obat saluran pernapasan
DESCRIPTION
obat saluran pernapasanTRANSCRIPT
MAKALAH FARMAKOLOGI
Obat Saluran Pernapasan
(Obat Pilek, Obat Batuk, Antimukolitik, Antihistamin, dan Antisma)
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah farmakologi
Oleh :
Umar Dewiningsih 6411414012
Isyfina Fikrotulmuna 6411414013
Ginka Vigaretha 6411414014
Fairuza Umami 6411414015
Arum Mustika Sari 6411414016
Rombel 1 IKM 2014
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem Pernapasan mempunyai fungsi utama dalam menyuplai oksigen.
Pada manusia, saluran pernapasan memiliki peran penting, apabila dalam 1
menit saja kita tidak dapat menyuplai oksigen dalam tubuh, maka akan
berakibat fatal yang dapat menimbulkan kerusakan irreversible pada otak,
pingsan dan dapat menimbulkan kematian. Sistem pernapasan pada
manusia meliputi hidung, faring, tenggorokan, laring, bronkus, bronkiolus
dan alveolus.
Semakin memburuknya kualitas udara di bumi menyebabkan penyakit
saluran pernapasan, dalam kasusnya sering kita jumpai penyakit saluran
pernapasan seperti pilek, batuk, radang tenggorokan maupun asma.
Dalam pengobatannya, berbeda penyakit berbeda pula obat yang
diberikan. Contohnya obat batuk diberikan komposisi antitusive.
Berdasarkan keterangan di atas, kami akan membahas beberapa macam
obat-obat untuk saluran pernapasan.
1.2 Rumusan Masalah
2. Apa saja jenis-jenis obat pilek, obat batuk, antimukolitik, anti asma
dan anti histamin?
3. Bagaimana mekanisme kerja dari obat pilek, obat batuk, antimukolitik,
anti asma dan anti histamin?
4. Bagaimana efek samping dari obat pilek, obat batuk, antimukolitik,
anti asma dan anti histamin?
1.3 Tujuan
2. Untuk mengetahui pengertian obat batuk, pilek, asma dan antihistamin,
jenis-jenis , mekanisme kerja dan juga efek samping dari obat-obatan
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Obat Pilek
2.1.1 Pengertian Pilek
Pilek (common cold) adalah penyakit infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA) bagian atas. Pilek merupakan penyakit yang paling umum dan
sering ditemui, dapat menyerang anak-anak maupun lanjut usia. Penyakit
pilek sering diikuti dengan peradangan tonsil/amandel dan radang
tenggorokan. Pilek terutama disebabkan oleh infeksi virus, ada lebih dari
200 virus yang telah diketahui menimbulkan pilek. Pilek juga dapat
disebabkan karena daya tahan tubuh yang menurun atau adanya alergi di
hidung dan kerongkongan.
Pilek sangat mudah menular, orang dengan daya tahan tubuh yang
lemah mudah tertular penyakit ini. Penularan penyakit ini bisa terjadi
melalui percikan bersin atau ludah penderita yang mengandung virus dan
masuk melalui saluran pernafasan. Walaupun pilek bukan termasuk
penyakit yang berat, namun penyakit ini susah diatasi sehingga sering
kambuh.
Pengobatan yang bisa dilakukan hanya untuk meredakan gejala
atau simtomnya. Hal ini karena virus yang menyebabkan pilek sangat
banyak jumlahnya dan dapat mengalami perubahan atau memiliki
kesanggupan untuk mengalami mutasi genetik sehingga dapat timbul
virus-virus baru. Hal tersebut menyebabkan virus pilek kebal terhadap
vaksin tertentu atau antibodi tertentu dalam beberapa waktu sehingga
sangat sulit untuk membuat vaksin pilek. D
isebut common cold atau selesma bila gejala di hidung lebih
menonjol, sementara “influenza” dimaksudkan untuk kelainan yang
disertai faringitis dengan tanda demam dan lesu yang lebih nyata.
2.1.2 Pengobatan Farmakologi :
Pilihan obat merupakan preparat kombinasi untuk pilek biasanya
mengandung komponen :
a. Dekongestan
Bekerja dengan melakukan penyempitan pembuluh darah kapiler.
Misalnya pada kondisi influenza, terjadi pelebaran pada pembuluh darah
kecil (kapiler) pada daerah hidung sehingga dapat mengakibatkan
sumbatan. Dengan adanya penyempitan dari pembuluh darah kapiler (kerja
dekongestan), maka hidung dapat menjadi lega kembali.
Macam-macam Dekongestan:
• Dekongestan Sistemik, seperti pseudoefedrin, efedrin, dan
fenilpropanolamin. Dekongestan sistemik diberikan secara oral (melalui
mulut). Meskipun efeknya tidak secepat topikal tapi kelebihannya tidak
mengiritasi hidung.
Dekongestan sistemik harus digunakan secara hati-hati pada
penderita hipertensi, pria dengan hipertrofi prostat dan lanjut usia. Hal ini
disebabkan dekongestan memiliki efek samping sentral sehingga
menimbulkan efek samping takikardia (frekuesi denyut jantung
berlebihan), aritmia (penyimpangan irama jantung), peningkatan tekanan
darah atau stimulasi susunan saraf pusat.
• Dekongestan Topikal, digunakan untuk rinitis akut yang merupakan
radang selaput lendir hidung. Bentuk sediaan dekongestan topikal berupa
balsam, inhaler, tetes hidung atau semprot hidung.
Dekongestan topikal (semprot hidung) yang biasa digunakan yaitu
oxymetazolin, xylometazolin, tetrahydrozolin, nafazolin yang merupakan
derivat imidazolin karena efeknya dapat menyebabkan depresi SSP bila
banyak terabsorbsi terutama pada bayi dan anak-anak, maka sediaan ini
tidak boleh untuk bayi dan anak-anak. Penggunaan dekongestan topikal
dilakukan pada pagi dan menjelang tidur malam, dan tidak boleh lebih dari
2 kali dalam 24 jam.
b. Efedrin
Efedrin adalah alkaloid yang dikenal sebagai obat simpatomimetik
aktif pertama secara oral. Efedrin sebagai obat adrenergik dapat bekerja
ganda dengan cara melepaskan simpanan norepinefrin dari ujung saraf dan
mampu bekerja memacu secara langsung di reseptor α dan β. Pada sistem
kardiovaskuler, efedrin meninggikan tekanan darah baik sistolik maupun
diastolik melalui vasokonstriksi dan terpacunya jantung. Efedrin berefek
bronkodilatasi tetapi lebih lemah dan lebih lambat dibandingkan epinefrin
atau isoproteronol. Efedrin memacu ringan SSP sehingga menjadi sigap,
mengurangi kelelahan, tidak memberi efek tidur dan dapat digunakan
sebagai midriatik.
Efedrin digunakan sebagai dekongestan hidung, bekerja sebagai
vasokonstriktor lokal bila diberikan secara topikal pada permukaan
mukosa hidung, karena itu bermanfaat dalam pengobatan kongesti hidung
pada Hay fever, rinitis alergi, influenza dan kelainan saluran napas atas
lainnya.
c. Pseudoefedrin
Isomer dekstro dari efedrin dengan mekanisme kerja yang sama, namun
daya bronkodilatasinya lebih lemah, tetapi efek sampingnya terhadap SSP dan
jantung lebih ringan. Obat ini banyak digunakan dalam sediaan kombinasi
untuk flu.
Dosis dewasa = 60 mg (4 x 1)
Dosis anak-anak = 2-5 thn; 15 mg (4-6 jam)
6-12 thn; 30 mg (4-6 jam)
2.2 Obat Batuk
2.2.1 Pengertian Batuk
Menurut Weinberger (2005) batuk merupakan ekspirasi eksplosif yang
menyediakan mekanisme protektif normal untuk membersihkan cabang
trakeobronkial dari sekret dan zat-zat asing. Masyarakat lebih cenderung
untuk mencari pengobatan apabila batuknya berkepanjangan sehingga
mengganggu aktivitas seharian atau mencurigai kanker.
2.2.2 Penyebab Batuk
Batuk secara garis besarnya dapat disebabkan oleh rangsang sebagai
berikut:
Rangsang inflamasi seperti edema mukosa dengan sekret trakeobronkial yang
banyak.
Rangsang mekanik seperti benda asing pada saluran nafas seperti benda asing
dalam saluran nafas, post nasal drip, retensi sekret bronkopulmoner.Rangsang
suhu seperti asap rokok ( merupakan oksidan ), udara panas/ dingin, inhalasi
gas.
Beberapa penyebab batuk :
a. Iritan : Rokok, asap, SO2, Gas di tempat kerja.
b. Mekanik : Retensi sekret bronkopulmoner, benda asing dalam saluran
nafas, post nasal drip, aspirasi, penyakit paru obstruktif, bronkitis kronis,
asma, emfisema,fiirbrosis kistik
c. Penyakit Paru Restriktif : Pneumokoniosis, Penyakit kolagen, Penyakit
granulomatosa
d. Infeksi : Laringitis akut, Brokitis akut, Pneumonia, Pleuritis.
2.2.3 Pengobatan Batuk
Menurut Beers (2003) batuk memiliki peran utama dalam mengeluarkan
dahak dan membersihkan saluran pernafasan, maka batuk yang menghasilkan
dahak umumnya tidak disupresikan. Yang diutamakan adalah pengobatan
kausa seperti infeksi, cairan di dalam paru, atau asma. Misalnya, antibiotik
akan diberikan untuk infeksi atau inhaler bisa diberi kepada penderita asma.
Bergantung pada tingkat keparahan batuk dan penyebabnya, berbagai variasi
jenis obat mungkin diperlukan untuk pengobatan. Banyak yang memerlukan
batuknya disupresikan pada waktu malam untuk mengelakkan dari gangguan
tidur. Menurut KKM (2007) sangat penting untuk mengobati batuk dengan
jenis obat batuk yang benar.
Menurut Beers (2003) pengobatan batuk secara umumnya dapat
diklasifikasikan berdasarkan jenis batuknya berdahak atau tidak. Jenis-jenis
obat batuk yang terkait dengan batuk yang berdahak dan tidak berdahak yang
dibahaskan di sini adalah mukolitik, ekspektoran dan antitusif :
1. Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara mengencerkan sekret
saluran pernafasan dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan
mukopolisakarida dari sputum (Estuningtyas, 2008). Agen mukolitik
berfungsi dengan cara mengubah viskositas sputum melalui aksi kimia
langsung pada ikatan komponen mukoprotein. Agen mukolitik yang terdapat
di pasaran adalah bromheksin, ambroksol, dan asetilsistein (Estuningtyas,
2008).
a. Bromheksin
Bromheksin merupakan derivat sintetik dari vasicine. Vasicinemerupakan
suatu zat aktif dari Adhatoda vasica. Obat ini diberikan kepada penderita
bronkitis atau kelainan saluran pernafasan yang lain. Obat ini juga digunakan
di unit gawat darurat secara lokal di bronkus untuk memudahkan pengeluaran
dahak pasien. Menurut Estuningtyas (2008) data mengenai efektivitas klinis
obat ini sangat terbatas dan memerlukan penelitian yang lebih mendalam pada
masa akan datang. Efek samping dari obat ini jika diberikan secara oral adalah
mual dan peninggian transaminase serum. Bromheksin hendaklah digunakan
dengan hati-hati pada pasien tukak lambung. Dosis oral bagi dewasa seperti
yang dianjurkan adalah tiga kali, 4-8 mg sehari. Obat ini rasanya pahit sekali.
b. Ambroksol
Ambroksol merupakan suatu metabolit bromheksin yang memiliki
mekanisme kerja yang sama dengan bromheksin. Ambroksol sedang diteliti
tentang kemungkinan manfaatnya pada keratokonjungtivitis sika dan sebagai
perangsang produksi surfaktan pada anak lahir prematur dengan sindrom
pernafasan (Estuningtyas, 2008).
c. Asetilsistein
Asetilsistein (acetylcycteine) diberikan kepada penderita penyakit
bronkopulmonari kronis, pneumonia, fibrosis kistik, obstruksi mukus,
penyakit bronkopulmonari akut, penjagaan saluran pernafasan dan kondisi lain
yang terkait dengan mukus yang pekat sebagai faktor penyulit (Estuningtyas,
2008). Ia diberikan secara semprotan (nebulization) atau obat tetes hidung.
Asetilsistein menurunkan viskositas sekret paru pada pasien radang paru.
Kerja utama dari asetilsistein adalah melalui pemecahan ikatan disulfida.
Reaksi ini menurunkan viskositasnya dan seterusnya memudahkan
penyingkiran sekret tersebut. Ia juga bisa menurunkan viskositas sputum.
Efektivitas maksimal terkait dengan pH dan mempunyai aktivitas yang paling
besar pada batas basa kira-kira dengan pH 7 hingga 9. Sputum akan menjadi
encer dalam waktu 1 menit, dan efek maksimal akan dicapai dalam waktu 5
hingga 10 menit setelah diinhalasi. Semasa trakeotomi, obat ini juga diberikan
secara langsung pada trakea. Efek samping yang mungkin timbul berupa
spasme bronkus, terutama pada pasien asma. Selain itu, terdapat juga timbul
mual, muntah, stomatitis, pilek, hemoptisis, dan terbentuknya sekret
berlebihan sehingga perlu disedot (suction). Maka, jika obat ini diberikan,
hendaklah disediakan alat penyedot lendir nafas. Biasanya, larutan yang
digunakan adalah asetilsistein 10% hingga 20%.
2. Ekspektoran
Ekspektoran merupakan obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak
dari saluran pernafasan (ekspektorasi). Penggunaan ekspektoran ini didasarkan
pengalaman empiris. Tidak ada data yang membuktikan efektivitas
ekspektoran dengan dosis yang umum digunakan. Mekanisme kerjanya diduga
berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara refleks
merangsang sekresi kelenjar saluran pernafasan lewat nervus vagus, sehingga
menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang
termasuk golongan ini ialah ammonium klorida dan gliseril guaiakoiat
(Estuningtyas, 2008).
a. Ammonium Klorida
Menurut Estuningtyas (2008) ammonium klorida jarang digunakan
sebagai
terapi obat tunggal yang berperan sebagai ekspektoran tetapi lebih sering
dalam bentuk campuran dengan ekspektoran lain atau antitusif. Apabila
digunakan dengan dosis besar dapat menimbulkan asidosis metabolik, dan
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan insufisiensi hati, ginjal,
dan paru-paru. Dosisnya, sebagai ekspektoran untuk orang dewasa ialah
300mg (5mL) tiap 2 hingga 4 jam. Obat ini hampir tidak digunakan lagi untuk
pengasaman urin pada keracunan sebab berpotensi membebani fungsi ginjal
dan menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit.
b. Gliseril Guaiakolat
Penggunaan gliseril guaiakolat didasarkan pada tradisi dan kesan
subyektif pasien dan dokter. Tidak ada bukti bahwa obat bermanfaat pada
dosis yang diberikan. Efek samping yang mungkin timbul dengan dosis besar,
berupa kantuk, mual, dan muntah. Ia tersedia dalam bentuk sirup 100mg/5mL.
Dosis dewasa yang dianjurkan 2 hingga 4 kali, 200-400 mg sehari.
3. Antitusif
Menurut Martin (2007) antitusif atau cough suppressant merupakan obat
batuk yang menekan batuk, dengan menurunkan aktivitas pusat batuk di otak
dan menekan respirasi. Misalnya dekstrometorfan dan folkodin yang
merupakan opioid lemah. Terdapat juga analgesik opioid seperti kodein,
diamorfin dan metadon yang mempunyai aktivitas antitusif.
Menurut Husein (1998) antitusif yang selalu digunakan merupakan opioid
dan derivatnya termasuk morfin, kodein, dekstrometorfan, dan fokodin. Lebih
banyaknya berpotensi untuk menghasilkan efek samping termasuk depresi
serebral dan pernafasan. Juga terdapat penyalahgunaan.
a. Dekstrometorfan
Menurut Dewoto (2008) dekstrometorfan atau D-3-metoksin-N-
metilmorfinan tidak berefek analgetik atau bersifat aditif. Zat ini
meningkatkan nilai ambang rangsang refleks batuk secara sentral dan
kekuatannya kira-kira sama dengan kodein. Berbeda dengan kodein, zat ini
jarang menimbulkan mengantuk atau gangguan saluran pencernaan. Dalam
dosis terapi dekstrometorfan tidak menghambat aktivitas silia bronkus dan
efek antitusifnya bertahan 5-6 jam. Toksisitas zat ini rendah sekali, tetapi
dosis sangat tinggi mungkin menimbulkan depresi pernafasan.
Dekstrometorfan tersedia dalam bentuk tablet 10mg dan sebagai sirup
dengan kadar 10 mg dan 15 mg/5mL. dosis dewasa 10-30 mg diberikan 3-4
kali sehari.Dekstrometorfan sering dipakai bersama antihistamin,
dekongestan, dan ekspektoran dalam produk kombinasi (Corelli, 2007).
b. Kodein
Menurut Corelli (2007) kodein bertindak secara sentral dengan
meningkatkan nilai ambang batuk. Dalam dosis yang diperlukan untuk
menekan batuk, efek aditif adalah rendah. Banyak kodein yang mengandung
kombinasi antitusif diklasifikasikan sebagai narkotik dan jualan kodein
sebagai obat bebas dilarang di beberapa negara. Bagaimanapun menurut Jusuf
(1991) kodein merupakan obat batuk golongan narkotik yang paling banyak
digunakan. Dosis bagi dewasa adalah 10-20 mg setiap 4-6 jam dan tidak
melebihi 120 mg dalam 24 jam. Beberapa efek samping adalah mual, muntah,
konstipasi, palpasi, pruritus, rasa mengantuk, hiperhidrosis, dan agitasi (Jusuf,
1991).
2.3 Antiasma
2.3.1 Agonis Reseptor Beta-2 Adrenergik
Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol yang
mempunyai durasi kerja panjang lebih dari 12 jam. Cara kerja obat beta2-
agonis adalah melalui aktivasi reseptor beta2-adrenergik yang menyebabkan
aktivasi dari adenilsiklase yang meningkatkan konsentrasi siklik AMP .
Beta2-agonis long acting inhalasi menyebabkan relaksasi otot polos saluran
nafas, meningkatkan klirens mukosiliar, menurunkan permeabilitas vaskuler
dan dapat mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Juga
menghambat reaksi asma segera dan lambat setelah terjadi induksi oleh
alergen, dan menghambat peningkatan respon saluran nafas akibat induksi
histamin. Walaupun posisi beta2-agonis inhalasi long acting masih belum
ditetapkan pasti dalam penatalaksanaan asma, studi klinis mendapatkan
bahwa pengobatan kronis dengan obat ini dapat memperbaiki skor gejala,
menurunkan kejadian asma nokturnal, memperbaiki fungsi paru dan
mengurangi pemakaian beta2-agonis inhalasi short acting.
Efek sampingnya adalah stimulasi kardiovaskuler, tremor otot
skeletal dan hipokalemi. Mekanisme aksi dari long acting beta2-agonis oral,
sama dengan obat inhalasi. Obat ini dapat menolong untuk mengontrol
gejala nokturnal asma. Dapat dipakai sebagai tambahan terhadap obat
kortikosteroid inhalasi, sodium kromolin atau nedokromil kalau dengan
dosis standar obat-obat ini tidak mampu mengontrol gejala nokturnal. Efek
samping bisa berupa stimulasi kardiovaskuler, kelemahan dan tremor otot
skeletal.
2.3.2 Kortikosteroid
Rute pemberian bisa secara inhalasi ataupun sistemik (oral atau
parenteral). Mekanisme kerja antiinflamasi dari kortikosteroid belum
diketahui secara pasti. Beberapa yang ditawarkan adalah berhubungan
dengan metabolisme asam arakidonat, juga sintesa leukotrien dan
prostaglandin, mengurangi kerusakan mikrovaskuler, menghambat produksi
dan sekresi sitokin, mencegah migrasi dan aktivasi sel radang dan
meningkatkan respon reseptor beta pada otot polos saluran nafas.
Studi tentang kortikosteroid inhalasi menunjukkan kegunaannya
dalam memperbaiki fungsi paru, mengurangi hiperrespon saluran nafas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan
memperbaiki kualitas hidup. Dosis tinggi dan jangka panjang kortikosteroid
inhalasi bermanfaat untuk pengobatan asma persisten berat karena dapat
menurunkan pemakaian koetikosteroid oral jangka panjang dan mengurangi
efek samping sistemik.
Untuk kortikosteroid sistemik, pemberian oral lebih aman dibanding
parenteral. Jika kortikosteroid oral akan diberikan secara jangka panjang,
harus diperhatikan mengenai efek samping sistemiknya.
Prednison, prednisolon dan metilprednisolon adalah kortikosteroid
oral pilihan karena mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu
paruh yang relatif pendek dan efek yang ringan terhadap otot bergaris.
Pendapat lain menyatakan kortikosteroid sistemik dipakai pada penderita
dengan penyakit akut, pasien yang tidak tertangani dengan baik memakai
bronkodilator dan pada pasien yang gejalanya menjadi lebih jelek walaupun
telah diberi pengobatan maintenance yang baik.
Efek samping lokal kortikosteroid inhalasi adalah kandidiasis
orofaring, disfonia dan kadang batuk. Efek samping sistemik tergantung dari
potensi, bioavailabilitas, absorpsi di usus, metabolisme di hepar dan waktu
paruhnya. Beberapa studi menyatakan bahwa dosis diatas 1 mg perhari
beclometason dipropionat atau budesonid atau dosis ekuivalen
kortikosteroid lain, berhubungan dengan efek sistemik termasuk penebalan
kulit dan mudah luka, supresi adrenal dan penurunan metabolisme tulang.
Efek sistemik pemakaian jangka panjang kortikosteroid oral adalah
osteoporosis, hipertensi arterial, diabetes melitus, supresi HPA aksis,
katarak, obesitas, penipisan kulit dan kelemahan otot.
2.3.3 Golongan Theophylline
Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada
penatalaksanaan asma. Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator
masih belum diketahui, tetapi mungkin karena teofilin menyebabkan
hambatan terhadap phospodiesterase (PDE) isoenzim PDE IV, yang
berakibat peningkatan cyclic AMP yang akan menyebabkan bronkodilatasi.
Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar,
termasuk efek antiinflamasi. Teofilin secara bermakna menghambat reaksi
asma segera dan lambat segera setelah paparan dengan alergen. Beberapa
studi mendapatkan teofilin berpengaruh baik terhadap inflamasi kronis pada
asma.
Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang
dengan teofilin lepas lambat efektif dalam mengontrol gejala asma dan
memperbaiki fungsi paru. Karena mempunyai masa kerja yang panjang,
obat ini berguna untuk mengontrol gejala nokturnal yang menetap walaupun
telah diberikan obat antiinflamasi.
Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan
banyak sistem organ yang berlainan. Gejala gastrointestinal, mual dan
muntah adalah gejala awal yang paling sering. Pada anak dan orang dewasa
bisa terjadi kejang bahkan kematian. Efek kardiopulmoner adalah takikardi,
aritmia dan terkadang stimulasi pusat pernafasan.
2.3.4 Antikolinergik
Obat antikolinergik (contohnya atropin dan ipratropium bromida)
bekerja dengan menghalangi kontraksi otot polos dan pembentukan lendir
yang berlebihan di dalam bronkus oleh asetilkolin. Lebih jauh lagi, obat ini
akan menyebabkan pelebaran saluran udara pada penderita yang
sebelumnya telah mengonsumsi agonis reseptor beta2-adrenergik.
a. Ipratropium Bromida
Mekanisme kerja Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu
antikolinergik (parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal
dengan cara mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang
dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat
sistemik. Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat
antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar
serosa dan seromukus mukosa hidung. Indikasinya adalah digunakan
dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator lain
(terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan
bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru
obstruktif kronik, termasuk bronkhitis kronik dan emfisema
b. Tiotropium Bromida
Mekanisme kerja Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama
yang biasanya digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran
pernapasan, tiotropium menunjukkan efek farmakologi dengan cara
menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga terjadi bronkodilasi.
Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat sangat
spesifik pada lokasi tertentu. Indikasi dari Tiotropium digunakan
sebagai perawatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit
paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis dan emfisema.
2.3.5 Obat-obat Lain Antiasma
2.3.5.1 Kromolin Natrium dan Nedokromil
1) Kromolin Natrium
Mekanisme kerja kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin
tidak mempunyai aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik,
vasokonstriktor atau aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini
menghambat pelepasan mediator, histamin dan SRS-A ( Slow Reacting
Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast. Kromolin bekerja
lokal pada paru-paru tempat obat diberikan. Indikasinya adalah Asma
bronkial (inhalasi, larutan dan aerosol) : sebagai pengobatan profilaksis
pada asma bronkial. Kromolin diberikan teratur, harian pada pasien
dengan gejala berulang yang memerlukan pengobatan secara regular.
2) Nedokromil Natrium
Mekanisme kerja Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk
pencegahan asma. Obat ini akan menghambat aktivasi secara in vitro
dan pembebasan mediator dari berbagai tipe sel berhubungan dengan
asma termasuk eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast, monosit dan
platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon bronko
konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi.
Nedokromil diindikasikan untuk asma. Digunakan sebagai terapi
pemeliharaan untuk pasien dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih
pada asma ringan sampai sedang.
2.3.5.2 Pengubah leukotrien
Contoh obat ini ; montelucas, zafirlucas dan zileuton merupakan obat
terbaru untuk membantu mengendalikan asma. Obat ini mencegah aksi atau
pembentukan leukotrien (bahan kimia yang dibuat oleh tubuh yang
menyebabkan terjadinya gejala-gejala asma).
2.4 Antimukolitik
2.4.1 Mukolitik
Mukolitik atau obat pengencer dahak merupakan obat yang bekerja
dengan cara mengencerkan sekret saluran pernafasan dengan jalan
memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum
(Estuningtyas, 2008).
Sebagai hasil akhir, dahak tidak lagi bersifat kental dan dengan
begitu tidak dapat bertahan di tenggorokan lagi seperti sebelumnya. Obat
mukolitik dapat membantu meredakan gejala pasien-pasien dengan batuk
berdahak kronis yang kesulitan untuk mengeluarkan dahak, misalnya pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis dan kistik fibrosis. Obat
mukolitik tersedia dalam bentuk tablet, sirup, kapsul, dan nebulizer.
Secara umum obat mukolitik ditoleransi dengan baik oleh tubuh, namun
obat ini tidak dianjurkan untuk digunakan pada pasien dengan tukak
saluran cerna dan pasien yang diketahui alergi terhadap obat mukolitik.
Beberapa contoh obat mukolitik:
2.4.1.1 Bromheksin
Bromheksin merupakan derivat sintetik dari vasicine. Vasicine
merupakan suatu zat aktif dari Adhatoda vasica. Obat ini diberikan kepada
penderita bronkitis atau kelainan saluran pernafasan yang lain. Obat ini
juga digunakan di unit gawat darurat secara lokal di bronkus untuk
memudahkan pengeluaran dahak pasien.
Menurut Estuningtyas (2008) data mengenai efektivitas klinis obat
ini sangat terbatas dan memerlukan penelitian yang lebih mendalam pada
masa akan datang. Bromheksin hendaklah digunakan dengan hati-hati
pada pasien tukak lambung. Dosis oral bagi dewasa seperti yang
dianjurkan adalah tiga kali, 4-8 mg sehari, hati-hati pada penderita tukak
lambung dan wanita hamil 3 bulan pertama, efek samping dapat terjadi
rasa mual, diare, dan kembung yang ringan (Depkes RI, 1997).
2.4.1.2 Ambroxol
Ambroxol merupakan suatu metabolit bromheksin yang memiliki
mekanisme kerja yang sama dengan bromheksin. Ambroxol adalah salah
satu obat yang masuk ke dalam golongan mukolitik, yaitu obat yang
fungsinya adalah mengencerkan dahak. Ambroxol umumnya digunakan
untuk mengatasi gangguan pernapasan akibat produksi dahak yang
berlebihan pada kondisi seperti bronkiektasis dan emfisema. Dengan obat
mukolitik, dahak yang diproduksi akan lebih encer sehingga lebih mudah
dikeluarkan dari tenggorokan saat batuk. Dengan demikian, pipa saluran
pernapasan pun lebih terbuka dan terasa lega.
Ambroxol dapat digunakan dalam beberapa kondisi yang
menghasilkan banyak dahak seperti: Bronkiektasis, emfisema, bronkitis
kronis dan akut, bronkitis asmatik, dan pneumoconiosis bronchitis.
Ambroxol ini tersedia dalam bentuk tablet dan obat cair untuk diminum.
Ambroxol dapat dikonsumsi oleh orang dewasa maupun anak-anak. Untuk
orang dewasa, dosis biasanya diberikan sebanyak 30 hingga 120 mg
perhari. Dosis akan disesuaikan dengan kondisi pasien, tingkat
keparahannya dan respons tubuh terhadap obat. Pada pasien anak-anak,
dosis juga akan disesuaikan dengan berat badan mereka. Harap berhati-
hati bagi penderita ulkus atau tukak lambung, wanita hamil dan menyusui,
harus disesuaikan dengan anjuran dokter. Wanita hamil dengan janin yang
berada dalam usia dua belas minggu pertama, disarankan untuk tidak
mengonsumsi obat ini. Ambroxol kadang dapat menyebabkan efek
samping yaitu gangguan pada sistem pencernaan seperti rasa mual muntah,
dan nyeri ulu hati tapi efek samping ini umumnya ringan.
2.4.1.3 Acetylcysteine
Asetilsistein (acetylcycteine) diberikan kepada penderita penyakit
bronkopulmonari kronis, pneumonia, fibrosis kistik, obstruksi mukus,
penyakit bronkopulmonari akut, penjagaan saluran pernafasan dan kondisi
lain yang terkait dengan mukus yang pekat sebagai faktor penyulit
(Estuningtyas, 2008).
Acetylcysteine diberikan secara semprotan (nebulization) atau obat
tetes hidung. Acetylcysteine menurunkan viskositas sekret paru pada
pasien radang paru. Kerja utama dari asetilsistein adalah melalui
pemecahan ikatan disulfida. Reaksi ini menurunkan viskositasnya dan
seterusnya memudahkan penyingkiran sekret tersebut. Ia juga bisa
menurunkan viskositas sputum.
Dosis yang efektif ialah 200 mg, 2-3 kali per oral. Pemberian
secara inhalasi dosisnya adalah 1-10 ml larutan 20% atau 2-20 ml larutan
10% setiap 2-6 jam. Pemberian langsung ke dalam saluran napas
menggunakan larutan 10-20% sebanyak 1-2 ml setiap jam. Obat ini selain
diberikan secara inhalasi dan oral, juga dapat diberikan secara
intravena.Efektivitas maksimal terkait dengan pH dan mempunyai
aktivitas yang paling besar pada batas basa kira-kira dengan pH 7 hingga
9. Sputum akan menjadi encer dalam waktu 1 menit, dan efek maksimal
akan dicapai dalam waktu 5 hingga 10 menit setelah diinhalasi. Semasa
trakeotomi, obat ini juga diberikan secara langsung pada trakea.
Efek samping yang mungkin timbul berupa spasme bronkus,
terutama pada pasien asma. Selain itu, terdapat juga timbul mual, muntah,
stomatitis, pilek, hemoptisis, dan terbentuknya sekret berlebihan sehingga
perlu disedot (suction). Maka, jika obat ini diberikan, hendaklah
disediakan alat penyedot lendir nafas. Biasanya, larutan yang digunakan
adalah asetilsistein 10% hingga 20%.
2.4.1.4 Ekspektoran (pengencer dahak/riak)
Ekspektoran adalah golongan obat yang bekerja menfasilitasi
pengeluaran dahak melalui refleks iritasi mukosa bronkus (cabang
tenggorok). Melalui iritasi tersebut ekspektoran merangsang keluarnya
cairan mukosa saluran napas sehingga dahak menjadi lebih encer dan
mudah untuk dikeluarkan. Ekspektoran berfungsi untuk meningkatkan
sekresi dahak dari saluran pernafasan sehingga mudah dikeluarkan (Anief,
1995).
Obat ekspektoran tersedia dalam bentuk tablet dan sirup. Obat
ekspektoran tidak disarankan untuk digunakan pada ibu hamil, pasien
alergi terhadap obat ekspektoran, pasien hipertiroid, dan gagal fungsi
ginjal. Obat ekspektoran memiliki efek samping berupa mual, muntah, dan
mengantuk. Beberapa obat ekspektoran yang bisa diperoleh tanpa resep
dokter antara lain:
2.4.2.1 Glyseryl guaiacolate (Guafenesin)
Mekanisme kerja obat yaitu mengencerkan dahak dari saluran
nafas. Dosis pemakaian untuk dewasa 200-400 mg setiap 4 jam dan untuk
anak-anak usia 2-6 tahun 50-100 mg setiap 4 jam, Sedangkan untuk usia
6-12 tahun 100-200 mg setiap 4 jam. Perhatian untuk usia dibawah 2 tahun
dan ibu hamil harus dengan pengawasan dokter, diharap tidak
menggunakan lebih dari 7 hari tanpa izin dokter, minumlah 1 gelas air
setiap minum obat ini, dan waspada pada alergi guafenesin. Efek samping
dapat terjadi seperti mual, muntah yang dapat dikurangi dengan minum
segelas air putih.
2.4.2.2 Bromheksin
Mekanisme kerja dari Bromheksin untuk mengencerkan dahak di
saluran nafas. Dosis pemakaian untuk dewasa 4-8 mg, 3 kali sehari.
Perhatian, hati-hati pada penderita tukak lambung dan wanita hamil 3
bulan pertama. Efek samping dapat terjadi rasa mual, diare, dan kembung
yang ringan (Depkes RI, 1997).
2.4.2.3 Succus liquiritiae (OBH)
Mekanisme kerja dari Succus Liquiritiae untuk mengatasi
batuk, membantu pengeluaran dahak, menyembuhkan peradangan
(Djunarko & Hendrawati, 2011), succus merupakan sediaan
galenik dari Radix liquiritiae berwarna hitam coklat, dan larut
dalam air. Succus Liquiritiae merupakan komponen dari Obat
Batuk Hitam (OBH) (Depkes RI, 1997).
2.4.2.4 Amonium klorida
Mekanisme kerja dari amonium klorida untuk meningkatkan
pengeluaran dahak melalui refleks rangsangan selaput lendir saluran cerna,
Amonium Klorida merupakan salah satu komponen Obat Batuk Hitam
(OBH). Dosis pemakaian untuk dewasa 300 mg setiap 4 jam. Obat ini
tidak dianjurkan pada pasien yang mengalami kerusakan hati, ginjal, dan
pasien mengidap jantung kronik karena dapat mengganggu keseimbangan
kimia darah yang mempengaruhi ekskresi obat. Dosis 5 g pada penderita
dapat menyebabkan efek samping dengan gejala antara lain mual, muntah,
haus, sakit kepala, dan hiperventilasi.
2.5 Antihistamin
2.5.1 Pengertian
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah
penglepasan atau kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan
untuk menjelaskan antagonis histamin yang mana pun, namun seringkali
istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang
bekerja pada reseptor histamin H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi
alergi, yang disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap
alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi ini
menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.
2.5.2 Jenis Antihistamin
Terdapat beberapa jenis, yang dikelompokkan berdasarkan sasaran
kerjanya terhadap reseptor histamin.
a. Antagonis Reseptor Histamin H1
Secara klinis digunakan untuk mengobati alergi. Contoh obatnya adalah:
difenhidramina, loratadina, desloratadina, meclizine, quetiapine (khasiat
antihistamin merupakan efek samping dari obat antipsikotik ini), dan
prometazina.
b. Antagonis Reseptor Histamin H2
Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah
meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor
H2 (antihistamin H2) dapat digunakan untuk mengurangi sekresi asam
lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer dan
penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina,
famotidina, ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.
c. Antagonis Reseptor Histamin H3
Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat
kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati
penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia. Contoh obatnya adalah
ciproxifan, dan clobenpropit.
d. Antagonis Reseptor Histamin H4
Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai
antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalah tioperamida.
Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya
adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah
obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan
sebagai antihistamin.
Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil,
mampu mencegah penglepasan histamin dengan cara menstabilkan
sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.
2.5.3 Jenis reseptor histamin yang telah diidentifikasi ada 4, yakni:
a. Reseptor Histamin H1
Reseptor ini ditemukan di jaringan otot, endotelium, dan
sistem syaraf pusat. Bila histamin berikatan dengan reseptor ini,
maka akan mengakibatkan vasodilasi, bronkokonstriksi, nyeri,
gatal pada kulit. Reseptor ini adalah reseptor histamin yang paling
bertanggungjawab terhadap gejala alergi.
b. Reseptor Histamin H2
Ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah
meningkatkan sekresi asam lambung.
c. Reseptor Histamin H3
Bila aktif, maka akan menyebabkan penurunan penglepasan
neurotransmitter, seperti histamin, asetilkolin, norepinefrin, dan
serotonin.
d. Reseptor Histamin H4
Paling banyak terdapat di sel basofil dan sumsum tulang.
Juga ditemukan di kelenjar timus, usus halus, limfa, dan usus
besar. Perannya sampai saat ini belum banyak diketahui.
Beberapa fungsi pengaturan di dalam tubuh juga telah
ditemukan berkaitan erat dengan kehadiran histamin. Histamin
dilepaskan sebagai neurotransmitter. Aksi penghambatan reseptor
histamin H1 (antihistamin H1) menyebabkan mengantuk. Selain
itu ditemukan pula bahwa histamin juga dilepaskan oleh sel-sel
mast di organ genital pada saat terjadi orgasme.
Pasien penderita schizophrenia ternyata memiliki kadar
histamin yang rendah dalam darahnya. Hal ini mungkin disebabkan
karena efek samping dari obat antipsikotik yang berefek samping
merugikan bagi histamin, contohnya quetiapine. Ditemukan pula
bahwa ketika kadar histamin kembali normal, maka kesehatan
pasien penderita schizophrenia tersebut juga ikut membaik.
2.5.4 Mekanisme Kerja Antihistamin
a. Antihistamin H1
Mengantagonis H1 secara kompetitif dan reversibel, tetapi tidak
memblok pelepasan histamin
b. Antihistamin H2
a) Menghambat interaksi histamin dng reseptor H2
b) Mengurangi sekresi asam lambung, histamin, gastrin,
kolinomimetik (AINS), rangsangan vagal, makanan
terutama asam, insulin dan kopi
c) Mengurangi sekresi asam nokturnal dan basal
d) Mengurangi volume cairan lambung dan ion H+
e) Simetidin, ranitidin, dan famotidin: efek pd otot polos
lambung dan spinkter esofagus menurun
f) Nizatidin: menekan kontraksi otot lambung dng cara
menghambat asetilkolinesterase
2.5.5 Indikasi
Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi
hipersensitifitas, reaksi tipe I yang mencakup rhinitis alergi
musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi
konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan
sebagai terapi anafilaksis adjuvan. Difenhidramin, hidroksizin,
dan prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi
alergi. Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid,
anti-parkinsonism atau motion sickness. Hidroksizin bisa
digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum,
analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai
anti-emetik. Prometazin digunakan untuk motion sickness, pre-
dan postoperative atau obstetric sedation.
2.5.6 Kontraindikasi
Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap
antihistamin khusus atau terkait secara struktural, bayi baru lahir
atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing
peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck
obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas
atas (termasuk asma), pasien yang menggunakan monoamine
oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien tua.
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif
terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural.
2.5.7 Efek Samping
Antihistamin Generasi Pertama:
a. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan
dermatitis.
b. Kardiovaskular – hipotensi postural, palpitasi, refleks
takikardia, trombosis vena pada sisi injeksi (IV prometazin)
c. Sistem Saraf Pusat - drowsiness, sedasi, pusing, gangguan
koordinasi, fatigue, bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja
terjadi pada dosis tinggi
d. Gastrointestinal - epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal
spray)
e. Genitourinari – urinary frequency, dysuria, urinary retention
f. Respiratori – dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan
nasal burning (nasal spray)
Antihistamin Generasi Kedua Dan Ketiga:
a. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan
dermatitis.
b. SSP – mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi
c. Respiratori - mulut kering
d. Gastrointestinal - nausea, vomiting, abdominal distress
(cetirizine, fexofenadine)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Obat-obat pernafasan terdiri dari Antihistaminika, Mukolitik, Inhalasi, Kromoglikat, Kortikosteroid, Antiasma dan Bronkodilator, Obat-obat batuk, Zat-zat sentral SSP, Zat-zat perifer di luar SSP.
Kami menyimpulkan obat-obat tersebut diatas sangat berperan penting bagi kesehatan saluran pernapasan kita karena dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit yang mengganggu saluran pernapasan kita.
3.2 SaranJagalah kesehatan organ pernafasan terutama pada paru-paru dan
organ sistem pernafasan lainnya.
Daftar Pustaka
http://eprints.ums.ac.id/35986/6/BAB%201.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/42470/4/Chapter%20II.pdfhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23349/4/Chapter%20II.pdf
http://www.kerjanya.net/faq/11023-obat-batuk-berdahak.htm
http://eprints.ums.ac.id/35986/6/BAB%201.pdf