paraquat
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Gulma adalah tumbuhan yang umum berada di lingkungan hidup manusia,
dapat terlihat sadar atau tidak sadar, mampu menginfestasikan diri di sisi jalan,
pagar-pagar rumah, saluran air, kolam, kebun dan taman, lahan penggembalaan,
lahan pertanian, serta hutan. Gulma adalah bagian yang tidak terlepas dari dunia
pertanian dan mempengaruhi penggunaan lahan, nilai ekonomi lahan, serta nilai
estetika lahan.
Pengendalian gulma merupakan suatu ha1 yang mutlak dilakukan untuk
mempertahankan kesinambungan produksi pertanian karena gulma berkompetisi
secara kuat dengan tanaman pokok dalam mendapatkan cahaya, air, hara, dan
ruang hidup. Gulma juga mengganggu pemanenan dan proses pemeliharaan
tanaman pokok seperti pemupukan, selain itu dapat menjadi inang bagi hama,
penyakit, dan nematoda.
Penggunaan herbisida merupakan metode pengendalian secara kimia yang
menawarkan kemungkinan-kemungkinan untuk menghindari kerusakan fisik
akibat pengendalian secara mekanis maupun manual, menekan biaya yang tinggi,
mempersingkat waktu, dm penggunaan tenaga kerja yang lebih sedikit. Aldrich
(1984), menyatakan bahwa herbisida memberikan kontribusi yang cukup besar
dalam rancangan budidaya pertanian dengan meminimumkan kehilangan hasil
akibat gulma, dalam suatu sistem produksi pertanian.
Paraquat (1,1-dimetil,4,4-bipiridilium) merupakan bahan aktif herbisida jenis
gramoxone, yang banyak digunakan di lahan pertanian. Paraquat diklasifikasikan
sebagai herbisida golongan piridin yang non selektif dan digunakan untuk
membunuh gulma yang diaplikasikan pra-tumbuh dan pasca-tumbuh. Herbisida
pra-tumbuh diberikan sebelum gulma dan tanaman tumbuh. Herbisida pasca-
tumbuh disemprotkan bila gulma dan tanaman sudah tumbuh bersama-sama. Pada
keadaan ini herbisida harus benar-benar selektif dalam arti kata dapat mematikan
gulma tetapi aman bagi tanaman budidaya.
Penilaian resiko (risk assessment) lingkungan sangat mungkin untuk
mengasumsikan bahwa suatu perjalanan pemaparan adalah penting dan yang lain
tidak penting. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai risk assessment paraquat
baik di lingkungan terestrial, akuatik maupun terhadap manusia.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Struktur dan Sifat Paraquat
Paraquat telah disintesis pertama kali pada tahun 1882, tetapi
pemanfaatannya sebagai herbisida, baru dilakukan pada tahun 1955 oleh pusat
penelitian Jealott’s Hill ICI. Paraquat memiliki nama kimia 1,1-dimetil-4,4-
bipiridilium dan mempunyai nama lain paraquat dichloride, methyl viologen
dichloride, Crisquat, Dexuron, Esgram, Gramuron, Ortho Paraquat CL, Para-col,
Pillarxone, Tota-col, Toxer Total, PP148, Cyclone, Gramixel, Gramoxone,
Pathclear, AH 501.
Sesuai namanya, paraquat memiliki rumus molekul [C12H14N2]2+ dengan
struktur sebagai berikut (Cremlyn, 1991: 254):
Gambar 1. Paraquat (Kation 1,1-dimetil,4,4-bipiridilium)
Paraquat atau kation 1,1-dimetil,4,4-bipiridilium juga tersedia sebagai
garam dibromida ataupun diklorida dengan rumus [C12H14N2] Br2 atau [C12H14N2]
Cl2. Senyawa ini berwujud padatan berwarna putih bersih dan sangat larut dalam
air (Rahway, 1983; Lestari, 2000: 5). Struktur kimia [C12H14N2] Cl2 adalah sebagai
berikut (IPCS INCHEM, 1984: 11):
Gambar 2. 1,1-dimetil,4,4-bipiridilium diklorida
Paraquat memiliki kemampuan menyerap sinar radiasi ultra violet pada
panjang gelombang maksimum l= 260 nm, yaitu sebagai akibat transisi elektronik
p pada ikatan rangkap terkonjugasi dalam gugus bipiridil. Paraquat tereduksi
berwarna biru dan menyerap sinar pada panjang gelombang l = 600 nm (Cunnif,
1990; 227).
Tabel 1. Sifat Kimia dan Fisika Paraquat (European Commission, 2003: 8-9 )
Paraquat berbentuk kristal putih padat, higroskopis, warna merah tua dan
memiliki aroma amoniak yang menyengat. Paraquat dalam larutan, cepat
mengalami penguraian oleh sinar ultra violet sebagaimana telah terbukti bahwa
larutan kation 1,1-dimetil-4,4-dipiridilium klorida di tempat gelap selama tujuh
hari tidak mengalami pengurangan yang signifikan tetapi pada tempat yang terang
terjadi pengurangan hingga 85%. Ini disebabkan karena sinar ultra violet dari
matahari dapat membuka salah satu cincin piridin menghasilkan N-metil-4-
karboksipiridilium klorid dan selanjutnya menghasilkan metilamin hidroklorid
(Hassal, 1990; Lestari, 2000: 6).
Gambar 3. Degradasi fotokimia paraquat (IPCS INCHEM, 1984: 18)
Paraquat memiliki efikasi yang cepat dan cukup besar terhadap berbagai
jenis gulma berdaun sempit. Namun efeknya terhadap gulma bersifat sementara,
sehingga memerlukan aplikasi yang rutin. Senyawa xenobiotik ini bersifat stabil
di lingkungan asam, dan bersifat labil di lingkungan dengan pH basa.
2.2 Risk Assessment Paraquat
Tingginya intensitas aplikasi dan jumlah herbisida yang diaplikasikan
menimbulkan kekhawatiran yang cukup beralasan mengenai bahaya pencemaran
yang berasal dari residu herbisida yang tertinggal di lingkungan, khususnya dalam
tanah dan air. Residu herbisida dalam tanah dan air dikhawatirkan akan
menimbulkan gangguan kesehatan bagi manusia dan hewan serta dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman budidaya pada musim berikutnya.
Penggunaan herbisida paraquat memberikan manfaat bagi petani, yaitu
meningkatkan hasil produksi pertanian dengan mencegah hama. Di sisi lain,
herbisida juga memberikan dampak pencemaran lingkungan yang signifikan bagi
ekosistem, hal ini dikarenakan bahan aktif pestisda adalah POPS (Persisten
Organic Pollutans) (Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia, 2002: 7).
Penggunaan paraquat memiliki dampak yang cukup signifikan bagi
kerusakan lingkungan. Pencemaran tersebut menyebabkan gangguan pada
mikroorganisme tanah dan tanah kurang efisien karena bahan aktif herbisida
dijerap oleh tanah. Paraquat juga relatif stabil pada suhu, tekanan dan pH normal.
Hal ini memungkinkan paraquat lebih stabil di dalam tanah. Sifat paraquat juga
mudah larut dalam air, menjadikan paraquat sebagai senyawa yang mudah tercuci
oleh air hujan atau air irigasi, sehingga mencemari sistem perairan (Hartzler,
2002; Muktamar dkk, 2004: 12).
Melihat dampak yang ditimbulkan oleh paraquat terhadap lingkungan begitu
besar, maka perlu dilakukan risk assessment (penilaian resiko) lingkungan
terhadap paraquat baik di lingkungan terestrial, aquatik, maupun manusia.
Risk assessment terdiri dari empat tahap yaitu identifikasi bahan berbahaya
(hazard identification), penilaian atas dosis yang diberikan (dose-response
evaluation), analisis pemaparan (exposure assessment), dan karakterisasi resiko
(risk characterization).
Hazard identification didefinisikan sebagai penetapan apakah suatu jenis
bahan kimia memberikan atau tidak memberikan atau tidak memberikan pengaruh
terhadap kesehatan. Penetapan suatu bahan dikategorikan berbahaya biasanya
melalui penelitian dalam kondisi terkendali pada dosis-dosis tertentu. Terkait
dengan jenis herbisida, bahan kimia berbahaya yang digunakan adalah paraquat.
Berkaitan dengan kajian resiko ekologis, pengaruh penyebaran paraquat atau
dampak bahan berbahaya terhadap organisme non-target dikelompokkan sebagai
bahaya potensial.
Dose-response evaluation adalah penetapan berkaitan antara besarnya
pemaparan yang terjadi dan kemungkinan timbulnya efek merugikan. Banyak
bahan hanya akan menimbulkan efek yang merugikan hanya jika berada dalam
konsentrasi tinggi, misalnya beberapa inhibitor proteinase, sehingga
dikelompokkan memiliki tingkat bahaya rendah. Sebaliknya beberapa jenis
herbisida sudah menyebabkan gangguan kesehatan pada dosis yang rendah.
Exposure assessment adalah penetapan besarnya paparan oleh bahan
toksik dalam kondisi tertentu. Pemaparan paraquat terhadap spesies non-target
terkait dengan kajian resiko ekologis, sedangkan pemaparan terhadap manusia
dikategorikan sebagai kajian resiko terhadap kesehatan.
Risk characterization mempertimbangkan semua hal di atas. Selain itu
karakterisasi resiko memerlukan juga kajian kuantitatif mengenai kemungkinan
munculnya pengaruh buruk pada kondisi pemaparan tertentu misalnya satu di
antara 10.000 orang akan terganggu kesehatannya pada kondisi tersebut.
2.3 Potensi Resiko Paraquat
2.3.1 Potensi Resiko terhadap Tanaman
Paraquat merupakan salah satu herbisida yang penggunaannya begitu
luas. Paraquat merupakan herbisida kontak non selektif yang diaplikasikan ke
tanaman yang berhijau daun atau berklorofil. Paraquat membunuh jaringan
hijau tanaman dengan cepat pada kondisi intensitas cahaya yang tinggi karena
toksisitas paraquat tergantung pada fotosintesis (Anderson, 1977). Molekul
berbisida yang telah mengalami penetrasi ke dalam daun atau bagian
tumbuhan yang hijau, apabila terkena sinar matahari akan menghasilkan
hidrogen peroksida (H2O2) yang lcemudian merusak membran sel
(Tjitrosoedirdjo, Utomo dan Wiroatmodjo, 1984).
Paraquat merusak jaringan hijau tanaman, namun akan berubah dengan
cepat menjadi tidak aktif apabila kontak dengan tanah, karena adanya reaksi
antara muatan kation ganda pada paraquat dan muatan negatif dari mineral
liat yang menyebabkan ikatan kompleks tidak aktif. Paraquat mudah
diencerkan dan dicampur dengan herbisida lain karena kompatibilitasnya
tinggi (Tomlin, 1994).
Aktifitas dan reaksi kimia paraquat tergantung pada kationnya dan tidak
dipengaruhi sifat gabungan anion. Bagian aktif paraquat adalah garam
dikloridanya, dan tempat aksi terjadi pada kloroplas. Ion herbisida direduksi
melalui proses fotosintesis menjadi radikal stabil dan mengalami auto-
oksidasi membentuk ion bypiridilium serta H2O2 (LeBaron dan Gressel,
1982).
Penggunaan herbisida paraquat akan mempengaruhi proses fotosintesis,
yaitu menyebabkan aliran elektron ke NADP+ pada sistem cahaya I terhenti.
Paraquat bertindak sebagai penerima elektron kemudian mereaksikannya
dengan oksigen membentuk superoksida yang dapat merusak komponen lipid
dan membran kloroplas.
Penggunaan paraquat yang semakin meningkat dalam jangka panjang
dapat mengganggu keseimbangan ekosistem oleh karena keberadaan
residunya di dalam tanah. Keberadaan residu paraquat dalam tanah akan
terserap oleh tanaman melalui perakarannya sehingga jaringan tanaman akan
menjadi rusak dan akhirnya tanaman bisa mati kekeringan.
2.3.2 Potensi Resiko terhadap Tanah
Herbisida yang diaplikasikan untuk mengendalikan gulma, baik aplikasi
pratumbuh maupun pascatumbuh, sebagian akan diserap gulma atau tanaman,
sebagian akan hilang menguap, dan sebagian lagi akan tertinggal dalam
tanah, atau yang sering kita sebut sebagai residu herbisida. Herbisida yang
tertinggal ini sebagian akan diurai oleh mikroba tanah sedangkan sebagiannya
lagi akan bergerak secara horizontal melalui aliran permukaan ataupun secara
vertikal ke lapisan tanah yang lebih dalam, bahkan sampai air bawah tanah.
Perilaku herbisida dalam tanah sangat ditentukan oleh berbagai faktor
termasuk proses yang terjadi di dalam tanah dan karakteristik herbisida.
Beberapa hal yang mempengaruhi perilaku herbisida yang diaplikasikan
diantaranya adalah proses penguapan, metode aplikasi, formulasi herbisida,
jenis tanah dan tanaman, kelarutan herbisida, adsorpsi oleh tanah dan
tanaman, persistensi dan kondisi iklim (Waldron, 2003).
Menurut Zimdahl (1993) dan Waldron (2003) tanah yang tinggi
kandungan bahan organik dan liatnya mengadsorpsi herbisida lebih besar
daripada tanah berpasir sehingga dibutuhkan konsentrasi herbisida yang lebih
tinggi untuk mendapatkan aktivitas herbisida yang sama. Paraquat (1,1-
dimetil-4,4-bipiridin) merupakan bahan aktif beberapa jenis herbisida yang
banyak digunakan di lahan pertanian.
Herbisida paraquat merupakan bagian dari kelompok senyawa
bioresisten yang sulit terdegradasi secara biologis dan relatif stabil pada suhu,
tekanan dan pH normal. Hal ini memungkinkan paraquat teradsorpsi sangat
kuat oleh partikel tanah yang menyebabkan senyawa ini dapat bertahan lama
di dalam tanah (Sastroutomo, 1992). Paraquat diketahui sebagai senyawa
yang sangat toksik, dan keberadaannya di dala tanah sebesar 20 ppm mampu
menghambat perkembangan dan aktivitas bakteri Azotobacter dan Rhizobium
yang berperan dalam fiksasi nitrogen (Martani, dkk. 2001).
Herbisida Paraquat bila terdisosiasi akan membentuk kation dalam
larutan tanah dan akan difiksasi oleh pertukaran kation pada muatan negatif
permukaan koloid tanah. Sebagai herbisida kationik, paraquat akan terionisasi
sempurna dalam larutan tanah membentuk kation divalen dengan muatan
positif terdistribusi di sekeliling molekul, dan paraquat akan segera
teradsorpsi dan menjadi tidak aktif ketika kontak dengan koloid tanah
(Muktamar, dkk. 2003). Koloid mineral dan organik tanah adalah komponen
aktif tanah yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses adsorpsi
dan desorpsi herbisida di dalam tanah dan lingkungan. Ikatan Paraquat yang
terdisosiasi dengan koloid berbentuk ikatan kovalen sehingga fiksasi residu
herbisida ini sangat kuat, sehingga menjadi tidak aktif di dalam tanah.
Paraquat dapat masuk dalam ikatan antar lapisan kristal liat sehingga sangat
kuat difiksasi secara kovalen. Afinitas mineral tanah terhadap paraquat sangat
tinggi pada konsentrasi paraquat rendah, tetapi dengan semakin tinggi
konsentrasinya di dalam tanah dimana kapasitas adsorpsinya telah terjenuhi
maka paraquat akan terkonsentrasi pada larutan tanah.
Tingginya konsentrasi paraquat dalam larutan tanah, apabila datang
hujan, paraquat akan terbawah oleh aliran perkolasi ke dalam tubuh tanah dan
masuk ke dalam sistem drainase sehingga dapat mencemari lingkungan.
Adsorpsi herbisida oleh partikel tanah akan menyebabkan herbisida tersebut
tidak efektif dalam mengendalikan gulma dan bila akumulasinya di dalam
tanah tinggi, maka hal ini merupakan suatu residu yang dapat mencemari
lingkungan.
Muktamar et al. (2004) menyimpulkan bahwa kapasitas adsorpsi
maksimum bahan organik tanah terhadap paraquat adalah 7.14 cmol kg -1
sedangkan koefisien afinitasnya adalah 9,66, yang mengindikasikan bahwa
aplikasi paraquat >7,14 cmol kg-1 berpotensi menimbulkan pencemaran
terhadap lingkungan.
2.3.3 Potensi Resiko di Perairan
Air hujan dapat melarutkan pestisida yang tertahan dalam permukaan
tajuk tanaman, cabang dan ranting, selanjutnya mengalir ke permukaan tanah.
Melalui peristiwa infiltrasi, larutan pestisida tersebut dapat masuk ke dalam
tanah, dan/atau terbawa aliran permukaan, yang selanjutnya masuk ke dalam
sungai atau badan air lainnya, dan menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas air.
Sifat paraquat yang sangat mudah larut dalam air menjadikan paraquat
sebagai senyawa yang berpotensi untuk tercuci oleh air hujan maupun air
irigasi sehingga mencemari sistem perairan (surface and ground water)
(Hartzler, 2002).
Earnest (1971) memberikan paraquat pada kolam (empang) dengan
konsentrasi awal 1,14 ppm, ditemukan spesies Chara dan Spirogyra di
dalamnya dengan konsentrasi paraquat 300 dan 1300 ppm. Residu di dalam
air tidak terdeteksi setelah 16 hari, dan jumlah paraquat dalam lumpur adalah
1,13 ppm setelah 3 jam, dan 3,25 ppm setelah 99 hari.
Penggunaan paraquat sebagai herbisida air telah dikaji oleh Calderbank
(1970). Konsentrasi 1 ppm di perairan menyebabkan terakumulasi di
tanaman, tetapi berkurang menjadi 0,1 ppm setelah 4-7 hari. Pada kondisi
tersebut tidak membahayakan bagi ikan atau tidak menyebabkan akumulasi,
tetapi kematian dapat terjadi jika herbisida menyebabkan konsentrasi oksigen
di perairan berkurang.
2.3.4 Potensi Resiko terhadap Manusia
Herbisida paraquat memberikan efek toksik yang berbeda tergantung
bagaimana zat tersebut masuk ke dalam tubuh manusia. Beberapa di
antaranya, yaitu:
a. Oral
Merupakan jalan masuknya zat yang paling sering yang didasari adanya
tujuan bunuh diri. Tertelannya paraquat juga dapat terjadi secara
kebetulan atau dari masuknya butiran semprotan ke dalam faring,
namun biasanya tidak menimbulkan keracunan secara sistemik.
b. Inhalasi
Belum ada kasus keracunan sistemik yang dilaporkan dari paraquat
akibat inhalasi droplet paraquat yang ada di udara walaupun pada
penilitian pada hewan menunjukkan tingginya keracunan melalui
inhalasi. Efek toksik melalui inhalasi melalui semprotan biasanya hanya
berupa iritasi pada saluran pernapasan atas akibat deposit paraquat pada
daerah tersebut.
c. Kulit
Kulit normal yang intak merupakan barier yang baik mencegah absorbsi
dan keracunan sistemik. Namun, jika terjadi kontak yang lama dan lesi
kulit yang luas, keracunan sistemik dapat terjadi dan dapat
menyebabkan keracunan yang berat sampai kematian. Kontak yang
lama dan trauma dapat memperburuk kerusakan kulit, namun ini
terbilang jarang.
d. Mata
Konsentrat paraquat yang terpercik dapat menyebabkan iritasi mata
yang berat yang jika tidak diobati dapat menyebabkan erosi atau ulkus
dari kornea dan epitel konjungtiva. Inflamasi tersebut berkembang lebih
dari 24 jam dan ulserasi yang terjadi menjadi faktor resiko infeksi
sekunder. Jika diberikan pengobatan yang adekuat, penyembuhan
biasanya sempurna walaupun memakan waktu yang lama.
e. Parenteral
Keracunan sistemik jarang terjadi pada kasus akibat injeksi subkutan,
intraperitonial, dan intravena dari paraquat.
2.3.4.1 Farmakokinetik
Penelitian pada tikus dan anjing menunjukkan absorpsi paraquat yang
cepat tetapi tidak sempurna melalui traktus gastrointestinal khususnya
lambung, kira-kira kurang dari 5% diabsorpsi. Informasi absorpsi paraquat
melalui lambung pada manusia belum ada, tetapi bisa diasumsikan hal itu
dapat disamakan, namun masih perlu penilitian untuk mendukung hal
tersebut. Absorpsi melalui kulit yang tidak intak dapat terjadi, namun terbatas
hanya sekitar 0,3% dari dosis terapan.
Paraquat yang terabsorpsi didistribusikan ke semua organ dan jaringan
melalui aliran darah. Paru-paru merupakan organ selektif tempat
terkumpulnya paraquat dari plasma melalui suatu proses energi. House et al
(1990) menemukan bahwa waktu paruh paraquat sekitar 5 – 84 jam. Paraquat
tidak dimetabolisme tetapi direduksi menjadi radikal bebas yang tidak stabil,
yang kemudian mengalami reoksidasi untuik membentuk kation dan
menghasilkan anion superoksid.
Penelitian pada hewan menunjukkan paraquat diekskresi secara cepat
oleh ginjal. Sekitar 80-90% diekskresi dalam waktu 6 jam dan hampir 100%
dalam 24 jam. Paraquat dapat menyebabkan nekrosis tubular akut yang dapat
memperlambat ekskresi lebih dari 10-20 hari.
2.3.4.2 Patofisiologi
Ketika masuk dalam tubuh per oral dalam dosis yang adekuat, paraquat
mempunyai efek terhadap traktus gastrointestinal, ginjal, hepar, jantung, dan
organ lainnya. Paru-paru merupakan target organ utama dari paraquat dan
efek toksik yang dihasilkan dapat menyebabkan kematian walaupun toksisitas
melalui inhalasi terbilang jarang.
Mekanisme utama yang terjadi ialah paraquat menimbulkan stres
oksidatif melalui siklus redoks (reduksi oksidasi) sehingga membentuk
radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan. Radikal
bebas merupakan suatu kelompok bahan kimia baik berupa atom atau
molekul dengan reaksi jangka pendek yang memiliki satu atau lebih elektron
bebas. Atom atau molekul dengan elektron bebas ini dapat digunakan untuk
menghasilkan tenaga dan beberapa fungsi fisiologis di dalam tubuh. Namun
oleh karena mempunyai tenaga yang sangat tinggi, zat ini juga dapat merusak
jaringan normal apabila jumlahnya terlalu banyak. Radikal bebas yang terdiri
atas unsur oksigen dikenal sebagai kelompok oksigen reaktif (reactive oxigen
species / ROS), seperti anion superoksida (O2-).
Telah ditemukan bukti bahwa reaksi redoks merupakan reaksi utama
yang bertanggung jawab terhadap toksisitas paraquat. Kation paraquat dapat
direduksi oleh NADPH-dependent mikrosomal flavoprotein reductase
menjadi bentuk radikal tereduksi. Kemudian bereaksi dengan molekul
oksigen membentuk kation paraquat dan ion superoksida (O2-). Paraquat
berlanjut ke dalam siklus dari bentuk teroksidasi ke bentuk tereduksi dengan
elektron dan oksigen. Paraquat menyebabkan kematian sel melalui lipid
peroksidase atau deplesi NADPH, seperti yang terjadi pada paru-paru.
Brian J. Day (1999) dalam salah satu jurnalnya menggambarkan
bagaimana toksisitas paraquat juga melibatkan nitrc oxide synthase (NOS).
NOS adalah enzim yang memproduksi NO dan molekul lainnya dengan
mengkatalisis oksigen dan NADPH. Teori saat ini menjelaskan NO bereaksi
dengan O2- yang terbentuk dari paraquat untuk menghasilkan toksin
peroxynitrit. Dan dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa NOS
merupakan diaforase paraquat dan toksisitas berupa senyawa aktif redoks
melibatkan penurunan aktivitas NO. Diaforase adalah suatu kelas enzim yang
memindahkan elektron dari NADH atau NADPH ke molekul seperti
tetrazolium, quinon, dan paraquat. Biasanya diaforase paraquat merupakan
enzim oksidoreduktase yang terdiri dari flavin dan menggunakan NADH atau
NADPH sebagai elektron donor. Pada umumnya enzim diaforase yang dapat
bereaksi redoks dengan paraquat adalah sitokrom P450 reduktase.
Edema paru akut dan kerusakan paru-paru dini dapat terjadi dalam
beberapa jam akibat paparan akut yang berat. Kerusakan lanjut berupa
fibrosis paru, penyebab kematian, yang kebanyakan terjadi 7-14 hari setelah
paparan. Pada pasien yang terpapar dalam konsentrasi yang sangat tinggi,
beberapa di antaranya meninggal lebih cepat (sekitar 48 jam) akibat
kegagalan sirkulasi.
Baik pneumatosit tipe I maupun tipe II bergerak ke daerah akumulasi
paraquat. Biotrasnformasi dari paraquat di dalam sel-sel tersebut
menyebabkan produksi radikal bebas sehingga terjadi peroksidase lipid dan
kerusakan sel. Cairan protein hemoragik dan leukosit menginfiltrasi alveolus,
setelah terjadi proliferasi fibroblast yang cepat. Terjadi penurunan progresif
pada tekanan parsial oksigen arteri dan kapasitas difusi CO2. Kerusakan berat
pada pertukaran gas tersebut menyebabkan proliferasi yang cepat dari
jaringan ikat fibrous di dalam alveolus dan pada akhirnya kematian akibat
asfiksia dan anoksia jaringan.
Paraquat juga bersifat neurotoksik. Paraquat secara struktural
menyerupai neurotoksikan dopaminergik, yaitu 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-
tetrahydropyridine (MPTP). Akhirnya telah disadari bahwa paraquat dapat
menjadi faktor etiologi dari penyakit Parkinson.
Yang, Wonsuk (2005) pada penelitiannya mendapatkan adanya
hubungan antara toksistas paraquat terhadap dopaminergik akibat dari proses
stres oksidatif dan disfungsi proteasomal. Dari disertasinya dikemukakan
beberapa bukti dan kesimpulan yang mendukung hal tersebut, di antaranya:
a. Paraquat meningkatkan konsentrasi ROS pada sel saraf yang diteliti
(SY5Y5)
b. Paraquat menghambat aktivitas glutathione peroksidase.
c. Paraquat menurunkan potensial transmembran mitokondria (MTP).
d. Paraquat menyebabkan peningkatan malondialdehyde (MDA) yang
mengindikasikan kerusakan oksidatif pada komponen sel yang diteliti.
e. Paraquat menurunkan aktivitas proteasomal, aktivitas mitokondria, dan
tingkat ATP intrasel, yang mengindikasikan disfungsi mitokondria disertai
aktivasi jalur apoptosis.
Kerusakan pada tubulus proksimal ginjal sering bersifat reversibel
dibandingkan kerusakan yang terjadi pada jaringan paru-paru. Namun,
rusaknya fungsi ginjal menjadi penting sebagai penentu pengeluaran racun
dari paraquat. Sel tubulus normal secara aktif mengekskresi paraquat melalui
urin, secara efisien membersihkan racun dari dalam darah. Keracunan diquat
secara khas menyebabkan kerusakan yang lebih berat dibandingkan paraquat.
Nekrosis lokal dari miokardium dan otot rangka adalah kelainan utama
akibat keracunan dibandingkan jaringan otot lainnya, dan secara khas terjadi
sebagai fase kedua. Keracunan paraquat yang lama memberi efek toksik pada
otot lurik dan otot polos berupa miopati akibat degenerasi fiber otot tipe I.
Pernah dilaporkan keracunan melalui proses pencernaan menyebabkan edema
cerebral dan kerusakan pada otak.
2.3.4.3 Toksisitas
Gejala klinis yang timbul bergantung pada dosis atau konsentrasi racun
yang pada akhirnya menjadi dasar prognosis dari kasus keracunan paraquat:
Dosis rendah, yaitu < 20 mg/kg BB (7,5 ml dalam konsentrasi 20%) tidak
memberikan gejala atau hanya gejala gastrointestinal yang muncul
seperti muntah atau diare.
Dosis sedang, yaitu 20-40 mg/kg BB (7,5-15 ml dalam konsentrasi 20%)
menyebabkan fibrosis jaringan paru yang masif dan bermanifestasi
sebagai sesak napas yang progresif yang dapat menyebabkan kematian
antara 2-4 minggu setelah masuknya racun. Gangguan ginjal dan hati
dapat ditemukan. Sesak napas dapat muncul setelah beberapa hari pada
beberapa kasus berat. Fungsi ginjal biasanya dapat kembali ke normal.
Dosis besar, yaitu > 40 mg/kg BB (> 15 ml dalam konsentrasi 20%)
menyebabkan kerusakan multi organ, tetapi lebih progresif. Sering
disertai tanda khas berupa ulkus pada orofaring. Gejala gastrointestinal
sama seperti pada konsumsi racun dengan dosis yang lebih rendah namun
gejalanya lebih berat akibat dehidrasi. Gagal ginjal, aritmia jantung,
koma, kejang, perforasi oesofagus, dan koma kemudian diakhiri dengan
kematian yang dapat terjadi dalam 24-48 jam akibat gagal multi organ.
Tertelannya paraquat dengan dosis yang sedang (20-40 mg/kg BB) dapat
menyebabkan kelainan morbiditas yang terdiri dari 3 tingkat, yaitu:
a. Stage I : 1-5 hari. Efek korosif lokal seperti hemoptisis, ulserasi
membran mukosa, mual, diare, dan oligouria.
b. Stage II : dalam 2-8 hari didapatkan tanda-tanda kerusakan hati,
ginjal, dan jantung berupa ikterus, demam, takikardi, miokarditis,
gangguan pernapasan, sianosis, peningkatan BUN, kreatinin, alkali
fosfatase, bilirubin, dan rendahnya protrombin.
c. Stage III : dalam 3-14 hari terjadi fibrosis paru. Batuk, dispnea,
takipnea, edema, efusi pleura, atelektasis, penurunan tekanan O2
arteri yang menunjukkan hipoksemia, peningkatan gradien tekanan
O2 alveoli, dan kegagalan pernapasan.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan
kesimpulan besar dosis dan toksiknya pada manusia.
a. Estimasi dosis yang dapat diterima untuk manusia sekitar 0-0,005 mg ion
paraquat/kg BB
b. Estimasi dosis gejala akut 0,006 mg/kg BB
c. Estimasi insiden mortalitas dari keracu nan paraquat sekitar 33-50%.
Waktu merupakan faktor penting dalam menentukan seberapa besar
konsentrasi letal. Sebagai contoh, konsentrasi 100 g/L dalam 4 jam setelah
masuknya racun, mengindikasikan 70% kesempatan hidup, tetapi pada 20
jam mengindikasikan < 10% kesempatan hidup.
2.3.4.4 Gejala Klinis
Gejala yang timbul bergantung pada jalur masuk paparan dan
konsentrasi paraquat dalam tipa produknya. Pada kasus tertelannya paraquat
yang masif, dapat bermanifestasi muntah, nyeri abdomen, diare, gagal ginjal
dan hati, serta gagal jantung yang berkembang pada 24 jam pertama. Kadang-
kadang diakhiri dengan kematian akibat gagal jantung akut.
Gejala dan tanda dini dari keracunan melalui melalui pencernaan di
antaranya rasa terbakar pada mulut, kerongkongan, dada, perut atas, akibat
dari efek korosif paraquat terhadap mukosa. Diare yang kadang-kadang
dengan darah juga dapat terjadi. Muntah dan diare dapat berujung
hipovolemia. Pusing, sakit kepala, demam, mialgia, letargi, dan koma adalah
contoh lain dari gejala sistemik dan susunan saraf pusat (SSP). Pankreatitis
dapat menyebabkan nyeri abdomen berat. Proteinuria, hematuri, pyuria, dan
azotemia menunjukkan adanya kerusakan ginjal. Oligouria atau anuria
mengindikasikan adanya nekrosis tubular akut.
Oleh karena ginjal merupakan organ yang mengeliminasi paraquat dari
jaringan tubuh, gagal ginjal dapat terjadi akibat terbentuknya konsentrasi
tinggi, termasuk paru-paru. Kelainan patologik ini dapat terjadi dalam
beberapa jam pertama setela masuknya paraquat yang melalui pencernaan.
Asidosis metabolik dan hiperkalemia dapat terjadi akibat gagal ginjal.
Sebelum diberikan terapi untuk membatasi absorbsi dan efeknya, terjadi suatu
reaksi dari konsentrasi tersebut pada jaringan paru-paru. Hal ini menjadi
alasan mengapa metode terapi untuk mengeliminasi paraquat beberapa jam
setelah tertelan dapat menurunkan angka mortalitas.
Batuk, sesak napas, dan takipnea biasanya muncul 2-4 hari setelah
tertelannya paraquat, tetapi dapat muncul setelah 14 hari. Sianosis secara
progresif dan sesak napas menunjukkan adanya gangguan pertukaran oksigen
pada paru yang rusak. Pada beberapa kasus, batuk berdahak adalah awal dan
manifestasi terpenting dari kerusakan paru akibat paraquat.
Traktus gastrointestinal adalah tempat pertama atau keracunan fase I ke
permukaan mukosa melalui proses pencernaan dari zat tersebut. Keracunan
ini bermanifestasi sebagai edema dan nyeri akibat ulseratif pada mulut,
faring, oesofagus, lambung, dan usus. Pada derajat yang lebih tinggi,
keracunan gastrointestinal yang lain berupa kerusakan sel-sel hati yang
menyebabkan peningkatan bilirubin dan enzim hati seperti AST, ALT, dan
LDH. Beberapa penelitian menjelaskan tentang fenomena toksisitas pada hati
ini dan pada tahun 1977 oleh Cagen dan Gibson menemukan bahwa paraquat
tidak bersifat hepatotoksik pada jenis tikus tertentu.
Gejala pada kulit biasanya terjadi pada pekerja tani akibat keracunan
paraquat. Khususnya dalam bentuk konsentrat, paraquat menyebabkan
kerusakan lokal pada jaringan yang terpapar dengan zat tersebut. Kerusakan
lokal pada kulit berupa dermatitis kontak. Kontak yang lama akan
menyebabkan eritema, vesikel, erosi dan ulkus, dan perubahan pada kuku.
Walaupun absorbsi melalui kulit lambat, kulit yang erosif akan mempertinggi
tingkat absorbsinya.
Keracunan fatal dilaporkan telah terjadi akibat kontaminasi paraquat
yang lama, tetapi hal ini terjadi hanya pada kulit yang tidak intak. Kontak
yang lama pada kulit akan menimbulkan pengikisan atau ulserasi, yang cukup
untuk mempermudah absorpsi ke sistemik. Kontak racun pada kuku dapat
menyebabkan bintik putih atau pada kasusu berat dapat terjadi atrofi kuku.
Sebagai tambahan, beberapa pekerja tani dapat terpapar melalui inhalasi
semprotan dengan gejala perdarahan hidung akibat kerusakan lokal. Namun,
paparan melalui inhalasi tidak menyebabkan keracunan sistemik karena
penguapan dan konsentrasi yang rendah dari paraquat. Kontaminasi pada
mata menyebabkan konjungtivitis berat dan kadang-kadang berlanjut ke
kelainan kornea.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa herbisida paraquat dalam
dosis kecil akan memberikan dampak pencemaran terhadap lingkungan baik di
lingkungan terestrial, aquatik, maupun manusia. Dengan demikian penggunaan
herbisida paraquat sebagai pemberantas gulma perlu dibatasi penggunaannya
karena efeknya yang sangat toksik. Jika penggunaan herbisida ini ini tidak sesuai
peraturan yang ditetapkan, bahkan hanya ingin mendapatan keuntungan semata,
maka efek negatiflah yang justru menjadi perhatian bagi kita semua, terutama bagi
para konsumen yang akan mengonsumsinya.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrich, R.J. (1984). Weed Crop Ecology : Principles in Weed Management. Breeton Publisher.
Anderson, W.P. (1977). Weed Science : Principles. USA:West Publishing, Co.
Calderbank, A. (1970). Fate of paraquat in water. Outlook Agr., 6:128-130.
Cunnif, P. 1990. Official Methods of Analysis of AOAC International. Virginia.
Cremilin, R. J.W. (1991). Agrochemical: Preparation And Mode of Action. Canada:John Willey & Sons, Inc.
LeBaron, H.M. and J. Gressel. (1982). Herbicide Resistance in Plants. New York: John Wiley and Sons.
Lestari, S.W. (2000). Optimasi Metode Analisis Kuantitatif dan Penerapannya pada Studi Desorpsi 1,1- Dimetil 4,4-Bipiridilium Dalam Tanah Gambut.Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gajahmada Yogyakarta.
IPCS INCHEM. (1984). Paraquat and Diquat. Geneva: World Health Orgnization.
Muktamar, Z., Sukisno, dan N. Setyowati. (2004). Adsorpsi dan desorpsi herbisida paraquat pada Histosol. J. Agrotrop. IX(1): 1-7.
Santosa, Dwi Andreas. (2000). Analisis Resiko Lingkungan Tanaman Transgenik. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol. 3 (2) : 32-33.
Sastroutomo. (1992). Pestisida, Dasar-dasar dan Dampak Penggunaannya. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tjitrosoedirdjo, S., I.H. Utomo dan J.Wiroatmodjo. (1984). Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tomlin, C. (1994). The Pesticide Manual. 10th Edition. United Kingdom: British Crop Protection Publication.
Yang, Wonsuk. The Bipyridyl Herbicide Paraquat-Induced Toxicity In Human Neuroblastoma SH-S5Y5 Cells: Relevance To Dopaminergic Pathogenesis. Diakses pada tanggal 7 Mei 2012, di http://txspace.tamu.edu/bitstream/1969.pdf
Zimdahl, R.L. (1980). Weed crop Competition. USA: I.P.P.C. Oregon.
Tugas Toksikologi Lingkungan
RISK ASSESSMENT HERBISIDA PARAQUAT
DISUSUN OLEH:
NURHAYATI 03594
PROGRAM STUDI KIMIA
JURUSAN ILMU KIMIA PASCA SARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2012