pada umumnya kehidupan manusia merupakan suatu ...eprints.unram.ac.id/7436/1/jurnal i made dodik...
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN HUKUM ANAK ASTRA DALAM HUKUM WARIS ADAT
BALI
Oleh :
I MADE DODIK ARDIATA NIM. D1A 113 103
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS MATARAM
MATARAM2017
HalamanPengesahanJurnalIlmiah
KEDUDUKAN HUKUM ANAK ASTRA DALAM HUKUM WARIS ADAT
BALI
Oleh :
I MADE DODIK ARDIATA NIM. D1A 113 103
Menyetujui
PembimbingPertama
H. Lalu Syapruddin, SH., M.Hum. NIP. 15990828 198703 1 002
i
KEDUDUKAN HUKUM ANAK ASTRA DALAM HUKUM WARIS ADAT
BALI
I MADE DODIK ARDIATAD1A 113 103
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum anak astra dalam hukum waris adat Bali. Anak yang lahir dari seorang wanita yang belum melangsungkan perkawinan yang sah, yang dalam masyarakat adat Bali dikenal dengan sebutan anak astra. Kedudukan anak astra dilingkungan masyarakat adat Bali hanya memiliki hubungan keperdataan dengan keluarga ibunya serta tidak dapat diterima sebagai bagian keluarga besar ayah biologisnya dan dalam hukum waris adat Bali anak astra tidak berhak menjadi ahli waris dari ayahnya atau keluarga ayah biologisnya oleh karena itu anak astra hanya berhak menjadi ahli waris dari harta ibunya.
Kata kunci : Kedudukan anak, hukum waris
ABSTRACT
This research was conducted to find out how the legal status of astra child in Bali customary law of inheritance. A child born of a woman who has not yet established a legal marriage, which in the Balinese customary community is known as the son of astra. The position of astra children in the environment of indigenous Balinese people only has a civic relationship with his mother's family and can not be accepted as part of big family of his biological father and in the customary law of Bali's son astra is not entitled to be the heir of his father or his biological father's family therefore astra son only entitled became the heir of his mother's property.
Keywords: Child status, inheritance law
ii
I. PENDAHULUAN
Pada umumnya kehidupan manusia merupakan suatu kehidupan bersama
dalam masyarakat yang suka hidup bergolongan atau sedikitnya mencari teman untuk
hidup bersama daripada hidup sendiri.
Hidup bersama bila terjadi pada insan yang berlawanan jenis serta telah
memenuhi persyaratan suatu perkawinan, mereka sudah dapat disebut sebagai
pasangan suami istri.
Salah satu tujuan dari perkawinan adalah adanya anak sebagai penerus
keturunan. Anak yang lahir dari perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita,
beribu pada wanita yang melahirkannya dan berbapak pada suami dari wanita itu, hal
ini merupakan suatu kejadian yang normal. Tapi pada kenyataanya tidak semua
kenyataan itu berjalan normal. Dalam kehidupan nyata suatu masyarakat, ditemukan
adanya kejadian – kejadian diluar keadaan seperti adanya anak-anak yang lahir dari
wanita yang belum berada di dalam ikatan perkawinan yang sah.
Apabila seorang anak dilahirkan sebelum dilaksanakan suatu upacara
perkawinan, maka menurut hukum adat Bali dinamakan anak luar kawin, dimana
istilah untuk penyebutan anak luar kawin yaitu anak Bebinjat dan anak Astra.
Pada dasarnya anak Astra dan anak Bebinjat memiliki arti yang sama, hanya
yang membedakan adalah berkasta atau tidak berkasta. Anak astra yang dalam
kebudayaan adat Bali biasanya tidak memiliki hak yang mana anak astra tersebut
iii
kehilangan hak-haknya sehingga statusnya berbeda dengan anak kandung, seperti
dalam pembagian harta warisan.
Dalam hukum adat Bali bahwa kedudukan anak laki-laki yang diluar kawin
(astra) tidak berhak menjadi ahli waris dari orang tuanya tetapi, didalam
perkembangannya anak laki-laki yang diluar kawin (astra) bisa menjadi ahli waris
dalam beberapa yurisprudensi.
Berdasarkan Latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk
menganalisis lebih jauh tentang kedudukan anak Astra, yang dituangkan ke dalam
penelitian yang berjudul “Kedudukan Hukum Anak Astra dalam Hukum Waris
Adat Bali”
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah
: 1. Bagaimanakah kedudukan hukum anak astra di tinjau menurut hukum adat Bali
dan KUHPerdata. 2. Bagaimana hak waris anak astra di tinjau menurut hukum adat
Bali.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui kedudukan
hukum anak astra, serta untuk mengetahui hukum kewarisan adat Bali khususnya
yang berkaitan tentang anak astra. Adapun manfaat penelitian sebagai berikut : 1.
Manfaat Akademik Dan Teoritis : Selain untuk memenuhi salah satu persyaratan
akademik dalam peyelesaian studi strata satu (S1) program studi ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Mataram. Hasil penelitian juga diharapkan sebagai
upaya pengembangan ilmu Hukum dalam bidang Hukum perdata yang berkenaan
iv
dengan bagaimana kedudukan hukum anak astra dan bagaimana hak warisnya
menurut hukum adat bali. Metode penelitian adalah penelitian hukum yuridis
sosiologis, menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan konseptual (Conceptual approach), Pendekatan Perbandingan
(Comparative Approach).
v
II. PEMBAHASAN
Kedudukan Hukum Anak Astra Menurut Hukum Adat Bali dan KUHPerdata
Suatu proses perkawinan di dalam masyarakat adat Bali bisa dikatakan sah
apabila dilangsungkan dengan proses dan prosedur yang benar sesuai dengan dresta
(kebiasaan) dan awig-awig yang berlaku. Tetapi jika tidak dilakukan dengan cara
yang benar, sesuai dengan dresta dan awig-awig maka akan menyebabkan tidak
sahnya perkawinan demikian juga dengan anak-anak yang terlahir dari perkawinan
tersebut.
Menyangkut terjadinya kehamilan sebelum dilaksanakannya proses
pawiwahan (perkawinan) atau Widhi Whedhana, anak yang terlahir tetap dianggap
sebagai anak sah asalkan sudah dilakukan upacara mesayut 3 hari dan upacara
beakala. Acara mesayut 3 hari ini di pimpin oleh pedanda, tetapi bisa juga di pimpin
oleh pemangku (yang status rohaniwannya dibawah pedanda). Masalah umur
kehamilan sebelum melakukan Widhi Whedhana terkait status anak yang lahir
apakah sah atau tidak, berdasarkan awig-awig Bali yang masih menjadi kebiasaan
adat, waktu kehamilan 3 bulan ke bawah masih dianggap sah.
Menurut narasumber bahwa di dalam hukum adat Bali, yang disebut anak
astra adalah anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah. Sahnya perkawinan
secara adat harus melalui upacara adat agama Hindu yang dipimpin oleh sulinggih
(pedanda) dan disaksikan oleh keluarga dan masyarakat. Tanpa sulinggih (pedanda)
vi
dan kesaksian keluarga dan masyarakat, maka tidak dapat suatu perkawinan tersebut,
dianggap sah.1
Di dalam masyarakat hukum adat Bali dikatakan bahwa, kedudukan anak
astra tidak ada hubungan hukum dengan keluarga sedarah yaitu antara ayah dan
ibunya yang telah kawin sah, dan dengan saudara-saudaranya yang sah. Hal ini
terbukti dari :2
1. Seorang anak astra bila ditinjau dari segi kasta, maka sudah jelas ia tidak mengikuti
kasta ayahnya dengan demikian kedudukannya tidak sama dengan anggota keluarga
yang lahir dilingkungan keluarga golongan Tri Wangsa (kasta).
2. Seorang anak luar kawin (astra) tidak diperkenankan menggunakan bahasa kasar
saat berbicara dengan bapaknya, seperti halnya dengan seorang anak kandung atau
anak sah memanggil bapaknya dengan sebutan Aji, maka seorang anak astra
memanggil sebutan dengan Atu aji. Seperti halnya saat berbicara dengan saudara-
saudaranya yang sah, anak astra memanggil dengan sebutan Ida Bagus untuk laki-laki
dan Ida Ayu untuk perempuan atau Gusti Bagus untuk laki-laki dan Gusti Ayu untuk
perempuan.
3. Demikian pula halnya seorang anak astra dalam hubungannya dengan saudara-
saudaranya yang lahir dari perkawinan yang sah mempunyai keudukan yang tidak
sama. Perbedaannya yaitu dimana adanya perbedaan kasta antara anak astra dengan
saudaranya yang sah. Dalam hal ini dapat dilihat dari namanya, bila saudara-saudara 1 Hasil Wawancara dengan Ida Bagus Jelantik, Cakranegara, tanggal 01 Agustus 2017, pukul
03.00 Wita2 Hasil Wawancara dengan I Nyoman Suarna, Stah Gede Pudja, tanggal 02 Agustus 2017,
pukul 03.20 Wita
vii
dari anak astra tersebut memakai titel Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk
anak perempuan atau Gusti Bagus untuk laki-laki dan Gusti Ayu untuk perempuan
sedangkan si anak astra tidak boleh menggunakan titel itu, ia hanya dapat
menggunakan titel I Putu, I Wayan, I Made, I Komang, I Ketut atau I Gede.
4. Terhadap ibunya yang telah kawin sah dengan ayah sah biologisnya, dimana
derajat ibunya sudah dengan sendirinya naik menjadi seorang Jero Mekel, dan oleh
karena itu berarti seorang anak astra harus memanggil ibunya dengan sebutan Jero
Mekel, sedangkan adik-adiknya atau saudara-saudaranya yang sah memanggilnya
dengan sebutan ibu.
5. Anak astra bila ditinjau dari segi hukum hanya mempunyai hubungan hukum
dengan ibunya saja dan tidak mempunyai hubungan hukum denga saudara-
saudaranya ataupun dengan ayahnya, walaupun secara umumnya anak astra dan
saudara-saudaranya mempunyai bapak dan ibu yang sama. Artinya saudara-
saudaranya yang sekandung terlahir setelah dilakukan perkawinan yang sah diantara
kedua orang tuanya, anak astra pada umumnya merupakan saudara kandung dari
saudara-saudaranya yang sah yaitu saudara satu bapak dan satu ibu, tetapi bila dilihat
dari segi hukum adat anak astra bukanlah saudara dari saudara-saudaranya itu. Hal ini
disebabkan oleh karena adanya perbedaan keududukan anak astra dalam lingkungan
keluarga bapak biologisnya.
Seperti yang kita ketahui tata susunan kekeluargaan adat Bali bersifat
Patrilineal yaitu mengikuti garis bapak (laki-laki), tetapi itu bukan hanya mengenal
hubungan dari pihak bapak (laki-laki) saja, melainkan juga hubungan kekeluargaan
viii
dari pihak ibu. Namun hubungan secara hukum adat Bali, hubungan seorang anak
dengan kerabat pihak bapak (laki-laki) mempunyai derajat yang lebih penting dari
pada kerabat pihak ibu. Menurut hukum adat Bali seorang anak kandung yang terlahir
dari perkawinan sah memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga besar
bapaknya, sedangkan dengan keluarga besar ibunya ia juga memiliki hubungan
kekerabatan namun tidak menentukan seperti keluarga bapaknya.
Lain halnya dengan hubungan kekerabatan yang dimiliki oleh seorang anak
yang lahir diluar perkawinan yang sah (anak astra), ia hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Namun jika si anak astra di sahkan oleh
orang tua biologisnya, maka kedudukannya akan sama dengan anak sah atau adik-
adiknya yang terlahir dari perkawinan sah.
Menurut narasumber atau informan suatu proses pengesahan seorang anak
astra harus melalui upacara keagamaan yang dinamakan dengan upacara Meprascita.
Upacara Meprascita itu sendiri juga harus melalui ritual-ritual keagamaan Hindu,
dengan cara menggunakan sesajian-sesajian (banten). Tahapan dari dilaksanakannya
upacara pengesahan anak luar kawin ini, juga harus dipimpin oleh pedanda (pendeta),
dan disaksikan langsung oleh keluarga dan masyarakat. Tetapi juga dalam hal
mengesahkan anak luar kawin ini tergantung dari mempelai pria yang bersedia atau
tidaknya untuk mengadakan upacara Meprascita tersebut.3
Hak Waris Anak Astra Menurut Hukum Adat Bali
3 Hasil Wawancara dengan I Nyoman Suarna, Stah Gede Pudja, tanggal 06 Agustus 2017, pukul 11.00 Wita
ix
Menurut hukum adat Bali hak waris adalah suatu hak yang diperoleh
seseorang karena hubungan darah atau keturunan. Akan tetapi hak waris tersebut
harus melalui hubungan darah atau keturunan yang lahir dari perkawinan yang sah.
Suatu perkawinan yang sah maka akan melahirkan keturunan-keturunan (anak) yang
sah pula. Dengan demikian, hubungan hukum seorang anak dengan orang tuanya
sangat tergantung dari keabsahan perkawinan orang tuanya.
Dari hasil wawancara dengan narasumber, mengatakan bahwa di dalam
hukum adat Bali, yang disebut anak astra adalah anak yang lahir dari perkawinan
yang tidak sah. Sahnya perkawinan secara adat harus melalui upacara adat agama
Hindu yang dipimpin oleh sulinggih (pedanda) dan disaksikan oleh keluarga dan
masyarakat. Tanpa sulinggih (pedanda) dan kesaksian keluarga dan masyarakat,
maka tidak dapat suatu perkawinan tersebut, dianggap sah.4
Dalam hal ini bapak dari seorang anak diketahui, tetapi tidak dilaksanakan
perkawinan yang sah. Seperti yang kita ketahui, setiap keluarga memberi arti dan
kedudukan yang penting terhadap keberadaan seorang anak. Hal ini disebabkan
karena anak dianggap sebagai penerus keturunan keluarga dan di pandang sebagai
tumpuan harapan orang tuanya yang pada kemudian hari wajib ditumpahkan.
Di Lombok yang penduduknya yang menganut agama Hindu menganut
sistem kekeluargaan Patirilineal. Sistem kekeluargaan Patrilineal ini
memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis laki-laki saja, oleh karena itu
4 Hasil Wawancara dengan Ida Pedande Gede Keniten, Sindu Cakranegara, tanggal 10 Agustus 2017, pukul 03.00 Wita
x
mengakibatkan setiap warga masyarakat memperhitungkan kerabat bapaknya saja di
dalam batas hubungan kekeluargaan, yang lebih dikenal dengan sebutan Purusa.
Lain halnya dengan hubungan kekerabatan yang dimiliki oleh seorang anak
yang lahir diluar perkawinan yang sah (anak astra) ia hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Namun apabila ibunya kawin lagi
dengan bapak biologisnya maka hubungan hukum tersebut menjadi terputus.
Walaupun anak astra dengan orang tua biologisnya tidak memiliki hubungan
hukum, anak astra berhak mendapatkan tanggung jawab moral dari bapaknya seperti
dalam hal-hal yang bersifat kemanusiaan yaitu sebagai berikut :
a. Upacara kepus puser b. Upacara tiga bulanan c. Upacara otonan (upacara enam
bulanan), dan d. Upacara potong gigi (upacara metatah).5
Berdasarkan hasil wawancara dari tokoh-tokoh masyarakat adat Bali sesuai
dengan kedudukan anak astra sebagai anak tidak sah yang lahir diluar perkawinan
yang sah, maka ia hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya saja dan tidak
mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, hanya sebagai anak biologis dari
ayahnya saja, oleh karena itu anak astra hanya berhak menjadi ahli waris dari harta
ibunya dan tidak berhak dari ayahnya atau keluarga ayahnya.
Akan tetapi menurut narasumber mengatakan bahwa ada kebijakan atau
kearifan dalam hukum adat Bali yang disebut dengan Jiwa Dhana, yaitu sebuah
pemberian atau semacam hibah dari pihak ayah, keluarga ayah dan dari ayahnya
5 Hasil Wawancara dengan, Ida Bagus Sumantra, Griye Pagesangan Seraye, tanggal 14 Agustus 2017, pukul 19.00 Wita
xi
sendiri dengan ketentuan tidak boleh merugikan ahli waris. Maksimal dari pemberian
Jiwa Dhana ini ialah 1/3 dari jumlah harta warisan.6
Dari urain di atas diketahui, bahwa anak luar kawin baru dapat mewaris kalau
mempunyai hubungan hukum dengan pewaris. Hubungan hukum itu timbul dengan
dilakukannya pengakuan. Hubungan hukum tersebut bersifat terbatas, artinya tidak
sampai meliputi hubungan hukum dengan anggota keluarga yang lain. Bagi anggota
keluarga yang lain, si anak luar kawin adalah orang lain, karenanya ia tidak
mempunyai hak waris atas warisan keluarga sedarah ayah atau ibu yang
mengakuinya. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 872 KUHPerdata yang berbunyi :
Undang-undang sama sekali tidak memberikan hak kepada seorang anak luar kawin terhadap barang-barang para keluarga sedarah dari kedua orang taunya.
Anak luar kawin yang diakui berhak atas warisan dari ayahnya (Pasal 280
KUHPerdata). Hal ini diatur dalam pasal 862-866 KUHPerdata dan Pasal 873 ayat
(1). Anak luar kawin yang diakui mewaris dengan semua golongan ahli waris. Besar
bagian yang diterima tergantung dengan golongan mana ia mewaris, atau tergantung
dari derajat hubungan kekeluargaan dari para ahli waris yang sah.7 Ketentuannya
adalah sebagai berikut :
1. Anak luar kawin yang diakui mewaris bersama golongan pertama, diatur dalam
pasal 863 KUHPerdata sebagai berikut :
6 Ibid,7 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Prenada Media
Group, Jakarta, 2005, hlm. 87
xii
Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami istri, maka anak luar kawin yang diakui mewaris ½ bagian dari mereka yang sedianya harus mendapat seandainya mereka adalah anak sah.
Jadi jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang
suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewaris ½ bagian dari bagian yang
seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak yang sah.
2. Anak luar kawin mendapat bagian 1/3 dari warisan jika ia mewaris bersama ahli
waris golongan II (saudara laki-laki atau perempuan atau keturunan sedarah) dan
golongan III (keluarga sedarah dalam garis keatas yakni : ibu, bapak, nenek, dan
seterusnya).8 Berdasarkan ketentuan Pasal 863 KUHPerdata :
Jika pewaris tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis keatas atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan saudara, maka mereka menerima 1/3 dari warisan.
3. Jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang lebih jauh atau yang disebut ahli
waris golongan IV, Pasal 863 KUHPerdata menentukan bagian ¾ dari warisan bagi
anak-anak luar kawin yang diakui tersebut.
4. Jika yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka mereka
memperoleh seluruh warisan. (Pasal 865 KUHPerdata).
8 Effendi Perangin, Hukum Waris, Raja Grapindo, Jakarta, 2005, hlm. 66
xiii
III. PENUTUP
Simpulan
Sesuai dengan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka sampailah pada
bab terakhir, yaitu penutup. Berpedoman pada dan hasil penelitian terhadap
permasalahan yang telah diuraikan pada bab-bab diatas dapat ditarik kesimpulan,
yaitu :
1. Menurut hukum adat Bali seorang anak kandung yang terlahir dari perkawinan sah
memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga besar bapaknya, sedangkan
dengan keluarga besar ibunya ia juga memiliki hubungan kekerabatan namun tidak
menentukan seperti keluarga bapaknya.
Mengenai kedudukan seorang anak astra menurut hukum adat Bali anak astra tidak
dapat mengikuti kasta bapaknya secara biologis dan tidak memiliki kasta yang
sama dengan saudara-saudaranya yang sah, serta hanya memiliki hubungan hukum
dengan ibunya saja. Sedangkan menurut ketentuan KUHPerdata dari
kedudukannya anak astra tersebut tidak mempunyai hubungan keperdataan baik
dengan wanita yang melahirkannya maupun dengan laki-laki yang
membenihkannya, kecuali kalau mereka mengakuinya. pengakuan anak astra
tersebut hanya dapat diakui sebagai anak sah oleh orang tuanya apabila telah
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang telah ditentukan oleh
KUHPerdata.
2. Pada hakekatnya seorang anak astra bukan dilahirkan dari hubungan seorang laki-
laki dan perempuan yang dilarang oleh undang-undang, melainkan dilahirkan dari
xiv
perkawinan yang sah dari seorang laki-laki dan perempuan, hanya karena
disamping adanya perbedaan kasta juga karena belum diadakan upacara widhi
widana, maka anak astra menurut hukum adat Bali dan agama Hindu dinyatakan
bukan sebagai ahli waris. Seorang yang berstatus sebagai anak astra tidak berhak
menjadi ahli waris dari bapaknya atau keluarga bapaknya karena menurut hukum
adat Bali yang disebut sebagai anak astra adalah anak yang lahir dari perkawinan
yang sah sehingga anak astra hanya mempunyai hubungan dengan ibunya saja dan
tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologisnya. Akan tetapi ada
kebijakan dalam hukum adat Bali yang disebut dengan jiwa dhana, yaitu sebuah
pemberian hibah dari keluarga ayah atau ayah biologisnya dengan ketentuan tidak
merugikan ahli waris lainnya.
Sedangkan menurut ketentuan KUHPerdata anak astra baru dapat mewaris kalau
mempunyai hubungan hukum dengan pewaris. Hubungan hukum itu timbul
dengan dilakukannya pengakuan. Hubungan hukum tersebut bersifat terbatas,
dalam arti hanya ada antara anak luar kawin yang diakui dengan ayah dan ibu yang
mengakuinya saja, asal tidak merugikan ahli waris lainnya.
xv
IV. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Effendi Perangin, Hukum Waris, Raja Grapindo, Jakarta, 2005.
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Prenada Media Group, Jakarta, 2005.
PeraturanPerundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.