@oo · sesunguhnya dalam era "reformasi", sebagai pengganti tatacara era "orde...
TRANSCRIPT
JurnalILMU HUKUM LITIGASI@oo
I. PENDAHULUAN
Krisis moral saat ini sudah merambah di mana-mana tidak
hanya di kahngan para penegak hukum tetapi sudah merambah di
berbagai lapisan masyarakat. Ketika krisis moral melanda lndonesia yang sangat
mengkhawatirkan krisis moral tersebut nrampir di lingkungan pelaksana peradilan,
mendung pasti akan tiba, dan akhirnya banjirpun menjadi bencananya. Banjir
yang akan membawa serta tatanan peradilan yang selama ini telah ada, sehinga
porak poranda akibat krisis moral yang teriadi, itulah kondisi saat ini yang dapat
diilustrasikan untuk para pelakana peradilan yang mengplami krisis nroral.
Tidak dlpungkiri dan sudah br.rkan menjadi rahasia lag, kondisi di atas
berkembang per{ahan-lahan menuju suatu kondisi yang membahayalan citra
hukunr, dan sekaligus citra penegk hukum di Indonesia. Sungguh sangat tidak
dapat dibenarkan ketka para penegak hukum khususnya selaku pelaksana
peradilan kemudian mereka sendiri yang merusaknya karena di ragukan dari sisi
moralnya.
sesunguhnya dalam era "reformasi", sebagai pengganti tatacara era
"orde baru", tidak saja mereformasi tentang tatanan hukum, ekonomi, budaya
dan politik saia, tetapi yang lebih penting adalah merefomrasi moral dari seluruh
maryarakat Indonesia, terutama kepada peniaga gawang keadilan dan kepastian
hukum, serta para pejabat negara selaku pelaksana negara. Lebih lanjut bahwa
merefonnasi tatanan hukum, seharusnya dapat pula sekaligus mereformasi
r
a
It
Volume 14No. 1 April 2013 @O@
peniaga gawang keadilan, namun ternyata sudah bertahun'tahun belum juga
berhasil menuiu cita-cita konstitusi (Pasal 27 ayat (1 dan 3) UUD Nepra RI
Tahun 1945).
Muncul suatu pertanyaan yang nakal, mengapa sampai teriadi l*itit
moral? Apakah hukrm sudah tak lagi bergi$, sehingga krisis moral te$adi
dikalangan orang-orang yang seharus menjaga gawang keadilan dan kepastian
hukum itu sendiri, atau kah memang ini suatu keadaan yang diciptakan oleh
beberapa oknum sehingga dapat mengotori seluruh peniap gawang tercebut.
Karena saat ini penciptaan keadaan menjadi tren, agar orang yang menciptakan
suatu keadaan tersebut dapat menjadi tren pula, atau bahkan menjadi isu politik
yang menyegarkan.
Kalau keadaannya mernang demikian, artinya hukum sebagai tunggangan
mereka yang demikian, maka saya berpendapat bahwa hukum belum mampu
berfungsi melindungi maqyarakat, memberi keadilan dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat, malah justru terdapat kesan kehidupan hukum yang
menyeramkan dan menakutkan karena ia berada dan menjadi alat kekuasaan yang
penuh dengan penindasan tanpa mengenal keadilan, kemanusiaan kecuali
mengabdi pada kekuasaan penguasa.
Entah bagaimana caranya kita mengembalikan krisis moral yang konon
katanya sudah mengalar dan bahkan telah menular keberbagai lini. Perlukah
hukum diformat kembali? Berbagai cara dan proses sudah kita lalui sepefti proses
k
I
is
a
k
a
;i
a
h
JurnalILMU HUKUM LITIGASI@oo
reformasi, yang ternyata hinga saat ini konon lobamya (lagi) iuga belum
dijalankan secara benar dan maksimal. Khususnya fungsi hukum sebagai sarana
kontrol yang mampu berkembang dan terbinanya kehidupan berbangsa yang
sehat, berkeadilan dan sederetan fungsi hukum lainnya yang konon kabamya
(lag) dapat menjadikan kehidupan bermasyaralot yang tentram dan damai,
terbebas dari berbagi bentuk konflik dalam negeri maupun yang bisa mengancam
dis-integrasi bangsa.
Sesunguhnya, dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia, apa yang
dinamakan hukum selalu mengalami transformasi, beralih-alih dari formatnya
yang satu ke format yang lain. Teriadinya transformasi itu mungkin saja
disebabkan oleh proses-proses adaptasi yang penuh dengan fakta ,,trial and
error", atau mungkin pula karena upaya-upaya sengaja yang bermula dari proses-
proses rekonsepu.ralisasi kaum pemikir sampai ke proses-proses yang berupa
restrukturisasi oleh para politbi (Ahyar dalam Himpunan Karya Tulis Bidang
Hukum Tahun 1999,1999 : 279).
Dalam kaitannya hal tersebut, lalu bagimana dengan ketentuan Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2OO9 tentang Kekuasan Kehakiman
yang menyebutkan "Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
lndonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Volume 14No. 1 April 2013
Indonesia" apabila kemudian dipelesetkan nretriadi sernerdeka"merdekanya
"(sesuka hati)" karena adanya degfaulasi mor;l radi. Padahal, rnaksudnya adalah
"penyelenggaraan Lekuasaan kehrkinran adalah kei(ursr.ln yang merdeka (Aidul,
Fitrieiada Azhari, 2005 : 96). Kenrerdeltaan yudisial ad,ilah rner rlel(a atau b,ebas
dari segala lnacall-l bentuk pelrgaruh dan cantpirr tang;rr'l keltLrasaatt lembaga Iain,
baik elaekLrtif nidupun legislatif. Artiiry; ul.ur;t"l kenrandirian adalah
dibersihkarrrrya dunia peradilan dari pengaruh-pertgar'uh Lrisnis (iual beli hukunt)
dan politik, sebagaimana diajarl<an oleh Mantesqrtieu tentang pemisahan
kekuasaan yang bertujuan untuk nrenjanrin kenrandiri;ri nrasing'masing lembaga
negara (Montesquieu, dalam Bagir Manan, 1995 : 2-3). Maka secara prinsip
kemerdekaan yudisial (hakim) tersebut untuk nremfasilitasi 3 (tiga) nilai yaitu:
peftama/ untuk nrenegakkan negara lndonesia sebagai negara hukunt demi
tegaknya supremasi hukum. Kedua, tercipUnya denrokrasi dan sekaligtts
menjamin bahwa setiap warga negara sama di nruka hukum" Ketiga, mengegakkan
aturan hukum yang telah disepakati bersama (M. Fairul, Falakh dalant Himpunan
Karya Tulis Bidang Hukum Tahun 1999, 1999 : 4)" Untuk itu harus
bertanggung jawab kepada publik (masyarakat), negara, institusi, dan pribadi
selaku orang yang beraganta.
Bagi nrasyarakat awanlr menjalankan furrgsi scc'fal eantralt bukanlah hal
mudah, terutama dalam melaltukan penilaian apakah putusan-putusan yang
dikeluarkan oleh lembaga peradilan (harcirn) telah benar dan dilalaanakan secara
JurnalILMU HUKUM L]TIGASI(@oo
profesional (httw/lbukuicw.files.wordpress.com ), artinya secara jujur, terbuka
dengan berlandaskan hukum formil dan hukum materiil, maka peran publik
(masyarakat) nreniadi sangat penting. Namun demikian tidak setiap orang
memiliki pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan eksaminasi (tegal
annotation) yang benar dan bai( karena tidak setiap orang memahami hukum
formil, hukum materiil, dan memiliki kearifan serta keahlian untuk melakukan
penilaian terhadap putusan hakim. Hal ini, baru dimiliki oleh kalangan terbatas,
terutama kalangan para penegak hukum sendiri maupun para akademisi. Maka,
muncul suatu permasalahan siapakah yang tepat untuk melakukan legat
annotation publik ?. Apakah peran akademisi selaku masyarakat intelektual tidak
dapat menyelesaika n persoa lan tersebut?
Pandangan sementara, bahwa keterlibatan perguruan tingg yang memiliki
fafultas hukum sangat diperlukan untuk metakukan legal annotation. produk
ilmiah yang dilahirkan oleh perguruan tinggi (masyarakat akademis) inilah yang
nantinya akan digunakan untuk melakukan pengujian produk pengadilan dan juga
produk kejaksaan.
Namun saat ini kaiian ilmiah terhadap produk peradilan tidak pernah
atau jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan, hanya menjadi rutinitas dari mata-
mata kuliah yang berkaitan dengan hukum formil dalam metode ,,bedah kasus,,,
atau dalam penulisan hukrm sebagai tugas akhir sebagan kecil mahasiswa yang
diistilahkan dengan Studi Kasus. Akibatnya kajian ilmiah atas putusan pengadilan
-sosord Upp plnulaq 8ue{ e[e8uas er(edn-e{edn Pualel epd u;48unu ne}B ',,Jo)Ja
pue p4tt, gIIPJ uefiuop qnuod 6ue{ lseldepe seso;d-saso.td tlslo uelqeqeslp
p[es uppunu n]! lsptuloJsupll erfu;pe[-ra1 'ulPt Suer( ErIlIoJ a) nles 8ue(
e{u1eu.ro; uep qlle,qllpnq ';seulo;suell lruep8uau nleles umlnq ue)nueulp
fiue{ ede ,e;snueu uednplllal qglplas uPuPIP[Dd uelep 'e{uqntSunsa5
uPllpP8uad uPp uPeqB[aI
'ue1s;;oda1 erIIBlnJA n1;e{ 'ulel Pues mes }P.le u4pryaq tue( lnsun'lnsun
pndlleu Suer( runlnq uqetauad qe;epe sen; 6ue,( lue UBIPp uellpelad
NVSVHVSNId'II
'qppseulaq nplas U! llqle'rlq4e Eue{
ue;pe.rad 6eqrual uPsnlnd depeq.rat IDIe-re/$Bru '(emqseqeu) 1s;uapelP e.ted
spUI dD;ls e{ufiuequo4raq Sues8ue;au 1edep ue)e ueryluap ueppay 'sl6arls
l6ues ;pe[uau e66u1qas 'un4nq 4e8euad Pred dPpeqla] uesP^Ae8uad uqnlelau"-.1
Inlun uen[nr-raq snfi;p4as 'pqoual qqul! ue;fe4 ue>;6uequa6uau n;lad (eqe[
ueluptu undneu ful>leq ueluetu 'un4nq ;qqeld 'ODN) ulel lqelPfueu uaue;a
eupsraq FEup uerun8;ad e{es pdepuod lrunuau lnll PualP) qalo
' ( uolssar dp'rorvusa; g'MlFIn q// :d11U )
IoJtuc: IeuJa:tu! P^uqPual ue46uequlgaduau ue8uop BJas '!u!s euPs
;p Suequa>1.raq 6ue{ uqnq pueu e{ulpe[.ru 'eLuue;eos;ad loqoq '1u1 ]ees (;uotu
;sepe$ap) sru4 le8eqroq e^uepe leqllau uefiuap '1eqepe6 'e>pue1 6ue'leq pefuotu
0I0z ludv t'oN?L ounlon
JurnalILMU HUKUM LITIGASI(@oo
kenaikan pangkat bagi para hakim yang tentunya yang diuji adalah putusan-
putusan yang menguntungkan bagi para hakim yang mengaiukan kenaikan
pangkat (chandera, dk., 2oo4 : 12), atau ketika para hakim hendak
mendaftarkan sebagai Hakim Agung, sebagaimana yang dilakukan lembaga
Komisi Yudisial saat ini.
Dikeluarkannya sEMA No. 1 Tahun 1967 ternyata belum secara
tegas mendorong tradisi ekaminasi putusan pengadilan, dan surat edaran ini
hanya memberikan acuan bagi adanya ekaminasi internal, bukan dimaksudkan
sebagai kontrol publik (Chandera, dkk., 2OO4 :12).
Dorongan untuk melakukan eksaminasi putusan pengdilan kemudian
mulai mendapatkan acuan formal, antara Iain diatur dalam Undang-Undang
No. 51 Tahun 2@9 (sebagai revisi undang-undang No. 5 Tahun 1gg6 lo.
undang-undang No. 9 Tahun 2oo4 tentang peradilan Tata usaha Negara).
Adanya tindakan eksaminasi terhadap setiap putrsan pengdilan yang
dijatuhkan sangat diperlukan, sehingga lama kelamaan akan menjadi suatu
kebiasaan atau suatu tradisi. Hal ini beruujuan tidak Iain adalah eksaminasi
sebagai upaya kontrol sosial, namun demikian bukan berarti mempengaruhi
kebebasan hakim dalam melaksanakan tugasnya, atau lebih jauhnya dapat
merubah isi putusan yang di eksaminasi atau yang diberikan legal annotation.
ladi, dengan demikian SEMA No. 1 Tahun 1967 memperkenalkan
eksaminasi dilingkungan internalsaja. Oleh karena itu, eksaminasi terhadap
Volume 14No. 1 April 2013
putusan pengadilan yang harus dikembangkan, adalah eksaminasi yang
dimaksudkan sebagai social control terhadap lembaga peradilan, bukan
eksaminasi yang sengaia dibuat untuk mempengaruhi putusan hakim
selaniutnya (Banding, Kasasi, Perlawanan dan Peniniauan kembali), aEu hanya
diperuntu kka n kepentin gan interen.
Dunia peradilan iuga seharusnya mau mempeftanggungiawabkan
putusannya kepada publik, tidak hanya bertanggung iawab secara intemal yang
pada gilirannya saling menutupi apabila putusan yang dieksaminasi tersebut
terdapat keianggalan.
Lembaga eksaminasi publik sangat diperlukan, bersifat independen,
melalui kajian akademisi yang didalamnya memuat unsur Ngo. (masyarakat
luas), serua dilakukan terus menerus melalui perguruan-perguruan tinggi, untuk
dapat diiadikan kegiatan rutin bagi para dosen dan mahasiswa.
Lebih lanjut, kegiatan eksaminasi publik tercebut tidak saia hanya
dijadilon suatu kaiian rutinitas akademik semata, tetapi iustru lebih ke hasil dari
eksiminasi publik tersebut dapat dimaksimalkan untuk tuiuan control social
terhadap kinerja para penegak hukum di Indonesia, maka hasil dari ekaminasi
tersebut waiib untuk dipublikasikan, kegiatan tersebut dapat pula membantu
peran pengawasan terhadap pelaksanaan penegakan hukum dalam sistem
peradilan di Indonesia.
Volume 14No.'t April 2013
masyarakat pemerhati terhadap banyaknya putusan pengadilan yang kian
menjauhkan diri dari rasa keadilan, kepastian, kepatutan dan kearifan.
Hanya beberapa perguruan tinggi negeri dan lembaga kemasyarakatan
yang telah respek terhadap gagasan ICW tersebut. Kehadiran lembaga yang
tergolong baru tersebut masih belum teruii peran dan kiprahnya dalam
mengawal perilaku yudisial dalam rangka turut sefta mewuiudkan peradilan
yang bersih dan benvibawa.
Selain itu, hingga saat ini gagasan ICW tersebut belum banyak
direspon oleh pihak-pihak yang sifatnya independen, berkesinambungan dan
terkontrol. Dalam peruoalan ini, sesungguhnya gagasan ICW tersebut dapat
membantu upaya percepatan reformasi di lingkungan peradilan, dan sekaligus
dapat membantu keberadaan Komisi Yudisial dalam mengemban tugas dan
wewenang tentang prosedur pengaduan terkait perilaku hakim yang melanggar
kode etik, kiteria pengaduan tersebut dapat ditindak-lanjuti atau tidak, sefta
peran ieiaring Komisi Yudisial (http://komisiyudisial.go.id). Lebih lanjut lmam
Ansori Saleh menielaskan bahwa kehadiran Komisi Yudisial (KY) sebagai
lembaga amanat reformasi menjadi penting dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan dan keluhuran maftabat serta perilaku hakim untuk
mewu jud ka n p erad ilan be rsih ( h ttp:// komisiyud isial. go. id ).
Untuk itu Komisi Yudisial menyikapi setiap adanya pengaduan dari
masyarakat tentang adanya dugaan penyimpangan terhadap perilaku para
JurnalILMU HUKUM LITIGASI(@oo
mengharapkan hasil yang efektif. oleh Karena itu, eksaminasi putusan
pengadilan msti dilakukan oleh pihak-pihak ekstemal (disamping intemal) dan
dalam ini fakultas hukum merupakan salah satu pihak yang relevan untuk
melakukan ekaminasi.
Eksaminasi ini mesti dilakukan oleh pihak yang independen, dalam arti
tidak mempunyai kepentingn dengan kasus yang diperiksa. Oleh karena itu,
dapatlah dipahami iika pendidikan tinggi hukum (fakultas hukum) merupakan
institusi yang relevan untuk melakukan eksaminasi putusan pengadilan. Karena
fakultas hukum merupakan institusi yang secara rutin melakukan dan
mengajarkan kajian hukum termasuk kajian putusan pengadilan.
Kriteria yang perlu diperhatikan untuk dapat menjadi eksaminator,
terletak pada kualitas dan integritas pribadinya. Secara ilmiah belum ditemukan
tentang syarat apa yang harus dipenuhi oleh seorang eksaminator itu sendiri
selain yang telah disebutkan di atas. Sesungguhnya tidak ada persyararatan
yang ketat untuk menjadi eksaminator, seperti syarat batas minimal atau
maksimal usia, harus memiliki pengalaman sekian tahun bukan anggpta paryol,
tidak sedang menjadi terdakwa atau teruangka dan sebaginya. Tetapi pada
dasarnya sebagai eksaminator harus memiliki keahlian di bidang hukum formil
(Hukrm Acara) dan berpengalaman di bidang praktisi hukum, serta keahlian
Iainnya yang erat hubungannya dengan putusan yang akan diekaminasi, dan
tidak kalah penting, adalah integritas dan kredibilias dari eksaminator.
@ooJurnalILMU HUKUM LlTtcASt
DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Manan, 2oo2, Kekuanan Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggung Jawab,
lakarta, LelP.
Bambang Sutiyoso, dan Sri Hastuti Puspita Sari, 2005 , Aspekaspek perkembangan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,yogyakarta, ull press.
Chandera, Endro Susilo, Sundari E. 2@4, Modul l4ata Kutiah Elsaminasi, Fakultas
Hukum Un iversitas Katolik Atmajaya, yogyaka rta.
Himpunan Karya Tutis Bidang Hukum Tahun lggg,lakarta, Badan pembinaan
Hukum Nasionar Departemen Kehakiman N, lakarta.
M' Yahya, Harahap, 2Oo4, Huktm Acara Perdata Tentang Gugatan, persidangan,
Penyitaan, pembuktian dan putusan pengadilan, Jal<arta, sinar Grafika.
Siraiudin dan Zulkarnain, 2006, Komisi Yudisial dan Eksaminasi pubti;<, Bandung
Citra Adirya Bakti.
IURNAL
Aidul, Fitriciada fuhari, 2005. Kekuasaan Kehakiman
Bertanggung jawab di Mahkamah Konstitusi, lurnal
Yol. 2.
yang Merdeka dan
Mahkamah Konstitusi,
Bagir, Manan, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik lndonesia, lurnal LppM
Universitas Islam Bandung, Bandung.