pembentukan panitia khusus hak angket dewan...
TRANSCRIPT
PEMBENTUKAN PANITIA KHUSUS HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
(Analisis Yuridis Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat RI
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib )
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
RADEN RAMANDA KRISHNA BOMANTARA R.
NIM: 1113048000072
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2019 M
i
PEMBENTUKAN PANITIA KHUSUS HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
(Analisis Yuridis Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat RI
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib )
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
RADEN RAMANDA KRISHNA BOMANTARA R.
NIM: 1113048000072
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2019 M
v
ABSTRAK
RADEN RAMANDA KRISHNA BOMANTARA, NIM 1113048000072,
PEMBENTUKAN PANITIA KHUSUS HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI, Program Studi
Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1440 H/2019 M. vii + 59 halaman
+ 8 halaman daftar pustaka.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pembentukan Panitia Khusus
Hak Angket dan legalitas pembentukannya seperti yang diatur dalam Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib.
Mekanisme pembentukan Panitia Khusus Hak Angket, yang diatur didalam pasal
171 Ayat (2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2014 bahwa Panitia Khusus hak angket terdiri atas semua unsur fraksi, namun dalam
kenyataannya panitia khusus hak angket hanya terdiri 7 fraksi yaitu Fraksi PDIP (Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan), Fraksi Golkar (Golongan Karya), Fraksi Gerindra
(Gerakan Indonesia Raya), Fraksi PAN (Partai Amanat Nasional), Fraksi PPP (Partai
Persatuan Pembangunan), Fraksi Nasdem (Nasional Demokrat), Fraksi Hanura (Hati
Nurani Rakyat), dan ada 3 fraksi yang tidak ikut di dalam pansus hak angket yaitu Fraksi
Demokrat, Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera), Fraksi PKB (Partai Kebangkitan
Bangsa), sehingga menimbulkan sebuah pertanyaan bagaimana legalitas dari panitia
khusus hak angket.
Metode penelitian menggunakan jenis penelitian yang digunakan yaitu kualitatif,
dengan pendekatan penelitian normatif-yuridis, dimana mengacu pada norma-norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
pengadilan, serta terdapat norma-norma hukum yang ada pada masyarakat. Pendekatan
yang digunakan adalah perundang-undangan dengan meneliti tahapan pembentukan
Panitia Khusus Hak Angket yang telah diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Tata Tertib. Adapun analisis data yang dipakai adalah analisis komparatif.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa dalam Pasal 169-177 Peraturan DPR Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Tata Tertib, terdapat enam tahapan pelaksanaan dalam
pembentukan Panitia Khusus Hak Angket. Pada tahap pelaksanaan kedua, yaitu
pembentukan panitia angket yang harus terdiri dari semua unsur fraksi, ternyata tidak
terpenuhi, maka pengabaian tahapan prosedur pembentukan Pansus Hak Angket secara
langsung merupakan pengabaian legalitas, maka dapat dikatakan pembentukan Pansus
Hak Angket terhadap KPK mengandung cacat hukum. Pernyataan tersebut didasari
dengan tidak adanya alasan hukum yang dapat digunakan sebagai dasar dalam
pengabaian ketentuan pembentukan pansus hak angket. Sekalipun terdapat konsep
kebijaksaan bebas (bestuurzorg) dan diskresi yang mengandaikan adanya wewenang
untuk mengambil tindakan atas inisiatif sendiri, namun keduanya tidak digunakan dalam
tataran eksekutif sebagai pelakasana pemerintahan, bukan pada legislatif.
Kata Kunci : Hak Angket, Legalitas, KPK, Dewan Perwakilan Rakyat.
Pembimbing Skripsi : Dr. Moch. Ali Wafa, S.H., S.Ag., M.Ag.
Daftar Pustaka : Tahun 1976 sampai Tahun 2019
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Allhamdulilahirabbil’aalamin, peneliti menyampaikan segala puji dan syukur kehadirat
Allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq, dan hidayahNya kepada kita semua.
Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada baginda Nabi dan Rasul kita
Muhammad SAW, kepada segenap keluarganya, sahabat serta umatnya sepanjang zaman,
yang Insya Allah kita ada di dalamnya.
Atas rahmat dan karunia Allah SWT, peneliti beryukur mampu menyelesaikan penelitian
skripsi ini dengan judul “Pembentukan Panitia Khusus Hak Angket Dewan Perwakilan
Rakyat Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi”, sebagai salah satu persyaratan yang
diwajibkan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,
dukungan, nasihat, dan motivasi yang peneliti dapatkan dari berbagai pihak di sekitar
peneliti. Oleh karenanya, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Prodi Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr.Moch.Ali Wafa, S.H., S.Ag., M.Ag. Pembimbing skripsi yang telah bersedia
meluangkan waktu dan memberikan arahan dalam membimbing peneliti dalam penulisan
skripsi ini.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ..............................iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................iv
ABSTRAK .........................................................................................................v
KATA PENGANTAR .......................................................................................vi
DAFTAR ISI .....................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ..................5
1. Identifikasi Masalah .............................................................5
2. Pembatasan Masalah ............................................................6
3. Perumusan Masalah ..............................................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................7
D. Metode Penelitan .......................................................................7
E. Sistematika Penelitian ...............................................................10
BAB II NEGARA HUKUM DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN ..........12
A. Kerangka Konseptual ................................................................12
B. Teori Negara Hukum.................................................................15
C. Teori Pembagian/Pemisahan Kekuasaan ..................................17
D. Fungsi Legislatif dalam UUD 1945 ..........................................19
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu........................................22
BAB III DESKRIPSI PANITIA KHUSUS HAK ANGKET ....................25
A. Dasar Hukum Hak Angket ........................................................25
B. Sejarah Hukum Hak Angket .....................................................27
ix
C. Deskripsi Kasus Pembentukan Panitia Khusus Hak Angket
Terhadap KPK ...........................................................................35
BAB IV PROSEDUR DAN LEGALITAS PANITIA KHUSUS HAK
ANGKET.........................................................................................43
A. Prosedur Pembentukan Panitia Khusus Hak Angket ................43
B. Legalitas Pembentukan Panitia Khusus Hak Angket ................49
C. Keabsahan Panitia Khusus Hak Angket ....................................54
BAB V PENUTUP .......................................................................................62
A. Kesimpulan ...............................................................................62
B. Rekomendasi .............................................................................63
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konsep pembatasan kekuasaan merupakan hal yang biasa dianut oleh
negara-negara berkembang saat ini. Apalagi bila negara tersebut
sebelumnya mengalami pola kekuasaan absolut, maka pembatasan
kekuasaan menjadi kemutlakan yang harus digunakan. Tidak terkecuali
dengan Indonesia. Dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan, bahwa
Indonesia adalah negara hukum.
Indonesia dengan demikian termasuk negara menganut paham
constitutiuonal state yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi.1
Bersamaan dengan itu, Indonesia juga menganut sistem pemerintahan
presidensial. Ini semakin dipertegas dengan banyaknya Bab dalam UUD
Negara Republik Indonesia 1945 yang mengatur skema presidensial.
Terlihat dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 16, Kemudian pada Bab V
tentang Kementrian Negara yang terdiri atas Pasal 17, mengatur ketentuan
mengenai pemerintahan negara di bawah tanggungjawab presiden dan
wakil presiden. Bahkan, pada Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal 18, 18A
dan 18B dapat pula termasuk domain pemerintahan eksekutif. Ciri paling
kuat dari sistem pemerintahan presidensial adalah domain kekuasaan
presiden lebih luas. Menurut Denny Indrayana, sistem presidensial
mengandaikan bahwa seorang presiden tidak dapat diberhentikan oleh
lembaga legislatif, namun begitu, bukan berarti domain kekuasaan
presiden dengan sendirinya mutlak.2 Sebagai penganut paham
constitutional state, dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945
ditegaskan baik secara tersirat maupun tersurat berkenaan kewenangan
1Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet II, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), h. 281.
2 Sri Soemantri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia: 30
Tahun Kembali ke Undang – Undang Dasar 1945, cet I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h.
281.
2
lembaga lain untuk melakukan pengawasan terhadap presiden. Lembaga
tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat. DPR RI menjadi salah satu
pilar utama demokrasi modern di Indonesia. Prinsip pemerintahan
demokratis modern adalah lembaga – lembaga kekuasaan negara
mendapatkan kekuasaan dari rakyat, dipilih melalui pemilihan yang bebas,
serta menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan rakyat. Posisi
strategis yang paling pokok sebagai pemegang kekuasaan legislatif adalah
DPR RI berperan sebagai penyeimbang lembaga eksekutif melalui
mekanisme checks and balances.3
Terdapat tiga fungsi utama DPR dan diatur dalam Pasal 20A Ayat (1)
UUD Negara Republik Indonesia 1945, yaitu fungsi legislasi, pengawasan,
dan anggaran.Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang – undang
yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan
bersama.Fungsi anggaran adalah fungsi menyusun dan menetapkan
anggaran pendapatan dan belanja negara bersama presiden dengan
memperhatikan pertimbangan DPD. Fungsi pengawasan adalah fungsi
adalah fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaanUndang –
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang – undang,
dan peraturan pelaksanaannya4.Pada hakikatnya ketiga fungsi DPR
memilikihubunganerat dan ketiga fungsi itu selalu bersentuhan dengan
fungsi yang lainnya.
Selain ketiga fungsi di atas, secara konstitusional diatur dalam Pasal
20A Ayat (2) dan diperjelas di dalam Pasal 64 Ayat (2), (3), dan (4)
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Tata Tertib, DPR memiliki hak yang melekat kepadanya
guna memperkuat kewenangannya dan membantu dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya, ketiga hak itu adalah Hak Interpelasi, Hak Angket,
dan Hak menyatakan pendapat. Hak Interpelasi adalah hak DPR untuk
3Mahkamah Kehormatan Dewan, Dinamika dan Tantangan Kinerja Lembaga
Perwakilan, cet.I. (Jakarta : Mahkamah Kehormatan Dewan, 2017), h.1 4Dasim Budimansyah & Dikdik Baehaqi, DPR Dewan Perwakilan Rakyat, (Bandung:
Genesindo, 2010), h.2
3
meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah
yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hak angket adalah hak DPR
untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang –
undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan berbangsa, dan bernegara
yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang – undangan. Hak
menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
Pertama, Kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa
yang terjadi di tanah air atau di dunia Internasional; Kedua, Tindak lanjut
pelaksanaan hak interpelasi, hak angket; atau Ketiga, Dugaan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum, baik
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan atau Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan /atau Wakil
Presiden.
Dalam menjalankan tugas – tugasnya, DPR menjalankan fungsinya
dengan menggunakan kewenangan yang dimilikinya, di dalam Undang –
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijelaskan tentang
tugas-tugas DPR yaitu mengawasi jalannya kinerja pemerintahan dengan
menggunakan hak maupun kewajibannya.5 Salah satu hak yang dimiliki
oleh DPR dalam menjalankan fungsinya yaitu fungsi pengawasan adalah
hak angket atau hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
pelaksanaan suatu undang – undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada
kehidupan berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang – undangan.
Sejak beberapa tahun belakang, terdapat beberapa kasus yang
menyangkut penggunaan hak angket, contohnya kasus penyelenggaraan
5Max Boboy, DPR RI dalam Perspektif dan Sejarah Tata Negara , cet.I. (Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 1994),h.71
4
ibadah haji pada tahun 2008, kasus jaringan pengamanan sektor keuangan
terkait dengan Bank Century pada Tahun 2009, kasus Mafia Gayus
Tambunan pada tahun 2011. Pada awal Tahun 2017, Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia memutuskan untuk membentuk panitia khusus
hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan adanya
indikasi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang
dilakukan oleh KPK. Tentu hal ini menimbulkan pandangan pro dan
kontra. Bagi mereka yang setuju beralasan bahwa Komisi Pemberantasan
Korupsi merupakan lembaga yang dibentuk undang-undang, dan
menjalankan akan undang-undang terkait pemberantasan tindak pidana
korupsi, sehingga jika dikaitkan dengan tujuan hak angket yaitu untuk
mengawasi jalannya undang-undang, tentu mememiliki relevansi yang
logis. Namun lain hal bagi masyarakat yang tidak setuju, hak angket yang
dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, justru
merupakan tindakan yang dapat menghambat penangan kasus korupsi.
Hak angket tetap dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia walaupun terdapat polemik di masyarakat, dan seiring
berjalannya waktu bahwa Mahkamah Konstitusi pun memberikan sebuah
putusan yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017,
yang dalam putusan itu menjelaskan bahwa Komisi Pemberantasan
Korupsi merupakan objek hak angket. Hak angket yang dilayangkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, terlebih dahulu melalui
mekanisme pembentukan Panitia Khusus Hak Angket, yang diatur
didalam pasal 171 A Ayat (2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 bahwa Panitia Khusus hak
angket terdiri atas semua unsur fraksi, namun dalam kenyataannya panitia
khusus hak angket hanya terdiri 7 fraksi yaitu Fraksi PDIP (Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan), Fraksi Golkar (Golongan Karya),
Fraksi Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), Fraksi PAN (Partai Amanat
Nasional), Fraksi PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Fraksi Nasdem
(Nasional Demokrat), Fraksi Hanura (Hati Nurani Rakyat), dan ada 3
5
fraksi yang tidak ikut di dalam pansus hak angket yaitu Fraksi Demokrat,
Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera), Fraksi PKB (Partai Kebangkitan
Bangsa).
Padahal, dalam konsepsi negara hukum, legalitas merupakan landasan
dasar dalam penyelenggaraan negara. Dalam artian bahwa adanya
ketentuan dalam pembentukan Panitia Khusus Hak Angket merupakan
norma tertulis yang harus ditaati termasuk dalam pembentukan Panitia
Khusus Hak Angket yang mengacu pada ketentuan Peraturan DPR Nomor
1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib. Karenanya jika kemudian ketentuan
tersebut tidak diindahkan, maka akan muncul pertanyaan besar bahwa
bagaimana legalitas Pembentukan Panitia Khusus Hak Angket KPK?
Berdasarkan latar belakang dari permasalahan aktual yang telah
diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi
dengan judul “PEMBENTUKAN PANITIA KHUSUS HAK ANGKET
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT TERHADAP KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI (ANALISIS YURIDIS
PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG TATA TERTIB )”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti
mengidentifikasikan beberapa masalah dari penelitian ini sebagai
berikut:
a. Mekanisme pembentukan panitia khusus hak angket Dewan
Perwakilan Rakyat
b. Pelanggaran dalam pembentukan panitia khusus hak angket Dewan
Perwakilan Rakyat yang ditujukan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi.
c. Legalitas panitia khusus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat
terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi
6
d. Pasal yang bertentangan dengan pembentukan panitia khusus hak
angket Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Komisi Pemberantasan
Korupsi
2. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya permasalahan yang timbul dalam
penelitian ini dan yang telah diidentifikasi oleh peneliti, maka dalam
penelitian ini peneliti akan membahas ruang lingkup penulisan skripsi
ini hanyaberkenaan dengan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dalam fungsi pengawasan yang hanya dalam lingkup hak
angket DPR RI. Peneliti membatasi masalah penelitian pada
pembentukan panitia khusus hak angket yang terdapat di dalam
peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Tata Tertib. Khususnya pasal yang mengatur
tentang panitia khusus hak angket.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah
yang telah dijabarkan sebelumnya, yaitu adanya pelanggaran dalam
pembentukan panitia khusus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat
yaitu hanya terdiri dari 7 fraksi dan karena tidak sesuai dengan pasal
171 Ayat (2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana mekanisme pembentukan panitia khusus hak angket
yang diatur di dalam peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang tata tertib?
b. Bagaimana legalitas panitia khusus hak angket terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi berdasarkan peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata
Tertib?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan yang ditulis
diatas, maka tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui mekanisme pembentukan panitia khusus hak
angket yang diatur di dalam peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib
b. Untuk mengetahui legalitas panitia khusus hak angket terhadap
komisi pemberantasan korupsi berdasarkan peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Tata Tertib
2. Manfaat penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih
pemikiran dan menambah wawasan akademisi yang menyangkut
tentang penggunaan hak angket oleh DPR RI
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk badan
atau lembaga hukum dalam menganalisis kebijakan dalam
pembentukan panitia khusus hak angket DPR RI. Di samping itu
bermanfaat untuk bahan masukan yang beredukatif dalam
menganalisis kejadian hukum di Indonesia.
3. Metode Penelitan
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini
adalah normatif yuridis,Pendekatan normatif yuridis tersebut
mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam
8
peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan
serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.6
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang tidak
membutuhkan populasi dan sampel karena jenis penilitian ini
menekankan pada pada aspek pemahaman suatu norma hukum
yang terdapat di dalam perundang-undangan serta norma-norma
yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Penelitian kualitatif menggunakan lingkungan yang menjadi
penelitiannya sebagai sumber data. Maksudnya adalah data dan
informasi lapangan ditarik maknanya dan konsepnya melalui
pemaparan deskriptif analitik tanpa harus menggunakan angka,
sebab lebih mengutamakan proses terjadinya suatu peristiwa dalam
siatuasi alami.
b. Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini
adalah normatif yuridis,Pendekatan normatif yuridis tersebut
mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan
serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.7
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni
yurudis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah
Pendekatan Perundang-undangan (statue approach) yakni
pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi8, dan
Pendekatan Konsep (conceptual approach) yang merujuk pada
doktrin-doktrin hukum yang ada9. Dalam hal ini, objek normaif
yuridis terletak di dalam Pasal 171 Ayat (2) Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Tata Tertib.
6Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika,2010),cet.2, h. 105.
7Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum,… h. 105.
8Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,… h. 137.
9Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,… h. 178.
9
c. Sumber Data dan Bahan Hukum
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain:
a. Data Primer, yaitu bahan hukum primer merupakan bahan hukum
yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-
bahan hukum primer terdiri atas perundang-undangan, catatan-
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim.10
Bahan hukum primer
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pasal 171 A Ayat (2)
peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib.
b. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari buku-buku yang berkenaan dengan Hukum Tata
Negara, Lembaga Legislatif, Skripsi Hukum Tata Negara, dan
jurnal atau materi-materi hukum yang mendukung tulisan ini.
c. Bahan hukum tersier yang digunakan merupakan bahan atau
rujukan yang berupa petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap
bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum,
ensklopedia, berita hukum, blog mengenai hukum dan lain-lain.
d. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data penelitian, penelitian ini menggunakan
studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari
referensi untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai
literatur seperti buku, bahan ajar, pekuliahan, artikel, jurnal, skripsi,
tesis dan Undang-Undang di berbagai perpustakaan serta universitas.
e. Subjek Penelitian
Adapun pihak-pihak yang menjadi subjek dalam penelitian ini
adalah pihak Subjek penelitian adalah individu, benda, atau organisme
yang dijadikan sumber informasi yang dibutuhkan dalam
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,… h. 181.
10
pengumpulan data penelitian. Dalam penelitian ini, subjek penelitian
adalah Panitia Khusus Hak Angket.
f. Teknik Pengolahan Data
Dalam penelitian kualitatif pada penelitian ini, teknik pengolahan
data disusun dalam bentuk tabel untuk kemudahan penyusunan dan
perhitungan di dalam data penelitian.
g. Teknik Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini diawali dengan
mengumpulkan berbagai dokumen peraturan perundang-undangan
serta bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul dalam
skripsi ini. kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik
terkait kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan
berbagai pesan lain yang dimaksudkan dalam isi peraturan
perundang-undang tersebut.
Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan
analisis tersebut adalah : Pertama, semua bahan hukum yang
diperoleh melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut
objek bahasanya. Kedua, setelah disistematisir dan diklasifikasikan
kemudian dilakukan eksplikasi, yang diuraikan dan dijelaskan objek
yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi,
yakni dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum maupun
teori hukum yang berlaku
4. Sistematika Penelitian
Skripsi ini disusun berdasarkan sistematika penelitian yang sesuai
dengan Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017, dengan
sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab. Masing-masing bab
terdiri dari beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang
diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:
11
Agar dapat memberikan penjelasan menyeluruh mengenai isi
skripsi ini, oleh karena itu dibuatlah sistematika penulisan skripsi yang
terangkum sebagai berikut:
BAB I, Pendahuluan. Bab ini membahas mengenai Latar
Belakang Masalah, dilanjutkan dengan Identifikasi Masalah,
Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian.
BAB II, Negara Hukum dan Pembagian kekuasaan, Bab ini
membahas mengenai Kerangka Konseptual, Kerangka Teoritis,
Pembentukan Panitia Khusus Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat
Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Tinjauan (Review)
Studi Terdahulu.
BAB III, Keabsahan Pembentukan dan Legalitas Panitia
Khusus Hak Angket. Pada bab ini membahas tentang pembentukan
panitia khusus hak angket dan legalitas pembentukan panitia khusus
hak angket.
BAB IV, Prosedur dan Legalitas Panitia Khusus Hak Angket
Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Komisi Pemerantasan
Korupsi. Bab ini merupakan bab analisis mengenai pembentukan
panitia khusus hak angket dengan peraturan DPR Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Tata Tertib.
BAB V, Penutup. Bab ini berisikan kesimpulan dan
rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi
ini, untuk itu peneliti menarik beberapa kesimpulan dari hasil
penelitian, di samping itu peneliti menengahkan beberapa saran yang
dianggap perlu.
12
BAB II
NEGARA HUKUM DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN
A. Kerangka Konseptual
1. Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah
salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri dari anggota
partai politik peserta pemilihan umum. Partai politik sendiri dimaknai
sekumupulan orang yang bersatu untuk memperjuangkan kepentingan
nasional melalui usaha bersama mereka berdasarkan pada prinsip-
prinsip tertentu yang mereka semua sepakati. Gagasan hadirnya partai
politik mengasumsikan bahwa rakyat harus diikut sertakan dalam
proses politik maka partai politik telah lahir, dan berkembang menjadi
penghubung penting antara rakyat dan pemerintah.1
Proses kehendak rakyat dengan partai politik sebagai
penghubungnya untuk diwujudkan (output) oleh pemerintah,
mengandaikan terjadinya kerja-kerja sistem politik antara infrastruktur
dan suprastruktur. Infrastruktur diartikan sebagai suatu lembaga pada
masyarakat yang terdiri atas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau
organisasi masyarakat, Partai Politik, media masaa, interest group,
tokoh politik dan lain-lain yang bergerak secara independen.
Infrastuktur politik dengan demikian adalah sesuatu yang berhubungan
dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dalam aktivitasnya
dapat mempengaruhi, baik langsung atau tidak langsung lembaga-
lembaga negara dalam menjalankan fungsi serta kekuasaannya masing-
masing. Artinya, posisi partai politik dalam format infrastruktur politik
menempatkannya sebagai penyerap aspirasi keinginan masyarakat
(input) untuk kemudian dituangkan dalam unit-unit sistem politik
1Efriza, Eksistensi Partai Politik Dalam Presepsi Publik, Politica Vol. 10 No. 1 Mei 2019,
h. 20.
13
berupa keputusan atau decision seperti Undang-Undang, pengawasan
terhadap presiden, tuntutan elemen masyarakat terhadap presiden dan
lain sebagainya.
2. Pansus Hak Angket
Pansus Hak Angket adalah panitia khusus yang dibentuk oleh DPR
untuk melaksanakan Hak Angket yang diajukan oleh DPR. Pansus
bertujuan untuk melakukan penyelidikan, kemudian memutuskan
bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam
pembahasan ini, Pansus hak angket yang dimaksud adalah pansus yang
yang menjalankan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Alasan yang melatar belakangi DPR RI melakukan Hak Angket
terhadap KPK didasarkan pada empat aspek yaitu aspek kelembagaan,
kewenangan, tata kelola anggaan dan tata kelola sumber daya manusia.
Pada aspek kelembagaan, KPK sebagai lembaga negara tidak disebut
dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, melainkan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pada aspek kewenangan, tugas dan wewenang
KPK menghilangkan mekanisme checks and balances dalam integrated
justice system. Pada aspek anggaran, Anngaran APBN untuk KPK tidak
relevan dengan besarnya uang negara yang diselamatkan oleh KPK.
Sementara pada aspek sumber daya manusia, manajemen SDM di KPK
mempunyai permasalahan secara regulasi. Selain itu, Komisi III juga
menyorot tentang tata kelola dokumentasi di dalam proses hukum
penindakan dugaan korupsi seperti pembocoran BAP, sprindik dan
surat cekal. Maka pada Jumat 28 April 2017, sidang Paripurna DPR
menyetujui usulan hak angket yang ditujukan kepada KPK.
Beberapa pengusul pansus hak angket KPK antara lain: Masinton
Pasaribu dan Eddy Wijaya Kusuma dari Fraksi PDIP. Nawafie Saleh,
Adies Kadir, Ahmad Zacky Siradj, Syaiful Bahri Ruray, Angun
14
Gunandjar, Anton Sihombing, Noor Achmad, Endang Srikarti, Ridwan
Bae, M.N Purnamasidi, masing-masing dari fraksi Golkar, Desmond
Junaidi Mahesa dari fraksi Gerindra. Rohani Vanath dari fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa. Daeng Muhammad dari fraksi Partai Amanat
Nasional. Fahri Hamzah dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Asrul
Sani dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Taufiqulhadi dan
Ahmad Sahroni dari fraksi Nasdem. Dossy Iskandar Prasetyo, Dadang
Rusdiana, Djoni Rolindrawan, Samsudin Siregar, H.M. Farid Al Fauzi,
Ferry Kase, dan Frans Agung Mula Putra dari fraksi Hanura.2
3. Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang
dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan
memberantas korupsi di Indonesia. KPK didirikan didasarkan pada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karenanya, KPK
memiliki kewenangan ekstra (superbody) dibanding dengan lembaga
negara lain.
Adapun dasar pembentukan KPK adalah terjadinya delegitimasi
lembaga negara yang telah ada. Hal ini disebabkan karena terbuktinya
asumsi yang menyatakan bahwa terjadi korupsi yang mengakar dan
sulit untuk diberantas. Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan kehilangan
kepercayaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dimana dinilai
gagal dalam memberantas korupsi. Dalam rangka mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum maka pemerintah
membentuk KPK sebagai sebuah lembaga negara baru yang diharapkan
dapat mengembalikan citra penegakan hukum di Indonesia.
KPK merupakan salah satu lembaga negara penunjang yang
dibentuk pada era reformasi. Hanya saja, beban kerja yang diamanatkan
padanya terlalu besar sehingga perlu kiranya pencantuman lembaga
penunjang KPK di dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945.
2Nasional.kompas.com, diakses pada 18 Agustus 2019 pada pukul 14:12 Wib.
15
B. Teori Negara Hukum
Aristoteles berpendapat bahwa yang dimaksud dengan negara
hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
bagi seluruh warga negara. Dengan adanya keadilan dalam masyarakat,
maka akan tercapai kebahagiaan. Untuk itu, harus ditanamkan norma-
norma susila pada rakyat agar mereka menjadi warga yang baik, dan
peraturan-peraturan hukum juga harus mencerminkan keadilan.
Menurutnya, yang memerintah dalam negara sebenarnya bukan manusia
tetapi pikiran yang adil, yang terpancar dari kesadaran etik yang tinggi
untuk menjadikan kehidupan masyarakat sebagai suatu kehidupan yang
baik.Pikiran yang adil ini kemudian tertuang dalam bentuk peraturan
hukum, sedangkan penguasa dalam negara hanya memegang hukum dan
keseimbangan saja.3
Gagasan ini diadopsi Aristoteles oleh Plato yang dikenal sebagai
guru dari Aristoteles. Menurut Plato, pada karyanya yang berjudul Nomoi,
penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada
pengaturan hukum yang baik.4 Ajaran Plato dan Aristoteles ini
mengandung filsafat yang menyinggung angan-angan atau cita-cita
manusia yaitu untuk mengejar kebenaran, kesusilaan, keindahan dan
keadilan. Merujuk pada munculnya gagasan ini, dapat ditelisik sebagai
antitesa atau reaksi atas tujuan negara yang menimbulkan kekuasaan yang
otoriter/absolut. Golongan liberal dalam konteks ini berusaha membatasi
kekuasaan raja yang absolut dan menegakkan kebebasan dari setiap warga
untuk mencari kemakmuran sebagai cermin atas adanya sifat
individualistis dari paham liberal.
Dari prespektif historis, perkembangan pemikiran filsafat hukum
dan kenegaraan telah berkembang sejak 1800 SM, atau lebih tepatnya
pada masa Yunani Kuno. Gagasan ini kemudian tumbuh dan berkembang
3Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta: Pusat Studi HTN, FH UI, 1976), h. 75. 4Budiono Kusumahamidjojo, Filsafat Hukum: Problematika Ketertiban yang Adil, (Jakarta:
Grasindo, 2004), h. 37.
16
dalam tradisi Romawi, namun praktek negara hukum terjadi di Romawi
sementara tradisi Yunani Kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan
hukum.5
Hanya saja, pada saat awal munculnya pembahasan negara hukum,
konsep dimaksud masih ditujukan sebagai upaya perjuangan dalam rangka
menentang kekuasaan raja yang begitu absolut. Demikian, cakrawala
pemahaman tentang negara hukum ketika itu masih terbatas pada upaya
mengendalikan pergerakan kekuasaan raja yang begitu besar. Pada masa
itu, kekuasaan suatu negara selalu bertumpu pada raja, sehingga kemudian
sangat rentan melahirkan kesewenang-wenangan.
Menurut klasifikasinya, negara hukum memiliki dua tipe pokok
yaitu: Pertama, Tipe Eropa Kontinental yang berdasarkan pada kedaulatan
hukum yang berintikan Rechtstaat (negara hukum), Kedua, Tipe Anglo
Saxon yang berintikan The Rule of Law.Rechtstaat adalah sebuah konsep
dalam pemikiran hukum Eropa Kontinental yang dipinjam dari hukum
Jerman, yang dapat diterjemahkan sebagai legal state, state of law, state of
justice atau state of rights. Frederich Julius Stahl mengungkapkan
setidaknya terdapat empat unsur dari rechtstaat yaitu:
1. Jaminan terhadap hak asasi manusia;
2. Adanya pembagian kekuasaan;
3. Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan;
4. Adanya peradilan administrasi negara yang berdiri sendiri atau
independendent.6
Sementara istilah the rule of law menurut A.V. Decey harus
memenuhi tiga unsur utama yaitu:
1. Supremasi aturan-aturan hukum atau supremacy of the law, yaitu tidak
adanya kekuasaan sewenang-wenang dalam arti bahwa seseorang
hanya boleh dihukum apabila melanggar hukum;
5Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1994), h. 11. 6Maleha Soemarsono, Negara Hukum Indonesia Ditinjau Dari Sudut Teori Tujuan Negara,
Jurnal Hukum dan Pembangunan, No.2, April-Juni 2007, h. 307.
17
2. Kedudukan yang sama di hadapan hukum atau equality before the
law. Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat;
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (Di negara lain
dengan UUD ) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Kedua sistem hukum tersebut pada prinsipnya mengarah pada satu
pemahaman dan permaknaan utama, yaitu negara yang memandang
hukum sebagai sarana efektif dalam menata kehidupan berbangsa dan
bernegara. Namun demikian, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara
keduanya. Rechtstaat misalnya, mengandung ciri pokok seperti
perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau
pembagian kekuasaan lembaga negara dalam rangka menjamin
pelaksanaan kekuasaan negara, serta adanya peradilan administrasi.
Adapun the rule of law pada prinsipnya mengandung ciri pokok
seperti adanya supremasi hukum, adanya persamaan kedudukan di
hadapan hukum serta adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia.
Maka begitu, perbedaan nyata keduanya adalah negara hukum yang
menganut rechtstaat mementingkan peradilan administrasi sebagai salah
satu pembedanya. Sementara negara hukum yang menganut the rule of
law, menempatkan pentingnya persamaan di hadapan hukum.7
C. Teori Pembagian/Pemisahan Kekuasaan
Teori pemisahan kekuasaan merupakan kelanjutan pembahasan
dari doktrin negara hukum. seperti penjelasan sebelumnya, salah satu
unsur terpenuhinya negara hukum adalah dengan adanya pemisahan
kekuasaan. Berkenaan dengan itu, teori ini pertama kali berkembang
melalui apa yang dikemukakan dua pemikir besar dari Inggris dan Prancis,
yaitu John Locke dan Montesquieu. Konsep pemisahan kekuasaan yang
dikemukakan oleh dua pemikir besar tersebut kemudian dikenal dengan
trias politica.
7Haposan Siallagan, Penerapan Prinsip Negara Hukum, Sosiohumaniora Vol. 18 No. 2 Juli
2016, h. 132.
18
Menurut John Locke, kekuasaan itu dibagi dalam tiga kekuasaan
yaitu:
1. Kekuasaan legislatif, bertugas untuk membuat peraturan dan undang-
undang.
2. Kekuasaan eksekutif, bertugas untuk melaksanakan undang-undang
yang di dalamnya termasuk kekuasaan untuk mengadili.
3. Kekuasaan federatif, tugasnya meliputi segala tindakan untuk menjaga
keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti
membuat aliansi dan sebagainya.8
Konsep John Locke kemudian dikembangkan oleh Montesquei
dengan memasukkan kekuasaan pengadilan atau yudikatif sebagai
kekuasaan yang berdiri sendiri. Maka itu, konsep pemisahan kekuasaan
menurut Montesquei yaitu:
1. Kekuasaan legislatif yang bertugas untuk membuat undang-undang.
2. Kekuasaan eksekutif yang bertugas untuk menyelenggarakan undang-
undang.
3. Kekuasaan yudikatif, yang bertugas untuk mengadili atas pelanggaran
undang-undang.
Menurutnya, setiap pemerintahan tiga jenis kekuasaan itu mesti
terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas (functie) maupun
mengenai alat perlengkapan (organ) yang melakukannya. Ajaran ini tidak
membenarkan adanya campur tangan atau pengaruh-pengaruh antara satu
dengan lainnya.9.Namun, menurut Jimly Asshidiqie, konsep organ negara
dan lembaga negara memiliki makna yang sangat luas, sehingga sesuai
perkembangan tata negara saat ini, lembaga negara dan organ negara tidak
dapat dipersempit hanya pada pengertian ketiga cabang kekuasaan seperti
yang dimaksud Montesquieu. Hal senada juga disampaikan oleh Miriam
Budiardjoyang menyatakan bahwa abad ke-20 dalam negara yang sedang
berkembang, kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi demikian
8Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 150.
9Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:
Pusat Studi Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas UI, 1983), h. 141.
19
kompleksnya serta badan eksekutif mengatur hampir semua aspek
kehidupan masyarakat. Karena itu, trias politika dalam arti pemisahan
kekuasaan tidak dapat dipertahankan lagi.10
Dengan begitu, dimungkinkan
adanya suatu lembaga negara yang baru yang menjalankan fungsi yang
bersifat campuran, dan masing-masing bersifat independen (independent
bodies) atau quasi independent.11
Di Indonesia UUD NRI 1945 dijadikan aras dasar dalam bernegara
yang di dalamnya mengatur fungsi-fungsi kekuasaan. Menurut Sri
Soemantri, pada umumnya konstitusi sebagai hukum dasar berisi tiga hal
pokok:
1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga
negara;
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat
fundamental;
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang
juga bersifat fundamental.12
Maka di sini dapat disimpulkan, UUD NRI 1945 merupakan
penegasan konsep negara hukum. Sebagai acuan dasar, UUD NRI 1945
haruslah menganut prinsip pemisahan kekuasaan yang tidak rigid. Dengan
begitu, konsep negara hukum dan pemisahan kekuasaan merupakan dua
hal yang tidak dapat dipisahkan.
D. Fungsi Legislatif dalam UUD 1945
Berkaitan dengan konsep pemisahan kekuasaan, dalam literatur
hukum tata negara, sistem pemerintahan secara umum dibagi menjadi dua,
yaitu sistem pemerintahan presidensil dan sistem pemerintahan
parlementer. Negara yang menganut sistem parelementer dapat
dikategorikan di dalamnya tidak terdapat ajaran pemisahan kekuasaan
yang diterapkan secara murni. Salah satu ciri khas sistem parlementer
10
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,… h. 282. 11
Jimly Asshidiqqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 20. 12
Sumbodo Tikok, Hukum Tata Negara, (Bandung:Eresco,1992), h. 116.
20
adalah cabang eksekutif tergantung dukungan secara langsung dari
parlemen. Karenanya, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara
eksekutif dan legislative.Sebaliknya, negara yang menerapkan doktrin
pemisahan kekuasaan dalam konstitusinya disebut sistem pemerintahan
presidensil. Dalam sistem pemerintahan presidensil, hubungan antara
presiden dan DPR saling melakukan kontrol dan berkesinambungan (check
and balances),13
dengan kata lain sistem pemerintahan parlementer adalah
didasarkan atas asas defusion of power sementara presidensiil didasarkan
separation of power.
Menurut beberapa pakar, sistem pemerintahan Indonesia tidak
murni presidensiil, tetapi secara konstitusional atau UUD 1945
sebelumnya adalah sistem presidensiil. UUD 1945 dalam penjelasannya
menyebutkan, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan
ini tidak bisa dibubarkan.14
Ditambah lagi, Pasal 20A UUD 1945
menyebutkan, DPR merupakan lembaga tinggi negara yang bertugas
menjalankan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
Maka begitu, adanya fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif secara
praktis memberi makna bergesernya ajaran pemisahan kekuasaan secara
murni. Bila kembali pada semangat awal dari ajaran pemisahan kekuasaan,
maka antar lembaga negara tidak boleh saling mengintervensi.
Dalam menjalankan fungsinya, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945, DPR mempunyai hak interplasi, hak
angket, dan hak menyatakan pendapat. Munculnya fungsi pengawasan
dalam tubuh DPR bertujuan untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif yang
sejatinya telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kekuasaan
eksekutif yang pada asalnya hanya sebagai pelaksana undang-undang telah
mengalami perubahan pada tatanan praksis.
13
Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, (Malang: Setara Pers,2012), h.
1. 14
Hananto Widodo, Politik Hukuk Hak Interplasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, Jurnal Rechts Vinding, Vol.1, No. 3, Desember 2012, h. 421.
21
Dalam pelaksanaan undang-undang, eksekutif seringkali
mengalami kendala dalam prakteknya, sebab seringkali apa yang tertulis
dalam undang-undang berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. Oleh
karena itu, untuk mengatasi persoalan yang terjadi, eksekutif kemudian
dilengkapi dengan kewenangan diskresi. Andai saja setiap tindakan harus
didasarkan pada undang-undang, maka banyak persoalan kemasyarakatan
yang tidak dapat terlayani dengan baik. Terlebih lagi, dalam konteks
negara kesejahteraan pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas
yang didasarkan pada kewenangan yang sah untuk menyelenggarakan
kepentingan umum.15
Sementara di cabang kekuasaan legislatif, tidak ditemukan literatur
yang memberi peluang terjadinya diskresi. Disekresi jamaknya hanya
digunakan oleh cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif yang dalam hal
ini adalah hakim. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan Pasal 1 Undang -
Undang Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan bahwa
diskresi dengan tujuannya merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh
pejabat pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan
pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya
stagnansi pemerintahan. Penggalan pejabat pemerintahan sebagai pihak
yang diberikan kewenangan diskresi di atas merujuk pada makna
penyelenggara pemerintahan yang bertanggungjawab secara langsung
kepada rakyat dalam merealisasikan kesejahteraan umum.16
Hak angket merupakan salah satu hak yang melekat secara
kelembagaan. Dalam ketentuan Pasal 77 ayat 3 Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 Tentang MPR,DPR, DPD dan DPRD (MD3) menyebutkan,
hak angket adalah hak DPR untuk melaksanakan penyelidikan terhadap
pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang
15
Morrisan, Hukum Tata Negara Era Reformasi, (Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005), h. 114. 16
Hukumonline.com, Arti, Tujuan, Lingkup dan Contoh Diskresi, diakses pada 18 Agustus
2019 pukul 12:23 Wib.
22
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Berpegang pada ketentuan ini, hak angket ditujukan untuk
menyelidiki pelaksanaan suatu undang - undang dan/atau kebijakan
pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Pengaturan demikian tidak mesti ditafsirkan dengan
kemungkinan telah terjadi pelanggaran hukum. Namun, segala temuan itu
bukan dalam rangka melakukan tindakan hukum sebagai proses pro
justitia, melainkan untuk melakukan tindakan ketatanegaraaan terhadap
presiden/wakil presiden misalnya untuk dimintakan pertanggungjawaban,
atau untuk merumuskan kebijakan, misalnya menciptakan atau mengubah
undang-undang. Sementara jika ditemukan pelanggaran seperti
pelanggaran tindak pidana, dapat diteruskan pada instansi penegak hukum.
Menurut Naswar, dalam salah satu karya tulisnya menegaskan,
kesalahan ketatanegaraan yang pernah terjadi dalam praktek realisasi hak
angket, adalah kasus penyelidikan Bank Century. Dalam kasus ini,
penyelidikan DPR ditujukan untuk mengungkap dugaan telah terjadi
perbuatan pidana atas kebijakan fasilitas pembiayaan jangka pendek dan
penyertaan modal sementara sebesar Rp. 6 Triliyun pada Bank Century.
Dalam pandangannya, hal seperti ini biarkanlah menjadi urusan instansi
penegak hukum, penggunaan hak angket oleh DPR dilakukan untuk
menyelidiki Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk menilai apakah
pelaksanaan prosedur pembentukan hak angket terhadap KPK telah sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan, akan diulas pada pembahasan
selanjutnya.
E. Tinjauan ( Review ) Kajian Terdahulu
Dalam skirpsi ini, peneliti akan memaparkan beberapa penelitian
terdahulu yang mempunyai kemiripan dengan apa yang peneliti teliti
antara lain:
23
1. Redy Herlambang17
, Skripsi ini membahas tentang fungsi pengawasan
berupa hak angket yang dimiliki oleh DPR. Dalam penelitiannya,
penulis menganggap hak angket secara normatif dimiliki oleh DPR.
Namun begitu, haruslah tetap memperhatikan subjek dan objek dari
hak angket. Karena itu, hasil penelitiannya menegaskan bahwa
penggunaan hak tersebut lazimnya digunakan kepada pemerintah,
sehingga menjadi suatu kesalahan ketika hak tersebut dialamatkan
kepada KPK yang merupakan lembaga yudikatif dan bergerak secara
independent. Upaya tersebut sungguh telah menggiring proses
penegakan hukum ke dalam lanskap politik. Perbedaan mendasar
dalam penelitian ini adalah fokus bahasan peneliti lebih pada
ketentuan teknis pembentukan panitia khusus hak angket berikut
dengan legalitasnya, bukan pada aspek kelembagaannya.
2. Bagir Manan18
, Buku ini memberi penjelasan terkait garis-garis besar
posisi dan struktur lembaga DPR, DPD dan MPR yang diatur dalam
UUD NRI 1945 pasca amandemen, serta memberikan perbedaan yang
spesifik mengenai posisi lembaga-lembaga tersebut sebelum
amandemen. Berkenaan dengan lembaga DPR, beliau menyebutkan
bahwa posisi DPR memiliki kewenangan yang lebih kuat dibanding
sebelum amandemen. DPR memiliki fungsi pengawasan berikut
dengan turunannya berupa penyelenggaraan hak angket sebagai
instrumen melakukan pengawasan. Perbedaan penelitian peneliti
terhadap buku ini terletak pada spesifikasi yang lebih fokus pada
mekanisme pembentukan hak angket dengan peraturan perundang-
undangan turunan dari UUD NRI 1945. Artinya, buku ini kurang lebih
hanya membahas secara garis besar tupoksi dari DPR berikut dengan
instrumen turunannya seperti hak angket dan hak budget, sementara
penelitian ini lebih mengarah pada ketentuan administratif terkait
pelaksanaan hak angket tersebut berikut dengan objek yang diangket.
17 Redy Herlambang, Kewenangan DPR dalam Mengajukan Hak Angket Terhadap KPK
dalam Perspektif HTN, ( Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2018) 18
Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, (FH-UII Press, 2003)
24
3. Subardjo19
, Dalam jurnal ini poin pembahasan yang dibahas adalah
tentang mekanisme pengajuan hak angket yang mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangangan. Hanya saja, fokus
pembahasannya lebih kepada aspek kelembagaan dimana menurutnya,
KPK bukanlah lembaga yang dapat diangket sebab berada di luar garis
eksekutif. Adapun skripsi ini, peneliti lebih fokus pada mekanisme
pelaksanaan pembentukan panitia khusus hak angket.
19
Subardjo, Penggunaan Hak Angket oleh DPR RI dalam Mengawasi Kebijakan Pemerintah, (Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan, 2016)
25
BAB III
DESKRIPSI PANITIA KHUSUS HAK ANGKET
A. Dasar Hukum Hak Angket
Angket didefenisikan sebagai examination into facts or principle,
research or a request for information or a systemic investigation often a
matter of public interest. Upaya menguji fakta-fakta atau prinsip-prinsip,
penelitian, atau sebuah permintaan publik. Angket dengan demikian
adalah upaya yang dilakukan untuk mengungkap kebenaran dan digunakan
untuk menangani masalah publik.International Parlemen Union
merumuskan bahwa:1
The Review, monitoring, and supervision of goverment and public
agencies, including the implementation including the implementation of
policy and legislation. This defenition focuses on the porpuse and nature
of oversight activies rather than on the procedural stages in which they
take place. It covers to work parliementary commitees and plenary
sittings, as well as hearing during the parliamentary stage of bills and
budgetary cycle.
Berdasarkan rumusan ini, dapat dimaknai bahwa hak angket adalah
kegiatan mereview, memonitoring dan mensupervisi Pemerintah dan
badan-badan publik yang termasuk di dalamnya menerapkan kebijakan
peraturan dan perundang-undangan. Hak angket yang melekat pada DPR
RI tidak lain dimaksudkan sebagai wujud keterwakilan publik di dalam
parlemen.
Dasar hukum hak angket terdapat dalam Pasal 20A UUD 1945 yang
menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi
legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Sementara pada ayat
selanjutnya menegaskan bahwa dalam melaksanakan fungsinya, selain hak
yang diatur dalam Pasal-Pasal lain dalam Undang-Undang Dasar ini,
1Sudiman Sidabukke, Pro Kontra Hak Angket KPK: Bunga Rampai Pemikiran Dalam
Diskusi Akademik Nasional di Fakultas Hukum Universitas Surabaya 20 Juli 2017, (Surabaya:
Laboraturium Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 2017), h. 134.
26
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interplasi, hak angket dan hak
menyatakan pendapat.2 Secara keseluruhan, hak, baik sebagai anggota
maupun badan, dimaksudkan agar fungsi DPR RI sebagai lembaga dapat
dijalankan.3 Di sini, hak menempati posisi sebagai instrumen untuk
menjalankan fungsi.
Ketentuan turunan Pasal 20A UUD 1945 terkait dengan hak angket,
adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dalam Pasal
79 Ayat (3) menyebutkan:
“Hak Angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak
DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-
undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara yang diduga bertentang dengan peraturan
perundang-undangan”.
Pasal 79 Ayat (3) di atas dapat ditarik tiga kesimpulan bahwa hak
angket dapat diterapkan apabila: pertama, berkaitan dengan pelaksanaan
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah; kedua, berkaitan dengan
hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara; dan ketiga, diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.4
2May Lim Charity, Implikasi Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14, No. 03, September
2017, h. 246. Perhatikan juga penjelasan Masnur Marzuki yang menyatakan bahwa sifat fungsi
dan tugas pengawasan DPR mencakup dua hal: pertama, pengawasan yang bersifat institusional.
Kedua, pengawasan yang bersifat individual. Pengawasan yang bersifat institusional adalah dalam
kerangka tugas dan fungsi kelembagaan DPR dalam lingkup cabang kekuasaan legislatif.
Pengawasan yang bersifat personal dalam kerangka hak yang melekat pada anggota DPR sebagai
wakil rakyat. Lihat, Masnur Marzuki, Fungsi Pengawasan Parlemen Indonesia:Prospek dan
Tantangan, Law Review, Vol. XIV No. 1 Juli 2014, h. 78. 3Philipus M. Hadjon, Dkk., Pengantar Hukum Aministrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2011), h. 82. 4Dasep Muhammad Firdaus, Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI) Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Asy-Syar’ah Vol.20 No. 2 Desember
2018, h. 194.
27
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 79 Ayat (3) di atas menyebutkan,
Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat
berupa kebijakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara,
Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga
pemerintahan non-kementrian. Frasa yang terdapat dalam “hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang
dan/atau kebijakan Pemerintah”, menunjukkan lembaga negara yang
menjadi objek dari hak angket adalah Pemerintah. Khususnya kata
“Pemerintah” yang menggunakan “P” (huruf besar).5 Di lingkungan
akademis, penggunaan P besar dimaksudkan sebagai Pemerintah dalam
arti yang menjalankan pemerintahan (eksekutif).
Penggunaan kata “penyelidikan” Pasal di atas, merujuk pada sinonim
enquete, inquiry dan juga investigation. Penggunaan “penyelidikan”
berkaitan dengan hak angket berbeda dengan istilah penyelidikan dalam
rangka penegakan hukum pidana (pro justiticia) yang dalam padanan
bahasa Belanda opsporing. Penyelidikan yang dimaksud adalah upaya
untuk menguji fakta-fakta atau prinsip-prinsip, penelitian atau sebuah
permintaan informasi atau sebuah investigasi yang sistematik terkait
dengan kepentingan publik, namun tidak langsung berkaitan dengan
penegakan hukum.6
Ketentuan turunan dari Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU
MD3), adalah Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib. Aturan ini hadir sebagai
rujukan formal dalam pelaksanaan Hak Angket oleh DPR.
B. Sejarah Hukum Hak Angket
5Mei Susanto, Hak Angket DPR, KPK dan Pemberantasan Korupsi, Integritas Vol. 4
No. 2 Desember 2018, h. 101. 6Mei Susanto, Hak Angket Sebagai Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan
Rakyat: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, Jurnal Yudisial
Vol. 11 No. 3 Desember 2018, h. 392-393.
28
Pelaksanaan hak angket seperti yang berlaku saat ini merupakan
rentetan panjang dari sejarah masa lalu. Diadopsinya konsep hak angket
dalam ketatanegaraan Indonesia menjadi indikator bahwa negara ini
mengikuti perkembangan ketatanegaraan yang terjadi. Merujuk pada
sejarahnya, hak angket pertama kali digunakan oleh Parlemen Inggris pada
tahun 1376. Hal ini bermula dari right investigate and cahstise the abuse
of administration (hak untuk menyelidiki dan menghukum
penyelewengan-penyelewengan dalam administrasi pemerintahan) atau
dalam perkembangan saat ini dikenal dengan sebutan right of
impeachment (hak untuk menuntut seorang pejabat karena melakukan
pelanggaran jabatan).
Inggris sebagai negara penganut sistem parlementer menempatkan
kekuasaan negara pada parlemen, maka tujuan hak angket di sini
merupakan bentuk penyelidikan pelanggaran yang dilakukan pemerintah
dengan hasil akhir penjatuhan sanksi dalam bentuk pemecatan terhadap
pejabat pemerintah, artinya pemerintah dalam sistem parlementer tunduk
pada kekuasaan parlemen. Kasus ini berujung pada pemecatan beberapa
pejabat istana karena melakukan penyelewengan keuangan.
Dalam sistem parlementer, hak angket juga dikenal dengan
parliamentary investigation dan dapat berujung pada jatuhnya
pemerintahan dengan dikeluarkannya (motion of no confidence)oleh
parlemen kepada pemerintah.7 Sekarang, hak angket di Inggris dilakukan
oleh sebuah komisi khusus yang bertugas menyelidiki kegiatan pemerintah
dan administrasi.8 Skema sistem pemerintahan parlementer memang
dikenal dengan adanya pengawasan eksekutif oleh legislatif sehingga
kekuasaan parlemen lebih besar. Sistem ini menggambarkan keadaan
dimana lembaga eksekutif bertanggungjawab kepada lembaga legislatif
7Ikaputri Reffaldi, Memperkuat Legalitas Hak Angket DPR Atas KPK, Jurnal
Rechtsvinding online, h. 1. 8Arifin Sari Surunganlan Tambunan, Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Menurut UUD 1945: Suatu Studi Analisis Mengenai Pengaturannya Tahun 1966-1997, (Jakarta:
Sekolah Tinggi Hukum Militer, 1998), h. 158.
29
sehingga membuat lembaga eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif
melalui mosi tidak percaya.9
Pada posisi demikian, hak angket dalam konteks negara penganut
sistem pemerintahan parlementer adalah suatu kewajaran. Dengan begitu,
Inggris tidak dapat dijadikan paramater rujukan penggunaan hak angket
bagi negara presidensil. Negara penganut sistem pemerintahan presidensil
yang menggunakan hak angket untuk pertama kalinya adalah Amerika.
Hadirnya Amerika Serikat sebagai negara presidensil yang menggunakan
hak angket, rupanya menjadi kiblat negara-negara di dunia. Amerika
Serikat memperlihatkan praktik ketatanegaraan yang memberikan Kongres
fungsi pengawasan sebagai implied power dari fungsi legislasi dan fungsi
anggaran, meski fungsi pengawasan ini tidak dicantumkan secara eksplisit
di dalam konstitusinya. Hak ini dikenal dengan sebutan congressional
oversight (CO). Praktik ini dapat ditemukan pada kasus Watergateyang
menyebabkan Presiden Richard terkenaimpeach.10
Pelaksanaan hak angket di Amerika Serikat benar-benar disasarkan
pada kebijakan pemerintah yang diduga terindikasi penyimpangan hukum.
Seperti dalam kasus watergate, merupakan contoh efektinya hak angket
berjalan di Amerika Serikat. Komite Hukum Kongres Amerika berhasil
melakukan penyelidikan terhadap Presiden Nixon pada saat itu. Hasil
temuan angket di AS memiliki daya ikat yang kuat karena penegak hukum
memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti temuan angket apabila
diindikasikan adanya penyimpangan hukum. Yang membuat semakin
menarik adalah komposisi Panitia Angket yang bukan hanya terdiri dari
anggota kongres namun sebagian besar berasal dari perorangan
independen yang dikenal sebagai orang berintegritas dan memiliki
kecakapan dan latar belakang bidang hukum terutama dengan objek
angket.11
9I.K. Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, (Bandung:P.T Refika Aditama, 2011), h. 88.
10Ikaputri Reffaldi, Memperkuat Legalitas Hak Angket DPR Atas KPK, h. 6.
11Fitria, Penguatan Fungsi Pengawasan DPR Melalui Perubahan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1954 tentang Hak Angket, Jurnal Cita Hukum Vol. 1 No. 1 Juni 2014, h. 85.
30
Di Indonesia sendiri, sejarah hak angket dalam kacamata beberapa
peneliti biasanya akan dibagi menjadi dua: pertama, hak angket sebelum
amandemen UUD 1945; dan kedua, hak angket setelah amandemen.
Sebelum amandemen UUD 1945, hak angket diatur dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1945 Tentang Penetapan Hak Angket Dewan
Perwakilan Rakyat yang merupakan amanah dari Pasal 70 Undang-
Undang Dasar Sementara tahun 1950 (UUDS). Pasal tersebut
menerangkan: Dewan Perwakilan Rakjat mempunjai hak menjelidiki
(enquete), menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.
Berdasarkan pasal ini, DPR memiliki kewenangan menggunakan hak
angket dimana ketentuan lanjutannya akan diatur oleh undang-undang.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 ini dibentuk pada saat indonesia
masih menganut sistem demokrasi parlementer.12
Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1954 terdiri dari 30 Pasal yang jika
diperinci maka pengaturannya meliputi: pertama, minimal anggota
pengusul angket; kedua, perumusan objek hak angket yang akan diteliti;
ketiga, komposisi anggota panitia angket; keempat, hak menghadirkan
saksi untuk memberi keterangan kepada DPR; dan kelima, ketentuan
tentang keterangan saksi yang tidak dapat dijadikan bukti di
pengadilan.Menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUU-
VIII/2010, Undang - Undang ini dibatalkan sehingga tidak berlaku lagi.13
Pasca amandemen, ketentuan hak angket kemudian diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-
Undang ini merupakan amanah langsung dari Pasal 20A UUD 1945.
Karenanya, secara hirarkis undang-undang ini berbeda dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1954 yang berdasar pada Undang-Undang Dasar
Sementara. Hal ini pula yang menjadi alasan Mahkamah Konstitusi
12
Bagir Manan, Membedah UUD 1945, (Malang: UB Press, 2012), h. 86. 13
Novianto M Hantoro, Urgensi Pembentukan Undang-Undang Hak Angket DPR RI, Jurnal
Negara Hukum, Vol. 8 No. 2 November 2017, h. 178.
31
membatalkan pemberlakuannya. Menurut Mahkamah, Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1954 bertentangan dengan UUD 1945 (pasca
amandemen) karena landasan konstitusional yang mendasari pembentukan
Undang-Undang ini adalah UUDS 1950 yang menggunakan sistem
pemerintahan parlementer, sementara UUD 1945 menggunakan sistem
pemerintahan presidensial.Di samping itu, terdapat asas lex posteriori
derogat legi priori (peraturan atau undang-undang yang terbaru
mengesampingkan peraturan atau undang-undang yang lama). Artinya,
kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 mengesampingkan
keberlakuan UU No. 6 Tahun 1954.
Implementasi Undang - Undang ini dapat dirujuk pada kasus hak
angket yang diajukan DPR untuk menyelidiki penjualan dua tanker milik
pertamina pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri.
Kasus ini terjadi pada tahun 2005 ketika adanya laporan Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha yang memunculkan indikasi
persekongkolan berbagai pihak terhadap penjualan 2 buah VLCC
Pertamina yang merugikan negara sebesar US$ 20 juta. Untuk
mengklarifikasi semua persoalan tersebut kemudian diusulkan untuk
melakukan penyelidikan terhadap pihak terkait yang bertanggungjawab
terhadap keputusan penjualan VLCC antara lain Komisaris dan Direksi
Pertamina. Sebanyak 23 anggota DPR dari 10 fraksi mengajukan hak
angket terhadap penjualan tanker milik Pertamina. Dalam kasus ini, hak
angket diajukan untuk mengetahui bagaimana proses penjualan dua tanker
VLCC milik pertamina tersebut serta apa implikasinya. Untuk mendapat
informasi seputar kasus itu, pihak DPR akan memanggil pihak Goldman
Sachs, Frontline Ltd, dan juga Komisi Pengawasan Persaingan Usaha. Ia
menegaskan, pemanggilan pihak-pihak seperti disebutkan di atas tetap
diperlukan meski sudah ada putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang membatalkan putusan KPPU dalam kasus penjualan dua tanker
VLCC Pertamina.
32
Sayangnya, dalam undang-undang ini tidak secara rigid mengatur
mengenai mekanisme penerapan hak angket. Karena itu, sebelum
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1954 tetap berlaku dan menjadi acuan dalam penerapan hak angket. Dari
sini dianggap terjadi dualisme hukum yang digunakan dalam menjalankan
kewenangan penerapan hak angket.14
Undang - Undang Nomor 22 Tahun 2003 kemudian diganti dengan
Undang - Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Alasan
pertimbangan mengapa Undang - Undang ini diganti adalah dalam rangka
peningkatan peran dan tanggungjawab lembaga permusyawaratan rakyat,
lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah sesuai dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Undang - Undang ini, hak angket diatur pada Pasal 177 sampai
dengan Pasal 183. Pasal-pasal tersebut rinciannya mengatur: pertama,
jumlah minimal pengusul hak angket dan komposisi pengusul; kedua,
syarat mengusulkan hak angket; ketiga, syarat usul hak angket; keempat,
komposisi panitia hak angket; kelima, hak subpoena DPR; keenam,
kewajiban setiap instansi/lembaga memenuhi permintaan keterangan DPR;
ketujuh, tenggat waktu pelaksanaan tugas panitia angket; kedelapan,
keputusan terhadap laporan hak angket; kesembilan, ketentuan lanjutan
melalui peraturan DPR tentang tata tertib.
Undang - Undang ini dijadikan dasar DPR untuk melakukan angket
terhadap kasus Bank Century. Kasus ini mendapat respon hangat setelah
Bank Century mendapat kucuran dana Rp. 6.7 Triliun dari Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Faktanya, dana penjaminan itu ternyata tidak
sampai kepada nasabah yang dirugikan oleh Bank Century. Pada saat itu,
LPS diketuai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk kemudian
14
Sulkaris S. Lepa Ratu, Hakikat Hak Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Skripsi Universitas 17 Agustus 1945, Surbaya, 2016,h. 86.
33
mengambil alih penangan Bank Century sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
yang merupakan lembaga dengan fungsi menjamin simpanan nasabah dan
turut aktif menjaga stabilitas sistem perbankan. Kasus ini dianggap
merugikan keuangan negara dan tidak jelas pengelolaan dan
penggunannya.15
Panitia khusus hak angket DPR yang diketuai oleh Idrus Marham
mengatakan ingin melihat apakah ada pelanggaran hukum dalam
penyelamatan bank itu dan siapa yang bertanggung jawab. Beberapa
anggota pansus tidak bisa menerima alasan bahwa jatuhnya Bank Century
memiliki efek domino. Bank Century terlalu kecil sehingga bisa
mempengaruhi sistem keuangan dan ekonomi Indonesia secara umum.
Pansus juga berpengangan pada hasil audit BPK yang pada kesimpulannya
menyebut ada sembilan kejanggalan dalam penyelamatan Bank Century.
Salah satunya adalah mencuatnya fakta terdapat dana sebesar US$ 18 juta
yang berasal dari talangan pemerintah, ditransfer ke beberapa rekening
nasabah Bank Century yang berinisial BS yang diyakini sebagai Boedi
Sampoerna. Karena itu, belakangan muncul isu menggerakkan Pansus ke
arah wacana pemakzulan Wakil Presiden Boediono dan pemecatan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.16
Sayangnya, hingga saat ini,
status kasus Bank Century tidak pernah mendapat kejelasan.
Menurut Hamdan Zoelva, Undang - Undang Nomor 27 Tahun 2009
berbeda dengan ketentuan sebelumnya. Terutama ketentuan akan adanya
kepastian hukum terhadap hasil hak angket. Perbedaannya terletak dengan
hadirnya Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment Presiden oleh
MPR, sehingga hasil hak angket tidak dapat langsung diarahkan terhadap
memorandum kepada Presiden tetapi dilanjutkan dengan penggunaan hak
untuk menyatakan pendapat, dimana hak menyatakan pendapat ini
15
Desti Widyaningsih, Status Hukum Dana Bailout Lembaga Penjamin Simpanan Dalam
Prespektif Hukum Keuangan Negara (Studi Kasus Dana Bailout Bank Century), Skripsi Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Sudirman 2011, h. 14-15. 16
Bbc.com, Menguak Skandal Bank Century, diakses pada 13 Juli 2019 pukul 2:35 Wib.
34
kemudian diuji oleh Mahkamah Konstitusi lalu dikembalikan lagi ke DPR.
Dari sini DPR mengusulkan diadakannya Sidang Istimewa kepada MPR
untuk meminta pertanggung jawaban terhadap Presiden.17
Namun karena tuntutan perkembangan zaman, Undang - Undang
Nomor 27 Tahun 2009 ini kemudian diganti dengan Undang - Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Hak angket diatur dalam Pasal 78 Ayat (1) sampai Ayat
(4). Sementara ketentuan mengenai pelaksanaan hak angket diatur dalam
Pasal 199 sampai dengan Pasal 209. Hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal
tersebut antara lain:
a. Syarat jumlah minimal pengusul dan komposisi pengusul hak
angket;
b. Syarat dokumen mengusulkan hak angket;
c. Syarat usul hak angket diterima dalam keputusan DPR;
d. Metode pelaksanaan usulan;
e. Konsekuensi putusan diterima atau ditolak;
f. Komposisi dan penetapan panitia angket;
g. Hak subpoena DPR;
h. Kewajiban warga negara atau orang asing yang bertempat tinggal
di Indonesia berkaitan dengan panitia angket;
i. Pemanggilan paksa;
j. Pendanaan pelaksanaan bantuan Kepolisian Negara RI;
k. Sanksi penyanderaan
l. Jangka waktu pelaksanaan tugas panitia angket
m. Keputusan DPR terhadap hasil laporan panitia angket;
n. Jangka waktu pimpinan DPR dalam menyampaikan keputusan
DPR terhadap hasil laporan panitia angket kepada Presiden.
17
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden
Menurut UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi, 2005),h. 123.
35
Penelitian ini kurang lebihnya akan berfokus pada pembahasan
pelaksanaan usul hak angket di internal DPR dengan mengacu pada
peraturan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 serta aturan
pelaksananya yaitu Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata
Tertib.
Sebagai kesimpulan, merujuk pada rentetan sejarah, hak angket
digunakan baik pada negara penganut sistem pemerintahan parlementer
maupun presidensil. Skema yang nampak dalam perjalanan sejarahnya,
hak angket selalu ditujukan kepada pemerintah. Sepertinya, konsep checks
and ballances meskipun tidak tertulis pada masing-masing konstitusi
negara, sebenarnya telah menjadi alur pikir para perumusnya. Di Indonesia
sendiri, pengadopsian hak angket merupakan konsekuensi adaptasi
perkembangan ketatanegaraan. Hanya saja, timbul permasalahan sebab
seringnya terjadi kekaburan makna hak angket sehingga menggiring
perdebatan akademis di dalamnya. Perdebatan tersebut muncul,
salahsatunya, karena objek dari hak angket yang menyasar KPK. Defenisi
yang disebutkan dalam UU MD3 sungguh memberi peluan
multiinterpretasi sehingga sebagian kalangan menganggap KPK bukanlah
bagian dari rumpun eksekutif, sementara yang lain beranggapan KPK
sebagai bagian dari pemerintahan. Karena itulah untuk menjawab
keragaman pandangan ini, telah dilakukan uji materi terhadap UU MD3
antara lain perkara Nomor 36/PUU-XV/2017, perkara Nomor 37/PUU-
XV/2017, dan perkara Nomor 40/PUU-XV/2017.18
Saran penulis,
sebaiknya rumusan mengenai hak angket dapat ditinjau kembali dengan
memberi pembatasan makna agar tidak bermakna kabur.
C. Deskripsi Kasus Pembentukan Panitia Hak Angket DPR Terhadap
KPK
Pada Jumat 28 April 2017, Sidang Paripurna DPR RI telah menyetujui
usulan hak angket yang ditujukan kepada KPK. Usulan penggunaan hak
18
Novianto M Hantoro, Urgensi Pembentukan Undang-Undang Hak Angke DPR RI,
Negara Hukum Vol. 8 No. 2 November 2017, h. 178.
36
angket tersebut pada awalnya muncul dalam rapat dengar Komisi III DPR
RI bersama KPK. Dalam rapat dengar pendapat tersebut, Komisi III DPR
mendesak KPK untuk membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S
Haryani, anggota DPR yang menjadi tersangka pemberian keterangan
palsu dalam kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik
(KTP Elektronik).19
Pada awalnya usulan hak angket terhadap KPK telah ditandatangani
oleh 26 anggota DPR RI dari delapan fraksi, yaitu Fraksi Partai Golongan
Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerakan Indonesia
Raya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai
Nasional Demokrat, dan Partai Hati Nurani Rakyat. Usul tersebut
kemudian diserahkan kepada Pimpinan DPR. Dalam sidang paripurna
penutupan masa sidang, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, mengetuk
persetujuan usulan hak angket KPK meski saat itu masih ada sejumlah
fraksi yang menyuarakan penolakan bahkan keluar dari ruang sidang.20
Alasan yang melatarbelakangi DPR RI melakukan hak angket terhadap
KPK didasarkan pada empat aspek yaitu:21
aspek kelembagaan,
kewenangan, tata kelola anggaran, dan tata kelola sumber daya manusia.
Pertama, pada aspek kelembagaan. Menurut pengusul:22
(1) KPK
sebagai lembaga negara tidak disebut dalam UUD 1945 melainkan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
19
Bbc.com, Diwarnai Aksi Protes, DPR Setujui Hak Angket KPK, diakses pada 18 Agustus
12:53 Wib. 20
Arfianto Purbolaksono, Dkk., Meninjau Ulang Hak Angket KPK, Jurnal Update Indonesia
Vol. X No. 5 Juni 2017, h. 6-7.
21
Dasep Muhammad Firdaus, Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Terhadap Komisis Pemberantasan Korupsi, Asy-Syari’ah Vol. 20 No. 2 Desember 2018, h. 196-
198. 22
Pengusul tersebut antara lain: Masinton Pasaribu dan Eddy Wijaya Kusuma dari Fraksi
PDIP. Nawafie Saleh, Adies Kadir, Ahmad Zacky Siradj, Syaiful Bahri Ruray, Angun Gunandjar,
Anton Siho,bing, Noor Achmad, Endang Srikarti, Ridwan Bae, M.N Purnamasidi, masing-masing
dari fraksi Golkar, Desmond Junaidi Mahesa dari fraksi Gerindra. Rohani Vanath dari fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa. Daeng Muhammad dari fraksi Partai Amanat Nasional. Fahri Hamzah dari
fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Asrul Sani dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Taufiqulhadi dan Ahmad Sahroni dari fraksi Nasdem. Dossy Iskandar Prasetyo, Dadang Rusdiana,
Djoni Rolindrawan, Samsudin Siregar, H.M. Farid Al Fauzi, Ferry Kase, dan Frans Agung Mula
Putra dari fraksi Hanura.
37
Pidana Korupsi. (2) KPK sebagai trigger mechanism berarti mendorong
atau menstimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-
lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efekif dan efisien. KPK
belum berhasil mendorong dan memicu pemberdayaan lembaga penegak
hukum lainnya. (3) KPK bukan badan peradilan namun badan yang
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dalam arti luas yaitu
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Kedua, aspek kewenangan. Menurut pengusul: (1) tugas dan wewenang
KPK menghilangkan mekanisme checks and balances dalam integrated
criminal justice system.Integrated criminal justice system adalah keadaan
dimana terjalinnya hubungan yang bersifat fungsional dan instansional
yaitu kordinasi di antara sub sistem satu dengan lainnya menurut fungsi
dan kewenangannya masing-masing sebagaimana fungsi dan kewenangan
yang diatur dalam hukum acara pidana yang berlaku. Dengan demikian,
integrated criminal justice system meliputi proses penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di persidangan hingga pada pelaksanaan putusan hakim.23
Namun setelah hadirnya KPK berikut dengan tugas dan wewenangnya,
rupanya dianggap merusak integrasi sistem yang sudah ada sehingga
menyebabkan ketidakharmonisan atau kesenjangan hubungan fungsional
antara subsistem peradilan pidana dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi. Ketidaksepakatan antara Kepolisian, Kejaksaan dan KPK
menyangkut kewenangan penyidikan rupanya mengganggu kelancaran
tugas sistem perdilan pidana sebab ketiga lembaga tersebut merupakan
subsistem yang selayaknya berhubungan erat satu sama lain.24
(2).Praktik tebang pilih dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.
KPK dianggap sebagai lembaga yang tebang pilih dalam pemberantasan
korupsi. Menurut Fraksi PAN Teguh Juwarno, KPK memberikan
perlakuan berbeda terhadap tersangka kasus dugaan korupsi. Dalam
23
Jevons Bawekes, Integrated Criminal Justice System Terhadap Sistem Peradilan Tindak
Pidana Perikanan, Lex Crimen Vol. II No. 7 November 2013, h. 96. 24
Santi Laura Siagian, Dkk., Implikasi Pluralisme Kewenangan Penyidikan Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi, Diponegoro Law Journal Vol. 5 No. 3 2016, h. 1.
38
memperlekaukan dua tersangka korupsi yaitu Wa Ode Nurhayati dan
Angelina Sondakh, KPK melakukan pembedaan. Angelina Sondakh
ditawari hukuman lebih ringan jika bersedia menjadi justice colaborator
sedangkan Wa Ode Nurhayati tidak. Sementara, Wa Ode kooperatif
terhadap penyidik dan memiliki banyak informasi dan data untuk
mengungkap kasus dugaan korupsi.25
Sementara menurut Fahri Hamzah,
KPK terlihat rajin dalam menangkap sejumlah kepada daerah yang terlibat
kasus korupsi. Namun ketika sebuah kasus diduga melibatkan pejabat
kepolisian, dalam hal ini Tito Karnavian, KPK seakan tidak berani.
Demikian ini menurutnya KPK telah melakukan tebang pilih kasus.26
(3) pelaksanaan tugas kordinasi, supervisi, dan monitoring. Berkaitan
dengan pelaksanaan tugas KPK ini terdapat dua permasalahan yaitu
pertama, fungsi kordinasi dan supervisi KPK belum maksimal. Kedua,
KPK belum berhasil menyusun jaringan kerja yang kuat dan
memperlakukan institusi yang sudah ada menjadi (counterpartner) yang
kondusif bagi pemberantasan korupsi. (4) keberhasilan KPK dibandingkan
dengan instansi lainnya lebih karena kewenangan penyadapan yang tidak
dimiliki oleh lembaga yang lainnya dan dukungan anggaran. (5) tugas
pencegahan belum dilaksanakan secara efektif. Untuk menyelaraskan
keorganisasian dan ketatalaksanaan di KPK, pelaksanaan pencegahan dan
penindakan harus dilakukan secara bersinergi.Pada konteks ini, KPK
dinilai tidak memiliki proporsi dan strategi yang tepat dalam melakukan
pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi. Hal ini diakui pula oleh
Mantan Ketua KPK Abraham Samad berkaitan dengan strategi yang
keliru.
Buktinya adalah lemahnya pencegahan dibanding penindakan dimana
sikap KPK yang terlalu eksesif dan lebih mengutamakan penindakan.
Misalnya dalam Laporan Tahunan KPK tahun 2013 KPK melaporkan
pagu anggaran untuk penindakan adalah Rp. 61,215,391,000, sedangkan
25
Republika.co.id, Bukti KPK Tebang Pilih Soal Kasus, diakses pada 18 Agustus 2019
pukul 03:22 Wib. 26
Indopos.co.id, diakses pada 18 Agustus 2019 pada 03:54 Wib
39
pencegahan sebanyak Rp. 44,463,353,000. Karena itu, penindakan agresif
yang dilakukan KPK tidaklah memberikan dampak yang signifikan dan
berarti bagi pengurangan korupsi dan perubahan prilaku korup para
birokrat dan pejabat publik.27
Ketiga, aspek anggaran. Menurut pengusul: (1) seluruh kebutuhan dana
operasional KPK disediakan anggarannya dalam DIPA KPK yang
bersumber dari APBN. Dalam melakukan pemberantasan korupsi, KPK
mendapat anggaran yang lebih besar dari penyidik korupsi lainnya. KPK
menggunakan anggaran dari APBN dengan pagu senilai Rp 76 juta dan
hibah dalam bentuk jasa pada tahun 2015 sebesar USD 5.152.109, AUD
1.300.000, dan EUR 7.950.000.
Namun, besaran uang negara yang dapat diselamatkan pada tahun 2016
sebesar Rp. 164 Miliar dan nilai suap sebesar 532.406.843.397.00. Ini
menunjukkan bahwa anggaran yang dikeluarkan untuk KPK dan
besarannya uang negara yang diselamatkan oleh KPK tidak proporsional.
(2) KPK dalam mengadakan input yang dibutuhkan KPK telah sesuai
dengan prinsip value for money untuk kriteria ekonomi. Hal ini
dikarenakan pengadaan input tersebut telah melalui proses lelang selesai
dengan peraturan berlaku, sedangkan pengukuran kriteria efesiensi KPK
diukur dengan rasio antara output yang dihasilakan dengan input yang
dihasilkan.
Dalam menggunakan skema prespektif keuangan untuk meningkatkan
kinerja, seharusnya KPK tidak menjadikan faktor ketersediaan anggaran
sebagai indikator kinerjanya, tetapi sebaliknya KPK harus
mempertimbangkan primsip money follow function dalam pengelolaan
aspek finansial. Prinsip tersebut terdiri dari kriteria ekonomi, efesiensi, dan
efektivitas, sehingga setiap rupiah anggaran yang dikeluarkan oleh KPK
dapat diketahui dampaknya terhadap pencapaian kinerja KPK dan
memastikan input yang didapatkan merupakan input yang paling
ekonomis. (3) mengacu pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat KPK
27
Dpr.go.id, diakses pada 18 Agustus 2019 Pada 04:12 Wib.
40
Tahun 2016, tercatat ada indikasi ketidakpatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan terkait dengan penerimaan Negara Bukan Pajak yaitu
pendapatan Jasa Giro terlambat disetor sebanyak Rp. 1.864.453.581.00
yang dalam hal ini Sekjen KPK selaku KPA belum mengajukan kepada
pihak bank perihal mekanisme pelimpahan otomatis jasa giro ke Kasa
Negara dan sudah disetor pada 6 April 2017. Selain itu, permasalahan
signifikan lainnya terkait belanja barang dengan total Rp. 308.205.500.00
yang terdiri dari kurang pungut PPH, kelebihan bayar, pemborosan
konsumsi saksi, pertanggungjawaban yang tidak akuntabel, serta kelebihan
pembayaran sewa ruangan.
Keempat, Aspek Sumber Daya Manusia. Menurut Pengusul: (1)
manajemen SDM KPK mempunyai permasalahan secara regulasi. Dalam
proses pengangkatan penyidik internal, KPK dianggap melakukan
kebijakan eksklusif. Selain itu, pada 2018, sistem rotasi SDM di KPK juga
dianggap bermasalah. Dalam kasus ini, internal pengawai KPK
menganggap rotasi beberapa jabatan eselon II dan III tidak adil, tidak
transparan dan melanggar Peraturan KPK RI No. 7 Tahun 2013 Tentang
Nilai-Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik dan Pedoman Prilaku KPK.28
(2) indikator intergritas zero tolerance tidak tercapai.Zero tolerance
yang dimaksud adalah sebuah kebijakan yang memberikan hukuman ketat
bagi para pelanggar suatu aturan, dengan tujuan menyingkirkan para
pelanggar tanpa pandang bulu. KPK dianggap tidak menerapkan indikator
zero tolerance dengan dibuktikan terdapat beberapa pegawai KPK yang
mendapat sanksi kode etik. Dalam prespektif pembelajaran dan
pertumbuhan, seluruh indikator kinerja dapat tercapai bahkan melebihi
100% kecuali pembangunan gedung KPK. Meskipun dalam penetapan
indikator integritas yang zero tolerance tidak tercapai karena selalu ada
pegawai KPK yang mendapatkan sanksi karena melanggar kode etik. (3)
indikator pengelolaan pegawai hanya fokus pada satu unsur area
28
Kabar24.com, Empat Isu Kisruh Internal KPK dan Perlunya Perbaikan Manajemen SDM,
Diakses pada 18 Agustus 2019 Pukul 14:12 Wib.
41
kompetensi. Hal penting yang ditekankan mengenai manajemen sumber
daya manusia di KPK adalah keharusan pimpinan KPK untuk berkordinasi
dengan pimpinan instansi asal pegawai yang dipekerjakan di KPK. Dalam
implementasinya, terdapat beberapa permasalahan antara lain indikator
pengelolaan sumber daya manusia yang ditetapkan oleh KPK hanya satu
unsur saja yaitu kompetensi sesuai fokus area.
Dengan begitu, konsekuensi dari diterimanya usulan angket adalah
pembentukan Panitia Khusus Angket yang kemudian diputuskan dalam
keputusan DPR dan diserahkan kepada Presiden. Dalam perjalanannya,
beberapa fraksi tiba-tiba menyatakan menolak usulan hak angket.
Beberapa di antara fraksi yang menolak antara lain: PKB, Demokrat, dan
PKS.
Di tengah proses penggunaan hak angket tersebut, Forum Kajian
Hukum dan Konstitusi (FKHK) melakukan pengujian norma yang terdapat
dalam Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang
merupakan dasar hukum dilakukannya hak angket terhadap KPK. Pasal
tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 4 Ayat (1)
dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.29
Menurut Pemohon, menempatkan
KPK menjadi subjek hak angket bertentangan dengan prinsip negara
hukum Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 dan jaminan kepastian hukum Pasal
28D Ayat (1) UUD 1945. Sebab pada perkembangannya, cabang
kekuasaan negara tidak hanya berhenti pada konsepsi trias politica John
Locke dan Montesqieu. Konsepsi Negara modern tidak lagi terpaku pada
konsep kekuasaan tersebut, namun berkembang untuk menguatkan
mekanisme checks and balances.
Sebaliknya, DPR berpandangan bahwa KPK adalah lembaga yang
masuk dalam bagian kekuasaan eksekutif sebab menjalankan kewenangan
dalam rangka melaksanakan perintah langsung undang-undang, serta kata
“Pemerintah” dimaknai dalam arti luas yaitu seluruh pelaksana undang-
undang yang menyelenggarakan pemerintahan. Artinya, ada permasalahan
29
Hukumonline.com, diakses pada 19 Agustus 2019 Pukul 02:42 Wib
42
permaknaan objek angket dalam Pasal 79 Ayat (3): Pelaksanaan Suatu
Undang-Undang dan/atau kebijakan Pemerintah. Menurut Mahkamah
Konstitusi dalam Putusannya No. 36/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa
permohonan Pemohon tidak dapat diterima sehingga akibat hukum yang
timbul adalah hak angket terhadap KPK adalah sah.30
Namun sejatinya, permasalahan tidak berhenti di situ. Dalam proses
pembentukan panitia angket, terdapat polemik dalam pembentukan dan
komposisi struktur panitia angket yang tidak mengacu pada Peraturan DPR
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib. Berkenaan dengan pembahasan
ini, akan dibahas pada bab selanjutnya untuk kemudian dilakukan analisis.
30
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 Tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Daerah.
43
BAB IV
PROSEDUR PEMBENTUKAN DAN LEGALITAS PANITIA KHUSUS
HAK ANGKET
A. Prosedur Pembentukan Panitia Khusus Hak Angket
Pada bagian ini, peneliti akan menguraikan secara cermat
bagaimana mekanisme pembentukan Panitia Khusus Hak Angket dengan
mengacu pada hirarki perundang-undang berikut dengan aturan
pelaksananya. Dengan begitu, di samping pembahasan materi hak angket,
juga dipaparkan berkenaan dengan administrasinya.
Pembahasan yang lalu telah dipaparkan bahwa dasar hukum hak
angket merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu,
sebagai aturan pelaksananya, terdapat Peraturan DPR Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Tata Tertib.Dalam diskursus hirarki perundang-undangan,
Peraturan DPR tidak terdapat dalam hirarki perundang-undangan
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 Undang - Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi;
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
UUD 1945 menjadi norma dasar (basic norm) sebagaimana
menurut Kalsen dinamakan (Staatsgrundgesetz), maka konsekuensinya
UUD 1945 mengesampingkan semua peraturan yang lebih rendah (lex
superiori derogat legi inferiori). Selain itu, materi muatan dari UUD 1945
menjadi sumber dalam pembentukan segala perundang-undangan sehingga
44
Ketetapan MPR hingga Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak boleh
bertentangan dengan di atasnya.1
Ketentuan berkenaan dengan eksistensi Peraturan DPR diatur
dalam Pasal 8 Ayat (1). Demikian, kekuatan hukum selain tujuh peraturan
di atas, dikenal ada pula ada peraturan-peraturan lain yang termasuk dalam
jenis peraturan perundang-undangan, yaitu: peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan
atau lembaga, atau komsisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-
undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Kemudian, menurut Pasal 8 Ayat (2), peraturan perundang-undangan
tersebut diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Menurut peneliti, eksistensi perundang-undangan yang termuat
dalam Pasal 8 Ayat (2), berada di bawah hirarki perundang-undangan yang
tercantum dalam Pasal 7 Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, termasuk di
dalamnya Peraturan DPR. Pandangan ini berangkat dari konsep isi
peraturan atau dalam pengistilahan dikenal dengan skema umum-abstrak.
Lazimnya, hirarki perundang-undangan yang lebih tinggi memuat aturan
yang umum sehingga mengikat masyarakat secara keseluruhan, serta
abstrak yang berarti norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang
yang tidak ada batasnya.2 Undang - Undang sebagai norma hukum
tertinggi setelah UUD dan TAP MPR, menempati bagian konsep umum-
abstrak agar daya berlakunya dapat menjangkau secara menyeluruh dan
tidak spesifik.
1Zaka Firma Aditya dan M Reza Winata, Rekonstruksi Hirarki Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia, Negara Hukum Vol.9 No. 1 Juni 2018, h. 80. 2Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar dan Cara Pembentukannya,
(Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 12.
45
Tidak demikian dengan Peraturan DPR yang daya berlakunya
melihat pada kualitas tertentu, yaitu para anggota DPR saja. Norma yang
diatur oleh DPR sejatinya secara adressat-nya merujuk pemberlakuan
hanya kepada sekelompok anggota DPR, sehingga tidak berlaku secara
umum. Dengan begitu, eksistensi Peraturan DPR dijamin melalui dua cara:
pertama, pencantumannya di dalam Pasal 8A Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan; kedua, karena itu iamengambil bagian sebagai “aturan
pelaksana” dan “aturan delegasi” sehingga Peraturan DPR juga dapat
dimasukkan ke dalam hirarki perundang-undangan dalam Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Sebagai penjelas, aturan pelaksana menurut Bagir
Manan dapat bersumber dari delegasi atau kewenangan mandiri.
Sementara aturan delegasi, bersumber pada undang-undang induk (parent
act/primary legislation) dan tidak boleh melampaui muatan delegasi.3
Karenanya dalam konsideran pertimbangan Peraturan DPR Nomor
1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib menyebutkan bahwa Peraturan DPR ini
mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sehingga perlu
membentuk Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Tentang Tata Tertib, maka itu berarti Peraturan DPR di sini menempati
posisi sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang yang disebutkan.
Baik kapasitasnya sebagai aturan pelaksana, tetap memiliki daya
ikat namun terbatas pada adressat tertentu yang melihat pada kualitas,
yaitu sebagai anggota DPR. Demikian ditegaskan dalam Pasal 8A Ayat
(2), bahwa peraturan tersebut diakui keberadannya dan mempunyai
kekuatan hukum tetap. Sebagai aturan yang mengikat, ketentuan yang
3A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I-PELITA IV, Disertasi Fakultas Hukum
Universitas Indonesia 1990, h. 370.
46
ditegaskan dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
pelaksanaan hak angket juga harus dijadikan pedoman.
Mengenai pelaksanaan angket DPR, disebutkan pada Pasal 169-177
Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 yang jika diurai sebagai berikut:
pertama, syarat pengusul. Dalam melakukan pengusulan, setidaknya
terdiri dari dua puluh lima orang Anggota dan lebih dari satu fraksi. Syarat
pengusulan ini sama dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang MD3. Pengajuan wajib disertai dengan dokumen
yang memuat materi kebijakan atau implementasi undang-undang yang
akan diselidiki beserta alasan penyelidikan. Setelah diajukan oleh minimal
25 orang anggota DPR, kemudian perwakilan mengusulkan angket kepada
Pimpinan DPR untuk kemudian ditindaklanjuti dengan Rapat Paripurna
yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR. Badan
Musyawarah mengambil peran untuk menjadwalkan Rapat Paripurna serta
memberikan kesempatan kepada pengusul untuk menjelaskan alasan
pengusulan secara ringkas.
Kedua,persetujuan rapat Paripurna DPR. Usul hak angket DPR
dapat diteruskan bila mendapat persetujuan rapat Paripurna DPR yang
dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah Anggota dan keputusan
diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah Anggota
yang hadir. Sementara bila usul belum disetujui oleh rapat paripurna DPR,
maka pengusul memiliki hak untuk menarik ataupun mengubah usulannya.
Untuk perubahan usulan sendiri, harus ditandatangani oleh semua
pengusul kemudian disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis.
Setelah disetujui dalam Rapat Paripurna, langkah selanjutnya DPR
membentuk panitia angket yang merupakan panitia khusus untuk tahap
pelaksanaan dimana keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi.
Sementara sebaliknya, jika DPR menolak usul hak angket, maka usul
tersebut tidak dapat diajukan kembali. Penegasan keanggotaan yang
mengharuskan terdiri dari semua unsur mengandaikan agar dalam
47
pembentukan panitia khusus tidak dapat terlaksana bila semua unsur fraksi
tidak mengirimkan perwakilannya.
Ketiga, pengesahan panitia hak angket. Dalam hal setelah
pembentukan panitia angket, komposisi panitia angket kemudian
ditetapkan dengan keputusan DPR dan diumumkan dalam Berita Negara4.
Di dalam keputusan tersebut mencakup penentuan biaya panitia angket.
Kemudian, keputusan DPR ini disampaikan kepada Presiden.
Keempat, hak sobpoena. Hak Subpoena pada dasarnya berasal dari
bahasa latin yang artinya “dibawah hukuman”, adalah perintah dari
Pengadilan (dalam konteks ini berarti parlemen) kepada seseorang untuk
hadir di muka sidang. Penolakan untuk hadir dikenakan sanksi hukuman,
karena telah dianggap telah melakukan penghinaan terhadap Pengadilan.5
Hak subpoena sendiri menjadi perdabatan dalam dunia akademis terlebih
karena menyerupai proses hukum di pengadilan. Padahal, produk
keputusan hak angket merupakan produk politik karena dianggap tidak
memiliki daya ikat secara yuridis bagi penegak hukum. Hak subpoena
terejawantah dalam Peraturan DPR untuk keperluan penyelidikan, panitia
angket dapat meminta keterangan dari Pemerintah, saksi, pakar, organisasi
profesi atau pihak terkait lainnya. Selain itu, dalam melaksanakan tugas,
panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia atau orang asing
yang bertempat tinggal di Indonesia untuk dimintai keterangan. Bila
kemudian warga negara Indonesia dan orang asing tersebut tidak
memenuhi panggilan sebanyak tiga kali bertutur-turut tanpa alasan yang
sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan
4Berita Negara merupakan media pengumuman yang menjadi kelanjutan dari Javasche
Courant. Berita Negara dengan demikian merupakan warisan Belanda yang terus menerus
dipertahankan sesuai dengan Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Javasche
Courant memuat berbagai macam pengumuman yaitu: Staatsbladen, Gouvernementsbesluiten,
Mededeelingen van Verschillenden Aard, Officiela Advententien, Bijovogels. Bedanya, Berita
Negara yang kita kenal sekarang memuat hanya satu bagian dari Javasce Courant, yaitu hanya
pada Gouvernementsbesluiten yang mana berisi tentang keputusan atau peraturan Gubernur
Jendral. Lihat, Kuneng Mulyadi, Apa dan Bagaimana Berita Negara Republik Indonesia, Jurnal
Hukum dan Pembangunan Vol. 12 No. 5 1982, h. 441. 5Fitria, Penguatan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Melalui Perubahan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1954 Tentang Hak Angket, Jurnal Cita Hukum Vol. II No. 1
Juni 2014, h. 79.
48
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sementara itu, penyanderaan dapat
dilakukan paling lama lima belas hari oleh aparat yang berwajib.
Kelima, jenjang waktu pelaksanaan hak angket. Panitia angket
melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling
lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket. Dalam rentan
waktu enam puluh hari, panitia khusus melakukan beberapa tindakan
dengan tujuan untuk mengungkap fakta bahwa telah terjadi ketidakpatuhan
pemerintah terhadap peraturan perundang-undangan. Maka itu, Panitia
Khusus dapat melakukan beberapa panggilan kepada beberapa pihak
terkait untuk dimintai keterangannya.
Keenam, keputusan DPR terhadap hasil panitia hak angket.
Pengambilan keputusan tentang laporan panitia angket didahului dengan
laporan hasil panitia angket dan pendapat akhir fraksi. Hasil temuan
panitia khusus hak angket dalam rentan waktu enam puluh hari kemudian
disampaikan di Forum DPR. Dalam posisi demikian, DPR memiliki dua
opsi keputusan: (a) Apabila rapat paripurna DPR memutuskan bahwa
pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak
menyatakan pendapat. (b) apabila rapat rapat paripurna DPR
memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak
luas pada kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, usul hak
angket dinyatakan selesai dan materi angket tersebut tidak dapat
diajukan kembali.
Keputusan tersebut baik dinyatakan bertentangan atau tidak, harus
mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih
dari 1/2 (satu per dua) jumlah Anggota dan keputusan diambil dengan
persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah Anggota yang hadir. Hasil
49
keputusan tersebut kemudian disampaikan oleh pimpinan DPR kepada
Presiden paling lama tujuh hari sejak keputusan diambil dalam rapat
paripurna DPR.
Demikian dapat disimpulkan, bahwa dalam pembentukan panitia
khusus hak angket memiliki prosedur yang harus ditaati sebagai acuan
dalam ketatanegaraan. Namun begitu, sekalipun telah ditegaskan dalam
prosedur pembentukannya, tidak begitu saja dapat dilaksanakan oleh DPR.
Kasus pembentukan Panitia Khusus Hak Angket KPK misalnya, dapat
dinilai sebagai pengabaian prosedur yang dilakukan oleh DPR. Lantas
bagaimana legalitas pembentukan panitia khusus tersebut? Hal ini akan
diulas pada pembahasan selanjutnya.
B. Legalitas Pembentukan Panitia Khusus Hak Angket
Penggunaan istilah legalitas seringkali disandingkan dengan
pembahasan hukum pidana baik dalam bentuk formil maupun materil.
Demikian ini menjadi wajar sebab bila berkaca pada sejarah munculnya
istilah tersebut. Di Romawi, sejarah pembentukan dan pemberlakuan asas
legalitas tidak dapat dipisahkan dari posisi hukum di dalam negara.
Hukum pidana di Eropa kala itu mengacu pada hukum tidak tertulis berupa
hukum adat.6 Hukum adat menghendaki kekuasaan penuh atas hukum
berada di tangan seorang penguasa yaitu raja. Sekalipun terdapat hakim
yang diangkat oleh raja, ternyata dalam setiap putusannya banyak dijumpai
kesewenang-wenangan baik dalam menentukan perbuatan mana yang
terlarang dan perbuatan mana yang tidak terlarang, begitu juga jenis
hukuman yang dapat dijatuhkan ketika seorang melanggar.7
Pola ini kemudian direspon oleh Beccaria dengan mengatakan
bahwa undang-undang pidana itu dibentuk berdasarkan asas-asas yang
bersifat lebih rasional yaitu yang di satu pihak dapat membatasi hak-hak
penguasa untuk menjatuhkan hukuman-hukuman, berdasarkan pemikiran
6P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di
Indonesia, (Bandung: Citra Aditya, 1997), h. 181. 7Hwian Christianto, Pembaharuan Makna Asas Legalitas, Jurnal Hukum dan Pembangunan
Vol. 39 No.3 Juli-September 2009, h. 348.
50
bahwa kebebasan pribadi warga negara itu sejauh mungkin harus
dihormati yaitu terutama dalam undang-undang pidana, suatu ketentuan
pidana yang telah ada terlebih dahulu harus merupakan suatu syarat mutlak
untuk dipakai sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan suatu
hukuman. Pandangan Beccarian ini kemudian tertuang dalam Code Penal
1791. Ini pula yang menjadi pemikiran awal yang sangat penting bagi
terbentuknya rumusan Pasal 1A Ayat (1) KUHP.
Makna legalitas kemudian berkembang memasuki ranah
ketatanegaraan. Ini berawal dari kondisi pemerintahan yang absolut
monarkhi di awal abad ke-XIII yang menggunakan kekuasaan otoriter dan
sewenang-wenang. Berikutnya muncul pemikiran perlindungan hukum
atas kepentingan rakyat dipikirkan oleh Jean Jacques Rousseau dengan
meletakkan dasar hubungan antara pihak yang memerintah dan yang
diperintah. Pemikirannya dikenal dengan du contract sosial, yang
menegaskan hubungan penyerahan hak dari sekelompok individu yang
tergabung dalam masyarakat kepada beberapa orang untuk mengatur
kepentingan dan jaminan ketertiban. Kekuasaan seorang penguasa bukan
lagi bersumber dari Dewa ataupun hubungan darah keturunan, melainkan
karena penyerahan kekuasaan dari rakyat. Pemikiran ini kemudian
dipertajam dengan munculnya konsep trias politica Motesquieu dan John
Locke.8
Pada fase ini, perdebatan yang muncul di permukaan adalah
bagaimana mekanisme kekuasaan diselenggarakan. Berdasar pada
pengalaman yang lalu, kekuasaan absolut memiliki kecenderungan besar
untuk disalahgunakan sehingga perlu diberi batasan, maka di saat
bersamaan, muncul pula gagasan pembatasan kekuasaan melalui instrumen
hukum atau undang-undang.9Legalitas dengan demikian, bukan hanya
8Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana: Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), h. 38. 9Gagasan penyelenggaraan kekuasaan sebenarnya telah dirintis oleh Plato. Menurutnya,
penyelenggaraan kekuasaan yang baik dilaksanakan melalui dua pendekatan: personal dan sistem.
Pada awalnya Plato lebih menyukai pendekatan personal sebab dilakukan dengan paternalistik,
yakni dengan para penguasa bertindak sebagai ayah yang arif dalam tindakannya. Namun,
51
terbatas pada konsep hukum pidana, namun juga pada konsep administrasi
negara. Menurut Indroharto, legalitas dalam kacamata ketatanegaraan
berarti tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat
pemerintahan itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat
mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum,10
atau dengan
kata lain dikenal dengan istilah Wetmatigheid van bestuur. Asas ini
mengandung arti setiap tindakan pemerintah itu harus memiliki dasar
hukum dalam suatu perundang-undangan.
Dari prespektif hukum positif, asas ini bisa ditarik dari Pasal 1
angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara yang menyebutkan: Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas legalitas kembali ditegaskan dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan administrasi pemerintahan berdasarkan pada asas
legalitas, asas perlindungan terhadap hak asasi manusia dan asas umum
pemerintahan yang baik.11
Pada posisi demikian, legalitas menjadi hal yang penting dalam
penyelenggaraan administrasi negara. Dalam hal ini, Peraturan DPR
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib merupakan dasar hukum dari
pelaksanaan pembentukan panitia khusus hak angket. Peraturan DPR ini
menempati sebagai aturan pelaksana atau lebih kepada bentuk pelaksanaan
teknis dan administratis yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 17
pandangan ini direvisi terutama menjelang akhir hayatnya. Ia mengemukakan bahwa
penyelenggaraan kekuasaan yang baik dengan pendekatan sistem. Pendekatan sistem
menyandarkan pada hukum. Lihat, Arfan Faiz Muhlizi, Reformulasi Diskresi Dalam Penataan
Hukum Administrasi (Reformulation Of Discretion In The Arrangement Administrattive Law),
Jurnal Rechtsvinding Vol. 1 No.1 Januari-April 2012, h. 94. 10
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1993), h. 83. 11
Hukumonline.com, Makna Asas Legalitas dalam Hukum Administrasi Negara, diakses
pada 3 Agustus 2019 pukul 14:23 Wib.
52
Tahun 2014 Tentang MD3. Dalam konsideran Peraturan DPR tersebut
menyebutkan bahwa Peraturan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, sehingga perlu membentuk Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Tentang Tata Tertib.
Dari kacamata Hukum Administrasi Negara, Peraturan DPR
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib disebut administratif atau
pelaksana sebab memiliki posisi atributif. Kewenangan atributif adalah
kewenangan badan atau pejabat administratif pemerintahan—dalam arti
luas—yang diperoleh secara langsung dari peraturan perundang-undangan,
yaitusuatu atribusi menunjuk kepada kewenangan asli atribusi yang
merupakan wewenang untuk membuat keputusan (belsuit) yang langsung
bersumber kepada undang-undang dalam arti materil.Yang dapat
membentuk wewenang adalah organ negara yang berwenang berdasarkan
peraturan perundang-undangan.12
DPR pada konteks ini memiliki fungsi pengawasan seperti yang
dijamin dalam Pasal 20A UUD NRI 1945 berikut dengan peraturan
perundang-undangan turunannya. Dalam menjalankan fungsi pengawasan,
DPR memiliki hak, salahsatunya adalah hak angket. Di sini, Hak bertujuan
sebagai instrumen dalam menjalankan Fungsi.13
Realisasi atas
penyelenggaraan hak angket merupakan perintah langsung oleh UUD NRI
1945 dengan begitu DPR memiliki kewenangan atributif. Dalam hal teknis
penyelenggaraan hak angket itu, dibutuhkan peraturan pelaksana yaitu
Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib. Hanya saja,
perlu ditegaskan, wewenang atributif ini diperoleh melalui delegated
legislator sebab Peraturan DPR ini berdasar pada ketentuan “undang-
12
Tri Cahya Indra Permana dalam Sufriadi, Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab
Pribadi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia, Jurnal Yuridis Vol. I No. I Juni
2014, h. 61. 13
Philipus M. Hadjon, Dkk., Pengantar Hukum Aministrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2011), h. 82.
53
undang” yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 Tentang MD3. Maka begitu, legalitas dari hak angket ditentukan
dalam aturan penyelenggara ini. Sekalipun hanya sebagai aturan
pelaksana, paraturan ini tetap mengikat dengan catatan hanya pada
addressat sebagai anggota DPR.
Namun, jika merujuk pada pengejawantahan pelaksanaan panitia
hak angket yang dilakukan DPR terhadap KPK, terlihat terdapat
pengabaian ketentuan sebagaimana yang digariskan dalam Peraturan DPR
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib.Pada Selasa 30 Mei 2017,
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melalui rapat paripurna
telah resmi membentuk Panitia Khusus Hak Angket Komisi
Pemberantasan Korupsi. Pansus Hak Angket KPK tersebut tetap dibentuk
meskipun usulan Hak Angket terhadap KPK mendapat banyak penolakan,
termasuk beberapa fraksi di DPR sendiri. Dalam proses pembentukan
Pansus Hak Angket KPK, pada awalnya hanya lima fraksi yang
menempatkan perwakilan dalam pansus tersebut. Kelima fraksi tersebut
adalah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Fraksi
Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Partai Nasional Demokrat
(Nasdem), Fraksi Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Fraksi Partai
Golongan Karya (Golkar).14
Sementara itu, terdapat lima fraksi yang hingga nama-nama panitia
angket diumumkan secara resmi oleh Wakil Ketua DPR belum
menyerahkan nama perwakilan. Lima fraksi tersebut adalah Fraksi
Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Gerindra, Fraksi Partai
Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.Namun dalam
perkembangannya, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan
Fraksi Amanat Nasional (PAN) yang semula menolak mengirimkan wakil,
berbalik arah dan akhirnya memutuskan mengirim perwakilan ke dalam
Pansus. Sehingga, anggota Pansus Hak Angket KPK ini berasal dari tujuh
fraksi dengan total perwakilan sebanyak 23 orang anggota. Pansus Hak
14
Www. DetikNews.Com, diakses pada 8 Agustus 2019 pukul 13:14 Wib.
54
Angket KPK ini kemudian dipimpin oleh Agun Gunandjar Sudarsa dari
Fraksi Golkar yang terpilih sebagai Ketua Pansus Hak Angket KPK
melalui rapat perdana tertutup.15
Berkaca pada deskripsi pembentukan Pansus Hak Angket KPK di
atas, dengan jelas DPR tidak mengikuti rule yang telah menjadi legalitas
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 171 Ayat (2) Peraturan DPR
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib yang berbunyi: “Dalam hal
DPR menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang
keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi.” Secara hirarkis, aturan
ini juga disebut persis dengan Pasal 201 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 Tentang MD3.
Menurut Fahri Hamzah, pembentukan Pansus Hak Angket KPK
tetap sah meski ada fraksi yang menolak mengirim perwakilan. Sebab
seharusnya semua fraksi wajib mengirim perwakilannya karena sudah
menjadi keputusan rapat paripurna. Lebih lanjut menurutnya, jika hanya
karena satu fraksi Pansus Hak Angket ini dibatalkan, hal itu akan
menyebabkan kinerja DPR tidak efektif.16
Demikian, menengahi ini,
bagaimana menentukan status pembentukan panitia khusus hak angket
tersebut? Mengenai ini akan diulas pada pembahasan selanjutnya untuk
kemudian dianalisis.
C. Keabsahan Panitia Khusus Hak Angket
Pasca amandemen UUD NRI 1945, terjadi perubahan besar dalam
ketatanegaraan Indonesia. Setidaknya terdapat 7 lembaga negara yang
hadir dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia yaitu: MPR, DPR,
DPD, Presiden, BPK, MA, dan MK. Bila dipadankan dengan konsep trias
politica, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat
15
Www.Theindonesianinstitute.com, Mengawal Pansus Hak Angket KPK,. Diakses pada 8
Agustus 2019 pukul 14:06 Wib 16
Www.Theindonesianinstitute.com, Mengawal Pansus Hak Angket KPK,. Diakses pada 8
Agustus 2019 pukul 14:36 Wib
55
diklasifikasikan dalam rumpun kekuasaan legislatif. Hal ini dengan
melihat domainnya sebagai pembuat undang-undang. Hanya saja, selain
memiliki fungsi tersebut, DPR juga memiliki fungsi pengawasan dengan
ketentuan turunan berupa hak angket. Demikian ditegaskan dalam Pasal
20A UUD NRI 1945.
Fungsi pengawasan yang dimiliki DPR merupakan konsekuensi
dari dianutnya prinsip checks and balances yang mementingkan hubungan
antara lembaga negara mengikuti pola horizontal. Antara lembaga-
lembaga negara yang ada memiliki hubungan saling mengawasi sehingga
tidak ada lagi yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan demi menghindari
pemusatan kekuasaan yang dapat mengarah pada kesewenang-wenangan,
maka perlu diadakan pembagian kekuasaan negara sebagaimana teori yang
diperkenalkan Montesquie yang membagi kekuasaan negara menjadi
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Agar tiga bidang kekuasaan
tersebut dapat saling mengontrol dan terjadi keseimbangan kekuasaan
perlu diterapkan prinsip checks and balances.
Sebagai penjelas dari ketentuan Pasal 20A UUD NRI 1945,
kemudian dibentuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
Pada Pasal 79 Ayat (3) undang-undang ini memberi penjelasan bahwa
yang dimaksud hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan
terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah
yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan. Frasa “hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah” menunjukkan bahwa objek dari hak angket adalah
56
Pemerintah. Khususnya kata “Pemerintah” yang menggunakan huruf “P”
(huruf besar/kapital).17
Ketentuan turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
adalah Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib.
Peraturan DPR pada posisi ini sebagai aturan pelaksana, sebab memiliki
adressat yang lebih sempit yaitu hanya pada kualitas sebagai anggota DPR
RI. Namun begitu, Peraturan DPR RI tetap memiliki kekuatan mengikat
yang harus dipatuhi dalam menyelenggarakan hak angket yang ditujukan
kepada anggota DPR RI. Berkenaan dengan pembentukan Panitia Khusus
Hak Angket, diatur dalam Pasal 169-177 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Tata Tertib. Namun pada dasarnya, tidak terdapat perbedaan
antara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dengan Peraturan DPR RI
Nomor 1 Tahun 2014, bekaitan dengan prosedur pembentukan Panitia
Khusus Hak Angket. Hasil pengamatan peneliti, Kedua peraturan tersebut
setidaknya mengatur ketentuan yang sama yaitu:
1. Syarat jumlah minimal pengusul dan komposisi pengusul hak angket
paling sedikit dua puluh lima orang anggota DPR dan lebih dari satu
fraksi;
2. Syarat dokumen pengusulan hak angket memuat materi kebijakan
dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki, serta
alasan penyelidikan;
3. Syarat usul hak angket diterima dalam keputusan DPR apabila
mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih
dari satu per dua jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan
persetujuan lebih dari satu per dua jumlah anggota DPR yang hadir;
4. Metode pelaksanaan usulan;
5. Konsekuensi putusan diterima maka DPR membentuk pantia khusus
yang dimana panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua
17
Mei Susanto, Hak Angket Sebagai Fungsi Pengawasan Dewa Perwakilan Rakyat: Kajian
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XY/2017, H. 392-393.
57
unsur fraksi DPR. Sedangkan apabila DPR menolak usul hak angket
maka usul tersebut tidak dapat diajukan kembali;
6. Komposisi dan penetapan panitia angket yang keanggotaannya terdiri
atas semua unsur fraksi DPR. Panitia angket kemudian ditetapkan
dengan keputusan DPR dan diumumkan dalam Berita Negara.
Keputusan DPR tersebut juga mencakup penentuan biaya panitia
angket lalu kemudian disampaikan kepada Presiden;
7. Hak subpoena yaitu panitia angket dalam melakukan penyelidikan,
selain meminta keterangan dari Pemerintah, dapat meminta
keterangan dari saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait
lainnya;
8. Jangka waktu pelaksanaan angket yaitu paling lama 60 hari sejak
dibentuknya panitia angket;
9. Keputusan DPR terhadap hasil laporan panitia angket. Apabila
dinyatakan laporan panitia angket diterima, maka DPR dapat
menggunakan hak menyatakan pendapat.
Meskipun Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata
Tertib merupakan aturan pelakana yang bersifat yang bersifat atributif,
rupanya dari segi ketentuan prosedur pembentukan panitia khusus hak
angket memiliki kesamaan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014. Maka begitu, kekuatan mengikat yang dimilikinya juga berlapis
sehingga menjadi rujukan adimistratif pembentukan panitia khusus hak
angket. Alasan mendasar ketentuan tersebut menjadi rujukan dasar yang
tidak boleh dinafikan, karena manifestasi dari penegasan negara hukum
sebagaimana ditegaskan dalam UUD NRI 1945, mengandaikan hukum
sebagai panglima tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Frederich
Julius Stahl mengungkapkan bahwa unsur dari rechstaat adalah
pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan.18
18
Mahela Sumarsono, Negara Hukum Indonesia Ditinjau Dari Sudut Teori Tujuan Negara,
h. 307.
58
Ketentuan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata
Tertib menjadi batu uji penelitian ini terhadap kasus pembentukan Panitia
Khusus Hak Angket Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Usulan
hak angket pada awalnya muncul dalam rapat dengar pendapat Komisi III
DPR RI bersama KPK. Dalam rapat tersebut, Komisi III DPR mendesak
KPK untuk membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani,
anggota DPR yang menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam
kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik.19
Usulan tersebut terwujud dengan penandatanganan 26 anggota
DPR RI dari delapan fraksi, yaitu fraksi Partai Golongan Karya, Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai
Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Hati Nurani
Rakyat.20
Dalam sidang paripurna penutupan masa sidang, Wakil Ketua
DPR Fahri Hamzah mengetuk persetujuan usulan angket KPK. Dengan
diterimanya usulan angket, maka DPR kemudian membentuk Panitia
Khusus Angket yang terdiri tujuh fraksi sementara tiga fraksi menolak ikut
dalam panitia khusus angket.
Berkaca pada deskripsi kasus Angket KPK di atas, pada tahap
pengusulan, DPR mengikuti prosedur administratif Peraturan DPR Nomor
1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib, yang mengatur tentang syarat
pengusul. Bahwa jumlah pengusul angket terhadap KPK melebihi jumlah
syarat minimal yaitu dua puluh enam anggota DPR RI. Demikian juga
dokumen penyertaan memuat materi kebijakan dan/atau pelaksanaan
undang-undang yang akan diselidiki, serta alasan penyelidikan; telah
dilampirkan. Hingga pada tahap pengambilan keputusan tersebut DPR
dihadiri lebih dari satu per dua jumlah anggota serta satu per dua jumlah
anggota hadir dalam sidang. Sebagai konsekuensi diterimanya usul angket
KPK, adalah DPR membentuk panitia khusus hak angket.
19
Bbc.com, Diwarnai Aksi Protes, DPR Setujui Hak Angket KPK, diakses pada 18 Agustus
Pukul 12:53 Wib. 20
Arfianto Purbolakso, Dkk., Meninjau Ulang Hak Angket KPK, h. 6-7.
59
Namun pada tahap pembentukan panitia khusus hak angket,
terdapat pengabaian ketentuan pada klausul keharusan struktur panitia hak
angket terhadap KPK yang terdiri dari seluruh unsur fraksi yang ada di
DPR. Bahwa di dalam struktur panitia tersebut terdapat beberapa partai
yang tidak mengutus anggotanya ke dalam struktur kepanitiaan hak
angket. Pada posisi demikian menjadi polemik terutama bila
memperhatikan ketentuan prosedur Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Tata Tertib. Sebab, sifat imperatif keharusan struktur panitia
tersebut terdiri dari semua unsur fraksi, dapat diberlakukan pada fraksi
yang tidak setuju dengan adanya usulan angket, ataukah memang
dimaksudkan menjadi sarana fraksi yang tidak setuju untuk tidak
terlaksananya hak angket.
Dengan kata lain, penggunaan kata “semua” pada pasal tersebut
menimbulkan presepsi pemahaman yang berbeda. Ketentuan itu menjadi
keharusan bagi setiap fraksi untuk mengirim perwakilannya ke dalam
struktur panitia khusus hak angket, atau, setiap fraksi dapat menolak untuk
mengirim perwakilannya disebabkan karena tidak setuju dengan
dibentuknya panitia khusus tersebut.
Melihat polemik yang terjadi berkenaan pembentukan panitia
khusus hak angket KPK, Pasal 171 A Ayat (2) Peraturan DPR jelas
menjadi legalitas prosedural dalam proses pembentukan Panitia Khusus
Hak Angket, terlebih secara hirarkis Peraturan DPR tersebut menempati
pelaksanaan kewenangan atributif yang dijamin dalam UUD 1945 dan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3. Mekanisme
demikian ini yang seharusnya menjadi preskripsi acuan pembentukannya.
Hanya saja, bila mengacu pada teks ketentuan tersebut, memiliki
permaknaan yang sarat multitafsir.
Namun, terlepas dari beragamnya penafsiran yang muncul, tidak
menghilangkan esensi kata “semua” yang menjadi syarat keharusan
keanggotaan panitia khusus terdiri atas semua fraksi. Karena itu, secara
tegas dapat dikatakan, panitia khusus hak angket terhadap KPK, harus
60
terdiri dari seluruh unsur fraksi yang ada yaitu sepuluh fraksi yang ada di
DPR.Bila kemudian hal ini tidak tercapai, maka panitia khusus hak angket
terhadap KPK tersebut dapat dinilai cacat hukum sebab tidak
mengindahkan ketentuan Pasal 171 A Ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor 1
Tahun 2004 Tentang Tata Tertib.
Pada posisi ini, penulis berbeda pandangan dengan mekanisme
pelaksanaan bestuurzorg yang menginginkan “kebijaksanaan bebas”, yaitu
wewenang untuk mengambil tindakan atas inisiatif sendiri guna
menyelesaikan suatu masalah genting atau mendesak dan belum ada
ketentuannya dalam peraturan perundang-undangan (freies ermessen).21
Di
tempat yang sama, penulis juga tidak sependapat dengan asas diskresi
(pouvoir discretionnaire). Asas ini mengandaikan dalam mengelola
negara, penyelenggara negara bukan hanya berkewajiban untuk baik dan
bersih dalam penyelenggaraan tugasnya mengelola negara, tapi lebih dari
itu, adalah kewajiban memenuhi tercapainya masyarakat yang dan
makmur. Pemerintah yang baik dan bersih bukanlah tujuan, melainkan
sarana untuk mencapai tujuan. Pemerintah yang bersih tidak akan bernilai
apapun apabila tujuan ini tidak tercapai.22
Pelaksanaan kebijaksanaan bebas/asas diskresi, lazimnya
digunakan oleh eksekutif yang pada tataran praktisnya, sering menemukan
kejadian yang belum dirinci oleh ketentuan perundang-undangan,
sementara pada saat bersamaan dituntut untuk mencapai tujuan negara
yang sejahtera. Karena itu, terhadap legislatif, dalam literatur
ketatanegaraan tidak ditemukan praktiknya secara rigid dalam
menggunakan diskresi. Selain itu, peneliti berpandangan bahwa pemberian
keluasan pelaksanaan diskresi hanya akan berujung pada terjadinya pola
kesewenang-wenangan.
21
Marbun S.F, Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak
Dalam Menjelmakan Pemerintahan Yang Baik dan Bersih di Indonesia, Disertasi Universitas
Padjadjaran Bandung, 2001, h. 23. 22
Arfan Faiz Muhlizi, Reformulasi Diskresi Dalam Penataan Hukum Adminstrasi
(Reformulation Of Discretion In The Arrangement Administrative Law), Jurnal Rechtsvinding Vol.
1 No. 1 Januari 2012, h. 97.
61
Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus
memiliki legitimasi yaitu kewenangan diberikan. Dengan demikian,
kewenangan tersebut pada dasarnya tidak terdapat kebebasan dalam arti
yang seluas-luasnya atau bebas tanpa batas dalam suatu negara hukum.
Artinya, sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-
undangan. Konsekuensi dari tidak diikutinya prosedur pembentukan
panitia khusus Hak Angket adalah pembentukan pansus tersebut
mengandung cacat hukum. Cacat hukum sendiri dapat diartikan suatu
perjanjian, kebijakan atau prosedur yang tidak sesuai dengan hukum yang
berlaku. Dalam defenisi meurut Jean Rivero dan Waline, cacat hukum
yang terjadi dalam pembentukan panitia khusus hak angket KPK adalah
penyalahgunaan wewenang dalam arti menyalahgunakan prosedur yang
seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi
menggunakan prosedur lain agar terlaksana (abuse of procedure).
Untuk menguji apakah tindakan tersebut benar keluar dari
kewenangan prosedural, dapat ditempuh melalui administrative
rechtspraak atau dikenal peradilan administrasi yang dalam sistem hukum
Indonesia disebut Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Penyelesaian
melalui cara ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam pengujian tersebut, hasilnya
meliputi dua aspek yakni untuk perlindungan hukum terhadap masyarakat
pencari keadilan dan pengkoreksian terhadap tindakan yang keluar dari
kewenangan prosedural.
Sampai di sini dapat disimpulkan, sekalipun wacana modern yang
memberikan tempat bagi negara untuk melakukan tindakan yang bertujuan
untuk kepentingan masyarakat umum, tetap tidak tepat bila melakukan
pengabaian terhadap legalitas hukum yang berlaku. Dalam hal DPR dalam
pembentukan panitia khusus hak angket terhadap KPK adalah cacat
hukum. Namun begitu, untuk menilai tindakan tersebut, dapat diuji melalui
mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah pembahasan tentang pembentukan Panitia Khusus Hak
Angket KPK, maka dalam hal ini beberapa point yang dapat penulis
simpulkan yaitu:
1. Mekanisme pembentukan panitia khusus hak angket KPK, diatur
dalam Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib
sekaligus menjadi acuan administratif dalam pelaksanaan hak angket.
Pada Pasal 169-177 merunut beberapa prosedur pembentukan panitia
khusus hak angket. Tahapan prosedur tersebut didahului ketentuan
syarat pengusul yang terdiri dari dua puluh lima orang dan lebih dari
satu fraksi. Dalam mengusulkan pengusul wajib menyertakan
dokumen kebijakan dan implementasi undang-undang yang akan
diselidiki. Badan Musyawarah kemudian menjadwalkan Rapat
Paripurna sebagai forum pengusul menjelaskan alasannya. Bila usulan
diterima setidaknya lebih dari ½ jumlah anggota maka selanjutnya
DPR membentuk panitia angket yang terdiri dari semua unsur fraksi.
2. Hanya saja, pada prosedur pembentukan Panitia Khusus angket
terhadap KPK, DPR tidak memenuhi standar struktur kepanitian yang
seharusnya terdiri dari semua unsur fraksi. Berangkat dari poin ini,
bahwa tidak terpenuhinya seluruh unsur fraksi dalam struktur
kepanitiaan panitia khusus angket terhadap KPK, maka dikatakan
legalitas pembentukannya tidak sah sehingga statusnya sebagai cacat
hukum. Namun untuk menguji apakah tindakan tersebut cacat hukum
prosedural, dapat diuji melalui administrative rechtspraak atau
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
63
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
B. Rekomendasi
1. DPR memiliki fungsi pengawasan yang dapat digunakan. Turunan
fungsi pengawasan adalah hak angket. Namun karena domain DPR
sebagai sarana agregasi kepentingan politik, maka hak angket
sejatinya ditujukan kepada eksekutif. Demikian juga literatur
ketatanegaraan hanya mencontohkan eksekutif sebagai objek angket.
Sementara itu, perkembangan cabang kekuasaan tidak lagi terbatas
pada trias politica yang hanya menyertakan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. KPK sendiri merupakan lembaga quasi yang tidak lagi
terkodifikasi di dalam trias politica. Hal ini agar terciptanya
mekanisme checks and ballance dalam bernegara. Namun dengan
ditetapkannya pembentukan panitia angket terhadap KPK
mengandaikan bahwa DPR tidak mengikuti konsep perkembangan
ketatanegaraan.
2. Selain itu, dalam melaksanakan hak angket, terdapat ketentuan
administratif sebagai prosedur acuan. Hal ini tercantum dalam
Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib. Hanya saja,
pada prosedur pembentukan panitia yang menekankan keharusan
terdiri dari semua unsur partai, rupanya tidak terpenuhi. Karenanya,
pembentukan panitia angket terhadap KPK dikatakan tidak sah.
3. Saran peneliti, DPR seharusnya tidak mendahulukan kepentingan
politis dalam melaksanakan fungsinya. Selain itu, dengan tidak
diindahkannya ketentuan administratif pembentukan panitia angket
terhadap KPK, mendeskripsikan bahwa sebenarnya sumber kekacauan
pelaksanaan kenegaraan bukanlah dari lapisan masyarakat, melainkan
dari penyelenggara negara itu sendiri. DPR seharusnya tidak
melakukan tindakan abuse of power yang dapat melunturkan
kepercayaan masyarakat terhadap negara.
64
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, Zaka Firma dan Winata, M Reza, Rekonstruksi Hirarki Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia, Negara Hukum Vol.9 No. 1 Juni
2018.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum,Jakarta:SinarGrafika,2010.
Asshiddiqie, Jimly, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru, 1994.
_______________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet II, Jakarta: Rajawali
Pers, 2010.
_______________, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu
PELITA I-PELITA IV, Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia
1990.
Bawekes, Jevons, Integrated Criminal Justice System Terhadap Sistem Peradilan
Tindak Pidana Perikanan, Lex Crimen Vol. II No. 7 November 2013.
Bbc.com, Diwarnai Aksi Protes, DPR Setujui Hak Angket KPK, diakses pada 18
Agustus 12:53 Wib.
65
Bbc.com, Menguak Skandal Bank Century, diakses pada 13 Juli 2019 pukul 2:35
Wib.
Boboy, Max, DPR RI dalam Perspektif dan Sejarah Tata Negara , cet.I., Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2008.
Budimansyah, Dasim & Baehaqi, Dikdik, DPR Dewan Perwakilan Rakyat,
Bandung: Genesindo, 2010.
Charity, May Lim, Implikasi Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 14, No. 03, September 2017.
Christianto, Hwian, Pembaharuan Makna Asas Legalitas, Jurnal Hukum dan
Pembangunan Vol. 39 No.3 Juli-September 2009.
Dpr.go.id, diakses pada 18 Agustus 2019 Pada 04:12 Wib.
Efriza, Eksistensi Partai Politik Dalam Presepsi Publik, Politica Vol. 10 No. 1
Mei 2019.
Farida, Maria, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar dan Cara Pembentukannya,
Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Firdaus, Dasep Muhammad, Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Asy-Syar’ah Vol.20 No. 2 Desember 2018.
66
Fitria, Penguatan Fungsi Pengawasan DPR Melalui Perubahan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1954 tentang Hak Angket, Jurnal Cita Hukum Vol. 1 No.
1 Juni 2014.
Hadi, Sofyan danMichael, Tomy, Principles of Defense (Rechtmatigheid) In
Decision Standing of State Administration, Jurnal Cita Hukum Vol. 5 No.
2 2017..
Hadjon, Philipus M., Dkk., Pengantar Hukum Aministrasi Indonesia, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 2011.
Hantoro, Novianto M, Urgensi Pembentukan Undang-Undang Hak Angke DPR
RI, Negara Hukum Vol. 8 No. 2 November 2017.
Hukumonline.com, Arti, Tujuan, Lingkup dan Contoh Diskresi, diakses pada 18
Agustus 2019 pukul 12:23 Wib.
Hukumonline.com, diakses pada 19 Agustus 2019 Pukul 02:42 Wib
Hukumonline.Com, Giliran DPR Persoalkan Penjualan Tanker Raksasa
Pertamina, Diakses pada 13 Juli 2019 Pukul 22.32 Wib.
Hukumonline.com, Hak Menyatakan Pendapat Bukan Hak Anggota DPR, Diakses
pada 18 Juli 2019 pukul 6:57 Wib.
Hukumonline.com, Makna Asas Legalitas dalam Hukum Administrasi Negara,
diakses pada 3 Agustus 2019 pukul 14:23 Wib.
Indopos.co.id, diakses pada 18 Agustus 2019 pada 03:54 Wib
67
Indrayana, Denny, Indonesia Constitutional Reform 1999-2000; An Evaluation Of
Constitutional Making in Transition, Jakarta: Kompas BookPublishing,
2008.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Jakarta: Sinar Harapan, 1993.
Kabar24.com, Empat Isu Kisruh Internal KPK dan Perlunya Perbaikan
Manajemen SDM, Diakses pada 18 Agustus 2019 Pukul 14:12 Wib.
Kanang, Abdul Rahman, Diskursus Pembatasan Kekuasaan Presiden Dalam
Sistem Presidensial Menurut UUD 1945, Al-Daulah Vol. 7 No. 1 Juni
2018.
Koesnardi, Moh. DanIbrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN, FH UI, 1976.
Konsideran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kusuma, Yopy Perdana, Propaganda Hak Angket DPR Terhadap KPK (Analisis
Propaganda dan Komunikasi Politik), Jurnal Lontar Vol. 5 No 1`Januari-
Juni 2017.
Kusumahamidjojo, Budiono, Filsafat Hukum: Problematika Ketertiban yang Adil,
Jakarta: Grasindo, 2004.
Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku
di Indonesia, Bandung: Citra Aditya, 1997..
68
Mahkamah Kehormatan Dewan, Dinamika dan Tantangan Kinerja Lembaga
Perwakilan, cet.I. Jakarta : Mahkamah Kehormatan Dewan, 2017.
Manan, Bagir, Membedah UUD 1945, Malang: UB Press, 2012.
Marzuki, Masnur, Fungsi Pengawasan Parlemen Indonesia:Prospek dan
Tantangan, Law Review, Vol. XIV No. 1 Juli 2014.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Ed. Revisi, Jakarta: Kencana
Prenadamedia, 2005.
Morrisan, Hukum Tata Negara Era Reformasi, Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005.
Muhlizi, Arfan Faiz, Reformulasi Diskresi Dalam Penataan Hukum Administrasi
(Reformulation Of Discretion In The Arrangement Administrattive Law),
Jurnal Rechtsvinding Vol. 1 No.1 Januari-April 2012.
Muhlizi, Arfan Faiz, Reformulasi Diskresi Dalam Penataan Hukum Adminstrasi
(Reformulation Of Discretion In The Arrangement Administrative Law),
Jurnal Rechtsvinding Vol. 1 No. 1 Januari 2012.
Mulyadi, Kuneng, Apa dan Bagaimana Berita Negara Republik Indonesia, Jurnal
Hukum dan Pembangunan Vol. 12 No. 5 1982.
Nasional.kompas.com, diakses pada 18 Agustus 2019 pada pukul 14:12 Wib.
Naswar, Hak Angket Dalam Konstelasi Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal
Konstitusi, Vol. 1, No. 1, November 2012.
Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib
69
Purbolaksono, Arfianto, Dkk., Meninjau Ulang Hak Angket KPK, Jurnal Update
Indonesia Vol. X No. 5 Juni 2017.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Daerah.
Ratu, Sulkaris S. Lepa, Hakikat Hak Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Skripsi Universitas 17
Agustus 1945, Surbaya, 2016.
Reffaldi, Ikaputri, Memperkuat Legalitas Hak Angket DPR Atas KPK, Jurnal
Rechtsvinding online.
Reffaldi, Ikaputri, Memperkuat Legalitas Hak Angket DPR Atas KPK.
Republika.co.id, Bukti KPK Tebang Pilih Soal Kasus, diakses pada 18 Agustus
2019 pukul 03:22 Wib.
S.F, Marbun, Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang
Layak Dalam Menjelmakan Pemerintahan Yang Baik dan Bersih di
Indonesia, Disertasi Universitas Padjadjaran Bandung, 2001.
Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana: Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983.
Siagian, Santi Laura, Dkk., Implikasi Pluralisme Kewenangan Penyidikan Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi, Diponegoro Law Journal Vol. 5 No.
3 2016..
70
Siallagan, Haposan, Penerapan Prinsip Negara Hukum, Sosiohumaniora Vol. 18
No. 2 Juli 2016.
Sidabukke, Sudiman, Pro Kontra Hak Angket KPK: Bunga Rampai Pemikiran
Dalam Diskusi Akademik Nasional di Fakultas Hukum Universitas
Surabaya 20 Juli 2017, Surabaya: Laboraturium Hukum Administrasi
Negara Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 2017.
Soemantri, Sri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik
Indonesia: 30 Tahun Kembali ke Undang – Undang Dasar 1945, cet I,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Soemarsono, Maleha, Negara Hukum Indonesia Ditinjau Dari Sudut Teori Tujuan
Negara, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No.2, April-Juni 2007.
Sufriadi, Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia, Jurnal Yuridis Vol. I No. I
Juni 2014.
Sugiyono, MetodePenelitian Kualitatif, Kuantitatif,dan R&D, Bandung:
Alfabeta,2005.
Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Malang: Setara
Pers,2012.
Susanto, Mei, Hak Angket DPR, KPK dan Pemberantasan Korupsi, Integritas
Vol. 4 No. 2 Desember 2018.
Syafiie, I.K., Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung:P.T Refika Aditama, 2011.
71
Tambunan, Arifin Sari Surunganlan, Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Menurut UUD 1945: Suatu Studi Analisis Mengenai
Pengaturannya Tahun 1966-1997, Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Militer,
1998.
Tikok, Sumbodo, Hukum Tata Negara, Bandung:Eresco,1992.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Widodo, Hananto, Politik Hukuk Hak Interplasi Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, Jurnal Rechts Vinding, Vol.1, No. 3, Desember 2012.
Widyaningsih, Desti, Status Hukum Dana Bailout Lembaga Penjamin Simpanan
Dalam Prespektif Hukum Keuangan Negara (Studi Kasus Dana Bailout
Bank Century), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman
2011.
Www. DetikNews.Com, diakses pada 8 Agustus 2019 pukul 13:14 Wib.
Www.Detik.Com, DPR Ajukan Hak Angket Penjualan Kapal Tanker Pertamina,
Diakses pada 13 Juli 2019 Pukul 22.07 Wib.
Www.Theindonesianinstitute.com, Mengawal Pansus Hak Angket KPK,. Diakses
pada 8 Agustus 2019 pukul 14:06 Wib
Zoelva, Hamdan, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian
Presiden Menurut UUD 1945, Jakarta: Konstitusi, 2005