paper ppkn

8
  Pendahuluan Penerimaan perpajakan merupakan sumber pendapatan yang utama dalam APBN. Selama lima tahun terakhir, penerimaan perpajakan rata-rata sekitar 70 persen dari total pendapatan negara. Hal ini menunjukkan bahwa peran pajak dalam membiayai APBN semakin besar. Peran pajak tersebut akan semakin besar untuk masa yang akan datang karena pemerintah ingin mengurangi peran utang dalam mendanai APBN. Karena peranan pajak semakin penting, maka penerimaan  perpajakan membutuhkan sistem pengelolaan yang semakin baik sehingga  penerimaan perpajakan semakin optimal sesuai dengan kondisi ekonomi dan kemampuan masyarakat. Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,  pendapatan negara terdiri atas penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan  pajak (PNBP), dan penerimaan hibah. Dalam struktur APBN, pendapatan negara terdiri atas pendapatan dalam negeri, yang terdiri atas penerimaan perpajakan dan PNBP, serta penerimaan hibah. Penerimaan perpajakan meliputi pendapatan pajak dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan internasional yang hingga saat ini merupakan sumber utama kapasitas fiskal Pemerintah. Selain itu, kebijakan perpajakan juga berperan penting dalam pengelolaan ekonomi nasional. Pendapatan pajak dalam negeri berupa pendapatan pajak  penghasilan (PPh), pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak  penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pendapatan pajak bumi dan  bangunan (PBB), pendapatan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB),  pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) memberikan kontribusi rata-rata 30 persen. Meningkatnya realisasi penerimaan negara tersebut tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ekonomi baik global maupun nasional, dan juga keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah. Kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah diarahkan untuk mendukung kebijakan fiskal yang berkesinambungan melalui upaya optimalisasi  pendapatan negara dan hibah, khususnya penerimaan dalam negeri. Hal ini sesuai dengan peran pendapatan negara dan hibah sebagai sumber pendanaan program-  program pembangunan. a. Jenis-Jenis Penerimaan Pajak Penerimaan perpajakan cenderung selalu mengalami pertumbuhan. Kecuali  pada tahun 2009, yang memang dikarenakan beberapa faktor seperti krisis ekonomi global dan pengaruh pergantian tarif PPh, sehingga terjadi penurunan penerimaan negara dari sektor pajak. Namun secara garis besar bisa dikatakan jika pertumbuhan  penerimaan pajak lebih stabil bila dibandingkan PNBP. Beberapa faktor utama yang mendukung meningkatnya penerimaan perpajakan adalah terciptanya kondisi fundamental makroekonomi yang cukup stabil dan pelaksanaan kebijakan modernisasi perpajakan, kepabeanan dan cukai.

Upload: roychan-adi-kusuma

Post on 09-Oct-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

immsi

TRANSCRIPT

Pendahuluan Penerimaan perpajakan merupakan sumber pendapatan yang utama dalam APBN. Selama lima tahun terakhir, penerimaan perpajakan rata-rata sekitar 70 persen dari total pendapatan negara. Hal ini menunjukkan bahwa peran pajak dalam membiayai APBN semakin besar. Peran pajak tersebut akan semakin besar untuk masa yang akan datang karena pemerintah ingin mengurangi peran utang dalam mendanai APBN. Karena peranan pajak semakin penting, maka penerimaan perpajakan membutuhkan sistem pengelolaan yang semakin baik sehingga penerimaan perpajakan semakin optimal sesuai dengan kondisi ekonomi dan kemampuan masyarakat. Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pendapatan negara terdiri atas penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan penerimaan hibah. Dalam struktur APBN, pendapatan negara terdiri atas pendapatan dalam negeri, yang terdiri atas penerimaan perpajakan dan PNBP, serta penerimaan hibah. Penerimaan perpajakan meliputi pendapatan pajak dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan internasional yang hingga saat ini merupakan sumber utama kapasitas fiskal Pemerintah. Selain itu, kebijakan perpajakan juga berperan penting dalam pengelolaan ekonomi nasional. Pendapatan pajak dalam negeri berupa pendapatan pajak penghasilan (PPh), pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pendapatan pajak bumi dan bangunan (PBB), pendapatan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya.Sedangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) memberikan kontribusi rata-rata 30 persen. Meningkatnya realisasi penerimaan negara tersebut tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ekonomi baik global maupun nasional, dan juga keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah.Kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah diarahkan untuk mendukung kebijakan fiskal yang berkesinambungan melalui upaya optimalisasi pendapatan negara dan hibah, khususnya penerimaan dalam negeri. Hal ini sesuai dengan peran pendapatan negara dan hibah sebagai sumber pendanaan program-program pembangunan.

a. Jenis-Jenis Penerimaan PajakPenerimaan perpajakan cenderung selalu mengalami pertumbuhan. Kecuali pada tahun 2009, yang memang dikarenakan beberapa faktor seperti krisis ekonomi global dan pengaruh pergantian tarif PPh, sehingga terjadi penurunan penerimaan negara dari sektor pajak. Namun secara garis besar bisa dikatakan jika pertumbuhan penerimaan pajak lebih stabil bila dibandingkan PNBP. Beberapa faktor utama yang mendukung meningkatnya penerimaan perpajakan adalah terciptanya kondisi fundamental makroekonomi yang cukup stabil dan pelaksanaan kebijakan modernisasi perpajakan, kepabeanan dan cukai.Dilihat dari sumbernya, penerimaan perpajakan dapat dikategorikan ke dalam penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Penerimaan pajak dalam negeri terdiri atas penerimaan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), cukai dan pajak lainnya, sedangkan pajak perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan bea keluar.Pajak dalam negeri memegang peranan penting dalam penerimaan negara. Sebab selama ini penyumbang terbesar penerimaan negara berumber dari sektor ini. Adapun jenis pajak yang paling besar menghasilkan penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan (PPh) terutama dari PPh Orang Pribadi dan PPh Badan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPn BM), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terutama dari sektor Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (P3).

b. Sejarah Pajak Bumi dan BangunanSejak awal 19 pada zaman kolonial pajak tanah diberlakukan pada saat Pulau Jawa diperintah oleh Inggris yang dipimpin Letnan Jenderal Raffles. Pajak tanah waktu itu dinamakanLandrent, yang artinya sewa tanah. Raffles meniru sistem pajak tanah di India dengan 3 jenis macam sistem pemungutanlandrentyaitu :1) Sistemzamindariatauzamindararsartinyalandheeratau tuan tanah. Sistem ini mengenakan pajak tanah dengan suatu jumlah yang tetap pada kepada para tuan tanah. Pengenaan tarif pajak dengan suatu jumlah yang tetap disebut dengan istilah Permanent Settlement. Sistem ini dipakai di Benggala dan di sekitar barat laut India.2) SistemPateedariatauMauzawari. Sistem ini meniru sistem pajak bumi pemerintah Portugis di Goa. Sistem ini memberlakukan pajak bumi pada Desa yang dianggap sebagai suatu kesatuan. Selanjutnya pengenaan kepada penduduk kebijaksanaannya diserahkan kepada Kepala Desa masing-masing. Sistem ini diberlakukan di Punjab dan distrik-distrik barat Laut India.3) Sistemrayatwari. Dalam sistem ini, pajak tanah/bumi dikenakan langsung kepada para petani yang mengolah tanah berdasarkan pendapatan rata-rata dari tanah yang diusahakan oleh masing-masing petani. Sistem ini diberlakukan di Madras, Bombay dan sebagainya.Pajak tanah diberlakukan di Pulau Jawa oleh Raffles pada tahun 1811 sampai dengan 1816.Landrentdidasarkan pada suatu dalil bahwa semua tanah adalah milik Raja (souvereign), dan semua Kepala Desa dianggap sebagai penyewa (pachetrs). Oleh karenanya mereka harus membayar sewa tanah (Landrent) dengan natura secara tetap. Ketika kekuasaan beralih pada Belanda Landrent diubah menjadi landrente, sistem ini merubah sistem terdahulu dengan melakukan perubahan mengarah kepada keadilan dan kepentingan rakyat, yang berlangsung sampai dengan tahun 1942. Di masa penjajahan Jepang tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, sistem pajak tanah yang dilaksanakan Belanda diambil alih sepenuhnya dan namanya diganti menjadi Pajak Tanah. Setelah Indonesia merdeka, pajak tanah diubah menjadi pajak bumi. Periode tahun 1945 sampai tahun 1951 untuk melaksanakan pajak bumi masih menggunakan cara lama yaitu:1) Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta dihapus, untuk wilayah federal pajak bumi terus berlaku;2) Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia dihapus dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1951. hal ini disebabkan adanya desakan dari golongan yang dipimpin oleh Tauchid.3) Desakan politik tersebut dikenal sebagai Mosi Tauchid, dan sebagai gantinya dikeluarkan pajak baru yaitu Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian (PPTP).Tahun 1951 sampai tahun 1959, setelah dikeluarkannya UU Nomor 14 tahun 1951 tentang Penghapusan Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia, maka lahirlah Jawatan Pendaftaran dan Pajak Penghasilan Tanah Milik Indonesia (P3TMI) yang bertugas melakukan pendaftaran atas tanah-tanah milik adat yang ada di Indonesia. Karena tugasnya hanya mengurus pendaftaran tanah saja, maka namanya diubah kembali menjadi jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia (PTMI) dan bertugas sama seperti sebelumnya ditambah dengan kewenangan untuk mengeluarkan Surat Pendaftaran sementara terhadap tanah milik yang sudah terdaftar.Tahun 1959 sampai tahun 1985 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (LN Th. 1959 Nomor 104. TLN. Nomor 1806) yang dengan Undang-Undang Nomor tahun 1 Tahun 1961 (LN Th. 1961 Nomor 3 TLN Nomor 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya nama jawatan yang mengelola Pajak Hasil Bumi menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi dalam melaksanakannya dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara Nomor PMPPU 1-1-3 tanggal 29 Nopember 1965 yang menetapkan Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah namanya menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (DIT-IPEDA). Pajak Hasil Bumi (PHB) menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Pengenaannya diberlakukan pada tanah-tanah sektor pedesaan, perkotaan, perhutanan. Sektor perkebunan dan sektor pertambangan.Tahun 1985 sampai dengan tahun 1995 sesuai dengan amanat GBHN 1983 berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 telah diadakan tax Reform yaitu diadakan pembaruan dan penggantian peraturan perundang-undangan perpajakan yang selama ini berlaku.Tax reformtahun 1983 berlaku pada tanggal 1 Januari 1984. Dengan adanyatax reform, sistem perpajakan Indonesia berubah dariOfficial AssessmentmenjadiSelf Assessment.Official Assessmentyaitu suatu sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang oleh Wajib Pajak berdasarkan pada Surat Ketetapan Pajak (SKP). Self Assessmentyaitu suatu sistem pemungutan pajak yang dipercayakan kepada Wajib Pajak mulai menghitung sampai penyetoran. Aparat perpajakan melaksanakan pengendalian tugas, pembinaan,penelitian, pengawasan, dan penetapan sanksi administrasi. Setelah Tax Reform 1983 lalu dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan bangunan (PBB), yang ditetapkan tanggal 27 Desember 1985 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1986 (LN Th. 1985 Nomor 68, TLN 3312). Tanggal 9 November 1994 disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB, yang mulai berlaku pada tanggal tanggal 1 Januari 1995 (LN Th. 1994 Nomor 62, TLN 3569).c. Perubahan Peraturan Pajak Bumi dan Bangunan Terhitung sejak tahun pajak 2014, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2) tidak lagi dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) mengamanatkan bahwa selambat-lambatnya tahun 2014, pengelolaan pajak PBB sektor P2 dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.Pasca pengalihan tersebut, DJP efektif hanya mengelola PBB sektor selain Perdesaan dan Perkotaan. Ada 3 (tiga) sektor PBB yang selama ini dikenal sebagai sektor bukan P2, yaitu sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan yang sering disingkat dengan sektor P3.Pelimpahan wewenang pengelolaan pajak PBB P2 dari DJP kepada pemerintah kabupaten/kota sedikit banyak menuai permasalahan, baik yang disebabkan oleh aspek regulasi, IT, SDM, sosial, maupun aspek lainnya. Salah satu permasalahan yang mengemuka adalah ekses dari perbedaan lingkup kewilayahan antara pusat dan daerah. Lingkup kewilayahan DJP sebagai bagian dari pemerintah pusat adalah nasional, sedangkan lingkup kewilayahan pemerintah kabupaten/kota adalah wilayah administratif di daerah tertentu.Tidak seluruh wilayah NKRI adalah wilayah propinsi, dan tidak seluruh wilayah propinsi adalah wilayah kabupaten/kota. Ada wilayah tak bertuan yang hanya menjadi bagian wilayah NKRI tetapi bukan wilayah propinsi manapun, serta ada bagian wilayah sebuah propinsi tetapi bukan wilayah kabupaten/kota manapun. Wilayah seperti itu adalah bagian wilayah NKRI yang berada di laut. Untuk mudahnya -dan relevan dengan tulisan ini wilayah yang demikian disebut sajaWilayah Tak Bertuanyang menggambarkan potensi hilangnya pajak PBB P2 sebagai dampak belum adanya institusi pengelola pajak yang berwenang mengenakan pajak PBB P2 di wilayah semacam itu.Penyebab munculnya wilayah tak bertuan adalah regulasi yang mengatur bahwa pemerintah kabupaten/kota hanya memperoleh kewenangan mengelola sumber daya di wilayah laut sejauh 4 (empat) mil (sepertiga dari 12 mil) diukur dari garis pantai ke arah laut , sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (4) UU nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Selanjutnya wilayah laut lebih dari 4 mil sampai dengan 12 mil adalah kewenangan pemerintah propinsi, sedangkan wilayah sisanya lebih dari 12 mil adalah kewenangan pemerintah pusat.Pasca penyerahan wewenang pengelolaan PBB P2 dari Pemerintah Pusat (DJP) kepada Pemerintah Daerah (kabupaten/kota), basis pengelolaan PBB P2 adalah kabupaten/kota. Konsekwensinya, objek pajak - objek pajak PBB P2 yang berada di luar wilayah kewenangan pemerintah kabupaten/kota berpotensi tidak dikenakan PBB P2, baik oleh pemerintah kabupaten/kota maupun oleh tingkat pemerintah yang lebih tinggi, karena tidak terdapat institusi lain selain pemerintah kabupaten/kota yang diberi wewenang mengelola PBB P2 atas objek pajak di wilayah laut lebih dari 4 mil.Celah regulasi tersebut di atas sangat mungkin dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk menggugat pemerintah kabupaten/kota bahwa pemerintah kabupaten/kota tidak berwenang mengenakan PBB P2 atas aset-aset yang berada di wilayah laut lebih dari 4 mil dari garis pantai. Contoh aset di wilayah laut yang seharusnya menjadi objek pajak PBB P2 adalah jalur pipa laut yang dimiliki oleh perusahaan penyalur gas alam.Jika pada saat masih dikelola oleh Pemerintah Pusat (DJP), atas aset-aset tersebut telah dikenakan pajak PBB P2, maka saat ini wajib pajak berpotensi menyampaikan keberatan bahwa aset-aset yang berada di wilayah laut di luar garis 4 mil harus dikeluarkan dari pengenaan PBB P2 oleh pemerintah kabupaten/kota. Jika demikian halnya, instansi mana yang akan mengenakan PBB P2 atas aset-aset tersebut? Jawabannya adalah belum diatur, sehingga potensi penerimaan Negara dari PBB P2 akan berkurang.Fakta yang terjadi, hingga saat ini sudah ada wajib pajak PBB P2 yang memanfaatkan celah regulasi tersebut di atas dengan menyampaikan keberatan atas pengenaan PBB P2 sebagaimana kasus di atas kepada pemerintah daerah setempat. Salah satu jalan keluar untuk menutup celah regulasi tersebut di atas adalah sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor-139/PMK.03/2014, yang ditetapkan pada tanggal 10 Juli 2014, dan diundangkan sekaligus berlaku sejak tanggal 11 Juli 2014.Pasal 2 ayat (2) PMK tersebut menyebutkan bahwa objek pajak bumi dan bangunan meliputi objek pajak Sektor Perkebunan, Sektor Perhutanan, Sektor Pertambangan, dan Sektor Lainnya. Mengingat bahwa konteks PMK tersebut adalah mengatur hal yang berkenaan dengan pajak pusat, maka pajak bumi dan bangunan yang dimaksud oleh PMK tersebut adalah Pajak Bumi dan Bangunan selain sektor P2, hal mana telah disebutkan secara tegas dalam diktum Menimbang PMK dimaksud.Selanjutnya pada pasal 6 dalam KMK disebutkan bahwa yang dimaksud dengan objek pajak PBB Sektor Lainnya adalah objek pajak PBBselainobjek pajak Sektor Perkebunan, Sektor Perhutanan, dan Sektor Pertambangan,yang tidak berada dalam wilayah kabupaten/kota. Ketentuan-ketentuan tersebut manjawab kondisi-kondisi jika suatu objek pajak PBB tidak termasuk objek pajak PBB P2 dan tidak pula termasuk objek pajak PBB P3, maka tetap bisa dikenakan PBB sebagai objek pajak PBB Sektor Lainnya (Sektor Keenam). Institusi yang berwenang mengenakannya adalah pemerintah pusat, yaitu DJP.Penerapan pada kasus Wilayah Tak Bertuan, DJP berwenang mengenakan PBB atas wilayah tersebut, baik wilayah laut yang menjadi wewenang pemerintah propinsi maupun wilayah laut yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Kewenangan tersebut termasuk kewajiban mendistribusikan hasil penerimaan pajak (PBB) kepada institusi yang berhak, yaitu wilayah 4 mil sampai dengan 12 mil menjadi hak pemerintah propinsi, sedangkan wilayah lebih dari 12 mil menjadi hak pemerintah pusat.

d. Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB P3)

1. Sektor PerkebunanDasar Hukum:Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-64/PJ/2010 tanggal 27 Desember 2010. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-149/PJ/2010 tanggal 27 Desember 2010. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-64/PJ/2010 tersebut di atas, yang dimaksud dengan objek pajak sektor perkebunan adalah objek pajak bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang diberikan hak guna usaha perkebunan.

2. Sektor PerhutananDasar Hukum:Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-36/PJ/2011 tanggal 18 November 2011 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perhutanan. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-89/PJ/2011 tanggal 18 November 2011. Berdasarkan peraturan dan surat edaran tersebut di atas, objek pajak PBB Perhutanan adalah bumi dan/atau bangunan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan yang diberikan hak pengusahaan hutan. Objek pajak bumi di dalam sektor perhutanan terdiri dari areal produktif, areal belum produktif, areal emplasemen, dan areal lain.Areal produktif adalah merupakan areal hutan yang telah ditanami pada hutan tanaman, atau areal blok tebangan pada hutan alam. Areal belum produktif merupakan areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami pada hutan tanaman, atau areal hutan yang dapat ditebang selain blok tebangan pada hutan alam.Areal emplasemen adalah areal yang digunakan untuk berdirinya bangunan dan sarana pelengkap lainnya dalam perhutanan termasuk areal jalan yang diperkeras. Areal lain adalah areal hutan selain dari areal produktif, areal belum produktif, dan areal emplasemen

3. Sektor PertambanganDasar Hukum: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Berdasarkan undang-undang tersebut diatas, yang dimaksud dengan bahan galian adalah unsur-unsur kimia mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan-endapan alam. Bahan-bahan galian ini terbagi atas 3 (tiga) jenis yaitu:

a) Bahan galian strategis dalam arti strategis bagi pertahanan dan keamanan serta perekonomian negara, antara lain seperti minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi, gas alam, bitumen padat, aspal, batubara, uranium dan bahan radio aktif lainnya, nikel, timah.b) Bahan galian vital dalam arti dapat menjamin hajat hidup orang banyak, antara lain seperti besi, mangaan, wolfram, tembaga, emas, perak, platina, yodium, belerang.c) Bahan galian yang tidak termasuk jenis a atau b dalam arti karena sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional, antara lain seperti nitrat-nitrat, garam batu, asbes, batu permata, pasir kwarsa, batu apung, batu kapur, granit, andesit.Sektor pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua jenis golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya. Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan dapat diklasifikasikan ke dalam 3(tiga) jenis yaitu:a. Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba)b. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Migas)c. Pertambangan Energi Panas BumiTerhitung mulai tanggal 1 Januari 2014, Pemerintah akan mengutip lebih besar pajak dari ketiga sektor utama yakni Pertambangan, Perkebunan, dan Perhutanan. Lewat revisi kebijakan peraturan menteri keuangan (PMK) No. 67/ 2011, di aturan baru dengan nomor 23 / PMK.03 / 2014 tentang penyesuaian besarnya NJOPTKP, Pemerintah menggunting nilai pengurang atas pajak bumi dan bangunan dari yang sebelumnya berkisar sebanyak 24 juta rupiah, kini diturunkan menjadi 12 juta rupiah. Ketentuan seperti ini tentunya tidak berlaku bagi PBB sektor pedesaan dan perkotaan, yang kini wewenangnya sudah ada di tangan pemerintah daerah. Peraturan ini hanya berlaku bagi tiga sektor industri yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu pertambangan, perkebunan, dan perhutanan. Tak pelak perubahan ini akan menambah beban pengusaha disektor tersebut lantaran harus membayar pajak bumi dan bangunan lebih mahal pada tahun ini. Tujuan pemerintah atas pengurangan NJOPTKP adalah demi mengatrol penerimaan pajak. Mengingat dengan memangkas pengurang pajaknya, berarti porsi NJOPTKP yang menjadi basis perhitungan tarif pajak akan menjadi lebih besar. Dalam hitungan kontan, kenaikan pajak yang efektif adalah sekitar 25% dari kewajiban tahun lalu.Wajar jika pemerintah ingin mengeruk penerimaan lebih banyak dari pajak bumi dan bangunan, hal ini dikarenakan penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan telah diserahkan kepada pemerintah daerah, sementara PBB di sektor pertambangan saat ini berperan sebagai salah satu penyumbang terbesar dibandingkan sektor lainnya. Tahun 2013 realisasi penerimaan PBB Rp 27,34 Triliun. Dari jumlah itu, PBB sektor pertambangan menyumbang sebesar Rp 23 Triliun. Tahun ini target PBB sebesar Rp 25,44 Triliun, lebih kecil ketimbang di tahun 2013.