pada negara

Upload: ahmad-nadzir

Post on 06-Jul-2015

374 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERTANAHAN

[1]

BAB I PENDAHULUAN

Di negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi yang sangat penting karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan. Paling sedikit ada tiga kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat tinggal. Ketiga, tanah sebagai kuburan. Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik. Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri. Negara agraris yang mengalami pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pembangunan yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri. Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu. Hal tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni [2]

kemiskinan ekonomi dan kemiskinan politik. Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah berusaha untuk menjamin adanya pemerataan pemilikan tanah di Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1960, serta melalui program transmigrasi. Melalui program transmigrasi tersebut, pemerintah memberi kesempatan kepada petani miskin di Jawa, Bali dan Lombok untuk memiliki sebidang tanah, tetapi dalam perkembangannya, masalah yang muncul bukan lagi bagaimana si miskinmemperoleh tanah, tetapi bagaimana si pemilik tanah mempertahankan hak miliknya dari usaha-usaha pemilik modal yang akan mengambilnya. Apabila dicermati, sifat permasalahan tanah di Indonesia antara dekade setelah kemerdekaan hingga akhir 1960-an; dekade 1980 hingga akhir Orde Baru serta Pasca Orde Baru terdapat perbedaan, baik yang terkait dengan permasalahan tanah itu sendiri maupun posisi atau peran pemerintah di dalamnya.

[3]

BAB II KONFIK PERTANAHAN

Dekade setelah kemerdekaan hingga 1960-an, persoalan pertanahan adalah masalah yang lebih banyak terjadi di lingkungan pedesaan yang dipicu oleh pola hubungan patron-client antara petani pemilik tanah yang biasanya memiliki lahan yang sangat luas dengan petani gurem dan buruh tani. Konflik tersebut terfokus pada masalah akses seseorang terhadap tanah, atau dikenal juga dengan istilah land hunger. Tetapi lapar tanah (land hunger) pada era ini bagi mayoritas rakyat miskin lebih karena urusan perut (pemenuhan kebutuhan konsumsi), sedang bagi tuan tanah sudah mencakup status sosial. Peran pemerintah dalam konflik tanah di pedesaan dalam kontek hubungan patron-client tersebut, masih cukup netral dan bukan sebagai pihak yang tersangkut dalam persoalan itu. Hal tersebut disebabkan karena pola kekuasaan era Orde Lama cenderung pada pembangunan bangsa (nation building) dalam kontek politik, dan belum menjadikan tanah sebagai bagian kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Dekade 1980-hingga akhir Orde Baru, permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang seharusnya diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanahrakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukanpelindung kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapisebaliknya, menekan rekyat melindungi pemilik modal. [4]

Sebagai pembeli tanah, pemerintah memang berbeda dengan pembeli tanah biasa, karena mempunyai kekuatan memaksakan kehendaknya, baik melalui aparatnya, maupun hukum yang menyatakan bahwa negara adalah pemilik semua tanah di negeri ini, dan dengan demikian berhak untuk membebaskan tanah yang dimiliki oleh warganya untuk kepentingan umum. Dengan demikian, pola konflik agraria (tanah) yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru adalah konflik struktural. Disebut demikian karena terjadinya konflik akibat kebijakan pemerintah, dan yang berkonflik bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pengusaha, rakyat versus pemerintah termasuk BUMN. Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria. Ciri lain dari konflik agraria struktural adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini bersifat fisik,seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan, isolasi, dsb. Sedang pola penaklukannya bersifat ideologis seperti delegitimasi bukti-bukti hak rakyat, penetapan ganti rgusi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai PKI atau anti pembangunan, dsb. Di era Orde Baru, hak-hak masyarakat adat atau masyarakat local diingkari begitu rupa. Pola pengingkaran terhadap hak adat dimulai dari segi legal-formal melalui suatu peraturan perundang-undangan sampai pada tingkat praktik atas nama'pembangunan'. Walaupun berdasarkan Pasal 2 ayat 4 UUPA 1960 membolehkan masyarakat adat untuk "melaksanakan hak menguasai dari Negara" tetapi dalam peraturan di beberapa sektor seperti kehutanan dan pertambangan misalnya memperlihatkan bahwa hak mereka dimandulkan bahkan dibekukan. Sebut saja Pasal 2 UU 5/1967 tentang Kehutanan membagi dua bagian yaitu "Hutan Negara" dan "Hutan Milik". Penjelasan Pasal dua dengan tegas meniadakan hutan milik masyarakat adapt dengan menyebutkan: Hutan Negara ialah hutan yang tumbuh diatas tanah yang bukan tanah milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam diatas tanah yang diberikan kepada Daerah Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai Hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi hutan

[5]

marga, hutan daerah, hutan swapraja dan sebagainya. Pengingkaran terhadap hak-hak penduduk lokal berawal dari kekisruhan pengakuan terhadap hak masyarakat adat yang diatur dalam UUPA 1960. Dalam UU No. 11/1967 tentang pertambangan hak-hak. Mengenai Negara sebagai pemilik semua tanah yang ada di Negara ini oleh beberapa sarjana telah dipertanyakan kebenaran teoritiknya yang mendasari konsep itu; salah satunya adalah Werteim, dalam bukunya: Evolution and Revolution: The Rising Waves of Emancipation (1974) menyatakan bahwa konsep itu berasal dari suatu interpretasi yang keliru dari Raffles perihal system pemilikan tanah di Indonesia, khususnya di Jawa. Raffles dengan salah menginterpretasikan bahwa raja adalah pemilik semua tanah yang ada di pulau Jawa. Konsep ini kemudian diadopsi oleh pemerintah colonial dan juga oleh pemerintahan kita setelah merdeka.masyarakat adat itu semakin teralienasi. Misalnya pemilik tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan-pekerjaan pemegang kuasa pertambangan di atas tanahnya dengan musyawarah dan mufakat. Kata-kata diwajibkan dalam ketentuan tersebut, meskipun disertai penegasan harus ada musyawarah dan mufakat terlebih dahulu, tetap memberi pengertian bahwa tidak ada pilihan lain bagi pemilik hak atas tanah untuk menolak melepaskan haknya pad apemegang kuasa pertambangan. Sementara itu, pola konflik pertanahan dekade Orde Baru mulai menururn, seiring dengan menguatnya masyarakat sipil. Konflik pertanahan pasca Orde Baru berubah menjadi konflik perebutan kembali lahan oleh masyarakat petani pemilik tanah, petani penggaraf atau individu-individu yang hak milik tanahnya telah dirampas atau dikuasai oleh pengusaha, TNI, Polri dan atau pemerintah semasa Orde Baru. Kasus-kasus yang terjadi di Awu, Lombok Tengah, NTB, Kasus PLTA Sulewana, Poso, Ambon, Alas Tlogo Jawa Timur, di Jawa Tengah dan seterusnya adalah beberapa contoh kasus perebutan kembali lahan yang terjadi semenjak kejatuhan Soeharto. Peristiwa-peristiwa tersebut menguatkan fakta bahwa perpindahan hak atas tanah dalam berbagai bentuk di era Orde Baru itu dilakukan

[6]

secara paksa dengan kekerasan. 3. Perubahan Pola Konflik & Dampaknya Pada Masyarakat Adat Perubahan pola konflik tanah yang muncul awal dekade 1980-an itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, perubahan sifat proyek pembangunan di Indonesia dari proyek perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat ke megaproyek yang bertujuan meningkatkan kemampuan ekspor Indonesia. Di samping munculnya megaproyek, pembangunan juga membawa apa yang disebut dengan proyek pembangunan konsumtif untuk memenuhi kehidupan konsumstif kaum elite perkotaan, seperti pembangunan padang golf, perumahan mewah, super market, dan sebagainya. Perubahan ini menyebabkan pembangunan di Indonesia terjangkit penyakit land hunger dalam skala yang luas. Ribuan hektar tanah, tidak terkecuali tanah-tanah pertanian potensial yang merupakan tulang punggung kelestarian program swasembada pangan di Indonesia dirubah fungsi menjadi lahan pembangunan proyek konsumtif dimaksud. Kedua, adanya standar ganda di bidang administrasi pertanahan di Indonesia. Di samping UU Pokok Agraria 1960 muncul juga berbagai UndangUndang Pokok yang mengatur pemanfaatan dan penguasaan tanah yang dikeluarkan oleh berbagai departemen yang jiwa dari undang-undang itu bertentangan dengan UU PA 1960. Paling sedikit ada empat undang-undang pokok: (a) Undang-Undang Pokok Pertambangan; (b) Undang-Undang Pokok Transmigrasi; (c) Undang-Undang Pokok Irigasi; (d) Undang- Undang PokokKehutanan. Undang-Undang Pokok tersebut semuanya bertujuan Untuk melindungi kepentingan sektoral, dan dalam pelaksanannya sering mengorbankan kepentingan rakyat demi melindungi kepentingan departemen/sektoral masingmasing. Penghuni hutan bisa dipindahkan (terkadang secara paksa/terpaksa) untuk meninggalkan hutan karena hutan itu dinyatakan sebagai hutan lindung oleh Departemen Kehutanan berdasar UU Pokok Kehutanan, walaupun yang bersangkutan telah tinggal dalam hutan tersebut selama berpuluh-puluh tahun. Adanya berbagai Undang-Undang Pokok yang mengatur masalah pemanfaatan tanah ini juga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat

[7]

siapa sebenarnya yang menjadi administrator pertanahan di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional-kah atau Departemen-Departemen yang memiliki undangundang pokok tersebut? Begitu pula orang mempertanyakan status UU Pokok Agraris 1960, apakah undang-undang tersebut masih berlaku ataukah sudah digantikan dengan UU Pokok Kehutanan yang lebih menonjol termasuk pengaturan hubungan antara masyarakat tepian hutan dengan kelompok pengusah HPH. Bagaimana mungkin Undang-undang Pokok Agraria dibatasi wilayah berlakunya di negeri ini? Apa dasar hukum atas semua hal ini? Pertanyaan dan jawaban demikian seringkali terangkat dalam penanganan berbagai kasus atas tanah-tanah adat yang berada dalam wilayah yang diakui oleh Departemen Kehutanan sebagai kawasan hutan negara. Cukup banyak sarjana hukum di negeri ini yang tidak mengetahui dalam prakteknya UUPA tidak berlaku di kawasan hutan (wilayahnya 120 juta hektar ha atau 61% dari luas seluruh daratan Indonesia). Realitas pembatasan berlakunya UU adalah fenomena yang tidak wajar di negara hukum, apalagi dengan alasan yang tidak jelas. Sejumlah pakar hukum agraria menyatakan bahwa pembatasan berlakunya UUPA di kawasan hutan terjadi sejak pemerintah Orde Baru berkuasa atau tepatnya sejak ditetapkannya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan; sebuah UU yang merupakan bagian dari paket hukum ekonomi liberal Indonesia bersama UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri. Sejak saat itu UUPA yang dirumuskan dengan semangat nasionalisme dan sosialisme serta berbasis hukum adat itu praktis dibekukan dengan alasan yang mengada- ada yaitu bahwa UUPA merupakan produk komunis. Alasan yang disampaikan pemerintahan Soeharto menanggapi masalah ini, yaitu: (1) bahwa UU Kehutanan adalah UU yang lebih khusus daripada UUPA sehingga berlaku asas lex specialis derogat lex generalis (aturan hukum khusus mengesampingkan aturan umum); (2) bahwa relasi UUPA UU Kehutanan memang betul merupakan UU yang lebih khusus tetapi UU ini tidak mengatur lebih jelas hal-hal yang berkaitan dengan status hak-hak atas tanah di dan UU Kehutanan yang berkembang sekarang merupakan kelanjutan dari pola relasi

[8]

Agrarische Wet 1870 dan Boschordonantie 1927 Stb. 27-221 jo. 28-561 jo. 31168 jo. 134-163, yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya sebagai eigendom (milik) seseorang merupakan tanah negara yang secara acontrario dapat ditafsirkan bahwa semua tanah yang dapat dibuktikan kepemilikannya tidak dapat ditetapkan sebagai tanah negara, termasuk hutan negara, dan (3) realitas politik Orde Baru yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi diatas kepentingan lainnya. Apapun alasannya, penguasaan tanah, terutama hutan dengan segala isinya di era Soeharto merupakan kebijakan primadona karena dianggap sebagai salah satu penyumbang devisa negara. Pemerintah Orde Baru secara sengaja membiarkan tumbuh dan berkembangnya sektor kehutanan meskipun harus melanggar hak-hak masyarakat yang tanah-tanahnya ditetapkan secara sepihak sebagai kawasan hutan negara, termasuk melanggar peraturan perundangan yang sah yang masih berlaku seperti UUPA.3 Bidang kehutanan yang awalnya berupa satu direktorat jenderal di bawah naungan Departemen Pertanian berkembang pesat menjadi Departemen Kehutanan yang sangat kuat dan berkuasa. Ironisnya kebijakan tersebut masih berlanjut sampai sekarang. Kondisi demikian tidak memungkinkan dapat dicapainya tujuan kepastian hukum bagi rakyat atau suku-suku asli yang pada kenyataannya semakin jauh dari jangkauan mereka. Pembatasan berlakunya UUPA yang telah berlangsung selama hampir empat dekade dapat dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Diperlukan adanya koreksi atas sesat hukum yang telah terjadi selama ini dan pembenahan sistem hokum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat secara luas, termasuk di dalamnya hak-hak agraria suku-suku asli. TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara eksplisit menyebutkan bahwa peraturan perundang undangan yang saling bertentangan dan berhubungan dengan tanah dan penguasaan sumber daya lainnya oleh department/instansi sektor haruslah dihentikan, karena pertentangan ini menciptakan kemiskinan dan penurunan sumber daya alam. Peraturan perundang-undangan ini harus direvisi, dicabut atau

[9]

diubah menggunakan pendekatan holistik. Pada saat yang sama konflik harus diselesaikan melalui proses yang adil. Selain itu, memahami karakter konflik agraria di Indonesia, maka prosesproses hukum yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan konflik tidak memadai untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan lembaga khsusu penyelesaian konflik agraria. Karena pada dasarnya yang disebut dengan penyelesaian konflik agraria, bukan hanya pembuktian hokum formal dari tanah yang dikonflikkan. Melainkan pemenuhan rasa keadilan pada korban konflik agraria. Selama ini pihak rakyatlah yang selalu jadi korban konflik agraria. Kenapa pemenuhan rasa keadilan ini yang didahulukan ? karena proses penggusuran tanah-tanah rakyat yang diikuti tindakan kekerasan bukanlah insiden, melainkan sebagai akibat dari kebijakan yang dilahirkan di masa lalu. Berbagai hal strategis yang bisa dicapai dari lembaga penyelesaian konflik agraria ini adalah: 1 2 3 memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dirampas; menguatkan posisi rakyat dalam hal pemilikan tanah, memungkinkan rakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan,

penggantian terhadap kerugian dan hak-haknya yang dirampas oleh prosesmasa lalu, dan 4 memungkinkan satu terobosan hukum yang menjadi pintu masuk mendekontruksi atas sistem hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan rakyat.

[10]

BAB III PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG JUAL BELI TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT

Jual beli hak atas atas tanah merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat, bahkan bagi golongan tertentu jual beli ini sering dilakukan. Penjual merupakan pemilik tanah yang sah atas tanah tersebut, jika jual beli tersebut dilakukan oleh pihak lain dengan surat kuasa dari penjual yang sah dengan itikad tidak baik maka dapat menyebabkan perbuatan hukum tersebut batal demi hukum. Pengertian jual beli dalam pengertian sehari-hari diartikan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang menyerahkan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki secara sukarela. Dalam transaksi jual beli tanah sering kali bangunan dan atau tanaman di atas tanah bersangkutan turut menjadi obyek jual beli, hal ini harus dipertegas sebelum transaksi yang dilakukan, apakah bangunan dan atau tanaman tersebut juga merupakan obyek jual beli atau tidak. Jika bangunan dan atau tanaman tidak disebutkan dalam obyek jual beli secara jelas dan tegas maka secara hukum bangunan dan atau tanaman tersebut tidak turut diperjual belikan, keadaan yang demikian ini karena dalam hukum pertanahan di Indonesia berlaku hukum adat yang menganut asas pemisahan horizontal yaitu bangunan dan atau tanaman bukan merupakan bagian dari tanah, dengan demikian hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi kepemilikan bangunan yang ada di atasnya. Jika hal ini tidak diperhatikan secara teliti dan seksama maka dapat menjadi konflik bagi masyarakat yang melaksanakan jual beli tersebut. Kebisaaan yang dilakukan masyarakat dalam jual beli tanah merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan membayar sejumlah harga pada saat bersamaan dilakukan secara tunai dan terang. Tunai artinya ketika jual beli dilakukan, penjual menyerahkan tanah tersebut kepada pembeli dan penjual menerima pembayaran harganya dari pembeli dan pembeli menyerahkan selemba kwitansi sebagai bukti telah dilakukan pembayaran untuk selanjutnya pembuatan jual beli tersebut dianggap telah selesai. [11]

Terang artinya telah diserahkan fisik benda yang dibeli tersebut dalam hal ini adalah tanah. Perbuatan hukum ini adalah jual beli yang dimaksudkan dalam hukum adat. Namun demikian ada juga sebagian masyarakat melakukan jual beli di bawah tangan yaitu dengan cara hanya menggunakan selembar kwitansi sebagai bukti peralihan haknya, dimana pembeli menyerahkan sejumlah uang untuk pembayaran dan penjual menyerahkan kwitansi berikut alas hak atas tanah baik berupa SKT (Surat Keterangan Tanah) atau surat-surat lain yang menjadi dasar kepemilikan atas tanah tersebut kepada pihak pembeli untuk dikuasainya, hal ini dilakukan mereka antara lain adalah untuk menghindari biaya yang relatif besar dan prosedur yang berbelit-belit jika mereka harus melakukan transaksi jual beli atau pelepasan hak dihadapan pejabat yang berwenang akan tetapi ada juga masyarakat yang melakukan jual beli ini karena tidak mengetahui tentang prosedur jual beli atau pelepasan hak itu sendiri sehingga mereka menyamakan antara jual beli benda bergerak dengan benda tidak bergerak (tanah).

[12]

Seseorang yang melakukan jual beli tanah dengan cara sederhana hanya menggunakan kwitansi sebagai bukti pembayaran maupun sebagai bukti peralihannya adalah perbuatan hukum yang salah dan tidak mempunyai kekuatan hukum ketika kepentingan orang tersebut selaku pembeli terhadap pihak lain tidak terpenuhi, misalnya sebagai berikut: 1 Pihak pembeli yang terakhir mau melakukan jual beli lagi dengan atau Peralihan Hak Atas Tanah yang tentunya surat-surat dengan memperlihatkan surat-surat ini maka adalah satu-satunya surat yang pihak lain kemudian mereka pergi ke Kantor Camat untuk membuat Surat Pelepasan Hak aslinya diperlihatkan kepada pegawai Kantor Kecamatan untuk diperiksa dan diteliti secara seksama diketahuilah bahwa kwitansi tersebut

merupakan bukti bahwa jual beli telah tejadi maka hal ini tentunya menjadi hambatan bagi penjual dan pembeli untuk menindaklanjuti jual beli diantara mereka. a. Untuk mengatasi hal ini bisanya dilakukan penandatanganan ulang antara penjual dengan pembeli yaitu dengan menandatangani Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi, setelah hal ini ditandatanganai maka surat ini dilegalisasi oleh Camat setelah hal ini selesai kemudian dibuatlah Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Rugi yang baru yaitu antara pembeli tersebut dengan pihak ketiga (pembeli terakhir), jika penjual telah meninggal dunia maka ahli warislah yang harus menandatangani Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Rugi. b. Jika penjual tidak dijumpai lagi karena telah pindah atau tidak diketahui keberadaannya maka Camat akan mengeluarkan Surat Keterangan Tanah setelah berkordinasi dengan pihak kelurahan serta pernyataan-pernyataan dari pihak-pihak yang berkepentingan. 2 Kantor Untuk mendaftarkan tanah agar mendapatkan Sertipikat dari Pertanahan Medan. Pada saat melakukan pendaftaran tanah pada

Kantor Pertanahan maka semua surat tanah secara kronologis akan dilihat, diperiksa dan diteliti secara seksama jika ada surat-surat yang tidak lengkap

[13]

maka harus dilengkapi, kwitansi tersebut sebagai surat pengalihan hak tidak diterima oleh Kantor Pertanahan untuk melakukan pendaftaran, tentunya sipemohon segera kembali Kantor Lurah atau Camat untuk membuatkan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi atau dibuatkan Surat Keterangan Tanah mengenai tanah yang di perjual belikan tersebut. 3 Untuk memperoleh pinjaman uang di Bank, dalam prakteknya surat tanah tersebut dapat dijadikan jaminan saat meminjam uang, setelah permohonan diperiksa oleh pihak bank maka diketahui bahwa kwitansi sebagai dasar kepemilikan calon debitur tidak dapat diproses sebagaimana mestinya, maka calon debitur harus membuat Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi atau dibuatkan Surat Keterangan Tanah oleh Camat. Jual beli dalam masyarakat awam intinya adalah bergantinya subyek kepemilikan yaitu antara pemilik lama dengan pemilik yang baru dengan adanya pembayaran sesuai dengan harga yang telah mereka sepakati tanpa memperhatikan prosedur jual beli, aspek-aspek hukum maupun konsekuensinya di kemudian hari. Perlu ditegaskan jual beli yang dimaksudkan adalah sama dengan Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi yang dibuat dihadapan Notaris maupun Camat, hal ini dikarenakan tanah tersebut belum dimiliki dengan hak tertentu 4 Untuk mendaftarkan tanah agar mendapatkan Sertipikat. Pada saat melakukan pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan maka semua surat tanah secara kronologis akan dilihat, diperiksa dan diteliti secara seksama jika ada surat-surat yang tidak lengkap maka harus dilengkapi, kwitansi tersebut sebagai surat pengalihan hak tidak diterima oleh Kantor Pertanahan untuk melakukan pendaftaran, tentunya sipemohon segera kembali Kantor Lurah atau Camat untuk membuatkan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi atau dibuatkan Surat Keterangan Tanah mengenai tanah yang diperjualbelikan tersebut. 5 Untuk memperoleh pinjaman uang di Bank, dalam prakteknya surat tanah tersebut dapat dijadikan jaminan saat meminjam uang, setelah permohonan diperiksa oleh pihak bank maka diketahui bahwa kwitansi

[14]

sebagai dasar kepemilikan calon debitur tidak dapat diproses sebagaimana mestinya, maka calon debitur harus membuat Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi atau dibuatkan Surat Keterangan Tanah oleh Camat. Jual beli dalam masyarakat awam intinya adalah bergantinya subyek kepemilikan yaitu antara pemilik lama dengan pemilik yang baru dengan adanya pembayaran sesuai dengan harga yang telah mereka sepakati tanpa memperhatikan prosedur jual beli, aspek-aspek hukum maupun konsekuensinya di kemudian hari. Perlu ditegaskan jual beli yang dimaksudkan adalah sama dengan Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi yang dibuat dihadapan Notaris maupun Camat, hal ini dikarenakan tanah tersebut belum dimiliki dengan hak tertentu (sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 16 UUPA) dan status kepemilikan tanah tersebut merupakan tanah yang langsung dikuasai negara. Peralihan hak atas tanah adalah perubahan status kepemilikan, penguasaan, peruntukan atas dasar jual beli, hibah, tukar menukar, pemasukan ke dalam perseroan pemisahan dan pembagian atau karena warisan. Untuk tanah yang belum bersertipikat atau tanah yang dikuasai oleh Negara maka seseorang hanya boleh menguasainya untuk diusahakan sehingga mendapat manfaat dari tanah tersebut. Apabila dilakukan jual beli terhadap tanah tersebut berarti terjadi peralihan hak dari penjual kepada pembeli yang diikuti dengan pembayaran sejumlah uang sebagai bentuk ganti kerugian atas peralihan hak atas tersebut, mengusahakan atau mengelola tanah tersebut. Hak-hak atas tanah yang belum bersertipikat dikuasai lebih mengacu kepada kepada hak seseorang yang telah memperoleh manfaat dari tanah yang langsung oleh negara, tanah tersebut masih dalam kekuasaan negara dan seseorang dapat menggarapnya untuk diusahakan atau dikelola. Seseorang yang telah menjadi pemegang hak atas tanah yang belum bersertipikat tidak dapat memberikan haknya tersebut kepada orang lain dengan begitu saja karena hak itu merupakan kewenangannya namun yang dapat dilakukannya adalah mengalihkan atau melepaskan hak atas tanah yang dimilikinya dengan akta Pelepasan Hak tanah hak yang dimaksudkan adalah hak dalam arti menguasai dan

[15]

Dengan Ganti Rugi yang dibuat dihadapan Notaris ataupun Surat Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi yang dilegalisasi oleh Notaris ataupun Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi yang dibuat oleh Camat. Dengan melepaskan haknya itu, tanah yang terlibat menjadi tanah negara, yaitu dikuasai langsung oleh negara. Langsung dikuasai artinya tidak ada pihak lain selain negara yang berhak atas tanah tersebut.56 Pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Salah satu kunci yang cukup menentukan dalam perbuatan hukum di atas adalah yang berkenaan dengan ganti rugi dalam pelepasan hak atau penyerahan tanah itu adalah imbalan sebagai pengganti nilai tanah yang diserahkan oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah. Berdasarkan ketentuan ini dapat kita ketahui bahwa ganti rugi merupakan suatu imbalan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah yang telah dilepas atau diserahkan oleh pembeli. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka jelaslah bahwa begitu mudah dan gampangnya masyarakat untuk melaksanakan peralihan hak atas tanah tanpa mengetahui proses ataupun cara peralihan itu sehingga pada saat pendaftaran hak atas tanah tersebut pada Kantor Pertanahan maupun segala hal yang menyangkut tanah tersebut terhadap pihak lain pastilah terjadi kesulitan. Bagi sebagian masyarakat yang telah mengetahui teknis dan tata cara peralihan hak atas tanah tentu tidak akan mau untuk melakukan transaksi jual beli tersebut dengan demikian mudahnya, apalagi jika tidak sesuai prosedur karena dapat menimbulkan sengketa atau konflik di kemudian hari. Untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum peralihan atau pelepasan hak atas tanah maka harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang untuk melaksanakan peralihan atau pelepasan hak atas tanah tersebut yaitu ke Kantor Kelurahan, Kantor Kecamatan ataupun ke Kantor Notaris guna menjamin kepastian hukum tentang peralihan atau pelepasan hak atas tanah tersebut. Kenyataan ini dapat kita lihat dengan adanya surat-surat tanah yang dibuat oleh Camat maupun Lurah. Surat-surat yang dibuat Camat ataupun Lurah adalah

[16]

untuk menciptakan bukti tertulis dari tanah-tanah yang mereka kuasai, tanah-tanah tersebut merupakan tanah-tanah yang belum dikonversi atau tanah-tanah yang dikuasai oleh negara yang diduduki oleh rakyat, sehingga tanah tersebut merupakan hak seseorang. Pada umumnya Camat sering mengeluarkan SK Camat (Surat Keterangan Camat) yang dibuat dengan berbagai judul seperti Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi dan lain sebagainya, surat ini dibuat oleh Camat sebagai bukti hak ataupun bukti peralihan hak atas tanah sehubungan dengan adanya jual beli tanah. Dari penelitian dan data-data yang diperoleh, pada Kantor Camat Medan Johor judul surat pengalihan hak atas tanah yang belum bersertipikat adalah Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi, sedangkan terhadap tanah-tanah yang tidak mempunyai surat sama sekali karena hilang, musnah ataupun karena tidak punya sama sekali Camat membuatkan Surat Keterangan Tanah. Surat-surat kepemilikan ini dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan untuk diterbitkan sertipikatnya. Berdasarkan penelitian dan angket serta wawancara yang dilakukan dengan responden (10 orang) dapat diketahui bahwa: Masyarakat yang melakukan jual beli hak atas tanah yang belum bersertipikat pergi ke kantor Lurah 2 orang, ke kantor Camat 5 orang, sedangkan sisanya sebanyak 3 orang pergi ke kantor Notaris. Alasan yang menyatakan kenapa mereka pergi ke kantor Camat, Lurah maupun Notaris adalah masing-masing menyebutkan dikarenakan biaya yang relatif lebih murah dan merasa lebih mudah serta telah kenal dengan Lurah, Camat, Notaris ataupun setidak-tidaknya dengan pegawainya. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakseragaman jual beli adalah: 1 2 3 4 Ketidaktahuan Kebiasaan. Biaya. Kurangnya sosialisasi dari pemerintah mengenai ketidakseragaman

bentuk perolehan haknya

[17]

BAB III BENTUK BENTUK SURAT PERALIHAN HAK ATAS TANAH SEBAGAI LANDASAN PENGALIHAN HAK ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT

A. Pengertian Jual Beli Perbuatan jual beli dalam pengertian sehari-hari diartikan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang menyerahkan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki dengan sukarela. Berdasarkan perkembangan hukum kebendaan yang terjadi di Indonesia dapat dibedakan mengenai jual beli dan pengalihan haknya. Undang-undang Pokok Agraria tidak mengatur secara khusus tentang jual beli namun dapat dipahami bahwa pengertian jual beli dalam hukum tanah nasional adalah jual beli tanah dalam pengertian hukum adat mengingat bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hokum adat sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 5 Undang-undang Pokok Agraria yang menyebutkan bahwa: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama Pengertian jual beli tanah menurut hukum adat yaitu perbuatan hokum penyerahan tanah untuk selama-lamanyanya disebut dengan jual beli lepas dimana penjual menerima pembayaran sejumlah uang dari harga penjualannya. Dengan demikian menurut hukum adat yang merupakan dasar dari hukum tanah nasional yang yang berlaku saat ini sebagaimana termuat dalam Undang-undang Pokok Agraria peralihan hak atas tanah terjadi sejak ditandatanganinya surat/akta dihadapan pejabat yang berwenang dan dibayarnya harga oleh pembeli kepada penjual, peralihan atau pemindahan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli berarti pemindahan penguasaan [18]

secara yuridis dan fisik sekaligus, namun ada kalanya

peralihan atau

pemindahan hak tersebut baru secara yuridis saja karena secara fisik tanah masih dibawah penguasaan orang lain, misalnya karena hubungan sewa yang belum berakhir waktunya. B. Bentuk-Bentuk Surat Perolehan Hak Atas Tanah 1. Surat-Surat Peralihan Camat/Lurah Pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya terdiri dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat berkedudukan di ibukota negara sedangkan Pemerintah Daerah berada di daerah yang terdiri dari Pemerintah propinsi yang dipimpin Gubernur dan Pemerintah Kabupaten/Kota dipimpin oleh Bupati/Walikota. Salah satu unsur pemerintah yang merupakan bagian dari Pemerintahan Kota yang berada dibawah kepemimpinan Walikota adalah Camat yang membawahi wilayah suatu kecamatan tertentu berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota atau Bupati (jika berada di bawah kepemimpinan Bupati). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah telah ditegaskan bahwa kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah kabupaten atau kota. Camat dalam kedudukannya sebagai Kepala Pemerintahan adalah Camat merupakan pemerintah kecamatan merangkap sebagai administrator kecamatan. Secara umum suatu wilayah kecamatan mempunyai 4 (empat) pengertian, yaitu: a. Wilayah pemerintahan dan administrasi umum; b. Wilayah jabatan (daerah administratif); c. Aparatur atau perangkat pemerintahan/administrasi; d. Unit organisasi pemerintahan territorial dekonsentral. Segala tugas dan kewenangan yang dimiliki Camat sebagai perangkat daerah dan kepala wilayah kecamatan tertentu yang menerima pelimpahan sebahagian tugas dan kewenangan dari Bupati atau Walikota Hak Atas Tanah Yang Dibuat Oleh

[19]

merupakan tugas-tugas dalam bidang hukum administrasi negara. Tugastugas dan kegiatan-kegiatan sebagai administrasi negara, antara a. Melaksanakan dan menyelenggarakan kehendak-kehendak (strategi, policy) serta keputusan-keputusan pemerintah secara yata (implementasi). b. Menyelenggarakan Undang-undang (menurut pasal-pasalnya)sesuai dengan peraturan-peraturan pelaksanaan yang ditetapka oleh pemerintah. Surat atau akta jual beli ataupun peralihan dan pemindahan hak ata tanah yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang adalah dengan maksud dan tujuan yang sama yaitu mengalihkan atau memindahkan hak dan kewajiban hak atas tanah dari penjual kepada pembeli. Berdasarkan kenyataannya, dalam masyarakat terdapat bermacammacam bentuk surat/akta jual beli yang ditemukan untuk peralihan atau pemindahan hak atas tanah tersebut, namun demikian tidak semua bentuk surat/akta itu dapat dipertanggungjawabkan secara hukum termasuk untuk pendaftaran haknya guna memperoleh sertipikat pada Kantor Pertanahan Medan. Berdasarkan penelitian dan data-data yang diperoleh pada Kecamatan Medan Johor, semua surat peralihan hak atas tanah baik peralihan berikut bangunan ataupun tanpa bangunan yang alas haknya belum bersertipikat dan masih merupakan tanah negara yang dialihkan atau diganti rugikan dibuatla suatu Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi (dibuat rangkap tiga), rangkap pertama untuk arsip di Kantor Camat, rangkap kedua untuk arsip di Kantor Lurah dan rangkap yang yang ketiga untuk pembeli), Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi ini ditandatangani oleh Pihak Pertama (selaku Penjual) dan Pihak Kedua (selaku Pembeli) kemudian surat ini dilegalisasi oleh Camat dengan diberi nomor dan tanggal sesuai dengan daftar nomor urut dan tanggal yang ada dalam buku register di Kantor Camat.

[20]

Dalam satu set Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi yang dilegalisasi oleh Camat ini berisikan: 1. Surat Pernyataan Pelepasan Pengusaan Tanah Dengan Ganti Rugi 2. Keterangan Situasi Tanah 3. Surat Keterangan 4. Surat Kuasa (jika dikuasakan) 5. Surat Pernyataan/Pengakuan Pemilikan Tanah 6. Berita Acara Pengukuran Atas Tanah 7. Surat Jaminan 8. Surat Pernyataan Ahli Waris (jika pemilik tanah telah meninggal dunia). Syarat-syarat a. Asli Surat Tanah b. Kartu Identitas Penjual (suami/istri) c. Kartu Identitas Pembeli d. SPPT PBB tahun berjalan e. Surat Pernyataan Ahli Waris (jika pemilik tanah yang terdaftar dalam Surat Keterangan Tanah telah meninggal dunia). f. Pas photo ukuran 3x4 sebanyak 2 (dua) lembar. Perbuatan hukum untuk menerbitkan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi atas tanah-tanah negara yang belum mempunyai sertipikat sebagaimana terjadi merupakan kewenangan dalam kedudukan Camat sebagai kepala wilayah kecamatan yang bertujuan untuk tertib administrasi di Kantor Camat. Camat dalam hal ini berperan sebagai pejabat pemerintah berdasarkan jabatannya dapat mengetahui tentang kepemilikan tanah dalam wilayah pemerintahannya maka Camat dapat menjadi saksi atas dasar jabatannya untuk menguatkan kebenaran isi surat tersebut apabila dikemudian hari terjadi perselisihan sampai ke Pengadilan karena dalam surat itu sendiri Camat mengetahui tentang keberadaan tanah yang diperjual belikan tersebut. untuk membuat Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi adalah:

[21]

Keadaan yang demikian ini bagi masyarakat menambahkan keyakinan bahwa dengan diketahui oleh Camat maka jual beli yang mereka lakukan lebih sah lagi dalam arti bahwa Camat telah mengetahui bahwa kepemilikan tanah di wilayah kerjanya telah berganti antara penjual sebagai pemilik lama dengan pembeli sebagai pemilik yang baru. Dalam satu tahun di Kecamatan ini terdapat lebih kurang 200-250 transaksi peralihan hak atas tanah yang dibuat dengan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi dengan biaya pembuatan surat tersebut berkisar antara Rp.1.000.000 sampai dengan Rp.1.500.000 dan dapat disiapkan satu hari sampai tujuh hari setelah penandatanganan surat tersebut. Begitu banyaknya transaksi peralihan hak atas tanah yang berlangsung pada Kecamatan ini tidak ada sekalipun pembeli meminta kepada Camat untuk melanjutkan peralihan tersebut segera didaftarkan pada Kantor Pertanahan Medan untuk memperoleh Sertipikat, sehingga dapat dipastikan peranan Camat dalam pendaftaran hak tidak ada. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Kantor Camat Medan Johor untuk menerbitkan atau membuat Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi, antara lain: a. Surat tanah tidak ada (sama sekali belum pernah ada) b. Surat tanah hilang. c. Biaya d. Tanah tersebut dalam sengketa. Jual beli atau peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat tidak pernah dibuat oleh Lurah yang bersangkutan namun Kantor Lurah hanya meneruskan keinginan dari masyarakat yang datang ke kantor tersebut untuk membuat jual beli atau peralihan hak tersebut ke Kantor Camat, sedangkan yang dibuat berkaitan dengan jual beli atau pengalihan hak tersebut di Kantor Lurah adalah Surat Pernyataan/ Pengakuan Pemilik Tanah, Berita Acara Pengukuran Tanah, Keterangan Situasi Tanah, Surat Keterangan dan Surat Jaminan serta Surat Pernyataan Ahli Waris (jika

[22]

pemilik telah meninggal dunia) yang disaksikan dan dibenarkan oleh Lurah, kemudian surat tersebut dikirim ke Kantor Kecamatan Medan Johor, bahkan terkadang jika para pihak ingin cepat menyelesaikan jual beli atau peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat itu blanko Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi itu ditandatangani di Kantor Kelurahan yang memang telah dipersiapkan dan diambil dari Kantor Camat Medan Johor. Berdasarkan penelitian dan data yang diperoleh dalam 1 (satu) tahun di Kelurahan ini terdapat 80-110 kasus yang datang ke Kantor Lurah untuk dibuatkan transaksi peralihan hak atas tanah yang dibuat dengan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi dengan biaya pembuatan surat tersebut sama dengan yang diterapkan di Kantor Camat berkisar antara Rp.1.000.000 sampai dengan Rp.1.500.000 dan surat peralihan tersebut dapat diselesaikan dalam waktu 1 hari sampai 7 hari setelah penandatanganan surat tersebut. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Kantor Lurah Gedung Johor dalam menerbitkan surat-surat yang berkaitan dengan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi yang dibuat oleh Camat adalah: a. Tidak sesuai surat sebagai alas hak atas tanah dengan ukuran tanah di lapangan. b. Batas-batas dengan jiran tetangga yang tidak jelas sehingga dapat menimbulkan sengketa. c. Biaya. 2. Akta Peralihan Hak Atas Tanah yang dibuat Notaris Akta yang dibuat Notaris memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya, karena Undang-undang yang memberikan wewenang kepada Notaris untuk membuat suatu akta otentik yang fungsinya sebagai alat bukti di Pengadilan jika dikemudian hari terjadi sengketa diantara para pihak yang membuat akta itu.

[23]

Akta yang dibuat oleh Notaris atau dibuat dihadapan Notaris merupakan suatu alat bukti, sehingga dalam membuat suatu akta seorang Notaris harus memperhatikan norma-norma selain kode etik dan ketentuan perundang-undangan lainnya. Akta adalah tulisan yang ditandatangani oleh para pihak yang berkepentingan yang bertujuan menjadi alat bukti. Ditinjau dari cara pembuatannya akta dibedakan atas 2 (dua) bagian yakni akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang diisyaratkan dan dibuat oleh pejabatpejabat (ambtenaren)yang berwenang yang menurut atau berdasar pada Undang-undang dibebani untuk menyatakan apa yang telah disaksikan(waarneming) atau dilakukannya, sedang akta dibawah tangan adalah semua akta yang bukan akta otentik. Pengertian akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah suatu akta yang dalam bentuk ditentukan oleh Undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. Dari perumusan ini dapat diketahui bahwa ada 2 (dua) jenis akta otentik, yaitu: a. Akta yang diperbuat oleh (door een) Notaris. Akta seperti ini bisaanya diberi nama akta relaas atau Acara, yangtermasuk jenis akta ini antara lain akta berita berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas, akta berita acara rapat direksi perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventaris harta peninggalan, akta berita acara penarikan undian. Akta ini merupakan keterangan atau kesaksian dari Notaris tentang apa yang dilihat, atau apa yang disaksikannya terhadap perbuatan yang dilakukan orang lain. b. Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan van een) Notaris. Akta ini dinamakan akta pihak-pihak (partij-akte). Isi akta ini ialah catatan Notaris yang bersifat otentik mengenai keterangan- keterangan dari pada penghadap yang bertindak sebagai pihak- pihak dalam akta bersangkutan. Golongan akta ini termasuk akta jual beli, sewa menyewa perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan

[24]

sebagainya. Pasal 1 ayat (7 Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2007 (UUJN) menyebutkan bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang. Mengenai bentuk-bentuk Akta dalam Undang-undang Jabatan Notaris diatur dalam pasal, antara lain yaitu: Pasal 42, menyebutkan sebagai berikut: 1) sama 2) singkatan. Ruang dan sela kosong digaris dengan jelas sebelum akta ditandatangani, kecuali untuk akta yang dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan peraturan perundang-undangan. 3) Semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului dengan angka. 4) kuasa. Pasal 43, menyebutkan sebagai berikut: (1) (2) Akta dibuat dalam bahasa Indonesia. Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi surat kuasa yang belum menyebutkan nama penerima Akta Notaris dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu lain yang tidak terputus-putus dan tidak menggunakan

digunakan dalam akta Notaris wajib menterjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. (3) Apabila Notaris tidak dapat menterjemah atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penterjemah resmi. (4) Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang Undang-undang tidak menentukan lain. (5) Dalam hal akta dibuat sebagaimana yang dimaksud dalam

[25]

ayat (4), Notaris wajib menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Pasal 44, menyebutkan sebagai berikut: 1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi dan Notaris, kecuali ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tandatangan dalam akta dengan menyebutkan alasannya. 2) 3) Alasan sebagaimana disebutkan pada ayat (1) dinyatakan Alasan sebagaiman yang dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) secara tegas dalam akta. ditandatangani oleh penghadap, saksi, Notaris dan penterjemah resmi. 4) Pembacaan, penterjemahan atau penjelasan dan penandatanganan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 43 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) dinyatakan secara tegas pada akhir akta. 3. Akta Peralihan Hak Atas Tanah yang dibuat Notaris Mengalihkan hak atas tanah haruslah dilakukan dihadapan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Untuk akta-akta tanah, sebenarnya kewenangan khusus dari PPAT karena untuk membuat akta otentik dalam perjanjian peralihan hak atas tanah dimaksudkan adalah: a. Memindahkan hak atas tanah; b. Memberikan sesuatu hak baru atas tanah; c. Menggadaikan tanah; d. Meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan. Dalam kenyataannya perjanjian peralihan hak atas tanah seperti yang disebutkan di atas dapat dilaksanakan dihadapan Notaris. Terhadap tanah- tanah yang besertipikat jual beli atau pengalihan hak atas tanah berikut segala sesuatu yang berada di atas tanah tersebut harus dilaksanakan dihadapan PPAT tetapi ada kalanya kewajiban PPAT ini atas permintaan para pihak/penghadap dibuat dengan akta Notaris.

[26]

Bentuk akta dalam peralihan hak yang dibuat oleh PPAT adalah akta yang berbentuk baku yaitu yang mempergunakan formulir baku yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga setiap deeds of conveyance (setiap peralihan hak ataupun pengikatan sebagai jaminan dengan hak tanggungan) haruslah menggunakan formulir baku tersebut. Sedangkan dalam bentuk akta Notaris diatur berdasarkan UUJN. Dalam perbuatan hukum jual beli/peralihan hak atas tanah yang bersertipikat haruslah dibuat dengan akta jual beli yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah tetapi jika ada syarat ataupun sebab lain sehingga peralihan/pemindahan hak atas tanah tersebut kurang memenuhi persyaratan pembuatan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah sedangkan perbuatan hukum jual beli tanah dan atau berikut bangunan tetap dilakukan oleh penjual dan pembeli, maka Notaris haruslah membuat akta Perikatan Jual Beli dengan akta Notaris. Seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat menolak untuk membuat akta jual beli atas tanah yang bersertipikat Hak Milik dengan alasan, antara lain: a. Sertipikat belum cek bersih di Kantor Pertanahan b. Pajak Penghasilan (PPh) belum dibayar oleh penjual c. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) belum dibayar oleh pembeli d. Sertipikat masih terdaftar atas nama pewaris e. Sertipikat masih ada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) belum di Roya f. Sertipikat induk belum dipecah, pembeli hanya membeli sebagian g. Pembeli orang asing, sertipikat tersebut harus ditanggalkan hak miliknya h. Pembeli adalah Perseroan Terbatas sehingga sertipikat tersebut harus diturunkan hak miliknya menjadi Hak Guna Bangunan i. Sertipikat (atas tanah dimaksud) berada di luar wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut.

[27]

j. Pembeli tidak menginginkan Sertipikat atas namanya karena ingin menjual kembali dengan kapling-kapling, dengan memakai Surat Kuasa Menjual. Kewenangan seorang Notaris dapat melakukan pembuatan akta peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat, antara lain adalah: a. Berdasarkan Pasal 1 UUJN Menurut pasal ini, bahwa Notaris adalah Pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, hal ini mengandung pengertian bahwa Notaris mempunyai kewenangan khusus untuk membuat akta-akta otentik tentang semua tindakan-tindakan, perjanjianperjanjian dan keputusan-keputusan. Akta otentik ini harus dibuat berdasarkan apa yang dikehendadki oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan oleh Undang-undang harus dinyatakan dalam suatu akta. b. Berkaitan dengan hal tersebut Pasal 16 ayat (1) UUJN menyebutkan bahwa Notaris berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang terutama membuat akta-akta yang diperlukan oleh yang berkepentingan, Notaris dibenarkan untuk menolaknya apabila ada alasan-alasan yang kuat. c. Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN yang mengatur wewenang Notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan tanah. d. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). e. Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 bahwa bangsa Indonesia bukanlah tempatnya bertindak sebagai pemilik tanah, lebih tepat jika Negara sebagai organisasi kekuasaan dari rakyat bertindak selaku badan penguasa. Kekuasaan negara yang dimaksudkan adalah mengenai semua bumi, air, ruang angkasa. Jadi walaupun sudah dimiliki haknya oleh seseorang maupun tidak, kekuasaan Negara mengenai hak yang sudah dipunyai dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak tersebut artinya sampai seberapa jauh

[28]

Negara memberikan kekuatan kepada yang memilikinya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah kekuasaan Negara. Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunya dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Berpedoman pada tujuan yang disebutkan, Negara dapat memberikan tanah yang sedemikian itu kepada seseorang ataupun badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya. f. Berdasarkan Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sebelum berlakunya UUPA dikenal lembaga hukum jual beli tanah, ada yang diatur dalam KUH Perdata yang tertulis dan ada yang diatur hokum adat yang tidak tertulis. Menurut ketentuan pasal ini yang disebut dengan jual beli adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah disebut penjual menyerahkan tanah kepada pihak lain yang disebut pembeli. Dengan dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apapun atas hak atas tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu ketentuan hukum mengenai jual beli tanah tersebut bukan merupakan hukum tanah, melainkan ketentuan perdata, tegasnya hukum perjanjian Barat. Tidak ada bedanya dengan jual beli benda-benda bukan tanah, biasanya jual beli dilakukan dihadapan Notaris. Hak atas tanah baru berpindah kepada pembeli jika penjual telah menyerahkan secara yuridis kepadanya dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya (Pasal 1459 KUH Perdata). Menurut Pasal 616 dan 620 KUH Perdata penyerahan harus dilakukan dengan membuat akta dan wajib didaftarkan pada pejabat yang disebut penyimpan hipotik. Dengan selesainya dilakukan pendaftaran tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pembeli. Pasal 1888 Kitab Undangundang Hukum Perdata menyebutkan bahwa kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada aktanya asli. Dengan demikian mengacu kepada pasal ini kekuatan pembuktian dari akta Notaris terletak dalam minuta aktanya. Menurut Pasal 16 UUJN, minuta asli akta itu tetap disimpan oleh

[29]

Notaris dan tidak akan diberikan kepada siapapun kecuali Undang-undang menyatakan lain. Mengenai akta Pelepasan Hak Atas Tanah yang dibuat dengan akta Notaris mempunyai akibat hukum yang sah terhadap akta yang telah dibuatnya. Jika Pemilik tanah yang baru hendak mendaftarkan haknya dikemudian hari maka akta ini dapat diterima Kantor Pertanahan sebagai alas hak yang sah atas tanah yang belum bersertipikat tersebut. Sebelum membuat akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi seorang Notaris haruslah memeriksa keabsahan dan kelengkapan alas hak maupun surat-surat yang berhubungan dengan pembuktian kepemilikan tanah tersebut sehingga hal ini dapat dijadikan sebagai syarat untuk membuat suatu akta. Mengenai kebenaran isi dari surat-surat yang diperiksa Notaris tidak dapat mengujinya secara materil dengan eksistensi keberadaan tanah yang bersangkutan, dengan kata lain Notaris tidak pergi ketempat dimana letak tanah itu berada ataupun untuk melihat batas-batas tanah sebagaimana yang dimaksudkan dalam surat-surat tersebut.

[30]

Notaris cukup melihat bukti-bukti yang diberikan kepadanya berdasarkan surat-surat tersebut Untuk menghindari bahwa atas tanah yang belum bersertipikat tersebut memang benar kepunyaan penjual dan tidak dalam keadaan sengketa maka sebelum akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi dibuat untuk ditandatangani para pihak maka Notaris selalu meminta dibuatkan Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa (biasa juga disebut SS) yang diterbitkan oleh Lurah dan dikuatkan oleh Camat bersangkutan dimana tanah itu berada, surat ini isinya menerangkan bahwa di atas tanah yang akan dijual tersebut tidak bersengketa dengan pihak manapun juga. Mengenai berlakunya Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa dapat dijelaskan bahwa pengeluaran atau penerbitan Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa atas tanah tidak ada dasar hukumnya, surat tersebut bersifat keterangan mengenai keadaan fisik tanah di lapangan yang diketahui oleh Lurah maupun Camat, namun demikian surat ini juga sering menjadi bukti kepemilikan tambahan oleh pemilik tanah. Kegunaan dari Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa antara lain: a. Untuk menunjukkan itikad baik bahwa benar objek hak atas tanah yang hendak dijual tidak dalam keadaan sengketa. b. Itikad baik dari pembeli terhadap penjual bahwa pembeli percaya atau membenarkan Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa tersebut diterbitkan oleh Lurah dan diketahui oleh Camat merupakan suatu kebenaran terhadap keadaan tanah yang hendak dijual. c. Melindungi Notaris dalam menjalankan tugasnya menjaga kebenaran akan bukti-bukti yang diperlukan dalam perjanjian peralihan hak atas tanah tersebut. Hal ini merupakan salah satu perbedaan dalam hal pelaksanaan pembuatan akta Peralihan Hak Atas Tanah yang dibuat di Kantor Notaris dengan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi yang dibuat oleh Camat. Pada saat para pihak datang menghadap kepada Notaris hendaklah memenuhi syarat-syarat yang diperlukan antara lain:

[31]

a. Tanda Pengenal (KTP) suami/isteri atau identitas para pihak b. Surat Kuasa (bagi mereka yang dikuasakan penjual dengan akta Notaris ataupun yang dilegalisasi dan bagi pembeli diperbolehkan dengan kuasa lisan) c. Asli Tanda bukti hak atas tanah (alas hak atas tanah) d. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) Tahun berjalan. Syarat-syarat ini kemudian diserahkan kepada Notaris untuk selanjutnya diteliti guna pembuatan akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi. Selain dari syarat-syarat yang disebutkan di atas Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa juga diperlukan dan merupakan suatu kewajiban bagi pembuatan akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi, jika tidak ada Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa maka tidak akan dibuat akta tersebut tetapi cukup dilegalisasi tanda tangan saja, sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 15 ayat (2) a Undang-undang Jabatan Notaris. Berdasarkan data yang diperoleh dari Daftar Akta yang diperbuat pada kantor Notaris Roosmidar, SH, SpN jumlah akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi 1 selama (satu) tahun jumlahnya mencapai 40 sampai dengan 50 akta, termasuk Surat Peralihan Hak Atas Tanah yang yang dilegalisasi tanda tangan, judul akta yang digunakan adalah Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi. Pada umumnya masyarakat (pembeli) yang membuat akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi di kantor Notaris tidak melanjutkan untuk melakukan pendaftaran hak (membuat sertipikat), kecuali hanya bagi mereka yang mempunyai kepentingan tertentu diantaranya untuk meminjam uang pada bank untuk dijadikan agunan yang melanjutkan pendaftaran haknya setelah melakukan pelepasan hak tersebut dengan bantuan Notaris. Berdasarkan data yang diperoleh sehubungan dengan peralihan hak atas tanah dapat diketahui ada satu perbuatan hukum peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat yang dilakukan seseorang (pembeli) dengan cara membeli sebidang tanah dengan atau tanpa bangunan namun

[32]

demikian pada saat mendaftarkan haknya tetap atas nama pemilik tanah yang lama (penjual) pada Kantor Pertanahan Kota Medan, walaupun segala hak dan kewajiban atas peralihan hak atas tanah tersebut telah dipenuhi kedua belah pihak yang artinya sejak akta Pelepasan Hak Dengan Ganti tersebut ditandatangani kedua belah pihak maka segala keuntungan dan kerugian yang diperoleh akibat peralihan hak tersebut menjadi tanggung jawab pembeli.

[33]

Namun demikian ia tetap mendaftarkan tanah tersebut atas nama pihak pertama sehingga sertipikat yang dimohonkan pendaftarannya tersebut terbit atas nama penjual. Segala hak dan kewenangan pembeli terhadap tanah tersebut setelah sertipikat itu diterbitkan adalah berdasarkan Surat Kuasa yang penandatanganannya dibuat bersamaan dengan akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi. Isi dari Surat Kuasa ini memuat antara lain, untuk memohonkan sertipikat, menerima sertipikat setelah selesai diproses, melakukan pemecahan sertipikat pada Kantor Pertanahan, untuk menjual kepada pihak-pihak lain, menandatangani akta jual beli dan menerima uang hasil penjualan, hal ini bisaanya dilakukan oleh seseorang yang mempunyai usaha properti atau jual beli rumah. Berdasarkan data yang diperoleh dari Daftar Akta yang diperbuat pada kantor Notaris Erna Waty Lubis, SH, SpN, jumlah Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi 1 (satu) tahun sebanyak lebih kurang 20 sampai dengan 30 akta, termasuk Surat Peralihan Hak Atas Tanah di bawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris. Judul akta yang digunakan adalah Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi, jika obyek yang diperjual belikan tersebut sebidang tanah kosong, tetapi jika terdapat bangunan diatasnya maka judul aktanya adalah Jual Beli Dan Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Daftar Akta yang diperbuat pada kantor Notaris Darwin Zainuddin,, SpN, jumlah Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi 1 (satu) tahun sebanyak 5 sampai dengan 10 akta dan tidak ada Surat Peralihan Hak Atas Tanah dibawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris. Judul akta yang digunakan adalah Penglepasan Hak Dengan Ganti Rugi Serta Pemberian Kuasa.

[34]

BAB IV PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT DAN KENDALA-KENDALA YANG UMUMNYA DIHADAPI MASYARAKAT DALAM PENDAFTARAN TANAH PADA KANTOR PERTANAHAN

A. Pelaksananaan Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Jawatan Pendaftaran Tanah menurut ketentuan Peraturan Pemerintah, sebagai mana diketahui bahwa semula Jawatan Pendaftaran tanah adalah bernaung dibawah Departemen Kehakiman, dengan dibentuknya departemen agrarian maka jawatan pendataan tanah digabungkan kepada departemen agrarian yang merupakan instasi sendiri. Setelah keluarnya Keputusan Presiden Nomor Tahun 1988 dengan dibentuknya Badan Pertanahan Nasional (BPN) maka yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah merupakan wewenang Badan Pertanahan Nasional tersebut, untuk daerah tingkat 1 (Kanwil BPN) dan untuk daerah tingkat dua II adalah kantor pertahanan kabupaten/Kotamadya. Kegiatan pendaftaran adalah kewajiban yang harus dilaksanakan pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia. Ketentuan ini merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan pendaftaran tanah, hal ini merupakan jaminana adanya kepastianhukum bagi pemegang hak, tentang kepastian hukum ini diatur oleh Pasal 3 PeraturanPemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (PP 24/1997) dan Peraturan Pelaksanaannya. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa apabila seseorang hendak mendapatkansertipikat hak atas tanah harus melalui tahap-tahap tertentu dan harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan.Pendaftaran tanah pada masa mendatang merupakan aksi yang penting dalampengadministrasian tanah, demi untuk mengamankan hak-hak seseorang atas tanahdan demi terwujudnya penatagunaan tanah serta administrasi pertanahan yang akuratdan [35]

terjamin,

sudah

barang

tentu

negara

akan

melaksanakan

tugas

tersebutuntukkepentingan warganya dan kepentingan negara itu sendiri. Kegiatan pendaftaran yang diatur dalam Pasal 11 PP Nomor 24 Tahun 1997,meliputi dua kegiatan yaitu pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaandata pendaftaran tanah.Pendaftaran Tanah untuk pertama kali, yaitu pendaftaran yang dilekatkanterhadap obyek pendaftaran tanah (tanah negara dan bukti hak lama) yang belum didaftar berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997.Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali sebagaimana yang imaksudkan dalam Pasal 12 ayat (1 )PP Nomor 24 Tahun 1997 meliputi: 1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik; 2. Pembuktian hak dan pembukuannya; 3. Penerbitan sertipikat; 4. Penyajian data fisik dan data yuridis; 5. Penyimpanan daftar umum dan dokumen. Pemeliharaan data pendaftaran tanah yang merupakan kegiatan pendaftaran data pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis. Dengan kata lain, pendaftaran baru karena adanya perubahan yang terjadi dikemudian hari, baik mengenai tanahnya (pemisahan dan penggabungan serta hapusnya dan pembebanannya), hak maupun subyek haknya karena tujuan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum atas tanah. Pasal 65 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan bahwa berdasarkan Berita Acara Pengesahan data Fisik dan Data Yuridis sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 64 ayat (1) dilaksanakan sebagai berikut: 1. Penegasan Hak Hak atas bidang tanah yang alat bukti tertulisnya lengkap sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 60 ayat (2) dan alat bukti tertulisnya tidak lengkap tetapi ada keterangan saksi maupun pernyataan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) oleh Ketua Panitia Ajudikasi ditegaskan konversinya menjadi Hak Milik atas

[36]

nama pemegang hak terakhir. 2. Pengakuan Hak Hak atas tanah yang alat bukti kepemilikannya tidak ada tetapi telah dibuktikan kenyataan pengakuan fisiknya selama 20 (dua puluh) tahun sebagimana dimaksud dalam Pasal 61 oleh Ketua Panitia Ajudikasi diakui sebagai hak milik. 3. Pemberian Hak Menurut Pasal 4 Undang-undang Pokok Agraria yang selanjutnya dirinci dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria, kepada perorangan atau badan hukum dapat diberikan berbagai hak atas tanah. Meskipun tidak secara tegas diatur, akan tetapi wewenang untuk memberikan hak-hak atas tanah seperti tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria adalah Negara Republik Indonesia cq Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pasal 66 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, menyebutkan: 1. Berdasarkan Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan data Yuridis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), Ajudikasi mengusulkan secara Kolektif Ketua Panitia kepada Kepala Kantor

Pertanahan setempat pemberian hak atas tanah-tanah Negara termasuk tanah Negara yang menjadi obyek landreform. 2. Dalam pendaftaran tanah secara sisitematik Kepala Kantor Pertanahan diberi wewenang untuk menetapkan pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Menurut ketentuan pasal 12 ayat (2) PP Nomor 24 1997, kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi yaitu: 1. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak; 2. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya; Pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah secara sistematik (massal) diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan rencana kerja jangka panjang dan tahunan

[37]

serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan. Pendaftaran tanah secara sporadik (massal atau individu) dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak-pihak yang berhak atas obyek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya Untuk melaksanakan pendaftaran secara sistematik maka sesuai dengan Pasal 15 PP Nomor 24 Tahun 1997, bahwa kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dimulai dengan pembuatan peta dasar pendaftaran. Peta dasar adalah peta yang memuat titiktitik dasar teknik dan unsur- unsur geografis, seperti sungai, jalan bangunan dan batas fisik bidang tanah. Untuk keperluan pembuatan peta dasar pendaftaran Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyelenggarakan pemasangan, pengukuran, pemetaan dan pemeliharaan dasar teknik Nasional disetiap Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Wilayah yang belum ditunjuk sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) diusahakan peta dasar pendaftaran untuk keperluan pendaftaran secara sporadik (Pasal 15 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997). Dalam kegiatan dan pengumpulan dan pengolahan data fisik hal yang dilangsungkan menurut Pasal 17 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah bidang-bidang tanah yang akan dipetakan diukur setelah ditetapkan letaknya, batas-batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas pada disetiap sudut bidang tanah yang bersangkutan yang melakukan pengukuran dan pemetaan dalam proses pendaftaran secara sistematik adalah Panitia Ajudikasi . Hak yang akan didaftarkan adalah hak baru dan hak lama, dimana pembuktian hak baru ini menurut Pasal 23 PP Nomor 24 Tahun 1997 dibuktikan dengan penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah negara atau tanah pengelolaan. Pembuktian menurut Pasal 24 ayat (1) dan (2) PP Nomor 24 Tahun 1997, adalah: 1. Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya

[38]

hak-hak tersebut berupa alat-alat bukti tertulis, keterangan saksidan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tana secara sporadik, dianggapcukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak lain yang membebaninya. 2. Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat alat pembuktian sebagaimana pada ayat (1), pembukuan hak dapatdilakukan berdasarkan kenyataan penguasaab fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat: a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/ kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa apabila seseorang hendak mendapatkan sertipikat hak atas tanah harus melalui tahapan-tahapan tertentu dan harus memenuhi persyaratanpersyaratan yang ditentukan, semua persyaratan-persyaratan ini sangat diperlukan guna mendapatkan penjelasan tentang: 1. Orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah (kepastian mengenai subyek haknya); 2. Letak, batas-batas, luas, dibebani hak tanggungan hak lain atau tidak berada dalam sengketa atau tidak dan sebagainya (kepastian mengenai obyek haknya) Permohonan hak yang diterima oleh Kantor Pertanahan diproses antara lain dengan penelitian kelapangan oleh Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia A atau Panitia B), kemudian apabila telah memenuhi syarat maka sesuai kewenangannya dan diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak

[39]

Atas Tanah. Pemohon mendaftarkan haknya untuk memperoleh sertipikat hak atas tanah setelah membayar uang pemasukan ke kas negara dan atau Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) jika dinyatakan dalam Surat Keputusan tersebut. adalah: 1. Surat Permohonan Pendaftaran; 2. Surat Pengantar Surat Keputusan Pemberiah Hak; 3. Bukti Pelunasan uang pemasukan atau BPHTB apabila diisyaratkan identitas pemohon. Tanah-tanah yang belum pernah didaftarkan, sekaligus diperlengkapi dengan pendaftarannya dan sebagai bukti diberikan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) sebagai kelengkapan dari persyaratan-persyaratan. Kegiatan selanjutnya dilakukan oleh aparat Seksi Pendaftaran Tanah. Kegiatan-kegiatan itu meliputi pengukuran, pemetaan dan pendaftaran haknya. Untuk keperluan penyelenggaraan tata usaha pendaftaran tanah tersebut dipergunakan 4 (empat) macam daftar, yaitu: 1. Daftar tanah; 2. Daftar buku tanah; 3. Daftar surat ukur; 4. Daftar nama. Kegiatan pengukuran, pemetaan dan lain sebagainya untuk permohonan yang diisyaratkan harus diumumkan terlebih dahulu hanya akan dilakukan bila tenggang waktu pengumuman itu telah berakhir dan tidak ada keberatan dari pihak lain. Pasal 26 PP Nomor 24 Tahun 1997, mengatakan bahwa: 1. Pengumuman ditempatkan di Kantor Kepala Desa/Kelurahan dan Kantor Kecamatan selama 1 (satu) bulan dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan 2 (dua) bulan dalam pendaftaran tanah secara sporadik untuk memberi kesempatan pada yang berkepentingan mengajukan yang diperlukan untuk pendaftaran surat keputusan tanda bukti hak pemberian hak untuk memperoleh sertipikat

[40]

keberatan. Pengumumannya dilakukan melalui media masa. 2. Hasil pengumuman tersebut akan dituangkan dalam suatu berita acara, dimana berita acara tersebut menjadi dasar untuk: a. Pembukuan atas tanah, hal ini berdasarkan alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 23 PP Nomor 24 Tahun 1997. b. Pengakuan hak atas tanah, yaitu dalam hal penguasaan fisik bidang tanah selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut. c. Pemberian hak atas tanah, yaitu tanah tersebut adalah tanah Negara misalnya Surat Keterangan Camat. Tanah-tanah yang akan diukur dan dipetakan harus diberi tanda batas, sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Agraria Nomor 8 Tahun 1961. Penetapan batas batas tanah itu dilakukan atas dasar persesuaian pendapat antara para pemilik tanah yang berbatasan (system contradictoire delimite). Oleh sebab itu selain pemilik tanah, perlu hadir pula pemilik tanah yang berbatasan, dengan demikian dapat dihindari adanya salah letak terhadap tanda batas tersebut. Pengukuran tanah dilakukan dengan sistem kadasteral dan dilakukan oleh juru ukur, hasil pengukuran ini kemudian dipetakan kemudian dibuat surat ukurnya dan surat ukur tersebut harus sesuai dengan peta pendaftaran tanahnya. Surat ukur tersebut diberi tanggal dan nomor urut menurut tahun pembuatannya. Bidang tanah yang telah diberi tanda batas, diukur dan dipetakan dan ditetapkan subyek haknya, kemudian haknya dibukukan dalam daftar buku tanah dari Kelurahan yang bersangkutan, daftar buku tanah terdiri atas kumpulan buku tanah yang dijilid. Satu buku tanah hanya dipergunakan untuk mendaftar satu hak atas tanah.

[41]

Tiap-tiap hak atas tanah yang sudah dibukukan diberi nomor urut macam haknya. Semua hak-hak atas tanah telah dibukukan dibuatkan salinan dari buku tanah yang bersangkutan. Salinan buku tanah itu dan surat ukurnya kemudian dijahit menjadi satu dengan diberi kertas sampul yang bentuknya telah ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri Cq. Direktur Jenderal Agraria. B. Sistem Pendaftaran Tanah Dengan terlaksananya pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah diharapkan seseorang lebih merasa aman tidak ada gangguan atas hak yang dipunyai. Jaminan kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah adalah sangat digantungkan kepada sistem apakah yang dianut dalam melaksanakan pendaftaran atau pendaftaran hak atas tanah. Menurut Bachtiar Effendie, sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh banyak Negara-negara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah, yaitu: 1. Sistem Torrens Adapun sertipikat tanah menurut sistem Torrens ini merupakan alat bukti pemegangan hak atas tanah yang paling lengkap serta tidak bias diganggu gugat. Untuk merubah buku tanah adalah tidak mungkin kecuali jika memperoleh sertipikat tanah dengan cara pemalsuan dengan tulisan ataupun dengan cara pemalsuan. 2. Sistem Positif Suatu sertipikat tanah yang telah diberikan itu adalah sebagai suatu tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah. Ciri pokok sistem positif ini ialah bahwa pendaftaran tanah adalah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah adalah tidakdapat dibantah kendatipun ia ternyata bukanlah pemilik yang berhak atas tanah tersebut. 3. Sistem Negatif Segala apa yang tercantum di dalam sertipikat tanah dianggap

[42]

benar sampai dapat dibuktikan yang sebaliknya (tidak benar) di muka siding pengadilan. Ciri pokok sistem negatif ini adalah bahwa pendaftaran tanah tidaklah menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat untuk dibantah jika nama yang terdaftar bukanlah pemiliknya. Pengertian negative disini adalah bahwa adanya keterangan-keterangan yang ada itu jika ternyata tidak benar masih dapat diubah dan dibetulkan sedangkan pengertian positif adalah bahwa adanya peranan aktif dari petugas pelaksana pendaftaran tanah dalam hal penelitian terhadap hak-hak atas tanah yang didaftar tersebut. Menurut pendapat Mariam Darus Badrulzaman, dalam buku Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya bahwa: Sistem yang dianut di Indonesia adalam sistem campuran antara sistem positif dan sistem negatif. Hal ini terlihat dengan adanya perlindungan hukum kepada pemilik sebenarnya (sistem negatif) sedangkan sisitem positifnya terlihat dengan adanya campur tangan dari pemerintah dimana Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Seksi Pendaftaran Tanah meneliti kebenaran setiap peralihan suatu hak atas tanah. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa Mariam Darus Badrulzaman, berpendapat bahwa bahwa sistem yang dianut Undang-undang Pokok Agraria adalah sistem campuran antara sistem positif dan sistem negatif. Sedangkan Boedi Harsono dalam buku Bachtiar Effendie Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya mengatakan bahwasannya sistem yang dipakai Undang-undang Pokok Agraria adalah sistem negatif bertendens positif. Pendaftaran tanah di negara kita menurut Pasal 19 ayat (1) bertujuan untuk menjamin kepastian hukum tetapi bukan maksudnya akan mempergunakan apa yang disebut sistem positif. Dengan demikian dapat disimpulkan Pasal 19 ayat (2) huruf (c) bahwa surat tanda bukti hak yang akan dikeluarkan berlaku sebagai pembuktian yang kuat.

[43]

Ayat tersebut tidak menyatakan bahwa surat-surat tanda bukti hak itu berlaku sebagai alat pembuktian yang mutlak. Menurut Abdurrahman, dalam buku Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan PeraturanPeraturan Pelaksanaannya bahwa, beliau lebih cenderung kepada pendapat Mariam Darus Badrulzaman, yang telah menyatakan bahwa: Sistem pendaftaran tanah yang sekarang dianut oleh Undang-undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem campuran antara sistem tertutup. Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa pendapat para sarjana tersebut bahwa sistem pendaftaran tanah yang sekarang dianut oleh Undangundang pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem campuran system positif dan sistem negatif. Sedangkan pendapat Sunaryati Hartono dalam buku Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya menyatakan bahwa: Sudah saatnya kita berpegang pada sistem positif yang menjadikan sertipikat tanah satu-satunya alat bukti untuk membuktikan hak milik atas tanah dengan perngertian bahwa apabila dapat dibuktikan bahwa sertpikat itu palsu atau dipalsukan atau diperoleh dengan jalan yang tidak syah (karena paksaan atau pungutan liar atau uang sogok misalnya) maka tentu saja sertipikat wegenietig). Berdasarkan uraian di atas sangat jelas sekali bahwa pendapat ini menunjukkan bahwa sistem pendaftaran tanah adalah memakai sistem positif. Sedangkan A.P. Parlindungan berpendapat bahwa sistem yang dianut Undangundang Pokok Agraria adalah: Sistem Torrens karena sistem ini selain sederhana, efisien dan murah dan selalu dilihat diteliti pada akta penjabatnya siapa-siapa yang bertanda tangan dan pada sertipikat hak atas itu dianggap tidak syah sehingga menjai batal dengan sendirinya (van rechts positif dengan sistem negatif, dimana dalam sistem yang demikian segala kekurangan yang ada pada sistem negatif dan positif sudah

[44]

tanahnya setiap mutasi diketahui dan oleh karena pada sertipikat tanah jika terjadi mutasi maka nama yang sebelumnya dicoret dengan tinta halus sehingga masih terbaca dan pada bagian bawahnya tertulis nama pemilik yang baru disertai dengan dasar hukumnya. Sistem ini dapat diidentifikasi dari: 1. Orang yang berhak atas tanahnya harus memohon dilakukannya pendaftaran tanah itu agar negara dapat membuktikan hak atas permohonan pendaftaran yang diajukan. Hal ini sejalan dengan ide dasar sistem Torrens dimaksud dimana manakala seseorang mengklaim sebagai pemilik fee simple baik karena Undang-undang maupun hal lain harus mengajukan permohonan agar tanah yang bersangkutan diletakkan atas namanya. 2. Dilakukan penelitian atas alas hak dan obyek bidang tanah yang diajukan permohonan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang berifat sporadis. Penelitian ini dikenal dengan examiner of title. Sistem pendaftaran tanah di Indonesia mengenal ini dengan nama Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia A untuk Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan dan Panitia B untuk Hak Guna Usaha).77 Sedangkan menurut Suardi dalam buku Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah mengatakan: Tujuan ditelitinya alas hak ini ternyata akan memperkokoh keabsahan formalitas data yuridis dan data teknis, sehingga pada akhirnya panitia dapat berkesimpulan: 1. Tanah yang hendak didaftar tersebut baik dan jelas tanpa keraguan untuk memberikan haknya; 2. Permohonan tersebut tidak dijumpai ada sengketa kepemilikan; 3. Tanah yang dimohon diyakini sepenuhnya oleh tim ajudikasi atau Panitia pemeriksaan tanah untuk dapat diberikan haknyasesuai yang dimohonkan pemilik tanah; 4. Tanah tersebut diadministrasikan dengan pemberian bukti haknya tidak ada yang bersengketa lagi dan tidak ada yang keberatan terhadap kepemilikannya;

[45]

5. Indikator ini berarti atau bermakna mendukung asas publisitas dan asas spesialitas dari pelaksanaan pendaftarn tanah yang dilakukan di Indonesia. Keberadaan sistem pendaftaran model Torrens, persis apa yang disebutkan atas permohonan seseorang untuk memperoleh hak milik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22 Undang-undang Pokok Agraria: 1. Terjadinya hak milik menurut hak adat diatur dengan peraturan pemerintah. 2. Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi: a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. b. Ketentuan Undang-undang. Dengan kata lain setiap akan terjadinya hak milik (diproses pendaftaran untuk hak miliknya) harus melalui penetapan pemerintah, agar permohonan dapat disetujui untuk dikeluarkan bukti haknya setelah diajukan seseorang kekantor pertanahan setempat. Sehubungan dengan hal tersebut maka sudah saatnya kita meninggalkan sistem yang dianut oleh Undangundang Pokok Agraria sekarang ini sebagaimana yang dikatakan oleh Bachtiar Effendie yaitu telah tiba saatnya untuk meninggalkan sistem yang dianut Undang-undang Pokok Agraria sekarang ini, karena dengan sistem positif sertipikat tanah merupakan satu- satunya tanda bukti hak atas tanah dengan demikian demikian dihindari tumpang tindihnya sertipikat tanah sehingga apa yang diharapkan suatu kepastian hukum dalam pemegangan hak atas tanah akan dapat terlaksana. Hal ini dapat kita lihat dari Penjelasan Umum dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mana antara lain menyatakan bahwa pembukuan sesuatu hak dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan seseorang yang sebenarnya berhak untuk atas tanah itu akan dihilangkan haknya, orang tersebut masih dapat menggugat orang yang berhak. Jadi pendaftaran yang diatur dalam

[46]

peraturan pemerintah ini tidaklah mutlak maka system pendaftaran kita adalah sistem negatif yang bertendensi positif. Berdasarkan uraian di atas diharapkan bagaimanapun sistem yang dianut dalam pendaftaran tanah yang paling penting disamping selain berfungsi untuk melindungi pemilik, juga mengetahui status sebidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa dipergunakan dan sebagainya, sehingga akhirnya tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun dapat dicapai. C. Subyek Pendaftaran Tanah Subyek hak atas tanah merupakan orang perserorangan atau badan hokum yang dapat memperoleh hak atas tanah, sehingga namanya dicantumkan dalam buku tanah selaku pemegang sertipikat hak atas tanah yang mempunyai hak, kehendak dan dapat melakukan perbuatan hukum untuk mengambil manfaat bagi kepentigan dirinya, keluarganya, bangsa dan negara. Orang perserorangan/pribadi selaku subyek hak atas tanah, yaitu setiap orang yang identitasnya terdaftar selaku Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing yang berdomisili di dalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia dan tidak kehilangan hak memperoleh sesuatu hak atas tanah. Badan Hukum selaku subyek hak atas tanah antara lain badan usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia atau badan hokum asing melalui penanaman modal asing di Indonesia, lembaga pemerintahan Indonesia, lembaga perwakilan negara asing, lembaga perwakilan internasional, badan keagamaan atau badan sosial lainnya. Perhimpunan orang yang tergabung dalam badan hukum walau tidak berjiwa seperti halnya manusia, namun mempunyai kehendak dan dapat melakukan perbuatan hukum sehingga dipersamakan dengan orang yang selanjutnya oleh Undang-undang diakui sebagai subyek hukum seperti badan hukum publik, badan hukum privat dan badan hukum lainnya. D. Obyek Pendaftaran Tanah

[47]

Obyek hak atas tanah merupakan bidang-bidang tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang dapat dipunyai dengan sesuatu kepemilikan hak atas tanah oleh orang atau badan hukum menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Obyek hak ini merupakan sesuatu yang tidak mempunyai hak dan tidak menjadi pihak dalam hukum namun sematamata hanya diobyekkan bagi subyek hak. Dalam hukum perdata yang menjadi obyek hak itu adalah benda, diantaranya adalah benda tak bergerak yaitu tanah. Tanah yang dimaksud adalah daratan di lapisan kulit bumi nusantara yang dapat dipunyai dengan sesuatu kepemilikan hak atas tanah oleh perseorangan atau badan hukum. Menurut ketentuan hukum perdata bahwa tanah selaku obyek bukan saja dipandang sebagai benda (zaak) tak bergerak berujud yang dapat dilihat secara nyata, juga dipandang terpisah sebagai benda tak bergerak dan tak berujud, sehingga jika terjadi peralihan haknya harus diikuti dengan penyerahan haknya (levering), sesuai ketentuan Pasal 612 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang obyek Pendaftaran Tanah, yaitu: 1. Obyek Pendaftaran Tanah meliputi: a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b. Tanah hak pengelolaan; c. Tanah wakaf; d. Hak milik atas satuan rumah susun; e. Hak tanggungan; f. Tanah Negara. 2. Dalam hal tanah Negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (f), pendaftarannya dilakukan dengan acara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah. E. Tata Cara Pendaftaran Tanah

[48]

Dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa Pendaftaran Tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, hal ini berbeda dangan apa yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 bahwa penyelenggara pendaftaran tanah dilakukan oleh Jawatan Pendaftaran Tanah yaitu ketika masih berlaku merupakan suatu jawatan di Departemen Kehakiman dan kemudian digabungkan pada Menteri Agraria dan teruslah jawatan pendaftaran tanah tersebut mempunyai kantor tersendiri sebagai Kantor Pendaftaran Tanah dan instansi atasannya adalah Kepala Kantor Pengawasan dan Pendaftaran Tanah dan kemudian atasan lanjutannya adalah Jawatan Pendaftaran Tanah. Persyaratan permohonan sertipikat hak atas tanah yang ditentukan dalam Standar Prosedur Pengaturan dan Pelayanan (SPPP) di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional telah dibuat secara konstelasi hukum positif, terutama Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah serta Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksananya, baik diproses secara sistematik melalui Panitia Ajudikasi ataupun Sporadik melalui pemilik tanah sendiri di Kantor Pertanahan. Faktualnya, pada setiap pengajuan permohonan sertipikat kepemilikan hak atas tanah di Kantor Pertanahan yang lebih dahulu diperiksa dan diteliti, yaitu mengenai tiga persyaratan data: 1. 2 3. Pemilik, sebagai subyek hak Tanah, sebagai obyek hak Surat, sebagai alas hak. Untuk melengkapi pemeriksaan dan penelitian dengan tiga persyaratan data di atas diperlukan dua persyaratan data pendukung, yakni: 1. 2. Tujuan Penggunaan Hak Cara Perolehan Hak. Hal ini dilakukan guna mengurangi resiko terjadi kesalahan prosedur penerbitan sertipikat hak atas tanah pada Kantor Pertanahan Kota Medan. Alas hak yang dijadikan dasar dalam penerbitan sertipikat kepemilikan hak

[49]

atas tanah di Kantor Pertanahan merupakan alat bukti yang dapat digunakan sebagai alat pembuktian yuridis atas kepemilikan atau penguasaan suatu bidang tanah, baik secara tertulis ataupun berdasarkan keterangan saksi Permohonan Hak untuk pertama kali terhadap alas hak sebagai alat bukti tersebut dapat dijadikan dasar untuk penerbitan sertipikat pada Kantor Pertanahan sebagai : 1 Penegasan Hak Atas Tanah Penegasan hak atas tanah merupakan Keputusan Badan Pertanahan Nasional, yaitu mengenai penegasan hak atas tanah yang berasal dari tanah milik adat, sertipikat a. b. c. d. e. ditegaskan untuk permohonan melalui prosedur perolehan hak atas tanah di Kantor Pertanahan dengan pemenuhan

persyaratan permohonan, sebagai berikut: Surat Permohonan; Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atau identitas diri pemohon; Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atau identitas diri penerima kuasa disertai dengan surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan; Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan; Bukti tertulis hak atas tanah yang asli, yaitu: 1) 2) 3) Surat bukti hak milik yang terbit berdasarkan Sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja PMA Nomor 9/1959 Surat keputusan pemberian hak dari pejabat yang berwenang baik sebelum atau pun sejak berlakunya Undangundang Pokok Agraria yang tidak disertai dengan kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban didalamnya; 4) Petuk pajak bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kiktir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 5) Akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan

[50]

yang

dibubuhi

tanda

kesaksian

olehKepala

Adat/Kepala

Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang ialihkan; 6) Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai dengan alas hak yang dialihkan; 7) Akta ikrar wakaf/akta pengganti ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997 dengan disertai alas hak wakafnya; 8) Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang berwenang yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan 9) 10) Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat pengganti tanah yang diambil oleh pemerintah daerah atau; oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan; 11) Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ketentuan-K