patofisiologi dan penatalaksanaan kehamilan ektopik

8
PENDAHULUAN Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai kehamilan diluar rahim karena implantasi embrio di luar Rahim. Kehamilan ektopik merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada manusia. Kehamilan ektopik menyumbang 1,5-2% dari semua kehamilan di dunia Barat, dan lebih dari 98% dari kehamilan ektopik berada dalam tuba fallopi. Kehamilan ektopik merupakan masalah di negara- negara berkembang dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan (Shao R, 2012). Kondisi ini penyebab utama kematian terkait kehamilan di trimester pertama (Lozeau, 2005). Faktor risiko untuk kehamilan ektopik yang dirangkum oleh (Ankum, dkk) dalam penelitian metaanalisis yang mencakup 36 penelitian sebelumnya. Memiliki hubungan yang kuat antara kehamilan ektopik dan kondisi yang dianggap menghambat migrasi sel telur yang dibuahi ke rahim. Seperti, kerusakan pada tuba fallopi dari penyakit radang panggul sebelumnya, riwayat kehamilan ektopik, dan operasi tuba sebelumnya. Merokok (diduga mempengaruhi motilitas tuba), bertambahnya usia, dan memiliki lebih dari satu pasangan seksual seumur hidup juga telah lama dikaitkan dengan peningkatan risiko kehamilan ektopik. Tidak ada hubungan yang jelas telah didokumentasikan antara kehamilan ektopik dan penggunaan kontrasepsi oral, keguguran spontan, atau kelahiran sesar (Seeber, 2006). Pada tahun 1970 dan 1992 di Amerika Serikat, jumlah kehamilan ektopik didiagnosis meningkat 6 kali lipat. Prevalensi 1

Upload: anggie-nurmalasari

Post on 12-Aug-2015

1.487 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Edittt

TRANSCRIPT

Page 1: Patofisiologi Dan Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik

PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai kehamilan diluar rahim karena implantasi

embrio di luar Rahim. Kehamilan ektopik merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas

pada manusia. Kehamilan ektopik menyumbang 1,5-2% dari semua kehamilan di dunia Barat,

dan lebih dari 98% dari kehamilan ektopik berada dalam tuba fallopi. Kehamilan ektopik

merupakan masalah di negara-negara berkembang dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan

(Shao R, 2012). Kondisi ini penyebab utama kematian terkait kehamilan di trimester pertama

(Lozeau, 2005).

Faktor risiko untuk kehamilan ektopik yang dirangkum oleh (Ankum, dkk) dalam

penelitian metaanalisis yang mencakup 36 penelitian sebelumnya. Memiliki hubungan yang kuat

antara kehamilan ektopik dan kondisi yang dianggap menghambat migrasi sel telur yang dibuahi

ke rahim. Seperti, kerusakan pada tuba fallopi dari penyakit radang panggul sebelumnya, riwayat

kehamilan ektopik, dan operasi tuba sebelumnya. Merokok (diduga mempengaruhi motilitas

tuba), bertambahnya usia, dan memiliki lebih dari satu pasangan seksual seumur hidup juga telah

lama dikaitkan dengan peningkatan risiko kehamilan ektopik. Tidak ada hubungan yang jelas

telah didokumentasikan antara kehamilan ektopik dan penggunaan kontrasepsi oral, keguguran

spontan, atau kelahiran sesar (Seeber, 2006).

Pada tahun 1970 dan 1992 di Amerika Serikat, jumlah kehamilan ektopik didiagnosis

meningkat 6 kali lipat. Prevalensi kehamilan ektopik semakin meningkat, karna kemudahan

dalam mendiagnosis serta kecanggihan alat-alat dibidang kedeokteran. Selanjutnya, peningkatan

insiden infeksi menular seksual, serta penyakit radang panggul yang mengakibatkan kerusakan

tuba namun penyumbatan tidak komplit dan kenaikan jumlah kehamilan ektopik yang dihasilkan

dari bantuan teknologi reproduksi (ART) dapat menjelaskan kenaikan secara keseluruhan

(Seeber, 2006).

1

Page 2: Patofisiologi Dan Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi kehamilan ektopik kurang dipahami, oleh karena itu sulit untuk

memprediksi perkembangan kehamilan ektopik, dan pilihan pengobatan dan pencegahan juga

terbatas. Tuba falopi merupakan jaringan yang dinamis, responsif terhadap steroid, terdiri dari

jenis sel yang heterogen yaitu sel bersilia, sel epitel sekretori serta sel-sel otot polos, yang secara

keseluruhan melakukan fungsi yang berbeda-beda. Epitel tuba biasanya tidak menerima

implantasi dan bertindak sebagai penghalang mekanik untuk mencegah embrio awal berinteraksi

dengan epitel. Dengan faktor yang tidak diketahui, begitu banyak yang mengatur dan

memelihara lingkungan homeostatik normal tuba, tidak mengherankan bahwa kemajuan dalam

mencegah inisiasi dan pengembangan kehamilan ektopik tuba pada wanita begitu terbatas (Shao

R, 2012).

Meskipun telah berspekulasi bahwa kerusakan struktural atau gangguan fungsional

(misalnya, mengubah aktivitas silia atau kontraktilitas abnormal) dari tabung Fallopi dapat

berkontribusi aktif terhadap pengembangan kehamilan ektopik, namun peristiwa molekuler

memicu yang tidak akan digambarkan (Shao R, 2012).

Beberapa faktor risiko yang terkait telah diusulkan, seperti infeksi panggul, perokok masa

lalu atau pernah dan endometriosis. Entah, dan bagaimana, faktor-faktor risiko secara langsung

menginduksi perubahan mikro lokal dan akibatnya memicu implantasi tuba perlu dieksplorasi.

Pertanyaan ini, yang sulit untuk dijelaskan pada manusia, memerlukan pengembangan model

hewan yang memadai. Oleh karena itu, studi ekstensif sementara dalam ekspresi gen dan jalur

sinyal spesifik sel dalam tuba fallopi akan menjadi penting untuk memahami kontribusi masing-

masing faktor risiko untuk fungsi tuba (Shao R, 2012).

Model tikus secara genetik dimodifikasi dapat membantu kita untuk menjelaskan secara

mendasar mekanisme molekuler yang bertanggung jawab untuk gangguan pada silia dan

aktivitas otot dalam tuba fallopi invivo. Peningkatan risiko implantasi tuba yang disebabkan oleh

keterlambatan dalam transportasi embrio dari tuba falopi menuju rahim, telah diamati baru-baru

ini, penelitian menggunakan reseptor cannabinoid (CB1)-, asam lemak hidrolase amida

(FAAH)-, atau DICER1-knockout tikus. Tikus-tikus menunjukkan hipotrofi tuba dengan

pembentukan kista tuba yang menonjol, menyebabkan terganggunya transportasi tuba. Hasil saat

2

Page 3: Patofisiologi Dan Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik

ini mendukung gagasan bahwa integritas CB1-, FAAH-, pada struktur tuba normal dan fungsi

yang diperlukan untuk transportasi tuba (Shao R, 2012).

Namun, sampai saat ini, tidak ada laporan yang diterbitkan mengenai ekspresi dan

regulasi tuba CB1-, FAAH-, atau mediasi-ICER-1 pada manusia selama transportasi tuba dan

kehamilan ektopik tuba. Dengan menggunakan model tikus, peran CB1, FAAH, atau DICER-1,

pada tuba yang mendasari bagaimana mekanisme penyimpangan protein yang menyebabkan

kerusakan struktur tuba atau gangguan fungsional dapat diselidiki. Model tikus memiliki potensi

untuk mengungkap dasar patofisiologi dari kehamilan tuba dan memungkinkan peneliti untuk

merancang dan menguji target terapi (Shao R, 2012).

Penting untuk dicatat bahwa tikus secara genetik serupa dengan manusia dan memilki

kesamaan juga pada fisiologi sel tuba, tetapi kehamilan ektopik tuba sering terjadi pada manusia

namun jarang pada hewan pengerat. Meskipun tikus yang dimodifikasi secara genetik

memungkinkan pengujian ketat mekanistik hipotesis, hewan percobaan memang membutuhkan

interpretasi bijaksana (Shao R, 2012).

Gambar 1 : Mekanisme kehamilan ektopik pada manusia (Shao R, 2012).

3

Page 4: Patofisiologi Dan Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik

Kita telah mengasumsikan bahwa kedua stimulasi, mekanisme seluler dan penghambatan

parakrin dapat berkontribusi pada implantasi tuba fallopii (Gambar 1). Setiap mekanisme dapat

berkontribusi menyebabkan kehamilan ektopik, seperti yang dipicu oleh sinyal patologis yang

berbeda. Sebelum kita dapat mengatasi dasar patofisiologi kehamilan ektopik, bagaimanapun,

kita harus menjelaskan peran dari masing-masing mekanisme dalam kehamilan ektopik.

Mungkin masuk akal untuk menggunakan CB1-, FAAH, dan DICER1-KO model tikus untuk

menguji setiap kemungkinan mekanisme yang telah diusulkan (Shao R, 2012).

PENATALAKSAAN

Pengobatan kehamilan ektopik bisa menggunakan tindakan bedah atau terapi medis.

Pembedahan mungkin memerlukan pengangkatan kembali tuba falopi yang terkena

(salpingectomy) atau dilakukan prosedur pembedahan kehamilan ektopik dengan konservasi

tuba (salpingostomy). Laparoskopi adalah tindakan bedah yang efektif dan merupakan satu

tindakan bedah pilihan. Sedangkan laparotomi dikhususkan untuk pasien dengan perdarahan

intraperitoneal yang luas, yang membahayakan intravaskular, atau visualisasi yang buruk dari

panggul pada saat laparoskopi (Kurt, 2009).

a. Terapi Medis

Terapi medis berguna pada pasien dengan kehamilan ektopik tuba yang tidak

mengalami ruptur dan yang memiliki hemodinamik stabil, memiliki gejala minimal serta

memiliki volume rendah dari cairan intraperitoneal bebas yang terlihat pada scan

ultrasound. Penggunaan methotrexate secara intramuskular dapat digunakan secara luas

dan merupakan terapi medis yang sukses digunakan untuk kehamilan ektopik dan

biasanya digunakan dalam dosis tunggal sesuai dengan protokol pengobatan.

Methotrexate merupakan antagonis asam folat yang targetnya secara cepat memisahkan

sel-sel dan menangkap proses mitosis (Sivalingam, 2011).

Pada kehamilan ektopik, obat ini mencegah ploriferasi sel-sel trofoblas,

mengurangi viabilitas sel dan sekresi β-HCG dan juga mendukung serum progesteron

terhadap kehamilan. Hal ini dapat memfasilitasi perbaikan kehamilan ektopik serta

membantu dalam proses penyembuhan jaringan yang terkena (Sivalingam, 2011).

4

Page 5: Patofisiologi Dan Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik

b. Pembedahan

Saat terlihat masalah lain pada kehamilan tuba ektopik dan ketika perempuan

memiliki keinginan untuk menyelamatkan kesuburannya, maka laparoskopi salpingotomi

dapat digunakan sebagai terapi bedah. Terapi bedah laparoskopi merupakan metode

selektif yang digunakan oleh pasien yang memiliki tingkat hemodinamik yang stabil

namun dalam hal ini keterampilan bedah merupakan faktor yang sangat penting yang

dapat mempengaruhi keberhasila dari metode tersebut (Kopani, 2010).

Dalam sebuah penelitian, metode bedah laparoskopi hanya diterapkan pada

sekitar 26% pasien dan sisanya pada 63% pasien dilakukan operasi bedah terbuka.

Sedangkan dalam penelitian yang lainnya sebanyak 100% kehamilan ektopik dilakukan

operasi bedah terbuka. Sedangkan slpingectomi diaplikasikan pada 95,8% pasien

kemudian dibandingkan dengan 90% pasien salpingectomi pasa penelitian lain.

Sedangkan adnexectomi hanya diaplikasikan pada sekitar 4,2% pasien karena dapat

menimbulkan masalah dalam hal deteksi kehamilan ektopik selama operasi bedah terbuka

(Kopani, 2010).

Keputusan untuk menggunakan salpingostomy atau salpingectomy sering dibuat

berdasarkan tingkat kerusakan pada tuba yang terkena dan kontralateralnya, tetapi juga

tergantung pada kondisi pasien, dan ketersediaan tenaga ahli bedah (Kurt, 2009).

Perbandingan tindakan pembedahan dan pengobatan

Penelitian acak membandingkan terapi medis dengan salpingostomy laparoskopi untuk

pengobatan kehamilan ektopik yang belum ruptur telah menunjukkan tingkat keberhasilan yang

lebih tinggi dengan multidosis methotrexate. Tingkat keberhasilannya relatif, jauh lebih rendah

dengan single-dosis metotreksat, dibandingkan dengan salpingostomy. Sebuah analisis biaya

menunjukkan bahwa terapi methotrexate sistemik lebih murah daripada terapi bedah laparoskopi.

Apabila kadar serum hCG lebih dari 1500 mIU per milliliter, tingkat kekambuhannya adalah

sama setelah perawatan medis dan bedah (Kurt, 2009).

5