otoritas jasa keuangan

4
Otoritas Jasa Keuangan, 1 Oktober 2014: Krisis keuangan global tahun 2008 lalu memberikan salah satu pelajaran berharga di mana permodalan yang kuat saja ternyata tidak membuat bank mampu bertahan dalam menghadapi krisis. Pengalaman dalam krisis tersebut menunjukkan bahwa meskipun permodalan bank memadai, namun apabila tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk menghadapi shock maka bank dapat menjadi bermasalah. Oleh karena itu, sebagaimana halnya permodalan, diperlukan suatu standar pengukuran level minimum likuiditas tertentu yang harus dipelihara oleh bank dalam antisipasi untuk menghadapi krisis, yang berlaku secara internasional. Pada Januari 2013, dokumen final mengenai kerangka perhitungan Liquidity Coverage Ratio (LCR) yang merupakan salah satu standar perhitungan risiko likuiditas bank sebagai bagian dari kerangka Basel III telah dipublikasikan oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS). Kerangka perhitungan LCR bertujuan untuk mendorong ketahanan jangka pendek berdasarkan profil risiko likuiditas bank dengan memastikan bahwa bank memiliki kecukupan HQLA (High Quality Liquid Asset ) untuk dapat bertahan dalam skenario kondisi krisis yang signifikan dalam periode 30 hari kalender. Indonesia sebagai anggota BCBS memiliki komitmen untuk mengadopsi kerangka Basel III termasuk kerangka LCR dengan tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap perbankan nasional. Oleh karena itu penerapan LCR di Indonesia akan dilakukan secara berhati-hati, dengan beberapa penyesuaian agar sesuai dengan kondisi nasional. Consultative Paper ini diterbitkan dengan tujuan untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak mengenai kerangka LCR yang telah dipublikasikan oleh BCBS sebelum regulasi terhadap kerangka tersebut dikeluarkan. Beberapa masukan yang diharapkan antara lain: 1. Lingkup implementasi 2. Tahapan implementasi 3. Laporan pengungkapan kepada publik 4. Penerapan LCR sesuai jenis mata uang yang signifikan 5. Aset yang dapat masuk dalam klasifikasi HQLA 6. Simpanan stabil dan kurang stabil 7. Usulan run off rate untuk kewajiban pendanaan kontinjensi lainnya seperti: instrumen trade finance; guarantees and letters of credit unrelated to trade finance obligations ; kewajiban-kewajiban non-contractual lainnya; penerbit surat utang yang terafiliasi dengan dealer atau market maker . Bank diminta untuk memberikan masukan berapa run off rate yang sesuai berdasarkan data historis yang dimiliki.

Upload: rini-ricu

Post on 09-Apr-2016

215 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

makroprudensial

TRANSCRIPT

Page 1: Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan, 1 Oktober 2014: Krisis keuangan global tahun 2008 lalu memberikan salah satu pelajaran berharga di mana permodalan yang kuat saja ternyata tidak membuat bank mampu bertahan dalam menghadapi krisis. Pengalaman dalam krisis tersebut menunjukkan bahwa meskipun permodalan bank memadai, namun apabila tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk menghadapi shock maka bank dapat menjadi bermasalah. Oleh karena itu, sebagaimana halnya permodalan, diperlukan suatu standar pengukuran level minimum likuiditas tertentu yang harus dipelihara oleh bank dalam antisipasi untuk menghadapi krisis, yang berlaku secara internasional.

Pada Januari 2013, dokumen final mengenai kerangka perhitungan Liquidity Coverage Ratio (LCR) yang merupakan salah satu standar perhitungan risiko likuiditas bank sebagai bagian dari kerangka Basel III telah dipublikasikan oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS). Kerangka perhitungan LCR bertujuan untuk mendorong ketahanan jangka pendek berdasarkan profil risiko likuiditas bank denganmemastikan bahwa bank memiliki kecukupan HQLA (High Quality Liquid Asset) untuk dapat bertahan dalam skenario kondisi krisis yang signifikan dalam periode 30 hari kalender.

Indonesia sebagai anggota BCBS memiliki komitmen untuk mengadopsi kerangka Basel III termasuk kerangka LCR dengan tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap perbankan nasional. Oleh karena itu penerapan LCR di Indonesia akan dilakukan secara berhati-hati, dengan beberapa penyesuaian agar sesuai dengan kondisi nasional.

Consultative Paper ini diterbitkan dengan tujuan untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak mengenai kerangka LCR yang telah dipublikasikan oleh BCBS sebelum regulasi terhadap kerangka tersebut dikeluarkan. Beberapa masukan yang diharapkan antara lain:1. Lingkup implementasi2. Tahapan implementasi3. Laporan pengungkapan kepada publik4. Penerapan LCR sesuai jenis mata uang yang signifikan5. Aset yang dapat masuk dalam klasifikasi HQLA6. Simpanan stabil dan kurang stabil7. Usulan run off rate untuk kewajiban pendanaan kontinjensi lainnya seperti: instrumen trade finance; guarantees and letters of credit unrelated to trade finance obligations; kewajiban-kewajiban non-contractual lainnya; penerbit surat utang yang terafiliasi dengan dealer ataumarket maker. Bank diminta untuk memberikan masukan berapa run off rate yang sesuai berdasarkan data historis yang dimiliki.8. Perlakuan atas intra-group transaction

Page 2: Otoritas Jasa Keuangan

Sebagai bagian dari pengaturan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan usaha perbankan, OJK memandang bahwa perlu melakukan langkah-langkah untuk menyiapkan implementasi kerangka LC dengan baik agar sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan dan berkontribusi positif dalam perkembangan industri perbankan Indonesia ke depan.

Pembahasan lengkap mengenai Liquidity Coverage Ratio (LCR) sebagai bagian dari Kerangka Basel III bisa dilihat dalam Consultative Paper yang bisa diunduh dengan mengklik logo PDF di kanan atas.

Basel III dan Pengelolaan LikuiditasKamis, 28/05/2015

Oleh: Krisna Wijaya, Praktisi dan Pengamat Perbankan

Berkaitan dengan rencana diterapkannya Basel III, terdapat beberapa perubahan yang penting dan memerlukan persiapan yang matang, yakni berkaitan dengan perubahan pengelolaan likuiditas. Perubahan yang cukup signifikan dan perlu mendapatkan perhatian serius ialah diberlakukannya indikator likuiditas yang baru. Yaitu, (a) liquidity coverage ratio (LCR), yakni rasio antara high quality liquid assets dengan net cash outflows for 30 day period yang harus di atas 100% dan (b) net stable funding ratio (NSFR), yakni rasio antara amount of stable fund dengan required amount of stable funding yang harus di atas 100%.

Secara esensi, LCR dan NSFR akan mengakibatkan semua bank harus dapat menyediakan sumber dana yang sama tenornya (baca: jangka waktu) dengan tenor kredit. Dengan demikian, sumber dana pihak ketiga (DPK) yang selama ini sebagian besar masih relatif berjangka pendek dengan tenor satu bulan harus berubah secara bertahap menjadi sumber dana jangka panjang dengan tenor minimal satu tahun.

Konsekuensi dari penerapan kedua indikator baru mengenai likuiditas tersebut mengharuskan bank lebih profesional dalam melaksanakan assets liabilities management (ALM). Melalui ALM yang baik, akan dihasilkan pengelolaan sumber serta penggunaan dana yang tepat dan tidak mengurangi kesempatan meningkatkan bisnis. Di samping itu, penetapan fund transfer price (FTP) akan menjadi lebih baik sehingga dapat menstimulasi keseimbangan sember dan penggunaan dana. Dengan kondisi tersebut, bank akan makin efisien dan efektif responsnya apabila terjadi gejolak suku bunga.

Permasalahan yang hampir dialami semua negara dalam persiapan pemberlakuan Basel III bukan hanya pemahaman dan pengetahuan. Permasalahan yang masih sulit untuk dilakukan dengan segera ialah mengintegrasikan data-data keuangan. Beberapa studi mengindikasikan bahwa selama ini ketersediaan data dan penggunaannya masih sangat khusus, di mana data yang disediakan

Page 3: Otoritas Jasa Keuangan

untuk pelaporan didasarkan atas kebutuhan yang spesifik, seperti data yang berkaitan dengan market risk, finance, dan credit risk.

Meskipun pelaporan likuiditas di atas dilaksanakan secara bertahap—mulai dari 2015 sampai dengan 2020, di mana LCR dan NSFR harus minimal 100%—persiapan yang dilakukan sejak 2014 mesti ditingkatkan dan diakselerasi. Implementasi Basel III, selain memerlukan akurasi data, jenis dan jumlah pelaporannya akan meningkat.

Data yang selama ini ada diperkirakan masih belum memadai. Selain belum terintegrasi, kualitas, kredibilitas, dan akurasinya masih harus ditingkatkan. Dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti di kawasan ASEAN, pengelolaan integrasi data individual perbankan nasional masih ketinggalan.

Tuntutan adanya data yang terintegrasi dan berkualitas pada hakikatnya bukan saja mengisyaratkan bahwa pengelolaan likuiditas harus makin komprehensif, melainkan juga disertai penerapan manajemen risiko yang lebih baik dan terintegrasi. Hal itu akan terus diberdayakan pada masa yang akan datang. Melalui manajemen risiko yang andal, diharapkan bank bisa tumbuh secara sehat, kuat, dan berkesinambungan.

Sejatinya, melakukan integrasi data selalu dan terus dilakukan. Dengan adanya pembelajaran selama ini, suatu saat integrasi data tersebut akan dapat diwujudkan. Namun, upaya itu saja tidak cukup. Hal lain yang lebih penting ialah bagaimana mengubah semacam “kebiasaan” nasabah yang lebih menyukai menyimpannya dalam jangka pendek.

Bank secara bertahap harus mulai mengubah “kebiasaan” tersebut, baik dengan edukasi maupun produknya. Hal yang paling mudah tentunya dengan memberikan insentif yang lebih menarik bagi nasabah yang bersedia menyimpan dananya dalam jangka panjang. Mengubah “kebiasaan” jelas pekerjaan yang tidak mudah. Namun, dengan upaya yang terus-menerus dilakukan oleh pihak bank melalui edukasi, akan ada saatnya “kebiasaan” tersebut tidak berlanjut. Hanya saja, kalau tidak dilakukan secara serentak dan bersamaan, tentunya akan menjadi kendala tersendiri.

Dalam kaitan ini, sangat jelas juga bahwa regulator ikut berperan secara signifikan. Peran tersebut dapat dilakukan, baik melalui edukasi maupun melalui peningkatan kedisiplinan pihak bank dalam mematuhi regulasi. (www.infobanknews.com)

www.neraca.go.id

www.bi.go.id

http://www.bis.org/publ/bcbs238.pdf

http://www.ojk.go.id/consultative-paper-tentang-liquidity-coverage-ratio-dalam-kerangka-basel-iii