diantara keduanya terdapat mekanisme checks and
balances yang memungkinkan presiden dapat mengontrol legislatif dan
sebaliknya. Bentuk kontrol Presiden terhadap legislatif tersebut ditunjukkan
dengan adanya kewenangan untuk turut serta dalam mengajukan, membahas, dan
menyetujui suatu rancangan undang-undang untuk selanjutnya disahkan menjadi
undang-undang. Kerja sama antara legislatif dan presiden (eksekutif) dalam
menyusun undang-undang dilakukan karena bagaimanapun undang-undang yang
dibentuk oleh legislatif tersebut memerlukan pelaksanaan oleh Presiden
(pemerintah). Sebaliknya bentuk kontrol yang dapat dilakukan oleh legislatif
terhadap Presiden adalah dalam hal pengangkatan pejabat negara oleh Presiden,
dimana hak Presiden untuk mengangkat seorang pejabat negara harus
memerlukan persetujuan dari legislatif.
Jabatan Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut
dalam Indonesia pernah memiliki posisi yang amat kuat atau sering disebut
executive heavy, dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Executive heavy dalam
sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen
121
disebabkan oleh dikotomi kekukasaan presiden sebagai kepala negara, kepala
pemerintahan, serta sebagai mandataris MPR.126 Pendapat lainnya dikemukakan
oleh Syaifudin yang menyatakan adanya executive heavy disebabkan oleh adanya
2 (dua) kekuasaan sekaligus yang dijabat Presiden, yaitu kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan legislatif berada pada Presiden.127
Menurut A. Muktie Fadjar, UUD 1945 sebelum amandemen
menempatkan Presiden dalam posisi amat kuat dengan adanya kekuasaan yang
teramat besar kepada Presiden yaitu Presiden memegang kekuasaan pemerintahan,
menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang, dan juga berbagai kekuasaan
serta hak-hak konstitusional (hak prerogatif). Selain kekuasaan dalam bidang
pemerintahan yang besar tersebut, Presiden juga diberikan kekuasaan selaku
kepala negara.128 Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Mahfud M.D. bahwa
UUD 1945 membangun sistem politik yang memusatkan kekuasaan pada
Presiden, sebab dalam UUD 1945 sebelum amandemen tidak ada batas-batas
kekuasaan dan check and balances secara tegas. Sistem politik yang tidak
demokratik dengan besarnya kekuasaan Presiden inilah yang kemudian
melahirkan kecenderungan untuk melakukan korupsi. Suatu konstitusi yang tidak
memuat batas-batas yang tegas atas kekuasaan akan cenderung menimbulkan
126 Sulardi, op.cit., hal. 134. 127 Syaifudin, 2007, Kajian terhadap Perubahan UUD 1945 : Studi tentang Sistem
Pemerintahan Negara, FH-UII Press, Yogyakarta, hal. 47. 128 A. Muktie Fadjar, 2003, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Pradikamatik, In-
Trans, Malang, hal. 62.
122
tindak korupsi oleh para penyelenggara negara, yang mana hal tersebut dilakukan
melalui berbagai manipulasi yang dicarikan pembenarannya secara formal.129
Besarnya kekuasaan Presiden berdasarkan UUD 1945 sebelum
amandemen juga dinyatakan oleh A. Ramlan Subakti. Menurut beliau kekuasaan
Presiden dalam UUD 1945 sebelum amandemen sangatlah besar sehingga terjadi
dominasi kekuasaan negara oleh Presiden dibandingkan dengan cabang-cabang
kekuasaan negara lainnya.130
Muhammad Ridwan Indra juga menunjukkan besarnya kekuasaan
Presiden dalam UUD 1945 sebelum amandemen dengan mengklasifikasikan
kekuasaan Presiden tersebut ke dalam 4 (empat) hal yaitu kekuasaan Presiden di
bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta kekuasaan Presiden sebagai kepala
negara.131
1. Kekuasaan presiden dalam bidang eksekutif dijabarkan dalam ketentuan
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. John Pieris menyatakan
bahwa ketentuan tersebut menunjukkan bahwa dalam proses
pembentukan undang-undang (law making process) hak dan wewenang
Presiden jauh lebih menonjol apabila dibandingkan dengan hak dan
wewenang DPR sebagai lembaga legislatifnya. Oleh karena itu di tangan
Presiden kekuasaan membuat undang-undang dikendalikan.132
129 Mahfud M.D., 2004, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, UII Press,
Jogjakarta, hal. 44. 130 A. Ramlan Surbakti, 1998, Reformasi Kekuasaan Presiden, Grasindo, Jakarta, hal. 45. 131 Muhammad Ridwan Indra, 1998, Kekuasaan Presiden dalam UUD 1945 Sangat Besar,
Trisula, Jakarta, hal. 37. 132 John Pieris, 2007, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Presiden RI, Pelangi Cendekia,
Jakarta, hal. 111.
123
2. Kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif tampak dari adanya
ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 yang menunjukkan bahwa
Presiden merupakan mitra kerja DPR dalam menjalankan tugas legislatif,
diantaranya dalam pembentukan undang-undang.
3. Kekuasaan Presiden dalam bidang yudisial ditunjukkan dengan adanya
kewenangan Presiden untuk memberi grasi, rehabillitasi, amnesti, dan
abolisi sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945.
4. Kekuasaan sebagai kepala negara dalam ketentuan UUD 1945
ditunjukkan dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) dan
ayat (2), serta Pasal 15 UUD 1945. Kekuasaan Presiden sebagai kepala
negara tersebut yaitumemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan
Udara, Angkatan Laut, dan Angkatan Darat; menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan
persetujuan DPR; menyatakan keadaan bahaya; mengangkat duta dan
konsul; menerima duta negara lain; serta memberi gelaran, tanda jasa,
dan tanda kehormatan lainnya.
Sejak awal kemerdekaan, realita penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen telah menunjukkan
adanya ketidaksetaraan hubungan dan kekuasaan antara Presiden dan DPR.
Ketidaksetraan tersebut menimbulkan adanya tafsir kekuasaan yang diberikan
oleh UUD 1945 secara absolut oleh Presiden. Hal ini berakibat pada timbulnya
pemerintahan yang otoriter, sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru
maupun Orde lama. Begitu pula pada UUD 1945 hasil amandemen tahap pertama
124
meletakkan kekuasaan yang lebih besar kepada DPR sehingga menurut pendapat
beberapa ahli hukum tata negara, bahwa telah tejadi pergeseran dari executive
heavy ke arah legislative heavy ,133 sehingga mengakibatkan adanya ketegangan
hubungan (konflik) antara Presiden dan DPR. Konflik antara Presiden dan DPR
tersebut berpuncak pada pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid dari
jabatannya oleh MPR melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001. Dalam
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 dapat dilihat adanya 2 poin alasan yang
digunakan oleh MPR untuk memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid dari
jabatannya yaitu:
1. presiden telah melakukan tindakan yang melanggar haluan negara untuk
dapat menghambat proses konstitusional, tidak bersedia hadir, dan
menolak memberikan pertanggungjawaban kepada Sidang Istimewa
MPR;
2. presiden melakukan pelanggaran konstitusi dengan menerbitkan
Maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001, yang didalamnya berisi
pembubaran terhadap DPR.
Executive heavy tersebut selanjutnya menjadi salah satu kelemahan yang
dianut UUD 1945 sebelum amandemen hingga menimbulkan gagasan untuk
melakukan amanden. Gagasan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945
tersebut kemudian terwujud dengan dilakukannnya perubahan terhadap UUD
1945 oleh MPR dari tahun 1999 hingga tahun 2002. Terdapat 5 (lima) poin
133 Ni’matul Huda, 2003, Politik Ketatanegaraan Indonesia, FH-UII Press, Yogyakarta, hal.
18.
125
kesepakan yang disetujui seluruh fraksi di MPR mengenai arah perubahan UUD
1945, yaitu:134
1. tidak mengubah bagian Pembukaan UUD 1945; 2. mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. mempertahankan sistem presidensial dan melakukan penyempurnaan
sehingga betul-betul dapat menerapkan sistem presidensial yang ideal dan sesungguhnya;
4. mempertahankan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 untuk dimuat dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5. amandemen UUD 1945 dilakukan dengan menempuh cara adendum.
Dalam satu poin kesepakatan tersebut terdapat kesepakatan untuk tetap
mempertahankan sistem pemerintahan presidensial, namun disertai dengan adanya
perubahan sehingga dapat menerapkan sistem pemerintahan presidensial yang
ideal. Amerika Serikat merupakan negara pertama yang menganut sistem
pemerintahan presidensial dengan adanya penerapan teori Trias Politica dalam
pemerintahannya. Selain itu Amerika Serikat juga dipandang sebagai negara yang
penerapan sistem pemerintahan presidensialnya paling ideal dan konsekuen,
dimana terdapat pemisahan kekuasaan secara tegas antara eksekutif, legislatif, dan
yudisial. Menurut Ellydar Chairi, tugas dan tanggung jawab pemegang kekuasaan
eksekutif di Amerika Serikat dapat dikelompokkan ke dalam enam hal yaitu
executive, judicial, military, politics, foreign affair, dan political. Keenam bidang
kekuasaan eksekutif tersebut kemudian dirinci lebih lanjut sebagai berikut:135
1. sebagai panglima angkatan darat dan angkatan laut;
2. mengangkat semua pejabat lainnya atas ijin Senate;
134 Jimly Asshiddiqie, 2007, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer,
Pemikiran Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dan Para Pakar Hukum, The Biography Institute, Bekasi, hal. 8.
135 Ellydar Chairi, 2005, Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Progam Doktor Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hal. 295.
126
3. mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain, dan dalam hal
mengangkat duta besar, duta, konsul pada negara lain dengan
persetujuan Senate;
4. berwenang untuk mengesahkan komisi-komisi guna mengatasi
kekosongan pada saat Senate sedang memasuki masa reses;
5. menginformasikan kepada Kongres mengenai keadaan negara-negara
bagian Amerika Serikat dan merekomendasikan pertimbangan
Kongres sebagai tolak ukur dalam menentukan kepentingan dan
kebijakan;
6. menjaga pelaksanaan hukum dengan baik;
7. dalam bidang kekuasaan kehakiman, Presiden mengangkat hakim
Mahkamah Agung, termasuk pula hakim-hakim federal disertai
dengan adanya pengesahan oleh Senate; dan
8. dalam bidang kekuasaan legislatif, Presiden berhak untuk menyetujui
suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh House of
Representative, ataupun menggunakan hak veto yang dimilikinya
untuk menolak rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh
House of Representative.
Sri Soemantri mengungkapkan bahwa pimpinan eksekutif di Amerika
Serikat hanya ada pada satu tangan yaitu Presiden, karena Wakil Presiden
Amerika Serikat berkedudukan sebagai ketua Senate Amerika Serikat dan bukan
anggota.136 Presiden sebagai pimpinan eksekutif Amerika Serikat dipilih oleh
136 Sri Soemantri dalam Sulardi, op. cit., hal. 93.
127
dewan electoral dengan masa jabatan 4 (empat) tahun dan selanjutnya dapat
dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Hal ini berarti terdapat
pembatasan pada masa jabatan Presiden, yaitu hanya untuk 2 (dua) kali masa
jabatan sebagai Presiden.
Negara lainnya yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial dan
merupakan negara tetangga Indonesia yaitu Filipina. Sistem pemerintahan
preisdensial Filipina menempatkan Presiden dalam fungsinya sebagai kepala
negara, kepala pemerintahan, dan panglima tertinggi angkatan bersenjata.
Presiden sebagai kepala pemerintahan berarti bahwa Presiden merupakan
pimpinan eksekutif di Filipina. Presiden memegang masa jabatan 6 (enam) tahun
untuk dua periode berturut-turut. Presiden dan Wakil Presiden di Filipina tidak
dipilih sebagai pasangan calon sebagaimana yang dilaksakan di Indonesia,
melainkan dipilih melalui pemungutan suara yang dilakukan secara terpisah.
Selain itu Presiden dan Wakil Presiden di Filipina berasal dari partai politik yang
berbeda.137
Berdasarkan keinginan untuk menganut sistem pemerintahan presidensial
yang lebih ideal dan dengan melakukan kajian terhadap sistem pemerintahan
preisdensial yang diterapkan negara-negara lain, maka dalam amandemen UUD
1945 hal tersebut diwujudkan dengan adanya penataan ulang terhadap pemisahan
kekuasaan di Indonesia. Kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan peraturan
perundang-undangan dilaksanakan oleh Presiden, kekuasaan legislatif untuk
137 Sulardi., op.cit., hal 95-96.
128
membentuk undang-undang dilaksakan oleh DPR, dan kekuasaan yudisial
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga peradilan yang ada.
Istilah eksekutif menurut Sulardi dapat dipahami dalam 2 (dua)
perspektif yaitu eksekutif dalam arti sempit dan eksekutif dalam arti luas.
Eksekutif dalam arti luas diartikan sebagai seluruh badan, menteri-menteri,
pelayanan sipil, polisi, termasuk pula militer. Sebaliknya eksekutif dalam arti
sempit hanya merujuk pada pemimpin tertinggi kekuasaan eksekutif.138
Dalam UUD 1945 sendiri, yang dimaksud dengan eksekutif di Indonesia
adalah Presiden, Wakil Presiden, dan para menteri dengan Presiden sebagai
pimpinan eksekutif di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 4 ayat
(1) dan ayat (2), serta Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Pasal-
pasal tersebut menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
dengan dibantu oleh satu orang wakil presiden dan menteri-menteri negara. Para
menteri-menteri negara tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, serta
membidangi urusan-urusan tertentu dalam pemerintahan dalam kementeriannya
masing-masing.
Kekuasaan eksekutif dalam suatu negara konstitusional oleh C.F. Strong
diklasifikasikan ke dalam 5 (lima) bidang yaitu:
1. kekuasaan diplomatik yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan hubungan
luar negeri;
2. kekuasaan administratif, yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan
pelaksanaan undang-undang dan administrasi negara;
138 Sulardi, op.cit., hal. 132.
129
3. kekuasaan militer yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan organisasi
bersenjata dan pelaksanaan perang;
4. kekuasaan yudisial yaitu kekuasaan berkaitan dengan pemberian
pengampunan, penangguhan hukuman, dan sebagainya terhadap
narapidana dan pelaku kriminal;
5. kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan berkaitan dengan penyusunaan
rancangan undang-undang dan proses pengesahannya menjadi undang-
undang.
Pendapat yang dikemukakan oleh C.F. Strong tersebut apabila dikaitkan
dengan ketentuan-ketentuan pasal dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan
kekuasaan presiden, maka dapat dilihat adanya kesesuaian kekuasaan presiden
menurut C.F. Strong dengan yang diatur dalam UUD 1945. Kekuasaan diplomatik
yang dimiliki Presiden ditunjukkan dengan ketentuan Pasal 13 UUD 1945
mengenai pengangkatan duta dan konsul dengan memperhatikan pertimbangan
DPR, serta menerima penempatan duta dan konsul negara lain guna menjaga
hubungan diplomatik dengan negara lain. Selanjutnya kekuasaan administratif
yang dimiliki Presiden berkaitan dengan kekuasaan eksekutif atau kekuasaan
untuk menyelenggarakan pemerintahan yang ditunjukkan dengan ketentuan Pasal
4 ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk
memegang kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan kepada Presiden.
Kekuasaan Presiden dalam bidang militer ditunjukkan dengan kedudukan
Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara sebagaimana termuat dalam Pasal 10 UUD 1945.
130
Sementara itu kekuasaan yudisial Presiden ditunjukkan dalam Pasal 14 ayat (1)
dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memiliki kewenangan
dalam hal pemberian grasi dan rehabilitasi, serta amnesti dan abolisi. Terakhir
kekuasaan legislatif Presiden ditunjukkan dengan adanya peran serta Presiden
dalam pembentukan undang-undang bersama DPR, serta kewenangan Presiden
untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Peraturan
Presiden (Perpres).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada
hakikatnya jabatan Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial memiliki
kekuasaan yang besar dan kuat yang dijamin secara konstitusional yaitu sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden sebagai kepala negara berarti
beliau merupakan simbol atau representasi dari negara bersangkutan, sehingga
hendaknya beliau haruslah orang yang berperilaku baik, dapat menjaga harkat dan
martabatnya, serta mampu menjadi simbol pemersatu bangsa. Presiden sebagai
kepala pemerintahan berarti presiden berwenang untuk menyelanggarakan
pemerintahan atau kekuasaan eksekutif di negaranya, dengan dibantu Wakil
Presiden, menteri-menteri, serta aparatur-aparatur negara lainnya.
Jabatan presiden dengan kekuasaan yang besar tersebut harus pula
disertai dengan etika jabatan itu sendiri sebagai pedoman bagaimana seorang
presiden seharusnya berperilaku, apa yang tidak pantas dan pantas untuk
dilaksanakan. Etika seringkali disinonimkan dengan moral, namun kedua istilah
tersebut merupakan hal yang berbeda. Hal ini dikemukakan oleh Paul Ricoer yang
mengaitkan kedua istilah tersebut pada dua tradisi pemikiran filsafat yang
131
berbeda. Moral dikaitkan dengan tradisi pemikiran filosofis Immanuel Kant (sudut
pandang dentologi), yang mengacu pada kewajiban, norma, prinsip bertindak,
imperatif. Sebaliknya istilah etika dikaitkan dengan tradisi pemikiran Aristoteles
yang bersifat teleologis, dan dipahami sebagai tujuan hidup yang baik bersama
dan untuk orang lain di dalam institusi yang adil. Jadi etika lebih dipahami
sebagai refleksi atas baik/buruk, benar/salah, yang harus dilakukan, atau
bagaimana melakukan yang baik atau benar, sedangkan moral merupakan
kewajiban untuk melakukan yang baik atau apa yang seharusnya dilakukan.
Meski demikiankedua istilah tersebut berbeda, namun keduanya terkait dimana
etika merupakan refleksi filosofis tentang moral.139
Keterkaitan istilah etika dengan moral dapat juga dilihat dari pandangan
K. Bertens yang diperoleh beliau dari pemahaman atas istilah etika dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Istilah etika diartikan K. Bertens menjadi 3 rumusan
berikut:140
1. etika dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya;
2. etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral; dan
3. etika dalam arti ilmu tentang yang apa yang baik dan apa yang buruk.
Berdasarkan pemahaman mengenai hakikat jabatan presiden dan etika
jabatan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan yang bertentangan
dengan etika jabatan presiden tersebut merupakan perbuatan yang tergolong
139 Haryatmoko, 2011, Etika Publikuntuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 1-3.
140 K. Bertens, 2013, Etika Edisi Revisi, Kanisius, Yogyakarta, hal. 4-5.
132
tercela. Perbuatan tercela yang tidak sesuai dengan etika jabatan itu hendaknya
dihindari untuk dilakukan oleh seorang presiden dalam jabatannya selaku kepala
negara dan kepala pemerintahan, sekaligus sebagai pejabat publik. Hal ini karena
etika jabatan itu berkaitan dengan moralitas dari presiden itu sendiri yang
mencerminkan wibawa, integritas, kredibilitas, harkat dan martabat dirinya
sebagai seorang presiden, baik di mata rakyatnya maupun pemimpin negara-
negara lainnya. Sehingga menjadi amat penting bagi seorang presiden untuk
menjaga perilakunya agar terhindar dari segala perbuatan tercela yang tidak sesuai
dengan etika jabatannya karena tentunya hal tersebut akan menunjukkan moralitas
tidak baik dari presiden dan berakibat pada hilangnya kepercayaan rakyat yang
menjadi sumber legitimasi jabatan presiden tersebut.
Pentingnya untuk menjaga perilaku presiden sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan secara konstitusional dalam UUD 1945 diwujudkan dengan
adanya sanksi politik berupa pemberhentian dalam masa jabatannya apabila
terbukti telah melakukan perbuatan yang tidak sesuai etika jabatan yaitu perbuatan
melanggar hukum ataupun perbuatan tercela. Alasan-alasan pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya sebagaimana tercantum
dalam Pasal 7A UUD 1945 yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela merupakan
perbuatan yang menunjukkan pelanggaran terhadap etika jabatan dan rendahnya
moralitas dari presiden dan/atau wakil presiden itu sendiri, sehingga tidak layak
menjabat sebagai pejabat publik yang seharusnya memiliki moral yang baik serta
mampu menjaga harkat dan martabatnya di hadapan rakyat. Oleh karena itu
133
sebagai sanksinya terdapat mekanisme pemberhentian dari jabatannya apabila
memang terbukti telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya
dilakukan tersebut.
3.3 Kriteria Perbuatan Tercela sebagai Alasan Pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden
Perbuatan tercela yang dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 dinyatakan
sebagai salah satu alasan sah untuk dapat memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya apabila hal tersebut terbukti. Kriteria atau
batasan dari perbuatan tercela ini, dalam pandangan para ahli hukum merupakan
norma yang bersifat kabur. Hal ini karena belum ada kriteria atau batasan pasti
mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan tercela. Dalam PMK No. 21
Tahun 2009, pengertian perbuatan tercela hanya diuraikan sebagai perbuatan yang
dapat merendahkan harkat dan martabat presiden dan/atau wakil presiden.
Mengenai alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana diatur dalam UUD 1945, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa
dalam UUD 1945 sebelum amandemen, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden didasarkan atas pelanggaran negara yang sifatnya politik dan multitafsir.
Sebaliknya dalam UUD 1945 secara tegas dinyatakan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan karena alasan hukum saja yang
disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945. Meski demikian menurut Jimly masih
134
terdapat persoalan dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 tersebut yakni berkaitan
dengan alasan perbuatan tercela yang tidak begitu jelas ukurannya.141
Hal serupa juga dinyatakan Hamdan Zoelva dengan menyebut bahwa
pengertian perbuatan tercela dalam perundang-undangan merupakan pengertian
yang bersifat umum, yaitu perbuatan yang sedemikian rupa dapat merendahkan
harkat, martabat, dan kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dengan
demikian pelanggaran hukum dalam bentuk perbuatan tercela memiliki makna
yang sangat luas, yang mencakup pelanggaran hukum pidana selain yang
dinyatakan dalam Pasal 7A UUD 1945, maupun pelanggaran hukum lainnya di
luar undang-undang hukum pidana. Selain itu perbuatan tercela tersebut dapat
pula meliputi pelanggaran terhadap nilai-nilai agama, moral, dan adat istiadat,
serta pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden terhadap kewajiban
konstitusionalnya selama hal tersebut dinilai dapat merendahkan martabat dan
kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden.142
Disamping mengungkapkan adanya pengertian yang luas dan umum
mengenai perbuatan tercela yang dapat menimbulkan politisasi dalam
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang diatur dalam
UUD 1945 sebelum amandemen, Hamdan Zoelva dalam pandanganya juga
mengungkapkan argumentasinya yang mengarah pada batasan pengertian
perbuatan tercela yang dapat dipergunakan sebagai alasan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Pemahaman tersebut didasarkan Hamdan Zoelva dengan
melihat jiwa rumusan UUD 1945 yang secara tegas mencantumkan bentuk-bentuk
141 Jimly Asshiddiqie, 2004, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 10.
142 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 207.
135
tindak pidana berat sebagai alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya. Menurut Hamdan Zoelva hal ini bermakna
bahwa hanya perbuatan melawan hukum setingkat tindak pidana berat saja yang
dapat menjadi alasan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Perbuatan pelanggaran hukum tersebut sedemikian rupa dapat merendahkan
harkat dan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden yang berakibat pada
hilangnya kepercayaan rakyat sebagai legitimasi Presiden dan/atau Wakil
Presiden.143
Abdul Rasyid Thalib juga menyatakan bahwa salah satu kelemahan
dalam rumusan pasal yang mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam UUD 1945 yaitu mengenai perbuatan tercela. Perbuatan tercela
tersebut dalam pandangan Abdul Rasyid Thalib dapat mengandung aspek hukum
pidana maupun aspek hukum perdata. Perbuatan tercela dalam aspek hukum
pidana dicontohkan dengan pelecehan seksual, sedangkan perbuatan tercela dalam
aspek hukum perdata dapat dicontohkan dengan utang-piutang dan perbuatan
wanprestasi. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa rumusan perbuatan tercela
tersebut tidak mempunyai aspek tata negara, sehingga tidak sesuai dengan
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang pada dasarnya berwenang untuk
memeriksa dan mengadili perbuatan yang melanggar konstitusi atau perbuatan
dalam aspek ketatanegaraan.144
Pendapat bahwa perbuatan tercela yang termuat dalam Pasal 7A UUD
1945 merupakan perbuatan hukum dalam ranah hukum pidana juga dikemukakan
143 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 208. 144 Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 477.
136
oleh Abdul Rasyid Thalib. Beliau menyatakan bahwa karakter pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya dan perbuatan tercela sebagaimana termuat dalam Pasal 7A UUD
1945 menunjukkan aspek yuridis pidana. Sementara itu alasan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat (incapacity) dalam
pandangan Abdul Rasyid Thalib menganut karakter tata negara atau politis
kenegaraan dan karakter tata usaha negara.145
Pendapat sebaliknya akan diperoleh apabila konsep perbuatan tercela
yang termuat dalam Pasal 7A UUD 1945 mengadaptasi konsep misdemeanors
dalam Konstitusi Amerika Serikat. Misdemeanors merupakan alasan
impeachment yang diterapkan di Amerika Serikat secara fleksibel, dimana
misdemeanors diartikan sebagai bentuk pelanggaran hukum yang tidak hanya
terbatas pada pelanggaran hukum pidana melainkan termasuk pula pelanggaran
atas segala bentuk peraturan perundang-undangan dan pelanggaran presiden
terhadap kewajiban konstitusionalnya sebagai presiden. Jadi konsep
misdemeanors dalam Konstitusi Amerika Serikat dipahami sebagai pelanggaran
hukum dalam arti luas, tidak terbatas pada hukum pidana semata. Hal ini nampak
dalam kasus impeachment terhadap Presiden Andrew Johnson dan Bill Clinton.
Presiden Andrew Johnson di-impeach karena didakwa telah melakukan
high crimes and misdemeanors karena Presiden Andrew Johnson telah memecat
Edwin M. Stanson dari jabatan Sekretaris Departemen Perang dan mengangkat L.
Thomas untuk mengantikannya tanpa persetujuan Senate. Selain itu Presiden
145 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal. 472.
137
Andrew Johnson juga dinilai berperilaku tidak baik dengan mengeluarkan kata-
kata kasar dan ancaman berbahaya kepada Conggress. Atas dakwaan serupa
dengan Presiden Andrew Johnson yaitu telah melakukan high crimes and
misdemeanors, Presiden Bill Clinton di-impeach. Beliau didakwa demikian
karena telah melakukan sumpah palsu, menghambat proses peradilan, dan
penyalahgunaan kekuasaan dengan membuat keterangan palsu kepada
Conggress.146 Dari kasus impeachment dalam ketatanegaraan Amerika Serikat
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep misdemeanors lebih mengarah
pada pelanggaran hukum dalam bentuk pelanggaran atas peraturan perundang-
undangan yang berlaku, melalaikan kewajibannya sebagai presiden, dan
penyalahgunaan kekuasaan.
Negara lainnya yang memuat alasan pemberhentian presiden di luar
alasan pelanggaran hukum juga tampak di Fhilipina dan Korea Selatan.
Pemberhentian presiden di Fhilipina berdasarkan konstitusinya dilakukan tidak
hanya atas dasar pelanggaran hukum pidana seperti pengkhianatan, penyuapan,
gratifikasi, korupsi,dan tindak pidana berat lainnya, melainkan termasuk pula
alasan menyalahi konstitusi dan pengkhianatan atas kepercayaan publik. Jose N.
Nolledo memandang bahwa pengkhianatan atas kepercayaan publik tersebut tidak
harus merupakan pelanggaran pidana tetapi cukup pelanggaran atas sumpah
jabatan dapat digolongkan sebagai pengkhianatan atas kepercayaan publik.147
Lebih sederhana dari alasan pemberhentian presiden di Fhilipina, Korea Selatan
dalam konstitusinya merumuskan alasan pemberhentian presiden secara amat
146 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 52. 147 Jose N. Nolledo 2000, The Constitution of The Republic of The Philipine-Explain,
National Book Store Quad Alpha Centrum BLDG, Philipine, hal. 249.
138
sederhana yaitu presiden dapat diberhentikan dari jabatannya kerana telah
melakukan pelanggaran terhadap konstitusi atau perbuatan lainnya dalam
melaksanakan kewajiban jabatannya.148 Dalam pandangan para ahli hukum yang
turut merumuskan alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada
amandemen ketiga, alasan seperti pelanggaran konstitusi, pelanggaran sumpah
jabatan, melalaikan kewajiban sebagai presiden tersebut dipandang dapat
ditafsirkan amat luas dan mudah untuk dipolitisasi sehingga disepakati untuk
dihindari sebagai alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
amandemen UUD 1945.
Selain berdasarkan pandangan ahli hukum dan alasan pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden di negara lain sebagaimana yang telah
dipaparkan sebelumnya, batasan perbuatan tercela dapat pula dipahami dengan
berpatokan pada adanya kata atau yang memisahkan frasa perbuatan tercela
dengan alasan-alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang
termuat dalam Pasal 7A UUDNRI 1945. Kata atau tersebut dalam tatanan bahasa
hukum bermakna alternatif, sehingga seharusnya perbuatan tercela memiliki
makna yang berbeda dengan alasan-alasan pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden lainnya yang telah disebutkan sebelumnya termasuk tindak pidana
berat. Oleh karena itu maka dapat dikatakan bahwa perbuatan tercela yang
dimaksud dalam Pasal 7A UUDNRI 1945 bukan hanya merupakan tindak pidana
berat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hamdan Zoelva melainkan
148 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 54-55.
139
merupakan pelanggaran lain di luar yang tergolong tindak pidana berat dan tindak
pidana lainnya yang telah disebutkan dalam Pasal 7A UUDNRI 1945.
Frasa perbuatan tercela dalam Pasal 7A UUDNRI 1945 tersebut
hendaknya dapat dipahami secara lebih luas dan fleksible sebagaimana
pemahaman terhadap misdemeanors dalam Konstitusi Amerika Serikat. Apabila
perbuatan tercela hanya dipahami sebagai perbuatan yang tergolong tindak
pidana, maka akan terdapat banyak perbuatan yang merendahkan harkat dan
martabat sebagai seorang presiden dan/atau wakil presiden yang terangkum di
dalamnya. Padahal presiden dan/atau wakil presiden diharapkan dapat menjadi
pedoman atau contoh bagi masyarakat, dengan memiliki keluhuran martabat dan
mampu senantiasa menjaga perilakunya. Tentunya dengan beban moril demikian
seorang presiden dan/atau wakil presiden hendaknya terhindar dari segala perilaku
menyimpang, baik tindak pidana maupun pelanggaran hukum dan norma-norma
masyarakat. Contoh perbuatan yang tidak tergolong tindak pidana namun
merupakan perbuatan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya sebagai
presiden dan/atau wakil presiden yaitu apabila seorang presiden dan/atau wakil
presiden yang beragama Islam tidak berpuasa di bulan ramadhan, malahan beliau
mengadakan acara makan bersama keluarga dan kerabat-kerabatnya pada saat
umat muslim lainnya berpuasa. Hal tersebut bukan perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai perbuatan pidana, namun tentunya hal tersebut telah
melanggar norma-norma agama yang dianutnya serta menimbulkan pergunjingan
di masyarakat yang nantinya sehingga dapat merendahkan harkat dan martabat
dari presiden dan/atau wakil presiden itu. Selain itu hal tersebut juga
140
menunjukkan bahwa seorang presiden dan/atau wakil presiden tidak dapat
menjaga perilaku dan kewibawaannya sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan yang seharusnya menjadi panutan dan tauladan bagi rakyat, malah
menunjukkan hal yang sebaliknya.
Jabatan sebagai presiden dan/atau wakil presiden yang merupakan
pejabat negara terikat pula oleh suatu etika. K Berens menyatakan salah satu
definisi etika adalah moral, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang dijadikan
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya.149 Dengan demikian maka etika jabatan presiden dan/atau wakil presiden
merupakan norma-norma yang harus dipatuhi dalam berperilaku sebagai seorang
presiden dan/atau wakil presiden guna menjaga harkat dan martabat jabatannya.
Adapun norma-norma yang harus dihormati tersebut dalam rangka
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yaitu norma agama, norma
kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum. Menurut Soerjono Soekanto
keberadaan norma-norma dalam suatu masyarakat sebagai pedoman berperilaku
sehari-hari bertujuan agar hubungan antar manusia dalam masyarakat terlaksana
sesuai dengan yang diharapkan.150 Sejalan dengan pandangan tersebut, Maria
Farida menyatakan norma sebagai segala aturan yang harus dipatuhi manusia
dalam bertindak dan bertingkah laku dalam masyarakat.151
Dari keempat norma yang disebutkan tersebut, norma hukum merupakan
norma yang memiliki daya mengikat paling kuat karena norma hukum sengaja
149 K. Bertens, op.cit., hal. 6. 150 Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hal. 174. 151Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan : Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Kanisius Yogyakarta, hal. 6.
141
dibuat oleh pemerintah dan dituangkan secara tertulis dalam peraturan perundang-
undangan suatu negara disertai dengan adanya sanksi tegas bagi setiap
pelanggaran terhadap norma hukum tersebut. Sebaliknya norma agama, norma
kesopanan, dan norma kesusilaan merupakan norma yang bersumber dari ajaran-
ajaran agama, kebiasaan, atau tata kelakuan di masyarakat yang telah berlaku
secara turun temurun dan hingga kini tetap berlaku meskipun terdapat pergeseran-
pergeseran seiring dengan perubahan di masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa etika jabatan
sebagai presiden dan/atau wakil presiden berkaitan norma-norma yang berlaku di
masyarakat, sehingga perbuatan tercela merupakan perbuatan yang bertentangan
dengan norma-norma tersebut. Jadi perbuatan tercela merupakan bentuk
pelanggaran terhadap norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan
norma hukum yang dapat menimbulkan sanksi di masyarakat sehingga dapat
merendahkan harkat dan martabat seorang presiden dan/atau wakil presiden.
Norma hukum yang dimaksudkan disini pun bukan hanya dalam ranah hukum
pidana saja, melainkan segala bentuk hukum positif yang terdapat dalam setiap
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu maka perbuatan tercela dalam
ketentuan Pasal 7A UUDNRI 1945 dapat didefinisikan sebagai:
1. pelanggaran terhadap konstitusi berkaitan dengan konvensi ketatanegaraan,
seperti presiden bertindak sewenang-wenang membekukan suatu partai
politik berdasarkan dekrit presiden, yang mana pembubaran partai politik
dalam UUDNRI 1945 merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
142
Contoh lainnya yaitu presiden membubarkan DPR, yang mana hal tersebut
telah melanggar ketentuan Pasal 7C UUDNRI 1945;
2. pelanggaran terhadap norma kesopanan dan kesusilaan yang berlaku di
masyarakat dalam rangka kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, misalnya presiden memiliki hubungan khusus dengan wanita
selain istrinya dan hal itu ditunjukkan secara terang-terangan di depan
publik;
3. pelanggaran terhadap norma-norma agama yang dianut sesuai dengan
sumpah jabatannya, misalnya presiden yang beragama Islam tidak pernah
melaksanakan kewajiban sholat bahkan tidak mengikuti sholat hari besar
keagamaannya secara berjamaah dengan para pejabat negara lainnya; serta
4. tindak pidana selain yang diuraikan dalam ketentuan Pasal 7A UUDNRI
1945 (pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak
pidana berat lainnya), seperti presiden melakukan penganiayaan ringan
berupa penamparan kepada salah seorang bawahannya dan hal tersebut
diproses oleh kepolisian serta mendapat publikasi media massa.
Pelanggaran sebagaimana yang diuraikan pada nomor 1 sampai dengan 3
tersebut sanksinya tidak diatur secara tegas dan tertulis dalam suatu perundang-
undangan, namun atas pelanggaran tersebut masyarakat akan bereaksi dalam
bentuk gunjingan atau celaan terhadap perilaku yang ditunjukkan oleh presiden
dan/atau wakil presiden. Hal ini lambat laun akan menimbulkan keresahan dan
menjadi polemik di masyarakat, sehingga berakibat pada turunnya kepercayaan
simpati dan kepercayaan publik. Selain itu juga akan merendahkan kewibawaan
143
serta harkat dan martabat jabatannya sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Adanya keresahan publik terhadap perbuatan presiden dan/atau wakil presiden
yang merendahkan harkat dan martabat jabatannya itulah yang dipergunakan DPR
dalam rangka fungsi pengawasan untuk memberhentikan dari jabatannya, dengan
terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus keabsahan alasan pemberhentian tersebut.
Berbeda halnya dengan pelanggaran yang diuraikan pada nomor 4 yaitu
presiden melakukan tindak pidana lain sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak tercantum dalam Pasal 7A UUD
1945. Tindak pidana tersebut tentunya perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh
setiap orang, apalagi dilakukan oleh seorang presiden dan/atau wakil presiden
yang tentunya akan merendahkan harkat dan martabat jabatannya, sehingga dapat
dijatuhkan sanksi politik berupa pemberhentian dari jabatannya. Selain itu
berdasarkan asas persamaan di muka hukum, Presiden dan/atau wakil presiden
yang terbukti melakukan tindak pidana harus pula mendapat sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam KUHP seperti layaknya warga negara lainnya. Proses
persidangan untuk menjatuhkan pemidanaan bagi tindak pidana yang dilakukan
tersebut hendaknya dilaksanakan setelah presiden dan/atau wakil presiden
berhenti dari jabatannya guna tetap menjaga harkat dan martabat jabatannya.
Dengan demikian apabila presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan
tindak pidana, maka ia telah merendahkan harkat dan martabat jabatannya
sehingga layak mendapat sanksi politik berupa pemberhentian dari jabatannya.
Setelah diberhentikan dari jabatannya, selanjutnya dapat dilaksanakan proses
144
peradilan di pengadilan biasa untuk memutus sanksi pidana yang akan dijatuhkan
atas tindak pidana yang dilakukannya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan
tercela memiliki makna yang luas, karena perbuatan yang merendahkan harkat
dan martabat jabatan presiden dan/atau wakil presiden bukan hanya yang
diuraikan dalam Pasal 7A UUDNRI 1945. Pelanggaran terhadap norma agama,
norma kesopanan, dan norma kesusilaan yang berlaku di masyarakat, serta norma
hukum yang terdapat dalam setiap peraturan perundang-undangan dapat pula
merendahkan harkat dan martabat jabatan presiden dan/atau wakil presiden.
Dalam hal ini tindak pidana lain sebagaimana yang diatur dalam KUHP yang
tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 7A UUDNRI 1945 juga merupakan
perbuatan tercela, karena perbuatan tersebut telah merendahkan harkat dan
martabat dirinya sendiri sebagai individu, serta jabatannya sebagai presiden
dan/atau wakil presiden.
Oleh karena luasnya makna perbuatan tercela tersebut, maka alasan
perbuatan tercela sebagai alasan untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil
presiden dari jabatannya dapat saja dipolitisasi oleh kekuatan politik di DPR dan
MPR. Untuk menghindari upaya politisasi yang mungkin dilakukan itulah, maka
dalam hal ini peran Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang bebas
dan mandiri diperlukan. Mahkamah Konstitusi harus mampu menunjukkan
independensinya sebagai lembaga peradilan dengan mengambil putusan yang
benar dan adil berdasarkan aturan hukum serta bebas dari tekanan politik atau
tekanan lembaga negara lainnya, sehingga upaya politisasi dalam pemberhentian
145
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dilakukan oleh DPR dan MPR.
Presiden dan/atau wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam suatu
pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu yang telah diatur dalam UUDNRI
1945, hanya dapat diberhentikan berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan
hukum semata. Pada akhirnya terwujudlah suatu mekanisme pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang didasarkan pada adanya pelanggaran
hukum dan incapacity yang dapat dibuktikan berlandaskan hukum dan terhindar
dari pertimbangan-pertimbangan politik. Hal ini tentunya sejalan dengan upaya
mewujudkan negara hukum melalui pembangunan masyarakat dan pemerintahan
berdasarkan hukum, termasuk pula dalam proses pemberhentian presiden
dan/atau wakil presidennya.
146
BAB IV
MODEL PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU
WAKIL PRESIDEN BERDASARKAN UUD 1945
4.1 Model-Model Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang
diterapkan dalam ketatanegaraan Indonesia dalam pandangan Abdul Mukthie
Fadjar merupakan suatu konsekuensi logis dari dianutnya sistem presidensial
dalam sistem pemerintahan suatu negara. Mekanisme pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden ini diatur dalam konstitusi, berbeda halnya dengan sistem
pemerintahan parlementer dimana setiap saat pemerintah (kabinet) dapat
dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi tidak percaya.152 Pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden ini merupakan bentuk dari adanya mekanisme checks and
balances dalam pembagian kekuasaan negara. Dikatakan demikian karena pada
sistem pemerintahan presidensial jabatan seorang Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah ditetapkan secara pasti dalam konstitusi negara bersangkutan,
sehingga jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan di
tengah masa jabatannya melalui mosi tidak percaya yang dilakukan parlemen
sebagaimana dalam sistem pemerintahan parlementer. Sebaliknya disediakan
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengawasi
dan mengimbangi jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang ditetapkan
secara pasti dalam konstitusi, sehingga pemberhentian tersebut merupakan bentuk
152 Abdul Mukthie Fadjar, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi
Press dan Citra Media Yogyakarta, Jakarta, hal. 240.
147
checks and balances terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Dalam sistem pemerintahan parlementer, prinsip yang dianut adalah
supremasi parlemen dan perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen.
Oleh karena itu maka parlemen berwenang untuk memberhentikan perdana
menteri dalam masa jabatannya melalui mosi tidak percaya dengan alasan-alasan
dan pertanggungjawaban politik. Tidak demikian halnya dengan sistem
pemerintahan presidensial dimana kedudukan eksekutif dan legislatif sejajar
dengan legitimasi sama kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat. Apalagi
masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah ditentukan secara tetap
dalam konstitusi dan mekanisme pemberhentian yang rumit, maka seorang
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial hanya
dapat diberhentikan melalui alasan-alasan yang menonjolkan pelanggaran hukum,
khususnya hukum pidana dibandingkan sekedar alasan-alasan dan
pertanggungjawaban politik. Adanya masa jabatan Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang telah ditentukan secara pasti dalam konstitusi (fix term executive)
dan mekanisme pemberhentian yang rumit bertujuan untuk melindungi jabatan
Presiden dan/atau Wakil Presiden itu sendiri guna menciptakan stabilitas
pemerintahan.
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
kerap kali dikenal dengan istilah impeachment atau yang oleh Hamdan Zoelva
diterjemahkan menjadi pemakzulan. Istilah impeachment ditinjau dari konsepnya
bukan hanya merupakan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
148
dalam masa jabatannya, tetapi istilah impeachment mencakup pula proses
pemberhentian kepada para pejabat negara yang dianggap telah melanggar
peraturan sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
dalam menjalankan tugasnya.153 Impeachment ini sendiri merupakan salah satu
model mekanisme pemberhentian presiden yang dipraktikkan oleh negara-negara
di dunia.
Terdapat dua model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
yang dikenal dalam sistem pemerintahan presidensial yaitu model impeachment
dan model forum previlegiatum (peradilan khusus). Kedua model pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden ini diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
yang harus ditempuh dalam pemberhentiannya. Impeachment merupakan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa jabatannya yang
dilakukan oleh lembaga legislatif. Sebaliknya dalam forum previlegiatum
(peradilan khusus) pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah
masa jabatannya dilakukan oleh suatu lembaga peradilan yang dibentuk khusus
untuk mengadili perihal pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya itu.154
4.1.1 Impeachment
Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui
mekanisme impeachment dikemukakan oleh Harjono lahir pada zaman Mesir
153 Refly Harun, Zainal A.M. Husein, dan Bisariyah, 2004, Menjaga Denyut Konstitusi :
Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 75. 154 M. Saleh dan Mukhlish, 2010, Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden (Sebuah
Tinjauan Konstitusional), Bina Ilmu Offset, Surabaya, hal. 38.
149
Kuno dengan istilah iesamhelia, yang artinya kecenderungan ke arah pengasingan
diri. Hal ini selanjutnya diadopsi oleh pemeritahan Inggris pada abad ke-17 dan
dimasukkan dalam Konstitusi Amerika Serikat pada abad ke-18.155 Impeachment
merupakan mekanisme pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya yang
dilaksanakan oleh lembaga politik yang merupakan perwakilan seluruh rakyat
serta melalui penilaian dan keputusan politik dengan syarat-syarat dan mekanisme
yang ketat, misalnya impeachment yang dilakukan oleh Congress terhadap
Presiden Amerika Serikat.156 Jadi dalam impeachment, presiden diberhentikan
dari jabatannya melalui suatu mekanisme politik dan oleh lembaga perwakilan
yang bersifat politik.
Impeachment di Inggris terakhir dipraktikkan pada kasus impeachment
terhadap Henry Dundas pada 1806, walaupun mekanisme impeachment itu sendiri
belum dihapus dalam sistem ketatanegaraan Inggris. Perkembangan demokrasi
dengan sistem pemerintahan parlementer di Inggris kemudian merubah
mekanisme impeachment terhadap menteri atau perdana menteri ke dalam bentuk
mosi tidak percaya oleh parlemen, yang mengakibatkan menteri atau perdana
menteri meletakkan jabatannya atau parlemen dibubarkan dan dilakukan
pemilihan yang baru untuk kembali menegakkan legitimasi dan wibawa
pemerintah.157 Oleh karena itu maka mekanisme impeachment kini lebih dikenal
dalam pemerintahan Amerika Serikat yang menganut sistem pemerintahan
presidensial sebagai bentuk mekanisme checks and balances yang
155 Harjono, sebagaimana dikutip oleh M. Saleh dan Mukhlish dalam ibid., hal. 39. 156 Moh. Mahfud M.D., 2011, Perdebatan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hal.
143. 157 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 32.
150
diselenggarakan legislatif terhadap jalannya pemerintahan oleh Presiden selaku
eksekutif.
Impeachment dalam Konstitusi Amerika Serikat dapat dilakukan kepada
Presiden dengan alasan yang telah ditentukan secara jelas dalam Article II Section
4, yaitu melakukan pengkhianatan (treason), penyuapan (bribery), tindak pidana
ringan (misdemeanors), dan kejahatan berat terhadap orang lain (other high
crimes). Dalam pandangan I Dewa Gede Atmadja, impeachment terhadap
presiden di Amerika Serikat lebih bersifat yuridis pidana karena melalui
mekanisme yang menyerupai jalannya peradilan suatu kasus dalam peradilan
biasa. Dalam hal ini House of Representative pada awalnya akan berfungsi
sebagai penuntut umum yang ditujukan kepada presiden dan selanjutnyaakan
disidangkan di Senate yang dipimpin oleh ketua Supreme Court untuk membahas
dan memutus dakwaan House of Representative terhadap presiden tersebut.
Impeachment terhadap presiden sendiri pada akhirnya akan dilakukan melalui
proses pengambilan keputusan melalui suara terbanyak (voting) di Senate, dengan
syarat pengabilan keputusan tersebut harus dihadiri oleh 2/3 anggota Senate dan
2/3 dari anggota Senate yang hadir tersebut harus menyetujuinya.158
Meskipun telah ditentukan secara jelas dalam Konstitusi Amerika
Serikat, hingga saat ini belum ada satu pun presiden Amerika Serikat yang
berhasil di-impeach. Hal ini terkendala oleh syarat pengambilan keputusan
melalui suara terbanyak yang tidak terpenuhi, dimana pada impechment Andrew
Johnson dan Bill Clinton tidak disetujui oleh 2/3 anggota Senate yang hadir. Jadi
158 I Dewa Gede Atmadja sebagaimana dikutip dalam Abdul Rasyid Thalib., op.cit., hal. 24-
25.
151
dapat disimpulkan bahwa meskipun impeachment pada awalnya menyerupai
proses peradilan biasa, namun pengambilan keputusan mengenai impeachment
tersebut sepenuhnya merupakan proses politik di lembaga legislatif.
Impeachment dalam pandangan Michael J. Gerhard berdasarkan
penelitiannya di Amerikan Serikat, merupakan keputusan legislatif yang unik
yang hanya dapat dilakukan sesuai dengan kerangka yang telah dibatasi
konstitusi. Impeachment itu sendiri menunjukkan dua aspek yang sangat penting
yaitu aspek legalitas atau konstitusional dan aspek pertanggungjawaban politik
pada sisi lainnya.159 Dari aspek legalitas maka impeachment diusahakan untuk
selalu terhindar dari setiap praktik yang dapat mengurangi kepercayaan dari para
pihak dalam proses impechment yang jujur, sehingga adanya perbedaan antara
presiden dan legislatif tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan impeachment
tersebut. Adanya perbedaan pandangan tersebut hendaknya dapat disikapi sebagai
bagian dari checks and balances dari konstitusi.160 Dengan demikian maka
kekuatan mayoritas di legislatif tidak dapat memberhentikan presiden dari
jabatannya tanpa disertai alasan-alasan hukum dan konstitusi serta prosedur
hukum yang dianut dalam konstitusi.161
Ditinjau dari aspek politik maka pengambilan keputusan mengenai
impeachment di legislatif dapat menunjukkan hal yang tidak sesuai dengan
pengambilan keputusan pada lembaga peradilan, karena pengambilan keputusan
di legislatif kerap kali dipengaruhi oleh perimbangan dari komposisi kepentingan
159 Michael J. Gerhard, 2005, The Federal Impeachmet Process (A Constitutional and
Historival Analysis), The University of Chicago Press, Chicago, hal. xi. 160 Ibid., hal. 55. 161 Hamdan Zoelva, op.cit., hal 33.
152
politik. Oleh karena itu maka banyak ahli hukum yang berpandangan bahwa
proses impeachment presiden tidak lain dari proses politik semata. Dalam proses
impeachment presiden tersebut juga terdapat berbagai pengaruh yang sering
terjadi, seperti pertarungan politik antara partai-partai politik yang ada di lembaga
legislatif, kelompok penekan atau kelompok kepentingan (interest group), serta
media massa yang memiliki peranan khusus.162
Michael J. Gerhard dalam penelitiannya mengenai praktik impeachment
di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa impeachment terhadap presiden akan
sulit dilakukan jika komposisi kekuatan politik di lembaga perwakilan seimbang
antara partai pendukung dan partai oposisi terhadap presiden. Impeachment baru
akan berhasil apabila hal tersebut mendapat dukungan dari mayoritas kekuatan
politik yang ada di lembaga perwakilan.163 Ditambahkan oleh Richard M. Pious,
impeachment juga kerap kali terkendala oleh kuatnya posisi presiden yang dipilih
secara langsung oleh rakyat, dimana keputusan dari wakil-wakil rakyat yang ada
di lembaga perwakilan akan sangat tergantung pada suara pemilih dan konstituen
dari partai-partai politik. Hal tersebut dicontohkan dalam proses impeachment
terhadap Presiden Bill Clinton, dimana keputusan Congress untuk menolak
impeachment amat dipengaruhi oleh media massa dan berbagai hasil jajak
pendapat yang dipublikasikan di media, serta tidak terlalu berpatokan pada
ketentuan konstitusi padahal secara jelas terbukti ada pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Presiden Bill Clinton kala itu.164 Oleh karena itu maka dalam
impeachment dukungan politik dirasa lebih berpengaruh dalam pengambilan
162 Hamdan Zoelva, op.cit., hal 34. 163 Michael J. Gerhard sebagaimana dikutip dalam Hamdan Zoelva, loc. cit. 164 Keith E. Whittington sebagaimana dikutip Hamdan Zoelva, loc.cit.
153
keputusan mengenai diberhentikan atau tidaknya seorang presiden dari
jabatannya, dibandingkan dengan bukti-bukti faktual yang menunjukkan bahwa
memang telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh presiden yang dalam
konstitusi diatur sebagai alasan-alasan untuk memberhentikan presiden dari
jabatannya.
4.1.2 Forum Previlegiatum
Model pemberhentian presiden dalam masa jabatannya yang kedua
adalah melalui suatu orum pengadilan khusus (special legal proceeding) atau
yang kerap dikenal dengan istilah forum previlegiatum. Dalam model ini
pemberhentian presiden dalam masa jabatannya dilakukan dengan melalui
mekanisme suatu pengadilan khusus, dan bukan melalui lembaga legislatif yang
bersifat politik. Pengadilan khusus ini merupakan tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final. Mekanisme peradilan dalam pengadilan khusus ini
dipercepat tanpa melalui jenjang pemeriksaan konvensional dari tingkat bawah
sebagaimana yang dilakukan dalam pengadilan pada umumnya.165
Menurut Mahfud M.D., forum previligiatum merupakan penjatuhan
presiden melalui pengasilan khusus ketatanegaraan yang dasarnya adalah
pelanggaran hukum berat yang ditentukan di dalam konstitusi dengan putusan
hukum pula. Beliau juga menyebutkan bahwa kewenangan MK untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
165 M. Saleh dan Mukhlish, op.cit., hal. 41.
154
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela; dan/atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, merupakan
praktik dari forum previligiatum di Indonesia.166 Jadi dalam pandangan beliau MK
merupakan suatu pengadilan khusus untuk mengadili dan memutus dugaan
pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden,
dan apabila oleh MK dugaan pelanggaran hukum tersebut dinyatakan terbukti
maka DPR dapat menindaklanjuti putusan MK tersebut kepada MPR. Selanjutnya
barulah MPR dapat melaksanakan kewenangannya untuk memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya melalui suatu sidang istimewa
yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota MPR dan mendapat persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir tersebut.
Salah satu contoh negara yang menerapkan model forum previligiatum
ini adalah Prancis, yang dalam konstitusinya mengatur bahwa Presiden dan para
pejabat pemerintah dapat dituntut untuk diberhentikan melalui suatu forum
pengadilan khusus. Alasan-alasan yang disebutkan dalam konstitusi Prancis untuk
dapat memberhentikan presiden dan para pejabat pemerintah yaitu apabila
presiden dan para pejabat pemerintah terbukti telah melakukan pengkhianatan
terhadap negara, melakukan kejahatan kriminal, dan tindakan tidak pantas.
Pengadilan khusus untuk memberhentikan presiden dan para pejabat pemerintah
menjadi wewenang Mahkamah Agung.167
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sendiri forum previligiatum ini
pernah diterapkan sebagaimana dianut dalam Konstitusi Republik Indonesia
166 Mahfud M.D., op.cit., hal. 143. 167 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal. 27.
155
Serikat (KRIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Baik
dalam KRIS 1949 maupun UUDS 1950 tidak ditemukan suatu aturan yang
mengatur mengenai pemberhentian presiden, wakil presiden, dan pejabat negara
lainnya dalam masa jabatannya. Meski demikian terdapat suatu aturan yang
mengatur mengenai adanya suatu peradilan khusus bagi presiden, wakil presiden,
maupun pejabat negara lainnya apabila diduga telah melakukan kejahatan dan
pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang dilakukan dalam
masa jabatannya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 148 KRIS dan Pasal
106 ayat (1) UUDS 1950, yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Agung sebagai pengadilan khusus untuk mengadilli dugaan presiden, wakil
presiden, dan pejabat negara lainnya telah melakukan kejahatan dan pelanggaran
jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dalam undang-
undang dalam masa jabatannya. Proses peradilan tersebut dapat dilaksanakan pada
saat pejabat bersangkutan masih menjabat maupun setelah berhenti dari
jabatannya. Terdapat dua mantan menteri yang pernah disidang berdasarkan
forum previligiatum ini yaitu Sultan Hamid II dan Mr. Djodi Gondokusumo.
Dalam putusannya kedua mantan menteri ini diputus bersalah dan dijatuhi
hukuman pidana masing-masing 10 (sepuluh) tahun penjara bagi Sultan Hamid II
dan 1 (satu) tahun penjara bagi Mr. Djodi Gondokusumo.168 Hukuman yang
dijatuhkan kepada dua mantan menteri tersebut hanya merupakan hukuman
pidana tanpa disertai adanya pemberhentian dari jabatannya. Jadi
pertanggungjawaban presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya dalam
168 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 90.
156
KRIS 1949 dan UUDS 1950 hanya terkait dengan pertanggungjawaban pidana
semata apabila diduga terlibat perkara pidana.
Nandang Alamsyah Deliar Noor menyatakan bahwa tidak ada
mekanisme pemberhentian presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya
dalam forum previlegiatum sebagaimana yang diatur dalam KRIS 1949 dan
UUDS 1950. Hal ini karena baik dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 forum
previlegiatum diposisikan sebagai suatu pengadilan khusus atas perkara-perkara
pidana yang dilakukan oleh orang-orang tertentu pula, seperti presiden, wakil
presiden, dan pejabat negara lainnya, namun tidak mengatur mengenai mekanisme
pemberhentian dari jabatannya. Proses pemberhentian terhadap presiden, wakil
presiden, dan pejabat negara lainnya apabila terbukti telah melakukan perbuatan
pidana akan tetap dilakukan melalui mekanisme politik atau birokrasi yang
berlaku.169 Selain itu pemberhentian presiden, wakil presiden dan pejabat negara
lainnya berdasarkan KRIS 1949 dan UUDS 1950 tidak dapat dilakukan oleh
Mahkamah Agung juga dikarenakan tidak terdapat ketentuan lebih lanjut yang
mengatur mengenai apakah Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk
memberhentikan Presiden atau pejabat negara lainnya dari jabatannya apabila
terbukti bersalah, namun hanya diberikan kewenangan untuk mengadili
pelanggaran pidana dan sanksinya berupa hukuman pidana semata.
169 Nandang Alamsyah Deliarnoor, 2006, Forum Previligiatum dalam Negara Hukum
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung.
157
4.2 Model Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Beberapa
Negara
4.2.1 Amerika Serikat
Amerika Serikat merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan
presidensial dan kerap dipandang sebagai acuan dari pemerintahan sistem
pemerintahan presidensial yang ideal, termasuk dalam hal penerapan model
impeachment dalam hal pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
Pemberhentian presiden dan wakil presiden di Amerika Serikat disebut menganut
model impeachment karena pemberhentian presiden dan wakil presiden
dilaksanakan melalui mekanisme politik oleh lembaga perwakilan rakyat yaitu
Conggress (House of Representative dan Senate) yang notabene merupakan
lembaga politik.
Dalam Konstitusi Amerika Serikat pemberhentian dalam masa jabatan
dapat dilakukan terhadap Presiden, Wakil Presiden ataupun pejabat sipil apabila
terbukti melakukan pengkhianatan (treason), penyuapan (bribery), pelanggaran
pidana atau kejahatan berat lainnya (other high crimes and misdemeanors),
sebagaimana yang termuat dalam Article II Section 4 Konstitusi Amerika Serikat.
Pemberhentian dalam masa jabatan ini menurut Hamdan Zoelva merupakan
bentuk dari accusation atau charge, dimana hal tersebut adalah pengawasan
legislatif yang luar biasa baik terhadap eksekutif maupun yudikatif, serta
merupakan tindakan politik yang hukumannya berupa pemberhentian dari jabatan
dan kemungkinan larangan memegang suatu jabatan, bukan merupakan hukuman
pidana (criminal conviction) atau pengenaan ganti rugi perdata. Pemberhentian
158
dalam masa jabatan tersebut dilaksanakan seperti suatu proses peradilan pidana
dimana dalam konstitusi Senate dan House of Representative diberikan
kewenangan untuk melaksanakan suatu pengadilan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam artian Senate dan House of Representative
melaksanakan kewenangannya itu berdasarkan pandangannya berlandaskan
hukum dan fakta-fakta yang terbebas dari motif dan tindakan politik partisan.170
Mekanisme pemberhentian presiden, wakil presiden, dan pejabat sipil
lainnya di Amerika Serikat dimulai dari adanya penyidikan yang dilakukan oleh
House of Representative dengan dibantu sebuah lembaga atau komite yang sangat
berkuasa di bidang hukum dan keadilan yaitu House Committee of Judiciary.
Selanjutnya sebagimana yang dinyatakan sebelumnya bahwa mekanisme
pemberhentian dalam masa jabatan di Amerika Serikat dilaksanakan layaknya
peradilan pidana, maka proses pengadilan untuk mengetahui keterlibatan presiden
dalam kejahatan atau pelanggaran hukum yang dituduhkan akan menjadi
kewenangan Senate untuk melaksanakannya, sebagaimana diatur dalam Article I
Section 3 Konstitusi Amerika Serikat. Jadi dalam hal ini Senate berkedudukan
sebagai pihak pengadil dengan dipimpin oleh seorang ketua Supreme Court
(Mahkamah Agung). Sementara para pihak yang berperkara adalah House of
Representative dan pihak yang akan diberhentikan dari jabatannya. House of
Representative bertindak selaku penuntut atau pihak yang mendakwakan bahwa
telah terjadi suatu pengkhianatan (treason), penyuapan (bribery), pelanggaran
pidana atau kejahatan berat lainnya (other high crimes and misdemeanors)yang
170 Hamdan Zoelva, 2005, Impeachment Presiden : Alasan Tindak Pidana Pemberhentian
Presiden Menurut UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 13-14.
159
dilakukan oleh pihak yang akan diberhentikan dari jabatannya. Sebaliknya
tertuduh atau terdakwa adalah perwakilan dari pihak (presiden, wakil presiden,
atau pejabat sipil lainnya) yang akan diberhentikan dari jabatannya.
Dapat dikatakan dalam mekanisme impeachment di Amerika Serikat
menganut model proses peradilan dua tingkat. Peradilan tingkat pertama
dilaksanakan oleh House of Representative yang dalam Konstitusi Amerika
diberikan kewenangan untuk melakukan impeachment dengan mengajukan
dakwaan pelanggaran yang dilakukan atas satu atau lebih dari pelanggaran pidana
(Article of Impeachment) dengan terlebih dahulu melakukan penyelidikan dan
penyidikan bersama dengan House Committee of Judiciary. Untuk dapat
mengajukan Article of Impeachment ke pengadilan oleh Senate, Article of
Impeachment harus mendapat dukungan mayoritas dari House of Representative.
Selanjutnya tahapan persidangan dilaksanakan oleh Senate yang akan
mengadili seluruh dakwaan yang diajukan oleh House of Representative yang
tentunya sangat ditentukan oleh bukti-bukti yang diungkapkan. Persidangan di
tingkat Senate tersebut memposisikan seluruh anggota Senate sebagai hakim, dan
Ketua Supreme Court merupakan ketua majelisnya. Impeachment dapat
dilaksanakan apabila mendapat dukungan 2/3 anggota Senate memutuskan
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan kesalahan yang
berimplikasi pada pemberhentian dari jabatannya. Sebaliknya jika dukungan
tidak mencapai 2/3 anggota Senate berarti kesalahan Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak terbukti dan dapat terus menjabat. Dengan demikian maka
kewenangan untuk melaksanakan impeachment bergantung pada dukungan Senate
160
sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi, sedangkan posisi Ketua Supreme
Court bukan sebagai pengambil keputusan namun sebagai pihak yang mensahkan
putusan impeachment. Oleh karena itu maka impeachment tersebut merupakan
suatu proses politik yang dilaksanakan oleh Senate selaku lembaga perwakilan
rakyat.
Selain proses peradilan dua tingkat oleh lembaga perwakilan rakyat
dalam pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, sebagaimana dipraktikkan
di Amerika Serikat, Hamdan Zoelva juga mengklasifikasikan proses peradilan tiga
tingkat dan proses peradilan campuran. Proses peradilan tiga tingkat dilaksanakan
oleh lembaga perwakilan rakyat dengan harus disertai putusan lembaga yudikatif
yang berwenang (Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung), sedangkan
proses peradilan campuran merupakan proses peradilan dua tingkat namun
melibatkan peran serta lembaga yudikatif dalam proses pemberhentian tersebut.171
4.2.2 Jerman
Konstitusi Jerman mengatur mengenai prosedur impeachment diatur
dalam Bab V Pasal 61 mengenai Presiden. Dalam ketentuan Pasal 61 ayat (1)
Konstitusi Jerman ditentukan bahwa impeachment terhadap Presiden dapat
diajukan oleh ¼ anggota Bundestag (lembaga perwakilan rakyat) atau ¼ jumlah
suara dalam Bundesrat (Senat). Selanjutnya dalam Pasal 61 ayat (2) Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Jerman diberikan kewenangan untuk memutuskan Presiden
bersalah telah melanggar konstitusi atau undang-undang federal lainnya,
171 Hamdan Zoelva I, op.cit., hal. 35.
161
Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan presiden telah dicopot dari jabatannya.
Setelah impeachment, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan perintah
pengadilan interim untuk mencegah presiden menjalankan fungsi
kepresidenannya.172
Ketentuan mengenai impeachment sebagaimana yang diatur dalam
Konstitusi Jerman tersebut memberikan kewenangan kepada parlemen (Bundestag
dan Bundesrat) untuk meng-impeach presiden melalui suatu persidangan yang
diselenggarakan di depan Mahkamah Konstitusi Jerman. Mahkamah Konstitusi
inilah yang selanjutnya akan memeriksa dan memutuskan apakan Presiden benar-
benar telah melanggar konstitusi atau undang-undang federal lainnya. Putusan
Mahkamah Konstitusi ini dilengkapi pula dengan adanya instrumen hukum untuk
memerintahkan pengadilan interim untuk mencegah presiden menjalankan fungsi-
fungsi kepresidenannya, sehingga hal tersebut berarti memberhentikan presiden
dari jabatannya secara adminstratif. Meski demikian impeachment terhadap
presiden tetap menjadi kewenangan parlemen melalui persetujuan 2/3 anggota
Bundestag dan 2/3 anggota Bundesrat. Keputusan impeachment yang diambil oleh
Bundestag dan Bundesrat merupakan keputusan politik, sedangkan keputusan
Mahkamah Konstitusi Jerman merupakan keputusan hukum.
Dalam pandangan Abdul Rasyid Thalib sebagaimana dikutip oleh M.
Saleh dan Mukhlish adanya insrtumen hukum yang diberikan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memerintahkan pengadilan interim untuk mencegah presiden
menjalankan fungsi kepresidennya bertujuan untuk mempertegas status hukum
172 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal. 259-260.
162
dari keputusan Mahkamah Konstitusi.173 Apabila parlemen memutuskan hal yang
sebaliknya dengan keputusan Mahkamah Konstitusi maka keputusan Mahkamah
Konstitusi tersebut tetap memiliki akibat hukum berupa pemberhentian presiden
secara administratif, dan bukan hanya suatu keputusan yang terkesan sia-sia.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
mekanisme politik dan mekanisme hukum dalam pemberhentian presiden menurut
Konstitusi Jerman, serta model pemberhentian presiden yang dianut merupakan
campuran antara model impeachment dan forum previligiatum. Dikatakan sebagai
model campuran karena pemberhentian terhadap presiden dapat dilakukan secara
politik oleh parlemen, maupun diberhentikan melalui pengadilan khusus yang
diselenggarakan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dapat
memberhentikan presiden secara administratif dengan jalan membekukan fungsi-
fungsi kepresidenannya oleh pengadilan interim berdasarkan perintah Mahkamah
Konstitusi, apabila presiden diputus terbukti melanggar konstitusi atau undang-
undang federal lainnya.
Mekanisme politik ditunjukkan dengan adanya pengambilan keputusan
mengenai pemberhentian presiden yang dilakukan di parlemen, yaitu harus
mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota Bundestag dan 2/3 anggota Bundesrat.
Keputusan parlemen untuk memberhentikan presiden tersebut merupakan suatu
keputusan politik. Sebaliknya mekanisme hukum ditunjukkan dengan adanya
peran Mahkamah Konstitusi Jerman untuk turut serta dalam mekanisme
premberhentian presiden tersebut, yaitu dengan adanya kewenangan untuk
173 M. Saleh dan Mukhlish, op.cit., hal. 40.
163
memeriksa dan memutus dugaan presiden telah melanggar konstitusi atau undang-
undang federal lainnya. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ini disertai pula
dengan adanya keputusan hukum Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan
presiden secara administratif dengan membekukan tugas-tugas kepresidenannya
dengan jalan memerintahkan pengadilan interim untuk mencegah presiden
melaksanakan fungsi-fungsi kepresidenannya. Hal ini berarti meskipun nantinya
keputusan parlemen berbeda dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, maka
keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut masih memiliki akibat hukum berupa
pemberhentian presiden secara administratif. Dengan demikian maka baik
keputusan politik di parlemen maupun keputusan hukum di Mahkamah Konstitusi
dapat memberhentikan presiden dari jabatannya.
4.2.3 Korea Selatan
Korea Selatan merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan
campuran presidensial dan parlementer, karena tidak adanya pertanggungjawaban
baik dari presiden ataupun perdana menteri kepada parlemen. Presiden dalam
pemerintahan Korea Selatan merupakan kepala negara yang dipilih langsung oleh
rakyat dengan masa jabatan lima tahun, serta merupakan penanggung jawab
tertinggi kekuasaan eksekutif negara. Sementara itu perdana menteri diangkat
berdasarkan atas persetujuan parlemen dan berkedudukan sebagai pihak yang
membantu presiden bersama-sama dengan Counsel of State.
Pemberhentian presiden dalam masa jabatannya menurut Konstitusi
Korea Selatan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, bukannya parlemen.
164
Dalam mekanisme pemberhentian tersebut peran serta parlemen adalah sebagai
pihak yang mengajukan mosi pemberhentian presiden, sehingga pemberhentian
presiden hanya dapat dilakukan melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang
didahului oleh adanya pendakwaan berupa mosi yang diajukan oleh parlemen
mengenai pemberhentian terhadap presiden.
Selain terhadap presiden, pemberhentian dalam masa jabatan tersebut
dapat juga dilakukan terhadap pejabat tinggi negara seperti perdana menteri,
anggota dewan negara, kepala kementrian eksekutif, hakim, hakim Mahkamah
Konstitusi, anggota Komisi Pemilihan Umum, ketuan dan anggota Badan Audit
dan Inspeksi serta pejabat publik lainnya yang ditugaskan berdasarkan undang-
undang.174
Adanya mekanisme pemberhentian terhadap presiden dan pejabat tinggi
negara lainnya dalam masa jabatannya sebagaimana yang diatur dalam Konstitusi
Korea Selatan bertujuan untuk melindungi konstitusi dengan mengupayakan
presiden dan pejabat tinggi negara lainnya agar bertanggung jawab terhadap
kewajiban hukumnya atau perbuatan yang dilakukannya termasuk permintaan
pertanggungjawaban atas dugaan atau tuduhan telah melakukan tindak pidana
tertentu. Pemberhentian terhadap presiden dan pejabat tinggi negara lainnya
dalam masa jabatannya juga bertujuan untuk mendisiplinkan pelaksanaan tugas
dan kewajibannya, karena di Korea Selatan pemberhentian tersebut menurut
174 M. Saleh dan Mukhlis, op.cit., hal. 42.
165
sifatnya bukan merupakan pengaduan pidana namun merupakan pegaduan
disiplin.175
Konstitusi Korea Selatan menentukan bahwa presiden dan pejabat tinggi
negara lainnya dapat diberhentikan dari jabatannya karena melakukan
pelanggaran terhadap konstitusi atau perbuatan lainnya dalam melaksanakan
kewajiban jabatannya, dan hal tersebut menjadi kewenangan dari Mahkamah
Konstitusi. Tahapan pemberhentian presiden dan pejabat tinggi negara lainnya
dimulai dari adanya mosi pemberhentian yang diajukan oleh parlemen (National
Assembly) dengan persetujuan minimal 2/3 anggota National Assembly.
Selanjutnya National Assembly selaku pihak penuntut mengajukan permintaan
peradilan ke Mahkamah Konstitusi agar mendapatkan pemidanaan apabila
dakwaan tersebut terbukti. Selama proses persidangan di Mahkamah Konstitusi
tersebut, presiden atau pejabat tinggi negara lainnya yang tengah menjadi objek
pemberhentian tetap dapan menjalankan tugas dan kewenangannya sampai
adanya putusan Mahkamah Konstitusi atas kasus tersebut. Apabila putusan
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dakwaan National Assembly tersebut
terbukti, maka presiden dan pejabat tinggi negara lainnya secara hukum telah
dinyatakan berhenti dari jabatannya. Sejak pemberhentian tersebut diumumkan,
baik presiden maupun pejabat tinggi negara lainnya tidak diperbolehkan
memegang jabatan selama lima tahun berikutnya. Akan tetapi apabila dakwaan
175 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal. 270-271.
166
National Assembly tidak terbutkti maka presiden atau pejabat tinggi negara
lainnya tetap menjabat hingga masa jabatannya berakhir.176
Mekanisme pemberhentian presiden dan pejabat tinggi negara lainnya
sebagaimana dipraktikkan Korea Selatan menurut Hamdan Zoelva merupakan
praktik proses persidangan tiga tingkat dalam pengambilan keputusan meskipun
tidak dikenal adanya putusan oleh lembaga perwakilan kamar kedua (upper
house) karena memang Korea Selatan tidak memiliki lembaga perwakilan kamar
kedua tersebut.177 Hal ini karena persidangan tidak hanya dilaksanakan oleh
lembaga perwakilan rakyat, namun harus pula disertai dengan putusan hukum
oleh lembaga yudikatif dalam hal ini Mahkamah Konstitusi. Bahkan kewenangan
untuk memberhentikan presiden dan pejabat tinggi negara lainnya berada pada
Mahkamah Konstitusi melalui putusannya yang murni didasarkan pada
pertimbangan hukum oleh Mahkamah Konstitusi. Berbeda halnya apabila
kewenangan pemberhentian tersebut berada pada lembaga perwakilan rakyat,
dimana putusannya didasarkan pada pertimbangan politik sebagaimana yang
kerap terjadi.
Dalam sejarah Korea Selatan mekanisme pemberhentian terhadap
presiden pernah dilaksanakan terhadap Presiden Roh Moo-hyun yang menjabat
tahun 2003-2008. Beliau didakwa melalui mosi parlemen atas dugaan telah
melanggar prinsip netralitas dalam undang-undang pemilihan umum yaitu secara
jelas telah menyatakan dukungannya kepada Partai Uri yang didirikannya dalam
pemilihan anggota National Assembly. Dakwaan lainnya bahwa sanak keluarga
176 M. Saleh dan Mukhlis, op.cit., hal. 42-44. 177 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 55.
167
dan para pembantu politik beliau telah mengumpulkan dana ilegal sejumlah 10
juta dolar AS dari pengusaha untuk memenangkan kampanyenya. Setelah
keluarnya mosi parlemen untuk memberhentikan Presiden Roh Moo-hyun dari
jabatannya, beliau harus nonaktif dari jabatannya selama sekitar dua bulan hingga
adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi.178
Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, permohonan mosi
parlemen untuk memberhentikan Presiden Roh Moo-hyun dari jabatannya yang
telah disetujui 193 dari 273 anggota parlemen, oleh Mahkamah Konstitusi
dinyatakan ditolak. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut meskipun
bertentangan dengan parlemen, namun mendapat dukungan mayoritas rakyat
Korea Selatan (sekitar 84%) yang ditunjukkan dengan adanya demonstrasi besar-
besaran rakyat yang menolak putusan-putusan parlemen. Kasus pemberhentian
Presiden Roh Moo-hyun di Korea Selatan ini merupakan kasus pertama di Korea
Selatan, bahkan di dunia, dimana seorang presiden yang didakwa untuk
diberhentikan jabatannya oleh parlemen akhirnya diputuskan bebas oleh
Mahkamah Konstitusi melalui putusan yang bersifat final. Dengan demikian maka
Presiden Roh Moo-hyun dapat terus menjabat sebagai presiden hingga masa
jabatannya berakhir.179
4.2.4 Filiphina
Filiphina merupakan negara tetangga Indonesia di kawasan Asia
Tenggara yang mempraktikkan sistem pemerintahan presidensial sama halnya
178 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 56. 179 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 57.
168
dengan Indonesia. Presiden Filiphina dipilih langsung oleh rakyat dengan masa
jabatan 6 (enam) tahun dan hanya untuk satu periode jabatan. Sistem
pemerintahan presidensial yang dipraktikkan di Filiphina memiliki banyak
kesamaan dengan sistem pemerintahan presidensial Amerika Serikat.
Dalam hal pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, Konstitusi
Filiphina juga menerapkan hal yang serupa dengan yang dipraktikkan di Amerika
Serikat. Hamdan Zoelva mengungkapkan bahwa mekanisme pemberhentian
presiden dalam masa jabatannya sebagimana diatur dalam Konstitusi Filiphina
menerapkan model peradilan dua tingkat layaknya di Amerika Serikat. Peradilan
tingkat pertama yaitu pendakwaan yang dilakukan oleh Ang Kapulungan ng mga
Kinatawan (House of Representatif), selanjutnya barulah dakwaan tersebut
disidang dan diputuskan oleh Ang Senado (Senate). Persidangan yang dilakukan
oleh Ang Senado tersebut dipimpin oleh ketua Mahkamah Agung Filiphina, sama
halnya dengan persidangan pemberhentian presiden Amerika Serikat oleh Senate
yang dipimpin oleh ketua Supreme Court.180
Terdapat 7 (tujuh) alasan pemberhentian presiden Filiphina sebagaimana
termuat dalam Article XI Section 2 Konstitusi Filiphina, yaitu dakwaan bahwa
presiden terbukti menyalahi konstitusi (culpable of Constitution), Pengkhianatan
(treason), penyuapan (bribery), gratifikasi (graft), dan korupsi (corruption),
tindak pidana berat lainnya (other high crimes) atau pengkhianatan atas
kepercayaan publik (betrayal of public trust). Pengkhianatan terhadap
kepercayaan publik dijelaskan oleh Jose N. Nolledo sebagai pengkhianatan yang
180 Hamdan Zoelva, op.cit., hal 54.
169
tidak harus merupakan tindak pidana tetapi cukup pada pelanggaran atas sumpah
jabatan dapat dipandang sebagai pengkhianatan atas kepercayaan publik.181
Kepercayaan publik terhadap presiden ditunjukkan dengan dukungan
rakyat selaku konstituen sehingga seorang calon presiden berhasil memenangkan
pemilihan untuk menduduki jabatan sebagai presiden. Dukungan dan kepercayaan
publik itu pula yang menjadi dasar legitimasi dari kuatnya kedudukan presiden
dalam sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu maka hendaknya
kepercayaan publik tersebut dapat selalu dijaga dengan cara menjunjung tinggi
sumpah jabatan dan melaksanakan tugas dan kewajibannya selaku presiden
sebaik-baiknya berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Apabila telah terjadi pelanggaran terhadap konstitusi, peraturan perundang-
undangan, termasuk pelanggaran terhadap sumpah jabatan, maka hal tersebut
tentunya akan menciderai kepercayaan dan dukungan publik terhadap presiden
sehingga presiden akan kehilangan legitimasi jabatannya. Oleh karena itu maka
pelanggaran terhadap sumpah jabatan dapat dipandang sebagai pengkhianatan atas
kepercayaan publik.
Pendakwaan untuk memberhentikan presiden dari jabatannya
berdasarkan Konstitusi Filiphina harus mendapat persetujuan 1/3 anggota Ang
Kapulungan ng mga Kinatawan sehingga dapat diajukan persidangannya oleh
Ang Senado. Ang Senado selanjutnya akan menyidangkan dakwaan yang diajukan
oleh Ang Kapulungan ng mga Kinatawan yang dipimpin oleh ketua Mahkamah
Agung. Setelah melalui proses persidangan guna membuktikan kebenaran
181 Jose N. Nolledo, 2000, The Constitution of The Republic of The Philipine-Explain,
National Book Store Quad Alpha Centrum BLDG, Philipine, hal. 249.
170
dakwaan pemberhentian presiden, Ang Senado akan memutuskan dakwaan
tersebut yang menentukan diberhentikan atau tidaknya presiden. Untuk dapat
memberhentikan presiden, Konstitusi Filiphina menentukan bahwa hal tersebut
harus mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota Ang Senado. Putusan Ang
Senado ini hanya terkait pada sanksi politik berupa pemberhentian presiden dari
jabatannya, namun dakwaan tersebut dapat dituntut di peradilan pidana untuk
memperoleh sanksi pemidanaan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku.
Presiden Filiphina yang pertama kali mendapatkan dakwaan
pemberhentian dari jabatannya oleh Ang Kapulungan ng mga Kinatawan adalah
Presiden Joseph Estrada. Dakwaan yang dituduhkan kepada beliau yaitu bahwa
beliau telah menerima suap, menerima gratifikasi dan melakukan praktik korupsi,
mengkhianati kepercayaan publik, serta melakukan tindakan yang menyalahi
konstitusi. Adapun dakwaan utama yang dituduhkan terhadap Presiden Estrada
yaitu bahwa beliau telah menerima 400 juta peso dari pembagian keuntungan atas
judi ilegal, termasuk 180 juta peso dari haga subsidi pemerintah atas kerja sama
pemasaran tembakau petani. Presiden Estrada sendiri akhirnya tidak diberhentikan
jabatannya berdasarkan putusan Ang Senado, melainkan beliau terlebih dahulu
mengundurkan diri dari jabatannyasebelum Ang Senado memutuskan dakwaan
yang diajukan oleh Ang Kapulungan ng mga Kinatawan tersebut.182
182 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 55.
171
4.3 Model Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia
Sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, konstitusi Republik Indonesia
telah berganti sebanyak 4 (empat) kali yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sebelum
perubahan (UUD 1945), Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS
1949), Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan
(UUDNRI 1945). Dalam masing-masing konstitusi tersebut diatur mengenai
mekanisme pertanggungjawaban bagi presiden terkait dengan kewajibannya
dalam menyelenggarakan pemerintahan, namun mekanisme pemberhentian
presiden tidak diatur dalam semua konstitusi tersebut. Mekanisme pemberhentian
terhadap presiden dalam masa jabatannya dapat ditemukan dalam UUD 1945 dan
UUDNRI 1945, sedangkan dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 hanya diatur
mengenai adanya suatu pengadilan khusus yang berwenang untuk mengadilli
dugaan presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya telah melakukan
kejahatan dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang
ditentukan dalam undang-undang dalam masa jabatannya. Hal ini berarti dalam
KRIS 1949 dan UUDS 1950 pertanggungjawaban presiden hanya sebatas
pertanggungjawaban pidana yang diadili melalui suatu pengadilan khusus yang
menjadi kewenangan Mahkamah Agung, tanpa disertai pemberian kewenangan
bagi Mahkamah Agung untuk menjatuhkan sanksi politik berupa pemberhentian
dari masa jabatannya apabila terbukti yang bersangkutan telah melakukan
kejahatan dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang
ditentukan dalam undang-undang dalam masa jabatannya.
172
Adanya suatu pengadilan khusus untuk mengadili suatu pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya
dalam masa jabatannya yang diatur dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 disebut
sebagai bentuk penerapan model forum previligiatum, meskipun putusan
pengadilan khusus tersebut tidak berwenang untuk memberhentikan presiden,
wakil presiden, dan pejabat negara lainnya dari jabatannya. Contohnya dalam
proses peradilan terhadap Sultan Hamid II dan Mr. Djodi Gondokusumo yang
putusannya hanya berupa pemidanaan, tanpa disertai pemberhentian dari
jabatannya. Keduanya diadili dalam peradilan khusus yang diselenggarakan
Mahkamah Agung sebagaimana yang diatur dalam UUDS 1950 karena pada saat
melakukan pelanggaran hukum keduanya menjabat sebagai menteri. Dalam
putusannya kedua mantan menteri ini diputus bersalah dan dijatuhi hukuman
pidana masing-masing 10 (sepuluh) tahun penjara bagi Sultan Hamid II dan 1
(satu) tahun penjara bagi Mr. Djodi Gondokusumo.183
Lalu dalam UUD 1945 sendiri terdapat mekanisme pemberhentian
presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya yang secara eksplisit
disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 mengenai Sistem Pemerintahan Negara
juncto Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata
Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara.184 Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR, dan bertindak selaku
mandataris MPR yang artinya kedudukan presiden untergeordnet dengan MPR.
Presiden selaku mandataris MPR wajib untuk menjalankan haluan negara menurut
183 Hamdan Zoelva, op.cit., hal. 90. 184 Abdul Mukthie Fadjar, op.cit., hal. 233.
173
garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR dan segala keputusan-keputusan
yang dibuat MPR. Selain itu presiden juga harus bertanggung jawab kepada MPR
sebagai bentuk pembatasan dari kekuasaan presiden. Pertanggungjawaban yang
disampaikan oleh presiden kepada MPR dalam suatu sidang istimewa itulah yang
akan menentukan apakah presiden diberhentikan dari jabatannya atau tidak.
Hal ini menunjukkan bahwa putusan pemberhentian presiden dan wakil
presiden berdasarkan UUD 1945 menjadi kewenangan MPR yang merupakan
lembaga politik yang mencerminkan perwakilan seluruh rakyat yang terdiri dari
anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan.185 Dengan demikian maka UUD 1945 dapat dikatakan
menganut model impeachment dalam hal pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden, karena kewenangan untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil
presiden dilakukan oleh lembaga politik serta melalui keputusan politik yang
biasanya diperoleh melalui metode pemungutan suara (voting). Meskipun
demikian pemberhentian tersebut haruslah melalui syarat-syarat dan mekanisme
yang ketat sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Perubahan terhadap UUD 1945 meliputi pula perubahan terhadap
mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa
jabatannya. Apabila sebelumnya mekanisme tersebut tidak diatur dalam UUD
1945, namun dalam UUDNRI 1945 hal tersebut telah diatur secara rinci mulai
dari alasan-alasan pemberhentian, lembaga-lembaga yang berwenang dalam
pemberhentian, dan mekanisme pemberhentian tersebut. Alasan-alasan
185 Lihat ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan
174
pemberhetian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 7A UUDNRI 1945 yaitu apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Selanjutnya berdasarkan mekanisme pemberhentian yang diuraikan dalam Pasal
7B UUDNRI 1945 dapat dilihat bahwa terdapat 3 lembaga negara yang
berwenang yaitu MPR, DPR, dan Mahkamah Konstitusi. Adanya kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden inilah yang membedakannya dengan mekanisme pemberhentian
sebelumnya. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudikatif yang diberikan
kewenangan untuk menyelenggarakan proses peradilan dalam pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden.
Terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan
mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, ada yang
berpandangan bahwa peran serta Mahkamah Konstitusi tersebut hanya sebatas
kewajiban dan bukan wewenang, sebagaimana yang dikemukakan Abdul Latif.
Dikatakan sebagai suatu kewajiban karena putusan Mahkamah Konstitusi dalam
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden tidaklah final dan dapat dianulir
oleh keputusan MPR. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa masih adanya
supremasi politik terhadap hukum dalam hal ini, serta mungkin saja keputusan
MPR untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden hanya didasarkan
pada pertimbangan politik semata. Apabila terjadi maka upaya mewujudkan
175
negara hukum yang demokratis dan konstitusional di Indonesia akan sulit
terwujud.186 Putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden tidak bersifat final juga dikemukakan oleh
Ni’matul Huda. Menurut beliau putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bukan
merupakan putusan final karena pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden
tetap tunduk pada putusan MPR sebagai lembaga politik yang berwenang.187
Adanya proses peradilan yang diselenggarakan oleh Mahkamah
Konstitusi dalam pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam
pandangan Soimin dan Mashuriyanto bertujuan untuk mendapatkan kekuatan
hukum terkait pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam negara
konstitusional, sehingga dapat berlangsung checks and balances system dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Meskipun demikian lebih lanjut dikemukakan
bahwa pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden tidak sepenuhnya
dikarenakan proses peradilan, sebab putusan akhir mengenai pemberhentian
tersebut berada pada parlemen (MPR) sebagai lembaga politik yang akan
memutuskan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.188 Checks and
balances sendiri dalam pemisahan kekuasaan diperlukan untuk mengatur,
membatasi, dan mengendalikan kekuasaan negara dengan sebaik-baiknya agar
penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara dapat dicegah dan
186 Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum
Demokrasi), Kreasi Total Media, Jakarta, hal. 164. 187 Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press,
Jakarta, hal. 254. 188 Soimin dan Mashuriyanto, 2013, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 160.
176
ditanggulangi.189 Jadi demikian pula dalam hal pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden, dimana kewenangan MK sebagai bentuk checks and balances
terhadap DPR yang bertujuan untuk mencegah upaya politisasi dalam
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang didasarkan pada
pertimbangan politik semata seperti adanya konflik kepentingan antara presiden
dan/atau wakil presiden dengan kekuatan mayoritas politik di DPR .
Peran Mahkamah Konstitusi dalam pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden berkaitan dengan upayachecks and balances terhadap lembaga
negara lainnya (DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden) juga dikemukakan
oleh Partialis Akbar. Dalam pandangan beliau Mahkamah Konstitusi berperan
sebagai lembaga upaya DPR tersebut untuk mengadili apakah alasan
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden benar menurut hukum atau
konstitusi, bukan hanya merupakan bentuk ketidaksepahaman (konflik) DPR
terhadap presiden dan/atau wakil presiden berkaitan dengan persaingan politik
belaka.190 Dengan kata lain Mahkamah Konstitusi akan menerapkan pendekatan
hukum untuk mengadili pendapat DPR terkait alasan pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden, yang sebelumnya diambil melalui pendekatan politik di
DPR.191 Selain menajalankan fungsi checks and balances terhadap DPR, peran
Mahkamah Konstitusi dalam pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden
189 Ni’matul Huda, 2007, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal. 107. 190 Patrialis Akbar, 2013, Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD NRI 1945, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 181-182. 191 Ibid., hal. 235.
177
juga merupakan titik singgung hubungan antara Mahkamah Konstitusi dan
presiden atau wakil presiden.192
Perubahan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7B UUDNRI 1945 merubah pula model
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang diterapkan di Indonesia.
Mahfud M.D. berdasarkan penelitiannya terhadap berbagai konstitusi yang ada di
dunia berpendapat bahwa secara teoritis pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden menurut UUDNRI 1945 menerapkan model campuran antara
impeachment dan forum previligiatum.193 Hal ini disimpulkan dari proses
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang dimulai dari penilaian dan
keputusan secara politik di DPR, yang menunjukkan penerapan model
impeachment. Selanjutnya dari DPR mekanisme akan dilanjutkan ke pemeriksaan
dan putusan hukum oleh Mahkamah Konstitusi, yang dipandang sebagai bentuk
pengadilan khusus untuk mengadili pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya (model forum
previligiatum). Apabila putusan Mahkamah Konstitusi membenarkan usul DPR
mengenai alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, maka DPR
akan melanjutkan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden ke
MPR. Sebaliknya apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan sebaliknya maka
DPR tidak dapat meneruskan ke MPR. Dalam proses pengambilan keputusan di
MPR akan dilakukan secara politik kembali (model impeachment), mengenai
apakah putusan Mahkamah Konstitusi perlu diikuti dengan pemberhentian
192 Ibid., hal. 228. 193 Mahfud M.D., op.cit., hal. 143.
178
presiden dan/atau wakil presiden ataukah tidak. Jadi secara ringkas mekanisme
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dimulai dari impeachment yang
kemudian dilanjutkan ke forum previligiatum, dan akhirnya pengambilan
keputusan kembali ke model impeachment.
Dalam mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden
sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahfud M.D. terdapat suatu pengadilan
khusus yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi, namun putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut tidak memuat sanksi politik maupun pidana
apabila presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan oleh DPR. Isi putusan Mahkamah Konstitusi hanya terbatas pada
menyatakan permohonan DPR mengenai alasan pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden diterima atau ditolak. Hal ini berarti putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk memberhentikan presiden
dan/atau wakil presiden ataupun menjatuhkan pemidanaan, terlebih lagi dengan
tidak adanya kewajiban bagi MPR untuk mengikuti putusan Mahkamah
Konstitusi. Dengan demikian maka pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden tetap merupakan keputusan politik yang menjadi kewenangan MPR.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden yang dianut UUDNRI 1945 cenderung menerapkan model
impeachment yang ditandai dengan pengambilan keputusan oleh lembaga politik
yaitu MPR.
Hal yang berbeda apabila putusan Mahkamah Konstitusi memiliki
kekuatan hukum misalnya melalui adanya suatu ketentuan yang mengharuskan
179
MPR untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi, ataupun melalui adanya
mekanisme yang memungkinkan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan
presiden dan/atau wakil presiden secara tidak langsung seperti yang dipraktikkan
di Jerman. Putusan Mahkamah Konstitusi Jerman dapat memberhentikan presiden
secara administratif dengan membekukan tugas-tugas kepresidenannya dengan
jalan memerintahkan pengadilan interim untuk mencegah presiden melaksanakan
fungsi-fungsi kepresidenannya, apabila nantinya keputusan parlemen berbeda
dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukkan adanya supremasi
hukum dalam proses politik pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden,
dimana pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus didasarkan pada
alasan yang benar menurut hukum melalui putusan oleh lembaga yudikatif. Bukan
sebaliknya hanya didasarkan karena alasan yang terkait dengan kepentingan
politik semata misalnya adanya pertentangan atau sengketa antara DPR dan
presiden dan/atau wakil presiden. Dengan demikian maka akan terwujud
pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang selaras dengan prinsip
negara hukum.
180
181
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Perbuatan tercela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 dan
dijelaskan lebih lanjut dalam PMK No. 21 Tahun 2009 memiliki makna yang
amat luas, karena perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat presiden
dan/atau wakil presiden bukan hanya tindak pidana. Keluhuran harkat dan
martabat presiden dan/atau wakil presiden berkaitan erat dengan etika jabatan
yang menentukan norma-norma yang harus dipatuhi dalam pelaksanaan
jabatannya yaitu norma-norma yang berlaku di masyarakat dan segala bentuk
ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mencakup
pula ketentuan hukum pidana dalam KUHP. Dengan demikian perbuatan
tercela sebagaimana tercantum dalam Pasal 7A UUD 1945 juga dimaknai
sebagai pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat
(norma agama, norma kesopanan, dan norma kesusilaan), pelanggaran hukum
pidana lainnya sebagaimana diatur dalam KUHP yang tidak termasuk dalam
tindak pidana yang diuraikan dalam Pasal 7A UUD 1945, serta pelanggaran
hukum lainnya di luar ranah hukum pidana yang tertuang dalam setiap
peraturan perundang-undangan, yang mana pelanggaran tersebut dapat
merendahkan harkat dan martabat jabatannya.
182
2. Pasca amandemen terhadap UUD 1945 mekanisme pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden di Indonesia menganut model impeachment dengan
menerapkan 3 tingkatan pengambilan keputusan, dimana prosesnya
dilaksanakan di DPR, MK, dan MPR. Dikatakan menganut model
impeachment karena putusan mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden di Indonesia merupakan kewenangan MPR sebagai lembaga
perwakilan rakyat dan keputusannya diambil berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan politik. Sementara peran MK hanya sebagai lembaga yudikatif
yang memutus keabsahan alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden yang didakwakan DPR berdasarkan pertimbangan hukum semata-
mata. Putusan MK tidak dapat menjatuhkan sanksi pidana maupun politik
berupa pemberhentian dari jabatan apabila presiden dan/atau wakil presiden
terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan DPR. Perbuatan yang
didakwakan tersebut merupakan alasan untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUDNRI 1945.
5.2 Saran-saran
Adapun saran yang dapat saya sampaikan berkenaan dengan materi
bahasan dalam tesis ini yaitu:
1. Batasan perbuatan tercela yang bermakna luas membuka peluang adanya upaya
politisasi terkait alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Oleh
karena itu definisi perbuatan tercela tersebut perlu dirumuskan batasan-
batasannya secara jelas dan dituangkan dalam suatu undang-undang, sehingga
183
tidak menimbulkan penafsiran luas sebagaimana definisi perbuatan tercela
yang terdapat dalam PMK No. 21 Tahun 2009. Hal ini juga untuk
mempermudah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil
presiden telah melakukan perbuatan tercela, sehingga menjamin pula kepastian
bahwa putusan MK tersebut didasarkan pada pertimbangan hukum semata
tanpa adanya tekanan politik dari pihak lainnya.
2. Dalam rangka mewujudkan prinsip negara hukum dalam proses pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia, maka hendaknya putusan MK
disertai pula dengan adanya kewajiban bagi MPR untuk memperhatikan secara
sungguh-sungguh putusan MK tersebut. Hal ini mengingat sifat putusan MK
yang final dan mengikat, artinya terhadap putusan tersebut tidak ada lagi upaya
hukum yang dapat ditempuh, serta mengikat langsung pada saat diucapkan
tidak hanya kepada pihak berperkara melainkan juga sebagai norma yang
mengikat seluruh warga negara (Erga Omnes). Atas sifat putusan MK tersebut
meskipun tidak memiliki kekuatan eksekutorial dalam arti tidak secara
otomatis memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden secara langsung.
Mengingat substansinya, maka putusan tersebut haruslah diperhatikan
sungguh-sungguh dalam pengambilan keputusan akhir di MPR. Dengan
demikian adanya pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia
tetap dapat menjaga berjalannya prinsip-prinsip negara hukum dan sistem
pemerintahan presidensial, yaitu dengan menjamin bahwa pemberhentian
tersebut dilakukan semata-mata berdasarkan atas pertimbangan hukum yaitu
184
adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil
presiden maupun bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi
sebagai presiden dan/atau wakil presiden (incapacity).
185
DAFTAR BACAAN
BUKU:
Akbar, Patrialis, 2013, Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD NRI 1945, Sinar Grafika, Jakarta
A.R., Hanta Yuda, 2010, Presidensialisme Setengah Hati dari Dilema ke Kompromi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Asshiddiqie, Jimly, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah (Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara), UI-Press, Jakarta
_________, 2004, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
_________, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekjen Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta
_________, 2007, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Pemikiran Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dan Para Pakar Hukum, The Biography Institute, Bekasi
_________, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta
Atmadja, I Dewa Gede, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang
Bertens, K., 2013, Etika Edisi Revisi, Kanisius, Yogyakarta.
Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadillah, 2009, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung.
Djamali, R. Abdoel, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta
Fadjar, Abdul Mukthie, 2003, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Pradikamatik, In-Trans, Malang
186
_________, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press dan Citra Media Yogyakarta, Jakarta.
Finer, Herman, 1962, Major Goverment of Modern Europe, Harper & Row Publisher, New York
Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung
Gautama, Sudargo, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung
Gerhard, Michael J., 2005, The Federal Impeachmet Process (A Constitutional and Historival Analysis), The University of Chicago Press, Chicago
Harun, Refly, Zainal A.M. Husein, dan Bisariyadi, 2004, Menjaga Denyut Konstitusi : Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta.
Hadjon, Philipus M., dkk., 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Haryatmoko, 2011, Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Huda, Ni’matul, 2003, Politik Ketatanegaraan Indonesia, FH-UII Press, Yogyakarta
_________, 2007, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
__________, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press, Jakarta
Indra, Muhammad Ridwan, 1998, Kekuasaan Presiden dalam UUD 1945 Sangat Besar, Trisula, Jakarta
Indrayana, Denny, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Penerbit Mizan, Bandung
_________, 2008, Negara antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Isra, Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Iver, R.M. Mac, 1926, The Modern State, Oxford University Press, London
Juanda, 2004, Hukum Pemerintah Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung
187
Kranenburg, R. & W. G. Vegting, 1958, Inleiding in het Nederlands Administratief Recht, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta
Kusnardi, Moh. & Harmaily Ibrahim, 2005, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, Jakarta
Latif, Abdul, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi), Kreasi Total Media, Jakarta.
M.D., Moh. Mahfud, 2003, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta
________, 2004, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, UII Press, Jogjakarta
________, 2011, Perdebatan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta.
Manan, Bagir dan Kuntana Magnar, 1993, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung
________, 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah Univ. Padjajaran, Bandung
________, 2003, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta
________, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta
Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1981, Pengantar Perbandingan antar Hukum Tata Negara, CV. Rajawali, Jakarta
________, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung
Marzuki, Laica, 2006, Berjalan-jalan di Ranah Hukum : Pikiran-pikiran Lepas Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
Mulyosudarmo, Suwoto, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta
Nolledo, Jose N., 2000, The Constitution of The Republic of The Philipine-Explain, National Book Store Quad Alpha Centrum BLDG, Manila-Philipine.
Nurdin, Nurliah, 2012, Komparasi Sistem Preisdensial Indonesia & Amerika Serikat Rivalitas Kekuasaan antara Presiden &Legislatif, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Jakarta
188
Pieris, John, 2007, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Presiden RI, Pelangi Cendekia, Jakarta
Prodjodikoro, Wirjono, 1970, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta
Ranawijaya, Usep, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia : Dasar-dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta
Rasjidi, Lili dan B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya, Bandung
Riyanto, Astim, 2006, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung
Saleh, M. dan Mukhlish, 2010, Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden (Sebuah Tinjauan Konstitusional), Bina Ilmu Offset, Surabaya.
Sapuan, 2010, Impeachment Presiden, STAIN Press, Purwokerto.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI- Press, Jakarta
_________, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan : Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius Yogyakarta.
Soimin dan Mashuriyanto, 2013, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta
Subawa, I Made, dkk.,., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar
Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni, Setara Press, Malang
Surbakti, A. Ramlan, 1998, Reformasi Kekuasaan Presiden, Grasindo, Jakarta
Thalib, Abdul Rasyid, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Syaifudin, 2007, Kajian terhadap Perubahan UUD 1945 : Studi tentang Sistem Pemerintahan Negara, FH-UII Press, Yogyakarta.
Surakhmad, Winarno, 1985, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik, Tarsito, Bandung.
Yudho, Winarno, dkk., 2005, Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
189
Zoelva, Hamdan, 2005, Impeachment Presiden : Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta.
________, 2011, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
TESIS/DISERTASI:
Chairi, Ellydar, 2005, Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Progam Doktor Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Noor, Nandang Alamsyah Deliar, 2006, Forum Previligiatum dalam Negara Hukum Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung.
Suantra, I Nengah, 2005, Pemberhentian Presiden Republik Indonesia dari Jabatannya Setelah Perubahan UUD 1945, Tesis, Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana
Wasito, Wiwik Budi, 2009, Mekanisme, Wewenang, dan Akibat Hukum Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Tesis, Program Studi Pasca Sarjana Kekhususan Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia.
JURNAL:
Indrastuti, Lusia, 2012, Prosedur Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945, e-Journal Universitas Slamet Riyadi, hal. 18, http://ejournal.unisri.ac.id
INTERNET:
Asshiddiqie, Jimly, Gagasan Negara Hukum Indonesia, http://jimly.com/makalah/namafile/57/ Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
190
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949.
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226).
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.