pahlawan azza.docx
TRANSCRIPT
LATEST NEWS
Kisah Cut
Nyak Dien (Pahlawan Aceh)
Kehidupan Cut Nyak dienCut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI
Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang
juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati
mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul
Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau [2][4]. Ibu
Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.[2] Ia memperoleh pendidikan pada
bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak,
melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya).
Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia
sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga [2][4], putra
dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-lakiNangroe Aceh Darussalam adalah
daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan
kaum imperialis belanda. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di
usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia
akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir
hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga
bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami
keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama.
Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur
dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad
ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri
uleebalang bangsawan Lampagar.
Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh
pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para
guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau
melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan
kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya,
Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.
Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana
perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-
mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada
kaum kafir.
Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku
Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh
kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan
mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang
mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah
dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang
tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan suasana memburuknya hubungan
antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnyharmonis. Mereka dikaruniai
seorang anak laki-laki.Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang
seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan
dalama.
Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga
merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul
dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan,
bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan
pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia
menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang
ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang
berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.
Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber
dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu
bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah
dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal
suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan
Belanda.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien
menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah
dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar
ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan
kerugian bagi pihak Belanda.
Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil
direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan
dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh
terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya,
mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik.
Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk
memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku
Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal
11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.
Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan besar-
besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya
dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa
dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di
daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada
penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.
Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan
membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha
menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.
Keterlibatan Tjoet Njak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, “Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si
kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).