paradigma penelitian studi kasus

5
Paradigma Penelitian pada Penelitian Studi Kasus Untuk memperjelas posisinya di dalam dunia penelitian ilmiah, peneliti yang menggunakan metoda penelitian studi kasus harus mengetahui dan memahami paradigma yang memayungi metoda yang dipergunakannya tersebut. Dengan memahami posisinya tersebut, peneliti dapat menempatkan penelitiannya dan pemikiran-pemikirannya pada posisi yang tepat dan memiliki alasan-alasan atas setiap pertanyaan yang berkaitan dengan posisinya tersebut. Bagian ini adalah kajian tentang paradigma penelitian yang menaungi atau menjadi landasan pemikiran metoda penelitian studi kasus. Adapun jenis-jenis paradigma penelitian yang digunakan adalah pada 2 (dua) paradigma penelitian besar, seperti yang telah dijelaskan pada bagian penelitian kualitatif di depan, yaitu: 1) paradigma positivitistik, 2) paradigma non-positistivistik atau postpositivistik. Lebih jauh, di dalam uraian yang telah dijelaskan di depan, paradigma postpositivistik dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu paradigma interpretif atau konstruktivistik, dan teori kritis. Jika dilihat dari karakteristik utamanya yang menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus berdasarkan pada paradigma penelitian postpositivistik. Pada dasarnya, paradigma postpositivistik memandang bahwa penelitian merupakan upaya untuk membangun pengetahuan langsung pada sumbernya. Oleh karena itu, peneliti pengikut paradigma ini memulai pemikirannya selalu berdasarkan dari bukti, fakta atau data sebagai awalan untuk membangun atau mengembangkan pengetahuan. Ciri utama paradigma ini adalah memandang bukti, fakta atau data sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, yang memiliki latar belakang atau makna tertentu yang sangat kontekstual dengan lingkungannya. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian bersifat orisinil. Dalam penerapan praktisnya, para peneliti penganut paradigma ini berupaya menghindari penggunaan teori, karena teori dipandang dapat membelenggu upaya untuk mengeksplorasi orisinalitas dari hasil penelitian. Pada umumnya, penelitian yang berdasarkan paradigma postpositivistik bersifat induktif. Data yang diperoleh merupakan data yang otentik dan aktual, tidak dipengaruhi oleh grand theories. Ungkapan dan penjelasan yang disampaikan oleh informan atau partisipan yang dilibatkan di dalam penelitian merupakan wujud ekspresi yang keluar dari pengalaman dan persepsi mereka terhadap konteks yang diteliti. Konsekuensinya, berbeda dengan penelitian positivistik yang terikat dengan grand theories, temuan-temuan penelitian berbasis paradigma postpositivistik ini bersifat spesifik, sangat sesuai dengan konteksnya. Dengan kata lain, kajian penafsiran data, termasuk penarikan kesimpulan dalam penelitian interpretif bersifat idiografik, yaitu dalam arti keberlakuannya bersifat lokal dan khusus, yang muncul dari informasi-informasi yang diperoleh secara otentik dan aktual. Tetapi pada berbagai uraian yang dijelaskan oleh para ahli, seperti yang dijelaskan oleh Yin (2003a, 2009), Creswell (2007), VanWynsberghe dan Khan (2007), Eckstein (2002), dan Lincoln dan Guba (2000), penelitian studi kasus dapat menggunakan teori. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian studi kasus juga bersifat positivistik. Penggunaan teori merupakan salah satu ciri penelitian yang menggunakan paradigma positivistik. Paradigma positivistik itu sendiri memandang bahwa realita ada, terkait dan dikendalikan oleh hukum alam, dan terpisah dari diri manusia. Oleh karena itu, paradigma ini menolak bentuk-bentuk interpretasi manusia ke dalam PDF Creator - PDF4Free v2.0 http://www.pdf4free.com

Upload: mohammad-ubaidul-izza

Post on 02-Oct-2015

17 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Bagian ini adalahkajian tentang paradigma penelitian yang menaungi atau menjadi landasan pemikiran metodapenelitian studi kasus. Adapun jenis-jenis paradigma penelitian yang digunakan adalah pada 2(dua) paradigma penelitian besar, seperti yang telah dijelaskan pada bagian penelitian kualitatifdi depan, yaitu: 1) paradigma positivitistik, 2) paradigma non-positistivistik atau postpositivistik

TRANSCRIPT

  • Paradigma Penelitian pada Penelitian Studi Kasus

    Untuk memperjelas posisinya di dalam dunia penelitian ilmiah, peneliti yang menggunakanmetoda penelitian studi kasus harus mengetahui dan memahami paradigma yang memayungimetoda yang dipergunakannya tersebut. Dengan memahami posisinya tersebut, peneliti dapatmenempatkan penelitiannya dan pemikiran-pemikirannya pada posisi yang tepat dan memilikialasan-alasan atas setiap pertanyaan yang berkaitan dengan posisinya tersebut. Bagian ini adalahkajian tentang paradigma penelitian yang menaungi atau menjadi landasan pemikiran metodapenelitian studi kasus. Adapun jenis-jenis paradigma penelitian yang digunakan adalah pada 2(dua) paradigma penelitian besar, seperti yang telah dijelaskan pada bagian penelitian kualitatifdi depan, yaitu: 1) paradigma positivitistik, 2) paradigma non-positistivistik atau postpositivistik.Lebih jauh, di dalam uraian yang telah dijelaskan di depan, paradigma postpositivistik dapatdibagi lagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu paradigma interpretif atau konstruktivistik, dan teorikritis.

    Jika dilihat dari karakteristik utamanya yang menggunakan pendekatan penelitian kualitatif,maka dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus berdasarkan pada paradigma penelitianpostpositivistik. Pada dasarnya, paradigma postpositivistik memandang bahwa penelitianmerupakan upaya untuk membangun pengetahuan langsung pada sumbernya. Oleh karena itu,peneliti pengikut paradigma ini memulai pemikirannya selalu berdasarkan dari bukti, fakta ataudata sebagai awalan untuk membangun atau mengembangkan pengetahuan. Ciri utamaparadigma ini adalah memandang bukti, fakta atau data sebagai sesuatu yang berdiri sendiri,yang memiliki latar belakang atau makna tertentu yang sangat kontekstual denganlingkungannya. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian bersifatorisinil. Dalam penerapan praktisnya, para peneliti penganut paradigma ini berupayamenghindari penggunaan teori, karena teori dipandang dapat membelenggu upaya untukmengeksplorasi orisinalitas dari hasil penelitian.

    Pada umumnya, penelitian yang berdasarkan paradigma postpositivistik bersifat induktif. Datayang diperoleh merupakan data yang otentik dan aktual, tidak dipengaruhi oleh grand theories.Ungkapan dan penjelasan yang disampaikan oleh informan atau partisipan yang dilibatkan didalam penelitian merupakan wujud ekspresi yang keluar dari pengalaman dan persepsi merekaterhadap konteks yang diteliti. Konsekuensinya, berbeda dengan penelitian positivistik yangterikat dengan grand theories, temuan-temuan penelitian berbasis paradigma postpositivistik inibersifat spesifik, sangat sesuai dengan konteksnya. Dengan kata lain, kajian penafsiran data,termasuk penarikan kesimpulan dalam penelitian interpretif bersifat idiografik, yaitu dalam artikeberlakuannya bersifat lokal dan khusus, yang muncul dari informasi-informasi yang diperolehsecara otentik dan aktual.

    Tetapi pada berbagai uraian yang dijelaskan oleh para ahli, seperti yang dijelaskan oleh Yin(2003a, 2009), Creswell (2007), VanWynsberghe dan Khan (2007), Eckstein (2002), dan Lincolndan Guba (2000), penelitian studi kasus dapat menggunakan teori. Hal ini menunjukkan bahwapenelitian studi kasus juga bersifat positivistik. Penggunaan teori merupakan salah satu ciripenelitian yang menggunakan paradigma positivistik. Paradigma positivistik itu sendirimemandang bahwa realita ada, terkait dan dikendalikan oleh hukum alam, dan terpisah dari dirimanusia. Oleh karena itu, paradigma ini menolak bentuk-bentuk interpretasi manusia ke dalam

    PDF Creator - PDF4Free v2.0 http://www.pdf4free.com

  • fakta, karena dapat menghilangkan kemurnian realita yang terkandung di dalam fakta. Penelitiberperan hanya untuk mengungkapkan realita tersebut senyatanya, dan tidak diperkenankanmenginterpretasikannya menurut kehendaknya sendiri. Dengan kata lain, penelitian ini harusbersifat bebas dari campur tangan penelitinya, sehingga hasilnya bersifat obyektif dan bebasnilai. Karena mengungkapkan realita dari hukum-hukum alam, analisis dalam penelitianpositivistik selalu mengkaitkan dengan hukum-hukum alam yang direpresentasikan dalam wujudgrand theories. Mengingat bahwa realita atau kebenaran terikat dengan hukum alam, penelitiandilakukan untuk menggalinya berdasarkan teori atau kebenaran yang telah diakui dan mapan.Teori-teori tersebut dipergunakan untuk membangun prediksi konsep atau teori tentangkebenaran yang diverifikasi atau diuji teori melalui penelitian. Dalam prakteknya, prediksitersebut berupa hipotesis yang dibangun dari teori, dan diuji melalui serangkaian instrumenpenelitian yang terstruktur.

    Berdasarkan karakteristiknya yang demikian, secara khusus, VanWynsberghe dan Khan (2007)menjelaskan bahwa posisi penelitian studi kasus adalah unik, ia tidak sekedar metoda penelitian,rancangan penelitian atau metodologi. Mereka lalu menempatkan posisi dan peran penelitianstudi kasus sebagai transparadigmatik heuristik dan transdisipliner yang berupayamenggambarkan secara detail dan terperinci terhadap bukti-bukti fenomena yang telahdikumpulkan, dalam berbagai bentuknya, seperti seperti peristiwa, konsep, program, dan proses.Hal ini tampaknya sesuai dengan pendapat Stake (2005) yang menyatakan bahwa keunikanpenelitian studi kasus adalah bukan pada metoda atau perancangan penelitiannya, tetapi justrupada pemilihan kasus yang ditetapkan sebagai obyek penelitian. Karakteristik kasus inilah yangmenentukan di dalam penentuan strategi, metoda dan rancangan penelitiannya.

    Menurut VanWynsberghe dan Khan (2007), posisi penelitian studi kasus disebuttransparadigmatik, karena relevan terhadap semua paradigma penelitian dan bahkan dapatterlepas dari paradigma penelitian seseorang, baik positivistik maupun postpositivistik, yangterdiri dari teori kritis maupun konstruktivistik atau interpretif. Transparadigmatik itu sendirimenggambarkan adanya cara pandang lintas paradigma. Cara pandang ini muncul karena adanyakeinginan untuk tidak terikat kepada salah satu paradigma, tetapi lebih menekankan padasubstansi, obyek atau target yang hendak dikaji. Dengan cara yang demikian, kajian dapatdilakukan dengan lebih leluasa, menyesuaikan dengan karakteristik sunstansi, obyek atautargetnya tersebut, serta kemampuan, pengalaman dan pengetahuan pengkaji atau penelitinya.Dalam kondisi tertentu, penggunaan transparadigmatik juga dimaksudkan untuk membangun danmengembangkan paradigma campuran dari paradigma yang ada, dan bahkan paradigma yangsama sekali baru.

    Sementara itu, penelitian studi kasus dapat disebut bersifat transdisipliner, karena penelitian studikasus tidak memiliki orientasi pada disiplin tertentu secara khusus, sehingga dapat digunakanberbagai disiplin, seperti ilmu sosial, ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan, bisnis, seni rupa, danpenelitian humaniora. Karakteristik yang demikian juga menggambarkan bahwa penelitian studikasus lebih menekankan pada kasus sebagai obyek penelitian (Stake, 2005), dan tidak terikatpada disiplin ilmu yang menaungi penelitian. Dengan kata lain, suatu kasus dapat diteliti dariberbagai sudut pandang disiplin ilmu. Untuk lebih jelasnya, perhatikan pernyataan merekaberikut ini:

    PDF Creator - PDF4Free v2.0 http://www.pdf4free.com

  • We also propose a more precise and encompassing definition that reconciles various definitionsof case study research: case study is a transparadigmatic and transdisciplinary heuristic thatinvolves the careful delineation of the phenomena for which evidence is being collected (event,concept, program, process, etc.). By transparadigmatic, we mean that case study is relevantregardless of ones research paradigm (i.e., postpositivism, critical theory, constructivism). Bytransdisciplinary, we are suggesting that case study has no particular disciplinary orientation;that is, it can be used in social science, science, applied science, business, fine arts, andhumanities research, for example (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 1).

    Pendapat VanWynsberghe dan Khan (2007) tersebut berdasarkan kenyataan munculnyaperdebatan tentang karakteristik dan posisi penelitian studi kasus yang dijelaskan oleh para ahli,terutama tentang adanya 5 (lima) kesalahpahaman tentang penelitian studi kasus yang dijelaskanoleh Flyvbjerg (2001) yang telah menjadi mitos di dalam penelitian studi kasus. Berdasarkankajian mereka atas artikel Flyvbjerg tersebut, VanWynsberghe dan Khan meyakini bahwa posisipenelitian studi kasus adalah unik, tidak sekedar metoda penelitian, rancangan penelitian ataumetodologi.

    Penelitian studi kasus dapat dilakukan dalam paradigma positivistik (VanWynsberghe dan Khan,2007). Dalam paradigma ini, peneliti menemukan dan meneliti kasus-kasus, serta dapatmenghasilkan dan menguji hipotesis tentang dunia nyata yang mereka teliti. Hipotesis tersebutdibangun dengan menggunakan logika deduktif. Teori dan pengetahuan yang telah berkembangsebelumnya dikaji oleh peneliti untuk membangun dan mengembangkan pengetahuannnyasendiri tentang substansi penelitiannya. Pengetahuannya tersebut dipergunakannya sebagailandasan untuk menetapkan hipotesis. Hipotesis ini kemudian diuji dengan menggunakan buktiempiris dari data-data hasil pengumpulan datanya di lapangan.

    Secara khusus, di dalam banyak penelitian studi kasus, teori dibutuh untuk membangun danmengembangkan proposisi penelitian. Proposisi penelitian bersifat seperti hipotesis, tetapi lebihbersifat komprehensif karena tidak hanya merupakan jawaban sementara atas pertanyaanpenelitian, tetapi juga konsep diskripsi kasus yang diteliti secara menyeluruh berdasarkanpengetahuan atau teori yang ada. Dalam hal ini, teori untuk membangun proposisi di dalampenelitian studi kasus dibutuhkan apabila peneliti memandang kasus yang ditelitinya memilikiposisi yang penting di dalam pengembangan pengetahuan atau teori yang telah ada. Dengan katalain, kebenaran yang terkandung di dalam kasus tersebut dapat mempengaruhi kebenaran yangada di dalam teori-teori yang telah diakui kebenarannya.

    Penelitian studi kasus juga dapat dilakukan dalam paradigma interpretif (VanWynsberghe danKhan, 2007). Paradigma interpretif merupakan paradigma yang memandang bahwa kebenaran,realitas atau kehidupan nyata tidak memiliki satu sisi, tetapi dapat memiliki banyak sisi, sehinggadapat dikaji dari berbagai sudut pandang. Paradigma ini menolak adanya anggapan bahwakebenaran atau pengetahuan yang telah ada harus selalu diverifikasi, sehingga kelak suatukebenaran yang tunggal dapat tercapai dan terbangun. Paradigma ini memandang bahwa realitadunia ini terdiri dari banyak kebenaran yang saling terkait. Untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran tersebut dan keterkaitannya, manusia harus memiliki kemampuan untukmenginterpretasikan atau menafsirkan setiap fenomena yang dapat ditangkap oleh inderawinya.

    PDF Creator - PDF4Free v2.0 http://www.pdf4free.com

  • Penelitian studi kasus menggunakan paradigma interpretif apabila penelitinya memandang obyekyang ditelitinya memiliki keunikan tersendiri dan mengandung kebenaran yang orisinil, sehinggamemposisikannya sebagai kasus yang ditelitinya sebagai kasus. Keunikan tersebut seringkalimuncul karena keterikatan obyek tersebut terhadap konteks lingkungannya, seperti terhadapruang dan waktu terjadinya kasus tersebut, sehingga dipandang tidak atau jarang terjadi danterdapat di tempat dan waktu yang lain. Hal ini menyebabkan metoda yang dipergunakan didalam penelitian studi kasus yang demikian, pada umumnya bersifat alamiah, karena sangatterikat pada konteks yang sebenarnya. Akibatnya, kebenaran atau pengetahuan yang dihasilkandari penelitian yang demikian pada umumnya bersifat lokalitas dan kontekstual.

    VanWynsberghe dan Khan (2007) juga memandang bahwa penelitian studi kasus juga dapatdipergunakan pada penelitian yang menggunakan paradigma teori krisis. Seperti telah dijelaskandi depan, paradigma ini memandang bahwa teori-teori yang mengandung kebenaran-kebenarantersebut tidak selamanya mutlak benar, karena pada kenyataan praktisnya, kebenaran-kebenarantersebut berbeda dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, mereka selalu memandang bahwateori-teori yang dibangun oleh para pakar harus selalu sesuai kenyataan yang sebenarnya,sehingga dapat selalu bermanfaat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa mereka selalu berupayamengkaji kesesuaian antara ontologi, epistemologi dan aksiologi dari teori-teori yang ada. Olehkarena itu, para penganut teori kritis menganggap perlunya selalu mengkritisi grand theoriesyang telah diakui kebenarannya, agar teori-teori tersebut selalu dapat sesuai denganperkembangan jaman, sehingga dapat selalu memberikan manfaat di dalam penyelesaianpermasalahan-permasalahan sosial manusia.

    Peneliti studi kasus yang menggunakan paradigma teori kritis menempatkan kasus, baik tunggalmaupun jamak, yang ditelitinya sebagai fakta yang dapat membuktikan adanya ketidaksesuaianantara kebenaran yang dianut selama ini dengan kehidupan nyata yang sebenarnya. Kebenaran-kebenaran yang berhasil digali dari kasus yang diteliti dipergunakan untuk mengkritisikebenaran-kebanaran yang terkandung pada teori-teori yang selama ini diakui kebenarannya.Untuk melakukan penelitian yang demikian, peneliti harus memiliki kemampuan untukmengkonstruksikan karakteristik dari kasus yang ditelitinya menjadi konsep atau teori yangdapat menunjukkan adanya ketidaksesuaian, kelemahan atau bahkan ketidakakuratan dari teoriyang selama ini diakui kebenarannya.

    Jika dilihat dari kesejarahan perkembangan munculnya penelitian studi kasus, Johansson (2003)melalui artikel yang diterbitkan melalui websitenya, menyatakan bahwa paradigma penelitianyang menaungi penelitian studi kasus pada era perkembangan yang pertama adalah paradigmahermeunitik (hermeunitics). Paradigma hermenitik menekankan pada upaya manusia untukmengiterpretasikan segala sesuatu yang ada di dunia dengan kemampuannya sendiri. Akar katahermeneutik dalam Bahasa Yunani dalah hermeneuein, yang berarti menafsirkan, yang dalambentuk kata bendanya hermeneid yang berarti tafsir, penafsiran atau interpretasi. Dalamperwujudan praktisnya, metoda hermeneutik adalah cara-cara untuk menafsirkan simbol-simbolyang terwujud dalam teks atau bentuk-bentuk lainnya. Oleh karena itu, secara singkat dapatdikatakan bahwa paradigma hermeunitik adalah ragam lagi dari penamaan untuk paradigmapostpositivistik, konstruktivistik atau interpretif. Melalui paradigma hermeunitik, generasiperkembangan pertama metoda penelitian studi kasus terwujud pada penelitian antropologis ataupenelitian lapangan.

    PDF Creator - PDF4Free v2.0 http://www.pdf4free.com

  • Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada perkembangan generasi kedua, pada era tahun 1990-an, 2000-an, hingga sekarang, penelitian studi kasus terbagi menjadi 2 (dua) aliran denganparadigma yang berbeda. Aliran pertama adalah penelitian studi kasus yang tetap berdasarkanpada paradigma hermeunitik atau postpositivistik, yang didorong oleh pendapat Stake, Pattondan Flyvbjerg. Jika dikembangkan lagi, termasuk diikuti oleh Creswell dan Dooley. Sedangkanaliran yang kedua adalah penelitian studi kasus yang dikembangkan dengan menggunakanparadigma positivistik, yang dikembangkan oleh Yin. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipangambar berikut ini:

    Gambar: Sejarah Perkembangan Penelitian Studi Kasus (Sumber: Johansson, 2003,diunduh dari www.infra.kth.se/~rolfj/Foufaces2003.pdf)

    PDF Creator - PDF4Free v2.0 http://www.pdf4free.com