paper bahasa indonesia

Download Paper Bahasa Indonesia

If you can't read please download the document

Upload: ika-permata-hati

Post on 17-Oct-2015

168 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • PrismaMajalah Pemikiran Sosial Ekonomi

    2Vol. 29, April 2010

    Perubahan Iklim &Tantangan Peradaban

  • Pendiri: Ismid Hadad, Nono Anwar Makarim Pemimpin Umum: Suhardi Suryadi Wakil Pemimpin Umum: Sudar DwiAtmanto Pemimpin Redaksi: Daniel Dhakidae Redaktur Pelaksana: MA Satyasuryawan Dewan Redaksi: A TonyPrasetiantono, Azyumardi Azra, Jaleswari Pramodhawardani, Kamala Chandrakirana, Sumit Mandal (Jerman), Taufik Abdullah,Vedi R Hadiz (Singapura) Redaksi: Daniel Dhakidae, E Dwi Arya Wisesa, MA Satyasuryawan, Nezar Patria, Rahadi T WiratamaSekretaris Redaksi: Eriko Sustia Produksi: Awan Dewangga Bisnis dan Pemasaran: Anis Ilahi Wahdati, Panji Anggoro

    Alamat: Jalan Letjen S Parman 81, Jakarta 11420, Indonesia. Tlp.: (6221) 567 4211, Faks.: 568 3785Email: [email protected]; [email protected]; Website: www.lp3es.or.id

    Bank: MANDIRI, KCP RSKD, Jakarta. Nomor Rekening: 116-000-526-169-9 a/n LP3ES

    Gambar oleh GM Sudarta

    Prisma diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)

    dan dimaksudkan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi,

    perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer,

    ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar. Redaksi meng-

    undang para ahli, sarjana, praktisi dan pemuda Indonesia yang berbakat untuk berdiskusi dan menulis

    secara bebas dan kreatif sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan dalam Prisma tidak

    selalu segaris atau mencerminkan pendapat LP3ES. Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tu-

    lisan yang dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.

    Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi.

    Hak cipta dilindungi Undang-undang.

    Vol. 29, No. 2, April 2010

    Perubahan Iklim &Tantangan Peradaban

    T O P I K K I T A

    2 Bumi Manusia

    3 Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan:

    Sebuah Pengantar

    23 Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi ke

    Meja Perundingan

    38 Ekonomi Perubahan Iklim: Dari Kegagalan Pasar

    Menuju Ekonomi Rendah Karbon

    53 Energi Rendah Emisi:

    Masalah Teknologi, Ekonomi, atau Politik?

    61 Hutan Indonesia: Penyerap atau Penyumbang

    Emisi Dunia?

    81 Membangun Sistem Pertanian Pangan

    Tahan Perubahan Iklim

    93 Pasar Karbon dan Potensinya di Indonesia

    Daniel Dhakidae

    Ismid Hadad

    Daniel Murdiyarso

    Mubariq Ahmad

    Asclepias RS Indriyanto

    Nur Masripatin

    Rizaldi Boer

    Agus Sari

    E S A I

    34 Iklim, Ilmu, dan Kekuasaan

    D I A L O G

    71 Hadapi Perubahan Iklim seperti BerperangEmil Salim

    B U K U

    100 Perubahan Paradigma Lingkungan HidupIGG Maha Adi

    Daniel Dhakidae

    105 KRITIK & KOMENTAR

    106 PARA PENULIS

    Prisma Vol. 29, No. 3: Otonomi Daerah

    Prisma Vol. 29, No. 4: Islam dan Dunia

    Terbit setiap tiga bulan (Januari, April, Juli, Oktober)

    Redaktur Tamu: Ismid Hadad

  • Bumi Manusia

    kitkan seperti discovery, menemukan Amerika,Australia, dan Singapura.

    Namun, penguasaan dunia sesungguhnyabaru berlangsung ketika industri dan indus-trialisasi bertenaga mesin uap dengan sumberenergi batu bara, dan kelak minyak bumi dannuklir. Sejak itu yang disebut menaklukkan danmenguasai bumi dilanjutkan dengan derap-langkah sebegitu rupa sehingga yang terjadi lebihdari penguasaan, dan menjadi pemerkosaan.

    Industrialisasi memang sampai ke tingkattertentu memerkosa alam dan manusia sekaligus.Alam diperkosa dengan polusi dan penghancuranlingkungan; manusia diperkosa dengan lexploitat-ion de lhomme par lhomme oleh suatu sistem sosialyang bukan saja dimungkinkan, akan tetapi diha-ruskan, oleh proses industrialisasi itu.

    Dengan begitu ibu bumi dan bapak bumi di-perkosa dalam dua arti sekaligus, oleh kaum lela-ki dan perempuan. Pemerkosaan membuat bumimenjadi semakin tua dan renta. Namun, di sanajuga letak paradoks karena bumi yang renta bu-kan bumi yang diam, akan tetapi bumi yangmengamuk dalam cara paling primitif sepertipada awal bumi diciptakan, yaitu melalui air, api,dan udaraair yang meluap, api yang menga-muk, dan udara yang membusuk untuk meng-hancurkan tanah yang runtuh tak terkendali.

    Kalau bumi mengamuk bukan bumi yanghancur, akan tetapi makhluk hidup dan terutamaspesies homo sapiens akan punah. Pertanyaan lainakan muncul: kalau manusia hancur, apakah ma-sih ada yang disebut bumi? Karena, hanya manu-sia, bukan malaikat, yang sadar bahwa itu bumi,dan karena itu bumi ada, dan hanya satu bumi.

    Pada masa Perang Dingin kehancuran di-mungkinkan oleh armageddon nuklir. Pascape-rang Dingin kiasan perang di har Megiddon, bukitMegiddon, tidak pernah dipakai lagikecualiAmerika yang memelesetkannya menjadi snow-geddon di Washington, yang, masya Allah, menjadibahan tertawaan orang Moskow, karena yangdisebut snowgeddon hanya sekulit luar dari penga-laman Rusia tiap tahun.

    Salah satu penjelasannya, mungkin karenamanusia tidak berperang melawan musuh lainkecuali perilaku dan dirinya sendiri.

    Belum pernah dalam sejarah manusia menga-takan bahwa mereka mencintai bumi sepertisekarang. Untuk itu diciptakan hari bumi, namayang aneh dan umurnya pun, dalam takaranglobal, belum panjang, baru dua puluh tahunmeskipun hari itu sudah meledak di Amerika ta-hun 1970. Meski aneh, tujuannya tidak aneh: me-nyelamatkan bumi dari keanehan lain, yaitu peri-laku penghuninya yang menganggap bau busukpembuangan industri sebagai aroma kemewahan.

    Bergenerasi kita dengar orang mencintai ta-nah air, bukan cinta bumi sebagai planet, karenaitu tanah selalu diidentikkan dengan orang ter-dekat, yang membawanya ke bumi, yaitu ibu danbapak. Tanah selalu menjadi ibuibu pertiwiIndonesia, Rossiya-Matushka Rusia, atau bapakVaterland Jerman dan vaderland Belanda.

    Bila diperhatikan mendekatnya orang ketanah, seperti terungkap dalam hari bumi, adalahreaksi balik dari gerak lain. Manusia tidak lagimelanglang buana akan tetapi melanglangsemesta. NASA mengumumkan bahwa teleskopraksasanya menemukan sekurang-kurangnyaseribu lima ratus tata surya dengan tingkatkepastian tinggi.

    Kalau ada seribu lima ratus tata surya, mung-kinkah ada seribu lima ratus bumi? Kalau ada se-ribu lima ratus bumi mungkinkah ada kehidupanmanusia di ribuan tempat itu? Soal lain juga mun-cul. Kalaupun teknologi mampu mengidentifi-kasikan kehidupan di sana, jarak begitu absolutjauhnya sehingga menembusi jarak itu demiberkontak ragawi menjadi kemustahilan yang takkurang absolut. Kerepotan mencari bumi lainmungkin dipercepat oleh kekhawatiran bumisendiri akan hancur.

    Mengapa keanehan perilaku di atas? Gerakberikut ini mungkin bisa menjelaskannya. Ketikabumi diciptakan serta manusia di dalamnya, salahsatu pesan pertama kepada manusia adalah sub-iicite terram, taklukkan dan kuasailah bumi.

    Namun, yang disebut sebagai taklukkan dankuasailah bumi pada dasarnya berlangsung ber-tahap. Penemuan teleskop untuk mengintip langitdan memelototi bumi jadi awal penaklukan bumisecara global oleh Barat dalam bentuk kolonialis-me yang semakin meningkatkan penguasaanbumi dan penghuni yang ada di dalamnya. Se-muanya diungkapkan dalam nama yang menya- Daniel Dhakidae

    Prisma T O P I K K I T A

  • Perubahan iklim merupakan tantangan

    multidimensi paling serius, kompleks

    dan dilematis yang dihadapi umat ma-

    nusia pada awal abad ke-21, bahkan mungkin

    hingga abad ke-22. Tak ada satu negara atau

    kelompok masyarakat di dunia ini mampu

    menghindar, apalagi mencegah terjadinya an-

    caman terhadap peradaban bangsa tersebut.

    Seberapa besar dan sekuat apa pun kemam-

    puan suatu bangsa, tak akan ada yang sanggup

    mengatasi sendiri tantangan perubahan iklim

    dan pemanasan global yang terjalin erat dengan

    perilaku dan gaya hidup manusia, keputusan

    politik, pola pembangunan, pilihan teknologi,

    kondisi sosial ekonomi, kesepakatan inter-

    nasional. Dampak negatifnya cepat meluas dari

    tingkat global hingga ke tingkat lokal yang

    terpencil sekalipun.

    Perubahan Iklim danPembangunan BerkelanjutanSebuah Pengantar

    Ismid Hadad

    Ketika suhu bumi semakin panas, pola

    curah hujan berubah drastis, iklim dan cuaca

    menjadi lebih ekstrem, seringnya timbul

    bencana kekeringan, badai, dan banjir, maka

    gelombang hawa panas (heat waves) dan

    kebakaran hutan makin banyak dan meluas.

    Pada suhu bumi yang mencapai titik panas ter-

    tentu, bongkahan es di kutub dan salju di puncak

    gunung dapat mencair dan menimbulkan gejala

    pemekaran air laut; permukaan laut naik dengan

    kemampuan menenggelamkan dataran rendah,

    pesisir pantai dan pulau-pulau kecil padat peng-

    huni di negara-negara sedang berkembang.

    Puluhan juta rakyat miskin yang rentan di

    negara-negara kekurangan air bersih itu makin

    terancam oleh gagalnya panen hasil pertanian,

    merosotnya produktivitas dan hasil usaha tani,

    kebun dan perikanan, serta meningkatnya

    Hasil kajian ilmiah membuktikan aktivitas manusia menyebabkan

    perubahan iklim. Sayangnya, isu ini dianggap masalah teknis lingkungan

    belaka, yang tidak berkaitan dengan soal pembangunan. Sumber energi

    seperti batu bara, minyak dan gas bumi masih menjadi andalan. Kegiatan

    konversi hutan dan lahan gambut masih terus berlangsung. Merekalah

    penyumbang emisi karbon terbesar yang menimbulkan pemanasan global.

    Tulisan ini merupakan pengantar untuk memahami tantangan perubahan

    iklim dan dampak pemanasan global, serta bagaimana langkah yang perlu

    dilakukan di tingkat nasional maupun global untuk mengatasi kedua

    fenomena tersebut.

  • T O P I K

    4 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

    gangguan kesehatan, kurang gizi, bencana

    kelaparan, dan wabah penyakit.

    Sebenarnya, cuaca dan iklim di bumi ini

    sering berubah secara musiman, tahunan, dan

    sepuluh tahunan, yang berlangsung secara

    alamiah. Akan tetapi, cuaca ekstrem itu makin

    sering terjadi dibanding sebelumnya, dan di-

    perkirakan akan terus terjadi dalam jangka pan-

    jang. Dari hasil kajian para ilmuwan yang terga-

    bung dalam Inter-governmental Panel on Cli-

    mate Change (IPCC), disimpulkan bahwa ber-

    ubahnya iklim yang semakin sering terjadi

    dalam 150 tahun terakhir ternyata bukan hanya

    karena proses alamiah saja, melainkan karena

    pengaruh kegiatan atau intervensi manusia.

    Ulah manusia (anthropogenic intervention)

    itulah yang memicu terjadinya pemanasan glo-

    bal dan perubahan iklim menjadi lebih ekstrem,

    terutama aktivitas yang terkait dengan peman-

    faatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil

    (minyak bumi, gas bumi, dan batu bara) dan juga

    kegiatan pembabatan hutan dan alih guna lahan

    yang mengakibatkan pelepasan emisi gas ru-

    mah kaca ke udara, dan menumpuk di lapisan

    atmosfer yang membuat bumi semakin panas.

    Karena itu, perubahan iklim diartikan se-

    bagai berubahnya iklim di bumi yang, langsung

    ataupun tidak langsung, diakibatkan oleh akti-

    vitas manusia. Kegiatan tersebut menyebabkan

    perubahan komposisi atmosfer secara global,

    selain juga terjadi variabilitas iklim alamiah yang

    teramati dalam kurun waktu (panjang).

    Pemanasan Global: Dampakdan Konsekuensinya

    Kegiatan manusia di bidang industri dan

    transportasi modern yang berlangsung sejak

    Revolusi Industri di Eropa Barat itu mengha-

    silkan emisi gas buangan industri dan kenda-

    raan bermotor yang menumpuk di udara selama

    bertahun-tahun. Akumulasi bahan pencemar di

    atmosfer berupa gas-gas rumah kaca (GRK)

    kemudian mengakibatkan terjadinya fenomena

    pemanasan global. Di antara gas-gas rumah

    kaca yang terpenting adalah karbon dioksida

    (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), dan

    klorofluorokarbon (CFC). Semua menyumbang

    pada proses radiasi sinar matahari yang

    dipancarkan/dipantulkan bumi, sehingga suhu

    atmosfer permukaan bumi makin hangat dan

    memanasbiasa disebut proses pemanasan

    global serta menyebabkan iklim berubah

    secara ekstrem. Pemanasan global memang

    terjadi berangsur-angsur melalui proses selama

    ratusan bahkan ribuan tahun, tetapi dampaknya

    sudah kita rasakan di sini dan sekarang.

    Selama hampir satu juta tahun sebelum

    zaman industri, konsentrasi gas CO2 di atmosfer

    berkisar hanya sekitar 170 sampai 250 ppm

    (ppm= parts per million by volume of CO2equivalent). Ketika Revolusi Industri dimulai di

    Inggris sekitar tahun 1850, konsentrasi CO2 di

    atmosfer baru sebesar 280 ppm, dan rata-rata

    temperatur bumi naik sekitar 0,74 derajat

    Celcius dibandingkan dengan zaman praindus-

    tri. Namun, 160 tahun kemudian, menurut para

    ilmuwan IPCC, akumulasi CO2 di atmosfer

    diperkirakan sudah mencapai sekitar 390 ppm,

    terutama karena pembakaran bahan bakar fosil

    dan sebagian karena emisi pertanian dan alih

    guna lahan hutan. Jika pola produksi, konsumsi,

    gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk bumi

    dibiarkan tak terkendali seperti sekarang, ma-

    ka 100 tahun ke depan konsentrasi CO2 diper-

    kirakan akan naik menjadi 580 ppm atau lebih

    dua kali lipat dari zaman praindustri.

    Akibatnya, dalam kurun waktu 50-100 tahun

    ke depan, jika manusia tidak mengambil tin-

    dakan apa pun untuk menstabilisasi GRK di

    atmosfer, suhu rata-rata bumi akan naik sebes-

    ar 1,1 hingga 5 derajat Celcius. Panas yang

    dahsyat akan membawa dampak luar biasa

    terhadap berbagai sektor kehidupan manusia,

    flora dan fauna, serta makhluk bumi lainnya.

    Ancaman kekeringan, kebakaran hutan,

    terganggunya ekosistem, ketersediaan air,

    punahnya aneka ragam sumber daya hayati,

    merosotnya produksi pangan, penyebaran ha-

    ma dan penyakit (tanaman dan manusia), ba-

    haya paceklik dan kelaparan, konflik sosial,

    adalah beberapa contoh dampak sosial ekonomi

  • T O P I K

    5Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

    dan lingkungan yang ditimbulkan oleh pe-

    ningkatan suhu bumi sepanas itu.

    Karena itu, sesuai dengan hasil kajian IPCC,

    perjuangan masyarakat internasional melalui

    Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-

    Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Na-

    tions Framework Convention on Climate

    Change/UNFCCC) dan Protokol Kyoto yang

    berlangsung sejak 17 tahun lalu adalah meng-

    usahakan supaya kenaikan suhu panas bumi

    jangan sampai melebihi ambang batas 2 derajat

    Celcius. Jika kenaikan temperatur bumi dibata-

    si tidak lebih dari 2 derajat Celcius di atas level

    zaman praindustri, konsentrasi gas CO2 di

    atmosfer harus bisa ditekan dan dibatasi pada

    tingkat maksimum 450 ppm, dengan puncak

    pencapaian tak lebih dari tahun 2020. Artinya,

    masyarakat penghuni bumi ini harus sanggup

    menghentikan atau bahkan menurunkan emisi

    karbon hingga 80 persen pada tahun 2020 dari

    level emisi tahun 1990.

    Bahkan, negara-negara kepulauan kecil di

    Samudera Pasifik yang tergabung dalam

    Alliance of Small Island Developing States

    (AOSIS) mencanangkan target kenaikan suhu

    maksimum 1,5 derajat Celcius dan konsentrasi

    CO2 di atmosfer tidak lebih dari 350 ppm harus

    tercapai pada tahun 2015. Itu berarti semua

    negara harus bisa menurunkan emisi karbon

    sebesar 100 persen pada 2015. Jika suhu bumi

    dibiarkan naik sampai 2 derajat Celcius pada

    2020, diperkirakan hampir separuh dari 40

    negara kepulauan kecil itu akan tenggelam,

    sirna ditelan samudera dan hilang dari peta bumi.

    Sesungguhnya, tenggelam dan sirnanya ne-

    gara-negara kepulauan hanya sebagian kecil saja

    dari wujud ancaman perubahan iklim terhadap

    peradaban bangsa di dunia modern abad ke-21

    ini. Sedemikian jauh, dalam, dan luasnya tan-

    tangan perubahan iklim itu mengancam seluruh

    aspek dan unsur kehidupan manusia dan makh-

    luk hidup di muka bumi ini. Namun demikian,

    karena faktor penyebab terbesarnya sudah

    diketahui, yaitu kegiatan manusia yang men-

    cemari alam, maka proses dan dampak pema-

    nasan global itu seharusnya bisa dikurangi,

    ditunda, atau dihentikan sama sekali. Artinya,

    manusia yang hidup di bumi ini seharusnya bisa

    dan segera bertindak melakukan upaya pe-

    nyelamatan bumi dari pemanasan global dan

    mencegah terjadinya pemusnahan peradaban

    bangsa di dunia.

    Dari Mana Sumber EmisiKarbon Itu?

    Seperti telah disebutkan, konsentrasi gas

    CO2 naik drastis sejak Revolusi Industri, dan

    meningkat lagi dalam periode 50 tahun ter-

    akhir. Setelah abad ke-20, konsentrasi GRK

    khususnya CO2 naik dari 280 ppm menjadi

    387 ppm atau mengalami peningkatan ham-

    pir 40% terutama karena kegiatan manusia

    yang menggunakan energi dengan bahan

    bakar fosil berbasis karbon, dan sebagian kecil

    karena kegiatan manusia membabat hutan dan

    mengonversi lahan hutan yang berakibat pele-

    pasan emisi CO2 ke udara. Pembakaran bahan

    energi dari minyak, gas, dan batu bara, dewasa

    ini menyumbang sekitar 80 persen dari emisi

    karbon (CO2) yang dilepaskan ke udara setiap

    tahun, sementara kegiatan alih guna lahan

    hutan dan pertanian menyumbang sekitar 20

    persen.

    Besarnya emisi karbon dari bahan bakar

    energi ditentukan oleh jumlah konsumsi energi

    dan intensitas penggunaan energi tersebut.

    Pada umumnya, jumlah konsumsi energi naik

    sebanding dengan peningkatan jumlah dan

    pendapatan penduduk, serta tergantung

    struktur ekonomi, iklim, dan kebijakan ekono-

    mi energi masing-masing negara. Demikian pula

    setiap negara memiliki intensitas penggunaan

    bahan energi yang berbeda, tergantung besar

    kecilnya sumber daya energi dan kebijakan

    untuk memanfaatkan sumber daya energi.

    Menurut laporan Bank Dunia, sejak 1970 jum-

    lah konsumsi energi dunia naik dua kali lipat.

    Jika digabung dengan intensitas penggunaan

    energi yang tetap tinggi, kombinasi keduanya

    kian melipatgandakan jumlah emisi karbon ke

    atmosfer dalam tempo 30 tahun belakangan.

  • T O P I K

    6 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

    Siapa saja penyumbang emisi karbon ter-

    besar penyebab pemanasan global? Menurut

    Bank Dunia, dua pertiga dari akumulasi gas CO2di atmosfer terkait dengan penggunaan bahan

    bakar fosil berasal dari dan dihasilkan oleh

    negara-negara industri maju. Kenyataan tak

    dapat dimungkiri, negara-negara industri maju

    itulah penyumbang emisi karbon terbesar dan

    karenanya paling bertanggung jawab sebagai

    pemicu pemanasan global dan perubahan iklim

    yang mengancam umat manusia dewasa ini.

    Di lain pihak, negara-negara berkembang

    hanya menyumbang sepertiga dari emisi CO2yang berasal dari bahan energi, namun kecen-

    derungan dan laju peningkatan konsumsi dan

    intensitas penggunaan energi berbasis bahan

    bakar fosil di negara berkembang ternyata juga

    meningkat cukup pesat. Diperkirakan dalam 20

    tahun mendatang hampir 90 persen dari ke-

    naikan konsumsi energi global dengan meng-

    gunakan bahan bakar minyak bumi, gas bumi,

    dan batu bara, akan berasal dari negara-negara

    berkembang. Jika dihitung penggunaan energi

    per kapita mereka sebenarnya masih relatif

    rendah, namun jumlah penduduk negara ber-

    kembang jauh lebih besar dibanding penduduk

    negara maju.

    Dalam hal pemanfaatan energi berbahan

    bakar fosil secara global, sektor pembangkit

    tenaga listrik adalah penyumbang emisi GRK

    terbesar (26%), disusul sektor industri (19%)

    dan transportasi (13%), serta bangunan gedung-

    gedung (8%). Sisanya adalah emisi berasal dari

    alih guna lahan hutan, pertanian, dan limbah

    sampah. Jika dilihat dari pengelompokan

    negara berdasarkan pendapatan, emisi GRK di

    negara-negara industri maju terkonsentrasi pada

    sektor pembangkit listrik dan transportasi;

    untuk negara-negara berpenghasilan rendah

    emisi terbesar berasal dari sektor pertanian dan

    alih guna lahan; negara-negara berpenghasilan

    menengah terutama berasal dari pembangkit

    listrik, industri, dan alih guna lahan. Khusus

    untuk emisi yang berasal dari alih guna lahan

    hutan, sebagian besar terpusat pada tiga sam-

    pai empat negara berkembang, di antaranya

    Brasil dan Indonesia yang menyumbang se-

    paruh dari total emisi GRK yang berasal dari

    kegiatan alih guna lahan hutan.

    Bagaimana MenanggulangiPerubahan Iklim?

    Perubahan iklim adalah fenomena global,

    baik dari sisi penyebab, konsekuensi maupun

    dampaknya, yang sangat terkait dengan aktivi-

    tas manusia di tingkat nasional dan lokal. Begitu

    pula sebaliknya. Penyebab pemanasan global

    yang memicu perubahan iklim adalah karena

    adanya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

    Akumulasinya kini telah mencapai tingkat yang

    membahayakan sistem iklim Bumi. Akibat atau

    dampak pemanasan global menyebar ke se-

    luruh dunia. Gangguan terhadap sistem ekologi

    bumi yang ditimbulkan juga membawa per-

    ubahan pada cuaca, iklim, curah hujan, gelom-

    bang panas, dan berbagai gangguan alam lain

    yang bisa terjadi, dirasakan, dan diderita semua

    negara dan makhluk di bumi ini.

    Ada dua cara atau kunci utama untuk me-

    nanggulangi perubahan iklim, yaitu mitigasi

    dan adaptasi. Pertama, mitigasi untuk men-

    cegah, menghentikan, menurunkan atau se-

    tidaknya membatasi pelepasan emisi gas

    buangan, gas pencemar udara, yang kini lazim

    disebut gas-gas rumah kaca di atmosfer.

    Upaya mitigasi yang bertujuan membatasi dan

    menurunkan emisi GRK dapat dilakukan de-

    ngan cara mengurangi penggunaan sumber

    daya energi yang banyak menghasilkan emisi

    CO2 (disebut source) yang dihasilkan oleh

    pembakaran minyak bumi, batu bara dan gas

    bumi untuk kegiatan produksi, industri,

    transportasi, pembangkitan tenaga listrik,

    penerangan gedung, bangunan, pusat-pusat

    belanja, jalan raya serta aktivitas pembangunan

    lainnya.

    Upaya mitigasi bisa juga dilakukan dengan

    cara menambah, memperkuat atau memperluas

    sistem bumi yang berfungsi sebagai penyerap

    dan penyimpan karbon secara alami (disebut

    sink), yaitu hutan dan lautan, agar emisi CO2 dan

  • T O P I K

    7Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

    GRK yang terlepas di udara dapat ditangkap, di-

    serap, dan disimpan kembali di dalam pepo-

    honan, hutan, lahan gambut, dan, dalam kondi-

    si tertentu, laut. Sebaliknya, apabila pohon di-

    tebang, hutan dibabat, lahan gambut dike-

    ringkan, serta mangrove (bakau), terumbu

    karang, dan padang lamun di pesisir dan laut

    dirusak, maka semua karbon yang tersimpan di

    perut bumi dan laut akan dilepaskan kembali

    sebagai emisi gas buang yang akan mencemari

    udara dan kembali menumpuk di atmosfer.

    Tujuan utama dari upaya mitigasi adalah

    untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah ka-

    ca di atmosfer pada tingkat sedemikian rupa

    sehingga tidak mengganggu dan membaha-

    yakan sistem iklim bumi. Karena itu, upaya

    mitigasi melalui penurunan emisi GRK harus

    dilakukan di tingkat nasional dan internasional

    dalam skala besar agar dapat membawa dampak

    atau hasil efektif secara global. Karena sumber

    historis penyebab konsentrasi GRK dan pe-

    nyumbang GRK terbesar selama ini adalah

    negara industri maju, maka upaya mitigasi un-

    tuk menurunkan emisi GRK pada dasarnya

    merupakan kewajiban dan tanggung jawab ne-

    gara-negara industri maju dalam lampiran do-

    kumen UNFCCC disebut negara-negara Annex

    I. Selain itu, hanya negara-negara kaya yang

    tercantum dalam daftar Annex I hingga kini

    memiliki kemampuan teknologi dan sumber

    daya ekonomi untuk menerapkan sistem in-

    dustri, transportasi, dan pola pembangunan

    rendah karbon, sehingga penggunaan energi

    minyak, batu bara dan gas bumi bisa dikurangi

    secara signifikan dan diganti atau diimbangi

    dengan sumber-sumber energi terbarukan

    seperti geotermal, energi surya (photovoltaic),

    energi angin, tenaga mikro-hidro, biomassa, dan

    sebagainya.

    Kunci kedua untuk menanggulangi per-

    ubahan iklim adalah adaptasi. Artinya upaya

    untuk menyesuaikan diri, melakukan adaptasi

    terhadap dampak perubahan yang terjadi.

    Bagaimanapun juga, dampak perubahan iklim

    tak mungkin lagi bisa dihindari, apalagi dicegah.

    Perubahan iklim dan pemanasan global adalah

    fenomena yang niscaya akan terjadi. Upaya

    adaptasi yang bisa dilakukan adalah dengan

    langkah-langkah antisipasi kapan dan di mana

    akan terjadi, kemudian memperkirakan apa,

    bagaimana, dan seberapa besar dampaknya,

    serta bagaimana mengurangi risiko dan me-

    nanggulangi dampak itu secara dini dan efektif

    sehingga tidak mengakibatkan bencana atau

    risiko kerugian lebih besar. Karena itu, langkah

    pertama adaptasi adalah dengan mengetahui di

  • T O P I K

    8 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

    mana lokasi dan siapa kelompok masyarakat

    yang tinggal dan hidup di kawasan atau daerah

    tertentu yang sangat rentan (vulnerable) ter-

    hadap gangguan alam dan perubahan iklim.

    Penanggulangan perubahan iklim melalui

    upaya adaptasi merupakan agenda prioritas

    utama bagi hampir semua negara sedang ber-

    kembang, termasuk Indonesia. Sebagaimana

    diketahui, lokasi geografis maupun kondisi

    sosial ekonomi penduduk beberapa negara

    berkembang sangat rentan terhadap gangguan

    alam dan cuaca seperti badai, banjir, keke-

    ringan, tanah longsor, tsunami, dan kebakaran

    hutan. Sumber daya dan kemampuan mereka

    untuk merespons gangguan alam dan dampak

    perubahan iklim juga amat terbatas. Karena itu,

    bagi negara berkembang, program adaptasi

    untuk menanggulangi perubahan iklim harus

    terintegrasi dalam program untuk meningkat-

    kan ketahanan (resilience) ekonomi, sosial dan

    lingkungan nasional dengan menanggulangi

    kemiskinan, kekurangan gizi dan pangan, pe-

    ningkatan pendidikan dan kesehatan masya-

    rakat, dan sebagainya. Pada hakikatnya, pro-

    gram adaptasi harus sejalan dengan upaya me-

    wujudkan pembangunan berkelanjutan (sustain-

    able development). Pendek kata, kenaikan per-

    tumbuhan ekonomi, perbaikan kesejahteraan

    dan keadilan sosial, serta perlindungan ekologi

    dan pelestarian fungsi lingkungan, perlu dila-

    kukan serentak dan seimbang dengan mem-

    perhitungkan dampak perubahan iklim dalam

    strategi pencapaiannya.

    Kerangka program adaptasi efektif umum-

    nya memiliki empat unsur penting, yaitu (1)

    perkiraan dan peta kerawanan/kerentanan so-

    sial dan lingkungan (vulnerability assessment

    and mapping) untuk mengetahui kondisi dan

    memperkirakan risiko dampak, di mana da-

    erah/kawasan rawan, dan siapa saja kelompok

    masyarakat yang rentan terhadap potensi ben-

    cana alam dan lingkungan yang akan terjadi; (2)

    upaya peningkatan kesadaran masyarakat dan

    kapasitas sumber daya manusia dan kelem-

    bagaan (public awareness and capacity build-

    ing), khususnya di daerah dan sektor rawan

    bencana, agar mampu mengantisipasi, meren-

    canakan program dan menanggulangi dampak

    perubahan iklim yang akan terjadi; (3) pe-

    nyusunan atau reformasi kebijakan publik serta

    penguatan lembaga-lembaga publik yang mem-

    punyai pengetahuan dan kemampuan menge-

    lola sumber daya alam dan lingkungan secara

    lestari, serta mampu menanggulangi masalah

    perubahan iklim secara efektif; dan (4) mem-

    bangun sistem ekonomi dan strategi pem-

    bangunan rendah karbon yang memberi insen-

    tif bagi investasi prasarana dan program efi-

    siensi energi, pengelolaan hutan lestari, dan

    pengembangan sumber-sumber energi ter-

    barukan.

    Perubahan Iklim danPembangunan Berkelanjutan

    Dari uraian di atas tampak jelas bahwa

    perubahan iklim sangat erat terkait dengan

    kegiatan manusia yang menggunakan sumber-

    sumber energi tidak terbarukan minyak bumi,

    gas bumi, dan batu bara serta pengelolaan dan

    pemanfaatan sumber daya alam seperti tanah,

    hutan, dan air, tanpa memedulikan daya dukung

    lingkungan dan kelestarian ekosistem.

    Kendati disebabkan oleh dan berdampak

    pada kondisi sosial ekonomi, namun perubahan

    iklim selama ini hanya dianggap sebagai ma-

    salah geofisika dan teknis lingkungan belaka;

    tidak ada kaitannya dengan urusan pemba-

    ngunan ataupun kebijakan publik. Masalah

    perubahan iklim seolah-olah hanya menjadi

    perhatian dan urusan ilmuwan fisika, ahli cuaca,

    dan pakar lingkungan saja. Di sisi lain, upaya

    pengurangan emisi GRK oleh negara maju dan

    negara berkembang masih lebih banyak me-

    ngandalkan pendekatan teknologi dan ilmu

    pengetahuan alam. Mereka belum menyertakan

    kebijakan pembangunan sosial ekonomi serta

    pendekatan politik dan kultural yang diperlukan

    untuk mengatasi masalah kompleks tersebut

    secara komprehensif.

    Terlalu sedikit yang menyadari bahwa pola

    pembangunan yang hanya mengikuti pola kon-

  • T O P I K

    9Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

    sumsi dan produksi tanpa memedulikan daya

    dukung lingkungan dan kelestarian ekosistem

    alamiah (unsustainable pattern of development)

    itulah yang terutama merupakan faktor pe-

    nyebab pemanasan global dewasa ini. Karena

    itu, bagaimana aktor-aktor pembangunan akan

    mengatur dan menerapkan pola dan sistem

    pembangunan di tingkat internasional, nasional,

    dan lokal, akan sangat menentukan seberapa

    besar tingkat ketahanan sistem sosial terhadap

    perubahan iklim di masa depan. Perubahan

    iklim pasti akan berdampak langsung, terutama

    pada kegiatan-kegiatan pembangunan yang

    sensitif terhadap perubahan cuaca seperti

    pertanian, perikanan, dan kesehatan, serta

    membawa akibat tidak langsung pada masalah

    kemiskinan, pendidikan, kesejahteraan sosial,

    dan sebagainya.

    Pertanyaannya, apakah kita akan terus

    membangun dan meningkatkan kesejahteraan

    rakyat dengan memakai cara dan model pem-

    bangunan konvensional, yaitu tetap meng-

    gunakan sumber-sumber energi padat karbon

    yang mencemari udara dan mengeksploitasi

    sumber daya alam tanpa batas sehingga me-

    rusak kelestarian bumi dan keseimbangan alam

    semesta?

    Perlu pula diingat bahwa perubahan iklim

    besar kemungkinan akan memperlebar kesen-

    jangan sosial dan ketidakadilan internasional,

    terutama karena tidak meratanya bencana dan

    dampak kerusakan lingkungan fisik yang di-

    akibatkannya. Gejala pemanasan global dan

    perubahan iklim melanda semua negara tanpa

    kecuali, namun negara-negara berkembang dan

    kelompok masyarakat miskin dan rentan di

    Asia, Afrika, dan kepulauan di Samudera Pasifik

    akan paling banyak terkena dampak dan

    menjadi korban. Bahkan, diperkirakan 75 sam-

    pai 80 persen biaya kerusakan akibat perubahan

    iklim harus dipikul oleh negara-negara ber-

    kembang. Perekonomian negara-negara ber-

    kembang yang sangat tergantung pada penge-

    lolaan sumber daya alam dan jasa-jasa ling-

    kungan tentu saja peka terhadap perubahan

    iklim. Bagian terbesar penduduk negara ber-

    kembang juga hidup di daerah pesisir pantai dan

    kawasan rawan secara fisik. Kondisi sosial

    ekonomi mereka sangat rentan, sementara ke-

    mampuan finansial dan kelembagaan negara

    berkembang sangat terbatas. Bagaimanapun

    juga, penggunaan anggaran dan sumber daya

    negara berkembang yang serba pas-pasan itu

    harus diprioritaskan untuk memenuhi ke-

    butuhan pokok rakyat, yaitu mengentaskan

    masyarakat dari kemiskinan, meningkatkan

    pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.

    Apabila sumber daya amat terbatas itu tiba-tiba

    harus dialihkan untuk menanggulangi dampak

    perubahan iklim, dengan sendirinya nasib

    rakyat di negara-negara relatif miskin itu akan

    lebih sengsara lagi.

    Karena itu, perlu ada pola dan sistem pem-

    bangunan alternatif yang mampu membangun

    atau setidaknya meningkatkan kapasitas masya-

    rakat dan negara-bangsa untuk melakukan

    adaptasi terhadap perubahan iklim dan juga

    menentukan seberapa besar emisi GRK yang

    boleh dan bisa ditoleransi oleh masing-masing

    negara, sehingga upaya pengurangan emisi

    karbon secara kumulatif dapat memberi dampak

    signifikan terhadap penurunan suhu panas

    global dalam 10 -15 tahun mendatang.

    Hal lain tidak kalah pelik adalah upaya

    untuk menanggulangi ancaman perubahan iklim

    baik mencegah dan mengurangi emisi GRK

    (mitigasi) maupun upaya mengendalikan dan

    menanggulangi dampaknya (adaptasi) mem-

    butuhkan biaya ekonomi dan sumber daya luar

    biasa besar dan mahal. Tidak semua negara

    industri maju siap mengatasi masalah itu, kare-

    na upaya mitigasi untuk menurunkan emisi

    GRK membutuhkan biaya sangat besar, bahkan

    untuk ukuran negara kaya seperti AS, Inggris,

    Jerman, Perancis, dan Jepang sekalipun. Apalagi

    untuk negara berkembang. Mereka pasti tidak

    mampu menanggung beban biaya ekstra yang

    besarnya bisa menelan pendapatan nasional ne-

    gara bersangkutan, yang berarti harus mengor-

    bankan upaya penanggulangan kemiskinan

    yang menjadi kewajiban utama negara berkem-

    bang. Padahal, penyebab awal munculnya emisi

  • T O P I K

    10 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

    GRK dan pemanasan global bukan karena ulah

    negara berkembang, melainkan negara-negara

    industri maju yang sejak zaman Revolusi Industri

    telah melakukan dan menikmati hasil-hasil

    pembangunan ekonomi dengan proses indus-

    trialisasi yang menghasilkan akumulasi gas

    buangan di atmosfer. Ruang atmosfer tak cukup

    nyaman lagi untuk dinikmati negara berkem-

    bang yang baru belakangan memulai kegiatan

    pembangunan.

    Masalah di atas menghadapkan banyak

    negara berkembang, termasuk Indonesia, pada

    pilihan dilematis dalam memutuskan kebijakan

    pembangunan dan menentukan keputusan

    politik dalam dan luar negeri. Di sisi lain, me-

    nurut hasil kajian Lord Stern dan beberapa

    studi ekonomi, negara-negara maju dan ber-

    kembang harus segera melakukan upaya mi-

    tigasi perubahan iklim. Bila langkah dan tindak

    mengurangi emisi GRK ditunda-tunda, maka

    biaya-biaya ekonomi dan sosial yang harus

    dikeluarkan setiap negara akan berlipat se-

    puluh kali lebih besar, jika aksi pengurangan

    emisi itu baru dilakukan lima tahun akan da-

    tang. Jadi, kebijakan dan praktik pembangunan

    nasional tak bisa lain dan tak mungkin meng-

    hindar dari keharusan untuk merumuskan

    kebijakan publik; langkah-langkah aksi penang-

    gulangan perubahan iklim harus dilaksanakan

    secara komprehensif dan efektif mulai dari

    sekarang, tidak perlu menunggu.

    Masalahnya, perubahan iklim adalah gejala

    dan isu global yang mustahil diatasi di tingkat

    nasional, apalagi oleh satu atau dua kelompok

    negara saja. Diperlukan kesepakatan dan aturan

    yang mengikat secara internasional, baik untuk

    penurunan tingkat emisi maupun peningkatan

    upaya adaptasi.

    Konvensi PBB dan ProtokolPerubahan Iklim

    Untuk itulah Perserikatan Bangsa-Bangsa

    (PBB) menyusun Konvensi Perubahan Iklim

    yang disahkan KTT Bumi di Rio de Janeiro,

    Brasil, pada 1992. Tujuan Konvensi atau per-

    janjian multilateral itu adalah menstabilkan

    konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer

    pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia

    yang membahayakan sistem iklim. Tingkat

    konsentrasi emisi yang hendak distabilkan

    harus dicapai dalam suatu kerangka waktu

    yang memungkinkan ekosistem beradaptasi

    secara alamiah dengan perubahan iklim, yang

    memberi kepastian bahwa produksi pangan

    tidak terganggu, dan yang memungkinkan

    pembangunan ekonomi berlangsung secara

    berkelanjutan. Konvensi PBB itu memegang

    dan menerapkan prinsip bahwa semua negara

    memiliki tanggung jawab bersama mencegah

    perubahan iklim sesuai dengan kapasitas ma-

    sing-masing dan prinsip keadilan (common but

    differentiated responsibilities and respected

    capabilities).

    Atas dasar prinsip itu, Konvensi Perubahan

    Iklim telah menyepakati bahwa negara-negara

    industri maju harus membuat komitmen, me-

    mimpin, dan mengambil langkah lebih dahulu

    dalam hal pengurangan emisi GRK. Negara

    industri maju Eropa, negara-negara bekas Uni

    Soviet, Amerika Serikat, Kanada, Jepang,

    Australia, dan Selandia Baru, adalah negara-

    negara yang masuk dalam daftar Annex I

    Konvensi Perubahan Iklim. Mereka berke-

    wajiban mengurangi emisi karbon masing-

    masing pada akhir milenium (tahun 2000),

    sehingga emisi kolektif mereka berada di

    bawah tingkat emisi tahun 1990.

    Untuk mewujudkan tujuan konvensi dalam

    kerangka waktu dan sasaran penurunan emisi

    yang disepakati bersama, Konvensi Perubahan

    Iklim kemudian dilengkapi dengan suatu pe-

    rangkat atau aturan tata cara pelaksanaan

    konvensi (disebut Protokol Kyoto) yang lebih

    spesifik dan mengikat secara hukum. Sesuai

    dengan prinsip common but differentiated

    responsibilities, Protokol Kyoto memuat per-

    nyataan komitmen negara-negara industri maju

    (Annex I) untuk mengurangi emisi GRK kolek-

    tif mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat

    emisi tahun 1990 yang harus dicapai pada

    periode 2008-2012. Negara-negara berkem-

  • T O P I K

    11Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

    bang tidak memiliki kewajiban atau komitmen

    menurunkan emisi pada periode tersebut,

    namun perlu menerapkan pola pembangunan

    berkelanjutan untuk mencegah terjadinya ke-

    naikan emisi GRK di negara masing-masing.

    Untuk mengatur target kuantitatif penu-

    runan emisi dan target waktu penurunan emisi

    negara maju, Protokol Kyoto menyediakan tiga

    macam instrumen bersifat fleksibel, yaitu (1)

    Joint Implementation (JI); (2) Clean Develop-

    ment Mechanism (CDM); dan (3) Emission

    Trading Scheme (ETS). Semua skema penu-

    runan emisi GRK itu berlaku sampai dengan

    2012, yaitu tahun berakhirnya Protokol Kyoto.

    Sebagaimana diketahui, protokol pelaksanaan

    perjanjian tentang perubahan iklim ditanda-

    tangani di Kyoto, Jepang, pada 1997 dan berlaku

    sejak 2005 setelah diratifikasi lebih dari 130

    negara. Namun, Protokol itu tidak diratifikasi

    Pemerintah Amerika Serikat (dan Australia),

    sehingga sampai kini AS tidak terikat dengan

    ketentuan Protokol Kyoto.

    Kendati demikian, tiga instrumen Protokol

    Kyoto telah banyak digunakan dan berhasil

    menurunkan emisi karbon negara-negara yang

    telah ataupun belum meratifikasinya. Instru-

    men Joint Implementation memungkinkan

    negara-negara Annex I melaksanakan kewa-

    jiban, selain dari upaya sendiri untuk menu-

    runkan emisi di dalam negeri, juga bisa men-

    jalin kerja sama dengan sesama negara maju

    dalam pelaksanaan proyek bersama untuk

    menurunkan emisi GRK mereka. Emission

    Trading Scheme merupakan mekanisme per-

    tukaran atau perdagangan karbon yang bisa

    digunakan negara maju untuk mengurangi

    emisi karbon di negara sendiri dengan cara

    membeli jatah emisi GRK negara maju lain

    yang belum terpakai. Sedangkan Clean De-

    velopment Mechanism merupakan satu-satunya

    instrumen yang memungkinkan negara ber-

    kembang bisa ikut serta dalam kegiatan pe-

    nurunan emisi GRK melalui proyek bantuan

    kerja sama negara maju dengan negara ber-

    kembang di bidang efisiensi energi atau

    pengembangan energi terbarukan, misalnya.

    Hasilnya bisa digunakan negara maju untuk

    memperoleh sertifikat (kredit) penurunan

    emisi karbon negara sendiri.

    Ketiga mekanisme Protokol Kyoto itu,

    khususnya instrumen emission/carbon trading

    dan CDM, banyak mendorong berkembangnya

    berbagai jenis program dan proyek penurunan

    emisi GRK, baik di negara maju maupun di

    negara berkembang. Selain itu, instrumen

    tersebut juga menciptakan pasar dan bisnis baru

    yang disebut pasar perdagangan karbon (car-

    bon markets) dan pembiayaan karbon (carbon

    finance) dengan volume transaksi bisnis global

    mencapai triliunan dolar AS. Adanya pasar

    karbon memberi peluang besar bagi kalangan

    bisnis swasta untuk ikut serta dalam transaksi

    perdagangan emisi GRK secara lokal ataupun

    global, sekaligus menghasilkan pendapatan

    (revenue) bagi korporasi maupun negara.

    Dewasa ini pasar karbon berkembang menjadi

    sumber pendanaan penting untuk membiayai

    berbagai upaya penurunan emisi GRK; lebih

    meringankan beban anggaran pemerintah ne-

    gara-negara industri maju dalam memenuhi ko-

    mitmen dan kewajibannya.

    Mengapa Emisi KarbonTetap Tinggi?

    Sekalipun telah ada Konvensi PBB dan

    Protokol Kyoto, namun emisi CO2 di atmosfer

    saat ini masih belum menunjukkan tanda pe-

    nurunan, bahkan diperkirakan 30 persen lebih

    tinggi ketimbang saat Konvensi Perubahan Ik-

    lim itu ditandatangani belasan tahun silam.

    Menurut perhitungan terakhir, konsentrasi

    CO2 dan gas rumah kaca lain di atmosfer tahun

    2009 telah mendekati angka 430 ppmv. Bila

    dibiarkan berlanjut tanpa upaya mitigasi yang

    memadai, laju kenaikannya bisa menjadi tiga

    kali lipat pada akhir abad ke-21. Ini berarti

    mendekati 50 persen risiko kenaikan suhu

    global pada 5 derajat Celcius. Dengan kondisi

    suhu global sepanas itu pasti akan cepat me-

    lelehkan lapisan es di puncak gunung atau

    kutub bumi, menaikkan semua permukaan air

  • T O P I K

    12 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

    laut, membawa bencana kekeringan, banjir,

    paceklik pangan, dan sederet bencana lain.

    Ada empat penyebab utama mengapa emisi

    karbon global tetap tinggi, sekalipun telah ada

    perjanjian internasional. Pertama, karena negara

    penghasil/pelepas emisi karbon terbesar dunia,

    yaitu Amerika Serikat, sampai sekarang enggan

    meratifikasi perjanjian Protokol Kyoto. Australia

    yang juga tercatat sebagai negara penghasil

    emisi per kapita terbesar baru dua tahun ter-

    akhir menerima dan bersedia mengesahkan

    Protokol Kyoto.

    Kedua, ada beberapa negara Annex I sudah

    menandatangani dan meratifikasi Protokol

    Kyoto, namun gagal memenuhi kewajiban atau

    tidak berhasil menurunkan emisi GRK-nya

    sesuai dengan target yang ditentukan. Emisi

    karbon negeri Kanada, misalnya, hingga tahun

    2007 masih 29 persen di atas level emisi tahun

    1990. Begitu pula Spanyol yang masih 57 per-

    sen di atas level emisi tahun 1990. Beberapa

    negara bekas Uni Soviet dan negara-negara

    sosialis Eropa Timur yang semula masuk dalam

    kelompok negara pencemar/pelepas emisi

    tinggi, sebagian besar industri berat mereka

    yang menggunakan teknologi kuno dan kotor

    bangkrut setelah runtuhnya Tembok Berlin.

    Namun, penurunan emisi karbon akibat ron-

    toknya kegiatan industri di negara-negara itu

    tidak serta merta mengurangi emisi karbon di

    Benua Eropa. Banyak negara maju Eropa Ba-

    rat anggota Uni Eropa yang belum berhasil

    mencapai target penurunan emisi kemudian

    berlomba-lomba memborong pembelian jatah

    emisi GRK negara-negara bekas Uni Soviet

    yang tak terpakai itu (Russian hot air) melalui

    sistem offset dalam perdagangan karbon, ter-

    utama menjelang berakhirnya Protokol Kyoto

    2012.

    Ketiga, negara-negara kaya di Eropa dan

    Amerika banyak yang memindahkan lokasi atau

    mengekspor sebagian pabrik dan industrinya

    yang kotor ke negara-negara sedang berkem-

    bang. Industri baja, semen, mobil, motor, kulkas,

    komputer, dan lain-lain perangkat kehidupan

    modern yang proses produksinya menye-

    babkan polusi/pencemaran lingkungan di ne-

    gara-negara berkembang ternyata sekarang

    merupakan hasil produksi China, India, Brasil

    atau negara berkembang lainnya. Emisi GRK

    mereka tidak dibatasi, karena menurut ke-

    tentuan Konvensi, negara-negara sedang ber-

    kembang tersebut memang tidak berkewajiban

    menurunkan emisi karbon.

    Keempat, negara-negara sedang berkem-

    bang yang lebih maju seperti China, India,

    Brasil, Korea Selatan, Meksiko, Afrika Selatan,

    bahkan Indonesia, dalam tempo lima sampai

    sepuluh tahun setelah berlakunya Protokol

    Kyoto (1998), ternyata mengalami pertum-

    buhan ekonomi sangat pesat. Karena sebagian

    besar ditopang oleh penggunaan energi ber-

    bahan bakar fosil, laju pertumbuhan emisi GRK

    negara-negara tersebut juga naik dengan cepat.

    Namun, karena mereka tidak termasuk Annex

    I dalam Konvensi Perubahan Iklim, tidak ada

    pembatasan besarnya emisi GRK yang bisa

    dilepaskan ke atmosfer, sehingga emisi karbon

    global bukannya berkurang tapi malah semakin

    meningkat.

    Hal terakhir itulah yang banyak diper-

    soalkan negara-negara maju, terutama Amerika

    Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, dalam forum

    konvensi dan perundingan internasional tentang

    perubahan iklim yang cenderung menolak

    memperpanjang atau memperbarui Protokol

    Kyoto, serta menginginkan dihapuskannya

    pembedaan antara negara-negara Annex dan

    non-Annex dalam konvensi internasional.

  • T O P I K

    13Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

    Bali Roadmap dan BaliAction Plan

    Pada akhir 2007, sekitar 189 perwakilan

    pemerintah negara seluruh dunia berkumpul

    dalam Conference of the Parties (COP-13)

    UNFCCC di Nusa Dua, Bali, untuk membahas

    kesepakatan baru menjelang berakhirnya Pro-

    tokol Kyoto pada 2012, supaya peningkatan

    suhu panas bumi bisa segera dikendalikan.

    Pada awalnya, sebelum konferensi di Bali,

    muncul dua pendapat berbeda, bahkan

    bertentangan, di antara negara maju (Annex I)

    dengan negara-negara (sedang) berkembang

    (non-Annex). Negara-negara berkembang yang

    tergabung dalam Kelompok 77 dan China ber-

    pendapat bahwa negara-negara maju harus

    segera memenuhi komitmen dan kewajiban

    menurunkan emisi GRK sesuai target kuantita-

    tif dan target waktu yang ditetapkan dalam

    Protokol Kyoto, supaya suhu panas bumi tidak

    bertambah 2 derajat Celcius pada 2010. Seba-

    liknya, negara-negara maju, termasuk AS yang

    tidak terikat Protokol Kyoto, berpendapat

    bahwa upaya penurunan emisi sebaiknya me-

    nunggu sampai ada bukti-bukti keilmuan yang

    cukup tentang penyebab pemanasan global, dan

    juga sampai adanya teknologi yang lebih murah

    agar tidak menambah beban ekonomi dunia

    yang sedang dilanda krisis. Dengan kata lain,

    negara-negara Annex I cenderung hendak

    mengganti Protokol Kyoto dengan rezim per-

    janjian internasional baru yang dianggap lebih

    adil.

    Konferensi COP ke-13 di Bali akhirnya

    menyepakati jalan tengah yang bisa menjem-

    batani dua kubu pandangan yang sangat berto-

    lak belakang di antara negara-negara Utara

    dengan Selatan. Fokus pertemuan di Bali lebih

    ditujukan untuk memecahkan berbagai isu

    jangka panjang, yaitu bagaimana mewujudkan

    rezim perjanjian iklim baru setelah berakhirnya

    Protokol Kyoto. Namun demikian, ada beberapa

    isu mendesak yang belum terselesaikan selama

    periode Protokol 2008-2012, yaitu belum ter-

    penuhinya komitmen dan target penurunan

    emisi negara-negara Annex I serta kejelasan

    arah dan pedoman penyelesaiannya. Hasil

    negosiasi COP-13 di Bali akhirnya mengadopsi

    dua kesepakatan penting, yaitu (1) Bali Road-

    map dan (2) Bali Action Plan.

    Bali Roadmap adalah kesepakatan Para

    Pihak mengenai proses selama dua tahun (2008-

    2009) tentang bagaimana mengatasi perbedaan

    dalam cara pendekatan dan wadah perundingan

    di antara negara berkembang dengan negara

    maju. Di dalam negara maju ada negara penting

    seperti Amerika Serikat yang anggota Konvensi,

    tetapi berada di luar perjanjian Protokol Kyoto.

    Untuk itu disepakati pembentukan dua jalur

    (track) negosiasi. Jalur pertama berada di bawah

    Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim untuk

    pembahasan dan negosiasi isu-isu jangka pan-

    jang pasca-2012, yang dilakukan melalui wadah

    kelompok kerja sama jangka panjang atau Ad

    Hoc Working Group on Long-term Cooperative

    Action (AWG-LCA). Sementara jalur kedua

    berada di bawah perjanjian Protokol Kyoto yang

    membahas dan menegosiasi penyelesaian ko-

    mitmen selanjutnya bagi negara maju yang

    masuk dalam Annex I sesuai dengan ketentuan

    perjanjian Protokol Kyoto. Wadahnya adalah

    kelompok kerja komitmen Annex I atau Ad Hoc

    Working Group on Further Commitments for

    Annex I Parties (AWG-KP). Kedua jalur perun-

    dingan akan berjalan paralel selama dua tahun

    dan diharapkan dapat menyimpulkan hasil

    negosiasi pada Konferensi COP-15 dan Per-

    temuan Protokol Kyoto ke-5 (CMP-5) di Ko-

    penhagen, Denmark, Desember 2009.

    Kalau Bali Roadmap menentukan proses

    dan jalur perundingan, maka Bali Action Plan

    merupakan hasil kesepakatan Para Pihak me-

    ngenai substansi dan arah masa depan pe-

    rundingan perubahan iklim yang diputuskan

    COP-13 di Bali. Bali Action Plan (BAP) memuat

    rencana tindak (action plan) untuk membentuk

    kelompok kerja sama jangka panjang (AWG-

    LCA) dengan mandat menanggulangi peru-

    bahan iklim tidak hanya dengan mitigasi dan

    adaptasi saja, tetapi juga melalui empat elemen

    atau pilar utama kerja sama global berjangka

  • T O P I K

    14 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

    panjang guna mengurangi pemanasan global

    yang disepakati Konvensi. Keempat elemen

    mitigasi, adaptasi, pendanaan, dan alih teknologi

    (termasuk pengembangan kapasitas) meru-

    pakan satu paket aksi bersama di masa depan.

    Untuk itu BAP menyepakati pentingnya upaya

    mewujudkan visi bersama mengenai aksi

    kerja sama berjangka panjang (a shared vision

    for a long-term cooperative action), termasuk

    bagaimana mencapai tujuan akhir Konvensi

    dalam menurunkan secara signifikan emisi GRK

    dan suhu panas bumi pada 2050. Visi bersama

    itulah yang diharapkan dapat dituangkan dalam

    suatu agreed outcome (hasil akhir yang disepa-

    kati bersama) yang seharusnya ditetapkan oleh

    semua Pihak pada COP-15 di Kopenhagen.

    Ditambahkannya dua elemen baru, yaitu

    pendanaan dan alih teknologi (termasuk

    pengembangan kapasitas) sebagai satu paket

    upaya penanggulangan perubahan iklim dalam

    satu visi bersama negara-negara maju dan

    berkembang itu adalah langkah kemajuan yang

    diperoleh negara berkembang dalam perun-

    dingan di Bali. Hal ini sangat penting, karena

    tanpa adanya alih teknologi dari negara maju

    dan tambahan pendanaan yang memadai, ne-

    gara-negara berkembang pasti tidak akan

    sanggup melakukan kegiatan mitigasi maupun

    adaptasi dengan sumber daya sendiri.

    Ada beberapa keputusan lain dalam BAP

    yang menjadi tonggak penting bagi negara

    berkembang dalam perjalanan Konvensi Pe-

    rubahan Iklim menuju rezim perjanjian inter-

    nasional baru. Di antaranya mengenai dite-

    rimanya upaya mencegah deforestasi sektor

    kehutanan, khususnya REDD-plus (Reducing

    Emissions from Deforestation and Forest

    Degradation), sebagai mekanisme/instrumen

    yang diadopsi Konvensi dalam upaya mitigasi

    menurunkan emisi GRK negara-negara berkem-

    bang. Selain itu, masalah bagaimana mengukur

    keberhasilan Negara Pihak dalam melaksa-

    nakan komitmen, atau dikenal dengan kriteria

    MRV (Measurable, Reportable and Verify-

    able), juga menjadi isu dan perdebatan hangat.

    Kriteria MRV akhirnya disepakati untuk dima-

    sukkan dalam ketentuan pelaksanan komitmen

    dan kewajiban mitigasi negara maju, serta

    kegiatan mitigasi sukarela negara-negara se-

    dang berkembang. Berkaitan dengan yang

    disebut terakhir muncul istilah dan konsep

    NAMAs (Nationally Appropriate Mitigation

    Actions), yakni kegiatan mitigasi tingkat nasio-

    nal yang patut dilakukan negara berkembang

    dalam rangka pelaksanaan pembangunan

    berkelanjutan. Negara maju bisa membantu

    negara berkembang dalam bentuk pendanaan,

    teknologi, dan pengembangan kapasitas, apabila

    pelaksanaannya bisa diukur, dilaporkan, dan

    diverifikasi (MRV) dengan benar.

    Perubahan Iklim dan EmisiGRK di Indonesia

    Sebagai negara sedang berkembang yang

    sangat bergantung pada sumber daya alam dan

    sektor pertanian, Indonesia amat rentan ter-

    hadap dampak perubahan iklim. Karena itu,

    ketika suhu bumi kian memanas, curah hujan

    dan iklim berubah secara ekstrem, Indonesia

    termasuk negara yang diperkirakan menjadi

    korban dari perubahan iklim. Namun demi-

    kian, masih sulit diperkirakan seberapa besar

    dampaknya terhadap ekonomi dan lingkungan

    Indonesia. Di sisi lain, sebagai negara yang

    memiliki tutupan hutan dan lahan gambut ter-

    luas di Asia, Indonesia juga termasuk negara

    penyerap dan penyimpan karbon (carbon sink)

    terbesar dunia. Sayangnya, karena besarnya

    luas kerusakan hutan serta pesatnya laju kon-

    versi hutan dan degradasi lahan hutan selama

    ini, Indonesia dikhawatirkan masuk dalam ja-

    jaran negara pelepas dan penyumbang karbon

    (carbon emitter) terbesar dunia.

    Pendek kata, perubahan iklim dan pema-

    nasan global membuat Indonesia mempunyai

    potensi besar sebagai korban yang terkena

    banyak dampak negatif, sebagai penyumbang

    emisi gas GRK yang mencemari dunia, atau

    sebagai penyerap dan penyimpan karbon

    sering disebut paru-paru dunia, bila tutupan

    hutannya tetap terjaga dan terhindar dari an-

  • T O P I K

    15Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

    caman kebakaran, deforestasi, dan degradasi

    hutan. Mana yang akan terjadi tergantung pada

    kebijakan atau tindakan mitigasi dan adaptasi

    apa yang akan ditempuh, serta mulai kapan dan

    seberapa jauh akan dilaksanakan oleh peme-

    rintah dan masyarakat. Semakin dini dan cepat

    tindakan mengurangi emisi dan mengadaptasi

    perubahan iklim, semakin kecil potensi dampak

    dan korban yang terkena, dan semakin besar

    potensi hutan Indonesia berfungsi sebagai

    carbon sink, penyerap dan penyimpan karbon.

    Meski belum ada kepastian mengenai be-

    saran emisi GRK Indonesia, perkiraan saat ini

    menunjukkan bahwa sektor kehutanan dan alih

    guna lahan menyumbang emisi dengan jumlah

    lebih besar dibanding emisi dari sektor energi

    dan sektor lain. Besarnya emisi dari deforestasi,

    kebakaran hutan, konversi lahan hutan, dan la-

    han gambut, menempatkan Indonesia sebagai

    negara berkembang dengan tingkat emisi kar-

    bon cukup tinggi; Indonesia masuk dalam kate-

    gori negara yang perlu melakukan upaya miti-

    gasi guna mencegah percepatan perubahan

    iklim.

    Profil emisi karbon Indonesia memang

    masih didominasi emisi dari sektor kehutanan,

    lahan gambut, limbah dan pertanian, namun

    seiring dengan meningkatnya laju pertumbuh-

    an ekonomi, emisi yang berasal dari sektor

    energi, industri, dan transportasi menunjukkan

    tren kenaikan cukup tinggi. Meningkatnya

    kebutuhan akan tenaga listrik, baik untuk

    industri, pusat-pusat belanja maupun rumah

    tangga, membuat emisi GRK dari pembakaran

    bahan bakar fosil akan bertambah dan semakin

    meningkat. Pertumbuhan sektor energi In-

    donesia masih tergantung pada pemakaian batu

    bara yang melepas emisi gas karbon dua kali

    lebih banyak dibanding emisi minyak dan gas

    bumi. Tingkat emisi karbon dari sektor energi

    dan listrik yang menggunakan BBM dan batu

    bara diperkirakan akan naik tiga kali lipat pada

    2030 bila tidak ada upaya untuk mengurangi

    atau mengganti bahan bakar tersebut dengan

    sumber energi yang jauh lebih bersih dan

    ramah lingkungan.

    Sesungguhnya, Indonesia sangat kaya akan

    sumber-sumber energi terbarukan, terutama

    panas bumi (geotermal), tenaga air, energi

    surya, dan biomassa. Namun, sumber-sumber

    energi bersih yang berlimpah itu hingga kini

    belum banyak dimanfaatkan, apalagi dikem-

    bangkan dalam skala komersial. Indonesia

    sangat tergantung pada pemanfaatan minyak

    bumi (BBM) yang hingga kini masih disubsidi

    pemerintah. Selain merugikan perekonomian

    nasional karena menimbulkan distorsi harga,

    defisit fiskal, dan beban biaya anggaran tak

    terduga, ketergantungan sangat tinggi pada

    penggunaan BBM justru mendorong peng-

    gunaan energi dan listrik secara tidak efisien dan

    berlebihan.

    Subsidi BBM juga menghambat pengem-

    bangan sumber-sumber energi terbarukan.

    Potensi sumber-sumber energi terbarukan

    boleh dikatakan sangat besar, namun selama ini

    belum memperoleh banyak perhatian dan

    insentif dari pemerintah. Perkembangan renew-

    able energy di Indonesia selalu dibiarkan ter-

    kendala oleh tingginya biaya investasi awal

    untuk teknologi, ketidakpastian peraturan, dan

    keterbatasan kapasitas kelembagaan. Padahal,

    di sanalah peluang terbesar Indonesia dalam

    menerapkan pola pembangunan rendah karbon.

    Kebijakan dan PembangunanRendah Karbon di Indonesia

    Dalam beberapa belas tahun terakhir,

    tanda-tanda dampak pemanasan global sudah

    mulai terlihat di Indonesia. Kita telah mengalami

    beberapa kali musim kemarau sangat panjang

    pada 1982-1983, 1987, 1991, 1997-98, dan 2002-

    2003. Selain menyebabkan gagal panen, musim

    kemarau amat panjang itu juga membuat pu-

    luhan ribu hektar sawah harus dipusokan,

    produksi gabah turun ratusan juta ton, dan

    merugikan petani Indonesia. Pemerintah yang

    pada 1984 telah mencapai swasembada beras

    kembali harus mengimpor beras dalam jumlah

    besar dari berbagai negara di Asia. Musim

    kemarau kering dan amat panjang itu juga se-

  • T O P I K

    16 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

    ring menimbulkan kebakaran hutan, di an-

    taranya yang terbesar pada 1991 dan 1997-

    1998, yang mengakibatkan kerugian besar

    bukan hanya di sektor kehutanan saja, tetapi

    juga di sektor transportasi, perdagangan, dan

    pariwisata di Indonesia dan beberapa negara

    tetangga akibat tebalnya asap yang ditimbulkan

    oleh kebakaran hutan di Sumatera dan

    Kalimantan.

    Selain itu, Indonesia juga kian sering

    menyaksikan dan mengalami bencana alam dan

    bencana lingkungan yang terus meningkat

    seperti banjir besar, gempa bumi, tanah longsor,

    badai, angin topan dan gelombang tsunami di

    berbagai daerah. Musim kemarau panjang dan

    mulai sering terjadi, menurut beberapa pakar,

    disebabkan oleh fenomena El Nino, yaitu na-

    iknya suhu di Samudera Pasifik sampai 31

    derajat Celcius yang membawa gelombang

    panas dan kekeringan di Indonesia. Selain itu,

    juga terjadi curah hujan tinggi yang disebabkan

    oleh fenomena La Nina, kebalikan El Nino,

    yakni gejala menurunnya suhu permukaan

    Samudera Pasifik yang membawa angin ken-

    cang dan awan hujan ke Australia dan Asia

    bagian selatan, termasuk Indonesia.

    Apakah kemarau panjang dan curah hujan

    tinggi di atas normal yang semakin sering terjadi

    merupakan kejadian alam biasa atau dampak

    dari pemanasan global? Hal ini belum bisa

    dijelaskan secara pasti. Namun, jika pemanasan

    global itu sungguh terjadi, maka yang akan kita

    alami adalah kemarau panjang dan curah hujan

    di atas normal dalam skala lebih besar dan lebih

    luas. Kerugian sosial ekonomi dan lingkungan

    yang dtimbulkan pasti jauh lebih besar.

    Perubahan iklim dan pemanasan global

    jelas membawa dampak ke semua sektor dan

    memengaruhi hampir semua aspek kehidupan

    serta keberlangsungan ekosistem tempat ma-

    nusia, tumbuhan, hewan dan makhluk lain

    hidup di dalamnya. Pemerintah Indonesia ke-

    mudian mengambil sikap bahwa perubahan

    iklim adalah isu pembangunan, bukan isu ling-

    kungan hidup semata. Karena itu, dalam penge-

    lolaan dan pengendaliannya, semua pihak dan

    pemangku kepentingan harus ikut terlibat, tidak

    bisa hanya pemerintah sendiri, dan tidak mung-

    kin ditangani di tingkat lokal dan nasional saja,

    karena akar permasalahan berada di tataran

    global.

    Walaupun Indonesia telah meratifikasi

    Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Per-

    ubahan Iklim (UNFCCC) dan Protokol Kyoto

    masing-masing dengan UU No. 6/1994 dan UU

    No. 17/2004, kesadaran mengenai pentingnya

    upaya penanganan isu perubahan iklim dan

    kaitannya dengan keberhasilan pembangunan

    ekonomi belum mendalam dan meluas ke

    semua jajaran, baik pemerintah maupun ma-

    syarakat umum. Indonesia mulai bergerak lebih

    aktif di forum-forum internasional, khususnya

    sejak 2002 ketika ikut serta dalam persiapan dan

    menjadi pimpinan Konferensi Tingkat Tinggi

    (KTT) Pembangunan Berkelanjutan di

    Johannesburg, Afrika Selatan, dan terutama

    menjelang persiapan COP-13 di Bali, Desember

    2007.

    Di Bali tahun 2007 itulah peran Indonesia

    makin menonjol dalam diplomasi serta per-

    caturan politik dan ekonomi internasional ten-

    tang perubahan iklim. Selain menjadi tuan

    rumah dan berhasil memfasilitasi pengorga-

    nisasian konferensi yang dihadiri lebih dari

    10.000 orang peserta dari 189 negara dengan

    lancar, peran Indonesia sebagai Ketua COP-13

    Menteri Negara Lingkungan Hidup

    Rachmat Witoelar juga dinilai sebagai fasili-

    tator yang baik dalam mendekatkan perbe-

    daan-perbedaan tajam yang muncul di antara

    negara berkembang dengan negara maju dan

    berhasil menelorkan Bali Action Plan yang

    sekarang menjadi salah satu tonggak historis

    acuan perundingan menuju rezim perjanjian

    iklim baru pasca-2012.

    Di samping itu, apabila selama 10 tahun

    lebih pertemuan Konvensi Perubahan Iklim

    hanya diurus dan dihadiri oleh para pejabat dan

    menteri lingkungan hidup, di Bali itu pula In-

    donesia memprakarsai dua forum pertemuan

    informal tingkat menteri di luar bidang ling-

    kungan, yaitu keuangan dan perdagangan. Per-

  • T O P I K

    17Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

    temuan para menteri keuangan negara-negara

    maju dan berkembang yang juga dihadiri para

    petinggi Dana Moneter Internasionl (IMF),

    Bank Dunia (WB) dan Bank-bank Pemba-

    ngunan Multilateral (MDB) itu dipimpin Menteri

    Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Itu merupakan

    terobosan baru, karena memasukkan agenda

    pendanaan dalam isu perubahan iklim. Begitu

    pula pertemuan para menteri perdagangan. Per-

    temuan yang juga dihadiri pimpinan Organisasi

    Perdagangan Dunia (WTO) dan UNCTAD itu

    dipimpin Menteri Perdagangan Mari Elka

    Pangestu, dan mendapat sambutan cukup baik

    karena memulai dialog substantif tentang kaitan

    isu kebijakan perdagangan dengan isu ling-

    kungan hidup yang selama ini berjalan sendiri-

    sendiri.

    Indonesia selaku Ketua COP-13 terus me-

    lanjutkan peranan sebagai bagian dari Troika

    (tiga serangkai). Bersama Polandia selaku Ke-

    tua COP-14 dan Denmark selaku Ketua COP-

    15, Indonesia diberi tugas oleh Sekretaris

    Jenderal PBB untuk mengawal Bali Action

    Plan agar berhasil merintis a new and legally

    binding agreement pada COP-15 di Kopen-

    hagen, Desember 2009. Sayangnya, harapan

    begitu tinggi di Bali ternyata harus kandas di

    Kopenhagen. Bagaimanapun juga, peristiwa di

    Bali akhir 2007 itu merupakan tonggak per-

    jalanan Indonesia yang tak kalah penting bagi

    terciptanya momentum baru di dalam negeri.

    Sejak itu kesadaran, gerakan masyarakat, dan

    liputan media massa terhadap isu lingkungan

    dan perubahan iklim makin gencar dan me-

    luas, selain melahirkan serangkaian terobosan

    kebijakan, program, dan lembaga-lembaga baru

    yang menunjukkan peningkatan perhatian

    pemerintah dan alokasi sumber daya negara

    pada upaya penanggulangan perubahan iklim

    di Indonesia. Terbitnya dokumen Rencana Aksi

    Nasional untuk Mitigasi dan Adaptasi Per-

    ubahan Iklim (RAN-MAPI) kemudian diikuti

    pembentukan Dewan Nasional Perubahan

    Iklim (DNPI) yang dipimpin langsung Presiden

    Republik Indonesia pada Juni 2008 menandai

    langkah awal perubahan kebijakan pemerintah

    yang menganggap perubahan iklim bukan ha-

    nya isu lingkungan semata, tetapi juga me-

    nyangkut masalah pembangunan.

    Dengan bekal arah kebijakan baru itu,

    DNPI mulai melakukan kajian dan dialog lintas

    sektor agar kebijakan dan program pemba-

    ngunan yang akan memasukkan upaya mitigasi

    dan adaptasi perubahan iklim tidak lagi dila-

    kukan dengan pola konvensional atau business

    as usual, akan tetapi harus ada perubahan pen-

    dekatan yang menjamin terlaksananya pola

    pembangunan berkelanjutan (sustainable de-

    velopment) di Indonesia. Untuk itu, selain me-

    lihat kinerja pertumbuhan ekonomi yang diukur

    dengan kenaikan Produk Domistik Bruto

    (PDB, Gross Domestic Product), hasil pemba-

    ngunan juga harus dilihat dari turunnya tingkat

    emisi karbon (CO2) dalam mencapai tingkat

    PDB tersebut. Ukuran rendahnya kadar karbon

    (emisi GRK) merupakan salah satu syarat

    penting terlaksananya pembangunan berkelan-

    jutan di masa depan. Karena itu, diperkenalkan

    pengertian pembangunan rendah karbon (low

    carbon development) sebagai alternatif pola

    pembangunan konvensional yang selama ini

    dilakukan dengan mengandalkan bahan bakar

    energi sarat emisi karbon.

    Langkah tersebut diteruskan oleh Kemen-

    terian Keuangan dan Badan Perencanaan Pem-

    bangunan Nasional (Bappenas) yang pada

    tahun 2009-2010 mengeluarkan beberapa

    dokumen kebijakan. Dokumen-dokumen ter-

    sebut menunjukkan bahwa isu perubahan

    iklim dan lingkungan hidup mulai masuk ke

    arus utama (mainstream) kebijakan pemba-

    ngunan nasional. Akhir Oktober 2009, misal-

    nya, Menteri Keuangan menerbitkan dokumen

    setebal 163 halaman bertajuk Green Paper on

    Economic and Fiscal Policy and Strategies for

    Climate Change in Indonesia, yang mengurai-

    kan konsep dan kerangka kebijakan fiskal,

    anggaran dan keuangan negara dalam menun-

    jang tercapainya tujuan mitigasi perubahan

    iklim yang digariskan Pemerintah Indonesia.

    Bappenas juga menerbitkan Yellow Book dan

    Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap

  • T O P I K

    18 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

    sebagai kebijakan baru dan peta jalan bagi

    sembilan sektor pembangunan yang terkait

    mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, se-

    kaligus digunakan sebagai masukan untuk

    penyusunan Rencana Pembangunan Jangka

    Menengah (RPJM) 2010-2014, Rencana Kerja

    Pemerintah (RKP) 2010, dan juga sebagai

    bahan untuk menyusun Rencana Aksi Nasional

    Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK)

    2010-2020.

    Dokumen RAN-GRK 2010-2020 harus se-

    gera diproses secara lintas sektor oleh Bap-

    penas dan DNPI bersama semua sektor dan

    lembaga terkait untuk menerjemahkan dan

    menjabarkan komitmen Presiden Susilo Bam-

    bang Yudhoyono yang telah mencanangkan

    tekad Indonesia untuk menurunkan emisi GRK

    sebesar 26 persen pada 2010 dari tingkat emisi

    tahun 2005. Penurunan emisi itu bisa lebih be-

    sar menjadi 41 persen, jika negara-negara in-

    dustri maju bersedia membantu Indonesia

    untuk mengantisipasi bantuan dan kerja sama

    internasional bagi program-program terkait

    perubahan iklim, Bappenas dan Kementerian

    Keuangan menyiapkan wadah atau mekanisme

    pendanaan baru, Indonesia Climate Change

    Trust Fund (ICCTF).

    Beberapa terobosan untuk membawa isu

    perubahan iklim ke arus tengah kebijakan pe-

    merintah mulai menguak jendela kebijakan

    pembangunan ekonomi. Namun, tantangan ter-

    besar Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan

    pembangunan rendah karbon adalah bagaimana

    menembus tembok benteng kementerian dan

    lembaga-lembaga sektoral seperti Kementerian

    Kehutanan, Pertanian, Energi dan Sumber Daya

    Mineral, Pekerjaan Umum, dan pemerintah

    daerah. Sekalipun mulai membuka pintu untuk

    bisa ikut menikmati kue dana bantuan peru-

    bahan iklim bagi sektor atau daerah masing-

    masing, pada dasarnya mereka masih meng-

    gunakan sasaran dan pola kerja business as

    usual, tanpa melakukan perubahan kebijakan

    dan langkah berarti untuk benar-benar mengu-

    rangi jejak karbon (carbon footprint) yang

    masih dalam dan lebar.

    Kopenhagen: Gagal atauKeberhasilan yang Tertunda?

    Konferensi Para Pihak ke-15 negara-nega-

    ra yang tergabung dalam UNFCCC di Kopen-

    hagen, Denmark, pada 7-19 Desember 2009

    yang dirancang dua tahun sebelumnya di Bali

    sebagai puncak perundingan dunia yang diha-

    rapkan akan melahirkan perjanjian baru atau

    pembaruan atas Protokol Kyoto yang akan

    berakhir tahun 2012 ternyata membuyarkan

    harapan dunia dan berbagai skenario yang per-

    nah dibuat. Di tengah kecemasan masyarakat

    internasional akan hasil kajian ilmiah yang

    memprediksi kenaikan suhu bumi melebihi 3

    derajat Celcius dari tingkat pra-Revolusi In-

    dustri, konferensi Kopenhagen yang diharap-

    kan bisa mengeluarkan resep penurunan

    suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius ternyata

    tak berhasil membuat kesepakatan apa pun

    yang mengikat semua negara peserta.

    Apa yang sebenarnya terjadi di Kopenha-

    gen? Pada awalnya, penyelenggaraan COP-15

    berlangsung sesuai dengan Bali Roadmap,

    yakni dalam dua jalur perundingan (two tracks)

    dan wadah persidangan. (1) Jalur AWG-KP,

    untuk merumuskan komitmen selanjutnya dari

    negara-negara Annex I dalam memenuhi ke-

    tentuan Protokol Kyoto pada periode pasca-

    2012; dan (2) jalur AWG-LCA untuk meru-

    muskan langkah-langkah kerja sama jangka

    panjang (2020-2050) yang perlu disepakati se-

    mua pihak penanda tangan Konvensi di masa

    depan. Proses perundingan melalui dua jalur

    itu lazimnya dilakukan tim perunding teknis

    (negotiators) profesional mewakili masing-

    masing Para Pihak yang sudah menangani

    seluk-beluk prosedur dan substansi isu pe-

    rundingan sejak COP-13 Bali (2007), COP-14

    Poznan (Polandia, 2008), dan serangkaian

    perundingan persiapan COP-15 mulai dari

    Bonn (tiga kali), Bangkok, Barcelona, sampai

    Kopenhagen awal Desember 2009. Dalam

    seluruh proses perundingan melalui dua jalur

    selama dua tahun itu, Para Pihak yang ber-

    jumlah 189 negara maju dan berkembang

  • T O P I K

    19Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

    terwakili dan ikut serta secara aktif dalam

    perundingan di bawah bendera UNFCCC.

    Sampai dengan hari kesepuluh, proses

    perundingan di tingkat tim perunding teknis

    COP-15 Kopenhagen berjalan lamban dan

    sangat alot, mengingat masih banyaknya per-

    bedaan pendapat soal isu-isu substansial di

    antara negara industri maju dengan negara

    berkembang yang tergabung dalam Kelompok

    77 dan China. Akan tetapi, bukan berarti tidak

    ada kemajuan yang dicapai tim perunding tek-

    nis. Sehari menjelang diselenggarakannya

    perundingan tingkat menteri (ministerial/high

    level segment of negotiation), ketua-ketua AWG-

    KP dan AWG-LCA menyerahkan draf dokumen

    hasil perundingan tingkat tim negosiator teknis

    yang mengandung lebih banyak kesepakatan

    dibanding perbedaan antara negara maju dan

    negara berkembang.

    Namun, ketika proses perundingan beralih

    dari perundingan teknis ke tingkat lebih tinggi

    (high level segment), perbedaan pendapat bu-

    kannya berkurang, tetapi semakin tajam dan

    memuncak dalam ketegangan posisi dan sikap

    negara-negara maju menghadapi Kelompok 77

    dan China. Bila selama ini perundingan high-

    level segment hanya dihadiri oleh para menteri

    lingkungan hidup dan/atau duta besar masing-

    masing Pihak, pada COP-15 Kopenhagen hadir

    lebih dari 110 kepala negara/pemerintahan,

    yang kemudian mengambil alih peran para

    negosiator dan pejabat tinggi yang memahami

    isu perubahan iklim. Itu merupakan peristiwa

    baru yang belum pernah terjadi sebelumnya

    dalam tujuh belas tahun sejarah perundingan

    global tentang perubahan iklim. Hal lain yang

    juga tidak lazim adalah Perdana Menteri Den-

    mark selaku kepala pemerintahan bertindak

    sebagai Ketua COP-15 yang memimpin jalannya

    sidang Konvensi hingga selesai, bukan menteri

    lingkungan atau menteri teknis yang menangani

    perubahan iklim.

    Hal paling mengecewakan, Kopenhagen

    akhirnya hanya menghasilkan sebuah dokumen

    politis yang disebut Copenhagen Accord

    (Kesepakatan Kopenhagen). Dokumen ini me-

    rupakan catatan hasil perundingan tingkat

    tinggi/kepala negara yang difasilitasi Perdana

    Menteri Denmark selaku Ketua COP-15 yang

    hanya melibatkan 29 negara dari 189 negara

    peserta Konvensi. Statusnya sekadar catatan

    COP-15 yang sama sekali tidak mengikat seca-

    ra hukum. Dua belas butir kesepakatan yang

    tertuang dalam Copenhagen Accord dihasilkan

    setelah proses perundingan yang alot dan pa-

    nas, terutama antara Amerika Serikat, China

    Sumber: IPCC, DNPI: Pathways to a Low-Carbon Economy, (2009)

  • T O P I K

    20 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

    dan negara-negara kelompok ALBA dari Ame-

    rika Latin dalam sidang tertutup pada menit-

    menit terakhir menjelang sidang penutupan

    Konvensi. Semua hal di luar kebiasaan yang

    terjadi di Kopenhagen menunjukkan bahwa

    peran politisi dan pertimbangan politik sangat

    mendominasi hasil perundingan dan keputusan

    Konvensi.

    Berikut beberapa butir isi kesepakatan

    Copenhagen Accord:

    Tentang target stabilisasi GRK di atmosfer:

    menetapkan tujuan pembatasan pening-

    katan suhu global pada tahun 2050 adalah

    2 derajat Celcius di bawah tingkat zaman

    praindustri. Target itu akan dikaji ulang pada

    2015, termasuk kemungkinan mengubah

    stabilisasi emisi GRK menjadi 1,5 derajat

    Celcius sesuai permintaan negara-negara

    kepulauan kecil (AOSIS).

    Tentang kewajiban negara Annex I: menye-

    tujui bahwa pada 31 Januari 2010 negara-

    negara maju (Annex I) harus menentukan

    target penurunan emisi secara kuantitatif

    (economy wide) untuk tahun 2020 sesuai

    dengan kesanggupan masing-masing. Me-

    nyetujui sistem pemantauan dan pelaporan

    atas capaian target pengurangan emisi

    GRK negara-negara maju serta penyediaan

    dana dan teknologi negara industri maju

    dalam Annex I, termasuk Amerika Serikat,

    untuk negara berkembang.

    Tentang kewajiban negara non-Annex:

    menetapkan pengurangan emisi GRK ne-

    gara-negara sedang berkembang (Non-

    Annex) perlu diukur, dilaporkan, dan di-

    verifikasi (MRV) oleh masing-masing ne-

    gara serta dikomunikasikan ke Sekretariat

    UNFCCC setiap dua tahun melalui laporan

    National Communication. Mengenai bentuk

    dan cara aksi penurunan emisi merupakan

    hak sepenuhnya negara bersangkutan.

    Menetapkan bahwa upaya pengurangan

    emisi oleh negara berkembang (Nationally

    Appropriate Mitigation Actions/NAMAs)

    akan dibantu pendanaan dan alih teknologi

    dari negara maju melalui pengukuran, pe-

    laporan, dan verifikasi (MRV) oleh satu

    Badan Registrasi (Registry) sesuai panduan

    internasional yang dibuat UNFCCC.

    Tentang Pendanaan: menyepakati komit-

    men negara maju untuk menyediakan pen-

    danaan sebesar 30 miliar dolar AS dalam

    periode 2010-2012 bagi kegiatan adaptasi

    dan mitigasi negara sedang berkembang di

    bawah supervisi COP-UNFCCC melalui

    mekanisme Copenhagen Green Climate

    Fund yang akan segera dibentuk. Selain

    pendanaan jalur cepat (interim fast track

    funding) menjelang 2012, negara-negara

    maju juga berkomitmen memobilisasi dana

    sebesar 100 miliar dolar AS per tahun mulai

    tahun 2020 untuk membiayai, antara lain,

    kegiatan mitigasi di sektor kehutanan

    (REDD), peningkatan kapasitas dan pem-

    bentukan mekanisme teknologi.

    Bagaimanapun juga, keputusan resmi COP-

    15 yang hanya berupa takes note, sekadar

    mencatat adanya Copenhagen Accord (CA), itu

    menunjukkan bahwa CA tidak diterima oleh

    semua Pihak, dan hanya mengikat secara politis

    Para Pihak yang menyatakan menerima do-

    kumen CA. Ini berarti COP-15 Kopenhagen

    gagal menghasilkan agreed outcome dalam

    bentuk perjanjian internasional yang mengikat

    (legally binding agreement) dan menyeluruh

    sebagaimana diamanatkan COP-13 Bali. Dari

    segi proses perundingan, COP-15 merupakan

    preseden buruk; proses UNFCCC bisa dibe-

    lokkan oleh kepala negara/pemerintahan yang

    melakukan negosiasi naskah akhir. Dalam hal

    ini, Perdana Menteri Denmark dianggap telah

    melanggar prinsip multilateralisme dalam

    perundingan internasional yang seharusnya

    bersifat terbuka, transparan, dan inklusif.

    Selain dari sisi proses yang memiliki ba-

    nyak kecacatan, substansi Copenhagen Accord

    juga dianggap langkah mundur, karena tidak

    mencantumkan target penurunan emisi global

    jangka menengah pada 2020 ataupun tujuan

    mencapai 50 persen reduksi emisi global pada

    2050, yang sebenarnya telah disepakati pada

  • T O P I K

    21Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

    pertemuan negara-negara maju G-8 tahun

    2009. Selain itu, ketentuan tentang komitmen

    penurunan target emisi negara Annex I tidak

    diikuti dengan ketentuan tahun dasar (base

    year) yang sama. Hal lain yang juga sangat

    disesalkan, posisi negara berkembang dise-

    tarakan dengan negara maju dalam hal pela-

    poran aksi mitigasi dengan format berbeda.

    Ketentuan tentang NAMAs, misalnya, akan

    membuat negara berkembang seperti Indo-

    nesia harus bekerja ekstra keras untuk mem-

    persiapkan sistem registrasi nasional, mening-

    katkan kemampuan sumber daya manusia

    secepatnya, mengumpulkan dan menyusun

    data sektoral dan regional secara lebih akurat,

    serta mengalokasi anggaran yang memadai.

    Walaupun demikian, tidak semua ketentuan

    Copenhagen Accord bersifat negatif. Sebe-

    narnya ada beberapa unsur positif yang meru-

    pakan langkah maju dibandingkan dengan Bali

    Action Plan. Dalam penentuan target stabilisasi

    GRK di atmosfer, misalnya, kesepakatan untuk

    secara eksplisit membatasi kenaikan suhu

    global 2 derajat Celcius merupakan kemajuan

    yang tidak berhasil dicapai dalam COP-13 di

    Bali, di samping adanya kesediaan untuk me-

    review kemungkinan penurunan target sta-

    bilisasi menjadi 1,5 derajat Celcius pada 2015.

    Begitu pula dengan ketentuan agar negara

    Annex I memasukkan angka target baru pe-

    nurunan emisi secara kuantitatif (QUELROs)

    sebelum 31 Januari 2010 adalah ketentuan yang

    tidak ada dalam Bali Action Plan. Bagi negara

    berkembang seperti Indonesia, masuknya ke-

    tentuan tentang skema Penurunan Emisi dari

    Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)

    sebagai instrumen untuk mitigasi perubahan

    iklim juga merupakan sebuah kemajuan besar.

    Hal paling positif dari Copenhagen Accord

    adalah dokumen formal pertama yang memuat

    komitmen konkret tentang angka dan jumlah

    pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi dari

    negara maju ke negara berkembang, dan juga

    dokumen formal pertama yang memuat ke-

    tentuan tentang rencana aksi dan target penu-

    runan emisi GRK negara-negara berkembang.

    Sejauh ini sudah tercatat 32 negara berkem-

    bang yang secara sukarela menyampaikan

    target nasional penurunan emisi GRK, ter-

    masuk Indonesia. Perkembangan posisi ne-

    gara-negara berkembang ini dapat dijadikan

    modal dalam proses negosiasi lanjutan guna

    mendesak negara-negara maju agar mening-

    katkan komitmen penurunan emisi secara

    lebih siginifikan.

    Tantangan Menuju Cancun

    Walaupun Copenhagen Accord bukan me-

    rupakan kesepakatan yang mengikat, Para Pi-

    hak diminta menyatakan dan menyampaikan

    asosiasi-nya pada Copenhagen Accord dan

    mendaftarkan rencana aksi (target) penu-

    runan emisi masing-masing kepada Sekretariat

    UNFCCC di Bonn, Jerman. Hingga 30 Maret

    2010, tercatat 114 negara, 58 di antaranya ne-

    gara berkembang, yang telah menyampaikan

    pernyataan untuk berasosiasi dengan kese-

    pakatan Copenhagen Accord. Selain itu, tercatat

    42 negara maju dan 32 negara berkembang

    yang telah menyampaikan target penurunan

    emisi nasional masing-masing untuk didaftarkan

    dalam Appendix I dan Appendix II Copenhagen

    Accord.

    Fakta tiga bulan sesudah pertemuan Ko-

    penhagen berakhir lebih dari separuh 189 ne-

    gara penandatangan Konvensi bersedia meng-

    asosiasikan diri pada Copenhagen Accord

    menunjukkan bahwa ada elemen tertentu dari

    kesepakatan tersebut yang dianggap positif dan

    bisa diterima oleh negara yang pada awalnya

    menolak. Diterimanya kesepakatan Kopen-

    hagen tentu tidak datang begitu saja, tetapi

    melalui lobi dan proses perundingan cukup alot

    dalam rangka membangun kembali kadar

    kepercayaan dan memasukkan elemen-elemen

    positif Copenhagen Accord ke dalam proses

    perundingan resmi UNFCCC.

    Situasi pasca-Kopenhagen ditandai oleh

    trauma negara-negara berkembang yang me-

    mandang proses perundingan berjalan tidak fair

    dan tidak berguna, karena didominasi kepen-

  • T O P I K

    22 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

    tingan negara-negara maju. Di sisi lain, negara-

    negara maju yang tergabung dalam Annex I

    nyaris frustrasi. Mereka ingin secepatnya me-

    ngoperasikan Copenhagen Accord dan meng-

    anggap proses negosiasi berjalan terlalu lamban

    dan bertele-tele. Karena ketidakjelasan status

    hukum Copenhagen Accord, maka yang bisa

    dilakukan hanya memperhatikan dan mem-

    bahas elemen-elemen substansi kesepakatan

    tersebut. Itulah yang dicoba dilakukan Meksiko.

    Tuan rumah penyelenggara pertemuan COP-16

    itu berusaha keras membangun kembali ke-

    percayaan (trust building) Para Pihak melalui

    dialog dan konsultasi yang transparan, inklusif,

    serta memfokuskan diri pada elemen-elemen

    penting Copenhagen Accord untuk dibawa ke

    meja perundingan di Cancun akhir 2010.

    Tantangan yang dihadapi Meksiko adalah

    bagaimana mengembalikan proses negosiasi

    pada kerangka kerja konvensi PBB yang ber-

    sifat multilateral dan terbuka dengan meng-

    integrasikan Copenhagen Accord ke dalam dua

    jalur kelompok kerja (AWG-KP dan AWG-LCA)

    serta tidak menjadikannya sebagai satu-satunya

    jalur atau jalur ketiga dalam proses negosiasi di

    Cancun. Dari sisi substansi, masalah pokok

    yang harus diselesaikan masih tetap sama,

    yaitu (1) target angka dan target waktu pe-

    nurunan emisi GRK negara-negara Annex I

    dengan dasar tahun yang sama (1990), serta (2)

    memperoleh komitmen negara-negara ber-

    kembang yang besar, seperti China dan India,

    untuk menurunkan emisi GRK mereka dengan

    rencana yang jelas.

    Ada dua isu pokok yang merupakan tan-

    tangan besar dan perlu dituntaskan di Cancun,

    yaitu (1) pendanaan, termasuk peran pasar

    karbon dan alih teknologi untuk menyelesaikan

    masalah mitigasi dan adaptasi di negara-negara

    berkembang, dan (2) pengukuran pelaksanaan

    komitmen (MRV), baik untuk mengukur ke-

    berhasilan negara maju dalam mencapai target

    emisi dan kewajiban menyediakan dana serta

    alih teknologi kepada negara berkembang

    maupun mengukur keberhasilan negara-negara

    berkembang dalam melaksanakan NAMAs

    sesuai panduan UNFCCC.

    Namun, sekali lagi, itu semua tergantung

    pada sikap Amerika Serikat; seberapa jauh

    negara adidaya dan produsen emisi karbon

    terbesar di dunia ini bersedia menetapkan target

    penurunan emisinya secara signifikan men-

    jelang atau pada akhir perundingan di Cancun.

    Sebagaimana diketahui, hingga hari ini Amerika

    Serikat belum meratifikasi Protokol Kyoto.

    Bahkan, sejak perundingan di Poznan, Bonn,

    sampai Kopenhagen, AS bersama Kanada,

    Jepang, dan Uni Eropa berusaha mematikan

    Protokol Kyoto. Itu menunjukkan bahwa hasil

    perundingan Konvensi maupun keberhasilan

    penurunan emisi GRK tidak bisa dilepaskan dari

    kemauan dan kekuatan politik ekonomi negara-

    negara adikuasa.

    Pertanyaannya, apakah semua bangsa dan

    umat manusia akan membiarkan begitu saja

    negara-negara adikuasa menjerumuskan bumi

    ini menjadi neraka pemanasan global dalam

    kurun waktu tidak lama lagi?

  • Everybody talks about the weather, but nobody

    does anything about it

    (Mark Twain)

    Kalau kita sedang berada di sebuah

    kawasan dengan cuaca kerap ber-

    ubah, orang sering memberi apre-

    siasi jika cuaca saat itu bersahabat. Paling tidak

    itulah kalimat kedua di warung kopi yang diucap-

    kan setelah bertegur sapa dan menanyakan

    kabar lawan bicara. How are you., ..nice

    weather, isnt it. Tak heran bila penulis seka-

    liber Mark Twain mengatakan: semua orang

    berbicara tentang cuaca, tetapi tidak seorang

    pun melakukan sesuatu terhadap cuaca.

    Meskipun punya pengertian berbeda, iklim

    dan cuaca sangat berkaitan. Iklim merupakan

    kondisi rata-rata cuaca dalam jangka relatif

    panjang, dan mencakup kawasan luas. Daerah

    di sekitar khatulistiwa, misalnya, memiliki iklim

    tropis, sementara daerah yang terletak di lin-

    tang tinggi punya iklim sedang, daerah padang

    pasir beriklim kering, dan sebagainya.

    Perubahan Iklim: Dari ObrolanWarung Kopi