on october - fakultas psikologi uin maulana malik ibrahim...

5

Upload: dangquynh

Post on 30-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Team Redaksi

PelindungDr.H.M.Lutfi M, M.Ag.PembinaAnwar Fuady.MAPimredFani Alin K.RedakturM.Arib HidayatullahSuherniBarir LutfiLubabaReporterMaulana Arif M.EditorIsafitriLayouterMiftahul Ulum

on October

“ Mari kita hapus stigma yg telah lama terbentuk

bahwa orang dengangangguan jiwa pun memiliki hak sosial dan

perlu rangkulankita untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik.

Saat ini Indonesia dengan penduduk kurang lebih 250

juta jiwa baru memiliki sekitar 451 Psikolog Klinis (15 per

10.000.000 penduduk) 773 psikiater (32 per 10.000.000

penduduk ) dan Perawat jiwa 6.500 orang (200 per 10.000.000

peduduk) Padahal WHO menetapkan standar jumlah tenaga

psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1 :

30.000 orang.

Berdasarkan riset Kesehatan dasar tahun 2013 oleh

kementerian kesehatan, sebanyak 6% atau sekitar 19 juta

penduduk Indonesia, orang berusia lebih dari 15 tahun

menderita gangguan mental emosioonal yang di tunjukkan

dengan gejala gejala depresi dan kecemasan. Sedangkan

penderita skizofrenia mencapai 400 ribu orang.. Mirisnya 14,3%

penderita gangguan mental emosional pernah dipasung,

padahal larangan pemasungan telah di tetapkan sejak tahun

1977. “secara keseluruhan Indonesiamemiliki system kesehatan

yang baik, namun sayangnya kesehatan mental �dak termasuk

di dalamnya” ujar Direktur Hak Disabilitas Human Right Watch,

Shanta Rau Burriga.

Perlu diingat, saat ini adalah tahun 2016 dimana

persaingan global dan kemajuan teknologi sangat berkembang

pesat. Kalau tahun tahun yg lalu saja penderita gangguan

emosional dan skizofrenia sudah mencapai ribuan orang,

bagaimana dengan tahun tahun kedepan?

Team Redaksi

PelindungDr.H.M.Lutfi M, M.Ag.PembinaAnwar Fuady.MAPimredFani Alin K.RedakturM.Arib HidayatullahSuherniBarir LutfiLubabaReporterMaulana Arif M.EditorIsafitriLayouterMiftahul Ulum

on October

“ Mari kita hapus stigma yg telah lama terbentuk

bahwa orang dengangangguan jiwa pun memiliki hak sosial dan

perlu rangkulankita untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik.

Saat ini Indonesia dengan penduduk kurang lebih 250

juta jiwa baru memiliki sekitar 451 Psikolog Klinis (15 per

10.000.000 penduduk) 773 psikiater (32 per 10.000.000

penduduk ) dan Perawat jiwa 6.500 orang (200 per 10.000.000

peduduk) Padahal WHO menetapkan standar jumlah tenaga

psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1 :

30.000 orang.

Berdasarkan riset Kesehatan dasar tahun 2013 oleh

kementerian kesehatan, sebanyak 6% atau sekitar 19 juta

penduduk Indonesia, orang berusia lebih dari 15 tahun

menderita gangguan mental emosioonal yang di tunjukkan

dengan gejala gejala depresi dan kecemasan. Sedangkan

penderita skizofrenia mencapai 400 ribu orang.. Mirisnya 14,3%

penderita gangguan mental emosional pernah dipasung,

padahal larangan pemasungan telah di tetapkan sejak tahun

1977. “secara keseluruhan Indonesiamemiliki system kesehatan

yang baik, namun sayangnya kesehatan mental �dak termasuk

di dalamnya” ujar Direktur Hak Disabilitas Human Right Watch,

Shanta Rau Burriga.

Perlu diingat, saat ini adalah tahun 2016 dimana

persaingan global dan kemajuan teknologi sangat berkembang

pesat. Kalau tahun tahun yg lalu saja penderita gangguan

emosional dan skizofrenia sudah mencapai ribuan orang,

bagaimana dengan tahun tahun kedepan?

Se�ap tangal 10 oktober , dunia memperinga� hari kesehatan jiwa dan

mental, perayaan ini pertama kali dinisiasi oleh world federa�on for mental health

pada tahun 1992. Dengan misi meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan

metal dan jiwa di seluruh dunia. Di Indonesia hari kesehatan mental baru di mulai

tahun 1993. Misi yang di bawa adalah untuk menhorma� hak ODMK ( orang dengan

masalah kejiwaan) dan memperluas program pencegahan masalah kesehatan jiwa.

Di zaman samartphone ini masih banyak masyarakat yang awam tentang

keehatan jiwa. Banyak orang yang mengabaikan pen�ngnya mempertahankan

kesehatan jiwa. Orang orang saat ini lebih memen�ngkan penampilan fisik daripada

mengolah jiwa. Sehingga misi untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan mental

sejak tahun 1992 masih perlu diperjuangkan.

Pada Tahun ini 2016 HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) mengusung

program “I CARE “ dengan Tema “ Dignity in mental Health : Psychological and

Mental Health first Aid for All. Tujuannya ialah untuk meningkatkan kesadaran

tentang permasalahan kesehatan mental dan upaya yang perlu di lakukan oleh

semua pihak yang berkecimpung di dunia kesehatan. Panduan Pelakasanaan iCARE

bisa di dapat dalam Web himpsi.or.id.

BERJUANG, bersama HIMPSI

Dimana dampak teknologi juga berbentuk nega�ve bagi kesehatan mental.

Indonesia sangat kekurangan psikolog, terutama psikolog klinis, namun psikolog

saja �dak akan mampu membendung bom perubahan zaman yang �dak bisa

diprediksi. Sudah saatnya seluruh elemen penduduk bangsa ini beraksi, bukan

hanya mahasiswa, bukan hanya pemerintah, tapi semuanya yang memiliki jiwa

merah pu�h dan bermental garuda sepatutnya membuka ha� kepedulian terhadap

orang yang memiliki kesehaatan mental yg lemah. Dimulai dari “saya” dan “saya”

akan menerima serta akan merangkul orang orang yang memiliki gangguan

mental.

pekerjaan atau hal lain yang menuntut kita untuk memilih dan bingung dengan keputusan apa yang kita ambil sehingga membuat emosi menjadi labil dan pikiran kacau tak karuan. Sebagai seorang yang mempelajari psikologi saya mengar�kan galau sebagai kondisi �dak terpenuhinya kebutuhan‐kebutuhan psikologis seseorang akan sesuatu. Sesuatu ini banyak sekali dan yang bisa mengetahuinya adalah individu yang mengalami kegalauan tersebut. Jika menilik kembali hirarki kebutuhan Maslow, maka kita akan tau kebutuhan‐kebutuhan mana yang �dak terpenuhi sehingga menyebabkann kita menjadi galau, mulai dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Galau adalah individual problem atau emo�onal problem yaitu masalah yang mengganggu “aku”. Faktor penyebabnya adalah internal yang berasal dari individu sendiri, dan external yang bersumber dari lingkungan melipu� manusia, kesempatan, situasi, dan kebudayaan. Dalam hal ini lingkungan yg paling berperan besar dalam masalah kegalauan, terlebih dengan banyaknya perkembangannya jejaring sosial saat ini. Jejaring sosial berperan besar dalam mendukung individu untuk berperilaku galau. Berdasarkan pengamatan dari jejaring sosial baik Facebook maupun twi�er dalam sehari hampir 80% se�ap status bernada galau. Karena banyaknya status yang bernada galau itulah yang membuat kita ikut terlarut dalam kegalauan yang luar biasa. Selain itu ada fenomena menarik untuk diperha�kan, mari kita perha�kan jejaring sosial twi�er, banyak kita temui akun twi�er yang mendukung dan bahkan menjadi pendukungan bagi kita untuk tetap berada dan mempertahankan kegalauan. Perha�kan dengan seksama berapa follower akunnya, mencengangkan followernya lebih dari 2juta, wwooooowww... Menghadapi Fenomena itu se�daknya perlahan‐lahan kita bisa mengurangi mengkonsumsi hal‐hal yang galau untuk memaksimalkan potensi kita dalam berproses. Ke�ka kita terjatuh kita bisa flasback pada saat kita kecil bagaimana proses kita ke�ka belajar berjalan. Perlahan setapak demi setapak kita terjatuh dan bangkit lagi sambil sesekali orang tua memberikan semangat kepada kita. Luka di kaki adalah prasas� dan buk� oten�k saat kita terjatuh berjuang kembali untuk melangkah, kesabaran orang tua dalam menuntun kita dalam menapaki langkah juga bisa menjadikan bahan renungan bagaimana kita mampu bangkit dan terus mencoba untuk terus berjalan dan pada akhirnya bisa berlari cepat.

Apapun itu, itu adalah pilihan kita, mau tetep berada dalam kegalauan yang luar biasa atau harus bangkit, beranjak dan meningggalkan kegalauan hanya kita yang bisa... wallahu'alam bissowab..

Galau begitu terkenal dikalangan pergaulan remaja sekarang, ke�ka sesuatu yang �dak mengenakkan atau yang �dak membuat seorang remaja menjadi nyaman akan langsung bilang “guwe galau nich..“ atau hanya sekedar untuk menarik perha�an (misal comment, retwit dan sebagainya) dijejaring sosial akan segera membuat status “galau level dewa..“. Banyak yang mengar�kan galau, ada yang mengatakan galau itu suatu keadaan pikiran yang �dak enak bisa jadi karena urusan asmara, dan ‐

G(K)ALAU saja aku tau…Muh. Anwar Fu'ady

Se�ap tangal 10 oktober , dunia memperinga� hari kesehatan jiwa dan

mental, perayaan ini pertama kali dinisiasi oleh world federa�on for mental health

pada tahun 1992. Dengan misi meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan

metal dan jiwa di seluruh dunia. Di Indonesia hari kesehatan mental baru di mulai

tahun 1993. Misi yang di bawa adalah untuk menhorma� hak ODMK ( orang dengan

masalah kejiwaan) dan memperluas program pencegahan masalah kesehatan jiwa.

Di zaman samartphone ini masih banyak masyarakat yang awam tentang

keehatan jiwa. Banyak orang yang mengabaikan pen�ngnya mempertahankan

kesehatan jiwa. Orang orang saat ini lebih memen�ngkan penampilan fisik daripada

mengolah jiwa. Sehingga misi untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan mental

sejak tahun 1992 masih perlu diperjuangkan.

Pada Tahun ini 2016 HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) mengusung

program “I CARE “ dengan Tema “ Dignity in mental Health : Psychological and

Mental Health first Aid for All. Tujuannya ialah untuk meningkatkan kesadaran

tentang permasalahan kesehatan mental dan upaya yang perlu di lakukan oleh

semua pihak yang berkecimpung di dunia kesehatan. Panduan Pelakasanaan iCARE

bisa di dapat dalam Web himpsi.or.id.

BERJUANG, bersama HIMPSI

Dimana dampak teknologi juga berbentuk nega�ve bagi kesehatan mental.

Indonesia sangat kekurangan psikolog, terutama psikolog klinis, namun psikolog

saja �dak akan mampu membendung bom perubahan zaman yang �dak bisa

diprediksi. Sudah saatnya seluruh elemen penduduk bangsa ini beraksi, bukan

hanya mahasiswa, bukan hanya pemerintah, tapi semuanya yang memiliki jiwa

merah pu�h dan bermental garuda sepatutnya membuka ha� kepedulian terhadap

orang yang memiliki kesehaatan mental yg lemah. Dimulai dari “saya” dan “saya”

akan menerima serta akan merangkul orang orang yang memiliki gangguan

mental.

pekerjaan atau hal lain yang menuntut kita untuk memilih dan bingung dengan keputusan apa yang kita ambil sehingga membuat emosi menjadi labil dan pikiran kacau tak karuan. Sebagai seorang yang mempelajari psikologi saya mengar�kan galau sebagai kondisi �dak terpenuhinya kebutuhan‐kebutuhan psikologis seseorang akan sesuatu. Sesuatu ini banyak sekali dan yang bisa mengetahuinya adalah individu yang mengalami kegalauan tersebut. Jika menilik kembali hirarki kebutuhan Maslow, maka kita akan tau kebutuhan‐kebutuhan mana yang �dak terpenuhi sehingga menyebabkann kita menjadi galau, mulai dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Galau adalah individual problem atau emo�onal problem yaitu masalah yang mengganggu “aku”. Faktor penyebabnya adalah internal yang berasal dari individu sendiri, dan external yang bersumber dari lingkungan melipu� manusia, kesempatan, situasi, dan kebudayaan. Dalam hal ini lingkungan yg paling berperan besar dalam masalah kegalauan, terlebih dengan banyaknya perkembangannya jejaring sosial saat ini. Jejaring sosial berperan besar dalam mendukung individu untuk berperilaku galau. Berdasarkan pengamatan dari jejaring sosial baik Facebook maupun twi�er dalam sehari hampir 80% se�ap status bernada galau. Karena banyaknya status yang bernada galau itulah yang membuat kita ikut terlarut dalam kegalauan yang luar biasa. Selain itu ada fenomena menarik untuk diperha�kan, mari kita perha�kan jejaring sosial twi�er, banyak kita temui akun twi�er yang mendukung dan bahkan menjadi pendukungan bagi kita untuk tetap berada dan mempertahankan kegalauan. Perha�kan dengan seksama berapa follower akunnya, mencengangkan followernya lebih dari 2juta, wwooooowww... Menghadapi Fenomena itu se�daknya perlahan‐lahan kita bisa mengurangi mengkonsumsi hal‐hal yang galau untuk memaksimalkan potensi kita dalam berproses. Ke�ka kita terjatuh kita bisa flasback pada saat kita kecil bagaimana proses kita ke�ka belajar berjalan. Perlahan setapak demi setapak kita terjatuh dan bangkit lagi sambil sesekali orang tua memberikan semangat kepada kita. Luka di kaki adalah prasas� dan buk� oten�k saat kita terjatuh berjuang kembali untuk melangkah, kesabaran orang tua dalam menuntun kita dalam menapaki langkah juga bisa menjadikan bahan renungan bagaimana kita mampu bangkit dan terus mencoba untuk terus berjalan dan pada akhirnya bisa berlari cepat.

Apapun itu, itu adalah pilihan kita, mau tetep berada dalam kegalauan yang luar biasa atau harus bangkit, beranjak dan meningggalkan kegalauan hanya kita yang bisa... wallahu'alam bissowab..

Galau begitu terkenal dikalangan pergaulan remaja sekarang, ke�ka sesuatu yang �dak mengenakkan atau yang �dak membuat seorang remaja menjadi nyaman akan langsung bilang “guwe galau nich..“ atau hanya sekedar untuk menarik perha�an (misal comment, retwit dan sebagainya) dijejaring sosial akan segera membuat status “galau level dewa..“. Banyak yang mengar�kan galau, ada yang mengatakan galau itu suatu keadaan pikiran yang �dak enak bisa jadi karena urusan asmara, dan ‐

G(K)ALAU saja aku tau…Muh. Anwar Fu'ady