pandangan ulama indonesia tentang aborsi dalam...
TRANSCRIPT
i
PANDANGAN ULAMA INDONESIA TENTANG
ABORSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM
PERLINDUNGAN ANAK DAN HAM (Kajian Fatwa NU, Muhammadiyah dan MUI)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Magister Hukum (M.H.)
Oleh:
Mohammad Reza Alfian
NIM: 21170435000011
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1441 H
v
ABSTRAK
Mohammad Reza Alfian, NIM. 21170435000011, PANDANGAN ULAMA
INDONESIA TENTANG ABORSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM
PERLINDUNGAN ANAK DAN HAM. Program Studi Hukum Keluarga Islam,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1441 H / 2019 M.
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui status hukum aborsi lebih dalam
perspektif dua organisasi satu lembaga Islam terbesar yang ada di Indonesia, yaitu
Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia. Baik itu dari
segi fatwa, maupun metode yang digunakan dalam memutuskan sebuah hukum
serta argumen masing-masing lembaga dan juga bagaimana artian perilaku aborsi
dalam perspektif Perlindungan anak dan HAM. Secara umum, status hukum
aborsi menurut hukum Islam adalah haram, Begitu pula terdapat dalam pasal 346
KUHP bahwa aborsi juga tidak diperbolehkan. Namun, aborsi tidak selalu haram
dilakukan pada tiap keadaan kehamilan, tetapi terdapat perbedaan dalam batasan
waktu diperbolehkannya melakukan aborsi.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu
menelusuri dan menelaah sumber-sumber data yang berhubungan dengan aborsi
dan hukumnya menurut lembaga Lembaga Bahtsul Masâil Nahdahtul Ulama,
Majelis Tarjîh Muhammadiyah dan Komisi Fatwa MUI serta pengertian aborsi
menurut sudut pandang Perlindungan Anak dan HAM. Tipe penelitian yang
dilakukan penulis adalah deskriptif komparatif dengan menganalisa dari sumber-
sumber data, menerangkannya kepada pembaca pendapat para ulama dan yang
dipilih dari pendapat tersebut, serta dalil-dalil pengambilan hukumnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum aborsi menurut LBM NU dan
Komisi Fatwa MUI haram dilakukan setelah janin melewati usia 40 hari, Apabila
setelah waktu tersebut haram dilakukan kecuali dalam dua keadaan, karena
darurat dan hajat yang mendesak dengan syarat sebelum kandungan berusia 40
hari. Adapun menurut MT Muhammadiyah aborsi diperbolehkan hanya dalam
keadaan darurat berapapun usia janin. Larangan aborsi menurut Hukum
Perlindungan Anak dan HAM berlaku ketika janin dianggap sudah mampu hidup
di luar rahim, aturan Hukum Positif mengenai aborsi sedikit lebih longgar dari
pada aturan Hukum Islam yang mengatur tentang aborsi.
Kata Kunci: Aborsi, Hukum Islam, Perlindungan Anak, HAM.
Pembimbing: Prof. Dr. Zaitunah Subhan, M.A, Dr. M. Nurul Irfan, M.Ag.
Daftar Pustaka: 1952 s.d 2017
vi
ملخصال. الإجهاض عند علماء إندونيسيا 21100435000011محمد ريزا ألفيان، رقم قيادة الطالب
اسة فتنى لجنة بحث المسائ ذااىب اأررعةة وقاننن مااية الطف وقون الإنسان، در المفي وجهة نظر اأرقكام . دراسة ماجسرج فيندونيس الإةلماء الالمحمدية وجلل ضةة الةلماء وجلل الرججي نهو
م / 2012كنمية جاكراا، اأرسرية، كلية الشرية والواننن، جامةة شريف ىداية الله الإسلامية الح .ه 1441
تهدف ىذاه الرسالة وتحاول النصنل إلى مةرفة الحكم الشرع لةملية الإجهاض من منظنر ثلاث دونيسيا. نالإةلماء ال مؤسسات إسلامية كبرى في إندونيسيا وى المحمدية، ونهضةة الةلماء، وجلل
اتناول الرسالة الفتاوى التي أصدرىا ك من الك المؤسسات، والمناىج المستخدمة في اورير اأرقكام "مااية الطف " و وإصدارىا، مردوفة ك الفتاوى بحججها. كما اتناول ىذاه الرسالة وجهة نظر
عملية محرمة في الشريةة عشك عام، يةتبر الإجهاض "قون الإنسان" في عملية الإجهاض.، وىذاا لا يةني أنو يتم قظر الإجهاض في أي قال من اأرقنال. ولكن ىنالك قالة الإسلامية
يسم فيها عإجراء عملية الإجهاض على خلاف عينهم في تحديد ىذاه الرسالة.
صاادر وتحلي الم لتتاععاونم عااستخدم ىذاه الرسالة في البحث طريوة البحث الواننني المةياري ، والبيانات المتةلوة عالإجهاض وأقكامها عند ك من لجنة بحث المسائ نهضةة الةلماء، وجلل ارجي محمدية، وجلل علماء إندونيسيا. كما اونم عتحلي مةنى الإجهاض من وجهة نظر قاننن
مااية الطف و قون الإنسانم محرم عةد أرعةن ينما من لود أظهرت النتائج التي أسفر عنها ىذاا البحث: أن إجهاض الح
الملحة وعند عمره عند نهضةة الةلماء وجلل علماء إندونيسيا إلا في الحالتن ؛ وهما عند الحاجةأما المحمدية فذاىبت إلى قرمة ذلك مطلوا إلا في قالة الضةرورة. كما رأى قاننن مااية ، الضةرورة
والحياة خارج للجنن قاعلية الةيش الطف وقون أن يحظر إجراء عملية الإجهاض عندما اكنن الرقم.
، قاننن مااية الطف ، قون الإنسانية.الإندونيس ة: الإجهاض، الةلماءالكلمة المفتاقي
محمد ننر الةرفان كتنرد ال زيتننة سبحان، الدكتنرةاأرستاذة المشرف:
م. 2010 – 1252قائمة المراجع:
vii
ABSTRACT
Mohammad Reza Alfian, Student Number. 21170435000011. ABORTION BY
INDONESIAN SCHOLARS IN PERSPECTIVE CHILD PROTECTION LAW
AND HUMAN RIGHTS. Magister of Family Law, State of Islamic University
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H / 2019 M.
This thesis aims to find out the legal status of abortion in the perspective
of the three largest institutions in Indonesia (those are Muhammadiyah, Nahdhatul
ulama and Majelis Ulama Indonesia) both from the fatwa or the method used to
decide on a law with the arguments of each institution and explain how is the
meaning of abortion behavior in perspective of Child Protection and Human
Rights. In general the legal status of abortion according to Islamic law is
forbidden (haram) as well as in Article 346 KUHP that abortion is not
permitted,but abortion is not always forbidden to do in every pregnancy but there
is a situation where someone can have an abortion.
This research uses a normative juridical research method that is,analyzing
the source of data related to abortion and it's law according to LBM NU (lembaga
bahtsul masail nahdhatul ulama, majlis tarjih muhammadiyah anda MUI and also
analyze the meaning of abortion from the perspective of child protection and
human rights.the type of research conducted by the writer is comparative
descriptive by analyzing the source of the data and explaining it to the reader
about the opinions of the ulama and which opinion is chosen from some of these
opinions with it's legal proposition.
The results showed that abortion according to LBM NU and MUI is
forbidden to do after the fetus has passed 40 days of age except in two
circumstances, due to an emergency or urgent needs but according to MT
Muhammadiyah, abortion is only permitted during emergencies. Abortion is also
challenged by child protection and human rights but it is prohibited when the fetus
is able to live outside the womb.
Keywords: Abortion, Indonesian Scholars, Child Protection, Human Rights
Supervisor: Prof. Dr. Zaitunah Subhan, M.A., Dr. M. Nurul Irfan, M.Ag.
viii
مــم الله الرحمن الرحيـــــــبـســـــــــKATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT berkat limpahan rahmat, hidayah
dan inayahNya sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas penyusunan tesis ini
sebagaimana mestinya. Shalawat serta salam tetap selalu tercurahkan kepada
junjungan umat Islam Baginda Nabi Muhammad SAW suri tauladan dan
inspirator dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Tesis yang berjudul ʻʻPandangan Ulama Indonesia Tentang Aborsi
dalam Perspektif Hukum Perlindungan Anak dan HAMʼʼ penulis susun
dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar
Magister Hukum pada Prodi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis ingin
mempersembahkan tesis ini untuk kedua orang tua tercinta Ayahanda Hasan Basri
dan Ibunda Siti Rohani yang Semoga Allah SWT selalu melindungi mereka dan
memberikan panjang umur sehat walafiat, serta guru-guru penulis. Begitu juga
dengan kedua kakak penulis Dewi Mela Rosania dan suami Muhammad Hudri
juga Dewi Rani Falila dan suami yang selalu memberikan support dan semangat
kepada penulis agar tak mudah menyerah untuk menyelesaikan tesis ini.
Kemudian penulis juga ingin mempersembahkan kepada calon istri tercinta Alfiah
Badriyah yang tak pernah berhenti untuk memberikan dukungan dan semangat,
selalu memanjatkan doa untuk penulis agar diberikan kemudahan dan kelancaran
dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa suksesnya penulisan tesis ini tidaklah begitu saja
dapat diselesaikan dengan mudah dan bukan semata-mata atas usaha penulis
pribadi, namun juga karena bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih yang mendalam
kepada:
ix
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, Lc., M.A., Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Azizah M.A., dan Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag., Ketua dan Sekretaris
Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. Zaitunah Subhan, M.A. dan Dr. M. Nurul Irfan, M.Ag. Dosen
pembimbing yang telah bersedia menyediakan waktu, pikiran dan tenaganya
untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan petunujuk kepada penulis
dalam penyususnan tesis ini.
5. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf pengajar pada lingkungan program
studi magister hukum keluarga fakultas syariah dan hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak
pembelajaran serta motivasi dalam menuntut ilmu di kampus ini.
6. Jajaran staf dan karyawan akademik perpustakaan fakultas syariah dan hukum
perpustakaan utama serta perpustakaan sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam pengadaan referensi sebagai
bahan rujukan tesis.
7. Rekan-rekan seperjuangan magister hukum keluarga UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak berbagi ilmu pengetahuan pengalaman dan informasi
seputar pendidikan. Sahabat kost Syauqi Rohman dan kawan-kawan yang
selalu mengajak dan menuntun penulis untuk lebih kritis dan semangat dalam
menyiapkan bahan dan isi tesis, juga telah berbagi tempat untuk penulis dalam
mengerjakan tesis.
Jakarta: 20 Desember 2019 M
24 Rabi’ul Akhir 1441 H
Penulis
x
PEDOMAN TRANSLITERASI1
1. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d da د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
ʻ koma terbalik di atas, hadap kanan ع
gh ge dan ha غ
1Pedoman ini disesuaikan dengan buku pedoman skripsi FSH UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2017, hlm. 65-70.
xi
f ef ف
q ki
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
ʼ apostrop ء
y ye ي
h ha ة
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fatẖah
i kasrah
u ḏammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ـي
au a dan u ـو
Contoh:
xii
كي ف urifa‘ = عرف kataba = كخب = kaifa ل حو = haula
3. Maddah (Vokal Panjang)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd) yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ـا
ȋ i dengan topi di atas ـي
ȗ u dengan topi di atas ـو
Contoh:
كان = kâna قي م = qîla دعا = daʻâ ل يقو = yaqûlu
4. Ta’ Marbûţah
1. Ta’ Marbûtah hidup transliterasinya adalah /t/.
2. Ta’ Marbûtah mati transliterasinya adalah /h/.
3. Jika pada suatu kata yang akhir katanya adalah Ta’ Marbûtah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka
Ta’ Marbûtah itu ditransliterasikan dengan /h/.
Contoh:
ẖadîqat al-ẖayawânât atau ẖadîqatul ẖayawânât = حديقتانحيواناث
انمدرستالابخدائيت = al-madrasat al-ibtidâʼiyyah atau al-madrasatul ibtidâʼiyyah
. حمزة~ = hamzah
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah/Tasydid ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf
yang diberi tanda syaddah (digandakan).
xiii
Contoh:
ر allama‘ = عهى يكر = yukarriru
و انمد kurrima =كر = al-maddu
6. Kata Sandang
a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiah ditransliterasi dengan huruf asli atau
huruf Lam dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung.
Contoh:
لة al-salâtu =انص
b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan
bunyinya. Contoh:
ان باحث al-falaqu =ان فهق = al-bâẖitsu
7. Penulisan Hamzah
a. Bila hamzah terletak di awal kata maka ia tidak dilambangkan dan ia seperti
alif, contoh:
حي akaltu =أكه ج أو = ûtiya
b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof, contoh:
ن ء taʼkulûna =حأ كهو شي = syaiʼun
8. Huruf Kapital
Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata
sandangnya, contoh:
آن al-Qurʼân = ان قر
دي عو انمس = al-Masʻûdî
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii
PENGESAHAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN ......................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... x
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiv
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Permasalahan .................................................................................. 12
1. Identifikasi Masalah ................................................................... 12
2. Perumusan Masalah ................................................................... 13
3. Pembatasan Masalah .................................................................. 13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 14
D. Metode Penelitian ........................................................................... 15
E. Kerangka Teori ............................................................................... 15
F. Review Studi Terdahulu ................................................................. 21
G. Sistematika Pembahasan ................................................................ 24
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ABORSI, PERLINDUNGAN
ANAK DAN HAM ............................................................................. 26
A. Aborsi............................................................................................. 26
1. Definisi Aborsi .......................................................................... 26
2. Macam-macam Aborsi ............................................................... 30
3. Aborsi dalam Hukum Positif ..................................................... 34
B. Perlindungan Anak ...................................................................... 35
1. Definisi Anak ............................................................................. 36
2. Hak dan Kewajiban Anak .......................................................... 39
xv
3. Hukum yang Mengatur Perlindungan Anak .............................. 41
C. HAM .............................................................................................. 46
1. Definisi HAM ............................................................................ 46
2. Macam-macam HAM ................................................................ 47
3. Peran Negara dalam HAM ......................................................... 50
BAB III : ABORSI DALAM PANDANGAN LBM NU, MT MUHAMMADIYAH
DAN MUI ............................................................................................ 56
A. Aborsi dalam LBM NU ................................................................ 57
1. Sejarah NU dan Munculnya Lembaga Bahtsul Masa'il ............. 57
2. Metode Istinbath Hukum LBM NU ........................................... 62
3. Aborsi Menurut LBM NU ......................................................... 64
B. Aborsi dalam MT Muhammadiyah ............................................ 66
1. Sejarah Muhammadiyah dan Majelis Terjihnya ........................ 66
2. Metode Istinbath Hukum MT Muhammadiyah ......................... 68
3. Aborsi Menurut MT Muhammadiyah ....................................... 71
C. Aborsi dalam Fatwa MUI ............................................................ 74
1. Sejarah MUI ............................................................................... 74
2. Metode istinbath Hukum Fatwa MUI ........................................ 76
3. Aborsi Menurut Fatwa MUI ...................................................... 79
BAB IV : PERBANDINGAN LBM NU, MT MUHAMMADIYAH DAN
FATWA MUI TENTANG ABORSI ............................................... 84
A. Perbandingan Vertikal ................................................................. 92
1. Fatwa LBM NU tentang Aborsi dengan pendapat Fuqaha
Mazhab Arba'ah ......................................................................... 92
2. Fatwa MT Muhammadiyah tentang Aborsi dengan pendapat
Fuqaha Mazhab Arba'ah ............................................................ 93
3. Fatwa MUI Tentang Aborsi dengan Pendapat Fuqaha Mazhab
Arba'ah ....................................................................................... 96
B. Perbandingan Horizontal ............................................................ 97
Persamaan dan Perbedaan LBM NU, MT Muhammadiyah dan
MUI dalam Fatwa dan Metode Istinbath Hukum Tentang Aborsi . 97
xvi
BAB V : PENDAPAT LBM NU, MT MUHAMMADIYAH DAN MUI
TENTANG ABORSI DITINJAU DARI PERSPEKTIF
PERLINDUNGAN ANAK DAN HAM ......................................... 106
A. Fatwa LBM NU, MT Muhammadiyah dan MUI ditinjau dari
Perspektif Perlindungan Anak ...................................................... 106
B. Fatwa LBM NU, MT Muhammadiyah dan MUI ditinjau dari
Perspektif HAM............................................................................ 111
C. Tabel Perbandingan Hukum Aborsi ............................................. 119
BAB VI : PENUTUP ........................................................................................ 122
A. Kesimpulan ................................................................................... 122
B. Saran ............................................................................................. 123
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... 125
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 127
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam adalah satu satunya agama yang benar di sisi Allah.
Datangnya Islam merupakan rahmat bagi semesta alam. Di antara rahmat yang
dibawa Islam yaitu menjunjung tinggi hak-hak seseorang untuk hidup. Syariat
Islam diatur untuk menjaga dan memelihara lima perkara agama, jiwa, keturunan,
akal dan harta atau biasa disebut dengan al Kulliyyât al Khamsu1 ataupun al
Darûriyât al Khâmsu2 (lima perkara yang mendesak pada kehidupan manusia),
Sebagian ulama menyebutkan hal ini merupakan tujuan utama dalam ajaran
agama sebelum datangnya Islam.3
Islam memelihara lima perkara tersebut merupakan kewajiban bagi
seorang muslim,4 oleh karenanya setiap pelanggaran dalam hal-hal tersebut akan
dijatuhkan hukuman yang telah ditetapkan menurut syari'at baik itu yang bersifat
had (hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di dalam al
Quran/Hadist), ta’zîr (hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa
(maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’) qisâs (Hukuman yang
dikenakan hukuman balas) ataupun dengan membayar diyah (harta yang wajib
dibayar dan diberikan oleh pelaku jinayah kepada wali/ahli waris sebagai ganti
rugi disebabkan jinayah yang dilakukan). Adapun dasar-dasar demikian itu dapat
dilihat dalam al Qur’an surah al An’âm ayat 151-153 dan hadist di bawah ini :
1 Ibrâhim al-Bâjuri, Hâsyiyah al-Bâjûri `Ala Jauharah al-Tauhîd, (Dâr al-Salâm, , 2002)
Cet 1, Hal. 322 2 Ahmad al-Risûni, Madkhal Ilâ Maqâsid al-Syari`ah, (Mesir Dâr al-Kalimah li al-Nasyr
wa al-Tauzi’, Cet 1 2010), Hal. 85 3 Abû Ishâq al-Syâtibî, al-Muwâfaqât fi Usul al-Syarîât, (Beirut, Dâr al-Fikr, 2004 M),
jilid 1, Hal. 37 4 Burhân al-Dîn al-Laqqânî, Matn Jauharah al-Tauhîd, (Beirut, Dâr al-Kutub, 2001 M),
bait ke 127
2
مالهد ونق تلمن :))ي ق ول وسلمعلي هالله صلىاللهرس ولسع ت :قالزي د ب نسعيدعن
د ونق تلومن شهيد،ف ه ودمهد ونق تلومن شهيد،ف ه ودينهد ونق تلومن شهيد،ف ه و
له 5.((شهيدف ه وأه
Artinya:"Saîd ibn Zayid berkata “saya pernah mendengar rasulullah bersabda:
Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya maka dia syahîd,
barangsiapa yang terbunuh karena membela agamanya maka dia syahîd,
barangsiapa yang terbunuh karena membela dirinya maka dia syahîd,
barangsiapa yang terbunuh karena membela keluarganya maka dia
syahîd."
Maqâsid al-Syarî’ah menurut para ulama adalah sebagai berikut :
1. Menurut Imam al Âmidî dalam al Ihkâm bahwa tujuan disyariatkannya hukum
adalah untuk mencapai manfaat dan menghindari kemudaratan atau gabungan
keduanya.6
2. Menurut al Syâtibi tujuannya adalah menegakkan kemaslahatan dunia dan
akhirat.7
3. Menurut Tâhir Ibn ‘Âsyûr yaitu makna-makna dan hikmah-hikmah yang
diinginkan oleh Tuhan pada segala kondisi tasyri’, keinginan tersebut tidak
hanya terbatas pada satu macam hukum syariat, tetapi semua bentuk hukum
syariat yang tujuan dan maknanya termasuk di dalamnya. Juga termasuk
makna-makna hukum yang tidak terekam dalam berbagai macam hukum, akan
tetapi terekam dalam bentuk-bentuk yang lain.8
4. Menurut Imam al Ghazâli tujuan syariat adalah menjaga agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta benda. Dan semua yang menghasilkan lima perkara
tersebut itulah yang disebut dengan maslahat adapun hal-hal yang bisa
5 Sulaiman Ibn Asy’ats, Sunan Abi Daud (Dâr al Risâlat al‘Âlamiyyah2009) , , Cet 1,
jilid 7 Hal 151. 6 Ali ibn Muhammad al-Âmidî, al-Ihkam fi Usûl al-Ahkâm, (Kairo, Dâr al-Sami’, 2004),
Cet ke 2, Jilid. 3 Hal. 271 7 Abu Ishâq al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî’ah, jilid 1 (Kairo: Dâr al-
Taufîqiyyah, 2003), Hal. 30 8 Muhammad al-Tâhir Ibn ‘Asyûr, Maqâsid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah (Kairo, Dâr al-
Nafâis, , 2001), Cet. 2, Hal. 79
3
menghilangkan tujuan tersebut itulah yang dikenal dengan Mafsadah
(kerusakan)9
5. Wahbah al Zuhailiy menyebutkan makna Maqâsid al Syari’ah makna dan
tujuan yang hendak dicapai pada sebagian atau seluruh hukum yang Allah
turunkan. Atau beliau juga menyimpulkan, tujuan pensyari’atan sesuatu serta
seluruh rahasia yang terdapat dibalik pensyari’atan tiap hukum oleh Allah dan
RasulNya.10
Memelihara dan melindungi jiwa merupakan hal yang sangat penting. Hal
ini berarti memelihara eksistensi kehidupan umat manusia di permukaan bumi
dengan bertambah banyaknya keturunan manusia. Perkembangan hidup manusia
dimulai pada saat sperma laki-laki menembus dinding sel telur. Peristiwa
terbentuknya manusia dapat kita lihat dalam firman Allah SWT dalam Q.S. al-
Mu’minun: 12-14:
ناولقد ﴿ خلق ناث *مكي ق رار فن ط فة جعل ناه ث *طي منس لالة منالإنسانخلق
ناعلقة النط فة غة ال علقةفخلق نام ض غةفخلق أنشأ ناه ث ل م اال عظامافكسو نعظام اال م ض
سن الله ف تباركآخرخل ق ا القيأح ﴾ال
Artinya:“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah (12). Kemudian kami jadikan saripati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13). Kemudian air
mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang tersebut kami bungkus dengan daging,
kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka maha
sucilah Allah, pencipta yang paling baik (14).”
Selanjutnya manusia berkembang biak menjadi banyak dari jenis laki-laki
ataupun perempuan. Dalam hal ini diterangkan dalam Q.S. al Nisȃ’: 1
9 Muhammad bin Muhammad al Ghazâli, al-Mustasyfa (Kairo, Dâr al Hadits, 2004). Hal.
127 10 Wahbah al Zuhaily, al Wajîz fii uuli fiqhi, (Kairo, Dâr al-Hadits), Hal.217
4
من ه م﴿ واحدة وخلقمن هازو جهاوبث ربك م الذيخلقك ممنن ف س ات ق وا اياأي هاالناس
كثير اونساء كانعرجالا اللهالذيتساءل ونبهوالأر حامإنالله رقيب اوات ق وا .﴾لي ك م
Artinya:“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari (padanya) Allah
menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah memperkermbang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada
Allah yang dengan(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain. Dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Kehamilan merupakan sebuah anugerah Allah kepada para wanita.
Namun, tidak semua wanita merasa senang dan bahagia dengan setiap kelahiran
anak. Hal ini disebabkan banyak faktor yang melatar belakangi hal tersebut, dan
akhirnya mengakibatkan sebagian wanita lebih memilih menggugurkan
kandungannya yang mana hal ini dikenal dengan istilah aborsi.11
Aborsi merupakan salah satu wacana aktual dan marak diperbincangkan,
persoalan ini udah sangat memperhatinkan, tidak hanya permasalah individu
tetapi sudah jadi persoalan sosial, bahkan sudah meresahkan masyarakat. Sering
kita temui media cetak dan elektronik menyuguhkan berita-berita yang
menyedihkan, mulai adanya dukun yang membuka praktek ataupun dokter yang
membuka jasa aborsi secara ilegal, penemuan serpihan serpihan tubuh janin
ditempat sampah yang dibungkus kantong kantong plastik, sampai penemuan
mayat bayi dipinggir jalan tanpa diketahui siapa yang melahirkannya.
Umumnya hal ini dilakukan oleh masyrakat modern yang terlalu bebas
dalam pergaulannya, sebagaimana banyak dilakukan masyarakat urban, seperti
yang terjadi di kota kota besar di indonesia dari penelitian yang dilakukan oleh
11 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia (Jakarta, Sinar Grafika, 2013),
Hal. 248.
5
prof. Budi Utomo dan kawan kawan di sepuluh kota besar dan enam kabupaten
menunjukkan bahwa pertahun terdapat 2 juta kasus aborsi.12
Mengenai hukum aborsi tidak ada nash secara langsung menyebutkannya,
terlebih aborsi yang dilakukan sebelum masa peniupan ruh. Sedangkan yang
dijelaskan di dalam al Qur'an surah al Nisa’ ayat 93,
افجزا ﴿ ي ق ت ل م ؤ من امت عمد افي هاوغضبالل ومن لهعذاب اؤ هجهنم خالد ه علي هولعنهواعد
﴾عظي م ا
Artinya:"Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja,
maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah
murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar
baginya."
Menerangkan tentang haramnya membunuh tanpa hak, mencela perbuatan
tersebut dan menghukum pelakunya dengan neraka Jahannam, Kemudian di surah
al-Isro’ ayat 31 dan 33 Islam memberikan landasan hukum yang jelas bahwa
kehidupan manusia itu suci sehingga haruslah dipelihara dan tidak boleh
dihancurkan (diakhiri) kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan yang
benar, seperti dalam eksekusi hukuman mati atau dalam perang, atau dalam
pembelaan diri yang dibenarkan.
Meski demikian pendapat para ulama tentang aborsi sangat beragam,
khususnya dalam hal penentuan dibolehkannya pengguguran kandungan dengan
alasan yang dibenarkan tersebut. Di samping beberapa pendapat dikalangan
ulama’, terdapat juga kajian hukum terhadap aborsi yang ditetapkan oleh tiga
ormas terbesar di Indonesia yaitu Lembaga Bahtsul Masâil Nahdlatul Ulama
(LBM NU), Majelis Tarjîh Muhammadiyah (MT) dan Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Dalam pencarian hukum (istinbat) mengenai suatu peristiwa yang baru,
ketiga lembaga tersebut menggunakan cara yang berbeda sesuai dengan tuntunan
dan metode masing-masing.
12 Budi Utomo Hendartini Absjah dkk, Insiden dan aspek psiko-sosial aborsi di Indonesia
(Jakarta, Word Press, 2001), Hal. 31
6
Istinbath hukum menurut LBM NU mempunyai dua pengertian, yang
pertama menggali hukum secara langsung dari al Qur'an dan Hadits. Yang kedua
pengambilan hukum dengan memberlakukan secara dinamis nash-nash ulama
fiqih dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.13
Adapun istinbath dengan makna yang pertama yang lebih cenderung
dengan pengertian ijtihad oleh ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-
keterbatasan dalam ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh
seorang mujtahid. Adapun dalam makna kedua selain praktis, juga dapat
dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami ibarat-ibarat kitab fiqih
sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu kalimat istinbath di
kalangan NU terutama dalam kerja bahts al-masa'ilnya tidak populer karena
kalimat itu telah populer di kalangan ulama NU dengan pemahaman ijtihad, dan
sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul masâil yang artinya membahas masalah-
masalah yang terjadi melalui referensi kita-kitab fiqih mazhab yang empat.14
Adapun menurut MT Muhammadiyah istinbath lebih cenderung dengan
pengertian ijtihad hal ini karena mereka beranggapan bahwa pintu ijtihad tetap
terbuka lebar sampai hari kiamat sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi
(hal-hal yang semata-semata karena perintah) dan memang merupakan hal yang
diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.15
Istinbath hukum bagi MUI adalah dasar-dasar dan prosedur penetapan
fatwa yang dilakukan oleh MUI. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam
rumusan Pedomam Penetapan Fatwa MUI.16
13 M. Djamaluddin Miri, Terjemah Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam , Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdhatul Ulama 1926-2004 (Surabaya, Gema
Press, 2002) Cet 3 , kata pengantar Dr. KH.MA. Sahal Mahfudh. Hal, 18. 14 M. Djamaluddin Miri, Lc, MA, Terjemah Ahkamul fuqaha Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam , Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdhatul Ulama,( Yogyakarta,
Cahaya Insan, 2004) Hal, 19. 15 Wawan Gunawan Abd. Wahid Himpunan Putusan Tarjîh Muhammadiyah
1,(Yogyakarta, Pustaka Jogja) Hal. 42. 16 Pedoman Penetapan Fatwa MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997 Pasal 2
7
Dan akan kami sebutkan di bab selanjutnya pada pembahasan metode
istinbath ketiga lembaga tersebut. Ijtihad adalah mencurahkan segenap
kemampuan dalam menggali dan merumuskan dalil-dalil yang bersifat dzanni
(masih dalam lingkup sangkaan) untuk menghasilkan sebuah hukum syariat
sampai kemampuan terakhir.17
Posisi ijtihad bukan sebagai sumber hukum melainkan sebagai metode
penetapan hukum, sedangkan fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk
merumuskan ketentuan hukum yang belum terumuskan dalam al-Qur’ȃn dan
hadist, hal ini telah dijelaskan di dalam al Qur'an, di antaranya Firman Allah
Ta’ala Q.S. al Nisa’:
قال كتابإلي كأن زل ناإنا﴿ لتح ك مبال ﴾الله أراكباالناسب ي
Artinya:“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu.”
Ayat di atas menurut Wahbah Zuhailiy menerangkan secara jelas tentang
perintah berijtihad.18 Adapun hadist yang menerangkan tentang ijtihad di
antaranya hadist yang diriwayatkan oleh Sayyidina Umar bin Khattâb:
ران،وإذاحك أصابف له أج ت هدث رإذاحكمالاكم فاج طأف له أج أخ ت هدث مفاج Artinya:“Seorang hakim apabila berijtihad kemudian sesuai dengan kebenaran
maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak
mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala”19
Rasulullah SAW juga pernah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal, ketika
Mu'adz diutus menjadi hakim di Yaman:
،أنرس ول أص حابم عاذب نجبل ،من لح ص أه من أ ناس علي هوسلمعن اللهصلىالله
قال: ال يمن إل م عاذ ا ي ب عث أن أراد قضاء؟»لما لك عرض ت ق ضيإذا قال:«كي ف ،
17 Al Âmidî, al-Ihkam fi Usul al-Ahkâm, jilid 4 Hal. 396 18 Wahbah al Zuhailî, Usul al-Fiqh al-Islâmy, jilid 2 Hal. 1067 19 Muhammad Ibn Ismȃil. Sahih al-Bukhȃri, (Dâr Tauqi' al Najȃh,Cet 1, 1422), Hal. 108
8
كتابالله؟»أق ضيبكتابالله،قال: ف ل تد اللهصلىالله ،قال:فبس نةرس ول«فإن
قال: وسلم، كتاب»علي ه ف ولا وسلم، صلىالله علي ه الله رس ول س نة ف تد ل فإن
وسلمصد «الله؟ صلىالله علي ه الله رأ يي،ولاآل وفضربرس ول تهد ره ،وقال:قال:أج
د للهالذيوفقرس ول،رس ولاللهلماي ر ضيرس ولالله» م 20دواو دو ب أاه ور «.(ال
Artinya:“Diriwayatkan dari penduduk hims, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa
Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman,
beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum,
bagaimana kamu memutuskannya? Muadz menjawab:, Saya akan
memutuskan berdasarkan al Qur'an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu
tidak kamu temukan dalam al Qur'an?, Muadz menjawab: Saya akan
memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi
bertanya: Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al
Qur'an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama.
Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau,
seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridhai-Nya.”(HR.Abu
Dawud)
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwasannya tidak ada nash secara
langsung yang menjelaskan tentang aborsi, dari sinilah terjadi perbedaan pendapat
di antara Fuqaha Mazhab dalam menentukan hukum aborsi, apa, bagaimana, dan
kapan aborsi itu diperbolehkan dan dilarang oleh syariat. Aborsi dalam literatur
klasik berkisar hanya pada saat sebelum proses penyawaan, maksudnya adalah
kehamilan sebelum adanya peniupan ruh dalam janin, karena kehamilan sesudah
penyawaan atau proses peniupan ruh semua ulama sepakat melarang kecuali
dalam kondisi darurat yang mengancam kehidupan nyawa ibunya. Para fuqaha
sepakat dalam menetapkan hukum menggugurkan kandungan setelah peniuapan
ruh. Adapun sebagian besar perbedaan di antara mereka adalah mengenai hukum
menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh.
20 Sulaiman Ibn Asy'as Abi Daud, Sunan Abi Daud, (Beirut Maktabah al-'Asriyyah), jilid
3 Hal 303.
9
Dalam Mazhab Hanafi aborsi adalah mubah/diperbolehkan dengan catatan
belum adanya tanda-tanda kehidupan. Yaitu pada saat usia kandungan sebelum 4
bulan atau 120 hari yang bertepatan dengan peniupan ruh. Karena janin yang
belum diberikan ruh belum termasuk manusia/makhluk hidup.21
Menurut Ulama Malikiyah berpendapat bahwa kehidupan sudah dimulai
sejak terjadi konsepsi. Oleh karena itu menurut mereka, aborsi tidak diizinkan
bahkan sebelum janin berusia 40 hari.adapun sanksi bagi yang melakukannya
adalah jika dilanggar wajib dikenai hukuman sesuai usia janin yang digugurkan.
Semakin tua usia janin yang digugurkan semakin besar pula tebusan yang wajib
dibayarkan kepada ahli warisnya. Mayoritas Ulama Malikiyah sepakat untuk
memberi hukuman (ta’zir) bagi pelaku aborsi pada janin sebelum penyawaan.22
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan Ulama Syafi’iyyah terhadap
pandangan aborsi. Pendapat pertama adalah Hukumnya haram secara mutlak.
Pendapat ini merupakan pendapat al aujah (kuat) dalam Mazhab Syafi'i, yang
didukung oleh Syekh Ibnul Imad dan beberapa ulama' dari kalangan Mazhab
Syafi'i. Alasannya ketika mani/sperma sudah menetap di dalam rahim, maka mani
tersebut sudah akan tiba waktunya dan sudah siap untuk ditiup ruh. Imam Ghazâli
dalam kitab Ihya' menyatakan; ketika mani laki-laki (sperma) sudah bercampur
dengan mani perempuan (ovum) maka sudah siap menerima kehidupan, karena itu
merusaknya adalah suatu tindakan kriminal (kejahatan/jinayat).23
Pendapat kedua, melakukan aborsi bagi janin yang sudah berusia 120 hari
haram hukumnya, karena diperkirakan bahwa janin sudah bernyawa. Bagi yang
melakukannya maka sangsinya adalah ghurrah, yakni diyat yang harus dipenuhi
oleh orang yang melakukan pembunuhan janin, berupa membayar seorang budak
laki-laki atau perempuan kepada keluarga si janin atau membayar kafarat senilai
21 Ibn ‘Abid Muhammad ‘Alauddîn, Hâsyiyah Ibn ‘Abidîn ‘ala al-Durril al-Mukhtâr,
(Dâr al-Fikr, Beirut, 2000) Jilid 6, Hal. 591. 22 Ahmad bin Rusyd al-Qurtûbi. Bidâyah al Mujtahid. (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah. 1405 H),
Hal. 416. 23 Al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, (Kairo: Dâr Ihyā’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, t.th.), Jilid 2, Hal. 53.
10
dengan seperdua puluh diyat biasa, yaitu lima ekor unta. Sedangkan pengguguran
sebelum 120 hari boleh namun makruh secara mutlak. Pendapat ini dikemukakan
oleh Imam al Ramli dari kalangan Mazhab Syafi'i, beliau menyatakan bahwa
hukum pengguguran kandungan sebelum ditiupnya ruh itu dimungkinkan makruh
tanzîh atau makruh tahrîm, dan hukum makruh tahrîm akan semakin kuat ketika
umur janin di dalam kandungan mendekati masa ditiupnya ruh.24
Fuqaha Hanabilah berpendapat janin boleh digugurkan selama masih
fase segumpal daging mudghah, karena belum berbentuk anak manusia,
sebagaimana ditegaskan Ibnu Qudâmah dalam kitab al-Mughni : Pengguguran
terhadap janin yang masih berbentuk mudghah (segumpal daging) dikenai denda
ghurrah, bila menurut ahli kandungan janin sudah terlihat bentuknya. Namun,
apabila telah memasuki tahap pembentukan, dalam hal ini ada dua pendapat,
pertama yang paling sahih adalah pembebasan hukuman ghurrah, karena janin
belum berbentuk misalnya baru berupa alaqah, maka pelakunya tidak dikenai
hukuman, dan pendapat kedua : ghurrah tetap wajib karena janin yang digugurkan
sudah memasuki tahap penciptaan anak manusia.25 Selanjutnya Ibnu Qudamah
menjelaskan lebih lanjut, jika janin berubentuk segumpal darah alaqah, maka
yang harus dibayarkan adalah 1/3 uang kompensasi ghurrah harus dibayar 2/3
dari uang kompensasi, jika janin sudah berbentuk sempurna atau bernyawa, maka
dikenakan denda lengkap ghurrah kamilah.26
Atas perbedaan pendapat tersebut Ulama-ulama Indonesia dalam hal ini
yang diwakili oleh NU, Muhammadiyah dan MUI yang mana ketiganya adalah
lembaga Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia pun berbeda
pendapat dalam penetapan hukum aborsi. Lembaga Bahtsul Masa’il NU
menentukan aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis
(pelekatan embiro pada dinding rahim pada dinding rahim ibu), dan
24 Syihâbuddin al-Ramli, Nihâyat al-Mukhtaj, Syarh alMinhâj fî al-Fiqh’ alâ Mazhab al-
lmâm Syâf’i, , (Damaskus, Maktabah al-Halabiy, 1357 H), Jilid VII, Hal. 416. 25 Abi Muhammad Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Qudâmah, al-Mughni, (Kairo:
Hajar, 1992), Jilid 12, Hal. 62. 26 Abi Muhammad Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Qudâmah, Al-Mughni, Hal. 64.
11
diperbolehkan dalam keadaan dan sebab tertentu.27 Muhammadiyah berpendapat
bahwa aborsi yang terjadi karena tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan
indikasi medis tanpa memperhitungkan usia janin sejak terjadinya pembuahan
hukumnya haram.28 MUI dalam fatwanya Nomor 4 tahun 2005 Tentang Aborsi,
menegaskan Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada
dinding rahim ibu (nidasi), dan diperbolehkan karena adanya uzur, baik yang
bersifat darurat ataupun hajat tertentu.29
Selanjutnya ditinjau dari perspektif Perlindungan Anak tindakan aborsi
dianggap bertentangan dengan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Karena dalam Undang-undang tersebut dikatakan, anak yang
masih di dalam kandungan secara hukum juga harus dilindungi oleh negara.
Dalam perspektif Undang-undang Perlindungan Anak, Pasal 1 menyebutkan
bahwa anak-anak adalah yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk yang masih
dalam kandungan. Artinya di sini aborsi tidak dibenarkan karena mengabaikan
hak hidup anak, Selain merupakan tindak pidana, juga merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi.
Dalam Hukum Positif tentang Perlindugan Anak dan HAM tidak
dijelaskan secara rinci aborsi seperti apa yang dilarang dan dilegalkan oleh
negara, hanya dijelaskan bahwa aborsi secara umum bertentangan dengan konsep
Perlindungan Anak dan HAM. Sedangkan NU, Muhammadiyah dan MUI melalui
lembaga fatwanya telah memberikan rambu-rambu diperbolehkannya aborsi
dalam waktu tertentu.
Dari perbedaan pendapat antar Fuqaha Mazhab tentang aborsi hingga
terjadi perbedaan di antara Ulama Indonesia yang diwakili ketiga lembaga
tersebut, menarik untuk kita bahas kekuatan argumen tiap-tiap lembaga, ketetapan
27 Keputusan Komisi Bahtsul Masail Diniyah Musyawarah Nasional Alim Ulama NU
2014 28 Tanfidz Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah, Muktamar Tarjih
Muhammadiyah XXII,2015. 29 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi.
12
hukumnya, dan komparasinya terhadap Perlindungan Anak dan HAM dalam
negara kita ini.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat
diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Salah satu Maqâsid al-Syarî’ah adalah Hifdzun Nafs (Memelihara dan
melindungi jiwa), apakah aborsi termasuk dari bentuk pelanggaran dari
pemeliharaan dan perlindungan jiwa tersebut?
2. Aborsi menurut Hukum Islam dan Hukum Positif; di dalam Hukum Islam
dijelaskan secara terperinci macam-macam aborsi yang dilarang dan yang
diperbolehkan, sedangkan di dalam Hukum Positif tidak dijelaskan secara
spesifik tentang perlindungan anak yang masih berupa janin, sehingga terdapat
perbedaan interpretasi tentang pemidanaan terhadap pelaku aborsi.
3. Banyak cara dalam melakukan aborsi dan kriteria waktu dalam aborsi, maka
perlu kita ketahui manakah dari kategori aborsi yang dimaksud dalam fatwa
LBM NU, MT Muhammadiyah dan MUI serta ketetapannya dalam perspektif
Perlindungan Anak dan HAM.
4. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan Ulama Mazhab kapan
diperbolehkannya melakukan aborsi, dari perbedaan pendapat tersebut
manakah yang digunakan oleh Ulama Indonesia dana apa argumen masing-
masing lembaga dalam menentukan putusannya.
5. Kedudukan fatwa LBM NU, fatwa MT Muhammadiyyah, dan fatwa MUI di
Indonesia serta pengaruhnya bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya.
6. Macam-macam aborsi dalam Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-
undang HAM serta konsekuensi dan hukuman bagi pelakunya.
13
2. Perumusan Masalah
Berdasar uraian dari latar belakang di atas, maka yang menjadi
permasalahan pokok dari penelitian ini adalah bagaimana pendapat Ulama
Nusantara dari Hukum Islam tentang aborsi yang direspresentasikan oleh
Muhammadiyah, NU dan MUI dipandang dari perspektif Hukum Perlindungan
Anak dan HAM.
Dari permasalah pokok di atas dapat dirumuskan menjadi beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut;
1. Bagaimanakah keputusan hukum Lembaga Bahtsul Masâil NU, Majelis
Tarjîh Muhammadiyah dan MUI tentang aborsi dan apa argumen masing-
masingnya ?
2. Bagaimana perbandingan fatwa ketiga lembaga tersebut, dan
perbandingannya dengan Fuqaha Mazhab ?
3. Bagaimana penetapan hukum dari ketiga lembaga tersebut ditinjau dari
perspektif Perlindungan Anak dan HAM ?
3. Pembatasan Masalah
Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan, agar lebih jelas dan terfokus,
perlu adanya batasan masalah dalam penelitian ini yang terkait dengan:
a. Batasan Konsep
1. Pada bentuk apa pengguguran janin itu bisa dianggap sebagai
tindakan aborsi ?
2. Aborsi seperti apa yang dilarang dan diperbolehkan?
3. Kapan aborsi dianggap sebagai pelanggaran dari hukum
Perlindungan Anak dan HAM ?
4. Bagaimana ketetapan ketiga lembaga tersebut atas macam-macam
aborsi?
14
b. Batasan Objek
Fatwa Lembaga Bahtsul Masa’il NU dan fatwa Majelis Tarjih
Muhammadiyah serta fatwa MUI tentang aborsi
c. Batasan Waktu
Putusan Komisi Bahtsul masa’il NU tahun 2014, putusan Majelis Tarjih
Muhammadiyyah tahun 2015 dan fatwa MUI tentang Aborsi tahun 2005.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah di atas dapat dijelaskan tujuan dari ditulisnya
tesis ini salah satunya agar kita mengetahui lebih dalam mengenai aborsi
dalam perspektif tiga lembaga Islam terbesar yang ada di Indonesia, yaitu
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia. Baik itu
dari segi fatwa, maupun metode yang digunakan dalam memutuskan sebuah
hukum serta argumen masing-masing lembaga, serta bagaimana artian perilaku
aborsi dalam perspektif Perlindungan anak dan HAM.
2. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan membuahkan hasil yang secara teoritis tentang
masalah aborsi. Terlebih lagi praktek aborsi dalam perspektif konsep
perlindungan anak dan perlindungan HAM dari tiga lembaga Islam terbesar
di Indonesia serta konsekuensi hukumnya.
2. Sebagai acuan untuk mengambil kebijakan hukum, karena fatwa dan
pendapat para ulama adalah salah satu sumber hukum Islam yang sangat
membantu dan berperan dalam kasus – kasus yang belum ada sebelumnya.
Selain itu juga dapat menambah pengetahuan mengenai aborsi beserta
hukumnya.
3. Mampu menjawab pertanyaan tentang keputusan ketiga lembaga tersebut
dalam masalah aborsi, tentang cara penetapannya, macam-macam aborsi
yang dilarang dan diperbolehkan serta konsekuensinya.
15
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan normatif doktriner,
Adalah pendekatan yang memandang hukum sebagai doktrin atau seperangkat
aturan yang bersifat normatif (law in book). Pendekatan ini dilakukan melalui
upaya pengkajian atau penelitian hukum kepustakaan.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, di mana suatu proses
penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang
menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada penelitian ini
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang yang diamati dan perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif dilakukan
pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan.
3. Data dan Sumber Data
Penelitian ini bersumber dari data sekunder, yang merujuk pada buku-buku
fatwa ketiga lembaga berkaitan dan buku perundang-undangan tentang
Perlindungan anak dan HAM, serta buku- buku penelitian tentang aborsi.
Adapun sumber data diambil dengan studi kepustakaan, dengan
mempelajari buku-buku yang menghimpun kumpulan fatwa tiga lembaga di
atas dan mengkaji buku-buku yang membahas masalah aborsi.
4. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode content analysis dan analisis
komparatif. Content Analysis di sini dengan cara memahami isi fatwa dari
ketiga lembaga di atas. Adapun analisis komparatif yaitu dengan:
a. Mencermati dan membandingkan argumen 3 lembaga tersebut dari dali-
dalil, kaidah ushul fiqih, kaidah fiqhiyyah, konsep maslahah yang
digunakan;
b. Membandingkan pendapat ketiga lembaga terebut dengan pendapat
Mazhab Fiqih arba’ah;
c. Membandingkan pendapat ketiga lembaga tersebut dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia;
d. Mencermati pendapat ketiga lembaga tersebut dalam perspektif
Perlindungan Anak dan HAM.
E. Kerangka Teori
Kerangka teori yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, dan tesis dari penulis memberikan
gambaran secara umum tentang perlindungan anak dan menjelaskan teori tentang
perlindungan Hak Asasi Manusia dalam masa kehamilan, yang menjadi bahan
perbandingan dan pegangan teoritis dalam penulisan tesis ini.
16
Fungsi teori dalam penulisan tesis ini adalah untuk memberikan arahan
dan petunujuk serta menjelaskan problematika yang akan dibahas. Penelitian ini
merupakan penelitian hukum normatif, sehingga kerangka teori yang diarahkan
adalah berdasarkan ilmu hukum. Maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk
memahami praktik aborsi yang dilakukan di Indonesia diatur dalam Undang-
undang.
1. Teori Perlindungan Anak
Secara umum apa yang dimaksud dengan anak adalah keturunan atau
generasi sebagai suatu hasil dari hubungan kelamin atau persetubuhan (sexual
intercoss) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan baik dalam
ikatan perkawinan maupun di luar perkawinan.
Dasar hukum pelaksanaan perlindungan anak di Indonesia, mengacu
kepada peraturan perundang-undangan nasional dan internasional. Dasar
hukum nasional yang utama adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, yang berisi antara lain tentang definisi anak,
tujuan perlindungan anak, hak-hak anak, kewajiban Negara, masyarakat dan
keluarga.
Di samping Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, terkait dengan
perlindungan terhadap anak telah ditetapkan pula Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian juga UNICEF
mendefinisikan bahwa anak adalah sebagai penduduk yang berusia 0 sampai
dengan 18 tahun.
17
Dalam perkembangannya perlindungan terhadap anak di bidang hukum
juga ditur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.Perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, telah diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun secara khusus diatur
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak disebutkan bahwa: Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
meliputi:
a. Perlindungan di bidang Agama
1) Perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya dijamin oleh
negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan
lembaga sosial. Perlindungan anak dalam memeluk agamanya
meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran
agama bagi anak.
b. Perlindungan di bidang Kesehatan
1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan
upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak.
2) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan
anak jika tidak mampu melaksanakan tanggung jawab, maka
pemerintah wajib memenuhinya.
3) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib
mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit
yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan
kecacatan.
4) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi
18
anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi
anak dari perbuatan :
a) pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak
tanpa memperhatikan kesehatan anak;
b) jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan
c) penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek
penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan
kepentingan yang terbaik bagi anak.
c. Perlindungan di bidang Pendidikan
d. Perlindungan di bidang Sosial
e. Perlindungan Khusus, dll.30
Mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2002, perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.31 Pengertian
ini hanya untuk memberikan gambaran saja, kajian ini lebih difokuskan
pada perlindungan khusus untuk anak. Begitu juga tindakan aborsi
yang dilarang adalah merupakan pelanggran terhadap perlindungan hak
anak.
2. Teori Perlindungan HAM
1) Deklarasi Universal HAM
Hak asasi manusia merupakan hak yang secara hakiki dimiliki oleh
manusia karena mertabatnya sebagai manusia yang dimilikinya sejak dalam
kandungan,32 dengan begitu Hak Asasi Manusia juga dimiliki oleh anak
30 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 31 Muhammad Joni, dkk. Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Prespektif Konvensi
Hak Anak. (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999). hal. 25 32 Franz Magnis Suseno, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta
Gramedia Pustaka Utama, 1994, hal, 121.
19
meski ia masih berada dalam kandungan ibunya. Berdasarkan Deklarasi
Universal HAM (DUHAM) atau yang dikenal dengan Universal
Declaration of Human Rights 1948, khususnya dalam pasal 25 ayat (2)
disebutkan antara lain bahwa ibu dan anak-anak berhak mendapatkan
bantuan dan perawatan secara khusus. Selain itu juga disebutkan semua
anak yang dilahirkan baik dalam maupun di luar perkawinan harus
mendapat perlindungan sosial yang sama.
Secara konsep bahwa hak asasi manusia dapat dilaksanakan oleh
seorang manusia dengan identitasnya sebagai individu dan identitasnya
dalam komunitas, organisasi, keluarga dan negara atau kolektif.
2) Deklarasi Kairo
Deklarasi Kairo atau The Cairo Declaration on Human Rights In
Islam 1990 (CD) merupakan sebuah instrumen hukum HAM internasional
yang dibuat oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1990.
Deklarasi tersebut dibuat sebagai acuan bagi negara anggota OKI dalam
rangka pelaksanaan perlindungan terhadap HAM yang berdasarkan hukum
Islam. Deklarasi Kairo in terinspirasi dari Piagam Madinah yang dibuat oleh
Nabi Muhammad SAW, terdiri atas 25 pasal yang mengatur tentang HAM,
baik dalam bidang hak sipil dan politik juga hak ekonomi, sosial dan
budaya. Pembukaan CD menyebutkan bahwa deklarasi tersebut ingin
memberikan sumbangan bagi usaha-usaha manusia dalam menegakkan
HAM yang sesuai dengan Syariat Islam dan HAM merupakan bagian
integral dari agama Islam yang merupakan perintah suci dari Allah SWT
melalui Al Quran serta diturunkan kepada nabi-Nya yang terakhir Nabi
Muhammad SAW.33
Deklarasi Kairo ini hadir bukan saja sebagai saingan atas dokumen
HAM yang diproduksi oleh PBB atas dasar universalitasnya, namun juga
mengakomodir umat Islam, sebab di dalam Islam sendiri, HAM terlebih
33 St. Harum Pudjiarto, Hak Asasi Manusia di Indonesia:Suatu Tinjauan Filosofis
Berdasarkan Pancasila dan Permasalahannya dalam Hukum Pidana. (Yogyakarta, Universitas
Atma Jaya, 1993), Hal. 72
20
khusus penghargaan terhadap perempuan dan hak-hak anak sangat
dijunjung tinggi. Ajaran HAM dalam Islam hadir jauh sebelum dokumen
PBB lahir. Islam membebaskan anak dari pembunuhan (mengubur
hiduphidup anak perempuan), diskriminasi, sebab anak adalah amanah dari
Allah SWT, yang dengannya melekat tanggung jawab orangtua. Anak
adalah generasi penerus di masa depan peradaban manusia dipertaruhkan.34
Dalam Deklarasi Kairo pasal 7 ayat 1 disebutkan “Pada saat lahir,
setiap anak memiliki hak dari orangtua, masyarakat dan negara untuk diberi
pemeliharaan, pendidikan dan perawatan materi, kesehatan dan moral. Janin
dan ibu juga harus dijaga dan diberi perhatian khusus.” Memahamkan
Deklarasi Kairo di Indonesia sangatlah penting, bukan hanya karena
mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, akan tetapi lebih karena hak
asasi yang dilahirkan PBB tidak secara konverhensif diterapkan di
Indonesia. Ada banyak ketimpanganketimpangan yang terjadi. Faktor-faktor
tersebut antara lain, perangkat hukum yang belum mampu memberikan
perlindungan kepada korban HAM, konsep dan standarisasi, pelayanan
publik belum optimal, adat istiadat terkadang melegalkan kekerasan,
persoalan kemiskinan, interprestasi yang keliru pada ajaran agama.35
Deklarasi Kairo menggambarkan bahwa persoalan anak bukan saja
persoalan orangtua, tapi juga tanggung jawab kerabat, masyarakat baru
kemudian urusan negara. Semua elemen masyarakat bertanggung jawab
untuk mempersiapkan generasi-generasi unggulan di masa depan. Semua
oarng ambil bagian alam pemenuhan hak-hak anak. Deklarasi Kairo hadir,
membawa solusi, ia merupakan pengaplikasi ajaran-ajaran syariat yang
lebih mengakomodir semua golongan. Deklarasi kairo terinspirasi dari
Piagam Madinah Abad 7 M Khutbatul Wada’, Hadist-hadist Nabawiy.
34 Andre Ata Ujan, Multikultularisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan, (Jakarta,
Bhuana Ilmu Populer 2009) Hal. 84 35 St. Harum Pudjiarto, Hak Asasi Manusia di Indonesia:Suatu Tinjauan Filosofis
Berdasarkan Pancasila dan Permasalahannya dalam Hukum Pidana, Hal. 74
21
Sehingga cocok digunakan di Indonesia dengan masyarakatnya yang plural
dan multikultural.36
F. Review Studi Terdahulu
Hukum Islam telah menjadi diskursus yang krusial dan menarik untuk
diikuti dinamikanya, terlebih dalam konteks fiqih Indonesia. Pembangunan
hukum Islam setidaknya memperhatikan berbagai faktor sosiologis umat
beragama, internal organisasi Islam, dan bahkan Mazhab-mazhab fiqih yang
menjadi kiblatnya serta literatur-literatur yang terkait dengannya.
Begitu juga Hukum Positif, yang lebih terkenal sebagai hukum yang
berlaku di Indonesia dalam konteks nasional, sejatinya dapat memahami dan
mengakomodasi hukum Islam, sebagaimana menjadi hukum yang hidup di
tengah masyarakat. Itulah sebabnya, studi-studi tentang aborsi dan tema
mengenai kesehatan dan hak reproduksi di Indonesia yang banyak dilakukan
oleh sejumlah intelektual dan akademisi sepantasnya menjadi rujukan bagi
studi penelitian ini.
Kajian-kajian yang cukup baik mengenai aborsi dalam hubungannya
dengan hak dan reproduksi perempuan dapat ditemukan dalam karya Masdar
F. Mas’udi pada bukunya yang berjudul Islam dan Hak-hak Reproduksi
Perempuan. Dalam bukunya,, Masdar mendeskripsikan persoalan-persoalan hak-
hak mendasar yang dimiliki perempuan, dengan pendekatan analisis diskursus,
Masdar hendak menawarkan perspektif baru dalam memahami relasi Islam dan
gender.37
Ketentuan pidana mengenai hukum aborsi dalam Islam, penulis merujuk
pada Ahmad Wardi Muslich, dalam bukunya Hukum Pidana Islam,38 ia
memaparkan berbagai tindak pidana dalam konsekuensi hukum bagi pelaku serta
pembuktiannya. Karya Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Masail Fiqhiyah,39 dan Ali
36 Benyamin Molan, HakAsasi Manusia dalam Masyarakat Multikultural, (Jakarta, PT.
Indeks, 2011) Hal. 76 37 Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, (Bandung: Mizan,
1997). 38 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). 39 Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998).
22
Ghufron Efendi dan Adi Heru Sutomo dalam bukunya Abortus, Bayi Tabung,
Euthanasia, transplantasi Ginjal dan Operasi Kelamin dalam Tinjauan Medis,
Hukum dan Agama Islam.40 Semuanya membahas berbagai jenis tindak pidana
(Jinayah) dan macam-macam hukumannya.
Di samping itu, didukung pula karya-karya lainnya yang berhubungan,
Misalnya; karya CB. Kusmaryanto dalam bukunya yang berjudul Kontroversi
Aborsi.41 Melalui pendekatan analisis diskursus, CB. Kusmaryanto memetakan
persoalan- persoalan pokok di antara kelompok yang pro dan kontra terhadap
aborsi. Selain itu, studi aborsi dengan pendekatan Hukum Positif dapat
ditemukan pada karya Ade Maman Suherman, yang berjudul Pengantar
Perbandingan Sistem Hukum Civil Law, Common Law dan Hukum Islam.42
Dalam bukunya tersebut Maman mengulas persoalan aborsi dalam perspektif
perbandingan hukum khususnya antara Islam dengan sistem hukum lain di
negara-negara lainnya.
Kajian mengenai aborsi juga dapat diketemukan melalui karya berupa
penelitian jurnal, tesis dan skripsi dll, di antaranya; tesis yang berjudul
“Makna dan persepsi adopsi (studi aborsi dalam perspektif fenomenologi)”.43
Selain itu tesis lain yang membahas tentang aborsi adalah “ Pengambilan
Keputusan Aborsi”.44 Kedua tesis ini membahas aborsi dari sudut pandang
sosiologi dan psikologi, “Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Terhadap
Fatwa MUI Pusat Nomer 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi”45, “Aborsi Menurut
Hukum Islam (Perbandingan Mazhab Syafi’i dan Hanafi)46.
40 Ali Ghufron Efendi dan Adi Heru Sutomo, Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia,
transplantasi Ginjal dan Operasi Kelamin dalam Tinjauan Medis, Hukum dan Agama Islam, Cet.
1, (Yogyakarta: Aditya Media) 41 CB. Kusmaryanto SCJ, Kontroversi Aborsi, Cet. II, (Jakarta: Grasindo, 2004). 42 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum Civil Law, Common
Law dan Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2004). 43 Andini Setya Karlina, Makna dan persepsi adopsi (studi aborsi dalam perspektif
fenomenologi), UIN Sunan Kalijaga, 2012. 44 Fitri Rohmatul, Pengambilan keputusan aborsi. thesis, Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim. 2014 45 Yeni, Fariyanto, Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Terhadap Fatwa MUI
Pusat Nomer 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi dan Hukum Positif, Universitas Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta. 2009 46 Murdiono, tesis magister Hukum Islam UIN Sunan Kalijogo, 2010 .
23
Kemudian beberapa jurnal yang membahas tentang aborsi “Tinjauan
Yuridis Atas Aborsi di Indonesia (Studi kasus di kota Manado)”,47 kemudian
jurnal “Legalisasi Aborsi dalam perspektif medis & yuridis”,48 “Aborsi dan
Resikonya bagi perempuan dalam pandangan hukum Islam”,49 “Aborsi dalam
Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam (Kajian Komparatif)”,50 “Abortus
Dalam Hukum Islam”,51 “Aborsi dalam tinjauan Hukum Islam”,52 Beberapa
skripsi yang juga membahas aborsi secara umum.53
Tulisan (penelitian-penelitian) di atas hanya mengkaji aborsi seputar
ruang lingkup hukum Islam dan hukum positif secara umum saja, sedangkan
penelitian tindak pidana aborsi yang dikaji dengan pendekatan komparatif
antara Organisasi Islam di Indonesia (yang menitik beratkan pada Fatwa
Majelis Tarjihnya Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsul Masailnya NU) dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum dilakukan.
Karena itulah, penelitian ini menyajikan pembahasan mengenai tindak
pidana aborsi, yang secara spesifik mengkaji dengan menggunakan
pendekatan hukum Islam, Fatwa Majelis Tarjih dan MUI serta Bahtsul Masail
sebagai data primer, beberapa karya klasik berupa karya ulama-ulama mazhab
yang dalam penelitian ini akan digunakan untuk mewakili khazanah literatur
hukum Islam, juga karya umum yang mencakup hukum-hukum lainnya
sebagai rujukan data sekunder.
47 Yuke Lavia Nongie, Tinjauan Yuridis Atas Aborsi di Indonesia (Studi kasus di kota
Manado, Unsrat Lex et Societatis, Vol. II/No. 2/Februari/2014 48 Khoirul Bariyyah, Legalisasi Aborsi dalam perspektif medis & yuridis, UIN Sunan
Ampel 2016. 49 Saiful Islam, Aborsi dan Resikonya Bagi Perempuan Dalam Pandangan Hukum Islam,
Jurnal Sosial Humaniora ITS 2011, Vol. 4, No. 1 Juni. 50 Dewani Romli, Aborsi dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam (Kajian
Komparatif, Jurnal IAIN Ar Raniri 2011, Vol. 10 No. 2 Juli. 51 Zulfahmi Alwi, Abortus Dalam Hukum Islam, Jurnal UIN Alaudin 2013, Vol 10, No. 2
Desember. 52 Nilda Susilawati, Aborsi Dalam Tinjauan Hukum Islam, Jurnal IAIN Bengkulu, Fak.
Syari’ah dan Ekonomi, 2015, Vol 25 No. 2 Agustus. 53 Andi Annisa Dwi,“Tinjauan atas tindakan aborsi yang dilakukan dengan alasan
medis”, UNHAS, 2013; Hasanuddin, “Analisi Hukum Aborsi Akibat Pemerkosaan Berdasarkan
PP No. 1, th. 20014”, UMS, 2016; Dwi Irawati, “Analisis Komparatif Pengaturan Tindak Pidana
Aborsi Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam”,UNILA, 2014.
24
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran yang mudah, penulis akan membagi
pembahasan secara berikut:
Bab pertama tentang pendahuluan yang menjelaskan tentang latar
belakang masalah, identifikasi masalah, perumusan masalah, pembatasan
masalah, metode, manfaat, tujuan, kajian pustaka, serta sistemetika pembahasan.
Bab kedua, tijauan umum tentang Aborsi, Perlindungan Anak dan HAM.
Membahas pengertian aborsi dan berbagai macamnya dari berbagai sudut
pandang, Perlindungan anak dan HAM dalam pengertiannya secara umum serta
kaitannya dengan aborsi.
Bab ketiga, membahas tentang aborsi dalam pandangan LBM NU, MT
Muhammadiyah dan Fatwa MUI yang meliputi:
A. Aborsi dalam Lembaga Bahtsul Masail NU, yang terdiri dari sejarah
berdirinya NU, metode istinbath hukum LBM NU dan Aborsi Menurut
LBM NU.
B. Aborsi dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah, yang terdiri dari sejarah
berdirinya Muhammadiyah, metode istinbath hukum MT
Muahmmadiyah dan Aborsi Menurut MT Muhammadiyah.
C. Aborsi dalam Komisi Fatwa MUI yang terdiri dari sejarah berdirinya
MUI, metode istinbath hukum Komisi Fatwa MUI dan Aborsi Menurut
Komisi Fatwa MUI.
Bab keempat, berisi tentang studi perbandingan LBM NU, MT
Muhammadiyah dan Fatwa MUI tentang aborsi
A. Perbandingan Vertikal, Membandingkan antara Fatwa LBM NU, MT
Muhammadiyah dan MUI tentang aborsi dengan pendapat Fuqaha
Mazhab.
25
B. Perbandingan Horizontal menjelaskan tentang persamaan dan
perbedaan antara LBM NU, MT Muhammadiyah dan MUI dalam fatwa
dan metode istinbath hukum tentang aborsi.
Bab kelima Aborsi dalam LBM NU, MT Muhammadiyah dan Fatwa MUI
ditinjau dari perspektif Perlindungan Anak dan HAM;
Bab keenam, yaitu penutup yang berisikan kesimpulan, saran dan daftar
pustaka.
26
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Aborsi
1. Definisi Aborsi
Aborsi menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti pengguguran.1
Aborsi atau abortus dalam bahasa latin berarti wiladah sebelum waktunya atau
keguguran. 2 Dalam Bahasa Inggris istilah abortion: miscarriage yang berarti
pengguguran janin dari rahim sebelum ia mampu hidup sendiri, yaitu pada 28
minggu pertama dari kehamilan.3 Adapun dalam Bahasa Arab dikenal dengan
sebutan ijhâd yang mempunyai arti sebagai tindakan membuang janin sebelum
sempurna masa kehamilan dengan cara-cara tertentu. Berikut ini beberapa
pendapat ahli bahasa Arab tentang makna ijhâd;
a. Menurut Ibn Manzûr lafadz ajhada al-nâqah berarti unta yang
menggugurkan kandungannya ketika masih belum sempurna bentuknya.4
b. Menurut al-Fayyûmi ajhada al-mar’atu waladahâ mempunyai
makna perempuan yang menggugurkan kandungannya dalam keadaan
belum sempurna pada bentuknya5
c. menurut al-Fayrûz al-Âbâdy ijhâd bisa digunakan untuk janin yang
digugurkan baik yang sudah sempurna bentuknya maupun belum.6
d. Adapun menurut Ibn ‘Ȃbidȋn ijhâd yaitu menggugurkan janin
sebelum sempurna masa kandungan.7
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangn Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Bandung, Mizan, 2004), hal. 276. 2 K. Prent, C. M. J. Adisubrata, WJS. Poerwadarminta, Kamus Latin Indonesia,
(Yogyakarta, Kanisius, 1994), hal. 162 3 AS. Harley, AP Cowie, Ac Ginson Oxford Advenced Teories Dictionary of Corent
English, (New York: Toronto Oxford University, 1997), hal. 24. 4 Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzûr, lisân al-‘arab, (Al-Qâhirah, Dar al-Ma’ârif ,
1998), jilid I, hal.713 5 Ahmad Ibn ‘Ali Al-Fayyûmi, Misbâh al-Munîr Fi Garîb al-Syarh al-Kabîr, (Beirut,
Maktabah al-‘Ilmiyyah) jilid I hal.113 6 al-Fayrûz Âbâdy, Qamus al-Muhith, (Beirut, Maktabah al-‘Ilmiyyah, 2013), hal.63 7 Zainuddîn Ibn Nujaim, Al-Bahr al-Râiq fi Syarh Kanz al-Daqâiq, (Cairo, Dar al-Hadits,
2003), jilid 8, hal 389
27
Dalam Bahasa Arab aborsi juga disebut isqath al-hamli, yaitu
pengguguran janin dalam Rahim. Apabila terdapat kalimat ajhadhat al-hamil,
artinya alqat waladaha li ghairi tamam (perempuan hamil itu memaksa keluar
janinnya yang sebelum sempurna).8
Jadi aborsi atau abortus secara etimologi bermakna keguguran,
pengguguran kandungan, atau membuang janin. Dalam literatur fiqih selain
ijhâd, aborsi juga kerap dibahasakan dengan istilah Isqât, ilqa’, tarh, dan
imlas9 yang semuanya memiliki sinonim definisi yaitu pengguguran kandungan
yang belum sempurna usia atau konsepsinya, baik dilakukan oleh wanita hamil
atau pihak lain, namun ulama Mazhab Syafi’i sering kali menyebut dan
menggunakan lafadz ijhad.10
Alasan yang paling sering diungkapkan untuk melakukan aborsi adalah
alasan non-medis, di antaranya tidak ingin memiliki anak karena khawatir
mengganggu karir, sekolah, atau tanggung jawab lain, tidak memiliki cukup
uang untuk merawat anak, dan tidak ingin melahirkan anak tanpa ayah. Alasan
lain yang juga sering diutarakan dengan dalih masih terlalu muda (terlebih bagi
mereka yang hamil di luar nikah) dan menjadi aib bagi keluarganya. Alasan
seperti ini juga sering diungkapkan oleh para wanita di Indonesia yang
mencoba meyakinkan dirinya bahwa membunuh janin yang ada di dalam
kandungannya adalah diperbolehkan dan dibenarkan.11 Alasan-alasan tersebut
hanya menunjukkan ketidak pedulian seorang wanita, yang mementingkan
kepentingannya sendiri tanpa memikirkan kehidupan janin yang dikandungnya.
Dalam memandang bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia,
perlu dilihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi itu sendiri.
Persoalan aborsi pada umunya dianggap oleh sebagian besar masyarakat
sebagai tindak pidana. Moelijatno memberikan definisi aborsi merupakan
8 M. Nurul Irfan , Hukum Pidana Islam,( Jakarta : Amzah, 2016), hal. 166 9 Sa’ud Ibn Abd al-‘Âli al-Bârudî al-‘Utaibî, Al-Mausu’ât al-jinâiyyah al-islâmiyyah al-
Muqâranat al-Ma’mûl bihâ fi al-Mamlakat al Su’udiyyahat, (Riyâd, al-Maktabah al-Islamiyah,
Cet 2) jilid 1, hal.24 10 Syamsuddin Khatib al-Syirbini , Mughni al-Muhtaj, (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994)
jilid III, hal. 39 11 Abrori, Di Simpang Jalan Aborsi, (Semarang, Gigih Pustaka Mandiri, 2014), hal. 42.
28
tindak pidana dengan menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang disertai ancaman
(sanksi) berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.12
Pada dasarnya hukum aborsi dengan alasan apapun adalah dilarang,
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang selanjutnya disebut KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk membunuh janin yang dikandungnya, diancam
dengan hukuman penjara paling lama empat tahun.” KUHP tidak
mengecualikan terhadap apapun atas larangan aborsi, baik itu karena alasan
medis (indikasi kedaruratan medis) maupun alasan perkosaan (indikasi
perkosaan), dengan kata lain aborsi di dalam KUHP adalah sebuah tindak
pidana. 13
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
telah mengesampingkan aturan mengenai aborsi yang terdapat dalam KUHP.
Penerapan Undang-Undang ini didasarakan pada asas Lex Specialis Derogat
Lex Generalis (hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum).14
Di dalam undang-undang ini, pembuat undang-undang mulai memberikan
sedikit kelonggaran, yakni dengan dibolehkannya tenaga medis untuk
melakukan tindakan medis tertentu terhadap perempuan hamil yang berada
dalam kondisi darurat medis. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 yang berbunyi: “Dalam keadaan
darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya,
dapat dilakukan tindakan medis tertentu”. Salah satu yang termasuk dalam
kategori tindakan medis adalah aborsi.15 Meskipun demikian, tidak terdapat
aturan mengenai aborsi bagi korban perkosaan.
12 Moelijatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1985) hal. 54 13 Fak. Kedokteran, UNPAD, Obstetri Patologi, (Bandung: Elstar. 1984), hal. 7 14 Moelijatno, Azas-Azas Hukum Pidana, hal. 54 15 Soekidjo Notoadmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal.
135.
29
Keberadaan praktik aborsi kembali mendapat perhatian dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Di dalam Undang-Undang Kesehatan terbaru tersebut, pembuat undang-
undang telah memberikan pengecualian atas larangan aborsi sebagaimana
terdapat dalam KUHP. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 75 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut:
1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
2) Larangan seperti halnya yang dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan berdasarkan beberapa hal:
a. Indikasi kedaruratan medis yang ditemukan sejak usia dini dari masa
kehamilan, baik yang membahayakan nyawa ibu dan/atau janin,
yang menderita penyakit genetik dan/atau cacat bawaan, maupun
yang tidak dapat diobati sehingga menyulitkan bayi tersebut untuk
hidup di luar kandungan; atau,
b. Kehamilan terhadap korban perkosaan yang dapat menyebabkan
trauma psikologis.
Lahirnya aturan tentang pembolehan aborsi terhadap korban perkosaan
diikuti dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi sebagai bentuk perwujudan amanat Undang-Undang
Kesehatan. Di dalam peraturan pemerintah tersebut juga dinyatakan bahwa
tindakan aborsi dapat dilakukan karena alasan (indikasi medis) dan alasan
perkosaan (indikasi perkosaan).16 Hal tersebut terdapat dalam Pasal 31 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
yang berbunyi sebagai berikut: “Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan
berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis;
b. Kehamilan akibat perkosaan.”
16 Fak. Kedokteran, UNPAD, Obstetri Patologi, hal. 7
30
Lahirnya Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah tentang
Kesehatan Reproduksi merupakan bentuk perlindungan hukum bagi korban
perkosaan, mengingat tingginya kasus perkosaan yang terjadi di Indonesia.17
2. Macam-macam Aborsi
a. Dalam Perspektif Fiqih
Menurut literatur fiqih, aborsi digolongkan menjadi lima macam,
yaitu:
1. Aborsi spontan (al-isqȃt al-dzatȋ) yaitu aborsi yang terjadi secara
alamiah tanpa adanya pengaruh dari luar, atau gugur dengan
sendirinya. Biasanya disebabkan oleh kelainan kromosom, hanya
sebagian kecil yang disebabkan oleh infeksi, kelainan rahim atau
kelainan hormon. Kelainan kromosom tidak memungkinkan
segumpal darah tumbuh normal. Kalaupun tidak gugur, ia akan
tumbuh dengan cacat bawaan.
2. Aborsi karena darurat atau pengobatan (al-isqȃt al-doruri / al-
‘ilajȋ) yaitu Aborsi yang dilakukan karena ada indikasi fisik yang
mengancam nyawa ibu bila kehamilannya dilanjutkan, dalam hal
ini yang dianggap lebih kecil resikonya adalah mengorbankan
nyawa janin, sehingga menurut hukum fiqih aborsi yang seperti
ini diperbolehkan.
3. Aborsi karena tidak sengaja (khata‟), yaitu aborsi terjadi karena
tidak disengaja (khata‟), misalnya seorang petugas kepolisian
tengah memburu pelaku tindak kriminal disuatu tempat yang
ramai pengunjung kemudian tindakannya membuat janin itu
keguguran.
4. Aborsi yang menyerupai kesengajaan (al isqȃt syibh al ‘amd),
yaitu aborsi dilakukan menyerupai kesengajaan. Misalnya
seorang suami yang menyerang isterinya yang sedang hamil
hingga mengakibatkan keguguran. Serangan itu tidak diniatkan
17 Soekidjo Notoadmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, hal. 148.
31
kepada janin melainkan kepada ibunya, tetapi kemudian karena
serangan tersebut, janin yang dikandung oleh ibu tersebut
meninggal hingga sang ibu mengalami keguguran.
5. Aborsi sengaja dan terencana (al amd), yaitu aborsi dilakukan
secara sengaja dan terencana (al amd), misalnya seorang ibu
sengaja meminum obat dengan maksud agar kandungannya
gugur, atau ia sengaja menyeruh orang lain (dokter, dukun, dan
sebagainya) untuk menggugurkan kandungannya.18 Aborsi jenis
inilah yang disebut dengan Abortus Criminalis, yang telah diatur
dalam Undang-undang KUHP dalam Pasal 299, Pasal 346 sampai
dengan Pasal 349.
b. Aborsi Dalam Perspektif Medis
Aborsi dalam istilah medis memiliki dua macam pengertian yaitu
aborsi spontan (abortus spontaneus) dan aborsi yang disengaja (abortus
provocatus).
1. Aborsi Spontan (abortus spontaneus)
Aborsi spontan (abortus spontaneus) yaitu aborsi yang terjadi
secara alamiah baik tanpa sebab tertentu maupun karena sebab
tertentu, seperti penyakit, virus toxoplasma, anemia, demam yang
tinggi, dan sebagainya maupun karena kecelakaaan. Dalam istilah
fikih disebut al-isqath al-afwu yang berarti aborsi dimaafkan.
Pengguguran yang terjadi seperti ini tidak memiliki akibat hukum
apa pun. Aborsi spontan dalam ilmu kedokteran dibagi lagi yaitu 19:
a) Abortus Imminens (threatened abortion), yaitu adanya
gejala-gejala yang mengancam akan terjadi aborsi. Dalam
hal ini demikian kadang-kadang kehamilan masih dapat
diselamatkan.
18 Maria Ulfa Abshor, Fikih Aborsi, Cet I, (Jakarta, Kompas. 2006). hal. 38-41 19 Moh. Ali Aziz et al, Fiqih Medis, (Surabaya: Rumah Sakit Islam Jemursari, 2012), h.74
32
b) Abortus Incipiens (inevitable abortion) artinya terdapat
gejala akan terjadinya aborsi. Namun buah kehamilan
masih berada didalam rahim. Dan hal demikian kehamilan
tidak dapat dipertahankan lagi.
c) Abortus Inclompetus, apabila sebagian dari buah
kehamilan sudah keluar dan sisanya masih berada dalam
rahim. Pendarahan yang terjadi sering kali mengeluarkan
cukup banyak darah, namun bukan sebuah hal fatal, untuk
pengobatannya perlu dilakukan pengosongan rahim
sesegera mungkin.
d) Abortus Completus, yaitu pengeluaran keseluruhan buah
kehamilan dari rahim. Keadaan demikian biasanya tidak
memerlukan pengobatan.
e) Missed Abortion, istilah ini dipakai untuk keadaan dimana
hasil pembuahan yang telah mati tertahan dalam rahim
selama 8 minggu atau lebih.
f) Abortus Habitualis Pada jenis ini keguguran terjadi tiga
kali atau lebih berturut turut. Penyebab dari keguguran ini
adalah adanya kelainan pada leher rahim atau
pembengkakan pada rahim atau cacat bawaan.20
2. Aborsi yang disengaja (abortus provocatus)
Abortus provocatus ialah aborsi yang dilakukan secara
sengaja karena sebab-sebab tertentu. Dalam istilah fiqih disebut al-
isqath al-dharurat atau al-isqath al ilajy. Abortus provocatus ini
mencakup dua jenis aborsi yaitu;
a) Abortion artificialis therapicus adalah sejenis aborsi yang
pengguguranya dilakukan oleh tenaga medis disebabkan
oleh faktor adanya indikasi medis.
20 Maria Ulfa Abshor, Fikih Aborsi, hal. 35-36
33
b) Aborsi provocatus criminalis merupakan sejenis aborsi
yang dilakukan tanpa ada penyebab dari tindakan medis.21
Di sisii lain, M. Nurul Irfan menjelaskan dalam bukunya Hukum
Pidana Islam, CB Kusmaryanto telah membagi aborsi menjadi tujuh macam
sebagaimana penjelasan berikut:
1) Aborsi miscarriage atau keguguran, yaitu berhentinya kehamilan
sebelum bayi bisa hidup diluar kandungan tanpa campur tangan
manusia.
2) Aborsi therapeutic (medicinalis) atau aborsi akibat kedaruratan
medis, yaitu penghentian kehamilan dengan indikasi untuk
menyelamatkan nyawa si ibu atau untuk menghindarkan si ibu
dari kerusakan fatal pada tubuhnya.
3) Aborsi kriminalis, yaitu penghentian kehamilan sebelum janin
bisa hidup di luar kandungan dengan alasan selain medis dan
dilarang oleh hukum.
4) Aborsi eugenetik, yaitu penghentian kehamilan untuk
menghindari bayi yang cacat atau mempunyai penyakit genetis.
5) Aborsi langsung dan aborsi tak langsung. Aborsi langsung ialah
tindakan (intervensi medis) yang tujuannya membunuh janin yang
ada di dalam rahim.
6) Selective abortion, yaitu penghentian kehamilan karena janin
yang dikandung tidak memenuhi kriteria yang diinginkan.
7) Partial birth abortion adalah istilah hukum yang dalam istilah
medis dikenal dengan nama intact dilaction and extraction
(D&X). Cara ini dilakukan dengan memberikan obat-obatan
tertentu kepada wanita hamil agar leher rahim terbuka secara
prematur.22
21 Maria Ulfa Abshor, Fikih Aborsi, hal. 38-39 22 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Amzah, 2016), hal 168-170
34
3. Aborsi dalam Hukum Positif
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur berbagai
kejahatan maupun pelanggaran. Kejahatan yang diatur di dalam KUHP adalah
termasuk masalah Abortus Criminalis. Ketentuan mengenai Abortus Criminalis
dapat dilihat dalam Pasal 299, Pasal 346 sampai dengan Pasal 349. Ketentuan
mengenai aborsi dapat dilihat BAB XIX Buku ke II KUHP tentang kejahatan
terhadap jiwa (khususnya Pasal 346–349).
a. Pasal 299 : (1) Barang siapa sengaja mengobati seorang wanita atau
menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau
ditimbulkannya harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya
dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah. (2) Jika yang
bersalah berbuat demikian, untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan,
atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat
ditambah sepertiga.
b. Pasal 346 : Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c. Pasal 347 : (1) Barang siapa yang sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2)
Apabila perbuatan tersebut menyebabkan wanita tersebut kehilangan
nyawanya, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
d. Pasal 348 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Apabila perbuatan tersebut menyebabkan wanita tersebut
kehilangan nyawanya, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
35
e. Pasal 349 : Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan tersebut yang tertera pada pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut
haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan
dilakukan.23
B. Perlindungan Anak
Allah SWT telah mengamanahkan seorang anak bagi manusia, rasa cinta
yang besar terhadap anak dan rasa sayang tak tertandingi dengan cinta pada
lainnya. Sebab anak merupakan jantung hati, cahaya kalbu di dalam rumah
tangga. Ini bisa dilihat dari perhatian besar yang diberikan orang tua kepada anak-
anak mereka, disertai dengan rasa kasih sayang yang abadi. Anak adalah amanah
sekaligus karunia Allah SWT, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam
dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Dalam diri seorang anak terdapat tanggung jawab yang besar,
karena anak merupakan masa depan suatu bangsa dan agama yang disandarkan.
Anak merupakan pemeran utama masa depan, penerus cita-cita dan pewaris
keturunan.24
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat
dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari hal itu, barang siapa
telah mendapatkan karunia berupa keturunan wajib menjaganya, karena dalam
dirinya terdapat hak-hak asasi manusia yang telah dijunjung tinggi dalam Undang-
23 Moeljatno, KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : Bumi Aksara,
2007), hal 109-114 24 Ibnu Anshori, Perlindungan Anak dalam Agama Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, 2006), hal 2
36
Undang Dasar 1945, berupa hak atas keberlangsungan hidup, dan berkembang,
serta memiliki hak atas perlindungan dari segala kekerasan dan diskriminasi. 25
Dari segi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah harapan masa
depan dan penerus tujuan bangsa, sehingga setiap anak berhak untuk memiliki
keamanan dalam kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi,
serta berhak atas perlindungan hidupnya untuk mewujudkan kesejahteraan dan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-hak sebagai anak dari tindak
kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.26 Konvensi Hak Anak
dan Undang-Undang Perlindungan anak memberikan perhatian yang sangat
sentral atas harkat dan martabat anak. Negara, masyarakat,orang tua, serta aparat
hukum tidak boleh mengesampingkan hak anak. Bantuan,bimbingan, pengasuhan,
perawatan, pendidikan, dan sejenisnya harus diberikan dalam konteks sebagai
hak, bukan sekadar dalam kaitan relasi kuasa subjek dan objek. Maka apa pun
yang diberikan orang dewasa terhadapnya harus dengan cara-cara yang
menjunjung tinggi harkat dan matabat.
1. Definisi Anak
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002 anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih
dalam kandungan. Bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha
Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya. Maka perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial,
perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan
anak dengan memberikan jaminan untuk memenuhi hak-hak anak serta
perlindungan terhadap perlakuan diskriminasi.
Selanjutnya defnisi tentang anak, perlindungan anak, dan hak anak
diperbarui dan diatur lebih spesifik, masing-masing dijelaskan pada Pasal 1
25 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2011), hal.3 26 M. Nasir Djamil, Anak Bukan untuk DiHukum, ( Jakarta, Sianar Grafika, 2013), hal. 8.
37
angka 1, angka 2, dan angka 12 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014
perubahan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Pasal 1 angka 1 menentukan yaitu : “Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”. Pasal 1 angka 2 menentukan : “Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari segala
kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 1 angka 12 menentukan bahwa : “Hak anak
adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan
dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara”.27
Anak memiliki berbagai pengertian, menurut beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia antara lain anak adalah:
1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak
adalah yang dalam perkara anak nakal telah mencapai usia 8
(delapan) tahun namun belum mencapai usia 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah.
2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah
18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk juga anak
yang masih berada dalam kandungan apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya.
3. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
disebutkankan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
4. Convention On The Rights Of Child atau yang kita kenal denga
Konvensi Hak Anak (1989) yang telah diratifikasi Pemerintah
27 Maidin Gultom, 2012, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan, PT
Refika, Aditama, Bandung, hlm. 67
38
Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 menyebutkan
bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.
5. UNICEF mendefinisikan anak adalah seseorang yang berusia 0
sampai dengan 18 tahun.28
Upaya pemerintah bagi perlindungan anak harus ditegakkan sedari
awal, agar proses regenerasi ini berjalan lancar dan anak tersebut sebagai
generasi penerus bangsa dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan
bangsa dan negara. Dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang No. 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, telah ditentukan bahwasanya: "Anak
berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun setelah dilahirkan. Anak berhak atas segala perlindungan dari
lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan
dan perkembangan secara wajar".
Bertolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan
komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan
perlindungan kepada anak berdasarkan asas non diskriminasi, kepentingan
yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam prakteknya
pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran dan andil dari
tipa komponen masyarakat, baik melalui lembaga-lembaga perlindungan anak,
lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga sosial, organisasi
kemasyarakatan, media massa, juga lembaga pendidikan.29
Menurut hukum Islam mendefinisikan kriteria anak di bawah umur
sebagai berikut; Anak di bawah umur dimulai sejak 7 tahun hingga mencapai
kedewasaan (baligh) dan fuqoha membatasinya dengan usia 15 tahun, yaitu
masa kemampuan berfikir lemah (tamyiz yang belum baligh), jika seorang
28 Nadia Oktaviani Zulfa, dkk, “Implementasi Diversi Sebagai Wujud Perlindungan Hak
Anak”, (Yogyakarta, Gema, 2015). Hal. 1814 29 Muhammad Joni, dkk. Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Prespektif Konvensi
Hak Anak. (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999). hal. 25
39
anak telah mencapai usia tersebut, maka ia dianggap dewasa meskipun ia
belum dewasa dalam arti yang sebenarnya.30
Namun batas usia dewasa menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan terdapat dalam pasal 47 ayat (1) yang berbunyi: “ Anak
yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan dan berada di bawah keterikatan orang tuanya,
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.31
Batas usia pada pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yaitu 21 (dua puluh satu) tahun, dan Undang-Undang
Perkawinan yaitu 18 (delapan belas) tahun. Ketetapan inilah yang digunakan
sampai saat ini sebagai pengertian anak atau pengertian dewasa.
Dari penjelasan umum dan defnisi-defnisi tersebut di atas dapat disimak
bahwa hak anak dalam kandungan atau janin merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah dan negara agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,
yang berarti segala kepentingan akan pengupayaan perlindungan terhadap anak
sudah dimulai sejak anak tersebut berada di dalam kandungan hingga berusia
18 (delapan belas) tahun.
2. Hak dan Kewajiban Anak
Pada prinsipnya Perlindungan Anak adalah sebuah penghormatan
terhadap hak yang ada pada anak. Itu sebenarnya sama halnya dengan
hak yang melekat pada warga negara lain (orang dewasa). Hanya saja
bedanya hak anak lebih membutuhkan kekhususan, dalam hal ini hak
untuk tumbuh dan berkembang, karena anak adalah penerus kelangsungan
30 Ibnu Anshori, Perlindungan Anak dalam Agama Islam, hal. 11 31 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, pasal
47 ayat (1).
40
kehidupan sebuah bangsa, sehingga harus diberikan ruang untuk tumbuh dan
berkembang sesuai dengan usia dan bakatnya. Dalam UU No. 23 Tahun
2002, Hak dan Kewajiban Anak diatur dalam pasal 4 sampai pasal 19.
Terbaru pengertian hak anak menurut undang-undang No. 35 tahun
2014 perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan
Anak yaitu hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara,
pemerintah, dan pemerintah daerah. Dan tujuan hak anak menurut undang-
undang No. 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002
tentang perlindungan Anak, yaitu untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta memperoleh
perlindungan dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi demi terwujudnya
generasi bangsa Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan kompeten.
Hak anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Hak anak dalam Undang-Undang ini diatur dalam
Bab III bagian kesepuluh, pasal 52-66, berdasarkan aturan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa hak anak terbagi menjadi dua yaitu, Hak Anak dan Hak
Dasar Anak. Hak anak itu meliputi:
1. Hak kelangsungan hidup (survival);
2. Hak tumbuh dan berkembang (development);
3. Hak mendapat perlindungan (protection);
4. Hak berpartisipasi (participation).
Kemudian untuk Hak dasar anak meliputi:
1. Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
normal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
memperoleh perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan
diskriminasi;
2. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan;
41
3.Hak untuk beribadah meurut agama, berfikir dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang
tua;
4. Hak mengetahui orang tuanya;
5. Hak memperoleh pendidikan layak;
6. Hak men yatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi;
7. Hak untuk bergaul, bermain, dan berekreasi dengan teman
sebayanya;
8. Hak memperoleh bantuan dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial bagi anak penyandang cacat;
9. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial;
10. Hak memperoleh pendidikan luar biasa bagi anak yang
menyandang cacat dan hak mendapatkan pendidikan khusus bagi anak
yang memiliki keunggulan.
Selain mendapat hak, anak juga dibebani dengan kewajiban yang
harus dipatuhi. Kewajiban ini meliputi:
1. Menghormati orang tua, wali dan guru
2. Mencintai Keluarga, masyarakat dan teman
3. Mencintai tanah air, bangsa dan negara
4. Menunaikan ibadah sesuai ajaran agamanya
5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia
3. Hukum yang Mengatur Perlindungan Anak
Mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2002, perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat martabat kemanusiaan, serta memperoleh perlindungan dari segala
bentuk kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan Anak merupakan suatu
42
tindakan hukum yang memiliki konsekuensi dan ketentuan yang membawa
akibat hukum.
Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan
perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan
kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa
akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan
anak. Maka dari itu, Perlindungan Anak setidaknya memiliki dua aspek dasar.
Pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undanganan
yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Kedua berkaitan dengan
pelaksanaan kebijakan dan peraturan terhadapan perundangan tersebut.
Ketentuan mengenai perlindungan anak yang mengatur tentang
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia seorang anak, telah diatur jelas
dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia berisi tentang hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.32
Selanjutnya ada 4 (empat) prinsip dasar yang kemudian dirumuskan
utuh dalam Pasal 2 UU No.35 tahun 2014, yaitu : Non diskriminasi,
Kepentingan terbaik bagi anak, Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan, dan Penghargaan terhadap pendapat anak. Pemikiran untuk
menghargai pendapat anak ini juga secara eksplisit digunakan sebagai prinsip
dasar, bersamaan dengan Pancasila sebagai asas dan UUD 1945 sebagai
landasan pengadaan kegiatan perlindungan anak. Penegasan hak anak dalam
UU No. 35 Tahun 2014 ini merupakan legalisasi hak - hak. Dengan demikian,
32 Wagianti soetodjo, Hukum pidana anak,(Bandung, Refika Aditama, 2006, hal.22
43
Pasal 4 s/d 19 UU No. 35 tahun 2014 menciptakan norma hukum tentang apa
yang menjadi hak-hak anak serta 1 pasal mengenai kewajiban anak.33
Tetapi, hukum perlindungan anak belum mampu sepenuhnya efektif
dipraktekkan di Indonesia, dengan bukti masih maraknya kejahatan
terhadap anak yang ditemui di masyrakat. Hal ini tidak mengherankan
karena orang terdekat yang seharusnya memberikan jaminan perlindungan
terhadap anak malah sebaliknya. Adanya kaum intelektual bahkan para
oknum penegak hukum yang ikut menjadi pelaku kejahatan terhadap anak
menjadi bukti bahwa masih kurangnya pengetahuan masyarakat atas
Undang-Undang Perlindungan Anak No.35 Tahun 2014.
Perbedaan inilah yang menyebabkan pertentangan antara norma yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
dengan upaya perlindungan terhadap anak dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak untuk mendapatkan kesempatan seluas-luasnya
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, sosial,
dan berakhlak mulia.34
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah
memberi kepastian hukum mengenai konsep pelindungan anak yang masih
berada di bawah 18 tahun (belum kawin) dan juga terhadap anak yang masih
dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin,
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang
secara optimal sesuai dengan harkat dan mertabat kemanusian. Hak-hak anak
untuk tumbuh dan bekembang kini telah dirampas sejak dalam kandungan
dengan tindakan aborsi.
33 Muhammad Joni, dkk. Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Prespektif Konvensi
Hak Anak. hal. 32 34 Muhammad Joni, dkk. Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Prespektif Konvensi
Hak Anak. hal.53
44
Klausal tentang aborsi yang terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 61 tahun 2014 dinilai bertentangan dengan UU No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Karena dalam UU tersebut, meski masih dalam
kandungan tetap memiliki 'hak hidup' dan 'kelangsungan hidup', tindakan
aborsi bertentangan dengan kelangsungan hidup. "Aborsi sama halnya tidak
menghargai kelangsungan hidup seseorang. Kondisi ini akan merugikan upaya
perlindungan perempuan dan upaya optimalisasi perlindungan anak.
Meski sudah terbit menjadi produk hukum berupa PP, pemerintah harus
duduk bersama dalam hal ini kementerian dan lembaga negara serta tokoh
agama dan masyarakat untuk membahas secara khusus terkait pemahaman PP
tersebut. Dalam 9 pasal yang ada pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61
Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, pemerintah melegalkan aborsi
untuk korban perkosaan dan indikasi medis lainnya.35
Kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak anak,
masing-masing unsur kewajiban negara dan masyarakat untuk bertindak
(obligation to conduct) serta kewajiban untuk berdampak (obligation to result):
a. Kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct): mensyaratkan
Negara melakukan langkah-langkah tertentu untuk melaksanakan
pemenuhan suatu hak, yaitu melindungi hak anak sesuai dengan
peraturan yang ada (UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak).
b. Kewajiban untuk berdampak (obligation to result): yaitu mendorong
negara untuk mencapai sasaran tertentu guna memenuhi standar
substansi yang terukur, dengan memberikan perhatian khusus dan
continue tentang perlindungan anak, tidak hanya untuk anak yang
berhadapan dengan proses hokum, tetapi di semua aspek kehidupan.
Sehingga pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak anak
35 Muhammad Joni, dkk. Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Prespektif Konvensi
Hak Anak. hal.54
45
dapat tercapai sesuai dengan standar ham internasional (konvensi
hak anak).36
Peran pemerintah dalam perlindungan anak dirasa sangat penting
karena seorang anak merupakan calon penerus generasi bangsa. Seperti
yang dicita-citakan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mensejahterakan
dan memakmurkan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, pertahanan dan
keamanan, serta menegakkan keadilan. Mencerdaskan termasuk melindungi
hak seorang anak agar mampu berkembang dan mendapatkan haknya agar
nantinya dapat menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas. Banyak
hal yang dilakukan pemerintah untuk tujuan perlindungan anak, salah
satunya adalah membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Selain membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
pemerintah juga membuat undang-undang guna menguatkan tugas untuk
perlindungan anak. Seperti dikatakan dalam pasal 28 B ayat 2 yang berbunyi
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Negara
memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa anak-anak Indonesia aman
dari tindak kekerasan dan diskriminasi, serta menjamin mereka untuk
berkembang (hak untuk mendapatkan pendidikan). Kemudian tentang
pelaksanaan perlindungan terhadap anak serta jaminan atas hak-haknya diatur
dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.37
Dengan ini, diharapkan perlindungan anak dapat dilaksanakan dengan
baik agar semua tujuannya dapat tercapai dan tentunya dengan dukungan
oleh berbagai pihak termasuk orang tua, karena orang tualah yang paling
mengerti dan berkewajiban besar untuk melindungi anaknya. Anak berhak atas
perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan
36 Nadia Oktaviani Zulfa, dkk, “Implementasi Diversi Sebagai Wujud Perlindungan Hak
Anak”, hal. 1815 37 Nadia Oktaviani Zulfa, dkk, “Implementasi Diversi Sebagai Wujud Perlindungan Hak
Anak”, hal. 18120
46
wajar. Di sini menunjukkan betapa undang-undang ingin melindungi hak-hak
anak dari awal kejadian dan sepanjang proses pertumbuhannya hingga dewasa.
C. HAM
HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak
tersebut manusia tidak dapat dikatakan hidup layak sebagaimana manusia
semestinya secara bebas. Hak tersebut diperoleh bersama dengan kehadirannya di
dalam kehidupan masyarakat. HAM bersifat umum (universal), karena dimilki
tanpa perbedaan antar bangsa, ras, atau jenis kelamin. HAM juga bersifat
supralegal, artinya tidak tergantung pada adanya suatu negara atau undang-undang
dasar, kekuasaan pemerintah, bahkan memiliki kewenangan lebih tinggi karena
berasal dari sumber yang lebih tinggi, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.38
1. Definisi HAM
Secara definitif “hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi
sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta
menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan
martabatnya.39 Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan
dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau
dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masyhur
Efendi dalam bukunya menukil pendapat John Locke yang menyebutkan
bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa sebagai hak yang kodrati. Maka dari itu, tidak berhak bagi
kekuasaan manapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat
38 Rozali Abdullah. Perkembangan HAM dan keberadaan Peradilan HAM di Indonesia.
(Jakarta, Ghalia Indonesia), 2001. hal 4 39 Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
(Jakarta : Prenada Media,2003) hal. 199
47
mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan
hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.40
Problematika HAM merupakan hal yang sering kali dibicarakan dan
dibahas dalam era reformasi ini. HAM lebih dihormati dan dijunjung serta
diperhatikan lebih pada era reformasi daripada era sebelumnya. Penting untuk
diketahui, bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak hanya sendiri,
namun kita hidup bersosialisasi dengan orang lain, sebisa mungkin untuk tidak
melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam mendapakan atau
memenuhi HAM pada diri kita sendiri. Hak ini dimiliki oleh manusia semata–
mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian
negara, sebab Hak Asasi Manusia tidak tergantung dari pengakuan manusia
lain. Hak asasi tiap manusia diperoleh dan didapat manusia dari Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diganggu gugat.41
2. Macam-Macam HAM
Hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi:42
a) Hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi
kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama,
kebebasan bergerak, dan sebagainya.
b) Hak-hak asasi ekonomi atau property rights yaitu hak untuk
memiliki sesuatu, membeli, dan menjual serta memanfaatkannya.
c) Hak-hak asasi politik atau political rights yaitu hak untuk ikut
serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam
suatu pemilihan umum), hak untuk mendirikan partai politik dan
sebagainya.
40 Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional
dan Internasional, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994), hal. 3 41 Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hal
201 42 Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1983), hal. 17
48
d) Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam
hukum dan pemerintahan atau rights of legalequality
e) Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture
rights yaitu hak untuk memilih pendidikan, hak untuk
mengembangkan kebudayaan dan sebagainya.
f) Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan
perlindungan atau procedural rights yaitu peraturan dalam
penahanan, penangkapan, penggeledahan, peradilan dan
sebagainya.
Pemenuhan hak asasi manusia dalam suatu negara, tidak lepas dari
adanya suatu kewajiban yang timbul, baik oleh suatu negara atau masyarakat
dalam negara tersebut sehingga muncul suatu keharmonisan yang berjalan
secara selaras dan seimbang antara hak dan kewajiban manusia. Dalam
pemenuhan terhadap HAM, negara tidak boleh membeda-bedakan antara orang
yang satu dengan yang lain, dikarenakan pada hakikatnya setiap orang adalah
subjek yang sama di mata hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 28 nomor 1
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.43
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara hukum, dengan demikian negara menjamin hak-hak
warga negaranya dengan memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga
negara. Menurut Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum adalah
perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap HAM yang
dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan
atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi
suatu hal dari hal lainnya.44
43 Undang-Undang Dasar 1945. 44 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina
Ilmu, , 1987), hal. 25
49
Disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah Nya yang wajib dihormati, dijunjung, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap komponen masyarakat,
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan
belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut adalah demi kepentingannya.45 Hak anak telah dimasukkan dalam
instrumen internasional dan instrumen nasional karena hak anak merupakan
hak asasi manusia yang memerlukan perlindungan dan penegakan dengan baik,
sebab apabila hak anak tidak dilindungi dan tidak ditegakkan maka sama
halnya tidak ada perlindungan terhadap hak asasi manusia.46 Upaya
perlindungan hak anak, oleh masyarakat internasional telah diwujudkan dengan
menerima secara bulat konvensi tentang hak anak (Convention on The Right of
The Child) yang telah disahkan oleh majelis umum PBB pada tanggal 20
November 1989. Konvensi Hak Anak tersebut mengakui perlunya jaminan dan
perawatan khusus yang tepat bagi anak sebelum dan setelah kelahirannya.47
Pemenuhan hak dasar anak merupakan bagian integral dari
implementasi pemenuhan hak asasi manusia. Dalam perspektif Islam, hak asasi
anak merupakan pemberian Allah yang harus dijamin, dilindungi dan dipenuhi
oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.48 Dalam Islam
dikenal lima macam hak asasi yang terkenal dengan sebutan adh-dharuriyatu
al-khamsah, yaitu pemeliharaan atas kehormatan (hifdzul’ird) dan
45 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, No. 35 Tahun 1999
Pasal 1 Angka 5 46 H. Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsepdan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung, PT Refika Aditama, 2005), hal. 6
47 Nadia Oktaviani Zulfa, dkk, “Implementasi Diversi Sebagai Wujud Perlindungan Hak
Anak”, hal. 1834 48 Masdar F. Mas’udi, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2003),
hal. 103
50
keturunan/nasab (hifdzu al nasab), pemeliharaan atas hak beragama (hifdzu al
dîn), pemeliharaan atas jiwa (hifdzu al nafs), pemeliharaan atas akal (hifdzu al
aql), dan pemeliharaan atas harta (hifdzu al mâl).49
Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia,
landasannya adalah pancasila sebagai ideologi dan falsafah Negara. Konsepsi
perlindungan hukum bagi rakyat di barat bersumber pada konsep-konsep
Rechtstaat dan “Rule of The Law”. Dengan menggunakan konsepsi barat
sebagai kerangka berfikir dengan landasan pada Pancasila, prinsip
perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila. Prinsip
perlindungan terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap HAM, diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan
pemerintah.50
3. Peran Negara untuk HAM
Kewajiban dan tanggung jawab negara dalam rangka perlindungan anak
yang berbasis hak asasi manusia bisa dilihat dalam tiga bentuk:
a. Menghormati (obligation to respect): merupakan kewajiban Negara
untuk tidak turut campur dalam mengatur warga negaranya ketika
melaksanakan haknya. Dalam hal ini, Negara memiliki kewajiban
untuk melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat
pemenuhan dari seluruh hak asasi anak.
b. Melindungi (obligation to protect): merupakan kewajiban negara
agar bertindak aktif untuk memberi jaminan perlindungan terhadap
hak asasi warganya. Dalam hal ini negara berkewajiban untuk
49 Syukron Mahbub, Kekerasan Terhadap Anak Perspektif HAM dan Hukum Islam serta
Upaya Perlindungannya, (Jurnal Studi KeIslaman, Vol. 1 No. 2 Desember 2015: ISSN 2442-
8566), hal. 223 50 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, hal. 39
51
mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah pelanggaran semua
hak asasi anak oleh pihak ketiga.
c. Memenuhi (obligation to fulfill): merupakan kewajiban dan
tanggung jawab Negara untuk bertindak secara aktif agar semua
warga Negara itu bisa terpenuhi hak-haknya. Negara berkewajiban
untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum,
dan tindakan-tindakan lain untuk merealisasikan secara penuh hak
asasi anak.51
Teori dan konsep mengenai perlindungan hukum sangat relevan untuk
menjawab permasalahan dalam penelitian ini yang membahas perlindungan
hukum bagi korban perkosaan yang melakukan aborsi. Membahas persoalan
aborsi dari dulu hingga sekarang selalu saja menuai kontroversi dan perdebatan
di berbagai kalangan. Di dunia internasional sendiri dikenal dua kelompok
besar mengenai aborsi yaitu kelompok prolife (yang menentang aborsi) dan
prochoice (yang tidak menentang aborsi).52
Kelompok yang dikenal dengan sebutan prolife adalah sebuah
kelompok yang menentang adanya aborsi, mereka berpendapat bahwa janin
memiliki hak hidup yang tidak boleh diambil dan dirampas oleh siapapun,
termasuk oleh ibu yang mengandungnya. Pandangan prolife ini memandang
bahwa melakukan aborsi itu sama dengan melakukan pembunuhan, dan
pembunuhan merupakan dosa besar. Menurut mereka yang yang menganut
prolife bahwa melegalisasi aborsi bertentangan dengan agama karena sebagian
besar mereka yang menganut pandangan ini adalah kaum agamawan, tetapi
banyak juga yang berasal dari bukan agamawan. Sedangkan prochoice adalah
pandangan yang menyatakan bahwa keputusan menggugurkan atau
51 Nadia Oktaviani Zulfa, dkk, “Implementasi Diversi Sebagai Wujud Perlindungan Hak
Anak”, hal 1836 - 1837 52 Siska Elvandari, Hukum Penyelesaian Sengketa Medis, (Yogyakarta: Thafamedia,) hal.
60
52
mempertahankan kandungan adalah hak mutlak dari si ibu yang mengandung
bayi tersebut.53
Gerakan prolife menekankan hak janin untuk hidup. Bagi mereka yang
mengaborsi janin sama dengan pembunuhan (murder), sedangkan gerakan
prochoice mengedepankan pilihan si perempuan apakah mau melanjutkannya
atau mengakhirinya dengan aborsi. Pendapat mereka yang prochoice,
perempuan mempunyai hak atas tubuhnya sendiri, jadi ia berhak untuk
memilih antara dua kemungkinan itu sedangkan orang lain dalam masalah ini
tidak dapat ikut campur.54
Kesehatan dan perlindungan medis sebagai isu HAM, dalam hal ini hak
atas derajat kesehatan yang optimal, dengan konsekuensi setiap manusia
berhak atas derajat kesehatan yang optimal dan negara berkewajiban
memenuhi hak itu, tentu bukan sesuatu yang tanpa dasar. Kesehatan
merupakan isu krusial yang harus dihadapi setiap negara karena berkorelasi
langsung dengan pengembangan integritas pribadi setiap individu supaya dapat
hidup bermartabat.55 Hak atas pelayanan kesehatan dalam hukum kesehatan
juga merupakan salah satu hak asasi individual (pribadi) atau hak untuk
menentukan nasib sendiri. Menurut Ruud Verbane, dasarnya hak-hak asasi
pribadi subjek hukum, yaitu pasien mencakup:
a. Hak untuk hidup;
b. Hak untuk mati secara wajar;
c. Hak atas penghormatan terhadap integritas badaniah dan rohaniah;
d. Hak atas tubuh sendiri.56
Hak atas tubuh sendiri sebagaimana disebutkan di atas adalah hak
pasien untuk menentukan sendiri apa yang akan dia lakukan terhadap
tubuhnya. Dikaitkan dengan aborsi terhadap korban tindak pidana perkosaan,
53 Siska Elvandari, Hukum Penyelesaian Sengketa Medis, hal. 61 54 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Utama, 2007), hal. 67 55 Siska Elvandari, Hukum Penyelesaian Sengketa Medis, hal. 43 56 Irzal Rias, Bahan Kuliah Hukum Kesehatan, (Padang: Fakultas Hukum Universitas
Andala, s2007,), hal. 18
53
hak tersebut adalah hak individual (pribadi) yakni korban untuk menggugurkan
kandungannya. Namun di sisi lain, hak tersebut bertentangan dengan hak
individual (pribadi) yang dimiliki oleh janin yang ada di dalam rahim korban
perkosaan tersebut yakni hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan.57
Aborsi berkaitan dengan Hak Asasi Manusia terkait dalam Pengertian
HAM sesuai Pasal 1 (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-
Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan, HAM merupakan seperangkat
hak yang melekat pada diri manusia untuk melindungi harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-
Nya yang harus dijunjung tinggi, dihormati, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap komponen masyarakat.58
Menurut pandangan hukum pidana di Indonesia tindakan pengguguran
kandungan tidak selalu merupakan perbuatan jahat atau merupakan tindak
pidana, hanya abortus provokatus criminalis saja yang dikategorikan sebagai
suatu tindak pidana, adapun pengguguran kandungan yang lainnya terutama
yang bersifat spontan dan medikalis, bukan merupakan suatu tindak pidana.
Sebagaimana ketentuan yang ada dalam pasal 346 sampai 349 KUHP. Dari
pasal-pasal tersebut jelas bahwa tindakan aborsi yang disengaja baik dengan
persetujuan ibu maupun tidak tetap ada sanksinya. Dengan adanya sanksi
hukum tersebut mengindikasikan bahwa secara formal hukum Indonesia
menolak adanya aborsi.59
Mereka yang melakukan tindak aborsi berkeyakinan bahwa ketika
kandungan baru berumur tiga atau empat minggu belum terdapat kehidupan
pada embrio. Jadi, menggugurkan kandunggan ketika usia kandungan masih
muda itu tidak melanggar HAM, karena mereka tidak membunuh. Padahal,
kalau kita lihat masalah ini dari sudut pandang medis, pada saat umur
57 Siska Elvandari, Hukum Penyelesaian Sengketa Medis, hal. 46 58 El Muhtaj Madja . Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
(Jakarta, PT. Grafindo Persada., 2008), hal. 42 59 Moeljatno, KUHP =Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ,(Jakarta : Bumi Aksara ,
2007) , hal. 124
54
kandungan 3 minggu, zigot hasil pembuahan sudah mulai menempel pada
endometrium (dinding uterus). Kemudian minggu-minggu selanjutnya sudah
terjadi proses pembentukan organ-organ dan struktur anatomi lainnya.60
Di Indonesia, aborsi dilihat dari sisi kemanusiaan dilarang karena
dianggap melanggar hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup. Perilaku aborsi
dianggap sama dengan pembunuhan, Mengapa demikian? Dijelaskan dalam
ilmu biologi, bahwa embrio terbentuk karena ada pertemuan sel sperma dan sel
telur, kemudian sel sperma yang melebur dengan sel telur akan membentuk
menjadi zygot. Sel zygot tersebut kemudian terbelah menjadi morula, dan
dalam proses selanjutnya menjadi sel yang disebut dengan gastrula. Gastrula
inilah yang kemudian berkembang menjadi embrio. Lalu, kehidupan janin itu
mulai dari mana? Sebenarnya, sel sperma dan sel telur itu sendiri merupakan
sel hidup, sehingga mulai dari awal pembuahan pun, sudah dapat dikatakan ada
kehidupan.61
Hak-hak yang diatur dalam UU no 39 tahun 1999 adalah hak untuk
hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri,
hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak
atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak
anak. Hak untuk hidup pasal 14 mencantumkan larangan pembunuhan. Aborsi
adalah pembunuhan, itu artinya aborsi dilarang. Bahkan perbuatan aborsi
dikategorikan sebagai tindak pidana sehingga kepada pelaku dan orang yang
membantu melakukannya dikenai hukuman.62
Meskipun alasan mengapa aborsi dilarang sudah jelas, namun bagi
mereka yang “berkepentingan” melakukan tindak aborsi tetap mempunyai
dalih. Bukankah menggugurkan kandungan itu hak bagi individu yang
mempunyai kandungan? Kalau ada larangan, berarti larangan itu yang
melanggar HAM. Mari kita lihat, batasan HAM menurut Undang-Undang.
60 Siska Elvandari, Hukum Penyelesaian Sengketa Medis, hal. 48 61 Irzal Rias, Bahan Kuliah Hukum Kesehatan, hal. 21 62 Moeljatno, KUHP =Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hal. 125
55
Pasal 28J (1) menyebutkan bahwa setiap orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pasal 28J (2) menyebutkan: Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan yang dimilki orang lain juga
dituntut untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, sosial masyrakat, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam lingkungan masyarakat yang demokratis. Sehingga, meskipun seorang
wanita memiliki hak untuk menggugurkan kandungannya, wanita tersebut juga
dibatasi oleh hak janin yang memiliki hak untuk hidup seperti layaknya
manusia lain, karena atas dasar apapun janin tersbut tidak memiliki dosa dan
salah hingga hidupnya harus diakhiri. Pada pasal 28 A disebutkan, bahwa
setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan
kehidupannya. Karena telah dijelaskan tadi bahwa embrio atau janin adalah
manusia juga, maka mereka juga mempunyai hak untuk hidup.63
Selanjutnya, pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan
atau mencabut hak asasi seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No. 26/2000 tentang
pengadilan HAM).64
63 Siska Elvandari, Hukum Penyelesaian Sengketa Medis, hal. 49-50 64 Soetandyo Wignjosoebroto, hak asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan
Pengertiannya dari Masa ke Masa, (Jakarta, ELSAM, 2007), hal. 12
56
BAB III
ABORSI DALAM PANDANGAN LBM NU, MT
MUHAMMADIYAH DAN FATWA MUI
Sekarang ini Fiqih Islam dianggap mandul karena peran kerangka teoretik
ilmu ushul fiqih dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem
kontemporer. Karena itu, muncul banyak tawaran metodologi baru dari para pakar
Islam kontemporer dalam usaha mengkaji hukum Islam dari sumber aslinya untuk
disesuaikan dengan dinamika kemajuan zaman. Salah satunya adalah konsep
bermazhab secara manhaji yang telah diputuskan oleh Pengembangan Pemikiran
Islam (PPI) Muhammadiyah dan Musyawarah Nasional (MUNAS) NU dan Fatwa
MUI sebagai salah satu metode untuk memecahkan masalah-masalah hukum
adalah salah satu bentuk produk kebudayaan tanpa keluar dari koridor hukum
Islam yang telah ada.1
Dalam membahas aborsi, lembaga Muhamadiyah, NU dan MUI hanya
membatasi hukum aborsi dalam ruang lingkup haram/boleh, tanpa menyinggung
nominal hukuman yang dijatuhkan, sebab telah diserahkan sepenuhnya pada
tatanan hukum Indonesia. Melihat adanya kesamaan keputusan akan tetapi dalam
tahap metode pengambilan keputusan terdapat variasi yang berbeda bahkan
berseberangan dalam pemikiran ketiga organisasi tersebut, maka penulis tertarik
untuk menyingkap dan mengkomparasikan kerangka pemikiran ketiganya melalui
pendekatan saintifik dalam hukum Islam serta segi operasionalisasinya dalam
merumuskan hukum Islam.
Beberapa faktor mengapa NU, Muhammadiyah dan MUI yang dijadikan
objek penelitian. Pertama, NU, Muhammadiyah dan MUI adalah tiga organisasi
Islam terbesar di Indonesia yang mempunyai massa pengikut terbanyak dari pada
organisasi Islam lainnya. Kedua, para ulama kedua organisasi tersebut adalah para
tokoh agama yang posisinya sangat penting dalam kehidupan masyarakat, mereka
1 Abdul Aziz Dahlan, Dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia,, (Jakarta: Penerbit Djambatan,
2002), Jilid II, hal. 540
57
sangat dihormati dan menempati strata sosial tertinggi di bidang otoritas agama.
Ketiga, para ulama merupakan penyampai risalah Islam dan uswatun hasanah,
atau dalam bahasa lain mereka berperan sebagai perantara budaya lokal, budaya
Islam dan budaya global. Keempat, ulama dipandang memiliki otoritas dalam
menafsirkan agama sehingga pandangan-pandangannya akan sangat berpengaruh
terhadap pola pikir, sikap dan perilaku umat.2
Dan karena kajian ini merupakan kajian hukum, maka pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis dan komparatif, yaitu
pendekatan yang digunakan untuk mengetahui ketentuan hukum aborsi serta segi
hukum dari ketiga organisasi tersebut.
1. Aborsi dalam Lembaga Bahtsul Masa`il NU
A. Sejarah Nahdhatul Ulama dan Munculnya Lembaga Bahtsul Masa'il
Nahdlatul Ulama (NU)3 adalah salah satu organisasi Islam terbesar dengan
jumlah anggota terbanyak di Indonesia, dan merupakan suatu organisasi yang
berbasis massa di bawah kepemimpinan ulama. NU memliki makna penting dan
ikut menentukan perjalanan sejarah Bangsa Indonesia4. Sebelum NU lahir dalam
bentuk jam'iyyah (organisasi), ia terlebih dahulu ada dan berwujud jama'ah
(community) yang terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai
karakteristik tersendiri5
Latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama tidak bisa dilepaskan dari
keadaan umat Islam Indonesia saat itu, hal ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama,
umat Islam Indonesia pada saat itu sedang berada dalam cengkraman kaum
penjajah belanda, sehingga ketentraman umat Islam dalam menjalankan ibadah
2 Abdul Aziz Dahlan, Dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jilid 2, hal. 537 3 Nahdlatul Ulama berasal dari bahasa Arab “nahdlah" yang berarti bangkit atau
bergerak, dan “ulama”, jamak dari alim yang berarti mengetahui atau berilmu. Kata “nahdlah”
kemudian disandarkan pada “ulama” hingga menjadi Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan
ulama atau pergerakan ulama. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan
penerjemah/Penafsir Alquran, 1973), hal. 278 dan 471 4 Slamet Effendi Yusuf, Mengukuhkan Tradisi Memodemisasi Organisasi (Semarang,
Airlangga, 2007), hal. 19 5 Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkernbangan Nahdlatul Ularna (Surabaya: Duta
Aksara Mulia, 2010), hal. 3.
58
banyak terganggu, sebab hak-hak mereka dirampas oleh kaum penjajah. Kedua,
hadirnyanya gerakan pembaruan Islam yang yang dikenal dengan sekte Wahabi,
yang mana mereka menentang tradisi umat Islam yang ada di Nusantara yang
sudah sejak lama ada dan dilakukan oleh umat islam Indonesia sebagai warisan
dari para wali. Mereka beranggapan bahwa keislaman masayarakat Nusantara
waktu itu belum sempurna, karena penuh dengan praktek-praktek tahayul, bid'ah
dan khurafat. Tidak jarang tuduhan syirik dialamatkan pada umat islam Indonesia
yang berpegang pada tradisi yang sudah lama dilakuan sebagai warisan dari para
wali.6
Sekitar tahun 1920 daerah Surabaya Jawa Timur menjadi tempat yang
dinamis, tidak hanya bagi kalangan pedagang, tetapi juga bagi kaum pergerakan.7
Pada saat itu mulai bermunculan kelompok modernis pengikut ajaran Muhammad
'Abduh dan muridnya Rasyid Rida yang mengikuti pemikiran Muhammad bin
Abdul Wahab. Muhammad bin Abdul Wahab merupakan murid dan pengikut
setia Ibn Taimiyyah dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauzi dan Ibn Abdul Hadi,
Kelompok ini mengklaim sebagai pemurni akidah yang dikenal dengan slogan
mereka kembali kepada al Qur'an dan hadist. Selain itu muncul pula kelompok
Syi'ah Rafâdah yang selalu menghujat para sahabat khususnya Abȗ bakr, 'Umar
bin Khattâb, Utsmȃn bin 'Affȃn, Ummul Mu’minîn 'Aisyah dan sahabat lainnnya
serta berlebihan dalam mengkultuskan sahabat Ali dan ahlu bait.8
Dengan sebab inilah ulama nusantara menjadi cemas, terlebih kepada
gerakan pemurnian syariat yang seringkali menyerang praktek peribadahan seperti
tahlilan, istighasah, tawassul, tabarruk, yasinan, ziarah kubur, serta perayaan
dengan hari kelahiran Nabi Muhammad.9 Kecemasan ulama nusantara memuncak
ketika Sayyid Husen (Pemimpin Khilafah Utsmaniyah saat itu) dikalahkan oleh
Abdul Aziz seorang wahabisme yang telah bersekutu dengan Muhammad bin
6 Nur Khalik Ridwan, Nu dan Bangsa 1914-2010 (Depok, Sleman Jogjakarta, Cet 2, 2014
Al-Ruz) hal. 38-39 7 Nur Khalik Ridwan, Nu dan Bangsa 1914-2010, hal. 41 8 Abdurrahman Navis, dan Kawan-Kawan, khazanah Aswaja ,(Surabaya, Aswaja NU
Center PWNU Jawa Timur), 2010, hal. 409 9 Abdurrahman Navis, dan Kawan-Kawan, khazanah Aswaja , hal 409-410
59
Abdul Wahab karena lakunya yang melakukan pembersihan terhadap praktek
keagamaan mazhab empat, memaksakan ajaran Wahabi kepada umat islam,
mengusir para ulama yang tidak setuju terhadap kebijakan pemerintahan baru.
Raja Saud mengadakan Muktamar Khilafah untuk mengukuhkan dirinya
menggantikan daulah Utsmaniyah sebagai pusat kekuasaan Islam, umat Islam dari
seluruh dunia diundang termasuk juga Indonesia.10
Delegasi Indonesia diwakili oleh tokoh Syarikat Islam Muhammadiyah
dan dari kalangan Pesantren. Namun dari kalangan Pesantren ditolak, sebab tidak
mewakili organisasi. Padahal kalangan Pesantren sangat berkepentingan dalam
muktamar itu, mereka akan mengusulkan kepada raja Saud agar memberikan
kebebasan dalam bermazhab. Kekecewaan ulama pesantren memuncak ketika
kaum modernis menolak usulan K.H. Wahab Hasbullah agar raja Saud menjamin
kebebasan bermazhab untuk semua kaum muslimin di Mekkah, bahkan pada awal
januari 1926 pimpinan mereka mengadakan konferensi di Cianjur tanpa
melibatkan ulama pesantren, kemudian memutuskan perwakilan sebagai delegasi
dalam pertemuan di Mekkah yaitu Mas Mansur (Muhammadiyah) dan
Cokroaminoto dari (Syarikat Islam).11
Kemenangan Raja Saud di anggap negatif oleh kalangan pesantren karena
berpahaman wahabi, sedangkan kalangan muda islam modernis menganggap
positif hal tersebut, sebab menurut mereka penyerangan Ibn Saud kepada Sayyid
Husen itu bertujuan baik yaitu untuk memperbaiki tata pelaksanaan haji yang
sebelumnya kacau, serta sering terjadi perampokan. Selanjutnya melalui KH
Abdul Wahab kalangan pesantren meluapkan kecemasan mereka pada saat
sidang-sidang komite khilafah.12
Pertengahan Januari 1926 KH Abdul Wahab Hasbullah dengan izin dari
KH Hasyim Asya’ri mengundang para pemuka dan tokoh pesantren untuk
meresmikan pendirian panitia komite Hijaz yang akan diutus ke Makkah untuk
10 Greay Fealy, Tradisionalisme Radikal, Persinggunhan Nahdhatul Ulama-Negara,
(LKIS Yogyakarta, 1997), hal. 26 11 Abdurrahman Navis, dan Kawan-Kawan khazanah Aswaja , hal 411 12 Abdurrahman Navis, dan Kawan-Kawan khazanah Aswaja , hal 412
60
memenuhi undangan Ibn Saud dan menyampaikan beberapa hal mengenai
kemaslahatan umat Islam. Pertemuan ini memutuskan dua hal yang sangat penting
yaitu:
1) Mengirim utusan indonesia ke muktamar dunia islam dimakkah dengan
tujuan memperjuangkan hukum-hukum berdasarkan mazhab empat.
2) Membentuk organisasi ataupun Jam’iyyah Nahdhatul Ulama, atas
usulan Kiyai Mas Alwi Abdul Aziz oraganisasi tersebut diberi nama
jam’iyyah Nahdhatul Ulama.13
Setelah kepengurusan NU terbentuk, diputuskanlah KH. Raden Asnawi
sebagai delegasi NU ke muktamar di Makkah, namun karena ada suatu halangan
akhirnya di gantikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullahh dengan KH al-ghanȃim
al-Mishri. Dan akhirnya usulan mereka pun diterima Ibn Saud. KH. Hasyim
Asyari menyarankan agar komite Hijaz ini tidak hanya untuk sekedar urusan
Muktamar saja, tetapi dikembangkan menjadi organisasi permanen untuk
memperjuangkan dan melestarikan ajaran Islam Ahlus-sunnah wal-jama'ah.
Akhirnya usulan tersebut disepakati oleh para ulama yang hadir dalam pertemuan
tersebut dengan suara bulat, dan dibentuklah Jam'iyyah Nahdlatul Ulama pada
tanggal 16 Rajab 1344 H atau 13 Januari 1926 M..14
Lahirnya NU tidak ubahnya seperti mewadahi suatu barang yang sudah
ada. Dengan kata lain, wujud NU sebagai organisasi keagamaan itu, hanyalah
sekedar penegasan formal dari mekanisme informal para ulama sepaham,
pemegang teguh salah satu dari empat mazhab: Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan
Hambali yang sudah berjalan dan sudah ada jauh sebelum lahirnya NU.15
Organisasi NU ini berdiri untuk mempertahankan ajaran Islam Ahlus-
Sunnah wal-Jama'ah yang mengakui dan mengikuti mazhab, juga se!agai bentuk
perlawanan terhadap kaum kolonial Belanda dalam perjuangan kemerdekaan. Dan
13 Abdurrahman Navis, dan Kawan-Kawan khazanah Aswaja , hal 412 14 Nur Khalik Ridwan, Nu dan Bangsa 1914-2010, hal 42-43 15 Masdar Farid Mas'udi, Membangun NU Berbasis Masjid dan Umat (Jakarta: LTMI-
NU, 2007), hal. 3
61
salah satu tujuan didirikannya NU adalah memelihara, melestarikan,
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlusunnah wal jamaah yang
menganut salah satu dari mazhab empat, dan mempersatukan langkah para ulama
dan pengikut-pengikutnya serta melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan
untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian
harkat serta martabat manusia.16 Dalam perkembangannya NU di Indonesia juga
membuka cabang-cabang organisasi di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Selanjutnya di kalangan Nahdhatul Ulama, Bahtsul Masa'il merupakan
tradisi intelektual yang sudah lama berlangsung. Sebelum NU berdiri dalam
bentuk organisasi formal, aktivitas Bahtsul masa'il telah berlangsung sebagai
praktek yang berjalan di tengah masyarakat muslim Nusantara, khususnya
kalangan pesantren. Kegiatan tersebut merupakan implementasi tanggung jawab
ulama terhadap umat dalam membimbing dan memandu kehidupan keagamaan
masyarakat.17
NU kemudian melanjutkan tradisi itu dan mengadopsinya sebagai bagian
kegiatan ke organisasian. Bahtsul Masa'il sebagai bagian aktivitas formal
organisasi pertama dilakukan tahun 1926 beberapa bulan setelah NU berdiri,
tepatnya pada kongres pertama NU tanggal 21 - 23 September 1926. Selama
beberapa dekade forum Bahtsul masa'il ditempatkan sebagai salah satu komisi
yang membahas materi Muktamar belum ditampung dalam organ tersendiri.18
Setelah lebih dari setengah abad NU berdiri, metode bahtsul Masail baru
dibuatkan organ tersendiri bernama Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, hal itu
dimulai dengan adanya rekomendasi Muktamar Nu ke 28 di Yogyakarta tahun
1989, Komisi 1 Muktamar 1989 itu merekomendasikan PBNU untuk membentuk
Lajnah Bahtsul Masail Diniyah sebagai lembaga permanen. 4 bulan kemudian
pada tahun 1990 PBNU akhirnya membentuk Lajnah Bahtsul Masa'il Diniyah,
dengan SK PBNU nomor 30/A.1.05/ 5/1990. Sebutan "lajnah" ini berlangsung
16 PWNU Jawa Timur, Aswaja an-Nahdah (Surabaya: Khalista, 2007), hal. 1 17 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Panduan Bahtsul Masa'il, (Jakarta, LBM PBNU,
2017), hal. 1 18 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Panduan Bahtsul Masa'il,, hal. 1
62
lebih satu dekade. Namun demikian status lajnah dinilai masih mengandung
makna kepanitiaan ad hoc, bukan organ yang permanen. Karena itulah setelah
Muktamar 2004 status "lajnah" ditingkatkan menjadi "lembaga" sehingga
bernama Lembaga Bahtsul Masa'il Nahdlatul Ulama.19
B. Metode Istinbath Hukum LBM NU
Secara garis besar metode pengambilan keputusan Bahtsul Masail NU
dibedakan menjadi dua bagian: (1) ketentuan umum, (2) sistem pengambilan
keputusan hukum atau metode penetapan fatwa. Ketentuan umum menjelaskan
tentang pengertian teknis pengambilan hukum untuk dijadikan fatwa.
Sedangkan teknis pengambilan hukum untuk dijadikan fatwa forum Bahtsul
Masa'il menggunakan 3 metode secara berjenjang yakni: qauli, ilhaqi dan
manhaji.20
1. Metode Qauli adalah suatu cara istinbath hukum yang digunakan
oleh ulama NU dalam kerja Bahtsul Masail dengan mempelajari
masalah yang dihadapi kemudian mencari jawabannya pada kitab-
kitab fiqh dari mazhab empat dengan mengacu dan merujuk secara
langsung pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain mengikuti
pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup mazhab tertentu.
2. Metode Ilhaqi adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang
belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan
kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada
ketetapan hukumnya) atau menyamakan dengan pendapat yang
sudah jadi.
3. Metode Manhaji adalah suatu cara menyelesaikan masalah
keagamaan yang ditempuh dalam Bahtsul Masail dengan mengikuti
19 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Panduan Bahtsul Masa'il,, hal. 2 20 Ahmad Muhtadi Anshor, Bahth Al-Masail Nahdlatul Ulama: Melacak Dinamika
Pemikiran Mazhab Kaum Tradisionalis, (Yogyakarta: Teras, 2012), hal. 132
63
jalan pikiran dan kaidah-kaidah penetapan hukum yang telah disusun
imam mazhab.21
Permasalahan yang diajukan sebelum diproses pada lembaga Bahtsul
Masail, dilakukan analisa terlebih dahulu terhadap masalah-masalah yang
muncul sebagai upaya merespon permasalahan yang diajukan, mengingat
permasalahan yang sering diajukan saat ini lebih bernuansa kontemporer dan
menyentuh dimensi multidisipliner. Agar dapat ditemukankan solusi yang
terbaik, maka analisa masalah dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu; Sebab
kenapa terjadi kasus, analisa dampak, dan analisa hukum.22
Analisa sebab mengapa terjadi kasus ditinjau dari berbagai faktor yang
kemungkinan dilatar belakangi oleh faktor tersebut, antara lain; faktor
ekonomi, politik, budaya, sosial, atau faktor-faktor lainnya. Dengan
mengetahui latar belakang permasalahan itu, maka akan diketahui dimensi
yang berkembang dalam masalah tersebut tentunya sekaligus merupakan
indikasi pendekatan apa yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Setelah
mengetahui latar belakang masalah yang diajukan, harus dipikirkan pula
dampak yang dimunculkan dari permasalahan ini. Analisa dampak juga akan
mempelajari apakah dampak dari masalah dan keputusan fatwa akan
berpengaruh baik atau sebaliknya terhadap faktor tersebut.23
Dengan mempertimbangkan latar belakang dan dampak dari masalah
tersebut, maka untuk memberikan fatwa dilaksanakan melalui analisa hukum
Islam dan mempertimbangkan pula dari sisi yuridis formal. Dari dasar ini
Bahtsul Masail akan melakukan proses pengambilan keputusan fatwa dengan
memperhatikan status hukum al Ahkam al Khamsah, dasar dan ajaran Ahlus
Sunnah Wal Jamaah dan hukum positif. Hal ini merupakan line form (standar
utama) yang harus ditaati dalam pengambilan keputusan fatwa yang akan
21 Ahmad Muhtadi Anshor, Bahth Al-Masail Nahdlatul Ulama: Melacak Dinamika
Pemikiran Mazhab Kaum Tradisionalis, hal. 133 22 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Panduan Bahtsul Masa'il,, hal. 9 23 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Panduan Bahtsul Masa'il,, hal. 9
64
dioperasionalkan pada bagian-bagian istinbath hukum dilingkungan bahtsul
masail dan difatwakan ke masyarakat luas.24
Selanjutnya, LBM NU dalam memecahkan suatu masalah sepakat akan
berpedoman kepada salah satu mazhab yang empat yang disepakati, dan
mengutamakan bermazhab secara qaulî, oleh karena itu prosedur penyelesaian
masalah disusun dalam urutan sebagai berikut : 25
1. Dalam kasus yang ditemukan jawabannya dalam ibaroh kitab dan
hanya satu qaul (pendapat), maka qaul itu yang diambil.
2. Dalam kasus yang hukumnya terdapat dua pendapat maka dilakukan
taqrȋr jamȃ’i dalam memilih salah satunya.
3. Bila jawaban tidak diketemukan dalam ibaroh kitab sama sekali,
dipakai ilhȃq al-masȃil bi al- nazariha secara jamai oleh para
ahlinya.
4. Masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak
bisa dilakukan ilhȃq, maka dilakukan istinbat secara jamȃ’i dengan
prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya.
C. Aborsi Menurut LBM NU
Keputusan hukum menurut LBM NU adalah sebagai berikut:26
1. Ketentuan Umum
Keadaan darurat ialah suatu keadaan di mana seseorang
diperbolehkan melakukan sesuatu yang diharamkan, jika tidak
mlakukan hal tersebut maka ia akan mati atau membahyakan dirinya.
Keadaan hajat adalah suatu keadaan yang dibutuhkan yang
mana apabila seseorang tersebut tidak melakukan sesuatu yang dilarang
tadi, maka ia akan mengalami kesulitan besar.27
24 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Panduan Bahtsul Masa'il,, hal. 10 25 Abdurrahman Navis, lc, M.H.I dan Kawan-Kawan khazanah Aswaja , hal. 205 26 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasil Keputusan Komisi Bahtsul Masa'il Diniyah
Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, Jakarta 2014.
65
2. Ketentuan Hukum
Pada dasarnya, hukum melakukan aborsi adalah haram. Namun
diperbolehkan dalam keadaan darurat atau hajat yang dapat mengancam
ibu dan/atau janin, aborsi diperbolehkan berdasarkan pertimbangan tim
dokter ahli. Namun sebagian ulama memperbolehkan aborsi sebelum
usia janin berumur 40 hari terhitung sejak pembuahan meskipun tanpa
sebab.28 Menurut ilmu kedokteran hal itu dapat diketahui dari hari
pertama haid terakhir.
Aborsi pada kehamilan yang terjadi sebab zina hukumnya tetap
haram dilakukan. Adapun batas peniupan ruh para ulama sepakat
bahwa batasan peniupan ruh adalah 120 hari hal ini berdasarkan ijma’
sahabat.29
Dalil masyhur yang digunakan LBM NU dalam memutuskan hukum
aborsi dapat kita lihat dalam kitab-kitab berikut ini;
Dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidîn Hal 522 :
نالحاطقسحإفحب ب سالت م ر يح لبحق وحلوة غضحم وحأة قلرعاصنحأ،بمحالر فحهاررقحتسادعحب يح
لر ال)الق،وةفححالت افحمكحوحالر خفحن .خفحالن دعحب ل إم ر يح(:لي مح
Artinya: “Haram menggugurkan janin yang ada di rahim baik yang berupa
segumpal darah ataupun segumpal daging ketika sudah berada dalam
rahim sekalipun sebelum peniupan ruh sebagaimana yang disebutkan di
dalam tuhfah, al-ramli berkata tidak haram ,kecuali setelah peniupan
ruh.” 30
27 Abdullah Ibn Abdurrahman al-Bassâm, , Taudhih Al-Ahkaam jilid 5 hal. 188-189. 28 Seperti yang telah dijabarkan di atas. Pendapat sebagian Besar Ulama Syafi,I, Hanafi,
dan Hanbali. Terlepas dari makruh atau tidaknya. 29 Muhammad Ibn Ahmad al-Anshâri al-Qurtubî, al-Jâmi’ li ahkâm al-Qur’ân,
(Beirut,daar al Kutub, 2006), jilid 12 hal. 8; Syaraf al-Din al-Nawâwi, Sahîh Muslim bi syarh al-
Nawâwi jilid 16 hal. 191; Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-‘Asqallâni, Fath al-bâri jilid 11 hal. 588 30 Abdurrahman Ibn Muhammad Ibn Husaen Ibn Umar Ba’alawi, Bugyat al-
Mustarsyidin, (Damaskus, Dar al-Fikr, 2004, hal. 522
66
Dalam kitab Hâsyiyah i’ânat al-talibîn Hal 147 :
فحوحف لت اخحو فحهاررقحتسحادعحب ةفطحالن اءقلحإلإبب سالت ازوجا اقحسحإوحب أالقف محالر ا
لزحعالحثحبحمفحاءيححالحفحوةفي حنحبحأنحعكلذلقن وةقلعالحوةفطحالن اءقلحإز وحي ي زورحالح
حوحالر خفحن لأي هم الحقل خالت لإة لآياررقحتسحالحدعحاب هن ؛له جوحالحوه ،وهيحرىتحلع ل د ايم
.ل زحعالحكلذكلو
Artinya:“Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengeluarkan sperma
setelah menetapnya di rahim, menurut abi ishaq al-marwazy boleh, dan
begitu juga kalau dalam bentuk segumpal darah, seperti itulah yang
dinukil dari abu hanifah, adapunpendapat imam ghazali didalam kitab
ihya yaitu condrong kepada keharamanalasannya karena yang demikian
itu merupakan pembentukan yang siap ditiupkan ruh padanya, beda
Halnya al-‘azl (mengeluarkan sperma diluar kemaluan istri).31
2. Aborsi dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah
A. Sejarah Muhammadiyah dan Majelis Tarjihnya
Pada permulaan abad dua puluh munculah golongan yang mengaku
sebagai pembaharu Islam yang merupakan rangkaian dari gerakan
pembaharuan Islam yang telah ada sejak dari masa Ibn Taimiyyah di Siria,
setelah itu diteruskan oleh Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahâb (Saudi Arabia) dan
kemudian Jamâl al Dîn al Afghâni bersama muridnya Muhammad Abduh
(Mesir).32 Yang beranggapan dalam mencapai puncak kebenaran perlu untuk
memahami ulang ajaran-ajaran Islam, dan selanjutnya berbuat sesuai dengan
apa yang mereka anggap sebagai standard Islam yang benar.
Kemudian muncullah tindakan dan respon dari berbagai organisasi dan
perkumpulan kaum muslimin,, Salah satu organisasi tersebut dikenal dengan
sebutan Muhammadiyah. Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan
31 Abu Bakar Al-Dimyâti, Hasyiyah I’ânat al-tâlibîn, hal. 147 32 Abdurrahman Yazid. Metode Penelitian Sejarah Muhammadiyah. (Jakarta: Logas
Wacana Ilmu, 2001), hal. 37
67
pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H bertepatan dengan 18 Nopember 1912 M.33
Muhammadiyah secara etimologi memiliki makna ”pengikut Nabi
Muhammad”. Pemilihan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk
menisbatkan pada ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad SAW.34
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak
lepas dan merupakan implikasi dari gagasan pemikiran Muhammad Darwis
yang dikenal dengan KH Ahmad Dahlan sebagai pendirinya. Setelah
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim disana untuk yang kedua
kalinya pada tahun 1903, ketika kembali ke tanah air, Kyai Dahlan mulai
menuangkan benih pemikirannya untuk pembaruan di Tanah Air.
Ide tentang pembaruan pemikiran ini diperoleh Kyai Dahlan setelah
menimba ilmu kepada ulama-ulama Indonesia yang menetap di Mekkah
seperti; Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Syekh Nawawi al Jawi dari
Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Faqih dari
Maskumambang, juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru
Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin Al-
Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan
dirinya serta interaksi selama bermukim di Arabi Saudi, dan bacaan atas karya-
karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan ide-ide pembaruan
dalam dirinya.35
Menurut Hamka, munculnya Muhammadiyah didasari oleh tiga faktor;
Pertama, keterbelakangan dan ketertinggalan umat Islam Indonesia hampir
dalam setiap bidang kehidupan. Kedua kesulitan dibidang ekonomi yang
33 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Muhammadiyah terhadap Penetrasi
Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Khazanah Ilmu-ilmu Islam, Amerika Serikat, 1995, hal 25 34 Abdul Aziz Dahlan, Dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jilid 2, (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 2002), hal. 571 35 Abdul Aziz Dahlan, Dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jilid 2, hal. 572
68
diderita umat dalam suatu negara kaya seperti Indonesia. Ketiga, sistem
pendidikan Islam yang sudah sangat kuno seperti yang dilihat di Pesantren.36
Dengan berkembangnya organisasi ini, munculah berbagai inovasi dan
ide-ide untuk kemaslahatan umat, salah satunya adalah berdirinya Majelis
Tarjih Muhammadiyah yang memiliki fungsi mengeluarkan fatwa atau
memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu. Masalah itu tidak
semata-mata terletak pada bidang agama dalam arti sempit, tetapi mungkin
juga terletak pada masalah yang dalam arti biasa tidak terletak dalam bidang
agama, tetapi pendapat apapun juga haruslah dengan didasarkan asas syari’ah,
yaitu Qur’an dan Hadits, yang dalam proses pengambilan hukumnya
didasarkan pada ilmu ushul fiqh, baik masalah itu semula sudah ada
hukummnya dan berjalan di masyarakat tetapi masih diperselisihkan di
kalangan umat Islam, ataupun yang merupakan masalah-masalah baru, yang
sejak semula memang belum ada ketentuan hukumnya.37
Secara resmi Majlis Tarjih didirikan atas dasar keputusan kongres
Muhammadiyah ke- XVI pada tahun 1927, atas usul dari K.H. Mas
Mansyur.38
B. Metode Istinbath Hukum MT Muhammadiyah
Dalam bidang keagamaan, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi
Islam yang memutuskan tidak terikat dengan suatu mazhab tertentu, baik dalam
merumuskan ketentuan-ketentuan agama maupun dalam menafsirkan al Qur'an
dan Sunnah. Untuk merumuskan ketentuan-ketentuan hukum baru tersebut
muhammadiyah melakukan ijtihad dengan ketentuan-ketentuannya.39
36 Hamka, K. H. Ahmad Dahlan, Peringatan 40 Tahun Muhammadiyah, (Jakarta: 1952),
hal. 31. 37 “Laporan Penelitian Majlis Tarjih Muhammadiyah (Suatu Studi tentang Sistem dan
Metode Penentuan Hukum). Tim Peneliti: Drs. H Asjmuni A. Rahman, dkk., (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga, 1985, hal 120 38 Laporan Penelitian Majlis Tarjih Muhammadiyah (Suatu Studi tentang Sistem dan
Metode Penentuan Hukum). Tim Peneliti: Drs. H Asjmuni A. Rahman, dkk., hal 108 39 Djamil, Faturrahman, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:
Logos Publishing House, 1997, hal 17
69
Adapun dalil-dalil Muhamamdiyah dalam hal ini adalah sebagai berikut:
وحب )ألوحاق وحك ر ات حفمل سوهيحلعىالل ل صلوحس الر رب خوالعت اللابتكف الي ل وحق تلحاق ذإ(ةفي حنح
Artinya:“Tinggalkanlah perkataanku jikalau menyalahi apa yang ada di kitab
Allah dan al-sunnah.” (Abu Hanîfah)40
امل ك وه وحذ خ فةن الس وابتكالحقافاومل ك فيحيأحرافحوحر ظ انحفب يحصأ وئ طخحأ ر شابناان إ(س نأن بحك ال)م.هوحك ر ات حفةنالس وابتالكقافوي لح
Artinya:“Saya hanyalah seorang manusia uang juga bisa benar dan salah, maka
koreksilah pendapatku, jikalau semua itu sesuai dengan al-kitab dan al-
sunnah maka ambilah, jikalau tidak maka tinggalkanlah.” (Malik ibn
Anas)41
الللوحس رةن س ابوحل وحق ف مل سوهيحلعىالل ل صالللوحس رةن فس لخابحتكفت حدحجاوذإ(يعافالش سيحردحإن بح د م )م مل سوهيحلعىالل ل ص
Artinya:“Jikalau kalian mendapati didalam kitabku perkara yang menyalahi
sunnah, maka ambilah dengan Sunnah.” (Muhammad bin Idris al-
Syafi’i)42
كوحم ل عت وي روحالث لوي اعزوحاللوي ع افالش لوكا المد ل قت لونحد ل قت ل د حح)أانمحل عات ما(ل بنححن بح
Artinya:“Jangan kalian mengikut kepadaku, kepada al-Syafi'i, Auzai’ dan tidak
pula al-Tsaury tetapi belajarlah sebagaimana mereka belajar menuntut
ilmu” (Ahmad bin Hanbal)43
Adapun ijtihad yang dilakukan muhammadiyah adalah sebagai berikut :
1) Ijtihad Bayani, yakni ijtihad terhadap nash mujmal, baik karena
belum jelas makna/maksudnya, maupun karena suatu lafal tertentu
40 Al-fallȃni, Îqazul Humȃm Ulil Absȃr, (Dar al-fath cet ,1 1997), Hal 50
41 Ibn Abdil al-Bâr, al-Jâmi’ jilid 2, Hal. 32 42 Ibn Sholaah, Fatawa Ibnu Sholaah, (Maktabah al-Ulum, Beirut) 1994, Hal 51. 43 Muhammad bin husein al Jiyzani, Ma'alim al Ushul Inda Ahli al Sunnah, (Dâr ibn
Jauziy, Jeddah 2003), Hal 500.
70
mengandung musytarak (makna ganda), mutasyabih (multi tafsir), dan lain
sebagainya.
2) Ijtihad Qiyasi, yakni menganalogikan apa yang disebut dalam
nash pada masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya, karena
persamaan ‘illat/sebab.
3) Ijtihad Istislâhi, yakni pencarian maslahat berupa perlindungan
terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.44
Berdasarkan kenyataan ini, meski Muhammadiyah memproklamirkan diri
tidak bermazhab, namun dalam praktiknya Muhammadiyah tidak dapat
melepaskan diri dari pemikiran mazhab, meskipun hanya pada tingkat metode
atau yang akrab disebut Mazhab Manhaji. Metode Istinbath Majelis Tarjîh
Muhammadiyah dilakukan dalam beberapa dasar berikut;45
a) Nash yang qat’î. Mengenai Hal ini tidak ada masalah. Tidak boleh
diperdebatkan lagi, tidak ada larangan ijtihad padanya.46
b) Terdapat nash namun masih diperselisihkan, atau nash itu saling
bertentangan dengan nash yang lain, atau nash itu mempunyai nilai
yang berbeda, MT Muhammadiyah menempuh cara sebagai berikut:
Tawaqquf, yaitu bersikap membiarkan tanpa mengambil
keputusan, karena kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan
tersebut tidak lagi dapat dikompromikan dan tidak dapat dicarikan
alternatif mana yang dianggap terkuat.47
Tarjîh, yaitu mengambil jalan yang lebih kuat di antara dalil-dalil
yang bertentangan dengan rumusan dibawah ini , yaitu:
44 Abdurrahman Yazid. Metode Penelitian Sejarah Muhammadiyah. (Jakarta: Logas
Wacana Ilmu, 2001), Hal. 18 45 Djamil, Faturrahman, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta:
Logos Publishing House, 1997), hal 24-25 46 Abd al-Wahhab KHalaf, Khulashah Tarikh Tasyri’ al-Islamy,( Jakarta: al-Majelis al-
A’la al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyah, Cet. 8), Hal 13-14 47 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tajdid, Hal 369
71
Jarh (cela) itu didahulukan dari pada ta’dil sesudah keterangan
yang jelas dan sah menurut anggapan syara’.
Riwayat orang yang telah terkenal suka melakukan tadlis dapat
diterima bila ia menerangkan bahwa apa yang ia riwayatkan itu
bersanad sambung, sedang tadlisnya itu tidak sampai tercela.
Pendapat sahabat pada hal-hal yang sama pada salah satu artinya
wajib diterima.
Penafsiran sahabat antara arti kata yang tersurah dengan yang
tersirat, maka yang tersurah itu yang diutamakan.
Menggabung atau menghimpun antara kedua dalil atau lebih yang
saling bertentangan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian.
Misalnya jika ada hadis âhâd yang sahîh namum bertentangan
dengan prinsip dasar ajaran Islam, maka bisa jadi atau ada
kemungkinan hadist itu bersifat insidental atau anjuran yang tidak
mengikat.48
Mengenai masalah-masalah yang tidak ada nashnya, sedangkan diperlukan
ketentuan hukumnya dalam masyarakat. Dalam Hal semacam ini Majelis Tarjîh
Muhammadiyah berusaha mengeluarkan hukum atau menetapkan dengan jalan
ijtihad dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, seperti prinsip
kemaslahatan atau menolak kerusakan, memberikan atau menetapkan sesuatu
hukum dengan beralasan adanya darurat yang dapat memunculkankan
kemudaratan.49
C. Aborsi Menurut MT Muhammadiyah
Menurut Muhammadiyah aborsi sejak pembuahan hukumnya haram.50Hal
ini berarti, bahwa usia kandungan empat bulan atau 120 hari seperti dijelaskan
48 Majelis Tarjih Muhammadiyah, “Pembinaan Hukum Fiqh di Bidang Muamalat”,
(Yogyakarta, Suara Muhammadiyah. Cet I, 15 Juli 1995), Hal 31 49 Majelis Tarjih Muhammadiyah, “Pembinaan Hukum Fiqh di Bidang Muamalat”, hal.
17 50 Berita Resmi Muhammadiyah Nomor Khusus, Tanfidz Keputusan Muktamar Tarjih
Muhammadiyah, 1990, Hal 16
72
dalam Hadis di atas tidak dianggap sebagai batas mulai kehidupan manusia. Maka
dari itu, Muhammadiyah tidak begitu saja menyerap penjelasan dari Hadis Nabi
tentang peniupan ruh itu secara dhohir. Muhammadiyah tidak menerima pendapat
bahwa ruh dalam Hadis itu berarti nyawa yang menyebabkan janin menjadi hidup
Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa kenyataan menunjukan bahwa
pembuahan itu sendiri telah dinyatakan hidup kemudian berkembang menjadi
segumpal darah, dan berikutnya menjadi segumpal daging sampai 120 hari.51
Menurut Muhammadiyah, ruh yang ditiupkan oleh Malaikat ke dalam
janin yang telah berusia empat bulan itu bukanlah ruh hayati, melainkan adalah
ruh insani.52 Mungkin, penalaran Muhammadiyah dalam hal ini telah dipengaruhi
oleh pemikiran filsafat Islam dan ahli kedokteran. Dalam filsafat Islam, jiwa itu
bukanlah hayat. Manusia, dalam konsep filsafat Islam terdiri dari tiga unsur:
tubuh, hayat dan jiwa. Dengan demikian, kehidupan itu saja sudah ada sejak
terjadinya pembuahan, bukan setelah janin berusia empat bulan.
Tegasnya, dengan melalui analisis di atas, Muhammadiyah berpendapat
bahwa abortus provocatus criminalis (aborsi yang terjadi karena tindakan yang
tidak legal atau tidak berdasarkan indikesi medis tanpa memperhitungkan umur
bayi) sejak terjadinya pembuahan hukumnya haram. Sedangkan abortus
artificialis therapicus atau abortus provocatus medicinalis (pengguguran
kandungan yang tujuannya menyelematkan sang ibu ataupun menyembuhkannya)
dapat dibenarkan ketika dalam keadaan darurat, terutama karena adanya
kekhawatiran atas keselamatan ibu waktu mengandung. Adapun dalil-dalil lainnya
adalah sebagai berikut:
ل كةول ﴿ إلالت هح سن وات لحق وابأيحديك مح سنيوأحح الحم حح ب ﴾ إن الل هي
51 Berita Resmi Muhammadiyah Nomor Khusus, Tanfidz Keputusan Muktamar Tarjih
Muhammadiyah, 1990, Hal. 17 52 Harun Nasution, “Konsep Manusia dalam Islam, Dikaitkan dengan Hayat dan
Maut”, dimuat dalam Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, Kajian Islam tentang Berbagai
Masalah Kontemporer” ( Jakarta: 1988), Hal 261
73
Artinya:“Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan
dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Baqarah: 195)
كانبك محرحيم ﴿ ت ل واأن حف سك محإن الل ه ﴾ ولت قحArtinya:"Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha
Penyayang kepadamu." (Q.S. An-Nisa': 29)
رحيم ﴿ ولعاد فلإثحعليحهإن الل هغف ور غي حرباغ ﴾ فمناضحط ر Artinya:“Barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah:173)
Selain ayat-ayat al Qur'an di atas, Muhammadiyah juga menggunakan
kaidah usul fiqih, sebagai berikut:
اتروحظ ححمالحح يحبت ات روحر الضArtinya:“Keadaan memaksa menjadikan bolehnya hal yang terlarang.”53
امهف خأابكتارحبرا راضمه م ظعحأيعوحر انتدسفحمتحضارعات ذإArtinya“Ketika terdapat dua hal yang merusak saling bertentangan maka harus
dihindari yang lebih besar bahayanya, dengan melakukan yang lebih
ringan resikonya.”54
Berdasarkan dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan bahwa menyelamatkan
ibu, yang keberadaannya sudah jelas harus didahulukan dari menyelamatkan
janin yang belum dilahirkan. Pengguguran janin dengan kesengajaan seperti itu
adalah mudarat, namum kematian ibu seperti ini, disebabkan menyelamatkan
janin juga adalah mudarat. Mudarat yang kedua jauh lebih besar dari pada yang
pertama. Kematian ibu akan membawa dampak yang tidak baik bagi keluarga
yang ditinggalkannya. Oleh karenanya diperbolehkan melakukan aborsi dalam
kondisi darurat.
53 Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Nujaim, Asybȃh Wan nazȃ'ir. (Beirut, Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah 1999) jilid 1, hal 77 54 Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Nujaim, Asybȃh Wan nazȃir, hal. 81
74
3. Aborsi dalam Fatwa MUI
A. Sejarah MUI
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah lembaga Swadaya Masyarakat
yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk
membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
Selain itu MUI juga sebagai wadah silaturahim yang menggalang ukhuwah
islamiyah ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah insaniyah demi untuk mencapai dan
mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis, aman, damai dan sejahtera
dalam negara kesatuan Republik Indonesia.55
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah,
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil Musyawarah
Nasional I Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 12-18 Rajab
1395 H atau bertepatan dengan tanggal 21-27 Juli 1975 di balai Sidang Jakarta.56
Musyawarah ini diselenggarakan oleh sebuah panitia yang diangkat oleh
Menteri Agama dengan Surah Keputusan No. 28 tanggal 1 Juli 1975, yang
diketuai oleh Letjen. Purn. H. Soedirman dan Tim Penasehat yang terdiri dari
Prof. Dr. Hamka, KH Abdullah Syafe’i dan KH M. Syukri Ghazali.57 Peristiwa
berdirinya MUI sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, dan
cendikiawan kemudian diabadikan dalam bentuk penanda tanganan piagam
berdirinya MUI yang ditanda tangani oleh 53 ulama dari berbagai penjuru tanah
air.
Antara lain meliputi 26 (dua puluh enam) orang ulama yang mewakili 26
(dua puluh enam) Provinsi di Indonesia, 10 (sepuluh) orang ulama yang
merupakan unsur dari Organisasi Masyarakat (ORMAS) Islam tingkat pusat,
yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al-Washliyah, Math‟laul
Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al-Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas
55 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi
Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, ( Jakarta: INIS, 1993), hal. 62 56 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi
Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, hal. 63
57 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1995), hal. 13
75
Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang
merupakan tokoh perorangan.58
Adapun kesepuluh Ormas Islam yang hadir dalam konferensi tersebut
adalah Nahdlatul Ulama (NU) yang diwakili KH. Mohammad Dahlan,
Muhamadiyah diwakili oleh Ir. H. Basit Wahid, Syarikat Islam diwakili oleh H.
Syafi’i Wira Kusumah, Perti diwakili oleh H. Nurhasan dan Ibnu Hajar, Al-
Wasliyah diwakili oleh Anas Tanjung, Mathla’ul Anwar diwakili oleh KH. Saleh
Su’aidi, GUPP diwakili oleh KH. S. Qudratullah, PTDI diwakili oleh H.
Sukarsono, DMI diwakili oleh K. H. Hasyim Adnan, dan Al-Ittihadiyah oleh H.
Zainal Arifin Abbas.59
Berdasarkan musyawarah tersebut, dihasilkan sebuah kesepakatan untuk
membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama dan cendekiawan
muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI”, Pertemuan alim
ulama yang melahirkan MUI tersebut ditetapkan sebagai Munas (Musyawarah
Nasional) MUI Pertama.60
Dengan demikian, sebelum adanya MUI Pusat, terlebih dahulu di daerah-
daerah telah terbentuk Majlis Ulama. Buya Hamka, tokoh yang awalnya menolak
pendirian sebuah majelis, terpilih menjadi Ketua Umum MUI pertama kali yaitu
untuk periode 1975-1981. Hamka memberikan dua alasan atas penerimaan jabatan
ketua umum MUI. Pertama, umat Islam harus bekerja sama dengan pemerintah
Soeharto, sebab pemerintah Soeharto anti-komunis. Kedua, pendirian MUI harus
bisa meningkatkan hubungan antara pemerintah dan umat islam.61
Majelis ini bertujuan mengamalkan ajaran Islam untuk ikut serta
mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur, rohaniah serta
jasmaniah yang diridhai Allah swt dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila. MUI Adalah salah satu wadah di Indonesia
yang berfungsi menegakkan syariat Islam di tengah masyarakat yang majemuk
58 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1995), hal. 16 59 Gambaran Umum Organisasi MUI dalam Pedoman Penyelenggaraan Organisasi
MUI, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2002), hal. 6 60 Rusjdi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas,
1981), hal. 67 61 Rusjdi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr Hamka, hal. 68
76
ketika wacana NKRI bersyariat digulirkan, sudah biasa terdapat sambutan pro dan
kontra pihak yang pro dan setuju adalah umat yang merindukan pemimpin yang
mampu mewujudkan NKRI yang lebih bersih dari berbagai konflik keagamaan,
baik disebabkan oleh masalah politik, paham liberal, aliran sesat dan lain
sebagainya.62
Dengan hadirnya MUI dapat meminimalisir dan menjadi wadah yang
berfungsi menegakkan syariat-syariat Islam. Tidak hanya berupa kaidah dan
akhlak, tetapi meliputi seluruh hukum yang menyangkut hubungan dengan Allah
dan hukum yang berkaitan dengan muamalah, yakni hubungan sesama manusia
dan alam sekitar. Karena itu syariat Islam diturunkan menjadi rahmat kepada ada
alam seluruhnya hal ini. Tentunya sulit ditegakkan apabila tidak ada lembaga
yang sah dan berwenang mengayomi masalah-masalah tersebut oleh sebab itu
dibentuklah MUI sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat Islam di
Indonesia.63
B. Metode Istinbath Hukum Fatwa MUI
Dalam pelaksanaan kegiatan harian, lembaga ini juga membentuk komisi
pengkajian hukum yang disebut dengan komisi fatwa. Dengan tugas pokok
sebagai penampung, peneliti, pengkaji dalam merumuskan fatwa serta hukum-
hukum yang berkaian keagamaan di tengah-tengah masyarakat. Jadi fatwa adalah
sebagai alternatif hukum dalam memberi jawaban permasalahan kehidupan dalam
perspektif keagamaan bagi masyarakat ataupun pemerintah.64
Pada hakekatnya, wilayah fatwa MUI adalah wilayah di mana
dimungkinkan dilakukan ijtihad, yang telah diintrodusir oleh ahli Ushul fiqh.
Secara garis besar hukum Islam itu ada yang sudah diketahui secara jelas dan
62 Rizieq Shihab, Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah, (Jakarta Selatan,
Suara Islam Press(, hal. 5. 63 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi
Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, hal. 72 64 Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta:
Sekretariat MUI, 2010), hal. 2
77
tidak lagi memerlukan penafsiran (Qath’i al Dalâlah) dan ada pula yang baru
diketahui melalui ijtihad (Qath’i al Zhann).65
Dalam mendefinisikan ijtihad para ahli ushul fiqh berbeda pendapat, di
antaranya ijtihad didefinisikan:
ةل دالفحرظالن فحعسحالو لذحبمكحب ن الظ وحأعطحقىالحلعلوحص ح لحلث ححبالحوه اد هتجحال ي عرحش
Artinya:“Ijtihad adalah pencurahan segenap kemampuan dengan maksimal yang
dilakukan seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengetahuan tingkat
zhann (dugaan kuat) tentang hukum syar’i ”.66
Secara umum MUI sudah menyusun Pedoman Penetapan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Nomor: U- 596/MUI/X/1997. Dalam pedoman tersebut
disebutkan bahwa setiap fatwa harus berupa pendapat hukum yang mempunyai
dasar-dasar paling kuat dan membawa maslahat bagi umat. Dasar-dasar yang
dijadikan pegangan dalam melahirkan fatwa adalah al-Quran, hadits, ijma’, qiyas
dan dalil-dalil hukum lainnya.
Dalam pasal 2 ayat (1 dan 2) dijelaskan tentang dasar-dasar umum
penetapan fatwa MUI. Pada ayat 1 dijelaskan bahwa setiap keputusan fatwa harus
berupa pendapat hukum yang mempunyai dasar-dasar (adillat al-ahkam) paling
kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat. Ayat 2 dtegaskan bahwa dasar-dasar
dimaksud adalah alQuran, Hadits, Ijma, Qiyâs dan dalil-dalil hukum lainnya. Dari
segi prosedur penetapan fatwa dijelaskan dalam pasal 3.67
Berdasarkan Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI, dalam bab VI
disebutkan bahwa kewenangan dan wilayah fatwa MUI adalah masalah- masalah
keagamaan secara umum, terutama masalah hukum fiqih dan masalah aqidah yang
menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia.68
65 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia; hal. 84 66 Muhammad Ibn Ahmad al-Mahallî, Syarh ‘alâ Matn Jam’i al-Jawâmi’, (Mesir:
Musthafâ al-Bâb al-Halabi), Juz II hal. 379 67 Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, hal. 5
68 Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, hal. 7
78
MUI mempunyai tata cara dalam penetapan fatwa yang tertuang dalam
prosedur penetapan fatwa pada 1986, yang pada tahun 1997 diganti menjadi
“Pedoman Tata Cara Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia”, dan kemudian
disempurnakan dengan judul “ Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI”
tahun 2001. Lalu pedoman ini disempurnakan kembali pada forum Ijtima’ Ulama
Komisi Fatwa se- Indonesia I pada tahun 2003.
Secara operasional, dalam pedoman penetapan fatwa MUI disebutkan ada
beberapa hal yang menjadi dasar dan metode penetapan fatwa MUI, yaitu dalam
Bab II tentang Dasar Umum dan Sifat Fatwa disebutkan bahwa:69
1. Penetapan fatwa didasarkan pada al Qur'an, sunnah (hadits),
Ijma’, dan Qiyas serta dalil lain yang mu’tabar.
2. Aktifitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu
lembaga fatwa yang dinamakan Komisi Fatwa.
3. Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif dan antisipatif.
Secara ringkas, langkah-langkah penetapan fatwa MUI adalah dapat
dijelaskan dalam uraian berikut:70
1. Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu
pendapat para imam mazhab dan ulama yang mu’tabar tentang
masalah yang akan difatwakan tersebut, secara seksama berikut
dalil-dalilnya.
2. Masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah disampaikan
sebagaimana adanya.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan mazhab,
maka:
a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik
temu di antara pendapat ulama-ulama mazhab melalui metode
al-jam’u wa al-Taufiq; dan
b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan,
69 Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, h. 4 70 Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, hal. 4-5
79
penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode
muqaranah dengan menggunakan kitab-kitab Ushul Fiqh
Muqaran.71
4. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di
kalangan mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad
jama’i (kolektif) melalui metode bayani, ta’lili (Qiyâsi,
Istihsâni, Ilhâqi),Istishlahi, dan Sadd al Zdari’ah.
5. Penetapan fatwa harus memperhatikan kemaslahatan umum
(mashalih ‘ammah) dan maqashid al-syari’ah.
C. Aborsi Menurut Fatwa MUI
Pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia mengesahkan fatwa
tentang status hukum aborsi. Fatwa tersebut dibentuk dengan alasan bahwa
semakin lama malah semakin banyak orang-orang yang melakukan aborsi tanpa
berpedoman pada agama. Banyak yang melakukan aborsi dibantu oleh orang-
orang yang tidak mempunyai keahlian sehingga akan membahayakan ibu yang
mengandung, bayi yang ada dalam kandungan dan masyarakat umum. Dengan
demikian, persoalan aborsi dan status hukumnya menjadi tanda tanya yang besar
bagi masyarakat. Apakah status hukumnya jatuh kepada keharaman secara mutlak
atau dibolehkan pada keadaan tertentu. Maka dari itu, MUI merasa bahwa sangat
penting untuk menetapkan fatwa mengenai aborsi agar dijadikan pedoman oleh
masyarakat.
Mengingat sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam QS al An'am:
151;
ت عالوحاح ت ل واحق لح ت قح ول سان ا إحح وبالحوالديحن شيحئ ا به رك واح ت شح أل عليحك مح رب ك مح حر م ما أتحل بطن وما من حها ظهر ما الحفواحش ت قحرب واح ول وإي اه مح ن رحز ق ك مح ن حن إمحلق م نح ولأوحلدك م
71 Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Paramuda Advertising,
2008), hal. 52
80
ت ت عحقل ون)ت قح لعل ك مح به وص اك مح ذلك مح ق الل ه إل بالح (ولت قحرب واح151ل واحالن فحسال تحر مطل ه وأوحف واحالحكيحلوالحميزانبالحقسح ي ب حل غأش د حت سن مالالحيتيمإل بال تهيأحح ن كل ف
وص اك أوحف واحذلك مح الل ه د وبعهح ق رحب ذا كان ولوح فاعحدل واح ق لحت مح وإذا عها إل و سح بهن فحس ا م لعل ك محتذك ر ون
Artinya: "Katakanlah "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi
rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya)."
Dalam QS al Isra: 31;
كبير ا ء ا كانخطح وإي اك مإن ق ت حله مح ن حن ن رحز ق ه مح يةإمحلق أوحلدك محخشح ت ل واح ولت قح
Artinya:"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar."
Dalam al Hajj: 5;
ث م نالحب عحثفإن اخلقحناك مم نت راب فريحب ك نت مح إن علقة ياأي هاالن اس منح منن طحفة ث م أجل إل نشاء ما الرححام ف ون قر لك مح ل ن ب ي م ل قة وغيرح م ل قة سمىث ث منم ضحغة
وم ومنك مم ني ت وف أش د ك مح طفحل ث لتب حل غ وا لكيحلن حرج ك مح الحع م ر أرحذل إل نك مم ني رد وأنب وربتح ت ز تح شيحئ اوت رىالرحضهامدة فإذاأنزلحناعلي حهاالحماءاهح ي عحلممنب عحدعلحم تتح
بيج منك ل زوحج
Artinya:"Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari
kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu
dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang
tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan
dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah
ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian
(dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di
81
antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang
dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini
kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah
bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-
tumbuhan yang indah."
Dalam Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
رى اال خح داه إحح ،ف رمتح ه ذيحل رأتانمنح أباه ري حرةرضيالل ه عنحه ،قال:اق حتت لتامح بجر أن تصم واإلالن ب صل ىالل عليحهوسل م،ف ديةجنينها»قت لت حهاومافبطحنها،فاخح ف قضىأن
وليدة غ ر ة ،عبحد أوح
Artinya:"Dua orang perempuan suku Huzail berkelahi. Lalu satu dari keduanya
melemparkan batu kepada yang lain hingga membunuhnya dan
(membunuh pula) kandungannya. Kemudian mereka melaporkan kepada
Rasulullah. Maka, beliau memutuskan bahwa diyat untuk (pembunuhan)
janinnya adalah (memberikan) seorang budak laki-laki atau perempuan.72
Dan Hadits Ibnu Majah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas:
الل هص ،قال:قالرس ول عليحهوسل م:عنابحنعب اس لضررولضرارل ىالل
Artinya:"Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula
membahayakan orang lain.73
Selanjutnya dari Qaidah Fiqhiyyah;
حالصمالحبلحىجلعم د قم داسفمالحء رحدArtinya:"Menghindarkan kerusakan (hal-hal negatif) lebih diutamakan dari pada
mendatangkan kemaslahatan74
اتروحظ ححمالحح يحبت ات روحر الض
72 (Hadist muttafaq ‘alaih --riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim- - dari Abu Hurairah;
lihat ‘Abdullah bin ‘Abdur Rahman al-Bassam, Tawdhîh al Ahkam min Bulugh al-Marâm,
[Lubnan: Mu’assasah al-Khidamat al-Thiba’iyyah,1994], juz V, h. 185). 73
74 Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta:
2008, hlm. 88
82
Artinya“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan)75
ةروحر الض ةلزنحمل زنحت ة اجالحArtinya:“Hajat terkadang dapat menduduki keadaan darurat” 76
Selanjutnya dengan memperhatikan pendapat para ulama, Fatwa Munas
Majelis Ulama Indonesia No.1/Munas VI/MUI/2000 tentang Aborsi, dan Rapat
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 3 Pebruari 2005; 10 Rabi‟ul Akhir 1426
H/19 Mei 2005 dan 12 Rabi‟ul Akhir 1426h/21 Mei 2005 menteapkan bebrapa
ketntuan sebagai berikut:77
Ketentuan Umum;
1) Keadaan darurat adalah suatu keadaan di mana apabila seseorang tidak
melakukan sesuatu yang harus dia lakukan meski hal tersebut
diharamkan, maka ia akan mati atau membahayakan dirinya.
2) disebut sebgaia kadaan hajat ialah suatu keadaan di mana seseorang
apabila tidak melakukan hal yang diharamkan, maka ia akan mengalami
masyaqqah (kesulitan berat).
Ketentuan Hukum;
1) Aborsi haram hukumnya sejak proses tertempelnya balstosis (struktur
awal setelah terjadinya pembuahan) pada dinding rahim ibu atau yang
dikenal dengan istilah nidasi.
2) Aborsi dibolehkan karena ada udzur, baik bersifat darurat ataupun hajat.
a. Darurat yang berkenaan dengan kehamilan hingga diperbolehkannya
aborsi adalah:
1) Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti
kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-
penyakit fsik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh tim dokter.
75 Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah Kaidah-Kaidah Hukum Islam, hlm. 217 76 Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah Kaidah-Kaidah Hukum Islam, hlm 98 77 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Emir Penerbit
Erlangga, 2015), h., 479
83
2) Keadaan di mana kehamilan tersebut membahyakan bagi nyawa si
ibu.
b. Keadaan hajat yang berkenaan dengan kehamilan yang mana
diperbolehkan aborsi sebabnya adalah:
1) Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang
kalau lahir kelak sulit disembuhkan.
2) Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh tim yang
berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain; keluarga
korban, dokter, dan ulama.
c. Diperbolehkannya aborsi sebagaimana yang dimaksud pada huruf B
dengan syarat dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.
d. Diperbolehkannya aborsi sebab uzur sebagaimana yang dimaksud
pada angka 2 hanya boleh dilaksanakan di rumah sakit yang
memiliki fasilitas kesehatan yang telah memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh pemerintah.
e. Tindakan aborsi haram dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat
zina.
Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal 12 Rabi‟ul Akhir 1426/21 Mei 2005,
agar setiap muslim yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua
pihak untuk menyebarluaskan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang ditetapkan di
Jakarta.78
78 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, hal., 480- 481
84
BAB IV
PERBANDINGAN LBM NU, MT MUHAMMADIYAH DAN
FATWA MUI TENTANG ABORSI
Ada tiga pokok dalam kajian ini yakni abortus therapeuticus, abortus
nontherapeuticus setelah ditiupkan ruh dan Abortus nontherapeuticus merupakan
hal paling esensial sebelum ditiupkan ruh atau sebelum usia 120 hari. Karena kasus
inilah yang banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha.
Aborsi yang dilakukan setelah berusia 120 hari dan sudah ditiupkan ruh, fuqaha
bersepakat haram hukumnya. Karena hal itu dianggap sama dengan membunuh
nyawa manusia yang sudah berwujud.
Sebaliknya, pengguguran kandungan yang dilakukan atas dasar diagnosis
dokter, atau disebut juga abortus therapeuticus, para fuqaha telah sepakat
menyatakannya boleh. Alasannya adalah untuk menyelamatkan jiwa si ibu dari
bahaya yang mengancamnya tanpa melihat usia kandungan atau janin. Dalam
abortus nontherapeuticus sebelum ditiup ruh, secara umum Ulama terbagi menjadi
tiga kelompok, kelompok yang membolehkan tanpa ada kemakruhan, yang
membolehkan tapi makruh, dan yang terakhir yang mengatakan haram.
Dalam firman Allah surah al Isra’ ayat 33:
طانا فلا ولا ت قت لوا الن فس التي حرم الله إيلا بيالحق ومن قتيل مظلوما ف قد جعلنا ليولييهي سل القتلي إينه كان منصورايسريف ف
Artinya:"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan." (QS. Al Isra’: 33).
Ayat selanjutnya yaitu tentang dimana manusia diciptakan dan permulaan
manusia terjadinya manusia.
85
نسان مين سلالة من طيين ) ( ث 13( ث جعلناه نطفة في ق رار مكيين )12ولقد خلقنا الإيا ث خلقنا النطفة علقة فخلقنا العلقة مضغة فخلقنا المضغة عيظاما فكسونا العيظام لحم
(14أناه خلقا آخر ف تبارك الله أحسن الاليقيين )أنش
Artinya:"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang
Paling Baik." (QS. Al Mu’minun 12-14)
Berawal dari pemahaman ayat di atas, ayat tersebut menerangkan
bahwasanya para ulama berbeda pendapat mengenai kapan peniupan roh pertama
kali dan batasan waktu boleh tidaknya melakukan aborsi. Pembahasan aborsi dalam
literatur klasik hanya berkisar pada masa janin ketika sebelum terjadinya proses
penyawaan, maksudnya ialah masa kehamilan sebelum peniupan ruh dalam janin,
karena kehamilan setelah penyawaan atau proses peniupan ruh semua ulama
sepakat melarang kecuali dalam kondisi darurat yang mengancam kehidupan nyawa
ibunya.1
Menurut fuqaha, melakukan aborsi bagi janin yang telah berusia 120 hari
hukumnya haram. Sedang usia sebelum 120 hari terjadi perbedaan pendapat. Ada
yang berpendapat boleh, makrûh, dan haram. Argumen yang digunakan sebagai
dalil bagi kelompok ulama yang mengharamkan aborsi setelah usia 120 hari dan
membolehkan sebelum 120 hari adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari
Ibnu Mas’ud yang menjelaskankan tentang proses penciptaan janin, dari nuthfah ke
‘alaqah, ke mudghah hingga ditiupkannya ruh pada usia ke 40 hari menurut riwayat
Hadits yang lain.2
1 Dr, Wahbah Ibn Mustafa al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa adillatuh, (Damaskus, Dar al-
Fikr, Cet.4) jilid 4 Hal 2646 2 Imâm al-Faraj Jamâl al-Din ‘Abd al-Rahmân bin Muhammad al-Jauzi al-Qurasy al-
Baghdâdi, Kitâb al-Ahkâm al-Nisa, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 182
86
Menurut pendapat ‘Abd al Rahmân al Baghdâdi3, jika pengguguran itu
dilakukan setelah 40 hari masa kehamilan, yaitu saat mulai terbentuknya janin,
maka hukum pengguguran adalah haram. Sama halnya pengguguran janin setelah
ditiupkan ruh. Sebab, janin yang sedang dalam proses pembentukan organ organnya
dapat dipastikan sebagai janin yang sedang mengalami proses terbentuknya
manusia sempurna. Alasannya adalah surah al-Mukminûn [23]: 14 yang berbunyi:
ث فكسونا العيظام لحما ث خلقنا النطفة علقة فخلقنا العلقة مضغة فخلقنا المضغة عيظاما الله أحسن الاليقيين أنشأناه خلقا آخر ف تبارك
Artinya;"Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik."
Ayat di atas menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan kata “Khalqan
Âkhar” adlah yang ditakwil dan ditafsirkan bahwa sebelum menjadi bentuk
“mahluk lain”. Karena ada fase-fase tertentu yang sudah dianggap memiliki ruh
atau suatu kehidupan, yaitu rûh hayawâni dan rûh insâniyah. Rûh hayawâni telah
dimiliki sejak pembuahan terjadi, sedangkan rûh insâni berada ketika janin sudah
berbentuk lengkap.4 Kemudian selanjutnya mereka mengemukakan pendapat pada
surah Nuh [71]: 14 yang berbunyi:
وقد خلقكم أطوارا
Artinya;"Padahal sesungguhnya Dia Allah telah menciptakan kamu dalam
beberapa tingkatan kejadian."
Menurut Imam al-Ramli dari mazhab Imam Syâf’i, melakukan aborsi bagi
janin yang sudah berusia 120 hari, haram hukumnya. Karena diperkirakan bahwa
janin sudah bernyawa. Bagi yang melakukannya maka sangsinya adalah ghurrah,
3 Al-Baghdadi, Abdurrahman. Emansipasi Adakah Dalam Islam. (Jakarta: Gema Insani
Press. 1998), hal. 127 4 Abdurrahman Al-Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam. Hal. 128
87
yakni diyat yang harus dipenuhi oleh orang yang melakukan pembunuhan janin,
berupa membayar seorang budak laki-laki atau perempuan kepada keluarga si janin
atau membayar kafarah senilai dengan seperdua puluh diyat biasa, yaitu lima ekor
unta. Sedangkan menggugurkan janin sebelum usia 120 hari hukumnya boleh.5
Al Ghazâli berpendapat bahwa pengguguran dan pembunuhan terselubung
merupakan tindakan kejahatan terhadap suatu wujud yang telah ada. Wujud itu
mempunyai beberapa tingkatan, tingkat yang pertama adalah masuknya sperma ke
dalam rahim dan telah bercampur dengan sel telur (ovum) dan telah siap untuk
menerima tahapan selanjutnya untuk proses kehidupan.6 Maka argumentasi al
Ghazali adalah mencakup embriologi, dimana sudah ada kehidupan pada saat
terjadi konsepsi atau pembuahan, walaupun ruh belum ditiupkan. Implikasinya
embrio atau zigot itu bukanlah benda mati yang eksistensinya boleh dizalimi.
د و ج و ال ، و ل اصي ح د و ج و ى م ل ع ة اي ن جي ك لي ذ ن لي دي أ الو و اضي ه ج الإي ك « ل ز ع ال ي أ »ا ذ ه س ي ل و
ة ف ط الن ع ق ت ن أ دي و ج و ال بي اتي ر م ل و أ . و ب اتي ر م ه ل لي و ب ق لي د عي ت س ت و ةي أ ر م ال اءي بي ط لي ت ي و مي حي الر في
ح و الر ه ي في خ في ن ن إي . و ش ح ف أ ة اي ن الي تي ان ك ة ق ل م ة ف ط ن ت ار ص ن إي ، ف ة اي ن جي ك لي د ذ ا س ف إي ، و اةي ي الح
ش اح ف ى الت ه ت ن م ا. و ش اح ف ت ة اي ن الي تي اد د ز اي ة ق ل الي تي و ت اس و الي صي ف ن الاي د ع ب ب ه ةي اي ن الي في
7 ا ي ح
Artinya:"Persoalan ini (maksudnya adalah upaya pencegahan kehamilan) jelas
tidak sama dengan aborsi dan menguburkan bayi hidup-hidup, karena dua
hal tersebut merupakan tindak pidana terhadap suatu nyawa yang telah
nyata eksistensinya. Masalah ini memiliki tingkatan-tingkatan seperti pada
upaya pencegahan kehamilan, tingkatan pertama, apabila aborsi dilakukan
ketika nutfah(sperma laki-laki dan sel telur perempuan) telah menetap di
dala rahim telah bercampur dan telah siap menyambut datangnya
5 Syihâbuddin al-Ramli, Nihâyat al-Mukhtaj, Syarh alMinhaj fî al-Fiqh’ alâ Mazhab al-
lmâm Syâf’i, jilid VII, (alHalabi, 1357 H), hal. 416 6 Al-Ghâzali, Ihyâ ‘Ulûm al-Din, Juz II, (Kairo: Dâr Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 2001),
hal. 53. 7 Al-Ghâzali, Ihyâ ‘Ulûm al-Din,), hal. 55, lihat Mahmud Syaltut, al-Fatawa, (Kairo, Dâr
al Syurûq, tth) hal. 248.
88
kehidupan, sehingga merusak/mengganggu proses tersebut dianggap
sebagai suatu tindakan pidana, lebih-lebih jika (calon janin) tersebut telah
berwujud alaqah, pada tingkatan seperti ini tindak pidana yang
dilakukannya semakin keji, bahkan jika telah terjadi peniupan roh ke dalam
janin tersebut, bentuk penciptaannya pun telah semakin sempurna, maka
tindak pidana pelaku semakin bertambah keji, sehingga tingkatan yang
paling parah jika aborsi dilakukan setelah bayi bisa mandiri dalam keadaan
hidup. Sesungguhnya saya berprinsip bahwa permulaan eksistensi seorang
manusia adalah pada saat terjadi peristiwa masuknya air sperma laki-laki
ke dalam rahim seoramh wanita, bukan pada saat sperma tersebut keluar
dari saluran kencing laki-lak, sebab seorang anak manusia tidak tercipta
hanya semata-mata dari sperma laki-laki.
Meskipun demikian, dalam keadaan darurat yang dikategorikan sebelumnya
boleh dilakukan aborsi, asalkan belum mencapai usia 120 hari, aborsi boleh
dilakukan oleh tenaga medis yang benar-benar terampil serta harus dengan
persetujuan pasangan, orangtua, atau si ibu hamil itu sendiri agar tidak
menimbulkan penyesalan dikemudian hari.8
Kemudian dari Fuqaha Syafî’iyah (kecuali al-Ghâzali), dan mayoritas
fuqaha Hanâbilah (kecuali Ibn Rajab) serta mayoritas fuqaha Hanafiyah,
berpendapat bahwa penguguran kandungan (aborsi) yang dilakukan atas
persetujuan suami istri dan tidak menggunakan alat yang membahayakan serta janin
yang digugurkan tersebut belum berusia 40 hari, maka hukumnya makrûh, alasan
dari mazhab Hanafi adalah karena janin itu belum berbentuk.9
Imâm al-Subki berpendapat bahwa pengguguran kandungan dari hasil
perbuatan zina, dibolehkan asal masih berupa nutfah atau ‘alaqoh, yaitu sebelum
delapan puluh hari, demikian juga pendapat Imâm al Ramli. Argumen yang
digunakan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhâri dan Muslim tentang
penciptaan janin yang berusia 120 hari untuk kemudian ditiupkan ruh.10 Sedangkan
Abû Ishâq al Marwazi berpendapat bahwa seseorang yang minum obat untuk
menggugurkan kandungannya selama berbentuk ‘alaqah atau mudghah, maka hal
8 M.Nurul Irfan,Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta :
Amzah,2014, hal 95-99 9 Ibn Nujaim, al-Bahr al-Raiq, Juz VIII, (Beirut: Dâr al Ma’rifah, 2001). hal. 233 10 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia.
2010, hal. 33
89
itu dibolehkan, demikian pula pendapat kelompok Hanafiyah yang
membolehkannya secara mutlak.11
Sedangkan Muhammad Sa'id Ramadhan al-Bûti menilai pengguguran
kandungan dibolehkan asal ada kesepakatan antara ayah dan ibu si janin. Karena
menurut hukum syara’, seorang ayah bisa sah jika dia mempunyai anak yang
dilahirkan dari istri yang sah. Sedangkan zina tidak menjadikannya ayah yang sah.
Dalam kasus seperti ini, hakim dapat menggantikan kedudukan sebagai ayah untuk
memberi izin dan pertimbangan, namun hakim tidak memiliki hak untuk
memaafkan dalam urusan qisâs meskipun dia menjadi wali dari anak zina. Karena
hal tersebut bertentangan dengan maslahah. Tetapi hakim bisa menggantikan dalam
keadaan darurat. Diperbolehkannya dalam keadaan tersebut karena sperma setelah
masuk ke dalam rahim belumlah hidup, namun memiliki hak perlindungan hukum
sebagai manusia hidup. Oleh sebab itu, ahli tahqîq berkata, “maka kebolehan
mengugurkan kandungan itu harus diartikan karena dalam keadaan uzur.”12
Menurut mayoritas dan pendapat yang kuat dalam Mazhab Maliki,
pengguguran janin sebelum peniupan ruh adalah haram. Mereka berpendapat
bahwa jika rahim telah menangkap air mani, maka tidak boleh menggugurkan janin,
menurut pendapat ibn al Arabi karena seoarang anak itu memiliki tiga keadaan:13
1. Keadaan sebelum percampuran antara sperma dan ovum
2. Keadaan setelah rahim menangkap sperma
3. Keadaan setelah janin mencapai kesempurnaan bentuk.
Berdasarkan tiga keadaan di atas, mayoritas ulama Mazhab Maliki
berpendapat dalam istihsannya bahwa akan diberi rukhsah bagi pengguguran janin
sebelum peniupan ruh jika janin itu hasil dari perbuatan zina dan khususnya jika si
11 Muhammad bin ‘Arafah al-Dasuqi, Hâsiyyah al-Dasuki alâ al-Syarah al-Kabir, Juz II,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 2004), hal. 266-267 12 ‘Abd al-Rahmân al-Baghdâdi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1988), hal. 129 13 Ibn Qudâmah, al-Mughnî, Juz VI, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1992), hal. 84-85
90
wanita takut akan dibunuh jika ketahuan hamil. menurut Ulama Malikiyah,
kehidupan sudah dimulai sejak terjadi konsepsi. Oleh karena itu, menurut mereka
aborsi tidak diizinkan bahkan janin dalam usia empat puluh hari. Berdasarkan
pernyataan Imam Malik tersebut, dapat diketahui bahwa aborsi tetap haram meski
dilakukan sebelum janin berusia empat bulan atau sebelum ruh ditiupkan. Bila
aborsi tetap dilakukan, maka pelakunya wajib membayar denda dan memerdekakan
budak. Menurut Imam Malik sebaiknya dikenakan kaffarat (denda) dan ghurrah
sekaligus.14
Demikian menurut Mazhab Maliki dapat disimpulkan bahwa mereka
sepakat mengharamkan aborsi jika janin berusia empat puluh hari. Sedangkan
sebelum janin berusia empat puluh hari, mayoritas ulama malikiyah
mengharamkan, ada sebagian memakruhkan, dan sebagai lainya memberikan
rukhsah (keringanan) jika dilakukan sebelum peniupan ruh jika janin itu merupakan
hasil hubungan zina.
Menurut pendapat Ibn Rusyd15, dari kelompok Mazhab Maliki, jika terjadi
pemukulan terhadap wanita yang sedang hamil dan menyebabkan kematian
janinnya, maka sanksinya adalah tidak wajib kafârah, tapi sebaiknya kafârah.
Alasannya seperti apa yang telah dilakukan pada kasus perkelahian dua orang
wanita suku Huzail di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat
Abu Hurairah:
ي الله عنه أن أبا ه جر ري رة رضي قال: اق تت لتي امرأتاني مين هذيل، ف رمت إيحداها الخرى بي صلى الله عليهي وسلم، ف قضى أن ديية جنيينيها »ف قت لت ها وما في بطنيها، فاختصموا إيل النبي
رأةي على عاقيلتيهاغرة ، عبد أو ولييدة ، وق «ضى أن ديية الم
Artinya:“Sesungguhnya Abū Hurayrah ra, dia berkata: Berselisih dua orang
wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanta tersebut melempar
batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut
beserta janin yan dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang
meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada nabi
14 Ahmad bin Rusyd Al-Qurtubi. Bidayah Al Mujtahid. Beirut: Daar Al-Ma‟rifah. 1405 H.
Jilid 2, Hal. 435. 15 Ahmad bin Rusyd Al-Qurtubi. Bidayah Al Mujtahid. Hal. 415.
91
Muhammad saw., maka Rasululah saw., memutuskan ganti rugi dari
pembunuhan dari janin tersebut dngan pembebasan seorang budak laki-laki
atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut
dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh ‘āqilah-nya (kerabat dari
orang tua laki-laki).” (HR. Bukhārī)
Ibn Qudâmah berpendapat bahwa jika ternyata janin itu mati akibat dari
suatu pemukulan pada perut ibunya, maka pelakunya diberi hukuman berupa
kafarah, di samping diyat dan ghurrah, yaitu memerdekakan seorang budak yang
beriman. Jika tidak dapat melakukannya, maka ia harus berpuasa selama dua bulan
berturut-turut. Bahkan, hal itu diwajibkan atasnya baik janin itu hidup atau mati.
Dasarnya adalah surah al- Nisâ’ [4]: 29, tentang sanksi hukum terhadap si
pembunuh karena tersalah.16 Apa saja yang terlepas dari rahim ibu hamil, walaupun
dalam bentuk mudghah atau alaqah, apabila ia diyakini sebagai anak dalam
kandungan, maka pihak yang bertanggung jawab menebusnya dengan ghurrah.17
Ibn Hazm dari kalangan Dzohiriyyah juga berpendapat bahwa pembunuhan
janin setelah ditiupkannya ruh dan usianya mencapai 120 hari dianggap sebagai
tindakan kejahatan pembunuhan dengan sengaja dan dijatuhkan hukuman qishâs,
kecuali dimaafkan oleh si korban. Tindakan tersebut wajib ghurrah dan tidak wajib
membayar kafarah karena dianggap sebagai pembunuhan sengaja.18
Oleh sebab itu, Hassan Hathoud, seorang guru besar bidang Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteraan Universitas Kuwait, menganggap para ulama
saat itu menanggapi hadits tersebut masih terbatas. Itu disebabkan keterbatasan
perkembangan sains dan teknologi, terutama tentang embriologi, pada saat mereka
memberi makna yang sama antara “asal mula kehidupan janin” dengan
“ditiupkannya ruh”.19
Adapun alasan ulama yang membolehkan atau setidaknya
memakruhkan aborsi sebelum usia janin mencapai 120 hari adalah karena
16 Ibn Qudâmah, al-Mughnî, Juz VI, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1992), hal. 86. 17 Ahmad bin Rusyd Al-Qurtubi. Bidayah Al Mujtahid Hal. 416. 18 Ibn Hazm, al-Muhallâ, jilid XI, (Kairo: al-Muniria, 1352 H), h. 234 19 Hassan Hothout, Revolusi Seksual Perempuan, (Bandung: Mizan, 1995), h.167
92
ruh manusia belum ditempatkan di dalamnya. Oleh karena itu, embrio
dianggap sebagai benda mati yang merupakan bagian tubuh si ibu. Jika si
ibu menggugurkan kandungan yang belum bernyawa itu, dianggap tidak
melanggar hukum. Meskipun demikian, tetap tidak tepat jika berasumsi bahwa
janin yang belum ditiupkan ruh itu dianggap sebagai benda mati yang bebas
diperlakukan apa pun.
A. Perbandingan Vertikal
1. Fatwa LBM NU tentang Aborsi dengan pendapat Fuqaha Mazhab
Para ulama fiqih sepakat bahwa menggugurkan kandungan setelah
peniupan ruh (aborsi) tanpa ada uzur adalah haram, tidak boleh dilakukan,
karena perbuatan tersebut merupakan kejahatan terhadap nyawa. Adapun
sebelum ditiupkan ruh maka terdapat perselisihan pendapat antara mazhab
yang empat.
a. Mazhab Mȃliki20 dan Imam al-Gazȃli dan as-Sarakhsi dari Mazhab
Hanbali sepakat dengan keharaman aborsi secara mutlak (jika
sperma telah bercampur dengan ovum dalam rahim) 21.
b. menurut ulama Hanafi dan sekelompok ulama Syafi`i mubah
karena ada alasan medis dan makruh jika tanpa `uzur kecuali
dalam keadaan darurat. Pengertian darurat ialah sampai ke
suatu batas kalau ia tidak mengerjakan yang terlarang akan
membinasakan jiwanya atau hampir binasa seperti mana jika
dibiarkan maka akan mengancam jiwa sang ibu, maka dalam hal
ini boleh hukumnya.
c. Menurut sekelompok ulama Hanafi sebagian ulama Syafi`i, serta
sejumlah ulama Maliki dan Hanbali (mubah) boleh.
d. makruh secara mutlak. dan ini menurut sebagian ulama Maliki dan
sebagian besar ulama Syafii dan Hanafi.
20 Al-Disuqi, hasyiyah al-disuqi ‘ala syar al-kabir, maktabah zahron, jilid 2 Hal 266-267 21 Al-Ghazali Muhammad Ibn Muhammad Ihya Ulumiddin, tahqiq Sayyid `Imrab (Al-
Qâhirah: Dar al-Hadits, 2004), jilid 2, Hal.67
93
Selanjutnya pendapat ahli fiqih dari mazhab Syafi'i adalah sebagai
berikut:
a. Aborsi sebelum ditiupkan ruh hukumnya adalah boleh. Syaikh
Qalyȗbi mengakhiri perkataannya “Walaupun dengan obat obatan”
begitu juga menurut Imam al – Ramli di dalam Nihȃyah al –
Muhtaj.
b. Aborsi ketika usia janin sudah mendekati waktu peniupan ruh
makruh hukumnya, sebagaimana disebutkan oleh al Ramli.22
Adapun keputusan hukum menurut LBM NU; hukum melakukan
aborsi adalah haram. Namun diperbolehkan dalam keadaan darurat yang
dapat mengancam ibu dan/atau janin, aborsi diperbolehkan berdasarkan
pertimbangan tim dokter ahli. Namun sebagian ulama memperbolehkan
aborsi sebelum usia janin berumur 40 hari terhitung sejak pembuahan
meskipun tanpa sebab.
Dalam fatwanya tentang aborsi, LBM NU lebih dekat terhadap
pendapat mayoritas pendapat Ulama Syafi`iyyah.
2. Fatwa MT Muhammadiyah tentang Aborsi dengan pendapat Fuqaha
Mazhab
Menurut Muhammadiyah aborsi sejak pembuahan (konsepsi)
hukumnya haram.23 Hal ini berarti, bahwa usia kandungan empat bulan
maupun 120 hari, batasan waktu diperbolehkannya aborsi tanpa sebab seperti
dijelaskan sebelumnya, tidak dianggap sebagai batas mulai kehidupan
manusia. Oleh karena itu, Muhammadiyah tidak begitu saja menerima
penjelasan yang terdapat dalam Hadits tentang peniupan ruh itu.
Muhammadiyah tidak menerima pendapat bahwa ruh dalam Hadis itu berarti
nyawa yang menyebabkan janin menjadi hidup. Alasan yang dikemukakan
adalah bahwa kenyataan menunjukan bahwa pembuahan itu sendiri telah
22 Zainuddin Ahmad Ibn Abd Aziz al-Malibari, Fath al Mu'in jilid 4, Hal 130-131. 23 Berita Resmi Muhammadiyah Nomor Khusus, Tanfidz Keputusan Muktamar Tarjih
Muhammadiyah, 1990, Hal 16
94
dinyatakan hidup, kemudian berkembang menjadi segumpal darah, dan
berikutnya menjadi segumpal daging sampai 120 hari, dan pembuahan
tersebut sudah menunjukkan awal dari sebuah kehidupan. 24
Menurut Muhammadiyah, ruh yang ditiupkan oleh Malaikat ke dalam
janin yang telah berusia empat bulan itu bukanlah ruh hayati, melainkan
adalah ruh insani25. Penalaran Muhammadiyah dalam hal ini telah
dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Islam dan ahli kedokteran. Dalam filsafat
Islam, jiwa itu bukanlah hayat. Manusia, dalam konsep filsafat Islam
terdiri dari tiga unsur: tubuh, hayat dan jiwa. Dengan demikian, kehidupan
itu saja sudah ada sejak terjadinya pembuahan, bukan setelah janin
berusia empat bulan.26
Tegasnya, dengan melalui analisis di atas, Muhammadiyah berpendapat
bahwa abortus provocatus criminalis (aborsi yang terjadi karena tindakan
yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikesi medis tanpa
memperhitungkan umur bayi) sejak terjadinya pembuahan hukumnya haram.
Sedangkan abortus artificialis therapicus atau abortus provocatus
medicinalis (pengguguran kandungan atas indikasi medis) dapat dibenarkan
ketika dalam keadaan darurat, terutama karena adanya kekhawatiran atas
keselamatan ibu dalam yang mengandung. Adapun dalil-dalil lainnya adalah
sebagai berikut:
نوات لقوا بيأ ولا ﴿ نيين يدييكم إيل الت هلكةي وأحسي ﴾ إين الله ييب المحسيArtinya:“Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan
dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Baqarah: 195)
يم ولا ت قت لوا أن فسكم ﴿ ﴾ ا إين الله كان بيكم رحي
24 Berita Resmi Muhammadiyah Nomor Khusus, Tanfidz Keputusan Muktamar Tarjih
Muhammadiyah, Hal 17. 25 Harun Nasution, “Konsep Manusia dalam Islam, Dikaitkan dengan Hayat dan
Maut”, ( Jakarta: 1988), Hal 261 26 Harun Nasution, “Konsep Manusia dalam Islam. Hal 262
95
Artinya:"Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha
Penyayang kepadamu." (Q.S. An-Nisa': 29)
يم إيث عليهي فمني اضطر غي ر باغ ولا عاد فلا ﴿ ﴾ إين الله غفور رحيArtinya:“Barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah:173)
Selain ayat-ayat al Qur'an di atas, Muhammadiyah juga menggunakan
qaidah usul fiqih, sebagai berikut:
اتي ر و ظ ح م ال ح يي تب ات ر و ر الض Artinya:“Keadaan memaksa menjadikan bolehnya hal yang terlarang.”27
ام هي ف خ أ ابي ك تي ار بي را ر ا ض م ه م ظ ع أ ي عي و ر اني ت د س ف م ت ض ار ع ا ت ذ إي Artinya:“Ketika terdapat dua hal yang merusak saling bertentangan maka harus
dihindari yang lebih besar bahayanya, dengan melakukan yang lebih
ringan resikonya.”
Berdasarkan dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan bahwa
menyelamatkan ibu, yang keberadaannya sudah jelas harus didahulukan dari
menyelamatkan janin yang belum dilahirkan. Pengguguran janin dengan
kesengajaan seperti itu adalah mudarat, namum kematian ibu seperti ini,
disebabkan menyelamatkan janin juga adalah mudarat. Mudarat yang kedua
jauh lebih besar dari pada yang pertama. Kematian ibu akan membawa
dampak yang tidak baik bagi keluarga yang ditinggalkannya. Oleh karenanya
diperbolehkan melakukan aborsi dalam kondisi darurat.
Dalam penetapan fatwanya Muhammadiyyah beristinbat melalui ayat-
ayat Quran dan hadits-hadits nabi yang telah disebutkan sebelumnya dan
melihat dari segi kaidah fiqhiyyah. Dalam praktiknya, fatwa MT
Muhammadiyyah tentang aborsi sejalan dengan pendapat jumhur Ulama
27 Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Nujaim, Asybȃh Wan nazȃir. (Beirut, Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah 1999) jilid 1 Hal 77
96
Malikiyyah, yang mana dalam hal ini lebih memilih tentang keharaman aborsi
yang dilakukan tanpa alasan sejak terjadinya pembuahan (konsepsi).
3. Fatwa MUI Tentang Aborsi dengan Pendapat Fuqaha Mazhab
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi
setelah menimbang bahwa akhir-akhir ini semakin banyak terjadi tindakan
aborsi yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan tuntunan
agama, aborsi tersebut banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
memiliki kompetensi sehingga menimbulkan bahaya bagi ibu yang
mengandung dan bagi masyarakat pada umumnya. Aborsi sebagaimana yang
telah dijelaskan, dalam implikasinya menimbulkan pertanyaan masyarakat
tentang hukum melakukan aborsi, apakah haram secara mutlak ataukah boleh
dalam kondisi-kondisi tertentu, oleh karena itu Majelis Ulama Indonesia
memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum aborsi untuk dijadikan
pedoman.
Fatwa Munas Majelis Ulama Indonesia No.1/Munas VI/MUI/2000
tentang Aborsi, dan Rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 3 Februari
2005; 10 Rabi‟ul Akhir 1426 H/19 Mei 2005 dan 12 Rabi‟ul Akhir 1426 H/21
Mei 2005; Dengan memperhatikan pendapat para ulama dan perbedaan
pendapat di dalamnya, telah menentukan hukum aborsi atas beberapa
pertimbangan. dan berikut Pendapat para ulama tersebut, di antaranya:
1) Imam al-Ghozâli dari kalangan Mazhab Syafi‟i, menjelaskan, jika
nutfah (sperma) telah bercampur (ikhtilât) dengan ovum di dalam
rahim dan siap menerima kehidupan (isti‟dad li-qabul al-hayah),
maka merusaknya dipandang sebagai tindak pidana (jinâyah).28
2) Menurut Ulama al Azhar, pendapat mereka yang dijelaskan dalam
kitab Bayan li al Nas min al Azhar al-Syarif, jika aborsi dilakukan
sebelum nafkhi ar-ruh, hukumnya terdapat empat pendapat fuqaha'.
28 Abu Hâmid al Ghazâli, Ihya' ulûm al-Din, tahqîq Sayyid Imrab (al-Qahirah: Dar al-
Hadis, 2004), juz II, hal.67:
97
Pertama, boleh (mubâh) secara mutlak, tanpa harus ada alasan medis
(udzur); ini menurut ulama sekelompok ulama Hanafi walaupun
sebagaian mereka membatasi dengan keharusan adanya alasan
medis, sebagian ulama Syafi‟i, serta sejumlah ulama Maliki dan
Hanbali. Kedua, mubah karena ada alasan medis dan makruh jika
tanpa sebab apabila sebelum 120 hari. Ketiga makruh jika sebelum
40 hari dan haram lebih dari itu, menurut beberapa ulama
Malikiyyah dan Syafi'iyyah. Keempat, haram dilakukan tanpa sebab,
sejak terjadinya konsepsi29
MUI menentukan hukum Aborsi haram dilakukan sejak terjadinya
implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). Selanjutnya Aborsi
dibolehkan karena ada udzur, baik bersifat darurat ataupun hajat.
Dalam penetapannya, MUI tidak terpaku pada pandangan ulama
mazhab saja, namun juga melihat dari sisi medis dan maslahah atas keadaan
yang terjadi dimasa saat ini, dimana dalam pilihan membatasi tindak aborsi
yang semakin marak dan juga melihat korban kekerasan seksual seperti
korban perkosaan yang hamil. Hal inilah yang membuat MUI lebih memilih
untuk berijtihad dalam menetapkan hukum aborsi, namun tetap berdasarkan
dan berasas pendapat ulama mazhab dalam implikasinya.
B. Perbandingan Horizontal
1. Persamaan dan Perbedaan LBM NU, MT Muhammadiyah dan MUI
dalam Fatwa dan Metode Istinbath Hukum Tentang Aborsi
Penulis tertarik untuk menjelaskan permasalahan tersebut, berkaitan
dengan konsep serta pemikiran para fuqaha' secara komprehensif tentang
aborsi. Analisis yang dipakai adalah analisis sintesis, yaitu untuk menelaah
secara kritis, meneliti ungkapan atau istilah, pengertian yang dikemukakan
oleh para fuqaha maupun pihak medis kedokteran, sehingga dapat diketahui
29 Bayân li al Nâs min al Azhar asy-Syarîf (Kairo; Matba`ah al-Mushaf al-Syarîf, 2003),
juz II, hal. 256:
98
kelebihan dan kekurangan masing-masing pandangan mereka, untuk
kemudian menemukan pengertian baru yang lebih sempurna. Dengan sintesis
dimaksudkan untuk menemukan satu kesatuan pemikiran yang utuh dalam
rangka memecahkan permasalahan. Dan terakhir adalah melalui metode
komparatif, digunakan untuk mengetahui dan membandingkan pendapat
fuqaha sehingga diketahui argumentasi serta faktor apa yang menjadikan
mereka berbeda dalam menentukan pendapatnya.
Berkenaan dengan metode yang digunakan oleh Komisi Fatwa MUI
dalam upaya menetapkan fatwa, berdasarkan 3 (tiga) pendekatan, yakni
dengan pendekatan nash qath’i, melalui pendekatan Qauli, dan pendekatan
Manhaji. Yang dimaksud dengan pendekatan yang pertama (nash qath’i)
merupakan pendekatan di dalam upaya dalam menetapkan fatwa yang
berpegang pada al Qur’an atau Hadits yang apabila masalahnya secara
gamblang telah ada dalam alQur’an dan hadits. Pendekatan nas qat’i yang
digunakan oleh MUI dalam istilah lain juga disebut dengan pendekatan
bayâni.30
Namun, pendekatan nash qath’i yang dipergunakan oleh lembaga
fatwa MUI ini, hanya sebatas pada perbentangan dalil al Qur'an dan Hadist
yang shahih tanpa menjelaskan petunjuk (dalâlah) makna pada masalah yang
dikaji. Menurut hemat penulis, MUI dalam menggunakan pendekatan ini
hanya melihat pada teks ayat saja tanpa melakukan pengkajian yang
mendalam terhadap dalalah (petunjuk) dari ayat itu sendiri. Dengan kata lain
pendekatan nas qat’i ini sangat berbeda dengan pendekatan bayâni
sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama dalam mengkaji sebuah
teks ayat yang terdapat dalam al Qur’an.
Selain Komisi Fatwa MUI pendekatan semacam ini pun juga
digunakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan fatwa.
30 Atâ' al Rahman al Nadawiy, al Ijtihâd wa Dauruhu fi Tajdîd al Fiqh al Islâmi, Dalam
dirasat al Jami'ah al Islamiyyah, Desember 2006, Jilid 3, hal. 82
99
Majelis Tarjih Muhammadiyah memprioritaskan al Qur’an dan Hadist shahîh
sebagai sumber primer (utama) dalam berijtihadnya. Hanya saja Majelis
Tarjih Muhammadiyah dalam memperlakukan teks al Qur’an dan Hadist
berbeda dengan Komisi Fatwa MUI. Majelis Tarjih Muhammadiyah benar-
benar mengkaji teks al Qur’an dan al Hadist dengan memakai pendekatan
bayâni (semantik) yakni ijtihad terhadap nash mujmal baik karena masih
tidak jelas maknanya, ataupun pada lafal tertentu bermakna dua/ganda
(musytarak), mutasyâbih (multi tafsir) dan sebagainya31. Inilah yang menjadi
perbedaan antara Muhammadiyah dan dan MUI yang hanya berpaku pada
perbentangan al Qur’an dan Hadist.
Selanjutnya, jika tidak ditemukan dalam nash al Qur'an atau hadits,
maka penentuan hukumnya melalui pendekatan manhaji dan qauli.
Pendekatan qauli merupakan pendekatan dalam upaya menetapkan fatwa
yang berpegangan akan pandangan imam mazhab yang terdapat pada kitab-
kitab fiqih terkemuka (al kutub al mu’tabarah), yang dilakukan seandainya
jawaban sudah cukup dalam menyelesaikan dan menjawab persoalan yang
ada. Namun, apabila qaul tersebut dianggap tidak sesuai untuk dipegangi
karena sangat sukar untuk dijalankan, karena adanya perubahan keadaan atau
sebab (illat), maka dilakukan telaah ulang.
Selain Komisi Fatwa MUI, pendekatan qauli juga dipergunakan oleh
Lembaga Bahtsul Masail NU dalam berijtihad atau mengeluarkan fatwa.
Namun, dalam penerapannya terdapat sebuah perbedaan yang sangat
mencolok antara pendekatan qauli yang dipergunakan oleh MUI dan
Muhammadiyah dengan pendekatan qauli yang dipakai oleh LBM NU dalam
menetapkan sebuah fatwa. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari qaul
(pendapat) yang dinukil oleh keduanya, dalam menetapkan fatwa Komisi
Fatwa MUI dan MT Muhammadiyyah tidak hanya menukil pendapat empat
imam mazhab saja tapi MUI terkadang juga menukil pendapat dari luar empat
31 Muhammad bin Sulaiman al Kurdi, Fawâid al Madaniyyah, Beirut, Dâr al Fikr, 2002,
hal. 33-34
100
imam mazhab beserta pengikutnya itu seperti mazhab Imamiyah dan
Dzahiriyah. Bahkan terkadang MUI dan Muhammadiyah juga menukil
pendapat yang bersifat kolektif, Kitab yang menjadi rujukan MUI dan
Muhammadiyah pun tidak terbatas pada kitab-kitab yang dikarang oleh
Fuqaha empat mazhab.
Sedangkan qaul (pendapat) yang dinukil oleh LBM NU dalam
menetapkan fatwa hanya terbatas pada pendapat empat imam mazhab saja.
bahkan penukilan pendapat dalam LBM NU lebih banyak menggunakan
pendapat yang terdapat dalam kitab-kitab yang ditulis oleh kalangan pengikut
mazhab Syafi’i, seperti kitab Jam'u al-Jawami', al-Mushtasyfa, al Rhoudhoh,
Minhaj al Tholibin, Tuhfah al Muhtaj, Nihayah al Muhtaj, al-Asybah wan al-
Nazha'ir dan kitab-kitab lainnya yang banyak dijumpai.
Menurut penulis tidak berlebihan rasanya apabila dikatakan bahwa
pendekatan qauli yang dipakai oleh LBM NU dikatakan sebagai pendekatan
qauli al-Syafi’i (Syafi’i centris) karena setiap mengeluarkan fatwa pendapat
yang dinukil oleh LBM NU didominasi oleh pendapat para pengikutnya
Imam Syafi’i seperti imam Nawawi, Rafi’i, Ibnu Hajar, al Ramli, dan lain
sebagainya. Hal tersebut lumrah dilakukan oleh kalangan Ulama NU karena
mayoritas masyarakat Indonesia bermazhab Syafi'i dan masyarakat Indonesia
sejak kecil telah terbiasa dan sudah dikenalkan dengan mazhab syafi'i,
sehingga tidak perlu merubah dan mempelajari mazhab lain dari salah satu
empat mazhab fiqih yang mu'tabar.
Adapun pendekatan Manhaji merupakan suatu cara penyelesaian
persoalan hukum berdasarkan jalan pikiran serta kaidah dalam menetapkan
sebuah hukum yang digagas oleh imam mazhab. Pendekatan manhaji
Menurut Abdul Muchith Muzadi sebagaiamana yang dikutip oleh Ahmad
Muhtadi Anshor,32 menyatakan bahwa sistem bermazhab ini merupakan jalan
32 Ahmad Muhtadi Anshor, Bahtsul al Masâil Nahdatul Ulama Melacak Dinamika
Pemikiran Mazhab Kaum Tradisionalis, (Solo, Teras, 2012), hal. 17-18
101
untuk mewariskan ajaran al Qur'an dan juga Hadits demi terpeliharanya
kelurusan serta kemurnian agama. Hal ini juga disebabkan dalam kandungan
ajaran al Qur’an dan Sunnah harus dipahami juga ditafsiri dengan pola
pemahaman serta metode yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Pendekatan manhaji merupakan suatu pendekatan yang cukup
populer dan banyak dipraktikkan sejak dulu di Indonesia. Dalam proses
penetapan fatwa, bukan MUI saja yang menggunakan pendekatan tersebut,
melainkan juga digunakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dan juga
LBM NU juga menggunakan pendekatan tersebut dalam berijtihad atau
menetapkan fatwa. Dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah pendektan manhaji
digunakan hanya apabilah metode nash qoth’i dan qouli tidak mampu
memberikan jawaban yang memuaskan atau tidak menyelesaikan pada
permasalahan yang sedang dikaji atau tidak tidak sesuai dengan konteks dan
tidak mendatangkan kemaslahatan. Demikian juga dalam Lembaga Bahtsul
Masail NU, Dalam LBM NU pendekatan manhaji digunakan apabila belum
ditemukan satupun pendapat (qaul) dan tidak mungkin dilakukan. Pendekatan
manhaji yang dipakai oleh MUI tidak jauh berbeda dengan yang dipakai oleh
Majelis Tarjih Muhamadiyah dan LBM NU.
Dalam menetapkan fatwa, Komisi Fatwa MUI terkadang tidak
konsisten dalam menggunakan ketiga pendekatan sebagaimana yang telah
kami sebutkan. Secara prosedur seharusnya Komisi Fatwa MUI sebelum
menetapkan fatwanya mula-mula harus melihat nash al Qur'an dan Hadits
shahih kemudian qaul ulama dan setelah itu barulah pendekatan manhaji
digunakan33. Namun, terkadang Komisi Fatwa MUI langsung menggunakan
pendekatan yang terakhir (manhaji) dalam menetapkan fatwanya tanpa
memperhatikan kedua pendekatan yang ada di atasnya.
Inkonsistensi Komisi Fatwa MUI dalam menggunakan ketiga
pendekatan tersebut lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi saat fatwa
33 Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, hal. 17
102
tersebut dikeluarkan. Hal tersebut dilakukan semata-mata demi
kemaslahatan, khususnya bagi umat muslim sebagaimana fatwa tentang
haramnya menikahi wanita ahlul kitab fatwa haram ini dikeluarkan untuk
kemaslahatan agama Islam (hifdz al-din) dan kaum muslimin.34
Majelis Tarjîh Muhammadiyah Dan Lembaga Bahtsul Masâil
Nahdlatul Ulama serta MUI ketiganya sama-sama menggunakan Hadits
dalam penetapan fatwanya tentang aborsi, pendapat ini disepakati oleh
fuqaha’ baik dari kalangan para imam mazhab yang diikuti oleh Majelis
Tarjîh Muhammadiyah ataupun dari kalangan Lembaga Bahtsul Masâil
Nahdlatul Ulama dan MUI, ketiga lembaga tersebut sepakat mengharamkan
aborsi setelah ditiupkannya ruh, hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Ibnu Mas’ûd yang artinya:
ثل ذليك، ث يكون إين أحدكم يمع خلقه في بطني أمهي أربعيين ي وما، ث يكون في ذليك علقة ميفخ فييهي الروح في ذليك مضغة ميثل ذليك، ث ي رسل الملك ف ي ن
Artinya:“Sesungguhnya setiap kamu kamu terkumpul kejadadiannya dalam
perut ibumu selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah kemudian
dalam bentuk alaqoh kemudian mudghoh selama itu juga kemudian
ditiupkan roh kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan MUI,
Muhammadiyah dan NU sepakat dalam hukum keharamannya, disebabkan
masuk dalam kategori membunuh makhluk yang sudah bernyawa, Hal ini
termasuk pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan dalil-
dalil syar’i seperti berikut firman Allah yang artinya:
اهمن ن رزقكم وإيي ولا ت قت لوا أولادكم من إملاق ن
Artinya:“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan.
Kami akan memberikan rejeki kepada mereka dan kepadamu.” (Q.S. al-
Isra: 31)
34 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, hal., 480- 481
103
ولا ت قت لوا الن فس التي حرم الله إيلا بيالحق
Artinya:“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan alasan yang benar (menurut syara’)”
(Q.S. al-Isra: 33)
(9( بيأي ذنب قتيلت )8وإيذا الموؤودة سئيلت )
Artinya:“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa
apakah ia dibunuh.” (QS. al-Takwir: 8, 9)
Berdasarkan dalil-dalil tersebut jelaslah keharaman aborsi pada
kandungan yang berusia empat bulan, sebab dalam keadaan tersebut
aborsi jelas merupakan tindakan kejahatan pembunuhan.
Secara ringkas persamaan dan perbedaan dari ketiga lembaga
tersebut dalam metode dan penetapan hukum aborsi dapat dijelaskan dalam
beberapa hal berikut:
Persamaan:
Menetapkan hukum kasus yang baru dengan menggunakan
pendekatan istinbath hukum untuk menghasilkan hukum
baru dan di sahkan secara kolektif;
Memakai dalil yang dianggap paling kuat kedudukannya.
Memakai kaidah-kaidah usul fiqih, Tentunya dengan
mempertimbangkan beberapa aspek, dari segi kapasitas
dan kredibilitas keilmuannya;
Menggunakan metode pendekatan bayani, pada awal
langkah dalam memahami al Quran dan Hadits yang
digunakan sebagai dalil meskipun berbeda dalam implikasi
pendekatannya;
Penetapan hukum (Itsbât al hukmi) dari ketiga lembaga
tersebut tidak dimaksudkan sebagai aktifitas menetapkan
hukum yang secara langsung bersumber langsung dari al
Quran dan Hadits, melainkan dalam konteks sebagai
104
penetapan hukum dengan cara mentahqiq
(mencocokkan/menerapkan) secara tepat dan dinamis dari
qaul dan ibâroh fiqih ulama mazhab mu'tabaroh;
Mencantumkan al Quran, Hadits dan dalil-dalil syara'
lainnya dalam setiap fatwanya, karena pada hakikatnya
setiap hukum pasti berdasarkan al Quran, Hadits dan dalil-
dalil syara' dengan ketentuan hal tersebut merupakan bagian
dari pendapat ulama yang terdapat dalam kutub mu'tabaroh;
Lebih dahulu melihat pendapat Ulama mazhab, selanjutnya
merujuk kepada ayat al Quran beserta tafsirnya, hadits
beserta syarhnya dan dalil-dalil syara' lainnya. Karena al
Quran, Hadits dan dalil-dalil syara' tidak dijadikan sebagai
dalil yang mandiri, tetapi merupakan bagian dari ijtihad
ulama.
Perbedaan;
a. Majelis Tarjîh Muhammadiyah
1) Hukum terdahulu bisa dihapus jika ada dalil yang lebih
kuat untuk dijadikan hukum.
2) Tidak memakai fatwa ulama terdahulu sebagai rujukan
melainkan mengadakan pembaharuan ulang.
3) Proses dalam pengambilan hukum, Peradaban kehidupan
masyarakat yang semakin komplek, maka demikian pula
produk hukum dituntut untuk menjawab berbagai
permasalahan umat, maka Majelis Tarjîh Muhammadiyah
merumuskan dengan ijtihad secara kolektif dan tidak
diperkenankan membuat putusan secara parsial. ketetapan
tersebut merupakan fatwa yang harus diikuti oleh pengikut
dari lembaga Muhammadiyah, hal ini menunjukkan bahwa
Majelis Tarjîh Muhammadiyah dalam strukturalnya sangat
tertib dan dipatuhi oleh pengikutnya.
b. Lembaga Bahstul Masâil Nahdlatul Ulama
105
1) Lebih mengutamakan Memakai fatwa atau keputusan ulama
terdahulu.
2) Kitab-kitab yang dipakai dominan dari Mazhab Syafi’i
sebagai rujukan para ulama di dalamnya, dan mayoritas
warga Nahdlatul Ulama berkiblat pada Imam Syafi’i.
3) Diberikan kewenangan untuk memunculkan prodak hukum
yang nantinya prodak hukum tersebut akan di patuhi oleh
seluruh umat pengikutnya dan hasilnya akan langsung di
fatwakan kemudian dijadikan sumber hukum yang sah.
c. Majelis Fatwa MUI
1) Lebih melihat keadaan dan efek fatwa bagi keadaan
masyarakat dalam menentukan hukum tetapi tetap dalam
koridor standar taqlid mazhab.
2) Tidak terpaku pada satu mazhab tertentu dan tidak condong
pada satu mazhab yang empat.
3) Proses pengambilan hukum tidak hanya kepada kitab kitab
klasik, melainkan dengan menggunakan sistem Tarjih
(memilih pendapat yang kuat) yang juga memudahkan dan
cocok untuk keadaan masyarakat modern.
4) Tidak memiliki pengikut khusus seperti kedua lembaga
sebelumnya, tetapi lebih dekat dengan lembaga resmi
pemerintahan dan sering dijadikan rujukan oleh pemerinthan
dalam penetapan hukum positif dan memecahkan berbagai
permasalahan dalam sebuah kasus.
106
BAB V
PENDAPAT NU, MUHAMMADIYAH DAN MUI TENTANG
ABORSI DITINJAU DARI PERSPEKTIF PERLINDUNGAN
ANAK DAN HAM
A. Fatwa LBM NU, MT Muhammadiyah dan MUI ditinjau dari Perspektif
Perlindungan Anak
Pada hakikatnya, anak di dalam kandungan termasuk dalam domain
perlindungan anak. Hal ini menjadi landasan dari dilarangnya praktik aborsi ilegal.
UU Kesehatan dan UU Perlindungan Anak telah memberikan ancaman kepada
siapa pun yang mempraktikkan pengguguran kandungan di luar aturan yang telah
ditetapkan.1
Seorang anak memiliki hak hidup sejak ditiupkan ruh di dalam rahim hingga
dia lahir ke alam dunia ini. Hak hidup tersebut dijelaskan dalam UU Perlindungan
Anak No. 23 Tahun 2002 yang kemudian diperbarui dengan UU No. 35 Tahun
2014. Hak hidup ini tidak boleh dirampas dengan alasan apa pun karena dia menjadi
anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. UU No. 23 Tahun 2002 No. UU 35 Tahun
2014 tentang perlindungan anak telah menjelaskan Secara eksplisit bahwasannya
janin yang masih di dalam kandungan sudah termasuk kategori anak.
Namun, dalam perjalanan hidup manusia, akan ada suatu kondisi yang tidak
dapat dielakkan, sebuah keadaan yang kita sebut sebagai kondisi darurat.
Pemerintah telah melahirkan undang-undang yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Di dalamnya,
terdapat pasal yang memperbolehkan aborsi dengan dua alasan, indikasi
kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Penerapan peraturan ini
dilakukan setelah melalui rangkaian persyaratan yang ketat, antara lain, jika
didasarkan kedaruratan medis, melalui pernyataan dokter yang kompeten dan jika
1 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011), hal. 23
107
korban pemerkosaan melalui hasil visum dan penyidikan aparat berwenang. Usia
kehamilan yang diizinkan untuk diaborsi pun dibatasi paling lama 40 hari sejak haid
terakhir. Jika lebih dari 40 hari, tidak diperkenankan oleh UU dan agama.
Disebutkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut, pasal 31 ayat 2 tindakan aborsi
akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia
40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea IV yang memuat salah
satu tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia dan menjadi landasan politik
hukum Indonesia yaitu "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia." Dari penjelasan sebelumnya dapat kita pahami bahwa arti
perlindungan yang diberikan dan diembankan oleh negara yaitu umumnya
diberikan kepada segenap komponen bangsa Indonesia dan semua tumpah darah
Indonesia, sebab itu dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap seseorang
tidak hanya diberikan kepada orang dewasa pada umumnya, tetapi juga kepada
anak dalam kandungan. Dengan demikian anak dalam kandungan berhak untuk
mendapatkan perlindungan dari negara.2
Dalam konteks kedokteran aborsi atau abortus adalah pengakhiran
kehamilan baik belum cukup waktu, yaitu di bawah usia 20 sampai 26 minggu,
maupun belum cukup berat, yaitu di bawah 400 gr sampai 1000 gr. Anak baru
mungkin hidup di dunia luar kalau beratnya mencapai 1000 gr atau usia kehamilan
26 minggu.3
Aborsi hanya berlaku pada janin yang masih berusia kurang dari 20-
24 minggu.4 Apabila upaya pengeluaran janin dilakukan pada usia di atas
24 minggu maka sudah masuk dalam pembunuhan anak dengan menggunakan
kekerasan. Pengertian kekerasan adalah setiap pelukaan baik secara fisik maupun
2 P.J. Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia; Penelitian Pancasila dengan
Pendekatan Historis, Filosofis & SosioYuridis Kenegaraan, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1993),
hal. 86 3 Fakultas Kedokteran UNPAD, Obstetri Patologi, (Bandung: UNPAD, Elstrar, 1984), hal.
7 4 Fadlun & Achmad Feryanto, Asuhan Kebidanan Patologis, (Jakarta: Salemba Medika,
2012), hal. 40
108
secara psikis, selain itu “kekerasan juga dapat diartikan sebagai paksaan. Paksaan
di sini diartikan sebagai suatu bentuk kekerasan terhadap anak yang masih di dalam
kandungan untuk dikeluarkan sebelum waktunya ia lahir, namun ia telah memiliki
kemampuan untuk hidup di luar kandungan.”5
Dalam konteks Islam dijelaskan bahwa kehidupan janin (anak dalam
kandungan) adalah kehidupan yang harus dihormati. Oleh sebab itu, adalah suatu
pelanggaran jika melakukan pengguguran terhadap janin yang sedang dikandung
(aborsi), terlebih aborsi tersebut tanpa alasan yang sah atau dikuatkan oleh tim
medis. Dari berbagai pendapat yang kita dapatkan dari para ulama tentang aborsi,
terutama masalah usia janin yang haram dan yang boleh untuk dilakukannya aborsi,
ternyata berbeda dengan persepsi yang dipaparkan oleh dunia medis kedokteran.
Secara medis, janin menjelang minggu keenam sampai ketujuh sudah
memperlihatkan adanya denyut jantung.
Aborsi menurut pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan pasal 1 angka 2 dan pasal 1 angka 12 , karena pada Undang-Undang
Perlindungan Anak, hak anak untuk hidup harus dijamin dan dipenuhi sepenuhnya
oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara.
Dalam pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak yang dinyatakan: “Perlindungan Anak adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi". Pasal
1 angka 12 dinyatakan: “Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan
negara".
5 Tristiadi Ardi, Ilhamuddin Nukman. Kekerasan Terhadap Anak (Perspektif Psikologi dan
al Quran), PsikoIslamika: Jurnal Psikologi dan KeIslaman, 2 Juli 2004
109
Dilihat dari materi hukum, untuk spesifikasi perlindungan anak
sudah kuat, secara konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 melalui Pasal 26 B
Junto Pasal 28 G telah mengamanatkan pada pemerintah juga masyarakat untuk
melakukan perlindungan terhadap kepentingan anak, dan secara operasional telah
didukung oleh aturan hukum lainnya antara lain: Keppres Nomor 36 Tahun 1990
yang meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak, Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang secara rinci mengatur tentang perlindungan hukum
terhadap hak-hak anak.
Hukuman melakukan aborsi terkadang belum sepenuhnya ditegakkan.
Padahal tindakan abortus tanpa alasan medis adalah suatu tindak kejahatan yang
dilakukan dalam keadaan sadar. Tentunya hal ini pantas mendapatkan hukuman.
Permasalahannya adalah apakah si pelaku abortus dapat disamakan dengan
pembunuhan terhadap orang yang hidup di alam nyata yang telah memiliki hak dan
kewajiban dihadapan hukum. Tampaknya menyamakan hukuman abortus dengan
pembunuhan menurut penulis adalah suatu tindakan yang tidak adil. Lantas,
hukuman yang lebih pantas adalah orang yang melakukan abortus secara sengaja
tanpa alasan medis baik pada kandungan sebelum empat bulan apalagi setelah
empat bulan harus dikenai hukuman denda.
Berdasar uraian di atas dapat kita pahami bahwa janin yang berada dalam
kandungan dalam batas usia yang telah ditentukan memiliki hak yang sama sebagai
seorang anak yang harus dilindungi dijaga, dijamin keberlangsungan hidupnya oleh
orang tua , pemerintah dan negara. atas dasar itu maka menjaga keturunan dan
regenerasi manusia diawali dari upaya menjaga janin dalam rahim setiap istri yang
mengandung janin suaminya, karena janin yang ada dalam rahim seorang istri
adalah calon penerus sebuah keluarga dan penerus bangsa, sehingga keberadaannya
di dalam kandungan ibunya harus dijaga dan dihormati untuk menjaga kelestarian
keturunan tersebut.
110
Perlindungan hukum terhadap janin harus lebih tegas dengan memberi
sanksi hukum kepada pelaku pengguguran janin, baik suami istri maupun orang
lain, dapat dikiaskan kepada hukuman terhadap pengguguran janin akibat
pembunuhan. Keberadaan janin dalam rahim seorang ibu harus dilindungi dari
berbagai upaya untuk menggugurkan janin, karena janin merupakan bentuk yang
pasti dalam melestarikan kehidupan umat manusia.6
Perbedaan ketetapan hukum dari MUI Muhammadiyyah dan NU atas
batasan diperbolehkannya aborsi berimplikasi pada perbedaan pandangan
masyrakat umum terhadap masalah ini, apalagi undang-undang tentang aborsi juga
masih belum eksplisit dalam menjelaskan batasan-batasan dan ketentuan keadaan
diperbolehkan atau tidaknya melakukan aborsi.
Hal ini disebabkan keadaan masyarakat Indonesia yang tidak terlalu
mengerti peraturan perundang undangan kecuali hanya terbatas pada sebuah buku
peraturan, namun masyarakat kita begitu menjaga moral dan budaya serta norma-
norma keagaman, maka dari itu perbedaan pendapat di kalangan ulama Indonesia
berimplikasi pada cara pandang masyarkat, dimana hal ini diwakili tiga lembaga
besar yang ada di Indonesia yakni NU, MUI dan Muhammadiyah.
NU, Muhammadiyyah dan MUI adalah tiga organisasi Islam terbesar di
Indonesia yang mempunyai massa pengikut terbanyak daripada organisasi Islam
lainnya, para tokoh agama di dalamnya memiliki posisi yang sangat penting dalam
kehidupan mesyarakat, mereka sangat dihormati dan menempati strata sosial
tertinggi di bidang otoritas agama. Ulama ataupun ahli agama merupakan
penyambung risalah Islam dan sebagai pembimbing umat, para ulama juga
berperan sebagai perantara budaya lokal, budaya Islam dan budaya global.
Keempat, ulama dipandang memiliki otoritas dalam menafsirkan agama sehingga
pandangan-pandangannya akan sangat berpengaruh terhadap pola pikir, sikap dan
prilaku umat.
6 Zaitunah Subhan, al Quran dan Perempuan, Menuju Kesetaraan Gender Dalam
Penafsiran, Jakarta, Kencana, 2015, hal. 50.
111
MUI yang mengharamkan aborsi sejak terjadinya proses nidasi dalam hal
ini sama dengan NU yang menjelaskan batas keharaman aborsi sejak nidasi, namun
berbeda pada korban perkosaan, yang mana MUI membolehkannya dan NU
melarangnya, berbeda dengan Muhmammadiyah yang mengharamkan aborsi sejak
proses konsepsi. Dari putusan ketiga lembaga tersebut secara keseluruhan sesuai
dengan konsep perlindungan anak, yang mana janin atau calon anak apabila dilihat
dari sisi kedokteran dilarang aborsi sapabila telah melewati sekitar 20 -24 minggu.
Di mana hal ini Ulama lebih melindungi calon anak dari diskriminasi dan lebih
menjaga hak untuk hidup bagi calon anak meskipun belum sampai pada batas
sesuatu itu bisa dikatakan sebagai anak.
Hal tersebut selaras dengan tujuan dan konsep negara dalam perlindungan
anak, sebagai mana telah disebutkan sebelumnya, perlindungan terhadap segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
berkembang dan ikut berpartisipasi secara optimal untuk bangsa dan negara sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari segala
bentuk diskriminasi. Dalam hal ini calon anak tersebut meskipun belum memiliki
wujud seperti halnya manusia namun perlu mendapatkan hak dan perlindungan
sebgaimana manusia umumnya, karena dia adalah awal mula proses dari
terbentuknya manusia.7
B. Fatwa LBM NU, MT Muhammadiyah dan MUI ditinjau dari Perspektif
HAM
Aborsi atau abortus menurut hukum pidana, yaitu kejahatan yang dilakukan
dengan suatu perbuatan yang mengakibatkan kandungan lahir sebelum waktunya
melahirkan menurut alam.8 Pada tindak kejahatan terhadap pengguguran
kandungan ini diartikan juga sebagai pembunuhan anak yang berencana, di mana
pada pengguguran kandungan harus ada kandungan (vrucht) atau bayi (kidn) yang
hidup yang kemudian dimatikan. Persamaan inilah yang juga menyebabkan tindak
7 Muhammad Joni, dkk. Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Prespektif Konvensi Hak
Anak. hal.62 8 Soekidjo Notoadmojo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta, hal.135.
112
pidana penguguran (abortus) dimasukkan ke dalam titel buku II KUHP tentang
kejahatan terhadap nyawa orang.9
Terlepas dari hukum positif yang mengatur, aborsi tidak dapat dipisahkan
dari persoalan-persoalan yang terkait dengan nilai-nilai sosial, budaya dan agama
yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Indonesia sebagai negara yang
penduduknya mayoritas beragama Islam, tentu tidak bisa terlepas dari hukum Islam
yang turut menjadi pertimbangan dalam memandang suatu persoalan. Di dalam
Islam, memelihara jiwa dan melindunginya dari berbagai ancaman berarti
memelihara eksistensi kehidupan umat manusia dan sekaligus melindungi
keberadaan komunitas muslim secara keseluruhan.10
Masalah aborsi adalah isu kontroversial, karena aborsi tidak hanya terkait
dengan masalah kesehatan, tetapi juga erat dengan etika, sosial, moral, agama, dan
hukum. Adanya kontroversi yang terjadi di kalangan ulama erat kaitannya dengan
masalah aborsi yang non therapeuticus pada usia sebelum 120 hari. Para ulama
fiqih berbeda pendapat dalam masalah ini, sebagian ada yang membolehkan,
memakruhkan, bahkan sebagian yang lain mengharamkan.
Sejalan dengan keadaan tersebut, praktik aborsi telah menuai kontroversi di
berbagai kalangan, salah satunya di kalangan para ulama, terutama Majelis Ulama
Indonesia yang selanjutnya disingkat MUI. Pada mulanya seluruh lembaga fatwa
Indonesia yakni Bahtsul Masail NU (Nahdatul Ulama), Majelis Tarjih
Muhammadiyah, MUI, dewan hisbah PERSIS (Persatuan Islam), mereka sepakat
bahwasannya aborsi sejak terjadinya pembuahan hukumnya adalah haram, kecuali
darurat, ada alasan medis. Demikian pula mereka sepakat tentang batas haramnya
aborsi adalah sejak terjadinya konsepsi (persenyawaan).11
9 Moelijatno, Azas-Azas Hukum Pidana, hal. 71. 10 Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, 2009, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus), hal. 113 11 Lysa Anggraini, “Aborsi Dalam Pandangan Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia”
dalam Jurnal Hukum Islam Vol. VII No. 5 Juli 2007
113
Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, MUI sebagai lembaga fatwa
terbesar di Indonesia kemudian pada Munas tahun 2005 memberikan pengecualian
yakni membolehkan aborsi dalam keadaan darurat maupun hajat. Keadaan darurat
yang dimaksud adalah keadaan apabila ibu tidak diaborsi maka nyawanya akan
terancam. Sedangkan keadaan hajat yang dimakasud adalah keadaan ketika si ibu
hamil karena diperkosa atau keadaan ketika janin diperkirakan akan mengalami
cacat fatal jika dilahirkan.
MUI memberikan batasan dan syarat tertentu, yakni aborsi boleh dilakukan
sebelum usia kandungan 40 hari, direkomendasikan oleh keluarga, dokter dan
ulama, dan pelaksanaannya dilakukan di rumah sakit tertentu.12 Fatwa MUI yang
dikeluarkan pada tahun 2005 tersebut telah menuai kontroversi di berbagai
kalangan, termasuk di kalangan lembaga fatwa lainnya seperti Majelis Tarjih
Muhammadiyah, LBM NU dan Dewan Hisbah PERSIS.
Majelis Tarjih Muhammadiyah belum melakukan revisi atau perubahan
fatwa seperti MUI yakni membolehkan korban perkosaan untuk melakukan aborsi,
Majelis Tarjih Muhammadiyah tetap menggunakan fatwa lama yang dikeluarkan
pada Tahun 1998 yang isinya hanya membolehkan aborsi dengan alasan
kedaruratan medis (indikasi medis), begitu juga dengan NU, tetap tidak
mengkategorikan korban perkosaaan sebagai hajat yang memperboehkan aborsi,
namun NU sedikit merubah yang awalnya aborsi haram saat tsetelah terjadinya
proses pembuahan, kini mnjadi lebih lama hingga jangka nidasi, perubahan ini
diumumkan pada Muktamar NU pada tahun 2014.13
Dalam pandangan Hukum Islam, dijelaskan bahwa kehidupan janin
merupakan kehidupan yang harus dihormati.14 Oleh sebab itu, adalah suatu
pelanggaran jika melakukan pengguguran terhadap janin yang sedang dikandung
(aborsi), apalagi aborsi tersebut tanpa alasan yang sah atau dikuatkan oleh tim
12 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, hal., 480- 481 13 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasil Keputusan Komisi Bahtsul Masa'il Diniyah
Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, Jakarta 2014. 14 Yûsuf Qaradhâwi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Pres, 1995), jilid
II, hal. 70
114
medis. Sedang MUI dan NU memberikan rambu-rambu mengijinkan aborsi selama
kehamilan belum berusia 40 hari.
Dalam studi hukum Islam terdapat perbedaan pendapat tentang aborsi di
dalam empat Mazhab Fiqih. Imam Hanafi misalnya yang menjadi mazhab yang
paling fleksibel memandang bahwa, sebelum empat bulan masa kehamilan, aborsi
bisa dilakukan apabila mengancam kehidupan si perempuan yang sedang
mengandung; Mazhab Maliki melarang aborsi setelah terjadinya pembuahan;
Mazhab Syâfi‘î memandang bahwa apabila setelah terjadi vertilasi zigot tidak boleh
diganggu, dan intervensi terhadapnya adalah sebagai kejahatan; sedangkan Mazhab
Hanbali menegaskan bahwa aborsi adalah dosa, dengan adanya pendarahan yang
menyebabkan keguguran sebagai petunjuk bahwa aborsi itu haram.
Pandangan hukum pidana di Indonesia, tindakan pengguguran kandungan
tidak selalu merupakan perbuatan jahat atau merupakan tindak pidana, hanya
abortus provokatus criminalis saja yang dikategorikan sebagai suatu tindak pidana,
adapun pengguguran kandungan yang lainnya terutama yang bersifat spontan dan
medicalis, bukan merupakan suatu tindak pidana. Sebagaimana ketentuan yang ada
dalam pasal 346 sampai 349 KUHP. Dari pasal-pasal tersebut jelas bahwa tindakan
aborsi yang disengaja baik dengan persetujuan ibu maupun tidak, tetap ada
sanksinya. Dengan adanya sanksi hukum tersebut mengindikasikan bahwa secara
formal hukum Indonesia menolak adanya aborsi.15
Resiko kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi seorang wanita
pada saat melakukan aborsi adalah kematian mendadak, karena pendarahan yang
hebat, pembiusan yang gagal, dan sebab-sebab lain yang tidak bisa diantisipasi, atau
kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan, rahim yang
robek, kerusakan pada leher rahim, indung telur, kanker hati, menjadi mandul tidak
15 Moeljatno, KUHP =Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ,Jakarta : Bumi Aksara ,2007
, hal. 124
115
memiliki keturunan lagi, infeksi rongga panggul, dan infeksi pada lapisan rahim
dan penyakit-penyakit lainnya.16
Sebagian kalangan menilai aturan tentang dilegalkannya aborsi terhadap
korban perkosaan dapat menjadi pembenaran bagi pasangan yang tidak
bertanggung jawab untuk menggugurkan janin yang merupakan hasil hubungan
haram (perzinahan) dengan alasan perkosaan. Namun di sisi lain, banyak kalangan
yang menilai bahwa dilegalkannya aborsi merupakan suatu bentuk perlindungan
hukum yang diberikan kepada korban perkosaan, mengingat besarnya dampak
psikis yang ditimbulkan akibat perkosaan yang terjadi padanya. Kemudian
pelegalan aborsi dengan syarat dan ketentuan yang diatur berguna untuk mencegah
tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) akibat aborsi tidak aman (unsafe abortion).17
Dalam konsep perlindungan Hak Asasi Manusia yang digagaskan dalam
Deklarasi Universal HAM (DUHAM) disebutkan "Hak asasi manusia merupakan
hak yang secara hakiki dimiliki oleh manusia karena martabatnya sebagai manusia
yang dimilikinya sejak dalam kandungan". Menurut O’Conner,18 sejak awal perlu
ditegaskan kembali dasar putusan Roe v. Wade dan Doe v. Bolton, yang
memberikan teori tiga kerangka waktu tentang aborsi berdasarkan pengertian atas
HAM tersebut, yaitu:
1. Pengertian tersebut merupakan pengakuan terhadap hak privasi
perempuan untuk memilih aborsi sebelum janin mampu hidup di luar
rahim dan dapat melakukannya tanpa campur tangan negara. Sebelum
janin mampu hidup di luar rahim kepentingan negara tidak cukup kuat
untuk mendukung larangan aborsi atau memberikan hambatan terhadap
hak privasi perempuan untuk memilih prosedur aborsi.
16 R.S Ridho Syahputra Manurung “Legalisasi Aborsi, Nilai Pancasila, Agama dan
Hukum”, (Suara Media, Jakarta, 2005), hal. 11 17 Lysa Anggraini, “Aborsi Dalam Pandangan Islam Dan Hukum Positif Di
Indonesia”dalam Jurnal Hukum Islam Vol. VII No. 5 Juli 2007. 18 S. D. O’Conner, “Majority Opinion”, dalam M. Ethan Katsh (ed), Taking Sides: Clashing
Views on Controversial Legal Issues, (Guilford, Dushkin Publisihing Group, 1995), hal. 113
116
2. Pengertian tersebut merupakan konfirmasi terhadap kekuasaan negara
untuk melarang induksi setelah janin mampu hidup di luar rahim, apabila
hukum mengatur tentang pengecualian terhadap kehamilan yang
membahayakan kehidupan atau kesehatan perempuan.
3. Prinsip bahwa negara mempunyai kepentingan yang sah untuk
melindungi kehidupan janin yang dapat menjadi seorang anak. Prinsip-
prinsip ini tidak bertentangan dengan setiap prinsip yang menjadi
pegangan HAM.
Oleh karena itu O’Conner19 menyimpulkan bahwa batas waktu aborsi harus
ditarik pada saat janin mampu hidup di luar rahim, sehingga sebelum waktu
tersebut, perempuan mempunyai hak privasi untuk memilih menghentikan atau
melanjutkan kehamilannya.
O'Conner berpegang pada prinsip ini karena dua alasan:
1. Setiap tindakan pengadilan untuk menarik garis batas sesuatu merupakan
suatu perbuatan yang sewenang-wenang, dan dianggap tidak sesuai
dengan tujuan HAM, maka dari itu keputusan Roe dan Doe dalam hal
tersebut tidak dipandang hanya satu sudut pandang, namun telah
dielaborasi dengan sangat teliti.
2. Konsep kemampuan hidup di luar rahim, sebagaimana dapat diketahui
dalam putusan Roe dan Doe, adalah saat dimana terdapat kemungkinan
yang realistik untuk mempertahankan dan mengasuh kehidupan di luar
rahim, sehingga keberadaan yang bebas dari kehidupan anak dalam
kandungan mendapatkan perlindungan dari negara yang sekarang
melebihi hak perempuan.
Menurut Adjie,20 putusan Roe v. Wade dan Doe v. Bolton, menerbitkan
sebuah keputusan, bahwa pilihan seorang wanita untuk melakukan aborsi pada
19 S. D. O’Conner, “Majority Opinion”, dalam M. Ethan Katsh (ed), Taking Sides: Clashing
Views on Controversial Legal Issues, (Guilford, Dushkin Publisihing Group, 1995), hal. 119 20 O. S. H. Adji, Hukum-Hakim Pidana, (Cet. Ke-2,Jakarta, Erlangga, 1984), hal. 206.
117
trimester pertama merupakan hak fundamental yang menyangkut kebebasan dan
merupakan privasi dari wanita hamil yang bersangkutan, maka dari itu perlu
dilindungi terhadap pelanggaran dan hukuman yang tak sesuai dari negara.
Lebih lanjut Adjie menjelaskan bahwa dia memutuskan tentang hukum
aborsi tersebut menghubungkan dengan kaidah “right of privacy”, yang dikatakan
bahwa hak tersebut adalah cukup luas dalam meliputi pilihan dari wanita yang
bersangkutan untuk menyudahi kehamilannya dan mengakhiri nyawa janin atau
memlih untuk menjaga dan meneruskan kehamilannya (“is broad enough to
encompass a woman’s decision whether or not to terminate her pregnancy”).
Namun bagaimanapun juga, putusan tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa
wanita ataupun dokter yang bersangkutan dapat mengambil ketentuan sendiri tanpa
adanya campur tangan pemerintah dalam trimester pertama.21
Dari berbagai alasan dan problematika yang ada saat ini, serta macam-
macam argumen yang disampaikan dalam upaya mengantisipasi segala sesuatunya
terhadap sebab dan akibat dan terutama masalah aborsi serta dampak dan implikasi
sosialnya, maka pendapat Mazhab Maliki yang mana dalam hal ini oleh ulama
Nusantara diwakili Muhammadiyah lewat lembaga fatwanya yang melarang
praktek aborsi sejak terjadinya proses konsepsi, paling relevan dengan tuntutan
perkembangan zaman. Pendapat ini dikuatkan oleh teori-teori embriologi yang bisa
dipertanggung jawabkan secara akurat dan objektif. Dengan kata lain, aborsi tidak
boleh dilakukan kecuali dengan alasan syar’i, yaitu benar-benar dalam kondisi
sangat darurat setelah terjadinya proses kosepsi.
Namun bukan berarti pendapat lembaga lain tidak relevan dengan keadaan
saat ini, hanya saja penulis melihat bahwa larangan aborsi sejak awal permulaan
proses kehamilan lebih efektif untuk melindungi hak calon anak dari diskriminasi
orang tuanya, dan seorang wanita tidak dapat berargumen bahwasanya
pengguguran janin tersebut sebagai hak prerogatifnya, sebagaimana alasan yang
telah diuraikan sebelumnya, juga karena dalam janin tersebut kita tidak pernah tahu
21 O. S. H. Adji, Hukum-Hakim Pidana, hal. 207.
118
potensi apa yang tersimpan dalam calon anak tersebut yang akan dibawa ketika ia
menjadi penerus orang tuanya dan masa depan bangsa ini.
Hal ini sesuai dengan konsep dari tujuan hak asasi manusia itu sendiri
seperti yang dijelaskan dan dideklarasikan oleh DUHAM bahwa hak asasi manusia
dapat dilaksanakan oleh seorang manusia dengan identitasnya sebagai individu dan
identitasnya dalam komunitas, organisasi, keluarga dan negara atau kolekti
Sehingga keberadaan yang bebas dari kehidupan anak dalam kandungan
mendapatkan perlindungan dari negara melebihi hak perempuan yang sedang
mengandung janin tersebut.
Dalam penetuan HAM, negara kita juga memiliki ikatan erat dengan
Deklarasi Kairo, pengaruh Deklarasi Kairo dalam tatanan HAM di negara kita,
karena Deklarasi Kairo sarat dengan ketentuan Hukum Islam, hal ini mampu untuk
mengakomodir masyrakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
sebab di dalam Islam sendiri, HAM terlebih khusus penghargaan terhadap
perempuan dan hak-hak anak sangat dijunjung tinggi.22
Ajaran HAM dalam Islam hadir jauh sebelum dokumen PBB lahir. Islam
membebaskan anak dari pembunuhan (mengubur hidup-hidup anak perempuan),
diskriminasi, sebab anak adalah amanah dari Allah SWT, yang dengannya melekat
tanggung jawab orang tua. Dalam hal ini termasuk janin yang berada dalam
kandungan, karena semua proses dari awal pembuahan sel telur hingga
terbentuknya janin secara sempurna merupakan awal pembentukan manusia. Bila
tidak dilindungi dari sejak awal proses tersebut, dengan kata lain kita tidak
menghargai manusia itu sendiri.
22 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). Hal, 64
119
Tabel putusan aborsi;
No Lembaga Putusan
1 Majelis Tarjih Muhammadiyah Haram dilakukan sejak proses
konsepsi (masa pembuahan sperma)
2 Lembaga Bahtsul Masa'il
Nahdatul Ulama
Pada dasarnya hukum aborsi adalah
haram sejak proses pembuahan,
meskipun janin tersebut akibat
perkosaan. Namun sebagian Ulama
memperbolehkan sebelum usia janin
berumur 40 hari terhitung dari hari
pertama haid terakhir
3 Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia
Aborsi haram hukumnya sejak
proses tertempelnya balstosis
(struktur awal setelah terjadinya
pembuahan) pada dinding rahim ibu
(nidasi), aborsi diperbolehkan karena
ada udzur, baik bersifat darurat
ataupun hajat, salah satu keadaan
hajat yang menyebabkan
diperbolehkannya aborsi adalah
kehamilan akibat perkosaan, namun
dengan syarat hal itu dilakukan
sebelum janin berusia 40 hari
120
4 Hukum Perlindungan Anak
anak yang ada di dalam rahim telah
memiliki hak hidup hingga dia lahir
ke alam dunia ini. Hak hidup
tersebut dijelaskan dalam UU
Perlindungan Anak No. 35 Tahun
2014
(Tidak menjelaskan batas waktu
tertentu)
5 Hak Asasi Manusia
Dalam konsep perlindungan Hak
Asasi Manusia yang digagaskan
dalam Deklarasi Universal HAM
(DUHAM) disebutkan "Hak asasi
manusia merupakan hak yang secara
hakiki dimiliki oleh manusia karena
martabatnya sebagai manusia yang
dimilikinya sejak dalam kandungan
(Tidak menyebutkan batas waktu
tertentu)
121
Aborsi menurut Ulama Fiqih;
No Mazhab Hukum
1
Pendapat dari Mazhab Mȃliki yang paling
kuat, al-Gazȃli dan as-Sarakhsi dari Mazhab
Hanbali, Mahmud Syaltut
Haram aborsi secara
mutlak. (apabila
sperma telah
bercampur dengan
ovum dalam rahim
2 al-Ramli dari Mazhab Syâfi’i Boleh selama belum
usia mencapai 120 hari
3
Mayoritas Syafî’iyah (kecuali al-Ghâzali dan
al-Ramli), mayoritasFfuqaha Hanâbilah
(kecuali Ibn Rajab) serta mayoritas Fuqaha
Hanafiyah
Haram setelah usia
janin melewati 40 hari,
dan makruh sebelum
usia janin 40 hari
4 al-Subki dan Abu Ishaq al Marwazi
pengguguran
kandungan dari hasil
perbuatan zina,
dibolehkan asal masih
berupa nutfah atau
‘alaqoh, yaitu sebelum
80 hari
5 Ibnu Qudamah dari kalangan Malikiyyah
Pengguguran terhadap
janin yang masih
berbentuk mudghah
hukumnya makruh,
namun wajib
membayar denda
ghurrah
122
BAB VI
Penutup
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis akan memberikan
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
A. Kesimpulan
Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan dalam
tesis ini, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Aborsi yang dilakukan setelah 120 hari tanpa ada sebab kedharuratan
ataupun sebab medis, Ulama sepakat atas keharamannya, adapun
sebelumnya terbagi menjadi beberapa mazhab, dimulai dari kalangan
Malikiyyah yang dipegang dan diikuti oleh Muhammadiyyah yang
mengharamkan aborsi sejak masa konsepsi, selanjutnya dari kalangan
sebagian Syafi'iyyah, Hanfiyyah dan Hanabilah memakruhkan jika tanpa
sebab sebelum proses peniupan ruh, selanjutnya menurut al Ramli, al
Subki dan beberapa ulama lainnya membolehkan tanpa ada kemakruhan,
adapun MUI dan NU mengambil jalan tengah dari pendapat-pendapat
ulama terdahulu, yaitu haram meski sebelum janin memasuki usia 40 hari
jika dilakukan tanpa sebab.
2. Menurut Undang-Undang batasan waktu maksimal diperbolehkannya
aborsi belum diatur secara eksplisit, hanya dijelaskan pada UU No. 35
tahun 2014 bahwa janin dalam kandungan merupakan anak yang harus
dilindungi, sedang dalam konteks kedokteran, dijelaskan pada UU
tentang kesehatan No. 39 tahun 2009 apabila janin belum mampu hidup
di luar maka belum dapat dianggap sebagai anak.
3. Aborsi dalam konteks HAM perilaku aborsi terbagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu kelompok prolife dan prochoice. Prolife adalah
pandangan yang menentang adanya aborsi, mereka berpandangan bahwa
janin mempunyai hak hidup yang tidak boleh dirampas oleh siapapun,
termasuk oleh ibu yang mengandungnya, kelompok prolife ini
123
memandang bahwa melakukan aborsi itu sama dengan melakukan
pembunuhan. Sedangkan prochoice adalah pandangan yang menyatakan
bahwa keputusan menggugurkan atau mempertahankan kandungan
adalah hak mutlak dari si ibu yang mengandung bayi tersebut.
4. Dari keputusan hukum ketiga lembaga di atas, ketika dilihat dari sudut
pandang Perlindungan Anak dan HAM, Mazhab Maliki yang lebih cocok
dan sesuai diterapkan di keadaan saat ini, di mana pergaulan bebas dan
hubungan seks di luar nikah semakin marak perlu dibatasai dan lebih
ketat untuk meminimalisir peluang-peluang tindakan aborsi.
B. Saran
Atas apa yang telah diuraikan dari keterangan dalam penelitian ini, penulis
ingin menyampaikan beberapa saran sebagai berikut terhadap pihak-pihak terkait;
1. Menyamakan hukuman abortus dengan hukuman pembunuhan menurut
penulis adalah suatu tindakan yang tidak adil. Lantas, hukuman yang
lebih pantas adalah bagi orang yang melakukan abortus secara sengaja
tanpa alasan medis, baik pada kandungan sebelum empat bulan apalagi
setelah empat bulan harus dikenai hukuman denda. Seperti yang
dijelaskan oleh para ulama yang mengatakan aborsi sebelum 4 bulan
diwajibkan membayar ghurrah/denda, dapat di praktekkan di negara kita,
tidak harus sama bentuknya, namun subtansinya untuk sebuah hukuman.
2. Setiap manusia harus menyadari bahwa Hak Asasi Manusia merupakan
hak yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, meskipun itu oleh
orang tuanya sendiri. Pentingnya perhatian dan pengawasan yang ketat
oleh pemerintah terhadap kasus aborsi, perlunya pendidikan dan
pemahaman agama yang baik dari orang tua, sekolah dan lingkungan
untuk para remaja agar tidak terjumus dalam perbuatan yang memaksa
untuk melakukan aborsi. Kita bisa memulai dari diri kita sendiri untuk
bisa menghargai hak asasi orang lain. Misalnya, dengan tidak
mengganggu hak orang lain, terutama anak – anak.
124
3. Perlindungan hukum terhadap janin harus lebih tegas dengan memberi
sanksi hukum kepada pelaku pengguguran janin, baik suami istri maupun
orang lain. Penentuan hukum dapat dikiaskan pada hukuman terhadap
pengguguran janin akibat pembunuhan. Karena dalam hal
apapun,kecuali sebab medis, janin yang berada dalam Rahim tidak
memiliki salah apapun, maka sebab itu dalam bentuk apapun dan dalam
kondisi apapun manusia itu harus dihormati Dari awal penciptaannya
sampai akhir hayat.
4. Hendaknya seluruh lapisan masyarakat menyadari dan mengetahui
bahwa antara negara dan agama merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan, karena keduanya mempunyai hubungan yang saling
membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.
Dan akhirnya Alhamdulillah Penulis panjatkan syukur kehadirat Allah yang
telah memberikan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih
terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Maka dari itu, penulis mengharapkan
saran dan kritik konstruktif demi perbaikan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat
bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
125
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran
al-Quran dan Terjemahan, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al Qur'an
Departemen Agama RI, 1971
Buku
Âbâdy, al-Fayrûz, Qamus al-Muhith, Beirut, Maktabah al-‘Ilmiyyah, 2013
Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Abi Muhammad, al-Mughnî,
Cairo: Hajar, 1992.
Abdullah, Rozali, Perkembangan HAM dan keberadaan Peradilan HAM di
Indonesia.Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004
Abrori, Di Simpang Jalan Aborsi, Semarang, Gigih Pustaka Mandiri, 2014
Abshor, Maria Ulfa, Fikih Aborsi, Cet I, Jakarta, Kompas. 2006
Absjah, Budi Utomo Hendartini dkk, Insiden dan aspek psiko-sosial aborsi di
Indonesia Jakarta, Word Press, 2001.
Âmidî, al, Ali ibn Muhammad, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Kairo, Dar al-Sami’,
1998.
Amin, Ma’ruf, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Paramuda Advertising,
2008
Anam, Chairul, Pertumbuhan dan Perkernbangan Nahdlatul Ularna Surabaya:
Duta Aksara Mulia, 2010
Anshor, Ahmad Muhtadi, Bahth al-Masail Nahdlatul Ulama: Melacak Dinamika
Pemikiran Mazhab Kaum Tradisionalis, Yogyakarta: Teras, 2012
Anshori, Ibnu, Perlindungan Anak dalam Agama Islam, Jakarta: Komisi
Perlindungan Anak Indonesia, 2006
AS. Harley, AP Cowie, Ac Ginson Oxford Advenced Teories Dictionary of Corent
English, New York: Toronto Oxford University, 1997
Asqallâni, al, Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar, Fath al-bâri, , Beirut, Dar al Fikr, 2001.
Ata Ujan, Andre, Multikultularisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan,
Jakarta, Bhuana Ilmu Populer 2009
Aziz et al, Moh. Ali, Fiqih Medis, Surabaya: Rumah Sakit Islam Jemursari, 2012.
Baghdadi, al, Abdurrahman. Emansipasi Adakah Dalam Islam. Jakarta: Gema
Insani Press. 1998
126
Bâjuri, al, Ibrâhim hâsyiyah al-Bâjûri `ala jauharah al-tauhîd, Dâr al-Salâm, Cet 1
2002.
Bassâm, al, Abdullah Ibn Abdurrahman, Taudhih Al-Ahkaam. Dâr Ihya’ al-Kutub
al-Arabiyah, 2002
Bayan li al Nas, min al Azhar asy-Syarif Kairo; Mathba`ah al-Mushaf al-
Syarif,2003.
Berita Resmi Muhammadiyah Nomor Khusus, Tanfidz Keputusan Muktamar
Tarjih Muhammadiyah, 1990.
Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia Utama, 2007.
Dahlan, Abdul Aziz, Dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jilid 2, Jakarta: Penerbit
Djambatan, 2002.
Dasuqi, al, Muhammad, ‘Arafah Hâsiyyah al-Dasuki alâ al-Syarah al-Kabîr,
Beirut: Dâr al-Fikr, 2004
Dimyâti, al, Abu Bakar, Hasyiyah I’ânat al-tâlibîn, , Kairo, Dar al-Hadits, 1998
Disuqi, al Hasyiyah al-dusûqi ‘ala syar al-kabir, Jeddah, Maktabah Zahron, 2001.
Djamil, Faturrahman, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:
Logos Publishing House, 1997.
Djamil, M. Nasir, Anak Bukan untuk DiHukum, Jakarta, Sianar Grafika, 2013.
Efendi, Ali Ghufron dan Adi Heru Sutomo, Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia,
transplantasi Ginjal dan Operasi Kelamin dalam Tinjauan Medis, Hukum
dan Agama Islam, Cet. 1, Yogyakarta: Aditya Media, 2006
Effendi, Masyhur. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Nasional dan Internasional, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994
Elvandari, Siska, Hukum Penyelesaian Sengketa Medis, Yogyakarta: Thafamedia,,
2010.
Fadlun, & Achmad Feryanto, Asuhan Kebidanan Patologis, Jakarta: Salemba
Medika, 2012.
Fak. Kedokteran, UNPAD, Obstetri Patologi, Bandung: Elstar. 1994
Fallȃni, al, îqadzul humȃm ulil absȃr, Beirut, Dar al-fath cet ,1 1997
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi.
Fayyûmi, al, Ahmad Ibn ‘Ali, Misbâh al-Munîr Fi Garîb al-Syarh al-Kabîr, Beirut,
Maktabah al-‘Ilmiyyah, 2005.
127
Fealy, Greay, Tradisionalisme Radikal, Persinggunhan Nahdhatul Ulama-Negara,
LKIS Yogyakarta, 1997
Ghâzali, al, Ihyâ ‘Ulûm al-Din, Juz II, Kairo: Dâr Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 2001
Gultom, Maidin, 2012, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan, PT
Refika, Aditama, Bandung,
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina
Ilmu, , 1987
Hamka, K.H. Ahmad Dahlan, Peringatan 40 Tahun Muhammadiyah, Jakarta: 1952.
Hamka, Rusjdi, Pribadi dan Martabat Prof. Dr Hamka, Jakarta: Pustaka Panji Mas,
1981
Harum Pudjiarto, St, Hak Asasi Manusia di Indonesia:Suatu Tinjauan Filosofis
Berdasarkan Pancasila dan Permasalahannya dalam Hukum Pidana.
Yogyakarta, Universitas Atma Jaya, 1993
Hazm, Ibnu, al-Muhallâ, jilid XI, Kairo: al-Muniria, 1352 H
Hothout, Hassan, Revolusi Seksual Perempuan, Bandung: Mizan, 1995
Husein al Jiyzani, Muhammad, Ma'alim al Ushul Inda Ahli al Sunnah, dâr Ibn
Jauziy, Jeddah 2003
Ibn ‘Abid Muhammad, ‘Alauddîn, Hâsyiyah Ibn ‘Abidîn ‘ala al-Durril al-Mukhtâr,
Dâr al-Fikr, Beirut, 2000.
Ibn Abdil Al-Bar, al-jâmi’ , Kairo: Dâr al-Taufiqiyyah, 2001.
Ibn Asy’ats, Sulaiman, Sunan Abi Daud Dâr al- Risalat al-‘Alamiyyah, Cet 1 2009.
Ibn Ismȃil, Muhammad. Sahih al-Bukhȃri, Dâr Tauqi al-Najȃh,Cet ,1 1422 H.
Ibn Nujaim, Zainuddin Ibn Ibrahim Asybȃh Wan nazȃir. Beirut, Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah 1999
Ibn Nujaim, Zainuddîn, al-Bahr al-Râiq fi Syarh Kanz al-Daqâiq, Cairo, Dâr al-
Hadits, 2003
Ibn Sholaah, Fatawa Ibnu Sholaah, Maktabah al-Ulum, Beirut 1994,
Ibn Umar Ba’alawi, Abdurrahman Ibn Muhammad Ibn Husaen, Bugyat al-
Mustarsyidin, Damaskus, Dâr al-Fikr, 2004,
Irfan, M. Nurul, Hukum Pidana Islam,Jakarta : Amzah, 2016
Irfan, M. Nurul,Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,
Jakarta : Amzah,2014.
128
Jauzi, al, Imâm al-Faraj Jamâl al-Din ‘Abd al-Rahmân bin Muhammad, al-Qurasy
al-Baghdâdi, Kitâb al-Ahkâm al-Nisa, Beirut: Dâr al-Fikr, 1989
Joni, Muhammad, dkk. Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Prespektif
Konvensi Hak Anak. Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999
K. Prent, C. M. J. Adisubrata, WJS. Poerwadarminta, Kamus Latin Indonesia,
Yogyakarta, Kanisius, 1994
Keputusan Komisi Bahtsul Masail Diniyah Musyawarah Nasional Alim Ulama NU
2014
Khalaf, Abd al-Wahhab, Khulashah Tarikh Tasyri’ al-Islamy,Jakarta: al-Majelis al-
A’la al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyah, Cet. 8 2007.
Kurdi, al, Muhammad bin Sulaiman, Fawaid al Madaniyyah, Beirut, Dar al Fikr,
2002.
Laqqânî, al, Burhân al-Dîn, matn jauharah al-tauhîd, Dâr al-Kutub, Beirut, 2001
M.
Madja El Muhtaj. Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. Jakarta, PT. Grafindo Persada., 2008
Magnis Suseno, Franz, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta
Gramedia Pustaka Utama, 1994
Mahallî, al, Muhammad Ibn Ahmad Syarh ‘alâ Matn Jam’i al-Jawâmi’, Mesir:
Musthafâ al-Bâb al-Halabi,2002
Mahbub, Syukron, Kekerasan Terhadap Anak Perspektif HAM dan Hukum Islam
serta Upaya Perlindungannya, Jurnal Studi KeIslaman, Vol. 1 No. 2
Desember 2015: ISSN 2442-8566
Majelis Tarjih Muhammadiyah, “Pembinaan Hukum Fiqh di Bidang Muamalat”,
Yogyakarta, Suara Muhammadiyah. Cet I, 15 Juli 1995
Majelis Ulama Indonesia, Gambaran Umum Organisasi MUI dalam Pedoman
Penyelenggaraan Organisasi MUI, Jakarta: Sekretariat MUI, 2002
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Emir
Penerbit Erlangga, 2015
Malibari, al, Zainuddin Ahmad Ibn Abd Aziz, Fath al Mu'in . Kairo, Dâr al-Hadits,
1997
Manurung, R.S Ridho Syahputra, “Legalisasi Aborsi, Nilai Pancasila, Agama dan
Hukum”, Suara Media, Jakarta : 25 November 2005.
Mas’udi, Masdar F, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Yogyakarta: UII Press, 2003
129
_________, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan, 1997.
_________, Membangun NU Berbasis Masjid dan Umat Jakarta: LTMI-NU, 2007
Miri, M. Djamaluddin, Lc, MA, Terjemah Ahkamul fuqaha Solusi Problematika
Aktual Hukum Islam , Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdhatul
Ulama (1926-2004) Surabaya, Cet 3 , 2005.
Moelijatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
_________, KUHP =Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ,Jakarta : Bumi Aksara,
2007
Mudzhar, Muhammad Atho, Fatwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi
Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta: INIS,
1993
Muhammad al-Tahir, Ibn ‘Asyur, Maqasid al-Syari’ah al-Islâmiyyah Kairo, Dâr
al-Nafais, Cet. 2, 2001.
Muhammad bin Muhammad, al-Ghazali, al-Mustasyfa Kairo, Dâr al-Hadits, 2004.
Muhammad Ibn Mukrim, Ibn Manzûr, lisân al-‘arab, al-Qâhirah, Dâr al-Ma’ârif ,
1998
Muladi, H. Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsepdan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, Bandung, PT Refika Aditama, 2005
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Nadawiy, al, Atha' al Rahman, al Ijtihâd wa Dauruhu fi Tajdîd al Fiqh al Islâmi,
Dalam dirasat al Jami'ah al Islamiyyah, Desember 2006.
Naning, Ramdlon, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta,
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1983
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011
Navis, Abdurrahman, dan Kawan-Kawan, Khazanah Aswaja ,Surabaya, Aswaja
NU Center PWNU Jawa Timur, 2010
Nawâwi, al, Syaraf al-Din, Sahîh Muslim bi syarh al-Nawâwi , Kairo, Dâr al-
Hadîts, 1998
Notoadmojo, Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta, 2010
Nujaim, Ibnu, al-Bahr al-Raiq, Juz VIII, Beirut: Dâr al Ma’rifah, 2001
O. S. H. Adji, Hukum-Hakim Pidana, Cet. Ke-2, Jakarta, Erlangga, 1984.
130
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI,
Jakarta: Sekretariat MUI, 2010
Pedoman Penetapan Fatwa MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasil Keputusan Komisi Bahtsul Masa'il
Diniyah Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, Jakarta 2014.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Panduan Bahtsul Masa'il, Jakarta, LBM PBNU,
2017
PWNU Jawa Timur, Aswaja an-Nahdah Surabaya: Khalista, 2007
Qaradhawi,Yûsuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid II, Jakarta: Gema Insani Pres,
1995.
Qudâmah, Ibnu, al-Mughnî, Juz VI, Mesir: Dâr al-Fikr, 1992
Qurtubî, al, Ahmad bin Rusyd, Bidayah al Mujtahid. Beirut: Dâr Al-Ma‟rifah. 1405
H.
Qurtubî, al, Muhammad Ibn Ahmad al-Anshâri, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,
Beirut,dâr al Kutub, 2006
Ramli, al, Syihâbuddin, Nihâyat al-Mukhtaj, Syarh al Minhaj fî al-Fiqh’ Alâ
Mazhab al-lmâm Syâf’i, Jilid VII, al-Halabiy, 1357 H.
Ridwan, Nur Khalik, Nu dan Bangsa 1914-2010, Sleman Jogjakarta, al-Ruz Cet 2,
2014
Risûni, al, Ahmad, madkhal ilâ maqâsid al-syari`ah, Mesir Dâr al-kalimah li al-
Nasyr wa al-Tauzi’, Cet 1 2010.
Rohayana, Ade Dedi, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah Kaidah-Kaidah Hukum Islam,
Jakarta: 2008,
S. D. O’Conner, “Majority Opinion”, dalam M. Ethan Katsh (ed), Taking Sides:
Clashing Views on Controversial Legal Issues, Guilford, Dushkin
Publisihing Group, 1995.
Sa’ud Ibn Abd al-‘Âli al-Bârudî, al-‘Utaibî, Al-Mausu’ât al-Jinâiyyah al-
Islâmiyyah al-Muqâranat al-Ma’mûl bihâ fi al-Mamlakat al Su’udiyyahat,
Riyâd, al-Maktabah al-Islamiyah, Cet 2, 2003.
SCJ, CB. Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi, Cet. II, Jakarta: Grasindo, 2004
Shihab, Alwi, Membendung Arus: Respons Muhammadiyah terhadap Penetrasi
Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Khazanah Ilmu-ilmu Islam, Amerika
Serikat, 1995.
131
Shihab, Rizieq, Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah, Jakarta Selatan,
Suara Islam Press, 2004
Soetodjo, Wagianti, Hukum pidana anak, Bandung, Refika Aditama, 2006,
Subhan, Zaitunah, al Quran dan Perempuan, Menuju Kesetaraan Gender Dalam
Penafsiran, Jakarta, Kencana, 2015
Suherman, Ade Maman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum Civil Law,
Common Law dan Hukum Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2004
Suwarno, P.J, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia; Penelitian Pancasila dengan
Pendekatan Historis, Filosofis & SosioYuridis Kenegaraan, Yogyakarta,
Kanisius, 1993.
Syaltut, Mahmud, al-Fatâwa, Kairo, Dâr al-Syurûq, tth.
Syatibi, al, Abu Ishâq, al-Muwafaqât fi Usul al-Syarî’ah, Kairo: Dâr al-
Taufiqîyyah, 2003.
Syirbini, al, Syamsuddin Khatib, Mughni al-Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1994
Tanfidz Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah, Muktamar Tarjih
Muhammadiyah XXII, 2015.
Tholabi Kharlie, Ahmad, Hukum Keluarga Indonesia Jakarta, Sinar Grafika, 2013
Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Jakarta : Prenada Media, 2003.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangn Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Bandung, Mizan, 2004
Undang-Undang Dasar 1945.
Wawan Gunawan, Abd. Wahid Himpunan Putusan Tarjîh Muhammadiyah 1,
Yogyakarta, Pustaka Jogja. 2009.
Wignjosoebroto, Soetandyo, hak asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan
Pengertiannya dari Masa ke Masa, Jakarta, ELSAM, 2007
Yanggo, Huzaemah T, dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus. 2009.
_________, Fikih Perempuan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia.2010
Yazid., Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah Muhammadiyah. Jakarta:
Logas Wacana Ilmu, 2001
132
Yeni, Fariyanto, Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Terhadap Fatwa
MUI Pusat Nomer 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi dan Hukum Positif,
Universitas Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 2009
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia Jakarta: Yayasan penerjemah/Penafsir
Alquran, 1973
Yusuf, Slamet Effendi, Mengukuhkan Tradisi Memodemisasi Organisasi
Semarang, Airlangga, 2007
Zainuddin, Ibn Ibrahim Ibn Nujaim, Asybȃh Wan nazȃir. Beirut, Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah 1999
Zuhaili, al, Wahbah Ibn Mustafa, Al-Fiqh al-Islâmi wa adillatuh, Damaskus, Dâr
al-Fikr, Cet.4. 2008.
Zuhaily, al, Wahbah al-Wajîz fii ushuli fiqhi, Kairo, Dâr al-Hadits, 2009
Zuhdi, Masjfuk, Masa’il Fiqhiyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Zulfa, Nadia Oktaviani, dkk, “Implementasi Diversi Sebagai Wujud Perlindungan
Hak Anak”, Yogyakarta, Gema, 2015
Jurnal
Alwi, Zulfahmi, Abortus Dalam Hukum Islam, Jurnal UIN Alaudin 2013, Vol 10,
No. 2 Desember
Anggraini, Lysa, “Aborsi Dalam Pandangan Islam Dan Hukum Positif Di
Indonesia” dalam Jurnal Hukum Islam Vol. VII No. 5 Juli 2007
Islam, Saiful, Aborsi dan Resikonya Bagi Perempuan Dalam Pandangan Hukum
Islam, Jurnal Sosial Humaniora ITS 2011, Vol. 4, No. 1 Juni 2011
Laporan Penelitian Majlis Tarjih Muhammadiyah (Suatu Studi tentang Sistem dan
Metode Penentuan Hukum). Tim Peneliti: Drs. H Asjmuni A. Rahman, dkk.,
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1985.
Lavia Nongie, Yuke, Tinjauan Yuridis Atas Aborsi di Indonesia Studi kasus di
kota Manado, Unsrat Lex et Societatis, Vol. II/No. 2/Februari/2014.
Nasution, Harun Konsep Manusia dalam Islam, Dikaitkan dengan Hayat dan
Maut, dimuat dalam Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, Kajian Islam
tentang Berbagai Masalah Kontemporer” Jakarta: 1988.
Nurul Irfan, M, Aborsi Akibat Perkosaan Perspektif KUHP dan Hukum Islam,
Nuansa, Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, No. 1, Juni 2014.
133
Purwaningrum, Elisa Dyah, Arulita Eka Febriana, Faktro Risiko Kejadian Abortus
Spontan, Higeia Journal of Public Health Research and Development,
Unnes, Juli 2017.
Rias, Irzal Bahan Kuliah Hukum Kesehatan, Padang: Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Andala, No. 3 September 2007
Romli, Dewani, Aborsi dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam
Kajian Komparatif, Jurnal IAIN Ar Raniri 2011, Vol. 10 No. 2 Juli
Susilawati, Nilda, Aborsi Dalam Tinjauan Hukum Islam, Jurnal IAIN Bengkulu,
Fak. Syari’ah dan Ekonomi, 2015, Vol 25 No. 2 Agustus 2015
Tristiadi, Ardi, Ilhamuddin Nukman. Kekerasan Terhadap Anak (Perspektif
Psikologi dan Al quran), PsikoIslamika: Jurnal Psikologi dan KeIslaman, 2
Juli 2004
Sumber Online
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi , dari
http://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/35.-Aborsi.
Keputusan Komisi Bahtsul Masail Diniyah Musyawarah Nasional Alim Ulama NU
2014, dari https://Islam.nu.or.id/post/read/55645/hukum-aborsi-dalam-
Islam.
Pedoman Penetapan Fatwa MUI, dari
https://www.academia.edu/33240679/PEDOMAN_PENETAPAN_FATW
A_MUI
Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47, dari
http://www.muhammadiyah.or.id.