pascakolonialitas dalam karya sampul buku ong hari … · 2020. 11. 20. · sampul buku memiliki...

93
i PASCAKOLONIALITAS DALAM KARYA SAMPUL BUKU ONG HARI WAHYU Tesis Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma MUHAMMAD TAUFAN AKBAR 146322016 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2019 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: others

Post on 01-Jul-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

PASCAKOLONIALITAS DALAM KARYA

SAMPUL BUKU ONG HARI WAHYU

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

MUHAMMAD TAUFAN AKBAR

146322016

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vi

ABSTRAK

PASCAKOLONIALITAS DALAM KARYA

SAMPUL BUKU ONG HARI WAHYU

Penelitian yang mengkaji sampul buku merupakan hal yang terbilang

masih terbatas di negeri ini. Penelitian ini sendiri sengaja mengkaji beberapa

sampul karya Ong Hari Wahyu, guna menunjukkan bagaimana sampul memiliki

makna dan sumbangsih bagi lanskap wacana perbukuan terlebih dalam

kebudayaan.

Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis proses kreatif Ong Hari

Wahyu dalam menciptakan empat sampul buku bernuansa pascakolonial. Analisis

atas empat sampul buku karya Ong Hari Wahyu ini untuk memperlihatkan unsur

pascakolonialitas di dalamnya. Dengan demikian penelitian ini pun membuktikan

unsur-unsur pascakolonial dalam empat sampul karya Ong Hari Wahyu.

Data penelitian ini seluruhnya berasal dari sumber-sumber teks tertulis dan

beberapa sumber digital. Data tersebut diolah menggunakan analisis semiotika,

sedangkan penafsirannya menjadi tawaran utama dalam penelitian, dengan

menggunakan pendekatan pascakolonial. Pendekatan pascakolonial yang

dimaksud adalah konsepsi-konsepsi dari Homi K. Bhabha seperti “ambivalensi”,

untuk kemudian peneliti permasalahkan dengan kekaryaan Ong Hari Wahyu;

yaitu keempat karya desain sampul bukunya, sebagaimana telah disebutkan

sebagai objek kajian. Selain itu sejumlah langkah dilakukan dalam

mengumpulkan data gambar sampul buku dari beberapa karya Ong hingga

serangkaian wawancara yang kemudian dipilah dan dikerucutkan sesuai

kebutuhan pada penelitian ini.

Hasil dari tesis ini menunjukkan bahwa Pascakolonialitas Sampul Buku

karya Ong Hari Wahyu menampilkan beragam cerita yang tidak berhenti pada

ilustrasi atas isi buku semata, tetapi juga menghadirkan wacana mitos dan

ambivalensi tersendiri. Selain itu, tesis ini juga menunjukkan karya Ong Hari

Wahyu memberi banyak pertanyaan terkait identitas keindonesiaan pascakolonial.

Kata kunci: Sampul, Ong Hari Wahyu, Pascakolonial, Ambivalensi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vii

ABSTRACT

POSTCOLONIALITY IN THE BOOK COVERS OF

ONG HARI WAHYU’S WORK

The researches analyzing book cover are quite limited in this country.

Particularly, this research is intentionally studying some book covers by Ong Hari

Wahyu in favor of showing how book covers had meaning and contribution for

the landscape of book matters discourse especially in terms of culture.

The purpose of this research is about analyzing the creative process of Ong

Hari Wahyu in creating four book covers with postcolonial essence. The analysis

of four book covers of Ong Hari Wahyu revealed the postcoloniality aspects

inside. Therefore, this research proved the postcolonial aspects in four book

covers of Ong Hari Wahyu‟s.

The sources of this research were collected from some written texts and

digital sources. The sources, later, were conducted by using semiotic analysis,

while the interpretation became the main suggestion of this research by using

postcolonial approach. The postcolonial approach was dealing with Homi K.

Bhabha‟s concepts such as “ambivalence” which later countered with Ong Hari

Wahyu‟s works: The four book covers as the objects of the study. Additionally,

some methods had been conducted in order to collect the pictorial sources of the

book covers from Ong‟s works, also some interviews were sorted and narrowed

down based on the needs of this research.

The result of this thesis presented that the postcoloniality of book covers

of Ong Hari Wahyu‟s revealed various stories which did not stop only on the

illustration of the book content, but also presenting a myth discourse and

particular ambivalence. Besides, this thesis also showed the works of Ong Hari

Wahyu giving many questions related to the identity of postcolonial Indonesia-

ness.

Keywords: Covers, Ong Hari Wahyu, Postcolonial, Ambivalence.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………..….. iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ................................ v

ABSTRAK ......................................................................................... ................ vi

ABSTRACT .......................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….....…… 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

B. Perumusan Masalah .......................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 6

D. Relevansi Penelitian .......................................................................... 7

E. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 7

F. Kerangka Teori.................................................................................. 10

G. Metode Penelitian…………………………………………….......... 15

H. Sistematika Penulisan Tesis…………………………………. ......... 16

BAB II PERBUKUAN KITA: DARI PENERBITAN KE PENERBITAN … 17

A. Perbukuan Awal Indonesia: Pra-Kolonial Hingga Kemerdekaan ... 19

B. Surga Perbukuan Yogyakarta di Era Orde Baru ............................. 27

C. Sepintas Tentang Perwajahan Buku ................................................. 31

D. Ong, Transisi Sampul dan Penerbitan Yogyakarta .......................... 37

BAB III PUSARAN PROSES KREATIF ONG HARI WAHYU……………. 46

A. Namanya Hari, Parabane Ong, Memilih Menjadi Seniman ……… 47

B. Menggeluti Sampul di Senjakala Orde Baru ……………………… 50

C. Karya Ong Hari Wahyu di antara Perbukuan dan Reformasi ……... 53

BAB IV PERCIK AMBIVALENSI DALAM SAMPUL SI ONG....... ............. 63

A. Oples (Opini Plesetan ) …………………………………………… 67

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

x

Rakyat Togog yang Terbungkam................................... ................... 68

B. Priayi Abangan……………………………………. ......................... 71

Priayi yang Rapuh….............. ........................................................... 71

C. Soeharto Dalam Cerpen Indonesia ……………………. .................. 74

Raja Republik yang Mapan............................................... ................ 75

D. Gadis Pantai…………………. ......................................................... 78

Gadis Lugu Jawa dalam Bidikan Lelaki Bangsawan ………........... 79

BAB V PENUTUP............................................................................ .................. 83

DAFTAR PUSTAKA........................................................................... .............. 86

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sampul buku memiliki sejarah panjang. Secara fungsional sampul buku

pada awalnya hanya sebagai pelindung isi buku. Sebelum abad 19 sampul buku

dibuat dengan bahan atau material yang tebal atau dikenal sebagai hard cover.

Sampul depan biasanya hanya berisikan tulisan judul, atau bahkan judul dituliskan

pada punggung buku untuk kebutuhan indikator dalam penempatan di rak buku

perpustakaan, sehingga mudah dibaca. Bahan-bahan yang dipergunakan, pada

awalnya belum sepenuhnya kertas, bisa berupa kain, emas dan perak seperti

halnya manuskrip kuno lainnya.1 Baru pada perkembangannya, sampul buku

menggunakan bahan olahan kayu, tujuan utamanya berkisar sebagai pelindung isi

buku.

Sampul buku sendiri sejatinya merupakan visualitas yang darinya dikenali

baik sebagai penanda sebuah buku, maupun petanda isi buku. Hingga dalam

perkembangannya, jalinan petanda yang lahir dari sebuah visual sampul buku,

merupakan pesan tersendiri yang merepresentasikan isi buku atau bahkan

melampaui isi buku. Persoalan semacam inilah yang membuat sampul buku

demikian menggugah untuk ditempatkan sebagai sebuah kajian, di samping

sebagai sebuah subjek penelitian, mengingat di negeri kita masihlah terbilang

minim, khususnya menyangkut pendekatan humaniora. Dengan demikian, sampul

buku menjadi penting untuk ditempatkan ke dalam kerangka sosial-budaya,

1 Periksa St. Sunardi, ”Sampul Di Atas Sampul: Memeriksa Poster Promosi Buku Baru di

Yogyakarta”, dlm, St. Sunardi, Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-esai Seni dan Estetika

(Yogyakarta: Jalasutra, 2012), hlm. 289-297.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2

sehingga kehadirannya menjadi representasi tersendiri dalam sebuah fenomena

sosial-ekonomi, dan budaya

Setelah tahun 1820-an ada perubahan besar dalam produksi buku dan

sampulnya. Industri yang lebih mekanikal membawa perubahan dalam pembuatan

sampul buku. Sampul mulai berwarna dan berfungsi sebagai penarik perhatian –

tidak semata sebagai pelindung isi buku.2 Dalam perkembangan berikutnya,

sampul buku memiliki peran dalam perspektif bisnis. Sampul buku tidak saja

secara etis sebagai pelindung isi buku, tetapi juga menjadi penarik perhatian

estetik bagi pasar pembaca atau konsumen, sehingga menjadi kekuatan promosi

tersendiri, bahkan sampul dalam taraf tertentu ibarat sebuah medium untuk

memfetiskan buku.3

Penulis tertarik untuk mencoba memulai dari konteks definisi art dalam

pengertian etis dan estetika, yaitu bahwa art merupakan bentuk produk yang

menghasilkan keindahan visual dan sekaligus mencerminkan pengalaman batin

seniman.4 Ketika kita memperhatikan sampul buku, kita akan melihat desain

grafis berupa bentuk garis, warna dan juga gambar atau lukisan tertentu. Seluruh

sampul yang terlihat sebagai desain grafis tersebut pada dasarnya adalah sebuah

tafsir perupa atau ilustrator yang melakukan tafsir terhadap isi –di luar

kepentingannya sebagai instrumen penarik pasar (baca: bisnis, promosi). Karya

tersebut mengandung entitas terpisah dan memiliki dunia sendiri yang kita sebut

sebagai wacana (discourse). Wacana, sebagaimana didefinisikan oleh Foucault,

merujuk pada: cara-cara membentuk pengetahuan, bersama dengan praktik-

2 Periksa laman https://www.illustrationhistory.org/genres/book-sampul. 3 St. Sunardi, ”Sampul Di Atas Sampul: Memeriksa Poster Promosi Buku Baru di Yogyakarta”,

dlm, St. Sunardi, Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-esai Seni dan Estetika (Yogyakarta:

Jalasutra, 2012),. hlm. 293. 4 Definisi Seni, Journal Stanford Encyclopedia, 23 Oktober 2007.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3

praktik sosial, bentuk-bentuk subjektivitas dan hubungan kekuasaan yang melekat

di dalam pengetahuan serta hubungan yang saling terjalin.

Wacana dalam visual sampul buku ini yang secara mandiri terpisah dari

kepentingan bisnis, menjadi dunia tersendiri yang berisikan makna-makna tertentu

dan mengandung tafsir sosiologis dan artistik. Tesis ini mengkaji empat sampul

buku karya Ong Hari Wahyu, seorang seniman visual Indonesia yang cukup

menonjol. Pertama, Priayi Abangan karya Sapardi Djoko Damono, Opini

Plesetan (Oples) karya Emha Ainun Najib, Gadis Pantai, karya Pramoedya

Ananta Toer dan Soeharto dalam Cerpen Indonesia. Empat karya sampul buku

Ong Hari Wahyu itu penulis pilih karena secara visual memperlihatkan nuansa

tertentu, yang mana menjadi pokok utama penelitian ini. Di satu sisi keempat

cover mewakili perkembangan kekaryaan Ong Hari Wahyu, yakni 1995, 2000,

2001 dan 2003. Di sisi lain, adalah menyoal representasi budaya Jawa yang

muncul dalam citra visual tersebut. Hal ini untuk kemudian kami kaitkan secara

konseptual di dalam pendekatan pascakolonial. Selain itu, cover tersebut

mencerminkan judul atau isi buku, sehingga menarik untuk dikaji secara semiotik

untuk mendapatkan makna-makna dari semua karya tersebut, yang tentunya

menunjukkan suatu tafsir Ong Hari Wahyu atas isi buku itu sendiri.

Ong Hari Wahyu sendiri sebagai seorang perupa visual atau desainer

sampul, dikenal oleh banyak penerbit sejak tahun 1990-an sebagai seniman yang

menghasilkan karya-karya bernuansa lama dalam format yang lebih baru –atau

dikenal sebagai karya-karya kontemporer. Karya-karya visualnya dalam bentuk

sampul buku tidak lepas dari kehidupannya sebagai seniman rupa visual.5 Maka,

5 Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 06 Maret 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4

tidak mengherankan apabila karyanya dalam bentuk sampul buku lahir dari proses

analisis dan tafsir atas wacana sosial dan kultural yang ada di Indonesia. Ong Hari

Wahyu menceritakan bahwa semua karyanya baik berupa lukisan atau karya

visual sampul didasari dari proses analisis serta tafsir teks dan konteks. Ketika

melukis sebuah karya di atas kanvas, Ong melakukan perenungan atas wacana

yang melingkupinya, baik itu sebagai cerita sejarah, mitologi maupun hal yang

faktual. Demikian pula ketika ia membuat karya-karya artistik di dalam film-film

yang ia garap. Proses itu juga ia lakukan saat membuat karya visual sampul buku.

Ong Hari Wahyu lahir dan besar di Madiun, Jawa Timur 22 Desember

1958. Ia mulai hijrah di Yogyakarta setelah menamatkan sekolah menengah atas

dan melanjutkan studinya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Jurusan Seni

Grafis. Selain mendapatkan predikat The Best of Art Director dalam film Daun di

Atas Bantal (1996), karya-karyanya, terutama sampul buku berjudul Gadis Pantai

karya Pramoedya Ananta Toer mendapatkan pujian banyak pihak terutama oleh

penulis bukunya sendiri, yang mengatakan, “bagus sekali ini tepat seperti yang

penulis bayangkan”.6 Ong Hari Wahyu bahkan dianggap sebagai penancap

tonggak gaya sampul buku sepanjang tahun 1990-an hingga saat ini. Ong juga

disebut sebagai bagian dari tokoh revolusi estetik sampul buku Indonesia.7

Pengakuan bahwa Ong Hari Wahyu sebagai pelopor estetik sampul buku di dalam

industri penerbitan buku di Indonesia, tak pelak mencerminkan suatu asumsi

bahwa penciptaan atau kreasi sampul buku di Indonesia saat ini secara langsung

atau tidak banyak dipengaruhi oleh gaya Ong Hari Wahyu. Empat karya Ong Hari

Wahyu dalam studi penulis ini, setidaknya memiliki problematika yang menarik

6 Purwadmadi, Suroso Khocil Birawa, Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #13, UPTD

Taman Budaya, Yogyakarta, 2014. Hlm:112. 7 Purwadmadi, ibid, Hlm.111.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5

untuk dikaji, baik sejak ia dalam proses penciptaan hingga pada lahirnya karya

secara utuh.

Akhirnya, secara pribadi, penelitian ini menjadi penting karena

menyangkut keterlibatan diri penulis di dunia perbukuan. Di mana, sebagai

pemilik usaha penerbitan buku, penelitian ini merupakan bagian penting dalam

upaya mengaplikasikan sampul buku di dalam konteks bisnis perbukuan. Selain

itu, sebagai kajian, penelitian ini melengkapi pengalaman penulis dalam dunia

perbukuan. Terutama demi memperdalam pemaknaan dan pengaplikasian sampul

buku dalam konteks struktur kebudayaan manusia itu sendiri. Dengan demikian

penelitian ini merupakan bentuk pengkajian atas subjek seniman dan karyanya,

yang berangkat dari pendalaman atas bidang keterlibatan personal yang intensif,

sehingga sebagai landasan etis, penelitian ini bukanlah suatu pengkajian akademik

yang nirmakna dan sebatas keasyikan intelektual semata, namun sebentuk upaya

penyambungan antara teori dan praksis.

B. Perumusan Masalah

Dari paparan di atas, rumusan pertanyaan utama penelitian ini adalah:

“Mengapa Ong Hari Wahyu menciptakan sejumlah sampul buku bernuansa

pascakolonial?” Rumusan itu dapat kita urai dalam pokok persoalan sebagai

berikut:

1. Latar belakang seperti apa yang menyertai proses kreatif Ong Hari Wahyu

dalam melahirkan karya-karyanya?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6

2. Jika karya sampul, sebagaimana diakui Ong merupakan sebentuk opini

secara visual,8 bagaimanakah representasi semiotik yang muncul di

dalamnya?

3. Dalam konteks pendekatan pascakolonial sebagai pisau bedah,

bagaimanakah unsur-unsur ambivalensi dan hibriditas tercakup dalam

satire sebuah sampul?

C. Tujuan Penelitian

Seperti yang terurai di dalam persolan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis sepilihan karya sampul Ong Hari Wahyu untuk

memperlihatkan bagaimana karya seni sampul merupakan jagad potensial

tersendiri di dalam konteks seni rupa. Sehingga sebagai sebuah

pernyataan, ia secara tersendiri bisa berkaitan dan/atau otonom dengan

konten judul berikut isi bukunya.

2. Maka, pengkajian atas keempat karya sampul dari Ong Hari Wahyu

setidaknya turut mewarnai pengkajian budaya di dalam ranah perbukuan,

dan seni visual itu sendiri.

3. Penelitian ini berupaya menunjukkan bahwa konsepsi di dalam pendekatan

pascakolonial, dapat berguna dalam menjabarkan fenomena budaya di

dalam seni sampul buku di Indonesia.

8 Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 30 April 2019.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7

D. Relevansi Penelitian

Relevansi penelitian atas sampul Ong Hari Wahyu ini antara lain:

1. Melalui pengkajian representasi wacana estetik dan relevansi visual

sampul, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pada

pengembangan ilmu sosial humaniora, khususnya dalam kajian budaya.

Selain itu, diharapkan pula bahwa penelitian ini bisa menjadi referensi

bagi kepentingan bisnis perbukuan di Indonesia, mengingat bahwa dunia

buku adalah bagian dari pegembangan ilmu pengetahuan.

2. Penelitian ini pun diharapkan dapat mendorong apresiasi maupun

penciptaan karya-karya seni rupa dalam bentuk sampul buku di kalangan

seniman atau desainer sampul, dan utamanya bagi seluruh manusia selaku

pembaca buku.

3. Penelitian dalam kajian budaya ini diharapkan memberikan sumbangan

terhadap kajian sampul buku di kalangan akademis. Sehingga dapat pula

menjadi sumbangan yang mampu mendorong perkembangan mutu industri

di kalangan penerbitan buku di Indonesia.

E. Tinjauan Pustaka

Sampul sebenarnya lazim dimaksudkan sebagai sebuah jendela isi atau

abstraksi buku. Setiap karya visual senantiasa memiliki makna-makna yang

memberikan arah pengertian tertentu, baik itu secara ekstrinsik maupun intrinsik.

Dalam tradisi strukturalisme, pengertian ekstrinsik dan intrinsik dikenal dalam

upaya membedah karya sastra. Makna ekstrinsik berkait erat dengan latar riwayat

penciptaan karya dan juga seberapa jauh latar belakang pencipta mempengaruhi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8

karya yang diciptakan Sedangkan makna intrinsik adalah makna yang terkandung

di dalam struktur karya yang diciptakan.9 Dengan membongkar makna-makna

yang terkandung tersebut, baik pada sisi proses kreatif seniman maupun hasil

karyanya, penelitian ini diharapkan akan memperlihatkan makna-makna yang

mampu diafirmasi dan memberikan nilai-nilai tertentu terhadap perkembangan

seni sampul yang lebih luas di dalam kebutuhan industri penerbitan.

Beberapa kajian berkenaan sampul buku yang sudah ada, di antaranya

dilakukan oleh St. Sunardi dalam esainya “Seni dan Pasar”. St. Sunardi tidak

membahas dari sisi semantik dan semiologinya, hanya saja lebih membahas pada

sisi sejarah sampul buku di dunia dan perkembangan fungsi-fungsinya.10

Kajian

lain yang bisa kita jumpai, lebih pada pembahasan mengenai visual sampul

sebagai representasi isi, seperti karya Agus Purnomo berjudul Kajian Visual

Desain Sampul Novel “Filosofi Kopi”11

. Kajian Purnomo dibutuhkan dalam

konteks seni dalam kaitannya dengan pasar. Tulisan lain yang penulis temukan

adalah karya Yngvie Ahsanu Nadiyya berjudul “Proses Kreatif Desain Sampul

Trilogi Novel (Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuan Eks Parasit

Lajang) Karya Ayu Utami”.12

Studi ini lebih menekankan pada proses kreatif

pembuatan sampul. Di luar itu penulis belum menemukan kajian sampul yang

lebih paradikmatik pada kajian budaya, sehingga penelitian ini menarik untuk

9 Bandingkan Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta, Gajah Mada University

Press, 2010). 10 Baca St. Sunardi, “Sampul di Atas Sampul Memeriksa Poster Buku Baru di Yogyakarta”, dlm,

St. Sunardi, Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-Esai Seni dan Estetika (Yogyakarta: Jalasutra,

2017), hlm. 289-297, 11

Kemadha, Vol 6 No.2, Oktober 2017 12

Yngvie Ahsanu Nadiyya berjudul “Proses Kreatif Desain Sampul Trilogi Novel (Si Parasit

Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuan Eks Parasit Lajang) Karya Ayu Utami”. Program Studi

S-1 Desain Komunikasi Visual, Jurusan Desain, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia,

Yogyakarta, 2017.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9

penulis lakukan. Persoalan mendasar dari penelitian ini adalah memperkarakan

posisi karya sampul Ong Hari Wahyu dalam konteks pascakolonialitas.

Kajian sampul buku Ong Hari Wahyu ini memiliki perbedaan yang cukup

menyolok dengan dua kajian di atas. Pertama, Agus Purnomo menganalisis

kesesuaian isi buku serta efektivitas komunikasi untuk kebutuhan pasar pada

Novel “Filosofi Kopi”. Sementara itu, studi penulis ini lebih menekankan pada

aspek kode semiologis pada sampul buku Ong Hari Wahyu melalui pendekatan

ambivalensi pascakolonial. Output dari kajian ini yang penulis harapkan nantinya

adalah terbukanya tafsir semiologi terhadap empat karya sampul buku Ong Hari

Wahyu dalam konteks pascakolonialitas.

Pada buku berjudul Merupa Buku, karangan Koskow,13

disinggung

beberapa sampul buku dan penerbitan khususnya di Yogyakarta yang pada saat itu

mewarnai dunia perbukuan di Indonesia pada tahun 1990-an hingga 2005.

Selebihnya tidak ada yang mengangkat tema atau menyinggung dengan

pendekatan pascakolonial, melainkan membahas di wilayah pembacaan sampul di

wilayah visual.

Buku berikutnya adalah tulisan Adhe,14

di mana fokus buku ini pada

wilayah perkembangan dan perjalanan penerbit Yogyakarta. Sedangkan mengenai

sampul hanya disinggung sedikit pada bab yang membahas tentang sampul buku

yaitu pada bab Episode I Penerbit Kecil di Jogja. Selebihnya buku ini mengurai

perkembangan serta perjalanan dunia penerbitan buku khususnya yang ada di

Yogyakarta, dari lingkungan perbukuan, minat wacana, tema penerbitan serta cara

kerja produksi, distribusi dan pemasaran hingga munculnya generasi penerbit

13

Koskow, Merupa Buku (Yogyakarta; LKIS, 2009). 14

Adhe, Declare, kamar kerja penerbit Jogja (1998-2007) (Yogyakarta: KPJ (Komunitas Penerbit

Jogja), 2007

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10

baru. Pada bab-bab tertentu juga dibahas tentang izin copyright, kualitas

terjemahan yang buruk dan royalti penulis. Kesemuanya memberi dorongan bagi

penulis menempatkan sampul buku ke dalam sejarah perbukuan, hal mana di

dalam buku karangan Adhe, kendati sebagai penjajagan yang terbilang satu-

satunya, khususnya menyangkut sejarah penerbitan buku di Yogyakarta, namun

masihlah terbatas dan tidak spesifik. Hal terakhir inilah yang penulis upayakan

melalui penelitian ini, yakni menyangkut sampul buku dan pemaknaan visualnya.

Dari empat karya sampul buku Ong Hari Wahyu yang menjadi objek

kajian ini, muncul dua asumsi. Pertama, ada unsur subordinasi dan dominasi

dalam setiap struktur wacana gambar sampul buku tersebut. Kedua, memunculkan

mitos-mitos modern dalam dunia politik yang juga menghadirkan ambivalensi

dalam struktur politik. Pada konteks ini, penulis tergelitik untuk mengaitkannya

dengan realitas politik di masa rezim Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru

mengklaim sebagai pemerintahan yang demokratis, namun di sisi lain menerapkan

kebijakan politik melalui “pengawasan melekat” yang membungkam kebebasan

masyarakat atau rakyat. Hal ini terbaca ketika penulis melihat proses kreatif yang

dilakukan Ong Hari Wahyu di atas. Dengan demikian pada bab-bab berikutnya

akan menjadi lebih jelas bagaimana membaca “Pascakolonialitas Dalam Karya

Sampul Buku Ong Hari Wahyu‟.

F. Kerangka Teori

Penelitian pascakolonialitas dalam empat karya sampul buku Ong Hari

Wahyu dijalankan dengan menggunakan teori dan konsep-konsep sebagai

berikut: Teori semiotika diaplikasikan untuk membaca gejala visual empat karya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11

sampul Ong. Makna konotasi dan denotasi dipakai untuk membaca unsur-unsur

signifier visual. Konsep pascakolonial yang digunakan adalah dalam kerangka

pemahaman pascakolonial yang berkisar tentang jejak-jejak kolonial setelah masa

kolonial. Jejak-jejak itu dapat mewujud dengan berbagai macam bentuk, baik itu

melalui pengetahuan yang bersifat abstrak ataupun fisik.

Strategi identifikasi akan diterapkan untuk melihat sampul Ong yang

berupa media visual. Kajian pascakolonial dalam penelitian ini tidak semata-mata

menyoal periodisasi, yakni segala yang terjadi setelah kolonial pergi atau negeri

terkoloni itu merdeka. Namun merupakan sebentuk penjelasan maupun

pemahaman atas kondisi kebudayaan yang terjadi sejak tersentuh oleh kolonial

maupun terus terjadi hingga hari ini.15

Dalam hal ini, pascakolonialitas adalah

takdir yang tidak bisa ditolak dalam realitas empiris masyarakat Indonesia,

maupun sebagai suatu gejala yang akan datang. Pascakolonialitas, bagi penulis

ibarat hantu yang terus membayangi kondisi Indonesia yang lalu, kini dan akan

datang.

Realitas historis tersebut, kemudian memberikan gambaran yang jelas

tentang perjalanan posisi bangsa dan keberadaan manusia yang saling terhubung

antara bangsa penjajah dan terjajah, manusia merdeka dan manusia terbelenggu

sejak masa lalu hingga masa kini. Di mana kita melihat hubungan yang tidak

setara antara bangsa terjajah dan dijajah, atau antara manusia merdeka dan

terbelenggu sejak masa awal imperialisme.16

Perjumpaan pengalaman tersebut

15 Bill Aschroft, Gareth Griffins dan Helen Trifin, The Empire Writes Back: Theory and Practice

in Post-colonial Literatures (London & New York: Routledge, 1989), page. 2. 16

Selengkapnya penulis pelajari dari Bill Aschroft, Gareth Griffins dan Helen Trifin, Post-

Colonial Studies: The Key Concepts Second Edition (London & New York: Routledge, 2007), pp.

168-173.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12

pada akhirnya membentuk makna kehadiran dalam kode-kode kultural tertentu

pada karya-karya sampul Ong.

Untuk menelisik bagaimana struktur pengetahuan dari karya-karya sampul

Ong yang merepresentasikan jejak-jejak efek kolonialisme, secara khusus penulis

akan membahas melalui ambivalensi, yang merupakan salah satu konsep yang

diusung Homi K. Bhabha ketika mendedahkan persoalan mimikri hingga

apropriasi di dalam masyarakat pascakolonial. Konsep tersebut akan berbicara

tentang bagaimana hubungan relasi kekuasaan yang menyebabkan subjek terjajah

hadir dan menampilkan fisiknya dalam wujud relasi yang berubah-rubah.

Perpaduan antara ketertarikan (attraction toward) dan penolakan (repulsif form),

menandai relasi antara penjajah dan terjajah. Sifat ambivalen hadir karena subjek

yang dihubungkan dengan wacana kolonial berada di situasi yang tidak tetap. Ia

tidak serta merta menentang penjajah namun dalam satu sisi, subjek menyetujui

pengetahuan terjajah. Ketidaktetapan tersebut terlihat secara teoritis dari

keterlibatan (complicity) dan resistensi (resistance) yang dialami subjek kolonial.

Dua kutub tersebut selalu berubah-ubah dan tidak stagnan. Instagnasi atau

ketidak-stagnan-an ini memunculkan identitas pascakolonial kemudian menjelma

kondisi hibrid, dalam mana Bhabha menyinggung: “The trace of what is

disavowed is not repressed but repeated as something different –a mutation, a

hybrid”.17

Ketidak-stagnan-an maupun ketidak-mapanan inilah yang khas dalam

konsep ambivalensi di dalam teori Homi K. Bhabha, yang mencerminkan

persoalan identitas di dalam subjek pascakolonial.18

17

M.H. Nurul Huda, “Membongkar Kekerasan Epistemis”, dlm, Mudji Surisno dan Hendar

Putranto Eds, Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm.

113-120. 18

Homi K. Bhabha, Location of Culture (New York: Routledge, 1994), hlm. 111

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13

Adapun relevansi persoalan identitas pascakolonial di dalam representasi

sampul buku ini terbukti demikian kentara, khususnya ketika dipahami sebagai

sebuah jalinan visual dengan benang merah penandaan tertentu. Tidak

ketinggalan rangkaian manifestasi citra visual tertentu yang muncul, sehingga

kesatuan sampul buku dari Ong Hari Wahyu layak ditempatkan ke dalam wacana

visual atas realitas rumit simbol atau representasi keterbelahan identitas yang

khas dalam jagad pascakolonial, atau setidaknya sebagai sebuah kritik atas kuasa

Orde Baru.

Kemudian, penulis sendiri sengaja menggunakan metode semiotika dalam

pengungkapan jalinan tanda, sehingga sanggup ditelaah jejaring penanda maupun

utamanya petanda, yang memudahkan penulis untuk dikaitkan ke dalam kerangka

pascakolonial di atas. Konsep semiotika yang akan penulis gunakan sendiri

adalah teori mitos milik Roland Barthes. Secara umum semiotika adalah ilmu

tentang tanda. Manusia pada umumnya berusaha mengkomunikasikan dirinya

melalui tanda-tanda khususnya dalam hal ini adalah tanda visual. Dalam teori

mitos Barthes sebuah narasi diciptakan melalui proses signifikasi (penandaan)

secara kultural. Mitos adalah tanda yang direproduksi terus menerus, yang

dilahirkan dari sistem signifikasi tingkat kedua atau second-order semiological

system.19

Mitos sebagai pengembangan dari makna konotasi, dalam perspektif

Barthes, kemudian selalu menaturalisasikan kenyataan. Sehingga melalui mitos

inilah, sebuah fenomena atau realitas sosial terkesan apa adanya (an sich). Dari

sana, secara struktural, sistem penandaan yang bekerja mempermainkan relasi

kekuasaan di dalam penciptaan proses penanda baru, diulang terus menerus dan

19

Roland Barthes, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1972), hlm. 113.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14

direproduksi melalui permainan kode struktural yang berbeda. Hal tersebut

menempatkan mitos sebagai language-robbery, atau perampok bahasa, sebab ia

mempermainkan realitas sistem penandaan dan melampauinya.20

Dengan kata

lain, mitos mencabut realitas sebuah tanda tertentu dari akar historisnya.21

Dengan demikian, penggalian atas kinerja penandaan yang terkandung

dalam visual sampul buku, menjadi sebuah upaya untuk mengungkap bagaimana

penandaan bekerja dan memungkinkan sebuah pesan kepada pembaca/penonton.

Di satu sisi pengunaan konsep Barthes tentang pentingnya konotasi, hingga

melahirkan mitos, berhasil membantu dalam menelaah visual yang hadir dalam

karya-karya sampul Ong Hari Wahyu. Di sisi lain, pisau bedah pascakolonial,

memungkinkan penulis melengkapi hasil penelusuran dengan metode semiotika.

Hal tersebut memicu penjelasan akan kemungkinan-kemungkinan makna yang

terkandung dari sebuah sampul, sehingga berkaitan dalam suatu proses identitas

kebudayaan.

Akhirnya, dari gabungan antara semiotika dan pascakolonial, penulis

meyakini bahwa sampul Ong Hari Wahyu, yang penulis tampilkan di dalam

kajian, dapat dipahami sebagai suatu wacana visual maupun pesan penting bagi

suatu kajian budaya. Artinya teori semiotika dan pascakolonial yang digunakan,

sanggup menjembatani suatu analisis atas sebuah sampul, baik Ong Hari Wahyu,

maupun cover-sampul lain pada umumnya.

20 Roland Barthes, Ibid, page. 131. 21

St. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2002), hlm. 87.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15

G. Metode Penelitian

Data penelitian ini sebagian besar berasal dari sumber-sumber teks tertulis

dan beberapa sumber digital. Metode penelitian yang digunakan ialah analisis

semiotika sebagai elaborasi atas teks sampul, disusul dengan pendekatan konsep

ala kajian pascakolonial, terhadap seniman dan keempat karya desain sampul

buku sebagaimana telah disebutkan selaku objek kajian. Metode untuk

menjalankan tesis ini meliputi sejumlah langkah dalam mengumpulkan data

gambar sampul buku dari beberapa karya Ong kemudian dipilah dan dikerucutkan

sesuai kebutuhan pada penelitian ini. Adapun metode wawancara dipergunakan

untuk memperkuat analisis atas cover itu sendiri, sehingga mencoba menautkan

persepsi yang muncul dalam pengakuan lisan Ong Hari Wahyu, dengan apa yang

penulis temukan. Hal ini mengingat Ong tidak pernah menuliskan secara literal

mengenai proses kreatif kekaryaan sampulnya.

Penelitian ini sendiri, sebagaimana lazimnya kelengkapan heuristik,

melibatkan sepenuhnya metode penelitian kepustakaan. Sehingga penulis sengaja

melakukan serangkaian penjajagan ke berbagai perpustakaan untuk menemukan

sumber yang diperlukan. Wawancara dilakukan terhadap Ong Hari Wahyu secara

khusus, dan pihak-pihak yang memiliki informasi penting terkait tema penelitian

ini, yaitu Buldanul Khuri dan Hairus Shalim sebagai penerbit dan pegiat buku di

Yogyakarta. Metode interview tersebut sebagai pelengkap dalam menganalisis

konteks sejarah maupun konteks yang melatarbelakangi perspektif yang tercermin

dalam karya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16

H. Sistematika Penulisan Tesis

Sistematika penulisan tesis ini sebagai berikut; Bab I berisi pendahuluan

yang memaparkan latar belakang pemilihan topik penelitian, perumusan masalah,

serta kerangka teoritis yang dipakai untuk menjawab permasalahan penelitian.

Bab II secara khusus memberikan gambaran sejarah perbukuan awal

Indonesia sebelum kolonial hingga masa kemerdekaan, kemudian perkembangan

penerbitan buku di Yogyakarta pada masa Orde Baru, hingga pergeseran orientasi

dan perubahan gaya sampul.

Bab III sendiri berkutat pada pemaparan profil Ong Hari Wahyu dan

konteks sosial historisnya dari lingkungan di masa orde baru hingga karya,

industri dan gerakan.

Bab IV mengurai secara semiotik citra-citra yang tampak di dalam empat

karya sampul buku Ong Hari Wahyu di dalam empat buku; Soeharto dalam

Cerpen Indonesia, Priayi Abangan, Oples (Opini Plesetan) dan Gadis Pantai.

Adapun di dalam hal ini, sebagaimana disinggung dalam kerangka teori, dalam

analisis digunakan pendekatan pascakolonial.

Bab V berisi kesimpulan yang mencoba merangkum jawaban atas

pertanyaan rumusan masalah, yang telah dielaborasikan di dalam bab-bab

sebelumnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17

BAB II

PERBUKUAN KITA: DARI PENERBITAN KE PENERBITAN

Bab ini mengetengahkan sejarah singkat dunia perbukuan di Indonesia

sebelum masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Tujuannya adalah untuk

memberikan latar sebuah peristiwa perbukuan di tanah air. Kemudian pembahasan

dilanjutkan dengan pembahasan seputar perbukuan di Yogyakarta pada masa orde

baru hingga perwajahan sampul buku. Secara umum gambaran tentang

perkembangan penerbitan pada masa orde baru mengalami perkembangan dan

dinamika dengan pengawasan yang ketat oleh pemerintah. Pembahasan

selanjutnya lebih menitikberatkan secara sosio-historis dalam konteks apa yang

mempengaruhi perwajahan sampul buku di Yogyakarta. Pembahasan seperti ini

dimaksudkan untuk memberikan gambaran semangat kebudayaan anak-anak

muda di masa tersebut.

Sulit membayangkan kelahiran Indonesia, tanpa perbukuan, sebab tokoh-

tokoh pendiri republik sendiri merupakan kelas menengah terdidik yang

dibesarkan salah satunya oleh bacaan-bacaan mereka. Kelas menengah terdidik

dari kalangan pribumi merupakan lapisan elite modern, yang mana di samping

sebagai pembaca, kemudian menjadi penulis buku. Taruhlah contoh, Soekarno

sebagai proklamator penting dalam kemerdekaan Indonesia terkenal menyukai

beberapa buku di masa mudanya, seperti karangan-karangan Pieter Jelles

Troelstra berjudul Gedenkschriften, dan Sociaal-Democratie na de Oorlog (1921),

lalu buku karangan Karl Kautsky, Sozialismus und Kolonialpolitik, hingga karya-

karya Voltaire, JJ Rosseau, Karl Marx, Engels, Ernest Renan dan tentu masih

banyak lagi. Soekarno pun kemudian melahirkan berbagai karangan seperti:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18

Sarinah, pidato pembelaannya yang berjudul Indonesia menggugat; Lalu yang

terkenal adalah buku berjudul: Di Bawah Bendera Revolusi dalam dua jilid tebal

yang diterbitkan oleh negara. Demikian pula dengan tokoh-tokoh di Indonesia

baik yang dikanonkan sebagai pahlawan nasional, maupun berbagai tokoh yang

muncul di masa pergerakan nasional hingga kemerdekaan, dapat dipastikan

merupakan agensi penting dalam perbukuan sejak resepsi hingga produsen.

Sebelumnya perlu dipahami bahwa perbukuan, di samping sebagai

medium, mustahil dilepaskan dari kenyataan kapitalisme. Dalam sejarahnya, buku

kerap disangkutkan dengan penemuan Johannes Gutenberg, yang membuat mesin

cetak rendah manual. Sampai kemudian mesin cetak yang dikenal sebagai

letterpress itu digunakan untuk kepentingan produksi massal kitab Injil atau yang

dikenal sebagai Bibel Gutenberg yang dikenal sebagai Alkitab 42 baris; yang

mana hasil cetakannya didistribsikan ke seantero Eropa.22

Akan tetapi buku

sebagai hasil dari teknik seni grafis cetak tinggi, tampaknya telah dimulai lebih

dulu di Cina, dan baru populer digunakan di Eropa, semata-mata demi keperluan

mencetak dan mempublikasikan acara-acara kebaktian gereja dan naskah-naskah

Bibel, pada kisaran medio 1420-an.23

Metode saat itu masihlah menggunakan

cutting block atau mengukir permukaan balok kayu dengan bentuk-bentuk teks

atau gambar secara terbalik (mirror image), untuk kemudian dilumuri dengan tinta

dan dicetakkan ke dalam kertas. Dari situ teknik mencetak kian berkembang,

misalnya dengan adanya teknik cetak dalam atau Intaglio gravure pada 1480, lalu

22 Periksa misalnya dalam Benedict R.Og Anderson, Imagined Communities, terjemahan:

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012). 23

Hanny Kardinata, Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia (Jakarta: DGI

Press, 2015) Hlm. 16

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19

teknik tipografi (1518) hingga huruf Garamond pada medio 1540-an.24

Mulai dari

situ, dunia perbukuan yang bermula dari tradisi berabad-abad sejak masa kuno,

seperti Mesir, Babilonia dsb, dalam mana melibatkan kinerja tekun para seniman

penyalin, untuk kemudian secara perlahan ditinggalkan. Alhasil dunia kapitalisme

perbukuan kian pesat, di samping sebagai anak kandung seni grafis, sekaligus

konsekuensi dari revolusi teknologi cetak.

A. Perbukuan Awal Indonesia: Sebelum Kolonial hingga Kemerdekaan

Ketika definisi perbukuan adalah hasil dari produksi massal mesin cetak,

maka sejarah perbukuan di Indonesia dapat dikatakan secara resmi, dimulai ketika

mesin cetak didatangkan pada tahun 1659, yang mana diperkirakan bermerek

Faber & Schleider. Kala itu mesin tersebut hadir sebagai bagian dari misi

penyebaran agama Nasrani. Kendati demikian, oleh sebab tenaga ahli, yakni

operator mesin tersebut belum menguasai secara maksimal, maka mesin cetak

tersebut sempat menganggur selama beberapa tahun.25

Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa wilayah nusantara sendiri telah

memiliki tradisi literasi hingga pembuatan dan penyalinan buku. Tak heran

karangan-karangan masyhur seperti yang bermediakan batu prasasti hingga daun

lontar menjadi primadona di berbagai kerajaan kuno di nusantara. Hingga

kemudian teknologi kertas mulai diperkenalkan, baik kertas dari Cina, maupun

kertas buatan sediri misalnya kertas dluwang. Sejak saat itu tradisi penulisan

berkembang pesat, baik di bawah kerajaan-kerajaan Islam mupun tradisi santri di

pesantren-pesantren.

24

Hanny Kardinata, Ibid, Hlm. 17. 25 Hanny Kardinata, Ibid, hlm. 18.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren adalah produk yang tumbuh di

bumi nusantara sejak ratusan tahun lalu. Dalam pesantren dikenal sistem

pendidikan yang bertumpu pada dua kitab utama. Pertama, Al-qur‟an, dan kedua

Hadits. Melalui dua sumber itu, kemudian lahir tradisi penulisan kitab, baik

sebagai tafsir agama hingga hukum praktik agama. Hal ini diperkirakan telah

dimulai semenjak para penyebar Islam yang masyhur, yakni Wali Songo yang

telah mempergunakan kertas buatan Cina, yang biasanya berwarna kuning, dari

situ kemudian kitab-kitab karya Ulama Arab, Mesir hingga Nusantara sendiri

dikenal luas dengan istilah Kitab Kuning.26

Lantas ketika kehadiran bangsa Eropa, khususnya para pedagang VOC

(Verenigde Oost Indische Compagnie), kertas-kertas Eropa mulai hadir. Di

kemudian hari, kertas Eropa juga mulai dipergunakan oleh kerajaan-kerajaan

Islam, misalnya Mataram Islam, yang sejak 1755 telah terpecah menjadi Surakarta

dan Yogyakarta. Dua kerajaan itu pun, hingga kini masih menyimpan naskah-

naskah yang ditulis oleh para pujangganya. Seiring menguatnya peranan bangsa

Eropa, dalam menentukan arah sejarah di berbagai wilayah Nusantara, maka

dunia penulisan dengan medium kertas, kian beririsan dengan berbagai

kedatangan dan kepentingan bangsa Eropa pada medio abad 18. Di saat

bersamaan, Drukkerij (industri percetakan) pada abad 17 dan 18 terbilang masih

tersentral pada pusat-pusat kekuasaan kerajaan maupun kalangan Belanda. Baru

pada abad 19 hingga utamanya pada awal abad 20, perbukuan benar-benar mapan

di kepulauan nusantara, di bawah nama sebuah koloni: Hindia-Belanda.

26 Periksa Ahmad Baso, Pesantren Studies 2b (Jakarta: Pustaka Afid, 2012), disini diungkap

berbagai aspek tradisi pesantren dalam kaitannya dengan produksi teks.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21

Di masa inilah buku bacaan mengalami persebaran yang luas, baik

didatangkan oleh penerbit-penerbit dari negeri Induk, maupun sebagai bagian dari

distribusi penerbit-penerbit di koloni. Misalnya perusahaan penerbitan dan

pecetakan milik pemerintah, yakni Landsrukkerij, pada 1835 melalui L.D. Brest

van Kempen, mengeluarkan izin khusus untuk menjual buku-buku untuk publik,

khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra. Bukan hal aneh jika kala

itu seluruh buku yang dijual, dan tersebar di perusahaan penerbitan hingga toko-

toko buku seperti Boekhandel G. Kolff & Co, adalah buku buku impor dari negara

Induk Kolonial Belanda.27

Baru di kemudian hari Landsdukkerij menerbitkan

buku sendiri untuk kepentingan koloni. Landsdukkerij sendiri juga menerbitan

buku-buku dalam berbagai bahasa yakni Arab, Jawa, Lampung, Mandailing,

Makassar, Bali, Yunani, Sansekerta dan Cina.28

Adapun kontennya beragam, dari

menyoal kebutuhan sekolah-sekolah hingga kebutuhan penyebaran gagasan

maupun pemikiran para tokoh Intelektual. Di Hindia-Belanda sendiri, kala itu

bermunculan para penulis, baik dari kalangan “pribumi”, Eropa peranakan atau

Indo hingga etnis Tionghoa. Kebanyakan dari mereka menulis karya sastra,

seperti puisi/syair, prosa/novel, hingga naskah sandiwara/teater. Dalam hal ini,

pemerintah kolonial sendiri telah mengatur sedemikian rupa. Dalam masa akhir

abad 19 hingga awal abad 20 misalnya, di Hindia Belanda dikenal penerbitan

milik pemerintah kolonial, yakni Balai Pustaka.

27

Toko buku ini didirikan oleh Willem Van Haren Noman pada 1848, menempati rumah sewa, di

Buiten Nieuw Poort Straat, Batavia, yang kini dikenal Jalan Pintu Besar Selatan, Jakarta. Baru

pada 1894 mendirikan cabangnya di Noordwijk Sraat yang kini dikenal sebagai jalan Juanda.

Termasuk kemudian di kota-kota lain seperti Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Madiun, Kediri,

Malang, Surabaya dan Jember. Periksa dalam Fadrik Aziz, “Yang Mati Meninggalkan Buku”, dlm,

Majalah Historia, No 36. Th. III, 2017, hlm. 22. 28

Bandingkan Mikihiro Moriyama, Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan

Kesusasteraan Sunda Abad 19 (Depok: Komunitas Bambu, 2013). Dalam penelitian ini Moriyama

menunjukkan bagaimana kesusastraan sunda dihidupkan melalui peran media cetak.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22

Balai Pustaka sendiri awalnya adalah Kantoor voor de Volkslectuur atau

Komisi Bacaan Rakyat yang pembentukannya ditetapkan melalui Surat Keputusan

Pemerintah No. 12, tanggal 14 September 1908. Komisi ini sendiri didirikan demi

memenuhi kebutuhan Direktur Pendidikan dalam mempertimbangkan dan

menentukan bacaan-bacaan yang sesuai untuk rakyat di Hindia-Belanda.29

Baru

kemudian Balai Pustaka resmi berdiri pada 1917, dengan memulai memberikan

bacaan-bacaan untuk diktat ajar sekolah, maupun karangan terjemahan dari

penulis negeri induk kolonial maupun karya-karya yang masyhur di Eropa,

misalnya: The last Mohicans (1826) karya James F. Cooper, The Adventures of

Tom Sawyer (1876) karya Mark Twain, dan Sans Familie (1878) karya Hector

Malot. Hal itu seturut dengan arus perkembangan medium cetak, baik surat kabar,

majalah, dan buku. Balai Pustaka, atau saat itu Balai Poestaka sendiri terbukti

penting bagi persebaran karya-karya “pribumi”, misalnya novel legendaris yakni

Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli dan Salah Asuhan (1928) karya Abdul

Muis dsb.

Dalam hal ini perlu dicatat bagaimana Balai Poestaka sebagai penerbit

pemerintah melakukan sensor ataupun penyeleksian terkait gagasan dalam

karangan yang muncul dan dianggap berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan

jajahan. Karya dari tokoh-tokoh pergerakan macam Mata Gelap (1914) dan

Student Hijo (1919), karya Mas Macro Kartodikromo; lalu Hikayat Kadiroen

(1919) karangan Semaoen tidak masuk dalam kriteria Balai Pustaka, mengingat

kedua penulis tersebut dikenal sebagai tokoh pergerakan Sarekat Islam (1911),

organisasi yang kritis terhadap pemerintah kolonial.

29

Periksa Misalnya Adhe, Declare!: Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007 (Yogyakarta:

Komunitas Penerbit Jogja, 2007), hlm. 27.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23

Di samping itu, politik kolonial lainnya, terlihat dari bagaimana Balai

Pustaka menerbitkan buku-buku dengan penyuntingan ejaan hingga tata bahasa

Indonesia yang dikonstruksi seragam sesuai dengan bagaimana bahasa Indonesia

ingin mereka (baca: penjajah) ciptakan. Dengan kata lain, Balai Pustaka telah

mencipta aparatus wacana kolonial, sehingga melahirkan kanon-kanon sejak

mencetak para penulis, hingga soal kebakuan gaya bahasa Indonesia itu sendiri,

hal yang kemudian meminggirkan karya-karya dalam bahasa lain, seperti Melayu

Pasar, Melayu Tionghoa.30

Pemerintahan kolonial kala itu, khususnya terhitung sejak 1908 hingga

invasi Jepang pada 1942, terjadi peningkatan terbitan dari Landsdrukkerij.

Landsdrukkerij sendiri terbukti memonopoli terbitan departemen-departemen

pemerintah seperti De Javsche Courant hingga Het Staatbad Van Nederlands-

Indie beserta publikasi resmi pemerintah lainnya. Adapun sejatinya sejak abad 19,

perbukuan sudah mulai menampakkan bisnisnya. Misalnya dalam soal toko buku

kala itu, telah dikenal firma G. Kolff & Co, yang pada waktu didirikan tahun

1848, hanya memiliki satu saingan, yakni firma Lange & Co yang memang

didirikan lebih dulu pada 1839. Baru kemudian perusahaan swasta lain

bermunculan yakni G.C.T van Dorp, dan Albrecht & Co.31

Dalam kenyataannya, G. Kolff & Co berperan pada banyak buku-buku

pelajaran, termasuk pula buku-buku tentang catatan perjalanan, laporan penelitin,

sains, etnografi sosial, sejarah hingga panduan budidaya pertanian. G Kolff & Co

inilah yang sempat bekerja sama dengan Balai Pustaka untuk menerbitkan

Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat pada tahun 1936, dengan

30 Hilmar Farid, “Kolonialisme dan Budaya: Balai Pustaka di Hindia Belanda”, dlm, Prisma, No.

10 Tahun XX, Oktober 1991, hlm. 37. 31

Fadrik Aziz, Ibid, hlm. 23.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24

bilingual (Melayu dan Belanda) dan oplah cetak 1000 eksemplar.32

G Kolff & Co

yang kemudian bernama perusahaan lengkap: NV. Koninklijke Boekhandel en

Drukkerij G. Kolff & Co, di masa Jepang mengalami pengambilalihan, dan

percetakannya yang terbilang modern kala itu digunakan untuk mencetak uang

Jepang. Bahkan di masa merdeka pun, peralatan G. Kolff & Co digunakan untuk

mencetak ORI (Oeang Repoeblik Indonesia).

Sampai menjelang masa kemerdekaan, Balai Pustaka tetap eksis begitupun

N.V. Koninklijke Boekhandel en Drukkerij G. Kolff & Co. Setelah menerbitkan

beberapa buku karya Johannes Leimana dan Abdul Muis, perusahaan ini

mengalami gelombang nasionalisasi dan namanya dirubah oleh BANAS (Badan

Nasional Perusahaan-Perusahaan Belanda).33

Sedangkan Balai Pustaka

dipertahankan oleh pemerintah Indonesia, menimbang manfaatnya bagi

persebaran buku-buku bacaan. Pada paruh pertama abad 20, Balai Pustaka milik

pemerintah Indonesia ini tercatat tak kurang menerbitkan ulang 128 judul buku

dengan tiras mencapai 603.000 eksemplar.34

Adapun kala itu dikenal nama-nama penulis seperti Idrus dengan karya

Dari Ave Maria sampai Djalan Lain ke Roma; Utuy Tatang Sontani dengan karya

Tambera; Mochtar Lubis dengan karya Si Djamal dan penulis terkemuka

Indonesia yang di kemudian hari nyaris menerima Hadih Nobel, yakni Pramoedya

Ananta Toer yang menelurkan Perburuan dan Boekan Pasar Malam. Pram sendiri

32

Fadrik Aziz, Ibid, hlm. 24. 33

Op.cit, hlm. 25. Disebutkan bahwa NV. Koninklijke Boekhandel en Drukkerij G. Kolff & Co di

Jakarta dan Surabaya, diubah namanya menjadi Percetakan Gita Karya. Sedangkan N.V.G Kolff

Inktfabriek di Jakarta menjadi Pabrik Tinta Gita Karya. Lalu Nederlands Indonesische Uitgevers

Maatschappij Noordhoff Kolff N.V. di Jakarta menjadi penerbitan Noor Komala. Dan melalui PP

(Peraturan Pemerintah) No. 24 tahun 1962, ketiganya dilebur ke dalam Perusahaan Percetakan,

Penerbitan dan Pabrik Tinta Gita Karya alias PN Gita Karya. 34

Ahmad Husain, “Kisah Tentang Buku (bagian 2): Sekilas Perkembangan di Indonesia”, dlm:

www.duamata.blogspot.com.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25

sempat menulis tentang perubahan Balai Pustaka di masa merdeka yang

menurutnya lebih terbatas geraknya bahkan disebutnya “tidak bernyawa lagi”.

Sebab di samping otonomi dipersempit dan hanya menjadi sambungan dari

kementrian PPK; Balai Pustaka mulai kehilangan pula peran besarnya yang

dahulu di masa kolonial memiliki sumbangsih penting dan masyhur di bidang

pendidikan hingga kebudayaan Indonesia, termasuk dalam mengenalkan di

hadapan dunia.35

Selain karya-karya penulis dalam negeri, muncul pula berbagai karangan

terjemahan dari penulis-penulis dunia seperti Anton Chekov, John Steinback,

Fyodor Dostoyoevsky, Sinclair Lewis, Hasseck, John Russel, Maupasant, Omar

Khayyam dsb. Di masa ini tentu saja tidak hanya penerbitan milik pemerintah saja

yang bergerak dalam bisnis perbukuan, tercatat berbagai penerbit di Jakarta

seperti Pustaka Antara, Pustaka Rakyat yang kemudian merubah nama menjadi

Dian Rakyat dan Penerbit Endang, lalu penerbit Ganaco yang berada di

Bandung.36

Menjelang masa “Indonesia Merdeka” inilah, badan yang

menyambungkan penerbitan-penerbitan mulai didirikan, terhitung dengan

dicetuskannya IKAPI atau Ikatan Penerbit Indonesia pada tahun 1950. Kala itu

IKAPI telah mewadahi 17 penerbit yang tersebar di berbagai kota, diantaranya

Medan, Padang, Bukittinggi, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya.37

Selain itu, perbukuan Indonesia kala itu disemarakkan dengan diadakannya

festival buku untuk pertama kalinya, yakni Pekan Buku Indonesia tahun 1954.

35 Pramoedya Ananta Toer, “Balai Pustaka Harum Namanja di dunia Internasional dahulu”, dlm,

Madjalah Star. No, 580. 9 Februari 1957, hlm. 10-11. 36

Ahmad Husain, ibid. 37

Periksa dalam laman: www.ikapi,org

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26

Dalam acara tersebut, toko buku dan penerbitan, NV Gunung Agung merupakan

pemrakarsa utama, dimana motor utamanya adalah Haji Mas Agung, seorang

Tionghoa bernama asli Tjio Wie Tay.38

Menarik diketahui bahwa setahun

sebelumnya, Gunung Agung diresmikan dengan mengadakan pameran buku, dan

melalui Pekan Buku Indonesia, NV Gunung Agung sengaja memprakarsai sebuah

perhelatan festival buku skala nasional.

Tidak tanggung-tanggung, acara selama tujuh hari antara 8 sampai 14

september itu menghadirkan ribuan buku, termasuk berbagai penerbitan,

percetakan setanah air. Acara Pekan Buku Indonesia ini sendiri dihadiri berbagai

tokoh penting termasuk Soekarno dan Hatta, menteri pendidikan waktu itu

Mohamad Yamin, Walikota Djakarta Raja, Soediro, Menteri Penerangan, Dr. F.

L. Tobing dsb. Dalam arsip katalog, disertakan data-data percetakan, penerbitan

seantero Indonesia beserta alamatnya. Adapun dalam katalog juga tampak

bagaimana wacana perbukuan telah menjadi agenda kebudayaan nasional,

sehingga dimuat berbagai aspek terkait buku, mulai dari opini para tokoh-tokoh

seperti Gayus Siagian, Nugroho Notosusanto, Ramadhan KH, Sri Harjati Siagian

dan masih banyak lagi; hingga berbagai perkembangan peran buku dalam

pendidikan, termasuk ringkasan tentang adanya kongres perpustakaan nasional.39

Dari perkembangan tersebut, telah tampak medan perbukuan Indonesia

pasca merdeka, yang dapat dipahami berbagai kecenderungan dalam wajah literasi

dan bursa pengetahuan. Nantinya nama-nama penerbit sebagian menghilang,

38

Hal mana nama Gunung Agung sendiri adalah terjemahan dari nama Tionghoa, Tjo Wie Tay itu

sendiri. 39 Periksa Margono (Peny.), Ibid. Buku yang agaknya semacam katalog ini menyajikan berbagai

informasi lengkap dunia perbukun sampai prosesi berlangsungnya acara pembukaan hingga

penutupan. Periksa juga Lampiran Tambahan dan Pembetulan dari buku tersebut. Acara ini

terbilang merupakan festival buku paling pertama dan terpenting.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27

ketika harus melewati fase tragedi politik dan kemanusiaan 1965-1966. Sebab di

fase inilah pengkebirian segala unsur yang dianggap komunis itu, beberapa

perkembangan di bidang ide dan gagasan hingga perbukuan itu sendiri mengalami

perubahan besar. Kendati demikian wajah perbukuan Indonesia seiring naiknya

Soeharto pada 1967, menandai babak Orde Baru, yang juga menentukan politik-

wacana perbukuan.

B. Surga Perbukuan Yogyakarta Era Orde Baru

Menuju medio 1970an, berbagai penerbitan terus bermunculan, yang mana

tampak berada dalam kategori-kategri tertentu. Di samping muncul penerbit

Gramedia pada tahun 1974; yang kelak menjadi raksasa yang memonopoli

perbukuan, berikut toko-toko bukunya yang beredar di berbagai pulau di

Indonesia. Gramedia adalah bagian dari KKG (Kelompok Kompas-Gramedia), di

mana KKG memiliki banyak anak perusahaan seperti penerbitan, percetakan, dan

toko buku. Anak perusahaan dalam bentuk media atau penerbitan yang kita kenal

antara lain adalah Harian Kompas, Jakarta Post, Intisari. Selain itu ada Bola,

Otomotif, Hai. Sedangkan perusahaan penerbitan yang besar adalah Gramedia

Pustaka Utama, Elex Media, Komputindo, Grasindo, Kepustakaan Populer

Gramedia, Penerbit Buku Kompas, dan Buana Ilmu Populer.40

Dari situ Gramedia

menjadi pemain tunggal yang nyaris memonopoli wacana media massa di

Indonesia, sepanjang masa Orde Baru. Meskipun demikian, di luar perusahaan

penerbitan milik KKG tersebut, masih banyak penerbitan yang memiliki gagasan

40

“30 tahun Gramedia Penerbitan: Dengan Buku menuju Indonesia Baru”, Kompas, 25 Maret

2004.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28

atau konsep besar, terutama yang berada di Yogyakarta di masa akhir Orde Baru.

Penerbit-penerbit ini menerbitkan buku-buku kritis di medio 1990-an.

Sebelumnya, sebagai suatu gambaran, di masa sampai dengan medio

1980-an, dapat kita cermati penerbit-penerbit yang memasarkan buku-buku

bercorak keagamaan. Terdapat kecenderungan umum beredarnya buku-buku

islami yang bersifat kanonik-normatif, hal mana dapat ditilik dari terbitan-terbitan

penerbit al-Maarif dari Bandung. Buku-buku yang diterbitkan seperti Al-Qur;an,

Hadits Nabi, Tuntunan Ibadah, Surat Yasin, Kumpulan Doa, dan beberapa

pemikiran Islam lainya. Sedikit lebih berat misalnya Penerbit Bulan Bintang dari

Jakarta maupun Pustaka Panjimas, yang banyak menampilkan buku-buku

pemikiran Islam untuk kalangan terdidik. Sedangkan buku-buku dengan tema

agama yang lebih umum diterbitkan oleh Penerbit Thoha Putra Semarang dan

Menara Kudus Surabaya. Terbitan serius terkait pemikiran Islam, kian menguat di

tahun 1980-an dengan lahirnya penerbit Mizan. Mizan Sendiri lahir dari tiga

orang mantan dewan redaksi jurnal Pustaka Salman ITB, yakni Haidar Bagir,

Zainal Abidin Salman dan Ali Abdullah Assegaf.41

Lantas bagaimana dengan kota

Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar?

Menarik untuk disoroti terkait Yogyakarta pada medio 1980-an,

sebagaimana kasus Mizan, muncul sebuah penerbitan berbasis keagamaan Islam

dan beririsan dengan Kampus UGM, yakni penerbit Shalahuddin Press. Didirikan

oleh Ahmad Fanani pada tahun 1984, Shalahuddin Press berupaya hampir sama

dengan Bulan Bintang maupun Mizan yang berfokus pada penerbitan buku-buku

pemikiran Islam yang kritis. Menarik untuk dicatat bahwa kemunculan

41

Dilansir dari Ridwan Muzir, “Santri Tanpa Kiai: Kajian Psikoanalitik atas judul-judul buku

Swa-bantu Islam di Indonesia”. Thesis (belum diterbitkan). Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2012/2013, hlm. 43-49.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

Shalahuddin Press, dengan beberapa tokoh penting, nantinya berpengaruh pada

corak penerbitan Yogyakarta. Mereka adalah Ong Hari Wahyu (desainer sampul),

Ari Widjaja (desainer sampul) Musthofa W. Hasyim (editor), dan Buldanul Khuri

(Staf Tata Artistik). Dari Shalahuddin press inilah, Adhe Ma‟ruf dalam bukunya,

menelisik silsilah dunia perbukuan yang mewarnai Yogyakarta di kemudian hari,

khususnya pada 1990-an, jelang reformasi, hingga 2000an.42

Adhe membuat

silsilah yang bermula dari Shalahuddin Press yang kemudian menurun

berkelindan dengan Bentang Budaya, di bawah motor Buldanul Khuri. Sebelum

itu sempat muncul penerbit bernama Serikat Islam (SI press) yang turut

dikelolanya. Sedangkan saat Bentang Budaya membesar, lahirlah anak-anak

penerbitan darinya seperti Pustaka Promethea, Mata Bangsa, Lazardi, Semesta,

Pohon Sukma dan Mata Angin. Ada pula yang masih beririsan yakni Teplok Press

dan C-Books.

Adapun dua nama penerbitan yang menjadi sangat penting dalam arus

persebaran buku dan pemikiran adalah Pustaka Pelajar dan LKiS (Lembaga

Kajian Islam dan Sosial). Pustaka Pelajar dengan anak penerbitan seperti Mitra

Pustaka, Baca dan Mitra Bocah Muslim, didukung toko bukunya yang tersebar di

empat titik di Yogyakarta. Pustaka Pelajar dari segi penerbitan selain

menampilkan wacana Islam, ia juga melahirkan banyak buku-buku terjemahan

terkait pemikiran ilmu sosial-Humaniora, hingga filsafat. Buku-buku pustaka

pelajar inilah yang pasca reformasi 1998, cukup banyak mewarnai bacaan

mahasiswa.

42

Adhe, Ibid. Adhe membuat grafik silsilah yang bermula dari Shalahuddin Press yang kemudian

menurun berkelindan dengan berbagai penerbitan kecil yang menentukan perbukuan di

Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

Tidak kalah dengan Pustaka Pelajar, adalah LKiS, hal mana LKiS

merupakan penerbitan yang digawangi mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, yakni Imam Aziz, dan M. Jadul Maula, disusul kemudian oleh Hairus

Salim dan Ahmad Fikri. LKiS kemudian sangat gencar menerbitkan buku-buku

pemikiran kritis, terkait Islam, sejarah, sosial-humaniora, filsafat hingga tasawuf.

Namun menjadi penting bahwa LKiS pada mulanya sempat menerbitkan buku

yang berkaitan dengan tema-tema kritis, khususnya menjelang gerakan mahasiswa

turut serta dalam upaya menggulingkan rezim Soeharto. Pada masa ini ada

berbagai bacaan liar,43

atau bacaan terlarang yang tidak diterbitkan melalui

penerbitan, sebab akan dipersulit dalam perizinannya. Aktivis Mahasiswa yang

turut serta dalam panggung reformasi, kala itu tak asing dengan buku-buku seperti

karangan Pramoedya Ananta Toer, Karl Marx maupun yang berkaitan dengan

gerakan, tersebar melalui fotokopian. Episode inilah yang dapat dikatakan turut

menyemai keberanian dalam gerakan penerbitan, terlebih dengan masih adanya

pelarangan/sensor atas buku.44

Setelah masa reformasi, Yogyakarta mengalami banjir perbukuan yang

melahirkan nama-nama penerbit seperti: Jendela, Indonesia Tera, Akar Indonesia,

Yayasan Untuk Indonesia, Ikon Teralitera, Gelombang Pasang, Galang Press,

Qalam, Jalasutra, Fajar Pustaka, Mahatari, Logung Pustaka, Ombak, Navila, Buku

Baik dan masih banyak lagi.45

Akhirnya babak penting dalam perbukuan

Yogyakarta tiba dalam wajah alernatif. Dahulu di masa kolonial, sempat hadir

43

Terkait istilah bacaan Liar, sebenarnya sudah marak sejak jaman kolonial, khususnya karangan –

karangan yang dianggap kritis maupun karangan yang berbahasa di luar bahasa yang dikanonkan.

Simak tulisan menarik: Razif, Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan (E-book:

Edi Cahyono Experience). 44 Bandingkan dengan Iwan Awaluddin Yusuf dkk, Pelarangan Buku di Indonesia : Sebuah

Paradoks Demokrsi dan Kebebasan Berekspresi (Yogyakarta: Pemantau Regulasi dan Regulator

Media, bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung Indonesia), hlm. 131-133. 45

Amati Silsilah Grafis yang dibuat Adhe Ma‟ruf.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

nama-nama penerbitan, seperti Kolff Buning, yang tampaknya masih anak

perusahaan dari G. Kolff & Co.46

Kala itu Kolff Buning menempati gedungnya di

Jalan Malioboro, dan setelah nasionalisasi 1957-1959, berubah menjadi

percetakan negara, dan kini digunakan gedungnya untuk perpustakaan Jogja

Library. Di masa merdeka, Yogyakarta mengenal nama-nama penerbit seperti

Diwarno S.M, Djiwa Baru dan Tridjaja.47

Penerbit dalam corak N.V atau

Naamloose Venotschaap ini kemudian terus mengalami perubahan, dan menjelang

masa Orde Baru, muncul CV-CV penerbit kecil sebagaimana disinggung

sebelumnya. Akhirnya menjelang banjirnya penerbit-penerbit kecil akhir Orde

Baru hingga periode Reformasi, corak CV jadi kian cair, dan wajah alternatif

penerbitan di Yogyakarta, bahkan Indonesia sendiri, memicu istilah “penerbit

gang”, atau penerbit yang lahir dari kontrakan-kontrakan mahasiswa. Inilah surga

perbukuan jogja yang dari situ terbaca arah literasi dan politik perbukuan

Indonesia. Lantas kemana arah penerbitan Indonesia?

C. Sepintas Tentang Perwajahan Buku

Menjawab pertanyaan di atas, tampaknya harus dipetakan kembali tentang

wajah perbukuan. Artinya, perbukuan mengalami kompleksitas, yang

menempatkan buku tidak semata sebagai medium bacaan, dengan konten tulisan

dan gagasan cuma pengetahuan yang terkandung di dalamnya, sehingga tampilan

atau perwajahan buku menjadi demikian penting dalam memasarkan buku

maupun menampilkan visualitas tertentu. Dalam fase inilah, sampul buku menjadi

suatu dunia tersendiri, yang alih-alih membantah jargon “Don‟t judge book from

46

Periksa Laman www.dpad.jogjaprov.go.id. 47

Margono (Peny), Tambahan dan Pembetulan Pekan Buku Indonesia 1954, hlm. 91.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

the cover”, malahan menciptakan kontestasi wacana dan estetika visual buku

tersendiri.

Dalam singgungan sebelumnya telah disebutkan bahwa beberapa agensi

penting dalam penerbit Shalahuddin Press melahirkan gelombang baru dalam

desain sampul. Hal ini bukan berarti menafikkan buku-buku dan desain sampul

sebelumnya. Namun perwajahan sampul buku, mulai dipandang dengan semangat

estetik. Keindahan sampul disusul visualitas baik semotik maupun

simbolik/ikonografi yang ada, merujuk pada resepsi visual atas isi buku, yang

menawarkan ambiguitas atau liminalitas dalam sampul buku, yakni antara

mengilustrasikan isi buku, dengan menawarkan visualitas dan estetika tertentu;

kemudian menempatkan desainer sampul sebagai author/pengarang.

Kepengarangan sampul inilah yang dalam konteks Yogyakarta menjadi layak

dikaji khususnya semenjak maraknya wajah buku, baik dari Shalahuddin Press,

Bentang Budaya, hingga LKiS dan Pustaka Pelajar. Dari situ keagenan desainer

sampul, menjadi pengusung pesan-pesan yang melampaui isi buku itu sendiri.

Adapun nama-nama seperti Ari Widjaja, Ong Hari Wahyu, Buldanul Khuri,

Haitami el Jaid, Nurudien, dsb, menjadi kajian yang sangat menarik terkait

perbukuan jogja di akhir Orde Baru maupun Awal Reformasi.

Perkembangan sampul di Indonesia terbilang sangat menarik. Semenjak

masa Balai Pustaka di masa kolonial, hingga Balai Pustaka dinasionalisasi di masa

merdeka, hingga masa Pustaka Jaya, disusul berbagai penerbitan di Yogyakarta

seperti Bentang, memiliki kesinambungan dan perubahan. Di masa Kolonial,

buku-buku yang dipamerkan di Kolf & Co, terbitan Balai Pustaka, sampul lebih

bersifat retorika judul buku. Jika terdapat gambar, sebatas ilustrasi sederhana dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

isi buku. Demikian pula di masa terbitan Balai Pustaka di masa kolonial.

Beberapa terbitan pada masa Hindia-Belanda telah menampakkan ilustrasi yang

menarik. Pada masa Balai Pustaka juga demikian, sebagaimana Salah Asuhan

(1928) karya Abdul Muis, yang diterbitkan tanpa ilustrasi. Baru kemudian muncul

ilustrasinya pada periode 1950-an.48

Memang pada masa itu perkembangan ilustrasi gambar, tidak hanya pada

sampul buku, namun juga mewarnai perkembangan dunia komik hingga ilustrasi

di dalam majalah maupun harian surat kabar. Watak memang terus menguat di

masa merdeka, misalnya pada novel-novel roman di dekade 1950-an, terbukti

tampak seni rupa sampul buku, berkembang demikian ilustratif, semisal dalam

roman-roman yang terbit kala itu.49

Adapun jika menyangkut kisah cinta, maka

akan tampak ilustrasi realis sepasang lelaki dan perempuan. Namun menarik

bahwa di kala itu, sudah mulai muncul ilustrasi sampul roman yang menampilkan

unsur lokalitas, misalnya dalam sampul Roman “Perkawinan Penuh Rahasia”

karya Bachtiar Junus, sebagaimana ditampilkan dalam buku Koko Hendri Lubis,

tampak sosok laki-laki memakai peci, dan tampak pula wanita memakai

kerudung. Hal mana berkaitan dengan konteks pengarang yang Minangkabau,

juga cerita yang banyak mengambil muatan nilai-nilai Islam, berakibat pada

sampulnya yang menampakkan nilai-nilai lokal citra keislaman yang berkembang

48 Umar Junus, “Novel Nasib: Suara Non-Kolonial dalam Penerbitan Kolonial”, dlm Jurnal Kalam

No. 21, Tahun 2004, hlm. 43. Adapun Junus menyinggung di dalam catatan kakinya, bertolak dari

artikelnya “Illustrasions and Malay Stories: A Preliminary Statement”, Malay Literature, 1, No. 1,

1988). Yakni mengenai fenomena novel Abdul Muis tersebut, tanpa ilustrasi, oleh sebab:

“Bagaimana Hanafi dan Corrie mesti dilukiskan. Apa saja cara yang digunakan akan berdampak

negatif terhadap wajah penjajah.” Dari sini dapat dicatat bahwa masalah ketiadaan ilustrasi

menjadi persoalan politis tersendiri dalam konteks masa kolonial. 49 Cermati foto-foto buku yang ditampilkan oleh Koko Hendri Lubis terkait Roman Medan, dalam

Koko Hendri Lubis, Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan (Jakarta: Gramedia,

2018), hlm. 103; 114; 116; 118; 122; 124; 126; 130; 132; 134; 138; 140; 143; 146; 150; 152; 154;

156; 161; 164; 158, dst.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

di masyarakat Minangkabau.50

Adapun roman-roman lain yang berkembang di

tahun 60-an, semisal terbitan Balai Pustaka, sebagai contoh buku Nur Sutan

Iskandar, Katak Hendak Menjadi Lembu, yang menampilkan ilustrasi realis katak

dan lembu, serta wajah seorang pria. Menarik pula bahwa perkembangan ilustrasi

sampul buku pada saat itu, selain bersifat realis yang berupa sketsa wajah

manusia, juga realisme dalam bentuk suasana atau pemandangan. Misalnya buku

Ia Sudah Bertualang karya W.S. Rendra, terbitan N.V. Nusantara, Bukittinggi-

Jakarta,51

menampilkan lukisan Motinggo Boesje, yang juga seorang sastrawan.

Lukisan Motinggo Boesje, dalam buku karya Rendra tersebut tampak demikian

bernuansa pemandangan yang terbilang sederhana tetapi membangun kesan puitis.

Warna yang digunakan hanyalah dua warna yakni merah dan biru, adapun latar

putih didapat dari warna kertas sampulnya.

Pada masa buku-buku di era Indonesia Merdeka antara 1940an sampai

1960an buku-buku bersampul realis ilustratif baik sketsa maupun pemadangan

sangatlah tampak. Dan dari situlah, terbilang kerja-kerja seniman rupa dalam

dunia sampul buku mulai berkembang cepat. Hal ini menunjukkan bersatunya

kinerja seniman dengan kinerja dunia penerbitan buku. Pola semacam ini terus

berlanjut hampir di berbagai terbitan-terbitan sampai tahun 70-an dan 80-an.

Hanya saja variasi realis mengalami penambahan misalnya bentuk-bentuk abstrak.

Hal ini sendiri sejalan dengan perkembangan seni rupa di Indonesia yang pada

masa pasca 1965, perkembangan realisme mengalami surut, dan beralih pada

abstrak.52

Fenomena sampul buku semacam inilah yang menempatkan sampul

50

Lihat Koko Hendri Lubis, Ibid, hlm. 186. 51

W.S. rendra, Ia Sudah Bertualang (Djakarta-Bukittingi: N.V. Nusantara, 1963). 52

Brita L. Miklouho-Maklai, Menguak Luka Masyarakat: beberapa Aspek Seni Rupa Kontemporer

Indonesia Sejak 1966 (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm 48.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

buku, yang beralih dari sekedar ilustrasi atas buku, menuju kesenimanan sampul

buku.

Dalam hal kesenimanan sampul buku inilah, nantinya bermunculan para

seniman penggarap sampul buku yang makin marak di dekade 1990an. Di satu

sisi, adanya perkembangan teknologi dari desain berbasis cetak manual menuju

era komputerisasi. Artinya mulai merebaknya era penggunaan aplikasi desain

grafis dalam komputer yang digunakan dalam penerbitan buku, termasuk desain

sampul buku. Di masa inilah, Ong Hari Wahyu muncul di dunia penerbitan

sebagai desainer sampul buku. Latar belakang pendidikannya dari seni grafis ISI

Yogyakarta membuat karya-karyanya menarik dan inovatif. Generasi Ong

berbeda dengan seniman sampul buku di masa tahun 40-an sampai 70/80-an yang

masih berbasis seniman rupa manual.

Ong Hari Wahyu dalam hal ini bersama beberapa seniman sampul yang

dilahirkan di generasi desainer grafis, mewarnai berbagai terbitan buku. Beberapa

penerbit di era 90-an yang mengedepankan desain sampul buku adalah Pustaka

Pelajar, LKiS, dan Bentang Budaya. Ketiga penerbit tersebut berasal dari

Yogyakarta. Adapun ketiga penerbit buku tersebut, pernah melibatkan Ong Hari

Wahyu sebagai perancang sampul atau cover. Ong Hari Wahyu memiliki

keunikan tersendiri, sebab ia dibesarkan tidak semata dari dunia desain grafis,

tetapi juga akrab dengan dunia seni rupa secara umum. Hal inilah yang membuat

penelitian ini menjadi unik, sebab Ong Hari Wahyu dan karya sampulnya

menghadirkan nuansa seni rupa yang dikemas dalam racikan desain sampul.

Melalui sampul-sampul seperti terbitan buku periode 1990-an hingga

2000-an, Ong Hari Wahyu menampilkan corak-corak karya, yang terbilang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

mewakili wacana yang khas pascakolonial. Batasan periodik ini penulis tekankan,

terkait kenyataan bahwa karya-karya Ong Hari Wahyu pada periode itu memiliki

nuansa berbeda dari corak desain sampul sebelum masa Ong. Beberapa cover

buku tidak saja memperlihatkan kesesuaian tema, tetapi juga nilai estetika yang

tinggi. Hal tersebut dapat dicermati dari beberapa cover yang ia kerjakan, sebut

saja pada karya cover buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit Bentang Budaya

dan Mata Bangsa.

Dalam rentang periode antara 2000-2002 itulah buku-buku terbitan

Bentang Budaya dan Mata Bangsa menghadirkan beberapa tema yang sangat

kontektual dengan sejarah Indonesia atau secara umum kajian Indonesia. Pada

masa itu kita bisa mendapatkan buku-buku seperti Kebudayaan Indis dan Gaya

Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (2000) karangan Prof. Dr. Djoko

Soekiman; Sex Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (2003)

karangan Otto Sukatno CR. Kita juga bisa mendapatkan karya-karya sejarah dan

politik oleh peneliti Indonesia maupun Indonesianis, seperti, Kuasa Kata: Jelajah

Budaya- budaya Politik di Indonesia (2000) karangan Benedict Anderson, Opium

to Java: Jawa dalam Cengkeraman Bandar-bandar Opium Cina, Indonesia

Kolonial 1860-1910 (September, 2000) karangan James Rush, The Indonesian

Killings: pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966 (Desember, 2000)

karangan Robert Cribb, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai

dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950 (Februari, 2001), Perubahan Sosial dalam

Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940 (November, 2002) karangan Prof. Dr.

Kuntowijoyo, kelimanya dari penerbit Mata Bangsa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37

Sangat jelas semua karya itu merupakan respon Ong Hari Wahyu atas

tema-besar yang ia tangkap dari konten bukunya, yang kemudian ia wujudkan

dalam karya cover dan bahasa visualnya. Sampai di sini pembatasan ini penulis

perkuat dengan adanya kedekatan Ong Hari Wahyu dengan Buldanul Khuri,

selaku pemilik atas dua penerbitan tersebut. Oleh sebab itu, menjadi penting

untuk memahami Ong Hari Wahyu sebagai bagian dari seniman sampul buku

yang berada di dalam arus perubahan pendekatan perwajahan isi buku di jelang

akhir dekade kekuasaan Orde Baru.

D. Ong, Transisi Sampul dan Penerbitan Yogyakarta

Industri penerbitan buku di Yogyakarta di masa Orde Baru pada mulanya

hanya merupakan bisnis biasa yang terkadang tanpa mempertimbangkan sisi

estetika buku secara keseluruhan.53

Ong Hari Wahyu memberikan contoh penerbit

tua seperti Kedaulatan Rakyat yang menerbitkan secara asal buku cerita silat: Api

Di Bukit Menoreh yang dicetak tanpa pertimbangan estetika tersebut. Biasanya

buku hanya diterbitkan dengan pertimbangan asal laku di pasar.

Menurut Hairus Salim, salah seorang pelaku di dunia perbukuan, yakni di

dalam LKIS, pernah menjelaskan, bahwa saat periode 1980an akhir sampai

1990an awal, penerbit besar yang eksis di Yogyakarta hanyalah Kanisius. Baru

kemudian penerbit seperti Salahudin Press dan Sari Ilmu Press, itu pun kemudian

kolaps. Sementara ketika menjelang medio 1990an hingga 2000an awal, buku-

buku yang di luar penerbit Yogyakarta, banyak diwarnai oleh terbitan Misan dari

53 Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, pada 30 April 2019.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

Bandung, lalu dari Jakarta ada Erlangga, Rajawali, Grafiti, Sinar Harapan dan

tentunya Gramedia. Salim mengemukakan bahwa:

“Dulu penerbit menjual pakai jasa distributor ke toko buku. Tidak ada

yang namanya penjualan langsung. Baru kalau ada pameran buku tahunan

yang diselenggarakan IKP, atau badan-badan lainnya, itu penerbit baru

bisa menjual langsung. Makanya waktu itu hanya orang yang berinvestor

besar yang berani bikin penerbit, gak bisa kecil-kecilan. Nggak bisa kalau

pas-pasan ke penerbit, misalkan dengan uang 100 juta, langsung nyungsep

itu, karena nanti akan ada hukum distribusi dan hukum pemasaran,

sehingga nggak mudah menentukan pasar. Jadi secara umum cuma orang

yang punya modal besar yang bisa masuk ke penerbit dan menjadi

penerbit.”54

Pada masa itu, para penerbit buku tidak mempertimbangkan baik itu dari

segi estetika sampul atau buku secara keseluruhan, sehingga buku-buku yang

diterbitkan kurang memberikan rangsangan pada pembacanya. Tren mulai

bergeser ketika anak-anak muda di antaranya Ong Hari Wahyu dan Buldan mulai

memasuki dunia penerbitan, terutama bagaimana Ong Hari Wahyu dan kawan-

kawan melakukan sebuah proses kreatif yang lebih inovatif terhadap perwajahan

sampul dan buku secara umum. Di antaranya membuat tafsir sampul dan konten

yang dimulai dengan penerapan hukum-hukum seni rupa dan grafis dan membuat

lay out isi secara lebih rapi dan enak dibaca. Gerakan baru ini bisa dikatakan

diinisiasi oleh Buldanul Khuri, yang mendirikan Penerbit Bentang pada tahun

1992 setelah Penerbit Shalahuddin Press bubar55

. Di penerbit Bentang ini Buldan

mengajak Ong Hari Wahyu mengisi posisi sebagai desainer sampul. Menurut

Buldanul Khuri, di Yogyakarta, bahkan di Indonesia, Ong Hari Wahyu adalah

desainer sampul paling bagus dan memberi warna baru. Untuk keperluan penerbit

Bentang saja, Ong selalu membuat cover dengan kualitas bagus, kendati biasanya

agak lamban. Buldanul Khuri juga menambahkan, bahwa dalam soal typografi,

54

Wawancara dengan Hairus Salim, 2 Mei 2019. 55

Wawancara dengan Buldanul Khuri, pada 26 April 2019.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39

Ong tidak pernah membuat yang jelek untuk buku-buku yang digarapnya.

Kemahiran dalam typografi ini menurutnya didapat salah satunya dari Ari Wijaya

dari penerbit Shalahudin Press. “Entah Si Ong menyadari atau tidak kepekaan

terhadap huruf itu, Ari Wijaya yang menambahkan” terangnya.56

Namun, meskipun telah melakukan semacam upaya yang cukup progresif

terhadap kreativitas produksi buku dibanding penerbit-penerbit lama, terutama

dalam menciptakan wajah sampul buku, Ong Hari Wahyu sendiri masih belum

mampu melakukan eksplorasi yang cukup bebas. Ada dua alasan yang cukup

menonjol mengapa itu bisa terjadi. Pertama, akses informasi yang masih terbatas

membuat para kreator kekurangan bahan referensi. Kedua, adanya penerapan

pengawasan melekat rezim Orde Baru, di mana setiap penerbit harus mendapatkan

izin terlebih dahulu dari pihak Kejaksaan untuk menerbitkan naskah mereka. Dua

alasan tersebut membuat para kreator/penerbit buku, terutama Ong Hari Wahyu

menjadi terhambat kebebasannya dalam berekpresi.

Perkembangan selanjutnya secara sosio-historis dalam konteks apa yang

mempengaruhi perwajahan sampul buku di Yogyakarta adalah spirit atau

semangat berkebudayaan anak-anak muda di masa Ong Hari Wahyu. Semangat

kebudayaaan ini yang tidak ditemukan dalam konteks penerbitan buku di daerah

mana saja di Indonesia. Pada lazimnya, para penerbit buku berangkat dengan

semangat bisnis atau orientasinya pada keuntungan semata. Di Yogyakarta,

penerbit-penerbit muda justru melakukan sebaliknya. Mereka tidak mengabdi

pada keuntungan semata, atau bekerja demi mendapatkan untung. Semangat ini

juga berpengaruh terhadap ongkos produksi yang menjadi sangat murah

56

Wawancara dengan Buldanul Khuri, pada 26 April 2019.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan Penerbit Bentang yang

didirikan Buldan lebih dikenal sebagai penerbit gerakan yang biasanya nirlaba.

Aktivitas mereka didasari oleh semangat memberikan akses pendidikan

pada masyarakat melalui buku yang diterbitkan, pada satu sisi, dan semangat

melengkapi identitas Yogyakarta sebagai kota pelajar dengan menghadirkan buku

murah dan bermutu sebagai cindera mata. Hal itu terbukti dengan ramainya orang-

orang memborong buku ketika berada di Yogyakarta. Kesadaran inilah yang

semakin memperkokoh ikatan kolektif atau kegotong-royongan di antara anak-

anak muda Yogyakarta, terutama dalam konteks penerbitan. Ketiga faktor

semangat itu pulalah yang kemudian mempengaruhi kreativitas dalam membuat

sampul buku dan jenis buku terbit yang berbeda dengan penerbit-penerbit di

Indonesia. Ketika para penerbit mayor seperti Gramedia mempertimbangkan

sebuah naskah membutuhkan waktu tiga bulan, penerbit-penerbit Yogyakarta

tidak membutuhkan waktu lama memutuskan apa yang akan diterbitkan. Tidak

heran jika kemudian banyak buku-buku seri wacana filsafat dan kritis diterbitkan

di Yogyakarta di masa itu. Maksudnya buku-buku Yogyakarta memang

memberikan banyak informasi tentang dunia literasi, namun lemah dalam konteks

penerjemahan karena terlalu cepat memutuskan produksi.

Jika di masa Orde Baru atau di akhir masa Orde Baru penerbit Yogyakarta

lebih berorientasi pada semangat membangun wacana kritis tanpa

mempertimbangkan keuntungan. Maka di masa Reformasi terutama medio 2005

penerbit-penerbit di Yogyakarta lebih banyak dimasuki semangat bisnis yang

utama ketimbang membangun literasi atau wacana kritis. Kala itu dunia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

penerbitan marak dengan buku-buku fiksi, terutama fiksi remaja dan novel pop

roman, demi mengejar oplah pembelian yang tinggi.

Pergeseran orientasi dari penerbitan bacaan yang bersifat kritis, dalam hal

ini biasanya mengandung muatan kritik sosial maupun politik, untuk kemudian

beralih pada penerbitan tema-tema popular demi mengejar oplah pembelian, alias

mengejar keuntungan bisnis, tentunya juga mempengaruhi perwajahan sampul

buku. Dalam hal ini, mulai muncul upaya perwajahan buku yang menarik secara

visual, sehingga menggugah konsumen. Pergeseran itu, sebagaimana diakui Ong

Hari Wahyu, demikian tampak menjadi fenomena yang menentukan arus

perbukuan di Yogyakarta.

Meskipun demikian, Ong Hari Wahyu masih berkarya melalui tafsir dan

intuisi seorang seniman seni rupa tanpa mengabaikan aturan main seni grafis yang

berlaku. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Buldan ketika ia

mempertimbangkan desain sampul buku-buku yang diterbitkan Bentang Pustaka,

yakni dengan memilih karakter setiap pelukisnya. Tak heran jika menurut Buldan,

bahwa dalam proses pembuatan sampulnya, Ong terbilang sama sekali tidak

meniru atau mengambil inspirasi dari gaya sampul lain yang muncul di masa itu.

Adapun nuansa pasca kolonialitas dalam karya-karya Ong Hari Wahyu pun bisa

dikatakan lahir dari latar belakang yang membentuk semangat zamannya dan

mempengaruhi karya-karyanya. Di masa Orde Baru yang penuh tekanan politik,

melahirkan sikap kritis sebagai bentuk perlawanan. Dari semangat zaman tersebut

memberikan dampak terhadap kesinambungan dalam cara berproses kreasi hingga

saat ini. Sampul buku sebagai karya desain, selain mengandung unsur estetik dan

komunikasi, juga mengandung unsur nilai. Hal ini karena desain tidak lepas dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42

nilai-nilai budaya yang membentuknya. Desain ada dan tercipta selalu dalam

ruang budaya.57

Ruang-ruang budaya dalam hal ini tentu terus memberi

kesempatan celah seturut kehendak zaman selama sikap kritis ada dan

berlangsung sesuai konteks yang hadir.

Sampul buku sebagai media komunikasi visual memiliki beragam aspek

bahasa visual, antara lain tipografi (cara mengorganisir huruf), tata letak, ilustrasi,

jenis kertas, dan finishing cetak. Sebagai sebuah karya desain, aspek-aspek

tersebut membentuk citra sampul buku seperti yang direncanakan. Peran ilustrasi

dalam sampul umumnya sebagai daya tarik. Akan tetapi, ditinjau dari

perkembangan gaya, ilustrasi dapat menjadi penanda gaya desain dalam kurun

waktu tertentu (ikon zaman).58

Gaya desain di sini dapat dilihat dari tren ilustrasi

tertentu yang mendominasi pada zaman tertentu.

Kendati demikian, pada masa orde baru secara umum pengerjaan sampul

di semua penerbitan masih belum berani mengolah secara kreatif, apalagi

menampilkan simbol-simbol yang sensitif bagi rezim orde baru yang hegemonik,

seperti lars sepatu militer dan lain sebagainya. Dalam hal ini, nilai fungsional

buku, tetap merupakan pertimbangan utama, ketimbang nilai artistik. Sehingga tak

jarang buku tentang Kartini misalnya, pasti akan selalu menampilkan foto wajah

kartini dengan pakaian jawanya, sehingga fungsional yang dimaksud lebih kepada

pembentuk identitas seperlunya semata, alih-alih melindungi buku.59

Bahkan

sebagai ide promosi pun, sampul buku masih bukan dianggap sebagai potensi.

Bahkan buku yang dicetak untuk kepentingan buku ajar, baik di sekolah maupun

57

Koskow, Merupa Buku (Yogyakarta: LKIS, 2009), hlm. 31. 58

Koskow, Ibid, hlm.32. 59

St. Sunardi, “Sampul di Atas Sampul Memeriksa Poster Buku Baru di Yogyakarta”, dlm, St.

Sunardi, Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-Esai Seni dan Estetika (Yogyakarta: Jalasutra,

2017), hlm. 292.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43

kampus, kerap tampak tidak mementingkan desain sampulnya harus seperti apa.

Mengingat sudah memiliki pasar khusus, apalagi menyangkut dosen-dosen yang

menjadi penulis bukunya.

Hal-hal semacam ini di kemudian hari mengalami perubahan, khususnya

di jelang akhir otoritas Orde Baru, seiring dengan gelombang gerakan mengkritisi

rezim, hingga puncaknya pada reformasi. Dalam masa “menyongsong reformasi”

inilah, beberapa buku-buku kritis lahir dari berbagai penerbit, mulai dari yang tak

bersampul, fotokopian, hingga secara sederhana dicetak oleh penerbit-penerbit

kecil, atau yang kala itu dikenal sebagai penerbit gang (berlokasi di kawasan kos-

kosan mahasiswa, atau di kampung-kampung).60

Dari sini mulai lahir pula

keberanian untuk mengolah ekspresi-ekspresi, termasuk di dalam sampul. Faktor

politik senjakala rezim Orde Baru, bersambut gayung dengan gairah ekspresi dan

kebebasan seni yang bersaling-silang dengan arus informasi. Kendati demikian,

hanya beberapa penerbit yang cukup penting untuk didudukkan di dalam medan

pertarungan pasar perbukuan yang mengkombinasikan atau mensintesiskan, di

satu sisi nilai fungsional buku sebagai pembungkus dan pelindung buku, maupun

sekedar sebagai identitas pelengkap, dan di sisi lain nilai artistik yang

mengedepankan desainer-desainer sampul hingga layout buku, yang juga

melibatkan seniman-seniman. Bentang Budaya dan Mata Bangsa yang didirikan

Buldanul Khusri, yang merupakan dua penerbitan yang muncul di zaman itu,

dengan keberanian sintesis tersebut, bahkan sengaja menghadirkan buku-buku

dengan bobot isi atau kualitas gagasan yang mewarnai wacana tertentu, khususnya

60

Penerbitan semacam ini di era pasca reformasi dikenal dengan istilah “penerbit indie”.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44

di bidang sastra, sosial, seni dan budaya. Tak heran Buldanul Khuri pernah

berkata, bahwa “Buku harus memberi perubahan sosial.”61

Maka terbitan Bentang Budaya dan Mata Bangsa pada dekade 1990an

hingga 2000an, seakan melanjutkan tongkat estafet dari masa Pustaka Jaya,

dengan sentuhan semangat yang beriringan dengan senjakala rezim, maupun

menyongsong era pasca-otoritas dengan perlahan dibukanya angin kebebasan

berekspresi. Dari situ, setidaknya perjumpaan antara penerbit dan perupa, yang

sebenarnya di Indonesia sudah terjalin cukup lama, kian diperkuat. Tentunya

dalam hal ini terkait perihal penggarapan sebuah sampul buku. Dalam proses

keberlanjutan kerjasama perupa atau seniman lukis dengan dunia penerbitan buku,

di masa 1990-an sampai 2000-an inilah, Ong Hari Wahyu terbilang menjadi

perantara. Ong Hari Wahyu di satu sisi adalah seorang seniman sekaligus

desainer, namun ia juga turut merancang aplikasi penggunaan karya-karya rupa

dari seniman-seniman.

Dalam hal ini, Bentang Budaya dan Mata Bangsa yang digawangi

Buldanul Khuri, sengaja menggunakan karya-karya seniman rupa, untuk

kemudian disortir dan dirancang ke dalam sampul oleh Ong Hari Wahyu. Posisi

Ong Hari Wahyu, baik sebagai perancang sampul yang mengolah dari karya

lukisnya atau mengolah dari bahan milik seniman lain menghasilkan karya yang

dinilai sangat berkualitas. Hal ini tidak lepas dari keutuhannya dalam menggarap

61 Dorothea Rosa Herliany, sempat menuliskan biografi pendek tentang Buldanul Khuri, ia sengaja

melampirkan komentar Buldan berkaitan dengan visi penerbitannya, yakni: “Buku itu harus

memperkaya otak dan jiwa, Buku seni dan sastra itu bagian dari memperkaya jiwa kita, sedangkan

buku-buku non-fiksi bisa memperkaya otak kita. Selain dua ini, itu tidak bisa disebut buku. Hanya

sekedar leaflet atau brosur. Sekali baca, dibuang ke tong sampah.” Dan juga: Buku adalah karya

seni rupa dan karya intelektual. Karena itu, isunya harus bagus, kovernya harus bagus. Kalau

isinya sudah bagus, kovernya tak bagus, waduh, buku kok jelek. Sebagai karya seni rupa, buku

harus tampil menarik. Itu artinya menghargai pembaca yang membeli buku, Kita sajikan menu

masakan yang rasanya enak, kira-kira begitu.” Periksa Dorothea Rosa Herliany, Buldan dengan

Tiga Bukan (Yogyakarta: Mata Angin, 2018), hlm. 45.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45

prosesnya dari awal hingga akhir. Dengan demikian karya Ong Hari Wahyu di

dalam visual perbukuan menentukan sebuah corak seni rupa sampul buku di

Yogyakarta, bahkan Indonesia.

Sampai di sini, bisa kita simpulkan bahwa semangat atau spirit adalah

penentu utama di dalam proses kreatif para penerbit di dalam menghasilkan desain

sampul buku yang diterbitkan. Semangat atau spirit ini juga mewakili zaman di

mana kemudian mempengaruhi setiap penerbit atau pelakunya. Semangat zaman

ini pula yang mempengaruhi dan membentuk karya-karya Ong Hari Wahyu, baik

di masa Orde Baru hingga Refomasi. Dalam rentang waktu itulah, Indonesia

mengalami fase yang banyak dipenuhi semangat kritik atas rezim, alias semangat

perlawanan. Dalam semangat perlawanan tersebutlah, corak pembuatan sampul

turut terinfluensi. Adapun latar belakang konteks jaman itulah yang membuat

karya-karya sampul Ong Hari Wahyu sejalan dengan kontek pascakolonialitas,

yakni adanya sentuhan efek antara resistensi dan keterikatan dengan realitas orde

baru, di sisi lain, sebagai pemahaman kenyataan melalui pendekatan

pascakolonial, konsepsi ambivalensi ala Bhabha, cukup berguna di dalam

membedah representasi visual yang ada.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46

BAB III

PUSARAN PROSES KREATIF ONG HARI WAHYU

Bab ini akan membahas hal seputar proses kreatif dan lingkungan Ong

Hari Wahyu di masa Orde Baru. Pertama-tama akan dikemukakan tentang proses

kreatif para penerbit buku di masa Orde Baru hingga pelarangan buku.

Pembahasan Selanjutnya akan memfokuskan pada karya Ong Hari Wahyu. Dari

gambaran ini akan ditemukan sebuah proses kreatif karya yang hadir di antara

industri dan gerakan di mana rezim masih membatasi ruang gerak dalam berkarya.

Seperti telah disinggung dari bab sebelumnya, bahwa geliat penerbitan

buku di Yogyakarta tidak berorientasi bisnis semata, terlebih pada dekade 1980

sampai 1990-an, tidak sedikit penerbit buku menganggap buku sebagai kendaraan

perubahan. Hal ini yang membedakan penerbitan buku di Yogyakarta dengan

daerah lain di Indonesia. Salah satu yang paling kentara adalah spirit perlawanan

terhadap hegemoni kekuasaan Orde Baru. Perlawanan terhadap rezim otoritarian-

militer itu menjadi solidaritas pengikat di antara para penerbit pada dekade 1980-

an, seperti Salahudin Press hingga Bentang Budaya di Yogyakarta.62

Selama ini, perlawanan terhadap Orde Baru ditafsirkan sebagai

perlawanan pada pembatasan ekspresi dan pendapat. Tetapi jika melihat

bagaimana perlawanan itu dalam konteks perbukuan di Yogyakarta, perlawanan

terutama sekali diarahkan pada kenyataan dari Orde Baru yang menjadi pintu

masuk kapitalisme.63

Penerbitan sebagai medium perubahan, bukan semata bisnis,

dan perlawanan terhadap rezim Orde Baru melahirkan semangat lain, yaitu

62

Lihat Silsilah Grafis dalam Adhe, Declare!: Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007

(Yogyakarta: Komunitas Penerbit Jogja, 2007), Lampiran. 63

Dalam sebuah sesi perbincangan yang dilanjutkan dengan wawancara dengan Buldanul Khuri

26 April 2019.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47

menjadikan buku sebagai ciri khas Yogyakarta, mengupayakan buku sebagai

oleh-oleh (cindera mata), sehingga mendorong lahirnya kreativitas dalam desain

sampul serta layoutnya. Pada saat itu, salah seorang desainer sampul buku yang

menonjol di Yogyakarta, bahkan Indonesia adalah Ong Hari Wahyu.64

Di sini akan dibahas, dengan segala keterbatasan, latar belakang dan

proses kreatif Ong Hari Wahyu, terutama melihat keterlibatannya pada konteks

budaya dan politik perlawanan yang berkembang pada saat jelang akhir kekuasaan

orde baru hingga era reformasi, dan bagaimana keterlibatan tersebut membentuk

latar belakang karya-karya sampul bukunya.

A. Namanya Hari, Parabane Ong, Memilih Menjadi Seniman

Ong lahir dengan nama asli Hari Wahyu Widodo. Hari tumbuh besar di

lingkungan keluarga sederhana di Madiun. Menurut pengakuannya, Ong Hari

Wahyu dilahirkan pada 22 Desember 1958 di Madiun.65

Ayahnya adalah seorang

polisi pamong praja di masa Orde Lama. Hari sendiri mulai dikenal sebagai Ong

sejak masa kecil. Sejak mulai mengenal bermain bersama teman-teman masa

kecilnya itulah, entah oleh kesepakatan apa, teman-temannya mulai

memanggilnya dengan paraban atau sebutan Ong. Hari sendiri kemudian

menerima nama “Ong”, tanpa mengerti maksud panggilan tersebut. Masa TK, SD

hingga SMA, dijalani Ong di Madiun. Namun siapa justru di Madiun itu pula, dia

bertemu dengan lingkaran para seniman IKIP Seni Rupa, bahkan sebagaimana

64

Wawancara dengan Buldanul Khuri, 26 April 2019. 65

Wawancara dengan Ong Hari Wahyu pada 30 April 2019.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48

telah disinggung sebelumnya, termasuk sempat bertemu Sudjojono, “Saya ingat

betul bentuk orangnya pakai kaca mata dan pipa (rokok) gitu” terangnya.66

Kala itu IKIP Seni Rupa Madiun, sebagaimana pengakuan Ong, sangat

rajin melakukan pameran. Pameran tersebut bukan dilangsungkan di dalam

gedung, akan tetapi didisplay di pinggir jalan. Keberadaan IKIP Seni Rupa di

daerah semacam ini memberikan pengaruh sangat kuat kepada anak-anak yang

tumbuh di sekitarnya. Perjumpaan anak-anak dengan kesenian dan senimannya

termediasi oleh lembaga sekolah seni daerah semacam IKIP Seni Rupa Madiun.

Pertemuan dan perjumpaan dalam lingkungan seni itu tidak bisa dilepaskan

sebagai faktor penting yang membentuk orientasi estetis anak-anak dan remaja,

termasuk Ong yang saat itu sedang tumbuh menyusun kekuatan imajinasinya.

Setelah akhirnya lulus dari bangku SMA, Ong sempat menganggur sebentar,

hingga akhirnya memberanikan diri untuk melanjutkan kuliah di ASRI

Yogyakarta. Dapat dipahami bahwa Ong mulai memantapkan diri untuk bergelut

di dunia kesenian.

Memang saat masuk pada tahun 1980, ASRI sudah berubah menjadi

STSRI ASRI, dengan nama ASRI dipertahankan sebagai imbuhan dengan tanpa

berperan sebagai akronim. Pada waktu itu, sebagian seniornya masih mengikuti

kuliah tiga tahun untuk mencapai gelar BA (Bachelor of Art) seperti tradisi

sekolah Belanda. Ong sendiri sebagai mahasiwa STSRI ASRI menyadari betul

posisi kampusnya yang merupakan kawah candradimuka para seniman di seantero

Indonesia. Terlebih, seperti diakui Ong, bahwa:

“Pada saat itu ada seni rupa baru, dulu guru saya empu-empu

semua. Fadjar Sidik, Widayat, yang melukis, menggambar,

66

Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 30 April 2019.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49

membahasakan visual tidak sebatas pada ilmu seni rupa, tetapi

pada intuisi dan roso-nya. Guru-guruku top-top ya. Belum lagi ada

Nyoman Widarso. Kesemuanya orang yang memang secara

kesenian murni, memang punya jiwo.”67

Orientasi menjadi seniman kala itu dikatakan oleh Ong, bahwa situasinya

berbeda, tidak ada yang berkarya semata-mata demi penjualan karya, karena karya

tidak laku dan tidak ada yang membeli. Kalau karya dikoleksi jurusan, dosen, itu

sudah cukup bahagia, setidaknya dikoleksi Pak Widayat, itu sudah prestasi. Maaf,

jika sekarang lulusan S1 melanjutkan studi S2, kemudian menjadi dosen.

Sementara itu, pameran saja tidak pernah, lalu yang diajarkan itu apa? Apakah

sekedar teori, atau apakah sekedar membaca? Kesenian itu bermain, untuk melihat

perkembangan zaman, bukan sekedar dari teks buku.”68

Ong pun juga mengaku bahwa atmosfer mahasiswa seni saat itu sangatlah

menggairahkannya dalam berkarya. Ong menambahkan:

“Waktu itu orang datang ke tempat teman, itu sudah biasa melukis. Dulu

itu kos-kosan masih sangat nyaman, dan yang saya kangeni itu bau cat

minyak, aromanya itu lho, apalagi musiknya The Rolling Stones,

suasananya psychedelic 1970an. Waktu itu masih kental suasana gitu. Nah

suasana keseniannya seperti itu, jadi nggak menyimpan kecurigaan dan

nggak punya tendensi untuk popular, maupun untuk jadi kaya.” 69

Pengalaman dan perjalanan Ong Hari Wahyu sejak masih di kota

kelahirannya di Madiun hingga ketika ia belajar dan kuliah di STSRI ASRI itulah,

yang memberikan pengaruh besar terhadap proses kreatifnya, termasuk dalam hal

mencipta sampul bukunya. Pada saat terlibat dengan Salahuddin Press, Ong mulai

mengalami intensitas keterlibatan dengan perbukuan. Salahuddin Press mampu

mengikat banyak kalangan dengan berbagai latar belakang. Pada mulanya mereka

fokus pada perlawanan monopoli penerbitan dan distribusi buku oleh kelompok

67 Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 30 April 2019. 68

Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 30 April 2019. 69 Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 30 April 2019.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50

bisnis mainstream. Setelah itu mereka mencoba mencari benang pengikat

berbagai kelompok yang beragam di Yogyakarta untuk perubahan.

Pada masa itulah, fenomena penerbitan buku di Yogyakarta mulai

mengalami perkembangan menarik. Hal ini terbukti dengan lahirnya sejumlah

penerbitan setelah Shalahuddin Press, yakni muncul penerbit-penerbit kecil. Di

masa inilah Ong Hari Wahyu dapat dikatakan terpengaruh untuk terus

menguatkan karirnya di bidang seni sampul buku.

B. Menggeluti Sampul di Akhir Kekuasaan Orde Baru

Di masa Orde Baru, kekuasaan rezim hampir tidak terbatas dan terpusat

pada Presiden Soeharto. Tak heran di masa ini, dikenal sistem birokrasi otoritarian

yang juga khas berwatak angkatan darat.70

Hampir semua sisi kehidupan

masyarakat diawasi secara ketat, terutama soal kebebasan berpendapat dan

berekspresi. Tidak ada ruang bagi wacana kritis. Tanpa kecuali semua yang

berhubungan dengan literasi media dan wacana harus mendapatkan izin dari

kejaksaan. Demikian pula dengan naskah-naskah penerbit harus mendapatkan izin

pihak kejaksaan sebelum dapat diterbitkan menjadi buku.71

Keadaan ini membuat

penerbit dan para kreator sampul buku menjadi terhambat kebebasannya dalam

mengekspresikan karya-karyanya karena takut akan mendatangkan masalah. Tak

heran jika di masa Orde Baru, banyak terjadi kasus pelarangan buku.

Pelarangan di masa Orde Baru biasanya mengedepankan kriteria-kriteria

yang membuat buku harus diberangus, mulai dari: Bertentangan dengan UUD

1945; Mengandung dan menyebarkan ajaran atau faham Marxisme-

70 Bandingkan dengan Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto: The Rise and

Fall of The New Order (London: Routledge, 1998). 71

Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, pada 30 April 2019.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51

Leninisme/Komunisme; Merusak Persatuan dan Kesatuan Masyarakat, Bangsa

dan Negara RI; Merusak Kepercayaan Masyarakat terhadap kepemimpinan

nasional; Merusak Akhlak dan memajukan pencabulan/pornografi; hingga

dianggap bertentangan dengan GBHN.72

Kriteria-kriteria semacam ini digunakan

untuk memperkuat hegemoni negara terhadap dunia bacaan warganya.

Pembatasan-pembatasan yang dilakukan Orde Baru dimulai dari berbagai

lini kehidupan, termasuk menciptakan tafsir tunggal atas sejarah Indonesia, baik

melalui penulisan sejarah hingga melalui monumen-monumen yang kesemuanya

memposisikan Angkatan Darat sebagai aktor utama.73

Hal semacam ini jelas

menghambat lajur perbukuan hingga gerakan. Dalam masa inilah Ong

memposisikan diri dan menghadapi realitas keterkekangan yang ada, namun terus

berupaya melanjutkan hidup, maupun proses kreatif berkeseniannya. Mengenai

hal yang terakhir ini, Yogyakarta tidak pernah berhenti memberi ruang maupun

lingkaran pertemanan, yang membentuk habitus penting bagi Ong untuk

mengalihbahasakan kritik terhadap kekuasaan ke dalam karya-karya sampulnya.

Ong Hari Wahyu sendiri bercerita bagaimana pada mulanya dirinya

merasa selalu diawasi oleh rezim bahkan dirinya tidak mampu memastikan orang-

orang di lingkungannya adalah teman atau tanaman aparat untuk mengawasi dan

merekam setiap gerak-geriknya. Hal ini tentu mempengaruhi bagaimana Ong Hari

Wahyu melakukan berbagai keputusan hidup, khususnya dalam menghadapi

pembatasan bagi kaum intelektual, termasuk seniman-seniman yang ada. Bila

72 Fauzan, Mengubur Peradaban: Politik Pelarangan Buku di Indonesia (Yogyakarta: LKIS,

2002), hlm. 142-145. Buku ini menjelaskan cukup gambalang bagaimana politik pelarangan

bersangkutan dengan perkembangan pengetatan kehidupan publik yang secara sistematik

dilakukan oleh negara. 73

Bandingkan misalnya Katherine E. Mc Gregor, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar

Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indoesia (Yogyakarta: Penerbit Syarikat, 2008).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52

mundur ke belakang, kita juga menemukan latar belakang bagaimana Ong Hari

Wahyu dibesarkan dalam sebuah keluarga militer dan lingkungan yang memiliki

aktivitas seni seperti keberadaan IKIP Seni Rupa di Madiun.

Selama kuliah Ong Hari Wahyu bekerja membuat spanduk, iklan dan lain

sebagainya. Ia pun kemudian bergabung dengan sebuah percetakan sebagai lay

outer isi dan kemudian menjadi desainer sampul buku, terutama ketika bergabung

dengan penerbit Salahudin Press di UGM. Di dalam penerbitan yang didominasi

anak-anak muda progresif itu Ong Hari Wahyu berkreasi dengan bayang-bayang

ancaman Orde Baru. Begitu juga ketika Ong Hari Wahyu diminta Buldanul Khuri

untuk menjadi desain grafis Bentang Pustaka yang ia dirikan.

Dalam hal sampul buku inilah, menurut keterangan Buldanul Khuri,

seniman Si Ong yang juga banyak terinspirasi dari sampul-sampul album musisi

kenamaan dunia seperti, khususnya Pink Floyd ini, kemudian dengan caranya,

turut membawa sebuah angin perubahann pada dunia perbukuan Yogyakarta. Saat

itu sampul-sampul buku Bentang Pustaka terbukti melahirkan visualitas

perbukuan yang artistik. Tak heran buku-buku terbitan Bentang Pustaka pun,

selain dari segi kontens isi, diperkuat pula dengan corak sampul yang demikian

jauh berbeda dengan umumnya penerbit di Indonesia yang umunya bercover

terlalu sederhana, kendati sudah menggunakan pendekatan grafis. Realitas

semacam itulah yang kemudian membentuk bahkan memaksa Ong Hari Wahyu

untuk terus mengolah diri dan daya hidupnya sebagai seniman.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53

C. Kekaryaan Ong Hari Wahyu di antara Perbukuan dan Reformasi

Di masa Orde Baru industri penerbitan adalah industri yang sangat mahal.

Artinya, ketika seseorang ingin berbisnis di dunia penerbitan, maka harus

memiliki modal yang cukup besar. Hairus Salim menjelaskan, bahwa:

“Dahulu kalau mencetak tidak mungkin bisa 1.000 eksemplar. Memang

waktu itu paling banyak bisa sampai 1.500 eksemplar, tetapi sangatlah

jarang. Sekarang sekali nyetak rata-rata 3.000 eksemplar, sebab semakin

dikit jumlah cetakan, tentu semakin mahal. Jadi beda banget kan, sekarang

kita nyetak 20 atau 25 eksemplar saja bisa, jadi si penerbit bisa melakukan

seleksi dengan ketat, artinya mempertimbangkan dengan sangat matang,

dari segi isi misalnya, sehingga kekuatan dan kualitas seorang penulisnya

diperkirakan, khususnya dalam memprediksi pasar, laku apa enggak.

Kalau diprediksi tidak laku, ya nggak berani menerbitkan bukunya.

Kalaupun ada yang berani menerbitkan, tentu berarti punya banyak duit.”74

Dari situ dapat dipahami bahwa bisnis perbukuan kala itu memang

dipandang layak jika memberikan keuntungan yang besar. Berbeda dengan zaman

Reformasi, bisnis penerbitan bisa dijalankan oleh siapa saja dengan modal relatif

kecil karena perkembangan teknologi mesin cetak, khususnya dengan hadirnya

mesin cetak digital, sehingga memungkinkan mencetak secara terbatas, sehingga

modal pun bisa disesuaikan.

Di Yogyakarta ada fenomena berbeda yang melawan arus utama bisnis

penerbitan buku. Menurut Buldan, pendiri Bentang Budaya setelah era penerbit

Salahudin Press, berdiri di awal 1980an, kaum muda yang terdiri dari mahasiswa

UGM, IAIN dan ISI membawa semangat baru dalam dunia penerbitan. Mereka

tidak menjadikan bisnis atau keuntungan sebagai satu-satunya tujuan, tetapi

mereka membawa semangat gerakan anak muda yang mencoba memecahkan

kebekuan semangat literasi masyarakat melalui buku-buku yang lebih variatif dan

kritis sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni rezim Orde

74 Wawancara dengan Hairus Salim, 2 Mei 2019.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54

Baru.75

Ong Hari Wahyu sendiri bercerita betapa di tahun-tahun itu sangat

terbatas akses bacaan mereka karena semua dikontrol oleh pihak penguasa.

Bacaan dunia terbuka ketika teman-teman mereka seperti Henry Dim pulang dari

Eropa dan membawa oleh-oleh buku secara ilegal.

Kondisi itu cukup meresahkan bagi kalangan muda terpelajar Yogyakarta,

terutama para penggiat literasi yang kemudian mendirikan penerbitan-penerbitan

yang orientasinya tidak semata hanya mencari keuntungan secara finansial.

Seperti penerbit Bentang Budaya sendiri yang diakui oleh Buldanul Khuri lebih

dikenal sebagai penerbit gerakan atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)

ketimbang penerbit berpola bisnis. Produk-produk bukunya lahir dari diskusi-

diskusi yang cepat dan meliputi wacana-wacana kritis, baik itu berupa esai-esai

dari kolumnis kritis seperti Emha Ainun Najib, Nirwan Dewanto dan buku-buku

terjemahan yang saat itu tidak ada penerbit yang menerbitkan.

Ong Hari Wahyu dan Buldanul Khuri pendiri penerbit Bentang Budaya

kemudian berkolaborasi menghasilkan buku-buku dengan sampul yang jauh

berbeda atau progresif secara visual. Masyarakat buku pun mencatat bahwa karya-

karya sampul Ong Hari Wahyu memiliki daya pikat tersendiri karena secara

estetika tidak saja memiliki bobot artistik, namun juga memiliki bobot makna

yang kuat yang merepresentasikan isi. Eksistensi dengan label penerbit gerakan

inilah yang justru membuat Bentang Budaya menampilkan karya-karya Ong Hari

Wahyu sebagai ikon tersendiri di kancah dunia penerbitan di Indonesia.

Bila kita cermati karya-karya sampul buku Ong Hari Wahyu di era 1990-

an hingga awal 2000-an, kita akan banyak mendapati sampul buku dengan

75 Wawancara dengan Buldanul Khuri, pada 26 April 2019.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55

gambar-gambar yang ia sebut sebagai „lawasan‟. Sebuah gambar yang berlatar

masa lalu atau tradisi masa lalu di Jawa. salah satu sampul buku berjudul

“Soeharto Dalam Cerpen Indonesia” karya Seno Aji Darma, dkk terlihat Soeharto

duduk dan berpakain ala raja Mataram Islam. Sedangkan dalam buku karya

Sapardi Djoko Darmono, “Priyayi Abangan” terlihat gambar seorang pria Jawa

berblangkon dengan muka dan bibir merah badut. Demikian pula dengan buku

“Opini Plesetan-Oples” karya Emha Ainun Najib memperlihatkan gambar Togog,

seorang tokoh punakawan yang dibungkam kain. Sedangkan buku Pramudya

Ananta Toer, “Gadis Pantai” memperlihatkan gadis dan pria berpakain Jawa.

Keempat sampul buku itu menjadi fokus utama analisis di dalam penelitian ini.

Kendati demikian di luar empat sampul tersebut, karya sampul lain dari Ong Hari

Wahyu menampakkan kesan klasik. Hal tersebut memang disesuaikan dengan

tema-tema maupun judul dari buku-buku yang cenderung bertemakan sejarah dan

budaya maupun sastra. Gambar-gambar di bawah ini adalah beberapa contoh

sampul buku karya Ong Hari Wahyu.

Gambar sebelah kiri: Erich Fromm, Akar Kekerasan: Analisis Sosiopsikologis atas Watak

Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).

Gambar sebelah kanan: Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja (Jakarta:

Lentera Dipantara, 2012).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56

Gambar sebelah kiri: James R. Rush, Opium to Java: Jawa dalam Cengkeraman Bandar-

Bandar Opium Cina, Indonesia, Kolonial, 1860-1910 (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000).

Gambar sebelah kanan: Otto Sukatno CR, Seks Para Pengeran: Tradisi dan Ritualisasi

Hedonisme Jawa (Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002).

Gambar sebelah kiri: Benedict R.O‟G. Anderson, Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya

Politik di Indonesia (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000).

Gambar sebelah kanan: Pramoedya Ananta Toer, Midah Si Manis Bergigi Emas (Jakarta:

Lentera Dipantara, 2010).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57

Gambar sebelah kiri: Prof. Dr. Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat

Agraris Madura 1850-1940 (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002).

Gambar sebelah kanan: Darwis Khudori, Orang-Orang Kotagede (Yogyakarta: Yayasan

Bentang Budaya, 2000).

Gambar sebelah kiri: I Ngurah Suryawan, Bara di Bali Utara: Genealogi Kekerasan dan

Pergolakan Subaltern (Yogyakarta: Prenada Mesia Group, 2010).

Gambar sebelah kanan: Mochtar Buchori, Indonesia Mencari Demokrasi (Yogyakarta:

Insist Press, 2005).

Beberapa contoh karya Ong Hari Wahyu di atas setidaknya menunjukkan

bukti-bukti kecenderungan tertentu. Kecenderungan yang dimaksud, adalah

adanya bahasa visual yang di satu sisi berpijak pada relevansi judul buku maupun

isi buku, sedang di sisi lain, berusaha menginterpretasikan, atau diistilahkan Ong

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58

sebagai opini visualnya atas buku tersebut. Bisa dipastikan, Ong selalu berusaha

membaca bukunya terlebih dahulu sebelum memulai menggarap desain

sampulnya. Sebagaimana diakui Ong pada penulis, bahwa jika tidak sempat

membaca naskah bukunya, ia akan bertanya pad a pihak penerbit yang meminta

jasanya atau bahkan kepada penulisnya langsung.76

menyesuaikan dengan tema-

tema atau muatan buku itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam kerja

kreatif membuat desain sampulnya sendiri, Ong Hari Wahyu tampak selalu

dilekatkan pada buku-buku bertemakan ilmu sosial dan budaya. Stereotype ini

sejatinya menjadi faktor tersendiri dalam membentuk karakter lawasan yang ada.

Sebagaimana diakui Ong Hari Wahyu dalam wawancara dengan penulis, karya-

karya yang cenderung „lawasan‟ itu muncul dengan intuisi pribadinya,

menyangkut kebutuhan tema-tema terbitan buku yang disodorkan padanya.77

Namun, perlu ditegaskan melalui penelitian ini, bahwa dalam hal

„lawasan‟ inilah, justru tampak pendekatan tertentu. Pertama, „lawasan‟ sebagai

sebuah style, dapat dipahami sebagai bentuk penciptaan karya yang berbasis pada

adaptasi atas objek-objek dari masa silam. Sebagaimana Ong mengakui bahwa:

“Saya suka barang antik, saya pun punya buku-buku lawas banyak banget, foto-

foto lawas juga banyak banget, itu sampai tidak terawat.78

Menariknya,

memanfaatkan objek, khususnya secara spesifik adalah foto-foto lama,79

untuk

kemudian diolah secara artistik menjadi sampul, merupakan salah satu ciri khas

utama dari Ong Hari Wahyu.

76 Obrolan dengan Ong Hari Wahyu, tidak direkam. 77

Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, pada 30 April 2019. 78

Wawancara dengan Ong… Ibid 79

Hal ini juga diakui oleh Hairus Salim, bahwa Ong menggunakan inspirasi dari buku-buku dan

gambar-gambar lama. Wawancara dengan Hairus Salim, pada 2 Mei 2019.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59

Penulis melihat bahwa ada semacam kegelisahan atas kondisi akhir Orde

Baru dan era Reformasi itu sendiri, yang mengandung kondisi ambang. Kondisi

ambang ini ditunjukkan dalam penyejajaran antara figur berwarna dengan figur

dan latar belakang yang hitam putih. Sebagaimana bisa diperhatikan dari beberapa

contoh sampul di atas, misalnya dalam sampul Buku karya Prof, Dr.

Kuntowijoyo, yakni: Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-

1940, maupun karya Darwis Khudori, Orang-orang Kotagede, yang sengaja

memberi warna pada satu sisi dan membuat menjadi hitam putih pada sisi lain.

Kondisi penyejajaran antara yang berwarna dan yang hitam putih itulah yang

menandai suatu ambiguitas tersendiri.

Kedua, karya Ong Hari Wahyu ini, dalam sebutan “lawasan” dari para

kolega-koleganya ini, mengandung pula kehendaknya untuk menampilkan

kembali khazanah tempo dulu, sebagai bahan kekaryaan. Persoalan ini secara

estetik menjadi tawaran tersendiri, sedang secara ideologis, penulis meyakini

adanya tawaran kritis dari Ong Hari Wahyu, berupa “opini visual”-nya tersebut,

alih-alih sekedar menjawab atau menuruti judul maupun isi buku.

Memang, sebagaimana diakui oleh Ong, bahwa di masa Orde Baru,

hegemoni rezim membuat banyak penerbit membatasi diri dalam berkreasi di

dalam perwajahan buku. Hal-hal semacam itu, membentuk pola karya yang dalam

pengakuan Buldan sebagai orang yang berpendidikan desain visual dan sekaligus

praktisi penerbitan buku di Indonesia, merupakan karya-karya yang luar biasa dari

kebiasaan para perancang sampul buku di Yogyakarta dan Indonesia secara umum

pada masa Orde Baru. Karya-karya Ong Hari Wahyu tampak memiliki kekuatan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60

secara artistik dan membentuk paradigma baru. Karena pada masa itu sampul

buku lebih bermain grafis sederhana.

Dalam soal penyesuaian dengan tafsir buku, Ong sempat mengakui bahwa

ia tidak banyak membaca buku yang akan digarap sampulnya. Tetapi ia tak jarang

sengaja menanyakan pada yang mengetahui entah dari pihak penerbit ataupun dari

sananya langsung mengenai garis besar isi bukunya. Hal inilah yang

menyebabkan karya Ong kian menarik sebab melibatkan proses kreatif yang tidak

sembarangan dan penuh pertimbangan. Adapun sebagai sebuah proses kreatif, apa

yang dilakukan Ong menunjukkan bahwa sampul buku merupakan wacana

tersendiri yang memerlukan kinerja tersendiri, melampaui sebatas ilustrasi atas isi

buku. Hal terakhir inilah yang makin menampakkan kekhasan dari karya-karya

sampul Ong Hari Wahyu.

Selain persoalan lingkungan pembentuk proses kreatif, hingga kesesuaian

isi buku; karya-karya Ong Hari Wahyu juga menunjukkan muatan simbol-simbol

dari citra lawasan atau bernuansa tempo dulu. Maka pada akhirnya “opini visual”

Ong, bagi penulis selain menampakkan kritik, juga perlawanan atas kemapanan

suatu tafsir. Karya Ong sendiri juga menjelma strategi tersendiri dalam memberi

sentuhan visual bertema sejarah ataupun klasik, sehingga memberi makna luas

pada jagad sampul buku.

Karya Ong Hari Wahyu pun, tampak menjadi demikian menarik dari

segala latar belakang maupun lingkungan pembentuknya, bahasa kritis yang

dilesapkan ke dalam bahasa visual, hingga caranya menafsir isi buku ke dalam

bahasa visual; kemudian membawa pada keterbelahan pemaknaan. Sebagaimana

dapat diperhatikan, bahwa representasi-representasi simbolik secara denotasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61

menampilkan masa silam, dan serta merta memberi pesan-pesan tersendiri baik

sejak muatan buku hingga pengalaman dan tafsirnya atas buku ke dalam pilihan-

pilihan visual hingga warnanya. Di sisi lain secara konotasi jelas menampilkan

suatu keterbelahan antara keserbawarnaan dan kehitam-putih-an. Sedangkan judul

pada buku-buku itu sendiri memperlihatkan satu konteks situasi kesejarahan

Indonesia dan seolah mengiringi jatuhnya rezim Orde Baru. Artinya, secara

konotasi, penulis melihat adanya opini visual Ong Hari Wahyu di dalam

menerjemahkan bukunya, dengan konteks jamannya, menjadi sebuah penegasan

keadaan yang tak menentu.

Ketidakmenentuan semacam inilah yang secara semiotik menciptakan

mitos antara yang lampau dan yang sekarang bahkan yang akan datang.

Sebagaimana mitos menyediakan arkhetipe-arkhetipe interpretatif untuk

menguraikan makna dunia-kehidupan yang kita alami dengan pandangan terhadap

masa kini melalui masa silam.80

Ketidakstabilan yang dicitrakan secara konotatif,

menginterpelasi tatapan pembaca maupun pembeli ketika seketika menemukan

buku itu di rak-rak toko buku. Sebab rak buku di dalam toko buku, tak ubahnya

sebuah galeri, dengan sampul-sampul buku tak ubahnya sebagai lukisan-lukisan

yang terpajang.

Penulis membayangkan di tahun 2000an, seseorang pembeli akan tiba di

bilangan pasar Beringingharjo, dan berhenti di Shopping, persis sebelum TBY

(yang kini menjadi Taman Pintar, sedangkan TBY berpindah ke bagian utara);

maka ketika ia tiba di para penjual buku yang menjejerkan buku-buku terbitan

Bentang, yang banyak diwarnai karya Ong Hari Wahyu, maka akan ada

80 Peter Pericles Trifonas, Barthes dan Imperium Tanda (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 11.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62

perjumpaan tatapan yang rumit. Perjumpaan yang menerima keterbelahan dalam

warna dan yang tak warna hingga menemukan kedirian sang pembeli di suatu

masa yang sedang berubah secara politis, untuk kemudian secara asosiatif, serta

merta tatapannya menangkap visualitas sekaligus membaca judul buku-buku

sejarah dan sosial-budaya. Dari keadaan yang penulis bayangkan itulah, maka

penelitian ini lahir sebagai sebuah pencarian jawaban atas pengalaman yang

dengan sejatinya secara personal dialami sendiri oleh penulis. Penulis pun

meyakini bahwa demikian kiranya yang kurang lebih dialami orang lain. Di mana

kompleksitas ini bagi penulis masih terus menampilkan ambivalensi, baik

personal Ong Hari Wahyu, di dalam hidupnya, penulis sendiri, hingga terkait

identitas Indonesia atau “keindonesiaan” itu sendiri.

Akhirnya, kompleksitas menyangkut konteks jaman, pemaknaan hingga

bahasa visual menjadi trading point di dalam representasi simbol maupun gambar

yang ditampilkan dan dirancang Ong hari Wahyu di dalam setiap sampul-

sampulnya. Kendati tidak mudah memberi benang merah untuk semua karya-

karya sampulnya, namun beberapa sampul akan penulis tampilkan guna

menegaskan makna pascakolonialitas yang diakibatkan dari mitos yang lahir dari

sistem pertandaan sebagaimana dijelaskan di atas. Hal ini akan selengkapnya

disinggung dalam bab berikutnya, berkaitan empat cover yang secara sengaja

dipilih.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63

BAB IV

PERCIK AMBIVALENSI DALAM SAMPUL SI ONG

“aku ki jarang pameran tunggal, soale aku ki wes pameran terus mben dino!81

Ong Hari Wahyu a.k.a Si Ong

Bab ini akan mengulas empat sampul buku Ong Hari Wahyu dengan

menggunakan pendekatan kajian pascakolonial dan melihat bagaimana

menempatkannya sebagai gerbang pembuka bagi munculnya karya-karya baru

setelah era Orde Baru. Dalam bab sebelumnya, telah disinggung bagaimana

lingkungan yang membentuknya secara kultur pendidikan, hingga konteks politik.

Terkait yang terakhir ini, lingkungan Orde Baru pada dasarnya memiliki

persamaan sifat dengan wacana kolonial Belanda yang bersifat koersif, represif,

hegemoni dan indoktrinatif. Di mana, bisa kita mafhumi bahwa dominasi

Belanda, baik semenjak para pedagangnya yang bersenjata hingga pemerintahan

Perancis dan Belanda di Indonesia mewariskan sikap-sikap otoritarian pada masa

Indonesia berdiri.

Dari sini manusia modern Indonesia memang bermakna sebagai identitas

pascakolonial. Artinya identitas manusia Indonesia muncul seiring

persentuhannya dengan penjajahan koloni, selaku colonized, dengan apparatus

fisik hingga apparatus ideologi penjajah alias colonizer. Perjumpaan yang sudah

terlanjur terjadi dan menampakkan ekses-eksesnya hingga kini dan akan datang,

menuntut digunakannya pembongkaran struktur subordinasi kolonial dengan

pendekatan pascakolonial.

81

Seloroh Ong Hari Wahyu dalam salah satu obrolan dengan penulis. Penulis ingat betul ungkapan

beliau, kendati secara waktu, ungkapan tidak muncul pada sesi wawancara yang telah terekam dan

tertranskrip.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64

Adapun salah satu konsepsi penting di dalam pendekatan pascakolonial

adalah apa yang digelontorkan oleh Homi K. Bhabha. Dalam bukunya yang

masyhur, “Location of Culture”, mencoba mendudukkan berbagai penjelasan di

seputar pelacakan atas kedirian atau identitas subjek-subjek sejak bersentuhan

dengan pascakolonial.82

Kemudian ditemukanlah adanya persepsi-persepsi dari

pihak penjajah atas terjajah, sejak pertama perjumpaannya, berupa stereotipisasi.

Tak heran manusia non-barat dipandang sebagai makhluk inferior. Namun di sisi

lain, kolonialisme dilegitimasi dengan memahaminya sebagai misi

“pemberadaban”, sehingga manusia non-Barat, sebagai objek, atau sederhananya

sebagai anak didik, perlu dididik dan dibina oleh sang Bapak kolonial ini, agar

bisa menjadi maju sebagaimana negeri induk koloni sang Bapak kolonial ini.

Bahkan, sebagai sebuah wacana kolonial yang meresap di diri terjajah

hingga hari ini, adalah mengenali diri atau berkaca dengan cermin yang telah

dibuat barat. Cermin ini dibuat dari tafsiran atau definisi atas dirinya yang dibuat

pihak barat, sebagaimana stereotipisasi yang dibuat atau “ditemukannya” sejak

awal berjumpa. Ketidakseimbangan ini, menjadikan pemahaman atas kedirian

terjajah selalu tidak utuh, bahkan pongah. Sehingga ketika si terjajah berupaya

meniru Barat, sebagaimana dicontohkan Barat, tidak pernah benar-benar berhasil.

Sedang di sisi lain, pihak Barat yang selalu mengajari bahwa pihak terjajah itu

menjadi seperti mereka, rupanya juga tidak pernah ingin disamakan atau disetarai

oleh terjajah yang terdidik secara Barat. Sehingga a subject of a difference that is

almost the same but not quite, atau bahkan secara rasistik, almost the same but not

82 Homi K. Bhabha, Location of Culture (New York: Routledge, 1994), hlm. 113.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65

white.83

Dari sinilah ambivalensi terjadi baik dalam diri si penjajah maupun bagi

diri terjajah.

Konsekuensi dari kondisi tersebut, bagi subjek terjajah, selalu terjadi

upaya meniru atau oleh Bhabha disebut mimikri. Bhabha menjelaskan bahwa

mimikri tersebut pada akhirnya sebagai suatu sikap mockering, atau olok-olok

yang penulis pahami sebagai semacam pemenuhan atas tatanan maupun Bahasa

penjajah yang didapat dari pendidikan yang dibuat para penjajah (barat) itu

sendiri. Akhirnya, mimikri mengandung resistensi tersendiri. Lebih jauh Bhabha

melihat bahwa kondisi semacam ini membuat posisi subjek pascakolonial itu

bersifat hibrida, artinya ia memuat berbagai lapisan identitas, sebagai konsekuensi

psikologis atas perbenturan antara barat dan “non-Barat: tersebut, maupun secara

kultural adalah kosmopolitanisme sejak sebelum kolonial itu sendiri, sebagaimana

kenyatan sirkulasi budaya itu sendiri, maupun saat di masa kolonial itu sendiri.

Akhirnya penulis sendiri berkeyakinan bahwa kenyataan Indonesia hingga pasca

Orde Baru, bahkan pasca reformasi ini, merupakan bagian dari genealogi mimikri,

ambivalensi maupun hibrida itu sendiri. Penulis sengaja menyoroti satu konsepsi

saja, yakni ambivalensi identitas atau kedirian ini, yang tercermin dari konotasi

(mitos) yang lahir dari tatapan atas system of significance,84

sampul-sampul yang

dibuat Ong Hari Wahyu.

Adapun karya-karya yang dimaksud, sengaja berkutat pada empat sampul

dalam rentang waktu yang berbeda. Berikut ini akan diperlihatkan makna

ambivalensi pascakolonialitas melalui pembongkaran mitos yang ada dalam ke

83 Homi K. Bhabha, “Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse”, on,

October, Vol. 28, Discipleship: A Special Issue on Psychoanalysis (Spring, 1984), page.127 and

130.. 84

Roland Barthes, Elements of Semiology, translated by Annette Lavers and Colin Smith (New

York: Hill and Wang, 1981), page 89-90.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66

empat buku tersebut. Perlu ditegaskan lagi, bahwa yang dimaksud mitos yang

lahir dari sistem pertandaan semiologis, sebagaimana penulis singgung sejak bab

sebelumnya adalah bagian dari penjelasan utama Roland Barthes. Dalam esainya,

Barthes menyebut bahwa mitos sebagai tipe wicara (a type of speech), yaitu mitos

adalah sistem komunikasi, sehingga mitos berarti pula sebuah pesan. Mitos bukan

merupakan konsep, gagasan atau objek, mitos merupakan mode penandaan (a

mode of significaton), suatu bentuk (form). Semua dapat menjadi mitos selama ia

menjadi wacana (discourse).85

Bertolak dari penjelasan dasar di atas mengenai konsepsi mitos maupun

ambivalen, penulis berusaha menegaskan relevansi dua konsepsi tersebut ketika

diterapkan dalam membedah karya sampul dari Ong Hari Wahyu. Secara

sederhana, sampul-sampul diudar sistem penandaannya secara visual hingga

mencapai derajat konotatif yang dominan, sehingga berpotensi menjadi mitos

tersendiri secara kontekstual, sebagaimana disinggung penjelasannya dalam akhir

bab sebelumnya. Untuk kemudian dibarengi dengan penjelasan konsepsi

ambivalensi yang khas ala pendekatan pascakolonial, guna menunjukkan posisi

sampul Ong Hari Wahyu di dalam pemaknaan para pembaca atau penonton (baca:

penatap), setidaknya sebagaimana yang dialami penulis itu sendiri.

Berikut ini empat sampul karya Ong Hari Wahyu yang akan dikaji dan

dianalisis sesuai dengan pembahasan fokus utama pada penelitian. Adapun alasan

dipilihnya empat cover ini, sebagaimana disinggung di dalam bab awal, bahwa

kemunculan empat sampul tersebut tidak menunjukkan jarak yang presisi sebagai

rentang periodisasi, yakni Oples: Opni Plesetan (1995), Priyayi Abangan: Dunia

85 Roland Barthes, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1972), page. 107-115.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67

Novel Jawa Tahun 1950-an (2000), Soeharto dalam Cerpen Indonesia (2001) dan

Gadis Pantai (2003). Sementara secara visual, selain adanya benang merah

denotasi nilai-nilai maupun representasi simbolik dari budaya Jawa, juga adanya

konotasi-konotasi kuasa, sarkastik hingga alasan-alasan tertentu yang akan penulis

terangkan di dalam masing-masing penjelasan sbb:

A. OPLES (Opini Plesetan)

Judul : Oples: Opini Plesetan

Penulis : Emha Ainun Nadjib

Penerbit : Mizan

Tahun terbit : Juli, 1995

Keterangan : Cetakan pertama

Tebal : 350 hlm

Desain Sampul : Ong Hari Wahyu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68

Rakyat Togog yang Terbungkam

Buku ini diterbitkan Mizan yang membeli Bentang Budaya di kemudian

hari. Kumpulan esai ini semula terbit pada kolom Tabloid Mingguan Detik dan

Adil di tahun 1990-an. Emha Ainun Nadjib sebagai seniman dan budayawan yang

tersohor di Indonesia menulis dengan membangun satire-satire tentang kekuasaan

Orde Baru dan keadaan masyarakat,

Menurut Ong Hari Wahyu ketika ia menerima naskah itu, ia melakukan

diskusi informal dengan teman-teman Teater Gandrik dan seniman lainnya.

Lahirnya figur Togog dalam sampul buku itu karena ada semacam seloroh

bagaimana keadaan nasib mereka sebagai rakyat kecil yang dibungkam kebebasan

bicara mereka. Seperti yang terlihat pada gambar di atas, sampul buku Oples atau

Opini Plesetan berisi tokoh mitologis dalam pewayangan bernama Togog.

Togog seperti halnya Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah golongan

punakawan; yaitu masyarakat kelas rakyat jelata yang menjadi pembantu para

kelas bangsawan. Perbedaannya adalah, jika Semar, Gareng, Petruk dan Bagong

adalah pembantu para bangsawan golongan kanan atau para kesatria yang lurus,

sementara Togog adalah punakwan atau pembantu dari kelas bangsawan golongan

kiri atau para durjana.

Bila kita melihat gambar sampul buku tersebut secara semiotik,

denotasinya satu figur wayang kulit dari tokoh Togog yang mulutnya diikat

dengan sebuah kain. Ong Hari Wahyu tampak jelas ingin menyampaikan secara

konotatif akan suatu kondidi keterbungkaman. Adapun nilai mitos yang dibangun

adalah bahwa representasi rakyat jelata yang dibungkam. Secara kontekstual,

kemunculan cover ini adalah tiga tahun sebelum lengsernya Soeharto, artinya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69

masa-masa panas menuju reformasi. Di masa itu boleh dibilang masyarakat telah

mulai gelisah dengan kondisi Orde Baru, sedang kemunculan esai-esai Emha

Ainun Nadjib merupakan bagian dari suara-suara kritis yang jelas bertalian

dengan kekuasaan.

Adapun Togog sendiri adalah representasi rakyat jelata yang dibungkam

oleh penguasa, sehingga tak mampu menyuarakan aspirasi batinnya. Persoalannya

adalah mitos Togog dalam pewayangan, seperti yang sudah disampaikan di atas

merupakan punakawan yang dikenal di durjana. Sementara, Ong Hari Wahyu

sebenarnya ingin membangun konotasi simbol dan representasi dari masyarakat

atau rakyat kecil yang tengah dibungkam oleh rezim Orde Baru.

Penggunaan simbol Togog ini menjadi kurang relevan dengan konteks

persoalan yang ada, karena ada figur punakawan lain yang lebih representatif

dengan konteks keadaan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Dalam dunia

pewayangan, Togog adalah punakawan yang menyertai kaum jahat. Sementara

punakwan seperti Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah punakawan yang

menyertai para satria. Ong Hari Wahyu sangat terang menjelaskan di muka bahwa

keputusannya mengambil figur Togog adalah hasil diskusi informal bersama

teman-temannya secara spontan.

Sementara secara bersamaan, konsepsi mitos rakyat sebagai Togog,

menunjukkan adanya ambivalensi tersendiri. Subjek rakyat Indonesia, baik di

masa kolonial Belanda, maupun terus berlanjut hingga masa pasca merdeka,

rupanya menemui rezim Orde Baru yang dalam beberapa hal kerap dianggap

sebagai neo-kolonialisme. Hal itu menjelaskan bahwa representasi rakyat sebagai

Togog adalah suatu konsekuensi keterbelahan identitas yang muncul akibat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70

kehendak menjadi sosok rakyat yang baik, tentu bukanlah sebagai Togog, yang

mana dalam karakter wayang cenderung pada karakter antagonis. Namun toh

Togog sendiri merupakan bayangan dari Semar, dalam mana Semar sendiri

merupakan tokoh dewa yang protagonis.

Antagonisme Togog yang masih memiliki keterkaitan personal dengan

protagonisme Semar, menjadi kenyataan akan ambiguitas rakyat itu sendiri.

Sehingga alih-alih sebagai identitas yang mapan, rakyat sendiri merupakan

identitas yang labil, kalau bukan hibrida. Rakyat yang labil, antara baik dan buruk

menjadi suatu pernyataan atau opini visual tersendiri dari Ong. Ong secara

ambivalensi, hendak mengatakan bahwa rakyat sendiri adalah subjek yang bak

Togog nan penuh keterbelahan antara baik dan buruk, antara terjajah (jongos),

namun juga menjadi penjajah (tuan), antara anti Orde Baru, dengan yang pro Orde

Baru. Keterbelahan rakyat ala Togog ini sendiri, ditampilkan Ong sedang

terbungkam. Garis besar yang dinyatakan dalam opini visual Ong Hari Wahyu,

alih-alih isi bukunya, adalah sebuah mitos bahwa rakyat yang tak menentu,

semuanya sedang terepresi, ditutup kemungkinannya bersuara.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71

B. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an

Judul : Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an

Penulis : Sapardi Djoko Damono

Penerbit : Yayasan Bentang Budaya

Tahun terbit : Juli, 2000

Keterangan : Cetakan pertama

Tebal : 434 hlm

Desain Sampul : Ong Hari Wahyu

Priayi yang Rapuh

Priyayi Abangan karya Sapardi Djoko Damono ini membahas novel-novel

di masa tahun 1950-an. Buku ini awalnya adalah Disertasi Sapardi Djoko Damono

yang dipertahankan di Universitas Indonesia tahun 1989, dengan judul asli "Novel

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72

Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, isi, dan Struktur". Yayasan Bentang

Budaya menerbitkannya sebagai buku teks tahun 2000.

Buku tersebut mengungkap persoalan priayi abangan yang menjadi tren

novel di masa tahun 1950-an. Priayi abangan sendiri adalah kelompok atau kelas

bangsawan Jawa yang disebut priayi. Mereka beragama Islam namun secara

terbatas. Dalam sampul buku tersebut Ong Hari Wahyu menampilkan secara

denotatif, yakni satu sosok pria berdiri dengan tangan kanan di atas perut,

mengenakan beskap berwarna krem keputihan, dengan jarik dan blangkon ala

Solo. Sementara wajahnya berwarna putih pucat layaknya wayang wong

punakawan, dengan make up putih dan bibir berlipstik merah melengkung ke

bawah. Di samping pria itu terlihat kursi kayu rotan biasa dipergunakan untuk

duduk santai.

Sekilas kita melihat kesatuan konotasi penampakan sosok pria Jawa

berwajah pucat, bersinar angkuh dengan bibir yang meremehkan. Ong Hari

Wahyu tampaknya ingin menunjukkan mitos sifat-sifat priayi yang peragu dan

terhormat secara privilese, melalui representasi penanda berupa warna-warna

pucat. Citra ini mengkonotasikan pula karakter priayi Jawa yang banyak

dipengaruhi oleh kebudayaan kaum feodal di Jawa yang telah ada sejak lama di

dalam tradisi kekuasaan Jawa, khususnya semenjak kolonialisme Belanda mapan,

dan menciptakan suatu kalangan priayi baru yang dihasilkan dalam sistem

Pendidikan ala kolonial. Nantinya priayi baru inilah yang kerap berjarak dengan

keadaan rakyat jelata, dan secara ironis kerap menjadi juru bicara rakyat akibat

konsekuensi negara warisan kolonial, yang membuatnya selalu berada di posisi

yang diperlukan, atau dikonstruksi secara modern sebagai pihak yang paling

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73

berhak menjadi pamong masyarakat, dengan sejumlah alasan formal akibat

didikan kolonialnya.

Secara keseluruhan, Ong hendak menunjukkan mitos keberadaan priayi

Jawa yang serba problematis, dan lagi-lagi ambigu antara sebagai subjek yang

berasal dari rakyat itu sendiri, tetapi dalam praktiknya selalu secara ironis

mewakili lapisannya sendiri, sebab priayi menduduki bahkan berpijak pada

lapisan kelas bawah. Apa yang dimaksud priayi bangsawan maupun priayi

terdidik, adalah mereka yang terdidik oleh pendidikan (warisan) kolonial. Seperti

muatan isi bukunya, pada dasarnya piyayi tetaplah merupakan subjek yang

ambivalen. Priyayi bisa menjadi bagian dari rakyat, namun sekaligus juga berjarak

dengan rakyat lainnya. Mereka mewakili sebagian rakyat di dalam kepentingan

sosial maupun politis. Para priyayi ini mewarisi tradisi kolonial yang terus

direproduksi di dalam masyarakat Indonesia, baik di awal merdeka, Orde Baru

hingga masa reformasi itu sendiri.

Kendati dalam buku ini berkaitan dengan persoalan sastra dan kalangan

terpelajar (priyayi terdidik) yang menjadi produsen sastra Indonesia di medio

1950-an, namun toh secara tatapan, kekuatan “opini visual” Ong Hari Wahyu

berhasil menampilkan mitos priayi yang mendua, yang ambang, meragukan atau

bahkan rapuh.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74

C. Soeharto dalam Cerpen Indonesia

Judul : Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an

Penulis : Y.B. Mangunwijaya, Seno Gumira Ajidarma, Taufik Ikram

Jamil, F. Rahardi, Joni Ariadinata, Indra Trenggono, M. Fudoli

Zaini, Jujur Prananto, Agus Noor, Sunaryono Basuki KS, Bonari

Nabobenar, Moes Loindong, Triyanto Triwikromo.

Editor : M. Shoim Anwar.

Penerbit : Yayasan Bentang Budaya

Tahun terbit : Oktober, 2001

Keterangan : Cetakan pertama

Tebal : 184 hlm

Desain Sampul : Ong Hari Wahyu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75

Raja Republik yang Mapan

Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek yang ditulis oleh para

sastrawan Indonesia dengan tema sifat kekuasaan Soeharto di masa Orde Baru.

Ong Hari Wahyu mendapatkan tugas membuat sampul buku tersebut.

Di dalam sampul tersebut terlihat secara denotatif, gambar seorang raja ala

Mataram yang berpakaian beskap hitam dengan lencana lambang garuda

Pancasila, berkupluk, jarik membalut celana panjang dan tengah duduk di sebuah

kursi di atas dampar kencana, lengkap dengan meja dan paidon di sebelah

kanannya. Sementara mimik wajahnya agak mendongak dengan tatapan yang

secara konotatif menunjukkan citra sosok pemimpin yang dingin penuh wibawa.

Namun, bila kita amati secara denotatif, raja tersebut jelas berasosiasi dengan

wajah Presiden Soeharto, sebagaimana merepresentasikan secara gamblang apa

yang menjadi subjek di dalam judul buku ini. Dialah Presiden Republik Indonesia

yang berkuasa di masa Orde Baru (1967-1998). Dalam mana secara konteks, saat

buku ini diterbitkan, atau saat Ong menyusun cover ini pun, Sang Presiden yang

digambarkan bak raja itu baru saja lengser keprabon.

Secara representatif, gambar itu pertama memberikan kesan penampilan

seorang raja Mataram Islam dengan ciri-ciri di atas. Gambar itu memberikan

simbol dan analogi kekuasaan tertinggi dalam sistem hierarki di Jawa. Di mana

seorang raja Jawa adalah puncak dari struktur dan hierarki dari masyarakat feodal.

Seorang raja adalah pusat dari segala kekuasaan politik. Secara historis kekuasaan

feodal raja di bawah langsung atau menjadi subordinasi kekuatan dominan yaitu

pemerintah kolonial. Di masa kolonial, rakyat jelata dari kalangan pribumi adalah

kelas terendah dalam struktur kelas sosial. Diskriminasi ganda atas kalangan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76

rakyat jelata oleh kalangan bangsawan atau kaum feodal dan kaum kulit putih

yang menjajah mengakibatkan orang menginginkan mendapatkan pengakuan

sosial hingga di masa Orde Baru. Soeharto adalah Presiden Republik Indonesia

modern yang berkuasa selama 32 tahun dan hingga kini secara faktual terbukti

tercatat sebagai seorang tiran yang represif dan koersif sekaligus, seturut berbagai

catatan kejahatan dan kekerasan yang terjadi terhadap warga negaranya.

Secara semiotik, sampul buku tersebut meliputi penanda (denotatif) dalam

bentuk visual (materi) Soeharto adalah seorang raja Mataram. Sementara secara

petanda (konotatif) memberikan makna bahwa Soeharto adalah analogi dai sifat

raja yang berkuasa tanpa batas dan menjadi pusat kekuasaan di masa demokrasi.

Maka mitos semiotik yang muncul dalam “opini visual” Ong Hari Wahyu dalam

buku ini adalah Suharto sang presiden republik berkuasa bak raja Mataram.

Dalam gambar tersebut dapat dilihat adanya unsur ambivalensi, terutama,

pertama sifat hibrid di dalam cara berpakaian seorang raja Mataram yang

mengenakan beskap atau kemeja yang biasa diadopsi dari cara berpakain para

raja dan bangsawan di Eropa atau Turki. Sementara kupluknya berasal dar tradisi

Kekhalifahan Turki. Masalahnya konsep mimikri di dalam kajian Homi K.

Bhabha adalah sikap peniruan yang didasarkan pada kebutuhan psikologis

mayarakat inferior agar dipersepsikan sama dengan kelompok superior. Tindakan

meniru ini kemudian juga menciptakan kondisi hibrid seperti contoh gambar

tersebut.

Ong Hari Wahyu menempelkan sifat mimikri tersebut dalam upayanya

untuk membuat satire terhadap eksistensi kekuasaan Soeharto melalui

penggambaran seorang raja Mataram. Artinya sampul buku tersebut berbicara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77

tentang sifat kekuasaan Soeharto yang berada di masa demokrasi, namun bersikap

otoriter sebagai presiden negara republik, namun masih bersifat feodal seperti sifat

seorang raja Jawa di masa lalu. Citra wajah berkesan dingin dan tenang, dalam

gestur duduk nan mapan, jelas menunjukkan posisi Soeharto yang demikian

hegemoni di dalam kenyataan Indonesia, tak heran di tengah reputasi buruknya di

dalam keadilan di Indonesia, dia tetap memiliki jejaring para pewarisnya maupun

para pemujanya. Dari sini Ong berhasil menghadirkan mitos ambivalen, akan

subjek raja di era republilk yang penuh luka namun tetap mapan di dalam

kursinya, sebagaimana konteks politik kala buku ini diterbitkan, yang mana

kelengseran Soeharto yang terbukti penuh kesalahan-kesalahan pun, rupanya tidak

berhasil dihukum secara layak, atau sesuai prosedur hukum modern, atau keadilan

yang semestinya. Ironisme semacam inilah yang demikian kentara di dalam

jalinan mitos dan ambivalensi yang tampak di dalam karya sampul tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78

D. Gadis Pantai

Judul : Gadis Pantai

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantara

Tahun terbit : Juli, 2003

Keterangan : Cetakan kesepuluh

Tebal : 280 hlm

Desain Sampul : Ong Hari Wahyu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79

Gadis Lugu Jawa dalam Bidikan Lelaki Bangsawan

Buku Gadis Pantai karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer adalah roman

trilogi, namun sejatinya dua buku lanjutan tersebut raib setelah disita aparat di

masa Orde Baru. Seri pertama Gadis Pantai adalah satu-satunya yang

terselamatkan dan pada akhirnya diterbitkan oleh Penerbit Lentera Dipantara pada

tahun 2003, bahkan cerita roman ini sebenarnya tidak selesai (unfinished) seperti

yang dikemukakan pada pengantar buku tersebut. Pertama terbit dalam cerita

bersambung di Lentera/Bintang Timur.

Gadis Pantai bercerita tentang seorang gadis remaja Jawa yang tinggal di

pesisir utara yang harus berangkat untuk melayani seorang pria bangsawan yang

selama hidupnya tak ia kenal. Bahkan ketika acara pinangan pun pria itu hanya

mengirim sepucuk keris pusaka sebagai wakil dirinya di hadapan orangtua dan

dirinya yang masih kecil.

Ong Hari Wahyu membuat gambar sampul buku itu dengan pola realis

melalui gaya Ruang Waktu Datar (RWD). Ruang Waktu Datar adalah bahasa rupa

yang dikemukan oleh Profesor Dr. Primadi Tabrani untuk menyebut pola lukisan

khas Timur, yaitu menyatunya ruang, waktu dan datar atau tidak perspektif seperti

halnya lukisan Barat yang perspektif.

Ong sendiri dalam hal ini tampak menggunakan foto lama, yang sengaja

diolah dengan permainan warna. Di sebelah kiri, secara denotatif, sosok wanita

muda khas Jawa yang bersanggul, wajah dengan mimik terdiam, pandangan

tertuju ke depan, yang seakan kosong. Perempuan itu berpakaian kebaya hijau

terang dan jarit atau kain batik coklat tua dengan motif bunga-bunga sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80

bawahan. Tangan kanannya menapak pada tikar anyaman bambu tempat dirinya

duduk, sedang tangan kirinya memegangi ujung stagen (atau pengikat perut).

Sedang di sebelah kanan, secara denotatif tampak seorang lelaki

berpakaian khas Jawa, dengan beskap dan lencana, serta bawahan kain jarik,

sementara tangan kanannya memegang tongkat. Di sebelah kanannya, tampak

seorang lelaki yang tampak lebih pendek, memegangi payung. Latar pantai yang

berwarna biru dengan langit berawan dan beberapa tetumbuhan termasuk tampak

pohon kelapa. Hal itu jelas menunjukkan pantai, sebagaimana judul bukunya

yakni Gadis Pantai. Artinya latar pantai jelas merespon judul itu sendiri, sehingga

identitas pantai telah ditegaskan secara ilustratif.

Sementara secara konotatif, keseluruhan pemandangan dan subjek yang

digambarkan adalah sosok perempuan Jawa dari kelas biasa, sebagaimana

tercermin dari motif batiknya yang terduduk menampakkan ekspresi lugu

sekaligus pasrah. Sementara sesosok bangsawan yang dipayungi jongosnya,

sedang meliriknya dari kejauhan. Dua gambar yang tampaknya berasal dari foto

lawas ini sengaja Ong sandingkan guna memenuhi citra perjumpaan dua kelas

sosial tersebut. Berbeda dari tiga buku sebelumnya, karya ini merupakan respon

atas sebuh judul novel, yang agaknya Ong sengaja merespon penuh garis besar

penceritaan isi buku, yakni sebagai kisah gadis yang berada dalam jerat

feodalisme Jawa yang patriarkis, dan dikisahkan si Gadis diperistri bangsawan

untuk kemudian ditinggalkan begitu saja setelah kebutuhan seksnya terpenuhi. Isu

yang paling utama dalam sampul buku itu adalah tentang relasi kekuasaan

dominan yang diwakili oleh seorang pria berkuasa, kaya raya yang memaksakan

kehendaknya untuk mendapatkan seorang gadis remaja demi kesenangan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81

Adapun perlu diketahui bahwa Pramoedya Ananta Toer sebagai penulis

buku ini, amat memuji sampul yang dibuat Ong. Menurut Pram, sampul tersebut

merupakan visualitas yang representatif sesuai dengan harapannya tentang citra

kisah gadis pantai. Bertolak dari situ, dapatlah dipahami bahwa karya Ong ini

cenderung lantang menampilkan mitos sebuah paradoks kelas yang dipertegas

dengan citra berwarna dan hitam putih. Dari sini hendak ditunjukkan kisah

keberdampingan bangsawan pria dan wanita kelas rendah yang berada dalam

relasi penindasan, di mana pihak perempuan adalah subjek yang tersubordinasi

dalam kuasa bangsawan tersebut.

Mitos kekontrasan inilah, yang melalui permainan juktaposisi antara

berwarna dan hitam-putih, ditambah dengan penggunaan foto lama, yang boleh

jadi disesuaikan Ong dengan perkiraan jaman yang sekiranya sesuai dengan isi

cerita, menunjukkan suatu persoalan ambiguitas. Ambivalensi subjek terjajah

adalah ketika berhadapan dengan penjajah, kedirian terjajah maupun penjajah

terdapat pada saling hubung yang melengkapi kedirian masing-masing. Hanya

saja keterhubungan subjek terjajah dan dijajah adalah relasi saling menyangkal.

Pihak terjajah meniru karena dikonstruk untuk meniru, tetapi tidak pernah bisa

menjadi apa yang ditiru, sebab memang sejak awal memang bukan bagian dari

yang ditiru. Peniruan, atau mimikri yang terjadi bersifat setengah-setengah,

bahkan menjadi sebentuk olok-olok atau mockering dari si terjajah. Si terjajah

berupaya meniru tetapi sadar bahwa tidak bisa meniru dan bahkan menciptakan

suatu varian aspal yang pada akhirnya mendistorsi kemapanan pihak yang ditiru.

Sementara si penjajah sendiri, seperti disinggung di bab sebelumnya,

bahwa menghendaki si terjajah meniru dirinya (penjajah) sepenuhnya sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82

dalih pemberadaban. Sementara si penjajah tidak pernah rela yang terjajah

menjadi benar-benar sefasih dirinya, sehingga tetap dibedakan kendati secara

“adab” telah sama persis. Dalam hal ini rasisme dan segala stereotip penjajah tetap

dilestarikan guna memberi jarak antara terjajah dan penjajah, seturut

ketidakikhlasan si penjajah melihat terjajah menjadi sepertinya. Sudut pandang si

penjajah seperti ini jelas menujukkan ambiguitas psikologis, yang melahirkan

ambivalensi identitas. Sebagaimana Bhabha menulis: Black skin splits under the

racist gaze, displaced into signs of bestiality, genitalia, grotesquerie, which reveal

the phobic myth of the undifferentiated whole white body.86

Ambivalensi terjajah dan ambivalensi penjajah, sama-sama berada dalam

ekses keterjumpaan pascakolonial, yang dalam konteks Indonesia telah banyak

meresap di dalam alam budaya feodalisme Jawa seiring kemapanan kolonial

Belanda di kerajaan-kerajaan Jawa. Pendeknya, kisah yang ditampilkan Pram,

bagaimanapun adalah ranah ambivalensi yang khas dari wacana pascakolonial,

sebab relasi kebangsawanan semacam itu memang demikian kentara

mencerminkan kehidupan Jawa modern, ketika telah menjadi bagian dari

kekuasaan kolonial. Sementara karya Ong melalui mitos penyejajaran yang

timpang, sebagaimana citra warna dan tak berwarna (hitam-putih), sebagaimana

konotasi kelas yang ada, menjadi “opini visual” yang lugas dalam menyimbolkan

suatu ambivalensi di balik relasi kuasa itu sendiri.

86 Homi K. Bhabha, “Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse”, on,

October, Vol. 28, Discipleship: A Special Issue on Psychoanalysis (Spring, 1984), page.132-133.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83

BAB V

PENUTUP

Setelah penjabaran dalam bab-bab di atas, penulis ingin menegaskan

kembali bagaimana penelitian ini dibangun dari sebuah upaya untuk menunjukkan

bagaimana sebuah sampul sanggup melahirkan kesan atau citra maupun

pemaknaan, yang melampaui isi sebuah buku.

Di satu sisi isi buku memang secara literal terrepresentasikan dalam judul

yang menjadi penambat di dalam bangunan visual sampul. Akan tetapi sampul

Ong Hari Wahyu, sebagai “opini visual” -sebagaimana diakui Ong sendiri-

menjelma suatu tafsir atas isi buku, maupun sebuah karya seni yang melahirkan

pemaknaan tersendiri yang lebih luas, kalau bukan mendongkrak nilai konten

sebuah buku.

Di luar persoalan pasar perbukuan, sebagaimana sejak awal bab ini secara

sepintas disinggung garis besar kronologi penerbitan di Indonesia, sampul buku

rupanya terbukti hadir dari sebuah keniscayaan transisi sebuah zaman yang

menyambut baik teknologi percetakan, khususnya desain sampul. Selain itu

diharapkan pula menjadi warna bagi berkembangnya gaya pemaknaan sampul

sejak nilai fungsional, hingga nilai estetik.

Proses kreatif Ong Hari Wahyu yang dibentuk dari latar sosial, latar

politik, latar pendidikan, dan latar budaya zamannya menjadikannya sebagai

seniman yang mampu merespon perubahan zaman. Era perubahan sosial-politik

itu terbahasakan dalam cara Ong Hari Wahyu menyambut naskah-naskah sejarah,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84

sosial, seni dan budaya hingga politik, melalui bahasa “opini visualnya” di dalam

karya sampul.

Karya sampul sebagai sebuah opini visual tersebut, melalui penelitian ini

terbukti menghadirkan elemen-elemen yang terjalin di dalam sistem penandaan

yang secara khas sesuai dengan struktur kinerja semiotika visual. Di mana karya

Ong Hari Wahyu mampu menjadi representasi yang aktual dan kontekstual seperti

yang dinarasikan dalam isi buku. Selain itu, secara visual artistik, karya Ong Hari

Wahyu memperlihatkan kuatnya estetika reproduksi foto-foto lawas, yang

cenderung berdekatan dengan foto-foto sosok manusia Indonesia di masa

kolonial.

Dalam konteks pendekatan pascakolonial sebagai pisau bedah, tesis ini

telah menganalisis empat sampul karya dari Ong Hari Wahyu, yakni Oples: Opni

Plesetan (1995), Priyayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an (2000),

Soeharto dalam Cerpen Indonesia (2001) dan Gadis Pantai (2003). Hasil dari

analisis tersebut menunjukkan muatan yang kuat di dalam penciptaan mitos

semiotika visual. Di mana muatan makna d dalam karya Ong berhasil melahirkan

pemaknaan yang sejalan dengan konsepsi ambivalensi yang khas di dalam

pendekatan pascakolonial.

Akhirnya, apa yang tampak di dalam keempat karya Ong Hari Wahyu itu

adalah sebuah gambaran kekuatan mitos yang dibangun dalam rajutan sistem

penandaan. Melalui rajutan itu, sebuah mitos yang berpijak pada konotasi yang

kuat, melahirkan sebuah ketersingkapan status ambivalen di balik subjek-subjek

sampul, baik itu Togog, Priayi, Soeharto dan Hubungan Gadis dan Lelaki

Bangsawan beserta Jongosnya itu sendiri. Masing-masing subjek di dalam karya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85

sampul itu menegaskan mitos keterbelahan, bahwasanya di dalam diri tidak ada

yang utuh atau mapan sebagai suatu identitas tunggal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86

DAFTAR PUSTAKA

Artikel

“30 tahun Gramedia Penerbitan: Dengan Buku menuju Indonesia Baru”, Kompas,

25 Maret 2004.

Fadrik Aziz, “Yang Mati Meninggalkan Buku”, dlm, Majalah Historia, No 36.

Th. III, 2017.

Hilmar Farid, “Kolonialisme dan Budaya: Balai Pustaka di Hindia Belanda”, dlm,

Prisma, No. 10 Tahun XX, Oktober 1991.

Kemadha, Vol 6 No.2, Oktober 2017.

MC. Ricklefs, Asal Usul Kaum Abangan, dlm, Majalah Historia, 28 Januari

2019.

Pramoedya Ananta Toer, “Balai Pustaka Harum Namanja di dunia Internasional

dahulu”, dlm, Madjalah Star. No, 580. 9 Februari 1957.

Buku

Adhe, Declare!: Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007. Yogyakarta: Komunitas

Penerbit Jogja, 2007.

Ahmad Baso. Pesantren Studies 2b. Jakarta: Pustaka Afid, 2012.

Anderson, Benedict. Imagined Communities. Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2012.

Barthes, Roland. Mythologies. New York: The Noonday Press, 1972.

Bhabha, Homi. K. “Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial

Discourse”, on, October, Vol. 28, Discipleship: A Special Issue on

Psychoanalysis (Spring, 1984), page.132-133.

________________. Location of Culture. New York: Routledge, 1994.

Burhan Nurgiyantoro.Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta, Gajah Mada

University Press, 2010.

Dorothea Rosa Herliany, Buldan dengan Tiga Bukan. Yogyakarta: Mata Angin,

2018.

Fauzan, Mengubur Peradaban: Politik Pelarangan Buku di Indonesia.

Yogyakarta: LKIS, 2002.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87

Harker, Richard, Cheelen Mahar dan Chris Wilkes, Eds, (Habitus x Modal) +

Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran

Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra, 2009.

Hanny Kardnata, Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia.

Jakarta: DGI Press, 2015.

Iwan Awaluddin Yusuf dkk, Pelarangan Buku di Indonesia : Sebuah Paradoks

Dmokrsi dan Kebebasn Berekspresi. Yogyakarta: Pemanau Regulasi dan

Regulator Media, bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung Indonesia.

Koko Hendri Lubis, Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan. Jakarta:

Gramedia, 2018.

Linda. “Representasi Pernyaian dalam Karya Sastra Melayu Rendah”, Tesis S2.

Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma. 2009.

Margono (Peny.). Pekan Buku Indonesia 1954. Djakarta: Penerbit Gunung

Agung, 1954.

McGregor, Katherine L. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi

Militer dalam Menyusun Sejarah Indoesia (Yogyakarta: Penerbit Syarikat,

2008).

Miklouho-Maklai, Brita L. Menguak Luka Masyarakat: beberapa Aspek Seni

Rupa Kontemporer Indonesia Sejak 1966. Jakarta: Gramedia, 1997.

Moriyama, Mikihiro.Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan

Kesusasteraan Sunda Abad 19.

Mudji Surisno dan Hendar Putranto, Eds.Hermeneutika Pascakolonial: Soal

Identitas. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Purwadmadi dan Suroso Khocil Birawa.Profil Seniman dan Budayawan

Yogyakarta #13, UPTD Taman Budaya, Yogyakarta, 2014.

Razif, Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan (E-book: Edi

Cahyono Experience).

Ridwan Muzir, “Santri Tanpa Kiai: Kajian Psikoanalitik atas judul-judul buku

Swa-bantu Islam di Indonesia”. Thesis (belum diterbitkan). Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta 2012/2013.

St. Sunardi, Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2002.

_________, Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-esai Seni dan Estetika.

Yogyakarta: Jalasutra, 2012.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

Vatikiotis, Michael R.J.. Indonesian Politics Under Soeharto: The Rise and Fall of

The New Order. London: Routledge, 1998.

W.S. Rendra, Ia Sudah Bertualang. Djakarta-Bukittingi: N.V. Nusantara, 1963.

Yngvie Ahsanu Nadiyya berjudul “Proses Kreatif Desain Sampul Trilogi Novel

(Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuan Eks Parasit Lajang)

Karya Ayu Utami”. Skripsi S1. Program Studi S-1 Desain Komunikasi Visual,

Jurusan Desain, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, 2017.

Internet

Ahmad Husain, “Kisah Tentang Buku (bagian 2): Sekilas Perkembangan di

Indonesia”, dlm: www.duamata.blogspot.com. Diakses 19 Januari 2017.

https://www.illustrationhistory.org/genres/book-sampul. Diakses 10 Januari 2016.

Journal Stanford Encyclopedi. Diakses 23 Oktober 2017.

www.ikapi,org. Diakses 24 Maret 2017.

www.dpad.jogjaprov.go.id. Diakses 17 Mei 2018.

Wawancara

Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 06 Maret 2018. Di Rumahnya, daerah

Nitiprayan.

Wawacara dengan Hairus Salim pada 02 Mei 2019. Di Rumahnya, daerah

Piyungan.

Wawancara dengan Buldanul Khuri, pada 26 April 2019. Di Rumahnya, daerah

Maguwoharjo.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI