pajak

13
 Pajak Daerah Pasca Pengesahan UU No.28 Tahun 2009: Potensi dan Tantangan PENDAHULUAN Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah berupa pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam era otonomi daerah ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti, idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah.[1] Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan secara maksimal khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tentu saja dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi unsur PAD yang utama. Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali atas UU No.34 Tahun 2000 dan UU No.18 Tahun 1997. UU No.28 Tahun 2009 yang baru saja disahkan oleh DPR pada 18 Agustus 2009 lalu diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian

Upload: riza-haniputra

Post on 13-Jul-2015

157 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5/12/2018 pajak - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pajak-55a4d20961480 1/13

Pajak Daerah Pasca Pengesahan UU No.28 Tahun 2009: 

Potensi dan Tantangan 

PENDAHULUAN Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah, telah menyebabkan perubahan yang mendasar 

mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah berupa pengaturan

hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi

pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusatdan Daerah.

Dalam era otonomi daerah ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih

besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti,

idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi

ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang

salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli

daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah.[1] Pemerintah Daerah diharapkan

lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan secara maksimal khususnya

untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di

daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tentu saja dalam koridor 

peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah

pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi unsur PAD yang utama.

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat

melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi

daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah,

diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali atas UU No.34

Tahun 2000 dan UU No.18 Tahun 1997. UU No.28 Tahun 2009 yang baru saja

disahkan oleh DPR pada 18 Agustus 2009 lalu diharapkan dapat lebih

mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian

5/12/2018 pajak - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pajak-55a4d20961480 2/13

daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah

satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan

pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan

retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalampenerapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah untuk kemudian

dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran

serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.

Lantas, apakah pajak daerah pasca pengesahan UU No.28 Tahun 2009 secara

nyata berpotensi meningkatkan kemandirian daerah bila dibandingkan dengan

UU sebelumnya? Lalu, apa saja tantangan dalam penerapannya?

5/12/2018 pajak - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pajak-55a4d20961480 3/13

PEMBAHASAN 

Pajak daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat

dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Otonomi daerah ditujukan untuk

meningkatkan kemandirian daerah yang dindikasikan dengan meningkatnyapendapatan sendiri (PAD). Pemerintah cenderung menggali potensi

penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (Shamsub dan

 Akoto, 2004). Upaya Pajak (Tax Effort ) adalah upaya peningkatan pajak daerah

yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi) sumber-

sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan potensi sumber-sumber 

Pendapatan Asli Daerah.[2] Tax effort  menunjukkan upaya pemerintah untuk

mendapatkan pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi

yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yangditetapkan pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah

tersebut.

Upaya pajak merupakan aspek relevan bila dikaitkan dengan tujuan

otonomi daerah, yaitu peningkatan kemandirian daerah. Kemandirian daerah

seringkali diukur dengan menggunakan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dimana

pajak daerah dan retribusi daerah menjadi komponen PAD yang memberikan

kontribusi yang sangat besar. Pelaksanaan otonomi daerah direspon secara

agresif oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan perda-perda terkait

dengan pajak maupun retribusi daerah. Penelitian Stine (2003) menunjukkan

adanya pertambahan perda pajak/retribusi yang signifikan dibanding sebelum

otonomi daerah. Fakta ini menunjukkan adanya respon yang sangat agresif 

untuk segera meningkatkan penerimaan sendiri, khususnya pajak maupun

retribusi daerah.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemberian

kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkan

kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, sepantasnya juga

mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah

yang baik sebagaimana dikemukakan oleh Richard M. Bird[3] memiliki kriteria,

yaitu: (1) that easy to administer locally , (2) that are imposed solely (or mainly)

on local resident , (3) that do not raise problem of µharmonization¶ or 

5/12/2018 pajak - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pajak-55a4d20961480 4/13

µcompetition¶ between sub national government or between sub national and 

national government .

Selain itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus

tetap menempatkan pajak sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajakantara lain: fungsi budgeter  dan fungsi regulator. Fungsi budgeter yaitu bahwa

pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk membiayai

kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan, fungsi regulator yaitu

bahwa pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan,

misalnya: pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor 

komoditi tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di

dalam negeri.

Mengingat begitu pentingnya peran Pajak Daerah dalam meningkatkanPendapatan Asli Daerah (PAD), penguatan local taxing power  kemudian

dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: menambah jenis pajak daerah dan

retribusi daerah, memperluas basis pajak daerah dan retribusi daerah yang

sudah ada, mengalihkan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, dan

memberikan diskresi (keleluasaan) kepada daerah untuk menetapkan tarif.

Disamping itu, tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah juga dinaikkan

untuk memberikan ruang gerak yang lebih fleksibel bagi daerah dalam

melakukan pemungutan pajak daerah sesuai kebijakan dan kondisi daerahnya.

Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP No.65

Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dijelaskan mengenai perbedaan antara jenis

pajak daerah yang dipungut oleh Propinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh

Kabupaten/Kota. Pajak Propinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) jenis pajak,

yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA);

(ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB &

KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak

Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT

& AP). Jenis Pajak Propinsi bersifat limitatif yang berarti Propinsi tidak dapat

memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan, dan hanya dapat menambah

 jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU.

5/12/2018 pajak - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pajak-55a4d20961480 5/13

Sementara itu, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan

untuk memungut 7 (tujuh) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Hotel; (ii) Pajak Restoran;

(iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak Penerangan Jalan; (vi) Pajak

Pengambilan Bahan Galian Golongan C; (vii) Pajak Parkir. Jenis pajakKabupaten/Kota tidak bersifat limitatif, artinya Kabupaten/Kota diberi peluang

untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang ditetapkan

secara eksplisit dalam UU No.34 Tahun 2000, dengan menetapkan sendiri jenis

pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria yang ditetapkan

dalam UU tersebut. Kriteria yang dimaksud adalah:

a. Bersifat pajak dan bukan retribusi;

b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang

bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanyamelayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan;

c. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan

umum;

d. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek

pajakPusat;

e. Potensinya memadai;

f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;

g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan

h. Menjaga kelestarian lingkungan.

Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk Pajak Kabupaten/Kota ditetapkan

dengan Peraturan Daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum

yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dengan adanya pemisahan jenis

pajak yang dipungut oleh Propinsi dan yang dipungut oleh Kabupaten/Kota

diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda.

Pasca pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun

2009, Pajak Propinsi kemudian ditetapkan sebanyak 5 (lima) jenis pajak, yaitu :

(i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea

Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA);

(iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan

dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP); (v)

5/12/2018 pajak - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pajak-55a4d20961480 6/13

Pajak Rokok. Pajak Rokok ditetapkan dalam undang-undang ini sebagai pajak

provinsi yang menjadi penyempurna kebijakan dan peraturan pajak daerah

dalam bentuk perluasaan objek pajak daerah. Hasil penerimaan Pajak Rokok

tersebut sebesar 70% dibagihasilkan kepada kabupaten/kota di provinsi yangbersangkutan. Walaupun pajak ini merupakan jenis pajak baru, namun

diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu membebani masyarakat

karena rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok dan bahkan pada

tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan. Di pihak lain, pengenaan pajak

ini tidak terlalu berdampak pada industri rokok karena beban Pajak Rokok akan

disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional dan

besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural

growth (pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut. Selain itu, penerimaanPajak Rokok dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan

dan penegakan hukum terkait dengan rokok ilegal.[4]

Sementara itu, jenis pajak Kabupaten/Kota ditetapkan dengan

penambahan 3 (tiga) jenis pajak Kabupaten/Kota yang baru, yaitu PBB

Pedesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB), dan Pajak Sarang Burung Walet. Jenis pajak yang selama ini

dipungut oleh Pusat, yaitu PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB memang

hampir seluruh penerimaan PBB dan BPHTB telah diserahkan kepada daerah.

Oleh karenanya, pengalihan atas kedua jenis pajak ini menjadi pajak daerah

tidak akan banyak berdampak terhadap tambahan beban masyarakat dan

relatif bersifat netral terhadap fiskal nasional. Sedangkan Pajak Sarang Burung

Walet merupakan pajak baru yang dapat dipungut oleh beberapa daerah

apabila memiliki potensi pajak yang memadai.

Walaupun demikian, pemberlakuan pemungutan pajak baru tersebut

akan dilakukan secara bertahap. BPHTB akan dilaksanakan sepenuhnya oleh

daerah pada tanggal 1 Januari 2011, sedangkan Pajak Rokok dan PBB

Perdesaan dan Perkotaan akan dilaksanakan sepenuhnya oleh daerah pada

tanggal 1 Januari 2014. Selama masa peralihan tersebut, Pemerintah

memberikan berbagai fasilitasi yang diperlukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

5/12/2018 pajak - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pajak-55a4d20961480 7/13

UU No.28 Tahun 2009 ini paling tidak diharapkan memperbaiki 3 (tiga)

hal, yaitu: penyempurnaan sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi

daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang

perpajakan (local taxing empowerment ), dan peningkatan efektifitaspengawasan. [5] Ketiga hal tersebut diharapkan dapat berjalan secara

bersamaan, sehingga upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

dilakukan dengan tetap sesuai dan konsisten terhadap prinsip-prinsip

perpajakan yang baik dan tepat, dan diperkenankan sanksi apabila terjadi

pelanggaran. Langkah-langkah penyempurnaan kebijakan dan peraturan pajak

daerah sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya dilakukan dengan

menambah jenis pajak baru, yaitu Pajak Rokok, Pajak Sarang Burung Walet,

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan, serta BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dengan penambahan 4

  jenis pajak ini, secara keseluruhan terdapat 16 jenis

pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota.

UU No.28 Tahun 2009 selain menambah jenis pajak daerah, juga

dikembangkan dalam perluasan basis pajak, antara lain: kendaraan pemerintah

termasuk dalam objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama

Kendaraan Bermotor; seluruh pelayanan persewaan di hotel menjadi objek

Pajak Hotel; dan katering/jasa boga termasuk dalam objek Pajak Restoran.

Pajak Hiburan yang tergolong mewah, tarif pajaknya dapat ditetapkan lebih

tinggi, namun tidak lebih dari 75%. Tarif Pajak Parkir yang semula 20%

dinaikkan menjadi 30% dan tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

(sebelumnya Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C) dinaikkan menjadi

25% dari yang sebelumnya 20%. Kenaikan tarif pajak maksimun juga dilakukan

terhadap beberapa jenis pajak provinsi, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Bea

Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 

yang sebelumnya masing-masing 5%, 10%, dan 5% diubah menjadi masing-

masing 10%, 20% dan 10%.

Jika ditilik kembali, UU No.28 Tahun 2009 memang memberikan

kewenangan yang besar kepada daerah untuk memungut sendiri pajaknya

dengan penambahan beberapa jenis pajak daerah baru serta perluasan basis

5/12/2018 pajak - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pajak-55a4d20961480 8/13

pajak daerah. Bila dilihat dari sisi otonomi fiskal peraturan ini sama sekali tidak

mempunyai makna apabila tidak disertai dengan kewenangan dalam penetapan

tarifnya. Daerah propinsi yang sebelumnya sama sekali tidak memiliki diskresi

(keleluasaan) dalam penetapan tarif, dalam UU ini diberikan kewenangan untukmenetapkan tarif pajak daerah dengan batasan tarif minimum dan maksimum.

Pemberian kewenangan dalam penetapan tarif tersebut akan

mempermudah daerah mengaitkan pengenaan tarif dengan tingkat pelayanan

(the benefit tax-link ). Daerah dapat mendesain kebijakan tarif pajak untuk

mencapai tujuan tertentu, seperti mengenakan tarif pajak yang tinggi untuk

meningkatkan kualitas pelayanan, atau menurunkan tarif pajak untuk menarik

investasi ke daerahnya. Melalui penguatan perpajakan daerah sebagaimana

diuraikan di atas, struktur penerimaan daerah akan berubah denganpeningkatan peranan PAD dalam APBD secara signifikan. Diperkirakan pada

tahun 2011 (tahun pertama pelaksanaan RUU ini secara efektif) peranan PAD

terhadap APBD provinsi meningkat menjadi 63% dari semula 50% dalam tahun

2009, sedangkan peranan PAD kabupaten/kota akan meningkat menjadi 10%

dari semula sebesar 7% dalam tahun 2009. Secara nasional peranan PAD

terhadap total APBD meningkat dari 19% menjadi 24%. Kondisi tersebut akan

semakin baik pada tahun 2014, dengan asumsi semua daerah telah

melaksanakan pemungutan pajak dan retribusi dengan menerapkan tarif 

maksimum yang ditetapkan sesuai ketentuan UU ini. Peranan PAD terhadap

  APBD pada tahun 2014 diperkirakan akan meningkat menjadi 68% untuk

provinsi dan 15% untuk kabupaten/kota. Secara nasional, peranan PAD

terhadap APBD tahun 2014 diperkirakan mencapai 29% dari yang semula

hanya 19%.[6]

Selain itu, penambahan pendapatan daerah tersebut sepatutnya pula

harus diikuti dengan peningkatan dan perbaikan good governance dan clean

government , sehingga penggunaan pajak daerah yang dipungut benar-benar 

bermanfaat bagi pembayar pajak dan seluruh lapisan masyarakat. Dalam UU

ini, penerimaan beberapa jenis pajak daerah di earmarkarmarking ́ ini daerah

dipacu untuk secara bertahap dan terus menerus melakukan perbaikan

(sustainable development ) kualitas pelayanan publik di daerahnya. untuk

5/12/2018 pajak - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pajak-55a4d20961480 9/13

mendanai pengeluaran yang berkaitan dengan pajak yang dipungut. Sebagai

contoh, hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10%

dialokasikan untuk mendanai pembangunan dan pemeliharaan jalan serta

peningkatan sarana transportasi umum. Melalui kebijakan ´eNamun, upaya optimalisasi sumber-sumber PAD lewat cara intensifikasi dan

ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan mengalami tidak luput dari

tantangan-tangan dalam penerapannya. Dalam jangka pendek, intensifikasi

terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah yang seyogyanya dilakukan

tanpa harus melakukan perluasan sumber atau obyek pendapatan baru yang

memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang. Dukungan teknologi

informasi secara terpadu guna mengintensifkan pajak menjadi mutlak

diperlukan karena sistem pemungutan pajak yang dilaksanakan selama inicenderung tidak optimal. Masalah ini tercermin pada sistem dan prosedur 

pemungutan yang masih konvensional dan masih banyaknya sistem berjalan

secara parsial, sehingga besar kemungkinan informasi yang disampaikan tidak

konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date. Permasalahan

pada sistem pemungutan pajak cukup banyak, misalnya: baik dalam hal data

wajib pajak atau retribusi, penetapan jumlah pajak, jumlah tagihan pajak dan

target pemenuhan pajak yang tidak optimal.[7]

Penerapan UU ini harus sejalan pula dengan penguatan proses

pemungutan.  Upaya yang dapat dilakukan dalam memperkuat proses

pemungutan, yaitu antara  lain dengan mempercepat penyusunan Perda,

mengubah tarif, dan peningkatan SDM.  Selain itu, diperlukan pula sistem

pengawasan yang mampu mengontrol proses pemungutan maupun alokasi-

alokasi dari penerimaan pajak daerah dalam pembiayaan belanja daerah. Hal

ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara

dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan,  menerapkan sanksi

terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak  fiskus, serta

meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah.

Kemudian, daerah juga diharapkan mampu Meningkatkan efisiensi

administrasi dan menekan biaya pemungutan pajak daerah. Tindakan yang

dapat dilakukan oleh daerah yaitu antara lain dengan memperbaiki prosedur 

5/12/2018 pajak - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pajak-55a4d20961480 10/13

administrasi pajak melalui penyederhanaan administrasi pajak, meningkatkan

efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan. Selanjutnya, daerah harus

meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik. Hal

ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait didaerah.

5/12/2018 pajak - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pajak-55a4d20961480 11/13

PENUTUP 

Pajak daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah akan

dapat dilaksanakan dengan baik apabila didukung dengan sumber-sumber pembiayaan yang memadai. Potensi ekonomi daerah sangat menentukan

dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi

penyelenggaraan rumah tangganya. Pajak daerah merupakan sumber 

pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut,

optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan

kemampuan keuangan daerah. Oleh karena itulah, intensifikasi dan

ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan daerah menjadi sangatdiperlukan.

Berbeda dengan UU sebelumnya (UU No.34 Tahun 2000), UU No.28 Tahun

2009 memberikan kewenangan dan keleluasaan besar bagi pemerintah daerah

untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya melalui penambahan

beberapa jenis pajak daerah yang baru. Namun demikian, UU ini juga tidak

luput dari masalah penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi

daerah yang belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

penerimaan daerah secara keseluruhan. Sebagai contoh, terkait dengan

pengenaan pajak rokok, bagi daerah sekelas DKI Jakarta yang penerimaan

pajak daerahnya, dalam hal ini pajak reklame, yang nilainya jauh signifikan,

pemungutan pajak rokok menjadi menjadi kurang signifikan dalam potensinya

meningkatkan pendapatan asli daerah. Memperhatikan kondisi sosial, ekonomi,

dan politik yang kurang menguntungkan saat ini, disarankan agar pengadaan

pajak daerah perlu dipertimbangkan secara hati-hati sehingga tidak

menimbulkan gejolak di masyarakat yang pada gilirannya akan mendistorsi

kegiatan perekonomian daerah yang bersangkutan. Penciptaan suatu jenis

pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku

secara umum juga perlu mempertimbangkan ketepatan suatu jenis pajak

sebagai pajak daerah, karena pajak daerah yang baik akan mendorong

5/12/2018 pajak - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pajak-55a4d20961480 12/13

peningkatan pelayanan publik yang pada gilirannya akan meningkatkan

kegiatan perekonomian daerah yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA 

  Adi, Priyo Hari. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan

Ekonomi . Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga

  ______________. 2008.R elevansi Transfer Pemerintah Pusat Dengan Upaya

Pajak  Daerah (Studi pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Se Jawa.

Jurnal Kritis disampaikan pada The 2nd National Conference 2008.

Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga

Bird, Richard M. ³S ubnational R evenues: R ealities and Prospect ́ . Paper yangdisampaikan pada Intergovernmental Fiscal Relations and Local

Financial Management yang diselenggarakan oleh The World Bank

Institute tanggal 17-21 April 2000 di Almaty, Kazakhstan. Almaty,

Kazakhstan: World Bank, 2000b.

Pendapat akhir pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disampaikan  oleh Menteri

Keuangan, Sri Mulyani, pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia, Jumat, 28 agustus 2009

Peraturan pelaksanaan dari UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999

Republik Indonesia, Undang-undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah

Daerah´.

Republik Indonesia, Undang-undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan

Keuangan Antara Pusar dan Daerah.

Republik Indonesia, Undang-undang No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah. 

[1] Priyo Hari Adi. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan

Ekonomi . Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga

5/12/2018 pajak - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pajak-55a4d20961480 13/13

[2] Priyo Hari Adi. 2008. R elevansi Transfer Pemerintah Pusat Dengan Upaya

Pajak Daerah (Studi pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Se Jawa. Jurnal

Kritis disampaikan pada The 2nd National Conference 2008. Universitas Kristen

Satya Wacana. Salatiga[3] Richard M. Bird. ³S ubnational R evenues: R ealities and Prospect´ . Paper 

yang disampaikan pada Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial

Management: World Bank, 2000b.

[4] Pendapat akhir pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disampaikan oleh Menteri

Keuangan, Sri Mulyani,  pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia, Jumat, 28 agustus 2009

[5] I bid,. [6] I bid,. 

[7] Machfud Sidik. Optimalisasi Pajak daerah dan retribusi daerah Dalam

rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. Disampaikan dalam

  Acara Orasi Ilmiah dengan Tema ³S trategi Meningkatkan Kemampuan

Keuangan daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam R angka Otonomi 

Daerah´  Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung Tahun Akademik 2001/2002 -

di Bandung, 10 April 2002.