oleh : herbert bangun parlagutan aritonang nim.s330908005/fungsion... · terletak di daerah tk.ii...

247
Fungsionalisasi hukum pidana dalam Tindak pidana perambahan hutan Di suaka margasatwa karang gading dan Langkat timur laut propinsi sumatera utara Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama: Hukum Pidana Ekonomi Oleh : Herbert Bangun Parlagutan Aritonang NIM.S330908005 PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: ngothuan

Post on 02-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Fungsionalisasi hukum pidana dalam Tindak pidana perambahan hutan

Di suaka margasatwa karang gading dan Langkat timur laut propinsi sumatera utara

Tesis

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama: Hukum Pidana Ekonomi

Oleh :

Herbert Bangun Parlagutan Aritonang NIM.S330908005

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ne malis expediat esse malos (yang jahat tidak boleh lebih beruntung

daripada yang tidak jahat).1 Hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban

dalam masyarakat. Ketertiban dalam masyarakat merupakan cita-cita

keseluruhan masyarakat untuk dapat menjalankan kehidupan secara damai

sesuai dengan hak dan kewajibannya. Apabila yang berbuat jahat tidak

mendapat sanksi setimpal atas perbuatannya, akan mengakibatkan timbulnya

niat orang lain untuk melakukan perbuatan jahat yang sama maupun

perbuatan jahat yang lainnya. Sanksi berupa hukuman merupakan sarana

untuk membatasi keinginan bebas dari individu untuk melakukan perbuatan

yang melawan hukum. Karena itulah dalam suatu negara modern dibuat

peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat yang dilengkapi dengan

sanksi bagi yang melanggarnya. Peraturan tersebut dibuat dalam undang-

undang tertulis yang menetapkan dan membatasi perbuatan mana dan pidana

(sanksi) mana yang dapat dijatuhkan kepada pelanggarnya.

Perundangan-undangan pidana itu mengatur tentang perbuatan apa yang

dilarang dilakukan atau mengatur berbagai rumusan tentang kejahatan dan

pelanggaran. Inilah yang disebut sebagai hukum pidana materil. Hukum

pidana materil ini diciptakan pada masing-masing sektor untuk mengatur

berbagi aspek yang tercakup dalam perundang-undangan itu.

Pengaturan tentang kehutanan diatur melalui Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823) yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888). Sedangkan pengaturan kawasan konservasi ditetapkan melalui Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan

1 Etika Spinoza dalam Andi Hamzah, Azas-azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994,

hlm.33.

Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419).

Walaupun pengaturan tentang kehutanan di Indonesia telah dipayungi

dengan berbagai Undang-undang, namun kondisi penegakan hukum di bidang

kehutanan pada saat ini secara makro belum sesuai dengan yang diharapkan.

Permasalahan di bidang kehutanan cenderung makin menumpuk, rumit

bahkan mengarah jadi sumber ancaman ketentraman. Tindak pidana

kehutanan pada saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup

mengkhawatirkan. Pada waktu-waktu yang lalu tindak pidana kehutanan

hanya dilakukan secara sporadis dan tidak melibatkan banyak pihak, namun

pada saat ini tindak pidana kehutanan dilakukan dengan pola-pola yang lebih

terencana, sistematis dan melibatkan jaringan yang kompleks baik nasional

maupun internasional. Klasifikasi tindak pidana kehutanan diungkapakan

oleh Leden Marpaung menjadi tiga jenis yaitu: (1) tindak pidana terhadap

hutan, (2) tindak pidana terhadap hasil hutan, (3) tindak pidana terhadap

satwa, yang masing-masing klasifikasi memiliki banyak sekali macam tindak

pidananya2. Perkembangan tindak pidana kehutanan yang demikian cepat dan

kompleks baik dilihat dari jenis tindak pidananya, modus operandi, pelaku

maupun implikasi atau akibat dari tindak pidananya menjadikan tindak pidana

kehutanan dikategorikan sebagai kejahatan terorganisir (organized crime).3

Praktek-praktek pembalakan liar, okupasi lahan, perburuan dan peredaran

tumbuhan dan satwa liar mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan dan

terancamnya populasi tumbuhan dan satwa liar yang dieksploitasi secara tidak

2 Tindak pidana terhadap hutan misalnya: menduduki kawasan hutan lindung tanpa ijin,

penggunaan alat-alat yang merusak hutan, melakukan eksplotasi dan eksplorasi hutan tanpa ijin. Tindak pidana terhadap hasil hutan misalnya: penebangan liar dalam hutan lindung, pengambilan hasil hutan tanpa ijin, memperniagakan tumbuhan yang dilindungi. Tindak pidana terhadap satwa misalnya: menangkap, melukai, membunuh, memindahkan atau memperniagakan satwa yang dilindungi. Lihat Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa, Erlangga, Jakarta, 1995, hlm.18-56

3 Memasukkan tindak pidana kehutanan ke dalam kategori kejahatan terorganisir, misalnya diungkapkan oleh Erwin Mapasseng dalam Herdiman, Memutuskan Mata Rantai Illegal Logging, Majalah Lingkungan Hidup OZON, Volume 4 Nomor 3, Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, Desember 2003, Jakarta, hlm.22

terkendali. Dalam upaya perlindungan hutan terdapat lima jenis kerusakan

hutan yang perlu mendapat perhatian, yaitu :

1. Kerusakan hutan akibat pengerjaan/pendudukan tanah hutan secara tidak sah, penggunaan hutan yang menyimpang dari fungsinya, dan pengusahaan hutan yang tidak bertanggung jawab;

2. Kerusakan hutan akibat pengambilan batu, tanah dan bahan galian lainnya, serta penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah/tegakan;

3. Kerusakan hutan akibat pencurian kayu dan penebangan tanpa ijin; 4. Kerusakan hutan akibat penggembalaan ternak dan akibat kebakaran; 5. Kerusakan hasil hutan akibat perbuatan manusia, gangguan hama

dan penyakit, serta daya alam.4

Klasifikasi jenis kerusakan hutan yang pertama di atas merupakan

definisi yang tepat untuk menjelaskan pengertian tindak pidana perambahan

hutan. Pengerjaan/pendudukan tanah hutan secara tidak sah merupakan

kegiatan yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan hutan secara ekstrim.

Perambahan hutan dilakukan dengan mengambil hasil hutan dan kemudian

mengkonversi hutan menjadi peruntukan lain secara illegal. Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia istilah “perambahan” adalah proses, cara, perbuatan

merambah5. Sedangkan definisi yang dikemukakan oleh W.J.S.

Purwadarminta, “merambah” adalah (1) membabat; menebangi (memangkas

dan sebagainya) tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon dan sebagainya6. Jadi

perambahan hutan adalah proses, cara, perbuatan membabat; menebangi

(memangkas dan sebagainya) tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon dan

sebagainya dalam suatu kawasan yang disebut dengan hutan. Sedangkan

dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pada

penjelasan pasal 50 ayat 3 huruf (b), yang dimaksud dengan merambah

adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari

pejabat yang berwenang. Sementara dalam Undang-undang Nomor 5 tahun

4 Salim, HS., Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hlm. 100 5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, Balai

Pustaka, Jakarta, 2005, hlm. 925 6 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat

Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hlm.942.

1990 tentang KSDAH & E kegiatan perambahan hutan dan definisinya tidak

disebutkan secara eksplisit. Dalam Undang-undang ini hanya

memformulasikan tindak pidana perambahan dalam rumusan delik materil

berupa kegiatan yang dapat merubah keutuhan kawasan suaka alam atau

keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana terdapat dalam pasal 19 ayat

(1) dan pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990. Dalam

penulisan tesis ini, yang dimaksud dengan tindak pidana perambahan hutan

bukan hanya mengacu pada satu delik sebagaimana yang terdapat dalam pasal

50 ayat 3 huruf (b) Undang-undang nomor 41 tahun 1999. Akan tetapi yang

dimaksud dengan tindak pidana perambahan hutan adalah setiap perbuatan

mengerjakan pembukaan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan

dengan membabat, menebangi (memangkas dan sebagainya) tumbuh-

tumbuhan, pohon-pohonan dalam suatu kawasan yang disebut dengan hutan

baik dengan maksud untuk menguasai atau menduduki kawasan tersebut yang

akibat perbuatan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan hutan dan

perubahan keutuhan kawasan hutan.

Pada saat ini kegiatan perambahan hutan hampir terjadi di seluruh

wilayah Indonesia. Kegiatan perambahan hutan mencapai puncaknya pada

awal era reformasi pada tahun 1998. Perambahan hutan terjadi secara

sporadis dan dilakukan dengan berbagai cara. Di berbagai tempat di sekitar

kawasan hutan terjadi okupasi kawasan hutan yang secara illegal dikonversi

menjadi lahan perkebunan, pertambakan maupun pemukiman. Kegiatan

perambahan tidak hanya dilakukan oleh oknum masyarakat sekitar hutan

namun juga telah mengundang sejumlah pemilik modal yang yang

memanfaatkan situasi krisis ekonomi dan dampak krisis moneter yang

melanda masyarakat sekitar hutan. Bahkan terdapat kecenderungan bahwa

kegiatan perambahan ini telah sistematis dengan melibatkan banyak pihak

yang berkepentingan. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana

perambahan hutan hingga kini masih sulit untuk dituntaskan. Setiap hari,

ratusan bahkan ribuan hektar hutan gundul akibat penebangan secara liar.

Padahal harus disadari bahwa hutan adalah salah satu penunjang eksistensi

kehidupan di muka bumi ini. Jika hutan rusak, maka simbiosis kehidupan

akan terganggu. Namun ironisnya kegiatan perambahan hutan masih terus

berlanjut baik pada kawasan hutan lindung, hutan konservasi maupun hutan

produksi. Kegiatan perambahan hutan ini mulai dari yang modusnya secara

tersembunyi hingga yang terjadi secara terang-terangan di depan mata.

Akibatnya, negara mengalami kerugian milyaran bahkan trilyunan rupiah.

Di Propinsi Sumatera Utara dari sebesar 3.742.120 hektar luas

keseluruhan hutan, sekitar 894.146 hektar dalam kondisi kritis atau hampir

25% kawasan hutan di Sumatera Utara dalam keadaan rusak total berdasarkan

laporan Dinas Kehutanan Sumatera Utara.7 Perambahan hutan terjadi baik

pada hutan produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi.

Salah satu kawasan hutan konservasi yang mengalami kerusakan akibat

perambahan hutan di Propinsi Sumatera Utara adalah Suaka Margasatwa

(SM) Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang berada di Kabupaten Deli

Serdang dan Kabupaten Langkat. SM Karang Gading dan Langkat Timur

Laut merupakan hutan suaka alam yang ditetapkan berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 dengan luas

±15.765 hektar8. Kawasan seluas 9.520 hektar berada di Kabupaten Langkat

dan 6.245 hektar berada di Kabupaten Deli Serdang. Kawasan Suaka alam ini

sebenarnya telah ada sejak jaman sebelum kemerdekaan. Pada awalnya

kawasan hutan bakau Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan

hutan produksi kemudian setelah Indonesia merdeka berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980, status kawasan

hutan ini ditetapkan sebagai Hutan Suaka Alam c/q Suaka Margasatwa.

7 Propinsi Sumatera Utara memiliki luas wilayah sebesar 7.168.000 hektar dimana setengahnya merupakan kawasan hutan dengan luas sebesar 3.742.120 Ha yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.44/Menhut-II/2005 tanggal 16 Februari 2005 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.201/Menhut-II/2006 tanggal 5 Juni 2006, dengan perincian 477.070 hektar kawasan konservasi, 1.297.330 hektar hutan lindung, 879.270 hektar Hutan Produksi Terbatas, 1.035.690 hektar Hutan Produksi Tetap dan masih menyisakan 52.760 hektar Hutan Produksi yang dapat dikonversi.

8 Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.811/Kpts/Um/11/1980 tentang Penunjukan Areal Hutan Karang Gading Dan Langkat Timur Laut seluas ±15.765 HA Yang Terletak Di Daerah Tk.II Langkat Dan Daerah Tk.II Deli Serdang, Daerah Tk.I Sumatera Utara Sebagai Hutan Suaka Alam Cq. Suaka Margasatwa.

Secara administratif pemerintahan, kawasan SM Karang Gading dan Langkat

Timur Laut berada di Kecamatan Tanjung Pura dan Kecamatan Secanggang,

Kabupaten Langkat dan Kecamatan Labuhan Deli dan Kecamatan Hamparan

Perak di Kabupaten Deli Serdang.

Gangguan terhadap kawasan ini berlangsung sejak tahun 1990-an dan

mencapai puncaknya pada era reformasi sampai sekarang ini. Perambahan

kawasan hutan terjadi secara besar-besaran untuk pertambakan, persawahan

dan perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan hasil inventarisasi Balai Besar

Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera Utara, luasan kawasan

hutan yang telah dirambah adalah seluas ±6.588 hektar, baik untuk kebun

kelapa sawit, tambak udang maupun pemukiman9. Ironisnya kawasan hutan

yang telah dirambah tersebut beberapa areal telah memiliki alas hak berupa

Sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional ataupun Surat keterangan

tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa dan Surat Ganti Rugi yang

diketahui oleh Camat setempat.

Kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan perambahan hutan sangat

besar, di samping kerugian ekonomis dari hasil hutan yang diambil oleh

perambah secara tidak terkendali dan mengabaikan azas lestari, nilai

kerusakan lingkungan yang terjadi sangat besar dan menimbulkan dampak

yang luar biasa bagi ketidakseimbangan ekosistem hutan. Kerugian ekologis

menjadi tidak ternilai harganya sebagai akibat tindakan pengrusakan hutan

yang dilakukan oleh perambah yang menyebabkan ketidakseimbangan alam.

Munculnya berbagai bencana alam, banjir, longsor, kemarau berkepanjangan,

krisis air bersih, perubahan iklim10 yang memunculkan berbagai penyakit

9 Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan, Laporan Hasil Audit Khusus Perambahan

Pada Suaka Margastwa Karang Gading/Langkat Timur Laut Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, Jakarta, 2007, hlm. 7

10 Isu perubahan iklim banyak menimbulkan kontraversi baik di kalangan praktisi, politisi maupun akademisi sendiri. Jadi bisa dibayangkan bagaimana bingungnya masyarakat awam mengenai isu ini. Salah satu penyebeb kontraversi tersebut adalah kesalahpahaman mengenai pengertian peubahan iklim itu sendiri. Perubahan iklim yang dimaksud di sini adalah perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka yang panjang (50 tahun-100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Jadi variabilitas iklim musiman (musim hujan dan kemarau yang berubah mendadak), tahunan (musim kemarau atau hujan yang berubah perioditasanya), dan dekadal (kejadian ekstrim seperti El Nino atau La Nina),

seperti demam berdarah, sampai pemanasan global (global warming)

merupakan beberapa akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan perambahan.

Kerusakan hutan tropis berdampak luar biasa terhadap perubahan iklim

global, hal yang dikemukakan oleh Randall S. Abate & Todd A. Wright

misalnya, dapat menunjukkan akibat yang harus ditanggung oleh umat

manusia akibat kerusakan hutan.

“Tropical deforestation is a multi-faceted threat to the international climate change crisis. In addition to releasing stored carbon, it reduces the remaining forests' capacity to absorb carbon from the atmosphere. Furthermore, the loss of tropical forests will have significant effects on our planet's natural climate stabilizers. For example, the Amazon rainforest alone emits approximately seven trillion tons of water per year into the atmosphere, which ultimately turns into water vapor. This water vapor has a significant cooling effect on global climate patterns.”11 (Rusaknya hutan tropis merupakan ancaman yang cukup beragam terhadap krisis perubahan iklim internasional. Selain melepaskan simpanan karbon, juga mengurangi kapasitas dan fungsi hutan untuk menyerap karbon dari atmosfir. Selain itu, hilangnya hutan tropis akan memiliki pengaruh signifikan terhadap fungsi alami stabilisator iklim planet kita. Sebagai contoh misalnya bahwa hutan hujan Amazon dapat melepaskan sekitar tujuh triliun ton air per tahun ke atmosfir, yang pada akhirnya berubah menjadi uap air. Uap air ini memiliki efek pendinginan yang signifikan terhadap pola iklim global.) Di Indonesia bencana nyata yang terjadi di sebagai akibat pengrusakan

hutan sudah semakin sering terjadi sebagaimana yang diungkapkan oleh I

Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani bahwa pengrusakan hutan di pulau Jawa,

Kalimantan, Sumatera dan Papua serta daerah-daerah lainnya telah

menimbulkan kekeringan di musim kemarau, terjadinya banjir dan tanah

tidak termasuk dalam kategori perubahan iklim. Kejadian ekstrem tersebut tidak dipengaruhi oleh pemanasan global yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer paling tidak para ahli belum menemukan bukti bahwa intensitas dan frekuensi kejadiannya disebabkan secara langsung oleh pemanasan global. Lihat, Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Buku Kompas, Jakarta, 2003, hlm.11

11 Randall S. Abate & Todd A. Wright, “A Green Solution to Climate Change: The Hybrid Approach to Crediting Reductions in Tropical Deforestation”, artikel pada Duke Environmental Law and Policy Forum Winter, 2010, hlm. 2

longsor pada musim penghujan serta hilangnya sumber daya keanekaragaman

hayati yang tidak ternilai harganya.12

Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya maupun dalam Undang-undang

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sanksi pidana telah dipanggil sebagai

kebijakan politik kriminal untuk menyelesaikan tindak pidana di bidang

kehutanan yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan hutan dalam

rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Pemanfaatan sanksi

pidana dalam undang-undang bidang kehutanan dimaksudkan supaya orang

tidak melakukan kejahatan (ne peccetur), bukan semata-mata karena orang

membuat kejahatan (quia peccatum est).13 Hal ini sebagaimana dicantumkan

dalam penjelasan umum paragraf ke-18 Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan bahwa maksud dan tujuan dari pemberian sanksi

pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang

kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar

hukum di bidang kehutanan. Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada

pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi juga

ditujukan kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang

kehutanan sehingga timbul rasa enggan melakukan perbuatan melanggar

hukum karena sanksi pidana yang berat.

Namun meskipun kerugian yang ditimbulkan oleh perambahan di SM

Karang Gading dan Langkat Timur Laut telah mengakibatkan kerugian

ekonomis dan ekologis yang cukup besar, fungsionalisasi hukum pidana

untuk menanggulangi tindak pidana di kawasan ini masih sangat rendah.

Selama periode waktu 2004-2009 dari 8 (delapan) tindak pidana yang disidik,

hanya 1 (satu) perkara yang sampai pada proses pengadilan dalam 3 berkas

perkara. Beberapa perkara lainnya hanya sampai pada proses penyidikan dan

12 I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Krisis Air, Illegal Logging, Dan Penegakan

Hukum Lingkungan Di Indonesia, artikel pada Jurnal Yustisia, edisi nomor 69, September-Desember 2006, hlm.44-50.

13 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Edisi Kedua,Cetakan Kedua, Penerbit Alumni, Bandung, 1998, hlm. 16

tidak pernah berlanjut sampai proses hukum selanjutnya. Dalam proses

penyidikan tindak pidana perambahan hutan yang terjadi di kawasan ini

selalu digunakan sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sistem

peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk

menanggulangi kejahatan. Dalam sistem ini terdapat komponen yaitu

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat

komponen ini saling terkait dan harus dapat bekerja sama untuk mencapai

sistem ini, yakni:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.14

Khusus dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan, masih terdapat komponen lain yang terdapat dalam sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system) yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Sesuai dengan kewenangannya penyidikan tindak pidana di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut dilakukan oleh Penyidik PNS Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara dan Penyidik Polri. Namun selama masing-masing komponen sistem ini masih merumuskan fungsi dan tugas mereka secara terisolasi (terkotak-kotak) dari komponen lainnya, maka apa yang diharapkan tentang adanya “suatu tujuan yang dihayati bersama”, sukar dicapai.15

Pada saat ini upaya fungsionalisasi hukum pidana untuk menanggulangi

tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur

Laut berjalan tersendat-sendat baik pada proses penyidikan, penuntutan

maupun proses pengadilan. Hambatan tersebut tidak hanya terjadi pada

komponen lembaga penegak hukumnya saja, sebagaimana komponen struktur

hukum yang didalilkan oleh Lawrence M. Friedman, namun juga bersumber

dari kesulitan dalam implementasi ketentuan perundang-undangan dalam

bidang kehutanan maupun budaya hukum internal yang telah lama

14 Mardjono Reksodiputro, Hak Azasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Buku ke-3, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, hlm.84

15 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Buku ke-2, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hlm.143

mengungkung aparat penegak hukum. Di samping itu juga faktor budaya

hukum masyarakat sekitar hutan menjadi faktor penyumbang bagi tidak

berfungsinya hukum pidana dalam tindak pidana perambahan hutan di SM

Karang Gading dan Langkat Timur Laut

Beberapa kasus perambahan hutan yang terjadi di SM Karang Gading

dan Langkat Timur Laut misalnya telah diajukan ke proses peradilan pada

tahun 2005. Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor: 26/Pid.B/2006/PN

Stb.- tanggal 12 Oktober 2006 yang mengadili perkara perambahan hutan

konservasi SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut di Kabupaten

Langkat Propinsi Sumatera Utara menjatuhkan putusan lepasnya pelaku dari

segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) dengan adanya

alasan pemaaf di luar Undang-undang. Demikian juga dengan Putusan

Pengadilan Negeri Langkat nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb tanggal 12

Oktober 2006, dan Putusan Pengadilan Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb

tanggal 12 Oktober 2006.

Pada proses persidangan di Pengadilan Negeri Langkat para tersangka

telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana perambahan hutan

sebagaimana ketentuan dalam Pasal 50 ayat 3 huruf (a) dan (b) Undang-

Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun dalam

pertimbangannya, Majelis hakim beranggapan bahwa meskipun secara formal

kegiatan pelaku telah memenuhi unsur-unsur delik dalam dalam Pasal 50

ayat 3 huruf (a) dan (b) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan akan tetapi kegiatan tersebut tidak memenuhi unsur kesalahan

(schuld) sebagai syarat dapat dipidananya seseorang. Pengadilan menjatuhkan

putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging)

dengan adanya alasan pemaaf di luar Undang-Undang.

Putusan Pengadilan Negeri Langkat tersebut dalam kenyataannya justru

tidak dapat menciptakan ketertiban dalam masyarakat dan tidak dapat

mencapai cita-cita pembuatan Undang-undang untuk menimbulkan efek jera

kepada para pelaku perambahan hutan. Ironisnya sebagai akibat putusan

tersebut, tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat

Timur Laut tidak berhenti justru intensitasnya semakin tinggi. Pelaku yang

telah divonis lepas dari segala tuntutan hukum, tetap melanjutkan kegiatannya

demikian juga pelaku-pelaku yang lain akhirnya turut melakukan kegiatan

perambahan hutan sebagai akibat tidak berfungsinya hukum pidana terhadap

pelaku perambahan hutan.

Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan,

yakni kepastian hukum (rechtsicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan

keadilan (gerechttigkeit).16 Masyarakat mengharapkan adanya kepastian

hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat menjadi tertib.

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan

sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh

sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat juga

mengharapkan manfaat dalam penegakan hukum karena hukum diciptakan

untuk manusia dan harus memberi manfaat pada manusia. Sebagai subjek

hukum, maka peruntukan hukum adalah untuk manusia. Jangan sampai dalam

penegakan hukum justru akan terjadi sebaliknya, hukum menjadi penyebab

keresahan di dalam masyarakat. Dalam tataran ideal, ketiga unsur tersebut

harus tetap diperhatikan secara seimbang proporsional17, namun secara

konsepsional, inti dari penegakan hukum bukan hanya terletak pada nilai

tujuan tersebut akan tetapi juga terletak pada keserasian terhadap faktor-

faktor yang akan mempengaruhi penegakan dari tujuan hukum tersebut, yaitu

pertama, hukum atau peraturan itu sendiri, kedua, mentalitas petugas yang

menegakkan hukum, ketiga, fasilitas yang diharapkan untuk mendukung

pelaksanaan hukum dan keempat, kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan

perilaku warga masyarakat18.

16 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty,

Yogyakarta,1999, hlm.145 17 T. Mulya Lubis, Hukum dan Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992, hlm.17 18 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di

Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1984, hlm.35. Bandingkan dengan faktor-faktor penegakan hukum yang menyebutkan ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan faktor

Hukum telah diformalisasi dalam perundang-undangan demikian juga

dengan aparatur yang berfungsi untuk menegakkan hukum yang terdapat

dalam sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System).

Dalam sistem peradilan pidana terpadu, untuk menjalankan fungsi penegakan

hukum, masing-masing komponen penegak hukum harus berjalan sesuai

dengan koridor dalam undang-undang yang mengaturnya. Namun walaupun

rambu-rambu hukum telah ditetapkan, baik dalam hukum materil maupun

hukum formil, fungsionalisasi hukum pidana masih belum bisa berjalan

sebagaimana yang telah ditetapkan. Akibatnya tujuan hukum pidana sebagai

“ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan) tidak berfungsi.

Hukum pidana dengan sanksi pidananya yang telah dipanggil dalam Undang-

undang bidang Kehutanan sebagai bagian dari politik kriminal pemerintah

Indonesia untuk menanggulangi tindak pidana kehutanan khususnya tindak

pidana perambahan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut tidak

dapat berfungsi dengan sebenarnya.

Berdasarkan asumsi tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka penyusunan tesis dengan judul : FUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERAMBAHAN HUTAN DI SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT PROPINSI SUMATERA UTARA

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan paparan dan identifikasi masalah tersebut di atas, maka

dapat dikemukakan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengapa fungsionalisasi hukum pidana mengalami hambatan dalam

menanggulangi perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat

Timur Laut, Propinsi Sumatera Utara?

kebudayaan. Lihat Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Ed.1-8-, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.5

2. Bagaimanakah kebijakan kriminal (criminal policy) ideal yang harus

diterapkan untuk menanggulangi tindak pidana perambahan hutan di SM

Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Propinsi Sumatera Utara?

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari rumusan permasalahan tersebut, maka yang menjadi

tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui penyebab terhambatnya fungsionalisasi hukum pidana

terhadap perbuatan perambahan hutan di SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut, Propinsi Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui kebijakan kriminal (criminal policy) ideal yang dapat

diterapkan untuk menanggulangi tindak pidana perambahan hutan di SM

Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Propinsi Sumatera Utara.

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

secara ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya

dalam hal pengetahuan tentang fungsionalisasi hukum pidana terhadap

perbuatan perambahan hutan.

2. Sebagai kontribusi ilmiah yang positif bagi instansi pemerintah pada

umumnya dan secara khusus Departemen Kehutanan c/q Direktorat

Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam untuk menangani

permasalahan perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat

Timur Laut, Propinsi Sumatera Utara

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kerangka Teori

1) Fungsionalisasi Hukum Pidana

Kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan perkataan lain kebijakan hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (law enforcement policy), khususnya penegakan hukum pidana atau fungsionalisasi hukum pidana.19

Fungsionalisasi hukum pidana memegang peranan penting dalam upaya penegakan hukum. Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang pada hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum.20 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa fungsionalisasi adalah: hal membuat berfungsi.21 Jadi fungsionalisasi hukum pidana adalah: hal membuat berfungsinya hukum pidana.

Penegakan hukum pidana itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian dari politik kriminal yang menjadi bagian integral dari kebijakan sosial (social policy). Politik kriminal ini merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Dapat dibayangkan begitu kacaunya kehidupan manusia apabila tidak terdapat politik kriminal yang dimaksudkan untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Apabila penegakan hukum tidak mencapai fungsinya, kehidupan manusia akan jatuh ke dalam kehidupan yang tanpa aturan, yang akan merendahkan martabat manusia itu sendiri. Begitu manusia sepakat untuk membentuk suatu masyarakat dalam bentuk kontrak sosial,22 pengaturan tentang perbuatan yang dilarang dan yang diperbolehkan telah diatur dalam hukum yang diakui oleh masyarakat tersebut. Agar tujuan pembentukan peraturan tersebut mencapai fungsinya, diperlukan upaya untuk menggerakkan, menjalankan, dan memfungsikan hukum tersebut. Fungsionalisasi hukum pidana tersebut pada hakikatnya difungsikan untuk mengontrol perilaku warga dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebagai instrumen kontrol, fungsionalisasi hukum selalu

19 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1996, hlm.96. 20 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984,

hlm. 157 21 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Cetakan 3, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm.245 22 Menurut Jean Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Sociaal Du principles du

droit politique (tentang kontrak sosial atau prinsip-prinsip hukum politik), bahwa melalui kontrak sosial manusia menerima pengesahan dari hak-haknya sebagai manusia, baik secara moral maupun secara yuridis. Lihat R.O. Siahaan, Filsafat Hukum Dan Etika Profesi Hukum, Cetakan Pertama, RAO Press, Cibubur, 2008, hlm.242

disertai ancaman sanksi.23 Hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum secara keseluruhan, sebagai alat kontrol sosial dalam memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup masyarakat haruslah memiliki sanksi. Sanksi merupakan bagian penutup dan terpenting di dalam hukum, karena tidak ada gunanya memasukan kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan dalam peraturan perundang-undangan manakala aturan tingkah laku tersebut tidak dapat dipaksakan oleh tata usaha negara.24

Sanksi merupakan suatu nestapa yang dijatuhkan kepada siapapun yang dinyatakan tidak mematuhi apa yang telah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Sanksi yang berfungsi sentral sebagai sarana kontrol akan terealisasi secara pasti untuk menjamin ditaatinya hukum apabila dia ditunjang oleh organisasi yang kuat. Dikatakan bahwa terealisasi atau tidaknya sanksi hukum itu masih bergantung pada kinerja sruktur organisasi penegak hukum yang diselenggarakan negara. Dalam kehidupan masyarakat modern yang telah mengembangkan badan-badan organisasi ketatanegaraan yang formal, keefektifan sanksi guna menjamin ketaatan warga kepada aturan Undang-undang bergantung pada organisasi penegak hukum yang bekerja untuk mengawal ketaatan itu.

Bertolak dari pengertian tersebut, maka fungsionalisasi hukum pidana seperti fungsionalisasi atau proses penegakan hukum pada umumnya, melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat/badan penegak hukum dan faktor kesadaran hukum. Pembagian ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian ketiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.25

Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum. Fungsionalisasi hukum pidana tercakup di dalamnya tiga tahapan kebijakan, yaitu26: a) Tahap kebijakan Formulatif, yaitu suatu tahap perumusan hukum

pidana oleh pihak pembuat perundang-undangan.

23 Joseph S. Roucek, Social Control dikutip dari Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Sebuah Pengantar Ke arah Kajian Sosiologi Hukum, Cetakan Kedua, Bayumedia Publishing, Malang, 2008, hlm.135

24 Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia Introduction to The Indonesia Administrative Law, Cetakan Kedelapan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm.245

25 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Cetakan I, Alumni, Bandung, 1992, hlm.157

26 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm.99

b) Tahap kebijkan aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh

penegak hukum.

c) Tahap kebijakan Administratif, yaitu merupakan tahapan pelaksanaan

oleh aparat eksekusi hukum.

Dalam konteks penegakan hukum, Soerjono Soekanto mengutarakan

beberapa faktor yang dinilainya mempengaruhi, yaitu27:

a. Faktor hukumnya sendiri yang di dalam tulisannya, Soekanto

membatasi pada Undang-Undang saja. Menurutnya, gangguan terhadap

penegakan hukum yang berasal dari Undang-Undang mungkin

disebabkan oleh karena: pertama, tidak diikutinya azas-azas berlakunya

Undang-Undang, kedua, belum adanya peraturan pelaksanaan yang

sangat dibutuhkan untuk menerapkan Undang-Undang, ketiga,

ketidakjelasan arti kata-kata di dalam Undang-Undang yang

mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum. Menurutnya, halangan-halangan yang yang

mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari

golongan penegak hukum mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari

lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan penanggulangan

tersebut antara lain: pertama, keterbatasan kemampuan untuk

menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia

berinteraksi; kedua, tingkat aspirasi yang belum tinggi; ketiga

kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan,

sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi; keempat, belum

ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu,

terutama kebutuhan materil; kelima, kurangnya daya inovatif yang

sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Khusus

untuk persoalan ini, menurutnya, sebaiknya dianut jalan pikiran sebagai

27 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, op.cit.,

hlm.8

berikut: pertama, yang tidak ada diadakan; kedua, yang rusak atau salah

diperbaiki atau dibetulkan; ketiga, yang kurang ditambah; keempat,

yang macet dilancarkan; kelima, yang mundur atau merosot dimajukan

atau ditingkatkan.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan. Kalau warga masyarakat sudah mengetahui hak dan

kewajiban mereka, maka mereka juga akan mengetahui aktifitas-

aktifitas penggunaan upaya-upaya hukum untuk melindungi, memenuhi

dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka sesuai dengan

aturan yang ada.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup

Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan, karena merupakan

esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur efektifitas

penegakan hukum. Oleh karenanya, dalam membahas persoalan

penegakan hukum secara sosiologis, perhatian utamanya penting ditujukan

kepada faktor manusia dalam hubungannya dengan masalah ini.

2) Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Perambahan Hutan

Pengerjaan/pendudukan tanah hutan secara tidak sah merupakan

kegiatan yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan hutan secara

ekstrim. Dalam Undang-undang bidang kehutanan, pengertian tentang

tindak pidana perambahan hutan secara eksplisit disebutkan dalam

penjelasan Pasal 50 ayat 3 huruf (b) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999

tentang Kehutanan, bahwa, “Yang dimaksud dengan merambah adalah

melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat

yang berwenang.” Perambahan hutan dilakukan dengan mengambil hasil

hutan dan kemudian mengkonversi hutan menjadi peruntukan lain secara

illegal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah “perambahan”

adalah proses, cara, perbuatan merambah.28 Sedangkan definisi yang

dikemukakan oleh W.J.S. Purwadarminta, “merambah” adalah (1)

membabat; menebangi (memangkas dan sebagainya) tumbuh-tumbuhan,

pohon-pohon dan sebagainya29. Jadi perambahan hutan adalah proses,

cara, perbuatan membabat; menebangi (memangkas dan sebagainya)

tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon dan sebagainya dalam suatu kawasan

yang disebut dengan hutan dengan tanpa seijin pejabat yang berwenang.

Apabila dilihat dari kategori perbuatan dan akibat yang ditimbulkan,

ketentuan tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, masih

dikategorikan sebagai perbuatan perambahan hutan walaupun secara

eksplisit tidak disebut sebagai perambahan hutan. Dalam Pasal 50 ayat (3)

huruf a Undang-Undang Kehutanan tersebut disebutkan bahwa,

“mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan

secara tidak sah”, merupakan salah satu perbuatan yang dikriminalisasi

dan diancam dengan hukuman pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal

78 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Dalam penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf a disebutkan bahwa

kegiatan tersebut antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau

untuk usaha lainnya, untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau

penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan,

untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya.

Sementara dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

KSDAH & E kegiatan perambahan hutan dan definisinya tidak disebutkan

secara eksplisit. Dalam Undang-undang ini hanya memformulasikan

tindak pidana yang terjadi dalam rumusan delik materil berupa kegiatan

yang dapat merubah keutuhan kawasan suaka alam atau keutuhan zona inti

28 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, Balai

Pustaka, Jakarta, 2005, hlm. 925 29 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat

Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hlm.942.

taman nasional sebagaimana terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33

ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990.

Dalam praktek hukum kehutanan selama ini bahwa kegiatan tersebut

disebut dengan perambahan hutan dan orang yang melakukannya disebut

dengan perambah hutan semata-mata mengingat kesulitan untuk

penyebutan subjek yang melakukan kegiatan yang dikategorikan sebagai

kegiatan mengerjakan, menggunakan, menduduki atau merubah keutuhan

kawasan suaka alam. Dalam penulisan tesis ini, yang dimaksud dengan

tindak pidana perambahan hutan bukan hanya mengacu pada satu delik

sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 50 ayat 3 huruf (b) Undang-

undang nomor 41 tahun 1999. Akan tetapi yang dimaksud dengan tindak

pidana perambahan hutan adalah setiap perbuatan mengerjakan

pembukaan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan dengan

membabat, menebangi (memangkas dan sebagainya) tumbuh-tumbuhan,

pohon-pohonan dalam suatu kawasan yang disebut dengan hutan baik

dengan maksud untuk menguasai atau menduduki kawasan tersebut yang

akibat perbuatan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan hutan dan

perubahan keutuhan kawasan hutan.

3) Teori-Teori Pemidanaan

Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada

pembuat karena melakukan suatu delik. Pidana merupakan karakteristik

dari hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata. Roeslan

Saleh menerjemahkan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berwujud

suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik

itu.30

Pidana mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

30 Muladi & Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm.2

b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempuntai kekuasaan oleh yang berwenang;

c) Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-Undang.31

Jadi pidana adalah nestapa atau derita yang ditimpakan kepada orang yang melakukan kejahatan oleh negara atau badan yang berwenang. Sedangkan hukum pidana menurut Mulyatno adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

b) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidanan sebagaimana yang telah diancamkan.

c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan, apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.32

Ada berbagai macam pendapat tentang pemidanaan, namun secara

garis besar dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu:33

a) Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)

Teori ini beranggapan bahwa dasar pemberian hukuman pidana

kepada pelaku tindak pidana (penjahat) semata-mata adalah pembalasan

karena telah melakukan suatu kejahatan (quia peccatum est).

Penjatuhan pidana yang pada dasarnya adalah penderitaan pada

penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi

orang lain. Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana

mempunyai 2 arah yaitu:

1) Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan)

Bila seseorang melakukan kejahatan, ada kepentingan hukum yang

dilanggar. Dan untuk mengembalikan ketertiban umum itu si

31 Ibid, hlm.4 32 Mulyatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2000,

hlm.1 33 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 Stelsel Pidana, Tindak Pidana,

Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan 1, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 153-162

pelanggar harus mendapat hukuman. Setiap kejahatan, tidak boleh

tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya.

2) Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di

kalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan)

Akibat adanya kejahatan tersebut, timbul suatu penderitaan baik fisik

maupun psikis berupa perasaan tidak senang, sakit hati, marah, tidak

puas dan terganggunya ketentraman bathin yang bukan saja

dirasakan oleh korban namun dirasakan juga oleh masyarakat. Oleh

karena itu untuk menghilangkan dan atau memuasakan penderitaan

seperti itu (sudut subjektif) maka kepada pelaku harus diberikan

pembalasan yang setimpal (sudut objektif)

Oleh sebab itulah dapat dikatakan bahwa teori pembalasan ini

sebenarnya mengejar kepuasan hati, baik korban dan keluarganya

maupun masyarakat pada umumnya.

b) Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)

Pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam

masyarakat yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam

masyarakat dimana untuk mewujudkan ketertiban tersebut diperlukan

pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan,

dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Untuk

mencapai tujuan ketertiban dalam masyarakat, maka pidana itu

mempunyai sifat (1) menakut-nakuti, (2) bersifat memperbaiki,

(3)bersifat membinasakan. Sedangkan sifat pencegahan teori relatif ini

terdiri dari:

1) Teori pencegahan umum

Berdasarkan teori pencegahan umum ini tujuan penjatuhan

pidana bagi orang yang melakukan kejahatan dimaksudkan agar

masyarakat umum menjadi takut untuk melakukan kejahatan.

Penjahat yang dijatuhkan hukuman pidana dijadikan contoh oleh

masyarakat, agar perbuatan tersebut tidak ditiru dan tidak melakukan

perbuatan yang sama.

2) Teori pencegahan khusus

Menurut teori ini, penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan

dimaksudkan agar pelaku kejahatan tersebut tidak mengulangi

perbuatannya dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk

untuk melakukan kejahatan agar tidak mewujudkan niatnya itu ke

dalam perbuatan nyata.

c) Teori gabungan (vernegings theorien)

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan

dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Teori gabungan ini

dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu:

1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan

itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk

dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.

2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh

lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

4) Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana dengan Hukum

Pidana

Upaya atau kebijakan untuk melakukan penanggulangan kejahatan

termasuk bidang kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal merupakan salah

satu bagian dari kebijakan sosial yang pada dasarnya bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberikan perlindungan

kepada masyarakat warga negara. Penggunaan hukum pidana untuk

menanggulangi kejahatan hanya merupakan salah satu upaya dalam

kebijakan kriminal. Apabila penanggulangan kejahatan dilakukan dengan

menggunakan hukum pidana maka harus tetap dalam kerangka untuk

tercapainya tujuan kebijakan sosial berupa peningkatan kesejahteraan

masyarakat dan terciptanya ketertiban dalam masyarakat.

Kebijakan kriminal (politik criminal) itu dapat diberi arti sempit,

lebih luas dan paling luas:

a. Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana.

b. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi

c. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral masyarakat. 34

Pada hakekatnya kebijakan hukum pidana dapat difungsionalisasikan

dan dioperasionalkan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi atau

tahap kebijakan legislatif, tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif dan tahap

eksekutif atau kebijakan administratif.35 Tahap formulasi atau kebijakan

legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan

peraturan perundang-undangan pidana. Tahap aplikasi atau kebijakan

yudikatif merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-

undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau kebijakan

administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas

perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Hukum pidana merupakan salah satu usaha pencegahan dan

pengendalian kejahatan dengan sanksinya yang berupa pidana.

Penggunaan hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

masalah sosial, termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum.

Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka

penggunaan pidana sebenarnya bukan merupakan suatu keharusan. Dilihat

sebagai suatu masalah kebijakan, masih dipermasalahkan apakah sanksi

pidana itu diperlukan untuk menanggulangi, mencegah dan mengendalikan

34 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, hlm.113-114. 35 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, Edisi Pertama Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm.79

kejahatan. Ada sementara pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan atau

para pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana.

Dasar pendapat ini diletakkan pada dua pandangan yaitu pertama

bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan dan pengenaan penderitaan

yang kejam yang seharusnya dihindari. Pandangan kedua yang meletakkan

dasar pemikirannya pada paham determinisme yang beranggapan bahwa

sebenarnya manusia tidak memiliki kehendak bebas untuk melakukan

suatu perbuatan, tetapi dipengaruhi oleh watak pribadi, faktor-faktor

biologis maupun faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian

kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang

abnormal, oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas

perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana.

Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh Roeslan Saleh, bahwa

pidana dan hukum pidana masih diperlukan untuk menanggulangi

kejahatan, dengan alasan :36

a) Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-

tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa

jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan.

b) Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti

sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu

reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya

dan tidak dapat dibiarkan begitu saja.

c) Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan

pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak

jahat.

Dari pandangan tersebut mempertahankan adanya pidana dan hukum

pidana dibenarkan dilihat dari sudut politik kriminal dan dari sudut tujuan,

fungsi dan pengaruh dari pidana itu sendiri. Roeslan Saleh menggunakan

istilah “masih adanya dasar susila dari hukum pidana”. Herbert L. Packer

36 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Edisi Kedua

Cetakan Kedua, Penerbit Alumni, Bandung, 1998, hlm.153

yang juga membicarakan masalah pidana dengan keterbatasannya,

akhirnya menyimpulkan antara lain:37

a) Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang

maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana.

b) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang

kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar

dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.

c) Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik

apabila digunakan secara hemat-cermat dan manusiawi, dan suatu

ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia

apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.

Penerapan hukum pidana dan sanksi pidana masih merupakan

pilihan kebijakan yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya

kejahatan. Pilihan kebijakan tersebut tentunya harus melihat kualitas

perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya. Jangan sampai bahwa

penerapan sanksi pidana itu sendiri lebih merugikan dari pada perbuatan

pidananya. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan hukum pidana itu sendiri

dalam menanggulangi kejahatan. Barda Nawawi Arief sedikitnya

mengidentifikasi keterbatasan hukum pidana dalam menanggulangi

kejahatan, yaitu:38

a) Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar

jangkauan hukum pidana

b) Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dan sarana

kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan

sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat

kompleks

c) Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya

merupakan kurieren am sympton. Oleh karena itu, hukum pidana

37 Ibid., hlm. 155-156 38 Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm. 198-199

hanya merupakan “pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan

kausatif”.

d) Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat

kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek

sampingan yang negatif.

e) Sistem pemidanaan bersifat fragmenteir dan individu/personal, tidak

bersifat struktural/fungsional

f) Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana

yang bersifat kaku dan imperatif

g) Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana

pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”

Sebagaimana telah disampaikan bahwa penerapan hukum pidana dan sanksi pidananya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum yang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Pemilihan untuk menggunakan hukum pidana hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau “social defence planning” yang harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.39 Rencana pembangunan nasional disusun berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang menjadi sendi-sendi dasar bagi penjabaran arah pelaksanaan pembangunan nasional. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 kemudian dijabarkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan “semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dengan demikian bumi dan air (termasuk hutan dan sumber daya alam) digunakan untuk kepentingan sebesar-besarnya masyarakat Indonesia dan bukan kepentingan segelintir orang yang ingin mengambil keuntungan ekonomis semata dari hutan dan alam. Dengan demikian kebijakan penggunaan hukum pidana pada tindak pidana kehutanan merupakan bagian dari “social defence planning”. Penggunaan hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan, terlihat dari praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana

39 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, dikutip dari Muladi dan Barda Nawawi A., op.cit.,

hlm. 157

merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia.

5) Instrumen Hukum Dalam Bidang Kehutanan

a) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya

Undang-undang nomor 5 tahun 1990 ini merupakan undang-

undang yang memuat ketentuan yang secara khusus mengatur tentang

hutan konservasi. Dalam Undang-undang ini juga diatur tentang tindak

pidana di bidang konservasi sumber daya alam dan ketentuan

pidananya. Sesuai dengan azas hukum lex specialist derogat legi

generali, bahwa peraturan (hukum) yang khusus mengesampingkan

peraturan (hukum) umum, atau ketentuan khusus lebih diutamakan

pemberlakuannya daripada ketentuan umum, maka Undang-undang ini

diberlakukan khusus terhadap hutan konservasi baik yang termasuk

hutan, kawasan hutan maupun hasil hutan.

1) Ketentuan Pasal-Pasal yang Mengatur tentang Tindak Pidana

Perambahan Hutan

Pengaturan tentang tindak pidana kehutanan dalam Undang-

undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam

hayati dan Ekosistemnya (KSDAH&E) terdapat dalam Pasal 19 ayat

(1), Pasal 21 dan Pasal 33 juncto Pasal 40. Pasal 19 ayat (1), Pasal 21

dan Pasal 33 mengatur tentang perbuatan pidananya, sementara Pasal

40 mengatur tentang sanksi pidananya.

Jika dilakukan klasifikasi berdasarkan objeknya, tindak pidana

yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

KSDAH&E dapat dibagi menjadi tiga yaitu : (1) tindak pidana

terhadap kawasan suaka alam, (2) tindak pidana terhadap sumber

daya alam hayati, dan (3) tindak pidana terhadap taman nasional,

hutan raya dan taman wisata alam.

Klasifikasi itu dibuat berdasarkan objek tindak pidana yang

akan dilindungi oleh Undang-undang. Terhadap tiga objek tersebut,

Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E,

sebenarnya telah membuat definisi masing-masing. Yang dimaksud

dengan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di

darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai

kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga

kehidupan.40 Sedangkan yang dimaksud dengan sumber daya lama

hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber

daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa)

yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara

keseluruhan membentuk ekosistem.41

Kemudian yang dimaksud dengan taman nasional adalah

kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola

dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,

ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan

rekreasi. 42 Kemudian pengertian dari taman hutan raya adalah

kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau

satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang

dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,

pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.43

Sedangkan definisi taman wisata alam adalah kawasan pelestarian

alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi

alam.44

40 Lihat Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 41 Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 42 Lihat Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 43 Lihat Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 44 Lihat Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E tidak secara eksplisit menyebutkan perbuatan “perambahan hutan” seperti terdapat dalam Pasal 50 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Untuk dapat mengklasifikasi perbuatan “perambahan hutan” dilakukan dengan melihat akibat yang ditimbulkan perbuatan. Akibat yang ditimbulkan perbuatan dapat berupa kerusakan hutan maupun perubahan keutuhan kawasan.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E dikenal adanya tindak pidana formil dan tindak pidana materil45. Rumusan Pasal tindak pidana formil dapat dijumpai di Pasal 40 ayat 2 yang merujuk pada ketentuan Pasal 21 ayat 1 dan 2 serta Pasal 33 ayat 3. Berikut bunyi lengkap Pasal 21 ayat (1) dan (2) serta Pasal 33 ayat (3). Lihat Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Klasifikasi Tindak Pidana Formil dalam Undang-undang

Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E

Pasal Tindak Pidana Formil

Pasal 21 ayat (1) dan (2)

(1) Setiap orang dilarang untuk: a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya dalam keadaan hidup atau mati; b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. (2) Setiap orang dilarang untuk: a.menangkap, melukai, membunuh, menyimpan,

memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

45 Penggolongan ini berdasar atas cara perumusan ketentuan hukum pidana oleh

pembentuk undang-undang. Apabila tindak pidana yang dimaksudkan dalam suatu ketentuan hukum pidana (strafbepaling) di situ dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan ujud dari perbuatan itu, maka tindak pidana ini di kalangan ilmu pengetahuan hukum dinamakan “tindak pidana materiel” (materieel delict). Apabila tindak pidana yang dimaksudkan, dirumuskan sebagai ujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, maka kini ada “tindak pidana formal” (formeel delict). Lihat Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cetakan Ketujuh, Edisi Kedua, PT Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm.34

b.menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

Pasal 33 ayat (3)

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Sedangkan rumusan tindak pidana materil dapat dijumpai dalam Pasal 40 ayat 1, yang merujuk pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1). Lihat Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2 Klasifikasi Tindak Pidana Materil dalam Undang-undang

Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E

Pasal Tindak Pidana Materil

Pasal 19 ayat (1)

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.

Pasal 33 ayat (1)

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.

Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

KSDAH&E menentukan bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan

kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan

kawasan suaka alam”. Selanjutnya dalam ayat (3) disebutkan bahwa:

Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi,

menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990

tentang KSDAH&E Pasal 19 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah: (1)melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya, (2)melakukan perburuan satwa yang berada dalam kawasan, (3)memasukkan jenis-jenis bukan asli ke dalam kawasan.

Berdasarkan penjelasan Undang-undang tersebut, maka perbuatan “perambahan hutan” yang dilakukan di dalam kawasan suaka alam yang pada dasarnya mengakibatkan terjadinya kerusakan keutuhan kawasan hutan dikategorikan sebagai perbuatan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya sehingga terhadap perbuatan perambahan di dalam kawasan suaka alam merupakan tindak pidana yang melanggar Pasal Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E. Jika ketentuan tersebut dikaitkan dengan rumusan ketentuan pidana dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 199046, maka rumusannya akan menjadi sebagai berikut:

Barang siapa dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Berdasarkan objeknya, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) tersebut dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana terhadap kawasan suaka alam, atau bahwa objek yang ingin dilindungi oleh undang-undang adalah kawasan suaka alam.

2) Tindak Pidana Yang dilakukan Karena Faktor kelalaian

Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

KSDAH&E terdapat ketentuan pidana kehutanan yang diakibatkan

oleh kelalaian pelakunya. Ketentuan ini sebagaimana terdapat dalam

Pasal 40 ayat (3) yang berbunyi:

Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan

46 Rumusan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 selengkapnya

berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa

pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) sebagai akibat kelalaian dapat menyebabkan dikenakannya sanksi pidana terhadap pelakunya. Sanksi pidana yang dikenakan akibat pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) yang diakibatkan oleh faktor kelalaian lebih ringan jika dibandingkan dengan sanksi pidana yang dikenakan karena adanya unsur kesengajaan.

Kemudian pada Pasal 40 ayat (4) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E ditentukan juga sanksi pidana terhadap perbuatan pidana yang diakibatkan oleh faktor kelalaian, yang selengkapnya berbunyi:

Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa

pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) yang disebabkan oleh faktor kelalaian dikenakan sanksi pidana yang lebih ringan daripada sanksi pidana yang dijatuhkan akibat faktor kesengajaan.

3) Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran

Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

KSDAH&E dianut juga penggolongan tindak pidana kehutanan atas

tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Ketentuan

tentang kejahatan dan pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 40

ayat (5) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E

yang selengkapnya berbunyi: “Tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) adalah

pelanggaran.” Penggolongan tindak pidana pelanggaran dan tindak

pidana kejahatan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990

tentang KSDAH&E disajikan dalam tabel 3 berikut ini:

Tabel 3

Klasifikasi Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Pasal

(ketentuan

pidana)

Tindak Pidana Kejahatan

Pasal

(ketentuan

pidana)

Tindak Pidana

Pelanggaran

Pasal 40

ayat (1)

Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)

Pasal 40

ayat (3)

Kegiatan di samping dilakukan secara lalai

Pasal 40

ayat (1)

melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman

nasional

(Pasal 33 ayat (1)

Pasal 40

ayat (3)

Kegiatan di samping dilakukan dengan secara lalai

Pasal 40

ayat (2)

Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau

mati;

(Pasal 21 ayat (1) huruf a)

Pasal 40

ayat (2)

Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar

Indonesia

(Pasal 21 ayat (1) huruf b)

Pasal 40

ayat (2)

Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup

(Pasal 21 ayat (2) huruf a)

Pasal 40

(2)

Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati

(Pasal 21 ayat (2) huruf b)

Pasal 40

(2)

Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia

(Pasal 21 ayat (2) huruf c)

Pasal 40

(2)

Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia

(Pasal 21 ayat (2) huruf d)

Pasal 40

(2)

Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang

dillindungi

(Pasal 21 ayat (2) huruf e)

Pasal 40

(2)

Melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam

(Pasal 33 ayat (3)

b) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

1) Ketentuan Pasal-Pasal yang Mengatur tentang Tindak Pidana

Perambahan Hutan

Pengaturan mengenai tindak pidana dalam Undang-Undang

Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan diatur dalam Pasal 38 ayat

(4) dan Pasal 50 juncto Pasal 78. Jika dalam Pasal 38 ayat (4) dan

Pasal 50 Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

diatur mengenai perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang,

maka dalam Pasal 78 diatur tentang ketentuan pidana atau tentang

sanksi pidananya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 38 ayat (4) dan Pasal 50

Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dapat

menyebabkan pelakunya dikenakan sansi pidana berdasarkan

ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan.

Berdasarkan perspektif ilmu per-Undang-Undang-an,

perumusan norma hukum dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun

1999 tentang Kehutanan dapat dikategorikan sebagai norma hukum

berpasangan. Norma hukum berpasangan adalah norma hukum yang

terdiri dari dua norma, yaitu norma hukum primer dan norma hukum

sekunder.47 Norma hukum primer adalah norma hukum yang berisi

aturan atau patokan tentang bagaimana cara seseorang harus

berprilaku di dalam masyarakat. Sementara, yang dimaksud dengan

norma hukum sekunder adalah norma hukum yang berisi tata cara

penanggulangannya apabila norma hukum primer itu tidak dipenuhi.

Norma hukum sekunder mengandung sanksi bagi subjek hukum

yang tidak memenuhi suatu ketentuan dalam norma hukum primer.

Jika klasifikasi tersebut dikaitkan dengan ketentuan pidana dalam

Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, maka

pengaturan tindak pidana kehutanan yang dirumuskan dalam Pasal

38 ayat (4) dan Pasal 50 dapatlah digolongkan sebagai norma hukum

primer. Sedangkan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999

tentang Kehutanan yang memuat sanksi pidananya digolongkan

sebagai norma hukum sekunder.

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999

tentang Kehutanan yang dimaksud dengan tindak pidana terhadap

hutan adalah tindak pidana yang objeknya adalah hutan atau

kawasan hutan dan hasil hutan. Jadi yang ingin dilindungi melalui

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan adalah hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Sedangkan

yang dimaksud dengan tindak pidana yang terkait dengan hasil-hasil

hutan berupa benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta

jasa yang berasal dari hutan.48

47 Maria Farida Indrati S, Ilmu PerUndang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,

Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm.31 48 Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 ayat (13) yang

dimaksud dengan hasil hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Dalam penjelasan Pasl 4 ayat (1) Undang-Undang ini diuraikan secara lengkap bahwa hasil hutan itu dapat berupa: (a) hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan, jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan, dan lain-lain, serta bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan; (b)hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya; (c) benda-benda nonhayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-benda hayati

Sanksi dan jenis tindak pidana yang berkaitan dengan

perambahan hutan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 41

tahun 1999 tentang Kehutanan:

a) Melakukan kegiatan yang Menimbulkan Kerusakan Hutan (Pasal

50 ayat (2)

Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang nomor 41 tahun 1999

tentang Kehutanan selengkapnya mengatur bahwa…”Setiap orang

yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha

pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan

kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan

bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan

kerusakan hutan.”49

Apabila ketentuan dalam Pasal 50 ayat (2) tersebut

dikaitkan dengan rumusan ketentuan pidana dalam Pasal 78 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,

maka rumusannya akan menjadi sebagai berikut:

Barang siapa yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dengan sengaja melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).50

Unsur-unsur tindak pidana yang termuat dalam rumusan

Pasal 50 ayat (2) juncto Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang; (d) jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan, dan lain-lain; (e) hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan pulp.

49 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kehutanan, Undang-Undang No.41, tahun 1999, LN No.167 tahun 1999, TLN. No.3888, Pasal 50 ayat (2)

50 Rumusan Pasal 78 ayat (1) selengkapnya berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).”

41 tahun 1999 tentang Kehutanan itu adalah sebagai berikut: (i)

barang siapa, (ii) dengan sengaja, (iii) melakukan kegiatan yang

menimbulkan kerusakan hutan.

Unsur barang siapa dalam Pasal 50 ayat (2) juncto Pasal 78

ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan ditambah kualifikasinya dari hanya sekedar “orang

perseorangan, badan hukum, atau badan usaha” –sebagaimana

dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 50 ayat (1)-, menjadi “orang

perseorangan, badan hukum, atau badan usaha yang diberikan ijin

usaha pemanfaatan kawasan, ijin usaha pemanfatan jasa

lingkungan, ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan

kayu, serta ijin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu”.

Sedangkan terhadap unsur “kegiatan yang menimbulkan

kerusakan hutan”, penjelasan Pasal 50 ayat (2) memberikan

rujukan tentang apa yang dimaksud dengan “kerusakan hutan”.

Menurut penjelasan Pasal 50 ayat (2) tersebut yang dimaksud

dengan kerusakan hutan adalah: “…terjadinya perubahan fisik,

sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut

terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya”.

Terhadap rumusan unsur “kegiatan yang menimbulkan

kerusakan hutan” dalam Pasal 50 ayat (2) juncto Pasal 78 ayat (1),

tidak dijelaskan tentang kegiatan apa saja yang dapat

dikategorikan menimbulkan kerusakan hutan sehingga dapat

dipidana. Undang-Undang Kehutanan hanya menjelaskan

kualifikasi “kerusakan hutannya” saja. Dengan demikian, dapat

dikemukakan bahwa unsur yang terpenting dalam rumusan unsur

“kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan” dalam Pasal 50

ayat (2) juncto Pasal 78 ayat (1) adalah pada anak kalimat

“menimbulkan kerusakan hutan”, bukan pada “kegiatannya”. Jadi

kegiatan apapun dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 50

ayat (2) juncto Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang nomor 41 tahun

1999 tentang Kehutanan apabila kegiatan tersebut terbukti

menimbulkan kerusakan hutan. Secara teoritis, rumusan delik

yang demikian itu disebut sebagai delik materil atau delik yang

mementingkan akibat dari perbuatan pidananya, bukan perbuatan

pidananya sendiri.

Berdasarkan objek tindak pidananya, kegiatan yang dapat

menimbulkan kerusakan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal

50 ayat (2) dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana terhadap

hutan. Seseorang, badan hukum, atau badan usaha baru dapat

dipidana dengan ketentuan ini jika telah terjadi suatu perbuatan

yang mengakibatkan kerusakan pada hutan atau terjadinya

perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya yang menyebabkan

hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan

fungsinya. Dengan demikian, maka yang menjadi objek dari

tindak pidana ini adalah hutan itu sendiri.

b) Mengerjakan dan/atau Menggunakan dan/atau Menduduki

Kawasan hutan secara Tidak Sah (Pasal 50 ayat (3) huruf a)

Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 41 tahun

1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa: “Setiap orang

dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki

kawasan hutan secara tidak sah.” Yang dimaksud dengan

mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam

kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang,

antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha

lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan menggunakan

kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa

mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk

wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan

hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan. Sedangkan

pengertian menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan

hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara

lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan

bangunan lainnya. Jika ketentuan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a

tersebut dihubungkan dengan rumusan ketentuan pidana dalam

Pasal 78 ayat (2)51, maka rumusannya akan menjadi sebagai

berikut:

”Barang siapa dengan sengaja mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).”52 Unsur-unsur tindak pidana yang termuat dalam rumusan

Pasal 50 ayat (3) huruf a juncto Pasal 78 ayat (2) tersebut adalah

sebagai berikut: (i) barang siapa, (ii) dengan sengaja, (iii)

mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki

kawasan hutan, (iv) secara tidak sah.

Perbuatan berupa mengerjakan, menggunakan, dan/atau

menduduki kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a dapat dikategorikan

sebagai tindak pidana terhadap kawasan hutan atau dengan

perkataan lain tindak pidana yang objeknya adalah kawasan

hutan.

c) Merambah Kawasan Hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf b)

Pasal 50 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 41 tahun

1999 selengkapnya menyatakan:”Setiap orang dilarang merambah

kawasan hutan”. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 41

tahun 1999 yang dimaksud dengan merambah adalah melakukan

pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang

51 Rumusan Pasal 78 ayat (2) selengkapnya berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).”

52 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kehutanan, Undang-Undang No.41, tahun 1999, ibid., Pasal 50 ayat (3) huruf (a) jo Pasal 78 ayat (2)

berwenang. Jika ketentuan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf b

tersebut dikaitkan dengan rumusan ketentuan pidana dalam Pasal

78 ayat (2)53, maka rumusannya akan menjadi sebagai

berikut…”Barang siapa dengan sengaja merambah kawasan

hutan, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)

tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima

milyar rupiah).”54

Unsur-unsur tindak pidana yang termuat dalam rumusan

Pasal 50 ayat (3) huruf b juncto Pasal 78 ayat (2), adalah sebagai

berikut: (i) barang siapa, (ii) dengan sengaja, (iii) merambah

kawasan hutan. Tindakan berupa perambahan terhadap kawasan

hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf b

dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap kawasan

hutan atau dengan perkataan lain tindak pidana yang objeknya

adalah kawasan hutan.

2) Penggolongan Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana

Pelanggaran

Di dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan diatur juga penggolongan antara tindak pidana yang

dikategorikan kejahatan dan tindak pidana yang dikategorikan

pelanggaran.55 Berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (13) Undang-

53 Rumusan Pasal 78 ayat (2) selengkapnya berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).”

54 Lihat ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf b jo Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.

55 Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dapat dianalisis dari dua segi yaitu kualitatif dan kuantitatif. Dari segi kualitatif kejahatan merupakan delik hukum (rechts delict). Yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, sedangkan pelanggaran merupakan delik undang-undang (wet delict), yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari dapat dipidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik. Jadi, karena Undang-undang mengancamnya dengan pidana. Kajian pidana dari segi kuantitatif didasarkan pada segi hukumannya atau ancaman pidananya. Kejahatan hukumannya lebih berat, sedangkan pelanggaran hukumannya lebih ringan. Lihat Siti Sutami, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Karunika Universitas Terbuka, Jakarta, 1987, hlm. 11-12.

undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut, kegiatan

perambahan hutan dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan.

Penggolongan tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 78 ayat (13)

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang

berbunyi:

“Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.” Penggolongan antara tindak pidana kejahatan dan tindak

pidana pelanggaran seperti terdapat dalam ketentuan Pasal 78 ayat

(13) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

terdapat dalam tabel 4 berikut ini:

Tabel 4

Klasifikasi Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Pasal

(ketentuan

pidana)

Tindak Pidana Kejahatan

Pasal

(ketentuan

pidana)

Tindak Pidana

Pelanggaran

Pasal 78

ayat (1)

Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. (Pasal 50 ayat 1)

Pasal 78

ayat (8)

menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf i)

Pasal 78

ayat (1)

Setiap orang yang diberikan izin

usaha pemanfaatan kawasan,

izin usaha pemanfaatan jasa

lingkungan, izin usaha

pemanfaatan hasil hutan kayu

dan bukan kayu, serta izin

pemungutan hasil hutan kayu

Pasal 78

ayat (12)

mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang

dan bukan kayu, dilarang

melakukan kegiatan yang

menimbulkan kerusakan hutan.

(Pasal 50 ayat 2)

(Pasal 50 ayat (3)

huruf m)

Pasal 78

ayat (2)

Setiap orang dilarang:

(a) mengerjakan dan atau

menggunakan dan atau

menduduki kawasan hutan

secara tidak sah;

(Pasal 50 ayat (3) huruf a )

Pasal 78

ayat (2)

(b) merambah kawasan hutan

(Pasal 50 ayat (3) huruf b )

Pasal 78

ayat (2)

(c) melakukan penebangan

pohon dalam kawasan hutan

dengan radius atau jarak tertentu

(Pasal 50 ayat (3) huruf c)

Pasal 78

(ayat (3)

dan ayat

(4)

membakar hutan

(Pasal 50 ayat (3) huruf d)

Pasal 78

ayat (5)

menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (Pasal 50 ayat (3) huruf e)

Pasal 78

ayat (5)

menerima, membeli atau

menjual, menerima tukar,

menerima titipan, menyimpan,

atau memiliki hasil hutan yang

diketahui atau patut diduga

berasal dari kawasan hutan yang

diambil atau dipungut secara

tidak sah;

(Pasal 50 ayat (3) huruf f )

Pasal 78

ayat (6)

Pada kawasan hutan lindung

dilarang melakukan

penambangan dengan pola

pertambangan terbuka.

(Pasal 38 ayat (4)

Pasal 78

ayat (6)

melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; (Pasal 50 ayat (3) huruf g)

Pasal 78

ayat (7)

mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; (Pasal 50 ayat (3) huruf h)

Pasal 78

ayat (9)

membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; (Pasal 50 ayat (3) huruf j )

Pasal 78

ayat (10)

membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; (Pasal 50 ayat (3) huruf k )

Pasal 78

ayat (11)

membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; (Pasal 50 ayat (3) huruf l )

3) Ketentuan tentang Pemberatan Pidana

Pemberatan pidana kehutanan diatur dalam ketentuan Pasal 78

ayat (14) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,

yang berbunyi:

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (14) tersebut, maka

ancaman pidana yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana

kehutanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2)

dan ayat (3) dapat diperberat56 atau dikualifisir 1/3 (satu per tiga)

dari pidana pokok yang diancamkan, apabila tindak pidana itu

dilakukan oleh dan/atau atas nama badan hukum atau badan usaha.

Penjelasan Pasal 78 ayat (14) juga menerangkan bahwa yang

termasuk badan hukum dan atau badan usaha, antara lain perseroan

terbatas, perseroan komanditer (comanditer venootschaap), firma,

koperasi, dan sejenisnya.

Selanjutnya menurut Sutan Sjahdeini, dalam hukum pidana pengertian korporasi tidak hanya badan hukum. Di sana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Cakupannya, bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut

56 Undang-undang membedakan antara dasar-dasar pemberatan pidana umum dan dasar-

dasar pemberatan pidana khusus. Dasar pemberatan pidana umum ialah dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik yang ada dalam kodifikasi maupun tindak pidana di luar KUHP. Dasar pemberatan pidana khusus adalah dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana tertentu saja, dan tidak berlaku untuk tindak pidana yang lain. Maksud diperberatnya pidana pada dasar pemberatan pidana khusus ialah pada si pembuat dapat dipidana melampaui atau di atas ancaman maksimum pada tindak pidana yang bersangkutan, hal sebab diperberatnya mana dicantumkan secara tegas dalam dan mengenai tindak pidana tertentu tersebut. Lihat, Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan Aduan Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, Cetakan pertama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.88

hukum perdata bukan suatu hukum. Sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum, juga termasuk ke dalam apa yang dimaksud dengan korporasi.57

Dari ketentuan Pasal 8 ayat (14) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dapat diketahui bahwa tindak pidana perambahan hutan yang dilakukan oleh badan hukum seperti perseroan terbatas, perseroan komanditer (comanditer venootschaap), firma, koperasi, dapat memperoleh pemberatan hukuman sebesar 1/3 dari pidana pokok yang diancamkan.

4) Ketentuan Tentang Perampasan Alat yang digunakan untuk

Melakukan Tindak Pidana Kehutanan

Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 1999 Pasal 78 ayat

(15) terdapat ketentuan yang mengatur tentang perampasan hasil

hutan dan alat yang digunakan untuk melalukan tindak pidana

kehutanan. Ketentuan tersebut sebagaimana terdapat dalam Pasal 78

ayat (15) undang-undang tersebut yang selengkapnya berbunyi:

Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dirampas untuk Negara.

Dalam penjelasan tersebut yang termasuk alat angkut antara

lain, kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat, perahu layar,

helikopter, dan lain-lain.

Terhadap ketentuan Pasal tersebut telah ada pihak yang

mengajukan permohonan pengujian (judicial review) undang-undang

ke Mahkamah Konstitusi karena menganggap ketentuan dalam

Undang-undang tentang Kehutanan tersebut pada dasarnya

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Tahun 1945 karena memungkinkan terjadinya perampasan hak milik

secara sewenang-wenang, meskipun barang atau alat angkut yang

dirampas tersebut bukan milik pelaku kejahatan dan/atau

pelanggaran yang dimaksud, melainkan pihak ketiga yang beritikad

57 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Graffiti Pers, Jakarta, 2006, hlm. 39-47.

baik yang seharusnya dilindungi. Dalam keputusan Perkara

Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-III/2005 tanggal 1 Maret

2006, permohonan pengujian undang-undang tersebut telah ditolak

oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam pertimbangan putusannya, Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa:

Ketentuan Pasal 78 ayat (15) Undang-undang Kehutanan adalah untuk melindungi kepentingan nasional, khususnya keamanan kekayaan negara dan lingkungan hidup dari kejahatan pembalakan liar (illegal logging) yang saat ini sudah sangat merajalela yang secara tidak langsung juga mengganggu dan bahkan membahayakan hak asasi orang lain atau masyarakat umum, merugikan negara, membahayakan ekosistem, dan kelangsungan kehidupan.58

Dari pertimbangan akhir putusan a quo, Mahkamah Konstitusi

beranggapan bahwa:

Tidak setiap perampasan hak milik serta-merta bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, terlebih lagi terhadap hak milik yang lahir karena konstruksi hukum (legal construction), in casu hak milik yang lahir dari perjanjian jaminan fidusia. Namun demikian, terlepas dari keabsahan perampasan hak milik sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law di atas, hak milik dari pihak ketiga yang beritikad baik (ter goeder trow, good faith) tetap harus dilindungi. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 78 ayat (15) Undang-undang Kehutanan beserta Penjelasannya tidak ternyata bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon harus ditolak.59

Dengan ditolaknya pengujian materil atas Pasal 78 ayat (15)

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh

58 Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 021/PUU-

III/2005, tanggal 1 Maret 2006, hlm.76 59 Ibid, hlm.80-81

Mahkamah Konstitusi, maka kekuatan hukum Pasal tersebut tidak

mengalami perubahan.

6) Penegakan Hukum Bidang Kehutanan dalam Sistem Peradilan

Pidana

Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak bisa lagi disebut

sebagai hukum jika tidak pernah dilaksanakan dalam kehidupan sehari-

hari. Hukum bisa berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa

juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam

masyarakat serta alat untuk mengatur masyarakat. Untuk mewujudkan

hukum menjadi kenyataan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari

dilakukan melalui penegakan hukum.

Dalam bahasa Inggris, penegakan hukum disebut dengan law

enforcement, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan

rechtshandhaving.60 Manfaat dari penegakan hukum adalah mewujudkan

hukum dalam keadaan in concreto, sehingga aturan hukum yang telah

dibuat menjadi efektif dan tidak sekedar papieren tijger (macan kertas).61

Hukum yang telah ada tentunya baru akan berguna jika

dilaksanakan. Jika hukum tidak dilaksanakan, berarti hukum tersebut tidak

berguna. Melaksanakan hukum sama artinya dengan menegakkan hukum

Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan

keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Adapun yang disebut

sebagai keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-

pikiran pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan-

peraturan hukum itu. Dalam kenyataannya proses penegakan hukum

mencapai puncaknya pada saat pelaksanan oleh pejabat penegak hukum.62

Penegakan hukum merupakan penerapan cara bekerjanya hukum

dalam masyarakat dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban dan

60 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 48. 61 Moh. Askin, Penegakan Hukum Lingkungan dan Pembicaraan di DPR-RI, Yarsif

Watampone, Jakarta, 2003, hlm.15. 62 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Cetakan I, Genta

Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm.24

keteraturan yang didukung adanya tatanan yaitu kebiasaan hukum dan

kesusilaan sehingga berpengaruh pada segi efektivitas tatanan itu sendiri.

Tatanan-tatanan tersebut sebagai kekuatan sosial, yang tidak hanya

berpengaruh terhadap rakyat sebagai sasaran (adresat) hukum, melainkan

juga terhadap lembaga-lembaga hukum. Hasil akhir dari pekerjaan tatanan

dalam masyarakat pada kenyataannya tidak bisa hanya dimonopoli oleh

hukum. Tingkah laku masyarakat tidak hanya ditentukan oleh hukum,

akan tetapi juga ditentukan oleh kekuatan sosial lain seperti kebiasaan dan

kesusilaan.

Berkaitan dengan kekuatan-kekuatan sosial yang akan

mempengaruhi bekerjanya hukum maka terkandung pula nilai-nilai dan

kaidah hukum yang terjadi dalam masyarakat mempengaruhi kehidupan

masyarakatnya. Dalam hubungan ini dapat pula dikatakan bahwa dalam

penegakan hukum harus ada penyerasian antara nilai-nilai dan kaidah yang

mengatur prilaku manusia secara nyata. Manusia dalam proses penegakan

hukum berperan sebagai pembuat hukum dan menerapkannya yang

merupakan tugas dari aparat penegak hukum.

Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia. Agar

kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan

hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi

pelanggaran hukum. Dalam rangka menegakkan supremasi hukum, hukum

yang telah dilanggar, harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah

membuat hukum menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga

unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum

(rechtssicherheit), kemanfaatan (zwecknassigkeit) dan keadilan

(gerechtigheit). Ketiga usur tersebut oleh Radbruch disebut sebagai nilai-

nilai dasar dari hukum yang diantara ketiganya terdapat suatu

spannungsverhaltnis, suatu ketegangan satu sama lain karena masing-

masing berisi tuntutan yang berlainan dan bertentangan. Jika dalam

penegakan hukum berorientasi pada unsur kepastian hukum, maka sebagai

nilai ia akan menggeser nilai keadilan dan kemanfataan.63

Tuntutan bagi nilai kepastian hukum yang utama adalah adanya

peraturan hukum. Apakah peraturan tersebut adil atau tidak dan

mempunyai kemanfaatan atau tidak adalah di luar nilai kepastian hukum.

Untuk mengatasi ketegangan/ketidakserasian tersebut dilakukan

pembagian secara langsung bidang-bidang operasinya di antara ketiga nilai

tersebut. Untuk keadilan dilakukan pengujian apakah sebuah aturan

tersebut memiliki sifat hukum atau tidak. Untuk kemanfaatan ditentukan

apakah isinya mengandung kebenaran dan untuk kepastian hukum

ditentukan apakah memiliki validitas atau tidak. Radbruch menyimpulkan

bahwa ketiga nilai tersebut secara bersama-sama mengatur hukum di

semua aspek walaupun mungkin saling bertentangan satu sama lain. Hal

tersebut tergantung pada penekanan-penekanan yang diutamakan pada

ketiga nilai hukum tersebut.

Hukum sebagai konsep kultural, yaitu konsep yang berhubungan

dengan nilai-nilai (hukum), sesuai dengan maksudnya, hukum merupakan

sesuatu yang dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita hukum. Cita-cita

hukum itu dapat ditemukan dalam keadilan. Namun karena dalam

kenyataan sulit untuk mencari pedoman yang digunakan untuk

menentukan isi keadilan itu, maka di dalam keadilan itu ditambahkan

elemen kedua yaitu kemanfaatan atau kesesuaian dengan tujuan. Akan

tetapi permasalahan tujuan dan kemanfaatan tidak dapat dijawab secara

tegas, tapi hanya bersifat relatif. Hukum sebagai suatu tatanan kehidupan

bersama tidak dapat didasarkan pada perbedaan-perbedaan pandangan

individu (yang relatif), akan tetapi harus merupakan tatanan yang harus

disepakati bersama. Oleh karena itu perlu adanya elemen ketiga yaitu

kepastian hukum. Kepastian hukum mensyaratkan hukum harus bersifat

positif dan positivisme hukum itu menjadi prasyarat suatu kebenaran. Hal

senada diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa adanya

63 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm.145

pertentangan/ketidakserasian nilai-nilai hukum tersebut karena masing-

masing mempunyai tuntutan yang berbeda-beda sehingga penilaian

masyarakat tentang hukum pun bermacam-macam. Penilaian hukum dalam

masyarakat dapat bergantung dari tuntutan masing-masing nilai hukum

tersebut. Apa yang sudah dinilai sah menurut persyaratan yang harus

dipenuhi oleh suatu peraturan, dapat dinilai tidak sah dari segi

kemanfaatan dan rasa keadilan dari masyarakat. Demikian juga dapat

terjadi sebaliknya.64

Masalah penegakan hukum pada dasarnya merupakan kesenjangan

antara perilaku hukum masyarakat yang seharusnya (das sollen) dengan

perilaku masyarakat yang senyatanya (das sein). Kesenjangan tersebut

menurut Roscoe Pound65 merupakan perbedaan antara law in book dengan

law in action. Perbedaan tersebut mencakup persoalan-persoalan sebagai

berikut:

a) Apakah hukum di dalam bentuk peraturan yang telah diundangkan itu

mengungkapkan pola tingkah laku sosial yang ada pada waktu itu;

b) Apakah yang dikatakan oleh pengadilan sama dengan apa yang telah

dilakukan;

c) Apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki oleh suatu peraturan itu

sama dengan efek peraturan itu dalam kenyataan

Suatu Undang-Undang bisa dikatakan efektif apabila mengandung

sanksi. Sanksi menurut Sudikno Mertokusumo ialah..”Sanksi tidak lain

merupakan reaksi, akibat atau konsekuensi pelanggaran kaidah sosial”.66

Sedangkan sanksi menurut Alf Ross bahwa:

a) Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan oleh pejabat yang berwenang (official approval or authorization the committee gave sanction to the proposal);

64 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, PT. Angkasa, Bandung, 1980, hlm.19 65 Edwin M. Schuur, Law and Order, dikutip dari Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan

Sosial, PT. Angkasa, Bandung, 1988, hlm.71 66 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, PT Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm. 50

b) Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-Undang (a penalty or coercive mesure that result from failure to comply with a law, rule or order a sanction for discovery abuse).67

Jadi sanksi adalah suatu reaksi dari terjadinya perbuatan melawan

hukum yang dijatuhkan oleh negara kepada pelaku yang melawan hukum.

Sanksi tersebut terdiri dari sanksi administratif, sanksi perdata dan sanksi

pidana. Walaupun pada dasarnya sebagian ahli beranggapan bahwa sanksi

pidana merupakan obat terakhir (ultimum remedium) untuk mengatasi

perbuatan melawan hukum namun dalam konteks tertentu sanksi pidana

sangat diperlukan untuk memulihkan keadaan ketidakseimbangan akibat

perbuatan melawan hukum terutama yang berhubungan dengan

kelangsungan hidup manusia. Perusakan lingkungan yang membawa

akibat berkurangnya kualitas kehidupan, rusaknya sumber daya alam yang

tidak dapat lagi diperbaiki, masih selalu terjadi. Hampir di seluruh

kawasan hutan di Indonesia masih terjadi tindak pidana kehutanan baik

illegal logging, okupasi kawasan hutan dan perburuan dan perdagangan

illegal tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi Undang-undang. Sudah

menjadi kenyataan bahwa hal yang paling berpengaruh terhadap

kegagalan penegakan hukum lingkungan saat ini adalah aparat penegak

hukum belum memberdayakan sepenuhnya peranan sanksi pidana didalam

menyelesaikan pencemaran dan perusakan lingkungan. Dengan semakin

bertambah tingginya intensitas kerusakan hutan dan lingkungan hidup saat

ini tidak dapat lagi dipakai adagium bahwa instrument hukum pidana

merupakan ultimum remedium mengingat pentingnya fungsi lingkungan

hidup termasuk fungsi hutan bagi kehidupan umat manusia.68 Apabila

konsep pembangunan berkelanjutan akan diwujudkan, maka penerapan

dan penggunaan hukum pidana dalam penyelesaian kasus lingkungan

harus mendapat porsi yang sesuai, yang benar dan proporsional.

67 Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, op.cit., hlm.25 68 Hartiwiningsih, Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan

1, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2008, hlm.47

Penggunaan sanksi pidana di sini selain dimaksudkan untuk membuat efek

jera kepada pelaku tindak pidana lingkungan dan kehutanan juga sebagai

sarana pencegah bagi masyarakat lain yang berniat melakukan tindak

pidana lingkungan. Seperti yang dikemukakan oleh Helena du Rées dalam

buku yang berjudul Can Criminal Law Protect the Environment?, bahwa

the goal of environmental criminal law is to establish sufficiently severe

sanctions for committing environmental crimes so as to deter potential

offenders.69 (tujuan hukum pidana lingkungan adalah untuk menetapkan

sanksi cukup berat karena melakukan kejahatan lingkungan sehingga

dapat mencegah pelaku lain yang berniat untuk melakukan).

Dalam hal ini, Drupsteen dan Kleijs-Wijnnobel mengemukakan

pendapatnya bahwa hukum pidana mempunyai peran yang sangat dominan

dalam hal mengatasi bentuk kriminalitas lingkungan yang hanya terjadi

untuk sekali saja dan mengakibatkan perubahan yang permanen. Terhadap

bentuk kriminalitas yang semacam ini tidak ada pilihan yang cukup layak

untuk menghadapinya terkecuali melalui penggunaan sanksi-sanksi

pidana. Contoh dari kejahatan lingkungan yang demikian adalah,

pembuangan secara illegal limbah atau bahan-bahan berbahaya ke dalam

air permukaan, pembuangan pupuk, penebangan pohon-pohon, perburuan

hewan-hewan yang dilindungi, merusak tanaman-tanaman yang dilindungi

atau merusak cagar alam. Jika terhadap kejahatan-kejahatan ini tidak

diancam sanksi pidana, maka sia-sialah upaya penegakan hukum

lingkungan.70 Karena itu, dalam penulisan tesis ini, penulis hanya akan

membahas sanksi pidana terhadap perbuatan melawan hukum khususnya

di bidang kehutanan.

69 Helena du Rées, “Can Criminal Law Protect the Environment?”, dalam Avi Brisman,

Crime-Environment Relationships And Environmental Justice, Seattle Journal for Social Justice, Spring/Summer, 2008.

70 TH.G.Drupsteen, et al., “Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Hukum Perdata, Administrasi dan Hukum Pidana”, dikutip dari Hartiwiningsih, ibid, hlm.20

Secara teori pada umumnya terdapat tiga macam cara berlakunya

hukum, yaitu :71

1) Secara Yuridis, dalam hal ini ada berbagai pandangan, yaitu:

a) Hans Kelsen (The Pure Theori of Law) menyatakan bahwa hukum

mempunyai keberlakuan yuridis apabila penentuannya berdasarkan

pada kaidah yang lebih tinggi;

b) Zevenbergen (Formele Encyclopaedie der Rechtswetenschap)

menyatakan bahwa suatu kaidah hukum mempunyai keberlakuan

yuridis apabila kaidah tersebut menurut cara-cara yang telah

ditetapkan;

c) Logemann (Over de Theori van een Steiling Staatsrecht)

menyatakan bahwa suatu kaidah hukum mengikat apabila

menunjukkan hubungan kaharusan antara suatu kondisi dengan

akibatnya.

2) Secara Sosiologis, yang berintikan pada efektivitas hukum. Dalam hal

ini ada dua teori pokok, yakni:

a) Menurut teori kekuasaan, hukum berlaku secara sosiologis apabila

dipaksakan berlakunya oleh penguasa terlepas apakah masyarakat

menerima atau menolak;

b) Menurut teori pengakuan, berlakunya hukum didasarkan pada

penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat kepada siapa hukum

tersebut berlaku.

3) Secara filosofis, artinya hukum itu sesuai dengan cita-cita hukum

sebagai nilai positif yang tertinggi

Penerapan hukum dalam kenyataan bahwa setiap kaidah hukum pada

putusan hukum harus mempunyai unsur yuridis, sosiologis dan filosofis.

Apabila suatu kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis saja maka

kaidah hukum tersebut dikatakan sebagai kaidah mati dan bersifat kaku

karena ketentuannya sudah bersifat paten, tidak bisa berubah. Sedangkan

71 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pembangunan di

Indonesia, UI Press, Jakarta, 1986, hlm.34-35

apabila suatu kaidah hukum itu hanya berlaku secara sosiologis, maka

kaidah hukum itu bersifat memaksa karena setiap tindakan yang dilakukan

seseorang yang tidak sesuai dengan norma/adat yang berlaku dikatakan

sebagai tindakan yang menyimpang. Selain itu apabila kaidah hukum

tersebut hanya berlaku secara filosofis, maka kaidah hukum itu hanya ada

dalam angan-angan sebagai sesuatu yang dicita-citakan dalam dunia idea.

Untuk membuat aturan hukum itu menjadi efektif diperlukan sistem

peradilan pidana yang terpadu (Integrated Criminal Justice System)

dimana komponen-komponennya terdiri dari: Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan. Pelanggar hukum berasal dari

masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat, baik warga yang taat

pada hukum (non residivis), maupun mereka yang kemudian akan

mengulangi kembali perbuatannya (residivis). Dalam hal tindak pidana

yang berhubungan dengan hutan dan kehutanan sistem peradilan pidana

yang terpadu termasuk di dalamnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Untuk

dapat mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana maka semua komponen

tersebut haruslah bekerja secara terpadu. Mungkin saja masing-masing

komponen tersebut secara individual mampu berfungsi dengan baik atau

cukup efisien, namun tanpa keterpaduan di antara semua komponen

tersebut tidak akan dapat dihasilkan tujuan yang telah dicanangkan.

Peranan masing-masing komponen terutama dalam bidang pidana

dalam Sistem Peradilan Pidana yang terpadu akan diuraikan sebagai

berikut:

a) Kepolisian

Dalam tingkat perkembangan hukum modern sekarang ini suatu

mekanisme kontrol sosial yang formal sangat diperlukan. Formalisasi

mekanisme kontrol tersebut terdapat dalam apa yang disebut Sistem

Peradilan Pidana (criminal justice system) dan Polisi merupakan salah

satu penyokong yang penting dan berada paling depan dalam sistem

tersebut. Pekerjaan kontrol yang dilakukan oleh Polisi merupakan

bagian dari struktur hukum dan birokrasi modern yang bekerja

berdasarkan prinsip-prinsip keterikatan pada prosedur dan formalitas

tertentu. Bismar Siregar, menguraikan pengertian Polisi bahwa sebagai

alat negara penegak hukum adalah instansi pertama yang berkewajiban

memelihara dan menghindarkan tidak terjadinya gangguan ketertiban

dan keamanan. Demikian pula bilamana terjadinya gangguan dan

keamanan, segera bertindak melokalisasi agar tidak meluas.72 Untuk

memantapkan penyelenggaran pembinaan keamanaan dan ketertiban

masyarakat, diperlukan landasan hukum yang kokoh dalam tata

susunan. Tugas dan wewenang kepolisian diatur dalam Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa “kepolisian” adalah

“segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi

sesuai dengan perundang-undangan”. Selanjutnya Pasal 2 menyatakan

bahwa “fungsi kepolisian adalah fungsi pemerintahan negara di bidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 6

ayat (1) huruf a disebutkan bahwa “Penyidik adalah pejabat polisi

negara Republik Indonesia”. Sedangkan pengertian dari penyidikan73

adalah:

“Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”74

Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan

“mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang

72 Bismar Siregar, Hukum Negara Pidana, Bina Cipta, Surabaya, 1983, hlm. 57 73 Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing

(Belanda) dan investigation (Inggris), lihat Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.118

74 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 ayat (2)

ditemukan dapat menjadi terang, serta agar menemukan dan

menentukan pelakunya.75

Peran kepolisian dijabarkan selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-

undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia, yang menyebutkan:

1) Kepolisian negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

2) Kepolisian negara Republik Indonesia adalah kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Menurut Susilo76 tugas polisi pada hakikatnya terbagi dua yaitu

(1)bersifat preventif (mencegah) tindak pidana terjadi dan (2)bersifat

represif (memberantas) tindak pidana yang terjadi. Sesuai dengan

fungsinya, khususnya dalam hal penegakan hukum kepada polisi

diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap tindak pidana sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.

(Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 2 tahun 2002). 77

Apabila dihubungkan dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-

undang Nomor 2 tahun 2002, maka ketentuan KUHAP memberikan

peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam

bidang penyelidikan dan penyidikan sehingga secara umum diberi

kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap

semua tindak pidana. Namun demikian hal tersebut tetap

memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh

75 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan

Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 365 76 R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (Penyelesaian Perkara Pidana Bagi Penyidik), Politea,

Bogor, 1979 77 Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia selengkapnya berbunyi: (g). melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum

acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

menjadi dasar hukumnya masing-masing.78

Kewenangan yang diberikan kepada Kepolisian yang berkaitan

dengan penegakan hukum pidana diatur dalam Pasal 16 Undang-undang

Nomor 2 tahun 2002 yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara

Republik Indonesia berwenang untuk:

1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai

tersangka aau saksi; 7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam

hubungannya dengan pemeriksan perkara; 8) Mengadakan penghentian penyidikan 9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; 10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat

imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada Penyidik Pegawai Negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

b) Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Pada dasarnya penyidik dalam tindak pidana umum adalah kepolisian, tetapi dalam beberapa tindak pidana tertentu selain Kepolisian, oleh undang-undang ditentukan secara khusus penyidik dari lingkungan instansinya sendiri yang lazim dikenal dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP) pada

78 Loebby Loqman, Hak Azasi manusia Dalam Hukum Acara Pidana, Datacom, Jakarta,

2002, hlm. 47

Pasal 1 angka (1) yang menyatakan bahwa: “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

Selanjutnya ketentuan tentang siapa saja yang dapat menjabat sebagai penyidik diatur dalam Pasal 6 KUHAP yang menyatakan bahwa:

(1) Penyidik adalah: a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Berasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) KUHAP tersebut bahwa disamping pejabat penyidik dari Kepolisian Republik Indonesia, dapat diketahui juga bahwa Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik. Namun dalam ketentuan Pasal tersebut tidak secara jelas menunjuk Pegawai Negeri Sipil yang bisa diangkat menjadi pejabat Penyidik. Dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP hanya menyebutkan beberapa jabatan Pegawai Negeri Sipil yang oleh Undang-undang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan sesuai dengan bidang tugasnya. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa:

Yang dimaksud dengan "penyidik dalam ayat ini" adalah misalnya pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Dari penggunaan kata “misalnya” dalam penjelasan Pasal 7 ayat

(2) tersebut dapat ditafsirkan bahwa ketiga instansi Pegawai Negri Sipil yang ditunjuk untuk menjadi Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil hanyalah merupakan contoh yang pada saat Undang-undang tersebut disusun telah dikenal sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Dengan demikian maksud penggunaan kata “misalnya” dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) tersebut, dimaksudkan untuk mengantisipasi dinamika perkembangan hukum yang berkembang yang pada saatnya akan membutuhkan kehadiran penyidik dari instansi lain yang dirasa perlu untuk melakukan tugas-tugas penyidikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bunyi penjelasan Pasal (7) ayat 2 tersebut merupakan ius constituendum terhadap keberadaan instansi Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Indonesia.

Syarat-syarat tentang pengangkatan dan kepangkatan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 sesuai dengan bunyi Pasal 6 ayat (2) KUHAP 79.

Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 diatur mengenai: a. Pegawai Negeri Sipil tersebut sekurang-kurangnya berpangkat

Pengatur Muda Tingkat I (II/b) atau yang disamakan.

b. Pegawai Negeri Sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul

dari departemen yang membawahkan pegawai negeri tersebut.

Tembusan usulan disampaikan kepada Jaksa Agung dan Kepala

Kepolisian Republik Indonesia, guna kepentingan pembuatan

rekomendasi.

Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.06-06.UM.01.06 tahun 1983 tentang pelimpahan Wewenang Pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, bahwa wewenang kepangkatan Pejabat Pegawai Negeri Sipil telah dilimpahkan kepada Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman.

Keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, diatur dalam berbagai Undang-undang yang secara khusus mengatur tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Khusus Undang-undang tentang lingkungan hidup dan sumber daya alam, keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam sejumlah Undang-undang yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam hayati dan Ekosistemnya.

2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup

3) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP bahwa kewenangan penyidikan oleh Pejabat Peyidik Pegawai Negeri Sipil hanya terbatas pada tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang yang menjadi dasar pelaksanaan tugasnya. Untuk lebih jelasnya, kewenangan dan kedudukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil kedudukannya berada di bawah:

a) Kordinasi Penyidik Polri, dan

b) Di bawah pengawasan penyidik Polri

79 Pasal 6 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa:

(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

2) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik Polri memberikan petunjuk

kepada Pegawai Negeri Sipil tertentu, dan memberikan bantuan

penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP)

3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu, harus melaporkan kepada

penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang

disidiknya, jika dari penyidikan ini oleh Penyidik Pegawai Negeri

Sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak

pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP).

4) Apabila Penyidik Pegawai Negeri Sipil telah selesai melakukan

penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada

penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut umum

dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil melalui penyidik Polri

(Pasal 107 ayat (3) KUHAP).

5) Apabila Penyidik Pegawai Negeri Sipil menghentikan penyidikan

yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri maka penghentian

penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan

penuntut umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP).80

Dalam Undang-undang tentang KUHAP tersebut baik pada Pasal

7 ayat (2) maupun pada penjelasaanya pengertian dan mekanisme

kordinasi dan pengawasan antara penyidik Polri dan Penyidik Pegawai

Negeri Sipil tidak dijelaskan. Pengertian kordinasi disini adalah suatu

bentuk hubungan kerja antara Penyidik Polri dengan Penyidik Pegawai

Negeri Sipil dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas yang menyangkut

bidang penyidikan atas dasar hubungan fungsional dengan tetap

memperhatikan hirearki masing-masing instansi81. Hubungan kordinasi

Penyidik Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat berwujud:

80 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka

Kartini, Jakarta, 1988, hlm.113-114 81 Anonimous, Dasar Hukum Pelaksanaan Tugas PPNS, Bahan Ajar Diklat Jagawana,

Sekolah Calon Perwira Polri, Sukabumi, 2000.

1) Mengatur dan menuangkannya lebih lanjut dalam

keputusan/instruksi bersama

2) Mengadakan rapat berkala pada waktu-waktu tertentu yang

dipandang perlu

3) Menunjuk petugas yang berfungsi sebagai liaison officer yang secara

fungsional menjabat dan menangani masalah penyidikan PPNS dan

juga berfungsi sebagai penghubung dengan Polri.

4) Menyelenggarakan latihan/orientasi di bidang penyidikan.

Agar kordinasi dapat berlangsung dengan baik, diperlukan syarat-

syarat yang mendukung, diantaranya:

1) Pemahaman tugas masing-masing pihak yang dilandasi oleh hukum

dan peraturan yang berlaku untuk mengaturnya.

2) Masing-masing pihak mengerti dan memahami tentang tujuan yang

hendak dicapai bersama yaitu demi kepentingan yang lebih besar di

atas kepentingan pribadi maupun golongan.

3) Pemilihan metoda yang terbaik dalam berkordinasi agar dapat

bekerjasama

4) Kwalitas dan kemampuan subjek yang berkordinasi.

Sedangkan pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan

seluruh kegiatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam rangka

pelaksanaan tugas penyidikan untuk menjamin agar seluruh kegiatan

penyidikan yang sedang dilakukan dapat dibenarkan secara material

maupun formal dan berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang

berlaku. Wujud kegiatan pengawasan dapat berupa:

1) Pengawasan kegiatan penyidikan yang sedang dilakukan oleh

Penyidik Pegawai Negeri Sipil serta memberikan pengarahan teknis.

2) Pengarahan teknis dalam rangka pembinaan dan peningkatan

kemampuan Penyidik Pegawai Negeri Sipil misalnya dalam rangka

pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh masing-masing

instansi

3) Penelitian berkas perkara hasil penyidikan yang dilakukan oleh

Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan memberikan petunjuk bila

terdapat kekurangan-kekurangan untuk disempurnakan.

Peranan penyidik dalam penanganan suatu tindak pidana baik

berupa tindak pidana pelanggaran maupun tindak pidana kejahatan

sangat menentukan untuk membuat terang suatu tindak pidana dengan

mengumpulkan bukti-bukti yang sangat dibutuhkan dalam proses

peradilan. Terlebih lagi bila tindak pidana tersebut merupakan tindak

pidana khusus yang membutuhkan kemampuan khusus dalam hal

pemahaman permasalahahan, penguasaan tindak pidana dan

penguasaan ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang

pidana khusus tersebut. Perkembangan tindak pidana baik dari kuantitas

maupun kualitasnya membutuhkan kemampuan penyidik yang harus

selalu menguasai bidang dan segala aspek tindak pidana khusus

tersebut. Khusus tindak pidana kehutanan dengan kualitas tindak pidana

yang terus meningkat membutuhkan kemampuan khusus penyidik

dalam tindak pidana ini. Sehingga dengan demikian dapat diharapkan

penanganan tindak pidana kehutanan benar-benar profesional, akurat,

cepat dan tepat. Dalam penanganan tindak pidana kehutanan, sesuai

dengan amanat Undang-undang, selain Penyidik Polri, dikenal Penyidik

lain yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dan Perwira

Tentara Nasional Angkatan Laut.

Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan diatur

dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan, yang menyebutkan bahwa:

(1) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

(2) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

f. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

g. membuat dan menanda-tangani berita acara; h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup

bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

(3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Kemudian dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 39 ayat (3) yang berbunyi:

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau

keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;

c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;

d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;

e. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;

f. membuat dan menandatangani berita acara; g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup

bukti tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Rangkaian tindakan penyidik tersebut baik yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan maupun dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada dasarnya dilakukan dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti sebanyak mungkin sesuai dengan yang dibutuhkan oleh Undang-undang untuk memenuhi syarat pembuktian, sehingga dengan bukti-bukti yang ada, penyidik dapat membuat terang tentang suatu tindak pidana untuk selanjutnya dapat menentukan dimana perkara terjadi, kapan perkara pidana itu terjadi siapa pelaku yang dapat dimintai pertanggungjawaban, bagaimana pelaku melakukan, siapa-siapa yang terlibat dalam perkara tersebut, dan lain-lain.

c) Kejaksaan

Kejaksaan adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan

negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang

berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin

oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada

Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri

merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana

semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat

dipisahkan.

Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 butir 6a

disebutkan bahwa: “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh

undang-undang ini untuk bertindak sebagi penuntut umum serta

melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap”. Selanjutnya pada Pasal 6 butir 6b disebutkan juga bahwa

“Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-

undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan

hakim. Melihat perumusan Undang-undang tersebut, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa pengertian jaksa adalah menyangkut jabatan,

sedangkan Penuntut Umum menyangkut fungsi.

Jadi Jaksa adalah pejabat yang ditunjuk oleh negara untuk

melakukan penuntutan. Penuntutan diatur dalam Pasal 1 butir 7, yaitu :

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan

perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan

supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.

Ketentuan tersebut kemudian dituangkan kembali dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 1 butir 1,2 dan 3.82 Pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang tersebut, ditegaskan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang dominus litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar)83. Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam

82 Pasal 1 butir 1,2 dan 3 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia, selengkapnya berbunyi: Pasal 1: Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

3. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

83 Kejaksaan Republik Indonesia, http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3 diakses pada tanggal 16 Januari 2010 pukul 18.16 WIB

menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Mengacu pada Undang-undang tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

Khusus di bidang pidana, tugas dan kewenangan kejaksaan

sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu :

1) melakukan penuntutan; 2) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap; 3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat,

putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang 5) melengkapai berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Jaksa yang melakukan tugas penuntutan atau penyidangan perkara

berdasarkan surat perintah yang sah disebut Penuntut umum. Apabila

tugas penuntutan telah selesai dilaksanakan maka yang bersangkutan

kembali menjabat sebagai jaksa. Untuk menjadi penuntut umum maka

yang bersangkutan harus berstatus jaksa. Lembaga tempat mengabdi

para jaksa disebut kejaksaan.84

Kebijakan Kejaksaan Republik Indonesia yang menempatkan

tindak pidana kehutanan sebagai perkara penting, merupakan langkah

yang ditempuh oleh kejaksaan untuk mendukung percepatan

penumpasan tindak pidana di bidang kehutanan. Berdasarkan Surat

Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-002/JA/4/1995 tanggal 28

84 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 57

April 1995 tentang Perkara Penting Tindak Pidana Umum Lain, bahwa

tindak pidana kehutanan sebagaimana disebutkan dalam Undang-

undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah perkara

penting yang memerlukan perhatian khusus dari pimpinan dan oleh

karenanya perlu ditangani dan diselesaikan dengan sistem

pengendalian, pelaporan dan pendokumentasian. Pola penanganan dan

penyelesaian perkara kehutanan di lingkungan Kejaksaan Republik

Indonesia didasarkan kepada Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak

Pidana Umum Nomor: B-189/E/5/1995 tanggal 3 Mei 1995. Garis besar

pola penanganan dan penyelesaian perkara kehutanan tersebut dapat

dikemukakan sebagai berikut:85

1) Tahap Pra Penuntutan

a) Penerimaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)

Setelah menerima SPDP segera diterbitkan surat Perintah

Penunjukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengikuti

perkembangan penyidikan perkara (P-16) dengan

mengintensifkan koordinasi dan keterpaduan dengan instansi

terkait. Terhadap perkara-perkara yang menarik perhatian

masyarakat sebelum dilaksanakan penyerahan Berkas Perkara

Tahap Pertama, diupayakan agar penyidik melaksanakan gelar

perkara (pra-ekspose) hasil penyidikan guna didiskusikan

bersama

b) Penerimaan Berkas Perkara Tahap Pertama

Yaitu meliputi tahap-tahap penelitian keterangan saksi-saksi,

penelitian surat/dokumen, menelaah/mengkaji petunjuk-petunjuk,

dan keterangan tersangka. Surat-surat yang perlu terlampir pada

berkas perkara antara lain: surat-surat atau dokumen yang

berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan kayu hutan (Surat

85 Syafri Basir, Jaminan Kepastian Hukum Dalam Penuntutan Perkara Pelanggaran dan Kejahatan Bidang Kehutanan: Antara Teori dan Praktek, Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Reposisi Struktur, Peran dan Fungsi Polisi Kehutanan dalam Era Otonami Daerah, Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I Medan, 12 Maret 2001, hlm.16

Keterangan Sahnya Hasil Hutan, selanjutnya disingkat dengan

SKSHH), surat-surat perijinan Hak Pengusahaan Hutan (HPH)

atau ijin eksploitasi hutan lainnya. Dokumen-dokumen tersebut

sangat penting bagi pembuktian kesalahan terdakwa (kesengajaan

atau kelalaian). Keabsahan surat-surat tersebut perlu diteliti secara

cermat dan seksama dengan memperhatikan ketentuan Pasal 184

dan Pasal 187 KUHAP dan perundang-undangan terkait lainnya.

c) Pemberitahuan Hasil Penyidikan Belum lengkap

Apabila ternyata hasil penyidikan belum lengkap, segera

memberikan petunjuk kepada penyidik dengan menerbitkan P-18

dan P-19

d) Penerbitan Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap

(P-21)

Penerbitan P-21 dilaksanakan setelah hasil penelitian berkas

perkara ternyata sudah lengkap baik secara formal maupun secara

material. Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan oleh Jaksa

Penuntut Umum.

e) Penyerahan Tanggung Jawab atas Tersangka dan Barang Bukti

Penyerahan tersangka dan barang bukti dapat dilakukan dengan

dua cara, yaitu versi penyerahan tanggung jawab atas tersangka

dan barang bukti sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (3) huruf b

KUHAP dan penyerahan tersangka dan barang bukti atas

permintaan Jaksa Penuntut umum (P-22) untuk kepentingan

Pemeriksaan tambahan. Pada tahap ini harus dilakukan penelitian

atas tersangka dan penelitian barang bukti, kemudian didaftarkan

ke dalam Register Perkara tahap Penuntutan (RP-12) dan Register

Barang Bukti (RB-2).

2) Tahap Penuntutan

a) Penyusunan Surat Dakwaan

Surat dakwaan harus dibuat secara jelas, cermat dan lengkap,

sebab surat dakwaan memiliki posisi paling strategis sebagai

rujukan utama bagi hakim dalam menetapkan putusannya.

b) Pembuktian dakwaan

Yaitu meliputi pemeriksaan saksi-saksi dan keterangan terdakwa

serta bukti petunjuk seperti adanya barang bukti yang

mendukung.

c) Pembuktian Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibuktikan melalui analisa fakta-

fakta perbuatan terdakwa beserta segala akibatnya sebagaimana

terungkap di persidangan dengan memperhatikan doktrin-doktrin

yang berkembang serta yurisprudesi yang pernah ada.

d) Pengendalian dan Pedoman Tuntutan Pidana

Perkara kehutanan yang menyangkut perambahan/penebangan

hutan lindung, hutan wisata, taman nasional dan suaka

margasatwa, pengendaliannya dilakukan oleh Jaksa Agung Muda

Tindak Pidana Umum. Perkara kehutanan yang menyangkut

pengangkutan kayu tanpa dokumen (SKSHH), pengendaliannya

dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri. Sedangkan untuk

perkara kehutanan lainnya, pengendaliannya dilakukan oleh

Kepala kejaksaan Tinggi.

e) Penanganan Kayu Temuan

Kayu temuan adalah kayu yang ditemukan di dalam kawasan

hutan dan di luar kawasan hutan, dimana pemiliknya tidak

diketahui baik nama maupun alamatnya. Semua kayu temuan

hasil operasi segera diserahkan kepada instansi

Kehutanan/Cabang Dinas Kehutanan setempat dengan membuat

Berita Acara Penyerahan. Kayu temuan tersebut diberitakan

dalam mass media dan atau diumumkan melalui Kantor

Pengadilan Negeri, Kantor Kecamatan, Kantor Kelurahan yang

dapat diketahui secara luas oleh penduduk di dalam wilayah

hukum Kejaksaan Negeri yang bersangkutan. Pengumuman

sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan oleh instansi

Kehutanan/Cabang Dinas Kehutanan setempat, dan selanjutnya

melakukan lelang berdasarkan ketentuan yang berlaku.

d) Pengadilan

Lembaga Pengadilan merupakan pelaksana atau penerap hukum terhadap suatu perkara dengan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan putusan tersebut dapat berupa pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana atau sebaliknya pelaku tindak pidana tersebut bebas karena tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Lembaga Pengadilan pada hakikatnya merupakan tempat pengujian dan perwujudan negara berdasarkan hukum dan merupakan barometer dari kemampuan seluruh masyarakat dan bangsa dalam melaksanakan norma hukum dan kemampuan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum dan keadilan sehingga siapapun yang melanggar hukum, penegak hukum wajib menerapkan hukum berdasarkan hukum dan keadilan masyarakat. Dari lembaga inilah supremasi hukum akan terwujud karena lembaga ini telah meletakkan hukum dan keadilan di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan kepentingan lainnya. Putusan pengadilan merupakan putusan yang merdeka dan bebas dari segala pengaruh siapapun (ekstra yudisial). Pada Pasal 1 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa, “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Ketentuan di atas dilaksanakan oleh hakim sebagai salah satu penegak hukum dan keadilan. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, merumuskan, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu hakim sebagai aparat penegak hukum dituntut untuk lebih dinamis dan kreatif dalam mengikuti perkembangan hukum masyarakat dalam mencari kebenaran material

Dalam sistem hukum Indonesia, pengaturan tentang lembaga pengadilan dimasukkan ke dalam kategori kekuasaan Kehakiman yang diatur oleh Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal (18) Undang-undang tersebut disebutkan bahwa, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sehubungan dengan ini, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa satu-satunya campur tangan kekuasan eksekutif dalam bidang peradilan hanyalah grasi. Dan ini pada hakekatnya bukanlah campur tangan dalam bidang peradilan, melainkan koreksi terhadap putusan-putusan pengadilan setelah mempunyai kekuatan hukum tetap.86

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman yang bersifat merdeka dilakukan oleh hakim, dengan demikian Hakim dalam kewenangannya terikat pada Pancasila sebagai filter kebebasan, mempunyai sifat bebas/mandiri dalam menjalankan fungsinya.87

Menurut Bismar Siregar, dasar kemandirian dan kebebasan hakim sangat tergantung pada pribadinya dan kemandirian hakim bukan terletak pada jaminan Undang-undang, tetapi kepada, iman.88

Dengan tugas menyelenggarakan peradilan yang diperinci dengan kegiatan menerima, memeriksa dan mengadili perkara, hakim sebenarnya melakukan penegakan hukum, yakni proses untuk meweujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Tugas pokok Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia yang merupakan adresat hukum tersebut dibuat.

Penegakan hukum lingkungan membutuhkan peranan hakim untuk mencapai kemandiriannya dengan peningkatan profesionalisme yang tercermin dalam bobot mutu putusan yang dijatuhkan. Untuk menjaga profesionalisme hakim ada tiga unsur yang harus dipenuhi yaitu:89 1) Kepakaran (expertise);

86 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan Dan Perundang-undangannya di Indonesia

Sejak 1942, Dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1983, hlm.212

87 Selanjutnya ditegaskan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa secara prosesuil kebebasan peradilan mengandung pengertian pembatasan juga, yaitu bahwa hakim dalam mengadili, kebebasannya tidaklah mutlak melainkan dibatasi oleh UUD 1945, Undang-undang, Hukum tidak tertulis dan kepentingan para pihak. Tidak boleh dilupakan, Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, yang kecuali memungkinkan kebebasan bagi hakim dalam menafsirkan Undang-undang, juga membatasi Hakim dalam menjalankan tugasnya agar tidak bertentangan dengan Pancasila. Lihat Sudikno Mertokusumo, loc.cit.

88 Bismar Siregar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 74

89 Direktorat Jenderal Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, Departemen Kehakiman, Panel Diskusi: Kebebasan Hakim Dalam Negara Indonesia Yang Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta, 1995, hlm. 77

2) Kemitraan (corporateness);

3) Tanggung jawab (responsibility)

Kepakaran yang dimaksudkan adalah kemampuan untuk mengetahui, memahami dan menghayati hukum yang berlaku serta keberanian menghakimi berdasarkan hukum itu. Para hakim pun dengan daya kreasinya harus mampu berperan sebagai pencipta hukum. Mungkin bisa terjadi kekosongan di bidang Undang-undang, tetapi dengan kreativitas hakim tidak boleh terjadi kekosongan di bidang hukum. Hal ini sebagai makna dari Pasal 10 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 yang pada intinya Pengadilan dilarang menolak suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Hal ini sesuai dengan azas yang dikenal dalam ilmu hukum yaitu azas curia novit.

Unsur kemitraan berkaitan dengan kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam menjatuhkan putusan. Putusan hakim yang lebih rendah dapat dikoreksi pada tingkat banding dan kasasi dan peninjauan kembali yang bersifat argumentatif dan terbuka. Dalam tugas penghakiman, hakim tidak terikat kepada atasan yang dapat mempengaruhi putusannya.

Tanggung jawab kepada masyarakat berkaitan dengan

keterbukaan dan okjektifitas putusan hakim. Keputusan hakim sejauh

mungkin tidak bertolak belakang dengan rasa keadilan yang

berkembang dalam masyarakat. Hakim dalam memutus perkara harus

berdasarkan hukum yang diyakininya untuk ditegakkan. Peranan

hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana dapat dikategorikan menjadi

dua fungsi:

a) Hakim sebagai corong Undang-undang

b) Hakim sebagai pembuat Undang-undang (judge make law)

Hakim sebagai corong undang-undang adalah hakim yang

bertindak untuk dan atas nama undang-undang sedangkan hakim

sebagai pembuat undang-undang adalah hakim yang membuat

undang-undang jika belum ada undang-undang yang mengaturnya.

Salah satu tugas utama Hakim adalah menegakkan keadilan

(gerech’tigdheid) bukan kepastian hukum (rechtsze’kerheid). Atau

menurut K. Wantjik Saleh, pekerjaan hakim berintikan keadilan90.

Namun yang dimaksud dengan keadilan adalah bukan keadilan

menurut bunyi perkataan undang-undang semata (let’terknechten der

wet), menurut versi penguasa atau pemilik kekuasan (termasuk

kekuasan ekonomi), melainkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Dalam hal ini hakim harus menjalankan peran menjadi

pembuat Undang-undang.

Dalam menangani tindak pidana kehutanan hakim harus

menegakkan keadilan berdasarkan undang-undang. Pertimbangan

hakim berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum

dari hakim yang memeriksa perkara. Namun keputusan hakim harus

mencerminkan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat adresat undang-

undang kehutanan tersebut dibuat. Keadilan yang dimaksud adalah

keadilan korektif, yang memberikan keadilan berdasarkan standar

umum untuk memulihkan keadaan sebagai akibat tindakan kejahatan.

Tindakan kejahatan baik kejahatan di bidang kehutanan dan

lingkungan hidup, harus diganjar berdasarkan keadilan agar tercapai

equilibrium dalam masyarakat yang hidup dalam Negara hukum. Ne

malis expediat esse malos (yang jahat tidak boleh lebih beruntung

daripada yang tidak jahat). Yang jahat harus tetap dihukum dan tidak

boleh merasa lebih beruntung secara ekonomi daripada yang tidak

berbuat jahat.

e) Lembaga Pemasyarakatan

Muara akhir dari sistem peradilan pidana adalah Lembaga Pemasyarakatan. Tugas Lembaga Pemasyarakatan adalah membina terpidana agar sekembalinya ke masyarakat, ia dapat menjadi orang yang baik dan menjadi anggota masyarkat yang berguna. Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta

90 K. Wantjik Saleh dalam Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 51

hidup secara wajar sebagai seorang warga negara. Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai Pasal ayat 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Dalam Sistem Peradilan Pidana khususnya tindak pidana di bidang Kehutanan, Lembaga Pemasyarakatan sifatnya hanya melakukan pembinaan para pelaku tanpa adanya kebijakan khusus bagi pelaku tindak pidana kehutanan.

Dengan adanya Sistem peradilan pidana yang terpadu selanjutnya

akan memudahkan tercapainya tujuan dari sistem peradilan pidana itu

sendiri. Menurut Muladi tujuan sistem peradilan Pidana adalah untuk

resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana, pemberantasan

kejahatan dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.91 Keterpaduan dalam

sistem dapat digambarkan dalam model Jepang sebagai seperangkat roda

gigi yang harus cermat dan ulet menjaga kombinasi yang baik antara

masing-masing roda gigi tersebut.92

Sistem dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan jika semua

komponen saling mendukung dan melengkapi. Sebagai sebuah sistem,

maka antar komponen dalam sistem tersebut diibaratkan seperti tabung

bejana berhubungan, apabila salah satu tabung bejana kotor, maka akan

mempengaruhi atau mengalir ke tabung bejana yang lainnya.

Jika antar komponen tidak ada kerjasama yang baik, maka terdapat

kerugian yang akan dialami oleh sistem tersebut, yaitu:

1) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi;

2) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub sistem);

91 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetakan ke-2, Universitas Diponegoro,

Semarang, 2004, hlm.3 92 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Buku ke-2, op.cit.,

hlm. 145

3) Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.93

Untuk mewujudkan penegakan hukum terhadap tindak pidana

perambahan hutan, digunakan sarana hukum materil, hukum formil

maupun pelaksana pidana. Oleh karena itu dalam penegakan hukum

pidana harus memperhatikan keterpaduan antara masing-masing instansi

penegak hukum. Cara bekerjanya sistem peradilan yang sistematis dapat

dilihat dari gambar di bawah ini:

menjadi residivis

tidak diadukan, tidak terdeteksi

tidak cukup bukti

bukan tindak pidana

93 Minoru Shikita, Integrated Approach to Efective Administration of Criminal and Juvenile

Justice, dikutip dari Mardjono Reksodiputro, ibid, hlm. 142

Masyarakat

Pelanggar Hukum

Kepolisian

Kejaksaan

tidak cukup bukti, bukan tindak pidana

ditutup demi hukum, oportunitas

bebas dari dakwaan

lepas dari tuntutan

selesai dibina/dimasyarakatkan kembali

Bagan 1: Cara Bekerjanya Sistem Peradilan Yang Sistematis

sumber: J.W. Lapatra, Analyzing the Criminal Justice System 94

7) Teori Bekerjanya Hukum

Pada hakekatnya hukum adalah sebagai suatu sistem, maka untuk

dapat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem.95 Pengertian

hukum sebagai sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman,

bahwa setiap sistem hukum mengandung tiga unsur yang mempengaruhi

yaitu structure of the law (struktur hukum), substance of the law (materi

hukum) dan legal culture (budaya hukum) dalam sebuah masyarakat.

Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan :

To begin with, the legal system has the structure of legal system consist of elements of the kind the number and size of court;their jurisdiction…structure. Also means how the legislstive is organized. What procedures he police department follow, and go on. Structure

94 J.W. Lapatra, Analyzing the Criminal Justice System, dikutip dari Mardjono

Reksodiputro, ibid, hlm. 99 95 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Cetakan I, PT. Suryandaru

Utama, Semarang, 2005, hlm.30

Pengadilan

Lembaga Pemasyarakatan

in a way is a kind of cross section of the legal system. A kind of photograph, with free the action.96

Struktur dalam sistem hukum terdiri dari jumlah dan ukuran

pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang mereka periksa), dan

tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga

berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh

dilakukan oleh presiden, prosedur apa yang diikuti oleh kepolisian dan

sebagainya. Jadi struktur hukum (legal structure) terdiri dari lembaga

hukum yang dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada.

Pemahaman tentang substansi hukum adalah sebagai

berikut…”Another aspect of the legal system is its substance. By this

means the actual rules, norms behavioral patterns of the people inside the

system…the stress here is on living law not just rules in law goods.”97

Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud

dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia

yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum (legal substance)

menyangkut peraturan perUndang-Undangan yang berlaku yang memiliki

kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak

hukum.

Sedangkan tentang budaya hukum, Friedman mengemukakan

bahwa…”The third component of legal system of legal culture. By this we

mean people’s attitudes toward law and the legal system their bilief, in

other word, is the eliminate of social though and social force which

determines how law is used avended and afused”.98

Budaya hukum (legal culture) merupakan sikap manusia (termasuk

budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem

hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan

hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang

96 Lawrence M. Friedman, American Law, W.W. Norton and Company, New York, 1984,

hlm.7 97 Ibid. 98 Ibid.

dibuat, tanpa didukung oleh budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat

dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan

dengan efektif.

Ketiga unsur ini sangat berpengaruh dalam penegakan hukum.Jika

salah satu unsur saja tidak berfungsi dengan baik maka dapat dipastikan

penegkan hukum dalam masyarakat akan enjadi lemah. Penegakan hukum

yang dilakukan harus berada dalam suatu sistem yakni sistem peradilan

pidana (criminal justice system) yang terdiri dari empat komponen

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan). Sistem

peradilan pidana yang terpadu akan memudahkan tercapainya tujuan dari

sistem peradilan pidana.

Dari uraian tersebut maka unsur struktur hukum dari suatu sistem

hukum meliputi berbagai lembaga yang ditimbulkan oleh sistem hukum

dengan berbagai fungsinya. Sedangkan substansi hukum mencakup semua

yang merupakan hasil dari struktur hukum termasuk norma hukum, baik

berupa peraturan, keputusan maupun doktrin-doktrin. Selanjutnya

Friedman mengatakan bahwa unsur sistem hukum tidak hanya terdiri dari

stuktur dan substansi, masih diperlukan unsur ketiga yaitu budaya hukum.

Budaya hukum sangat penting untuk mendukung struktur hukum dan

substansi hukum agar penegakan hukum dapat berjalan dengan efektif.

Konsep budaya hukum pertama-tama dikemukakan oleh Friedman

untuk menyebut kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang

mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat, yang berupa elemen-

elemen nilai dan sikap masyarakat berhubungan dengan institusi hukum.

Friedman menelaah budaya hukum dari berbagai perspektif. Ia

menganalisa budaya hukum nasional yang dibedakan dari sub budaya

hukum yang berpengaruh secara positip atau negatip terhadap hukum

nasional. Ia juga membedakan budaya hukum internal dan budaya hukum

eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya hukum dari warga

masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus, seperti

polisi, hakim dan jaksa dalam menjalankan tugasnya, sedangkan budaya

hukum eksternal merupakan budaya hukum masyarakat pada umumnya,

misalnya bagaimana sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap

ketentuan perpajakan, perceraian dan sebagainya. Ia juga membedakan

budaya hukum tradisional dan budaya hukum modern.

Selanjutnya Friedman mengatakan bahwa bekerjanya sistem hukum

tidak hanya digerakkan oleh unsur struktur dan substansi. Apabila kedua

unsur itu berfungsi dalam masukan dan keluaran proses hukum, maka

kekuatan-kekuatan sosial tertentu berpengaruh terhadapnya. Kekuatan-

kekuatan sosial itu merupakan variabel tersendiri yang disebut budaya

hukum. Variabel itu berproses bersamaan dengan kebudayaaan sebagai

suatu variasi, yang kemungkinan variabel tersebut menentang,

melemahkan, atau memperkuat sistem hukum.99

Friedman melihat bahwa hukum itu tidak layak hanya dibicarakan

dari segi stuktur dan substansinya saja, melainkan juga dari segi unsur

tuntutan-tuntutan (demands) yang berasal dari kepentingan-kepentingan

(interest) individu dan kelompok masyarakat ketika berhadapan dengan

institusi hukum. Kepentingan-kepentingan dan tuntutan-tuntutan tersebut

merupakan kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang tercermin dalam

sikap dan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Unsur kekuatan-kekuatan

sosial tersebut disebut oleh Friedman sebagai budaya hukum (legal

culture).100 Tuntutan-tuntutan tersebut datangnya dari masyarakat atau

para pemakai jasa hukum dan menghendaki suatu penyelesaian atau

pemilihan cara-cara penyelesaian dari alternatif-alternatif penyelesaian.

Pemilihan tersebut akan didasarkan pada pengaruh faktor orientasi,

pandangan, perasaan, sikap dan perilaku seseorang dalam masyarakat

terhadap hukum. Faktor-faktor tersebut didasarkan pada besarnya

pengaruh dorongan kepentingan, ide, sikap, kepentingan, harapan dan

pendapat orang tentang hukum.

99 Lawrence M. Friedman dalam M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Dalam Menangani

Perkara Korupsi di Pengadilan, Laporan Hasil Penelitian, Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hlm.53.

100 Satjipto Rahardjo, op.cit., hlm.154

Konsep budaya hukum yang terkait dengan pengadilan pernah

dipergunakan oleh Daniel S. Lev untuk menerapkan konsep budaya hukum

untuk menganalisis pola-pola perubahan sistem hukum Indonesia

semenjak revolusi, dengan tujuan untuk mencari kejelasan mengapa dan

bagaimana fungsi-fungsi hukum di wilayah jajahan dilayani oleh lembaga-

lembaga yang berbeda dengan hukum di negara yang merdeka. Dia juga

menganalisa bahwa lembaga-lembaga pengadilan secara umum terkait

dengan proses politik, ekonomi, dan nilai-nilai budaya.101

Uraian Lev berkisar pada dua konsep, yaitu ‘sistem hukum’ dan

‘budaya hukum’. Konsep sistem hukum yang digunakan ditekankan pada

aspek prosedur, akan tetapi konsep ini tidak mampu menjelaskan

bagaimana sesungguhnya orang-orang menyelesaikan masalahnya dalam

kehidupan sehari-hari. Untuk dapat menjelaskan masalahnya, maka sistem

hukum itu dalam menjalankan fungsinya membagi pekerjaannya dengan

lembaga-lembaga lain di dalam masyarakat. Suatu sistem hukum tersebut

terdiri atas proses-proses formal yang membentuk lembaga-lembaga

formal bersama-sama dengan proses informal yang mengelilinginya.

pengorganisasian, tradisi dan gaya sistem politik yang terdapat pada

bangsa sangat menetukan seberapa jauh proses-proses hukum itu atau

dapat digunakan dalam rangka manajemen sosial serta usaha mencapai

tujuan-tujuan bersama.

Konsep yang kedua adalah konsep budaya hukum. Budaya hukum

diartikan sebagai nilai-nilai yang terkait dengan hukum dan proses hukum.

Budaya hukum mencakup dua komponen pokok yang saling berkaitan,

yakni nilai-nilai hukum substansif dan nilai-nilai hukum ke-acara-an

(prosedural legal values). Nilai-nilai hukum substansif berisikan asumsi-

asumsi fundamental mengenai distribusi dan penggunaan sumber-sumber

daya di dalam masyarakat, apa yang secara sosial dianggap benar atau

salah dan seterusnya. Nilai-nilai hukum ke-acara-an mencakup sarana-

101 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, terjemahan Nirwono dan A.E.Priyono, LP3ES, Jakarta, 1990, hlm.118

sarana pengaturan sosial maupun pengelolaan konflik yang terjadi di

dalam masyarakat. Nilai-nilai ini merupakan landasan budaya sistem

hukum, dan nilai-nilai ini membantu menentukan ruang sistem yang

diberikan kepada lembaga hukum, politik, agama dan lembaga lain di

masyarakat.102

Selain itu, Lon F. Fuller juga berpendapat bahwa untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati apakah ia memenuhi delapan (8) azas atau principles of legality, yaitu:

1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.

2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan. 3) Peraturan tidak boleh berlaku surut. 4) Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. 5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang

bertentangan satu sama lain. 6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang

melebihi apa yang dapat dilakukan 7) Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah 8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan

pelaksanaannya sehari-hari. 103

Dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan, maka sistem hukum itu dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan penunjangnya. Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai itu. Sistem hukum dapat dikatakan efektif bila perilaku-perilaku manusia di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturan-aturan hukum yang berlaku. Dalam hubungan ini persyaratan yang dikemukakan Fuller tersebut kiranya perlu diperhatikan. Selain itu Paul dan Dias mengajukan lima (5) syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan hukum, yaitu :

1. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami;

2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan;

3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum; 4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya

mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat,

102 Daniel S. Lev, ibid, hlm.119-120 103 Lon Fuller, The Morality of Law, dikutip dari Esmi Warassih, op. cit., hlm. 31

melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa, dan;

5. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.104

Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan

telah diformulasikan sanksi pidana bagi tindak pidana kehutanan. Sanksi pidana yang berat tersebut dimaksudkan agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum paragaraf ke-18 UU Nomor 41 Tahun 1999). Efek jera dibutuhkan untuk menghalangi niat jahat manusia untuk melakukan kejahatan kehutanan. Undang-Undang kehutanan dibuat untuk melindungi kepentingan hukum yang lebih besar yang hendak dilindungi oleh pembuat Undang-Undang melalui ketentuan tersebut. Kepentingan hukum tersebut adalah kepentingan seluruh masyarakat dan seluruh umat manusia melalui manfaat yang diperoleh dari kelestarian hutan.

8) Teori Kebijakan Kriminal

Penanggulangan kejahatan dilakukan melalui kebijakan kriminal

(politik kriminal) yang merupakan bagian dari kebijakan/upaya-upaya

untuk perlindungan masyarakat (social defence policy). Marc Ancel

merumuskan politik kriminal itu sebagai “the rational organization of the

control of crime by society”. Politik kriminal adalah pengaturan atau

penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh

masyarakat.105 Sedangkan Hoefnagels merumuskan politik kriminal

dengan banyak perumusan yaitu “the science of responses”, “the science

of crime prevention”, “a policy of designating human behavior as crime”

dan “a rational total of the responses to crime”.106 Hoefnagels selanjutnya

menelaah teori kebijakan kriminal secara sistematis dalam bagan sebagai

berikut:

104 Clarence J. Dias, Research on Legal Services and Proverty, its Relevance to the Design of

Legal Services Program in Developing Countries, dikutip dari Esmi Warassih, ibid, hlm. 105-106 105 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan ke-2, Edisi

Kedua, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 1998, hlm.157 106 Ibid

Bagan 2 : Teori kebijakan kriminal oleh G.P. Hoefnagels 107

107 Saifullah, Hukum Lingkungan, Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi

Keanekaragaman Hayati, Cetakan I, Penerbit UIN Malang Press, Malang, 2007, hlm. 298

Kebijakan Kesejahteraan Masyarakat

(social welfare policy)

Kebijakan Sosial (social policy)

Kebijakan Perlindungan Masyarakat

(social defence policy)

Politik Kriminal (criminal policy)

TUJUAN (GOAL)

Penal

Non Penal

Kebijakan kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan pada

hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat

(social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social

welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan

utama dari kebijakan kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan,

bahwa kebijakan kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari

politik sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan

sosial dan kebijakan untuk perlindungan masyarakat.

Selanjutnya dari bagan tersebut, Barda Nawawi Arief

mengidentifikasikan hal-hal pokok sebagai berikut:

a) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan

(goal), social welfare dan social defence. Aspek social welfare dan

social defence yang sangat penting adalah aspek

kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial,

terutama nilai kepercayan, kebenaran, kejujuran dan keadilan.

b) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan

pendekatan integral, ada kesimbangan sarana penal dan non penal.

Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui

sarana non penal karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan

penal mempunyai keterbatasan/kelemahan yaitu bersifat

fragmentaris/simplistis/tidak struktural fungsional; simptomatik/tidak

kausatif/tidak eliminatif; individualistik atau offender-oriented/tidak

victim oriented, lebih bersifat represif/tidak preventif; harus didukung

oleh infrastruktur dengan biaya tinggi.

c) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal

merupakan penal policy atau penal-law enforcement policy yang

fungsionalisasi/opersaionalisasinya melalui beberapa tahap: formulasi

(kebijakan legislatif), aplikasi (kebijakan yudikatif), eksekusi

(kebijakan eksekutif/administrasi.108

Upaya penanggulangan maupun pencegahan kejahatan harus

dilakukan melalui pendekatan integral dan keseimbangan antara sarana

penal dan non penal. Mengingat adanya keterbatasan sarana kebijakan

penal, maka apabila dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling

strategis untuk menanggulangi kejahatan adalah melalui sarana non penal

karena lebih bersifat preventif.109 Usaha-usaha non penal ini misalnya

penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan

tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa

masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; peningkatan

usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan

pengawasan lainnya secara kontinyu oleh aparat penegak hukum dan

sebagainya.110 Tujuan utama dari usaha-usaha non penal ini adalah

memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung

mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Oleh karena itu

kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan upaya-upaya non penal

tersebut dengan upaya penal sebagai bagian dari penanggulangan

kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut Radzinowich, menyatakan

bahwa, “criminal policy must combine the various preventive activities

and adjust them so as to form a single comprehensive machine and finally

coordinate the whole in to an organized system of activity.” (kebijakan

kriminal harus menggabungkan berbagai upaya pencegahan dan

menyesuaikannya sehingga membentuk sebuah mesin tunggal yang

108 Barda Nawawi Arief, dikutip dari Saifullah, Ibid., hlm. 299 109 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, Edisi Pertama,Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 78

110 Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit. hlm. 159

komprehensif dan akhirnya mengkoordinasikan keseluruhan ke dalam

sebuah sistem kegiatan yang terorganisir). 111

Munculnya alternatif penyelesaian melalui upaya non penal pada

dasarnya disebabkan oleh tidak optimalnya fungsionalisasi hukum pidana

melalui pengadilan. Sebab ternyata hasil putusan pengadilan justru

seringkali mengecewakan pencari keadilan, oleh karena itu wacana untuk

menyelesaikan melalui mekanisme informal yaitu mediasi non penal

terhadap tindak pidana kehutanan, seyogyanya mendapat perhatian dalam

kebijakan formulasi. Wacana penyelesaian melalui mediasi non penal

berupa ADR (Alternative Dispute Resolution) telah mendapat tanggapan

dan pembahasan dalam dokumen internasional dan juga telah

diaplikasikan dalam Undang-undang positif di berbagai negara, seperti

Austria, Belgia, Jerman, Polandia, Perancis dan Malaysia.112 Dalam

dokumen internasional dapat dilihat pada:

a) Dalam dokumen penunjang Kongres PBB IX tahun 1995 yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen A/CONF, 169/6) diungkapkan perlunya semua negara mempertimbangkan “privatizing some law enforcement and justice functions” dan alternative dispute resolution/ADR (berupa mediasi, konsiliasi, restitusi dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana. Khususnya mengenai ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sebagai berikut: “The techniques of mediation, consiliation and arbitration, wich have been developed in the civil law environment, may well be more widely applicable in criminal law. For example, it is possible that some of the serious problem that complex and lenghty cases involving fraud and white collar crime pose for courts could by reduced, if not entirely eliminated, by applying principles developed in consiliation and arbitration hearings in particular if the accused is a corporation or business entity rather than and individual person the fundamental aim of the court hearing must be not 21 to impose punishment but achieve and outcome that is in the interest of society as a wool and to reduce the probability of residivism.” Artinya ADR yang telah dikembangkan dalam lingkungan hukum perdata seyogyanya juga dapat diterapkan secara luas di bidang hukum pidana. Contoh untuk perkara-perkara pidana yang

111 Ibid 112 Hartiwiningsih, op.cit., hlm. 354

mengandung unsur fraud dan white collar crime atau apabila terdakwanya adalah korporasi atau badan usaha. Ditegaskan pula bahwa apabila terdakwanya adalah korporasi atau badan usaha maka tujuan utama dari pemeriksaan pengadilan seharusnya tidaklah menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi kemungkinan terjadinya pengulangan (recidive).

b) Dalam laporan Kongres PBB IX/1995 tentang “The prevention of crime and the treatment of offenders” (dokumen A/CONF/169/16), antara lain dikemukakan: a. Untuk mengatasi problem kelebihan muatan (penumpukan perkara

di Pengadilan), para peserta kongres menekankan pada upaya pelepasan bersyarat, mediasi, restitusi dan kompensasi khususnya untuk pelaku pemula dan pelaku muda (dalam laporan nomor 112)

b. Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) mengemukakan mediasi penal (penal mediation) sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antar pelaku tindak pidana dengan korban (dalam laporan nomor 319)

c) Dalam International Penal Reform Conference yang diselenggarakan di Royal Holloway College, University of London, dikemukakan bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-standar hak azasi manusia (The need to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute resolution mechanisms witch meet human right standarts). Konferensi ini juga mengidentifikasikan sembilan (9) strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, yaitu mengembangkan/membangun: 1) Restorative justice 2) Alternative Dispute Resolution 3) Informal Justice 4) Alternative to custody 5) Alternative ways of dealing with juveniles 6) Dealing with violent crime 7) Reducing prison population 8) The proper management of prison 9) The role of civil society in penal reform

d) Pada 15 September 1999, Komisi Para Menteri Dewan Eropa telah

menerima Recomendation No.R(99) 19 tentang “mediation in penal matters.”

e) Dalam Deklarasi Wina, Kongres PBB ke -10/2000 (Dokumen A/CONF.187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk

memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanisme mediasi dan peradilan restoratif.

f) Pada tanggal 15 Maret 2001, Uni Eropa membuat The EU Council Framework Decision tentang “kedudukan korban di dalam proses pidana” (the standing of victims in criminal proceedings)-EU (2001/220/JBZ) yang didalamnya termasuk juga masalah mediasi.

g) Pada tanggal 24 Juli 2002, Ecosoc (PBB) telah menerima resolusi 2002/12 mengenai “Basic principles on The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters”, yang di dalamnya juga mencakup masalah mediasi.113

Dengan demikian penggunaan upaya penal dan non penal secara integralistik di samping lebih efektif juga telah mengakomodir ketentuan-ketentuan internasional yang diprakarsai oleh PBB. Dari pengertian-pengertian tersebut, penggunaan teori-teori di atas dalam studi ini ditempatkan dalam posisi integral yang saling mendukung bagi terciptanya kerangka paradigmatik yang kokoh dan tepat untuk keperluan pembahasan materi penelitian.

B. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil penelusuran penulis baik pada perpustakaan Program

Pascasarjana UNS maupun jurnal-jurnal penelitian lainnya yang berhasil

dikaji, sampai saat ini belum ada atau belum pernah dilakukan penelitian

mengenai fungsionalisasi hukum pidana dalam tindak pidana perambahan

hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut Propinsi Sumatera

Utara.

C. Kerangka Berpikir

Secara ringkas, kerangka berpikir yang digunakan oleh penulis

berangkat dari kebijakan kriminal pemerintah Indonesia yang telah

menggunakan hukum pidana dan sanksi pidananya untuk menanggulangi

tindak pidana kehutanan yang telah diformalisasi dalam Undang-undang

bidang Kehutanan. Walaupun hukum pidana telah dipanggil untuk

menanggulangi tindak pidana kehutanan khususnya tindak pidana

perambahan hutan, akan tetapi di SM Karang Gading dan langkat Timur Laut

113 Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, dikutip dari Hartiwiningsih, op.cit., hlm. 355-357

Propinsi Sumatera Utara tindak pidana perambahan hutan masih terus terjadi.

Fungsionalisasi hukum pidana melalui sub sistem dalam Sistem Peradilan

Pidana Terpadu tidak dapat mencapai tujuannya untuk menanggulangi tindak

pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut.

Fungsionalisasi hukum pidana terhambat oleh sejumlah faktor yang

bersumber dari faktor substansi, faktor struktur dan faktor budaya hukum

yang mengakibatkan tidak diterapkannya sanksi pidana yang telah ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan.

Untuk memudahkan pemahaman, berikut ini disajikan alur kerangka

berpikir tentang fungsionalisasi hukum pidana untuk menanggulangi tindak

pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut:

Perambahan hutan di SM Karang Gading & Langkat Timur Laut

Fungsionalisasi Hukum Pidana Kehutanan Dalam Sistem Peradilan

Pidana Terpadu

Substansi Hukum Struktur Hukum Budaya Hukum

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya

Penerapan Sanksi Pidana pada Tindak Pidana Perambahan Hutan

Bagan 3: Kerangka Berpikir

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian Metode menurut Setiono adalah alat untuk mencari jawaban dari

pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu yang akan dicari. Di dalam penelitian hukum maka metode yang digunakan tergantung pada konsep apa yang dimaksud mengenai hukum. Setiono114 dengan berlandaskan konsep hukum yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignyosoebroto, mengemukakan ada 5 (lima) konsep hukum, yaitu : a. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan

berlaku universal.

b. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perUndang-

Undangan hukum nasional.

c. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan

tersistematisasi sebagai judge made law.

d. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis

sebagai variable sosial empirik.

e. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial

sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.

Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan konsep hukum yang kelima yaitu bahwa hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Maka, hukum dalam konsep seperti itu bukanlah norma positif yang formal (as it written in the book) sebagaimana didefinisikan oleh para yuris, atau bukan pula yang faktual empiris (as it is observed as patterned legal behavior in society) sebagaimana didefinisikan oleh para sosiolog penganut aliran struktural.

114 Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta, 2005, hlm.20

Fungsional Tidak Fungsional

Hukum dikonsepkan sebagai fakta-fakta simbolis sebagaimana dalam benak para pelakunya (as it embedded in individual actor’s mind).115 Hukum adalah simbol-simbol, atau isyarat-isyarat, yang tampak dalam bentuk rambu-rambu atau dalam bentuk huruf-huruf atau suara-suara yang bermakna sebagai bahasa. Karena hadir sebagai isyarat-isyarat kebahasaan, maka hukum pun hanya akan memperoleh maknanya apabila dilakukan penafsiran. Hanya saja dalam konsep sosio-antropologis kaum interaksionis ini, tafsir ke arah pengertian dan pengartian ini tidak harus merupakan kerja eksklusif para yuris profesional, namun juga tafsir khalayak umum untuk memberikan arti maknawi tersendiri pada hukum yang ada tersebut, walaupun hasil tafsir itu hanya berlaku dalam dan untuk kalangan mereka sendiri. Kesamaan tafsir antar mereka akan menghasilkan kesamaan paham, dan kesamaan paham seperti itu akan memungkinkan terjadinya interaksi yang produktif antar mereka, sekalipun kesamaan paham mengenai apa yang harus diartikan sebagai hukum antar mereka amat berlainan dengan tafsirnya yang otentik dan resmi.

Karena setiap prilaku atau aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi dalam alam pengalaman inderawi dan empiris, maka setiap penelitian yang mendasarkan atau mengkonsepkan hukum sebagai tingkah laku atau perilaku dan aksi ini dapat disebut sebagai penelitian sosial (hukum), penelitian empiris atau penelitian yang non doktrinal.116

Penulisan tesis ini merupakan jenis penelitian hukum non doktrinal

(sosiologis). Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian kualitatif.

Dalam penelitian kualitatif ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :

a. Bahwa apa yang ingin diperoleh dan dikaji oleh sebuah penelitian

kualitatif adalah: pemikiran, makna, cara pandang manusia mengenai

gejala-gejala yang menjadi fokus penelitian;

b. Gejala dapat ditangkap oleh panca indra, sedang gagasan hanya dapat

ditangkap dengan cara memahami gagasan yang bersangkutan;

c. Gejala yang ingin dipahami di dalam penelitian kualitatif selalu dilihat

sebagai hal yang mempunyai komponen-komponen yang lebih kecil,

komponen yang satu dengan lainnya saling berkait satu dengan yang

lainnya secara fungsional (saling mempengaruhi).117

115 Soetandyo Wignjosoebroto, Penelitian Hukum dan Hakikatnya Sebagai Penelitian

Ilmiah, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Edisi Pertama, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 94

116 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm.34

117 Ibid, hlm.57

Apabila dilihat dari bentuknya, penelitian ini merupakan penelitian

yang diagnostik yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan

keterangan mengenai sebab-sebab terjadi suatu gejala atau beberapa gejala

dalam masyarakat. Penelitian ini akan berupaya untuk menjawab dan

menjelaskan sebab-sebab tidak berfungsinya hukum pidana dalam tindak

pidana kehutanan terutama yang berkaitan dengan tindak pidana perambahan

hutan meskipun sanksi pidana merupakan politik kriminal yang telah

dipanggil untuk menanggulangi tindak pidana yang berkaitan dengan

perambahan hutan sebagaimana telah tercantum dalam ketentuan pidana

dalam Undang-undang sektoral di bidang Kehutanan. Penyebab tidak

berfungsinya hukum pidana tersebut diteliti lebih jauh dengan menggunakan

optik pendekatan Teori Bekerjanya Hukum dari Lawrence M. Friedman yang

secara umum melihat penyebabnya ke dalam tiga komponen, yaitu substansi

hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Sebenarnya ketiga komponen ini

telah mencakup apa yang didalilkan oleh Soerjono Soekanto tentang faktor-

faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, karena itu dalam tesis ini

penelitian terhadap tiga komponen yang diungkapkan oleh Lawrence M.

Friedman akan diintegrasikan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi

penegakan hukum yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto.

2. Lokasi Penelitian Penelitian dalam rangka penyusunan tesis ini, dilaksanakan di Pengadilan

Negeri Langkat di Stabat, Kepolisian Resor Langkat, Kepolisian Resor Deli

Serdang, Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Perpustakaan Pascasarjana

UNS Surakarta, dan Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Jenis dan Sumber Data

Sehubungan dengan jenis penelitian seperti di atas, yaitu merupakan

jenis penelitian hukum non-doktrinal, sumber data untuk penelitian ini

diperoleh dari data primer dan data sekunder.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang dapat

memberikan data yang dibutuhkan berupa jawaban lisan maupun tulisan.

Sumber data penelitian ini adalah:

a. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh dari penelitian lapangan

berupa keterangan dan penjelasan yang diberikan para narasumber. Data

primer diperoleh melalui wawancara. Responden sebagai sumber data

primer dalam penelitian ini adalah:

1) Ir. Djati Witjaksono Hadi, M.Si., Kepala Balai Besar KSDA Sumatera

Utara.

2) Polmer Situmorang, SH, Kepala Bidang KSDA Wilayah I, Sumatera

Utara.

3) Edi Wibowo, SH, MH., Hakim Pengadilan Negeri Langkat.

4) Ade Sumitra Hadisurya SH, M.Hum., Hakim Pengadilan Negeri

Langkat.

5) AKP Sugeng Riyadi, Kasat Reskrim Polres Deli Serdang

6) AKP B. Siahaan, Kepala Kepolisian Sektor Secanggang

7) Hendra Ginting, SH, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan pada

Balai Besar KSDA Sumatera Utara.

8) Octo P. Manik, S.Sos., Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan

pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara.

9) Elinsar Sagala, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan pada Balai

Besar KSDA Sumatera Utara dan sekaligus mantan petugas di SM

Karang Gading dan Langkat Timur Laut

10) Musriadi Alfi, Polisi Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera

Utara, pernah bertugas di Resor Konservasi Wilayah SM Karang

Gading dan Langkat Timur Laut

11) Khalid Surbakti, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang

Gading dan Langkat Timur Laut I di Karang Gading.

12) M. Nur, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut II di Tanjung Pura.

13) Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut III di Selotong.

14) M. Safruddin, Polisi Kehutanan pada Resor Konservasi Wilayah SM

Karang Gading dan Langkat Timur Laut II di Tanjung Pura.

15) Djami’an, mantan Kepala desa Pematang Cengal, Kecamatan Tanjung

Pura, Kabupaten Langkat.

16) Asrul, mantan Kepala Desa Selotong, Kecamatan Secanggang,

Kabupaten Langkat.

17) Tengku Rahman, masyarakat perambah hutan di Paluh Kurau,

Kabupaten Deli Serdang.

18) Abdul Jalil, masyarakat Desa Selotong, Kecamatan Secanggang,

Kabupaten Langkat.

19) Sutejo, anggota Pengaman Hutan Swakarsa Desa Karang Gading dan

tokoh masyarakat di Asam Kumbang, Desa Karang Gading.

b. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Aktivitas ini

merupakan tahapan yang amat penting. Bahkan dapat dikatakan, bahwa

studi kepustakaan merupakan separuh dari keseluruhan aktivitas penelitian

itu sendiri.118 Data yang diperoleh dari bahan pustaka, dilihat dari sudut

mengikatnya, terbagi atas:

2) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan

terdiri dari norma atau kaedah dasar, peraturan per Undang-undangan,

bahan hukum yang tidak dikodifikasikan. Dalam Penelitian ini bahan

hukum primer yang digunakan terdiri dari:

a) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana

b) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

c) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

118 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, 2007, hlm.112

d) Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 tanggal

5 Nopember 1980

e) Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor: 26/Pid.B/2006/PN Stb.

f) Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb

g) Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb.

3) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang tidak

mengikat dapat membantu, memberi penjelasan bahan-bahan hukum

primer antara lain :

a) Bahan kepustakaan atau literatur, buku-buku dan artikel yang terkait

materi penelitian

b) Hasil penelitian dan survey tentang materi penelitian.

4) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder yaitu:

a) Kamus Umum Bahasa Indonesia

b) Kamus Hukum Indonesia

c) Majalah dan Surat Kabar

d) Web Site

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

melalui wawancara dengan responden dan penelusuran literatur/dokumen

(studi kepustakaan).

a. Wawancara (Interview)

Pengambilan data melalui studi lapangan dilakukan dengan

menggunakan teknik wawancara, yaitu suatu metode pengumpulan data

dengan cara mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden

dengan berbicara secara langsung. Dalam penelitian ini wawancara tidak

dilakukan secara terstruktur ketat dan dengan pertanyaan tertutup seperti

dalam penelitian kuantitatif, tetapi dilakukan secara tidak terstruktur atau

sering disebut sebagai teknik wawancara mendalam. Dalam hal-hal

tertentu peneliti dapat menanyakan pandangan responden tentang banyak

hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar penelitian bagi penelitian

lebih jauh. Dalam kedudukan ini subjek studi lebih berperan sebagai

informan daripada sekedar responden. Interview informal ini dapat

dilakukan pada waktu dan konteks yang dianggap tepat guna mendapatkan

data yang mendalam, dan dapat dilakukan berulang kali sesuai dengan

keperluan data yang dibutuhkan oleh peneliti. Wawancara seperti ini

disebut dengan indepth interviewing.119 Untuk menentukan responden

digunakan teknik non-probability sampling, yaitu suatu teknik

pengambilan sampel dimana pertimbangan keputusan pengambilannya

berada di tangan peneliti dengan tidak memberikan kesempatan yang sama

pada setiap populasi untuk dipilih sebagai sampel. Jenis non-probability

sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan memilih

responden berdasarkan kualitas dan relevansi responden yang kiranya

dapat memberikan informasi yang relevan dengan masalah penelitian ini,

dalam hal ini dipilih responden yang pernah terlibat dalam upaya

penegakan hukum terhadap kegiatan perambahan hutan SM Karang

Gading dan Langkat Timur Laut di Kabupaten Deli Serdang dan

Kabupaten Langkat.

2. Studi dokumentasi

Studi dokumentasi sebagai pelengkap data, dan dokumen-dokumen

tersebut diharapkan dapat menjadi nara sumber yang dapat menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang tidak memungkinkan ditanyakan melalui

wawancara atau observasi.

119 Miles & Huberman, Qualitative Data Analysis: A Source of New Methods, dikutip dari Heribertus Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teoritis dan Praktis, Pusat Penelitian Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 1988, hlm. 24

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa

kualitatif. Yaitu suatu cara pemilihan data yang menghasilkan data deskriptif.

Data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau

lisan dan juga perilaku nyata yang diamati dan diteliti, dipelajari secara utuh

atau biasa disebut model analisis interaktif (interactive model of analysis).

Penelitian kualitatif dalam penelitian hukum non doktrinal memiliki 3

(tiga) komponen utama. Ketiga komponen tersebut adalah:120

a. Data Reduction (reduksi data)

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilahan, pemusatan perhatian

pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang

muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Hal yang sangat penting

dalam reduksi data adalah analisis yang menajamkan, menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data

dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya

dapat ditarik dan diverifikasi.

b. Data Display (sajian data)

Setelah dilakukan reduksi data maka alur kedua adalah penyajian data.

Dalam penelitian ini, untuk dapat melihat gambaran secara menyeluruh

maka data yang dikumpulkan harus diusahakan dibuat suatu bentuk

matriks atau grafik untuk menghindari penenggelaman data. Menurut

Miles dan Huberman, bahwa penyajian data tidaklah terpisah dari analisis

melainkan bagian dari suatu analisis.

c. Conclusion Drawing (penarikan simpulan atau verifikasi)

Dari awal pengumpulan data, peneliti sudah harus memahami apa arti dari

berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan peraturan-

peraturan, pola-pola, pernyatan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin,

arahan sebab akibat, dan berbagai proposisi. Dalam penarikan kesimpulan

120 Miles & Huberman, Qualitative Data Analysis: A Source of New Methods, dikutip dari

Heribertus Sutopo, Ibid, hlm. 34-37

(verifikasi) ini tidak terlepas dari reduksi dan penyajian data. Penarikan

kesimpulan hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi-

konfigurasi yang utuh. Kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian

berlangsung untuk dapat memberikan makna yang dapat teruji

kebenarannya. Model analisis interaktif dapat disajikan dalam diagram

sebagai berikut:

Bagan 3 : Proses Analisis Data (Interactive Model of Analysis)

Proses analisis dengan 3 (tiga) komponen di atas aktifitasnya berbentuk

interaksi dengan proses pengumpulan data berbagai proses siklus. Dalam

penelitian ini, peneliti tetap bergerak di antara ketiga komponen dengan

komponen pengumpulan data, selama proses pengumpulan data berlangsung.

Sesudah pengumpulan data, kemudian bergerak di antara data reduction, data

display dan conclusion drawing. Metode analisis ini disebut dengan model

analisis interaktif (interactive model of analysis).

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pengumpulan data

Sajian data Reduksi data

Penarikan simpulan/ Verifikasi

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Kawasan

Suaka Margasatwa (SM) Karang Gading dan Langkat Timur Laut (KG/LTL) merupakan hutan milik negara dengan fungsi konservasi yang tutupan lahannya didominasi oleh hutan bakau (mangrove). SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut secara administratif pemerintahan terletak di Kecamatan Hamparan Perak dan Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang serta Kecamatan Secanggang dan Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat. SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan hutan suaka alam yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 dengan luas ±15.765 hektar. Kawasan seluas ±9.520 hektar berada di Kabupaten Langkat dan ±6.245 hektar berada di Kabupaten Deli Serdang. Kawasan Suaka alam ini sebenarnya telah ada sejak jaman sebelum kemerdekaan. Sebelum ditetapkan sebagai suaka margasatwa, hutan di Langkat Timur Laut oleh Kerajaan Negeri Deli ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan Zelfbestuur Besluit (ZB) No. 148 tanggal 6 Agustus 1932 seluas 9.520 hektar, sedangkan hutan di Karang Gading ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan ZB No. 138 tanggal 8 Agustus 1935 seluas 6.245 hektar121. Baru kemudian setelah Indonesia merdeka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 tanggal 5 Nopember 1980, status kawasan hutan ini ditetapkan sebagai Hutan Suaka Alam c/q Suaka Margasatwa seluas 15.765 hektar.

Penataan kawasan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1934 (satu tahun lebih awal dari dikeluarkannya ZB Nomor 138) seluas 15.765 hektar, dengan Berita Acara tata batas tanggal 14 Juni 1934 dan Berita Acara tanggal 3 Juli 1934. Pada tahun 1984 sebagian batas kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut yakni yang berbatasan dengan daratan telah direkonstruksi oleh Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah I Medan sepanjang 50 KM. Dan selanjutnya pada tahun 1998 direkonstruksi kembali oleh Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Pematang Siantar dan temu gelang122 sepanjang 74,78 KM.123

Secara geografis kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut terbentang antara 98º30’- 98º42’ Bujur Timur dan 3º51’30”-3º59’45” Lintang Utara. Di sebelah Utara kawasan yang berbatasan langsung dengan lautan Selat Malaka dengan bentang pantai

121 Dulhadi, “Hutan Mangrove Kabupaten Langkat Masalah dan Upaya Pengelolaannya

(Khusus SM. Karang Gading dan Langkat Timur Laut)”, dalam Seminar Regional Strategi Penanganan Hutan Mangrove di Propinsi Sumatera Utara, Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I Medan, Medan, 5 Agustus 2000, hlm.3

122 Temu gelang adalah bertemu kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti gelang (misal atap stadion Senayan di Jakarta). Lihat kateglo dalam http://www.bahtera.org/kateglo/?mod=dictionary&action=view&phrase=temu%20gelang, diakses pada tanggal 3 April 2010 pukul 23.00 WIB

123 Dulhadi, Loc.cit.

sepanjang 25 KM, terdapat 2 (dua) desa yaitu Desa Jaring Alus dan Desa Kuala Besar. Kedua desa ini berada di luar kawasan hutan Suaka Margasatwa. Aksebilitas menuju kawasan ini dari kota Medan, dapat ditempuh melalui jalan darat dengan route Medan-Stabat-Secanggang berjarak ± 70 Km, serta jalan laut Belawan-Karang Gading sekitar 2 jam perjalanan dengan boat.124

Pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut berada di bawah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana teknis Konservasi Sumber Daya Alam disebutkan bahwa Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera Utara merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. (lihat bagan 4)

124 Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, Informasi Kawasan

Konservasi Propinsi Sumatera Utara, Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Medan, 2009, hlm.8

Sekretariat Direktorat Jenderal PHKA

Direktorat Penyidikan

dan Perlindungan

Hutan

Direktorat

Pengendalian Kebakaran

Hutan

Direktorat Konservasi Kawasan

Direktorat Konservasi

Keanekaragaman Hayati

Direktorat Pemanf.Jasa Lingkungan dan Wisata

Alam

Unit Pelaksana Teknis - Balai KSDA - Balai Taman Nasional

Menteri Kehutanan

Sekretariat Jenderal Inspektorat Jenderal

Direktorat Jenderal

Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan

Sosial

Direktorat

Jenderal Bina Produksi

Kehutanan

Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam

Badan

Planologi Kehutanan

Badan

Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan

Bagan 5 : Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.125

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara

mempunyai tugas penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru, kordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara menyelenggarakan fungsi: 126 a. Penataan Blok, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi

pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margastwa, taman wisata alam,

dan taman buru, serta konservasi tunmbuhan dan satwa liar di dalam

dan di luar kawasan konservasi.

b. Pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata

alam, dan taman buru, serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di

dalam dan di luar kawasan konservasi.

c. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung.

d. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan hutan, hasil hutan dan

tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan konservasi.

e. Pengendalian kebakaran hutan.

f. Promosi, informasi konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya.

g. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

h. Kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya serta pengembangan kemitraan.

i. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi.

j. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam.

k. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

125 Kementriaan Kehutanan Republik Indonesia, dalam

http://www.dephut.go.id/struktur/index.php, diakses pada tanggal 5 Maret 2010 pukul 11.25 126 Lihat Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 02/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari

2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam.

Untuk melaksanakan fungsi tersebut, Balai Besar KSDA Sumatera Utara memiliki sruktur organisasi yang terdiri dari: a. Kepala Balai (Eselon II) : 1 orang

b. Kepala Bagian Tata Usaha (Eselon III) : 1 orang

c. Kepala Bidang Teknis (Eselon III) : 1 orang

d. Kepala Bidang KSDA Wilayah (Eselon III) : 2 orang

e. Kepala Bidang Pengendalian Kebakaran Hutan (Eselon III) : 1 orang

f. Kepala Sub bagian (Eselon IV) : 3 orang

g. Kepala Seksi (Eselon IV) : 8 orang

h. Kelompok Jabatan Fungsional (Polisi Kehutanan dan Pengendali

Ekosistem Hutan)

Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan skema struktur organisasi Balai

Besar KSDA Sumatera Utara sebagai berikut127:

127 Balai Besar KSDA Sumut, Statistik Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam

Sumatera Utara tahun 2009, Medan, 2010

Bagan 6 : Struktur Organisasi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara

KEPALA BALAI

Bagian Tata Usaha

Kelompok Jabatan Fungsional

Bidang Teknis KSDA

SubBag Umum SubBag Perencanaan & Kerjasama

SubBag Data Evlap & Humas

Bidang KSDA Wilayah I

Bidang KSDA Wilayah II

Bidang Pengendalian Kebakaran Hutan

Seksi Perlindungan

Pengawetan & Perpetaan

Seksi Pemanfaatan & Pelayanan

SKW I

SKW II

SKW III

SKW IV

Seksi Dalkar Hutan Wil.I

Seksi Dalkar Hutan Wil.II

1.Res.Polonia 2.Res. Belawan 3.Res.TWA Sicikehcikeh 4.Res.SM Siranggas 5.Res.TWA Lau debuk-debuk 6.Res.TWA Deleng Lancuk 7.Res.Martelu Purba

1.Res.Sibolangit 2.Res. SA S.Ledong, CA Batu Ginurit & Tj.Balai 3.Res.SM KG/LTL I 4.Res.SM KG/LTL II 5.Res.SM KG/LTL III 6.Res.Aras Napal

1.Res.CA Dolok Saut 2.Res. SM Dolok Surungan I 3.Res.SM Dolok Surungan II 4.Res.TWA Sijaba Huta Ginjang 5.Res.Sibolga 6.Res.TB.Pulau Pini

1.Res.TWA Holiday Resor 2.Res. SM Barumun 3.Res.CA Sibual-buali & SA Lubuk Raya 4.Res.CA Dolok Sipirok 5.Res.CA Dolok Tinggi Raja

1.Daops 01 SBL 2.Daops 01 PSR

1.Daops 01 LBT

Jumlah dan luasan kawasan hutan konservasi yang berada di wilayah kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara disajikan dalam tabel 5 berikut ini:

Tabel 5 Kawasan Konservasi di Wilayah Kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara

No Nama Kawasan Luas

(ha) Letak Kabupaten

1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13 14 15 16

17 18 19 20 21 22

CA. Sibolangit CA. Dolok Sibualbuali CA. Dolok Sipirok CA. Dolok Saut CA. Batu Gajah CA. Dolok Tinggi Raja CA. Batu Ginurit CA. Martelu Purba CA. Liang Balik TWA Sibolangit TWA Holiday Resort TWA Sijaba Huta Ginjang TWA. Sicikeh-cikeh TWA. Lau Debuk-debuk TWA. Deleng Lancuk SM. Karang Gading/ Langkat Timur Laut SM. Siranggas SM. Dolok Surungan SM. Barumun SA. Sei Ledong SA. Dolok Lubuk Raya TB. Pulau Pini

93,15 5.000 6.970

39 0,8 167 0,5 195 0,31

24,85 1.963,75

500 435

7 575

15.765 dfdfsdjfsd5.657 23.800 40.330 1.100 2.050 8.350

Deli Serdang Tapanuli Selatan Tapanuli Selatan Tapanuli Utara Simalungun Simalungun Labuhan Batu Simalungun Labuhan Batu Deli Serdang Labuhan Batu Toba Samosir Dairi Tanah Karo Tanah Karo Deli Serdang dan Langkat Pakpak Bharat Toba Samosir Tapanuli Selatan Labuhan Batu Tapanuli Selatan Nias Selatan

Sumber : Statistik Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera

Utara tahun 2009

SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satu-satunya kawasan konservasi berupa hutan bakau di Sumatra Utara, yang secara administratif wilayah berada di Kabupaten Langkat dan Kabupaten

Deli Serdang. Untuk mengelola kawasan ini, Balai Besar KSDA Sumatera Utara membentuk pemangkuan hutan setingkat resor yang terdiri dari 3 (tiga) Resor Konservasi Wilayah yang berada di bawah kantor Seksi Konservasi Wilayah II Stabat, yaitu: a. Resor Konservasi Wilayah Karang Gading & Langkat Timur Laut I

yang berkedudukan di Desa Karang Gading, Kabupaten Deli Serdang.

Dengan wilayah kerja meliputi kawasan SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut I yang terletak di Kabupaten Deli Serdang seluas

±6.245 ha yang secara administratif berada di dua wilayah kecamatan,

yaitu Kecamatan Labuhan Deli dan Kecamatan Hamparan Perak,

Kabupaten Deli Serdang. Pada saat ini petugas yang mengelola

kawasan ini sejumlah 2 (dua) orang yang berstatus sebagai Pegawai

Negeri Sipil Kementrian Kehutanan dengan Jabatan Polisi Kehutanan.

Pada tahun 2006 dibentuk Pengaman Hutan Swakarsa yang berjumlah

10 orang berasal dari masyarakat setempat untuk membantu tugas-tugas

pengelolaan kawasan hutan termasuk fungsi perlindungan dan

pengamanan kawasan. Untuk membantu kelancaran tugas tenaga

Pengaman hutan swakarsa diberikan fasilitas berupa keperluan

operasional lapangan dan upah bulanan yang disesuaikan dengan

anggaran yang tersedia. Hasil wawancara dengan Khalid Surbakti,

Kepala Resor Konservasi Wilayah SM KG/LTL 1 diperoleh informasi

bahwa:

“Sekarang ini masyarakat yang diangkat menjadi Pamswakarsa (Pengaman Hutan Swakarsa-penulis) sangat membantu tugas-tugas resor. Pamswakarsa itu semangatnya tinggi kalau diajak patroli biarpun tidak ada dananya. Bahkan kasus yang terakhir kami sangat dibantu Pamswakarsa. Waktu itu kami bersama Pamswakarsa yang melakukan pengintaian penebangan bakau, baru bersama-sama dengan petugas dari Polsek Hamparan Perak melakukan penangkapan. Waktu itu berhasil ditangkap pelakunya yaitu Andika dan Hariadi yang sudah divonis di pengadilan. Pelaku ini sebenarnya sudah pernah tertangkap sebelumnya, namun hanya dilakukan upaya persuasif dari Kepala Seksi dan perahu yang digunakan dipinjampakaikan kepada pemilik. Akhirnya pada penangkapan yang kedua kali, pelaku tertangkap dengan menggunakan perahu yang sama. Pada saat proses penyidikan kami

mendapat tekanan dari beberapa oknum Marinir yang berupaya untuk mengurus pelaku agar dibebaskan. Kami telah melaporkan tekanan tesebut kepada Kepala Seksi, namun tidak ada penyelesaian. Akhirnya kami melapor kepada Bapak Kepala Balai yang berkordinasi langsung dengan atasan oknum Marinir tersebut sehingga tidak berani lagi melakukan tekanan. Setelah ada perubahan menjadi Balai Besar, setiap ada permasalahan di wilayah resor wajib kami laporkan kepada Kepala Seksi, tetapi sering kali tidak ada respon, sehingga secara pribadi kami kadang-kadang langsung melapor kepada Kepala Balai. Selama ini kalau ada kasus di resor kami sering dipanggil ke kantor polisi untuk diperiksa sebagai saksi, kadang-kadang juga dipanggil ke Pengadilan sebagai saksi. Kami harus datang ke kantor polisi dan ke Pengadilan dengan biaya sendiri. Dari kantor juga tidak ada yang mengarahkan kami untuk memberikan keterangan. Maunya ada orang-orang tertentu dari Balai yang khusus memberikan pengarahan kepada petugas lapangan kalau terjadi permasalahan. Sekarang ini Kepala Desa Secanggang sangat mendukung tugas-tugas kita di lapangan, sehingga kalau ada surat-surat jual beli tanah selalu dicantumkan “sepanjang tidak kawasan hutan negara.”128

Pada saat ini terdapat satu buah bangunan pondok kerja yang

digunakan sebagai kantor pengelola Resor Konservasi Wilayah. Pondok

kerja tersebut berada di Desa Karang Gading yang berdekatan dengan

lokasi kawasan hutan yang digunakan sebagai tempat bekerja pengelola

kawasan dan sekaligus tempat tinggal bagi pengelola.

b. Resor Konservasi Wilayah Langkat Timur Laut II

Resor Konservasi Wilayah ini memiliki wilayah kerja seluas

±5000 Ha yang secara administratif berada di Kecamatan Tanjung

Pura, Kabupaten Langkat. Resor Konservasi Wilayah KG & LTL II

yang berkedudukan di Pematang Sentang, Desa Pantai Cermin

Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, pada saat ini dikelola

oleh 2 orang petugas Balai Besar KSDA Sumut yang berstatus Pegawai

Negeri Sipil Kementrian Kehutanan. Untuk membantu tugas-tugas

128 Wawancara dengan Khalid Surbakti, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM KG dan LTL

1, di sekitar kantor Balai Besar KSDA Sumatera Utara Medan, tanggal 8 Desember 2009 pukul 11.20 WIB.

pengelolaan, pada saat ini dibentuk Pengaman hutan Swakarsa

berjumlah 13 orang yang berasal dari masyarakat desa sekitar kawasan

hutan. Untuk sarana transportasi patroli pengamanan kawasan, terdapat

satu buah perahu klotok, namun kendaraan patroli roda 2 dan senjata

api belum tersedia. Dari wawancara dengan M. Nur, Kepala Resor

Konservasi Wilayah SM KG/LTL II menyatakan bahwa:

“Perambahan hutan terjadi sejak tahun 1990-an. Sekarang sudah jadi kebun dikuasai oleh PT dan perusahaan-perusahaan. Perambahan ini banyak terjadi pada masa Pak Husni jadi Kepala Seksi. Sekarang ini, kalau ada kejadian perambahan kami selalu melapor ke Seksi, tapi kadang ditanggapi kadang tidak ditanggapi. Perambah-perambah sekarang, kalau kita datangi mereka akan berhenti tapi kalau kita sudah pergi mereka akan merambah lagi. Alasannya penghasilan dari laut sudah kurang jadi mereka menanam padi untuk menambah penghasilan dari laut. Sebenarnya mereka tahu kawasan hutan dan takut untuk merambah. Tapi kalau perusahaan-perusaahan besar tidak takut dengan petugas apalagi setelah mereka menang dalam kasus yang terakhir. Di kantor resor kereta (sepeda motor-penulis) untuk petugas resor sudah tidak ada. Kereta yang lama setelah adanya pergantian kepala resor bulan Juli 2007, masih dipakai oleh Kepala Resor yang lama, yaitu Samin Ginting, yang sekarang bertugas di Seksi Konservasi Wilayah I Stabat. Jadi kami tidak bisa melaksanakan patroli ke seluruh kawasan resor. Sekarang ini kami sulit kalau ada keperluan ke Polsek Tanjung Pura, karena tidak ada kereta. Petugas di sini juga cuma 2 orang tidak mungkin bisa mengawasi seluruh kawasan. Tahun 2009 telah ada Pamswakarsa sebanyak 13 orang dari masyarakat sekitar kawasan. Mereka ini mendukung tugas-tugas kami karna mereka telah merasakan langsung akibat kerusakan hutan. Banjir sudah sampai kampung. Sekarang petugas kita banyak yang ditempatkan di kantor seksi, seharusnya petugas lebih banyak di Resor, terutama yang mengerti hukum. Kalau bisa petugas di resor itu sebaiknya ada yang berpendidikan sarjana. Selama ini kalau kami diperiksa di kantor Polisi sebagai saksi atau jadi saksi di Pengadilan kami berangkat sendiri dan tidak mendapat arahan dari kantor Balai. Makanya kami sering menjawab tidak tahu saja, daripada salah menjawab. Sebaikya ada petugas dari balai yang ditugaskan untuk memberikan arahan kepada kami sebelum diperiksa biar pendapatnya sama. Pada kasus perambahan yang terakhir yang sudah dibebaskan di Pengadilan Langkat, sekarang ini pemiliknya sudah bekerja lagi di lahan itu. Kami tidak berani melarang karna mereka sudah memegang putusan dari Pengadilan. Apalagi waktu sidang lapangan tahun 2005, lahan itu sudah

berada di luar hutan SM berdasarkan SK 44 tahun 2005. Menurut Kepala Pengadilan saat itu Pak Zul, mengatakan bahwa kalau ada peraturan baru maka peraturan lama dikesampingkan.”129

Pondok kerja terdapat di Desa Tapak Kuda yang berbatasan

dengan kawasan hutan. Untuk sarana komunikasi tersedia radio

komunikasi yang memudahkan untuk koordinasi ke kantor Balai Besar

KSDA Sumatera Utara di Medan. Setelah adanya reorganisasi

pengelolaan Balai KSDA menjadi Balai Besar KSDA130 pada tahun

2007, pada saat ini, organisasi pengelola kawasan setingkat resor tidak

memiliki stempel legalitas pengelola kawasan dan identitas surat. Dari

wawancara yang dilakukan dengan Kepala Resor, diperoleh informasi

sebagai berikut:

“Setelah Balai berubah menjadi Balai Besar, kami tidak punya stempel lagi. Stempel sudah ditarik semua. Sekarang kalau ada kejadian di dalam kawasan kami harus melapor ke Seksi di Stabat. Kordinasi dengan Muspika tidak pernah dilakukan karna tidak ada stempel. Surat menyurat tidak pernah lagi dilakukan, dulu masih sering. Kalau dulu sewaktu masih Balai biasa, kami bisa langsung membuat laporan ke Polsek dan langsung turun ke lokasi, sekarang tidak bisa lagi, harus membuat laporan terlebih dahulu ke Kantor Seksi di Stabat, baru kemudian Seksi yang akan memberi petunjuk tindakan selanjutnya yang harus dilakukan. Sebenarnya bagi kami sendiri, prosedur yang seperti itu justru meringankan pekerjaan kami di resor, tanggung jawab berada

129 Wawancara dengan M. Nur, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut II di rumahnya di Pematang Sentang, tanggal 11 Desember 2009, pukul 14.25 WIB.

130 Bahwa dalam rangka optimalisasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada tahun 2007 dilakukan pengembangan dan penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P02/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan tersebut disebutkan bahwa Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam diklasifikasikan sebagai berikut : a. Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam Kelas I, yang disebut dengan Balai

Besar Konservasi Sumber Daya Alam; b. Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam Kelas II, yang disebut dengan Balai

Konservasi Sumber Daya Alam.

di Kepala Seksi, kami tidak harus repot-repot lagi melapor ke kantor Polsek.”131

c. Resor Konservasi Wilayah Langkat Timur Laut III

Resor Konservasi Wilayah Langkat Timur Laut III berkedudukan di Desa Selotong, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat dengan jumlah kawasan yang dikelola ±5000 Ha. Untuk pengamanan kawasan pada saat ini terdapat 2 orang petugas dengan Jabatan polisi Kehutanan yang merupakan Pegawai Negeri Sipil Kementrian Kehutanan. Pada saat ini telah direkrut Pengaman Hutan Swakarsa dari masyarakat desa sekitar hutan sejumlah tigabelas (13) orang. Wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM KG/LTL 3 diperoleh informasi bahwa: “Petugas Polhut di Resor ini ada dua (2) orang, satu orang kepala resor dan satu orang anggota. Wilayah kami ±5000 hektar, dengan 2 orang petugas tentu sangat kurang. Dari jumlah petugasnya kurang, dari sarananya juga kurang. Saat ini sarana yang ada berupa speed boat, tapi kendaraan roda dua tidak ada. Kendaraan roda dua semua ada di Seksi. Senjata api ada satu pucuk jenis PM 1 A1. Kami dibantu oleh tiga belas (13) anggota pamswakarsa (Pengaman Hutan Swakarsa-penulis) yang anggotanya berasal dari masyarakat desa-desa sekitar hutan. Dari setiap desa ada yang mewakili, misalnya dari Jaring Alus, Secanggang, Kuala Besar dan Karang Gading Langkat. Honor mereka dibayarkan dari balai tergantung anggaran. Kadang dibayarkan tiap bulan kadang dibayarkan per tiga bulan. Sekarang ini justru pamswakarsa yang tinggi semangatnya kalau kita ajak patroli. ”132

Pondok kerja pada saat ini terdapat di Desa Selotong yang

digunakan untuk tempat bekerja pengelola kawasan dan sekaligus sebagai tempat tinggal bagi pengelola kawasan. Sedangkan untuk mendukung tugas-tugas perlindungan dan pengamanan kawasan terdapat satu pucuk senjata api Polisi Kehutanan jenis pistol mitraliur tipe PM 1 A1 buatan Pindad. Untuk membantu tugas-tugas pengelolaan kawasan, dibentuk Pengamanan hutan swakarsa yang diangkat dari masyarakat desa sekitar kawasan hutan.

Dari identifikasi yang dilakukan oleh Balai Besar KSDA Sumatera

Utara terhadap kawasan ini pada tahun 2006, bahwa kawasan SM Karang

131 Wawancara dengan M.Nur, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan

Langkat Timur laut II di rumahnya di Pematang Sentang, tanggal 11 Desember 2009 pukul 14.25 WIB.

132 Wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut III di rumahnya di Selotong, tanggal 11 Desember 2009 pukul 09.27 WIB.

Gading dan Langkat Timur Laut telah mengalami kerusakan yang

diakibatkan oleh perbuatan manusia berupa penebangan liar dan

perambahan kawasan hutan. Dari observasi langsung yang dilakukan

melalui jalur sungai dan darat diperoleh hasil identifikasi kerusakan

kawasan untuk tiap-tiap wilayah kerja Resor sebagai berikut133:

1. Resor Konservasi Wilayah Karang Gading dan Langkat Timur Laut I

Gangguan yang terjadi antara lain adalah kegiatan perambahan

kawasan untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit, kegiatan

pertambakan (tambak intensif dan tambak nonintensif/alam), kegiatan

pendudukan kawasan untuk pemukiman oleh masyarakat, dan kegiatan

illegal logging.

2. Resor Konservasi Wilayah Karang Gading dan Langkat Timur Laut II

Gangguan terbesar adalah kegiatan perambahan kawasan hutan

konservasi untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit

3. Resor Konservasi Wilayah Karang Gading dan Langkat Timur Laut III

Gangguan yang terbesar adalah kegiatan perambahan kawasan

hutan konservasi untuk pertambakan, terutama tambak udang. Hasil

wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM

KG&LTL 3 diperoleh informasi sebagai berikut:

“Sejak tahun 1988 pembukaan tambak, batas-batas kawasan sudah hilang hingga menyatu dengan lahan masyarakat. Dulu sebenarnya pal batas kawasan ada. Hilangnya karena pembukaan lahan, dibuang orang dengan sengaja. Dari petugas resor ada tegoran bagi pelaku untuk menghentikan kegiatan dan selanjutnya dilaporkan kepada seksi. Tapi dari seksi tidak begitu direspon kurang tahu apa kendalanya. Jadi kita tunggu respon dari balai saja. Sampai sekarang dari resor belum pernah membuat LK terhadap perambahan hutan tapi kalau illegal loggingnya langsung ada kordinasi dengan Polsek setempat sampai ada penangkapan. Waktu kami laporkan ada penangkapan ke kantor seksi,

133 Djati Witjaksono Hadi, Membangun SDM Aparatur Yang Profesional Pada Balai Besar

Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Dalam Penanggulangan Ancaman Terhadap Kerusakan Ekosistem Mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading/Langkat Timur Laut, Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP2), Lembaga Administrasi Negara, Program Diklatpim Tingkat II Angkatan XXV, Jakarta, 2009, hlm.2

tidak direspon akhirnya kami laporkan ke Polsek. Sekarang tersangkanya sudah ditahan yaitu Songkrek dan Zulham. Sekarang ini pihak atasan yang tidak respon padahal masyarakat sebenarnya takut. Dari seksi hanya mengarahkan buat surat pernyataan saja agar tidak melakukan lagi, padahal kalau surat pernyataan dari dulu sudah kita buat. Akhirnya pelaku tidak takut, peringatan dari resor dianggap hanya gertak sambal saja. Selama ini kalau ada panggilan pemeriksaan sebagai saksi di Polsek, kami harus datang dengan biaya sendiri. Terkadang juga dipanggil sebagai saksi di Pengadilan, tapi selama ini tidak ada arahan khusus dari kantor Balai kalau kami akan diperiksa. Kalau kami yang di lapangan berharap ada pengarahan dari Balai sebelum kami bersaksi, sehingga keterangan yang kami sampaikan sudah lengkap. Apalagi yang menyangkut permasalahan hukum, sebaiknya ada staf khusus dari Balai yang menangani permasalahan ini.”134

Sebelum masuknya pemilik modal, gangguan terhadap kawasan

cenderung kecil dan pada umumnya hanya berupa pengambilan kayu

bakau untuk arang dalam skala kecil. Masyarakat sekitar kawasan hutan

sejak lama telah mengetahui bahwa hutan tersebut adalah hutan milik

negara dan ada larangan untuk memasuki hutan tersebut. Pada era tahun

1990-an setelah adanya pemilik modal yang membeli tanah dari

masyarakat, gangguan terhadap kawasan ini semakin besar. Masyarakat

lebih tertarik pada iming-iming uang dari pemilik modal yang bersedia

membeli lahan yang telah mereka garap. Pola penguasaan lahan seperti ini

didukung oleh aparat desa yang juga menangguk keuntungan ekonomi dari

penjualan kawasan hutan tersebut. Dari wawancara dengan salah seorang

tokoh masyarakat di Desa Asam Kumbang, Karang Gading, diperoleh

informasi sebagi berikut:

“Dulu hutan ini masih sangat lebat dan banyak ditumbuhi oleh kayu bakau yang besar-besar. Masyarakat di sini masih takut untuk menggarap hutan. Masyarakat tahu hutan ini adalah hutan yang dilindungi, di samping itu juga masyarakat masih memiliki kepercayaan ada tempat-tempat tertentu di dalam hutan yang pantang untuk dimasuki karena masih dijaga oleh mahluk halus. Kami percaya kalau hutan itu diganggu penjaganya

134 Wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang

Gading dan Langkat Timur Laut III di rumahnya di Selotong, tanggal 11 Desember 2009 pukul 09.27 WIB

akan marah dan akibat buruk bisa terjadi pada masayarakat. Kalau daerah-daerah pantai seperti di Kuala Besar dan Jaring Alus, dulu masih ada upacara-upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat untuk menolak bencana. Tapi setelah orang-orang yang punya uang datang ke sini dan membeli lahan melalui Penghulu, masyarakat lebih tertarik pada tawaran uang dan sudah tidak takut lagi kepercayaan-kepercayaan lama. Apalagi setelah krisis tahun 1997, semakin banyak kawasan hutan yang digarap oleh masyarakat, dan pengusaha yang datang juga semakin banyak yang mau membeli kawasan hutan melalui Penghulu.”135

Gangguan yang terjadi pada kawasan hutan tersebut telah

mengakibatkan tingginya tingkat kerusakan yang terjadi yang dapat

ditunjukkan dari beberapa indikator kerusakan ekosistem di wilayah ini,

yaitu136:

a. Terjadinya degradasi keragaman spesies yang ditemukan di wilayah ini,

dimana pada tahun 1951 dilaporkan adanya 34 spesies vegetasi

mangrove di kawasan ini, namun pada tahun1991 menjadi 21 spesies

dan bahkan pada tahun 2001 tinggal 18 spesies yang ditemukan.

b. Adanya kerapatan individu pada tingkat semai yang lebih rendah dari

tingkat pancang. Kondisi kerapatan pohon seperti itu menggambarkan

ketidakmampuan dari ekosistem tersebut untuk melakukan regenerasi

secara alami.

c. Tidak ditemukannya pohon pada kelas tiang dan pohon untuk beberapa

jenis pohon komersial seperti Rhizopora mucronata, Rhizopora

apiculata, Bruguierra gymorhyza, dan Bruguierra sexangula akibat

penebangan secara terus menerus. Hal ini menyebabkan tidak

tersedianya pohon induk untuk permudaan alami secara generatif.

Teknik penebangan yang salah dengan menebang sampai ke akar-

135 Wawancara dengan Sutejo, tokoh masyarakat Desa Karang Gading, di Asam Kumbang,

Karang Gading, tanggal 15 Desember 2009, pukul 14.00 WIB. 136 A. Purwoko dan Onrizal, “Identifikasi Potensi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove di SM

KGLTL”, dalam Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Dosen Muda dan Kajian Wanita, Ditjend DIKTI, Jakarta, 2002.

akarnya juga menyebabkan permudaan alami secara vegetatif tidak

terjadi.

Kerusakan ekosistem pesisir juga bisa dilihat dari kemerosotan

sumberdaya alam yang signifikan di kawasan pesisir, baik pada ekosistem

hutan pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat

langsung pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir.

Kasus-kasus adanya keluhan penurunan hasil tangkapan oleh nelayan di

beberapa tempat seperti di Pantai Cermin, Pantai Labu, Secanggang dan

Sei Berombang merupakan indikator telah terjadinya kerusakan hutan

bakau yang cukup parah.137 Berkurangnya potensi sumber daya alam yang

secara langsung dialami oleh masyarakat sekitar hutan sebagai akibat

perambahan hutan di kawasan hutan mangrove SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut terlihat juga dari hasil wawancara dengan Musriadi

Alfi, Polisi Kehutanan Balai Besar KSDA Sumatera Utara yang pernah

bertugas pada tahun 1998-2000 di Resor Konservasi Wilayah SM KG &

LTL, diperoleh informasi sebagai berikut:

“Saya bertugas di sana sebagai Polisi Kehutanan dari tahun 1998 sampai dengan 2000. Saat itu Kepala Resornya Jandri. Pada saat itu tambak-tambak udang telah ada. Dari Kepala Resor sudah ada peringatan dan himbauan agar tidak melakukan kegiatan perambahan. Masyarakat sebenarnya telah mengetahui bahwa kawasan tersebut adalah kawasan hutan konservasi, karna pal batas telah ada yang terbuat dari patok semen dan plat seng. Pada tahun 1998 ada pengukuran batas kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Pada waktu ada pengukuran, kami dilibatkan dalam pengukuran. Waktu itu ada dua tim pengukuran, 1 tim bergerak dari Karang Gading sampai menuju pantai dan satu tim lain bergerak dari Secanggang menuju ke Tapak Kuda. Saya sendiri ikut tim pertama dari Karang Gading menuju ke pantai sampai ke Kuala Besar. Pernah ada masyarakat yang datang ke kantor dan mengeluh kepada petugas bahwa sekarang ini pendapatan mereka sebagai nelayan sudah

137 Ramli dan A. Purwoko, “Peran Dan Fungsi Hutan Bakau dalam Pengelolaan Kawasan

Pesisir Terpadu”, dalam Lokakarya Antar Sektor dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Kabupaten Langkat, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat, Stabat, 2003.

semakin kecil. Hasil tangkapan berupa udang dan ikan sudah semakin sulit ditemukan.138

Menurut Murdoko, Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove

Wilayah II Sumatra Kalimantan, dari pembuatan satu hektar tambak dari

hutan bakau dihasilkan panen 278 kilogram per tahun. Namun hilangnya

satu hektar mangrove mengakibatkan hilangnya potensi 480 kilogram ikan

dan udang per tahun. Lebih lanjut disebutkan bahwa dari satu hektar

mangrove dapat menghasilkan hampir empat ton humus organik tiap

tahun. Juga dari 1 hektar mangrove mampu menyerap sedikitnya delapan

ton karbon per tahun. Hutan bakau merupakan kawasan terproduktif

menyerap karbon guna menekan pemanasan global. Luas hutan mangrove

di seluruh dunia hanya 6 persen dari seluruh luas daratan, namun berperan

menyerap karbon sampai 24 persen dari keseluruhan gas karbon yang

dihasilkan oleh bumi.139

Di samping potensi kerugian ekonomis tersebut, secara teorititis

kerugian ekologis terbesar yang terjadi sebagai akibat perambahan hutan

adalah hilangnya fungsi kawasan hutan mangrove, yaitu :140

a. Habitat satwa langka

Mangrove sering menjadi habitat jenis-jenis satwa endemik maupun

satwa liar yang dilindungi Undang-undang. Di SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut misalnya merupakan habitat burung Raja Udang,

di samping itu daratan lumpur yang luas yang berbatasan dengan hutan

bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burung pantai migran.

b. Pelindung terhadap bencana alam

138 Wawancara dengan Musriadi Alfi, Polisi Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara, di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul, tanggal 7 Desember 2009, pukul 09.13 WIB.

139 Harian Kompas, Hidup di Tengah Kehancuran Mangrove Delta Mahakam, Senin 18 Januari 2010, hlm.36.

140 Claridge Davies dan Natarita, Manfaat Lahan Basah, Potensi Lahan Basah dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan-Asian Wetland Buereau Indonesia (AWB), Jakarta, 1995.

Vegetasi mangrove dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau

vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan

garam.

c. Pengendapan lumpur

Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan

lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan

racun dan unsur hara dari air, karena bahan-bahan tersebut seringkali

terikat pada partikel lumpur.

d. Penambat unsur hara

Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi

pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini teradi

pengendapan unsur hara yang berasal dari berbagai sumber termasuk

pencucian dari areal pertanian.

e. Penambat racun

Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat

pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul

partikel tanah liat. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan

melakukan proses penambatan secara aktif.

f. Sumber Alam dalam Kawasan (in situ) dan Luar Kawasan (ex situ)

Hasil alam in situ mencakup semua fauna, flora dan hasil pertambangan

atau mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam

kawasan. Sedangkan sumber alam ex situ meliputi produk-produk yang

dihasilkan oleh proses-proses alamiah di hutan bakau dan

terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh

masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi

organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas

pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.

g. Transportasi

Beberapa desa di sekitar SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut

seperti Desa Jaring Alus dan Desa Tapak Kuda, transportasi melalui air

merupakan cara paling efisien yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan

paling sesuai dengan lingkungan.

h. Sumber plasma nutfah

Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi

perbaikan jenis-jenis satwa komersil maupun untuk memelihara

populasi hidupan liar itu sendiri.

i. Rekreasi dan pariwisata

Hutan bakau memiliki potensi nilai estetika, baik dari faktor alamnya

maupun dari hidupan yang ada di dalamnya.

j. Sarana pendidikan dan Penelitian

Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan

laboratorium lapangan yang baik untuk pendidikan dan pelatihan.

k. Memelihara proses-proses dan sistem alami

Hutan bakau berfungsi dalam mendukung berlangsungnya proses

ekologi, geomorfologi atau geologi di dalamnya.

l. Penyerapan karbon

Proses fotosintesa mengubah karbon anorganik menjadi karbon organik

dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini

membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfir sebagai CO2.

Hutan bakau justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang

tidak membusuk. Karena itu hutan bakau lebih berfungsi sebagai

penyerap karbon dibandingkan sebagai sumber karbon.

m. Memelihara iklim makro

Evapotranspirasi dari hutan mampu menjaga kelembaban dan curah

hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim makro terjaga.

n. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam

Keberadan hutan bakau dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan

menghalangi berkembangnya kondisi asam.

2. Intensitas Tindak Pidana Kehutanan di Wilayah Kerja Balai Besar

KSDA Sumatera Utara Periode tahun 2004-2009

Untuk mengamankan kawasan hutan konservasi yang dikelola oleh Balai Besar KSDA Sumatera Utara seluas 114.025,36 hektar, pada saat ini dikelola dengan sistem pemangkuan resor konservasi wilayah dengan jumlah dua puluh empat (24) resor di bawah kordinasi empat (4) Seksi Konservasi Wilayah dan dua (2) Bidang KSDA Wilayah. Di samping itu juga terdapat 14 orang Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan sejumlah 87 orang Polisi Kehutanan.141 Namun dari keseluruhan Penyidik tersebut tidak semuanya memiliki kecakapan dan kemampuan untuk melakukan penyidikan tindak pidana Kehutanan. Bahkan beberapa di antaranya belum pernah melakukan tugas penyidikan tindak pidana kehutanan. Kendala profesionalisme dan kepemimpinan menjadi faktor penyebab tidak efektifnya fungsi perlindungan dan pengamanan kawasan konservasi. Dari wawancara yang dilakukan dengan Ir. Djati Witjaksono Hadi, M.Si., diperoleh informasi sebagai berikut: “Tidak efektifnya tugas pokok dan fungsi KSDA telah dimulai sejak awal penyusunan formasi untuk posisi jabatan struktural di Balai Besar KSDA Sumut. Kelembagaan KSDA meningkat tapi tidak diimbangi dengan peningkatan SDM. Rendahnya profesionalisme dan kepemimpinan pejabat struktural diantaranya disebabkan oleh penempatan aparatur dan latar belakang tugas tidak tepat disamping itu juga aparatur yang belum pernah mengikuti Diklat PIM baik PIM 3 maupun PIM 4. Sementara itu tidak semua tenaga potensial dari pusat mau ditempatkan di daerah. Rendahnya

141 Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Statistik Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam

Sumatera Utara tahun 2009, tanpa penerbit, Medan, 2010

etos kerja, kordinasi lintas sektoral yang tidak berjalan. Bahkan pada saat-saat lalu Kepala Bidang tidak berani berkordinasi ke Polres. Ada ketergantungan kepada Kepala Balai dan bukan pada lembaganya. Pada tingkat Kepala Seksi, ada Kepala Seksi yang yang lebih banyak waktunya di Medan daripada di tempat tugas. Pada saat ini, instansi sedang menyiapkan pola mutasi dengan SDM yang lebih berkualitas. Dapat dicontohkan misalnya beberapa waktu yang lalu pada saat terjadinya kasus pembukaan jalan di SM KG & LTL oleh Dinas PU atau Perkebunan, saya telah memerintahkan Kepala Bidang untuk langsung ke lapangan dan menghentikan kegiatan pembukaan jalan dengan menyurati Dinas PU dan Dinas Perkebunan. Namun baru terlaksana tiga minggu kemudian. Akhirnya banyak kejadian setelah mencuat baru kita ribut-ribut. Misalnya saja pembukaan jalan antara Simardona-Simaninggir yang membelah kawasan SM Barumun, kita ribut setelah pembukaan jalan telah jadi.”142

Di samping itu faktor keterbatasan dana operasional pada tingkat

Resor Konservasi Wilayah, Seksi Konservasi Wilayah dan Bidang Konservasi Wilayah menjadi faktor penyebab ketidakefektifan fungsi pengelolaan kawasan konservasi di wilayah kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara. Hasil wawancara dengan Polmer Situmorang, SH, Kepala Bidang KSDA Wilayah I Balai Besar KSDA Sumatera Utara, diperoleh informasi sebagai berikut:

“Organisasi sekarang tidak efektif. Memang Resor Konservasi Wilayah dalam P.02 (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :P. 02/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam - penulis) keberadaannya diakui namun kinerjanya tidak efektif. Sebaiknya Resor digantikan dengan Pengelola Kawasan, hal ini tentunya akan berpengaruh pada sisi pendanaan. Pada kondisi sekarang ini sebaiknya beberapa Resor Konservasi Wilayah disatukan saja dengan memperhatikan faktor permasalahan kawasan dan sumber daya manusianya. Pada saat ini misalnya, Seksi Konservasi I Stabat wilayah kerjanya sampai ke Sibolangit di Kabupaten Deli Serdang, sedangkan dana operasional seksi tidak ada. Resor Konservasi Wilayah apabila tidak didukung dengan dana yang cukup tidak akan bisa melaksanakan fungsinya. Kondisi pada saat ini saja misalnya di Resor Karang Gading yang hanya memiliki satu buah speed boat yang kecepatannya tidak dapat mengimbangi perahu-perahu milik para perambah, suatu kondisi yang sungguh menyedihkan. Demikian juga dengan keberadaan SPORC yang seharusnya dapat menjadi ujung tombak penyelesaian kasus-kasus tindak pidana kehutanan di Sumatera Utara, kita

142 Wawancara dengan Ir. Djati Witjaksno Hadi, M.Si., Jabatan Kepala Balai Besar

Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara di Jl. Sempurna, Medan, tanggal 3 Desember 2009, pukul 19.30 WIB.

kesulitan memobilisasi ke kawasan konservasi. Kendala yang dihadapi adalah kesulitan dana dan keterbatasan jumlah personil. Saya telah berkali-kali meminta kepada Kepala Balai untuk menugaskan SPORC ke kawasan, namun terkendala, bahwa pada saat yang bersamaan SPORC sedang ditugaskan ke daerah lain. Dari sisi ketersediaan dana, jelas kita cukup terkendala, misalnya saja bila terjadi tindak pidana kehutanan yang membutuhkan penanganan secara cepat, Bidang KSDA harus mengajukan terlebih dahulu ke Kepala Balai. Seharusnya Bidang KSDA wilayah itu memiliki budget yang dikelola sendiri. Pada kondisi sekarang ini kan Bidang KSDA bukan pengelola anggaran, seharusnya ada dana on call.”143

Pada periode tahun 2004-2009 jumlah tindak pidana kehutanan yang

terjadi wilayah kerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara144 terdapat tiga puluh delapan (38) kasus baik yang disidik oleh Penyidik pegawai Negeri Sipil Kehutanan dan Penyidik Polri, maupun tidak berlanjut pada proses penyidikan. (lihat lampiran 1)

Kasus-kasus tersebut adalah kasus tindak pidana kehutanan yang penanganannya dilakukan melalui upaya represif. Namun di samping dengan metode represif, penggunaan metode pendekatan persuasif masih juga dilakukan yang penerapannya dilakukan secara selektif, kasus per kasus dan sifatnya tentatif. Misalnya penanganan kasus pengambilan kayu bakau untuk keperluan sendiri yang masih banyak terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut maupun kepemilikan satwa liar tertentu untuk dipelihara sebagai kesenangan. Pada umumnya penyelesaian pelanggaran ini dengan membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan barang bukti yang ditemukan diserahkan secara sukarela. Hasil wawancara dengan Hendra Ginting, SH, Penyidik Pegawai negeri Sipil Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatra Utara diperoleh informasi sebagai berikut:

“Kasus perambahan dan penebangan kayu marak pada tahun 1999, dan belum ada dilakukan proses hukum. Penanganan hanya berupa patroli dan melakukan pendekatan persuasif. Tindakan pro justisia yang dilakukan oleh PPNS Kehutanan belum ada, tapi kalau yang ditangani oleh Kepolisian setempat ada yaitu kasus Khibeng pada tahun 2006. Penanganan yang dilakukan oleh petugas patroli hanya mengamankan alat potong kayu berupa kapak dan kayu bakau yang ditebang dihanyutkan ke

143 Wawancara dengan Polmer Situmorang, SH, Kepala Bidang KSDA Wilayah I Kabanjahe,

di Kantor Bidang Pengendalian Kebakaran Hutan, Balai Besar KSDA Sumut, Jl. Pasar Baru No. 30 Medan, tanggal 7 Desember 2009, pukul 11.30 WIB.

144 Wilayah kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara pada saat ini merupakan gabungan wilayah kerja Balai KSDA Sumatera Utara I dan Balai KSDA Sumatera Utara II setelah reorganisasi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P02/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam

laut. Itu dilakukan terhadap pelaku perambahan yang kecil-kecil sedangkan bagi perambah yang memiliki tambak dan kebun sawit dalam kawasan tidak ada dilakukan tindakan hanya sebatas pendataan saja. Pada kasus-kasus yang kecil hukum pidana tidak ditegakkan, karena melihat masyarakat kecil mengambil kayu bakau hanya untuk keperluan mempertahankan hidup sehari-hari saja. Di samping itu juga kesiapan PPNS Kehutanan pada saat itu belum memadai untuk melakukan proses penyidikan.”145

Dari kasus-kasus tindak pidana yang terjadi di wilayah kerja Balai

Besar KSDA Sumatera Utara selama periode waktu periode tahun 2004-2009 yang diproses sampai tahap penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan terdapat sejumlah empat (4) kasus. Dari keempat kasus tersebut satu kasus telah dinyatakan lengkap dan telah divonis pada sidang peradilan, sedangkan tiga kasus lainnya masih dalam proses penyidikan. Apabila dilihat dari objek tindak pidananya, dari kempat kasus tersebut, tiga kasus merupakan tindak pidana terhadap sumber daya alam hayati dan satu kasus merupakan tindak pidana terhadap kawasan hutan. Selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 6 berikut ini:

Tabel 6 Tindak Pidana Kehutanan yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan di Wilayah Kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara

periode tahun 2004-2009

No Tindak Pidana Objek Tindak Pidana

Ketentuan Undang-undang yang dilanggar

Proses Penyidikan

Instansi penyidik

1 2 3 4 5 6 1 Perambahan hutan Kawasan Pasal 50 ayat (2) Dalam PPNS

145 Wawancara dengan Hendra Ginting, SH, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan, Balai

Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul Sumatera Utara, tanggal 14 Desember 2009, pukul 13.00 WIB.

SM Langkat Timur Laut I, Kecamatan Tanjung Pura, Desa Tapak Kuda (tahun 2007)

Hutan UU No.41 tahun 1999 Pasal 19 ayat (1) UU No.5 tahun 1990

Proses penyidikan PPNS

Kehutanan/ SPORC

2 menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; jenis Harimau Sumatera di Kota Nengah Deli Serdang (tahun 2008)

Satwa liar yang

dlindungi UU

Pasal 21 ayat (2) huruf b UU No.5 tahun 1990

P21 (telah divonis)

PPNS Kehutanan/ SPORC

3 menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; di Kota Binjai (tahun 2008)

Satwa liar yang

dilindungi UU

Pasal 21 ayat (2) huruf a UU No.5 tahun 1990

Dalam Proses penyidikan PPNS

PPNS Kehutanan/ SPORC

4 menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; jenis penyu di Kota Sibolga (tahun 2008)

Satwa liar yang

dilindungi UU

Pasal 21 ayat (2) huruf b UU No.5 tahun 1990

Dalam Proses penyidikan PPNS

PPNS Kehutanan/ SPORC

Sumber: Matrik Laporan Data Register Perkara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara tahun 2009

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa sepanjang enam tahun

terakhir (periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2009) tindak pidana yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara hanya empat kasus. Sedangkan pada periode tersebut jumlah keseluruhan tindak pidana yang terjadi di wilayah hukum Balai Besar KSDA Sumatera Utara terdapat 38 kasus. Dilihat dari jumlah kasus yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara, prosentasenya sebesar 10,5 persen.

Selama periode enam tahun terakhir jumlah tindak pidana kehutanan yang terjadi di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan jumlah tindak pidana tertinggi yang terjadi di seluruh wilayah kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara yaitu sebanyak dua belas (12)

kasus.146 Penanganan tindak pidana tersebut dari pembuatan Laporan Kejadian sampai pada Laporan Polisi kepada kepolisan setempat.Tindak pidana tersebut terdiri dari tindak pidana terhadap kawasan hutan berupa perambahan dan tindak pidana terhadap hasil hutan berupa penebangan pohon dalam kawasan hutan konservasi. Dari keseluruhan tindak pidana tersebut terdapat enam (6) tindak pidana yang dilakukan proses penyidikan baik oleh Penyidik Polri maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Dilihat dari prosentasinya jumlah tindak pidana kehutanan di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang disidik selama periode tahun 2004-2009 sebanyak 50%. Selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 7 berikut ini:

Tabel 7 Penyelesaian Tindak Pidana Kehutanan di Suaka Margasatwa Karang

Gading dan Langkat Timur Laut periode tahun 2004-2009

Tahun Jumlah Tindak Pidana

Jumlah Tindak Pidana Yang

Disidik

Jumlah Penyelesaian Perkara (proses

peradilan)

Prosentase penyelesaian

Perkara 1 2 3 4 5

2004 1 - - 0%

2005 3 1 1

(terdiri dari 3 putusan)

33,3%

2006 4 1 - 0% 2007 1 1 - 0% 2008 2 2 1 50%

2009 1 1 1 (terdiri dari 2 100%

146 Data diolah dari Matrik Laporan Data Register Perkara Balai Besar Konservasi Sumber

Daya Alam Sumatera Utara tahun 2009 dan Laporan Kemajuan Penanganan Kasus Dalam Persidangan di Pengadilan Negeri Pada Wilayah Kerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Sampai Dengan Agustus 2008.

putusan) Jumlah 12 6 3 0,25%

Sumber data : Matrik Laporan Data Register Perkara Balai Besar Konservasi

Sumber Daya Alam Sumatera Utara tahun 2009 dan Laporan Kemajuan Penanganan Kasus Dalam Persidangan di Pengadilan Negeri Pada Wilayah Kerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Sampai Dengan Agustus 2008

Dari jumlah yang disidik tersebut, tindak pidana yang bisa

diselesaikan sampai tingkat pengadilan hanya 0,25 persen. Dengan demikian lebih banyak jumlah tindak pidana yang tidak diproses hukum, salah satu hal yang membuat hukum pidana tidak dapat berfungsi sebagai sarana untuk membuat jera pelaku tindak pidana kehutanan di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Dari hasil wawancara yang dilakukan pada salah satu masyarakat perambah di Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang diperoleh informasi sebagai berikut:

“Kami mulai bikin tambak di lahan yang katanya masuk Suaka sejak tahun 1990-an. Pada waktu itu rakyat sulit untuk mencari makan, mau tidak mau masyarakat harus bekerja keras. Tapi lahan tidak punya, sehingga masyarakat beralih membuat tambak udang di pantai-pantai. Pada waktu itu harga udang masih bagus sehingga membantu perekonomian rakyat. Memang kami pernah diperingatkan. Saya sendiri pernah dipenjara karna dibilang merambah hutan. Tapi setelah saya keluar, tambak saya itu saya olah lagi habis mau bagaimana lagi. Rakyat butuh makan, lagipula banyak tambak-tambak lain punya orang-orang China kenapa tidak ditangkap juga? Makanya kami masih mengerjakan tambak-tambak itu. Kalau memang tidak bisa dipakai lagi seharusnya semua tambak-tambak itu harus ditutup, jangan punya rakyat kecil saja.”147

Apabila dilihat dari objek tindak pidananya, selama periode tahun

2004-2009 di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut tindak pidana terhadap kawasan hutan terdapat sejumlah delapan (8) kasus sedangkan tindak pidana terhadap hasil hutan sejumlah empat (4) kasus. Dilihat dari jumlah penyelesaian perkara, maka tindak pidana terhadap kawasan hutan berupa perambahan kawasan suaka alam yang dilakukan proses penyidikan terdapat sejumlah dua (2) kasus. Sedangkan tindak pidana yang objeknya hasil hutan berupa penebangan kayu jumlah perkara

147 Wawancara dengan Tengku Rahman, masyarakat perambah SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut di Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, tanggal 12 Desember 2009, pukul 11.00 WIB.

yang dilakukan proses penyidikan sejumlah tiga (3) kasus. Selengkapnya dapat dilihat dari tabel 8 berikut ini.

Tabel 8 Penyelesaian Tindak Pidana Kehutanan di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Berdasarkan Objek Tindak Pidana

periode tahun 2004-2009

Tahun

Tindak Pidana Terhadap Kawasan Hutan

Tindak Pidana Terhadap Hasil Hutan

Jlh Kasus

Jumlah yang

disidik

Jumlah yang

divonis

Prosentasi Penyelesaian Perkara (proses

peradilan)

Jlh Kasus

Jumlah yang

disidik

Jumlah yang

divonis

Prosentasi Penyelesaian Perkara (proses

peradilan) 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2004 1 - - 0% - - - -

2005 2 1

(dalam 3 berkas

perkara)

1 (dlm 3 putusa

n)

50% 1 - - -

2006 4 1 - 0% - - - - 2007 1 1 - 0% - - - - 2008 - - - 2 2 1 50%

2009 - - - - 1

1 (dalam

2 berkas perkara

)

1 (dalam

2 putusa

n)

100%

Jlh 8 3 1 12,5% 4 3 2 50%

Sumber data : Diolah dari Matrik Laporan Data Register Perkara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara tahun 2009 dan Laporan Kemajuan Penanganan Kasus Dalam Persidangan di Pengadilan Negeri Pada Wilayah Kerja Balai

Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Sampai Dengan Agustus 2008

Dari tabel 8 dapat diketahui bahwa tindak pidana terhadap kawasan

hutan merupakan tindak pidana yang tertinggi tingkat frekwensinya, namun penyelesaian perkara sampai proses peradilan justru sangat rendah hanya mencapai 12,5 persen. Hal ini dikarenakan proses penyidikan tindak pidana terhadap kawasan hutan berupa perambahan cenderung lebih sulit proses penyidikannya apabila dibandingkan dengan proses penyidikan tindak pidana terhadap hasil hutan. Hasil wawancara dengan Elinsar Sagala, Penyidik Pegawai Negri Sipil Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara, diperoleh informasi sebagai berikut:

“Saya bekerja pertama kali di Resor KSDA Selotong tahun 1988. Perambahan di kawasan SM KG terjadi sejak tahun 1990-an terutama yang meluas di wilayah Karang Gading tepatnya di daerah Paluh Tabuan. Yang merambah pertama sekali adalah masyarakat, misalnya di Karang Gading perambahnya adalah Waspada Bangun dengan mengerahkan anggota-anggota kelompoknya. Kemudian ada juga proyek dari PU (Kementrian Pekerjaan Umum-penulis), yang membangun benteng di dalam kawasan tanpa kordinasi dengan KSDA. Lokasi benteng ini di belakang lokasi PT Pernas sehingga masyarakat di Karang Gading Deli beranggapan benteng tersebut adalah batas kawasan dengan tanah milik masyarakat Karang Gading Deli. Dari pihak KSDA telah ada peringatan, tapi PU tetap melakukan kegiatan, dan membangun benteng mulai dari Paluh Buaya sampai ke ujung Paluh Nonang. PT Pernas ada memiliki ijin yang mengatakan bahwa lahan tersebut di luar SM dan hak milik masyarakat, sehingga PT langsung membeli dari masyarakat tanpa kordinasi dengan KSDA. Ada surat keterangan tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa, kemudian terbit Sertifikat tanah dari BPN. Dengan adanya surat-surat dari kepala desa maupun sertifikat dari BPN, kita kesulitan melakukan penyidikan.”148

Hal yang sama diungkapkan oleh AKP Sugeng Suryadi, Kasat

Reskrim Polres Deli Serdang, bahwa: “Penanganan kasus perambahan berbeda dengan kasus illegal logging. Pada kasus illegal logging kita dengan mudah menerapkan pasal-pasal yang telah dilanggar, namun pada tindak pidana perambahan hutan disamping kesulitan menerapkan pasal-pasal, masalah lainnya adalah adanya Sertifikat dari BPN yang merupakan alas hak sah dari pemilik tanah. Tentunya Polisi tidak bisa serta merta menyatakan ketidakabsahan

148 Wawancara dengan Elinsar Sagala, Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada Balai Besar

KSDA Sumatera Utara di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat Brigade Macan Tutul, Medan, tanggal 7 Desember 2009, pukul 09.30 WIB.

sertifikat tersebut walaupun secara de facto berada di atas hutan milik negara. Proses pembuktian legalitas sertifikat tentunya menjadi domain-nya Pengadilan, baru setelah ada keputusan yang mengikat, Polisi dapat melakukan penyidikan atas pelanggaran yang dilakukan.149

Proses pembuktian kepemilikan kawasan dengan adanya sertifikat yang dimiliki oleh pelaku perambahan dan ketiadaan tanda batas kawasan hutan yang jelas, merupakan beberapa kesulitan yang dialami oleh Penyidik dalam proses penyidikan. Terhadap kepemilikan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional, diperoleh informasi dari wawancara dengan Edi Wibowo, SH, MH., hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, sebagai berikut: “Terhadap kepemilikan sertifikat harus dibuktikan terlebih dahulu keabsahannya. Dalam PP nomor 24 tahun 1997, sertifikat bukanlah alat bukti sempurna, sertifikat hanya merupakan alat bukti kuat. Artinya masih bisa dibantah apabila ada bukti-bukti lain yang lebih kuat. Sedangkan alat bukti sempurna merupakan alat bukti yang tidak terbantahkan. Kita harus men-check asal usul sertifikat itu dan bisa membuktikan proses penerbitannya tidak benar walaupun akhirnya cenderung menjadi campur aduk antara perkara pidana dan perdata. Karena itu harus dilakukan proses gugatan perdata, karna walaupun bukan alat bukti sempurna, tetapi tetap bisa menjadi bukti di pengadilan. Agar tidak terulang lagi harus dilakukan gugatan perdata. Pendapat saya pribadi bahwa sepanjang sertifikatnya tidak palsu, pemegang sertifikat adalah pemilik sah. Hal ini misalnya dapat kita contohkan pada lahan milik Kereta Api yang berada di sepanjang jalur rel KA. Pada beberapa kasus yang terjadi, lahan tersebut telah memiliki sertifikat tanah dari BPN, sehingga PT KA harus mengajukan gugatan perdata untuk meninjau keabsahan sertifikat tersebut. Berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum, maka diajukanlah permohonan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat tersebut.”150

Pendapat yang tidak jauh berbeda disampaikan oleh Ade Sumitra

Hadisurya, SH, M.Hum., Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, dari

wawancara sebagai berikut:

“Sertifikat Tanah dari BPN adalah alas hak yang kuat, kita tidak bisa serta merta menyatakan sertifikat tersebut tidak sah. Harus dibuktikan dalam proses peradilan karena sertifikat juga merupakan dokumen negara. Tentu

149 Wawancara dengan AKP Sugeng Riyadi, Kasat Reskrim Polres Deli Serdang di

Markas Kepolisian Resor Deli Serdang pada tanggal 15 Desember 2009, pukul 09.00 WIB. 150 Wawancara dengan Edi Wibowo, SH, MH, Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, di

gedung Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, pada tanggal 10 Desember 2009, pukul 10.00 WIB.

peradilan perdata akan lebih detail memeriksa asal muasal terbitnya sertifikat tersebut sehingga apabila proses penerbitannya tidak benar maka diputuskanlah bahwa sertifikat tersebut tidak sah sehingga dapat diajukan permohonan kepada BPN untuk pembatalannya. Alternatif lainnya dapat berupa pelepasan hak dari orang yang mengaku pemilik kawasan, cara pendekatan seperti ini sepertinya bisa memberi win-win solution bagi pihak-pihak yang berperkara, namun tentunya membutuhkan pendekatan yang komprehensif dari semua pihak yang terlibat.”151

Pada saat ini dalam kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur

Laut sekurangnya telah diterbitkan 22 buah sertifikat tanah oleh Badan

Pertanahan Nasional Kabupaten Langkat. Di samping itu juga masih

terdapat 271 Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa

dan sebanyak 40 buah Surat Ganti Rugi tanah yang dilegalisasi Camat.152

Hasil wawancara dengan Asrul, mantan Kepala Desa Selotong diperoleh

informasi sebagai berikut:

“Pada tahun 1997 pada saat saya menjabat Kepala Desa Selotong, banyak masyarakat yang mengajukan permohonan penerbitan Surat Keterangan Tanah yang menurut masyarakat adalah tanah milik desa yang mereka garap. Waktu itu ada kurang lebih 100 SKT yang saya terbitkan yang sebenarnya hanya pegangan sementara untuk masyarakat agar tidak terjadi percekcokan. Saya mengeluarkan SKT tersebut karena penggarap didukung oleh saksi-saksi dari masyarakat yang tanahnya berbatasan dengan tanah yang akan dibuatkan SKT tersebut. Pada waktu itu rata-rata masyarakat mengelola 2 hektar lahan yang akan digarap sendiri. Saya sendiri tidak mengetahui bahwa tanah garapan itu masih berada dalam hutan KSDA. Saya tidak pernah melihat adanya tanda-tanda batas di situ.”153

151 Wawancara dengan Ade Sumitra Hadisurya, SH.,M.Hum., Hakim pada Pengadilan

Negeri Langkat, di gedung Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, pada tanggal 9 Desember 2009 pukul 10.00 WIB.

152 Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan, Laporan Hasil Audit Khusus Perambahan Pada Suaka Margastwa Karang Gading/Langkat Timur Laut Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, Jakarta, 2007, hlm. 1

153 Wawancara dengan Asrul, mantan Kepala Desa Selotong, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, di rumahnya Desa Selotong, Kecamatan Secanggang pada tanggal 6 Desember 2009, pukul 10.45 WIB.

Informasi lain diperoleh dari hasil wawancara dengan Djami’an,

mantan Kepala Desa Pematang Cengal, Kecamatan Tanjung Pura,

Kabupaten Langkat, sebagai berikut:

“Kami memang pernah mengeluarkan surat keterangan tanah dan surat ganti rugi bagi masyarakat yang telah menggarap lahan selama lebih dari 2 tahun. Pada umumnya lahan tersebut diperjualbelikan oleh masyarakat penggarap kepada pihak lain yang berminat tapi sebagian lagi ada yang digarap sendiri. Pada waktu itu luas tanah yang digarap oleh masyarakat rata-rata seluas 2 hektar. Kami sendiri mengeluarkan surat keterangan tanah maupun surat ganti rugi karna tidak mengetahui kawasan tersebut hutan negara. Kami pun tidak pernah melihat batas-batas kawasan itu, makanya pada waktu masyarakat meminta dibuatkan surat keterangan tanah, kami buat dengan maksud biar masyarakat tidak bertengkar. Kalau tidak salah pada tahun 2007 saya sudah pernah menjelaskan hal ini kepada tim dari Jakarta yang datang ke rumah untuk meminta keterangan.”154

Namun apabila dilihat dari pelaku tindak pidana perambahan hutan

di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut bahwa para pelaku adalah

pemilik modal yang memiliki pengaruh pada sumber kekuasan baik

kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi. Sedangkan para pelaku

pencurian hasil hutan berupa penebangan kayu bakau, adalah masyarakat

desa sekitar hutan yang pada umumnya melakukan perbuatan penebangan

untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Perbedaan responsibilitas hukum

pidana terhadap pelaku tindak pidana perambahan dan tindak pidana

penebangan kayu bakau dapat dijelaskan melalui dalil-dalil yang

diungkapkan oleh Donald Black bahwa perilaku hukum dipengaruhi oleh

stratifikasi sosial. 155 Ketentuan pidana dalam Undang-undang, lebih

154 Wawancara dengan Djami’an, mantan Kepala Desa Pematang Cengal, Kecamatan

Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, di Pematang Cengal, tanggal 12 Desember 2009, pukul 14.00 WIB.

155 Dalil-dalil yang diungkapkan oleh Donald Black menyatakan bahwa: 1. Law varies directly with stratification (the more stratification a society has the more law it

has). Artinya jika dalam suatu masyarakat banyak pelapisan sosial maka jumlah hukum dalam masyarakat itu semakin banyak pula.

2. Law varies directly with rank. The lower ranks have less law than higher ranks. Artinya :

banyak diarahkan kepada orang-orang yang berstatus rendah dalam

masyarakat.

Apabila dilihat dari putusan yang dijatuhkan pada tindak pidana

perambahan hutan yang terjadi pada tahun 2005, putusan Pengadilan

Negeri Stabat yang mengadili tindak pidana tersebut pada tahun 2006

justru menjatuhkan vonis lepas dari tuntutan hukum (onslag van alle

rechtvervolging) kepada pelaku. Dari tiga berkas perkara yang diajukan

oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Langkat, ketiganya

dijatuhkan vonis lepas dari tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf

dengan mempertimbangkan azas hukum geen straft zonder schuld.

Kondisi penegakan hukum lingkungan tersebut menggambarkan masih

rendahnya kesadaran hukum para pengusaha, pemilik modal, terhadap

lingkungan dan sangat lambannya kinerja aparat penegak hukum didalam

menjalankan tugasnya. Hal ini tentu saja telah menghancurkan semangat

untuk melindungi, mencegah kerusakan dan perusakan lingkungan yang

sedang tumbuh di masyarakat. Bagaimana tidak di dalam negara hukum

seperti di Indonesia penegakan hukum sangat ditentukan oleh Pengadilan.

Jadi meskipun Kejaksaan sudah berusaha semaksimal mungkin membuat

dakwaan yang lengkap dan akurat, setelah pelaku perusakan lingkungan

diajukan ke pengadilan tidak divonis, hal ini tentu menjadi bumerang bagi

a. Orang-orang berkedudukan tinggi memiliki hukum yang lebih banyak dibandingkan orang-

orang berkedudukan rendah b. Perselisihan antara orang berkedudukan tinggi lebih banyak sampai ke Polisi/Pengadilan

daripada perselisihan orang-orang berkedudukan rendah c. Jika orang berkedudukan rendah mencederai orang berkedudukan rendah hukumannya

tidak seberat jika orang berkedudukan tinggi mencederai orang berkedudukan tinggi d. Downward law varies directly with vertical distance, but upward law varies inversely with

vertical distance. Pelanggaran hukum ke arah bawah maka bekerjanya hukum menurun, pelanggaran hukum ke arah atas maka bekerjanya hukum meningkat.

e. Hukum itu berbanding terbalik dengan kedudukan pelaku 3. Downward law is greater than upward law

Artinya hukum dalam berbagai bentuk: Undang-undang, larangan-larangan dan perintah, pelaporan,penahanan, penuntutan dan penghukuman lebih bayak diarahkan kepada orang-orang yang berstatus rendah dalam masyarakat.

Donald Black, The Behaviour of Law, dalam Moh. Jamin, Bahan Kuliah Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009.

kejaksaan. Oleh karenanya dibutuhkan hakim-hakim yang mempunyai

empati, dedikasi dan determinasi untuk menciptakan keadilan.156

Dilihat dari intensitasnya secara kualitatif selama periode tahun

2004-2009 tidak ada tindak pidana perambahan hutan di SM Karang

Gading dan Langkat Timur Laut yang yang dijatuhkan sanksi pidana

kepada pelakunya. Dengan kondisi penegakan hukum pidana yang tidak

optimal tersebut, mengakibatkan perambahan masih terus terjadi dan

berdasarkan hasil inventarisasi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam

(KSDA) Sumatera Utara, luasan kawasan hutan yang dirambah telah

mencapai ±6.588 hektar.157 Hasil wawancara yang dilakukan dengan salah

seorang masyarakat perambah yaitu Abdul Jalil, masyarakat Desa

Selotong, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, diperoleh

informasi sebagai berikut:

“Pada tahun 1997 kami masyarakat Desa Selotong mengajukan penerbitan surat tanah kepada Kepala Desa Selotong. Pada waktu itu penghulunya Pak Asrul. Waktu itu kami yang mengajukan permohonan hampir sekitar 150 orang. Tanah yang kami olah masing-masing seluas 2 hektar yang terletak di Dusun III Desa Selotong. Setahu kami tanah itu milik desa. Kalau ada yang bilang itu hutan suaka, kami tidak pernah melihat adanya batas-batas yang dibuat KSDA. Petugasnya pun tidak pernah kami lihat mengawasi ke sini. Jadi daripada terlantar, rakyat mengolah lahan itu apalagi setelah krisis moneter, harga-harga naik, rakyat sulit untuk mencari makan. Kalau memang hutan suaka, kenapa orang yang punya tambak lebar-lebar itu tidak ditangkap? Kalau memang tidak bisa dikerjakan, KSDA harus melarang semuanya jangan hanya punya rakyat kecil.”158

3. Analisis Putusan Perkara

Kasus perambahan hutan di Suaka Margasatwa Karang Gading dan

Langkat Timur Laut yang telah divonis oleh Pengadilan adalah kasus

perambahan hutan yang terjadi pada tahun 2005 dan telah diadili pada

156 Satjipto Rahardjo, Rekontruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi, dikutip dari

Hartiwiningsih, op.cit., hlm. 146-147 157 Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan, op.cit., hlm. 7 158 Wawancara dengan Abdul Jalil, masyarakat Desa Selotong, Kecamatan Secanggang,

Kabupaten Langkat pada tanggal 6 Desember 2009, pukul 13.30 WIB.

tahun 2006 di Pengadilan Negeri Langkat dengan menjatuhkan putusan

lepas dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) kepada

terdakwa. Dalam perkara ini ada tiga putusan yang telah divonis lepas dari

tuntutan hukum, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor:

26/Pid.B/2006/PN Stb.- tanggal 12 Oktober 2006, kemudian Putusan

Pengadilan Negeri Langkat nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb tanggal 12

Oktober 2006, dan Putusan Pengadilan Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb

tanggal 12 Oktober 2006. Putusan pengadilan tersebut telah menimbulkan

pro dan kontra bagi pihak-pihak yang berkepentingan terutama para

pemerhati lingkungan dan konservasi sumber daya alam di Sumatera

Utara. Terlepas dari adanya sikap pro dan kontra terhadap putusan

tersebut, pada tesis ini, penulis akan berupaya untuk mendudukkan

putusan tersebut dalam konteks hukum positif yang berlaku di Indonesia

untuk dapat melakukan analisa dan telaah hukum yang objektif.

a) Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor: 26/Pid.B/2006/PN Stb.-

tanggal 12 Oktober 2006

1) Duduk Perkara

Bahwa Khibeng alias Abeng telah didakwa oleh Jaksa

Penuntut Umum dalam dakwaan alternatif: (1) melakukan perbuatan

sebagai orang yang menyuruh melakukan peristiwa pidana barang

siapa dengan sengaja melawan hukum, mengerjakan dan atau

menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;

atau (2) melakukan perbuatan sebagai orang yang menyuruh

melakukan peristiwa pidana barang siapa dengan sengaja dan

melawan hukum melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan

perubahan terhadap keutuhan kawasan alam dan melakukan kegiatan

yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti

Taman Nasional; atau (3) setiap orang dengan sengaja melakukan

usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luas tanah tertentu atau

usaha industri perkebunan. Ketiga dakwaan alternatif tersebut

dilakukan oleh terdakwa di Suaka Margasatwa Karang Gading dan

Langkat Timur Laut tepatnya di Desa Tapak Kuda, Kecamatan

Tanjung Pura, Kabupaten Langkat.

Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Khibeng alias Abeng

dituduh melanggar pasal 78 ayat (2) jo pasal 50 ayat (3) huruf a

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan atau

melanggar pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990

tentang Konservasi Sumbner daya Alam Hayati dan ekosistemnya

atau melanggar pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 tahun

2004 tentang Perkebunan.

Atas perbuatan yang diduga dilakukannya, Jaksa Penuntut

Umum menuntut Khibeng alias Abeng dengan hukuman pidana

penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi selama para terdakwa berada

dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp.30.000.000,- (tiga

puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.

2) Fakta-fakta Hukum

Dalam tesis ini, penulis akan mengungkapkan beberapa

pertimbangan hukum majelis hakim yang menurut penulis

merupakan pertimbangan hukum hakim untuk mementahkan dalil

Jaksa Penuntut Umum atas dugaan tindak pidana yang dilakukan

oleh Khibeng alias Abeng.

Berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum bahwa Khibeng

alias Abeng telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagai

orang yang yang menyuruh melakukan peristiwa pidana, “barang

siapa dengan sengaja melawan hukum, mengerjakan dan atau

menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah”.

Tuntutan Jaksa yang dibuat secara alternatif memberikan kebebasan

kepada Majelis Hakim untuk mempertimbangkan salah satu tuntutan

dari Jaksa Penuntut Umum yang akan digunakan sebagai dakwaan

dan apabila satu dakwaan telah terbukti maka dakwaan lainnya tidak

perlu lagi dipertimbangkan.

Menurut Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutan

No.Reg.Perk: PDM-538-I/Stabat/12/2005 tanggal 30 Juni 2006 yang

pada pokoknya Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Langkat di Stabat memutuskan:

b) Menyatakan terdakwa Kibeng alias Abeng terbukti bersalah

melakukan tindak pidana “dengan sengaja menguasai lahan hutan

KSDA yang dilakukan oleh terdakwa” sebagaimana pada atau

dakwaan kedua pasal 40 ayat (1) UU RI No.5 tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

c) Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Khibeng alias

Abeng dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi

selama para terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda

sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga)

bulan kurungan

d) Barang bukti:

1. 1 (satu) mesin chainsaw beserta rantai dan parangannya, 1

(satu) unit alat berat beko excavator warna orange,

dikembalikan kepada pemiliknya;

2. Ranting kayu api-api, kayu nibung, kayu rotan dan ranting

kayu nyirih-nyirih, dirampas untuk dimusnahkan

e) Menetapkan supaya terdakwa untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah);

Menurut pandangan Jaksa Penuntut Umum, terdakwa Khibeng alias Abeng telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyuruh para pekerja yang memperoleh upah darinya, untuk melakukan pembersihan kawasan hutan dengan menggunakan alat berat. Perbuatan tersebut dilakukan di atas tanah yang masih berada dalam kawasan hutan milik negara yaitu Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang telah ditetapkan sebagai

kawasan konservasi sejak tahun 1980 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan surat bukti di persidangan, Majelis Hakim beranggapan bahwa terdapat fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, yaitu: a) Terdakwa menguasai lahan seluas ±20 (dua puluh) hektar di desa

Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat

b) Bahwa lahan tersebut diperoleh terdakwa dengan cara

penyerahan/ganti rugi kepada H.M. Husni Thamrin pada tahun

2005

c) Bahwa pada waktu dibeli oleh terdakwa, lahan tersebut sudah

berupa semak-semak dan juga ada tanaman seperti jagung, padi

dan jeruk, dan bukan berupa hutan

d) Bahwa dahulunya lahan tersebut adalah garapan masyarakat,

kemudian diberikan oleh Jami’an selaku Kepala Desa kepada

H.M. Husni Thamrin pada tahun 1997, dan selanjutnya pada

tahun 2005 diganti rugi oleh terdakwa.

e) Bahwa pada awal lahan tersebut dikuasai oleh terdakwa, tidak ada

orang atau pihak lain yang berkeberatan atas lahan tersebut dan

tidak ditemukan patok batas kawasan hutan/KSDA

f) Bahwa di kawasan tersebut tidak ada papan pengumuman yang

menyatakan areal tersebut masuk kawasan hutan/KSDA

g) Bahwa terdakwa tidak pernah memperoleh

penyuluhan/penerangan dari instansi terkait, seperti pihak

Kehutanan/KSDA tentang status kawasan tersebut

h) Bahwa baru pada tahun 2006 di kawasan tersebut dibuat patok

batas kawasan KSDA

Dengan terungkapnya fakta-fakta hukum tersebut Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti menguasai lahan seluas ±20 (dua puluh) hektar di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat yang diperoleh melalui cara penyerahan/ganti rugi kepada H.M. Husni Thamrin seluas ±20 hektar pada bulan Juni 2005. Lahan tersebut sebelumnya adalah

lahan garapan masyarakat yang diberikan oleh kepala desa kepada H.M. Husni Thamrin pada tahun 1997. Sewaktu dibeli oleh terdakwa, lahan tersebut sebagian berupa semak-semak dan juga tanaman jagung, padi, jeruk dan bukan merupakan hutan. Setelah dilakukan pengukuran dan pemetaan oleh instansi terkait di lokasi lahan tersebut pada tahun 2005, diketahui bahwa lahan yang dikuasai oleh terdakwa masuk ke dalam kawasan hutan. Dari keterangan saksi-saksi, dan keterangan terdakwa yang saling berkesesuaian satu sama lain, terdakwa tidak mempunyai ijin untuk menduduki lahan yang masuk ke dalam kawasan hutan tersebut baik dari Pejabat daerah maupun Pejabat pusat yang berwenang untuk itu

Dengan demikian Majelis Hakim beranggapan bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan “mengerjakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah”. Majelis Hakim juga berpandangan bahwa walaupun perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan, apakah terdakwa dapat dipersalahkan dan dijatuhi hukum pidana atau ada alasan-alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan dan pidana terhadap terdakwa?

Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan bahwa sebagaimana diketahui dalam teori hukum pidana dikenal azas geen straft zonder schuld yang artinya tidak dipidana kalau tidak ada kesalahan. Disampaikan juga bahwa seseorang yang tidak mengetahui adanya larangan untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan, tidak sepatutnya disalahkan dan hal ini termasuk dalam alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan dan pidana seseorang. Dalam perkara ini, Majelis Hakim beranggapan bahwa terdakwa Khibeng alias Abeng tidak mengetahui lahan yang diusahainya masih masuk dalam kawasan hutan yang dilarang untuk diusahai. Oleh karenanya, keadaan tersebut merupakan alasan pemaaf dari kesalahan terdakwa dan dengan adanya alasan pemaaf tersebut, maka perbuatan terdakwa yang menduduki kawasan hutan secara tidak sah tersebut bukan merupakan tindak pidana. Oleh karena perbuatan terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dan memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

3) Analisis Hukum

Setelah dilakukan penelusuran terhadap putusan tersebut,

penulis menemukan fakta hukum, bahwa majelis Hakim telah

mengabaikan sejumlah data dan fakta berdasarkan teori-teori hukum

pidana yang berlaku di Indonesia, yaitu:

Saksi Jami’an, mantan kepala desa di kawasan yang dipermasalahkan tersebut periode tahun 1985 s/d tahun 2004, dalam salah satu kesaksiannya mengatakan bahwa pada tahun 1998 telah datang surat dari KSDA yang melarang membuat perubahan kawasan di sekitar areal kawasan dimana Surat tersebut telah diajukan juga oleh saksi sebagai alat bukti tambahan berupa surat. Kemudian pada bulan Juni 2005 terjadi pembelian lahan oleh terdakwa dari H.M. Husni Thamrin dimana saksi Jami’an yang menguruskan Surat Jual Belinya kepada kepala desa yang baru bernama Ismail. Mengingat bahwa sebelumnya telah ada surat larangan dari intansi KSDA pada tahun 1998 untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kawasan, adalah kewajiban dari saksi untuk memperjelas status kawasan tersebut kepada instansi KSDA sebelum terjadinya transaksi pembelian lahan karena patut diduga kawasan tersebut masih berada dalam kawasan hutan milik negara. Namun saksi Jamian tidak pernah meminta informasi tentang kejelasan status kawasan kepada instansi yang berwenang. Karena tiadanya permintaan penjelasan kepada pihak yang berwenang dalam hal ini instansi KSDA, maka alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond) karena tidak mengetahui adanya suatu larangan untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan, dalam hal ini tidak dapat diterapkan sebagai alasan yang dapat menghapuskan kesalahan dan pidana seseorang. Hasil wawancara dengan Edi Wibowo, SH, MH, hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, diperoleh informasi sebagai berikut:

“Kordinasi antara Integrated Criminal Justice System harus dilakukan akan tetapi harus selalu memperhatikan independensi masing-masing lembaga. Kordinasi bisa dilakukan sebatas menyangkut hal-hal teknis seperti misalnya teknis menghadirkan barang bukti di persidangan. Misalnya saja terhadap barang bukti berupa harimau yang telah mati, cukup dihadirkan sample nya saja misalnya tulang-tulangnya. Selama ini materi tentang kehutanan dan sumber daya alam telah ada dalam diklat-diklat kehakiman karena tindak pidana ilegal logging telah menjadi prioritas penegakan hukum yang dicanangkan oleh pemerintah. Dalam forum-forum tidak resmi hakim juga sering menghimbau kepada instansi kehutanan agar mensosialisasikan peraturan di bidang kehutanan, karena memang masyarakat sering tidak mengetahui ketentuan hukum yang berlaku. Kadang ketidak jelasan patok batas hutan juga sering menjadi faktor penyebab terjadinya kasus perambahan. Kordinasi dalam arti substansi perkara tidak perlu mengingat independensi masing-masing lembaga, tapi kalau dalam arti untuk mempermudah proses peradilan dapat dilakukan misalnya untuk menghadirkan barang bukti. Yang kedua hakim perlu mendapat

keyakinan atas kerusakan hutan yang terjadi, tidak cukup hanya dari photo-photo, jadi diperlukan juga sidang lapangan untuk memastikan kerusakan hutan. Perlunya kordinasi ini karena yang paling mengetahui kejadian di lapangan adalah instansi kehutanan. Karena merupakan salah satu unsur pembuktian di proses persidangan. Termasuk misalnya apabila si tersangka membantah bahwa dia mengerjakan tanah yang menjadi hutan milik negara, menurut pengakuannya tanah tersebut masih merupakan hak miliknya. Hakim membutuhkan sidang lapangan untuk memastikan objek yang disengketakan, karena itu harus ada kordinasi dengan kepala lingkungan, Lurah dan Bupati setempat, dan instansi kehutanan. Jadi Hakim tidak harus menghukum, kalau memang tanah yang dikerjakan oleh si tersangka bukan wilayah hutan negara maka tersangka harus dibebaskan. Kebijakan dalam di Pengadilan bahwa hakim yang akan mengadili perkara kehutanan tidak berdasarkan kriteria tersendiri karena hakim dianggap telah mengetahui undang-undang sesuai dengan azas hukum ius curia novit, tapi meskipun demikian kebijakan Ketua Pengadilan akan mengutamakan hakim yang pernah mengikuti pelatihan di bidang kehutanan maupun penanganan tindak pidana illegal logging. Dalam memutuskan perkara tindak pidana perambahan hutan, hakim akan mengedepankan unsur keadilan. Kalau pelakunya adalah petani kecil yang tidak tahu aturan dan kurangnya sosialisasi dari kehutanan atau sudah tahu namun terdesak oleh kebutuhan hidup, tentu hakim akan melihat unsur keadilan. Memang terkesan hukumannya ringan namun dalam hal ini hakim melihat unsur keadilan. Lain misalnya kalau yang melakukan itu dalam skala besar dan luar biasa atau pemilik modal kuat. Berkaitan dengan adanya teori fiksi dalam ilmu hukum di Indonesia, dalam memutuskan suatu perkara hakim akan mengutamakan unsur keadilan walaupun tidak boleh terlepas dari hukum. Oleh karenanya bagi tersangka yang memang sudah terbukti tidak akan dibebaskan, akan tetapi tetap dikatakan bersalah, dalam hal ini unsur keadilan tersebut diletakkan pada berat ringannya hukumannya, terkadang hukuman percobaan, kadang dihukum ringan. Menurut pendapat saya ketidaktahuan seseorang akan aturan hukum bukan merupakan alasan pemaaf yang menghapuskan kesalahan seseorang tapi hanya sekedar unsur meringankan. Kalau memang tindak pidananya telah terbukti, alasan pemaaf tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapuskan pidana. Pada saat ini, budaya hukum masyarakat yang masih rendah juga diakibatkan oleh karena tidak adanya sosialisasi peraturan perundang-undangan dari instansi yang berwenang. Penerapan ajaran sifat melawan hukum materil dalam arti negatif dikarenakan keadilan. Kalau bicara hukum masing-masing hakim karena banyaknya aliran dalam ilmu hukum

bisa berbeda pendapat. Bagi satu hakim alasan ketidak tahuan bisa dijadikan alasan pemaaf namun bagi saya sendiri melihatnya kausistis, dalam arti apakah sudah pernah diingatkan sebelumnya. Sekarang ini Hakim-hakim sering mengikuti pelatihan 3-4 bulan di Australia mengenai lingkungan hidup di samping pelatihan tentang HAKI yang telah berlangsung selama ini.”159

Hal yang sama disampaikan oleh Ade Sumitra Hadisurya,

SH.,M.Hum., Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, yang

menyatakan bahwa:

“Dengan adanya teori fictie yang berlaku dalam sistem hukum di Indonesia, alasan ketidaktahuan pelaku tentang adanya peraturan perundang-undangan tentunya tidak dapat dijadikan alasan pemaaf bagi pelaku. Bagi saya pribadi ketidaktahuan itu hanya dapat dijadikan sebagai alasan untuk memperingan hukuman itupun setelah dengan keyakinan bahwa pelaku karena alasan tertentu memang tidak mengetahui keberadaan peraturan tersebut. Itulah sebabnya dalam beberapa kali kesempatan saya selalu menekankan pentingnya penyuluhan hukum kepada masyarakat sehingga mereka tahu akan adanya suatu larangan terhadap tindakan tertentu. Apalagi masyarakat sekitar hutan yang jauh dari akses informasi, penyuluhan hukum yang dilakukan oleh instansi-instansi yang berwenang merupakan sarana yang cukup efektif untuk mensosialisasikan peraturan. Kalau alasan ketidaktahuan akan peraturan dijadikan alasan pemaaf, akan sangat banyak pelaku kejahatan yang menjadikan alasan itu untuk melepaskan diri dari tuntutan hukum. Kalau hal tersebut yang terjadi maka unsur kepastian hukum dalam sistem hukum di negara kita akan tidak ada artinya. Unsur kepastian hukum tersebut harus seimbang juga dengan unsur keadilan dan unsur manfaat.”160

b) Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb

tanggal 12 Oktober 2006

1) Duduk Perkara

159 Wawancara dengan Edi Wibowo, SH, MH, Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, di

gedung Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, tanggal 10 Desember 2009, pukul 10.00 WIB. 160 Wawancara dengan Ade Sumitra Hadisurya, SH.,M.Hum., Hakim pada Pengadilan

Negeri Langkat, di gedung Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, tanggal 9 Desember 2009 pukul 10.00 WIB.

Bahwa Yadi Suprayogi telah didakwa oleh Jaksa Penuntut

Umum dalam dakwaan alternatif: (1) mengerjakan dan atau

menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;

dimana perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan

diancam pidana melanggar pasal 78 ayat (2) huruf a Undang-undang

Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; atau (2) melakukan

beberapa perbuatan perhubungan dan dipandang sebagai perbuatan

yang diteruskan, dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan

terhadap keutuhan kawasan alam dan melakukan kegiatan yang

dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti Taman

Nasional; dimana perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur

dan diancam pidana melanggar pasal pasal 40 ayat (1) jo pasal 19

ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo pasal 64 ayat 1

KUH Pidana; atau (3) setiap orang dengan sengaja melakukan usaha

budi daya tanaman perkebunan dengan luas tanah tertentu atau usaha

industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tententu tidak

memiliki ijin usaha perkebunan, sebagaimana diatur dan diancam

pidana berdasarkan pasal 46 ayat (1) jo pasal 17 ayat (1) Undang-

undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan jo pasal 64 ayat

(1) KUH Pidana. Ketiga dakwaan alternatif tersebut dilakukan oleh

terdakwa di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur

Laut tepatnya di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura,

Kabupaten Langkat.

Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, atas tindak pidana

yang diduga dilakukannya, Jaksa Penuntut Umum menuntut Yadi

Suprayogi dengan hukuman pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan

denda sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) subsidair 3 (tiga)

bulan kurungan

2) Fakta-fakta Hukum

Penulis hanya akan membahas beberapa pertimbangan hukum

majelis hakim yang menurut penulis merupakan pertimbangan hakim

untuk menjatuhkan putusan atas dugaan tindak pidana yang

dilakukan oleh Yadi Suprayogi.

Berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum bahwa Yadi

Suprayogi telah melakukan tindak pidana “Secara terus menerus

melakukan pelanggaran terhadap ketentuan melakukan kegiatan

yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan

alam dan melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan

terhadap keutuhan zona inti Taman Nasional”. Tuntutan Jaksa yang

dibuat secara alternatif memberikan kebebasan kepada Majelis

Hakim untuk mempertimbangkan salah satu tuntutan dari Jaksa

Penuntut Umum yang akan digunakan sebagai dakwaan.

Menurut Jaksa Penuntut Umum dalam surat Dakwaan

Penuntut umum tertanggal 22 Maret 2006 yang pada pokoknya

Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Langkat di Stabat memutuskan:

a) Menyatakan terdakwa Yadi Suprayogi telah melakukan tindak

pidana “Secara terus menerus melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan

perubahan terhadap keutuhan kawasan alam dan melakukan

kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan

zona inti Taman Nasional” sebagaimana diatur dan diancam

pidana melanggar pasal pasal 40 ayat (1) jo pasal 19 ayat (1)

Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan ekosistemnya jo pasal 64 ayat (1) KUH

Pidana

b) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara

selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta

rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan

c) Menyatakan barang bukti berupa: ±25 (dua puluh lima) hektar

Kebun kelapa sawit yang seluruhnya berada di kawasan KSDA

dikembalikan kepada negara melalui Balai Konservasi Sumber

Daya Alam Sumatera Utara I.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan surat bukti di persidangan, Majelis Hakim beranggapan bahwa terdapat fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, yaitu: a) Terdakwa menguasai lahan seluas ±25 (dua puluh lima) hektar di

desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat

b) Bahwa lahan tersebut diperoleh terdakwa dari Daniel Sugianto

pada tahun 2002 berdasarkan surat ganti rugi yang diketahui oleh

Kepala Desa Tapak Kuda.

c) Bahwa pada waktu dibeli oleh terdakwa, lahan tersebut sebagian

sudah ada tanaman kelapa sawit dan sebagian lagi masih tanah

kosong.

d) Bahwa Daniel Sugianto menguasai tanah tersebut berdasarkan

Surat Pelepasan hak dengan ganti rugi dari masayarakat yang

ditandatangani oleh Camat Tanjung Pura pada tahun 2002.

e) Bahwa berdasarkan sidang lapangan, lahan yang dikuasai oleh

terdakwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No.

811/Kpts/Um-II/1980, termasuk kawasan KSDA, sedangkan

berdasarkan peta Surat Keputusan Menteri Kehutanan

No.44/Menhut/II/2005, lahan yang dikuasai terdakwa masuk ke

dalam Hutan Produksi terbatas.

f) Bahwa benar di sekitar lahan yang dikuasai oleh terdakwa telah

terdapat banyak kebun kelapa sawit milik masyarakat.

Dengan terungkapnya fakta-fakta hukum tersebut Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti menduduki

kawasan hutan produksi terbatas secara tidak sah dimana pendudukan itu dilakukan berdasarkan Surat Ganti Rugi dari Daniel Sugianto alias Ahok Daniel dengan diketahui oleh Kepala Desa Tapak Kuda, dimana Daniel Sugianto alias Ahok Daniel memperoleh lahan tersebut berdasarkan Surat Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi yang diketahui oleh Camat Tanjung Pura.

Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan bahwa sebagaimana diketahui dalam teori hukum pidana dikenal adanya azas geen straft zonder schuld yang artinya tidak dipidana kalau tidak ada kesalahan. Dalam perkara ini, Majelis Hakim beranggapan bahwa walaupun perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa telah terbukti semuanya, namun fakta dan keadaan tersebut di atas merupakan alasan pemaaf bagi kesalahan terdakwa.161

Oleh karena keadaan tersebut merupakan alasan pemaaf dari kesalahan terdakwa dan dengan adanya alasan pemaaf tersebut, maka perbuatan terdakwa yang menduduki kawasan hutan secara tidak sah tersebut bukan merupakan tindak pidana. Karena bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging), dan memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Sedangkan lahan seluas ±25 (dua puluh lima) hektar kebun kelapa sawit dan satu unit bangunan rumah/gubuk di lokasi dikembalikan kepada terdakwa.162

c) Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb

tanggal 12 Oktober 2006

1) Duduk Perkara

Bahwa Toguan Halomoan Tampubolon, Bsc., telah didakwa

oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan alternatif: (1) melakukan

perbuatan sebagai orang yang menyuruh melakukan peristiwa pidana

dengan sengaja mengerjakan dan atau menggunakan dan atau

menduduki kawasan hutan secara tidak sah; sebagaimana diatur dan

diancam pidana melanggar pasal 78 ayat (2) jo pasal 50 ayat (3)

161 Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb tanggal 12 Oktober 2006 hlm. 19

162 Ibid., hlm. 20

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan atau (2)

Dakwaan Primair melakukan larangan yakni melakukan kegiatan

yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan

alam dan melakukan kegiatan yang yang tidak sesuai dengan fungsi

zona pemanfaatan dan zona lain dari Taman Nasional, taman raya,

Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, sebagaimana diatur

dan diancam pidana melanggar pasal pasal 40 ayat (2) jo pasal 33

ayat (3) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dakwaan Subsidair,

telah lalai melakukan pelanggaran yakni melakukan kegiatan yang

dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan Suaka Alam dan

kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan

zona inti taman nasional; sebagaimana diatur dan diancam pidana

melanggar pasal pasal 40 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya. Ketiga dakwaan alternatif tersebut dilakukan oleh

terdakwa di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur

Laut tepatnya di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura,

Kabupaten Langkat.

2) Fakta-fakta Hukum

Dalam penulisan tesis ini, Penulis hanya akan membahas

beberapa pertimbangan hukum majelis hakim yang menurut penulis

merupakan pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusan atas

dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Toguan Halomoan

Tampubolon, Bsc. Berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang

pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa Toguan Halomoan

Tampubolon, Bsc., telah melakukan tindak pidana “telah melakukan

larangan yakni melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi

zona pemanfaatan dan zona lain dari Taman Nasional, taman raya,

Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam”, sebagaimana diatur

dan diancam pidana melanggar pasal pasal 40 ayat (2) jo pasal 33

ayat (3) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Tuntutan Jaksa yang

dibuat secara alternatif memberikan kebebasan kepada Majelis

Hakim untuk mempertimbangkan salah satu tuntutan dari Jaksa

Penuntut Umum yang akan digunakan sebagai dakwaan.

Menurut Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Tuntutan No.

Reg.Perk: PDM-186-I/STBAT/04/2006 tanggal 15 Agustus 2006

yang pada pokoknya Penuntut Umum menuntut supaya Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Langkat di Stabat memutuskan:

a) Menyatakan terdakwa Toguan Halomoan Tampubolon, Bsc.,

telah melakukan tindak pidana “telah melakukan larangan yakni

melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona

pemanfaatan dan zona lain dari Taman Nasional, taman raya,

Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, sebagaimana diatur

dan diancam pidana melanggar pasal pasal 40 ayat (2) jo pasal 33

ayat (3) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

b) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Toguan Halomoan

Tampubolon, Bsc., berupa pidana penjara selama 10 (sepuluh)

bulan dan pidana denda sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta

rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan

Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan surat bukti di persidangan, Majelis Hakim beranggapan bahwa terdapat fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, yaitu: a) Terdakwa menguasai lahan seluas ±20 (dua puluh) hektar di desa

Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat.

b) Bahwa lahan tersebut diperoleh terdakwa pada tahun 2005 dengan

cara penyerahan/ganti rugi kepada keluarga Rusdin Saragih seluas

±10 (sepuluh) hektar dan kepada keluarga almarhum Hamid

Nasution seluas ±10 hektar.

c) Bahwa pada waktu dibeli oleh terdakwa, lahan tersebut sebagian

sudah ada tanaman kelapa sawit dan sebgian lagi masih

ditumbuhi rumput-rumput atau semak-semak.

d) Bahwa dahulunya lahan tersebut adalah garapan masyarakat

kemudian diberikan oleh Jami’an selaku Kepala Desa kepada

Rusdin Saragih yang kemudian diganti rugi oleh terdakwa pada

tahun 2005.

e) Bahwa pada awal lahan tersebut dikuasai oleh terdakwa, tidak ada

pihak yang berkeberatan dan tidak ditemui patok batas kawasan

hutan KSDA.

Dengan terungkapnya fakta-fakta hukum tersebut Majelis

Hakim menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti menguasai lahan

seluas ±20 (dua puluh) hektar di Desa Tapak Kuda, Kecamatan

Tanjung Pura, Kabupaten Langkat yang diperoleh melalui

penyerahan/ganti rugi kepada keluarga Rusdin Saragih seluas ±10

(sepuluh) hektar dan kepada keluarga almarhum Hamid Nasution

seluas ±10 (sepuluh) hektar. Pada waktu lahan tersebut diganti rugi

oleh terdakwa sebagian telah berupa kebun kelapa sawit dan

sebagian lagi berupa semak-semak. Terdakwa tidak memiliki ijin

untuk menduduki lahan yang masuk dalam kawasan hutan tersebut

baik dari pejabat daerah maupun pejabat pusat yang berwenang

untuk itu.

Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan bahwa sebagaimana diketahui dalam teori hukum pidana dikenal azas geen straft zonder schuld yang artinya tidak dipidana kalau tidak ada kesalahan. Dalam perkara ini, Majelis Hakim beranggapan bahwa walaupun perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa telah terbukti

semuanya, fakta dan keadaan tersebut di atas merupakan alasan pemaaf bagi kesalahan terdakwa.163

Oleh karena keadaan tersebut merupakan alasan pemaaf dari

kesalahan terdakwa dan dengan adanya alasan pemaaf tersebut,

maka perbuatan terdakwa yang menduduki kawasan hutan secara

tidak sah tersebut bukan merupakan tindak pidana. Oleh karena

perbuatan terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka

terdakwa harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag

van alle rechtvervolging), dan memulihkan hak-hak terdakwa dalam

kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

4. Sikronisasi Fakta-fakta Hukum dengan Teori-teori Hukum Pidana

Setelah dilakukan penelusuran terhadap putusan tersebut, penulis

menemukan fakta-fakta hukum, bahwa majelis Hakim telah mengabaikan

sejumlah data dan fakta berdasarkan teori-teori hukum pidana yang

berlaku di Indonesia. Terdapat tiga putusan Pengadilan Negeri Langkat

yang menjatuhkan vonis lepas dari tuntutan hukum (onslag van alle

rechtvervolging) terhadap terdakwa. Putusan onslag tersebut didasarkan

pada adanya alasan pemaaf (schulduitsluitinggronden) terhadap perbuatan

yang dilakukan oleh terdakwa.

Dalam teori hukum pidana dikenal adanya dasar-dasar peniadaan

pidana dimana pada kondisi ini terdapat keadaan-keadaan yang telah

membuat tindakan dari pelaku menjadi tidak bersifat melanggar hukum

ataupun yang telah membuat pelakunya itu menjadi tidak dapat

dipersalahkan atas tindakan-tindakannya, karena pada diri pelaku tidak

terdapat sesuatu unsur kesalahan (schuld). Keadaan-keadaan tersebut yang

membuat hakim tidak dapat menjatuhkan sesuatu hukuman terhadap

pelaku disebut “strafsuitslutiningsgronden” atau dasar-dasar yang

meniadakan hukuman.

163 Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb tanggal 12 Oktober 2006 hlm. 19.

Pembuat Undang-undang membuat aturan ini bertujuan untuk

mencapai derajat keadilan yang setinggi-tingginya. Ada banyak hal baik

yang bersifat objektif maupun subjektif yang mendorong dan

mempengaruhi ketika sesorang mewujudkan suatu tingkah laku yang pada

kenyatannya dilarang oleh Undang-undang. Pemikiran yang semacam

inilah yang mendasari dibentuknya ketentuan umum perihal faktor-faktor

yang menyebabkan tidak dipidananya si pelaku.

Dalam ilmu hukum, sumber dari dasar-dasar peniadaan hukuman

(strafsuitslutiningsgronden) dibagi atas dua kelompok, yaitu yang

tercantum dalam Undang-undang dan yang lain terdapat di luar Undang-

undang. Undang-undang (Bab III KUHP) menentukan ada tujuh (7) dasar

yang menyebabkan tidak dapat dipidananya si pembuat, ialah:164

a) Adanya ketidakmampuan bertanggung jawab si pembuat

(ontoerekeningsvatbaarheid, pasal 44 ayat (1);

b) Adanya daya paksa (overmacht, pasal 48);

c) Adanya pembelaan terpaksa (noodweer, pasal 49 ayat (1);

d) Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweerexes,

pasal 49 ayat (2));

e) Karena sebab menjalankan perintah Undang-undang (pasal 50);

f) Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (pasal 51 ayat (1);

g) Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik

(pasal 51 ayat (2).

Menurut doktrin hukum pidana, tujuh (7) hal penyebab tidak dipidananya si pembuat tersebut, dibedakan menjadi 2 dasar yakni (1) atas dasar pemaaf dan (2) atas dasar pembenar. Dasar peniadaan hukuman terdapat juga di luar Undang-Undang, yaitu: a) Ijin;

b) Tidak ada kesalahan sama sekali (afwezigheid van alle schuld)

c) Tidak ada sifat melawan hukum materil

164 Adami Chazawi, op.cit.,hlm. 18

Alasan penghapus hukuman tidak tertulis tidak bertentangan dengan azas legalitas, sebab azas ini hanya menyampingkan hukum tidak tertulis dalam hal menetapkan dapat dipidana, tetapi tidak dalam hal mengurangi atau menghapuskan dapat dipidana

Dalam teori hukum pidana, dasar-dasar peniadaan hukuman

(strafsuitslutiningsgronden) ini terbagi menjadi dua yaitu:

a) Alasan pembenar (rechtvaardingingsgronden) yaitu alasan yang

menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang

dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar

b) Alasan pemaaf (schulduitsluitinggronden) yaitu alasan yang

menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh

terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan

pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.165

Dalam alasan pembenar (rechtvaardingingsgronden) terdapat unsur yang bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya. Apabila dalam suatu tindak pidana yang dinyatakan secara formal ada dasar pembenar, maka perbuatan tersebut menjadi tidak melawan hukum. Karena “melawan hukum” adalah bagian inti (bestanddeel) delik, maka putusannya adalah bebas (vrisjpraak). Menurut Van Bemmelen alasan pembenar akan meniadakan unsur melawan hukum berarti perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana. Ini berarti bahwa apabila terjadi tindak pidana penyertaan, yaitu seseorang ikut serta sebagai pembantu, menyuruh melakukan, memancing untuk melakukan delik itu, ia tidak dapat dipidana juga. Dalam hal ini terdapat unsur objektif, yaitu perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana.166 Tidak dipidananya si pembuat atas dasar alasan pembenar adalah karena pada perbuatannya tersebut telah kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan, walaupun dalam kenyataanya perbuatan si pembuat telah memenuhi unsur tindak pidana, tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, maka si pembuatnya tidak dapat dipidana. Contohnya petinju yang bertarung di atas ring memukul lawannya hingga luka-luka, bahkan mati.167

Dengan demikian sebagai akibat adanya alasan pembenar maka perbuatan tersebut menjadi tidak merupakan tindak pidana dan karenanya,

165 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2000,

hlm.137 166 J.M. van Bemmelen dikutip dari Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan

Kedua (Edisi Revisi), PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 145 167 Adami Chazawi, op.cit., hlm.19

hak-hak atas kepemilikan benda, barang maupun properti yang sebelumnya didakwakan sebagai hasil dari perbuatan tindak pidana, secara hukum bukan berasal dari perbuatan pidana.

Dalam alasan pemaaf (schulduitsluitinggronden) ada unsur yang bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat. Tidak dipidananya si pembuat karena alasan pemaaf ialah bahwa perbuatannya tersebut tetap bersifat melawan hukum, namun berhubung hilang atau hapusnya kesalahan pada diri si pembuat, maka perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, dia dimaafkan atas perbuatannya tersebut.168 Atas adanya unsur melawan hukum dari perbuatan yang merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, maka putusannya adalah lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) karena adanya alasan pemaaf.169 Ini berarti bahwa apabila terjadi tindak pidana penyertaan, yaitu seseorang ikut serta sebagai pembantu, menyuruh melakukan, memancing untuk melakukan delik itu, orang itu tetap dapat dipidana (kalau yang ikut serta itu dapat dipertanggungjawabkan). Dalam hal peniadaan hukuman ini, terdapat unsur subjektif, yaitu adanya dasar peniadaan hukuman berupa alasan pemaaf terhadap si pembuat, akan tetapi perbuatannya adalah tetap merupakan tindak pidana sehingga hak-hak atas kepemilikan benda, barang maupun properti yang didakwakan sebagai hasil dari perbuatan tindak pidana, secara hukum dinyatakan berasal dari perbuatan pidana. Berdasarkan alasannya putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) dijatuhkan jika hakim berpendapat bahwa: a) Perbuatan yg didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu

tidak merupakan tindak pidana.

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum diatur dalam pasal

191 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi:

Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.170

Dasar penjatuhan putusan ini adalah:

168 Ibid 169 Andi Hamzah, loc.cit 170 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Cetakan Ketigabelas, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2006,

hlm. 309.

1) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah

dan meyakinkan;

2) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang

didakwakan tidak merupakan tindak pidana.

Untuk membedakan alasan penjatuhan vonis lepas dari segala tuntutan hukum ini dengan adanya alasan pemaaf, di sini kita lihat hal yang melandasi putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, terletak pada kenyataan, apa yang didakwakan dan yang telah terbukti tersebut “tidak merupakan tindak pidana”, tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat.171

Menarik apa yang disampaikan oleh Andi Hamzah, bahwa formulasi Undang-undang ini adalah kurang tepat. Sebenarnya kalau perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa bukan delik (tindak pidana), maka dari permulaan seharusnya hakim tidak menerima tuntutan jaksa (niet ontvankelijk verklaring van het Openbare Ministerie). Atau sebelum sampai pada proses pengadilan dalam hal kalau perbuatan yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana, penuntut umum pun tidak dapat melakukan penuntutan seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana tersebut atas dasar adanya dasar-dasar yang meniadakan penuntutan (vervolgingsuitsluitingsgronden).172 Jadi menurut Andi Hamzah, di belakang kata “tetapi” pada pasal 191 ayat (2) KUHAP tersebut tertulis “...perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa tidak bersalah (sengaja atau alpa) atau tidak melawan hukum atau ada alasan pemaaf (feit d’excuse).173 Hal yang sama disampaikan oleh Chaerul Huda, bahwa putusan onslag seyogyanya ditafsirkan sebagai putusan hakim yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum karena adanya alasan penghapus pidana. Jadi dakwaan dan tindak pidananya tetap terbukti. Hanya saja ada alasan penghapus pidananya. Menurutnya bahwa pada dasarnya surat dakwaan jaksa penuntut umum berisikan uraian tindak pidana, jadi agak aneh kalau di satu sisi mengatakan dakwaan terbukti, tapi tidak ada tindak pidana.174

171 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 331

172 Lihat P.A.F Lamintang, op.cit., hlm. 385 173 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Sinar

Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 282. Periksa juga Aloysius Wisnusubroto, Teknis Persidangan Pidana, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm.124

174 Chaerul Huda, dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20099/direktur-hrd-hotel-sultan-lepas-dari-jerat-hukum, diakses tanggal 5 Februari 2010 pukul 18.15

b) Perbuatan yg dilakukan merupakan tindak pidana, tetapi terdapat alasan

pemaaf (schulduitsluitinggronden) pada diri terdakwa.

Alasan penjatuhan putusan lepas dari segala tututan hukum ini

didasarkan atas adanya dasar-dasar peniadaan hukuman yang salah

satunya berupa alasan pemaaf (schulduitsluitinggronden yang

merupakan salah satu dasar peniadaan hukuman

[straftuitsluitinggronden]). Dalam Undang-undang kriteria alasan

pemaaf ini tidak secara eksplisit disebutkan, namun para ahli hukum

pidana beranggapan bahwa bahwa alasan pemaaf ini tidak bermaksud

untuk menyatakan bahwa perbuatannya bukan merupakan tindak

pidana, akan tetapi sifat dicelanya perbuatan yang bisa dimaafkan, Jadi

alasan pemaaf ini bersifat subjektif, yaitu memaafkan si pelaku akan

tetapi perbuatannya tetap merupakan tindak pidana. Perbuatan yang

dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap

merupakan perbuatan pidana, tetapi pelakunya tidak dapat dipidana.175

Berikut ini dapat digambarkan dalam tabel dasar-dasar peniadaan

hukuman (strafsuitslutiningsgronden) sebagai berikut:176

Tabel 9 : Alasan-alasan Penghapus pidana Umum yang Tertulis (written defences)

PEMBENAR PEMAAF

3. Keadaan darurat 4. Pembelan terpaksa 5. Menjalankan peraturan

perundang-undangan 6. Menjalakan perintah

jabatan yang sah

7. Tidak Mampu bertanggung jawab

8. Daya paksa 9. Pembelaan terpaksa melampaui

batas 10. Menjalankan perintah jabatan

yang tidak sah

175 Moeljatno, loc.cit. 176 D. Schaffmeister, et.al., Hukum Pidana Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana

dalam Rangka Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Editor J.E. Sahetapy, Edisi Pertama Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm.58

Tabel 10: Alasan-alasan penghapus Pidana Di Luar Undang-undang

(unwritten defences)

PEMBENAR PEMAAF

11. Ijin 12. Norma-norma jabatan

yang sudah diterima

13. Sesat yang dapat dimaafkan -sesat fakta

-sesat hukum

14. Ketidakmampuan yang dapat dimaafkan

Putusan Pengadilan Negeri Langkat yang menjatuhkan vonis lepas

dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) kepada terdakwa didasarkan atas keyakinan hakim untuk mempertimbangkan adanya alasan pemaaf di luar Undang-undang atas terdakwa berupa ketidaktahuan terdakwa akan adanya larangan untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan177. Majelis hakim memutuskan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan “menduduki kawasan hutan secara tidak sah” sebagaimana ketentuan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi: “Setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.”

Akan tetapi dalam putusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.178 Menurut Penulis, keputusan ini tidak sesuai dengan bunyi vonis yang menyatakan bahwa menjatuhkan vonis lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) kepada terdakwa dengan pertimbangan adanya alasan pemaaf terhadap terdakwa. Harus diingat bahwa dalam teori hukum pidana, dasar penghapusan hukuman (straftsuitsluitingsgronden) dengan tidak dipidananya si pembuat karena adanya alasan pemaaf ialah adanya alasan pemaaf tertentu terhadap diri si pembuat, baik yang berasal dari Undang-undang maupun berasal dari luar undang-undang. Dalam hal ini ada unsur-unsur subjektif yang bisa dimaafkan akan tetapi perbuatannya tersebut tetap bersifat “melawan hukum”. Karena unsur “melawan hukum” merupakan bagian inti (bestanddeel) dari delik, maka perbuatan yang dilakukan adalah tindak pidana.179

177 Putusan Pengadilan Negeri Langkat, Nomor 26/Pid.B/2006/PN Stb,- tanggal 12 Oktober

2006, hlm.25 178 Putusan Pengadilan Negeri Langkat, ibid, hlm. 28 179 Hasil wawancara dengan Edy Wibowo, SH, MH, Hakim pada Pengadilan Negeri

Langkat, di gedung Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, tanggal 10 Desember 2009, pukul 10.00 WIB.

Dengan demikian pembuat dapat dimaafkan akan tetapi perbuatannya berupa “menduduki kawasan hutan secara tidak sah” di kawasan hutan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut adalah tindak pidana. Karena perbuatannya tetap merupakan tindak pidana, dan unsur-unsur perbuatan telah sesuai dalam delik yang dituduhkan maka seyogyanya terhadap objek sengketa yang telah dinyatakan oleh Majelis Hakim merupakan bagian dari SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut harus dikembalikan kepada pemegang hak yang sah.

B. Pembahasan

1. Fungsionalisasi Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Perambahan

Hutan di Suaka Margastawa Karang Gading dan Langkat Timur

Laut.

Walaupun upaya penegakan hukum pidana telah dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana perambahan hutan di di Suaka Margastawa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, namun intensitasnya tidak berkurang, bahkan para tersangka yang sebelumnya telah dituntut karena melakukan kegiatan perambahan hutan kembali melakukan kegiatan perambahan karena tidak ada pidana yang setimpal yang dijatuhkan dalam proses peradilan. Tiga pelaku perambahan yang telah divonis oleh Pengadilan Negeri Langkat pada tahun 2006, kembali mengerjakan lahan yang berada dalam kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut karena putusan onslag dari Majelis hakim. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis mengidentifikasi faktor-faktor penghambat untuk memfungsikan hukum pidana dalam tindak pidana perambahan hutan yang terjadi di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Faktor penghambat tersebut, sesuai dengan apa yang didalilkan oleh Lawrence M. Friedman pada dasarnya bersumber dari unsur substansi, unsur struktural dan unsur budaya hukum, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Substansi

1) Penerapan Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Nomor 5 tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya.

a) Pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1)

Pada pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990

tentang KSDAH&E disebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang

melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan

terhadap keutuhan kawasan suaka alam”. Perubahan terhadap

keutuhan kawasan suaka alam meliputi mengurangi,

menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta

menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

Dalam prakteknya ketentuan pasal ini sulit untuk

diterapkan, karena tidak menjelaskan jenis perbuatan yang dapat

dipidana. Ketentuan pasal ini menitikberatkan pada akibat yang

ditimbulkan oleh perbuatan apa pun yang dapat mengakibatkan

perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Rumusan

pasal 19 ayat (1) tersebut disebut sebagai delik materil atau delik

yang mementingkan akibat dari perbuatan pidananya, bukan

perbuatan pidananya sendiri.

Walaupun dalam ayat (3) dijelaskan kegiatan yang dapat

dipidana yaitu mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas

kawasan suaka alam, namun belum ada ukuran yang jelas yang

menerangkan hilangnya fungsi kawasan suaka alam. Hilangnya

fungsi kawasan suaka alam harus dapat dijelaskan melalui ukuran

yang ilmiah, tepat dan teruji yang dilakukan oleh ahlinya, dan

bukan hanya penglihatan semata.

Demikian juga formulasi tindak pidana dalam pasal 33 ayat

(1) yang berbunyi: “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan

yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti

taman nasional.” Untuk menerapkan ketentuan pasal tersebut,

membutuhkan kemampuan Penyidik yang tidak hanya menguasai

ketentuan di bidang hukum pidana, namun juga harus menguasai

pengetahuan teknis seperti ilmu-ilmu biologi, ilmu geologi, ilmu

klimatologi dan ilmu fisika yang bisa menjelaskan hilangnya

fungsi kawasan suaka alam berdasarkan indikator-indikator

tertentu. Pengetahuan tersebut sudah barang tentu tidak dikuasai

secara memadai oleh Penyidik baik penyidik Polri maupun

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Apabila penyidikan

tersebut dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Kehutanan, akan semakin menyulitkan mengingat tidak adanya

kewenangan Penyidik untuk memanggil saksi ahli sesuai dengan

kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik Kehutanan di bidang

konservasi sumber daya alam berdasarkan ketentuan pasal 39 ayat

(3) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E.

b) Pasal 39 ayat (2)

Pasal 39 ayat (2) mengatur tentang mekanisme penyidikan

tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam yang

dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Dalam

ayat ini diatur ketentuan bahwa Penyidik Pegawai Negeri sipil

Kehutanan memberitahukan dimulainya penyidikan dan

melaporkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui

Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai

dengan ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 5 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Ketentuan ini mengakibatkan rentang jalur dan mekanisme

birokrasi penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai

Negeri Sipil Kehutanan semakin panjang dan cenderung tidak

efisien yang justru tidak sesuai dengan prinsip-prinsip

pelaksanaan proses peradilan yang cepat, efisien dan biaya relatif

murah.

c) Pasal 40

Pasal 40 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

KSDAH&E memuat tentang ketentuan pidana terhadap

pelanggaran pasal 19 dan pasal 21 Undang-undang ini. Dalam

pasal 40 dimuat pidana penjara maksimum dan pidana tambahan

berupa denda maksimum yang dapat diancamkan. Namun

ketentuan dalam pasal 40 tersebut tidak memuat tentang

ketentuan ancaman pidana penjara minimum dan ancaman pidana

tambahan denda minimum. Ketentuan tersebut mengakibatkan

adanya tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sangat rendah

terhadap tindak pidana kehutanan. Tuntutan Jaksa penuntut

Umum tersebut akhirnya bermuara pada putusan Pengadilan yang

menjatuhkan pidana yang sangat rendah terhadap tindak pidana di

bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam.

2) Penerapan Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Nomor 41 tahun

1999 tentang Kehutanan

a) Pasal 50 ayat (2)

Pasal 50 ayat (2) Undang-undang nomor 41 tahun 1999

dapat menjerat ijin usaha pemanfaatan kawasan, ijin usaha

pemanfaatan jasa lingkungan, ijin usaha pemnafataan hasil hutan

kayu dan bukan kayu, serta ijin pemungutan hasil hutan kayu dan

bukan kayu yang melakukan kegiatan yang menimbulkan

kerusakan hutan. Pada bagian penjelasan pasal 50 ayat (2)

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah

terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang

menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan

sesuai dengan fungsinya.

Penerapan pasal ini dalam prakteknya akan menjadi

kesulitan tersendiri bagi penyidik. Untuk dapat menilai terjadinya

kerusakan hutan dengan indikator adanya perubahan fisik, sifat

fisik atau hayatinya membutuhkan hasil analisis tanah, air,

vegetasi dan berbagai tolok ukur yang berhubungan dengan

penilaian kerusakan hutan. Agar dapat memperoleh hasil

penilaian tersebut, seorang penyidik dituntut untuk menguasai

pengetahuan yang berkaitan seperti ilmu-ilmu biologi, ilmu

kimia, ilmu fisika dan ilmu geologi yang secara eksak dapat

menjelaskan terjadinya kerusakan hutan. Tentunya hal tersebut

menjadi kendala bagi penyidik baik Penyidik Polri maupun

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Terlebih lagi dalam

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan,

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan tidak diberikan

kewenangan untuk mendatangkan saksi ahli yang diperlukan

dalam proses penyidikan.

b) Pasal 77 ayat (2) huruf f

Pasal 77 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 diatur tentang tata cara penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tata cara menangkap dan menahan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) KUHAP dapat diketahui bahwa pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia. Dengan demikian sesuai dengan ketentuan ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan tidak dapat melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan kecuali dalam keadaan tertangkap tangan. Hal ini tentunya menjadi kendala tersendiri bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam mempercepat penyelesaian proses penyidikan tindak pidana kehutanan. Ketentuan ini berbeda misalnya dengan kewenangan Penyidik Kepabeanan yang dapat melakukan penangkapan tanpa rekomendasi dari Penyidik Polri.180

c) Pasal 77 ayat (3)

Pasal 77 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999

mengatur tentang mekanisme penyidikan tindak pidana kehutanan

yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Pejabat

penyidik pegawai negeri sipil yang sedang melakukan proses

180 Lihat Pasal 112 ayat (2) huruf d Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang

Kepabeanan.

penyidikan tentang tindak pidana di bidang kehutanan

memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil

penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana.

Berdasarkan ketentuan pasal 107 ayat (3) KUHAP bahwa apabila tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Polri.

Dengan adanya ketentuan tersebut, jalur birokrasi yang ditempuh oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam memproses suatu tindak pidana kehutanan, semakin panjang dan cenderung tidak efektif.

d) Pasal 78

Pasal 78 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 memuat tentang ketentuan pidana terhadap pelanggaran pasal 38 dan pasal 50 undang-undang ini. Dalam pasal 78 dimuat pidana penjara maksimum dan pidana tambahan berupa denda maksimum yang dapat diancamkan. Akan tetapi ketentuan dalam pasal 78 tersebut tidak mengatur ketentuan ancaman pidana penjara minimum dan ancaman pidana tambahan denda minimum yang dapat dikenakan kepada tindak pidana kehutanan. Ketentuan tersebut mengakibatkan adanya tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sangat rendah terhadap tindak pidana kehutanan. Pada perkara perambahan hutan yang terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa pelaku pendudukan dan penguasaan hutan secara tidak sah, yaitu Khibeng alias Abeng dengan hukuman pidana penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Langkat sangat jauh dari ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 78 yaitu dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

b) Struktural

2) Pengelola Kawasan

Dengan luas kawasan ±15.765 hektar (seluas 9.520 hektar

berada di Kabupaten Langkat dan 6.245 hektar berada di Kabupaten

Deli Serdang), pengelolaan kawasan ini secara administratif dikelola

oleh tiga pemangkuan setingkat resor. Pengelola kawasan setingkat

resor merupakan ujung tombak dalam fungsi perlindungan dan

pengamanan kawasan. Namun dengan jumlah petugas sebanyak dua

(2) orang pada masing-masing resor, tentu tidak akan mampu

berbuat maksimal melakukan tugas perlindungan dan pengaman

kawasan. Resor KSDA Langkat Timur laut I yang berkedudukan di

Karang Gading misalnya, dengan luas kawasan ±6.245 ha dikelola

olah 2 orang petugas Polisi Kehutanan. Dalam pelaksanaan tugas

sehari-hari, pengelola Resor KSDA ini tidak dilengkapi oleh sarana

transportasi kendaraan roda dua. Sejak tahun 2006 telah direkrut

tenaga Pengaman Hutan Swakarsa yang berasal dari masyarakat

setempat yang diharapkan dapat membantu tugas-tugas perlindungan

hutan. Langkah ini merupakan kebijakan yang cukup penting dengan

melibatkan masyarakat setempat untuk melindungi kawasan hutan,

walaupun dalam rangka penegakan hukum, Pengaman Hutan

Swakarsa tidak memiliki kewenangan. Dua pengelola setingkat resor

lainnya, juga memiliki permasalahan yang sama, selengkapnya

mengenai sarana perlindungan yang terdapat pada masing-masing

resor dapat digambarkan dalam tabel 11 berikut ini:

Tabel 11 Sarana Pengamanan Hutan Pada Resor Konservasi Wilayah

di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut 181

Resor KSDA

Jumlah

Petugas

(Polhut

dan staf)

Jumlah

Pamhut

Swakarsa

Kendaraan Patroli Senjata

Api Roda

Dua

Perahu/

Speed

Boat

181 Wawancara dengan Khalid Surbakti, Kepala Resor KSDA KG&LTL I di kantor Balai

Besar KSDA Sumatera Utara, Medan tanggal 8 Desember 2009, M.Nur Kepala Resor KSDA KG&LTL II di Pematang Sentang, Langkat, tanggal 11 Desember 2009, dan Ahmadin, Kepala Resor KSDA KG&LTL III di Selotong pada tanggal 11 Desember 2009.

LTL I di Karang

Gading 2 10 - - -

LTL II di

Pematang

Sentang

2 13 - 1 -

LTL III di

Selotong 2 10 - 1 1

Minimnya sarana untuk menunjang tugas-tugas pengamanan

hutan pada tingkat resor, tentunya akan mempengaruhi kinerja

petugas dalam upaya menegakkan hukum terhadap pelanggaran

tindak pidana kehutanan di dalam kawasan hutan. Hasil wawancara

dengan petugas terkait, bahwa ketiadaan sarana transportasi roda dua

merupakan kendala bagi pelaksanaan patroli rutin di kawasan hutan.

Ketiadaan sarana tersebut mengakibatkan patroli rutin dan kordinasi

dengan Kepolisian Sektor setempat tidak dapat berlangsung dengan

baik. Faktor sarana ini merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi tidak berfungsinya penegakan hukum pidana

terhadap pelanggaran hukum kehutanan di Suaka Margasatwa

Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Hal yang merupakan dalil

yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto bahwa penegakan hukum

akan dipengaruhi oleh sarana atau fasilitas yang mendukung bagi

penegakan hukum tersebut. Minimnya fasilitas pendukung di tiap-

tiap pengelola akan memberikan kontribusi bagi ketidakefektifan

fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana kehutanan.

Dari wawancara yang dilakukan dengan Kepala Resor Konservasi

Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut I, II dan III

bahwa dengan kondisi sekarang ini dimana kendaraan roda dua

patroli tidak tersedia, maka petugas tidak bisa optimal melakukan

patroli ke dalam kawasan. Patroli hanya dilakukan sebatas yang bisa

ditempuh dengan kemampuan berjalan kaki. Kordinasi dengan

Petugas Polsek juga menjadi terhambat karena ketiadaan kendaraan

operasional. Sebagai alternatifnya, petugas Resor menggunakan

kendaraan milik sendiri dengan biaya pribadi. Kondisi ini tentunya

tidak akan efektif mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh petugas

Resor.

Di samping itu juga dengan pola mutasi (tour of duty) yang

sekarang ini diterapkan, cenderung stagnan dan tidak memberikan

efek tour of duty yang diharapkan bisa meningkatkan kegairahan

kerja dan profesionalisme petugas dalam menghadapi berbagai jenis

permasalahan di bidang kehutanan. Kedudukan yang terlalu lama

dalam suatu daerah dan situasi kerja yang sama, akan menjadi tidak

efektif dan bahkan cenderung terjadi penyalahgunaan kewenangan.

Apa yang dikemukakan oleh Lord Acton bahwa “the power attempt

to corrupt”, kekuasaan cenderung terjadi penyalahgunaan

kewenangan, patut menjadi renungan bagi pemegang kepentingan.

Penerapan siklus mutasi yang teratur, pada satu sisi dilematis dengan

tingkat kesejahteraan petugas resor. Pada kondisi ideal tour of duty

petugas resor harus diikuti dengan adanya pemberian insentif baik

untuk tunjangan penghasilan maupun operasional mutasi bagi

petugas dan keluarganya. Dengan kondisi penghasilan yang

sekarang, sangat tidak memungkinkan untuk melakukan siklus tour

of duty pada tingkat Kepala resor yang merupakan pejabat

fungsional.

3) Proses Penyidikan

Penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan dan konservasi

sumber daya alam pada dasarnya dilakukan oleh Penyidik Polri dan

Penyidik PNS Kehutanan sesuai dengan ketentuan Undang-undang.

Penyidik Polri sebagai penyidik tunggal, memiliki kewenangan

untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap semua tindak pidana

yang terjadi. Dengan fungsinya sebagai penyidik tunggal, terhadap

tindak pidana tertentu yang membutuhkan pengetahuan teknis

tersendiri, penyidik Polri memiliki keterbatasan. Dari informasi yang

diperoleh dari AKP B. Siahaan, Kepala Kepolisian Sektor

Secanggang, bahwa Penyidik Polri terutama di tingkat Polsek sangat

terbatas baik dari segi jumlah maupun kemampuan menyidik perkara

tertentu misalnya tindak pidana kehutanan dan konservasi sumber

daya alam. Terutama pemahaman terhadap terjadinya kerusakan dan

akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana kehutanan. Sehingga

penerapan pelanggaran ketentuan yang diterapkan juga masih belum

tepat. Di samping itu adanya ketentuan undang-undang di bidang

kehutanan yang diformulasi dalam delik materil menyulitkan

penyidik Polri untuk penerapannya. Hal yang sama dialami oleh

Penyidik PNS kehutanan dalam hal pembuktian tindak pidana yang

formulasinya delik materil. Apalagi Penyidik PNS Kehutanan tidak

memiliki kewenangan untuk memanggil saksi ahli. Kekurangan

pemahaman tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Mas Achmad

Santosa menjadi salah satu kendala struktural pada unsur penyidik

dalam menegakkan hukum pidana dalam tindak pidana kehutanan.

Hal yang sama diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan oleh

Penulis dengan Polmer Situmorang, SH Kepala Bidang Konservasi

Wilayah I, Balai Besar KSDA Sumatera Utara, bahwa aparat

penegak hukum baik Penyidik Polri maupun Penyidik PNS

Kehutanan belum memahami penanganan kasus di SM Karang

Gading dan Langkat Timur Laut. Akibatnya banyak Laporan

Kejadian (LK) yang dilaporkan oleh petugas Resor Konservasi

Wilayah tidak ditindaklanjuti dan mengendap di meja Penyidik. Di

samping itu juga, ketiadaan biaya operasional menjadi kendala yang

dihadapi oleh Penyidik dalam penanganan tindak pidana kehutanan.

Tindak pidana perambahan hutan terjadi pada kawasan hutan yang

aksesnya sangat terbatas. Transportasi hanya bisa dilakukan dengan

kendaraan khusus. Pada saat terjadi tindak pidana perambahan, alat

berat yang digunakan oleh pelaku tidak dapat segera dilakukan

penyitaan karena ketiadaan biaya untuk mengangkut dari kawasan

hutan. Sehingga seringkali alat yang digunakan untuk merambah

telah terlebih dahulu dibawa lari oleh pemiliknya sehingga tidak

dapat dihadirkan dalam pemeriksaan oleh Penyidik.

4) Proses Penuntutan

Kejaksaan adalah lembaga negara yang berwenang

melaksanakan fungsi penuntutan dalam proses peradilan. Di samping

itu juga sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), kejaksaan

mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena

hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu

kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti

yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Penuntutan yang dilakukan

oleh Jaksa dalam fungsinya sebagai Penuntut Umum dituangkan

dalam surat dakwaan yang harus dibuat secara jelas, cermat dan

lengkap, sebab surat dakwaan memiliki posisi paling strategis

sebagai rujukan utama bagi hakim dalam menetapkan putusannya.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusti Probowati

Rahayu182 bahwa tuntutan (rekuisitur) Jaksa akan mempengaruhi

Hakim dalam menjatuhkan hukuman. Semakin tinggi rekuisitur

Jaksa, semakin tinggi pula hukuman yang akan dijatuhkan oleh

Hakim. Penelitian ini dilakukan berdasarkan eksperimen terhadap 90

orang Hakim yang dibagi dalam 3 kelompok dan diminta untuk

memberikan hukuman pada perkara yang sama (pembunuhan

berencana dengan dakwaan Pasal 338 KUHP). Hasilnya

182 Yusi Probowati Rahayu, “Rekuisitur Jaksa Penuntut Umum dan Kepribadian Otoritarian

Hakim Dalam Proses Pemidanaan di Indonesia”, Disertasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2001.

menunjukkan bahwa Hakim yang mendapatkan rekuisitur yang

tinggi dari Jaksa, akan memberikan hukuman yang tinggi (rerata

85,97 bulan), Hakim yang mendapatkan perkara tanpa rekuisitur

memberikan hukuman sedang (rerata 59,13 bulan), sedangkan

Hakim yang mendapatkan rekuisitur yang rendah dari Jaksa,

memberikan hukuman yang rendah (rerata 43,77) bulan. Hal ini

membuktikan bahwa Hakim akan sangat terpengaruh oleh rekuisitur

Jaksa dalam menjatuhkan hukuman. Dari penelitian lain yang

dilakukan oleh Yusti Probowati Rahayu yang subjeknya adalah

mahasiswa hukum bahwa 68,2% subjek terpengaruh oleh rekuisitur

jaksa penuntut umum dalam pemidanaan. Analisis lebih lanjut

menunjukkan bahwa pengaruh rekuisitur jaksa terhadap putusan

hakim tergantung pada jenis perkara dan tinggi rendahnya ancaman

pemidanaan. Pada jenis perkara singkat, 78% hakim terpengaruh

oleh rekuisitur jaksa. Pada perkara yang ancaman hukumannya

tinggi misalnya perkara pembunuhan, sebanyak 22% hakim

terpengaruh oleh rekuisitur jaksa, sedangkan pada perkara yang

ancamannya sedang, 50% hakim terpengaruh oleh rekuisitur jaksa.

Dengan demikian dapat dipahami korelasinya mengapa Hakim

Pengadilan Negeri Langkat menjatuhkan putusan onslagh pada kasus

perambahan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut adalah

salah satunya pengaruh dari rendahnya rekuisitur Jaksa Penuntut

Umum dalam perkara tersebut. Adalah patut dicermati bahwa

kebijakan Kejaksaan Republik Indonesia sendiri dalam menangani

tindak pidana kehutanan/illegal logging telah digariskan berdasarkan

Surat Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-002/JA/4/1995

tanggal 28 April 1995 tentang Perkara Penting Tindak Pidana Umum

Lain, bahwa tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah

perkara penting yang memerlukan perhatian khusus dari pimpinan

dan oleh karenanya perlu ditangani dan diselesaikan dengan sistem

pengendalian, pelaporan dan pendokumentasian. Pola penanganan

dan penyelesaian perkara kehutanan dijelaskan lebih rinci dalam

Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-

189/E/5/1995 tanggal 3 Mei 1995. Dengan demikian sebagai bagian

dari Kejaksaan Republik Indonesia, seharusnya Kejaksan Negeri

Langkat tetap berpedoman pada ketentuan yang telah digariskan oleh

Kejaksaan Agung, sehingga tuntutan terhadap pelaku tindak pidana

kehutanan disamping harus tetap mengacu pada ancaman hukuman

yang terdapat dalam Undang-undang yang telah dilanggar juga harus

memperhatikan unsur keadilan dalam masyarakat.

Pemahaman aparat kejaksaan terhadap tindak pidana

kehutanan dan konservasi sumber daya alam juga belum memadai.

Hal yang dapat dipetik dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum dari

Kejaksaan Negeri Langkat pada kasus perambahan di SM Karang

Gading dan Langkat Timur Laut pada tahun 2005 bahwa

pemahaman ini belum sepenuhnya merata. Dakwaan Jaksa Penuntut

Umum yang disusun dalam bentuk dakwaan alternatif menunjukkan

bahwa pertama jaksa tidak mengetahui perbuatan mana apakah yang

satu atau yang lain akan terbukti di persidangan, kedua jaksa masih

ragu peraturan hukum pidana mana yang akan diterapkan oleh

hakim 183. Menurut Mas Achmad Santosa, masalah pemahaman

aparat terhadap undang-undang dan bagaimana menerapkannya atau

ketentuan pasal apa yang harus diterapkan terhadap suatu

pelanggaran menjadi suatu masalah krusial yang mengemuka dalam

upaya penegakan hukum kehutanan di Indonesia. 184

183 Van Bammelen, dikutip dari Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan

Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.180-181 184 Mas Achmad Santosa, Penguatan Penegakan Hukum atas Illegal Logging, disampaikan

dalam Seminar dan Lokakarya Nasional, Jakarta, 29-30 November 2007

5) Proses Pengadilan

Proses pengadilan yang dimaksud di sini adalah proses pengadilan dalam lembaga Pengadilan baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. Penegakan hukum lingkungan membutuhkan peranan hakim untuk mencapai kemandiriannya dengan peningkatan profesionalisme yang tercermin dalam bobot mutu putusan yang dijatuhkan. Untuk menjaga profesionalisme hakim ada tiga unsur yang harus dipenuhi yaitu: 185 4) Kepakaran (expertise);

5) Kemitraan (corporateness);

6) Tanggung jawab (responsibility)

Kepakaran yang dimaksudkan adalah kemampuan untuk

mengetahui, memahami dan menghayati hukum yang berlaku serta

keberanian menghakimi berdasarkan hukum itu. Unsur kemitraan

berkaitan dengan kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam

menjatuhkan putusan. Tanggung jawab kepada masyarakat berkaitan

dengan keterbukaan dan okjektifitas putusan hakim. Keputusan

hakim sejauh mungkin tidak bertolak belakang dengan rasa keadilan

yang berkembang dalam masyarakat. Dengan ketiga unsur yang

harus dimiliki tersebut, Hakim-hakim di Indonesia diharapkan

memiliki kemampuan yang handal dan profesional dalam

menerapkan hukum dengan tetap berpedoman dengan azas-azas

hukum yang berlaku dan sedapat mungkin mencapai

kesimbangan/proporsionalitas untuk menerapkan unsur-unsur

keadilan, kepastian hukum dan manfaat dalam penegakan hukum

sebagaimana yang didalilkan oleh Gustav Radbruch. Penerapan

ajaran sifat melawan hukum materil yang dianut dalam sistem

peradilan di Indonesia, membutuhkan hakim-hakim yang memiliki

ketiga unsur tersebut dalam mengoperasionalkan hukum pidana.

Demikian juga penerapan azas hukum yang pada umumnya tidak

185 Direktorat Jenderal Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, Departemen

Kehakiman, op.cit., hlm. 77

tertulis namun harus menjadi pedoman dalam memfungsikan hukum

pidana. Oleh karenanya sebagaimana yang dikemukan oleh Satjipto

Rahardjo bahwa pada saat ini dibutuhkan hakim-hakim yang

mempunyai empati, dedikasi dan determinasi untuk menciptakan

keadilan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis

menggambarkan penerapan ajaran sifat melawan hukum materil dan

penerapan azas hukum oleh hakim di Pengadilan Negeri Langkat

yang mengadili perkara perambahan hutan SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut pada Putusan Nomor: 26/Pid.B/2006/PN Stb.-

tanggal 12 Oktober 2006, Putusan Pengadilan Negeri Langkat

nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb tanggal 12 Oktober 2006, dan

Putusan Pengadilan Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb tanggal 12

Oktober 2006.

a) Penerapan Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil (Materiale

Wederrechtelijkheid) oleh Hakim Pengadilan Negeri Langkat

Putusan Pengadilan Negeri Langkat yang menjatuhkan vonis lepas dari segala tuntutan hukum kepada terdakwa pelaku perambahan hutan adalah dengan adanya alasan pemaaf (schuldsuitsluitinggronden). Alasan pemaaf yang dipertimbangkan oleh Majelis hakim bersumber dari alasan pemaaf di luar Undang-undang. Pemberlakuan alasan pemaaf di luar Undang-undang ini dalam hukum pidana dilandasi oleh adanya ajaran sifat melawan hukum materil (materiale wederrechtelijkheid).

Berdasarkan ajaran sifat melawan hukum materil diakui

adanya alasan penghapus pidana di luar Undang-Undang di

samping alasan penghapus pidana yang tertulis dalam Undang-

Undang. Alasan penghapus pidana yang tertulis oleh para ahli

hukum Pidana dibagi menjadi alasan Pembenar

(rechtvaardigingsgrond) dan alasan Pemaaf

(schulduitsluitingsgrond). Pembagian ini sebenarnya dalam

ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) itu

sendiri tidak disebutkan secara eksplisit. Sedangkan alasan

penghapus pidana yang tidak tertulis (di luar undang-undang)

dibagi juga menjadi alasan Pembenar (rechtvaardigingsgrond)

dan alasan Pemaaf (schulduitsluitingsgrond). Penerapan alasan

penghapus pidana di luar Undang-undang ini merupakan fungsi

negatif dari ajaran sifat melawan hukum material (materiale

wederrechtelijkheid). Alasan penghapus pidana tidak tertulis

tersebut tidak bertentangan dengan azas legalitas (azas nullum

delictum nulla poena sine praevia lege poenali) yang merupakan

azas primaritas dalam hukum pidana sebagaimana terdapat dalam

pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak ada perbuatan yang dapat

dihukum selain apabila sebelumnya telah ada Undang-undang

yang mengatur perbuatannya itu, sebab azas ini hanya menerima

hukum tidak tertulis dalam hal mengurangi atau menghapuskan

dapat dipidana dan bukan dalam hal menetapkan dapat

dipidananya seseorang. 186

Dalam hukum pidana, ajaran perbuatan melawan hukum

materil dibatasi penggunaannya melalui fungsi negatifnya sebagai

alasan peniadaan pidana, dengan maksud untuk menghindari

pelanggaran azas legalitas sekaligus dapat menghindari

penggunaan analogi dalam hukum pidana.

Sependapat dengan pandangan tentang perbuatan melawan

hukum secara materil yang harus diartikan negatif adalah Wirjono

Projodikoro yang menyatakan bahwa:

Adanya hukum pidana dengan tindak pidana yang dirumuskan di dalamnya itu, bersumber pada pelanggaran-pelanggaran hukum di bidang hukum lain itu. Jadi dengan sendirinya, dalam tindak pidana harus ada sifat melanggar hukum. Tetapi biasanya unsur wederrechtelijkheid ini tidak

186 D. Schaffmeister et.al., op.cit., hlm. 55

disebutkan dalam suatu pasal ketentuan hukum pidana, sedangkan seperti dikatakan di atas, pada setiap tindak pidana tentu ada unsur wederrechtelijkheid atau sifat melanggar hukum. Oleh karena yang dihilangkan itu ialah sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan atau rechtmatig, maka alasan menghilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitings-grond) ini juga dikatakan alasan pembenar atau menghalalkan perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana (rechtvaardigings-grond)”.187 Sama halnya dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro

berkenaan dengan fungsi negatif dari sifat melawan hukum

materil adalah pandangan dari Oemar Seno Adji yang

menyatakan bahwa :

Dengan mengakui azas Materiale Wederrechtelijkheid, jurisprudensi khususnya Mahkamah Agung, dalam pengertian negatif, ialah bahwa suatu perbuatan secara materil dipandang tidak wederrechtelijkheid, walaupun ia memenuhi semua unsur dari tindak pidana dan karenanya merupakan perbuatan yang formal adalah wederrechtelijkheid, diciptakan suatu alasan penghapus pidana yang umum sifatnya, bahkan dikatakan dalam putusan tersebut ia dirubrisir sebagai suatu alasan pembenar yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.188 Demikian juga dengan Lobby Loqman yang menggariskan

arti negatif dari perbuatan melawan hukum secara materil, dengan

menyatakan:

Melawan hukum secara materil haruslah dipergunakan secara negatif, ini berarti bahwa apabila terdapat suatu perbuatan nyata-nyata merupakan hal yang melawan hukum secara formil, sedangkan di dalam masyarakat perbuatan tersebut tidak tercela, jadi secara materil tidak melawan

187 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan

Ketujuh, PT. Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm.75 188 Oemar Seno Adji, KUHAP Sekarang, Erlangga, Jakarta, 1985, hlm.244

hukum, perbuatan tersebut seyogyanya tidak dijatuhi pidana.189 Adanya pengakuan fungsi negatif dari perbuatan melawan

hukum secara materil juga dikemukakan oleh Vos dan Hulsman

(diikuti oleh Jonkers dan Langemeyer) yang menyatakan bahwa

belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan

undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang

dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, karena di

samping undang-undang (tertulis), ada pula hukum yang tidak

tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang

berlaku dalam masyarakat, meskipun Hulsman tidak secara nyata-

nyata menyatakan hal tersebut sebagai hukum tidak tertulis

sebagai salah satu ciri dari pengertian perbuatan melawan hukum

secara materil.190

Jadi perkembangan adanya penerimaan pandangan tentang

ajaran sifat perbuatan melawan hukum materil hanyalah terbatas

dan dikaitkan dengan persoalan mengenai alasan-alasan yang

menghapuskan tindak pidana di luar perundang-undangan

(tertulis) saja dari perbuatan pelaku, sehingga hanyalah

diperkenankan adanya sifat melawan hukum materil dengan

mempergunakan fungsi negatifnya, mengingat adanya suatu azas

legalitas (principle of legality) dalam hukum pidana, sebagai

salah satu ciri khas tetap dari negara hukum.

Ajaran sifat melawan hukum material (materiale wederrechtelijkheid) mengakui adanya alasan penghapus pidana berdasarkan hukum tidak tertulis. Schaffmeister membagi alasan penghapus pidana tidak tertulis tersebut menjadi alasan Pembenar (rechtsvaardigingsgrond) yang menimbulkan tidak adanya sifat melawan hukum materil dan alasan Pemaaf

189 Loebby Loqman, Beberapa Ikhwal di Dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1971 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta, 1991, hlm.31 190 Oemar Seno Adji, op.cit., hlm.236

(schulduitsluitinggrond) yang menghapuskan kesalahan si pelaku (afwezigheid van alle schuld/avas).

Pada ketiga putusan Pengadilan Negeri Langkat yang mengadili perkara “barang siapa dengan sengaja melawan hukum, mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah”, menjatuhkan vonis lepas dari segala tuntutan hukum kepada ketiga terdakwa dengan dasar adanya alasan pemaaf di luar undang-undang yang merupakan dasar-dasar peniadaan hukuman (strafsuitslutiningsgronden).

Dasar pertimbangan hakim adalah berupa ketidaktahuan terdakwa akan adanya larangan untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan, yaitu mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah di dalam kawasan hutan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut tetapnya di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, sebagaimana diatur dalam pasal 78 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Menurut Penulis, alasan ketidaktahuan untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang dijadikan alasan pemaaf oleh Majelis Hakim adalah tidak tepat. Berdasarkan fakta-fakta hukum dan kesaksian yang terungkap di pengadilan, bahwa status kawasan hutan konservasi SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang terletak di Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara telah ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.811/Kpts/Um/11/1980 tentang Penunjukan Areal Hutan Karang Gading Dan Langkat Timur Laut seluas ±15.765 HA Yang Terletak Di Daerah Tk.II Langkat Dan Daerah Tk.II Deli Serdang, Daerah Tk.I Sumatera Utara Sebagai Hutan Suaka Alam Cq. Suaka Margasatwa. Penunjukan kawasan ini sebagai kawasan hutan milik negara sebenarnya telah ada sejak jaman sebelum kemerdekaan Indonesia dan diakui keberadaannya berdasarkan Zelfbestuur Besluit (ZB) Kerajaan Negeri Deli No. 148 tanggal 6 Agustus 1932 seluas 9.520 hektar, sedangkan hutan di Karang Gading ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan ZB No. 138 tanggal 8 Agustus 1935 seluas 6.245 hektar. Penunjukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.811/Kpts/Um/11/1980 hanya merupakan perubahan fungsi kawasan dari hutan produksi menjadi fungsi kawasan hutan konservasi. Sedangkan lokasi dan luasan kawasan yang ditunjuk tidak ada mengalami perubahan.

Apabila dilihat dari adanya alasan pemaaf di luar undang-undang, dapat dikategorikan menjadi tiga jenis kesesatan, yaitu:191

1) Sesat tentang perbuatan (error facti / mistake of facts)

Hal ini mengatur tentang alasan pemaaf sebagai akibat

adanya kekeliruan yang dapat dimaafkan. Kekeliruan ini

menyebabkan tidak dapat dijatuhkannya kesalahan kepada si

pembuat. Pada kekeliruan ini, si pembuat disyaratkan telah

bersikap hati-hati yang maksimal. Misalnya, tanda lalu lintas

yang karena keadaan hampir tidak terlihat (H.R. 20-1-1973,

atau seseorang yang mengira bahwa tanda periksa mobilnya

merupakan jaminan kebaikan kendaraannya (H.R. 27-2-

1962).192 Apabila dihubungkan dengan pertimbangan Majelis

Hakim atas ketidaktahuan terdakwa terhadap status kawasan

hutan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut,

mencerminkan adanya sikap ketidak hati-hatian yang

maksimal dari terdakwa terhadap status lahan yang diusahinya.

Meskipun secara formal, alasan ketidaktahuan terdakwa atas

status kawasan hutan yang diusahainya dapat dibenarkan

berdasarkan kesaksian-kesaksian yang telah diucapkan oleh

para saksi di depan persidangan dan yang telah dituangkan

dalam berita acara pemeriksaan. Keseluruhan saksi dari Balai

Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I sebagai

pengelola kawasan yang diperiksa di persidangan menyatakan

tidak adanya tanda-tanda batas yang menunjukkan kawasan

tersebut adalah kawasan hutan suaka margasatwa. Terlepas

dari ketidaktahuan para saksi atas tanda batas tersebut, namun

kebenaran yang diakui secara hukum adalah kebenaran yang

191 D. Schaffmeister et.al., op.cit., hlm. 143 192 Ibid., hlm. 70

diucapkan dibawah sumpah di depan persidangan. Namun

secara materil, alasan ketidaktahuan terdakwa atas status

kawasan hutan, tidak dapat dibenarkan karena berdasarkan

kenyatannya status kawasan hutan yang disengketakan telah

ditetapkan sejak dikeluarkannya Zelfbestuur Besluit (ZB)

Kerajaan Negeri Deli No. 148 tanggal 6 Agustus 1932 dan

Zelfbestuur Besluit (ZB) No. 138 tanggal 8 Agustus 1935.

Sesat fakta yang bisa dijadikan sebagai alasan pemaaf

mensyaratkan bahwa orang yang tidak mengetahui peraturan

perundangan-undangan yang menyangkut tentang dia, baik

pekerjaan maupun hak-haknya, bagaimanapun juga harus

berusaha untuk mengetahuinya. Kalau ada seseorang yang

ingin bertindak pada suatu bidang yang tidak begitu dikenal

(yang agak asing), maka ia harus berusaha untuk memperoleh

informasi-informasi yang dapat dipercayai mengenai

peraturan-peraturan perundang-undangan yang akan menjadi

pedoman untuk tindakan-tindakannya, dimana informasi

tersebut diperoleh dari seseorang atau instansi yang dalam

kedudukannya dianggap memiliki otoritas untuk

menjelaskan.193 Pemberi informasi yang dianggap memiliki

otoritas tersebut, harus dilihat kasus demi kasus. Pemberi

informasi yang dianggap memiliki otoritas tentang peraturan

perundang-undangan di SM Karang Gading dan Langkat

Timur Laut adalah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam

Sumatera Utara termasuk juga Dinas Kehutanan Kabupaten

Langkat dan Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara. Dari

fakta-fakta yang terungkap di persidangan, terdakwa tidak

pernah meminta penerangan kepada instansi tersebut sehingga

193 Ibid., hlm. 140

alasan pemaaf karena adanya sesat fakta (error facti / mistake

of facts) tidak tepat diterapkan dalam perkara tersebut.

2) Sesat tentang Hukum (error Juris / mistake of law)

Pada dasarnya undang-undang berlaku untuk semua

orang, tanpa mempertimbangkan apakah mereka mengenalnya

atau tidak. Namun kalau ada seseorang yang tidak mengetahui

undang-undang, dan hakim berkeyakinan ada sesat yang dapat

dimaafkan, maka pidana tidak dijatuhkan. Pada umumnya hal

ini hanya terjadi kalau yang bersangkutan telah menghubungi

pejabat yang bebas dan cukup berwenang, sehingga

penerangan tentang peraturan yang berlaku baginya dapat

dipercaya. Contoh: Putusan Surat Motor. Pengendara motor

telah meminta penerangan kepada pejabat kepolisian setempat

tentang surat-surat yang dibutuhkan untuk dapat mengendarai

motor di jalan raya. Tapi Polisi tersebut tidak memberikan

jawaban dan penerangan yang lengkap tentang syarat-syarat

yang harus dimiliki untuk dapat mengendarai motor di jalan

raya. Akibat penerangan yang dia dapatkan tidak lengkap,

suatu ketika si pengendara ditangkap dan dituduh bersalah

tidak melengkapi syarat-syarat untuk dapat mengendarai

sepeda motor di jalan raya. Namun hakim menjatuhkan vonis

lepas dari tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf (H.R.

22-11-1949)194 dimana si pengendara motor sebelumnya telah

meminta penerangan dari instansi kepolisian setempat. Karena

informasi yang tidak lengkap dari kepolisian tersebut, ada

alasan pemaaf bagi pengendara motor karena adanya sesat

hukum (error juris).

194 Ibid., hlm. 71

Pada perkara tindak pidana kehutanan yang terjadi di

SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, terdakwa tidak

pernah meminta penerangan dari orang atau instansi yang

memiliki otoritas yaitu Balai Besar Konservasi Sumber Daya

Alam Sumatera Utara termasuk juga Dinas Kehutanan

Kabupaten Langkat dan Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera

Utara. Dengan demikian, alasan pemaaf karena adanya sesat

tentang hukum (error Juris / mistake of law) bagi terdakwa

tidak dapat diterapkan.

3) Kesesatan mengenai kemampuan untuk bertindak sesuai

dengan tuntutan Undang-undang (mistake of capacity to act

according the law)

Alasan pemaaf sebagi dasar peniadaan hukuman atas

kesalahan ini diakibatkan oleh adanya ketidakmampuan di luar

dirinya yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Pada

kesesatan ini dicontohkan mengenai suatu kejadian tabrakan

yang terjadi akibat pengemudi secara tiba-tiba pingsan akibat

serangan diabetes (HR 24-11-1964) 195. Pada kesesatan ini si

pengemudi tidak dihukum karena adanya alasan pemaaf

(schulduitsluitinggrond). Pada kasus perambahan hutan di SM

Karang Gading dan Langkat Timur Laut, kriteria kesesatan

kemampuan ini, sangat berbeda sekali dan tidak bisa

diterapkan.

b) Penerapan Azas Hukum oleh Hakim Pengadilan Negeri Langkat

Undang-undang adalah suatu peraturan negara yang

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan

195 Ibid., hlm. 142

dipelihara oleh penguasa negara. Menurut Buys, undang-undang

itu mempunyai dua arti, yakni196:

1) Undang-undang dalam arti formal: ialah setiap keputusan

Pemerintah yang merupakan Undang-undang karena cara

pembuatannya (misalnya: dibuat oleh pemerintah bersama-

sama dengan parlemen)

2) Undang-undang dalam arti material: ialah setiap keputusan

pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap

penduduk.

Syarat mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang adalah diundangkannya dalam Lembaran Negara (LN)197 oleh Menteri Sekretaris Negara. Pada zaman Hindia Belanda Undang-undang itu diundangkan dalam Staatsblad (stb.=S). Setelah diundangkan dalam Lembaran Negara, Undang-undang tersebut lalu diumumkan dalam Berita Negara. Tanggal mulai berlakunya suatu undang-undang adalah menurut tanggal yang ditetapkan dalam undang-undang itu sendiri kecuali apabila dalam Undang-undang tersebut tidak disebutkan kapan mulai berlakunya, maka undang-undang itu mulai berlaku sejak 30 hari setelah diundangkan dalam Lembaran Negara untuk Jawa dan Madura, dan untuk daerah-daerah lainnya baru berlaku sejak 100 hari setelah diundangkan dalam Lembaran Negara. Sesudah syarat tersebut dipenuhi, maka berlakulah suatu fictie dalam hukum bahwa setiap orang dianggap telah mengetahui adanya sesuatu Undang-undang.198 Tiap orang dianggap mengetahui undang-undang, ini suatu fictie yang dianut oleh negara. Jika tidak berpedoman kepada fictie itu, maka kedudukan hukum pidana akan sangat lemah, karena setiap orang akan dapat mengatakan

196 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan Kedelapan,

Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm.46 197 Lembaran Negara Republik Indonesia adalah sebuah publikasi berkala dengan ikutan

penomoran pemuatan yang berisikan mengenai berbagai informasi berkaitan dengan segala bentuk Kebijakan, Pengumunan, Peraturan dan Perundangan yang dikeluarkan oleh Badan, Lembaga atau Pemerintah berketentuan setelah pencatatan dan dipublikasikan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan pemaksaan atas pemberlakuan pada keseluruhan wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Lihat Wikipedia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaran_Negara, diakses pada tanggal 25 Januari 2010 pukul 11.36 WIB.

198 Ibid., hlm. 47

bahwa ia pada hakekatnya tidak mengetahui undang-undang dan dengan demikian dapat meloloskan diri dari hukuman.

Dalam pembuatan undang-undang yang baik, perlu diperhatikan berbagai azas yang mendasari adanya suatu norma hukum. Azas hukum itu sendiri adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Azas itu dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum. Azas dapat menjadi titik tolak bagi pembentuk undang-undang dan interpretasi bagi undang-undang tersebut.199 Asas-asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan latar belakang peraturan hukum konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Azas menjadi titik tolak bagi pembentuk undang-undang dan interpretasi bagi undang-undang tersebut. Azas lebih tinggi daripada hukum yang ditentukan manusia. Salah satu azas hukum yang penting yang harus dijadikan pedoman dalam interpretasi Undang-undang adalah azas eidereen wordt geacht de wette kennen, artinya bahwa setiap orang dianggap mengetahui Undang-undang.200 Dalam bahasa Latin adagium ini dikenal dengan nemo jus ignorare cerisetur, tiap orang dianggap mengetahui undang-undang.201 Dalam pasal akhir Undang-undang, hal ini akan dicantumkan dengan maksud agar setiap orang melakukan perbuatan hukum tidak berdalih belum mengetahui adanya Undang-undang tersebut. Hal ini berarti bahwa jika ada seseorang yang melanggar Undang-undang tersebut tidak dapat membebaskan diri dengan alasan tidak mengetahui adanya undang-undang tersebut.

Undang-undang di bidang kehutanan, yang memuat tentang

ketentuan pidana terdapat dalam pasal 19 ayat (1), pasal 21 dan

pasal 33 juncto pasal 40 Undang-undang nomor 5 tahun 1990

tentang Konservasi sumber Daya alam hayati dan Ekosistemnya

sebagaimana telah dicatatkan dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara

199 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Cetakan ketiga, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995,

hlm.81 200 R.O. Siahaan, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit RAO Press, Cibubur, 2008, hlm.43 201 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab

Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. Hlm. 281

Nomor 3419. Kemudian ketentuan pidana dicantumkan dalam

dalam Pasal 38 ayat (4) dan Pasal 50 juncto Pasal 78 Undang-

undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana

telah dicatatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3888.

Dalam pasal 45 ketentuan penutup Undang-undang Nomor

5 tahun 1990 tentang Konservasi sumber Daya alam hayati dan

Ekosistemnya, telah disebutkan mulai berlakunya Undang-undang

tersebut adalah sejak tanggal diundangkannya yaitu pada tanggal

10 Agustus 1990. Sejak diundangkannya ketentuan tersebut,

maka undang-undang tersebut memiliki daya mengikat bagi

seluruh warga negara. Demikian juga daya mengikat Undang-

undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang

diundangkan pada tanggal 30 September 1999 dan telah

dicatatkan dalam Lembaran Negara Nomor 167 tahun 1999.

Pertimbangan Majelis hakim Pengadilan Negeri Langkat

dalam memutuskan perkara tindak pidana kehutanan di SM

Karang Gading dan Langkat Timur Laut pada pokoknya adalah

ketidaktahuan terdakwa akan adanya larangan untuk tidak

melakukan sesuatu perbuatan.202 Ketidaktahuan terdakwa ini oleh

majelis Hakim dipandang sebagai alasan pemaaf yang dapat

menghapuskan kesalahan si terdakwa (straftsuitsluitinggronden).

Berdasarkan adanya fictie dalam hukum pidana di Indonesia maka

alasan ketidaktahuan terdakwa atas peraturan perundang-

undangan tidak bisa dijadikan sebagai alasan pemaaf bagi

terdakwa. Pada saat Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan

202 Putusan Pengadilan Negeri Langkat, Nomor 26/Pid.B/2006/PN Stb,-, tanggal 12 Oktober 2006, hlm.25

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

dinyatakan telah berlaku, kekuatannya telah mengikat seluruh

warga negara. Demikian juga dengan adanya azas eidereen wordt

geacht de wette kennen yang mendasari semua norma hukum

termasuk hukum kehutanan, menjadi panduan umum bahwa

ketidaktahuan atas peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang kehutanan, tidak bisa dijadikan sebagai alasan pemaaf

bagi perbuatan tindak pidana kehutanan.

Apabila dilihat dari rentang waktu diundangkannya kedua

Undang-undang tersebut sampai pada terjadinya tindak pidana

kehutanan pada tahun 2005, telah berselang cukup jauh, dan

merupakan waktu yang cukup bagi setiap warga negara untuk

mengetahui adanya Undang-undang tersebut.

c) Budaya Hukum

Konsep budaya hukum pertama kali dikemukakan oleh Friedman untuk menyebutkan kekuatan-kekuatan sosial yang mempengaruhi bekerjanya hukum di masyarakat, yang berupa elemen-elemen nilai dan sikap mayarakat berhubungan dengan institusi hukum. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh Friedman dalam budaya hukum adalah tuntutan dan permintaan. Namun oleh karena mengalami kesulitan dalam mencari istilah yang tepat untuk unsur tersebut, Friedman lalu memilih istilah kultur hukum. Tuntutan tersebut datangnya dari rakyat atau para pemakai jasa hukum, seperti pengadilan.203 Konsep budaya hukum pada dasarnya mengacu pada pengetahuan publik, sikap dan pola perilaku masyarakat berkaitan dengan sistem hukum. Friedman menelaah budaya hukum dari pelbagai perspektif. Ia menganalisa budaya hukum nasional yang dibedakan dari sub budaya hukum yang berpengaruh secara positip atau negatip terhadap hukum nasional. Friedman membedakan antara budaya hukum internal dan budaya hukum eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya hukum dari warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus, seperti polisi, jaksa, hakim dalam menjalankan tugasnya. Sudah menjadi kenyataan dan tidak bisa dipungkiri bahwa budaya hukum aparat penegak hukum yang telah lama dijangkiti oleh penyakit korupsi,

203 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,

hlm. 154

kolusi dan nepotisme merupakan faktor penyumbang utama kerusakan lingkungan dan hutan. Walaupun kita tidak bisa menyampingkan faktor kemiskinan masyarakat sekitar hutan, faktor budaya hukum penegak hukum merupakan domain factor tidak berfungsinya hukum pidana terhadap tindak pidana kehutanan. Dari hasil penelitian yang dilakukan Environmental Investigation Agency dan Telapak, dijelaskan bahwa:

“Although poverty, economic collapse, provincial autonomy and many other factors contribute to forest destruction, these are not at the core of the problem. Forests are being destroyed because Indonesia is one of the most corrupt countries in the world and many in the political, business and military elite are unwilling to surrender the wealth and power that Indonesia’s natural resources have given them”.204 (Walaupun kemiskinan, kehancuran ekonomi, otonomi propinsi dan banyak faktor lainnya berperan dalam perusakan hutan, namun semua itu bukanlah akar permasalahannya. Perusakan hutan terjadi karena Indonesia adalah salah satu negara yang paling korup di dunia, di mana banyak elit politik, bisnis dan militer tidak mau melepas kekayaan dan kekuasaan yang mereka peroleh dari sumber daya alam Indonesia.) Budaya hukum tersebut telah menggerogoti semua sub sistem

dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, yang menjadi faktor penyebab sulitnya penegakan hukum atas kasus-kasus tindak pidana di bidang kehutanan. Hal ini selanjutnya dilaporkan dalam hasil penelitian yang sama, bahwa:

“Even the United Nations’s special rapporteur on the independence of judges and lawyers, Dato Param Cumaraswamy, commented on his recent visit to Indonesia: “I didn’t realize that the situation could be as bad as what I’ve seen.” Indonesia Corruption Watch’s (ICW) report “Lifting the Lid on the Judicial Mafia” states: “[The] court mafia involves all actors . . . from the police, court administrators, lawyers, prosecutors, to judges and prison guards.” 205 (Bahkan pelapor khusus PBB tentang Independensi hakim dan pengacara, Dato Param Cumaraswamy, berkomentar tentang kunjungannya baru-baru ini di Indonesia: “Saya tidak menyadari bahwa situasinya sampai seburuk yang saya saksikan.” Laporan

204 Environmental Investigation Agency and Telapak, Above The Law, Coruption, Collusion,

Nepotism and The Fate of Indonesia’s Forests, ttp., hlm. 1 205 Ibid, hlm. 4

Indonesia Corruption Watch (ICW) “Lifting the Lid on the Judicial Mafia” menyatakan: “Mafia peradilan melibatkan semua aktor . . . dari polisi, administrator peradilan, pengacara, jaksa, hingga hakim dan penjaga penjara.) Budaya hukum internal yang buruk merupakan faktor yang sangat

mempengaruhi kemampuan suatu negara utnuk melindungi lingkungan

dan sumber daya alam. Kemampuan melindungi tersebut dalam bentuk

kebijakan kriminal baik melalui sarana penal maupun non penal.

Semakin buruk budaya hukum internal, semakin rendah pula

kemampuan negara untuk mewujudkan perlindungan atas lingkungan

dan sumber daya alam. Hasil penelitian yang sama, mengungkapkan

bahwa terdapat hubungan jelas antara korupsi dan nasib lingkungan.

Penelitian yang dilakukan oleh Yale Center for Environmental Law and

Policy mengukur 22 faktor kunci yang mengindikasikan kinerja

lingkungan sebuah negara, atau Indeks Keberlanjutan Lingkungan

(Environmental Sustainability Index = ESI). ESI lalu dibandingkan

dengan 67 kriteria mutu kehidupan, seperti mortalitas bayi dan

persentase daerah yang dilindungi di suatu negara. Dari ke-67 variabel,

korupsi memiliki korelasi tertinggi dengan kinerja lingkungan, yang

menunjukkan bahwa negara dengan tingkat korupsi rendah memiliki

kemampuan lebih baik dalam mengelola sumber daya alam dan bahwa

penegakan hukum merupakan faktor kunci dalam menyokong

keberhasilan lingkungan. Hal ini dilaporkan dalam penelitian yang

sama, bahwa:

“A clear link exists between corruption and the fate of the environment. Pioneering work conducted by the Yale Center for Environmental Law and Policy measured 22 key factors indicating a country’s environmental performance, or Environmental Sustainability Index (ESI). The ESI was compared against 67 quality of life measures, such as infant mortality and percentage of protected land in a country. Of the 67 variables corruption had the highest correlation with environmental performance, showing that countries with low corruption rates

are better able to manage natural resources and that the rule of law is a key factor underpinning environmental success.”206 Budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat pada

umumnya, misalnya bagaimana sikap dan pengetahuan masyarakat

misalnya terhadap ketentuan perpajakan, hutan lindung dan

sebagainya.

Sebenarnya sejak penetapan kawasan SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut pada tahun 1980, masyarakat sekitar kawasan yang

berada di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang telah

mengetahui keberadaan hutan larangan di wilayah mereka. Apalagi

status kawasan hutan tersebut dari jaman sebelum kemerdekaan

Indonesia sudah merupakan hutan milik negara. Masyarakat sekitar

kawasan lebih mengenal kawasan hutan tersebut sebagai hutan lindung

atau hutan tutupan yang tidak boleh dimasuki.207 Dahulu masyarakat

sekitar hutan masih memiliki kearifan ekologis208, berupa budaya-

budaya tabu yang efektif untuk melindungi lingkungan flora dan fauna

tertentu di kawasan hutan Langkat Timur Laut. Budaya-budaya tabu ini

menjadi kearifan ekologis yang mendukung keselamatan dan

kelestarian lingkungan dan sumber daya alam hayati yang ada di sekitar

desa. Bahkan masyarakat sekitar pantai seperti di Kuala Besar dan

Jaring Alus, Tapak Kuda yang mayoritas bermata pencaharian sebagai

nelayan masih menyelenggarakan ritual-ritual tertentu untuk

206 Ibid., hlm. 5 207 Wawancara dengan Sutejo, tokoh masyarakat Desa Karang Gading, di Asam Kumbang,

Karang Gading, tanggal 15 Desember 2009, pukul 14.00 WIB. 208 Nilai kearifan ekologis adalah nilai kearifan lingkungan yang dimiliki oleh suatu

masyarakat tertentu berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan; bagaimana hubungan-hubungan (yang sebaiknya tercipta) antara manusia (masyarakat) dengan lingkungan alamnya. Pada dasarnya kearifan lingkungan itu merupakan hasil pengamatan dan pengalaman masyarakat di dalam proses interaksi yang terus menerus dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Almanak Lingkungan Hidup Indonesia, dikutip dari Saifullah, Hukum Lingkungan, Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati, Cetakan I, Penerbit UIN Malang Press, Malang, 2007, hlm. 314

keselamatan bersama dan meminta kemurahan alam untuk memberikan

rejeki dan penghidupan kepada masyarakat. Masyarakat tradisional

secara emosional memiliki keterikatan dengan nilai-nilai pantangan

sebelum melakukan eksplorasi terhadap alam sekitarnya. Namun pada

sekarang ini tidak ada lagi upacara tradisional dan nilai tabu yang

secara langsung bersentuhan dengan kelestarian hutan. Hal ini

tercermin dari pernyataan informan yang tidak tahu menahu tentang

nilai-nilai tabu yang ada di masyarakatnya. Perilaku masyarakat untuk

berpantang melakukan sesuatu karena terkait dengan nilai-nilai tabu,

hampir tidak dikenal lagi. Hutan larangan, wilayah–wilayah yang

dikeramatkan, pohon-pohon yang dikeramatkan, tampaknya sudah

bukan menjadi wacana masyarakat desa di sekitar hutan lagi.

Berkurangnya perhatian masyarakat terhadap bentuk kegiatan ritual

tradisional serta nilai-nilai tabu tersebut tampaknya banyak dipengaruhi

oleh meningkatnya rasionalitas masyarakat terhadap berbagai fenomena

alam yang terjadi. Di samping itu, perkembangan teknologi yang

melahirkan berbagai bentuk peralatan dan mesin-mesin pemotong kayu

maupun gergaji modern, senapan berburu, serta alat transportasi yang

cepat dan lancar, telah membantu masyarakat dari berbagai kesulitan

dan tantangan alam. Nilai budaya masyarakat tradisional yang biasanya

tunduk kepada alam telah begeser kepada nilai-nilai yang menaklukkan

alam dengan tersedianya peralatan teknologi modern.

Namun tidak jarang bahwa masyarakat (khususnya masyarakat

kecil yang hidup di sekitar hutan) menjadi alat atau kepanjangan tangan

dari para pengusaha hutan untuk melakukan penebangan liar dan

perambahan hutan. Kondisi yang demikian sangat didukung oleh faktor

kemiskinan dan kurangnya kesejahteraan masyarakat yang tinggal di

sekitar hutan. Kondisi kehidupan sehari-hari yang selalu dalam

keterbatasan mengakibatkan budaya hukum masyarakat yang dulunya

sangat menghormati peraturan yang dibuat oleh Pemerintah menjadi

luntur dan cenderung menjadi budaya pragmatis yang ingin

memperoleh hasil dengan cepat. Mentalitas suka menerabas

sebagaimana yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto merupakan

sikap masyarakat sebagai akibat keterbatasan kemampuan untuk

memenuhi kehidupan tingkat dasar. Perubahan budaya hukum

masyarakat terutama masyarakat sekitar hutan didukung oleh faktor

budaya paternalistik yang berkembang di Indonesia sehingga tampilnya

pilihan sikap dari masyarakat yang menjadikan sikap pemimpin

masyarakat menjadi patron terhadap pilihan sikap masyarakat. Dalam

budaya paternalistik terkandung paham bapakisme yang meletakkan

bapak (pemerintah) sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan

kebutuhan materil serta emosional antara bapak dan anak (clan) dan

anak dijadikan tulang punggung yang setia kepada bapak, membantu

terselenggranya upacara-upacara keluarga dan bahkan bersedia

mempertaruhkan jiwa demi kepentingan bapak yang harus dihormati,

ditaati dan pantang ditentang.209 Hal ini misalnya terjadi pada pilihan

sikap masyarakat yang beralih dari budaya taat hukum menjadi budaya

pragmatis setelah melihat sikap pemimpin mereka dalam masyarakat.

Kasus perambahan hutan yang terjadi dimulai dari tindakan Kepala

desa yang menjual kawasan hutan kepada pemilik modal dengan

mengatasnamakan kelompok masyarakat warga desanya. Cara-cara

seperti ini terjadi pada semua kasus perambahan hutan yang terjadi di

SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut.210

Budaya hukum juga dapat terbentuk dari ketidakefektifan hukum

baik dari formulasinya maupun kelemahan penegakan hukumnya.

Ketidakefektifan hukum menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi

209 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum untuk Independensi Lembaga Peradilan, artikel pada

Jurnal Hukum FH-UII, No. 9, Volume 4, 1997, hlm. 30-31 210 Wawancara dengan M. Nur, Kepala Resor KSDA Langkat Timur Laut II di Pematang

Sentang, tanggal 11 Desember 2009, pukul 14.25 WIB.

internalisasi budaya hukum masyarakat. Pada saat hukum dapat

ditegakkan dengan efektif dengan aparat yang profesional, budaya

hukum yang terbentuk adalah perubahan perilaku masyarakat menjadi

perilaku budaya taat hukum. Penegakan hukum merupakan faktor

penyebab perubahan sikap dan budaya hukum masyarakat. Dalil yang

sama dikemukakan oleh Craig Segall, bahwa:

“This attention to motivation and belief sheds light on the Cardenas results. We can now see that a poorly designed state law, with limited enforcement, initially changes behavioral beliefs: A person might believe that others will behave in conformity with the law. In the absence of enforcement, however, individual behavior soon turns largely on internalized beliefs about the value of the forests and of obeying the law. As some individuals begin to exceed the law's quotas, the behavioral beliefs of members of the community shift; many now anticipate that other people will break the law. This widespread law-breaking in turn does violence to internalized beliefs; as others benefit from the forest cutting (even at the expense of community well-being), personal norms come under the stress of potential profit.” 211 (Perhatian ini mendukung dan meyakini sorotan pada hasil Cardenas. Sekarang ini kita dapat melihat bahwa negara hukum yang dirancang dengan buruk, dan dengan penegakan hukum yang terbatas, pada awalnya ada perubahan keyakinan atas perilaku: Seseorang mungkin percaya bahwa orang lain akan berperilaku sesuai dengan hukum. Dengan tidak adanya penegakan hukum, bagaimanapun, perilaku individu segera berubah terutama pada keyakinan-keyakinan yang diinternalisasi tentang nilai hutan dan kepatuhan akan hukum. Sejumlah individu akan bertindak tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam hukum, terjadi pergeseran keyakinan perilaku anggota masyarakat; sekarang banyak yang mengharapkan bahwa orang lain akan melanggar hukum. Pengaruh yang meluas dari pelanggaran hukum tersebut adalah pembenaran atas kekerasan yang diinternalisasikan ke dalam kepercayaan; manfaat yang lain dari penggundulan hutan (bahkan dengan mengorbankan kesejahteraan masyarakat), norma-norma pribadi berada di bawah kepentingan untuk meraih keuntungan) Hal yang sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Cardenas, bahwa dalam kondisi buruknya formulasi Undang-undang, lemahnya penegakan hukum

merupakan awal dari perubahan keyakinan atas perilaku. Dalam kondisi tidak adanya penegakan hukum

bagaimanapun perilaku individu segera berubah dan menginternalisasi nilai-nilai keyakinan tentang hutan

dan kepatuhan akan hukum. Di samping itu, budaya hukum seseorang akan diinternalisasi melalui perilaku

individu yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti jauh tidaknya dari jangkauan kontrol sosial baik

formal maupun informal termasuk adanya godaan dan provokasi dari pelaku tindak pidana yang tidak

211 Craig Segall, The Forestry Crisis as a Crisis of the Rule of Law, artikel pada Stanford

Law Review, March, 2006, hlm. 6

diganjar dengan hukuman atas perbuatan yang dilakukannya. Hal ini misalnya dikemukakan oleh Per-Olof

H. Wikström, bahwa: "Communities vary in environmental conditions

conducive to crime, including their levels of formal and informal social

controls and, partly related to that, their levels of temptations and

provocations." 212

Untuk merubah budaya hukum masyarakat sekitar hutan terhadap

penegakan hukum di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya

alam hayati, ke depannya harus dilakukan upaya-upaya yang

berdasarkan kajian antropologik masyarakat sekitar hutan dengan

menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang mendukung

kelestarian dan keselamatan lingkungan dan sumber daya alam hayati.

Di samping itu, fungsionalisasi hukum pidana sebagai pembuat efek

jera dapat dilakukan dengan menegakkan hukum pidana terhadap aktor

pelaku penjualan kawasan hutan kepada pemilik modal.

2. Kebijakan Kriminal (criminal policy) Sebagai Upaya Penanggulangan

Tindak Pidana Perambahan Hutan di SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut (ius constituendum)

Untuk menanggulangi tindak pidana perambahan hutan yang terjadi

di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, penulis akan mengkaji

berdasarkan kerangka pemikiran dari Lawrence M. Friedman yang melihat

212 Per-Olof H. Wikström dikutip dari Adam Benforado, “The Geography of Criminal Law”,

article in Cardozo Law Review January, Yeshiva University, 2010, hlm. 11.

adanya tiga komponen yang berpengaruh terhadap penegakan hukum yaitu

komponen substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.

Komponen substansi hukum berkaitan dengan ketentuan peraturan yang

mengatur tentang pengelolaan hutan di suaka margasatwa termasuk

formalisasi tindak pidana dan ketentuan pidananya. Komponen ini

merupakan bagian dari penal policy yang dimaksudkan untuk

menanggulangi tindak pidana perambahan hutan. Sedangkan komponen

struktur hukum dan budaya hukum berkaitan dengan upaya-upaya yang

termasuk dalam non penal policy yang dimaksudkan untuk menanggulangi

tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur

Laut. Integrasi upaya penal dan non penal ini sejalan dengan telaah teori

kebijakan kriminal seperti yang dikemukakan oleh G.P. Hoefnagels bahwa

upaya penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui pendekatan

integral antara upaya penal dan non penal. Mengingat adanya keterbatasan

sarana kebijakan penal, maka apabila dilihat dari sudut politik kriminal,

kebijakan paling strategis untuk menanggulangi kejahatan adalah melalui

sarana non penal. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal ini adalah

memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung

mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Oleh karena itu

kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan upaya-upaya non penal

tersebut dengan upaya penal sebagai bagian dari penanggulangan

kejahatan. Kedua upaya ini harus dijalankan secara harmonis untuk dapat

mencapai tujuan pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang

merupakan bagian dari kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan

masyarakat (social defence policy). Walaupun sebenarnya tujuan dari

upaya non penal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu

seperti peningkatan kesadaran hukum masyarakat, peningkatan kualitas

aparat penegak hukum, perbaikan kordinasi lintas sektoral sesama penegak

hukum sampai pada penguatan organisasi pada institusi pengelola hutan,

secara tidak langsung upaya ini akan berpengaruh preventif terhadap

kemungkinan terjadinya tindak pidana di bidang kehutanan.

Upaya penanggulangan kejahatan ini akan dikaji sebagai berikut:

a) Substansi

Berdasarkan berbagai hasil Kongres Internasional yang

diprakarsai oleh PBB, maka seharusnya perlu adanya wadah bagi ADR

(Alternative Dispute Resolution) dalam formulasi Undang-undang

sektoral Kehutanan. Apabila merujuk kepada Keputusan Kongres PBB

ke-9 tahun 1995, yang menyatakan bahwa ADR seyogyanya juga dapat

diterapkan secara luas di bidang hukum pidana, misalnya perkara-

perkara pidana yang mengandung unsur fraud dan white collar crime

atau apabila terdakwanya adalah korporasi/ badan usaha. Ditegaskan

pula bahwa apabila terdakwanya adalah korporasi atau badan usaha,

maka tujuan utama dari pemeriksaan pengadilan seharusnya tidaklah

menjatuhkan pidana, akan tetapi mencapai suatu hasil yang bermanfaat

bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi

kemungkinan terjadinya pengulangan (recidive). Pernyataan ini sangat

tepat diterapkan pada kasus-kasus tindak pidana kehutanan yang

pelakunya adalah korporasi. Namun penerapan alternatif jalur mediasi

ini harus mempertimbangkan kualitas perbuatan yang dilakukan oleh

pelaku. Terhadap tindak pidana kehutanan yang telah mengakibatkan

timbulnya korban jiwa, kesalahan pelaku dipandang berat, akibat

perbuatan dipandang besar, perbuatannya menimbulkan keresahan

masyarakat, maka terhadap tindak pidana tersebut harus difungsikan

hukum pidana.

Salah satu kesulitan dalam menerapkan ketentuan pidana

perambahan hutan dalam undang-undang bidang kehutanan adalah

formulasi delik materil seperti terdapat dalam pasal 19 ayat (1) dan

pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maupun pasal

50 ayat (2) Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Formulasi delik materil ini akan menyulitkan pembuktian baik pada

tingkat penyidikan maupun peradilan. Untuk itu formulasi tindak

pidana kehutanan dalam Undang-undang bidang Kehutanan sebaiknya

dirumuskan dalam delik formil yang memudahkan untuk proses

penyidikan maupun proses peradilan dan tidak menimbulkan multitafsir

pasal-pasalnya.

Kesulitan lain untuk menerapkan ketentuan pidana dalam

Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya maupun ketentuan pidana dalam

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan adalah

formulasi ancaman pidana dan denda maksimum akan tetapi tidak

mengatur tentang ancaman pidana dan denda minimum. Hal ini

mengakibatkan kecenderungan penuntutan ancaman pidana dan denda

yang rendah oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap tindak pidana

kehutanan. Kasus tindak pidana kehutanan yang terjadi di Suaka

Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut pada tahun 2005,

ketiganya dituntut dengan tuntutan yang rendah dari Jaksa Penuntut

Umum. Selengkapnya ancaman tersebut dapat dilihat dari tabel 12

berikut ini:

Tabel 12 Ancaman hukuman tindak pidana kehutanan dalam Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1990 dan Tuntutan Hukuman oleh Jaksa Penuntut Umum

Jenis Tindak Pidana Putusan

Perkara

Ancaman Hukuman

Ketentuan Pidana

dalam pasal 40 UU

No. 5 tahun 1990

Tuntutan Jaksa

Penuntut Umum

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.

(pasal 19 ayat (1) UU No.5 tahun 1990)

Putusan No.26/Pid.B/ 2006/PN Stb.-

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)

(pasal 40 ayat (1) UU

No.5 tahun 1990)

Pidana penjara 1

tahun dikurangi

selama berada

dalam tahanan

sementara dan

denda sebesar Rp.

30.000.000,00

(tigapuluh juta

rupiah) subsidair

3 bulan kurungan

melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam

(pasal 33 ayat (3) UU No.5 tahun 1990)

Putusan No. 374/Pid.B/ 2006/PN.Stb.

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (pasal 40 ayat (2) UU

No.5 tahun 1990)

Pidana penjara

selama 10

(sepuluh) bulan

dan pidana denda

sebesar Rp.

10.000.000,-

(sepuluh juta

rupiah)

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. (pasal 19 ayat (1) UU No.5 tahun 1990)

Putusan No.222/PID.B/2006/PN Stb

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) (pasal 40 ayat (1) UU

No.5 tahun 1990)

Pidana penjara

selama 2 tahun

dan denda Rp.

5.000.000,- (lima

juta rupiah)

Jika dibandingkan dengan ancaman hukuman maksimal dalam

Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang Nomor 41 tahun

1999 tentang Kehutanan, tuntutan Jaksa Penuntut Umum masih sangat

rendah. Hal tersebut diakibatkan oleh karena tidak adanya ketentuan

ancaman minimal yang disyaratkan dalam Undang-undang. Putusan

Majelis hakim yang mengadili ketiga perkara tersebut akhirnya

menjatuhkan vonis lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle

rechtvervolging) bagi ketiga terdakwa. Ancaman hukuman yang

dituntut oleh jaksa Penuntut Umum, pada dasarnya sangat

mempengaruhi putusan hukuman yang akan dijatuhkan oleh hakim.

Korelasi ini secara cermat diteliti oleh Yusti Probowati Rahayu dalam

suatu penelitian bahwa tuntutan (rekuisitur) Jaksa akan mempengaruhi

Hakim dalam menjatuhkan hukuman, semakin tinggi rekuisitur Jaksa,

semakin tinggi pula hukuman yang akan dijatuhkan oleh Hakim 213. Hal

yang sama disampaikan oleh Ade Sumitra Hadisurya, SH.,M.Hum.,

bahwa tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum akan berpengaruh pada

penilaian urgensinya perkara dan sanksi yang akan dijatuhkan oleh

Hakim 214. Urgensinya perkara juga dipengaruhi oleh budaya hukum

dan besarnya perhatian masyarakat atas perkara tersebut. Selama ini

perhatian publik terhadap tindak pidana kehutanan selalu tersedot pada

tindak pidana illegal logging (penebangan liar) yang secara nyata dapat

dinilai kerugian ekonomis yang ditimbulkannya. Tindak pidana illegal

logging ini cenderung lebih menyedot perhatian masyarakat dan media

massa yang mengakibatkan perhatian penegak hukum dalam

penanganan masalah ini menjadi lebih serius dan hati-hati. Misalnya

saja kasus illegal logging di Propinsi Sumatera Utara yang melibatkan

Adelin Lis yang telah menyedot perhatian masyarakat dan media massa

nasional dan bahkan melibatkan kerjasama interpol untuk

menangkapnya. Sementara itu tindak pidana perambahan hutan yang

213 Yusi Probowati Rahayu, Ibid. 214 Wawancara dengan Ade Sumitra Hadisurya, SH, M.Hum., Hakim pada Pengadilan

Negeri Langkat di gedung Pengadilan Negeri Stabat, tanggal 9 Desember 2009, pukul 10.00 WIB.

terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, nyaris tidak

mendapat perhatian dari publik dan media massa. Hal ini diakibatkan

oleh keuntungan ekonomis jangka pendek yang diperoleh oleh si pelaku

tidak sebesar keuntungan yang diperoleh dari kegiatan illegal logging.

Tindak pidana perambahan hutan mangrove bukan perbuatan yang

dapat memperoleh keuntungan ekonomis yang besar dengan cepat

karena kayu bakau bukan merupakan kayu yang bernilai ekonomis

tinggi. Karena tidak mendapat perhatian dari masyarakat dan media

massa, penanganan kasus perambahan ini menjadi tidak serius karena

urgensinya yang rendah. Preposisi ini misalnya terjadi dengan jatuhnya

vonis lepas dari segala tuntutan hukum pada tiga perkara perambahan

yang terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang

dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum jauh dari ancaman hukuman yang

terdapat dalam Undang-undang. Rendahnya rekuisitur Jaksa Penuntut

Umum diakibatkan oleh tidak adanya ketentuan ancaman hukuman

minimum yang terdapat dalam Undang-undang di bidang kehutanan.

Oleh karenanya dalam undang-undang di bidang kehutanan

sebaiknya memuat ketentuan yang tidak hanya mengatur ancaman

maksimal, namun juga mencantumkan ancaman minimal hukuman.

b) Struktural

1) Peran Penegak Hukum

Untuk mewujudkan penegakan hukum terhadap tindak pidana

perambahan hutan diperlukan fungsionalisasi hukum pidana baik

dengan menggunakan sarana hukum materil215, hukum formil216

215 Hukum pidana materil memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan-rumusan dari tindak

pidana, peraturan-peraturan mengenai syarat-syarat tentang bilamana sesorang itu dapat dihukum, penunjukan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri; jadi ia menentukan tentang bila mana seseorang itu dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan bilamana hukuman itu dapat dijatuhan. Lihat P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.11

maupun pelaksana pidana (dalam hal ini adalah aparat penegak

hukum). Aparat penegak hukum dalam tindak pidana kehutanan

terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga

Pemasyarakatan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.

Aparat penegak hukum berfungsi untuk mengoperasionalkan hukum.

Hukum tidak dapat bekerja atas kekuatannya sendiri, melainkan

hukum hanya akan dapat difungsikan/dioperasionalkan melalui

manusia. Manusialah yang menciptakan hukum, tapi juga untuk

pelaksanaan hukum yang telah dibuat itu masih diperlukan adanya

beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan hukum itu dapat

difungsikan. Sebaik apapun hukum yang dihasilkan, jika tidak ada

aparat penegak hukum yang memadai untuk mengoperasionalkan

hukum tersebut, maka sia-sialah para pembuat undang-undang

menciptakan hukum tersebut. Bahkan Taverne, seorang ahli hukum

berkebangsaan Belanda pernah menyatakan Geef me goede Rechters,

goede Rechters Commissarissen, goede Officieren Van Justitie en

goede Politie Ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboet van

straftprocesrecht goed bereiken (berikan saya hakim yang baik,

hakim pengawas yang baik, jaksa yang baik dan polisi yang baik,

maka penegakan hukum akan berjalan walaupun dengan hukum

pidana yang lemah).217 Inti dari penegakan hukum pidana adalah

kesiapan dan kemampuan lembaga penegak hukum untuk

mengoperasionalkan hukum pidana. Untuk menegakkan hukum

diperlukan aparatur yang khusus ditugaskan untuk itu dan memiliki

kewenangan memaksa yang dilindungi oleh Undang-undang. Hal ini

216 Hukum pidana formil mengatur bagaimana caranya negara dengan perantaraan alat-alat

kekuasaannya menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman, dengan demikian ia memuat acara pidana, Lihat P.A.F Lamintang, ibid.

217 Suer Suryadi, Penegakan Hukum di TNGL (Bukan) Basa Basi dalam http://www.gunungleuser.or.id/artikel/Penegakan%20Hukum%20TNGL,%20%28bukan%29%20Basa-basi_1.pdf, diakses pada tanggal 28 Januari 2010 pukul 12.48 WIB.

sejalan dengan kerangka pemikiran Max Weber sebagaimana

terdapat dalam buku Economy and Society bahwa:

“This result is consonant with Max Weber's analysis of the interrelationship between norms, conventions, customs, and laws. In Weber's framework, a law is an order backed by a "coercive apparatus"--the presence of persons whose "special task it is . . . to apply specially provided means of coercion . . . for the purposes of norm enforcement."218 (Hasil ini sejalan dengan analisis Max Weber tentang keterkaitan antara norma-norma, konvensi, adat, dan hukum. Dalam kerangka pemikiran Weber, hukum adalah perintah yang didukung oleh aparatur yang memiliki kewenangan memaksa yang ditugaskan khusus untuk itu..untuk menerapkan cara khusus berupa paksaan....untuk tujuan penegakan norma.) Pada proses penyidikan tindak pidana kehutanan secara tegas

telah diatur dalam pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Kemudian dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pejabat pegawai negeri sipil tertentu meliputi Pejabat Pegawai Negeri Sipil di tingkat pusat maupun daerah yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pengurusan hutan. Dalam penanganan tindak pidana kehutanan di samping Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan tersebut, dikenal juga Penyidik Perwira TNI Angkatan Laut yang memiliki kewenangan menyidik sesuai dengan penjelasan pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana219, namun terbatas dalam lingkup perairan Indonesia, Zona Tambahan, Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Untuk menangani tindak pidana kehutanan yang terjadi di laut, Kementrian Kehutanan Republik Indonesia telah mengadakan perjanjian kerjasama dengan TNI Angkatan Laut melalui perjanjian kerjasama Nomor 1341/DJ-IV/LH/2001 dan Nomor TNI AL:R/766/XII/01/SOPS tentang

218 Max Weber, Economy and Society dalam Craig Segall, “The Forestry Crisis as a Crisis of

the Rule of Law”, artikel pada Stanford Law Review, March, 2006, hlm. 5. 219 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana Lembaran negara No.36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258

penyelenggaraan Operasi Wanabahari 220. Dalam pasal 2 huruf a perjanjian kerjasama tersebut dinyatakan bahwa Operasi Wanabahari bertujuan untuk “mengatur operasi penegakan hukum secara bersama-sama mulai dari penyelidikan, penyidikan dan proses justisia terhadap para pelanggar kejahatan kehutanan yang dilakukan di dan atau lewat laut.”

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam

melaksanakan tugasnya memiliki kewenangan yang diatur dalam

pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan, yang menyatakan bahwa:

Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk: (a) melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;(b) melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (c) memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; (d) melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (e) meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (f) menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; (g) membuat dan menanda-tangani berita acara; (h) menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Ketentuan dalam pasal 77 ayat (2) tersebut merupakan

implementasi dari ketentuan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menentukan bahwa wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam undang-undang yang menjadi dasar

220 Perjanjian Kerjasama antara Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut No. 1341/DJ-IV/LH/2001 dan No. TNI AL: R/766/XII/01/SOPS tanggal 27 Desember 2001, tentang Penyelenggaraan Operasi Wanabahari

hukumnya masing-masing. Dalam melaksanakan tugas-tugas penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil berada di bawah kordinasi dan pengawasan Penyidik Polri. Pada pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, diatur bahwa Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Dari bunyi pasal 77 ayat (3) tersebut seolah-olah bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dapat langsung menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum. Namun masih ada ketentuan lanjut yang mengatur mekanisme penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan yang terdapat dalam penjelasan pasal 77 ayat (3) tersebut yang menyebutkan bahwa Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik Polri, dan hasil penyidikan diserahkan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik Polri.

Kemudian ditegaskan lagi oleh Makamah Agung Republik Indonesia dengan mengeluarkan fatwa mengenai tata cara penyerahan berkas perkara oleh Penyidik Pegawai Negri Sipil kepada penyidik Polri dalam fatwa Mahkamah Agung Nomor KMA/114/IV/1990 tanggal 7 April 1990 yang berbunyi:

Baik terhadap tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil tesebut selesai melakukan penyidikannya harus menyerahkan hasil penyidikannya secara nyata kepada Penyidik Polri, barulah setelah itu penyidik Polri menyerahkan hasil penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil berkas perkara kepada Penuntut Umum. Dengan demikian, maka menurut Mahkamah Agung semua perkara yang penyidikannya dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, hasil penyidikannya diserahkan kepada Penyidik Polri terlebih dahulu, baru kemudian diserahkan kepada Penuntut Umum untuk selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan.221

Apabila dilihat mekanisme tata hubungan antara Penyidik Polri

dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan yang demikian, menurut Ratih Candradewi dan Wulan Pratiwi menyebabkan proses pelimpahan berkas perkara menjadi kurang efektif. Selain itu ketika berkas perkara sudah sampai di tangan penuntut umum, pasal 138

221 A. Hariadi, Beberapa Permasalahan di Bidang Penyidikan, Himpunan Karya Tulis

Bidang Penyidikan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Azasi manusia, Jakarta, 1998, hlm.59.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana222 memberi peluang bagi Penuntut Umum untuk mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, jika dianggap belum cukup untuk dapat diajukan ke persidangan. Pengembalian berkas tersebut disertai dengan petunjuk-petunjuk untuk melengkapi, namun sayangnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur sampai berapa kali proses ini boleh berlangsung. Hal ini juga merupakan kendala, karenanya harus ada kordinasi yang baik antara Penuntut Umum, Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil 223. Mengenai mekanisme penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil telah sejak lama dipersoalkan. Dengan ketentuan yang sekarang berlangsung ada anggapan bahwa proses penyerahan berkas penyidikan melalui penyidik Polri justru memperlambat proses penanganan perkara sebagai akibat bertambahnya panjang birokrasi yang harus dilalui. Kondisi tersebut bertentangan dengan prinsip penegakan hukum pidana yang cepat, sederhana, dan dengan biaya yang relatif murah. Dengan memberikan kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk menyerahkan hasil penyidikannya langsung kepada Kejaksaan, akan menyingkat mata rantai birokrasi dan mempercepat penyelesaian kasus yang dihadapi.224

Dalam praktek penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil sekarang ini salah satu permasalahan yang dihadapi adalah kesulitan untuk menghubungi Penyidik Polri dalam rangka penyerahan berkas perkara tahap I dan tahap II ke Kejaksaan karena harus terlebih dahulu mendapat surat pengantar dari Penyidik Polri. Kesulitan akan semakin nyata manakala Penyidik Pegawai Negeri Sipil akan melakukan penahanan. Tanpa adanya rekomendasi dari penyidik Polri, penahanan tidak akan pernah dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Pengecualian terdapat dalam Undang-undang Nomor

222 Pasal 138 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), selengkapnya berbunyi: (1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan

menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.

(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

223 Ratih Candradewi dan Wulan Pratiwi, “Kajian Penanganan Tindak Pidana Illegal Logging dan Perdagangan Hidupan Liar”, Buletin LEBAH, Volume 2 Nomor 2 Oktober, Institut Hukum Sumber Daya Alam, Jakarta, 2003

224 Nommy H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi kedua, Erlangga, Jakarta, 2004, hlm. 361-362

10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Dalam Undang-undang Kepabeanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat melakukan penahanan tanpa harus mendapat rekomendasi dari penyidik Polri.225

Hasil wawancara dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan di Balai Besar KSDA Sumatera Utara, bahwa kordinasi yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dengan Penyidik Polri pada saat ini sudah cukup efektif dan berlangsung dengan baik. Dalam penyidikan perkara tindak pidana kehutanan mereka jarang menemukan kesulitan dalam kordinasi penanganan perkara dan justru mendapat masukan pengetahuan penyidikan dari penyidik Polri. Di samping itu penahanan tersangka pelaku tindak pidana kehutanan dapat dilakukan di tahanan Polda Sumatera Utara melalui kordinasi dengan Penyidik Polri. Pemeriksaan tersangka juga dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan di ruang pemeriksan Polda Sumatera Utara. Kesulitan yang semata-mata dihadapi dalam kordinasi dengan penyidik Polri adalah panjangnya birokrasi yang harus dilalui misalnya dalam pembuatan surat pengantar berkas pemeriksaan ke Kejaksaan.226 Di samping itu juga, Penyidik Pegawai Negeri Sipil menjadi sangat terikat pada posedur tetap organisasi Polri, walaupun sebenarnya kedudukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sederajat dengan Penyidik Polri sesuai dengan pasal 6 KUHAP. Apabila nantinya KUHAP yang baru telah diundangkan, maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat langsung menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan pasal 8 ayat (2) RUU KUHAP.227 Namun dengan adanya penyederhanaan birokrasi tersebut, dan pemberian kewenangan penyerahan berkas perkara kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil, harus diikuti dengan peningkatan kemampuan dan profesionalisme Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan penyidikan sesuai dengan Undang-undang yang menjadi dasar kewenangannya.

225 Pasal 112 ayat (2) huruf d Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan

sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan selengkapnya berbunyi: Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) karena kewajibannya berwenang :(d). melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan;

226 Wawancara dengan Hendra Ginting, SH, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul Sumatera Utara, tanggal 14 Desember 2009, pukul 13.00 WIB.

227 Rancangan Undang-undang KUHAP bulan Nopember 2006.

2) Kualitas Aparat Penegak Hukum di Bidang Kehutanan

Terdapat sejumlah ketentuan-ketentuan dalam undang-undang

di bidang kehutanan yang sulit untuk diterapkan. Beberapa tindak

pidana kehutanan yang terdapat dalam undang-undang bidang

kehutanan merupakan delik materil yang pembuktiannya

memerlukan keahlian khusus bagi penyidik. Kesulitan penerapan

ketentuan tersebut diakibatkan oleh kapasitas aparat penegak hukum

yang belum memadai untuk dapat membuktikan telah terjadinya

tindak pidana kehutanan. Menurut Mas Achmad Santosa, masalah

pemahaman aparat terhadap undang-undang dan bagaimana

menerapkannya atau ketentuan pasal apa yang harus diterapkan

terhadap suatu pelanggaran menjadi suatu masalah krusial yang

mengemuka dalam upaya penegakan hukum kehutanan di

Indonesia.228

Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui

kebijakan untuk meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum di

bidang kehutanan mulai dari Penyidik, Jaksa maupun Hakim melalui

pendidikan dan pelatihan tertentu tentang bagaimana

mengimplementasikan ketentuan-ketentuan hukum dalam bidang

kehutanan. Institusi Kehakiman di Indonesia telah memulai

kebijakan ini dengan menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan

bagi hakim mengenai implementasi hukum lingkungan dan

kehutanan di Australia.229 Langkah ini merupakan upaya penting

yang dilakukan oleh Mahkamah Agung untuk meningkatkan kualitas

dan kapabilitas hakim Indonesia dalam penanganan tindak pidana di

228 Mas Achmad Santosa, Penguatan Penegakan Hukum atas Illegal Logging, disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional, Jakarta, 29-30 November 2007

229 Wawancara dengan Edy Wibowo, SH, MH, Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, pada tanggal 10 Desember 2009, pukul 10.00 WIB.

bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Seharusnya penyidik di

bidang lingkungan hidup dan kehutanan baik dari Penyidik Polri

maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil memperoleh kesempatan

yang sama untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan

penyidikan.

Kemudian upaya lain yang harus dilakukan adalah dengan

menerapkan seleksi kemampuan dan pemahaman terhadap

permasalahan hukum kehutanan bagi kepolisian ataupun instansi

terkait lainnya, yang akan melakukan penyidikan tindak pidana di

bidang Kehutanan. Selama ini penetapan Majelis Hakim yang akan

mengadili tindak pidana Kehutanan maupun lingkungan hidup tidak

ada kriteria tersendiri berdasarkan kompetensi pemahaman terhadap

permasalahan hukum kehutanan.230 Tentunya hal tersebut akan

mengakibatkan tidak berperannya hati nurani sang hakim ketika

menjatuhkan putusannya.

Sebenarnya apabila dilihat dari kuantitasnya, Balai Besar

Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara sebagai pengelola

kawasan konservasi di Propinsi Sumatera Utara termasuk Suaka

Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, sekarang ini

telah memiliki kekuatan sumber daya manusia/aparatur dengan latar

belakang pendidikan yang beragam. Namun dari segi kualitas masih

belum optimal yang dapat dilihat dari tingkat pengetahuan,

kemampuan dan pengalaman dalam pelaksanaan tugas pokok dan

fungsi yang belum efektif dan efisien, termasuk dalam penanganan

gangguan terhadap ekosistem mangrove yang berada di SM Karang

Gading dan Langkat Timur Laut. Aparatur yang berpendidikan

Strata 2 (S2) ada sebanyak dua orang, Strata 1 (S1) sebanyak empat

230 Wawancara dengan Edy Wibowo, SH, MH, Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat di

Stabat, tanggal 10 Desember 2009, pukul 10.00 WIB.

puluh satu orang, Sarjana Muda tiga orang dan SLTA sebanyak

seratus tujuh puluh empat orang. Kondisi yang demikian belum

menjamin terhadap pembangunan sumber daya manusia aparatur

yang profesional ditambah lagi dengan kondisi bahwa belum semua

aparatur mengikuti berbagai program pendidikan dan pelatihan baik

teknis maupun manajerial di bidang konservasi sumber daya alam.231

Hasil penelusuran yang dilakukan oleh Penulis, bahwa pada persidangan tiga perkara perambahan hutan yang terjadi di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut pada tahun 2005, keseluruhan saksi yang berasal dari Balai KSDA Sumatera Utara I (pada saat itu), dalam kesaksiannya mengatakan bahwa tidak pernah mengetahui adanya batas-batas kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Kesaksian tersebut disampaikan oleh petugas resor konservasi kawasan maupun Kepala seksi konservasi wilayah yang akhirnya dijadikan Hakim sebagai bahan pertimbangan terhadap ketidaktahuan terdakwa atas status kawasan yang disengketakan.

Hasil penelitian yang dilakukan penulis, bahwa sebenarnya penataan kawasan ini telah dilakukan pertama kali pada tahun 1934 (satu tahun lebih awal dari dikeluarkannya ZB Nomor 138) seluas 15.765 hektar, dengan berita Acara tata batas tanggal 14 Juni 1934 dan Berita acara tanggal 3 Juli 1934. Pada tahun 1984 sebagian batas kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yakni yang berbatasan dengan daratan telah direkonstruksi oleh Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah I Medan sepanjang 25 km. Dan selanjutnya pada tahun 1998 direkonstruksi kembali oleh Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Pematang Siantar dan temu gelang sepanjang 74,78 km.232 Hal ini juga disampaikan oleh Musriadi Alfi, salah seorang anggota tim rekonstruksi batas kawasan pada tahun 1998, yang berdasarkan pengakuannya bahwa rekonstruksi batas kawasan telah dilakukan dari batas kawasan di daratan sampai ke pantai Selat Malaka yang merupakan batas alam

231 Djati Witjaksono Hadi, Membangun SDM Aparatur Yang Profesional Pada Balai Besar

Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Dalam Penanggulangan Ancaman Terhadap Kerusakan Ekosistem Mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading/Langkat Timur Laut, Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP2), Lembaga Administrasi Negara, Program Diklatpim Tingkat II Angkatan XXV, Jakarta, 2009, hlm. 5

232 Dulhadi, “Hutan Mangrove Kabupaten Langkat Masalah dan Upaya Pengelolaannya (Khusus SM. Karang Gading dan Langkat Timur Laut)”, dalam Seminar Regional Strategi Penanganan Hutan Mangrove di Propinsi Sumatera Utara, Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I Medan, Medan, 5 Agustus 2000, hlm.3

kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut dengan menanam patok batas berupa tiang beton.233

Tidak terungkapnya fakta-fakta yuridis tersebut dalam sidang pengadilan sebagai akibat ketidaktahuan petugas Balai KSDA Sumatera Utara I (pada saat itu) mengakibatkan batas yurisdiksi kawasan di depan hukum menjadi sangat lemah dan menjadi bahan pertimbangan bagi hakim untuk menjatuhkan vonis lepas dari segala tuntutan hukum bagi terdakwa dengan adanya dasar penghapusan kesalahan berupa alasan pemaaf (schulduitsluitinggronden).

3) Penyederhanaan Birokrasi Lintas Sektoral terhadap Penyidikan yang

dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan

Kesulitan mengimplementasikan pengertian “kordinasi dan

pengawasan” antara Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri

Sipil seperti yang disebutkan dalam KUHAP, selama ini sering

menjadi kendala pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh

Penyidik PNS. Tidak secara tegas dijelaskan bagaimana bentuk dan

mekanisme kordinasi dan pengawasan. Kondisi ini berpotensi

menimbulkan konflik kepentingan antar instansi penegak hukum,

khususnya Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Hal yang sama diungkapkan oleh Mas Achmad Santosa yang

mengatakan bahwa lemahnya kordinasi antar aparat penegak hukum

menjadi salah satu kendala penegakan hukum kehutanan di

Indonesia.234 Dari pihak Penyidik Polri sendiri dapat diidentifikasi

kendala yang menghambat pembinaan dan kordinasi dan

pengawasan Penyidik PNS, yaitu:

a) Kurangnya kesadaran bahwa tugas Polri disamping tugas

penyidikan adalah juga kordinasi dan pengawasan Penyidik PNS.

233 Wawancara dengan Musriadi Alfi, Polisi Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera

Utara, di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul, tanggal 7 Desember 2009, pukul 09.13 WIB.

234 Mas Achmad Santosa, Penguatan Penegakan Hukum atas Illegal Logging, disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional, Jakarta, 29-30 November 2007

b) Di beberapa wilayah masih terdapat adanya kekosongan jabatan

di bidang Korwas.

c) Kurang disadari bahwa keberhasilan Penyidik PNS adalah

keberhasilan Polri terhadap tugas penegakan hukum dan data

kriminal nasional.

d) Belum disadari bahwa Penyidik PNS adalah asset Polri keluar

yang mempunyai nilai strategis ditinjau dari aspek penegakan

hukum.

Penyidik PNS sendiri terdapat kendala, diantaranya:

a) Masih kurang berani melaksanakan penyidikan secara tuntas,

penyelesaian banyak yang bersifat non yustisill.

b) Adanya anggapan sementara sejumlah PPNS yang merasakan

adanya kesenjangan antara Polri dan Penyidik PNS terutama di

daerah-daerah kabupaten.

c) Adanya kendala yang dialami oleh Penyidik PNS secara

struktural di dalam organisasi/ instansi nya.

d) Masih adanya kekhawatiran akan di-praperadilan-kan

Terobosan yang kemudian dapat dilakukan adalah membenahi

kordinasi antar sektor dalam proses penanganan tindak pidana

kehutanan. Hal yang mungkin untuk menyederhanakan kordinasi ini

adalah dengan memangkas birokrasi lintas sektoral, terutama dalam

hal penyampaian berkas perkara dari Penyidik Pegawai Negeri sipil

Kehutanan dengan tidak lagi melalui Polri.

4) Penguatan Organisasi Pengelola Kawasan Konservasi

Pengelolaan kawasan hutan konservasi pada saat ini

berdasarkan sistem pemangkuan hutan setingkat resor yang

mengelola kawasan hutan berdasarkan statusnya. Pengelolaan

kawasan konservasi di Sumatera Utara dibagi atas 24 (dua puluh

empat) resor, yang merupakan unit pengelola fungsional yang berada

di bawah Seksi Konservasi Wilayah (lihat skema 1). Suaka

Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut dibagi menjadi

tiga resor pengelola kawasan yang berada di bawah Seksi Konservasi

Wilayah II di Stabat, Bidang KSDA Wilayah I. Pada saat ini pada

masing-masing resor ditugaskan dua orang petugas terdiri dari Polisi

Kehutanan dan staf untuk mengelola kawasan. Permasalahan yang

menonjol di tiap-tiap resor pengelola tersebut pada saat ini adalah

tindak pidana penebangan kayu dan perambahan kawasan hutan235.

Tidak efektifnya penanganan tindak pidana kehutanan yang

terjadi di kawasan konservasi sekarang ini salah satunya adalah

lemahnya kordinasi antara Resor Konservasi Wilayah dengan

penegak hukum lainnya. Dari hasil wawancara dengan Kepala Resor

Wilayah KSDA SM KG&LTL diperoleh informasi bahwa

kelemahan kordinasi tersebut diakibatkan oleh tidak adanya

kewenangan dari pejabat Kepala Resor Konservasi Wilayah untuk

melakukan kordinasi lintas sektoral.236 Hal ini terjadi setelah adanya

reorganisasi dengan melikuidasi Balai KSDA Sumatera Utara I dan

Balai KSDA Sumatera Utara II menjadi Balai Besar KSDA

Sumatera Utara pada tahun 2007. Dengan reorganisasi tersebut,

fungsi kordinasi lintas sektoral menjadi kewenangan Seksi

Konservasi Wilayah II di Stabat yang secara admininistratif

membawahi tiga Kabupaten dan Kota yaitu Kabupaten Deli Serdang,

Kabupaten Langkat dan Kota Tanjung Balai. Dengan struktur

organisasi yang sekarang ini, penanganan tindak pidana kehutanan

secara birokratis harus melalui Seksi Konservasi Wilayah. Dengan

235 Wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut III Selotong, di Selotong, tanggal 11 Desember 2009, pukul 9.27 WIB. 236 Wawancara dengan M. Nur, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut II Tanjung Pura, di Pematang Sentang, tanggal 11 Desember 2009, pukul 14.25 WIB.

semakin bertambahnya jenjang birokrasi tersebut, penanganan tindak

pidana kehutanan menjadi tidak efektif.

Pada dasarnya terjadinya tindak pidana kehutanan di kawasan

SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut adalah sebagai akibat

tidak berfungsinya hukum pidana dalam menangani setiap tindak

pidana kehutanan baik penebangan pohon, pendudukan dan

penguasaan kawasan maupun perambahan kawasan hutan.

Sebenarnya masyarakat sekitar hutan SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut menyadari resiko dan sanksi yang akan dihadapi

apabila melakukan tindak pidana kehutanan di dalam kawasan hutan

konservasi. Pada umumnya masyarakat telah mengetahui adanya

larangan untuk tidak menguasai kawasan hutan. Namun akibat

lemahnya penegakan hukum pidana terhadap perbuatan tersebut,

mengakibatkan masyarakat tetap melakukan kegiatan tindak pidana

kehutanan.237 Timbulnya jual beli kawasan pada dekade tahun 2000

dipicu oleh lemahnya penegakan hukum dan penguasaan peraturan

oleh petugas pengelola kawasan yang tidak memadai. Kelemahan

penguasaan peraturan tersebut hampir merata di semua sektor, baik

di tingkat pengelola/resor maupun di tingkat seksi.

Dengan terjadinya reorganisasi pada tahun 2007 yang

berimplikasi pada beralihnya kewenangan kordinasi lintas sektoral di

bawah Seksi Konservasi Wilayah, penguatan organisasi seharusnya

dilakukan pada organisasi setingkat Seksi baik Seksi Konservasi

Wilayah maupun Seksi yang membawahi permasalahan

perlindungan dan pengamanan kawasan hutan. Penguatan dilakukan

dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme petugas, namun

pada saat ini penguatan organisasi setingkat seksi tersebut belum

237 Wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading

dan Langkat Timur Laut III Selotong, di Selotong, tanggal 11 Desember 2009, pukul 09.27 WIB.

dapat dilakukan. Profesionalisme aparatur masih belum memadai,

baik dalam penguasaan peraturan perundangan maupun kordinasi

lintas sektoral terutama dengan instansi penegak hukum lainnya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis, bahwa

penanganan tindak pidana kehutanan di SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut yang terjadi setelah reorganisasi tahun 2007,

sebagian dapat terlaksana karena adanya pendekatan personal yang

dilakukan oleh petugas resor dengan Kepolisan Sektor (Polsek)

setempat. Pendekatan personal ini dilakukan untuk menyingkat

jenjang birokrasi yang cenderung lebih panjang apabila

dibandingkan dengan berkordinasi dengan Seksi Konservasi

Wilayah. Hambatan yang terutama dihadapi apabila melalui jalur

kordinasi ke Seksi Konservasi Wilayah, adalah kesiapan aparatur

untuk merespon setiap laporan. Dengan kecenderungan tersebut,

alternatif penanganan tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh

petugas resor konservasi wilayah adalah dengan melakukan

pendekatan personal yang bersifat informal dengan Kepolisian

Sektor setempat (Polsek).238 Untuk itu sebagai salah satu solusi yang

dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan

konservasi adalah dengan merestrukturisasi organisasi Resor

Konservasi Wilayah KSDA. Restrukturisasi dilakukan dengan

peningkatan jenjang jabatan Kepala Resor Konservasi Wilayah. Bila

pada saat ini jabatan Kepala Resor Konservasi Wilayah adalah

jabatan fungsional, sebaiknya dijadikan jabatan Struktural.

Perubahan ini diikuti dengan melikuidasi beberapa Resor Konservasi

238 Wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading

dan Langkat Timur Laut III Selotong, di Selotong, pada tanggal 11 Desember 2009. Hal yang sama disampaikan oleh Khalid Surbakti, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut I Karang Gading, di kantor Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Medan tanggal 8 Desember 2009. Juga disampaikan oleh M. Safruddin, Polisi Kehutanan di Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut II Tanjung Pura, di kantor Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Medan tanggal 8 Desember 2009

Wilayah yang berada dalam satu pengelolaan kawasan konservasi.

Apabila dibutuhkan di bawah Resor Konservasi Wilayah terdapat

Pos Konservasi Wilayah tergantung luas kawasan dan karakteritistik

permasalahan. Dengan peningkatan jabatan Kepala Resor

Konservasi Wilayah ada beberapa dampak yang diharapkan akan

terjadi, yaitu pertama peningkatan responsibilitas tanggung jawab

Kepala Resor Konservasi Wilayah KSDA atas kawasan wilayah

kerjanya secara struktural kepada atasan langsung, kedua jalur

kordinasi lintas sektoral terutama dengan aparat penegak hukum

lainnya di wilayah kerja dapat berlangsung secara seimbang dan

setara, ketiga pelaksanaan tour of duty Kepala Resor Konservasi

Wilayah dapat dilakukan dengan optimal.

Di samping itu, dengan struktur organisasi Balai Besar KSDA

sekarang ini, cenderung belum menempatkan penanganan masalah

hukum sebagai prioritas penguatan organisasi walaupun

permasalahan penegakan hukum merupakan permasalahan krusial

yang terjadi di seluruh kawasan konservasi. Seharusnya penanganan

masalah hukum ditempatkan pada satu unit kerja tersendiri yang

memiliki kapabilitas dan kredibilitas yang cukup baik dalam

penanganan permasalah hukum yang terjadi. Alternatif unit kerja ini

bisa berada di tingkat seksi, di bawah pengendalian Bidang teknis

KSDA, sehingga lebih fleksibel untuk bisa menjangkau seluruh

wilayah resor pengelola kawasan konservasi. Alternatif lainnya

adalah dengan memberdayakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Kehutanan ke dalam satu unit kerja tersendiri yang mandiri, yang

salah satu tugasnya adalah menangani permasalahan hukum yang

terjadi di seluruh wilayah resor pengelola kawasan hutan.239

239 Wawancara dengan Polmer Situmorang, SH, Kepala Bidang KSDA Wilayah I Kabanjahe,

di Kantor Bidang Pengendalian Kebakaran Hutan, Balai Besar KSDA Sumut, tanggal 7 Desember 2009.

Dari wawancara yang dilakukan dengan saksi-saksi dari Balai

Besar KSDA Sumatera Utara yang diajukan pada persidangan kasus

perambahan hutan pada tahun 2005 yang terjadi di Suaka

Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, bahwa baik

pada saat mereka dipanggil menjadi saksi pada pemeriksan di

kepolisian Sektor (Polsek) maupun pada saat menjadi saksi di

Pengadilan, tidak pernah memperoleh arahan dan penerangan

sebelum memberikan kesaksiannya dari instansi. Arahan dan

penerangan ini sebenarnya sangat penting mengingat banyaknya

fakta-fakta hukum yang tidak diketahui oleh petugas resor pengelola

kawasan. Akibatnya adalah bahwa justru kesaksian yang

disampaikan oleh petugas menguatkan keabsahan kegiatan

perambahan. Seharusnya arahan dan penerangan ini dilakukan oleh

unit kerja khusus yang menangani permasalahan hukum di instansi

pengelola konservasi sumber daya alam.240 Unit kerja ini akan

menangani permasalahan hukum baik dalam pemberian nasehat

hukum, sosialisasi peraturan perundang-undangan sampai tingkat

pengelola resor kawasan konservasi dan kordinasi dengan instansi

penegak hukum lain. Intinya merupakan fungsi advokasi yang akan

membantu tugas-tugas Balai KSDA dalam menghadapi

permasalahan hukum. Unit kerja ini terdiri dari aparatur yang

memiliki kompetensi dan kemampuan di bidang hukum dan

didukung oleh data base kondisi permasalahan yang terjadi di

seluruh kawasan konservasi.

Pada saat ini, fungsi tersebut telah ada di tingkat Sekretaris

Jenderal Kementerian Kehutanan yang berkedudukan di Jakarta yang

membawahi bidang hukum dan organisasi. Dari beberapa tindak

240 Wawancara dengan Octo P. Manik, S.Sos., Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan

pada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul, tanggal 15 Desember 2009.

pidana kehutanan yang membutuhkan advokasi dan bantuan hukum

yang terjadi di daerah, terdapat beberapa kesulitan yang dialami.

Jalur birokrasi yang panjang dan keberadaanya yang hanya terdapat

di Jakarta menjadi kendala bagi penanganan tindak pidana kehutanan

yang membutuhkan penyelesaian yang cepat. Pada saat terjadinya

penangkapan terhadap pelaku tindak pidana perambahan hutan di

Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut pada tahun 2007 kesulitan

ini cukup dirasakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Balai

Besar KSDA Sumatera Utara. Permintaan bantuan hukum dan

personel dari Biro Hukum dan Organisasi tidak dapat dipenuhi, pada

saat dimana Balai Besar KSDA sedang menghadapi gugatan

praperadilan dari pelaku perambahan di Pengadilan Negeri

Langkat.241

5) Proses Peradilan

Proses peradilan terhadap tindak pidana kehutanan pada

dasarnya sama dengan penanganan tindak pidana umum lainnya.

Yang membedakannya adalah adanya kewenangan Penyidik

Pegawai Negeri Sipil Kehutanan yang berdasarkan Undang-undang,

merupakan penyidik di samping adanya Penyidik Polri.

Proses peradilan tindak pidana kehutanan dimulai dari tahap

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, putusan, upaya

hukum, hingga tahap eksekusi putusan pengadilan yang dapat

digambarkan pada tabel 13 berikut ini:

241 Wawancara dengan Hendra Ginting, SH, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan, Balai

Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul Sumatera Utara, tanggal 14 Desember 2009

Tabel 13 Proses dan Peran Kelembagaan Dalam Penegakan Hukum

Kehutanan di Indonesia242

PROSES

KELEMBAGAAN

APARAT DASAR

HUKUM

P E

R I

S T

I W A

H

U K

U M

Laporan:

Pemberitahuan yang

disampaikan oleh seseorang

karena hak atau kewajiban

berdasarkan Undang-undang

kepada pejabat yang berwenang

tentang telah atau sedang atau

diduga akan terjadinya peristiwa

pidana (pasal 1 butir 24

KUHAP)

Kepolisian

negara RI

Pasal 15 (1)

huruf a UU

No.2 tahun

2002

Penyidik

Polri

Pasal 4, pasal

5, pasal 10

dan pasal 103

KUHAP

Pengaduan:

Pemberitahuan disertai

permintaan oleh pihak yang

berkepentingan kepada pejabat

yang berwenang untuk

Penyidik

Polri

Pasal 6 (1)

huruf a, Pasal

7 (1) huruf a,

Pasal 106

KUHAP

242 Ratih Candradewi dan Wulan Pratiwi, loc.cit.

menindak menurut hukum

seseorang yang telah melakukan

tindak pidana aduan yang

merugikan (pasal 1 butir 25

KUHAP) Polisi

Kehutanan

Pasal 3 (1)

huruf a UU

no.2 tahun

2002, jo pasal

5 (15)dan

(16)

Kepmenhut

No.579/Kpts/

VI/ 1996

Tertangkap tangan:

Tertangkapnya seseorang pada

waktu sedang melakukan tindak

pidana, atau dengan segera

sesudah beberapa saat tindak

pidana itu dilakukan atau sesaat

kemudian diserukan oleh

khalayak ramai sebagai orang

yang melakukannya, atau

apabila sesaat kemudian

padanya ditemukan benda yang

diduga keras telah dipergunakan

untuk melakukan tindak pidana

itu yang menunjukkan bahwa ia

adalah pelakunya atau

membantu melakukan tindak

pidana itu. (pasal 1 butir 19

KUHAP)

PPNS

Kehutanan

Pasal 6 ayat

(1) huruf b,

jo.pasal 7 (2),

jo pasal 106

KUHAP jo

pasal 39 (3)

huruf a UU

no.5 tahun

1990, jo pasal

77 (2) huruf a

UU no.41

tahun 1999

Penyelidikan:

Serangkaian tindakan penyelidik

untuk mencari dan menemukan suatu

peristiwa yang diduga sebagai tindak

pidana guna menentukan dapat atau

tidaknya dilakukan penyidikan

menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini (pasal 1 butir 5

KUHAP)

Penyelidik Polri

Pasal 3 (1)

huruf a UU

No.2 tahun

2002, jo pasal

5

(15),(16),dan

(17)

Penyidikan:

Serangkaian tindakan penyidik

dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini

untuk mencari serta mengumpulkan

bukti yang dengan bukti itu membuat

terang tentang tindak pidana yang

terjadi dan guna menemukan

tersangkanya (pasal 1 butr 2

KUHAP)

Penyidik

Polri

Pasal 106-

136 KUHAP

Penyidik

PNS

Pasal 106-

136 KUHAP,

pasal 39 UU

No.5 tahun

1990, Pasal

77 UU No.

41 tahun

1999

Penuntutan:

Tindakan Penuntut Umum untuk

melimpahkan perkara pidana ke

Pengadilan Negeri yang berwenang

dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini

dengan permintaan supaya diperiksa

dan diputus oleh hakim di sidang

pengadilan (pasal 1 butir 7 KUHAP)

Jaksa

Penuntut

Umum

Pasal 137-

144 KUHAP

Persidangan:

Mengadili adalah serangkaian

tindakan hakim untuk menerima,

memeriksa dan memutus perkara

pidana berdasarkan asas bebas, jujur

dan tidak memihak di sidang

pengadilan, dalam hal dan menurut

cara yang ditentukan dalam undang-

undang ini. (pasal 1 butir 9

(KUHAP). Jalannya seluruh proses

persidangan dipimpn oleh hakim

(pasal 217 KUHAP)

Majelis

hakim,

Jaksa

Penuntut

Umum,

terdakwa,

Penasihat

Hukum,

Panitera

Pasal 145-

190 KUHAP

Putusan Pengadilan:

Pernyatan hakim yang diucapkan

dalam sidang pengadilan terbuka,

yang dapat berupa pemidanaan atau

bebas, atau lepas dari segala tuntutan

hukum (pasal 1 butir 11 KUHAP)

Majelis

Hakim,

Panitera

Pasal 191-

202 KUHAP

Upaya Hukum:

Hak terdakwa atau penuntut umum

untuk tidak menerima putusan

pengadilan yang berupa perlawanan

atau banding atau kasasi atau

terpidana untuk mengajukan

permohonan peninjauan kembali

dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam Undang-undang ini.

(pasal 1 butir 12 KUHAP)

Jaksa

Penuntut

Umum,

terdakdwa

dan/atau

Penasihat

Hukum

nya

Pasal 259-

269 KUHAP

Eksekusi: Jaksa Pasal 270-

Pelaksanaan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap dilakukan oleh jaksa,

yang untuk itu panitera mengirimkan

salinan surat keputusan kepadanya.

(pasal 270 KUHAP)

Penuntut

Umum,

Hakim

Pengawas

dan

pengamat

283 KUHAP

Tindak pidana kehutanan dimulai pada saat adanya dugaan

telah terjadinya tindak pidana yang akan diperjelas dalam tindakan

penyelidikan, kemudian dilanjutkan pada tahapan penyelidikan,

tahap penuntutan, tahap persidangan pengadilan sampai pada tahap

putusan. Dalam proses penyidikan tindak pidana kehutanan terutama

yang terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang

sering menjadi kendala adalah belum adanya kesamaan pandang dari

aparat penegak hukum baik Polisi, Penyidik Pegawai Negeri Sipil,

Kejaksaan dan Pengadilan dalam menafsirkan dan menerapkan

ketentuan perundang-undangan untuk menjerat pelaku tindak pidana

kehutanan.

Belum adanya kesamaan sudut pandang dalam melihat tindak

pidana kehutanan sebagai tindak pidana yang dikategorikan sebagai

organized crime, yang telah membahayakan kehidupan manusia

dapat juga diketahui dari penanganan delapan (8) tindak pidana

perambahan hutan yang dilaporkan selama periode waktu tahun

2004-2009 di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut kepada

Kepolisian setempat, hanya tiga (3) kasus yang dilakukan proses

penyidikan. (lihat tabel 7) Responsibilitas yang sangat rendah ini

terlihat juga dari beberapa Laporan Kejadian yang dibuat oleh

petugas Resor Konservasi Wilayah, pada umumnya tidak

ditindaklanjuti dengan proses penyidikan oleh Penyidik Polri.

Formulasi delik materil terhadap tindak pidana perambahan yang

terjadi di kawasan konservasi membutuhkan kualitas dan kapabilitas

Penyidik. Karena itu dalam penanganan tindak pidana perambahan

khususnya yang terjadi di dalam kawasan hutan konservasi

sebaiknya dilaksanakan oleh Penyidik Polri dan Penyidik PNS

Kehutanan secara bersama-sama. Unsur pimpinan harus memulai hal

tersebut dengan menjalin kordinasi yang dibangun dengan tetap

memperhatikan independensi masing-masing lembaga, sehingga ego

sektoral masing-masing lembaga dapat dihilangkan.

Penuntutan tindak pidana kehutanan berupa dakwaan yang

diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum memiliki posisi strategis dalam

penegakan hukum pidana khususnya tindak pidana kehutanan.

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum akan menjadi rujukan utama oleh

Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan. Karena itu dakwaan

Jaksa Penuntut Umum harus dibuat dengan cermat sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kejaksaan Republik

Indonesia sebagai lembaga penuntut umum dalam sistem hukum di

Indonesia telah menggariskan bahwa dalam penanganan tindak

pidana kehutanan/illegal logging berdasarkan Surat Jaksa Agung

Republik Indonesia Nomor: SE-002/JA/4/1995 tanggal 28 April

1995 tentang Perkara Penting Tindak Pidana Umum Lain, bahwa

tindak pidana kehutanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-

undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah perkara

penting yang memerlukan perhatian khusus dari pimpinan dan oleh

karenanya perlu ditangani dan diselesaikan dengan sistem

pengendalian, pelaporan dan pendokumentasian. Pola penanganan

dan penyelesaian perkara kehutanan dijelaskan lebih rinci dalam

Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-

189/E/5/1995 tanggal 3 Mei 1995. Dengan demikian Surat Jaksa

Agung tersebut harus ditindaklanjuti oleh seluruh Kejaksaan di

Indonesia. Sistem pengendalian, pelaporan dan pendokumentasian

harus diterapkan pada tiap-tiap instansi Kejaksaan dalam penuntutan

perkara tindak pidana kehutanan. Sehingga ke depannya tidak

ditemukan lagi tuntutan Jaksa yang tidak memperhatikan ketentuan

perundang-undangan.

Namun walaupun Surat Jaksa Agung Republik Indonesia

Nomor: SE-002/JA/4/1995 tanggal 28 April 1995 tentang Perkara

Penting Tindak Pidana Umum Lain harus menjadi pedoman bagi

Jaksa dalam menyusun dakwaan terhadap upaya penegakan hukum

di bidang kehutanan, surat ini masih memiliki keterbatasan. Dalam

surat tersebut hanya diatur tentang tindak pidana kehutanan

sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 41 tahun

1999 tentang Kehutanan. Dengan pengertian tersebut tindak pidana

kehutanan yang diatur dalam Undang-undang lain seperti tindak

pidana terhadap hutan konservasi tidak tercakup yang diatur menjadi

perkara penting yang memerlukan perhatian khusus dari pimpinan.

Karena itu diperlukan petunjuk pelaksanaan yang lebih jelas untuk

mengatur tentang dakwaan terhadap tindak pidana di bidang

kehutanan baik yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun

1990 tentang KSDAH&E, maupun Undang-undang Nomor 41 tahun

1999 tentang Kehutanan.

Demikian juga dengan proses peradilan terhadap pelaku

perambahan hutan pada tahun 2005 yang telah divonis dengan

putusan lepas dari tuntutan hukum. Terlepas dari adanya prinsip

kebebasan hakim dalam mengambil putusan, dari ketiga kasus

tersebut menggambarkan tidak adanya kesamaan persepsi di antara

aparat penegak hukum dalam menggunakan, menerapkan dan/atau

menafsirkan ketentuan-ketentuan hukum positif untuk menjerat para

pelaku tindak pidana kehutanan. Karena itu adalah sangat tepat

untuk menerapkan kebijakan penunjukan Majelis hakim terhadap

tindak pidana kehutanan berdasarkan kompetensi di bidang

lingkungan hidup dan kehutanan. Kebijakan Mahkamah Agung

untuk meningkatkan kualitas Hakim dengan melakukan pelatihan di

Australia dalam bidang hukum lingkungan merupakan langkah yang

harus dipercepat untuk menyiapkan hakim-hakim yang mempunyai

empati, dedikasi dan determinasi untuk menciptakan keadilan dalam

bidang hukum lingkungan dan kehutanan.

c) Budaya Hukum

1) Budaya hukum internal

Budaya hukum internal adalah budaya hukum orang-orang

yang bertugas untuk menegakkan hukum termasuk di sini adalah

Polisi, Jaksa, hakim maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Budaya

hukum seseorang tentunya akan sangat berpengaruh pada

pengambilan keputusan yang diambilnya. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi putusan seseorang, yaitu: dinamika diri individu,

dinamika para kelompok orang dalam organisasi, dinamika dari para

lingkungan organisasi, adanya tekanan dari luar, adanya pengaruh

kebiasaan lama, adanya pengaruh dari sifat pribadi, adanya pengaruh

dari kelompok luar dan adanya pengaruh keadaan masa lalu. Di

samping itu pengambilan keputusan seseorang dapat dipengaruhi

oleh nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat yang ada di

lingkungan sekitarnya, yaitu:243

a) Nilai politis, dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan

politik dari kelompok kepentingan tertentu,

b) Nilai organisasi, maksudnya bahwa keputusan yang diambil

dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut oleh organisasi

243 Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari

Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 196-197.

c) Nilai pribadi, yaitu keputusan diambil atas dasar nilai-nilai

pribadi si pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo,

reputasi maupun kekayaan.

d) Nilai kebijaksanaan, yaitu keputusan dibuat atas dasar persepsi

pembuat kebijaksanaan tentang kepentingan publik

e) Nilai ideologi yaitu pembuatan keputusan atas dasar-dasar nilai

ideologi seperti nasionalisme.

Untuk menjaga budaya hukum internal aparat penegak hukum,

dari awal, langkah yang harus dilakukan dimulai sejak tahap

penerimaan pegawai. Tahapan ini harus dilaksanakan dengan

menegakkan prinsip-prinsip transparansi, profesionalisme dan

akuntabilitas. Penerapan prinsip-prinsip ini akan mampu

menghilangkan pola-pola rekrutmen yang berbasiskan kolusi,

korupsi dan nepotisme. Dari bahan baku baik yang telah dipilih,

dengan pola pendidikan dan pelatihan yang baik akan dihasilkan

aparatur yang baik pula. Di samping itu penempatan tugas aparatur

harus lebih memperhatikan faktor integritas dan moral daripada

pengetahuan teknis. Dengan aparatur yang memiliki integritas dan

bermoral baik, penegakan hukum dapat dilakukan meskipun dengan

dengan peraturan yang lemah. Penerapan sistem reward and

punishment yang adil bagi aparat penegak hukum merupakan iklim

baik yang bisa menggairahkan kinerja aparat dalam penegakan

hukum. Dengan penerapan sistem reward and punishment yang

terukur dan baku, akan mengikis budaya paternalistik yang

cenderung memelihara sikap ewuh pakewuh semu terhadap atasan.

Kemudian kebijakan Kejaksaan Agung yang menerapkan sistem

pengendalian, pelaporan dan pendokumentasian dalam penanganan

tindak pidana kehutanan hendaknya tidak menjadi macan kertas

semata, dibutuhkan evaluasi dengan konswekensi pemberian reward

and punishment yang jelas dan transparan.

2) Budaya Hukum Eksternal

Sesuai dengan apa yang didalilkan oleh Lawrence M. Friedman bahwa budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat, yaitu sejauh mana tanggapan dan tingkat kepatuhan masyarakat atas peraturan perundangan yang telah ditetapkan. Hal yang tidak jauh berbeda dari yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto bahwa kebudayaan adalah sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Jadi budaya hukum masyarakat adalah adalah pemaknaan masyarakat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dari perspektif yang mereka yakini. Hal ini tentunya tidak terlepas dari seberapa jauh masyarakat telah menerima sosialisasi dan pemasyarakatan perundang-undangan yang telah dilakukan oleh instansi berwenang. Apabila sosialisasi telah cukup dilakukan, langkah selanjutnya adalah tindakan persuasif untuk mengarahkan budaya hukum masyarakat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat Undang-undang. Dalam hal ini konsepsi hukum adalah alat untuk memperbaharui masyarakat (law as a toll of social engineering) sebagaimana yang diungkapkan oleh Roscoe Pound. Tema sentral dari rekayasa masyarakat melalui hukum adalah bagaimana mengerakkan tingkah laku masyarakat atau mencapai keadaan yang diinginkan melalui hukum. Hal ini misalnya secara cukup sistematis diterapkan oleh Polri dalam mensosialisasikan undang-undang tentang lalu lintas jalan raya. Tahap sosialisasi dilakukan melalui penyuluhan-penyuluhan, dan penyebar luasan informasi melalui media massa. Tahapan persuasif sebagai tahapan selanjutnya dilakukan dengan memberikan peringatan kepada pelanggar peraturan. Setelah tahapan ini dilaksanakan baru diterapkan tindakan represif bagi pelanggar peraturan.

Sosialisasi peraturan perundang di bidang kehutanan cara yang dilakukan juga tidak jauh berbeda. Sosialisasi peraturan dilakukan terutama kepada masyarakat desa sekitar hutan melalui media yang bisa diterima di pedesaan. Cara yang umum diterapkan adalah dengan penyuluhan-penyuluahan kehutanan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat desa sekitar hutan. Walaupun diakui sosialisasi ini sering sekali terkendala oleh faktor geografis sulitnya akses menuju desa-desa sekitar kawasan hutan. Sedangkan media elektronik yang merupakan sarana efektif untuk melakukan sosialisasi, belum menjangkau semua daerah. Akibatnya adalah bahwa sosialisasi peraturan cenderung lebih lama dan lebih lambat. Karena itulah tindakan persuasif cenderung lebih banyak dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Namun demikian, sesuai

dengan tujuannya, hukum pidana akan diterapkan bagi pelanggaran terhadap ketentuan yang telah disosialisasikan.

Karena itu penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana kehutanan harus dilihat kasus per kasus dan tidak menyamaratakan. Unsur keadilan tentunya harus seimbang dengan unsur kepastian hukum, walaupun dalam kenyataannya akan sangat sulit untuk menciptakan suatu situasi yang proporsional antara kedua unsur tersebut. Untuk menciptakan budaya hukum masyarakat sesuai dengan yang diharapkan oleh pembuat Undang-undang harus dilihat kembali dari perspektif budaya lokal setempat. Masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat dengan budaya rural yang masih sangat kuat memegang nilai-nilai kearifan lokal termasuk kearifan ekologis. Nilai-nilai kearifan ekologis yang dianut pada umumnya meletakkan pada ajaran keseimbangan antara manusia dan alam. Nilai-nilai kearifan ekologis inilah yang selama ini terlupakan dalam penyusunan peraturan perundangan di bidang kehutanan. Pemerintah bisa mengadopsi nilai-nilai kearifan ekologis ini ke dalam peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan kawasan hutan. Secara sektoral formalisasi nilai-nilai kearifan ekologis ini di beberapa daerah telah dilakukan melalui ketentuan-ketentuan yang dituangkan dalam Peraturan Desa (Perdes). Metode seperti ini akan cukup efektif di samping dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan hukum. Eksistensi penyuluhan hukum akan terasa lebih berarti dalam rekonstruksi budaya hukum apabila dipadukan dengan mengadopsi nilai-nilai kearifan ekologis masyarakat setempat. Eksistensi penyuluhan hukum sangat diperlukan untuk meminimalisir konflik-konflik yang ada sekaligus pula memuluskan jalan bagi rekonstruksi budaya hukum ke arah yang lebih baik.

BAB V

P E N U T U P

A. Simpulan

Setelah dilakukan pembahasan dan kajian terhadap dua permasalahan

pokok yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi terhambatnya fungsionalisasi

hukum pidana (penal policy) oleh aparat penegak hukum (tahap aplikasi) dan

pokok-pokok kebijakan kriminal apa sajakah yang seharusnya diterapkan untuk

menanggulangi perambahan hutan yang terjadi di SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut, maka berdasarkan kajian teoritik yang dikemukakan oleh

Friedman bahwa bekerjanya hukum dalam suatu sistem dipengaruhi oleh

komponen substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum, dan

diintegrasikan dengan teori kebijakan kriminal (criminal policy) yang

dikemukakan oleh G.P. Hoefnagels bahwa untuk mencapai ketertiban dalam

masyarakat dapat dilakukan melalui kebijakan kriminal yang memadukan

sarana penal dan non penal, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Terhambatnya fungsionalisasi hukum pidana oleh aparat penegak hukum

dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perambahan hutan di SM

Karang Gading dan Langkat Timur Laut dipengaruhi oleh:

a) Komponen Substansi Hukum

1) Undang-undang bidang kehutanan memuat ketentuan pidana dalam

bentuk delik materil. Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990

tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

perumusan tindak pidana dalam formulasi delik materil terdapat dalam

pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1). Demikian juga ketentuan

dalam pasal 50 ayat (2) juncto pasal 78 ayat (1) Undang-undang

Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang memformulasikan

tindak pidana dalam bentuk delik materil.

2) Perumusan ketentuan pidana baik yang terdapat dalam pasal 40

Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH & E maupun

yang terdapat dalam pasal 78 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999

tentang Kehutanan hanya mengatur tentang sanksi hukuman

maksimum namun tidak memuat ketentuan sanksi hukuman

minimum.

3) Mekanisme penyampaian berkas perkara dari Penyidik Pegawai

Negeri Sipil Kehutanan ke Penuntut Umum harus melalui Penyidik

Polri seperti diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 5 tahun

1990 tentang KSDAH&E maupun Undang-undang Nomor 41 tahun

1999 tentang kehutanan.

4) Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan tidak memiliki kewenangan

melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak

pidana kehutanan.

b) Komponen Struktur Hukum

1) Penguasaan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan

masih sangat rendah terutama di tingkat Resor Konservasi Wilayah

sampai setingkat Seksi Konservasi Wilayah. Tingkat penguasaan

peraturan perundang-undangan ini di Balai Besar KSDA Sumatra

Utara, diibaratkan seperti kerucut terbalik, semakin ke bawah semakin

kecil tingkat penguasaannya.

2) Setelah adanya restrukturisasri organisasi pada tahun 2007 menjadi

Balai Besar KSDA Sumatera Utara, kewenangan pengelola kawasan

pada tingkat Resor Konservasi Wilayah semakin berkurang. Di

samping itu juga pada tingkat Resor Konservasi Wilayah pola mutasi

atau tour of duty belum memiliki konsep yang jelas.

3) Sarana penunjang tugas-tugas pengamanan kawasan hutan pada

tingkat Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat

Timur Laut masih sangat terbatas.

4) Kordinasi lintas sektoral atas dasar kesetaraan dan kode etik profesi

antara sesama penegak hukum pada tingkat Seksi Konservasi Wilayah

KSDA belum berjalan efektif

5) Tidak adanya satuan unit tugas tertentu dalam struktur organisasi

Balai Besar KSDA Sumatra Utara yang menangani permasalahan

hukum dan perundang-undangan.

6) Tingkat penyelesaian perkara tindak pidana perambahan hutan di

Kepolisian masih sangat rendah dan proses penyidikannya cenderung

berjalan lambat.

7) Pemahaman yang tidak merata pada Jaksa Penuntut Umum mengenai

penerapan ketentuan Undang-undang bidang Kehutanan terutama

terhadap tindak pidana perambahan hutan, bagaimana menerapkannya

atau ketentuan pasal apa yang harus diterapkan terhadap suatu

pelanggaran.

8) Penerapan ajaran sifat melawan hukum materil (materiale

wederrechtelikjheid) oleh Hakim Pengadilan Negeri Langkat yang

mengadili perkara perambahan hutan di SM Karang Gading dan

langkat Timur Laut pada tahun 2005 belum sesuai dengan fakta-fakta

hukum yang sebenarnya.

9) Sinkronisasi azas-azas hukum pidana pada proses persidangan

perkara perambahan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut

pada tahun 2005 belum tepat.

c) Komponen Budaya Hukum

1) Budaya Hukum Internal

a) Persepsi penegak hukum terhadap penegakan hukum pidana dalam

tindak pidana perambahan hutan masih rendah. Potensi kerusakan

lingkungan dan akibat yang ditimbulkan belum menjadi

pertimbangan dalam proses penyidikan, membuat surat dakwaan

dan proses pengadilan.

b) Adanya korelasi yang erat antara korupsi dengan kelestarian

lingkungan: negara dengan tingkat korupsi rendah memiliki

kemampuan lebih baik dalam mengelola sumber daya alam,

demikian juga sebaliknya, negara yang subur akan praktek-praktek

korupsi akan memiliki kemampuan yang buruk dalam mengelola

lingkungan hidup dan sumber daya alam.

2) Budaya Hukum Eksternal

Internalisasi nilai-nilai kepatuhan hukum dalam budaya hukum

masyarakat sekitar hutan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut,

dipengaruhi oleh:

a) Budaya paternalistik masyarakat desa sekitar hutan

b) Lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan

c) Jauhnya dari jangkauan kontrol sosial baik formal maupun

informal

d) Pengaruh kekuasan ekonomi dari pelaku tindak pidana yang tidak

diganjar dengan hukuman atas perbuatan yang dilakukannya

2. Kebijakan kriminal (criminal policy) yang seharusnya diterapkan sebagai

upaya penanggulangan tindak pidana perambahan hutan di SM Karang

Gading dan Langkat Timur Laut

Kebijakan kriminal (criminal policy) sebagai bagian dari tujuan untuk

mencapai ketertiban dalam masyarakat dapat dilakukan melalui kebijakan

penal dan non penal sebagaimana yang ditelaah oleh G.P. Hoefnagels

dengan teori kebijakan kriminal yang dikembangkannya. Dari hasil

penelitian yang dilakukan bahwa penanggulangan tindak pidana

perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut tidak

dapat dilakukan hanya dengan kebijakan penal saja akan tetapi harus

dilakukan melalui upaya integral antara kebijakan penal dan kebijakan non

penal sebagai berikut:

a. Kebijakan penal

Kebijakan penal sebagai salah satu kebijakan kriminal yang

diterapkan, apabila diintegrasikan dengan kajian Teori Bekerjanya

Hukum dari Lawrence M. Fiedman, merupakan kebijakan kriminal

dalam ranah komponen substansi hukum. Dalam penanggulangan tindak

pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut

kebijakan penal yang dapat dilakukan, yaitu:

1) Tahap Formulasi

a) Perumusan tindak pidana dalam Undang-undang di bidang

kehutanan seharusnya diformulasikan dalam bentuk delik formil

sehingga memudahkan dalam proses penyidikan dan tidak

menimbulkan multitafsir bagi pihak-pihak yang terlibat dalam

penegakan hukum bidang kehutanan.

b) Dalam Undang-undang bidang kehutanan ketentuan pidana yang

mengatur tentang ancaman hukuman, tidak saja hanya mengatur

tentang ancaman hukuman maksimum tapi juga mengatur tentang

ancaman hukuman minimum.

c) Selama ini apabila mekanisme proses penyidikan tindak pidana

yang dilakukan oleh Penyidik PNS Kehutanan adalah melalui

Penyidik Polri, harus dirubah untuk menyingkat jalur birokrasi

dalam rangka percepatan penyelesaian perkara.

d) Dalam undang-undang bidang kehutanan seharusnya juga diatur

tentang kewenangan Penyidik PNS Kehutanan untuk melakukan

penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana

kehutanan. Sebagai bahan rujukan misalnya dapat dilihat

kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik PNS Kepabeanan.

2) Tahap Aplikasi

Terhadap ketiga putusan Pengadilan Negeri Langkat pada tahun

2006 yang mengadili perkara perambahan hutan di SM Karang

Gading dan Langkat Timur Laut harus dilakukan upaya perlawanan

melalui Kejaksaan Negeri Langkat karena adanya penyimpangan

penerapan ajaran sifat melawan hukum materil (materiale

wederrechtelikjheid) oleh Majelis Hakim dan tidak sinkronnya

penerapan azas-azas hukum pidana yang digunakan sebagai

pertimbangan Majelis hakim dalam putusan tersebut.

b. Kebijakan Non Penal

Sebagai salah satu kebijakan yang digunakan secara integral

dengan kebijakan penal, upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk

menanggulangi tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading

dan Langkat Timur Laut diantaranya adalah:

1) Perlu adanya wadah bagi ADR (Alternative Dispute Resolution)

dalam formulasi Undang-undang sektoral Kehutanan. Solusi

penerapan ADR ini sangat tepat diterapkan pada kasus-kasus tindak

pidana kehutanan yang pelakunya adalah korporasi. Namun

penerapan alternatif jalur mediasi ini harus mempertimbangkan

kualitas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Terhadap tindak

pidana kehutanan yang telah mengakibatkan timbulnya korban

jiwa, kesalahan pelaku dipandang berat, akibat perbuatan

dipandang besar, perbuatannya menimbulkan keresahan

masyarakat, maka terhadap tindak pidana tersebut harus

difungsikan hukum pidana.

2) Dengan melakukan peningkatan profesionalisme aparat khususnya

petugas Resor Konservasi Wilayah dan Seksi Wilayah Konservasi

yang merupakan ujung tombak pengelolaan kawasan konservasi.

3) Penguatan organisasi Resor Konservasi Wilayah dilakukan dengan

merestrukturisasi organisasi Resor Konservasi Wilayah dengan

meningkatkan jenjang jabatan menjadi jabatan struktural yang

diikuti dengan likuidasi resor konservasi wilayah yang berada

dalam satu pengelolaan kawasan konservasi. Dengan demikian

sistem mutasi aparatur pada tingkat Resor Konservasi Wilayah

dapat dilakukan dengan efektif dan kordinasi lintas sektoral dengan

aparat penegak hukum lainnya dapat dilakukan dengan prinsip

kesetaraan dengan tetap memperhatikan independensi masing-

masing lembaga dan kode etik profesi.

4) Melengkapi sarana penunjang tugas-tugas pengamanan hutan pada

tingkat resor konservasi wilayah paling tidak memenuhi standar

minimum sarana pengamanan kawasan yang dikelola.

5) Pembentukan struktur organisasi di bidang hukum pada tingkat

Balai KSDA di daerah-daerah dengan sumber daya manusia yang

kompeten dan didukung oleh manajeman berbasis data base yang

lengkap sehingga kebutuhan akan advokasi hukum di daerah dapat

dilakukan dengan lebih cepat dibandingkan dengan kondisi

sekarang ini.

6) Untuk mengantisipasi keterbatasan kemampuan dan keterbatasan

kewenangan masing-masing Penyidik, proses penyidikan tindak

pidana perambahan hutan sebaiknya dilakukan secara bersama

antara Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Kehutanan.

7) Melakukan pelatihan bersama dengan aparat penegak hukum dalam

sistem peradilan pidana tentang penegakan hukum terhadap tindak

pidana kehutanan dan sumber daya alam hayati sehingga ada

persamaan persepsi tentang potensi kerusakan lingkungan dan

akibat yang ditimbulkan yang menjadi pertimbangan dalam proses

penyidikan, membuat surat dakwaan dan proses pengadilan.

B. Implikasi

Konswekensi logis dari fakta-fakta dalam kesimpulan tersebut di atas

adalah timbulnya beberapa implikasi yaitu:

1. Terhambatnya fungsionalisasi hukum pidana dalam penegakan hukum

terhadap tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan

Langkat Timur Laut dipengaruhi oleh:

a. Substansi Hukum

1) Perumusan ketentuan pidana dalam formulasi delik materil akan

menyulitkan proses penyidikan oleh Penyidik Polri dan terutama

oleh Penyidik PNS dikarenakan Penyidik PNS tidak memiliki

kewenangan untuk memeriksa saksi ahli. Pada proses pembuktian

juga akan terkendala akibat perumusan delik materil.

2) Tidak diaturnya ketentuan hukuman minimum terhadap tindak

pidana kehutanan, akan mengakibatkan kecenderungan rendahnya

tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum yang pada akhirnya akan

berpengaruh pada rendahnya hukuman yang dijatuhkan oleh hakim.

3) Mekanisme proses penyampaian berkas perkara oleh Penyidik PNS

Kehutanan yang harus melalui Penyidik Polri, mengakibatkan

panjangnya birokrasi yang harus dilalui dan mengakibatkan tidak

efisisennya proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik PNS.

4) Tidak adanya kewenangan Penyidik PNS Kehutanan untuk

melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak

pidana kehutanan, mengakibatkan adanya celah dan kesempatan bagi

pelaku untuk melarikan diri sebelum Penyidik PNS berkordinasi

dengan Penyidik Polri.

b. Struktur Hukum

1) Rendahnya penguasaan peraturan perundangan pada tingkat Resor

konservasi Wilayah, mengakibatkan penegakan hukum terhadap

tindak pidana perambahan tidak efektif dan hanya sebatas

pendekatan persuasif tanpa adanya proses yustisi.

2) Terbatasnya kewenangan Resor konservasi Wilayah mengakibatkan

kordinasi lintas sektoral dengan aparat penegak hukum lainnya tidak

berjalan. Di samping itu dengan tidak adanya konsep tour of duty

pada tingkat Resor Konservasi Wilayah mengakibatkan terjadinya

kecenderungan penyalahgunaan wewenang dan hilangnya motivasi

untuk berprestasi.

3) Minimnya sarana penunjang tugas pengamanan kawasan

mengakibatkan petugas Resor Konservasi Wilayah tidak dapat

melaksanakan tugas-tugas pengamanan baik preventif berupa patroli

ke dalam kawasan hutan, maupun represif dengan melakukan

operasi penegakan hukum terhadap pelaku perambahan hutan.

4) Tidak berfungsinya tugas-tugas kordinasi lintas sektoral pada tingkat

Seksi Konservasi Wilayah mengakibatkan tugas pengamanan hutan

tidak sinergis dengan aparat penegak hukum lain dalam sistem

peradilan pidana sehingga penyelesaian kasus-kasus tindak pidana

kehutanan cenderung akan terkotak-kotak oleh ego sektoral masing-

masing sub sistem.

5) Tidak adanya satuan tugas bidang hukum di daerah, mengakibatkan

terkendalanya penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan

yang dilakukan oleh Penyidik PNS Kehutanan. Keberadaannya saat

ini yang hanya terdapat di Sekretariat Jenderal Kementrian

Kehutanan di Jakarta, mengakibatkan panjangnya rentang jalur

kordinasi yang harus dilakukan oleh Penyidik PNS di daerah-daerah

apabila terdapat permasalahan hukum yang harus segera

diselesaikan.

6) Rendahnya frekwensi penyelesaian perkara tindak pidana

perambahan hutan mengakibatkan kegiatan ini masih terus

berlangsung dan cenderung tidak ada tindakan hukum yang

diterapkan, sehingga semakin banyak orang yang berniat untuk

melakukan kejahatan yang sama.

7) Pemahaman yang tidak merata pada Jaksa Penuntut Umum

mengakibatkan penerapan pasal yang tidak tepat dan rekuisituir

yang sangat rendah terhadap pelaku perambahan hutan.

8) Penyimpangan penerapan ajaran sifat melawan hukum materil oleh

hakim Pengadilan Negeri Langkat yang mengadili perkara

perambahan hutan di SM KG dan LTL pada tahun 2005

mengakibatkan lepasnya pelaku dari segala tuntutan hukum

walaupun telah terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan Jaksa

Penuntut Umum.

9) Tidak sinkronnya penerapan azas-azas hukum pidana oleh hakim

Pengadilan Negeri Langkat yang mengadili perkara perambahan

hutan di SM KG dan LTL pada tahun 2005 mengakibatkan lepasnya

pelaku dari segala tuntutan hukum.

c. Budaya Hukum

1) Budaya hukum internal

a) Rendahnya persepsi aparat penegak hukum dalam penegakan

hukum terhadap tindak pidana perambahan hutan mengakibatkan

tingkat keberhasilan penanganan tindak pidana perambahan

hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut masih

sangat rendah.

b) Budaya korupsi yang terjadi pada semua sub sistem dalam sistem

peradilan pidana mengakibatkan rendahnya kemampuan negara

dalam mengelola lingkungan hidup.

2) Budaya Hukum Eksternal

a) Budaya paternalistik yang kuat pada masyarakat desa sekitar

kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut,

mengakibatkan internalisasi nilai-nilai dalam budaya hukum

masyarakat sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai hukum pemimpin

desa/kepala desa.

b) Lemahnya penegakan hukum, mengakibatkan rendahnya budaya

kepatuhan hukum pada masyarakat desa sekitar kawasan SM

Karang Gading dan Langkat Timur Laut.

c) Jauhnya dari jangkauan kontrol sosial baik dari instansi

pemerintah maupun non pemerintah mengakibatkan suburnya

budaya tidak patuh hukum pada masyarakat sekitar hutan.

d) Tidak difungsikannya hukum pidana kepada pelaku tindak

pidana perambahan hutan yang pada umumnya memiliki

kekuasan ekonomi mengakibatkan timbulnya pemanfaatan

masyarakat sekitar hutan untuk melakukan tindak pidana

perambahan hutan oleh pengaruh kekuasaan ekonomi.

C. Saran

Dari kesimpulan yang diperoleh dengan berdasarkan kerangka pemikiran

dari Teori Bekerjanya Hukum yang dikemukakan oleh Friedman,

diintegrasikan dengan teori kebijakan kriminal yang ditelaah oleh G.P.

Hoefnafels untuk menerapkan kebijakan kriminal yang dapat dilakukan dapat

disarikan beberapa saran, di antaranya:

1. Untuk menghilangkan faktor-faktor penghambat fungsionalisasi hukum

pidana terhadap tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading

dan Langkat Timur Laut, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:

a) Komponen Substansi Hukum

1) Perumusan tindak pidana kehutanan dalam Undang-undang bidang

Kehutanan seharusnya disusun dalam delik formil dan dalam

formulasi yang mudah untuk diimplementasikan oleh aparat penegak

hukum baik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun proses

peradilan.

2) Perumusan ketentuan pidana dalam undang-undang bidang

kehutanan harus mengatur tentang ancaman hukuman minimum,

sehingga ada standar minimum tuntutan Penuntut Umum. Hasil

penelitian yang relevan menunjukkan bahwa tuntutan (rekuisituir)

Jaksa Penuntut Umum sangat mempengaruhi vonis yang akan

dijatuhkan oleh Hakim. Semakin tinggi rekuisituir Penuntut Umum,

semakin tinggi putusan hukuman oleh hakim, demikian juga

sebaliknya semakin rendah rekuisituir Penuntut Umum, maka

semakin rendah putusan hukuman yang dijatuhkan oleh hakim.

3) Memformulasikan mekanisme penyampaian berkas perkara dari

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan langsung ke Penuntut

Umum untuk meningkatkan efisiensi penyidikan perkara tindak

pidana kehutanan sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan proses

peradilan yang cepat, efisien dan biaya relatif murah. Apabila

nantinya Rancangan Undang-undang tentang KUHAP bulan

Nopember 2006 telah disetujui, maka mekanisme ini akan diatur

dalam pasal 8 ayat (2). Untuk itu, seluruh stake holder yang

berkepentingan harus bersinergi untuk mendorong percepatan

persetujuan rancangan Undang-undang tersebut.

4) Memformulasikan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Kehutanan dalam hal kewenangan melakukan penangkapan dan

penahanan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dalam Undang-

undang di bidang Kehutanan. Sebagai bahan perbandingan misalnya

kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kepabeanan

sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (2) huruf d Undang-undang

Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.

b) Komponen Struktur Hukum

1) Peningkatan kualitas dan kapabilitas petugas Balai KSDA terutama

yang bertugas di Resor Konservasi Wilayah dan Seksi Konservasi

Wilayah yang mengelola kawasan konservasi. Peningkatan ini dapat

dilakukan dengan memberikan kesempatan untuk mengikuti

pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan. Di

samping itu juga penerapan pola reward and punishment harus

dilaksanakan dengan selektif dan transparan untuk memacu

kompetensi kemampuan aparatur.

2) Penguatan organisasi pengelola kawasan dengan melakukan

restrukturisasri organisasi Resor Konservasi Wilayah menjadi

jabatan struktural dalam Balai Besar KSDA sehingga kordinasi lintas

sektoral dengan penegak hukum lainnya dapat dilakukan dengan

prinsip kesetaraan, disamping itu, pola mutasi/tour of duty pada

organisasi Resor Konservasi Wilayah akan dapat dilaksanakan

dengan efektif.

3) Secara bertahap, harus dilaksanakan peningkatan kelengkapan sarana

dan prasarana bagi petugas di lapangan terutama petugas setingkat

Resor Konservasi Wilayah yang diakui sebagai ujung tombak

pengelola kawasan. Pada saat ini dapat dilakukan dengan

memaksimalkan sarana pendukung pengamanan hutan yang selama

ini dimanfaatkan di kantor Seksi Konservasi Wilayah, kembali

difungsikan di Resor Konservasi Wilayah.

4) Kordinasi lintas sektoral diantara penegak hukum harus

ditingkatkan. Perlu diingat bahwa walaupun bentuk dan fungsi sub-

sub sistem dalam sistem peradilan pidana bidang kehutanan,

berbeda-beda namun sub-sub tersebut tidak dapat melepaskan diri

dari sistem secara keseluruhan. Antar sub sistem yang satu dengan

lainnya harus bekerjasama secara serasi dan berkordinasi secara

berkesinambungan dengan memegang sikap saling menghargai serta

tetap berpegang teguh pada kode etik profesi.

5) Pembentukan satuan kerja yang membidangi permasalahan hukum

dan peraturan perundang-undangan. Satuan kerja ini berada di Balai

KSDA sehingga lebih fleksibel untuk menjangkau seluruh wilayah

kerja Balai KSDA. Sebagai suatu cita-cita dan harapan, tahap awal

dapat dilakukan dengan pembentukan satuan kerja fungsional yang

berada di bawah seksi.

6) Melakukan penyidikan bersama antara Penyidik Polri dengan

Penyidik PNS Kehutanan dalam menangani tindak pidana

perambahan hutan.

7) Pada proses penuntutan terhadap tindak pidana kehutanan, Jaksa

Penuntut Umum harus tetap berpedoman kepada Surat Jaksa Agung

Republik Indonesia Nomor: SE-002/JA/4/1995 tanggal 28 April

1995 tentang Perkara Penting Tindak Pidana Umum Lain, disamping

itu, pola penanganan dan penyelesaian perkara kehutanan di

lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia harus berdasarkan kepada

Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-

189/E/5/1995 tanggal 3 Mei 1995.

8) Dengan adanya penyimpangan penerapan ajaran sifat melawan

hukum materil oleh Hakim Pengadilan Negeri Langkat yang

mengadili perkara perambahan hutan di SM KG dan LTL pada tahun

2005, pemerintah sebagai penggugat dalam hal ini Balai Besar

KSDA Sumatera Utara, harus melakukan upaya kasasi melalui

Kejaksaan Negeri Langkat.

9) Tidak sinkronnya penerapan azas-azas hukum pada proses

persidangan di Pengadilan Negeri Langkat yang mengadili perkara

perambahan hutan di SM KG dan LTL pada tahun 2005, menjadi

alasan kuat bagi pemerintah sebagai penggugat dalam hal ini Balai

Besar KSDA Sumatera Utara untuk melakukan upaya kasasi melalui

Kejaksaan Negeri Langkat.

c) Komponen Budaya Hukum

1) Budaya Hukum Internal

a) Menegakkan prinsip-prinsip transparansi, profesionalisme dan

akuntabilitas dalam proses rekrutmen aparatur khususnya di

bidang kehutanan sehingga dengan pola pendidikan dan pelatihan

yang baik akan dihasilkan aparatur yang baik pula.

b) Penempatan tugas aparatur harus lebih memperhatikan faktor

integritas dan moral daripada pengetahuan teknis. Dengan

aparatur yang memiliki integritas dan bermoral baik, penegakan

hukum dapat dilakukan meskipun dengan dengan peraturan yang

lemah.

c) Penerapan sistem reward and punishment yang adil bagi aparat

penegak hukum merupakan iklim baik yang bisa menggairahkan

kinerja aparat dalam penegakan hukum.

d) Melakukan pelatihan bersama secara berkala dengan aparat

penegak hukum dalam sistem peradilan pidana tentang penegakan

hukum terhadap tindak pidana kehutanan dan sumber daya alam

hayati sehingga ada persamaan persepsi bahwa potensi kerusakan

lingkungan dan akibat yang ditimbulkan menjadi pertimbangan

dalam proses penyidikan, membuat surat dakwaan dan proses

pengadilan

e) Sudah saatnya para penegak hukum mulai menyampingkan

adagium yang selama ini mengungkung hukum pidana bahwa

hukum pidana adalah ultimum remedium. Tindak pidana

perambahan hutan adalah tindak pidana yang mengakibatkan

kerusakan luar biasa bagi ekosistem dan ruang hidup manusia,

menimbulkan dampak jangka panjang bagi kehidupaan manusia,

karena itu sanksi pidana merupakan sarana untuk membuat

penggentaran (deterrent effect) bukan saja kepada pelaku tindak

pidana kehutanan akan tetapi juga kepada orang lain yang akan

melakukan tindak pidana kehutanan.

f) Kebijakan Kejaksaan Agung yang menerapkan sistem

pengendalian, pelaporan dan pendokumentasian dalam

penanganan tindak pidana kehutanan hendaknya tidak menjadi

macan kertas (papieren tiejgers) semata. Kebijakan ini

merupakan upaya untuk menghilangkan mentalitas dan budaya

hukum yang masih dikungkungi oleh budaya korupsi, kolusi dan

nepotisme di kalangan penegak hukum. Untuk itu dibutuhkan

evaluasi dengan konswekensi pemberian reward and punishment

yang jelas dan transparan.

2) Budaya Hukum Eksternal

a) Mengingat budaya paternalistik masyarakat desa sekitar hutan,

sosialisasi peraturan perundangan di bidang kehutanan dapat

dilakukan dengan mengikutsertakan pemimpin masyarakat

desa/kepala desa baik melalui jalur formal maupun informal,

sehingga hukum dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial

(law as a tool of social enginering).

b) Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana kehutanan

dilakukan untuk mencapai tujuan pembentukan kepatuhan hukum

dalam budaya hukum masyarakat.

c) Mengefektifkan fungsi perlindungan dan pengamanan kawasan

hutan di lokasi-lokasi sekitar hutan yang berdampingan dengan

masyarakat sebagai kontrol sosial terhadap pembentukan budaya

kepatuhan hukum dalam masyarakat.

d) Mengadopsi nilai-nilai kearifan ekologis lokal ke dalam peraturan

perundangan yang mengatur tentang pengelolaan kawasan hutan

2. Kebijakan kriminal dengan mengintegrasikan penal policy dan non penal

policy sebagai upaya penanggulangan tindak pidana perambahan hutan di

SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut

Upaya penanggulangan tindak pidana perambahan hutan di SM

Karang Gading dan Langkat Timur Laut, tidak akan efektif apabila hanya

dilakukan dengan kebijakan hukum pidana. Pada dasarnya hukum pidana itu

sendiri memiliki keterbatasan untuk menanggulangi penyebab dari tindak

pidana. Namun hukum pidana harus tetap digunakan sesuai dengan teori

relatif atau teori tujuan (doel theorien) bahwa pidana adalah alat untuk

menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat yang bertujuan untuk

menciptakan ketertiban dalam masyarakat dimana untuk mewujudkan

ketertiban tersebut diperlukan pidana. Sesuai dengan sifat pencegahan teori

relatif ini yaitu berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus,

fungsionalisasi hukum pidana disamping berguna untuk mencegah

terulangnya kembali tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku juga untuk

mencegah agar masyarakat umum menjadi takut untuk melakukan

kejahatan.

Kebijakan non penal yang dapat dilakukan adalah dengan mewadahi

solusi penyelesaian melalui jalur ADR (Alternative Dispute Resolution).

Solusi penerapan ADR ini sangat tepat diterapkan pada kasus-kasus tindak

pidana kehutanan yang pelakunya adalah korporasi. Namun penerapan

alternatif jalur mediasi ini harus selektif dengan mempertimbangkan kualitas

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dan akibat yang ditimbulkan

perbuatannya. Kemudian kebijakan kriminal yang dapat dilakukan adalah

dengan memperbaiki unsur-unsur yang terdapat dalam komponen struktur

hukum maupun komponen budaya hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum, PT Toko Gunung Agung, Jakarta Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 Stelsel Pidana, Tindak

Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan 1, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

_____________. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan Aduan Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, Cetakan pertama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

A. Hariadi. 1998. Beberapa Permasalahan di Bidang Penyidikan, Himpunan Karya Tulis Bidang Penyidikan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Azasi manusia, Jakarta

Aloysius Wisnusubroto.1997. Hakim dan Peradilan di Indonesia dalam Beberapa Aspek Kajian, Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta

___________________.2009. Teknis Persidangan Pidana, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta

Andi Hamzah. 1994. Azas-azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta

___________.2002. Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta

___________.2005. Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta

Antonius Sudirman. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Anonimous. 2000. Dasar Hukum Pelaksanaan Tugas PPNS, Bahan Ajar Diklat Jagawana, Sekolah Calon Perwira Polri, Sukabumi

Balai Besar KSDA Sumatera Utara. 2009. Informasi Kawasan Konservasi Propinsi Sumatera Utara, Medan Bambang Purnomo. 1985. Azas-Azas Hukum Pidana, terbitan Kelima, Ghalia,

Jakarta Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijakan Publik, Sinar Grafika, Jakarta

________________.2007. Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Perkasa, Jakarta

Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

_________________.1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung

Bismar Siregar.1986. Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, CV. Rajawali, Jakarta

Burhan Ashshofa. 2001. Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, PT Rineka Cipta, Jakarta

Claridge Davies dan Natarita. 1995. Manfaat Lahan Basah, Potensi Lahan Basah dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan-Asian Wetland Buereau Indonesia (AWB), Jakarta

CH.J. Enschede & A. Heijder. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana (Beginselen van Strafrecht), diterjemahkan oleh R. Achmad Soema Dipraja, Alumni, Bandung

Daniel S. Lev. 1990. Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, terjemahan Nirwono dan A.E.Priyono, LP3ES, Jakarta

Daniel Murdiyarso. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Buku Kompas, Jakarta

Darji Darmodiharjo dan Sidharta. 2004. Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Djati Witjaksono Hadi. 2009. Membangun SDM Aparatur Yang Profesional Pada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Dalam Penanggulangan Ancaman Terhadap Kerusakan Ekosistem Mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading/Langkat Timur Laut, Karya Tulis

Prestasi Perseorangan (KTP2), Lembaga Administrasi Negara, Program Diklatpim Tingkat II Angkatan XXV, Jakarta

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan 3, Balai Pustaka, Jakarta

Direktorat Jenderal Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, Departemen Kehakiman, Panel Diskusi: Kebebasan Hakim Dalam Negara Indonesia Yang Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta, 1995

D. Schaffmeister, et.al.1995. Hukum Pidana, Kumpulan bahan Penataran Hukum Pidana Dalam Rangka Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Edisi I Cetakan ke-1, Penerbit Liberty, Yogyakarta

D. Simons. 1992. Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek van Het Nederlanches Straftrecht), diterjemahkan oleh P.A.F. Lamintang, Pioner Jaya, Bandung

Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, cetakan I, PT. Suryandaru Utama, Semarang

Hartiwiningsih. 2008. Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan 1, Sebelas Maret University Press, Surakarta

H.B. Sutopo. 1991. Pengantar Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan. 2007. Laporan Hasil Audit Khusus

Perambahan Pada Suaka Margastwa Karang Gading/Langkat Timur Laut Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, Jakarta

Jan Remmelink. 2003. Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Komariah Emong Sapardjaja. 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Alumni, Bandung

Lawrence M. Friedman. 1984. American Law, W.W. Norton and Company, New York

Leden Marpaung. 1995. Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa, Erlangga, Jakarta

Loebby Loqman. 1991. Beberapa Ikhwal di Dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta

Maria Farida Indrati S. 2007. Ilmu PerUndang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Moeljatno. 2000. Azas-Azas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, Rineka Cipta, Jakarta

Moh. Askin. 2003. Penegakan Hukum Lingkungan dan Pembicaraan di DPR-RI, Yarsif Watampone, Jakarta

Moh. Jamin. 2009. Bahan Kuliah Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta

Muladi. 2004. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetakan ke-2, Universitas Diponegoro, Semarang

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Cetakan I, Alumni, Bandung

___________________________.1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan ke-2, Edisi Kedua, Penerbit PT. Alumni, Bandung

M. Syamsudin. 2009. Budaya Hukum Hakim Dalam Menangani Perkara Korupsi di Pengadilan, Laporan Hasil Penelitian, Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang

Nommy H.T. Siahaan. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi kedua, Erlangga, Jakarta

Nyoman Serikat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Oemar Seno Aji.1985. Peradilan Bebas Negara Hukum, Cetakan Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta

______________.1985. KUHAP Sekarang, Erlangga, Jakarta Philipus M. Hadjon, et al. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia

Introduction to The Indonesia Administrative Law, Cetakan Kedelapan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

R.O. Siahaan. 2008. Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit RAO Press, Cibubur __________. 2008. Filsafat Hukum Dan Etika Profesi Hukum, Cetakan Pertama,

RAO Press, Cibubur R. Soesilo. 1979. Hukum Acara Pidana (Penyelesaian Perkara Pidana Bagi

Penyidik), Politea, Bogor Saifullah. 2007. Hukum Lingkungan, Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang

Konservasi Keanekaragaman Hayati, Cetakan I, Penerbit UIN Malang Press, Malang

Satjipto Rahardjo.2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Cetakan I, Genta Publishing, Yogyakarta

______________.1980. Hukum dan Masyarakat, PT. Angkasa, Bandung

______________. 1988. Hukum dan Perubahan Sosial, PT. Angkasa, Bandung

______________.2000. Ilmu Hukum, cetakan ke-5, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Setiono. 2005. Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta

Siti Sutami. 1987. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Karunika Universitas Terbuka, Jakarta

Soerjono Soekanto. 2003. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cetakan ketigabelas, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta

_______________.1989. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung

_______________.1986. Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pembangunan di Indonesia, UI Press, Jakarta

_______________.2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Ed.1-8-, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

Siti Sutami.1987. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Karunika Universitas Terbuka, Jakarta

Soetandyo Wignyosoebroto. 2008. Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Sebuah Pengantar Ke arah Kajian Sosiologi Hukum, Cetakan Kedua, Bayumedia Publishing, Malang

Sudarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung

Sudikno Mertokusumo.1983. Sejarah Peradilan Dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942, Dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Liberty, Yogyakarta

___________________.1999. Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta

Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor). 2009. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Edisi Pertama, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Sutan Remy Sjahdeini. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Graffiti Pers, Jakarta

Theo Huijbers.1995. Filsafat Hukum., Cetakan ketiga, Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Wirjono Prodjodikoro. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cetakan Ketujuh, Edisi Kedua, PT Refika Aditama, Bandung

W.J.S. Poerwadarminta. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta

M. Yahya Harahap.2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta

________________.2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan ke-4, Sinar Grafika, Jakarta

Yusi Probowati Rahayu. 2001. “Rekuisitur Jaksa Penuntut Umum dan Kepribadian Otoritarian Hakim Dalam Proses Pemidanaan di Indonesia”, Disertasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Jurnal, Makalah dan Lain-lain Cardozo Law Review January, Yeshiva University, 2010 Duke Environmental Law and Policy Forum Winter, 2010

Environmental Investigation Agency and Telapak, Above The Law, Coruption, Collusion, Nepotism and The Fate of Indonesia’s Forests, ttp.

Jurnal Yustisia, edisi nomor 69, September-Desember 2006 Jurnal Hukum FH-UII, Nomor 9, Volume 4, 1997

Seattle Journal for Social Justice, Spring/Summer, 2008 Stanford Law Review, March, 2006

A. Purwoko dan Onrizal. 2002. “Identifikasi Potensi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove di SM KGLTL”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Dosen Muda dan Kajian Wanita, Ditjend DIKTI, Jakarta, 2002 Dulhadi. 2000. “Hutan Mangrove Kabupaten Langkat Masalah dan Upaya Pengelolaannya (Khusus SM. Karang Gading dan Langkat Timur Laut)”, makalah disampaikan pada Seminar Regional Strategi Penanganan Hutan Mangrove di Propinsi Sumatera Utara, Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I Medan, Medan, 5 Agustus 2000

Mas Achmad Santosa. 2007. “Penguatan Penegakan Hukum atas Illegal Logging”, makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional, Jakarta, . 29-30 November 2007 Ramli dan A. Purwoko. 2003. “Peran Dan Fungsi Hutan Bakau dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir Terpadu”, makalah disampaikan pada Lokakarya Antar Sektor dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Kabupaten Langkat, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat, Stabat, 2003 Syafri Basir. 2001. “Jaminan Kepastian Hukum Dalam Penuntutan Perkara Pelanggaran dan Kejahatan Bidang Kehutanan: Antara Teori dan Praktek”, Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Reposisi Struktur, Peran dan Fungsi

Polisi Kehutanan dalam Era Otonami Daerah, Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I Medan, 12 Maret 2001 Balai Besar KSDA Sumatera Utara. 2009. Matrik Laporan Data Register Perkara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, Medan Balai Besar KSDA Sumatera Utara. 2009. Laporan Kemajuan Penanganan Kasus Dalam Persidangan di Pengadilan Negeri Pada Wilayah Kerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Sampai Dengan Agustus 2008, Medan

Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Rancangan Undang-undang KUHAP bulan Nopember 2006 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Lembaran negara No.36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258 Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 tanggal 5 Nopember 1980 tentang Penunjukan areal Hutan Karang Gading dan Langkat Timur Laut seluas ±15.765 HA yang Terletak Di Daerah Tk.II Langkat Dan Daerah Tk.II Deli Serdang, Daerah Tk.I sumatera Utara Sebagai hutan Suaka Alam Cq.Suaka Alam

Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.44/Menhut-II/2005 tanggal 16 Januari 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara Seluas ± 3.742.120 (Tiga Juta Tujuh Ratus Empat Puluh Dua Ribu Seratus Dua Puluh) Hektar

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 02/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam

Perjanjian Kerjasama antara Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut No.

1341/DJ-IV/LH/2001 dan No. TNI AL: R/766/XII/01/SOPS tanggal 27 Desember 2001, tentang Penyelenggaraan Operasi Wanabahari

Putusan Peradilan: Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tentang Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 021/PUU-III/2005, tanggal 1 Maret 2006

Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor: 26/Pid.B/2006/PN Stb.- Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb

Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb.

Majalah dan Surat Kabar Kompas, tanggal 18 Januari 2010

Majalah Lingkungan Hidup OZON. Desember 2003. Volume 4 Nomor 3, Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, Jakarta

LEBAH, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2003, Institut Hukum Sumber Daya Alam, Jakarta.

Data Elektronik Suer Suryadi, Penegakan Hukum di TNGL Bukan Basa-basi, dalam http://www.gunungleuser.or.id/artikel/Penegakan%20Hukum%20TNGL,%20%28bukan%29%20Basa-basi_1.pdf

Kejaksaan Republik Indonesia, dalam http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3

Kementriaan Kehutanan Republik Indonesia, dalam http://www.dephut.go.id/struktur/index.php

Chaerul Huda, dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20099/direktur-hrd-hotel-sultan-lepas-dari-jerat-hukum Wikipedia, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaran_Negara

Kateglo, dalam http://www.bahtera.org/kateglo/?mod=dictionary&action=view&phrase=temu%20gelang