peb obgyn
DESCRIPTION
PEB obgynTRANSCRIPT
Laporan Kasus
G3P2A0, 29 tahun dengan HDK dan Gemili
Oleh:
M. Agung Pratama Yudha
NIM: 030.10.164
Pembimbing :
dr. Ratna, Sp.OG
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
KEPANITRAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
RUMAH SAKIT UMUM Dr. SOESELO SLAWI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
SLAWI 25 APRIL – 08 AGUSTUS 2015
STATUS ILMU OBSTETRI
FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOESELO SLAWI
Nama Mahasiswa : M. Agung Pratama Yudha
NIM : 030.10.164
Dokter Pembimbing : Dr. Ratna, Sp. OG
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. SH
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat Rumah : Lebak Gowah RT 03/ RW 07 Kec. Lebaksiu, Kab. Tegal
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Status pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Nama Suami : Tn. S
Tanggal masuk RS : 02 Agustus 2015
II. Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara autoanamnesis pada tanggal 03 Agustus 2015 pukul
12.30 WIB di Ruang Ponek RSUD Dr. Soeselo Slawi.
A. Keluhan Utama:
Os datang ke PONEK RSUD Dr. Soeselo Slawi kiriman Bidan RC dengan
keluhan tekanan darah tinggi.
B. Keluhan Tambahan:
Pusing dari tadi malam dan Kaki bengkak.
C. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke PONEK RSUD Dr. Soeselo Slawi pada tanggal 02 Agustus 2015
dengan G3P2A0 29 tahun Hamil 32 minggu dengan PEB dan Gemili. Pasien diantar
oleh bidan membawa surat rujukan dari Bidan RC dengan tekanan darah 180/100
mmHg dan protein urin positif (3+). Pasien menyangkal adanya tekanan darah tinggi
sebelumnya. Keluhan pandangan kabur, mual, muntah, sesak, nyeri ulu hati, nyeri
kuadran kanan atas, dan riwayat kejang disangkal oleh pasien. BAB normal dan BAK
sedikit kurang lebih dua minggu belakangan ini. Pasien juga mengeluh kaki terasa
bengkak. Bengkak pada kaki dirasakan pasien sejak sehabis lebaran (kurang lebih 16
hari yang lalu). Pasien mengatakan merasa kencang-kencang sejak satu minggu
belakangan ini, mules-mules sejak pagi dan tidak keluar lendir darah. Pasien
mengatakan bahwa berat badan sebelum hamil adalah 65 kg sedangkan berat badan
saat ini adalah 75 kg dan pasien mengatakan tinggi badan pasien 160 cm. Sebelum ke
rumah sakit pasien tidak diberikan obat-obatan, hanya terpasang infus dari bidan.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit darah tinggi, kencing manis, asma,
jantung, paru, hati, maag, alergi makanan ataupun obat-obatan, kejang, dan dirawat
sebelumnya.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit serupa.
Riwayat darah tinggi (-), riwayat kencing manis (-), riwayat asma (-), riwayat
penyakit jantung (-), riwayat penyakit paru (-), riwayat penyakit hati (-), riwayat maag
(-).
F. Riwayat Kebiasaan
Pasien seorang ibu rumha tangga, pasien tidak merokok, tidak minum alkohol
dan tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
G. Riwayat Pernikahan
Pasien sudah menikah 1x, sejak tahun 21 Oktober 2007 hingga saat ini, tinggal
serumah dengan suami dan orang tua.
H. Riwayat Obstetri
G3P2A0
HPHT : 21 Desember 2014
HPL : 28 September 2015
- Usia Kehamilan : 32 minggu 1 hari
- Ante natal care : rutin kontrol ke bidan 1 bulan sekali pada trimester 1 dan 2.
Trimester 3 pasien kontrol 1 minggu sekali ke bidan. TT3 1x USG : (-)
- Penyakit selama kehamilan: hipertensi (+).
I. Riwayat KB
Pasien memakai KB suntik setelah 40 hari lahiran anak kedua pada tahun 2009,
kurang lebih 6 tahun yang lalu. Pasien hanya memakai KB suntik selama 3,5 tahun
dan 2,5 tahun sudah akseptor KB suntik, sebelumnya pasien rutin suntik setiap 3
bulan.
J. Riwayat Haid
Menarche pada usia 13 tahun, menstruasi teratur tiap bulan, siklus 28 hari,
banyaknya 2-3 pembalut per hari tidak penuh, lama haid rata-rata 4-5 hari,
dysmenorhea (-), keputihan (-)
II. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 03 Agustus 2015 di Ruang Ponek
RSUD Dr. Soeselo Slawi.
A. Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis
Kesan sakit : tampak sakit ringan
Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif
B. Tanda vital
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Suhu : 37,50 C
Pernafasan : 22 x/menit
C. Kulit
Kulit berwarna sawo matang, tidak ikterik, tidak ada efloresensi bermakna.
D. Kelenjar getah bening
Leher: tidak teraba membesar Ketiak: tidak teraba membesar
Supraklavikuler: tidak teraba membesar Inguinal: tidak teraba
membesar
E. Kepala
Tampak normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.
F. Wajah
Normal dan simetris
G. Mata
Alis : hitam, distribusi normal, tidak mudah rontok
Kelopak : tidak terdapat edema
Konjungtiva : tampak pucat (-/-)
Sklera : tidak tampak kuning (-/-)
Lensa : terlihat jernih (+/+)
Iris : kripta tidak melebar
H. Hidung
Bentuk normal, tidak ada deformitas, tidak ada deviasi septum, mukosa tidak
hiperemis, konka normal, tidak ada sekret.
I. Telinga
Normotia, sekret -/-, serumen -/-, tidak ada nyeri tekan, liang telinga lapang,
membran timpani intak
J. Mulut
Bibir : kering, tidak pucat, tidak sianosis
Gusi dan mukosa: tidak hiperemis, tidak ada perdarahan spontan, tidak pucat,
tidak sianosis
Gigi geligi : lengkap, ada karies, tidak keropos
Lidah : tidak ada papil atrofi, tampak agak kotor
Uvula : simetris, letak di tengah, tidak hiperemis
K. Tenggorokan
- Tonsil : T1-T1 tenang, tidak ada detritus, tidak ada kripta melebar
- Faring : arkus faring simetris, tidak hiperemis
- Laring : tidak dinilai
L. Leher
- Tiroid : tidak teraba benjolan
M. Thorax
Inspeksi:
Bentuk normal, mendatar, tidak terdapat retraksi saat status dan dinamis.
Kulit : sawo matang, tidak terdapat spider nevi, tidak terdapat efluoresensi
yang bermakna
Iga : tidak ada retraksi sela iga, sela iga tidak melebar
Ictus cordis : tidak teraba pulsasi
Palpasi
- Gerak nafas kanan-kiri simetris antara dua hemithorax
- Vocal fremitus teraba sama kuat kanan dan kiri
- Thrill: tidak teraba thrill pada ke-4 katup jantung
- Ictus cordis teraba pada ± 1 cm medial garis midclavicula kiri
Perkusi paru : didapatkan suara sonor pada hemithorax kanan dan kiri
Auskultasi paru : terdengar suara napas vesikuler, wheezing +/+ dan ronki -
/-
Auskultasi jantung : S1 reguler-S2 reguler, murmur (-), gallop (-), split (-)
N. Abdomen
Inspeksi
Bentuk abdomen datar, tidak terdapat efluoresensi yang bermakna, tidak terdapat
dilatasi vena maupun arterial bruit, tidak terdapat smiling umbilikus.
Auskultasi
Bising usus + (dalam batas normal)
Palpasi
Teraba supel, tidak terdapat nyeri tekan.
Hepar dan lien dalam batas normal, tidak terdapat nyeri tekan pada bagian
ginjal.
Perkusi
Terdengar timpani pada kuadran kanan kiri atas, tidak ada shifting dullness,
tidak terdapat nyeri ketuk pada bagian ginjal
O. Ekstremitas
Inspeksi : Lengan terlihat simetris, tidak ada deformitas, kulit berwarna sawo
matang, tidak ikterik, tidak sianosis
Palpasi : Akral teraba hangat pada keempat ekstremitas, terdapat oedem pada
ekstremitas inferior.
P. Genitalia
Dalam batas normal.
Q. Anus/ Rektum : dalam batas normal.
Status Obstetrik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 03 Agustus 2015
1. Abdomen
Inspeksi: membuncit membujur, simetris, striae gravidarum (-)
- Leopold I : TFU 42 cm, teraba 1 bagian besar, bulat, lunak, dan tidak
melenting. Kesan bagian janin di fundus sebelah kanan ialah bokong.
Teraba 1 bagian besar, bulat, keras dan melenting. Kesan bagian janin di
fundus sebelah kiri ialah kepala.
- Leopold II :
- Janin Pertama Kiri : teraba bagian-bagian kecil
Kanan : teraba tahanan memanjang, rata dan keras
Kesan punggung janin pertama di perut kanan ibu
- Janin Kedua Kiri : teraba tahanan memanjang, rata dan keras
Kanan : teraba bagian bagian kecil
Kesan punggung janin kedua di perut kiri ibu
- Leopold III : Sebelah kanan teraba 1 bagian besar, bulat, keras, dan
melenting. Kesan presentasi kepala. Dan sebelah kiri teraba 1 bagian
besar, lunak, tidak keras dan tidak melenting. Kesan presentasi bokong
- Leopold IV : Konvergen. Kesan kepala-bokong (bagian terbawah) janin
belum memasuki PAP
- His (-)
Auskultasi: Janin Pertama DJJ : 138x/menit, reguler
Janin Kedua DJJ : 134x/menit, reguler
Taksiran Berat Janin menurut Johnson,
o Rumus Empiris (42-12) x 155 = 4650 gram
o Taksiran Berat Janin (TBJ 1 dan TBJ 2) = 2325 gram.
2. Genitalia
Vulva, vagina dalam keadaan tenang, oedem labia (-), lendir (-).
VT : Ǿ 1 jari longgar, KK(+), Efficement 20%, portio kenyal, medial, bagian
bawah kepala Hodge I
3. Inspekulo
Tidak dilakukan pemeriksaan inspekulo.
4. Pemeriksaan Panggul
o Pintu atas panggul (Pevic Inlet) : Promontorium tidak teraba
Linea inominata teraba 1/3 pada kanan dan
kiri
o Pintu tengah panggul (Mid Pelvic) : Spina ischiadica tidak tajam
Kelengkungan sakrum cukup
Dinding samping pelvis sejajar
o Pintu bawah panggul (Pelvic Outlet) : ARCUS PUBIS >90o
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan 02 Agustus 2015
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Leukosit 9.700 3.600-11.000 u/l
Eritrosit 3,7 3.80-3.20 juta/ul
Hemoglobin 11,3 11,7-16,6 g/dL
Hematokrit 33 35-47%
MCV 89 80-100 Fl
MCH 31 26-34 pg
MCHC 34 32-36 g/dL
Trombosit 251.000 150.000-450.000 u/l
Diff count
Eosinofil 1,50 2-4
Basofil 0,30 0-1
Netrofil 67,80 50-70
Limfosit 25,00 25-40
Monosit 5,40 2-8
Golongan darah O Rhesus factor (+)
Urin
Protein urin Negatif Negatif
Sero Imunologi
HbsAg Non reaktif Non reaktif
II. RESUME
Pasien datang ke PONEK RSUD Dr. Soeselo Slawi pada tanggal 02 Agustus 2015
pukul 21.00 dengan G3P2A0 29 tahun Hamil 32 minggu 1 hari dengan keluhan tekanan
darah tinggi. Pasien diantar oleh Bidan membawa surat rujukan dengan tekanan darah
180/100 mmHg dan protein urin positif (3+).
Pasien menyangkal riwayat tekanan darah tinggi (-). Keluhan pandangan kabur,
mual, muntah, sesak, nyeri ulu hati, riwayat kejang disangkal oleh pasien. BAB
normal dan BAK sedikit kurang lebih dua minggu belakangan ini. Pasien juga
mengeluh kaki terasa bengkak. Bengkak pada kaki dirasakan pasien sejak sehabis
lebaran (kurang lebih 16 hari yang lalu). Pasien mengatakan merasa kencang-kencang
sejak satu minggu belakangan ini, mules-mules sejak pagi dan tidak keluar lendir
darah. Pasien mengatakan bahwa berat badan sebelum hamil adalah 65 kg sedangkan
berat badan saat ini adalah 75 kg dan pasien mengatakan tinggi badan pasien 160 cm.
Sebelum ke rumah sakit pasien tidak diberikan obat-obatan, hanya terpasang infus dari
bidan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 180/100mmHg, Nadi 96x/mnt,
Suhu 37,50 C, dan Pernafasan 22x/menit. Pada pemeriksaan status obstetrik
didapatkan TFU 42 cm, punggung janin diperut sebelah kanan dan kiri ibu, dan
presentasi kepala-bokong, janin pertama DJJ 138x/menit reguler, dan janis kedua DJJ
134x/menit reguler, His (-). Saat dilakukan vaginal touches didapatkan pembukaan 1
cm longgar, KK(+), portio tebal lunak, kepala turun hodge 1. Pemeriksaan panggul
kesan : panggul gynecoid
Pada pemeriksaan penunjang tanggal 02 Agustus 2015 didapatkan Eritrosit ↓
(3,7), Hb ↓ (11,3), Ht ↓ (33), Eosinifil ↓ (1,50), Protein urin (Negatif), HbsAg (Non
Reaktif).
Dari anamnesis, pemerikdaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini maka
diagnosis pasien adalah G3P2A0 29 Tahun, Hamil 32 minggu 1 hari, Janin 2 hidup
intrauterine, presentasi kepala-bokong, punggung kanan-kiri perut ibu dengan PEB
dan Gemili
III. DIAGONOSA KERJA
o Diagnosa masuk
Ibu: G3P2A0 29 Tahun Hamil 32 minggu 1 hari, Janin 2 Hidup Intrauterin, Presentasi
Kepala-Bokong, Punggung Kanan-Kiri, dengan Preeklamsia Berat dan Gemili
Janin: Janin 2 hidup intrauterin, presentasi kepala-bokong, punggung kanan-kiri,
kepala-bokong belum masuk PAP.
o Diagnosa akhir
G3P2A0 29 Tahun Hamil 32 minggu 1 hari, Janin 2 Hidup Intrauterin, Presentasi
Kepala-Bokong, Punggung Kanan-Kiri, dengan Hipertensi Dalam Kehamilan dan
Gemili
IV. PENATALAKSANAAN
Terapi non-medikamentosa
- ABC ( jalan nafas )
- Diet kalori dan pemberian suplemen vitamin yang cukup
- Pengawasan Tanda vital, balance cairan, his, Djj, tanda inpartu
- Mencegah kejang
- Observasi keadaan umum
- Mengatasi hipoksemia
- Mencegah trauma pada pasien sewaktu kejang
- Mengendalikan tekanan darah
- Melahirkan janin pada waktu yang tepat dan cara yang tepat
Perawatan kejang
- Tempatkan diruang khusus, lampu terang
- Tempat tidur harus cukup lebar, dapat diubah dalam posisi Tredelenburg
dengan kepala lebih tinggi
- Spatel lidah agar tidak tergigit
- Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor, menghindari fraktur
Perawatan Koma
- Derajat kedalaman diukur dengan GCS
Terapi medikamentosa
o Rawat di rumah sakit
o Oksigenasi 3 liter/menit
o RL 20 tpm
o Pasang DC
o Loading: MgSO4 40% 4 gr bolus i.v dalam 15 menit
o Mentainance: MgSO4 20% 6 gr dalam 500 cc RL/6 jam
o Dopamet 3 x 500 mg tab.
o Cek urin
Sikap Obstetrik
Terminasi kehamilan
V. PROGNOSIS
- Ibu
Ad vitam : Dubia ad Bonam
Ad sanationam : Dubia ad Bonam
Ad functionam : Dubia ad Bonam
- Janin
Ad vitam : ad bonam
VI. HASIL FOLLOW-UP
Tanggal S O A P
Ponek
02/08/15
21.00
Keluhan:
nyeri kepala
Protein urin
di bidan (3+)
KU: TSS
Kesadaran: CM
TD: 140/90 mmHg
HR: 96 x/m
RR: 22 x/m
S: 36,50C
Mata: CA-/- SI-/-
Thorax: cor: dbn,
Abdomen: TFU : 42 cm
-Janin 1 DJJ: 140x/m
-Janin 2 DJJ: 152x/m
Extremitas: OE +/+ AH
+/+
VT : Ǿ tidak dilakukan
His (-)
G3P2A0 29
Tahun
Hamil 32
minggu 1
hari, Janin
2 hidup
intrauterine,
presentasi
kepala-
bokong,
punggung
kana-kiri,
dengan PEB
dan Gemili
Lapor Dokter Jaga:
Inf. RL 20 tpm
Pasang DC
Lapor Dokter
Ratna Sp.OG
Balasan (-)
03/08/15
06.00
Nyeri kepala
membaik.
Gerak janin
(+)
KU: TSS
Kesadaran: CM
TD: 130/70 mmHg
HR: 80 x/m
RR: 20 x/m
S: 36,80C
Mata: CA-/- SI-/-
Thorax: cor: dbn,
Abdomen: TFU : 42 cm
-Janin 1 DJJ: 138x/m
-Janin 2 DJJ: 134x/m
Extremitas: OE +/+ AH
+/+
VT : Ǿ tidak dilakukan
His (-)
G3P2A0 29
Tahun
Hamil 32
minggu 1
hari, Janin
2 hidup
intrauterine,
presentasi
kepala-
bokong,
punggung
kana-kiri,
dengan
HDK dan
Gemili
03/08/15
08.00
Nyeri kepala
membaik
Gerak janin
(+)
KU: TSS
Kesadaran: CM
TD: 130/70 mmHg
HR: 88 x/m
RR: 20 x/m
S: 36,80C
Mata: CA-/- SI-/-
Thorax: cor: dbn,
Abdomen: TFU : 42 cm
-Janin 1 DJJ: 140x/m
-Janin 2 DJJ: 142x/m
Extremitas: OE +/+ AH
+/+
VT : Ǿ tidak dilakukan
His (+)
G3P2A0 29
Tahun
Hamil 32
minggu 1
hari, Janin
2 hidup
intrauterine,
presentasi
kepala-
bokong,
punggung
kana-kiri,
dengan
HDK dan
Gemili
Pro USG
03/08/15
10.30
USG (+) UK : 34 – 35 mgg
Gemili
Presentasi Kepala-
Bokong
VT : Ǿ 1 jari longgar
G3P2A0 29
Tahun
Hamil 32
minggu 1
hari, Janin
2 hidup
intrauterine,
presentasi
kepala-
bokong,
punggung
kana-kiri,
dengan
HDK dan
Gemili
Advice dr Ratna
SpOG :
Protab PEB
Drip Oksi %
IU 12 tpm
Observasi
03/08/15
12.30
Nyeri kepala
membaik
Gerak janin
(+)
KU: TSS
Kesadaran: CM
TD: 130/70 mmHg
HR: 88 x/m
RR: 20 x/m
S: 36,80C
Mata: CA-/- SI-/-
Thorax: cor: dbn,
Abdomen: TFU : 42 cm
-Janin 1 DJJ: 140x/m
-Janin 2 DJJ: 142x/m
Extremitas: OE +/+ AH
+/+
VT : Ǿ 1 jari longgar
His (+)
G3P2A0 29
Tahun
Hamil 32
minggu 1
hari, Janin
2 hidup
intrauterine,
presentasi
kepala-
bokong,
punggung
kana-kiri,
dengan
HDK dan
Gemili
03/08/15
15.00
Nyeri kepala
membaik
KU: TSS
Kesadaran: CM
G3P2A0 29
Tahun
Gerak janin
(+)
TD: 130/70 mmHg
HR: 88 x/m
RR: 20 x/m
S: 36,80C
Mata: CA-/- SI-/-
Thorax: cor: dbn,
Abdomen: TFU : 42 cm
-Janin 1 DJJ: 140x/m
-Janin 2 DJJ: 142x/m
Extremitas: OE +/+ AH
+/+
VT : Ǿ tidak dilakukan
His (+)
Hamil 32
minggu 1
hari, Janin
2 hidup
intrauterine,
presentasi
kepala-
bokong,
punggung
kana-kiri,
dengan
HDK dan
Gemili
03/08/15
19.00
Nyeri kepala
membaik.
Gerak janin
(+)
KU: TSS
Kesadaran: CM
TD: 130/70 mmHg
HR: 88 x/m
RR: 20 x/m
S: 36,80C
Mata: CA-/- SI-/-
Thorax: cor: dbn,
Abdomen: TFU : 42 cm
-Janin 1 DJJ: 140x/m
-Janin 2 DJJ: 142x/m
Extremitas: OE +/+ AH
+/+
VT : Ǿ 1 jari longgar
His (+)
G3P2A0 29
Tahun
Hamil 32
minggu 1
hari, Janin
2 hidup
intrauterine,
presentasi
kepala-
bokong,
punggung
kana-kiri,
dengan
HDK dan
Gemili
03/08/15
22.00
Nyeri kepala
membaik.
Gerak janin
KU: TSS
Kesadaran: CM
TD: 130/90 mmHg
G3P2A0 29
Tahun
Hamil 32
Monitor
keadaan umum
(+) HR: 88 x/m
RR: 20 x/m
S: 36,80C
Mata: CA-/- SI-/-
Thorax: cor: dbn,
Abdomen: TFU : 42 cm
-Janin 1 DJJ: 144x/m
-Janin 2 DJJ: 150x/m
Extremitas: OE +/+ AH
+/+
VT : Ǿ 2 tidak
dilakukan
His (+)
minggu 1
hari, Janin
2 hidup
intrauterine,
presentasi
kepala-
bokong,
punggung
kana-kiri,
dengan
HDK dan
Gemili
04/08/15
08.00
Nyeri kepala
membaik.
Gerak janin
(+)
Keluar lendir
(+)
KU: TSS
Kesadaran: CM
TD: 140/90 mmHg
HR: 88 x/m
RR: 22 x/m
S: 36,80C
Mata: CA-/- SI-/-
Thorax: cor: dbn,
Abdomen: TFU : 42 cm
-Janin 1 DJJ: 144x/m
-Janin 2 DJJ: 150x/m
Extremitas: OE +/+ AH
+/+
VT : Ǿ tidak dilakukan
His (+)
G3P2A0 29
Tahun
Hamil 32
minggu 1
hari, Janin
2 hidup
intrauterine,
presentasi
kepala-
bokong,
punggung
kana-kiri,
dengan
HDK dan
Gemili
Infus drip Oxy
botol I
Kanul O2 4L/m
04/08/15
12.00
Nyeri kepala
membaik.
Gerak janin
KU: TSS
Kesadaran: CM
TD: 140/90 mmHg
G3P2A0 29
Tahun
Hamil 32
Kanul O2 4L/m
(+)
HR: 92 x/m
RR: 22 x/m
S: 36,80C
Mata: CA-/- SI-/-
Thorax: cor: dbn,
Abdomen: TFU : 42 cm
-Janin 1 DJJ: 146x/m
-Janin 2 DJJ: 151x/m
Extremitas: OE +/+ AH
+/+
VT : Ǿ 1 jari longgar
His (+)
minggu 1
hari, Janin
2 hidup
intrauterine,
presentasi
kepala-
bokong,
punggung
kana-kiri,
dengan
HDK dan
Gemili
ANALISIS KASUS
Teori Kasus
1) Anamnesa
Hipertensi yang timbul setelah kehamilan 20
minggu disertai proteinuria. Dahulu, disebut PE
jika dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg, proteinuria dan edema.
Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan dalam
kriteria diagnostik. Pengukuran tekanan darah
harus diulang berselang 4 jam, tekanan darah
diastol ≥ 90 mmHg digunakan sebagai pedoman.2
Preeklamsia dapat diklasifikasikan menurut
beratnya penyakit menjadi dua yaitu ringan dan
berat. Preeklamsia dikatakan berat apabila disertai
dengan keadaan sebagai berikut3 :
2) Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg
3) Trombositopenia (<100.000) sel/mm3
4) Kenaikan kadar kreatinin plasma
5) Gangguan visus dan serebral
6) Nyeri epigastrium / kuadran kanan atas
abdomen yang tidak mereda diberika
pengobtaan
7) Edema paru dan sianosis
8) Hemolisis mikroangiopatik
9) Gangguan fungsi hepar
10) Sindrom HELLP
Faktor resiko 4,5
:
Primigravida, primipaternitas
Hiperplasentosis : mola hidatidosa, kehamilan
Pasien hamil 32 minggu dengan keluhan
tekanan darah tinggi. Pasien membawa surat
rujukan dengan TD 180/100mmHg dan protein
urine positif (3+).
Tidak ada riwayat hipertensi sebelumnya
Faktor resiko yang terdapat pada pasien :
Kehamilan multiple
multipel, diabetes mellitus, hidrops fetais, bayi
besar
Umur yang ekstrim ( <20 tahun, >35 tahun)
Riwayat keluarga pernah preeklamsi/eklamsi
Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang
sudah ada seblum hamil
Obesitas
Kehamilan multifetus atau ganda atau kembar
adalah suatu kehamilan dengan dua janin atau
embrio atau lebih dalam satu gestasi
Faktor Predisposisi
1) Ras
2) Hereditas
3) Usia maternal dan paritas
4) Nutrisi
5) Gonadotropin endogen
6) Preparat kesuburan
Obesitas
BMI pasien : 29,29 kg/m2 obesitas kelas
12
RPD : DM(-) HT (-) Penyakit Jantung (-)
RPK : DM(-) HT (-) Penyakit Jantung (-)
Preeklamsia (-)
Faktor Predisposisi Ny. SH
-Ras berkulit hitam atau Asia 1:50
-Hereditas, adanya faktor keturunan dari
keluarga dari keluarga Ibu. Karena
faktor keturunan lahir kembar lebih
besar diturunkan dari Genotipe Ibu.
-Usia maternal dan paritas, sesuai karna
Ny SH sudah pernah melahirkan dua
kali.
-Nutrisi, sesuai karen pasien memiliki
postur tubuh besar dan tinggi, lebih
besar kemungkinan untuk mendapatkan
kehamilan kembar daripada ibu dengan
postur pendek dan kecil.
-Gonadotropin endogen, angka
kehamilan kembar dizigot yang lebih
tingggi pada pemakaian kontrasepsi
oral, naum ini tidak berlaku pada pasien
karena memakai KB suntik
-Preparat kesuburan, pada pasien
disangkal
11) Pemeriksaan fisik
Pre eklamsia berat, bila: 1,2,3
TD systole ≥ 160 dan diastole ≥ 110 TD: 180/100 mmHg. (Tensi dibidan)
Menunjukkan gejala dari preeklamsia
berat
Mungkin bisa terjadi salah pengukuran
subjek dalam melakukan penensian.
Kemungkinan kedua, melakukan tensi
pada saat kenceng atau kontraksi
12) Pemeriksaan laboratorium
Preeklampsia berat2,8
Protein urin : proteinuria ≥ +2
Hepar : peningkatan SGOT dan SGPT
Hematologi : Trombositopenia berat ( <100.000/ul
atau penurunan trombosit dengan cepat)
Preeklamsia berat3
o Ditemukan protein urin ≥5mg selama 24
jam
o Metode dipstick tidak disarankan lagi
untuk mendiagnosis preeklamsi berat
o Proteinuria sudah tidak dijadikan patokan
lagi untuk mendiagnosis derajat preeklamsi
Protein urin : (3+) PU dibidan
Menunjukkan gejala dari preeklamsia
berat
Mungkin bisa terjadi salah pengukuran
subjek dalam melakukan pemeriksaan
urin.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan Urin
tampung dalam 24 jam (urin esbach)
13) Pentalaksanaan
Pembahasan tentang penatalaksanaan kasus ini
dibandingkan dengan Protap dari POGI tentang
Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan
Rawat inap dilakukan atas indikasi PEB
aterm dengan indikasi untuk terminasi
kehamilan segera
tahun 2010, adalah sebagai berikut2 :
Rawat inap atas indikasi hipertensi atau
proteinuria yang menetap dengan oedem dan
hasil tes laboratorium abnormal, adanya gejala
atau tanda dari preeklamsia berat.
Pemeriksaan yang dilakukan pada ibu meliputi
monitor gejala klinis untuk gejala dan tanda
preeklamsia berat / impending eklamsia,
monitor tekanan darah setiap 4 jam kecuali saat
pasien tidur, pengamatan cermat terhadap
edema pada muka dan abdomen, serta
pengukuran produksi urin setiap 3 jam.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
meliputi darah rutin, protein urin, liver function
test, dan renal function test
Pemeriksaan kesejahteraan janin, bisa dilakukan
melalui pengamatan gerak janin, non-stress test
(NST), profil biofisik, evaluasi pertumbuhan
janin dengan USG, serta USG Doppler arteri
umbilikalis dan arteri uterina.
Pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan
tekanan darah setiap 4 jam sekali dan tidak
mengobservasi edema pada ekstremitas dan
muka. Dilakukan pengukuran balance cairan
namun tidak 3 jam sekali dan didapatkan
hasil pengukuran baik
Hasil dari pemeriksaan laboratorium
menunjukan protein urin (-), tidak
memperkuat diagnosis PEB, enzim hati tidak
diperiksa dan trombosit menunjukan angka
normal yang berarti pasien kemungkinan
tidak mengarah ke HELLP Sindrom dan
fungsi ginjal juga masih baik ditemukan dari
hasil pemeriksaan fisik.
Pada kasus ini, pemeriksaan kesejahteraan
janin hanya diperiksa dengan pengamatan
gerak janin, dan mengukur denyut jantung
janin dengan Doppler. Didapatkan
pemeriksaan berkala kedua DJJ janin dalam
keadaan baik dan tidak ada menunjukkan
adanya tanda tanda fetal distress
Terapi medikamentosa untuk pasien
preeklamsia berat adalah banyak istirahat
(berbaring/tidur miring), diet reguler (cukup
protein, rendah karbohidrat dan lemak, garam
dapur 4-6 gram/hari), dan perhitungan cairan
dengan urin output pada cateter, vitamin
prenatal, serta loading dose MgSO4 4gr/15
menit dan dilanjutkan MGSO4 maintance
1gr/jam sampai inpartu dan dilajutkan setelah
post partum 24 jam 1gr/jam selama 24 jam.dan
pemberian obat antihipertensi diberikan
Dopamet 3x500 dan amlodipin 1x10mg.
Penatalaksanaan Gemili
Untuk menurukan mortalitas dan morbiditas
perinatal secara bermakna dalam kehamilan
yang dipersulit oleh janin kembar, tindakan
yang perlu diambil adalah :
1. Persalinan bayi prematur harus dicegah
2. Kegagalan salah satu atau kedua janin
untuk bertahan hidup harus diketahui.
3. Trauma janin selama persalilnan harus
dikurangi
4. Perawatan neonatal yang memadai
harus tersedia sejak bayi lahir.
Pada kasus sudah akan dilakukan tatalaksana
yang sesuai dengan protap PEB untuk
mengatasi jika seandainya terjadi gejala
klinis PEB dan untuk obat antihipertensi
pasien belum mendapatkan obat apa-apa.
Diet
Kebutuhan akan kalori, protein, mineral,
vitamin dan asma lemak essensial mengalami
peningkatan.Konsumsi 300 kalori, pemberian 60
hingga 100 mg zat besi dan asam folat dengan
takaran 1 mg per hari terbukti bermanfaat.
Tirah Baring
Beberapa penulis menyebutkan bahwa tirah
baring merupakan tindakan yang
menguntungkan bagi janin kembar, mungkin hal
ini terjadi melalui peningkatan perfusi darah
serta penurunan gaya kekuatan fisik yang dapat
merugikan serviks untuk mempercepat
penipisan dan dilatasi.
Β-mimetik
Seperti pada kehamilan tunggal, tidak ada bukti
yang valid bahwa terapi tokolitik meningkatkan
outcome neonatus pada kehamilan multipel.
Pemberian Progestin
Pengelolaan obstetrik terhadap pasien
preeklamsia berat tergantung dari usia
kehamilan. Pada usia kehamilan ≤ 37 minggu
dilakukan penganganan konservatif bila tidak
ada tanda-tanda impending eclamsi dan keadaan
janin baik. Sedangkan untuk pasien usia
kehamilan ≥ 37 minggu dilakukan terminasi.
Induksi persalinan pada PEB yaitu bila tidak
ada kemajuan persalinan dalam 24 jam maka
pasien harus segera di lakukan tindakan operatif
Menurut NICE Clinical Guidelines tentang
manajemen penyakit hipertensi dalam kehamilan,
perawatan post partum dari wanita dengan
preeklamsia meliputi10
:
Pengukuran tekanan darah minimal 4 kali
sehari selama berada di rumah sakit.
Observasi keluhan pasien setiap kali
mengukur tekanan darah.
Pemeriksaan jumlah trombosit,
tidak menemukan manfaat pemberian preparat
ini sepanjang trisemester ketiga kehamilan pada
kehamilan kembar.
USG
Dilakukan secara rutin untuk melihat apakah
anya kelianan kongenital pada janin, dan
melihat presentasi janin.
Non Street Test
Dilakukan untuk mengetahui keadaan janin dan
memperkirakan adanya penekanan tali pusat.
Pada kasus ini, usia kehamilan 32
minggu (preterm) maka untuk kehamilanya
dilakukan pematangan paru janin dengan
pemberian steroid
.
Pada kasus pasien mengalami perbaikan dan
lebih mengarah kepada hipertensi dalam
kehamilan
transaminase, dan kreatinin serum 48-72
jam post partum.
Pemeriksaan carik celup urin untuk
mendeteksi proteinuria. Apabila proteinuria
masih ≥ +2, maka dianjurkan melakukan
pemeriksaan ulang 3 bulan lagi untuk
mengevaluasi fungsi ginjal.
Hipertensi Dalam Kehamilan
4.1 Hipertensi dalam kehamilan
Terminologi hipertensi dalam kehamilan (HDK) digunakan untuk menggambarkan
spektrum yang luas dari ibu hamil yang mengalami peningkatan tekanan darah yang ringan
atau berat dengan berbagai disfungsi organ. HDK adalah salah satu penyebab morbiditas
dan mortalitas ibu disamping perdarahan dan infeksi. Pada HDK juga didapati angka
mortalitas dan morbiditas bayi yang cukup tinggi. Di Indonesia preeklampsia dan eklamsia
merupakan penyebab dari 30-40% kematian perinatal, sementara di beberapa rumah sakit
di Indonesia telah menggeser perdarahan sebagai penyebab utama kematian maternal.
Untuk itu diperlukan perhatian serta penanganan yang serius tehadap ibu hamil dengan
penyakit ini.
4.1.1 Klasifikasi
Pada saat ini, untuk lebih menyederhanakan dan memudahkan The Working Group Report
dan High Blood Pressure ini Pregnancy (2000)1
menyarankan klasifikasi hipertensi dalam
kehamilan sebagai berikut :
1. Hipertensi gestasional
2. Hipertensi kronis
3. Superimposed preeklampsia
4. Preeklampsia ringan, preeklampsia berat dan eklampsia
Sebagai batasan yang disebut hipertensi dalam kehamilan adalah kenaikan tekanan darah
diastolik ≥90 mmHg dan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg pada dua kali pemeriksaan
yang berjarak 4 jam atau lebih dan proteinuria, jika dijumpai protein dalam urine melebihi
0,3 gr/24 jam atau dengan pemeriksaan kualitatif minimal positif (+) satu.
4.1.2 Definisi2
1. Hipertensi gestasional adalah kenaikan tekanan darah yang hanya dijumpai dalam
kehamilan sampai 12 minggu pasca persalinan, tidak dijumpai keluhan dan tanda-tanda
preeklampsia lainnya. Diagnosa akhir ditegakkan pasca persalinan.
2. Hipertensi kronis adalah hipertensi yang sudah dijumpai sebelum kehamilan, selama
kehamilan sampai sesudah masa nifas. Tidak ditemukan keluhan dan tanda-tanda
preeklampsia lainnya.
3. Superimposed preeklampsia adalah gejala dan tanda-tanda preeklampsia muncul
sesudah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya menderita hipertensi
kronis.
4. Preeklamsia ringan, preeklampsia berat, eklampsia : Hipertensi yang timbul setelah
kehamilan 20 minggu disertai proteinuria. Dahulu, disebut PE jika dijumpai trias tanda
klinik yaitu : tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang
edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria diagnostik , karena edema juga dijumpai
pada kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam,
tekanan darah diastol ≥ 90 mmHg digunakan sebagai pedoman.
a. Preeklampsia ringan adalah jika tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, dan proteinuria +1.
b. Preeklampsia berat adalah jika tekanan darah > 160/110 mmHg, proteinuria ≥ +2
atau ≥ 5g/24 jam, dapat disertai keluhan subjektif seperti nyeri epigastrium, sakit
kepala, gangguan penglihatan dan oliguria.
Menurut The American Congress of Obstetrician and Gynecologist (ACOG)
Preeklamsia dikatakan berat apabila disertai dengan keadaan sebagai berikut3:
Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg
Trombositopenia (<100.000) sel/mm3
Kenaikan kadar kreatinin plasma
Gangguan visus dan serebral
Nyeri epigastrium / kuadran kanan atas abdomen yang tidak mereda diberika
pengobtaan
Edema paru dan sianosis
Hemolisis mikroangiopatik
Gangguan fungsi hepar
Sindrom HELLP
c. Eklamsia adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam persalinan atau nifas yang
ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita ini
menunjukkan gejala-gejala preeklampsia berat. (kejang timbul bukan akibat
kelainan neurologik).
4.1.3 Faktor Resiko
Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yang
dapat dikelompokan dalam faktor resiko, sebagai berikut:4,5
Primigravida, primipaternitas
Hiperplasentosis : mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus, hidrops
fetais, bayi besar
Umur yang ekstrim ( <20 tahun, >35 tahun)
Riwayat keluarga pernah preeklamsi/eklamsi
Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada seblum hamil
Obesitas
4.2 Preeklamsi dan Eklamsi
4.2.1 Patofisiologi
Penyebab hipertensi kehamilan sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Banyak
teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan tetapi tidak ada
satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar.
Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-
cabang arteri uterine dan arteria ovarika.Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa arteri akuarta dan arteri akuarta memberi cabang arteria radialis.
Arteria radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis member
cabang arteria spiralis.6
Pada hamil normal, dengan sebab belum jelas, terjadi infasi trofoblas kedlam lapisan
otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi
dilatasi arteri spiralis.Infasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis,
sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis
mengalami distensi dan dilatasi.Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini member
dampak penuruna tekanan darah, penurunan resistensi vascular, dan peningkatan aliran
darah pada darah utero plasenta.Akibatnya, aliran darah kejanin cukup banyak dan perkusi
jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik.Proses
ini dinamakna “remodeling arteri spiralis”.6
Pada Hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi infasi sel-sel trofoblas pada lapisan
otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya.Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap
kaku dan keras sehingga lumen areteri spiralis tidak memungkinkan distensi dan
vasodilatasi.Akibatnya, arteri spiralis relative mengalimi vasokonstriksi, dan terjadi
kegagalan”remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun , dan
terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan
perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan pathogenesis HDK selanjutnya.6
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron , sedangkan
pada preeklamsia rata-rata 200 mikron.Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri spiralis
dapat mengkatkan 10 kali aliran darah ke uetero plasenta.6
Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam
kehamilan terjadi kegagalan”remodeling atreri spiralis”, dengan akibat plasenta menalami
iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan
(disebut juga radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas dalah senyawa penerim electron
atau atom/molekul yang mempunyai elekron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan
penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hoidroksil yang sangat toksis,
khususnya terhadap membrane sel endotel pembuluh darah.Sebenarnya produksi oksidan
pada manusia adalah suatu proses normal, Karen aoksidan memang dibutuhkan untuk
perlindungan tubuh.Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap
sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan
disebut “ toxaemia”.6
Radikal hidroksil akan merusak membrane sel, yang mengandung bayak asam
lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak
membrane sel, juga akan merusak nucleus, protein sel endotel.6
Produksi oksidan(radikal bebas)dalam tubuh yang bersifat toksis , selalu diimbangi
dengan produksi anti oksidan.
Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya peroksid
lemak meningkat, sedangkan antioksidan ,missal vitamin E pada hipertensi dalam
kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang realtif
tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar
diseluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membrane sel endotel. Membran sel
endotel lebuh mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak karena letaknya langsung
berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh.Asam
lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah
menjadi peroksida lemak.
Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel,
yang kerusakannya dimulai dari membrane sel endotel.Kerusakan membrane sel endotel
mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel
endotel.Keadaan ini disebut”Disfungsi endotel”(endothelial dysfunction).Pada waktu
terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi
:Gangguan metabolism prostalglandin, Karena salah satu fungsi sel endotel adalah
prostalglandin, yaitu menurtnnya produksi prostasiklin(PGE2)suatu vasodilatator kuat.
Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.Agregrasi sel
trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat dilapisan endotel yang mengalami
kerusakan.Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2)suatu vasokonstriktor
kuat. Dalam keadaan normalperbandingan kadar prostasklin/tromboksan lebih tinggi kadar
prostasiklin(lebih tinggi vasodilatator)pada preeklamsia kadar tromboksan lebih tinggi dari
kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan darah.
Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerular endotheliosis).
Peningkatan permabilitas kapilar. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopersor, yaitu
endotelin.Kadar NO (vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor)
meningkat. Peningkatan factor koagulasi
Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Dugaan bahwa factor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam
kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut :
1) Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadi hipertensi dalam
kehamilan jikadibandingkan dengan multigravida
2) Ibu yang multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih
besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan
suami sebelumnya.
3) Seks oral mempunya risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam
kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah
makin lama periode ini, makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya “hasil konsepsi”
yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-
G), yang berperan penting dalam modulasi respon imun,sehingga si ibu tidak menolak
hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi troploblas
janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu.6
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan
desidua ibu. Jadi hilang HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas
ke dalam jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel Natural Killer. Pada
plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresiHL-G. B erkurangnya
HLA-G di desudua daerah plasenta, menghambat invansi trofoblas ke dalam desidua.
Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga
memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang terjadi sitikon,
sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi Imunne-
Maladaptation pada preeklamsi.6
Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai kecenderungan
terjadi preeklamsia, ternyata mempunyai proporsi Helper Sel yang lebih rendah disbanding
pada normotensif.
Teori adapatasi kardiovaskularori genetic
Pada hamil normal pembuluh darah rekfrakter terhadap bahan-bahan vasopresor.
Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan vasopresor, atau
dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respons vasokonstriksi.
Pada kehamilan normal terjadi refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah
akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal
ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan vasepresor akan hilang bila diberi
prostaglandin sintesa inhibitor (bahan yangh menghambat produksi prostaglandin).
Prostaglandin ini kemudian hari ternyata adalah prostasiklin. Pada hipertensi dalam
kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi
peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakterpembuluh
darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka
terhadap bahan vasopresor. Banyak peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjdai
pada trimester 1 (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjdi
hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan pada kehamilan dua
puluh moinggu. Fakta inin dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan.6
Teori Genetik
Ada factor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotype ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehemilan secara familial jika dibandingkan
dengan genotype janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklamsia ,26%
anak perempuannya akan mengalami preeklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak
menantu mengalami preeklamsia.6
Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan
dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian tentang
pengaruh diet pada preeklamsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II.
Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan
kenaikkan insiden hipertensi dalm kehamilan.
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak
hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklamsia. Minyak ikan mengandung banyak asam
lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktifasi
trombosit, dan mencegah vasokonstriksipembuluh darah. Beberapa peneliti telah mencoba
melakukan uji klinik untuk memakai konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung
asam lemak tak jenuh dalam mencegah preeklamsia. Hasil sementara menunjukkan bahwa
peneliti ini berhasil baik dan mungkin dapat dipakai sebagai alternative pemberian aspirin.
Beberapa peneliti juga mengganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet perempuan hamil
mengakibatkan risiko terjdinya preeklamsi atau eklamsia. Penelitian di Negara Ekuador
Andes dengan metode uji klinis, ganda tersamar, dengan membandingkan pemberian
kalsium dan placebo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi
suplemen, kalsium cukup, kasus yang mengalami preeklamsia adalah 14 % sedang yang
diberi glikosa 17 %.6
Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas didalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta
juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa prosen apoptosis dan nekrotik trofoblas
akibat reaksi stress oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian
meranbgsang timbulanya proses inflamasi.pada kehamilan normal jumlah debris trofoblas
masi dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal.Berbeda
dengan proses apoptosis pada preeklamsia, dimana pada preeklamsia terjadi peningkatan
stree oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat.
Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda,
maka reaksi stress oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas
juga meningkat.Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi
jauh lebih besar dibanding reaksi inflamsi pada kehamilan normal.respon inflamasi ini
akan mengaktifasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula
sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala pereklamsia
pada ibu. Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preklamsia akibat produksi
debris trofoblas palesenta berlebihan tersebut diatas, mengkibatkan”aktifitas leukosit yang
sanagt tinggi”pada sirkulasi ibu.Peristiwa ini oleh redman disebut sebagai”kekacauan
adapatasi dari proses inflamasi intravascular pada kehamilan” yang biasanya berlangsung
normal dan menyeluruh.6
4.2.2 Patologi
Akibat gejala preeklampsia, proses kehamilan maternal terganggu karena terjadi perubahan
patologis pada sistem organ, yaitu :
1. Jantung
Perubahan pada jantung disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi
dan aktivasi endotel sehingga terjadi ekstravasasi cairan intravaskular ke ekstraselular
terutama paru. Terjadi penurunan cardiac preload akibat hipovolemia.
2. Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat yang mengalami kelainan
pulmonal maupun non-pulmonal setelah proses persalinan. Hal ini terjadi karena
peningkatan cairan yang sangat banyak, penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat
proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan
albumin yang diproduksi oleh hati.
3. Hati
Pada preeklampsia berat terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar, perlambatan
ekskresi bromosulfoftalein, dan peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum.
Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan
panas yang berasal dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk, dengan
menggunakan sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri
hepatika.
4. Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada satu atau beberapa
arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat
menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan
adalah preeklampsia yang ringan. Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita
preeklampsia merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini
disebabkan oleh perubahan aliran darah pada pusat penglihatan di korteks serebri maupun
didalam retina (Wiknjosastro, 2006)
5. Ginjal
Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama glomeruloendoteliosis, yaitu
pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan
laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat terutama pada
preeklampsia berat. Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan
ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya
volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan
dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus
preeklampsia berat, kreatinin plasma meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu
tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini disebabkan perubahan intrinsik ginjal
akibat vasospasme yang hebat (Cunningham, 2005). Kelainan pada ginjal biasanya
dijumpai proteinuria akibat retensi garam dan air. Retensi garam dan air terjadi karena
penurunan laju filtrasi natrium di glomerulus akibat spasme arteriol ginjal. Pada pasien
preeklampsia terjadi penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya
reabsorpsi di tubulus (Cunningham,2005). Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa
glomerulopati, terjadi karena peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein
dengan berat molekul tinggi, misalnya: hemoglobin, globulin, dan transferin. Protein –
protein molekul ini tidak dapat difiltrasi oleh glomerulus.
6. Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan auto regulasi tak berfungsi. Jika
autoregulasi tak berfungsi, penghubung antara endotel akan menyebabkan ekstravasasi
plasma dan sel sel darah keluar mengisi ruangan ekstravaskuler.
7. Darah
Kebanyakan pasien preeklamsi akan mengalami koagulasi intravaskuler (DIC) dan
destruksi eritrosit. Trombositopenua merupakan kelainan yang sangat sering biasanya
<150.000/uL itemukan pada 15-20% pasien dan level fibrinogen meningkat pada pasien
preeklamsi dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Jika ditemukan
level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklamsia ditakutkan terjadinya abruption
placenta. Pada 10% pasien PEB dapat terjadinya HELLP syndrome dengan adanya tanda
anemia hemolitik,peningkatan enxim hati dan penurunan jumlah platelet.
8. Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit
Pada preeklampsia, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang, proses sekresi
aldosteron pun terhambat sehingga menurunkan kadar aldosteron didalam darah.
Pada ibu hamil dengan preeklampsia kadar peptida natriuretik atrium juga meningkat. Hal
ini terjadi akibat ekspansi volume yang menyebabkan peningkatan curah jantung dan
penurunan resistensi vaskular perifer.
Pada pasien preeklampsia terjadi pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial yang
disertai peningkatan hematokrit, protein serum, viskositas darah dan penurunan volume
plasma. Hal ini mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.
9. Akibat preeklampsia pada janin
Penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Hal ini
mengakibatkan hipovolemia, vasospasme, penurunan perfusi uteroplasenta dan kerusakan
sel endotel pembuluh darah plasenta sehingga mortalitas janin meningkat (Sarwono
prawirohardjo, 2009). Dampak preeklampsia pada janin, antara lain: Intrauterine growth
restriction (IUGR) atau pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, prematur, bayi
lahir rendah, dan solusio plasenta.
4.2.3 Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Diagnosis eklampsia dibuat berdasarkan adanya kejang yang bersifat umum, sekali
atau lebih diikuti atau tidak dengan koma, dan tidak ditemukan adanya kondisi
neurologis lainnya yang berhubungan dengan kejang tersebut. Kejang pada
eklampsia biasanya berlangsung 60-75 detik dan tidak lebih dari 3-4 menit.
Tergantung dari waktu terjadinya, eklampsia bisa terjadi antepartum, intrapartum dan
post partum. Eklampsia sebagian besar didahului oleh tanda tanda prodroma yang
kita sebut dengan tanda tanda imiment eklampsia atau impending eklampsia. Tanda-
tanda tersebut sesuai dengan tanda-tanda ensefalopati hipertensif.3
Kejang pada eklampsia dibagi menjadi 4 fase yaitu10
:
Fase 1. Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata
penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar, demikian pula tangan dan
kepala yang berputar ke kanan dan kiri.
Fase 2. Kemudian timbul tingkat kekejangan tonik yang berlangsung kurang lebih 30
detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku sehingga wajah terlihat kaku,
tangan menggenggam dan kaki membengkok ke dalam. Pernafasan berhenti, muka
mulai menjadi sianotik. Lidah dapat tergigit.
Fase 3. Stadium ini kemudian disusul tingkat kekejangan klonik yang berlangsung
antara 1-2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulang-
ulang dalam tempo waktu yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat
tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka
menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tidak sadar. Kejang ini dapat
sedemikian hebatnya, sehingga seringkali tubuh penderita terjatuh dari tempat tidur.
Akhirnya, kejang berhenti dan penderita menarik nafas secara mendengkur.
Fase 4. Penderita memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu
sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi
pula bahwa sebelum itu muncul serangan baru dan berulang, sehingga penderita tetap
dalam koma.
Penderita juga dapat mengalami kenaikan suhu tubuh sampai di atas 39°C
yang disebabkan karena perdarahan intraserebral, dimana kenaikan suhu tubuh ini
merupakan salah satu tanda prognosis yang buruk. Pada eklampsia yang terjadi
antepartum, bisa timbul tanda-tanda persalinan, demikian juga pada eklampsia yang
terjadi intrapartum, kontraksi yang sudah ada bisa bertambah kuat, sehingga harus
diwaspadai terjadinya solusio plasenta, terutama bila disertai dengan fetal
bradikardia yang lebih dari 5 menit. Keadaan berbahaya lainnya yang bisa mengikuti
kejang adalah adanya edema paru. Edema paru merupakan salah satu komplikasi
akut eklampsia. Edema paru adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada
interstitial paru dan ruang alveoli. Keadaan ini merupakan komplikasi akut
eklampsia, yang bisa terjadi bersamaan atau segera setelah kejang berlangsung.
Tanda penting dari edema paru adalah sesak nafas dan pada pemeriksaan fisik paru
didapatkan ronkhi pada paru. Edema paru disebabkan karena aspirasi pneumonitis
atau karena gagal jantung. Selain edema paru komplikasi lainnya adalah keluhan
tentang hilangnya penglihatan pada penderita eklampsia (cortical blindness) yang
terjadi sekitar 10% dari kasus pre-eklampsia dan eklampsia. Kebutaan ini disebabkan
oleh ablasio retina atau iskemia lobus optikus. Keadaan ini biasanya reversibel dan
penglihatan kembali normal beberapa saat sampai 1 minggu setelah melahirkan.4
4.2.4 Komplikasi Eklampsia
Munro (2000) melaporkan beberapa komplikasi eklampsia yang terjadi pada pengamatan
sebanyak 383 penderita eklamsia di Southern General Hospital, Glasgow tahun 1999
sebagai berikut11
:
Depresi pernafasan (87) 23 %
DIC (33) 9 %
Sindrom HELLP (27) 7 %
Gagal ginjal (24) 6 %
Edema paru (18) 5 %
ARDS (7 ) 1,8%
CVA (7) 1,8%
Gagal jantung (6) 1,6 %
Kematian (6) 1,6 %
4.2.5 Diagnosis Banding Eklampsia
Beberapa kondisi klinis yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding eklampsia adalah
sebagai berikut12
:
Penyakit serebrovaskular : perdarahan intraserebral, thrombosis arteri serebral
Penyakit hipertensi : ensefalopati hipertensif, pheochromcytoma
Space-occupying lesion : tumor atau abses otak
Gangguan metabolik : hipoglikemia, uremia
Infeksi : meningitis, encephalitis
4.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk menunjang diagnosis eklampsia
adalah, sebagai berikut :
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Hitung trombosit
3. Elektrolit
4. Protein kuantitatif
5. Fungsi liver
6. Blood smear
7. Asam urat
8. Glukosa serum
Pemeriksaan elektromedik yang diperlukan adalah pemeriksaan CT scan kepala
tanpa atau dengan kontras. CT scan merupakan teknik pemeriksaan radiologis yang
aman untuk kehamilan bila dikerjakan setelah trimester pertama. Pertimbangan untuk
melakukan CT scan pada penderita eklampsia terutama pada penderita yang
mengalami kejang ulangan, atau mengalami kelainan hasil laboratorium yang
bermakna. Gambaran lesi otak yang biasanya nampak adalah edema serebri,
khususnya didaerah lobus oksipitalis, perdarahan serebral dan infark serebri.
Pemeriksaan elektromedik yang lebih superior dibandingkan dengan CT scan adalah
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Magnetic Resonance Angiography (MRA).
Namun penggunaan MRA sangat terbatas pada eklampsia karena dalam waktu 2
minggu lesi otak tersebut sudah menghilang diikuti dengan membaiknya gejala-
gejala klinis. Hampir semua lesi otak pada eklampsia bersifat reversibel, karena
disebabkan oleh kegagalan mekanisme otoregulasi atau vasospasme transien.4
Edema serebri pada penderita pre-eklampsia dan eklampsia berhubungan
dengan kelainan laboratorium akibat adanya disfungsi endotel. Pada sebuah
penelitian digunakan morfologi sel sel darah merah dan LDH sebagai indikator
disfungsi endotel, karena iregularitas dinding endotel itu akan menyebabkan disrupsi
dari sel darah merah menjadi schistocyte, anisocytes, microspherpcytes dan terjadi
pelepasan LDH. Pemeriksaan marker endotel hendaknya dilakukan pada penderita
pre-eklampsia dan eklampsia. Apabila terdapat abnormalitas sebaiknya segera
diberikan terapi antihipertensi untuk mencegah ensefalopati hipertensif.3,4
4.2.7 Penatalaksanaan Eklampsia
Kejang pada penderita eklampsia merupakan suatu life-threatening emergency yang
harus mendapatkan penanganan yang adekuat untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas ibu dan anak. Sebanyak 60% kematian maternal pada eklampsia
disebabkan karena perdarahan serebral yang disebabkan oleh karena peningkatan
tekanan darah. Pada prinsipnya penanganan eklampsia terdiri dari 5 hal penting
yaitu3,4
:
1. Menjaga jalan nafas ibu
Pada penderita eklampsia yang sedang mengalami kejang, mencegah
tergigitnya lidah dan aspirasi dari cairan sekresi yang berasal dari saluran
makanan harus menjadi prioritas utama penanganan eklampsia. Penderita
dengan eklampsia hendaknya ditempatkan pada tempat yang cukup terang,
tidak gelap. Pada waktu kejang, penderita ditempatkan sedemikian rupa
sehingga kepala dalam posisi miring ke kiri untuk memperbaiki aliran darah
ke uterus, dan tempatkan bantalan lidah untuk melindungi lidah agar tidak
tergigit. Sekresi yang banyak di rongga mulut segera dihisap, namun terlalu
jauh masuk ke dalam rongga mulut untuk menghindari reflek vagal. Untuk
menjamin oksigenasi, berikan oksigen sungkup 5-6 L/menit.
2. Menghentikan kejang dan mencegah kejang ulangan
Sampai saat ini MgSO4 merupakan obat pilihan untuk menghentikan kejang
dan mencegah serangan kejang ulangan pada penderita eklampsia. Kerja
MgSO4 tidak saja sebagai anti kejang, namun juga bersifat sebagai
vasodilator serebral dengan cara menghambat masuknya ion Ca2+
ke dalam
sel melalui NMDA (N-Methyl-D-aspartate) yang merupakan subtipe dari
glutamate channel. Di samping itu MgSO4 juga dapat memperbaiki fungsi
endotel. MgSO4 dapat diberikan secara intermiten maupun kontinyu dengan
pompa infus.
Sebagai fungsi neuroprotektif, MgSO4 menurunkan terjadinya pinositosis
yang terjadi akibat kerusakan sawar darah otak akibat hipertensi akut. Terapi
MgSO4 akan merestriksi perpindahan air dan elektrolit ke otak melalui
transpor transeluler, sehingga membatasi terjadinya formasi edema dan
meningkatkan hasil akhir dari segi klinis pada eklampsia.
Gambar 2. Efek antikonvulsan Magnesium sulfat
Gambar 3. Efek vaskular dari magnesium sulfat
Gambar 4. Efek magnesium sulfat pada edema serebri dan sawar darah
otak
Rekomendasi pemberian MgSO4 sebagai berikut7 :
1. Loading dose:
a. Berikan 4 gram MgSO4 20% intravena; 1 gram per menit
b. Berikan 10 gram MgSO4 50% intramuskular:
Kuadran atas sisi luar kedua bokong:
5 gram pada bokong kanan
5 gram pada bokong kiri
2. Dosis pemeliharaan :
Berikan MGSO4 5 gram 50% tiap 4 jam bergantian salah satu bokong
dalam waktu 24 jam.
3. Syarat pemberian MgSO4 adalah :
a. Refleks patela harus positif
b. Tidak ada tanda-tanda depresi pernapasan (respirasi lebih
dari16x/menit)
c. Produksi urin tidak kurang dari 25 cc/jam atau 150 cc/ 6 jam
4. Apabila terdapat kejang-kejang lagi, diberikan sekali saja MgSO4 dan
bila masih timbul kejang lagi dapat diberikan Pentotal 5 mg/kg berat
badan IV pelan.
5. Bila terdapat tanda-tanda keracunan MgSO4, berikan Kalsium
glukonas 10% sebagai antidotum, 10 cc IV pelan selama 3 menit atau
lebih
6. Apabila sebelumnya sudah diberikan pengobatan diazepam, maka
dilanjutkan dengan pengobatan MgSO4.
Pemberian MgSO4 dengan cara diatas memberikan kadar plasma obat dalam
batas batas dosis terapi yang aman yaitu 4-7 mEq/L. Namun penderita yang
mendapatkan pengobatan dengan MgSO4 tetap harus diamati kemungkinan
adanya gejala-gejala toksisitas, yaitu hilangnya reflek patela dan depresi
sampai henti nafas. Kedua tanda klinis itu harus diperiksa setiap jam. Karena
MgSO4 diekskresikan lewat ginjal, maka pada penderita dengan kelainan
ginjal atau oliguria (produksi urin < 100 cc per 4 jam) harus dilakukan
pemeriksaan kadar MgSO4 serum. Dosis awal MgSO4 yang diberikan
pertama kali aman untuk penderita yang mengalami gangguan fungsi ginjal,
namun pada pemberian dosis ulangan, pemeriksaan fungsi ginjal harus
dilakukan dimana bila kadar kreatinin serum melebihi 1,3 mg/dl , maka dosis
MgSO4 diberikan setengah dari dosis standar. Reflek patella akan menghilang
pada kadar MgSO4 mencapai 10 mEq/L. Bila melebihi 10-12 mEq/L maka
terjadi sedangkan depresi nafas dan bila kadar plasma MgSO4 melebihi 12
mEq/L akan terjadi paralisis otot pernafasan. Bila terjadi tanda-tanda
toksisitas tersebut maka MgSO4 harus segera dihentikan dan diberikan
antidotumnya yaitu kalsium gluconas 1 gram intravenous.
3. Pengendalian tekanan darah dan mencegah komplikasi
Tujuan dari penurunan tekanan darah pada eklampsia adalah untuk
menurunkan risiko terjadinya perdarahan serebral, gagal jantung, infark
miokard dan solusio plasenta. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu
cepat karena dapat membahayakan ibu dan janin. Target terapi pada
eklampsia adalah menurunkan tekanan darah segera sebesar 10 mmHg
sistolik dan diastolik dari pra-pengobatan dan mempertahankan MABP < 125
mmHg , tetapi tidak boleh lebih kecil dari 105 mmHg, atau diastolik 90-110
mmHg.
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan pada pemberian obat antihipertensi
pada eklampsia adalah kapan memulai terapi, obat apa yang digunakan,
berapa besar dosisnya, bagaimana memantaunya dan kapan menghentikan
terapi antihipertensi. Hipertensi pada umumnya harus diterapi tanpa
memandang penyebabnya untuk mengurangi risiko perdarahan serebral,
namun pada eklampsia seringkali tingginya tekanan darah tidak sesuai dengan
beratnya gejala klinis atau makin tingginya kemungkinan kejadian kejang.
Sebagian ahli tidak memberikan antihipertensi pada hipertensi ringan, dimana
tekanan darah sistolik 140- 160 mmHg dan diastolic 90-110 mmHg, namun
pada saat ini telah disepakati untuk memberikan antihipertensi pada tekanan
darah sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 109 mmHg. Target terapi yang
harus dicapai adalah MABP 105-125 mmHg yang bertujuan untuk
mempertahankan sistem otoregulasi serebral, tetapi tetap dapat
mempertahankan sirkulasi uteroplasenta.
Harus diingat bahwa tingginya tekanan darah bukanlah satu-satunya faktor
predisposisi untuk menentukan prognosis penyakit. Beberapa tanda klinis dan
laboratorium lainnya seperti nilai hematokrit, protenuria, peningkatan enzim
hati, ada tidaknya tanda-tanda IUGR (Intra Uterine Growth Restriction) harus
tetap diamati. Jadi tujuan utama dari pengobatan antihipertensi adalah untuk
mencegah komplikasi yang berbahaya pada ibu akibat tingginya tekanan
darah, tetapi tetap dapat melindungi kehamilan dan janin yang dikandungnya.
Pemberian obat antihipertensi tidak dapat mengendalikan penyakit secara
keseluruhan. Morbiditas dan mortalitas hanya dapat dicegah dengan cara
melahirkan bayi.4
Obat antihipertensi yang yang direkomendasikan untuk hipertensi akut adalah3 :
Nama Obat Onset Dosis Pemberian
1. Hydralazine 10-20 menit 5-10 mg setiap 20 menit sampai maksimal
30mg
2. Labetalol 10-15 menit 10-20 mg IV, kemudian 40-80 mg setiap 10
menit sampai maksimal 300 mg/hari, infus
lanjut 1-2 mg/jam.
3. Nifedipine 5-10 menit 10 mg PO, diulang setiap 30 menit, kemudian
10-20 mg setiap 4-6 jam sampai maksimal 240
mg/ 24 jam.
4. Sodium 0,5-5 menit 0,25- 5 ug/kg/min IV infusion. Risiko
keracunan
Nitroprusside sianida pada fetus jika pengobatan lama.
Diantara obat-obat antihipertensi di atas yang sering diberikan saat ini adalah
nifedipine oral. Meskipun belum direkomendasikan oleh POGI namun
pemakaian obat ini didukung oleh banyak penelitian. Penelitian meta analisis
yang membandingkan hidralasine, labetalol, nifedipine dan antihipertensi
yang lainnya telah dilakukan oleh Magee (2003) dengan hasil bahwa
hidralasine berhubungan dengan kecenderungan terjadinya hipertensi
persisten dibandingkan dengan nifedipine dan antihipertensi lainnya, juga
lebih sering menimbulkan palpitasi dan flushing dibandingkan dengan
nifedipine. Disimpulkan bahwa pemakaian hidralasin menimbulkan efek
samping lebih banyak dibandingkan dengan nifedipine.4
Adapula panduan yang meggunakan batasan penggunaan obat
antihipertensi bila tekanan darah sistol lebih atau sama dengan 180 mmHg
atau diastol lebih dari atau sama dengan 110 mmHg dapat digunakan injeksi 1
ampul clonidine ynag dilarutkan dalam 10 cc larutan ( mula-mula disuntikkan
5 cc per;ahan-lahan selam 5 menit, 5 menit kemudian tekanan darah diukur,
bila belum ada penurunan maka diberikan lagi 5 cc intravena dalam 5 menit
sampai tekanan darah diatol normal dilanjutkan dengan nifedipne 3x 10 mg).
Namun bila tekanan darah sistol kurang dari 180 mmHg dan diastol kurang
dari 110 mmHg antihipertensi yang dapat digunakan adalah Nifedipin 3x 10
mg. Tujuan terapi adalah tercapainya penurunan tekanan darah diastolik
sampai 100-110 mmHg. 4
Salah satu komplikasi dari eklampsia adalah edema paru dan dapat
dipertimbangkan pemberian diuretik dan apabila terdapat kelainan fungsi
ginjal (bila faktor renal sudah teratasi) diberikan furosemid injeksi 40 mg/im.
Begitu juga pemberian terhadap kardiotonika, diberikan atas indikasi
misalnya adanya tanda-tanda parah jantung.4
4. Manajemen cairan atau memperbaiki keadaan umum ibu
Salah satu penyebab kematian ibu pada eklampsia adalah kegagalan
kardiorespirasi. Pada seorang penderita eklampsia terjadi vasospame
menyeluruh yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi organ. Studi
tentang volume cairan ekstravaskuler pada penderita pre-eklampsia-
eklampsia menunjukkan bahwa volume plasma menurun sampai 50%
dibandingkan dengan kehamilan normal. Penurunan volume plasma ini
adalah akibat maldistribusi volume cairan ekstraseluler. Selain itu pada pre-
eklampsia juga terjadi penurunan aliran darah ke ginjal . Keadaan ini
memudahkan penderita mengalami edema dan pemberian cairan harus
mempertimbangkan keadaan ini.
Untuk mencegah terjadinya komplikasi iatrogenik seperti edema paru, gagal
jantung kiri, dan adult respiratory distress syndrome maka kesimbangan
antara cairan masuk dan keluar harus dimonitor. Untuk menambah tekanan
onkotik plasma, seringkali digunakan cairan koloid, namun belum ada bukti
pemberian ini lebih bermanfaat dibandingkan dengan cairan kristaloid.
Kecepatan pemberian cairan intravenous yaitu 80 cc/jam (1 ml/kg/jam).
Terdapat kontroversi apakah monitoring dengan CVP dapat membantu
mengetahui adanya overload cairan, sebab pada pre-eklampsia terdapat
korelasi yang buruk dengan volume plasma. Bila CVP dipakai untuk
monitoring maka nilainya harus dipertahankan pada nilai dibawah 5 cm H2O.
Secara rutin kristaloid sering dipakai untuk hidrasi sebelum tindakan
anestesia regional. Pada penderita ini ekspansi volume bisa menurunkan COP
lebih lanjut dan karena itu secara teoritis akan lebih menguntungkan bila
menggunakan kristaloid dibandingkan dengan koloid. Karena belum terdapat
bukti jenis cairan mana yang lebih baik dipakai, maka bila kristaloid yang
dipakai untuk hidrasi monitor PCWP dianjurkan. Jenis cairan yang digunakan
adalah ringer laktat atau ringer asetat. Ringer asetat dianggap memiliki
kelebihan karena proses pembentukan bikarbonat dari asetat terjadi di otot,
sedangkan laktat menjadi bikarbonat memerlukan fungsi hepar yang baik,
dimana pada pre-eklampsia sering terjadi gangguan hepar. 4
5. Manajemen persalinan
Melahirkan bayi merupakan terapi definitif dari eklampsia. Semua kehamilan
dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan
keadaan janin. Bila penderita ada dalam persalinan atau persalinan per
vaginam memenuhi syarat, maka persalinan pervaginam merupakan cara
yang terbaik untuk penderita pre-eklampsia-eklampsia. Sikap dasar adalah
bila kehamilan diakhiri bila sudah terjadi stabilisasi (pemulihan). Stabilisasi
hemodinamik dan metabolisme ibu dapat dicapai dalam 4-8 jam setelah sa;ah
satu atau lebih dari keadaan berupa 1.) setelah pemberian obat anti kejang
terakhir; 2.)setelah kejang terakhir; 3.) setelah pemberian obat anti hipertensi
terakhir; 4.) penderita mulai sadar (responsif dan orientasi).
Untuk memulai persalinan hendaknya diperhatikan hal-hal seperti kejang
sudah dihentikan dan diberikan antikejang untuk mencegah kejang ulangan,
tekanan darah sudah terkendali, dan hipoksia telah dikoreksi. Induksi
persalinan dapat dilakukan bila hasil KTG normal. Pemberian drip oksitosin
dilakukan bila nilai skor pelvik ≥5. Pada skor pelvik yang rendah dan
kehamilan masih sangat preterm, seksio sesaria lebih baik dibandingkan
dengan persalinan pervaginam.
Seksio sesaria dilakukan bila : 1.) syarat drip oksitosin tidak dipenuhi atau
adanya kontraindikasi drip oksitosin; 2.) persalinan belum terjadi dalam
waktu 12 jam; 3.) bila hasil KTG patologis. Pada seksio sesaria, analgesia
epidural menjadi pilihan untuk anestesia, karena tidak mempengaruhi COP,
aliran darah ke plasenta tidak dipengaruhi dan pengendalian tekanan darah
lebih baik. Hipovolemia bisa terjadi pada pemakaian obat obat regional
anestesia, karena itu diperlukan loading cairan sebanyak 400-500 ml
kristaloid sebelum anestesia regional dilakukan untuk mencegah hipotensi
dan fetal distress. Kontraindikasi anesthesia regional adalah bila terdapat
DIC, atau bila kadar trombosit dibawah 100.000. Pada keadaan dimana harus
dilakukan anestesia umum, maka perhatian terhadap kemungkinan adanya
edema laring, yang dapat mempersulit intubasi serta dapat menyebabkan
obstruksi respirasi post-operatif atau henti jantung harus diperhatikan.
Laringoskop telah diketahui dapat menyebabkan reflek hipertensi yang dapat
memperburuk keadaan penderita. Ergometrin tidak boleh diberikan, sehingga
untuk mencegah perdarahan post partum dapat diberikan infus oksitosin (40
IU/dalam dekstrose).4
6. Manajemen post-partum
Setelah melahirkan penderita masih harus diawasi selama 24 jam. Obat
antihipertensi harus tetap diberikan sampai MABP <125 mmHg. Post partum
eklampsia biasanya terjadi dalam 24-48 jam setelah melahirkan, karena itu
terapi MgSO4 tetap harus diberikan sampai 24 jam post-partum atau 24 jam
setelah kejang terakhir. Pemeriksaan laboratorium dilakukan setelah 24 jam
persalinan.4
4.2.8 Penatalaksanaan preEklampsia
Tujuan utama perawatan preeklamsia mengurangi terjadinya kejang, perdarahan
intrakranial, dan end organ damage dan mempertahankan serta menyelamatkan janin
dalam kandungan ibu.
4.2.8.1 Preeklamsia Ringan
A. Sikap yang dilakukan :
1. Rawat jalan (ambulatoir)
a. Dianjurkan stirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tidak mutlak harus tirah
baring. Pada umur kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring dengan posisi
miring menurunkan tekanan pada vena kava inferior, sehingga meningkatkan
aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal ini berarti pula
meningkatkan darah ke organ-organ vital, menambah oksigenasi plasenta dan
memperbaiki kondisi janin dalam rahim.
b. Diet reguler : Tidak perlu diet khusus. Diberikan cukup protein; rendah
karbohidrat dan lemak.
c. Vitamin prenatal.
d. Tidak perlu restriksi konsumsi garam (2 gram natrium atau 4-6 gram garam
dapur).
e. Pemeriksaan laboratorium : Hb, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap, fungsi
ginjal
f. Tidak perlu pemberian diuretik, antihipertensi, dan sedativum.
g. Kunjungan ke rumah sakit tiap minggu.
2. Rapat inap (hospitalisasi)7
Indikasi preeklamsia ringan dirawat inap :
a. Hipertensi yang menetap selama > 1 minggu.
b. Proteinuria menetap selama > 1 minggu.
c. Hasil tes laboratorium yang abnormal.
d. Adanya gejala atau tanda satu atau lebih dari preeklamsia berat.
Pemeriksaan dan monitoring pada ibu :
a. Pengukuran tekanan darah setiap 4 jam
b. Pengamatan yang cermat adanya edema pada muka dan abdomen.
c. Penimbangan berat badan pada waktu ibu masuk rumah sakit dan penimbangan
dilakukan setiap hari untuk pengukuran tumbuh kembang janin.
d. Pengamatan dengan cermat gejala preeklamsia dengan impending eklamsia :
Nyeri kepala frontal atau oksipital
Gangguan visus
Nyeri kuadran kanan atas perut
Nyeri epigastrium
e. Pengukuran produksi urin setiap 3 jam (tidak perlu dengan kateter).
f. Pemeriksaan laboratorium :
a. Proteinuria pada dipstick pada waktu masuk dan sekurang-kurangnya diikuti
2 hari setelahnya.
b. Hematokrit dan trombosit dua kali seminggu.
c. Tes fungsi hepar dua kali seminggu.
d. Tes fungsi ginjal dengan pengukuran kreatinin serum, asam urat, dan BUN.
Pemeriksaan kesejahteraan janin :
a. Pengamatan gerak janin setiap hari
b. Non-stress test dua kali seminggu
c. Profil biofisik janin bila NST non reaktif
d. Evaluasi pertumbuhan janin dengan USG setiap 3-4 minggu
e. Ultrasound Doppler arteri umbilikalis dan arteri uterina
Terapi medikamentosa yang diberikan untuk pasien preeklamsia ringan yang dirawat
di rumah sakit adalah pada dasarnya sama dengan terapi ambulatoir. Bila terdapat
perbaikan gejala dan tanda-tanda preeklamsia dan umur kehamilan ≤ 37 minggu, ibu masih
perlu diobservasi selama 2-3 hari kemudian boleh dipulangkan. Selama dirawat di Rumah
Sakit, lakukan konsultasi kepada bagian penyakit mata, bagian penyakit jantung, dan
bagian lain atas indikasi
B. Sikap terhadap kehamilannya (pengelolaan obstetrik) pada pasien preeklamsia ringan
tergantung dari usia kehamilan:
1. Bila pasien tidak inpartu :
a. Umur kehamilan < 37 minggu :
Bila tanda dan gejala tidak memburuk, kehamilan dapat dipertahankan sampai aterm.
b. Umur kehamilan ≥ 37 minggu :
Kehamilan dipertahankan sampai timbul onset partus
Bila serviks matang pada tanggal taksiran persalinan dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan induksi persalinan.
Persalinan dapat dilakukan secara spontan; bila perlu memperpendek kala II
2. Bila pasien sudah inpartu : lakukan persalinan.
4.2.8.2 Preeklamsia Berat
Tujuan pengelolaan preeklamsia berat mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat,
dan saat yang tepat untuk persalinan.
A. Sikap terhadap penyakitnya (terapi medikamentosa):
1. Segera masuk rumah sakit.
2. Tirah baring miring ke kiri secara intermitten.
3. Infus 5% Ringer Dekstrose jumlah tetesan < 125cc/jam atau infus Desktrose 5%
yang tiap 1 liternya diselingi infus Ringer Laktat (60-125 cc/jam) 500cc.
4. Monitoring input carian (melalui oral ataupun infus) dan output cairan (melalui
urin).
5. Oligouria terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24
jam.
6. Antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari risiko aspirasi asam lambung.
7. Pemberian antikejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang.
Cara pemberian regimen MgSO4 dibagi menjadi loading dose dan maintenance dose.
Loading dose : 4 gram MgSO4 IV (40% dalam 10 cc) selama 15 menit.
Maintenance dose : Infus 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam; atau diberikan 4-5
gram IM, selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram IM tiap 4-6 jam.
Syarat pemberian MgSO4 :
Tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10%
(1 gram dalam 10 cc) diberikan IV dalam 3 menit.
Refleks patella normal.
Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distres pernapasan.
Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya > 100 cc; 0,5 cc/kgBB/jam.
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda-tanda intoksikasi, setelah 24 jam post
partum, atau 24 jam setelah kejang terakhir.
Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4 maka diberikan salah satu obat
berikut :
Sodium thipental 100 mg IV
Diazepam 10 mg IV
Sodium amobarbital 250 mg IV
Phenytoin : dosis awal 1000 mg IV dilanjutkan 16,7 mg/menit/1 jam dilanjutkan
500 gram oral setelah 10 jam dosis awal dalam 14 jam.
8. Antihipertensi
Obat antihipertensi menurut Belfort diberikan bila tekanan darah ≥ 160/110
mmHg dan MAP ≥ 126.6
Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran obat
antihipertensi sudah diberikan bila tekanan darah ≥140/90.8
Jenis obat : Nifedipine 10-20 mg PO, diulangi setelah 30 menit, maksimum
120 mg daam 24 jam.
Nifedipin tidak dibenarkan diberikan di bawah mukosa lidah (sublingual)
karena absorpsi terbaik adalah melalui saluran pencernaan makanan.
Tekanan darah diturunkan secara bertahap : (1) penurunan awal 25% dari
tekanan sistolik, (2) tekanan darah diturunkan sampai mencapai <160/105 mmHg
atau MAP < 125 mmHg.
Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 cc atau 250 cc NaCl/RL diberikan secara
IV selama 5 menit. Bila gagal dalam 1 jam dapat diulang dengan dosis 12,5 mg
selama 5 menit. Bila masih gagal dalam 1 jam bisa diulangi sekali lagi dengan dosis
15 mg selama 5 menit.
Metildopa merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat
anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu.
Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan pada
laju jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan
menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan
bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-
2 perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri,
sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena
itu, metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien
yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari.
Puncak plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek
maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat
ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural.
Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan
merupakan indikasi untuk memberhentikan obat ini.9
9. Diuretik
Diuretik tidak dibenarkan diberikan secara rutin karena memperberat penurunan perfusi
uteroplasenta, memperberat hipovolemia, dan meningkatkan hemokonsentrasi.
Diuretik yang diberikan hanya atas indikasi :
Edema paru
Payah jantung kongestif
Edema anasarka
Diuretik yang diberikan adalah furosemid.
10. Diet : diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori berlebih.
B. Sikap terhadap kehamilannya (pengelolaan obstetrik) pada pasien dengan preeklamsia
berat meliputi :
1. Perawatan konservatif/ekspektatif
Tujuan : (1) Mempertahankan kehamilan, sehingga mencapai umur kehamilan yang
memenuhi syarat janin dapat dilahirkan. (2) Meningkatkan kesejahteraan bayi baru
lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu.
a. Indikasi : Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai gejala dan tanda impending
eklamsia dengan keadaan janin baik.
b. Terapi medikamentosa :
Sama dengan terapi medikamentosa pada preeklamsia berat.
Bila penderita sudah kembali menjadi preeklamsia ringan, maka masih dirawat
2-3 hari lagi baru diizinkan pulang
Pemberian MgSO4 sama seperti pemberian MgSO4 seperti di atas, tetapi tidak
diberikan loading dose intravena, tetapi cukup intramuskular
Pemberian glukokortikoid diberikan pada umur kehamilan 32-34 minggu selama
48 jam.
c. Perawatan di Rumah Sakit (sama seperti rawat inap pada preeklamsia ringan)
d. Penderita boleh dipulangkan : bila penderita telah bebas dari gejala-gejala
preeklamsia berat, masih tetap dirawat 3 hari lagi baru diizinkan pulang.
e. Cara persalinan
Bila penderita tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm.
Bila penderita inpartu, perjalanan persalinan diikuti seperti lazimnya.
Bila penderita inpartu, maka persalinan diutamakan per vaginam kecuali bila ada
indikasi untuk sectio caesaria.
2. Perawatan aktif/agresif
a. Tujuan : terminasi kehamilan
b. Indikasi
Indikasi Ibu :
o Umur kehamilan ≥ 37 minggu
o Kegagalan terapi medikamentosa :
i. Setelah 6 jam sejak dimulai terapi medikamentosa, terjadi kenaikan
tekanan darah yang persisten.
ii. Setelah 24 jam sejak dimulainya terapi medikamentosa, terjadi kenaikan
tekanan darah yang persisten.
o Tanda dan gejala impending eklamsia
o Gangguan fungsi hepar
o Gangguan fungsi ginjal
o Dicurigai terjadi solusio plasenta
o Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan.
o Indikasi Janin :
o Adanya tanda-tanda fetal distress
o IUGR berdasarkan pemeriksaan USG
o NST non reaktif dan profil biofisik abnormal
o Timbulnya oligohidramnion
o Indikasi Laboratorium :
o Trombositopenia progresif, yang menjurus ke sindroma HELLP.
c. Terapi medikamentosa (sama seperti di atas)
d. Cara persalinan
Persalinan sedapat mungkin diarahkan pervaginam.
Penderita belum inpartu :
o Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop ≥ 8. Bila perlu dilakukan
pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah
mencapai kala II dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan
dianggap gagal dan harus disusul dengan sectio caesarea.
o Indikasi sectio caesarea :
i. Tidak ada indikasi untuk persalinan pervaginam
ii. Induksi persalinan gagal
iii. Terjadi gawat janin
iv. Umur kehamilan < 33 minggu
Penderita sudah inpartu :
o Perjalanan persalinan diikuti dengan grafik Friedman
o Memperpendek kala II
o Sectio caesarea dilakukan apabila terdapat kegawatan ibu dan gawat
janin
o Primigravida direkomendasikan sectio caesarea
o Anestesi : regional anestesi, epidural anestesi.
4.2.3.3 Penatalaksanaan post partum
Menurut NICE Clinical Guidelines tentang manajemen penyakit hipertensi dalam
kehamilan, perawatan post partum dari wanita dengan preeklamsia meliputi:
Pengukuran tekanan darah minimal 4 kali sehari selama berada di rumah sakit.
Observasi keluhan pasien setiap kali mengukur tekanan darah.
Pemeriksaan jumlah trombosit, transaminase, dan kreatinin serum 48-72 jam post
partum.
Pemeriksaan carik celup urin untuk mendeteksi proteinuria. Apabila proteinuria
masih ≥ +2, maka dianjurkan melakukan pemeriksaan ulang 3 bulan lagi untuk
mengevaluasi fungsi ginjal.
KESIMPULAN
Eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang disebabkan langsung
oleh kehamilan itu sendiri.
adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam persalinan atau nifas yang ditandai
dengan timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita ini menunjukkan gejala-
gejala preeklampsia berat. (kejang timbul bukan akibat kelainan neurologik).
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti.
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis danp emerikasan lainnya yang menunjang.
Berbagai komplikasi pre-eklampsia dan ekalmpsia dapat menyebabkan mortalitas dan
mortalitas pada ibu dan janin yang dapat terjadi seperti solusio plasenta,
hipofibrinogenemia hemolisis, perdarahan otak, kelainan mata, edema paru-paru, nekrosis
hati, Sindroma HELLP Komplikasi yang berat ialah kematian ibu dan janin.
Penatalaksanaan pada pre-eklampsia dan eklampsia terdiri dari tindakan konservatif
untuk mempertahankan kehamilan da ntindakan aktif sesuai dengan usia kehamilan
ataupun adanya komplikasi yang timbul pada pengobatan konservetif. Pada pre-eklampsia
dan eklampsia harus diobservasi kesejahteraan janin dan ibu. Sedangkan untuk terminasi
kehamilan pada Eklampsi harus dilakukan sesegera mungkin tanpa memandang usia
kehamilan, karna eklampsia dapat mengancam keselamatan ibu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Report of the national High Blood Pressure Education Program Working Group on
High Blood Pressure in Pregnancy, 2001, Am Fam Physician, 64: 263-70
2. Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan.
Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Available at:
http://www.pogi.or.id.
3. The American Congress of Obstetrician and Gynecologist. Hypertension in
Pregnancy. bstetrics & Gynecology, Vol. 122, No. 5, November 2013
4. Deeker GA. Risk Factor for Preeclamsia. Clinical Obstetrics and Gynecology, 1999,
42:422-35
5. Churchill D, Beevers DG. Definitions and Classification System of the Hypertensive
Disoreders in Pregnancy in Churcill D, Beevers DG. Hypertensiom. BMJ Books,
London 1999.
6. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH, eds. Ilmu Kebidanan. 4th ed.
Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010.
7. Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan.
Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Available at:
http://www.pogi.or.id.
8. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Rekomendasi Preeklamsi Berat.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
9. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY (eds).
Williams Obstetrics. 23rd ed, New York: McGraw Hill, 2010.
10. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health. Hypertension in
Pregnancy: the management of hypertensive disorders in Pregnancy. London: Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists, 2011.
DAFTAR PUSTAKA
11. Report of the national High Blood Pressure Education Program Working Group on
High Blood Pressure in Pregnancy, 2001, Am Fam Physician, 64: 263-70
12. Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan.
Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Available at:
http://www.pogi.or.id.
13. The American Congress of Obstetrician and Gynecologist. Hypertension in
Pregnancy. bstetrics & Gynecology, Vol. 122, No. 5, November 2013
14. Deeker GA. Risk Factor for Preeclamsia. Clinical Obstetrics and Gynecology, 1999,
42:422-35
15. Churchill D, Beevers DG. Definitions and Classification System of the Hypertensive
Disoreders in Pregnancy in Churcill D, Beevers DG. Hypertensiom. BMJ Books,
London 1999.
16. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH, eds. Ilmu Kebidanan. 4th ed.
Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010.
17. Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan.
Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Available at:
http://www.pogi.or.id.
18. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Rekomendasi Preeklamsi Berat.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
19. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY (eds).
Williams Obstetrics. 23rd ed, New York: McGraw Hill, 2010.
20. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health. Hypertension in
Pregnancy: the management of hypertensive disorders in Pregnancy. London: Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists, 2011.
Kehamilan Ganda
PENDAHULUAN
Insiden kelahiran kembar telah meningkat dalam 30 tahun terakhir. Pada tahun
2009, terdapat 16 kasus kelahiran kembar dari total 1000 kelahiran hidup di Inggris dan
Wales. Hal ini menunjukkan peningkatan jumlah kasus jika dibandingkan pada tahun
1980, dimana hanya terdapat 10 kasus kelahiran kembar per 1.000 kelahiran hidup. Angka
kelahiran kembar yang meningkat sering dikaitkan dengan penggunaan teknik reproduksi
bantuan, termasuk fertilisasi in vitro ( IVF ). Sekitar lebih dari 24 % kesuksesan prosedur
IVF menghasilkan kehamilan kembar. Kelahiran kembar saat ini mencapai 3 % dari
kelahiran hidup. Di USA, telah terjadi kenaikan kelahiran kembar sebesar 3 % dari seluruh
kelahiran hidup
Beberapa kehamilan dikaitkan dengan risiko lebih tinggi bagi ibu dan bayi . Wanita
dengan kehamilan kembar memiliki peningkatan risiko dari keguguran, anemia , gangguan
hipertensi, perdarahan, persalinan operatif dan penyakit pasca kelahiran. Secara umum,
angka kematian ibu terkait dengan kelahiran kembar adalah 2,5 kali lipat lebih besar jika
dibandingkan dengan kelahiran tunggal. Kehamilan kembar menyebabkan peningkatan
yang nyata dari morbiditas dan mortalitas perinatal. Wanita dengan kehamilan multifetus
memerlukan pengawasan dan perhatian khusus sehingga digolongkan sebagai kehamilan
dengan komplikasi. Risiko kelahiran prematur juga lebih tinggi pada kehamilan kembar
dibandingkan dengan kehamilan tunggal, dimana terjadi pada 50% kehamilan kembar, 10
% diantaranya terjadi kelahiran sebelum kehamilan mencapai usia 32 minggu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kehamilan multifetus atau ganda atau kembar adalah suatu kehamilan dengan dua
janin atau embrio atau lebih dalam satu gestasi. Kehamilan dengan dua janin disebut
kehamilan kembar, tiga janin disebut triplet, empat janin disebut kuadriplet dan lima
janin disebut quintiplet.
2.2 Epidemiologi
Insiden kehamilan kembar monozigotik di USA cenderung konstan berkisar 4 dari
1000 kelahiran dan sebagian besar tidak berhubungan dengan usia ibu, ras atau
paritas dan terjadi secara random genetik. Hal ini berlawanan dengan kembar
dizigotik yang insidennya bervariasi diantara berbagi macam ras, dan berpengaruh
juga dari usia ibu (peningkatan dari yang usia >20 tahun insidennya 3 per 1000
sampai 14 per 1000 pada wanita usia 35-40 tahun) serta jumlah paritas. Angka
kelahiran kembar dizigotik tertinggi pada African Americans (10-40 per 1000
kelahiran), diikuti oleh Caucasians (7-10 per 1000 kelahiran) and Asian Americans
(3 per 1000 kelahiran).
2.3 Etiologi dan faktor risiko
Janin yang kembar lebih sering terjadi akibat fertilisasi dua buah ovum yang terpisah
(ovum ganda, kembar dizigot atau kembar "fraternal"). Sekitar sepertiga di antara
kehamilan kembar berasal dari ovum tunggal yang dibuahi, dan selanjutnya
membagi diri menjadi dua buah struktur serupa, masing-masing dengan kemampuan
untuk berkembang menjadi ovum tunggal tersendiri (kehamilan monozigot atau
kembar "identik"). Salah satu atau kedua proses dapat terlibat dalam pembentukan
fetus dengan jumlah yang lebih besar. Faktor resiko untuk kemungkinan terjadinya
kehamilan kembar dapat dibagi menjadi secara natural dan hasil induksi. Secara
natural faktor resiko tersebut adalah riwayat keluarga yang merupakan kembar
dizigotik, ras, bertambahnya paritas dan usia maternal, dan ukuran fisik ibu.
Sedangkan yang secara induksi adalah induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro.
Faktor Predisposisi
1. Ras
Frekuensi kelahiran janin multipel memperlihatkan variasi yang nyata di antara
berbagai ras yang berbeda. Myrianthopoulos (1970) menemukan kehamilan bayi
kembar pada satu dari setiap 100 kehamilan diantara wanita kulit putih dan satu dari
79 kehamilan wanita kulit hitam. Kehamilan diantara orang timur atau oriental tidak
begitu sering terjadi.
2. Hereditas
Sebagai faktor penentu kehamilan kembar, genotip ibu jauh lebih penting daripada
genotip ayah.
3. Usia maternal dan paritas
Kehamilan multipel meningkat seiring dengan meningkatnya paritas.
4. Nutrisi
Ibu dengan postur tubuh besr dan tinggi, lebih besar kemungkinan untuk
mendapatkan kehamilan kembar daripada ibu dengan postur pendek dan kecil.
5. Gonadotropin endogen
Angka kehamilan kembar dizigot yang lebih tingggi pernah dikemukakan untuk
wanita yanng hamil dalam waktu 1 bulan sesudah menghentikan pemakaian
kontrasepsi oral, naum ini tidak berlaku untuk bulan – bulan berikutnya (Rothman,
1977). Salah satu kemungkinan untuk menimbulkan peningkatan yang nampak nyata
adalah pelepasan gonadotropin hipofise dalam jumlah yang lebih besar daripada
lazimnya selama siklus spontan yang pertama setelah penghentian kontrasepsi.
6. Preparat kesuburan
Induksi ovulasi dengan menggunakan preparat gonadotropin (follicle stimulating
hormone plus chorionic gonadotropin) atau klomifen, akan meningkatkan secara
nyata kemungkinan ovulasi ovum yang jumlahnya lebih dari satu.
Pada wanita dengan faktor risiko tertentu dapat dicurigai sebagai kehamilan kembar.
Sebagai faktor penentu kehamilan kembar, genotip ibu jauh lebih penting daripada
genotip ayah. Frekuensi kelahiran janin multipel memperlihatkan variasi yang nyata
di antara berbagai ras yang berbeda. Kehamilan kembar di antara orang-orang Timur
atau Oriental tak begitu sering terjadi. Sebagai contoh, di antara lebih dari 10 juta
kehamilan yang diperiksa di Jepang, ternyata kehamilan kembar ditemukan hanya
satu pada setiap 155 kelahiran. Perbedaan ras yang nyata ini merupakan akibat
keragaman pada frekuensi terjadinya kehamilan kembar dizigot. Bertambahnya usia
maternal dan paritas pada insiden kehamilan kembar telah diperlihatkan dengan jelas
oleh Waterhouse (1950). Untuk setiap peningkatan usia sampai sekitar 40 tahun atau
paritas sampai 7, frekuensi kehamilan kembar akan meningkat.
2.4 Patogenesis
Kehamilan kembar lebih sering terjadi sebagai akibat fertilisasi dua ovum yang
terpisah, yang dikenal dengan kembar dizigot. Walaupun beberapa ahli mengatakan
bahwa kembar dizigot bukanlah kembar sejati oleh karena berasal dari maturasi dan
fertilisasi dua buah ovum selama siklus ovulatoir tunggal. Sedangkan sekitar
sepertiga diantara kehamilan kembar berasal dari ovum tunggal yang dibuahi, dan
selanjutnya membagi diri menjadi dua buah struktur serupa, masing-masing dengan
kemampuan untuk berkembang menjadi ovum tunggal tersendiri (kehamilan
monozigot atau kembar identik).
Kembar monozigot terjadi saat 1 telur yang dibuahi membelah selama 2 minggu
pertama setelah konsepsi yang akan menghasilkan bayi dengan rupa yang sama atau
bayangan cermin dimana mata, kuping, gigi, rambut, kulit dan ukuran antropologik
pun sama. Satu bayi kembar mungkin kidal dan yang lainnya kanan karena lokasi
daerah motorik di korteks serebri pada kedua bayi berlawanan.1,3
Jenis kembar
monozigotik berhubungan dengan waktu terjadinya faktor penghambat dalam
segmentasi atau pembelahan, misalnya hambatan dalam tingkat segmentasi (2-4
hari), hambatan dalam tingkat blastula (4-7 hari)serta hambatan setelah amnion
dibentuk tapi sebelum primitif streak. 1,3,5
Kembar monozigot timbul dari
pembelahan ovum yang sudah dibuahi pada berbagai tahap perkembangan awal
sebagai berikut:
1) Bila pembelahan terjadi sebelum inner cell mass terbentuk. dan lapisan luar
blastokist belum berubah menjadi korion, yaitu dalam 72 jam pertama setelah
fertilisasi, maka akan terbentuk dua embrio dengan dua amnion dan dua korion.
Keadaan ini menghasilkan kehamilan kembar monozigot dengan diamnion dan
dikorion. Bisa terdapat dua plasenta yang berbeda atau satu plasenta. Sekitar
sepertiga dari kembar monozigotik memiliki 2 amnion 2 korion dan 2 plasenta
yang kadang-kadang 2 plasenta tersebut menjadi satu. Keadaan ini tidak dapat
dibedakan dengan kembar dizigotik.
2) Jika pembelahan terjadi antara hari keempat dan kedelapan yaitu setelah inner
cell mass dibentuk dan sel-sel yang akan menjadi korion sudah mengalami
diferensiasi namun sel-sel yang akan menjadi amnion belum, maka akan
terbentuk dua buah embrio, masing-masing dalam kantong ketuban yang
terpisah. Kedua kantong ketuban akhirnya akan diselubungi oleh satu korion
bersama, sehingga terjadi kehamilan kembar monozigot diamnion, monokorion.
Sekitar 70 persen kembar monozigotik adalah seperti ini.
3) Namun, jika amnion sudah terbentuk, yang terjadi sekitar hari ke-8 sesudah
fertilisasi, pembelahan akan menghasilkan dua embrio di dalam satu kantong
ketuban bersama atau mengakibatkan kehamilan kembar monozigot
monoamnion, monokorion.
4) Bila pembelahan terjadi lebih belakangan lagi yaitu sesudah diskus embrionik
terbentuk, pada hari ke 9-12 setelah fertilisasi maka akan timbul 1 korion 1
amnion. Pembelahan berlangsung tidak lengkap dan akan terbentuk kembar siam.
Kembar siam sangat jarang dijumpai, hanya sekitar 1:100.000 persalinan.
Kembar siam dapat dibagi atas beberapa jenis sesuai dengan lokasi anatomis
menjadi satu bagian tubuh, yaitu torakopagus (40%), sifoomfalopagus (34%),
pigopagus (18%), iskiopagus(6%) dan kraniopagus (2%).
Gambar 1. Struktur plasenta kembar dalam hubungannya dengan perbedaan pada waktu
embriogenik
61
2.5 Diagnosis
Riwayat dan Pemeriksaan Fisik
Riwayat kehamilan dalam keluarga, dengan sendirinya hanya memberikan suatu bukti
yang lemah, namun informasi mengenai terapi klomifen atau gonadotropin yang baru
saja diberikan, akan menjadi petunjuk yang kuat.
Dari pemeriksaaan fisik didapatkan :
Perut lebih besar daripada yang sesuai dengan tuanya kehamilan.
Meraba tiga bagian besar atau lebih (yang dimaksud dengan bagian besar ialah
kepala dan bokong sedangkan yang dimaksud dengan bagian kecil ialah kaki
dan tangan).
Meraba dua bagian besar berdampingan.
Meraba banyak bagian – bagian kecil.
Mendengar bunyi jantung anak pada dua tempat dengan sama jelasnya dan
dengan perbedaan frekuensi 10 denyut atau lebih dalam 1 menit.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan diantaranya; USG, radiografi dan
pemeriksaan biokimia. Melalui pemeriksaan USG yang cermat, kantong kehamilan
yang terpisah dapat ditemukan lebih dini pada kehamilan kembar. Pemeriksaan
radiografi, pada rontgen foto didapatkan dua kerangka janin. Pemeriksaan
biokimiawi, jumlah gonadotropin korionik dalam plasma dan urin rata – rata lebih
tinggi daripada jumlah yang ditemukan dalam kehamilan tunggal. Kadar α-fetoprotein
dalam plasma maternal umumnya lebih tinggi pada kehamilan dengan janin kembar
daripada kehamilan dengan janin tunggal.
Diagnosis Banding
Pada kehamilan multifetus, selama trisemester kedua terdapat perbedaan antara usia
kehamilan yang ditentukan dari data – data menstruasi dengan data yang diperoleh
dari hasil pemeriksaan ukuran uterus. Uterus yang berisi dua janin atau lebih jelas
akan menjadi lebih besar daripada uterus yang berisi janin tunggal. Pada kasus dengan
uterus yang tampak besar dan tidak sesuai dengan usia kehamilannya, harus
dipikirkan kemungkinan hal berikut :
62
1. Multifetus atau janin lebih dari satu.
2. Peninggian uterus akibat distensi vesika urinaria.
3. Riwayat haid yang kurang cermat.
4. Hidramnion.
5. Mola hidatidosa.
6. Mioma uteri atau adenomiosis uteri.
7. Massa adneksa yang melekat erat.
8. Makrosomia janin yang terjadi kemudian dalam kehamilan.
2.6 Penatalaksanaan
Untuk menurukan mortalitas dan morbiditas perinatal secara bermakna dalam
kehamilan nyang dipersulit oleh janin kembar, tindakan yang perlu diambil adalah :
5. Persalinan bayi prematur harus dicegah
6. Kegagalan salah satu atau kedua janin untuk bertahan hidup harus diketahui.
7. Trauma janin selama persalilnan harus dikurangi
8. Perawatan neonatal yang memadai harus tersedia sejak bayi lahir.
Tahap utama yang harus dilakukan untuk memenuhi tujuan ini adalah mengetahui
secara dini kehamilan yang dipersulit dengan multifetus.
Diet
Kebutuhan akan kalori, protein, mineral, vitamin dan asma lemak essensial mengalami
peningkatan pada wanita dengan hamil multifetus. Konsumsi energi harus ditingkatkan
sebesar 300 kalori per hari. Suplementasi zat merupakan terapi yang penting;
direkomendasikan pemberian 60 hingga 100 mg zat besi per hari. Asam folat dengan
takaran 1 mg per hari terbukti bermanfaat.
Hipertensi Maternal
Hipertensi yang ditimbulkan dan diperberat oleh kehamilan, jauh lebih besar
kemungkinannya terjadi pada kehamilan dengan multifetus. Hipertensi bukan saja
terjadi lebih sering, tetapi cenderung lebih dini dan lebih berat. Pada kehamilan janin
tunggal, hipertensi karena kehamilan terjadi lebih jarang di antara wanita multipara
63
daripada nulipara. Namun demikian, keadaan tersebut tidak terjadi pada kehamilan
multifetus.
Surveilans Antepartum terhadap Pertumbuhan Janin
Pertumbuhan janin berlangsung lebih lambat pada kehamilan multifetus daripada
kehamilan janin tunggal. Aspek penting penilaian pertumbuhan janin dengan USG
adalah untuk menilai ketidaksesuian pertumbuhan antar janin dalam kehamilan kembar.
Sebagian peneliti menyatakan bahwa ketidaksesuaian dapat dikenali lewat disparitas
antara diameter biparietal pada pasangan janin kembar, bukti terakhir ternyata
pengukuran lingkar perut dianggap lebih sensitif. Dengan menggunakan perbedaan
lingkaran perut 20 mm atau lebih untuk meramalakan ketidaksesuaian pertumbuhan
sebesar 20 %, Storlazzi dkk. (1987) melaporkan sensitivitas sebesar 80 %, spesifitas
sebesar 85 %
Velosimetri Doppler
Perbedaan resistensi vaskuler yang dinilai dengan pengukuran kecepatan aliran darah
menggunakan alat ultrasonografi Doppler gelombang-kontinyu, telah dipakai untuk
menilai keadaan pada janin kembar
Pencegahan Persalinan Prematur
Beberapa langkah telah dgunakan untuk memperpanjang lama gestasi pada kehamilan
kembar. Teknik ini mencakup tirah baring yang intensif, khususnya dengan perawatan
di rumah sakit, terapi profilaksis dengan obat – obat β mimetik, cervical cerclage,
pemberian progestin.
Tirah Baring
Beberapa penulis menyebutkan bahwa tirah baring merupakan tindakan yang
menguntungkan bagi janin kembar, mungkin hal ini terjadi melalui peningkatan
perfusi darah serta penurunan gaya kekuatan fisik yang dapat merugikan
serviks untuk mempercepat penipisan dan dilatasi. Sayangnya, keuntungan dari
tirah baring sulit untuk dievaluasi.
64
Β-mimetik
Seperti pada kehamilan tunggal, tidak ada bukti yang valid bahwa terapi
tokolitik meningkatkan outcome neonatus pada kehamilan multipel.
Pemberian Progestin
Penyuntikan secara seri 17-hidroksiprogesteron kaproat (Delalutin) untuk
mencegah persalinan prematur, telah dianjurkan oleh sebagian dokter. Namun
demikian, Hartikainnen-Sorri dkk. (1980) tidak menemukan manfaat pemberian
preparat ini sepanjang trisemester ketiga kehamilan pada kehamilan kembar.
Persalinan janin Lebih dari Satu
Banyak komplikasi pada persalinan, mencakup persalinan prematur, disfungsi uteri,
presentasi abnormal, prolapsus funikuli, pelepasan plasenta dini, perdarahan post
partum segera, ditemukan jauh lebih sering pada kehamilan multifetus.
Presentasi dan Posisi
Pada multifetus, semua kemungkinan presentasi janin dapat ditemukan. Presentasi yang
paling sering ditemukan diantaranya adalah ; kepala-kepala, kepala-sungsang, kepala-
lintang. Presentasi ini, khususnya kepala-kepala, bisa menjadi tidak stabil pada
persalinan. Apalagi kalau janinnya kecil, air ketuban yang berlebih, ataupun pada ibu
multiparitas.
Induksi atau Stimulasi Persalinan
Walaupun proses persalinan dapat lebih cepat pada kehamilan kembar, namun induksi
oksitosin dapat digunakan pada kondisi – kondisi tertentu dengan melihat keadaan ibu
dan janin.
Persalinan pervaginam
Secara khas, bayi kembar yang lebih besar, menjadi kekuatan pendorong utama yang
menghasilkan dilatasi serviks dan jaringan lunak lainnya dari saluran lahir. Kadang kala
pada presentasi kepala terdapat permasalahan yang tidak lazim dengan persalinan
pertama. Setelah episiotomi yang tepat dilakukan, persalinan spontan atau persalinan
yang dibantu forsep, biasanya terbukti cukup memuaskan.
65
Seperti pada kehamilan tunggal, pada presentasi bokong bayi pertama, akan mengalami
beberapa kesulitan.
1. Janin secara abnormal berukuran besar dan aftercominghead melampaui
kemampuan jalan lahir.
2. Janin terlalu kecil, sehingga ekstremitas dan batang tubuh dilahirkan lewat
kanalis serviks yang penipisan dan silatasi serviknya kurang memadai
3. Prolaps tali pusat
Fenomena janin kembar yang saling mengunci merupakan keadaan yang jarang
ditemukan. Agar penguncian dapat terjadi, janin pertama harus dalam presentasi
bokong dan janin kedua presentasi verteks. Pada penurunan bokong lewat jalan
lahir, dagu janin pertama akan terkait dan mengunci pada leher serta dagu janin
kedua dengan presentasi sefalik. Bila penguncian ini tidak bisa dilepaskan,
maka harus dilaksanakan seksio secaria sebelum badan bayi dilahirkan atau
dekapitasi.
Persalinan Bayi Kembar Kedua
Setelah bayi kembar yang pertama sudah dilahirkan, bagian presentasi bayi
kedua,bagian presentasi bayi kedua, ukuran dan hubungannya dengan jalan lahir harus
cepat ditentukan dengan kombinasi pemeriksaan abdominal, vaginal, kadang kala
intrauteri yang dilakukan secara hati – hati. Jika verteks atau bokong macet di dalam
jalan lahir, kita dapat memberikan tekanan pada fundus uteri dan memcahkan selaput
ketuban. Segera sesudah itu, pemeriksaan dilakukan ulang untuk menilai adanya
prolapsus funikuli atau abnormalitas lainnya.
Perdarahan dari dalam uterus menunjukkan terjadinya pelepasan plasenta yang dapat
membahayakan jiwa ibu maupun janin. Jika kontraksi rahim tidak timbul kembali
dalam waktu 10 menit, infus larutan oksitosisn yang diencerkan dapat dilakukan untuk
menstimulasi aktivitas miometrium yng tepat, sehingga terjadi persalinan spontan atau
dibantu dengan forsep.
Jika oksiputa atau bokong bayi segera masuk ke dalam pintu atas atas panggukl tetapi
belum terfiksasi di dalam jalan lahir, bagian presentasi seringkali dibantu kedalam
rongga panggul dengan satu tangan pada vaginal sedangkan tangan yang lain berada
pada fundus uteri.
66
Versi Podalik Interna
Selaput ketuban dipecahkan, kedua tungkai ditentukan kemudian dipegang secara
akurat, tungkai bayi ditarik secara hati – hati ke dalam jalan lahir. Dengan tangan lain
pada abdomen, verteks bayi secara bersamaan diangkat dengan hati – hati ke arah
sternum ibu. Epiosiotomi dilakukan untuk memperluas ruangan yang diperlukan bagi
manipulasi intravaginal dan intra uterin. Kedua tungkai secara perlahan – lahan ditarik
lewat jalan lahir hingga bokong terlihat di sebelah anterior tepat di bawah simfisis
maternal. Sehelai handuk basah dan hangat diletakkan pada bokong bayi dn traksi
dilanjutkan kembali secara hati – hati sampai sepertiga bawah kedua skapula terlihat.
Selanjutnya, badan bayi diputar secara perlahan dengan traksi yang hati – hati sampai
lengan dan bahu masuk ke dalam vagina. Kepala yang menyusul kemudian kini dapat
dilahirkan dengan tekanan eksternal suprapubik yang dilakukan untuk memfleksikan
kepala bayi bersamaan dengan traksi bagian badannya secara hati – hati, atau dengan
menggunakan forsep.
Seksio Sesaria
Indikasi seksio sesaria pada persalinan kembar :
1. Presentasi yang bukan kepala pada salah satu atau kedua bayi.
2. Disfungsi uterus hipotonik.
3. Hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan.
4. Gawat janin.
5. Prolaps funikuli
6. Tiga janin atau lebih
Post Partum
Bentuk – bentuk komplikasi masa setelah kelahiran bayi yang jumlahnya lebih dari
satu, tidak berbeda dengan kelahiran bayi tunggal; kendati demikian, frekuensi dan
intensitas komplikasi ini sering meningkat. Ibu dapat dipersulit dengan keletihan
jasmani yang cukup berat kadangkala depresi emosional akibat peningkatan beban
kerja fisisk serta tnggung jawab lainnya yang berkaitan dengan perawatan dua bayi
atau lebih.
67
2.7 Prognosis
Rata-rata berat badan anak kembar kurang dari berat badan anak tunggal karena
lebih sering terjadi persalinan kurang bulan. Terjadinya persalinan ini meninggikan
angka kematian di antara bayi – bayi yang kembar. Walaupun demikian, prognosis
anak kembar yang lahir kurang bulan lebih baik dibandingkan dengan anak tunggal
yang sama beratnya.
68
BAB III
KESIMPULAN
Kehamilan multifetus atau ganda atau kembar adalah suatu kehamilan dengan dua janin atau
embrio atau lebih dalam satu gestasi. Wanita dengan kehamilan kembar memiliki
peningkatan risiko dari keguguran, anemia, gangguan hipertensi, perdarahan, persalinan
operatif dan penyakit pasca kelahiran. Secara umum, angka kematian ibu terkait dengan
kelahiran kembar adalah 2,5 kali lipat lebih besar jika dibandingkan dengan kelahiran
tunggal. Oleh karena itu dibutuhkan pemantauan yang komprehensif dan penatalaksanaan
yang tepat sesuai indikasi untuk mengurangi angka kematian maternal pada kasus kehamilan
ganda atau kembar.
69
DAFTAR PUSTAKA
1. National Institute for health and Clinical Excellence. 2011. Multiple Pregnancy : The
Management of twin and triplet pregnancies in the antenatal periode. NICE Clinical
Guideline: UK.
2. Vaysiserre, C, et all. 2011. Twins pregnancies: Guidelines for Clinical Practice from
The French Colleges Gynaecologists (XNGOF): European Journal of Obstetrics &
Gynecology and Reproductive Biology.
3. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Haunt JC, Wenstrom KD.
Williams obstetrics, 22 edition. New York, McGraw-Hill, 2007, p 766-804.
4. James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B. 2001. High Risk Pregnancy : Management
Options. 2nd
ed. London : WB Sounders Company. 146
5. Malone, Fergal D and Mary E. D’Alton. Multiple Gestation in Maternal – Fetal
Medicine. 5th
Ed. London : Saunders. 513 - 533.
6. Sastrawinata, Sulaiman, et al. 2005. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi.
Jakarta : EGC: 52 – 58.