parenge

108
KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT DESA DI TANA TORAJA SULAWESI SELATAN Nov 12, '08 3:15 AM for everyone KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT DESA DI TANA TORAJA SULAWESI SELATAN Oleh : Den Upa Rombelayuk Pendahuluan Kedaulatan komunitas masyarakat asli yang tersebar di seluruh Nusantara sudah ada sejak ribuan bahkan kalau boleh dikatakan sejak manusia mendiami bumi persada ini. Kehadiran manu bentuk komunitas telah ada, serta melangsungkan aktivitas-aktivitas sosial kemasyarakatan di se Nusantara dari waktu ke waktu atau generasi ke generasi. Melalui proses jangka wakt panjang terjadi interaksi sosial antar anggota komunitas serta interaksi dengan lingk secara runtut dan melembaga sedemikian rupa, sehingga terbangun suatu satuan kemasyarakatan yan mandiri yang mempunyai sistem nilai tersendiri dengan perangkat hukumnya yang dibangun oleh komunitas itu sendiri. Komunitas tersebut mandiri dan berdaulat dalam arti kemampuan komunitas melalui proses sosialisasi nilai dan tradisi yang dilakukan dari generasi ke generasi II. Kelembagaan Adat Proses perkembangan serta pola interaksi sosial baik antar anggota komunitas maupun antar komun dapat mengancam kemandirian atau eksistensi kedaulatan komunitas itu sendiri. Reaktual menghadapi situasi perubahan dibutuhkan suatu pengorganisasian agar fungsi-fungsi polit dan hukum dapat berjalan sebagai pilar kemandirian atau kedaulatan. Fungsi-fungsi ter diemban dan dikawal oleh satu organisasi yang dibangun dan disepakati oleh masyarakat melalui k sosial atau kesepakatan melalui musyawarah yang awalnya merupakan embrio dari kelembagaan adat dalam komunitas atau yang lazim di sebut Masyarakat Adat. Keberadaan lembaga adat dalam Komunitas harus diakui dan diterima oleh seluruh anggota komunita yang memungkinkan adat-istiadat serta tradisi semakin mapan serta tumbuh berkembang secara dina dalam menghadapi perubahan dari waktu ke waktu. Silsilah tersebut diakui dengan sejarah dan per dari waktu ke waktu khususnya Tongkonan yang berfungsi sampai kepada masa kini. Identifikasi melalui silsilah serta sejarah perkembangan tiap lembaga adat atau komun mempertahankan eksistensinya dapat ditelusuri sehingga merupakan kebanggaan setiap insan Toraja Bermacam-macam sejarah dengan versi masing-masing baik dalam dongeng rakyat, atau saj diucapkan dalam bahasa tinggi (Kada Tomina) dapat dibuktikan keberadaannya sampai sekarang dalam bentuk budaya adat-istiadat dan upacara-upacara adat. Penamaan Komunitas dengan Tongkonan atau Lembaga adat selamanya dikaitkan dengan nama lokasi atau tanah tempat bermukim. III. Basse Atau Kontrak Sosial Bangunan yang dibuat oleh masyarakat sebagai upaya pemberdayaan komunitas dalam mempertahankan kedaulatannya yang lazim disebut Lembaga Adat. Lembaga tersebut sebagai wadah musyawarah untuk membuat aturan-aturan adat yang dipimpin oleh seorang Pemangku Adat . Oleh karena pada asasnya jiwa demokrasi dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat adat diwujudkan dalam bentuk musyawarah yang demokratis (Tudang Sipulung Bugis, Kombongan Toraja).

Upload: felix-primus

Post on 22-Jul-2015

800 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Nov 12, '08 3:15 KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT DESA DI TANA TORAJA AM SULAWESI SELATAN for everyone KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT DESA DI TANA TORAJA SULAWESI SELATANOleh : Den Upa Rombelayuk

Pendahuluan Kedaulatan komunitas masyarakat asli yang tersebar di seluruh Nusantara sudah ada sejak ribuan tahun bahkan kalau boleh dikatakan sejak manusia mendiami bumi persada ini. Kehadiran manusia dalam bentuk komunitas telah ada, serta melangsungkan aktivitas-aktivitas sosial kemasyarakatan di seluruh Nusantara dari waktu ke waktu atau generasi ke generasi. Melalui proses jangka waktu yang sangat panjang terjadi interaksi sosial antar anggota komunitas serta interaksi dengan lingkungan fisiknya secara runtut dan melembaga sedemikian rupa, sehingga terbangun suatu satuan kemasyarakatan yang mandiri yang mempunyai sistem nilai tersendiri dengan perangkat hukumnya yang dibangun oleh komunitas itu sendiri. Komunitas tersebut mandiri dan berdaulat dalam arti kemampuan keberadaan komunitas melalui proses sosialisasi nilai dan tradisi yang dilakukan dari generasi ke generasi. II. Kelembagaan Adat Proses perkembangan serta pola interaksi sosial baik antar anggota komunitas maupun antar komunitas dapat mengancam kemandirian atau eksistensi kedaulatan komunitas itu sendiri. Reaktualita dalam menghadapi situasi perubahan dibutuhkan suatu pengorganisasian agar fungsi-fungsi politik, ekonomi dan hukum dapat berjalan sebagai pilar kemandirian atau kedaulatan. Fungsi-fungsi tersebut perlu diemban dan dikawal oleh satu organisasi yang dibangun dan disepakati oleh masyarakat melalui kontak sosial atau kesepakatan melalui musyawarah yang awalnya merupakan embrio dari kelembagaan adat dalam komunitas atau yang lazim di sebut Masyarakat Adat. Keberadaan lembaga adat dalam Komunitas harus diakui dan diterima oleh seluruh anggota komunitas yang memungkinkan adat-istiadat serta tradisi semakin mapan serta tumbuh berkembang secara dinamis dalam menghadapi perubahan dari waktu ke waktu. Silsilah tersebut diakui dengan sejarah dan peristiwa dari waktu ke waktu khususnya Tongkonan yang berfungsi sampai kepada masa kini. Identifikasi melalui silsilah serta sejarah perkembangan tiap lembaga adat atau komunitas dalam mempertahankan eksistensinya dapat ditelusuri sehingga merupakan kebanggaan setiap insan Toraja. Bermacam-macam sejarah dengan versi masing-masing baik dalam dongeng rakyat, atau sajak yang diucapkan dalam bahasa tinggi (Kada Tomina) dapat dibuktikan keberadaannya sampai sekarang dalam bentuk budaya adat-istiadat dan upacara-upacara adat. Penamaan Komunitas dengan Tongkonan atau Lembaga adat selamanya dikaitkan dengan nama lokasi atau tanah tempat bermukim. III. Basse Atau Kontrak Sosial Bangunan yang dibuat oleh masyarakat sebagai upaya pemberdayaan komunitas dalam mempertahankan kedaulatannya yang lazim disebut Lembaga Adat. Lembaga tersebut sebagai wadah musyawarah untuk membuat aturan-aturan adat yang dipimpin oleh seorang Pemangku Adat. Oleh karena pada asasnya jiwa demokrasi dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat adat diwujudkan dalam bentuk musyawarah yang demokratis (Tudang Sipulung Bugis, Kombongan Toraja).

Pada prinsipnya di setiap komunitas asli atau masyarakat adat bangunan kelembagaan dengan perangkatnya diangkat dan disetujui oleh masyarakat melalui suatu perjanjian untuk menjamin kedemokrasiaan dan kepentingan umum yang diwujudkan melalui suatu upacara yang bermakna sebagai sumpah/kontrak sosial (Basse). Umumnya dalam komunitas tersebut setiap kesepakatan harus diresmikan atau dilegitimasi melalui upacara adat yang maknanya sebagai kontraksosial yang mengikat dengan sanksi sehingga oleh masyarakat Sulawesi Selatan khususnya Toraja disebut sebagai Basse. Adanya Pemangku Adat dengan konsekuensi terciptanya birokrasi dalam komunitas dapat merupakan ancaman terhadap nilai demokrasi komunitas terutama dalam pengambilan keputusan. Sepanjang pengetahuan kami awal bangunan atau pembentukan dalam perjalanan antar waktu terjadi pergeseran nilai yang menyebabkan kepemimpinan dipertahankan dalam komunitas melalui memfungsikan atau melembagakan musyawarah disepakati. Melembagakan musyawarah dan Basse dalam masyarakat atau komunitas merupakan pilar demokrasi yang sekaligus mengawal keberlangsungan hidup komunitas itu sendiri dalam mengadapi berbagai macam perubahan atau ancaman. IV. Aspek Kesejarahan Tondok lepongan bulan tana matari allo artinya Negeri sebulat bulan purnama, tanah yang bersinar bagaikan matahari yang terletak dipegunungan bagian tengah Sulawesi didiami oleh berbagai komunitas yang berasal dari satu usul keturunan. Salah satu suku tersebut adalah Toraja. Toraja sebagai studi kasus karena merupakan salah satu suku tertua dan mempunyai sejarah yang dapat diindentifikasi mulai dari awal sampai sekarang. Sejarah adalah suatu cerita dari realitas masa lampau atau dengan kata lain sebagai upaya menyusun gambar tentang kejadian masa lalu yang punya kaitan sampai kini. Bukti yang dapat ditelusuri adalah bahwa setiap orang Toraja dapat menyelusuri silsilahnya dari 19 generasi bahkan ada yang dapat menelusuri mulai dari Banua Puan atau dari Puang Tamboro Langi. Silsilah tersebut diikuti dengan sejarah dan peristiwa dari waktu ke waktu khususnya Tongkonan yang berfungsi sampai kepada masa kini. Indentifikasi melalui silsilah serta sejarah perkembangan tiap lembaga adat atau komunitas dalam mempertahankan eksistensinya dapat ditelusuri sehingga merupakan kebanggaan setiap insan Toraja. Bermacam-macam sejarah dengan versi masing-masing baik dalam dongen rakyat, atau sajak yang diucapkan dalam bahasa tinggi (kada Tominaa) dapat dibuktikan keberadaannya sampai sekarang dalam bentuk budaya adat-istiadat dan upacara adat. Sebagai suku menetap, maka sejarah suku asli khususnya Toraja mempunyai kaitan dengan ekosistem alamnya yang menghasilkan budaya serta mempengaruhi aturan-aturan adat. Penamaan komunitas dengan Tongkonan atau lembaga adat selamanya dikaitkan dengan nama lokasi atau tana tempat bermukim. V. Legenda To Lembang Sebagai suku yang tertua nenek moyang suku-suku di Sulawesi bagian Selatan dan Tengah dapat dimulai dari sebuah Legenda To Lembang artinya orang perahu. Ribuan tahun yang lalu datanglah sekelompok manusia dalam beberapa perahu dan mendarat di sebuah pantai bernama Bungin sekarang di daerah Kab. Pinrang. Setelah mendarat mereka berupaya mencari tempat ketinggian dan akhirnya sampai ke suatu tempat bernama Rura di kaki Gunung Bamba Puang sekarang termasuk Kec. Alla Kab. Enrekang. Di tempat tersebut mereka membangun permukiman namun polanya mengikuti bentuk dan struktur yang diwarisi semasih berada di atas perahu. Sehingga terbentuk komunitas-komunitas yang warganya berdasarkan para penghuni di masing-masing perahu. Inilah komunitas pertama yang dinamakan To Lembang (orang perahu). Pembagian kerja serta tanggung jawab diatur mengikuti semasih mereka berada berada di perahu seperti To Bendan Paloloan (Jurangan), To Massuka (Juru Masak), Bunga

Lalan (Juru Batu) dan Takinan Labo (Pasukan). Oleh karena itu bentuk rumah Toraja menyerupai perahu dan selamanya menghadap dari selatan ke utara. 1. Visi To Lembang dan Aluksanda Pitunna Ada 2 (dua) prinsip dasar yang mengatur tata kehidupan To Lembang yaitu :

1. Hubungan antar manusia yang dinamakan Penggarontosan 2. Hubungan manusia dengan sumberdaya alam yaitu Aluk Sanda Pitunna atau Tallu Lolona.a. Visi Hubungan Penggarontosan yaitu :

1. 2. 3.b.

Misa ada dipotuo pantan kada dipomate (bersatu kita teguh bercerai kita mati) Sipakaele, disirapai (saling menghargai dan musyawarah) Hidup bagaikan ikan masapi (hidup bersama bagaikan ikan dan air yang saling membutuhkan). Visi Tallu Lolona Aluksanda Konon To Lembang dari daerah asalnya dibekali aturan yang dinamakan Aluksanda Pitunna, aturan yang mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya alamnya serta manusia dengan dalam komunitas (Sang Lembang). Filosofi Aluk Sanda Pitunna adalah Tallu Lolona, artinya bahwa di atas bumi persada terdapat 3 (tiga) unsur kehidupan yang tumbuh dan berkembang biak, saling hidup-menghidupi yaitu :

1. 2. 3.

Lolo Tau (manusia) Lolo Patuoan (hewan) dan; Lolo Tananan (tumbuhan)

Ketiga unsur ini saling berkaitan yang diatur melalui Aluk Sanda Pitunna. VI. Penyebaran Komunitas To Lembang Ke Seluruh Sulawesi Maka tersebutlah kisah bahwa pada suatu ketika ada Pemangku Adat bernama Londong di Rura (Ayam jantan dari Rura) yang berusaha dengan berbagai macam siasat untuk mempersatukan dan menguasai komunitas yang ada. Dengan berbagai macam akal dan cara, maka diselenggarakan Upacara Adat besar yang dinamakan MABUA. Sebenarnya menurut aturan adat upacara tersebut dilakukan melalui keputusan musyawarah dengan upacara memotong babi. Namun upacara Mabua tersebut tidak melalui musyawarah atau Kombongan atau tujuannya untuk meligitimasi kekuasaannya, maka Tuhan menjatuhkan laknat dan kutukan sehingga tempat upacara terbakar dan menjadi danau yang dapat disaksikan sekarang antara perjalanan dari Toraja ke Makassar (KM 75). Maka bercerai-berailah komunitas tersebut ada yang ke selatan dan ke arah utara. Kelompok yang menuju ke utara sampai di sebuah tempat di kaki Gunung Kandora yang dinamakan Tondok Puan. Mereka membentuk komunitas baru dengan aturan-aturan yang sesuai dengan kondisi fisik di lokasi permukiman baru serta pola hubungan sosial pasca Londong di Rura. Didirikan rumah adat tempat pertemuan yang dinamakan Tongkonan artinya Balai Musyawarah. Tongkonan tersebut diberi nama Banua Puan artinya Rumah yang berdiri tempat yang bernama Puan. Tongkonan tersebut merupakan Tongkonan pertama di Toraja dan komunitas pertama yang terbentuk bernama To Tangdilino artinya pemilik bumi yang diambil dari nama Pemangku Adat pertama (Pimpinan Komunitas To Lembang). Lembang tersebut membuat struktur dan aturan-aturan yang disepakati bersama melalui Kombongan

yang diselenggarakan di Rumah Tongkonan. Kombongan inilah yang merupakan Lembaga pengambil keputusan tertinggi. Kewenangan Kombongan diberi arti dengan ungkapan Untesse Batu Laulung (kombongan dapat memecahkan batu pualam). Komunitas To Banua Puan yang dinamakan Lembang dengan struktur kelembagaan adatnya merupakan embrio kelembagaan dan Lembang yang pertama di Toraja dan tempatnya dapat kita buktikan di kaki Gunung Kandora Desa Tengan Kec. Mengkendek. Dari Tongkonan tersebut menyebarlah ke seluruh Tana Toraja serta membawa adat dan budaya serta pola To Banua Puan di setiap tempat senantiasa terbentuk komunitas dengan basis Tongkonan di atas wilayah tertentu. Jadi dapat dilihat bahwa penamaan Lembang dengan Lembaga Tongkonannya senantiasa dikaitkan dengan sumberdaya alamnya khususnya tanah sangat mempengaruhi pola pergaulan dan aktivitas sosial dalam Komunitas Lembang. II. Aluksanda Saratu Masa To Manurun atau orang yang diturunkan dari kayangan. Setelah berlangsung beberapa generasi dimana manusia mulai berkembang dengan diiringi oleh terbentuknya Lembang baru. Hal ini mulai menimbulkan persaingan dan pertikaian antar kelompok. Karena Aluk Sanda Pitunna hanya mengatur intern kelompok, maka tidak dapat lagi mengatur hubungan antar Lembang. Maka oleh dewa diturunkanlah Aluk Sanda Saratu aturan serba seratus yang mengatur hubungan antar komunitas atau antar lembang. Prinsip dasar adalah persatuan dan kesatuan dengan motto Misa Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate. Strategi sebagai pintu masuk adalah dengan pengembangan sejarah dan ikatan silsilah kekeluargaan antar Tongkonan yang menggambarkan kesatuan asal keturunan dan persamaan nasib. Seluruh wilayah permukiman To Lembang dikoordinir dalam satu kesatuan yang dinamakan Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo. Dibentuk Forum Koordinasi yang mengatur tata hubungan antar lembang dan penyelesaian sengketa antar Lembang yang dinamakan Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan. Aturan tersebut tidak dapat berjalan karena tidak ada yang menjalankan atau tidak ada satupun dari Lembang yang ada dan mampu mengkoordinir. Oleh karena itu diturunkanlah dari langit Puang Tamborolangi dan mendarat di Puncak Gunung Kandora sebagai pelaksana aturan Sanda Saratu. Puang Tamboro Langi inilah yang merupakan nenek moyang raja-raja di Sulawesi khususnya di Selatan, Tengah dan Tenggara. Apabila dikaji secara mendalam maka makna dari cerita tersebut adalah bahwa eksistensi raja atau pemimpin di Toraja diturunkan dari khayangan untuk melaksanakan peraturan demi kepentingan masyarakat, jadi peraturan Sanda Saratu bukan untuk kepentingan raja tetapi untuk kepentingan rakyat dan bila tidak dapat mengemban tugas, maka raja diturunkan oleh dewa melalui Kombongan Kalua. Kombongan Kalua sebagai alat dari Dewa berarti suara rakyat peserta kombongan diindentikkan dengan suara Dewa atau dengan kata lain adalah dewa dan keputusan Kombongan Titah Dewa. Upaya dan proses perkembangan tersebut di atas dimana komunitas dengan kelembagaan adatnya yang terbangun dari dan oleh mereka sendiri melalui musyawarah menciptakan suatu organisasi yang dinamis, mapan dan dapat menghadapi perubahan-perubahan. Berasal dari sejarah asal-usul dan tradisi setempat dimana proses waktu serta dinamika pola interaksi sosial antar anggota komunitas serta dengan alam lingkungannya menghasilkan berbagai keragaman komunitas. Keragaman budaya, sistem pemerintahan, sistem hukum serta kearifan tradisional sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut di atas. Dapat dipahami bila sebelum Pemerintahan Kolonial didapati berbagai ragam komunitas-komunitas yang berdaulat. Keragaman dalam tradisi, sejarah, adat-istiadat sistem pemerintahan merupakan kekayaan budaya bangsa yang diakui melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Di Toraja Komunitas Lembang diikat melalui semboyan Misa Kada Dipotuo Pantan Kada di Pomate Lan Lilina Lepongan Bulan Tana Matari Allo.

VIII. Keterancaman Nilai Demokrasi dengan Kedatangan Tomanurun Disisi lain keturunan Puang Tambora Langi sebagai pelaksana Aluk Sanda dalam perkembangannya memposisikan dirinya menjadi supra struktur di atas komunitas yang merupakan cikal bakal terbentuknya strata sosial, feodalisme atau pemerintahan kerajaan. Harapan semula untuk menjadi juru damai antar komunitas dalam perjalanan sejarahnya terpaksa mencari basis kekuasaan yaitu terbentuknya lembaga supra di atas komunitas yang dibeberapa tempat dilegitimasi melalui Kombongan Kalua antar Komunitas antara lain Sanggala yang digelar Limbu Apana dan To Sereala Penanianna (gabungan empat Komunitas adat besar yang terdiri dari 12 komunitas basis). Penguatan kelembagaan adat dan dapat dilihat di Sanggala dengan terbentuknya Kelembagaan Kombongan Kalua To Maduang Salu (rakyat banyak) yang mengontrol kelembagaan Supra Komunitas. Oleh karena hasil Kombongan Kalua, maka nilai dan struktur kelembagaan tersebut bertahan terus dan dihormati oleh masyarakat sampai dikeluarkannya UU/5/79. Sanggala dijadikan kecamatan dan lembaga adat dibuat tidak berfungsi dan tidak berdaya. IX. Struktur Kelembagaan Komunitas atau Lembang merupakan sebuah wilayah Masyarakat Hukum Adat yang mempunyai struktur dan perangkat lembaga adat yang dinamakan Tongkonan dan dipimpin oleh Pemangku Adat atau To Parenge. Sejak dari To Puan dalam perkembangannya sekarang ini ada beberapa aspek yang sangat mendasar serta melembaga dalam pergaulan sosial suku Toraja, yakni : Hidup berkelompok dalam suatu komunitas yang dinamakan Lembang Ada pemimpin atau yang dituakan dan; Nilai demokrasi melalui Kombongan merupakan kekuasaan yang tertinggi (untesse batu mapipang). Di Tana Toraja terdapat 32 Masyarakat Adat yang mandiri dan mempunyai aturan masing-masing yang berbeda. Namun tetap terikat dalam Sang Torayaan yang digelar To Sanglepongan Bulan Tana Matari Allo (bundar bagaikan bulab purnama bersinar bagaikan matahari pagi). Diikat oleh nilai yang diwarisi dan leluhur yang sama. Kasus Naggala Sebagai Kajian Salah satu contoh Masyarakat Adat Nanggala atau Lembang Nanggala yang digelar To Annan Karopina Na Lili Misa Babana artinya kesatuan enam wilayah yang diikat melalui satu pintu. Sebelum pemerintahan Belanda, Nanggala merupakan satu Komunitas yang berdaulat dengan sumber daya alamnya dalam bentuk Hutan seluas 20.000 Ha dan persawahan seluas 900 Ha. Tahun 1908 Lembang Nanggala diresmikan menjadi Distrik Nanggala yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik yang digelar Parenge. Seluruh sistem dan struktur pemerintahan adat diakomodasikan dalam sistem pemerintahan Kolonial. Penyesuaian tersebut dapat dilihat pada Karopi dijadikan Kampung yang dipimpin oleh seorang yang semula To Parenge kemudian dijadikan Kepala Kampung Lembaga Peradilan Adat dan Kombongan tetap difungsikan. Tahun 1967 distrik diubah menjadi Desa Gaya Baru namun struktur dan kelembagaan adat tetap dipertahankan. Dengan UU/5/1979 dibentuk desa dan seluruh sistem dan kelembagaan adat dihapuskan menjadi LKMD dan LMD. Kombongan Kalua diubah menjadi Musyawarah Desa sedangkan Kombongan

pada tingkat Karopi ditiadakan. Nilai demokrasi Kombongan tergeser dengan demokrasi terpimpin dan dijadikan alat oleh golongan tertentu. UU/22/2001 dengan keluarnya Perda No.II tentang Desa, maka Lembang dibentuk kembali dengan sistem Pra UU/5/2000. Untuk lebih mendalami tentang obyek studi kasus tersebut, maka kami paparkan Sistem Pemerintahan Adat atau Lembang, Struktur kelembagaan yang ada sebelum UU/5/1979. Wilayah terdiri dari 6 (enam) Koropi dengan enam Lembagaan Adat yaitu Tongkonan dengan pemangku Adat dinamakan To Parenge. Keenam Karopi tersebut adalah :

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Karopi Kawasik dengan Tongkonan Langkanae dipimpin oleh To Parenge Kawasik. Karopi Rante dengan Tongkonan Tondok Puang di pimpin oleh To Parenge Rante. Karopi Basokan dengan Tongkonan Belolangi di pimpin oleh To Parenge Basokan Karopi Nanna dengan Tongkonan Buntu dipimpin oleh To Parenge Nanna Karopi Alo dengan Tongkonan Dalonga dipimpin To Parenge Alo dan; Karopi Barana dengan Tongkonan Sendana dipimpin oleh To Parenge Barana.

Keenam To Parenge tersebut di atas dinamakan Parenge Petulak (penopang atau pilar). Struktur Kelembagaan Tongkonan tertinggi yang merupakan dwitunggal yaitu Lumika dan Pao dengan Pemangku Adat To Dua (dwi tunggal). Kekuasaan meliputi Sang Nanggalaan Na Lili Misa Banana. Tongkona Petulak (penopang) terdapat enam masing-masing di Karopi yang dipimpin oelh To Parenge sebagaimana tersebut di atas. Disamping itu terdapat Tongkonan yang fungsional yaitu ; Posisi To Dua Penguasa seluruh Nanggala Tongkonan Layuk (Tongkonan tertinggi) Mengatur serta mengayomi aturan adat yang disepakati oleh Kombongan Menyelesaikan peselisihan antar To Parenge Petulak (Karopi) Hubungan dengan Madat tetangga atau pemerintahan formal Memimpin Kombongan Kalua seluruh Nanggala yang menyangkut evaluasi kembali aturan yang ada, mencabut, mengubah atau membuat peraturan adat yang baru. Bertanggung jawab apabila ada pelaksanaan aturan adat yang tidak sesuai dengan hasil musyawarah. Memimpin sidang adat pendamai atas kasus yang tidak diselesaikan pada tingkat Karopi. Menjadi pautan. To Parenge Karopi Mengatur serta mengayomi aturan adat atau kesepakatan hasil Kombongan dalam lingkup Karopi masing-masing. Menyelesaikan perselisihan antar anggota masyarakat dalam lingkup Karopi masingmasing Memimpin dan mengatur serta bertanggung jawab atas pelaksanaan upacara adat dalam Karopi masing-masing To Sikuku pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan Ne Bala Tua keagamaan dan melaksanakan upacara apabila terjadi pelanggaran adat. To Bamba Bunga lalan yang menentukan waktu turun sawah dengan ilmu perbintangan.

Memimpin pelaksanaan kerja gotong-royong (siarak) dalam penanggulangan bencana, pembuatan pondok upacara dan gotong-royong lainnya. Menjadi pengayom masyarakat (untarek lindopio) Mekanisme Pengangkatan To Parenge Diseleksi oleh warga berdasarkan garis keturunan dan pengabdian serta penguasaan adat istiadat. Diajukan dalam Kombongan Karopi yang harus dihadiri oleh masyarakat. baru dapat diresmikan. Hubungan Lembaga Tongkonan Parenge dengan Masyarakat

1. Apabila terjadi perselisihan antar warga dalam Karopi, maka Tongkonan dan To Parenge wajib 2.dan bertanggung jawab untuk menyelesaikannya melalui sidang adat pendamai yang diselenggarakan di Tongkonan. Upacara adat yang dilakukan oleh anggota masyarakat dalam wilayah Karopi yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya adalah Toparenge sedangkan yang punya upacara hanya menyediakan bahan pengerahan tenaga dan pengaturannya dan pelaksanaannya mennjadi tanggungjawab To Parenge bersama Pemangku Adat lainnya. Andaikata ada sesuatu yang tidak beres, maka bukan yang punya upacara yang bertanggung jawab tetapi To Parenge. Penyelesaian pelanggaran adat yang merugikan masyarakat melalui adat pendamai. Mengatur dan menyelesaikan pembagian warisan anggota masyarakat apalagi yang menyangkut tanah (lihat lampiran).

3. 4.

X. Kombongan sebagai Pilar Demokrasi dalam Lembang Kombongan sebagai pilar demokrasi dan sebagai wadah yang mengawal dinamika adat sesuai perubahan kebutuhan masyarakatnya. Sejak To Banua Puan, maka salah satu ciri yang mendasar dalam komunitas adalah musyawarah yang dinamakan Kombongan. Pada saat ini Kombongan tersebut sudah melembaga dari generasi ke generasi. Semboyan Kombongan yaitu Untesse batu mapipang artinya dapat memecahkan batu cadas yang mempunyai makna bahwa apapun dan bagaimanapun asal disetujui melalui Kombongan dapat merubah, menghapus atau membuat aturan adat yang baru. Hasil Kombongan setelah disahkan merupakan adat. Prinsip tersebut sudah membudaya disetiap insan Toraja sehingga dimanapun mereka berada di seluruh Nusantara hidup berkelompok dan bermusyawarah tetap dipertahankan. Motto, Kada Rapa dan Kada Situru (kesepakatan dan persetujuan) yaitu : Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan Kombongan Kalua meliputi seluruh Lembang Kombongan Karopi dalam tiap Karopi Kombongan Saroan dalam kelompok basis di bawah Karopi

Kombongan kalua sang lepongan bulan (Musyawarah Agung), kombongan seluruh Tana Toraja yang merumuskan dan memusyawarahkan aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang. Kombongan tersebut sesuai tingkatan dan urgensinya dapat dihadiri oleh seluruh masyarakat Toraja di Tana Toraja atau di luar Tana Toraja. Oleh karena pertimbangan efesiensi, maka kombongan tersebut dihadiri oleh wakil atau utusan dari masing-masing kelompok jadi berlaku demokrasi perwakilan. Kombongan kalua sang lembangan, kombongan yang tertinggi dalam wilyah adat misalnya Sang Nanggalan. Dilakukan setiap tahun atau apabila ada hal yang penting atau khusus. Dihadiri oleh seluruh pemuka To Parenge bersama pemuka adat dan masyarakat. Mekanisme dalam persidangan sangat

terbuka dan bebas dimana tiap peserta bebas mengeluarkan pendapat namun pengambil keputusan oleh tiap Karopi melalui musyawarah dan mufakat. Musyawarah Kombongan Kalua dalam pengambilan keputusan berdasarkan keterwakilan oleh To Parenge karena asumsi bahwa sudah ada proses di tingkat Karopi sebelum terjun ke Kombongan Kalua. Seluruh keputusan dalam Kombongan Kalua dibacakan kembali oleh To Dia dan akhiri dengan upacara Potong Babi dan memakan nasi dari jenis padi berbulu yang berarti apabila ada yang mengingkari hasil Kombongan, maka tulang babi akan menyumbat lehernya dan bulu dari babi akan menusuk perut sehingga hasil kombongan tersebut ditingkatkan kekuatannya menjadi Besse atau sumpah. Hasil Kombongan Kalua disosialisasikan kembali oleh To Parenge atau pemuka adat yang biasanya dilakukan pada saat upacara adat dan mengikat seluruh warga Lembang sang Nanggalaan. Kombongan Karopi di tingkat Karopi dinamakan Kombongan saja. Dilaksanakan tiap tahun atau apabila ada hal yang khusus antar lain apabila terjadi pelanggaran adat atau hasil kombongan kalua. Kombongan dihadiri oleh seluruh warga dan dilaksanakan dengan demokratis. Dalam kombongan tersebut tanpa melihat tingkatan dan golongan bebas berbicara sehingga kadang-kadang terjadi perdebatan yang sengit. Di sini kecenderungan rakyat meminta pertanggungjawaban dari To Parenge atas pelaksanaan adat dalam wilayahnya sehingga biasanya kombongan menjadi ajang Pengadilan To Parenge, namun karena kedudukan To Parenge serta mekanisme pengangkatannya melalui usulan keluarga, maka sukar dijatuhkan namun To Parenge dapat dikenakan denda atau didosa. Yang dibahas adalah aturan adat yang berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari usulan masyarakat. Apabila ada yang tidak dapat diselesaikan atau menyangkut hubungan dengan Karopi lainnya, maka akan diajukan ke Kombongan Kalua. Kombongan tersebut sesuai fungsinya menunjuk beberapa pemuka sebagai Adat Pendamai atau Peradilan Adat. Kombongan Soroan, kombongan yang menyangkit aturan lokal dalam wilayah kecil atau kelompok keluarga atau organisasi kemasyarakatan antara lain organisasi jemaat gereja, koperasi kelompok atau wilayah sebesar RT. Mengkaji dan membuat kesepakatan khususnya yang berkaitan dengan gotongroyong kelompok atau menyelesaikan kasus tanah hak milik bersama atas tanah atau hutan. Segala keputusan Kombongan diketahui oleh To Parenge dan yang tidak terselesaikan di bawa ke Kombongan Karopi. XI. Ciri- Ciri Khusus

1.

Suku Toraja adalah penduduk menetap. Interaksi dengan alam lingkungannya sangat menentukan pola hubungan sosial dalam kaitannya dengan adat dan budaya. Ciri tersebut mempengaruhi bentuk komunitas yang bernuansa kebersamaan dan demokratis.

2.

Oleh proses sejarah yang panjang dan dituntut sampai sekarang, maka budaya hidup berkelompok dalam satu komunitas di atas wilayah yang tetap merupakan ciri khusus masyarakat suku Toraja.

3.

Kombongan sebagai wadah musyawarah merupakan lembaga yang tertinggi. Segala sesuatu aturan yang menyangkut publik harus diputuskan melalui Kombongan. Pengambilankeputusan tanpa musyawarah atau otoriter baik oleh pemerintah ataupun oleh Pemangku Adat tidak pernah ditaati atau dilaksanakan oleh masyarakat. Istilah To Makada Misa (otoriter) tidak pernah diterima oleh masyarakat Toraja.

4. 5.

Faktor sejarah dan silsilah Lembang tempat asalnya merupakan kebanggaan masingmasing masyarakatnya. Faktor hubungan keluarga yang legitimasi melalui sejarah dan silsilah merupakan tali pengikat yang dapat merupakan salah satu sarana penyelesaian konflik.

Strategi dan pintu masuk dalam rangka penguatan adalah melalui komunitas Lembang atau kelompok dan bukan individu. Pengungkapan sejarah serta nilai adat masing-masing Lembang merupakan alat komunikasi yang efektif dengan masyarakat. Di Tana Toraja menurut Kruyt dan Andriani terdapat 32 Recht Gemeinschaft yang sekarang ini disebut Masyarakat Adat. Oleh pemerintahan kolonial Belanda ke-32 Rechtgerneinschaft dijadikan distrik yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Distrik membawahi Karopi yang dinamakan Kampung dipimpin oleh To Parenge Kanopi yang diubah namanya menajdi Kepala Kampung. Jadi ada kejelian dari pemerintahan Kolonial Belanda untuk menjadikan adat sebagai pintu masuk, sedangkan mekanisme Kombongan dan fungsi Tongkonan tetap dipertahankan. Proses ini dimulai sejak tahun 1908-1979 dengan ditetapkannya UU/5/1979 dimana semua kelembagaan adat serta sistemnya diubah dan diganti dengan LKMD dan LMD. Dengan keluarnya UU/22/1999, maka berdasarkan Perda DPRD No.2/2001, maka desa tersebut dihapus dengan mengembalikan sistem pemerintahan Lembang sama sebelum UU/5/1979. XII. Kesimpulan

1. 2.

Sebagai suku yang menetap maka faktor sejarah, budaya dan adat merupakan pengikat dan pemersatu dalam menghadapi dinamika sosial yang berkembang dan berubah-ubah. Kombongan sebagai pilar demokrasi dan sekaligus sebagai wadah dalam mengantisipasi perubahan-perubahan dalam masyarakat sehingga memberikan nilai tersendiri sebagai adat yang dinamis dan perlu ditumbuhkembangkan dari ketersisihan sebagai akibat dari UU/5/1979.

3.

Namun aktualita dampak perkembangan pembangunan dan dinamika perubahan sosial yang tidak disikapi secara konkrit, mengakibatkan terjadinya proses perubahan nilai pada generasi muda sehingga dapat menciptakan manusia tanpa identitas atau tercabut dari akarnya. XII. Rekomendasi

1.

Kurun waktu 32 tahun telah meluluhlantarkan adat dan budaya suku atau Komunitas Adat di seluruh Indonesia dan khususnya kelembagaan Kombongan yang dieleminasi melalui LKMD dan LMD.

2. 3.

UU/22/1999 sebagai salah satu peluang untuk mengembangkan kembali demokrasi dan pola hubungan sosial melalui pembentukan desa adat. UU/22/1999 mendapat banyak kendala oleh karena sudah terjadi pergeseran nilai dikalangan masyarakat terutama antara generasi tua dan muda. Untuk itu diperlukan kerja keras melalui identifikasi dan revitalisasi hukum adat dalam tiap komunitas adat.

4. 5. 6.

Memberdayakan Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagi pintu masuk yang strategis agar menerapkan mekanisme sistem musyawarah Kombongan yang demokratis. Mengakomodasi dan memberdayakan kelembagaan adat atau masyarakat yang masih diterima dan hidup dalam masyarakat. Perlu rencana tindak lanjut dari hasil Pertemuan Forum IV

Mnmnmnm

Ketegangan Budaya Nenek Moyang dan Agama dalam Masyarakat Toraja

Oleh Christian Tanduk

Tulisan ini merupakan suatu analisis sosial masyarakat Toraja yang telah mengalami perubahan dalam bingkai budaya nenek moyang, agama dan modenitas. Penulis menyadari bahwa untuk membahas hal ini secara komprehensif, dibutuhkan penelitian yang komprehensif pula. Sementara itu, analisis yang penulis coba paparkan di sini didasarkan pada pengalaman empiris penulis yang dibesarkan, belajar, dan melayani (sebagai Pendeta) dalam komunitas etnis Toraja yang kemudian dirangsang oleh diskusi dalam kuliah Agama dan Masyarakat. Jadi selayaknya tulisan ini diberi label: sebuah catatan awal. Dalam upaya memahami masyarakat Toraja ini, penulis mengelaborasi metode Bernard Adeney-Risakotta dalam kajian tentang model masyarakat Indonesia yang melihat modernitas, agama dan budaya nenek moyang sebagai tiga jaringan makna . Namun mengingat implikasi model ini sangat luas, maka penulis mempersempitnya dengan persoalan pokok: bagaimana ketiga jaringan makna ini membentuk etos dan world view masyarakat Toraja. Namun dalam pembahasannya penulis menukarkan posisi jaringan itu menjadi budaya nenek moyang, agama dan modernitas. Pembahasan seperti ini mengandaikan kronologi perubahan sosial masyarakat Toraja. Pertama-tama, budaya nenek moyanglah yang mengakar dan membentuk masyarakat Toraja. Setelah itu menyusul kehadiran agama dan merebaknya pengaruh modernitas. Penulis berusaha menghindarkan pembahasan ini dari unsur historis. Namun dalam tulisan ini hal tersebut bisa saja muncul di sana sini. Sebab menurut penulis, untuk menganalisis kondisi masyarakat saat ini dalam ketiga jaringan makna di atas, mau tidak mau kita harus sejenak menoleh ke belakang.

Masyarakat Toraja Sebelum lebih jauh dalam pembahasan ini, penulis merasa perlu untuk sedikit menjelaskan apa yang penulis maksudkan dengan masyarakat Toraja. Istilah ini penulis pakai untuk membedakan kelompok masyarakat etnis Toraja yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja dengan yang hidup sebagai perantauan di luar Tana Toraja. Pembedaan ini dilakukan mengingat adanya perbedaan pola pikir yang cukup mendasar antara orang Toraja yang tinggal di Toraja dan yang tinggal diluar Toraja dalam menanggapi masalah budaya nenek moyang, agama dan modernitas, serta pengaruhnya terhadap perilaku sosial mereka. Bagi mereka yang tinggal diluar Tana Toraja, perilaku sosial mereka cukup dipengaruhi oleh motifasi mereka meninggalkan Tana Toraja yaitu pekerjaan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sebagian besar orang Toraja yang merantau, hidup di daerah dalam konteks masyarakat yang majemuk, baik secara etnis maupun agama. Berbeda dengan komunitas yang tinggal di daerah Tana Toraja yang cenderung homogen.

Makna Budaya Nenek Moyang Bagi Masyarakat Toraja Budaya nenek moyang orang Toraja terbentuk dengan latar belakang suatu sistem religi atau agama suku yang oleh masyarakat Toraja disebut Parandangan Ada (harfiah : Dasar Ajaran/Peradaban) atau Aluk To Dolo . Aluk to Dolo percaya satu dewa yaitu Puang Matua sebutan yang di kemudian hari diadopsi oleh Gereja untuk menyebut Tuhan Allah. Di samping itu dikenal juga deata (dewa-dewa) yang berdiam di alam, yang dapat mendatangkan kebaikan maupun malapetaka, tergantung perilaku manusia terhadapnya. Jika Durkheim membedakan antara yang sakral dan profan, maka hal itu tidak berlaku bagi Aluk to Dolo. Tidak ada yang profan. Semua aktifitas manusia memiliki nilai sakral mulai dari persoalan tidur sampai membangun rumah. Demikian halnya keberadaan manusia dari lahir sampai mati, aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol yang berhubungan dengan kesakralan itu selalu mengiringi keberadaan manusia Toraja. Aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol itu menghubungkan manusia secara khas dengan dengan tatanan faktual, baik dengan yang ilahi, maupun dengan sesama manusia dan alam. Kepercayaan inilah yang

membentuk way of thinking dan way of living Toraja dan menjadi budaya yang melekat dengan begitu kuatnya. Paradigma yang dipakai Geertz mengenai sintesa etos dan pandangan dunia daalam sebuah kebudayaan sangat membantu kita untuk memahami makna budaya nenek moyang bagi orang Toraja . Simbol-simbol dan motifasi apapun yang dicerminkan pola budaya ini sangat terkait dengan pemahaman mereka tentang tatanan faktual, dimana manusia, alam dan yang ilahi terikat dalam sesuatu yang serba sakral. Jika kemudian Geertz mendefinisikan agama dari paradigma ini, rasanya definisi yang dihasilkan Geertz tidak berbeda dengan makna budaya nenek moyang bagi orang Toraja.

Budaya Nenek Moyang Dalam Perjumpaannya Dengan Agama Kristen Agama Kristen mulai diperkenalkan di Toraja oleh seorang misionaris Belanda yang bernama A.A.van de Lostrect pada tahu 1913. Kegiatan penginjilan terus dilakukan sampai berdirinya Gereja Toraja tahun 1947, dengan bentuk yang amat diwarnai oleh Gereja Gerevomeerd di Belanda. Pandangan teologia yang dibawa oleh misionaris ini sangat negatif terhadap etika maupun ritual dari budaya nenek moyang yang dicap kafir . Berbagai larangan yang didasarkan pada dogma Gereformeerd kemudian disusun. Kalupun ada etika dalam budaya yang sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran gereja, hal itu tetap dianggap tidak cukup. Apa yang diajarkan Gereja adalah segala-galanya. Kalaupun ada upacara-upacara yang diijinkan, hal itu senantiasa diupayakan bersih dari nilai-nilai kekafiran budaya nenek moyang. Jika kita menghubungkan kenyataan ini dengan analisis Richard Niegbuhr tentang sikap terhadap budaya, maka sikap yang anut adalah Kristus melawan Kebudayaan. Sekarang ini hampir semua orang Toraja memeluk agama Kristen. Tetapi tampaknya etos dan pandangan dunia yang diharapkan Gereja dapat membentuk struktur sosial dan pranata sosial masyarakat Toraja berdasarkan nilai-nilai Kekristenan, tetap mengalami perlawanan dari budaya Toraja yang telah mengakar dalam diri masyarakat Toraja. Bentuk perlawanan itu memang tidak terlihat secara eksplisit, bahkan tidak disadari. Meminjam teori psikoanalisa Freud, penulis melihat bahwa kalaupun masyarakat Toraja telah beragama, etos dan pandangan dunia yang

berlatar belakang budaya nenek moyang, tetap tersimpan dalam dirinya dalam alam bawah sadar. Pada saat-saat tertentu, cara berfikir dan cara bertindak orang Toraja akan sangat dipengaruhi oleh memori yang tersimpan dalam alam bawah sadar itu. Uniknya, memori ini tersimpan secara turun temurun. Dalam hal ini penulis melihat bahwa perjumpaan budaya nenek moyang orang Toraja dan agama Kristen yang datang dari konteks Barat telah menciptakan kondisi masyarakat Toraja dalam suatu tarik menarik. Pada satu sisi agama Kristen diakui sebagai dasar iman. Tetapi pada sisi lain, etos dan pandangan dunia yang lahir dari budaya nenek moyang tetap berpengaruh, walaupun hal itu tidak tampak secara eksplisit. Hal ini menyebabkan kondisi masyarakat Toraja sering menampilkan sikap yang dualisme dan juga sering dikotomis. Contoh kasus berikut, kiranya dapat menjelaskan teori ini: a. Ketika seseorang telah beragama Kristen, idealnya rujukan etikanya adalah Firman Tuhan (Alkitab). Apapun yang dipikirkan atau dilakukan idealnya selalu menempatkan Firman Tuhan sebagai penuntun sekaligus kontrol. Tetapi hal berbeda menjadi fenomena masyarakat Toraja. Ketika mereka berada dalam konteks gereja (misalnya ibadah atau kegiatan keagamaan lain), rujukan etika adalah Alkitab: Itu tidak sesuai dengan firman Tuhan; Inilah kehendak Yesus. Demikian sering dikatakan. Tetapi ketika mereka mulai beralih dalam kehidupan sehari hari, maka hal itu berubah menjadi : Menurut orang tua.. (Maksudnya nenek moyang), Jangan begitu, itu tidak sesuai dengan budaya kita.. Dengan ungkapan-ungkapan seperti ini, masyarakat Toraja telah menunjukkan keterikatannya dengan budaya nenek moyang, walaupun ketika di tanya, bisa saja dia mengatakan : Ah, kita kan sudah Kristen. Inilah salah satu contoh karakter dualisme dalam diri orang Toraja. Pada satu sisi, agama diakui. Namun pada sisi lain, petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan. Ironisnya, masyarakat lebih takut melanggap pamali (pantangan yang diajarkan budaya) ketimbang larangan Alkitab. Mereka lebih taat kepada pemuka adat daripada pemuka agama. Alasannya, pelanggaran terhadap pamali akan langsung berhadapan dengan nasib buruk. Tetapi jika melanggar perintah Tuhan, belum tentu dihukum.

b. Dalam budaya nenek moyang orang Toraja, ada stratifikasi sosial yang cukup menonjol. Ketika perbudakan masih berlaku di Toraja, dikenal golong puang (penguasa, tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial Belanda hal itu dilarang. Tetapi dalam prakteknya, masyarakat adat Toraja tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat yang diurut dari yang tertinggi yaitu tana Bulaan (Keturunan Raja. Bulaan artinya Emas); tana bassi (Keturunan bangsawan. Bassi artinya Besi), tana karurung (Bukan bangsawan, tetapi bukan juga orang kebanyakan. Karurung adalah sejenis kayu yang keras) dan yang terendah adalah tana kua-kua (kua-kua, sejenis kayu yang rapuh). Dalam hubungan dengan upacara-upacara adat, dikenal pula golongan imam (to minaa atau to parenge) dan orang awam (to buda). Dengan berkembangnya agama Kristen, orang Toraja Kristen menerima bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Di dalam Tuhan tidak ada penggolongan seperti itu. Namun dalam penerapannnya di masyarakat, pengakuan terhadap kasta seseorang tetap ada. Akibatnya, ketika mereka berdiri sebagai warga gereja, yang dituruti adalah para penatua atau pendeta, namun dalam kehidupan sehari-hari, wibawa para keturunan raja dan bangsawan serta pemuka masyarakatlah yang berpengaruh. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan antara pemuka agama dan pemuka masyarakat. Pemuka agama berpedoman pada ajaran agama, sedangkan pemuka masyarakat berpedoman pada budaya nenek moyang. Akibatnya, fenomena dualisme muncul lagi. Ketika masyarakat berada dalam posisi sebagai warga jemaat, maka keputusan pemuka agamalah yang diikuti. Entah bertentangan dengan budaya atau tidak, yang jelas Firman Tuhan mengajarkan. Demikian pula sebaliknya. dalam posisi sebagai anggota masyarakat, keputusan pemuka adatlah yang diikuti, entah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Dari sudut pandang pemimpin, ada pula kencenderungan apatisme pemuka agama dalam kegiatan yang berhubungan dengan budaya nenek moyang, dan juga apatisme pemuka masyarakat dalam kegiatan gereja. Hal ini juga berhubungan dengan asas kepemimpinan bottom up dan dan top down. Dalam konteks gereja teori yang berlaku adalah asas bottom up yang demokratis. Sedangkan dalam kontek kehidupan sehari-hari asas top down-lah yang berlaku. Jika demikian, masyarakat entah sadar atau tidak sedang dibentuk dalam dua teori kepemimpinan yang bertolak belakang itu. Implikasinya bisa menjadi bumerang bagi wibawa gereja atau wibawa adat ketika terjadi persilangan. Maksudnya asas bottom up mau dipaksakan dalam komunitas budaya, dan

asas top down hendak dipaksakan dalam komunitas agama. Pemaksaan itu bisa saja dilakukan para pemuka adat atau warga biasa dalam gereja yang tidak nyaman dengan asas botom up. Atau oleh para pemuka agama yang merasa tidak nyaman dengan asas top down dalam masyarakat. Kita sudah bisa menebak akibatnnya : konflik dalam gereja atau konflik sosial dalam masyarakat, atau konflik antara institusi gereja dan institusi masyarakat. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa kondisi sosial masyarakat Toraja yang terus menerus berubah saat ini senantiasa berada dalam tarik menarik antara budaya nenek moyang dengan agama. Tarik menarik itu bisa berimplikasi pada dualisme, tetapi bisa juga muncul dikotomi antara yang gerejani dan budayani. Di dalam gereja, mereka menjadi orang Toraja yang berakar dalam budaya nenek moyang, tetapi tampil dengan pakaian Kekristenan. Ketika mereka keluar dari wilayah gereja, maka pakaian itu kembali dilepaskan untuk dipakai lagi ketika mereka kembali ke gereja. Jadi di dalam masyarakat, mereka berpegang teguh pada budaya, namun ketika mereka memasuki dunia kekristenan, maka pakaian Kristennya di pakai. Masyarakat Toraja dan Pola Pikir Modernitas: Implikasi ketegangan antara budaya dan agama Jika kembali kepada paradigma budaya Geertz, masyarakat Toraja sekarang ini entah sadar atau tidak, tetapi kemungkinan besar tidak disadari sedang mengalami kebingungan pembentukan etos dan worl view. Antara dogma agama dan budaya nenek moyang. Antara keduanya ada tarik menarik, bahkan pertentangan. Gejala sosial yang dilematis ini menjadikan situasi masyarakat Toraja saat ini cukup rawan ketika diperhadapkan dengan modernitas dengan berbagai karakteristiknya. Sejauh kita memahami modernitas sebagai sebagai keterikatan kepada rasionalitas dalam semua sisi kehidupan, kita tidak dapat sepenuhnya mengklaim bahwa modernitas sama sekali belum menyentuh masyarakat Toraja pada saat agama Kristen mulai berkembang. Bagaimanapun juga, doktrin yang dibawa para zending ke Toraja tidak lepas dari pergulatan modernitas di Barat (Belanda). Bahkan adanya tarik menarik antara pandangan dunia budaya dan pandangan dunia agama bisa jadi disebabkan pengaruh pola pikir modern.

Tetapi jika kita mencoba memfokuskannya pada etos dan pandangan dunia yang ditawarkan laju modernitas, maka akan segera terlihat ketidaksiapan mental masyarakat Toraja menghadapi fenomena sosial yang ditimbulkan pola pikir atau kita sebut saja kebudayaan modern. Ketidaksiapan itu bukan berarti penolakan, tetapi penerimaan tanpa kritik. Gejala ini sudah menjadi fenomena yang cukup umum dalam masyarakat Toraja sekarang ini. Tarik menarik antara paradigma budaya dan paradigma agama menyebabkan etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja terjebak dalam dualisme dan dikotomi. Keadaan ini menjadi cela yang cukup besar, yang memungkinkan kebudayaan modern mulai membentuk masyarakat tanpa ada perlawanan atau kritik yang berarti dari masyarakat, baik dengan dasar budaya maupun agama. Para pemerhati kebudayaan daerah maupun gairah pelayanan gereja sebenarnya cukup menyadari bahaya ini dan melakukan berbagai upaya pembinaan. Tetapi etos dan world view yang terlanjur tidak konsisten menyebabkan masyarakat tidak cukup kuat untuk mengajukan kritik terhadap kebudayaan modern serta melakukan kontrol terhadap infiltrasi kebudayaan modern. Akibatnya budaya modern mulai membentuk etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja. Salah satu contoh adalah individualisme. Karakter ini mulai menjadi warna masyarakat Toraja. Padahal karakter demikian sangat bertolak belakang dengan semangat kebersamaan orang Toraja yang terkenal dengan semboyan misa kada di potuo pantan kada di po mate (artinya kurang lebih sama dengan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh). Ironisnya, individualisme itu bisa tercermin dalam sebuah aktifitas yang berlatar belakang budaya. Penulis mencontohkan fenomena ini dengan menyorot salah satu upacara adat Toraja yaitu upacara pemakaman (rambu solo). Dari luar kita bisa melihat adanya nilai budaya yang besar dalam upacara ini. Ada pondok-pondok yang dirikan secara gotong royong. Hewan korban (kerbau dan babi) disiapkan untuk menjamu tetamu yang datang sekaligus simbol penghargaan kepada si mati . Setelah itu sanak famili dan kenalan mengungkapkan tanda dukacita melalui kehadiran dalam upacara itu sekaligus membawa babi atau kerbau sebagai tanda simpati. Pada akhir pesta (yang biasanya 3 sampai 4 hari), ada juga hewan korban yang disisihkan untuk disumbangkan kepada gereja.

Tetapi jika kita mencermati motifasi dibalik persiapan dan pengorbanan itu, kita akan menemukan bahwa unsur gengsi atau prestise sangat mengemuka. Demi martabat di mata masyarakat, keluarga si mati akan mempersiapkan pesta dengan hewan korban sebanyak mungkin. Walaupun merupakan sebuah pemborosan yang penting harga diri akan terjaga. Sementara itu, sumbangan dukacita (dalam bentuk hewan korban) yang dibawa famili yang lain atau kenalan, tidak lagi dianggap sebagai tanda simpati, tetapi hutang. Jika sekali waktu kenalan tersebut menggelar upacara yang sama, maka mau tidak mau hutang itu harus dibayar. Jika tidak, harga diri menjadi taruhan. Sumbangan ke Gereja pun tidak lepas dari masalah harga diri. Menyumbang banyak artinya terhormat, prestise terjaga. Tidak menyumbang, memalukan. Dalam hal ini individualistis berjalan bersama dengan materialisme. Sekiranya Ferdinand Toennies menganalisis kedaan ini maka pembedaan Gemeinshaft dan Gesselschaft dalam teorinya akan mengalami kerancuan. Masalahnya karakteristik Gesselschaft yang diidentifikasi Toennies justru sering tercermin dalam sebuah konteks Gemeinshaft di Toraja. Kita bisa sederhanakan fenomena ini dengan ungkapan modenitas yang berpakaian tradisional. Dengan semua kenyataan ini, indikasi keterasingan atau ketercabutan masyarakat Toraja dari akar budayanya mulai terlihat. Tetapi saya sendiri berharap bahwa teori-Hegel tentang keterasingan masyarakat modern dari lingkungannya, atau teori kurungan besi Weber tidak akan pernah terjadi dalam konteks masyarakat di Toraja. Kesimpulan dan Penutup Sebagai kesimpulan, penulis menyimpulkan pembahasan ini dengan mencoba menggambarkan kondisi sosial masyarakat Toraja saat ini dengan dua illustrasi berikut: Pranata sosial dan struktur sosial masyarakat Toraja sedang (bahkan sudah lama) berada dalam tarik menarik antara paradigma budaya dan paradigma agama. Akibatnya Etos dan world view masyarakat berada dalam dualisme dan dikotomi. Disadari atau tidak, masyarakat sedang berada dalam kebingungan merumuskan jati dirinya. Keadaan itu menyebabkan infiltrasi kebudayaan modern berlangsung tanpa kritik dan koreksi dan budaya atau agama. Akibatnya, etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja mulai dibentuk oleh karakteristik budaya modern, tetapi ironisnya sering ditampilkan dalam kemasan budaya atau agama.

Kenyataan ini menjadi tantangan bagi pemerhati budaya dan pemuka agama, khususnya agama Kristen, termasuk penulis.[] Source: http://forumteologi.com/Mnmnnm

toraja culture

BISNIS SUKSES Friday, October 09, 2009 12:51 PM pesta kematian di tana toraja Monday, September 07, 2009 3:54 PM Di Tana Toraja sendiri memiliki dua upacara adat besar yaitu Rambu Solo' dan Rambu Tuka. Rambu Solo' merupakan upacara penguburan, sedangkan Rambu Tuka, adalah upacara adat pernikahan atau selamatan rumah adat yang baru, atau yang baru saja selesai direnovasi. Rambu Solo' merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya

membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu. di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana. Upacara ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya berbeda-beda. Bila bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang bukan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari. Tapi, sebelum jumlah itu mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan di tebing atau di tempat tinggi. Makanya, tak jarang jenazah disimpan selama bertahun-tahun di Tongkonan (rumah adat Toraja) sampai akhirnya keluarga almarhum/ almarhumah dapat menyiapkan hewan kurban. Namun bagi penganut agama Nasrani dan Islam kini, jenazah dapat dikuburkan dulu di tanah, lalu digali kembali setelah pihak keluarganya siap untuk melaksanakan upacara ini. Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo' maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih 'sakit', maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.

Jenazah dipindahkan dari rumah duka menuju tongkonan pertama (tongkonan tammuon), yaitu tongkonan dimana ia berasal. Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya Ma'tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir. Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan dibagibagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut. Seluruh prosesi acara Rambu Solo' selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), kami semua tiba di tongkonan barebatu, karena hari ini adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan tempat acara berlangsung). Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba terdapat lambalamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu). Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba.

KUBURAN TORAJA Monday, April 06, 2009 12:23 PM Bagaimana pentingnya Tongkonan dalam kehidupan masyarakat Toraja, begitu pula Liang (kuburan adat keluarga) yang dinamakan Tongkonan Tangmerambu (tongkonan tak berasap) mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan Kebudayaan Suku Toraja, karena menurut Aluk Todolo, Liang atau Tongkonan Tangmerambu itu adalah pasangan dari Tongkonan yang sebenarnya, makanya Tongkonan yang merupakan warisan dan pusaka keluarga, demikian pula Liang adalah pula warisan dan pusaka keluarga dari manusia yang lahir dari manusia yang pertama membangun Tongkonan dan Liang tersebut. Menurut falsafah ajaran Aluk Todolo bahwa manusia itu sama saja pada waktu hidup dan matinya oleh kalau hidup berkumpul di Rumah Tongkonan dan kalau mati berkumpul tulang belulang di dalam satu Liang atau Kuburan sebagai Tongkonan Tangmerambu. Menurut ajaran Aluk Todolo matinya manusia adalah perubahan status saja semata mata yang dari keadaan nyata ke alam gaib, karena keadaan seseorang itu sama saja dengan keadaannya pada waktu mati dan pada waktu hidup, makanya suatu hal yang sangat penting adalah setiap jasad manusia mati perlu mendapat pelayanan sama seperti pada waktu orang itu masih hidup, dan sebagai salah satu sebab setiap orang membangun tongkonan pada waktu hidup dan untuk matinya dibuatnya pula Liang sebagai pasangan daripada Tongkonannya yang nanti kalau mati akan dikuburkan ke dalam Liang, pasangan daripada tongkonan tersebut, dan seterusnya pula Liang tersebut akan menjadi warisan kepada turunannya seterusnya sama seperti kedudukan Tongkonan bagi kehidupan manusia. video toraja Friday, March 27, 2009 12:29 PM Media files video-play.mp4 (0 bytes) AGAMA VS BUDAYA TORAJA Wednesday, March 18, 2009 6:06 PM Bukan suatu hal baru bahwa budaya toraja menjadi suatu hal yang sering di pertentangkan,baik oleh para agamawan,pemuka adat,bahkan sampai masyarakat biasa pun sering mempertentangkan masalah budaya toraja(utamanya budaya rambu solo/pesta kematian) yang dinilai bertentangan dengan normanorma agama. melalui kolom komentar, kami persilahkan kepada seluruh masyarakat toraja bahkan luar toraja untuk memberikan komentarnya ...tentunya dengan alasan yang riil. atas komentar anda,diucapkan terima kasih!!! FOTO ORANG TORAJA

Monday, March 16, 2009 5:23 PM Upacara adat Monday, March 16, 2009 5:09 PM

Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu, serta Manene, dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka maupun Rambu Solo diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.

Rambu Solo

Adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.

Tingkatan upacara Rambu Solo

Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:

1. Dipasang Bongi: Upacara

pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.

2. Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.

3. Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan. 4. Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.

Upacara tertinggi

Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma tundan, Mabalun (membungkus jenazah), Maroto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma Popengkalao Alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).

Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :

1. Mapasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun kerbau yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba (Adu kaki) 2. Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo seperti : PaBadong, PaDondi, PaRanding, PaKatia, Papapanggan, Passailo dan Papasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Papompang, Padali-dali dan Unnosong.; 3. Matinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.

Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya.

Menjelang usainya Upacara Rambu Solo, keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo.

Rambu Tuka

Upacara adat Rambu Tuka adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran bisalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama MaBua, Meroek, atau Mangrara Banua Sura.

Untuk upacara adat Rambu Tuka diikuti oleh seni tari : Pa Gellu, Pa Boneballa, Gellu Tungga, Ondo Samalele, PaDao Bulan, PaBurake, Memanna, Maluya, PaTirra, Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Papompang, paBarrung, Papelle. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka. ADA DAN KOMBONGAN ADA(Pemerintahan dan Badan Musyawarah Adat) Monday, March 16, 2009 5:00 PM Pemerintah Kolonial Belanda secara resmi menguasai seluruh Tana Toraja pada akhir tahun 1906 yaitu pada saat seluruh bangsawan dan penguasa adat Toraja sudah mengakui atau tunduk pada pemerintah kolonial Belanda tersebut, tetapi sebelumnya seluruh daerah adat Toraja dikuasai oleh penguasa adat atau dikuasai / diperintah oleh bangsawan bangsawan yang system pemerintahannya dikatakan Ada dan orangnya bernama Tongkonan Ada, dan daerah-daerah adat itu berdiri sendiri otonom, namun semuanya terikat dalam satu perikatan adat besar (federasi) yang dinamakan Kombongan Ada dan Kombongan Ada yang besar dan tertinggi itu dinamakan Kombongan Ada Basse Lepongan Bulan Limbu Kaluana Tana Matarik Allo (badan musyawarah perikatan lepongan Bulan atau Tana Toraja).

Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo atau Tana Toraja terdiri atas 3 (tiga) daerah adat besar sejak dari dahulu yaitu sejak terciptanya Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu (Aluk Sanda Pitunna/Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu 7777) dari Banua Puan Marinding yaitu mula pertamanya terbaginya Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo masing-masing;

1. Daerah Adat pada bagian Timur yang dinamakan Daerah Adat Padang di Ambei atau Adat pekamberan

Daerah

2. Daerah Adat pada bagian tengah yang dinamakan Daerah Adat Padang di Puangngi atau Daerah Adat Kapuangan

3. Daerah Adat pada bagian Barat yang dinamakan Daerah Adat Padang di Madikai atau Adat Kamadikaan

Daerah

Ketiga Daerah Adat besar itu masing-masing berdiri sendiri dan berdaulat ke dalam tetapi keluar merupakan satu kesatuan dalam persekutuan Kombongan Basse Lepongan Bulan yang ketiganya mempunyai kedudukan yang sama (lihat struktur pemerintah adat Lepongan Bulan terlampir).

Tiap-tiap Daerah Adat itu masih terbagi atas beberapa kelompok adat yang namanya Kombongan Ada, umpamanya Daerah Adat Pekamberan dikuasai dan dibina oleh Kombongan Ada Ambe dan Daerah Adat Kapuangan dikuasai dan dibina oleh Kombongan Ada Puang serta Daerah Adat Kamadikaan dikuasai dan dibina oleh Kombongan Ada Madika.

Tiap-tiap Kombongan Ada itu mempunyai pemerintahan kecil sebagai pemerintahan yang juga berdaulat ke dalam yang bernama Lembang (berasal dari kata Lembang=perahu) yang artinya mempunyai kesatuan dan penanggung jawab sendiri yaitu satu daerah tertentu dimana lembang ini sudah diperintah oleh seorang penguasa lembang yang masing-masing Daerah Adat mempergunakan gelar masing-masing sesuai pembahagian.

-

Puang lembang untuk Daerah Adat Kapuangan

-

Ambe Lembang untuk Daerah Adat Pekamberan

-

Madika Lembang untuk Daerah Adat Kamadikaan

Masing-masing daerah lembang tersebut di atas itu mempunyai pula badan musyawarah yang membantu penguasa adat lembang yang dinamakan Kombongan Lembang-Lembang untuk tiap Daerah Adat, tetapi ke dalam lembang dikatakan Kombongan Lembang.

Keputusan musyawarah lembang adalah merupakan garis pemerintahan dari pada penguasa adat lembang masing-masing Daerah Adat atau Kelompok adat.

Di bawah pemerintahan lembang masih terdapat beberapa daerah kerja yang merupakan pembantu pelaksana kerja dari pada lembang dan daerah bagian pemerintahan kerja atau wilayah ini dinamakan daerah Bua yang dikuasai oleh seorang penguasa adat Bua dan langsung bertanggung jawab kepada lembang, yang dalam tiap lembang itu terdiri beberapa daerah Bua sesuai dengan kepentingannya. Ada kalanya 2 atau 3 daerah Bua untuk satu daerah lembang.

Pemerintah dari daerah Bua itu adalah penguasa Bua yang masing-masing Daerah Adat sebagai berikut:

-

daerah Bua' dari daerah Lembang kapuangan dikuasai oleh penguasa adat bergelar Puang Bua

-

daerah Bua' dari daerah Lembang pekamberan dikuasai oleh penguasa adat bergelar Ambe Bua

-

daerah Bua' dari daerah Lembang Kamadikaan dikuasai oleh penguasa adat bergelar Madika Bua

Dari daerah Bua' ini di dalamnya masih terdiri dari beberapa daerah dengan pemerintahan wilayah kecil yang seolah-olah desa pada waktu sekarang dan dikoordinir oleh Bua, dan daerah ini bernama daerah penanian, yaitu tiap-tiap Bua terdiri dari beberapa penanian yang tiap Penanian ini diperintah oleh satu badan pemerintahan adat yang umumnya terdiri dari 4 (empat) anggota Toparengnge, salah seorang dari Toparengnge itu sebagai ketua.

Inilah dewan pemerintahan adat yang berlaku umum di seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan sejak dahulu kala, dan gelar Tongkonan Parengnge ini berlaku pada semua Daerah Adat, yang sebagai diketahui bahwa gelar Toparengnge ini adalah gelar yang disebarkan oleh penguasa Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu dari Banua Puang Marinding pada waktu pembagian Daerah Adat.

To Parengnge; artinya pemikul tanggung jawab.

Di dalam satu daerah penanian terdapat pula pembantu-pembantu pemerintahan adat yang masingmasing Daerah Adatnya memberi nama masing-masing sesuai dengan kepentingannya dan keadaan setempat seperti ada yang menamainya To Bara, ada pula yang menamainya Anak patalo (to=orang; bara=angin ribut yang tak dapat ditahan; anak=anak; patalo=menang sendiri), dan orang - orang inilah yang mendampingi To Parengnge dalam membina masyarakat dan pemerintahan adat daerah Penanian.

Untuk ketua-ketua dewan adat penanian juga ada nama atau gelar masing-masing daerah adat seperti daerah adat Lembang, Bua dan untuk Daerah Penanian sebagai berikut:

-

daerah adat Kapuangan memakai pula gelar untuk ketua dewan adat Penanian

-

daerah adat Kamadikaan memakai pula gelar Madika untuk ketua dewan adat Penanian

daerah adat Pekamberan memakai pula gelar To Parengnge dan Sokkong Bayu untuk ketua dewan adat penanian

Seluruh masalah yang terjadi dalam daerah Penanian harus setahu untuk ketua dewan adat Penanian kemidian diteruskan kepada penguasa Bua dan seterusnya kepada penguasa adat Lembang sebagai pemerintahan adat yang tertinggi ialah penguasa lembang, Puang lembang, Ambe Lembang dan Madika Lembang.

Setelah pemerintahan kolonial Belanda masuk di Tana Toraja, maka tetap mempergunakan penguasa adat yang tertinggi ialah pemerintahan lembang namun namanya dirobah tetapi statusnya tetap sebelum datangnya pemerintah Belanda.

Daerah Penanian yang sudah disebutkan di atas itu masih terdiri atas 4 (empat) daerah kelompok kerja atau kesatuan abdi yang dinamakan Tepo Padang (tepo=seperempat; padang=tanah) ada pula yang mengatakan tepo Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, jadi seluruh daerah penanian harus terbagi atas 4 (empat) Tepo Padang dan Tepo Padang ini dikordinir oleh seorang terkemuka dalam daerah Tepo Padang tersebut yang memimpin seluruh anggota masyarakat dalam menyelesaikan pekerjaanpekerjaan desa secara gotong-royong, maka dengan demikian Tepo Padang dikatakan kesatuan Gotongroyong.

Koordinator dari Tepo Padang bukan jabatan adat tetapi adalah jabatan yang diangkat sendiri secara langsung oleh dewan Pemerintahan adat yang sewaktu-waktu pula dapat diganti, berarti bukanlah jabatan yang berpusat pada Tongkonan dan tidak sama dengan jabatan pemerintahan adat lainnya seperti Toparengnge, Tobara dll. Seluruhnya berpusat atau bersumber dari masing-masing Tongkonan dengan dukngan dari semua keluarga yang lahir dan berasal dari Tongkonan itu yang sangat susah dipatahkan karena merupakan tanggung jawab bersama keluarga sekalipun jabatan itu hanya dijabat oleh satu orang anggota keluarga.

Tepo Padang tersebut di atas itu hanya merupakan satu daerah kesatuan abdi yang diketuai atau dikoordinir oleh seorang terkemuka dalam daerah Tepo Padang tersebut yang tidak terikat oleh adat yang dinamakan Ambe Saroan (ambe=bapa; saroan=abdi).

Pemerintahan adat Toraja yang tersebut di atas sampai datangnya pemerintah Belanda masih tetap berlaku dan terpelihara yaitu dengan memberikan tugas kepada masing-masing Tongkonan, namun telah disesuaikan dengan susunan pemerintahan dari pemerintah Belanda dimana kelihatannya sangat serasi terutama yang menyangkut pembinaan masyarakat tetap memegang paranan penguasapenguasa adat.

Terutama hal ini sangat nampak dalam hal pemakaian gelar jabatan pengusa lembang, Bua dan Penanian sebagai susunan pemerintahan adat dalam 3 (tiga) tingkatan diseragamkan yang kelihatannya sangat baik dan harmonis masing-masing:

1. Daerah

Lembang diganti dengan nama distrik atau sekarang dinamakan kecamatan.

Untuk gelar jabatan lembang yang sudah menjadi distrik atau kecamatan sekarang diganti dengan nama jabatan parengnge.

Bahwa gelar Parengnge itu berasal dari kata/gelar To Parengnge yaitu adalah satu gelar yang sama dan berlaku umum di Tana Toraja yang artinya pemikul tanggung jawab, maka pemerintah Belanda mempergunakan itu sesuai dengan tugas dari penguasa distrik sebagai pemerintah yang memikul tanggung jawab dan tidak lagi sepenuhnya berstatus penguasa adat seperti sebelum pemerintahan Belanda.

2. Daerah Bua masih tetap dipergunakan dengan nama daerah Bua sekalipun oleh pemerintahan Belanda menyebut dengan nama Onder Distrik (distrik bawahan), yang juga diperintah oleh seorang penguasa distrik bawahan dinamakan kepala distrik muda, dan daerah Bua ini sama statusnya dengan daerah dan pemerintahan Bua sebelum Belanda. 3. Untuk daerah Penanian digantikan dengan nama desa atau kampung, hanya saja dewan pemerintahan adat Penanian tetap ada dan melaksanakaan tugas serta kewajibannya, karena To Parengnge-To Parengnge itu berstatus otonom dalam pembinaan masyarakat.

Jadi hanya nama jabatan dan penguasa adat Penanian yaitu To Parengnge dan To Bara tetap ada namun oleh pemerintah Belanda mengangkat pula seorang kepala desa atau kepala kampung sebagai aparat langsung dari pemerintah Belanda yang bersama-sama dengan dwan adat penanian melaksanakan pembinaan masyarakat dalam satu-satu daerah Penanian atau kampung tersebut.

Tuan kepala distrik muda ataw kepala Bua membawahi 2 (dua) badan pemerintahan kampung atau desa masing-masing dewan pemerintahan To Parengnge, To Bara/Anak Patalo dan pemerintah kepala kampung atau kepala desa.

Dalam suatu daerah pemerintahan adat masing-masing ysb di atas masih terdapat lagi badan-badan lain yang termasuk dalam keanggotaan Kombongan Ada dengan mempunyai tugas tersendiri masingmasing yaitu petugas pembinaan kepercayaan/Aluk Todolo yaitu orang - orang yang mengurus dan membina tugas tugas aluk masing-masing:

1. Tominaa (imam/penghulu) Aluk Todolo atas :

sebagai pemimpin pembinaan Aluk Todolo yang terdiri

1). Tominaa Burake (imam ahli, Biksu yang tidak pernah kawin)

2). Tominaa Sando (imam pembina)

3). Tominaa (imam pelaksana)

2. To Indo atau Indo Padang yang memimpin jalannya Tananan. 3. To Mebalun atau To Makayo yaitu orang yang orang mati serta membungkus orang mati.

pelaksanaan aluk Patuoan dan Aluk

bertugas mengatur jalannya upacara pemakaman

Dalam urusan keyakinan Aluk Todolo masih dikenal nama Tominaa yang dinamakan Tominaa Burake Tambolang dan Tominaa Burake Tattiu atau dengan singkat Burake Tambolang dan Burake Tattiu, yaitu Burake Tambolang berasal dari daerah bagian Selatan (Tallu Lembangna) dan Burake Tattiu dari daerah bagian Utara (Balimbing Kalua) yang agak berbeda kedudukannya yaitu Burake Tattiu itu dapat kawin tetapi ada pula yang tidak kawin.

Seluruh jabatan dalam pemerintahan adat toraja tersebut di atas adalah jabatan-jabatan turun-temurun dari satu rumpun keluarga yang bersumber dari masing-masing Tongkonan.

Jabatan-jabatan adat tersebut sewaktu-waktu dapat diganti oleh turunan yang berhak atas jabatan itu karena jabatan itu merupakan jabatan warisan pada masing masing keluarga.

Untuk jabatan Tominaa dan To Mebalun atau To makayo adalah jabatan sampai mati/seumur hidup bagi yang memeluknya, yang penggantinya diadakan pada waktu upacara pemakaman dari orang itu akan dilangsungkan.

Upah atau jaminan pada tiap-tiap pejabat penguasa adat Toraja sebenarnya tidak mendapat upah tetap secara materil, tetapi upahnya atau gajinya itu hanyalah merupakan jaminan jasa semata-mata pada saat diperlukannya yang diberikan oleh anggota masyarakat secara sukarela dan gotong - royong.

Jaminan dengan bantuan jasa pada penguasa adat tersebut hanya pada saat mereka itu akan menyelesaikan pekerjaannya seperti mengolah sawah, membangun rumah dll, dikerjakan oleh

masyarakat secara gotong-royong tanpa memberi upah pada masyarakat, yang mana upah demikian itu hanya bagi petugas-petugas pemerintahan adat tetapi kepada Tominaa dan To Indo serta To Mebalun menerima upahnya itu pada sat mereka menghadapi yugas dan kewajibannya yang diberikan dalam bentuk materiil yang sudah tertentu.

Di samping upah jasa yang sudah disebutkan di atas, pejabat-pejabat adat masih mempunyai kesempatan lain menerima upah atau balas jasa mereka memimpin masyarakat yaitu pemberian daging pada waktu adanyaupacara baik Rambu Solo maupun Rambu Tuka dimana dikurbankan babi dan kerbau, pada waktu itu penguasa-penguasa adat menentukan pembagian daging itu melalui petugas pembagi daging namanya panggawa Bamba, dengan ketentuan bahwa semua petugas adat dan penguasa adat mendapat bagian lebih besar dan tertentu dari pada bangsawan-bangsawan lain, dan inilah upah atau balas jasa mereka secara langsung dalam memimpin dan membina masyarakat, dan daging ini disamping sebagai upah juga berstatus sebagai penghargaan pada jasa mereka itu masingmasing.

Untuk upah petugas pembinaan Aluk Todolo yaitu Tominaa dan To Indo mendapau upah atau gaji pada waktu menghadapi satu upacara dimana daging dari tiap-tiap kurban ada bagian yang sudah tertentu menjadi haknya, dan pada waktu panen mereka itu mendapat sebenarnya 10 % dari hasil panen tahun itu yang dinamakan Bua Bungaran atau Bua Pangrakan (buah pertama pada panen itu) yang dibagi diantara semua Tominaa dan To Indo dalam daerah yang diliputinya.

Upah untuk petugas pemakaman yaitu Tomebalun atau To Makayo di dapat pada setiap saat adanya orang mati dan sementara diupacarakan pemakamannya, dimana Tomebalun atau Tomakato mengatur dan menjaga jalannya upacara pemakaman dengan mendapat upah daging daging dari pada hewanhewan yang dikurbankan pada saat itu disamping masih mendapat makanan dan uang dalam jumlah tertentu pada saat akan berakhirnya upacara pemakaman yang diberikan oleh seluruh keluarga dari yang mati yang dinamakan Saro Tomebalun.

Jabatan Tomebalun ini adalah jabatan yang banyak sekali mempunyai batas-batas pergaulannya di masyarakat umpamanya seorang Tomebalun tidak boleh menghadiri upacara Rambu Tuka serta tidak boleh mengerjakan sawah, hal ini terjadi pada beberapa daerah tertentu saja.

Sampai sekarang ini jabatan-jabatan adat dalam masyarakat Toraja masih tetap ada dan bekerja sama dengan pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah RI yang kelihatannya sangat harmonis hubungannya karena setiap akan mengerjakan atau menyelesaikan satu masalah masyarakat dikerjakan dengan musyawarah .antara kedua badan dalam daerah kampung yaitu penguasa-penguasa adat dan pemerintahan yang ditunjuk oleh pemerintah.

Kecuali dalam hal aturan dan pembinaan agama sudah banyak berubah karena adanya desakan dan pengaruh dari agama Islam dan agama Kristen yang mempunyai petugas-petugas agama masing-masing.

Gelar Tomakaka, Bulo di Apa dan Gora Tongkon

Sudah dikatakan di atas bahwa setiap jabatan dalam masyarakat Toraja masing-masing mempunyai gelar atau nama masing-masing seperti gelar Siambe pong, Tominaa, To Indo dll, disamping itu masih ada pula gelar golongan masyarakat yaitu gelar yang membatasi masyarakat pada umumnya dalam kedudukannya sebagai unsur golongan tertentu apakah di atas sebagai pejabat atau pemangku adat atau sebagai anggota masing-masing biasa yaitu:

1. gelar To Makaka (to=orang; makaka=lebih kakak) yaitu gelar golongan bangsawan pada umumnya baik dari kasta Tana' Bulaan maupun dari kasta Tana' Bassi.

2. gelar Bulo di Apa (bulo= aur; apa= disusun= tersusun) yaitu golongan masyarakat yang bukan bangsawan atau bukan berasal dari kasta Tana' Bulaan dan kasta Tana' Bassi berarti rakyat merdeka atau rakyat kebanyakan.

Di dalam masyarakat sering terungkap gelar gelar ini yaitu seorang To parengnge atau To bara atau Anak patalo karena bukan dutujukan pada jabatannya maka gelar atau nama golongannya yang di To makaka.

Jadi gelar To makaka dan gelar Bulo Di apa bukan gelar pribadi atau gelar jabatan adat tetapi adalah golongan umum dalam masyarakat.

Namun demikian ada daerah kelompok adat yang dalam perkembangannya, pemerintahan adat di daerahnya mempergunakan gelat to Makaka itu sebagai gelar jabatan penguasa adat seperti pada daerah kelompok adat Seko Rongkong dan daerah adat Pitu Ulunna Salu sebagai jabatan yang tertinggi daerah Lembang daerah adat itu, dikarenakan oleh pengaruh dari struktur pemerintahan kerajaan yang memerintahnya kemudian seperti Seko Rongkong dari kerajaan Luwu dan Pitu Ulunna Salu Uma Tangdisapa Bela Tangdikatonanni dari kerajaan Mandar.

Bahwa struktur yang demikian itu sudah sejak dari beberapa puluh tahun yang lalu, demi penyesuain gelar jabatan dan susunan pemerintahan dalam kerajaan Luwu dan Mandar sebagai penguasa adat

tingkat III Di Luwu dan tingkat II di Mandar, tetapi bentuk kemasyarakatan serta kebudayaannya masih kebudayaan Toraja, sekalipun telah ada pengaruh sedikit-sedikit disana-sini yang tidak berarti.

3. Gelar Gora Tongkon adalah gelar yang terjadi karena perkembangan pribadi dari seseorang yang bukan di dapat dari satu jabatan adat, yaitu untuk membedakan seorang ahli dalam masyarakat dengan penguasa-penguasa yang tidak ahli lainnya, tetapi saja yang bukan penguasa dari keturunan penguasa yang ahli yang mempunyai kemampuan luar biasa dan orang inilah penguasa yang digelari pula Gora Tongkon.

Penguasa adat atau orang yang deemikian itu adalah orang yang ditempatkan sebagai seorang penasihat agung dalam semua hal masyarakat, dan terakhir dimintai pendapat dalam memuruskan sesuatu hal dan sangat jarang ditolak.

Kata Gora Tongkon ini ada daerah adat yang mengatakan Tominaa Bakaa (imam istimewa).

Jabatan Gelar Gora Tongkon bukan jabatan adat atau berhubungan dengan tugas atau jabatan adat seperti gelar To Parengnge dll, tetapi Gora Tongkon itu sangat erat hubungannya dengan pribadi seseorang yang di dapat karena kemampuannya atau karyanya.

Seseorang yang bergelar Gora Tongkon tidak perlu mempunyai jabatan adat atau sebagai penguasa adat tetapi umumnya seorang Gora Tongkon itu adalah pemangku adat atau penguasa adat yang tentunya penguasa adat ini adalah penguasa adat yang baik dan disegani oleh masyarakat umum dan oleh masyarakatnya sendiri, umpamanya almarhum Puang Sangalla Laso Rinding adalah seorang pemangku adat Puang yang tergolong Gora Tongkon.

Seseorang yang bergelar Gora Tongkon itu memiliki kemampuan dalam beberapahal antara lain:

a. ahli bahasa dan sastrawan

b. ahli adat dan pemerintahan

c. ahli agama dan seniman

d. ahli sejarah dan kebudayaan

e. ahli bicara dan lain-lain

Pengaruh pengaruh yang masuk di Tondok Lepongan Bulan Monday, March 16, 2009 4:54 PM

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa Tondok Lepongan Bulan sejak dulu tidak pernah diperintah oleh seorang Raja atau Penguasa secara langsung seperti di daerah lain, tetapi Tondok Lepongan Bulan adalah negeri yang berdiri sendiri dalam bentuk suatu kesatuan atau Rumpun Adat dan tata kehidupan suku Toraja.

Mungkin karena keadaan yang demikian menyebabkan Kesatuan Negeri Tondok Lepongan Bulan ini tidak menjamin kelangsungan ketenangannya karena sangat mudah dimasuki oleh pengaruh dari luar.Dlm sejarah Toraja beberapa kali pengaruh luar masuk ke Toraja terutama ketika kerajaan kerajaan di sekitar mulai berkembang. Sesudah Patta La Bantan gagal mempersatukan Tondok Lepongan Bulan dalam pemerintahan Monarchi dengan ajaran Aluk Sanda Saratu', maka sejak itu silih berganti pengaruh pengaruh dari luar masuk ke Toraja.

1. Datangnya Puang Rade dan pengaruh pengaruh Hindu Jawa

Menurut sejarah Toraja, sekitar abad ke-15, sejumlah pedagang pedagang barang porselen, tenunan dan berbagai perhiasan emas masuk ke Tondok Lepongan Bulan. Mereka melalui daerah selatan dan pedagang pertama yang terkenal adalah pedagang besar Jawa yang bernama Puang Rade. Orang inilah yang mengajari masyarakat Toraja cara menempa emas yang disimpan oleh bangsawan Toraja, dan

mulai saat itu juga emas tdl lagi dijual dalam bentuk bijih emas (Bulaan Bubuk) tetapi sudah dalam bentuk perhiasan.

Salah satu bentuk pengaruh Hindu Jawa dalam masyarakat Toraja adalah bentuk keris di Toraja yang mirip dengan keris asal Jawa. Hal ini terlihat jelas pada bentuk hulu keris yang berbentuk patung Hindu atau Gambar Naga. Mulanya keris ini bernama Rade, tetapi setelah orang Bugis masuk ke Toraja maka keris kemudian dikenal dengan nama Gajang atau dalam bahasa Toraja Gayang (Gajang = Tikam). Kedatangan pedagang Jawa ini pula membawa pengaruh pada beberapa sendi kebudayaan lain seperti tarian, disamping mempengaruhi cara pemerintahan di daerah Adat Kapuangan.

Puang Rade banyak meninggalkan pengikutnya dan kawin mawin dengan bangsawan di Toraja yang lana kelamaan turut mengambil peranan dalam masyarakat. Namun kedatangan pedagang Jawa ini tidak berlangsung lama karena persaingan dengan pedagang asal Bugis yang memasuki Toraja setelah mendengar bahwa bangsawan Toraja banyak menyimpan bijih emas. Nama Puang Rade ini adalah pemberian orang Toraja yang berasal dari kata Raden sebagai gelar bangsawan di Tanah Jawa dimana Puang Rade ini tiba di daerah adat Kapuangan. Setelah pedagang Jawa terdesak oleh kedatanga pedagang Bugis, maka pedagang Jawa tidak terdengar lagi pada permulaan abad ke-16.

2. Masuknya pedagang pedagang Bugis dan pendudukan pasukan Arung Palakka

Setelah putus hubungan dengan pedagang asal Jawa sekitar awal abad ke-16 maka mulailah pedagang Bugis memasuki daerah Toraja terutama pedagang dari Bone, Sidenreng dan Luwu karena mengetahui bahwa bangsawan Toraja banyak menyimpan bijih emas yang ditukar dengan porselen, tenunan halus dan bentuk perhiasan emas oleh pedagang asal Jawa.

Masuknya pedagang asal Bugis berbarengan dengan berkembangnya Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka yang mulai menaklukkan Kerajaan Kerajaan kecil di daerah dataran Bugis, maka pada pertengahan abad ke-17 (1675) pasukan Arung Palakka juga menginvasi Tondok Lepongan Bulan dan terus menduduki daerah bagian selatan. Kedatangan invasi Bone ini dikenal dengan Kasaeanna To Bone.

Dengan masuknya tentara Arung Palakka dan pedagang Bugis ini, dan menguasai sebagian besar Tondok Lepongan Bulan beberapa tahun lamanya, maka ada beberapa sendi budaya Bugis yang diterapkan dalam masyarakat Toraja antara lain permainan judi dengan menggunakan Dadu dan Kartu (Buyang), karena yang telah dikenal masyarakat Toraja adalah Silondongan (Sabung Ayam) dan Siretekan (Loterei). Judi dadu dan kartu kemudian mulai disukai oleh bangsawan di Toraja.

Disamping menanamkan permainan judi tersebut, pengaruh dari Arung Palakka makin kuat dan ditakuti sejak adanya perjanjian kerjasama serta persekutuan yang diadakan oleh seorang bangsawan Toraja yaitu Pakila Allo atau Pong Butu Bulaan dari Randan Batu, yang bersekutu membuka tempat tempat perjudian dan dijaga oleh pasukan Arung Palakka.

Dengan meluasnya daerah yang dikuasai oleh pasukan Arung Palakka dan Pakila' Allo yang terus mengadakan arena perjudian, akibatnya mulai terjadi kekacauan, pencurian dan penekanan terhadap bangsawan yang tidak suka dengan judi. Hal ini berlangsung beberapa tahun sehingga menimbulkan keinginan untuk melawan pasukan Arung Palakka dengan terlebih dahulu mematahkan kekuatan Pakila' Allo.

Ide perlawanan ini muncul dari seorang bangsawan dari Randan Batu yaitu Pong Kalua. Untuk maksud ini, Pong Kalua berpura pura mengawini adik Pakila' Allo, karena dapat dengan mudah mengikuti jejak Pakila' Allo sementara itu ia pun membentuk persekutuan dengan orang lain untuk membunuh Pakila' Allo. Hingga suatu waktu mereka berusaha membunuh Pakila' Allo, akan tetapi Pakila' Allo hanya luka

ringan. Kemudian Pong Kalua membuatkan obat yang telah dicampur dengan racun (Ipo), dan ditaruh di atas luka Pakila' Allo sehingga Pakila' Allo tewas seketika. Setelah Pakila' Allo meninggal, maka para bangsawan kemudian menyusun kekuatan untuk melawan pasukan Arung Palakka yang tersebar di Toraja.

Persekutuan ini dikenal dengan nama Topada tindo, tomisa pangimpi (persatuan yang seia sekata, dan satu cita cita) dengan semboyan Misa Kada dipotuo, pantan kada dipomate (Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh) dan perlawanan ini disebut Untulak Buntunna Bone, Ullangda To Sendana Bonga (menentang pengaruh dan kekuasaan Bone). Persekutuan ini dipelopori oleh 3 orang masing-masing :

1) Siambe Pong Kalua dari Randan Batu

2) Siambe Pong Songgo dari Limbu, Sarira

3) Tominaa Ne Sanda Kada dari Limbu sebagai juru penerangan.

Berkat dukungan dan persatuan dari bangsawan Toraja maka mereka berhasil menaklukkan dan menghalau pasukan Arung Palakka pada tahun 1680, setelah mengadakan perlawanan beberapa lama sampai ke daerah Bambapuang.

Di daerah Bambapuang, seluruh pemimpin dan anggota Topadatindo mengikrarkan sebuah janji dan sumpah yang disebut Basse Kasalle :

Tangla kendek penduan pentallun to Bone la matakinan labo matetangan mataran, apa mintuna mataranna sia pabengana lakendek pasiu sando pakengke lalipan kedenpi to laullutu tombang lilina Tondok Lepongan Bulan dst......

Orang orang Bone tidak akan datang lagi untuk kedua kalinya untuk memerangi Toraja dst.......

Dengan selesainya Basse Kasalle Lepongan Bulan, maka kekacauan di Tondok Lepongan Bulan berakhir dan disebut Mandami sallina Tondok Lepongan Bulan, Bintinmi Gonting Babanganna Tana Matarik Allo artinya pintu Tondok Lepongan Bulan telah tertutup rapat dari gangguan luar. Pembacaan ikrar ini diikuti dengan Upacara kemenangan Topadatindo Tomisa pangimpi di Bambapuang. Menurut sejarah seorang Imam Tominaa Ne Tikuali dari Batan mengucapkan doa dan sumpah sakti dengan didampingi oleh Banggai dari Salu.

Sejak berakhirnya peperangan antara Topadatindo dengan pasukan Arung Palakka, maka dalam beberapa tahun tidak ada hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis (Bone dan Sidenreng). Dengan putusnya hubungan itu maka muncullah seorang bangsawan dari perbatasan Tondok Lepongan Bulan di daerah selatan yang bernama Puang Kabere. Ia mengadakan hubungan dengan kedua daerah tersebut untuk mempertemukan pendapat, dan membuat perdamaian hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis. Adapun perjanjian ini berbunyi

Dilenten Tallo tama Bone tang rassak tang beluakan anna di sorong pindan tama Lepongan Bulan tang ramban tang unnapa

Artinya :

Hubungan kedua daerah tersebut baik dalam segala hal yaitu orang Bone bebas keluar masuk ke Toraja demikian pula sebaliknya orang Toraja tak akan diganggu jika masuk ke Bone

Pertemuan untuk mengadakan perjanjian tersebut diadakan di perbatasa Toraja dengan Bugis yaitu daerah yang bernama Malua sehingga perjajian ini disebut Basse Malua dimana Bugis diwakili oleh utusan raja Bone dan Arung Arung dari Sidenreng, dan Tondok Lepongan Bulan diwakili oleh pemimpin Topadatindo. Sejak itu hubungan kedua daerah pulih kembali dan pada awal abad ke-18 pedagang Bugis kembali masuk ke Toraja dan bangsawan Tondok Lepongan Bulan banyak belajar pada raja di Bugis tentang hukum pemerintahan dan ilmu perang. Mereka saling bertukar benda pusaka sebagai rasa persaudaraan antara mereka. Bangsawan dari Tondok Lepongan Bulan juga mengirimkan anak anak mereka untuk belajar mempergunakan senjata senjata api yang telah ada di Bugis dan ini berlangung sampai pertengahan abad de-19. Pada saat senjata api banyak dimiliki oleh bangsawan Tondok Lepongan Bulan maka mulailah terjadi perang saudara dan penjualoan budak dari yang kuatu ditukar dengan senjata api.

Perang terjadi dimana mana diantara para bangsawan, dan membuat beberapa bangsawan Tondok Lepongan Bulan bersekutu dengan pemimpin Bugis sekaligus mengadakan penyewaan tentara dan alat persenjataan untuk melawan sesama bangsawan di Tondok Lepongan Bulan. Datangnya para ahli perang Bugis ke Tondok Lepongan Bulan atas undangan bangsawan Toraja dikenal dengan datangnya Ande Ande Guru di Toraja. Seorang panglima perang dari Bone yang sangat terkenal nernama Petta Punggawae, disamping seorang dari Sidenreng yang bernama Wa Situru yang sangat lama tinggal di Toraja dan oleh sekutunya diberi gelar Andi Guru.

Kedatangan pemimpin perang Bugis tersebut adalah dalam rangka perang Kopi di Toraja sekitar tahun 1889 1890 , yaitu perang terbuka antara pedagang Kopi dari Bugis Sidenreng dan Sawitto melawan pedagang dari Luwu dimana masing-masing bersekutu dengan bangsawan di Toraja. Setelah Perang Kopi berakhir tanpa ada yang dinyatakan kalah, sebagian Ande Guru kembali termasuk Petta Punggawae dan ada yang tinggal mengikuti perang saudara termasuk Wa Situru bahkan ada yang kemudian menikah dengan bangsawan Toraja. Perang saudara yang tiada henti hentinya ini berlangsung sampai masuknya tentara kolonial Belanda pada tahun 1906 dan bermarkas di Rantepao pada bulan Maret 1906.

3. Masuknya Pemerintahan Kolonial Belanda

Setelah Belanda menaklukkan seluruh kerajaan yang ada di sekitar Tondok Lepongan Bulan dan terakhir kerajaan Luwu di Palopo, maka ekspedisi tentara Kolonial Belanda akhirnya masuk ke Toraja dan tiba di Rantepao pada bulan Maret 1906. Namun demikian kedatangan Belanda mendapat perlawanan sengit dari sebagian bangsawan Toraja antara lain :

a) Siambe Pong Tiku

b) Siambe Pong Simpin

c) Puang Laso Rinding

d) Puang Alla

e) Wa Saruran

f)

Bombing

g) Dll

Sebelum tentara Kolonial Belanda memasuki Tondok Lepongan Bulan, seluruh bangsawan Toraja mulanya mengadakan persetujuan untuk menghentikan perang saudara dan melawan kedatangan Belanda yang berkulit putih dan bermata kucing. Musyawarah tersebut diadakan di Tongkonan Buntu Pune, dekat Rantepao lalu dilanjutkan di Kalambe. Akan tetapi karena sesuatu dan lain hal maka timbul perpecahan sehingga perlawanan diadakan oleh masing-masing bangsawan.

Adapun yang paling terakhir ditaklukkan Kolonial Belanda adalah Siambe Pong Tiku dari Pangala. Beliau ditangkap pada suatu benteng di daerah Baruppu pada tanggal 30 Juni 1907 dan ditahan di Markas (Tangsi) Tentara Belanda di Rantepao. Pada tanggal 10 Juli 1907, Siambe Pong Tiku ditembak mati di pinggir sungai Sadan (Singki) ketika sedang mandi. Pongtiku adalah seorang pahlawan dan kini telah menjadi seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang melawan tentara Kolonial Belanda.

Pendudukan Belanda di Toraja sangat lancar karena tetap memberikan kekuasaan adat kepada tiap bangsawan penguasa daerah adat, namun harus tunduk kepada Kontroleur Belanda sebagai Kepala Daerah Onder Afdeeling.

Sejak pendudukannya, Belanda membagi daerah Toraja dalam 3 daerah yang digabungkan dengan satu daerah lain dalam bentuk pemerintahan OnderAfdeeling masing-masing :

1) Onder Afdeeling Enrekang untuk bagian selatan Tondok Lepongan Bulan

2) Onder Afdeeling Mamasa untuk bagian barat Tondok Lepongan Bulan

3) Ander Afdeeling Makale Rantepao untuk bagian utara dan timur Tondok Lepongan Bulan.

Masing-masing Onder Afdeeling itu kemudian digabungkan pada satu Afdeeling yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen sebagai Kepala Afdeeling di atas.

Penggabungan tersebut adalah :

1) Onder Afdeeling Enrekang digabung dengan Afdeeling Pare Pare

2) Onder Afdeeling Mamasa digabung dengan Afdeeling Mandar

3) Onder Afdeeling Makale Rantepao digabung dengan daerah lain seperti Basse Sangtempe, Seko dan Rongkong ke dalam Afdeeling Luwu.

NAMA DAN SEJARAH SINGKAT TORAJA

Monday, March 16, 2009 4:40 PM

A. NAMA

Sebelum kata Toraja digunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang dinamakan Tana Toraja, sebenarnya dahulunya adalah suatu negeri yang berdiri sendiri yang dinamai TONDOK LEPONGAN BULAN TANA MATARIK ALL