pahlawan

Download pahlawan

If you can't read please download the document

Upload: cahut

Post on 01-Jul-2015

336 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Teuku Umar (1854-1899) dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Ac eh Barat TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taa t beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah ketu runan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Ala m di SumatraBarat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampa gar. Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien mem peroleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guruagama.Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pen dirian dan tawakal. Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat , suasana perangAceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang m endalam dan meluap-luap kepada kaum. Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 d engan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII . Mereka dikarunia i seorang anak laki-laki. Namun, tak lama suaminya meninggal pada saat perang ac eh tahun 1873. Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut N yak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengk apan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berb alik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur. Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan se rangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan s eadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertamba hnya usia, Cut Nyak Dien pun,semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbaga i penyakit orang tua pun mulai menyerang. Beberapa hari kemudian ia ditangkap oleh Belanda. Dia pun akhirnya dibuang ke Su medang, JawaBarat. DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta da n bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya. Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatma ja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu , Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu t inggal dan dirawat. Orang-orang yang datang banyak membawakan makanan atau pakai an, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda. Ibu Perbu adalah sebutan untuk Cut Nyak Dien. Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal d unia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh. Ketika masyarakat Sumedang beral ih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dar i pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wan ita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang,Jawa Barat. Akhi rnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dh ien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seoran g kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.

Wage Rudolf Soepratman (9 Maret 1903, Jatinegara, Batavia - 17 Agustus 1938, Sur abaya) adalah pengarang lagu kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya". Bapaknya be rnama Senen, sersan di Batalyon VIII. Saudara Soepratman berjumlah enam, laki sa tu, lainnya perempuan. Salah satunya bernama Roekijem. Pada tahun 1914, Soepratm an ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Ro ekijem yang bernama Willem van Eldik. Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama 3 tahun, kemudia n melanjutkannya ke Normaalschool. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar. Soepratman dipindahkan ke kota Singkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi. Roekijem, sendiri sangat gemar akan sandiwara dan m usik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik W.R. Soepratman tidak beristri serta tidak mempunyai anak angkat. Hari kelahiran Soepratman, 9 Maret, oleh Megawati saat menjadi presiden RI, dire smikan sebagai Hari Musik Nasional. Namun tanggal kelahiran ini sebenarnya masih diperdebatkan, karena ada pendapat yang menyatakan Soepratman dilahirkan pada t anggal 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo (Jawa Tengah).

Martha Christina Tiahahu merupakan salah seorang Pahlawan Nasional yang berasal dari Maluku. Lahir sekitar tahun 1800 dan pada waktu mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Sebagai seorang anak Kapitan dari negeri Abub u, Martha Christina Tiahahu dididik secara disiplin oleh sang ayah, Kapitan Paul us Tiahahu. Berkat bimbingan beliau, Martha Christina Tiahahu mempunyai semangat juang yang tinggi dalam melawan penjajah Belanda di bumi Maluku. Martha Christi na Tiahahu akhirnya menemui ajalnya di Kapal Perang Eversten dan sebagai penghor matan atas jasa-jasanya, jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 02 Januari 1818. Christina Martha Tiahahu dilahirkan di Abubu Nusalaut pada tangga l 4 Januari 1800. Christina adalah anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu. Saat usianya baru 17 tahun ia memilih ikut jejak ayahnya memimpin perlawanan di Pula u Nusalaut. Ketika itu Kapitan Pattimura atau Thomas Mattulesi sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda di Saparua. Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya. Tanggal 11 Oktober 1817 pasukan Belanda dibawah pimpinan Richemont bergerak ke Ulath, namun berhasil dipukul mundur oleh pasuka n rakyat. Dengan kekuatan 100 orang prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban berjatuhan di kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya bertahan di tanjakan Negeri Ouw, Maluku Tengah. Di tengah keganasan pertempuran itu muncul seorang gadis remaja menantang peluru musuh. Putri Nusahalawano, srikandi Martha Christina Tiahahu. Ia turut memompakan semangat kepada kaum perempuan dari Ulat h dan Ouw untuk turut mendampingi kaum pria di medan pertempuran. Pemimpin pertempuran Belanda Meyer terluka dalam pertempuran ini, Vermeulen Krin ger mengambil alih komando setelah Meyer dirawat di atas kapal Eversten. Tanggal 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum terhadap p asukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini den gan lemparan batu, para Opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah habis. Vermeulen Kringer membumi-hanguskan pasukan rakyat dan seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah. Martha Christina dan sang Ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal in i para tawanan dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawana n lainnya. Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat muda, Buyskes membebaskan Martaha Christina Tiahahu dari hukuman, namun sang Ayah, Ka pitan Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman mati.

Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina Tiahahu berupaya untuk membebaska n sang Ayah dari hukuman mati. Ia bahkan merebahkan diri di depan Buyskes memoho nkan ampun bagi sang ayah yang sudah tua. Namun, semua itu sia-sia belaka. Tanggal 16 Oktober 1817 Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah dibawa ke Nus alaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati bagi ayahnya. Ia mendampingi sang Ayah pada waktu memasuki tempat eksekusi, kem udian dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk. Sepeninggal ayahnya, Christina Tiahahu kembali bergerilya ke dalam hutan dan berkeliaran seperti orang kehilang an akal. Hal ini membuat kesehatannya terganggu. Dalam suatu Operasi Pembersihan pada bulan Desember 1817 Martha Christina Tiahah u beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan kapal Eversten yang hend ak ke Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi. Namun, sebe lum menuju pulau Jawa di atas kapal ini kondisi kesehatan Christina memburuk, ia menolak makan dan pengobatan. Tanggal 2 Januari 1818, baru selepas pulau Ambon, masih di Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu menghembuskan nafas yang terakhir. Jenazah Martha Christina T iahahu disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.

Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (yang bermakna "pembela kebenara n"); Koto Gadang, Bukittinggi, Minangkabau, 8 Oktober 1884?Jakarta, 4 November 1 954) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahn ya adalah seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau. Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus ana k-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ket ika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda. Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, A rab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim b erguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya. Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja se bagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Za enatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik t erus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta . Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur H arian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Pene rangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam. Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto. Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain: * anggota Volksraad (1921-1924) * anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945 * Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947 * pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Me sir pada tahun 1947 * Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947 * Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949 Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). I a pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tah un 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri. Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya taja m dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim masih mengenal batas-batas dan men

junjung tinggi Kode Etik Jurnalistik. Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu d iperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal. Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kal ibata, Jakarta.

Kapitan Pattimura lahir di Negeri Haria, Porto, Pulau Saparua, Maluku pada tangg al 08 Juni 1783. Oleh masyarakat Maluku, Kapitan Pattimura lebih dikenal sebagai Thomas Matulessy atau Thomas Matulessia. Beliau merupakan seorang Pahlawan Nasi onal Indonesia. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada tahun 1817 sempat merebut benteng Belanda di Sparua selama tiga bulan setelah sebelumnya melumpuh kan semua tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau akhirnya tertangkap dan kemudian diadili hukuman gantung oleh Pengadilan Kolonial Belanda. Walaupun begitu, Belanda masih berharap Pattimura masih mau berubah sikap dengan bersedia bekerjasama dengan Belanda. Tapi Pattimura menunjukkan kesetiaan perjuangannya dengan tetap menolak bujukan tersebut. Eksekusi sendiri dilakukan pada tanggal 1 6 Desember 1817di benteng Victoria yang akhirnya merenggut jiwanya. Kapittan Pattimura gugur sebagai Pahlawan Nasional. Dari perjuangannya dia menin ggalkan pesan tersirat kepada pewaris bangsa ini agar sekali-kali jangan pernah menjual kehormatan diri, keluarga, terutama bangsa dan negara ini.

Teungku Cik DiTiro atau Muhammad Saman, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Teuku Cik Di Tiro (Tiro, Pidie, 1836?Aneuk Galong, 1891), adalah seorang pahlawa n dari Aceh. Ia adalah putra dari Teungku Sjech Ubaidillah. Sedangkan ibunya ber nama Siti Aisyah, putri Teungku Sjech Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dajah Jrueng kenegerian Tjombok Lamlo, T iro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat. Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. S elain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehi ngga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang mela wan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Teungku Cik Di Tiro sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maup un nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehi dupan nyata, yang kemudian kebih dikenal dengan Perang Sabil. Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukan Cik Di Tiro. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Cik Di Tiro dapat merebut benteng Belan da Lambaro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memaka i "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun Cik Di Tiro memakannya, dan akhirnya meninggal pada bulan Januari 189 1 di benteng Aneuk Galong. Salah satu cucunya adalah Hasan Di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merde ka.

Sultan Hasanuddin (11 Januari 1631 - 1 Juni 1670), Raja Gowa XVI, terlahir denga

n nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setela h memeluk agama Islam, beliau mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenang a Ri Balla Pangkana. Namun beliau memang lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, beliau dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Bela nda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, M akassar. Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, (Jep ara, 21 April 1879 - Rembang, 17 September 1904), adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempu an pribumi. Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningr at dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kala itu poligami adalah suatu hal yang biasa. Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mu lanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, J epara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seo rang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya men ikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara meng gantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua sauda ra sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan kelu arga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dala m usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam b idang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere S chool). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri da n menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Sala h satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Tim bul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat i tu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Bro oshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku ke pada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan y ang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini p un kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Le lie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karan gan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal em ansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanit a agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari ger akan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, ter dapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada Novemb er 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya L ouis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Wit t yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek d an sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letak

kan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda. Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, Raden Adipati J oyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tangga l 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebeb asan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompl eks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebaga i Gedung Pramuka. Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 Septe mber 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usi a 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kart ini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yay asan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Eti s. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia n 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, ingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai i. No.108 Tahu Kemerdekaan untuk diper Hari Kartin

Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-sura t yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Abendano n saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Bela nda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Te rbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Ka rtini. Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhati an masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Karti ni yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh ke bangkitan nasional Indonesia. Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (Ponorogo, 6 Agustus 1882 ?17 Desember 1934) adal ah seorang pemimpin organisasi Sarekat Islam di Indonesia. Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara. Ayahnya bernama R.M. Tjokroa miseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo. Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, beliau mempunyai 3 murid yang ya ng selanjutnya memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Semaun yang sosialis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis. Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam. Beliau dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. Salah satu kata kata mutiara beli au yang masyhur : " Setinggi-tinggi Ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat " Pangeran Diponegoro (Yogyakarta, 11 November 1785 - Makassar, 8 Januari 1855) ad alah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makam beliau berada di

Makassar.

Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana II, seorang raja Mataram di Yogyak arta. Ibu Diponegoro adalah R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istr i nonpermaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama asli Rad en Mas Ontowiryo. Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III untuk mengangka tnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebi h suka tinggal di Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap kerat on dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersam a Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro. Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Dip onegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Be landa yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi ra kyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan duk ungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir da ri Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat i tu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan me nghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di S urakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong. Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayemb ara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830. Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 1899?26 April 1959) adalah seorang pelopo r pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman penjajahan Belanda.

Lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, beliau mendirikan perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh p endidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: Als ik eens Nederlander was), dimuat dalam surat kabar de Expres m ilik Dr. Douwes Dekker, tahun 1913. Artikel ini ditulis dalam konteks rencana pe merintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), y ang saat itu masih belum merdeka, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Peranc is. Kutipan tulisan tersebut antara lain: "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta keme rdekaan dinegeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyur uh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menye

lenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Bela nda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah k enyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengkongsi suatu pekerjaan yang i a sendiri tidak ada kepentingan sedikitpun". Beliau wafat pada 2 Mei 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta. Tanggal lahirnya, 2 Mei, kemudian dijadikan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Belia u dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dan wajahnya bisa dilihat pada uang kertas pecahan Rp20.000. Nama beliau diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Selain itu, sampai saat ini perguruan Taman Siswa yang beliau d irikan masih ada dan telah memiliki sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai pe rguruan tinggi. Dr. Cipto Mangunkusumo atau Tjipto Mangunkusumo atau Tjipto Mangoenkoesoemo (Pec angakan, Ambarawa, 1886 ? Jakarta, 8 Maret 1943) adalah seorang tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia bersama Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara mendirik an Partai Indonesia (Indische Partij) pada 1912. Pada 1913 mereka bertiga diasin gkan oleh pemerintah kolonial. Ia dimakamkan di TMP Watuceper, Ambarawa. Dr. Gerungan Saul Samuel Yacob Ratulangi atau Sam Ratulangi saja (Tondano, 5 Nov ember 1890?Jakarta, 30 Juni 1949) adalah seorang politikus Minahasa dari Sulawes i Utara, Indonesia. Beliau adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Sam Ratul angi juga sering disebut-sebut sebagai tokoh multidimensional. Beliau dikenal de ngan filsafatnya: "Si tou timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat dise but sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia. Sam Ratulangi juga adalah gubernur Sulawesi Utara yang pertama. Beliau dimakamka n di Tondano. Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Manado yaitu Bandara Sam Ratulangidan Universitas Negeri di Sulawesi Utara yaitu Universitas Sam Rat ulangi. Maria Walanda Maramis (Kema, Desember 1872?Manado, Maret 1924) adalah seorang pa hlawan nasional Indonesia. Beliau dimakamkan di Maumbi, Manado. Ia adalah kakak kandung dari A. A. Maramis, Menteri Keuangan pada masa awal kemerdekaan.

Tuanku Imam Bonjol was not from Minahasa, but he died in Minahasa near Pineleng on November 6, 1864 as an exile. He was orginally from West Sumatra. "Tuanku Ima m Bonjol" is a title, which was given to religious teachers in Sumatra. Imam Bon jol's real name is Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin. He was the most popular leader of the Padri movement in Sumatra, which orginally opposed gambling, cockf ighting, the use of opium, strong drink, tobacco, etc., but eventually included resistance toward the Dutch, which resulted in the Padri Wars (1821-1838). In 18 37, Imam Bonjol's village was taken over by the Dutch, and Imam Bonjol eventuall y surrendered. He was exiled to several places in Indonesia with the last place of exile being Minahasa. He is recognized as a national hero.

Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy'arie (bagian belakangnya juga sering dieja Asy'ari atau Ashari) (10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)?25 Juli 1947; dimakamkan di T ebu Ireng, Jombang) adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.

KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai As yari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya be rnama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Ti ngkir (Sultan Pajang). Berikut silsilah lengkapnya: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim Abdul Wahid Abu Sarwan KH. Asy'ari (Jombang), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang)

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman y ang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau ber kelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Pro bolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantr en Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi. Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, KH Hasyim Asyari mendirikan Pesantren T ebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada aba d 20. Pada tahun 1926, KH Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhl atul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama. Dewi Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 - Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.

Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Ra den Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekola hkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika di rawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka . Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasa n kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Resid en bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat eraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung ragakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, k-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang ting dijadikannya alat bantu belajar. pendidik dan kegigihan untuk m kepatihan, beliau sering mempe dan bahasa Belanda, kepada ana kereta, arang, dan pecahan gen

Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka dig emparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti i tu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya ya ng semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini d idorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang memang me miliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pama nnya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang m engekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan kh awatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi S artika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan . Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseor ang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebua h ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di h adapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, mem baca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sa rtika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa d an Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunaka n ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke J alan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabun gan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartany a pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelen gkapan sekolah formal. Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sa kola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pas undan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sa kola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh E ncik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istr i di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di k ota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya ya ng telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden D?w i". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pe merintah Hindia-Belanda. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan s uatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Ci neam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandun g di Jalan Karang Anyar, Bandung.

Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 ? 1692) adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali A

hmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pan geran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangk at sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun T irtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten. Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. I a memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanji an monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa men olak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakya t dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan , ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan. Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sul tan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan ( Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin. Wahidin Sudirohusodo, dr. (Melati, Yogyakarta, 7 Januari 1852?26 Mei 1917) adala h salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya selalu dikaitkan dengan Bud i Utomo karena walaupun ia bukan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, di alah penggagas berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar School tot Ople iding van Inlandsche Artsen Jakarta itu.

Dokter lulusan STOVIA ini sangat senang bergaul dengan rakyat biasa. Sehinggga t ak heran bila ia mengetahui banyak penderitaan rakyat. Ia juga sangat menyadari bagaimana terbelakang dan.tertindasnya rakyat akibat penjajahan Belanda. Menurut nya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus cerdas . Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-seko lah. Sebagai dokter, ia sering mengobati rakyat tanpa memungut bayaran. Dua pokok yang menjadi perjuangannya ialah memperluas pendidikan dan pengajaran dan memupuk kesadaran kebangsaan. Wahidin Sudirohusodo sering berkeliling kota-kota besar di Jawa mengunjungi toko h-tokoh masyarakat sambil memberikan gagasannya tentang "dana pelajar" untuk mem bantu pemuda-pemuda cerdas yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Akan tetapi gagasan ini kurang mendapat tanggapan. Gagasan itu juga dikemukakannya pada para pelajar STOVIA di Jakarta tentang perl unya mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan m artabat bangsa. Gagasan ini ternyata di sambut baik oleh para pelajar STOVIA ter sebut. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1908, lahirlah Budi Utomo.

Kiai Haji Wahid Hasjim (Jombang, 1914 ? Cimahi, 19 April 1953) adalah pahlawan n asional Indonesia dan pernah menjabat sebagai menteri negara dalam kabinet perta ma Indonesia. Ia adalah ayah dari presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid dan anak dari Hasyim Asy'arie, salah satu pahlawan nasional Indonesia. Wahid Has jim dimakamkan di Tebuireng, Jombang.

Abdoel Moeis (Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 - Bandung, Jawa Barat, 1 7 Juni 1959) adalah seorang penulis dan wartawan Indonesia. Ia juga seorang nasi onalis dan pernah menjadi anggota Volksraad (yang didirikan pada tahun 1916). Ia dimakamkan di TMP Cikutra - Bandung.

Perjuangan : * Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia mel alui tulisannya di harian de Express * Menentang rencana pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan seratus ta hun kemerdekaannya melalui Komite Bumiputera * Memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta * Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School - Ins titute Teknologi Bandung(ITB) Kiai Haji Samanhudi nama kecilnya ialah Sudarno Nadi.(Laweyan, Surakarta, Jawa engah, 1868 Klaten, Jawa Tengah28 Desember 1956) adalah pendiri Sarekat Dagang amiyah, sebuah organisasi massa di Indonesia yang awalnya merupakan wadah bagi ara pengusaha batik di Surakarta. Dalam dunia perdagangan, Samanhudi merasakan perbedaan perlakuan oleh penguasa enjajahan Belanda antara pedagang pribumi yang mayoritas beragama Islam dengan edagang Cina pada tahun 1911. Oleh sebab itu Samanhudi merasa pedagang pribumi arus mempunyai organisasi sendiri untuk membela kepentingan mereka. Pada tahun 911, ia mendirikan Sarekat Dagang Islam untuk mewujudkan cita-citanya. Ia dimakamkan di Banaran, Grogol, Sukoharjo.Sesudah itu,Serikat Islam dipimpin leh Haji Oemar Said Cokroaminito. T Isl p p p h 1 o

Untung Suropati (lahir: Bali, 1660 wafat: Bangil, Jawa Timur, 5 Desember 1706) a dalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang berjuang di Pulau Jawa. Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106 /TK/1975 tanggal 3 November 1975. Nama aslinya tidak diketahui. Menurut Babad Tanah Jawi ia berasal dari Bali yang ditemukan oleh Kapten van Beber, seorang perwira VOC yang ditugaskan di Makasar . Kapten van Beber kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia yang ber nama Moor. Sejak memiliki budak baru, karier dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak kecil itu dianggap pembawa keberuntungan sehingga diberi nama Si Untung. Ketika Untung berumur 20 tahun, ia dimasukkan penjara oleh Moor karena berani me nikahi putrinya yang bernama Suzane. Untung kemudian menghimpun para tahanan dan berhasil kabur dari penjara dan menjadi buronan. Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten dikalahkan VOC. Putranya yang bernama Pangeran Purbaya melarikan diri ke Gunung Gede. Ia memutuskan menyerah tetapi hanya mau dijemput perwira VOC pribumi. Kapten Ruys (pemimpin benteng Tanjungpura) berhasil menemukan kelompok Untung. M ereka ditawari pekerjaan sebagai tentara VOC daripada hidup sebagai buronan. Unt ung pun dilatih ketentaraan, diberi pangkat letnan, dan ditugasi menjemput Pange ran Purbaya. Untung menemui Pangeran Purbaya untuk dibawa ke Tanjungpura. Datang pula pasukan Vaandrig Kuffeler yang memperlakukan Pangeran Purbaya dengan kasar. Untung tida k terima dan menghancurkan pasukan Kuffeler di Sungai Cikalong, 28 Januari 1684. Pangeran Purbaya tetap menyerah ke Tanjungpura, tapi istrinya yang bernama Gusik Kusuma meminta Untung mengantarnya pulang ke Kartasura. Untung kini kembali men jadi buronan VOC. Antara lain ia pernah menghancurkan pasukan Jacob Couper yang mengejarnya di desa Rajapalah.

Ketika melewati Cirebon, Untung bertengkar dengan Raden Surapati anak angkat sul tan. Setelah diadili, terbukti yang bersalah adalah Suropati. Surapati pun dihuk um mati. Sejak itu nama Surapati oleh Sultan Cirebon diserahkan kepada Untung. Sepeninggal Amangkurat II tahun 1703, terjadi perebutan takhta Kartasura antara Amangkurat III melawan Pangeran Puger. Pada tahun 1704 Pangeran Puger mengangkat diri menjadi Pakubuwana I dengan dukungan VOC. Tahun 1705 Amangkurat III diusir dari Kartasura dan berlindung ke Pasuruan. Pada bulan September 1706 gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura, dan Surabaya dipimpin Mayor Goovert Knole menyerbu Pasuruan. Pertempuran di benteng Bangil ak hirnya menewaskan Untung Suropati alias Wiranegara tanggal 17 Oktober 1706. Namu n ia berwasiat agar kematiannya dirahasiakan. Makam Suropati pun dibuat rata dengan tanah. Perjuangan dilanjutkan putra-putran ya dengan membawa tandu berisi Suropati palsu. Pada tanggal 18 Juni 1707 Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar Amangkurat III. Ia menemukan makam Suropati yang segera dibongkarnya. Jenazah Suropati pun dibakar dan abunya dibuang ke laut.

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797[2] atau 1809[3] meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) ad alah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) peng uasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja. Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Ba kumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepan jang Sungai Barito. Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Rat u Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka p erjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah s atu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesul tanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Is lam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tan ggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan s eruan: Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah! Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin K halifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka aga ma tertinggi.[6] Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus m enerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan ber tekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah d an rakyat. Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di te ngah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh b ujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sam pirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sak it paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulan g tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini di makamkan kembali Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin. Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdek

aan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 23 Maret 1968.[7] Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari d an julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih me ngenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank Indone sia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000 Mr. Prof. Muhammad Yamin, SH (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 19 03 meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah seorang pahl awan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Talawi, Sawahlunto Beliau merupakan salah satu perintis puisi modern di Indonesia, serta juga 'penc ipta mitos' yang utama kepada Presiden Sukarno. Dilahirkan di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Yamin memulai karier sebagai seor ang penulis pada dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkemba ngan. Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumat era, sebuah jurnal berbahasa Belanda, pada tahun 1920. Karya-karyanya yang awal masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik. Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air ; maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti Nurbaya, novel modern pertama dalam bahasa Melayu juga muncul pada tahun yang sama, tetapi ditu lis oleh Marah Rusli yang juga merupakan seorang Minangkabau. Karya-karya Rusli mengalami masa kepopuleran selama sepuluh tahun . Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya in i amat penting dari segi sejarah karena pada waktu itulah, Yamin dan beberapa or ang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang b erdasarkan sejarah Jawa muncul juga pada tahun yang sama. Antara akhir dekade 19 20-an sehingga tahun 1933, Roestam Effendi, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir Alisja hbana merupakan pionir-pionir utama bahasa Melayu-Indonesia dan kesusasteraannya . Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, dia masi h lebih menepati norma-norma klasik bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-ge nerasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel se jarah dan puisi yang lain, serta juga menterjemahkan karya-karya William Shakesp eare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore. Pada tahun 1932, Yamin memperoleh ijazahnya dalam bidang hukum di Jakarta. Ia ke mudian bekerja dalam bidang hukum di Jakarta sehingga tahun 1942. Karier politik nya dimulai dan beliau giat dalam gerakan-gerakan nasionalis. Pada tahun 1928, K ongres Pemuda II menetapkan bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, s ebagai bahasa gerakan nasionalis Indonesia. Melalui pertubuhan Indonesia Muda, Y amin mendesak supaya bahasa Indonesia dijadikan asas untuk sebuah bahasa kebangs aan. Oleh itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta alat utama dalam kesu sasteraan inovatif. Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas pada Pusat T enaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerinta h Jepang. Pada tahun 1945, beliau mencadangkan bahwa sebuah Badan Penyelidik Usa ha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) diasaskan serta juga bahwa negara yang baru men cakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta juga kesemua wil ayah Hindia Belanda. Sukarno yang juga merupakan anggota BPUPK menyokong Yamin. Sukarno menjadi presiden Republik Indonesia yang pertama pada tahun 1945, dan Ya min dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya. Yamin meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Talawi, sebuah kota kecamata n yang terletak 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 ta hun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecu ali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di ba

wah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beter nak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII meng unjungi suatu negeri semua yang terbeang atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingama ngaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat mengharg ai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai De Onaf hankelijke Bataklandan (Daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda. Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan Perang Paderi dan melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angko la, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga. Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu dae rah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut Resi dentie Tapanuli dan Onderhoorigheden , dengan seorang Residen berkedudukan di Sibo lga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangka n bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap di akui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau De Onafhankelijke Bataklandan . Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat d i pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII ber kuasa, masih belum dijajah Belanda. Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan Regeri ngs Besluit Tahun 1876 yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya di masukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sib olga, suasana di Tanah Batak bagian Utara menjadi panas. Raja Sisingamangaraja XII yang kendati secara clan, bukan berasal dari Silindung , namun sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh Tanah Batak, ba ngkit kegeramannya melihat Belanda mulai menganeksasi tanah-tanah Batak. Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humban g, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain. Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langk ah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan be rsejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut : 1. Menyatakan perang terhadap Belanda 2. Zending Agama tidak diganggu 3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda. Terlihat dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII lah yang dengan semangat garan g, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Sisin gamangaraja XII bukan anti agama. Dan terlihat pula, Sisingamangaraja XII di zam annya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dan suku-suku lainnya. Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun l amanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa , 30 tahun. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan raky at semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII. Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan markas b esar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan dan berhasi l dihempang. Belanda merobah taktik, ia menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige untu k merebut kantong logistik Sisingamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutny a mengadakan blokade terhadap Bakara.

Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Lagub oti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penemb ak-penembak meriam. Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasuka n Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga . Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan. Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pa rdede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahk an. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 me ter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju B alige. Pertempuran besar terjadi. Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Sisinga mangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, d i hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan -pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII. Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Sisin gamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja XII meng undurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain. Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Sua tu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kri tis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front perlaw anan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi koordinasi pe rjuangan dan perlawanan terhadap Belanda. Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisinga mangaraja XII. Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan B elanda. Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Sis ingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pa sukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki Si Gurbak Ulu Na Birong . Tet api pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadap an dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII menyerang jug a ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pol lung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangka p. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, G uru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889. Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang Sisingamang araja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh. Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah pasuka n Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII. Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan meng epung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri Sisingamangara ja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri Sisingamangaraja

XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamang araja XII dan lain-lain. Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom H udon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christ offel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal peluru t ewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuan nya. Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangk an keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, m ereka pun ikut menjadi korban perjuangan. Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pe rnah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, s elama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara. Itulah yang dinamakan Semangat Juang Sisingamangaraja XII , yang perlu diwarisi sel uruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda. Sisingamangaraja XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual t anah air untuk kesenangan pribadi. Sebelum Beliau gugur, pernah penjajah Belanda menawarkan perdamaian kepada Raja Sisingamangaraja XII dengan imbalan yang cukup menggiurkan. Patriotismenya digod a berat. Beliau ditawarkan dan dijanjikan akan diangkat sebagai Sultan. Asal saj a bersedia takluk kepada kekuasaan Belanda. Beliau akan dijadikan Raja Tanah Bat ak asal mau berdamai. Gubernur Belanda Van Daalen yang memberi tawaran itu bahka n berjanji, akan menyambut sendiri kedatangan Raja Sisingamangaraja XII dengan t embakan meriam 21 kali, bila bersedia masuk ke pangkuan kolonial Belanda, dan ak an diberikan kedudukan dengan kesenangan yang besar, asal saja mau kompromi, tet api Raja Sisingamangaraja XII tegas menolak. Ia berpendirian, lebih baik berkala ng tanah daripada hidup di peraduan penjajah. Raja Sisingamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907, tetapi pengorbanannya tidaklah sia-sia. Dan cuma 38 tahun kemudian, penjajah betul-betul angkat kaki dari Indonesia. Pad a tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan Sukarno-Hatta. Kini Sisingamangaraja XII telah menjadi sejarah. Namun semangat patriotismenya, jiwa pengabdian dan pengorbanannya yang sangat luhur serta pelayanannya kepada r akyat yang sangat agung, kecintaannya kepada Bangsa dan Tanah Airnya serta kepad a kemerdekaan yang begitu besar, perlu diwariskan kepada generasi penerus bangsa Indonesia. Dalam upaya melestarikan system nilai yang melandasi perjuangan Pahlawan Nasiona l Raja Sisingamangaraja XII dengan menggali khasanah budaya dan system nilai mas a silam yang dikaitkan dengan keinginan membina masa depan yang lebih baik, lebi h bermutu dan lebih sempurna, maka Lembaga Sisingamangaraja XII yang didirikan d an diketuai DR GM Panggabean pada tahun 1979, telah membangun monumen Pahlawan N asional Raja Sisingamangaraja XII di kota Medan yang diresmikan oleh Presiden Re publik Indonesia Soeharto di Istana Negara dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember 1997 dan Pesta Rakyat peresmian monumen tersebut di Medan dihadiri sekitar seratus ribu orang, dengan Pembina Upacara Menko Polkam Jenderal TNI Mar aden Panggabean. Kemudian oleh Yayasan Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah did irikan Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan, pada tahun 1986 Unive rsitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Tapanul i Utara dan pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan.