pemanfaatan teknik fitoremediasi pada lingkungan tercemar timbal

Upload: eka-nis

Post on 10-Mar-2016

230 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Fitoremediasi

TRANSCRIPT

PEMANFAATAN TEKNIK FITOREMEDIASI PADA LINGKUNGAN TERCEMAR TIMBAL (Pb)PEMANFAATAN TEKNIK FITOREMEDIASI PADA LINGKUNGAN TERCEMAR TIMBAL (Pb)

1. SUMBER DAN DAMPAK PENCEMARAN PbTimah hitam (Pb) merupakan logam lunak yang berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5C dan titik didih 1.740C pada tekanan atmosfer. Senyawa Pb-organik seperti Pb-tetraetil dan Pb-tetrametil merupakan senyawa yang penting karena banyak digunakan sebagai zat aditif pada bahan bakar bensin dalam upaya meningkatkan angka oktan secara ekonomi. Pb-tetraetil dan Pb-tetrametil berbentuk larutan dengan titik didih masing-masing 110C dan 200C. Karena daya penguapan kedua senyawa tersebut lebih rendah dibandingkan dengan daya penguapan unsur-unsur lain dalam bensin, maka penguapan bensin akan cenderung memekatkan kadar Pb-tetraetil dan Pb-tetrametil. Kedua senyawa ini akan terdekomposisi pada titik didihnya dengan adanya sinar matahari dan senyawa kimia lain diudara seperti senyawa holegen asam atau oksidator (Anonim, 2008).Unsur Pb umumnya ditemukan berasosiasi dengan Zn-Cu dalam biji logam. Logam ini penting dalam industri modern yang digunakan untuk pembuatan pipa air karena sifat ketahanannya terhadap korosi dalam segala kondisi dan rentang waktu lama. Pigmen Pb juga digunakan untuk pembuatan cat, baterai, dan campuran bahan bakar bensin tetraethyl. Pemanfaatan pada bahan bakar bensin telah mengalami penurunan karena menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Biji logam timbal (Pb) dapat terbentuk dalam cebakan-cebakan seperti stratabound sulfida massif, replacement, urat, sedimentasi, dan metasomatisma kontak dengan mineral-mineral utama terdiri atas: galena (PbS), cerusit (PbCO3), anglesit (PbSO4), wulfenit (PbMoO4), dan piromorfit [Pb5(PO4, AsO4)3Cl]. Larutan pembawa Pb diantaranya: air connate, air meteorik artesian, dan larutan hidrotermal yang naik ke permukaan; dengan sebagian besar Pb berasal dari larutan hidrotermal yang membentuk cebakan bijih pada suhu rendah, berupa pengisian rongga batuan induk (Herman, 2006). Beberapa sumber pencemaran Pb di lingkungan dapat dilihat pada gambar 1.

Pb dalam batuan berada pada struktur silikat yang menggantikan unsur kalsium/Ca, dan baru dapat diserap oleh tumbuhan ketika Pb dalam mineral utama terpisah oleh proses pelapukan. Pb di dalam tanah mempunyai kecenderungan terikat oleh bahan organik dan sering terkonsentrasi pada bagian atas tanah karena menyatu dengan tumbuhan, dan kemudian terakumulasi sebagai hasil pelapukan di dalam lapisan humus. Diperkirakan 95% Pb dalam sedimen (nonorganik dan organik) dibawa oleh air sungai menuju samudera. Pb relatif dapat melarut dalam air dengan pH < 5 dimana air yang bersentuhan dengan timah hitam dalam suatu periode waktu dapat mengandung > 1 g Pb/dm3; sedangkan batas kandungan dalam air minum adalah 50 g Pb/dm3 (Herman, 2006).Pembakaran Pb-alkil sebagai zat aditif pada bahan bakar kendaraan bermotor merupakan bagian terbesar dari seluruh emisi Pb ke atmosfer. Berdasarkan estimasi sekitar 8090% Pb di udara ambien berasal dari pembakaran bensin, tidak sama antara satu tempat dengan tempat lain karena tergantung pada kepadatan kendaraan bermotor dan efisiensi upaya untuk mereduksi kandungan Pb pada bensin. Penambangan dan peleburan batuan di beberapa wilayah sering menimbulkan masalah pencemaran. Tingkat kontaminasi Pb di udara dan air sekitar wilayah tersebut tergantung pada jumlah Pb yang diemisikan, tinggi cerobong pembakaran limbah, topografi dan kondisi lokal lainnya. Peleburan Pb sekunder, penyulingan, industri senyawa dan barang-barang yang mengandung Pb, dan insinerator juga dapat menambah emisi Pb ke lingkungan. Kegiatan berbagai industri yang terutama menghasilkan besi dan baja, peleburan tembaga dan pembakaran batubara, harus dipandang sebagai sumber yang dapat menambah emisi Pb ke udara. Penggunaan pipa air yang mengandung Pb dirumah tangga terutama pada daerah yang kesadahan airnya rendah (lunak) dapat menjadi sumber pemajanan Pb pada manusia. Demikian juga didaerah dengan banyak rumah tua yang masih menggunakan cat yang mengandung Pb dapat menjadi sumber pemajanan Pb (Anonim, 2008).Luasnya penyebaran unsur Pb di alam sebagian besar disebabkan oleh limbah kendaraan bermotor. Unsur ini mengalami peningkatan ketika melibatkan atmosfir dan kemudian mencemari tanah serta tanaman. Di daerah padat penduduk (urban), anak-anak menyerap lebih banyak Pb daripada orang dewasa; terutama pada mereka yang kekurangan gizi dan mempunyai perilaku mengkomsumsi makanan tidak bersih atau berdebu, yang dapat mengandung beberapa ribu ppm (1.000 3.000 g Pb/kg). Di London Barat, banyak anak-anak teridentifikasi menderita keracunan akut oleh Pb (ONeill, 1994 dalam Herman, 2006). Pencemaran unsur Pb dapat juga terjadi akibat pembuangan tailing dari usaha pertambangan logam. Hal ini harus diwaspadai karena dapat mencemari lingkungan dengan akibat timbulnya berbagai penyakit berbahaya atau bahkan kematian.Pb sebagai gas buang kendaraan bermotor dapat membahayakan kesehatan dan merusak lingkungan. Pb yang terhirup oleh manusia setiap hari akan diserap, disimpan dan kemudian ditabung dalam darah. Bentuk Kimia Pb merupakan faktor penting yang mempengaruhi sifat-sifat Pb di dalam tubuh. Komponen Pb organik misalnya tetraethil Pb segera dapat terabsorbsi oleh tubuh melalui kulit dan membran mukosa. Pb organik diabsorbsi terutama melalui saluran pencernaan dan pernafasan dan merupakan sumber Pb utama di dalam tubuh. Tidak semua Pb yang terisap atau tertelan ke dalam tubuh akan tertinggal di dalam tubuh. Kira-kira 5-10 % dari jumlah yang tertelan akan diabsorbsi melaluisaluran pencernaan, dan kira-kira 30 % dari jumlah yang terisap melalui hidung akan diabsorbsi melalui saluran pernafasan akan tinggal di dalam tubuh karena dipengaruhi oleh ukuran partikel-partikelnya. Di dalam tubuh Pb dapat menyebabkan keracunan akut maupun keracunan kronik (Santi, 2001).Menurut ketentuan WHO, kadar Pb dalam darah manusia yang tidak terpapar oleh Pb adalah sekitar 10 -25 g/100 ml. Pada penelitian yang dilakukan di industri proses daur ulang aki bekas, ditemukan bahwa kadar Pb udara di daerah terpapar pada malam hari besarnya sepuluh kali lipat kadar Pb di daerah tidak terpapar pada malam hari (0,0299 mg/m3 vs 0,0028 mg/m3), sedangkan rerata kadar Pb Blood (Pb-B) di daerah terpapar 170,44 g/100 ml dan di daerah tidak terpapar sebesar 45,43 g/100 ml. Juga ditemukan bahwa semakin tinggi kadar Pb-B, semakin rendah kadar Hb-nya (Swandi, 1995 dalam Sudarmaji, dkk., 2006).Jumlah Pb minimal di dalam darah yang dapat menyebabkan keracunan berkisar antara 60-100 mikro gram per 100 ml darah. Pada keracunan akut biasanya terjadi karena masuknya senyawa timbal yang larut dalam asam atau menghirup uap Pb tersebut. Gejala-gejala yang timbul berupa mual, muntah, sakit perut hebat, kelainan fungsi otak, anemia berat, kerusakan ginjal bahkan kematian dapat terjadi dalam 1-2 hari. Kelainan fungsi otak terjadi karena Pb ini secara kompetitif menggantikan mineral-mineral utama seperti seng, tembaga, dan besi dalam mengatur fungsi mental kita. Keracunan timbal kronik menimbulkan gejala seperti depresi, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, gelisah, daya ingat menurun, sulit tidur, halusinasi dan kelemahan otot. Susunan saraf pusat merupakan organ sasaran utama timbal. Menurut penelitian dr M. Erikson menunjukkan bahwa wanita hamil yang memiliki kadar timbal tinggi dalam darahnya ternyata 90 % dari simpanan timbal pada tubuhnya dialirkan kepada janin melalui plasenta, dimana keracunan pada janin mempengaruhi intelektual dan tingkah laku si anak di kemudian hari (Santi, 2001).Timah Hitam berakumulasi di rambut sehingga dapat dipakai sebagai indikator untuk memperkirakan tingkat pemajanan atau kandungan Pb dalam tubuh. Anak-anak merupakan kelompok resiko tinggi menelan langsung bekas cat yang mengandung Pb yang merupakan sumber pemajanan, selain emisi industri dan debu jalan yang berasal dari lalu lintas yang padat. Menurut Sudarmaji, dkk., (2006), paparan bahan tercemar Pb dapat menyebabkan gangguan pada organ sebagai berikut :1. Gangguan neurology.Gangguan neurologi (susunan syaraf) akibat tercemar oleh Pb dapat berupa encephalopathy, ataxia, stupor dan coma. Pada anak-anak dapat menimbulkan kejang tubuh dan neuropathy perifer.2. Gangguan terhadap fungsi ginjal.Logam berat Pb dapat menyebabkan tidak berfungsinya tubulus renal, nephropati irreversible, sclerosis vaskuler, sel tubulus atropi, fibrosis dan sclerosis glumerolus. Akibatnya dapat menimbulkan aminoaciduria dan glukosuria, dan jika paparannya terus berlanjut dapat terjadi nefritis kronis.3. Gangguan terhadap sistem reproduksi.Logam berat Pb dapat menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi berupa keguguran, kesakitan dan kematian janin. Logam berat Pb mempunyai efek racun terhadap gamet dan dapat menyebabkan cacat kromosom. Anak -anak sangat peka terhadap paparan Pb di udara. Paparan Pb dengan kadar yang rendah yang berlangsung cukup lama dapat menurunkan IQ.4. Gangguan terhadap sistem hemopoitik.Keracunan Pb dapat menyebabkan terjadinya anemia akibat penurunan sintesis globin walaupun tak tampak adanya penurunan kadar zat besi dalam serum. Anemia ringan yang terjadi disertai dengan sedikit peningkatan kadar ALA ( Amino Levulinic Acid) urine. Pada anak-anak juga terjadi peningkatan ALA dalam darah. Efek dominan dari keracunan Pb pada sistem hemopoitik adalah peningkatan ekskresi ALA dan CP (Coproporphyrine). Dapat dikatakan bahwa gejala anemia merupakan gejala dini dari keracunan Pb pada manusia. Anemia tidak terjadi pada karyawan industri dengan kadar Pb-B (kadar Pb dalam darah) dibawah 110 ug/100 ml. Dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak lebih sensitif terhadap terjadinya anemia akibat paparan Pb. Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara Hb dan kadar Pb di dalam darah. Menurut Anonim (2008), gejala klinis keracunan timah hitam pada individu dewasa tidak akan timbul pada kadar Pb yang terkandung dalam darah di bawah 80 mg Pb/100 g darah namun hambatan aktivitas enzim untuk sintesa haemoglobin sudah terjadi pada kandungan Pb normal (3040 mg).5. Gangguan terhadap sistem syaraf.Efek pencemaran Pb terhadap kerja otak lebih sensitif pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Paparan menahun dengan Pb dapat menyebabkan lead encephalopathy.Pada anak dengan kadar Pb darah (Pb-B) sebesar 40-80 g/100 ml dapat timbul gejala gangguan hematologis, namun belum tampak adanya gejala lead encephalopathy. Gejala yang timbul pada lead encephalopathy antara lain adalah rasa canggung, mudah tersinggung, dan penurunan pola berpikir. Apabila pada masa bayi sudah mulai terpapar oleh Pb, maka pengaruhnya pada profil psikologis dan penampilan pendidikannya akan tampak pada umur sekitar 5-15 tahun. Akan timbul gejala tidak spesifik berupa hiperaktifitas atau gangguan psikologis jika terpapar Pb pada anak berusi 21 bulan sampai 18 tahun. Untuk melihat hubungan antara kadar Pb-B dengan IQ (Intelegance Quation) telah dilakukan penelitian pada anak berusia 3 sampai 15 tahun dengan kondisi sosial ekonomi dan etnis yang sama. Pada sampel dengan kadar Pb-B sebesar 40-60 g/100 ml ternyata mempunyai IQ lebih rendah apabila dibandingkan dengan sampel yang kadar Pb-B kurang dari 40 g/100 ml. Pada dewasa muda yang berumur sekitar 17 tahun tidak tampak adanya hubungan antara Pb-B dan IQ.

2. FITOREMEDIASI SEBAGAI TEKNIK PEMULIHAN LINGKUNGAN TERCEMAR LOGAM BERAT

Pencemaran lingkungan di berbagai negara, termasuk Indonesia, sudah sangat kompleks dan mengkhawatirkan seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan diberbagai bidang. Salah satu teknik dalam memperbaiki kualitas lingkungan yang tercemar adalah dengan teknik fitoremediasi. Menurut Priyanto & Prayitno (2006), fitoremediasi berasal dari kata phyto (asal kata Yunani phyton) yang berarti tumbuhan/tanaman (plant) dan kata remediation (asal kata Latin remediare = to remedy) yaitu memperbaiki/ menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan sebagai: penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar baik itu senyawa organik maupun anorganik.Menurut Mangkoedihardjo (2005), bahwa proses fitoremediasi secara umum dibedakan berdasarkan mekanisme fungsi dan struktur tumbuhan. USEPA (1999, 2005) dan ITRC (2001) secara umum membuat klasifikasi proses sebagai berikut:1. Fitostabilisasi (phytostabilization); gambar 2. Akar tumbuhan melakukan imobilisasi polutan dengan cara mengakumulasi, mengadsorpsi pada permukaan akar dan mengendapkan presipitat polutan dalam zona akar. Proses ini secara tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik yang terkandung minyak yaitu sulfur, nitrogen, dan beberapa logam berat (sekitar 2-50% kandungan minyak).2. Fitoekstraksi/fitoakumulasi (phytoextraction/phytoaccumulation); gambar 3. Akar tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya ditranslokasi ke dalam organ tumbuhan. Proses ini cocok digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik seperti pada proses fitostabilisasi.3. Rizofiltrasi (rhizofiltration); gambar 4. Akar tumbuhan mengadsorpsi atau presipitasi pada zona akar atau mengabsorpsi larutan polutan sekitar akar ke dalam akar. Proses ini digunakan untuk bahan larutan yang mengandung bahan organik maupun anorganik.4. Fitodegradasi/fitotransformasi (phytodegradation/phytotransformation); gambar 5. Organ tumbuhan menguraikan polutan yang diserap melalui proses metabolisme tumbuhan atau secara enzimatik.5. Rizodegradasi (rhizodegradation/enhanced rhizosphere biodegradation/ phytostimulation/plant-assisted-bioremediation/degradation); gambar 6. Polutan yang diuraikan oleh mikroba dalam tanah, yang diperkuat/sinergis oleh ragi, fungi, dan zat-zat keluaran akar tumbuhan (eksudat) yaitu gula, alkohol, asam. Eksudat itu merupakan makanan mikroba yang menguraikan polutan maupun biota tanah lainnya. Proses ini tepat untuk dekontaminasi zat organik.6. Fitovolatilisasi (Phytovolatilization); gambar 7. Penyerapan polutan oleh tumbuhan dan dikeluarkan dalam bentuk uap cair ke atmosfer. Kontaminan bisa mengalami transformasi sebelum lepas ke atmosfer. Proses ini tepat digunakan untuk kontaminan zat-zat organik.

Tumbuhan hiperakumulator adalah tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk mengkonsentrasikan logam di dalam biomassanya dalam kadar yang luar biasa tinggi. Batas hiperakumulator berbeda-beda bergantung pada jenis logamnya, misalnya kadmium 0,01% (100 mg/kg BK) sedangkan kobalt, tembaga dan timbal adalah 0,1% (1.000 mg/kg BK) serta seng dan mangan adalah 1% (10.000 mg/kg BK). Laporan pertama mengenai adanya tumbuhan hiperakumulator muncul pada tahun 1948 oleh Minguzzi dan Vergnano, yang menemukan kadar nikel setinggi 1,2% dalam daun Alyssum bertolonii. Sejak itu, terutama dengan mengandalkan analisis mikro terhadap spesimen herbarium, diketahui ada 435 taxa tumbuhan hiperakumulator logam yang tumbuh tersebar di lima benua dan semua wilayah iklim (Baker, 1999 dalam Priyanto & Prayitno, 2006).Pohon bakau (Rhizophora mucronata) dapat mengakumulasi tembaga (Cu), mangan (Mn), dan seng (Zn). Hipokotil pohon bakau dapat mengakumulasi tembaga (Cu), besi (Fe), dan seng (Zn). Kemampuan vegetasi mangrove dalam mengakumulasi logam berat dapat dijadikan alternatif perlindungan perairan terhadap pencemaran logam berat. Tumbuhan yang hidup di daerah tercemar memiliki mekanisme penyesuaian yang membuat polutan menjadi nonaktif dan disimpan di dalam jaringan tua sehingga tidak membahayakan pertumbuhan dan kehidupan tumbuhan. Polutan tersebut akan memberi pengaruh jika dikeluarkan melalui metabolisme jaringan atau jika tumbuhan tersebut dikonsumsi. Pemberian polutan dapat merangsang kemampuannya untuk bertahan pada tingkat yang lebih toksik (Arisandi, 2001).Tumbuhan mampu untuk menyerap ion-ion dari lingkungannya melalui membran sel. Dua sifat penyerapan ion oleh tumbuhan adalah:1. Faktor konsentrasi; Kemampuan tumbuhan dalam mengakumulasi ion sampai tingkat konsentrasi tertentu, bahkan dapat mencapai beberapa tingkat lebih besar dari konsentrasi ion di dalam mediumnya.2. Perbedaan kuantitatif akan kebutuhan hara yang berbeda pada tiap jenis tumbuhan; Sel-sel akar tumbuhan umumnya mengandung konsentrasi ion yang lebih tinggi daripada medium di sekitarnya. Sejumlah besar eksperimen menunjukkan adanya hubungan antara laju pengambilan ion dengan konsentrasi ion yang menyerupai hubungan antara laju reaksi yang dihantarkan enzim dengan konsentrasi substratnya. Analogi ini menunjukkan adanya barier khusus dalam membran sel yang hanya sesuai untuk suatu ion tertentu dan dapat menyerap ion tersebut, sehingga pada konsentrasi substrat yang tinggi semua barier berperan pada laju maksimum hingga mencapai laju pengambilan jenuh (Fitter, 1982 dalam Arisandi, 2001).

3. FITOREMEDIASI LINGKUNGAN YANG TERCEMAR PbMenurut PPLH-IPB (1997); Sutamihardja, dkk (1982) dalam Marganof (2003), logam berat memiliki sifat-sifat, yaitu :1. Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan).2. Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut.3. Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu.Berbagai penelitian fitoremediasi telah banyak dilaksanakan dalam usaha memperbaiki kualitas lingkungan yang tercemar logam Pb. Beberapa diantaranya dilakukan pada lingkungan perairan. Seperti dilaporkan Moenandir & Hidayat (1993) dalam Sitorus (2007) bahwa, kangkung air (Ipomea aquatic) ternyata dapat meningkatkan mutu air yang tercemar oleh air limbah dan mampu menyerap logam berat yang terlarut dalam media tumbuh. Hasil penelitian mereka terhadap air limbah tekstil, obat-obatan, pabrik roti dan aquadest mampu menurunkan kadar logam Pb 0,92 ppm. Hasil penelitian Osmolovskaya & Kurilenko (2005) menemukan bahwa beberapa jenis makrofita mampu berperan dalam fitoremediasi terhadap Pb. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Elodea Canadensis, Ceratophyllum demersum L., dan Potamogeton natans L. mampu menyerap Pb dalam air masing-masing sebesar 27,4 , 10, 7 dan 9,3 mg kg -1 DW.Sedangkan yang dilaporkan oleh Liao & Chang (2004), bahwa eceng gondok (Eichhornia crassipes) memiliki kemampuan dalam menyerap Pb. Selama penelitan mereka yang dilakukan di perairan Erh-Chung wetland menunjukkan bahwa eceng gondok mampu menyerap Pb sebesar 542 mg/m2 dengan kapasitas penyerapan sebesar 5,4kg/ha. Pengukuran kandungan Pb ini dilakukan terhadap jaringan tanaman, media air dan sedimen. Hal ini dilakukan karena adanya korelasi antara kandungan Pb di dalam jaringan tanaman dan media tumbuh. Menurut Wilson (1988) dalam Arisandi (2001), bahwa logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan sedimen, dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen. Materi organik dalam sedimen dan kapasitas penyerapan logam sangat berhubungan dengan ukuran partikel dan luas permukaan penyerapan, sehingga konsentrasi logam dalam sedimen biasanya dipengaruhi ukuran partikel dalam sedimen.Seperti dilaporkan oleh Tjahaja (2006) bahwa, tanaman eceng gondok juga mampu mengakumulasi radiosesium (unsur radioktif) sampai 188 kali di atas konsentrasi radiosesium pada media tempat tumbuhnya. Selain itu juga tanaman kiambang mampu menyerap dan mengakumulasi radiosesium dari air tempat hidupnya. Radiosesium yang diserap oleh tanaman terdistribusi pada bagian akar dan batang serta daun dengan konsentrasi dalam akar lebih besar. Akumulasi radiosesium dalam tanaman mencapai maksimum pada hari ke 25, yaitu sebesar 5,87 ml/g. Xia dan Ma (2005) melaporkan bahwa, eceng gondok memiliki kemampuan sebagai fitodegradasi terhadap ethion (komponen pestisida). Kecepatan dalam me-metabolisme ethion adalah 55-91% di pucuk dan 74-81% di akar dalam waktu satu minggu.Menurut Reddy (1990) dalam Sitorus (2007), kehadiran tanaman air di dalam kolam pengolahan sangat potensial untuk menyaring dan menyerap bahan yang terlarut di dalam limbah seperti logamlogam berat (Hg, Pb, Cn, Mn, Mg dan lain-lain), melangsungkan pertukaran dan penyerapan ion, serta memelihara kondisi perairan dari pengaruh angin, sinar matahari dan suhu. Selain itu tanaman air juga aman, relatif sederhana dan murah.Kemampuan tanaman air, seperti eceng gondok, untuk mengikat bahan-bahan organik dari partikel lumpur membuat tanaman ini dapat digunakan untuk menjernihkan air, memiliki fungsi ekologis sebagai stabilisator suatu perairan karena kemampuannya menetralisir bahan pencemar yang masuk keperairan. Melalui akarnya yang lebat bahan pencemar itu diserap untuk kemudian digunakan dalam proses metabolismenya atau disimpan dalam akar, batang, umbi atau daunnya serta dapat menyerap kelebihan unsur hara di dalam air yang menyebabkan pencemaran (Soerjani, 1980 dalam Sitorus, 2007). Sedangkan tanaman kangkung air mulai dari bagian batang, dan daun dapat dikonsumsi oleh manusia sebagai bahan makanan, selain itu tanaman ini juga memiliki kemampuan dalam menyerap bahan-bahan pencemar dan logam berat yang terlarut dalam media tumbuh sehingga kandungannya menjadi menurun atau mutu air limbah menjadi meningkat (Moenandir , 1993 dalam Sitorus, 2007).Tumbuhan lahan basah telah berevolusi agar hidup di lingkungan yang didominasi oleh air melalui adaptasi struktur dan fisiologinya, yaitu dengan membentuk jaringan lakuna atau aerenkhima di dalam akar dan batangnya untuk pertukaran gas oksigen dari bagian batang ke akar. Perubahan lain terlihat pada tumbuhan mengapung, yaitu dengan membentuk daun yang bulat penuh untuk menjaga agar tidak sobek, tekstur seperti kulit yang kuat, dan permukaan atas yang hidrofobik untuk menjaga agar tidak basah. Tidak seperti pada tanaman darat pada umumnya, stomata tumbuhan mengapung ditemukan di bagian sisi sebelah atas daun (Guntenspergen dkk., 1989 dalam Priyanto & Prayitno, 2006).Menurut Priyanto & Prayitno, (2006) bahwa, tumbuhan timbul dipakai untuk pengolah limbah karena tumbuhan tersebut mengasimilasi senyawa organik dan anorganik dari limbah. Tumbuhan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan tajuk yang besar dapat menyimpan bermacam hara mineral. Pada media kerikil, pertumbuhan tanaman timbul dapat menurunkan konsentrasi hara mineral. Rizoma dan akar beberapa tumbuhan air berfungsi sebagai filtrasi dan pengendap senyawa hidrokarbon dan logam berat beracun. Tingkat konsentrasi logam berat dalam jaringan tanaman-tanaman tersebut dari yang tertinggi adalah berturut-turut sebagai berikut: akar, rizoma, dan daun. Tumbuhan mengapung seperti eceng gondok juga dapat menghilangkan hara dan logam berat dalam jumlah yang cukup signifikan.Tanaman air seperti eceng gondok dan kangkung air, yang tampak tidak memiliki nilai ekonomis tinggi, ternyata memiliki kemampuan sebagai tumbuhan yang berperan dalam mengurangi dampak pencemaran lingkungan. Pengendalian pencemaran lingkungan perairan akibat Pb secara biologis (misalnya fitoremediasi) merupakan metode yang sangat efektif, disamping mudah, murah, memberikan manfaat yang besar, juga relatif tidak menimbulkan dampak sampingan.Agen fitoremediasi berupa tumbuhan air seperti eceng gondok, kangkung air dan makrofita lainnya relatif mudah didapat, serta memiliki kemampuan tumbuh dan berkembang dengan cepat. Tumbuhan-tumbuhan ini kadang-kadang di beberapa tempat justru menimbulkan masalah di perairan (blomming), seperti sungai, danau atau rawa. Dengan adanya teknik fitoremediasi, maka akan memberikan manfaat yang besar, tidak saja dapat mengurangi polutan Pb pada perairan tapi juga dapat mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh tumbuhan air akibat kecepatan pertumbuhan dan perkembangbiakannya yang tinggi.Penelitian mengenai fitoremediasi terhadap udara tercemar logam berat Pb jarang ditemukan di dalam jurnal-jurnal penelitian. Hal ini dapat dimengerti karena disamping biaya yang besar, juga sulit menemukan metode yang tepat. Namun demikian ada beberapa penelitian yang melaporkan tentang fitoremediasi udara tercemar. Diantaranya seperti yang dilaporkan oleh Lukman dkk., (2007) bahwa, tanaman angsana (Pterocarpus indicus) merupakan jenis tanaman yang toleran sekaligus mampu menyerap polutan amonia di udara lebih banyak dibandingkan dengan ketapang (Terminalia catappa), mahoni (Sweitenia macrophylla), glodokan tiang (Polyathia longifolia) dan tanjung (Mimusops elengi). Angsana dengan perlakuan di dalam kawasan pabrik, setelah tiga bulan kadar N-totalnya menjadi 5,6%, atau terjadi penambahan sebesar 3,4% dibandingkan dengan sebelum perlakuan (2,2%). Kadar N-total terendah terdapat pada tanaman tanjung, yaitu sebesar 3,2%.Beberapa jenis tumbuhan mempunyai sifat hiperakumulator yang luar biasa. Namun biasanya tumbuhan yang teradaptasi di tanah berkadar logam tinggi dan toleran terhadap logam mempunyai sifat tumbuh lambat. Karakter manakah yang lebih penting, sifat "hiperakumulator tetapi tumbuh lambat" atau "tumbuh cepat tetapi toleransi medium", memang bisa menjadi bahan perdebatan bila sudah sampai pada persoalan memilih jenis tumbuhan yang sesuai. Kelompok di USDA-ARS yakin bahwa hipertoleransi lebih penting daripada biomassa tinggi. Penggunaan tumbuhan hiperakumulator juga lebih menguntungkan bila kita harus mendaur ulang logam yang telah dihimpun di dalam biomassa tumbuhan. Karena dengan kadar akumulasi tinggi, biomassa yang harus ditangani jelas jauh lebih sedikit (Chaney dkk., 1997 dalam Priyanto & Prayitno, 2006).Masih menurut Priyanto & Prayitno (2006) bahwa, usaha untuk meningkatkan akumulasi logam berat, khususnya timbal, telah dilakukan di beberapa laboratorium. Ilya Raskin dan kolega di AgBiotech Center berusaha menaikkan tingkat akumulasi Pb oleh Brassica juncea dengan memberikan zat pengkhelat ke dalam tanah. Hasilnya menunjukkan, bahwa dengan memberikan khelator EDTA ke dalam tanah yang mengandung 600 mg Pb/kg, tumbuhan Brassica juncea mampu mengakumulasi Pb hingga 1,5% biomassanya. Dengan demikian bila dianggap hasil biomassa adalah 12 t/ha, maka sebanyak 180 kg Pb/ha dapat diambil dari dalam tanah. Untuk mencapai hasil yang tinggi ini tambahan biaya untuk pemberian EDTA diperhitungkan sekitar US$7,50/t tanah yang digarap.Menurut Homaee (2006) bahwa, tanaman lobak (Rhaphanus sativa L.) mampu berperan dalam fitoremediasi logam Pb. Konsentrasi maksimum Pb di dalam akar yaitu sebesar 440 g/gr, sedangkan di dalam daun sebesar 42 g/gr. Dalam penelitian ini terlihat bahwa lobak berperan dalam proses fitoekstraksi. Sedangkan yang dilaporkan oleh Huang, dkk. (1997), bahwa, tanaman jagung (Zea mays L.) dan kacang kapri (Pisum sativum L.) dapat menyerap Pb. Melalui penambahan EDTA di dalam tanah meningkatkan konsentrasi Pb di dalam pucuk kedua tumbuhan tersebut dari sekitar 500 mg/kg menjadi 10.000 mg/kg dimana kandungan Pb di dalam tanah lebih kurang 2.500 mg/kg.Teknik fitoremediasi dapat digunakan dalam proses pembersihan air tanah dari cemaran berbagai macam logam berat, termasuk Pb. Hal ini menjadi penting mengingat sumber air tanah masih banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai macam kebutuhan. Proses ini dapat diilustrasikan pada gambar 8 berikut ini.

Menurut Priyanto & Prayitno (2006) bahwa, penyerapan dan akumulai logam berat oleh tumbuhan dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, yaitu penyerapan logam oleh akar, translokasi logam dari akar ke bagian tumbuhan lain, dan lokalisasi logam pada bagian sel tertentu untuk menjaga agar tidak menghambat metabolisme tumbuhan tersebut. Penyerapan oleh akar dilakukan dengan membawa logam ke dalam larutan di sekitar akar (rizosfer) dengan beberapa cara bergantung pada spesies tumbuhannya. Sebagai contoh Thlaspi cearulescens dapat memobilisasi seng dengan cara menurunkan pH pada daerah perakaran sebesar 0,2-0,4 unit. Mekanisme penyerapan besi lewat pembentukan suatu zat khelat yang disebut fitosiderofor telah diketahui secara mendalam pada jenis rumput-rumputan. Molekul fitosiderofor yang terbentuk ini akan mengikat (mengkhelat) besi dan membawanya ke dalam sel akar melalui peristiwa transport aktif. Selain aktif terhadap besi, fitosiderofor dapat mengikat logam lain seperti seng, tembaga dan mangan. Sekarang diketahui, bahwa berbagai molekul lain berfungsi serupa, misalnya histidin yang meningkatkan penyerapan nikel pada Alyssum sp. dan suatu senyawa peptida khusus, fitokhelatin, yang mengikat selenium pada Brassica juncea serta logam lain seperti timbal, kadmium dan tembaga. Di dalam meningkatkan penyerapan besi, tumbuhan membentuk suatu molekul reduktase di membran akarnya. Reduktase ini berfungsi mereduksi logam yang selanjutnya diangkut melalui kanal khusus di dalam membran akar.Setelah logam dibawa masuk ke dalam sel akar, selanjutnya logam harus ditranslokasi di dalam tubuh tumbuhan melalui jaringan pengangkut, yaitu xilem dan floem, ke bagian tumbuhan lain. Untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan, logam diikat oleh molekul khelat. Berbagai molekul khelat yang berfungsi mengikat logam dihasilkan oleh tumbuhan, misalnya histidin yang terikat pada Ni dan fitokhelatin-glutation yang terikat pada Cd. Untuk mencegah peracunan logam terhadap sel, tumbuhan mempunyai mekanisme detoksifikasi yaitu dengan melokalisasi logam pada jaringan, misalnya dengan menimbun logam di dalam organ tertentu seperti akar (untuk Cd pada Silene dioica), trikhoma (untuk Cd), dan lateks (untuk Ni pada Serbetia acuminata).