noer rafikah zulyanti *) abstrak · dari laporan biaya kualitas selama 2 periode dapat di ......
TRANSCRIPT
1 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
PELAPORAN DAN PENGENDALIAN BIAYA KUALITAS SEBAGAI SARANA
UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PADA PERUSAHAAN BATIK
TULIS SIDO MAKMUR SENDANGAGUNG PACIRAN LAMONGAN
Noer Rafikah Zulyanti *)
Universitas Islam Lamongan
Abstrak
Persaingan yang semakin kompetitif mendorong perusahaan untuk melaksanakan kegiatan
operasionalnya secara efesien agar tetap bertahan. Dewasa ini perusahaan menyadari akan pentingnya
kualitas produk suatu barang sehingga perusahaan secara berkesinambungan berusaha untuk
memperbaiki kualitas produk yang di hasilkannya.Pada penulisan skripsi ini metode penelitian yang
di gunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif dan menghasilkan kesimpulan yaitu perusahaan
BATIK TULIS SIDO MAKMUR SENDANGAGUNG PACIRAN LAMONGAN belum menerapkan
pencatatan dan pelaporan biaya kualitas. Pencatatan dan pelaporan biaya kualitas dapat membantu
manajer mengukur besarnya masalah kualitas. Dari laporan biaya kualitas selama 2 periode dapat di
lihat bahwa total biaya kualitas mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Prosentase total biaya
kualitas terhadap penjualan aktual pada tahun 2012-2013 menunjukan angka 2-3% setiap tahunya.
Hal tersebut merupakan hasil yang di capai perusahaan dalam melakukan pengendalian kualitas
terhadap produknya selama periode tersebut. Oleh karena itu perlu di alkukan perencanaan dan
pengendalian biaya kualitas untuk membantu pihak manajemen perusahaan dalam mengendalkan
besarnya biaya kualitas yang timbul. Dengan di terapkanya pelaporan dan pengendalian biaya kualitas
secara khusus, di harapkan kualitas produk maupun tingkat produktivitas perusahaan dapat di
tingkatkan dan dapat di ketahui secara pasti berapa biaya yang telah di keluarkan perusahaan untuk
menghasilkan produk yang sesuai dengan standar kualitas sehingga akan mudah untuk melakukan
analisis lebih lanjut mengenai program pengembangan kualitas yang telah di lakukan.
Kata kunci : Pelaporan, Pengendalian biaya kualitas, produktivitas
LATAR BELAKANG
Dewasa ini sebagian perusahaan telah
menyadari akan pentingnya kualitas produknya
yang berupa barang dan jasa sehingga
perusahaan secara berkesinambungan terus
berusaha untuk melakukan perbaikan kualitas
pada setiap jenis produk yang di hasilkan. Hal
tersebut didasarkan akan semakin tingginya
tingkat persaingan dagang dengan makin
bertambahnya produk-produk sejenis dari
perusahaan lain.
Perjuangan untuk tetap bertahan dalam
persaingan tersebut juga semakin keras karena
konsumen telah semakin sadar akan kualitas
barang yang akan di konsumen memahami
pentingnya kulitas sebagai dasar menentukan
produk mana yang akan di pilih. Artinya
perusahaan tidak mempunyai cara lain untuk
memikat konsumen,yaitu hanya dengan
memberikan kualitas yang terbaik yang dapat di
berikan dalam produknya.Agar suatu
perusahaaan dapat bertahan hidup, perusahaan
harus memperhatikan 3 aspek penting yaitu :
flesibilitas, produk bermutu, dan biaya (cost
effective). aspek penting lainnya adalah produk
bermutu (berkualitas) dan biaya mutu produk
berupa barang dan jasa yang baik serta biaya
merupakan faktor penting lainnya dalam
menjamin keunggulan perusahaan dari para
pesaingnya. konsumen akan selalu memilih
produsen atau perusahaan yang mampu
menghasilkan barang dan jasa yang memiliki
kualitas yang baik dengan biaya serendah
mungkin. selanjutnya yang harus di perhatikan
adalah bahwa upaya peningkatan kualitas tidak
dapat di pisahkan dengan usaha peningkatan
produktivitas.
Menurut Mulyadi (2007:382) menyatakan
bahwa produktivitas berhubungan dengan
produksi keluaran secara efesien dan terutama
di ajukan pada hubungan antara keluaran
(output) dengan masukan (input) yang di
gunakan untuk menghasilkan keluaran tersebut.
Perhatian produktivitas bukan hanya tertuju
pada output, tetapi juga input. Suatu perusahaan
di sebut produktif bila dapat mempertahankan
tingkat output dengan penggunaan input.di
dalam persaingan yang semakin kompetitif
seperti sekarang ini, perusahaan yang tidak
berproduksi secara produktif akan kalah
bersaing, dan sebaliknya hanya perusahaan
yang beroperasi secara produktif yang dapat
2 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
tetap bertahan dan memperoleh keuntungan.
Banyak perusahaan perusahaan yang jauh dari
efisien dalam melakukan proses produksinya.
Banyaknya pemborosan dalam proses produksi
yang menyebabkan harga jual semakin tinggi
sehingga produk menjadi sulit bersaing di
pasaran.kondisi tersebut masih di tambah
dengan tingginya tingkat internal failure
maupun external failure sehingga produktivitas
perusahaan menjadi semakin rendah masalah -
masalah tersebut sebenarnya bisa di antisipasi
apabila pihak manajemen punya satu sarana
monotoring yang dapat memberikan informasi
akurat tentang biaya- biaya yang terjadi dalam
setiap kegiatan produksi perusahaan, Selama ini
biaya yang timbul di anggap sebagai biaya
produksi sehingga perusahaan mengalami
kesulitan untuk mengetahui sejauh mana
masalah kualitas yang sedang di hadapi serta
tingkat kemajuan perbaikan kualitas telah
berhasil di laksanakan.menyusun laporan dan
melakukan pengendalian biaya kualitas
merupakan salah satu langkah yang dapat di
ambil perusahaan untuk menciptakan produk
yang berkualitas tinggi dengan biaya yang
paling ekonomis.
Menurut Hasen Mowen (2000:18), Tujuan
utama dari pelaporan biaya kualitas adalah
untuk meningkatkan kemampuan dan
memfasilitasi manajer dalam melakukan
perencanaan, pengendalian, serta pengambilan
keputusan.dengan menyusun laporan tersebut,
perkembangan biaya kualitas yang terjadi dapat
selalu di amati oleh pihak manajemen.
Pengendalian terhadap berbagai macam biaya
kualitas tersebut pada akhirnya dapat
menciptakan produktivitas tertentu. Perbaikan
kualitas pada produk yang di hasilkan mampu
meningkatkan produktivitas proses produksi,
perbaikan kualitas berati menggurangi
terjadinya produk cacat atau pengerjaanya
ulang suatu produk, hal ini berati penggurangan
sumber daya yang di gunakan. Dengan
demikian peningkatan produktivitas di
karnakan output yang meningkat dan input
yang menurun jadi perbaikan kualitas sangat
erat hubunganya dengan peningkatan
produktivitasnya. Dengan meminimalkan biaya
kegagalan serta penurunan total biaya kualitas
yang di sertai oleh peningkatan kualitas, maka
biaya yang di perlukan untuk menghasilkan
produk tersebut akan berkurang serta dengan
berkurangnya jumlah produk cacat yang di
hasilkan akan menambah jumlah output berati
peningkatan produktivitas perusahaan.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang di gunakan adalah
deskriptif kuantitatif dengan alasan bahwa
penelitian di lakukan dengan tujuan
menginterprestasikan hasil analisis dari laporan
biaya kualitas bedasarkan pemahaman,
pemikiran dan presepsi penulis tanpa di lakukan
pengujian dengan metode statistik.
Dalam sebuah penelitian metode teknik
analisis data yang di gunakan dalam Skripsi ini
menggunakan Langkah-Langkah sebagai
berikut :
1. Mengidentifikasi dan memisahkan semua
data biaya kualitas dari biaya produksi yang
ada dalam perusahaan untuk produk yang di
hasilkan.
2. Melakukan pengelompokan biaya kualitas
yang teridentifikasi ke dalam empat kategori
biaya kualtas, yaitu biaya pencegahan, biaya
penilaian, biaya kegagalan internal dan
biaya kegagalan eksternal.
3. Menyusun laporan biaya kualitas perusahaan
ke tiga tipe pelaporan biaya kualitas, yaitu
bedasarkan penjualan aktual, bedasarkan
anggaran dan bedasarkan trend satu tahun.
4. Melakukan analisis terhadap perkembangan
biaya kualitas bedasarkan tiga metode
pelaporan tersebut.
5. Melakukan pengukuran produktivitas secara
persial pada input produksi yang berupa
biaya bahan baku, biaya tenaga kerja
langsung dan biaya overhead pabrik
6. Mengidentifikasi manfaat yang dapat di
peroleh atas perencanaan biaya kualitas bagi
peningkatan produktivitas.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah di
dapat oleh penulis maka penulis memberikan
analisa dengan perencanaan dan pengendalian
biaya kualitas yang berkesinambungan di
harapkan dapat di peroleh hasil yang lebih baik
dari pengelolaan kegiatan-kegiatan yang di
lakukan dalam mencapai kualitas yang telah di
tetapkan sebelumnya, sehingga produk yang di
hasilkan dapat memuaskan konsumen. Pihak
manajemen perusahaan melakukan perencanaan
dan pengendalian biaya kualitas, perusahaan
juga harus merencanakan tindakan-tindakan
khusus yang di perlukan untuk meenciptakan
kondisi yang lebih baik pada priode berikutnya.
1. Berdasarkan penjualan aktual
3 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
Metode ini bertujuan untuk memantau
pelaksanaan operasional biaya kualitas dengan
menggunakan penjualan bersih aktual sebagai
dasar analisis. Dari hasil laporan biaya kualitas
yang telah disusun dapat di lihat bahwa total
biaya kualitas tahun 2013 mengalami
penurunan di banding total biaya kualitas tahun
2012, Total biaya kualitas dengan hasil
penjualan aktual pada tahun 2012 sebesar
3,26% kemudian mengalami penurunan sebesar
1,82% pada tahun 2013 penurunan total biaya
kualitas ini menunjukan bahwa perusahaan
telah melakukan pengendalian ini dapat
berjalan secara optimal dan mendorong
peningkatan penjualan perusahaan.
2. Bedasarkan biaya kualitas satu periode
sebelumnya
Analisis biaya kualitas bedasarkan satu periode
sebelumnya di lakukan dengan cara
meembandingkan biaya kualitas yang terealisasi
periode berjalan dengan periode sebelumnya.
Analisis tersebut menunjukan penyimpangan
yang terjadi apakah menguntungkan atau
merugikan bagi perusahaan. Hasil analisis yang
disusun pada biaya kualitas menunjukan bahwa
pada tahun 2013 terjadi selisih sebesar
Rp.4.237.000 dibandingkan dengan tahun 2012.
Hal ini menujukan bahwa perusahaan terus
berusaha meningkatkan biaya pencegahan dan
penilaian dan berusaha menurunkan baiaya
kegagalan produk agar produktivitas
perusahaan dapat di tingkatkan.
3. Pengukuran produktivitas bahan baku,
tenaga kerja langsung dan biaya overhead
pabrik.
Perbaikan kualitas berati mengurangi terjadinya
produk cacat atau pengerjaan ulang suatu
produk. Peningkatan produktivitas di karnakan
jumlah output yang meningkat dan penggunaan
output yang menurun. Dari hasil pengukuran
produktivitas yang telah di sunsun diatas dapat
di analisis mennjukan bahwa produktivitas
bahan baku pada tahun 2012 dan 2013 adalah
sebesar 2,2 : 2,5 adanya peningkatan rasio
produktivitas bahan baku menunjukan bahwa
pemakaian bahan baku dalam menghasilkan
output adanya peningkatan biaya pencegahan
dan penilaian sehingga mengurangi adanya
scarp dan rework.Rasio produktivitas tenaga
kerja langsung pada tahun 2012 dan 2013
adalah sebesar 2,5:4,0 adanya peningkatan
keterampilan para perkerja yang telah
mendapatkan pendidikan dan pelatihan dari
perusahaan. Keterampilan bagian produksi yang
semakin meningkat tersebut menyebabkan
jumlah produk cacat atau produk gagal menjadi
menurun dan perusahaan sedikit melakukan
pengerjaan ulang produk, Rasio produktivitas
biaya overhead pabrik pada tahun 2012 dan
2013 adalah sebesar 52,4 : 93,7 adanya
peningkatan rasio produktivitas biaya overhead
pabrik ini meenunjukan adanya penambahan
pada biaya perawatan mesin atau peraratan
produksi oleh perusahaan sehingga berdampak
positif pada peningkatan kualitas produk yang
di hasilkan karena pemakaian mesin atau
peraratan yang optimal.
Hubungan biaya kulitas terhadap
produktivitas
Hubungan biaya kualitas dengan produktivitas
sangat berkaitan karena dengan adanya
perbaikan kualitas terhadap produk akan
berpengaruh terhadap produktivitas perusahaan.
Apabila pelaporan dan pengendalian biaya
kualitas selalu di amati maka pihak manajemen
dapat memperoleh informasi mengenai
perkembangan biaya kualitas sehingga dapat di
gunakan untuk melakukan perbaikan guna
meningkatkan produktivitas perusahaan.
Hubungan biaya kualitas dalam meningkatkan
produktivitas apakah dengan adanya pelaporan
dan pengendalian biaya kualitas dapat
meningkatkan produktivitas dijelaskan dalam
table dibawah ini:
.
Tabel 1: Perbandingan Biaya Kualitas Terhadap Produktivitas
keterangan tahun 2012 tahun 2013
biaya kualitas Rp 31.891.000 Rp. 36.128.000
3,26% 1,86%
produksi 7.649 unit 14.713 unit
994.370.000 1.986.255.000
produktivitas 52,5% 70,1%
Sumber data: data intern yang di olah penulis
4 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
Dari hasil analisis di atas dapat di jelaskan
bahwa biaya kualitas pada tahun 2012 sebesar
dan mengalami penurunan sebesar pada tahun
2013 dengan jumlah produksi dari tahun 2012
ke tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar
3,26% dan mengalami penurunan sebesar
1,86% pada tahun 2013 mengalami peningkatan
sebesar 99% Selisih total produksi tahun 2013
sebesar Rp.994.370.000 Dengan tahun 2012
sebesar Rp.1.986.255.000
Peran biaya kualitas terhadap produktivitas
Peran biaya kualitas terhadap produktivitas
tidak lain adalah untuk mengukur tingkat
produktivitas perusahaan karena dengan
menerapkan atau memakai pelaporan dan
pengendalian biaya kualitas memudahkan
perusahaan dalam mengetahui seberapa besar
output yang di hasilkan input yang di gunakan.
Dari hasil tabel diatas di sebutkan total
produktivitas tahun 2012 sebesar dan total
produktivitas tahun 2013 sebesar . ini
menunjukan kalau perusahaan batik tulis SIDO
MAKMUR sendangagung paciran lamongan
mengalami peningkatan dari adanya
pengendalian biaya kualitas. Sehingga korelasi
antara biaya kualitas terhadap produktivitas
yaitu apabila biaya kualitas semakin menurun
maka produktivitas akan meningkat dan biaya
kualitas tidak termasuk dalam perhitungan HPP
(harga pokok produksi) akan tetapi perhitungan
biaya kualitas dapat di gunakan sebagai sarana
untuk mengukur kualitas perkerjaan dan
produktivitas perusahaan
PEMBAHASAN
Pelaporan biaya kualitas bedasarkan penjualan
dapat memberikan manfaat bagi pihak
manajemen dalam membuat suatu analisis
mengenai jumlah biaya yang telah di keluarkan
oleh perusahaan. Perencanaan dan pelaporan
biaya kualitas dapat di gunakan oleh
manajemen untuk memperoleh informasi
mengenai perkembangan biaya kualitas,
sehingga dapat di gunakan untuk melakukan
perbaikan untuk meningkatkan produktivitas
perusahaan. Pihak manajemen perusahaan
melakukan perencanaan dan pengendalian biaya
kualitas, perusahaan juga harus merencanakan
tindakan-tindakan khusus yang di perlukan
untuk meenciptakan kondisi yang lebih baik
pada priode berikutnya. Tindak lanjut ini
merupakan hal terpenting dari di sunsunya
laporan biaya kualitas tidak di ikuti dengan
tindak lanjut atas keadaan yang tercermin dalam
laporan tersebut, maka pelaporan biaya kualitas
percuma sumber daya. Selanjutnya, dalam
perencanaan dan pengendalian biaya kualitas
yang menjadikanya sebagai dasar bagi
pengambilan keputusan yang sesuai dengan
menggunakan metode sebagai berikut:
1. Bedasarkan penjualan aktual
Metode ini menggunakan penjualan bersih
aktual sebagai dasar analisis
2. Bedasarkan biaya kualitas satu priode
sebelumnya
Metode ini menggunakan cara
perbandingan biaya kualitas yang
terealisasi periode berjalan dengan periode
sebelumnya.
3. Pengukuran biaya bahan baku , tenaga
kerja langsung dan biaya overhead pabrik
Metode ini menggunakan cara
membandingkan output yang di hasilkan
dengan input yang di gunakan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil analisis dan uraian serta pembahasan
yang penulis kemukakan dan di dukung dengan
data, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Selama ini perusahaan telah melakukan
kegiatan dalam mencapai kualitas sehingga
data-data yang menyangkut biaya kualitas telah
ada, namun perusahaan belum menerapkan
sistem pencatatan dan pelaporan biaya kualitas
secara khusus sebagai sarana untuk
perencanaan dan pengendalian biaya kualitas.
Biaya yang timbul di anggap sebagai baiaya
produksi sehingga manajemen perusahaan
mengalami kesulitan untuk mengetahui sejauh
mana masalah kualitas yang sedang di hadapi
serta tingkat kemajuan kualitas yang telah di
laksanakan.
2. Dari hasil laporan biaya kualitas selama
2 periode dapat di lihat bahwa total biaya
kualitas terus mengalami penurunan setiap
tahunya. Hal ini menunjukan kalau perusahaan
melakukan pengendalian kualitas terhadap
produknya selama periode tersebut, meskipun
perusahaan belum mengidentifikasikan
kategori-kategori ke dalam biaya kualitas,
presentase total biaya kualitas terhadap total
penjualan aktual telah menunjukan \angka
penurunan yang cukup baik.
3. Pada tahun 2012 ke tahun 2013 terjadi
peningkatan produktivitas pada input produksi
perusahaan. Walaupun perusahaan belum
menerapkan laporan biaya kualitas secara
5 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
khusus, akan tetapi nampak adanya peningkatan
kualitas berupa semakin menurunya biaya
produk gagal dan di ikuti pula dengan
peningkatan rasio produktivitas selama jangka
waktu tersebut. Perbaikan kualitas memiliki
dampak secara langsung terhadap peningkatan
produktivitas perusahaan.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah di
kemukakan di atas, maka penulis mencoba
untuk mengemukakan saran antara lain sebagai
berikut :
1. Perusahaan harus terus meningkatkan
perhatian terhadap kualitas produknya agar
pelaksanaan perencanaan dan
pengendalian kualitas tetap berjalan
dengan baik.
2. Pelaporan biaya kualitas perlu di sunsun
oleh perusahaan untuk mendukung
keberhasilan program pengendalian
kualitas yang selama ini telah di lakukan.
3. Perlu adanya tindakan perbaikan secara
terus menerus pada penerapan laporan
biaya kualitas yang benar-benar sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan perusahaan
agar produktivitas akan dapat semakin di
tingkatkan.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur
penelitian. Suatu pendekatan praktek.
Edisi revisi VI. Jakarta : Rineka cipta.
Blotcher, chen, lin. 2000. Manajemen Biaya.
Edisi pertama. Di Terjemahkan A.Susty
Ambarriani jakarta: salemba empat.
Dina hikmah Wati, 2004, pelaporan dan
pengendalian biaya kualitas sebagai
salah satu sarana untuk meningkatkan
produktivitas perusahaan (studi kasus
pada PT.X), skripsi, surabaya, Fakultas
Ekonomi Universitas Airlangga.
Hansen, Don R. And Maryanne M. Mowen,
2000 Akuntansi Manajemen. Jilid 2,
Jakarta: Erlangga.
http://jasa pembuatan web.c0.id/ artikel
ilmiah/tujuan dan manfaat pengukuran
produktivitas, pengendalian biaya.
Mulyadi, 2000. Akuntansi Biaya. Edisi lima,
yogyakarta : Aditiya Media.
Mulyadi, 2007. Sistem Perencanaan dan
pengendalian manajemen, jakarta:
salemba empat.
Suryadi prawirosentono, Drs. 2002. Manajemen
Mutu Terpadu: total quality
management, jakarta : Bumi Aksara.
Sugiyono, prof.Dr.2011. Metode penelitian
kuantitatif, kualitatif dan R & D. Edisi
revisi, Bandung : CV.alfabeta
________2012. Pedoman penyusunan skripsi,
fakultas ekonomi. Universitas islam
Lamongan
6 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENYEDIA JASA AKIBAT
PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN
OLEH PEKERJA OUTSOURCING
Dhevy Nayasari Sastradinata *)
*)Dosen Fakultas hukum Universitas Islam Lamongan
ABSTRAK
Iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya
produksi (cost of production). Salah satu solusinya adalah dengan sistem pegawai kontrak, dimana
dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia
yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Outsourcing diartikan sebagai pemindahan atau
pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa
tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah
disepakati oleh para pihak. Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai
pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja, sedangkan untuk mengkaji hubungan
hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih
dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
yaitu Pasal 64, Pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan Pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti yaitu
Bagaimana perngaturan tentang outsourcing menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
dan Bagaimana tanggung jawab perusahaan penyedia jasa akibat perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh pekerja outsourcing.
Kata kunci :Penyedia jasa, Perbuatan melawan hukum, Pekerja Outsourcing.
PENDAHULUAN
Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan
membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada
rangkaian proses atau aktivitas penciptaan
produk dan jasa yang terkait dengan
kompetensi utamanya.Iklim persaingan usaha
yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk
melakukan efisiensi biaya produksi (cost of
production).Salah satu solusinya adalah dengan
sistem pegawai kontrak, dimana dengan sistem
ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran
dalam membiayai sumber daya manusia yang
bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai
pemindahan atau pendelegasian beberapa
proses bisnis kepada suatu badan penyedia
jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut
melakukan proses administrasi dan manajemen
berdasarkan definisi serta kriteria yang telah
disepakati oleh para pihak.
Gagasan awal berkembangnya outsourcing
(Alih Daya) adalah untuk membagi resiko
usaha dalam berbagai masalah, termasuk
ketenagakerjaan. Outsourcing (Alih Daya)
merupakan bisnis kemitraan dengan tujuan
memperoleh keuntungan bersama, membuka
peluang bagi berdirinya perusahaan-perusahaan
baru di bidang jasa penyedia tenaga kerja, serta
efisiensi bagi dunia usaha.
Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum
ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai
pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa
tenaga kerja.Pengaturan hukum outsourcing
(Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun
2003 (Pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor Keputusan.
101/Menteri/ VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata
Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja/Buruh.
Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum
diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di
Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya)
menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan
pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
yang menyangkut outsourcing (Alih Daya)
adalah Pasal 64, Pasal 65 (terdiri dari 9 ayat),
dan Pasal 66 (terdiri dari 4 ayat). Undang-
Undang tersebut dapat dipergunakan dan
berfungsi untuk menyelesaikan masalah
tanggung jawab perusahaan penyedia
jasa dalam perbuatan melawan hukum
7 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
yang dilakukan oleh pekerja outsourcing
adalah
a. Dapat dijadikan literatur dibidang hukum
khususnya hukum perdata
b. Dapat digunakan bagi pihak yang terkait
dalam penyelesaian permasalahan pekerja, yang
berkaitan dengan perbuatan melawan hukum.
Peranan perusahaan outsourcing yang
merupakan pihak ketiga dalam perjanjian kerja
antara perusahaan dengan tenaga kerja
membawa dampak hubungan
pertanggungjawaban, pada perusahaan yang
memberikan jasa keamanan kepada perusahaan
yang membutuhkan.
Maka perusahaan tersebut dapat pula dimintai
pertanggung jawaban apabila perbuatan
melawan hukum yang dilakukan pekerja
outsourcing dapat merugikan perusahaan
peminta jasa tenaga kerja. Rumusan masalah
yang dikemukakan dalam penelitian ini
adalah
a. Bagaimana pengaturan tentang
outsourcing menurut Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003?
b. Bagaimana tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa akibat perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh pekerja
outsourcing?
METODE PENELITIAN
Penelitian hukum ini menggunakan
pendekatan perundang-undangan (Statute
Approach). Pendekatan tersebut melakukan
pengkajian pengaturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan pokok
permasalahan. Selain itu juga digunakan
pendekatan analisis (Analitical Approach),
pendekatan ini maksudnya menganalisa
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
akibat perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh pekerja outsourcing.
Adapun bahan yang diperoleh dalam
penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-
undangan, yang penulis uraikan dan
dihubungkan sedemikian rupa. Cara pengolahan
data dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang
bersifat umum terhadap permasalahan kongkrit
yang dihadapi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinjauan Terhadap Tanggung Jawab
Pengaturan Tentang Outsourcing
Untuk menentukan tingkatan besar
tanggungjawabnya, dan yang wajib
bertanggungjawab, berikut akan dijelaskan
beberapa prinsip tanggung jawab:1
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan
unsur kesalahan. Prinsip ini menyatakan
bahwa seseorang baru bisa dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika
ada unsur kesalahan yang dilakukan.
Dalam Kitab Undang–Undang Hukum
Perdata Pasal 1365, yang dikenal sebagai
perbuatan melawan hukum, mensyaratkan
terpenuhinya unsur pokok yaitu:
a. Adanya perbuatan
b. Adanya unsur kesalahan
c. Adanya kerugian yang diderita
d. Adanya hubungan sebab akibat antara
kesalahan dan kerugian.
2. Prinsip praduga untuk selalu
bertanggung jawab. Bahwa tergugat selalu
dianggap bertanggung jawab (presumption
of liability), sampai dapat membuktikan
sebaliknya. Prinsip pembuktian ini dalam
hukum pidana baru diterapkan pada tindak
pidana korupsi.
3. Prinsip praduga untuk selalu tidak
bertanggung jawab. Prinsip ini hanya
dikenal dalam lingkup transaksi konsumen
yang sangat terbatas, misal hukum
pengangkutan.
4. Prinsip tanggung jawab mutlak
(strict liability). Istilah strict liability ini
sering diidentikkan dengan tanggung jawab
mutlak. Ada pakar yang membedakan
antara strict liability dengan absolute
liability. Pada strict liability adalah prinsip
tanggungjawab yang menetapkan
kesalahan tidak sebagai faktor yang
menentukan, namun ada pengecualian yang
memungkinkan untuk dibebaskan dari
tanggung jawab, misal force majeur.
Sebaliknya absolute liability adalah prinsip
tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak
ada pengecualiannya. Pembedaan tanggung
jawab tersebut juga dapat dilihat dari ada
tidaknya hubungan kausalitas antara
subyek yang bertanggungjawab dengan
kesalahan.
5. Prinsip tanggung jawab dengan
pembatasan. Prinsip ini sangat
menguntungkan pelaku usaha karena dalam
klausul perjanjian selalu mencantumkan
pembatasan tanggung jawab yang dikenal
1 Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan
Konsumen. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. h.87.
8 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
dengan klausul eksonerasi atau lepas dari
tanggung jawab.
Dalam melaksanakan pengaturan tentang
outsourcing menurut Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003, yaitu :
1. Pengertian Perusahaan
Mengenai pengertian perusahaan ini secara
ilmiah terdapat beberapa pendapat,
diantaranya adalah: Menurut pemerintah
Belanda perusahaan ialah keseluruhan
perbuatan, yang dilakukan secara tidak
terputus-putus, dengan terang-terangan,
dalam kedudukan tertentu dan untuk
mencari laba. Menurut Molengraff,
perusahaan adalah keseluruhan perbuatan
yang dilakukan secara terus menerus,
bertindak keluar, untuk mendapatkan
penghasilan dengan cara memperniagakan
barang-barang, menyerahkan barang-
barang, atau mengadakan perjanjian-
perjanjian perdagangan.2
2. Pengaturan Tentang Outsourcing
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003
Outsourcing merupakan perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh karena semua kegiatan yang
berkaitan dengan pekerjaan maupun tenaga
kerja yang seharusnya menjadi urusan dan
ditangani langsung oleh perusahaan pengguna
dialihkan kepada perusahaan penyedia jasa
untuk kemudian ditangani dan menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa,
maka itu perjanjian outsourcing sebagai
perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh.
Perjanjian kerja harus memenuhi ketentuan
asas-asas hukum kontrak, yang meliputi asas
konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan
asas kekuatan mengikatnya perjanjian. Pada
asas kebebasan berkontrak, terdapat kebebasan
kehendak yang mengimplikasikan adanya
kesetaraan minimal. Di sini antara pekerja
dengan pemberi kerja harus mempunyai
kedudukan yang sama tidak dalam kedudukan
sub ordinasi (di bawah perintah) harus sebagai
mitra kerja. Pada asas kekuatan mengikatnya
kontrak, ditentukan oleh isi kontrak itu sendiri,
kepatutan atau iktikad baik, kebiasaan dan
peraturan perundang-undangan.
2 H.M.N. Purwosutjipto. Pengertian Hukum Dagang Indonesia 1. Djambatan. Jakarta 2003. halaman 15.
3. Perusahaan Penyedia Jasa
Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya)
juga tidak semata-mata hanya mendasarkan
pada asas kebebasan berkontrak sesuai Pasal
1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
namun juga harus memenuhi ketentuan
ketenagakerjaan, yaitu Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan
pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri
kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing,
maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula
kontrak kerja antara karyawan dengan
perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja
yang lazim digunakan dalam outsourcing
adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang
cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa
outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang
berubah-ubah sesuai dengan perkembangan
perusahaan.3
4. Perbuatan Melawan Hukum Dinamakan perbuatan melawan hukum
apabila perbuatan itu bertentangan dengan
hukum pada umumnya. Hukum bukan saja
berupa ketentuan-ketentuan undang-undang,
tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis,
yang harus ditaati dalam hidup
bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan
itu harus disebabkan karena perbuatan yang
melawan hukum itu antara lain kerugian-
kerugian dan perbuatan itu harus ada
hubungannya yang langsung, kerugian itu
disebabkan karena kesalahan pembuat.
Secara prinsip, pelaku Perbuatan Melawan
Hukum telah melakukan perbuatan yang
mengakibatkan yang bersangkutan wajib
mengganti kerugian (moril dan materil)
terhadap pihak-pihak yang telah dirugikan
(saudara serta pembeli) sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Berbicara tentang
Perbuatan Melawan Hukum tentunya akan
menghadapkan kita pada hal menentukan
apakah suatu perbuatan itu merupakan
Perbuatan Melawan Hukum atau wanprestasi.
Hal ini terjadi karena mungkin saja hal yang
kita nilai sebagai Perbuatan Melawan Hukum
ternyata hanya merupakan wanprestasi
semata. Kita perlu mengingat kembali bahwa
wanprestasi terjadi apabila seorang yang telah
ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian
3 Djumadi. 2008. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. Jakarta: Raja Grafindo Persada, h. 49-54.
9 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
tersebut tidak melaksanakan atau tidak
memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
5. Tanggung Jawab Perusahaan Penyedia
Jasa Akibat Perbuatan Melawan Hukum
Yang Dilakukan Pekerja Outsourcing
Bahwa meluasnya tanggung jawab berkaitan
dengan perbuatan melawan hukum merupakan
konsekuensi logis dari perkembangan
peradaban manusia itu sendiri, terutama dimulai
ketika pola relasi antara manusia yang satu
dengan yang lain semakin kompleks. Harus
diakui konsep hukum common law jauh lebih
berkembang dalam kaitannya dengan
pertanggungjawaban pengusaha atau
perusahaan penyedia jasa ini dibandingkan
dengan system hukum kita (civil law). Dalam
sistem common law, doktrin Respondeat
Superior Liability adalah salah satu doktrin
utama yang diterima luas sebagai dasar
pertanggungjawaban perusahaan penyedia jasa
dalam konteks menjalankan pekerjaan.
Menurut doktrin respondeat superior ini,
seorang perusahaan penyedia jasa bertanggung
jawab atas perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh pegawai atau karyawannya jika
karyawan tersebut bertindak masih dalam
cakupan menjalankan pekerjaannya atau dalam
lingkup pekerjaannya. Perumusan
pertanggungjawaban dalam Pasal 1367 KUH
Perdata sebagai mana disebutkan di atas, masih
sangat umum dan luas sehingga agak
menyulitkan dalam aplikasinya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pengaturan tentang outsourcing adalah
diawali dengan adanya kesepakatan antara
perusahaan pengguna tenaga kerja (jasa)
dengan perusahaan penyedia jasa, kesepakatan
tersebut dibuat dalam bentuk perjanjian
kerjasama pemborongan penyediaan tenaga
kerja, setelah itu perusahaan penyedia jasa
melakukan perjanjian dengan pekerja.
2. Tanggung jawab perusahaan penyedia
jasa akibat perbuatan melawan hukum yang
dilakukan pekerja outsourcing yaitu seorang
perusahaan penyedia jasa bertanggung jawab
atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh pegawai atau karyawannya jika karyawan
tersebut bertindak masih dalam cakupan
menjalankan pekerjaannya atau dalam lingkup
pekerjaannya. Perumusan pertanggungjawaban
dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata sebagai mana disebutkan di
atas, masih sangat umum dan luas sehingga
agak menyulitkan dalam aplikasinya.
Saran
1. Agar setiap perusahaan yang menggunakan
jasa tenaga kontrak (outsourcing) dapat
memberikan hak-hak pekerja kontrak menurut
peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
2. Agar para pekerja kontrak dalam
melakukan pekerjaan dapat bekerja dengan baik
dan sekaligus hak-hakya sebagai pekerja dapat
dipenuhi/diperjuangkan, maka pemerintah
seharusnya memfasilitasi pekerja kontrak
(outsourcing) dalam memperoleh hak-haknya
dengan membuka posko-posko pengaduan
terhadap tenaga kerja, melalui asosiasi tenaga
kerja di dalam perusahaan yaitu Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia (SPSI).
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad. Hukum Perusahaan
Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002.
Abdul. R Saliman. Esensi Hukum Bisnis
Indonesia. Kencana Prenada Media,
Jakara, 2004.
Ahmadi Miru. Hukum Kontrak Perancangan
Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jakarta, 2008.
Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum
Perlindungan Konsumen.: Sinar
Grafika. Jakarta, 2008.
Djumadi. Hukum Perburuhan Perjanjian
Kerja. Raja Grafindo Persada. Jakarta,
2008.
H.M.N. Purwosutjipto. Pengertian Hukum
Dagang Indonesia 1, Djambatan. Jakarta,
2003.
Johnny Ibrahim, Teori Metode Penelitian
Normatif, Banyu Media Publishing,
Malang , 2005.
Lalu Husni. Pengantar Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2000.
R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Sinar
Grafika. Jakarta, 2002.
Sentosa Sembiring. Hukum Dagang. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2008.
Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan
10 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
PARADIGMA BARU PENGEMBANGAN MANAJEMEN MADRASAH
Tsalits Fahami
(FKIP Universitas Islam Lamongan)
Abstract: The new paradigm of madrasah management development that must be addressed is
the managerial problems. Sothat educational institutions Madrasah should be able to manage,
direct and guidestudents to face the changes and is able to create scholars, educators and
parents in thefuture. The effective Madrasah in general have a number of characteristics of the
process asfollows: The process of teaching and learning effectiveness is high, strong
leadershipmadrasah, madrasah environment that is safe and orderly, effective management of
educational personnel, Madrasah has a quality culture, Madrasah has cohesive teamwork,
Smart, and Dynamic, Madrasah has the authority (self-reliance), high participation of
madrasah citizens and public, Madrasah has openness (transparency) management, Madrasah
has a willingnessto change (psychological and physical), Madrasah get evaluation and
continuous improvement, Madrasah is responsive and adaptable to the needs, Having good
communication, Madrasah has accountability, Madrasah has the ability to maintain
sustainability.
Kata kumci : Paradigma baru, Manajemen madrasah
Pendahuluan
Pembicaraan tentang manajemen akhir-
akhir ini hangat dibincangkan. Hal tersebut
bukan saja merupakan hal baru bagi dunia
pendidikan. Sumber daya manusia merupakan
unsure aktif dalam penyelenggaraan
organisasi. Sedangkan unsure-unsur yang
lainnya merupakan unsure pasif yang bisa
diubah oleh kreativitas manusia. Dengan
pengelolaan (nanajemen) yang berkualitas,
diharapkan akan dapat mengkondisikan unsur-
unsur yang lain agar bisa mencapai tingkat
produktifitas suatu organisasi. Madrasah
diyakini menjadi lembaga pendidikan yang
mampu mengantarkan peserta didik pada
ranah yang lebih komprehensif, seperti aspek
intelektual, moral, spiritual, dan keterampilan
secara padu. Madrasah diyakini akan mampu
mengintegrasikan kematangan religius dan
keahlian ilmu modern kepada peserta didik
sekaligus (suprayogo, 2007). Dengan
kemampuan itu, madrasah akan mampu pula
mencetak insan-insan cerdas, kreatif, dan
beradab untuk menghadapi era globalisasi.
Memperbincangkan mengenai lembaga
pendidikan yang bernama madrasah, agaknya
akan selalu menarik dan tidak ada habis-
habisnya. Terlebih yang dibicarakan adalah
dari aspek manajemennya. Karena manajemen
dalam suatu lembaga apa pun akan sangat
diperlukan, bahkan – disadari atau tidak –
sebagai prasyarat mutlak untuk tercapainya
tujuan yang ditetapkan dalam lembaga
tersebut. Semakin baik manajemen yang
diterapkan, semakin besar pula kemungkinan
berhasilnya lembaga tersebut dalam mencapai
tujuannya. Demikian pula sebaliknya.
Realitas di lapangan lembaga-lembaga
pendidikan Islam khususnya madrasah
tingkat produktifitas masih jauh dari yang
diharapkan. Madrasah sebagai lembaga
pendidikan formal sering kurang mampu
mengikuti dan menanggapi arus perubahan
cepat yang terjadi dalam masyarakat.
Selama ini madrasah danggap sebagai
lembaga pendidikan islam yang mutunya lebih
rendah dari pada mutu lembaga pendidikan
lainnya, terutama sekolah umum, walaupaun
beberapa madrasah justru lebih maju dari pada
sekolah umum. Namun keberhasilan beberapa
madrasah dalam jumlah yang terbatas itu
belum mampu menghapus kesan negative
yang sudah terlanjur melekat (Qomar, 2007).
Dunia pendidikan masa depan perlu
semakin mengintegrasikan kedalam
berbabagai kegiatannya. Baik yang
bersifat kurikuler maupun ekstra kurikuler.
Dalam kehidupan budaya, globalisasi
menantang dunia pendidikan untuk
menghasilkan lulusan yang kenal,
11 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
mencintai dan mampu mengekspresikan
budaya bangsanya seraya mampu menjalin
dialog terbuka dan kritis dengan budaya-
budaya lain. Kalau tidak, yang akan
muncul adalah generasi yang tak punya
identitas atau yang gamang, takut dan
bingung menghadapi berbagai perubahan
yang terjadi. Untuk itu diperlukan
manajemen pendidikan yang professional.
Pengertian Manajemen
Dalam kamus besar Bahasa
Indonesia manajemen diartikan ; proses
penggunaan sumber daya secara efektif
untuk mencapai sasaran; Pejabat pimpinan
yang bertanggungjawab atas jalannya
perusahaan dan organisasi (kamus besar
Bahasa Indonesia, 1990).
Istilah manajemen dalam bahasa Indonesia
belum ada keseragaman dalam
menerjemahkan, diantaranya adalah
manajemen, management, pengolahan,
pembinaan, ketatalaksanaan, pengurusan,
kepemimpinan, pemimpin,
ketatapengurusan dan sebagainya.
Ada kaitan yang erat antara organisasi,
administrasi dan manajemen. Organisasi
ialah sekumpulan dari sekelompok orang
yang mengadakan suatu aktivitas bersama
untuk mmencapai tujuan bersama. Mula-
mula mereka mengintegrasikan sumber-
sumber materi maupun sikap para anggota
yang dikenal sebagai manajemen, dan
barulah mereka melaksanakan kegiatan-
kegiatan untuk mencapai cita-cita tersebut.
Baik manajemen maupun melaksanakan
kegiatan itu disebut administrasi.
Pada abad ini telah banyak para teoritis
maupun para praktisi yang yang menaruh
minat untuk mempelajari ilmu
manajemen, baik bedasarkan study
konsepsi maupun berdasarkan penelitian
yang telah mereka lakukan, karena
banyaknya tinjauan mereka sehingga
banyak definisi yang mereka ajukan sesuai
dengan disiplin ilmu tempat mereka
berpijak. Namun pada pada prinsipnya
mereka berbendapat bahwa manajemen
sebagi suatu keahlian, kemahiran,
kemampuan dan ketrampilan (seni) dan
sebagai ilmu pengetahuan yang diperlukan
dalam setiap aktifitas.
Pengertian manajemen sebagaimana yang
dikemukakan para ahli yang tampil dalam
formulasi yang berbeda-beda, antara lain :
John D. Millet dalam bukunya
management the public dikutup oleh
Maman Ukas dalam pengantar
management, membatasi managemen
sebagai berikut ; manajemen diartikan
sebagai suatu proses pengarahan,
penjurusan dan pemberian fasilitas kerja
kepada orang-orang yang diorganisasikan
dalam kelompok-kelompok formal untuk
mencapai tujuan yang diharapkan.
M. Manullang dalam bukunya Dasar-
Dasar Management bahwa manajemen
adalah seni dan ilmu perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan,
pengkoordinasian dan pengontrolan dari
Humam and Natural recuces (terutama
Human rescurces) untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Sedangkan menurut Dale bahwa
manajemen sebagai 1). Mengelola orang-
orang, 2). Pengambilan keputusan, 3).
Proses mengorganisasi dan memakai
sumber-sumber untuk menyelesaikan
tujuan yang sudah ditentukan. Suatu
pandangan yang bersifat umum
mengatakan bahwa manajemen ialah
proses mengintegrasikan sumber-sumber
yang berhubungan menjadi sistem total
untuk menyelesaikan suatu tujuan. Yang
dimaksud sumber disini ialah mencakup
orang-orang, alat-alat, media, bahan-
bahan, uang, dan sarana. semuanya
diarahkan dan dikoordinasikan agar
terpusat dalam rangka menyelesaikan
tujuan.
Bedasarkan batasan yang telah
dikemukakan diatas dan terlepas dari
sudut mana para ahli tersebut memberikan
batasan, maka manajemen dapat diartikan
sebagai seni dan ilmu dalam perencanaan,
perorganisasian, pengarahan, pemberian
motivasi dan pengawasan terhadap orang
mekanisme kerja untuk mencapai tujuan
yang selalu ditetapkan.
Dari definisi manajemen tersebut
diperoleh unsur-unsur sebagai berikut :
1. Unsur sifat.
a. Manajemen sebagai suatu seni (art)
yaitu sebagai suatu keahlian,
kemahiran, kemampuan dan
ketrampilan dalam aplikasi ilmu
pengetahuan untuk mencapai tujuan
yang diharapkan.
b. Manajemen sebagai suatu ilmu
(science) yaitu merupakan akumulasi
12 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
yang telah disistematisasikan dan
diorganisasikan untuk mencapai suatu
kebenaran umum.
2. Unsur fungsi
a. Perencanaan (planing) yaitu suatu
proses dan rangkaian kegiatan untuk
menetapkan terlebih dahulu tujuan
yang diharapkan pada suatu jangka
waktu tertentu atau periode waktu
yang telah ditetapkan, serta tahapan
yang harus dilalui untuk mencapai
tujuan tersebut.
b. Perorganisasian (organizing). Yaitu
suatu proses dan rangkaian kegiatan
dalam pembagian pekerjaan yang
derencanakan untuk diselesaikan oleh
anggota kelompok pekerjaan,
penentuan hubungan yang baik
diantara mereka, dan pemberian
lingkungan dan fasilitas pekerjaan
yang sepatutnya.
c. Pengarahan (directing), yaitu suatu
rangkaian kegiatan dalam rangka
memberikan petunjuk atau intrksi dari
seorang atasan kepada
bawahan/beberapa bawahan atau
kepada orang yang diorganisasikan
dalam kelompok formal dan dalam
rangka pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan terlebih dahulu.
d. Pengawasan (controling). Yaitu suatu
proses dan rangkaian kegiatan untuk
mengusahakan agar sesuatu pekerjaan
dapat dilaksanakan sesuai dengan
rencana dan tahapan tersebut,
diadakan suatu tindakan perbaikan
seperlunya (corerrective actin).
Manajemen Madarasah dapat diartikan
sebagai aktifitas memadukan sumber-
sumber pendidikan agar terpusat dalam
usaha mencapai tujuan Madrasah yang
telah ditentukan sebelumnya.
Pengertian Madrasah
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab
adalah bentuk kata "keterangan tempat"
(zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara
harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat
belajar para pelajar", atau "tempat untuk
memberikan pelajaran". Dari akar kata
"darasa" juga bisa diturunkan kata "midras"
yang mempunyai arti "buku yang dipelajari"
atau "tempat belajar"; kata "al-midras" juga
diartikan sebagai "rumah untuk mempelajari
kitab Taurat’.
Kata "madrasah" juga ditemukan dalam
bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata
yang sama yaitu "darasa", yang berarti
"membaca dan belajar" atau "tempat duduk
untuk belajar". Dari kedua bahasa tersebut,
kata "madrasah" mempunyai arti yang sama:
"tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki
arti "sekolah" kendati pada mulanya kata
"sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa
Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu
school atau scola.
Secara teknis, dalam proses belajar-
mengajarnya secara formal, madrasah tidak
berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia
madrasah tidak lantas dipahami sebagai
sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih
spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di
mana anak-anak didik memperoleh
pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk
agama dan keagamaan (dalam hal ini agama
Islam).
Dalam prakteknya memang ada
madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-
ilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga
mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di
sekolah-sekolah umum. Selain itu ada
madrasah yang hanya mengkhususkan diri
pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa
disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa
kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan
tidak diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih
memahami "madrasah" sebagai lembaga
pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar
agama" atau "tempat untuk memberikan
pelajaran agama dan keagamaan".
Sejarah Kelahiran Madrasah di Indonesia
Kehadiran lembaga pendidikan Islam di
Nusantara tidak lama berselang setelah masuk
dan tersebarnya Islam, justru proses Islamisasi
diperkuat oleh lembaga pendidikan sebagai
medianya (Tjandrasasmita, 2007). Madrasah
tidak lahir secara instan, melainkan ia bagian
dari pembaruan pendidikan sistem pendidikan
sebelumnya, seperti maktab, kuttâb, istana,
kedai buku, shuffah, halaqah, masjid, khân,
ribâth, toko buku dan perpustakaan.
Sedangkan di Indonesia madrasah ia
merupakan bagian dari pembaruan pendidikan
sistem pendidikan masjid, pesantren,
meunasah, rangkang, dayah, dayah teuku cik
13 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
dan surau. Baik masjid, pesantren, surau,
dayah, rangkang dan meunasah tidak memiliki
perbedaan yang berarti sebagai sebuah sistem
pendidikan. Azyumardi (2003) Perbedaannya
adalah keragaman, kekayaan dan elastisitas
pendidikan Islam. Islam nyaris menjadikan
pranata-pranata di Nusantara yang telah
berlaku di komunitas setempat sebagai basis
penyiaran Islam, agar dapat dengan mudah
diterima oleh masyarakat setempat, yang
kemudian diislamisasikan.
Kelahiran madrasah di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari konteks sejarahnya,
yakni merupakan respon atau ketidakpuasan
terhadap dua hal, Pertama, stagnasi atau
ketertinggalan sistem yang diterapkan oleh
lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional
yang ada di Indonesia, seperti Surau,
Meunasah, dan Pesantren. Lembaga-lembaga
pendidikan ini umumnya, (a) memiliki
manajemen pendidikan yang konvensional dan
tradisional, yang cenderung terpusat pada
seseorang, terutama kyai atau buya, sehingga
kepemimpinan (leadership) bersipat individual
atau tidak kolektif; (b) mempertahankan
sistem pendidikan yang tradisional, yakni
menggunakan metode yang konvensional
(yakni sorogan dan bandungan) serta
menerapkan kurikulum pembelajaran yang
cenderung berorientasi pada penghapalan dan
pemahaman ilmu-ilmu agama (doktriner); dan
(c) mereka cenderung menafikan [bahkan
sebagian mengharamkan] untuk mempelajari
ilmu-ilmu "umum",seperti matematika, logika,
fisika, kimia, biologi, hingga teknologi. Tidak
salah, sebagian orang menyebutkan bahwa
lembaga pendidikan tradisional hanya
mempelajari ilmu yang berorientasi pada
keakhiratan atau berakhlakul karimah, sedang
aspek kecerdasan (melek ipteks), seringkali
diabaikan.
Kedua, sistem pendidikan sekolah
umum -- untuk tidak menyebut sekuler-- yang
diterapkan oleh pemerintah (Belanda, Orde
Lama, dan Orde Baru). Pada institusi
pendidikan ini, ilmu-ilmu sains modern dan
teknologi dipelajari, dan sebaliknya ilmu-ilmu
agama "dimarginalkan" atau dipinggirkan.
Siswa dicetak menjadi cerdas dan pintar, serta
profesional, tetapi mengabaikan aspek "baik"
dalam perilaku/etika. Umumnya, siswa-siswa
diajarkan menggunakan metode yang modern
dan diorientasikan untuk mempelajari ilmu-
ilmu yang dibutuhkan untuk memenuhi
lapangan kerja atau industri. Dengan kata lain,
siswa dicetak sebagai pekerja atau berorientasi
kerja atau "materi' (upah atau uang).
Dari kegelisahan ini, sebagian pemikir
pendidikan Islam, kemudian mengambil upaya
untuk mengkonvergensi sistem pendidikan
dari keduanya. Hasil konvergensi inilah yang
kemudian, kini, menghasilkan institusi
pendidikan yang bernama "madrasah". Potret
sederhananya dapat dilihat dalam
kurikulumnya yang merupakan gabungan dari
dua jenis kurikulum, yakni kurikulum yang
ada pada lembaga pendidikan tradisional
[misal pesantren] dan kurikulum sekolah.
Hasilnya adalah integrasi ilmu dan pendidikan
karakter [akhlak mulia]. Madrasah tidak hanya
mendidik siswa cerdas dan pintar, tetapi
berakhlak mulia; atau dengan kata lain,
cageur, pinter, dan bageur. Inilah keunggulan
dari madrasah.
Dari segi kurikulum, madrasah pun
mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003. Berdasarkan
pada undang-undang ini, madrasah memiliki
kesetaraan dengan sekolah (umum).
Perbedaannya hanya terletak pada
penekanannya terhadap matpel agama Islam.
Inilah yang menyebabkan madrasah
diasumsikan “lebih Islami” daripada sekolah
lainnya. Selebihnya, Kemenag RI pun
berusaha merumuskan dan
mengimplementasikan, apa yang disebut para
ahli sebagai, “nuansa islam” dalam kurikulum.
Paradigma Baru Pengembangan
Manajemen Madrasah Dalam memenuhi target jangka
pendek, Madrasah harus mampu
memberikan arahan dan menuntun anak
didik secara massal, untuk menjadi umat
beragama (Islam) yang mampu
menghadapi dan menjalani perubahan,
sedangkan untuk jangka panjang,
penekanannya adalah bahwa Madrasah
mampu melahirkan ulama’, pendidik,
orang tua yang konsisten menunjukkan
kemampuan dalam mengarahkan dan
menuntun anaknya agar menjadi generasi
berkemajuan dunia atas landasan
keakhiratan.
Sisi pertama yang cukup tertantang
adalah masalah kualifikasi tenaga
kependidikan. Aspek tersebut menuntut
para pengampu Madrasah masa sekarang
dan masa mendatang adalah mereka yang
14 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
tidak hanya sekedar menguasai ajaran
agama secara kontektual, tapi juga tekstual
dan perkembangan ilmu pengetahuan
pada umumnya. Sisi lainnya adalah bahwa
para pengampu yang qualified tersebut,
harus membuktikan kemampuannya
dengan menghindarkan proses
pembelajarannya pada semata-mata
pencapaian target kognitif. Sebab aspek
afektif dan spikomotorik merupakan
penentu tersosialisasikannya ajaran-ajaran
moral dan budi pekerti pada
perkembangan prilaku anak didik, sebagai
calon ulama’, calon pendidik dan orang
tua di masa datang.
Dalam konteks ini, maka
keberadaan para pengampu disetiap
jenjang Madrasah, lebih kuat tuntutan
tanggungjawab moral dibanding
tanggungjawab kedinasan. Jabatan
memang untuk mencari nafkah
sebagaimana juga profesi-profesi lain.
Tapi keberadaannya dilingkari oleh
tanggungjawab untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional yang sangat tegas
menunjukkan sasaran moral, ketrampilan
dan kecerdasan.
Dalam konteks tersebut, maka
kelemahan-kelemahan lain yang dinilai
masih disandang madrasah, dan
melemahnya dalam menjawab tantangan
yang dibawa zaman, perlu segera
dibenahi. Arahnya bukan untuk bersaing,
tetapi senuhnya untuk memenuhi dan
melaksanakan tanggungjawab untuk
melahirkan manusia-manusia yang
bijaksana, cendekia dan bermoral. Ini
sekaligus sebagai antisipasi keberadaan
Madrasah untuk tidak semakin marginal
dalam percaturan global, dalam Indonesia
modern dan Indonesia Industrial.
Kepala Madrasah misalnya bisa
berperan sebagai administrator dalam
mengemban misi, sebagai manajer dalam
memadukan sumber-sumber pendidikan dan
sebagai supervisor dalam membina guru-guru
pada proses mengajar, ini berarti organisasi
sekolah melaksanakan administrasi,
manajemen dan supervisi. Walaupun ada
manajemen disekolah yang dilaksanakan oleh
kepala sekolah, namun pada hakekatnya
manajemen itu ada pada setiap unit kerja
Madrasah, naumun dalam praktek sehari-hari
kepala-kepala unit kerja itu tidak bisa disebut
manajer, sehingga seolah-olah di situ tidak ada
manajemen, walaupun mereka melakukan
pekerjaan manajer.
Pengembangan Manajemen Madarasah
dengan manangani individu-individu peserta
didik yang hidup dinamis dan unik yang
sedang berkembang dan tumbuh, bantuhan dan
kesempatan berkembang kearah positif inilah
yang harus dicapai oleh manajemen Marsah,
manajemen ini membutuhkan banyak variasi,
kreasi dan kiat, sebab manajemen ini bermuara
pada keberhasilan proses pendidikan, dengan
demikian kapanpun penyelenggara Madrasah
memegang peranan utama dalam lembaga
pendidikan. jadi penyelenggara Madarasah
mutlak harus seorang professional dalam
manajemen pendidikan.
Kewajiban-kewajiban seorang
penyelenggara Madrasah :
1. menjadi manajer dengan tugas-ugas
sebagai berikut :
a. mengadakan prediksi tentang
kemungkinan perubahan lingkungan.
b. Merencanakan dan melakukan inovasi
dalam pendidikan
c. Menciptakan strategi dan kebijakan
lembaga agar proses pendidikan tidak
mengalami hambatan.
d. Menagakan perencanaan dan
menemukan sumber-sumber
pendidikan.
e. Menyediakan dan mengkoodinasi
fasilitas pendidikan
f. Melakukan pengendalian terhadap
pelaksanaan agar tidak terlanjur
berbuat kesalahan.
2. menjadi pemimpin:
a. memimpin semua bawahan
b. memotivasi agar bekerja dengan rajin
dan giat
c. meningkatkan kesejahteraan para
bawahan
d. mendisplin para pendidik dan pegawai
dalam melaksanakan tugasnya.
3. Sebagai supervisi atau pengawas
a. mengawasi dan menilai cara kerja dan
hasil kerja pendidik dan pegawai
b. memberi supervisi dalam meningkat
cara bekerja
c. mencari dan memberi peluang untuk
meningkatkan profesi para penddidik.
4. sebagai pencipta iklim bekerja dan belajar
yang kondusif.
5. Sebagai pencipta lingkungan bekerja dan
belajar yang kondusif.
15 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
6. Mejadi administrator lembaga pendidikan
dengan tugas menyelenggarakan kegiatan
kegiatan rutin yang dioperasikan oleh para
personalia lembaga.
7. Menjadi koordinator kerjasama lembaga
pendidikan dengan masyarakat.
Oleh karena itu dalam memasuki abad
XXI, reposisi dan reaktualisasi Madrasah
merupakan keharusan, antara lain lewat
transformasi Madrasah yang bertumpu
pada tiga pilar; a). Reformasi aspek
regulatori pendidikan; dititik beratkan
pada reformasi kurikulum, b). reformasi
aspek profesi, c). Reformasi manajemen
Madrasah. Ini ditujukan untuk mengubah
pusat-pusat pengambilan keputusan dan
kendali pendidikan pada level yang lebih
dekat dengan proses belajar-mengajar.
Dalam reformasi manajemen Madrasah
yang harus dilakukan adalah ; pertama,
memberikan kesempatan yang lebih luas
kepada kepala Madrasah untuk mengambil
keputusan berkaitan dengan pendidikan.
Bentuk kebijakan ini adalah
menumbuhkan school based management.
Kedua, memberikan kesempatan yang luas
kepada warga masyarakat untuk
berpartisipasi dalam mengelola sekolah.
Dengan demikian peran masyarakat akan
semakin besar untuk kemudian
mewujudkan cummunity based school
(Zamroni, 2001).
Untuk memasuki era globalisasi
Madrasah harus bergeser kearah
pendidikan yang berwawasan global, dari
perspektif kurikuler pendidikan
berwawasan global bearti menyajikan
kurikulum yang bersifat interdisipliner,
multidisipliner dan transdisipliner.
Berdasarkan perspektif reformasi,
Madrasah berwawasan global menuntut
kebijakan pendidikan tidak semata sebagai
kebijakan sosial dan kebijakan yang
mendasarkan mekanisme pasar. Oleh
karena itu pendidikan harus memiliki
kebebasan dan bersifaat demokratis,
fleksibel dan adaptif.
Madrasah yang efektif pada umumnya
memiliki sejumlah karakteristik proses
sebagai berikut:
a. Proses belajar mengajar yang
efektivitasnya tinggi
Madrasah yang menerapkan manajemen
peningkatan mutu berbasis madrasah
(MPMBM) memiliki efektivitas proses
belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini
ditunjukkan oleh sifat PBM yang
menekankan pada pemberdayaan peserta
didik. PBM bukan sekadar memorisasi
dan recall, bukan sekadar penekanan pada
penguasaan pengetahuan tentang apa
yang diajarkan (logos), akan tetapi lebih
menekankan pada internalisasi tentang
apa yang diajarkan sehingga tertanam dan
berfungsi sebagai muatan nurani dan
dihayati (ethos) serta dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari oleh peserta didik
(pathos). PBM yang efektif juga lebih
menekankan pada belajar mengetahui
(learning to know), belajar bekerja
(learning to do), belajar hidup bersama
(learning to live together), dan belajar
menjadi diri sendiri (learning to be).
b. Kepemimpinan madrasah yang kuat
Pada madrasah yang menerapkan
MPMBM, kepala madrasah memiliki
peran yang kuat dalam
mengkoordinasikan, menggerakkan, dan
menyerasikan semua sumberdaya
pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan
kepala madrasah merupakan salah satu
faktor yang dapat mendorong madrasah
untuk dapat mewujudkan visi, misi,
tujuan, dan sasaran madrasahnya melalui
program-program yang dilaksanakan
secara terencana dan bertahap. Oleh
karena itu, kepala madrasah dituntut
memiliki kemampuan manajemen dan
kepemimpinan yang tangguh agar mampu
mengambil keputusan dan
inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan
mutu madrasah. Secara umum, kepala
madrasah tangguh memiliki kemampuan
memobilisasi sumberdaya madrasah,
terutama sumberdaya manusia, untuk
mencapai tujuan madrasah.
c. Lingkungan madrasah yang aman dan
tertib
Madrasah memiliki lingkungan (iklim)
belajar yang aman, tertib, dan nyaman
sehingga proses belajar mengajar dapat
berlangsung dengan nyaman (enjoyable
learning). Karena itu, madrasah yang
efektif selalu menciptakan iklim
madrasah yang aman, nyaman, tertib
melalui pengupayaan faktor-faktor yang
dapat menumbuhkan iklim tersebut.
Dalam hal ini, peranan kepala madrasah
sangat penting sekali.
16 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang
efektif
Tenaga kependidikan, terutama guru,
merupakan jiwa dari madrasah. Madrasah
hanyalah merupakan wadah. madrasah
yang menerapkan MPMBM menyadari
tentang hal ini. Oleh karena itu,
pengelolaan tenaga kependidikan, mulai
dari analisis kebutuhan, perencanaan,
pengembangan, evaluasi kinerja,
hubungan kerja, hingga sampai pada
imbal jasa, merupakan garapan penting
bagi seorang kepala madrasah.
Terlebih-lebih pada pengembangan
tenaga kependidikan, ini harus dilakukan
secara terus-menerus mengingat
kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sedemikian pesat.
Pendeknya, tenaga kependidikan yang
diperlukan untuk menyukseskan
MPMBM adalah tenaga kependidikan
yang mempunyai komitmen tinggi, selalu
mampu dan sanggup menjalankan
tugasnya dengan baik.
e. Madrasah memiliki budaya mutu
Budaya mutu tertanam di sanubari semua
warga madrasah, sehingga setiap perilaku
selalu didasari oleh profesionalisme.
Budaya mutu memiliki elemen-elemen
sebagai berikut: (a) informasi kualitas
harus digunakan untuk perbaikan, bukan
untuk mengadili/mengontrol orang; (b)
kewenangan harus sebatas
tanggungjawab; (c) hasil harus diikuti
penghargaan (rewards) atau sanksi
(punishment); (d) kolaborasi dan sinergi,
bukan kompetisi, harus merupakan basis
untuk kerjasama; (e) warga madrasah
merasa aman terhadap pekerjaannya; (f)
atmosfir keadilan (fairness) harus
ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan
dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga
madrasah merasa memiliki Madrasah .
f. Madrasah Memiliki “Teamwork” yang
Kompak, Cerdas, dan Dinamis
Kebersamaan (teamwork) merupakan
karakteristik yang dituntut oleh
MPMBM, karena output pendidikan
merupakan hasil kolektif warga
Madrasah, bukan hasil individual. Karena
itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam
madrasah, antar individu dalam
madrasah, harus merupakan kebiasaan
hidup sehari-hari warga madrasah .
g. Madrasah memiliki kewenangan
(kemandirian)
Madrasah memiliki kewenangan untuk
melakukan yang terbaik bagi
madrasahnya, sehingga dituntut untuk
memiliki kemampuan dan kesanggupan
kerja yang tidak selalu menggantungkan
pada atasan. Untuk menjadi mandiri,
Madrasah harus memiliki sumberdaya
yang cukup untuk menjalankan tugasnya.
h. Partisipasi yang tinggi dari warga
madrasah dan masyarakat
Madrasah yang menerapkan MPMBM
memiliki karakteristik bahwa partisipasi
warga madrasah dan masyarakat
merupakan bagian kehidupannya. Hal ini
dilandasi oleh keyakinan bahwa makin
tinggi tingkat partisipasi, makin besar
rasa memiliki; makin besar rasa
memiliki, makin besar pula rasa tanggung
jawab; dan makin besar rasa tanggung
jawab, makin besar pula tingkat
dedikasinya.
i. Madrasah memiliki keterbukaan
(transparansi) manajemen
Keterbukaan/transparansi dalam
pengelolaan madrasah merupakan
karakteristik madrasah yang menerapkan
MPMBM. Keterbukaan/ transparansi ini
ditunjukkan dalam pengambilan
keputusan, perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan, penggunaan uang, dan
sebagainya, yang selalu melibatkan
pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
j. Madrasah memiliki kemauan untuk
berubah (psikologis dan pisik)
Perubahan harus merupakan sesuatu yang
menyenangkan bagi semua warga
madrasah . Sebaliknya, kemapanan
merupakan musuh madrasah. Tentu saja
yang dimaksud perubahan adalah
peningkatan, baik bersifat fisik maupun
psikologis. Artinya, setiap yang
dilakukan perubahan, hasilnya
diharapkan lebih baik dari sebelumnya
(ada peningkatan) terutama mutu peserta
didik.
k. Madrasah melakukan evaluasi dan
perbaikan secara berkelanjutan
Evaluasi belajar secara teratur bukan
hanya ditujukan untuk mengetahui
tingkat daya serap dan kemampuan
peserta didik, tetapi yang terpenting
adalah bagaimana memanfaatkan hasil
evaluasi belajar tersebut untuk
17 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
memperbaiki dan menyempurnakan
proses belajar mengajar di madrasah .
Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi
sangat penting dalam rangka
meningkatkan mutu peserta didik dan
mutu madrasah secara keseluruhan dan
secara terus menerus.
Perbaikan secara terus-menerus harus
merupakan kebiasaan warga madrasah.
Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu,
sistem mutu yang baku sebagai acuan
bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu
yang dimaksud harus mencakup struktur
organisasi, tanggungjawab, prosedur,
proses dan sumberdaya untuk
menerapkan manajemen mutu.
l. Madrasah responsif dan antisipatif
terhadap kebutuhan
Madrasah selalu tanggap/responsif
terhadap berbagai aspirasi yang muncul
bagi peningkatan mutu. Karena itu,
madrasah selalu membaca lingkungan
dan menanggapinya secara cepat dan
tepat. Bahkan, Madrasah tidak hanya
mampu menyesuaikan terhadap
perubahan/tuntutan, akan tetapi juga
mampu mengantisipasi hal-hal yang
mungkin bakal terjadi.
m. Memiliki Komunikasi yang Baik
Madrasah yang efektif umumnya
memiliki komunikasi yang baik, terutama
antar warga madrasah, dan juga
madrasah-masyarakat, sehingga kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh masing-
masing warga madrasah dapat diketahui.
Dengan cara ini, maka keterpaduan
semua kegiatan madrasah dapat
diupayakan untuk mencapai tujuan dan
sasaran madrasah yang telah dipatok.
Selain itu, komunikasi yang baik juga
akan membentuk teamwork yang kuat,
kompak, dan cerdas, sehingga berbagai
kegiatan madrasah dapat dilakukan
secara merata oleh warga madrasah
n. Madrasah memiliki akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung
jawaban yang harus dilakukan madrasah
terhadap keberhasilan program yang telah
dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk
laporan prestasi yang dicapai dan
dilaporkan kepada pemerintah, orangtua
siswa, dan masyarakat. Berdasarkan
laporan hasil program ini, pemerintah
dapat menilai apakah program MPMBM
telah mencapai tujuan yang dikendaki
atau tidak. Jika berhasil, maka
pemerintah perlu memberikan
penghargaan kepada madrasah yang
bersangkutan, sehingga menjadi faktor
pendorong untuk terus meningkatkan
kinerjanya di masa yang akan datang.
Sebaliknya jika program tidak berhasil,
maka pemerintah perlu memberikan
teguran sebagai hukuman atas kinerjanya
yang dianggap tidak memenuhi syarat.
Demikian pula, para orangtua siswa dan
anggota masyarakat dapat memberikan
penilaian apakah program ini dapat
meningkatkan prestasi anak-anaknya
secara individual dan kinerja madrasah
secara keseluruhan. Jika berhasil, maka
orangtua peserta didik perlu memberikan
semangat dan dorongan untuk
peningkatan program yang akan datang.
Jika kurang berhasil, maka orangtua
siswa dan masyarakat berhak meminta
pertanggung jawaban dan penjelasan
madrasah atas kegagalan program
MPMBM yang telah dilakukan.
o. Madrasah memiliki kemampuan menjaga
sustainabilitas
Madrasah yang efektif juga memiliki
kemampuan untuk menjaga kelangsungan
hidupnya (sustainabilitasnya) baik alam
program maupun pendanaannya.
Sustainabilitas program dapat dilihat dari
keberlanjutan program-program yang
telah dirintis sebelumnya dan bahkan
berkembang menjadi program-program
baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Sustainabilitas pendanaan dapat
ditunjukkan oleh kemampuan madrasah
dalam mempertahankan besarnya dana
yang dimiliki dan bahkan makin besar
jumlahnya. madrasah memiliki
kemampuan menggali sumberdana dari
masyarakat, dan tidak sepenuhnya
menggantungkan subsidi dari pemerintah
bagi madrasah-madrasah negeri.
Penutup Dari uraian singkat diatas dapat
disimpulkan bahwa paradigma baru
pengembangan managemen madrasah
adalah suatu proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian dan
pengkontrolan aktivitas pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditentukan sebelumnya.
18 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
Paradigma baru pengembangan
manajemen madrasah yang harus segera
dibenahi adalah masalah manajerialnya.
Sehingga lembaga pendidikan Madrasah
harus mampu memanaj, mengarahkan dan
menuntun anak didik menghadapi
perubahan dan mampu melahirkan
ulama’, pendidik dan orang tua dimasa
yang akan datang.
Madrasah yang efektif pada
umumnya memiliki sejumlah
karakteristik proses sebagai berikut:
Proses belajar mengajar yang
efektivitasnya tinggi, Kepemimpinan
madrasah yang kuat, Lingkungan
madrasah yang aman dan tertib,
Pengelolaan tenaga kependidikan yang
efektif, Madrasah memiliki budaya
mutu, Madrasah Memiliki “Teamwork”
yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis,
Madrasah memiliki kewenangan
(kemandirian), Partisipasi yang tinggi
dari warga madrasah dan masyarakat,
Madrasah memiliki keterbukaan
(transparansi) manajemen, Madrasah
memiliki kemauan untuk berubah
(psikologis dan pisik), Madrasah
melakukan evaluasi dan perbaikan
secara berkelanjutan, Madrasah
responsif dan antisipatif terhadap
kebutuhan, Memiliki Komunikasi yang
Baik, Madrasah memiliki akuntabilitas,
Madrasah memiliki kemampuan
menjaga sustainabilitas.
Apa yang diuriakan tulisan ini,
masih telaah awal dan belum dan belum
merupakan kesimpulan final, karena
diskursus intektual tentang pengembangan
manajemen perlu terus dikembangkan. Hal
ini dalam kerangka ikut aktif dalam
menemukan formulasi paradigma baru
pengembangan manajemen Madrasah
ideal. baik dalam tataran teoi maupun
parktis.
Wallahua’lam Bisshawab.
Daftar Rujukan
A. Admadi dan Y. Setianingsih (ed),
Tronformasi Pendidikan Memasuki
Milenium Ketiga, Yogyakarta: Kanisus,
2000
Abuddin Nata, Metodologi Study Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Ahmad Suyuthi, Manajemen Lembaga
Pendidikan Islam, Jurnal Studi Islam
Akademika Fakultas Agama Islam
Universitas Islam Lamongan, Volume 5,
Nomor 1, Juni 2011
Azyumardi Azra, Surau; Pendidikan Islam
Tradisional dalam Transisi dan
Modernisasi. Ciputat: Logos, 2003.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi
dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru. Ciputat: Logos, 2002.
Bedjo Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja,
Bandung: Sinar Baru, 1989
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1990
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan
dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2007.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia; Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1990.
Imam Suprayogo, Quo Vadis Madrasah
Gagasan, Aksi dan Solusi
Pembangunan Madrasah, Yogyakarta:
Hikayat Publishing, 2007.
Made Pidarta, Manajemen Pendidikan
Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1988.
Made Pidarta , Landasan pendidikan, Stimulus
Ilmu Pendidikan bercorak Indonesia,
Jakarta: Rineka Cipta, 1997
Maman Ukas, Pengantar Ilmu Management,
Bandung: IKIP Bandung, 1997.
M. Manullang, Dasar-Dasar Management,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1997.
Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (ed),
Pendidikan Islam Dalam Peradaban
Industrial, Yogyakarta: Adtya Media,
1997 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,
Jakarta: Erlangga, 2007
Nurcholish Majid, Bilik-bilik Pesantren;
Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:
Paramadina, 1997.
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Bandung:
Jemmars, 1992
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan
Islam, Yogyakarta: Penerbit Graha
Ilmu, 2007.
Tim. MKDK, Ilmu Pendidikan, Surabaya:
IKIP Surabaya, 1992
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, cet. II, 1991
19 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi
tantangan Menuju Civil Society,
Yogyakarta: Biagraf Publishing,
Yogyakarta, 2001
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa
Depan, Yogyakarta: Biagraf Publishing,
2000
20 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
MENUMBUHKAN JIWA KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
Maskun *)
Dosen Fakultas Teknik Universitas Islam Lamongan
Abstrak
Fluktuasi pertumbuhan suatu bangsa tidak terlepas dari meningkatnya jumlah penduduk yang berjiwa
wirausaha. Kurangnya jumlah masyarakat yang memiliki jiwa wirausaha di Indonesia, antara lian disebabkan
oleh kurangnya pengetahuan tentang kewirausahaan, etos kerja yang kurang menghargai kerja keras. Dalam hal
ini, sikap mental yang baik dalam mendukung pembangunan, khususnya pertumbuhan perekonomian, perlu
ditanamkan pada diri individu masing-masing masyarakat khususnya oleh mahasiswa.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa keberhasilan sesorang ditentukan oleh pendidikan formal hanya
sebesar 15% dan selebihnya 85% ditentukan sikap mental atau kepribadian. Saat ini pengangguran tidak hanya
berstatus lulusan SD sampai SMA saja, tetapi banyak juga sarjana. Perusahaan makin selektif menerima
karyawan baru sementara tingkat persaingan semakin tinggi. Tidak ada jaminan seorang sarjana memperoleh
pekerjaan. Sebagai mahasiswa yang ingin membangun jiwa wirausaha, harus mampu belajar merubah sikap
mental yang kurang baik dan perlu dimulai dengan kesadarn dan kemauan untuk mempelajari ilmu
kewirausahaan kemudian menghayati dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kata Kunci : kewirausahaan, mahasiswa, program kewirausahaan.
Latar Belakang
Ada beberapa identifikasi masalah yang
mempengaruhi wacana penumbuhan kreatifitas
pada mahasiswa. Yaitu : a. Terdapat banyak sarjana
pengangguran, b. kurangnya kesadaran mahasiswa
dalam dunia kewirausahaan, c. tidak adanya
sosialisasi kewirausahan terhadap mahasisiwa dan
d) saat ini sangat di perlukan mahasiswa yang
kreatif dan inovatif dalam kewirausahaan. Keempat
faktor ini merupakan permasalahan yang muncul
dan perlu dicarikan solusi dan pemikiran yang
mendalam dari praktisi akademis maupun
pemerintah dalam rangka menumbuhkan
kreativitas mahasiswa dalam meningkatkan jiwa
kewirausahaan pada mahasiswa. Perlu diingat
bahwa wirausaha di Indonesia sangat minim
dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Rumusan permasalahan dari makalah ini
adalah bagaimana menumbuhkan jiwa
kewirausahaan mahasiswa untuk menopang
perekonomian yang akan datang , dan bagaimana
hasil yang nampak setelah di terapkanya jiwa
kewirausahaan dalam diri mahasiswa itu sendiri.
Pengertian Mahasiswa Mahasiswa adalah sebutan bagi orang-orang
yang melanjutkan studinya diperguruan tinggi,
mahasiswa selalu memiliki kedudukan lebih tinggi
dimata masyarakat karena mereka dianggap bahwa
mahasiswa adalah jaminan didunia kerja selepas
dari itu mahasiswa harus belajar dengan baik agar
berhasil didunia kerja. Menurut fakta masih banyak
lulusan mahasiswa yang menjadi pengangguran,
jadi tidak sepenuhnya anggapan dari masyarakat
semua itu benar. Mahasiswa mempunyai peranan
yang amat penting bagi masyarakat selain belajar
mahasiswa merupakan penyalur aspirasi
masyarakat ke dunia kerja. Mahasiswa mempunyai
banyak akses untuk menyalurkan keterampilan
yang di peroleh di bangku perkuliahan untuk
memajukan masyarakat untuk berwirausaha.
Kewirausahaan Wirausaha adalah kemampuan untuk berdiri
sendiri, berdaulat, merdeka lahir batin, sumber
peningkatan kepribadian, suatu proses dimana
orang mengajar peluang, merupakan sifat mental
dan sifat jiwa yang selalu aktif, dituntut untuk
mampu mengelola, menguasai, mengetahui dan
berpengalaman untuk memacu kreatifitas.
Robert Argene (2003: 1) mengartikan wirausaha
sebagai usaha-usaha yang mempunyai keunggulan
tertentu untuk memodifikasi produk lama menjadi
produk baru, dengan menciptakan lapangan
pekerjaan, yang memanfaatkan pemberdayaan
manusia dan kekayaan alam lainnya.
Dapat di simpulkan bahwa pengertian
kewirausahaan/kewiraswastaan adalah semangat,
sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam
menangani usaha atau kegiatan yang mengarah
pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan
cara kerja, teknologi dan produk baru dengan
meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan
pelayanan yang baik atau memperoleh keuntungan
yang lebih besar dengan memanfaatkan sumber
kekayaan yang ada dengan bersumber pada
kekayaan sendiri.
Perlu diingat bahwa kegiatan wirausaha akan
menunjang ekonomi keluarga / pemerintah, baik
industri dan perdagangan. Pertumbuhan industri
yang diikuti kemajuan perdagangan akan
melahirkan kesempatan kerja baru. Lapangan kerja
21 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
baru ini akan menampung tenaga kerja baru, yang
pada hakekatnya mengurangi pengangguran,
mengatasi ketegangan sosial, meningkatkan taraf
hidup masyarakat, memajukan ekonomi bangsa dan
negara, pada akhirnya menentukan pula
keberhasilan pembangunan nasional.
Wirausaha dalam bekerja selalu menekankan
segi kemampuannya untuk berdiri sendiri bukan
berarti dia tidak mau bekerja sama dengan orang
lain, seperti diungkapkan (Soersarsono Wijadi,
1988: 22). Berdiri sendiri dalam arti wirausaha
tidak di artikan sebagai suatu tindakan menutup diri
sendiri atau menyendiri, akan tetapi lebih di
tekankan pada pengertian kepercayaan pada dirinya
sendiri yang memang sangat di perlukan dalam
mengatasi hidup.
Berdasarkan dari pendapat di atas maka dapat di
simpulkan bahwa seorang wira usaha dalam
bekerja selalu menekankan segi kemampuan:
1) Kepercayaan pada diri sendiri.
2) Rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan.
3) Berkemauan keras untuk maju.
4) Berdisiplin dan menghargai waktu.
5) Inovatif.
6) Pengelolaan usaha.
7) Pengambilan resiko yang layak.
Ciri-ciri Wirausaha
Diungkapkan oleh Amin Aziz (1978) dalam
Sugeng Karjito (1995; 29) bahwa wirausaha
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Innovational menemukan dan menerima ide-
ide baru dalam berproduksi.
b. Capital Acumulation (pembinaan modal) yakni
menginginkan pemupukan modal yang di
gunakan untuk proses kelangsungan
selanjutnya.
c. Leadhership (kepemimpinan) yang menunjuk
ciri merancang, melaksanakan an
mengarahkan pada proses tujuan.
d. Risk taking (keinginan mengambil resiko)
dengan mempertimbangkan dan menerima
resiko yang layak.
e. Manajerial (pinata laksanaan) yang baik untuk
di terapkan untuk merencanaka, melaksanakan,
mengevaluasi produksi yang telah di jalankan.
Membangun Jiwa Wirausaha Pada Mahasiswa
Jiwa wirausaha dan pantang menyerah,
memang tidak dimiliki oleh semua orang. Ada
orang-orang yang sejak kecil memiliki jiwa yang
kuat dan pantang menyerah menghadapi
permasalahan yang dihadapinya, tetapi ada pula
orang-orang yang jika tidak disuruh atau
ditunjukkan secara jelas, tidak bisa berbuat apa-apa
alias pasif dalam menghadapi kehidupan. Namun
bukan berarti jiwa itu tidak bisa dibangkitkan.
Menurut teori yang sekarang dianut oleh
banyak pengembang bahwa jiwa kewirausahaan
itu bisa dibangkitkan melalui pembelajaran dan
pelatihan.
Salah satu alternatif untuk membangkitkan
jiwa wirausaha mahasiswa adalah dengan
memberikan pendidikan dan pelatihan tentang
kewirausahaan. Mungkin setiap mahasiswa yang
akan lulus dari perguruan tinggi, perlu dikasih
wawasan dan bekal tentang kewirausahaan.
Pembekalan secara teoritis tentang kewirausahaan
bisa dilakukan secara bersama-sama dalam satu
gedung pertemuan selama beberapa hari, lalu
dilanjutkan dengan survey ke beberapa perusahaan
atau tempat usaha yang mungkin bisa diaplikasikan
oleh para mahasiswa.
Adapun dorongan yang diupayakan untuk
membangun jiwa mahasiswa untuk berwirausaha
dari pemerintah dan perkampusan yaitu peran
corporate social responsibility(CSR) kian nyata.
Tak hanya menjaga citra perusahaan, CSR kini
sudah mulai masuk kampus untuk menumbuhkan
sikap wirausaha di kalangan mahasiswa.
Kewajiban pelayanan sosial berbagai korporasi
masih terlalu jamak disinonimkan sebagai
kewajiban moral bagi lingkungan sosial secara ala
kadarnya.Tak heran bila terkadang CSR masih
belum dilihat sebagai satu hal penting dalam
memberikan manfaat lebih besar CSR sebetulnya
memiliki kekuatan dahsyat daripada sekadar yang
kita bayangkan selama ini. Lebih dari itu, CSR bisa
menjadi sarana sangat efektif dalam membangun
jiwa wirausaha para mahasiswa Executive Director
CSR dari CSR Indonesia, koperasi di dalam negeri
bisa melakukan berbagai langkah dalam
mengarahkan program CSR sebagai instrumen
pendorong lahirnya sikap wirausaha mahasiswa di
berbagai perguruan tinggi. Di antaranya
menjadikan perguruan tinggi sebagai mitra
perusahaan dengan cara membuka dirinya dalam
kegiatan penelitian dan pemagangan yang
dilakukan perguruan tinggi. “Bisa juga
(perusahaan) menyediakan dukungan finansial dan
sumber daya lain untuk mempromosikan CSR dan
menyediakan berbagai jenis dukungan untuk usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan
businessman up. terutama yang berkaitan dengan
bisnis inti perusahaan dengan melibatkan
perguruan tinggi, koperasi sebaiknya mengubah
paradigma bahwa program CSR semata-mata
bertujuan memberikan citra yang baik bagi
perusahaan. Lebih dari itu, dia menilai, CSR bisa
membangun komunitas (community development)
wirausaha. CSR juga bisa digunakan sebagai
investasi komunitas (community investment)
tersebut. “Seperti program pengenalan
kewirausahaan dilingkungan kampus semacam ini,
perusahaan dapat membantu meningkatkan
pemahaman dosen dan mahasiswa, sekaligus
memotivasi mereka menjadi para pelaku usaha
pada masa depan,” katanya. perusahaan selama ini
menempatkan CSR sebagai bagian dari strategi
22 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
“mematuhi” dan “melampaui” atas berbagai
tantangan sosial di lingkungan sekitarnya. Dengan
bersikap mematuhi, perusahaan tersebut berbuat
untuk berbagai perubahan signifikan dalam kinerja
sosial dan lingkungan. “Sedangkan dengan sikap
melampaui, perusahaan akan melakukan perubahan
kinerja sebelum mendapat tekanan dari
masyarakat,” mahasiswa sekarang sudah harus
menanamkan diri kemandirian berupa jiwa
wirausaha. Dengan begitu, diharapkan mahasiswa
siap hidup mandiri selepas meninggalkan bangku
kuliah. “Ubah paradigma dari sekarang dari job
seeker menjadi job creator. Bentuk karakter yang
produktif, jangan konsumtif. Bersiap menghadapi
berbagai kendala yang dapat menghambat
kemajuan usaha kita,” bekal pertama yang harus
dimiliki mahasiswa dalam membentuk jiwa
wirausahanya adalah memiliki keyakinan kuat
dalam menggapai cita-citanva melalui aktivitas
kewirausahaan. para mahasiswa untuk
mengembangkan minat berwirausaha ini sejak di
bangku kuliah “Unpad telah menjaring berbagai
proposal kewirausahaan dari mahasiswa untuk
ditindaklanjuti menjadi sebuah usaha bisnis baru
yang dijalankan mahasiswa dengan bantuan
pembiayaan dari berbagai pihak, seperti pihak
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas
dan pihak perbankan.” Kendati begitu, para dosen
juga berperan penting dalam mendorong jiwa
wirausaha mahasiswa para dosen bisa menyisipkan
dan menggiatkan materi kewirausahaan ini kepada
para mahasiswa melalui materi perkuliahan
Pemerintah berharap, jumlah wirausaha
dalam negeri bisa naik menjadi 2%-3% dari saat ini
0,18% melalui pendidikan kewirausahaan di
berbagai lembaga pendidikan dalam negeri. Tahun
2010 misalnya, ditargetkan 10.000 mahasiswa siap
menjadi wirausaha muda yang mandiri. Depdiknas
melalui Ditjen Dikti memiliki banyak skema dalam
mendorong wirausaha mahasiswa. Skema pertama
adalah pemberian dana bantuan kepada perguruan-
perguruan tinggi sebagai bentuk bantuan
permodalan bagi mahasiswa dalam Program
Mahasiswa Wirausaha (PMWi Dikti). Skema ini
diterapkan melalui perguruan tinggi negeri badan
hukum milik negara 1 BUMN sebesar Rp2 miliar,
Rp l miliar untuk universitas, institut dan sekolah
tinggi negeri non BUMN, Rp500 juta untuk
politeknik negeri, dan Rp l miliar untuk setiap
Koordinator Perguruan Tinggi Swasta. Skema
kedua adalah pendampingan mahasiswa yang
menerima bantuan permodalan. Melalui skema ini
telah melatih 1000 dosen dari 300an perguruan
tinggi dalam Training Trainer Dosen
Kewirausahaan yang bekerja sama dengan
Universitas Ciputra Enter-preneurship Center
(UCECI.) Skema ketiga merealisasikan program
Cooperative Academic Education (COOP
Program). Melalui program ini diikuti memberikan
pengajaran wirausaha bagi mahasiswa S-l yang
telah mencapai semester enam dan diberikan
kesempatan bekerja di industri, perusahaan, dan
usaha kecil dan menengah (UKM selama 3-6
bulan). Skema keempat, membangun jaringan
sinergi business intellectual government (BIG)
antara Depdiknas dan Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (Kadin).
Pemerintah dalam hal ini Dikti melalui
ditjen Simlitabmas senantiasa menganggarkan
anggaran yang begitu besar untuk perguruan tinggi
dalam rangka meningkatkan jiwa kreatifitas
mahasiswa dalam kewirausahaan. Persoalannya
adalah sosialisasi dan pembinaan yang mendalam
kepada para mahasiswa agar tergugah untuk
meningkatkan kemampuan diri untuk ikut dan
berpartisipasi dalam program tersebut.
Peluang Wirausaha Mahasiswa Fakultas Teknik
Sejak pemberlakuan kurikulum muatan lokal di
Fakultas Teknik , program studi memasukkan mata
kuliah kewirausahaan di kurikulum pembelajaran.
Aplikasi dari mata kuliah ini bukan hanya
diimplimentasikan dalam bentuk terori saja,
melainkan harus diwujudkan dalam sosialisasi
pelaksanaan wirausaha itu sendiri sebagai output
dari pembelajaran.
Melihat perkembangan teknologi informasi
dan elektronika di masa sekarang, peluang-peluang
wirausaha sangat terbuka lebar. Ada beberapa
peluang wirausaha yang dapat dikembangkan
diantaranya :
a. Pada sektor jasa, masing-masing program studi
dapat mengaplikasikan keahliannya di bidang
konsultasi jasa konstruksi, jasa konsultasi
teknik informasi dan komputer dan juga
konsultasi di bidang kelistrikan.
b. Pada sektor marketing, masing-masing program
studi dapat bersosi lisasi di bidang wirausaha
penjualan produk aplikasi program software,
produk perencanaan gambar konstruksi dan
perencanaan biaya konstruksi dan bagi prodi
elektro dapat berkreasi dengan inovasi-inovasi
produk elektronika sederhana semisal : power
suply, inverter rakitan, service elektronika dll.
c. Sektor-sektor berbasis masyarakat yang
memiliki kesesuaian dengan program studi atau
umum yang dapat menciptakan lapangan
pekerjaan atau peluang usaha.
Masing-masing pengelolaan produk dan jasa
haruslah dikelola dan dimanage dengan baik dan
terstruktur dengan tahapan-tahapan : sosialisa,
pembinaan dan evaluasi berkesinambungan
sehingga produk dan jasa dapat bersaing di pasar
dan memiliki standarisasi tertentu.
Dikti dalam hal melatih mahasiswa dalam
berwirausaha melaksanakan program PKM
kewirausahaan yang berkelanjutan tiap tahun. Ini
menunjukkan betapa peluang-peluang mahasiswa
dalam mengembangkan ide-ide kewirausahaan
23 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
dalam program PKM semakin terbuka lebar. Hal
ini juga menumbuhkan semangat mereka untuk
berlomba-lomba berkreasi dan melakukan inovasi
peluang usaha yang memungkinkan untuk
dilaksanakan.
PENUTUP Usaha menumbuhkembangkan kewirausahaan di
kalangan mahasiswa ini untuk: (1) meningkatkan
kualitas daya saing alumni dalam pasar kerja; (2)
memfasilitasi mahasiswa dalam hal menemukan
karir di dunia kerja; (3) membangun dan
mengembangkan mahasiswa atau calon alumni
sebelum terjun ke dunia kerj ; (4) memberikan
pengalaman berwirausaha; (5) mengurangi masa
tunggu lulusan; (6) memperpendek masa
penyesuaian saat bekerja; (7) membina calon
”pemimpin” di dunia usaha atau pencipta kerja.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan
beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai
suatu kemampuan kreatif dan inovatif (create
new and different) yang dijadikan kiat, dasar,
sumber daya, proses, dan perjuangan untuk
menciptakan nilai tambah barang dan jasa yang
dilakukan dengan keberanian untuk
menghadapi resiko.
2. Kewirausahaan pada dasarnya adalah semangat,
sikap, perilaku dan kemampuan seseorang
dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang
mengarah pada upaya mencari, menciptakan,
menerapkan cara kerja, teknologi dan produk
baru dengan meningkatkan efisiensi dalam
rangka memberikan pelayanan yang lebih baik
dan atau memperoleh keuntungan yang
maksimal.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan kewirausahaan adalah sebagai beri
kut:
(1) memiliki komitmen yang tinggi dan tekad yang
kuat; (2) berambisi untuk mencaripeluang; (3)
memiliki semangat kerja yang tinggi dan tidak
mudah putus asa; (4) percaya diri yang kuat; (5)
memiliki k reativitas yang tinggi ; (6) memiliki
kemampuan melihat masa depan
denganperencanaan yang tepat; (7) tahan terhadap
resiko dan ketidakpastian; (8) memiliki
kemampuan memimpin orang banyak.
PUSTAKA
Buchari Alma 2006, Kewirausahaan, Alfabeta,
Bandung
Endang Tri W, 2008. Upaya
Menumbuhkembangkan Kewirausahaan di
kalangan Mahasiswa. Jurnal Akmenika UPY.
Vol 2 2008
Mas’ud M, 2005, Kewirausahaan, BPFE,
Yogyakarta.
Panji A dan Djoko S, 2002, Koperasi,
Kewirausahaan, dan Usaha Kecil , Bineka
Cipta, Jakarta.
Rani Kusawara, 2007, Bisnis Sampingan untuk
Mahasiswa , Trans Media Pustaka, Jakarta.
Suryana,2003, Kewirausahaan, Salemba Empat ,
Jakarta
Sutrisno Wibowo, 2007, Makalah CDM-
UMY dan Program Belajar Bekerja Terpadu,
Seminar Pengembangan Diri Mahasiwa,
UMY
24 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
PERTANGGUNG JAWABAN PERUSAHAAN PERS TERKAIT DENGAN
LIPUTAN KRIMINAL (DELIK PERS)
Ayu Dian Ningtias *)
*) Dosen Fakultas Teknik Universitas Islam Lamongan
ABSTRAKSI
Pers sebagai media informasi merupakan pilar ke-empat demokrasi yang berjalan seiring dengan
penegakan hukum untuk terciptanya kesimbangan dalam suatau negara. Berbicara mengenai pers
maka tidak akan lepas berbicara mengenai kebebasan pers, karena kebebasan pers merupakan
bagian penting atau ruh hidup matinya pers. Kebebasan pers yang bertanggung jawab merupakan
prasyarat utama bagi sebuah negara dalam memperjuangkan kemajuan bangsa dan rakyatnya. Ini
menjadi keniscayaan dalam masyarakat yang demokratis. Kebebasan pers seperti ini sangat perlu
dan penting, bukan hanya bagi para pekerja pers, tetapi juga bagi seluruh rakyat dan bangsa. Tanpa
kebebasan pers, mustahil jurnalis atau pers akan mampu menjalankan tugas/peran sosialnya dengan
baik dan optimal.
Kata kunci : pertanggungawaban perusahaan pers, liputan kriminal, delik pers
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pers merupakan institusi yang memiliki
pengaruh yang kuat dalam pembentukan opini
publik dan efektif penyebarluasan informasi.4
Dibanding mekanisme penyebaran informasi
lainnya, seperi seminar, lokakarya, penataran,
rapat umum dan sebagainya. Pers memiliki
potensi menjangkau audien jauh lebih banyak
dan menyebarkan informasi ke lingkungan yang
lebih jauh, lebih luas dalam waktu relatif yang
singkat. Sejak awal perkembangannya, surat
kabar sebagai media massa tertua sudah
menjadi lawan nyata ketidak terbukaan
informasi. Surat kabar dan media massa
seringkali berada pada posisi lemah dan amat
mudah ditundukkan oleh kekuasaan.5
Selama 60 tahun merdeka, Indonesia
pernah mengalami beberapa kali kebebasan
pers, yaitu pada awal kemerdekaan, selama
Republik lndonesia menerapkan sistem
pemerintahan Kabinet Parlementer, pada awal
Pemerintahan Orde Baru dan para era
Reformasi saat ini. Pada waktu-waktu lainnya,
kebebasan pers di Indonesia mengalami
berbagai tekanan. Setidak-tidaknya ada enam
4 Oemar Seno Adji, Mass Media Hukum,
Erlangga, Jakarta, 1997,hal. 13. 5 MacQuail, Denis, Teori Komunikasi
Massa, suatu Pengantar (Terjemahan), Airlangga,
Jakarta, 1989: hal10.
ketentuan hukum yang dapat dicatat yang
membatasi kebebasan pers di Indonesia, yaitu:
(1) Peperti Nomor 10 tahun 1960 tentang Surat
Izin Terbit; (2) Peperti Nomor 2 Tahun 1961
tentang Pengawasan Dan Promosi Perusahaan
Cetak Swasta; (3) Kepres Nomor307 tahun
1962 tentang Pendirian LKBN Antara; (4)
Dekrit Presiden Nomor 6 Tahun 1963 tentang
Pengaturan Memajukan Pers; (6) Peraturan
Menpen Tahun 1970 tentang Surat Izin Terbit,
dan (6) Peraturan MenpenNomor 1 Tahun 1984
tentang SIUPP6. Dari berbagai peraturan
perundangan tersebut, salah satu diantaranya
yang mendapat sorotan selama pemerintahan
Orde Baru adalah Peraturan Menpen Nomor 1
Tahun 1984 tentang SIUPP, karena ketentuan
hukum ini memberikan kekuasaan yang amat
luas kepada pemerintah dalam membatasi
kebebasan pers melalui pembekuan perusahaan
penerbitan pers sewaktu-waktu, yang sangat
bertentangan dengan UUD 1945, khususnya
pasal 28.
Sekarang ini keberadaan jurnalisme
warga seperti tidak terbatas dan terkontrol.
Bermunculannya saluran media baru sejenis
facebook, twitter, blog, atau youtube memberi
tantangan baru bagi masyarakat dalam
pengembangan informasi di luar media pers.
6 Anwar, Rosihan dalam Jurnal Pers
Indonesia, Nomor 5 Tahun XIX, Maret 1999
25 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
Melalui saluran media baru tersebut diharapkan
informasi yang berkembang di masyarakat tidak
berdampak negatif bagi masyarakat itu sendiri
Berbeda dengan perusahaan pers. Perusahaan
pers, menurut UU No.40/1999 tentang Pers,
harus berbadan hukum sehingga dapat diketahui
keberadaan dan penanggungjawabnya. Untuk
membangun jurnalisme warga yang baik, Kode
Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers
diharapkan dapat dijadikan panduan.
Perusahaan pers menurut pasal 1 angka 2 UU
Pers adalah :
“Perusahaan pers adalah badan hukum
Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers
meliputi perusahaan media cetak, media
elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan
media lainnya yang secara khusus
menyelenggarakan, menyiarkan, atau
menyalurkan informasi”.
Perusahaan pers sebagai penyelenggara
penerbitan dan sebagai penanggung jawab
dalam hal penerbitan yang harus dilakukan
secara preventif, edukasi dan represif. Preventif
dalam hal ini penerbit (perusahaan pers) harus
bertanggung jawab memberikan edukasi
terhadap SDM (sumber daya manusia) /
wartawan / redaktur tentang persaingan
penerbitan pers saat ini. Dan juga melihat asset-
aset perusahaan bila terjadi delik pers harus
banyak memberikan kode etik- kode etik
tentang pers / jurnalistik . Represif dalam hal ini
adalah perusahaan pers meminta pihak yang
merasa dirugikan oleh pemberitaan sesasional /
delik pers/ untuk menggunakan hak jawab
terlebih dahulu jika dirasa tidak bisa maka baru
melakukan mediasi dengan dewan pers. Dan
apabila belum mendapatkan kesepakatan maka
dapat melakukan gugatan.
Pers yang meliputi media cetak dan
media elektronik dan media lainnya, merupakan
salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran
dengan lisan atau tulisan tersebut. Kebebasan
pers kadang kebablasan karena berita atau
tayangan yang diekspose mediacetak/elektronik
telah menyimpang dari koridor hukum,budaya
dan agama. Dimana jika pemberitaan pers
digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau
menghina seseorang atau institusi dan tidak
mempunyai nilai berita (news), dan di dalam
pemberitaan tersebut terdapat unsur
kesengajaan sebagai unsur kesalahan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
Delik pers disebut juga sebagai tindak
pidana pers , yaitu suatu tindak pidana yang
berkaitan dengan fungsi pers. 7 subyek hukum
pers antara lain ; pers , perusahan pers dan
organisasi pers. 8 sebagai subyek hukum pers
perusahaan pers sebagai koorporasi dapat
dikenakan pertanggung jawaban pidana.
Adanya subyek hukum korporasi ini telah
memerluas asas pertanggungjawaban dalam
hukum pidana. Pada mulanya hanya dikenal
asas “ Siapa yang berbuat, maka ia yang
bertanggungjawab” untuk subyek hukum orang,
kemudian diperluas menjadi asas “Siapa yang
bertanggungjawab, maka ia yang berbuat”.
Dalam menetapkan siapa yang bertanggung
jawab terhadap isi berita yang dimuat di media
yang melanggar hukum adalah redaksi, karena
redaksilah yang menurut organisasi pers
sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap
isi berita yang dimuat dalam media yang
dipimpinnya.9 Hal ini terlihat pada Pasal 2 UU
Nomor 40 Tahun 1999:
“Perusahaan pers wajib mengumumkan nama,
alamat, dan penanggung jawab secara terbuka
melalui media yang bersangkutan, khususnya
untuk penerbitan pers ditambah nama dan
alamat percetakan.”
Atas dasar ketentuan tersebut,
merupakan kewajiban hukum bagi media cetak
memuat kolom nama, alamat dan penanggung
jawab penerbitan serta nama dan alamat
percetakan. Atas dasar ketentuan tersebut dan
sesuai dengan kebiasaan dalam menjalankan
profesi di bidang pers (masyarakat pers) bahwa
yang bertanggung jawab adalah redaksi.
Perusahaan pers dituntut untuk memfasilitasi
kebebasan pers, yang sangat rentan dengan
pelanggaran pidana pers, disisi lain perusahaan
pers harus tetap menjalankan fungsinya sebagai
badan hukum berkepentingan komersial. Dan
sebagai perusahaan perusahaan pers terus
bersaing dengan perusaahaan lain tentang
bagaimana eksistensi perusahaan pers dalam
terus bersaing dengan memperhatikan kaidah-
kaidah jurnalistik dan delik pers dalam
persaingan usaha antar perusahaan pers.
Apabila perusahaan pers terjerat delik
pers dan kemudian dihukum maka perusahaan
tersebut bisa bangkrut atau gulung tikar atau
tidak terbit lagi akibat persaingan tidak sehat,
7 Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Seminar
Nasional“Mengurai Delik Pers dalam RUU KUHP” Hotel Sofyan Betawi,Kamis, 24 Agustus 2006. hal. 23.
8 Kejahatan Pers Dalam Perspektif Hukum dalam
http://angga.org. diakses pada tanggal 12 januari 2012. 9 Rifqi Sjarief Assegaf , Pers Diadili, Jurnal Kajian
Putusan Pengadilan, Edisi 3, 2004, hal. 35.
26 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
melainkan karena kewajiban membayar
tuntutan ganti rugi. Demikian juga kalau
pimpinan perusahaan terlalu sering dijatuhi
hukuman karena delik pers oleh majelis hakim,
akan mengancam eksistensi media
bersangkutan akibat citranya di mata publik
sudah hancur yang akan mempengaruhi
kelangsungan perusahaan pers tersebut .
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas
timbul permasalahan hukum sebagai berikut ;
Bagaimana pertanggung jawaban perusahaan
pers terkait delik pers ?
KAJIAN PUSTAKA
Pers adalah salah satu media
komunikasi massa yang bersifat umum dan
terbitsecara teratur berupa buku-buku, majalah-
majalah, surat kabar dan barang-barangcetakan
yang lain bersifat sebagai sarana
penyebarluasan informasi. Berkaitan
dengan pengertian tersebut, maka yang
dimaksud dengan pengertian delik
atau pertanggungjawaban pidana pers dalam
skripsi ini adalah semua kejahatan
yangdilakukan melalui sarana pers.Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak
didapatkan suatu rumusan yang pasti tentang
pers. Dengan demikian untuk mengetahui
kriteria yangharus dipenuhi oleh suatu
kejahatan melalui pers dapat dikatakan sebagai
delik pers.Oemar Seno Adji dengan
berpedoman kepada pendapat dari W.F.C.
VanHattun memberikan tiga kriteria yang harus
dipenuhi dalam suatu delik persantara lain :10
1 . Harus d i lakukan dengan barang
cetakan
2. Perbutan yang dipidana harus
terdiri atas pernyataan pikiran dan
perasaan.
3. Perumusan delik harus ternyata
bahwa publikasi merupakan suatu
syarat untuk menumbuhkan suatu
kejahatan, apabila kenyataan tersebut
dilakukand engan tulisan-tulisan.
Kriteria ketiga itulah yang khusus dapat
mengangkat suatu delik menjadi delik pers.
Tanpa dipenuhinya kriteria tersebut, suatu delik
tidak akan memperoleh sebutandelik pers dalam
arti yuridis.Pendapat lain soal delik pers
10 Dewan Pers, 2003, Delik Pers Dalam Hukum Pidana,
Dewan Pers dan Lembaga Informasi Nasional, Jakarta.
Hal 66.
disampaikan R.Moegono. Menurutnya, delik
persharus memenuhi beberapa syarat antara lain
:11
1. Perbuatan yang diancam hukuman
harus terdiri dari pernyataan
pikiran dan perasaan orang.
2. Harus dilakukan dengan barang
cetakan .
3. Harus ada publikasi
Unsur ketiga inilah yang paling
menentukan, karena tanpa publikasi tak
akan mungkin ada delik pers. Dari kedua
pendapat di atas, jelas bahwa suatu delik baru
dikatakan memenuhi syarat sebagai delik pers,
jika perbuatan kejahatan itu mengandung
pernyataan pikiran atau perasaan seseorang
yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
barang cetakan dan disebarluaskan kepada
khalayak ramai atau dipublikasikan. Delik
pers dalam KUHP bukanlah suatu delik
yang diatur suatu bab tertentu,melainkan
delik-delik yang tersebar dalam beberapa pasal
dalam KUHP.
Pertanggungjawaban penerbit diatur dalam
pasal 61 KUHP sebagai berikut:
a. Jika kejahatan dilakukan dengan
memprgunakan percetakan, maka
penerbit(uitgever) sebagai demikian tidak
dituntut jika pada barang cetakan itu
disebutkan nama dan tempat tinggalnya dan
sipembuat itu sudah diketahui, atau pada
waktu diberi peringatan yang pertama kali
sesudah penuntutan muali
berjalandiberitahukan oleh penerbit.
b. Peraturan ini tidak berlaku, jika
sipembuat kejahatan pada waktu barang
cetakanitu diterbitkan tak dapat dituntut
atau berdiam di luar negeri.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat kita
lihat bahwa seorang penerbit tiidak akandapat
dituntut apabila;
1. Pada barang cetakan telah dimuat nama
dan tempat tinggal penerbit;
2. Penulis, penggambar atau pembuat
berita tersebut sudah diketahui atau
sesudah penuntutan sudah berjalan pada
waktu itu diberi peringatan pertama kepada
penerbit.
Pembuat termasuk pemotret, pelukis
atau penggambar.P embuatnya dapat dituntut
11 R.Moegono, Kumpulan Kuliah Delik Pers, Tindaka
Pidana Korupsi, Tindak Pidana Ekonomo
PadaPusdiklat Kejaksaan Agung RI (Jakarta, 1975) hal. 14.
27 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
pada waktu diterbitkan tulisan, gambar atau
potretoleh penerbit. Artinya sipenulis atau
penggambar dari pemberitaan tersebut
tidak dalam sakit ingatan atau tidak meninggal
dunia pada waktu pemberitaan itu diterbitkan.
Disamping itu perlu diingat bahwa dalam
perusahaan penerbitan pers seperti
dimaksudkan oleh pasal 14 Undang-undang
Nomor 11 Tahun1966 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun
1967 danUndang-undang Perubahan kedua
Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pers, (UU NO. 21/ 1982) ditetapkan
bahwa "Pimpinan suatu penerbit persterdiri atas
Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi dan
Pimpinan Perusahaan". Denganadanya
ketentuan tersebut timbul permasalahan di
tangan siapakah letak tanggung jawab jika
terjadi suatu tindk pidana pers. Dalam hal ini
kita harusmenghubungkannya dengan ketentua
pasal 15 dari Undang-undang Nomor 11
Tahun1966 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967
danUndang-undang Perubahan Kedua Undang-
undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pers sebagai berikut Pokok Pers, (UU NO. 21/
1982) ditetapkan bahwa "Pimpinan suatu
penerbit pers terdiri atas Pimpinan Umum,
Pimpinan Redaksi dan Pimpinan Perusahaan".
Dalam ketentuan pasal 15 dari Undang-
undang Nomor 11 Tahun1966 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1967 danUndang-undang Perubahan
Kedua Undang-undang Tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pers sebagai berikut :
(1) Pimpinan Umum bertanggungjawab
atas keseluruhan penerbitan baik
kedalam maupun keluar.
(2) Per tanggungan jawab P impinan
Umum terhadap hukum
dapatdipindahkan kepada Pimpinan
Redaksi mengenai isi
penerbitan(redaksional) dan kepada
Pimpinan Perusahaan mengenai soal-
soal perusahaan.
(3) Pimpinan Redaksi bertanggungjawab
atas pelaksanaan redaksional danwajib
melayani hak jawab dan koreksi.
(4) Pimpinan Redaksi dapat memindahkan
pertanggungjawabannya
terhadaphukum mengenai sebuah tulisan
kepada anggota redaksi yang lain
ataukepada penulisnya yang bersangkutan.
Melihat ketentuan Pasal 15 Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1966 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomot 4
Tahun 1967 dan Undang undang Perubahan
Kedua tentang ketentuan-ketentuan pokok pers,
terutama dalam ayat (4) bahwa pertanggun
jawaban pidana terhadap deli pers terletak pada
pihak siapa pertanggung jawaban hukum
dilimpahkan ketika berita itu diterbitkan. Bisa
pada Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi,
anggota redaksi atau bahkan pada
penulisnya,tergantung pada ada atau tidaknya
pemindahan pertanggung jawaban.
Untuk memudahkan ada atau tidaknya
pemindahan pertanggung jawaban hukum
dalam penerbitan pers, di dalam undang-undang
seharusnya sudah ditentukan
bahwa pemindahan pertanggung jawaban
hukum tersebut hanya bisa dilakukan secara
tertulis. Karena disamping memudahkan dalam
pembuktian, juga akan menjamin adanya
kepastian hukum dalam pertanggungjawaban
penerbitan pers.
Seperti dalam kasus Bambang
Harymurti sebagai pemimpin Redaksi Majalah
Tempo dijatuhi vonis 1 tahun penjara.
Kemudian pada tingkat banding, Pengadilan
Tinggi Jakarta Pusat menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pada
tingakt kasasi, MA menyatakan bahwa
Bambang Harymurti tidak terbukti secara sah
atas dakwaan primair, Pasal 311 ayat (1) KUHP
Jo Pasal 55 ayat(1) KUHP dan Susidair, Pasal
310 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP,
dan membebaskan Bambang Harymurti dari
segala dakwaan.12
Berdasarkan putusan di atas, yang
menjadi alasan pemimpin redaksi sebagai
penanggung jawab terhadap berita yang dimuat
didalam media adalah karena pemimpin redaksi
adalah orang yang bertanggung jawab diseluruh
bidang keredaksian dan mempunyai hak untuk
menentukan diturunkan atau tidaknya suatu
berita. Pemimpin redaksi sebagai orang yang
bertanggung jawab dalam hal pemberitaan yang
merugikan kehormatan dan nama baik orang
lain, sesuai dengan sistem pertanggungjawaban
pidana dianut uu pers yaitu
pertanggungjawaban dengan sistem bertangga
(Stair System) yang menyatakan bahwa
pemimpin redaksi harus bertanggung jawab
terhadap sajian didalam pers. Stair system biasa
pula disebut fiktif pertanggung jawaban karena
yang melakukan perbuatan (delik pers) bukan
12 http://majalah.tempointeraktif.com/ diakses pada
tanggal 12 januari 2012
28 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
dia melainkan orang lain, tetapi dia harus
bertanggung jawab.
Sebelum adanya UU No. 40 Tahun
1999 tentang Pers, sistem pertanggung jawaban
pidana atas sajian pers diatur dalam pasal 15
ayat (4) UU No.21 Tahun 1982 tentang
Ketentuan ketentuan Pokok Pers yang bunyinya
sebagai berikut : Pemimpin umum bertanggung
jawab atas keseluruhan penerbitan baik ke
dalam maupun keluar; Pertanggungjawaban
pemimpin umum terhadap hukum dapat
dipindahkan kepada pemimpin redaksi
mengenai isi penerbitan dan kepada pemimpin
perusahaan mengenai soal-soal perusahaan;
Pemimpin redaksi bertanggungjawab atas
pelaksanaan redaksionil dan wajib melayani
hak jawab dan koreksi. Pemimpin redaksi
dapat memindahkan pertanggungjawabannya
terhadap hukum, mengenai suatu tulisan kepada
anggota redaksi atau kepada penulisnya yang
bersangkutan.
Dalam mempertanggungjawabkan
terhadap hukum, pemimpin umum, pemimpin
redaksi, anggota redaksi atau penulisnya
mempunyai hak tolak. Wartawan yang karena
pekerjaanya mempunyai kewajiban menyimpan
rahasia, dalam hal ini nama, jabatan, alamat,
atau identitas lainnya dari orang yang menjadi
sumber informasi, mempunyai hak tolak.
Ketentuan-ketentuan hak tolak akan diatur oleh
pemerintah, setelah mendengar pertimbangan-
pertimbangan dari dewan pers. Ketentuan ini
memperlihatkan suatu bentuk
pertanggungjawaban yang bisa dialihkan
kepada anggota redaksi yang lain. Dimana
pemimpin redaksi dapat mengalihkan tanggung
jawab hukum kepada anggota redaksi yang lain
atau kepada penulisnya yang memang mungkin
pelaku delik pers. Sistem pertanggungjawaban
pidana ini disebut pertanggung jawaban pidana
dengan sistem air terjun (Waterfall System).
Berbeda dengan pertanggungjawaban
pidana sistem air terjun (Waterfall System),
pertanggungjawaban pidana sistem bertangga
(Stair System) pemimpin redaksi harus
bertanggungjawab terhadap tulisan (gambar)
yang menyerang kehormatan dan nama baik
orang lain.meskipun pemimpin redaksi tidak
memenuhi 2(dua) hal pokok dalam penetapan
ada atau tidaknya pertanggung jawaban pidana
dari pemimpin redaksi.
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam ketentuan pasal 15 dari Undang-
undang Nomor 11 Tahun1966 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1967 dan Undang-undang Perubahan
Kedua Undang-undang Tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pers sebagai berikut :
1. Pimpinan Umum bertanggungjawab
atas keseluruhan penerbitan baik
kedalam maupun keluar.
2. Per tanggungan jawab P impinan
Umum terhadap hukum
dapatdipindahkan kepada Pimpinan
Redaksi mengenai isi
penerbitan(redaksional) dan kepada
Pimpinan Perusahaan mengenai soal-
soal perusahaan.
3. Pimpinan Redaksi bertanggungjawab
atas pelaksanaan redaksional danwajib
melayani hak jawab dan koreksi.
4. Pimpinan Redaksi dapat memindahkan
pertanggungjawabannya
terhadaphukum mengenai sebuah tulisan
kepada anggota redaksi yang lain
ataukepada penulisnya yang bersangkutan.
DAFTAR BACAAN
Buku Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Hukum
Pidana , Badan Universitas Diponegoro,
2007,Semarang.
Artadi, Ibnu, Hukum Pidana dan Dinamika
Kriminalitas , Syariah Fakultas Hukum
Unswagati 2006, Cirebon.
Borjesson, Kristina, Mesin Penindas Pers , Terj.
Yanto Musthofa, Q-Press, 2006,Bandung.
Dewan Pers, Delik Pers Dalam Hukum Pidana,
Dewan Pers dan Lembaga Informasi
Nasional, 2003, Jakarta.
_ _ _ _ _ _ _ _. Data Penerbitan Pers Indonesia.
2006, Dewan Pers Jakarta.
Girsang, Juniver, Penyelesaian Sengketa Pers ,
Gramedia Pustaka Utama, 2007,Jakarta.
Oemar Seno Adji, Mass Media Hukum, Erlangga,
1997,Jakarta.
MacQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, suatu
Pengantar (Terjemahan), Airlangga, Jakarta,
1989 Panjaitan, Hinca IP dan Siregar, Amir Effendi, 1001
Alasan UU Pers Lex Spesialis, Serikat
Penerbit Surat kabar, 2004,Jakarta
29 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
USING REALIA TO IMPROVE VOCABULARY MASTERY
RIRYN FATMAWATY1)
1)Email : [email protected]
ABSTRACT Language is a system of arbitrary conventionalized vocal, written or gestural symbols that
enable members of a given community to communicate intelligibly with one another (Douglas
Brown: 2000). There are many kinds of language in the world. One of them is English. As we know,
English is the international language that is important to be mastered, especially to face the
globalization era. In education, realia include objects used by educators to improve students’
understanding of other cultures and real life situations. A teacher of foreign language often employs
realia to strengthen students’ associations between words for everyday objects and the objects
themselves. Realia consists of actual objects or items or facsimiles there of, which are used in the
classroom to illustrate and teach vocabulary or to serve as an aid to facilitate language acquisition and
production. It allows language learners to see, hear and in some cases touch the objects.
The results of this study show that the teaching and learning process of vocabulary (concrete
noun) by using realia have been implemented maximally. All of the teaching learning processes are
conducted based on the planning that have been planned. It can be seen from the result of observation
during the process of it. Then about the students’ responses toward the implementation of realia in
vocabulary (concrete noun) teaching and learning process can be seen from the result of
questionnaire. It shows that the realia technique are accept well by the students. They participate
actively during the teaching learning process.
For about the students’ improvement in mastery vocabulary (concrete noun), the results of this
study show that realia can improve the students vocabulary mastery (concrete noun). It can be seen
from the results of students’ assessment, the scores always improve in every meeting.
Keywords : Realia, Improve, Vocabulary, Mastery
INTRODUCTION
Language is a system of arbitrary
conventionalized vocal, written or gestural
symbols that enable members of a given
community to communicate intelligibly with
one another (Douglas Brown: 2000). There are
many kinds of language in the world. One of
them is English. As we know, English is the
international language that is important to be
mastered, especially to face the globalization
era.
One of English’s component is
vocabulary. Vocabulary is a core component
of language proficiency and provides much of
the basis for how well learners speak, listen,
read and write. Without an extensive
vocabulary and strategies for acquiring new
vocabulary, learners often achieve less than
their potential and may be discouraged from
making use of language learning opportunities
around them such as listening to the radio,
listening to native speaker, using the language
in different contexts, reading or watching
television (Jack and Willy: 2002). The
statements above show how important
vocabulary in learning English is.
Teaching English vocabulary is not as
easy as we think. The teacher often find the
problems during the process of it. The
common problems found are about the lack of
students’ vocabulary and students’ boredom.
Both of those problem make the students are
unmotivated well during the process of
teaching learning. To overcome those
problems, the teacher must think more about
how to create the students motivation, in order
to make them are not bore and participate
actively during the learning teaching process.
In education, realia include objects used
by educators to improve students’
understanding of other cultures and real life
situations. A teacher of foreign language often
employs realia to strengthen students’
associations between words for everyday
objects and the objects themselves. Realia
consists of actual objects or items or facsimiles
thereof, which are used in the classroom to
illustrate and teach vocabulary or to serve as
30 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
an aid to facilitate language acquisition and
production. It allows language learners to see,
hear and in some cases touch the objects.
The using of realia can attrack the
students interest in learning English
vocabulary. When the students are interested
in learning process, they will be motivated to
participate actively in the class. It is because,
students feel the learning teaching process are
interesting, fun and not bore. Moreover, realia
will make the students are easier to memorize
words, because they directly see the real
objects and have correct concept in their minds
about that words.
Not all of vocabulary can be introduced
by realia. In this study is specified on concrete
noun. Marcella Frank (1972) said, a concrete
noun is a word for a physical object that can
be perceived by the senses, we can see, touch,
smell the object (flower, girl). The kinds of
concrete noun that are introduced by realia in
this study, based on the English materials of
the students.
METHOD
The design of this study is Collaborative
Classroom Action Research (CCAR). Iskandar
(2009) defined Classroom action research is an
action done by the teacher or collaborates with
another people that has purpose to improve the
quality of learning process in the classroom.
Collaborative action research processes
strengthen the opportunities for the results of
research on practice to be fed back into
educational system in a more substantial and
critical way. Anne Burns (2003) said, They
have the advantage of encouraging teachers to
share common problems and to work
cooperatively as a research community. In this
case, the researcher collaborated with the
English teacher of MTs. Sunan Drajat Sugio
lamongaan at seventh class.
Suharsimi Arikunto (2008) classified,
there are some experts suggesting the different
model of action research, but generally, there
are four steps that common to be passed, they
are:
1. Planning
2. Implementing
3. Observing
4. Reflecting
The first step of this study was begun
with preliminary study to identify the students
of MTs. Sunan Drajat lamongan at seventh
class as the object in this study and to get more
information about students’ problem in
mastering vocabulary. It was conduct on
December 1, 2009.
In the first preliminary study, the
researcher met the headmaster of MTs. Su to
discuss about the plan to do research in that
school. Next, the second preliminary study, the
researcher met the English teacher at seventh
class for an informal interview and direct
observation in the teaching learning process.
After doing them, the analysis was found and
the data from preliminary study was used to
set up the next action.
The subject of this study was the students at
the seventh class. The researcher choosed the
seventh class based on the assumption that
vocabulary mastery of the students in this level
are still low and lack. Considering, the
students of junior high school especially
seventh class, they just graduated from
elementary school and some characteristics of
children were still they have. Based on this
case, the students needed an interesting
technique to motivate them in the learning
process. Therefore, it is suitable to use a
technique that was called as realia to help
them learning vocabulary.
There are five classes at the seventh
class, they are from 7-A until 7-E and each
class is consist of 35 students. From 7-A until
7-E, the researcher chooses 7-B because this
class is easier to control than the other class,
according to the information of English
teacher in that school.
The data of this study was taken from
the seventh class students at MTs. Sunan
Drajat Sugio Lamongan that is located on Jl.
Raya No. 397 Sugio Lamongan.
The researcher choosed this school as
the setting of this study for some reasons.
First, the English ability of the students were
still low, especially their vocabulary mastery.
Second, the technique of realia never had been
implemented before. Finally, the location of
this school was easy to be reached because it
was on the edge of highway.
The study was conducted under the
following steps: planning, implementing,
observing and reflecting. The model of action
research can be illustrated as the following
picture:13
13 Ibid
31 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
Picture 3.1 (The illustration model of action
research by Suharsimi Arikunto)
1. Planning
In this step, the researcher and her
collaborative teacher made a preparation based
on the problem that had been identified in the
preliminary study. Both of them, prepare a
suitable model of lesson plan, instructional
material, media and instrument.
a. Lesson Plan
In conducting the study, the lesson plan
of realia technique in teaching vocabulary
(concrete noun) was made by the researcher
and collaborative teacher. It described the
activities of teacher and students during the
teaching learning process.
b. Instructional Material
In this study, both the researcher and
collaborative teacher prepared the instructional
material that would be taught to the students.
c. Media
The media used in this study were real
objects. The researcher and collaborative
teacher prepared kinds of realia (real things)
based on the material of students. All of those
realia were brought into the class to be
introduced one by one to the students.
d. Instrument
In order to make easier the process of
data collection, some instruments were
needed. The instruments used by the
researcher in this study were:
1. Observation Checklist
The observation checklist was used to observe
the activities of the teacher and students during
the teaching learning process in the classroom.
2. Field Note
The field note was used to make a note of
problem or weakness appeared during the
teaching learning process in the class.
3. Assessment
The assessment was used to know how far the
students master of the material that had been
taught.
4. Questionnaire
The questionnaire was used to know students’
opinion about realia technique in teaching
vocabulary. It was also used to know whether
the technique was helpful to solve their
problem in learning vocabulary.
2. Implementing The next step was implementing.
What the researcher and collaborative teacher
had planned in the planning step was
implemented in this step.
3. Observing
The observing step was done while the
implementing step was being done. The
observer observed the class during teaching
learning process. The component that was
observed based on the observation checklist
and made field note toward the weaknesses
appeared during teaching learning process.
4. Reflecting
In the reflecting step, the researcher
and collaborative teacher evaluated the results
during teaching learning process. The
weaknesses were identified to be looked for
the solution, so it would be better in the next
cycle.
The data of this study was collected
through assessment, observation and
questionnaire:
1. Assessment
Assessment is the series of questions or
exercise and the other tool that are used to
measure the skill, knowledge, intelligence,
ability or talent that is had by individual or
group (Suharsimi Arikunto: 2002). In this
study, the assessment was done in the last
section of each meeting, to measure how far
the students master of vocabulary given.
2. Observation
According to Burhan Nurgiyantoro
(2001) observation is an evaluation by
observing to the object directly, accurately and
systematically. This observation was about the
situation of teaching learning process when the
teacher implemented realia technique in
teaching vocabulary (concrete noun). The
components that observed were about how
was the material given to the students by using
realia, how did the teacher implement realia to
introduce vocabulary (concrete noun) and how
were the student’s activities in the class when
realia was implemented.
Reflecting
Planning
Cycle I
Observing
Planning
Cycle II
Observing
Reflecting
Implementing
Implementing
?
32 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
In this observation, the researcher
made form of observation checklist. The
observer gave thick sign (√) to the every
component in the observation checklist and
field note toward the weaknesses appeared
during teaching learning process.
3. Questionnaire
Based on Sanapiah Faisal (1989),
questionnaire is a tool of data collection that
consist of question list in writing that is
pointed to the subject or respondent of study.
The questionnaire was used to know students’
opinion about realia technique in teaching
vocabulary. It was also used to know whether
the technique was helpful to solve their
problem in learning vocabulary. There were
some questions in the questionnaire made to
find out about what were the students’
responses toward the material given by using
realia, what were the students’ responses
toward the implementation of realia in
teaching learning process and what were the
problems that might arise during the
implementation of realia in teaching learning
process.
The questionnaire was done in last
section of the last meeting. Before the students
answer the questionnaire, the researcher would
explain each question in the questionnaire.
After all the data had been collected,
then they were analyzed. First, the data was
obtained from assessment. The analysis was
done from the result of test. The score was
summed up to find the average score. The
data was contain of how far the students
master of vocabulary given in each meeting.
Second, the data was obtained from
observation, the analysis was done by
describing the process of teaching learning
vocabulary by realia in the class. The data that
was contain of how was the material given to
the students by using realia, how did the
teacher implements realia to introduce
vocabulary (concrete noun) and how were the
students activities in the class when realia was
implemented.
Third, the data was obtained from
questionnaire, the analysis was done from
result of students’ answer toward the questions
in questionnaire. The data was contain of what
were the students responses toward the
material given by using realia, what were the
students’ responses toward the implementation
of realia in teaching learning process and what
was the problem that might arise during the
implementation of realia in teaching learning
process.
The researcher will describe all results
of the study based on the explanations above.
And to make them clear, the researcher
describes all of them one by one in these
following sections.
A. Result of the Study
1. Result of the Learning and Teaching
Process
a. First Meeting
1. Planning
It was held on May 8, 2013. The time
used was 2 x 40 minutes. The teacher was the
researcher. The researcher used realia in
teaching learning process. The material was
about “Things Around Us 1” and the topic was
about “Classroom Equipments”. The
researcher took material from text book.
2. Implementing
Before the teaching learning process was
started by the researcher, the collaborative
teacher (English teacher of that school)
introduced the researcher to the students. After
that, the teacher let researcher to start the
lesson. The researcher said greeting to the
students then checked the students’ attendance
and gave motivation to the students.
a. Pre-Realia Activity
In the pre-realia activity, the researcher
wrote topic on the whiteboard and asked
students some questions related to the topic.
Then, the researcher gave statements related
the topic to stimulate students background
knowledge.
b. While-Realia Activity
In this activity, the researcher
showed realia (real things) in front
of the class, then introduced the name of
realia, wrote it on whiteboard and pronounce it
loudly. Next, the researcher asked students to
pronounce it together, after that asked some of
the students to pronounce it alone. The
researcher asked the students to write the name
and meaning of realia in the book. The
researcher repeated these activities until all of
the vocabulary were introduced.
To refresh the students’ mind and to
make students’ comprehension and
memorization stronger, the researcher
conducted a game in the while of teaching
learning process. The name of game was
“Whispering Game”. The researcher divided
students into some groups. Each group made a
line, then the researcher whispered two words
33
33 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
to the last student of each line (the words of
each group were different). The student that
got words from the researcher must whispered
them to the other students in one group. After
that, the students in first line of each group
must wrote the words were whispered on
whiteboard. And, the group that could write
words correctly and quickly was the winner of
this game.
Next step after conducted the game was
assessment. The researcher gave questions that
related with the material that was taught. It
must be collected to be scored by the
researcher.
c. Post-Realia Activity
After conducting the assessment, the
researcher reviewed the content of material
and checked the students’ comprehension,
then made conclusion of the material.
Before closing class, the researcher
evaluated teaching learning process by asking
the students about the difficulties and
responses toward the using of realia technique.
3. Observing
In first meeting, the observer was the
English teacher of that school. The teacher
observed cycles during the teaching learning
process that were conducted by the researcher
and signed the observation checklist that was
provided by the researcher while made notes
of the weaknesses during teaching learning
process.
According to observer, the condition of
class in first meeting was very crowded
especially when the researcher showed realia
in front of the class. Some of the students
stood up, some others came forward and the
others just sat on their desk. It might caused of
that day was the first meeting for students and
researcher and also the first time using realia
in teaching learning process. This condition
was natural because they still need to adapt
with the new person and new technique.
Then, about the material was quite good.
The material made students interesting and it
was understandable by the students.
And about the time, the researcher had
managed the time well. All of the activities
during teaching learning process could be
finished at the time.
For about the researcher’s performance
was good, the voice could be heard by the
students. Then, about the researcher’s
explanation and instruction were clear enough
but sometimes the researcher was too fast in
giving instruction. It made the students often
asked researcher to repeat the instruction.
When the researcher explained material, the
researcher was not only in front of class but
the researcher also walked around the students
to make sure that all of students could catch
the material that was taught by the researcher.
4. Reflecting
According to the explanation of
observation above, the researcher and teacher
made some reflection, that were:
- First, because in first meeting the condition of
class was very crowded, so, in the next
meeting, the researcher must be able to control
it. It was to keep the effectiveness of teaching
learning in the class.
- Second, because in first meeting the researcher
too fast in giving instruction, so, in the next
meeting, the researcher must be slower. It was
to avoid the repetition of teacher’s instruction
that was often asked by the students.
b. Second Meeting
1. Planning
It was held on May 15, 2013. The time
used was 2 x 40 minutes. The teacher was the
researcher. The researcher used realia in
teaching learning process. The topic was about
“Things Around Us 1” and the material was
about “School Equipments”. The researcher
took material from text book.
Based on the reflection in first meeting,
the researcher planned everything to be better
in the second meeting.
2. Implementing
The researcher started the learning
teaching process by saying greeting to the
students then checked the students’ attendance
and gave motivation to the students.
a. Pre-Realia Activity
In the pre-realia activity, the researcher
wrote topic on the whiteboard and asked
students some questions related to the topic.
Then, the researcher gave statements related
the topic to stimulate students background
knowledge.
b. While-Realia Activity
In this activity, the researcher showed
realia (real things) in front of the class, then
introduced the name of realia, wrote it on
whiteboard and pronounce it loudly. Next, the
researcher asked students to pronounce it
together, after that asked some of the students
to pronounce it alone. The researcher asked
the students to write the name and meaning of
34 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
realia in the book. The researcher repeated
these activities until all of the vocabulary were
introduced.
To refresh the students’ mind and to
make students’ comprehension and
memorization stronger, the researcher
conducted a game in the while of teaching
learning process. The name of game was
“Matching Game”. The researcher divided
students into some group. Then, the students
prepared one table for each group in front of
the class. After that, the researcher gave some
papers to each group (the papers consist of
some words in English and their meaning in
Indonesia). Next, the students work in group to
match the words and meanings. The students
must put the words and meanings on the table
in front of class that had prepared for each
group. Last, the group that could match the
words and meanings correctly and put them on
table quickly was the winner.
Next step after conducted the game was
assessment. The researcher gave questions that
related with the material that was taught. It
must be collected to be scored by the
researcher.
c. Post-Realia Activity
After conducting the assessment, the
researcher reviewed the content of material
and checked the students’ comprehension,
then made conclusion of the material.
Before closing class, the researcher
evaluated teaching learning process by asking
the students about the difficulties and
responses toward the using of realia technique.
3. Observing
In second meeting, the observer was the
English teacher of that school. The teacher
observed cycles during the learning teaching
process that were conducted by the researcher
and signed the observation checklist that was
provided by the researcher while made notes
of the weakness during learning teaching
process.
According to observer, the condition of
class in second meeting was still crowded,
especially when the researcher showed realia
in front of the class. Some of the students
stood up, some others came forward and the
others just sat on their desk. It might caused
that the realia technique to introduce
vocabulary still new for them. So, it attracted
students’ attention.
Then, about the material was quite good.
The material made the students interesting and
it was understandable by the students.
And about the time, in this second
meeting the time did not manage well. The
researcher spent many times in conducting the
game. It took the time of assessment, so the
students were hurry in finishing their task and
cheated each other.
For about the researcher’s performance
was good, the voice could be heard by the
students. Then, about the researcher’s
explanation and instruction were clear and
slower than the first meeting. When the
researcher explained material, the researcher
was not only in front of class but the
researcher also walked around the students to
make sure that all of students could catch the
material that was taught by the researcher.
4. Reflecting
According to the explanation of
observation above, the researcher and teacher
made some reflection, that were:
- First, similar with the first meeting, the
condition of class in second meeting also still
crowded. It might caused the researcher use
the new way in introducing vocabulary
(realia), so it attracted the students’ attention.
And, for the next meeting, the researcher must
be able to control it.
- Second, in this second meeting, the researcher
could not manage time well. The researcher
spent many times in conducting the game, as
the result, the time for assessment was less.
This condition made students were hurry in
finishing the task and cheated each other. So,
for the next meeting, the time must be
controlled well.
c. Third Meeting
1. Planning
It was on May 22, 2013. The time used
was 2 x 40 minutes. The teacher of third
meeting was the researcher. The researcher
used realia in teaching learning process. The
topic was about “Things Around Us 2” and the
material was about “Kitchen Equipments”.
The researcher took material from the text
book.
Based on the reflection in second
meeting, the researcher planned everything to
be better in the third meeting.
2. Implementing
The researcher started the learning
teaching process by saying greeting to the
35 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
students then checked the students’ attendance
and gave motivation to the students.
a. Pre-Realia Activity
In the pre-realia activity, the researcher
wrote topic on the whiteboard and asked
students some questions related to the topic.
Then, the researcher gave statements related
the topic to stimulate students background
knowledge.
b. While-Realia Activity
In this activity, the researcher showed
realia (real things) in front of the class, then
introduced the name of realia, wrote it on
whiteboard and pronounce it loudly. Next, the
researcher asked students to pronounce it
together, after that asked some of the students
to pronounce it alone. The researcher asked
the students to write the name and meaning of
realia in the book. The researcher repeated
these activities until all of the vocabulary were
introduced.
To refresh the students’ mind and to
make students’ comprehension and
memorization stronger, the researcher
conducted a game in the while of teaching
learning process. The name of game was
“Guessing Name Game”. The researcher
divided students into some groups. Then, all of
the students of each group prepared one piece
of paper. The researcher showed realia one by
one and asked the students to write down
names of those realia. After that, the
researcher gave time to all groups to discuss
with their friends in one group about the
answer. Last, the group that could collect the
answer (in one piece of paper) correctly and
quickly in front of the class was the winner.
Next step after conducted the game was
assessment. The researcher gave questions that
related with the material that was taught. It
must be collected to be scored by the
researcher.
c. Post-Realia Activity
After conducting the assessment, the
researcher reviewed the content of material
and checked the students’ comprehension,
then made conclusion of the material.
Before closing class, the researcher
evaluated teaching learning process by asking
the students about the difficulties and
responses toward the using of realia technique.
3. Observing
In third meeting, the observer was the
English teacher of that school. The teacher
observed cycles during the learning teaching
process that were conducted by the researcher
and signed the observation checklist that was
provided by the researcher while made notes
of the weakness during teaching learning
process.
According to observer, the condition of
class in third meeting was good enough. It was
better than the first and second meeting. The
researcher had closed with students and they
began familiar with realia in the teaching
learning process.
Then, about the material was quite good.
The material made students interesting and it
was understandable by the students.
And about the time, the researcher had
managed time well. All of the activities during
teaching learning process could be finished at
the time. But, there was a bit trouble when the
researcher conducted game. There were some
students did not pay attention and made noisy
in the class, they did not participate actively in
the game.
For about the researcher’s performance
was good. The researcher’s voice was loud
and could be heard by the students well. The
researcher’s explanation and instruction were
clear.
4. Reflecting
According to the explanation of
observation above, the researcher and teacher
made a reflection, that was according to
observation of the observer, the whole process
of learning teaching in third meeting was
good. But, there was a bit trouble. It was about
students’ naughty, there were some students
made noisy and did not pay attention dyring
the game. For the next meeting, the teacher
must able to manage this problem, the teacher
must make sure that all of the students are
participate in the whole of teaching learning
activities.
d. Fourth Meeting
1. Planning
It was held on May 29, 2013. The time
used was 2 x 40 minutes. The teacher of fourth
meeting was the researcher. The researcher
used realia in learning process. The topic was
about “Things Around Us 2” and the material
was about “Drink and Food Materials”. The
teacher took material from the text book.
Based on the reflection in third meeting,
the researcher planned everything to be better
in the fourth meeting.
2. Implementing
36 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
The researcher started the learning
teaching process by saying greeting to the
students then checked the students’ attendance
and gave motivation to the students.
a. Pre-Realia Activity
In the pre-realia activity, the researcher
wrote topic on the whiteboard and asked
students some questions related to the topic.
Then, the researcher gave statements related
the topic to stimulate students background
knowledge.
b. While-Realia Activity
In this activity, the researcher showed
realia (real things) in front of the class, then
introduced the name of realia, wrote it on
whiteboard and pronounce it loudly. Next, the
researcher asked students to pronounce it
together, after that asked some of the students
to pronounce it alone. The researcher asked
the students to write the name and meaning of
realia in the book. The researcher repeated
these activities until all of the vocabulary were
introduced.
To refresh the students’ mind and to
make students’ comprehension and
memorization stronger, the researcher
conducted a game in the while of teaching
learning process. The name of game was “Last
Letter Game”. The teacher divided students
into some group. Then, all of the students
prepared one piece of paper. The teacher wrote
on whiteboard the last letter of each word that
related with realia (the teacher gave clue with
mention the number of letter). After that, the
teacher gave time for each group to discuss
about the answer with their friends in one
group. Last, the group that can answer
correctly and quickly was the winner.
Next step after conducted the game was
assessment. The researcher gave questions that
related with the material that was taught. It
must be collected to be scored by the
researcher.
c. Post-Realia Activity
After conducting the assessment, the
researcher reviewed the content of material
and checked the students’ comprehension,
then made conclusion of the material.
Before closing class, the researcher
evaluated teaching learning process. Next, in
this last meeting, the researcher distributed
questionnaire to the students and asked them
to collect it. The result of questionnaire would
show students’ opinion about the using of
realia technique to improve students’
vocabulary mastery.
3. Observing
In forth meeting, the observer was the
English teacher of that school. The teacher
observed cycles during the learning teaching
process that were conducted by the researcher
and signed to observation checklist that was
provided by the researcher while made notes
of the weakness during teaching learning
process.
According to observer, the condition of
class in fourth meeting was good. The class
condition was not crowded anymore. The
students participate actively during teaching
learning process.
Then, about the material was quite good.
The material made students interesting and it
was understandable by the students.
And about the time, the teacher had
managed time well. All of the activities during
teaching learning process could be finished at
the time.
For about the teacher’s performance was
good. The teacher’s voice was loud and could
be heard by the students. And, the teacher’s
explanation and instruction were clear.
4. Reflecting
According to the explanation of
observation above, the researcher and teacher
made a reflection, that was according to
observation of the observer, the whole process
of learning teaching in fourth meeting was
good. The students participate actively during
teaching learning process. The realia technique
had been accepted well by them.
2. Result of the Questionnaire To know the students’ responses toward
teaching learning process, the researcher gave
questionnaire to the students. The
questionnaire consists of 10 questions and it
was given to the students in the last meeting.
After that, the researcher analyzed every
number of questions one by one. To measure
the students’ responses, researcher used the
pattern:
The questions of questionnaire can be
seen in appendix. The results of questionnaire
are:
37 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
For question number 1, do the students
like to learn English using realia technique?
the results are:
Table 4.1 No Criteria Score
1. Sangat senang 20 %
2. Senang 65,71 %
3. Kurang senang 8,57 %
4. Tidak senang 5,71 %
For question number 2, how does the using of
realia technique in the English class? the
results are:
Table 4.2
For question number 3, does the teacher
explain material using realia technique
clearly? the results are:
Table 4.3 No Criteria Score
1. Sangat jelas 20 %
2. Jelas 77,14 %
3. Kurang jelas 2,86 %
4. Tidak jelas 0 %
For question number 4, does the teacher
explain material using realia technique
maximally? the results are:
Table 4.4
For question number 5, does the using of
realia technique help the students to
comprehend the lesson material? the results
are:
Table 4.5 No Criteria Score
1. Sangat membantu 20 %
2. Membantu 65,71 %
3. Kurang membantu 8,57 %
4. Tidak membantu 5,71%
For question number 6, does the
material given to the students by using realia
technique is interesting? the results are:
Table 4.6 No Criteria Score
1. Sangat menarik 37,14 %
2. Menarik 57,14 %
3. Kurang menarik 5,71%
4. Tidak menarik 0 %
For question number 7, does the using of
realia make the students more motivated in
learning vocabulary? the results are:
Table 4.7 No Criteria Score
1. Sangat termotivasi 54,29 %
2. Termotivasi 22,86 %
3. Kurang termotivasi 14,29 %
4. Tidak termotivasi 8,57 %
For question number 8, do the
students have progress in mastering
vocabulary during the using of realia
technique? the results are:
Table 4.8 No Criteria Score
1. Sangat ada 42,86 %
2. Ada 51,43 %
3. Kurang ada 5,71 %
4. Tidak ada 0 %
For question number 9, do the students
often find difficulties during the using of realia
technique? the results are:
Table 4.9 No Criteria Score
1. Sangat sering 0 %
2. Sering 2,86 %
3. Kurang sering 31,43 %
4. Tidak sering 65,71 %
For question number 10, does the
realia technique needed to use in the school?
the results are:
Table 4.10 No Criteria Score
1. Sangat perlu 45,71 %
2. Perlu 54,29 %
3. Kurang perlu 0 %
4. Tidak perlu 0 %
From the result of questionnaire above,
it shows that the students response well toward
the implementation of realia in their teaching
learning process.
3. Result of the Assessment
To measure the students’
comprehension to the material, the researcher
gave assessment to the students in each
meeting. The assessment was given during
four meetings. The kinds of assessments that
were given in each meeting, can be seen in
appendix.
The assessments that were given in
every meeting, then were scored by the
researcher. All of the students’ scores in each
No Criteria Score
1. Sangat bagus 20 %
2. Bagus 51,43 %
3. Kurang bagus 17,14 %
4. Tidak bagus 11,43 %
No Criteria Score
1. Sangat maksimal 37,14 %
2. Maksimal 48,57 %
3. Kurang maksimal 14,29 %
4. Tidak maksimal 0 %
38 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
meeting are summed up to get the average
scores. To measure the average score,
researcher used the pattern:
The results of them, can be seen in the table
4.11 below:
Table 4.11
No Students Scores
I II III IV
1 AR 8 10 10 10
2 AL 8 8 10 10
3 AMH 10 10 10 10
4 AP. 7 9 9 10
5 AN T 8 9 10 10
6 AT 8 9 10 10
7 BD 6 8 8 9
8 BJU 9 9 9 10
9 CU 8 8 9 10
10 CNT 10 10 10 10
11 DA 9 10 10 10
12 EP 6 7 7 8
13 FRE 8 8 9 10
14 HY 9 9 10 10
15 IJ 6 7 8 8
16 MA 7 7 8 8
17 MB 7 9 10 10
18 MH 10 10 10 10
19 MFD 7 8 10 10
20 MK 9 10 10 10
21 MT 6 7 8 8
22 NDC 10 10 10 10
23 NP 8 9 10 10
24 PW 8 8 10 10
25 RB 6 8 8 9
26 RC 8 9 10 10
27 RS 10 10 10 10
28 RN 6 7 7 9
29 SA 8 10 10 10
30 SH 6 8 9 9
31 SK 9 9 10 10
32 SAL 8 8 10 10
33 SA 7 8 8 9
34 TAP 10 10 10 1
35 YS 6 7 9 9
Total
Score 276 303 326 336
Average
Score 7,9 8,7 9,3 9,6
From the result of assessment above, it
shows that realia is the effective technique for
the students in learning vocabulary. The
student’s scores always improve in each
meeting.
B. Discussion of the Study
1. Learning and Teaching Process
From the results during teaching
learning process, the researcher makes the
analysis that the weaknesses during teaching
learning process from first meeting until last
meeting that often happened are about the
students’ crowded and their naughty. This
condition was natural, considering the students
are still at seventh class of junior high school.
At this level, the students are categorized as
adolescent learner that is often seen as the
problem students. But, during four meetings,
the students have followed all activities in
teaching learning process well.
According to Harmer (2007),
adolescence is bound up, after all, with a
pronounced search for identity and a need for
self esteem, adolescents need to feel good
about themselves and valued. All of this is
reflected in the secondary student who
convincingly argued that a good teacher is
someone who knows our name.
2. Questionnaire From the results of questionnaire, the
researcher makes an analysis that the students’
of 7 B at MTs. Sunan Drajat Sugio Lamongan,
as the object of this study response well
toward the implementation of realia in their
teaching learning process. The students can be
more interested and motivated when realia
implemented in their class.
This results can be seen from the
students’ responds toward ten questions that
are given by the researcher in questionnaire.
All of students answers in the questionnaire
are analyzed for each number and categorize
one by one.
The results of questionnaire are shown
in percentage forms. For the clear and
complete questionnaire results can be seen in
table 4.1 until 4.10.
3. Assessment From the results of assessment during
four meetings, the researcher makes an
analysis that realia is the effective technique in
teaching learning vocabulary especially
concrete noun. This result can be seen from
the students’ scores that always improve for
each meeting.
The result of all tests from first until
fourth meeting can be seen clearly and
completely in table 4.11. In that table, the
scores of students one by one during fourth
meeting and the average scores of them are
shown.
CONCLUSION
Based on the data in last chapter, the
researcher can make some conclusions:
The results of this study show that the
teaching and learning process of vocabulary
(concrete noun) by using realia have been
implemented maximally. All of the teaching
learning processes are conducted based on the
planning that have been planned. It can be
seen from the result of observation during the
39 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
process of it. Then about the students’
responses toward the implementation of realia
in vocabulary (concrete noun) teaching and
learning process can be seen from the result of
questionnaire. It shows that the realia
technique are accept well by the students.
They participate actively during the teaching
learning process.
For about the students’ improvement
in mastery vocabulary (concrete noun), the
results of this study show that realia can
improve the students vocabulary mastery
(concrete noun). It can be seen from the results
of students’ assessment, the scores always
improve in every meeting.
REFFERENCES
Anne Burns, (2003) Collaborative Action
Research for English Language Teachers,
Cambridge: Cambridge University Press
Burhan Nurgiyantoro, (2001) Penilaian dalam
Pengajaran Bahasa dan Sastra, Yogyakarta:
PT BPFE
H. Douglas Brown, (2000) Principles of
Language Learning and Teaching (fourth
edition), Longman: San Fransisco State
University
Iskandar, (2009) Penelitian Tindakan Kelas,
Jakarta: Gaung Persada Press
Jack C. Richards and Willy A. Renandya,
(2002) Methodology in Language Teaching
(an anthology of current practice),
Cambridge: Cambridge University Press
Jeremy Harmer, (2007) The Practice of
English Language Teaching (fourth edition),
Longman: Pearson Education Limited
Marcella Frank, (1972) Modern English (a
practical reference guide), (USA: Prentice-
Hall, Inc
Suharsimi Arikunto, (2002) Prosedur
Penelitian (suatu pendekatan praktek edisi
revisi v), Jakarta: PT Rineka Cipta
Suharsimi Arikunto, (2008) Penelitian
Tindakan Kelas, Jakarta: Bumi Aksara
Sanapiah Faisal, (1989) Format-Format
Penelitian Sosial, (Jakarata: PT Raja Grafindo
Persada
http://en.wikipedia.org/wiki/realia (August 29,
2009 07.00 p.m.)
http://www.usingenglish.com (October 10,
2009 09.00 a.m.)
40 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
Petunjuk bagi Pengirim Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
1. Artikel yang ditulis untuk Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian
atau kajianpustaka yang mempunyai kontribusi baru di bidang Ilmu Sosial. Naskah diketik degan huruf
TimesNew Roman, ukuran 11 pts, dengan spasi ganda, dicetak pada kertas HVS kuarto sepanjang maksimum15 halaman, dan diserahkan dalam bentuk print-out sebanyak 3 eksemplar beserta disketnya. Berkas(file) dibuat dengan Microsoft word. Pengiriman file juga dapat dilakukan sebagai attacment e-mail ke
alamat: [email protected] 2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan dibawah judul artikel. Jikapenulis
terdiri 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama;nama penulis-penulis lainnya dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Dalam halnaskah ditulis
oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yangnamanya tercantum pada urutan pertama. Penulis dianjurkan mencantumkan alamat e-mail untukmemudahkan komunikasi.
3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai, disertai judul pada
masingmasingbagian artikel, kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul bagian. Judul artikeldicetak dengan huruf besar ditengah-tengah, dengan huruf sebesar 14 poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub-bagian dicetak tebal atautebal
dan miring), dan tidak menggunakan angka/nomor pada judul bagian:PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI)Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri)Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri)
4. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak(maksimum 200 kata); kata kunci; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang dan tujuan atauruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-bagian); penutup ataukesimpulan; daftar
rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). 5. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak(maksimum
200 kata) yang berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; kata kunci; pendahuluan (tanpajudul) yang berisi
latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil;pembahasan; kesimpulan dan saran; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk)
6. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yangdiutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis,
disertasi)atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah. 7. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurang (nama, tahun). Pencantuman
sumberpada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman tempat asal
kutipan.Contoh: (Davis, 2003: 47). 8. Daftar Rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut dan diurutkan secara alfabetis dankronologis.
Buku:
Anderson, D, W., Vault, V. D. & Dickson, C. E. 1999. Problem and Prospects for the Decades Ahead: Competency Based Teacher Education. Berkeley: McCutchan Publising Co. Buku kumpulan artikel:
Saukah, A. & Waseso, M.G. (Eds.). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah (Edisi ke-4, cetakan ke- 1). Malang: UM Press. Artikel dalam buku kumpulan artikel:
Russel, T. 1998. An Alternative Conception: Representing Represensation. Dalam P.J. Black & A. Lucas (Eds), Children’s Informal Ideas in Science (hlm. 62-84). London: Routledge. Artikel dalam jurnal atau majalah:
Kansil, C.L. 2002. Orientasi Baru Penyelenggaraan Pendidikan Program Profesional dalam Memenuhi kebutuhan Dunia Industri. Transpor, XX (4): 57-61. Artikel dalam koran: Pitunov, B. 13 Desember, 2002. Sekolah Unggulan ataukah Sekolah Pengunggulan? Majapahit Pos, hlm. 4 & 11. Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang): Jawa Pos. 22 April, 1995. Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hlm. 3.
Dokumen resmi: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1978. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian. Jakarta: Depdikbud. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: PT. Armas Duta Jaya. Buku terjemahan: Ary, D., Jacobs, L.C. & Razavieh, A. 1976. Pengantar Penelitian Pendidikan. Terjemahan oleh Arief
Furchan. 1982. Surabaya: Usaha Nasional. Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian: Kuncoro, T. 1996. Pengembangan Kurikulum Pelatihan Magang di STM Nasional Malang Jurusan Bangunan, Program Studi Bangunan Gedung: Suatu Studi Berdasarkan Kebutuhan Dunia Usaha Jasa Konstruksi. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS IKIP MALANG.
41 Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Volume 3 No 1 Maret 2015 ISSN 2302-3562
Makalah seminar, lokakarya, penataran: Waseso, M.G 2001. Isi dan Format Jurnal Ilmiah. Makalah disajikan dalam Seminar Lokakarya
Penulisan Artikel dan Pengelolaan Jurnal Ilmiah, Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin, 9-11 Agustus. Internet (karya individual)
Hitchcock, S., Carr, L. & Hall, W. 1996. A Survey of STM Online Journals, 1990-1995 : The Calm before the Storm, (Online), (http://journal.ecs.soton.ac.uk/survey/survey.html, diakses 12 Juni 1996)
Internet (artikel dalam jurnal online): Kumaidi. 1998. Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan Tesnya. Jurnal Ilmu Pendidikan. (Online), jilid 5,No. 4,(http://www.malang.ac.id, diakses 20 Januari 2000). Internet (bahan diskusi):
Wilson, D. 20 November 1995. Summary of Citing Internet sites. NETTRAIN Discussion List, (Online), ([email protected], diakses 22 November 1995). Internet (e-mail pribadi):
Naga, D.S ([email protected]). 1 Oktober 1997. Artikel Untuk JIP. E-mail kepada Ali Saukah ([email protected]).
9. Tata cara penyajian kutipan, table, dan gambar mencontoh langsung tata cara yang digunakan dalam artikel
yang telah dimuat. Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan BahasaIndonesia yang Disempurnakan (Depdikbud, 1987). Artikel bahasa Inggris menggunakan ragam baku.
10. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari reviewers yang ditunjuk oleh penyunting menurut
bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting, kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis.
11. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah.
12. Segala sesuatu yang menyangkut perjanjian pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel tersebut.