pelemahan instrumen perlindungan dan …...12 risalah ruu tentang pengelolaan lingkungan hidup,...

20
i PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM RUU CIPTA KERJA

Upload: others

Post on 06-Jul-2020

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

i

PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM RUU CIPTA KERJA

Page 2: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

ii

Page 3: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

1

A. PENGANTAR

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU CK) yang disusun menggunakan

pendekatan Omnibus Law mencoba menghimpun dan mengintegrasikan 79 undang-

undang yang mayoritas berbeda prinsip satu dengan yang lainnya. Pendekatan Omnibus

Law dipilih dengan harapan mampu mereformasi perizinan agar lebih sederhana, mudah

diperoleh oleh pelaku usaha dan memberikan dampak bagi penyerapan tenaga kerja

serta pertumbuhan ekonomi.

Salah satu undang-undang yang terdampak adalah Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009).

Terdapat 30 pasal UU 32/2009 yang berubah, 17 pasal yang dihapus dan 1 pasal

tambahan. Perubahan dan penghapusan pasal tersebut secara umum memberikan

dampak negatif terhadap UU 32/2009 dan juga dalam pelaksanaan nantinya. Setidaknya

ada 5 aspek yang pasti terdampak yaitu: perizinan berusaha berbasis risiko, perizinan

lingkungan (izin lingkungan dan AMDAL), akses informasi dan partisipasi publik,

pengawasan dan penegakan hukum (pertanggungjawaban mutlak). Kelima aspek

tersebut yang akan diuraikan berikut.

Page 4: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

2

B. PERIZINAN BERBASIS RISIKO BERPOTENSI MELEMAHKAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP

Dalam RUU Cipta Kerja, pemberian perizinan berusaha merupakan kewenangan

pemerintah pusat berdasarkan perhitungan risiko. Risiko didapatkan dengan mengalikan

penilaian terhadap tingkat bahaya (damage) dan kemungkinan terjadinya bahaya

(probability).1

Tingkat Risiko = Besarnya Kerusakan x Potensi/Probabilitas

Adapun penilaian tingkat bahaya tersebut dilakukan terhadap aspek kesehatan,

keselamatan, lingkungan dan/atau pemanfaatan sumber daya. Di sisi lain, kemungkinan

terjadinya bahaya dikelompokkan menjadi tidak pernah terjadi, jarang terjadi, pernah

terjadi, sering terjadi.2 Untuk kegiatan yang dikategorikan memiliki risiko tinggi akan

diberikan perizinan berusaha berupa izin dan nomor induk berusaha, untuk yang berisiko

menengah akan diberikan perizinan berusaha sertifikat standar dan nomor induk

berusaha, serta untuk yang risiko rendah hanya akan diberikan nomor induk berusaha.3

Sebagai perbandingan dengan UU 32/2009, saat ini mekanisme persetujuan

lingkungan yang dijalankan adalah melalui izin lingkungan. Izin Lingkungan diwajibkan

bagi kegiatan atau usaha baik yang berdampak penting (wajib AMDAL) maupun yang

berdampak tidak penting (wajib UKL/UPL). Untuk usaha kecil yang tidak diwajibkan

AMDAL atau UKL/UPL, pelaku usaha tidak diwajibkan untuk mengurus izin lingkungan.

Pelaku usaha hanya diwajibkan untuk menandatangani Surat Pernyataan Kesanggupan

Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL).

1 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, hlm. 100. 2 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 8 3 Ibid.

Page 5: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

3

Sayangnya, pengelompokan risiko dalam RUU Cipta Kerja juga menimbulkan risiko

lainnya, yaitu:

(1) Faktor penilaian risiko terbatas pada aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan/atau pemanfaatan sumber daya.

Pasal 8 ayat (4) memang masih membuka ruang bagi aspek lainnya sesuai dengan

sifat kegiatan usaha. Dalam penjelasannya, Pasal 8 ayat (4) tidak menjelaskan kriteria

aspek lainnya tersebut dan hanya menyebutkan “aspek keamanan atau pertahanan

sesuai dengan kegiatan usaha”. Kriteria penentuan aspek lainnya diprediksi juga akan

sangat birokratis karena menunggu Peraturan Pemerintah.

Selain itu, penilaian risiko erat kaitannya dengan persepsi yang mungkin berbeda dari

satu orang dan orang lain. Seharusnya, faktor risiko tidak dinilai sesempit ini, lebih

fleksibel dan memiliki kriteria yang jelas.

Sebagai contoh, penggolongan risiko yang digunakan di Inggris membuka sangat

luas faktor-faktor yang menjadi dasar penilaian. Beberapa diantaranya meliputi risiko

hukum, risiko informasi, risiko teknologi, risiko keamanan, risiko operasional, dan

lainnya. 4

(2) Tidak jelas sejauh apa indikator yang diperhitungkan dalam masing-masing faktor penilaian risiko.

Sebagai contoh, tidak tergambar juga sejauh apa faktor lingkungan tersebut

dipertimbangkan dalam penentuan risiko. Selain itu, dalam penentuan risiko

lingkungan hidup juga seharusnya didasari atas inventarisasi lingkungan hidup yang

memadai, data terkait daya dukung dan daya tampung lingkungan yang

komprehensif, serta standar-standar yang sangat ketat. Sayangnya, justru

ketersediaan data dan standar yang ketat ini yang menjadi pekerjaan rumah

pemerintah, sehingga dikhawatirkan risiko lingkungan hidup tidak dipertimbangkan

secara komprehensif dan matang.

(3) Rumus perhitungan tingkat risiko berpotensi mengabaikan usaha atau kegiatan yang berdampak terhadap perubahan lingkungan.

Mengacu kepada Naskah Akademik RUU CK, manfaat dari penggunaan perizinan

berusaha berbasis risiko terhadap pelaku usaha adalah adanya kemudahan dalam

perizinan, yaitu: mengurangi izin usaha, memangkas perizinan dan memangkas biaya

perizinan serta hal terkait lainnya seperti pengawasan.5 Tentunya hal ini

mengkhawatirkan karena kemungkinan besar bertujuan mengeluarkan beberapa

jenis usaha dan kegiatan dari daftar wajib AMDAL. Konsekuensinya beberapa usaha

berpotensi masuk ke dalam kategori risiko menengah atau bahkan rendah.

4 HM Government, “The Orange Book: Management of Risk – Principles and Concepts”, Annex-IV 5 Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 87.

Page 6: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

4

Padahal jika mengacu kepada rumus perhitungan tingkat risiko, komponen dampak

telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor

P.38/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau

Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Permen

LHK 38/2019).6 Komponen dampak tersebut antara lain: luas wilayah penyebaran

dampak, intensitas dan lamanya dampak, sifat kumulatif dampak, dan sebagainya.

6 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.38/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 tentang

Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, lampiran I hlm. 22

7 Ibid., hlm. 27.

Hal yang tidak ada atau tidak spesifik dalam Permen LHK 38/2019 adalah

aspek probabilitas. Penting untuk dipastikan bahwa aspek probabilitas tidak

memberikan ruang bagi usaha yang berbahaya, berdampak penting, memberikan

ancaman serius, dsb, tidak termasuk ke dalam kategori risiko tinggi. Karenanya

mekanisme untuk langsung menentukan usaha sebagai risiko tinggi tanpa melalui

perhitungan seperti yang dilakukan oleh Permen LHK 38/2019 harus dilakukan.7

Sayangnya mekanisme tersebut tidak diatur dalam RUU CK dan dimuat dalam NA.

Page 7: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

5

C. BERKURANGNYA MAKNA PERIZINAN LINGKUNGAN

1. Izin lingkungan

Dalam UU 32/2009 izin lingkungan memiliki fungsi strategis yaitu: (i) bungkus

“yuridis” AMDAL, (ii) sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan, (iii) sebagai “pintu masuk” untuk pengawasan dan penegakan hukum dan

(iv) untuk mengintegrasikan izin-izin di bidang lingkungan hidup seperti: izin

pembuangan air limbah, izin pengelolaan limbah B3, dan sebagainya.8 Karena fungsi

strategisnya tersebut menjadi wajar izin lingkungan merupakan syarat untuk

mendapatkan izin usaha.

Dari keempat fungsi strategis tersebut, hilangnya fungsi (i), (ii) dan (iii) merupakan

kerugian bagi lingkungan hidup. Sedangkan hilangnya fungsi (iv) merupakan justru

utamanya merugikan pemerintah dan pelaku usaha, karena menghilangkan kesempatan

untuk mengintegrasikan dan menyederhanakan perizinan. Padahal dalam Pasal 63

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan

Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PP 24/2018) pengintegrasian izin-

izin ke dalam izin lingkungan sudah diatur mekanismenya. Karena izin lingkungan

dihapus, maka izin yang seharusnya diintegrasikan menjadi tetap tersebar.

8 Raynaldo Sembiring, et.al, Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law, 2014), hlm. 138-139.

Page 8: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

6

2. AMDAL

Berbeda dengan izin lingkungan, ketentuan mengenai AMDAL mengalami

beberapa perubahan yang mengurangi makna AMDAL tersebut. Pertama, berubahnya

kriteria usaha berdampak penting. Mengacu kepada Naskah Akademik RUU CK,

berubahnya kriteria usaha berdampak penting karena hal-hal detail akan diatur dalam

peraturan pelaksana dan agar adanya fleksibilitas bagi pemerintah pusat untuk

mengikuti dinamika masyarakat dan perkembangan global.9 Alasan pengaturan dalam

peraturan pelaksana justru menimbulkan kerumitan baru karena harus membongkar

peraturan lama dan berpotensi kontraproduktif dengan tujuan penyusunan RUU CK yang

ingin melakukan penyederhanaan perizinan.

Kedua, dihapusnya Komisi Penilai AMDAL (KPA) dan dimungkinkannya hanya

pihak swasta saja menggantikan peran KPA. Penghapusan KPA pada pokoknya

menghilangkan kesempatan masyarakat dari semua kategori untuk dapat berpartisipasi

dan turut dalam mengambil keputusan. Dalam RUU CK, uji kelayakan AMDAL dapat

diserahkan kepada lembaga dan/atau ahli bersertifikat.10 Permasalahannya adalah

keputusan atau kebijakan yang berdampak lingkungan diserahkan hanya kepada pihak

swasta saja, tanpa ada peran pemerintah dan masyarakat (secara formal). Hal ini karena

dihapusnya KPA yang secara normatif jauh lebih partisipatif.

9 Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 342 (Matriks Analisis Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja

lampiran 1b hlm. 6) 10 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 4 terhadap perubahan pasal 24 ayat (3) UU No. 32

Tahun 2009, hlm. 82

Page 9: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

7

D. MENYEMPITNYA RUANG PARTISIPASI PUBLIK DAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP INFORMASI LINGKUNGAN

Dalam RUU CK, penyempitan peran masyarakat dalam perumusan AMDAL juga

terjadi. Berdasarkan RUU CK masyarakat yang perlu menjadi objek konsultasi publik

hanyalah masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau

kegiatan.11 Berikut adalah perubahan redaksional pasal tersebut:

UU Nomor 32 Tahun 2009 RUU Cipta Kerja

Pasal 26

(1) Dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud pada pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat

(2) ….

(3) Pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Yang terkena dampak;

b. Pemerhati lingkungan hidup; dan/atau

c. Yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL

Pasal 23 angka 6 mengenai perubahan terhadap pasal 26 UU No 32 Tahun 2009

(1) Dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa

(2) Penyusunan dokumen AMDAL dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan

(3) ……

11 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 6 terhadap perubahan pasal 26 UU No. 32 Tahun 2009,

hlm. 83.

Page 10: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

8

Menilik pada sejarah historis UU No. 32 Tahun 2009, pelibatan ketiga unsur

tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyusunan AMDAL. Dalam Naskah

Akademik UU 32/2009 dinyatakan bahwa masyarakat terdampak belum tentu

mengetahui informasi terkait dengan rencana pembangunan, maupun memiliki

pengetahuan tentang dampak pembangunan tersebut terhadap mereka.12 Oleh karena

itu, pelibatan kedua unsur lainnya tersebut akan menjadi jawaban adanya gap

pengetahuan tersebut. Sayangnya, justru kedua unsur ini perannya dihapus dalam RUU

CK.

Selain itu, RUU CK juga semakin mempersempit akses masyarakat terhadap

informasi. Hal ini terlihat dari dibatasinya cara untuk mengakses keputusan kelayakan

lingkungan hidup serta mempersempit ruang untuk mendapatkan informasi terkait

keputusan tersebut.13 Berikut adalah perbandingan perubahan redaksional pasal

tersebut:

UU Nomor 32 Tahun 2009 RUU Cipta Kerja

Pasal 39

(4) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan

(5) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat

Pasal 23 angka 18 mengenai perubahan terhadap pasal 39 UU No 32 Tahun 2009

(4) Keputusan kelayakan lingkungan hidup diumumkan kepada masyarakat

(5) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem elektronik dan atau cara lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat

Dalam perubahan pasal tersebut terlihat bahwa RUU Cipta Kerja mempersempit

ruang masyarakat untuk dapat mengakses informasi keputusan kelayakan lingkungan

hidup. Sebelumnya masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi keputusan

tersebut mulai dari tahap adanya permohonan, namun dalam RUU Cipta Kerja akses

informasi tersebut baru dapat diakses setelah keputusan tersebut terbit. Selain itu, RUU

Cipta Kerja juga mempersempit cara untuk memberikan pengumuman terkait keputusan

tersebut dengan hanya memberikan pengumuman melalui sistem elektronik dan/atau

cara lain yang ditetapkan Pemerintah Pusat.

Secara historis, pengumuman dalam Pasal 39 ini merupakan pengejawantahan

dari keterbukaan informasi. Adanya pengumuman tersebut seharusnya digunakan untuk

membuka peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, khususnya

bagi mereka yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar

pendapat, dan lain-lain.14 Dengan ditutupnya kewajiban melakukan pengumuman sejak

adanya permohonan, maka hal ini juga akan menutup pintu partisipasi publik dalam

proses pengambilan keputusan. Ditambah lagi, cara untuk dapat mengakses

pengumuman yang kini dibatasi, mengingat tidak semua lapisan masyarakat di

Indonesia dapat mengakses internet. Hal ini akan semakin mempersempit ruang

masyarakat untuk mendapatkan akses informasi yang layak.

12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap perubahan pasal 39 UU No. 32 Tahun 2009,

hlm. 85. 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, penjelasan ps. 39 ayat (1)

Page 11: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

9

E. PENGAWASAN KEPATUHAN YANG DIPREDIKSI AKAN SEMAKIN MELEMAH

Setidaknya ada 3 hal penting dari konsep pengawasan yang diatur dalam UU

32/2009: (i) adanya pembagian kewenangan dari pemerintah pusat sampai pemerintah

kabupaten/kota, (ii) adanya pejabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) sebagai pejabat

fungsional yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemantauan sampai dengan

menghentikan pelanggaran tertentu, dan (iii) adanya kewenangan Menteri LHK untuk

melakukan pengawasan lapis kedua (oversight).

Sayangnya ketiga hal ini diubah dan dihapus. Kewenangan pengawasan saat ini

menjadi terpusat di Pemerintah Pusat. Sedangkan kewenangan PPLH dan oversight

sudah dihapuskan. Kondisi ini akan membuat pengawasan terhadap kepatuhan akan

semakin melemah khususnya karena “beban” yang besar yang harus ditanggung

pemerintah pusat. Selain itu ketiadaan PPLH membuat hilangnya spesialisasi dalam

pengawasan dan kewenangan untuk melakukan tindakan pencegahan segera. Pun

dengan oversight, karena sudah umum diketahui pengawasan di daerah sering tidak

efektif sehingga oversight harus dilakukan.

Penghapusan kewenangan pemerintah daerah dan oversight berimplikasi

terhadap data sejarah kepatuhan yang menjadi faktor penting dalam menilai probabilitas

kerusakan.15 Bagaimanapun juga lokasi usaha beroperasi mayoritas berada dalam

wilayah administrasi pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi. Sehingga

pemerintah daerah lah yang paling dekat dan lebih mungkin untuk mengetahui data

kepatuhan pelaku usaha. Dalam RUU CK, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan

yang diatribusikan dalam undang-undang. Selain itu, kewenangan oversight juga

dihapuskan. Sehingga pengumpulan data kepatuhan tentu menjadi terhambat. Yang

lebih penting lagi pasti memberikan dampak terhadap kualitas lingkungan hidup.

15 Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 88-89

Page 12: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

10

F. TIDAK JELASNYA KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK

1. Penormaan Strict Liability atau Pertanggungjawaban Mutlak menjadi tidak jelas dan bahkan dihilangkan

RUU CK tampaknya mendegradasi ketentuan terkait dengan strict liability,

setidaknya dalam dua undang-undang, yakni UU 32/2009 dan Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 (UU 41/1999). Dalam UU 41/1999, ketentuan terkait strict

liability dihapus dengan mengubah kewajiban bertanggung jawab atas terjadinya

kebakaran hutan di area kerja menjadi hanya wajib melakukan upaya pencegahan

dan pengendalian kebakaran hutan. Adapun perubahan redaksionalnya berubah

sebagai berikut:

UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

RUU Cipta Kerja

Pasal 49

Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.

Pasal 37 angka 16 mengenai perubahan terhadap pasal 49 UU Kehutanan

Pemegang hak atau perizinan berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya.

Sekalipun dalam UU 41/1999 tidak disebutkan sebagai norma stict liability,

tetapi para ahli hukum lingkungan di Indonesia bersepakat bahwa ketentuan ini

dapat disebut sebagai strict liability bahkan cenderung sebagai absolute liability

(karena tidak mengandung unsur defense atau escape clause). Adapun ketentuan

ini juga telah digunakan beberapa kali dalam kasus kebakaran hutan.

Page 13: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

11

Salah satunya ketika Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat

PT. Bumi Mekar Hijau (2015-2016), bahkan dalam memori banding yang diperiksa

oleh Pengadilan Tinggi Palembang, Kementerian LHK melalui kuasa hukumnya

mendalilkan Pasal 49 UU 41/1999 tersebut sebagai strict liability.16 Sayangnya,

justru ketentuan ini dalam RUU CK dihapus dan diganti hanya untuk “wajib

mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan”.

Di samping itu, rumusan Strict liability di dalam UU 322/2009 itu juga berubah.

Sekalipun ketentuan pertanggung jawaban mutlak tidak dihapus, namun

redaksional pasal diubah menjadi sebagai berikut:

UU No. 32 Tahun 2009 RUU Cipta Kerja

Pasal 88

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Pasal 23 angka 35 mengenai perubahan pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.

Jika mengacu dalam Naskah Akademik, maka terlihat penghapusan ini

merupakan sebuah upaya kesengajaan karena ketakpahaman penyusun. Alasan

penghapusan “unsur kesalahan” karena setiap pidana harus membuktikan unsur

kesalahan.17 Tentunya alasan ini menjadi tidak rasional karena strict liability yang

dimaksud dalam UU 32/2009 adalah untuk penegakan hukum perdata.

16 Lih. Memori Banding KLHK dalam Putusan No. 51/PDT/2016/PT.PLG, hlm. 90-91 17 Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 383-384 (Matriks Analisis Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja

lampiran 1b, hlm. 47-48)

Page 14: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

12

2. Penghapusan Pengecualian Larangan Membakar Bagi Peladang Tradisional Merupakan Pengabaian Terhadap Kearifan Lokal dan Potensial Memindahkan Beban Pertanggungjawaban

UU No. 32 Tahun 2009 RUU Cipta Kerja

Pasal 69 ayat (2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing

Penjelasan pasal 69 ayat (2)

Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya

Catatan:

Pasal 69 ayat (1) huruf h:

Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar

Pasal 23 angka 25 mengenai perubahan pasal 69 UU No. 32 Tahun 2009

Ketentuan pasal 69 ayat (2) dihapus

Dalam Pasal 69 ayat (2) UU 32/2009 diatur mengenai pengecualian larangan

membakar bagi peladang tradisional dengan luas lahan maksimal 2 hektare per

keluarga untuk ditanami varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar. Ketentuan ini

pada pokoknya sebagai penghormatan kearifan lokal, khususnya terhadap kegiatan

peladang berpindah yang lazim ditemui pada beberapa daerah di Indonesia,

misalnya di Kalimantan. Penyusun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 juga

menginginkan agar bentuk kearifan lokal ini tidak mudah untuk diproses pidana.18

Dalam RUU CK, Pasal 69 ayat (2) dihapus, sehingga kegiatan membakar bagi

peladang tradisional dapat dipidanakan, karena ketentuan pidana bagi setiap orang

yang membakar lahan dalam Pasal 108 UU 32/2009 tidak dihapus dalam RUU CK.

Dalam konteks pertanggungjawaban kebakaran hutan dan lahan, telah ada

pergeseran beban pertanggungjawaban dari pelaku usaha ke masyarakat, karena

pelaku usaha semakin sulit untuk diproses hukum, tetapi masyarakat khususnya

yang menjalankan kearifan lokalnya semakin mudah dipidana.

18 Rapat Panitia Kerja dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Rabu 26 Agustus 2009. Lihat: Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia, "Risalah RUU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup: RPDU tanggal 13 Juli 2009", (Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2009), hlm. 49-55.

Page 15: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

13

Dalam praktiknya, Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf h UU 32/2009 terkait

larangan membakar ini kerap dijadikan landasan hukum untuk memidanakan para

peladang. Sebagai contoh dua kasus peladang di Kalimantan Tengah yang diproses

tahun 2019 lalu. Menurut Jaksa Penuntut Umum, kedua peladang ini terbukti

melakukan pembersihan lahan, mengumpulkan potongan kayu, dan dedaunan

kering untuk kemudian dibakar. Kedua peladang tersebut didakwa karena

menyebabkan Kawasan hutan terbakar seluas satu hektare. Padahal, praktik

membuka lahan untuk berladang dengan cara membakar ini merupakan praktik

turun menurun dan mereka hanya membakar sebatas untuk kepentingan ketahanan

pangan lokal, dan bukan untuk merusak lingkungan hidup.19 Dikhawatirkan

pemidanaan ini akan terus berlanjut apabila ketentuan terkait pengecualian

terhadap kearifan lokal dalam Pasal 69 ayat (2) nantinya dihapus dalam RUU CK.

Lebih lanjut, penghapusan pengecualian larangan membakar berpotensi

memindahkan beban pertanggungjawaban dari pelaku usaha ke masyarakat. Hal ini

sangat dimungkinkan karena umumnya pembelaan pelaku usaha sebagai tergugat

bahwa kebakaran terjadi karena bencana alam atau kontribusi dari pihak ketiga.

Kontribusi dari pihak ketiga ini yang memungkinkan para peladang tradisional atau

masyarakat yang melakukan pembakaran dengan kearifan lokal dipidana.

19 Andre Barahamin, “Menyasar dan Memenjarakan Para Peladang”,

https://www.mongabay.co.id/2019/12/10/menyasar-dan-memenjarakan-para-peladang/

Page 16: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

14

G. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas beberapa kesimpulan yang dapat ditarik

adalah:

1. Perizinan berusaha berbasis risiko merupakan konsep yang

masih perlu untuk didalami lebih lanjut. Dalam tataran praktik,

perizinan berusaha berbasis risiko cenderung akan sulit

diimplementasikan karena harus diatur lebih detail dalam

Peraturan Pemerintah dan merombak banyak peraturan yang

sudah eksis.

2. Penghapusan izin lingkungan menghilangkan kesempatan

pengintegrasian izin, yang justru kontraproduktif dengan tujuan

penyederhanaan perizinan di RUU CK.

3. Ketentuan mengenai partisipasi publik dan akses informasi

dalam RUU CK merupakan kemunduran dalam keterlibatan

masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup.

4. Pelemahan ketentuan pengawasan akan menyulitkan

pengumpulan data kepatuhan pelaku usaha. Lebih penting lagi,

dapat berpotensi menghasilkan pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan.

5. Terdapat kesalahan konsep dalam perumusan strict liability

yang sebelumnya diatur dalam UU 32/2009. Hal ini berakibat

fatal karena akan sulit menjalankan strict liability. Ketentuan

strict liability dalam UU 41/1999 lebih mengkhawatirkan karena

pada prinsipnya sudah hilang.

Page 17: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

15

6. Penghapusan ketentuan pengecualian larangan membakar

untuk menjalankan kearifan lokal berpotensi hanya akan

mengakibatkan banyak masyarakat dan peladang tradisional

yang dipidana. Bahkan, sangat dimungkinkan adanya

perpindahan beban pertanggungjawaban.

Keenam kesimpulan ini menunjukkan bahwa pengaturan

perizinan berbasis risiko dalam RUU CK hanya akan mempersulit

implementasi RUU CK. Lebih dari itu, perubahan dan

penghapusan norma akan memberikan dampak negatif bagi

masyarakat dan lingkungan hidup. Terakhir, kesalahan konsep

khususnya terkait strict liability tidak hanya membahayakan

masyarakat dan lingkungan, melainkan juga terhadap ilmu

pengetahuan.

Page 18: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

16

Page 19: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

17

Page 20: PELEMAHAN INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN …...12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82 13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap

18