pajak

4
3.1 Saat Timbulnya Utang Pajak Dalam hokum perdata, timbulnya utang seseorang disebabkan adanya perikatan antara para pihak. Perikatan tersebut biasanya mewajibkan salah satu pihak untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Terjadinya perikatan tersebut bias karena undang-undang atau karena perjanjian. Perikatan yang terjadi karena undang-undang bias timbul karena undang-undang saja atau karena undang-undnag dengan perbuatan manusia (pasal 1233 jo. Pasal 1345 KUHPerdata). Sementara itu, dalam hukum pajak, timbulnya utang pajak didasarkan pada dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa utang pajak timbul pada saat diundangkannya undang-undang pajak. Artinya, apabila suatu undnag-undang pajak diundangkan pleh pemerintah, maka pada saat itulah timbul utang pajak sepanjang apa yang diatur dalam undang-undang tersebut menimbulkan suatu kewajiban bagi seseorang menjadi terutang pajak. Pendapat kedua menyatakan bahwa utang paak timbul pada saat dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh pemerintah cq. Direktorat Jenderal Pajak (fiskus). Artinya, bahwa seseorang bahwa seseorang baru diketahui mempunyai utang pajak saat fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atas namanya serta besarnya pajak yang terutang. Sementara itu, masalah dikeluarkan atau tidak dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak hanyalah masalah formal. Tanpa dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak pun sepanjang undang-undang mengatur adanya utang pajak atas suatu keadaan atau peristiwa tertentu, yang lazim disebut dengan Tatbestand, yang maksudnya secara material telah diatur undang-undang pajak, Wajib Pajak sudah mempunyai utang pajak. Sselain itu, sesuai sistem self assessment yang dianut dalam undang-undang sekarang ini, Wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung dan memperhitungkan sendiri besarnya pajak terutang

Upload: nandya-indah-pratami

Post on 29-Jan-2016

9 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

perpajakan

TRANSCRIPT

Page 1: pajak

3.1 Saat Timbulnya Utang Pajak

Dalam hokum perdata, timbulnya utang seseorang disebabkan adanya perikatan antara para pihak. Perikatan tersebut biasanya mewajibkan salah satu pihak untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Terjadinya perikatan tersebut bias karena undang-undang atau karena perjanjian. Perikatan yang terjadi karena undang-undang bias timbul karena undang-undang saja atau karena undang-undnag dengan perbuatan manusia (pasal 1233 jo. Pasal 1345 KUHPerdata).

Sementara itu, dalam hukum pajak, timbulnya utang pajak didasarkan pada dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa utang pajak timbul pada saat diundangkannya undang-undang pajak. Artinya, apabila suatu undnag-undang pajak diundangkan pleh pemerintah, maka pada saat itulah timbul utang pajak sepanjang apa yang diatur dalam undang-undang tersebut menimbulkan suatu kewajiban bagi seseorang menjadi terutang pajak.

Pendapat kedua menyatakan bahwa utang paak timbul pada saat dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh pemerintah cq. Direktorat Jenderal Pajak (fiskus). Artinya, bahwa seseorang bahwa seseorang baru diketahui mempunyai utang pajak saat fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atas namanya serta besarnya pajak yang terutang.

Sementara itu, masalah dikeluarkan atau tidak dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak hanyalah masalah formal. Tanpa dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak pun sepanjang undang-undang mengatur adanya utang pajak atas suatu keadaan atau peristiwa tertentu, yang lazim disebut dengan Tatbestand, yang maksudnya secara material telah diatur undang-undang pajak, Wajib Pajak sudah mempunyai utang pajak. Sselain itu, sesuai sistem self assessment yang dianut dalam undang-undang sekarang ini, Wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung dan memperhitungkan sendiri besarnya pajak terutang yang berarti tidak perlu adanya Surat Ketetapan Pajak yang terhitung oleh fiskus. Alasan lain adalah tidak selamanya utang pajak akan timbul dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak, seperti misalnya bea materai yang terutang tanpa perlu ada Surat Ketetapan Pajak.

3.2 Cara Pengenaan Utang Pajak

Menurut teori, ada tiga cara pengenaan pajak yang dapat dilakukan, yaitu cara pengenaan di depan (stelsel fiksi), cara pengenaan di belakang (stelsel riil), dan cara pengenaan campuran (kombinasi antara stelsel fiksi dan stelsel riil).

Pengenaan di Depan (Stelsel Fiksi)

Pengenaan di depan merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan atas suatu anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut bergantung pada ketentuan bunyi UU. Misalnya, penghasilan seorang Wajib Pajak pada tahun berjalan dianggap sama dengan penghasilan pada

Page 2: pajak

tahun sebelumnya, tanpa memperhatikan kondisi yang sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun sebelumnya, tanpa memperhatikan kondisi yang sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun berjalan yang seharusnya menjadi dasar penetapan besarnya utang pajak pada tahun berjalan. Dengan adanya anggapan demikian, maka fiskus dapat dengan mudah menetapkan besarnya utang pajak untuk tahun yang akan dating. Pasal 25 UU Ph merupakan cntoh cara pemajakan di depan yang dilakukan dengan suatu perhitungan tertentu.

Pasal 25 UU PPh menyebutkan besarnya angsuran pembayaran pajak yang harus dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Angsuran pembayaran pajak dilakukan setiap bulan, yaitu sebesar seperduabelas dari besarnya PPh tahun pajak yang lalu. Contoh sederhananya, misalnya, Tuan A mempunyai PPh tahun pajak 2008 sebesar Rp 120 juta, maka angsuran pajak yang harus dibayar Tuan A setiap buan pada pajak 2009 adalah sebesar Rp 10 juta (Rp 120 juta : 12 bulan).

Pengenaan di Belakang (Stelsel Riil)

Pengenaan di belakang merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau nyata, yang diperoleh dalam suatu tahun pajak, karena besarnya penghasilan yang diperoleh seorang Wajib Pajak baru diketahui pada akhir tahun, maka pengenaaan baru dilakukan setelah berakhirnya suatu tahun pajak. Dengan demikian, utang pajak baru akan dikenakan di belakang, yaitu sesudah berakhir tahun pajak yang bersangkutan.

Dalam UU PPh, pengenaan paak cara di belakang diketahui dari ketentuan yang di atur dalam Pasal 29, yang selengkapnya menyatakan: “ Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.”

Pengenaan pajak di belakang seperti diatur dalam Pasal 29 merupakan cara perhitungan pajak setelah memperhitungkan jumlah pembayaran pajak yang dilakukan di depan. Pengenaan pajak di belakang ini merupakan kekurangan pembayaran pajak yang sebenarnya, yang dihitung pada akhir tahun setelah berakhirnya tahun depan.

Pengenaan Cara Campuran

Pengenaan cara campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang mendasarkan pada kedua cara pengenaan pajak (fiksi dan riil). Pada awal tahun pajak, fiskus akan mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang ditentukan dalam undang-undang, yang selanjutnya setelah berakhirnya tahun pajak dilakukan pengenaan pajak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya (riil). UU PPh pada prinsipnya mendasarkan pengenaan pajak dengan cara campuran ini.

Pengenaan cara campuran ini mengkombinasikan cara pengenaan di depan dengan pengenaan di belakang sesuai keadaan yang sebenar[nya. Kombinasi Pasal 25 dan Pasal 29 UU

Page 3: pajak

PPh merupakan kombinasi cara pengenaan di depan dengan pengenaan di belakang. Pengenaan cara campuran merupakan cara pengenaan pajak yang meringankan Wajib Pajak. Artnya, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk mencicil beban pajaknya dengan cara membayar pajak di depan yang dilakukan setiap bulan. Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib Pajak disuruh menghitung sendiri kekurangan pajak yang sebenarnya terutang. Dengan demikian, Wajib Pajak hanya tinggal membayar kekurangannya setelah berakhirnya tahun pajak. Pengenaan cara campuran ini merupakan cara yang sangat efektif dalam proses pemungutan pajak guna tercapainya penerimaan pajak yang diharapan oleh pemerintah.