orang pulo l t c di pulau karang - teaterciputat.com · 4 orang pulo di pulau karang pasai 72 uu...

140
| Rosida Erowati Irsyad Penyusun di Pulau Karang di Pulau Karang Orang Pulo Orang Pulo | Rosida Erowati Irsyad Penyusun l t c

Upload: others

Post on 09-Feb-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • | Rosida Erowati IrsyadPenyusun

    di PulauKarang

    di PulauKarang

    Orang PuloOrang Pulo

    | Rosida Erowati IrsyadPenyusun

    l t c

  • l t c

  • di PulauKarang

    Orang Pulo

    | Rosida Erowati IrsyadPenyusun

    l t c

  • 4

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    PasaI 72 UU Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002Tentang Hak Cipta

    Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau PasaI 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

    Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

    Box, denah, foto, gambar, ikon, logo adalah desain dan/atau karya anggota tim peneliti dan Sekretariat LTC, kecuali untuk foto-foto [Suasana kegiatan AMD di Pulo Panggang, di depan kantor Kelurahan, Koleksi Bpk Jailin/P. Panggang; Balong fosil, Palaeoperca proxima , © Peter Bøckman. 2009/ www.wikipedia.org ; Posthouder Kasan (beskap) bersama para Tamu di depan kediaman, bangunan Kantor Kel. P. Panggang masa kini, © Prentenkabinet Leiden/Anoniem/60-431, Dermaga Pulo Panggang pada tahun 1917 dari album foto J.J. Lonkhuyzen, © KIT/60010664; Dermaga kecil, mungkin di sekitar lokasi TPI P. Panggang masa kini, © Prentenkabinet Leiden/Anoniem/60-442; ”Nderes”, diilustrasikan melalui foto Koranschooltje. Java karya Jean Demmeni tahun 1913, © Museum Volkenkunde; Tampak depan kediaman Posthouder Kasan, bangunan Kantor Kelurahan P. Panggang masa kini, © Prentenkabinet Leiden/Anoniem/60-430; Demo pencak silat, tahun 70-an, © Koleksi Ibu Nunung/P. Panggang], gambar-gambar [Masjid Agung Banten, tanpa keterangan waktu, karya Josias Cornelis Rappard, hidup antara 1882–1889, © KIT/3728-8-18; Karya Raden Saleh, Eene Overstrooming op Java, melukiskan situasi banjir di Jawa, © KITLV; Sketsa Jaring Jepang oleh Muchtar, 1960. h. 17; Masjid An-Ni’mah sebelum renovasi tahun 80-an, © Dedy F. Puscar 2012; Sketsa Muchtar (1960, h. 17) tentang perahu dan bubu di Pulo tahun 60-an], dan peta-peta [Rencana Pola Ruang Kep. Seribu 2030, © Rujak Center 2011; peta tahun ca. 1630 dari G. Eredia, © Biblioteca Nacional do Brasil, peta tahun 1597 dari Willem Lodewijcksz, © KIT/542713; peta Gerrit de Haan tahun 1761, © Kaartcollectie Buitenland Leupe/15621, peta tahun 1853 dari B. M. Carnbee, © KIT/645491, dan peta tahun 1911 dari B. M. Carnbee, © KIT/08947-1]l t c

  • 5

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    PenulisHamdi M. Husni, Nuryani, Risma Sugihartati, Kasman Setiagama Fadjar, Rosida Erowati IrsyadPenyusunRosida Erowati IrsyadPembaca AhliBisri EffendyPenyelia Artistik dan VisualAde Wijaya, Kasman Setiagama FadjarDesain dan PerwajahanAbdullah Wong, Risma SugihartatiRiset dan DokumentasiSulaiman Harahap dan Jurnal Akar, Aditya Rangga, RendiPenerbit lab teater ciputatPercetakanSuwung

    Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Rosida Erowati IrsyadPenyusunOrang Pulo di Pulau Karang

    Jakarta: lab teater ciputat, 2012Ed. 1, Cet. 1; 140 hlm; 23,5 x16,5 cm1. Kebudayaan - Masyarakat

    Dicetak oleh Suwung1 2012

    © 2012 lab teater ciputat

    Rosida Erowati IrsyadOrang Pulo di Pulau Karang

    l t c

  • 6

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    Buku ini menjadi ujung dan awal dari rangkaian proses pendampingan untuk rekonstruksi budaya di Pulau Panggang, Kep. Seribu, Jakarta. Penerbitan buku ini dimungkinkan atas kontribusi dan bantuan dari perorangan dan berbagai lembaga. Selama penelitian tentang Pulo dari bulan Oktober 2011 sampai Januari 2012, kami mengucapkan terima kasih kepada masyarakat P. Panggang – Pramuka yang bersedia berbagi kenangan dan pengetahuan, terutama para narasumber, yaitu Bpk Husni, Ibu Rumenah, Ibu Qodriyah, Bang Rusli, Ibu Nunung, Ibu Mahariah, Bpk Jafar, Bpk M. Nur, Bang Boma, Bang Alfian, Bpk Amrullah, Halimah, Bang Maman, Bang Samiun, Bpk Nawawi, Habib Zen, Ibu Kartinah, Abdul Wahab, Bpk H. Rameli, Bpk Budin, Bpk Surahman, Ibu Saibah, Bpk Jailin, Bpk Rahmat, Bpk Mahmud, Bpk Dedi F. Puscar, Bpk Ahmad, Ibu Samiyah, Ibu Maisyah, Pak Buang, Pak Magat, Mas Rahmat, Mbok Nahdiyatun dan Bpk Heri.

    Terima kasih kepada keluarga besar M. Husni dan Bang Boma, yang tak mungkin terlupakan kehangatan dan kebaikannya hingga kini. Penelitian ini juga dimungkinkan atas peranan teman-teman Budiman, ‘Che’ Mufti Ali Sholih, T. Andri Purnomo, Antonius Nomo, pasukan spesial Sanggar Apung: Deden, Yatna, Hafid dan kawan-kawan; pengurus Lab Teater Ciputat (Aries Budiono, Amirulloh, Alam, Julung, Eko Khotib, Sir Ilham Jambak, Aseng Tralala, Kholifah, Kismayeni, Bangkit, Dimas, Anwar), para peserta Presentasi Penelitian Pulo (Festival Teater Jakarta ke-39, GKJ Jakarta, 14 Desember 2011), dan Alamsyah. Secara kelembagaan, penerbitan buku ini dimungkinkan atas peran HIVOS, Lab Teater Ciputat, dan Sanggar Apung.

    Berbagai upaya dan kerja keras telah dilakukan berkenaan penghargaan atas hak cipta dari rujukan kepustakaan, laman web, gambar foto, dan peta. Penyusun mengakui ketidaksempurnaan dari penerbitan dan memohon maaf atas kesalahan dan kekurangan yang terjadi. Mohon pihak-pihak terkait dan atau yang berkepentingan berkenan menyampaikan catatan untuk dipergunakan sebagai rekaman dan sumber-sumber perbaikan bagi kemungkinan penerbitan edisi selanjutnya dan atau pencetakan ulang berikutnya.

    [email protected] | dapat dipergunakan untuk korespondensi

    Salaml t c

  • 7

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    Sebagai putra Pulo, saya memiliki kegelisahan mendalam atas kehidupan sosial yang semakin sempit dan berdesakan. Betapa tradisi dan kebudayaan yang kian tergerus, membuat saya bertanya tentang keberadaan Orang Pulo. Inilah masyarakat yang hidup di atas bukit purba yang tenggelam, diselimuti daratan pasir karang. Kualitas sumberdaya alam yang kian menurun dan nilai kesopanan yang semakin reduktif, merupakan potret yang menggambarkan masyarakat yang lupa, bahkan tidak tahu asal usul dirinya karena terputusnya informasi (missing link), juga oleh situasi budaya yang mengalami perubahan baik secara perlahan maupun cepat. Di sini, Orang Pulo di Pulau Karang merupakan realitas budaya atau suatu kenyataan dan peristiwa yang menggambarkan masyarakat Kepulauan Seribu saat ini.

    Kematian obor berlangsung di semua aspek kehidupan, baik pada tataran silsilah kekerabatan, kearifan dalam mengelola lingkungan, tutur bahasa, adab dan kesopanan masyarakat, tingkat kepedulian dan pranata sosial, hubungan antara orang tua dan anak, hingga nilai ketokohan dan figur. Kematian obor ini sangat mungkin menjadi penyebab munculnya konflik budaya dan hilangnya kearifan lokal yang sebenarnya dimiliki masyarakat.

    Buku “Orang Pulo di Pulau Karang”, merupakan satu upaya bersama dari tim penulis, untuk merekonstruksi realitas kebudayaan Orang Pulo, dari fenomena kematian obor yang melanda Kepulauan Seribu dewasa ini. Buku ini sekaligus menginventarisir khazanah budaya yang kita miliki, Orang Pulo di pulau karang, yang pernah memiliki sebuah nama tua “Duizend Eiland” dan berpusat di Pulau Panggang. Hasil temuan yang didapatkan melalui tahapan riset, baik dari sumber tradisi lisan maupun pustaka,

    PengantarSanggar Apung

    Hamdi M. Husnil t c

  • 8

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    selanjutnya diproyeksikan ke dalam sebuah konsep dan naskah seni pertunjukan teater di Kepulauan Seribu.

    Secara menyeluruh, penulisan buku yang digagas Sanggar Apung bersama Lab. Teater Ciputat merupakan salah satu bagian dari rangkaian kegiatan yang diberi nama “Pulang Babang”. Pulang Babang sendiri adalah istilah yang ada di masyarakat Kepulauan Seribu, baik dari utara hingga selatan, yang mempunyai makna penting bagi masyarakat nelayan di kepulauan ini. Arti istilah tersebut adalah sebuah peristiwa aktivitas nelayan yang pulang setelah beberapa lama pergi melaut dan kembali ke keluarganya.

    Akhirnya, kehadiran buku ini semoga dapat menjadi salah satu sumber informasi dan inspirasi bagi semua kalangan dalam memaknai kebudayaan di masyarakatnya.l t c

  • 9

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    Bermula dari persahabatan saya dengan saudara Hamdi, pendiri Sanggar Apung Pulau Panggang di Kepulauan Seribu sejak tahun 2002. Dari percakapan demi percakapan bergulir ide untuk membuat pertunjukan teater berdasarkan legenda Kepulauan Seribu sebagai kelanjutan dari pelatihan teater yang saya berikan untuk pelajar SMU di pulau Pramuka. Namun realisasi ide itu mengalami pasang surut dan terpendam lama seiring kesibukan saya dan Hamdi. Hingga pada satu kesempatan di tahun 2010, saya coba merumuskan ulang niat kerjasama itu atas nama Lab. Teater Ciputat yang berangkat dari inisiatif Hamdi yang kemudian direspon positif oleh organisasi non-pemerintah Hivos, tokoh masyarakat pulau Panggang, dan Pemkab. Kepulauan Seribu.

    Rancangan program yang kami beri nama “Pulang Babang: Rekonstruksi Budaya Masyarakat Pulau Panggang-Pramuka” ini terbagi dalam tiga tahap kerja. Pertama, riset potensi budaya masyarakat pulau Panggang dengan target penyusunan buku. Kedua, workshop artistik dan non-artistik dengan target pengembangan industri kreatif masyarakat Pulau Panggang dan revitalisasi karya seni tradisi Pulau Panggang. Ketiga, pagelaran seni pertunjukan hasil kolaborasi seniman Pulau Panggang dan Lab. Teater Ciputat. Target jangka panjangnya adalah pembangunan infrastruktur seni budaya di Pulau Panggang untuk promosi produk karya seni tradisi yang ‘terbarukan’.

    Kerja ini sebagai upaya Lab. Teater Ciputat membangun satu pemahaman observasi dan riset, yang muaranya adalah penciptaan karya pertunjukan teater yang lebih baik. Riset menjadi cara efektif untuk mengenal sekaligus belajar dengan kelompok masyarakat tertentu secara komprehensif , yang sebelumnya telah dilakukan oleh Lab. Teater Ciputat di Suku Baduy tahun 2007. Kali ini, masyarakat Pulau Panggang menjadi fokus riset yang diharapkan dapat memperkaya ikatan emosional kami selama ini. Selain sebagai ‘pintu masuk’ sebelum kami melakukan proses penciptaan karya seni pertunjukan yang berangkat

    PengantarLab Teater Ciputat

    Bambang Prihadil t c

  • 10

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    dari persoalan pulau Panggang dengan bentuk kemasan seni yang ada di pulau tersebut bersama Sanggar Apung (satu-satunya Sanggar Seni Teater di Pulau Panggang-Pramuka) dan seniman pulau Panggang yang masih eksis sampai saat ini.

    Dalam sejarah panjangnya, teater adalah buah kebudayaan dari suatu masyarakat. Ia hadir sebagai bagian dari bentuk masyarakatnya. Dari semula sebagai upacara ritual keagamaan, ekspresi ibadah masyarakat, respon gejala alam, respon fenomena sosial, refleksi realitas masyarakat hingga menjadi produk industri. Untuk itu, bila ia hadir sebagai karya tentunya tidak bisa lepas dari konteks masyarakatnya. Bukan saja pada tema, gagasan, dan isi pesan dari apa yang dipertunjukkan oleh pelakunya, lebih dari itu, pilihan bentuk bahasa, gaya, pengadeganan, setting tempat, bunyi, pola manajemen hingga metode pelatihan, sudah seyogyanya berpijak pada latar belakang budaya, latar geografis, karakter sosial, usia pemain, karakter penonton, keyakinan ideologis, strata ekonomi, dan tingkat pendidikan masyarakatnya.

    Teater dan masyarakat pada prinsipnya dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Teater sebagai karya telah terumuskan sebagai disiplin ilmu yang mesti dipelajari dengan penuh kesetiaan dari para pelakunya. Dan masyarakat dengan segala dinamika dan keunikannya adalah bahan mentah dalam proses refleksi dan representasi di atas panggung. Sebagaimana penulis merepresentasi suatu masyarakat dalam karya tulisnya, atau pengusaha yang merepresentasi suatu masyarakat untuk meningkatkan daya ekonominya.

    Masyarakat Kepulauan Seribu yang menghuni kawasan kepulauan karang di utara Teluk Jakarta, berasal dari berbagai latar belakang etnik yang mengalami akulturasi sejak abad

    ke-17. Sebaliknya, klaim Kepulauan Seribu sebagai bagian dari Betawi Pesisir, sebatas pengakuan politis pemerintah yang merujuk pada keberadaan wilayah tersebut dalam administrasi Provinsi DKI Jakarta. Proses pembentukan identitas budaya yang mencirikan Kepulauan Seribu lebih dikarenakan oleh terjadinya interaksi budaya antarpulau yang egaliter, melalui bahasa, makanan, dan teknologi, sebagai kebiasaan yang tumbuh secara alami lewat beragam kegiatan kemasyarakatan di antaranya pengajian, perkawinan, dan berbagai aktivitas ekonomi nelayan.

    Dalam enam tahun terakhir, Kepulauan Seribu sudah semakin ramai dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara. Berbagai paket wisata ramai dipublikasikan oleh agen-agen perjalanan swasta di daratan (Jakarta) yang mempekerjakan masyarakat setempat sebagai pemandu wisata. Pembangunan rumah peristirahatan di tengah kampung semakin merajalela, penjualan pulau kepada pihak swasta makin ramai, penyewaan peralatan menyelam dan wisata laut lainnya laku keras. Hampir setiap hari, terutama di hari libur, kapal-kapal penumpang yang menjadi alat transportasi masyarakat lokal sering membatalkan jadwal rutin mereka. Pemilik kapal lebih memilih untuk menerima sewa dari wisatawan. Kepulauan Seribu memang menjadi pilihan tujuan wisata saat ini, karena objek wisata lautnya semata.

    Sementara itu, dilihat dari aspek budaya, perkembangan masyarakat Kepulauan Seribu sangat lamban atau nyaris stagnan. Sejumlah faktornya, antara lain ;

    1. Hampir tidak ada produk kesenian yang dikembangkan masyarakat setempat.

    2. Tidak ada makanan khas atau bentuk kerajinan apa pun yang bernuansa lokal yang dapat membangun citra

    l t c

  • 11

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    masyarakat luar pulau. 3. Kegiatan ritual tradisi yang pernah ada seperti pesta laut telah punah dalam beberapa tahun terakhir akibat intervensi

    agama. 4. Beragam versi cerita atau legenda yang menunjukan asal mula kehadiran mereka di pulau itu hanya tinggal dalam ingatan

    generasi tua.5. Tradisi menjaga alam dan lingkungan dari ajaran nenek moyang tidak lagi menjadi kesadaran bersama. 6. Tradisi melaut mulai ditinggalkan masyarakat oleh sebab laut semakin tercemar oleh limbah dari 13 muara sepanjang

    pantai Teluk Jakarta. 7. Masyarakat terdidik pulau lebih banyak yang memilih meninggalkan kampung halamannya.8. Minimnya program pembinaan kesenian, khususnya yang diinisiasi oleh pemerintah9. Penyediaan infrastruktur kegiatan kesenian masih kurang memadai.

    Situasi yang cukup rawan ini mengandung potensi konflik sosial antarpulau akibat kepentingan politik dan ekonomi semata yang cenderung pragmatis dan materialistis. Sementara, pemerintah tidak cukup serius untuk membina dan menyinergikan potensi budaya masyarakat pulau. Padahal hasilnya dapat berujung padameningkatnya kualitas hidup masyarakat dan konservasi alam yang berkelanjutan.

    Salah satu solusi yang mesti segera dilakukan berbagai pihak berkepentingan adalah dengan melakukan riset cukup komprehensif terkait asal mula keberadaan masyarakat Kepulauan Seribu lewat cerita dan sastra lisan mereka. Hasil kegiatan ini diharapkan dapat meninjau kembali alasan keberadaan penduduk pulau serta membangun kesadaran mereka hidup sebagai masyarakat kepulauan. Dari sana pula akan teraktualisasi kembali secara berkesinambungan nilai moral dan nilai budaya lokal yang diturunkan oleh para leluhur dan tokoh tradisi. Proses berkesinambungan itu akan terjadi bila wadah ekspresi dan momen-momen kultural, baik yang lampau maupun yang terbarui, dapat tercipta kembali dan menjadi milik bersama.

    Capaiannya, selain mengokohkan kembali nilai-nilai budaya yang menjadi pegangan hidup masyarakat setempat, identitas budaya masyarakat pulau akan dapat dikenal masyarakat luar. Penguatan identitas budaya ini dapat menghidupkan ekspresi kultural masyarakat, membangun kepercayaan diri, membuka wawasan masyarakat untuk memilih profesi dan karir yang lebih beragam, sekaligus meningkatkan pariwisata.

    Akhir kata, terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terselenggaranya tahap pertama program “Pulang Babang “ ini, antara lain; Hivos, Aquino, tim peneliti (Rosida Erawati, Kasman, Risma Sugiharti), Achmad Ludfi (Bupati Pulau Seribu) beserta aparatus pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu, Lurah Pulau Panggang, Camat Kepulauan Seribu Utara, tokoh masyarakat Pulau Panggang dan nara sumber, Dr. Bisri Effendy, Dewi Noviami, Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, Rujak Center, Enriko dan Aikon, Mahariah, teman-teman Sanggar Apung dan seluruh masyarakat Pulau Panggang-Pramuka.

    l t c

  • 12

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    SambutanBupati Kepulauan Seribu

    Drs. Achmad Ludfi, M.M.

    Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

    Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan bagian dari ibu kota Negara Republik Indonesia yaitu Provinsi DKI Jakarta yang wilayahnya dikenal sebagai lokasi kunjungan wisata. Saya menyambut gembira dan mengucapkan selamat atas diterbitkannya buku berjudul “ORANG PULO DI PULAU KARANG”. Karya perdana yang dihasilkan dari buah pemikiran penduduk asli Pulau Seribu yang melihat dan merasakan keadaan yang sebenarnya di Kepulauan Seribu.

    Buku yang memuat berbagai informasi tentang legenda, sejarah, budaya, bahasa dan dialek, kuliner, serta tradisi kehidupan penduduk pulau ini membuat pembaca akan lebih dekat dengan kebiasaan yang dilakukan oleh orang Pulo. Buku ini juga memuat informasi tentang ekonomi nelayan dan potensi sumber daya laut serta pelestarian lingkungan oleh masyarakat.

    Mudah-mudahan dengan adanya karya perdana atas inisiatif penduduk asli pulau ini dapat memberikan inspirasi dan motivasi kepada generasi muda lainnya untuk menulis tentang segala aspek yang terdapat di Kepulauan Seribu serta catatan budaya ini diharapkan menjadi bagian objek wisata menarik di Kepulauan Seribu.

    Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

    Jakarta, Februari 2012

    l t c

  • 13

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    Salam | 6Pengantar, Hamdi M. Husni, Sanggar Apung Pulo Panggang | 7Pengantar, Bambang Prihadi, lab teater ciputat | 9Pengantar, Bupati Kepulauan Seribu | 12Daftar Isi | 13Daftar Istilah | 14 Goba | 18

    Orang Pulo | 22Penghuni Pulau Karang | 22Transportasi | 24Kelurahan Pulau Panggang | 24Populasi | 26Pendidikan | 26Pencaharian | 28Kekerabatan | 30Kepercayaan dan Keyakinan | 31Bahasa | 32

    Mitos Pulo | 34

    Kisah dari Penutur | 35Ragam Cerita Legenda | 38Darah Putih | 41Zaman Bajak Laut | 43

    Ihwal Pulo | 44

    Pulo Sebelum Kalapa | 45Pulo Masa Kalapa | 47Pulo Masa Jakerta | 49

    Daftar IsiPulo Masa Kota Batavia | 51Pulo Masa Residensi Batavia | 53Pulo Masa Kotapraja Batavia | 59Pulo Masa Jakaruta | 64Pulo Masa Kota Jakarta | 64Pulo Masa Kotapraja Jakarta Raya | 65Pulo Masa DKI Jakarta | 66

    Tradisi Pulo | 70

    Tempat di Pulo | 71Bahasa di Pulo | 86Makanan di Pulo | 90Silat di Pulo | 104Lenong di Pulo | 110

    Tubir Pulo | 114

    Apa yang dimiliki Orang Pulo? | 116Apa yang disediakan Pulo untuk Orang Pulo ? | 118Adakah Warisan Pulo untuk Orang Pulo ? | 126

    Tabeh | 128

    Penutur Pulo | 130

    Bacaan Pulo | 132

    Catatan tentang Orang Pulo di Pulau Karang,Bisri Effendy, antropolog | 136

    l t c

  • 14

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    Adm. : administrasiAngin, :

    Barat : Muson Barat Timur : Muson TimurPenengah : Peralihan Muson Barat dan Timur

    BB : Bujur BaratBT : Bujur TimurBabang : melaut, keluar dari perairan wilayah tinggal, dalam jangka waktu tertentuBajak laut : perompak, pelaku kejahatan di perairan lautBale-bale : balai-balai dari papan kayu, biasanya di teras atau beranda rumahBara’ : wilayah/ruang yang berada di bagian barat Pulo Panggang Bang : abang, panggilan untuk yang dianggap lebih tua (sin. mas)BKI : Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Bek : Lurah, tapi dapat digunakan sebagai panggilan populer untuk Kepala Kampungca. : circa (lat.), sekitar waktucom. pers. : (Ing.), communication personal; komunikasi pribadi Darat, : konsepsi penduduk pulau tentang daratan sebagai tujuan Orang : sebutan penduduk pulau untuk orang yang tinggal di daratanDKI : Daerah Khusus IbukotaE. : (Bld.), eiland (eil) atau eilanden (eiln); pulau atau pulau-pulau et al. : (Lat.), dan kawan-kawanGoba : (Pulo), lagunaGrubug : (Pulo), bicara sesukanya tanpa berpikirGusung : gosong, gundukan pasir di perairanHikmah : ketauhidan, (fil) ketarekatanie. : (Lat.), id est; adalah, yaituia. : (Lat.), inter alia; antara lainImprovisasi : seni pertunjukan, berlakon tidak sesuai dengan skenario naskahIndonesia Nusantara : sebagian Indonesia pada masa pre-kolonial, wilayah kepulauan Asia Tenggara Hindia Belanda : Nederlandsche Indië, Indonesia masa kekuasaan negara Belanda Hindia Timur Belanda : Nederlandsche Oost-Indië, Indonesia masa kekuasaan VOCIngatan Bersama : ingatan atau rekaman kejadian yang sama dalam satu komunitas

    Daftar Istilahl t c

  • 15

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    Jakerta : nama tempat di Jakarta, kota pelabuhan masa kekuasaan Jayakarta, Jayakarta, Jactra, Iacatra, JakêrtaKalapa : nama tempat di Jakarta, kota pelabuhan masa Sunda Pajajajaran, Sunda KelapaKab. : kabupatenKarang : binatang karang atau kapur karangKec. : kecamatanKel. : KelurahanKep. : KepulauanKIT : Koningklijke Instituut TroopenKITLV : Koningklijke Instituut tot de Taal-, Land- en VolkenkundeKompeni : Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC), Kongsi Dagang Hindia Timur BelandaKronik : urutan peristiwa atau kejadianLamun : sejenis tumbuhan lautSamo-samo : padang lamun, areal tumbuh lamunLanggar : musholaLS : Lintang SelatanLU : Lintang UtaraLMD : Lembaga Musyawarah DesaLeso angin : puting beliungLokus Legenda : tempat kejadian yang dirujuk pembawa ceritaMa’ : ibu Uwo : nenek, Makam, Kramat : kuburan keramatKramat Bara’ : kuburan keramat di Bara’, bagian dari pemakaman lama di baratKramat Darah Putih : kuburan keramat Darah PutihKramat Timur : kuburan keramat di Timur, bagian dari pemakaman lama di timurTPU : Tempat Pemakaman UmumMati Obor : konsepsi penduduk pulau tentang kehilangan akar dan identitasMasjid : tempat umat muslim Pulo beribadah An Ni’mah : nama masjid di Pulau PanggangMayang : semacam jaring yang lazim digunakan oleh penangkap ikan di Indonesia bagian baratMbok : sebutan untuk perempuan yang memiliki umur lebih tua atau sudah menikahMelaka : nama tempat, kota Malaka, MalaysiaNe’ : nenek, sebutan penghormatan untuk yang dituakan, untuk lelaki dan perempuanNderes : mengeja ayat-ayat Al Qur’an untuk diperbaiki pelafalannya

    l t c

  • 16

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    Ngaji, : membaca Al-Qur’an Guru : pengajar ilmu dan pengetahuanNICA : Netherlands Indies Civil AffairsNo. : nomorNyamuk Sunda : Anopheles sundaicus; nyamuk penebar wabah malaria di Teluk JakartaJembatan : Sebutan Pulo untuk pelabuhan Pulo Panggang, Dermaga Pulau PanggangJepang, : wilayah geografis, Jepang Jaring : muroami, sejenis jaring yang diperkenalkan oleh nelayan Kep. RyuKyu Jepang Nelayan : nelayan berkebangsaan Jepang Orang : orang yang berasal dari JepangOjek : angkutan air, kapal motor mesin antarpulau jarak dekatP. : pulau, penggunaan untuk istilah administratif dan geografisP° : pulau, legenda peta tua EropaPFNE : Pioniersfotografie uit Nederlands-Indië dari Bijzondere Collecties LeidenPa’ : lih. Pak Uwo : Kakek, panggilan dari cucuPadrão : (Por); padrao, semacam tugu batuPak : Bapak, orang yang dianggap lebih tua dari abangPelele : Tempat Pelelangan Ikan (TPI), merujuk tempat dan pelaku usahaPemkab : Pemerintah Kabupaten Administrasi Kep. SeribuPemkel : Pemerintah Kelurahan P. PanggangPemprov : Pemerintah Provinsi DKI JakartaPemri : Pemerintah RIPeny. : penyusunPosthouder : (Bld.), pemegang/pejabat suatu pos/ kantor urusanPulo, : sebutan setempat untuk kata pulau Cerita : kisah Orang Pulo yang terekam dalam Ingatan Bersama Keyakinan : apa-apa yang diyakini Orang Pulo Mitos : cerita yang disampaikan Orang Pulo tentang tokoh legenda dan asal usul nama tempat Orang : orang-orang yang menghuni kelompok P. Panggang (P. Panggang, P. Pramuka, dan P. Karya) Penutur : Orang Pulo yang berkisah tentang Tuturan Pulo Seribu : sebutan setempat untuk (Kep.) Seribu Tokoh : orang yang memiliki kontribusi pada sejarah Orang Pulo Tuturan : segala hal yang diceritakan/ disampaikan oleh Orang Pulo

    l t c

  • 17

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    Raperda : Rancangan Peraturan daerahRI : Republik IndonesiaRT : Rukun TetanggaRTRW : Rencana Tata Ruang WilayahRW : Rukun WargaS.B. : (Bld.), Staatsblad van Nederlandisch IndiëSeafarming : budidaya perikanan laut, pertanian (agar-agar) dan perikanan (ikan) Seafarmer : petani lautSedekah Kapal : membaca kapalSekolahan : (Pulo), sistem pendidikan formalSensu stricto : merujuk langsung kepadaSodara seperjuangan : teman/sahabat yang menjadi seperti saudara karena meyakini dan memperjuangkan tujuan yang samaSuwiran : keratan daging ikan atau binatang daratTabon : rumah asalTaksi : feri, angkutan air, kapal motor mesin antarpulau jarak jauhTanding Silat : bertukar jurus untuk tujuan persahabatanTawassul : doa pembuka berisi urutan siapa saja yang diberi doa keselamatan.Tengah : wilayah/ruang yang berada di bagian tengah Pulo PanggangTerra incognito : (Lat.), tempat yang belum diketahui, tidak dikenalTimur : wilayah/ruang yang berada di bagian timur Pulo PanggangTubir : blok terumbu karang di pinggiran lagunaTrench : kondisi kejiwaan diantara sadar dan taksadar UU : Undang UndangWak : Sebutan untuk paman (tua dan muda)

    l t c

  • 18

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    Orang Pulo, sebutan diri bagi penduduk Pulau-pulau Panggang, juga menjadi sebutan khas setempat bagi penduduk pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu. Orang Pulo juga akan menyebut penduduk di pulau-pulau lain dengan merujuk nama pulau dimaksud, dengan sebutan orang Tidung, orang Untung Jawa, orang Harapan, dan lain-lain. Mereka akan lugas menyebut diri Orang Pulo kepada orang Darat dan Tamu. Darat, digunakan Orang Pulo untuk merujuk wilayah Jakarta dan sekitarnya dan spontan untuk wilayah Pesisir Utara Pulau Jawa dari Teluk Banten sampai dengan daerah sekitar Muara Sungai Citarum. Tamu, bisa jadi refleksi kekinian ketika Pulo menjadi destinasi pariwisata, meski awalnya menjadi sebutan penghormatan bagi siapa saja yang datang ke Pulo untuk bermasyarakat atau berkunjung dinas atau bisnis. Orang Pulo juga digunakan untuk membedakan diri dari suku bangsa lain, misalnya orang Blanda, orang Cina, orang Bangka, dan orang Jawa.

    Pulo, dengan demikian, dipergunakan oleh Orang Pulo untuk merujuk ruang tempat tinggal atau untuk mengganti nama pulau tertentu atau bahkan kepulauan. Lazim kami dengar sebutan Pulo Seribu untuk Kepulauan Seribu, Pulo Pramuka untuk menggantikan P. Pramuka, Pulo Kelapa untuk P. Kelapa, dan seterusnya. Dalam suasana yang lebih formal, barulah pelafalan

    “Sebenarnya apa yang saya dapati, bahwa kondisi Pulo itu yang dominan sekali

    penduduknya itu dari Banten, dari Kalimantan juga ada, dari suku Mandar.

    Itu yang betul-betul tinggal di sinipada awal mulanya.”

    (Pak Amrullah, pamong Kel. P. Panggang

    Gobal t c

  • 19

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    pulau digunakan. Literatur akademis dan pemerintahan atau liputan jurnalistik, menuliskan kata pulau untuk merujuk pada daratan pulau, misalnya Pulau Panggang, Pulau Tidung, Pulau Untung Jawa. Sedangkan untuk orang-orang yang tinggal di pulau, literatur-literatur tersebut menggunakan frasa ‘penduduk pulau’.

    Dalam buku ini, kata Pulo digunakan secara spesifik untuk merujuk pada semua aspek yang terkait dengan dimensi alam dan sosial yang melekat sebagai sumber daya bagi Orang Pulo. Kekayaan Pulo bukan hanya pada sumber daya alaminya, juga pada sumber daya budaya yang mereka miliki. Bagai goba, istilah Pulo untuk laguna, di dalam masyarakat Pulo terkandung kekayaan budaya, yang dapat dipahami hanya ketika kita menyelami kedalamannya.

    Pulo, ada di dalam Pulo Seribu, selanjutnya digunakan untuk menyebut kesatuan Pulo Panggang, Pulo Pramuka dan Pulo Karya, memberikan kesan sebagai titik kecil dari negara kepulauan terbesar, Indonesia kita, dan berada di pinggiran dari pusaran arus sejarah Nusantara, Hindia Belanda, dan kemudian Indonesia. Pulo juga memberi kesan sebagai wilayah pinggiran dari pusat pemerintahan dan pusat keramaian metropolitan, walau dia hanya tiga jam dicapai dengan menggunakan kapal motor penumpang dari pelabuhan Muara Angke, Jakarta. Namun, menjadi hak bagi

    Orang Pulo untuk memperoleh pengetahuan tentang sejarah mereka sendiri: tempat yang mereka huni, siapa yang memulai penghuniannya dan apa yang harus mereka miliki sebagai Warisan Pulo, sebagai warisan bersama dan dapat menjadi identitas bersama bagi Orang Pulo.

    Untuk itu, kami datang untuk melihat kemudian nyambang ke berbagai sumber dan selanjutnya menawarkan cara dan keterangan bagi penyusunan sejarah kedatangan dan penghunian Pulo, proses pembentukan masyarakat Pulo berikut refleksi kebiasaan hidup yang membentuk Budaya Pulo. Hingga buku ini terbit, penggalian sumber sekunder berupa dokumen resmi pemerintahan maupun publikasi dari penelitian terkait yang dinilai lengkap dan representatif untuk hal-hal tersebut, kami rasakan lebih banyak dari dokumen masa kolonial. Informasi berkenaan ekologi dan lingkungan alam, kepemerintahan, sosial masyarakat berbasis kehidupan nelayan, ekonomi masyarakat pesisir

    dan pulau-pulau kecil, perikanan laut, bahkan pariwisata serta ekowisata yang cukup melimpah sesungguhnya dapat memperkaya sumber-sumber pustaka terkini, tentang topik penelitian kami. Akan tetapi, analisis yang ditawarkan di dalam hasil penelitian yang telah ada kurang mengeksplorasi aspek historis, bahkan cenderung diabaikan, seolah mentalitas

    “Jangan Mandi Laut, nanti dimakan Gertang”

    Gertang, adalah panggilan bagi salah satu dari ikan Balong, diibaratkan sebesar Bubu Ternate yang berukuran panjang empat meter, dipergunakan

    sebagai ancaman terhadap anak-anak yang lupa waktu bermain-main di pantai Pulo atau bagi anak-

    anak yang masih terlalu kecil namun telah merengek untuk ikut pergi sang bapak pergi melaut. Balong dan ikan-ikan karang telah lama menjadi jenis tangkapan

    populer bagi Orang Pulo, untuk lauk makan dan tentunya barang jualan. Jenis raksasa ini sudah amat

    sangat jarang dijumpai di lingkungan alami.

    Ini adalah kisah Bang Pian, ketika ditanyakan jenis ikan yang paling berbekas dalam benak.

    l t c

  • 20

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    suatu masyarakat tidak terbentuk oleh sejarahnya. Selanjutnya, pencarian sumber-sumber lisan dalam ingatan bersama dari Orang Pulo dan peninjauan terhadap wujud-wujud dari kebudayaan materi dan yang tak benda Pulo mengarahkan kami kepada simpulan-simpulan yang bersifat sementara tentang Orang Pulo dan Pulo-nya. Secara utuh, penyusunan buku ini dibangun dengan konsep reportase, yang berarti subyektivitas para peneliti akan jelas terasa namun tetap berupaya melakukan periksa-silang data terutama yang terkait dengan peristiwa dan waktu, agar perspektif kami dalam menimbang data tetap terarah. Pilihan bentuk ini membuat kami leluasa menjelaskan hasil penelusuran kami.

    Informasi awal tentang masyarakat Pulo saat ini, kami susun dalam bab Orang Pulo. Gambaran masyarakat Pulo berusaha kami sajikan secara deskriptif, berdasarkan letak geografis, sistem pendidikan, sistem mata pencaharian, sistem kekerabatan, sistem kepercayaan, etnisitas dan bahasa.

    Orang Pulo memiliki ingatan bersama yang terungkap melalui tuturan Pulo yang disampaikan dalam beberapa kesempatan tatap muka perseorangan. Di dalamnya kisah-kisah Pulo yang beragam tertuturkan; di antaranya tentang Zaman Bajak Laut, kisah Darah Putih, Zaman Para Bek, kisah ne’ Deli, kisah ne’ Aing, kisah para Habib, masa diperkenalkannya jaring berteknologi Jepang Muroami, masa pendudukan Jepang, dan masa-masa kepemimpinan dalam administrasi pemerintahan RI. Babang dan pergulatan ekonomi nelayan jadi bagian kisah-kisah pengalaman orang tua dan orang dewasa.

    Saat ini, Orang Pulo yang masih dapat ditemui adalah orang tua (generasi 30-an dan 40-an), orang dewasa (generasi 50-an s/d 60-an), anak muda (generasi 70-an s/d 80-an), remaja (generasi 90-an dan medio 2000-an), dan anak-anak.

    Mitos tentang Pulo merupakan bagian dari kebudayaan Pulo yang menjadi gerbang pembuka cakrawala kami untuk memahami masyarakat Pulo. Mitos ini bagian dari Cerita Pulo yang terjadi pada masa lampau dan tidak dialami oleh orang tua di Pulo saat ini, sehingga memiliki beragam versi. Versi-versi ini bersumber dari kuatnya keberlisanan Orang Pulo, yang harus dipertimbangkan mampu memperkaya sumber informasi tentang sistem nilai yang mereka pegang.

    Selanjutnya, kami menyusun Ihwal Pulo yang berisi hasil penelusuran tersebut. Akibat minimnya data tertulis yang dapat menjelaskan lahirnya mitos tersebut, penelusuran dilanjutkan pada sejarah penghunian Pulo, dengan harapan konteks lahirnya mitos dapat ditelusuri. Bukan pekerjaan yang mudah karena para peneliti Orang Pulo sebelumnya lebih tertarik pada isu lingkungan di wilayah ini. Kami mencoba mencerna dengan hati-hati catatan tertulis dan rekaman lain dalam bentuk suara dan gambar, yang kadang tidak cukup representatif dan berkualitas. Hipotesa yang dihasilkan dari pembacaan tersebut menjadi landasan awal ketika menghadapi limpahan informasi dari bahan kepustakaan yang diperoleh. Untuk melengkapi rujukan karya ilmiah populer, akademik dan arsip pemerintahan, kami memanfaatkan sumber-sumber lain dari koran tua jaman kolonial, peta-peta (kartografi) dan foto-foto tua.

    Bagian Tradisi Pulo merupakan upaya kami memahami budaya Pulo. Sementara orang kerap mengatakan Pulo itu nir budaya. Dalam kenyataannya, secara kultural masyarakat Pulo memiliki keterbukaan dan kelenturan dalam menerima pengaruh

    l t c

  • 21

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    dari entitas lain. Pada saat yang sama, Orang Pulo mampu menguatkan identitas budayanya sebagai Orang Pulo dengan melakukan modifikasi budaya sebagai strategi adaptasi. Wujud Peninggalan Pulo kini sangat terbatas dan yang tersisa telah berubah bentuk atau mulai usang akibat ditinggalkan atau tidak terjaga. Pada akhirnya, wajah dari kebiasaan Orang Pulo lebih mencerminkan pergulatan masyarakat ini dalam menyesuaikan diri dan bertahan, jika dapat dikatakan demikian, terhadap kuatnya kosmopolitan Jakarta, hiruk pikuk administrasi pemerintahan, dan naik turunnya kehidupan perekonomian.

    Tubir Pulo, merujuk pada gugusan karang di bagian pinggir laguna Pulo Panggang, merupakan bagian buku yang menyajikan pemahaman kami terhadap situasi kekinian, terutama dari aspek ekonomi dan ekologi. Orang Pulo hingga kini masih menjadi bagian pinggiran atau tidak dikenali dalam bentuk-bentuk kebijakan pemerintahan, sebagaimana terekam dalam lintasan sejarah sejak jaman Kesultanan Banten. Pulo, sebagai kawasan, menjadi lahan penghidupan sekaligus lahan kepentingan bagi orang Darat. Kenyataan yang harus dihadapi Orang Pulo saat ini adalah alih pengetahuan yang kian mengendur, diversifikasi profesi, dan degradasi daya dukung lingkungan terhadap kehidupan di Pulo.

    Terakhir, Tabeh, atau tabik, istilah Melayu untuk pernyataan hormat, kami jadikan penutup dari Kisah Pulo yang terangkum dalam buku ini. Kami mengambil satu kisah dari masa lalu Pulo, yang dimuat di salah satu koran berbahasa Belanda di Medan, berjudul “Vader en Kind, de Geweldige van Poeloe Panggang” (Ayah dan Anak, Si Hebat dari Pulu Panggang- peny.). Kisah sederhana ini merefleksikan sisi kemanusiaan Orang Pulo yang peka terhadap masalah moral.

    Memahami Orang Pulo dan Pulo, dari cara-cara yang kami lakukan, semoga dapat menarik perhatian tidak saja Orang Pulo, pewaris sejati pengetahuan ini, tapi juga komunitas akademik dan birokrasi pemerintahan, yang hingga kini berkepentingan sebagai pendamping dan pengayom Orang Pulo. Dalam pengkajian ini, sejarah pemerintahan Pulo dapat ditelusuri bukan semata sebagai sejarah kelembagaan, juga sebagai metafor bagi sejarah penghunian dan keterlibatan pemukim Pulo terhadap berbagai situasi di luarnya. Demikian pula Tradisi Pulo, yang menjadi perbandingan penting bagi sejarah pengaruh dan modifikasi budaya luar yang terjadi hingga kini.

    Budaya Pulo perlu mendapat perhatian yang seimbang dan perlakuan akademik sejajar dengan penelitian-penelitian terapan di Pulo, karena memahami budaya kontemporer tak dapat lepas dari sejarah yang membentuk masyarakat tersebut. Dalam lintasan sejarah Pulo, ekspresi-ekspresi budaya itu hidup dan punah mengikuti perubahan masyarakatnya. Orang Pulo memiliki sistem keyakinan dan pengetahuan kolektif yang mereka peroleh sebagai pendatang, pengolah daratan, dan pengarung perairan pulau-pulau karang. Oleh karenanya, mereka memiliki modalitas untuk dapat bertahan dan bertumbuh di Pulo Seribu.

    l t c

  • 22

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    Orang Pulo

    “Semua orang yang mengaku berasal dari Pulo Seribu umumnya masih berkerabat dengan

    orang Pulo Panggang. Nenek-nenek kami ada di Pulo Panggang.”

    (orang Tidung)

    Penghuni Pulau Karang

    Orang Pulo menetap di Pulau-pulau Panggang atau Gugus Pulau Panggang, yang terletak secara administratif di Kel. P. Panggang Kec. Kep. Seribu Utara Kab. Administrasi Kep. Seribu Prov. DKI Jakarta. Pemerintah sendiri membagi Pulo Seribu secara administratif dalam dua kecamatan, yaitu Kec. Kep. Seribu Utara dan Kec. Kep. Seribu Selatan, dengan tiga kelurahan di utara (Kel. P. Panggang, P. Kelapa, dan P. Harapan) dan tiga kelurahan di selatan (Kel. P. Tidung, P. Pari, dan P. Untung Jawa). Di antara 110 pulau, hanya 11 pulau yang berpenghuni, yaitu Untung Jawa, Pari, Lancang, Payung, Tidung Besar, Pramuka, Panggang, Harapan, Kelapa, Kelapa Dua, dan Sebira (Gunawan, et al., 2000).

    Di antara 110 pulau dan gosong karang yang tercatat

    l t c

  • 23

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    dalam wilayah administratif Pulo Seribu melalui SK Gubernur DKI No. 1986 Tahun 2000, tempat mereka tinggal memang diperuntukkan pulau pemukiman, sesuai SK Gubernur DKI No. 1814 Tahun 1989. Untuk itu, Orang Pulo juga menjadi bagian dari salah satu Kawasan Strategis Nasional RI, yaitu Taman Nasional Laut Kep. Seribu; mereka mengisi Zona Pemukiman dan bertetangga langsung dengan Zona Pemanfaatan Wisata, mengikuti Keputusan Menteri Kehutanan No. 6310/Kpts-II/2002. Raperda Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 menempatkan pulau ini sebagai Kawasan Pemukiman (Pasal 164) sekaligus Kawasan Hutan Lindung dalam Zona Pemukiman. Sebagai ejawantah kebijakan tersebut, beberapa waktu terakhir ini Orang Pulo terlibat dalam kegiatan penanaman pohon bakau, walaupun mereka khawatir dengan nyamuk pembawa malaria yang hidup dalam ekosistem hutan bakau.

    Pulo merupakan gugusan pulau dari Pulo Seribu di bagian barat dari perairan Laut Jawa dan memiliki posisi koordinat Bujur Timur 10600 ‘570 106 - “00’200 “ dan Lintang Utara 500 ‘570 5 - “00 ‘100” (Gunawan, et al., 2000 : 9). Pulo Seribu merupakan kawasan perairan dan daratan pulau yang membujur dari utara (P. Sebira) ke arah tenggara di Teluk Jakarta. Jadi secara geografis, kepulauan ini berada pada satu kawasan di mana pelayaran laut memiliki tiga arah, yaitu 1) perairan Bangka-Belitung bagi Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, 2) Selat Sunda bagi Samudera Hindia, dan 3) Laut Jawa, yang dari arah timur memungkinkan hubungan dengan Indonesia bagian timur. Hingga kini, perairan Pulo Seribu merupakan bagian dari jalur pelayaran internasional lintas Australia (selat di antara Tidong – Pari – Payung). Inilah yang menyebabkan Belanda memasang beberapa mercusuar di kawasan ini (di P. Sebira/Nordwachter, P. Payung, P. Tempurung, P. Peniki/Zudwachter). Nakhoda kapal perlu waspada di perairan ini, karena karang dan gosong sejak dahulu mengancam karam.

    Perairan Pulo Seribu merupakan laut yang relatif terlindung dari arus angin dan air, sehingga gelombang relatif teduh. Badai laut jarang terjadi namun leso angin atau puting beliung dapat melintasi kepulauan karang ini. Angin berganti arah mengikuti sistem klasik yang sangat dikenal baik oleh Orang Pulo, Angin Barat adalah musim angin dari bulan November sampai Maret dan Angin Timur dari bulan Mei sampai September, yang disela dua Angin Penengah yang masing-masing datang dari arah utara dan selatan, ditandai dengan perairan yang tenang dan jernih.

    Seperti juga tempat-tempat lain di Pulo Seribu, Pulo merupakan daratan pulau dengan dataran rendah dengan tanah pantai kapur. Daratan berdiri di atas perbukitan purba yang kemudian menjadi lanskap bawah air Laut Jawa ketika permukaan air laut naik seiring dengan berakhirnya Zaman Es Dunia yang terakhir pada ribuan tahun yang lalu. Kegiatan binatang karang di atas perbukitan purba kemudian memungkinkan munculnya karang-karang yang menjadi cikal bakal pulau-pulau. Pelapukan karang akibat sinar matahari dan air hujan bersama dengan pengaruh arus air dan gelombang laut menyebabkan pulau-pulau muncul namun juga dapat lenyap. Pohon kelapa pernah mendominasi vegetasi di atas Pulo Panggang, Pulo Karya, dan Pulo Pramuka, yang memiliki vegetasi yang lebih padat dan lebih beragam termasuk masih adanya pandan laut.

    l t c

  • 24

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    Transportasi

    “Tiga puluh ribu” (Roy, Kondektur “Raja”, feri M. Angke – P. Panggang)

    Sebagian Orang Pulo memiliki kapal motor mesin berukuran kecil sebagai alat transportasi keluarga. Ojek atau angkutan umum laut berupa kapal motor mesin berkapasitas 15-20 tempat duduk menghubungkan transportasi antarpulau yang berjarak dekat. Kini, transportasi laut rutin di Pulo Seribu menggunakan taksi atau feri, yang dijalankan setiap hari dengan jadwal pagi dan siang, dari Muara Angke. Jadwal taksi juga rutin untuk trayek Pulo dengan Rawa Saban, Tangerang. Selain itu masih terdapat kapal cepat “Kerapu”, yang kini berangkat dari Muara Angke (sebelumnya dari Marina Ancol). Transportasi laut ini mulai membaik pada kurun waktu lima tahun terakhir. Sebelum ini, akses dari dan ke Pulo sangat tergantung pada aktivitas nelayan yang akan menjual ikan ke Pasar Ikan, Muara Angke, dan Rawa Saban .

    Selain itu, terdapat transportasi di daratan pulau, yaitu gerobak yang dipergunakan mengangkut barang, sepeda kayuh bahkan bermotor juga dipergunakan untuk melintasi jalan dengan lebar antara satu–tiga meter. Di atas kapal feri, kami menyaksikan cukup sering beberapa sepeda motor nangkring di atas dek kapal. Akses yang kian lancar ini mengakibatkan informasi kian terbuka dan mobilitas sosial masyarakat Pulo ke Darat semakin tinggi.

    Kelurahan Pulau Panggang

    “Bek Dahlan Lurah pertama Jaman Republik.”

    Kelurahan yang mengatur pemerintahan tingkat desa merupakan wilayah administratif yang meliputi luas kurang lebih 62,10 ha dan garis pantai 22,74 km, yang ditetapkan melalui UU RI No. 5 tahun 1974. Walaupun ada tempat yang mungkin lenyap atau malahan timbul, Kelurahan bertanggung jawab atas 13 pulau dan dua pulau berpenghuni, yaitu Panggang dan Pramuka. Enam pulau diperuntukkan peristirahatan, dan yang lain difungsikan sebagai PHU (Perlindungan Hutan Umum), PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam), perkantoran, TPU (Tempat Pemakaman Umum), dan mercusuar. Perairan merupakan batas wilayah Kelurahan dengan kelurahan tetangga, yaitu Kel. P. Kelapa, Kel. P. Tidung, Kel. P. Untung Jawa, dan Laut Jawa. Pada peta, Kelurahan dapat dikenali dengan titik-titik koordinat pembatas sebelah Utara (051 41 ‘410” LS - 0541 ‘410”

    l t c

  • 25

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    LS) sebelah Timur (10650 ‘440” BT), sebelah Selatan (0500 ‘470” LS - 0514 ‘450” LS), dan sebelah Barat (10630 ‘190” BT).

    Pulo terbagi tiga RW dan 21 RT di Pulo Panggang dan dua RW dan delapan RT di Pulo Pramuka. Selain pemukiman penduduk, Pulo memiliki tempat-tempat yang berfungsi sebagai perairan, hutan, kantor kabupaten, sekolah, perkantoran lain, tempat usaha, dan tempat pemakaman. Orang Panggang mayoritas bermata pencarian nelayan sedangkan orang Pramuka bermata pencarian pedagang, pegawai di kantor pemerintahan, dan wiraswasta dalam bisnis pengembangan pariwisata berbasis masyarakat.

    Sebagian besar lahan di atas Pulo Panggang telah dipenuhi dengan bangunan rumah tinggal dan bangunan fasilitas umum. Di Pulo Pramuka, bangunan sejenis tidak sebanyak yang telah berdiri di Pulo Panggang. Pulo Karya hanya diperuntukkan untuk pendirian sejumlah bangunan pemerintahan. Berbeda dengan Pulo Panggang, lahan kosong lebih luas di Pulo Pramuka dan Pulo Karya sehingga memungkinkan adanya vegetasi. Pendirian bangunan rumah tinggal maupun fasilitas umum dan perkantoran diarahkan untuk menghadap ke arah laut, namun sulit atau tidak mungkin untuk Pulo Panggang. Rumah tinggal rata-rata berukuran Tipe-36 atau lebih kecil dan jarang yang dibuat bertingkat, dengan atap rumah umumnya menggunakan genting tanah atau bahan asbes. Rumah tinggal menggunakan dinding bahan bata merah atau batako, namun masih terdapat sejumlah rumah dengan bilik kayu. Toko/ warung kelontong dapat ditemukan di hampir setiap blok jalan ukuran gang.

    Tahun/Pulau 1905 1906 1960 1994 1999 2011

    Panggang 212 274 1635 3718 4081 5837Kelapa 504 602 5772 4786 Tidung 136 155 4224 3495 Untung Jawa 73 92 1354 3422 Kelor 123 155 Ubi Pari 1770

    Sumber: Winkler (1905), Selleger (1906), Muchtar (1960), Iskandar (1996), Kab. Adm. Kep. Seribu (1999),

    Kel. P. Panggang (2011)

    Tabel 1Perkembangan jumlah penduduk P. Panggang dan pulau-pulau lain

    l t c

  • 26

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    Populasi Secara kasar, populasi Pulo pada awal abad ke-20 hanya berjumlah ratusan dengan pertambahan dua digit hanya dalam

    kurun waktu dua tahun dan melonjak ribuan pada akhir abad ke-20. Untuk tahun 1905 dan 1906, terlihat perbedaan jumlah signifikan dalam dua tahun berturut-turut yang diakibatkan perbedaan motif pengumpulan jumlah penduduk; Winkler seorang dokter yang sedang melakukan vaksinasi cacar dan Selleger seorang kontrolir pemerintah yang sedang melakukan peninjauan. Penduduk yang dapat dicacah jumlahnya oleh Winkler lebih sedikit karena ia sekaligus memberikan vaksinasi saat masyarakat masih percaya takhyul dan dukun. Saat Selleger datang dua tahun kemudian untuk mencacah jumlah penduduk, terkesan ia disambut dengan keramahan dan keterbukaan. Menarik bagi kami, adalah pola lonjakan dari data penduduk pada tahun 1990-an. Dalam perhitungan sederhana terlihat Orang Pulo bertambah 1000 jiwa dalam lima tahun dan sejak memasuki milenium laju ledakan penduduk berkurang (1000 jiwa dalam 10 tahun).

    Data Kelurahan per Oktober 2011 juga menampilkan fenomena peremajaan penduduk, usia produktif (3201 orang untuk kelompok usia 16-55 tahun) melebihi kombinasi yang sudah tidak produktif (501 orang untuk usia di atas 55 tahun) dan belum produktif (2135 anak untuk usia di bawah 16 tahun). Besarnya jumlah anak kecil dan usia remaja bersama kombinasi dewasa tanggung dan dewasa menampilkan perspektif tentang masa depan Pulo. Perluasan lahan menjadi sulit, meski reklamasi pantai masih terjadi, dan diperkirakan tidak dapat menampung pemukiman dan kegiatan ekonomi masyarakat di masa mendatang.

    Pendidikan

    “Jaman dulu, belajar ya ngaji di bale-bale.”

    Orang Pulo mengenal pendidikan tradisional melalui ngaji (mengeja dan membaca) Al-Qur’an di bale-bale (panggung kayu di teras rumah) atau langgar (mushola). Sesudah belajar kitab suci dan mendengar wejangan guru ngaji tentang tauhid dan hikmah kehidupan, remaja laki-laki dapat mempelajari bela diri silat. Saat ini, kegiatan ini masih berlangsung namun anak usia wajib belajar telah disibukkan dengan kegiatan sekolah dari pagi sampai sore. Siswa sekolah menengah, pertama dan lanjut, juga perlu berpindah pulau untuk mengikuti kegiatan sekolah. Bagi yang mau dan mampu, pendidikan tinggi ditempuh dengan meninggalkan pulau dan menjadi orang Darat sementara waktu.

    Sejak tahun 1910, pemerintah Belanda di bawah Residentie Batavia mulai mewacanakan pembangunan sekolah di Pulo Panggang. Dalam sebuah jurnal yang berisi laporan pejabat kontrolir Belanda tahun 1924 (Het Niews van den dag voor Nederlandsch-Indie No. 226 tanggal 20 September 1924, h. 21), disebutkan bahwa di Pulo Seribu telah ada tiga sekolah desa (volkschool/ sekolah rakyat/ sekolah ongko siji), yang mengajarkan bahasa kebangsaan (Melayu) dengan kurikulum membaca, menulis, dan berhitung

    l t c

  • 27

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    dari angka satu sampai seribu. Anak-anak bersekolah selama tiga tahun untuk menuntaskan kurikulum itu. Para ‘goeroe’ mengajarkan murid-murid untuk bernyanyi dalam bahasa Melayu saat menyambut kedatangan rombongan kontrolir Belanda.

    Pak Husni, yang kini berusia lebih dari 70 tahun, merupakan salah satu murid pertama Taman Siswa di Pulo Panggang. Berdasarkan informasi lain (Soekardjo Wilardjito, Mereka Menodong Bung Karno: kesaksian seorang pengawal presiden, 2008: h. 27-28), disebutkan bahwa di sekolah desa masih diwajibkan membayar SPP sebesar lima sen, sementara di Taman Siswa tidak dipungut bayaran. Menurut Pak Husni, tidak ada sekolah lain selain Taman Siswa di Pulo Panggang namun tidak dapat diperoleh keterangan pasti tentang awal munculnya sekolah ini. Nationale Onderwijs Instituut Taman Siswa (Tsuchiya, 1975), sebuah sekolah kecil non pemerintah lahir di Yogyakarta pada bulan Juli 1922 dan kemudian berkembang pesat sampai dengan Kongres Nasional Pertama di Yogyakarta pada bulan Agustus 1930. Dari 52 sekolah cabang yang menghadiri Kongres, sembilan mewakili Jawa Barat. Kami mencoba melacak ke Taman Siswa Yogyakarta, informasi yang kami peroleh, “Pulau Seribu ini masuk Jabardaya (Jawa Barat dan DKI Jakarta –peny.)”. Dalam komunikasi personal dengan pengurus divisi Jabardaya periode 1970 – 1990 an, Ki Surtawi, yang direkomendasikan oleh Taman Siswa Pusat, beliau mengaku selama menjabat belum pernah melakukan kunjungan ke Taman Siswa di Kep. Seribu.

    Setelah Proklamasi, sekolah-sekolah desa tersebut kemudian diubah menjadi Sekolah Dasar. Untuk di Pulo

    Jumlah Penduduk 2.975 2.862 5.837Pendidikan Tertinggi : a. Tidak Sekolah - - b. Tidak Tamat SD 20 22 42c. Tamat SD 370 318 688d. Tamat SLTP 180 130 310e. Tamat SLTA 140 145 285f. Tamat SLTA/PT 66 37 103

    Sumber:Laporan Bulanan Kel. P. Panggang bulan Oktober 2011

    Tabel 2Jumlah Penduduk Menurut

    Tingkat Pendidikan

    Pendidikan Jenis KelaminLaki-laki

    JumlahPerempuan

    l t c

  • Panggang, kini menjadi SD Negeri 01/03. Bahkan Taman Siswa di sini masih aktif sebagai sekolah swasta sampai tahun 1978. Kini di Pulo Panggang dan Pulo Pramuka terdapat tiga Kelompok Bermain/ PAUD, empat TK (satu Negeri dan tiga Swasta), tiga SD Negeri, tiga MI (satu Negeri dan dua Swasta), satu SMP Negeri, satu MTs Negeri, dan satu SMA Negeri. Perkembangan yang cukup signifikan dapat dirasakan saat ini [lihat gambar anak sekolah SDN 01/03].

    Saat berada di Pulo, kami menyaksikan antusiasme anak-anak Pulo Panggang untuk menyeberang laut dalam upaya mencapai sekolah. Remaja dengan seragam biru dan abu-abu berdesak-desakan dalam ojek bertujuan Pulo Pramuka, tempat SMP Negeri 133 dan SMA Negeri 69 berada. Ojek sekolah hanya satu, sehingga ojek umum memainkan peranan penting untuk menjamin transportasi anak sekolah, dan sejumlah orang tua murid berharap kondisi transportasi yang lebih baik. Saat Angin Barat, kondisi perairan belum tentu menjamin anak-anak ini akan tiba tepat waktu untuk mengikuti tatap muka di kelas. Sekolah lanjutan di Pulo Pramuka juga menyediakan asrama bagi peserta didik dari tempat-tempat lain di Pulo Seribu.

    Jaminan transportasi persekolahan adalah salah satu tantangan yang menghambat keinginan Orang Pulo untuk melanjutkan pendidikan. Kesulitan lain adalah biaya pendidikan yang tetap harus ditanggung orang tua murid walaupun SPP sudah dibebaskan, sejak diterapkannya BOS. Ini berkaitan dengan taraf hidup Orang Pulo yang masih rendah, berbasis pada ekonomi kerakyatan bercorak perikanan tangkap klasik dan budidaya rintisan. Meski demikian, minimnya akses atau taraf hidup juga tidak membuat orang Pulo bermimpi pendek. Setidaknya tercatat 103 sarjana lulusan akademi/ universitas. Dan tidak sedikit dari yang kami dengar, bahwa putus sekolah terjadi dengan alasan meringankan beban orang tua. Meski demikian ada

    28

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    pula yang bekerja untuk bisa bersekolah. Tingkat pendidikan Orang Pulo secara umum relatif rendah namun tingkat partisipasi dalam penuntasan wajib belajar 9 tahun cukup tinggi. Masyarakat nelayan ini dapat dikatakan sudah melek pendidikan.

    Pencaharian

    “Kalau orang laki mancing, orang perempuan kadang ke pantai, nyari kima.”

    Sejak Pulo Panggang berpenduduk semakin padat, Pulo Pramuka menerima transmigrasi lokal dari Pulo Panggang. Pulo Kelapa meski berpenduduk paling banyak namun densitas lebih rendah. Ruang

    l t c

  • 29

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    Tabel di bawah ini merupakan ilustrasi

    dari mata pencaharian yang dikaitkan dengan

    gender.

    Sumber:Laporan BulananKel. P. Panggang bulan Oktober 2011

    Tabel 3Perkembangan Penghasilan Ekonomi Nelayan

    No. JumlahNelayan Bubu

    JenisUsaha

    PenghasilanPerbulan

    JumlahTenaga Kerja

    Lk. Pr.Ket.

    Rp. 2.800.000Bubu tambundan bubu selat

    12 orang1 24

    Jumlah 12 Rp. 2.800.000 24

    --

    --

    Tabel 4Perkembangan Penghasilan Pedagang Kelontong

    No. JumlahPedagang

    JumlahPedagang Kuli

    PenghasilanPerbulan

    JumlahTenaga Kerja

    Lk. Pr.Ket.

    Rp. 10.320.000 30 orang1 430 orang 26

    Rp. 10.320.000 30 orang 430 orang 26Jumlah

    Tabel 5Perkembangan Penghasilan Pedagang Kaki Lima

    No. JumlahPedagang

    JumlahPemilik

    Pedagang

    PenghasilanPerbulan

    JumlahTenaga Kerja

    Lk. Pr.Ket.

    Rp. 26.038.000 53 orang1 4553 orang 68

    Jumlah Rp. 26.038.000 53 orang 4553 orang 68

    l t c

  • 30

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    fisik dan ruang sosial Pulo Panggang kian peka dan rawan sehingga mengakibatkan wajah sosial kemasyarakatan dan ekonomi rekat namun liat.

    Secara tradisional, sistem ekonomi masyarakat Pulo bercorak kehidupan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis ekonomi nelayan tangkap dan budidaya di lingkungan perairan karang. Pulo Panggang dan Pulo Pramuka hanya berjarak belasan menit dengan menggunakan ojek, namun antarpulau berpenduduk yang terpisah berjarak tempuh rata-rata satu sampai dua jam pada saat laut tenang. Dalam keseharian di Pulo saat ini, para perempuan lebih banyak melakukan aktivitasnya di rumah, mendukung kegiatan pihak laki-laki yang 75% bermata pencaharian sebagai nelayan tangkap atau budidaya, sehingga kaum lelaki dewasa lebih banyak menghabiskan waktu untuk melaut. Anak remaja laki-laki mulai berpartisipasi penuh atau paruh waktu membantu perekonomian keluarga. Perempuan pada umumnya memiliki keahlian mencari binatang laut di pinggir pantai atau di perairan dangkal, sementara para lelaki umumnya terampil memancing dan menangkap ikan menggunakan jaring.

    Saat situasi perairan tidak memungkinkan untuk melaut, banyak nelayan yang mengubah kegiatan dari melaut dengan kegiatan apa saja yang dianggap menghasilkan. Perubahan mata pencaharian masyarakat Pulo, tak jarang menjadi pilihan yang tetap, karena dianggap lebih mampu menjamin kebutuhan ekonomi walaupun pergantian kegiatan tersebut tidak selalu mengarah ke darat, tapi tetap ke laut. Kini banyak juga orang Pulo yang memilih sebagai

    tenaga teknis, misalnya guru, petugas kesehatan, petugas Satpol PP, dan lainnya, baik pegawai negeri maupun honorer. Profesi pedagang lebih sedikit dan terlihat lebih banyak dilakukan perempuan. Geliat ekonomi pariwisata juga memberi alternatif mata pencaharian, baik yang tetap sebagai usahawan wisata perjalanan atau produsen cenderamata atau yang paruh waktu sebagai pemandu wisata dan jasa transportasi wisata.

    KekerabatanSecara kesukuan, Orang Pulo masa kini sudah sulit

    diidentifikasi, namun persentuhan dengan berbagai etnis tetap terlihat. Beberapa keluarga yang ditemui saat ini merupakan bentuk percampuran antaretnis. Jika ditanyakan langsung kepada Orang Pulo, jawaban yang didapat akan mengarah pada asal etnis Bugis, Mandar, Banten, Jawa, Sunda, Cirebon, dan Melayu. Pada tahun 1924, Kontrolir Belanda melaporkan identitas etnis

    l t c

  • 31

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    di Pulo Seribu didominasi oleh Bugis dan Banten. Saat ini beragam etnis menyatu dalam satu identitas, Orang Pulo.

    Ikatan kekerabatan Orang Pulo masih dianggap kuat karena masih memiliki pertalian darah antara satu keluarga dengan lainnya, baik yang berada dalam satu pulau berpenghuni, maupun dengan pulau lain yang dihuni. Jarak yang masih dapat ditempuh dengan kapal berukuran 5-20 meter, dimanfaatkan penduduk untuk tetap saling berkunjung, menghadiri hajat perkawinan, sunatan, kematian, acara hajatan pemerintah maupun saat lebaran.

    Ikatan tersebut terbentuk secara intensif karena pernikahan antarkeluarga di Pulo, sehingga orang Pulo kerap terdengar mengatakan, “Dia masih saudara juga”. Pembentukan ikatan ini juga dimungkinkan oleh isolasi dan keterpencilan geografis di tengah laut, sehingga pertumbuhan masyarakat diawali oleh pernikahan endogami. Kehadiran para pendatang juga menjadi jalan untuk memperluas jaringan kekerabatan. Contoh ini kami temukan pada generasi awal yang dituturkan oleh Orang Pulo, yaitu kehadiran M. Rais (ne’ Rais) yang diundang oleh Sadeli bin Kohar (ne’ Deli) untuk mengajar mengaji, dan tak lama kemudian ne’ Rais dinikahkan dengan putri beliau. Tidak sedikit Orang Pulo yang saling berhubungan saudara angkat atau sepersusuan, karena niat saling membantu atau menafkahi anak terlantar atau yatim lazim ditemui di sini.

    Selain itu, ikatan kekerabatan ini juga memungkinkan masyarakat nelayan Pulo pernah memiliki tradisi nyambang, saling memberi dan menerima di saat nelayan banyak memperoleh ikan, sebagai bentuk ikatan silaturahmi yang kuat. Namun seiring keberadaan ikan yang semakin sulit didapat, jangankan dalam jumlah yang banyak, jumlah

    untuk mencukupi kebutuhan makan di rumah pun seringkali minim, bahkan sesekali kosong.

    Kepercayaan dan Keyakinan Orang Pulo saat ini mayoritas beragama Islam dan kurang

    dari 0,1% penduduk beragama Kristen. Islam kultural adalah warna klasik kehidupan beragama di Pulo dan pada beberapa waktu terakhir terlihat arus kuat Islam ideologis. Dalam keseharian, keyakinan keagamaan masyarakat Pulo juga muncul dalam kepercayaan mereka. Misalnya, muncul tabu di kalangan nelayan untuk melaut pada hari Jumat, sehingga mereka memilih berkumpul di masjid atau di tempat lain. Saat sholat Jumat juga merupakan waktu terbaik untuk mengumpulkan para lelaki Pulo dan mengadakan musyawarah.

    Pada saat pergi ke laut, baik lelaki, perempuan, maupun anak-anak, memiliki doa-doa yang mereka takzimkan khusus untuk keselamatan mereka dari bahaya di pantai maupun laut.

    l t c

  • 32

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    Doa-doa ini diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Saat anak-anak bermain dan mencari remis di pantai atau berenang di laut, biasanya membawa bekal doa yang diajarkan oleh ayah atau ibu mereka. Contohnya, agar tidak menginjak lepoh (ikan batu) yang dapat mengakibatkan bengkak dan nyeri, anak-anak diajarkan berdoa sebelum bermain di pantai. Isi doa ini terutama bacaan ayat-ayat suci Al-Quran disusul oleh pelafalan mantera

    Selain itu, kehidupan beragama juga dibina melalui pusat-pusat kajian, yaitu bale-bale (balai-balai) atau rumah para guru ngaji. Berdasarkan Tuturan Pulo, dikisahkan upaya para da’i atau pendakwah seperti Mursalin bin Nailin (ne’ Aing) yang mengumpulkan anak-anak muda untuk belajar silat kemudian diakhiri dengan belajar mengaji (nderes) di bale-bale rumah. Hingga kini, kegiatan nderes masih dapat ditemukan saat sore hari dan setelah shalat magrib. Madrasah diniyah yang dirintis oleh ne’ Aing juga masih ada meski dengan jumlah siswa yang naik turun. Selain majelis-majelis kecil tersebut, terdapat bangunan masjid An Ni’mah yang secara geografis memang terletak di tengah Pulo Panggang dan sejumlah langgar/ musala, yang tersebar di sejumlah titik tempat.

    Dalam tatap muka yang lain juga terungkap adanya ajaran hikmah yang tersimpan dalam pengajaran pencak silat yang diciptakan oleh ne’ Deli, pencak silat Alif. Hikmah yang dimaksud adalah pegangan yang kuat pada akidah dan syariat agama Islam. Pada generasi orang tua di Pulo masih ditemukan nasihat agar memegang dan mempelajari ilmu Alif, yaitu percaya pada yang satu. Kegelisahan generasi orang tua dengan terkikisnya ajaran hikmah ini terasa dalam beberapa tatap muka. Anak-anak muda masa kini agaknya lebih banyak bermain dan kurang kemauan untuk belajar ilmu hikmah.

    Bahasa Dalam keseharian, orang Pulo menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan dalam logat yang identik dengan

    gaya Melayu, yang memberikan kesan dialek glottal. Orang Pulo memiliki artikulasi suara yang kuat, dengan struktur bahasa dan kosakata yang khas. Dalam beberapa kasus, muncul pertanyaan orang yang baru mengenal Pulo atau orang Pulo, tentang dari mana asal usul bahasanya. Secara etnis, suku Mandar dianggap paling tua, kemudian suku Banten, Bugis, Kalimantan, Sunda, dan Jawa.

    Pembawaan bahasa yang nampak sebagai bahasa orang Pulo saat ini, terdiri dari empat gaya, yaitu gaya orang Kelapa yang kental dengan pengucapan vokal panjang dan bergelombang, orang Tidung yang masih dipengaruhi Tangerang pesisir, orang Untung Jawa yang masih kental kebetawian, dan Orang Pulo yang kental dialek Melayu. Dari keempat gaya tersebut, orang tetap menggunakan bahasa Indonesia dengan intonasi bergelombang, terdengar nyaring dan kemelayuan. Pulo sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, dilihat dari bahasa yang digunakan. Saat ini hanya Orang Pulo asal Bugis yang kekhasan penggunaan bahasanya masih bertahan.

    l t c

  • Jika anak-anak akan pergi ke laut yang dangkal untuk mencari kerang atau ikan yang kekeringan karena air laut surut atau bermain di air yang dangkal, mereka akan mengoleskan makanan yang biasanya

    mereka bawa sambil mengatakan cek-ucek embol-mbol, anak ayam ketusuk lepo (sebanyak tiga kali), biasanya ditutup dengan ucapan wek si mewek minggir, gir, minggir agar terhindar atau tidak menginjak lepoh (ikan batu/scorpion fish) yang dapat mengakibatkan kaki membengkak, nyeri dan demam tinggi.

    Jika akan mandi atau mencebur di laut, sebaiknya membaca Alam taro kaifafa ala Rob! ... Ini dipercaya agar terhindar dari celaka yang diakibatkan oleh binatang buas yang ada di laut atau ikan predator.

    Setelah mandi baru menyelesaikan bacaannya, “ (Rob) buka…” ini dipercaya agar ikan buas atau predator tersebut dapat kembali mendapatkan makanan. Bacaan ini biasanya dipakai para nelayan.

    Agar mudah menangkap kepiting, sebaiknya membaca Bus nambus, kepiting nambus, cucut belah tengah, gurita belah pinggir agar si kepiting tidak lari ke tengah dan segera bersembunyi ke dalam pasir.

    Mantera ini biasanya dipakai oleh anak-anak dan ibu-ibu bersama anaknya saat menangkap kepiting.

    Saat mencari kede-kede (binatang semacam siput kecil berkaki satu/ gastrophoda), diucapkan dengan mantera sapaan ka’ blungka’ keluar, air laut mau kering, kat blungkat keluar anak cucu belon makan. Agar kede-kede tersebut terlihat dan dapat diambil untuk dijadikan hidangan lauk. Kata kat blungkat berarti

    para binatang bertongkat, memanggil siput kecil yang memiliki tongkat atau binatang berkaki satu.

    Saat ngalir, atau kegiatan memancing cumi yang menggunakan perahu menyusuri terumbu karang dan tempat-tempat cumi bermain dan mencari makanannya, pemancing selalu memanggil dengan ucapan

    Yosh ini adalah sapaan bagi si cumi yang diucapkan saat melemparkan umpan pancingan dari jenis ikan atau udang-udangan terbuat dari kayu atau fiber yang diberi timah. 33

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    Jika anak-anak akan pergi ke laut yang dangkal untuk mencari kerang atau ikan yang kekeringan karena air laut surut atau bermain di air yang dangkal, mereka akan mengoleskan makanan yang biasanya

    mereka bawa sambil mengatakan cek-ucek embol-mbol, anak ayam ketusuk lepo (sebanyak tiga kali), biasanya ditutup dengan ucapan wek si mewek minggir, gir, minggir agar terhindar atau tidak menginjak lepoh (ikan batu/scorpion fish) yang dapat mengakibatkan kaki membengkak, nyeri dan demam tinggi.

    Jika akan mandi atau mencebur di laut, sebaiknya membaca Alam taro kaifafa ala Rob! ... Ini dipercaya agar terhindar dari celaka yang diakibatkan oleh binatang buas yang ada di laut atau ikan predator.

    Setelah mandi baru menyelesaikan bacaannya, “ (Rob) buka…” ini dipercaya agar ikan buas atau predator tersebut dapat kembali mendapatkan makanan. Bacaan ini biasanya dipakai para nelayan.

    Agar mudah menangkap kepiting, sebaiknya membaca Bus nambus, kepiting nambus, cucut belah tengah, gurita belah pinggir agar si kepiting tidak lari ke tengah dan segera bersembunyi ke dalam pasir.

    Mantera ini biasanya dipakai oleh anak-anak dan ibu-ibu bersama anaknya saat menangkap kepiting.

    Saat mencari kede-kede (binatang semacam siput kecil berkaki satu/ gastrophoda), diucapkan dengan mantera sapaan ka’ blungka’ keluar, air laut mau kering, kat blungkat keluar anak cucu belon makan. Agar kede-kede tersebut terlihat dan dapat diambil untuk dijadikan hidangan lauk. Kata kat blungkat berarti

    para binatang bertongkat, memanggil siput kecil yang memiliki tongkat atau binatang berkaki satu.

    Saat ngalir, atau kegiatan memancing cumi yang menggunakan perahu menyusuri terumbu karang dan tempat-tempat cumi bermain dan mencari makanannya, pemancing selalu memanggil dengan ucapan

    Yosh ini adalah sapaan bagi si cumi yang diucapkan saat melemparkan umpan pancingan dari jenis ikan atau udang-udangan terbuat dari kayu atau fiber yang diberi timah.

    ManteraManteraPulol t c

  • 34

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    Mitos Pulo“apabila Ki Darah Putih mandi laut, seketika akan timbul gelombang dan angin kencang.”

    Kutipan tersebut diingat oleh sebagian besar Orang Pulo, juga diucapkan oleh Muhammad Nur atau wak Nok dan Ahmad, saat menghadiri acara Focus Group Discussion yang digelar di Pendopo Kelurahan Pulau Panggang pada hari Sabtu, 28 Januari 2012. Penggalan cerita tersebut menampilkan Keyakinan Pulo tentang kemampuan supranatural Darah Putih yang melebihi kekuatan fisik dan kemampuan beladiri yang dimilikinya. Legenda Darah Putih yang berkembang di Pulo mengisahkan kesaktian tokoh tersebut dan asal mula penamaan Pulo Panggang. Legenda ini dikenal oleh masyarakat Pulo dalam berbagai versi. Keragaman semacam ini seringkali dipandang sebagai “sejarah” kolektif (folk history), walaupun karena sifatnya yang tidak tertulis, “sejarah” berdasarkan folk/ tuturan orang-orang akan mengalami distorsi, sehingga bisa jadi jauh berbeda dengan kisah aslinya.

    l t c

  • 35

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    Tuturan Pulo memiliki kisah asal usul penamaan pulau karang ini sebagai Pulo Panggang. Sebagai buktinya, Orang Pulo dapat menunjukkan letak dari Karang Pemanggang. Cerita Pulo ini, kisah Karang Pemanggang, yang menyatu atau yang terpisah dari kisah Darah Putih, menandai kehausan berpengetahuan Orang Pulo atas asal usul kehadiran mereka menghuni pulau karang tersebut. Kisah ini bisa jadi akan berbeda dengan kejadian sejatinya, karena ketiadaan tulisan bersama yang dapat menjadi acuan Cerita Pulo. Namun, beragam versi dari legenda perlawanan Pulo terhadap ancaman Bajak Laut dapat menjadi penanda kuatnya rasa kepemilikan Orang Pulo terhadap legenda itu sendiri.

    Kisah dari PenuturTokoh Darah Putih dan kronik dalam Cerita Pulo ini

    dikenal baik oleh Orang Pulo, dari generasi tertua hingga yang masih sekolah dasar, yang pergi melaut maupun merantau ke Darat. Setidaknya, ini telah mendekatkan kami pada uraian antropolog James Danandjaja (1984) tentang batas-batas pengertian dari sebuah legenda berikut isi ceritanya. Kisah kepahlawanan Darah Putih yang menghadapi serangan perompak, bersama Orang Pulo terdahulu dan lahirnya nama Karang Pemanggang, dapat ditempatkan sebagai prosa rakyat yang tidak tertulis namun diyakini oleh Orang Pulo dari generasi ke generasi.

    Tuturan Pulo menyebutkan tempat-tempat konkret yang dikaitkan dengan kisah dalam Cerita Pulo ini. Tempat Darah Putih dikuburkan masih dapat ditemukan di sebelah timur kantor Kelurahan P. Panggang, terawat dengan baik sebagai salah satu Makam Kramat Pulo dan diakui oleh

    Pemerintah sebagai salah satu cagar budaya DKI Jakarta. Kapiten Saudin, salah satu tokoh pembantu dalam beberapa versi dari Cerita Pulo, memiliki kuburan yang terletak di sebelah timur bangunan SD. Tempat-tempat yang disebutkan oleh Tuturan Pulo, seperti Karang Pemanggang, Gusung Jari, Pulo (karang) Balik Layar, dan Pulo Semak Daun terletak di perairan sekitar Pulo, dan, saat cuaca cerah, dapat ditunjukkan arah lokasinya dari Pulo Panggang oleh Orang Pulo.

    Figur dan atribut tokoh dalam Cerita Pulo ini disampaikan secara samar-samar, dalam tatap muka perseorangan, sehingga kami menangkap kesan para Penutur Pulo memerlukan waktu untuk bersepakat. Pada beberapa kesempatan, Orang Pulo tampak berhati-hati atau malah ragu saat memberikan gambaran tentang Darah Putih. Bahkan, mengangkat keberadaan dan kisahnya pada acara-acara formal dan publik terkesan sangat tidak dianjurkan. Kesan ini tampak jelas ketika pak Buang dan pak Magat tampil dalam acara Tuturan Pulo di sela-sela penyelenggaraan Festival Teater Jakarta bulan Oktober – November 2011. Pak Husein, dikuatkan juga oleh bang Rusli, pak Amrullah, dan Orang Pulo generasi 60-an lainnya masih teringat pada kejadian angin kencang yang tiba-tiba hadir saat pementasan drama Darah Putih yang disutradarai oleh pak Darwis, sekitar tahun 80-an. Orang Pulo hingga kini menerima kehadiran tokoh Darah Putih secara lisan, turun-temurun, dan terkadang melengkapi kisahnya dari sumber-sumber mimpi perorangan. Dalam beragam versi, Cerita Pulo ini menuturkan kisah yang sama, yaitu perlawanan Orang Pulo terhadap kedatangan perompak yang mengancam keberlangsungan Pulo, nun di masa lampau.

    Tempat kejadian atau latar peristiwa disebutkan berlangsung di Pulo Panggang dan di tempat-tempat sekitar

    l t c

  • 36

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    perairan pulau karang tersebut. Karang Pemanggang, karang yang kini mengalami abrasi di bagian timur perairan selat antara Pulo Panggang dan Pulo Karya, untuk sementara menjadi penanda penting dan sentral dalam Cerita Pulo ini. Di karang ini, dikatakan sebagai tempat para perompak dipanggang atau tempat para perompak memanggang bagian tubuh sesamanya dalam rangka bertahan hidup. Di dekat Karang ini pula, terdapat Gusung Jari yang dikaitkan dengan tempat membuang jari-jemari Bajak Laut. Kemudian Pulo Balik Layar, yang sekarang tersisa sebagai gosong di perairan utara Pulo, disebutkan sebagai titik balik pada saat Bajak Laut memutar haluan untuk kembali setelah tidak berhasil menemukan letak Pulo Panggang. Selanjutnya Pulo Semak Daun, lebih ke utara dari posisi Pulo Balik Layar, menjadi ‘Markas’, tempat berkumpul dan bermukim para perompak sebelum menyerang Pulo Panggang.

    Intisari kisah perlawanan penghuni pulau karang ini terhadap perompak yang disebut Bajak Laut diawali sejak Orang Pulo mengetahui ancaman kehadiran mereka di wilayah perairan Pulo, kemudian mempersiapkan perlawanan dengan cara mengumpulkan orang sakti dan Tokoh Pulo pada masa itu. Perlawanan tidak dilakukan secara massal dan berakhir ketika Darah Putih mengerahkan kemampuan supranaturalnya menutupi pandangan Bajak Laut sehingga tidak mampu mengenali kembali letak Pulo Panggang, yang tadinya mereka tuju. Dalam versi ini, wajar jika kejadian berlangsung di luar Pulo Panggang, tanpa ada pertempuran fisik, sehingga lahir penamaan Karang Pemanggang yang terletak di luar garis pantai Pulo. Penamaan ini masih mengundang tanya bagi kami. Kenapa ada tempat yang bukan Pulo Panggang yang memiliki arti tempat pemanggangan? Kenapa Orang Pulo memilih nama pulau tempat mereka bermukim dengan sebutan Panggang?

    Makna Kisah Pulo di atas dapat ditarik pada suatu masa ketika perairan Pulo Seribu dilalui untuk kegiatan perdagangan atau ketika dinamika geopolitik Laut Jawa dan sekitarnya, Selat Sunda dan perairan di pesisir timur Sumatera tengah berpusar menguasai gugusan Pulo Seribu. Dengan kata lain, terdapat kelompok-kelompok bersenjata di Pulo Seribu, baik yang berafiliasi

    l t c

  • 37

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    ataupun mandiri terhadap pusat-pusat politik dan ekonomi setempat atau asing, yang berkeliaran di wilayah ini dengan beragam motif dan kondisi. Kita akan memiliki rentang diakronik yang sangat panjang; Laut Jawa telah menjadi lintasan purba sejak peristiwa diaspora penutur Austronesia—moyang dari rumpun bahasa Melayu—pada 5.000 tahun yang lalu, dan tetap ramai dilintasi pada masa berkembangnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha sampai dengan hadirnya pusat-pusat ekonomi dan politik bercorak Islam, hingga memasuki jaman kolonisasi Nusantara oleh orang Eropa.

    Tawan karang adalah hukum laut yang tua di Nusantara, jika ada kapal karam maka pelaut berikut muatan kapal menjadi milik yang menemukan. Istilah Bajak Laut Melayu diciptakan oleh orang Eropa ketika di perairan Nusantara bermunculan perlawanan secara sporadis terhadap hegemoni orang Eropa. Karaeng Galesong, pemimpin laskar laut Kerajaan Gowa masa Sultan Hasanudin, dikenal sebagai Bajak Laut Bugis yang ditakuti oleh orang Belanda karena merajalela di perairan Laut Jawa sesudah Perjanjian Bongaya (1667). Artinya, Bajak Laut dalam Cerita Pulo dapat dikatakan tidak begitu jelas. Jika Darah Putih keturunan Mandar, sementara Bajak Laut yang dimaksud bisa jadi dari Bugis, maka secara simbolik Cerita Pulo ini adalah perang saudara di laut. Persekutuan-persekutuan tua antarpengarung laut perlu juga ditelusuri, agaknya. Dari Cerita Pulo yang sederhana ini, kita hanya dapat menarik makna simbolik bahwa pada suatu waktu, Orang Pulo harus bersatu menghadapi ancaman dari luar.

    Orang Pulo mengenal kedua legenda di atas—Darah Putih dan Karang Pemanggang—dalam berbagai versi cerita. Selain yang diceritakan para Penutur, berbagai versi tersebut dapat ditelusuri melalui laporan-laporan penelitian terdahulu tentang Pulo Panggang—baik di bidang sosial maupun eksakta—yang pasti akan menyajikan kedua legenda tersebut sebagai satu bagian dari deskripsi lokasi penelitian. Akibat ketiadaan rujukan tertulis tentang kedua legenda ini, kerap ditemukan narasi yang bersumber dari cerita lisan masing-masing narasumber penelitian. Cerita asal usul Pulo dalam berbagai versi ini dinilai sah karena ketiadaan sumber rujukan tertulis sehingga seorang peneliti berhak menggunakan salah satu versi. Kami melihat keragaman versi ini sebagai kenyataan yang mencerminkan kuatnya kepemilikan Orang Pulo terhadap legendanya dan kukuhnya keyakinan mereka untuk memegang tradisi Cerita Pulo. Munculnya versi dari suatu legenda jamak terjadi di banyak tempat dan ini selaras dengan sinyalir Danandjaja tentang distorsi terhadap sejarah bersama.

    l t c

  • 38

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    Ragam Cerita LegendaKisah Pulo yang sampai ke Muchtar (1960)

    memperkenalkan tokoh Panglima Djagung dan tokoh Kapiten Dulwahab yang memerangi perompak dan baru kemudian muncul penamaan Karang Pemanggang. Dalam kisah yang sampai ke Muchtar dibedakan antara kisah penamaan Pulo Panggang dengan kisah Darah Putih. Kisah Darah Putih dikaitkan dengan keberadaan seorang tokoh sakti dan sangat dihormati Orang Pulo; dibuktikan dengan adanya makam di sebelah bangunan SDN 01/03 P. Panggang. Selanjutnya, disebutkan beberapa nama pulau walaupun tidak dijelaskan keterkaitan dengan Kisah Pulo, yaitu Pulo Putri (tempat seorang putri penguasa), Pulo Belokan (tempat tawanan), Pulo Beras (tempat menimbun beras), Pulo Gusung Sekati (tempat pembuangan daging hasil pemanggangan). Kedua kisah terpisah yang dinarasikan sederhana ini menampilkan kesamaan asal tokoh, yaitu dari suku Bugis.

    Peran Darah Putih yang tidak diperinci oleh Muchtar, selanjutnya ditemukan pada laporan Dinas Museum dan Sejarah Provinsi DKI Jakarta tentang survei kesejarahan dan sosial budaya di Kel. P. Panggang pada tahun 1984 (Mutholib et al., 1984 h. 12-13). Gusung (Pulo) Balik Layar diceritakan sebagai lokus kejadian ketika para perompak tidak dapat menemukan lokasi Pulo Panggang disebabkan kemampuan Darah Putih menyembunyikan Pulo dari pandangan perompak. Kisah Karang Pemanggang tetap diceritakan terpisah, dan berkesan dianggap sebagai kisah sesudah masa Darah Putih, tanpa ada nama tokoh, melainkan upaya kolektif Orang Pulo melawan serangan perompak. Pada saat melaksanakan inventarisasi situs-situs arkeologi di Kepulauan Seribu, Dinas Museum dan Sejarah Provinsi DKI

    Menurut cerita rakyat Darah Putih datang dari Sulawesi dan menetap di Pulau Panggang sebagai seorang panglima. Mengapa dianggap panglima, karena Darah Putih merupakan seorang pendekar penyelamat penduduk Pulau panggang dari serangan bajak-bajak laut. Konon kabarnya di perairan kepulauan Seribu berkeliaran para bajak laut yang selalu menggangu keamanan dan ketentraman penduduk di kepulauan Seribu. Pada suatu hari segerombolan bajak laut datang menghadang Pulau Panggang. Tetapi atas kesaktian Darah Putih maka para bajak laut tidak dapat melaksanakan niatnya karena sekeliling pulau Panggang menjadi gelap gulita. Para bajak laut hanya dapat mencapai sebagian pulau daerah sekitar Pulau Panggang saja. Oleh para bajak laut pulau Panggang tampak tertutup dengan kabut dan terpaksa mereka kembali. Tempat para bajak laut tadi kembali disebut Pulau Gosong Balik Layar,

    terletak di sebelah Selatan Pulau Panggang.

    Sedangkan nama Pulau Panggang sendiri ada hubungannya dengan peristiwa peperangan antara penduduk Pulau Panggang dan para bajak laut. Di dekat Pulau Panggang terdapat tempat yang disebut Karang Pemanggang. Ditempat ini pernah dihancurkan gerombolan bajak laut, bahkan ada yang dipanggang oleh penduduk dalam peristiwa ini. Tempat ini merupakan fron terdepan dalam menghadapi serangan bajak laut. Karena tempat ini merupakan bagian dari pulau Panggang maka peristiwa pemanggangan ini menjadikan pulau ini disebut Pulau Panggang. Namun sangat disayangkan penduduk setempat tidak dapat memberi jawaban atas pertanyaan, nama semula Pulau Panggang

    sebelum terjadi peristiwa ini. Mutholib et al. 1984. Laporan Arkeologi No. XXIX. Dinas Museum

    dan Sejarah DKI Jakarta. h. 12-3:

    l t c

  • 39

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    kekalahan perompak, sehingga dimusnahkan dengan api, dan dibakar harta bendanya di Karang Pemanggang. Sementara, versi kedua menceritakan kesaktian Darah Putih yang menyebabkan kapal perompak karam di suatu pulau karang sehingga para perompak memakan daging temannya yang telah dipanggang untuk bertahan hidup.

    Cerita Pulo menekankan kesamaan pola, yaitu perlawanan Orang Pulo di masa lalu menghadapi ancaman serangan perompak, Bajak Laut yang tidak diketahui identitasnya. Perompak mungkin datang dari arah barat laut, melihat kedudukan Gusung Balik Layar terhadap Pulo, atau dari arah timur, jika menimbang terdamparnya perompak di Karang Pemanggang. Asal-usul tokoh yang menolong Orang Pulo juga mencerminkan penjuru kedatangan orang-orang ke Pulo; dari Daratan, yaitu Pesisir Utara Jawa bagian barat (Ki Bonot, Tubagus Zen), pengarung lautan dari Timur yang mungkin Bugis, Makassar, atau Mandar (Darah Putih), dan pedagang dari perairan Selat Malaka (Kapiten Saudin dan istrinya).

    Alur Cerita Pulo ini menyediakan alternatif, yaitu kontak fisik antara Orang Pulo dan Bajak Laut atau kegagalan perompak menjangkau Pulo. Lokus kejadian pun memberikan tempat-tempat, Pulo sendiri atau tempat-tempat di perairan sekitarnya, yaitu Karang Pemanggang, Gusung Balik Layar, Pulo Semak Daun, dan Pulo Cina. Dalam beberapa versi diungkapkan tentang pengibaran bendera dari kain atau bahan karung sebagai kode untuk menghindari ancaman perompak. Dalam tatap muka dengan Pak Budin dari Pulo Pramuka, kami memperoleh cerita lebih terperinci tentang penggunaan bendera yang dimaksud. Darah Putih meminta Orang Pulo mengibarkan bendera ini

    Makam Darah Putih dikeramatkan oleh penduduk karena dipercaya bahwa Darah Putih merupakan salah satu pejuang dari Pulau Panggang yang diyakini memiliki kekuatan dan kesaktian untuk mengusir bajak laut. Menurut cerita masyarakat, Darah Putih datang dari Sulawesi dan menetap di Pulau Panggang sebgai seorang panglima karena merupakan seorang penyelamat penduduk Pulau Panggang dari serangan bajak laut. Konon kabarnya di perairan kepulauan seribu banyak berkeliaran para

    bajak laut yang selalu menganggu ketentraman. (Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Prov. DKI Jakarta. 2004. Inventarisasi Situs-Situs Arkeologi di DKI Jakarta. Dinas

    Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta. h. 186.)

    Jakarta (2004) hanya menyebutkan peran ketokohan Darah Putih dalam kaitannya dengan Makam Kramat Darah Putih dan tidak menyebutkan asal-usul penamaan Pulo.

    Penyatuan kisah Darah Putih dan Karang Pemanggang muncul dalam penelitian Widhyanto et al. (2009) pada bagian Sejarah di Pulau. Versi pertama merujuk pada narasi lain, Hermawan et al. (2003) sebagai alternatif terhadap kisah yang diceritakan oleh Orang Pulo pada saat penelitian tahun 2009 berlangsung. Garis merah cerita dalam kedua versi adalah Darah Putih menolong Orang Pulo menghadapi serangan perompak dan Karang Pemanggang menjadi tempat akhir dari nasib penyerang yang dikalahkan melalui kesaktian Darah Putih. Perbedaan kedua versi adalah ada tidaknya pertempuran fisik antara Orang Pulo dan Bajak Laut serta kemunculan tokoh-tokoh pendamping Darah Putih. Dalam versi pertama, pertempuran Orang Pulo bersama para tokoh penolongnya melawan Bajak Laut berakhir dengan

    l t c

  • 40

    Orang Pulo

    di Pulau Karang

    untuk menyambut kedatangan perompak yang berikutnya agar Bajak Laut tersebut mengenali wilayah/ penduduk yang tak boleh mereka rampok. Dalam kesempatan yang sama, Pak Budin juga menyampaikan cerita yang diperoleh dari sejumlah Orang Tua di Pulo tentang adanya dua masa kedatangan perompak yang berbeda, dari arah barat dan dari arah timur Pulo.

    Bagian terpenting dalam Cerita Pulo tentunya tokoh Darah Putih yang terus menerus muncul dalam tradisi tuturan Orang Pulo. Siapakah tokoh misterius Darah Putih? Ia selalu dikaitkan dengan suku-suku pengarung lautan yang masyhur dari bagian timur Nusantara, baik Bugis atau Mandar. Tokoh ini menempati kedudukan khusus dalam Ingatan Bersama Pulo dan memiliki peran penting bagi Orang Pulo pada suatu masa. Di masa mendatang, dapat diduga akan lahir versi-versi baru, seiring berkembangnya masyarakat di Pulo. Menyitir Danandjaja, legenda dapat tercipta yang baru, apabila seorang tokoh, tempat atau kejadian dianggap berharga oleh kolektifnya untuk diabadikan menjadi legenda. Namun, tidak berarti legenda tidak memiliki pola-pola tradisional. Pola-pola ini yang menyebabkan legenda yang kelihatannya baru tetap mirip dengan legenda lama.

    Utuh atau terpotong-potong dan sedikit bercampur-aduk, kami menemukan kesamaan garis cerita pada karya-karya akademik dari penelitian tentang Pulo Seribu atau pada laman-laman web sebagai bagian liputan jurnalistik atau blog. Darah Putih, dengan atau tanpa Karang Pemanggang, seorang diri atau ditambah tokoh-tokoh lain, dipisahkan atau diubah, tetap menampilkan kisah perlawanan yang putih melawan yang hitam. Temuan kami dalam karya akademik atau laman web menunjukkan bahwa

    Komunitas pertama yang menempati P. Panggang adalah kalangan pelaut dan pedagang Islam sekitar abad ke-17, ketika perdagangan Nusantara mengalami puncaknya. Pada masa itu, arus perniagaan utama adalah poros Makassar-Banten, sehingga etnis yang banyak berpengaruh berasal dari daerah tersebut, hal ini ditunjukan dengan dikenalnya tokoh-tokoh seperti kapiten Abdul Wahab dan Kapiten Saudin dari banten serta adanya makam

    Darah putih yang berasal dari mandar (Sulawesi Selatan).Nama P. Panggang sendiri berasal dari kisah kepahlawanan Darah Putih, tokoh yang berasal dari Mandar (Sulsel) yang mengalahkan kegananasan bajak

    laut dari negeri matahari terbit (kemungkinan daerah timur seperti Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku).Sedangkan versi lain menyatakan bahwa nama pulau Panggang berasal dari ‘karang pemanggang’ dimana terdapat atoll atau gugusan pulau karang di depan Pulau Panggang sekarang. Dalam versi ini pertempuran yang diceritakan di atas (h.6) bukanlah pertempuran yang bersifat fisik, namun lebih bersifat psikis. Dimana Darah Putih dengan kesaktiannya berhasil ‘menyembunyikan’ pulau Panggang dari pengelihatan lawan, sehingga lawan terjebak di pulau karang dan perahunya karam. Dalam versi ini para bajak laut melakukan kanibalisasi terhadap kawannya yang paling lemah: memakan daging kawannya dengan cara memanggang mereka. Dalam versi ini pertempuran tidak dihadapi secara langsung oleh masyarakat pulau Panggang. (dirujuk

    dari penuturan Bapak Ja’far dan habib Zen, wawancara langsung tanggal 29 Oktober 2009).

    (Widhyanto et al. 2009. Aspek Budaya Pulau Panggang. P4W IPB)

    l t c

  • 41

    Ora

    ng P

    ulo

    di P

    ulau

    Kar

    ang

    kisah-kisah yang diperoleh dari perseorangan di Pulo memiliki beragam motif penyampaian atau keterbatasan informasi terhadap legenda Darah Putih dan penamaan Panggang untuk Pulo. Satu-satunya yang bertentangan adalah versi yang sampai ke Ridwan Maulana (2009: h. 24), yang menceritakan Darah Putih sebagai pemimpin perompak dan Pulo Panggang memperoleh namanya karena dipergunakan sebagai tempat memanggang korban perampokan laut.

    Darah PutihSelain menelusuri kembali Cerita Pulo dalam berbagai

    Tuturan Pulo, kami memperoleh kisah Darah Putih dari wak Nok. Kisah ini tidak mengaitkan keberadaan Darah Putih dengan asal-usul penamaan Pulo. Dalam tradisi tuturan yang dapat dirujuk hingga kini, Darah Putih dikisahkan berasal dari Bugis atau Mandar. Tokoh ini digambarkan sebagai orang sakti yang mampu mengusir Bajak Laut. Penceritaan kembali para penutur tentang Darah Putih, baik yang sampai dalam bentuk tertulis maupun lisan, masih memperlihatkan keberagaman versi. Diversifikasi semacam ini merupakan fenomena yang khas terjadi pada cerita yang digolongkan sebagai legenda.

    Berikut ini, walaupun penutur tidak menyebutkan nama Darah Putih, namun pertanyaan yang ditujukan kepadanya mengenai Darah Putih.

    “Ada seorang pelaut dari daerah Sulawesi yang sedang berlayar namun di tengah perjalanan kapalnya hancur. Pelaut itu pun terombang-ambing di tengah laut lepas. Saat itu dia berdoa. Apabila dia harus meninggal di tengah laut, dia siap. Atau jika memang dia diijinkan hidup, kirimkan pertolong