pelaksanaan itsbat nikah di pengadilan agama wates
TRANSCRIPT
1
PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA WATES
RINGKASAN SKRIPSI
Oleh:
Ika Yuni Astuti
NIM. 09401241023
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAANJURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIALUNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
2
PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA WATES
Oleh :Ika Yuni Astuti
AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan permohonan itsbat nikah di
Pengadilan Agama Wates. Di samping itu penelitian ini juga untuk mengetahui pelaksanaanitsbat nikah di Pengadilan Agama Wates.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penentuan subjek penelitianmenggunakan teknik purposive. Subjek penelitian adalah dua orang Hakim PengadilanAgama Wates. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara, dan dokumentasi.Teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan teknik cross check antara hasil wawancaradan dokumentasi. Analisis data secara induktif melalui reduksi data, unitisasi/kategorisasidata, display data dan penarikan kesimpulan/verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Alasan permohonan itsbat nikah diPengadilan Agama Wates yaitu dikarenakan: (a) hilangnya akta nikah yang disebabkan karenaadanya bencana alam seperti tanah longsor dan kebakaran, (b) mengesahkan status anak atauuntuk membuat akta kelahiran, (c) mengurus pembagian warisan, kedua alasan tersebutdikarenakan perkawinan terjadi pada saat sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan yang disebabkan perkawinan tersebut belum dicatatkan atautelah dicatatkan namun akta nikah hilang. Alasan ini banyak terjadi di Pengadilan AgamaWates, bahkan hampir semua permohonan itsbat nikah bertujuan untuk mengesahkan statusanak dan untuk mengurus pembagian warisan. (2) Pelaksanaan itsbat nikah di PengadilanAgama Wates dilakukan melalui tahap-tahap pengajuan permohonan, penerimaan perkara,pemeriksaan perkara dalam persidangan, kesimpulan, dan keputusan hakim. Dalam hal ini,keputusan hakim didasarkan pada pertimbangan hukum yang melihat maksud serta tujuanpermohonan, lengkapnya persyaratan yang disertai dengan keterangan saksi dan bukti-buktiyang kuat, Undang-Undang yang berlaku, Kompilasi Hukum Islam, dan ilmu fiqh. Akibathukum yang timbul adalah perkawinan yang diajukan itsbat nikahnya di Pengadilan AgamaWates tersebut menjadi sah dan dapat dimintakan pencatatan dan akta nikah di Kantor UrusanAgama (KUA).
Kata Kunci: Itsbat Nikah, Perkawinan, Pengadilan Agama Wates
I. Pendahuluan
Perkawinan sangat penting untuk dilakukan yaitu untuk memperoleh keturunan dalam
kehidupan manusia baik perorangan maupun kelompok, dengan jalan perkawinan yang sah.
Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram, dan penuh rasa kasih
sayang antara suami-isteri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi
kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan
terhormat.
Perkawinan dapat menjadi wadah pertemuan dari sekian banyak gejala keislaman. Di
dalam perkawinan terdapat prosedur yang mengikat, seperti syarat, rukun, dan larangan yang
3
berada pada skala hukum serta lahir dengan cara perspektif. Aktivitas perkawinan menurut
hukum melibatkan beberapa pihak yang bersangkutan seperti calon suami-isteri, wali nikah,
dan saksi. Keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah merupakan suasana yang
diinginkan setiap perkawinan (Abdul Gani Abdullah, 1994: 39).
Suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum apabila dilakukan
menurut ketentuan hukum yang berlaku secara positif. Ketentuan hukum yang mengatur
mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang diatur dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan, sehingga perkawinan ini akan
mempunyai akibat hukum yaitu akibat yang mempunyai hak mendapatkan pengakuan dan
perlindungan hukum. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menentukan bahwa suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah
menurut hukum apabila perkawinan itu dilakukan menurut masing-masing agama dan
kepercayaannya dan ayat (2) menentukan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan dalam pasal-pasal tersebut di atas bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Hal ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus
lagi untuk melindungi kaum wanita dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan
perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami-isteri mendapat
salinannya, sehingga apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka sebagai
akibat dari ketidak konsistenan salah satu pihak untuk mewujudkan tujuan perkawinan
membentuk keluarga sakinah, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna
mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing, karena dengan akta tersebut suami-
isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
Akta nikah menjadi bukti otentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat
menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau isteri melakukan suatu
tindakan yang menyimpang. Selain itu, akta nikah juga berfungsi untuk membuktikan
keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke
pengadilan tidak dapat dilakukan (Zainuddin Ali, 2006: 29). Maka jelaslah bahwa pencatatan
nikah untuk mendapatkan akta nikah tersebut adalah sangat penting. Sebagaimana disinyalir
dalam Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam: “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”. Konsekuensi dari dijadikannya akta
4
nikah sebagai satu-satunya alat bukti perkawinan bagi mereka yang tidak mencatatkan
perkawinannya, maka segala macam akibat hukum yang terkait dengan peristiwa perkawinan
tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum, seperti pengajuan perceraian ke Pengadilan,
pembagian harta bersama, pembagian warisan, status anak dan lain-lain.
Di satu sisi peraturan perundang-undangan di Indonesia mewajibkan pencatatan
perkawinan dan menjadikannya sebagai satu-satunya alat bukti bagi adanya perkawinan yang
berarti secara logis tidak ada jalan keluar bagi yang melanggar ketentuan ini untuk
menyelesaikan persoalannya secara hukum di belakang hari. Namun, di sisi lain perundang-
undangan membuka pintu bagi mereka yang tidak dapat membuktikan adanya perkawinan
mereka dengan alat bukti akta nikah untuk menyelesaikan persoalan mereka melalui Instansi
Pemerintah yang resmi yaitu Pengadilan Agama dengan dibukanya jalan bagi penetapan nikah
mereka (itsbat nikah). Hal ini sesuai dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 Ayat (2) yang
berbunyi “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan
itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama”. Dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan
terakhir dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, kompetensi absolut Pengadilan Agama
di antaranya adalah tentang perkawinan dan termasuk di dalamnya yaitu tentang itsbat nikah.
Fenomena itsbat nikah telah banyak terjadi di beberapa daerah di negara Indonesia,
seperti yang terjadi di Jakarta pada hari Minggu tanggal 15 Mei 2013 tepatnya di daerah Tugu
Monas Jakarta telah dilaksanakan itsbat nikah massal. Perhelatan tersebut diikuti oleh 349
pasangan pengantin. Pasangan pengantin ini adalah peserta nikah massal yang
diselenggarakan oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Lembaga zakat ini
menyelenggarakan acara berjudul Wedding On The Street, Pelaminan Nusantara untuk
memecahkan rekor MURI sebagai pelaminan terpanjang (Jawa Pos, 2013). Acara ini penting
untuk mereka yang selama ini tidak punya cukup uang untuk melaksanakan pernikahan, atau
yang belum sampai nikah secara resmi di KUA. Dengan ini mereka bisa mendapatkan buku
nikah setelah mengikuti sidang itsbat nikah.
Perkawinan yang tidak dicatatkan akan merugikan kepentingan dan mengancam
pemenuhan, perlindungan, dan penegakan hak anak. Sebagai peristiwa hukum, perkawinan
tentu berkorelasi langsung dengan anak-anak yang dilahirkan, baik menyangkut hukum
keluarga maupun hak-hak anak yang dijamin sebagai hak asasi manusia (child’s rights are
human rights).
“Anak Indonesia yang memiliki akta kelahiran sekitar 54,79 persen, dari jumlahtersebut 14,57 persen tidak dapat menunjukkan akta kelahiran, sedangkan jumlah anak
5
yang tidak memiliki akta kelahiran 44,09 persen (Susenas 2010, BPS). Jika dibandingdengan data kependudukan tahun 2005, pencatatan kelahiran setelah disahkannya UUNomor 23 Tahun 2006 bisa dikatakan gagal. Karena tidak ada kenaikan signifikandalam pencatatan kelahiran anak yang menggunakan asas “Stelsel Aktif bagiPenduduk”, sebagaimana data berikut ini. Data Penduduk Usia 0-4 Tahun yangMemiliki Akta Kelahiran menurut Provinsi (Sensus BPS, 2005), sebelum UU No. 23Tahun 2006 disahkan, sebanyak 42,82%. Sedangkan data Penduduk Usia 0-4 Tahunyang memiliki Akta Kelahiran, (BPS, Susenas 2011), setelah UU Nomor 23/2006tentang Administrasi Kependudukan disahkan sebanyak 59%” (Tim KPAI, 2013).
Oleh karena akta kelahiran adalah yang pertama, maka ketiadaan akta kelahiran
berimplikasi luas kepada pemenuhan hak-hak anak lain, terutama hak atas jaminan sosial dan
pendidikan. Dalam hal perkembangan regulasi dan kebijakan jaminan sosial yang cenderung
mengarah kepada dokumen formal, maka anak-anak yang tidak memperoleh akta kelahiran
karena tiadanya perkawinan tidak dicatatkan akan semakin tersingkirkan dari akses jaminan
sosial.
Fenomena tentang itsbat nikah juga terjadi di Kabupaten Kulon Progo. Kulon Progo
merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dimana masih banyak
pasangan suami isteri yang pernikahannya belum dicatatkan atau sah secara hukum Negara.
Hal ini terlihat dari banyaknya permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama Wates. Sebagai
contoh jumlah permohonan itsbat nikah dari tahun 2011 hingga Juli 2013 masih tergolong
tinggi. Data lengkapnya sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah Permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Wates Periode Tahun 2011-Juli 2013
No Tahun Jumlah Permohonan Itsbat Nikah
1 2011 22
2 2012 15
3 Januari-Juli 2013 3
Sumber: Dokumen Pengadilan Agama Wates, diolah pada tanggal 20 Juli 2013
Jika melihat data tersebut di atas bukanlah jumlah yang sedikit perkara permohonan
itsbat nikah ke Pengadilan Agama Wates. Terdapat berbagai alasan pemohon dalam
mengajukan permohonan itsbat nikah. Salah satu dari alasan tersebut yaitu untuk membuat
akta kelahiran guna mengurus pembagian warisan. Sebagai contoh yaitu Penetapan
Pengadilan Agama Wates dengan Nomor: 0005/Pdt.P/2011/PA.Wt. Dalam penetapan tersebut
hakim telah mengabulkan permohonan pemohon untuk mengitsbatkan pernikahan ayah dan
6
ibu pemohon. Itsbat nikah tersebut bertujuan untuk mengurus pembuatan akta kelahiran
yang memerlukan bukti pernikahan ayah dan ibu pemohon, sedangkan pemohon tidak
mempunyai bukti tersebut dikarenakan pernikahan terjadi sebelum Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan belum dicatatkan ke Petugas Pencatat Nikah. Namun,
karena pertimbangan hukum, alat bukti yang diajukan, dan keterangan saksi-saksi akhirnya
hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk mengitsbatkan pernikahan ayah dan ibu
pemohon.
Menurut Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama yang
diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu “Permohonan itsbat nikah yang
dilakukan oleh anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan harus bersifat
kontensius, dengan mendudukkan suami dan isteri dan/atau ahli waris lain sebagai
Termohon”. Akan tetapi, dalam penyelesaian beberapa perkara itsbat nikah di Pengadilan
Agama Wates, salah satunya penyelesaian perkara Nomor: 0005/Pdt.P/2011/PA.Wt sebagai
contoh di atas, dikategorikan sebagai perkara voluntair yang produknya berupa penetapan.
Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung. Oleh
karena itu, perlu dikaji tentang alasan permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates
dan pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates.
II. Kajian Teori
A. Tinjauan Mengenai Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan menurut istilah bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata "kawin"
yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga "pernikahan", yang berasal
dari kata "nikah" yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan
digunakan untuk arti bersetubuh (Tim Penyusun, 2008: 639).
Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tercantum dalam Pasal 1 yang berbunyi “Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Menurut Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan tercantum
dalam Pasal 2 yang berbunyi “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”.
7
2. Hukum Perkawinan
Pengaturan mengenai hukum perkawinan di Indonesia dapat dijumpai dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengaturan mengenai hukum
perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan bukan hanya disusun berdasarkan prinsip dan nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tetapi juga disusun dengan mengupayakan
menampung segala kebiasaan yang selama ini berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Hal tersebut dilakukan dengan mengakomodir ketentuan hukum agama dan kepercayaan
serta tradisi yang berkembang dalam masyarakat, meskipun kadang masih dianggap
belum sepenuhnya sesuai.
Dasar hukum perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) yang rumusannya
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Sedangkan dasar hukum perkawinan menurut Kompilasi
Hukum Islam tertuang dalam Pasal 2 dan 3 yang berbunyi “Perkawinan menurut Hukum
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
3. Syarat Sah Perkawinan
Syarat sah perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu (1) “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. (2) “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” serta tertuang
dalam Pasal 6 sampai Pasal 12. Menurut Kompilasi Hukum Islam syarat sah perkawinan
diatur dalam Pasal 4 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan”, Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”, Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi
“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah” dan ayat (2) yang berbunyi “Dalam hal perkawinan tidak dapat
8
dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama” ,
serta Pasal 14 sampai dengan Pasal 29.
4. Pencatatan Perkawinan
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang mangatur mengenai pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang
melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan
untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam,
menggunakan dasar hukum Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
berbunyi “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan”.
5. Larangan Perkawinan
Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur
larangan perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang
yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/ bapak tiri;d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
Menurut Kompilasi Hukum Islam larangan perkawinan telah diatur dalam Pasal 39
sampai Pasal 44.
6. Hikmah Perkawinan
Di dalam perkawinan tentu saja mempunyai manfaat atau hikmah yang diperoleh,
yaitu:
a. Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat selain lewat perzinahan,
pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat merugikan;
b. Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman;
9
c. Memelihara kesucian diri;
d. Melaksanakan tuntutan syariat;
e. Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa, dan negara;
f. Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang
sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orang tua
akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak
bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam
terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak;
g. Mewujudkan kerja sama dan tanggung jawab dalam keluarga;
h. Dapat mengeratkan silaturahim (Wikipedia Bahasa Indonesia, 2013)
B. Tinjauan Mengenai Itsbat Nikah
1. Pengertian Itsbat Nikah
Itsbat nikah terdiri dari dua kata “itsbat” dan “nikah”. Kedua istilah tersebut berasal
dari bahasa Arab. Itsbat berarti “penyungguhan; penetapan; penentuan”. Sedangkan nikah
adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan antara seorang laki-laki dengan
perempuan sebagai suami isteri dengan terpenuhinya berbagai persyaratan dalam rangka
mentaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Dan lebih lanjut di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia didefenisikan itsbat nikah dengan penetapan tentang
kebenaran (keabsahan) nikah (Tim Penyusun, 2008: 549).
2. Ketentuan Itsbat Nikah
Di dalam Pasal 64 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
yang terjadi sebelum Undang-Undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-
peraturan lama adalah sah yang dimaksud tentu termasuk itsbat nikah atau pengesahan
nikah. Itsbat nikah/pengesahan nikah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dan terakhir Undang-Undang No.
50 Tahun 2009 dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006
dan terakhir Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 , yaitu “Pernyataan tentang sahnya
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dijalankan menurut peraturan yang lain”. Di dalam Kompilasi Hukum Islam juga dapat
10
dilihat dalam Pasal 7 ayat 2, 3, dan 4. Itsbat nikah di Indonesia baru ada setelah lahirnya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Klasifikasi Itsbat Nikah
Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam, itsbat nikah dapat
diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkwainan;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ketika itsbat nikah dilakukan dengan alasan Pasal 7 angka 3 huruf (a) Kompilasi
Hukum Islam, yaitu perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, perkara itsbat
nikah bukanlah perkara pokok, sehingga pengajuannya ke Pengadilan Agama diakumulasi
(digabung) dengan perkara perceraian sebagai perkara pokok. Oleh karena itu, dalam hal
ini prioritas perkara adalah gugatan perceraian, sehingga itsbat nikah dalam hal ini
dikelompokkan dalam jenis perkara gugatan. Apabila pengajuan perkara itsbat nikah
dengan alasan Pasal 7 angka 1 huruf (b), (c), (d), dan (e) perkaranya termasuk dalam
kategori permohonan. Oleh karena itu, penetapan Pengadilan Agama dalam hal ini tidak
dapat diajukan banding, tetapi hanya kasasi.
4. Tata Cara Pengajuan Itsbat Nikah
Prosedur permohonan itsbat nikah sama halnya dengan prosedur yang ditempuh
dalam mengajukan perkara perdata. Adapun prosedur yang harus ditempuh oleh pemohon
itsbat nikah antara lain:
Langkah 1. Datang dan Mendaftar ke Kantor Pengadilan Setempat.
a. Pemohon mendatangi Kantor Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal.
b. Membuat surat permohonan itsbat nikah. Surat permohonan dapat dibuat sendiri.
Apabila tidak bisa membuat surat permohonan, maka dapat meminta bantuan kepada
Pos Bakum (Pos Bantuan Hukum) yang ada pada pengadilan setempat secara cuma-
cuma.
11
c. Surat permohonan itsbat nikah ada dua jenis sesuai dengan tujuan yaitu 1) surat
permohonan itsbat nikah digabung dengan gugat cerai dan 2) surat permohonan
itsbat nikah.
d. Memfotokopi formulir permohonan itsbat nikah sebanyak 5 rangkap, kemudian
mengisinya dan menandatangani formulir yang telah lengkap. Empat rangkap
formulir permohonan diserahkan kepada petugas Pengadilan, satu fotokopi disimpan
Pemohon.
e. Melampirkan surat-surat yang diperlukan, antara lain surat keterangan dari KUA
bahwa pernikahannya tidak tercatat.
Langkah 2. Membayar Panjar Biaya Perkara
a. Membayar panjar biaya perkar. Apabila Pemohon tidak mampu membayar biaya
perkara, Pemohon dapat mengajukan permohonan untuk berperkara secara cuma-
Cuma (Prodeo).
b. Apabila Pemohon mendapatkan fasilitas Prodeo, semua biaya yang berkaitan dengan
perkara Pemohon di Pengadilan menjadi tanggungan pengadilan kecuali biaya
transportasi Pemohon dari rumah ke pengadilan. Apabila Pemohon merasa biaya
tersebut masih tidak terjangkau, maka Pemohon dapat mengajukan Sidang Keliling.
c. Setelah menyerahkan panjar biaya perkara Pemohon jangan lupa meminta bukti
pembayaran yang akan dipakai untuk meminta sisa panjar biaya perkara.
Langkah 3. Menunggu Panggilan Sidang dari Pengadilan.
a. Pengadilan akan mengirim Surat Panggilan yang berisi tentang tanggal dan tempat
sidang kepada Pemohon dan Termohon secara langsung ke alamat yang tertera dalam
surat permohonan.
Langkah 4. Menghadiri Persidangan
a. Datang ke Pengadilan sesuai dengan tanggal dean waktu yang tertera dalam surat
surat panggilan. Upayakan untuk datang tepat waktu dan tidak terlambat.
b. Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti Surat Panggilan Persidangan,
fotokopi formulir pendaftaran yang telah diisi. Dalam sidang pertama ini hakim akan
menanyakan identitas para pihak misalnya KTP atau kartu identitas lainnya yang
asli. Dalam kondisi tertentu hakim kemugkinan akan melakukan pemeriksaan isi
permohonan.
c. Untuk sidang selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada Pemohon/Termohon
yang hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu sidang berikutnya. Bagi
12
Pemohon/Termohon yang tidak hadir dalam sidang, untuk persidangan berikutnya
akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang bersangkutan melalui surat.
d. Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan Pemohon harus
mempersiapkan dokumen dan bukti sesuai dengan permintaan hakim. Dalam kondisi
tertentu, hakim akan meminta Pemohon menghadirkan saksi-saksi yaitu orang yang
mengetahui pernikahan Pemohon diantaranya wali nikah dan saksi nikah, atau orang-
orang terdekat yang mengetahui pernikahan Pemohon.
Langkah 5. Putusan/Penetapan Pengadilan
a. Jika permohonan Pemohon dikabulkan, Pengadilan akan mengeluarkan
putusan/penetapan itsbat nikah.
b. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam jangka waktu setelah
14 hari sidang terakhir.
c. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah dapat diambil sendiri ke kantor Pengadilan
atau mewakilkan kepada orang lain dengan Surat Kuasa.
d. Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan tersebut, Pemohon bisa meminta
KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan Pemohon dengan menunjukkan bukti
salinan putusan/penetapan pengadilan tersebut (PEKKA, 2012: 4-5).
Sedangkan tata cara pelaksanaan pengesahan perkawinan atau itsbat nikah di
Pengadilan Agama sesuai dengan Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis
Peradilan Agama yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun
2008 adalah sebagai berikut:
a. Aturan pengesahan nikah/itsbat nikah, dibuat atas dasar adanya perkawinan yangdilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh PPN yang berwenang.
b. Pengesahan nikah diatur dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun1946 jis Pasal 49 angka (22) penjelasan Undang-Undang Nomor 7Tahun1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 danPasal 7 ayat (2), (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam.
c. Dalam Pasal 49 angka (22) penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006dan Pasal 7 ayat (3) huruf (d) Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang disahkanhanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi, Pasal 7 ayat (3) huruf (a) Kompilasi HukumIslam memberikan peluang untuk pengesahan perkawinan yang dicatat oleh PPNyang dilangsungkan sebelum atau sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 untuk kepentingan perceraian (Pasal 7 ayat (3) huruf (a) KompilasiHukum Islam).
d. Itsbat nikah dalam rangka penyelesaian perceraian tidak dibuat secara tersendiri,melainkan menjadi satu kesatuan dalam putusan perceraian.
13
e. Untuk menghindari adanya penyelundupan hukum dan poligami tanpa prosedur,Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah harus berhati-hati dalam menanganipermohonan itsbat nikah.
f. Proses pengajuan, pemeriksaan, dan penyelesaian permohonan pengesahannikah/itsbat nikah harus memedomani hal-hal sebagai berikut:1) Permohonan itsbat nikah dapat dilakukan oleh kedua suami isteri atau salah
satu dari suami isteri, anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingandengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama atau MahkamahSyar'iyah dalam wilayah hukum Pemohon bertempat tinggal dan permohonanitsbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas sertakonkrit.
2) Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh kedua suamiisteri bersifat voluntair, produknya berupa penetapan. Jika isi penetapantersebut menolak permohonan itsbat nikah, maka suami dan isteri bersama-sama atau suami, isteri masing-masing dapat mengajukan upaya hukumkasasi.
3) Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salahseorang suami atau isteri bersifat kontensius dengan mendudukkan isteri atausuami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon,produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukanupaya hukum banding dan kasasi.
4) Apabila dalam proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah dalam angka (2)dan (3) tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat dalamperkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka isteri terdahulu tersebutharus dijadikan pihak dalam perkara. Jika Pemohon tidak mau merubahpermohonannya dengan memasukkan isteri terdahulu sebagai pihak,permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
5) Permohonan itsbat nikah yang dilakukan oleh anak,wali nikah, dan pihak lainyang berkepentingan harus bersifat kontensius, dengan mendudukkan suamidan isteri dan/atau ahli waris lain sebagai Termohon.
6) Suami atau isteri yang telah ditinggal mati oleh isteri atau suaminya, dapatmengajukan permohonan itsbat nikah secara kontensius denganmendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak Termohon, produknya berupaputusan dan atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi.
7) Dalam hal suami atau isteri yang ditinggal mati tidak mengetahui ada ahliwaris lain selain dirinya maka permohonan itsbat nikah diajukan secaravoluntair, produknya berupa penetapan. Apabila permohonan tersebut ditolak,maka Pemohon dapat mengajukan upaya hukum kasasi.
8) Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalamperkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (2) dan (6), dapatmelakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyahyang memutus, setelah mengetahui ada penetapan itsbat nikah.
9) Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalamperkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (3), (4) dan (5), dapatmengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyahyang memeriksa perkara itsbat nikah tersebut selama perkara belum diputus.
10) Pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihakdalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (3), (4) dan (5),sedangkan permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama atauMahkamahSyar'iyah, dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan
14
yang telah disahkan oleh PengadilanAgama atau Mahkamah Syar'iyahtersebut.
11) Ketua Majelis Hakim 3 (tiga) hari setelah menerima PMH, membuat PHSsekaligus memerintahkan jurusita pengganti untuk mengumumkanpermohonan pengesahan nikah tersebut 14 (empat belas) hari terhitungsejak tanggal pengumuman pada media massa cetak atau elektronik atausekurang-kurangnya diumumkan pada papan pengumuman PengadilanAgama/Mahkamah Syar'iyah.
12) Majelis Hakim dalam menetapkan hari sidang paling lambat 3 (tiga) harisetelah berakhirnya pengumuman. Setelah hari pengumuman berakhir,Majelis Hakim segera menetapkan hari sidang (Hukum Acara).
13) Untuk keseragaman, amar pengesahan nikah berbunyi sebagai berikut:“Menyatakan sah perkawinan antara ..... dengan..... yang dilaksanakan padatanggal ..... di .....” (Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis PeradilanAgama, 2008).
C. Tinjauan Mengenai Pengadilan Agama
1. Pengertian Pengadilan AgamaPengadilan Agama (PA) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan
Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan
Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang:
a. perkawinan
b. warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. wakaf dan shadaqah
d. ekonomi syari'ah (Wikipedia Bahasa Indonesia, 2013).
2. Fungsi Pengadilan Agama
Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas dan
berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama di
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam serta waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi syari’ah sebagaimana diatur
dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
3. Asas Umum Peradilan Agama
a. Asas Personalita KeIslaman
Ada dua asas untuk menentukan kekuasaan absolut Pengadilan Agama, yaitu apabila:
1) Suatu perkara menyangkut status hukum seseorang muslim, atau
15
2) Suatu sengketa yang timbul dari suatu perbuatan/peristiwa hukum yang
dilakukan/terjadi berdasarkan Hukum Islam atau berkaitan erat dengan status
hukum sebagai muslim, dalam keluarga sebagaimana dimaksud Pasal 49 UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Atas dasar itu maka:
1) Sengketa mengenai perkawinan yang dilakukan menurut hukum Islam dan
segala akibat hukumnya diselesaikan oleh Pengadilan Agama.
2) Harta waris orang yang beragama Islam dibagi secara Islam dan apabila terjadi
sengketa diselesaikan melalui Pengadilan Agama (A. Mukti Arto, 2011: 6).
b. Asas Wajib Mendamaikan
Asas wajib mendamaikan yaitu pada sidang pertama. Dalam perkara
perceraian, usaha perdamaian dapat diteruskan selama perkara belum diputus. Dalam
usaha perdamaian, hakim dapat meminta bantuan kepada orang/badan lain yang
ditunjuk (A. Mukti Arto, 2011: 11).
c. Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Sebuah Peradilan apalagi Peradilan Agama yang menjadi harapan masyarakat
muslim untuk mencari keadilan, dengan adanya asas sederhana, cepat dan biaya
ringan akan selalu dikehendaki oleh masyarakat. Penyelesain perkara dalam
peradilan yang cepat, tepat, adil, dan biaya ringan tidak berbelit- belit yang
menyebabkan proses sampai bertahun-tahun. Biaya ringan artinya biaya yang
sederhana mungkin sehingga dapat terpikul oleh rakyat.
Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan juga telah diatur
dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
d. Asas Terbuka untuk Umum
Setiap persidangan harus terbuka untuk umum. Kalau tidak, putusannya bisa
berakibat tidak sah. Kecuali apabila ditentukan lain oleh Undang-Undang, atau
karena alasan penting yang harus dimuat dalam berita acara persidangan, maka
sidang dilakukan dengan tertutup. Untuk sidang pemeriksaan perceraian dan
pembatalan perkawinan berlaku sebagai berikut:
1) Pada saat diusahakan perdamaian, sidang terbuka untuk umum;
2) Jika tercapai perdamaian maka sidang dilakukan dengan tertutup untuk umum;
16
3) Tetapi pada saat pembacaan putusan, sidang terbuka untuk umum (A. Mukti
Arto, 2011: 9-10)
e. Asas Aktif Memberi Bantuan
Dalam perkara perdata, Pengadilan membantu para pihak dan berusaha
sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Pemberian bantuan dan nasihat
dapat diberikan baik sebelum sidang, selama persidangan maupun setelah perkara
diputus (A. Mukti Arto, 2011: 11).
4. Macam-Macam Perkara di Pengadilan Agama
a. Perkara Voluntair
Perkara Voluntair ialah perkara yang sifatnya permohonan dan di dalamnya tidak
terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan. Pada dasarnya perkara permohonan tidak
dapat diterima, kecuali kepentingan undang-undang menghendaki demikian. Perkara
voluntair yang diajukan ke Pengadilan Agama seperti:
1) Penetapan wali pengampu bagi ahli waris yang tidak mampu untuk melakukan
tindakan hokum
2) Penetapan pengangkatan wali
3) Penetapan pengangkatan anak
4) Penetapan pengesahan nikah (itsbat nikah)
5) Penetapan wali adhol, dsb.
Produk perkara voluntair ialah Penetapan. Nomor Perkara permohonan diberi tanda P,
misalnya Nomor: 125/Pdt.P/1996/PA.Btl. Dalam perkara voluntair hanya ada pihak
pemohon saja. Mungkin ada pemohon I, II, dan seterusnya, karena tidak ada sengketa (A.
Mukti Arto, 2011:41-42).
b. Perkara Kontentius
Perkara kontentius ialah perkara gugatan/permohonan yang di dalamnya
mengandung sengketa antara pihak-pihak. Nomor perkara kontentius diberi tanda G
misalnya Nomor: 180/Pdt.G/1996/PA.Btl. Perkara ijin ikrar talak dan poligami meskipun
dengan istilah permohonan, tetapi karena mengandung sengketa maka termasuk perkara
kontentius dan bertanda G (A. Mukti Arto, 2011: 41).
Dalam perkara kontentius terdapat dua pihak atau lebih yang bersengketa. Pihak
yang mengajukan gugatan disebut Penggugat, sedangkan pihak yang digugat disebut
Tergugat. Apabila penggugat dan tergugat lebih dari satu orang maka disebut Penggugat
17
I, Penggugat II, dan seterusnya. Demikian juga Tergugat I, Tergugat II, dan seterusnya.
Kadang-kadang ada pula pihak-pihak yang turut Tergugat yaitu pihak yang tidak digugat
langsung namun ada kemungkinan mempunyai hak dalam objek yang dipersengketakan,
tetapi ia tidak mau turut menggugat (A. Mukti Arto, 2011: 42).
III. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Wates pada bulan Oktober sampai
Desember 2013. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk
memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat,
mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam penelitian deskriptif cenderung tidak
perlu mencari atau menerangkan saling hubungan dan menguji hipotesis (Sanapiah Faisal,
2005: 20). Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif. Metode penelitian tersebut
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati (Lexy J. Moleong, 2010: 4).
Penentuan subjek penelitian dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive.
Teknik purposive adalah pemilihan subjek penelitian yang mempertimbangkan kriteria dan
perimbangan tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian (Lexy J. Moleong, 2010:
224). Subjek penelitian ini adalah , yaitu dua orang hakim di Pengadilan Agama Wates yang
menangani sidang itsbat nikah.
Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi. Teknik
pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan cross check data untuk
membandingkan dan mengecek kembali hasil dokumentasi dan hasil wawancara serta hasil
wawancara antar subjek penelitian. Teknik pemeriksaan keabsahan data dengan menggunakan
croos check dilakukan manakala pengumpul data penelitian menggunakan strategi
pengumpulan data ganda pada objek penelitian yang sama (Lexy J. Moleong, 2010: 330-331).
Teknik analisis data dengan menggunakan teknik analisis data induktif, yang
merupakan penarikan kesimpulan dari fakta-fakta yang khusus, untuk kemudian ditarik
kesimpulan secara umum (generalisasi). Beberapa langkah dalam analisis data tersebut antara
lain, 1) Reduksi data; 2) Kategorisasi dan unitisasi; 3) Display data; 4) Pengambilan
kesimpulan.
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada bagian ini akan disampaikan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan yang
meliputi: alasan permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates dan pelaksanaan itsbat
18
nikah di Pengadilan Agama Wates. Adapun hasil penelitian dan pembahasan yang pertama
akan disampaikan adalah terkait alasan permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates
sebagai berikut:
1. Hilangnya akta nikah. Hilangnya akta nikah disebabkan karena adanya bencana alam
seperti tanah longsor dan kebakaran. Apabila akta nikah hilang maka dapat dimintakan
duplikatnya ke kantor yang dulu mengeluarkannya. Jika kantor yang dahulu
mengeluarkan tidak dapat membuat duplikatnya karena telah rusak atau hilang maka
dapat diajukan itsbat nikahnya di Pengadilan Agama. Jadi Pengadilan Agama khususnya
Pengadilan Agama Wates dapat menerima dan membuatkan penetapan itsbat nikah
karena hilangnya akta nikah. Di Pengadilan Agama Wates hilangnya akta nikah ini
disebabkan karena adanya bencana alam. Kemudian Pemohon berusaha mendatangi
KUA yang mengeluarkan akta nikah untuk mencari duplikat akta nikah namun setelah
dicari di KUA juga tidak ditemukan atau telah hilang. Kemudian dari pihak KUA
memberikan surat keterangan untuk dijadikan dasar atau alat bukti penyelesaian perkara
itsbat nikah yang diajukan Pemohon di Pengadilan Agama Wates.
2. Mengesahkan status anak/untuk membuat akta kelahiran. Itsbat nikah yang diajukan
untuk mengesahkan status anak atau untuk membuat akta kelahiran di Pengadilan Agama
Wates dilakukan oleh suami isteri atau salah satu dari mereka yang bertujuan untuk
membuat akta kelahiran anak-anak mereka. Hal ini disebabkan karena perkawinan yang
dilakukan Pemohon terjadi pada saat sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang dimungkinkan perkawinan belum dicatatkan atau telah
dicatatkan namun akta nikah hilang, dan setelah dicari duplikat surat nikah di KUA
setempat tidak ditemukan. Oleh karena itu, mereka mengajukan permohonan itsbat nikah
di Pengadilan Agama Wates.
3. Mengurus pembagian warisan. Itsbat nikah untuk mengurus pembagian warisan di
Pengadilan Agama Wates tergolong banyak. Hal ini kebanyakan dilakukan oleh anak-
anak dari orang tua yang pernikahannya akan diitsbatkan. Secara keseluruhan
permohonan itsbat nikah ini disebabkan karena perkawinan terjadi pada saat sebelum
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimungkinkan
perkawinan belum dicatatkan atau telah dicatatkan namun akta nikah hilang dan setelah
dicari duplikat surat nikah di KUA setempat tidak ditemukan, maka mereka mengajukan
permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates.
19
Berikut akan disampaikan hasil penelitian dan pembahasan terkait pelaksanaan itsbat
nikah di Pengadilan Agama Wates:
1. Pengajuan permohonan itsbat nikah. Pengajuan permohonan itsbat nikah ini berhak
dilakukan oleh suami, isteri, anak, orang tua/wali nikah, dan pihak yang berkepintangan
dalam perkawinan itu (Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat 4). Di dalam pengajuan
permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates terdapat langkah-langkah yang
harus ditempuh oleh pemohon.
2. Penerimaan perkara itsbat nikah. Setelah Pengadilan Agama Wates menerima
permohonan yang telah diajukan oleh pemohon dalam waktu selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari, Ketua Pengadilan Agama Wates menunjuk Majelis Hakim untuk
memeriksa dan mengadili perkara itsbat nikah tersebut. Selain menunjuk Majelis
Hakim, Ketua juga menunjuk Panitera Sidang untuk membantu Majelis Hakim dalam
menyelesaiakan perkara itsbat nikah tersebut. Ketua Majelis setelah menerima berkas
perkara itsbat nikah tersebut, bersama-sama hakim anggotanya mempelajari berkas
perkara. Ketua Majelis Hakim kemudian menetapkan hari dan tanggal serta jam kapan
perkara itsbat nikah tersebut akan disidangkan serta memerintahkan agar para pihak
dipanggil untuk datang menghadap pada hari, tanggal dan jam yang telah ditentukan
oleh Ketua Majelis Hakim. Berdasarkan perintah Ketua Majelis, jurusita/jurusita
pengganti melaksanakan pemanggilan kepada para pihak supaya hadir di persidangan
pada hari, tanggal dan jam sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Ketua Majelis.
3. Pemeriksaan perkara itsbat nikah. Pemeriksaan perkara itsbat nikah di Pengadilan
Agama Wates dilaksanakan sesuai dengan bentuk perkaranya. Di Pengadilan Agama
Wates bentuk perkara itsbat nikah dibedakan menjadi dua yaitu perkara Voluntair dan
perkara Kontentius. Perkara Voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan di
dalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan. Dalam perkara voluntair
hanya ada pihak pemohon saja, karena tidak ada sengketa. Sedangkan perkara
kontentius adalah perkara gugatan/permohonan yang di dalamnya mengandung
sengketa antara pihak-pihak. Di dalam perkara kontentius terdapat dua pihak atau lebih
yang bersengketa (A. Mukti Arto, 2011: 41-42). Di dalam permohonan itsbat nikah ini
terdapat pihak yang mengajukan permohonan disebut Pemohon sedangkan pihak lawan
disebut Termohon. Dijelaskan oleh Hakim Pengadilan Agama Wates dalam
wawancaranya bahwa jika permohonan itsbat nikah yang diajukan adalah perkara
voluntair/hanya ada Pemohon saja maka pemeriksaan perkara dalam sidang yaitu
20
Pembacaan Permohonan, Pembuktian, Kesimpulan, dan Penetapan Hakim. Sedangkan
jika permohonan itsbat nikah yang diajukan adalah perkara kontentius yang di dalamnya
terdapat Pemohon dan pihak lawan (Termohon) maka pemeriksaan perkara itsbat nikah
tersebut melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a. Pembacaan permohonan
Pada tahap pembacaan permohonan ini terdapat beberapa kemungkinan dari
pemohon yaitu:
1. Mencabut permohonan
2. Mengubah permohonan
3. Mempertahankan permohonan
Jika pemohon tetap mempertahankan permohonannya maka sidang dilanjutkan ke
tahap beriktnya, yaitu jawaban termohon.
b. Jawaban termohon
Setelah permohonan dibacakan dan isinya tetap dipertahankan oleh pemohon
kemudian termohon diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya, baik dalam
sidang itu juga atau dalam sidang berikutnya. Termohon dapat mengajukan
jawaban secara tertulis atau lisan. Di dalam mengajukan jawaban tersebut termohon
harus hadir secara pribadi dalam sidang atau diwakilkan oleh kuasa hukumnya.
c. Replik pemohon
Setelah termohon menyampaikan jawabannya, kemudian si pemohon diberi
kesempatan untuk menanggapinya sesuai dengan pendapatnya.
d. Duplik termohon
Setelah pemohon menyampaikan repliknya, kemudian termohon diberi kesempatan
untuk menanggapi pula. Acara replik dan duplik (jawab-menjawab) ini dapat
diulangi sampai ada titik temu antara pemohon dan termohon, dan/atau dianggap
cukup oleh hakim.
e. Pembuktian
Pada tahap ini, baik pemohon maupun termohon diberikan kesempatan yang sama
untuk mengajukan bukti-bukti baik berupa saksi-saksi, alat bukti surat maupun
bukti lainnya secara bergantian yang diatur oleh hakim.
21
f. Kesimpulan
Pada tahap ini, baik pemohon maupun termohon diberikan kesempatan yang sama
untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan
selama sidang berlangsung, menurut pandangan masing-masing.
g. Keputusan Hakim
Pada tahap ini, hakim merumuskan duduknya perkara dan pertimbangan hukum
(pendapat hakim) mengenai perkara tersebut disertai alasan-alasannya dan dasar-
dasar hukumnya, yang diakhiri dengan keputusan hakim mengenai perkara yang
diperiksanya itu.
Produk Hakim dari hasil pemerikasaan perkara itsbat nikah di persidangan juga
berbeda. Untuk perkara voluntair disebut penetapan sedangkan untuk perkara kontentius
disebut putusan. Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis
dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Penetapan ialah juga pernyataan Hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka
untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan/voluntair (A. Mukti
Arto, 2011: 251).
V. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Pelaksanaan Itsbat Nikah di
Pengdilan Agama Wates, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Alasan permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates yaitu dikarenakan yaitu
hilangnya akta nikah yang disebabkan karena adanya bencana alam seperti tanah longsor
dan kebakaran. Selain itu untuk mengesahkan status anak atau untuk membuat akta
kelahiran, dan untuk mengurus pembagian warisan. Hal ini dikarenakan perkawinan
terjadi pada saat sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang dimungkinkan perkawinan belum dicatatkan atau telah dicatatkan
namun akta nikah hilang. Alasan ini cukup banyak terjadi di Pengadilan Agama Wates,
bahkan hampir semua permohonan itsbat nikah bertujuan untuk mengesahkan status anak
dan untuk mengurus pembagian warisan.
2. Pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Wates dilakukan melalui tahap-tahap
pengajuan permohonan, penerimaan perkara, pemeriksaan perkara dalam persidangan,
kesimpulan, dan keputusan hakim. Dalam hal ini, keputusan hakim didasarkan pada
22
pertimbangan hukum yang melihat maksud serta tujuan permohonan, lengkapnya
persyaratan yang disertai dengan keterangan saksi dan bukti-bukti yang kuat, Undang-
Undang yang berlaku, Kompilasi Hukum Islam, dan ilmu fiqh. Akibat hukum yang
timbul adalah perkawinan yang diajukan pengesahan tersebut menjadi sah dan dapat
dimintakan pencatatan dan akta nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA).
B. Saran
1. Untuk Pihak Pengadilan Agama
Pihak Pengadilan Agama harus berhati-hati dalam memeriksa dan memutus permohonan
pengesahan nikah/itsbat nikah. Dalam pemeriksaan perkara juga harus didasarkan pada
Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama yang diterbitkan oleh
Mahkama Agung Republik Indonesia agar tidak menyimpang dari ketentuan yang
berlaku. Kemudian di dalam memberikan penetapan atau putusan juga harus melalui
pertimbangan yang didasarkan pada bukti-bukti yang kuat dan keterangan saksi yang
membenarkan telah dilakukannya perkawinan yang diajukan penetapannya kepada
Pengadilan Agama Wates.
2. Untuk Pegawai Pencatat Nikah/KUA
Pegawai Pencatat Nikah atau KUA hendaknya lebih bertanggung jawab dalam
melaksanakan tugasnya. Hal ini dikarenakan Pegawai Pencatat Nikah atau KUA
merupakan pengesah sekaligus pencatat perkawinan yang dituangkan dalam bentuk akta
nikah. Akta nikah merupakan bukti otentik adanya perkawinan, maka KUA juga harus
mempunyai duplikat akta nikah dan dijaga dengan baik agar tidak hilang.
3. Untuk Masyarakat
Melihat dari pentingnya akta nikah maka masyarakat harus lebih berhati-hati dalam
menyimpan akta nikah tersebut agar tidak hilang. Selain itu, masyarakat diharapkan bisa
sadar akan pentingnya penncatatan perkawinan khususnya untuk kepentingan anak.
Dengan hal itu maka tidak lagi dijumpai masalah-masalah yang menyangkut status
keabsahan anak yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban dari anak
tersebut.
Daftar Pustaka
A Mukti Arto. (2011). Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta :Pustaka pelajar.
Abdul Gani Abdullah. (1994). Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata HukumIndonesia. Jakarta: Gema Insani Press.
23
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat BahasaEdisi 4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dokumen Mahkamah Agung. (2008). Buku Pedoman Teknis Administrasi dan TeknisPeradilan Agama. Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Dokumen Pengadilan Agama Wates.(2013). Grafik Perkara Masuk di Pengadilan AgamaWates. (http://www.pa-wates.net). Diakses pada tanggal 29 Juli 2013.
__________.(2013). Penetapan Perkara Nomor 0005/Pdt.P/2011/PA.Wt. Yogyakarta:Pengadilan Agama Wates.
Instruksi Presiden Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
JPNN. (2013). 349 Pasangan Nikah Massal di Monas.(http://www.jpnn.com/read/2012/07/15/133855/349-Pasangan-Nikah-Massal-di-Monas-). Diakses pada tanggal 25 Juni 2013.
Lexy J. Moleong. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
PEKKA. (2012). Panduan Pengajuan Itsbat Nikah. Jakarta: Pekka.
Dokumen Mahkamah Agung. (2008). Buku Pedoman Teknis Administrasi dan TeknisPeradilan Agama. Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Sanapiah Faisal. (2010). Format-Format Penelitian Sosial: Dasar-Dasar dan Aplikasi.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta.
__________.(2012). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, danR&D. Bandung: Alfabeta.
Tim KPAI. (2013). Perkawinan Tidak Dicatatkan Dampaknya bagi Anak.(http://www.kpai.go.id/tinjauan/perkawinan-tidak-dicatatkan-dampaknya-bagi-anak/).Diakses pada tanggal 20 Juni 2013.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Atas Undang-UndangNomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-UndangNomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Wikipedia Bahasa Indonesia. (2013). Pernikahan dalam Islam.(http://www.wikipedia.org/wiki/pernikahan-dalam-islam/). Diakses pada tanggal 25Juni 2013.
Zainuddin Ali. (2007). Hukum Perdata Islam Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.