pemanfaatan dan pengelolaan perikanan cucut dan pari … · ikan jantan yang terjadi di dalam tubuh...
TRANSCRIPT
6 ASPEK BIOLOGI BEBERAPA JENIS CUCUT DAN PARI DI LAUT
JAWA
6.1 Pendahuluan
Perikanan laut dan lingkungannya merupakan suatu sistem yang kompleks
dan dinamis. Dalam sistem tersebut berlangsung berbagai proses interaksi yang
bersifat bioekologis, bioteknologis, bioekonomis maupun sosial, yang
kesemuanya itu merupakan fungsi tempat dan waktu (Hilborn dan Walters, 1992).
Kehidupan ikan akan berlangsung dengan konstan jika tidak terjadi perubahan
lingkungannya secara signifikan. Namun pada kenyataannya sering terjadi adanya
perubahan berbagai faktor lingkungan yang menyebabkan berubahnya kehidupan
ikan secara nyata (Hilborn dan Walters, 1992). Sumberdaya perikanan laut adalah
sumberdaya alam yang dapat pulih kembali. Namun jika sumberdaya ini terancam
kepunahan (kolap), maka untuk memperbaikinya memerlukan biaya yang mahal
dan waktu yang panjang (Gulland, 1983). Penyelidikan yang menyeluruh tentang
masalah makanan, reproduksi, pertumbuhan dan dinamika populasi ikan laut
sering disebut biologi perikanan laut (marine fisheries biology).
Makanan adalah salah satu faktor dasar yang mempengaruhi kehidupan ikan
baik secara individual maupun populasinya (Schreck dan Moyle,1990).
Keterbatasan suplai makanan akan mengakibatkan kompetisi antar individu
(bahkan antar spesies) yang dapat menyebabkan penurunan rekruimennya.
Makanan, faktor ekologi dan kondisi fisiologi ikan dapat memberikan petunjuk
produksi suatu biomasa (Holden dan Raitt, 1975). Pergerakan dan migrasi
populasi ikan terutama disebabkan oleh pencarian makanan dan tempat memijah.
Bal dan Rao (1990) menjelaskan bahwa berdasarkan kebiasaan makan, ikan
dapat diklasifikasikan sebagai pemangsa (predator), pemakan rumput (grazers),
penyaring (strainers), penghisap (sucker) dan parasit (parasites). Perubahan
kebiasaan makan ikan dapat terjadi sepanjang perubahan siklus hidup yang diikuti
perubahan organ tubuhnya atau tempat hidupnya. Penelitian tentang makanan ikan
sebaiknya dapat menjelaskan habitat, penyebaran, migrasi dan faktor-faktor lain
yang berkaitan. Makanan adalah faktor penting dari setiap organisme untuk
tumbuh, berkembang biak dan melakukan berbagai aktivitas yang memerlukan
128
energi dari makanan. Pengetahuan tentang sumber makanan dari stok ikan sangat
penting dalam penentuan daerah penangkapannya secara lebih menguntungkan.
Pertumbuhan ikan, jenis kelamin, umur dan faktor kondisi merupakan
petunjuk dasar untuk memprediksi kwantitas stok ikan, apakah stok ikan tersebut
masih alami ataukan sudah dieksploitasi secara intensif (Sparre dan Venema,
1998). Hubungan panjang berat ikan akan berubah berdasarkan phase dan siklus
hidupnya, dan informasi ini akan menjelaskan faktor-faktor yang terbawa karena
suatu perubahan lingkungannya (Effendi, 1979).
Penelitian biologi reproduksi sangat bermanfaat untuk memahami
regenerasi tahunan dari stok ikan (Cortes, 2000). Parameter biologi reproduksi
seperti ukuran ikan pertama matang gonad, frekwensi pemijahan, fekunditas dan
rekruitmen dapat menjelaskan nilai prediksi perikanan dan dapat digunakan untuk
menformulasikan pengelolaan perikanan secara rasional (Widodo, 2001).
Pemijahan merupakan salah satu penentu kelangsungan hidup ikan; aspek ini
tentunya merupakan rangkaian dari siklus kematangan gonad, minimum ukuran
matang gonad, fekunditas dan sebagainya (Holden dan Raitt, 1975).
Biologi reproduksi, termasuk periode pemijahan dan fekunditas telur
adalah informasi penting yang menentukan kelangsungan hidup ikan dari waktu
ke waktu (King, 1995). Beberapa jenis ikan bermigrasi jauh untuk memijah.
Reproduksi merupakan potensi dari suatu populasi, hal ini dapat dipelajari dari
nilai mutlak fekunditas telur, yang tentunya harus memiliki laju kehidupan tinggi
menuju rekruitmen yang baik (Holden dan Raitt, 1975).
Selanjutnya Cortes (2000) menjelaskan bahwa Elasmobranchii melakukan
reproduksi seksual, yaitu persatuan sel telur dari ikan betina dan spermatozoa dari
ikan jantan yang terjadi di dalam tubuh (fertilisasi internal), namun ada pula yang
terjadi di luar tubuh (fertilisasi eksternal). Ikan Elasmobranchii umumnya
melakukan fertilisasi internal. Elasmobranchii memiliki strategi reproduktif
dengan memproduksi telur – telur yang berukuran besar dalam jumlah sedikit.
Telur yang berisi embrio kemudian berkembang menjadi juvenil, tersimpan,
terlindungi, dan di asuh dalam jangka waktu tertentu di dalam tubuh induk betina.
Induk betina memiliki struktur khusus di bagian akhir anterior oviduk, yaitu
129
kelenjar nidimental yang berfungsi untuk mengeluarkan cangkang berprotein dari
telur yang telah dibuahi (Compagno, 1999).
Elasmobranchii memiliki beberapa spesialisasi dalam reproduksi, yaitu
aplasental vivipari (ovovivipar), plasental vivipar dan ovipar. Pada spesies yang
ovipar, telur yang berukuran besar akan terbungkus oleh suatu lapisan tempat telur
yang memiliki celah untuk pertukaran air laut dan protuberances (berbentuk
seperti akar) yang akan terselip pada substrat sehingga telur tersebut menempel
pada saat telur diletakkan di lingkungan dimana embrio akan mengalami
pertumbuhan di luar tubuh induknya. Suatu bentuk evolusi yang terjadi pada
reproduksi Elasmobranchii adalah penyimpanan telur yang telah dibuahi di dalam
saluran reproduksi dalam jangka waktu yang panjang. Sebagian besar spesies
menyimpan anak yang sedang beranjak dewasa di dalam oviduk sampai akhirnya
keluar dari tubuh induk dan mampu hidup mandiri, pola reproduksi seperti itu
disebut ovovivipar. Perbedaan antara ovipar dan ovovivipar terletak pada
tereduksinya produksi kelenjar cangkang nidimental dan berkembangnya
pembuluh – pembuluh darah di dalam oviduk betina serta kantung kuning telur
embrio.
Populasi ikan selalu tumbuh dan bergerak dari satu tempat ketempat lain,
dan dari waktu kewaktu sesuai dengan lingkungan yang diinginkannya. Dalam
kondisi ekologi yang optimum, populasi ikan akan tumbuh dan berkembang
secara maksimal sesuai dengan daya dukung dari ekosistemnya. Dengan adanya
eksploitasi ikan melalui campur tangan manusia, sering membuat ketidak
seimbangan populasi ikan tersebut. Ukuran ikan yang semakin mengecil akibat
penangkapan dengan intesitas tinggi, dan berbagai faktor alam yang mengganggu
habitat ikan itu sendiri, sering menunjukan adanya penurunan nilai populasi.
Tujuan utama dari penelitian dinamika populasi adalah melakukan evaluasi
baik kepada alam maupun manusia dalam mengeksploitasi populasi ikan, agar
sumberdaya alam ini dapat dimanfaatkan secara optimal dan terjaga dalam waktu
yang panjang. Dua model yang terkemuka dari empat model penelitian dinamika
populasi adalah Model Analitik dan Model Logistik. Model yang diterapkan pada
penelitian ini adalah Model Analitik. Inti dari model ini adalah menentukan
berbagai parameter, seperti parameter pertumbuhan, laju kematian dan faktor
130
seleksi untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimal dengan tetap menjaga
kelestarian sumberdayanya.
Spare dan Venema (1998) menjelaskan bahwa untuk mempelajari umur dan
pertumbuhan ikan (age and growth) dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu:
metode langsung dan metode tidak langsung. Contoh metode langsung dalam
perikanan laut adalah penandaan ikan (tagging experiment). Pertumbuhan ikan
dihitung berdasarkan ukuran dan lama waktu saat ikan dilepas sampai ditangkap
kembali. Penelitian penandaan ikan ini tidak hanya mahal, tetapi juga memerlukan
waktu yang lama.
Sedangkan metode tidak langsung dapat dibagi dalam dua cara, yaitu
dengan pengukuran distribusi panjang ikan bulanan atau pengukuran bagia keras
dari tubuh ikan (seperti otolit). Penelitian dengan menggunakan metode tidak
langsung, melalui pengukuran distribusi panjang ikan. Pengukuran panjang ikan
secara harian diambil secara acak dari tempat pendaratan ikan, dan data
dikumpulkan secara bulanan dalam waktu satu tahun. Tujuan utama mempelajari
umur dan pertumbuhan ikan ada tiga, yaitu:
1). Untuk medapatkan kelas umur yang masuk ke perikanan
2). Untuk mengestimasi laju kematian ikan
3). Untuk mengetahui dan menjaga keberlangsungan stok perikanan.
Ikan cucut memiliki ciri tumbuh lambat dan berumur panjang (Compagno,
1984; Last and Stevens, 1994; FAO, 2000). Selanjutnya White et al. (2002)
melaporkan bahwa hasil penelitiannya di perairan Australia Barat dengan
menggunakan metode tidak langsung memperoleh umur masimum 16,4 tahun
dengan panjang 133 cm untuk ikan cucut jenis Carcharhinus cautus.
Secara teoritis, rekruitmen yang kuat dari tahun ketahun kedalam perikanan
akan membuat stok ikan tetap terjaga dari eksploitasi penangkapan dengan
intesitas yang tinggi (Hilborn dan Walters, 1992). Namun seringkali laju
eksploitasi perikanan yang tinggi akan menurunkan kelimpahan stok, hal ini dapat
dijelaskan dari turunnya produksi perikanan dan faktor-faktor lainnya. Kelebihan
tangkap (over fishing) adalah turunnya hasil tangkapan akibat dari upaya
penangkapan yang berlebihan. Akibat dari kelebihan tangkap, maka suatu perairan
131
harus melakukan formulasi pengelolaan yang berdasarkan penelitian dinamika
populasi yang akurat.
Hingga saat ini masih belum banyak informasi tentang kebiasaan makan,
biologi reproduksi dan beberapa parameter populasi cucut dan pari. Informasi
tersebut sangat penting sebagai landasan pengelolaan perikanan cucut yang
berkelanjutan. Bab ini menyajikan hasil penelitian khusus tentang kebiasaan
makan, biologi reproduksi dan parameter dinamika populasi ikan cucut dan pari
di Laut Jawa yang dapat dijadikan sebagai rangkaian dasar pengelolaan perikanan
secara rasional dan berkelanjutan. Penelitian ini memiliki tiga tujuan yaitu:
1). Mendapatkan data secara rinci tentang jenis dan kebiasaan makan beberapa
jenis ikan cucut dan pari di Laut Jawa.
2). Mendapatkan data dan informasi aspek biologi reproduksi ikan cucut dan
pari yang dominan di Laut Jawa.
3). Mendapatkan data dan informasi laju pertumbuhan ikan pari dan umur
maksimumnya.
6.2 Bahan dan metode
6.2.1 Waktu dan tempat penelitian
Obyek penelitian ini adalah cucut dan pari yang ditangkap dari penangkapan
di laut dan sampel dari Jakarta (Muara Angke dan Muara Baru), Indramayu
(Indramayu dan Cirebon) Tegal, Juana, dan Brondong. Waktu penelitian dimulai
dari bulan April 2001 sampai Desember 2004, mencakup kegiatan pengumpulan
sampel, analisis laboratorium dan pengolahan data
Lokasi penelitian adalah tempat-tempat pelelangan ikan (TPI) yang ada di
pelabuhan perikanan di pantai utara. TPI pilihan tersebut cukup mewakili baik
ditinjau dari jumlah atau jenis ikan cucut dan pari yang di daratkan, jumlah dan
jenis kapal penangkap yang mendarat, maupun dari rutinitas pendaratan yang
terjadi
Kegiatan pengumpulan data dilaksanakan oleh tim gabungan kerjasama
dari instansi, CSIRO Marine Science Australia, Murdoch University (Perth
Australia, Pusat Penelitian Oseanologi LIPI (P3O LIPI), dan Balai Riset
Perikanan Laut Jakarta.
132
6.2.2 Pengumpulan dan analisis data
Data diambil dengan cara ‘stratified random sampling’, dimana TPI
ditentukan (dipilih) berdasarkan strata yang memenuhi kriteria, yaitu banyak
kapal yang mendaratkan hasil tangkapan ikan cucut dan pari, dan frekuensi
pendaratan tinggi (tiap hari ada pendaratan cucut dan pari). Dalam pelaksanaan
pengumpulan data biologi tidak bisa sepenuhnya menggunakan sampling acak,
pertimbangan kemudahan dalam pengumpulan data terpaksa dilakukan demi
mendapatkan data yang dibutuhkan.
Kebiasaan makan
Jenis data yang dikumpulkan adalah jumlah dan komposisi makanan dari
ikan cucut dan pari. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kebiasaan
makan, komposisi makanan dan membandingkan makanan cucut dan pari dari
jenis yang terpilih. Metode untuk menghitung jumlah makanan pada isi perut ikan
telah banyak dilakukan beberapa peneliti (Cristina, 2003). Analisa isi perut ikan
dilakukan dengan cara metode kwantitatif, yaitu mengidentifikasikan secara
detail dan menghitung jumlah setiap individu, melalui metode volumetrik.
Data jenis makanan yang berhasil dikumpulkan sebanyak 527 cucut yang
dibedah isi perutnya dan diteliti isi lambungnya terdiri dari lima jenis. Kelima
jenis ikan tersebut adalah Carcharhinus dussumieri, Carcharhinus falciformis,
Carcharhinus sealei, Carcharhinus sorrah dan Sphyrna lewin. Selanjutnya 731
pari yang diteliti isi lambungnya terdiri dari tujuh jenis, jenis ikan tersebut
adalah Aetoplatea zonura, Dasyatis kuhlii, Himantura bleekeri, Himantura
gerrardi, Himantura jenkinsii, Himantura uarnak, dan Himantura undulata.
Untuk mengetahui apakah ikan cucut dan pari mempunyai jumlah jenis dan
komposisi yang sama berdasarkan jenis makanan, digunakan analisis
multidimensi (bagian dari Analisis Multivariat). Perhitungan analisis multidimensi
menggunakan program Statistica versi 6. Tujuan analisis ini adalah untuk
mempelajari interaksi atar jenis ikan berdasarkan data komposisi makanannya
(analisis multidimensi disajikan pada bab 3).
133
Biologi Reproduksi
Data yang dikumpulkan adalah ukuran individu menurut jenis ikan, jenis
kelamin, jumlah telur, jumlah embrio dari cucut dan pari. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang parameter biologi
reproduksi seperti ukuran ikan pertama matang gonad, frekuensi pemijahan,
fekunditas dan rekruitmen. Infomasi ini dapat menjelaskan nilai prediksi
perikanan dan dapat digunakan untuk menformulasikan pengelolaan perikanan
secara rasional.
Analisa nisbah kelamin dilakukan untuk memberi gambaran proporsi
perbandingan jantan dan betina dari satu populasi. Secara alamiah perbandinganya
adalah satu berbanding satu. Namun dilapangan sering terjadi perbandingan
nisbah kelamin yang tidak seimbang. Hal ini umumnya disebabkan karena adanya
tingkah laku ikan menurut jenis kelamin, kondisi lingkungan, aspek penangkapan
ikan dll.
Berdasarkan data biologi yang berhasil dikumpulkan, sebanyak tujuh jenis
cucut dan enam jenis pari dianalisis ukuran pertama matang kelaminnya. Namun
dari tiga belas jenis cucut dan pari tersebut, hanya tujuh jenis yang memiliki data
cukup untuk dianalisis. Analisis ukuran pertama matang kelamin dilakukan
dengan dua metode, yaitu metode kurva logistik, dan hubungan panjang klasper
dan ukuran ikan.
Biologi reproduksi ditentukan dengan mengukur panjang dan berat setiap
individu menurut spesies dan jenis kelamin. Bagi binatang jantan ukuran dan
luasnya pengkapuran (calcification) klasper akan dicatat. Gonad ditentukan
tingkat kematangannya dengan menggunakan karakteristik makroskopis dan
kriteria yang diadopsi dari Cristina (2003), seperti pola perkembangan dari
ovarium untuk ikan betina serta dari testes dan klasper untuk ikan jantan. Indek
gonadosomatik (IGS) dari betina dan jantan matang kelamin dihitung. Ukuran,
bobot, jenis kelamin, dan jumlah embrio dalam ikan betina dicatat.
Klasifikasi tingkat kematanganan gonad telah banyak didiskusikan oleh para
ahli biologi perikanan. Ada yang membagi kematanganan gonad dalam tiga
tingkatan, namun ada juga yang mendifinisikannya menjadi sembilan tingkatan.
The International Concil for the Exploitation of the Seas membagi tingkat
134
kematangan gonad dalam tujuh tingkatan. Untuk perairan tropis, Bal dan Rao
(1990) mendifinisikan tingkat kematangan gonad dalam lima tingkatan, yaitu: 1.
Dara, 2 Dara berkembang, 3 Berkembang, 4 Matang, 5 bertelur (mijah). Mengacu
pada metode Cristina (2003) untuk penelitian cucut dan pari ini, tingkat
kematangan gonad untuk ikan betina dibagi dalam lima katagori yakni 1. dara, 2.
dara berkembang, 3. berkembang, 4. matang dan 5. memijah, sedangkan tingkat
kematangan kelamin ikan jantan dibagia dalam empat katagori yaitu: 1. muda, 2.
menjelang dewasa, 3. dewasa, 4. matang yang mengacu pada Cristina (2003).
Untuk berbagai bentuk kepentingan, analisa tingkat kematangan untuk ikan betina
disederhanakan menjadi tiga, yakni tingkat 1 dan 2 digabung menjadi satu, dan
tingkat 4 dan 5 juga digabung. Sedangkan ikan jantan juga disederhanakan
menjadi tiga tingkatan, tingkat pertama dan kedua digabung menjadi satu
tingkatan.
Pengetahuan tetang ukuran ikan pertama matang gonad (lm) merupakan
nilai dasar yang digunakan agar ikan tersebut tidak ditangkap dan diberi
kesempatan untuk memijah. Analisa tingkat kematangan gonad dilakukan dengan
cara menghitung proporsi ikan yang matang. Ukuran panjang ikan yang terdiri
dari 50 persen matang gonad adalah ukuran ikan pertama matang gonad (Cristina
2003).
Parameter pertumbuhan
Data yang dikumpulkan adalah dat frekwensi ukuran tubuh (panjang atau
lebar) dan tulang untuk menghitung umur dan parameter populasi cucut dan pari.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari parameter dinamika populasi
seperti pertumbuhan, umur relatif, dan laju eksploitasi.
Penelitian parameter umur untuk jenis ikan pari Dasyatis kuhlii dilakukan
melalui metode vertebral centra yang diekstrak dari vertebral colum. Sampel
diambil dari tulang punggung ikan yang disimpan dalam keadaan beku, kemudian
dibawa ke laboratorium. Sampel dikumpulkan dari tempat pendaratan ikan setiap
bulan dari berbagai ukuran. Masing-masing sampel direndam dalam larutan
sodium hypochlorite dengan kadar 5 % selama 5 sampai 20 menit (tergantung
ukuran sampel), kemudian dicuci dan dikeringkan (Simplendorfer, 1993).
Selanjutnya tiap sampel dipotong dengan ukuran 0,3 – 0,4 mm dengan
135
menggunakan pemotong isomat diamon. Perhitungan umur diperoleh dari
marginal increments (dengan ukuran 0,1 ụm), dengan menggunakan alat software
IM 1000, kamera digital DC 300, dan microscop leica MZ 7,5. Analisa umur ini
dilakukan di laboratorim biologi Murdoch University, Perth Auatralia.
Selanjutnya hasil perhitungan umur ini digunakan dalam menganalisa laju
pertumbuhan melalui metode von Bertalanffy, baik untuk ikan Dasyatis kuhlii
betina maupun jantan
Upaya menentukan parameter dinamika populasi ikan cucut dan pari dari
jenis lainnya diestimasi dengan menggunakan model analitik, berdasarkan data
distribusi panjang atau lebar cawan ikan cucut dan pari dengan menggunakan
perangkat lunak FiSAT (Sparre dan Venema, 1992; Gayanilo, 1995). Hasil
analisisis tidak memuaskan karena mendapatkan nilai yang tidak rasional, hal ini
mungkin disebabkan ketidak sesuaian metode ini untuk diterapkan pada ikan
ccucut dan pari.
6.3 Hasil
6.3.1 Kebiasaan makan
Cucut
Dari 527 sampel ikan cucut diketahui bahwa makanan pada lambungnya
mencapai 81,78 %, yang terdiri dari lima jenis, yaitu Carcharhinus dussumieri,
Carcharhinus falciformis, Carcharhinus sealei, Carcharhinus sorrah dan
Sphyrna lewini. Masing-masing ikan memiliki jumlah persentasi volume isi
lambung yang berbeda-beda. Jumlah persentasi isi lambung tertinggi diperoleh
jenis Carcharhinus sealei sebesar 94 %, kemudian secara berurutan disusul jenis
Carcharhinus sorrah sebesar 87 %, Carcharhinus dussumieri sebesar 81 %,
Carcharhinus falciformis sebesar 79 %, dan Sphyrna lewini sebesar 73 %
(Gambar 62 dan Tabel 15).
Secara umum makanan ikan cucut terdiri dari enam kelompok, yaitu
kelompok ikan, udang, moluska, krustasea, Elasmobranchii dan serasah
(campuran). Komposisi makanan cucut dalam penelitian ini didominasi oleh
kelompok ikan, yaitu berkisar antara 60 hingga 85 % dari total makanan dalam
136
lambungnya. Masing-masing jenis cucut memiliki jumlah kelompok dan
komposisi makanan yang berbeda-beda.
Jenis cucut Carcharhinus dussumieri dan Carcharhinus falciformis
memiliki komposisi makanan yang berada saling berdekatan, ini menunjukan
bahwa makanan kedua jenis cucut ini serupa dan berbeda dengan tiga jenis cucut
lainnya. Selanjutnya jenis cucut Carcharhinus sealei memiliki komposisi
makanan yang berada berdekatan Carcharhinus sorrah, ini menunjukan makanan
kedua jenis cucut ini berbeda tapi berdekatan. Sedangkan jenis cucut Sphyrna
lewini memiliki komposisi makanan berada di kanan atas, ini menunjukan bahwa
makanan jenis ikan ini berbeda dengan empat jenis cucut lainnya. Hasil analisis
multidimensi terhadap komposisi makanan ikan cucut menunjukan bahwa secara
umum masing-masing jenis cucut memiliki komposisi yang berbeda (Gambar 65).
Pari
Berdasarkan data 731 ikan pari yang dibedah isi perutnya, ternyata ikan
yang terisi makanan pada isi lambungnya mencapai 66,48 %. Ikan pari yang
diteliti isi lambungnya terdiri dari tujuh jenis, kelima jenis ikan tersebut adalah
Aetoplatea zonura, Dasyatis kuhlii, Himantura bleekeri, Himantura gerrardi,
Himantura jenkinsii, Himantura uarnak, dan Himantura undulata. Masing-
masing ikan memiliki jumlah persentasi volume isi lambung yang berbeda-beda.
Jumlah persentasi isi lambung tertinggi diperoleh jenis Dasyatis kuhlii sebesar
79,37 %, kemudian secara berurutan disusul jenis Himantura gerrardi sebesar
77,06 %, Himantura uarnak sebesar 55,26 %, Himantura undulata sebesar
53,49 %, Aetoplatea zonura sebesar 73 %, Himantura bleekeri sebesar 52,70 %,
dan Himantura jenkinsii sebesar 73 % (Gambar 62 dan Tabel 16).
Hasil pembedahan isi lambung lima jenis ikan pari menunjukan bahwa
jenis makanannya dapat dibagi dalam lima kelompok, yaitu kelompok ikan,
udang, moluska, krustasea, dan serasah (campuran). Makanan pari yang diteliti
didominasi oleh kelompok ikan dan udang (Gambar 64 dan Tabel 16).
Jenis pari Himantura undulata berada di kiri atas, ini menunjukan bahwa
makanan jenis ikan ini berbeda dengan enam jenis pari lainnya. Selanjutnya jenis
pari Himantura gerrardi berada pada posisi paling kanan atas, ini menunjukan
bahwa makanan jenis ikan ini berbeda dengan enam jenis pari lainnya.
137
Selanjutnya jenis pari Himantura jenkinsii berada diatas bagian tengah jauh dari
ikan lainnya. Selanjutnya jenis pari Himantura uarnak, Dasyatis kuhlii, dan
Himantura bleekeri berada dalam posisi saling berdekatan, ini menunjukan bahwa
ketiga jenis pari tersebut memiliki komposisi makanan yang hampir sama dan ada
kemungkinan terjadi kompetisi makan dari jenis tersebut. Sedangkan jenis pari
Aetoplatea zonura juga berada pada posisi berbeda dengan jenis lainnya. Secara
umum masing-masing jenis pari memiliki komposisi yang berbeda (Gambar 66).
138
Tabel 15. Komposisi makanan menurut jenis cucut yang di daratkan di Laut Jawa tahun 2001 – 2004 (% volume dalam berat)
Tabel 16. Komposisi makanan menurut jenis pari yang didaratkan di Laut Jawa
tahun 2001 – 2004 (% volume dalam berat)
Sampel Komposisi makanan (% volume dalam berat) Jenis pari
N Terisi (%) Ikan Udang Moluska Krustasea Elasmobrans Serasah
A. zonura 49 53,06 65,38 15,38 19,23 D. kuhlii 189 79,37 10 86 4 H. bleekeri 148 52,7 23,08 47,44 10,26 19,23 H. gerradi 218 77,06 60,12 28,57 11,31 H. jenkinsii 46 43,48 40 20 5 10 25 H. uarnak 38 55,26 19,05 57,14 4,76 19,05 H. undulata 43 53,49 4,35 26,09 4,35 52,17 13,04 Total 731 66,48
Tabel 17. Nisbah kelamin ikan cucut dan pari di Laut Jawa (% ekor)
Jumlah Jantan Betina Spesies sampel (%) (%) (ekor) C. dussumieri 746 51 49 C. melanopterus 249 52 48 Sphyrna lewini 219 38 62 C. falciformis 194 50 50 C. sorrah 192 53 47 Himantura gerrardi 1661 40 60 Dasyatis kuhlii 898 39 61 Himantura bleekeri 459 37 63 Himantura jenkinsii 247 30 70 Himantura undulata 128 36 64
Sampel
Komposisi makanan (% volume dalam berat)
Jenis cucut N Terisi (%) Ikan Udang Moluska Krustasea Elasmobrans Serasah
C. dussumieri 184 81,52 78,67 4,00 5,33 6,67 5,33
C. falciformis 34 79,41 85,19 3,70 7,41 3,70
C. sealei 84 94,05 67,09 6,33 10,13 5,06 11,39
C. sorrah 75 86,67 70,77 3,08 10,77 1,54 4,62 9,23
S. lewini 150 73,33 60,91 12,73 8,18 7,27 10,91
Total 527 81,78
139
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
A. zon
ura
D. kuh
lii
H. blee
keri
H. gerr
adi
H. jenk
insii
H. uarn
ak
H. und
ulata
C. dus
sumier
i
C. falcif
ormis
C. sea
lei
C. sorr
ah
S. lewini
Pro
pors
i (%
)
Gambar 62. Proporsi sampel ikan yang memiliki lambung terisi makanan dari
beberapa jenis cucut dan pari di Laut Jawa tahun 2001–2004. Histogram putih menunjukan jenis pari dan histogram diarsir menunjukan jenis cucut.
140
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
C. dussumieri
C. falciformis
C. sealei
C. sorrahS. le
wini
Pro
pors
i (%
vol
ume)
SerasahElasmobransKrustaseaMoluskaUdangIkan
Gambar 63. Komposisi makanan dari beberapa jenis cucut di Laut Jawa tahun
2001–2004, data komposisi makanan berdasarkan jumlah volume.
141
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
A. zonuraD. kuhlii
H. bleekeri
H. gerradi
H. jenkinsii
H. uarnak
H. undulata
Pro
pors
i (%
vol
ume)
SerasahElasmobransKrustaseaMoluskaUdangIkan
Gambar 64. Komposisi makanan dari beberapa jenis pari di Laut Jawa tahun 2001–2004, data komposisi makanan berdasarkan jumlah volume.
142
-2,0
-1,5
-1,0
-0,5
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
-2,0 -1,5 -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0
Dimensi 1
Dim
ensi
2
C. dussumieriC. falciformisC. sealeiC. sorrahS. lewini
Gambar 65. Peta spasial hasil analisis multidimensi komposisi makanan dari
beberapa jenis cucut, data berdasarkan jumlah volume di Laut Jawa tahun 2001 – 2004. Nilai stress = 0,151, variasi = 30.
-2,0
-1,5
-1,0
-0,5
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
-2,0 -1,5 -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0
Dimensi 1
Dim
ensi
2
A. zonuraD. kuhliiH. b leekeriH. gerradiH. jenkinsiiH. uarnakH. undulata
Gambar 66. Peta spasial hasil analisis multidimensi komposisi makanan dari
beberapa jenis pari, data berdasarkan jumlah volume di Laut Jawa tahun 2001 – 2004. Nilai stress = 0,151, variasi = 35.
143
6.3.2 Biologi Reproduksi
Ukuran matang kelamin cucut dan pari jantan yang dominan
Hasil analisis dengan menggunakan kurva logistik terhadap ukuran panjang
total pertama matang kelamin (Lm) dari tiga jenis cucut jantan menunjukkan
bahwa Alopias pelagicus pertama matang kelamin berukuran 2508,3 mm,
selanjutnya jenis Carcharhinus amblyhynchoides berukuran 1315,0 mm, dan
jenis Carcharhinus falciformis berukuran 1935,0 mm. Sedangkan Rhinobatus
thouin (pari gitar) ukuran panjang total pertama matang kelamin (Lm) adalah
708,9 mm (Gambar 70). Selanjutnya hasil analisis ukuran matang kelamin
berdasarkan hubungan panjang klasper dan panjang ikan menujukan bahwa
Alopias pelagicus pertama matang kelamin berukuran 2409,1 mm, jenis
Carcharhinus amblyhynchoides berukuran 1285,7 mm, dan jenis Carcharhinus
falciformis berukuran 1903,0 mm. Rhinobatus thouin (pari gitar) ukuran panjang
total pertama matang kelamin (Lm) adalah 639,0 mm
Ukuran lebar cawan pertama matang kelamin (DWm) pari jantan dari jenis
Dasyatis kuhlii adalah 236,6 mm, selanjutnya Dasyatis zugei berukuran 172,9
mm dan Himantura walga berukuran 166,6 mm, dan Aetoplatea zonura berukuran
476,0 mm (Gambar 72). Selanjutnya hasil analisis ukuran matang kelamin
berdasarkan hubungan panjang klasper dan lebar cawan ikan menunjukan bahwa
Dasyatis kuhlii pertama matang kelamin (DWm) berukuran 225,3 mm, sedangkan
Dasyatis zugei berukuran 153,2 mm, dan Aetoplatea zonura berukuran 430,8
mm,dan Himantura walga tidak dapat dianalisis.
Ukuran pertama matang kelamin hasil analisis hubungan panjang klasper
dan ukuran ikan menunjukan nilai yang lebih kecil dibandingkan hasil analisis
kurva logistik. Perbedaan hsil dari kedua analisis tersebut terhadap tujuh jenis
cucut dan pari berkisar 1,7 sampai 11,4 % dari ukuran Lm atau DWm.
Sampel ikan dari jenis Carcharhinus albimarginatus, Carcharhinus
brevipinna, sorrah, dan Rhizoprionodon oligolinx didominasi ikan muda dan data
tidak mencukupi untuk dianalisis lebih lanjut. Demikian juga untuk ikan pari jenis
Himantura walga juga didominasi ikan muda dan tidak dapat dianalisis lebih
lanjut. Hasil panjang klasper ikan yang didominasi tingkat matang diperoleh dari
tiga jenis ikan pari yaitu Dasyatis kuhlii , Dasyatis zugei, dan Himantura walga.
144
Diameter telur dan embrio dari tiga jenis pari betina
Dari 113 sampel telur dari jenis pari Dasyatis kuhlii, Dasyatis zugei, dan
Himantura walga yang diteliti secara mendalam, diperoleh berbagai informasi
yang memberikan pemahaman lebih baik tentang biologi reproduksi jenis
tersebut. Nilai rata-rata diameter telur bulanan (MOD) pada ikan betina Dasyatis
kuhlii mulai bulan Januari sampai Agustus berkisar dari 5,5 sampai 11,2 mm.
Hubungan diameter telur terhadap waktu ditangkap (bulan), tidak memberikan
pola perubahan yang jelas. Selanjutnya ukuran diameter telur yang besar (> 15
mm), selalu ditemukan setiap bulan, kecuali pada bulan Agustus.
Berdasarkan analisa 59 sampel diameter telur dari ikan Dasyatis zugei, dan
Himantura walga, juga tidak menunjukan pola perubahan menurut bulan (Gambar
83). Karena data bulanan diameter telur ketiga jenis ini tidak menggambarkan
pola perubahan, maka diduga pola diameter telur cenderung tetap sepanjang
tahun.
Nilai ukuran rata-rata lebar cawan dari embrio Dasyatis kuhlii cenderung
berubah dari waktu ke waktu. Pada bulan Januari ukuran rata-rata embrio
Dasyatis kuhlii adalah 29,55 mm, dan naik menjadi 69,3 mm pada bulan Maret,
dan naik kembali hingga mencapai 107,3 mm pada bulan Agustus (Gambar 84).
Selanjutnya data juga menggambarkan bahwa ukuran embrio sangat bervariasi
dari bulan ke bulan. Ukuran embrio yang sangat kecil dan masih menyatu dengan
telur ditemukan pada bulan Februari, Maret, dan Mei. Berdasarkan data ikan
Dasyatis kuhlii yang terkecil tertangkap adalah berukuran lebar cawan 118 mm,
dan ukuran embrio terbesar jenis ini mencapai 145 mm, maka diduga ukuran lebar
cawan sewaktu ikan ini dilahirkan adalah berkisar 120 – 145 mm. Berdasarkan
asumsi ikan ini lahir dengan ukuran lebar cawan 120 mm, maka diduga ikan ini
memijah hampir setiap bulan, kecuali bulan Januari dan Juli.
Nilai ukuran rata-rata lebar cawan dari embrio Dasyatis zugei berkisar dari
10,8 mm pada bulan Mei sampai 61,5 mm pada bulan Maret (Gambar 84).
Ukuran embrio yang sangat kecil dan masih menyatu dengan telur ditemukan
sebanyak tiga ekor pada bulan Mei. Berdasarkan data ikan Dasyatis zugei yang
terkecil tertangkap adalah berukuran lebar cawan 104 mm, dan ukuran embrio
terbesar jenis ini mencapai 71 mm, maka diduga ukuran lebar cawan sewaktu ikan
145
ini dilahirkan adalah berkisar 70 – 100 mm. Karena jumlah sampel embrio jenis
ini terbatas, maka sulit untuk menduga pola musim pemijahannya.
Nilai ukuran rata-rata lebar cawan dari embrio Himantura walga pada bulan
Maret adalah 25,7 mm dan bulan Mei 58,8 mm pada bulan Maret (Gambar 84).
Ukuran embrio yang sangat kecil dan masih menyatu dengan telur ditemukan
pada bulan Maret dan Agustus. Berdasarkan data ikan Himantura walga yang
terkecil tertangkap adalah berukuran lebar cawan 148 mm, dan ukuran embrio
terbesar jenis ini mencapai 80 mm, maka diduga ukuran lebar cawan sewaktu ikan
ini dilahirkan adalah mendekati ukuran lebar cawan Dasyatis kuhlii dan Dasyatis
zugei.
Fekunditas dan tingkat kematangan kelamin jenis pari
Jumlah rata-rata embrio pada jenis Dasyatis zugei adalah 1,5 dengan
standar deviasi ± 0,24 (n = 10), dan untuk jenis Himantura walga adalah 1,4
dengan standar deviasi ± 0,23 (n = 8), dengan jumlah maksimum embrio dua ekor
setiap ikannya. Sedangkan untuk jenis Dasyatis kuhlii jumlah anak pada setiap
ikan yang diteliti adalah satu ekor (n = 37).
Fekunditas yang dihitung dari jumlah telur dariovarium ikan pari
menunjukan jenis Dasyatis kuhlii berkisar antara 8 – 20 butir, Dasyatis zugei
berkisar antara 9 - 18, dan Himantura walga antara 16 - 30 butir, Himantura
undulata berkisar antara 10 - 15 butir, Himmantuta jenkinsii sekitar 15 - 20 butir,
Himmantura gerrardi berkisar antara 15 - 30 butir, dan Himmantura uarnak
antara 20 - 39 butir. Gambar 91 dan 92 menunjukkan telur anak ikan pari
Himantura gerrardi di dalam kandungan.
Ikan betina yang matang dan memijah (Tingkat 4 dan 5) dari jenis Dasyatis
kuhlii terjadi hampir setiap bualan, kecuali bulan Agustus. Ikan yang matang
namun belum memijah (Tingkat 3) memiliki persentase teringgi setiap bulannya,
dan mencapai 57 % dari total. Sedangkan tingkat kematangan 4 mencapai 29 %,
dan tingkat kematngan 5 sebesar 14 %.
Selanjutnya ikan jantan dari jenis Dasyatis kuhlii yang mencapai tingkat
matang (Tingkat kematangan 4) diperoleh pada bulan Februari sebesar 24 %, dan
Juni sebesar 4 %. Sedangkan tingkat kematangan 3 terjadi hampir setiap bulan,
dan mencapai 93 % dari total tingkat kematangan kelamin secara keseluruhan.
146
Komposisi ukuran dan nisbah kelamin cucut dan pari
Distribusi ukuran lebar cawan embrio jantan dan betina dari Dasyatis kuhlii,
Dasyatis zugei, dan Himantura walga tidak dapat menggambarkan adanya
indikasi pola musim pemijahan (Gambar 84). Distribusi embrio betina terjadi
pada bulan Maret - Mei dan Juni – Agustus, dengan ukuran berkisar 104 – 271
mm. Sedangkan distribusi embrio jantan terjadi pada bulan Maret – Mei, dengan
ukuran berkisar 112 - 211 mm.
Ukuran lebar cawan terkecil dari ikan betina Dasyatis kuhlii yang matang
kelamin adalah 230 mm, dengan nilai rata- rata 260 mm, sedangkan ukuran ikan
pertama kali matang kelaminya (DW50) adalah 252 mm, dan ukuran ikan pertama
tertangkap (DWC) adalah 252 mm. Selanjutnya ukuran lebar cawan terkecil dari
ikan jantan Dasyatis kuhlii yang matang kelamin adalah 206 mm, dengan nilai
rata- rata 240 mm, sedangkan ukuran ikan pertama kali matang kelaminya (DW50)
adalah 239 mm, dan ukuran ikan pertama tertangkap (DWC) adalah 263 mm.
Ukuran lebar cawan terkecil dari ikan betina Dasyatis zugei yang matang
kelamin adalah 188 mm, dengan nilai rata- rata 220 mm, sedangkan ukuran ikan
pertama kali matang kelaminya (DW50) adalah 191 mm, dan ukuran ikan pertama
tertangkap (DWC) adalah 202 mm. Selanjutnya ukuran lebar cawan terkecil dari
ikan jantan Dasyatis zugei yang matang kelamin adalah 163 mm, dengan nilai
rata- rata 200 mm, sedangkan ukuran ikan pertama kali matang kelaminya (DW50)
adalah 178 mm, dan ukuran ikan pertama tertangkap (DWC) adalah 182 mm.
Ukuran lebar cawan terkecil dari ikan betina Himantura walga yang matang
kelamin adalah 162 mm, dengan nilai rata- rata 170 mm, sedangkan ukuran ikan
pertama kali matang kelaminya (DW50) adalah 162 mm, dan ukuran ikan pertama
tertangkap (DWC) adalah 182 mm. Selanjutnya ukuran lebar cawan terkecil dari
ikan jantan Himantura walga yang matang kelamin adalah 162 mm, dengan nilai
rata- rata 170 mm, sedangkan ukuran ikan pertama kali matang kelaminya (DW50)
adalah 163 mm, dan ukuran ikan pertama tertangkap (DWC) adalah174 mm.
Dari hasil penelitian nisbah kelamin terhadap 10 jenis cucut dan pari, yaitu
C. Dussumieri, C. Melanopterus, Sphyrna lewini, C. Falciformis, C. Sorrah,
Himantura gerrardi, Dasyatis kuhlii, Himantura bleekeri, Himantura jenkinsii,
dan Himantura undulata menunjukan hasil perbandingan jenis kelamin betina
147
relatif lebih banyak dari pada jantan, ini menunjukan tekanan eksploitasi terhadap
komoditas ini tidak mempengaruhi terhadap komposisi jenis (Tabel 17).
6.3.3 Parameter pertumbuhan Dasyatis kuhlii
Analisis parameter dinamika populasi dilakukan dengan menggunakan data
vertebral centra dari tulang ikan dan ukuran ikan bulanan. Dari 10 spesies yang
dikumpulkan, hanya jenis Dasyatis kuhlii yang memiliki data cukup untuk
dianalisis.Hasil analisis vertebral centra dari ikan Dasyatis kuhlii menunjukan
bahwa nilai rata-rata marginal increment bulanan memiliki dua puncak. Puncak
pertama terjadi pada bulan Januari sebesar 0,59, dan kemudian naik menjadi 0,70
pada bulan Maret, selanjutnya turun sampai 0,49 pada bulan Agustus. Hasil ini
menunjukan adanya perubahan ukuran terhadap perubahan waktu.
Dari 165 sampel data ikan betina Dasyatis kuhlii hasil perhitungan vertebral
centra digunakan untuk menganalisi kurva perumbuhan dengan metode von
Bertalanffy. Dari hasil analisis diperoleh nilai laju pertumbuhan (k) adalah 0,311
per tahun, lebar cawan asimtotik (DW∞) sebesar 312,8mm, dan umur nol tahun
(t0) adalah -1,13, dan umur maksimum diduga mencapai 16 tahun. Sedangkan
berdasarkan 109 sampel data ikan jantan Dasyatis kuhlii, dari hasil analisis
parameter populasinya diperoleh nilai laju pertumbuhan (k) adalah 0,831 per
tahun, lebar cawan asimtotik (DW∞) sebesar 257,3 mm, dan umur nol tahun (t0)
adalah -0,43, dan umur maksimum diduga mencapai 12 tahun. Hasil analisis
parameter populasi ini menunjukan bahwa ikan betina tumbuh lebih lambat, dan
berumur lebih panjang dari ikan jantan.
Selanjutnya analisis parameter populasi juga dilakukan melalui data ukuran
ikan bulanan dengan menggunakan program Fisat, namun tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Data ukuran panjang total cucut dan pari serta lebar cawan pari
ternyata tidak mengikuti kaidah pergerakan modus bulanan. Data terlalu
bervariasi sehingga tidak memenuhi persyaratan program Fisat, nilai yang
diperoleh tidak rasional. Analisis lebih lanjut tentang parameter populasi seperti
laju kematian total, laju kematian alamiah, dan tingka eksploitasinya tidak dapat
dilanjukan. Distribusi ukuran lebar cawan bulanan dari Dasyatis kuhlii disajikan
pada Gambar 85.
148
Gambar 67. Biologi reproduksi ikan Alopias pelagicus. (1) Ukuran kematangan,
histogram putih menunjukan ikan belum matang, histogram abu-abu menunjukan ikan yang sudah matang dan anak panah L50 menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Hubungan panjang klasper dan panjang total ikan, = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah a menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (3) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina.
149
Gambar 68. Biologi reproduksi ikan Carcharhinus amblyrhynchos. (1) Ukuran
kematangan, histogram putih menunjukan ikan belum matang, histogram abu-abu menunjukan ikan yang sudah matang dan anak panah L50 menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Hubungan panjang klasper dan panjang total ikan , = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah a menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (3) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina.
150
Gambar 69. Biologi reproduksi ikan Charcharhinus falciformis. (1) Ukuran
kematangan, histogram putih menunjukan ikan belum matang, histogram abu-abu menunjukan ikan yang sudah matang dan anak panah L50 menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Hubungan panjang klasper dan panjang total ikan , = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah a menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (3) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina.
151
Gambar 70. Biologi reproduksi ikan Rhinobatus thouin. (1) Ukuran kematangan,
histogram putih menunjukan ikan belum matang, histogram abu-abu menunjukan ikan yang sudah matang dan anak panah Lm menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Hubungan panjang klasper dan panjang total ikan , = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (3) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina.
152
Gambar 71. Biologi reproduksi ikan Dasyatis kuhlii. (1) Ukuran kematangan,
histogram putih menunjukan ikan belum matang, histogram abu-abu menunjukan ikan yang sudah matang dan anak panah DW50 menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Hubungan panjang klasper dan panjang total ikan , = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah a menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (3) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina.
153
Gambar 72. Biologi reproduksi ikan Dasyatis zugei. (1) Ukuran kematangan,
histogram putih menunjukan ikan belum matang, histogram abu-abu menunjukan ikan yang sudah matang dan anak panah DW50 menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Hubungan panjang klasper dan panjang total ikan, = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah a menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (3) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina.
154
Gambar 73. Biologi reproduksi ikan Himantura walga. (1) Ukuran kematangan,
histogram putih menunjukan ikan belum matang, histogram abu-abu menunjukan ikan yang sudah matang dan anak panah DW50 menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Hubungan panjang klasper dan panjang total ikan, = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah a menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (3) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina.
155
Gambar 74. Biologi reproduksi ikan Aetoplatea zonura. (1) Ukuran kematangan,
histogram putih menunjukan ikan belum matang, histogram abu-abu menunjukan ikan yang sudah matang dan anak panah DW50 menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Hubungan panjang klasper dan panjang total ikan, = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah a menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (3) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina.
156
Gambar 75. Biologi reproduksi ikan Charcharhinus albimarginus. (1) Hubungan
panjang klasper dan panjang total ikan, = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina
157
Gambar 76. Biologi reproduksi ikan Charcharhinus brevipinna. (1) Hubungan
panjang klasper dan panjang total ikan, = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina
158
Gambar 77. Biologi reproduksi ikan Charcharhinus sorrah. (1) Hubungan
panjang klasper dan panjang total ikan, = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina
159
Gambar 78. Biologi reproduksi ikan Prionance glauca. (1) Hubungan panjang
klasper dan panjang total ikan, = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina
160
Gambar 79. Biologi reproduksi ikan Rhizoprionodon oligolinx (1) Hubungan
panjang klasper dan panjang total ikan, = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina
161
Gambar 80. Biologi reproduksi ikan Rhinobatus sp2. (1) Hubungan panjang
klasper dan panjang total ikan , = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina
162
Gambar 81. Biologi reproduksi ikan Himantura gerradi. (1) Hubungan panjang
klasper dan panjang total ikan, = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina
163
Gambar 82. Biologi reproduksi ikan Mobula japonica. (1) Hubungan panjang
klasper dan panjang total ikan, = muda, ○ = berkembang, ▲ = matang, dan anak panah menunjukan ukuran pertama matang kelamin. (2) Histogram ukuran ikan menurut jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan jantan, histogram abu-abu menunjukan ikan betina
164
Gambar 83. Ukuran diameter telur (MOD) menurut bulan dari ikan Dasyatis
kuhli , Dasyatis zugei dan Himantura walga
165
Gambar 84. Ukuran lebarra cawan embrio menurut bulan dari ikan Dasyatis
kuhlii, Dasyatis zugei dan Himantura walga
166
Gambar 85. Persentase frekwensi tingkat kematangan gonad ikan Dasyatis
kuhlii berdasarkan bulan dan jenis kelamin.
167
Gambar 86. Persentase frekwensi lebar cawan ikan Dasyatis kuhlii
berdasarkan bulan dan jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan muda, histogram abu-abu menunjukan ikan matang
168
Gambar 87. Persentase frekwensi lebar cawan ikan Dasyatis zugei berdasarkan
bulan dan jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan muda, histogram abu-abu menunjukan ikan matang
169
Gambar 88. Persentase frekwensi lebar cawan ikan Himantura walga
berdasarkan bulan dan jenis kelamin, histogram putih menunjukan ikan muda, histogram abu-abu menunjukan ikan matang
170
Gambar 89. Ukuran pertama matang kelamin berdasarkan persentase frekwensi
tingkat kematangan dari ikan Dasyatis kuhlii, Dasyatis zugei dan Himantura walgai, histogram putih menunjukan tingkat kematangan 1-2, histogram abu-abu menunjukan tingkat kematangan 3-5
171
Gambar 90. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy dari ikan Dasyatis kuhlii,
Jenis betina dan Jantan yang diperoleh berdasarkan kalkulasi umur melalui metode vertebral centra.
Gambar 91. Telur dan anak ikan pari jenis Himantura gerrardi dalam kandungan
172
92. Embrio jenis Dasyatis zugei dan Himmantura walga
Gambar 93. Telur dan embrio jenis Carcharhinus melanopterus
173
Gambar 94. Embrio jenis Carcharhinus melanopterus dan Chiloscyllium puntactum
174
6.4 Pembahasan
6.4.1 Kebiasaan Makan Ikan Cucut dan Pari
Cucut pemakan ikan, sedangkan pari pemakan ikan dan udang. Komposisi
makanani dari lima jenis cucut yaitu: Carcharhinus dussumieri, Carcharhinus
falciformis, Carcharhinus sealei, Carcharhinus sorrah dan Sphyrna lewini
memiliki persamaan dan perbedaan. Jenis cucut dengan komposisi makanan yang
serupa memberikan indikasi adanya kompetisi inter spesies jika mereka berada
dalam habitat yang sama.
Cucut dikenal sebagai ikan predator yang memiliki penciuman tajam
terutama terhadap bau darah, kemampuan indera penciumannya dapat melacak
mangsa hingga beberapa kilometer (Stevens, 1980). Tidak semua ikan cucut
pemakan daging (karnivor), jenis Cetorhinus maximus mendapatkan makanan
dengan cara menjaring plankton dari air (Compagno, 2001). Jenis-jenis makanan
ikan cucut tidak terbatas, mulai dari ikan kecil hingga besar, kepiting, cumi-cumi,
penyu, plankton, bahkan cucut dapat memakan jenisnya sendiri atau kanibalisme
(Last dan Stevens, 1994).
Interaksi antar jenis ikan dapat terjadi karena kompetisi makanan atau rantai
makanan antar pemangsa dengan jenis yang dimakannya. Penangkapan cucut
sebagai ikan predaktor akan mempengaruhi tingkat populasi jenis ikan lain yang
dimangsanya (Stevens, 2003).
Hasil analisis multidimensi terhadap komposisi makanan ikan pari
menunjukan bahwa secara umum masing-masing jenis pari memiliki komposisi
yang berbeda, ada yang terpencar dan ada yang berkelompok. Selanjutnya jenis
pari Himantura uarnak, Dasyatis kuhlii, dan Himantura bleekeri berada dalam
posisi saling berdekatan, ini menunjukan bahwa ketiga jenis pari tersebut
memiliki komposisi makanan yang hampir sama dan ada kemungkinan terjadi
kompetisi makan dari jenis tersebut.
Walaupun ikan pari umumnya pemangsa (predator) namun mempunyai
bentuk gigi yang kecil-kecil yang berfungsi sebagai penghancur (Hoeve, 1988).
Karena ukuran giginya yang kecil-kecil, ikan pari cenderung memangsa ikan-ikan
yang berukuran kecil. Mangsa ikan pari bervariasi dari jenis binatang planktonis,
invertebrata bentik hingga ikan bertulang keras berukuran kecil. Selain itu ikan
175
pari juga makan binatang bertulang rawan (chondrithian) dan berbagai jenis
cephalopoda antara lain cumi-cumi (Compagno, 1999).
6.4.2 Biologi reproduksi cucut dan pari
Dominasi ikan jantan muda yang tertangkap dari tujuh jenis cucut dan pari
yang diteliti, menunjukan bahwa ikan-ikan ini dieksploitasi pada daerah asuhan
(nursery areas). Selanjutnya ikan betina memiliki ukuran panjang atau lebar yang
sama atau lebih besar dari ikan jantan, dengan fakta ini membuktikan bahwa besar
kemungkinan ikan cucut dan pari tertangkap sebelum sempat bereproduksi.
Dominasi cucut muda dalam jumlah yang besar juga tertangkap di perairan
Meksiko, dan diperkirakan mencapai 90 % dari total tangkapannya (Campana et
al., 2001). Studi lain pada berbagai perairan menunjukan bahwa habitat daerah
asuhan ikan cucut muda berada di perairan pantai dalam berbagai periode waktu
(Simpferdofer, 1999).
Proporsi ikan dewasa pada jenis Dasyatis kuhlii , Dasyatis zugei, dan
Himantura walga menunjukan jumlah yang tinggi, hal ini kemungkinan
berhubungan denga selektifitas alat yang menangkapanya yaitu jaring liongbun
dan jaring arad. Catatan khusus untuk alat tangkap bubu, ternyata alat ini
menangkap ikan pari jenis Dasyatis kuhlii dengan ukuran yang sangat kecil
yaitu 70 – 150 mm, alat ini jelas akan memberikan tekanan tinggi terhadap
rekruitmen jenis ikan pari.
Hasil analisis biologi reproduksi terhadap Dasyatis kuhlii Dasyatis zugei,
dan Himantura walga belum menujukan pola musim pemijahan secara jelas, baik
dilihat dari hasil evaluasi diameter telur, maupun ukuran dan jumlah embrio yang
dilahirkan. Contoh penelitian di perairan Florida, ikan pari jenis Raja eglanteria
diduga memijah hanya dua bulan dalam setahun (Cadenat dan Blache, 1981).
Sedangkan cucut dari jenis C. Cautus memijah selama sebelas bulan di perairan
Darwin Australia (Stevens, 1999).
Fekunditas Dasyatis kuhlii Dasyatis zugei, dan Himantura walga adalah
rendah, yaitu hanya berkiar satu sampai dua ekor tiap induknya. Ukuran lebar
cawan ketiga ikan betina dari jenis tersebut lebih besar dibandingkan ikan jantan.
Hasil yang serupa untuk beberapa jenis ikan cucut dan pari juga diperoleh di
176
perairan Australia (Last dan Steven, 1994). Hasil studi biologi reproduksi spesien
ini merupakan catatan penelitian pertama di perairan Asia Tenggara.
Hasil penelitian lain menunjukan bahwa ikan cucut jenis Alopias vulpinus
menetas di dalam rahim induknya dan kemudian dilahirkan dengan panjang 1,2
sampai 1,5 meter (Hoeve, 1988). Ikan cucut jenis Carcharhinus cautus memiliki
panjang pertama kali matang gonad pada ukuran 105 cm dengan umur empat
sampai lima tahun di perairan Australia Barat (White et al, 2002).
Penelitian biologi reproduksi sangat bermanfaat untuk memahami
regenarasi tahunan dari stok ikan (Cortes, 2000). Parameter biologi reproduksi
seperti ukuran ikan pertama matang gonad, frekwensi pemijahan, fekunditas dan
rekruitmen dapat menjelaskan nilai prediksi perikanan dan dapat digunakan untuk
menformulasikan pengelolaan perikanan secara rasional (Widodo, 2001).
Hasil penelitian perbandingan jenis kelamin menunjukan bahwa nisbah
kelamin ikan cucut dan pari di perairan ini masih seimbang. Pengamatan terhadap
jenis kelamin merupakan hal yang sangat penting dalam mengamati struktur
populasi ikan. Dengan mengetahui perbandingan jenis kelamin dapat diduga
keseimbangan populasi yang ada dengan asumsi bahwa perbandingan ikan jantan
dan betina dalam suatu sediaan di alam adalah 1:1, dengan demikian populasi
dinyatakan dalam keadaan seimbang (Cristina, 2003).
6.4.3 Parameter pertumbuhan cucut dan pari
Hasil analisis parameter populasi ini menunjukan bahwa ikan betina
berumur lebih panjang dibandingkan dengan ikan jantan.. Selanjutnya ikan betina
memiliki laju pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan ikan jantan. Ikan
cucut memiliki ciri tumbuh lambat dan berumur panjang (Compagno, 1984; Last
and Stevens, 1994; FAO, 2000). Selanjutnya White et al. (2002) melaporkan
bahwa hasil penelitiannya di perairan Australia Barat dengan menggunakan
metode tidak langsung memperoleh umur masimum 16,4 tahun dengan panjang
133 cm untuk ikan cucut jenis Carcharhinus cautus.
Musick (2003) menjelaskan bahwa sampai tahun 2003 publikasi dari
hasil penelitian parameter populasi ikan cucut dan pari (Elasmobranchii)
telah mencapai 115 buah, yang meliputi 91 jenis Elasmobranchii dari
seluruh perairan dunia. Hasil kajian ini juga menjelaskan bahwa 70 persen
177
penelitian umur ikan menggunakan metode vertebral centra. Selanjutnya kajian
ini juga menjelaskan bahwa umur berbagai jenis cucut berkisar dari 3 sampai 70
tahun, dengan laju pertumbuhan tersendah sebesar 0,039 dari jenis C. Plumbeus
dan yang tertinggi mencapai 1,337 dari jenis Rhizoprionodon taylori. Sedangkan
umur berbagai jenis ikan pari berkisar 3 – 50 tahun, dengan laju pertumbuhan
tersendah sebesar 0,019 dari jenis Leucoraja narvus dan yang tertinggi mencapai
0,502 dari jenis Raja miraletus.
Implikasi dari penelitian parameter populasi untuk brbagai jenis cucut dan
pari menjelaskan bahwa jenis-jenis ikan ini sangat beresiko terhadap eksploitasi
yang berlebihan. Berbagai dokumentasi tentang kasus kepunahan (kolap)
perikanan cucut dan pari, seperti perikanan cucut jenis Lamna nasus di perairan
Atlantik Utara (Anderson, 1990; Campana et al., 2001), perikanan cucut jenis
Galeorhinus galius di Kalifornia dan Australia. Cucut botol (Squalus acanthias) di
Laut Utara dan British Colombia (Holden, 1968;Ketchen, 1986; Hoff dan Musick,
1990), dan beberapa jenis cucut di pantai Timur Amerika (Musick et al., 1993;
NMFS, 1999). Pada umumnya pemulihan sumberdaya cucut dan pari memerlukan
waktu yang panjang, sebagai gambaran perikanan cucut di perairan Kalifornia
yang tidak dapat pulih kembali setelah 50 tahun yang lalu mengalami kepunahan
akibat penangkapan yang berlebihan (Musick, 2003).
6.5 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian aspek biologi beberapa jenis cucut dan pari di Laut
Jawa diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Makanan utama cucut adalah ikan, sedangkan pari yang utama adalah ikan
dan udang. Pari tidak makan Elasmobranchii seperti dilakukan cucut.
Kemungkinan interaksi antar jenis karena kompertisi makanan terjadi pada
beberapa jenis yang memiliki kesamaan makanan jika berada dalam
habitat yang sama.
2. Hasil analisis dengan menggunakan kurva logistik terhadap ukuran
panjang total pertama matang kelamin (L50) dari tiga jenis cucut jantan
menunjukan bahwa Alopias pelagicus pertama matang kelamin berukuran
2508,3 mm, selanjutnya jenis Carcharhinus amblyhynchoides berukuran
178
1315,0 mm, dan jenis Carcharhinus falciformis berukuran 1935,0 mm.
Sedangkan Rhinobatus thouin (pari gitar) ukuran panjang total pertama
matang kelamin (L50) adalah 708,9 mm.
3. Selanjutnya hasil analisis ukuran matang kelamin berdasarkan hubungan
panjang klasper dan panjang ikan menujukan bahwa Alopias pelagicus
pertama matang kelamin berukuran 2409,1 mm, jenis Carcharhinus
amblyhynchoides berukuran 1285,7 mm, dan jenis Carcharhinus
falciformis berukuran 1903,0 mm. Sedangkan Rhinobatus thouin (pari
gitar) ukuran panjang total pertama matang kelamin (L50) adalah 639,0
mm.
4. Hasil analisis dengan menggunakan kurva logistik terhadap ukuran lebar
cawan pertama matang kelamin (DW50) pari jantan dari jenis Dasyatis
kuhlii adalah 236,6 mm, selanjutnya Dasyatis zugei berukuran 172,9 mm
dan Himantura walga berukuran 166,6 mm, dan Aetoplatea zonura
berukuran 476,0 mm.
5. Selanjutnya hasil analisis ukuran matang kelamin berdasarkan hubungan
panjang klasper dan lebar cawan ikan menujukan bahwa Dasyatis kuhlii
pertama matang kelamin (DW50) berukuran 225,3 mm, sedangkan
Dasyatis zugei berukuran 153,2 mm, dan Aetoplatea zonura berukuran
430,8 mm,dan Himantura walga tidak dapat dianalisis.
6. Ukuran pertama matang kelamin hasil analisis hubungan panjang klasper
dan ukuran ikan menunjukan nilai yang lebih kecil dibandingkan hasil
analisis kurva logistik. Perbedaan hsil dari kedua analisis tersebut terhadap
tujuh jenis cucut dan pari berkisar 1,7 sampai 11,4 % dari ukuran L50 atau
DW50.
7. Hasil analisisi terhadap sampel diameter telur dari jenis pari Dasyatis
kuhlii , Dasyatis zugei, dan Himantura walga yang diteliti secara
mendalam, tidak memberikan pola perubahan yang jelas, maka diduga
pola diameter telur cenderung tetap sepanjang tahun.
8. Berdasarkan data ikan Dasyatis kuhlii yang terkecil tertangkap adalah
berukuran lebar cawan 118 mm, dan ukuran embrio terbesar jenis ini
mencapai 145 mm, maka diduga ukuran lebar cawan sewaktu ikan ini
179
dilahirkan adalah berkisar 120 – 145 mm. Selanjutnya berdasarkan asumsi
ikan ini lahir dengan ukuran lebar cawan 120 mm, maka diduga ikan ini
memijah hampir setiap bulan.
9. Berdasarkan data ikan Dasyatis zugei yang terkecil tertangkap adalah
berukuran lebar cawan 104 mm, dan ukuran embrio terbesar jenis ini
mencapai 71 mm, maka diduga ukuran lebar cawan sewaktu ikan ini
dilahirkan adalah berkisar 70 – 100 mm. Selanjutnya berdasarkan data
ikan Himantura walga yang terkecil tertangkap adalah berukuran lebar
cawan 148 mm, dan ukuran embrio terbesar jenis ini mencapai 80 mm,
maka diduga ukuran lebar cawan sewaktu ikan ini dilahirkan adalah
mendekati ukuran lebar cawan Dasyatis kuhlii dan Dasyatis zugei.
Karena jumlah sampel embrio kedua jenis ini terbatas, maka sulit untuk
menduga pola musim pemijahannya.
10. Nilai fekunditas yang dianalisis berdasarkan jumlah embrio pada ikan pari
menunjukan bahwa rata-rata embrio pada jenis Dasyatis zugei adalah 1,5
dengan standar deviasi ± 0,24, dan untuk jenis Himantura walga adalah
1,4 dengan standar deviasi ± 0,23, dengan jumlah maksimum embrio dua
ekor setiap ikannya. Sedangkan untuk jenis Dasyatis kuhlii jumlah anak
pada setiap ikan yang diteliti adalah satu ekor (n = 37).
11. Fekunditas yang dihitung dari jumlah telur dariovarium ikan pari
menunjukan jenis Dasyatis kuhlii berkisar antara 8 – 20 butir, Dasyatis
zugei berkisar antara 9 - 18, dan Himantura walga antara 16 - 30 butir,
Himantura undulata berkisar antara 10 - 15 butir, Himmantuta jenkinsii
sekitar 15 - 20 butir, Himmantura gerrardi berkisar antara 15 - 30 butir,
dan Himmantura uarnak antara 20 - 39 butir.
12. Hasil analisis tingkat kematangan kelamin menunjukan bahwa dominasi
tinkat kematangan kelamin jenis Dasyatis kuhlii terjadi pada tingkat 3
baik untuk ikan jantan maupun betina. Untuk ikan betina dan jantan pada
tingkat kematangan 3 masing-masing mencapai 57 %, dan 93 % dari
keseluruhan data kematangan kelamin.
13. Ukuran lebar cawan terkecil dari ikan betina Dasyatis kuhlii yang
matang kelamin adalah 230 mm, dengan nilai rata- rata 260 mm,
180
sedangkan ukuran ikan pertama kali matang kelaminya (DW50) adalah 252
mm, dan ukuran ikan pertama tertangkap (DWC) adalah 252 mm.
Selanjutnya ukuran lebar cawan terkecil dari ikan jantan Dasyatis kuhlii
yang matang kelamin adalah 206 mm, dengan nilai rata- rata 240 mm,
sedangkan ukuran ikan pertama kali matang kelaminya (DW50) adalah 239
mm, dan ukuran ikan pertama tertangkap (DWC) adalah 263 mm.
14. Ukuran lebar cawan terkecil dari ikan betina Dasyatis zugei yang matang
kelamin adalah 188 mm, dengan nilai rata- rata 220 mm, sedangkan
ukuran ikan pertama kali matang kelaminya (DW50) adalah 191 mm, dan
ukuran ikan pertama tertangkap (DWC) adalah 202 mm. Selanjutnya
ukuran lebar cawan terkecil dari ikan jantan Dasyatis zugei yang matang
kelamin adalah 163 mm, dengan nilai rata- rata 200 mm, sedangkan
ukuran ikan pertama kali matang kelaminya (DW50) adalah 178 mm, dan
ukuran ikan pertama tertangkap (DWC) adalah 182 mm.
15. Ukuran lebar cawan terkecil dari ikan betina Himantura walga yang
matang kelamin adalah 162 mm, dengan nilai rata- rata 170 mm,
sedangkan ukuran ikan pertama kali matang kelaminya (DW50) adalah 162
mm, dan ukuran ikan pertama tertangkap (DWC) adalah 182 mm.
Selanjutnya ukuran lebar cawan terkecil dari ikan jantan Himantura
walga yang matang kelamin adalah 162 mm, dengan nilai rata- rata 170
mm, sedangkan ukuran ikan pertama kali matang kelaminya (DW50)
adalah 163 mm, dan ukuran ikan pertama tertangkap (DWC) adalah 174
mm.
16. Dari hasil analisis parameter dinamika populasi ikan betina Dasyatis kuhlii
diperoleh nilai laju pertumbuhan (k) adalah 0,311 per tahun, lebar cawan
asimtotik (DW∞) sebesar 312,8mm, dan umur nol tahun (t0) adalah -1,13,
dan umur maksimum diduga mencapai 16 tahun. Sedangkan untuk ikan
jantan Dasyatis kuhlii diperoleh nilai laju pertumbuhan (k) adalah 0,831
per tahun, lebar cawan asimtotik (DW∞) sebesar 257,3 mm, dan umur nol
tahun (t0) adalah -0,43, dan umur maksimum diduga mencapai 12 tahun.
Hasil analisis parameter populasi ini menunjukan bahwa ikan betina
tumbuh lebih lambat, dan berumur lebih panjang dari ikan jantan.
7 PEMBAHASAN UMUM: PENGELOLAAN PERIKANAN CUCUT DAN
PARI DI LAUT JAWA
7.1 Pendahuluan
Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih kembali, maka
di dalam pemanfaatannya tidak boleh melewati batas-batas kemampuan
sumberdaya untuk pulih kembali (King, 1995). Difinisi pengelolaan perikanan
menurut FAO (1997) adalah proses terpadu menyangkut pengumpulan informasi,
analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, pengalokasian
sumberdaya dan perumusan serta pelaksanaan, dan apabila diperlukan dengan
penegakan hukum.
Berkaitan dengan sumberdaya perikanan dunia, hasil evaluasi menunjukkan
bahwa empat wilayah perairan telah mencapai puncak pemanfaatan
sumberdayanya. Keempat wilayah tersebut meliputi wilayah Pasifik Barat
Tengah (Western Central Pacific) dengan kode wilayah 71, wilayah Samudera
Hindia Timur (Eastern Indian Ocean) dengan kode wilayah 57, wilayah Pasifik
Barat Laut (Northwest Pasific) dengan kode wilayah 61 dan wilayah Pasifik Barat
Daya (Southwest Pacific) dengan kode wilayah 81. Delapan perairan lainnya
telah dimanfaatkan sekitar lebih dari 70 %, sementara 4 perairan lainnya telah
dimanfaatkan antara 10 % hingga 50 % (FAO, 2000).
Berdasarkan hasil evaluasi FAO ini, dapat dikatakan bahwa sumberdaya
ikan dunia telah cenderung dimanfaatkan secara penuh. Khusus untuk wilayah
perairan Indonesia yang masuk pada kode wilayah 71 (kawasan barat Indonesia)
dan kode wilayah 57 (kawasan timur Indonesia) secara umum juga telah mencapai
puncak pemanfaatannya.
Dari gambaran status pemanfaatan sumberdaya perikanan baik secara
global, regional dan lokal tersebut, maka sumberdaya ikan Indonesia dan dunia
pada umumnya perlu diselamatkan. Menyelamatkan sumberdaya ikan bukan saja
membawa manfaat bagi generasi umat manusia sekarang, tetapi juga bagi generasi
yang akan datang. Menyelamatkan sumberdaya ikan bukan berarti sumberdaya
ikan tersebut tidak perlu dimanfaatkan sama sekali, tetapi pemanfaatannya harus
dilakukan dengan penuh bijaksana dan berkelanjutan.
182
Menyadari keseriusan permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan
dunia, maka Komisi Perikanan Dunia (The Committe on Fisheries) pada sidang
yang kesembilan belas pada bulan Maret 1991 melakukan pengembangan konsep
baru menuju perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Selanjutnya
pada Konferensi Internasional tentang penangkapan ikan yang bertanggung jawab
yang diselenggarakan pada tahun 1992 di Cancun, Mexico telah menunjuk FAO
untuk mempersiapkan suatu konsep petunjuk pelaksanaan (code of conduct) untuk
penangkapan ikan yang bertanggung jawab (responsible) dan memperhatikan
prinsip-prinsip berkelanjutan (sustainability).
Pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan (sustainable mangement)
dalam perikanan timbul karena adanya isu global tentang terbatasnya sumberdaya
perikanan di satu pihak dan kebutuhan akan sumberdaya perikanan yang terus
meningkat akibat meningkatnya penduduk di lain pihak. Dengan menerapkan
konsep pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan maka akan dapat
menyelamatkan sumberdaya ikan tersebut dari kepunahan dan sekaligus
menyelamatkan kepentingan kehidupan semua orang yang bergantung kepada
sumberdaya perikanan ini.
Pemanfaatan sumberdaya alam (ikan) secara berkelanjutan adalah
pemanfaatan sumberdaya alam yang terbarui untuk kepentingan generasi sekarang
dan yang akan datang dengan tetap menjaga kelestarikan sumberdaya tersebut
(Widodo, 2001). Sementara itu Dahuri (2000) menyatakan bahwa pemanfaatan
sumberdaya alam secara berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan
ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak. Selanjutnya Monintja
(2000) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan secara
berkelanjutan mempunyai beberapa kriteria yaitu : (1) hasil tangkapan tidak
melebihi jumlah yang boleh dimanfaatkan, (2) menggunakan bahan bakar lebih
sedikit, (3) secara hukum alat tangkap legal, (4) investasi yang dibutuhkan rendah
dan (5) produk mempunyai pasar yang baik.
Agar pemanfaatan sumberdaya ikan ini dapat dilakukan secara
berkelanjutan, maka sumberdaya ini harus dikelola secara rasional. Oleh karena
itu maka sumberdaya ikan ini harus dikelola mulai dari tingkat awal
183
pemanfaatannya sehingga diperoleh keseimbangan antara pengembangan dan
keuntungan yang optimal. Dalam konteks ini kita dianjurkan untuk
mengidentifikasikan tujuan-tujuan pengelolaan dan selanjutnya menentukan
metode yang paling sesuai untuk itu. Dalam menentukan langkah-langkah
pengelolaan maka harus didasarkan pada bukti ilmiah yang akurat (FAO, 1995)
Secara lebih khusus, sasaran pengelolaan perikanan biasanya dapat
dikuantifikasikan dalam bentuk-bentuk keuntungan-keuntungan sosial berupa
produksi makanan, nilai kotor bersih, kesempatan kerja, pendapatan individu
nelayan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut serta mempertahankan stok
sumberdaya ikan pada tingkat produksi lestari yang tinggi. Tujuannya untuk
mencapai keseimbangan yang optimum antara masukan-masukan dan berbagai
pengeluaran. Karena perikanan terus berkembang dan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat serta nilai uang selalu berubah, maka sasaran pengelolaan juga
berubah.
Berbagai macam peraturan dan undang-undang telah dikeluarkan untuk
pengelolaan dan pemanfaatan perikanan yang berkelanjutan untuk melindungi
sumberdaya tersebut dari kelebihan tangkap dan kepunahannya. Menurut Gulland
(1983) pada prinsipnya metode-metode pengelolaan tersebut digolongkan menjadi
dua bagian yaitu pengontrolan ukuran ikan yang tertangkap dan pengontrolan
jumlah penangkapan (amount of fishing).
Definisi pengelolaan perikanan menurut Undang-undang Republik
Indonesia nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan adalah semua upaya, termasuk
proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi
serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan,
yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai
kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah
disepakati.
Sehubungan dengan definisi pengelolaan perikanan yang bercakupan luas
tersebut adalah bertujuan untuk memastikan sumberdaya perikanan dapat
dimanfaatkan secara optimal dengan tetap memperhatikan dan menjaga
kelestarian sumberdaya dan lingkungannya. Adapun langkah pengelolaan
184
sumberdaya ikan, dapat dikatagorikan menjadi dua (Purwanto 2003) : (1)
Pengendalian penangkapan ikan (contol of fishing), (2) Pengendalian upaya
penangkapan ikan (control of fishing effort)
Pada prinsipnya, pengelolaan perikanan bertujuan untuk mengatur intensitas
penangkapan agar diperoleh hasil tangkapan yang optimal dari berbagai aspek
(Widodo, 2001). Pengelolaan perikanan juga bertujuan menentukan tingkat hasil
tangkapan yang berkelanjutan dalam jangka panjang-long term sustainable
(Purwanto, 2003). Selanjutnya langkah-langkah yang berkaitan dengan
pengelolaan perikanan mencakup kegiatan mengumpulkan data dasar mengenai
biologi, teknologi, ekonomi dan sosial tentang perikanan. Data yang telah
diperoleh tersebut ditrasfer kedalam bentuk informasi yang berguna untuk
pembuatan berbagai keputusan pengelolaan. Opsi pengelolaan secara umum bagi
perikanan yang telah berkembang antara lain ( Merta et al., 2003): (1) Pembatasan
ukuran ikan hasil tangkapan (size limitation), (2) Pembatasan alat tangkap dan
kapal (vessel and gear limitation), (3) Zona bebas penangkapan (Sanctuary
zones), (4) Peningkatam monitoring, controlling, surveilillance (MCS),
(5)Penetapan total allowable catch (TAC).
Ikan cucut dan pari termasuk dalam sub group Elasmobranchii, yang
mencakup 1100 jenis dan merupakan jumlah species terbesar dari jenis-jenis ikan
laut (Compaqno,2001). Berbagai penelitian cucut dan pari menunjukan bahwa
ikan-ikan tersebut memiliki laju pertumbuhan sangat lambat, tingkat kedewasaan
yang lambat, dan jumlah fekunditas yang sedikit dibadingkan ikan-ikan bertulang
sejati (Camhi et al., 1998). Selain itu, cucut dan pari memiliki jumlah anak yang
sedikit (Smith et al., 1988) dan sangat rentan terhadap laju kematian karena
penangkapan (Hoenig dan Gruber, 1990). Oleh Karena itu, populasi cucut dan
pari hanya dapat terpelihara dengan mengontrol tingkat upaya penangkapan yang
tidak mengganggu jumlah sediaannya (Camhi, 1988; Musick, 1999; Cortes,
2000). Penurunan populasi cucut dan pari berlangsung sangat cepat dan sulit
untuk pulih kembali dibandingkan dengan ikan bertulang sejati (Sminkey dan
Musick,1995; 1996). Konsekuensinya adalah pengelolaan perikanan cucut dan
pari harus segera dilakukan (Musich, 1999). Namun demikian kasus pengelolaan
cucut belum banyak dikembangkan didunia (Bonfid, 1994). Selanjutnya suatu
185
pola pengelolaan yang dapat menjaga sumberdaya cucut dan pari dari kepunahan
sangat dibutuhkan (Anderson, 1990; Haff dan Musick, 1990).
Kepedulian internasional terhadap Elasmobranchii direfleksikan dalam
kenyataan oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang telah
mengembangkan IPOA (International Plan of Action) mengenai cucut dan pari.
Rencana tersebut mengharuskan negara-negara yang melakukan penangkapan
elasmobranchii untuk melaksanakan pengkajian secara reguler terhadap
sumberdaya ini, dan bila perlu mengambil langkah-langkah pengelolaan untuk
melindungi spesies atau stok yang terancam keberadaannya (FAO,2000).
Bab ini merupakan pembahasan menyeluruh terhadap aspek teknologi dan
biologi. Pembahasan difokuskan pada pengelolaan perikanan cucut dan pari di
Laut Jawa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada periode waktu mulai
Mei 2001 sampai Desember 2004. Dalam bab ini disajikan sejumlah langkah
pilihan (opsi) rencana aksi (plan of action) pengelolaan perikanan cucut dan pari
secara bertanggung jawab dan berkelanjutan yang berlandaskan studi ilmiah dari
aspek teknologi penangkapan, biologi reproduksi dan bilogi sumberdaya di Laut
Jawa.
7.2 Evaluasi pengelolaan perikanan cucut dan pari
Pengelolaan dalam arti perhatian terhadap perikanan cucut dan pari di
Indonesia sebenarnya telah lama dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan tercatatnya
hasil tangkapan cucut dan pari dalam statistik perikanan Indonesia sejak tahun
1975. Dalam statistik perikanan, ikan cucut dan pari dimasukan dalam kelompok
ikan demersal, walaupun dalam kenyataan ikan cucut dan pari banyak yang hidup
dipermukaan perairan (pelagis). Sampai saat ini, statistik perikanan Indonesia
masih mencatat ikan ini dalam dua jenis, yaitu cucut dan pari. Pada perkembangan
pengetahuan terkini, cucut dan pari memiliki banyak jenis seperti ikan bertulang
sejati, dan di Laut jawa tercatat 77 jenis cucut dan pari (Bab 4).
Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkelajutan dan
sekaligus mengatasi berbagai konflik dibidang perikanan laut, pemerintah
Republik Indonesia telah mengeluarkan berbagai bentuk peraturan. Walaupun
peraturan itu tidak langsung berkaitan dengan sumberdaya cucut dan pari, namun
karena alat tangkap dan daerah penangkapannya bersinggungan dengan komoditas
186
cucut dan pari, maka peraturan tersebut juga berdampak pada komoditas ini.
Sebagai contoh, pelarangan pukat harimau (trawl) juga mempengaruhi keberadaan
sumberdaya cucut dan pari, karena alat ini juga menangkap cucut dan pari sebagai
hasil tangkapan sampingan yang cukup signifikan. Peraturan perundang-undangan
yang dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia dalam rangka pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan adalah sebagai berikut:
1). Surat Keputusan Menteri Pertanian No.2/Kpts/Um/1/1975 tanggal 2
Januari 1975 yang khusus berlaku di perairan Irian Jaya (Laut Arafura)
yang menetapkan pembinaan kelestarian kekayaan yang terdapat dalam
sumber perikanan di daerah tersebut serta menutup bagi semua kegiatan
penangkapan pada perairan sampai kedalaman isobath 10 m. Surat
Keputusan ini dapat berfungsi untuk melindungi kelangsungan hidup cucut
dan pari muda dan kelestarian habitatnya.
2). Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 123/Kpts/Um/3/1975 tentang
pengelolaan dan pelestarian sumber perikanan. Dalam hal ini menteri
pertanian dapat menetapkan peraturan tentang penutupan daerah/musim
tertentu dan pengendalian kegiatan penangkapan. Surat Keputusan ini
dapat berfungsi untuk menutup area pemijahan atau asuhan ikan cucut dan
pari muda pada musim tertentu, sehingga memberi kesempatan ikan cucut
dan pari untuk tumbuh dan berkembang biak.
3). Pembinaan kelestarian daerah asuhan udang (hutan mangrove) tertuang
dalam Instruksi Menteri Pertanian No. 13/ins./Um/1/1975 yang mengatur
tentang pembinaan perikanan yang berhubungan dengan hutan mangrove
dilakukan oleh Dinas Perikanan setempat dengan berkonsultasi dengan
Dinas Kehutanan setempat. Selain itu SKB Menteri Pertanian dam
Kehutanan No. 082/Kpts-II/1984 dan KB.550/246/Kpts/4/1984 yang
mengatur tentang jalur hijau hutan pantai yang berfungsi sebagai
pelindung pantai dan berpijahnya biota laut. Surat Keputusan ini dapat
berfungsi untuk menutup area ikan cucut dan pari muda dan dewasa yang
hidup di sekitar hutan mangrove, sehingga memberi kesempatan ikan
cucut dan pari untuk tumbuh dan berkembang biak.
187
4). Untuk menghindari konflik sosial dan menjamin kelestarian sumberdaya
udang dikeluarkan KEPPRES No. 39/1980 tentang penghapusan trawl di
perairan Indonesia. Surat Keputusan ini dapat berfungsi untuk mengurangi
tekanan penangkapan cucut dan pari dari hasil tangkapan sampingan trawl,
sehingga memberi kesempatan ikan cucut dan pari untuk tumbuh dan
berkembang biak.
5). Untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan serta menghindari konflik
dikeluarkan KEPPRES No. 85/1982 tentang penggunaan pukat udang di
perairan Kai, Tanimbar, Aru, Irian Jaya dan laut Arafura dengan batas
koordinat 130º BT ke Timur. Surat Keputusan ini dapat berfungsi untuk
mengurangi tekanan penangkapan cucut dan pari dari hasil tangkapan
sampingan trawl, terutama jenis pari Urolophus kaianus yang banyak
terdapat di perairan Kai.
6). Undang-undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 2004 tentang
perikanan yang menyebutkan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah
semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan
informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi
sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah
atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Undang-undang ini dapat berfungsi untuk pengelolaan sumberdaya ikan
cucut dan pari secara berkelanjutan, melalui pengumpulan informasi,
analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, dan alokasi
sumberdaya ikan.
188
7.3 Konsep Pengelolaan Perikanan Cucut dan Pari Secara Berkelanjutan di
Laut Jawa
Konsep pengelolaan perikanan cucut dan pari secara berkelanjutan adalah
bertujuan untuk memastikan sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara
optimal dengan tetap memperhatikan dan menjaga kelestarian sumberdaya dan
lingkungannya. Berdasarkan sintesa dari hasil analisis karakteristik teknologi
penangkapan, biologi reproduksi, biologi sumberdaya, dan pemanfaatan hasil
tangkapan, menunjukan bahwa konsep pengelolaan perikanan cucut dan pari
harus bersifat konservasi (perlindungan) dan tegas. Konsep pengelolaan perikanan
cucut dan pari di Laut Jawa secara berkelanjutan tersebut harus mempunyai
beberapa kriteria yaitu:
1. Pembatasan Jenis dan Ukuran Ikan Terkecil
2. Pengaturan Ukuran Mata Jaring atau Pancing
3. Pembatasan Jumlah Penangkapan
4. Pembatasan Alat Penangkapan
5. Kuota Hasil Penangkapan
6. Pembatasan Upaya Penangkapan
7. Penutupan daerah dan musim penangkapan
Konsep pengelolaan perikanan cucut dan pari yang bersifat konservasi
(perlindungan) dan tegas, sudah pasti harus dilandasi fakta dan kajian ilmiah. Atas
dasar pertimbangan apa kriteria itu dibuat, apa tujuan kriteria itu, dan sejauh mana
efektifitas kriteria tersebut bila diterapkan, semua pertanyaan itu akan dijelaskan
secara detail sebagai berikut.
Pembatasan jenis dan ukuran ikan terkecil
Hasil sintesa dari berbagai studi jenis dan komposisi cucut dan pari di Laut
Jawa menunjukan bahwa komoditas ini memiliki banyak jenis, dan banyak kasus
tertangkapnya ikan dalam usia muda atau sedang masa berkembang biak (Bab 4
dan 6). Sebagai contoh, bubu yang dioperasikan di perairan karang banyak
menangkap ikan pari dalam ukuran sangat kecil (sebaiknya bubu
dibatasi). Pembatasan jenis dan ukuran ikan cucut dan pari
terkecil bertujuan untuk melindungi komoditas ini dari
189
ancaman kepunahan akibat kelebihan tangkap penambahan baru (recruitment over
fishing).
Pengontrolan jenis dan ukuran ikan cucut dan pari pada saat pertama kali
ditangkap dengan menentukan jenis dan ukuran minimum yang boleh didaratkan
mungkin kurang efektif, dan merangsang praktek-praktek memusnahkan dan
membuang kembali ke laut ikan-ikan yang jenis dan ukurannya di larang.
Walaupun demikian, peraturan tersebut dapat membantu dalam menegakkan
peraturan lain seperti penutupan daerah penangkapan. Peraturan ini mungkin
akan lebih efektif jika pemasaran ikan dari jenis dan ukuran cucut dan pari
tertentu yang telah ditetapkan juga dilarang.
Pengaturan ukuran mata jaring atau pancing
Dari lima jaring yang menangkap pari, hanya jaring liongbun yang memiliki
ukuran sesuai dengan ikan cucut dan pari, Jaring lainnya berukuran kecil.
Selanjutnya analisis sembilan alat tangkap cucut dan pari terhadap ekosistem
memberikan indikasi alat tersebut tidak ramah lingkungan (Bab 5). Dan analisis
makanan menujukan bahwa ikan cucut cenderung memangsa umpan baik yang
dipasang pada pancing maupun bubu (Bab 6).
Pengaturan ukuran mata jaring dan mata pancing dimaksudkan untuk
meloloskan individu-individu ikan yang berukuran kecil (muda) dari suatu stok.
pengaturan ukuran mata jaring dimaksudkan untuk meloloskan individu-individu
ikan yang berukuran kecil (muda), dan pengaturan mata pancing diarahkan dalam
memanfaatkan umpan sehingga lebih efektif untuk menangkap jenis dan ukuran
tertentu. Jika pengaturan ukuran mata jaring dan mata pancing telah menjadi
pilihan, beberapa faktor berikut perlu diperhatikan adalah pendugaan pengaruh
jangka pendek dan jangka panjang dalam penentuan efektivitas penegakan
peraturan.
Pembatasan jumlah penangkapan
Pembatasan jumlah penangkapan ini didasari oleh hasil kajian penelitian ini
yang menunjukan kecenderungan penurunan hasil tangkapan cucut dan pari di
Laut Jawa. Selanjutnya studi ini juga menjelaskan adanya penurunan hasil
tangkapan per satuan upaya dari alat yang menangkap cucut, serta hilangnya pari
190
jenis Pristidae dari Laut Jawa (Bab 5 dan 6). Selain itu, penangkapan ikan cucut
dan pari sangat tergantung dari nilai harga permintaan pasar, sehingga pada
kondisi tertentu jenis ikan ini akan menjadi buraun bagi nelayan.
Metode pembatasan jumlah penangkapan ini adalah mempersingkat musim
penangkapan, mengurangi daerah penangkapan yang dibuka, menggunakan alat
dan metode yang kurang efisien, penentuan kuota hasil tangkapan, pembatasan
jumlah kapal atau izin penangkapan dan pembatasan modal.
Karena kelimpahan stok sangat bervariasi (yang tergantung faktor
lingkungan), manajer harus diberi informasi peramalan terakhir jika ia harus
mengontrol tekanan penangkapan dan mencegah kelebihan tangkap penambahan
baru (recruitment over-harvest). Manajer juga harus cepat menyadari setiap
perubahan dari upaya penangkapan atau praktek-praktek lain yang mungkin
mempengaruhi total hasil tangkapan. Manajer harus mempertimbangkan dampak
sosial-ekonomi karena pengurangan efisiensi nelayan terutama selama periode
meningkatnya biaya operasional dan pengolahan. Pada saat ini pembatasan jumlah
tangkapan yang paling terbaik adalah mempertahankan jumlah armada
penangkapan yang ada dan memantau hasil tangkapan per satuan upaya.
Pembatasan alat penangkapan
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pancing rawai menangkap cucut
dalam jumlah palling tinggi, jaring arad menangkap pari dalam jumlah terbanyak,
bubu menangkap pari dalam ukuran yang kecil, dan ikan cucut dan pari memliki
laju pertumbuhan yang rendah, hasil ini menunjukan bahwa pembatasan alat
tangkap ini perlu dilakukan (Bab 5,6 dan 7).
Hasil tangkap dapat dikurangi dengan membatasi efisiensi unit penangkapan
yang ada dengan syarat nelayan tidak meningkatkan upaya penangkapannya.
Metode yang biasa digunakan adalah pembatasan ukuran trawl atau melarang
penggunaan trawl di daerah tertentu. Di seluruh perairan Indonesia penggunaan
trawl telah dilarang untuk melindungi nelayan tradisional. Tindakan tersebut
sudah tentu memberikan dampak sosial ekonomi yang besar. Pembatasan alat
tangkap belum bisa dilakukan untuk perikanan cucut dan pari, mengingat banyak
alat tangkap yang menangkap ikan cucut dan pari bukan sebagai target
penangkapan.
191
Kuota hasil penangkapan
Menurunnya produksi cucut dan pari di Laut Jawa, dan hilangnya salah satu
jenis pari, banyaknya tangkapan cucut yang hanya diambil siripnya dan dagingnya
dibuang kelaut pada perikanan rawai tuna, ini mengidikasikan bahwa pengelolaan
perikanan ini melalui kuota hasil tangkapan sangat dibutuhkan (Bab 5 dan 6).
Kuota terhadap total hasil tangkapan tahunan sering dilakukan untuk hewan
air yang umurnya panjang (cucut, pari, paus, halibut, cod), sehingga kuota
terhadap hasil tangkapan cucut dan pari sangat baik diterapkan. Kuota tahunan
akan mengontrol kematian karena penangkapan, tetapi mungkin akan merangsang
nelayan untuk menangkap secara intensif pada waktu musim penangkapan karena
khawatir jumlah kuota sangat dibatasi. Metode ini memerlukan tingkat
pemantauan yang tinggi agar penegakan hukum dapat efektif. Sampai saat ini
kuota hasil tangkapan belum bisa dilakukan untuk perikanan cucut dan pari,
mengingat keterbatasan sistem pendataan yang ada.
Pembatasan upaya penangkapan
Pembatasan upaya penangkapan didasari oleh hasil studi yang menunjukan
turunnya hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) untuk perikanan cucut dan
pari di Laut Jawa. Walaupun metode pengelolaan lain seperti kuota penangkapan
dapat mencapai maksud-maksud biologi, tapi kontrol langsung terhadap upaya
penangkapan (atau kapasitas armada penangkapan) kelihatannya masih perlu
untuk merealisasikan keuntungan ekonomi yang nyata yang dapat diperoleh dari
pengelolaan yang efektif. Metode ini kelihatannya juga dapat memberikan cara
pengalokasian sumberdaya diantara kelompok pemakai yang berbeda-beda.
Kriteria yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan suatu tingkat upaya
penangkapan tertentu adalah mempertahankan stok pada tingkat produktivitas
yang ditentukan, menekan biaya seminimum mungkin, dan memperoleh
dukungan dari nelayan yang diatur.
Beberapa cara yang dapat membatasi upaya penangkapan adalah kuota,
pembatasan izin penangkapan, pelaksanaan undang-undang perikanan, penetapan
pajak serta biaya izin penangkapan yang tinggi. Kuota penangkapan selain tidak
menguntungkan seperti disebutkan di atas juga memerlukan tingkat penegakan
192
hukum dan pengawasan yang tinggi agar efektif terutama pada perikanan skala
besar. Upaya penangkapan yang optimum masih sulit diperoleh, cara terbaik
pembatasan upaya penangkapan adalah mempertahankan izin penangkapan yang
telah berlaku.
Penutupan daerah dan musim penangkapan
Tindakan ini terutama dimaksudkan untuk memelihara siklus pertumbuhan
ikan cucut dan pari, agar tidak terjadi pemutusan terhadap siklus yang dapat
mengakibatkan penurunan populasi dan kepunahan satu atau beberapa jenis
tersebut. Tindakan ini terutama ditujukan untuk membatasi efisiensi penangkapan,
dan hanya akan efektif bila dilakukan secara simultan dengan pembatasan
terhadap ukuran, jumlah serta kekuatan mesin kapal.
Penutupan musim penangkapan tidak boleh berjalan terlalu lama, sebab
akan menimbulkan masalah ketenagakerjaan bagi nelayan yang mata
pencahariannya tergantung sepenuhnya pada kegiatan penangkapan. Penutupan
daerah penangkapan merupakan salah satu faktor yang mempunyai pengaruh
relatif terbatas terhadap pembatasan upaya penangkapan. Penerapan tindakan ini
pada umumnya dapat berupa penutupan terhadap berlakunya suatu jenis alat
tangkap tertentu, misalnya jaring arad pada kedalaman atau jarak tertentu dari
pantai. Dalam prakteknya, pelaksanaan peraturan penutupan daerah penangkapan
kadang-kadang akan merupakan problema yang sulit diatasi tanpa adanya
patroli/pengawasan yang efisien. Penutupan daerah dan musim penangkapan sulit
dilakukan, mengigat cucut dan pari merupakan target spesies yang kini diburu
nelayan (nilai ekonomisnya tinggi).
7.4 Sejumlah Langkah Rencana Aksi ( plan of action ) Pengelolaan
Perikanan Cucut dan Pari Secara Berkelanjutan di Laut Jawa
Permasalahan paling mendasar yang belum dirperhatikan secara serius
adalah pendataan sumberdaya ikan cucut dan pari. Statistik perikanan baik
propinsi maupun nasional, hanya mencatat sumberdaya ikan cucut dan pari hanya
dalam dua jenis saja. Padahal diketahui bahwa kedua sumberdaya tersebut terdiri
banyak jenis, cucut dan pari yang diidentifikasi di perairan Laut Jawa, terdiri dari
7 ordo, 18 Famili , 31 Genus, dan 77 jenis ikan. Cucut memiliki 3 ordo, 10
193
Famili , 15 Genus, dan 35 jenis ikan, Sedangkan ikan pari terdiri dari 4 ordo, 9
Famili , 16 Genus, dan 42 jenis ikan.
Melihat kenyataan keberadaan sumberdaya ikan cucut dan pari tersebut,
maka sejumlah langkah rencana aksi (plan of action) yang harus dikerjakan
adalah:
(1) Memperbaiki cara pengumpulan data dan penyajian statistik dimana
sumberdaya ikan pari dan cucut dipilah berdasarkan spesies, paling tidak
untuk 10 spesis dominan.
(2) Pengembangan alat tangkap dengan target spesies ikan pari dan cucut
harus dipilih alat tangkap yang selektif yaitu jaring liongbun dan pancing
senggol dengan daerah penangkapan di perairan off shore.
(3) Penyusunan regulasi yang mengatur jenis dan batas minimal ukuran ikan
yang tertangkap. Jika jenis dan ukuran ikan cucut dan pari yang
tertangkap masih muda dan masih hidup, maka wajib dikembalikan ke
laut.
(4) Merintis wisata bahari dengan objek tontonan ikan cucut dan pari di
daerah tertentu. Hal ini dapat mengambil contoh di Pinang (Malaysia),
Maladewa atau di Australia.
7.5 Penutup
Dalam upaya memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkelajutan dan
sekaligus mengatasi berbagai konflik dibidang perikanan laut, pemerintah
Republik Indonesia telah mengeluarkan berbagai bentuk peraturan. Walaupun
peraturan itu tidak langsung berkaitan dengan sumberdaya cucut dan pari, namun
karena alat tangkap dan daerah penangkapannya bersinggungan dengan komoditas
cucut dan pari maka peraturan tersebut juga berdampak pada komoditas ini.
Sampai saat ini belum ada regulasi secara nasional atau NPOA (National Plan Of
Action) maupun regulasi secara lokal atau LPOA (Local Plan OF Action) yang
berkaitan dengan sumberdaya pari dan cucut di Indonesia atau Laut Jawa.
Hasil sintesa dari hasil analisis karakteristik teknologi penangkapan,
biologi reproduksi, biologi sumberdaya, dan pemanfaatan hasil tangkapan,
menunjukan bahwa konsep pengelolaan perikanan cucut dan pari harus bersifat
konservasi (perlindungan) dan tegas. Banyak jenis ikan cucut dan pari yang
194
memiliki nilai ekonomi rendah dalam produk perikanan. Namun dampak
kepunahan cucut dan pari sama saja dengan jenis ikan yang memiliki nilai
ekonomis tinggi, hal ini disebabkan waktu pemulihan sumberdaya akan sangat
panjang dan mahal (Musick, 1999).
Berbagai dokumentasi tentang kasus kepunahan (kolap) perikanan cucut dan
pari, seperti perikanan cucut jenis Lamna nasus di perairan Atlantik Utara
(Anderson, 1990; Compana et al., 2001), perikanan cucut jenis Galeorhinus galius
di Kalifornia dan Australia. Cucut botol (Squalus acanthias) di Laut Utara dan
British Colombia (Holden, 1968;Ketchen, 1986; Hoff dan Musick, 1990), dan
beberapa jenis cucut di pantai Timur Amerika (Musick dkk, 1993; NMFS, 1999).
Berbagai alasan penurunan sumberdaya cucut dan pari dari perikanan, mulai dari
penurunan stok sampai kendala ekonomi atau pemasaran (Ketchen,
1986;Myklevoll, 1989; Bonfil, 1994). Pada umumnya pemulihan sumberdaya
cucut dan pari memerlukan waktu yang panjang, sebagai gambaran perikanan
cucut di perairan Kalifornia yang tidak dapat pulih kembali setelah 50 tahun yang
lalu mengalami kepunahan akibat penangkapan yang berlebihan (Musick, 2003).
Konsep pengelolaan perikanan cucut dan pari di Laut Jawa secara
berkelanjutan tersebut harus mempunyai beberapa kriteria yaitu: pembatasan jenis
dan ukuran ikan terkecil, pengaturan ukuran mata jaring atau pancing, pembatasan
jumlah penangkapan, pembatasan alat penangkapan, kuota hasil penangkapan,
pembatasan upaya penangkapan, penutupan daerah dan musim penangkapan
Pengelolaan perikanan cucut dan pari yang berkelanjutan sangat mungkin
untuk dilaksanakan. Terutama untuk jenis yang berukuran kecil, cepat dewasa,
dan bereproduksi dengan baik. Perikanan cucut (Mustelus antarticus) di perairan
Australia merupakan contoh bentuk pengelolaan yang baik dan sukses.
Kesuksesan ini sangat ditunjang oleh pengetahuan biologi yang lengkap dan
penerapan peraturan pengelolaan yang efektif (khususnya peraturan ukuran mata
jaring insang) (Waker, 1998; Stevens, 1999). Ada juga ikan cucut dengan ciri laju
reproduksi rendah namun sukses dalam pengelolaan. Simperdofer (1999)
menjelaskan kesuksesan pengelolaan perikanan cucut jenis Carcharinus obsurus
di Barat Australia melalui cara pembatasan jumlah tangkapan tiap tahun dan
pelarangan penangkapan ikan yang berusia muda.
195
Melihat kenyataan keberadaan sumberdaya ikan cucut dan pari tersebut,
maka sejumlah langkah rencana aksi (plan of action) yang harus dikerjakan
adalah: (1) Memperbaiki cara pengumpulan data dan penyajian statistik dimana
sumberdaya ikan pari dan cucut dipilah berdasarkan spesies, paling tidak untuk 10
spesis dominan. (2) Pengembangan alat tangkap dengan target spesies ikan pari
dan cucut harus dipilih alat tangkap yang selektif yaitu jaring liongbun dan
pancing senggol dengan daerah penangkapan di perairan lepas pantai (off shore).
(3) Penyusunan regulasi yang mengatur jenis dan batas minimal ukuran ikan yang
tertangkap. Jika jenis dan ukuran ikan cucut dan pari yang tertangkap masih
muda dan masih hidup, maka wajib dikembalikan ke laut. (4) Merintis wisata
bahari dengan objek tontonan ikan cucut dan pari di daerah tertentu. Hal ini dapat
mengambil contoh di Pinang (Malaysia), Maladewa atau di Australia.
Branstetter (1999) menjelaskan bahwa langkah aksi pengelolaan cucut di
perairan Amerika Serikat menggunakan cara pembatasan izin dengan membayar
pajak penangkapan tertentu (resoerces access), pembatasan alat tangkap,
pembatasan kapal penangkap, pembatasan ukuran dan jenis yang ditangkap dan
pembatasan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch).
Sedangkan di perairan Karabian Afrika, langkah pengelolaan cucut dilakukan
dengan membatasi ukuran mata jaring yang di kontrol kementrian setempat
(Shing, 1999). Di Afrika Selatan pembatasan hanya dilakukan untuk penangkapan
jenis cucut Carcharodon carcharias (Japp, 1999). Di perairan Indonesia beberapa
ahli perikanan bersepakat bahwa perikanan cucut sudah perlu dikelola secara lebih
baik (Monintja dan Poernomo, 2000; Priono, 2000 dan Widodo, 2000).
7.5 Rekomendasi
Berdasarkan penelitian pengelolaan perikanan cucut dan pari di Laut Jawa
diusulkan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
(1) Dalam upaya memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkelajutan
dan sekaligus mengatasi berbagai konflik dibidang perikanan laut,
pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan berbagai bentuk
peraturan. Walaupun peraturan itu tidak langsung berkaitan dengan
sumberdaya cucut dan pari, namun karena alat tangkap dan daerah
196
penangkapannya bersinggungan dengan komoditas cucut dan pari maka
peraturan tersebut juga berdampak pada komoditas ini.
(2) Hasil sintesa dari hasil analisis karakteristik teknologi penangkapan,
biologi reproduksi, biologi sumberdaya, dan pemanfaatan hasil
tangkapan, menunjukan bahwa konsep pengelolaan perikanan cucut dan
pari harus bersifat konservasi (perlindungan) dan tegas. Konsep
pengelolaan perikanan cucut dan pari di Laut Jawa secara berkelanjutan
tersebut harus mempunyai beberapa kriteria yaitu: pembatasan jenis dan
ukuran ikan terkecil, pengaturan ukuran mata jaring atau pancing,
pembatasan jumlah penangkapan, pembatasan alat penangkapan, kuota
hasil penangkapan, pembatasan upaya penangkapan, penutupan daerah
dan musim penangkapan
(3) Sejumlah langkah rencana aksi (plan of action) yang harus dikerjakan
adalah: (a) Memperbaiki cara pengumpulan data dan penyajian statistik
dimana sumberdaya ikan pari dan cucut dipilah berdasarkan spesies,
paling tidak untuk 10 spesis dominan. (b) Pengembangan alat tangkap
dengan target spesies ikan pari dan cucut harus dipilih alat tangkap yang
selektif yaitu jaring liongbun dan pancing senggol dengan daerah
penangkapan di perairan lepas pantai (off shore). (c) Penyusunan regulasi
yang mengatur jenis dan batas minimal ukuran ikan yang tertangkap. Jika
jenis dan ukuran ikan cucut dan pari yang tertangkap masih muda dan
masih hidup, maka wajib dikembalikan ke laut. (d) Merintis wisata bahari
dengan objek tontonan ikan cucut dan pari di daerah tertentu.
(4) Melakukan penelitian dan pemantauan perikanan cucut dan pari secara
lebih baik di masa yang akan datang, terutama dalam langkah-langkah
pengelolaan yang berkelanjutan.