pangan darurat

Upload: terra-kencana-pratiwi

Post on 16-Oct-2015

84 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

artikel Pangan darurat ini dapat didownload free

TRANSCRIPT

  • SKRIPSI

    FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE

    MOISTURE FOODS (IMF)

    Oleh : ANGGRAENI GIGIH SETYANINGTYAS

    F24104020

    2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

  • Anggraeni Gigih S, F24104020. FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE MOISTURE FOOD (IMF). Di bawah bimbingan Dede R. Adawiyah. 2008

    RINGKASAN

    Keadaan darurat di dalam Penjelasan UU No. 7 Tahun 1996 disebutkan sebagai terjadinya peristiwa bencana alam yang hebat dan sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperkirakan. Keadaan darurat yang demikian tetap menempatkan kebutuhan atas pangan sebagai hak yang utama bagi korban. Kebutuhan pangan korban bencana biasanya dipenuhi oleh dapur umum, tetapi beberapa kondisi bencana tidak memungkinkan didirikannya dapur umum. Oleh karena itu diperlukan disain pangan khusus untuk keadaan darurat bencana sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan para korban.

    Sifat penting pangan darurat menurut US Agency of International Development (USAID) adalah aman dikonsumsi, enak, mudah didistribusikan, mudah dikonsumsi, dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Beberapa kondisi bencana seringkali bermasalah dengan ketercukupan air bersih. Oleh karena itu disain pangan darurat bencana juga meliputi kemudahan ditelan dan tidak menyebabkan rasa haus sehingga tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai konsumsi pangan.

    Salah satu bentuk pangan darurat yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah produk pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF). Hal ini dikarenakan kandungan air IMF yang masih cukup tinggi sehingga tidak menyebabkan haus dan nilai aw yang rendah menyebabkan daya awet IMF yang cukup lama. Produk IMF umumnya mempunyai nilai aw pada kisaran 0.65-0.85 dan berkadar air sekitar 15-30 %.

    Pembuatan IMF secara moderen melibatkan pola adsorpsi atau desorpsi yang di dalamnya terdapat hubungan antara kandungan air dengan nilai aw yang digambarkan dengan grafik isotermi sorpsi dan persamaan matematis. Isotermi sorpsi ini digunakan untuk memperkirakan penyerapan air oleh bahan pada tingkat aw tertentu.

    Tujuan penelitian ini adalah (1) mendapatkan pola isotermi sorpsi air bahan baku dan campurannya yang akan digunakan dalam formulasi pangan darurat dan (2) menghasilkan prototipe pangan darurat dengan teknologi intermediate moisture food. Penelitian ini meliputi pembuatan tepung instan sebagai bahan baku produk, formulasi awal, penentuan isotermi sorpsi bahan baku dan formula awal sebagai penelitian pendahuluan kemudian dilanjutkan produksi IMF dengan teknik moist infiution.

    Formulasi awal menghasilkan tiga prototipe pangan darurat dengan bahan baku tepung ubi jalar, tepung pisang, dan tepung kacang hijau. Formulasi produk mengacu pada nilai makronutrien pangan darurat yaitu protein 7.9-8.1, lemak 9-11.7, dan karbohidrat 23-35 dalam satuan gram/bar, dengan asumsi satu bar sama dengan 50 gram solid.

  • Penentuan isotermi sorpsi bahan baku dan formula awal menunjukkan adanya kemiripan pola kurva. Kurva isotermi sorpsi formula mengikuti bentuk kurva isotermi sorpsi bahan baku tetapi letaknya lebih rendah dikarenakan terdapat minyak goreng dalam formula awal. Minyak goreng dapat menurunkan kemampuan bahan dalam mengikat air.

    Produksi IMF dimulai dengan penambahan air ke dalam formula awal diikuti penambahan humektan. Penambahan air sebenarnya dapat dihitung berdasarkan kurva isotermi sorpsi. Namun dalam penelitian ini kurva isotermi sorpsi formula pisang dan kacang hijau kurang dapat menggambarkan penyerapan air dengan tepat sehingga penambahan airnya dilakukan manual sampai diperoleh kriteria produk yang diinginkan yaitu mudah ditelan dan dicetak..

    Aplikasi humektan pada produk IMF ini menggunakan persamaan Grover. Humektan yang digunakan adalah sorbitol dan gliserol. Berdasarkan persamaan Grover, aplikasi 10 % sorbitol cukup efektif menurunkan nilai aw produk. Namun setelah dilakukan pengukuran aw aktual dengan aw meter, nilai aktualnya lebih tinggi dibanding nilai prediksi dan nilai aw produk tanpa humektan. Penggunaan 4% gliserol cukup efektif untuk menurunkan nilai aw produk. Nilai aw aktual produk dengan gliserol tidak berbeda jauh dengan nilai aw prediksinya. Nilai aw aktual produk tanpa penambahan humektan adalah 0.771, 0.822, dan 0.853; nilai aw dengan 10% sorbitol adalah 0.772, 0.835, dan 0.832; nilai aw dengan 4% gliserol adalah 0.737, 0.804, dan 0.815 masing-masing untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau. Oleh karena itu dipilihlah produk dengan humektan gliserol untuk dianalisis lebih lanjut.

    Uji organoleptik dilakukan terhadap ketiga produk dengan gliserol sebagai humektan. Uji organoleptik meliputi uji kemudahan ditelan, aftertaste pahit, dan kesukaan secara keseluruhan terhadap produk. Formula terpilih dari uji organoleptik ini adalah formula ubi jalar yang memiliki nilai kemudahan ditelan, tingkat aftertaste pahit, dan tingkat kesukaan yang lebih baik dibandingkan dengan formula pisang dan kacang hijau.

    Pengukuran isotermi sorpsi produk akhir dapat digunakan untuk melihat pengaruh penambahan humektan terhadap pergeseran kurva isotermi sorpsi. Kurva isotermi sorpsi produk akhir yang mengandung humektan berada di atas kurva isotermi sorpsi formula awal yang tidak mengandung humektan tetapi mempunyai pola yang hampir sama. Pergeseran ini disebabkan oleh adanya humektan pada produk akhir sehingga pengikatan airnya lebih tinggi. Humektan merupakan senyawa higroskopis yang berfungsi mengikat air.

    Produk terpilih kemudian dianalisis mutu mikrobiologisnya. Nilai total mikroba pada minggu ke-0 adalah 3.79 log CFU/gram dan pada minggu ke-4 sebesar 4.34 log CFU/gram atau mengalami kenaikan sekitar 0.55 log CFU/gram sedangkan jumlah kapang-khamir pada produk selama empat minggu mengalami kenaikan 0.37 log CFU/gram. Pengamatan visual produk selama empat minggu menunjukkan penampakan normal dan belum terdapat pertumbuhan mikroba. Namun berdasarkan acuan produk yaitu bakpia pathuk yang mempunyai nilai Angka Lempeng Total (total mikroba) maksimal 104, maka produk pangan darurat ini hanya dapat dikonsumsi satu minggu setelah produksi.

  • FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE

    MOISTURE FOODS (IMF)

    SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

    Fakultas Teknologi Pertanian

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh : ANGGRAENI GIGIH SETYANINGTYAS

    F24104020

    2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

  • FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE

    MOISTURE FOODS (IMF)

    SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

    Fakultas Teknologi Pertanian

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh : ANGGRAENI GIGIH SETYANINGTYAS

    F24104020

    Dilahirkan pada tanggal 14 Mei 1986 Di Pati

    Tanggal lulus : Agustus 2008

    Menyetujui Bogor, Agustus 2008

    Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si Dosen Pembimbing

    Mengetahui,

    Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 14 Mei 1986. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Edy Santoso, S.P.,M.M dan Dra. Nisviati.

    Pendidikan dasar penulis ditempuh di SD Negeri Pati Kidul 04 Pati pada tahun 1992-1998. Tahun 1998 penulis

    melanjutkan sekolah di SMP Negeri 3 Pati dan lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Pati pada tahun 2001 dan lulus pada tahun 2004.

    Penulis mendapatkan Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004. Selama kuliah penulis aktif pada organisasi Himitepa (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) sebagai anggota divisi Soskemas (2005-2006) dan Ketua Biro Kesekretariatan (2006-2007) serta Sekretaris Omda IKMP (Organisasi mahasiswa daerah Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati) tahun 2005-2006. Penulis juga pernah terlibat pada beberapa kepanitiaan antara lain panitia LCTIP XIV, Baur 2006, NSPC V dan VI.

    Penulis menyusun skripsi sebagai tugas akhir untuk meraih gelar sarjana dengan judul Formulasi Produk Pangan Darurat Berbasis Tepung Ubi Jalar, Tepung Pisang, dan Tepung Kacang Hijau Menggunakan Teknologi Intermediate Moisture Foods (IMF) di bawah bimbingan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si. Penelitian ini mendapatkan bantuan dana dari Indofood Riset Nugraha.

  • KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan segala rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis diberi kemampuan untuk menyelesaikan skripsi berjudul Formulasi Produk Pangan Darurat Berbasis Tepung Ubi Jalar, Tepung Pisang, dan Tepung Kacang Hijau Menggunakan Teknologi Intermediate Moisture Foods (IMF) dengan baik. Selama penyelesaian skripsi ini penulis menyadari betul begitu banyak bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak, baik yang berupa materi maupun non materi. Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik dan

    pembimbing skripsi yang begitu sabarnya dan penuh keikhlasan telah memberikan arahan, bimbingan dan nasehat kepada penulis.

    2. Nur Wulandari, S.TP, M.Si dan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum selaku dosen penguji atas kesediaanya meluangkan waktu untuk menguji penulis dan memberi masukan yang memperkaya skripsi ini.

    3. Bapak, Ibu, dan Mbak Santi serta seluruh keluarga penulis yang selalu memberikan dukungan, doa dan segenap curahan kasih sayangnya yang tulus kepada penulis.

    4. Indofood Riset Nugraha atas bantuan dana penelitian tugas akhir ini. 5. Seluruh dosen ITP-IPB atas transfer ilmu dan pengetahuannya kepada penulis

    selama kuliah.

    6. Para laboran khususnya Bu Rubiah, Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Rozak, Mas Edi, Teh Ida, Pak Koko dan Bu Antin serta seluruh staf Departemen ITP dan para pustakawan yang telah membantu selama kuliah dan penelitian.

    7. Mas Andri atas perhatian dan dukungan serta doa yang memberi semangat lebih pada penulis.

    8. Teman-teman satu bimbingan Christine, Hesti dan Ame atas informasi dan bantuannya untuk tetap semangat.

    9. Sahabat penulis Arum dan Sukma sebagai power puff girls. Jeng Ofa, Dini, Jeng Rin, Kani, Aris, Dyah, Faried, Nene, Bima, Tika, Mbak April, Jamz atas

  • semangat dan kebersamaan untuk belajar banyak hal selama berjuang di Himitepa.

    10. Teman-teman Golongan A terutama Nanang, Chabib, Qia, dan Babe Sofyan yang terlalu sering bersama dan menjadi bagian dari setiap tugas dan laporan praktikum selama kuliah

    11. Azis dan Prita sesama pejuang pangan darurat, Hans Puke, Hans CeWe, Anca, Lia, Netha, Inke, Rizka (terutama atas info susu skim), Arif Fadli (untuk proteonya) Kang Maman, Indra, Memed, Shinta, Yuli (untuk pinjaman catatan yang lengkap), Jendi (untuk bantuan LCD) dan teman-teman ITP 41 lainnya atas kerja sama, persahabatan dan semangatnya selama kuliah, juga untuk Mike (ITP 42) dan Sadek (ITP 43) atas pinjaman buku-buku yang begitu membantu penulis serta teman-teman ITP 40, 42 dan 43 lainnya.

    12. Rekan-rekan satu lab : Mbak Dian, Mbak Hana, Mbak Erni, Mbak Feny, Mbak Cyn, Bang Ahyar, Kak Marto, Mbak Betty yang telah meramaikan lab pengolahan.

    13. Sahabat-sahabatku di Anpat Co. terutama Uuk, Icha, Ratna, Angsa Crew, Anpat 41, dan seluruh IKMP atas kekeluargaaan dan rasa senasib-sepenanggungan selama di Bogor.

    14. Keluarga kost Puri Fikryyah (atas canda tawa dan kebersamaan yang indah) dan Wisma Blobo.

    15. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu proses penelitian ini.

    Akhirnya penulis sangat mengharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan memberikan wacana baru bagi perkembangan cakrawala dunia ilmu pengetahuan. Penulis menyadari hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Segenap saran, kritik dan masukan yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

    Bogor, Agustus 2008

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR ................................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................................. v DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii

    DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. ix

    I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ......................................................................... 1

    B. TUJUAN PENELITIAN ...................................................................... 3 C. MANFAAT PENELITIAN .................................................................. 3

    II. TINJAUAN PUSTAKA A. PANGAN DARURAT ......................................................................... 4

    B. INTERMEDIATE MOISTURE FOODS (IMF) .................................... 7 1. Definisi dan Karakteristik IMF ...................................................... 7 2. Teknologi pengolahan IMF ............................................................ 8 3. Kemasan IMF ................................................................................. 9

    C. ISOTERMI SORPSI AIR .................................................................... 10

    1. Aktivitas air (aw) ............................................................................ 12 2. Model persamaan isotermi sorpsi air ............................................. 14

    D. HUMEKTAN ....................................................................................... 14

    1. Sorbitol ........................................................................................... 15 2. Gliserol ........................................................................................... 16 3. Aplikasi Humektan......................................................................... 20

    E. TEPUNG KACANG HIJAU ............................................................... 20 F. TEPUNG UBI JALAR ......................................................................... 23

    G. TEPUNG PISANG .............................................................................. 24

    III. BAHAN DAN METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT .......................................................................... 28 B. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 29

    1. Penelitian Pendahuluan .................................................................. 30

  • a. Pembuatan tepung instan .......................................................... 30 b. Penghitungan formula awal produk ......................................... 30 c. Penentuan kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula

    awal .......................................................................................... 32

    2. Penelitian Utama ............................................................................ 34 3. Metode Analisis ............................................................................. 37

    a. Analisis Proksimat .................................................................... 37 a.1. Kadar air metode oven (SNI 01-2981-1992) .................. 37 a.2. Kadar abu (SNI 01-2981-1992) ...................................... 37 a.3. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995).... 38 a.4. Kadar lemak (SNI 01-2981-1992) .................................. 38 a.5. Kadar karbohidrat by difference ...................................... 39

    b. Analisis nilai aw dengan aw meter ............................................. 39 c. Uji organoleptik (Meilgaard et. al., 1999) ................................ 39 d. Analisis total mikroba dan kapang-khamir (Modifikasi SNI

    01-3751-2006) .......................................................................... 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU .................................................. 42 B. PENENTUAN KOMPOSISI FORMULA AWAL PRODUK ............ 44

    C. ISOTERMI SORPSI AIR BAHAN BAKU ......................................... 46 D. PENENTUAN JUMLAH AIR YANG DITAMBAHKAN ................. 54 E. PENENTUAN JUMLAH DAN JENIS HUMEKTAN ....................... 57 F. UJI ORGANOLEPTIK ........................................................................ 63 G. KARAKTERISASI FORMULA PRODUK TERPILIH ..................... 66

    1. Komposisi nutrisi ........................................................................... 67 2. Pengaruh Penambahan Humektan ................................................. 68 3. Analisis Total Mikroba dan Kapang-Khamir ................................. 70

    V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN .................................................................................... 75 B. SARAN ................................................................................................ 76

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 77 LAMPIRAN .................................................................................................... 82

  • DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1. Humektan yang umum digunakan, konvensional, dan non konvensional serta peranan utamanya dalam pangan .................... 18

    Tabel 2. Nilai Ei Persamaan Grover ............................................................. 20 Tabel 3. Komposisi zat gizi kacang hijau mentah per 100 gram bahan ....... 21 Tabel 4. Kandungan asam amino kacang hijau ........................................... 22 Tabel 5. Syarat mutu tepung kacang hijau (SNI 01-3728-1995) ................. 23 Tabel 6. Komposisi zat gizi ubi jalar putih per 100 gram bahan ................ 24 Tabel 7. Komponen gizi pisang uli per 100 gram ...................................... 25 Tabel 8. Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995) ........................... 26 Tabel 9. Perbandingan nilai karbohidrat tepung pisang dengan tepung-

    tepungan lainnya ............................................................................ 27

    Tabel 10. RH berbagai jenis garam dalam penentuan isotermi sorpsi .......... 29 Tabel 11. Nilai makronutrien ingridien yang digunakan dalam formulasi ... 45 Tabel 12. Formulasi dasar produk pangan darurat ........................................ 46 Tabel 13. Prediksi kecukupan nutrisi pangan darurat dari ketiga formula .... 46 Tabel 14. Parameter isotermi sorpsi menurut persamaan GAB .................... 51 Tabel 15 Komposisi aktual formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau ..... 58 Tabel 16. Prediksi aw pada penambahan sorbitol dan gliserol dari setiap

    formula dengan Persamaan Grover ................................................ 59 Tabel 17. Hasil pengukuran aw aktual ketiga formula dengan aw meter ........ 61 Tabel 18. Komposisi nutrisi produk pangan darurat terpilih (formula ubi

    jalar) ............................................................................................... 68 Tabel 19. Parameter isotermi sorpsi menurut persamaan GAB ..................... 69 Tabel 20. Hasil analisis mikrobiologis produk terpilih selama empat

    minggu ........................................................................................... 71

    Tabel 21. Nilai aktivitas air (aw) minimum mikroba yang sering terdapat pada pangan semi basah ................................................................. 73

  • DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 1. Kurva isotermi sorpsi air pada bahan pangan (deMan, 1989) ... 11 Gambar 2. Tiga tipe kurva isotermi sorpsi (Bell dan Labuza, 200) .............. 12 Gambar 3. Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi dari aw (Fennema 1996) 13 Gambar 4. Struktur kimia sorbitol (www.wikipedia.org) ............................ 16 Gambar 5. Struktur kimia gliserol (www.wikipedia.org) ............................. 17 Gambar 6. Diagram alir proses produksi tepung instan ................................ 31 Gambar 7. Susunan Alat Penentuan Isotermi Sorpsi Air ............................. 33 Gambar 8. Diagram alir proses produksi IMF dengan teknik moist infution 36 Gambar 9. Alat aw meter Shibaura Electronics WA-360 .............................. 39 Gambar 10. Tepung yang digunakan sebagai bahan baku ............................. 43 Gambar 11. Kurva isotemi sorpsi sukrosa (Adawiyah, 2006) ........................ 48 Gambar 12. Kapang (spot berwarna gelap) pada pengukuran isotermi sorpsi

    tepung ubi jalar (kiri) dan formula kacang hijau (kanan) ........... 49 Gambar 13. Hubungan Kuadratik aw dan aw/M dari tepung (kiri) dan

    formula (kanan) ubi jalar, pisang, dan kacang hijau (atas-bawah) ......................................................................................... 50

    Gambar 14. Kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula dalam data percobaan dan data prediksi dengan Persamaan GAB (a) ubi jalar, (b) pisang, dan (c) kacang hijau ......................................... 53

    Gambar 15. Penampakan produk IMF formula kacang hijau, ubi jalar, dan pisang (kiri-kanan) ..................................................................... 63

    Gambar 16. Penyajian sampel dalam uji organoleptik .................................. 64 Gambar 17. Nilai kemudahan ditelan dari ketiga sampel ............................... 65 Gambar 18. Nilai aftertaste pahit dari ketiga sampel .................................... 65 Gambar 19. Nilai kesukaan dari ketiga sampel. ............................................ 66 Gambar 20. Produk pangan darurat terpilih dalam kemasan alufo ................. 67 Gambar 21. Kurva isotermi sorpsi formula ubi jalar tanpa humektan dan

    produk akhir yang mengandung humektan ................................. 69 Gambar 22. Perkembangan total mikroba dan kapang-khamir....................... 71

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    Lampiran 1. Kadar air keetimbangan tepung dan formula ubi jalar, kacang hijau, dan pisang....................................................................... 82

    Lampiran 2. Penghitungan dengan Pers. Gover pada Formula Ubi Jalar ..... 83 Lampiran 3. Penghitungan dengan Pers. Gover pada Formula Pisang......... 84 Lampiran 4. Penghitungan dengan Pers. Gover pada Form. Kacang Hijau . 85 Lampiran 5. Formulir Kuesioner Uji Organoleptik ..................................... 86 Lampiran 6. Data Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik ............................... 88 Lampiran 7. Hasil Uji Rating Kemudahan Ditelan ..................................... 89 Lampiran 8. Hasil Uji Rating Aftertaste Pahit ............................................. 90 Lampiran 9. Hasil Uji Rating Hedonik ........................................................ 91 Lampiran 10. Syarat mutu bakpia pathuk (SNI 01-4291-1996) ..................... 92

  • I. PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Keadaan darurat secara eksplisit disebutkan di dalam Penjelasan UU No. 7 Tahun 1996 yaitu terjadinya peristiwa bencana alam yang hebat dan sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperkirakan.

    Definisi pangan darurat juga tercakup secara implisit dalam PP No.68 tahun 2002 mengenai cadangan pangan nasional. Keadaan darurat yang dimaksud dalam PP tersebut adalah keadaan paceklik yang mengakibatkan terjadinya kekurangan pangan di suatu daerah tertentu, tetapi seiring dengan beruntunnya bencana alam yang dihadapi bangsa Indonesia maka definisi cadangan pangan juga meliputi bahan pangan darurat untuk bencana (emergency foods).

    Berbagai bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia mengakibatkan penderitaan yang cukup mendalam bagi korban dan pengungsi. Keadaan darurat dalam kondisi bencana yang demikian tetap menempatkan kebutuhan pangan sebagai hak asasi manusia yang utama bagi korban bencana.

    Beberapa lembaga pemberi bantuan biasanya mendirikan dapur umum. Keberadaan dapur umum begitu membantu pemenuhan kebutuhan pangan bagi korban bencana, tetapi pada kondisi-kondisi bencana tertentu, seringkali tidak memungkinkan didirikannya dapur umum, sedangkan korban selamat tetap memerlukan makanan. Bantuan pangan seringkali diberikan dalam bentuk mi instan. Padahal dalam kedaan bencana yang demikian, fasilitas memasak dan keberadaan air bersih untuk memasak begitu minimal bahkan seringkali tidak ada. Berdasarkan keadaan yang seperti ini, diperlukan disain pangan khusus untuk keadaan darurat bencana yang dapat langsung dikonsumsi (ready to eat), praktis didistribusikan, dan bergizi.

    Sifat penting dari pangan darurat menurut US Agency of International Development (USAID) adalah aman dikonsumsi, enak dan mutu sensorinya dapat diterima, mudah didistribusikan, mudah digunakan atau dikonsumsi, dan

  • memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Selain itu, pangan darurat hendaknya tidak mengandung bahan yang menyebabkan alergi. Beberapa kondisi bencana seringkali bermasalah dengan ketercukupan air bersih. Oleh karena itu disain pangan darurat bencana juga meliputi kemudahan ditelan dan tidak menyebabkan rasa haus sehingga tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai konsumsi pangan.

    Salah satu bentuk pangan darurat yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah produk pangan semi basah atau intermediate moisture foods (IMF). Menurut Robson (1976), produk pangan semi basah umumnya mempunyai nilai aw pada kisaran 0.65-0.85 dan berkadar air sekitar 15-30 %.

    Karakteristik utama produk pangan semi basah yaitu mudah ditelan tanpa ada sensasi kering, dapat langsung dikonsumsi tanpa adanya penyiapan lebih lanjut, dan daya awet pangan semi basah serta proses pembuatannya yang cukup sederhana memungkinkan produk pangan semi basah ini menjadi salah satu alternatif pangan untuk keadaan darurat.

    Cara pengolahan pangan semi basah terutama didasarkan pada penurunan nilai kadar air diikuti aktifitas air (aw) sampai tingkat mikroba patogen dan pembusuk tidak tumbuh, tetapi kandungan airnya mash cukup sehingga memiliki tekstur yang plastis, misalnya dengan penambahan humektan atau mengurangi kadar air dengan pengeringan. Menurut Karel (1976), teknik produksi pangan semi basah meliputi tiga kategori yaitu (1) Pencelupan basah (moist infution) (2) Pencelupan kering (dry infution) dan (3) Pencampuran (blending).

    Pangan semi basah dapat diproduksi dengan cara tradisional dan modern. Cara tradisional misalnya penggaraman atau penambahan gula. Proses produksi pangan semi basah modern dapat dilakukan dengan dua cara yaitu adsorpsi dan desorpsi. Pengolahan tipe adsorpsi menggunakan bahan kering yang kemudian dikontrol proses pembasahannya, sedangkan pada tipe desorpsi, bahan dimasukkan ke dalam larutan yang mempunyai tekanan osmosis lebih tinggi, sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat aw yang diinginkan (Robson 1976). Pada kedua proses tersebut, terdapat hubungan

  • antara kandungan air dengan nilai aw yang digambarkan dengan grafik isotermi sorpsi dan persamaan matematis (Troller, 1989).

    Pangan darurat hendaknya bercita rasa dan dibuat dari bahan pangan lokal agar lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat dalam rentang usia yang luas. Selain itu pemanfaatan bahan pangan lokal dapat meningkatkan potensi pertanian pada suatu daerah. Bahan pangan lokal Indonesia misalnya ubi jalar, pisang dan kacang hijau. Ubi jalar merupakan bahan lokal yang biasa digunakan sebagai sumber karbohidrat beberapa penduduk Indonesia. Produktivitas ubi jalar tertinggi kedua dibandingkan dengan jenis umbi-umbian lainnya yaitu mencapai angka 105 kuintal/Ha pada tahun 2006 (Deptan, 2007). Pisang juga merupakan tanaman yang biasa menjadi tanaman rumah tangga penduduk Indonesia. Produktivitas pisang merupakan tertingggi ketiga di antara jenis buah-buahan lainnya, yaitu 535.10 kuintal/Ha pada tahun 2006 (Deptan, 2007). Tanaman kacang hijau merupakan salah satu tanaman Leguminosae yang cukup penting di Indonesia. Posisinya menduduki tempat ketiga setelah kedelai dan kacang tanah (Marzuki dan Suprapto, 2005).

    B. TUJUAN PENELITIAN

    Penelitian ini bertujuan 1). Mendapatkan pola isotermi sorpsi air bahan baku dan campurannya yang selanjutnya akan digunakan dalam formulasi pangan darurat dan 2). Menghasilkan prototipe produk pangan darurat melalui teknologi intermediate moisture foods (IMF) yang dapat diterima dan memenuhi standar kecukupan gizi produk pangan darurat, mudah ditelan, dan tidak menyebabkan haus.

    C. MANFAAT PENELITIAN

    Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam perancangan bentuk bantuan pangan yang dapat disalurkan kepada masyarakat yang terkena bencana alam, kekeringan, peperangan atau kekurangan pangan lainnya.

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. PANGAN DARURAT

    Menurut IOM (1995), pangan darurat (emergency food product) adalah pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian manusia dalam keadaan darurat. Keadaan darurat yang dimaksud adalah bencana alam, rawan pangan (kelaparan), peperangan, dan kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal.

    Di Indonesia, keadaan darurat secara eksplisit juga disebutkan di dalam Penjelasan UU No. 7 Tahun 1996 yaitu terjadinya peristiwa bencana alam yang hebat dan sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperkirakan.

    Konsep pangan darurat juga tercakup secara implisit dalam Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 mengenai cadangan pangan nasional yaitu meliputi persediaan pangan di seluruh wilayah untuk konsumsi manusia, bahan baku industri, dan untuk menghadapi keadaan darurat Keadaan darurat yang dimaksud dalam PP tersebut adalah keadaan paceklik yang mengakibatkan terjadinya kekurangan pangan di suatu daerah tertentu, tetapi seiring dengan beruntunnya bencana alam yang dihadapi bangsa Indonesia maka definisi cadangan pangan juga meliputi bahan pangan darurat untuk bencana (emergency foods).

    Karakteristik cadangan pangan untuk kondisi paceklik dan kondisi akibat bencana berbeda. Untuk kondisi paceklik, bentuk cadangan pangan merupakan bahan pangan pokok (beras maupun non beras) dengan penyiapan yang lengkap termasuk melalui pemasakan dan pencampuran dengan bahan lain (air, sumber protein dan lain-lain) sedangkan cadangan pangan untuk keadaan darurat akibat bencana merupakan produk pangan siap santap tanpa melalui proses pemasakan dan penambahan bahan lainnya (misal air). Perbedaan karakteristik dua jenis cadangan pangan tersebut belum begitu disadari oleh badan-badan yang berhubungan dengan penanganan bencana. Bantuan-bantuan pangan untuk keadaan bencana masih didominasi oleh beras atau mi instan yang memerlukan penambahan air dan pemasakan sebelum

  • dikonsumsi. Bantuan berupa beras dan mi instan seperti ini tidak efektif untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam keadaan darurat bencana.

    Tujuan pemberian pangan darurat adalah untuk menyediakan kebutuhan pangan bagi korban bencana sesuai dengan asupan harian selama kurang lebih lima belas hari, sehingga dapat mengurangi timbulnya penyakit atau kematian di antara pengungsi. Pangan darurat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi korban bencana dimulai dari awal pengungsian sampai bantuan pangan yang lebih lengkap datang dan pendirian dapur umum dapat dilakukan. Kondisi darurat seperti keadaan bencana alam ini membutuhkan bentuk pangan yang dapat langsung dikonsumsi.

    Sifat penting pangan darurat menurut US Agency of International Development (USAID) adalah aman dikonsumsi, enak dan mutu sensorinya dapat diterima, mudah didistribusikan, mudah digunakan atau dikonsumsi, dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Selain itu, pangan darurat hendaknya bercita rasa lokal agar lebih mudah diterima oleh penduduk setempat dalam rentang usia yang beragam. Beberapa kondisi bencana seringkali bermasalah dengan ketercukupan air bersih. Oleh karena itu disain pangan darurat bencana juga meliputi kemudahan ditelan dan tidak menyebabkan rasa haus sehingga tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai konsumsi pangan.

    Jumlah energi yang dianjurkan terkandung di dalam pangan darurat adalah sebesar 2100 kkal per hari. Nilai ini berdasarkan laporan dari IOM (1995), bahwa rata-rata kebutuhan energi harian atau estimated the mean per capita energy requirements (EMPCER) individu di negara berkembang dengan aktivitas fisik yang cukup tinggi adalah sebesar 2100 kkal. Laporan ini menggunakan beberapa asumsi yaitu 1). Data populasi penduduk yang digunakan berdasarkan data dari World Population Profile tahun 1994 di negara berkembang, 2). Rata-rata tinggi pria dewasa adalah 170 cm sedangkan untuk wanita dewasa adalah 155 cm. Nilai ini merupakan rataan tinggi pada penduduk Sub-Saharan Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara, 3). Nilai berat badan diukur berdasarkan median berat badan orang dewasa Amerika Serikat dengan tinggi yang proporsional, dan 4). Total energi yang

  • dikeluarkan oleh pria dan wanita dewasa adalah sebesar 1.55 dan 1.56 kali BMR (basal metabolic rate).

    Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pangan darurat menurut Zoumas et. al. (2002) adalah 1. Pangan darurat tidak didisain untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ibu

    hamil dan menyusui. 2. Pangan darurat tidak sesuai untuk individu yang menderita malnutrisi dan

    membutuhkan perawatan medis. 3. Pangan darurat bukan therapeutic nutritional supplement. 4. Pangan darurat tidak dapat menggantikan ASI bagi bayi umur 0-6 bulan. 5. Pangan darurat dapat dikombinasikan dengan air menjadi bentuk bubur

    untuk older infants (7-12 bulan)

    Ingridien merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan pangan darurat. Hal ini dikarenakan produk pangan darurat akan dikonsumsi oleh beragam etnik dan budaya. Alkohol dan bahan hewani selain susu tidak boleh digunakan dalam pembuatan pangan darurat. Bahan-bahan pangan dengan kandungan zat alergen seperti kacang tanah, tidak boleh digunakan. Beberapa ingridien yang dapat digunakan dalam formulasi pangan darurat (Zoumas et. al., 2002) adalah 1. Cereal base : tepung gandum, jagung, oat, tepung beras 2. Protein : isolat atau konsentrat protein kedelai, susu, kasein, dan produk

    turunannya

    3. Lemak : hydrogenated soybean oil, minyak biji kapas, minyak bunga matahari

    4. Gula : sukrosa, glukosa, high-fructose corn syrup, maltodekstrin 5. Baking and leavening agents jika diperlukan 6. Vitamin dan mineral

  • B. INTERMEDIATE MOISTURE FOODS (IMF)

    1. Definisi dan Karakteristik IMF

    Soekarto (1979) mendefinisikan pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF) sebagai makanan dengan kadar air 10-40% dengan nilai aktivitas air (aw) 0.6-0.9 serta mempunyai tekstur yang plastis sehingga memungkinkan IMF dapat dibentuk dan dapat langsung dimakan. Definisi IMF lainnya dikemukakan oleh Robson (1976), yaitu produk IMF umumnya mempunyai nilai aw pada kisaran 0.65-0.85 dan berkadar air sekitar 15-30 %.

    Sesuai dengan namanya semi basah, maka jenis pangan ini bersifat cukup basah sehingga dapat langsung dimakan tanpa direhidrasi dan juga cukup kering sehingga stabil selama penyimpanan.

    Ciri khas IMF yaitu kadar air 10-40 % dan nilai aw 0.6-0.9 membuat IMF memiliki daya awet yang cukup baik karena pada kondisi yang demikian tidak efektif untuk pertumbuhan bakteri karena bakteri tumbuh pada aw di atas 0.90. Demikian juga untuk pertumbuhan khamir yang bersifat patogen. Hal ini adalah suatu keuntungan dari IMF menjadi stabil terhadap pertumbuhan mikroba, tahan disimpan tanpa memerlukan proses pengawetan yang lain seperti pendinginan, sterilisasi ataupun pengeringan. Hal ini juga ditunjang oleh kondisi substrat dari pangan semi basah yang bersifat sebagai pengawet.

    Menurut Taoukis et. al. (1999) karakteristik produk IMF memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk kering konvensional atau makanan dengan kadar air tinggi. Proses pengolahan IMF secara signifikan lebih hemat energi dibandingkan pengeringan, refrigerasi, pembekuan atau pengalengan. Teknologi IMF juga menghasilkan produk dengan retensi nutrisi dan kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses lain seperti pengeringan dan proses panas. Sifat IMF yang plastis dan mudah dikunyah tanpa ada sensasi kering menjadikan produk IMF dapat secara langsung dikonsumsi tanpa penyiapan, lebih convenience dan lebih hemat energi. Kandungan air yang tidak terlalu tinggi menbuat IMF memiliki kandungan nutrien dan densitas kalori yang tinggi. IMF juga

  • dapat dibentuk dengan ukuran dan bentuk geometris yang memudahkan pengemasan.

    Keunggulan karakteristik IMF sesuai dengan kebutuhan konsumen modern terhadap produk pangan dengan densitas nutrient tinggi. IMF terutama sangat diperlukan ketika suplai bahan pangan, kemampuan untuk mensuplai dan waktu persiapan adalah menjadi faktor pembatas, misalnya pada keadaan darurat militer, ruang angkasa, eksplorasi dan pendakian gunung (Taoukis et al, 1999).

    IMF bukanlah suatu hal baru di Indonesia. Beberapa pangan tradisional merupakan pangan yang diolah dengan teknologi IMF tradisional. Sebagai contoh adalah dodol yang merupakan campuran tepung dan gula, bakpia pathuk, kue wingko, manisan buah, ataupun hasil fermentasi yang sudah banyak dikenal. Makanan tradisional ini biasanya digunakan sebagai makanan ringan atau makanan selingan serta sebagai lauk-pauk.

    2. Teknologi Pengolahan IMF

    Cara pengolahan IMF terutama didasarkan pada penurunan nilai kadar air diikuti aktifitas air (aw) sampai tingkat mikroba patogen dan pembusuk tidak tumbuh, tetapi kandungan airnya mash cukup.

    Karel (1976) menggolongkan IMF menjadi dua tipe, yaitu tradisional dan modern. Beberapa IMF tradisional adalah hasil olahan tanpa penambahan humektan, hasil olahan dengan penambahan gula, hasil olahan dengan penambahan gula dan garam, serta produk rerotian (bakery product). Tipe IMF modern dibagi lagi menjadi tiga tipe berdasarkan cara pengolahannya, yaitu (1) Pencelupan basah (moist infution), dimana bahan pangan padat direndam dalam larutan sehingga produk akhirnya mempunyai nilai aw seperti yang diinginkan misalnya prototipe produk yang direncanakan pada penelitian ini, (2) Pencelupan kering (dry infution), dimana bahan pangan mula-mula didehidrasi kemudian direndam dalam larutan osmotik sampai tingkat aw yang diinginkan misalnya manisan buah. Proses ini memerlukan energi lebih tinggi dari

  • metode yang lain, tetapi menghasilkan produk yang berkualitas tinggi dan (3) Pencampuran (blending) dimana komponen-komponen bahan pangan ditimbang, dicampur, dimasak dan diekstrusi atau perlakuan lain untuk mencapai aw produk yang diinginkan sehingga menghasilkan makanan dengan aw tertentu misalnya selai (jam) dan dodol.

    Berdasarkan klasifikasi teknologi produksi IMF modern tersebut terdapat dua tipe dasar pengolahan IMF modern, yaitu adsorpsi dan desorpsi. Pada tipe adsorpsi, bahan pangan dikeringkan sambil dikontrol proses pembasahan kembali sampai keadaan yang diinginkan sedangkan tipe desorpsi bahan dimasukkan kedalam larutan yang mempunyai tekanan osmotik lebih tinggi, sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat aw yang diinginkan. Proses ini dapat dipercepat dengan menaikkan suhu (Robson, 1976).

    3. Kemasan IMF

    Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan, atau pengepakan, memegang peranan penting dalam pengawetan bahan hasil pertanian. Adanya pembungkus dapat mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan dari pencemaran dan gangguan fisik seperti gesekan, benturan, dan getaran, serta memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi (Syarief et. al., 1989).

    Menurut Waletzko dan Labuza (1976) daya simpan suatu produk pangan dipengaruhi oleh 1). Interaksi antar komponen dalam sistem pangan tersebut, 2). Proses produksi yang digunakan, 3). Permeabilitas kemasan terhadapa cahaya, kelembaban (air), dan gas, dan 4). Disribusi waktu-suhu-RH pada saat penyimpanan dan transportasi.

    Pangan semi basah apabila dilihat dari substratnya sudah bersifat mengawetkan, tetapi dengan pengemasan yang baik akan dapat meningkatkan keawetannya dan berperan dalam pemasaran. Kemasan pangan semi basah tradisional seperti dodol dan wingko umumnya menggunakan kertas yang dilapisi dengan lilin dan plastik.

  • Menurut Syarief et. al. (1989) produk yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki nilai aw atau ERH yang rendah. Oleh karena itu produk semacam ini harus dikemas dengan kemasan yang mempunyai permeabilitas air yang rendah.

    Beberapa kemasan yang dapat digunakan adalah plastik jenis polipropilen dan aluminium foil. Penggunaan plastik polipropilen dikarenakan sifatnya yang mempunyai nilai permeabilitas uap air rendah, tahan suhu tinggi sampai dengan 150 oC, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak (Syarief et. al., 1989). Konstanta permeabilitas plastik polipropilen adalah sebesar 0.12 gram/m2.mmHg.hari (Eskin dan Robinson, 2001 dikutip di dalam Histifarina, 2002)

    Aluminium foil (alufo) bersifat hermetis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. Alufo dengan ketebalan 0.0375 mm atau lebih mempunyai permeabilitas uap air nol. Berbagai makanan yang dibungkus dengan aluminium foil menunjukkan bahwa produk tersebut cukup baik dan tahan terhadap aluminium dengan resiko perkaratan yang kecil (Syarief et. al., 1989). Menurut pengukuran Histifarina (2002), konstanta permeabilitas uap air aluminium foil adalah 0.02 gram/m2.mmHg.hari.

    C. ISOTERMI SORPSI AIR (ISA)

    Isotermi sorpsi air menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan equilibrium relative humidity ruang tempat penyimpanan bahan (ERH) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu (Syarief dan Halid, 1993). Soekarto (1979) menyebutkan bahwa hubungan ini telah banyak dipakai pada banyak lapangan seperti penggudangan, pengeringan, dan pengemasan. Suatu peranan baru yang sangat penting adalah penggunaannya dalam formulasi dan disain pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF).

    Kurva isotermi sorpsi air menggambarkan kadar air kesetimbangan dalam hubungannya dengan aktivitas air atau kelembaban relatif keseimbangan pada suhu tertentu. Bentuk kurva isotermi sorpsi air khas untuk setiap bahan pangan.

  • Gambar 1. Kurva isotermi sorpsi air pada bahan pangan (deMan, 1989)

    Kurva di atas memperlihatkan dua jenis isotermi sorpsi air. Umumnya istilah isotermi adsorpsi diperlukan untuk pengamatan produk higroskopik dan isotermi desorpsi untuk meneliti proses pengeringan. Kurva dengan kemiringan curam menunjukkan bahan bersifat higroskopik dan kurva yang agak mendatar menunjukkan produk yang tidak peka terhadap air (deMan, 1989).

    Kurva isotermi sorpsi biasanya berbentuk sigmoid dan dapat dipenggal menjadi tiga daerah yang sesuai dengan kondisi air yang berlainan dalam makanan. Bagian pertama biasanya curam, sesuai dengan adsorbsi lapisan monomolekul air, bagian kedua agak lebih rata sesuai dengan adsorpsi lapisan tambahan air, dan bagian ketiga menyatakan pengembunan air dalam kapiler dan pori-pori bahan (deMan, 1989). Tidak ada pembagian yang tajam antara ketiga daerah sorpsi tersebut dan tidak ada harga kelembaban relatif yang pasti untuk menggambarkan ketiga bagian ini.

    Bell dan Labuza (2000) mengklasifikasikan bentuk kurva isotermi sorpsi menjadi tiga tipe yaitu tipe I, II, dan III. Tipe I (A) adalah bentuk kurva sorpsi yang khas untuk bahan anti kempal. Bahan ini menyerap air pada sisi spesifik dengan energi pengikatan yang tinggi dan mampu menahan sejumlah besar air

    Mo

    istu

    re C

    on

    ten

    t

    Water Activity

    Adsorpsi

    Desorpsi

    2

    1

    3

  • pada aw yang rendah. Tipe II (B) merupakan bentuk kurva sorpsi yang paling banyak ditemui pada produk pangan. Tipe III (C) mewakili kurva sorpsi untuk bahan kristal seperti sukrosa.

    Gambar 2. Tiga tipe kurva isotermi sorpsi (Bell dan Labuza, 2000)

    1. Aktivitas Air (aw)

    Kandungan air suatu bahan pangan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan masa simpan. Oleh karena itu digunakan istilah aktivitas air untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi. Aktivitas air memiliki peranan penting dalam hubungannya dengan stabilitas bahan. Gambar 3 menunjukkan hubungan aktivitas air dengan Aktivitas air atau water activity (aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Syarief dan Halid, 1993).

  • Gambar 3. Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi dari aw (Fennema, 1996)

    Masih di dalam Syarief dan Halid (1993) aktivitas air berdasarkan hukum Raoult berbanding lurus dengan jumlah mol zat terlarut dan berbanding terbalik dengan jumlah mol pelarut.

    aw = n1 ..... (1) n1 + n2

    dengan n1 : jumlah mol zat terlarut n2 : jumlah mol pelarut n1 + n2 : jumlah mol larutan

    Aktivitas air dalam kondisi normal dinyatakan sebagai perbandingan tekanan uap air pada bahan (P) dan tekanan uap air murni (Po) pada suhu yang sama (Fennema, 1996). Sesuai definisi di atas, aktivitas air dinyatakan dalam persamaan

    aw = P . (2) Po

    Tahanan air dalam makanan juga dipaparkan oleh hubungan antara kandungan air makanan dan kelambaban nisbi udara di sekelilingnya. Perbandingan kedua angka ini juga menyatakan aktivitas air. Kelembaban

  • nisbi yang berlaku dalam terminologi ini adalah kelembaban nisbi kesetimbangan atau equilibrium relative humidity / ERH (deMan, 1989). Aktivitas air pada keadaan kesetimbangan ini dinyatakan dalam persamaan

    aw = ERH . (3) 100

    2. Model Persamaan Isotermi Sorpsi Air

    Model matematika mengenai isotermi sorpsi air telah banyak dikemukakan oleh para ahli baik secara empiris maupun teoritis. Beberapa model masih dibatasi oleh kondisi percobaan. Model yang umum digunakan pada bahan pangan diantaranya adalah model BET dan GAB..

    International Symposium on Properties of Water (ISOPOW) pada tahun 1983 menyatakan bahwa model persamaan yang paling tepat untuk menggambarkan isotermi sorpsi adalah model GAB (Guggenheim-Anderson-de Boer). Persamaan ini dapat dipakai pada kelembaban relatif sampai 94% (van den Berg, 1985 di dalam Bell dan Labuza, 2000). Model persamaan GAB ini merupakan perluasan model BET. Persamaan tersebut adalah :

    m = C . k . mo .aw ................................ (4) (1- k aw)(1-k aw + C k aw) dengan : C : konstanta Gunggenheim (energi adsorpsi) k : faktor koreksi

    mo : kadar air monolayer

    D. HUMEKTAN

    Prinsip dasar pembuatan IMF adalah menurunkan aw bahan sampai mencapai zone aw IMF. Penurunan aw tersebut dapat dicapai dengan mengeringkan bahan. Akan tetapi produk kering biasanya memerlukan rehidrasi sebelum dapat dikonsumsi. Masalah tersebut dapat diatasi dengan menggunakan humektan. Humektan adalah bahan yang dapat menurunkan

  • nilai aw tetapi dapat mempertahankan kandungan air yang terdapat pada produk, serta dapat berfungsi sebagai plasticizer (Taoukis et. al., 1999).

    Taoukis et. al. (1999) juga mengatakan bahwa terdapat empat kategori senyawa higroskopik yang dapat digunakan sebagai humektan yaitu (1) garam (mineral dan organik), (2) gula, (3) poliol, dan (4) turunan protein. Tabel 1 menunjukkan jenis-jenis humektan dan berbagai fungsinya.

    Menurut Troller (1989), kriteria pemakaian humektan dalam bahan pangan yaitu, aman, diizinkan oleh undang-undang, efektif sesuai dengan konsentrasi penggunaannya, tidak merusak produk pangan, tidak berbau, tidak berwarna atau tidak mengubah warna produk pangan. Humektan selain berkemampuan mengikat air dan menurunkan aw, juga dapat bersifat sebagai anti mikroba (bacteriostatic dan mycostatic), memperbaiki tekstur, cita rasa dan dapat meningkatkan nilai kalori.

    1. Sorbitol

    Sorbitol diisolasi pertama kali pada tahun 1872 oleh kimiawan Prancis, J. B. Boussugault. Menurut Codex nama Sorbitol disebut juga D-Glucitol, D-Glucitol syrup, Sorbit, D-Sorbitol, dan Sorbol. Menurut Badan POM, sorbitol merupakan monosakarida poliol (1,2,3,4,5,6Hexanehexol) dengan rumus kimia C6H14O6. Sorbitol berupa senyawa yang berbentuk granul atau kristal dan berwarna putih dengan titik leleh berkisar antara 89 sampai dengan 101C. Sorbitol mudah larut dalam air tetapi tidak dapat larut dalam pelarut organik kecuali etanol (Hough et. al.,1979).

    Tingkat kemanisan sorbitol 0.48-0.54 dari sukrosa. Sorbitol berwarna putih, tidak berbau, bersifat higroskopik, dan menimbulkan aftertaste dingin (Hough et. al., 1979). Nilai kalori sebesar 2,6 kkal/g atau setara dengan 10,87 kJ/g. Penggunaan sorbitol tergolong GRAS, tetapi jika dikonsumsi lebih dari 50 gram/hari akan menimbulkan efek laksatif atau diare (Caloriecontrol, 2006). Struktur kimia sorbitol dapat dilihat pada Gambar 4.

  • Gambar 4. Struktur kimia sorbitol (www.wikipedia.org)

    Sorbitol digunakan pada sugarless frozen dessert, menjaga kelembaban kelapa parut siap pakai, sugarless candy, permen karet, es krim, dan minuman/makanan rendah kalori (Igoe dan Hui, 1994). Poliol termasuk sorbitol merupakan bahan yang resisten terhadap metabolisme bakteri di dalam mulut. Bakteri ini memecah gula dan pati menjadi asam yang dapat menyebabkan kerusakan lapisan enamel gigi. Sorbitol juga tahan terhadap suhu tinggi, sehingga tidak menyebabkan reaksi pencoklatan (Maillard reaction) (Caloriecontrol, 2006). Sorbitol juga banyak digunakan sebagai gula alternatif bagi penderita diabetes karena cenderung tidak menimbulkan hyperglycaemia (peningkatan gula darah). Hal ini disebabkan sorbitol diubah menjadi fruktosa di dalam hati (Hough et. al., 1979 ).

    2. Gliserol

    Gliserol merupakan plasticizer yang tergolong dalam senyawa poliol yang memiliki tiga gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3 dengan berat molekul 92,10, massa jenis 1,23 g/cm3 serta titik didihnya 2040C (Winarno, 1992).

    Secara alami gliserol terdapat pada tanaman yaitu melalui penguraian fruktosa difosfat oleh enzim aldosa menjadi dihidroksi aseton kemudian direduksi menjadi -gliserofosfat. Gugus fosfat dihilangkan melalui proses fosforilasi sehingga terbentuk molekul gliserol (Winarno, 1992). Gliserol juga dapat diperoleh dari hasil samping pembuatan sabun.

  • Gambar 5. Struktur kimia gliserol (www.wikipedia.org)

    Gliserol berfungsi sebagai penyerap air (humektan) dan platicizer. Gliserol juga biasa digunakan untuk mengatur kandungan air dalam makanan sehingga dapat mencegah kekeringan pada makanan. Gliserol berbentuk cair dengan rasa manis agak pahit (bittersweet) (Igoe dan Hui, 1994). Tingkat kemanisan gliserol adalah 0.75 kali sukrosa. Penggunaan gliserol dalam jumlah besar dapat menimbulkan rasa pahit (Fennema, 1996).

    Menurut Lindsay (1985), gliserol bersifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan menurunkan aw. Gliserol banyak digunakan pada produk confectionary (permen dan marsmallow), sebagai pelarut flavor, untuk menurunkan lemak pada frozen dessert, dan mencegah pembentukan kristal es (Igoe dan Hui, 1994). Produk non pangan yang menggunakan gliserol antara lain produk perawatan tubuh, sabun, obat-obatan, dan produk kesehatan mulut. Berdasarkan FDA-21 CFR 182.1320, gliserol tergolong GRAS bila penggunaannya sesuai kebutuhan dan standar GMP (Good Manufacturing Practice). Meskipun aman digunakan, perlu diwaspadai adanya kontaminasi gliserol oleh dietilen glikol yang merupakan senyawa yang berbahaya bagi kesehatan manusia (www.fda.gov).

  • Tabel 1. Humektan yang umum digunakan, konvensional dan non konvensional serta peranan utamanya dalam pangana

    Bahan Menurun

    kan aw

    Keke-nyalan

    Aktivitas antimikroba

    Kemampuan rehidrasi

    Menahan Kristalisasi

    Pemanis

    Fung si

    lainb Status FDA

    Garam Mineral NaCl, KCl, CaCl2 XX X X XX GRAS Phospat, polyphospat X XX CFR 182 and 184 Karbonat dan Sulfat tertentu XX XX CFR 182 and 184 Garam dari serum susu XX X CFR 182 and 184 Asam Organik Asam-asam pangan dan garam-garam Na, K, dan Ca

    XX X XX X XX CFR 182 and 184

    Asam Askorbat X XX CFR 182 and 184 Protein dan turunannya Asam-asam amino dan garam XX X XX 21 CFR 172.320 Oligopeptida X XX GRAS Hidrolisat protein XX X XX GRAS Monosakarida, Disakarida dan Polisakarida Pentosa XX XX GRAS Hexosa (glukosa, ftuktosa) XX XX XX XX GRAS Mannosa, galaktosa, dll XX XX GRAS Disakarida (sukrosa, laktosa, maltosa)

    XX XX XX GRAS

    Berbagai macam Oligosakarida XX XX X GRAS Produk alami dan industri : madu, gula invert, Sirup jagung tinggi fruktosa, sirup glukosa, sirup maple

    XX XX XX GRAS

  • Tabel 1. Humektan yang umum digunakan, konvensional dan non konvensional serta peranan utamanya dalam pangan (lanjutan)

    Bahan Menurun

    kan aw

    Keke-nyalan

    Aktivitas antimikroba

    Kemampuan rehidrasi

    Menahan Kristalisasi

    Pemanis

    Fung si

    lainb Status FDA

    Maltodekstrin (dekstrosa ekivalen 3-20) dan hidrolisatnya; gum dan hidrolisatnya; selulosa dan hidrolisatnya

    X

    XX

    XX

    XX

    XX

    X

    GRAS

    GRAS Alkohol dan polyols Ethanol XX XX 21 CFR 184.1293 Sorbitol XX XX XX XX XX 21 CFR 184.1835 Mannitol, xylitol, erythritol XX X XX 21 CFR 172.395 Gliserol XX XX X XX X X 21 CFR 182.1320 1,2-propanadiol, 1,2-butanadiol (propilen glikol)

    XX XX XX X 21 CFR 182.1666

    1,3-butanadiol, 1,3-pentanadiol (1,3-butilen glikol)

    XX XX XX 21 CFR 172.220

    1,3,5-polyol (empat untuk 12 atom karbon)

    XX XX 21 CFR 172.864

    Polietilen glikol (mol wt 400, 600, 1500, 2400, dll)

    XX XX 21 CFR 172.820

    a dikutip dari Guilbert (1984) di dalam Taoukis et al. (1999)

    b Fungsi lainnya termasuk pengatur pH, meningkatkan nilai gizi, melarutkan protein dan antioksidasi

  • 3. Aplikasi Humektan Jumlah pemakaian humektan dapat ditentukan dengan menggunakan

    beberapa persamaan matematika, misalnya persamaan Grover. Grover (1974) memprediksi aw dari larutan air-gula. Persamaan Grover memprediksi nilai aw produk berdasarkan komposisi produk dan perbandingan bobot masing-masing komponen dengan total bobot air dalam produk tersebut. Persamaan ini sangat tepat untuk aplikasi produk confectionary tetapi tidak tepat untuk pemakaian humektan dalam konsentrasi tinggi. Persamaan Grover tersaji pada persamaan 5 dan nilai konstanta persamaan Gover (Ei) dapat dilihat pada Tabel 2.

    aw = 1.04 0.1(Eo) + 0.0045 (Eo)2 ........................................ (5) dimana,

    Eo = Ei / mi Tabel 2. Nilai Ei Persamaan Grover

    Komponen Ei Lemak 0 Pati 0.8 Gum 0.8 Pektin 0.8 Sukrosa 1.0 Laktosa 1.0 Gula invert 1.3 Protein 1.3 Asam 2.5 Gliserol 4.0 Sodium klorida 9.0

    E. TEPUNG KACANG HIJAU

    Kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) dikenal dengan beberapa nama, seperti mungo, mung bean, green bean dan mung. Tanaman kacang hijau merupakan salah satu tanaman Leguminosae yang cukup penting di Indonesia. Posisinya menduduki tempat ketiga setelah kedelai dan kacang tanah (Marzuki dan Suprapto, 2005). Kacang hijau memiliki beberapa nama daerah, seperti artak (Madura), kacang wilis (Bali), buwe (Flores), tibowang cadi (Makassar).

  • Buah/polong kacang hijau merupakan polong bulat memanjang dengan ukuran antara 6-15 cm. Polong muda berwarna hijau tua dan setelah tua berwarna hitam atau coklat jerami. Biji kacang hijau berbentuk bulat dan pada umumnya lebih kecil dibandingkan dengan kacang-kacangan lainnya, berwarna hijau, coklat, kuning atau hitam (Kay, 1979). Dua jenis kacang hijau yang paling terkenal adalah golden gram dan green gram. Golden gram merupakan kacang hijau yang berwarna keemasan, dalam bahasa botaninya disebut Phaseolus aureus sedangkan yang berwarna hijau atau green gram disebut Phaseolus radiatus (Astawan, 2005). Komposisi nilai gizi kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi zat gizi kacang hijau mentah per 100 gram bahan.*

    Komponen Jumlah Energi (Kal) 345 Protein (gram) 22.2 Lemak (gram) 1.2 Karbohidrat (gram) 62.9 Kalium (mg) 125 Phospor (mg) 320 Fe (mg) 6.7 Vitamin A (SI) 157 Vitamin B1 (mg) 0.64 Vitamin C (mg) 6 Air (gram) 10

    * Prawiranegara (1989)

    Melihat komposisi nilai gizinya, kacang hijau merupakan bahan yang cukup tinggi kandungan proteinnya. Beberapa asam amino esensial terdapat dalam jumlah yang tinggi. Asam amino esensial adalah asam amino yang hanya dapat diperoleh melalui asupan makanan. Kacang hijau tinggi kandungan asam amino glutamat dan asam amino leusin tetapi rendah kandungan metioninnya. Leusin dan metionin merupakan asam amino esensial. Kandungan asam amino dalam kacang hijau tersaji pada Tabel 4.

  • Tabel 4. Kandungan asam amino kacang hijau* Jenis Asam Amino Kandungan (%)

    Alanin 4.15 Arginin 4.44 Asam aspartat 12.10 Asam glutamat 17.00 Glisin 4.03 Histidin** 4.05 Isoleusin** 6.95 Leusin** 12.90 Lisin** 7.94 Metionin** 0.84 Fenilalanin** 7.07 Prolin 4.72 Serin 5.35 Treonin** 4.50 Triptofan 1.35 Tirosin 3.86 Valin** 8.23

    * Marzuki dan Suprapto (2005) ** asam amino esensial

    Pemanfaatan kacang hijau sebagai bahan pangan telah banyak dilakukan antara lain untuk diolah menjadi makanan atau ditumbuhkan menjadi kecambah (tauge). Kacang hijau dapat juga diolah menjadi tepung, baik tepung kacang hijau atau tepung pati kacang hijau (tepung hunkwe). Tepung kacang hijau dapat digunakan untuk membuat aneka kue basah (cake), cookies dan kue tradisional (kue satu), produk bakery, bubur, dan makanan bayi.

    Tepung kacang hijau menurut SNI 01-3728-1995 adalah bahan makanan yang diperoleh dari biji tanaman kacang hijau (Phaseolus radiatus L) yang sudah dihilangkan kulit arinya dan diolah menjadi tepung. Syarat mutu standar tepung kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 5.

  • Tabel 5. Syarat mutu tepung kacang hijau (SNI 01-3728-1995) No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. 1.1 1.2 1.3 2. 3.

    4. 5. 5.1 5.2 6. 7. 8. 9.

    10. 11.

    12. 12.1 12.2 12.3 12.4 13. 14. 14.1 14.2 14.3

    Keadaan Bau Rasa Warna Benda-benda asing Serangga dalam bentuk stadia dan potongan-potongan Jenis pati selain pati kacang hijau Kehalusan Lolos ayakan 60 mesh Lolos ayakan 40 mesh Air Silikat Serat kasar Derajat asam

    Protein Bahan tambahan makanan : bahan pengawet Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Cemaran arsen (As) Cemaran mikroba Angka lempeng total E. coli Kapang

    -

    -

    -

    -

    -

    -

    % b/b % b/b % b/b % b/b % b/b ml N.

    NaOH/100 g % b/b

    -

    mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

    koloni/g APM/g koloni/g

    Normal Normal Normal Tidak boleh ada Tidak boleh ada

    Tidak boleh ada

    Min. 95 100 Maks. 10 Maks. 0.1 Maks. 3.0 Maks. 2.0

    Min. 23 Sesuai SNI 01-0222-1995

    Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5

    Maks. 106 Maks. 10 Maks. 104

    F. TEPUNG UBI JALAR

    Ubi jalar (Ipomoea batatas) atau biasa disebut ketela rambat (Jawa) atau sweet potato (Inggris) dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropis maupun sekitar subtropis, juga dengan keadaan tanah yang kurang subur. Ubi jalar merupakan bahan lokal yang biasa digunakan sebagai sumber karbohidrat beberapa penduduk Indonesia. Produktivitas ubi jalar tertinggi kedua dibandingkan dengan jenis umbi-umbian lainnya yaitu mencapai angka 105 kuintal/Ha pada tahun 2006 (Deptan, 2007).

    Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang mengandung betakaroten, vitamin C, kalsium, sat besi juga serat. Ubi jalar mengandung beberapa jenis

  • oligosakarida yang dapat menyebabkan flatulensi, yaitu stakisa, rafinosa, dan verbakosa. Oligosakarida penyebab flatulensi ini tidak dapat dicerna oleh bakteri karena tidak adanya enzim galaktosidase tetapi dicerna oleh bakteri pada usus bagian bawah. Hal ini menyebabkan terbentuknya gas dalam usus besar (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Komposisi kimia ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi zat gizi ubi jalar putih per 100 gram bahan.*

    Komponen Jumlah Energi (Kal) 123 Protein (gram) 1.8 Lemak (gram) 0.7 Karbohidrat (gram) 27.9 Kalium (mg) 30 Phospor (mg) 49 Fe (mg) 0.7 Vitamin A (SI) 60 Vitamin B1 (mg) 0.09 Vitamin C (mg) 22 Air (gram) 68.5

    * Prawiranegara (1989)

    Masyarakat Indonesia umumnya memanfaatkan ubi jalar hanya sebatas konsumsi secara langsung secara sederhana. Pengolahan lanjut ubi jalar menjadi tepung ubi jalar misalnya, selain menjadi upaya pengawetan ubi jalar juga dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna ubi jalar. Pembuatan tepung ubi jalar dapat dilakukan dengan mudah menggunakan peralatan yang sederhana dan dapat dilakukan dalam skala industri rumah tangga ataupun industri kecil. Tepung ubi jalar dapat dibuat dari ubi jalar mentah ataupun ubi jalar masak yang telah dikukus atau direbus.

    G. TEPUNG PISANG

    Pisang (Musa sp.) merupakan tanaman sepanjang musim yang tumbuh subur di daerah tropis. Pisang juga merupakan tanaman yang biasa menjadi tanaman rumah tangga penduduk Indonesia. Produktivitas pisang merupakan tertingggi kedua di antara jenis buah-buahan lainnya, yaitu 510.30 kuintal/Ha pada tahun 2005 (Deptan, 2007).

  • Umumnya pisang dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu banana dan plantain. Banana adalah pisang yang lebih sering dikonsumsi dalam bentuk segar setelah buah matang, contohnya pisang raja, ambon, susu, mas, dan badak. Plantain adalah pisang yang dikonsumsi setelah digoreng atau direbus, seperti pisang kepok, siam, tanduk, dan uli. Terdapat juga jenis pisang lainnya yaitu pisang berbiji banyak yang disebut pisang batu atau pisang klutuk (Munadjim, 1983). Komponen gizi pada pisang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Komponen gizi pisang uli per 100 gram

    Komponen Jumlah Energi (Kal) 146 Protein (gram) 2.0 Lemak (gram) 0.2 Karbohidrat (gram) 38.2 Kalium (mg) 10 Phospor (mg) 28 Fe (mg) 0.9 Vitamin A (SI) 75 Vitamin B1 (mg) 0.05 Vitamin C (mg) 3 Air (g) 59.1

    * Prawiranegara (1989)

    Pemanfaatan buah pisang kebanyakan masih sebatas konsumsi dalam bentuk asli dan pengolahan dari buah segarnya. Peningkatan pemanfaatan pisang dapat dilakukan dengan membuat tepung pisang. Tepung pisang mempunyai sifat mudah dicerna dan cocok digunakan sebagai bahan makanan untuk anak-anak. Tepung pisang di Eropa dimanfaatkan sebagai campuran dengan bubuk kakao sebagai bahan puding. Tersedianya tepung pisang dalam jumlah cukup dan kualitas simpan yang baik akan membantu persediaan makanan sumber kalori dan menambah nilai variasi penyediaan makanan sebagai sumber karbohidrat. Dengan demikian tepung pisang dapat membantu memperringan beban penyediaan kalori dalam bentuk beras (Hardiman, 1982).

    Menurut SNI 01-3841-1995, terdapat dua klasifikasi tepung pisang, yaitu jenis A dan jenis B. Tepung pisang jenis A diperoleh dari penepungan pisang yang sudah matang melalui proses pengeringan dengan menggunakan

  • SNI 01-0222-1987

    mesin pengering sedangkan tepung pisang jenis B diperoleh dari penepungan pisang yang sudah tua, tidak matang melalui proses pengeringan. Tabel 8. Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995)

    No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan Jenis A Jenis B 1. 1.1 1.2 1.3 2. 3.

    4.

    5.

    6. 7. 8. 9. 9.1 9.2 9.3 9.4 10 11 11.1 11.2 11.3 11.4 11.5 11.6

    Keadaan: Bau Rasa Warna Benda asing Serangga (dalam segala bentuk stadia dan potongan-potongan) Jenis pati lain selain tepung pisang Kehalusan lolos ayakan 60 mesh Air Bahan tambahan makanan Sulfit (SO2) Cemaran logam : Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Cemaran Arsen (As) Cemaran mikroba : Angka lempeng total Bakteri pembentuk coli E. coli Kapang dan khamir Salmonella/25 gram Staphylococcus aureus

    -

    -

    -

    -

    -

    -

    %b/b

    %b/b -

    mg/kg

    mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

    kol/g APM/g kol/g kol/g

    -

    kol/g

    Normal Normal Normal Tidak ada Tidak ada

    Tidak ada

    Min. 95

    Maks. 5

    negatif

    Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5

    Maks. 104 0 0 Maks. 102 Negatif Negatif

    Normal Normal Normal Tidak ada Tidak ada

    Tidak ada

    Min. 95

    Maks. 12

    Maks. 10

    Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5

    Maks. 106 0 Maks. 106 Maks. 104 -

    -

    Pisang cukup sesuai diproses menjadi tepung karena kandungan karbohidratnya yang tinggi. Karbohidrat pada pisang sebagian besar adalah pati dan gula. Jenis plantain memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibanding jenis banana. Banana mengandung 80% (bobot kering) gula dan 5% pati sedangkan pada jenis plantain kandungan patinya mencapai 17% dan gula sebesar 66% (Kekitu, 1973 di dalam Gowen, 1995). Potensi gizi tepung pisang sebagai sumber karbohidrat dapat dilihat pada Tabel 9.

  • Tabel 9. Perbandingan nilai karbohidrat tepung pisang dengan tepung-tepungan lainnya *

    Bahan Karbohidrat (gram/100gr) Keterangan Tepung pisang 71.74 Sebagai sumber pati Tepung beras 80

    Sebagai karbohidrat by difference

    Tepung jagung 73.7 Tepung gaplek 81.3 Beras pecah kulit 76.2

    * Hardiman (1982)

    Tepung pisang dapat dibuat dari pisang muda dan pisang tua yang belum matang. Tepung pisang dari pisang muda mengandung pati yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung pisang dari pisang tua, sedangkan gula-gula sederhana sebaliknya (Munadjim, 1983). Menurut Von Loesecke (1950), pisang yang akan dibuat tepung sebaiknya dipanen saat mencapai tingkat kematangan . Pada kondisi ini pembentukan pati mencapai jumlah maksimum dan tanin sebagian besar terurai menjadi ester aromatik dan fenol sehingga menghasilkan rasa asam dan manis yang seimbang.

  • III. BAHAN DAN METODOLOGI

    A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

    Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan untuk formulasi produk dan bahan analisis. Bahan untuk formulasi produk meliputi tepung, susu bubuk full cream, gula, minyak goreng, konsentrat protein kedelai, air, dan humektan.

    Tepung yang digunakan adalah tepung matang (disebut juga tepung instan) yang masing-masing dibuat dari kacang hijau, ubi jalar, dan pisang uli. Tepung ini terbuat dari bahan yang telah dimasak (dikukus) sebelum dikeringkan (ditepungkan). Bahan lainnya yaitu minyak goreng komersil merek bimoli, gula pasir yang dihaluskan, susu bubuk full cream komersil merek Dancow, konsentrat protein kedelai instan merek Proteo, air mineral, sorbitol cair dan gliserol sebagai humektan yang dibeli dari toko kimia Bratako Chemical dan Setia Guna, Bogor.

    Bahan-bahan untuk analisis meliputi sepuluh jenis larutan garam jenuh yang menghasilkan kelembaban relatif 7.58 91.2 % dan bahan-bahan kimia untuk analisis produk. Jenis garam yang digunakan dan kelembaban relatif yang dihasilkan tersaji pada Tabel 10. Bahan lainnya yang digunakan untuk analisis produk yaitu akuades, silika gel, dan vaselin, serta bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat seperti, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH-Na2S2O3, indikator merah metil dan biru metil, HCl, kapas bebas lemak, heksana, asam tartarat, potato dextrose agar, dan plate count agar. Bahan-bahan kimia ini diperoleh dari Ruang Persediaan Bahan Departemen ITP, Fateta IPB.

  • Tabel 10. RH berbagai jenis garam dalam penentuan isotermi sorpsi * No. Jenis Garam RH pada 25-30oC (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

    10.

    NaOH LiCl

    CH3COOK MgCl2 K2CO3 NaBr

    KI NaNO3

    KCl KNO3

    7.58 11.2 22.2 32.5 43.7 56.8 68.2 73.0 83.8 91.2

    * Bell dan Labuza (2000)

    2. Alat

    Peralatan yang digunakan untuk pembuatan produk adalah mangkok, sendok pengaduk, neraca, penangas air, dan termometer. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk analisis meliputi neraca analitik, cawan aluminium, cawan porselen, aluminium foil, inkubator suhu ruang, oven, desikator kecil, aw meter, tanur, labu Kjeldahl, ekstraktor Soxhlet, labu lemak, labu takar, buret, pipet, cawan petri, dan peralatan gelas lainnya yang mendukung penelitian.

    B. METODOLOGI PENELITIAN

    Pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pembuatan tepung yang digunakan sebagai bahan baku. Tahap kedua formulasi awal produk yang disesuaikan dengan persyaratan nilai makro nutrien pangan darurat. Tahap formulasi ini akan menghasilkan tiga prototipe produk berbahan dasar tepung ubi jalar, tepung kacang hijau, dan tepung pisang. Verifikasi kandungan nutrisi prototipe produk dilakukan dengan analisis proksimat. Tahap ketiga dilakukan penentuan kurva isotermi sorpsi dari bahan baku dan formula ketiga prototipe produk yang telah dihasilkan.

  • Penelitian utama meliputi pembuatan produk dengan pengaturan kadar air dan aktivitas air (aw) serta aplikasi penambahan humektan. Analisis yang dilakukan pada produk adalah analisis proksimat dan uji organoleptik. Pengukuran isotermi sorpsi, analisis proksimat produk akhir dan pengujian mikrobiologis dilakukan pada produk terpilih hasil uji organoleptik.

    2. Penelitian Pendahuluan b. Pembuatan tepung instan

    Tepung yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung matang atau tepung instan, yaitu tepung yang dibuat dari bahan yang telah dimasak sampai matang. Tahap awal penepungan adalah mengukus bahan-bahan seperti ubi jalar, pisang, dan kacang hijau sampai matang. Bahan yang telah matang tersebut kemudian diiris tipis (kecuali kacang hijau) lalu dikeringkan. Bahan yang telah kering kemudian dihaluskan dan diayak. Pengayakan bertujuan mendapatkan tepung dengan ukuran 80 mesh. Proses pembuatan tepung instan dapat dilihat pada Gambar 6.

    c. Penghitungan formula awal produk

    Penghitungan formula awal produk didasarkan pada persyaratan nutrisi pangan darurat yaitu mengandung kalori minimal 233 kkal/ 1 bar dengan kandungan protein sebesar 7.9-8.1 g, lemak 9.1-11.7 g, dan karbohidrat 23-35 g. Nilai ini berdasarkan asumsi bahwa satu bar sama dengan 50 gram bobot kering. Tahap formulasi ini akan menghasilkan tiga prototipe produk berbahan dasar tepung ubi jalar, tepung kacang hijau, dan tepung pisang dengan target rasa manis.

    Bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi adalah masing-masing tepung sebagai sumber karbohidrat, konsentrat protein kedelai sebagai sumber protein, susu bubuk fullcream sebagai sumber protein dan lemak serta menambah cita rasa, dan minyak goreng sebagai

  • Gambar 6. Diagram alir proses produksi tepung instan

    Bahan-bahan yang akan ditepungkan

    Dibersihkan

    Dimasak/dikukus sampai matang

    Ditiriskan dan dibersihkan kembali

    Diiris tipis-tipis (kecuali kacang hijau)

    Dikeringkan

    Dihaluskan dan diayak 80 mesh

    Dikemas

    Tepung instan

  • sumber lemak. Penambahan gula dilakukan untuk memperoleh rasa manis sesuai target rasa produk.

    Formulasi ini dilakukan dengan bantuan program Microsoft Excel dengan prinsip kesetimbangan massa. Data-data awal komposisi bahan diperoleh dari daftar komposisi bahan makanan (DKBM) dan dari informasi nilai gizi pada label bahan yang dipakai. Data-data awal tersebut juga diperoleh dari analisis proksimat untuk bahan-bahan yang tidak terdapat pada DKBM. Analisis proksimat juga dilakukan untuk verifikasi formulasi awal.

    d. Penentuan kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula awal

    Penentuan kurva isotermi sorpsi ini digunakan untuk mengetahui jumlah air yang akan ditambahkan pada formulasi awal sesuai nilai aw yang diinginkan. Penentuan kurva isotermi sorpsi diawali dengan pengukuran kadar air awal sampel. Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven menurut SNI 01-2891-1992. Kadar air awal ini digunakan untuk mengetahui kondisi awal dan bobot solid sampel.

    Penentuan kurva isotermi sorpsi ini menggunakan sepuluh jenis larutan garam jenuh. Larutan garam jenuh dibuat dengan melarutkan garam ke dalam aquades pada desikator kecil sampai menjadi jenuh. Kondisi jenuh diketahui ketika garam tidak dapat larut lagi.

    Sekitar lima gram sampel diletakkan pada cawan aluminium foil kering yang telah diketahui bobotnya kemudian dimasukkan ke dalam desikator yang berisi larutan garam jenuh seperti terdapat pada Tabel 10. Desikator yang telah berisi sampel disimpan dalam inkubator suhu ruang (+ 30 oC). Susunan alat dapat dilihat pada Gambar 7.

  • Gambar 7. Susunan Alat Penentuan Isotermi Sorpsi Air

    Sampel dalam cawan ditimbang bobotnya setiap hari sekali sampai diperoleh bobot konstan. Bobot konstan ditandai oleh selisih antara tiga penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g bobot kering untuk sampel pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g bobot kering untuk sampel pada RH di atas 90% (Liovonen dan Ross, 2002). Sampel yang telah mencapai bobot konstan kemudian diukur kadar airnya menggunakan metode oven (SNI 01-2891-1992). Kadar air ini adalah kadar air kesetimbangan pada RH tertentu.

    Kurva isotermi sorpsi dibuat dengan memplotkan kadar air kesetimbangan dengan nilai aw atau ERH (equilibrium relative humidity) dengan menggunakan model persamaan GAB.

    m = )1)(1(...

    CkawkawkawawmokC

    +

    dengan m menunjukkan kadar air, C adalah konstanta Gunggenheim atau menunjukkan energi adsorpsi air, dan k sebagai persamaan GAB, serta mo sebagai kadar air monolayer. Penentuan kurva isotermi sorpsi juga dilakukan pada produk terpilih yang telah ditambah humektan.

    Uji ketepatan model dilakukan untuk mengetahui ketepatan model persamaan isotermi sorpsi GAB untuk menggambarkan keseluruhan kurva isotermi sorpsi hasil percobaan. Uji ketepatan

    Keterangan :

    1. Inkubator 2. Desikator

    3. Penyangga berlubang 4. Cawan aluminium

    berisi sampel 5. Larutan garam jenuh

    1

    2 4

    3 5

  • model dilakukan dengan menggunakan perhitungan Mean Relative Determination (MRD) (Walpole, 1992). Rumus MRD adalah :

    MRD = n

    100

    =

    n

    iMiMpiMi

    1|/)(|

    dengan Mi menunjukkan kadar air percobaan, Mpi sebagai kadar air hasil penghitungan dengan persamaan GAB, dan n adalah jumlah data.

    Nilai MRD < 5 menunjukkan model isotermi sorpsi dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan cukup tepat. Nilai 5 < MRD 10 menggambarkan keadaan yang tidak tepat.

    3. Penelitian Utama

    Formulasi produk IMF dilakukan dengan pengaturan kadar air formula awal dan penggunaan humektan. Metode produksi yang digunakan adalah moist infution yaitu bahan-bahan seperti pada formulasi awal ditambah air sampai tidak menyebabkan rasa haus dan mudah ditelan. Besarnya jumlah air yang ditambahkan dapat diketahui dari persamaan isotermi sorpsi formulasi awal. Berdasarkan kurva isotermi sorpsi formula awal dapat diketahui nilai perkiraan kadar air pada aw tertentu. Selisih antara nilai kadar air pada aw tertentu berdasarkan kurva isotermi sorpsi dengan kadar air awal menunjukkan jumlah air yang akan ditambahkan pada formula. Bahan yang telah dicampur air kemudian ditambah humektan untuk menurunkan nilai aw menjadi 0.6 0.8. Tahap selanjutnya adalah pencetakan dan pengemasan. Skema diagram alir proses produksi dapat dilihat pada Gambar 8.

    Humektan yang digunakan adalah sorbitol dan gliserol. Jumlah humektan yang ditambahkan ke dalam produk harus mampu mencapai kisaran aw produk akhir 0.6 0.8.

    Penentuan jumlah humektan dilakukan menggunakan persamaan Grover dengan rumus:

    aw = 1.04 0.1(Eo) + 0.0045 (Eo)2

  • dimana Eo = Ei / mi

    Ei adalah konstanta Grover untuk bahan penyusun (protein = 1.3, karbohidrat = 0.8, lemak = 0, gula = 1) dan mi adalah kadar air dalam gram air per gram bahan. Nilai Ei pada gliserol sebesar 4,0 dan nilai Ei pada sorbitol sebesar 2,0.

    Hasil perhitungan jumlah humektan yang diperoleh dengan persamaan Grover diaplikasikan pada proses produksi IMF. Batas pemakaian sorbitol maksimal adalah 50 g/hari sedangkan batas pemakaian gliserol adalah sampai tidak menimbulkan aftertaste pahit.

    Tahap selanjutnya adalah uji organoleptik meliputi kemudahan ditelan, aftertaste pahit, dan kesukaan keseluruhan produk. Hasil uji organoleptik adalah formula terpilih diantara tiga formula yang direncanakan.

    Karakterisasi produk akhir dilakukan pada formula terpilih uji organoleptik. Karakterisasi produk akhir meliputi analisis proksimat akhir, pengaruh humektan pada kurva isotermi sorpsi, dan analisis mikrobiologi produk (total mikroba dan kapang-khamir).

  • Gambar 8. Diagram alir proses produksi IMF dengan teknik moist infution

    Bahan-bahan formulasi awal

    Dicampur sampai homogen

    Formula awal

    Ditambah air mineral (air telah direbus

    sampai suhu + 80 oC)

    Diaduk sampai homogen

    Dicicipi

    Tidak haus/mudah

    ditelan

    Haus/tidak mudah ditelan

    Ditambah humektan sampai aw + 0.6-0.8

    Dicampur sampai homogen

    Cek dengan aw meter

    Dicetak dan dikemas

    Produk IMF

    Cek dengan aw meter

  • 4. Metode Analisis b. Analisis Proksimat

    a.1. Kadar air metode oven (SNI 01-2981-1992)

    Cawan aluminium kosong yang bersih dikeringkan dalam oven bersuhu + 105-110 oC selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Dua gram sampel dimasukkan ke dalam cawan lalu dioven pada suhu 105-110 oC selama tiga jam. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi sampai mencapai bobot konstan. Kadar air dihitung dengan rumus : Kadar air (% bk) = (W1 + W2) W3 x 100 (W3 W1)

    Kadar air (% bb) = (W1 + W2) W3 x 100 W2 Keterangan :

    W1 = bobot cawan aluminium kosong (g) W2 = bobot sampel (g) W3 = bobot cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)

    a.2. Kadar abu (SNI 01-2981-1992)

    Cawan porselen dibakar dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator. Cawan yang telah dingin ditimbang. Sebanyak 2-3 gram sampel ditimbang di dalam cawan lalu diabukan di dalam tanur bersuhu 550 oC hingga diperoleh abu berwarna putih dan beratnya tetap. Penghitungan : Kadar abu (% bb) = W2 x 100 W1 Keterangan :

    W1 = bobot sampel (g) W2 = bobot abu (g)

  • a.3. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995)

    Sampel sebanyak + 0.2 gram (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01/0.02 N) ditimbang dan dimasukkan dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 1.9 + 0.1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO, 2.0 + 0.1 ml H2SO4, dan beberapa butir batu didih. Sampel didestruksi (dididihkan) selama + 1.5 jam sampai menjadi jernih lalu didinginkan. Isi labu Kjeldahl tersebut (cairan hasil destruksi) ditambah aquades lalu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas dengan air. Air bilasan juga dipindahkan ke dalam alat destilasi kemudian ditambahkan 10 ml NaOH-Na2S2O3 dan didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator (metil merah : metil biru = 2:1) sampai kurang lebih 50 ml. Larutan dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai larutan berubah warna menjadi abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk penetapan blanko. Penghitungan : Kadar N (%) = (Vs Vb) x C x 14.007 x 100 % bobot sampel Kadar protein (%) = % N x 6.25

    Keterangan :

    Vs = volume HCl untuk titrasi sampel (ml) Vb = volume untuk titrasi blanko (ml) C = konsentrasi HCl (N)

    a.4. Kadar lemak (SNI 01-2981-1992)

    Sebanyak 1-2 g sampel dibungkus kertas saring dan ditutup kapas bebas lemak. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Ekstraksi dilakukan dengan pelarut heksana selama + 6 jam. Heksana didestilasikan dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven

  • bersuhu 105 oC lalu didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Penghitungan : Kadar lemak (% bb) = W2 x 100 % W1

    Keterangan :

    W1 = bobot sampel (g) W2 = bobot lemak (g)

    a.5. Kadar karbohidrat by difference Kadar karbohidrat (% bb) = 100% - (air + abu + protein +

    lemak) (% bb)

    c. Analisis nilai aw dengan aw meter

    Analisis dengan aw meter dilakukan untuk mengetahui nilai aw aktual pada produk. Pengukuran dilakukan dengan aw meter merek Shibaura. Pengukuran dimulai dengan mengkalibrasi alat aw meter dengan garam jenuh NaCl yang memiliki nilai aw 0.75. Selanjutnya dilakukan pengujian nilai aw pada sampel uji. Sampel yang diuji berukuran 3-5 gram. Nilai aw terbaca pada saat alat menunjukkan nilai aw yang tetap atau complete test.

    Gambar 9. Alat aw meter Shibaura Electronics WA-360

    d. Uji organoleptik (Meilgaard et. al., 1999)

    Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui penilaian konsumen terhadap produk. Uji yang dilakukan adalah uji rating

  • hedonik dan uji rating atribut kemudahan ditelan dan aftertaste pahit menggunakan skala 1-7. Uji rating hedonik termasuk dalam uji afektif sedangkan uji rating atribut dapat digolongkan pada multisample difference test : rating approach. Pengujian menggunakan 25 orang panelis dari lingkungan kampus IPB. Kuesioner pengujian dapat dilihat pada Lampiran 4.

    Pengujian rating hedonik dan uji rating terhadap masing-masing atribut dilakukan tanpa membandingkan antar sampel. Pengujian dilakukan di dalam ruangan khusus uji organoleptik yang berisi 10 booth dengan tipe pintu rounding door. Data yang diperoleh kemudian ditabulasikan dan dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA).

    e. Analisis total mikroba dan kapang-khamir (Modifikasi SNI 01-3751-2006)

    Analisis mikrobiologis dilakukan terhadap formula terpilih dari uji organoleptik. Pengujian ini dilakukan tiap minggu sekali selama satu bulan. Analisis yang dilakukan meliputi analisis total mikroba (TPC) dengan menggunakan plate count agar (PCA) dan total kapang-khamir menggunakan acidified potato dextrose agar (APDA). APDA merupakan PDA yang diasamkan dengan penambahan asam tartarat 10%. Analisis mikrobiologi mengacu pada SNI 01-3751-2006 yaitu cara uji cemaran mikroba pada tepung terigu. Hal ini dikarenakan produk pangan darurat ini berbahan baku tepung.

    Sampel uji yang berupa padatan ditimbang 10 gram kemudian ditempatkan dalam plastik steril dan ditambahkan larutan fisiologis NaCl 0.85% sebanyak 90 ml. Larutan ini kemudian dihomogenisasi di dalam alat stomacher selama satu menit. Larutan ini merupakan larutan konsentrasi 10-1. Pemupukan dilakukan sampai 10-5. Metode yang digunakan adalah cawan tuang, yaitu agar steril dituangkan ke dalam cawan yang telah berisi sampel pada tingkat pengenceran tertentu. Cawan yang telah diinokulasi kemudian diinkubasi selama dua hari di dalam inkubator suhu 37 oC untuk total mikroba dan 25 oC

  • untuk kapang-khamir. Cawan diinkubasi dalam posisi terbalik. Pada analisis total mikroba, dipilih cawan yang menunjukkan jumlah koloni antara 25-250 sedangkan pada analisis kapang khamir dipilih cawan dengan jumlah koloni 10-150.

    Penghitungan koloni total mikroba : N = C a [(1.n1) + (0.1.n2)] x d Keterangan :

    N = total koloni per ml atau gram sampel

    C = jumlah koloni yang dapat dihitung n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua d = tingkat pengenceran pertama saat mulai penghitungan

    Penghitungan koloni total kapang-khamir :

    N = rata-rata jumlah koloni x faktor pengenceran

  • IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU UNTUK FORMULASI PRODUK

    Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk pangan darurat ini adalah tepung ubi jalar, tepung pisang, dan tepung kacang hijau. Ketiga tepung ini merupakan tepung masak atau tepung instan. Hidayah (2002) mengatakan bahwa perbedaan dasar dari proses pembuatan tepung kacang hijau instan dan non instan adalah pada tahap pematangan atau pengukusan sebelum proses pengeringan sehingga kacang hijau dalam keadaan telah matang pada saat pengeringan. Tepung instan yang digunakan dalam formulasi ini dibuat dari bahan-bahan yang telah dimasak sampai matang (dikukus) sebelum dikeringkan (ditepungkan). Tepung instan dapat langsung dikonsumsi tanpa dimasak lebih lanjut. Masing-masing tepung berukuran 80 mesh.

    Tepung ubi jalar berwarna putih agak kecoklatan karena menggunakan ubi jalar putih dan memiliki aroma khas ubi. Warna kecoklatan ini dapat disebabkan oleh reaksi pencoklatan. Ubi jalar mentah jika dibiarkan kontak dengan udara luar akan berubah kecoklatan akibat adanya aktivitas enzim polifenolase (Syarif dan Halid, 1993). Namun reaksi pencoklatan enzimatis dapat dihambat salah satunya dengan pemanasan. Selain itu, ubi jalar juga memiliki kandungan gula yang cukup tinggi yaitu sekitar 15.26 % (Tsou et. al., 1989). Kandungan gula pada ubi jalar yang telah dimasak jumlahnya meningkat bila dibandingkan dengan ubi jalar mentah (Bradbury dan Holloway, 1988 di dalam Sulistiyo, 2006). Tingginya kandungan gula ini kemungkinan juga menyebabkan tepung ubi jalar yang terbuat dari ubi jalar putih berwarna agak kecoklatan akibat reaksi pencoklatan atau karamelisasi. Tepung ubi jalar ini memiliki nilai kadar air sebesar 4.78 %bk.

    Tepung pisang berwarna coklat muda dan memiliki aroma khas pisang (amil asetat). Pisang yang digunakan untuk membuat tepung ini adalah jenis pisang uli. Pisang uli merupakan jenis plantain, yaitu pisang yang perlu dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Tepung pisang ini dibuat dari pisang uli yang telah dikukus sampai matang. Pisang secara umum

  • mengandung senyawa fenol yang memberikan sensasi rasa astringent pada pisang muda dan dapat menyebabkan reaksi pencoklatan enzimatis (John dan Marchal, 1995). Pisang uli mentah berwarna putih kekuningan, tetapi setelah dikukus sampai matang berubah menjadi kuning kecoklatan sehingga menghasilkan tepung pisang yang berwarna coklat muda. Kadar air tepung pisang adalah sebesar 3.76 %bk.

    Tepung kacang hijau dibuat dari kacang hijau yang telah dihilangkan kulit arinya yang berwarna hijau dengan cara merendam kacang hijau dalam air selama satu malam sehingga kulit arinya mudah lepas atau dapat juga menggunakan kacang hijau kupas kulit komersial sehingga lebih efisien waktu. Tepung kacang hijau berwarna kuning karena kacang hijau yang telah hilang kulit arinya berwarna kuning. Permasalahan yang timbul dari tepung kacang hijau ini adalah masih terdapatnya bau langu kacang hijau sehingga agak mengganggu karakteristik sensorinya. Tepung kacang hijau memiliki kadar air sebesar 4.20 %bk. Penampakan masing-masing tepung tersaji pada Gambar 10.

    Gambar 10. Tepung yang digunakan sebagai bahan baku

    Ingridien lain yang digunakan dalam formulasi ini adalah susu bubuk, konsentrat protein kedelai, gula, dan minyak goreng. Susu bubuk dan konsentrat protein kedelai berfungsi sebagai sumber protein. Susu bubuk yang dipakai adalah susu bubuk fullcream dengan pertimbangan efek sensori yang dihasilkannya yaitu lebih berasa creamy dan manis. Susu merupakan satu-satunya bahan hewani yang diizinkan untuk digunakan sebagai ingridien

  • dalam produksi pangan darurat, namun penggunaanya tidak boleh berlebihan dan tidak boleh dij