negara leviathan dalam perspektif pendidikan politik islam

17
20 NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM Muhammad Yasser, M.Ud Email : [email protected] STIT Daarul Fatah Abstrak Seiring dengan menguatnya gejala radikalisme di tengah-tengah masyarakat (termasuk di kalangan pelajar), pemerintahdengan dukungan para intelektual muslimmerasa perlu untuk memberlakukan penguatan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa yang plural. Disinilah letak pentingnya peran para intelektual muslim dimaksud, sebab tanpa disokong oleh argumentasi dan dalil keagamaan yang kuat maka berbagai program yang dijalankan pemerintah akan termentahkan dengan sendirinya mengingat karakter religius masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Tulisan ini menjadikan teori Negara Leviathan Thomas Hobbes (w.1676) sebagai pijakannya, untuk kemudian dilakukan revisitasi melalui kacamata konsep-konsep inti ajaran Islam. Penelitian ini sampai pada satu kesimpulan pentingnya pendidikan politik Islam di sekolah-sekolah yang tidak terpaku pada teori-teori keislaman yang telah usang; dan di sisi lain, agar tidak anti dengan berbagai teori negara modern yang dikaji secara kreatif sehingga sesuai dengan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Kata Kunci : kontrak sosial, absolutisme negara, khilāfah islāmiyyah, dawlah muslimīn A. Prolog: Tauhid, Bendera, dan Ikonoklasme Perayaan meriah Hari Santri Nasional ketiga yang lalu, 24 Oktober 2018 di alun-alun Limbangan Garut, tercoreng dengan tindakan (oknum) Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang membakar bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid dalam bahasa Arab berwarna putih. Belakangan diketahui, pembakaran dilakukan dalam rangka mengamankan prosesi perayaan hari santri yang (berdasarkan kesepakatan bersama sebelumnya) semestinya disterilkan dari berbagai simbol dan unsur politis (prinsip kemandirian santri), apalagi kemudian bendera hitam tersebut dikibarkan sebagai atribut dari organisasi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang telah dinyatakan terlarang oleh pemerintah Indonesia sejak Juli 2017 karena terbukti hendak mengganti dasar negara Pancasila dengan Islam (versi HTI) dan sistem pemerintahan khilafah (ideologi pan-islamisme). 1 Tak pelak peristiwa pembakaran bendera ini mengundang kecaman umat muslim secara luas yang berujung pada gerakan massal Aksi Bela Tauhid, karena dianggap penghinaan terhadap nilai-nilai dan prinsip keislaman (tauhid). 1 Terlepas dari pengakuan jubir HTI (Ismail Yusanto) yang mengatakan bahwa HTI (sebelum dibubarkan pada 2017) tidak memiliki bendera, namun dalam situs HTI sendiri bendera yang sama telah digunakan dan menjadi simbol khasnya. Bendera dimaksud adalah Ar-Raya (bendera hitam dengan tulisan tauhid putih, yang boleh digunakan oleh umat secara umum) dan Liwa (bendera putih dengan tulisan tauhid hitam,

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

20

NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIFPENDIDIKAN POLITIK ISLAM

Muhammad Yasser, M.Ud

Email : [email protected]

STIT Daarul Fatah

Abstrak

Seiring dengan menguatnya gejala radikalisme di tengah-tengah masyarakat (termasuk dikalangan pelajar), pemerintah—dengan dukungan para intelektual muslim—merasa perluuntuk memberlakukan penguatan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa yang plural.Disinilah letak pentingnya peran para intelektual muslim dimaksud, sebab tanpa disokong olehargumentasi dan dalil keagamaan yang kuat maka berbagai program yang dijalankanpemerintah akan termentahkan dengan sendirinya mengingat karakter religius masyarakatIndonesia yang mayoritas muslim. Tulisan ini menjadikan teori Negara Leviathan ThomasHobbes (w.1676) sebagai pijakannya, untuk kemudian dilakukan revisitasi melalui kacamatakonsep-konsep inti ajaran Islam. Penelitian ini sampai pada satu kesimpulan pentingnyapendidikan politik Islam di sekolah-sekolah yang tidak terpaku pada teori-teori keislaman yangtelah usang; dan di sisi lain, agar tidak anti dengan berbagai teori negara modern yang dikajisecara kreatif sehingga sesuai dengan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan.

Kata Kunci: kontrak sosial, absolutisme negara, khilāfah islāmiyyah, dawlah muslimīn

A. Prolog: Tauhid, Bendera, dan Ikonoklasme

Perayaan meriah Hari Santri Nasional ketiga yang lalu, 24 Oktober 2018 di alun-alunLimbangan Garut, tercoreng dengan tindakan (oknum) Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yangmembakar bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid dalam bahasa Arab berwarna putih.Belakangan diketahui, pembakaran dilakukan dalam rangka mengamankan prosesi perayaanhari santri yang (berdasarkan kesepakatan bersama sebelumnya) semestinya disterilkan dariberbagai simbol dan unsur politis (prinsip kemandirian santri), apalagi kemudian bendera hitamtersebut dikibarkan sebagai atribut dari organisasi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang telahdinyatakan terlarang oleh pemerintah Indonesia sejak Juli 2017 karena terbukti hendakmengganti dasar negara Pancasila dengan Islam (versi HTI) dan sistem pemerintahankhilafah (ideologi pan-islamisme).1 Tak pelak peristiwa pembakaran bendera ini mengundangkecaman umat muslim secara luas yang berujung pada gerakan massal Aksi Bela Tauhid,karena dianggap penghinaan terhadap nilai-nilai dan prinsip keislaman (tauhid).

1 Terlepas dari pengakuan jubir HTI (Ismail Yusanto) yang mengatakan bahwa HTI (sebelumdibubarkan pada 2017) tidak memiliki bendera, namun dalam situs HTI sendiri bendera yang sama telahdigunakan dan menjadi simbol khasnya. Bendera dimaksud adalah Ar-Raya (bendera hitam dengan tulisantauhid putih, yang boleh digunakan oleh umat secara umum) dan Liwa (bendera putih dengan tulisan tauhid hitam,

Page 2: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

21

yang digunakan secara khusus dalam medan perang). Lihat, www.hizb-ut-tahrir.infowww.hizb-ut- tahrir.infodiakses pada 29 Oktober 2018.

Page 3: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

22

Bagaimanapun, tak semua umat Islam di Indonesia menganggap pembakaran benderatersebut sebagai penghinaan terhadap Islam, sebagaimana Nadirsyah Hosen yangmenekankan bahwa bendera dimaksud dan berbagai bendera lain sejenisnya (seperti benderaISIS dan Arab Saudi yang juga menggunakan lafaz tauhid) bukanlah bendera yang digunakanoleh Rasul (dan karenanya bukan bendera umat Islam); bahkan penggunaan kalimat tauhid itusendiri dapat menjadi penistaan bagi Islam apabila diiringi dengan motif-motif politis tertentuyang bertentangan dengan ajaran Islam.2

Kontroversi pembakaran bendera HTI berlafazkan tauhid di atas mengingatkanpenulis pada gerakan ikonoklasme (iconoclasticism) yang dilakukan Kaisar Byzantium, Leo IV(w. 780 M). Dengan mengambil semangat umat Islam yang ketika itu muncul menjadi kekuatanbaru di wilayah geopolitik Byzantium-Persia (yang terbentang dari ujung Afrika Utara[Ifriqiyya] hingga perbatasan India)—era ini menjadi awal kejayaan umat Islam di bawahDaulah Abbasiah di Baghdad—Kaisar Leo memerintahkan pemusnahan seluruh karya senidalam bentuk lukisan, patung, dan simbol-simbol (icon) keagamaan lainnya yangmenjurus pada kemusyrikan.3 Dalam Islam sendiri ikonoklasme bermula pada momen FathulMakkah, ketika Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya menghancurkan patung-patung Pagan yang berada di sekitar Ka’bah (satu faktor yang menjelaskan kenapa senipatung dan lukis tidak berkembang dalam peradaban Islam, dan sebagai gantinyaperkembangan seni ukir dan kaligrafi). Ikonoklasme abad modern terjadi bilamana ISIS (IS,Islamic State), atas nama Tauhid, pada 2015-2016 yang lalu menghancurkan situs-situs warisandunia (world heritage) di Irak (seperti Museum Mosul Nineveh, dimana patung- patungpeninggalan dari masa Mesopotamia Kuno dihancurkan dengan didorong atau menggunakanpalu besar; pun berbagai situs arkeologis lainnya yang tak ternilai harganya di wilayah Irak-Syria) dan sebelumnya Taliban menghancurkan menara kembar WTC dan Pentagon pada 2001yang dianggap sebagai ikon peradaban Barat yang sekuler dan materialistik (pada tahun yangsama Taliban juga menghancurkan patung Buddha Raksasayang dibangun pada abad ke 6 M di Bamijan, Afghanistan).4 Ironisnya, pemujaan terhadapsimbol-simbol keagamaan ini (yang diartikan sebagai bentuk kemusyrikan oleh kelompokikonoklast) dilakukan kembali oleh umat Muslim itu sendiri dalam bentuk-bentuk yang

2 Nadirsyah Hosen secara tegas membedakan bendera HTI dengan bendera Raya dan Liwa yangdigunakan Rasululullah SAW dan Khalifah yang empat, dimana pada masa itu belum lagi digunakan tanda bacatitik dan khatnya masih bercorak kufi (corak tulisan Arab pra-Islam); lebih jauh, kualitas hadis (yang menjadirujukan HTI dan ISIS dalam mengatributkan bendera mereka dengan bendera Rasul) seluruhnya berkualitas lemah(dhaif) dan karenanya tidak bisa menjadi rujukan. Lihat, Nadirhosen.net. diakses pada 29 Oktober 2018

3 Ikonoklasme di Gereja Timur Byzantium ini berlangsung sepanjang abad ke 8-9 M. Hal ini memicuperpecahan antara Gereja Timur dan Barat di bawah kepemimpinan Paus (yang kemudian bersekutu denganbangsa Frank). Ikonoklasme sendiri secara sederhana berarti gerakan pemusnahan ikon (gambar-gambar)religius (biasanya berupa Santo-santo yang dipuja) yang diibaratkan layaknya “jendela menuju surga” ataumedia komunikasi dengan Tuhan dan rahmat-Nya. Ikonoklasme berkaitan erat dengan perkembanganMonofisitisme dan kemunculan Islam. Untuk uraian lengkapnya lihat antara lain, Benson Bobrick, Kejayaan SangKhalifah Harun Ar-Rasyid, diterjemahkan dalam bahasa oleh, Indi Aunullah, (Ciputat: Alvabet, 2013),157-174.

4 Tentang ikonoklasme Islam ini lihat tulisan, Luthfie Assyaukaniehttp://islamlib.com/gagasan/ikonoklasme-islam/ 18-07-2005, diakses pada 29 Oktober 2018. Lihat juga,https://republika.co.id/berita/koran/teraju/15/03/16/nlaroc35-antara-ikonoklasme-dan-tanam-pengaruh diaksespada 29 Oktober 2018.

Page 4: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

23

baru—dalam kasus ini, bendera hitam bertuliskan tauhid yang diidentikan dengankehormatan agama Islam dan bahkan kebesaran Tuhan.

Kembali pada persoalan pembakaran bendera tauhid HTI di atas (yang kemudianmenyulut pada tuntutan ganti presiden), pertanyaan yang mencuat kemudian adalah: bagaimanasebenarnya Islam memandang hubungan antara agama (yang sakral) dengan politik (urusanprofan); bagaimana konsep negara Islam yang ideal berdasarkan ajaran Islam dan peranpemimpin dalam hirarki kekuasaan tersebut; dan tak kalah pentingnya, bagaimana urgensipendidikan politik Islam didalamnya? Thomas Hobbes bersikeras negara mestilah bertindaklayaknya Leviathan dalam memerintah rakyatnya; sementara dalam politik Islam terdapatkonsep “khilāfah”, dimana sang khalifah (pemimpin pemerintahan) tidak saja mendapatlegitimasi hukum (lewat suatu mekanisme kontrak sosial) tapi juga transendental (hak ilahiah)dalam memimpin sebuah negara. Di sisi lain, demokrasi, kapitalisme, dan sekularisme,telah menjadi realitas sosial-politik abad modern yang tidak terbantahkan dalam dunia yangsaling terhubung secara global. Disinilah letak pentingnya penelitian ini, bukan saja dalamrangka mendesakralisasi politik Islam; tapi juga, meminjam konsep Mulyadhi Kartanegara,untuk mengintegrasikan konsep-konsep politik modern (dalam penelitian ini,negara Leviathan Hobbes) dengan nilai-nilai keislaman.5 Mengutip Abdul-Munir Mulkhan,

“Hal ini tidak berarti membebaskan gerakan Islam dari dalam dunia politik praktisdan praktik kenegaraan. Namun, gerakan Islam harus tetap konsisten menempa dirisebagai kekuatan moral, sehingga bisa menempatkan etika-moral atau akhlak sebagaidasar kegiatan politik dan praktik kenegaraan… Sejarah kenabian sebenarnya lebihmerupakan risalah etika-moral atau akhlak daripada kerja politik. KesempurnaanIslam sebagai petunjuk praktik semua kehidupan manusia bukan direduksi, tetapimeletakkan kembali akhlak atau etika-moral sebagai fondasi dari semua aspekkehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan praktik kenegaraan.”6

B. Kontrak Sosial dan Terbentuknya Negara Leviathan

Selama ini masyarakat kadung menerima otoritas pemerintah secara taken forgranted. Dalam abad modern, telah menjadi kewajaran intervensi-intervensi yang dilakukanoleh berbagai instutusi politik dengan klaim kekuasaannya masing-masing—mulai daripemerintah pusat, pemerintah daerah (lokal), kepolisian, hingga kehakiman, dan lainnya.Anggota masyarakat yang melawan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah,akan mendapat cap pembangkang dan layak ditangkap untuk kemudian diberi hukuman yangsetimpal dalam kacamata hukum (yang ironisnya, dapat saja “dipelintir” ketika berkenaandengan pejabat pemerintah). Pertanyaan yang mencuat kemudian adalah, bagaimana jadinyamasyarakat tanpa pemerintahan? Mungkinkah masyarakat dapat hidup berdampingan secaradamai tanpa adanya intervensi dari pemerintah? Dari kegelisahan seperti inilah pemikiran

5 Berbeda dengan epistemologi Barat yang sekuler, demikian Mulyadhi Kartanegara, dalam Islamterdapat integrasi keilmuan berdasarkan pada epistemologi tauhid. Integrasi dimaksud mencakup ilmu-ilmu aqlidan naqli, nazhari (teoritis) dan amali (praktis), serta antara akhlak, ekonomi, dan politik. Tentang integrasi inilihat, antara lain, Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Mizan, 2005).

6 Abdul Munir Mulkhan, “Problem Teologi Politik NU dan Gerakan Islam”, prolog dalam buku,Ridwan, Paradigma Politik NU, (Purwokerto: Pustaka Pelajar, 2004), xii-xiii.

Page 5: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

24

politik abad modern menemukan momentumnya kembali (setelah sebelumnya berkembangdengan penuh kegairahan dalam filsafat Yunani-Romawi).7

Secara umum terdapat dua mazhab kenegaraan yang berkembang sepanjang abadmodern: absolut (seperti, negara Leviathan Hobbes) dan minimalis (sebagaimana halnya triaspolitika yang membatasi kekuasaan negara). Berbagai mazhab tersebut (dengan sub-variannya masing-masing) sama-sama menjadikan teori kontrak sosial sebagai landasandalam membangun alur kerangka berpikirnya. Untuk memahami apa yang dimaksud denganteori kontrak sosial ini, bayangkan sebuah masyarakat alamiah sebelum ditemukannya negara(staatlosen zustand, state of nature, status naturalis), dimana masing-masing individu dankelompok berhak melakukan dan mendapatkan apa saja yang diinginkannya, sekalipun haltersebut berarti dengan cara merebutnya secara paksa dari kepemilkan pihak lain; danperampasan seperti ini menjadi hal yang wajar-wajar saja, mengingat dalam masyarakatalamiah belum lagi terdapat hukum-hukum kenegaraan yang bersifat mengikat—bandingkandengan kehidupan satwa dalam suatu ekosistem alamiah, dimana hewan-hewan predatorbesar berada di puncak rantai atau piramida makanan yang berhak melakukan apa saja padahewan-hewan lain di bawahnya. Situasi pra-negara yang penuh kekacauan seperti ini berakhirketika sekelompok individu (dengan sengaja ataupun tidak) saling sepakat untuk membuathukum-hukum tertentu yang bersifat mengikat seluruh anggotanya, dan lalu memberikanmandat kekuasaan pada seorang individu atau sekelompok individu untuk menjalankanhukum tersebut, sehingga terbentuklah sebuah “negara” (dengan unsur-unsurkemasyarakatan, pemerintahan, perangkat hukum, dan wilayah geografis tertentu,didalamnya).8

Salah seorang pemikir politik terdepan di Eropa abad modern yang memandang kondisialamiah manusia secara menyedihkan—dan di sisi lain, pentingnya kehadiran negara yangotoriter dan absolut—adalah Thomas Hobbes (1588-1676) dengan konsep negara Leviathannya. Selayaknya kecenderungan empirisme dalam filsafat Inggris ketika itu, Hobbes punmendasarkan teori-teori kenegaraannya pada situasi riil yang terjadi pada negaranya (yang padamasa-masa tersebut secara konstan dihantui oleh rasa takut terhadap ancaman armada lautSpanyol dan perang saudara di dalam negeri sendiri [yang berpuncak pada hukuman mati RajaCharles I pada 1649, atas persetujuan Parlemen Inggris]). Begitu mencekamnya situasi politikkala itu, sampai-sampai Hobbes menyebut dirinya sendiri “child of fear”. Walaupun manusiamemiliki akal (yang menjadikannya istimewa bila dibandingkanhewan-hewan lainnya), namun faktanya berbagai tindakan yang dilakukan dalam

7 Jonathan Wolff, An Introduction to Political Philosophy, (New York: Oxford, 1996), 6-8.8 Tidak semua pemikir politik modern memandang kondisi masyarakat alamiah secara menyedihkan.

John Locke dan J.J. Rousseau, sebagai contohnya, justru mendeskripsikan keadaan alamiah sebagai tamanfirdaus dunia, dimana manusia dapat hidup bebas dan sederajat menurut kehendak hati masing-masing. Situasisosial yang rukun-damai-tentram tersebut dapat terjadi karena kodrat hukum akal (law of reasons) pada manusiayang membatasinya untuk tidak mengganggu kehidupan, kesehatan, dan kebebasan milik sesamanya. Rousseaumembandingkan kondisi alamiah ini dengan kehidupan anak-anak di pedesaan yang bebas-aman-bahagia,sebelum kemudian anak-anak tersebut (ketika beranjak dewasa) terinfeksi oleh racun-racun peradaban(hipokrisme) dari perkotaan. Walau demikian, seluruh pemikir ini sepakat bahwa manusia tidak bisa selama-lamanya mempertahankan kondisi (masyarakat) alamiah untuk selamanya. Singkatnya, terbentuknya negarasebagai suatu keniscayaan sejarah (historisme).

Page 6: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

25

kesehariannya mengikuti arahan dari nafsunya (bahkan akal itu sendiri menjelma menjadibudak dari nafsu).

Hobbes sampai pada satu kesimpulan, homo homini lupus (manusia adalah serigala bagimanusia lainnya). Maksudnya, dalam masyarakat alamiah berlaku hukum rimba dimanamasing-masing manusia hanya memikirkan keselamatan diri sendiri (self preservation) yangdilakukannya dengan cara memperluas kekuasaannya atas manusia yang lain. Singkat kata,manusia selalu terancam oleh sesamanya, dan akan menjadi mangsa bagi manusia yangsecara fisik lebih kuat dari lainnya.9 Sumber pertikaian tersebut secara niscaya berakar padatiga faktor yang berkelindan: kompetisi (layaknya survival of the fittest dalam seleksi alamiahDarwinisme yang disusun beberapa abad kemudian), distrust (ketidakpercayaan berdasarkananggapan manusia lain sama bobrok dengan dirinya), dan glory (bandingkan dengan will topower nya Nietzche, sebagai motivasi dasar manusia dalam kehidupan). Berbagai faktorinilah yang menjadikan manusia (dalam kondisi alamiahnya) berada dalam situasi“peperangan” secara terus-menerus, bellum omnium contra omnis (perang semua melawansemua)—dalam artian, keadaan bermusuhan yang terjadi secara terus-menerus antaramanusia dengan manusia lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, individu-individu tersebutbersepakat untuk mengadakan suatu kontrak sosial, sehingga kondisi sosial yang lebihaman dan stabil dapat terwujud (dan dari sini kemudian peradaban yang lebih majudapat berdiri).10 Demikian menurut Hobbes, kontrak sosial terjadi bilamana setiap individusecara sukarela menyatakan kepada individu lainnya, “I authorize and give up my right ofgoverning myself to this man, or to this assembly, on this condition, that thou give up yourright to him and authorize all his action in like manner…”

Istilah Leviathan itu sendiri diambil oleh Hobbes dari tradisi Biblikal (PerjanjianLama) yang merujuk pada sejenis hewan atau monster dari dasar laut yang memiliki ukuranraksasa (lebih besar dari Paus sekalipun), kekuatan menghancurkan luar biasa, dan karenanyamenjadi ancaman utama manusia. Berasal dari bahasa Ibrani, Leviathan bila diterjemahkandalam bahasa Yunani dan lalu Inggris dapat disepadankan dengan naga (dragon), yang selainmemiliki tubuh raksasa juga berkulit tebal, berbadan silendris dan bersirip (mirip seperti ular

9 Tapi bahkan individu terkuat itu sendiri pun secara konstan berada dalam situasi yang terancam,mengingat individu yang lemah bisa saja membunuhnya di saat terlemahnya (seperti, dalam keadaan tertidur).Mengutip Hobbes sendiri, “Nature has made men so equal in the faculties of the body and the mind as that, thoughthere to be found one man sometimes manifestly stronger in body or of quicker mind than another, yet, when allis reckoned together the difference between man and man is not so considerable as that one man can thereuponclaim to himself any benefit to which another may not pretend as well as he. For as to the strength of the body,the weakest has strength enough to kill the strongest, either by secret machination or by confederacy with othersthat are in the same danger as himself.” Thomas Hobbes, Leviathan, ed. H.W. Scheneider (New York: Bobbs-Merrill, 1958), ch. 13 Sebagaimana dikutip dari Donald G. Tannenbaum dan David Schultz, Inventors of Ideas:An Introduction to Western Political Philosophy, (USA: Macmillan Press, 1998), 154-155.

10 Bagi Hobbes jelas, kehadiran negara mutlak diperlukan sebagai prasyarat berkembangnya suatuperadaban. In such condition there is no place for industry, because the fruit thereof is uncertain: andconsequently no culture of the earth; no navigation nor use of the commodities that may be imported by the sea;no commodious building; no instruments of moving and removing such things as require much force; noknowledge of the face of the earth; no account of time; no arts; no letters; no society; and, which is worst of all,continual fear and danger of violent death; and the life of man solitary, poor, nasty, brutish, and short. ThomasHobbes, Leviathan, ch. 4. Sebagaimana dikutip dari Donald G. Tannenbaum dan David Schultz, Inventors ofIdeas, 154-155.

Page 7: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

26

laut, atau lebih tepatnya serpentine), kuku dan gigi yang tajam, dan bahkan kemampuanuntuk mengeluarkan api. Leviathan tidak hanya terdapat dalam tradisi biblikal (Judeo-Kristiani) tapi juga berbagai peradaban besar lainnya (terutama yang secara geografisberdekatan dengan laut), mulai dari Kana’an (Lotan) dan Babylonia (Tiamat) hingga Yunani-Romawi (ini juga kiranya yang menjadi alasan kenapa Hobbes memilih istilah Leviathan,mengingat ketika itu Inggris secara terus-menerus mendapat ancaman dari armada lautSpanyol). Bersama-sama dengan Behemoth di darat dan Ziz di udara, ketiga monster perjanjianlama ini menjadi metafora yang paling efektif dalam menggambarkan sekaliguskebesaran Tuhan, kerentanan manusia, serta ancaman setan yang selalu mengintai.11

Dengan demikian dapat disimpulkan, setidaknya terdapat tiga alasan kenapa manusia(sebagai individu-individu yang rentan) secara mutlak membutuhkan kehadiran negaradengan kekuasaan yang absolut (layaknya Leviathan): Pertama, bahwa walau individu telahada sebelum hadirnya masyarakat dan apalagi negara, tapi hanya lewat negaralah kondisi-kondisi yang diperlukan bagi eksistensi individu dapat terciptakan. Negara, melalui legitimasikekuasaannya sebagaimana tertuang dalam sistem hukum (yang diciptakannya sendiri dansekaligus otoritas untuk menegakkannya), mampu mengubah kondisi menyedihkan manusiadengan menjamin terselenggarakannya kestabilan sehingga memungkinkan penyelenggaraankehidupan dalam rangka memenuhi semua kepentingannya; Kedua, kehadiran negara mutlakdiperlukan mengingat sifat alami manusia dan pola-pola hubungan sesamanya yangmementingkan diri sendiri (self-centered). Negara yang berdaulat akan mampu bertindaktegas untuk menghadapi anarki; Ketiga, bahwa kedaulatan yang dimiliki negara sejatinyamerepresentasikan publik (masyarakat) sebagai keseluruhan kepentingan individu-individumanusia—lewat negaralah manusia bisa berkompetisi secara damai.12

C. Negara Leviathan dalam Perspektif Politik Islam

Relasi Organis Agama-Negara

Lalu bagaimana Islam memandang hubungan antara agama dan negara, serta negaradengan masyarakat (umat)? Menjawab pertanyaan ini Sukron Kamil sampai pada satukesimpulan, bahwa baik dalam tataran normatif pun historis, hubungan agama dan negara dalamIslam bersifat organis (dalam artian, bisa saja dibedakan tapi tidak mungkin terpisahkan).Demikianlah para pemikir politik Islam sejak masa yang awal, mulai dari Ibn Abi Rabi (9 M),Al-Farabi (870-950), Al-Mawardi (975-1059), Al-Ghazali (1058-1111), hingga IbnTaymiyah (1263-1329) dan Ibn Khaldun (1332-1406), memandang betapa agamamembutuhkan negara sebagaimana halnya negara membutuhkan agama. Bahkan istilah ad-din itu sendiri mestilah dibedakan dari pengertian agama secara umum (sebagai semataperangkat kepercayaan), dimana Islam (dalam pengertian ad-din ini) diperkenalkan pertama-kali oleh Nabi Muhammad SAW sebagai satu bentuk ikatan baru (persaudaraan) yang tidaklagi berdasarkan pada nasab (ikatan darah, kesamaan suku bangsa) tapi keimanan yang sama

11 http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Leviathan diakses pada 26 November 2018.12 Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam, (Jakarta: Alvabet, 2011), 40-41.

Page 8: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

27

(ukhuwah islamiyyah). Maka tak mengherankan bila Al-Mawardi, misalnya, menekankanbagaimana kepemimpinan politik dalam Islam didirikan dalam rangka melanjutkan tugas- tugaskenabian untuk memelihara agama (harasah ad-din) selain tentunya untuk mengelolakebutuhan duniawi masyarakatnya (siyasah ad-dunya). Ibn Khaldun bahkan bergerak lebihjauh dengan mengatakan, negara adalah alat dari agama; bahwa negara diperlukan agar umatmuslim dapat menjaga eksistensi dan identitas mereka sehingga tidak mengalami anarki dandisintegrasi.13

Permasalahan muncul ketika Islam sebagai agama (sebagaimana halnya agama-agamalain pada umumnya) diinterpretasikan secara berbeda-beda, dan lalu negara secara resmimenyatakan keberpihakannya pada salahsatu kelompok. Pada masa Nabi, selaku pemimpinpolitik tertinggi sekaligus pemangku utama urusan keagamaan, berbagai persoalan danperselisihan yang ada dapat dikembalikan pada sosok Nabi itu sendiri; namun pada masaSahabat, benih-benih perselisihan politik praktis berbalut motivasi keagamaan tinggi, segeranampak dengan jelas—diawali dengan kesitegangan antara kelompok Anshor (yang berjasabesar dalam pembentukan komunitas muslim awal di Madinah) dan Quraisy dalampengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah yang pertama; peristiwa fitnah pembunuhanKhalifah ketiga Usman ibn Affan; hingga kemenangan Mu’awiyyah atas Khalifah Ali ibnAbi Thalib (yang sekaligus juga menandai lahirnya kelompok baru elite kerajaan Islam).Romantisme agama dan negara, dengan segala dampak positif dan negatifnya, dapat diamatidengan jelas pada masa keemasan Daulah Abbasiah di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Makmun (813-833). Dalam rangka membenahi kekacauan akibat perang sipil yangmengantarkannya berkuasa, Khalifah Al-Makmun berhasil meraih kepercayaan kelompokSyiah (yang dekat dengan elite Persia) dengan menunjuk Imam Ali Ar-Ridha sebagai calonpenggantinya (yang lalu mati setahun kemudian setelah penunjukan)—suatu kebijakan yangmengisyaratkan bahwa kepemimpinan dalam Islam merupakan penunjukkan dari Tuhan—pun dengan simpati kelompok Mu’tazilah (yang saat itu mendapat angin segar dengangelombang Hellenisme yang melanda dunia Islam) dengan mengambil tesis Al-Qur’ansebagai makhluk—dengan implikasi, sebagaimana makhluk lainnya, mestilah tunduk padapenafsiran Khalifah yang berwenang. Kekacauan internal terjadi seiring dengan penolakantegas ulama hadis karismatis Ahmad ibn Hanbal, dan puncaknya Khalifah Al-Mutawakkilselaku pengganti Al-Makmun (yang mendapat dukungan dari kelompok ulama Sunniskripturalis) membatalkan segala kebijakan keagamaan Khalifah pendahulunya denganmenyatakan kembali pada keyakinan Islam.14 Dalam perkembangan selanjutnya, demikiankesimpulan Ira M. Lapidus, negara dan agama berjalan menuju arahnya masing-masing—dengan agama memperoleh otonomi penuh dari negara—namun tetap dalam label yang sama(pemerintahan Islam).15

Leviathan dalam Tradisi TImur dan Islam

13 Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta: Kencana, 2013), 3-9.14 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam: Bagian Kesatu dan Dua, (Jakarta: RajaGrafindo,

2000), 184-192.15 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial, 191-192.

Page 9: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

28

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, setidaknya terdapat dua komponen dasar yangmenjadi fokus perhatian teori negara Leviathan Hobbes: Pertama, terkait teori kontrak sosialantara masyarakat dengan seseorang atau sekelompok orang yang ditunjuk menjadi pemerintahdi kalangan mereka. Kontrak sosial mensyaratkan adanya masyarakat tanpa negara(staatloosen zustand), yaitu, ketika individu-individu saling bersaing satu sama lain untukmemenuhi segala keinginannya (nafsu egoistis) dalam suatu kondisi yang anarkis (tanpahukum atau hukum rimba); Kedua, terkait absolutisme kekuasaan negara. Sekali kontrak sosialterjadi maka negara semestinya berkuasa secara mutlak, bahkan hukum sekalipun berada dibawah kekuasaan negara (negara sebagai hukum itu sendiri). Absolutisme negaradiperlukan mengingat kondisi alamiah manusia yang egoistis, dimana akal pada manusia itusendiri tunduk pada nafsu-nafsu keduniawiaannya—dalam istilah Hobbes sendiri, “covenantswithout the sword are but word and of no strength so secure aman at all”.16

Sekalipun teori Leviathan ini dikemas dalam term-term modern, namun sesungguhnyaide-ide dasarnya telah dibicarakan pula dalam berbagai tradisi pemikiran dan peradabanlainnya. Dalam kitab Artha Sastra oleh Kautilya, misalnya, disebutkan,

“Rakyat menderita akibat dari anarchis, seperti diibaratkan ikan besar memangsa ikanyang kecil-kecil (matsyanyaya). (Maka) ketika masyarakat tertindas oleh hukum ikantersebut, mereka pertama-tama menetapkan Manu keturunan Visvasvata sebagai raja,yang lalu mengatur seperenam bagian dari biji yang tumbuh dan sepersepuluh daribarang dagangan diberikan kepada raja. Atas penerimaan ini, raja berkewajiban danbertanggung-jawab atas keamanan dan keselamatan rakyatnya, dan memberikanganjaran apabila aturan denda hukuman dan pajak dilanggar. Pertapaan jugamenyerahkan seperenam biji-bijian yang dikumpulkannya, dengan menganggappembayaran tersebut kepada orang yang memberikan perlindungan… Raja yang telahmenerima sumbangan pajak ini akan mampu menjamin keberadaan dan kelangsunganwarganya.” (Seperti ditulis dalam Warta Hindu Dharma, 1996: 8-9, dan Nilakanta,1957: 107).

Sebagaimana halnya kontrak sosial dan staatlosen zustand nya Hobbes, hukum ikan(matsyanyaya) pun berlaku dalam situasi masyarakat pra-negara. Ketika negara dibutuhkan,berdasarkan inisiatif dan kesepakatan masyarakat sendiri, maka absolutism pun menjadi tidakterelakkan mengingat kondisinya yang urgen. Namun demikian, abosolutisme kekuasaan inimesti dibedakan dengan tiran (dalam artian, raja atau negara yang menggunakankekuasaannya melulu untuk kepentingan dirinya)—dimana raja yang adil dan yang zalim,demikian Kautilya, sama-sama berhak menarik pajan 1/6 bagian dari penghasilan rakyatnya,bedanya, raja yang adil akan masuk surga sedang yang jahat akan dimasukkan ke neraka.Demikianlah, setidaknya terdapat tiga alasan diperlukannya absolusitas kekuasaan: 1.Janapada. Bahwa negara diperlukan dalam rangka melindungi seluruh wilayah dan warganya;2. Dharma. Bahwa negara berfungsi untuk memelihara kepatuhan pada aturan (social order,

16 Hobbes mendapat inspirasinya dari Machiavelli dan Bacon yang mengkritik pandangan-pandanganpara pemikir Yunani dan Skolastik yang dianggapnya terlalu tinggi dalam menilai manusia. Dalam perspektifrealism seperti ini hukum moral tidak berdasarkan atas akal melainkan nafsu, lebih tepatnya nafsu untukberkuasa. Sebagaimana dikutip dari, Ari Dwipayana, “Antara Leviathan dan Hukum Ikan”, dalam, Jurnal IlmuSosial dan Ilmu Politik, Vol. 3, No. 2, November 1999, 194-197.

Page 10: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

29

atau dharma setiap manusia berdasarkan kedudukannya dalam masyarakat); 3. Mandala. Negarajuga memiliki peran dalam menjaga perdamaian dunia dengan menciptakan persekutuan mitra

(negara sahabat) dan atau lewat suatu relasi balancing of power dengan negara lainnya.17

Sistem pemerintahan dalam Islam sendiri teridentikkan dengan khilāfah. Istilah khilafahini kerap disebutkan dalam Al-Qur’an, dengan nuansa kosmologis Islam yang khas, dimanamanusia ditetapkan sebagai wakil atau representasi Tuhan di atas muka bumi dengan hakilahiah untuk memanfaatkan kekayaan alam tersebut bagi kepentingannya; namun pada saatyang bersamaan juga amanat yang berat untuk melestarikan dan bahkan menghantarkannyakepada gerak kembali menuju Tuhan. Istilah khilafah mendapatkan nuansa politisnya seiringwafatnya Nabi Muhammad SAW (sebagai pemimpin ummat yang tak terbantahkan), dengannaiknya Khalifah yang pertama Abu Bakar—yang menjuluki dirinya sendiri sebagaiKhalifatun Nabi atau pengganti Nabi—diikuti dengan para khalifah lain setelahnya yangmesti berbai’at kepada dasar-dasar ajaran Islam sebagaimana disampaikan oleh sang NabiBesar. Begitu krusialnya peran Nabi Muhammad, bahkan setelah kematiannya sekalipun, makatak berlebihan kiranya bila dikatakan sosoknya sebagai gambaran Leviathan yang sempurnadalam ajaran Islam. Hal ini dengan satu catatan penting, kekuasaan absolut (dengan klaimmandat ilahiah yang dimilikinya) yang dimiliki Nabi tidak semestinya diartikan sebagai tirani,sebab bahkan ketika menjelang ajalnya sekalipun sang Nabi masih saja meyebut-nyebut namaumatnya (karena besarnya rasa perhatiannya terhadap umat yang dipimpinnya).

Catatan penting lainnya, lebih dari sekadar Leviathan nya Hobbes (yang mengendalikanmassa dengan rasa takut) maka Nabi melakukannya bukan saja dengan menebarkan ketakutan(lewat berbagai ancaman penderitaan di dunia dan akhirat, sebagai akibat melanggar aturanyang telah ditetapkan) namun juga lewat kasih-sayang yang ditunjukkannya (dengan berbagaijanji manis kemenangan di dunia dan akhirat, serta berbagai kebijakan politiknya yangselalu berpihak pada umat). Karenanya tak mengherankan bila dalam absolusitas kekuasaannya,Nabi membudayakan pula bermusyawarah dengan para sahabatnya sebelum mengambilkeputusan yang bersifat mutlak. Kaitannya dengan teori kontrak sosial, Piagam Madinahyang dicetuskan oleh Nabi telah menjadi salahsatu bukti nyata landasan negara Leviathandalam ajaran Islam, dimana masyarakat jahiliah tak ubahnya staatlosen zustand yang anarkis(dalam artian, tidak berpegangan pada hukum yang ditetapkan oleh Tuhan, sehingga setiapsuku sah-sah saja menciptakan Tuhannya sendiri [sebagaimana terlihat dari ratusan patung disekeliling Ka’bah pra penaklukan Mekah]) akan halnya negara-kota (chiefdom) Madinahyang dipimpin Nabi sebagai model ideal negaraLeviathan. Sebagaimana digambarkan Munawir Sjadzali,

17 Kaitannya dengan unsur-unsur dalam negara modern (wilayah, rakyat, pemerintahan, kedaulatan),dalam kitab Artha Sastra juga telah disebutkan adanya tujuh unsur utama pembentuk negara (Saptaanga):Janapada (wilayah dan rakyat), Amatya (raja dan para bawahannya dalam pemerintahan), Danda/Bala(tentara dan polisi), Durga (benteng pertahanan), Kosha (kekayaan), dan mithra (sekutu). Empat poin terakhirterkait dengan isu kedaulatan negara. Sedang yang dimaksud dengan rakyat (janapada) disini adalah, caturvarna (yang meliputi brahma, ksatria, vesya, dan sudra) dan catur asrama (brahmacari, grihasta, wanaprasta,dan biksuka). Lihat, Ari Dwipayana, “Antara Leviathan dan Hukum Ikan”, 199-203.

Page 11: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

30

“Di negara baru Madinah bagi umat Islam Nabi Muhammad adalah segala-galanya.Beliau adalah Rasul Allah dengan otoritas yang berlandaskan kenabian sekaliguspemimpin masyarakat dan kepala negara. Dalam kehidupan sehari-hari sukar dibedakanantara petunjuk-petunjuk mana yang beliau sampaikan sebagai utusan Tuhan dan manayang beliau berikan sebagai pemimpin masyarakat atau kepala negara. Demikianpula dalam hal perilaku beliau. Hubungan antara umat Islam dengan beliau adalahhubungan antara pemeluk agama yang beriman dengan ketaatan serta loyalitas yangutuh dan seorang pemimpin pembawa kebenaran yang mutlak dengan wahyu ilahisebagai sumber dan rujukan, dan yang bertanggung-jawab hanya kepada Tuhan…Sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, Nabi mengembangkan budaya musyawarah dikalangan para sahabatnya. Beliau sendiri, meski seorang Rasul, amat gemarberkonsultasi dengan pengikutnya dalam hal kemasyarakatan… Lain daripada itu Nabitidak selalu mengikuti nasihat para sahabat. Dalam hal beliau bersikap demikian, tidakselalu karena beliau mendapat petunjuk dari Allah melalui wahyu. Dalam beberapaperistiwa Nabi mengambil keputusan yang bertentangan dengan pendapat para sahabat,dan kemudian turun wahyu yang membenarkan pendapat yangtidak diterima oleh Nabi itu…”18

Apa yang bisa disimpulkan dari penjabaran ringkas di atas adalah, ide negara Leviathanmemiliki landasannya pula dalam tradisi Timur (dalam makalah ini Hindu) dan Islam. Namunberbeda dengan Hobbes yang lahir yang lahir dalam tradisi pemikiran Barat modern yangsekular dan materialistik, maka dalam Islam terdapat relasi organis antara urusan profandan ilahiah, dimana politik dan kekuasaan bukan cuma urusan dunia tapi juga akhirat. Terkaithal ini Imam Al-Ghozali dalam karyanya Al-Iqtishad fil Al-I’tiqad menggarisbawahi peranagama sebagai fondasi dan Sultan (penguasa) sebagai penjaganya. Logikanya, Sultandiperlukan bagi ketertiban dunia, ketertiban dunia merupakan prasyarat ketertiban agama, danketertiban agama adalah keniscayaan untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat—ergo, kesultanan (kekuasaan politik) hukumnya wajib dharuri. Interdependensi agama dannegara dalam Islam ini juga diamini oleh Al-Mawardi dan Ibn Taymiyyah, yang menekankanperan negara sebagai washilah (perantara) bagi kemashlahatan di akhirat kelak. SementaraIbn Khaldun memandang pemimpin sebagai representasi dariTuhan untuk menjaga agama dan melindungi kebaikan di dunia.19

Leviathan dalam Islam bukanlah sekadar monster raksasa yang muncul begitu sajadari dasar laut, tapi kreasi para dewa dalam menciptakan ketertiban di dunia dan sekaligusjuga mengingatkan mereka pada kekuatan ilahiah. Demikian halnya dengan NabiMuhammad, diutus oleh Tuhan untuk mengingatkan manusia pada perannya sebagaikhalifah-Nya di atas muka bumi—yang berarti manusia sebagai pemimpin atas makhluk-makhluk lainnya di bumi, namun di sisi lain juga pelayan bagi Tuhan dalam menjalankankehendak-Nya. Dua sumber utama ajaran Islam yang tak terbantahkan, Al-Qur’an dan Hadits,menjadi bukti peran Nabi Muhammad sebagai sosok Leviathan yang sempurna, dan terbuktimampu menghantarkan masyarakat yang dipimpinnya kepada masa-masa keemasan selama

16-19.

18 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993),

19 Sebagaimana dirangkum dari, Sahri, Kepemimpinan Negara Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: DisertasiSPs UIN Syarif Hidayatullah, 2009), 1-3.

Page 12: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

31

berabad-abad setelah kematiannya. Maka menjadi ironi ketika berbagai aksi anarkis atasnama Islam dewasa ini justru mendapatkan justifikasinya dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi.

D. Leviathan Sebagai Negara dalam Perspektif Pendidikan Politik Islam

Bila diibaratkan dengan sebuah tubuh, jantung suatu negara adalah pemimpinnya—apabila jantung berfungsi dengan baik maka seluruh tubuh pun akan dapat berfungsi secarabaik, namun bila jantung bermasalah maka seluruh fungsi organ tubuh pun akan terganggu.20

Masalahnya adalah, sebagaimana ditekankan oleh Dalai Lama, pemimpin tidak turun dari langitmelainkan cerminan dari masyarakat tempatnya dilahirkan. Tugas mulia mencetak pemimpin-pemimpin hebat, tidak bisa tidak, berada di atas pundak dunia pendidikan— pendidikan yangberkualitas dengan penekanan pada pembentukan karakter akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkarakter pula, sebaliknya sistem pendidikan yang korup dan dipenuhikecurangan akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang culas pula. Begitu krusialnyaperan pendidikan dalam menjamin keberlangsungan suatu peradaban, sampai- sampaiPlaton (427-346 SM), dalam filosofi ideal pendidikannya (paidea), mewajibkan setiap keluargaagar menyerahkan anaknya kepada negara untuk mendapatkan pendidikan yang setara sehinggapotensi masing-masing anak didik dapat tergali secara maksimal, dan salah- satu di antaranya(bibit paling unggul) akan dipersiapkan menjadi pemimpin-pemimpin masa depan, untukkemudian selanjutnya di tangan pemimpin-pemimpin unggul inilah nasib suatunegara kedepannya berada.21 Singkat kata, terdapat keterkaitan erat antara pendidikan dankekuasaan, dimana keduanya saling mempengaruhi secara timbal-balik.

Pendidikan Islam (lebih tepatnya filsafat pendidikan Islam) memiliki hutang besarkepada filsafat Yunani yang mewariskan peradaban inteletual. Tapi lebih dari itu, Islammembangun peradaban ilmunya sendiri dalam bentuk pemikiran dan teks (ciri khas agama-agama Ibrahimik yang memiliki kitab suci). Kunci kemajuan peradaban Islam di erakeemasannya adalah interaksi-dialektis yang terjadi secara terus-menerus antara ayat-ayatqur’aniyyah dan kauniyyah dengan etos intelektualisme dan dialog keilmuan. Paradigmakeilmuan yang digunakan tidak berhenti pada aspek verbal (tilawah), tapi dibarengi olehqira’ah wa’iyah (lewat proses kognisi, afektif, dan psikomotorik; pemahaman, kesadaran,dan karakter) dan bahkan harakah ilmiyyah wa insaniyyah (gerakan ilmiah yang sistimatisdengan visi-misi yang jelas dalam membangun peradaban). Kata kunci lainnya kemajuanperadaban Islam, demikian simpul Muhbib Wahab, adalah simbiosis mutualisme antara

20 Perumpamaan ini terdapat dalam karya Al-Farabi (870-950 M), Ara’ Ahl Madinah Al Fadhilah,dalam, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993),55.

21 Yang menarik adalah, model pendidikan yang setara seperti ini (yang mesti diselenggarakan olehnegara pula) bukan cuma dilakukan dalam rangka mencetak pemimpin-pemimpin berkarakter tapi juga anggota-anggota masyarakat yang berkualitas pula—hal ini penting ditekankan sebab pemimpin yang ideal tidak hauskekuasaan dan popularitas, dan karenanya masyarakat sendiri yang semestinya berkesadaran untuk mengikutivisi-misi sang pemimpin. Sebagai pengantar terbaik filsafat pendidikan Platon (Plato) lihat, A. Setyo Wibowo,Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, (Yogyakarta: Kanisius, 2017).

Page 13: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

32

ulama dan umara, ilmu dan kekuasaan; sinergi pendidikan Islam dengan kebijakan politikyang mendukung pengembangan ilmu, teknologi, dan budaya, serta pemikiran keislaman.22

Manusia dalam ajaran Islam tidak melulu bersifat menyedihkan, sebagaimana halnyadalam pandangan Hobbes. Bila bagi Hobbes manusia dalam kondisi alamiahnya selalubersifat mementingkan diri sendiri (dimana akal-pikiran yang dimilikinya sangatlah rentandan karenanya mudah dimanipulasi oleh nafsu egoistisnya, lalu manusia pun menjadi“serigala bagi sesamanya”), maka Islam bergerak satu langkah lebih jauh dimana akal-pikiran(terlepas dari sifat rentannya) akan mampu membimbing manusia ke jalan kebaikan apabilaberjalan beriringan dengan ayat-ayat Nya (pun sebaliknya, tanpa bimbingan akalnya makawahyu tak jarang justru akan menjerumuskan manusia pada pertikaian atas nama agama)—demikian eratnya hubungan antara agama dengan filsafat ini sampai-sampai Ibn Rusydmengibaratkan hubungan keduanya layaknya saudara sepersusuan.

Dalam perspektif seperti ini, negara Leviathan dapat dipandang sebagai produk daripikiran manusia yang sengaja diciptakan dalam rangka mempersonifikasi kuatnya godaan setan(nafsu-nafsu egoistis dalam term modern) dan sekaligus juga kekuasaan mutlak Tuhan (hukumalam dalam term modern). Personifikasi seperti ini diperlukan mengingat hakikat setan yangsepenuhnya gaib (demikian halnya dengan Tuhan), sementara manusia selain mengandungunsur spiritual juga tersusun atas unsur materi (jasmani). Dengan jalan personifikasi seperti ini(baca, materialisasi) maka ancaman setan yang tadinya tersembunyi kini menjadi nyata danterlihat (visible) oleh manusia, untuk selanjutnya manusia (dengan akal-pikirannya) akanmampu untuk mengamati, menganalisis, dan akhirnya mengendalikan Leviathan tersebutdalam rangka memenuhi berbagai kepentingan individualnya dalam konteks sosial.Leviathan dalam bentuk negara bisa saja suatu hari nanti dihapuskan sepenuhnya (sebagaimanacita-cita Marx), tapi dengan sengaja dijinakkan (tidak dibunuh) mengingat kerentanan manusiaitu sendiri. Singkat kata, negara Leviathan dalam politik Islam diperlukan sebagai entitaskeempat (setelah Tuhan, manusia [termasuk alam semesta], dan setan) demi terselenggaranyakehidupan yang stabil di atas muka bumi sehingga memungkinkan manusia untukmengembangkan potensi-potensi terbaiknya.

Berbagai institusi pendidikan dalam Islam, dengan demikian, dapat diibaratkanlayaknya pelatih sekaligus pengasuh bagi terselenggaranya Leviathan sebagai negara, yangberperan penting bukan saja bagi keberlangsungan suatu negara tapi pada saat yangbersamaan juga dalam memeliharanya sehingga tidak terjerumus pada hal-hal yang bersifatdeskruktif (katakanlah, menjadi sebuah negara gagal yang tidak lagi dipercayaimasyarakatnya karena hukum yang pandang bulu, atau juga karena dianggap tak cukup tegasdalam menghadapi ancaman-ancaman separatis sebagian unsur masyarakat). Para guru danpemangku kebijakan pendidikan lainnya memegang peranan krusial dalam menyediakangenerasi-generasi baru yang kritis (mampu mengamati kelemahan-kelemahan negaranyasendiri) dan sekaligus juga problem-solver (sehingga mampu menyediakan alternatif solusiyang diperlukan demi perkembangan dan keberlanjutan negara kedepannya). Atas dasar inimaka negara pun memiliki kewajiban (bahkan kemutlakan) untuk mendukung berbagai

22 Muhbib A. Wahab, “Al-Qur’an Inspirasi Peradaban”, artikel dalam, Republka, 31 Mei 2018.

Page 14: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

33

program pendidikan yang berkualitas dan setara, alih-alih melepaskannya begitu saja (sehinggamudah terjangkiti berbagai ideologi dari institusi atau individu pengusung dana) atau jugamenomorduakan pembangunannya (mengingat pembangunan manusia lebih utama daripembangunan infrastruktur sekalipun). Penting untuk diangkat kembali hadits Nabi disiniyang menyebutkan bahwa hal pertama yang dibangun Nabi Muhammad SAW ketika hijrah keMadinah adalah Masjid (yang sekaligus juga berperan sebagai pusat pendidikan kala itu)dan setelahnya jalan umum (infrastruktur) sehingga roda perekonomian—sebagai landasan bagiterselenggaranya suatu peradaban—dapat berjalan.

Akhirnya perlu juga ditekankan disini pentingnya pendidikan politik dalam Islam.Berbagai ancaman separatis berbau agama dan maraknya ideologi Islam (Islamisme) vis-à-visPancasila, merupakan bukti belum maksimalnya perhatian dunia pendidikan Islam terhadapaspek politik. Terdapat pandangan yang umum di tengah-tengah masyarakat bahwa politik itukotor (penuh permainan uang dan tarik-ulur kepentingan praktis) dan karenanya sebisamungkin harus dihindari.23 Berbagai program pendidikan dari pemerintah juga kerapmenganak-tirikan pendidikan politik (bahkan terkesan secara sengaja menjauhkannya daridunia pendidikan), sebagaimana antara lain terlihat dari kehidupan kampus akhir-akhir ini yangmelulu dijadikan “ladang” tempat mencetak bibit-bibit tenaga kerja. Bila dibiarkan berlarut-larut, tentu saja hal ini akan amat merugikan bagi nasib negara dan bangsa kedepannya,mengingat politik sejatinya merupakan realitas praktis sehari-hari bersama-sama dengan etikadan ekonomi (bayangkan manusia tanpa pendidikan etika dan ekonomi, demikian pulakeadaannya dengan manusia tanpa pendidikan politik yang memadai).

Gagal paham negara Islam terjadi, demikian analisis Abdul Aziz, ketika para pencetusteori negara Islam abad modern (seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, danRasyid Ridha, serta tokoh-tokoh Daarul Islam, Ikhawanul Muslimin, dan lainnya) terlalufokus pada aspek-aspek normatif-ideologis dengan sedikit perhatian pada sejarah dan apalagiteori-teori sosiologi terkini. Akibatnya adalah, formulasi negara Islam yang terlampau idealistikdengan menjadikan Madinatun Nabi sebagai model instan yang dapat dengan mudah(simplifikasi) menjadi acuan dalam mengisi kerangka nasionalisme dan format negara paskakeruntuhan Kekhalifahan Turki Usmani yang terakhir (1927). Maka tidak bisa tidak,pendidikan politik Islam harus pula menekankan pada realitas sejarah Islam itu sendiri dalamkonteks sejarah dunia dan faktor-faktor sosiologis yang khas dalam setiap prosesnya, disampingtentunya aspek ajaran Islam itu sendiri (yang walau tidak secara gamblang memaparkan modelnegara Islam, tapi banyak mengatur persoalan hubungan antara individu,keluarga, dan masyarakat sebagai basis terbentuknya sebuah negara).24

Dengan mempertimbangkan faktor sejarah dan sosiologis seperti ini, maka pendidikanpolitik Islam semestinya juga bisa membedakan antara Daulah Islamiyyah dengan DaulahMuslimin. Sebagaimana dijelaskan oleh Achmad Mubarok, faktanya dalam sejarah memang

23 Menarik untuk diangkat kembali disini, keputusan Nurcholish Madjid (Cak Nur) sebagai gurubangsa, yang menjelang akhir kehidupannya justru memutuskan untuk turun ke dalam dunia politik praktis danmenjadi Bacapres (bakal calon presiden) dalam konvensi internal Partai Golkar 2004. Walau kemudian kalahdan tersingkirkan sejak awal, Cak Nur seolah ingin menegaskan bahwa orang baik tidak boleh anti politik

24 Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam, (Jakarta: Alvabet, 2011), 4-9.

Page 15: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

34

terdapat apa yang disebut dengan negara Islam, namun tak bisa diabaikan pula (terutamapaska pemerintahan Khalifah yang empat) fakta sejarah ragam ekspresi politik umat muslimyang terus berubah polanya dengan kuatnya faktor budaya melebihi komitmen pada ajaranIslam itu sendiri (mulai dari rezim Umayyah, Abbasiah, hingga Usmani, dengan sistemdinastinya). Daulah Islamiyah secara otomatis berakhir dengan runtuhnya Turki Usmani,untuk selanjutnya sepanjang abad 20 M bermunculan berbagai model Daulah Muslimin.Berbeda dengan Daulah Islamiyah yang hanya mengenal identitas keislaman, maka dalamDaulah Muslimin disamping mengenal identitas keislaman juga memasukkan identitaskebangsaan sebagai suatu fakta sejarah yang tak terelakkan—mulai dari Saudi Arabia yangberbentuk dinasti kerajaan, Malaysia dengan sistem kerajaan konstitusional yang menjadikanIslam sebagai agama negara, Republik Islam Pakistan yang lahir murni sebagai ekspersiidentitas keislaman namun kurang konseptual, hingga Republik Islam Iran yang tegas dibangunberdasarkan konsep imamah wilayatul faqih. Demikian halnya dengan Republik Indonesiayang menjadikan Pancasila sebagai dasar negaranya, juga merupakan satu bentuk DaulahMuslimin yang lahir sebagai hasil kompromi antara aspirasi kelompok Islam (Piagam Jakarta)dan Nasionalis (yang notabene mayoritasnya juga muslim yang baik). Dengan demikian, takberlebihan kiranya pandangan yang menyatakan berbagai tuntutan pembentukan negaraIslam di Indonesia (baik secara politik kembali pada Piagam Jakarta, maupun pendirikanKhilafah ala HTI) sebagai hal yang kontra-produktif karena memundurkan bangsapada situasi dan kondisi pra-kompromi.

E. Kesimpulan

Kembali pada problem ikonoklasme bendera HTI sebagaimana disebutkan dalampendahuluan, maka telah menjadi jelas letak kesalahan terbesarnya, dan di sisi lain justifikasi(baik oleh pemerintah ataupun umat sendiri) penolakan terhadapnya: bahwa HTI (danberbagai afiliasi politis lain yang menuntut didirikannya negara Islam) terlalu sibukmempersoalkan bentuk negara sampai-sampai lupa pada hakikat dan fungsi negara itusendiri. Padahal Islam, sebagaimana telah didemonstrasikan dalam tulisan ini, tidak pernahmenetapkan secara baku bentuk pemerintahan yang ideal; pun hakikat negara Pancasila sebagaibentuk negara (atau lebih tepatnya, salah satu modus Daulah Muslimin dalam abad modern)yang sah secara ahdi wal aqdi (kontrak sosial oleh para pendiri negara Indonesia). Pentinguntuk diangkat kembali disini, empat pilar fiqih yang semestinya menjadi acuan setiappembicaraan terkait politik Islam (Siyasah Syar’iyah): Pertama, prinsip al-muwazamah (fiqihkeseimbangan). Bahwa berbagai keputusan politik harus mempertimbangkan aspek mashlahat(manfaat) dan mudharatnya bagi masyarakat secara keseluruhan; Kedua, prinsip al-maqashid(fiqih tujuan). Bahwa setiap keputusan politik harus selaras dengan tujuan, visi, dan cita-citaIslam yang universal, dan tidak semata terpaku pada teks-teks yang partikular; Ketiga, prinsipal-ma’alat (fiqih proyeksi). Bahwa setiap keputusan politik harus memperhatikan hasil, akibat,dan ekses yang ditimbulkannya. Dalam situasi tertentu diperbolehkan melanggar sebuahlarangan untuk sebuah tujuan yang lebih besar atau dalam rangka menghindari kerusakan yanglebih berbahaya; Keempat, prinsip al-awliyat (fiqih prioritas). Bahwa setiap keputusanpolitik harus diletakkan dalam kerangka rancangan besar

Page 16: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

35

program umat, sehingga terlihat tingkat urgensinya. Tidak dibenarkan membesar-besarkansesuatu yang kecil, atau juga mengecilkan sesuatu yang besar (katakanlah label negara atasfungsi negara itu sendiri).25

Berdasarkan berbagai argumentasi di atas, maka sudah sewajarnya negara bertindaktegas—selayaknya Leviathan—dalam memberangus semua aksi pemberontakan terhadapkedaulatan dasar negara; pun sudah sepantasnya bagi umat (sebagai bagian terbesar rakyatIndonesia) untuk mendukung aksi pemerintah tersebut. Bahwa tuduhan pemerintahan Indonesiasebagai pemerintahan thoghūt (tidak berdasarkan ajaran Islam, syariat) merupakan fitnah besaryang menunjukan kealpaan si penuduh akan sejarah (baik sejarah bangsa ataupun agamanyasendiri) dan pemahamannya terhadap ajaran Islam itu sendiri; sekaligus juga mengindikasikan“kegagalan” peran pendidikan politik Islam selama ini. Disinilah letak pentingnya revitalisasiperan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia dan para ulama (dalam artian yangsesungguhnya, dengan kapasitas turats dan hadatsah yang memadai disertai wawasankebangsaan yang kuat pula) dalam menjaga kesatuan negara Republik Indonesia demikemashlahatan bersama kini dan kedepannya.

Referensi

Al-Farabi, Ara’ Ahl Madinah Al Fadhilah, dalam, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara:Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993).

Al-Qaradhawi, Yusuf, Ringkasan Fikih Jihad, (Jakarta: Al-Kautsar, 2011).

Aziz, Abdul, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam, (Jakarta: Alvabet,2011).Bobrick,

Benson, Kejayaan Sang Khalifah Harun Ar-Rasyid, diterjemahkan dalam bahasa oleh, IndiAunullah, (Ciputat: Alvabet, 2013).

Dwipayana, Ari, “Antara Leviathan dan Hukum Ikan”, dalam, Jurnal Ilmu Sosial dan IlmuPolitik, Vol. 3, No. 2, November 1999.

Hobbes, Thomas, Leviathan, ed. H.W. Scheneider (New York: Bobbs-Merrill, 1958)

Kamil, Sukron, Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta: Kencana, 2013).

Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Mizan,2005).

Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam: Bagian Kesatu dan Dua, (Jakarta:RajaGrafindo, 2000).

Mulkhan, Abdul Munir, “Problem Teologi Politik NU dan Gerakan Islam”, prolog dalambuku, Ridwan, Paradigma Politik NU, (Purwokerto: Pustaka Pelajar, 2004).

25 Yusuf Al-Qaradhawi, Ringkasan Fikih Jihad, (Jakarta: Al-Kautsar, 2011), 45.

Page 17: NEGARA LEVIATHAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

36

Sahri, Kepemimpinan Negara Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Disertasi SPs UIN SyarifHidayatullah, 2009).

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UIPress, 1993).Ridwan, Paradigma Politik NU, (Purwokerto: Pustaka Pelajar, 2004).

Tannenbaum, Donald G. dan David Schultz, Inventors of Ideas: An Introduction to WesternPolitical Philosophy, (USA: Macmillan Press, 1998).

Wibowo, Setyo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, (Yogyakarta: Kanisius, 2017).

Wolff, Jonathan, An Introduction to Political Philosophy, (New York: Oxford, 1996).

Wahab, Muhbib A., “Al-Qur’an Inspirasi Peradaban”, dalam artikel, Republika, 31 Mei 2018.

Assyaukanie, Luthfie, http://islamlib.com/gagasan/ikonoklasme-islam/

https://republika.co.id/berita/koran/teraju/15/03/16/nlaroc35-antara-ikonoklasme-dan-tanam-pengaruh

www.hizb-ut-tahrir.infowww.hizb-ut-tahrir.info

Nadirhosen.net.

http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Leviathan