para ulama fiqh

3
Para Ulama Fiqh (Imam yang berempat, Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali ) dan pendapat mereka dalam hal boleh tidaknya membaca shalawat atau disebut sebagai at-tarqiyyah (dengan cara meninggikan suara bagi muroqi untuk membaca shalawat) ketika Khatib sedang duduk di antara dua khotbah. Pada prinsipnya berbicara atau meninggikan suara bagi muroqi baik membaca do'a atau shalawat kepada Nabi di antara khutbah pertama dan khutbah ke dua adalah tidak diperbolehkan karena dalil sharieh (Hadits Shahih) yang mengatakan: ت ص ن أ عة م ج ل وم أ ي ت ط خ يام م وألإ ك ب ح صا ل ت ل ق أ ذ أ وت لغ د ق فApabila engkau berkata kepada teman engkau sedangkan Imam (maksudnya Khotib) sedang berkhotbah di hari Jum'at : Hai tenanglah kamu! maka kamu telah berbuat sia-sia.( Hadits diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dalam Kitab Jum'ah). Ulama Fiqh menyebutkan Bid'ah (mengada-ada) hukumnya sebagian manusia berbicara ketika Khatib berkhutbah di hari Jum'ah dengan pengertian berbicara dalam Masjid ketika Khatib berkhotbah adalah bid'ah, tercela dan makruh, tidak boleh (dilarang). Jama'ah shalat Jum'at wajib tenang/diam mendengarkan. Ini pendapat Imam Maliki (Malikiyah), sedang Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) berpendapat at-tarqiyyah "makruh" yang mendekati "haram" (dilarang keras) baik itu hanya sekedar membaca do'a atau shalawat kepada Nabi, ataupun percakapan tentang urusan dunia dan dapat merusak ibadah Jum'at. Pendapat ini adalah yang terkuat. Boleh meng-amin-kan do'a Khatib tetapi dengan sier (tidak terdengar oleh orang lain). Adapun Imam Syafi'i berpendapat bahwa membaca do'a dan shalawat di Masjid sudah dikenal sejak lama (boleh/jaiz), tidak salah kalau berdo'a dan membaca shalawat kepada Nabi, tetapi tidak berlebihan dengan mengeraskan suara, tidak dengan suara keras (jahar), sebaiknya tidak terdengar bagi orang disampingnya (bacaan sier : pen ) . Imam Syafi'i tidak menyebutnya sebagai sunnah, cuma diperbolehkan saja. Memang banyak terjadi dibeberapa Masjid ketika Khatib duduk antara dua khutbah, muadzin atau muroqi membaca shalawat kepada Nabi, dengan suara keras bahkan agar lebih keras mereka memakai mikrofon. Di antaranya mereka di beberapa masjid ada yang membaca bacaan seperti ini : Allahumma Shalli wasallim wazid wa an 'im watafadhal wabaarik bijalaalika wa kamaalika alaa asyrafi ibadika, sayyidina wa maulana Muhammadin wa 'an kulii shahaabati Rasulillahi ajma'iin.. Bacaan ini digolongkan kepada bid'ah. Tentang bid'ah, Hadist Nabi mengatakan: ة/ حدث م ل ك دعة ب ار ب ل ى أ ف إلة ل ص ل ل أ ك و إلة ل ض دعة ل ب ك و"Setiap yang baru dalam hal agama (tidak ada perbutan itu dimasa Nabi) adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat, setiap yang sesat itu tempatnya neraka.

Upload: ikmal-muntadhor

Post on 05-Dec-2014

34 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

usul fiqh

TRANSCRIPT

Page 1: Para Ulama Fiqh

Para Ulama Fiqh (Imam yang berempat, Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali ) dan pendapat mereka dalam hal boleh tidaknya membaca shalawat atau disebut sebagai at-tarqiyyah (dengan cara meninggikan suara bagi muroqi untuk membaca shalawat) ketika Khatib sedang duduk di antara dua khotbah.

Pada prinsipnya berbicara atau meninggikan suara bagi muroqi baik membaca do'a atau shalawat kepada Nabi di antara khutbah pertama dan khutbah ke dua adalah tidak diperbolehkan karena dalil sharieh (Hadits Shahih) yang mengatakan:

أنصت الجمعة يوم يخطب واإلمام لصاحبك قلت لغوت إذا فقد

Apabila engkau berkata kepada teman engkau sedangkan Imam (maksudnya Khotib) sedang berkhotbah di hari Jum'at : Hai tenanglah kamu! maka kamu telah berbuat sia-sia.( Hadits diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dalam Kitab Jum'ah).

Ulama Fiqh menyebutkan Bid'ah (mengada-ada) hukumnya sebagian manusia berbicara ketika Khatib berkhutbah di hari Jum'ah dengan pengertian berbicara dalam Masjid ketika Khatib berkhotbah adalah bid'ah, tercela dan makruh, tidak boleh (dilarang). Jama'ah shalat Jum'at wajib tenang/diam mendengarkan. Ini pendapat Imam Maliki (Malikiyah), sedang Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) berpendapat at-tarqiyyah "makruh" yang mendekati "haram" (dilarang keras) baik itu hanya sekedar membaca do'a atau shalawat kepada Nabi, ataupun percakapan tentang urusan dunia dan dapat merusak ibadah Jum'at. Pendapat ini adalah yang terkuat. Boleh meng-amin-kan do'a Khatib tetapi dengan sier (tidak terdengar oleh orang lain). Adapun Imam Syafi'i berpendapat bahwa membaca do'a dan shalawat di Masjid sudah dikenal sejak lama (boleh/jaiz), tidak salah kalau berdo'a dan membaca shalawat kepada Nabi, tetapi tidak berlebihan dengan mengeraskan suara, tidak dengan suara keras (jahar), sebaiknya tidak terdengar bagi orang disampingnya (bacaan sier : pen ) . Imam Syafi'i tidak menyebutnya sebagai sunnah, cuma diperbolehkan saja.

Memang banyak terjadi dibeberapa Masjid ketika Khatib duduk antara dua khutbah, muadzin atau muroqi membaca shalawat kepada Nabi, dengan suara keras bahkan agar lebih keras mereka memakai mikrofon . Di antaranya mereka di beberapa masjid ada yang membaca bacaan seperti ini : Allahumma Shalli wasallim wazid wa an 'im watafadhal wabaarik bijalaalika wa kamaalika alaa asyrafi ibadika, sayyidina wa maulana Muhammadin wa 'an kulii shahaabati Rasulillahi ajma'iin..

Bacaan ini digolongkan kepada bid'ah. Tentang bid'ah, Hadist Nabi mengatakan:

محدثة النار بدعةكل فى الضاللة وكل ضاللة بدعة وكل

"Setiap yang baru dalam hal agama (tidak ada perbutan itu dimasa Nabi) adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat, setiap yang sesat itu tempatnya neraka.

“Tidaklah seseorang mandi dan bersuci semampunya pada hari Jum’at, memakai minyak rambut atau memakai minyak wangi di rumahnya kemudian keluar lalu dia tidak memisahkan antara dua orang (dalam shaff) kemudian mengerjakan shalat dan selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika khatib berkhutbah, melainkan akan diberikan ampunan kepadanya (atas kesalahan yang terjadi) antara Jum’atnya itu dengan Jum’at yang berikut-nya.” (HR. Bukhari No. 883)

Cara Khatib Mengangkat Tangan Ketika Membaca Doa Pada Akhir khutbah Ke dua

Berdoa sambil mengangkat tangan merupakan sunnah Nabi . Telah diriwayatkan bahwa khatib apabila berdoa di mimbar pada khutbah kedua, hendaklah menggunakan jari telunjuknya dan bukannya mengangkat kedua tangan. Malah salah seorang sahabat ('Umran ibn Ru'aibah) telah mengutuk seorang khatib (Bishr ibn Marwan) yang berdo'a sambil mengangkat tangan dan berkata:

ال/َي0د0ي/ِن- اَت0َي/ِن- َه0 الل6ُه4 ب6َح0 َك0َذ0ا ق0 َه0 ب-َي0د-ِه- وَل0 ي0ق4 ْن/أ0 ع0ل0ى ي0ِز-يد4 ا م0 ل6َم0 و0َس0 ع0ل0َي/ُه- الل6ُه4 ل6ى َص0 الل6ُه- وَل0 َس4 ر0 أ0ي/ت4 ر0 د/ ل0ق0

ة- بAح0 ال/م4َس0 ب0ع-ُه- ب-ِإ-َص/ ار0 َش0أ0 و0

"Semoga Allah memburukkan kedua-dua tangannya. Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melainkan tidak lebih dari ini dengan tangannya: dan dia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya [dalam berdo'a]" (Hadith Riwayat Muslim, no. 874 dan Abu Daud, no. 1104)

Page 2: Para Ulama Fiqh

Imam Al-Nawawi rahimahullah ketika mengulas hadits ini didalam Syarah Shahih Muslim menyatakan bahwa ini menunjukkan bukanlah menjadi sunnah mengangkat kedua tangan bagi khatib ketika sedang membaca doa didalam khutbah jumaat.

Maksud amalan mengisyaratkan jari telunjuk itu adalah ditujukan kepada khatib yang sedang membaca do'a ketika menyampaikan khutbah; dimana khatib cuma perlu mengisyaratkan saja jarinya tanpa mengangkat kedua tangannya. Makmum tidak perlu melakukannya, sekadar meng'amin'kan dengan suara perlahan.

____________________________________________________

LBM MWC NU WIRADESA (Lembaga Bahtsul Masail Majelis Wilayah Cabang Nahdatul Ulama Pekalongan) INILAH BLOG MILIK

LBM MWC NU WIRADESA PEKALONGAN JAWA TENGAH INDONESIA

Membaca Sholawat Diantara Dua Khutbah.

Deskripsi masalah :Sebagaimang kita ketahui diantara dua khutbah adalah waktu mustajab untuk berdoa dimana kalau kita berdoa insya Allah akan dikabulkan oleh Allah SWT . Tetapi biasanya pada saat itu Muroqi membaca sholawat Nabi sehingga para jamaah harus menjawab sholawat Nabi tersebut.

Pertanyaan :1. Sebetulnya adakah anjuran membaca sholawat Nabi pada waktu diantara dua khutbah ?2. Manakah yang lebih utama membaca sholawat Nabi dan berdoa ? (PP.Asma'Chusna Kranji Kedungwuni)

Jawaban untuk pertanyaan nomor satu (Sebetulnya adakah anjuran membaca sholawat Nabi pada waktu diantara dua khutbah ?

Jawab : Secara spesifik memang tidak ada , bahkan Nabi sendiri tidak berbicara ketika beliau duduk diantara dua khutbah (lihat SUNAN ABU DAWUD I/245 cet Darul fikri thn 1410 H , SUNAN NASAI III/191 cet Thoha Putera Semaramg tahun 1348 H , MUSHONNAF 'ABDURROZZAAQ hadits roqm 5257/www.islamweb.net) , namun hal tersebut tidak menafikan untuk berdzikir ataupun berdoa pada waktu tersebut dengan suara lirih , sebagaimana diterangkan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar al Asqolani dalam kitab "FATHUL BARI" II/576-577 cet Dar Mishr thn 1421 H ,

قاَل : } المفضل بِن بشر حدثنا قاَل مَسدد حدثنا ، الجمعة يوم الخطبتَيِن بَيِن القعدة باب وعبارَتُهيخطبخطبتَيِن : وَسلَم وآلُه علَيُه اللُه النبيَصلي كاْن قاَل اللُه عبد عِن نافع عِن اللُه عبَيد حدثنا

كاْن { ( ) ... " يخطبخطبتَيِن كاْن بلفظ داود أبو ورواِه بَينهما يقعد يخطبخطبتَيِن قولُه بَينهما يقعدفَيخطب يقوم ثَم المؤذْن يفرغ حتي المنبر َصعد فَيخطب يجلسإذا يقوم ثَم يتَكلَم يجلسفال "ثَم

أو اللُه يَذكر أْن نفي لَيسفَيُه لَكِن فَيُه كالم ال الخطبتَيِن الجلوسبَيِن حاَل أْن َهَذا مِن واَستفَيدانتهي ... . اإلخالص َسورة يقرأ ما وبقدر اإلَستراحة جلَسة بقدر بوجوبها قاَل مِن وقدرَها َسرا . يدعوِه