organisasi dan kelompok kerja - pio
TRANSCRIPT
1
ORGANISASI DAN KELOMPOK KERJA
PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
(Dosen: Laila Meiliyandrie I Wardani, PhD)
Disusun Oleh:
Bunga Annisa R 46113310043
Lubna Fadhilah 46113310019
Yuko Bagus Febriyanto 46113210014
Fakultas Psikologi
UNIVERSITAS MERCU BUANA
BEKASI
2014
2
Organisasi dan Kelompok Kerja
A. Pendahuluan
Sebelumnya dalam bab 1, yang membahas mengenai ‘Pengertian
dan Wawasan Psikologi Industri dan Organisasi’ telah di sebutkan bahwa
organisasi (industri) dapat kita pandang sebagai suatu sistem terbuka,
yaitu: “suatu kesatuan keseluruhan yang terorganisasi, yang terdiri dari
dua atau lebih bagian, komponen atau subsistem, yang saling tergantung,
yang dipisahkan dari suprasistem sebagai lingkungannya oleh batas-batas
yang dapat ditemukenali” (Munandar, 2008).
Organisasi adalah sistem yang memiliki aspek sosial. Mengapa?
Karena organisasi terdiri lebih dari satu anggota atau kelompok manusia,
yang sudah semestinya sebagai sistem, setiap anggota berinteraksi dengan
anggota lainnya guna menjalankan sistem tersebut dengan baik.
Setiap kelompok manusia terdiri dari kelompok-kelompok manusia
yang lebih kecil, setiap kelompok manusia kecil ini terdiri dari kelompok-
kelompok manusia yang lebih kecil lagi, dan seterusnya hingga kita
temukan kelompok manusia yang terdiri dari sejumlah manusia. Manusia
di dalam buku Psikologi Industri dan Organisasi dengan pengarang Ashar
Suntoyo Munandar (2008), merupakan komponen analisis yang terkecil
dari organisasi.
Organisasi Industri
Kelompok Manusia Kelompok Manusia Kelompok Manusia
Kelompok Manusia
Kelompok Manusia Kelompok Manusia
Kelompok Manusia
Kelompok Manusia Kelompok Manusia
Kelompok Manusia Kelompok Manusia
Kelompok Manusia
3
Di dalam makalah ini akan dibahas kelompok manusia tenaga
kerja, pengertiannya, jenis, struktur, fungsi-fungsi dan prosesnya, interaksi
antar anggota kelompok, dan interaksi antarkelompok.
B. Pengertian
Sejak lahir sampai meninggal, sadar atau tidak sadar, kita telah
menjadi anggota dari satu atau beberapa kelompok sosial. Dalam setiap
kelompok dimana kita menjadi anggota, kita memainkan peran yang
berbeda-beda. Selama hidup kita tidak dapat melepaskan diri dari
pengaruh kelompok sosial yang berbeda-beda dan sebaliknya kita dapat
mempengaruhi kelompok sosial yang beraneka. Kita berada dalam
interaksi yang berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain
dengan lingkungan kita, khususnya orang-orang yang berada langsung di
sekitar kita, baik langsung dapat kita hubungi maupun yang tidak langsung
dapat kita hubungi, misalnya dihubungi melalui media massa.
Dalam makalah ini kelompok sosial yang dibahas adalah kelompok
yang berada dalam satu organisasi kerja, kelompok kerja. Walaupun
begitu, akan ada pengertian-pengertian dari kelompok kerja yang dapat
berlaku pula untuk kelompok sosial pada umumnya.
Bagaimana timbulnya kelompok kerja tidak dapat dipisahkan dari
proses timbulnya organisasi kerja atau organisasi industri. Organisasi
industri timbul dan berkembang melalui dua cara, cara yang pertama
adalah timbul dan berkembang berdasarkan suatu perencanaan, dan cara
yang kedua dapat timbul dan berkembang mulai dari satu orang yang
berwiraswasta.
Organisasi industri terdiri dari kelompok kerja yang saling
berkaitan dalam satu tata tingkat. Likert (1961, 1967) berpendapat bahwa
organisasi dapat dipandang sebagai sistem dari kelompok yang saling
berkaitan. Kelompok yang saling berkaitan ini dihubungkan oleh tenaga
kerja yang menduduki jabatan kunci dan menjadi anggota dari dua
kelompok sekaligus, yang berfungsi sebagai pasak penghubung antara
4
kelompok-kelompok.
Kelompok kerja direksi merupakan kelompok kerja tertinggi.
Setiap direktur menjadi pengawas dari dua kepala divisi, merupakan pasak
penghubung dari kelompok kerjanya. Setiap kepala divisi menjadi
pengawas dari dua kepala bagian dan merupakan pasak penghubung dari
kelompok kerjanya, demikian seterusnya sampai kelompok kerja terendah
dalam organisasi.
Dari uraian diatas, sudah mulai jelas apa yang sebenarnya
dimaksudkan dengan kelompok kerja. Robbins (1988:71) mengatakan
bahwa : “kelompok terdiri dari dua orang atau lebih, yang saling
mempengaruhi dan saling tergantung, yang datang bersama-sama untuk
mencapai sasaran tertetu.”
Bukti dari adanya ketergantungan satu sama lain antar anggota
kelompok adalah, pemecahan satu pekerjaan dengan segala macam
aspeknya (aspek produksi, aspek keuangan, aspek pemasaran dan
penjualan, hubungan dengan langganan dan calon langganan, aspek
personalia) menjadi berbagai macam pekerjaan yang menunjukan adanya
hubungan keterikatan antara pekerjaan-pekerjaan tersebut. Dengan
demikian, tenaga kerja yang melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut juga
5
saling berkaitan dalam suatu hubungan ketergantungan. Mereka saling
memerlukan dan saling mempengaruhi.
Unsur-unsur dari kelompok kerja menurut Robbins adalah: (a)
terdiri dari dua orang atau lebih, (b) saling mempengaruhi, saling
tergantung, dan (c) bersama sama mencapai sasaran.
Schein (1980: 145) memberikan beberapa unsur lain. Ia membahas
mengenai kelompok psikologikal. Menurutnya kelompok psikologikal
adalah: (1) berinteraksi antara satu anggota dengan anggota lainnya, (2)
secara psikologikal sadar satu sama lain, dan (3) mempersepsikan diri
mereka sendiri sebagai kelompok.
Dua hal yang tidak ditekankan dalam unsur batasan kelompok
milik Robbins adalah kesadaran anggota kelompok tentang keberadaan
diri dan anggota kelompok lainnya serta persepsi bahwa mereka
membentuk satu kelompok.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari beberapa penjelasan
mengenai kelompok diatas adalah, “kelompok merupakan gabungan dari
dua orang atau lebih, yang saling berinteraksi, memiliki tujuan yang sama,
dan melihat anggota kelompok merupakan bagian dari dirinya.”
Sedangkan definisi dari Organisasi Sosial adalah, suatu kelompok
yang dibentuk secara sengaja berdasarkan kepentingan tertentu dengan
tujuan tertentu, serta cara-cara tertentu dalam melakukan sesuatu.
“Tim dapat didefinisikan sebagai sosial sistem tiga orang atau lebih, yang
tertanam dalam organisasi (konteks), yang anggotanya menganggap diri
mereka seperti itu dan dianggap sebagai anggota oleh orang lain
(identitas), dan yang berkolaborasi pada tugas bersama (teamwork).”
(Martin Hoegl, 2001).
PEMBEDAAN KELOMPOK, secara struktural kelompok dapat
dibedakan kedalam kelompok formal dan kelompok informal.
6
1. Kelompok formal diberi batasan oleh struktur organisasi, yang
berisi rincian tugas-tugas pekerjaan dan tanggung jawab
tertentu, yang pelaksanaannya akan menuju ketercapaianya
sasaran dan misi keseluruh organisasinya.
a. Kelompok Komando → ditentukan oleh bagan
organisasinya, terdiri dari bawahan yang melapor secara
langsung kepada seorang manager tertentu. Contoh:
organisasi industry dari Likert di atas, maka kelompok
direksi, kelompok kepala divisi dengan kedua kepala
bagian bawahannya, kelompok kepala bagian dengan
kepala subbagian bawahannya, merupakan kelompok
komando. Karena kelompok komando ini merupakan
kelompok yang akan terus ada selama tidak ada perubahan
dalam struktur organisasi, kelompok komando juga dapat
disebut kelompok permanen.
b. Kelompok Tugas → juga ditentukan oleh organisasi, terdiri
dari tenaga kerja yang bekerja bersama untuk
menyelesaikan pekerjaan. Berdasarkan batasan ini,
kelompok komando juga dapat disebut kelompok tugas.
Hanya saja kelompok tugas dapat terdiri dari tenaga kerja
yang berasal dari satuan-satuan kerja lain dalam organisasi
dan hanya bersifat sementara. Contoh: pembentukaan
panitia untuk penyelenggaraan rapat kerja, perlombaan dan
sebagainya. Schein menamakannya kelompok sementara.
2. Kelompok Informal, tidak diberi batasan oelh struktur
organisasi dan terjadi secara spontan anatar sejumlah tenaga
kerja, sebagai jawaban terhadap kebutuhan tertentu dari
mereka. Ditinjau dari berasalnya para anggota, kelompok
informal dapat dibedakan kedalam menjadi tiga jenis, yaitu:
7
a. Kelompok Informal Mendatar → berasal dari pekerjaan
dari satuan kerja yang sama dan/atau berbeda, yang terletak
pada taraf/tingkat organisasi yang sama.
b. Kelompok Informal Tegak → berasal dari pekerjaan dari
taraf/tingkat yang berbeda-beda.
c. Kelompok Informal Acak → berasal dari para tenaga kerja
yang datang dari pekerjaan dari satuan kerja yang sama
dan/atau berbeda, dari tingkat organisasi yang sama
dan/atau berbeda.
Berdasarkan alasannya menjadi anggota, kelompok informal
dapat dibedakan menjadi:
a. Berdasarkan Minat atau Kepentingan → para anggotanya
memiliki minat atau kepentingan yang sama. Misalnya
minat dalam bidang olah raga yang sama. Dapat juga para
anggotanya memiliki kepentingan bersama. Misalnya para
anggota merasa sama-sama dirugikan oleh perusahaan
dimana mereka bekerja.
b. Berdasarkan Persahabatan → para anggotanya merasa
saling tertarik, merasa saling cocok dengan cirri, sifat yang
dimiliki masing-masing. Mereka memiliki nilai, pandangan,
dan kebiasaan yang sama. Dapat saja mereka berolah raga
bersama, makan siang bersama, waktu istirahat mereka
berkumpul di tempat-tempat tertentu.
C. Makna dan Fungsi Kelompok
Seperti yang sudah kami sebutkan diatas, sejak lahir kita
merupakan anggota dari kelompok sosial, sekelompok orang yang saling
mempengaruhi dan saling tergantung, yang menganggap diri kita sebagai
anggota kelompok. Dilihat dari persepsi kita sebagai anggota kelompok,
apabila bila suatu kelompok dapat memberikan makna bagi diri kita, jika
kelompok kita rasakan dapat memenuhi kebutuhan kita, dan sesuai dengan
8
harapan kita, maka kita akan menilai kelompok itu baik, tetapi sebaliknya,
jika kelompok kita rasakan tidak memuaskan, tidak mampu memenuhi
kebutuhan, dan tidak sesuai dengan harapan kita, maka kita akan
mengundurkan diri sebagai anggota kelompok. Ini berlaku untuk setiap
kelompok dimana kita menjadi anggota, tidak hanya berlaku bagi
kelompok kerja kita.
Jika dilihat dari sudut pandangan pimpinan organisasi industri,
pimpinan dari sejumlah kelompok kerja yang saling berkaitan, maka
kelompok kerja akan dinilai baik jika memenuhi kebutuhan dan harapan
perusahaan, jika masing-masing kelompok kerja dapat melaksanakan
fungsinya sebaik mungkin, sehingga sasaran-sasaran perusahaan dapat
diraih, misi perusaan dapat diwujudkan. Jika kelompok kerja dinilai
kurang baik, kurang maksimal dalam melaksanakan tugas pekerjaannya,
maka akan diusahakan perbaikannya.
“Tim digunakan ketika kesalahan mengakibatkan konsekuensi yang
parah; ketika kompleksitas tugas melebihi kapasitas individu; ketika
lingkungan tugas yang tidak jelas, ambigu, dan stres; ketika beberapa
keputusan dan cepat diperlukan; dan ketika kehidupan orang lain
tergantung pada wawasan kolektif masing-masing anggota.” (Salas,
Cooke, & Rosen, 2008).
Dibawah ini akan kami paparkan mengenai fungsi kelompok bagi
anggotanya dan fungsi kelompok bagi organisasi, yaitu:
1. Fungsi Kelompok Bagi Anggotanya
Menurut Schein dan Robbins, fungsi kelompok bagi anggotanya
adalah:
a. Sebagai pemenuh kebutuhan para anggotanya
Kelompok dapat memenuhi kebutuhan akan keinginan
untuk berhubungan dengan orang lain, akan rasa diperhatikan dan
diterima oleh kelompok. Sekaligus tenaga kerja dapat merasakan
bahwa harga dirinya diperhatikan. Kelompok juga memberikan
status sosial pada dirinya.
9
Kelompok juga memenuhi kebutuhan, terhadap kebutuhan
akan kekuasaan. Berdasarkan upaya yang dapat dilakukan
bersama-sama dengan anggota kelompok lain timbul rasa memiliki
kekuasaan tertentu, untuk dapat mewujudkan apa yang diinginkan
kelompok. Anggota kelompok merasa memiliki kekuasaan
tertentu, karena merasa ditunjang oleh anggota-anggota kelompok
lainnya.
Kebutuhan untuk berprestasi dapat ditimbulkan dan
dipenuhi oleh kelompok. Kelompok dapat merangsang anggotanya
untuk dapat mencapai prestasi yang bermutu dan dapat memenuhi
keinginan mereka untuk dapat berprestasi yang tinggi.
b. Sebagai Pengembang, Penunjang, dan Pemantap dari Identitas dan
Pemelihara dari Harga Diri
Dalam bekerja anggota mendapatkan identitasnya dari
kelompok kerjanya. Identitas kelompok kerja dikembangkan
berdasarkan tugas pekerjaannya untuk menunjang dan
memantapkan identitas setiap anggota kelompoknya. Selanjutnya,
identitas anggotanya memelihara harga diri mereka.
c. Sebagai Penetap dan Penguji Kenyataan/Realitas Sosial
Melalui diskusi dengan orang lain, dan pengembangan dari
perspektif dan consensus, kita dapat mengurangi keraguan dalam
lingkungan sosial kita. Misalnya beberapa tenaga kerja merasa
bahwa pengawas mereka merupakan orang yang keras dan
menuntut terlalu banyak dari tenaga kerjanya, maka pandangan ini
dapat dianggap sebagai realitas oleh anggota kelompok lainnya dan
mereka dapat menentukan strategi bagaimana menghadapinya.
Persepsi kelompok memberikan kepastian kepada para anggota
kelompok lepas dari benar dan tidaknya, tepat tidaknya pandangan
tersebut.
10
d. Fungsi Kelompok sebagai Mekanisme Pemecahan Masalah dan
Pelaksanaan Tugas
Kelompok dapat membantu memecahkan masalah yang
pasti dialami oleh setiap tenaga kerja dalam melaksanakan tugas
pekerjaannya. Dengan pengumpulan data yang diperlukan
dan/atau pemberian alternatif penyelesaian. Pada masalah yang
dihadapi kelompok, para anggota kelompok dapat saling mengisi
dalam usaha dan sumbangan mereka memecahkan masalah
kelompoknya.
2. Fungsi Kelompok Bagi Organisasinya
Agar dapat memberikan sumbangannya dalam kegiatan pencapaian
sasaran kelompok kerja dan sasaran keseluruhan organisasi serta dalam
usaha merealisasi misi perusahaannya, maka kelompok dapat berfungsi
sebagai berikut:
a. Sebagai Pelaksana Tugas yang Majemuk dan Saling Tergantung
Selain ada tugas pekerjaan yang dapat diselesaikan oleh
seseorang, juga ada cukup banyak tugas yang majemuk, selain
tidak dapat diselesaikan oelh satu orang, juga tidak dapat dipecah-
pecah kedalam beberapa tugas yang dapat dilaksanakan secara
tersendiri. Tugas-tugas yang harus dilakukan semuanya khusus tapi
juga saling tergantung. Contoh: kelompok pengebor minyak.
Masing-masing anggota kelompok mempunyai tugasnya masing-
masing yang saling tergantung.
b. Sebagai Mekanisme Pemecahan Masalah
Dalam menghadapi masalah, jika masalahnya memerlukan
pengolahan yang majemuk, interaksi antara para anggota yang
memiliki informasi yang berbeda, pertimbangan cermat dari
alternatif penyelesaiannya, maka pemecahan masalah secara
berkelompok akan membuahkan penyelesaian yang paling baik.
Selain kelompok tetap, seperti kelompok komando, dapat pula
11
dibentuk kelompok sementara, seperti satuan-satuan tugas, panitia,
komite.
c. Sebagai Penghasil Gagasan Baru dan Jawaban Kreatif
Dalam proses pemecahan masalah, jika data yang
diperlukan tersebar pada beberapa orang, atau jika diperlukan
rangsangan bersama bagi para anggota kelompok untuk menjadi
kreatif, maka kelompok merupakan tempat yang tepat untuk
menghasilkan gagasan baru dan jawaban yang kreatif. Para anggota
kelompok saling merangsang dalam memberikan gagasan dan
jawaban atau penyelesaian masalah yang kreatif.
“Sebuah badan ekstensif literatur menunjukkan pentingnya kerja
sama untuk keberhasilan proyek inovatif. Kesadaran ini, bahwa
kerja tim yang baik meningkatkan keberhasilan proyek-proyek
yang inovatif” (Martin Hoegl, 2001).
d. Sebagai Pelancar dari Pelaksanaan Keputusan yang Majemuk
Jika telah ditentukan satu keputusan yang majemuk,
misalnya satu bank memutuskan untuk membangun kantor
besarnya yang baru, maka akan bermanfaat untuk membentuk
kelompok yang terdiri dari tenaga kerja dari berbagai divisi dari
bank tersebut untuk merencanakan pelaksanaan dan memantau
pelaksanaan keputusan tersebut.
e. Sebagai Wahana dari Sosialisasi dan Pelatihan
Para tenaga kerja baru, dapat dikumpulkan dalam satu
kelompok untuk diberi pelatihan orientasi untuk dapat
mempercepat, dan memperlancar proses sosialisasi. Pelatihan
keterampilan teknik tertentu juga dapat lebih cermat, tepat dan
murah jika dilakukan dalam kelompok.
f. Sebagai Penghubung atau Koordinator Utama Antarbeberapa
Departemen
Untuk menghindari dan mengurangi gangguan dalam
komunikasi, timbulnya konflik, dan untuk memelihara upaya
12
kordinasi antarbagian, maka dapat dibentuk kelompok sementara
yang terdiri dari para wakil dari berbagai bagian yang memiliki
saling ketergantungan sampai derajat tertentu.
D. Interaksi Antaranggota Kelompok
D.1. Proses Kelompok
Organisasi industri terdiri dari sejumlah kelompok kerja yang
saling berkaitan dalam suatu tata tingkat tertentu. Setiap kelompok kerja
terdiri dari sejumlah tenaga kerja yang saling mempengaruhi dan saling
tergantung. Tetapi derajat pengaruh dan ketergantungan antartenaga kerja
tidak selalu sama. Dalam industri, hubungan ketergantungan antartenaga
kerja dapat bersifat hubungan ketergantungan yang seimbang dan tidak
seimbang. Misalnya hubungan antara atasan dan bawahan pada umumnya
merupakan hubungan ketergantungan yang tidak seimbang.
Disamping itu dapat kita temukan kelompok kerja yang derajat
hubungan ketergantungannya tinggi, interaksi antar para anggota sangat
intensif, dan ada pula kelompok kerja yang derajat hubungan
ketergantungannya rendah, interaksi antar para anggota`kelompok sangat
sedikit.
Dalam organisasi industri, juga dapat kita temukan kelompok kerja
dengan derajat intensitas interaksi antaranggota kelompok yang berbeda-
beda. Fiedler (1967) memberikan tipologi dari kelompok-kelompok kerja
yang didasarkan pada sifat dan intensitas interaksi, yaitu:
1. Kelompok Interaktif → para anggotanya saling tergantung, untuk
dapat menyelesaikan tugas kelompok dengan baik, mereka menyusun
strategi dan mengerjakannya bersama-sama. Apabila kerjasama
berlangsung baik, maka kelompok dapat dikatakan merupakan satu
tim. Contoh: tim bedah.
2. Kelompok Koaktif → anggotanya bekerja sama dalam melaksanakan
tugas, tetapi masing-masing dapat melaksanakan pekerjaannya secara
mandiri dan tidak saling tergantung. Setiap tenaga kerja dalam suatu
13
kelompok kerja memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-
masing yang dapat dilaksanakan tanpa banyak tergantung pada
pelaksanaan tugas dari anggota kelompok lainnya. Namun kelancaran
dalam pelaksanaan tugas oleh masing-masing tenaga kerja
mempengaruhi hasil dari keseluruhan kelompok (mempengaruhi hasil
tercapainya sasaran kelompok kerja). Contoh: kelompok pramuniaga.
3. Kelompok Konteraktif → para anggota kelompok bekerja sama untuk
tujuan perundingan dan memufakatkan sasaran dan tuntutan yang
bertentangan. Performance diukur berdasarkan derajat penerimaan dari
jawaban atau penyelesaian oleh para anggota kelompok. Anggota
kelompoknya terdiri dari perwakilan dari pihak yang berbeda
pendapat. Kelompok ini bersifat sementara, dan merupakan kelompok
yang terbentuk karena adanya pertentangan atau konflik antar
kelompok. Contoh: panitia perjanjian kerja bersama yang terdiri dari
perwakilan manajemen dan kumpulan pekerja.
Berdasarkan uraian pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
kerjasama dalam kelompok, paling mudah ditimbulkan pada kelompok
interaktif dan sulit pada kelompok koaktif dan konteraktif. Tetapi pada
dasarnya setiap anggota kelompok mempengaruhi anggota kelompok lain.
Tingkatan interaksi yang paling tinggi juga pada kelompok interaktif, lalu
kelompok konterakif cukup tinggi, dan kelompok koaktif intensitas
interaksinya tidak tinggi, bahkan mungkin rendah sekali.
D. 2. Gejala dalam Proses Kelompok
Sebelumnya kita sudah membahas mengenai tiga fungsi kelompok
kerja, yang akan dibahas lebih lanjut untuk menjelaskan gelaja yang
timbul dalam proses kelompok. Ketiga fungsi tersebut berkaitan dengan
pandangan Leavitt bahwa proses manajemen dapat dibagi kedalam tiga
tahap, ketiga tahap ini dapat dilakukan oleh satu kelompok kerja pimpinan
saja, dapat pula dilakukan secara terpadu oleh lebih dari satu kelompok
kerja, dari tingkatan organisasi yang sama dan/atau tingkatan organisasi
14
yang berbeda. Dibawah ini akan kami sebutkan ketiga tahap Leavit berikut
dengan penjelasannya, yaitu:
Tahap 1. Tahap ‘Pathfinding’
Pathfinding atau pemanduan yang fokus terhadap pencarian tujuan,
dengan penciptaan masalah-masalah yang menarik. Penting bagi
pemimpin untuk menetapkan tujuan yang dinilai bermakna bagi
organisasinya, guna mengembangkan organisasinya. Pemanduan
merupakan suatu tahap dimana pemikiran kreatif dan divergen
dibutuhkan, pemanduan berkaitan dengan gambaran seseorang
mengenai perusahaannya di masa depan (vision), berdasarkan data-
data dari lingkungan dan dari perusahaannya sendiri, dan berdasarkan
keyakinan sendiri tentang apa yang benar, apa yang baik, apa yang
indah. Contoh vision: seorang pimpinan perusahaan melihat
perusahaannya berkembang menjadi perusahaan multinasional, yang
berbentuk koperasi, dimana para karyawannya berprestasi optimal dan
merasa bahagia dan sejahtera. Visionlah yang menjadi pedoman tetap
akan tujuan dan masalah yang menarik, yang menjadi dasar dari proses
pathfinding. Untuk dapat mewujudkan vision dibutuhkan kemantapan,
tekad untuk melaksanakan. Proses pemanduan banyak berlangsung
dalam diri seseorang dengan cara yang tidak mudah dilihat dari luar
oleh para pengamat. Meskipun begitu, pemanduan merupakan satu
tahap kepemimpinan dalam pengelolaan yang aktif. Aktif karena
menentukan dan menciptakan msalah-masalah penting yang harus
dipecahkan.
Tahap 2. Pemecahan Masalah
Setiap hari kita memecahkan masalah, begitu juga dalam kelompok
kerja. Pemecahan masalah dalam tingkat ini sangat berbeda dengan
pemecahan masalah yang diajarkan disekolah. Pertama, dalam
pekerjaan masalah harus kita temukan, harus kita seleksi, atau harus
kita ciptakan sendiri. Kedua, masalah yang dihadapi datanya tidak
lengkap, harus dicari pemecahannya berdasarkan informasi seadanya,
15
yang pastinya terbatas. Ketiga, jika kita telah menemukan jawabannya,
sering tidak memberikan kepuasan. Sangat berbeda dengan pemecahan
masalah yang pernah kita temui disekolah, tapi pendidikan yang kita
dapatkan disekolah dalam memecahkan berbagai macam masalah
mempunyai manfaat dalam melatih kemampuan dan ketrampilan kita
memecahkan masalah.
Tahap 3. Tahap Impelentasi
Tahap ini mencangkup kegiatan membentuk, menyusun, menjual,
membuat sesuatu terjadi. Para anggota kelompok (tenaga kerja)
masing-masing menjalankan tugasnya sebagaimana telah diberikan
kepada mereka. Berbeda dengan kelompok kerja manajerial, karena
implementasi dalam manajemen merupakan suatu proses sosial yang
mengharuskan manajer untuk mempengaruhi, meyakinkan, memaksa,
menjual, dan berkomunikasi dengan orang lain.
Ketiga tahap ini dapat berlangsung secara bersamaan, dan dapat pula
berlangsung secara berurutan. Dari ketiga tahap proses manajemen dari
Leavitt yang berkaitan dengan ketiga fungsi kelompok yang telah disebut
di atas nyata bahwa pelaksaan fungsi-fungsi kelompok tidak begitu saja
berjalan tanpa menimbulkan masalah. Fungsi kelompok ikun menentukan
kelancaran berlangsungnya proses kelompok di samping cirri-ciri
kepribadian para anggota kelompoknya.
Dalam proses kelompok, dimana para anggota kelompok kerja
berinteraksi dan dimana kelompok melaksanakan fungsinya, dapat kita
temukan timbulnya gejala-gejala sebagai berikut:
Konformisme
Dalam interaksi antar anggota kelompok, tanpa disadari,
mereka mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang berlaku umum
dikeseluruhan organisasi kerjanya, dan pola perilaku yang lebih
khas berlaku dalam kelompok kerjanya, yang tumbuh karena
interaksi selama jangka waktu yang panjang. Setiap kelompok
memiliki norma-norma, yaitu pola atau patokan perilaku yang
16
diterima oleh para anggota kelompok. Fungsi kelompok bagi
anggota adalah untuk memenuhi kebutuhan afiliasi. Kita semua
menginginkan untuk diterima dan diperlakukan sebagai anggota
kelompok yang sama oleh anggota lain. Kita akan berusaha
berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Kita akan
berusaha menjadi konformis, tidak berbeda dengan anggota lain.
Kelekatan (cohesiveness)
Dalam mencapai tujuan kelompok, harus ada kerja sama yang
baik antar setiap anggotanya. Tinggi rendahnya kesepakatan para
anggota terhadap tujuan kelompok, serta derajat dapatnya saling
menerima anggota kelompok lainnya menunjukkan tingkat
kelekatan kelompok. Semakin para anggota saling tertarik, dan
makin sepakat mereka terhadap tujuan kelompok, maka makin
lekat kelompoknya. Faktor-fakto yang ikut menunjukkan tingkat
kelekatan kelompok adalah (Munandar, 2008):
o Intensitas waktu bersama dalam kelompok → makin lama,
makin saling mengenal, makin dapat timbul sikap toleransi.
o Parahnya masa awal → makin sulit seseorang diterima di
dalam kelompok kerja sebagai anggota, makin lekat
kelompoknya.
o Besarnya kelompok → makin besar kelompoknya, makin
kurang lekat, karena sulit terjalinnya interaksi yang intensif.
o Ancaman dari luar → bila memiliki ‘musuh’ bersama,
biasanya kelompok akan makin lekat.
o Keberhasilan di masa lalu → setiap orang menyenangi
seorang pemenang.
Sinergi
Adalah gejala dimana saat proses pengambilan keputusan
dalam kelompok. Bahwa keputusan yang diambil kelompok
merupakan keputusan yang lebih baik dari keputusan yang diambil
oleh setiap anggota kelompok tersendiri. Sinergi terjadi karena
17
diskusi dalam kelompok, menimbulkan lebih banyak alternative
dari pada jumlah orangnya, cenderung untuk mengeleminasi
sumbangan-sumbangan gagasan yang kurang bermutu, mengurangi
nilai-nilai kesalahan dan menunjang pemikiran kreatif. Ini
memberikan arti bahwa kelompok pada umunya lebih baik dari
pada perorangan dalam situasi dimana diutamakn kecermtan dan
dimana waktu cukup banyak. Namun tidak selalu kelompok lebih
baik dari perorangan dalam pengambilan keputusan. Kadang kala
sebaliknya benar. Sering anggota mempunyai kemungkinan lebih
baik untuk ‘menang’ jika ia tetap mempertahankan keputusannya
dan mengabaikan keputusan kelompok.
Groupthink
Kecenderungan anggota suatu kelompok untuk berpikir dan
mencapai suatu keputusan bersama, walaupun keputusan itu salah.
Ini merupakan gejala yang timbul akibat suatu kelompok yang
terlalu lekat. Jadi anggota kelompok yang memiliki pandangan
yang menyimpang, ditekan dengan berbagai macam cara untuk
menyetujui pandangan tersebut dengan prinsip mayoritas. Janis
(Janis & Mann, 1977) menjabarkan gejala berpikir kelompok
secara berurutan, sebagai berikut:
1. Kelompok memiliki ilusi bahwa mereka kebal
2. Kelompok terlibat dalam rasionalisasi kolektif untuk
memotong informasi yang berbeda, menentang
3. Kelompok mulai percaya pada moralitas inheren
tentang apa yang ingin dilakukan
4. Kelompok mengembangkan stereotip dari kelompok
lain dan dari para penentang, sehingga melindungi diri
dari analisis yang cermat
5. Kelompok member tekanan langsung kepada para
penentang untuk membuat diam mereka
18
6. Para anggota kelompok mulai menyensor pemikiran
mereka sendiri, terutama tentang keraguan yang
mungkin mereka miliki tentang kearifan dari tindakan
yang diusulkan
7. Kelompok mulai percaya akan kebulatan
kesepakatannya karena tidak ada penentang dan
kepercayaan bahwa “diam berarti menyetujui”
8. Beberapa naggota dari kelompok mulai berfungsi
sebagai “penjaga pikiran” (mindguards) penjaga yang
“melindungi” para pemimpin dari pandangan yang
menyimpang dengan menjerakan secara aktif para
penentang untuk mengungkapkan ketidak setujuan
mereka.
Gejala berpikirk kelompok, bukan merupakan gejala yang hadir
disetiap kelompok. Hanya pada kelompok yang berada dalam
kondisi tertentu saja, kondisinya ialah jika kelompok: (a) memiliki
kelekatan yang sangat tinggi, (b) terasing dari kelompok lain
dengan pandanga berbeda, (c) tidak memiliki prosedur
metodologikal untuk mengkaji dan memilih informasi jawaban
alternative yang relevan, (d) tidak memiliki prosedur yang
sistematis untuk menilai alternatif-alternatif, (e) memiliki pimpinan
otoriter yang kuat, yang menjerakan para penentang, yang berada
dibawah tekanan yang besar tetapi merasa putus asa dalam
mencari penyelesaian yang lebih baik dari yang sedang
dipertimbangkan. Untuk mencegah timbulnya groupthink, Schein
(1980) selanjutnya memberikan saran agar ditimbulkan kondisi
dimana pengajuan pandangan yang bertentangan, pencarian,
penilaian yang kritis, eksplorasi dari alternatif dan pengecekan dari
asumsi di tunjang dan digalakkan.
19
Polarisasi Kelompok
Gejala lain dalam proses pengambilan keputusan kelompok
adalah adanya penggeseran keputusan yang menuju ke kedua
ekstrem, keputusan yang sangat tinggi risikonya atau ke keputusan
yang sangat rendah derajat risikonya. Gejala pertama dinamakan
penggeseran ke risiko (risky shift), yang kedua dinamakan
penggeseran ke hati-hatian (caution shift). Bila pada penggeseran
ke risiko, tingkat risiko dari keputusan kelompok lebih tinggi dari
derajat risiko yang berani diambil oleh para anggota kelompok, dan
begitupun sebaliknya. Fincam dan Rhodes yang menamakan kedua
gejala tersebut polarisasi kelompok, mengemukakan kemungkinan
terjadinya kedua gejala tersebut:
1. Adanya tanggung jawab yang tersebar, tanggung jawab yang
ditanggung bersama, membuat mereka berani untuk mengambil
keputusan yang lebih tinggi risikonya.
2. Karena beroperasinya proses pembanding sosial, disini para
anggota kelompok memperlihatkan diri sebaik mungkin.
Keputusan kelompok yang diambil menjadi lebih ekstrem kea
rah sikap sosial yang pada saat itu mendominasi.
3. Kemungkinan yang menjelaskan gejala polarisasi kelompok,
adalah bahwa pengambilan keputusan yang ekstrem sangat
dipengaruhi oleh pertukaran informasi dan argumentasi yang
meyakinkan.
Tidak dapat disangsikan ketiga kemungkinan di atas beroperasi
dalam proses kelompok dan menghasilkan gejala polarisasi
kelompok.
E. Interaksi Antarkelompok
Kelompok kerja berinteraksi dengan kelompok kerja lainnya secara
sambung-menyambung dalam organisasi. Sistem akan berhenti
eksistensinya jika keluarannya tidak dirasakan bermanfaat. Kemampuan
20
organisasi ini sangat tergantung bagaimana derajat keterpaduan
didalamnya, keterpaduan dari kelompok kerjanya. Jika mengikuti
pandangan dari Likert, dimana anggota dari setiap kelompok merupakan
anggota juga dari kelompok tingkat organisasi yang lebih rendah dan
berfungsi sebagai poros penghubung, maka, seakan-akan, jika telah
tercapai kesepakatan pada kelompok direksi, akan tercapai juga
kesepakatan dan kerja sama di kelompok kerja di bawah kelompok direksi.
Karena berbeda tugasnya, berbeda kepentingannya, maka konflik antar
kelompok merupakan sesuatu yang wajar terjadi, yang harus dikelola
untuk kemanfaatan keseluruhan organisasi.
E. 1. Saingan atau Konflik Antarkelompok.
Robbins (1998) berpendapat bahwa konflik merupakan satu proses
yang dimulai jika satu pihak beranggapan bahwa pihak lain telah secara
negatif mempengaruhi, atau akan mempengaruhi secara negatif, sesuatu
yang akan dilakukan atau yang menjadi perhatian pihak pertama. Batasan
konflik dari Robbins sangat luas. Dua orang yang berbeda pendapat sudah
dapat dianggap konflik. Saingan antardua kelompok juga termasuk dalam
pengertian konflik. Jika ada dua kelompok yang bersaing, maka
dampaknya dapat diuraikan kedalam kategori berikut:
a. Yang Terjadi di dalam Setiap Kelompok yang Bersaing
1. Setiap kelompok menjadi lebih menutup diri dan
membangkitkan loyalitas yang lebih besar dari para anggota
kelompoknya; para anggotta kelompoknya menjadi lebih akrab
dan melupakan pertentangan mereka.
2. Suasana kelompok berubah dari informal, santai, ceria, menjadi
berorientasi pada kerja dan tugas.
3. Pola kepemimpinan cenderung berubah dari lebih demokratis
menjadi lebih otokratis, kelompok menjadi lebih bersedia untuk
menerima kepemimpinan otokratis.
4. Setiap kelompok menjadi lebih berstruktur.
21
5. Setiap kelompok menuntut kesetiaan, dan konformitas yang
lebih besar dari para anggotanya agar mampu menyajikan satu
barisan yang lebih tangguh.
b. Yang Terjadi Antara Kelompok yang Bersaing
1. Setiap kelompok mulai melihat kelompok lain sebagai
musuhnya, bukan sekedar sebagai objek yang netral.
2. Setiap kelompok muali mengalami gangguan pada persepsi.
3. Rasa bermusuhan terhadap kelompok lain meningkat,
sebaliknya interaksi dan komunikasi dengan kelompok lain
menurun.
4. Jika kelompok dipaksa untuk berinteraksi, maka masing-
masing kelompok cenderung hanya mendengarkan penjelasan
dari kelompok mereka sendiri, kecuali untuk menemukan
kesalahan/kelemahan dari kelompok saingannya.
Menurut Schein gejala-gejala di atas, akan dapat timbul dalam
berbagai kelompok yang berkompetisi atau bersaing. Gejala-
gejala tersebut dapat meningkatkan motivasi dari para
anggotanya, tetapi sebaliknya dapat pula membuka kesempatan
timbulnya groupthink.
c. Yang Terjadi dengan yang Menang
1. Pemenang mempertahankan kelekatannya, malahan dapat
meningkat derajat kelekatan antaranggota kelompok.
2. Pemenang cenderung melepas ketegangan, kehilangan
semangat juangnya, menjadi santai.
3. Pemenang cenderung mengarah ke kerjasama antaranggota
kelompok dan perhatian terhadap kebutuhan para anggotanya
yang tinggi, dan berkurang perhatiannya kepada pelaksanaan
tugas dan kerja.
4. Pemenang cenderung menjadi puas, dan merasa bahwa hasil
positif telah mengkonfirmasi stereotip yang baik dari mereka
sendiri, dan stereotip yang negative dari kelompok saingan
22
mereka, sehingga tidak ada atau sedikit ada keinginan untuk
merevaluasi pandangan dan menguji kembali kegiatan
kelompok agar dapat belajar bagaimana meningkatkan mutu
pandangan dan kegiatannya. Pemenang tidak belajar banyak
tentang diri mereka senditi.
d. Yang Terjadi dengan yang Kalah
1. Jika tidak dapat menerima kekalahan, akan ada kecenderungan
kuat pada kelompok yang kalah, untuk menolak atau merusak
kenyataan kekalahan.
2. Jika kekalahan diterima secara psikologik, kelompok yang
kalah akan cenderung mencari seseorang atau sesuatu untuk
disalahkan.
3. Kelompok yang kalah lebih tegang, siap untuk lebih keras, dan
merasa tidak ada harapan.
4. Kelompok yang kalah cenderung mengarah ke kerjasama
antaranggota kelompok yang rendah, perhatian terhadap
kebutuhan anggotanya kecil, dan perhatian tinggi untuk dapat
memperbaiki diri, membalas kekalahannya dengan bekerja
lebih keras, agar pada kesempatan lain dapat menang.
5. Kelompok yang kalah akan cenderung belajar banyak tentang
diri mereka sebagai kelompok, karena denggan kekalahan
mereka, stereotip positif dari mereka, dan stereotip negatif dari
kelompok saingannya tidak ditunjang, sehingga akibatnya
memaksakan suatu reevaluasi dari pengamatan. Kelompok
yang kalah akan mereorganisasi diri dan menjadi lebih lekat
dan efektif, begitu kekalahan mereka telah dapat diterima
secara nyata.
Masalah antarkelompok, dapat terjadi pada berbagai macam
kelompok di masyarakat, tidak hanya terjadi pada kelompok yang
telah jelas dibatasi.
23
E. 2. Teknik-teknik Mengurangi Akibat Negatif dari saingan
Strategi dasar dari pengurangan konflik adalah, menemukan tujuan
yang dapat diterima oleh kelompok yang bersaing, sebagai tujuan mereka
bersama, dan melancakan proses komunikasi antarkelompok. Berikut ini
beberapa teknik yang diajukan oleh Schein (1980), yang dapat digunakan
tersendiri atau beberapa teknik secara bersama-sama dalam kombinasi
tertentu:
1. Menemukan Musuh Bersama
Konflik antara dua kelompok kerja dapat dikurangi jika kedua bagian
mau menggunakan upaya mereka untuk perusahaan mereka agar dapat
berhasil bersaing dengan perusahaan lain. Konflik disini digeser ke
tingkat yang lebih tinggi. Teori identitas sosial yang diajukan oleh
Fincham dan Rodhes (1988) menjelaskan bahwa para tenaga kerja
bagian A dan bagian B memperoleh identitas mereka dari bagian
mereka masing-masing. Identitas mereka berbeda-beda. Dengan
memberikan mereka musuh bersama, mereka dapat memperoleh
identitas mereka dari perusahaan. Mereka tidak lago merasa tenaga
kerja bagian A dan bagian B, melainkan merasakan menjadi tenaga
kerja perusahaan X (Munandar, 2008).
2. Pimpinan atau Subkelompok dari Kelompok-kelompok yang Bersaing
dibawa Berinteraksi
Dalam kelompok baru yang terdiri dari wakil dari kelompok yang
bersaing, karena mendapatkan wewenang untuk menjadi perwakilan
dari kelompoknya masing-masing, dapat melakukan perundingan
untuk mencapai suatu kesepakatan, kalau perlu dapat saling
memberikan kesediaan untuk mencapai suatu jalan damai. Namun
Leavitt (1988) mengingatkan agar hati-hati dalam menggunakan teknik
ini, jika kelompok yang bersaing masing-masing memiliki derajat
kelekatan yang tinggi, maka tidak akan dapat dicapai kata sepakat,
kecuali jika yang mewakili adalah pemimpin yang memiliki kuasa
penuh.
24
3. Menemukan Tujuan yang Mencakup (Superordinate)
Kelompok yang beraing harus bekerja sama agar tujuan dapat tercapai.
Misalnya perusahaan ingin melemparkan produk baru ke pasar. Produk
yang murah pembuatannya dan diinginkan konsumen. Untuk
keperluan ini bagian penjualan harus bekerja sama dengan bagian
produksi. Tujuann yang harus dicapai adalah tujuan perusahaan dan
bukan tujuan masing-masing kelompok.
4. Pelatihan Antarkelompok Melalui Penghayatan Pengalaman
Kelompok yang bersaing dikumpulkan dan diminta untuk mengkaji
perilaku mereka sendiri. Selama pelatihan masing-masing kelompok
mencatat persepsi tentang mereka sendiri, dan persepsi mereka dengan
kelompok lain. Kedua hasil kelompok kemudian dibicarakan dan
dibahas, persepsi yang keliru dihilangkan dan hubungan di masa depan
ditentukan bersama. Teknik merupakan salah satu teknik dari
pengembangan organisasi yang akan lebih dijelaskan dalam bab
berikutnya.
E. 3. Dimensi dari Intensi Menyelesaikan Konflik
Robbins (1998) membahas dimensi dari intense menyelesaikan
konflik dari Thomas (1992). Intensi menyelesaikan konflik dapat
dikelompokkan kedalam lima cara yang didapatkan berdasarkan dua
dimensi, yaitu: 1. Dimensi Assertiveness dan 2. Dimensi Cooperativeness.
Kelima cara menyelesaikan konflik ialah:
1. Bersaing (competing) adalah hasrat untuk memuaskan
kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan dampak terhadap pihak
Assertive
Assertiveness
Unassertive
Competing
Avoiding
Compromissing
Collaborating
Accomodating
Uncooperative Cooperative
25
lawan konflik (tinggi pada assertiveness dan rendah pada
cooperativeness). Situasi ini juga dinamakan situasi menang-kalah
(win-lose).
2. Bekerja sama (collaborating) ialah pihak-pihak yang konflik masing-
masing berhasrat untuk memuaskan kepentingan pihaknya
(assertiveness dan cooperativeness tinggi). Situasi ini dinamakan juga
menang-menang (win-win).
3. Berkompromi (compromising) adalah satu situasi dimana masing-
masing pihak yang bersengketa bersedia untuk mengorbankan sesuatu
(assertiveness dan cooperativeness sedang tingginya). Situasii ini
dinamakan kalah-kalah (lose-lose), karena ada yang dikorbankan.
4. Menghindar (avoiding) adalah hasrat untuk mengundurkan diri dari
situasi konflik atau menekan konflik, tidak ingin b ersengketa
(assertiveness dan cooperativeness rendah).
5. Menyesuaikan (accommodating) adalah adanya satu pihak yang
konflik, bersedia untuk meletakkan kepntingan pihak lain lebih tinggi
dari kepentingannya (assertiveness rendah, coopertaviness tinggi).
Situasinya satu pihak mengalah atau memenangkan pihak lawan.
Kelima penyelesaian konflik merupakan intense cara penyelesaiaan
konflik. Bagaimana cara penyelesaian yang nyata tergantung dari sikap
kedua belah pihak yang bersengketa. Cara penyelesaian konflik dapat
diwujudkan kedalam berbagai teknik penyelesaian konflik. Tehnik-tehnik
yang telah disebutkan diatas, merupakan teknik penyelesaian masalah
yang menggambarkan situasi menang-menang, tidak hanya salah satu
pihak dalam persaingan yang menang.
Disamping teknik-teknik penyelesaian konflik di atas, ada
beberapa teknik penyelesaian konflik di atas, ada beberapa teknik
penyelesaian konflik lainnya yang diajukan oleh Robbins (1998), yang
bersifat situasi win-win:
26
1. Teknik Problem Solving → pertemuan berhadapan antara pihak yang
memiliki konflik dengan tujuannya menemukan masalah dan mencari
jalan keluarnya melalui diskusi terbuka.
2. Teknik Pengadaan Sumber yang Lebih Banyak → ini khusus kalau
konflik terjadi disebabkan kurangnya atau terbatasnya sumber yang
diperlukan.
3. Teknik Pelunakan → berusaha mengurangi arti perbedaan dan
menekankan pada kepentingan bersama dari pihak yang memiliki
konflik.
4. Teknik Perintah Otoritatif → manajemen menggunakan otoritas
formlanya untuk menyelesaikan konflik dan mengkomunikasikan
keinginannya kepada pihak-pihak yang bersengketa.
5. Teknik Mengubah Variabel Manusia → menggunakan teknik
pengubahan perilaku melalui pelatihan, seperti pelatihan dalam
hubungan antar manusia, sehingga dapat mengubah sikap dan
perilaku yang menimbulkan konflik.
6. Teknik Mengubah Variabel Struktural → mengubah struktur formal
organisasi dan pola interaksi dari pihak yang memiliki konflik melalui
rancangan ulang dari pekerjaan, pemindahan, pembentukan
kedudukan dengan tugas koordinasi, dan sebagainya.
F. Kesimpulan
Kelompok merupakan gabungan dari dua orang atau lebih, yang
saling berinteraksi, memiliki tujuan yang sama, dan melihat anggota
kelompok merupakan bagian dari dirinya. Sedangkan organisasi
adalah, suatu kelompok yang dibentuk secara sengaja berdasarkan
kepentingan tertentu dengan tujuan tertentu, serta cara-cara tertentu
dalam melakukan sesuatu.
Organisasi dan kelompok memiliki aspek sosial, karena organisasi
terdiri lebih dari satu anggota atau kelompok manusia, yang sudah
27
semestinya sebagai sistem, setiap anggota berinteraksi dengan anggota
lainnya guna menjalankan sistem tersebut dengan baik.
Kelompok dapat dikatakan berhasil jika kerja sama antar
anggotanya berjalan dengan baik.
Apabila bila suatu kelompok dapat memberikan makna bagi diri
kita, jika kelompok kita rasakan dapat memenuhi kebutuhan kita, dan
sesuai dengan harapan kita, maka kita akan menilai kelompok itu baik,
tetapi sebaliknya, jika kelompok kita rasakan tidak memuaskan, tidak
mampu memenuhi kebutuhan, dan tidak sesuai dengan harapan kita,
maka kita akan mengundurkan diri sebagai anggota kelompok. Ini
berlaku untuk setiap kelompok dimana kita menjadi anggota, tidak
hanya berlaku bagi kelompok kerja kita.
28
G. Ringkasan
Mind Map (Peta Ingatan)
Organisasi
Kelompok kerja
Kelompok formal
-Kelompok komando -Kelompok tugas
Kelompok informal -Kelompok minat
-Kelompok persahabatan
Pengertian
Fungsi kelompok bagi
anggota
a. Pemenuh kebutuhan
b. Pengembang, penunjang, pemantap
c. Penetap dan penguji d. Mekanisme
pemecahan masalah
Fungsi kelompok bagi
organisasi
a. Pelaksana tugas majemuk
b. Mekanisme pemecahan
masalah
c. Penghasil gagasan baru
d. Pelancar dari keputusan
yang majemuk e. Wahana dari sosialisasi
dan pelatihan f. Koordinator utama
Makna dan fungsi kelompok
Organisasi dan kelompok kerja
Pendahuluan
Interaksi Antar Kelompok
Interaksi Antaranggota Kelompk Saingan Konflik antar Kelompok
Teknik mengatasi akibat negatif dari saingan
a. Menemukan musuh bersama
b. Pimpinan dari kelompok bersaing
dibawa
c. Menetapkan superordinate goals
d. Experential Inter Group Training
Dimensi dari intense menyelesaikan konflik
a. Competing
b. Collaborating
c. Compromissing
d. Avoiding
Proses Kelompok
a. Interacting group
b. Coacting group
c. Counteracting groups
Gejala dalam proses kelompok
a. Konformisme
b. Kelekatan
c. Synergi
d. Groupthink
e. Polarisasi keputusan
29
H. JURNAL
1. JURNAL 1
Teamwork Quality and the Success of Innovative Projects: A
Theoretical Conceptand Empirical Evidence
Martin Hoegl • Hans Georg Gemuenden
Washington State University, Department of Management and
Decision Science, 601 W. First Avenue,Spokane, Washington 99201–
3899
Technical University of Berlin, Chair for Technology and Innovation
Management, Hardenbergstr. 4–5,
HAD 29, 10623 Berlin, Germany
[email protected] • [email protected]
An extensive body of literature indicates the importance of teamwork to
the success of innovative projects, that “good teamwork” increases the success of
innovative projects The importance of teams to the success of innovation
processes is well documented in the theoretical literature. Popular approaches to
new product development (Johne and Snelson 1990, Clark and Fujimoto 1991,
Cooper 1993) such as project management (Pinto et al. 1993, Fleming and
Koppelman 1996, Gemuenden and Lechler 1997), speed and cycle time
management (Gemuenden 1990, Eisenhardt and Tabrizi 1995), as well as total
quality management and continuous improvement (Griffin and Hauser 1992,
Lawler et al. 1995, Mohrman et al.1995) consider teamwork as a crucial success
factor.
Following the literature, a team can be defined as a social system of three
or more people, which is embedded in an organizational (context), whose
members perceive themselves as such and are perceived as members by others
30
(identity), and who collaborate on a common task (teamwork) (Alderfer 1987,
Hackman 1987, Wiendieck 1992,Guzzo and Shea 1992).
The many experienced managers who emphasize the merits of “good
teamwork” have numerous behavioral requirements in mind. Their claims remain
rather vague and meaningless, however, as long as the essence of a team, the
quality of its collaborative working, is neither precisely defined nor validly and
reliably measured. We advocate first developing theories that explain which
aspects of teamwork are relevant to team performance and then testing these
propositions to make distinctions that are useful for practical purposes (i.e.,
distinguishing between teams that achieve results and those that do not).
We conceptualize TWQ as a multifaceted higher order construct. The
underlying proposition of this construct is that highly collaborative teams display
behaviors related to all six TWQ facets. Thus, these six facets are indicators of the
collaborative work process in teams and combine to the TWQ construct. This
conceptualization as a higher order (latent) construct is comparable to Hackman’s
(1987) “process criteria of effectiveness” in that several critical indicators (or
subconstructs) are combined in the specification of the team task process. The
following is adiscussion of the TWQ facets that provides a detailed.
31
2. JURNAL 2
On Teams, Teamwork, and Team Performance:
Discoveries and Developments
Eduardo Salas, University of Central Florida, Orlando, Florida, Nancy J.
Cooke, Arizona State University Polytechnic and Cognitive Engineering
Research Institute, Mesa, Arizona, and Michael A. Rosen, University of
Central Florida, Orlando, Florida
Teams have become the strategy of choice when organizations are
confronted with complex and difficult tasks. Teams are used when errors lead to
severe consequences; when the task complexity exceeds the capacity of an
individual; when the task environment is ill-defined, ambiguous, and stressful;
when multiple and quick decisions are needed; and when the lives of others
depend on the collective insight of individual members. Teams are used in
aviation, the military, health care, financial sectors, nuclear power plants,
engineering problem-solving projects, manufacturing, and countless other
domains. They take a variety of forms, from teams of teams to human robot
teams. As the complexity of the workplace continues to grow, organizations
increasinglydepend on teams.
The good news is that research has kept up with the demand from
organizations for scientifically rooted guidance. The science of team performance
has produced a wealth of knowledge on how to compose, manage, structure,
measure, and promote team performance. Our purpose here is threefold: (a) to
briefly discuss what we know about teams, teamwork, and team performance; (b)
to highlight recent discoveries and developments, especially as documented in
Human Factors; and (c) to motivate research for the future. We should note that
our review is necessarily selective. We focus only on those areas in which we
think significant research has been conducted and in which we think interesting,
compelling, and robust discoveries have been made. We first discuss key
distinctions needed to understand the discoveries. Subsequently, we discuss eight
32
discoveries and end with several key issues that need attention as team research
continues to develop over the coming decades.
TEAMS, TEAMWORK, AND TEAM PERFORMANCE: FUNDAMENTAL
CONCEPTS
Over recent decades, a “golden age” of interest in team research has
emerged. A Recent review of the literature revealed more than 130 models and
frameworks of team performance or some component thereof (Salas, Stagl, Burke,
& Goodwin, 2007). This breadth represents an ongoing balance between models
at different levels of granularity. Some are parsimonious and generalizable models
of teamwork (Salas, Sims, & Burke, 2005), and others are more contextualized
team or task-specific frameworks (Xiao, Hunter, Mackenzie, Jefferies, & Horst,
1996) or models that focus on a specific team process or function (Entin &
Serfaty, 1999). Among these varying theoretical models are some core concepts
that might be considered common ground. These concepts include the input-
process-output (I-P-O) framework, which is the dominant approach underlying
these various models, as well as a consideration of the multilevel and dynamic
nature of teams (i.e., for a more extensive discussion, see Ilgen, Hollenbeck,
Johnson, & Jundt, 2005; Salas et al., 2007).
Teams are social entities composed of members with high task
interdependency and shared and valued common goals (Dyer, 1984). They are
usually organized hierarchically and sometimes dispersed geographically; they
must integrate, synthesize, and share information; and they need to coordinate and
cooperate as task demands shift throughout a performance episode to accomplish
their mission. During a performance episode, team members engage in taskwork
processes and teamwork processes. Individual taskwork is defined as the
components of a team member’s performance that do not require interdependent
interaction with other team members. In contrast, teamwork is defined as the
interdependent components of performance required to effectively coordinate the
performance of multiple individuals. Team performance is conceptualized as a
33
multilevel process (and not a product) arising as team members engage in
managing their individual- and team-level taskwork and teamwork processes
(Kozlowski & Klein, 2000). Conceptually, teamwork is nested within team
performance and is a set of interrelated cognitions, attitudes, and behaviors
contributing to the dynamic processes of performance. Team cognition or team-
level macrocognitionis an example of this type of interrelationship between
processes and has been the focus of much recent research (Letsky, Warner, Fiore,
& Smith, in press; Salas & Fiore, 2004). In general, team cognition research
characterizes teams as information-processing units (Hinsz, Tindale, & Vollrath,
1997). Processes such as the encoding, storage, and retrieval of information are
thought to apply on the team as well as the individual level (Salas & Fiore, 2004).
These processes occur internally in individuals; however, on the team level,
communication is viewed as a central mechanism of information processing. In
addition, team cognition can be viewed as an emergent phenomenon (Cooke,
Gorman, & Rowe, in press; Cooke, Gorman, & Winner, 2007). Finally, team
effectivenessis an evaluation of the outcomes of team performance processes
relative to some set of criteria (Hackman, 1987). The definitions of performance
and effectiveness on the team level closely parallel the definitions of these terms
on the individual level. That is, performance is the activities engaged in while
completing a task, and effectiveness involves an appraisal of the outcomes of that
activity (Fitts & Posner, 1967; Motowildo, 2003). With this groundwork in place,
we turn to a survey of the crowning achievements of the past decades of team
research.
34
Daftar Pustaka
Martin Hoegl, H. G. (2001). Teamwork Quality and the Success of Innovative
Projects. Organization Science , 437-449.
Munandar, A. S. (2008). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Salas, E., Cooke, N. J., & Rosen, M. A. (2008). On Teams, Teamwork, and Team
Performance: Discoveries and Developments. The Journal of the Human Factors
and Ergonomics Society , 541-547.