pajak penghasilan pasl 21. 22, 24, 25 dan 26
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PPH PASAL 21
Seperti yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang
berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar
Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya
perubahan itu, tatacara penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan.
Perubahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau
pemegang kas pemerintah, yang membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam
bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan; dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan
badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari
tua atau jaminan hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran
lain dengan kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan
pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan,
orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang
membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada
Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan
menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun
berkala; PPh pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh
pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak
merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak
teratur, dan peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang
menarik dana pensiun. Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh
perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun
berkala dibedakan menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan
yang rutin dilakukan setiap bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan
setiap masa pajak Desember (atau masa pajak dimana pegawai berhenti bekerja).
Misal, Tuan Sule pegawai pada perusahaan PT Opera Van Java, menikah tanpa
anak, memperoleh gaji sebulan Rp. 10.000.000,00. PT Opera Van Java mengikuti
program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan
Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan
0,30% dari gaji. PT Opera Van Java menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap
bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Tuan Sule membayar iuran Jaminan Hari
Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Opera Van Java juga
mengikuti program pensiun untuk pegawainya.
PT Opera Van Java membayar iuran pensiun untuk Tuan Sule ke dana pensiun,
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar
Rp. 300.000,00, sedangkan Tuan Sule membayar iuran pensiun sebesar Rp.
200.000,00.
Perhatikan, perhitungan untuk mengetahui berapa besarnya pajak (penghasilan)
yang harus dipotong PT Opera Van Java untuk satu bulannya.
Gaji sebulan 10.000.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 50.000
Premi Jaminan Kematian 30.000
Jumlah
Penghasilan Bruto
10.080.000
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan 500.000
2. Iuran Pensiun 200.000
3. Iuran Jaminan Hari Tua 200.000
Jumlah Pengurangan 900.000
Penghasilan Neto Sebulan 9.180.000
Penghasilan Neto Setahun 110.160.000
PTKP
- Diri WP Sendiri 24.300.000
- Status Kawin 2.025.000
Jumlah PTKP 26.325.000
Penghasilan Kena Pajak Setahun 83.835.000
Pembulatan 83.835.000
PPh Pasal 21 Setahun (5%, 15%) 7.575.250
PPh Pasal 21 Sebulan (dibagi 12) 631.271
Langkah pertama kita menjumlahkan penghasilan bruto. Penghasilan bruto
ini adalah seluruh penghasilan yang diterima oleh karyawan atau pegawai secara
teratur dalam sebulannya. Yang termasuk dalam penghasilan bruto ini misalnya
adalah gaji, tunjangan-tunjangan, uang lembur dan premi asuransi yang
ditanggung oleh perusahaan. Tidak termasuk dalam penghasilan bruto adalah
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan. Dalam contoh di atas penghasilan
bruto yang menjadi objek PPh Pasal 21 adalah gaji, premi jaminan kecelakaan
kerja (5% dari gaji) dan premi jaminan kematian (0,3% dari gaji) yang dibayar
atau ditanggung perusahaan.
Langkah berikutnya kita hitung pengurang yang diperbolehkan yaitu pada
dasarnya ada dua macam yaitu biaya jabatan dan iuran pensiun (termsuk iuran
jaminan hari tua). Biaya jabatan sendiri besarnya 5% dari penghasilan bruto 5% x
Rp10.080.000,00 atau sama dengan Rp504.000,00. Jumlah ini masih di atas
maksimum yang diperkenankan yaitu sebesar Rp500.000,00 per bulan sehingga
biaya jabatan adalah sebesar Rp500.000,00.
Pengurang lainnya adalah iuran pensiun dan iuran JHT yang masing-
masing Rp200.000,00 dan Rp200.000,00 (2% dari gaji) per bulan. Iuran pensiun
dan iuran JHT yang dibayar atau ditanggung oleh perusahaan tidak dapat
dikurangkan. Dengan demikian, jumlah seluruh pengurang adalah Rp900.000,00.
Penghasilan bruto Rp10.080.000,00 dikurangi pengurang Rp900.000 sama
dengan Rp9.180.000,00. Jumlah inilah yang dimaksud dengan penghasilan neto
sebulan. Selanjutnya penghasilan neto sebulan ini kita buat setahun dengan cara
penghasilan neto sebulan dikali 12 bulan atau Rp9.180.000 x 12 =
Rp110.160.000,00.
Setelah itu barulah kita kurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) yang berlaku pada tahun 2013 yang dalam hal ini jumlahnya adalah
Rp26.325.000,00. Selisihnya inilah yang merupakan Penghasilan Kena Pajak
(Rp83.835.000,00).
Pajak Penghasilan terutang adalah tarif pajak (berdasarkan tarif Pasal 17 UU
Pajak Penghasilan) dikalikan Penghasilan Kena Pajak. Besarnya adalah 5% x
Rp50.000.000,00 + 15% x (Rp83.835.000,00 – Rp50.000.000,00) =
Rp7.575.250,00.
Karena kita menghitung PPh Pasal 21 untuk satu bulan, maka PPh Pasal
21 terutang di atas tinggal dibagi 12 sehingga pajak yang dipotong oleh PT Opera
Van Java atas penghasilannya Tuan Sule adalah Rp7.575.250 : 12 =
Rp631.271,00.
PPH PASAL 22
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
1. Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah
dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas
penyerahan barang;
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
3. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor
barang;
2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah
Pusat/Daerah yang melakukan pembayaran, atas pembelian barang;
3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang
bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD),
kecuali badan-badan tersebut pada angka 4;
4. Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan
Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT.
Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT.
Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan
pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun dari
non APBN;
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok,
industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam
negeri;
6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas
penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari
pedagang pengumpul.
8. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
Tarif PPh Pasal 22
1. Atas impor :
a. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua
setengah persen) dari nilai impor;
b. yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari
nilai impor;
c. yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual
lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4)
sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk
PPN dan tidak final.
3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 5) ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
a. Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
b. Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
c. Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
d. Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
Catatan:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain
penyalur/agen bersifat tidak final
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari
pedagang pengumpul (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7)
ditetapkan sebesar 2,5 % dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang
menggunakan API sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a sebesar
0,5% (setengah persen) dari nilai impor.
7. Atas Penjualan
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari
Rp20.000.000.000,00
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari
Rp10.000.000.000,00
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga
pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan
lebih dari 500 m2.
d. Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas
bangunan lebih dari 400 m2.
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari
10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi
purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual
lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan
kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual
tidak termasuk PPN dan PPnBM.
8. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh
Pasal 22
Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan
Surat Keterangan Bebas (SKB).
2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
3. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya
yang jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air
minum/PDAM, benda-benda pos.
6. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan
dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara.
8. Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang
yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian
yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau
dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat
penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
2. Atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3,
dan 4 ) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
4. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang
(Delivery Order);
5. Atas pembelian bahan-bahan (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
1. PPh Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 1) disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran
Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang
dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau
bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu)
hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau
dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi saat penyelesaian
dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat
tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal
22 butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak
rekanan ke bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan
bukti pungutan rangkap tiga, yaitu :
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor
Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan
dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah
masa pajak berakhir.
4. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal
22 butir 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak
penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling
lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
5. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal
22 butir 4 ) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak
penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP
dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari
setelah masa pajak berakhir.
6. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek
PPh Pasal 22 butir 5, dan 7 ) dan hasil penjualan barang sangat mewah
(Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut
atas nama wajib pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat
tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan
formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat
20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
7. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek
PPh Pasal 22 butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor
Pos paling lama tanggal 10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22
rangkap 3 yaitu:
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor
Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat
paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
PPH PASAL 23
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan
yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain
yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23
1. Pemotong PPh Pasal 23:
a. badan pemerintah;
b. Subjek Pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggaraan kegiatan;
d. bentuk usaha tetap (BUT);
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
a. WP dalam negeri;
b. BUT
Tarif dan Objek PPh Pasal 23
1. 15% dari jumlah bruto atas:
a. dividen kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi
dikenakan final, bunga, dan royalti;
b. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
2. 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi dan jasa konsultan.
4. 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya, yaitu:
a. Jasa penilai;
b. Jasa Aktuaris;
c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d. Jasa perancang;
e. Jasa pengeboran di bidang migas kecuali yang dilakukan oleh
BUT;
f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan
selain migas;
h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
i. Jasa penebangan hutan
j. Jasa pengolahan limbah
k. Jasa penyedia tenaga kerja
l. Jasa perantara dan/atau keagenan;
m. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang
dilakukan KSEI dan KPEI;
n. Jasa kustodian/penyimpanan-/penitipan, kecuali yang dilakukan
oleh KSEI;
o. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
p. Jasa mixing film;
q. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan,
pemeliharaan dan perbaikan;
r. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air,
gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai
izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
s. Jasa perawatan / pemeliharaan / pemeliharaan mesin, peralatan,
listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi
t. Jasa maklon
u. Jasa penyelidikan dan keamanan;
v. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
w. Jasa pengepakan;
x. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media
luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
y. Jasa pembasmian hama;
z. Jasa kebersihan atau cleaning service;
aa. Jasa katering atau tata boga.
5. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% ebih tinggi dari tarif PPh
Pasal 23
6. Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan
yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, tidak termasuk:
a. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
diabayarkan oleh WP penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja
yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna
jasa;
b. Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material
(dibuktikan dengan faktur pembelian);
c. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk
selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga(dibuktikan dengan
faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis);
d. Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian
pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh
pihak kedua kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan
atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga).
Jumlah bruto tersebut tidak berlaku:
e. Atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa
katering;
f. Dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa,
telah dikenakan pajak yang bersifat final;
Penghitungan PPh Pasal 23 terutang menggunakan jumlah bruto tidak
termasuk PPN
Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 23:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi;
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
b. bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% ( dua puluh
lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
c. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang
unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
d. SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
e. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas
jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau
pembiayaan.
Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23
1. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran,
disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh
bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
3. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling
lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 23
bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Bukti Pemotong PPh Pasal 23
Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada
Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.
PPH PASAL 24
• Pajak Penghasilan Pasal 24.
- Merupakan besarnya pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap penghasilan WPDN
- Pajak terhutang WPDN bersumber dari seluruh penghasilan ( penghasilan
DN dan LN)
• Penggabungan Penghasilan luar negeri.
- Penghasilan usaha : diakui pada saat diperolehnya penghasilan tersebut
(acrrual basis)
- Penghasilan diluar usaha : diakui pada saat diterimanya penghasilan
tersebut (Cash Basis)
- Penghasilan dividen yang diperjualbelikan di Bursa Efek diakui pada saat
ditetapkannya oleh Keputusan Menteri Keuangan
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
PT.Serba Usaha menerima dan memperoleh penghasilan neto dari
luar negeri dalam tahun 2009 sebagai berikut :
1. Hasil usaha di negeri Jerman dalam tahun 2009 sebesar
Rp.700.000.000 è sebagai penghasilan tahun 2009 (accrual basis)
2. Dividen dari Belanda untuk kepemilikan sahamn di”ABX Corp”
sebesar Rp.500.000.000 yaitu berasal dari keuntungan tahun 2007
yang ditetetapkan RUPS tahun 2008 dan dibayarkan tahun 2009è
sebagai penghasilan tahun 2009 (cash basis)
3. Penghasilan Bunga semester II tahun 2009 sebesar Rp.350.000.000
dari Bankok Bank di Thailand, bunga tersebut baru akan dibayar
awal Januari 2010è sebagai penghasilan tahun 2010 (cash basis)
4. Dividen dari Inggris atas kepemilikan saham di”DEF Corp” yang
diperjual belikan di Bursa Efek sebesar Rp.600.000.000 yaitu
berasal dari keuntungan tahun 2007 berdasarkan keputusan
Menteri Keuangan tahun 2009 è sebagai penghasilan tahun 2009
(Kep. Menkeu)
5.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Batas Maksimum Kredit Pajak adalah nilai yang terendah dari unsur 3
perhitungan berikut :
1. Jumlah pajak yang terhutang/dibayar diluar negeri
2. Jumlah pajak yang terhutang untuk seluruh penghasilan
3. (Penghasilan luar negeri : Seluruh Penghasilan Kena Pajak) X PPh
terhutang atas seluruh penghasilan (tarif pasal 17 UU PPh)
Ilustrasi-1
PT.Cemara memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2009 sebagai
berikut :
1. Penghasilan luar negeri Rp.500.000.000 dengan tarif pajak 40%
2. Penghasilan usaha di Indonesia Rp.750.000.000,-
Besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah Rp.1.250.000.000,--
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Penghitungan Kredit Pajak Yang Diperbolehkan (PPh Pasal 24 )
1. PPh dibayar diluar negeri :
40% X Rp.500.000.000 = Rp.200.000.000,-
2. PPh terhutang sesuai tarif psl 17 :
28% X Rp.1.250.000.000 = Rp.350.000.000,-
3. PPh berdasarkan perbandingan :
500.000.000 : 1.250.000.000 X Rp.350.000.000,- = Rp.140.000.000
Besarnya kredit pajak (psl 24) adalah Rp.140.000.000,--
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Dalam hal penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka
besarnya batas maksimum kredit pajak dihitung untuk masing-masing negara (per
country limitation).
Ilustrasi-2
PT.Dianawati memperoleh penghasilan dalam tahun 2009 sbb :
1. Negara A, memperoleh penghasilan Rp.400.000.000,--
dengan tarif pajak 20%.
2. Negara B, memperoleh penghasilan Rp.500.000.000,--
dengan tarif pajak 15%
3. Penghasilan usaha di Indonesia Rp.350.000.000,--
Penghitungan Kredit Pajak Yang Diperbolehkan (PPh Pasal 24 ) :
a. Penghasilan kena pajakRp.1.250.000.000,--
b. PPh terhutang (sesuai tarif pasal 17)
28% X Rp.1.250.000.000 Rp.350.000.000,--
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
c. Batas maksimum kredit pajak (pph psal 24) masing-masing negara :
- Negara A :
- PPh terhutang di negara A : 20% X Rp.400.000.000 = Rp. 80.000.000,-
- (400.000.000/1.250.000.000 X Rp.350.000.000) =
Rp.112.000.000,-
Besarnya PPh pasal 24 di negara A adalah Rp.80.000.000,--
- Negara B :
- PPh terhutang di negara B : 15% X Rp.500.000.000 = Rp. 75.000.000,-
- (500.000.000/1.250.000.000 X Rp.350.000.000) =
Rp.140.000.000,-
Besarnya PPh pasal 24 di negara B adalah Rp.75.000.000,--
Total PPh pasal 24 adalah sebesar Rp.155.000.000,-
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Dalam hal usha di luar negeri menderita kerugian , maka kerugian tersebut
tidak dapat diperhitungkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak.
Ilustrasi-3
PT.Faisal memperoleh penghasilan dalam tahun 2009 sbb :
1. Negara A, memperoleh penghasilan Rp.400.000.000,--
dengan tarif pajak 20%
2. Negara B, memperoleh penghasilan Rp.500.000.000,--
dengan tarif pajak 15%
3. Negara C, merugi sebesar Rp.150.000.000,-
4. Penghasilan usaha di Indonesia Rp.350.000.000,-
Penghitungan Kredit Pajak Yang Diperbolehkan (PPh Pasal 24 ) :
a. Penghasilan kena pajakRp.1.250.000.000,--
b. PPh terhutang (sesuai tarif pasal 17)
28% X Rp.1.250.000.000 Rp.350.000.000,--
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
c. Batas maksimum kredit pajak (pph psal 24) masing-masing negara :
- Negara A :
- PPh terhutang di negara A : 20% X Rp.400.000.000 = Rp. 80.000.000,-
- (400.000.000/1.250.000.000 X Rp.350.000.000) =
Rp.112.000.000,-
Besarnya PPh pasal 24 di negara A adalah Rp.80.000.000,--
- Negara B :
- PPh terhutang di negara B : 15% X Rp.500.000.000 = Rp. 75.000.000,-
- (500.000.000/1.250.000.000 X Rp.350.000.000) =
Rp.140.000.000,-
Besarnya PPh pasal 24 di negara B adalah Rp.75.000.000,--
- Negara C : Nihil
Total PPh pasal 24 adalah sebesar Rp.155.000.000,-
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Dalam hal usaha didalam negeri merugi , maka kerugian dapat diperhitungkan
dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Ilustrasi-4
PT.Findia memperoleh penghasilan dalam tahun 2009 sbb :
1. Negara A, memperoleh penghasilan Rp.800.000.000,--
dengan tarif pajak 30%
2. Negara B, memperoleh penghasilan Rp.600.000.000,--
dengan tarif pajak 30%
3. Negara C, merugi sebesar Rp.150.000.000,- tarif pajak 25%
4. Kerugian usaha di Indonesia Rp.150.000.000,-
Penghitungan Kredit Pajak Yang Diperbolehkan (PPh Pasal 24 ) :
a. Penghasilan kena pajakRp.1.250.000.000,--
b. PPh terhutang (sesuai tarif pasal 17)
28% X Rp.1.250.000.000 Rp.350.000.000,--
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
c. Batas maksimum kredit pajak (pph psal 24) masing-masing negara :
- Negara A :
- PPh terhutang di negara A : 30% X Rp.800.000.000 = Rp.240.000.000,-
- (800.000.000/1.250.000.000 X Rp.350.000.000) =
Rp.224.000.000,-
Besarnya PPh pasal 24 di negara A adalah Rp.224.000.000,--
- Negara B :
- PPh terhutang di negara B : 30% X Rp.600.000.000 = Rp.180.000.000,-
- (600.000.000/1.250.000.000 X Rp.350.000.000) =
Rp.168.000.000,-
Besarnya PPh pasal 24 di negara B adalah Rp.168.000.000,--
- Negara C : Nihil
Total PPh pasal 24 adalah sebesar Rp.392.000.000,-
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Dalam hal penghasilan dalam negeri merupakan pendapatan yang pajaknya
bersifat final, maka penghasilan tersebut tidak dapat diperhitungkan dalam
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Ilustrasi-5
PT.Findia memperoleh penghasilan dalam tahun 2009 sbb :
1. Negara A, memperoleh penghasilan Rp.800.000.000,--
dengan tarif pajak 30%
2. Negara B, memperoleh penghasilan Rp.600.000.000,--
dengan tarif pajak 30%
3. Negara C, merugi sebesar Rp.150.000.000,- tarif pajak 25%
4. Keuntungan usaha di Indonesia Rp.250.000.000,-(termasuk
pendapatan bunga deposito Rp.100.000.000)
Penghitungan Kredit Pajak Yang Diperbolehkan (PPh Pasal 24 ) :
a. Penghasilan kena pajakRp.1.550.000.000,--
b. PPh terhutang (sesuai tarif pasal 17)
28% X Rp.1.550.000.000 Rp.434.000.000,--
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
c. Batas maksimum kredit pajak (pph psal 24) masing-masing negara :
- Negara A :
- PPh terhutang di negara A : 30% X Rp.800.000.000 = Rp.240.000.000,-
- (800.000.000/1.550.000.000 X Rp.434.000.000) =
Rp.224.000.000,-
Besarnya PPh pasal 24 di negara A adalah Rp.224.000.000,--
- Negara B :
- PPh terhutang di negara B : 30% X Rp.600.000.000 = Rp.180.000.000,-
- (600.000.000/1.550.000.000 X Rp.434.000.000) =
Rp.168.000.000,-
Besarnya PPh pasal 24 di negara B adalah Rp.168.000.000,--
- Negara C : Nihil
Total PPh pasal 24 adalah sebesar Rp.392.000.000,-
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Cara melaksanakan kredit pajak luar negeri adalah WP menyampaikan
permohonan kepada Direktur Jendral Pajak bersamaan dengan penyampaian
SPT tahunan PPh dengan melampirkan :
1. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
2. Foto copy Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan diluar negeri
3. Dokumen pembayaran pajak diluar negeri
PPH PASAL 25
- PPh Pasal 25 adalah besarnya angsuran pajak bulanan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan.
- Cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan :
a. Pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga (PPh psl 21,22,23 dan 24)
b. Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ( PPh psl 25)
Cara Perhitungan Besarnya PPh Pasal 25 :
- Pajak Penghasilan Terhutang (sesuai SPT Tahunan) Rp…………..
- Pajak yang dipotong/dipungut oleh pihak ketiga :
a. PPh pasal 21 Rp…………….
b. PPh pasal 22 Rp…………….
c. PPh pasal 23 Rp…………….
d. PPh pasal 24 Rp…………….+
Rp…………… -
Pajak yang harus dibayar sendiri…………………………………
Rp……………
- Besarnya PPh Pasal 25 : 1/12 X Pajak yang harus dibayar sendiri
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
Ilustrasi 25-1
Jumlah Pajak Terhutang (sesuai SPT 2009) Rp.30.000.000
PPh dipotong/dipungut pihak ketiga selama thn 2009 :
- PPh pasal 21 Rp.5.000.000
- PPh Pasal 22 Rp.2.000.000
- PPh Pasal 23 Rp.2.000.000
- PPh pasal 24 Rp.3.000.000 + Rp.12.000.000
PPh yang harus dibayar sendiri Rp.18.000.000
Besarnya PPh psl 25 than 2010 : 1/12 X Rp.18.000.000 Rp. 1.500.000
Ilustrasi 25-2
Berdasarkan ilustrasi 25-1 jika diketahui besarnya PPh pasal 25 tahun 2009 adalah
sebesar
Rp.1.000.000 per bulan maka PPh pasal 29 tahun 2009 adalah :
Jumlah Pajak Terhutang (sesuai SPT 2009) Rp.30.000.000
PPh dipotong/dipungut pihak ketiga selama thn 2009
Rp.12.000.000 -
PPh yang harus dibayar sendiri Rp.18.000.000
PPh psl 25 than 2009 : 12 X Rp.1.000.000 Rp.12.000.000
–
PPh pasal 29 tahun 2009 Rp. 6.000.000
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
PERHITUNGAN BESARNYA PPH PSL 25 DALAM HAL-HAL TERTENTU :
a. Sebeleum Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan
- Berdasarkan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang
lalu
Ilustrasi 25-2
PT.Amanah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun 2009 pada Maret
2010 dan berdasarkan perhitungan besarnya PPh Psl 25 tahun 2010 adalah sebesar
Rp.3.000.000 . PPh pasal 25 Desember 2009 adalah sebesar Rp.2.500.000
Besarnya PPh Psl 25 Januari dan Februari 2010 masing-masing sebesar
Rp.2.500.000
b. Jika dalam tahun berjalan, diterbitkan SKP untuk pajak tahun lalu
- Berdasarkan SKP dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
penerbitan SKP
- Besarnya SKP dapat menghasilkan Pajak Terhutang sama, lebih besar
dan lebih kecil
Ilustrasi 25-3
Berdasarkan SPT Tahunan tahun 2008 yang disampaikan oleh PT.Amanah
pada Maret 2009, besaarnya PPh besarnya PPh Psl 25 tahun 2009 adalah sebesar
Rp.3.000.000 . Pada bulan Mei 2009 terdapat pemeriksaan dan diterbitkan SKP
untuk tahun pajak 2008 tertanggal 15 Juni 2009 dengan jumlah pajak terhutang
yang harus dibayar sendiri sebesar Rp.24.000.000
Besarnya PPh Psl 25 terhitung mulai Juli 2009 adalah sebesar
Rp.2.000.000
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
PERHITUNGAN BESARNYA PPH PSL 25 DALAM HAL-HAL TERTENTU :
c. Jika terdapat kerugian yang belum dikompensasi
- Berdasarkan Penghasilan Kena Pajak setelah diperhitungkan kompensasi
kerugian
Ilustrasi 25-4
Penghasilan Kena Pajak PT. Diva Tahun 2009 sebesar Rp.200.000.000,
sisa kerugian tahun 2006 yang belum dikompensasi sebesar Rp.50.000.000. PPh
yang dipotong/dipungut pihak ketiga (PPh Psl 23) sebesar Rp.7.500.000 dan PPh
Psl 25 yang telah dibayar tahun 2009 setiap bulannya sebesar Rp.1.500.000.
Besarnya PPh Psl 25 tahun 2010 adalah :
- Penghasilan Kena Pajak (sebelum kompensasi kerugian)
Rp.200.000.000
- Kompensasi kerugian tahun 2006 Rp. 50.000.000 –
Penghasilan Kena Pajak (setelah kompensasi kerugian)
Rp.150.000.000
PPh Terhutang (28% X Rp.150.000.000) Rp.
42.000.000
PPh dipungut/dipotong pihak ketiga Rp. 7.500.000 –
PPh yang harus dibayar sendiri Rp. 34.500.000
PPh Psl 25 tahun 2010 ( 1/12 X Rp.34.500.000) Rp.
2.875.000
• KOMPENSASI KERUGIAN
- Kerugian dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
Ilustrasi 25-5
PT.Amanda dalam tahun 2003 menderita kerugian fiskal sebesar
Rp.1.200.000.000 . Dalam 5 tahun berikutnya laba (rugi) fiskal PT.Amanda
sebagai berikut :
Tahun 2004 : laba fiskal Rp.200.000.000
Tahun 2005 : rugi fiskal (Rp.300.000.000)
Tahun 2006 : laba fiskal NIHIL
Tahun 2007 : laba fiskal Rp.100.000.000
Tahun 2008 : laba fiskal Rp.800.000.000
Kompensasi kerugian dilakukan sbb :
Rugi fiskal tahun 2003 (Rp.1.200.000.000)
Laba fiskal tahun 2004 Rp. 200.000.000 +
Sisa Rugi Fiskal tahun 2003 (Rp.1.000.000.000)
Rugi Fiskal Tahun 2005 ( Rp. 300.000.000) DK BLH
DIKOMPENSASI 2009
Sisa Rugi Fiskal tahun 2003 ( Rp.1.000.000.000)
Laba Fiskal Tahun 2006 N I H I L N I H I L +
Sisa Rugi Fiskal tahun 2003 ( Rp.1.000.000.000)
Laba Fiskal Tahun 2007 Rp. 100.000.000 +
Sisa Rugi Fiskal tahun 2003 ( Rp. 900.000.000)
Laba Fiskal Tahun 2008 Rp. 800.000.000 +
Sisa Rugi Fiskal tahun 2003 ( Rp. 100.000.000) TDK DPT
DKOMPENSASI 2009
• PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
PERHITUNGAN BESARNYA PPH PSL 25 DALAM HAL-HAL TERTENTU :
d. Jika terdapat penghasilan tidak teratur
- Berdasarkan Penghasilan Teratur
Ilustrasi 25-6
Penghasilan Kena Pajak PT. Diva Tahun 2009 sebesar Rp.200.000.000,
yang bersumber dari penghasilan teratur Rp.150.000.000 dan penghasilan tidak
teratur Rp.50.000.000 .sisa kerugian tahun 2006 yang belum dikompensasi
sebesar Rp.50.000.000. PPh yang dipotong/dipungut pihak ketiga (PPh Psl 23)
sebesar Rp.7.500.000
Besarnya PPh Psl 25 tahun 2010 adalah :
- Jumlah penghasilan Rp.200.000.000
- Penghasilan tidak teratur Rp. 50.000.000 –
Penghasilan Kena Pajak (setelah kompensasi kerugian)Rp.150.000.000
PPh Terhutang (28% X Rp.150.000.000) Rp. 42.000.000
PPh dipungut/dipotong pihak ketiga Rp. 7.500.000 –
PPh yang harus dibayar sendiri Rp. 34.500.000
PPh Psl 25 tahun 2010 ( 1/12 X Rp.34.500.000) Rp. 2.875.000
Pengertian PPh Pasal 25
Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu
periode tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka
perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan
dalam SPT Tahunan. Nah, karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali,
maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar
semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan,
tentu saja data penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.
Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru
dapat diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak
tidak dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah
mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan.
Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.
Cara Mengitung PPh Pasal 25
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada
umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan
tahun sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini
sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan
dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih
tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan
bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya
menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak
meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.
Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang
menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit
pajak Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak.
PPH PASAL 26
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya
menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
Pemotong PPh Pasal 26
1. Badan Pemerintah;
2. Subjek Pajak dalam negeri;
3. Penyelenggara Kegiatan;
4. BUT;
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.
Tarif dan Objek PPh Pasal 26
1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g. Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
h. Keuntungan karena pembebasan utang.
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung
maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan
saham perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company
yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan
perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di
Indonesia;
4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali
di Indonesia.
5. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara
Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.
Saat Terutang, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh
Pasal 26
1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau
akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih
dahulu.
2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26
rangkap 3 :
a. lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
b. lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan
takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti
pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke
KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh: Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2009, penyetoran
paling lambat tanggal 10 Juni 2009 dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak
paling lambat tanggal 20 Juni 2009.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 26
bertepatan degan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pengecualian
1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan
kembali di Indonesia dengan syarat:
a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak
setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada
perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai
pendiri atau peserta pendiri, dan;
b. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun
pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh
penghasilan tersebut;
c. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut
sekurangkurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan
tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.
2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim . 2013 . Contoh perhitungan pajak penghasilan pasal 21 .
http://allinpajak.wordpress.com . diakses 2 Mei 2014
Nasirudin , M.M . Cara Perhitungan Pajak Penghasilan terbaru .
http://www.pajak.go.id . diakses 2 Mei 2014