patronase agama dalam kehidupan politik lokal

18
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 November 2010 (ACIS) Ke - 10 PATRONASE AGAMA DALAM KEHIDUPAN POLITIK LOKAL (Melemahnya Nilai-Nilai Tradisional Agama Masyarakat) Musafir Pababbari Pendahuluan Gagasan utama yang melatari tajuk permasalahan dalam makalah ini adalah berawal dari pengamatan penulis terhadap suatu fenomena masyarakat dimana pola hubungan patronase dalam komunitas agama semakin memudar serta belum banyak dikaji dalam perspektif sosiologis, oleh karena itu melalui tulisan ini penulis bermaksud menyumbangkan beberapa konsep ilmiah dalam konteks sosiologi agama untuk mendeskripsikan secara mendalam tentang pola hubungan otoritas agama dan politik lokal. Kajian sosiologi agama tentang hubungan patronase dalam kehidupan masyarakat masih sangat minim, hal ini disebabkan karena masih rendahnya perhatian dalam mengamati gejala-gejala sosial agama yang cenderung eksklusif ditambah lagi dengan sulitnya mengaplikasikan teori-teori sosiologi yang lahir di barat untuk diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat agama yang sedang berkembang di timur, di mana agregasi sosialnya sangat jauh berbeda. Menganalisis gejala-gejala patronase tidak dapat dipisahkan dengan konsep otoritas terutama dengan otoritas kharisma. Perkembangan masyarakat saat ini, terutama pada masyarakat agama terdapat banyak pranata sosial yang dikembangkan atas dasar apa yang disebut dalam tipologi Weber dengan otoritas legal-rasional (Johnson 1986:231) Namun masih juga ditemui model otoritas dalam masyarakat yang berdasarkan sumber tradisional dan kharismatik seperti dalam komunitas agama. Karena itu pemimpin kharismatik tidak dengan sendirinya terhapus dengan menguatnya otoritas legal-rasional, sehingga seperti pemahaman Coser, bahwa birokrasi legal-rasional bisa saja menghadirkan stagnasi, namun sebaliknya kepemimpinan kharismatik dalam politik justru bisa lebih kokoh dibanding dengan pola kepemimpinan politik yang berdasarkan kewenangan-kewenangan prosedural yang rasional (Gordon,1991:488). Pengaruh tokoh kharismatik di kalangan umat Islam sampai sekarang masih tampak kokoh, Dengan tingkat aksentuasi yang berbeda-beda sesuai dengan ketenaran kharisma mereka masing-masing. Para pemimpin kharismatik tersebut tidak hanya memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah ibadah khusus, namun juga masih memperlihatkan perannya dalam ikut memecahkan dan menyelesaikan persoalan sosial, ekonomi maupun politik. Meskipun peran tersebut masih harus dilihat apakah sebagai proses partisipasi dan fungsi otonomi atau proses mobilisasi politik (Suyuthi , 2001: xix). Dari dasar pemikiran tersebut diatas, perkenankanlah saya pada hari ini menyampaikan makalah dalam forum yang terhormat ini Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke 10 Tahun 2010,

Upload: maulshiro

Post on 26-Dec-2015

56 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Patronase Agama Dalam Kehidupan Politik Lokal

TRANSCRIPT

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 November 2010 (ACIS) Ke - 10

PATRONASE AGAMA DALAM KEHIDUPAN

POLITIK LOKAL (Melemahnya Nilai-Nilai Tradisional Agama Masyarakat)

Musafir Pababbari

Pendahuluan

Gagasan utama yang melatari tajuk permasalahan dalam makalah ini adalah berawal dari pengamatan penulis terhadap suatu fenomena masyarakat dimana pola hubungan patronase dalam komunitas agama semakin memudar serta belum banyak dikaji dalam perspektif sosiologis, oleh karena itu melalui tulisan ini penulis bermaksud menyumbangkan beberapa konsep ilmiah dalam konteks sosiologi agama untuk mendeskripsikan secara mendalam tentang pola hubungan otoritas agama dan politik lokal.

Kajian sosiologi agama tentang hubungan patronase dalam kehidupan masyarakat masih sangat minim, hal ini disebabkan karena masih rendahnya perhatian dalam mengamati gejala-gejala sosial agama yang cenderung eksklusif ditambah lagi dengan sulitnya mengaplikasikan teori-teori sosiologi yang lahir di barat untuk diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat agama yang sedang berkembang di timur, di mana agregasi sosialnya sangat jauh berbeda.

Menganalisis gejala-gejala patronase tidak dapat dipisahkan dengan konsep otoritas terutama dengan otoritas kharisma. Perkembangan masyarakat saat ini, terutama pada masyarakat agama terdapat banyak pranata sosial yang dikembangkan atas dasar apa yang disebut dalam tipologi Weber dengan otoritas legal-rasional (Johnson 1986:231) Namun masih juga ditemui model otoritas dalam masyarakat yang berdasarkan sumber tradisional dan kharismatik seperti dalam komunitas agama. Karena itu pemimpin kharismatik tidak dengan sendirinya terhapus dengan menguatnya otoritas legal-rasional, sehingga seperti pemahaman Coser, bahwa birokrasi legal-rasional bisa saja menghadirkan stagnasi, namun sebaliknya kepemimpinan kharismatik dalam politik justru bisa lebih kokoh dibanding dengan pola kepemimpinan politik yang berdasarkan kewenangan-kewenangan prosedural yang rasional (Gordon,1991:488).

Pengaruh tokoh kharismatik di kalangan umat Islam sampai sekarang masih tampak kokoh, Dengan tingkat aksentuasi yang berbeda-beda sesuai dengan ketenaran kharisma mereka masing-masing. Para pemimpin kharismatik tersebut tidak hanya memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah ibadah khusus, namun juga masih memperlihatkan perannya dalam ikut memecahkan dan menyelesaikan persoalan sosial, ekonomi maupun politik. Meskipun peran tersebut masih harus dilihat apakah sebagai proses partisipasi dan fungsi otonomi atau proses mobilisasi politik (Suyuthi , 2001: xix).

Dari dasar pemikiran tersebut diatas, perkenankanlah saya pada hari ini menyampaikan makalah dalam forum yang terhormat ini Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke 10 Tahun 2010,

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

584

Tinjauan Teoritis

1. Kajian Sosiologis Tentang Patronase Studi mengenai hubungan patronase masih bersifat marginal di akhir tahun lima-

puluhan dan awal tahun enam puluhan menjadi semakin penting artinya akhir-akhir ini, baik dalam disiplin antropologi, sosiologi maupum politik. Ada beberapa factor yang mendorong terjadinya perubahan ini. Pertama, semakin meluasnya objek dari studi gejala semacam ini. Dari studi hubungan antar person yang terbatas sifatnya menjadi studi tentang berbagai hubungan sosial dan hubungan antar organisasi. Kedua, kajian masalah hubungan patronase ini kemudian mencakup berbagai macam masyarakat yang terdapat diberbagai tempat di dunia, tidak lagi terbatas hanya di Amerika Selatan, dimana hubungan semacam ini tanpak mencolok. Kesadaran dikalangan para ilmuwan sosial mengenai pentingnya studi ini, oleh karena gejala tersebut rupanya tetap bertahan di daerah-daerah yang sudah mengenal politik demokrasi atau system politik yang dapat berfungsi dengan baik serta semakin eratnya hubungan studi ini dengan perkembangan teori pertukaran sosial.(Putra 1988:1-2).

Kendatipun kajian mengenai gejala patronase telah banyak dilakukan oleh ilmuwan sosial, namun gema kegiatan ini masih cukup lemah di Indonesia.Ini tidak berarti bahwa gejala patronase tidak ada di Indonesia, tetapi sebaliknya gejala tersebut cukup signifikan untuk diteliti sebagai suatu gejala sosial yang menarik, terutama di daerah-daerah pedesaan yang masih kuat berpegang pada tradisi lokal.

a.Pengertian patronase Dalam kajian ini, ada beberapa definisi yang telah disampaikan oleh para sosiolog di

antaranya adalah James C. Scott, Peter Burke dan Sydel F.Silverman dijadikan pegangan untuk menganalisis gejala patronase yang terjadi di wilayah studi ini. Scott (1972) mengatakan bahwa hubungan patronase mengandung dua unsur utama yaitu pertama adalah bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga di mata pihak lain, entah pemberian itu berupa barang ataupun jasa , dan bisa berbagai ragam bentuknya. Dengan pemberian itu pihak penerima merasa berkewajiban untuk membalasnya. sehingga terjadi hubungan timbal balik. Kedua adanya unsur timbal balik yang membedakan dengan hubungan yang bersifat pemaksaan atau hubungan karena adanya wewenang formal ( Putra 1988:3).

Menurut Burke Patronase dapat didefinisikan sebagai sistem politik yang berlandaskan pada hubungan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara.antara pimpinan (patron) dan pengikutnya (Client). Masing-masing pihak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan. Client menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada patron yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbolis (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah dan lain-lain). Di sisi lain, patron menawarkan kebaikan, pekerjaan, dan perlindungan kepada clientnya. (Burke 2001:106)

Menurut Silverman Patronase sebagai sebuah pola lintas budaya dapat didefinisikan sebagai hubungan kontraktual antara orang-orang dengan status dan kekuasaan yang tidak sama, yang memberlakukan kewajiban-kewajiban timbal balik dan jenis yang berbeda pada masing-masing pihak. Minimum, yang diberikan adalah perlindungan dan pertolongan di

MUSAFIR PABABBARI Patronase Agama

585

satu pihak dan kesetiaan di lain pihak, hubungan ini dibangun diatas landasan pribadi dan berhadapan muka,serta berlanjut (Frank Mc.Glynn dan Arthur Tuden 2000:244).

Adanya unsur timbal balik inilah yang menurut Scott yang membedakan dengan hubungan yang bersifat pemaksaan (coercion) atau hubungan karena adanya wewenang formal (formal authority). Selain itu hubungan patronase ini juga perlu didukung oleh norma-norma dalam masyarakat yang memungkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya (client) melakukan penawaran, artinya bilamana salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak memberi seperti yang diharapkan, dia bisa menarik diri dari hubungan tersebut tanpa terkena sanksi sama sekali. Hubungan patronase mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan hubungan sosial lain. pertama, terdapatnya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran. kedua, adanya sifat tatap muka (face to face character) dan ketiga adalah sifatnya yang luwes dan meluas (diffuse flexibility).

b. Patronase sebagai realitas sosial Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan empiris, maka patronase sebagai realitas sosial

menjadi pokok persoalan yang diteliti dalam sosiologi sebagai fakta sosial. Menurut Durkheim (Ritzer 1992) Fakta sosial dinyatakannya sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi obyek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Arti penting pernyataan Durkheim ini terletak pada usahanya untuk menerangkan bahwa fakta sosial tidak dapat dipelajari melalui introspeksi .Fakta sosial harus diteliti di dalam dunia nyata (empiris). Fakta sosial hasil karya Durkheim yang tertuang dalam bukunya The Rules of sociological Method (1895) dan Suicide (1897) telah menjadikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri lepas dari pengaruh filsafat dan psikologi.

Gejala patronase dapat juga dilihat dari sudut pandang paradigma interaksionisme simbolik, melalui analisis tindakan sosial dari Weber. Perhatian interaksionisme simbolik terhadap dimensi subyektif sejajar dengan tekanan Weber pada pemahaman arti subyektif dari tindakan sosial individu.Teori interaksionisme simbolik tidak melihat tingkat subyektif dalam cara yang sama seperti Weber, juga tidak didasarkan pada perspektif Weber secara eksplisit. Weber bergerak lebih jauh melebihi analisa tindakan dan arti subyektif untuk melihat pola institusional dan budaya yang luas. Interaksionisme simbolik memusatkan perhatiaanya terutama pada tingkat interaksionisme antar pribadi secara mikro (Johnson 1986: 4).

Konsep Weber tentang tindakan sosial, dalam konteks ini dapat diasumsikan bahwa gejala patronase adalah sebuah hubungan sosial, dengan dasar asumsi bahwa terdapat sebuah tindakan yang terpola di mana beberapa orang aktor yang berbeda melakukan hubungan dengan tujuan/motif tertentu dalam sebuah interaksionisme. Dengan demikian secara kontekstual dari konsep teoritik Weber tentang rasionalitas dalam suatu tindakan sosial, maka patronase merupakan sebuah pranata yang dapat dijelaskan secara impersonal melalui tindakan antar hubungan sosial (sosial relationship). Menurut Weber, sejauh tindakan yang dilakukan oleh aktor-aktor individu tersebut mengandung makna dan memiliki hubungan serta terarah kepada orang lain, maka telah terjadi hubungan sosial. Syarat dari

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

586

hubungan sosial tersebut adalah terjadinya saling penyesuaian (mutual orientation) antara orang yang satu dengan yang lain.

Dasar paradigma Weber berkaitan dengan teori aksi (action theory) yang melihat tindakan sosial merupakan suatu proses keterlibatan aktor dalam pengambilan keputusan subyektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan yang telah dipilih, yang kesemuanya itu dibatasi kemungkinannya oleh system budaya, baik itu norma, ide ataupun nilai-nilai sosial sebagaimana didukung oleh Talcott Parson (Perdue,1986).

Patronase sebagai realitas sosial yang muncul sebagai fakta empirik dapat dilihat pada a.politik patron client. serta b. Agama patron client.

a).Politik Patron client Kajian hubungan patron-client dalam kehidupan politik dapat dilihat pada tahun

1920 an dimana Lewis Namier mengemukakan pendapatnya bahwa partai Whig (cikal bakal partai liberal di Inggeris) dan Tory (nama lain partai konservatif) kedua partai ini merebut simpati dari kader-kadernya bukan dipersatukan oleh ideology atau program melainkan hubungan patron client antara pengikut dengan pemimpinnya.(Burke 2001 : 108)

Juga beberapa kajian terbaru tentang politik Prancis pada abad ke 17 telah memanfaatkan perkembangan literature sosiologi tentang patronase. Mereka mencatat, misalnya bagaimana Kardinal Richelieu memilih pembantu-pembantunya berdasarkan pada pertimbangan personal ketimbang impersonal, dengan kata lain yang ia cari bukanlah calon-calon terbaik untuk mengisi jabatan tertentu, melainkan memberikan jabatan itu kepada clientnya (Burke 2001: 110), juga kajian Sharon Kettering tentang patron-client, ia menyatakan bahwa jaringan patronase sejalan dan saling melengkapi dengan pranata-pranata politik resmi Perancis abad ke 17,bahwa ritual sosial pemberian hadiah adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik, ( Burke 2001 : 121).

Di Indonesia, kecenderungan pembentukan pola hubungan patronase, baik dikalangan penguasa maupun masyarakat. Pola hubungan dalam konteks ini bersifat individual, terjadi interaksionisme yang bersifat resiprokal atau timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak, (Gaffar,2000:109).Dalam interaksionisme politik, masing-masing mempunyai kedudukan yang saling membutuhkan penawaran untuk dipertukarkan karena Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan perhatian dan kasi sayang bahkan bisa berupa kekayaan harta benda atau uang. Sementara clientt memeliki sumber daya berupa tenaga, dukungan dan loyalitas. Pola hubungan tersebut tetap terpelihara karena masing-masing pihak saling tergantung dan menguntungkan disamping itu pula, pola patronase ini kadang melibatkan pihak ketiga yang sering disebut sebagai perantara (brooker atau middleman) yang menghubungkan antara pihak patron dengan client.

Kecenderungan patronase ini dapat ditemukan secara meluas baik dalam lingkungan birokrasi maupun masyarakat dalam hubungannya dengan mobilisasi dan partisipasi politik. Seorang pengamat kawakan terhadap masyarakat dan sejarah Indonesia, WF.Wertheim, mengajukan politik patron client sebagai pola kehidupan politik Indonesia (Wertheim 1969:10) itu berarti bahwa pengelompokan politik tidak didasarkan atas aliran budaya maupun solidaritas klas, tetapi berdasarkan hubungan antara para patron dengan client mereka yang merupakan hubungan yang tak putus-putus.(Kuntowijoyo1993:145).

MUSAFIR PABABBARI Patronase Agama

587

Hubungan patron – client juga telah diamati oleh Karl D. Jackson dalam kajiannya mengenai mobilsasi pedesaan dalam gerakan Darul Islam di Jawa Barat.Dalam kajian itu ia menyimpulkan bahwa dukungan dan penolakan rakyat terhadap mobilisasi itu begitu banyak bergantung kepada para pemimpin desa, yang pada gilirannya bergantung kepada pendapat koneksi mereka di kota, bukan atas dasar keagamaan semata-mata.(Jackson 1971:12-17) .

b). Agama patron - client Gejala patronase pada masyarakat katholik telah diteliti oleh Foster (1961). Dalam

agama ini dikenal adanya santo-santo pelindung, baik itu individual ataupun yang komunal. Oleh karena itu ia membedakan dua macam hubungan patron client, yaitu sebagai relasi antar manusia dan relasi antara manusia dengan seorang tokoh spritual, dalam hal ini para santo yang disebut juga patron.

Gejala patronase dapat ditemukan pula pada masyarakat Muslim, misalnya pada komunitas tarekat Khalwatiah Samman di Sulawesi Selatan. Pola hubungan khalifah-murid karena adanya system kepercayaan terhadap karamah dan barakah yang dalam bahasa Bugis /Makassar disebut karamak dan barakkak. Anreguru memiliki karamak dan barakkak lalu kemudian memberi karamak dan barakkak itu kepada anakguru, baik berupa benda ataupun wejangan dan nasehat kepada anakguru. Pemberian tersebut dipandang barakkak. Pola hubungan anreguru dan anakguru menjadi kokoh sepanjang masa karena meniti di atas system kepercayaan yang sudah mengakar dalam tradisi tarekat berdasarkan etika dan system kepercayaan sufistik. Kelebihan anreguru dilihat dari segi kemampuan ekonomi, tidak ada yang menonjol kecuali kejujuran dan kepercayaan penganutnya. Penganut tarekat telah menyerahkan dirinya kepada khalifah (anreguru) sejak ia mengucapkan baiat, bahkan khalifah dipandang pemimpin simbolis dan menjadi pusat perhatian untuk diteladani (patron) oleh para pengikutnya (clientt). (Hamid 1994: 234-241).

Pemisahan domain religius tersebut menunjukkan ada konsensus antara kekuatan Islam dengan kekuatan religi local. Hal ini kemudian tertuang pada struktur organisasi sosial masyarakat yang menempatkan dua unsur keagamaan tersebut di dalam aspek kehidupan masyarakat. Hubungan antara masyarakat dengan kyai atau pemangku agama bersifat saling membutuhkan sehingga terjadi hubungan antara patron (anregurutta, kyai dan pemangku agama) dengan client (masyarakat, jamaah). Kajian Sosiologis Tentang Otoritas

Kajian sosiologis tentang otoritas telah melahirkan suatu karya monumental dari Weber dengan judul bukunya The theory of sosial and economic organization. Menurut Weber terdapat serangkaian distingsi-distingsi tipologis yang bergerak dari tingkat hubungan sosial ke tingkat keteraturan ekonomi dan sosial politik. Konsep legitimasi keteraturan sosial mendasari analisa Weber mengenai institusi ekonomi, politik dan agama serta interpretasinya mengenai perubahan sosial. Weber menunjukkan empat dasar legitimasi yang berbeda-beda yang mencerminkan tipologi tindakan sosial yaitu a). karena tradisi ;suatu kepercayaan akan legitimasi mengenai apa yang sudah selalu ada. b). berdasarkan sikap-sikap affektual, terutama emosi, yang melegitimasi validitas mengenai apa yang baru diungkapkan atau suatu model untuk ditiru. c).berdasarkan kepercayaan rasional akan

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

588

suatu komitmen absolut dan terakhir d).karena dibentuk dalam suatu cara yang diakui sebagai yang sah (Johnson 1986:226). Dengan demikian bahwa tipe tindakan sosial tertentu sangat erat kaitannya dengan bentuk-bentuk otoritas yang telah dikemukakan Weber, hal ini dapat dijelaskan lebih jauh pada kajian berikut ini. a.Tindakan Sosial dan Tipe-Tipe Otoritas

Menurut Weber tindakan sosial itu harus dimengerti dalam hubungannya dengan arti subjektif yang terkandung di dalamnya, Weber memperkenalkan metode sosiologi untuk memahami tindakan sosial itu dengan nama Verstehen (Weber,1964:9). Bagi Weber sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha memahami tindakan-tindakan sosial dengan menerangkan sebab-sebab tindakan tersebut, bukan bentuk substansial dari kehidupan masyarakat maupun nilai yang obyektif dari tindakan, melainkan arti sesungguhnya yang nyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Dengan kata lain Verstehen adalah suatu metode pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa sosial dan histories. Pendekatan ini bertolak dari gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh para aktor yang terlibat di dalamnya.(Siahaan 1986:200).

Dasar tindakan sosial menurut Weber adalah rasionalitas. Pembedaan pokok yang diberikan adalah antara tindakan rasional dan yang nonrasional. Tindakan rasional berhubungan dengan pertimbangan yang sadar akan pilihan tindakan yang dilakukan. Kategori utama mengenai tindakan rasional dan yang non rasioanl memisahkan empat tindakan sosial di dalam sosiologinya yaitu Rasional terdiri dari tindakan sosial rasional instrumental (Zweck rasionalitat) dan rasional yang berorientasi nilai (Wertrationalitat) serta Non rasional terdiri dari tindakan sosial tradisional dan afektual (Weber 1964:14-Johnson 1986:220-Perdue 1986:382)

Keempat tindakan sosial inilah yang menurut Weber membentuk pola hubungan sosial dalam masyarakat. Weber mengidentifikasi tiga dasar legitimasi yang utama dalam hubungan otoritas berdasarkan tipologi tindakan sosial tersebut di atas. a). Otoritas Legal-Rasional

Otoritas yang didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal.Tipe ini sangat erat hubungannya dengan tindakan sosial rasionalitas intrumental.Seseorang yang sedang melaksanakan otoritas legal-rasional adalah karena dia memiliki suatu posisi sosial yang menurut peraturan yang sah, dia didefinisikan sebagai memiliki posisi otoritas. Bawahan tunduk pada otoritas karena posisi sosial yang mereka miliki itu didefinisikan menurut peraturan sebagai yang harus tunduk kepada yang memegang otoritas legal-rasional itu. (Johnson,1986:231-232) b). Otoritas Tradisional

Tipe otoritas ini berlandaskan pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kekudusan tradisi-tradisi zaman dulu serta legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimilikinya.Jadi alasan penting orang taat pada struktur otoritas itu ialah kepercayaan mereka bahwa hal itu sudah selalu ada. Mereka yang menggunakan otoritas termasuk dalam satu kelompok status yang secara tradisional menggunakan otoritas atau mereka dipilih sesuai dengan peraturan-peraturan yang dihormati sepanjang waktu. Jenis otoritas yang berdasarkan tradisi sedemikian ini masih dapat dibedakan ke dalam jenis otoritas yang disebut dengan patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah

MUSAFIR PABABBARI Patronase Agama

589

suatu jenis otoritas di mana kekuasaan didasarkan kepada senioritas.Meraka yang lebih tua dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi.Sedangkan patrimonialisme adalah jenis otoritas yang mengharuskan seorang pemimpin bekerja sama dengan kerabat-kerabatnya atau dengan orang terdekat yang memiliki loyalitas pribadi kepadanya (Giddens 1986:192-194).Di dalam jenis otoritas yang bersifat patriarkhalisme dan patrimonialisme ini ikatan-ikatan tradisional memegang peranan utama. Si pemegang otoritas adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Dan penunjukan otoritas lebih didasarkan kepada hubungan yang bersifat personal / pribadi serta kepada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin.(Gerth dan Mills 1953 :296). c). Otoritas Kharismatik

Otoritas ini didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin itu sebagai seorang pribadi.Istilah kharisma digunakan dalam pengertian yang luas untuk menunjuk pada daya tarik pribadi yang ada pada orang sebagai pemimpin. Kharisma harus dipahami sebagai kualitas luar biasa tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh-sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. jadi wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang-orang baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal ,di mana pihak si tertakluk menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut.(Siahaan 1986 : 203) b. Konflik dan Otoritas

Perkembangan teori-teori sosiologi dikenal adanya dua pendekatan teoritis yang saling menunjang yaitu pendekatan fungsioanlisme structural dan pendekatan konflik.

Pendekatan fungsionalime structural berpendapat bahwa masyarakat terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu suatu general agreement yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Ia memandang masyarakat sebagai suatu system yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium (Turner 1990 : 143). Pendekatan ini menganalogikan masyarakat dengan organisme biologis. Pendekatan ini sering pula disebut dengan pendekatan organisme.

Sementara itu, penganut teori konflik mengatakan bahwa di dalam setiap masyarakat selalu terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif berupa kepentingan untuk memelihara atau bahkan mengukuhkan status quo dari pola hubungan kekuasaan yang ada dengan yang ingin merombak atau mengubah status quo itu (Craib 1994:93), dengan demikian teori konflik dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme structural. Oleh sebab itu proposisi yang dikembangkan oleh penganut teori konflik bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori fungsionalisme structural. Teori konflik yang cenderung memakai asumsi-asumsi struktural fungsional berpretensi untuk membangun konsensus. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu memiliki kepentingan, sehingga masing-masing anggota atau kelompok masyarakat memiliki sumbangan terhadap munculnya konflik. Oleh sebab itu konsesnsus sangat mengandalkan adanya konflik yang muncul secara tidak terelakkan, sebagai konsekuansi dari adanya kepentingan pada setiap individu. Dalam konteks inilah konsensus tidak mungkin dibangun tanpa diawali dengan konflik. Eksponen fungsionalisme konflik antara lain adalah Ralf Dahrendorf, Lewis Coser dan Randall Collins.

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

590

Menurut Ralf Dahrendorf sebagai tokoh utama teori konflik, bahwa kalau teori fungsionalisme memandang masyarakat berada dalam kondisi statis atau bergerak dalam kondisi keseimbangan, maka menurut teori konflik, bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Kalau menurut teori fungsionalisme structural setiap elemen atau setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas, maka teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Kontras lainnya adalah bahwa kalau penganut teori fungsionalisme structural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma , nilai-nilai dan moralitas umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.(Ritzer 1992:30).

Menurut Dahrendorf, analogi antara sistem biologi dan sistem sosial serta ide mengenai suatu sistem sosial itu sendiri diganti oleh suatu konsepsi mengenai “suatu sistem yang harus dikoordinasi” hal ini sangat ruwet untuk sistem otoritas atau sistem kekuasaan. Dalam konteks ini, perbedaan antara otoritas dan kekuasaan sangat penting untuk dipahami dalam menganalisis suatu keadaan sosial tertentu. Kekuasaan cenderung menaruh kepercayaan pada kekuatan, sedangkan otoritas adalah kekuasaan yang dilegitimasi – kekuasaan yang telah mendapat pengakuan umum(Craib 1994:93). Keberadaan otoritas itu sendiri menciptakan kondisi-kondisi untuk konflik sebab kendatipun masyarakat terintegrasi ke dalam nilai-nilai yang disepakati, namun masyarakat yang terintegrasi tersebut berasal dari unsur masyarakat yang oleh Dahrendorf menyebutnya sebagai quasi-group yaitu kelompok potensial yang akan mengembangkan kepentingan-kepentingan bersama yang masih bersifat laten dan belum disadari biasa pula disebut dengan manifest group.

Coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan fungsionalisme structural dengan teori konflik. Coser mengakui beberapa susunan structural merupakan hasil persetujuan dan konsensus. Suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsionalime structural dan juga menunjuk pada proses lain yaitu konflik sosial (Poloma 1994:107). Oleh sebab itu, antara konflik dan otoritas sepanjang sejarah kemanusiaan tetap saja muncul sejalan dengan kepentingan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Masyarakat membutuhkan konflik untuk mendinamisir kehidupan masyarakat di samping itu pula otoritas juga dibutuhkan untuk memberikan keseimbangan (equiliberium) dalam kehidupan masyarakat. Hasil Penelitian dan Pembahas 1. Melemahnya Nilai Nilai Tradisional Agama

Kajian sosiologis tentang pola hubungan otoritas dalam masalah-masalah politik lokal akan mengacuh pada landasan empirik “umat sebagai konsep sosial” Hal ini diperlukan untuk mempertegas bahwa agama pada dimensi spritual agak sulit dipahami untuk menghubungkan antara tradisi mistik dengan politik karena hal ini merupakan kajian teologis.

Terdapat dua persepsi yang berbeda tentang peran politik lokal yang dilakukan oleh para pengamal tarekat, pertama bahwa dalam pandangan mereka, fanatisme kepada

MUSAFIR PABABBARI Patronase Agama

591

guru dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Beberapa gerakan politik yang dimotori oleh tarekat, yang merupakan protes sosial akibat berbagai tekanan sosial dan ekonomi terjadi pada masa penjajahan seperti dengan munculnya suatu gerakan dengan mengambil bentuk ideologi milleniarisme, mahdiisme, dan jihad fi sabilillah sebagai elemen ideologi yang memberikan legitimasi terhadap gerakan mereka, seperti pemberontakan petani Banten dan gerakan milleniari di Kediri tahun 1888, kemudian Gerakan Mahdiisme di Gedangan Sidoarjo tahun 1903. Pemberontakan anti–Belanda di daerah Banjarmasin tahun 1860, juga fenomena yang sama terjadi di daerah Sukabumi pada masa revolusi. Demikian juga halnya di Makassar yang dipelopori oleh Syaikh Yusuf. Hal seperti ini juga terjadi di Turki misalnya, pada tahun 1925 semua tarekat dilarang setelah terjadi pemberontakan nasional Kurdi yang dipimpin oleh syaikh-syaikh tarekat Naqsyabandiyah (Bruinessen 1999). Gerakan politik tarekat ini mencermin adanya hubungan teologis antara gerakan pembebasan sosial dengan elemen ideologi yang berakar dari faham teologi Islam.

Persepsi kedua memandang bahwa perkembangan tarekat sebagai suatu gejala depolitisasi , sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dan politik. Dalam pandangan ini, tarekat lebih berorientasi kepada urusan ukhrawi ketimbang masalah duniawi. Pandangan seperti ini terlihat terlalu sederhana. Tetapi tidak dapat terlepas bahwa terjadinya proses depolitisasi akibat dari terjadinya hegemoni kekuasaan.

Sebagai klarifikasi terhadap masalah tersebut, peneliti mencoba melakukan studi konprehensip terhadap beberapa masalah yang terkait dengan masalah pokok. Hal ini dapat dilihat bahwa agama sebagai kategori sosial, agama seringkali dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu atau dijadikan ikatan solidaritas baru menggantikan simbol-simbol solidaritas sosial yang lain. Gejala muncul dan berkembangnya konservatisme di Amerika Serikat misalnya pada masa pemerintahan Ronald Reagen merupakan bukti konkriet saat agama dijadikan sebagai sebuah simbol solidaritas baru. Dalam politik Amerika Serikat modern , tidak ada seorangpun yang dapat mendiskualifikasi besarnya peranan Christian Coalition dalam memobilisasi dukungan politik bagi golongan konservatif. (Gaffar 2000: 124).

Gambaran di atas sebagai landasan empirik untuk melihat bagaimana proses politik melibatkan elite agama untuk memperkuat hubungan antara agama dan politik. Gambaran berikut ini akan lebih fokus kepada keterlibatan elite tarekat lokal yang secara kultural dikenal dengan nama anregurutta, annangguru. sebagai cultural broker (Geertz 1966) memegang peranan penting dalam masyarakat sebagai penyuluh agama dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan termasuk persoalan politik lokal yang terjadi, sehingga annangguru menjadi pusat lingkaran masyarakat. a. Interaksionisme Agama dengan Politik lokal

Studi tentang interaksionisme agama dengan politik adalah bagian dari kajian sosiologi agama dengan focus kajian komunitas agama (the religious community). Dengan kata lain kajian tentang hubungan agama dengan politik ini tidak akan memasuki wilayah keyakinan , upacara (ritual) dan pengamalan agama pengamal tarekat, sebab nampaknya akan sulit untuk menghubungkan atau mencari kaitan antara tradisi mistik yang berkembang dalam tarekat dengan gerakan politik. Dalam kehidupan tarekat, bagaimanapun bentuk dan ajarannya tetap menitikberatkan pada upaya setiap anggota

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

592

jamaah tarekat untuk mengembangkan potensi spritualnya sehingga mencapai tahap kesempurnaan (insan kamil) dan cenderung mengabaikan unsur duniawi. Sedangkan politik sangat erat hubungannya dengan upaya untuk menjaga kelangsungannya suatu kekuasaan atas sekelompok orang. Tradisi mistik dalam tarekat lebih bersifat transendental, sedangkan politik lebih bersifat corporeal.

Klarifikasi faktual terhadap masalah tersebut akan dilihat pada tataran empirik, adakah hal yang menunjukkan bahwa interaksionisme sosial hubungan antara agama dengan politik lokal sebagai suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan karena melihat komunitas tarekat yang merupakan bagian atau salah satu bentuk komunitas agama (Islam), maka perlu dilakukan tinjauan kajian agama atau yang lebih spesifik yakni tarekat dalam hubungannya dengan masalah-masalah politik dari perspektif sosiologis.

Pada masa pemerintahan Orde Baru dengan pendekatan yang kuat terhadap stabilitas politik dalam rangka menjamin kesinambungan pembangunan, Jackson (1978) melihat pemerintah Orde Baru dengan kacamata bureaucratic polity digambarkan sebagai birokrasi yang melakukan konsentrasi kekuasaan, sehingga kebijakan politik diisolasi dari keikutsertaan masyarakat seperti yang tertuang dalam kebijakan politik massa mengambang (floating mass). Sebaliknya kebijakan politik mengedepankan pemusatan kekuasaan di tangan orang–orang kepercayaan tertentu. Sumber legitimasi menampakkan kemiripan dengan legitimasi tradisional dengan spesifik patrimonial tradisional. Kalau legitimasi patrimonial tradisional tergantung dari dana yang diperoleh dari eksploitasi terhadap petani dan pedagang, maka neopatrimonial yang dikembangkan oleh Orde Baru tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang dibiayai dari bantuan luar negeri, modal asing, dan naiknya harga minyak.

Gambaran tentang proses politik pada masa Orde Baru ini menurut Gaffar menunjukkan terjadinya proses depolitisasi yang rapi dan sangat efektif terhadap institusi sosial dan politik yang ada. Depolitisasi ini dilakukan dengan berbagai cara. Pertama dengan mewujudkan konsep “massa mengambang” atau floating mass. Dengan konsep seperti ini kontrol politik terhadap partai politik non pemerintah (PDI dan PPP) akan semakin gampang dilakukan. Kedua dengan mewujudkan prinsip monoloyalitas terhadap semua pegawai negeri atau siapapun yang bekerja dalam lingkungan instansi pemerintah. Ketiga dengan emaskulasi partai-partai politik yang ada. Hal ini dilakukan dengan dua cara yaitu dengan melakukan regrouping atau penyederhanaan sistem kepartaian dan mengontol rekruitmen pimpinan utama partai tersebut, sehingga partai-partai tersebut mempunyai pemimpin yang akomodatif terhadap pemerintah.(Gaffar 2000: 40)

Melihat konstalasi politik, maka dapat digambarkan bagaimana hubungan politik lokal dengan patronase agama sebagai berikut : b. Keterlibatan Jama’ah Tarekat dalam Politik lokal

Kecenderungan politik jama’ah tarekat Qadiriyah tercermin dari pandangan teologis yang mereka pahami, sehingga perilaku politik di kalangan jama’ah tarekat juga bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari hasil jawaban responden tentang pandangan teologis mengenai pemilu yang merupakan ajang demokrasi bagi bangsa Indonesia. Pemilihan Umum dalam suatu negara demokrasi dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih serta bebas menggunakan haknya sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau

MUSAFIR PABABBARI Patronase Agama

593

calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktifitas pemilihan, termasuk didalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan suara.

Berdasar data yang diperoleh dalam studi lapangan menggambarkan bahwa terdapat kecenderungan dari jamaah tarekat Qadiriyah dalam menentukan sikap politiknya berdasarkan pandangan teologisnya bahwa hak menentukan pilihan partai bukan kewajiban agama (62%), maka bisa saja terjadi perbedaan antara sikap politik elite agama dengan para jamaahnya dalam afiliasi politiknya. Berikut ini disajikan data lapangan pandangan teologis jamaah tarekat Qadiriyah dalam pemilihan umum.

Tabel : Pandangan Teologis Jama’ah Tarekat Qadiriyah dalam Pemilihan Umum.

Pandangan teologis Frekuensi Prosentase

Kewajiban Agama 36 24 Bukan Kewajiban Agama 93 62 Tidak Tahu 21 14

Jumlah (N) 150 100

Sumber: Studi lapangan bulan September 2008. Klarifikasi terhadap data faktual yang ditemukan di lapangan lalu kemudian di-cross

check melalui wawancara mendalam ditemukan bahwa ketika annangguru masih hidup semua jama’ah wajib mengikuti fatwanya, tetapi sekarang tidak lagi seperti itu karena sikap politik annangguru pada saat itu, hanyalah untuk nyelamatkan tarekat Qadiriyah yang mendapat tekanan politik dari penguasa Orde Baru.

Sisi lain dalam studi ini ditemukan bahwa ketika peneliti mentabulasi silang antara sikap teologis dengan kecenderungan afiliasi politik tarekat Qadiriyah ditemukan hal-hal sebagai berikut:

Tabel : Afiliasi Partai Politik Tarekat Qadiriyah di Mandar

Pandangan Teologis

Afiliasi Partai Politik F

%

PPP

PKB PAN GOL PKS

Kewajiban Agama 9 5 - 6 16 36 24

Bukan Kewajiban Agama

2 11 - 66 14 93 62

Tidak Tahu 5 5 - 9 2 21 14

Jumlah (N) 16 21 - 81 32 150 100

Sumber : Studi lapangan bulan September 2008. Kecenderungan jamaah untuk tidak mengikuti pilihan politik annangguru tidak bisa

dilepaskan dari warisan pendidikan politik Orde Baru ketika itu yang sangat dominan melakukan depolitisasi Islam, bahwa amalan tarekat itu harus dibedakan dan dipisahkan dari pilihan politik, sementara Pemilu itu adalah hak pribadi masing-masing warga negara untuk menentukan pilihan politiknya.

Informasi lainnya dari data yang diperoleh dalam studi berkaitan dengan perbedaan afiliasi politik dalam satu payung tarekat yang sama menunjukkan, bahwa perbedaan afiliasi

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

594

politik antara annagguru Shaleh yang masuk Golkar dengan pilihan politik yang diambil oleh annanggru H.Sahabuddin yang tetap sebagai Ketua Dewan syuro PNU menjadi dasar pembenaran dari sikap politik jamaah bahwa afiliasi politik jamaah tidak tergantung kepada khalifahnya. Walaupun ada pandangan ekstrim dari pengikut setia annangguru yang menyatakan bahwa orang yang tidak masuk Golkar berarti ia telah membangkan dari gurunya dan itu berarti ia telah berkata ah kepada gurunya ini berarti secara substansial ia telah keluar dari tarekat gurunya yaitu tarekat Qadiriyah.

Uraian tentang pola hubungan otoritas politik antara annangguru dengan jama’ahnya dapat disimpulkan bahwa afiliasi politik Annangguru tidak selalu sama dengan afiliasi politik jama’ah tarekat Qadiriyah, hal ini terjadi karena adanya persepsi yang berbeda terhadap sikap annangguru Shaleh ketika masuk Golkar yang dinilai oleh pengikutnya sebagai sikap setengah hati. Sehingga sebagian jama’ah menganggap bahwa masuknya annangguru Shaleh ke Golkar boleh diikuti dan boleh tidak diikuti karena hal itu hanyalah sikap pribadi dan bukan sikapnya sebagai mursyid dari tarekat Qadiriyah. c. Posisi Politik Elite Tarekat

Deskripsi ini akan memaparkan beberapa temuan hasil studi yang telah dilakukan berkenaan dengan posisi politik elite tarekat pada konstalasi politik pada tingkat lokal di wilayah studi, Gambaran umum menunjukkan bahwa Ikatan emosional yang merupakan basis solidaritas penganut tarekat mulai melemah ketika kepentingan politik memasuki wilayah tarekat, hal ini dapat terjadi disebabkan oleh karena pertimbangan politik lebih didasarkan kepada hal-hal yang lebih pragmatis-rasional, sehingga ummat (jamaah tarekat) sebagai kesatuan sosial mencair bersamaan dengan semakin pudarnya ikatan emosi keagamaan karena konsep politik yang secara ketat diturunkan dari konsep keagamaan (tidak ada pemisahan antara agama dan politik) kini mulai bergeser dengan dasar-dasar pertimbangan yang lebih rasional oleh berbagai kepentingan sosial dan ekonomi.

Sebagai kelanjutan dari gerakan Reformasi yang membuka ruang politik yang luas bagi masyarakat, maka tingkat partisipasi politik akan semakin tinggi sejalan dengan semakin tingginya kesadaran politik masyarakat. Hal ini diakui oleh banyak pengamat politik bahwa tingkat partisipasi politik pada era reformasi ini sangat legitimated. Dengan demikian maka hal ini juga mendorong kemungkinannya berbagai kelompok sosial/keagamaan membentuk sebuah partai politik atau berpartisipasi dalam suatu partai politik yang sesuai dengan visi kelompok sosial / keagamaan yang bersangkutan.

Selanjutnya kajian sosiologis tentang posisi politik elite tarekat akan mendeskripsikan tiga lokus kajian yakni pertama partisipasi politik tarekat dalam pemilu, kedua bagaimana perubahan orientasi politik tarekat akan menjadi fokus dalam studi ini. Partisipasi politik di era reformasi di mana studi ini dilakukan akan difokuskan pada kelompok sosial dalam pergulatannya dengan masalah-masalah politik lokal serta perubahan orientasi politik dan orientasinya terhadap kehidupan dunia yang secara sosiologis terbentuk dalam komunitas tarekat Qadiriyah.

a). Partisipasi Politik Tarekat dalam Pemilu Masalah politik adalah masalah pembagian wewenang dan fungsi sehingga dapat

dibangun suatu hirarki dalam struktur. Sama halnya dengan tarekat yang menempatkan Annangguru (khalifah) di dalam struktur atas seperti “agama” atas “dunia” dalam hubungan

MUSAFIR PABABBARI Patronase Agama

595

itulah persoalan partisipasi politik Islam selalu akan berkaitan dengan dengan posisi “agama” atau institusi tarekat di satu pihak dalam kegiatan politik khususnya pada kegiatan pemilu yang digolongkan sebagai hal yang bersifat “duniawi” . Karena itu, tujuan partisipasi politik Islam akan bersifat struktural di mana “agama” ditempatkan pada struktur “atas” bukan subordinatif atas negara. Sepanjang hubungan struktural itu sulit atau tidak terpenuhi, maka Islam akan dianggap berada dalam situasi terancam. Pada saat demikian, gerakan Islam merasa wajib untuk merebut posisi strategis yang mampu mengontrol dinamika sosial dan politik.

Karena itu hirarki seseorang di dalam struktur masyarakat yang demikian itu tampak amat jelas dalam institusi tarekat yang mana menempatkan Annangguru sebagai penentu kebijakan gerakan tarekat. Para annangguru (khalifah) secara geneologis terhubungkan sedemikian rupa dengan mata rantai historis yang berakhir pada diri rasul Muhammad saw, sebagaimana tercermin dalam silsilah para mursyid tarekat Qadiriyah. Maka ditangan annanggurulah persoalan sosial dari suatu komunitas dapat diselesaikan termasuk persoalan politik.

Penyelesaian yang paling demokratis adalah dengan jalan Pemilu, karena dengan Pemilu yang demokratis akan melahirkan sistem pemerintahan yang lebih legitimated. Dalam suatu negara demokrasi, Pemilihan Umum dilaksanakan dengan teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih, dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktifitas pemilihan, termasuk di dalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan suara.(Gaffar 2000:9) Hal ini merupakan salah satu indikator dari suatu pemerintahan demokratis, di samping indikator lain seperti adanya akuntabilitas, rotasi kekuasaan secara teratur dan damai, rekruitmen politik secara terbuka, dan lain-lain.

Partisipasi politik tarekat dalam kegiatan pemilu terkait dengan memahami tindakan sosial dari penganut tarekat Qadiriyah dalam hubungannya dengan arti subjektif, Weber dalam analisa sosiologisnya mengajukan konsep rasionalitas yang merupakan kunci bagi suatu analisa objektif mengenai arti-arti subjektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda (Johnson, 1986:219).

Hasil studi lapangan dengan menggunakan instrumen kuestioner terstruktur dan wawancara mendalam dengan para responden menunjukkan bahwa pola tindakan sosial penganut tarekat Qadiriyah dalam afiliasi politik cenderung berprilaku rasional, hal ini menunjukkan terjadinya perubahan orientasi perilaku politik jama’ah tarekat dari tindakan tradisional dengan mengikuti otoritas kharismatik ke tindakan rasional dengan pilihan politiknya sendiri.

Gambaran tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

596

Tabel : Motivasi / Alasan Jamaah Tarekat Memilih Partai Politik.

Tipe tindakan social

Karakteristik motivasi/alas an

F

%

Rasionalitas instrumental Pilihan sendiri 69 46 Rasionalitas berorientasi nilai Ikut partai berkuasa 45 30 Tindakan tradisional Ikut Annangguru 21 14 Tindakan afektif Kecewa masa lalu 15 10

Jumlah 150

100

Sumber : Studi lapangan bulan September 2008 Klarifikasi terhadap data faktual yang ditemukan di lapangan lalu kemudian di-cross

check melalui wawancara mendalam ditemukan bahwa pilihan partai jama’ah tarekat tergolong rasional karena di samping kondisi politik di era reformasi membuka ruang yang lebar dalam hal partisipasi politik rakyat., namun tidak menutup kemungkinan terjadi money politic dalam pemungutan suara, karena rentangnya persoalan sosial dan ekonomi yang dialami oleh kebanyakan umat Islam.

Data tersebut diatas (14%) juga menunjukkan lemahnya nilai-nilai tradisional agama terhadap hubungan patronase antara jamaah dengan elite agama yang bersangkutan, hal ini disebabkan karena rentangnya persoalan sosial dan ekonomi yang dialami, sehingga mereka dengan mudah menerima uang dan / atau jasa dari pihak luar yang membantu dan merekapun menukar uang/jasa yang telah diterimanya itu dengan memberikan dukungan politik kepada pihak lain. Dengan demikian hubungan patronase berubah menjadi hubungan kontraktual

Fenomena tersebut diatas tidak hanya berlaku dalam komunitas agama (tarekat) tapi secara substansial juga bisa berlaku pada komunitas sosial lainnya yang memiliki agregasi sosial yang sama, termasuk di lembaga birokrasi dan perguruan tinggi sekalipun, suatu pilihan pragmatis rasional yang berorientasi nilai.

b). Perubahan Orientasi Politik Tarekat Perubahan pandangan yang sangat mendasar tentang hubungan antara agama dan

politik, ketika seorang ulama kharismatik mengambil langkah politik dengan berafiliasi ke Golkar, hal ini berlawanan secara horisontal dengan pemikiran politik Islam waktu itu yang menganggap bahwa ketaatan dan keshalehan seseorang sangat ditentukan afiliasi politiknya. Maka oleh karena itu seorang muslim yang taat tidak ada pilihan lain kecuali ke partai Islam. Dalam konteks tahun 1970-an yang dimaksud dengan partai Islam adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berazaskan Islam, maka oleh karena itu adalah logis ketika muncul fatwa dari Majlis Syuro PPP yang diketuai oleh KH.Bisri Syamsuri bahwa wajib bagi seorang muslim untuk memilih dan memenangkan PPP yang berazaskan Islam (Sujuthi, 2001:70)

Kontrol politik pemerintah Orde Baru yang menjangkau hampir segala kegiatan masyarakat, termasuk kegiatan keagamaan. Hal ini juga dialami oleh para pengamal tarekat Qadiriyah di Mandar. Kegiatan tarekat banyak terhambat dan dicurigai oleh aparat pemerintah sebagai kegiatan politik. Para pengamal tarekat banyak yang melapor dan

MUSAFIR PABABBARI Patronase Agama

597

mengeluh kepada annangguru atas kesulitan-kesulitan serta tekanan-tekanan politik dari aparat pemerintah baik terang-terangan maupun terselubung.

Maka ketika annangguru mendengarkan hal tersebut, dan keinginan Golkar juga yang ingin merangkul annangguru ke dalam politik, maka setelah annangguru melakukan shalat istiharah beliau lalu kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Golkar. Kendatipun Langkah dan pilihan politik annangguru bergabung dengan Golkar hanya membawa keuntungan bagi Golkar, karena di satu pihak Golkar mendapat legitimasi sosial dan politik dari kalangan Islam tradisional khususnya di kalangan pengikut tarekat, dan di lain pihak tarekat Qadiriyah tidak lagi mendapat tekanan psikologis dari politik penguasa Orde baru. Namun secara material, tarekat ini tidak mendapat fasilitas yang istimewa dari penguasa Orde Baru. Hal ini dapat dibuktikan bahwa dilokasi ritual tahunan 27 Ramadhan di Bukit Bukku Salabose tidak ada listerik serta pengerasan jalanan hanya dilakukan atas swadaya masyarakat yang dipimpin langsung oleh annangguru.

Kehidupan berdemokrasi dalam fenomena di atas menunjukkan lemahnya institusi keagamaan (tarekat) dalam konteks kehidupan politik sehingga melahirkan budaya politik yang bersifat parokial dalam sebuah sistem politik. Budaya politik adalah suatu orientasi psikologis terhadap objek sosial yang kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat Cognitive, affective, dan evaluatif.

Sikap dan orientasi tersebut lalu kemudian membentuk budaya politik yang berbeda. Dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitive akan terbentuk budaya politik yang parokial. Sementara dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya diwarnai oleh karakteristik yang bersifat affektif, akan terbentuk budaya politik yang bersifat subjektif. Akhirnya, masyarakat yang memiliki kompetensi politik yang tinggi, di mana warga masyarakat mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang berjalan, akan terbentuk sebuah budaya politik yang bersifat partisipatif.( Gaffar 2000:100 )

Untuk lebih jelasnya Gaffar menggambarkan fenomena tersebut dalam tabel berikut ini :

Tabel : Hubungan Antara Budaya Politik dengan Orientasi Politik .

Orientasi Politik

Budaya Politik

Parokial Subjektif Partisipatif

Kognitif X

Affektif X

Evaluatif X

Sumber : Diolah dari data sekunder Budaya politik yang demokratis, dalam hal ini budaya politik yang partisipatif, akan

mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratis dan stabil, maka oleh karena itu dalam membangun suatu sistem budaya politik yang partisipatif memerlukan infrastruktur politik yang kuat di antaranya adalah dengan Pemilihan Umum yang bukan hanya sebagai sarana untuk mendapatkan legitimasi politik tapi juga sebagai sarana dalam mengembangkan kehidupan demokrasi sebagai salah satu pilar dalam membangun masyarakat madani.

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

598

Model budaya politik tersebut di atas dalam mengamati perubahan orientasi perilaku politik pada wilayah kasus studi, maka dapat dideskripsikan bahwa telah terjadi perubahan orientasi politik tarekat Qadiriyah di Mandar, di mana dalam bentuk budaya politik parokial yang dibangun dari suatu sistem kepercayaan kepada pemimpin kharismatik yang memiliki jama’ah yang banyak dan dikenal mempunyai kesetiaan total kepada pemimpin kharismatiknya, secara evolutif berubah ke bentuk yang lebih rasional yakni dalam bentuk budaya politik subjektif dan partisipatif dimana pilihan partai politik tidak lagi didasarkan pada afiliasi politik Annangguru melainkan berdasarkan pada pilihan sendiri, (lihat tabel) Hal ini terjadi, sebagai konsekuensi logis dari proses reformasi politik yang sementara ini sedang berjalan. Kendatipun sebenarnya benih-benih perubahan orientasi politik itu sudah ada sebelum lahirnya gerakan reformasi. Namun perubahan ke arah itu tidak nampak, karena hegemoni politik Orde Baru yang hampir menjangkau seluruh lapisan masyarakat termasuk komunitas tarekat tidak dapat dielakkan. Kesimpulan dan Penutup

Melemahnya nilai-nilai tradisional agama, dalam kehidupn politik local tergambar pada data yang diperoleh dalam studi lapangan yang menggambarkan bahwa terdapat kecenderungan dari jamaah tarekat Qadiriyah dalam menentukan sikap politiknya berdasarkan pandangan teologis bahwa Hak menentukan pilihan partai bukan kewajiban agama (62%), maka bisa saja terjadi perbedaan antara sikap politik elite agama dengan para jamaahnya dalam afiliasi politiknya, Sisi lain dalam studi ini ditemukan bahwa ketika peneliti mentabulasi silang antara sikap teologis dengan kecenderungan afiliasi politik tarekat Qadiriyah ditemukan kecenderungan jamaah untuk tidak mengikuti pilihan politik annangguru, tidak bisa dilepaskan dari warisan pendidikan politik Orde Baru ketika itu yang sangat dominan melakukan depolitisasi Islam, bahwa amalan tarekat itu harus dibedakan dan dipisahkan dari pilihan politik, sementara Pemilu itu adalah hak pribadi masing-masing warga negara untuk menentukan pilihan politiknya.

Klarifikasi terhadap data faktual yang ditemukan di lapangan lalu kemudian di-cross check melalui wawancara mendalam ditemukan bahwa pilihan partai jama’ah tarekat tergolong rasional karena di samping kondisi politik di era reformasi membuka ruang yang lebar dalam hal partisipasi politik rakyat, namun tidak menutup kemungkinan terjadi money politic dalam pemungutan suara, karena rentangnya persoalan sosial dan ekonomi yang dialami oleh kebanyakan umat Islam.

Ikatan emosional yang merupakan basis solidaritas sosial penganut tarekat mulai melemah ketika kepentingan politik memasuki wilayah tarekat, hal ini dapat terjadi disebabkan oleh karena pertimbangan politik lebih didasarkan kepada hal-hal yang lebih pragmatis-rasional, sehingga ummat (jamaah tarekat) sebagai kesatuan sosial mencair bersamaan dengan semakin pudarnya ikatan emosi keagamaan karena konsep politik yang secara ketat diturunkan dari konsep keagamaan (tidak ada pemisahan antara agama dan politik) kini mulai bergeser dengan dasar-dasar pertimbangan yang lebih rasional oleh berbagai kepentingan sosial dan ekonomi.

MUSAFIR PABABBARI Patronase Agama

599

Daftar Pustaka Andrian, F, Charles, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1995. Bruinessen,Martin Van,Tarekat Naqsyabandiah di Indonesia, Bandung : Penerbit

Mizan, 1992 ______,Kitab Kuning,Pesantren dan Tarekat,Tradisi-tradisi islam di Indonesia,

Bandung : Penerbit Mizan ,1995 Burke,Peter,History and social Theory, Diterjemahkan oleh Mestika Zed & Zulfami

dengan judul Sejarah dan Teori Sosial ,Jakarta :Yayasan Obor Indonesia,2001. Coser, A Lewis. The Function of Social Conflict, London Collier Macmillan Limited,

1964. Craib, IAN, Modern Social Theory : From Parsons to Habermas, Duterjemahkan

oleh Paul S. Baut dan T. Effendi dengan judul Teori-Teori Social Modern : Dari Parson sampai Habermas. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994

Giddens, Anthony, Capitalism and modern sosial theory : an Analysis of writing of Marx, Durkheim and Max Weber Diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata dengan judul Kapitalisme dan Teori Sosial Modern : Suatu analisis karya tulis Marx, Durkeim dan Max Weber. Jakarta: Penerbit UI-Press, 1986.

Geertz, Clifford, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa., Terjemahan YIIIS, Jakarta: Pustaka Jaya, 1960.

______, Changing role of cultural broker, ” Comparative studies in society and history “, Vol. 2 , 1960

Hamid, Abu, Syekh Yusuf : Seorang Ulama , Sufi dan Pejuang Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,1994

Jackson, Karl.D. & Lucian W. Pye (ed). Political and Comunication in Indonesia, London University of California Press Berkeley Los Angeles, 1978.

Johnson, Paul Doyle, Sociological theory : Classical founders and contemporary perspective, Diterjemahkan oleh Robert M. Z. Lawang dengan judul Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I & II, (Pent) Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1986.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Penerbit Mizan, 1993.

McGlynn, Frank dan Tude,Arthur (Editor) Anthropological approaches to political behavior. Diterjemahkan oleh Suwargono dan Nugroho Pendekatan antropologi pada perilaku politik , Jakarta : Penerbit UI-Press,2000

Perdue D. William, Sociological Theory, Explanation, Paradigm and Ideology, USA : Mayfiels Publishing Computer, 1986.

Poloma, Margaret M., Contemporary sociological theory,Diterjemahkan oleh Tim penerjemah Yasogama dengan judul Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994.

Putra,Heddy Shri Ahimsa, Minawang, Hubungan Patron-client Di Sulawesi Selatan . Yogyakarta : Gajah Mada University Press,1988

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

600

Rahim.Husni ,Sistem otoritas & Administrasi Islam : Studi tentang pejabat agama masa kesultanan dan kolonial di Palembang, Jakarta : Logos ,1998

Ritzer, George, Sociology : A Multiple Paradigm Science Diterjemahkan oleh Drs. Alimandan dengan judul Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda Jakarta Rajawali Pers, 1992).

-------------, Contemporary Sociological Theory, Ne York: Mc Graw Hill, Inc, 1992. Robertson, Roland (Ed),Sociology of religion , Diterjemahkan oleh AP. Saifuddin

dengan judul , Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, , Jakarta: Rajawali Pers, 1993.

Scott,James,C.Patron-client politics and political change in Southeast Asia.The American Political Science Review,1972

Siahaan, Hottman, M., Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986.

Sujuthi,Mahmud, Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang, Hubungan agama,negara dan masyarakat Yogyakarta : Galang Press,2001

Turner, Jonathan H, The Structure of Sociological Theory , California : Wadsworth Publishing Company, 1990

Usman,Sunyoto,Politik,Tajdid dan interaksionisme Guru dan Murid dalam Tarekat ( Laporan Studi) Yogyakarta :Universitas Gajah Mada, 1994

Wach, Joachim, The comparative study of Religion . Diterjemahkan oleh Djamannuri dengan judul Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta : CV.Rajawali , 1984

Weber ,Max. The theory of social and economic organization, New York : The Free Press , 1964.

Wertheim,W.F, “From aliran to class struggle in the country side of java” dalam Pacific viewpoint 10 ,1969.

Endnotes :

Guru Besar dalam Bidang Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Alauddin Makassar