presiden dan wakil presiden

Upload: i-gusti-ngurah-santika-spd

Post on 18-Oct-2015

216 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    1/53

    Presiden Dan Wakil Presiden

    Oleh: I Gusti Ngurah Santika, SPd

    Hamidi dan Lutfi (2010;118) menyatakan lembaga Kepresidenan merupakan sebuahinstitusi yang terdiri atas Presiden bersama dengan Wakil Presiden serta sejumlah aparat

    pemerintah yang merupakan pelaksana kekuasaan eksekutif dalam susunan ketatanegaraan

    Republik Indonesia. Aparat pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah pengertian

    pemerintah yang memiliki arti sempit karena hanya menyangkut Presiden dan Wakil Presiden

    beserta menteri-menteri sebagai pembantu Presiden yang biasa dengan eksekutif yang berada

    pada tingkat pusat. Dikarenakan selain adanya pengertian pemerintah/eksekutif dalam arti yang

    sempit sebagaimana dimaksudkan di atas, terdapat juga pengertian eksekutif dalam arti luas.

    Badan eksekutif dalam arti luas tidak hanya Presiden beserta pembantu-pembantunya, yang

    dalam hal ini adalah menteri-menteri yang mendampinginya, karena di samping itu menurut

    Budiardjo (2008;295), pengertian eksekutif dalam arti luas merupakan badan yang juga

    mencakup para pegawai negeri sipil dan militer. Sehingga, badan eksekutif dalam arti luas tidak

    hanya menyangkut Presiden dan Wakil Presiden beserta menteri-menterinya melainkan juga

    seluruh pegawai negeri sipil dan militer sebagaimana dimaksud oleh Mirriam Budiardjo tersebut.

    Hal ini tentunya akan berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh Mahmud MD (2001;66)

    yang menyatakan bahwa pemerintah dalam arti sempit (yang disebut berstuur) hanya mencakup

    organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan (eksekutif) yang biasa dilakukan

    oleh Kabinet dan aparat-aparatnya dari tingkat pusat sampai ke daerah. Dengan demikian,

    Mahmud MD memberikan pengertian pemerintah dalam arti sempit yang juga meliputi pegawai

    negeri dan militer sebagaimana dimaksudkan oleh Budiardjo merupakan pengertian eksekutifdalam arti yang luas.

    Di dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dirumuskan bahwa: Presiden Republik Indonesia

    memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 4 ayat (1) UUD

    1945 tersebut merupakan salah satu pasal yang tidak dilakukan perubahan oleh MPR. Bahkan,

    Badan Pekerja MPR yang melakukan perubahan pada waktu itu memandang bahwa Pasal 4 ayat

    (1) UUD 1945 tidaklah perlu untuk dirubah, dikarenakan tidak adanya hubungan antara

    otoriterisme pemerintahan selama ini dengan adanya pasal tersebut. Sehingga, tidaklah perlu

    untuk mengadakan perubahan sebagaimana dimaksud di atas dan akhirnya semua anggota Badan

    Pekerja menyepakatinya. Kekuasaan pemerintahan sebagaimana dimaksud, dalam Pasal 4 ayat(1) UUD 1945 adalah kekuasaan presiden dalam bidang eksekutif, yang merupakan kewenangan

    Presiden dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan yang tertinggi sebagai wujud satu

    kesatuan daripada kedudukannya yaitu di samping sebagai kepala pemerintahan juga merupakan

    kepala negara. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 tersebut

    memiliki makna yang sama, baik sebelum maupun sesudah diadakannya perubahan terhadap

    UUD 1945. Dengan adanya pasal tersebut maka, Presiden dapat mengeluarkan peraturan-

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    2/53

    peraturan serta penetapan-penetapan sesuai dengan kebutuhan serta tentunya tidak bertentangan

    dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut, dari

    ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dapat ditarik kesimpulan, bahwa kekuasaaan pemerintahan

    dalam arti dapat membentuk peraturan dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dalam arti

    bahwa pelaksanaan (uitvoering), dapat berarti pengeluaran penetapan-penetapan atau berupa

    perbuatan-perbuatan nyata lainnya atau berupa pengeluaran peraturan-peraturan lebih lanjut

    (gedelegeerde wetgeving). Hal ini tentunya sesuai dengan Penjelasan UUD 1945 sebelum

    dihapus berkaitan dengan Pasal 4 tersebut, yang berbunyi.

    Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Untuk menjalankan undang-

    undang, ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir

    reglementair) (kursif penulis).

    Namun, berkaitan dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, Ghaffur (2011;77) menyatakan

    bahwa kata-kata menurut Undang-Undang Dasarberarti wewenang diatur di dalam UUD

    sehingga pembatasan wewenang tersebut terletak sesuai apa yang tertulis di dalam UUDtersebut. Meskipun begitu, karena Indonesia adalah negara hukum, maka Presiden juga harus

    tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang lain. Bahkan menurut Hamzah (2012;190)

    bahwa eksekutif pada intinya dipilih oleh rakyat untuk memerintah menurut undang-undang,

    bukan memerintah tanpa undang-undang seperti diktaktor. Dengan demikian, UUD 1945 dan

    undang-undang serta peraturan lainnya merupakan dasar daripada tindakan pemerintahan, dalam

    melaksanakan segala tugas yang telah dibebankan. UUD 1945 menjadi pembatas pemerintah

    dalam menjalankan tugasnya, maka tidak benarlah jika pemerintah berkehendak untuk

    melangkahi UUD 1945, apalagi tindakannya nyata-nyata melanggar UUD 1945,yang tentunya

    merugikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2)

    UUD 1945.

    Selanjutnya, berkaitan dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa

    Presidenlah yang memegang kekuasaan pemerintahan, maka terlihat bahwa Presiden memegang

    kekuasaan yang sangat besar. Hal tersebut dikatakan, karena dari kata pemerintahan

    sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, memiliki makna yang menurut penulis adalah

    jamak. Menurut Soemantri (1992;45) bahwa pemerintah mempunyai dua macam pengertian,

    pertama, dalam arti luas, yang meliputi semua cabang kekuasaan dalam negara, yang terbentuk

    dalam alat-alat perlengkapan negara (lembaga negara) dan kedua, dalam arti sempit, yang hanya

    mengenai satu cabang kekuasaan saja. Apabila dilihat dari teori yang diberikan oleh Van Vollen

    Hoven, pengertian pemerintahan (regering) bisa berartikan sebagai lembaga (overhead) dapat

    pula sebagai suatu fungsi. Pemerintahan dalam arti luas terdiri atas empat fungsi, yaitu

    ketataprajaan (bestuur), pengaturan (regeling), keamanan/kepolisian (politie), dan peradilan

    (rechtpraak) di mana fungsi yang terakhir ini kemudian dipisahkan karena adanya wawasan

    negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) (Indrati,2007;131). Jadi tidak diartikan sebagai

    pemerintah yang hanya menjalankan kekuasaan eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-

    tugas yang lainnya yang termasuk legislatif dan yudikatif (Nugroho,2011;13). Dengan demikian,

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    3/53

    seperti apa yang telah dinyatakan di atas oleh para ahli, Mahmud (2001;66) menyatakan

    mengenai hal yang sama mengenai pengertian pemerintah dalam arti luas, yang menurutnya

    meliputi seluruh organ kekuasaan di dalam negara yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

    Bahkan pemerintah dalam arti luas ini diartikan sebagai pelaksanaan tugas seluruh badan-badan,

    lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi wewenang untuk mencapai tujuan negara.

    Dalam arti yang luas pemerintah itu sering disebut regering. Sedangkan menurut Attamimi

    (1990;114) pemerintahan dalam arti luas, meliputi segala urusan yang dilakukan oleh negara

    dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara sendiri. Sedangkan dalam

    arti sempit ialah hanya menjalankan tugas eksekutif saja. Pemerintah dalam arti luas itu

    mencakup semua alat kelengkapan negara, yang pada pokoknya terdiri dari cabang kekuasaan

    eksekutif, legislatif, dan yudisial atau alat-alat kelengkapan negara lain yang bertindak untuk dan

    atas nama negara, sedangkan dalam pengertian sempit pemerintah adalah cabang kekuasaan

    eksekutif (Manan dan Magnar,1997;158-159). Bahkan dalam hal ini Kusnardi dan Sarigih

    (2008;113) menyatakan bahwa pemerintah harus diartikan luas yang mencakup semua badan-

    badan negara. Sehingga, menurut Ridwan HR (2011;30) bahwa pemerintahan adalah segalaurusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan

    kepentingan negara.

    Namun, dalam pemaparan kali ini hanya akan dibahas pengertian pemerintahan dalam arti

    sempit, yang tentunya hany meliputi tugas dan kewenangan presiden sebagai kepala negara

    sekaligus kepala pemerintahan dalam sistem pemerintahan presidensial sebagaimana dimaksud

    oleh UUD 1945. Walaupun jika kita lihat, dapatlah dikatakan kemudian bahwa Presiden

    merupakan penyelenggara pemerintahan tertinggi menurut UUD 1945, yang menjalankan

    seluruh tugas dan fungsi pemerintahan dalam arti luas, yang bisa menyangkut berbagai tugas

    seperti ketataprajaan, keamanan/kepolisian, dan pengaturan. Namun, tugas utama yangdibebankan kepadanya adalah pemerintahan dalam arti eksekutif saja, sedangkan untuk tugas-

    tugas yang lainnya adalah tugas tambahan yang biasanya diberikan kepadanya karena

    kedudukannya juga sebagai kepala negara, hal ini kemudian akan terlihat lebih jelas apabila

    negara tersebut merupakan negara yang tentunya menganut sistem pemerintahan parlementer.

    Selain itu, pasal tersebut juga menunjukan adanya pengertian Presiden merupakan pengertian

    dalam sistem pemerintahan presidensial, bukan sistem pemerintahan yang menganut sistem

    pemerintahan parlementer. Oleh karena itu, dalam sistem pemerintahan presidensial, tidak

    diperlukan adanya pembedaan atau tidak perlunya untuk dibedakan antara presiden sebagai

    kepala negara dan presiden selaku kedudukannya sebagai kepala pemerintahan. Presiden adalah

    presiden, yaitu jabatan yang memegang kekuasaan menurut Undang-Undang Dasar 1945 juga

    tidak mengatur tentang kedudukan kepala negara (head of government) atau chief executive. Hal

    ini tentu akan berbeda maknanya jika UUD 1945, menganut sistem pemerintahan parlementer,

    sehingga dipandang perlu untuk memisahkan jabatan antara Presiden sebagai kepala negara dan

    perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    4/53

    Jika kita telusuri kembali dalam sejarahnya, maka penjelasan UUD 1945 yang menurut

    banyak ahli ternyata dibuat oleh Soepomo kemudian dan dari sanalah kita dapat melihat adanya

    pembedaan yang dituliskan secara eksplisit, terkait dengan Presiden yang di samping dinyatakan

    sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Penjelasan tentang UUD 1945 itu

    sendiri diumumkan resmi dalam Berita Republik Tahun II No. 7, 15 Februari 1946 dan kemudian

    dijadikan lampiran tak terpisahkan dengan naskah UUD 1945 oleh Dekrit Presiden tanggal 5 Juli

    1959 (Darmodihardjo,dkk,1991;155). Dalam Penjelasan tersebut, istilah ini dipakai pada waktu

    itu adalah untuk menjelaskan kedudukan Presiden Republik Indonesia menurut UUD 1945 yang

    merupakan kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan (head of government)

    sekaligus.

    Untuk lebih lebih memperjelas kedudukan penjelasan UUD 1945 sebelum dihapus, bahwa

    banyaklah orang yang mungkin mengira bahwa UUD 1945 yang sebenarnya merupakan karya

    besar dari BPUPKI yang kemudian disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 sudah

    langsung dilengkapi dengan Penjelasannya. Dapat diketahui bahwa Penjelasan UUD 1945

    sebagaimana tercantum di belakang Batang Tubuh UUD 1945 seperti sekarang (sebelum

    perubahan) baru dicantumkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7, 15 Februari

    1946. Penjelasan yang dicantumkan dalam Berita Republik Indonesia tersebut ditulis oleh

    Soepomo yang disarikan dari pembahasan UUD dalam forum BPUPKI. Hal ini dikarenakan,

    Undang-Undang Dasar yang disahkan oleh PPKI hanya terdiri dari Pembukaan dan Batang

    Tubuh, dengan di dahului disahkannya pembukaan dan selanjutnya diikuti dengan disahkannya

    batang tubuhnya (pasal-pasal).

    Sebagai akibat diakuinya adanya dua kualitas kedudukan Presiden sebagai kepala negara

    dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan itu, timbul kebutuhan yuridis untuk membedakan

    keduanya dalam pengaturan mengenai hal-hal yang lebih teknis dan operasional. Misalnya,

    dibayangkan bahwa Presiden perlu dibantu oleh sekretaris dalam kualitasnya sebagai kepala

    negara, dan sekretaris yang lain lagi untuk membantu dalam kapasitasnya sebagai kepala

    pemerintahan. Inilah sebabnya muncul ide untuk membedakan antara sekretaris negara dengan

    sekretaris kabinet disepanjang sejarah masa lalu. Namun, dalam praktek adanya kedua jabatan ini

    kadang-kadang menimbulkan permasalahan. Hal ini tidak lain disebabkan karena, pemangku

    kedua jabatan ini sering bersaing dalam melayani pimpinan. Yang dalam hal ini menurut

    Asshiddiqie (2006;127) tidak diperlukan adanya suatu pembedaan sebagaimana dimaksud di

    atas, dikarenakan bahwa:

    Sebenarnya perbedaan-perbedaan semacam itu tidaklah bersifat riil, melainkan hanya

    perbedaan di atas kertas, yang hanya ada dalam diskourse wacana. Kalaupun dianggap

    penting, paling-paling untuk kebutuhan hal-hal yang bersifat protokoler yang biasanya

    berlaku dalam forum-forum pergaulan antar negara, khususnya terkait dengan kepala

    negara dan/atau kepala pemerintahan. Misalnya, dalam pertemuan di forum-forum

    Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations), kerap diadakan pertemuan khusus antar

    kepala negara, berarti yang hadir adalah para presiden dan para raja atau ratu. Tetapi jika

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    5/53

    pertemuan yang diadakan adalah antar kepala pemerintahan, maka yang hadir adalah

    Presiden dan para perdana menteri (Prime Ministers), sedangkan raja dan ratu sebagai

    kepala negara tidak diundang. Pembedaan yang menjadi penting, karena banyak negara

    yang memang menganut praktek yang memisahkan antara kedua jabatan kepala negara dan

    kepala pemerintahan itu, yaitu khususnya negara-negara yang menganut sistem

    pemerintahan parlementer. Namun, di lingkungan negara-negara yang menganut sistem

    pemerintahan presidensiil murni, memang tidak diperlukan pembedaan dan apabila

    pemisahan antara pengertian kepala negara dan kepala pemerintahan itu. Yang ada hanya

    presiden dan wakil presiden saja.

    Presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan tidak dapat dipisahkan

    dalam sistem pemerintahan presidensiil. Hal tidak mungkin dilakukan pembedaan dalam jenis

    surat keputusan presiden dalam dua macam kedudukan. Keputusan Presiden selaku kepala

    negara dan selaku kepala pemerintahan tidak relevan untuk dibedakan. Pembedaan dan apalagi

    pemisahan keduanya hanya akan menyebabkan tumpang tindih kewenangan dalam praktek di

    lapangan yang justru dapat menimbulkan kekisruhan dan bahkan kekacauan administrasi atau

    menggangu tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan(Asshiddiqie,2006;128).

    Selain ketentuan tentang Presiden ternyata di dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUD 1945,

    diatur juga mengenai satu orang Wakil Presiden yang akan membantu Presiden terutama dalam

    penyelenggaraan pemerintahan, seperti yang dinyatakan oleh Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 yang

    berbunyi bahwa : Dalam menjalankan kewajibannya, Presiden dibantuolehsatuorangWakil

    Presiden(kursif penulis). Kata dibantu tersebut tidaklah sama maknanya dengan kata dibantu

    seperti yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 17 UUD 1945, dikarenakan kedudukan Wakil

    Presiden adalah lebih tinggi daripada kedudukan menteri-menteri dalam kabinet. Hal ini

    dikarenakan, secara konstitusional Wakil Presiden memiliki kedudukan yang berbeda dengan

    menteri-menteri sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUD 1945. Terutama berkaitan dengan

    tingkat legitimasi antara Wakil Presiden dengan menteri-menteri dalam kabinet. Secara

    konstitusional Wakil Presiden yang merupakan satu pasangan dengan Presiden pada saat

    pemilihan umum, tentunya memiliki legitimasi lebih tinggi dari menteri-menteri, karena dipilih

    oleh rakyat secara langsung. Sedangkan menteri merupakan pembantu Presiden dan tentunya

    pada saat-saat tertentu dimana Presiden tidaklah dapat melaksanakan tugas, entah karena

    kunjungan ke luar negeri dan sebab-sebab lainnya yang dibenarkan oleh hukum ataupun karena

    tidak dapat menyelenggarakan pemerintahan seterusnya, maka Wakil Presidenlah yang

    menggantikan posisi Presiden untuk sementara waktu atau mengganti kedudukannya secarapermanen sampai habis masa jabatannya. Tentunya dalam hal ini menteri-menteri tersebut harus

    tunduk pada perintah Wakil Presiden yang telah mendapatkan mandat untu menjalankan tugas-

    tugas Presiden untuk sementara waktu atau memang tidak dapat lagi menjalankan tugas

    pemerintahannya seperti yang ditentukan oleh UUD 1945. Selanjutnya berkaitan dengan tugas

    Presiden dapatlah dilihat kemudian dalam ketentuan Pasal 5 UUD 1945 disebutkan sebagai

    berikut.

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    6/53

    1. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan PerwakilanRakyat.

    2. Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan pemerintahansebagaimanamestinya (kursif penulis).

    Perubahan pasal ini telah memindahkan secara tidak langsung titik berat daripadakekuasaan legislasi nasional yang semula berada di tangan Presiden, kemudian beralih ke tangan

    DPR. Pemberdayaan DPR tidak menyebabkan DPR lebih kuat dibandingkan Presiden, karena

    kedua lembaga negara tersebut berada dalam kedudukan yang seimbang/setara dalam sistem

    ketaanegaraan Indonesia menurut UUD 1945. Sebelum UUD 1945 diamandemen telah diatur

    dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) bunyinya bahwa Presiden memegangkekuasanmembentuk

    undang-undang(kursif penulis). Dengan demikian, pada waktu itu telah ditentukan bahwa

    Presiden selain memegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan

    Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, Presiden yang juga menurut UUD 1945 sebelum diamandemen

    ternyata ditentukan sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang seperti bunyi

    dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum diamandemen. Inilah yang menurut

    pendapat banyak ahli merupakan salah satu sumber penyebab daripada otoriter tindakan-tindakan

    Presiden, seperti yang dialami pada masa Orde Baru terutama dalam menjalankan pemerintahan

    yang diamanatkan oleh UUD 1945. Kemudian ketentuan tentang Presiden yang memegang

    kekuasaan Membentuk undang-undang selama perjalanannya ternyata banyak disalahgunakan

    oleh Presiden, sehingga seolah-olah tindakannya dapat dibenarkan jika dilihat dari sudut

    konstitusional, walaupun pada waktu itu sebenarnya banyaklah undang-undang yang dibentuk

    ternyata bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945.

    Dominannya kedudukan Presiden dalam pembuatan undang-undang, ditambah dengan flexible-

    nya Undang-Undang Dasar, yang mana tentunya membutuhkan pengaturan yang lebih rendahterutama lewat atribusi dalam bentuk undang-undang, menyebabkan isi undang-undang tersenut

    kebanyakan merupakan pencerminan kehendak sepihak daripada sang penguasa yaitu Presiden.

    Sehingga, banyak yang mengatakan bahwa dengan besarnya kekuasaan yang diberikan kepada

    seorang Presiden oleh Undang-Undang Dasar 1945, telah menyebabkan pula sistem

    pemerintahan yang dianut pada waktu itu adalah executive heavy. Dengan demikian, terlihat

    ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum diamandemen telah memberikan fungsi

    ganda kepada Presiden, atau dengan kata lain, Presiden sebagai satu organ ternyata ditentukan

    dalam UUD 1945 memiliki dua fungsi. Padahal fungsi Presiden yang merupakan lembaga

    eksekutif seharusnya hanya memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar.

    Namun, oleh undang-undang dasar itu sendiri, telah memperluas pengertian pemerintahan

    menurut undang-undang dasar, dengan menambahkan kepada Presiden berupa tugas untuk

    memegang kekuasaan pembentukan undang-undang, yang seharusnya dipegang oleh DPR.

    Namun, dengan adanya perubahan terhadap ketentuan dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945

    tersebut, telah menyebabkan pula terjadinya pergeseran kekuasaan dalam pembentukan undang-

    undang. Dengan demikian pemegang utama (primer) kekuasaan legislatif untuk membentuk

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    7/53

    undang-undang adalah DPR, sedangkan Presiden hanyalah pemegang kekuasaan sekunder

    (Widarsono,2002;18). Peletakan kembali fungsi kelembagaan negara adalah disesuaikan dengan

    kedudukan lembaga negara tersebut, yang memang seharusnya ditentukan untuk memegang

    fungsi tersebut. Adanya perubahan tersebut merupakan suatu kebijakan yang dinilai sangatlah

    tepat dan hal ini sudah dilakukan oleh MPR terutama pada saat perubahan pertama. Perubahan

    pertama tersebut mengagendakan untuk mengembalikan fungsi kewenangan yang seharusnya

    dipegang oleh kembaga negara tersebut atau lebih konkretnya adalah bertujuan untuk

    mengurangi kekuasaan Presiden, terutama kekuasaannya di dalam bidang pembentukan undang-

    undang. Sehingga, nantinya diharapkan undang-undang yang dibentuk memanglah sungguh-

    sungguh merupakan kehendak rakyat yang berdaulat, tidak lain dikarenakan undang-undang

    tersebut benar-benar dibuat oleh wakil-wakil rakyat sendiri, sehingga dengan demikian undang-

    undang itu merupakan produk dari rakyat yang berdaulat. Namun, dilain pihak, dengan

    dirubahnya terkait dengan pasal tersebut, tidaklah berarti kemudian menghapus sama sekali

    keterlibatan Presiden dalam bidang pembentukan undang-undang, dikarenakan Presiden ternyata

    juga diberikan berupa hak untuk mengajukan rancangan undang-undang. Dengan adanya hakyang diberikan oleh UUD 1945, dalam hal mengajukan rancangan undang-undang oleh Presiden

    kepada DPR, berarti telah memberikan kesempatan pula kepada pemerintah untuk mengajukan

    hal-hal, yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk dijadikan dasar dalam melakukan tugasnya,

    terutama berkaitan dengan kesejahteraan rakyat, yang tentunya perlu diatur kembali dalam

    bentuk undang-undang. Sebenarnya tentu banyak pertimbangan, yang dijadikan dasar oleh MPR,

    untuk tidaklah menghapus sama sekali keterlibatan Presiden dalam bidang pembentukan undang-

    undang. Dapatlah dikatakan bahwa, dengan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah, baik

    sumber daya manusia (tenaga ahli) dan perlengkapan, serta merupakan ujung tombak negara

    terutama dalam mewujudkan tujuan nasional yaitu menyejahterakan rakyat, serta tercapainya

    keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, maka dipandang perlu diberikan

    hak kepada Presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.

    Bahkan, telah ditentukan dalam ayat (2) Pasal 5 UUD 1945 bahwa, Presiden menetapkan

    peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Peraturan

    Pemerintah itu merupakan bentuk delegated legislation atau kewenangan yang di delegasikan

    oleh principal legislator atau pembentuk undang-undang kepada Presiden selaku kepala

    pemerintahan yang akan menjalankan (eksekutif) undang-undang yang bersangkutan

    (Asshiddiqie,2012;167). Bahkan terkait dengan adanya ketentuan tersebut, kemudian Kelsen

    (2011;361) menyatakan pendapatnya bahwa jika kita berbicara tentang eksekutif, yang berarti

    pelaksanaan, kita harus bertanya apakah yang dillaksanakannya. Tidak ada jawaban lain kecuali

    pernyataan bahwa yang dilaksanakan itu adalah norma-norma umum, konstitusi, dan hukum-

    hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Kekuasaan eksekutif dimaknai sebagai kekuasaan

    yang berkaitan dengan penyelenggaraan kemauan negara dan pelaksanaan undang-undang

    (ICCE UIN,2010;72). Hal ini karenakan, untuk dapat dijalankannya sebuah undang-undang

    maka perlulah diatur kembali dalam bentuk peraturan yang berada di bawah posisi undang-

    undang tersebut, agar lebih teknis sehingga undang-undang dapat operasionalkan di lapangan.

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    8/53

    Dan tentunya kewenangan untuk membentuk peraturan di bawah undang-undang tersebut

    terletak lembaga eksekutif, atau yang lebih konkretnya untuk Indonesia menurut UUD 1945

    adalah terletak pada tangan Presiden yang berkedudukan pula sebagai kepala administrasi

    tertinggi. Maka penulis mengutip pendapat Situmorang dan Sudibyo (1992;17) yang menyatakan

    bahwa administrasi negara memandang undang-undang itu sebagai rumusan dari kehendak-

    kehendak negara tersebut, yang wajib dipenuhi atau realisasi oleh administrasi negara.

    Dikarenakan undang-undang bersifat umum-abstrak, yang untuk itu perlulah direalisasikan

    dalam bentuk peraturan pemerintah sebagai bentuk peraturan yang berada tepat di bawah

    undang-undang, sehingga dapatlah kemudian untuk dilaksanakan di lapangan. Berdasarkan

    pernyataan tersebut di atas, jelas sekali bahwa peranan lembaga-lembaga pemerintahan bukan

    saja melaksanakan kebijaksanaan negara tetapi juga berperan dalam merumuskan kebijaksanaan

    tersebut. Peranan kembar yang dimainkan oleh lembaga pemerintahan tersebut memberikan

    gambaran betapa pentingnya peranan administrasi negara (Islamy,2004;9). Berkaitan Presiden

    yang juga memiliki hak terutama untuk menetapkan Peraturan Pemerintah guna menjalankan

    Undang-Undang sebagimana mestinya. Kata sebagaimana mestinya artinya adalah materidalam muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang

    diatur dengan undang-undang yang bersangkutan. Dari penjelasan ini timbul penafsiran bahwa

    sekiranya tidak diperintahkan secara eksplisit pun undang-undang, PP tetap dapat dikeluarkan

    oleh Pemerintah asalkan materinya tidak bertentangan dengan undang-undang, dan asalkan hal

    itu memang diperlukan sesuai dengan kebutuhan yang timbul dalam praktik untuk dimaksud

    menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Asshiddiqie,2006;216). Dengan kata

    lain bahwa pemerintah menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka dengan bertitik tolak

    dari situasi-situasi dan kondisi-kondisi tertentu, bukan atas dasar doktrin umum

    (Barros,1984;165).

    Dalam hubungan dengan pendelegasian kewenangan itu, kadang-kadang timbul

    permasalahan, misalnya kewenangan yang didelegasikan tersebut disalahgunakan oleh

    pemerintah. Jika umpamanya, materi yang diatur dalam Peraturan pemerintah itu berlebihan atau

    dengan kata laintidak menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Dikarenakan

    Peraturan Pemerintah tersebut mengurangi atau menambah materi yang tidak sesuai dengan

    undang-undang sehingga berakibat mengubah materi undang-undang yang dimaksud. Maka,

    dalam UUD 1945 sudah dengan jelas tercantum tentang mekanisme yang dapat dilakukan untuk

    menguji Peraturan Pemerintah tersebut, apakah sesuai dengan undang-undang yang dimaksud.

    Mekanisme pengujian peraturan di bawah undang-undang berada pada Mahkamah Agung. Pasal

    24A ayat (1) UUD 1945 menentukan, Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat

    kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-

    undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang

    (Asshiddiqie,2006).

    Kemudian berkaitan dengan kekuasaan legislatif yang juga dimiliki oleh Presiden seperti

    dalam ketentuan UUD 1945 antara lain disebutkan bahwa Presiden dan DPR mempunyai

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    9/53

    wewenang yang sama, untuk membahas setiap rancangan untuk kemudian disetujui bersama agar

    menjadi undang-undang (Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 hasil Perubahan Pertama). Dengan begitu,

    dapatlah dikatakan bahwa Presiden masih memiliki kewenangan dalam bidang legislatif terutama

    dalam bidang pembentukan undang-undang. Yang berarti tidak hanya dalam bentuk pengajuan

    rancangan undang-undang yang merupakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat

    (1) UUD 1945, namun ternyata juga ditentukan keterlibatan Presiden terutama dalam membahas

    rancangan undang-undang bersama dengan DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama.

    Untuk lebih jelasnya dapatlah dilihat dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang

    berbunyi bahwa Setiaprancangan undang-undang dibahasoleh Dewan Perwakilan Rakyat dan

    Presiden untuk mendapat persetujuan bersama(kursif penulis). Jadi, untuk dapat sebuah

    rancangan undang-undang kemudian menjadi undang-undang haruslah terlebih dulu adanya

    persetujuan bersamaantara Presiden dan DPR sebagai dua lembaga yang memiliki kewenangan

    untuk membentuk undang-undang. Bahkan dinyatakan di didalamnya jika seandainya nanti suatu

    rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama sebagaimana dimaksud dalam

    ayat (2) Pasal 20 UUD 1945 tersebut, maka rancangan undang-undang yang telah dibahastersebut, tidaklah boleh diajukan kembali untuk dibahas terutama sebelum berakhirnya periode

    persidangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam masa itu. Ketentuan tersebut dapatlah kita

    temukan dalam Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 secara lengkap bunyinya bahwa Jika rancangan

    undang-undang itu tidak mendapatpersetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak

    bolehdiajukan lagidalampersidanganDewan Perwakilan Rakyat masa itu. Selain ketentuan

    tersebut ternyata berkaitan dengan pembentukan undang-undang dalam ketentuan Pasal 20 ayat

    (4) UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden mengesahkanrancangan undang-undang yang telah

    disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. Dengan demikian, untuk berlakunya

    rancangan undang-undang atau agar rancangan undang-undang tersebut dapat mengikat umum,

    maka diperlukanlah pengesahan daripada Presiden berupa tanda tangannya sebagai tanda

    persetujuannya. Ketentuan tersebut sering pula terlihat dalam sistem pemerintahan yang

    menganut Parlementer, di mana suatu rancangan undang-undang yang telah dibahas oleh menteri

    bersama dengan parlemen kemudian harus kembali disahkan oleh raja, agar rancangan undang-

    undang tersebut dapat berlaku serta mengikat umum. Namun, untuk UUD 1945 telah

    menentukan bahwa walaupun tanpa adanya suatu pengesahan rancangan undang-undang oleh

    Presiden, maka rancangan undang-undang yang telah mendapatkan persetujuan bersama tersebut

    akan sah menjadi undang-undang, dalam tempo waktu tiga puluh hari semenjak rancangan

    undang-undang tersebut telah mendapatkan persetujuan bersama sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, yang menyatakan bahwa.

    Dalamhalrancangan undang-undang yang telah disetujui bersamatersebut tidak disahkan

    oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut

    disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib

    diundangkan (kursif penulis).

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    10/53

    Terkait dengan tugasnya dalam bidang pembentukan undang-undang, maka selanjutnya

    juga ditentukan dalam UUD 1945 bahaw Presiden ternyata berwenang mengeluarkan Perpu.

    Ketentuan ini dapat kita ketahui dari dalam Pasal 22 UUD 1945 yang terdiri dari 3 ayat, yang

    lengkap berbunyi seperti di bawah ini.

    1. Dalamhalihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkanperaturanpemerintahsebagaipengganti undang-undang.

    2. Peraturan pemerintah itu harus mendapatpersetujuan Dewan Perwakilan Rakyatdalampersidanganyangberikut.

    3. Jikatidakmendapatpersetujuan, maka peraturan pemerintah itu harusdicabut.Ketentuan dalam Pasal 22 UUD 1945 ini merupakan salah satu pasal yang tidak mengalami

    perubahan, sehingga memiliki makna yang sama pula dengan sebelum adanya perubahan

    terhadap UUD 1945. Pertimbangan daripada para pembentuk UUD 1945, untuk mencantumkan

    ketentuan ini dala UUD 1945 dapatlah kita ketahui dan kemudian dapat ditemukan dalam

    Penjelasan UUD 1945 sebelum dihapus, yang menyatakan bahwa.

    Pasal ini mengenai noodverordeningsrechtPresiden. Aturan ini memang perlu diadakan

    agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang

    genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian,

    pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena

    itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang

    harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

    Dengan adanya ketentuan ini, maka pemerintah dapat membuat suatu peraturan yang

    secara meteriil (isi) memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang, sebagaimanadimaksud oleh Penjelasan UUD 1945 sebelum dihapus. Dan tentunya bahwa pengertian ini

    sampai sekarangpun masih sama dengan yang dulu, tidak lain dikarenakan dalam ketentuan

    Pasal 22 UUD 1945 tidaklah mengalami perubahan, yang berarti maknanyapun masih sama pula

    seperti sebelum adanya perubahan terhadap UUD 1945. Kemudian Indrati (2007;215)

    berpendapat bahwa fungsi perpu adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan

    dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya, pengaturan lebih lanjut

    secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh (sebutan sebelum perubahan) UUD

    1945, pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya,

    pengaturan di bidang materi konstitusi. Namun, dengan adanya catatan bahwa dari keempat

    fungsi daripada perpu di atas, ternyata berkaitan dengan ketentuan untuk melaksanakan perintahketetapan dari MPR adalah sudah tidak lagi bisa dilakukan, karena MPR sendiri tidak lagi

    berwenang untuk mengeluarkan suatu ketetapan bersifat mengatur, terutama setelah adanya

    perubahan terhadap UUD 1945. Pengeluaran perpu oleh Presiden merupakan tafsiran Presiden

    secarasepihak terhadap hal ihwal kegentingan yang memaksa, sehingga dengan demikian

    menurut Presiden dipandang perlu untuk segera diatur dalam peraturan pemerintah pengganti

    undang-undang, terutama dengan tujuan untuk menghindari hal-hal yang memang tidaklah

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    11/53

    dikehendaki. Namun, yang memiliki hak untuk menilaisecaraobjektifterhadap tafsiran Presiden

    mengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa merupakankewenanganDewanPerwakilan

    Rakyat. Terbukti setelah ditetapkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang oleh

    Presiden, haruslah segera dimintakan persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat terutama

    pada persidangan berikutnya. Jika, nantinya Dewan Perwakilan Rakyat ternyata kemudian dalam

    keputusannya menyatakan bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa, sebagaimana

    dimaksudkan oleh Presiden yang kemudian disusul dengan mengeluarkan peraturan pemerintah

    pengganti undang-undang, ternyata dibenarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka peraturan

    pemerintah pengganti undang-undang tersebut akan menjadi undang-undang definitiv.

    Sedangkan apabila kemudian ternyata DPR menolak untuk menyetujui peraturan pemerintah

    pengganti undang-undang tersebut, maka peraturan pemerintah pengganti undang-undang

    tersebut haruslah dicabut. Pada dasarnya, Perpu itu mempunyai derajat yang sama dengan

    Undang-Undang, maka untuk itu DPR haruslah secara aktif mengawasi baik penetapan, maupun

    pelaksanaan Perpu tersebut di lapangan, janganlah sampai penetapan Perpu tersebut bersifat

    eksesif dan bertentangan dengan tujuan awal yang melatar belakangi kelahirannya. Dengandemikian, Perpu itu harus dijadikan objek pengawasan yang sangat ketat oleh DPR, sesuai

    dengan tugasnya terutama dibidang pengawasan termasuk dalam bidang pembentukan dan

    pelaksanaan undang-undang. Dalam UU No.12 Tahun 2011, juga diatur kembali berkaitan

    dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang ditetapkan oleh Presiden

    sebagaimana dimanatkan oleh UUD 1945 terutama Pasal 22. Kemudian adanya ketentuan Pasal

    52 UU No. 12 Tahun 2011 yang terdiri dari 5 ayat, yang menyatakan di dalamnya bahwa :

    1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalampersidangan yang berikut.

    2. Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dilakukan dalambentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentangpenetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.

    3. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadapPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

    4. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuanDPRdalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut

    ditetapkan menjadi Undang-Undang.

    5. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapatpersetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

    Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.

    6. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harusdinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden

    mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah

    Pengganti Undang-Undang.

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    12/53

    7. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatursegala akibat hukum

    dari pencabutanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

    8. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-

    Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam

    rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) (kursif penulis).

    Memang dalam berbagai hal dapat saja terjadi suatu peristiwa yang memang tidak diduga-

    duga sebelumnya, bahwasanya Presiden memerlukan tindakan yang cepat, tetapi ternyata

    belumlah ada pengaturannya terutama dalam bentuk undang-undang, sehingga dalam hal ini

    pemerintah tidaklah dapat bertindak leluasa untuk mengambil tindakan yang cepat untuk

    menanggapi situasi tersebut. Sedangkan bisa saja, ketika hanya menggunakan situasi seperti

    biasa sebagai pedoman terutama dalam pembentukan dasar hukum bagi tindakan pemerintah

    seperti misalnya dalam bentuk undang-undang. Sehingga mungkin saja akan memakan waktu

    yang cukup lama, sedangkan untuk menaggapi situasi tersebut tidaklah dapat ditunda-tunda lagi,apalagi yang paling penting adalah berkaitan dengan keselamatan rakyat ataupun yang

    berhubungan dengan kesejahteraan rakyat, yang memang merupakan tugas utama pemerintah.

    Dalam pertimbangan tersebut, selanjutnya mengingat kebutuhan masyarakat yang makin lama

    makin kompleks untuk segera dipenuhi, sedangkan pembuatan undang-undang lambat dan

    anggotanya terdiri dari orang-orang amatir, maka dalam hal ini pemerintah tidak dapat

    menunggu pembuat undang-undang dalam menyelenggarakan kepentingan umum (Kusnardi dan

    Sarigih,2008;93). Adanya ketentuan ini, merupakan satu konsekuensi dari dalam perundang-

    undangan sendiri yang mengamanatkan bahwa sebagai suatu negara dalam bentuk Welfare state

    (negara kesejahteraan, negara hukum yang dinamis) dengan Freies Ermessen nya yang

    menurut E. Utrecht mengundang konsekuensi sendiri dalam bidang perundang-undangan, yakni

    diberikannya kewenangan bagi pemerintahan untuk membuat peraturan perundangan baik atas

    inisiatif sendiri maupun atas delegasi yang diterimanya dari UUD serta menafsirkan isi

    peraturan yang bersifat enunsiatif (enumeratif) (Marbun dan Mahmud MD,2000;53-54). Freies

    Ermessen ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam

    penerapan asas legalitas (wetmatigheid van bestuur) (Ridwan HR,2011;171). Karena tidaklah

    dapat setiap situasi untuk ditangani dengan prosedur yang sama. Oleh karena itu, derajat yang

    tepat dari delegate discreation akan berbeda-beda menurut berbagai kondisi dalam dan luar yang

    dihadapi sebuah organisasi dari waktu ke waktu (Fukuyama,2005;64). Sehingga dengan

    demikian, dapatlah dikatakan bahwa kondisi merupakan prasyarat utama dalam mengambil

    tindakan, terutama berkaitan dengan pemenuhan kepentingan umum. Itu pulalah sebabnya

    mengapa negara administratif itu selalu dihubung-hubungkan dengan welfare state oleh karena

    suatu pemerintahan harus berusaha, melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan, tugas-tugas,

    wewenang dan tanggungjawabnya meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Siagian,1985;104).

    Hal ini dikarenakan bahwa pemerintah mewakili dan mengurus kepentingan umum

    (Kusumaatmadja dan Sidharta,2000;17). Dengan kata yang lain, dapat dikatakan bahwa Presiden

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    13/53

    memiliki salah satu tugas yaitu pembentukan hukum (rechtcvorming) merupakan penentuan

    kaidah abstrak yang berlaku umum (Sokanto dan Mamudji,2009;5). Memang ada baik apabila

    peranan pemerintah yang bertambah besar dalam penciptaan WelfareStateyang tentunya juga

    memerlukan kelincahan yang lebih besar jika dibandingkan hanya dengan suatu negara di mana

    pemerintahnya terutama bersikap sebagai polisi dan hanya bertindak atas permintaan

    perseorangan atau apabila ada kepentingan yang dilanggar. Akan tetapi dilain pihak, terhadap

    kebebasan bertindak dan mengatur bertambah besar dalam negara-negara ini, perlu dipikirkan

    cara-cara yang tepat agar dapat dipelihara keseimbangan antara kepentingan umum dan

    kepentingan warga negara (Lopa dan Hamzah,1991;18).

    Lebih lanjut terkait dengan adanya ketentuan tersebut di atas dapat dilihat dari ketentuan

    UUD 1945 tepatnya dalam Pasal 22 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945, yang dalam hal ini menurut

    pendapat Asshiddiqie (2006;80-83) yang mengemukakan bahwa :

    1. Peraturan tersebut peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, yang berartibahwa bentuknyaadalah peraturan pemerintah (PP) sebagaimana maksud Pasal 5 ayat(2) UUD 1945. Pasal 5 ayat (2) ini menyatakan,Presiden menetapkan peraturan

    pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Jikabiasanya

    bentuk Peraturan Pemerintah itu adalah peraturan yang ditetapkanuntuk menjalankan

    undang-undang sebagaimana mestinya, maka dalam keadaan kegentingan yang

    memaksabentuk Peraturan Pemerintah itu dapatdipakaiuntuk menuangkan ketentuan-

    ketentuan yang semestinya dituangkan dalam bentuk undang-undang dan untuk

    menggantikan undang-undang.

    2. Pada pokoknya, peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang itu sendiribukanlah nama resmi yang diberikan oleh UUD 1945. Namun, dalam praktek selama

    ini, peraturan pemerintah yang demikian itu lazim dinamakan sebagai Peraturan

    Pemerintah (tanpa sebagai) Pengganti Undang-Undang atau disingkat PERPU atau

    biasa juga ditulis perpu

    3. Perpu tersebut pada pokoknya hanya dapat ditetapkan oleh Presiden apabilapersyaratan kegentingan yang memaksa itu terpenuhi sebagaimana mestinya.

    Keadaan kegentingan yang memaksa yang dimaksud di sini berbeda dan tidak boleh

    dicampur adukan dengan pengertian keadaan bahaya sebagaimana ditentukan oleh

    Pasal 12 UUD 1945. Pasal 12 tersebut menyatakan, Presiden menyatakan keadaan

    bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-

    undang. Kedua ketentuan Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945tersebut sama-sama dari ketentuan asli UUD 1945, yang tidak mengalami perubahan

    dalam Perubahan Pertama sampai dengan Perubahan Keempat, artinya norma dasar

    yang terkandung di dalamnya tetap tidak mengalami perubahan (kursif penulis).

    Kusnardi dan Sarigih (1986;78) menyatakan bahwa pasal ini sebenarnya merupakan

    kekecualian dari prosedur pembuatan undang-undang yang biasa, karena keadaan yang genting

    dan yang memaksa. Dua unsur tersebut di atas itu merupakan syarat untuk berlaku kekecualian

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    14/53

    itu, artinya jika keadaan-keadaan itu telah genting namun belum memaksa, maka belum perlu

    kiranya untuk dipergunakan Pasal 22 itu. Menurut Mahmud MD dan Marbun (2000;30) bahwa

    dasar pemberian kewenangan ini adalah soluspopulisupreme lex (keselamatan rakyat adalah

    hukum tertinggi). Namun, untuk mempersempit adanya penyalahgunaan terhadap pasal tersebut,

    Huda (2007;78) menyatakan bahwa hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini hanya

    mengutamakan unsur: (i) kebutuhan hukum yang bersifat mendesak (proporsional legal

    necessity), sementara (ii) waktu yang tersedia sangat terbatas ( limited time) dan tidak

    memungkinkan untuk ditetapkannya undang-undang yang diperlukan untuk memenuhi

    kebutuhan hukum itu. Senada dengan pendapat Huda, maka Basah (dalam Syofian dan

    Hidayat,2004;11) menyatakan bahwa kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri

    menyelesaikan persoalan-persoalan penting dan mendesak yang muncul secara tiba-tiba di mana

    hukum (peraturan perundang-undangan) tidak mengaturnya, serta dapat dipertangungjawabkan

    secara hukum dan moral. Dengan demikian, pertanggungjawabkan yang utama dalam penetapan

    Perpu tidaklah dapat diukur melalui hukum tidak lain dikarenakan merupakan salah satu

    daripada tugasnya yang juga adalah kewenangannya terutama berdasarkan penilaiannya sendiriuntuk dituangkan ke dalam suatu kebijaksanaan, namun haruslah tetap berdasarkan kepada

    kepatutan yang dapat juga dipandang secara moral. Pendapat yang tidaklah jauh berbeda juga

    diberikan Sadjijono (2008;68)yangmenyatakan bahwa wewenang untuk bertindak berdasarkan

    penilaiannya sendiri tersebut dalam rangka menjalankan kewajiban hukum dan kewajiban

    tugas,maka di dalam melakukan tindakan hukum wajib berpegang pada norma hukum maupun

    moral.Namun, Soekanto (1989;29) menyatakan di dalam peranannya itu, dia melaksanakan

    diskresi yang mempengaruhi hak-hak dari warga-warga masyarakat. Hukum memberikan

    patokan agar diskresi tersebut dibatasi, akan tetapi juga menghendaki kebebasan agar tercapai

    keadilan bagi para warga masyarakat. Sehingga hukum telah memberikan patokan bagi

    dilaksanakan diskresi, bahkan memang merupakan tujuan utama dari hukum itu sendiri seperti

    keadilan. Menurut Kusnardi dan Sarigih (2008;93) bahwa kebijaksanaan yang diambil oleh

    pemerintah, asalkan kebijaksanaan itu tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Inilah

    unsur-unsur demokrasi yang harus dijamin oleh undang-undang dan karena itu negara hukum

    adalah negara demokrasi di mana hak-hak asasi manusia dilindungi oleh undang-undang.

    Berkaitan dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, maka dalam pengertian

    kegentingan yang memaksa itu terkandung sifat darurat atau emergency yang memberikan

    alas kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perpu atau yang sering disebut undang-

    undang darurat menurut Konstitusi RIS 1949 dan UUD 1950, atau emergency legislation

    menurut ketentuan konstitusi di berbagai negara lain. keadaan bahaya seperti yang dimaksud

    oleh Pasal 12 UUD 1945 memang dapat menjadi salah satu sebab terpenuhinya persyaratan

    kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 itu. Akan tetapi,

    kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 itu tidak selalu bersumber dari keadaan

    bahaya menurut ketentuan Pasal 12. Pengertian bahaya itu dapat saja diartikan sebagai ancaman

    yang datang dari luar atau ancaman eksternal, tetapi keadaan genting dan memaksa dapat

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    15/53

    timbul sebagai akibat ancaman dari luar ataupun sebagai akibat tuntutan yang tak terelakan

    (Asshiddiqie,2006)

    Dari segi lain, keadaan bahaya yang datang dari luar itu dapat dilihat secara obyektif

    fakta-fakta yang ada, sehingga objektif atau tidaknya dinilai oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

    Sedangkan kegentingan yang memaksa timbul dari penilaian subjektif Presiden belakamengenai tuntutan mendesak dari dalam pemerintahannya untuk bertindak cepat dan tepat

    mengatasi keadaan yang genting. Pasal 22 kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh

    Presiden dalam bidang pembentukan undang-undang. Dengan demikian, ketentuai adalah ini

    sama hal dengan penyerahan kekuasaan legislatif oleh konstitusi kepada Presiden. Penyerahan

    atau pelimpahan kekuasaan, wewenang membuat undang-undang dari badan pembuat undang-

    undang kepada badan-badan administrasi negara, disebut delegasi perundang-undangan

    (Delegatie van wetgeving) (Mustafa,2001;51). Untuk itu, telah ditegaskan di dalam UUD 1945

    bahwa terkait dengan pengawasan terhadap Perpu diserahkan sepnuhnya kepada DPR, yang

    nantinya akan melakukan pengujian (legislative reviw) terhadap Perpu tersebut agar tidak

    melanggar ketentuan UUD 1945. Janganlah sampai terjadi seperti pada waktu zaman Orde

    Lama, banyak peraturan pemerintahan undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945,

    yang notabene memberikan delegasi kepada Presiden untuk membuat peraturan pemerintah

    pengganti undang-undang.

    Selanjutnya, pada masa kepemerintahan Megawati Soekarno Puteri selama tiga setengah

    tahun gelombang demokratisasi berjalan terus sampai UUD 1945 yang dipandang sakral, juga

    direformasi dengan diamandemen sebanyak empat kali oleh MPR sehingga melahirkan sistem

    politik yang menginginkan Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR melainkan dipilih langsung oleh

    rakyat(Cangara,2009;11). Hal mana adanya ketentuan ini merupakan perubahan yang tentunya

    dianggap cukup radikal, dimana diketahui sebelumnya berkenaan tata cara pemilihan Presiden

    dan Wakil Presiden adalah dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak (lihat Pasal 6 ayat (2) UUD

    1945 sebelum diamandemen). Dengan kata lain, bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

    adalah dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan cara menyerahkan wewenang untuk

    memilihnya kepada wakil-wakil rakyat ada di MPR, sehingga dengan demikian tentu berkaitan

    terpilih atau tidaknya Presiden dan Wakil Presiden adalah kewenangan yang berada sepenuhnya

    di tangan MPR. Yang berarti kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden bukan

    berada di tangan rakyat yang berdaulat, yang sebenarnya telah ditentukan sebagai pemilik asli

    daripada kedaulatan tersebut. Ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen, yang memberikan

    kewenangan kepada MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyakdinyatakan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi bahaw Presiden dan

    Wakil Presiden dipiliholeh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak. Dengan

    adanya ketentuan ini, dapatlah dengan jelas diketahui bahwa UUD 1945 tersebut menghendaki

    berkaitan dengan tata cara untuk menduduki jabatan Presiden dan Wakil Presiden haruslah

    dipilih dan ditentukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak. Namun,

    jika kita telusuri kembali dalam sejarahnya terutama sebelum adanya amandemen terhadap UUD

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    16/53

    1945 terutama terkait dengan calon yang akan menduduki jabatan Presiden dan Wakil Presiden,

    mungkin bisalah dikatakan adalah merupakah suatu tradisi, yang dalam kenyataan sejarahnya

    ternyata hanya ada satu calon tunggal untuk pemilihan jabatan Presiden yang maju untuk

    kemudian ditetapkan sebagai Presiden. Untuk mempertegas pernyataan tersebut, maka dapat

    diketahui dalam sejarah terutama pada saat adanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

    pertama yang dilakukan oleh PPKI, kemudian hanya terdapat satu pasangan calon Presiden dan

    Wakil Presiden untuk ditetapkan secara aklamasi sebagai Presiden dan Wakil Presiden oleh

    PPKI yaitu Soekarno dan Hatta. Ternyata kemudian peristiwa ini berlanjut kembali, di era Orde

    Lama berkuasa yaitu dengan dipilihnya Soekarno oleh MPRS sebagai Presiden, bahkan

    kemudian penggangkatan tersebut dikukuhkan secara hukum yaitu dengan Ketetapan MPRS No.

    III/MPR/1963, yang pada dasarnya ketentuan tersebut menyatakan bahwa Soekarno diangkat

    sebagai Presiden seumur hidup. Kemudian tradisi calon tunggal pengsian jabatan Presiden

    dilanjutkan kembali pada masa Orde Baru dengan terpilihnya Soeharto berkali-kali sebagai

    Presiden dan barulah berakhir yang ditandai dengan jatuhnya Soeharto dari kekuasaannya pada

    tanggal 21 Mei 1998 dan kemudian diamandemennya UUD 1945 terutama tentang tata carapemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang ternyata dipilih secarang langsung oleh rakyat

    Indonesia.

    Terkait dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara langsung

    oleh rakyat, kemudian dengan tegas dicantumkan dalam ketentuan UUD 1945 setelah

    diamandemen, yang menyatakan bahwa untuk menduduki jabatan Presiden dan Wakil Presiden

    adalah dipilih melalui pemilu. Dalam ketentuan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 telah ditentukan

    bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilihdalam satu pasangansecaralangsungolehrakyat.

    Dengan adanya ketentuan ini, maka untuk sekarang suara rakyatlah yang akan menentukan

    kemudian, siapakah yang nantinya terpilih untuk selanjutnya menduduki jabatan Presiden danWakil Presiden, yang akan memimpin rakyat melalui pemerintahannya selama lima tahun ke

    depannya. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden yang

    adalah terpilih benar-benar merupakan kehendak rakyat, yang dikarenakan bahwa pasangan

    calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan pilihan rakyat sendiri. Lebih lanjut terkait dengan

    terpilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, kemudian diharapkanlah agar dapat

    menyelenggarakan kekuasaan dengan tenang tanpa bisa dijatuhkan sewaktu-waktu dalam masa

    jabatannya di tengah jalan oleh lembaga legislatif, tidak lain dikarenakan bahwa Presiden

    mendapatkan legitimasi yang tinggi untuk menduduki jabatannya yaitu lewat dukungan yang

    diberikan oleh rakyat secara langsung. Dengan demikian, suara rakyat secara langsung

    merupakan pemegang peranan yang utama dalam perpolitikan di Indonesia terutama untuk

    menentukan terpilih atau tidaknya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk

    menduduki jabatan Presiden dan Presiden. Berarti, keterlibatan rakyat dalam rekruitmen elit

    politiknya bersifat langsung (Kleden,2004;16). Implikasi dari adanya pemilihan langsung

    terhadap jabatan Presiden dan Wakil Presiden tentunya akan berbeda pula dengan sebelumnya.

    Implikasi dari adanya calon Presiden dan Wakil Presiden yang kemudian dipilih oleh MPR,

    maka mau atau tidak mau Presiden dan Wakil Presiden haruslah mepertanggungjawabkan akibat

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    17/53

    dari segala perbuatannya terhadap lembaga yang dulu memilihnya, sebagai bentuk daripada

    akuntabilitas Presiden dan Wakil Presiden terpilih terhadap lembaga yang dulu memilihnya.

    Bahkan terkait dengan kebenaran pernyataan ini, dapatlah dilihat kemudian dalam ketentuan

    Penjelasan UUD 1945 sebelum dihapus yang pada intinya menyatakan bahwa Presiden yang

    diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Ia ialah mandataris dari

    Majelis. Ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak neben, akan tetapi

    untergeornet kepada Majelis. Untuk selengkapnya bunyi dari Penjelasan sebagaimana

    dimaksud di atas, terkait dengan adanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan

    oleh MPR, yang membawa akibat pula terhadap kedudukan serta pertanggungjawaban Presiden

    dan Wakil Presiden terpilih kepada MPR, yaitu.

    Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat,

    sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des

    Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan garis-garis

    besar haluan negara.Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala

    Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi,

    sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah

    ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung

    jawab kepada Majelis. Ia ialah mandataris dari Majelis. Ia berwajib menjalankan

    putusan-putusan Majelis. Presiden tidak neben, akan tetapi untergeordnet kepada

    Majelis (kursif penulis).

    Dalam sejarahnya ternyata sudah ada dua Presiden yang diminta pertanggung jawabannya

    terutama terhadap tugas-tugasnya oleh MPR dengan melalui Sidang Istimewanya, Presiden yang

    dimaksud dalam hal ini adalah Soekarno yang merupakan Presiden Pertama dan Abdurahman

    Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur yang merupakan Presiden Keempat. Untuk lebih

    lanjutnya lagi terkait dengan pertanggungjawaban Presiden dan Wakil Presiden nantinya akan

    dibahas kembali di bawah. Terkait dengan dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden secara

    langsung oleh rakyat dalam satu pasangan, dari ketentuan tersebut dapatlah kemudian dikatakan

    bahwa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, merupakan satu-kesatuan pasangan Presiden dan

    Wakil Presiden. Keduanya adalah satu kesatuan lembaga kepresidenan. Namun demikian,

    keduanya adalah dua jabatan konstitusional yang terpisah. Karena itu, meskipun di satu segi

    keduanya, merupakan dua organ negara yang berbeda satu sama lain, namun sebagai dua organ

    yang tak terpisahkan, tetapi dapat dan harus dibedakan satu sama lain. Dengan begitu, berakibat

    pula terhadap adanya suatu pertanggungjawaban Presiden Wakil Presiden secara politik yangmerupakan satu kesatuan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan kemudian untuk

    pertanggungjawabannya secara hukum, merupakan terpisah antara Presiden dan/atau Wakil

    Presiden menurut UUD 1945.

    Selanjutnya, tentang tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan

    secara langsung oleh rakyat dinyatakan dalam UUD 1945, yaitu Pasal 6A yang terdiri dari 5

    ayat. Pemilihan Presiden langsung adalah buah dari perdebatan yang muncul pada paruh pertama

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    18/53

    tahun 2000. Pada masa itu, pengalaman pahit yang terjadi pada proses pengisian jabatan

    Presiden selama Orde Baru dan proses pemilihan Presiden tahun 1999, mendorong untuk

    dilakukan pemilihan Presiden langsung karena beberapa alasan (raison detre) yang sangat

    mendasar.

    1. Presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandat dandukungan yang lebih riil rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan

    tokoh yang dipilih. Kemauan orang-orang yang memilih (volonte generale) akan

    menjadi pegangan bagi Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya.

    2. Pemilihan Presiden langsung secara otomatis akan menghindari intrik-intrik politikdalam proses pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan dengan mudah

    terjadi dalam sistem multipartai. Apalagi kalau pemilihan umum tidak menghasilkan

    partai pemenang mayoritas, maka tawar-tawar politik menjadi sesuatu yang tidak

    mungkin dihindarkan.

    3. Pemilihan Presiden langsung akan memberikan kesempatan yang luas kepada rakyatuntuk menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain.

    Kecenderungan dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara

    aspirasi rakyat dengan wakilnya. Ini semakin diperparah oleh dominannya pengaruh

    partai politik yang telah mengubah fungsi wakil rakyat menjadi wakil partai politik

    (political party representation).

    4. Pemilihan langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalampenyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and balances

    antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih oleh rakyat.

    Sebelum perubahan UUD 1945, misalnya, yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan

    Indonesia, MPR menjadi sumber kekuasaan dalam negara karena adanya ketentuanbahwa lembaga ini adalah pemegang kedaulatan rakyat. Kekuasaan inilah yang dibagi-

    bagikan secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi negara lain termasuk kepada

    Presiden. Akibatnya, kelangsungan kedudukan Presiden sangat tergantung kepada MPR

    (Isra,2009;108-109).

    Tentunya terkait dengan kedudukan Presiden dan Wakil Presiden setelah amandemen UUD

    1945 dengan sebelum adanya amandemen terhadap UUD 1945 akan berbeda. Kedudukan

    sebagaimana dimaksud penulis adalah berkaitan dengan derajat legitimasinya, serta

    kedudukannya terhadap lembaga negara lainnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

    Kemudian, pendapat yang ada kaitannya dengan derajat legitimasi yang dimiliki oleh Presiden

    dan Wakil Presiden karena dipilih oleh rakyat melalui pemilu dinyatakan oleh Muhsin

    (2009;120) yang pada pada garis besarnya menyatakan bahwa melalui pemilu, legitimasi

    pemerintah dikukuhkan karena mereka adalah hasil pilihan warga negara yang memiliki

    kedaulatan. Sehingga dengan demikian, Presiden dan/atau Wakil Presiden tidaklah kemudian

    dapat dijatuhkan secara sepihak oleh lembaga politik tanpa adanya kehendak rakyat sendiri.

    Pendapat berenada sama juga dinyatakan oleh Marzuki (2010;16) bahwa kedudukan

    Presiden/Wakil Presiden cukup kuat, tidak dapat dijatuhkan secara politis dalam masa

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    19/53

    jabatannya, artinya Presiden/Wakil Presiden tidak dapat dimakzulkan akibat putusan kebijakan

    (doelmatigheid beslissing) yang ditetapkan atau dijalankan Presiden/Wakil Presiden dalam

    penyelenggaraan pemerintahan negara. Namun, secara teoritik sistem pemilihan Presiden dan

    Wakil Presiden secara langsung merupakan konsekuensi dari penggunaan sistem presidensil

    (Latif,2009;27). Dengan demikian, dapatlah diperoleh suatu kesimpulan bahwa sistem

    pemerintahan presidensial yang dianut oleh UUD 1945, merupakan suatu konsekuensi untuk

    kemudian diadakannya pemilihan umum, yang terutama dilaksanakan untuk pemilihan jabatan

    Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Karena itu, tentunya Presiden dan

    Wakil Presiden yang mendapatkan legitimasi tinggi dari rakyat, tidaklah dapat dijatuhkan dari

    jabatannya secara sepihak oleh lembaga politik kecuali hanya dengan pranata impeachment, yang

    telah ditentukan terbatas mengenai alasan maupun tata caranya dalam UUD 1945, yang

    didahului dengan adanya dugaan dari DPR yang menyatakan tegas melalui pendapatnya bahwa

    Presiden dan/atau Wakil Presiden telah terbukti dengan syarat yang telah ditentukan, kemudian

    pendapat tersebut diuji lewat forum previlegiatum di MK yang lewat putusannya kemudian

    menyatakan apakah benar Presiden dan/atau Wakil Presiden itu benar-benar telah melanggarhukum, yang kemudian putusan MK merupakan putusan final apabila dalam keputusannya

    menyatakan bahwa pendapat DPR tidak terbukti, namun merupakan jalan bagi DPR untuk

    meneruskan kembali ke MPR apabila putusan MK membenarkan pendapat DPR, dengan

    demikian masih saja terlihat bahwa nuansa politik mengiringi proses pemberhentian Presiden

    dan/atau Wakil Presiden, karena kewenangan terakhir untuk memberhentikan Presiden dan/atau

    Wakil Presiden adalah terletak di tangan MPR. Itulah keuntungan daripada di adakannya

    pemilihan secara langsung terhadap jabatan Presiden dan Wakil Presiden, yang tidak sepenuhnya

    bergantung sepenuhnya kepada kekuatan politik yang ada, terutama oleh parlemen.

    Dengan pemilihan secara langsung, Presiden tidak mutlak memerlukan poitical supportdari parlemen, Presiden mempunyai jabatan yang sudah pasti (fix term) sehingga tidak dapat

    digantikan karena hilang atau berkurang dukungan parlemen (Nasution,2009;72). Kemudian

    diperkuat lagi dengan pernyataan Ristawati(2009;14) bahwa mekanisme pemilihan Presiden dan

    Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat dalam jangka waktu yang pasti memberikan

    konsekuensi terhadap kedudukan lembaga eksekutif tersebut untuk tidak tergantung pada

    dinamika lembaga-lembaga negara yang lain. Dengan kata lain, jika eksekutif dipilih secara

    langsung maka ia memiliki basis pemilih sendiri sehingga tidak tergantung pada badan legislatif

    (Sidqi,2008;34). Dalam arti kedudukan Presiden adalah sebanding dengan DPR, dalam

    menjalankan pemerintahan menurut UUD 1945, tentunya karena kedua lembaga negara tersebut

    sama-sama adalah pilihan rakyat. Dan tentunya untuk menduduki jabatan Presiden dan Wakil

    Presiden tidaklah mudah terutama dikarenakan bahwa dalam UUD 1945 telah dipersyaratkan

    untuk mendapatkan sebagian daripada suara rakyat, yang tentunya akan berbeda dengan

    pemilihan anggota legislatif. Sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara

    demokratis mendapat dukungan dari bagian besar dari masyarakat pemilih (Legowo,2005;2).

    Maka sesuai dengan teori demokrasi, maka pada prinsipnya bahwa setiap adanya pengisian

    jabatan pemerintahan, haruslah berdasarkan pada kehendak rakyat yang merupakan locus

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    20/53

    kedaulatan. Namun tidak berarti bahwa pemimpin yang terpilih secara demokratis secara

    otomatis akan terjamin keberpihakannya kepada aspirasi rakyat yang telah memilihnya melalui

    kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Walaupun seperti itu, namun tetap saja negara yang

    mengaku pemerintahannya demokratis adalah negara yang meletakan kekuasaan sepenuhnya

    berarda di tangan rakyat sehingga pemerintahan yang berjalan memang adalah berasal dari

    rakyat, yang dilaksanakan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Sistem pemilihan Presiden

    dan Wakil Presiden secara langsung dipandang lebih tepat apabila ingin memberikan makna

    optimal terhadap kedaulatan rakyat sekaligus juga lebih demokratis karena rakyat langsung

    memberikan suaranya untuk memilih pemimpin negara/pemerintahan yang dikehendakinya

    (Asshiddiqie,2009;299).

    Lebih lanjut terkait dengan adanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh rakyat,

    ternyata ada ketentuan yang baru terkait dengan siapa saja yang dapat menjadi Calon Presiden

    dan Wakil Presiden Indonesia. Bila kita melihat kembali maka menurut ketentuan yang terdapat

    dalam UUD 1945 tepatnya Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi yaitu Calon Presiden dan Wakil

    Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima

    kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta

    mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden

    dan Wakil Presiden (kursif penulis). Ketentuan konstitusional tersebut akan berbeda sekali

    dengan ketentuan sebelumnya, yang dapat diketahui dalam ketentuan dari Pasal 6 ayat (1) UUD

    1945 sebelum diamandemen yang dengan tegas menyatakan bahwa Presiden ialah orang

    Indonesia asli(kursif penulis). Dalam perjalanan sejarahnya, ternyata adanya ketentuan dari

    Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 telah menimbulkan makna yang ambigu/multitafsir, apakah yang

    dimaksud dengan orang Indonesia asli? apakah orang yang dilahirkandi Indonesia(iussoli) atau

    yang orang tuanyaberkewarganegaraan Indonesia (iussanguinis). Kemudian dengan adanyaketentuan Pasal 6 UUD 1945 setelah diamandemen, maka kita dapatlah mengetahui lebih jelas

    apa sebenarnya yang diinginkan oleh ketentuan Pasal 6 UUD 1945 setelah diamandemen

    tersebut di atas. Dalam Pasal 6 UUD 1945 terdapat kata Calon Presiden dan Wakil Presiden

    harus seorang warga negara Indonesia yang sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima

    kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. Dengan kata lain, ini berarti hanya untuk

    menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden saja orang tersebut haruslah menganut

    kewarganegaraan Indonesia sejak kelahirannya. Sebelum dijelaskan lebih lanjut, berkaitan

    dengan persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden seperti yang telah

    ditentukan secara konstitusional dalam UUD 1945. Terlebih dahulu perlulah diketahui berkaitan

    dengan adanya asas kewarganegaraan yang telah dianut suatu negara, pada umumnya dikenal

    adanya asas kewarganegaraan yang kemudian dibagi menjadi dua, yaitu azas kewarganegaraan

    suatu negara yang mendasarkan keturunan (iussanguinis), yaitu menentukan kewarganegaraan

    seseorang berdasarkan keturunan dengan demikian tidaklah bergantung pada tempat dimana

    dilahirkannya orang tersebut, yang jelas anak tersebut adalah anak yang dilahirkan oleh orang

    yang berkewarganegaraan Indonesia dimanapun juga (misalnya kalau orang tuanya warga negara

    Indonesia, maka secara otomatis terhadap anak yang dilahirkannya kemudian juga adalah

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    21/53

    berkewarganegaraan Indonesia tanpa menentukan dimana anak tersebut dilahirkan). Selain

    adanya azas kewarganegaraan yang berdasarkan keturunan, kemudian dikenal pula

    kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran (ius soli), yaitu asas yang pada dasarnya

    menentukan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan ditempat mana orang

    tersebut dilahirkan (misalnya kalau anak yang ahir di Amerika Serikat, maka akan secara

    otomatis anak tersebut akan menjadi warga negara Amerika Serikat, yang tentunya jika anak

    tersebut lahir di luar negara tersebut maka ikatan kewarnegaraannya akan terputus dengan orang

    tuanya yang pada dasarnya menganut kewarganegaraan Amerika Serikat). Maka berdasarkan

    paparan tersebut di atas, yang dimaksudkan berdasarkan sejak kelahirannya menurut UUD 1945

    adalah ketentuan berdasarkan keturunan (iussanguinis). Hal mana dikarenakan bahwa hanya

    anak yang kemudian dilahirkan oleh orang tua yang sudah berkewarganegaraan Indonesia lah

    yang hanya dapat secara langsung mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Sehingga dapatlah

    kelak dikemudian hari orang tersebut dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden, karena

    telah langsung mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Jika pernyataan tersebut tepat, maka

    tentunya berakibat pula bahwa secara otomatis telah menutup peluang jika pada suatu saat orangtersebut dilahirkan ternyata tidaklah memiliki berkewarganegaraan Indonesia, dengan demikian

    dia tidak berhak untuk dapat dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan

    tersebut sangatlah tegas dikarenakan dapat saja orang yang tidak memiliki kewarganegaraan di

    Indonesia sejak dilahirkan/orang asing kemudian berniat untuk menjadi warga negara Indonesia,

    yaitu dengan cara naturalisasi misalnya. Kemudian hal tersebut dipertegas kembali dengan kata

    Calon Presiden dan Wakil Presiden juga tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena

    kehendaknya sendiri. Menurut sejarahnya, adanya ketentuan ini dikarenakan dulunya, Presiden

    Habibie dikatakan pernah menerima pula kewarganegaraan lain yaitu kewarganegaraan Jerman.

    Adanya ketentuan ini merupakan suatu komitmen bahwa Presiden Indonesia tentunya harus

    memiliki sifat-sifat nasionalisme yang mungkin menurut ketentuan konstitusi bahwa hanya akan

    dimiliki jika kewarganegaraan Indonesia yang mungkin diperolehnya sejak dilahirkan.

    Diharapkan pula bahwa orang yang nantinya menjadi Presiden dan Wakil Presiden, benar-benar

    orang yang memiliki integritas, kapabilitas, terutama rasa cinta yang mendalam terhadap bangsa

    dan negaranya. Tentunya prasyaratan bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang tidak kalah

    pentingnya adalah orang tersebut tidaklah pernah mengkhianati negara. Yang dimaksudkan

    dengan tindakan tidak pernah mengkhianati negara adalah tidak pernah melakukan gerakan-

    gerakan yang memiliki potensi untuk membahayakan kelangsungan negara Indonesia. Kemudian

    ada persyaratan yang menyatakan bahwa Jabatan Presiden dan Wakil merupakan suatu tugas

    yang berat sehingga dicantumkan pula kata mampu secara rohani dan jasmani menjalankan

    tugas dan kewajibannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Adanya ketentuan ini tidak

    terlepas daripada sejarah kepemimpinan bangsa Indonesia, yang mana dulunya pernah memiliki

    Presiden yang dapatlah kemudian digolongkan tidak mampu secara jasmani dan rohani untuk

    melaksanakan tugasnya menjadi Presiden.

    Selain adanya persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden seperti di atas, kemudian

    disebutkan pula dalam ketentuan lainnya, yaitu Pasal 6 UUD 1945, yang menunjukan bahwa

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    22/53

    ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, telah memberikan kesempatan dan bahkan memonopoli

    berupa keterlibatan partai politik atau gabungan partai politiklah, untuk dapat mengajukan usul

    pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang akan mengikuti pemilu. Selengkapnya bunyi dari

    ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Pasangancalon Presiden dan Wakil

    Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum

    sebelum pelaksanaan pemilihan umum(kursif penulis). Ketentuan ini jelas berbeda dengan

    sebelumnya, dimana dalam UUD 1945 sebelum diamandemen tidaklah menyebut-nyebut adanya

    partai politik, namun untuk sekarang bahkan dengan jelas telah disebutkan dalam konstitusi

    bahwa berkaitan dengan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, haruslah dari partai politik

    atau gabungan partai politik. Tentunya jika suatu partai politik ternyata mampu secara sendirian

    untuk memenuhi persyaratan guna mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden

    maka konstitusi telah memberikan kesempatan berpikir kepada partai politik untuk tidaklah

    terlalu perlu berkoalisi dengan partai politik lainnya, untuk mengajukan pasangan calon Presiden

    dan Wakil Presiden. Dengan demikian, kekuasaan sepenuhnya dari partai politik tersebutlah

    untuk akan mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu pasangan untukkemudian mengikuti pemilu. Tetapi tentunya, konstitusi tidakpula melarang misalnya partai

    politik yang sudah memenuhi syarat untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, kemudian

    bergabung untuk membentuk koalisi dengan partai politik lainnya, sehingga kekuatan politik

    lebih besar untuk mendukung dan menyukseskan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden

    agar kemudian dapat terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, jika sudah

    berkoalisi distribusi kekuasaan perlulah kemudian menjadi pertimbangan utama agar integrasi

    dan solidaritas dari koalisi tersebut menjadi kokoh. Sebaliknya jika seandainya suatu partai

    politik tidaklah memenuhi syarat untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil

    Presiden, maka dapatlah memanfaatkan kata gabunganpartai politik dalam ketentuan Pasal 6A

    ayat (2) UUD 1945. Setidaknya dengan adanya ketentuan tersebut secara langsung telah

    mengijinkan/memberikan jalan bagi partai-partai politik, yang terutama tidak memenuhi syarat,

    kemudian mebentuk berkoalisi untuk selanjutnya mengajukan pasangan calon Presiden dan

    Wakil Presiden, sehingga dengan demikian dapatlah memenuhi syarat yang ditentukan kemudian

    dalam undang-undang terkait dengan persyaratan tersebut. Dalam hal ini, jika suatu partai politik

    tidak memenuhi syarat untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sehingga

    merupakan suatu pilihan yang tidak dapat ditentukan lagi oleh partai politik tersebut untuk

    kemudian selanjutnya mengadakan suatu koalisi, sehingga terpenuhilah persyaratan,

    sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang yang mengaturnya persyaratan yang

    dimaksudkan oleh UUD 1945. Bahkan dengan adanya ketentuan ini, banyak pendapat yang

    mengatakan bahwa secara tidak langsung bangsa Indonesia telah ditakdirkan untuk menganut

    sistem kepartaian dengan jumlah partai lebih dari 1 partai (multi partai), karena adanya di

    dalamnya terdapat kata gabungan sehingga partai yang diharapkan jumlah nantinya terdapat

    lebih dari satu partai. Dengan demikian UUD 1945 telah menggariskan secara garis besarnya

    bahwa sistem kepartaian yang harus dianut oleh Indonesia sebagai negara demokrasi adalah

    sistem multipartai, setidaknya sistem kepartaian yang dianut sekarang bukanlah satu partai.

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    23/53

    Berkaitan dengan sistem kepartaian yang ada, perlulah diketahui pendapat dari Maurice

    Duverger yang membagi menjadi tiga katagori, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwi-partai,

    dan sistem multi-partai (Budiardjo,2008;415). Dalam sejarahnya sistem multi partai juga pernah

    diterapkan di Indonesia terutama pada saat belangsung sistem demokrasi dengan liberal sebagai

    labelnya, yaitu pada era tahun 1950 yang sistem pemerintahannya adalah parlementer dengan

    mengutamakan tanggungjawab menteri kepada parlemen yang berujung pada ketidakstabilan

    politik pemerintahan. Kemudian pada era Orde lama partai politik tidaklah mendapatkan tempat

    yang sepantasnya, bahkan peraturan yang mengatur kebebasan dalam mendirikan partai politik

    dicabut dan diganti dengan peraturan yang membatasi untuk berdirinya partai politik sehingga

    partai politik yang diakui pada waktu itu hanya 10. Namun, partai tersebut tidaklah dapat

    berkembang karena demokrasi sebagai tangganya tidak pernah dilaksanakan, bahkan pemilihan

    umum sebagai anak dari demokrasi memang tak pernah diselengarakan pada periode ini

    sehingga partai politik menjadi tidak berkembang seperti di negara-negara yang menganut

    demokrasi. Kemudian pada saat Soeharto denga Orde Baru sebagai julukannya, melengkapi

    sistem kepartaian yang dianut Indonesia yaitu dengan sistem multi partai terbatas. Hal manadikarenakan pada waktu itu hanya terdapat tiga partai yang diperbolehkan berkompetisi untuk

    mengikuti pemilihan umum dan tidaklah diperbolehkan mendirikan partai politik selain ketiga

    organiasasi politik tersebut, bahkan salah satu kontestan, yaitu Golkar, kemudian tidaklah

    dianggap sebagai partai politik. Golkar mendapatkan perlakuan yang sangat spesial berupa

    dukungan dari pemerintah, yang ternyata berbeda dengan kedua rivalnya terutama dalam

    merebut suara rakyat sehingga hanya golkarlah yang terus menerus menang dalam pemilu

    selama ini.

    Lebih lanjut terkait dengan adanya pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden

    menurut Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berupa partai politik atau gabungan partai politik yangmerupakan peserta pemilihan umum yang telah memenuhi syarat, untuk mengajukan pasangan

    calon Presiden dan Wakil Presiden, haruslah diajukan kemudian sebelum adanya pemilihan

    umum, ketentuan ini merupakan penegasan terhadap batas waktu mengajukan pasangan calon

    Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan, bahwa

    calon Presiden dan Wakil Presiden haruslah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai

    politik. Dengan adanya ketentuan tersebut bahwa hanya partai politiklah merupakan satu-satunya

    wahan bagi sesorang untuk mengajukan dirinya sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil

    Presiden. Sehingga untuk itu seseorang yang ingin menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden

    haruslah memanfaatkan partai politik guna mendapatkan suara rakyat dalam bersaing untuk

    merebut kekuasaan pemerintahan. Ketentuan tersebut menyiratkan agar partai politik merupakan

    penghubung antara rakyat dan pemerintahan, sehingga diharapkan partai politik benar-benar

    merapat dengan rakyat agar benar-benar pemerintahan dapat berjalan dengan baik tanpa itu

    partai politik hanyalah sebagai instrumen yang bisa menjadi cambuk bagi demokrasi itu sendiri.

    Partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi karena mereka berperan sebagai penghubung

    antara pemerintahan negara (the state) dengan warga negaranya (the citizen)

    (Nazaruddin,2009;59). Untuk Indonesia pasca reformasi UUD 1945, telah menempatkan partai

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    24/53

    politik sebagai salah satu aktor yang memiliki kedudukan penting dan menentukan dalam

    kehidupan demokrasi. Bahkan dengan adanya kata gabungan maka konsekuensinya bahwa

    Indonesia menganut sistem presidensial dengan sistem kepartaian yang multipartai. Yang

    ketentuan ini sangatlah mirip pada saat setelah kemerdekaan yaitu dengan dikeluarkannya

    Maklumat Pemerintah Pada tanggal 3 November 1945, Pemerintah RI telah mengeluarkan

    maklumat yang berisi anjuran mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat perjuangan

    kemerdekaan (Poerwantana,1994;26). Dengan demikian, menurut penulis kedua ketentuan

    tersebut di atas adalah sama-sama memiliki arti yang sagat penting secara konstitusional, bahkan

    dapatlah kemudian disetarakan kedudukannya sebagai hukum yang bersifat mendasar dan

    memang sangatlah diperlukan terutama oleh negara yang mengaku pemerintahannya adalah

    demokratis serta berusaha untuk meletakan kehendak rakyat sebagai dasar daripada tindakan

    pemerintahan. Memang banyak kelebihan yang mungkin didapatkan dengan dianutnya sistem

    kepartaian yang multipartai. Apalagi sistem demokrasi modern seperti sekarang ini yang pada

    prinsipnya mengutamakan perwakilan sebagai konsep yang paling utama. Sistem multipartai

    sebagai sistem keterwakilan tiap kelompok sebagai maksud untuk menyampaikan aspirasikepada pemerintah merupakan representasi aspirasi masyarakat yang harus diakomodir

    (Aminah,2009;73).

    Dalam ketentuan ayat (3) dari Pasal 6A UUD 1945 telah ditentukan pula jumlah perolehan

    suara sebagai syarat yang harus dipebuhi oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang

    sebagai kontestan dalam mengikuti pemilihan umum, untuk kemudian menjadi seorang Presiden

    dan Wakil Presiden. Selengkapnya Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 berbunyi bahwa Pasangan

    calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkansuara lebih dari lima puluh persen dari

    jumlahsuara dalam pemilihan umum dengansedikitnya dua puluh persen suara disetiap

    provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadiPresiden dan Wakil Presiden (kursif penulis). Menurut pengertian penulis, dalam ketentuan

    pasal ini terdapat dua syarat, untuk dapat dinyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil

    Presiden kemudian terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Pertama, bahwa Pasangan

    calon Presiden dan Wakil Presiden harus mendapatkansuara pemilih lebih dari lima puluh

    persen dalam pemilihan umum. Dengan jumlah suara yang diraih oleh pasangan calon Presiden

    dan Wakil Presiden lebih dari lima puluh persen, maka pasangan calon Presiden dan Wakil

    Presiden yang terpilih tersebut akan memiliki tingkan legitimasi yang lebih kuat, karena

    mendapatkan suara yang besar dari rakyat yaitu dengan jumlah suara mayoritas. Kedua,

    setidaknya jumlah suara lebih daripada lima puluh persen yang didapatkan oleh pasangan calon

    Presiden dan Wakil Presiden tersebut haruslah tersebar secara merata di setiap provinsi, yang

    dalam hal ini telah dipersyaratkan yaitu paling tidak pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden

    yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen tersebut yang disusul dengan sedikitnya

    dukungan kemenangan suara tersebut adalah sebanyak dua puluh persen dimasing-masing

    provinsi, kemudian dipersyaratkan kembali bahwa dukungan tersebut haruslah tersebar dilebih

    dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa adanya

    ketentuan agar jumlah suara 50 persen yang diraih oleh pasangan calon Presiden dan Wakil

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    25/53

    Presiden harus tersebar dilebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, menurut penulis

    adanya ketentuan tersebut merupakan suatu persyaratan bagi kemenangan suara yang harus

    diraih oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian kemengan suara tersebut

    haruslah tersebar lebih dari setengah provinsi di Indonesia, dimaksudkan agar pasangan calon

    Presiden dan Wakil Presiden tidak hanya terpilih dikarenakan jumlah suara yang dipersyaratkan

    tersebut telah terpenuhi hanya disatu daerah saja, hal mana tersebut bisa saja terjadi dikarenakan

    adanya ketidakmerataan persebaran penduduk di Indonesia. Jadi, akan berbeda jumlah penduduk

    antara di Kalimantan yang daerahnya berpenduduk jarang dengan penduduk padat yang ada di

    daerah lain tersebut, seperti daerah Jawa. Sehingga bisa saja tanpa adanya ketentuan ini, seorang

    calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya popular di daerah Jawa misalkan, dikarenakan

    dengan jumlah penduduk yang besar, bahkan menurut konstitusi sudah melebihi dari setengah

    jumlah suara yang persyaratkan oleh konstitusi untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden

    Indonesia. Kemungkinan besar pemilu Presiden dan Wakil Presiden ternyata hanya menjadi

    diputuskan oleh penduduk Jawa. Dengan demikian bisa saja hanya dari dukungan suara di Jawa

    saja, memungkinkan untuk dapat kemudian menentukan terpilih tidaknya pasangan calonPresiden dan Wakil Indonesia. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan adanya perasaan

    primordialisme antara daerah-daerah lainnya di Indonesia, yang pada gilirannya kemudian akan

    menyebabkan munculnya benih-benih disintergrasi bangsa. Dikarenakan sudah dapat dipastikan

    bahwa yang akan menjadi pemimpin, khususnya untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden

    adalah hanya untuk orang-orang dari suku tertentu. Tidak lain dari pengalaman masa lalu kita

    telah belajar, dimana sering terjadi suatu tindakan yang mencoba untuk menentang berbagai

    keputusan dari pusat, dikarenakan merasa adanya ketidakadilan terutama dalam rangka pengisian

    jabatan-jabatan publik, yang ternyata hanya didominasi dari suku tertentu aja. Menurut Mahmud

    (2010;140) bahwa ketentuan yang demikian sekaligus juga menyiratkan adanya tuntutan akan

    pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden sampai dua putaran, manakala dalam sekali

    putaran tidak pasangan calon yang memperoleh dukungan lebih dari 50 persen secara nasional

    dan 20 persen di sekurangnya separuh provinsi yang ada di Indonesia. Pernyataan di atas

    memang benar, adanya ketentuan tersebut adalah untuk memperoleh legitimasi yang kuat dari

    rakyat secara merata, dan tentunya persyaratan ini sangat sulit untuk diperoleh pasangan calon

    Presiden dan Wakil Presiden hanya dengan satu kali putaran pemilihan umum. Oleh karenanya,

    dalam ketentuan ayat (4) Pasal 6A UUD 1945 ditentukan bahwa Dalamhaltidakadapasangan

    calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, duapasangancalon yang memperolehsuararakyat

    terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih rakyat secara langsung dan

    pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil

    Presiden(kursif penulis). Pasal ini merupakan jalan keluar yang diberikan oleh UUD 1945,

    bilaamana persyaratan suara yang ditentukan untuk diperoleh pasangan calon Presiden dan

    Wakil Presiden tidak tercapai, sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam Pasal 6A UUD

    1945. Bisa saja hal tersebut terjadi dikarenakan partai politik maupun gabungan partai politik

    yang mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lebih dari dua. Sehingga jumlah

    suara yang didapatkan oleh kontestan pemilu pertama Presiden dan Wakil Presiden ternyata bisa

  • 5/27/2018 Presiden Dan Wakil Presiden

    26/53

    saja tidak memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan oleh k