pandangan pemuka agama tentang …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka...

159
P A N D A N G A N P E M U K A A G A M A T E N T A N G E K S L U S I F I S M E B E R A G A M A D I I N D O N E S I A Editor: Abdul Aziz Penulis: Ahsanul Khalikin Zirwansyah K E M E N T E R I A N A G A M A R I B A D A N L I T B A N G D A N D I K L A T P U S L I T B A N G K E H I D U P A N K E A G A M A A N J A K A R T A , 2 0 1 3

Upload: trannga

Post on 03-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

i

PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG EKSLUSIFISME BERAGAMA

DI INDONESIA

Editor: Abdul Aziz

Penulis:

Ahsanul Khalikin Zirwansyah

KEMENTERIAN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT

PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN JAKARTA, 2013

Page 2: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

ii

Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) pandangan pemuka agama tentang ekslusifitas beragama di indonesia/Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi I, Cet. 1 …… Jakarta, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI xviii + 141 hlm; 14,8 x 21 cm ISBN : 978-979-797-356-8 Hak Cipta pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit Cetakan Pertama, Nopember 2013 PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG EKSLUSIFISME BERAGAMA DI INDONESIA Editor: ABDUL AZIZ Desain cover dan Layout, oleh: Zabidi

Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta Telp./Fax. (021) 3920425, 3920421 www.puslitbang1.balitbangdiklat.co.id

Page 3: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

iii

KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN

KEAGAMAAN

uji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tiada terhingga, sehingga kami dapat

merealisasikan ”Penerbitan Naskah Buku Kehidupan Keagamaan”. Penerbitan buku tahun 2013 ini merupakan hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2012.

Buku hasil penelitian yang diterbitkan sebanyak 8 (delapan) naskah. Buku-buku yang dimaksud sebagai berikut:

1. Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia.

2. Efektivitas Pengawasan Fungsional bagi Peningkatan Kinerja Aparatur Kementerian Agama.

3. Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat.

4. Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal.

5. Pandangan Pemuka Agama terhadap Kebijakan Pemerintah Bidang Keagamaan.

6. Pandangan Pemuka Agama terhadap Ekslusifisme Agama di Berbagai Komunitas Agama.

Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) pandangan pemuka agama tentang ekslusifitas beragama di indonesia/Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi I, Cet. 1 …… Jakarta, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI xviii + 141 hlm; 14,8 x 21 cm ISBN : 978-979-797-356-8 Hak Cipta pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit Cetakan Pertama, Nopember 2013 PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG EKSLUSIFISME BERAGAMA DI INDONESIA Editor: ABDUL AZIZ Desain cover dan Layout, oleh: Zabidi

Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta Telp./Fax. (021) 3920425, 3920421 www.puslitbang1.balitbangdiklat.co.id

Page 4: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

iv

7. Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia.

8. Peran Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.

Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan. Di samping itu, diharapkan pula buku-buku ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai pihak tentang informasi kehidupan keagamaan di Indonesia.

Dengan selesainya kegiatan penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan kepercayaan, arahan dan sambutan bagi terbitnya buku-buku ini.

2. Para pakar yang telah sudi membaca dan memberikan prolog atas buku-buku yang diterbitkan.

3. Para peneliti sebagai editor yang telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi buku, dan akhirnya dapat hadir di depan para pembaca yang budiman.

4. Kepada semua fihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.

5. Tim Pelaksana Kegiatan, sebagai penyelenggara.

Page 5: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

v

Apabila dalam penerbitan buku ini masih ada hal-hal yang perlu perbaikan, kekurangan dan kelemahannya baik dari sisi substansi maupun teknis, kami mohon maaf dan berharap masukan serta saran untuk penyempurnaan dan perbaikan buku-buku yang kami terbitkan selanjutnya dan semoga bermanfaat. Semoga bermanfaat.

Jakarta, Oktober 2013 Kepala, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. Dr. H. Dedi Djubaidi, M.Ag. NIP. 19590320 198403 1 002

7. Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia.

8. Peran Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.

Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan. Di samping itu, diharapkan pula buku-buku ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai pihak tentang informasi kehidupan keagamaan di Indonesia.

Dengan selesainya kegiatan penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan kepercayaan, arahan dan sambutan bagi terbitnya buku-buku ini.

2. Para pakar yang telah sudi membaca dan memberikan prolog atas buku-buku yang diterbitkan.

3. Para peneliti sebagai editor yang telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi buku, dan akhirnya dapat hadir di depan para pembaca yang budiman.

4. Kepada semua fihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.

5. Tim Pelaksana Kegiatan, sebagai penyelenggara.

Page 6: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

vi

Page 7: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

vii

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

SAMBUTAN

KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT

KEMENTERIAN AGAMA RI

Sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menegaskan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Amanat konstitusi tersebut merupakan pengakuan negara atas hak asasi warga negara menyangkut kebebasan beragama. Namun, dalam pergaulan sesama warga bangsa, kebebasan beragama yang disandang seseorang memiliki batasnya sendiri, yakni kebebasan beragama orang lain. Kondisi ini tentu akan menjadi potensi benturan dan konflik kepentingan, terutama ketika pemahaman keagamaan masing masing cenderung ekslusif, dalam arti memandang pemahaman dan praktik keagamaannya sendiri yang benar, sementara pemahaman orang lain salah dan perlu segera diluruskan.

Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk mengetahui seberapa besar kecenderungan ekslusifitas warga bangsa dewasa ini, dengan harapan dapat mengetahui potensi konflik yang akan muncul dan menyiapkan langkah antisipasinya. Dalam konteks inilah, kami menyambut baik penerbitan hasil

Page 8: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

viii

Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan terkait ekslusifitas pemahaman keagamaan para pemuka agama di Indonesia.

Semoga bermanfaat bagi banyak khalayak.

Jakarta, Oktober 2013 Pgs. Kepala,

Badan Litbang dan Diklat Prof.Dr. H. Machasin, MA. NIP. 19561013 198103 1 003

Page 9: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

ix

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

PROLOG “PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG

EKSKLUSIVITAS BERAGAMA DI INDONESIA”

Oleh: Jaih Mubarok

enelitian tentang pandangan pemuka agama yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI memiliki

nilai penting dan strategis dalam konteks pembangunan nasional Indonesia yang berkaitan dan modal sosial (social capital), yaitu persatuan dalam keragaman (Bhinneka Tunggal Ika). Oleh karena itu, penelitian ini pun dari segi fungsinya sangat berguna bagi penyelenggara Negara dalam menentukan perannya sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Mawardi (w. 450 H) yang mengungkapkan bahwa Negara (al-imamah) merupakan topik penting untuk menjelaskan khilafah nubuwah dalam rangka memelihara agama (hirasat al-din) dan mengelola kehidupan duniawi (siyasat al-dunya).1 Ibn Taimiah (w. 728 H) menyatakan bahwa kemashalahatan manusia tidak akan terwujud kecuali adanya pemimimpin; oleh karena itu, pembentukan pemimpin termasuk kewajiban terbesar (baca: terpenting) bagi umat Islam.2 Sebagai wacana, pendapat al-Mawardi dan Ibn Taimiah melahirkan pro dan kontra,

1 Abi al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi, al-Ahkam al-

Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah. t.th), hlm. 5. 2 Taqiy al-Din Ibn Taimiah, al-Siyasah al-Syar‘iyyah fi Ishlah al-Ra‘i wa al-Ra‘iyah (Beirut: Dar

al-Fikr al-Hadits. t.th), hlm. 173.

P

penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan terkait ekslusifitas pemahaman keagamaan para pemuka agama di Indonesia.

Semoga bermanfaat bagi banyak khalayak.

Jakarta, Oktober 2013 Pgs. Kepala,

Badan Litbang dan Diklat Prof.Dr. H. Machasin, MA. NIP. 19561013 198103 1 003

Page 10: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

x

Prolog

sehingga terlahir sejumlah gagasan yang dipublikasikan melalui media tulisan.3

Kerukunan dan konflik secara akademik laksana dua sisi mata uang; sedangkan dari segi fungsi sosial, keduanya bertolak belakang ibarat taat dan ma‘shiyat dalam ajaran agama; KH Ma‘ruf Amin mengutif pendapat Robert K. Merton tentang pendekatan konflik yang berpangkal pada anggapan-anggapan dasar berikut: 1) setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir (karena melekat pada masyarakat); 2) setiap masyarakat mengandung konflik, baik konflik internal maupun konflik eksternal; 3) setiap unsur masyarakat berkontribusi bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial; dan 4) setiap masyarakat terintegrasi di atas dominasi atau penguasaan orang lain.4

Noel J. Coulson menampilkan enam pilihan pasangan dalam hal konflik dan ketegangan, yaitu: 1) wahyu dan rasio (revelation and reason); 2) kesatuan pendapat dan keragamannya (unity and diversity); 3) otorisasi dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) ideal dan kenyataan (idealisme da realisme); 5) hukum dan moral (law and morality); dan 6) stabil (stagnan) dan berubah (stability and change).5 3 Pakar sejarah berbeda pendapat dalam menentukan peran Nabi Muhammad Saw, apakah

beliau hanya berperan sebagai pemimpin agama atau berperan pula sebagai pemimpin negara (politik). Lihat W. Montgomry Watt, Muhammad: Prophet and Statesman (New York: Oxford University Press. 1969); dan Ali Abd al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm: Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam (Mesir: al-Hibah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab. 1993).

4 KH Ma‘ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Serang: Yayasan an-Nawawi. 2013), hlm. 73.

5 Lihat Noel J. Coulson, Conflict and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago: The University of Chicago Press. 1969).

Page 11: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

xi

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

Sedangkan Muhammad Imarah juga menampilkan empat pasangan pilihan pemahaman dan sikap beragama, yaitu: 1) kesempurnaan agama dan pembaruan; 2) nash dan ijtihad; 3) hukum agama dan hukum negara; dan 4) musyawarah dan syariah.6 Dalam konteks penelitian di Indonesia, Laode Ida meneliti tentang konflik yang terjadi antara NU (Nahdlatul Ulama), Elit Islam, dan Negara.7

Penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI relevan dengan pendapat KH Ma‘ruf Amin dalam meng-ungkap sebab-sebab konflik agama (ketegangan dan/atau kekerasan)8 secara internal, yaitu: 1) pemahaman keagamaan yang menodai agama, atau pemahaman yang menyimpang (distorsi) dari tatanan dan sistem keyakinan yang disepakati keabsahan dan kesesatannya; 2) pemahaman literal-radikal atau yang menganggap hanya aliran/madzhabnya sendiri yang benar yang ditandai dengan menyalahkan bahkan mengkafirkan yang lain; dan 3) pemahaman yang liberal (bebas semau sendiri) tanpa mengikuti kaidah-kaidah pemahaman yang ada. Di samping itu, konflik beragama bisa terjadi karena: 1) perbedaan pendapat/pemahaman (ikhtilaf) 6 Muhammad Imarah, Ma‘alim al-Manhaj al-Islami (Beirut: Dar al-Syuruq. 1991), hlm. 94-95.

Dalam kajian Islam Indonesia, antara lain lihat Laode Ida, Anatomi Konflik: NU, Elit Islam dan Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996).

7 Laode Ida, Anatomi Konflik: NU, Elit Islam dan Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996).

8 Lihat Noel J. Coulson, Conflict and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago: The University of Chicago Press. 1969). Muhammad Imarah juga menampilkan empat pasangan pilihan: 1) kesempurnaan agama dan pembaruan; 2) nashsh dan ijtihad; 3) hukum agama dan hukum negara; dan 4) musyarah dan syariah. Lihat Muhammad Imarah, Ma‘alim al-Manhaj al-Islami (Beirut: Dar al-Syuruq. 1991), hlm. 94-95. Dalam kajian Islam Indonesia, antara lain lihat Laode Ida, Anatomi Konflik: NU, Elit Islam dan Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996).

Page 12: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

xii

Prolog

yang bersifat diametral; 2) perbedaan formula atau cara merespon problem eksternal; dan 3) kompetisi dalam hal disribusi otoritas.9 Sedangkan di antara sebab konflik antarumat beragama adalah: 1) kurang efektifnya pelaksanaan regulasi, baik karena kurang pahamnya aparatur Negara maupun karena kurangnya kesadaran sebagian tokoh dan umat beragama; 2) adanya faham radikal di sebagian kecil kelompok agama; 3) pendirian rumah ibadah; 4) penyiaran agama yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 5) penistaan terhadap agama; 6) adanya salah faham di antara pemeluk agama; 7) adanya kebijakan pembangunan yang tidak sensitif terhadap pluralitas agama warganya; dan 8) adanya kebijakan birokrasi yang tidak mempertimbangkan unsur representasi dan/atau keterwakilan agama warganya.10

Dari segi pengumpulan data, penelitian ini termasuk yang sangat luas responden baik dari segi jumlah (mencapai 700 responden) maupun dari segi lokasi yang diteliti dengan mempertimbangkan dua hal: a) daerah yang sikap keberagamaannya terbuka sehingga daerahnya termasuk daerah yang hampir tidak pernah terjadi konflik; dan b) daerah yang sikap keberagamaannya eksklusif (tertutup) sehingga daerahnya termasuk daerah yang sering terjadi konflik. Di samping itu, indikator-indikator pemahaman yang tertutup (baca: sempit) dan indikator-indikator sikap tidak toleran disusun sedemikian rupa sehingga tertata hubungan (korelasi) dan pengaruh (koefesiensi) antara variabel

9 KH. Ma‘ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Serang: Yayasan an-Nawawi. 2013),

hlm. 93-96. 10 KH. Ma‘ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Serang: Yayasan an-Nawawi. 2013),

hlm. 97.

Page 13: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

xiii

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

pemahaman yang sempit dengan sikap tidak toleran terjadi dan terbukti sedemikian rupa.

Dari segi deskripsi hubungan dan pengaruh, hasil penelitian ini termasuk yang ideal dari segi keharusan beragama secara normatif. Jika kita ingin membentuk masyarakat dan Negara yang toleran terhadap perbedaan, maka pemahaman keagamaan masyarakat (ulama) dan Negara harus bersifat luas (bukan pemahaman sempit). Tentu saja tidak semua aspek pemahaman keagamaan harus terbuka, ajaran tentang tauhid (iman) dan ibadah mahdhah relatif bersifat tertutup (kecuali dalam proses penjelasannya seperti lahirnya aliran-lairan kalam dalam Islam); tetapi dalam hal domain muamalah (ghair mahdhah) umat Islam harus bersifat terbuka dan harus membuktikan bahwa Islam adalah rahmat bagi semua.

Konflik di Negara kita pada umumnya terjadi lebih banyak dipicu oleh hubungan sosial (kasus Sampit), perasaan diperlakukan tidak adil (seperti penyerangan terhadap terdakwa di sejumlah pengadilan oleh keluarga korban), merasa hak dasar ekonominya dicabut (seperti penggusuran pedagang di kawasan stasiun kereta api dan pedagang kaki lima di kota-kota besar (seperti di Jakarta dan Bandung), karena mereka berdagang bukan untuk jadi orang kaya, tetapi untuk menyambung hidup, yang ditandai dengan modal yang apa adanya, keahlian usaha yang apa adanya, dan pendapatannya pun sama, yaitu apa adanya. Konflik seperti ini terkadang menggunakan simbol agama, tetapi sebenarnya bukan konflik karena pemahaman keagamaan. Meskipun sebagian kecil konflik di negeri ini mucul karena pemahaman

Page 14: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

xiv

Prolog

keagamaan (seperti di Sampang Madura dan pendirian gereja illegal di Bogor dan Bekasi).

Hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama mengenai hubungan dan pengaruh pemahaman keagamaan yang diasumsikan bahwa: a) semakin luas pemahaman keagamaan, maka akan semakin baik sikap keberagamaan; dan sebaliknya b) semakin sempit pemahaman keagamaan, maka akan semakin buruk sikap keberagamaan; oleh karena itu umat Islam (baca: ulama) harus menjauhi pemahaman sempit yang diduga memicu lahirnya sikap tidak toleran yang terkadang berujung pada konflik, kekerasan, dan bahkan pertikaian atas nama agama.

Terbentuknya organisasi kemasyarakatan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Mathla‘ul Anwar (MA), al-Washliyyah, al-Ittihadiyah, sejatinya semakin mempermudah umat untuk melakukan silaturrahim; begitu juga dengan terbentuknya organsisasi kemasyarakatan yang berbasis profesi seperti Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Himpunan Ilmuan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), dan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sejatinya menjadi media untuk mengarahkan kehidupan umat Islam agar semakin baik dan meningkat kualitasnya.

Hasil riset ini sudah menunjukkan bahwa pemahaman keagamaan yang sempit akan melahirkan sikap tidak toleran; oleh karena itu, pemahaman agama yang harus dikembang-

Page 15: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

xv

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

kan adalah pemahaman agama yang bersifat luas/mendalam dalam rangka mendukung terbentuk dan terbinanya masyarakat dan Negara yang harmonis dengan terhindar dari konflik dan kekerasan; akan tetapi, hasil riset ini memerlukan riset berikutnya karena hasil riset ini belum mendeskripsikan faktor-faktor apa saja (variabel independen/yang ber-pengaruh) yang memengaruhi pemahaman keagamaan. Jika faktor-faktor tersebut berhasil diidentifikasi dan ditemukan, maka akan jelaslah mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh ulama dan/atau Negara, yaitu memperkuat faktor-faktor yang menyebabkan pemahaman keagamaan menjadi luas/ mendalam, sambil meminimasi faktor-faktor yang menyebab-kan pemahaman keagamaan menjadi sempit (eksklusif). Karena hasil riset menunjukkan bahwa pemahaman agama yang dalam akan melahirkan sikap yang toleran (tasamuh) yang sejalan dengan tujuan Negara, yaitu menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.

Pada akhirnya, Negara ini dibentuk dalam rangka membangun kesejahteraan warganya yang antara lain berupa jaminan kebebasan untuk menjalankan ajaran agama. Karena agama yang dipeluk warga Negara bersifat ragam (bhinneka), maka keragaman tersebut sejatinya menjadi modal sosial bagi kita untuk membangun bangsa ini agar hidup lebih beradab dan bermartabat dengan membentuk norma hubungan yang menjunjung tinggi nilai-inilai ketuhanan (ilahiyah) yang terintegrasi dengan nilai-nilai kemanusiaan (insaniyah). Wa Allah a‘lam bi al-shawwab.

Page 16: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

xvi

Prolog

Page 17: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

xvii

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan ............................................................................ iii Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI ....................................................... vii Prolog oleh Prof. Dr. Jaih Mubarok ................................... ix Daftar Isi................................................................................. xvii BAB I. PENDAHULUAN ............................................ 1

A. Latar Belakang Masalah............................ 1 B. Perumusan Masalah .................................. 7

BAB II. KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN

HIPOTESIS ........................................................ 11 A. Kerangka Teori ........................................... 11 B. Kerangka Berpikir ..................................... 24 C. Pengajuan Hipotesis .................................. 27

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ....................... 29

A. Tujuan Penelitian ....................................... 29 B. Kegunaan Penelitian ................................. 29 C. Waktu dan Tempat Penelitian ................. 30 D. Metode Penelitian ...................................... 31 E. Variabel Penelitian .................................... 31 F. Populasi dan Sampel ................................. 32 G. Instrumen Penelitian ................................. 41 H. Teknik Analisis Data ................................. 47 I. Hipotesis Statistik ...................................... 47

Page 18: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

xviii

Daftar Isi

BAB IV. ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN ...... 49 A. Deskripsi Arah Penelitian ........................ 49 B. Profil Responden ....................................... 51 C. Jawaban terhadap Masalah Penelitian ... 62

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........ 131

A. Kesimpulan................................................. 131 B. Rekomendasi .............................................. 137

DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 139

Page 19: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

1

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

etelah Reformasi tahun 1998, diskursus tentang kerukunan hidup beragama di Indonesia menjadi sangat penting, terutama dengan semakin

berkembangnya sentimen-sentimen keagamaan antarumat beragama serta terdistorsinya hubungan antarumat beragama oleh berbagai kepentingan ekonomi, sosial dan politik.

Melihat kembali sejarah masuknya agama-agama di Indonesia, kita mengetahui bahwa agama-agama tersebut dapat diterima dan akhirnya berkembang di tengah masyarakat Nusantara. Kepercayaan dan nilai-nilai lokal yang ada sebelumnya dapat menerima kehadiran agama-agama seperti Hindu, Buddha, Islam, Katolik, dan Kristen, yang pada akhirnya terjadi adaptasi antara agama-agama tersebut dengan beberapa unsur budaya lokal. Gejala seperti itu berlangsung di hampir seluruh wilayah Nusantara yang secara geografis terdiri lebih dari 7.000 pulau yang didiami, 300 suku, 400 bahasa, dan enam agama yang diakui negara. Hal di atas mengindikasikan bahwa Indonesia adalah bangsa majemuk, termasuk dalam aspek agama.

Pada dasarnya, agama tidak mengajarkan, bahkan sebaliknya, melarang pemeluknya melakukan kekerasan terhadap orang yang berbeda agama. Agama menganjurkan perdamaian, kebersamaan, saling menghormati baik terhadap

S

Page 20: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

2

Bab I. Pendahuluan

sesama maupun terhadap orang yang berbeda agama. Oleh karena itu seseorang yang memahami ajaran agamanya secara benar, akan tampil sebagai orang yang memiliki perilaku santun, damai, toleran dan penuh kasih dengan orang lain. Namun pada kenyataannya, yang terjadi seringkali sebaliknya. Agama yang seharusnya menjadikan umatnya memelihara perdamaian, membawa ke arah persatuan, persaudaraan, dan keselamatan, pada suatu waktu dapat saja mendorong dan menyebar konflik, bahkan tak jarang menimbulkan peperangan. Sangat mungkin hal tersebut bukan kesalahan ajaran agama, tetapi akibat dari kesalahan dalam memahami agama dan cara orang beragama, yakni menafsirkan ajaran agama secara sembarangan, baik demi kepentingan pribadi maupun kelompok, baik dalam aspek sosial, ekonomi maupun politik.

Dalam sejarah agama, kecenderungan eksklusifitas bukanlah sesuatu yang asing, melainkan sesuatu yang sangat mungkin bisa dirujuk kepada inti ajaran. Dalam agama Kristen misalnya, eksklusifitas beragama dapat saja mendasarkan diri pada ayat yang berbunyi demikian: ”Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes, 14: 6). Dalam ayat lain disebutkan, ”Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan (Kisah Para Rasul, 4: 12). Dalam agama Islam eksklusifitas antara lain bisa dirujuk kepada ayat Al-Qur’an yang bunyinya seperti ini: ”hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-cukupkan nikmat-Ku untukmu

Page 21: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

3

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

sesama maupun terhadap orang yang berbeda agama. Oleh karena itu seseorang yang memahami ajaran agamanya secara benar, akan tampil sebagai orang yang memiliki perilaku santun, damai, toleran dan penuh kasih dengan orang lain. Namun pada kenyataannya, yang terjadi seringkali sebaliknya. Agama yang seharusnya menjadikan umatnya memelihara perdamaian, membawa ke arah persatuan, persaudaraan, dan keselamatan, pada suatu waktu dapat saja mendorong dan menyebar konflik, bahkan tak jarang menimbulkan peperangan. Sangat mungkin hal tersebut bukan kesalahan ajaran agama, tetapi akibat dari kesalahan dalam memahami agama dan cara orang beragama, yakni menafsirkan ajaran agama secara sembarangan, baik demi kepentingan pribadi maupun kelompok, baik dalam aspek sosial, ekonomi maupun politik.

Dalam sejarah agama, kecenderungan eksklusifitas bukanlah sesuatu yang asing, melainkan sesuatu yang sangat mungkin bisa dirujuk kepada inti ajaran. Dalam agama Kristen misalnya, eksklusifitas beragama dapat saja mendasarkan diri pada ayat yang berbunyi demikian: ”Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes, 14: 6). Dalam ayat lain disebutkan, ”Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan (Kisah Para Rasul, 4: 12). Dalam agama Islam eksklusifitas antara lain bisa dirujuk kepada ayat Al-Qur’an yang bunyinya seperti ini: ”hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-cukupkan nikmat-Ku untukmu

dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu (QS, 5: 3), serta ayat yang lain berbunyi: ”Barangsiapa menerima agama selain Islam maka tidaklah diterima dan pada hari kiamat ia termasuk golongan yang rugi” (Q.S. 3: 85).

Eksklusifisme, dalam pengertian ekslusifitas ajaran, pemahaman, sikap, dan perilaku keagamaan, memang dapat menjadi salah satu penghambat berkembangnya kerjasama antar umat beragama, karena eksklusifisme menjadikan setiap pemeluk agama selalu bertindak tertutup, dan menutup diri. Adalah bagian dari watak setiap agama untuk selalu menganggap ajarannya paling benar dan mengisolasi agama itu sendiri dari pengaruh luar yang secara otomatis tidak memungkinkan masuknya paham baru dalam ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Wajar, jika watak seperti itu menghasilkan nalar eksklusif yang dikembangkan penganutnya terhadap segala perbedaan, yakni lebih suka mencari titik perbedaan, dan menegasikan integrasi sosial. Sudah tentu wajar pula jika akhir dari eksklusifisme beragama adalah munculnya konflik dan kekerasan atas nama agama.

Terhadap kekerasan agama, Wim Beuken dan Karl Josef Kuschel menyatakan bahwa terdapat dua perspektif dalam melihat kekerasan atas nama agama yakni: (1) agama dalam konteks ideologi, dan (2) agama dalam hubungan sosial.1 Untuk mendukung pendapat ini dapat dilihat pada kasus-kasus kekerasan atas nama agama di Rwanda, di mana konflik antar suku Hutu dan Tutsi terjadi karena faktor agama; kasus di Srilangka, di mana kerajaan Singhalese

1 Wim Beuken, Karl Josef Kuschel, et.al. Agama Sebagai Sumber Kekerasan, Terjemahan Imam Baehaqi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2003, hal. xiv-xxv.

Page 22: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

4

Bab I. Pendahuluan

dengan konsep nasionalisme Buddhisnya, memerangi sistem pendidikan kolonial dan missionaris Kristen; serta di Bosnia yang merupakan representasi perang etnis dan agama. Ketiga contoh di atas merupakan sedikit bukti, bahwa agama dalam konteks ideologi menjadi faktor sekaligus melegitimasi kekerasan. Demikian juga kekerasan yang terjadi di Guatemala dan Elsavador, dapat dilihat dari perspektif agama dalam konteks sosial, di mana agama digunakan sebagai alat untuk merespon terhadap ketidakadilan struktural.

Armada Riyanto, menyatakan bahwa kekerasan agama lebih disebabkan oleh eksklusifisme dalam beragama yang dicirikan oleh sikap keagamaan yang fanatik, paham keagamaan yang fundamentalis dan integralisme.2 Dengan perkataan lain eksklusifisme beragama menjadikan seseorang lebih dekat dengan konflik, pertikaian dan kekerasan.

Sebagaimana telah disinggung, kekerasan yang terjadi antar agama boleh jadi karena cara memahami agama yang keliru. Dengan demikian, kekerasan agama akan jauh tereduksi jika seseorang dalam beragama selain memahami serta yakin dengan kebenaran agamanya (eksklusif), juga memahami serta menyadari akan adanya kebenaran pada agama lain (inklusif).

Jika karena sesuatu dan lain hal, seseorang memiliki tingkat pemahaman agama yang rendah, sempit, rigid, maka ketika terjadi relasi, dan interaksi serta dialog antar agama yang timbul adalah klaim kebenaran (truth claim) yang berpotensi munculnya kekerasan antar agama. Hal ini 2 Armada Riyanto; Membongkar Eksklusifisme Hidup Beragama, (Malang: DIOMA-STFT Widyasasana), 2000, hal. 16-34.

Page 23: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

5

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

dengan konsep nasionalisme Buddhisnya, memerangi sistem pendidikan kolonial dan missionaris Kristen; serta di Bosnia yang merupakan representasi perang etnis dan agama. Ketiga contoh di atas merupakan sedikit bukti, bahwa agama dalam konteks ideologi menjadi faktor sekaligus melegitimasi kekerasan. Demikian juga kekerasan yang terjadi di Guatemala dan Elsavador, dapat dilihat dari perspektif agama dalam konteks sosial, di mana agama digunakan sebagai alat untuk merespon terhadap ketidakadilan struktural.

Armada Riyanto, menyatakan bahwa kekerasan agama lebih disebabkan oleh eksklusifisme dalam beragama yang dicirikan oleh sikap keagamaan yang fanatik, paham keagamaan yang fundamentalis dan integralisme.2 Dengan perkataan lain eksklusifisme beragama menjadikan seseorang lebih dekat dengan konflik, pertikaian dan kekerasan.

Sebagaimana telah disinggung, kekerasan yang terjadi antar agama boleh jadi karena cara memahami agama yang keliru. Dengan demikian, kekerasan agama akan jauh tereduksi jika seseorang dalam beragama selain memahami serta yakin dengan kebenaran agamanya (eksklusif), juga memahami serta menyadari akan adanya kebenaran pada agama lain (inklusif).

Jika karena sesuatu dan lain hal, seseorang memiliki tingkat pemahaman agama yang rendah, sempit, rigid, maka ketika terjadi relasi, dan interaksi serta dialog antar agama yang timbul adalah klaim kebenaran (truth claim) yang berpotensi munculnya kekerasan antar agama. Hal ini 2 Armada Riyanto; Membongkar Eksklusifisme Hidup Beragama, (Malang: DIOMA-STFT Widyasasana), 2000, hal. 16-34.

dimungkinkan karena agama secara psikologis selain mempengaruhi spiritualitas juga emosionalitas pemeluknya, sehingga jika agamanya tersentuh, meskipun itu ditunggangi oleh bermacam kepentingan, maka agama memotivasi tumbuhnya kekuatan untuk menghancurkan lawan-lawannya.

Secara singkat dapat dikatakan, eksklusifisme beragama pada gilirannya akan menimbulkan ketegangan, konflik, kekerasan, dan vonis salah atas ajaran agama lain. Akibat dari sikap dan pandangan keberagamaan seperti ini, agama yang seharusnya mendorong pemeluknya untuk berlomba-lomba menampilkan kualitas amal terbaiknya serta menjadi pemersatu, malah menjadi momok yang menakutkan dan pada akhirnya menghilangkan saling percaya dan kerjasama antar umat beragama. Masyarakat menjadi terkotak-kotak, terpilah-pilah ke dalam kelompok yang saling berhadap-hadapan dan mudah tersulut amarah. Kerukunan menjadi hilang dan bila ini yang terjadi, maka bangsa dan negara Indonesia berada di ambang kehancuran.

Jika kita kembali membuka lembaran sejarah perjuangan kemerdekaan, maka tidak dapat dipungkiri betapa besar peran agama sebagai alat pemersatu rakyat dalam mengusir penjajah Belanda maupun Jepang. Setelah Indonesia merdeka, peran agama diharapkan lebih meningkat terutama dalam mengawal pembangunan Indonesia seutuhnya, yakni Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Hal seperti itu sangat mungkin terjadi jika umat beragama di Indonesia saling bekerjasama menemukan nilai-nilai yang sama dari setiap agama untuk dijadikan nilai bersama. Penemuan nilai-

Page 24: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

6

Bab I. Pendahuluan

nilai universal agama sangat mungkin terjadi jika masing-masing umat beragama mau membuka diri terhadap agama lain atau bersifat inklusif, dan bukan eksklusif. Jika ini yang terjadi maka cita-cita kemerdekaan menjadikan Indonesia rumah bersama tempat bernaung, tumbuh dan berkembang semua agama, akan tercapai.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 menegaskan bahwa Pembangunan bidang agama merupakan bagian integral pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, adil, demokratis dan sejahtera. Pembangunan bidang agama adalah upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat yang dijamin oleh konstitusi. Negara dan Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan atas hak setiap warganya untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, serta memberikan fasilitasi dan pelayanan pemenuhan hak dasar warga tersebut. Dengan demikian, aspek perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak beragama sebagai bagian dari hak asasi warga negara, menjadi landasan pokok dalam pembangunan bidang agama.

Agar keanekaragaman agama di Indonesia berperan dan menjadi alat integrasi dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka perlu ditemukan jawaban tentang sikap dan pandangan beragama yang bagaimana yang selain dapat mereduksi kekerasan dan konflik baik intern maupun antar umat beragama, juga melahirkan kerjasama demi memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Pertanyaannya

Page 25: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

7

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

nilai universal agama sangat mungkin terjadi jika masing-masing umat beragama mau membuka diri terhadap agama lain atau bersifat inklusif, dan bukan eksklusif. Jika ini yang terjadi maka cita-cita kemerdekaan menjadikan Indonesia rumah bersama tempat bernaung, tumbuh dan berkembang semua agama, akan tercapai.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 menegaskan bahwa Pembangunan bidang agama merupakan bagian integral pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, adil, demokratis dan sejahtera. Pembangunan bidang agama adalah upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat yang dijamin oleh konstitusi. Negara dan Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan atas hak setiap warganya untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, serta memberikan fasilitasi dan pelayanan pemenuhan hak dasar warga tersebut. Dengan demikian, aspek perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak beragama sebagai bagian dari hak asasi warga negara, menjadi landasan pokok dalam pembangunan bidang agama.

Agar keanekaragaman agama di Indonesia berperan dan menjadi alat integrasi dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka perlu ditemukan jawaban tentang sikap dan pandangan beragama yang bagaimana yang selain dapat mereduksi kekerasan dan konflik baik intern maupun antar umat beragama, juga melahirkan kerjasama demi memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Pertanyaannya

adalah, apakah keragaman agama yang dianut oleh masyarakat bangsa Indonesia dapat menjadi pemersatu yang memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa? Ataukah justeru menjadikan para pemeluknya lebih mengedepankan ekslusifisme? Apakah benar pernyataan bahwa eksklusifisme beragama timbul karena cara seseorang dalam memahami agamanya? Pemahaman agama yang bagaimana yang menjadikan seseorang eksklusif dalam beragama sehingga menjadikannya tertutup bagi agama lain? Seberapa besar pengaruh interaksi sosial, ekonomi dan politik terhadap pemahaman agama yang eksklusif, atau inklusif?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2011 yang lalu telah melakukan penelitian tentang eksklusifisme beragama di kalangan pemuka agama-agama yang diakui di Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan dalam kajian ini dibatasi pada:

1. Pemahaman keagamaan para tokoh agama Indonesia;

2. Eksklusifisme beragama menurut pandangan para tokoh agama Indonesia;

Kedua permasalahan pokok di atas masing-masing dijabarkan ke dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sbb.:

Untuk pemahaman keagamaan:

1) Bagaimana potret keberagamaan para pemuka agama di Indonesia?;

Page 26: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

8

Bab I. Pendahuluan

2) Apakah di antara pemuka agama terdapat perbedaan pandangan mengenai tingkat keyakinan dan pemahaman mereka terhadap agama masing-masing?;

3) Apakah terdapat perbedaan intensitas pelaksanaan ritual agama para tokoh enam agama, berdasarkan pandangan mereka sendiri? kalau terdapat, penganut agama apa yang paling intens melaksanakan ritualnya?;

4) Apakah faktor-faktor seperti: (1) jenis kelamin, (2) status pernikahan, (3) status kependudukan, (4) waktu pertama memeluk agama, (5) pengalaman mempelajari agama, dan (6) keberadaan keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat tinggal, mempengaruhi keberagamaan seseorang?

5) Apakah provinsi domisili seseorang berpengaruh terhadap pemahaman keagamaannya?

Untuk eksklusifisme beragama:

1) Bagaimana pemahaman keagamaan responden penelitian, apakah eksklusif atau inklusif?;

2) Apakah faktor-faktor: (1) organisasi tempat bergabung, (2) jabatan dalam organisasi, (3) fungsi dalam organisasi, (4) jumlah massa dalam organisasi, (5) status pernikahan, (6) status pekerjaan, mempengaruhi sikap keberagamaan seseorang;

3) Apakah provinsi domisili seseorang mempengaruhi sikap keberagamaannya?;

Page 27: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

9

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

2) Apakah di antara pemuka agama terdapat perbedaan pandangan mengenai tingkat keyakinan dan pemahaman mereka terhadap agama masing-masing?;

3) Apakah terdapat perbedaan intensitas pelaksanaan ritual agama para tokoh enam agama, berdasarkan pandangan mereka sendiri? kalau terdapat, penganut agama apa yang paling intens melaksanakan ritualnya?;

4) Apakah faktor-faktor seperti: (1) jenis kelamin, (2) status pernikahan, (3) status kependudukan, (4) waktu pertama memeluk agama, (5) pengalaman mempelajari agama, dan (6) keberadaan keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat tinggal, mempengaruhi keberagamaan seseorang?

5) Apakah provinsi domisili seseorang berpengaruh terhadap pemahaman keagamaannya?

Untuk eksklusifisme beragama:

1) Bagaimana pemahaman keagamaan responden penelitian, apakah eksklusif atau inklusif?;

2) Apakah faktor-faktor: (1) organisasi tempat bergabung, (2) jabatan dalam organisasi, (3) fungsi dalam organisasi, (4) jumlah massa dalam organisasi, (5) status pernikahan, (6) status pekerjaan, mempengaruhi sikap keberagamaan seseorang;

3) Apakah provinsi domisili seseorang mempengaruhi sikap keberagamaannya?;

4) Adakah pengaruh pemahaman keagamaan terhadap eksklusifisme beragama para pemuka agama Indonesia? Kalau ada seberapa besar pengaruh tersebut?;

5) Adakah perbedaan eksklusifisme beragama para pemuka agama berdasarkan keyakinan agama yang mereka masing-masing anut?;

6) Adakah perbedaan eksklusifisme beragama antara pemuka yang memiliki pemahaman agama yang tinggi dengan yang memiliki pemahaman agama rendah;

7) Bagaimana pandangan para pemuka agama terhadap eksklusifisme dan inklusivisme dalam beragama;

8) Apakah keanekaragaman agama yang dianut oleh masyarakat bangsa Indonesia dapat menjadi pemersatu yang memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa?

9) Pemahaman agama yang bagaimana yang menjadikan seseorang eksklusif dalam beragama sehingga menjadikannya tertutup bagi agama lain?

Page 28: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

10

Bab I. Pendahuluan

Page 29: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

11

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

BAB II

KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Kerangka Teori

1. Pengertian Pemahaman Keagamaan

alam kamus umum bahasa Indonesia kata ”paham” diartikan sebagai mengerti, tahu benar, pandai sesuatu hal.3 Kata ”paham” diberi awalan ”pe” dan

akhiran ”an” menjadi pemahaman dan mempunyai pengertian mengetahui tentang sesuatu. Pemahaman merupakan proses berpikir dan belajar. Dikatakan demikian karena untuk menuju ke arah pemahaman perlu diikuti dengan aktivitas belajar dan berpikir. Pemahaman juga diartikan sebagai tingkatan kemampuan seseorang dalam memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya. Seseorang yang paham sesuatu tidak hanya hapal secara verbalitas, tetapi mengerti akan konsep atau fakta dari sesuatu tersebut. Dengan demikian seseorang yang paham terhadap sesuatu maka secara operasional ia dapat membedakan, mengubah, mempersiapkan, menyajikan, mengatur, menginterpretasikan, menjelaskan, mendemons-trasikan, memberi contoh, memperkirakan, menentukan, dan mengambil keputusan.4 Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan

3 Poerwadarminta WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta PN Balai Pustaka).1976. hal 279 4 Op.Cit. Porwadarminta.

D

Page 30: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

12

Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis

berpikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan dan hafalan". Menurut Dewey, memahami berarti sanggup menjelaskan, mengklasifikasikan, mengikhtisarkan, meramalkan, dan membedakan.5

Dengan pengetahuan, seseorang belum tentu memahami sesuatu yang dimaksud secara mendalam, hanya sekedar mengetahui tanpa bisa menangkap makna dan arti dari sesuatu yang dipelajari. Sedangkan dengan pemahaman, seseorang tidak hanya dapat menjelaskan sesuatu yang diyakininya tetapi juga mempunyai kemampuan untuk menangkap makna.

Kata ”Agama” di sini diartikan sebagai segenap kepercayaan kepada Tuhan, Dewa dan sebagainya, disertai ajaran kebaktian dan kewajiban–kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dsb), serta ajaran untuk menjalankan ibadah dan melakukan atau tidak melakukan sesuatu menurut kepercayaan tersebut. Keagamaan berasal dari kata ”agama” diberi awalan ”ke” dan akhiran ”an” menjadi keagamaan, diartikan sebagai segala hal berkenaan dengan keyakinan seseorang yang berkaitan dengan ajaran agama.

Agama sendiri oleh Syaltut, diartikan segala ketetapan-ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia. Sedangkan Badran mendefinisikan agama mengacu kepada al-Qur’an yakni hubungan antara makhluk dengan Khaliknya. Hubungan ini diwujudkan dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah

5 John Dewey. How We Think , 1933, hal. 153

Page 31: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

13

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

berpikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan dan hafalan". Menurut Dewey, memahami berarti sanggup menjelaskan, mengklasifikasikan, mengikhtisarkan, meramalkan, dan membedakan.5

Dengan pengetahuan, seseorang belum tentu memahami sesuatu yang dimaksud secara mendalam, hanya sekedar mengetahui tanpa bisa menangkap makna dan arti dari sesuatu yang dipelajari. Sedangkan dengan pemahaman, seseorang tidak hanya dapat menjelaskan sesuatu yang diyakininya tetapi juga mempunyai kemampuan untuk menangkap makna.

Kata ”Agama” di sini diartikan sebagai segenap kepercayaan kepada Tuhan, Dewa dan sebagainya, disertai ajaran kebaktian dan kewajiban–kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dsb), serta ajaran untuk menjalankan ibadah dan melakukan atau tidak melakukan sesuatu menurut kepercayaan tersebut. Keagamaan berasal dari kata ”agama” diberi awalan ”ke” dan akhiran ”an” menjadi keagamaan, diartikan sebagai segala hal berkenaan dengan keyakinan seseorang yang berkaitan dengan ajaran agama.

Agama sendiri oleh Syaltut, diartikan segala ketetapan-ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia. Sedangkan Badran mendefinisikan agama mengacu kepada al-Qur’an yakni hubungan antara makhluk dengan Khaliknya. Hubungan ini diwujudkan dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah

5 John Dewey. How We Think , 1933, hal. 153

yang dilakukannya dan tercermin pula dalam sikap kesehariannya. Nasution, mengartikan agama sebagai ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan melalui Rasul".6 Leuba yang dikutip Arifin mengartikan agama sebagai peraturan Ilahi yang mendorong manusia berakal untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, oleh karena agama diturunkan Tuhan kepada manusia adalah untuk kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat".7

Berdasarkan uraian di atas, maka pemahaman agama merupakan kemampuan seseorang untuk menangkap makna dan arti ajaran agamanya, dapat menjelaskan serta menguraikan isi pokok dari agamanya, dapat membedakan mana yang termasuk perbuatan baik dan buruk, memberikan contoh yang baik kepada sesama, serta dapat menerangkan keyakinannya tersebut. Seseorang yang telah memahami ajaran agama secara benar dan mendalam maka keyakinannya yang telah menjadi bagian integral dari kepribadiannya itulah yang akan mengawasi segala perbuatannya baik lahir maupun batin, sehingga yang lahir dari dirinya adalah prilaku damai dan baik dengan siapapun.

Pemahaman seseorang terhadap agamanya berlangsung secara dinamis, seiring dengan dinamika kehidupan manusia serta internalisasi nilai-nilai agama itu sendiri. Sedangkan cara umat beragama dalam menginterpretasikan ajaran agamanya sangat dipengaruhi oleh paradigma yang digunakannya dalam memahami agama itu sendiri. Dalam penelitian agama-

6 Harun Nasution. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press). 1984, hal. 10. 7 H. M. Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta: PT. Golden Teravon Press). 1998, h. 6

Page 32: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

14

Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis

agama setidaknya terdapat tiga paradigma agama dan keberagaman, yakni; eksklusif, inklusif dan pluralis.

Pertama, paradigma eksklusif. Eksklusifisme agama adalah ajaran-ajaran yang mengajarkan keistimewaan, keunggulan, dan semangat dominasi satu agama atas agama lain. Semangat ini dimiliki seluruh pemeluk agama. Orang atau kelompok yang memiliki paradigma ini berpandangan bahwa seseorang tidak akan diselamatkan kecuali kalau mengikuti iman yang dia akui, kecuali memeluk agama yang dia peluk. Agama agama lain boleh jadi juga memiliki banyak kebenaran dan kebaikan, tetapi agama-agama lain tersebut dianggap tidak dapat menjadi mediasi keselamatan.8 Ekspresi keberagaman kelompok ini, baik pemahaman, sikap maupun perilaku mereka cenderung tertutup, konservatif, fundamentalis, ekstrimis, intoleran, apologis dan dogmatis, sehingga kurang kondusif untuk melihat agama lain secara bersahabat, serta terlalu menonjolkan sisi perbedaan dengan menutup serapat-rapatnya sisi persamaannya. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan bersifat subjektif, pendekatan yang menilai subjek lain dari perspektif agamanya sendiri. Agamanya dipandang paling otentik memiliki kebenaran dan jalan keselamatan, sementara agama lain di luar agamanya dianggap hanya memiliki kebenaran yang palsu dan tidak otentik. Eksklusifisme dalam agama Islam adalah adanya doktrin agama yang benar di sisi Allah hanyalah agama Islam, sehingga ajaran agama selain Islam

8 J.B. Bana Wiratima SJ. Bersama saudara-saudari Beriman Sains Perspektif gereja Katolik, dalam Seri Dian 1 tahun 1 Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian/Anter Fidei).1993, h. 4.

Page 33: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

15

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

agama setidaknya terdapat tiga paradigma agama dan keberagaman, yakni; eksklusif, inklusif dan pluralis.

Pertama, paradigma eksklusif. Eksklusifisme agama adalah ajaran-ajaran yang mengajarkan keistimewaan, keunggulan, dan semangat dominasi satu agama atas agama lain. Semangat ini dimiliki seluruh pemeluk agama. Orang atau kelompok yang memiliki paradigma ini berpandangan bahwa seseorang tidak akan diselamatkan kecuali kalau mengikuti iman yang dia akui, kecuali memeluk agama yang dia peluk. Agama agama lain boleh jadi juga memiliki banyak kebenaran dan kebaikan, tetapi agama-agama lain tersebut dianggap tidak dapat menjadi mediasi keselamatan.8 Ekspresi keberagaman kelompok ini, baik pemahaman, sikap maupun perilaku mereka cenderung tertutup, konservatif, fundamentalis, ekstrimis, intoleran, apologis dan dogmatis, sehingga kurang kondusif untuk melihat agama lain secara bersahabat, serta terlalu menonjolkan sisi perbedaan dengan menutup serapat-rapatnya sisi persamaannya. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan bersifat subjektif, pendekatan yang menilai subjek lain dari perspektif agamanya sendiri. Agamanya dipandang paling otentik memiliki kebenaran dan jalan keselamatan, sementara agama lain di luar agamanya dianggap hanya memiliki kebenaran yang palsu dan tidak otentik. Eksklusifisme dalam agama Islam adalah adanya doktrin agama yang benar di sisi Allah hanyalah agama Islam, sehingga ajaran agama selain Islam

8 J.B. Bana Wiratima SJ. Bersama saudara-saudari Beriman Sains Perspektif gereja Katolik, dalam Seri Dian 1 tahun 1 Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian/Anter Fidei).1993, h. 4.

tidak dapat diterima. Diantara ayat yang dipakai sebagai ungkapan eksklusifisme Islam adalah Q.S.3:85, 3:19, 5:3.

Ekslusifisme juga ditampakkan oleh agama Kristen, mereka mempunyai akar pada doktrin-doktrin kristologi mengenai “Kesatuan Hipostatik” yang didefinisikan di Kalsedon sebagai berikut: “Yesus dari Nazareth adalah unik dalam arti yang setepat-tepatnya bahwa meskipun sungguh-sungguh manusia, berlaku bagi Dia dan hanya Dia, bahwa Dia juga sungguh-sungguh Allah, pribadi yang dari Tritunggal yang sama kedudukannya.” Yesus merupakan satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan (Yohanes 14:6).

Dalam agama Hindu eksklusifisme ditampilkan melalui penegasan bahwa Veda merupakan wahyu yang paling sempurna dari kebenaran Ilahi, oleh sebab itu Hindu melihat dirinya juga sebagai kriteria yang harus digunakan sebagai dasar untuk menguji wahyu dari agama lainnya. Selain itu agama Hindu mempunyai keyakinan bahwa kehidupan beragama muncul dari yang Satu.

Dalam agama Budha eksklusifisme muncul melalui ajarannya yang menyatakan Keselamatan adalah dengan menyandarkan iman di dalam Buddha dan melantunkan namanya, dimana seseorang dapat mencapai surga.

Jika semua agama memiliki cara pandang seperti di atas, maka akan mendorong munculnya budaya truth claim yang berimplikasi pada pembentukan mode of thought yang partikularistik dan pada akhirnya terjadi apa yang oleh Arkoun disebut sebagai pelapisan geologi pemahaman agama dan

Page 34: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

16

Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis

taqdis al-afkar al diniy9 atau sakralisasi terhadap pemikiran keagamaan. Bahkan terdapat kecenderungan pemahaman tentang agama itu sendiri dianggap sebagai agama yang wajib diikuti sehingga pemahaman agama mengalami stagnasi dan akhirnya terjadilah marginalisasi dan alienasi agama dalam realitas empirik. Padahal, religiousitas itu sesungguhnya bersifat ”on going process” serta ”on going formation”. Proses ini pula yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai proses ”Ortodoksi”.10 Paradigma ini sangat jauh dari kemungkinan terbukanya peluang dialog, interaksi dan toleransi antar umat beragama.

Kedua, paradigma inklusif. Kelompok inklusif membeda-kan antara kehadiran penyelamatan dan aktifitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain.11 Penganut paradigma inklusif lebih mengedepankan pemahaman ajaran agama secara kontekstual, dengan menangkap esensi dan makna terdalam pesan-pesan teks, sehingga implementasi ajaran agama dipertimbangkan dengan konteks ruang dan waktu, situasi dan kondisi sosio-kultural yang tak terpisahkan dari perjalanan historis manusia. Tetapi dalam paradigma inipun masih terdapat titik kelemahan, yakni meskipun memiliki pandangan yang menaruh simpati terhadap agama-agama lain tetapi kurang menempatkan agama lain sebagaimana dialami dan dipeluk oleh yang bersangkutan. Maka sebagai paradigma, hubungan antar umat beragama masih kurang

9 M. Arkoun, M. Islam: Al-Akhlak Wa Al-Siyasah, terjemahan, Hasyim Saleh (Beirut), 1978, h: 116-117. 10 Fazhur Rahman. Islam, terjemahan, Ahsin (Bandung: Penerbit Pustaka), 1984,h.105. 11 Budhi Munawar Rahman. Islam Plural: Wacana kesetaraan kaum beriman (Jakarta: Paramadina), 2001, h:47-48.

Page 35: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

17

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

taqdis al-afkar al diniy9 atau sakralisasi terhadap pemikiran keagamaan. Bahkan terdapat kecenderungan pemahaman tentang agama itu sendiri dianggap sebagai agama yang wajib diikuti sehingga pemahaman agama mengalami stagnasi dan akhirnya terjadilah marginalisasi dan alienasi agama dalam realitas empirik. Padahal, religiousitas itu sesungguhnya bersifat ”on going process” serta ”on going formation”. Proses ini pula yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai proses ”Ortodoksi”.10 Paradigma ini sangat jauh dari kemungkinan terbukanya peluang dialog, interaksi dan toleransi antar umat beragama.

Kedua, paradigma inklusif. Kelompok inklusif membeda-kan antara kehadiran penyelamatan dan aktifitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain.11 Penganut paradigma inklusif lebih mengedepankan pemahaman ajaran agama secara kontekstual, dengan menangkap esensi dan makna terdalam pesan-pesan teks, sehingga implementasi ajaran agama dipertimbangkan dengan konteks ruang dan waktu, situasi dan kondisi sosio-kultural yang tak terpisahkan dari perjalanan historis manusia. Tetapi dalam paradigma inipun masih terdapat titik kelemahan, yakni meskipun memiliki pandangan yang menaruh simpati terhadap agama-agama lain tetapi kurang menempatkan agama lain sebagaimana dialami dan dipeluk oleh yang bersangkutan. Maka sebagai paradigma, hubungan antar umat beragama masih kurang

9 M. Arkoun, M. Islam: Al-Akhlak Wa Al-Siyasah, terjemahan, Hasyim Saleh (Beirut), 1978, h: 116-117. 10 Fazhur Rahman. Islam, terjemahan, Ahsin (Bandung: Penerbit Pustaka), 1984,h.105. 11 Budhi Munawar Rahman. Islam Plural: Wacana kesetaraan kaum beriman (Jakarta: Paramadina), 2001, h:47-48.

operasional dan kurang tegas membuka peluang untuk saling berinteraksi dengan penuh toleransi.

Terdapat tiga gagasan utama yang saling terkait dari inklusivisme yaitu; (1) substansi keimanan dan peribadatan lebih penting dari pada formalitas dan simbolisme keagamaan yang bersifat literal; (2) pesan-pesan agama yang bersifat abadi dalam esensinya dan universal dalam maknanya, harus selalu ditafsirkan ulang oleh masing-masing generasi umat sesuai dengan konteks zaman yang dihadapi, dan (3) kebenaran mutlak hanyalah milik Tuhan, maka tak seorangpun yang dapat memastikan bahwa pemahamannya terhadap pesan Tuhan adalah paling benar, lebih benar atau lebih baik dari pada pemahaman orang lain. Kelompok ini menekankan betapa pentingnya toleransi terhadap umat seagama maupun antar umat beragama karena perbedaan agama dipandang sebagi fitrah kemanusiaan yang bersifat universal.

Bagi agama Kristen, sikap inklusif dimaknai akan adanya perbedaan antara Tuhan dalam konteks penyelamatan dengan Tuhan dalam suatu aktivitas. Dalam konteks aktivitas Tuhan, kepercayaan bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu kepada aktivitas Tuhan dalam Yesus Kristus, maka ini menjadi inklusif. Sementara kalangan Islam inklusif berpandangan bahwa agama semua Nabi adalah satu. Kalangan ini menganut pandangan al-Qur’an tentang adanya titik temu agama-agama (Q.S. 3:64), di mana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah dan minhaj. Menurut kalangan ini, Allah tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal. Adanya perbedaan menjadi

Page 36: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

18

Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis

motivasi berlomba dalam kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan itu (Q.S. 5:48).

Ketiga, paradigma pluralis. Paradigma ini berbeda secara substansial dengan kelompok inklusif, lebih-lebih dengan kelompok eksklusif. Paradigma ini percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri.12

Bagi umat Islam misalnya, contoh yang paling indah ialah sikap Nabi Muhammad SAW, yang lebih mengutama-kan kedamaian ketimbang simbol tekstual. Ketika Nabi melakukan perdamaian dengan kaum Quraisy Mekah pada tahun 628 M (tahun 6 H) di Hudaibiyah, hampir saja perdamaian itu gagal, akibat penolakan pihak Quraisy terhadap naskah perdamaian yang diawali dengan perkataan Basmalah (Bismillahi al-Rahmani al-Rahim). Tak seorang pun sahabat Nabi yang berani menghapus Basmalah sebagai simbol Islam yang amat sakral itu. Namun demi perdamaian Nabi meminta tulisan Basmalah diganti dengan kalimat yang lebih singkat Bismika Allahumma, sehingga diterima oleh semua pihak. Selain itu pluralisme dalam Islam juga digambarkan dengan adanya ayat yang menyebut bahwa pada awalnya manusia bersatu, namun pada akhirnya mereka berselisih dan tercerai berai (2:213).

Pluralisme dalam agama Kristen dimulai ketika gereja mengubah sikap dari semula kebenaran mutlak hanya dari dalam gereja menjadi sikap untuk mendengarkan kebijaksanaan dan persoalan-persoalan yang berasal dari agama-agama lain. Rahmat Allah yang universal itulah yang 12 John Harwood: God And Universe of Faiths, (Oxford: One World Publications), 2003

Page 37: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

19

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

motivasi berlomba dalam kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan itu (Q.S. 5:48).

Ketiga, paradigma pluralis. Paradigma ini berbeda secara substansial dengan kelompok inklusif, lebih-lebih dengan kelompok eksklusif. Paradigma ini percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri.12

Bagi umat Islam misalnya, contoh yang paling indah ialah sikap Nabi Muhammad SAW, yang lebih mengutama-kan kedamaian ketimbang simbol tekstual. Ketika Nabi melakukan perdamaian dengan kaum Quraisy Mekah pada tahun 628 M (tahun 6 H) di Hudaibiyah, hampir saja perdamaian itu gagal, akibat penolakan pihak Quraisy terhadap naskah perdamaian yang diawali dengan perkataan Basmalah (Bismillahi al-Rahmani al-Rahim). Tak seorang pun sahabat Nabi yang berani menghapus Basmalah sebagai simbol Islam yang amat sakral itu. Namun demi perdamaian Nabi meminta tulisan Basmalah diganti dengan kalimat yang lebih singkat Bismika Allahumma, sehingga diterima oleh semua pihak. Selain itu pluralisme dalam Islam juga digambarkan dengan adanya ayat yang menyebut bahwa pada awalnya manusia bersatu, namun pada akhirnya mereka berselisih dan tercerai berai (2:213).

Pluralisme dalam agama Kristen dimulai ketika gereja mengubah sikap dari semula kebenaran mutlak hanya dari dalam gereja menjadi sikap untuk mendengarkan kebijaksanaan dan persoalan-persoalan yang berasal dari agama-agama lain. Rahmat Allah yang universal itulah yang 12 John Harwood: God And Universe of Faiths, (Oxford: One World Publications), 2003

sesungguhnya menggerakkan dan mendorong seorang Kristen untuk mendamaikan suatu teologi Kristosentris dengan pengalaman keagamaan orang-orang bukan Kristen. Hal ini mengindikasikan bahwa pluralisme ada untuk memenuhi tuntutan dari keadaan yang sangat majemuk dewasa ini.

Pluralism dalam ajaran Agama Hindu, terdapat dalam kitab Bhagawadgita, Bab 4 Sloka 11, yang berbunyi, “Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku semuanya kuterima dari mana mereka menuju jalan-Ku”, serta Bab 7 Sloka 21; Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap teguh dan sejahtera. Dalam ajaran agama Budha pluralism termaktub dalam Prasasti Kalingga No. XXII dari Raja Asoka; “Janganlah kita menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain... Dengan mencela dan merugikan agama orang lain berarti kita juga telah merugikan agama sendiri.

Pada dasarnya pandangan pluralis ini tidak menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah keseragaman bentuk agama. Sikap pluralistik mengekspresikan adanya ”fenomena” satu Tuhan ”banyak agama” yang berarti suatu sikap toleran terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan.13 Paradigma pluralisme paling memungkinkan untuk membuka dialog, kerjasama, interaksi dan toleransi antar umat beragama. Pemahaman agama yang dipengaruhi oleh paradigma sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki potensi mendorong tumbuhnya varian-varian

13 John Hick. The Religions Are Equally Valid To The Same Truth (San Diego, Greenhaven, Inc. 1995), 74-90.

Page 38: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

20

Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis

paham keagamaan di dalam kelompok satu agama maupun di dalam hubungan dengan agama lain.

Sebagaimana telah diuraikan, paham keagamaan adalah pengertian atau pengetahuan seseorang atau sekelompok orang tentang suatu agama yang mereka yakini, baik yang berhubungan dengan ajaran, ibadah dan ritual, hubungan sosial, organisasi dan sebagainya, berdasarkan penafsiran mereka. Dengan demikian, paham keagamaan juga bisa diartikan aliran keagamaan, yang dihasilkan dari adanya multi tafsir terhadap teks-teks agama. Model pemahaman keagamaan yang bersifat aliran itu biasanya memisahkan diri dari suatu paham atau aliran yang telah ada sebelumnya, lalu membentuk organisasi atau gerakan keagamaan baru.

Berbicara mengenai gerakan keagamaan, setidaknya dikenal tiga jenis gerakan keagamaan yaitu (a) endogenous religious movement, (b) exogenous religious movement, dan (c) generative religious movement. Yang dimaksud dengan Endogenous Religious Movement ialah suatu gerakan keagamaan di mana perubahan yang terjadi menyangkut sistem kepercayaan, sistem simbol, sistem ritus dan pengamalan, serta organisasi keagamaan. Perubahan yang terjadi dalam aspek-aspek ini telah menimbulkan pembahasan penting dalam sejarah agama-agama di dunia. Dalam agama Kristen perubahan ini melahirkan sekte-sekte baru yang satu dengan lainnya boleh jadi saling mendekat atau saling menjauh.

Gerakan keagamaan yang bersifat eksternal (exogenous movement) biasanya merupakan reaksi dari organisasi-organisasi keagamaan terhadap lingkungan sekitarnya yang

Page 39: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

21

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

paham keagamaan di dalam kelompok satu agama maupun di dalam hubungan dengan agama lain.

Sebagaimana telah diuraikan, paham keagamaan adalah pengertian atau pengetahuan seseorang atau sekelompok orang tentang suatu agama yang mereka yakini, baik yang berhubungan dengan ajaran, ibadah dan ritual, hubungan sosial, organisasi dan sebagainya, berdasarkan penafsiran mereka. Dengan demikian, paham keagamaan juga bisa diartikan aliran keagamaan, yang dihasilkan dari adanya multi tafsir terhadap teks-teks agama. Model pemahaman keagamaan yang bersifat aliran itu biasanya memisahkan diri dari suatu paham atau aliran yang telah ada sebelumnya, lalu membentuk organisasi atau gerakan keagamaan baru.

Berbicara mengenai gerakan keagamaan, setidaknya dikenal tiga jenis gerakan keagamaan yaitu (a) endogenous religious movement, (b) exogenous religious movement, dan (c) generative religious movement. Yang dimaksud dengan Endogenous Religious Movement ialah suatu gerakan keagamaan di mana perubahan yang terjadi menyangkut sistem kepercayaan, sistem simbol, sistem ritus dan pengamalan, serta organisasi keagamaan. Perubahan yang terjadi dalam aspek-aspek ini telah menimbulkan pembahasan penting dalam sejarah agama-agama di dunia. Dalam agama Kristen perubahan ini melahirkan sekte-sekte baru yang satu dengan lainnya boleh jadi saling mendekat atau saling menjauh.

Gerakan keagamaan yang bersifat eksternal (exogenous movement) biasanya merupakan reaksi dari organisasi-organisasi keagamaan terhadap lingkungan sekitarnya yang

berubah. Para ahli sosiologi mengatakan bahwa keberadaan organisasi-organisasi keagamaan dalam masyarakat itu sedikitnya mempunyai empat kepentingan. (1) Survival (mempertahankan hidup), (2) Economic (kepentingan ekonomi); (3) Status (kepentingan untuk eksis berperan); (4) Ideology (kepentingan untuk mempertahankan dan mengembangkan suatu pandangan hidup). Manakala kepentingan-kepentingan ini terjamin dan tidak terganggu maka organisasi keagamaan itu boleh dikatakan eksis dalam equilibrium atau harmoni dengan lingkunganya. Sebaliknya, ketika sebagian atau seluruh kepentingan-kepentingan itu terganggu, maka organisasi-organisasi keagamaan akan bereaksi terhadap lingkungannya untuk menjamin diperolehnya kembali kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam gerakan seperti itu, para pemimpin organisasi atau para tokoh agama biasanya memberikan justifikasi gerakannya dengan nilai-nilai transendental dari ajaran agama yang dianutnya. Bahkan tujuan gerakan keagamaan itu terkadang disebut sebagai bagian dari wahyu Tuhan.

Gerakan keagamaan dari jenis Generative Religious Movement, ditandai oleh kesengajaan upaya untuk melahirkan agama baru di luar agama yang ada. Mula-mula mungkin agama baru yang diperkenalkan itu merupakan bagian dari tradisi agama, atau tradisi lokal yang ada. Agama baru itu boleh jadi diimport dari agama lain, atau dari tradisi lokal yang telah berumur lama sehingga tidak pernah dipandang akan berdiri sendiri. Lama kelamaan, didorong oleh lingkungan sosial, politik, kultural yang ada, tradisi itu mengkristal menjadi suatu tradisi yang kemudian dipercaya sebagai agama yang berdiri sendiri.

Page 40: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

22

Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis

Selain hal-hal yang dikemukakan di atas, ada satu konsep lagi yang perlu diperhatikan yaitu elective affineties. Konsep ini merujuk kepada kenyataan bahwa seringkali sesuatu agama itu mempunyai hubungan kedekatan dengan suatu budaya, struktur sosial atau kelompok sosial atau kelompok etnik tertentu. Di Indonesia terdapat pula hubungan elective affinity antara agama dengan daerah tertentu atau etnik tertentu. Secara teoritik hubungan itu dapat dipisahkan sehingga peran-peran seseorang dalam masyarakat juga dapat dipisahkan dalam statusnya sebagai pemeluk agama tertentu, atau sebagai anggota etnik tertentu, atau sebagai anggota kelas sosial ekonomi tertentu, atau sebagai kelas pekerja tertentu. Di dalam kenyataannya pemisahan peran itu tidak mudah dilakukan, bahkan terkadang lebih mudah terkacaukan. Sebagai akibatnya, interaksi konflik ataupun konsensus dari berbagai pengelompokan sosial itu sedikit banyak, cepat atau lambat mempengaruhi interaksi konflik, atau konsensus di antara komunitas–komunitas keagamaan yang ada.14

Berkenaan dengan pandangan agama, terdapat dua kelompok, yakni kelompok yang memandang agama sebagai alat, label atau instrument, dan kelompok yang memandang agama sebagai tujuan seperti kelompok fundamentalis. Kelompok pertama, berkeyakinan bahwa agama adalah sarana untuk menjaga eksistensi kemanusiaan dan mencapai kebahagiaan manusia. Sehingga persoalan kemanusiaan dalam konteks ini diletakkan pada posisi yang tinggi dan karenanya agama hadir sebagai ”pelayan” bagi kemanusiaan, 14 Kustini. Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan), 2006, h: 7-8.

Page 41: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

23

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

Selain hal-hal yang dikemukakan di atas, ada satu konsep lagi yang perlu diperhatikan yaitu elective affineties. Konsep ini merujuk kepada kenyataan bahwa seringkali sesuatu agama itu mempunyai hubungan kedekatan dengan suatu budaya, struktur sosial atau kelompok sosial atau kelompok etnik tertentu. Di Indonesia terdapat pula hubungan elective affinity antara agama dengan daerah tertentu atau etnik tertentu. Secara teoritik hubungan itu dapat dipisahkan sehingga peran-peran seseorang dalam masyarakat juga dapat dipisahkan dalam statusnya sebagai pemeluk agama tertentu, atau sebagai anggota etnik tertentu, atau sebagai anggota kelas sosial ekonomi tertentu, atau sebagai kelas pekerja tertentu. Di dalam kenyataannya pemisahan peran itu tidak mudah dilakukan, bahkan terkadang lebih mudah terkacaukan. Sebagai akibatnya, interaksi konflik ataupun konsensus dari berbagai pengelompokan sosial itu sedikit banyak, cepat atau lambat mempengaruhi interaksi konflik, atau konsensus di antara komunitas–komunitas keagamaan yang ada.14

Berkenaan dengan pandangan agama, terdapat dua kelompok, yakni kelompok yang memandang agama sebagai alat, label atau instrument, dan kelompok yang memandang agama sebagai tujuan seperti kelompok fundamentalis. Kelompok pertama, berkeyakinan bahwa agama adalah sarana untuk menjaga eksistensi kemanusiaan dan mencapai kebahagiaan manusia. Sehingga persoalan kemanusiaan dalam konteks ini diletakkan pada posisi yang tinggi dan karenanya agama hadir sebagai ”pelayan” bagi kemanusiaan, 14 Kustini. Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan), 2006, h: 7-8.

sehingga jika ada perbuatan yang menghinakan dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, sama artinya dengan memporakporandakan agama.

Sementara kelompok kedua, memposisikan kehidupan manusia adalah untuk agama. Karenanya, demi agama kapanpun diperlukan, kemanusiaan dapat dikorbankan dengan cara mengusung simbol-simbol dan mengibarkan panji-panji agama dari “serangan” musuh-musuhnya.15

Dengan melihat paparan mengenai kondisi masyarakat bangsa Indonesia yang ternyata menganut banyak agama, ada satu pertanyaan yang dapat dimunculkan di sini: Bagaimana menjadikan pluralitas agama yang dianut oleh masyarakat bangsa Indonesia sebagai media integrasi sosial agar tercipta kehidupan yang harmonis dalam kerangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa?

Pertanyaan tersebut penting diajukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, yang percaya pada enam pilar rukun iman,16 dan meyakini serta melaksanakan lima pilar rukun Islam17, meskipun terdapat perbedaan penafsiran atas beberapa praktek keagamaan mereka. Terhadap pilar-pilar iman dan Islam tersebut setiap umat Islam selain harus mempercayainya juga harus

15 Peter L. Berger. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (Jakarta: LP3ES). 1993, h:36-41. 16 yaitu percaya pada adanya Tuhan yang Maha Esa (Allah SWT), percaya pada para Nabi, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir (kiamat), dan qada’-qadar-Nya. 17 yaitu Syahadat (percaya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya) shalat lima kali sehari semalam, zakat, puasa selama bulan ramadhan, menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah bagi yang benar-benar mampu melaksanakannya secara mental spiritual, jasmaniah dan finansial.

Page 42: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

24

Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis

memahami dengan baik dan benar. Hal yang sama pasti juga berlaku di kalangan umat Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu, yakni setiap umatnya harus memahami dengan baik dan benar ajaran-ajaran dasar agama masing-masing. Dalam konteks hidup bermasyarakat, pemahaman keagamaan tersebut sangat mungkin ditransformasi menjadi perilaku keseharian. Pada saat berinteraksi itulah, cara beragama (eksklusif, inklusif atau pluralis) masing-masing pemeluk agama, akan sangat mempengaruhi pola-pola interaksi yang berkembang di antara mereka.

B. Kerangka Berpikir

1. Terdapat Pengaruh Pemahaman Keagaman terhadap Eksklusivisme Beragama

Pemahaman agama adalah pengetahuan yang mendalam seseorang atau sekelompok orang tentang ajaran agama yang mereka anut. Kepribadian seseorang yang telah memiliki pemahaman tentang ajaran agama akan berbeda jika dibandingkan dengan seseorang yang tidak, belum, atau kurang memiliki pemahaman tentang ajaran agama. Perbedaan tersebut akan terlihat dalam sikap dan perbuatannya sehari-hari. Seseorang yang telah memahami ajaran agamanya cenderung akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dibolehkan dalam agamanya dan selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya selaku hamba Allah. Orang tersebut juga akan selalu berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang bahkan yang diharamkan dalam ajaran agamanya.

Page 43: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

25

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

memahami dengan baik dan benar. Hal yang sama pasti juga berlaku di kalangan umat Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu, yakni setiap umatnya harus memahami dengan baik dan benar ajaran-ajaran dasar agama masing-masing. Dalam konteks hidup bermasyarakat, pemahaman keagamaan tersebut sangat mungkin ditransformasi menjadi perilaku keseharian. Pada saat berinteraksi itulah, cara beragama (eksklusif, inklusif atau pluralis) masing-masing pemeluk agama, akan sangat mempengaruhi pola-pola interaksi yang berkembang di antara mereka.

B. Kerangka Berpikir

1. Terdapat Pengaruh Pemahaman Keagaman terhadap Eksklusivisme Beragama

Pemahaman agama adalah pengetahuan yang mendalam seseorang atau sekelompok orang tentang ajaran agama yang mereka anut. Kepribadian seseorang yang telah memiliki pemahaman tentang ajaran agama akan berbeda jika dibandingkan dengan seseorang yang tidak, belum, atau kurang memiliki pemahaman tentang ajaran agama. Perbedaan tersebut akan terlihat dalam sikap dan perbuatannya sehari-hari. Seseorang yang telah memahami ajaran agamanya cenderung akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dibolehkan dalam agamanya dan selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya selaku hamba Allah. Orang tersebut juga akan selalu berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang bahkan yang diharamkan dalam ajaran agamanya.

Sebagai ilustrasi, kewajiban dasar umat Islam adalah melaksanakan perintah Allah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Sholat tidak boleh ditinggalkan oleh setiap Muslim. Kewajiban tersebut harus selalu dilakukan 5 kali dalam sehari semalam pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Puasa wajib dilakukan ketika memasuki bulan Ramadhan, dan seterusnya. Bagi orang yang memiliki pemahaman tentang ajaran agama Islam, ia cenderung akan selalu melakukan kewajiban-kewajibannya kepada Allah dengan melaksanakan ibadah secara rutin dan selalu berusaha agar tidak pernah meninggalkan ibadahnya di manapun ia berada, karena ia menyadari bahwa ibadah yang diwajibkan benar-benar wajib untuk dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan. Ia melaksanakan ibadah tersebut semata-mata untuk memperoleh ridha dan pahala dari Allah. Jika ia meninggalkan ibadah tersebut dengan sengaja, maka ia akan berdosa dan kelak mendapatkan siksa dari Allah. Dengan perkataan lain pemahaman agama akan mempengaruhi watak dan bentuk perilaku penganutnya dalam setiap aspek kehidupan terutama dalam berinteraksi dengan sesama umat beragama. Selain itu tinggi rendahnya pemahaman ajaran agama yang dimiliki seseorang tergambarkan dalam bentuk pelaksanaan ajaran agama yang diyakini serta pada akhirnya juga mempengaruhi emosi keberagamaanya, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku dalam berinteraksi dengan umat agama lainnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, pemahaman keagamaan seseorang mempengaruhi bentuk perilaku berinteraksi, baik dengan umat sesama agama maupun umat

Page 44: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

26

Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis

berlainan agama. Ragam bentuk interaksi dapat bersifat eksklusif, maupun inklusif.

2. Terdapat Perbedaan Eksklusifisme beragama antara para pemuka agama

Sebagaimana telah dijelaskan, dalam kegiatan sehari-hari, para pemuka agama bergaul dan berinteraksi tidak hanya dengan sesama jamaah atau kelompoknya yang seagama saja, tetapi juga bergaul dan berinteraksi dengan kelompok atau jamaah agama lain. Dalam pergaulan dan interaksi tersebut para pemuka agama selain harus tetap melaksanakan semua kewajiban agama juga harus melaksanakan semua tujuan, kegiatan dan program lembaga, organisasi atau institusi di mana ia berada. Dalam hal ini tentunya pola penerapan ajaran agama atau sikap beragama lebih mengutamakan tujuan, kegiatan atau program organisasi di mana mereka berada.

Karena para pemuka agama bergabung dalam organisasi yang beranekaragam, yang memiliki program dan tujuan yang berbeda seperti lembaga pendidikan formal, lembaga pendidikan informal, lembaga penelitian dan pengembangan, organisasi sosial ekonomi, asosiasi sosial politik, atau asosiasi profesi, maka pelakasanaan dan sikap beragama merekapun diasumsikan akan berbeda karena dipengaruhi keanekaragaman anggota dan lingkungan organisasi atau lembaga di mana mereka bergabung.

Berangkat dari pemikiran di atas, maka diduga terdapat perbedaan eksklusifisme beragama para pemuka agama dari ke- enam agama yang secara formal tertera dalam peraturan.

Page 45: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

27

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

berlainan agama. Ragam bentuk interaksi dapat bersifat eksklusif, maupun inklusif.

2. Terdapat Perbedaan Eksklusifisme beragama antara para pemuka agama

Sebagaimana telah dijelaskan, dalam kegiatan sehari-hari, para pemuka agama bergaul dan berinteraksi tidak hanya dengan sesama jamaah atau kelompoknya yang seagama saja, tetapi juga bergaul dan berinteraksi dengan kelompok atau jamaah agama lain. Dalam pergaulan dan interaksi tersebut para pemuka agama selain harus tetap melaksanakan semua kewajiban agama juga harus melaksanakan semua tujuan, kegiatan dan program lembaga, organisasi atau institusi di mana ia berada. Dalam hal ini tentunya pola penerapan ajaran agama atau sikap beragama lebih mengutamakan tujuan, kegiatan atau program organisasi di mana mereka berada.

Karena para pemuka agama bergabung dalam organisasi yang beranekaragam, yang memiliki program dan tujuan yang berbeda seperti lembaga pendidikan formal, lembaga pendidikan informal, lembaga penelitian dan pengembangan, organisasi sosial ekonomi, asosiasi sosial politik, atau asosiasi profesi, maka pelakasanaan dan sikap beragama merekapun diasumsikan akan berbeda karena dipengaruhi keanekaragaman anggota dan lingkungan organisasi atau lembaga di mana mereka bergabung.

Berangkat dari pemikiran di atas, maka diduga terdapat perbedaan eksklusifisme beragama para pemuka agama dari ke- enam agama yang secara formal tertera dalam peraturan.

C. Pengajuan Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah disajikan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H1 : Terdapat pengaruh pemahaman keagamaan (X) terhadap ekslusivisme beragama (Y).

H0 : Tidak terdapat pengaruh pemahaman agama (X), terhadap ekslusivisme beragama (Y).

H1 : Terdapat perbedaan ekslusivisme beragama antara pemuka agama di enam agama yang terdapat di Indonesia.

H0 : Tidak terdapat perbedaan ekslusivisme beragama antara pemuka agama di enam agama yang terdapat di Indonesia.

Page 46: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

28

Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis

Page 47: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

29

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

enelitian ini selain bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dan komprehensip tentang ada tidaknya pengaruh pemahaman

keagamaan terhadap eksklusifisme beragama, juga secara operasional penelitian ini ingin:

1. Mengetahui pengaruh pemahaman keagamaan para pemuka agama terhadap eksklusifisme beragama.

2. Mengetahui perbedaan eksklusifisme beragama para pemuka agama-agama karena perbedaan pemahaman keagamaan mereka.

B. Kegunaan Penelitian

Temuan hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai:

1. Bahan masukan bagi Departemen Agama dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimas Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, dalam merumuskan kebijaksanaan pembinaan dan pelayanan keagamaan;

2. Melengkapi informasi tentang ekslusifisme keagamaan dalam kerangka upaya penanganan paham-paham keagamaan yang berkembang di Indonesia.

P

Page 48: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

30

Bab III. Metodologi Penelitian

C. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan tahun 2011 di 10 provinsi, yaitu Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah.

Seleksi provinsi ini dilaksukan secara purposif dan didasarkan pada pertimbangan sebaran umat beragama–mayoritas-plural-minoritas. Jawa dengan mayoritas Islam; Bali mayoritas Hindu; Nusa Tenggara Timur mayoritas Katolik-Protestan; Kalimantan Barat di kabupaten-kota tertentu mayoritas Buddha-Khonghucu; Lampung, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat komunitas heterogen-plural.

Secara teoretis, faktor-faktor demografis, geografis, sosial-ekonomis, dan kultural sangat mempengaruhi cara individu bersikap dan berperilaku keagaman dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu faktor-faktor sosial-ekonomis, geografis dan kultural, menjadi pertimbangan dalam penentuan responden penelitian. Selain itu, untuk kebutuhan analisis berbasis satuan unit agama, survei harus memperhatikan signifikansi representasi agama yang dianut responden dengan variasi karakteristik strata sosialnya. Karenanya, asas proporsionalitas sebaran sampel menurut agama, strata dan karakter sosial-keagamaan populasi mutlak diperhatikan. Jumlah sampel per-provinsi bervariasi.

Penentuan jumlah sampel ini didasarkan terutama pada sebaran komunitas populasi menurut kriteria seperti

Page 49: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

31

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

C. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan tahun 2011 di 10 provinsi, yaitu Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah.

Seleksi provinsi ini dilaksukan secara purposif dan didasarkan pada pertimbangan sebaran umat beragama–mayoritas-plural-minoritas. Jawa dengan mayoritas Islam; Bali mayoritas Hindu; Nusa Tenggara Timur mayoritas Katolik-Protestan; Kalimantan Barat di kabupaten-kota tertentu mayoritas Buddha-Khonghucu; Lampung, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat komunitas heterogen-plural.

Secara teoretis, faktor-faktor demografis, geografis, sosial-ekonomis, dan kultural sangat mempengaruhi cara individu bersikap dan berperilaku keagaman dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu faktor-faktor sosial-ekonomis, geografis dan kultural, menjadi pertimbangan dalam penentuan responden penelitian. Selain itu, untuk kebutuhan analisis berbasis satuan unit agama, survei harus memperhatikan signifikansi representasi agama yang dianut responden dengan variasi karakteristik strata sosialnya. Karenanya, asas proporsionalitas sebaran sampel menurut agama, strata dan karakter sosial-keagamaan populasi mutlak diperhatikan. Jumlah sampel per-provinsi bervariasi.

Penentuan jumlah sampel ini didasarkan terutama pada sebaran komunitas populasi menurut kriteria seperti

ditampilkan pada tabel III.2, dan prinsip tingkat homogenitas populasi yang tinggi, baik dari aspek demografi, sosial, ekonomi dan budaya di setiap provinsi target survei. Sebaran sampel menurut provinsi disajikan pada tabel III.1.

D. Metode Penelitian

Motode penelitian yang dipergunakan adalah survey, sebagaimana pendapat Ary, Yakubs dan Razavich yang menyatakan bahwa metode survey dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada saat penelitian dilakukan dengan tujuan melukiskan variabel atau kondisi apa yang ada dalam suatu situasi, untuk menguji hipotesis serta untuk menguji ada tidaknya hubungan dan atau pengaruh satu variabel terhadap variabel yang lain.18

E. Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri atas satu variabel bebas pemahaman keagamaan (X) dan satu variabel terikat eksklusifisme beragama (Y). Variabel bebas (X) dalam penelitian ini adalah Pemahaman Keagamaan meliputi: (1) keyakinan keagamaan, (2) praktek ritual keagamaan, (3) pengalaman sosial-keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup keagamaan, sedangkan Variabel terikat (Y) dalam penelitian ini adalah eksklusifisme beragama dalam aspek (1) teologi sosial, (2) sosial keagamaan, dan (3) sosial politik keagamaan.

18 Donald Ary, L, Ch, Yacobs and Asghar Razavich, Introduction to Research in Education (2nd), (Sydney:Halt Rinehalt and Winston, 1979, p:382.

Page 50: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

32

Bab III. Metodologi Penelitian

F. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Indonesia yang terdapat di berbagai komunitas agama di Indonesia yakni mereka yang saat survei dilakukan menetap di tanah air, dan berstatus pemuka agama. Pemuka dalam survei ini adalah “setiap individu yang dalam aktivitas kesehariannya berperan spesifik dan dominan untuk pembangunan dan pengembangan umat ber-agama”. Peran dan fungsi dimaksud dapat diaktualisasikan dalam bingkai organisasi formal keagamaan sebagaimana terdapat dalam tabel III.1 di bawah.

Selain itu, survei juga memperhatikan signifikansi responden dalam hal representasi agama yang dianut dengan variasi karakteristik strata sosialnya. Asas proporsionalitas sebaran sampel mendapat perhatian. Sebaran sampel menurut representasi agama juga dapat dilihat pada tabel yang sama.

Tabel III.1 : Matriks Komunitas/Organisasi/Lembaga Target Survei

No Organisasi/ Lembaga

Stratum Nama Lembaga Keterangan

1 Lembaga pendidikan FORMAL berbasis keagamaan

1. JENJANG (SD-PT) 2. JENIS pendidikan (Umum-Agama )

Sekolah berbasis keagamaan, pesantren, Perguruan Tinggi Islam, Katolik, Kristen Hindu Budha dan Khonghucu

Anggota, pengurus, fungsionaris sesuai jenjang

2 Lembaga pendidikan INFORMAL dan penelitian-pengem-

1. Pendidikan bersertifikat

2. Pelatihan-ketrampilan

3. Penelitian-pengkajian

Lembaga kursus, pelatihan, pendidikan, penelitian, pengkajian dan pengembangan (contoh MUI, Lakpesdam, PPIM)

Anggota, pengurus, fungsionaris dan lain sebagainya

Page 51: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

33

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

F. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Indonesia yang terdapat di berbagai komunitas agama di Indonesia yakni mereka yang saat survei dilakukan menetap di tanah air, dan berstatus pemuka agama. Pemuka dalam survei ini adalah “setiap individu yang dalam aktivitas kesehariannya berperan spesifik dan dominan untuk pembangunan dan pengembangan umat ber-agama”. Peran dan fungsi dimaksud dapat diaktualisasikan dalam bingkai organisasi formal keagamaan sebagaimana terdapat dalam tabel III.1 di bawah.

Selain itu, survei juga memperhatikan signifikansi responden dalam hal representasi agama yang dianut dengan variasi karakteristik strata sosialnya. Asas proporsionalitas sebaran sampel mendapat perhatian. Sebaran sampel menurut representasi agama juga dapat dilihat pada tabel yang sama.

Tabel III.1 : Matriks Komunitas/Organisasi/Lembaga Target Survei

No Organisasi/ Lembaga

Stratum Nama Lembaga Keterangan

1 Lembaga pendidikan FORMAL berbasis keagamaan

1. JENJANG (SD-PT) 2. JENIS pendidikan (Umum-Agama )

Sekolah berbasis keagamaan, pesantren, Perguruan Tinggi Islam, Katolik, Kristen Hindu Budha dan Khonghucu

Anggota, pengurus, fungsionaris sesuai jenjang

2 Lembaga pendidikan INFORMAL dan penelitian-pengem-

1. Pendidikan bersertifikat

2. Pelatihan-ketrampilan

3. Penelitian-pengkajian

Lembaga kursus, pelatihan, pendidikan, penelitian, pengkajian dan pengembangan (contoh MUI, Lakpesdam, PPIM)

Anggota, pengurus, fungsionaris dan lain sebagainya

bangan berbasis keagamaan

4. Pengembangan

3 Organisasi SOSIAL-EKONOMI-KEAGAMAAN

1. SOSIAL- EKONOMI 2. IBADAH 3. KESEHATAN 4. BUDAYA 5. KEMUNUSIAAN

ISLAM (NU, Muham-madiyah, Mathlaul Anwar, PERSIS, Nah-dhatul Wathan, al-Irsyad, al-Khairat, LDII, P.HI, FUI, KATOLIK (KWI); KRISTEN Mainstream PGI, PGII, PGPI, Aliran Kristen – Gereja Gabungan Baptis Indonesia, Advent, Kesaksian Jehova, Gereja Orang Suci Akhir Zaman, Bala Keselamatan, Kristen Ortodoks; HINDU seperti PHDI, BUDHA (Walubi), KHONGHUCU (MATAKIN)

Anggota, pengurus, fungsionaris dan lain sebagainya

4 Asosiasi SOSIAL-POLITIK berbasis keagamaan

1. Partai politik 2. Underbow politik

PKS, PBB, PBR, PDS Anggota, pengurus, fungsionaris

5 Asosiasi PROFESI berbasis keagamaan

1. Layanan hukum 2. Layanan kesehatan 3. Layanan kemasyarakatan 4. Layanan ekonomi 5. Laynanan pendidikan

Pengacara Syariah, Tim Pembela Muslim, Ikatan Guru Agama, Perhimpunan Khatib, Penceramah-Evangelis, Ikatan Da’i Indonesia, asosiasi pendeta, pedande, bikhku, Serikat Pekerja Islam Indonesia)

Anggota, pengurus, fungsionaris dan lain sebagainya

b. Teknik sampling dan jumlah responden penelitian

Sampel dalam survei ini ditarik secara multistage random sampling dengan menggunakan beberapa prinsip berikut:

Page 52: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

34

Bab III. Metodologi Penelitian

1) Asas adil. Responden diseleksi dengan prosedur random agar setiap unsur-kategori populasi di setiap basis komunitas seleksi memiliki peluang yang sama untuk terpilih sebagai responden. Prosedur randomisasi diterapkan pada seleksi sampel di level komunitas agama, dan anggota organisasi atau lembaga, untuk menjadi responden.

2) Asas konsistensi. Petugas lapangan survei ini menerapkan segala prosedur yang telah ditetapkan dalam Buku Panduan secara konsisten. Setiap perubahan prosedur penarikan sampel, dan perubahan strategis-teknis lainnya harus terlebih dahulu mendapat persetujuan koordinator survei.

3) Asas kejelasan. Informasi lengkap untuk setiap komunitas dan anggota komunitas populasi diberikan perhatian. Namun demikian, batas informasi responden yang terpilih dalam survei ini sulit diketahui. Selama ini, dokumen akurat yang mencatat data populasi secara lengkap dan detail masih sangat langka, dan akibatnya sulit didapatkan. Bahkan ada kecenderungan data seperti itu tidak ada. Untuk mengatasi kesulitan ini, sampling frame (bingkai penarikan sampel) dimaksimalisasi berdasarkan data-informasi yang disediakan oleh lembaga formal agama atau lembaga yang bernaung di bawah manajemen agama tertentu, seperti Kantor Kementerian Agama, atau organisasi sosial-keagamaan.

Selanjutnya dengan berpedoman kepada prinsip di atas, pengambilan sampel di lapangan mengikuti langkah-langkah berikut ini:

Page 53: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

35

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

1) Asas adil. Responden diseleksi dengan prosedur random agar setiap unsur-kategori populasi di setiap basis komunitas seleksi memiliki peluang yang sama untuk terpilih sebagai responden. Prosedur randomisasi diterapkan pada seleksi sampel di level komunitas agama, dan anggota organisasi atau lembaga, untuk menjadi responden.

2) Asas konsistensi. Petugas lapangan survei ini menerapkan segala prosedur yang telah ditetapkan dalam Buku Panduan secara konsisten. Setiap perubahan prosedur penarikan sampel, dan perubahan strategis-teknis lainnya harus terlebih dahulu mendapat persetujuan koordinator survei.

3) Asas kejelasan. Informasi lengkap untuk setiap komunitas dan anggota komunitas populasi diberikan perhatian. Namun demikian, batas informasi responden yang terpilih dalam survei ini sulit diketahui. Selama ini, dokumen akurat yang mencatat data populasi secara lengkap dan detail masih sangat langka, dan akibatnya sulit didapatkan. Bahkan ada kecenderungan data seperti itu tidak ada. Untuk mengatasi kesulitan ini, sampling frame (bingkai penarikan sampel) dimaksimalisasi berdasarkan data-informasi yang disediakan oleh lembaga formal agama atau lembaga yang bernaung di bawah manajemen agama tertentu, seperti Kantor Kementerian Agama, atau organisasi sosial-keagamaan.

Selanjutnya dengan berpedoman kepada prinsip di atas, pengambilan sampel di lapangan mengikuti langkah-langkah berikut ini:

a. Proses Penentuan Kabupaten-Kota

1) Unit satuan primer referensi penarikan sampel adalah komunitas/kelompok agama. Sampel diseleksi secara random berjenjang. Prosedur random sampling sudah mulai diterapkan saat penyeleksian komunitas/ kelompok agama dan responden. Prinsip randomisasi responden betul-betul diterapkan, di mana tenaga lapangan tidak boleh mengubah prinsip metodologis ini.

2) Bingkai penarikan sampel di setiap jenjang harus mendaftar dan memuat selengkap mungkin seluruh informasi yang terkait dengan nama komunitas/ kelompok agama dan responden.

3) Jika unit satuan komunitas/kelompok berbasis keagama-an tidak ditemukan, sampel diseleksi berbasis individu (tidak terikat oleh bingkai organisasi/kelompok agama); orang per orang tanpa ikatan organisasi tertentu, tetapi setiap peneliti diharuskan memperhatikan semua kriteria responden menurut sub-stratum yang telah ditetapkan koordinator penelitian. Umpama, jika data asosiasi hakim, pengacara, atau dokter berbasis agama tidak ditemukan, maka sampel pengacara, hakim dan dokter dapat diseleksi dengan merujuk pada lembaga tempat mereka bekerja, bukan dari basis organisasi profesi yang memayungi mereka. Dalam hal ini, hakim dirujuk ke pengadilan, dokter dirujuk ke rumah sakit berbasis agama tempat mereka bekerja (seperti rumah Sakit Islam, Katolik, Kristen dan Hindu), dan pengacara dirujuk ke wadah asosiasi hukum yang memayungi keberadaan mereka secara organisatoris.

Page 54: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

36

Bab III. Metodologi Penelitian

4) Respresentasi setiap unsur dari sub-stratum dan kriteria di atas benar-benar diperhatikan, dan menjadi ketentuan dasar untuk prosedur penarikan sampel. Setiap unsur dimaksud dengan segala detailnya betul-betul terwakili dengan berbasiskan asas proporsionalitas sebaran komunitas populasi penelitian.

5) Selengkapnya teknik penentuan responden penelitian sebagaimana diagram berikut ini.

Diagram Skema Alur Penarikan Sampel

Keterangan:

Alur dan tahapan proses penarikan sampel survei seperti disajikan pada Diagram di atas adalah sebagai berikut.

Nasional

Provinsi 1 Provinsi 2 Provinsi 3 Provinsi 10 Provinsi …

Kab-Kota 1

Kab-Kota 4 Kab-Kota 30

Kab-Kota 3

Kab-Kota 2

Cluster 1

Cluster 70

Cluster 4

Cluster 3

Cluster 2

Responden 1

Responden 4

.. Responden 3

Responden 2

Responden

700

Page 55: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

37

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

4) Respresentasi setiap unsur dari sub-stratum dan kriteria di atas benar-benar diperhatikan, dan menjadi ketentuan dasar untuk prosedur penarikan sampel. Setiap unsur dimaksud dengan segala detailnya betul-betul terwakili dengan berbasiskan asas proporsionalitas sebaran komunitas populasi penelitian.

5) Selengkapnya teknik penentuan responden penelitian sebagaimana diagram berikut ini.

Diagram Skema Alur Penarikan Sampel

Keterangan:

Alur dan tahapan proses penarikan sampel survei seperti disajikan pada Diagram di atas adalah sebagai berikut.

Nasional

Provinsi 1 Provinsi 2 Provinsi 3 Provinsi 10 Provinsi …

Kab-Kota 1

Kab-Kota 4 Kab-Kota 30

Kab-Kota 3

Kab-Kota 2

Cluster 1

Cluster 70

Cluster 4

Cluster 3

Cluster 2

Responden 1

Responden 4

.. Responden 3

Responden 2

Responden

700

a) Pertama, dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, 10 provinsi diseleksi secara purposif dengan pertimbangan proporsionalitas distribusi dan konsentrasi umat beragama menurut provinsi.

b) Di setiap provinsi, dipilih 2-3 kabupaten-kota untuk provinsi di luar pulau Jawa dan 3-4 kabupaten-kota untuk provinsi di Jawa, secara purposif, dengan rasio seimbang, walaupun dengan prioritas kota provinsi dan kota yang berpenduduk plural secara agama. Prioritas ini didasarkan pada fakta bahwa konsentrasi komunitas/kelompok umat beragama menurut organisasi sosial-politik-agama umumnya lebih banyak terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Jumlah kabupaten-kota yang diseleksi di setiap provinsi disesuaikan dengan proporsi distribusi agama dan konsentrasi komunitas.

c) Di setiap kabupaten-kota per provinsi diseleksi sejumlah komunitas organisasi/kelompok pemuka agama di bawah naungan manajemen (struktural-non struktural) organisasi-asosiasi. Jumlah komunitas organisasi/kelompok pemuka agama diseleksi secara random dan proporsional menurut kabupaten-kota, provinsi, agama serta kriteria organisasi/ kelompok. Jika di sejumlah daerah tidak ditemukan unit satuan komunitas/organisasi pemuka agama, seleksi komunitas pemuka agama didasarkan pada fakta batas ketersediaan data organisasi/kelompok pemuka dimaksud.

d) Di setiap kabupaten-kota diseleksi 8-12 komunitas pemuka agama. Setiap komunitas organisasi/kelompok pemeluk agama yang terpilih harus memenuhi strata-kriteria responden.

Page 56: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

38

Bab III. Metodologi Penelitian

e) Di setiap komunitas organisasi/kelompok pemuka agama, dipilih 2-3 orang responden, yang berstatus pengurus komunitas organisasi/kelompok pemuka agama, dan atau fungsionaris. Dari setiap komunitas organisasi /kelompok pemuka agama yang terpilih sebagai responden penelitian, responden tersebut tidak boleh; pertama, tumpang tindih fungsi-status jabatannya, Artinya, fungsi dan jabatan seseorang pemuka bisa berstatus berganda, seperti sebagai pengurus, fungsionaris, bahkan untuk fungsi dalam profesi yang beragam, seperti sebagai guru, penceramah, dan lain sebagainya. Kedua, jika seorang pemuka agama terdaftar di dua tempat komunitas, keberadaannya hanya akan diakui di satu komunitas. Artinya, seorang pemuka agama tidak boleh terpilih 2 kali sebagai responden.

b. Prosedur Penentuan Komunitas Organisasi/Kelompok Pemuka Agama

1) Mendapatkan informasi tentang jumlah dan nama-nama komunitas organisasi/ kelompok pemuka agama di kabupaten-kota terpilih. Data tentang komunitas pemuka agama ini umumnya (tetapi tidak selalu) tersedia di Kantor Wilayah Kementerian Agama dan atau di lembaga sosial-keagamaan.

2) Menyalin seluruh nama dan alamat lengkap organisasi/kelompok komunitas pemuka agama tersebut di Lembar Daftar Organisasi/lembaga Komunitas Pemuka Agama.

3) Memilih secara acak komunitas organisasi/kelompok pemuka agama di kabupaten-kota terpilih.

Page 57: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

39

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

e) Di setiap komunitas organisasi/kelompok pemuka agama, dipilih 2-3 orang responden, yang berstatus pengurus komunitas organisasi/kelompok pemuka agama, dan atau fungsionaris. Dari setiap komunitas organisasi /kelompok pemuka agama yang terpilih sebagai responden penelitian, responden tersebut tidak boleh; pertama, tumpang tindih fungsi-status jabatannya, Artinya, fungsi dan jabatan seseorang pemuka bisa berstatus berganda, seperti sebagai pengurus, fungsionaris, bahkan untuk fungsi dalam profesi yang beragam, seperti sebagai guru, penceramah, dan lain sebagainya. Kedua, jika seorang pemuka agama terdaftar di dua tempat komunitas, keberadaannya hanya akan diakui di satu komunitas. Artinya, seorang pemuka agama tidak boleh terpilih 2 kali sebagai responden.

b. Prosedur Penentuan Komunitas Organisasi/Kelompok Pemuka Agama

1) Mendapatkan informasi tentang jumlah dan nama-nama komunitas organisasi/ kelompok pemuka agama di kabupaten-kota terpilih. Data tentang komunitas pemuka agama ini umumnya (tetapi tidak selalu) tersedia di Kantor Wilayah Kementerian Agama dan atau di lembaga sosial-keagamaan.

2) Menyalin seluruh nama dan alamat lengkap organisasi/kelompok komunitas pemuka agama tersebut di Lembar Daftar Organisasi/lembaga Komunitas Pemuka Agama.

3) Memilih secara acak komunitas organisasi/kelompok pemuka agama di kabupaten-kota terpilih.

4) Dengan cara ini ditemukan komunitas organisasi/ kelompok pemuka agama yang akan dikunjungi untuk penyeleksian calon responden.

c. Prosedur Penentuan Responden Pemuka Agama

1. Penentuan responden dari komunitas pemuka agama yang terpilih dilakukan secara random sederhana, yaitu dengan cara pengundian.

2. Langkah yang dilakukan peneliti adalah mendaftar seluruh anggota komunitas pemuka agama yang terpilih menurut masing-masing organisasi/kelompok pemuka agama. Dari daftar nama-nama anggota komunitas pemuka agama menurut kriteria di atas, melalui pengundian, akan diseleksi 2-3 responden, atau sesuai kebutuhan.

3. Jika jumlah anggota komunitas pemuka agama terlalu sedikit, maka peneliti dengan persetujuan Kordinator, menambah jumlah komunitas organisasi/kelompok pemuka agama yang dipilih. Jumlah anggota komunitas organisasi/kelompok yang akan diundi tidak boleh kurang dari 10 orang, untuk kemudian diseleksi 2 orang untuk setiap organisasi. Artinya, dari setiap 5 orang anggota komunitas organisasi/ kelompok, dapat diseleksi 1 orang responden.

4. Memperhatikan representasi responden perempuan dalam seleksi responden. Hal ini penting, karena mayoritas pemuka agama yang terdaftar dalam sebuah komunitas organisasi/kelompok/asosiasi umumnya hanya laki-laki. Akibatnya, penyusunan bingkai

Page 58: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

40

Bab III. Metodologi Penelitian

penarikan sampel harus memastikan kemungkinan keanggotaan pemuka agama perempuan dalam komunitas organisasi/kelompok dimaksud.

Jumlah responden 700 orang dengan standar sampling error 4.7 % dan over-sample untuk responden non muslim. Rincian sebaran sampel menurut provinsi dan agama disajikan pada tabel III.2 berikut.

Tabel III.2: Sebaran responden menurut Provinsi dan Agama

No Provinsi Islam Katolik Kristen Hindu Budha Khong hucu

Jumlah Sampel

1 Lampung 36 4 4 4 5 2 55

2 DKI Jakarta 60 10 10 2 4 4 90

3 Jawa Barat 60 9 10 2 4 5 90

4 Jawa Tengah 58 9 8 2 4 4 85

5 Jawa Timur 60 7 10 2 4 2 85

6 Bali 15 3 4 31 5 2 60

7 Nusa Tenggara Barat 36 4 4 6 3 2 55

8 Nusa Tenggara Timur 15 25 14 2 2 2 60

9 Kalimantan Barat 15 5 8 2 15 20 65

10 Sulawesi Tengah 35 4 8 2 4 2 55

Jumlah Sampel Real 390 80 80 55 50 45 700

Sampel Normatif 390 ±16 ±29 ±11 ± 4 ± 3 453

Over Sample Size 0 64 51 44 46 42 147

Page 59: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

41

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

penarikan sampel harus memastikan kemungkinan keanggotaan pemuka agama perempuan dalam komunitas organisasi/kelompok dimaksud.

Jumlah responden 700 orang dengan standar sampling error 4.7 % dan over-sample untuk responden non muslim. Rincian sebaran sampel menurut provinsi dan agama disajikan pada tabel III.2 berikut.

Tabel III.2: Sebaran responden menurut Provinsi dan Agama

No Provinsi Islam Katolik Kristen Hindu Budha Khong hucu

Jumlah Sampel

1 Lampung 36 4 4 4 5 2 55

2 DKI Jakarta 60 10 10 2 4 4 90

3 Jawa Barat 60 9 10 2 4 5 90

4 Jawa Tengah 58 9 8 2 4 4 85

5 Jawa Timur 60 7 10 2 4 2 85

6 Bali 15 3 4 31 5 2 60

7 Nusa Tenggara Barat 36 4 4 6 3 2 55

8 Nusa Tenggara Timur 15 25 14 2 2 2 60

9 Kalimantan Barat 15 5 8 2 15 20 65

10 Sulawesi Tengah 35 4 8 2 4 2 55

Jumlah Sampel Real 390 80 80 55 50 45 700

Sampel Normatif 390 ±16 ±29 ±11 ± 4 ± 3 453

Over Sample Size 0 64 51 44 46 42 147

G. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua instrumen penelitian. Pertama berupa kuesioner yang bertujuan mendapatkan data tentang pemahaman keagamaan dan eksklusivitas beragama yang disebar kepada 700 orang pemuka agama di enam agama dari sepuluh provinsi yang dipilih secara purposif, kedua pedoman wawancara yang bertujuan menggali lebih dalam (indepth interview) pandangan pemuka agama terhadap agamanya dan eksklusifisme.

1) Kuesioner

Kuesioner disusun dengan merujuk kepada kisi-kisi sebagaimana terdapat dalam tabel 3.3, dan tabel 3.4 berikut ini.

1. Tabel III.3: Kisi-Kisi instrumen Pemahaman Keagamaan (X)

No Dimensi Indikator No Butir 1 Keyakinan

keagamaan a. Dasar-Dasar keyakinan Agama. b. Keyakinan akan pencipta dan

pengatur alam semesta. c. Keyakinan akan keselamatan dunia

dan akhirat

1 s/d 7

2 Praktek Ritual Keagamaan

a. Kitab suci sebagai rujukan, b. Pelaksanaan perintah ajaran

agama, c. Frekuensi berdo’a, serta menutup

kesala han dengan kebaikan

8 s/d 13

3 Pengalaman Sosial-Keagamaan

Agama aktivitas sosial yang menganjurkan umatnya: a. Membantu sesama, b. Berderma, berbuat baik dengan

sesama,

14 s/d 18

Page 60: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

42

Bab III. Metodologi Penelitian

c. Cara berinteraksi / berhubungan baik dengan seagama maupun yang berbeda

4 Konsekuensi Hidup Keagamaan

Konsekuensi dari keyakinan Agama dalam melaksanaan perintah Tuhan: a. Membangun semangat

persaudaraan, b. Kegiatan peningkatan keimanan, c. Aktivitas perenungan diri

19 s/d 27

2. Tabel III.4. Kisi-Kisi Intrumen eksklusifisme beragama (Y)

Dimensi Indikator No Butir

1 Sosial-Politik Keagamaan

Keyakinan bahwa jalan keselamatan hanya ada dalam agamanya. Karena itu dalam kegiatan apapun hanya bagi umat yang seiman

1 s/d 20

2 Teologi-Sosial Keagamaan

Keyakinan dan cara beragama dalam konteks sosial 21 s/d 28

3 Sosial Keagamaan

Kegiatan-kegiatan keagamaan dalam aktivitas sosial

29 s/d 38

2) Pedoman wawancara mendalam

Penelitian ini selain bertujuan mendapatkan data kuantitatif juga ingin mendapatkan data kualitatif. Sebagaimana dinyatakan di atas variabel penelitian ini adalah pemahaman keagamaan, dan eksklusifisme beragama. Untuk mendapatkan pemaknaan yang mendalam terhadap kedua variabel di atas, dilakukan wawancara mendalam terhadap narasumber terpilih di setiap daerah. Jumlah narasumber wawancara mendalam per provinsi, berkisar 9-12 orang.

Page 61: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

43

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

c. Cara berinteraksi / berhubungan baik dengan seagama maupun yang berbeda

4 Konsekuensi Hidup Keagamaan

Konsekuensi dari keyakinan Agama dalam melaksanaan perintah Tuhan: a. Membangun semangat

persaudaraan, b. Kegiatan peningkatan keimanan, c. Aktivitas perenungan diri

19 s/d 27

2. Tabel III.4. Kisi-Kisi Intrumen eksklusifisme beragama (Y)

Dimensi Indikator No Butir

1 Sosial-Politik Keagamaan

Keyakinan bahwa jalan keselamatan hanya ada dalam agamanya. Karena itu dalam kegiatan apapun hanya bagi umat yang seiman

1 s/d 20

2 Teologi-Sosial Keagamaan

Keyakinan dan cara beragama dalam konteks sosial 21 s/d 28

3 Sosial Keagamaan

Kegiatan-kegiatan keagamaan dalam aktivitas sosial

29 s/d 38

2) Pedoman wawancara mendalam

Penelitian ini selain bertujuan mendapatkan data kuantitatif juga ingin mendapatkan data kualitatif. Sebagaimana dinyatakan di atas variabel penelitian ini adalah pemahaman keagamaan, dan eksklusifisme beragama. Untuk mendapatkan pemaknaan yang mendalam terhadap kedua variabel di atas, dilakukan wawancara mendalam terhadap narasumber terpilih di setiap daerah. Jumlah narasumber wawancara mendalam per provinsi, berkisar 9-12 orang.

Fokus wawancara mendalam berkenaan dengan isu-isu tematik yang menjadi materi paham keagamaan dan dampak eksklusifisme beragama pada kehidupan keagamaan.

Pemahaman Keagamaan. Mencakup wawancara tentang keyakinan keagamaan, aktivitas ritual keagamaan, pengalaman hidup sosial-keagamaan dan konsekuensi hidup beragama. Secara teknis, Pemahaman Keagamaan diringkas menjadi Keberagamaan

Eksklusifisme beragama. Fokusnya adalah dimensi teologis-sosial keagamaan, sosial-keagamaan dan sosial-politik keagamaan. Narasumber diminta untuk mengungkapkan sikap dan pendirian keagamaannya secara detail dan spesifik tentang eksklusifisme beragama terutama tentang:

1) Dimensi teologis-sosial keagamaan mencakup butir-butir berikut.

a) Keyakinan tentang eksklusifisme suteriologi (jalan kesalamatan) untuk misi keadilan dan keberkahan hidup dunia dan akhirat;

b) Eksklusifisme mengenai liturgi (cara berdoa/ beribadah, kekuatan doa, dan kebermaknaan doa bagi umat beragama);

c) Kesesatan orang-orang (minoritas) yang tidak sealiran/sepaham dengan paham mayoritas di internal setiap agama;

d) Kesesatan orang-orang yang tidak seagama serta sikap terhadap ancaman dari umat yang berbeda agama terhadap agama narasumber;

Page 62: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

44

Bab III. Metodologi Penelitian

e) Sikap terhadap pembangunan tempat ibadat baru dari agama lain;

f) Sikap terhadap keberadaan tempat ibadat agama lain di sekitar tempat tinggal narasumber;

g) Perlakuan terhadap tempat ibadat narasumber oleh pemeluk agama lain (memasuki tempat ibadat, kehadiran umat berbeda agama di acara keagamaan yang diadakan sendiri);

h) Sikap terhadap misi pengembangan agama lain (aktivitas misionaris, dan keberadaan misionaris);

i) Sikap terhadap aktivitas ritual umum agama lain (seperti tahlilan, misa di rumah atau di luar tempat ibadat, pengajian, kebaktian) di sekitar tempat tinggal narasumber;

j) Pembubaran aktivitas ritual-teologis sosial agama lain;

2) Dimensi sosial-keagamaan mencakup butir-butir berikut.

a) Menghadiri perayaan kegiatan keagamaan yang dilakukan agama lain;

b) Mengundang umat berbeda agama dalam kegiatan/ acara sosial-keagamaan yang diadakan oleh narasumber atau masyarakat yang berbeda agama;

c) Kehadiran umat berbeda agama di lingkungan tempat tinggal sendiri dan ikut berbelasungkawa pada umat berbeda agama yang tertimpa musibah;

d) Sikap terhadap aplikasi ajaran agama pada isu-isu interaksi sosial (seperti pernikahan beda agama, dan

Page 63: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

45

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

e) Sikap terhadap pembangunan tempat ibadat baru dari agama lain;

f) Sikap terhadap keberadaan tempat ibadat agama lain di sekitar tempat tinggal narasumber;

g) Perlakuan terhadap tempat ibadat narasumber oleh pemeluk agama lain (memasuki tempat ibadat, kehadiran umat berbeda agama di acara keagamaan yang diadakan sendiri);

h) Sikap terhadap misi pengembangan agama lain (aktivitas misionaris, dan keberadaan misionaris);

i) Sikap terhadap aktivitas ritual umum agama lain (seperti tahlilan, misa di rumah atau di luar tempat ibadat, pengajian, kebaktian) di sekitar tempat tinggal narasumber;

j) Pembubaran aktivitas ritual-teologis sosial agama lain;

2) Dimensi sosial-keagamaan mencakup butir-butir berikut.

a) Menghadiri perayaan kegiatan keagamaan yang dilakukan agama lain;

b) Mengundang umat berbeda agama dalam kegiatan/ acara sosial-keagamaan yang diadakan oleh narasumber atau masyarakat yang berbeda agama;

c) Kehadiran umat berbeda agama di lingkungan tempat tinggal sendiri dan ikut berbelasungkawa pada umat berbeda agama yang tertimpa musibah;

d) Sikap terhadap aplikasi ajaran agama pada isu-isu interaksi sosial (seperti pernikahan beda agama, dan

keterlibatan dalam kegiatan sosial lintas agama untuk misi kemanusiaan);

e) Aktivitas membendung atau menentang kehadiran umat berbeda agama tinggal di sekitar tempat tinggal narasumber;

f) Interaksi sosial dengan umat yang berbeda agama (bertegur sapa, berbagi makanan, saling membantu-meminjamkan perabotan rumah tangga lintas umat beragama;

g) Kerjasama budaya-ekonomi lintas agama.

3) Dimensi sosial-politik keagamaan

a) Sikap terhadap pemilihan pemimpin (dari unit pemerintahan terrendah sampai level paling tinggi);

b) Sikap terhadap kepemimpinan tokoh berbeda agama (untuk setiap level pemerintahan) dalam kehidupan sehari-hari;

c) Sikap terhadap penggalangan dana untuk membantu kegiatan agama lain untuk penanganan kasus musibah yang menimpa umat agama lain;

d) Sikap terhadap isu kemunculan dan perkembangan paham atau aliran minoritas di internal agama;

e) Sikap terhadap kebijakan publik mengenai penanganan isu radikalisme dan eksklusifisme beragama;

Page 64: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

46

Bab III. Metodologi Penelitian

f) Eksklusifisme jalan keselamatan, kedamaian dan kesejateraan, yaitu hanya ada dalam ajaran agama pribadi narasumber.

4) Dimensi Umum Eksklusifisme Beragama

a) Penanganan pemerintah pada isu-isu yang berbasis kekerasan terhadap pemahaman agama dari kelompok mayoritas terhadap minoritas;

b) Penanganan pemerintah pada isu-isu yang berbasis kekerasan terhadap agama lain seperti pengrusakan tempat ibadat, dan larangan pendirian tempat ibadat;

c) Sikap terhadap responsi dan kebijakan pemerintah dalam menanggapi dan menangani isu-isu eksklusifisme beragama, dan hak kebebasan beragama;

d) Sikap (rasa terganggu) terhadap kemunculan pemahaman aliran agama dari kelompok minoritas yang seagama;

e) Sikap (rasa terganggu) terhadap aktivitas (kekerasan) kelompok mayoritas pada kelompok minoritas seperti terhadap kelompok Ahmadiyah dan paham keagamaan minoritas lainnya.

f) Otoritas lembaga atau Majelis-majelis agama untuk mengontrol tafsir (standarisasi) pemahanan ajaran agama di setiap agama;

g) Otoritas lembaga atau Majelis-majelis agama untuk menilai kesesatan tafsir (standarisasi) pemahanan ajaran agama dari kelompok tertentu.

Page 65: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

47

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

f) Eksklusifisme jalan keselamatan, kedamaian dan kesejateraan, yaitu hanya ada dalam ajaran agama pribadi narasumber.

4) Dimensi Umum Eksklusifisme Beragama

a) Penanganan pemerintah pada isu-isu yang berbasis kekerasan terhadap pemahaman agama dari kelompok mayoritas terhadap minoritas;

b) Penanganan pemerintah pada isu-isu yang berbasis kekerasan terhadap agama lain seperti pengrusakan tempat ibadat, dan larangan pendirian tempat ibadat;

c) Sikap terhadap responsi dan kebijakan pemerintah dalam menanggapi dan menangani isu-isu eksklusifisme beragama, dan hak kebebasan beragama;

d) Sikap (rasa terganggu) terhadap kemunculan pemahaman aliran agama dari kelompok minoritas yang seagama;

e) Sikap (rasa terganggu) terhadap aktivitas (kekerasan) kelompok mayoritas pada kelompok minoritas seperti terhadap kelompok Ahmadiyah dan paham keagamaan minoritas lainnya.

f) Otoritas lembaga atau Majelis-majelis agama untuk mengontrol tafsir (standarisasi) pemahanan ajaran agama di setiap agama;

g) Otoritas lembaga atau Majelis-majelis agama untuk menilai kesesatan tafsir (standarisasi) pemahanan ajaran agama dari kelompok tertentu.

H. Teknik Analisis Data

Data penelitian ini dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan mendeskripsikan semua data dari semua variabel dalam bentuk frekwensi dan prosentase. Statistik inferensial yang digunakan adalah regresi dan korelasi sederhana dan ganda, serta uji beda. Dengan statistik regresi dan korelasi akan diketahui bentuk hubungan, sekaligus sumbangan variabel-variabel bebas pemahaman keagamaan (X), terhadap eksklusifisme beragama (Y) para tokoh dari 6 agama yang diakui di Indonesia. Sedangkan uji beda, untuk mengetahui perbedaan pemahaman agama para tokoh agama terhadap eksklusifisme beragama (Y).

I. Hipotesis Statistik

Pengajuan Statistik menggunakan hipotesis sebagai berikut:

a. Ho : ρxy = 0

H1 : ρxy > 0

b. Ho : µ1 = µ2 = µ3 = µ4 = µ5 = µ6

H1 : µ1 ≠ µ2 ≠ µ3 ≠ µ4 ≠ µ5 ≠ µ6

Page 66: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

48

Bab III. Metodologi Penelitian

Page 67: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

49

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

BAB IV

ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Arah Penelitian

erdapat dua permasalahan yang ingin ditemukan jawabannya dalam penelitian ini yaitu; (1) ingin mengetahui seberapa mendalam atau seberapa kuat

pemahaman keagamaan para tokoh agama Indonesia, dan (2) bagaimana cara para tokoh memahami agamanya, eksklusif, ataukah inklusif dan pluralis. Dari dua pertanyaan besar tersebut selanjutnya dijabarkan menjadi sembilan pertanyaan penelitian. Dari sembilan pertanyaan penelitian dua pertanyaan bersifat elaboratif dari tujuan penelitian pertama, dan sisanya tujuh pertanyaan untuk menjawab permasalahan kedua.

Untuk mendapatkan jawaban terhadap dua permasalahan penelitian di atas, dikumpulkan data dengan menggunakan kuesioner tentang (1) pemahaman keagamaan, dan (2) eksklusifisme beragama. Kuesioner tentang pemahaman keagamaan terdiri dari 27 butir, terbagi dalam empat kelompok yang menjadi indikatornya, yakni (1) keyakinan terhadap agama, (2) praktek ritual keagamaan, (3) pengalaman sosial keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup beragama. Sedangkan kuesioner kedua tentang eksklusifisme beragama terdiri dari 38 butir, terbagai dalam tiga kelompok yang merupakan indikatornya, yaitu keberagamaan dalam kaitan (1) teologi keagamaan, (2) sosial keagamaan, dan (3) sosial politik keagamaan.

T

Page 68: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

50

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

Sebagaimana telah disinggung, hasil kajian teori mengindikasikan bahwa pemahaman keagamaan dan eksklusifisme seseorang terhadap agamanya, dipengaruhi oleh banyak faktor (variabel), seperti; (1) faktor demografis, (2) sosial ekonomi, (3) interaksi sosial, (4) suku, (5) jenjang pendidikan dan sebagainya. Pengaruh faktor-faktor di atas diperhatikan dan dikaji.

Namun sebelum tujuan penelitian dan pertanyaan penelitian dijawab, terlebih dahulu akan dideskripsikan profil responden penelitian. Ada 10 profil responden yang akan disajikan dalam penelitian ini yaitu:

1) Provinsi responden penelitian, 2) Status kependudukan, 3) Jenis kelamin, 4) Agama dan waktu memeluk agama, serta agama keluarga

terdekat, 5) Jarak tempat tinggal dengan rumah ibadah sendiri dan

rumah ibadah agama lain, serta lingkungan agama dekat tempat tinggal,

6) Jenjang pendidikan, 7) Usia, 8) Jenis pekerjaan, 9) Status pernikahan, 10) Organisasi, status kepengurusan, fungsi dan jumlah massa

organisasi di mana responden berasal,

Selengkapnya profil responden berdasarkan sepuluh aspek di atas dapat dilihat dalam tabel IV.1 sampai dengan tabel IV.14, berikut ini.

Page 69: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

51

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

Sebagaimana telah disinggung, hasil kajian teori mengindikasikan bahwa pemahaman keagamaan dan eksklusifisme seseorang terhadap agamanya, dipengaruhi oleh banyak faktor (variabel), seperti; (1) faktor demografis, (2) sosial ekonomi, (3) interaksi sosial, (4) suku, (5) jenjang pendidikan dan sebagainya. Pengaruh faktor-faktor di atas diperhatikan dan dikaji.

Namun sebelum tujuan penelitian dan pertanyaan penelitian dijawab, terlebih dahulu akan dideskripsikan profil responden penelitian. Ada 10 profil responden yang akan disajikan dalam penelitian ini yaitu:

1) Provinsi responden penelitian, 2) Status kependudukan, 3) Jenis kelamin, 4) Agama dan waktu memeluk agama, serta agama keluarga

terdekat, 5) Jarak tempat tinggal dengan rumah ibadah sendiri dan

rumah ibadah agama lain, serta lingkungan agama dekat tempat tinggal,

6) Jenjang pendidikan, 7) Usia, 8) Jenis pekerjaan, 9) Status pernikahan, 10) Organisasi, status kepengurusan, fungsi dan jumlah massa

organisasi di mana responden berasal,

Selengkapnya profil responden berdasarkan sepuluh aspek di atas dapat dilihat dalam tabel IV.1 sampai dengan tabel IV.14, berikut ini.

B. Profil Responden

1. Responden berdasarkan Provinsi

TABEL IV. 1. RESPONDEN BERDASARKAN PROVINSI

No Provinsi Responden Frekuensi Prosentase

1. Lampung 56 8.1

2. DKI Jakarta 90 13.0

3. Jawa Barat 90 13.0

4. Jawa Tengah 85 12.3

5. Jawa Timur 85 12.3

6. Bali 56 8.1

7. Nusa Tenggara Barat 55 8.0

8. Nusa Tenggara Timur 60 8.7

9. Kalimantan Barat 65 9.4

10. Sulawesi Tengah 49 7.1

Total 691 100.0

Dari tabel IV.1, di atas diketahui bahwa responden penelitian berasal dari 10 provinsi. Hal ini telah sesuai dengan rencana sebagaimana terdapat dalam Bab III, tentang metodologi penelitian. Dari 700 kuesioner yang diberikan kepada 700 responden penelitian, setelah dilakukan editing terhadap data yang masuk, ternyata yang dapat dilakukan analisis lebih lanjut hanyalah 691. Jumlah ini sesuai dengan rencana semula, dan dengan jumlah sampel sebesar ini maka terdapat over-sample untuk responden non muslim. Secara keseluruhan sampling error sebesar 4.7%. Responden penelitian

Page 70: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

52

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

mewakili (diambil) dari 33 kabupaten / kota dan 99 kecamatan yang ada di Indonedia.

2. Responden berdasarkan status kependudukan

TABEL IV. 2. RESPONDEN BERDASARKAN STATUS KEPENDUDUKAN

No Status Kependudukan Responden

Frekuensi Prosentase

1 Pendatang 376 54.4

2 Penduduk Asli 315 45.6

Total 691 100

Berdasarkan data sebagaimana tabel 4.2, di atas diketahui bahwa dari 691 responden penelitian yang tersebar di 33 kabupaten-kota dan 99 kecamatan, penduduk asli hanya 45.6%, sedangkan sisanya sebesar 54.4% adalah pendatang.

Ini mengindikasikan untuk menjadi seorang pemuka agama tidak harus penduduk asli, tetapi pendatangpun jika memiliki kelebihan (kompetensi) dan diterima oleh masyarakat asli dapat menjadi seorang pemuka di mana ia berada. Data ini dapat menjadi suatu informasi yang baik bagi persatuan dan kesatuan Indonesia, karena masyarakat setempat dalam memilih pemuka (tokoh) tidak harus berasal dari suku sendiri.

Page 71: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

53

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

mewakili (diambil) dari 33 kabupaten / kota dan 99 kecamatan yang ada di Indonedia.

2. Responden berdasarkan status kependudukan

TABEL IV. 2. RESPONDEN BERDASARKAN STATUS KEPENDUDUKAN

No Status Kependudukan Responden

Frekuensi Prosentase

1 Pendatang 376 54.4

2 Penduduk Asli 315 45.6

Total 691 100

Berdasarkan data sebagaimana tabel 4.2, di atas diketahui bahwa dari 691 responden penelitian yang tersebar di 33 kabupaten-kota dan 99 kecamatan, penduduk asli hanya 45.6%, sedangkan sisanya sebesar 54.4% adalah pendatang.

Ini mengindikasikan untuk menjadi seorang pemuka agama tidak harus penduduk asli, tetapi pendatangpun jika memiliki kelebihan (kompetensi) dan diterima oleh masyarakat asli dapat menjadi seorang pemuka di mana ia berada. Data ini dapat menjadi suatu informasi yang baik bagi persatuan dan kesatuan Indonesia, karena masyarakat setempat dalam memilih pemuka (tokoh) tidak harus berasal dari suku sendiri.

3. Responden berdasarkan jenis kelamin

TABEL IV.3. RESPONDEN BERDASARKAN JENIS KELAMIN

No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase 1. Laki-Laki 527 76.3 2. Perempuan 164 23.7 Total 691 100.0

Jika dilihat dari jenis kelamin responden penelitian, ternyata mayoritas adalah laki-laki yakni sebesar 76,3%, sisanya sebesar 23,7% perempuan. Tidak proporsionalnya responden penelitian berdasarkan jenis kelamin, mengindikasikan bahwa para pemuka (tokoh) agama dan tentunya juga tokoh masyarakat pada umumnya masih didominasi oleh laki-laki. Hal ini ternyata juga terjadi di tingkat nasional maupun regional. Jika kita perhatikan, maka jumlah perempuan yang menduduki jabatan publik saat ini masih didominasi oleh laki-laki.

4. Responden berdasarkan kelompok usia

TABEL IV. 4. RESPONDEN BERDASARKAN KELOMPOK USIA

No. Kelompok Usia f %

1 ≤ 30 tahun 157 0.22

2 31 –40 tahun 168 0.25

3 41 – 50 tahun 221 0.32

4 ≥ 51 tahun 144 0.21 Jumlah 691 100

Page 72: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

54

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

Berdasarkan kelompok usia, mayoritas responden berusia antara 41 s/d 50 tahun, diikuti oleh usia antara 31 s/d 40 tahun. Data dalam tabel 4.4, di atas menginformasikan bahwa usia seseorang untuk menjadi pemuka (tokoh) semakin muda. Hal ini dapat dilihat dari tabel IV.4, di atas di mana responden usia di bawah 30 tahun secara prosentase lebih besar dibandingkan dengan responden usia di atas 51 tahun.

5. Responden berdasarkan agama

TABEL IV. 5. RESPONDEN BERDASARKAN AGAMA

No Agama Responden Frekuensi Prosentase 1. Islam 384 55.6 2. Katolik 73 10.6 3. Protestan 86 12.4 4. Hindu 59 8.5 5. Budha 47 6.8 6. Konghucu 42 6.1

Total 691 100.0

Kuesioner yang disiapkan untuk menjaring data sebanyak 700 ekssemplar atau untuk 700 orang responden. Namun setelah dilakukan editing, dan tabulasi data ternyata yang dapat dijadikan sebagai data mentah untuk dianalisis hanya berjumlah 691 instrumen. Terdapat 9 instrumen yang pengisiannya kurang lengkap (sempurna), dan instrument ini tidak diikutkan dalam analisis data yang ssungguhnya.

Berdasarkan agama, responden terbesar adalah beragama Islam sebanyak 384 orang atau 55.6%, dan

Page 73: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

55

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

Berdasarkan kelompok usia, mayoritas responden berusia antara 41 s/d 50 tahun, diikuti oleh usia antara 31 s/d 40 tahun. Data dalam tabel 4.4, di atas menginformasikan bahwa usia seseorang untuk menjadi pemuka (tokoh) semakin muda. Hal ini dapat dilihat dari tabel IV.4, di atas di mana responden usia di bawah 30 tahun secara prosentase lebih besar dibandingkan dengan responden usia di atas 51 tahun.

5. Responden berdasarkan agama

TABEL IV. 5. RESPONDEN BERDASARKAN AGAMA

No Agama Responden Frekuensi Prosentase 1. Islam 384 55.6 2. Katolik 73 10.6 3. Protestan 86 12.4 4. Hindu 59 8.5 5. Budha 47 6.8 6. Konghucu 42 6.1

Total 691 100.0

Kuesioner yang disiapkan untuk menjaring data sebanyak 700 ekssemplar atau untuk 700 orang responden. Namun setelah dilakukan editing, dan tabulasi data ternyata yang dapat dijadikan sebagai data mentah untuk dianalisis hanya berjumlah 691 instrumen. Terdapat 9 instrumen yang pengisiannya kurang lengkap (sempurna), dan instrument ini tidak diikutkan dalam analisis data yang ssungguhnya.

Berdasarkan agama, responden terbesar adalah beragama Islam sebanyak 384 orang atau 55.6%, dan

responden tersedikit adalah beragama Konghucu sebanyak 41 orang atau 6.1%. proporsionalitas responden berdasarkan agama sesuai dengan rencana penelitian, yakni memperbesar (over sample) bagi responden non Islam. Over sampel, terutama bagi responden beragama Kristen dan Katolik. Hal ini karena banyaknya denominasi terutama pada agama Kristen. Agar keragaman responden khususnya bagi responden beragama Kristen dan Katolik terpenuhi, maka dilakukan penambahan jumlah sampel (over sample).

6. Responden berdasarkan waktu memeluk agama

TABEL IV. 6. WAKTU MEMELUK AGAMA

No Waktu memeluk agama Frekuensi Prosentase

1. Sejak Lahir 624 90.3

2. Sejak Sekolah (SD_SLTA) 32 4.6

3. Sejak Kuliah 22 3.2

4. Sejak Menikah 13 1.9

Total 691 100.0

Infromasi yang menarik dari tabel IV.5, di atas, adalah cukup besarnya responden yang agamanya ditentukan bukan sejak lahir. Responden yang beragama ditentukan sejak lahir (beragama sesuai dengan agama orang tua) sebesar 90,3%. Sisanya sebesar 8,7%, baru menentukan agama (sesuai KTP) setelah SD s/d ketika kuliah, atau ketika menikah. Ini menginformasikan cukup besar prosentase masyarakat Indonesia yang pada akhirnya berpindah agama. Perpindahan agama ini terjadi tentunya dengan bermacam sebab dan alasan.

Page 74: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

56

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

7. Responden berdasarkan status pernikahan

Table IV. 7, di bawah menginformasikan bahwa berdasarkan status pernikahan responden terdapat responden yang belum menikah sebanyak 188 orang atau 27,2%. Selain itu juga terdapat responden yang memang tidak menikah, sebesar 9.4%. Responden yang tidak menikah ini adalah responden yang memang mengabdikan dirinya bagi masyarakatnya, seperti para Pastur, Suster, Bikhu dan Bikhuni. Terdapat juga responden yang berstatus janda/duda. Meskipun demikian mayoritas responden adalah mereka yang menikah yakni sebesar 61.5%.

TABEL IV. 7. RESPONDEN BERDASARKAN STATUS PERNIKAHAN

No Status Pernikahan Frekuensi Prosentase 1. Belum Menikah 188 27.2

2. Tidak Menikah 65 9.4 3. Menikah 425 61.5 4. Bercerai Hidup_Meninggal 13 1.9 Total 691 100.0

8. Responden berdasarkan organisasi

Terdapat lima kelompok (jenis) lembaga (organisasi) responden dalam penelitian ini, yakni; (a) lembaga pendidikan formal keagamaan dengan varian: Sekolah berbasis keagamaan, pesantren, dan perguruan tinggi milik Islam, Katolik, Kristen Hindu Buddha dan Khonghucu, (b) lembaga pendidikan informal/penelitian dan pengembangan dengan varian: lembaga kursus, pelatihan, pendidikan, penelitian, pengkajian dan pengembangan, (c) organisasi

Page 75: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

57

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

7. Responden berdasarkan status pernikahan

Table IV. 7, di bawah menginformasikan bahwa berdasarkan status pernikahan responden terdapat responden yang belum menikah sebanyak 188 orang atau 27,2%. Selain itu juga terdapat responden yang memang tidak menikah, sebesar 9.4%. Responden yang tidak menikah ini adalah responden yang memang mengabdikan dirinya bagi masyarakatnya, seperti para Pastur, Suster, Bikhu dan Bikhuni. Terdapat juga responden yang berstatus janda/duda. Meskipun demikian mayoritas responden adalah mereka yang menikah yakni sebesar 61.5%.

TABEL IV. 7. RESPONDEN BERDASARKAN STATUS PERNIKAHAN

No Status Pernikahan Frekuensi Prosentase 1. Belum Menikah 188 27.2

2. Tidak Menikah 65 9.4 3. Menikah 425 61.5 4. Bercerai Hidup_Meninggal 13 1.9 Total 691 100.0

8. Responden berdasarkan organisasi

Terdapat lima kelompok (jenis) lembaga (organisasi) responden dalam penelitian ini, yakni; (a) lembaga pendidikan formal keagamaan dengan varian: Sekolah berbasis keagamaan, pesantren, dan perguruan tinggi milik Islam, Katolik, Kristen Hindu Buddha dan Khonghucu, (b) lembaga pendidikan informal/penelitian dan pengembangan dengan varian: lembaga kursus, pelatihan, pendidikan, penelitian, pengkajian dan pengembangan, (c) organisasi

sosial ekonomi keagamaan, yang bergerak dalam bidang: sosial-ekonomi, ibadah, kesehatan, budaya dan kemunusiaan, (d) asosiasi politik berbasis keagamaan seperti: partai politik dan underbow nya, serta (e) asosiasi profesi berbasis keagamaan yang tergabung dalam: layanan hukum, layanan kesehatan, layanan kemasyarakatan, layanan ekonomi, dan layanan pendidikan.

TABEL IV. 8. RESPONDEN BERDASARKAN ORGANISASI

No Organisasi Frekuensi Prosentase 1. Lembaga Pendidikan Formal Keagamaan 369 53.4

2. Lembaga Pendidikan informal / Penelitian / Pengembangan 122 17.7

3. Organisasi Sosial Ekonomi Keagamaan 130 18.8 4. Asosiasi Politik Berbasis Keagamaan 37 5.4 5. Asosiasi Profesi Berbasis Keagamaan 33 4.8

Total 691 100.0

Jumlah setiap responden berdasarkan organisasi adalah sebagaimana terdapat dalam tabel IV. 8, di atas.

Komposisi responden penelitian berdasarkan organisasi keagamaan di mana mereka bergabung dapat dilihat dalam tabel IV. 8, di atas, dan dari tabel tersebut diketahui bahwa mayoritas responden berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan sebesar 53,4% atau berjumlah 369 orang. Diikuti oleh responden yang berasal dari organisasi sosial keagamaan yang berjumlah 130 orang atau 18,8%, dan sedikit di bawahnya adalah responden yang berasal dari lembaga pendidikan informal/penelitian dan atau pengembangan

Page 76: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

58

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

sebesar 17.7% atau berjumlah 122 orang. Dua organisasi lain tempat responden berasal adalah dari asosiasi politik berbasis keagamaan dan asosiasi profesi berbasis keagamaan masing-masing sebesar 5,4% dan 4,8%, atau berjumlah 37 dan 33 orang. Komposisi asal responden sebagaimana terdapat tabel di atas mendekati ketentuan sebagaimana rencana penelitian.

Besarnya jumlah responden penelitian yang berasal dari organisasi lembaga pendidikan formal ini disebabkan kelompok organisasi ini terdiri dari bermacam-macam unsur seperti sekolah berbasis keagamaan, pesantren, mulai dari jenjang pendidikan pra sekolah hingga perguruan tinggi, serta mewakili keenam agama yang terdapat di Indonesia yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu

9. Responden berdasarkan jabatan dalam organisasi

Selanjutnya sebaran responden penelitian berdasarkan jabatan dalam organisasi adalah sebagaimana terdapat dalam tabel IV. 9 berikut ini:

TABEL IV. 9. RESPONDEN BERDASARKAN JABATAN DALAM ORGANISASI

No Jabatan Responden dalam organisasi Frekuensi Prosentase 1. Ketua 278 40.2 2. Wakil 240 34.7 3. Kepala Bagian_Seksi 86 12.5

4. Pengurus Biasa 87 12.6 Total 691 100.0

Dari tabel IV. 9, di atas diketahui responden penelitian terdiri atas ketua, dan wakil ketua, serta pengurus bagian dan

Page 77: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

59

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

sebesar 17.7% atau berjumlah 122 orang. Dua organisasi lain tempat responden berasal adalah dari asosiasi politik berbasis keagamaan dan asosiasi profesi berbasis keagamaan masing-masing sebesar 5,4% dan 4,8%, atau berjumlah 37 dan 33 orang. Komposisi asal responden sebagaimana terdapat tabel di atas mendekati ketentuan sebagaimana rencana penelitian.

Besarnya jumlah responden penelitian yang berasal dari organisasi lembaga pendidikan formal ini disebabkan kelompok organisasi ini terdiri dari bermacam-macam unsur seperti sekolah berbasis keagamaan, pesantren, mulai dari jenjang pendidikan pra sekolah hingga perguruan tinggi, serta mewakili keenam agama yang terdapat di Indonesia yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu

9. Responden berdasarkan jabatan dalam organisasi

Selanjutnya sebaran responden penelitian berdasarkan jabatan dalam organisasi adalah sebagaimana terdapat dalam tabel IV. 9 berikut ini:

TABEL IV. 9. RESPONDEN BERDASARKAN JABATAN DALAM ORGANISASI

No Jabatan Responden dalam organisasi Frekuensi Prosentase 1. Ketua 278 40.2 2. Wakil 240 34.7 3. Kepala Bagian_Seksi 86 12.5

4. Pengurus Biasa 87 12.6 Total 691 100.0

Dari tabel IV. 9, di atas diketahui responden penelitian terdiri atas ketua, dan wakil ketua, serta pengurus bagian dan

pengurus biasa. Dari empat kelompok jabatan yang terdapat dalam suatu organisasi sebanyak 518 orang atau 74,9%, berkedudukan sebagai ketua atau wakil ketua organisasi, sisanya sebesar 25,1% atau sebanyak 173 orang terdiri dari para kepala bagian dan pengurus biasa.

Besarnya prosentase responden sebagai ketua dan wakil ketua organisasi dengan pertimbangan bahwa dalam suatu organisasi maka ketua atau wakil ketua adalah representasi dari para anggotanya. Namun agar jawaban responden penelitian benar-benar dapat dianggap sebagai representasi dari pengurus suatu organisasi, maka data tidak hanya diambil dari para ketua dan wakil ketua organisasi, namun juga diambil dari para pengurus bagian dan para pengurus biasa.

Dengan cara ini dapat diyakini bahwa responden penelitian berdasarkan jabatan dalam suatu organisasi dapat dianggap representatif sebagai pengurus organisasi di mana para pemuka agama berasal.

10. Responden berdasarkan jumlah masa dalam komunitas organisasi

TABEL IV. 10. RESPONDEN BERDASARKAN JUMLAH MASA DALAM KOMUNITAS ORGANISASI

No Jumlah Masa Organisasi “orang” Frekuensi Prosentase

1. 100 ≤ 191 27.6 2. 100 ≤ masa < 500 229 33.1 3. 500 ≤ masa < 1000 93 13.5 4. 1000 ≤ masa < 5000 47 6.8 5. 5000 ≤ masa < 10000 49 7.1

Page 78: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

60

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

6. 10000 ≤ masa < 25000 73 10.6 7. 25000 ≤ masa < 50000 4 .6 8. > 50000 5 .7

Total 691 100.0

Dari tabel IV.10, di atas diketahui terdapat delapan kelompok organisasi atau terdapat delapan ukuran besarnya organisasi yang dijadikan responden penelitian, yakni, organisasi yang masanya lebih kecil dari 100 orang, untuk ukuran yang terkecil dan organisasi dengan jumlah masa lebih atau sama dengan 50.000 orang. Mayoritas responden penelitian (pemuka agama) memimpin masa antara 500 orang sampai dengan 1000 orang, sebanyak 229 orang atau 33,1%, diikuti oleh pemuka agama yang memiliki masa antara 100 orang sampai 500 orang sebesar 27,6% atau sebanyak 191 orang. Responden penelitian dengan frekuensi terbesar adalah yang memiliki masa antara 25.000 sampai mendekati 50.000 orang.

Selanjutnya dari lima jenis organisasi di mana responden dapat berasal, organisasi mana saja yang menjadi responden terbesar dan terkecil. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam tabel IV. 11, yang berupa tabulasi silang antara asal organisasi responden dengan jumlah masa komunitas (jumlah umat).

Page 79: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

61

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

6. 10000 ≤ masa < 25000 73 10.6 7. 25000 ≤ masa < 50000 4 .6 8. > 50000 5 .7

Total 691 100.0

Dari tabel IV.10, di atas diketahui terdapat delapan kelompok organisasi atau terdapat delapan ukuran besarnya organisasi yang dijadikan responden penelitian, yakni, organisasi yang masanya lebih kecil dari 100 orang, untuk ukuran yang terkecil dan organisasi dengan jumlah masa lebih atau sama dengan 50.000 orang. Mayoritas responden penelitian (pemuka agama) memimpin masa antara 500 orang sampai dengan 1000 orang, sebanyak 229 orang atau 33,1%, diikuti oleh pemuka agama yang memiliki masa antara 100 orang sampai 500 orang sebesar 27,6% atau sebanyak 191 orang. Responden penelitian dengan frekuensi terbesar adalah yang memiliki masa antara 25.000 sampai mendekati 50.000 orang.

Selanjutnya dari lima jenis organisasi di mana responden dapat berasal, organisasi mana saja yang menjadi responden terbesar dan terkecil. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam tabel IV. 11, yang berupa tabulasi silang antara asal organisasi responden dengan jumlah masa komunitas (jumlah umat).

TABEL IV. 11 TABULASI SILANG ASAL ORGANISASI RESPONDEN DENGAN JUMLAH MASA DALAM KOMUNITAS ORGANISASI

Masa Komunitas (Jumlah Umat)

”orang”

Asal Organisasi Responden

Total Lembaga

Pendidikan Formal

Keagamaan

Lembaga Pendidikan informal /

Penelitian / Pengem bangan

Organisasi Sosial Eko nomi Ke agamaan

Asosiasi Politik Ber basis Ke agamaan

Asosiasi Profesi Ber

basis Ke agamaan

100 ≤ 120 24 36 8 7 195 100 ≤ masa <500 131 40 38 14 9 232 500 ≤ masa <1000 39 9 25 7 8 88 1000 ≤ masa < 5000 22 6 10 4 4 46 5000 ≤ masa <10000 25 17 4 1 1 48 10000 ≤ masa < 25000 42 26 2 1 2 73 25000 ≤ masa < 50000 1 0 1 1 1 4 > 50000 3 0 2 0 0 5

Jumlah 383 122 118 36 32 691

Tabel IV. 11. di atas menginformasikan bahwa responden penelitian terbesar berasal dari organisasi lembaga pendidikan formal keagamaan, seperti sekolah berbasis keagamaan, mulai dari jenjang pra sekolah sampai perguruan tinggi, dan ini harus mewakili enam agama yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu, yang berjumlah 383 orang. Sedangkan untuk responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan, yang terbanyak dari organisasi dengan masa antara 100 orang sampai mendekati 500 orang, sebanyak 131 orang. Responden berdasarkan asal organisasi yang terkecil adalah yang berasal dari organisasi asosiasi politik berbasis keagamaan dan

Page 80: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

62

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

asosiasi profesi berbasis keagamaan yang masing-masing berjumlah 36 dan 32 orang.

C. Jawaban terhadap Masalah Penelitian

1. Keberagamaan responden

Bagaimanakah Keberagamaan Responden Penelitian? Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut, berikut ini akan disajikan hasil analisis terhadap data skor keberagamaan responden dari enam agama yang diteliti.

Terdapat empat indikator yang digunakan untuk mengukur keberagamaan, yaitu (1) keyakinan terhadap agama, (2) praktek ritual keagamaan, (3) pengalaman sosial keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup beragama.

a. Skor keyakinan keagamaan

Pengukuran keyakinan terhadap agama menggunakan tujuh butir pernyataan yang berkaitan, dengan keyakinan agama yakni:

a) Kitab suci sebagai pedoman/petunjuk bagi kehidupan, b) Keyakinan bahwa manusia dalam hidupnya perlu

petunjuk Tuhan, c) Keyakinan bahwa hidup di dunia hanyalah sementara, d) Keyakinan bahwa manusia hanya berusaha,

sedangkan keputusan pada Tuhan, e) Meyakini akan kekuatan do’a, f) Hidup akan hampa (kehilangan arti) jika jauh dari

Tuhan, dan g) Memulai setiap aktivitas dengan do’a.

Page 81: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

63

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

asosiasi profesi berbasis keagamaan yang masing-masing berjumlah 36 dan 32 orang.

C. Jawaban terhadap Masalah Penelitian

1. Keberagamaan responden

Bagaimanakah Keberagamaan Responden Penelitian? Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut, berikut ini akan disajikan hasil analisis terhadap data skor keberagamaan responden dari enam agama yang diteliti.

Terdapat empat indikator yang digunakan untuk mengukur keberagamaan, yaitu (1) keyakinan terhadap agama, (2) praktek ritual keagamaan, (3) pengalaman sosial keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup beragama.

a. Skor keyakinan keagamaan

Pengukuran keyakinan terhadap agama menggunakan tujuh butir pernyataan yang berkaitan, dengan keyakinan agama yakni:

a) Kitab suci sebagai pedoman/petunjuk bagi kehidupan, b) Keyakinan bahwa manusia dalam hidupnya perlu

petunjuk Tuhan, c) Keyakinan bahwa hidup di dunia hanyalah sementara, d) Keyakinan bahwa manusia hanya berusaha,

sedangkan keputusan pada Tuhan, e) Meyakini akan kekuatan do’a, f) Hidup akan hampa (kehilangan arti) jika jauh dari

Tuhan, dan g) Memulai setiap aktivitas dengan do’a.

Setiap butir pernyataan terdiri atas lima alternative jawaban; (a) Sangat Setuju, (b) Setuju, (c) Agak Setuju, (d) Kurang Setuju, dan (e) Sangat Tidak Setuju. Selanjutnya jawaban responden terhadap setiap alternative pernyataan diberi skor dan ditafsirkan sebagaimana terdapat dalam tabel IV. 12, dan tabel IV. 13.

TABEL IV. 12. PEDOMAN PENSKORAN ALTERNATIF JAWABAN, RENTANG SKOR DAN SEBUTAN/ARTI INSTRUMEN VARIABLE “X” (KEBERAGAMAAN)

Alternatif Jawaban

Skor

Rentang Skor

Sebutan / arti

“keberagamaan”

+ -

Sangat Setuju “SS” 5 1 ≥ 4.20 “Sangat Kuat” Setuju “S” 4 2 3.40 ≤ s/d < 4.20 “Kuat”

Agak Setuju “AS” 3 3 2.40 ≤ s/d < 3.40 “Agak Kuat”

Kurang Setuju “KS” 2 4 1.80 ≤ s/d < 2.60 “Kurang Kuat“

Tidak Setuju “STS” 1 5 1.00 ≤ s/d < 1,80 “Tidak Kuat”

TABEL IV. 13. PEDOMAN PENSKORAN ALTERNATIF JAWABAN, RENTANG SKOR DAN SEBUTAN/ARTI INSTRUMEN VARIABLE “Y” (EKSKLUSIFISME BERAGAMA)

Alternatif Jawaban

Skor Rentang Skor Sebutan + - Eksklusif Inklusif

Sangat Setuju “SS” 5 1 ≥ 4.20 Sangat

Eksklusif Tidak

Inklusif Setuju “S” 4 2 3.40≤ s/d <4.20 “Eksklusif” Kurang

Inklusif

Agak Setuju “AS” 3 3 2.60≤ s/d <3.40

Eksklusif dan atau Inklusif

Inklusif dan atau

Eksklusif Kurang Setuju 2 4 1.80 ≤ s/d <2.60 Kurang Inklusif

Page 82: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

64

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

“KS” Eksklusif

Tidak Setuju “STS” 1 5 1.00 ≤ s/d <1,80

Sangat Tidak

Eksklusif

Sangat Inklusif

Selanjutnya pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya adalah, bagaimana keberagamaan responden penelitian berdasarkan agama yang dianut.

Hasil analisis data jawaban responden terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan keberagamaan seluruh responden berdasarkan keyakinan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel IV. 13, berikut ini.

TABEL IV. 13. SKOR RESPONDEN TERHADAP KEYAKINAN TERHADAP AGAMA

No Agama Skor Rata-Rata (Mean) dan Standar Deviasi (S)

Butir-butir “Keyakinan terhadap agama” Mean (M) Standar Deviasi (S)

1. Islam 4.82 0.468 2. Katolik 4.49 0.744 3. Protestan 4.72 0.560 4. Hindu 4.68 0.565 5. Budha 4.57 0.601 6. Konghucu 4.55 0.493

Rata-rata Total 4.73 0.548

Berdasarkan tabel IV.12, di atas diketahui bahwa skor rata-rata total keyakinan terhadap agama adalah 4.73. Ini artinya keyakinan responden, yang dalam hal ini adalah para pemuka agama terhadap agama yang mereka anut untuk semua agama berada pada rentang “sangat kuat”. Jika dilihat skor rata-rata untuk setiap agama, maka diketahui rata-rata skor terbesar adalah untuk agama Islam, yakni sebesar 4.82,

Page 83: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

65

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

“KS” Eksklusif

Tidak Setuju “STS” 1 5 1.00 ≤ s/d <1,80

Sangat Tidak

Eksklusif

Sangat Inklusif

Selanjutnya pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya adalah, bagaimana keberagamaan responden penelitian berdasarkan agama yang dianut.

Hasil analisis data jawaban responden terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan keberagamaan seluruh responden berdasarkan keyakinan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel IV. 13, berikut ini.

TABEL IV. 13. SKOR RESPONDEN TERHADAP KEYAKINAN TERHADAP AGAMA

No Agama Skor Rata-Rata (Mean) dan Standar Deviasi (S)

Butir-butir “Keyakinan terhadap agama” Mean (M) Standar Deviasi (S)

1. Islam 4.82 0.468 2. Katolik 4.49 0.744 3. Protestan 4.72 0.560 4. Hindu 4.68 0.565 5. Budha 4.57 0.601 6. Konghucu 4.55 0.493

Rata-rata Total 4.73 0.548

Berdasarkan tabel IV.12, di atas diketahui bahwa skor rata-rata total keyakinan terhadap agama adalah 4.73. Ini artinya keyakinan responden, yang dalam hal ini adalah para pemuka agama terhadap agama yang mereka anut untuk semua agama berada pada rentang “sangat kuat”. Jika dilihat skor rata-rata untuk setiap agama, maka diketahui rata-rata skor terbesar adalah untuk agama Islam, yakni sebesar 4.82,

dan terkecil adalah agama Katolik yakni 4.49. ini artinya di antara di antara 6 agama, maka umat Islam adalah umat yang paling kuat keyakinan terhadap agamanya dibandingkan dengan umat-umat lain.

Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi umat agama Katolik adalah terbesar, yakni 0,744. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam (mulai dari tidak yakin hingga sangat yakin) di antara responden yang beragama Katolik, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan keyakinan agama. Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang beragama Islam, yakni sebesar 0,468. Ini berarti jawaban responden beragama Islam terhadap kelompok butir yang mengukur keyakinan mereka terhadap agama yang mereka anut adalah homogen, dan ini mengindikasikan akan homogenitas keyakinan pemuka agama Islam akan kebenaran agamanya.

Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel 4. 12, di atas diartikan bahwa responden yang beragama Islam memiliki skor keyakinan terhadap agamanya terbesar dan skor standar deviasi terkecil. Skor ini mengindikasikan bahwa pemuka agama Islam sangat meyakini bahwa:

1. Kitab suci mereka (al-Qur’an) sebagai pedoman dan petunjuk dalam kehidupan keseharian,

2. Dalam kehidupan keseharian mereka sangat membutuhkan pedoman/petunjuk agama (hidayah) Allah,

Page 84: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

66

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

3. Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Setiap manusia hanya berusaha tetapi keputusan/ketetapan akan hasil dari usahanya semata-mata oleh karena Allah,

4. Kekuatan do’a, dan hanya do’a lah yang dapat mengubah takdir Allah, sehingga oleh karena itu setiap aktivitas harus dimulai dan di akhiri dengan do’a.

5. Hidup akan hampa (akan kehilangan arti) jika jauh dari Tuhan.

Tabel IV.13, di atas menunjukkan bahwa skor rata-rata total adalah 4,73. Harga ini mengindikasikan secara keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi dan mewakili semua agama) keyakinan responden terhadap agamanya masuk dalam kategori “Sangat Yakin”.

Jika skor 4,73, untuk rata-rata skor responden penelitian ditafsirkan menggambarkan masyarakat Indonesia, maka secara mayoritas, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat meyakini agama mereka masing-masing. Meskipun Indonesia bukan Negara agama, akan tetapi masyarakatnya adalah masyarakat yang sangat meyakini agamanya, sangat “religious”, menggunakan dan menjadikan agama sedbagai pedoman beraktivitas dalam kehidupan keseharian.

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat keyakinan terhadap agama antara responden berdasarkan agama, atau apakah terdapat pengelompokkan tingkat keyakinan terhadap agama antar responden, dapat dilakukan melalui statistika analisis lain. Meskipun berdasarkan skor yang terdapat dalam tabel IV.3. diperoleh gambaran bahwa

Page 85: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

67

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

3. Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Setiap manusia hanya berusaha tetapi keputusan/ketetapan akan hasil dari usahanya semata-mata oleh karena Allah,

4. Kekuatan do’a, dan hanya do’a lah yang dapat mengubah takdir Allah, sehingga oleh karena itu setiap aktivitas harus dimulai dan di akhiri dengan do’a.

5. Hidup akan hampa (akan kehilangan arti) jika jauh dari Tuhan.

Tabel IV.13, di atas menunjukkan bahwa skor rata-rata total adalah 4,73. Harga ini mengindikasikan secara keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi dan mewakili semua agama) keyakinan responden terhadap agamanya masuk dalam kategori “Sangat Yakin”.

Jika skor 4,73, untuk rata-rata skor responden penelitian ditafsirkan menggambarkan masyarakat Indonesia, maka secara mayoritas, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat meyakini agama mereka masing-masing. Meskipun Indonesia bukan Negara agama, akan tetapi masyarakatnya adalah masyarakat yang sangat meyakini agamanya, sangat “religious”, menggunakan dan menjadikan agama sedbagai pedoman beraktivitas dalam kehidupan keseharian.

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat keyakinan terhadap agama antara responden berdasarkan agama, atau apakah terdapat pengelompokkan tingkat keyakinan terhadap agama antar responden, dapat dilakukan melalui statistika analisis lain. Meskipun berdasarkan skor yang terdapat dalam tabel IV.3. diperoleh gambaran bahwa

skor keyakinan umat beragama di Indonesia akan kebenaran agamanya berbeda, namun guna lebih meyakini akan perbedaan tersebut perlu dilakukan analisis uji perbedaan dengan menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 14, berikut ini.

TABEL IV. 14. ANOVA KEYAKINAN KEAGAMAAN

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig.

Between Groups 502.764 5 100.553 7.147 .0001

Within Groups 9327.715 663 14.069

Total 9830.478 668

Tabel IV.14, di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 7,147, dan harga ini sangat signifikan (Sig. < 0,05). Ini mengindikasikan terdapat perbedaan keyakinan keagamaan atau terdapat pengelompokkan keyakinan keagamaan yang signifikan di antara responden (pemuka agama) yang berbeda agama.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagamana signifikansi perbedaan antar agama yang berbeda?. Untuk menjawab itu dilakukan pengujian lanjut dengan menggunakan uji Tukey, hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 15.

Berdasarkan tabel IV. 15, tentang uji Tukey, terdapat dua kelompok keyakinan keagamaan. Kelompok pertama adalah, responden yang beragama Katolik, Konghucu, Buddha dan Hindu, berada dalam kelompok yang sama, yakni memiliki tingkat keyakinan terhadap agama yang sama. Meskipun secara skor berbeda akan tetapi secara statistika dianggap

Page 86: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

68

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

sama. Selanjutnya kelompok kedua adalah responden dengan agama; Hindu, Protestan dan Islam. Untuk kelompok responden yang beragama Hindu terdapat hal yang menarik untuk diperhatikan, karena ia dapat masuk ke dalam kelompok pertama bersama-sama dengan Katolik, Konghucu, dan Budha, juga dapat masuk ke dalam kelompk kedua yaitu Protestan dan Islam. Selanjutnya, jika dibandingkan antara skor rata-rata agama untuk setiap agama dengan skor rata-rata total, ternyata skor rata-rata untuk responden beragama Islam lebih besar dari skor rata-rata total (4,82 > 4.73).

Sedangkan skor rata-rata untuk responden beragama lain (Katolik, Kristen. Hindu, Buddha dan Konghucu) lebih kecil dibandingkan dengan skor rata-rata keyakinan keagamaan populasi. Lihat Tabel IV.15 di bawah ini:

TABEL IV. 15. UJI TUKEY TENTANG KEYAKINAN KEAGAMAAN

No Agama Responden N Subset for alpha =0.05

1 2 1. Katolik 73 4.49 2. Konghucu 42 4.55 3. Budha 47 4.57 4. Hindu 58 4.67 4.67 5. Protestan 85 4.72 4.72 6. Islam 364 4.82

b. Skor Praktek Ritual Keagamaan

Pengukuran praktek ritual keagamaan menggunakan enam butir pernyataan yang berkaitan, dengan intensitas melakukan berbagai ritual/keagamaan seperti:

Page 87: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

69

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

sama. Selanjutnya kelompok kedua adalah responden dengan agama; Hindu, Protestan dan Islam. Untuk kelompok responden yang beragama Hindu terdapat hal yang menarik untuk diperhatikan, karena ia dapat masuk ke dalam kelompok pertama bersama-sama dengan Katolik, Konghucu, dan Budha, juga dapat masuk ke dalam kelompk kedua yaitu Protestan dan Islam. Selanjutnya, jika dibandingkan antara skor rata-rata agama untuk setiap agama dengan skor rata-rata total, ternyata skor rata-rata untuk responden beragama Islam lebih besar dari skor rata-rata total (4,82 > 4.73).

Sedangkan skor rata-rata untuk responden beragama lain (Katolik, Kristen. Hindu, Buddha dan Konghucu) lebih kecil dibandingkan dengan skor rata-rata keyakinan keagamaan populasi. Lihat Tabel IV.15 di bawah ini:

TABEL IV. 15. UJI TUKEY TENTANG KEYAKINAN KEAGAMAAN

No Agama Responden N Subset for alpha =0.05

1 2 1. Katolik 73 4.49 2. Konghucu 42 4.55 3. Budha 47 4.57 4. Hindu 58 4.67 4.67 5. Protestan 85 4.72 4.72 6. Islam 364 4.82

b. Skor Praktek Ritual Keagamaan

Pengukuran praktek ritual keagamaan menggunakan enam butir pernyataan yang berkaitan, dengan intensitas melakukan berbagai ritual/keagamaan seperti:

a. Selalu menjadikan Kitab Suci sebagai pedoman/petunjuk bagi kehidupan,

b. Selalu menjalankan/melaksanakan kewajiban / ibadat atau perintah agama dalam kehidupan keseharian,

c. Frekuensi berdo’a (bermohon) kepada Tuhan,

d. Perasaan bersalah yang diikuti dengan tindakan perbaikan jika melakukan perbuatan (melakukan aktivitas) yang bertentangan dengan perintah Tuhan, serta

e. Frekuensi berdo’a ketika sendiri.

Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan praktek ritual keagamaan seluruh responden berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel IV. 16, berikut ini.

TABEL IV.16. SKOR RESPONDEN TENTANG PRAKTEK RITUAL KEAGAMAAN

No Agama Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (S)

Butir-butir “Praktek Ritual Keagamaan” Mean (M) Standar Deviasi (S)

1. Islam 4.55 0.489 2. Katolik 4.36 0.641 3. Protestan 4.39 0.544 4. Hindu 4.49 0.488 5. Buddha 4.33 0.548 6. Konghucu 4.32 0.586

Total 4.48 0.531

Page 88: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

70

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

Berdasarkan data sebagaimana terdapat dalam tabel IV.16, di atas diketahui bahwa skor rata-rata praktek ritual keagamaan di antara 6 agama sebesar 4.48. skor ini berarti secara keseluruhan praktek ritual keagamaan responden penelitian berada pada rentang “sangat sering atau bahkan “selalu” melaksanakan praktek ritual keagamaan. Jadi, tidaklah mengherankan jika masjid, gereja, pura, vihara dan klenteng selalu penuh dan ramai oleh para jemaahnya.

Jika dilihat skor rata-rata ritual keagamaan untuk setiap agama, maka skor rata-rata terbesar adalah skor responden yang beragama Islam yakni, 4,55 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Konghucu sebesar 4.32. ini berarti dibandingkan dengan umat agama lain, umat Islam adalah yang dalam melaksanakan ritual keagamaannya lebih intens dibandingkan dengan umat agama lain. Sedangkan umat yang terendah instensitas pelaksanaan ritual keagamaannya adalah umat Konghucu. Rendahnya frekuensi umat Konghucu melaksanakan ritual keagamaannya, boleh jadi karena memang rumah ibadat “klenteng” yang sangat kurang jumlahnya, atau kalaupun ada jauh dari tempat tinggal.

Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Katolik adalah terbesar, yakni 0,641. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam (heterogen) antar responden yang beragama Katolik, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan praktek ritual keagamaan.

Page 89: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

71

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

Berdasarkan data sebagaimana terdapat dalam tabel IV.16, di atas diketahui bahwa skor rata-rata praktek ritual keagamaan di antara 6 agama sebesar 4.48. skor ini berarti secara keseluruhan praktek ritual keagamaan responden penelitian berada pada rentang “sangat sering atau bahkan “selalu” melaksanakan praktek ritual keagamaan. Jadi, tidaklah mengherankan jika masjid, gereja, pura, vihara dan klenteng selalu penuh dan ramai oleh para jemaahnya.

Jika dilihat skor rata-rata ritual keagamaan untuk setiap agama, maka skor rata-rata terbesar adalah skor responden yang beragama Islam yakni, 4,55 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Konghucu sebesar 4.32. ini berarti dibandingkan dengan umat agama lain, umat Islam adalah yang dalam melaksanakan ritual keagamaannya lebih intens dibandingkan dengan umat agama lain. Sedangkan umat yang terendah instensitas pelaksanaan ritual keagamaannya adalah umat Konghucu. Rendahnya frekuensi umat Konghucu melaksanakan ritual keagamaannya, boleh jadi karena memang rumah ibadat “klenteng” yang sangat kurang jumlahnya, atau kalaupun ada jauh dari tempat tinggal.

Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Katolik adalah terbesar, yakni 0,641. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam (heterogen) antar responden yang beragama Katolik, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan praktek ritual keagamaan.

Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang beragama Islam, yakni 0,489. Ini berarti jawaban responden beragama Islam terhadap kelompok butir yang mengukur praktek ritual keagamaan, bersifat homogen.

Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.15, di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Islam memiliki skor praktek ritual keagamaan terbesar dan skor standar deviasi terkecil. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Islam adalah umat yang dalam kehidupan keseharian mereka selalu:

a. Menjadikan kitab suci sebagai pedoman hidup sesuai dengan perintah/tuntutan agama (membaca/resitasi)

b. Menjalankan kewajiban atau perintah ajaran agama dalam kehidupan sehari–hari (pelaksanaan ibadat)

c. Merenung/berdoa kepada tuhan,

d. Setiap kali selesai melakukan kesalahan, saya selalu menyesali atau merasakan berdosa segala atas segala tindakan saya,

e. Merenungi kesalahan/dosa pada tuhan (melakukan pertobatan/ tazkiyah /muhasabah/retreatment),

f. Berdoa sendiri sesuai tuntunan ajaran agama

Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan praktek ritual keagamaan responden berdasarkan agama yang dianut. Untuk itu dilakukan uji beda dengan menggunakan uji F yang hasilnya sebagai terdapat dalam tabel ANOVA IV.17, berikut:

Page 90: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

72

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

TABEL IV.17. ANOVA PRAKTEK RITUAL KEAGAMAAN

Sum of Squares df Mean

Square F Sig.

Between Groups 197.256 5 39.451 3.969 .001 Within Groups 6590.388 663 9.940

Total 6787.644 668

Tabel IV.17. tentang uji ANOVA mengenai praktek ritual keagamaan responden penelitian, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 3,969, dan meskipun harga ini signifikan (Sig. < 0,05), namun perbedaan yang ada tidak begitu berarti. Hal ini diketahui setelah diadakan uji lanjut dengan uji Tukey, sebagaimana yang terdapat dalam tabel 4. 18.

TABEL IV. 18. UJI TUKEY TENTANG PRAKTEK RITUAL KEAGAMAAN

Agama responden N Subset for alpha = 0.05

Konghucu 42 25.90

Budha 47 25.98

Katolik 73 26.22

Protestan 85 26.36

Hindu 58 26.95

Islam 364 27.30

Tabel IV.18, tentang uji Tukey, membuktikan meskipun secara skor rata-rata terdapat perbedaan namun secara statistika perbedaan tersebut dapat dianggap tidak ada. Dengan demikian apapun agama responden dalam

Page 91: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

73

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

TABEL IV.17. ANOVA PRAKTEK RITUAL KEAGAMAAN

Sum of Squares df Mean

Square F Sig.

Between Groups 197.256 5 39.451 3.969 .001 Within Groups 6590.388 663 9.940

Total 6787.644 668

Tabel IV.17. tentang uji ANOVA mengenai praktek ritual keagamaan responden penelitian, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 3,969, dan meskipun harga ini signifikan (Sig. < 0,05), namun perbedaan yang ada tidak begitu berarti. Hal ini diketahui setelah diadakan uji lanjut dengan uji Tukey, sebagaimana yang terdapat dalam tabel 4. 18.

TABEL IV. 18. UJI TUKEY TENTANG PRAKTEK RITUAL KEAGAMAAN

Agama responden N Subset for alpha = 0.05

Konghucu 42 25.90

Budha 47 25.98

Katolik 73 26.22

Protestan 85 26.36

Hindu 58 26.95

Islam 364 27.30

Tabel IV.18, tentang uji Tukey, membuktikan meskipun secara skor rata-rata terdapat perbedaan namun secara statistika perbedaan tersebut dapat dianggap tidak ada. Dengan demikian apapun agama responden dalam

melaksanakan berbagai praktek ritual keagamaannya adalah sama-sama aktif dan intensif.

c. Skor Pengalaman Sosial Keagamaan

Pertanyaan yang juga ingin ditemukan jawabannya adalah tentang pengalaman social keagamaan para pemuka agama. Untuk mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan di atas, maka dilakukan pengumpulan data dengan cara melakukan pengukuran berkenaan dengan pengalaman social keagamaan. Pengukuran pengalaman sosial keagamaan menggunakan lima butir pernyataan yang menggambarkan serta berkaitan dengan agama dalam interaksi sosial keseharian seperti:

a. Membantu orang lain tanpa melihat/memilih agama yang dianut orang tersebut,

b. Meyakini bahwa menyerahkan sebagian penghasilan demi kepentingan agama akan mendapat pahala,

c. Meyakini bahwa kebaikan/keberkahan hidup seseorang sangat ditentukan oleh kebaikannya kepada orang lain di dunia ini,

d. Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti/ menghina/orang yang berbeda pemahaman keagamaan (seagama,)

e. Meyakini bahwa umat beragama, dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti / menghina umat yang berbeda agama.

Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan pengalaman sosial keagamaan para pemuka agama yang terdapat di seluruh lokasi penelitian dan di enam agama dapat dilihat dalam tabel IV.19, di bawah ini.

Page 92: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

74

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

TABEL IV. 19 SKOR PENGALAMAN SOSIAL KEAGAMAAN RESPONDEN

No Agama Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (S)

“Pengalaman Sosial Keagamaan” Mean (M) Standar Deviasi (SD)

1. Islam 4.58 0.441 2. Katolik 4.48 0.626 3. Protestan 4.54 0.482 4. Hindu 4.53 0.452 5. Budha 4.58 0.430 6. Konghucu 4.42 0.488

Total 4.55 0.474

Berdasarkan tabel IV.19, di atas diketahui bahwa skor rata-rata pengalaman sosial keagamaan para pemukan agama untuk enam agama adalah 4,55. Skor ini berarti pengalaman sosial keagamaan responden untuk semua agama adalah “sangat kuat”. Selanjutnya jika dilihat skor rata-rata pengalaman sosial keagamaan untuk setiap agama, maka skor terbesar adalah skor responden yang beragama Islam dan Budha yakni, 4,58 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Konghucu sebesar 4,42. ini berarti umat Islam dan umat Budha, memiliki pengalaman sosial keagamaan yang paling kuat, dibandingkan dengan umat agama lain. Sedangkan umat agama Konghucu, adalah umat yang memiliki pengalaman sosial keagamaan yang paling kecil.

Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Katolik adalah terbesar, yakni 0,626. Skor standar deviasi ini mengindikasikan

Page 93: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

75

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

TABEL IV. 19 SKOR PENGALAMAN SOSIAL KEAGAMAAN RESPONDEN

No Agama Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (S)

“Pengalaman Sosial Keagamaan” Mean (M) Standar Deviasi (SD)

1. Islam 4.58 0.441 2. Katolik 4.48 0.626 3. Protestan 4.54 0.482 4. Hindu 4.53 0.452 5. Budha 4.58 0.430 6. Konghucu 4.42 0.488

Total 4.55 0.474

Berdasarkan tabel IV.19, di atas diketahui bahwa skor rata-rata pengalaman sosial keagamaan para pemukan agama untuk enam agama adalah 4,55. Skor ini berarti pengalaman sosial keagamaan responden untuk semua agama adalah “sangat kuat”. Selanjutnya jika dilihat skor rata-rata pengalaman sosial keagamaan untuk setiap agama, maka skor terbesar adalah skor responden yang beragama Islam dan Budha yakni, 4,58 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Konghucu sebesar 4,42. ini berarti umat Islam dan umat Budha, memiliki pengalaman sosial keagamaan yang paling kuat, dibandingkan dengan umat agama lain. Sedangkan umat agama Konghucu, adalah umat yang memiliki pengalaman sosial keagamaan yang paling kecil.

Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Katolik adalah terbesar, yakni 0,626. Skor standar deviasi ini mengindikasikan

terdapat pola jawaban yang sangat beragam antar responden yang beragama Katolik, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan pengalaman sosial keagamaan. Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang beragama Budha, yakni 0,430. Ini berarti jawaban responden beragama Budha terhadap kelompok butir yang mengukur pengalaman sosial keagamaan, homogen.

Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.18, di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Islam dan Budha memiliki skor pengalaman sosial keagamaan terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Islam dan umat Budha adalah umat yang dalam aktivitas sosial atau pengalaman sosial keagamaan cenderung paling kuat atau paling intens dalam:

a. Membantu orang lain tanpa melihat/memiih agama yang dianut orang tersebut,

b. Menyerahkan sebagian penghasilan demi kepentingan agama,

c. Berbuat kebaikan kepada orang lain, karena keberkahan hidup seseorang sangat ditentukan oleh kebaikannya kepada orang lain di dunia ini

d. Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti/ menghina/orang yang berbeda pemahaman keagamaan (SEAGAMA)

e. Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti / menghina umat yang berbeda agama.

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pengalaman sosial keagamaan antar responden berdasarkan agama, maka

Page 94: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

76

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

dilakukan uji beda dengan menggunakan uji F yang hasilnya sebagai berikut:

TABEL IV.20. ANOVA PENGALAMAN SOSIAL KEAGAMAAN RESPONDEN

Sum of Squares

df Mean

Square F Sig.

Between Groups 37.653 5 7.531 1.345 .243

Within Groups 3711.118 663 5.597

Total 3748.771 668

Tabel IV.20, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 1,345, dan harga ini tidak signifikan (Sig. > 0,05). Ini mengindikasikan tidak terdapat perbedaan pengalaman sosial keagamaan antar responden yang berbeda agama. Dengan perkataan lain apapun agamanya mereka memiliki pengalaman sosial keagamaan yang relatif sama.

Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat suka tolong menolong (tanpa memperhatikan perbedaan latar belakang agama), suka bersedekah, meyakini bahwa orang yang orang yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat bagi sesama, serta masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang tidak suka konflik, baik intern amaupun antar umat beragama. Hal ini adalah modal yang sangat besar dalam membangun keharmoniasan dan kerukunan hidup di Indonesia.

Page 95: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

77

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

dilakukan uji beda dengan menggunakan uji F yang hasilnya sebagai berikut:

TABEL IV.20. ANOVA PENGALAMAN SOSIAL KEAGAMAAN RESPONDEN

Sum of Squares

df Mean

Square F Sig.

Between Groups 37.653 5 7.531 1.345 .243

Within Groups 3711.118 663 5.597

Total 3748.771 668

Tabel IV.20, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 1,345, dan harga ini tidak signifikan (Sig. > 0,05). Ini mengindikasikan tidak terdapat perbedaan pengalaman sosial keagamaan antar responden yang berbeda agama. Dengan perkataan lain apapun agamanya mereka memiliki pengalaman sosial keagamaan yang relatif sama.

Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat suka tolong menolong (tanpa memperhatikan perbedaan latar belakang agama), suka bersedekah, meyakini bahwa orang yang orang yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat bagi sesama, serta masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang tidak suka konflik, baik intern amaupun antar umat beragama. Hal ini adalah modal yang sangat besar dalam membangun keharmoniasan dan kerukunan hidup di Indonesia.

Oleh karena itu adalah suatu ironi jika kita masih menemukan adanya peningkatan kekerasan antar umat beragama di Indonesia akhir-akhir ini.

Hasil analisis ini mengindikasikan dan menambah keyakinan yang selama ini ada, bahwa kekerasan yang sering kita dengar, baca dan lihat di berbagai media masa akhir-akhir ini bukan karena keyakinan keagamaan, melainkan harus dipahami dari perspektif lain, di luar keyakinan keagamaan.

d. Skor Konsekuensi Hidup Beragama

Pengukuran tentang konsekuensi hidup beragama menggunakan sembilan butir pernyataan yang meng-gambarkan intensitas kegiatan keagamaan keseharian seperti:

1) Kebiasaan (frekuensi) mengikuti kegiatan dalam membangun semangat persaudaraan jemaat seagama/ seiman,

2) bersedia untuk menghadiri kegiatan keagamaan meskipun tempatnya jauh dari rumah,

3) mengikuti progam bimbingan keagamaan (pengajian/ pembinaan rohani),

4) menyumbang (dana) untuk kegiatan agama yang diadakan di tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara) agama saya

5) frekuensi mengikuti bimbingan keagamaan untuk meningkatkan keimanan,

Page 96: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

78

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

6) frekuensi mengikuti ritual suci selain ibadah rutin (sembahyang/kebaktian mingguan/Puja Trisandhya/ Namaskara) di tempat ibadah,

7) kesediaan untuk menyerahkan/menyalurkan sebagian penghasilan demi kepentingan agama sesuai aturan agama,

8) frekuensi atau intensitas melakukan perenungan diri (seperti tafakur/semedi/kontemplasi/meditasi),

9) frekuensi mengikuti progam bimbingan keagamaan (seperti ceramah agama/pembinaan rohani) melalui acara radio

Hasil analisis data jawaban responden terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan konsekuensi hidup beragama seluruh responden dari keenam agama dapat dilihat dalam tabel IV.21.

Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa skor rata-rata responden untuk konsekuensi hidup beragama adalah 3,85. Skor ini berarti responden beranggapa bahwa konsekuensi hidup beragama “kuat”. Jika dilihat skor rata-rata berdasarkan agama, maka skor terbesar adalah skor responden yang beragama Hindu dan dikuti oleh responden beragama Islam yakni, 3,92 dan 3,90. Sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Katolik sebesar 3,70. Ini berarti responden umat Hindu adalah yang terkuat dalam melaksanakan semua konsekuensi hidup beragama, dibandingkan dengan umat agama lain. Sebaliknya umat Katolik, adalah umat yang paling rendah pelaksanaan

Page 97: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

79

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

6) frekuensi mengikuti ritual suci selain ibadah rutin (sembahyang/kebaktian mingguan/Puja Trisandhya/ Namaskara) di tempat ibadah,

7) kesediaan untuk menyerahkan/menyalurkan sebagian penghasilan demi kepentingan agama sesuai aturan agama,

8) frekuensi atau intensitas melakukan perenungan diri (seperti tafakur/semedi/kontemplasi/meditasi),

9) frekuensi mengikuti progam bimbingan keagamaan (seperti ceramah agama/pembinaan rohani) melalui acara radio

Hasil analisis data jawaban responden terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan konsekuensi hidup beragama seluruh responden dari keenam agama dapat dilihat dalam tabel IV.21.

Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa skor rata-rata responden untuk konsekuensi hidup beragama adalah 3,85. Skor ini berarti responden beranggapa bahwa konsekuensi hidup beragama “kuat”. Jika dilihat skor rata-rata berdasarkan agama, maka skor terbesar adalah skor responden yang beragama Hindu dan dikuti oleh responden beragama Islam yakni, 3,92 dan 3,90. Sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Katolik sebesar 3,70. Ini berarti responden umat Hindu adalah yang terkuat dalam melaksanakan semua konsekuensi hidup beragama, dibandingkan dengan umat agama lain. Sebaliknya umat Katolik, adalah umat yang paling rendah pelaksanaan

konsekuensi hidup beragamanya dibandingkan dengan umat agama lain.

Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Katolik adalah terbesar, yakni 0,699. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam di antara responden yang beragama Katolik, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan konsekuensi hidup beragama.

Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang beragama Hindu, yakni 0,532. Ini berarti jawaban responden beragama Hindu terhadap kelompok butir yang mengukur konsekuensi hidup beragama, homogen.

TABEL IV.21. SKOR RESPONDEN TENTANG KONSEKUENSI HIDUP BERAGAMA

No Agama Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (S)

“Konsekuensi Hidup Beragama” Mean (M) Standar Deviasi (SD)

1. Islam 3.90 0.685 2. Katolik 3.70 0.699 3. Protestan 3.88 0.588 4. Hindu 3.92 0.532 5. Budha 3.84 0.694 6. Konghucu 3.78 0.602

Total 3.86 0.659

Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.21. di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Hindu dan Islam memiliki skor konsekuensi

Page 98: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

80

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

hidup beragama terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dan Islam adalah umat yang frekuensi atau intensitas tinggi (kuat) dalam hal:

a. Mengikuti kegiatan dalam membangun semangat persaudaraan jemaat seagama/ seiman,

b. Menghadiri kegiatan keagamaan meskipun tempatnya jauh dari rumah,

c. Mengikuti progam bimbingan keagamaan (pengajian/ pembinaan rohani),

d. Menyumbang (dana) untuk kegiatan agama yang diadakan di tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara) agama saya

e. Mengikuti bimbingan keagamaan untuk meningkatkan keimanan,

f. Mengikuti ritual suci selain ibadah rutin (sembahyang/ kebaktian mingguan/puja trisandhya/namaskara) di tempat ibadah,

g. Menyerahkan/menyalurkan sebagian penghasilan demi kepentingan agama sesuai aturan agama,

h. Melakukan perenungan diri (seperti tafakur/semedi/ kontemplasi/meditasi),

i. Mengikuti progam bimbingan keagamaan (seperti ceramah agama/ pembinaan rohani) melalui acara radio

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan konsekuensi hidup beragama antar responden berdasarkan agama, maka dilakukan uji beda dengan menggunakan uji F yang hasilnya sebagai tabel IV.22. berikut:

Page 99: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

81

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

hidup beragama terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dan Islam adalah umat yang frekuensi atau intensitas tinggi (kuat) dalam hal:

a. Mengikuti kegiatan dalam membangun semangat persaudaraan jemaat seagama/ seiman,

b. Menghadiri kegiatan keagamaan meskipun tempatnya jauh dari rumah,

c. Mengikuti progam bimbingan keagamaan (pengajian/ pembinaan rohani),

d. Menyumbang (dana) untuk kegiatan agama yang diadakan di tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara) agama saya

e. Mengikuti bimbingan keagamaan untuk meningkatkan keimanan,

f. Mengikuti ritual suci selain ibadah rutin (sembahyang/ kebaktian mingguan/puja trisandhya/namaskara) di tempat ibadah,

g. Menyerahkan/menyalurkan sebagian penghasilan demi kepentingan agama sesuai aturan agama,

h. Melakukan perenungan diri (seperti tafakur/semedi/ kontemplasi/meditasi),

i. Mengikuti progam bimbingan keagamaan (seperti ceramah agama/ pembinaan rohani) melalui acara radio

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan konsekuensi hidup beragama antar responden berdasarkan agama, maka dilakukan uji beda dengan menggunakan uji F yang hasilnya sebagai tabel IV.22. berikut:

TABEL IV. 22. ANOVA KONSEKUENSI HIDUP BERAGAMA RESPONDEN

Sum of Squares Df

Mean Square F Sig.

Between Groups 227.915 5 45.583 1.296 .264

Within Groups 23318.636 663 35.171

Total 23546.550 668

Tabel 4.22, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 1,296, dan harga ini tidak signifikan (Sig. > 0,05). Ini mengindikasikan tidak terdapat perbedaan konsekuensi hidup beragama antar responden yang berbeda agama. Dengan perkataan lain apapun agamanya mereka memiliki konsekuensi hidup beragama yang sama.

Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang aktif dan bersemangat dalam membangun persaudaraan, rajin meningkatkan pemahaman / pengetahuan agamanya, dan suka bersedekah untuk kepentingan agama. Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa agama sangat berperan dalam membangun kepribadian umatnya.

Selanjutnya ingin diketahui dari empat aspek keberagamaan responden penelitian, ingin diketahui aspek mana yang paling signifikan membangun keberagamaan tersebut. Untuk mengetahui itu dapat dilihat dalam tabel IV. 23. di bawah ini.

Page 100: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

82

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

TABEL IV.23. SKOR DIMENSI KEBERAGAMAAN RESPONDEN UNTUK ENAM AGAMA

No Agama

Dimensi Keberagamaan

Keyakinan Keagamaan

Praktek Ritual Keagamaan

Pengalaman Sosial

Keagamaan

Konsekuensi Hidup

Beragama

Mean S Mean S Mean S Mean S

1. Islam 4.82 0.468 4.55 0.489 4.58 0.441 3.90 0.685

2. Katolik 4.49 0.744 4.36 0.641 4.48 0.626 3.70 0.699

3. Protestan 4.72 0.560 4.39 0.544 4.54 0.482 3.88 0.588

4. Hindu 4.68 0.565 4.49 0.488 4.53 0.452 3.92 0.532

5. Budha 4.57 0.601 4.33 0.548 4.58 0.430 3.84 0.694

6. Konghucu 4.55 0.493 4.32 0.586 4.42 0.488 3.78 0.602

Rata-Rata Total 4.73 0.548 4.48 0.531 4.55 0.474 3.86 0.659

Berdasarkan tabel IV.23. di atas dapat diketahui bahwa untuk aspek keberagamaan yang terdiri dari sub aspek,(1) keyakinan keagamaan, (2) praktek ritual keagamaan, (3) pengalaman sosial keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup beragama, umat Islam terbesar skornya pada tiga sub aspek keberagamaan yaitu;

a. Keyakinan Keagamaan, b. Praktek Ritual Keagamaan, c. Pengalaman Sosial Keagamaan,

Sedangkan Hindu, terkuat / terbesar skornya untuk sub aspek konsekuensi hidup beragama.

Page 101: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

83

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

TABEL IV.23. SKOR DIMENSI KEBERAGAMAAN RESPONDEN UNTUK ENAM AGAMA

No Agama

Dimensi Keberagamaan

Keyakinan Keagamaan

Praktek Ritual Keagamaan

Pengalaman Sosial

Keagamaan

Konsekuensi Hidup

Beragama

Mean S Mean S Mean S Mean S

1. Islam 4.82 0.468 4.55 0.489 4.58 0.441 3.90 0.685

2. Katolik 4.49 0.744 4.36 0.641 4.48 0.626 3.70 0.699

3. Protestan 4.72 0.560 4.39 0.544 4.54 0.482 3.88 0.588

4. Hindu 4.68 0.565 4.49 0.488 4.53 0.452 3.92 0.532

5. Budha 4.57 0.601 4.33 0.548 4.58 0.430 3.84 0.694

6. Konghucu 4.55 0.493 4.32 0.586 4.42 0.488 3.78 0.602

Rata-Rata Total 4.73 0.548 4.48 0.531 4.55 0.474 3.86 0.659

Berdasarkan tabel IV.23. di atas dapat diketahui bahwa untuk aspek keberagamaan yang terdiri dari sub aspek,(1) keyakinan keagamaan, (2) praktek ritual keagamaan, (3) pengalaman sosial keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup beragama, umat Islam terbesar skornya pada tiga sub aspek keberagamaan yaitu;

a. Keyakinan Keagamaan, b. Praktek Ritual Keagamaan, c. Pengalaman Sosial Keagamaan,

Sedangkan Hindu, terkuat / terbesar skornya untuk sub aspek konsekuensi hidup beragama.

Adapun yang skornya terendah adalah, responden Katolik, pada tiga sub aspek yaitu:

a. Keyakinan Keagamaan, b. Praktek Ritual Keagamaan, c. Konsekuensi hidup beragama,

Adapun responden Konghucu, terendah untuk sub aspek pengalaman sosial keagamaan.

Secara populasi, berdasarkan skor rata-rata untuk aspek-aspek sub keberagamaan, diketahui bahwa skor terbesar sampai terkecil adalah:

a. Keyakinan Keagamaan dengan skor rata-rata = 4,73, yang berarti keyakinan keagamaan responden sangat yakin/kuat.

b. Pengalaman Sosial Keagamaan, dengan skor rata-rata = 4,55, yang berarti pengalaman sosial keagamaan responden sangat intens/kuat.

c. Praktek Ritual Keagamaan, dengan skor rata-rata = 4,48, yang berarti praktek ritual keagamaan responden sangat intens

d. Konsekuensi Hidup beragama, dengan skor rata-rata = 3,86, yang ber arti konsekuensi hidup beragama responden “kuat”

Pertanyaan selanjutnya yang ingin ditemukan jawabannya adalah, “apakah faktor-faktor seperti; (1) provinsi, (2) jenis kelamin, (3) status pernikahan, (4) status kependudukan, (5) saat memeluk agama, (6) pernah mengikuti kursus agama yang dianut, (7) keberadaan

Page 102: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

84

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat tinggal, mempengaruhi keberagamaan. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam tabel IV.24. sampai dengan tabel IV. 33. berikut ini.

e. Keberagamaan berdasarkan provinsi

Hasil analisis data jawaban responden terhadap kuesioner keberagamaan dapat dilihat dalam tabel IV.24, berikut ini.

TABEL IV. 24. KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASAR-KAN PROVINSI

No Provinsi

Dimensi Keberagamaan

Keyakinan Keagamaan

Praktek Ritual

Keagamaan

Pengalaman Sosial

Keagamaan

Konsekuensi Hidup

Beragama Mean Mean Mean Mean

1. Lampung 5.00 5.00 4.98 4.78 2. DKI Jakarta 5.00 5.00 4.85 4.02 3. Ja_ Barat 5.00 4.82 4.48 4.01 4. Ja_Tengah 5.00 4.43 4.42 3.63 5. Ja_Timur 4.99 3.97 4.47 3.61 6. Bali 4.80 4.51 4.62 4.00 7. NTB 4.58 4.45 4.47 3.78 8. NTT 4.40 4.36 4.46 3.75 9. Kal_Barat 4.09 3.94 4.32 3.60 10. Sul_Tengah 3.83 4.21 4.53 3.71

Rata-Rata 4.73 4.49 4.56 3.88

Tabel IV.24, di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keberagamaan berdasarkan dimensi keber-agamaan responden dilihat dari provinsi penelitian. Tabel IV. 24. di atas dapat dibaca:

Page 103: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

85

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat tinggal, mempengaruhi keberagamaan. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam tabel IV.24. sampai dengan tabel IV. 33. berikut ini.

e. Keberagamaan berdasarkan provinsi

Hasil analisis data jawaban responden terhadap kuesioner keberagamaan dapat dilihat dalam tabel IV.24, berikut ini.

TABEL IV. 24. KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASAR-KAN PROVINSI

No Provinsi

Dimensi Keberagamaan

Keyakinan Keagamaan

Praktek Ritual

Keagamaan

Pengalaman Sosial

Keagamaan

Konsekuensi Hidup

Beragama Mean Mean Mean Mean

1. Lampung 5.00 5.00 4.98 4.78 2. DKI Jakarta 5.00 5.00 4.85 4.02 3. Ja_ Barat 5.00 4.82 4.48 4.01 4. Ja_Tengah 5.00 4.43 4.42 3.63 5. Ja_Timur 4.99 3.97 4.47 3.61 6. Bali 4.80 4.51 4.62 4.00 7. NTB 4.58 4.45 4.47 3.78 8. NTT 4.40 4.36 4.46 3.75 9. Kal_Barat 4.09 3.94 4.32 3.60 10. Sul_Tengah 3.83 4.21 4.53 3.71

Rata-Rata 4.73 4.49 4.56 3.88

Tabel IV.24, di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keberagamaan berdasarkan dimensi keber-agamaan responden dilihat dari provinsi penelitian. Tabel IV. 24. di atas dapat dibaca:

a) Dari empat dimensi keberagamaan, skor terbesar adalah dimensi praktek ritual keagamaan, yakni sebesar 4,49, yang berarti “sangat kuat” lebih besar dibandingkan dengan tiga dimensi yang lain. Skor terkecil adalah untuk dimensi konsekuensi hidup beragama yakni sebesar 3,88, yang berarti “kuat”.

b) Untuk dimensi keyakinan keagamaan provinsi Lampung, DKI Jaya, Jawa Barat, dan Jawa Tengah adalah yang memiliki skor terbesar (penuh) yakni 5,00,yang berarti “sangat kuat” skor yang terendah adalah untuk provinsi Sulawesi Tengah sebesar “3,83”, yang berarti “kuat”.

c) Untuk dimensi praktek ritual keberagamaan, provinsi Lampung adalah yang memiliki skor terbesar (penuh) yakni 4,98, yang berarti “sangat kuat” skor yang terendah adalah untuk provinsi Kalimantan Barat sebesar “4,32”, yang juga berarti “sangat kuat”.

d) Untuk dimensi konsekuensi hidup beragama provinsi Lampung, adalah yang memiliki skor terbesar (penuh) yakni 4,78, yang berarti “sangat kuat” skor yang terendah adalah untuk provinsi Kalimantan Barat sebesar “3,60”, yang berarti “kuat”.

Informasi yang dapat diambil dari tabel IV.24. di atas adalah bahwa provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki keberagamaan yang paling kuat dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.

Page 104: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

86

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

f. Keberagamaan berdasarkan jenis kelamin

TABEL IV.25. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN JENIS KELAMIN

No Jenis Kelamin

Keberagamaan

Keyakinan Keagamaan

Praktek Ritual

Keagamaan

Pengalaman Sosial

Keagamaan

Konsekuensi Hidup

Beragama Mean Mean Mean Mean

1. Laki-Laki 4.70 3.81 4.55 3.86 2. Perempuan 4.81 3.92 4.59 3.91

Rata-Rata Total

4.72 3.84 4.56 3.88

Berdasarkan tabel IV.25, di atas diketahui bahwa dari empat sub dimensi keberagamaan, skor rata-rata untuk sub dimensi keyakinan keagamaan lebih besar dibandingkan dengan skor tiga sub dimensi yang lain. Di mana skor untuk sub dimensi keyakinan keagamaan sebesar 4,72. Skor ini jika dibaca berdasarkan pedoman pengartian skor sebagaimana terdapat dalam tabel IV.12, termasuk dalam kategori “sangat kuat”. Kita dapat mengatakan bahwa keberagamaan untuk sub dimensi keyakinan keagamaan responden penelitian adalah “sangat kuat”.

Tabel IV.25, di atas juga menyajikan bahwa rata-rata skor untuk perempuan di empat sub dimensi keberagamaan yakni; keyakinan keagamaan, praktek ritual, pengalaman sosial, dan konsekuensi hidup beragama lebih besar dibandingkan dengan skor laki-laki. Ini mengindikasikan bawah perempuan memiliki keberagamaan yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki. Data ini mengindikasikan bahwa pemerintah perlu memperhatikan peran kaum wanita

Page 105: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

87

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

f. Keberagamaan berdasarkan jenis kelamin

TABEL IV.25. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN JENIS KELAMIN

No Jenis Kelamin

Keberagamaan

Keyakinan Keagamaan

Praktek Ritual

Keagamaan

Pengalaman Sosial

Keagamaan

Konsekuensi Hidup

Beragama Mean Mean Mean Mean

1. Laki-Laki 4.70 3.81 4.55 3.86 2. Perempuan 4.81 3.92 4.59 3.91

Rata-Rata Total

4.72 3.84 4.56 3.88

Berdasarkan tabel IV.25, di atas diketahui bahwa dari empat sub dimensi keberagamaan, skor rata-rata untuk sub dimensi keyakinan keagamaan lebih besar dibandingkan dengan skor tiga sub dimensi yang lain. Di mana skor untuk sub dimensi keyakinan keagamaan sebesar 4,72. Skor ini jika dibaca berdasarkan pedoman pengartian skor sebagaimana terdapat dalam tabel IV.12, termasuk dalam kategori “sangat kuat”. Kita dapat mengatakan bahwa keberagamaan untuk sub dimensi keyakinan keagamaan responden penelitian adalah “sangat kuat”.

Tabel IV.25, di atas juga menyajikan bahwa rata-rata skor untuk perempuan di empat sub dimensi keberagamaan yakni; keyakinan keagamaan, praktek ritual, pengalaman sosial, dan konsekuensi hidup beragama lebih besar dibandingkan dengan skor laki-laki. Ini mengindikasikan bawah perempuan memiliki keberagamaan yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki. Data ini mengindikasikan bahwa pemerintah perlu memperhatikan peran kaum wanita

dan atau kaum ibu berkenaan dengan berbagai persoalan yang terkait dengan isu-isu keagamaan.

g. Keberagamaan berdasarkan status pernikahan

TABEL IV.26. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN STATUS PERNIKAHAN

No Status Pernikahan

Keberagamaan

Keyakinan Keagamaan

Praktek Ritual

Keagamaan

Pengalaman Sosial

Keagamaan

Konsekuensi Hidup Beragama

Mean Mean Mean Mean

1. Belum Menikah 4.80 3.84 4.54 3.86

2. Tidak Menikah 4.79 3.77 4.45 3.66 3. Menikah 4.69 3.86 4.59 3.91 4. Bercerai 4.74 3.80 4.43 3.85

Rata-Rata Total 4.73 3.84 4.56 3.88

Data sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV. 26, di atas menginformasikan bahwa:

a) Orang yang belum menikah memiliki keyakinan keagamaan yang lebih kuat dibandingkan dengan yang tidak menikah, yang menikah maupun yang bercerai,

h. Orang yang menikah dalam hal; praktek ritual keagamaannya, pengalaman sosial keagamaan, maupun konsekuensi hidup beragama lebih kuat (baik) dibandingkan dengan yang belum, tidak, maupun bercerai. Dengan perkataan lain orang yang sudah menikah ia akan lebih intensif dalam hal melaksanaan perintah ajaran agama, berdo’a, serta menutup kesalahan dengan kebaikan, berderma, berbuat baik dengan sesama, membangun interaksi/hubungan dengan seagama

Page 106: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

88

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

maupun yang berbeda, serta lebih inten membangun semangat persaudaraan, melakukan berbagai kegiatan peningkatan keimanan, dan ktivitas perenungan diri dibandingkan dengan yang belum, tidak maupun bercerai.

i. Orang yang tidak menikah memiliki pengalaman praktek ritual keagamaan dan konsekuensi hidup beragama di bawah orang yang belum menikah, menikah maupun bercerai.

h. Keberagamaan berdasarkan status penduduk

TABEL IV.27. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN STATUS PENDUDUK

No Status Penduduk

Keberagamaan

Keyakinan Keagamaan

Praktek Ritual

Keagamaan

Pengalaman Sosial

Keagamaan

Konsekuensi Hidup

Beragama Mean Mean Mean Mean

1. Asli 4.72 3.92 4.60 3.93 2. Pendatang 4.73 3.76 4.51 3.81

Rata-Rata Total 4.73 3.84 4.56 3.88

Tabel IV.27, dapat dibaca:

a) Penduduk asli memiliki skor tertinggi untuk dimensi praktek ritual keagamaan, pengalaman sosial keagamaan, dan konsekuensi hidup beragama dibandingkan dengan pendatang. Ini berarti penduduk asli lebih intensif dan lebih kuat dibandingkan dengan pendatang dalam hal; menjadikan kitab suci sebagai rujukan, melaksanaan perintah ajaran agama, frekuensi berdo’a, melakukan

Page 107: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

89

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

maupun yang berbeda, serta lebih inten membangun semangat persaudaraan, melakukan berbagai kegiatan peningkatan keimanan, dan ktivitas perenungan diri dibandingkan dengan yang belum, tidak maupun bercerai.

i. Orang yang tidak menikah memiliki pengalaman praktek ritual keagamaan dan konsekuensi hidup beragama di bawah orang yang belum menikah, menikah maupun bercerai.

h. Keberagamaan berdasarkan status penduduk

TABEL IV.27. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN STATUS PENDUDUK

No Status Penduduk

Keberagamaan

Keyakinan Keagamaan

Praktek Ritual

Keagamaan

Pengalaman Sosial

Keagamaan

Konsekuensi Hidup

Beragama Mean Mean Mean Mean

1. Asli 4.72 3.92 4.60 3.93 2. Pendatang 4.73 3.76 4.51 3.81

Rata-Rata Total 4.73 3.84 4.56 3.88

Tabel IV.27, dapat dibaca:

a) Penduduk asli memiliki skor tertinggi untuk dimensi praktek ritual keagamaan, pengalaman sosial keagamaan, dan konsekuensi hidup beragama dibandingkan dengan pendatang. Ini berarti penduduk asli lebih intensif dan lebih kuat dibandingkan dengan pendatang dalam hal; menjadikan kitab suci sebagai rujukan, melaksanaan perintah ajaran agama, frekuensi berdo’a, melakukan

berbagai aktivitas sosial, membantu sesama, berderma, berbuat baik dengan sesama, dan lebih baik dalam berinteraksi / berhubungan baik dengan seagama maupun yang berbeda, serta membangun semangat persaudaraan.

b) Penduduk pendatang lebih baik dibandingkan penduduk asli dalam hal; keyakinan agamanya, keyakinan akan pencipta dan pengatur alam semesta, dan keyakinan akan keselamatan dunia dan akhirat.

i. Keberagamaan berdasarkan saat memeluk agama

TABEL IV.28. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN SAAT MEMELUK AGAMA

No Saat Memeluk Agama Skor Keberagamaan

1. Sejak Lahir 4.21 2. Sejak Sekolah (SD_SLTA) 4.21 3. Sejak Kuliah 4.13 4. Sejak Menikah 4.15

Total 4.20

Tabel IV. 28, di atas dapat dibaca:

Keberagaaan seseorang akan lebih baik (lebih kuat), jika itu dimulai sejak lahir atau minimal sejak kecil, dibandingkan dengan kalau ia menentukan agamanya ketika kuliah atau sejak menikah. Ini sesuai dengan teori yang menyatakan makin awal seseorang tersebut mengenal agamanya maka makin kuat keberagamaanya;

Page 108: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

90

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

j. Keberagamaan berdasarkan keikutsertaan kursus agama

TABEL IV.29. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN PERNAH MENGIKUTI KURSUS AGAMA YANG DIANUT

No Kursus Agama

Keberagamaan

Keyakinan Keagamaan

Praktek Ritual

Keagamaan

Pengalaman Sosial

Keagamaan

Konsekuensi Hidup Beragama

Keberagamaan

Mean Mean Mean Mean Mean 1. Pernah 4.77 3.90 4.59 3.95 4.26 2. Tidak Pernah 4.65 3.74 4.50 3.73 4.10

Rata-Rata Total

4.73 3.84 4.56 3.88 4.20

Tabel IV.29. di atas dapat dibaca: keberagamaan seseorang akan semakin baik (kuat) jika ia pernah mempelajari (mengkaji) agamanya, dibandingkan dengan jika ia tidak pernah mempelajari (mengkaji) agamanya (4,26 > 4,10).

Orang yang mengkaji (mempelajari) agamanya, maka dimensi keyakinan keagamaannya, lebih baik (kuat) dibandingkan dengan dimensi praktek, pengalaman sosial maupun konsekuensi hidup beragamanya (4,77 > “3,90; 4,59 : 3,95).

k. Keberagamaan berdasarkan adanya keluarga beda agama

TABEL IV.30. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN KEBERADAAN KELUARGA YANG BERBEDA AGAMA DI LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL

Page 109: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

91

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

j. Keberagamaan berdasarkan keikutsertaan kursus agama

TABEL IV.29. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN PERNAH MENGIKUTI KURSUS AGAMA YANG DIANUT

No Kursus Agama

Keberagamaan

Keyakinan Keagamaan

Praktek Ritual

Keagamaan

Pengalaman Sosial

Keagamaan

Konsekuensi Hidup Beragama

Keberagamaan

Mean Mean Mean Mean Mean 1. Pernah 4.77 3.90 4.59 3.95 4.26 2. Tidak Pernah 4.65 3.74 4.50 3.73 4.10

Rata-Rata Total

4.73 3.84 4.56 3.88 4.20

Tabel IV.29. di atas dapat dibaca: keberagamaan seseorang akan semakin baik (kuat) jika ia pernah mempelajari (mengkaji) agamanya, dibandingkan dengan jika ia tidak pernah mempelajari (mengkaji) agamanya (4,26 > 4,10).

Orang yang mengkaji (mempelajari) agamanya, maka dimensi keyakinan keagamaannya, lebih baik (kuat) dibandingkan dengan dimensi praktek, pengalaman sosial maupun konsekuensi hidup beragamanya (4,77 > “3,90; 4,59 : 3,95).

k. Keberagamaan berdasarkan adanya keluarga beda agama

TABEL IV.30. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN KEBERADAAN KELUARGA YANG BERBEDA AGAMA DI LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL

No Keluarga yang berbeda agama Skor Keberagamaan

1. Tidak Ada 4.23 2. Ada 1 - 2 pasangan keluarga 4.17 3. Ada 3 - 4 pasangan keluarga 4.12 4. Ada 5 -6 pasangan keluarga 4.07 5. Ada 7 - 10 pasangan keluarga 4.18

6. Banyak lebih dari 10 pasangan keluarga

4.04

Total 4.20

Tabel IV.30. dapat dibaca, bahwa lingkungan tempat tinggal mempengaruhi keberagamaan seseorang: makin heterogen atau semakin banyak keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat tinggal seseorang, maka makin rendah skor keberagamaannya, atau katakanlah, semakin moderat.

l. Keberagamaan berdasarkan komposisi warga sekitar

TABEL IV.31 SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN KOMPOSISI AGAMA WARGA DI TEMPAT TINGGAL

No Status Penduduk Skor Keberagamaan

1. yang seagama kurang dari 20% 4.01 2. yang seagama antara 20 sampai 35 % 4.09 3. yang seagama antara 36 sampai 50 % 4.11 4. yang seagama antara 51 sampai 65 % 4.14 5. yang seagama antara 66 sampai 80 % 4.15 6. yang seagama lebih dari 80% 4.25

Total 4.13

Page 110: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

92

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

Tabel IV.31, di atas sejalan dengan tabel IV.30, yakni makin homogen lingkungan agama seseorang, maka makin kuat keberagamaannya, dan sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dari tabel IV.31, di mana responden yang tinggal di lingkungan yang seagama dengannya lebih dari 80%, skor keberagamaanya terbesar yakni 4,25, dan responden yang tinggal di lingkungan yang seagama dengannya kurang dari 20%, skor keberagamaanya 4,01. Karena itu, tidak mengherankan jika di suatu tempat di mana masyarakatnya homogen, kemudian ada rencana pembangunan rumah ibadah kelompok agama lain (agama yang berbeda), maka masyarakat di tempat tersebut cenderung menolak.

m. Keberagamaan berdasarkan jarak dengan rumah ibadah

TABEL IV.32. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN JARAK RUMAH DENGAN TEMPAT IBADAH SENDIRI

No Jarak Rumah dengan Rumah Ibadah Sendiri

Skor Keberagamaan

1. Kurang dari 100 meter 4.26 2. Antara 100 dan Kurang dari 500 meter 4.20 3. Antara 500 dan Kurang dari 1000 meter 4.19 4. Antara 1000 dan Kurang dari 2000 meter 4.18 5. Antara 2000 dan Kurang dari 5000 meter 4.12 6. Lebih dari 5000 meter 4.09

Total 4.20

Page 111: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

93

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

Tabel IV.31, di atas sejalan dengan tabel IV.30, yakni makin homogen lingkungan agama seseorang, maka makin kuat keberagamaannya, dan sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dari tabel IV.31, di mana responden yang tinggal di lingkungan yang seagama dengannya lebih dari 80%, skor keberagamaanya terbesar yakni 4,25, dan responden yang tinggal di lingkungan yang seagama dengannya kurang dari 20%, skor keberagamaanya 4,01. Karena itu, tidak mengherankan jika di suatu tempat di mana masyarakatnya homogen, kemudian ada rencana pembangunan rumah ibadah kelompok agama lain (agama yang berbeda), maka masyarakat di tempat tersebut cenderung menolak.

m. Keberagamaan berdasarkan jarak dengan rumah ibadah

TABEL IV.32. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN JARAK RUMAH DENGAN TEMPAT IBADAH SENDIRI

No Jarak Rumah dengan Rumah Ibadah Sendiri

Skor Keberagamaan

1. Kurang dari 100 meter 4.26 2. Antara 100 dan Kurang dari 500 meter 4.20 3. Antara 500 dan Kurang dari 1000 meter 4.19 4. Antara 1000 dan Kurang dari 2000 meter 4.18 5. Antara 2000 dan Kurang dari 5000 meter 4.12 6. Lebih dari 5000 meter 4.09

Total 4.20

TABEL IV. 33 SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN JARAK RUMAH DENGAN TEMPAT IBADAH AGAMA LAIN

No Jarak Rumah dengan Rumah Ibadah

Agama Lain Skor Keberagamaan

1. Kurang dari 100 meter 4.14 2. Antara 100 dan Kurang dari 500 meter 4.17 3. Antara 500 dan Kurang dari 1000 meter 4.18 4. Antara 1000 dan Kurang dari 2000 meter 4.20 5. Antara 2000 dan Kurang dari 5000 meter 4.26 6. Lebih dari 5000 meter 4.29

Total 4.20

Data sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.32 dan tabel IV.33, menggambarkan hal yang hampir sama dengan tabel IV.31, di mana lingkungan tempat tinggal responden apakah itu homogenitas atau heterogenitas keberagamaan masyarakat, serta keberadaan tempat ibadah (agama sendiri atau agama lain) mempengaruhi keberagamaannya.

Seseorang yang tinggal dekat dengan tempat ibadah agama sendiri memiliki skor keberagamaan yang lebih besar (kuat) dibandingkan dengan seseorang yang tinggal jauh dari tempat ibadahnya.

Sebaliknya seseorang yang tinggal dekat tempat ibadah agama lain, memiliki skor keberagamaan yang rendah dibandingkan dengan seseorang yang tempat tinggalnya jauh dari rumah ibadah agama lain.

Page 112: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

94

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

2. Cara Beragama Responden

Bagaimana cara keberagamaan responden penelitian. Apakah eksklusif atau inklusif?.

Terdapat tiga indikator yang digunakan untuk mengukur skor eksklusifisme beragama, yaitu; (1) eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan, (2) eksklusifisme dalam konteks sosial keagamaan, dan (3) eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan. Masing-masing indikator kemudian dijabarkan menjadi butir-butir pertanyaan/pernyataan. Untuk butir eksklusifisme dalam konteks teologi sosial berjumlah 8 butir, eksklusifisme dalam konteks sosial keagamaan berjumlah 10 butir dan teakhir untuk eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan dengan butir sebanyak 20.

a. Skor eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan

Pengukuran eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan menggunakan delapan butir pernyataan yang berkaitan, dengan sikap beragama dalam konteks teologi sosial, yang menggambarkan eksklusifisme beragama dalam hal:

1) Menolak jika dekat RT tempat tinggal saya akan dibangun tempat ibadat agama lain.

2) Tidak nyaman dengan keberadaan tempat ibadat agama lain di sekitar RT tempat tinggal saya.

Page 113: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

95

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

2. Cara Beragama Responden

Bagaimana cara keberagamaan responden penelitian. Apakah eksklusif atau inklusif?.

Terdapat tiga indikator yang digunakan untuk mengukur skor eksklusifisme beragama, yaitu; (1) eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan, (2) eksklusifisme dalam konteks sosial keagamaan, dan (3) eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan. Masing-masing indikator kemudian dijabarkan menjadi butir-butir pertanyaan/pernyataan. Untuk butir eksklusifisme dalam konteks teologi sosial berjumlah 8 butir, eksklusifisme dalam konteks sosial keagamaan berjumlah 10 butir dan teakhir untuk eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan dengan butir sebanyak 20.

a. Skor eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan

Pengukuran eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan menggunakan delapan butir pernyataan yang berkaitan, dengan sikap beragama dalam konteks teologi sosial, yang menggambarkan eksklusifisme beragama dalam hal:

1) Menolak jika dekat RT tempat tinggal saya akan dibangun tempat ibadat agama lain.

2) Tidak nyaman dengan keberadaan tempat ibadat agama lain di sekitar RT tempat tinggal saya.

3) Mendukung kegiatan yang menolak pembangunan tempat ibadat agama lain di sekitar RT tempat tinggal saya.

4) Mendukung kegiatan yang menolak segala kegiatan untuk pengembang an/penyiaran ajaran agama lain.

5) Keberatan jika di lingkungan RT tempat tinggal saya ada juru dakwah/ misionaris yang menyebarkan agama lain.

6) Keberatan jika di lingkungan RT tempat tinggal saya terdapat aktivitas/kegiatan penyebaran agama lain.

7) Mendukung pengusiran juru dakwah/misionaris yang menyebarkan agama lain di lingkungan RT tempat saya tinggal diusir.

8) Mendukung pembubaran kegiatan agama lain di sekitar RT tempat saya tinggal.

Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan seluruh responden berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel IV.34, berikut ini.

TABEL IV.34. SKOR RESPONDEN UNTUK EKSKLUSIFISME TEOLOGI SOSIAL KEAGAMAAN

No Agama

Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (SD) Butir-butir “eksklusifisme teologi sosial

keagamaan” Mean (M) Standar Deviasi (SD)

7. Islam 2.619 1.295 8. Katolik 2.447 1.225 9. Protestan 2.375 1.262 10. Hindu 2.756 1.392

Page 114: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

96

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

11. Budha 2.518 1.327 12. Konghucu 2.262 1.185

Total 2.553 1.291

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor rata-rata eksklusifisme beragama dalam konteks teologi sosial keagamaan di antara 6 agama berbeda. Skor rata-rata terbesar adalah skor responden yang beragama Hindu yakni, 2,756 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Konghucu sebesar 2.262.

Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Hindu adalah terbesar, yakni 1.392. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam (mulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju) antar responden yang beragama Hindu, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan eksklusifisme beragama dalam konteks politik sosial keagamaan. Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang beragama Konghucu yakni sebesar 1.185. Ini berarti jawaban responden beragama Konghucu terhadap kelompok butir yang mengukur eksklusifisme beragama dalam konteks teologi sosial keagamaan homogen.

Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.34, di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Hindu memiliki skor eksklusifisme beragama dalam konteks teologi sosial keagamaan terbesar dan skor standar deviasi juga terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dibandingkan dengan responden agama

Page 115: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

97

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

11. Budha 2.518 1.327 12. Konghucu 2.262 1.185

Total 2.553 1.291

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor rata-rata eksklusifisme beragama dalam konteks teologi sosial keagamaan di antara 6 agama berbeda. Skor rata-rata terbesar adalah skor responden yang beragama Hindu yakni, 2,756 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Konghucu sebesar 2.262.

Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Hindu adalah terbesar, yakni 1.392. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam (mulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju) antar responden yang beragama Hindu, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan eksklusifisme beragama dalam konteks politik sosial keagamaan. Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang beragama Konghucu yakni sebesar 1.185. Ini berarti jawaban responden beragama Konghucu terhadap kelompok butir yang mengukur eksklusifisme beragama dalam konteks teologi sosial keagamaan homogen.

Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.34, di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Hindu memiliki skor eksklusifisme beragama dalam konteks teologi sosial keagamaan terbesar dan skor standar deviasi juga terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dibandingkan dengan responden agama

lain (Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Konghucu), adalah umat yang lebih eksklusive terutama dalam konteks teologi sosial keagamaan, sehingga dalam konteks teologi sosial keagamaan mereka cenderung lebih menolak jika:

1) Dekat RT tempat tinggal saya akan dibangun tempat ibadat agama lain.

2) Tidak nyaman dengan keberadaan tempat ibadat agama lain di sekitar RT tempat tinggal saya.

3) Mendukung kegiatan yang menolak pembangunan tempat ibadat agama lain di sekitar RT tempat tinggal saya.

4) Mendukung kegiatan yang menolak segala kegiatan untuk pengembangan/penyiaran ajaran agama lain.

5) Keberatan jika di lingkungan RT tempat tinggal saya ada juru dakwah/misionaris yang menyebarkan agama lain.

6) Keberatan jika di lingkungan RT tempat tinggal saya terdapat aktivitas/kegiatan penyebaran agama lain.

7) Mendukung pengusiran juru dakwah/misionaris yang menyebarkan agama lain di lingkungan RT tempat saya tinggal diusir.

8) Mendukung pembubaran kegiatan agama lain di sekitar RT tempat saya tinggal.

Tabel IV.34, di atas menunjukkan bahwa rata-rata mean total adalah 2,553. Dengan mengacu pada tabel IV.13, harga ini mengindikasikan secara keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi) sikap keberagamaan “kurang eksklusifisme”

Page 116: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

98

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

atau “inklusif” dalam konteks teologi sosial keagamaan. Sehingga, skor 2,553, menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia, secara mayoritas adalah masyarakat yang sangat inklusif, terutama dalam konteks agama dalam kehidupan sosial.

Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan tingkat eksklusifisme dalam konteks teologi sosial di antara responden berdasarkan agama, atau apakah terdapat pengelompokkan tingkat keyakinan keagamaan antar responden. Untuk itu dilakukan pengujian dengan menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 35, di bawah.

TABEL IV.35. ANOVA ISU TEOLOGI SOSIAL KEAGAMAAN

Sum of Squares

Df Mean

Square F Sig.

Between Groups 721.930 5 144.386 1.359 .238

Within Groups 72765.416 685 106.227

Total 73487.346 690

Tabel ANOVA IV.35, di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 1,359 dan harga ini tidak signifikan (Sig. > 0,05). Ini berarti sikap beragama yang sedikit eksklusif, ternyata terdapat pada semua agama. Atau dengan perkataan lain, meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata lebih besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden agama lain, akan tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak

Page 117: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

99

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

atau “inklusif” dalam konteks teologi sosial keagamaan. Sehingga, skor 2,553, menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia, secara mayoritas adalah masyarakat yang sangat inklusif, terutama dalam konteks agama dalam kehidupan sosial.

Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan tingkat eksklusifisme dalam konteks teologi sosial di antara responden berdasarkan agama, atau apakah terdapat pengelompokkan tingkat keyakinan keagamaan antar responden. Untuk itu dilakukan pengujian dengan menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 35, di bawah.

TABEL IV.35. ANOVA ISU TEOLOGI SOSIAL KEAGAMAAN

Sum of Squares

Df Mean

Square F Sig.

Between Groups 721.930 5 144.386 1.359 .238

Within Groups 72765.416 685 106.227

Total 73487.346 690

Tabel ANOVA IV.35, di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 1,359 dan harga ini tidak signifikan (Sig. > 0,05). Ini berarti sikap beragama yang sedikit eksklusif, ternyata terdapat pada semua agama. Atau dengan perkataan lain, meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata lebih besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden agama lain, akan tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak

signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan apapun agamanya, apakah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu, secara umum ia cenderung tidak akan mempermasalahkan:

1) Pembangunan rumah ibadat agama lain dekat RT ia tinggal.

2) Keberadaan tempat ibadat agama lain di sekitar RT tempat tinggal,

3) Pengembangan/penyiaran ajaran agama lain.

4) Ada juru dakwah /misionaris yang menyebarkan agama lain.

5) Aktivitas/kegiatan penyebaran agama lain.

6) Penyebaran agama lain di lingkungan RT tempat, dan

7) Tidak mendukung pembubaran kegiatan agama lain di sekitar RT tempatnya tinggal.

b. Skor eksklusifisme dalam konteks sosial keagamaan

Pengukuran eksklusifisme dalam konteks sosial keagamaan menggunakan delapan butir pernyataan yang berkaitan, dengan sikap beragama dalam konteks sosial, yang menggambarkan eksklusifisme beragama dalam hal:

1) Tidak akan mengucapkan belasungkawa kepada keluarga penganut agama lain yang mengalami musibah;

2) Menolak ajakan melakukan kerjasama ekonomi (seperti kongsi dagang) dengan orang yang berbeda agama;

Page 118: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

100

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

3) Keberatan jika tempat ibadat agama saya dimasuki oleh pemeluk agama lain;

4) Keberatan menerima orang yang berbeda agama untuk tinggal serumah/asrama/kos;

5) Keberatan untuk menerima orang yang berbeda agama sebagai tetangga/teman kerja/teman dekat;

6) Menolak ajakan untuk menghadiri perayaan hari besar agama lain (seperti idul fitri, natal, nyepi, waisak, galungan, imlek);

7) Tidak akan membiarkan umat yang berbeda agama dengan saya untuk menjadi penduduk mayoritas di sekitar saya tinggal;

8) Ketika menjual rumah (properti), saya memprioritaskan penjualannya kepada calon pembeli yang seagama dengan saya;

Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan seluruh responden berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel IV. 36, berikut ini.

Page 119: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

101

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

3) Keberatan jika tempat ibadat agama saya dimasuki oleh pemeluk agama lain;

4) Keberatan menerima orang yang berbeda agama untuk tinggal serumah/asrama/kos;

5) Keberatan untuk menerima orang yang berbeda agama sebagai tetangga/teman kerja/teman dekat;

6) Menolak ajakan untuk menghadiri perayaan hari besar agama lain (seperti idul fitri, natal, nyepi, waisak, galungan, imlek);

7) Tidak akan membiarkan umat yang berbeda agama dengan saya untuk menjadi penduduk mayoritas di sekitar saya tinggal;

8) Ketika menjual rumah (properti), saya memprioritaskan penjualannya kepada calon pembeli yang seagama dengan saya;

Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan seluruh responden berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel IV. 36, berikut ini.

TABEL IV.36. SKOR RESPONDEN UNTUK EKSKLUSIFISME SOSIAL KEAGAMAAN

No Agama Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (SD) Butir-butir “eksklusifisme sosial keagamaan”

Mean (M) Standar Deviasi (SD) 1. Islam 2.201 1.050 2. Katolik 2.005 0.998 3. Protestan 1.894 0.887 4. Hindu 2.345 1.123 5. Budha 1.997 0.977 6. Konghucu 1.955 0.900

Total 2.126 1.025

Berdasarkan tabel IV.36, di atas diketahui bahwa skor rata-rata eksklusifisme beragama dalam konteks sosial keagamaan di antara 6 agama berbeda. Skor rata-rata terbesar adalah skor responden yang beragama Hindu yakni 2,35 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Protestan sebesar 1,894. Sesuai dengan tabel IV.13, skor 2,35 dapat dibaca “kurang eksklusif” atau “inklusif”, sedangkan skor 1,894 dapat dibaca “sedikit di atas sangat inklusif”

Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Hindu adalah terbesar, yakni 1,123. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam (mulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju) antar responden yang beragama Hindu, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan eksklusifisme beragama dalam konteks sosial. Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah

Page 120: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

102

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

responden yang beragama Konghucu yakni sebesar 1,185. Ini berarti jawaban responden beragama Konghucu terhadap kelompok butir yang mengukur eksklusifisme beragama dalam konteks sosial keagamaan, homogen.

Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.36. di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Hindu memiliki skor eksklusifisme beragama dalam konteks sosial keagamaan terbesar dan skor standar deviasi juga terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dibandingkan dengan responden agama lain (Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Konghucu), adalah umat yang lebih eksklusif, terutama dalam konteks sosial keagamaan.

Tabel IV.36, di atas menunjukkan bahwa rata-rata mean total adalah 2,126. Harga ini mengindikasikan secara keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi) sikap beragama kurang eksklusifisme, atau inklusif dalam konteks sosial keagamaan.

Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan tingkat eksklusifisme beragama dalam konteks sosial di antara responden berdasarkan agama, atau apakah terdapat pengelompokkan tingkat keyakinan keagamaan antar responden. Untuk itu dilakukan pengujian dengan menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 37, di bawah.

Page 121: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

103

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

responden yang beragama Konghucu yakni sebesar 1,185. Ini berarti jawaban responden beragama Konghucu terhadap kelompok butir yang mengukur eksklusifisme beragama dalam konteks sosial keagamaan, homogen.

Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.36. di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Hindu memiliki skor eksklusifisme beragama dalam konteks sosial keagamaan terbesar dan skor standar deviasi juga terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dibandingkan dengan responden agama lain (Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Konghucu), adalah umat yang lebih eksklusif, terutama dalam konteks sosial keagamaan.

Tabel IV.36, di atas menunjukkan bahwa rata-rata mean total adalah 2,126. Harga ini mengindikasikan secara keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi) sikap beragama kurang eksklusifisme, atau inklusif dalam konteks sosial keagamaan.

Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan tingkat eksklusifisme beragama dalam konteks sosial di antara responden berdasarkan agama, atau apakah terdapat pengelompokkan tingkat keyakinan keagamaan antar responden. Untuk itu dilakukan pengujian dengan menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 37, di bawah.

Tabel IV. 37. ANOVA Isu Sosial Keagamaan

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig.

Between Groups 814.568 5 162.914 2.447 .053

Within Groups 45598.396 685 66.567

Total 46412.964 690

Tabel IV. 37, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 2,447, dan harga ini tidak signifikan (Sig. > 0,05). Ini berarti sikap beragama yang sedikit eksklusif, ternyata terdapat pada semua agama. Atau dengan perkataan lain, meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata lebih besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden agama lain, akan tetapi secara statistic perbedaan tersebut tidak signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan apapun agamanya, apakah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu, sekalipun ia cenderung tidak akan menolak atau bersedia untuk:

1) Mengucapkan belasungkawa kepada keluarga penganut agama lain yang mengalami musibah;

2) Melakukan kerjasama ekonomi (seperti kongsi dagang) dengan orang yang berbeda agama;

3) Tempat ibadat agamanya dimasuki oleh pemeluk agama lain;

4) Menerima orang yang berbeda agama untuk tinggal serumah/asrama/kos;

Page 122: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

104

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

5) Menerima orang yang berbeda agama sebagai tetangga/teman kerja/teman dekat;

6) Menghadiri perayaan hari besar agama lain (seperti idul fitri, natal, nyepi, waisak, galungan, imlek);

7) Menerima umat yang berbeda agama untuk menjadi penduduk mayoritas di sekitar tempat tinggal;

8) Menjual rumah (properti), kepada calon pembeli yang berbeda agama.

c. Skor eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan

Pengukuran eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan menggunakan dua puluh butir pernyataan yang berkaitan, dengan sikap beragama dalam konteks sosial politik, yang menggambarkan eksklusifisme beragama dalam hal:

1) Keselamatan hidup hanya terdapat dalam agama yang saya anut;

2) Tidak ada jalan keselamatan (kehidupan dunia dan akhirat), kecuali hanya terdapat dalam agama yang saya anut;

3) Berdo’a tidak seperti cara yang diajarkan agama saya tidak akan dikabulkan oleh tuhan;

4) Setiap orang dikatakan sesat/kafir jika dia tidak sepaham/ sealiran (tetapi seagama) dengan pemahaman keagamaan saya;

Page 123: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

105

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

5) Menerima orang yang berbeda agama sebagai tetangga/teman kerja/teman dekat;

6) Menghadiri perayaan hari besar agama lain (seperti idul fitri, natal, nyepi, waisak, galungan, imlek);

7) Menerima umat yang berbeda agama untuk menjadi penduduk mayoritas di sekitar tempat tinggal;

8) Menjual rumah (properti), kepada calon pembeli yang berbeda agama.

c. Skor eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan

Pengukuran eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan menggunakan dua puluh butir pernyataan yang berkaitan, dengan sikap beragama dalam konteks sosial politik, yang menggambarkan eksklusifisme beragama dalam hal:

1) Keselamatan hidup hanya terdapat dalam agama yang saya anut;

2) Tidak ada jalan keselamatan (kehidupan dunia dan akhirat), kecuali hanya terdapat dalam agama yang saya anut;

3) Berdo’a tidak seperti cara yang diajarkan agama saya tidak akan dikabulkan oleh tuhan;

4) Setiap orang dikatakan sesat/kafir jika dia tidak sepaham/ sealiran (tetapi seagama) dengan pemahaman keagamaan saya;

5) Orang yang tidak seiman/berbeda agama dengan saya adalah tergolong kafir;

6) Orang kafir (beda agama dengan saya) selalu akan merongrong (mengganggu) penganut agama saya;

7) Saya tidak akan memilih calon ketua rt/rw/kepala desa yang berbeda agama dengan saya;

8) Saya tidak akan memilih calon wali kota/bupati yang berbeda agama dengan saya;

9) Saya tidak akan memilih calon gubernur yang berbeda agama dengan saya;

10) Saya tidak akan memilih calon anggota dewan perwakilan rakyat (nasional-daerah) yang berbeda agama saya;

11) Saya tidak akan memilih calon presiden/wakil presiden yang berbeda agama saya;

12) Saya merasa tidak nyaman jika ketua rt/rw/kepala desa berbeda agama dengan saya;

13) Saya merasa tidak nyaman jika wali kota/bupati berbeda agama dengan saya;

14) Dunia akan menjadi aman/damai jika semua manusia menganut ajaran agama yang saya yakini;

15) Saya percaya bahwa hanya ajaran agama saya yang akan dapat mewujudkan keadilan di masyarakat;

16) Saya tidak bersedia mengucapkan selamat (salam keagamaan) pada umat lain saat perayaan hari besar agama lain;

Page 124: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

106

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

17) Saya menentang segala aktivitas pengumpulan dana untuk keperluan kegiatan agama lain;

18) Saya menolak jika anggota keluarga dekat saya berencana menikah dengan orang yang berbeda agama;

19) Saya keberatan jika anggota keluarga saya terlibat/ikut dalam kegiatan organisasi agama lain;

20) Saya sangat resah jika pemahaman keagamaan yang berbeda dengan pemahaman saya (tetapi seagama) dibiarkan berkembang;

Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan seluruh responden berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel IV. 38, berikut ini.

TABEL IV.38. SKOR RESPONDEN UNTUK EKSKLUSIFISME SOSIAL POLITIK KEAGAMAAN

No Agama

Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (SD) Butir-butir “eksklusifisme sosial politik

keagamaan” Mean (M) Standar Deviasi (SD)

1. Islam 2.807 1.284 2. Katolik 2.484 1.215 3. Protestan 2.385 1.224 4. Hindu 2.853 1.303 5. Budha 2.621 1.269 6. Konghucu 2.374 1.112

Total 2.685 1.269

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor rata-rata eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik

Page 125: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

107

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

17) Saya menentang segala aktivitas pengumpulan dana untuk keperluan kegiatan agama lain;

18) Saya menolak jika anggota keluarga dekat saya berencana menikah dengan orang yang berbeda agama;

19) Saya keberatan jika anggota keluarga saya terlibat/ikut dalam kegiatan organisasi agama lain;

20) Saya sangat resah jika pemahaman keagamaan yang berbeda dengan pemahaman saya (tetapi seagama) dibiarkan berkembang;

Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan seluruh responden berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel IV. 38, berikut ini.

TABEL IV.38. SKOR RESPONDEN UNTUK EKSKLUSIFISME SOSIAL POLITIK KEAGAMAAN

No Agama

Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (SD) Butir-butir “eksklusifisme sosial politik

keagamaan” Mean (M) Standar Deviasi (SD)

1. Islam 2.807 1.284 2. Katolik 2.484 1.215 3. Protestan 2.385 1.224 4. Hindu 2.853 1.303 5. Budha 2.621 1.269 6. Konghucu 2.374 1.112

Total 2.685 1.269

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor rata-rata eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik

keagamaan di antara 6 agama berbeda. Skor rata-rata terbesar adalah skor responden yang beragama Hindu yakni, 2,853 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Konghucu sebesar 2,374.

Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Hindu adalah terbesar, yakni 1,303. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam (mulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju) antar responden yang beragama Hindu, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik keagamaan. Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang beragama Konghucu yakni sebesar 1,185. Ini berarti jawaban responden beragama Konghucu terhadap kelompok butir yang mengukur eksklusifisme beragama dalam konteks sosial keagamaan, homogen.

Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel-tabel di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Hindu memiliki skor eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik keagamaan terbesar dan skor standar deviasi juga terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dibandingkan dengan responden agama lain (Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Konghucu), adalah umat yang lebih eksklusif terutama dalam konteks sosial politik keagamaan.

Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan tingkat eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik di antara responden berdasarkan agama, atau apakah

Page 126: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

108

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

terdapat pengelompokkan tingkat keyakinan keagamaan antar responden. Untuk itu dilakukan pengujian dengan menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 39, di bawah.

TABEL IV. 39. ANOVA ISU SOSIAL KEAGAMAAN

Sum of Squares

df Mean

Square F Sig.

Between Groups 8928.251 5 1785.650 2.811 .056

Within Groups 435205.112 685 635.336 Total 444133.363 690

Tabel IV. 39, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 2,811, dan harga ini signifikan (Sig. < 0,05). Ini berarti ekskusivisme beragama dalam konteks sosial politik di enam komunitas agama berbeda. Atau dengan perkataan lain, tidak terdapat perbedaan sikap eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik antara agama. Meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata lebih besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden agama lain, akan tetapi secara statistic perbedaan tersebut tidak signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan apapun agamanya, apakah Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu, sekalipun dalam konteks sosial politik keagamaan selain mempercayai (meyakini) agamanya, juga menerima keyakinan agama umat lain tentang:

1) Keselamatan hidup tidak hanya terdapat dalam agama yang dianutnya.

2) Ada jalan keselamatan dari agama umat lain.

Page 127: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

109

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

terdapat pengelompokkan tingkat keyakinan keagamaan antar responden. Untuk itu dilakukan pengujian dengan menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 39, di bawah.

TABEL IV. 39. ANOVA ISU SOSIAL KEAGAMAAN

Sum of Squares

df Mean

Square F Sig.

Between Groups 8928.251 5 1785.650 2.811 .056

Within Groups 435205.112 685 635.336 Total 444133.363 690

Tabel IV. 39, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 2,811, dan harga ini signifikan (Sig. < 0,05). Ini berarti ekskusivisme beragama dalam konteks sosial politik di enam komunitas agama berbeda. Atau dengan perkataan lain, tidak terdapat perbedaan sikap eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik antara agama. Meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata lebih besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden agama lain, akan tetapi secara statistic perbedaan tersebut tidak signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan apapun agamanya, apakah Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu, sekalipun dalam konteks sosial politik keagamaan selain mempercayai (meyakini) agamanya, juga menerima keyakinan agama umat lain tentang:

1) Keselamatan hidup tidak hanya terdapat dalam agama yang dianutnya.

2) Ada jalan keselamatan dari agama umat lain.

3) Berdo’a tidak seperti cara yang diajarkan agamanya akan tetap dikabulkan

4) Orang tidak sesat/kafir meskipun dia tidak sepaham/ sealiran (tetapi seagama) dengan pemahaman keagamaannya.

5) Bersedia memilih calon ketua RT/RW/kepala desa yang berbeda agama.

6) Bersedia memilih calon wali kota/bupati yang berbeda agama.

7) Bersedia memilih calon gubernur yang berbeda agama.

8) Bersedia memilih calon anggota dewan perwakilan rakyat yang berbeda.

9) Bersedia memilih calon presiden/wakil presiden yang berbeda agama.

10) Saya merasa nyaman jika ketua RT/RW/kepala desa berbeda agama.

11) Saya merasa nyaman jika wali kota/bupati berbeda agama.

12) Dunia akan menjadi aman/damai jika semua manusia meyakini dan mengamalkan keyakinannya masing-masing.

13) Percaya ajaran agama umat lain dapat mewujudkan keadilandi masyarakat.

14) Bersedia mengucapkan selamat pada umat lain saat perayaan hari besar agama lain.

Page 128: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

110

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

15) Bersedia ikut aktivitas pengumpulan dana untuk keperluan agama lain.

16) Menerima jika anggota keluarga dekat berencana menikah dengan orang yang berbeda agama.

17) Bersedia jika anggota keluarga terlibat/ikut dalam kegiatan organisasi agama lain

18) Membiarkan pemahaman keagamaan yang berbeda (tetapi seagama) dibiarkan berkembang.

Pertanyaan berikut yang ingin dicari jawabannya adalah antara aspek teologi sosial, sosial keagamaan dan sosial politik, aspek mana yang paling kuat mempengaruhi eksklusifisme beragama.

TABEL IV. 40. KORELASI ANTARA TIGA DIMENSI EKSLUSIFISME DENGAN EKSKLUSIFISME

No Dimensi Eksklusifisme Koefisien Korelasi

“rxy”

1 TEOLOGI KEAGAMAAN 0.472

2 SOSIAL KEAGAMAAN 0.421

3 SOSIAL POLITIK KEAGAMAAN 0.468

Tabel IV.40, di atas diketahui bahwa, dimensi teologi keagamaan paling kuat korelasinya dengan eksklusifisme beragama, yakni sebesar 0,472. sedangkan yang paling rendah adalah dimensi sosial keagamaan yakni sebesar 0,421.

Page 129: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

111

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

15) Bersedia ikut aktivitas pengumpulan dana untuk keperluan agama lain.

16) Menerima jika anggota keluarga dekat berencana menikah dengan orang yang berbeda agama.

17) Bersedia jika anggota keluarga terlibat/ikut dalam kegiatan organisasi agama lain

18) Membiarkan pemahaman keagamaan yang berbeda (tetapi seagama) dibiarkan berkembang.

Pertanyaan berikut yang ingin dicari jawabannya adalah antara aspek teologi sosial, sosial keagamaan dan sosial politik, aspek mana yang paling kuat mempengaruhi eksklusifisme beragama.

TABEL IV. 40. KORELASI ANTARA TIGA DIMENSI EKSLUSIFISME DENGAN EKSKLUSIFISME

No Dimensi Eksklusifisme Koefisien Korelasi

“rxy”

1 TEOLOGI KEAGAMAAN 0.472

2 SOSIAL KEAGAMAAN 0.421

3 SOSIAL POLITIK KEAGAMAAN 0.468

Tabel IV.40, di atas diketahui bahwa, dimensi teologi keagamaan paling kuat korelasinya dengan eksklusifisme beragama, yakni sebesar 0,472. sedangkan yang paling rendah adalah dimensi sosial keagamaan yakni sebesar 0,421.

Pertanyaan selanjutnya yang ingin ditemukan jawabannya adalah, apakah apakah faktor-faktor (1) organisasi tempat bergabung, (2) jabatan dalam organisasi, (3) fungsi dalam organisasi, (4) jumlah massa dalam organisasi, (5) status pernikahan, (6) status pekerjaan, serta (7) provinsi mempengaruhi sikap keberagamaan seseorang

Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam tabel 4.41 sampai dengan tabel IV. 48, berikut ini.

TABEL IV.41. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN ASAL ORGANISASI RESPONDEN

No Organisasi Responden

Skor Rata-Rata Eksklusifisme beragama

Rata-Rata Skor Total Teologi

Sosial Keagamaan

Sosial Politik

1. Lembaga Pendidikan Formal Keagamaan

2.73 2.23 2.88 2.70

2.

Lembaga Pendidikan informal / Penelitian / Pengembangan

2.54 2.17 2.69 2.54

3. Organisasi Sosial Ekonomi Keagamaan

2.25 1.90 2.43 2.27

4. Asosiasi Politik Berbasis Keagamaan

2.17 1.86 2.08 2.05

5. Asosiasi Profesi Berbasis Keagamaan

2.24 1.95 2.22 2.16

Rata-Rata Skor Total

2.55 2.13 2.69 2.53

Page 130: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

112

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

Berdasarkan tabel IV.41, di atas dapat dibaca:

Merujuk pada organisasi responden berasal

1) Rata-rata akor eksklusifisme beragama responden adalah 2,53. Skor ini berarti eksklusifisme beragama responden berada pada rentang skor “2,60-2,80, yang berarti “kurang” eksklusif, atau inklusif. Dapat dikatakan secara keseluruhan populasi eksklusifisme bergama responden penelitian dalam hal ini adalah pemuka agama yang terdapat di Indonesia dalam kategori inklusif.

2) Meskipun secara keseluruhan para pemuka agama bersifat inklusif, namun terdapat perbedaan skor eksklusifisme beragama jika dilihat dari lima organisasi di mana responden bergabung. Dari lima asal organisasi responden, skor terbesar adalah responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan dengan indeks sebesar 2,70. indeks skor 2,70 ini berada dalam rentang “eksklusif dan atau inklusif”. Skor 2,70 ini juga berarti dari lima lembaga organisasi asal responden penelitian, responden penelitian yang tergabung dalam lembaga pendidikan formal keagamaan atau para pemuka agama yang tergabung dalam lembaga pendidikan formal lebih eksklusif dibandingkan dengan responden atau pemuka agama yang tergabung dalam lembaga pendidikan informal, lembaga sosial ekonomi keagamaan, asosiasi politik berbasis keagamaan dan asosiasi profesi berbasis keagamaan.

3) Skor 2,70 tersebut berada pada rentang sebutan “kurang” eksklusif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

Page 131: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

113

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

Berdasarkan tabel IV.41, di atas dapat dibaca:

Merujuk pada organisasi responden berasal

1) Rata-rata akor eksklusifisme beragama responden adalah 2,53. Skor ini berarti eksklusifisme beragama responden berada pada rentang skor “2,60-2,80, yang berarti “kurang” eksklusif, atau inklusif. Dapat dikatakan secara keseluruhan populasi eksklusifisme bergama responden penelitian dalam hal ini adalah pemuka agama yang terdapat di Indonesia dalam kategori inklusif.

2) Meskipun secara keseluruhan para pemuka agama bersifat inklusif, namun terdapat perbedaan skor eksklusifisme beragama jika dilihat dari lima organisasi di mana responden bergabung. Dari lima asal organisasi responden, skor terbesar adalah responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan dengan indeks sebesar 2,70. indeks skor 2,70 ini berada dalam rentang “eksklusif dan atau inklusif”. Skor 2,70 ini juga berarti dari lima lembaga organisasi asal responden penelitian, responden penelitian yang tergabung dalam lembaga pendidikan formal keagamaan atau para pemuka agama yang tergabung dalam lembaga pendidikan formal lebih eksklusif dibandingkan dengan responden atau pemuka agama yang tergabung dalam lembaga pendidikan informal, lembaga sosial ekonomi keagamaan, asosiasi politik berbasis keagamaan dan asosiasi profesi berbasis keagamaan.

3) Skor 2,70 tersebut berada pada rentang sebutan “kurang” eksklusif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

secara keseluruhan keberagamaan responden penelitian dalam hal ini adalah para pemuka agama yang tergabung dalam lembaga pendidikan formal keagamaan “dapat bersifat eksklusif dan atau inklusiff”. Skor terendah adalah responden yang berasal dari asosiasi politik berbasis keagamaan, yakni 2,05. yang juga termasuk dalam rentang “ inklusif”.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimanakah sikap keberagamaan responden penelitian atau para pemuka agama di Indonesia berdasarkan asal lembaga (organisasi) responden, eksklusif ataukah inklusif, untuk setiap dimensi. Data sebagaimana yang terdapat dalam tabel iv. 41 di atas, dapat dibaca sbb:

1) Dimensi Teologi

Skor terbesar adalah 2,73, untuk responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan, sedangkan skor terkecil sebesar 2,17, untuk responden yang berasal dari lembaga asosiasi politik berbasis keagamaan. Ini berarti responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan lebih eksklusif dibandingkan dengan responden yang berasal dari organisasi politik berbasis keagamaan. Skor 2,73 masuk dalam rentang “antara eksklusif_inklusif. Sedangkan indkes skor 2,17 masuk dalam kategori “inklusif”.

Inferensi yang dapat diambil dari dua skor ini adalah bahwa untuk dimensi teologi responden yang berasal dari organisasi lembaga pendidikan formal keagamaan lebih

Page 132: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

114

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

eksklusif dibandingkan dengan responden yang berasal dari organisasi asosiasi politik berbasis keagamaan.

Jika dikaitkan dengan aspek-aspek yang berkenaan dengan teologi sosial keagamaan, seperti keyakinan tentang eksklusifisme suteriologi (jalan keselamatan), keberkahan hidup dunia dan akhirat, cara berdoa/ beribadah, kekuatan doa, dan kebermaknaan doa bagi umat beragama, responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal lebih eksklusif dibandingkan dengan responden yang berasal dari lembaga asosiasi politik.

2) Dimensi Sosial keagamaan

Skor terbesar adalah untuk responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan yakni 2,23, skor ini berarti responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan kurang eksklusif atau dapat dikatakan inklusif. Sedangkan skor untuk sosial keagamaan yang terendah adalah untuk responden yang berasal dari asosiasi politik berbasis keagamaan sebesar 1,86. Skor ini berarti responden sikap keberagamaannya kurang eksklusif atau dapat disebut inklusif. Dapat juga dikatakan responden penelitian yang dalam penelitian ini adalah para pemuka agama yang tergabung dalam asosiasi politik berbasis keagamaan dalam aktivitas sosial keagamaan lebih dapat menerima dan bersedia menghadiri;

perayaan kegiatan keagamaan yang dilakukan agama lain;

Page 133: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

115

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

eksklusif dibandingkan dengan responden yang berasal dari organisasi asosiasi politik berbasis keagamaan.

Jika dikaitkan dengan aspek-aspek yang berkenaan dengan teologi sosial keagamaan, seperti keyakinan tentang eksklusifisme suteriologi (jalan keselamatan), keberkahan hidup dunia dan akhirat, cara berdoa/ beribadah, kekuatan doa, dan kebermaknaan doa bagi umat beragama, responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal lebih eksklusif dibandingkan dengan responden yang berasal dari lembaga asosiasi politik.

2) Dimensi Sosial keagamaan

Skor terbesar adalah untuk responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan yakni 2,23, skor ini berarti responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan kurang eksklusif atau dapat dikatakan inklusif. Sedangkan skor untuk sosial keagamaan yang terendah adalah untuk responden yang berasal dari asosiasi politik berbasis keagamaan sebesar 1,86. Skor ini berarti responden sikap keberagamaannya kurang eksklusif atau dapat disebut inklusif. Dapat juga dikatakan responden penelitian yang dalam penelitian ini adalah para pemuka agama yang tergabung dalam asosiasi politik berbasis keagamaan dalam aktivitas sosial keagamaan lebih dapat menerima dan bersedia menghadiri;

perayaan kegiatan keagamaan yang dilakukan agama lain;

kegiatan/acara sosial-keagamaan yang diadakan oleh narasumber atau masyarakat yang berbeda agama;

interaksi sosial (seperti pernikahan beda agama, dan keterlibatan dalam kegiatan sosial lintas agama untuk misi kemanusiaan);

3) Dimensi Sosial Politik

Sebagaimana dimensi sosial keagamaan, skor terbesar untuk dimensi sosial politik adalah responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan yakni 2,88. Skor 2,88 ini berada dalam rentang “ekslusif dan atau inkluisf. Ini berarti responden penelitian yang dalam penelitian ini adalah para pemuka agama berasal dari organisasi pendidikan formal sosial politik keberagamaannya dapat bersifat “eksklusif dan atau inklusif”, tergantung mana yang kuat mempengaruhinya. Sedangkan indeks skor sosial politik keberagamaan yang terendah adalah untuk responden yang berasal dari asosiasi politik berbasis keagamaan yakni sebesar 2,08. Skor ini berarti responden yang berasal dari asosiasi politik berbasis keagamaan termasuk dalam kategori inklusif.

Berikut ini adalah skor standar deviasi untuk setiap dimensi keeksklusifan beragama (teologi, sosial keagamaan dan sosial politik) berdasarkan organisasi di mana responden bergabung

Page 134: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

116

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

TABEL IV. 42. SKOR STANDAR DEVIASI EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN ASAL ORGANISASI KEAGAMAAN RESPONDEN

No Organisasi Responden

Skor Standar Deviasi Eksklusifisme beragama Rata-Rata

Skor Total Teologi

Sosial Keagam

aan

Sosial Politik

1. Lembaga Pendidikan Formal Keagamaan 1.29 1.01 1.25 1.11

2. Lembaga Pendidikan informal / Penelitian / Pengembangan

1.33 1.15 1.29 1.16

3. Organisasi Sosial Ekonomi Keagamaan

1.21 0.95 1.26 1.10

4. Asosiasi Politik Berbasis Keagamaan

1.22 0.99 1.14 1.04

5. Asosiasi Profesi Berbasis Keagamaan

1.26 0.96 1.06 0.99

Rata-Rata skor Total 1.29 1.03 1.27 1.13

Tabel IV. 42, dapat dibaca:

a) Untuk rata-rata ekslusifisme beragama skor standar deviasi terbesar adalah untuk responden yang berasal dari lembaga pendidikan informal-penelitian dan pengembangan yaitu sebesar 1,16. ini berarti terdapat perbedaan yang signifikans jawaban antara responden yang berada dalam lembaga pendidikan informal, dan lembaga penelitian dan pengembangan terhadap pernyataan-pernyataan yang bertujuan mengungkap

Page 135: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

117

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

TABEL IV. 42. SKOR STANDAR DEVIASI EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN ASAL ORGANISASI KEAGAMAAN RESPONDEN

No Organisasi Responden

Skor Standar Deviasi Eksklusifisme beragama Rata-Rata

Skor Total Teologi

Sosial Keagam

aan

Sosial Politik

1. Lembaga Pendidikan Formal Keagamaan 1.29 1.01 1.25 1.11

2. Lembaga Pendidikan informal / Penelitian / Pengembangan

1.33 1.15 1.29 1.16

3. Organisasi Sosial Ekonomi Keagamaan

1.21 0.95 1.26 1.10

4. Asosiasi Politik Berbasis Keagamaan

1.22 0.99 1.14 1.04

5. Asosiasi Profesi Berbasis Keagamaan

1.26 0.96 1.06 0.99

Rata-Rata skor Total 1.29 1.03 1.27 1.13

Tabel IV. 42, dapat dibaca:

a) Untuk rata-rata ekslusifisme beragama skor standar deviasi terbesar adalah untuk responden yang berasal dari lembaga pendidikan informal-penelitian dan pengembangan yaitu sebesar 1,16. ini berarti terdapat perbedaan yang signifikans jawaban antara responden yang berada dalam lembaga pendidikan informal, dan lembaga penelitian dan pengembangan terhadap pernyataan-pernyataan yang bertujuan mengungkap

eksklusifisme beragama. Atau terdapat heterogenitas eksklusifisme beragama antara sesama responden yang bergabung dalam lembaga pendidikan informal, lembaga penelitian dan pengembangan.

b) Berdasarkan skor rata-rata eksklusifisme beragama diketahui bahwa skor terendah adalah sebesar 0,99 untuk responden yang bergabung dalam asosiasi profesi berbasis keagamaan. Ini artinya jawaban responden yang tergabung dalam asosiasi profesi berbasis keagamaan lebih homogen dibandingkan dengan responden-responden yang tergabung dalam lembaga yang lain.

c) Dilihat dari tiga dimensi eksklusifisme beragama, skor standar deviasi terbesar adalah 1,33 untuk responden yang bergabung dalam lembaga pendidikan informal dimensi teologi.

Pertanyaan berikutnya yang juga ingin diketahui jawabannya adalah: bagaimana cara beragama responden berdasarkan jabatan responden dalam organisasi. Untuk mengetahui jawabannya dapat dilihat dalam table IV.43, berikut ini.

TABEL IV.43. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN JABATAN RESPONDEN DALAM ORGANISASI

No Jabatan

Responden dalam Organisasi

Skor Rata-Rata Eksklusifisme beragama Rata-Rata

Skor Total Teologi

Sosial Keagama-

an

Sosial Politik

1. Ketua 2.57 2.14 2.73 2.56 2. Wakil 2.59 2.16 2.68 2.55

Page 136: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

118

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

3. Kepala Bagian Seksi

2.51 2.03 2.48 2.38

4. Pengurus Biasa 2.48 2.10 2.78 2.56 Total 2.55 2.13 2.69 2.53

Data sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.43, dapat dibaca sbb:

a) Secara keseluruhan skor rata-rata terbesar adalah untuk ketua yakni sebesar 2,56 dan skor terkecil adalah kepala bagian dengan skor 2,38. skor 2,56 dan 2,38, ini termasuk dalam kategori “kurang eksklusif” atau “inklusif”. Dapat dikatakan berdasarkan jabatan responden dalam organisasi, responden termasuk dalam kategori inklusif.

b) Dimensi Teologi

Skor terbesar adalah 2,59 untuk responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua lembaga, sedangkan skor terkecil sebesar 2,48 untuk responden yang berkedudukan sebagai pengurus biasa. Skor 2,59 dan 2,48, ini termasuk dalam rentang inklusif. Artinya responden berdasarkan lembaga di mana ia bergabung adalah inklusif,

Inferensi yang dapat diambil dari dua skor ini adalah bahwa untuk dimensi teologi responden yang berkedudukan sebagai pengurus biasa lebih inklusif dibandingkan dengan responden sebagai wakil ketua.

Jika dikaitkan dengan aspek-aspek yang berkenaan dengan teologi sosial keagamaan, seperti pembangunan rumah ibadah, kehadiran aktivitas dakwah, maka orang-

Page 137: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

119

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

3. Kepala Bagian Seksi

2.51 2.03 2.48 2.38

4. Pengurus Biasa 2.48 2.10 2.78 2.56 Total 2.55 2.13 2.69 2.53

Data sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.43, dapat dibaca sbb:

a) Secara keseluruhan skor rata-rata terbesar adalah untuk ketua yakni sebesar 2,56 dan skor terkecil adalah kepala bagian dengan skor 2,38. skor 2,56 dan 2,38, ini termasuk dalam kategori “kurang eksklusif” atau “inklusif”. Dapat dikatakan berdasarkan jabatan responden dalam organisasi, responden termasuk dalam kategori inklusif.

b) Dimensi Teologi

Skor terbesar adalah 2,59 untuk responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua lembaga, sedangkan skor terkecil sebesar 2,48 untuk responden yang berkedudukan sebagai pengurus biasa. Skor 2,59 dan 2,48, ini termasuk dalam rentang inklusif. Artinya responden berdasarkan lembaga di mana ia bergabung adalah inklusif,

Inferensi yang dapat diambil dari dua skor ini adalah bahwa untuk dimensi teologi responden yang berkedudukan sebagai pengurus biasa lebih inklusif dibandingkan dengan responden sebagai wakil ketua.

Jika dikaitkan dengan aspek-aspek yang berkenaan dengan teologi sosial keagamaan, seperti pembangunan rumah ibadah, kehadiran aktivitas dakwah, maka orang-

orang yang berkedudukan sebagai wakil ketua lebih kuat menolak, lebih tidak mendukung, adanya kegiatan pembangunan rumah ibadah, keberadaan aktivitas keagamaan yang berbeda dengan yang diyakni dibandingkan dengan responden yang berkedudukan sebagai pengurus biasa.

c) Dimensi Sosial keagamaan

Skor terbesar adalah untuk responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan yakni 2,23, skor ini berarti responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan kurang eksklusif atau dapat dikatakan inklusif. Sedangkan skor untuk sosial keagamaan yang terendah adalah untuk responden yang berasal dari asosiasi politik berbasis keagamaan sebesar 1,86. Skor ini berarti responden sikap keberagamaannya kurang eksklusif atau dapat disebut inklusif. Dapat juga dikatakan responden yang tergabung dalam asosiasi politik berbasis keagamaan dalam aktivitas sosial keagamaan seperti; menganjurkan umatnya membantu sesama, berderma, berbuat baik dengan sesama, serta dalam berinteraksi/berhubungan baik dengan yang seagama maupun yang berbeda agama lebih baik dibandingkan dengan responden yang berasal dari lembaga yang lain (Pendidikan Formal Keagamaan, Pendidikan informal/Penelitian/Pengembangan, Asosiasi Politik Berbasis Keagamaan dan Asosiasi Profesi Berbasis Keagamaan).

Page 138: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

120

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

d) Dimensi Sosial Politik

Sebagaimana sosial keagamaan, skor terbesar untuk dimensi sosial politik adalah responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua yakni 2,16, sedangkan skor terkecil sebesar 2,03 untuk responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian. Ini berarti responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua inklusivismenya lebih rendah dibandingkan dengan responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian.

Bagaimana sikap keberagamaan responden berdasarkan fungsi dalam organisasi, dapat dilihat dalam tabel IV. 44, di bawah ini.

TABEL IV. 44. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN FUNGSI RESPONDEN

No Fungsi Responden dalam Organisasi

Skor Eksklusifisme beragama Rata-Rata Skor Total Teologi

Sosial Keagam

aan

Sosial Politik

1. Penceramah 2.63 2.22 2.84 2.65 2. Guru_Dosen Agama 2.54 2.05 2.60 2.47 3. Konsultan Agama 2.41 1.96 2.16 2.17 4. Guru Umum 2.51 2.24 2.71 2.56

5. Kader Muda Organisasi 2.10 1.82 2.20 2.09

Total 2.55 2.13 2.69 2.53

Tabel IV. 44. di atas dapat dibaca:

a) Secara keseluruhan skor rata-rata terbesar adalah untuk responden yang berfungsi sebagai penceramah yakni

Page 139: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

121

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

d) Dimensi Sosial Politik

Sebagaimana sosial keagamaan, skor terbesar untuk dimensi sosial politik adalah responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua yakni 2,16, sedangkan skor terkecil sebesar 2,03 untuk responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian. Ini berarti responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua inklusivismenya lebih rendah dibandingkan dengan responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian.

Bagaimana sikap keberagamaan responden berdasarkan fungsi dalam organisasi, dapat dilihat dalam tabel IV. 44, di bawah ini.

TABEL IV. 44. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN FUNGSI RESPONDEN

No Fungsi Responden dalam Organisasi

Skor Eksklusifisme beragama Rata-Rata Skor Total Teologi

Sosial Keagam

aan

Sosial Politik

1. Penceramah 2.63 2.22 2.84 2.65 2. Guru_Dosen Agama 2.54 2.05 2.60 2.47 3. Konsultan Agama 2.41 1.96 2.16 2.17 4. Guru Umum 2.51 2.24 2.71 2.56

5. Kader Muda Organisasi 2.10 1.82 2.20 2.09

Total 2.55 2.13 2.69 2.53

Tabel IV. 44. di atas dapat dibaca:

a) Secara keseluruhan skor rata-rata terbesar adalah untuk responden yang berfungsi sebagai penceramah yakni

sebesar 2,65 dan skor terkecil adalah untuk kader muda organisasi dengan skor 2,09. Skor 2,65 berarti responden yang berfungsi sebagai penceramah termasuk dalam kategori eksklusif _inklusif. Sedangkan skor 2,09 berarti responden yang berfungsi sebagai kader muda termasuk dalam kategori inklusif.

b) Dimensi Teologi

Skor terbesar adalah 2,63 untuk responden yang berfungsi sebagai penceramah, dan skor terendah adalah 2,10, untuk responden yang berfungsi sebagai kader muda organisasi. Skor 2,63 termasuk dalam rentang eksklusif_inklusif. Artinya responden yang berfungsi sebagai penceramah termasuk dalam rentang eksklusif_inklusif. Skor 2,10 termasuk dalam rentang “kurang eksklusif” atau “inklusif”.

Jika dikaitkan dengan aspek-aspek yang berkenaan dengan teologi sosial keagamaan, seperti pembangunan rumah ibadah, kehadiran aktivitas dakwah, maka orang-orang yang berfungsi sebagai penceramah lebih kuat menolak, lebih tidak mendukung, adanya kegiatan pembangunan rumah ibadah, keberadaan aktivitas keagamaan yang berbeda dengan yang diyakni dibandingkan dengan responden yang berfungsi sebagai kader muda organisasi.

c) Dimensi Sosial keagamaan

Skor terbesar adalah untuk responden yang berfungsi sebagai penceramah yakni 2,22, skor ini berarti responden yang berfungsi sebagai peceramah kurang eksklusif atau

Page 140: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

122

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

dapat dikatakan inklusif. Sedangkan skor untuk sosial keagamaan yang terendah adalah untuk responden yang berfungsi sebagai kader muda organisasi sebesar 1,82. Skor 1,82 ini berarti responden yang berfungsi sebagai kader muda lebih inklusif dalam dimensi sosial keagamaannya.

Dapat juga dikatakan responden yang berfungsi sebagai penceramah dalam aktivitas sosial keagamaan seperti menganjurkan umatnya membantu sesama, berderma, berbuat baik dengan sesama, serta dalam berinteraksi/ berhubungan baik dengan yang seagama maupun yang berbeda agama lebih baik dibandingkan dengan responden yang berfungsi sebagai guru-dosen agama, konsultan agama, guru umum dan kader muda organisasi.

d) Dimensi Sosial Politik

Sebagaimana pada dimensi sosial keagamaan, skor terbesar untuk dimensi sosial politik adalah responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua yakni 2,16, sedangkan skor terkecil sebesar 2,03 untuk responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian. Ini berarti responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua inklusivismenya lebih rendah dibandingkan dengan responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian.

Bagaimana sikap keberagamaan responden berdasarkan jumlah masa dalam organisasi, dapat dilihat dalam tabel IV. 45, di bawah ini.

Page 141: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

123

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

dapat dikatakan inklusif. Sedangkan skor untuk sosial keagamaan yang terendah adalah untuk responden yang berfungsi sebagai kader muda organisasi sebesar 1,82. Skor 1,82 ini berarti responden yang berfungsi sebagai kader muda lebih inklusif dalam dimensi sosial keagamaannya.

Dapat juga dikatakan responden yang berfungsi sebagai penceramah dalam aktivitas sosial keagamaan seperti menganjurkan umatnya membantu sesama, berderma, berbuat baik dengan sesama, serta dalam berinteraksi/ berhubungan baik dengan yang seagama maupun yang berbeda agama lebih baik dibandingkan dengan responden yang berfungsi sebagai guru-dosen agama, konsultan agama, guru umum dan kader muda organisasi.

d) Dimensi Sosial Politik

Sebagaimana pada dimensi sosial keagamaan, skor terbesar untuk dimensi sosial politik adalah responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua yakni 2,16, sedangkan skor terkecil sebesar 2,03 untuk responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian. Ini berarti responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua inklusivismenya lebih rendah dibandingkan dengan responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian.

Bagaimana sikap keberagamaan responden berdasarkan jumlah masa dalam organisasi, dapat dilihat dalam tabel IV. 45, di bawah ini.

TABEL IV.45. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN JUMLAH MASSA

No Jumlah Massa “orang”

Skor Rata-Rata Eksklusifisme beragama Rata-Rata

Skor Total Teologi Sosial Keagamaan

Sosial Politik

1. 100 < 2.59 2.13 2.72 2.57 2. 100 ≤ s/d < 500 2.56 2.16 2.71 2.56 3. 500 ≤ s/d < 1000 2.33 1.92 2.40 2.28 4. 1000 ≤ s/d < 5000 2.60 2.21 2.82 2.63 5. 5000 ≤ s/d < 10000 2.99 2.29 3.12 2.91 6. 10000 ≤ s/d < 25000 2.43 2.16 2.61 2.47 7. 25000 ≤ s/d < 50000 3.34 2.25 2.25 2.49

≥ 50000 1.48 1.20 1.50 1.43 Total 2.55 2.13 2.69 2.53

TABEL IV.46. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN PROVINSI PENELITIAN

No Provinsi Penelitian

Skor Rata-Rata Eksklusifisme beragama Rata-Rata

Skor Total Teologi Sosial Keagamaan

Sosial Politik

1. Lampung 2.52 2.09 2.61 2.47 2. DKI Jakarta 2.91 2.17 3.16 2.88 3. Jawa Barat 3.14 2.60 3.34 3.13 4. Jawa Tengah 2.45 2.31 2.71 2.57 5. Jawa Timur 2.29 1.88 2.43 2.27 6. Bali 2.86 2.43 3.11 2.90 7. Nusa Tenggara Barat 2.29 2.00 2.37 2.27 8. Nusa Tenggara Timur 2.16 1.69 2.07 2.00 9. Kalimantan Barat 2.16 1.88 2.15 2.09 10. Sulawesi Tengah 2.45 1.99 2.44 2.34

Total 2.55 2.13 2.69 2.53

Page 142: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

124

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

Tabel IV. 46, dapat di baca:

1) Secara rata-rata total, skor untuk eksklusifisme beragama adalah 2,53. Skor ini berdasarkan pedoman penskoran tabel 4,13, kurang eksklusif, atau Inklusif. Dengan cara lain kita dapat mengatakan bahwa cara beragama masyarakat Indonesia adalah Inklusif.

2) Rata-rata sebesar terbesar adalah provinsi Jawa Barat, yakni 3,13, dan Bali yaitu 3,11. Skor ini berarti Jawa Barat dan Bali, adalah provinsi yang lebih eksklusif dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Sesuai dengan tabel IV.13, skor ini dapat dibaca eksklusif_inklusif.

3) Skor rata-rata terendah adalah NTT yakni 2,00. Skor ini artinya provinsi di Indonesia yang paling inklusif adalah NTT.

4) Jika dilihat dari dimensi eksklusifisme, dua provinsi dengan skor tertinggi adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat untuk dimensi Teologi, Jawa Barat dan Bali untuk dimensi sosial keagamaan, maupun dimensi sosial politik kegamaan. Sedangkan dua provinsi yang memiliki skor eksklusifisme terendah adalah NTT dan Kalimantan Barat, untuk ketiga dimensi eksklusifisme beragama.

Page 143: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

125

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

Tabel IV. 46, dapat di baca:

1) Secara rata-rata total, skor untuk eksklusifisme beragama adalah 2,53. Skor ini berdasarkan pedoman penskoran tabel 4,13, kurang eksklusif, atau Inklusif. Dengan cara lain kita dapat mengatakan bahwa cara beragama masyarakat Indonesia adalah Inklusif.

2) Rata-rata sebesar terbesar adalah provinsi Jawa Barat, yakni 3,13, dan Bali yaitu 3,11. Skor ini berarti Jawa Barat dan Bali, adalah provinsi yang lebih eksklusif dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Sesuai dengan tabel IV.13, skor ini dapat dibaca eksklusif_inklusif.

3) Skor rata-rata terendah adalah NTT yakni 2,00. Skor ini artinya provinsi di Indonesia yang paling inklusif adalah NTT.

4) Jika dilihat dari dimensi eksklusifisme, dua provinsi dengan skor tertinggi adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat untuk dimensi Teologi, Jawa Barat dan Bali untuk dimensi sosial keagamaan, maupun dimensi sosial politik kegamaan. Sedangkan dua provinsi yang memiliki skor eksklusifisme terendah adalah NTT dan Kalimantan Barat, untuk ketiga dimensi eksklusifisme beragama.

TABEL IV.47 SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN STATUS PERNIKAHAN RESPONDEN

No Status Pernikahan

Skor Rata-Rata Eksklusifisme beragama Rerata

Skor Total Teologi

Sosial Keagamaan

Sosial Politik

1. Belum Menikah 2.44 2.12 2.64 2.48 2. Tidak Menikah 2.70 2.29 2.66 2.58 3. Menikah 2.59 2.11 2.71 2.55

4. Bercerai Hidup/ Meninggal

2.65 2.06 2.52 2.45

Total 2.55 2.13 2.69 2.53

Tabel IV.47. dapat dibaca bahwa berdasarkan status pernikahan ternyata:

1) Untuk skor rata-rata total skor terbesar adalah untuk orang yang tidak menikah yakni 2,58.

2) Jika dilihat berdasarkan dimensi eksklusifisme beragama, ternyata skor terbesar juga terdapat pada orang yang tidak menikah, baik itu dimensi teologis, sosial keagamaan, maupun sosial politik keagamaan. Sedangkan untuk skor terendah terdapat keanekaragaman, di mana untuk dimensi teologi skor terendah adalah bagi orang yang belum menikah, untuk dimensi sosial keagamaan dan sosial politik keagamaan pada orang yang bercerai.

Page 144: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

126

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

Bagaimanakah eksklusifisme berdasarkan pekerjaan responden. Jawabannya dapat dilihat dalam tabel IV. 48, berikut ini.

TABEL IV.48. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN PEKERJAAN UTAMA

No Pekerjaan Utama

Skor Rata-Rata Eksklusifisme beragama Rerata

Skor Total Teologi Sosial Keagamaan

Sosial Politik

1. Pendidik 2.75 2.39 2.91 2.76 2. Layanan administrasi 2.38 1.99 2.54 2.38 3. Jasa angkutan 2.43 2.22 2.67 2.51 4. Jasa telekomunikasi 2.63 1.60 2.48 2.32 5. Jasa kesehatan 1.90 1.67 2.20 2.02 6. Jasa bangunan/konstruksi 2.15 2.38 3.01 2.67 7. Jasa layanan keagamaan 2.27 1.84 2.39 2.24 8. Jasa pengiriman–ekspedisi 1.00 1.25 1.35 1.25 9. Jasa hukum 2.15 1.85 2.48 2.27 10. Jasa konsultasi 2.17 1.65 2.25 2.10 11. Jasa kebersihan 3.06 2.19 2.90 2.78 12. Jasa elektronik 2.00 2.16 2.34 2.23 13. Pertanian_Perkebunan 2.50 1.65 1.78 1.91 14. Perdagangan 2.73 2.15 2.82 2.65 15. Lainnya 2.34 1.96 2.55 2.37 Total 2.50 2.11 2.67 2.51

Tabel IV. 48, di atas dapat dibaca:

1) Untuk rata-rata skor total, skor terbesar adalah responden yang tergabung dalam jasa kebersihan yakni 2,78. Sedangkan skor terendah adalah jasa pengiriman–ekspedisi sebesar 1,25. Skor 2.78 ini berarti termasuk dalam rentang sebutan “eksklusif” dan atau “inklusif”,

Page 145: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

127

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

Bagaimanakah eksklusifisme berdasarkan pekerjaan responden. Jawabannya dapat dilihat dalam tabel IV. 48, berikut ini.

TABEL IV.48. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN PEKERJAAN UTAMA

No Pekerjaan Utama

Skor Rata-Rata Eksklusifisme beragama Rerata

Skor Total Teologi Sosial Keagamaan

Sosial Politik

1. Pendidik 2.75 2.39 2.91 2.76 2. Layanan administrasi 2.38 1.99 2.54 2.38 3. Jasa angkutan 2.43 2.22 2.67 2.51 4. Jasa telekomunikasi 2.63 1.60 2.48 2.32 5. Jasa kesehatan 1.90 1.67 2.20 2.02 6. Jasa bangunan/konstruksi 2.15 2.38 3.01 2.67 7. Jasa layanan keagamaan 2.27 1.84 2.39 2.24 8. Jasa pengiriman–ekspedisi 1.00 1.25 1.35 1.25 9. Jasa hukum 2.15 1.85 2.48 2.27 10. Jasa konsultasi 2.17 1.65 2.25 2.10 11. Jasa kebersihan 3.06 2.19 2.90 2.78 12. Jasa elektronik 2.00 2.16 2.34 2.23 13. Pertanian_Perkebunan 2.50 1.65 1.78 1.91 14. Perdagangan 2.73 2.15 2.82 2.65 15. Lainnya 2.34 1.96 2.55 2.37 Total 2.50 2.11 2.67 2.51

Tabel IV. 48, di atas dapat dibaca:

1) Untuk rata-rata skor total, skor terbesar adalah responden yang tergabung dalam jasa kebersihan yakni 2,78. Sedangkan skor terendah adalah jasa pengiriman–ekspedisi sebesar 1,25. Skor 2.78 ini berarti termasuk dalam rentang sebutan “eksklusif” dan atau “inklusif”,

dan skor 1,25 termasuk dalam rentang sebutan :sangat tidak eksklusif” atau “sangat inklusif”

2) Berdasarkan dimensi eksklusifisme, skor terbesar untuk dimensi teologis adalah responden yang berasal dari jasa kebersihan yaitu sebesar 3,06, skor ini termasuk dalam rentang sebutan “eksklusif dan atau inklusif”, sedangkan skor terendah adalah untuk responden yang berasal dari jasa pengiriman –ekspedisi yaitu sebesar 1,00. skor ini termasuk dalam rentang sebutuan “sangat tidak eksklusif” atau “sangat inklusif”.

3) Berdasarkan dimensi eksklusifisme, skor terbesar untuk dimensi sosial keagamaan adalah responden yang berasal dari pendidikan dan jasa kesehatan, masing-masing 2,39 dan 2,38. Skor ini termasuk dalam rentang sebutan “inklusif”, sedangkan skor terendah adalah untuk responden yang berasal dari jasa pengiriman –ekspedisi yaitu sebesar 1,25. skor ini termasuk dalam rentang sebutuan “sangat tidak eksklusif” atau “sangat inklusif

4) Berdasarkan dimensi eksklusifisme, skor terbesar untuk dimensi sosial politik adalah responden yang berasal dari jasa bangunan konstruksi yaitu sebesar 3,01, skor ini termasuk dalam rentang sebutan “eksklusif dan atau inklusif”, sedangkan skor terendah adalah untuk responden yang berasal dari jasa pengiriman –ekspedisi yaitu sebesar 1,35. skor ini termasuk dalam rentang sebutuan “sangat tidak eksklusif” atau “sangat inklusif

Page 146: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

128

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

3. Pengujian Hipotesis:

Terdapat dua hipotesis penelitian yang ingin diuji kebenarannya. Hipotesis tersebut berbunyi:

1) Terdapat pengaruh pemahaman keagamaan (X) terhadap ekslusifisme beragama (Y), dan

2) Terdapat perbedaan ekslusifisme beragama antara pemuka agama di enam agama yang terdapat di Indonesia.

Untuk menjawab kedua hipotesis di atas, maka digunakan statistic inferensial yakni (a) regresi dan korelasi sederhana, serta (b) analisis varians satu arah.

a. Jawaban terhadap hipotesis pertama

Untuk mendapatkan jawaban terhadap pernyataan pertama di atas, maka dilakukan analisis regresi antara variable terikat eksklusifisme beragama (Y) dengan variable bebas keberagamaan (X), hasil analisis data diperoleh persaman regresi

Ŷ= 2,66 - 0,797X

Persamaan regresi di atas dapat dibaca, setiap kenaikan satu unit atau setiap kenaikan satu skor keberagamaan, maka akan menurunkan sikap eksklusifisme beragama sebesar 0,797, pada konstanta 2,66. Atau dapat juga dibaca, jika keberagamaan semakin baik, maka eksklusifisme beragama semakin berkurang, dan sebaliknya.

Harga koefisien korelasi antara keberagamaan (X) dengan eksklusifisme beragama (Y) sebesar (rxy) = 0,219.

Page 147: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

129

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

3. Pengujian Hipotesis:

Terdapat dua hipotesis penelitian yang ingin diuji kebenarannya. Hipotesis tersebut berbunyi:

1) Terdapat pengaruh pemahaman keagamaan (X) terhadap ekslusifisme beragama (Y), dan

2) Terdapat perbedaan ekslusifisme beragama antara pemuka agama di enam agama yang terdapat di Indonesia.

Untuk menjawab kedua hipotesis di atas, maka digunakan statistic inferensial yakni (a) regresi dan korelasi sederhana, serta (b) analisis varians satu arah.

a. Jawaban terhadap hipotesis pertama

Untuk mendapatkan jawaban terhadap pernyataan pertama di atas, maka dilakukan analisis regresi antara variable terikat eksklusifisme beragama (Y) dengan variable bebas keberagamaan (X), hasil analisis data diperoleh persaman regresi

Ŷ= 2,66 - 0,797X

Persamaan regresi di atas dapat dibaca, setiap kenaikan satu unit atau setiap kenaikan satu skor keberagamaan, maka akan menurunkan sikap eksklusifisme beragama sebesar 0,797, pada konstanta 2,66. Atau dapat juga dibaca, jika keberagamaan semakin baik, maka eksklusifisme beragama semakin berkurang, dan sebaliknya.

Harga koefisien korelasi antara keberagamaan (X) dengan eksklusifisme beragama (Y) sebesar (rxy) = 0,219.

Harga ini signifikans, karena harga signfikansi <0,05. Dari harga koefisien korelasi sebesar (rxy) 0,219, dapat diketahui harga koefisien determinasi r2xy sebesar 0,048. Atau dapat dikatakan 4,8% eksklusifisme beragama seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh keberagamaannya.

Jawaban sebagaimana telah diuraikan di atas dapat dilihat pada tabel IV.49. Demikian pula hasil analisis data tentang eksklusifisme beragama berdasarkan tingkat pemahaman keagamaan dapat dilihat dalam tabel IV.49. berikut ini.

TABEL IV.49. SKOR PEMAHAMAN KEAGAMAAN DAN MEAN SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA

No Skor Pemahaman

Keagamaan Mean Score

Eksklusif Std. Deviation

1 Rendah 3.29 1.06

2 Sedang 2.45 1.45

3 Tinggi 2.26 1.47

Total 3.26 1.33

Dari tabel di atas dapat dibaca, bahwa makin tinggi pemahaman keagamaan seseorang ternyata makin kurang eksklusifisme beragamanya (makin rendah skor eksklusifismenya), dan sebaliknya makin kurang pemahaman keagamaan seseorang maka makin eksklusif orang tersebut, hak ini dapat dilihat dari tabel di atas, responden yang memiliki skor pemahaman keagamaan terendah memiliki skor eksklusifisme sebesar 3,29, dan responden yang memiliki

Page 148: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

130

Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian

pemahaman keagamaan tinggi, ternyata memiliki skor eksklusifisme beragama yang rendah (2,26). sesuai dengan pedoman penskoran sebagaimana terdapat dalam tabel IV.13, skor 2,26 ini termasuk dalam rentang inklusif.

b. Jawaban terhadap hipotesis kedua

Pertanyaan yang juga ingin ditemukan jawabannya adalah “Adakah perbedaan eksklusifisme beragama antara pemuka yang memiliki pemahaman agama yang tinggi dengan yang memiliki pemahaman agama rendah?”

Untuk mengetahui jawabannya dapat dilihat dari tabel IV. 50, berikut ini.

TABEL IV.50. ANOVA SKOR TOTAL EKSKLUSIFISME BERAGAMA

Sum of Squares df Mean

Square F Sig.

Between Groups 16475.418 2 8237.709 5.081 .006

Within Groups 1115481.398 688 1621.339

Total 1131956.816 690

Tabel IV. 50, di atas menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 5,081 dan harga ini signifikans, karena Sig < 0.01. Tabel di atas dapat dibaca, terdapat perbedaan yang signifikan eksklusifisme beragama antar para pemuka agama yang memiliki pemahaman agama yang tinggi dengan yang memiliki pemahaman agama rendah pada keenam agama yang terdapat di Indonesia.

Page 149: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

131

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

pemahaman keagamaan tinggi, ternyata memiliki skor eksklusifisme beragama yang rendah (2,26). sesuai dengan pedoman penskoran sebagaimana terdapat dalam tabel IV.13, skor 2,26 ini termasuk dalam rentang inklusif.

b. Jawaban terhadap hipotesis kedua

Pertanyaan yang juga ingin ditemukan jawabannya adalah “Adakah perbedaan eksklusifisme beragama antara pemuka yang memiliki pemahaman agama yang tinggi dengan yang memiliki pemahaman agama rendah?”

Untuk mengetahui jawabannya dapat dilihat dari tabel IV. 50, berikut ini.

TABEL IV.50. ANOVA SKOR TOTAL EKSKLUSIFISME BERAGAMA

Sum of Squares df Mean

Square F Sig.

Between Groups 16475.418 2 8237.709 5.081 .006

Within Groups 1115481.398 688 1621.339

Total 1131956.816 690

Tabel IV. 50, di atas menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 5,081 dan harga ini signifikans, karena Sig < 0.01. Tabel di atas dapat dibaca, terdapat perbedaan yang signifikan eksklusifisme beragama antar para pemuka agama yang memiliki pemahaman agama yang tinggi dengan yang memiliki pemahaman agama rendah pada keenam agama yang terdapat di Indonesia.

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data kuantitatif yang terdapat dalam bab IV, maka dapat disimpulan sbb:

1. Keyakinan keagamaan para pemuka agama untuk semua agama berada pada rentang “sangat kuat”. Skor rata-rata 4,73, dari skor maksimal “5”.

Masyarakat Indonesia sebagaimana dicerminkan oleh para pemuka agama, adalah masyarakat yang sangat meyakini agama mereka masing-masing. Meskipun demikian terdapat perbedaan keyakinan keagamaan atau pengelompokkan keyakinan keagamaan di antara responden yang berbeda agama.

2. Umat Islam adalah umat yang paling kuat keyakinan keagamaannya dibandingkan dengan umat-umat lain, atau dengan perkataan lain umat Islam adalah umat yang dalam kehidupan keseharian mereka, sangat meyakini bahwa:

a) Kitab suci mereka (Al Qur’an) sebagai pedoman dan petunjuk dalam kehidupan keseharian,

b) Dalam kehidupan keseharian sangat membutuhkan pedoman/petunjuk agama (hidayah),

Page 150: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

132

Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi

c) Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Setiap manusia hanya berusaha tetapi keputusan/ ketetapan akan hasil dari usahanya semata-mata oleh karena Allah,

d) Kekuatan do’a, dan hanya do’alah yang dapat merubah takdir Allah, sehingga oleh karena itu meyakini bahwa setiap aktivitas harus dimulai dengan do’a, dan

e) Hidup akan hampa (akan kehilangan arti) jika jauh dari Tuhan.

3. Umat Islam adalah umat yang dalam kehidupan keseharian mereka selalu:

a) Menjadikan kitab suci sebagai pedoman hidup sesuai dengan perintah/tuntutan agama (membaca/resitasi)

b) Menjalankan kewajiban atau perintah ajaran agama dalam kehidupan sehari–hari (pelaksanaan ibadat)

c) Merenung/berdoa kepada tuhan,

d) Setiap kali selesai melakukan kesalahan, saya selalu menyesali atau merasakan berdosa segala atas segala tindakan saya,

e) Merenungi kesalahan/dosa pada tuhan (melakukan pertobatan/tazkiyah/muhasabah/retreatment),

f) Berdoa sendiri sesuai tuntunan ajaran agama

4. Umat yang terendah instensitas pelaksanaan ritual keagamaannya adalah umat Konghucu.

5. Umat Islam dan umat Budha, adalah umat yang memiliki pengalaman sosial keagamaan yang paling kuat,

Page 151: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

133

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

c) Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Setiap manusia hanya berusaha tetapi keputusan/ ketetapan akan hasil dari usahanya semata-mata oleh karena Allah,

d) Kekuatan do’a, dan hanya do’alah yang dapat merubah takdir Allah, sehingga oleh karena itu meyakini bahwa setiap aktivitas harus dimulai dengan do’a, dan

e) Hidup akan hampa (akan kehilangan arti) jika jauh dari Tuhan.

3. Umat Islam adalah umat yang dalam kehidupan keseharian mereka selalu:

a) Menjadikan kitab suci sebagai pedoman hidup sesuai dengan perintah/tuntutan agama (membaca/resitasi)

b) Menjalankan kewajiban atau perintah ajaran agama dalam kehidupan sehari–hari (pelaksanaan ibadat)

c) Merenung/berdoa kepada tuhan,

d) Setiap kali selesai melakukan kesalahan, saya selalu menyesali atau merasakan berdosa segala atas segala tindakan saya,

e) Merenungi kesalahan/dosa pada tuhan (melakukan pertobatan/tazkiyah/muhasabah/retreatment),

f) Berdoa sendiri sesuai tuntunan ajaran agama

4. Umat yang terendah instensitas pelaksanaan ritual keagamaannya adalah umat Konghucu.

5. Umat Islam dan umat Budha, adalah umat yang memiliki pengalaman sosial keagamaan yang paling kuat,

dibandingkan dengan umat agama lain. Sedangkan umat agama Konghucu, adalah umat yang memiliki pengalaman sosial keagamaan yang paling kecil.

Skor ini mengindikasikan bahwa umat Islam dan umat Budha adalah umat yang dalam aktivitas sosial atau pengalaman sosial keagamaan cenderung paling kuat atau paling intens dalam:

a) Membantu orang lain tanpa melihat/memiih agama yang dianut orang tersebut,

b) Menyerahkan sebagian penghasilan demi kepentingan agama,

c) Berbuat kebaikan kepada orang lain, karena keberkahan hidup seseorang sangat ditentukan oleh kebaikannya kepada orang lain di dunia ini

d) Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti/ menghina/orang yang berbeda pemahaman keagamaan (SEAGAMA)

e) Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti/menghina umat yang berbeda agama.

6. Tidak terdapat perbedaan pengalaman sosial keagamaan antar responden yang berbeda agama. Dengan perkataan lain apapun agamanya mereka memiliki pengalaman sosial keagamaan yang sama.

7. Umat Hindu dan umat Islam adalah yang terkuat dalam melaksanakan semua konsekuensi hidup beragama, dibandingkan dengan umat agama lain. Sebaliknya umat Katolik, adalah umat yang paling rendah pelaksanaan

Page 152: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

134

Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi

konsekuensi hidup beragamanya dibandingkan dengan umat agama lain.

Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dan Islam adalah umat yang frekuensi atau intensitas tinggi (kuat) dalam hal:

a) Mengikuti kegiatan dalam membangun semangat persaudaraan jemaat seagama/ seiman,

b) Menghadiri kegiatan keagamaan meskipun tempatnya jauh dari rumah,

c) Mengikuti progam bimbingan keagamaan (pengajian/ pembinaan rohani),

d) Menyumbang (dana) untuk kegiatan agama yang diadakan di tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara) agama saya

e) Mengikuti bimbingan keagamaan untuk meningkatkan keimanan,

f) Mengikuti ritual suci selain ibadah rutin (sembahyang/ kebaktian mingguan/puja trisandhya/namaskara) di tempat ibadah,

g) Menyerahkan/menyalurkan sebagian penghasilan demi kepentingan agama sesuai aturan agama,

h) Melakukan perenungan diri (seperti tafakur/semedi/ kontemplasi/meditasi),

i) Mengikuti progam bimbingan keagamaan (seperti ceramah agama/ pem binaan rohani) melalui acara radio

8. Terdapat pengaruh faktor-faktor; (1) provinsi domisili, (2) jenis kelamin, (3) status pernikahan, (4) status

Page 153: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

135

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

konsekuensi hidup beragamanya dibandingkan dengan umat agama lain.

Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dan Islam adalah umat yang frekuensi atau intensitas tinggi (kuat) dalam hal:

a) Mengikuti kegiatan dalam membangun semangat persaudaraan jemaat seagama/ seiman,

b) Menghadiri kegiatan keagamaan meskipun tempatnya jauh dari rumah,

c) Mengikuti progam bimbingan keagamaan (pengajian/ pembinaan rohani),

d) Menyumbang (dana) untuk kegiatan agama yang diadakan di tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara) agama saya

e) Mengikuti bimbingan keagamaan untuk meningkatkan keimanan,

f) Mengikuti ritual suci selain ibadah rutin (sembahyang/ kebaktian mingguan/puja trisandhya/namaskara) di tempat ibadah,

g) Menyerahkan/menyalurkan sebagian penghasilan demi kepentingan agama sesuai aturan agama,

h) Melakukan perenungan diri (seperti tafakur/semedi/ kontemplasi/meditasi),

i) Mengikuti progam bimbingan keagamaan (seperti ceramah agama/ pem binaan rohani) melalui acara radio

8. Terdapat pengaruh faktor-faktor; (1) provinsi domisili, (2) jenis kelamin, (3) status pernikahan, (4) status

kependudukan, (5) saat memeluk agama, (6) pernah mengikuti kursus agama yang dianut, (7) keberadaan keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat tinggal, terhadap keberagamaan seseorang.

9. Penduduk asli lebih intensif dan lebih kuat dibandingkan dengan pendatang dalam hal: menjadikan kitab suci sebagai rujukan, melaksanaan perintah ajaran agama, frekuensi berdo’a, melakukan berbagai aktivitas sosial, membantu sesama, berderma, berbuat baik dengan sesama, dan lebih baik dalam berinteraksi/berhubungan baik dengan yang seagama maupun yang berbeda agama, serta membangun semangat persaudaraan.

10. Penduduk pendatang lebih baik dibandingkan penduduk asli dalam hal; keyakinan agamanya, keyakinan akan pencipta dan pengatur alam semesta, dan keyakinan akan keselamatan dunia dan akhirat.

11. Keberagamaan seseorang akan lebih baik (lebih kuat), jika itu dimulai sejak lahir atau minimal sejak kecil, dibandingkan dengan kalau ia menentukan agamanya ketika kuliah atau sejak menikah.

Keberagamaan seseorang akan semakin baik (kuat) jika ia pernah mempelajari (mengkaji) agamanya, dibandingkan dengan jika ia tidak pernah mempelajari (mengkaji) agamanya (4,26 > 4,10).

12. Lingkungan tempat tinggal mempengaruhi keberagamaan seseorang, makin heterogen atau semakin banyak keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat tinggal seseorang, maka makin rendah skor

Page 154: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

136

Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi

keberagamaannya, atau katakanlah lebih moderat. Sebaliknya, semakin homogen lingkungan agama seseorang, maka semakin kuat skor keberagamaannya.

Seseorang yang tinggal dekat dengan tempat ibadah agama sendiri memiliki skor keberagamaan yang lebih besar (kuat) dibandingkan dengan seseorang yang tinggal jauh dari tempat ibadahnya. Sebaliknya seseorang yang tinggal dekat tempat ibadah agama lain, memiliki skor keberagamaan yang rendah dibandingkan dengan seseorang yang tempat tinggalnya jauh dari rumah ibadah agama lain.

13. Umat Hindu dibandingkan dengan responden agama lain (Islam, Katolik, Protestan, Buddha dan Konghucu), adalah umat yang lebih eksklusif terutama dalam konteks teologi sosial keagamaan.

14. Secara keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi) sikap keberagamaan masyarakat Indonesia “kurang eksklusifisme” atau “inklusif” dalam konteks teologi social keagamaan.

15. Tidak terdapat perbedaan sikap eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik di antara para pemuka agama. Meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata lebih besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden agama lain, akan tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak signifikan.

Faktor-faktor (1) organisasi tempat bergabung, (2) jabatan dalam organisasi, (3) fungsi dalam organisasi, (4) jumlah massa dalam organisasi, (5) status pernikahan, (6) status

Page 155: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

137

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

keberagamaannya, atau katakanlah lebih moderat. Sebaliknya, semakin homogen lingkungan agama seseorang, maka semakin kuat skor keberagamaannya.

Seseorang yang tinggal dekat dengan tempat ibadah agama sendiri memiliki skor keberagamaan yang lebih besar (kuat) dibandingkan dengan seseorang yang tinggal jauh dari tempat ibadahnya. Sebaliknya seseorang yang tinggal dekat tempat ibadah agama lain, memiliki skor keberagamaan yang rendah dibandingkan dengan seseorang yang tempat tinggalnya jauh dari rumah ibadah agama lain.

13. Umat Hindu dibandingkan dengan responden agama lain (Islam, Katolik, Protestan, Buddha dan Konghucu), adalah umat yang lebih eksklusif terutama dalam konteks teologi sosial keagamaan.

14. Secara keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi) sikap keberagamaan masyarakat Indonesia “kurang eksklusifisme” atau “inklusif” dalam konteks teologi social keagamaan.

15. Tidak terdapat perbedaan sikap eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik di antara para pemuka agama. Meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata lebih besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden agama lain, akan tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak signifikan.

Faktor-faktor (1) organisasi tempat bergabung, (2) jabatan dalam organisasi, (3) fungsi dalam organisasi, (4) jumlah massa dalam organisasi, (5) status pernikahan, (6) status

pekerjaan, serta (7) provinsi mempengaruhi sikap keberagamaan seseorang

16. Terdapat pengaruh pemahaman keagamaan terhadap ekslusifisme beragama para pemuka agama Indonesia. Melalui persamaan regresi Ŷ= 2,66 - 0,797X

17. Harga koefisien korelasi sebesar (rxy) 0,219, dan dari sini dapat diketahui harga koefisien determinasi r2xy sebesar 0,048. Atau dapat dikatakan 4,8% eksklusifisme beragama seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh pemahaman keberagamaannya.

Makin tinggi pemahaman keagamaan seseorang ternyata makin kurang eksklusifisme beragamanya (makin rendah skor eksklusifismenya), dan sebaliknya makin kurang pemahaman keagamaan seseorang maka makin eksklusif orang tersebut.

B. Rekomendasi

Dengan temuan-temuan penelitian sebagaimana dipaparkan di atas, khususnya kecenderungan keyakinan keagamaan yang kuat, pemahaman keagamaan yang relatif tinggi, dan sikap beragama yang inklusif, maka agar modal dasar agama ini dapat berdaya guna dan berhasil guna, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, perlu:

1. Melakukan kerjasama yang lebih intensif, terstruktur dengan berbagai majelis agama untuk terus meningkatkan pemahaman keagamaan masyarakat, dalam rangka memajukan semangat keagamaan yang inklusif melalui berbagai jenis program yang utamanya dirancang guna menemukan dan mempraktikkan nilai-nilai keagamaan

Page 156: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

138

Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi

dan persaudaraan universal. Di antara program yang dapat didorong adalah silaturahmi/safari kerukunan umat beragama hingga ke tingkat kabupaten atau kota, dan kecamatan;

2. Mendukung berbagai program lembaga/ormas agama yang bertujuan meningkatkan pemahaman agama jamaahnya dalam kerangka membangun semangat keagamaan inklusif dan penghormatan atas pluralitas, mengantisipasi serta menyelesaikan permasalahan keagamaan yang timbul, baik di dalam jemaahnya sendiri maupun di tengah masyarakat. Upaya peningkatan pemahaman tersebut dapat dilakukan antara lain dalam bentuk kerjasama program di antara lembaga/ormas berbeda agama; maksimalisasi fungsi organisasi seperti FKUB; dan pemanfaatan nilai-nilai kearifan lokal.

3. Melakukan berbagai kegiatan dan program internal Kementerian Agama dan program antar Kementerian/ lembaga lain (Kemendagri, Kemensosial, Kemenhukum dan Komnas HAM) yang bertujuan peningkatan semangat keberagamaan masyarakat yang inklusif dan mengurangi ekslusifisme. Program yang dapat dipertimbangkan di antaranya perbaikan kurikulum dan materi pendidikan agama yang menekankan pada pendidikan karakter dan etika sosial berbasis nilai-nilai universal agama; peningkatan wawasan dan mutu tenaga pendidik agama; peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap potensi konflik yang bersumber dari ekslusifisme beragama; serta memajukan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat melalui jalur agama.

Page 157: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

139

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Arifin. H. M. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: PT. Golden Teravon Press. 1998.

Arkoun, M. Islam. Al-Akhlak Wa Al-Siyasah, terjemah, Hasyim Saleh. Beirut: 1978.

Ary, Donald. L, Ch, Yacobs and Asghar Razavich, Introduction to Research in Education. Sydney: Halt Rinehalt and Winston, 1979.

Asry, Yusuf Asry et.al. 2010. Pengaruh budaya dan nilai-nilai keagamaan terhadap kerjasama antarumat beragama di Indonesia. Puslitbang Kehidupan Beragama. Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.

Alvin Plantiga

Azwar, Saifuddin Azwar. Tes Prestasi. 1987.Yogyakarta: Liberty.

Beuken, Wim dan Kuschel, Karl-Josef et.al. Agama Sebagai Sumber Kekerasan Terjemahan. Imam Baehaqi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

Berger, Peter L. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES. 1993.

Hick, John. The Religions Are Equally Valid To The Some Thrugh. Son deego, Grenhoven. Inc. 1995.

Harwood, Jhon. God And Universe of Faiths. Oxford: One Warld Publications. 2004.

dan persaudaraan universal. Di antara program yang dapat didorong adalah silaturahmi/safari kerukunan umat beragama hingga ke tingkat kabupaten atau kota, dan kecamatan;

2. Mendukung berbagai program lembaga/ormas agama yang bertujuan meningkatkan pemahaman agama jamaahnya dalam kerangka membangun semangat keagamaan inklusif dan penghormatan atas pluralitas, mengantisipasi serta menyelesaikan permasalahan keagamaan yang timbul, baik di dalam jemaahnya sendiri maupun di tengah masyarakat. Upaya peningkatan pemahaman tersebut dapat dilakukan antara lain dalam bentuk kerjasama program di antara lembaga/ormas berbeda agama; maksimalisasi fungsi organisasi seperti FKUB; dan pemanfaatan nilai-nilai kearifan lokal.

3. Melakukan berbagai kegiatan dan program internal Kementerian Agama dan program antar Kementerian/ lembaga lain (Kemendagri, Kemensosial, Kemenhukum dan Komnas HAM) yang bertujuan peningkatan semangat keberagamaan masyarakat yang inklusif dan mengurangi ekslusifisme. Program yang dapat dipertimbangkan di antaranya perbaikan kurikulum dan materi pendidikan agama yang menekankan pada pendidikan karakter dan etika sosial berbasis nilai-nilai universal agama; peningkatan wawasan dan mutu tenaga pendidik agama; peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap potensi konflik yang bersumber dari ekslusifisme beragama; serta memajukan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat melalui jalur agama.

Page 158: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

140

Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi

Hendropuspito. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

John Dewey, How We Think , 1933, p

Kustini. Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia, Departemen Agama RI. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2006.

Nasir, Ridlwan Nasir. 2010. Agama Sebagai Sumber Konflik Atau Harmoni Sosial.

Nasution, Harun Nasution. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press. 1984.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014.

Poerwadarminta WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta PN Balai Pustaka. 1976.

Rahman, Fazhur Rahman. Islam, terjemahan, Ahsin. Bandung: Penerbit Pustaka. 1984.

Rahman, Munawar Budhi Islam Plural: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman Jakarta: Paramadina. 2001.

Rahner, Karl. Christianity and the non-Christian Religion” dalam Carl & Breaten dan Robert W Jenson.

Riyanto, Armada. Membongkar Eksklusivisme Hidup Beragama” Malang: DIOMA-STFT Widyasasana. 2000.

Roland Robertson

Syaukani. Syaukani. 2009. Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama dan

Page 159: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG …simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panangan pemuka ag… · Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi

141

Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahassiwa Berbeda Agama. Puslitbang Kehidupan Beragama. Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.

Tolhah, Imam, Mursyid Ali, dan M. Zainuddin Daulay, (edit). 2002. Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia. Puslitbang Kehidupan Beragama. Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.

Wiratima, J.B. Bana SJ. Bersama saudara-saudari Beriman. Sains Perspektip gereja Katolik, dalam Seri Dian 1 tahun 1 Dialog: Kritik dan identitas agama. Yogyakarta: Dian/Anter Fidei. 1993.

W,J.S. Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta PN Balai Pustaka.

------------ 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.